Ceritasilat Novel Online

Pendekar Kidal 20

Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Bagian 20


lut," hardik Thay-siang, "jangan kau minta ampun bagi bocah she Ling, Hek-liong-hwe terang akan kugempur, tapi aku
akan bunuh dulu bocah she Ling itu:" Mulut bicara sementara
matanya menatap ke dasar kola m tanpa berkedip.
Saat mana air kolam sudah menyurut rendah, tepat di tengah
kola m muncul batu karang, tepat di pucuk karang terdapat sebuah
batu bulat raksasa, batu itu mula i bergerak mumbul ke atas, kejap
lain seorang pe muda berjubah hijau ta mpak me nongol keluar dari
lubang di bawah batu bulat itu.
Hari sudah terang benderang, kabutpun sudah me nipis, betapa
tajam pandangan Thay-siang, sekilas pandang dia sudah mengenali
pemuda yang menongol keluar itu me mang betul Ling Kun-gi.
Darah seketika merangsang kepala, se mbari menggera m pedang
ditangan kanannya mendadak dia timpukkan ke bawah, berbareng
kedua kakinya menutul, orangnyapun meluncur ke bawah, daya
luncurnya teramat cepat, dengan ringan ujung kakinya menginjak di
atas batang pedang yang sedang terbang itu.
Cahaya pedang bagai bianglala, dengan terbang naik pedang
Thay-siang me lompat sejauh dua belas tombak me luncur turun ke
puncak karang di tengah kola m.
Melihat orang menimpukkan pedang, semula Yong King-tiong
mengira orang mengguna kannya sebagai senjata rahasia uuntuk
menyerang Ling Kun-gi, ma ka dia berteriak gugup: "Jangan Jikohnio
. . . ." Demi me lihat orang "terbang" dengan naik pedang, hati Yong King-tiong se makin kaget dan mencelos.
Betapapun tinggi ilmu silat seseorang takkan mungkin dapat
me lompati sejauh dua be las tombak dari permukaan kola m ini, tapi
ilmu "It-wi-tohkung" (dengan sebatang gala menyeberang sungai)
yang dipertunjukkan Thay-siang ini betul2 amat menakjubkan.
Selama dua puluh tahun ini, watak Ji-kohnio ini agaknya makin
nyentrik, bila dia betul2 berhasil terjun ke pucuk karang, bukan
mustahil akan perang tanding dengan Ling-kongcu, dengan bekal
kepandaian silatnya yang bertaraf tinggi itu mungkin Ling-kongcu
bukan tandingannya.
Hampir dala m waktu yang sama, dari arah lain sana, tahu2
me layang terbang pula selarik sinar pedang, karena kabut telah
menipis, ma ka samar2 dapat terlihat di atas luncuran sinar pedang
itu berdiri juga sesosok bayangan orang yang berkedok serba hitam,
pakaian mela mba i, meluncur dengan cepat dan sasarannya juga ke
puncak karang di dasar kola m.
Kembali Yong King-tiong terkejut, batinnya: "Siapa pula itu?"
Kedua orang sama2 melancarkan Ginkang It-wi-tokang ajaran
rahasia Siau-lim-pay yang tidak diturunkan kepada orang luar, jelas
bahwa kedua orang ini pasti punya sangkut paut erat dengan Siaulim-pay. Sama2 naik pedang yang meluncur, meski keduanya terpaut
beberapa kejap tapi keduanya hampir bersamaan pula tiba di pucuk
karang. Saat mana Ling Kun-gi baru saja menerobos keluar di
bawah batu bulat. Tahu2 Thay-siang sudah hinggap di atas karang,
bentaknya: "Binatang kecil, kau pantas ma mpus!" Pedang terayun,
dada Kun-gi ditusuknya dengan beringas.
Sebetulnya Kun-gi belum melihat jelas orang di depannya, tapi
dia kenal betul suara Thay-siang, tanpa terasa ia menjerit: "Kau ini
Thay-siang!" Sebat sekali dia menyurut mundur sa mbil berkelit.
Kejadian berlangsung dala m sekejap dan cukup gawat, dika la
Kun-gi mengegos, orang berkedok yang datang belakangan itupun
sudah meluncur tiba mengadang di depan Kun-gi. Pedang panjang
kontan terayun, "trang", tusukan pedang Thay-siang kena
ditangkisnya, teriaknya: "Dik, tak boleh kau me lukai dia!"
Karena suara orang, kembali Kun-gi di bikin kaget, teriaknya:
"Ibu!"
Orang berkedok dan berpakaian hita m yang baru datang ini
me mang betul ibu kandung Ling Kun-gi, yaitu Thi-hujin alias Thi Ji
giok. Wajah Thay-siang teraling cadar, tapi sorot matanya tajam dingin
diliputi nafsu me mbunuh, teriaknya: "Siapa adikmu" Binatang kecil
ini menggagalkan urusanku, aku harus mencabut nyawanya, kau
minggir!" "Sret", ke mbali dia menusuk.
Pedang Thi hujin segera menyontek dan menindih gerakan Thaysiang, katanya: 'Dik, jangan kau me lupakan persaudaraan. Kau
terhitung lebih tua dari dia, umpa ma kau ingin menghukum dia
dengan cara apapun boleh, tapi terhadan anak2 tak pantas kau
ma in senjata."
"Jangan cerewet!" teriak Thay-siang pula. "Ka lian ibu beranak me mang pantas ma mpus." Di tengah teriakannya ini, beruntun dia
menyerang tiga kali pula.
Thi hujin tangkis semua serangan Thay-siang itu, katanya: "Aku
tak boleh mati se karang, aku akan me mbunuh bangsat pengkhianat
Hek-liong-hwe dengan kedua tanganku sendiri, menegakkan na ma
baik ayah dan perguruan, menuntut balas sakit hati ke matian
suamiku." Walau merasa perbuatan Thay-siang keterlaluan, tapi kini Kun-gi
sudah tahu bahwa Thay-siang adalah bibinya sendiri. Cuma belum
diketahui ada perselisihan apa di antara Thay-siang dengan ibunya,
sampai sesama saudara ini saling denda m dan bermusuhan" Tapi
kedua orang yang lagi gebrak ini adalah angkatan tuanya, walau
hati merasa cemas, tak berani dia ikut turun tangan atau
me mbujuk. Setelah dia keluar dari bawah lubang, batu bulat yang timbul tadi
kini sudah turun dan menyumbat lubang tadi. Peralatan rahasia di
Hek-liong-ta m ini saling berka itan satu dengan yang lain bila batu
bulat ini sudah ke mbali pada posisinya semula, kepala naga di
dinding utara itupun mulai me mancurkan air beracun, sementara air
kola m yang semula tersedot ke delapan empang di samping kola m
kini ke mbali mengalir ba lik, maka volume air mula i meninggi pula.
Thay-siang masih mainkan pedangnya sekencang kitiran, seperti
orang kalap saja dia menghardik seraya lancarkan serangan, bagai
mengadu jiwa layaknya dia cecar Thi-hujin dengan tusukan dan
tebasan pedang.
Dengan tenang dan mantap Thi-hujin hanya menangkis dan
me matahkan serangan orang, tak pernah balas menyerang, ma ka
suara keras benturan senjata mereka terasa me meka k telinga
sederas hujan badai.
Kun-gi yang berada di samping cukup tahu situasi yang gawat
ini, maka dia berteriak mendesak: "Thay-siang lekas berhenti. Kalau
tidak lekas meninggalkan tempat ini, air kola m segera akan naik
pasang." Mendadak terdengar suara gelak tawa aneh di sebelah atas,
disusul seorang berkata: "Pe mberontak bernyali besar, kalian masih
ingin pergi dengan selamat dari Hek-liong-tam?" Be lum lenyap
suaranya,beruntunterdengarsuarajepretan,maka
berhamburanlah anak panah beracun bagai hujan lebatnya sama
tertuju ke puncak karang. Sementara cepat sekali air kola m juga
semakin tinggi, karangpun ha mpir tenggela m ditelan air.
Thi-hujin berteriak gugup: "Dik, lekas na ik!"
Agaknya Thay siang amat jeri juga akan a ir kola m beracun ini,
dengan menggerang gusar segera dia jejak kedua ka kinya dan
me la mbung ke atas, pedang panjang di tanganpun ditimpuk ke
atas, pedang yang bercahaya kemilau me luncur bagai roket, dengan
menaiki pedang itulah Thay siang langsung menerjang ke tepi atas.
Di tengah udara menyongsong ha mburan ana k panah yang melesat
kencang itu, dia kebutkan kedua lengan bajunya, bagai menyiba k
tangkai bunga layaknya sekejap saja dia sudah hinggap di tepi
kola m. Dika la Thay-siang meleset terbang itu Kun-gi berteriak gugup:
"Bu, le kas engkau naik!"
Thi-hujin tahu dengan me mbawa Le liong-cu Kun-gi tidak perlu
takut air kola m, ma ka dia berpesan: "Lekas kaupun pergi saja!"
Segera iapun timpukkan pedang, badan melijit t inggi hinggap di
atas pedang terus meluncur ke atas pula, arahnya ke sebelah sana.
Dua puluh e mpat ahli pe manah tengah berba-ris di tepi kola m
dan sibuk dengan anak panahnya kapan mereka pernah lihat ada
manusia bisa numpang pedang, apalagi sinar pedang yang
ditimpukkan mencorong seterang itu, sehingga anak panah yang
mereka bidikkan seketika menyiba k rninggir sendirinya, karuan ciut
nyali mereka, tanpa disadari berama i2 mereka menyurut mundur.
Lekas sekali Thay-siang manfaatkan peluang ini, setelah kaki
hinggap di tepi, sembari tertawa dingin pedangpun bekerja, bagai
naga hidup sinar pedangnya menebas kian ke mari. Di mana larikan
sinar pedangnya menyamber, jeritan mengerikan seperti berpadu,
lima laki2 pe manah terpenggal kepa lanya.
Berhasil me mbinasakan lima musuh. Thay-siang terus berkisar ke
kiri, pedangnya ke mbali menyapu.
Betapa cepat gerakan pedangnya, hakikatnya susah di kuti oleh
pandangan mata, tahu2 kilat menya mber dan jiwapun me layang,
ke mbali lima sosok tubuh sa ma terjungkal roboh tak berkepala.
Dua kali pedang Thay siang menyapu, hanya sekejap saja hampir
separo dari dua puluh e mpat pemanah telah menjadi korban,
sisanya keruan menjadi le mas kakinya saking ketakutan, beramai2
mereka me larikan diri sehingga tugas me mbidikkan panah
terlupakan sa ma sekali.
Pada saat itulah terdengar seorang menghardik
keras: "Pe mberontak bernyali besar, tidak le kas berhenti?"
Waktu Thay-siang berpaling, tertampak tiga tombak di atas batu
padas besar sana berdiri sejajar belasan orang. Orang di tengah2
berusia antara 45-an, alis tebal, mata sipit, kulit mukanya semu
merah bagai buah apel, mengenakan jubah abu2 bersula m indah,
sikapnya kelihatan gagah dan angker. Di sebelah kirinya adalah
seorang Lama berkasa merah. dua muridnya berdiri di kanan kiri
sebelah belakang.
Di sebelah kanannya adalah laki2 berjubah hijau berusia ena m
puluhan, disusul Yong King-t iong sebagai Hek-liong-hwe Congkoan,
dilanjutkan e mpat laki2 berbaju biru berusia e mpat puluhan. Di
kedua sisi orang2 ini adalah delapan laki2 seragam hita m berpedang
panjang warna hitam pula, jelas mereka adalah jago2 pedang dari
Hek-liong-hwe. Tadi yang bersuara adalah laki2 jubah hijau berusia
enam puluhan itu.
Laki2 berjubah abu2 yang berdiri di tengah menatap Thay-siang
sekian la manya, katanya kemudian dengan suara kereng: "Kau Thi
Ji-hoa atau Thi Ji-giok?"
"Peduli apa siapa aku?" jengek Thay-siang.
"Siapa kau?" bentak Thi-hujin di sebelah sana. Yong King-tiong
menyeringai tawa, katanya: "Kalian berani menyelundup ke tempat
terlarang, kini berhadanan dengan Hwecu kita masih berani
bertingkah, hayo lemparkan senjata dan menyerah saja.
Me mangnya kalian berani me mberontak?" Kata2nya ini me mberi
kisikan bahwa si jubah abu2 adalah Hek-liong-hwe Hwecu Han Janto
adanya. Sejak kecil Han Janto dibimbing dan dibesarkan oleh Hek-lionghwe Hwecu yang terdahulu, yaitu Hek-hay-liong Thi Tiong-hong. Ini
berarti bahwa dia tumbuh dewasa bersama Thi-hujin dan Thaysiang, lalu mengapa Thi-hujin dan Thay-siang sekarang tidak
mengenalnya"
Soalnya dalam ingatan mereka Han Janto adalah pe muda yang
cakap bermuka putih bersih, sikapnya sopan dan lembut, kecuali
hidungnya yang me mbetet, tak kelihatan roman mukanya yang
jahat dan sadis, tapi laki2 di depan mata mereka sekarang berwajah
merah, alis tebal mata sipit, hakikatnya bukan Han Janto yang
menjua l Hek-liong hwe dan mence lakai sua minya itu. Sesaat Thihujin me natap si jubah abu2, lalu mendengus hina: "Han Janto?"
Ling Kun-gi kini juga sudah naik ke atas dan berdiri di belakang
Thi-hujin, katanya lirih: "Bu, dia mengenakan kedok muka."
Sorot mata si jubah abu2 menatap Kun-gi le kat2, sekilas iapun
me lirik Leliong cu, tiba2 dia tertawa lebar, katanya: "Anak muda,
kau inikah Ling Kun-gi?"
Kini baru Thi hujin mengenal suara orang, seketika badannya
gemetar, pedang menuding, bentaknya dengan suara gemetar:
"Kau me mang betul Han Janto, kau keparat yang khianat ini, ya,
me mang kau adanya."
Han Janto tertawa lebar, katanya: "Betul, me mang aku orang she
Han, kita kan dibesarkan ber-sa ma2, dulu ka lau bocah she Ling
tidak menyelinap diantara kita, kau nona Ji-giok pasti sudah menjadi
biniku, tapi hari ini kaupun akan tetap disanjung sebagai isteriku
tercinta . . . . . . "
Dulu Han Janto sudah beranggapan bahwa dirinyalah yang pasti
akan mewarisi jabatan ketua Hek-liong-hwe dari tangan Thi Tionghong, ma lah secara dia m2 iapun naksir kepada nona Ji-giok,
sementara Ji-hoa alias Thay-siang dari Pek-hoa-pang diam2
kasmaran terhadap Ling Tiang-hong, tapi karena Kay-to Tyasu telah
me mperkenalkan murid pre mannya yang satu ini, maka Thi Tionghong berkeputusan mewariskan jabatan ketua Hek-liong-hwe
kepada Ling Tiang-hong.
Dan lagi mengingat puteri tunggalnya Ji-hoa berwatak nyentrik,
cupet pikirannya dan berjiwa sempit, sebaliknya Ji-giok sang puteri
angkat berwatak lembut, welas asih, sikapnya ramah dan halus
maka dia berkeputusan lebih setimpal menjodohkan puteri
angkatnya Ji-giok kepada Ling Tiang-hong.
Keputusan ini sudah me lalui pe mikiran yang seksa ma serta
dipertimbangkan untung ruginya, sungguh diluar dugaan bahwa
keputusan ini justeru me mbuat puteri kandungnya Ji-hoa minggat
tak keruan paran. Karena cemburu, timbul watak Han Janto yang
jahat, secara diam2 dia menyerah kepada kerajaan dan rela
diperbudak menjadi antek penjual bangsa. Perubahan drastis ini
sudah tentu tak pernah terpikir oleh Lohwecu sebe lumnya.
Begitulah de mi mendengar mulut orang yang kotor, sungguh
tidak kepalang marah Thi-hujin di sa mping merasa berduka pula,
desisnya sambil menggertak gigi: "Keparat she Han, ayahku teramat
baik terhadanmu, kau ma lah lupa akan nenek moyang sendiri dan
rela menjua l keluarga dan bangsa kepada musuh, terima hidup
diperbudak menjadi antek penjajah, me mbunuh para ksatria bangsa
sendiri, dua puluh tahun yang la lu aku sudah bersumpah untuk
mengorek ulu hatimu buat sesaji didepan pusara ayah dan suamiku,
sekaligus menuntut balas pula bagi para pahlawan yang telah
gugur. Nah, Han Janto, menggelinding keluar sini kau."
"Bu, engkau tak perlu mengeluarkan tenaga, dendam orang tua
sedalam lautan, bangsat she Han ini serahkan saja kepada anak
untuk me mbereskannya," seru Kun-gi.
Bercucuran air mata Thi-hujin, ucapnya: "Tidak, sejak ibu
meninggalkan Hek-liong-hwe dulu sudah bersumpah kepada
ayahmu, dengan kedua tanganku sendiri akan kubunuh keparat she
Han yang durhaka ini."
Thay-siang menyeringai dingin, katanya: "Mencari perkara
dengan Han Janto adalah urusan kalian, aku akan pergi saja Ling
Kun-gi, persoalanmu menyelundup ke dala m Pek-hoa-pang sejak
kini boleh tida k usah kuusut. Nah, serahkan ke mbali Ih-thiankia m
padaku." Thay-siang tidak tahu bahwa Ling Kun-gi masih me miliki sebilah
Seng-ka-loa m yang tidak kalah a mpuh dan saktinya daripada Ihthianloa m, bahwa dala m keadaan segawat ini sengaja dia me minta
balik Ih-thiankia m yang tajam luar biasa, itu berarti telah
me mperle mah perlawanan Ling Kun-gi pada musuh, tujuannya


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terang cukup keji juga.
"Thay-siang me mang betul," ujar Kun-gi, "Cay-he memang bukan orang Pek-hoa-pang lagi, sudah tentu harus kuke mba likan pedang
ini." Betul2 dia menangga lkan Ih-thiankia m lalu diangsurkan dengan
kedua tangan. Thay-siang terima Ih-thiankia m dengan tangan kiri. "Sreng",
tangan kanan segera mencabutnya keluar, tampak jelas nafsu
amarahnya yang berkobar, katanya ketus: "Dua puluh tahun
permusuhan ayah bunda mu denganku, dengan tabasan ini boleh
anggap impas permusuhan kita,"
Seiring dengan ucapannya, "sret" Ih-thiankia m t iba2 menabas ke
pundak kanan Ling Kun-gi. Betapa cepat tabasan ini,, sampaipun
Thi-hujin yang berdiri tida k jauhpun kaget dan tak sempat
menolong, teriaknya: "Dik, kau . . . . "
Sinar pedang berkelebat, "tring," pedang Thay-siang tahu2
tersampuk oleh segulung angin selent ikan. Ternyata pada detik2
gawat itu, jari Kun-gi telah menjentik dengan It-cay-sian, ilmu sakt i
selentikan aliran Hud, sehingga ujung pedang orang terpental ke
samping. "Terima kasih atas ke murahan hati Thay-siang." ucap Kun-gi
dengan tertawa.
Gemetar cadar di muka Thay-siang saking menahan ge lora
marahnya, sambil mendengus segera ia hendak melompat pergi.
Mendadak Han Janto bergelak tertawa, katanya: "Thi Ji-hoa,
kaupun salah seorang buronan pent ing yang di ncar kerajaan, terus
terang saudaramu ini tak berani me mbiarkan kau pergi, Ketahuilah
bahwa orang2 Pek-hoa-pang seluruhnya sudah dipancing ke tempat
buntu oleh ana k buahku, kuharap kau tahu diri, le mparkan pedang
dan terima dibe lenggu saja."
Thay-siang urungkan niatnya pergi, Ih-thiankiam me lintang di
dada, suaranya murka: "Han Janto, kau kira dengan perangkap
Hek-liong-hwe seperti itu dapat mengurung orang2 Pek-hoa-pang?"
"Tida k salah," ujar Han Janto dengan tertawa, "Hek-liong-hwe adalah kampung hala manmu, di sini kau tumbuh dewasa, segala
peralatan perangkap di sini kau cukup apal, tentu kaupun sudah
me mbe kali peta yang terang kepada anak buahmu. Tapi perlu kau
ketahui bahwa selama dua puluh tahun ini, kebanyakan tempat
sudah kubangun pula perangkap yang aneka raga mnya, kalau anak
buahmu hanya bergerak menurut petunjuk petamu, itu berarti
mereka sengaja menggali lubang kuburnya sendiri, kini tingga l kau
seorang saja yang masih bebas."
Dia m2 Kun-gi mengangguk, pikirnya: "Kiranya dua barisan yang
lain telah dibekali ga mbar peta oleh Thay-siang, hanya
rombonganku t idak dibeka li apa2, agaknya dia sengaja henda k
me mbinasakan ka mi dengan me minja m tangan musuh,"
Keruan Thay-siang naik pitam, serunya: "Sebetulnya aku tidak
peduli segala urusan Ji-giok, kalau de mikian biar aku me mbunuh
kau lebih dulu."
"Thi Ji hoa," seru Han Jan to, 'kau bukan tandinganku." La lu dia berpaling kepada si jubah hijau, katanya: "Tang cong-houhoat,
tugasmulah untuk me mbekuk dia."
"Ha mba terima tugas," sahut laki2 jubah hijau sambil menjura.
"Sreng", pedang panjang di punggung dia cabut, lalu melangkah
maju, katanya: "Sudah la ma Losiu dengar na ma Thay-siang dari
Pek-hoa-pang yang termashur, hari ini kebetulan dapat belajar
kenal." "Han Janto," jengek Thay-siang menghina, "apa kau tak berani
me lawanku, jangan suruh orang lain menjual jiwa.'
Laki2 jubah hijan menarik muka, dengusnya: "Memangnya Thaysiang juga tidak pandang dengan sebe lah mata padaku" Apakah
Losiu betul2 mengantar ke matian bela ka, setelah turun tangan baru
akan tahu."
"Baiklah," ucap Thay-siang, "Han Janto, kau sendiri yang
me libatkan aku ke dala m persoalan ini." Sa mpai di sini ujung
pedang terangkat, bentaknya dingin: "Nah hati2lah kau!" .
Segera pedangnya membe lah lebih dulu ke arah laki2 jubah
hijau. Jurus pertama ini menimbulkan kesiur angin yang menderu,
sinar perak ke milau bagai untaian rantai menggulung tiba, betapa
hebat serangannya, sungguh tidak ma lu kalau disebut sebagai ahli
pedang yang lihay, perbawanya me mang lain.
Menyaksikan betapa hebat serangan pedang Thay-siang, laki2
jubah hijau tak berani me mandang enteng, serentak berteriak:
"Bagus!" seringan asap iapun berke lit pergi, pedang segera bergaya seindah orang menari, sinar pedang ke milau terpancar bertaburan
ke tubuh Thay-siang
Thay-siang mengejek dingin: "Ta k nyana Banhoa kia m-kek
(tokoh pedang berlaksa bunga) yang dijuluki raja pedang dari lima
propinsi utara juga terima menjadi antek musuh."
Karuan merah selebar muka laki2 berjubah hijau, teriaknya
gusar: "Losiu bertugas dala m pe merintahan untuk me mbekuk kau
pemberontak ini, me mangnya salah perbuatanku?"
Mulut bicara kedua orang sudah sa ma2 sa ling serang dengan
gencar, masing2 menge mbangkan ke mahiran ilmu pedang sendiri
dan berusaha merobohkan lawan lebih dulu. Dala m sekejap
serangan pedang kedua pihak bertambah kencang dan sengit,
bayangan kedua orangpun terlibat di dalam lingkaran cahaya
ke milau sehingga sukar dibedakan satu dengan yang la in.
Thi-hujin a mat getol menuntut balas ke matian sang sua mi,
menghadapi Han Janto si durjana, bola matanya menjadi merah
me mbara, ia melihat adiknya Ji-hoa sudah saling labrak dengan
laki2 jubah hijau, mana dia kuat menahan sabar lagi, serunya sambi
menggreget: "Bangsat keparat she Han, hari ini kau atau aku yang
harus gugur. Nah keluarkan senjatamu?"
Han Jan to berdiri tidak bergerak, katanya kalem : "Thi Ji-giok,
apa betul kau ingin bergebrak denganku?"
"Sebelum mencacah lebur badanmu itu, sungguh tida k terla mpias
dendam kesumatku, sudah tentu kau harus hadani tantanganku."
"Thi Ji-giok;" ujar Han Janto dingin, "jele k2 kita tumbuh dewasa bersama sejak kecil, tak peduli betapa besar dendammu padaku,
aku tidak ingin me lukai atau me mbunuh kau dengan tanganku . . .
." Tiba2 dia berpaling, katanya: "Yong-congkoan, kau saja yang
me mbe kuk dia."
Sambil menenteng pedang pelan2 Yong King-tiong beranjak maju
meninggalkan barisannya, tapi setelah satu tinbak jauhnya
mendadak dia me mba lik badan, ujung pedang menuding Han Janto,
jubah dibadannya seketika mele mbung, bola matanya mendelik berapi2, bentaknya lantang : "Han Janto, kau kunyuk busuk yang
menjua l bangsa dan negara, keparat yang khianat, selama dua
puluh tahun ini Lohu menahan sabar terima hidup dihina, hari ini
tiba saatnya berkesempatan me menggal kepala mu dihadapan
umum, menuntut balas bagi para ksatria Hek-liong-hwe yang telah
gugur, apalagi Ling-hujin dan Ling-kongcu telah tiba, sumpah Linghujin barusan sudah kau dengar pula, nah terima-lah ke matianmu!"
Sampa i di sini mendadak dia angkat kedua tangan ke atas
kepala, teriaknya lantang: "Hek-liong-hwe sekarang sudah menjadi
antek kerajaan, dua puluh tahun kita diperbudak, hayolah kawan
yang berjiwa ksatria, pahlawan bangsaku, bangkitlah, marilah kita
bersatu padu me mberantas kawanan cakar alap2, tegakkan na ma
baik dan kebesaran He k-liong-hwe nan jaya."
Suaranya lantang, diucapkan dengan penuh semangat dan gagah
perkasa lagi, tapi tiada seorangpun yang ta mpil maju menya mbut
seruannya, sampaipun delapan ahli pedang seraga m hita m yang
menjadi anak buahnyapun tetap berdiri berpeluk tangan menimang
pedang tanpa bergerak, seakan tak pernah mendengar suara
apapun. Han Janto menyeringai puas atas kemenangannya ini, katanya:
"Yong King-tiong, kau berani bersekongkol dengan musuh dan
hendak me mberontak pula, tapi coba kau lihat, delapan jago
pedang anak buahmu sendiripun tiada yang sudi mendengar
seruanmu, sekarang kalau kau mau me mbekuk ibu beranak she Ling
ini masih dapat kau tebus dosamu dengan pahala, kalau tidak,
hukuman mati adalah bagianmu, jangan kau menyesal setelah
terlambat."
Merah me mbara roman Yong King-t iong, matanya mendelik
gusar, teriaknya: "Orang she Han, hari ini adalah saat ke matianmu,
Ling-hujin akan menjatuhkan vonisnya terhadanmu. Wahai, delapan
jago pedang Hek-liong-hwe, dengarkan seruanku, ka lian ma u
menurut petunjukku atau tetap terus diperbudak oleh musuh,
menjadi antek kerajaan dan menindas sesa ma bangsa mu sendiri?"
Kedelapan jago pedang itu hanya mengawasi Yong King-tiong,
semuanya tetap berdiri tak bergerak dan tidak bersuara.
Keruan Han Jan to ter-gelak2, katanya: "Yong King-tiong,
sekarang kau harus sadar, me mberontak harus dipancung
kepalanya, di kolong langit ini takkan ada orang yang rela mengekor
oleh hasutanmu dan rela dipenggal kepalanya," Mendadak ia
me mberikan perintah : "Si-toa-hou-hoat ( empat pelindung tinggi),
lekas ringkus Yong King-t iong yang sekongkol dengan pemberontak,
kalau berani melawan bunuh saja tanpa perkara,"
Empat laki2 yang berdiri di sebe lah kanannya berpakaian biru
serentak melolos senjata masing2 terus melangkah maju merubung
Yong King-tiong.
Yong King-t iong ter-bahak2 dengan mendongak, serunya: "Kalian
berempat maju bersama lebih baik, supaya menghe mat tenagaku."
Pada saat keempat orang ini maju, mendada k Thi-hujin
berpaling, katanya lirih: "Anak Gi le kas jaga arena dan awasi gera k
gerik musuh." Tanpa menunggu jawaban Ling Kun-gi, sekali
berkelebat dia menerjang maju menyerang Han Janto sambil
me mbentak: "Bangsat keparat, serahkan jiwa mu!"
Sejak kecil Han Janto dididik oleh Thi Tiong-hong sendiri, usianya
lebih tua lima tahun daripada Thi-hujin, pelajaran yang diperoleh
jelas lebih banyak dan matang.
Ia tidak tahu sejak dua puluh tahun yang lalu Thi-hujin telah
bersumpah untuk menuntut batas bagi kematian sua minya, secara
tekun dan rajin berlatih dan mengge mbleng diri, taraf ilmu
pedangnya boleh dikatakan melompat maju berlipat ka li lebih t inggi
dan sempurna. Melihat sekali me mbuka serangan, lawan sudah sedemikian
dahsyat dan lihay, mau tidak mau Han Jan to terkejut juga hatinya,
timbul rasa waspada dan hati2, tapi mulut masih ter-kekeh2 aneh,
sembari berkelit, sebelah tangannya menyampuk serta melolos
sebilah pedang panjang warna hita m, bentaknya: "Thi Ji-giok,
sebetulnya aku tidak ingin bergebrak dengan kau, tapi kalau tida k
kusa mbut beberapa gebrak matipun pasti kau tidak akan tenteram.
Baiklah kukabulkan ke inginanmu!" Se mbari bicara dengan enteng
pedangnya menutuk dan menindih, "trang", tusukan pedang Thihujin kena ditekan ke bawah.
Gemeratak gigi Thi-hujin saking menahan marah dan benci,
tanpa bersuara kembali pedang me mbalik, di mana kilat
menya mber. dia me mbabat kencang miring ke atas. Maklum ajaran
ilmu pedang kedua orang sama diwarisi dari liok-hay-liong Thi
Tiong-hong, meski kedua orang masing2 me mpunyai bakat dan
ke ma mpuan yang berbeda, tapi sumbernya tetap sama, betapapun
ruwet perubahan dan variasi masing2 tetap tak lepas dari intinya
semula. Sejak tadi Kun-gi sudah me lolos Seng-ka-kia m, dengan se ksa ma
dia menonton dan mengawasi gerak-gerik kedua orang yang lagi
bertempur, diam2 ia terkejut dan heran mengikut i pertandingan
pedang ini. Sejak kecil dia hanya tahu bahwa ibunya sedikitpun tidak pernah
belajar silat sehingga waktu mendidik dirinya belajar Hwi-liong-sa mkia m warisan keluarganyapun sang ibu hanya menggores2 di atas
kertas, jadi cuma diajarkan teorinya belaka serta me mberi petunjuk
dikala dia me mpra ktekkannya, beliau sendiri belum pernah pegang
pedang dan me mberikan contoh. Baru tadi dengan mata kepalanya
sendiri dia menyaksikan ibunya mele mpar pedang serta naik di
luncuran pedangnya untuk me ncapai ketinggian tepi Hek-liong-ta m,
nyata bahwa Ginkang dan ilmu pedang ibunya tidak lebih asor
daripada Thay-siang.
Ilmu pedang Han Janto me mang satu sumber dengan
kepandaian Thi-hujin, gaya pedangnya lebih mantap dan matang,
perubahannya serba aneh dan tak habis2, malah setiap gerak
pedangnya pasti menimbulkan deru angin tajam, dari sini dapatlah
dinilai bahwa taraf ilmu pedangnya sudah mencapai punca knya.
Kalau bicara soal Lwekang jelas Thi-hujin setingkat lebih asor,
tapi dendam kesumat selama dua puluh tahun yang terpendam
dalam sanubarinya kini meleda k, dengan dilandasi denda m
permusuhan yang menimbulkan kekuatan luar biasa ini, maka setiap
gerak serangannya boleh dikatakan dike mbangkan dengan segala
ke ma mpuannya, pedang merangsek dengan gencar dan tanpa kenal
ampun. Bahwa sesengit itu pertempuran berjalan, tapi sejauh ini belum
pernah pedang mereka saling bentur meski seka lipun, jelas bahwa
betapa sempurna latihan ilmu pedang mere ka. Kalau bergebrak
terus berlangsung seperti ini, sebelum tiga-lima ratusan jurus pasti
belum ada kesudahan menang dan ka lah.
Laki2 jubah hijau yang bergebrak me lawan Thay-siang, yaitu
bernama Banhoa-kia m Tang Cu cin, sebagai Conghouhoat dari Hekliong-hwe, ia dijuluki raja pedang di lima propinsi utara, maka
dapatlah dinilai betapa tinggi kepandaian silatnya. Setiap gerak
pedangnya pasti menimbulkan ceplok2 sinar besar kecil yang
berbeda dan aneka ragamnya sesuai dengan nama julukannya
(Banhoa-kia m- ilmu pedang se laksa bunga), justeru karena
beraneka ragam ceplok2 bunga sinar pedangnya yang bercampur
baur itulah yang me mbikin silau dan me mbingungkan lawan.
Apalagi ceplok2 bunga sinar pedang itu timbul tenggela m silih
berganti, setiap ceplok bunga sinar pedang itu mengandang pusaran
angin tajam beberapa kaki di sekitar gelanggang orang merasakan
kulit daging pedas dan perih seperti teriris piaau.
Yang diperhatikan Ling Kun-gi adalah Yong King-tiong, seorang
diri dengan pedangnya dia melawan e mpat orang jago pelindung
Hek-liong-hwe. Keempat Houhoat itu sama mengguna kan senjata
aneh yang jarang terlihat di Kangouw, seorang mengguna kan
sepasang gelang terbuat dari e mas hita m, seorang pakai bandulan,
orang ketiga pakai ganco berkepala ular, yang terakhir
menggunakan senjata palu. Bahwa kee mpat orang ini diangkat
menjadi Houhoat tentunya me miliki kepandaian silat dan Lwe kang
yang tinggi. Kini dari e mpat penjuru mere ka mengeroyok Yong Kingtiong, empat macam senjata mereka sa ma merangsak kencang silih
berganti, begitu cepat dan ganas kerja la ma mereka. .
Tapi diluar tahu mereka bahwa sela ma dua puluh tahun ini Yong
King-tiong telah berlatih rajin dan tekun secara diam2 sehingga
kepandaian aslinya tak pernah diperlihatkan kepada umum, kini
dikeroyok empat dan terkepung lagi, mendadak ia ter-gelak2 lalu
bersiul panjang, pedang berputar serentak iapun balas menyerang,
sinar pedangnya ber-gulung2 bagai da mparan omba k, yang satu
lebih kuat daripada yang terdahulu. Terdengar serentetan suara
benturan keras, sekali gebrak sekaligus empat maca m senjata lawan
kena dipukul balik.
Berhasil me mbendung rangsakan musuh, sinar pedangnya
menya mbar lebih lincah lagi, seperti naga sakti selulup timbul di
tengah mega, dala m belasan jurus saja, keempat musuh yang
mengeroyoknya telah dilibat dala m lingkupan sinar pedangnya. Baru
sekarang dia betul2 pamer kepandaian silatnya yang sejati, yaitu
Thianlo-kia m-hoat dari Kunlunpay yang sudah lama putus turunan di


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalangan Bu-lim.
Perhatian Kun gi tertarik ke sini waktu dia mendengar rentetan
suara keras benturan senjata, sampai di sini dia m2 ia mengulum
senyum dan merasa girang. Paman Yong ini ternyata memiliki
Lwekang dan kepandaian ilmu pedang begini tinggi, sungguh tak
pernah terpikir olehnya, sia2lah rasa kuatirnya tadi.
Tatkala dia berpaling kesana, ternyata pada arena pertempuran
di sebelah sini telah terjadi perubahan drastis. Bahwasanya Thaysiang yang tinggi hati, suka menang dan mengagulkan diri, sudah
seratus jurus melabrak Banhoa-kia m, keadaan tetap setanding,
karuan la ma ke la maan dia menjadi tak sabar. Sembari menghardik,
tiba2 dia melijit ke atas, pedang terayun ke kanan kiri sehingga Ihtiankia m me mancarkan cahaya hijau laksana air bah tumpah dari
le mbah gunung, manusia bersama pedangnya berubah menjadi
segulung sinar mengurung ke atas kepala Banhoa-kiam Tang Cucin. Tang Cu-cin tidak tahu bahwa Thay-siang tengah melancarkan
No-liong-bankhong (naga menga muk me lingkar di angkasa), jurus
ketiga dari Hwi-liong-sa m-kia m, ma ka ia berteriak kaget: "Ihthiankia m-sut."
Sudah sepuluh tahun dia meyakinkan ilmu pedang, sehingga
dijuluki rajanya pedang di lima propinsi utara, betapa luas dban
pengalamannyda menghadapi musuh, meski Ih-kia m-sut adalah
ilmu pedang tiada taranya di Bu-lim, tapi sedikitpun dia tida k
menjadi gugup, se mbari mendongak dia menghardik seka li, pedang
me lindungi badan, segera dia menyambut ke atas.
Serangan balasan ini dilancarkan menghadapi serangan dari atas,
dari bawah timbul ceplok2 perak yang tak terhitung banyaknya
sehingga seluruh badan se-akan2 dibungkus dan ditumpuki kuntum
bunga. Sudah tentu jurus yang dilancarkan ini bukan me lulu untuk
bertahan saja, karena ceplok2 bunga itu setiap saat bisa juga balas
menyerang melukai musuh.
Kalau yang satu menukik dengan cahaya pedang yang benderang
menyilaukan mata, seorang lagi menciptakan ceplok2 bunga perak
yang tak terhitung banyaknya membungkus tubuh, perpaduan
cahaya pedang mereka menjadikan kola m naga hitam ini terang
benderang, hadirin menjadi silau dan tak kuasa me mentang mata.
Betapa cepat kelangsungan perang tandang ini sungguh la ksana
kilat menyambar, terdengarlah dering keras me ma njang, perak yang
berlaksa jumlahnya itu seketika sirna tak berbekas begitu benturan
keras berlangsung.
Perang tanding ini jauh berbeda dengan gebrak2 pendahuluan
tadi, kalau tadi bila mana cahaya pedang Thay-siang menya mbar
lewat, ceplok2 bunga lantas tersapu lenyap, tapi begitu cahaya
pedang lewat, ceplok2 dan sinar pedang itu timbul ke mba li,
begitulah seterusnya tak ber-henti2. Tapi kali ini betul2 lenyap tak
muncul pula. Ternyata pedang Banhoa-kiam Tang Cu-cin yang terbuat dari
baja murni itu dalam gebrak terakhir ini telah, terpapas putus berkeping2 oleh Ih-thiankia m, yang tinggal hanya gagangnya yang
masih terpegang di tangannya. Meski kehilangan senjata betapapun
Tang Cu-cin seorang ge mbong persilatan yang cukup
berpengalaman, ia tahu meski ka lah, paling2 ka lah oleh karena
senjata pusaka yang lebih tajam, kalau sekarang dirinya tidak
mundur, hanya bertangan kosong terang lebih2 bukan tandingan
lawan. Maka tanpa sangsi segera ia me lejit mundur sejauh mungkin.
Sejak turun tangan tadi marah Thay-siang sudah berkobar,
apalagi setelah sekian la ma masih belum berhasil merobohkan
lawan yang satu ini, hatinya tambah murka, sekali bentrok senjata
dia berhasil menghancurkan pedang lawan, sudah tentu
kesempatan baik ini tak di-sia2kan. Seka li tangan berputar sambil
masih tetap meluncur ke depan sehingga cahaya pedangnya ikut
me manjang di udara mengejar ke arah Banhoa-kia m.
Cukup cepat Banhoa-kia m mengundurkan diri, tapi cara Thaysiang mengejar sa mbil meluncur ini merupa kan hasil ge mblengan
tiga puluh tahun, Sin liong-jut-hun, salah satu jurus dari Hwi-liong
kia m-hoat yang dia lancarkan ini boleh dikatakan sudah mencapa i
puncaknya. Kecepatan cahaya pedang yang mengejar itu sungguh
sukar dibayangkan.
Padahal Ban hoa-kia m Tang Cu-cin sudah mundur setornbak
lebih, belum lagi kedua ka kinya berdiri tegak, cahaya ke milau sinar
pedang tahu2 sudah menerjang tiba menghuja m ke dadanya.
Untung pada saat gawat ini sebagai seorang ahli pedang meski
menghadapi bahaya dia tetap tidak menjadi gugup, sedetik sebelum
pedang lawan kena sasarannya, tangan kanannya cepat menolak
keluar serta mengebutkan secarik kain bajunya sendiri yang dia
robek untuk senjata terus diayun ke depan menyongsong
kedatangan pedang.
Selama hidup ini dia meyakinkan ilmu pedang, betapa tinggi
kepandaian serta Lwekangnya, dengan secarik kainpun cukup
ampuh dan tidak kalah hebatnya dibanding sebilah pedang. De mi
me mpertahankan jiwa, sudah tentu bukan kepalang tenaga yang dia
kerahkan sehingga ka in di tangan itupun menjadi kaku keras.
Sayang sekali pedang Thay-siang justeru adalah Ih-thiankia m
yang tajam luar biasa, jangankan hanya secarik ka in, umpa ma
pedang baja murni juga tak kuat menahannya. Sudah tentu hal
inipun cukup dimengerti oleh Ban hoa-kia m, tapi keadaan sekarang
teramat gawat dan mendesak, terpaksa sekenanya dia berusaha
menahan dan menangkis de mi kesela matannya.
Kejadian berlangsung da la m sekejap saja, paderi La ma berkasa
merah yang sejak tadi me nonton diluar gelanggang, de mi melihat
Banhoa-kia m menghadapi bahaya sembari melompat mundur,
sementara Thay-siang mengejar dengan serangan maut, tiba2 ia
menggerung keras, kontan dia ayun sebelah tangannya menepuk
dari kejauhan ke punggung Thay- siang.
Gerakan tiga pihak boleh dikatakan dila kukan dala m wa ktu yang
sama, semuanya sama cepat lagi, apalagi Thay-siang terlalu
bernafsu melukai musuh, sudah tentu tak terpikir bahwa orang lain
bakal me mbokong dirinya.
Tabasan pedang berlalu, darahpun muncrat berhamburan,
lengan kanan Ban hoa kia m kena ditabas kutung sebatas pundak.
Beruntung dia, masih sempat mengegos dengan segala
ke ma mpuannya di sa mping kain lengannya berhasil menahan
sebagian kekuatan tabasan lawan, badan roboh terus
mengge linding jauh ke sana.
Waktu Thay-siang mengenda likan luncuran pedang melukai
musuh, saat itu pula terasa pundaknya mendadak ditepuk orang.
Inilah se maca m pukulan yang tidak ke lihatan bentuknya, datangnya
juga tak menge luarkan suara, padahal tubuhnya tengah terapung,
laksana anak panah yang me luncur dan tak mungkin dihentikan.
Setelah pedang menabas musuh dan kaki hinggap di tanah, baru dia
merasakan akan serangan gelap dari musuh tadi, pukulan yang
mengenai pundaknya tadi meski terasa enteng malah seperti tidak
terasa, tapi luka dala mnya hakikatnya sudah teramat berat. Inilah
ilmu Toa-jiu-in dari aliran Ih-ka-bun (Yoga).
Kalau orang la in merasakan luka dala mnya sangat parah, tentu
akan berusaha mengerahkan tenaga untuk menye mbuhkan luka
dalam sendiri, dengan be kal dan latihan Thay-siang, ke mungkinan
luka2nya masih terobati dan jiwa bisa tertolong. Tapi dasar
wataknya angkuh, keras hati dan suka menang, sela manya dia
pandang rendah orang la in, sudah tentu dia tida k peduli a kan
keadaan diri sendiri dan ingin menuntut balas. Begitu kaki hinggap
di tanah, mengikuti putaran pedang tiba2 badanpun mengisar balik,
mata2nya mendelik beringas di balik cadarnya, hardiknya keras:
"Kaukah yang me mbokong Losin."
Lama kasa merah yakin Toa jiu-insinkang yang dilancarkan tadi
umpa ma lawan t idak ma mpus seketika juga pasti terluka parah,
paling tidak isi perutnya remuk dan takkan ma mpu bertempur lagi,
kenyataan Thay-siang masih kelihatan segar malah menantang. Dia
bergelak tertawa, serunya: "Tidak salah, pukulan tadi me mang hudya yang melancarkan."
"Bagus sekali," desis Thay-siang murka. Mendadak ia melejit ke
atas terus menerjang musuh.
Bahwa setelah terkena pukulannya, Thay-siang masih ma mpu
me lejit ke atas melancarkan serangan sehebat ini, keruan tidak
kepalang kejut La ma kasa merah, lekas dia ayun tangan kanan serta
menepuk sekuatnya. Ilmu yang diyakinkan adalah ilmu Yoga,
Lwekangnya sangat tangguh, tepukan yang dilandasi kekuatan
besar ini terang berbeda dengan pukulan me mbokong tadi. Maka
segulung tenaga dahsyat segera menerjang lapisan sinar pedang..
Agaknya dia tidak tahu bahwa Thay-siang sudab kalap, jurus
yang dilancarkan ini adalah "Naga ber-tempur di tegalan", jurus
kedua dari Hwi-liong-kia m-hoat. merupakan jurus pa ling kuat; dari
paling hebat perbawanya.
Cahaya pedang ber-lapias kemilau itu tiba2 berubah bintik2
dingin laksana kunang2 beterbangan mengha mbur ke e mpat
penjuru. Setelah melancarkan dua ka li pukulan, La ma kasa merah
sudah menyurut mundur cukup jauh, tapi dua muridnya berdiri di
kanan-kirinya tadi justeru terlambat bergerak, di mana sinar pedang
berhamburan, seketika terdengar dua kali jeritan ngeri dibarengi
darah muncrat ke mana2, kedua orang ini tertabas menjadi berkeping2 oleh sa mberan sinar pedang.
Waktu Thay-siang menarik pedangnya, dilihatnya Lama kasa
merah sudah mundur setombak jauhnya, maka dia menghardik
pula: "Ke mana kau akan lari?" Ke mbali dia menubruk maju.
Sungguh mimpipun La ma kasa merah tak pernah menduga
bahwa Thay-siang begini lihay, dengan mata sendiri dia saksikan
kedua muridnya hancur lebur, ia menjadi murka juga, teriaknya
kalap: "Hud-ya takkan me mberi a mpun pada mu!" Belum habis
bersuara, kedua tangan sudah me mukul tiga ka li secara beruntun.
Tiga pukulan ini dilancarkan dengan hati berang, maka kekuatan
pukulannya betul2 dahsyat sehingga badan Thay-siang yang
menerjang dengan terapung di udara juga sedikit tertahan.
Waktu Thay-siang menubruk kedua kalinya, kemba li La ma kasa
merah me lontarkan pukulannya pula, badan Thay-siang tertolak
berhenti. Beruntun tiga kali Thay-siang berlompatan, di kala melancarkan
serangan ketiga kalinya, jaraknya dengan Lama kasa merah tingga l
beberapa kaki lagi, tiba2 ia meloncat lurus ke atas, mendadak ia
berteriak nyaring mena mbah perbawa serangannya, dengan kepala
di bawah dan kaki di atas dia menukik dengan tubrukan yang lihay,
Ih-thiankia m ditangannya menaburkan cahaya perak yang
me mbendung ja lan mundur La ma kasa merah.
Kaget dan gusar pula La ma kasa merah, beruntun dia mundur
tiga langkah, kedua tangan memukul ke atas susul menyusul,
karena bertangan kosong, telapak tangannya yang lebar dan besar
itu menyerupai ka mpak yang me mbelah sehingga menimbulkan
letupan hawa yang dahsyat, letupan hawa ini semakin tebal
menghimpun hawa dingin yang -me mbungkus sekujur badannya.
Maka tubrukan sinar pedang Thay-siang dari atas itu dapat
ditolaknya ke mba li.
Kalau yang satu mengge mpur sekuat tenaga dan bertahan
dengan kukuh, se mentara yang lain menyerang dengan cara
menubruk seperti e lang menya mber ayam, sinar pedang berpusar
kencang, kedua pihak bertahan kira2 setanakan nasi la manya dan
masih tetap setanding.
Kepala gundul La ma kasa merah sudah ditahuri but iran keringat,
badanpun basah kuyup seperti kehujanan, padahal Thay-siang
harus melancarkan serangan dengan badan terapung. sudah tentu
dia jauh lebih banyak menguras tenaga, lama2 sinar pedangnya
menjadi gura m dan tida k selihay se mula.
Melihat kese mpatan baik ini, mendadak La ma kasa merah
menghardik sekali, sekuatnya dia kerahkan tenaga dan
mengge mpur dengan merangkap kedua telapak tangan mendorong
ke atas. Dengan rangkapan kedua tangan mendorong ke atas ini, ma ka
timbul ah kekuatan yang dahsyat, hawa serasa meluber
menimbulkan deru yang gegap ge mpita. Pada saat yang sama Thaysiang pun menjerit melengking, suaranya mengalun menimbulkan
gema panjang, cahaya pedangnya yang hampir pudar tadi t iba2
menyala pula lebih terang, berubah selarik bianglala terus
me mbe lah turun ke bawah.
Kedua piha k sere mpak me lancarkan serangan paling dahsyat
yang me matikan dengan se luruh sisa kekuatan sehingga sinar
pedang dan angin pukulan menimbulkan rentetan suara aneh. Lekas
sekali sinrar pedang dan angin pukulanpun sirna tak berbekas lagi.
Setelah melontarkan pukulan terakhir dengan sisa kekuatannya,
Lama kasa merah cepat2 melompat mundur, Kasa merah yang
dipakainya ta mpak berlubang dan sobek di beberapa tempat oleh
tusukan dan goresan pedang, keadaannya tampa k konyol.
Thay-siangpun sudah berdiri tegak di tanah, rambutnya awut2an,
cadar yang menutup mukanya sudah kabur entah ke mana, roman
mukanya me mbesi hijau. Kedua orang sa ma2 mengunjuk rasa le lah
kehabisan tenaga, dada naik turun dengan napas tensenggal2.
Sesaat mendelik kepada La ma kasa merah, akhirnya Thay-siang
bersuara lebih dulu: "Anjing asing, berapa jurus lagi kau ma mpu
menya mbut pedangku?" Sekali berputar, sinar hitam Ih-thiankia m
ke mbali menerjang maju. Hwi-liong-sa m-kia m ha kikatnya sudah dia
yakinkan dengan se mpurna, maka setiap kali melancarkan
serangan, badan selalu melayang di udara, menambah perbawa
serangan sehingga lebih hidup laksana naga sakti.
Dua gebrakan terdahulu sudah meyakinkan La ma kasa merah
bahwa Lwekang Thay-siang tidak lebih unggul dari pada dirinya,
kalau lawan tidak me nggunakan Ih-thiankia m, pedang pusaka yang
lihay, dia yakin dirinya pasti lebih unggul dan sejak tadi sudah
merobohkannya. Tapi setelah berlangsung dua gebrakkan barusan,
dia insaf bahwa tenaga murni sendiri sudah terkuras terla mpau
banyak, untuk bertempur lebih la ma je las keadaan fisiknya tidak
mengizinkan, ma ka dia pikir akan secepatnya mengakhiri
pertempuran ini dengan rangsakan gencar.
Di luar dugaan Thay-siang juga mengandung ma ksud yang sa ma,
ma lah terus mendahului, kali ini dengan jurus "naga sakti muncul
dari mega," hal ini betul2 di luar perhitungannya, maka dia
me mbentak gusar: "Biar Hud-ya mengadu jiwa dengan kau!"
Dengan telapak tangan kiri beruntun dia me mukul dua ka li,
berbareng badan berkisar ke sebelah kiri.
Sinliong-jut-hundilancarkanThay-siangdengansegala
ke mahirannya, tekadnya teramat besar untuk me mbelah badan
paderi asing ini untuk mela mpiaskan denda mnya, jelas kekuatan
pedangnya yang tajam ini takkan ma mpu dibendung hanya dengan
dua kali pukulan telapak tangan.
Ketika sinar pedang me mbelah tiba, La ma kasa merah sudah
menyingkir mundur, tangan kanan sejak tadi telah disiapkan
me lontarkan pukulan Toa-jiu-in, sekali me mbalik dengan gerakan
me lintang miring tangannya menyampuk ke arah Thay-siang yang
menubruk tiba, berbareng ia menyeringai dan me mbentak:
"Perempuan bangsat, lihat pukulan. . ."
Dia kira dengan menyurut mundur beberapa kaki sudah cukup
jauh untuk menghindari hawa pedang Thay-siang. Di luar tahunya
bahwa Sinliong-jut-hun yang dike mbangkan Thay-siang kali ini


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilontarkan dengan badan terapung diudara, tapi karena sudah
menjiwai ilmu pedang ini, maka gaya serang-annya dapat dia ubah
sesuka hati sendiri, ma ka badan yang seharusnya terapung ke atas
kini di ubah dengan meluncur ke depan. Pada hal dengan meluncur
lurus ke depan inipun baru merupakan gaya permulaan dari
Sinliong-jut-hun, dan gerak susulannya adalah melancarkan
serangan dari udara. Dari sinilah diperoleh na ma Hwi-liong-sa mkia m Hwi-liong atau naga terbang, karena ketiga jurus ini harus
dilancarkan dengan badan terapung di udara.
Begitu meluncur tiba, melihat La ma kasa merah mengegos ke
samping, diam2 Thay-siang menjengek, badan tiba2 berputar,
berbareng pedangpun bekerja. Kejadian bagai percikan api cepatnya
dan sukar disaksikan dengan mata, tampak pancaran sinar hijau
ke milau menyapu dengan dahsyatnya.
Lama kasa merah tak se mpat berke lit lagi, terdengar lolong
panjang yang mengerikan, di ma-na cahaya pedang itu menya mber
lewat, badan kekar besar si Lama kasa merah seketika terpental
roboh mandi darah. Kejap lain Thay-siangpun sudah berdiri di
samping mayat La ma kasa merah, nafsu me mbunuh yang menghiasi
wajah Thay-siang sudah sirna, kini kelihatan pucat pias, untuk
berdiripun dia harus bertopang pada pedangnya, dadanya turun
naik menghe mbuskan napas berat dan sesak, terdengar ia
berguma m: "Anjing asing, akhirnya kau ma mpus dipedangku! "
Suaranya serak lirih dan le mah, badannya bergoyang dan akhirnya
iapun roboh terjungkal.
Sementara itu, dengan sebilah pedang panjangnya Yong Kingtiong sedang menunjukkan ketangkasannya, beruntun dia
me lancarkan Thianlo-kia m-hoat dari Kunlunpay yang telah lama putus di kalangan Kangouw, kee mpat Houhoat Hek-liong-hwe telah
dijagalnya satu persatu, jubah hijaunya berlepotan darah. demikian
pula jenggot dan mukanyapun basah dan kotor oleh keringat
tercampur percikan darah musuh.
Delapan jago pedang He k liong hwe yang me nonton di luar arena
sama berdiri me matung dengan terbelalak, agaknya mereka takjub
dan jeri melihat kehebatan Congkoan mereka, tiada seorangpun
yang berani maju lagi.
Tiga kelompok pertempuran sengit yang ber-langsung di pinggir
"kola m naga hitam" kini dua kelompok di antaranya sudah berakhir.
Kini tinggal Thi-hujin yang masih mene mpur Han Janto dengan
segala kekuatannya, makin gebrak makin seru dan ra mai.
Maklumlah kedua orang ditelurkan dari satu perguruan, sama2
hasil didikan Lohwecu yang tidak pilih kasih, apa yang diyakinkan
Han Janto juga diyakinkan Thi-hujin, de mikian pula sebaliknya,
bergantung dari latihan dan pena mbahan variasi masing2 saja yang
berbeda, apalagi taraf permainan mereka sudah sama2 mencapa i
puncaknya. Ratusan jaurus kemudian, mereka tetap bertahan sama kuat.
Sudah tentu Thi-hujin lebih diburu nafsu untuk merobohkan lawan
demi menuntut balas sakit hati sang suami, ma ka dia lebih getol
menyerang, suatu ketika mulutnya melengking nyaring, sekujur
badan seperti dibungkus sinar pedangnya terus menusuk lurus ke
depan. Yang di-lancarkan ini sudah tentu adalah Sinliong-jut-hun,
salah satu dari Hwi-liong-sam-kia m.
Melihat lawan menggunakan Hwi-liong-sa m-kia m, sudah tentu
Han Janto tidak berani ayal, iapun bersiul panjang, badanpun
terbungkus bayangan hitam gelap me la mbung ke atas, yang dia
ke mbangkan juga jurus Sinliong-jut-hun.
Dua larik sinar pedang yang satu mencorong terang dan yang
lain gura m gelap menjulang tinggi ke udara, seperti bianglala yang
mene mbus tabir matahari.
Mendadak terdengar dering nyaring benturan kedua senjata,
percikan apipun bertahuran menghias angkasa. Dua sosok
bayangan orang sama me luncur turun, terpancar cahaya terang
laksana rantai perak disertai benturan nyaring me meka k telinga.
Sekonyong2 selarik bianglala ke mba li menjulang ke udara disusul
bianglala kedua juga me la mbung ke atas, di tengah udara kedua
jalur biangla la saling bentur dan gubat menimbulkan gema suara
yang ramai. Untuk merebut kese mpatan kedua orang berusaha
saling mendahului, Hwi-liong-sam-kia m me mang ilmu pedang yang
harus dilancarkan dengan badan mengapung, tapi pelajaran yang
diyakinkan keduanya, sama2 bersumber dari satu perguruan, ma ka
bila yang satu me la mbung ke udara, lawannyapun ikut mengapung
ke udara, salah satu tiada yang mau me ngalah.
Begitulah dari permukaan bumi kedua orang berte mpur sa mpai
ke udara, dan dari udara kembali berhanta m di atas tanah,
keduanya masih terus serang menyerang mengembangkan tipu
permainan masing2, tapi tiada yang lebih unggul atau asor,
kekuatan tetap seimbang.
Karena keduanya belajar dari satu sumber, betapapun banyak
ragam perubahan ciptaan masing2, tetap tidak kelihatan lebih
menonjol daripada yang la in, se-olah2 mereka seperti sedang
latihan belaka, sedikitpun tidak kelihatan letak kehebatan mereka,
jadi pertempuran adu jiwa yang sengit ini justeru tiada seorangpun
yang ma mpu mengungguli lawan serta merobohkannya. Kini
keadaan semakin tegang, sekarang hanya soal Lwekang siapa yang
lebih asor dan tak tahan, dia yang akan roboh lebih dulu dan itu
berarti jiwa akan melayang.
Bagi orang lain yang menyaksikan pertempuran adu jiwa ini
kelihatannya amat menakjubkan dan me ngerikan, terutama dering
benturan senjata kedua orang yang bergelombang me mekak telinga
sungguh sangat mengganggu perasaan orang, jantung serasa mau
me loncat keluar.
Dengan mendelong Kun-gi mengikuti pertempuran sengit ibunya
yang melabrak Han Janto, sudah tentu hatinyapun sudah getol
menuntut ba las ke matian ayahnya, tapi dia lebih prihatin a kan
keselamatan ibunya. Semakin me muncak perte mpuran itu, begitu
tegang sehingga napaspun terasa sesak.
Disa mping itu iapun menerawang serta menyela mi jurus Noliong-bankhong (naga murka melingkar di udara) jurus ketiga dari
Hwi-liong-kia m-hoat, bila diubah menjadi jurus ketujuh seperti lukisan yang dit inggalkan oleh Tiong-yang Cinjin di dinding gua itu,
dikala badan terapung dan me lancarkan serangan badan berputar
ke kiri, gaya pedang ditekan ke bawah, maka dengan mudah
pedang akan menusuk Hiat-to tertawa Han Janto yang terletak
dipinggang kanan. Sebaliknya bila diganti dengan jurus kese mbilan,
ujung pedang sedikit ditarik serta menyongkel ke atas, iapun akan
berhasil menusuk tenggorokan Han Janto, sasaran yang me matikan.
Secara diam2 dia ikut i pertempuran ini sa mbil putar otak gambar
peninggalan Tiong-yang Cinjin di dinding gua yang sembilan jurus
itu semuanya dilancarkan dengan badan terapung, sejak mula i jurus
pertama terus, berlanjut sampai jurus kese mbilan seperti berkelebat
dalam benaknya, terasa bila dirinya sendiri yang mengguna kan
jurus2 ilmu pedang itu, cukup lima jurus saja pasti dirinya dapat
me mbinasakan Han Janto.
Tapi ibunya justeru melarang dia turun tangan, soalnya sejak dua
puluh tahun yang lalu beliau sudah bersumpah akan menuntut balas
ke matian sua minya dengan kedua tangan sendiri.
Dika la dia menonton dengan terpesona, tiba2 jeritan menyayat
hati menyentak lamunannya, Karena terkejut Ling Kun-gi berpaling,
dilihatnya sekali tabas Thay-siang telah berhasil me mbunuh La ma
kasa merah, dia bertopang dengan batang pedangnya, mukanya
pucat pasi. Malah badannya mulai se mpoyongan dan akhirnya jatuh
terkulai. Kun-gi me lompat ke sana serta berjongkok di sa mping orang.
Yong King-tiong juga ikut me mburu maju, menyaksikan keadaan
Thay-siang seketika dia me ngerut kening, katanya lirih: "Luka2
Jikohnio agaknya cukup parah."
"Apakah Lopek tahu di mana letak luka2 Thay -siang?" tanya
Kun-gi. "Pasti anjing asing ini, meyakinkan ilmu Yoga, kemungkinan
Jikohnio terkenan Toa-jiu-in."
Lekas Kun-gi papah Thay-siang, tangan kiri mene kan Ling-tai-hiat
di punggung orang, pelan2 dia salurkan hawa murni ke tubuhnya.
Betapa tangguh Lwekang Thay-siang, cukup mendapat sedikit
bantuan tenaga dari luar sebagai pendorong hawa murni sendiri,
dengan lekas sekali orangnya setengah pingsan segera siuman serta
me mbuka mata. Melihat Kun-gi lagi menyalurkan tenaga murni ke
tubuhnya, agaknya dia amat terharu dan manggut2, katanya tak
bertenaga: "Nak, kaukah ini."
"Jangan Thay-siang berbicara ........."
"Nak, tak usah kau membuang tenaga, lepas tanganmu, aku
masih kuat bertahan."
"Luka2 Thay-siang tidak ringan, tapi dengan landasan kekuatan
sendiri sela ma puluhan tahun ini, asal berhasil menuntun hawa
murni ke tempatnya semula, setelah beberapa kejap bersemadi,
dengan cepat kesehatan Thay-siang pasti akan se mbuh."
"Me mang betul, apa yang kau maksud aku sudah tahu, tapi Losin
dua kali terkena Toa-jiu-in keparat gundul itu, keduanya mengenai
tempat fatal di tubuhku, keadaanku cukup parah dan tak berguna
lagi, tak usah kau me mbuang hawa murnimu, hentikanlah,
mumpung keadaan Losin be lum me mburuk, masih ada omongan
yang hendak kubicarakan dengan kau."
Tapi Kun-gi tida k segera lepas tangan, katanya: "Apakah Thaysiang tidak berusaha menyembulikan diri?"
"Tak usah banyak bicara nak, dua tempat isi perutku sudah
hancur, umpa ma ada obat dewa juga tiada gunanya, syukur aku
masih kuat bertahan berkat peyakinan Lwekang selama puluhan
tahun, hawa murniku belum lagi buyar, beberapa kejap aku masih
kuat bertahan, umpa ma kau bantu me nyalurkan hawa murni juga
tiada gunanya. Sebelum ajal ini, Losin ingin bicara dengan kau,
waktu a mat mendesak, lekaslah duduk di sa mpingku."
Yong King-thong dapat me lihat air muka Thay-siang sudah mulai
berubah, lekas dia menimbrung: "Ling-kongcu, Jikohnio ingin bicara,
lekas kau berhenti saja."
"Thay-siang . ." dengan ragu2 akhirnya Kun-gi menarik tangan.
Lwekang Thay-siang me mang amat tinggi, meski Kun-gi tarik
tangan menghentikan saluran tenaga dala m, hakikatnya tidak
me mbawa pengaruh besar bagi keadaannya, mukanya me mang
amat pucat, katanya menukas: "Nak, jangan me manggilku Thaysiang, aku adalah bibimu, kau panggil a ku bibi saja."
Terasa oleh Kun-gi, perempuan yang berwatak keras sejak muda
sampai lanjut usia ini, kini keadaannya betul2 sudah parah, walau
orang berhati keji, untuk me mbunuhnya tak segan2 dia
mengorbankan banyak jiwa orang la in, tapi apapun yang telah
terjadi, jelek2 dia adalah adik kandung ibunya, apalagi keadaannya
sekarang ibarat dian yang sudah kehabisan minyak. Maka pelan2
Kun-gi berlutut, mulutpun berteriak haru tersendat : "Bibi! "
Thay-siang tertawa haru, katanya: "Anak baik, bibimu berbuat
salah terhadap kakek luarmu, mengingkari ayah bundamu, demikian
pula terhadap kau . . ."
"Kejadian yang sudah la lu, biarlah tak usah diungkat ke mbali, bibi
tak usah bicara urusan ini lagi."
"Orang menje lang ajal, apa yang dikatakan adalah bajik,
perbuatanku dulu yang me mang tida k dilandasi cinta kasih dan
kebajikan, sekarang menjadi penyesalan yang a mat mendala m."
Setelah Kun-gi menghentikan tambahan hawa murni, kalau Thaysiang tidak menggunakan tenaga, berkat latihannya puluhan tahun
dia masih kuat bertahan beberapa kejap lagi, tapi setelah berbicara
beberapa patah, lambat laun terasa keadaannya sema kin gawat.
Agaknya hawa murni dala m tubuhnya mulai buyar sehingga
suara yang keluar dari kerongkongan pun menjadi le mah dan lirih,
tapi dia masih berusaha berbicara: "Nak, kau sudah masuk ke He kliong-ta m, sembilan jurus ilmu pedang peninggalan Tiong-yang
Cinjin yang terukir didinding pasti sudah kau pelajari dengan ba ik,
Ih-thiankia m ini diperoleh ka kek luarmu di dala m ka mar batu
didasar kola m itu, hanya pedang inilah yang bisa menge mbangkan
sembilan jurus ilmu pedang itu hingga puncaknya, lekaslah kau
terima . . . . " sampai di sini mendadak dia ter-batuk2, napaspun
ter-sengal2. Pada saat itulah, terdengar benturan nyaring senjata me mekak
telinga dan me nggetar sukma, tanpa tertahan Kun-gi menoleh,
dalam beberapa kejap ini, ternyata ibunya sudah terdesak di bawah
angin. Pedang panjang di tangan Hati Janto dimainkan sesakti naga
hidup, sinar pedangnya yang semula redup kini mula i menyala
meski tetap re mang2, sementara ibunya masih bertahan mati2an,
permainan me mang masih teratur, tapi mau tidak mau dia menjadi
cemas juga. Mendelong pandangan Thay-siang yang sudah pudar, katanya
lirih: "Na k, jangan hiraukan aku, lekas maju ke sana, Toaci bukan
tandingan Han Janto, hanya Ih thiankiam yang dapat menundukkan
dia . . . . : "
Sambil mengawasi Thay-siang, Kun-gi ragu: "Tapi, bibi . .. .. "
Kata Thay-siang dengan ter-senggal2: "Jangan hiraukan aku, aku
akan segera mangkat . . . .O. nak, masih ada satu hal, semula aku
ingin menjodohkan Bok-tan padamu, Bok-tan anak baik, tapi kalau
kau suka So-yok, aku juga tidak menentang, boleh kau pilih dan
putuskan sendiri, di antara kedua anak ini, kau harus pilih sa lah
satu, kelak setelah punya anak, jangan lupa berikan satu di
antaranya untuk marga Thi supaya tidak putus turunan . . . ."
Kembali suara benturan nyaring me meka k telinga, terdengar Han
Janto tertawa latah: "Thi Ji-giok, berapa jurus lagi kau ma mpu
menandangi aku?"
Bergetar hati Kun-gi, pelan2 Thay-siang ulur tangannya yang
gemetar, katanya gugup: "Nak . . . . lekaslah . . . . "
Pelan2 Ling Kun-gi merebahkan Thay-siang, katanya: "Bibi
istirahat saja, keponakan pasti . . . ."
"Ingat pesanku," ucap Thay siang le mah, "setelah kalian punya anak . . . . aku ingin me mungut satu . . . "
Kun-gi mengangguk dengan berlinang air mata, tak sempat
bicara lagi, dia jemput Ih-thiankia m terus melompat ke sana. Ihthiankia m berubah selarik sinar hijau me luncur di tengah udara
sambil berteriak keras: "Bu, biar anak yang me mbereskan bangsat
durjana ini."
Putaran pedang Han Jan to yang kencang itu sudah bikin Thihujin terdesak di bawah angin, dia mengejek sambl tertawa
senang: "Bagus, kalian ibu dan anak boleh maju bersama, supaya
menghe mat wa ktu dan t idak me nghabiskan tenagaku."
Sebagai seorang yang sudah kenyang mencicipi asa m gara mnya
percaturan Kangonw, baru habis kata2nya, seketika dia merasakan
keganjilan dari sa mberan sinar pedang Ling Kun-gi, belum lagi
lawan menerjang tiba, hawa pedang yang dingin tajam terasa sudah
mence ka m perasaannya. Sudah tentu dia kenal baik Ih-thiankia m di
tangan Ling Kun-gi yang tajam luar biasa ini. Keruan mence los
hatinya. pikirnya: "Kepandaian silat bocah ini ternyata tidak lebih
asor dari ibunya." Sebat sekali dia berkisar ke sa mping, berbareng
pedangnya menabas miring.
Ilmu pedangnya boleh dikatakan sudah mencapai tingkatan
tertinggi, ma ka perhitungan waktunya sudah tentu a mat tepat,
begitu tebasan pedang terayun ke depan, pada saat itu pula Ling
Kun-gi akan hinggap turun di tanah, malah da la m waktu yang sama


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula dia berhasil menghindarkan ancaman pedang Ling Kun-gi
dengan berkelit ke sa mping. Walau tebasan pedang itu dilancarkan
sambil berkelit, tapi deru angin pedangnya ternyata keras sekali.
Dika la me layang turun tadi. Kun-gi sempat mengegos kesa mping,
namun dia toh merasakan tekanan hawa perdang musuh, hawa
murni pelindung badannya me mperlihatkan kea mpuhannya,
pakaiannya tampak mele mbung, mau tidak ma u ia terkejut juga,
batinnya: "Keparat ini me mang lihay,"
Begitu Kun-gi hinggap di tanah, Thi-hujin lantas tanya dengan
gugup: "Nak, bagaimana keadaan adik?"
"Lekas ibu menengoknya, bibi terluka parah, mungkin tak
bertahan lagi," sahut Kun-gi.
Tersirap darah Thi-hujin, teriaknya: "Baik, hadapi dia dengan
baik, lebih baik kalau kau bekuk hidup2, ibu akan jaga bibimu."
Cepat dia me mburu ke te mpat Thay-siang merebahkan diri.
Han Jan to menyeringai, serunya: "Lihat pedang, anak muda!"
Sekali berkelebat bayangannya, orangnyapun mendesak maju,
selarik sinar ke milau langsung me mbelah.
Pedang Kun-gi pelan2 didorongnya ke depan, mulutnya
me mbentak: "Orang she Han, ibu berpesan untuk me mbe kukmu
hidup2, kalau tidak dala m beberapa jurus saja pasti kubereskan jiwa
anjingmu ini."
"Anak bagus," teriak Han Janto ter-gelak2, "agaknya kau lebih congkak daripada bapakmu ....."
Mendengar orang menyinggung ayahnya, semakin berkobar
dendam Kun-gi, sekali menghardik, pedang dia pindah ketangan kiri,
dengan sengit ia mencecar dengan serangan maut. Dengan pedang
di tangan kiri, dia coba menge mbangkan ilmu pedang Tat-mo-kia mhoat secara kidal, pedangnya me mancarkan cahaya dingin,
rangsakannya sengit dan ketat. Tat-mo-kia m-hoat ajaran Siau-lim-s i
me mang terkenal ketat, kini dima inkan secara kidal oleh Ling Kungi, permainan yang serba berlawanan dengan aslinya ini kelihatan
lebih aneh dan banyak ragamnya, orang sukar berjaga dan meraba
arahnya. Mengingat pesan ibunya tadi agar me mbekuk lawan ini hidup2,
maka dia kombinasikan juga per-ma inan telapak tangan kanan
dengan Cap-ji-kim-liong jiu yang lihay, jari2 tangan kadang2
menutuk mencengkeram, me megang, menarik, menyodok dan
maca m2 gerakan lain yang di ncar adalah Hiat-to Han Janto.
Perubahannya serba aneh dan lihay.
Han Janto terhitung ahli pedang juga, kapan dia pernah
menyaksikan atau berhadapan dengan lawan yang ma in pedang
secara kidal" Yang dimainkan justeru berlawanan dari ilmu pedang
aslinya". Karena belum mene mpatkan diri pada posisi yang
meyakinkan, dia terdesak mundur, batinnya: "Apa yang dimainkan
bocah ini pasti ilmu pedang ciptaan Hoanjiu-ji-lay, sungguh aneh
dan lihay," Hati berpikir se mentara pedangnya bergerak melingkar2,
di sa mping bertahan iapun berusaha balas me nyerang, rangsakan
Ling Kun-gi yang aneh2 ternyata dapat ditandingi dengan sengit
pula. Puluhan gebrak ke mudian Han Janto menjadi hilang sabar,
sambil mengeluarkan suara aneh, mendadak ia meloncat ke udara
sambil pedang terayun, pedang berubah sejalur bayangan hita m
menjulang tinggi ke udara. Diam2 Kun-gi tertawa dingin, iapun tidak
mau ketingga lan, sekali pedang menggaris iapun enjot tubuh melejit
ke atas. Padahal Han Janto sudah tiga tombak di udara, melihat Ling Kungi juga meniru perbuatannya, diam2 ia bergirang dan menyeringai.
Karena kali ini dia mela mbung lebih dulu, Kun-gi mengejar
selangkah agak terlambat. Dikala Han Janto mencapai ketinggian
tiga tombak, Kun-gi baru mencapa i dua tombak, sudah jelas
posisinyalebihmenguntungkan.Padakeadaanyang
menguntungkan inilah mendada k dia putar haluan, dengan menukik
dengan kepala di bawah dan kaki di atas, pedang hitam di
tangannya melingkar2 me mbawa bayangan hitam bagai ja la
menyebar ke empat penjuru, kepala Ling Kun-gi menjadi sasaran
langsung. Thi-hujin yang menyaksikan di sebelah sana menjadi kaget,
teriaknya gugup: "Awas anak Gi" Maklum, di tengah udara orang
sukar bergerak leluasa seperti di atas tanah, sekali kesempatan di
dahului lawan, maka awak sendiri akan menjadi bulan2an.
Bagai percikan lelatu api singkatnya, dikala Kun-gi menjulang ke
atas mencapai ketinggian dua tombak, badannya yang masih terus
menerobos na ik itu mendada k me liuk minggir terus menerjang dari
samping, secara tepat dan indah dia berhasil me nghindarkan jaring
pedang Han Jan to yang lihay.
Seperti diketahui Han Janto buru2 me nukik turun ketika dia
mencapai ketinggian tiga tombak ma ka terjangan Ling Kun-gi dari
samping ini bukan saja berhasil meluputkan diri dari serangan
pedang lawan, ma lah sekaligus mengungguli lawan dan berada di
sebelah atas Han Janto.
Hal ini dengan je las disa ksikan oleh Han Janto waktu dia
ke mbangkan serangannya, gaya Ling Kun-gi ternyata amat aneh
dan luar biasa seperti naga sakti yang hidup, tahu2 bayangannya
sudah menerobos lewat lebih tinggi di sebelah atasnya, seketika dia
insaf keadaan berbalik tidak menguntungkannya. Untunglah sela ma
puluhan tahun meyakinkan Hwi-liong-sa m-kia m, ketiga jurus ilmu
pedang ini boleh dikatakan sudah mendarah-daging dengan jiwa
raganya, sudah tentu permainannya dapat terkendali sesuai jalan
pikirannya. Begitu menga mati gerakan Ling Kun-gi yang aneh, segera dia
me mberatkan badan, seperti burung merpati yang melingkupkan
sayap dan menukik ke bawah, bayangan pedang hita m seketika
kuncup, secepat meteor dia jatuh anjlok ke bawah. Soalnya dia
kuatir Kun-gi bakal menyerang dari atas, maka dia merasa perlu
buru2 melayang turun.
Di luar dugaan Ling Kun-gi tidak lantas menyerang, tapi iapun
mengejar turun pula. Sudah tentu kali ini Han Janto lebih dulu
mencapai tanah. Diam2 dia tertawa dingin, pikirnya: "Bocah
keparat, bila kau lancarkan serangan dari udara mungkin
tuanbesarmu dapat kau ka lahkan, tapi kesempatan sebaik ini kan
sia2kan, ke mbali aku mendahului anjlok ke bawah, nah, sekarang
rasakan pedangku."
Pikiran berjalan tanganpun bergerak, sebelum Kun-gi hinggap di
tanah, mendadak dia menghardik seka li, pedang hitam di tangannya
ke mbali menaburkan jaringan sinar me nggulung ke arah Kun-gi.
Kun-gi belum se mpat hinggap di tanah, mendadak ia ter-gelak2,
bagai angin menghe mbus dahan pohon, tiba2 tubuhnya melayang
ke sana, Ih-thiankia m me mancarkan cahaya hijau me manjang,
bayangan pedang tampak ber-lapis2 balas menyerang dari sebelah
atas. Betapa hebat dan cepat gempuran kedua pihak ini, begitu cahaya
pedang kedua pihak saling bentrok maka terdengarlah suara
rentetan nyaring benturan senjata. Sesosok bayangan orang tahu2
menerjang keluar dari lingkaran sinar pedang. Itulah Han Janto,
jubah abu2 bersulam naga yang indah itu sudah koyak2 di beberapa
tempat, pedang panjang tiga kaki di tangannyapun telah terpapas
kutung tingga l satu kaki lebih. Setelah mundur beberapa langkah,
mendadak dia menggerung gusar, dia timpukkan pedang kutung
sebagai senjata rahasia mengincar dada Ling Kun-gi.
Begitu kutungan pedang lepas dari tangan, sebat sekali dia putar
tubuh sambil menjejak kedua kaki, bagai burung yang sudah
ketakutan mendengar suara jepretan, cepat2 dia berlari secepat
terbang keluar le mbah.
Jurus tandingan yang dilancarkan Ling Kun-gi dala m gebrak
terakhir ini adalah jurus ke 7 dari ilmu pedang peningga lan Tiongyang Cinjin yang terukir di dinding gua itu. Maklum, baru pertama
kali ini dia ke mbangkan, latihan belum matang, apalagi mengingat
pesan ibunya untuk me mbekuk lawan hidup2, maka Han Janto
sempat lolos dari jaringan sinar pedangnya. Kini melihat orang
menyerang dengan pedang kutung sebagai senjata rahasia, segera
ia menya mpuk, "trang", pedang kutung kena diketuk jatuh,
mulutnyapun menghardik:. "Mau lari ke mana?"
Baru saja Kun-gi hendak mengejar, didengarnya seorang
bersuara dengan nada berat berwibawa: "Dia tidak akan lolos."
Sesosok bayangan orang meluncur tiba dan tahu2 sudah mencegat
jalan lari Han Janto, ma lah sekaligus dia lancarkan sekali pukulan
telapak tangan. Pencegat ini adalah Yong King-tiong.
"Yong King-tiong," Han Janto berteriak kalap "berani kau
merintangi aku!" Tangan kanan menyodok se mentara telapak
tangan kiri mengge mpur.
"Blang", telapak tangan kedua orang beradu dengan telak,
masing2 tergentak mundur satu langkah. Betapapun Han Janto
sudah mengala mi pertempuran seru sejak tadi, tenaganya banyak
terkuras karena adu pukulan secara keras ini, dadanya tampak naik
turun, napasnya me mburu.
"Han Janto," bentak Yong King-t iong mendelik, "keadaanmu
sudah payah, lebih baik kau menyerah saja."
Tertampak oleh Han Janto, delapan jago pedang seraga m hitam
berdiri di bela kang Yong King-tiong, se muanya gagah me meluk
pedang, naga2nya mereka sudah dibujuk dan tunduk pada Yong
King-tiong, kini keadaan awak sendiri sudah terpencil, dia tahu
gelagat yang tidak menguntungkan ini. Cepat sekali otaknya
bekerja, tiba2 ia me mbentak: "Pengkhianat bernyali besar,
me mangnya kalian mau berontak?" belum habis bicara, kedua
telapak tangan terangkap, dengan sekuatnya dia mengge mpur
maju, berbareng kaki kanan menendang dada Yong King-tiong.
Dala m seka li gebrak ini tiga jurus serangan sekaligus dilontarkan.
Yong King-tiong tertawa, kedua telapak tadgan berputar ke atas
lalu dari depan dada. pelan2 dia dorong ke depan, dengan jurus Jiliong-huncui (dua naga me mbagi a ir), dia berusaha me matahkan
serangan Han Janto, menyusul tubuh mengapung ke atas,
berbareng kaki kanan juga menyepak kaki kanan Han Janto yang
menendang datang. Kedua jarus serangan inipun dilontarkan
secepat kilat. "Blum" "pla k", benturan keras serasa menggoncang bumi, empat telapak tangan beradu lebih dulu disusul kaki
masing2pun berhanta m. Posisi kedua piha k berbeda, ma ka
kesudahannya segera tampak siapa lebih unggul dan asor.
Selama dua puluh tahun ini Yong-King-t iong tak pernah unjuk
kepandaian aslinya, betapa tangguh Lwekangnya, begitu anjlok
turun dia hanya bertolak mundur selangkah. Tidak de mikian dengan
Han Janto yang sudah mulai le mah, darah serasa ha mpir tumpah
dari mulutnya, tanpa terasa dia terhuyung tiga tindak. Sekuatnya
dia tahan darah yahg hampir menye mbur dan menahan sakit luka2
dalamnya, baru saja dia hendak putar badan, mendadak kedua
pundak terasa pegal kaku, tulang punda k kanan kiri tahu2 telah
terpegang orang, seluruh tenaganya seketika lunglai, mana dia
ma mpu meronta atau melawan lagi"
Maka didengarnya suara Ling Kun-gi me mbentak di belakang:
"Han Janto seharusnya kau tahu, sejak tadi orang she Ling sudah
berada di bela kangmu"
Terdengar seruan Thi-hujin dari sana: "Anak Gi, jaga dia, jangan
sampai dia menggigit putus lidahnya."
Kun-gi berpaling katanya: "Ibu tak usah kuatir, anak tidak akan
me mberi kesempatan padanya untuk bunuh diri." Tangan kiri segera
menutuk Ah-bunhiat di belakang leher Han Janto.
Thi-hujin me ndekatinya, sekali ra ih, dia tarik kedok muka orang,
desisnya dengan menggereget: "Bangsat she Han, dikala kau
menjua l Hek-liong-hwe dulu, pernah kau pikirkan akan nasibmu
seperti sekarang ini?"
Dulu Han Janto berwajah tampan, putih halus, romannya yang
agak kurus dulu kini ta mpak ge muk.
Cuma hidang betetnya yang tidak berubah, tapi bentuk dan rona
mukanya sekarang me mpertebal perasaan orang akan jiwanya yang
culas dan keji.
Kini jiwa raga sudah jatuh ke tangan musuh, Hiat-to tertutuk,
badan lemas lunglai, jangankan melawan untuk merontapun tak
ma mpu lagi, akhirnya dia pasrah nasib me mejamkan mata saja
tanpa bersuara. Sebetulnya memang dia tida k ma mpu bersuara
karena Ah-bun hiat tertutuk.
"Anak Gi," kata Thi hujin, "kau gusur dia marilah, kita ke pusara ayahmu, secara hidup2 akan kukorek ulu hatinya untuk se mbayang
arwah ayahmu . . . . . . . ." tanpa terasa suaranya tersendat dan
pilu, air matapun bercucuran.
Kun-gi menahan isa k tangisnya, katanya terguguk: "Apakah
pusara ayah berada di sini?"
Dengan berlinang a ir mata Thi-hujin me njawab: "Tidak salah,
ayahmu dikebumikan di le mbah sebelah timur sana."
"Kongcu," Yong King-tiong menimbrung, "serahkan saja. Han
Janto pada mereka." Lalu dia berputar ke arah kedelapan jago
pedang seragam hitam, katanya: "Kalian gusur dia, pergilah ke Saycu-kau." Dua diantara jago pedang itu segera tampil ke depan, bahu
kanan kiri Han Janto dike mpit terus berjalan mendahului didepan.
'Hujin", kata Yong King-t iong, "biarlah Lo-siu berangkat dulu."
Lalu dia mengikuti kedelapan jago pedang itu berangkat lebih dulu.
Kun-gi celingukan ke sekelilingnya, bayangan Thay-siang tidak
kelihatan, tapi di pinggir Hek-liong-ta m sana bertambah satu
gundukan tanah, cepat dia bertanya. "Bu. apakah bibi sudah
wafat?" Ber-kaca2 mata Thi-hujin, katanya mengangguk: "Adik sudah
mangkat, dua puluh tahun perselisihan dengan ibu, sampai detik2
sebelum ajalnya baru dia sadar dan insaf akan kekhilapannya, dia
punya sebuah angan2, minta supaya kau menya mbung keturunan
keluarga Thi, ibu sudah menerima dan berjanji padanya, ibu juga
termasuk anggota ke luarga Thi, maka adalah pantas ka lau kaulah
yang harus meneruskan keturunan ke luarga Thi . . . . " ia angkat
kepala la lu mena mbahkan: "Mari!ah kita susul mereka."
Kun-gi mengintil di belakang ibunya. Jalan kecil ini berliku dan
belak-belok, seperti berputar di lereng gunung, kecuali lumut yang
licin dan berbahaya, rumput atau tetumbuhan lain tiada yang
bersemi di sini.
Kira2 setengah li jauhnya, setelah me mbelok sebuah pengkolan
pinggang gunung, betul juga tam-pa k di tengah selat gunung yang
diapit dinding cura m menjulang tinggi terdapat sebuah batu nisan.
Yong King-tiong bersa ma kedelapan jago pedang yang menggusur
Han Janto sudah menunggu di depan pusara itu, delapan jago
pedang itu berpencar berjaga terhadap segala ke mungkinan.
Mengikuti langkah ibunya Kun-gi, tiba di depan pusara, tampak di
atas sebuah batu nisan besar bertatahkan huruf yang berbunyi
"Pusara almarhum Hwecu Ling Tiang-hong".
Yong King-tiong menjura kepada Thi-hujin, katanya: "Tempat ini
terselubung dari tiga jurusan, kalau orang2 Hek-liong-hwe
mendengar kabar mungkin bisa me luruk ke mari, hal itu a kan
mendatangkan kesukaran bagi kita. Hujin, Kongcu, sila kan
bersembahyang, Lobsiu a kan bertugas di mulut le mbah sana untuk
menjaga segala ke mungkinan."
Thi-hujin mengangguk, katanya: "Pendapat Yong-congkoan
me mang betul, kalau de mikian bikin capai dirimu saja."
"Hujin terlalu sungkan, ini me njadi tugas dan kewajiban Losiu,"
ucap Yong King-tiong, dua jago yang menggusur Han Janto
ditinggalkan, enam jago pedang yang lain dia bawa naik ke atas
ngarai sana."


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anak Gi," ucap Thi-hujin, "punahkan saja ilmu silat orang she Han, baru kau buka Hiat-tonya."
Kun-gi mengiyakan sa mbil mengha mpiri Han Janto, pelan2
telapak tangannya menepuk pundak orang untuk me mbuka Hiat-to
orang, berbareng dua jari tangan kiri secepat kilat menutuk Kui-hayhiat. Kontan badan Han Jan to mengejang dan gemetar keras,
sambil meraung keras ia jatuh terguling.
Tanpa me mbuang waktu beruntun Kun-gi unjuk ke mahiran ilmu
tutukannya, cepat sekali ke mbali dia tutuk Pa k-liong dan Bwe liong
kedua Hiat-to ditubuh orang, terakhir dia menutuk pula Pek-hwehiat
di ubun2 kepa la Han Janto.
Seperti balon yang ke mpes Han Janto roboh di tanah, badan
lungla i tak ma mpu bergerak, pelan2 dia angkat kepala, kedua bola
matanya mendelik berwarna merah menatap Thi-hujin, serunya
dengan suara serak: "Thi Ji-giok, kau . . . . . bunuhlah aku. Berilah
aku ke matian secepatnya."
Me mbesi hijau muka Thi-hujin, teriaknya murka: "Me mberi
ke matian secepatnya" Kau keparat yang lupa leluhur, rela menjadi
budak musuh dengan menjua l bangsa dan negara, kau sampah
persilatan, kau mencelakai sua miku, betapa banyak patriot yang kau
bunuh, ingin aku me mbeset kulit mu dan mencacah dagingmu,
syukurlah Thian maha adil, hari ini kau terjatuh di tanganku, akan
kukorek ulu hatimu hidup2 . . . . . . . " maki punya maki amarahnya
semakin me muncak, mendadak ia me mburu maju, ka ki me layang,
muka Han Janto ditendangnya sekali. Bentaknya: "Hayo berlutut,
mintalah a mpun dan a kui segala dosa dan kejahatanmu dulu."
Karena ilmu silatnya sudah punah, Han Janto meraung kesakitan
karena tendangan itu, sesaat lamanya mulutnya masih mengerang
dan merintih, mukanya basah kuyup oleh butiran keringat sebesar
kacang, tiba2 ia merangka k ke depan batu nisan serta bergelak
tertawa dengan mendongak: "Thi Ji-giok," serunya, "kepada siapa aku harus berlutut" Kau kira di sini kuburan sua mimu?"
Thi-hujin melenggong, tanyanya terkesiap: "Apa" Tulang sua miku
tidak dala m kuburan ini?"
Han Janto menyeringai sera m: "Ketahuilah, ini hanya segundukan
tanah belaka, hakikatnya tiada tulang belulang Ling Tiang-hong."
"Kau bohong," teriak Thi-hujin, "bukankah batu nisan ini sudah terukir na manya?"
"Kau tahu tempat apakah ini?" jengek Han Janto, "tempat ini
dina makan Say-cu-kau (mulut singa) karena tiga jurusan terkepung
buntu, bisa masuk tapi keluar sukar, me mang sengaja kubuat
kuburan palsu ini untuk menjebak kedatanganmu, dasar kau yang
mujur dan diberkati umur panjang, sela ma ini tidak pernah muncul,
maka kuburan palsu inipun tetap berada di sini."
Dia m2 Kun-gi maklum kenapa Yong King-tiong merasa perlu
hawa enam jago pedangnya untuk berjaga di mulut le mbah di atas
ngarai sana. Tak tertahan dia membentak, gusar: "Keji benar
perbuatan kalian."
"Lalu di mana tulang jenazah sua miku?" tanya Thi-hujin, "di
mana kalian menguburnya?"
"Biar terus terang kuberitahu padamu, Ling Tiang-hong adalah
pengkhianat Hek-liong-hwe dan Hwecu buronan, walau dia sudah
ma mpus, tapi piha k pe merintah tetap harus me meriksa jenazahnya .
..." Bagai dihunja m belati perasaan Thi-hujin, badannya sampai
gemetar menahan gejolak hati, desisnya sambil menggertak gigi:
"Sa mpaipun jenazahnya juga tidak kalian bebaskan?"
Sudah tentu darah Kun-gi juga mendidih, lekas dia papah sang
ibu, katanya sambil berlinang air mata: "Bu, tenangkan hatimu."
"Durjana, katakan siapa kah yang berkeputusan tentang hal ini?" .
"Hal ini jangan salahkan aku," ujar Han Janto, "Im-si-boankoan Ci Kun jin dan Ki Seng jiang berdualah yang mengajukan tipu muslihat
ini, bila buronan tertangkap harus segera diserahkan kepada pihak
yang berwenang . . . . "
"Siapa itu Ci Kun jin?" tanya Thi-hujin.
'Ci Kunjin adalah penasihat gubernur Soa-tang dua puluh tahun
yang lalu. Dia pula yang mengatur dan merencanakan penyerbuan
ke Hek-liong-hwe."
"Di mana dia sekarang?"
"Setelah Kok Thay, gubernur Soatang meninggal, dia lantas
meninggalkan gelanggang pe merintahan, konon dia sekarang
berada di Jet-ho."
"Dan Ki Seng-jiang," ucap Kun-gi, "apakah Cengcu dari Coatseng-sanceng"'
"Dia adalah anak angkat Ciok-boh Lojin dari Ui-san, kepandaian
silatnya amat tinggi, sejak la ma dia sudah berkiblat pada kerajaan,
waktu itu dia sudah menjadi Siwi ke las tiga istana raja yang
tergabung dala m Sinki-eng yang tersohor itu . . . ."
"Dan sekarang?" sela Thi-hujin.
"Sekarang dia berkuasa di Pi-sok-sanceng."
"Pi-sok-san ceng" Di mana letaknya?"
"Sanceng terletak di Jet-ho, namanya saja perkampungan, yang
benar itulah sebuah pesanggerahan yang mirip istana."
"Haa," Thi-hujin menggera m, "meski berada di istana raja, tetap akan kurenggut jiwa anjingnya." Sampai di sini me ndadak dia tatap
Han Janto, hardiknya beringas: "Masih ada pesan apa kau?"
Sesaat Han Janto pandang Thi hujin dengan mendelong, katanya
ke mudian: "Tiada pesan apa-apa, aku me mang berutang dan patut
me mbayar padamu, dapat mati ditanganmu, tiada yang perlu
kusesalkan lagi."
"Baik!" dengus Thi-hujin. Pedang terangkat terus menusuk ulu
hati orang. Sambil berlutut di tanah Han Janto sudah pejamkan mata. "Bles"
ujung pedang menghuja m ke dala m dadanya, giginya gemerutuk
menahan sakit pelan2 badannya lantas roboh terjengkang ke
belakang, darah segera muncrat bagai ana k panah.
Thi-hujin me narik pedang, darah menga lir dan bertetesan di
ujung pedangnya, dengan pedang menopang bumi, air matanya
bercucuran, kepalanya menengadah, mulutnya berguma m: "Tianghong, akhirnya berhasil aku menuntut sakit hatimu, dengan
tanganku sendiri kubunuh keparat ini, tapi meski berhasil aku
menuntut balas, lalu di ma na kau" Aku tetap takkan berhasil
mene mui kau, sela manya takkan bisa mene mukan kau . . . . . " tak
tertahan akhirnya dia menangis ter-gerung2.
Kun-gi berlutut di atas tanab, katanya dengan berlinang air mata:
"Bu, kau telah menuntut balas, di alam baka ayah pasti juga tahu,
ibu harus merasa lega hati, anggaplah aku telah berbakti kepada
ayah, musuh telah kutawan hidup2."
"Nak, ucapanmu hanya untuk menghibur ibu saja, yang benar
orang sudah mati, mana dia bisa tahu" Menuntut balas adalah
kewajiban setiap orang hidup, meski aku sudah bunuh Han Janto,
me mangnya dia bisa menge mbalikan sua miku dan ayahmu?"
mendadak pandangannya menatap jauh ke depan, rona mukanya
mena mpilkan tekad yang keras untuk menuntut balas, katanya
tegas : "Tapi aku masih harus mene mukan Ci Kunjin dan Ki Sengjiang kedua bangsat itu, patriot bangsa yang gugur harus menuntut
balas pula, supaya manusia di kolong langit ini tahu bahwa durjana
penjual bangsa dan negara akhirnya pasti mendapat ganj-aran
setimpal."
"Bu, kau sudah menuntut balas sakit hati ayah, kedua orang itu
serahkan saja kepada anak, de mikian pula tulang jenazah ayah,
anak pasti akan mene mukannya ke mbali," de mikian janji Kun-gi
kepada ibunya. Menyinggung tulang jenazah suaminya, tak tertahan Thi-hujin
mencucurkan air mata pula, katanya sedih: "Urusan sudah
berselang dua puluh tahun, ke mana kau akan me ncarinya?"
"Mereka mencelaka i ayah, pasti menguburnya pada suatu
tempat, tentunya ada orang tahu di mana beliau dikubur," kata Kungi. Tengah ber-cakap2, mendadak berkumandang suara benturan
senjata dari sebelah atas. Thi-hujin segera me lengak, katanya
kuatir: "Agaknya ada orang bertempur dimulut lembah, lekas kita
tengok ke sana."
Me mang hanya ada satu jalan keluar dari Say-cu-kau, mungkin
kawanan bangsat dari Hek-liong-hwe mendapat kabar dan menyusul
tiba sehingga terjadilah perte mpuran dengan Yong King-tiong serta
kedelapan jago pedang yang berjaga di mulut le mbah.
Bergegas Thi-hujin bersama Kun-gi berlari ke arah mulut le mbah.
Dala m sekejap itu, tampa k tanah kuning di atas gundukan bukit
sudah berceceran darah segar, empat jago pedang anak buah Yong
King-tiong tampak mengge letak binasa dengan tenggorokan
tertembus pedang, cara kematian keempat orang ini serupa satu
dengan yang lain.
Pemimpin rombongan musuh adalah seorang gadis berpakaian
serba putih yang berparas jelita, tampak alisnya lencik, matanya
bundar menyerupai mata burung Hong, wajahnya bulat telur cerah
bagai bunga mawar, sikapnya agung me mpesona. Cuma sikapnya
yang dingin kaku ta mpak serius dan berwibawa, orang menjadi
keder dan tak berani me mandangnya terlalu la ma.
Empat gadis lagi berada pada dua sisi gadis baju putih,
semuanya me megang pedang yang berlepotan darah segar. Paling
belakang adalah sebarisan delapan laki2 baju hijau ketat, mereka
adalah orang2 dari Ceng-liong-tong.
Dia m2 ce mas Ling Kun-gi, dirinya pernah bergebrak dengan
jago2 pedang anak buah Yong King-tiong, tarap kepandaian ilmu
pedang mereka boleh diagulkan, sejak mendengar benturan senjata
tadi sampai dia berlari tiba di te mpat ini, paling hanya beberapa
kejap saja, entah cara bagaimana keempat jago pedang itu
terbunuh oleh pedang para gadis2 jelita ini"
Terdengar Yong King-tiong tengah bicara sambil menjura:
"Walau Cui-tongcu telah me mbunuh e mpat jago pedangku, tapi ada
Losiu di sini, jangan harap Cui-tongcu bisa melampaui diriku untuk
ke bawah sana."
Ternyata gadis baju putih ini adalah Cui-tongcu dari Ceng-liongtong. Sorot mata Cui-tongcu yang dingin sekilas melirik ke arah Thi
hujin dan Ling Kun-gi yang mendatangi, katanya mengejek: "Yong
King tiong, kau me mang berhasil, nah itu mereka telah keluar dari
Say-cu-kau."
Agaknya Yong King-tiong naik pitam, serunya:
"Peduli kau ini utusan maca m apa dari kotaraja, Losiu tetap ingin
menjajal kepandaianmu."
"Wut" tiba2 dia menghantam lebih dulu.
"Kau ingin gebrak dengan a ku?" ejek Cui-tongcu, tiada tampak
bergeming, kaki tida k bergerak, hanya badan sebelah atas sedikit
bergeliat, dengan mudah dia sudah me luputkan diri dari pukulan
Yong King-tiong, Segulung angin pukulan kencang menya mber
lewat di atas punda knya.
Setelah menghindari samberan angin pukulan, Cui-tongcu
mengejek: "Peranan penting sudah tiba, aku ma las bergebrak
dengan kau."
Selama dua puluh tahun ini Yong King-tiong menye mbunyikan
diri dengan sabar, kepandaian aslinya yang tinggi tak pernah
dipa merkan, kini sepak terjang dirinya sudah terang2an, maka dia
merasa tidak perlu takut lagi bertindak blak2an, melihat pukulannya
dapat dihindarkan lawan, hatinya semakin murka, ke mbali dia
me lontarkan pukulan. Gempuran ulangan ini sudah tentu lebih
hebat lagi kekuatan pukulannya, angin pukulan segera mencrpa
dengan dahsyatnya.
Cui-tongcu menanggapi dengan tak acuh dan dingin: "Kau kira
aku tidak berani melawanmu?"
Kali ini dia me mang t idak berke lit, tangannya yang halus
bergerak me mutar, entah bagaimana dia me mba lik telapak tangan,
tahu2 dia sambut pukulan Yong King-Tiong dengan kekerasan
pukulan pula. Dua pukulan dahsyat saling bentrok di udara
menimbulkan suara keras, ternyata setali tiga uang alias sa ma kuat.
Sudah tentu kesudahan adu ke kuatan pukulan ini a mat di luar
dugaan Yong King-t iong, soalnya dia hanya tahu bahwa Cui-tongcu
ini berkepanda ian tinggi, tapi tak pernah terpikir bahwa gadis
selembut ini me miliki Lwekang setangguh ini.
Thi-hujin ikut kaget, tanpa terasa dia menatap orang lebih tajam,
tanyanya: "Yong-congkoan, siapa-kah nona ini?"
"Nona ini?" sabut Yong King-Tiong, "dia inilah pengawas utusan kotaraja, Cui Kinin yang menjabat Ceng-liong-tong Tongcu, atau
lebih je las lagi Han Janto hanyalah seorang pemimpin bone ka saja,
kekuasaan Hek- liong-hwe ha kikatnya berada di tangan perempuan
ini." Cui Kinin tertawa manis, katanya berseri: "Jelas sekali caramu
me mperkenalkan diriku," kata nya ditujukan kepada Yqng Kingtiong, tapi dia mengirim senyuman manis ke arah Ling Kun-gi.
Semula sikapnya dingin ka ku, tapi seri tawanya ini betul2 laksana
bunga mekar di musim se mi, segar me mpesona.
Thi-hujin menarik muka,
jengeknya: "Kau bangsa
Ki-jin (golongan bangsawan)?"
"Apakah aku orang Ki-jin atau bukan, apa sangkut pautnya
dengan kau?" sahut Cui Kinin.
"Kalau betul kau Ki-jin, aku tidak akan melepasmu," anca m Thihujin. "Paling mati di tanganmu?" tanya Cui Kinin dingin.
"Betul, aku pula yang me mbunuh Han Janto."
"Kau ini Thay-siang (maha ketua) Pek-hoa-pang."
"Bukan."
"Lalu siapa kau?"'
"Akulah janda Ling Tiong-hong, buronan yang dicari oleh kalian
gerombolan cakar a lap2."
"O, kiranya Ling-hujin," ucap Cui Kinin, matanya melirik ke arah
Ling Kun-gi, tanyanya: "Siapa pula dia?"
"Cayhe Ling Kun-gi," le kas Kun-gi bersuara sambil menjura.
Tanpa terasa Cui Kinin me mandangnya beberapa kali, katanya
ke mudian: "Cong-hou-hoat-su-cia dari Pek-hoa-pang?"
"Cayhe bukan anggota Pek hoa-pang lagi."
"Lho, mengapa bukan?"
"Kukira Cayhe tidak perlu menjelaskan pada-mu."
"Ya, betul, kau masuk ke Ui-liong-tong," berapa jiwa orang yang
telah me layang di tanganmu," kata Cui Kinin sa mbil melirik Leliongcu yang tergantung di pinggang Ling Kun-gi. "Kupikir, mungkin kau
inilah putera Ling Tiang-hong, betul tida k?"
"Betul, kedatangan Cayhe untuk menuntut ba las sakit orang
tuaku." Cui Kinin. mengge leng dan berkata kalem: "Kalian sudah
me mbunuh Han Janto, sakit hatipun sudah terbalas, betul tida k?"
"Setiap cakar alap2 kerajaan adalah musuh besar ka mi," Thihujin berkata tegas.
"Tera mat luas arti perkataanmu, hanya kalian ibu beranak
ditambah seorang Yong King-tiong" Hek-liong-hwepun belum tentu
dapat kalian kuasai."
"Aku bisa masuk ke mari, sudah tentu juga bisa keluar," jengek
Thi-hujin. Kembali Cui Kinin melirik ke arah Ling Kun-gi, katanya: "Kukira
tidak mungkin, sulit kalian bisa mene mbus pertahananku, tapi . . . .
. . " suaranya sengaja dia tarik panjang.
"Tapi apa?" bentak- Thi-hujin.
Gigi Cui Kinin nan rata seperti biji ketimun menggigit bibir,


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya kemudian setelah tepekur sekejap: "Aku ada sebuah syarat,
entah kalian mau terima tidak?"
"Kau ada syarat apa?" tanya Thi-hujin.
"Han Janto meski hanya Siwi kelas tiga, kalian telah
me mbunuhnya, itu berarti kalian me mbunuh pe mbesar kerajaan,
sepak terjang seorang pe mberontak tulen . . . . . . . "
"Tutup mulut mu!" bentak Thi-hujin.
"Jangan naik pita m Ling-hujin, dengarkan penjelasanku."
"Baik, katakan!"
"Kau menuntut balas sakit hati sua mi atau denda m orang tua, hal
ini boleh dianggap sebagai peristiwa ba las me mbalas kaum
persilatan umumnya, aku takkan menarik panjang soal ini . . . . . . "
sebagai "pengawas" yang berkuasa besar dari kotaraja, sudah tentu
dia punya hak dan kewajiban me mutuskan sesuatu menurut
hematnya sendiri..
Terdengar Cui Kinin berkata lebih lanjut: "Kecua li Yong King-tiong
sebagai Congkoan Hek-liong-hwe dan sekarang sekongkol dengan
pembeberontak, aku t idak me mberi kebebasan padanya, tentang
kalian ibu beranak, asal Ling-kongcu sudi menyerahkan Leliong-cu,
aku akan me mberi putusan me mberi izin pada kalian untuk
meninggalkan tempat ini, meninggalkan Kunlunsan dengan sela mat,
bagaimana?"'
Ternyata yang di ncar adalah Le liong-cu. Jelas tujuannya untuk
mendapatkan buku daftar anggota Thay-yang-kau yang disimpan
dalam ka mar batu di dasar kolam naga hita m, sedemikian besar arti
dan pentingnya buku daftar itu, sampai ke matian Han Janto boleh
dire mehkan. Me mangnya Han Janto hanyalah seorang tamak yang
mengejar keuntungan pribadi, peranannya tidak penting lagi bagi
kerajaan. Dari sini dapat disimpulkan tugas apa yang dipikul Cui
Kinin di dala m He k-liong-hwe.. Sudah tentu di luar tahunya bahwa
buku daftar anggota Thay-yang-kau itu sudah dimusnahkan oleh
Ling Kun-gi. Belum habis Cui Kinin bicara, mendadak Yong King-tiong
mende lik gusar, katanya sambil bergela k tawa: "Cui-tongcu tida k
akan me mbebaskan Losiu, me mangnya Losiu perlu dibebaskan
olehmu?" "Yong-congkoan," Thi-hujin me ngulap tangan: "biarlah aku
menjawab pertanyaannya."
"Baiklah Hujin," ujar Yong King-tiong
Kaku dan ketus sikap Thi-hujin, katanya: "Pendapat Cui-tongcu
me mang tidak keliru."
"Jadi Ling-hujin me nerima usulku?"
"Cui-tongcu anggap harga jiwa kami ibu beranak lebih tinggi
daripada mutiara ini" Tapi bagi pandanganku justeru sebaliknya,
mut iara ini berlipat ganda lebih berharga daripada jiwa raga ka mi
berdua. Karena mutiara ini menyangkut laksaan jiwa manusia yang
tersebar luas di utara dan selatan sungai besar, oleh karena itu kami
ibu beranak sekali2 tidak mau se mbarangan menyerahkan mutiara
ini kepada siapapun, kecuali Cui-tongcu me miliki kepanda ian dan
dapat merebutnya dari tangan ka mi."
Cui Kinin me lenggong sebentar, katanya: "Jadi Ling-hujin ingin
bergebrak dengan aku?"
"Keadaan sekarang bagaikan anak panah yang sudah terpasang
dibusur yang terentang lebar tidak bisa tida k harus dibidikkan, selain
berhantam mungkin tiada jalan lain lagi."
"Baiklah kalau begitu," ucap Cui Kinin.
"Cui-tongcu," ujar Thi-hujin, "kau pa kai senjata atau ........"
Melihat kedua orang siap bergebrak, tak tertahan Yong Kingtiong ter-bahak2, serunya: "Tunggu sebentar Hujin."
"Ada apa Congkoan?" tanya Thi-hujin.
"Maafkan Hujin," ucap Yong King-tiong, "barusan Cui-tongcu
bilang Losiu bersekongkol dengan pemberontak, dosanya tak
terampunkan, bahwa Losiu hidup terhina dan sengsara selama 20an tahun di sarang penyamun ini, kini tibalah saatnya akan
kuberitahu kepada Cui-tongcu bahwa Yong King-tiong adalah laki2
sejati, sebagai bangsa Han yang cinta bangsa dan tanah a ir
leluhurnya, anggota Thay-yang-kau yang setia, sebagai Hek-lionghwe Cong-koan dari Hek-liong-hwe yang menentang kerajaan Ceng
dan berusaha membangkitkan ke mba li kerajaar Bing, jadi bukan
antek Hek-liong-hwe yang dikua-sai cakar alap2 kerajaan Ceng,
padahal di dala m pandangan kalian para cakar alap2 kerajaan ini,
tentunya Losiu dianggap sebagai pengkhianat, kenapa harus
ditambahi e mbe l2 sekongkol dengan pe mberontak segala."
Cui Kinin tidak berbicara, tapi sorot matanya yang tajam dingin
mana mpilkan hasrat me mbunuhnya yang mula i berkobar.
Yong King-t iong tidak peduli, katanya lebih lanjut: "Jabatan dan
kedudukan Cui-tongcu di sini cukup istimewa, Komisaris besar
utusan kerajaan yang mengusai Hek-liong-hwe ini, kalau Cui-tongcu
sudahmenyatakantakkanmelepaskanLosiu,demi
me mpertahankan diri adalah pantas kalau aku mohon pengajaran
dulu pada Cui-tongcu, karena itu, pertarungan Hujin me lawan Cuitongcu ini harap ditunda dulu, biarlah Losiu yang me mbuka perang
tanding ini."
Cui Kinin bersikap se makin dingin, katanya mengejek: "Bagus
sekali, bahwa kau sudah mengakui seluruhnya, sebagai Komisaris
umum dari He k-liong-hwe, sudah se mestinya kalau kulabrak kau
lebih dulu." Sa mpa i di sini mendadak dia menoleh, katanya: "Harap Ling-hujin tunggu sebentar." Sikapnya angkuh seolah2 tida k
me mandang sebelah mata kepada Yong King-tiong.
Setelah beradu pukulan tadi Yong King-tiong tahu bahwa
lwekang perempuan ini a mat tangguh, taraf kepandaiannya agaknya
tidak lebih rendah dari dirinya, sudah tentu dia tak berani pandang
ringan lawannya yang muda ini, maka di ka la orang bicara, diam2 ia
kerahkan hawa murni me mpersiapkan diri. Segera dia merangkap
kedua tangan, katanya menjura: "Baiklah, siia kan Cui -tongcu
me mberi petunjuk."
Cui Kinin nielirik sekejap ke arahnya, suaranya dingin: "Apakah
ma in kepelan, telapak tangan atau pakai senjata, Yong-congkoan
lebih suka yang mana, silakan pilih sendiri?"
"Losiu sih terserah saja apa kehendakmu?"
"Baiklah, adu kepelan dan pukulan telapak tangan saja."
"Silakan Cui-tongcu mulai dulu."
Cui Kinin melangkah maju dua tindak, ia me mbetulkan dulu
sanggul rambutnya, katanya: "Baiklah, aku mulai lebih dulu."
tangannya terayun dan menepuk seka li.
Jubah hijau Yong King-tiong ta mpak mele mbung dan me la mbai,
sigap sekali dia sudah menyingkir beberapa kaki, berkelit sa mbil
balas menyerang, serangan balasannya ternyata tidak kalah
cepatnya. Cui Kinin tidak me nghiraukan serangan balasan ini, beruntun dia
gunakan kedua tangan me mukul pula secara bergantian, jadi
menyerang untuk menandingi serangan lawan. Begitu mulai gebra k
kedua orang sama bunjuk ke mahirand ilmu pukulan daan kesebatan
gebrak badan, serangan semakin gencar, jurus de mi jurus se makin
cepat dan lihay, ba-yangan kedua orang maju mundur saling
berputar dan melejit kian ke mari, keduanya sama gesit dan tangkas.
Dengan tekun Kun-gi mengikuti perte mpuran kedua orang,
pandangannya amat tajam, sudah tentu dia tidak dikaburkan oleh
kecepatan gerak yang terselubung oleh bayangan kepelan kedua
orang. Terasa Kungfu Yong King-tiong ternyata beraneka ragam,
dalam setiap gerakan kedua kepelan tangannya ternyata
mengandung tipu2 Siau-lim, Bu-tong, Hoa-san, Go-bi dan Liok-hap,
serta Pat-kwa-bun dan lain2 aliran kelas tinggi, meski jurus yang
satu tidak berurut dan bergandeng dengan jurus se lanjutnya, tapi
perubahan dan variasinya dapat dia ma inkan dengan ma hir dan
leluasa, tak pernah putus dan macet. Seolah2 dia sudah mahir betul
akan ilmu kepalan dari berbagai aliran itu serta dikombinasikan
dengan baik, ma lah perbawanya juga a mat mengejutkan.
Tangan Cui Kinin tetap terselubung di dalam lengan bajunya, tapi
jari2 tangannya yang runcing halus sering terjulur ke luar dika la
mencengkeram, menutuk dan menabas, permainan lincah cepat dan
rangsakannya deras, bagai bidadari menyebarkan bunga, bayangan
telapak tangannya yang putih mu-lus itu bertaburan bagai kuntum
bunga, jari2nya yang runcing dengan kuku2nya yang panjang laksana jarum perak, setiap gerakan tutukannya amat aneh dan lihay,
agaknya iapun telah keluarkan se luruh ke mahirannya. Terutama
gerakan tangan dibarengi dengan perma inan langkah yang gesit
dan me mbingungkan, meski Yong King-t iong mencecar dengan
pukulan keras, dia dapat berkelit ki-an ke mari, Ujung bajupun tak
ma mpu disentuh lawan.
Sekejap saja, keduanya sudah saling labrak lima-ena m puluh
jurus, keadaan tetap berimbang, tiada satu pihak yang me mperoleh
keuntungan. Thi-hujinpun sa ksikan pertempuran ini tanpa berkedip, la ma2
roman mukanya menunjukkan mimik aneh penuh keheranan dan
kaget, tanyanya berpaling: "Anak Gi, kalau kau yang melawan dia
kau yakin dapat, mengalahkan dia?"
"Ilmu pukulan dan gerak langkahnya serba aneh, paling2 anak
hanya sama kuat melawannya, untuk mengalahkan dia agak sulit
juga, tapi anak yakin sekali pukul dapat me mbunuhnya."
Thi-hujin mengangguk, katanya: "Kalau perempuan ini tidak
dilenyapkan, kela k pasti me nimbulkan mara bahaya bagi kita."
Tengah bicara, di tengah gelanggang yang sedang berhantam
sengit itu terdengar suara Cui Kin in yang merdu: "Berhenti! "
Sesosok bayangan tiba2 melompat keluar dari arena serta mundur
beberapa langkah dan berdiri tak bergerak.
Yong King tiong juga menarik kedua tangan, katanya dengan
lantang: "Ada petunjuk apa Cui-tongcu?"
"Apakah Kim-biansanjiu dari Kunlun yang kau lancarkan barusan
ini?" tanya Cui Kinin.
"Losiu tidak menganut sesuatu aliran, bermain sekenanya saja
asal dapat menghadapi lawan, tak kupusing apakah Kim-bian atau
bukan segala."
"Meski Kim-biansanjiu dari Kunlunpay merupakan kombinasi dari
inti ilmu silat yang ada di dunia ini, di da la mnya mengandung
kesaktian yang tiada taranya, aku tidak percaya tidak ma mpu
me mecahkannya."
Yong King-tiong tersenyum lebar, katanya: "Cui-tongcu, boleh
kau coba me mecahkannya."
"Baik, akan kutunjukkan pada mu," jengek Cui Kinin. Mendadak
kedua tangan dilancarkan bersama, beruntun dia menyerang tiga
jurus. Setiap jurus pukulan menimbulkan kekuatan dahsyat yang
menerpa ke depan.
"Serangan bagus," Yong King-tiong menghardik dengan
pujiannya. Kaki berdiri se kukuh tonggak, kedua tangan berjaga di
depan dada, beruntun iapun me lontarkan tiga kali pukulan.
Inilah cara adu pukulan secara keras, maka terdengarlah
benturan, ternyata tiada satu pihak yang lebih unggul. Cui Kinin
tertawa dingin, kedua ta-ngan kembali melancarkan lima kali
pukulan secara berantai, Gelombang pukulannya bagai badai bergulung2 menerjang dengan hebat.
Dia m2 Yong King-tiong tersirap darahnya, perempuan muda
berusia dua puluhan ini bagaimana mungkin me miliki Lwe kang
seampuh ini" Hati berpikir, keadaan sudah me ndesak, tak mungkin
dia mundur, maka tenaga dia kerahkan di kedua lengan, mendada k
mulutnya menghe mbuskan serangkum hawa, lima kali ia
menyongsong pukulan lawan.
Kali ini tangan kedua pihak sa ma2 dilandasi kekuatan penuh,
begitu pukulan saling beradu, udara menjadi bergolak dan meleda k
dengan dahsyatnya.
Jenggot ubanan Yong King-t iong ta mpak bergerak me la mbai,
jubah hijaunyapun seperti terhembus badai, tanpa kuasa badannya
terhuyung dua langkah ke belakang. Kini siapa unggul siapa asor
sudah kelihatan, Cui Kinin adalah anak pere mpuan muda be liau,
meski ilmu silatnya maha tinggi, jelas latihannya lebih cetek
daripada Yong King-tiong.
Setelah menga la mi adu pukulan lima kali, wajahnya yang jelita
bagai bunga mekar di musim se mi itu seketika berubah pucat,
beruntun ia tersurut lima langkah. Belum lagi berdiri tegak dan
napas masih senga l2, mendadak alisnya menegak, sepasang mata
burung Hongnya me mancarkan ke milau biru, nafsu me mbunuhnya
berkobar, hardiknya: "Nah, hati2lah kau." Tangan kiri bergerak naik turun menjaga keseimbangan dan akhirnya berhenti di depan dada,
sementara telapak tangan kanan tegak bagai golok pelan2 didorong
keluar. Mehhat gerakan telapak tangan orang, seketika berubah hebat
air muka Yong King-t iong, teriaknya tertahan: "Toa-jiu-in dari Ih-ka
bun!" Mulut berteriak lekas kedua tangannya melindungi dada,
ke mbali kakinya menyurut lebih jauh, matanya menatap tajam,
sikapnya a mat tegang.
Pada detik gawat itulah didengarnya Ling Kun-gi berteriak:
"Mundurlah pa man Yong, jurus ini biar Siautit yang menyambutnya."
Belum habis bicara, bayangannya sudah berkelebat mengadang di
depan orang. Jaraknya dengan Cui Kinin hanya satu tombak, ia
berdiri tegak dengan, menekan telapak tangan kiri kebawah, telapak
tangan kanan tegak miring, dari kejauhan dia ikuti gerakan Cui
Kinin. Baru saja dia hendak me lancarkan Mo-ni-in dari a liran Hud,
Mendadak dari tempat kejauhan sana terdengar bentakan serak
bertenaga kuat. "Jangan muridku!" Suaranya bergema di angkasa,
seperti disuarakan dari te mpat yang jauh, tapi kedengaran amat
jelas seperti berbicara berhadapan.
Kun-gi tersentak kaget mendengar seruan ini, lekas dia menarik
tangan dan me mbatalkan serangannya, tanpa terasa dia
mendonga k dan berteriak: "Ya Suhu!"
Perlu diketahui bahwa Mo-ni-in adalah ajaran sakti aliran Hud
peranti menundukan dan me mecahkan ilmu hita m, kekuatan dan
perbawanya tiada taranya. Walau Kun-gi belum lagi se mpat
me lontarkan pukulan, tapi gaya dan kuda2 yang sudah dia
tunjukkan laksana anak panak terpasang dibusur yang terpentang
dan siap dilepaskan dengan keku-atan dahsyat. Hawa murni sudah
me lingkupi se kujur badannya, dalam jarak beberapa kaki sudah
padat diliputi kekuatan sekukuh te mbok baja yang tida k kelihatan.
Toa-jiu-in yang dilontarkan Cui Kinin meski la mbat, tapi tekanan
yang keluar dari pukulan hebat ini sungguh laksana gugur gunung
yang menimpa. Beberapa kaki menerjang ke depan Ling Kun-gi
ternyata Toa-jiu-in mene mukan pengalang seteguh gunung, baga i
air bah yang terintang bendungan.
Air mengalir tersibak ke penjuru la in, meski kuat dan keras daya
terjangnya, tapi kebentur kekuatan sekukuh baja ini, sedikitpun
kekuatan Toa-jiu-in tak ma mpu maju lebih lanjut.
Begitu tenaga pukulannya menghadapi rintangan, segera Cui
Kinin lantas me mperoleh f irasat jelek, terasa dinding tak kelihatan
sekeras baja pertahanan lawan me mbendung terjangan Toa-jiu-in,
dirinya, daya tolak ba
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 3 Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Pendekar Riang 8

Cari Blog Ini