Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Bagian 23
njuk ja lan, kita kan mau cari orang, banyak orang ma lah
repot." "Begitupun baik," ucap Yong King-tiong, "Ling-kongcu dan
Pangcu saja yang masuk, biar kita tunggu di luar sini saja." - Lalu
dia tatap Oh Coan-oh dan bertanya: "Oh Coan oh, ada perangkap
apa pula di dala m benteng" Kalau dihadapan Lohu berani kau
bertingkah, awas batok kepa la mu."
Ou Coan-oh munduk2, sahutnya: "Ha mba tak berani, berapa sih
batok kepalaku, masa berani menipu kau orang tua." - La lu dia
menge luarkan secarik kulit ka mbing yang terlempit rapi, dengan
kedua tangan dia persembahkan, katanya: "Inilah peta Hwi-liongkoan, pada setiap pintu rahasia ada keterangannya, silakan engkau
orang tua melihatnya ."
Waktu Yong King-tiong me mbuka kulit itu, sekilas dia pandang
gambar peta Hwi-liong-koan ini, lalu dia serahkan pada Kun-gi,
katanya: "Biar kau saja yang bawa ga mbar peta ini."
Kun-gi terima peta itu dan disimpan dala m bajunya, Oh Coan-oh
berputar menghadapi Kun- gi dan Bok-tan, katanya: "Silakan kalian
ikut." - Lalu dia mendahului me langkah masuk.
"Silakan Pangcu," ucap Kun-gi.
Bok-tan tertawa manis, katanya: "Perjalanan ini dipimpin Ling
heng, silakan kau saja yang di depan."
Oh Coan-oh sudah beranjak masuk, terpaksa Kun-gi tidak bicara
lagi, dia me langkah kedala m, Bok-tan ikut dibela kangnya.
Hwi-liong-koan ternyata merupakan sebuah ruangan batu besar,
bentuknya mirip sebuah aula. Pada ujung kamar besar ini terdapat
lima-ena m undakan batu yang dipagari balok2 batu, tepat di tengah
terdapat sebuah pintu besar, daun pintunya yang terukir bunga
warna warni terbentang lebar.
Oh Coan-oh bawa kedua orang naik undakan dan masuk ke
dalam pintu, itulah sebuah pendopo besar, di tengah atas sebelah
depan terpancang sebuah pigura besar yang bertulisan "Hwi-liongkoan" berwarna emas. Tepat di bawah pigura ada sebuah meja batu
dan kursi batu pula, di kanan-kirinya masing2 terdapat sebuah
kamar batu, daun pintunya juga terbuka lebar.
Kun-gi me ngerling, tanyanya: "Apa pula yang ada di dalam pintu
ini?" Oh Coan-oh tersenyum, katanya : "Agaknya Ling-kongcu belum
periksa peta benteng besar ini. Ketahuilah, kedua pintu ini
dina makan pintu me mancing musuh, siapapun yang menerjang
masuk ke dala m pasti takkan bisa keluar."
"Kenapa setelah masuk tak bisa ke luar?" tanya Kun-gi.
"Kelihatan ka mar batu ini tiada pintu lain lagi, tapi se kali berada
di dala m, pintu batu a kan terdorong keluar dari dinding sehingga
pintu tertutup, bertepatan dengan itu tiga muka dinding yang lain
sekaligus muncul pula tiga buah bentuk pintu yang serupa, pintu
manapun bila dimasuki tentu akan terjeblos se makin dala m."
"Lalu dari mana kita harus masuk?" tanya Bok-tan.
Oh Coan-oh tertawa pula, katanya: "Cara untuk me mbuka pintu
serta bagaimana keluar masuknya sudah tertera dipeta . . .. "
Bok-tan menarik muka, katanya: "Aku tahu kalau ada keterangan
di atas peta, tapi kau adalah Hwi-liong-koancu, penunjuk jalan pula,
sekarang kau buka se mua jalan tembus yang harus kita la lui dan
jalanlah di depan untuk menunjukan jalan, ada kau sebagai
petunjuk jalan, buat apa ka mi harus periksa peta segala?"
Oh Coan-oh tahu bahwa Pek-hoa-pangcu ini galak dan sukar
dilayani, sambil mengiakan cepat dia me langkah maju, pada sebuah
papan batu di atas meja yang berukir bunga teratai dia dorong dan
tarik, lalu ditekan tengahnya, kemudian dia mundur dan berdiri
tegak menunggu.
Cepat sekali meja batu di depannya itu bergeser ke kanan, tepat
di bawah dinding depan pelan2 terbelah dan muncul sebuah pintu:
"Silakan kalian masuk," ucap Oh Coan-oh sa mbil munduk2.
Bok-tan merasakan sorot mata orang jelilatan dan sikapnya
terlalu dibuat2, tapi dia diam saja dan waspada, maka sebelum Ling
Kun-gi berbicara dia sudah mengulap tangan, katanya: "Kau masuk
lebih dulu."
Oh Coan-oh tidak banyak bicara, segera dia me langkah masuk
lebih dulu. Kun-gi dan Bok-tan ikut di bela kangnya, kamar batu di
sini t idak besar, bentuknya juga ta mpak lonjong. Tepat di tengah
depan sana di atas dinding terdapat sebuah ukiran bunga Boh-tan
dari berbagai jenis dengan warnanya yang berbeda pula, hampir
seluruh dinding dipenuhi ukiran bunga ini, begitu indah dan hidup
ukirannya, terang buah karya seorang seniman terna ma.
Bahwa Hwi-liong-koan merupakan perangkap untuk menjebak
musuh. sudah tentu di sini tida k perlu pakai pajangan apa2,
terutama kamar batu ini luasnya tidak lebih dua tombak, tiada
perabot apa-pun, maka lukisan di dinding ini kelihatan agak ganjil. .
Sekilas Pandang Ling Kun-gi lantas merasakan keganjilan pada
lukisan di dinding ini, karena lukisan lima kuntum bunga Bok-tan itu
kecuali yang di tengah bentuknya rada besar dan empat lain yang
bentuknya agak kecil mengelilingi sekitarnya, jadi terbagi atas dan
bawah, kanan dan kiri, kedudukan ini jelas tidak ditatah secara
kebetulan. Tengah dia mereka2, didengarnya Oh Coan-oli berkata dengan
tertawa: "Ling-kongcu, ga mbar bunga Bok-tan ini adalah pusat dari
kunci seluruh peralatan rahasia yang ada di da la m Hwi-liong-koan
ini." - Tangannya, menuding ke lima kuntum Bok-tan serta
menje laskan lebih lanjut: "Setiap ka mar batu di dala m pada
keempat penjuru, dindingnya pasti terpasang pintu rahasia,
sekarang menurut tanda yang ada di pusat ini semuanya sedang
terbuka, tapi pintu setiap ka mar batu itu selalu berubah sehingga
orang yang terkurung di dala m sana akan lari kian ke mari, se-olah2
sudah mene mbusi ratusan kamar, tapi tetap tidak mene mukan jalan
keluarnya. . ."
"Apakah pintu setiap ka mar batu itu bisa menutup sendirinya?"
tanya Bok-tan. "Ya, bunga Bok-tan di tengah yang besar itulah letak kuncinya,
empat bunga diseke lilingnya yang agak kecil merupakan kunci
setiap pintu ka mar, asal kunci pusatnya ini dibuka, lalu kee mpat
kuntum yang la in juga dibuka pula, maka pintu di kee mpat dinding
setiap kamar itu tidak akan buka-tutup secara bergiliran lagi,"
sampai di sini dia mena mbahkan: "Kita akan masuk menolong
orang, terpaksa tiga pintu di setiap kamar itu harus kita tutup,
tinggal satu lagi yang masih terbuka untuk me mudahkan usaha
pencarian ini."
"Lalu kunci pusatnya itu apakah t idak perlu ditutup?" tanya Boktan. "Kalau kunci pusatnya yang di tengah itu ditutup juga, seluruh
peralatan rahasia di dalam akan berhenti bekerja, seluruh pintu
takkan bisa dibuka lagi, lalu bagaimana kita bisa masuk?" Oh Coanoh menjelaskan.
"Baik. lekas kau kerjakan," perintah Bok-tan, "kita harus le kas2
menolong orang."
Oh Coan-oh mengiakan, dia me mutar ke kanan tiga kali pada
kuntum bunga Bok-tan yang agak kecil yang terletak di atas, bawah
dan sebelah kanan, lalu kuntum kee mpat yang terletak di sebelah
kiri dia putar ke kiri tiga kali, katanya: "Beres, sekarang tinggal pintu kiri setiap ka mar itu yang terbuka, umpa ma kita tidak masuk
mencari mere ka, maka orang2 yang terperangkap di dalam a kan
bisa mencari jalan keluarnya."
"Baik, lekas kau buka saja pintunya," kata Bok-tan pula.
Oh Coan-oh mengia kan, dia mengha mpiri dinding kiri dan
menekan dua ka li, dinding di depannya lantas terbukalah sebuah
pintu. "Pangcu," ucap Kun-gi, "marilah kita masuk,"
"Kau sudah dengar, keadaan seperti di da la m lorong sesat itu,
biarlah Oh-koancu menunjukkan jalannya," sahut Bok-tan.
"Kalian tunggu sebentar," kata Oh Coan-oh sambil mengha mpiri
dinding sebelah kanan.
"Apa yang kau kerjakan?" tanya Bok-tan.
"Seluruh peralatan di sini sudah kubereskan, sekarang tiada
tugasku yang lain, maaf aku mohon diri saja. . . . . " badannya
mepet dinding, maka terdengar "crat", dinding segera menjeplak,
badan Oh Coan-oh terus terjungkir ke dala m, sekali berkelebat
lantas lenyap. Bok-tan gusar, makinya: "Keparat!" - Tangan terayun,
dilontarkan pukulan jarak jauh. Tapi pintu di sini mirip pintu
jeblakan yang dapat memantul balik dengan cepat, waktu pukulan
Bok-tan tiba se mentara pintu sudah tertutup pula. "Blang",
pukulannya mengena i dinding.
Kata Bok- tan dengan gegetun: "Sudah ku-sangsikan dia pasti
bukan manusia baik2."
"Sudahlah, biar dia me larikan diri," ujar Kun-gi:
"Ling-heng le kas keluarkan peta Hwi-liong-koan, jangan kita
tertipu olehnya".
Kun-gi keluarkan peta kulit ka mbing itu, segera mereka
me meriksa dengan teliti. Apa yang diterangkan Oh Coan-oh ternyata
tidak salah, dia me mang sudah me mbereskan segala peralatan
rahasia dalam Hwi- liong-koan ini. Jadi hanya pintu di sebelah kiri
pada setiap kamar batu saja yang terbuka, tiga pintu lain sudah
buntu. Asal keluar atau masuk mengikuti pintu2 yang terbuka itu,
dengan sendirinya akan mudah mene mukan orang dan ke luar lagi
dengan leluasa.
Setelah me meriksa sekian la manya, Bok-tan berkata heran:
"Ling-heng, peta ini merupakan keterangan seluruh peralatan dalam
Hwi-liong-koan, kenapa pintu dari Oh Coan-oh lari tadi tidak ada
keterangannya di sini?"
Kun-gi berpikir sejenak, katanya: "Mungkin ja lan ini merupakan
sebuah lorong rahasia tersendiri yang tidak termasuk dala m
lingkungan Hwi-liong-koan, maka di sini tida k diberi keterangan,"
Berkedip mata Bok-tan, tanyanya tidak paham: "Penjelasanmu
belum kumengerti."
"Hwi-liong-koan merupa kan salah satu seksi berkuasa dari
Hwi- liong-tong, lorong rahasia ini mungkin mene mbus langsung ke
Hwi- liong-tong, maka tidak termasuk dala m lingkungan rahasia di
Hwi- liong-koan ini, tadi waktu kita tiba di luar benteng, tahu2 Nao
Sa m jun dan Ci Hwi-bing menyusul datang, tapi mereka keluar dari
Hwi- liong-koan, ini dapat dijadikan bukt i."
"Ling-heng me mang cerdik," puji Bok-tan tertawa, "Siau-moay
selamanya tak mau kalah dari orang lain, tapi terhadang Ling-heng,
sungguh tunduk lahir hatin."
Panas muka Kun-gi, katanya tertawa: "Pangcu terlalu me muji."
Bola mata Bok-tan yang jernih menatap Kun-gi lekat penuh kasih
mesra, katanya lirih: "Ling-heng, jangan panggil aku pangcu, ka lau
dalam hatimu ada te mpat untuk diriku, lebih baik kalau kau panggil
aku Bok-tan saja," agaknya dia me mberanikan diri me limpahkan isi
hatinya, tak urung wajahnya merah jengah, tapi dengan berani dia
tetap me mandang dengan malu2 harap.
"Kebaikan Pangcu sungguh me mbuat Cayhe amat terharu . . . . .
.." Bok-tan tertunduk lalu angkat kepala pula, katanya cemas: "Lingheng, kau tahu aku tidak menginginkan rasa harumu saja."
Wajah Kun-gi menunjukan perasaan kurang tenteram, seperti
mau bicara tapi urung,
Tiba2 sorot mata Bok-tan menjadi rawan, katanya lembut: "Lingheng tidak menjelaskan juga aku sudah tahu, apakah kau sudah
punya kekasih?" tanpa me mberi kesempatan Ling Kun-gi bersuara
dengan tertawa dia menambahkan: "Dengan karakter dan
kepandaian silat Ling-heng, adalah jamak kalau banyak gadis yang
kasmaran kepada mu, hal ini tidak menjadi soal bagiku, karena kita
berkenalan agak la mbat, asal kau sudi menerima ku, aku sudah a mat
puas." Tidak kepalang haru Kun-gi, dengan kencang dia gengga m
pundak Bok-tan, katanya dengan suara tersendat: "Pangcu . . . . ."
Semakin jengah muka Bok-tan, dia balas genggam lengan Kungi, sambil bersuara aleman, katanya: "Nah, lagi2 kau panggil
Pangcu." lalu dia angkat kepala dan bertanya: "Siapakah kekasih
Ling-heng" Apakah yang menya mar Kiu-moay . . . .. ."
"Blang", tiba2 suara gedebrukan berkumandang dari ka mar
sebelah kanan. Dua orang sama tersentak kaget, lekas mereka
berpaling ke sana, tampak pintu jeplakan di sebelah kanan itu
ke mbali terbalik, dari luar menerjang tiba seorang dengan langkah
sempoyongan, sekujur badannya berlepotan darah, tiga empat
langkah saja dia gentayangan lalu jatuh tersungkur. Karena orang
gentayangan sambil menopang badan dengan pedang, terang orang
ini terluka a mat parah.
Mata Kun-gi a mat tajam, sekilas pandang dia sudah jelas muka
orang ini, ia berteriak: "Kong-sun-heng!" - Sebat sekali dia me mburu maju.
Lekas Bok tan ikut me mburu maju, katanya: "Bagaimana
mungkin Kongsun houhoat keluar dari lorong rahasia ini?"
"Betul, dia terpencar denganku waktu masih berada di Hwi-liong
tong, tadi Oh Coan-oh keluar dari sini, mungkin karena terburu2
sehingga lupa menutup pula pintunya, maka dengan leluasa
Kongsun-heng bisa keluar ke mari," sembari bicara Kun-gi periksa
keadaan Kongsun Siang.
Bok-tan berdiri di sa mpingnya, tanyanya: "Apa-kah lukanya
berat?" Bertaut alis Kun-gi. katanya: "Ada tiga luka bekas tabasan
pedang dan satu luka kena piau, mungkin juga terluka dala m,
umpa ma tidak terluka, dalam sehari semala m tanpa ma kan minum
dan tidak tidur lagi, pula harus mengala mi pertempuran sengit,
badannya juga pasti loyo." - Sembari bicara dia keluarkan obat luka
dan dijejalkan ke mulut Kongsun Siang, lalu sebelah tangan
menekan Ling-tai hiat dari pelan2 sa lurkan hawa murninya.
Keadaan Kongsun Siang betul2 a mat gawat, untung Kun-gi
segera me mberi sa luran hawa murni sehingga jiwanya direnggut
balik dari perjalanan ke akhirat, sesaat kemudian matanya mula i
me lek, la ma dia pandang muka Kun-gi, mendada k dua titik air mata
menetes dari kelopak matanya, katanya dengan lemah: "Congcoh . .
. . aku . . . . aku . . . . mungkin . . . . tak kuat . . . "
"Kongsun-heng jangan bicara," bujuk Kun-gi.
"Sehari se mala m ini . . . . .aku bertemu . . . . . delapan belas jago
. . . . Hek-liong hwe . . . . badanku terluka pedang beberapa tempat
. . . . tapi mereka berhasil kubunuh . . . . seluruhnya . . . . Barusan
ada seorang lagi . . . . lari dari sini, aku mene mpurnya pula . . . .
sampai la ma, aku kena dipukulnya sekali di Bong-hwe-hiat di
belakang punda k . . . . tapi diapun . . . . kutusuk luka . . . ."
"Kau terlalu letih, terluka luar dan dalam lagi, darah keluar terlalu
banyak, beruntung dasar Lwekangmu a mat kuat sehingga dapat
bertahan sekian la ma, barusan kau sudah kuberi minum Po binghing-kang-san buatan guruku, sekarang jangan banyak bicara, biar
obat bekerja, tanggung kau takkan apa2."
Kongsun Siang batuk2, katanya dengan tertawa muram:
"Congcoh berulang kali menolong jiwa ku, sungguh tak terperikan
rasa terima kasihku, cuma . . . . aku sendiri tahu, kali ini mungkin
aku tidak tertolong lagi, ada suatu hal . . . . sudah lama terpenda m
Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam sanubariku, sudah la ma, cuma . . . . tak berani kuke mukakan,
tapi sebelum aja l harus . . . . harus kukatakan pada mu . . .. "
"Nanti saja Kongsun-heng jelaskan, sekarang istirahat saja."
Kongsun Siang me nggeleng, katanya: "Tidak, ka lau tida k segera
kututurkan, sekali aku tarik napas, selamanya takkan ada orang
tahu akan kejadian itu."
"Ling-heng," sela Bok-tan dari sa mping, "biarlah dia bicara."
Dua butir air mata menetes pula me mbasahi pipi Kongsun Siang,
jari2 kedua tangannya dengan kencang mere mas baju dada sendiri,
dengan keras tiba2 ia berteriak: "Berulang kali Congcoh
menyela matkan jiwaku, aku . . . . aku bukan manusia, aku binatang,
aku pantas ma mpus, aku bersalah pada mu .... "
Mendadak tergerak hati Kun-gi, katanya: "Kongsun-heng, jangan
terlalu emosi, ada omongan apapun boleh kau bicarakan setelah
luka mu se mbuh."
Gemeretak gigi Kongsun Siang, katanya tegas: "Tidak, kalau
tidak kukatakan sekarang matipun aku tidak tenteram. Congcoh . . .
. kejadian ini, jelas aku berdosa padamu, beberapa kali ingin aku
berterus terang padamu, tapi kata2 yang sudah di mulut selalu
urung kuucapkan, aku tidak berani berterus terang, kini aku sudah
akan mangkat, tiada yang perlu kukuatirkan lagi . . . . " se kuatnya
dia menarik napas lalu meneruskan: "Mala m itu, waktu Congcoh
pertama kali menduduki jabatan Cong-hou-hoat-su-cia, karena
congcoh terlalu banyak menengga k arak, aku ingin menengokmu . .
.." "Tak usah kau jelaskan lagi," lekas Kun-gi me ncegah.
"Aku harus berterus terang, hanya setelah melimpahkan ganjalan
hatiku, aku a kan mati dengan tenteram," dia tidak berani
me mandang ke arah Bok-tan, katanya dengan pedih: "Waktu itu
sudah mendekati kentongan kedua, tiada penerangan dala m ka mar
Congcoh, hanya jendela di sebelah selatan yang masih terbuka, aku
masuk lewat jendela, kudapati Congcoh sudah tiada di kamar, tapi
kudengar derap langkah Hupangcu di sera mbi muka, agaknya
karena Congcoh mabuk iapun hendak menengokmu . . . . diwaktu
itu aku terlalu sembrono dan diburu nafsu setan, aku me malsukan
Congcoh melakukan perbuatan terkutuk . . . . "
Bok tan pernah mendapat laporan kejadian ini dari Giok-lan cuma
sejauh ini dia belum tahu siapa gerangan pemalsu Ling Kun-gi itu,
tapi karena soal ini menyangkut kesucian dan na ma baik So-yok
maka sejak dulu ha l ini tak pernah dia laporkan kepada Thay-siang.
Kini setelah mendengar pengakuan Kongsun Siang, dia m2 dia
me mbatin: "Karakter dan jiwa Kongsun Siang yang jujur kiranya
setimpal juga berjodohkan Jimoay, cuma sekarang lukanya begini
berat, entah dapat tertolong tidak?"
Dika la dia termangu itulah, mendadak sesosok bayangan orang
menerjang t iba dari pintu sebelah kiri, gerakannya sebat dan aneh,
langsung dia menubruk kearah Kongsun Siang seraya berteriak
beringas: "Kau bangsat keparat ini, kau bikin aku merana sela ma
hidup?" - Mendadak pedang berkilau menyamber menabas Kongsun
Siang. Orang yang muncul mendadak ini adalah Hu-pangcu So-yok yang
terkenal keras kepa la, suka menang dan berwajah cantik.
Bok-tan terperanjat, teriaknya: "Jimoay, jangan!"
Kun-gi juga tidak menduga urusan bisa terjadi secara begini
kebetulan, So-yok mendengar sendiri pengakuan Kongsun Siang.
Bahwa orang muncul secara tiba2 sudah me mbuatnya kaget, tak
pernah terpikir pula olehnya bahwa orang muncul sambil
menyerang, apalagi telapak tangan kanannya masih menekan Lingtai-hiat Kongsun Siang. . me lihat sinar pedang menya mber tiba,
dalam seribu kerepotannya tangan kirinya lantas menjentik pedang.
Sayang usahanya terlambat. "Tring", batang pedang memang
terjentik, tapi jentikannya hanya sedikit menyerempet dan bikin
pedang menceng sedikit pula, di mana sinar pedang menabas turun,
darah kontan muncrat, lengan kiri Kongsun Siang tertabas kutung.
Muka So-yok tampak me mbesi hijau, matanya mendelik, tanpa
bicara setelah membanting ka ki dia terus putar tubuh dan berlari
keluar. Setelah minum Po bing-hing-kang-san buatan Hoan-jiu ji lay,
dibantu saluran hawa murni Ling Kun-gi lagi, luka Kongsun Siang
boleh dikatakan sudah makin me mbaik. Mendadak dilihatnya So-yok
muncul tiba2 sa mbil mengayun pedang, maka dia peja mkan mata,
dia rela menerima ke matian, bahwa hanya lengan kirinya yang
tertabas kutung, sedikitpun dia tidak menge luh kesakitan. Kini
me lihat So-yok berlari pergi malah, ma ka tanpa perdulikan
lengannya yang kutung dan keluar darah serta sakit luar biasa,
mendadak dia melompat bangun seraya berteriak: "Hupangcu . . . .
. " dengan sebelah tangan mendekap lukanya, dengan kencang dia
menguda k keluar.
"Kongsun-houhoat . . . . . " tanpa sadar Bok-tan berteriak
mencegah. Kun-gi menghela napas, katanya: "Biarlah dia pergi, Pangcu."
"Tapi lukanya belum sembuh, tangannya buntung lagi."
"Kongsun-houhoat sudah minum Po bing-hing-kang-san buatan
guruku, luka2nya sudah tidak jadi soal lagi, ka lau dia berhasil
mengejar Hupangcu, setelah a marahnya reda, Kongsun-heng mau
berlutut dan minta maaf, mungkin Hupangcu mau menga mpuni dan
me maafkan kesalahannya."
Mengawasi kutungan lengan di lantai, Bok-tan berkata: "Jimoay
suka menang dan kepala batu, biasanya suka mengumbar adat,
kalau Kongsun-houhoat berhasil mengejar dia, mungkin bisa ditabas
mati malah."
"Alasan Pangcu me mang benar, kalau tidak mati, mungkin juga
Kongsun-houhoat akan berhasil me mbujuknya, terserah kepada
takdir. tapi soal ini menyangkut masa depan dan kebahagian hidup
mereka berdua, orang lain tak mungkin menca mpurinya, dan lagi
bila kita mencegah Kongsun-houhoat mengejarnya, mungkin
selamanya dia takkan me ne mukan Hupangcu."
Bok-tan manggut2, katanya menghela napas: "Ai, asmara
me mang suka me mpermainkan orang." - Sambil mengusap ra mbut
yang terurai, mendadak dia berpaling, katanya: "Ling heng, Jimoay
sudah bisa keluar, orang lain yang terperangkap di dalam mungkin
juga akan selekasnya keluar, marilah kita masuk menje mput
mereka." Kun-gi, agak bimbang, sebentar dia pikir lalu sodorkan ga mbar
peta itu kepada Bok-tan, katanya:
"Te mpat ini adalah pusat dari Hwi-liong-koan, ada lorong rahasia
pula di balik dinding kanan yang mene mbus ke Hwi-liong-tong, bila
ada orang masuk ke mari, asal dia menutup seluruh inti pesawat
rahasia di sini, selamanya kita takkan bisa keluar, maka menurut
hemat Cayhe, Pangcu boleh bawa peta ini dan tunggu di sini, biar
Cayhe sendiri masuk mencari mere ka."
Bok- tan dapat menerima alasan yang masuk akal ini tapi dia
menolak peta itu, katanya: "Kau yang akan masuk ke sana, lebih
baik kau yang bawa ga mbar ini, kalau tersesat, kau bisa
mencocokkan peta ini supaya tidak me ngala mi kesulitan."
Kun-gi simpan peta itu, katanya:, "Baiklah, harap Pangcu tunggu
di sini saja, Cayhe akan segera masuk." - La lu dia beranjak lewat
pintu kiri. Lekas Bok-tan me mburu maju, teriaknya nyaring: "Ling-heng!"
Ling Kun-gi sudah tiba di ambang pintu, segera dia berhenti
sambil me noleh: "Ada apa Pangcu?"
Jengah muka Bok-tan, katanya lirih: "Kau harus hati2."
Melihat sikap orang yang malu2 kucing dan mimiknya yang kasih
mesra dan betapa besar perhatian terhadapnya, hati Kun-gi terasa
manis dan berdenyut kencang jantungnya, lekas dia alihkan
tatapannya serta mengangguk, sahutnya: "Cayhe tahu!" - Dengan
mengacungkan Le-liong-cu, dia lantas masuk kedala m.
-oooo-" 0 <<-oooaOh Coan-oh ternyata tidak menipu mereka. Tujuh puluh dua
kamar batu dala m Hwi-liong-koan ini ternyata tidak kalah rumit dan
me musingkan seperti lorong sesat di Ceng-liong-tong. Walau tiga
pintu telah dia tutup, kini pada setiap ka mar segi e mpat itu tingga l
satu pintu saja yang terbuka, tapi bentuk kamar batu itu mirip satu
dengan yang lain, seperti sebuah kotak belaka, yang terbuka juga
hanya pintu kiri, bila masuk terus satu ka mar de mi satu ka mar
akhirnya pasti akan mene mukan jalan ke luarnya, Tapi bila sudah
me lewati dua puluh kotak ka mar yang serupa itu, mau tidak ma u
setiap orang akan pusing juga.
Kun-gi sangat sabar, dia maju terus dengan mudah dia
mene mukan Hu-yong, Hong-sian dan Giok-je, demikian pula dua
pelayan pribadi So-yok yang bernama Bok-hung dan Bok-bin.
Pelopor jalan Go-bo, Houhoat Toh Kian-ling dan Lo Kun-hun. Hanya
Yu-houhoat Coa-liang ketika me masuki Hwi-liong-tong telah
menghilang, (nasibnya sudah dituturkan dibagian depan), anggota
rombongan boleh dikatakan sudah diketemukan seluruhnya. Kecuali
Go-bo, Toh Kian-ling yang mengala mi sedikit luka, yang lain tiada
kurang suatu apapun.
Sejak mereka me masuki Hwi-liong-tong be lum pernah bentrok
langsung dengan musuh, tapi setelah mereka dipancing masuk ke
Hwi-liong-koan, musuh pernah mengutus delapan belas jagonya
untuk menyergap mereka sehingga terjadi perte mpuran sengit, tapi
dengan kerja sama mereka, akhirnya musuh dapat ditumpas
seluruhnya, dan karena orang banyak tidak terpencar lagi, maka
rangsum yang mere ka bawa masih tersedia lengkap, jadi tiada yang
kelaparan, cuma air minum saja yang kehabisan.
Dika la mereka terkurung dala m ka mar kotak2 ini. tengah
ubek2an kian ke mari tanpa mene mukan ja lan keluarnya, mendadak
ketemu Ling Kun-gi, sudah tentu tidak kepalang kejut dan senang
mereka, seperti ketiban rejeki dari langit rasanya.
Di antara dua belas pelayan hanya Giok-je yang paling dulu
berkenalan dengan Ling Kun-gi, malah dia pula yang
menyelundupkan Kun-gi ke-luar dari Coat-ceng-san-ceng dan
dibawa ke Pek-hoa pang, maka dia pula yang berjingkra k
kegirangan dan me mburu maju lebih dulu, teriaknya girang:
"Cong-su-cia, bagaimana kau bisa masuk ke mari?" Mata Kun-gi
mengerling, katanya dengan tertawa: "Syukurlah kalian berada di
sini se mua, Hek-liong-hwe sudah hancur lebur, Cayhe sengaja
mencari ka lian."
Hong-sian bertanya: "Apakah Cong su-cia pernah bertemu
dengan Hupangcu?"
Sudah tentu tak enak Kun gi menje laskan, dia mengangguk,
katanya: "Waktu pintu batu terbuka Hupangcu sudah mendahului
keluar." Lo Kun hun ikut bicara: "Waktu pertama ka li ka mi masuk ke mari,
mendadak Coa heng menghilang, apakah Cong-su-cia tahu
jejaknya?"
Guram wajah Kun-gi, katanya rawan: "Coa-heng terluka parah,
sekarang sudah meningga l." Mendengar Coa Liang sudah
meninggal, seketika tertekan perasaan semua orang.
Kata Kun-gi: "Ka lian se mua ada di sini, tak perlu kita masuk lebih
jauh lagi, biar Cayhe tunjuk jalannya, Pangcu sedang menunggu
kalian di luar." - Lalu dia pimpin orang banyak keluar. .
Bahwa sebentar lagi baka l keluar dari te mpat yang menyesatkan
ini, sudah tentu langkah se mua orang bertambah cepat, hanya
sebentar mereka sudah ke luar dari ka mar kotak yang
me mbingungkan itu.
Bok-tan sambut ke luarnya orang banyak dengan berjingkrak
girang, sudah tentu banyak adegan lucu yang terjadi dala m
pertemuan ini. Begitulah di bawah pimpinan Ling Kun-gi, ke mudian mere ka
mengundurkan diri dari Hwi-liong-koan dan bergabung dengan
rombongan Yong King-tiong, selanjutnya beramai2 mereka ke luar
dari lorong serta berkumpul pula dengan rombongan besar. di mana
Giok-lan dan lain2 sedang menunggu dengan gelisah.
Kini tugas Tu Hong-sing yang pimpin rombongan besar ini keluar
dari lorong panjang yang menembus ke Hwi-liong-tong setelah
terlebih dulu me matikan ja lan yang menuju ke Hwi-liong-koan.
Tengah berjalan, lapat2 terdengar suara benturan senjata keras
di depan, Yong King tiong merandek, katanya:. "Seperti ada orang
bergebrak, mari lekas kita tengok."
Kun -gi ingat So-yok yang lari dikejar Kong-sun Siang,
ke mungkinan mereka kepergok musuh dan kini tengah berhantam.
Apalagi luka Kongsun Siang belum se mbuh, lengan buntung lagi,
maka ia sangat kuatir, ia berkata: "Biar Wanpwe ke sana lebih
dulu." - Sebelum Yong King- trong bersuara, sekali me lejit dia
mendahului lari ke lorong di depan sana.
Di ujung lorong adalah sebuah pintu gerbang yang besar tinggi,
bentuknya bundar, di luar pintu dihadang sebuah pintu angin yang
terbuat dari batu marmer warna hijau setinggi satu tomba k, Kun-gi
belok ke sebelah kiri pintu angin serta mendapatkan sebuah ruang
pendopo yang besar, bagian depan dan belakang sama berunda kan
batu, tepat di tengah adalah sebuah pelataran, sudah tentu letak
pelataran ini masih berada di perut gunung. Tapi keluar dari
pendopo besar itu, melalui lorong yang tidak begitu panjang, bagian
luarnya lagi sudah ke lihatan sinar matahari dan pe mandangan ala m
pegunungan yang menghijau perma i.
Di pelataran itulah tengah terjadi baku hantam sengit antara
lima. laki2 baju hita m yang tengah mengeroyok seorang laki2 baju
hijau. Sekali pandang Kun-gi lantas kenal laki2 baju hijau yang
dikeroyok itu adalah Ting Kiau yang terpencar di dala m lorong.
Meski dikeroyok lima musuh, tapi kipas besinya itu ternyata dapat
ma in dengan gencar dan hebat, begitu keji cara permainannya
sehingga kelima musuh yang bersenjata lebih panjang tidak berani
mende kat, namun mereka maju mundur kerja sama dengan rapi,
sedikitpun Ting Kiau tidak diberi peluang, seakan2 sengaja hendak
menguras tenaganya.
Girang hati Kun-gi, cepat ia me lejit ke tengah pendopo serta
me mbentak: "Berhenti!"
Bentakan keras ini laksana guntur menggelegar di siang bolong
sehingga orang2 yang lagi berhantam merasa kaget, lekas mereka
tarik pedang dan melompat mundur seraya menoleh.
Melihat yang datang adalah Ling Kun gi, sudah tentu bukan main
girang Ting Kau, teriak-nya: "Cong-coh!"
Nyata kelima orang baju hitam itu juga me-lengak heran karena
me lihat Lang Kun-gi mendadak menerobos keluar dari dala m Hwi
liong-tong. Seorang di antaranya angkat pedang seraya
me mbentak: "Lekas cegat dia, jangan biarkan dia lari." - Dua orang kawannya segera menubruk ke arah Ling Kun- gi.
Kun-gi berdiri tegak, ia tertawa, katanya lantang: "Kalian berdiri
di te mpat masing2, ketahuilah bahwa Hek liong hwe sudah lebur,
Han Jan-to sudah ma mpus, Hwi-liong-tongcu Nao Sa m jun dan Uiliong-tongcu Ci Hwi-bing sudah mati, kalian kaum keroco ini masih
berani bertingkah. Hayo letakkan senjata dan menyerah, nanti
kua mpuni jiwa ka lian?"
Laki2 baju hijau yang jadi me mimpin kelima orang itu tambah
beringas, serunya: "Jangan kalian percaya ocehannya, hayo bekuk
dia," Pada saat itulah Tu Hong-sing, Yong King-tiong dan la in2 juga
telah keluar. Yong King-tiong segera bersuara: "Apa yang diucapkan
Ling-kongcu me mang betul, asal kalian mau letakkan senjata, ku
tanggung jiwa kalian tida k akan diusik."
Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat gelagat jelek, orang itu segera menyurut mundur, tiba2
dia berteriak: "Angin kencang, mundur! " - Gerak tubuhnya ternyata sebat sekali, begitu putar tubuh terus lari, keluar pintu.
Tak terduga baru beberapa langkah dia lari, waktu dia angkat
kepala, entah cara bagaimana pemuda jubah hijau yang tadi berdiri
di tengah pendopo tahu2 sudah mengadang di depan pintu dan
berkata dengan tertawa: "Kalian ingin lari, kukira tidak segampang
itu." Melihat pe muda ini bertangan kosong, laki2 baju hita m ini
menjadi berani, dia menjengek: "Cari ma mpus kau anak muda!" Sebat sekali dia menyelinap maju, pedang hita m di tangannya
langsung menusuk dada.
Hanya sedikit miringkan tubuh, dengan mudah Kun-gi hindarkan
tusukan orang, berbareng tangan kiri bekerja, dia pencet
pergelangan tangan lawan, dua jari tangan kiri langsung menutuk
Ling-tai-hiat pula. Kontan la ki2 itu ge metar, mulut mengerang
tertahan, selebar mukanya kontan pucat pias seperti balon yang
ke mpes, badannya lunglai ha mpir tak kuat berdiri. Jelas laki2 ini
telah dipunahkan ilmu silatnya oleh Ling Kun-gi.
Tiba2 Kun-gi me mba lik badan, matanya menyapu pandang
empat orang yang lain, katanya ke-reng: "Ka lian ke mari, Hek-lionghwe menjadi cakar alap2 kerajaan dan kalian adalah anteknya cakar
alap2, kalau cakar alap2 harus diberantas, kalian para anteknya juga
harus dihukum, tapi cukup dipunahkan saja ilmu silatnya."
Keempat orang saling pandang, lalu seorang bersuara: "Kami
adalah kaum persilatan, dari pada kehilangan ilmu silat lebih baik
kami mat i."
"Ya, dengan bekal sedikit kepandaian silat itulah kalian telah
berbuat kejahatan di Kangouw, kalau ilmu silat dipunahkan, kalian
diberi kese mpatan untuk menebus dosa dan kemba li menjadi
manusia baik2."
Keempat orang saling pandang pula, mendada k serempak
berteriak, empat pedang hitam sekaligus menubruk maju dengan
tusukan dan tabasan dari berbagai jurusan.
Ting Kiau berjingkra k gusar: "Anak anjing, masih berani kalian
ma in gila!"
Kipas le mpitnya tiba2 terbentang, baru saja dia hendak turun
tangan, didengarnya Ling Kun-gi tertawa panjang, katanya: "Tadi
Cayhe sudah bilang, kalian harus dipunahkan ilmu silatnya, siapapun
tak luput dari hukuman setimpal ini."
Belum habis bicara, keempat laki2 itu sudah sama mengerang
dan menungging. Tiada hadirin yang melihat jelas cara bagaimana
Ling Kun-gi kerja kee mpat lawannya ini, tapi pedang sudah
terpental jatuh, keempat orang itupun sudah duduk le mas di lantai.
Kiranya dala m segebrak saja mereka telah sa ma dipunahkan ilmu
silatnya oleh Ling Kun-gi.
Seperti tidak terjadi sesuatu apa Kun-gi me ma ndang Yong Kingtiong serta bertanya: "Paman Yong, keluar dari sini, apakah sudah
berada didunia luar?"
"Betul," ujar Yong King-tiong tertawa, "Inilah Hwi-liong-tong, di luar adalah Hian-koan-gia m, terpaut satu puncak gunung dengan
Ui-liong-tong, sekarang kita boleh ke luar dari sini."
Sorot mata Kun gi menyapu kelima jago pedang yang menyerah
di He k-liong ta m, katanya:
"Kalian ke mari."
Kaget dan pucat muka kelima orang, katanya: "Ling-kongcu,
kami berlima sudah menyerah, malah me mbawa Kongcu menolong
orang dalam lorong2 sesat, kami tidak berani bilang ada pahala,
paling tida k itu sudah menebus dosa ka mi, harap Kongcu bermurah
hati, ampunilah dosa ka mi yang dahulu."
Kun-gi tertawa tawar, katanya: Kalian bantu aku me nolong
orang, untuk ini aku pribadi bersyukur dan terima kasih, tapi kalian
baru menanjak setengah umur, setelah meninggalkan Hwi-lionghwe, tetap akan berkecimpung di Kangouw ka lian masih bisa hidup
dua puluh atau tiga puluh tahun lagi, memangnya siapa berani
menja min kalian tida k akan melakukan kejahatan pula di luar?"
Kelima orang serempa k bersumpah: "Ka mi bersumpah akan
menjadi manusia baik2, pasti takkan berkecimpung di Kangouw"
"Kalau kalian tidak akan berkecimpung lagi di Kangouw lalu buat
apa kalian me miliki kepanda ian?"
Kelima orang segera berlutut, katanya: "Mohon Kongcu suka
murah hati, jika ka mi betul2 menggunakan ilmu silat untuk berbuat
jahat, biarlah ka mi mati tercacah golok dan pedang."
"Kalian berdiri, mengingat kalian telah bantu mencari orang, akan
kututuk satu jalur Hiat-tomu, kalian tetap mempertahankan lima
bagian kepandaian ini cukup untuk melindungi badan dan me mbe la
keluarga, cuma selanjutnya takkan bisa berlatih lebih tinggi lagi,
asalkan tidak menggunakan tenaga sepenuhnya kalian tidak akan
menga la mi apa2, dengan adanya pe mbatasan ini, pasti kalian tida k
akan melakukan kejahatan."
Kelima orang masih ngotot hendak minta keringanan. Yong Kingtiong tiba2 me mbentak: "Keputusan Ling-kongcu cukup adil, kalian
masih belum puas" Sela ma dua puluh tahun ini betapa banyak insan
persilatan yang terbunuh oleh orang2 Hek-liong-hwe seperti kalian
ini, ka lian pantas dibunuh untuk menebus dosa, me mangnya kalian
masih tida k terima?"
Karena ditegur Yong King-t iong, kelima orang tak berani bersuara
lagi, secepat kilat Lin g Kun-gi bekerja, satu persatu dia tutuk
tempat yang sama di tubuh ke lima orang. Ke lima orang sa ma
merinding, hanya itu perasaan mereka, la lu bera mai mere ka
menjura pada Un Hoan-kun, katanya: "Berkat ke murahan hati Lingkongcu ka mi telah me mperoleh penga mpunan, sejak kini ka mi a kan
meninggalkan Hek-liong-hwe, nona sudah berjanji akan
me mberi obat penawar, harap nona bermurah hati pula."
"Me mangnya kalian terkena racun apa?" tanya Un Hoan-kun
menggoda. "Ka mi mene lan Sip-hun-wan, dalam dua belas ja m kalau tidak
ditawarkan akan menjadi pikun, sukalah nona tidak menyiksa ka mi
lagi." "O." Un Hoan-kun bersuara dala m mulut, tanyanya berpaling
kepada Tu Hong-sing: "Saudara Tu bagaimana" Kaupun ingin obat
penawar?" Tu Hong-sing menyengir, katanya: "Nona sendiri telah berjanji,
tentunya takkan mempermainkan ka mi." - Meski dala m hati amat
dongkol tapi lahirnya dia tetap tersenyum. "Sip-hun-wan buatan
khusus ke luarga Un dari Ling-la m, sudah tentu hanya nona saja
yang punya obat penawarnya, bukankah nona sudah janji akan
me mberi obat penawarnya sebelum me ningga lkan te mpat ini?"
"Un Hoan-kun menggigit bibir, katanya dengan tertawa:
"Bahwasanya keluarga Un dari Ling-la m tidak pernah me mbuat atau
me miliki Sip hun-wan,
darimana pula aku me miliki obat penawarnya?"
Gemerobyos keringat To Hong sing karena ce mas, katanya:
"Agaknya nona sengaja mau merenggut jiwa ku ini."
"Aku tidak menipumu," ucap Un Hoan-kun tertawa, "aku betul2
tidak punya obat penawar."
Tu Hong-sing menyeka keringat yang me mbasahi jidatnya,
katanya gugup: "Tapi a ku jelas sudah menelan Sip-hun-wan. Yongcongkoan, kau sendiri menyaksikan, kita terhitung te man la ma,
me mangnya kau tega melihat aku tersiksa pada hari tuaku ini?"
Un Hoan-kun morogoh keluar sebuah cupu2 kecil serta menuang
keluar sebutir pil dan ditaruh di telapak tangan, katanya: "Bukankah
yang kau telan pil ini?"
Dengan cermat Tu Hong-sing menga mati pil itu, katanya
mengangguk: "Ya, me mang pil ini, nona bilang pil ini na manya Sip
hun-wan" Un Hoan-kun angsurkan cupu2 kecil itu, katanya. "Kalau saudara
Tu bisa me mbaca, sila kan lihat sendiri apa, yang tertulis di sini?"
Tu Hong-sing terima Cupu2 kecil itu serta me mbaca tulisan di
secarik kertas yang tertempel di cupu2 itu, katanya: "Ciap bi-tan
khusus buatan keluarga Un. Jadi nona me mberi aku menelan Ciapbi-tan. Kau tidak menipuku?"
Un Hoan-kun terima ke mba li cupu2 itu, katanya sambil cekikik:
"Buat apa aku menipumu", soalnya paman Yong bilang kau gila
pangkat dan tamak harta, belum bisa dipercaya, maka sengaja
kucekok kau dengan sebutir pil yang kukatakan Sip-hun-wan,
dengan cara ini baru akan me maksa kau be kerja sekuat tenaga,
yang benar Ciap-bi-tan ini khusus untuk me munahkan segala
maca m obat bius, bila kau mene lannya sebutir, dalam jangka dua
belas jam, kau tak perlu takut terhadap segala maca m bebauan
yang me mabukkan, sudah tentu tidak akan me mbawa akibat
sampingan untuk kesehatan orang, lalu obat penawar apapula yang
akan kau minta lagi?"
Yong King t iong tergelak2, katanya: "Tu-heng sekarang boleh
legakan hatimu?"
Merah muka Tu Hong-sing, katanya kikuk: "Nona Un me mang
pandai me mpermainkan orang."
Tiba2 tampa k serius sikap Yong King tiong, katanya: "Apa yang
Tu-heng katakan tadi me mang t idak salah, dulu kita sa ma2 sebagai
salah satu dari pada tiga puluh ena m panglima Hek-liong-hwe,
setelah meningga lkan Kun-lun san kitapun akan berpisah, tiga puluh
enam panglima kini tinggal kau dan aku berdua, mengenang masa
lalu sungguh bagai mimpi, apakah rencana hidup Tu heng
selanjutnya takkan kucampur tangan, tapi perlu kuberi pesan
sepatah kata padamu, yaitu kita adalah keturunan bangsa Han,
menjadilah manusia yang tahu harga diri, kuharap Tu-heng jangan
lupa me mbina diri."
Tu Hong-sing merangkap tangan me njura, katanya: "Nasihat
Yong-heng se murni e mas, aku terima nasihat mu, semoga kita kela k
masih ada kesempatan bertemu. sekarang aku mohon diri." -Setelah
menjura dan mohon diri pada seluruh hadirin, cepat2 dia melangkah
pergi. "Sekarang ka lianpun boleh pergi," kata Yong King- t iong kepada
kelima jago pedangnya.
Serentak mereka menjura lalu beriring keluar langsung turun
gunung. Yong King tiong menghe la napas, katanya menengadah:
"Dengan kedua tangannya Lohwecu mendirikan Hek liong-hwe tiga
puluh tahun yang lalu dengan mengerek panji kebesaran
menentang kerajaan Ceng me mbe la dinasti Bing, dua puluh tahun
terakhir ini He k liong-hwe justeru dikangkangi cakar a lap2 kerajaan
dan diperalat untuk menumpas patriot bangsa sendiri, selama lima
puluh tahun ini, Losiu hidup terkurung di sini e mpat puluh tahun,
dulu waktu datang adalah pemuda yang gagah dan kekar, kini
keluarnya telah berubah seorang ka kek yang sudah uban dan loyo,
proyek besar di dalam -perut gunung hasil jerih payah banyak orang
di sini se lanjutnya akan terpendam untuk selama2nya." - Sampa i
akhir katanya, saking sedih a ir matanya lantas bercucuran.
"Yong-lopek," kata Kun-gi, lorong di perut gunung ini simpang
siur dan menyesatkan, jika dibiarkan dala m keadaan utuh seperti
ini, sekali te mpo mungkin akan diguna kan orang2 Kangouw dari
golongan hita m sebagai sarang kejahatan, apakah tidak lebih baik
disumbat saja?"
Yong King-tiong tersenyum, katanya: "Ling-kongcu tak usah
kuatir, bahwa Losiu me milih jalan keluar dari sini, sebetulnya
me mang sudah kurencanakan untuk menutup mati te mpat ini,
karena pintu rahasia dari berbagai tempat harus dibuka dari dala m,
hanya kunci pintu besar Hwi liong- tong ini yang harus dibuka dari
luar, setelah kita keluar semua baru ditutup dan kuncinya dirusak,
orang luarpun takkan bisa masuk pula."
"Kalau te mpat ini hanya bisa dibuka dari luar, kecuali pa man
Yong, tentunya masih ada orang la in pula yang tahu."
"Soal ini merupakan salah satu rahasia penting dala m Hek-lionghwe, hanya para Tongcu saja yang tahu, kini yang mati sudah pergi,
yang masih hidup termasuk Losiu sendiri hanya tinggal t iga orang
lagi." "Entah siapa dua orang yang la in?" tanya Kun-gi.
"Seorang adalah ibumu," ujar Yong King-t iong, "seorang lagi
adalah Cui Kin-in. Ai, seharusnya tadi kita me nawannya."
Mengingat dua kali gurunya bersuara mencegah Kun-gi melukai
dan menahan Cui Kin-in, dia m2 da la m hati dia menggerutu: "Entah
bagaimana asal usul pere mpuan ini" Ilmu pedang dan kepanda ian
silatnya ternyata tidak lebih rendah dari padaku."
Sementara mereka berbincang2, rombongan besar itupun telah
keluar dari pintu gerbang Hwi-liong-tong, di bagian luar ternyata
adalah sebuah gua raksasa yang tingginya ada beberapa tombak
dan luasnya ada ena m tombak.
Setelah orang banyak sama keluar, Yong King-tiong mengha mpiri
dinding sebelah kanan, sebuah batu besar digesernya, lalu
tangannya menggagap sekian la manya, maka terdengarlah suara
gemuruh, pelan2 sebuah batu raksasa melorot turun dari atas. Pintu
gerbang Hwi-liong-tong seketika tersumbat menjadi sebuah dinding
batu yang berlumut.
Sambil berjongkok Yong King-tiong menoleh, katanya: "Lingkongcu, Losiu pinja m Seng-ka-kia mmu sebentar."
Kun-gi mengiakan, ia keluarkan Seng-ka-kia m dan diangsurkan.
Yong King-t iong terima pedang pendek itu lalu menabas,
menusuk dan me mbacok serabutan ke dala m lubang, beruntun
terdengar suara besi patah dan berjatuhan, kiranya alat2 rahasia
yang menjadi kunci pe mbukaan pintu gerbang telah dirusaknya.
Yong King-tiong menggeser balik batu besar itu untuk menutup
lubang, setelah berdiri wajahnya tampa k lesu gura m, mimiknya
sedih dan rawan, se-olah2 dalam sekejap ini usianya bertambah tua
beberapa tahun. Dengan langkah lebar segera dia mendahului
berjalan keluar.
Sang surya me mancarkan cahayanya yang hangat dan
cemerlang, ala m pegunungan menghijau permai, cuaca cerah, hawa
sejuk, cukup la ma mereka berada di perut gunung yang sumpek,
kini dapat menghirup hawa pegunungan yang segar sepuas2nya.
Gua besar ini terletak di sisi kanan Hian-koan-gia m, keadaan
tebing di sini a mat curam dan tingginya ratusan tombak, untuk
turun naik bila tidak me miliki kepandaian silat tinggi orang harus
merangka k berpegang pada celah2 batu karang seperti naik tangga
layaknya, boleh dikatakan seluruh badan terapung di udara, sekali
lena bisa terpeleset dan hancur lebur jatuh ke dala m jurang.
Yong King-tiong bawa orang banyak turun ke dasar jurang
dengan sela mat, me mbelok ke pinggang gunung, meski di sini
masih di te mpat ketinggian, tapi tempat2 yang harus mereka lewati
tidak berbahaya seperti tadi. Rombongan besar ini lebih banyak
perempuan daripada laki2, setelah berhasil menempuh perjalanan
sukar ini, maka legalah perasaan se mua orang.
Yong King-tiong me lihat cuaca, mentari sudah mulai doyong ke
barat, hari menjelang sore, maka dia menoleh dan berkata: "Apakah
kalian ingin istirahat?"
Kun-gi mengajukan pertanyaan:
"Yong-lopek,
berapa jauh
Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perjalanan dari sini ke Gak koh bio?"
"Kalau jalan cepat sebelum magrib mungkin kita bisa sampai
tempat tujuan," sabut Yong King-tiong.
Bahwasanya Bok-tan belum tahu kalau Thay-siang sudah
mangkat, dia kira orang sedang menunggu kedatangannya di Gakkoh-bio, maka sa mbil me mbetulkan letak ra mbutnya dia berkata:
"Ka mi tidak letih, biarlah kita istirahat di Gak-koh-bio saja."
Yong King-tiong mengangguk, katanya: "Begitupun baik, perut
kalian kosong, kalau ja lan cepat2 mungkin kita masih se mpat ma kan
ma la m di Ga k- koh bio."
0000oodwoo0000 Gak-koh-bio terletak di bukit Gak-koh ting, bentuk biara ini cukup
megah dan angker, bau dupa sudah tercium dari beberapa li
jauhnya. Singkatnya Yong King-tiong telah bawa Kun-gi dan la in2 tiba di
bawah Gak koh-ting, dari kejauhan mereka sudah melihat di depan
Gak-koh-bio berdiri seorang la ki2 tinggi besar berjubah biru seperti
sedang me mandang ke tempat jauh menunggu kedatangan
seseorang. Tong Bun-khing bersuara kaget girang, katanya: "He, itukan Pacongkoan" Ling-toako, bagaimana mungkin Pa congkoan juga
berada di sini?"
Sudah tentu Kun-gi tak bisa me njawab, terpaksa dia manggut,
katanya: "Mungkin sedang me ncarimu."
Kalau mereka melihat Pa Thian-gi, sudah tentu Pa Thian gi juga
sudah melihat kedatangan mereka, dengan langkah lebar segera dia
menyongsong dengan tawa lebar: "Ling kongcu, Jikohnio dan Sa mkohnio (Pui Ji-ping) sa ma datang, sejak pagi kutunggu di sini, kaki
sampai terasa pegal."
Belum Kun-gi bersuara, Pui Ji-ping lantas tanya: "Pa congkoan,
apa ibu juga datang?"
"Tida k, yang ke mari adalah Locengcu dan tuan muda," sahut Pa
Thian-gi, "malah pa man Sa m-koh-nio Cu-cengcu juga berada di sini
bersama Un-locengcu dan Un-jicengcu"
Kini giliran Cu Ya-khim berjingkrak girang, serunya: "Hah, ayah
juga datang!"
Sudah tentu Un Hoan-kun kejut2 girang, serunya: "Ayah dan
pamanku juga datang?"
"Beginilah duduk persoalannya, Siau-yan, pelayan keluarga Un
yang ketakutan pulang me mberi laporan pada Un-locengcu bahwa
nona Un menyelundup ke Pek-hoa-pang dan tiada kabar beritanya
lagi. Kebetulan Un locengcu dan Lo cengcu kita sedang bertamu di
Liong bin sin ceng, sementara Cu-cengcu juga kehilangan nona Cu
dan Jikohnio, maka bera mai mere ka lantas menyusul ke Pe k-hoapang ." Bok-tan berteriak kaget, tanyanya: "Jadi kalian sudah me luruk ke
Pek-hoa-ciu?"
Seperti diketahui Hoa-keh-ceng di Pek-hoa-ciu dijaga oleh Bwe
hoa, Lian hoa dan la in2, tapi yang datang kali ini adalah Tongcengcu dari Sujoan yang terkenal ahli racun, bersama Un-locengcu
yang tersohor menggunakan obat bius serta Ciam-liong Cu Bun-hoa,
kalau tiga tokoh silat kelas wahid ini bergabung, umpa ma Thaysiang sendiri belum tentu dapat melawan mereka. Maklum sebagai
Pek hoa-pangcu sudah tentu dia prihatin akan soal ini"
Pa Thian-gi tidak tahu asal usul Bok-tan, tapi karena orang
datang dengan Ling Kun gi berjalan di depan rombongan lagi, ma ka
katanya dengan tertawa: "Tidak, mereka berama i baru sampai di
Ciam-s in, kebetulan bersua dengan guru Ling-kong-cu, ma ka
mereka disuruh langsung datang ke Gak-koh-bio di Kun-lun-san ini."
Bok-tan menghe la napas lega dan tida k bersuara lagi.
Giliran Kun-gi bertanya: "Kapan kalian datang?"
"Ke maren baru t iba di sini."
Tengah bicara ta mpak dari dala m pagar biara berjalan seorang
pemuda jubah kuning, melihat kedatangan rombongan orang
banyak langkahnya lantas dia percepat, teriaknya: "Ling-heng,
kenapa baru sekarang datang?"
Lekas Kun-gi me mapak ma ju, teriaknya: "Tong-heng."
Yang keluar ternyata adalah tuan muda keluarga Tong, yaitu
Tong Siau-khing adanya, mereka berjabat tangan erat."
Tong Bun-khing dan Pui Ji-ping maju mende kat, berbareng
mereka menyapa: "Toako!"
Maka menjadi tugas Kun-gi me mperkenalkan Tong Siau-khing
kepada Yong King-tiong, Bok-tan, Un Hoan-kun dan lain2.
Satu persatu Tong Siau-khing me mberi hormat, katanya
ke mudian: "Ling-pekbo bilang sore hari ini ka lian pasti datang,
makanan sudah disiapkan. Ling-pekbo bersa ma ayah dan lain2
sudah la ma menunggu di pendopo, mari kutunjukkan jalan." - Lalu
dia bawa orang banyak masuk lewat pintu tengah menuju ke biara.
Setelah orang banyak masuk ke pendopo besar, Yong King-tiong
me mberi tanda kepada Siau-tho dan kee mpat jago pedang baju
hitamnya supaya tingga l di luar pendopo saja.
Bok-tan juga suruh Ci-hwi, Hong-sian, Hu-yong, Giok-je bersa ma
Houhoat Ting Kiau, Liang Ih-jun, Toh Kian-ling, Lo Kun-hun serta
keempat dayangnya Bak-ni, Swi-hiang, Toh-kian dan Jing-hwi
tinggal di pendopo, hanya Pa Thian-gi sebagai Congkoan ke luarga
Tong tetap ikut masuk melayani para ta mu.
Tong Thian-jong, Un It-hong, Cu Bun-hoa dan Thi-hujin tengah
berbincang2 dengan paderi tua berjubah kuning. Tiba di depan
pintu, Tong Siau-khing mendahului masuk dan berseru: "Yah, inilah
Ling-heng telah datang."
Orang banyak di ka mar ta mu itu sa ma berdiri.
Kun-gi silakan Yong King-tiong masuk lebih dulu. Thi-hujin lalu
me mperkenalkan Tong Thian-jong dan la in2 kepada Yong Kingtiong, lalu giliran Kun-gi me mperkena lkan Ban Jin-cun, Kho Kehhoa, Bok-tan dan Giok-lan kepada ibunya. Setelah saling basa-basi
ala kadarnya, semua orang dipersilahkan duduk.
Thi-hujin lantas berkata: "Gi ji, lekas me mberi hormat kepada
Thian-hi Losiansu, Lo-siansu ini adalah sahabat karib kakek luarmu
dulu." Paderi jubah kuning ini beralis panjang putih, wajahnya kelihatan
bersih dan terang meski sudah berkeriput, usianya pasti sudah lebih
sembilan puluhan, tapi sorot matanya tajam berkilau, jelas seorang
paderi sakti yang berkepandaian silat dan Lwekang tinggi. Lekas
Kun-gi me langkah maju serta menjura, katanya: "Wanpwe Ling
Kun-gi menyampa ikan sala m sujud kepada Losiansu,"
Thian-hi Siansu merangkap kedua tangan, dia manggut2,
katanya:."Tidak berani, Siau-s icu jangan banyak adat, jangan pula
kau me mbahasakan Wanpwe padaku."
"Kenapa Lo-siansu sungkan pada ana k2?" ucap Thi hujin.
Thian-hi Siansu tergelak2, katanya: "Hujin mungkin tidak tahu,
dulu Lolap me mang bersahabat kental dengan Thi losicu, tapi guru
Ling-s iau-sicu masih terhitung Susiokku, ka lau menurut tingkat
perguruan bukankah Ling sicu menjadi suteku?"
"Hal ini aku me mang tidak tahu," kata Thi-hujin.
Dia m2 Ling Kun-gi me mbatin: "Kiranya Lo-siansu ini juga murid
cabang Siau-lim."
Cu Bun hoa terbahak2, katanya: "Ling-hujin tak usah kesal, Losiansu adalah sahabat kental Thi lohwecu, kalau bicara perguruan
masih suheng Ling-lote, maka me nurut he matku, bila Thi-hujin
hadir, dia dianggap sebagai Wanpwe, kalau Thi-hujin tiada kalian
boleh anggap sa ma angkatan."
Berseri wajah Tong Thian-jong, katanya kepada Kun-gi sa mbil
me me lintir kumis: "Ling-hiantit, kali ini kau mendirikan pahala besar, sekaligus me nghancurkan Hek-liong hwe sehingga kaum Kangouw
umumnya mme mperoleh kesela matan, tugas me mbe la bangsa
selanjutnya juga terletak di pundak kalian generasi muda."
"Paman terlalu me muji," sahut Kun-gi me mbungkuk. "Siautit sih hanya menunaikan kewajiban saja,"
Un It-hong menimbrung: "Hiantit tak usah sungkan, tunas muda
kaum Kangouw me mang sela lu mela mpaui kaum tua, hanya kaum
muda seusia kalian saja yang ma mpu menguasai dunia."
Sejak berkumpul sesa ma tahanan di Coat-seng-san-ceng dulu,
Tong-cengcu dan Un-cengcu sa ma me mbahasakan Ling-lote kepada
Kun-gi, tapi sekarang me ndadak berubah panggilan, me mang tepat
juga karena Kun-gi pandang Tong Siau-khing dan Tong Bun-khing
seangkatan, adalah jamak kalau Tong-cengcu me mangginya Hiantit.
Tapi Ling Kun-gi dengan Un Hoan kun ada hubungan cinta, sudah
tentu Un Hoan-kun ma lu me mberi tahukan hubungan pribadinya ini
kepada sang ayah, tapi bahwa Un-cengcu juga telah ubah
panggilannya sebagai Hiantit kepada Kun-gi, ini menandakan bahwa
dia telah tahu juga hubungan cinta puterinya. Jelas hal ini dia tahu
dari laporan Siau- yan.
Kun-gi sudah tentu juga tahu liku2 persoalan ini, terasa mukanya
menjadi hangat, sesaat dia berdiri dia m dan rada kikuk.
Sejak masuk tadi Bok-tan tidak me lihat kehadiran Thay-siang,
dalam hati dia sudah bingung dan gelisah, gurunya adalah adik
Ling-hujin, bahwa dia disuruh menyusul ke Gak-koh bio ini, kini Ling
hujin dan lain2 ada di sini, jelas gurunya tak mungkin pergi lebih
dulu, lalu di manakah sekarang be liau"
Selesai dia duduk termenung itulah, didengarnya Thi-hujin
me manggilnya dengan suara le mbut: "Nona Bok-tan, apalah nona
So-yok tidak datang?"
Lekas Bok-tan mengiakan, sahutnya: "Jimoay suka umbar adat,
tadi dia menerjang ke luar dari Hwi-liong-koan terus pergi dengan
marah, sa mpaipun pesan guru juga tida k dihiraukan lagi."
Thi-hujin mengangguk, katanya: "Betul, me mang pesan guru
agar kalian ke mari, mungkin anak Gi sudah beritahu pada mu, Losin
adalah kakak guru kalian, sebelum ajalnya dia pernah bicara
denganku supaya me mandang kalian sebagai keluarga sendiri,
baiklah kau panggil aku bibi saja."
Mendengar kata "sebelum ajalnya", Bok-tan dan Giok-lan
seketika terkesima kaget, pikiran seperti butak dan kalut seketika.
Bok-tan berdiri dengan berlinang a ir mata, tanyanya: "Bibi,
maksudmu Suhu be liau . . . . . . ."
Sedih juga Thi-hujin, katanya:
"Apa anak Gi tidak me mberitahukan pada kalian?"
"Karena Pangcu dan Congkoan baru saja lolos dari bahaya, maka
anak kira lebih baik ibu saja yang "beritahukan mereka," demikian
kata Kun-gi. Bertetesan air mata Bok-tan, tiba2 dia menjatuhkan diri, katanya
sesenggukan: "Bibi lekas engkau beritahukan cara bagaimana
meninggalnya Suhu?" karena dia berlutut, ter sipu2 Giok-lan ikut
berlutut, air matapun bercucuran.
Lekas Thi-hujin bangunkan kedua orang, katanya: "Nak, kalian
berdiri saja, dengarkan ceritaku," - Bok-tan dan Giok-lan lantas
berdiri, tapi air mata tetap tak terbendung.
Dengan le mbut Thi-hujin me mbujuk dan menghibur mere ka
sekian la ma, lalu bercerita tentang riwayat hidup Thay-siang sampa i
mene mui ajalnya.
Sejak kecil Bok-tan dan Giok-lan diasuh dan dibesarkan oleh
gurunya, tak nyana dalam menunaikan tugas di Kun-lun- san sini
mereka harus berpisah untuk sela ma2nya dengan guru tercinta,
sudah tentu tidak kepalang sedih dan pilu mereka, tak tertahan air
mata bercucuran lebih deras.
Thi-hujin ikut meneteskan air mata, katanya: "Nak, kalian harus
ubah kesedihan ini menjadi kekuatan, dikala mendekati ajalnya adik
Ji-hoa ada berpesan dua hal dan minta Losin me mberitahukan pada
kalian." Bok-tan menyeka air mata, katanya: "Bibi, Suhu ada pesan apa?"
Kereng sikap Thi-hujin, katanya: "Sebelum mangkat gurumu
bilang, dia mengasuh ka lian hingga besar dan akhirnya mendirikan
Pek hoa-pang, tujuan utama adalah untuk menandingi Hek-lionghwe, kemudian dia mendapat kabar bahwa sua miku sudah
almarhum, sementara Hek-liong-hwe jatuh ke tangan kerajaan,
maka timbul angan2nya untuk menumpas Hek-liong-hwe, tapi
karena ilmu pedang peninggalan Tiong yang Cinjin tersimpan di
Hek-liong-ta m, bila berhasil me mpelajari ilmu pedang itu pasti tiada
orang yang dapat menandinginya, maka dia berkeputusan untuk
me luruk ke Hek-liong-hwe, lalu kalian dibagi me njadi t iga
rombongan untuk me mancing perhatian musuh, sementara dia
secara diam2 menyelundup ke Hek-liong tam.
"Kini He k-liong-hwe sudah lebur, kejadian sudah lalu, tapi karena
kehancuran Hek-liong hwe, pihak kerajaan pasti tidak berpeluk
tangan, Pek-hoa-pang merupakan sasaran mereka yang utama,
maka hal perta ma yaitu supaya kau secepatnya mengirim perintah
me mbubarkan Pek-hoa-pang agar anak buah dan anggota Pek-hoapang tidak me njadi buronan kerajaan."
"Keponakan terima perintah," sahut Bok-tan sa mbil sesenggukan.
"Hal kedua ada lah ke inginan gurumu yang belum tercapai,
soalnya Losin adalah anak angkat Lohwecu, adik Ji-hoa adalah anak
kandung tunggal yang harus mewarisi marga Thi, maka sebelum
ajalnya dia minta supaya kau mewarisi tradisi keluarganya . . . . "
Mendengar sampai di sini se makin keras tangis Bok-tan, sedih
dan pilu. Berkata Thi-hujin lebih lanjut : "Dikala Pek-hoa-pang me milih
Cong-hou-hoat-su-cia tempo hari, adik J i-hoa sudah ada maksud
menjodohkan kau dengan anak Gi, tatkala mendekati ajalnya dia
usulkan ha l ini padaku, peduli anak Gi sudah atau belum
bertunangan, dia minta Losin untuk menjodohkan kau dengan ana k
Gi, kelak setelah punya anak, anak kalian harus menggunakan she
Thi, itu berarti kau bukan menantu ke luarga Ling, tapi menantu
keluarga Thi, ini soal masa depanmu, walau adik Ji-hoa me mberi
kuasa, tapi Losin tetap minta pertimbanganmu sendiri, entah kau
terima t idak keputusan ini?"
Bok-tan masih sesenggukan, air mata me mbasahi se lebar
mukanya, serta mendengar Thi-hujin me mbicarakan soa l
perjodohan dan masa depannya, meski sebagai Pangcu, tapi
betapapun dia adalah gadis re maja, maka kepalanya tertunduk
dalam, mukanya yang basah tampak merah seperti buah apel
masak. Walau hati setuju, tapi saking malu, sukar juga dia bersuara,
setelah tergagap2 sekian lamanya, akhirnya dia berkata lirih: "Ini
perintah suhu sebelum mangkat, keponakan menyerahkan
keputusan kepada bibi saja." - Sampai akhir katanya suaranya lirih
seperti bunyi nya muk.
Thi-hujin berkata pula dengan tertawa: "Kalau kau sudah setuju,
baiklah hal ini diputuskan de mikian." - Sudah tentu keputusan inipun
sekaligus me mantapkan hati Bok-tan, ia menunduk lebih dala m,
mulut mengiakan lirih.
"Anak Gi," Thi-hujin berpa ling me manggil Kun-gi.
"Ada pesan apa ibu?" tanya Kun-gi dengan muka merah seperti
kepiting rebus.
"Ibumu sudah bicara dengan Tong-locengcu, Tong-lohujin ada
maksud menjodohkan puterinya dengan kau, tempo hari dia
me mberi tanda mata Seng-ka-kia m juga kesitulah maksud
tujuannya. Sementara Un-locengcu hanya punya puteri tunggal,
persoalannya malah mendahului daripada yang lain, demi menjaga
keselamatanmu, Nona Un sampai menya mar dan menyelundup ke
Pek-hoa-pang, maka kedua keluarga mohon bantuan Cu-cengcu
Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagai perantara untuk mengajukan perjodohan ini kepada ibu,
setelah ibu berunding dengan para Cengcu, karena Un-locengcu
hanya punya puteri tunggal dia mengusulkan cara yang sama,
supaya putera-puterimu ke lak dengan nona Un menggunakan she
Un, sedang puteri Tong locengcu tetap mewarisi marga Ling kita,
dengan demikian tiga marga tetap me mperoleh keturunan, tiga
isterimu masing2 me mpunyai kedudukan yang berbeda pula, maka
soal perjodohan rangkap tiga inipun boleh diputuskan de mikian,
lekas kau me mberi hormat kepada para mertua mu."
Sudah tentu nona Tong dan nona Un sejak tadi sudah lari
sembunyi ke belakang. Mendengar pesan ibunya, dengan muka
merah terpaksa Kun-gi mengha mpiri Tong Thian-jong dan
menye mbah. Berseri muka Tong Thian-jong. lekas dia bangunkan Kun-gi serta
tertawa, katanya: "Hiansay (menantu ba ik) lekas berdiri. Haha,
waktu pertama kali Lohu melihat mu lantas teringat kepada puteriku,
tak nyana isteriku lebih dulu juga penujui kau."
Kun-gi berdiri lalu, menyembah pula pada Un It-hong. Cepat Un
It-hong me mbimbingnya bangun, katanya tertawa: "Hian say tak
usah banyak adat," setelah bergelak tertawa ia berkata pula,!
"Menurut Tong-heng kau dipenujui lebih dulu oleh ibu mertua-mu,
tapi menantuku ini justeru puteriku sendiri yang naksir, jadilah kita
ini mertua kontan."
Maka Yong King-tiong, Bau Jin-cun, Kho Keh-hoa dan la in2 sa ma
me mberi sela mat kepada Thi-hujin, Tong dan Un-cengcu.
Dengan menge lus jenggot Yong King-tiong berkata : "Hari ini kita
baru pulang me nghancurkan sarang penyamun, serangka ian
perjodohanpun terjadi, sungguh peristiwa yang mengge mbirakan,
tapi aku berpendapat sesuai tradisi bangsa kita, daripada
perjodohan rangkap tiga akan lebih baik kalau rangkap lima
sekaligus, untuk ini aku me mberani-kan diri menjadi perantara,
pertama kutujukan kepada Ling-hujin dan Cu-cengcu, entah kalian
suka me mberi muka padaku atau tidak?"
Thi-hujin keheranan, katanya : "Rangkap lima bagaima na
maksud Yong-tayhiap?"
Yong King-tiong tergelak2. katanya: "Dua perjodohan yang akan
kuusulkan ini dari, keluarga Ban di Ui-san dan keluarga Kho dari
Ciok-mui, asal Ling hujin dan Cu-cengcu mengangguk, maka jadilah
aku ini perantara resmi."
Cu Bun-hoa berpaling ke arah Ban Jin cun dan Kho Keh-hoa,
kitanya: "Jadi Yong loko mengajukan la maran bagi keluarga Ban
dan Kho, entah nona keluarga siapa yang dila mar?"
"Keluarga Ban dengan Liong-bin san-ceng terhitung ke luarga
persilatan turun temurun, pasangan setimpal dan jodoh yang cocok,
Ban-lote sudah cinta sama cinta dengan puterimu, aku ini hanya
perantara formil belaka, entah bagaimana pendapat Cu cengcu?"
Cu Bun hoa tertawa lebar, katanya: "Keluarga Ban dari Ui-san
secaraberuntunmenjabatBu-lim-beng-cu,Yong-tayhiap,
perjodohan ini jelas menguntungkan puteriku."
"Jadi Cu-cengcu sudah setuju, haha, " Losiu betu12 jadi
Comblang resmi. Nah, Ban-lote, majulah mene mui mertuamu."
Ban Jin-cun segera menyembah kepada Cu Bun-hoa. Bahwa
menantunya gagah dari ke luarga persilatan kena maan lagi, sudah
tentu tidak kepalang senang hati Cu Bun-hoa, lekas dia me mbalas
setengah hormat.
Kini Yong King-t iong berpaling, kepada Thi-hujin. katanya: "Kini
aku mohon arak perja muan pula kepada Thi-hujin,"
"Mohon Yong-tayhiap jelaskan," ucap Thi-hujin.
"Berat kata2 Hujin. aku mengajukan la maran untuk Kho-lote atas
perintah Ji-kohnio Pe k-hoa-pang harus dibubarkan, nona Giok-lan
yang dulu menjabat Congkoan adalah gadis yang le mah le mbut,
cerdik panda i lagi, dengan Kho-lote merekapun merupa kan
pasangan yang setimpal, hal ini pernah ku-bicarakan pada Kho-lote,
asal Hujin menerima la maran ini, maka perjodohan inipun jadilah."
Thi-hujin manggut, katanya: "Jimoay me mang berpesan setelah
Pek-hoa pang dibubarkan, murid didiknya boleh mene mpuh cara
hidupnya sesuai ke inginan masing2, apalagi kalau sudah punya
jodoh kan lebih baik, kini Yong-tayhiap mengajukan la maran, tapi
Losin perlu tanya dulu pada Giok-lan."
Lalu dengan tertawa dia berpaling kepada Giok-lan, katanya :
"La maran yang diajukan Yong-tay-hiap sudah kau dengar sendiri,
bagaimana kau me nerimanya?"
Merah muka Giok-lan, langsung dia menjatuhkan diri, katanya
dengan menangis: "Ka lau Suhu menyerahkan keputusan kepada
bibi, kepona kan menurut keputusan bibi saja."
"Anak baik," ucap Thi-hujin sa mbil
menarik tangannya, "bangunlah, baiklah bibi menerima.."
"Kionghi" (se la mat) Kho-lote," seru Yong King-tiong. "Hujin sudah terima la maranmu, Pek-hoa-pang Thay-pangcu sudah meninggal,
Ling-hujin adalah orang tua mereka, nah, kaupun harus memberi
hormat kepada beliau, ya, sekalian kau boleh panggil Ga kbo pada
beliau." Bahwa Kho Keh-hoa dapat me mpersunting isteri cantik, sudah
tentu senangnya tak terlukiskan, cepat dia maju ke depan dan
berlutut me mberi hormat.
Kun-gi maju me ma pahnya bangun.
Thi-hujin tertawa, katanya: "Kho-siangkong sudah me manggil
Gakbo padaku, sebetulnya Losin tak berani terima. Tapi begitupun
baik, Giok-lan juga a mat kusayang, anak Gi putera tunggal, tida k
punya saudara, biarlah Giok-lan kupungut jadi puteri angkatku, jadi
cocok aku menjadi ibu mertua."
"Sa m-moay," kata Bok-tan senang, "lekas beri hormat kepada ibu angkat."
Giok-lan berlutut dan menye mbah sembilan ka li, katanya: "Bu,
terimalah se mbah sujud anak-mu ini."
Thi-hujin menariknya bangun serta memeluknya, katanya halus:
"Anak baik, me mang kau anak ibu yang baik."
Maka berama i2 orang banyak bergiliran menya mpaikan sela mat
kepada Thi-hujin.
Tong Bun-khing, Un Hoan-kun, Cu Ya-khim, Bok-tan dan Giok-lan
sudah terangkap jodohnya, semua orang sama riang ge mbira,
hanya Pui Ji-ping seorang yang piatu, hidup sebatangkara, tiada
ayah, tinggal ibu beranak hidup merana Ke-luarga Pui bukan
keluarga persilatan, ibunya tak pandai main silat, tidak seperti Thay
siang dari Pek-hoa pang yang tenar dari berkuasa, sudah tentu
orang banyak tidak hiraukan dirinya lagi. Pa mannya Cu Bun hoa
sibuk mengurusi puteri sendiri, ibu angkatnya (Tong hujin) juga
sibuk dengan urusan perjodohan puterinya, Mana peduli a kan
dirinya" Pikir punya pikir rasa sedih seketika merangsang sanubari
Pui Ji ping, tapi sedapat mungkin dia tahan air mata yang hampir
menetes, dengan lesu dia m2 dia nge luyur keluar, seorang diri dia
bersandar di pagar taman mela mun dan mengawasi ikan mas dala m
kola m. Sementara itu dua meja hidangan sudah disiapkan, meja
pertama diperuntukan Yong King-tiong, Ling Kun-gi, Ban Jin cun,
Kho Keh-hoa empat orang, meja kedua untuk Tong Bun-khing, Un
Hoan-kun, Bok-tan, Giok-lan dan Pui Ji-ping.
Dia m2 Tong Bun khing menyusul keluar dan mende kati Pui Jiping yang sedang mela mun, katanya: "Sam-moay, hayo masuk,
makanan sudah siap."
"Tida k, aku tidak lapar," sahut Pui Ji-ping ogah2an.
Tong Bun khing menarik tangannya, katanya lirih, "Adikku yang
baik, jangan nanti kesehatan-mu terganggu karena kelaparan, aku
tahu perasaanmu, masuklah, jangan sampai orang lain tahu akan isi
hatimu." Merah muka Pui Ji ping, omelnya: "Aku punya isi hati apa?"
Tong Bun-khing tertawa, katanya: "Ya, tak perlu kukatakan." Lengan Ji ping lantas ditariknya terus diseret masuk.
Sudah tentu makanan yang dihidangkan pantang ikan dan
barang berjiwa, tapi semua orang sudah kelaparan sekian la ma,
maka hidangan vegetarian juga dirasakan a mat lezat, hanya Pui Jiping saja yang tida k doyan makan.
Dala m pada itu Thi hujin, Tong Thian-jong, Un It-hong dan Cu
Bun-hoa duduk mengelilingi meja bundar tengah berunding soal
pernikahan putera-puteri mereka. Melihat orang banyak sudah
selesai makan Cu Bun-hoa lantas berteriak dengan tertawa: "Yongtayhiap, harap kemari."
Sambil me megang cangkir teh Yong King-t iong mengha mpiri ke
sisi kiri, tanyanya: "Cu-heng ada petunjuk apa?"
"Kita sedang merundingkan pelaksanaan pernikahan rangkap ini,
kau dan aku sa ma2 menjadi comblang, adalah ja mak kalau kita
urun2 pendapat."
"Baiklah, biar kududuk di kursi terakhir saja," ucap Yong Kingtiong sa mbil menarik kursi.
"Anak Gi," panggil Thi-hujin, "kaupun ke mari."
Kun-gi datang ke sa mping ibunya, katanya: "Ibu ada pesan
apa?", "Menurut Tong-gakhumu, setelah perjodohan ini diresmikan, ada
lebih ba ik kalian lekas me langsungkan pernikahan, ibu sudah tua,
lebih ba ik juga bila kau lekas berkeluarga supaya ibu me nunaikan
kewajiban sebagai orang tua terhadap ayahmu, maka ibu putuskan
untuk merangkap pernikahan seka ligus pada bulan sepuluh yang
akan datang . . . . "
Sebelum ibunya habis bicara, Kun-gi tiba2 menjatuhkan diri,
teriaknya sambil berlinang air mata: "Bu, pernikahan anak lebih baik
ditunda saja."
"Kenapa?" tanya Thi-hujin.
"Walau kita sudah me mbunuh Han Jan to, tapi biang keladi yang
merebut Hek-liong hwe kan bukan dia, maka anak pikir akan pergi
ke Jiat-ho, dengan kedua tanganku sendiri a kan kupenggal kepala Ki
Seng-jiang dan bangsat Ci Kun jin, lalu pergi ke kotaraja pula
mencari tulang jenazah ayah."
Tong Thian jong me lirik ke arah Cu Bun-hoa dan Yong Kingtiong. Cu Bun-hoa mengerti, sebelum Thi-hujin bicara dia sudah
batuk2 ringan, lalu mendahului buka suara: "Ling-lote me mang anak
berbakti, tekadnya patut dipuji, tapi ibumu sudah kepingin
me mbopong cucu, apalagi tadi soal ini sudah dirundingkan dan
disetujui pernikahan akan dilangsungkan bulan sepuluh, jadi masih
ada waktu tiga bulan, maka menurut pendapat Lohu biarlah Linglote menikah dulu baru pergi ke Jiat-ho."
Yong King-tiong ikut mengusulkan: "Apa yang dikatakan Cucengcu me mang t idak sa lah, kalau Ki Seng-jiang dan C i Kun-jin
berada di Jiat-ho, mereka toh tidak akan merat begitu saja, dengan
bekal kepandaian Kongcu sekarang tidak sulit untuk me mbunuh
mereka, soal tulang jenazah Hwecu, urusan sudah terjadi dua
puluhan tahun, mungkin sukar untuk mene mukan, lebih baik
Kongcu turuti ke inginan ibumu, ke mbali dulu ke Kangla m, setelah
me langsungkan pernikahan, tahun depan musim semi baru kau
mulai bergerak ke utara."
"Bu," seru Kun-gi mendongak. "denda m ayah belum terbalas.
tulang ayah belum juga ditemukan, sekali2 ana k tidak a kan
menikah, dari sini ke Jiat-ho tidak jauh, buat apa harus pulang pergi
menunda waktu. Menurut pendapat anak, mumpung berita He kliong-hwe hancur belum mereka dengar, akan lebih mudah aku
bekerja di Jiat-ho, keparat Ki Seng jiang itu licik dan culas, pasti dia
akan meningkatkan kewaspadaan dan penjagaan, bahwa Ci Kun-jin
tidak menjabat pangkat lagi, pasti minta perlindungan pula kepada
Ki Seng-jiang di J iat-ho, orang ini bernyali sekecil tikus, begitu
me mperoleh kabar tentu menyembunyikan diri, hal ini a kan
me mpersulit usaha anak malah, maka anak pikir, lebih cepat kita
bekerja akan lebih baik, biarlah sekarang juga anak berangkat
supaya urusan tidak bocor."
Thi hujin berpikir sebentar, akhirnya mengangguk, katanya:
"Begitupun baik, pernikahan dilangsungkan setelah kau beres
menuntut balas sakit hati ayahmu, supaya arwah ayahmu di ala m
baka terhibur dan tenteram . . . . . " tak tertahan dia meneteskan a ir mata.
Sambil mengelus jenggot, Tong Thian-jong berkata kepada Un Ithong: "Un-heng, ka lau de mikian keinginan Hiansay karena baktinya
terhadap orang tua, biarlah kita racun dan bius para cakar alap2
yang bercokol di Jiat ho itu."
Cepat Kun-gi bicara: "Perjalanan ke Jiat-ho ini cukup kulakukan
sendiri saja, kalau banyak orang mungkin menimbulkan perhatian
musuh, untuk ini Siausay tak berani bikin capai para Ga khu."
"Seorang diri Hiansay tentu kekurangan tenaga, Jiat-ho jangan
kau sa makan dengan Coat ceng-san-ceng."
"Siau-say akan bekerja me lihat ge lagat," Kun-gi tetap kukuh
pendapat. Lalu dia, berpaling kepada Yong King tiong, tanyanya:
"Yong-lopek, apa kau tahu keadaan Ki Seng jiang?"
Yong King-tiong tertawa, katanya: "Bangsat tua ini adalah biang
keladi yang menimbulkan pe mberontakan dala m He k liong hwe
sehingga Han Jan-to mengkhianat, Losiu me mbencinya sampa i
ketulang sumsum, maka gerak-geriknya selalu kuselidiki dari
berbagai pihak, me mang sedikit banyak aku tahu keadaannya,
sayang selama dua puluh tahun ini hasil yang kuperoleh kurang
me muaskan, dari sini dapatlah kita simpulkan betapa licin bangsat
tua ini?" "Dia adalah anak angkat almarhum kake k luar-ku, ke mungkinan
ayahkupun mati oleh muslihatnya," demikian timbrung Ban Jin cun,
"Ling-heng, bagaimana kalau Siaute ikut kau" Akan kutanya dia
berhadapan." - Tangan kanannya tampak terkepal, jelas betapa
benci dan denda mnya.
"Kalau Ban -heng curiga Ki Seng-jiang yang me mbunuh ayahmu,
tak enak aku merintangimu, tapi kita harus bekerja secara diam2 . .
...." "Bukan hanya membunuh ayah saja," kata Ban Jin-cun sengit,
"keluarga Ban ka mi tertumpas habis seluruhnya, kemungkinan pula
dia yang menjadi biang ke ladinya."
"Ya, itu ke mungkinan," timbrung Yong King-tiong, "Ki Seng-jiang sekarang menjabat Congtay pasukan pengawal yang bertugas di
istana peristirahatan kerajaan di Jiat-ho, boleh dikatakan dia yang
paling berkuasa di sana, kalau dia bisa berkuasa pula di Coat-sengsan-ceng yang berada di Tay-piat-san, ini me mbukt ikan bahwa
mungkin dia pula yang menjadi orang di be lakang layar menguasai
Hek-liong-hwe se la ma ini."
Sampa i di sini mendadak dia menepuk paha, serunya tertawa:
"Ya, tidak salah, pernah Losin dengar dari Han Jan-to bahwa jago2
kosen yang sering diutus ke berbagai propinsi kebanyakan datang
dari vil a kerajaan dan dari anggota bayangkari yang bertugas di
Jiat-ho itu, karena raja Boan setahun paling2 datang sekali ke sana,
maka hari2 biasa boleh dikatakan a mat iseng, maka tugas untuk
mengawasi para utusan rahasia dan menumpas para pemberontak
seluruhnya dipikul oleh barisan bayangkari di vil a kerajaan itu, Hekliong hwe merupa kan salah satu komplotan mereka untuk
menghadapi kaum persilatan, sudah tentu tugas ini di bawah
kekuasaan Ki Seng jiang pula."
"Jadi Cui Kin in hanya utusan pula. Ai, sayang tempo hari kita
tidak menahannya."
"Itu kan kehendak gurumu, pasti beliau punya alasan yang
tepat," ujar Thi hujin.
Mendadak Thian-hi Siansu merangkap kedua tangan sambil
bersabda, katanya: "Tay-thong Su-siok ke maren mala m juga bicara
Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan Lolap, katanya Cui-sicu bukan saja adalah murid
kesayangan Soat-san Sinni, malah dia punya asal-usul istimewa,
terang bukan utusan dari Ki Seng jiang.".
"Apa pula yang dikatakan guruku?" tanya Kun-gi, "bolehkan
Losiansu menerangkan?"
"Tay thong Taysu hanya bilang demikian, soal lain Lolap tidak
tahu, Oya, Cui-tongcu itu pernah kemari dua kali, kalau menurut
pandangan Lolap dia tidak mirip manusia yang kejam suka
me mbunuh, bila Ling-sicu ke lak berte mu dia, lebih baik tida k
menyudutkan dia sehingga me mbikinnya serba susah, kalau dipaksa
dia bisa mene mpuh jalan lain ini tentu tidak menguntungkan kedua
pihak." Kun-gi merasakan omongan paderi tua ini masih terselip hal2
yang kurang dimengerti dikatakan bahwa Cui Kin-in me mpunyai
asal-usul, tapi tidak mau menjelaskannya. Memangnya kenapa"
Apakah karena gurunya, yaitu Soat-san Sinni, maka orang lain harus
menga lah kepadanya" Dala m hati berpikir, segera ia bertanya
kepada Yong King-tiong: "Pa man Yong, setiap tempat me mpunyai
adat dan kebiasaan sendiri, apakah pa man bisa menceritakan
keadaan di Jiat-ho pada umumnya?"
"Seng-tek-hu berada di sebelah, barat propinsi Jiat-ho, semula
merupakan kota pegunungan, maka raja Boan mendirikan Vil a
disana yang dinamakan Pi-siok-ceng, Ki Seng jiang adalah penguasa
Pi-siok-ceng itu, tapi kedudukannya lebih tinggi dari komandan
bayangkari yang bertugas di istana raja, malah merangkap wakil
gubernur yang berkuasa di seluruh propinsi Jiat-ho, pasukan
bayangkari yang ada di vil a itu terbagi dua barisan, setiap barisan
terdiri sepuluh kelompok, setiap kelompok sebelas orang, itu berarti
Ki Seng-jiang me mpunyai dua ratusan anak buah yang seluruhnya
me miliki kepandaian silat yang tinggi, mereka adalah sampah
persilatan yang menjual diri dan rela dijadikan antek, tapi diantara
mereka tak sedikit terdapat para cendekia, pendek kata mereka
lebih unggul dari para jago pedang Hwi-liong-tong yang bertugas di
Hek-liong-hwe," sebentar berhenti lalu ia menyambung: "O, ya,
hampir Losiu lupa, Ki Seng-jiang adalah laki2 yang ke maruk paras
cantik, dia punya gundik yang menetap di luar Pi-siok-ceng, konon
dalam sebulan ada dua puluhan hari dia menetap di rumah
gundiknya itu, kalau Kongcu dapat menyelidiki te mpat tingga l
gundiknya itu, kukira lebih leluasa turun tangan daripada
me mbunuhnya di Pi-siok-ceng."
"Banyak terima kasih atas keterangan paman, Wanpwe pasti
dapat menyelidikinya," kata Kun-gi. "Ada sebuah hal pula, kau harus hati2," pesan Yong King-t iong lebih lanjut, "di luar kota Se k-tek terdapat delapan kuil La ma, semuanya dikepalai paderi Tibet,
mereka adalah murid2 dari aliran Ih-ka-bun, ilmu silat mereka
menyendiri, konon waktu Ki Seng-jiang me mimpin barisan
bayangkari di istana raja pernah mengangkat seorang Lama sebagai
guru, ma ka kuil2 La ma itu ke mungkinan bersekongkolan dengan Ki
Seng-jiang, hal inipun harus diperhatikan."
Mendengar Ban Jin-cun mau pergi, ma ka Kho Keh-hoa tidak mau
ketinggalan, sekarang dia baru dapat kesempatan bicara: "Lingheng sudah berjanji hendak mengaja k Ban-heng, me mangnya aku
disisihkan da la m tugas mulia ini?"
"Betul," timbrung Tong Siau-khing. "Ling-heng, kalau ayah, Un-lopek dan Cu-lopek tidak jadi pergi, maka a ku harus ikut pergi."
Baru saja Kun-gi mau buka suara, tahu2 Bok-tan, Giok-lan, Tong
Bun-khing, Un Hoan-kun da m Cu Ya-khim dan la in2 sere mpak juga
menyatakan mau ikut. Hanya Pui Ji ping seorang yang tunduk
kepala tanpa me mberi komentar, sudah tentu hadirin tiada yang
me mperhatikan dia.
Thi-hujin tersenyum pada hadirin, katanya: "Kaum muda
me mang suka bergerombol, tujuan kita bukan untuk ta masya, kalau
banyak orang malah me narik perhatian musuh, begini saja, anak Gi
boleh seperjalanan dengan Ban-siauhiap, tapi di tengah jalan harus
berpencar, pura2 tidak saling kena l, Bok-tan boleh ikut bersamaku
untuk me mberi bantuan bila mana perlu kepada anak Gi, sementara
Giok-lan selekasnya ke mbali ke Pek-hoa ciu (se menanjung seratus
bunga), me mbubarkan Pek-hoa-pang, sementara para Cengcu
diharap pulang me mbawa puteri masing2 ke Kangla m, kali ini
betapapun dilarang me nyusul ke Jiat-ho supaya tidak terjadi sesuatu
di luar perhitungan."
Rencana yang diatur Thi-hujin sudah tentu tidak sempurna, tapi
juga merupakan cara pemecahan untuk sementara, secara tidak
langsung dia me mperingatkan kepada Thong Thian jong. Un It-hong
dan Cu Bun-hoa supaya lebih me mperhatikan da m mengenda likan
puteri2nya, betapapun Jiat ho adalah daerah kekuasaan kerajaan
yang diperkuat dengan barisan bayangkari, jadi jangan disa ma kan
seperti tempat ta masya.
"Jadi ibu juga mau pergi?" tanya Kun-gi keheranan.
Thi-hujin tertawa, katanya: "Kalau ibu juga pergi kan dapat
me mberi bantuan padamu", jangan kuatir pasti tidak akan
mena mbah beban bagimu."
"Ibu besan tidak usah kuatir," timbrung Tong Thian jong, "biarlah kita tinggal di sini beberapa hari sa mbil menunggu ibu besan da m
bakal menantu kita ke mba li lagi ke sini baru sa ma2 pulang
mengurus pernikahan."
"Nah, semua sudah dengar," sela Un It-hiong, yang tidak punya
tugas siapapun dilarang ikut pergi,"
Yong King-tiong mena mbahkan: "Baiklah kita atur begini saja,
kita menunggu kabar baik di sini sambil me mpersiapkan pesta
pernikahan, dari-pada berpencar tak keruan paran."
Keputusan sudah ditetapkan, walau Kho Keh-hoa, Tong Siau
khing dan nona2 yang lain a mat getol ingin pergi, tapi tiada
seorangpun yang berani buka mulut.
"Kalau ibu tiada pesan lagi, anak ingin berangkat sekarang juga,"
demikian Kun gi minta diri.
Thi-hujin mengangguk, katanya: "Begitupun baik, berangkat
lebih dini lebih cepat sa mpai ke tepat tujuan, besok pagi2 ibu segera
menyusulmu."
Lalu mereka menentukan cara dan tanda2 rahasia untuk
mengadakan kontak. Kun-gi dan Ban Jin cun diharuskan ingat
semua tanda2 rahasia itu, ke mudian satu persatu di zinkan
berangkat. Setelah Kun-gi berangkat lebih dulu, dia m2 Thi-hujin panggil Ban
jin-cun, dengan suara lirih dia me mberi pesan entah apa kepada
Ban Jin-cun, ta mpak anak muda, itu mengiakan lalu berangkat.
Giok-lan mengajak Ci-hwi dan Hu-yong pamit pada Thi hujin dan
lain, merekapun segera berangkat ke mbali ke Pek-hoa-ciu. Sisa
yang lain menetap di Gak koh-bio, setelah makan mala m, Pa Thiangi dan Ting Kiau juga pergi secara diam2, mereka me mperoleh
tugas untuk menyiapkan kereta dan kuda.
Mala m itu tiada kejadian apa2, hari kedua pagi2 benar Pa Thiangi sudah ke mbali, langsung me mberi laporan kepada Thi hujin. Ting
Kiau sudah menyaru kusir dan menunggu di luar.
Sementara Thi-hujin dan Bok-tan menyamar sebagai ibu beranak,
setelah berpamitan merekapun meninggalkan Ga k-koh-bio secara
dia m2. Kira2 menje lang tengah hari, Cu Ya-khim ta mpak berlari2
me masuki pendopo dan berteriak gugup: "Yah, celaka, Piaumoay
minggat secara dia m2."
Cu Bun hoa kaget sekali, tanyanya: "Anak Khim, apa katamu" Ji
ping ke mana?"
"Waktu bangun tidur tadi pagi Piau-moay sudah mengeluh
katanya badannya kurang sehat, barusan akan kutengok dia
dika marnya, tapi tidak kute mukan bayangannya, kemungkinan dia
menyusul ke J iat ho."
Cu Bun-hoa berkerut kening, katanya sambil me mbant ing kaki:
"Anak ini, ai, kalau betul2 dia menyusul ke Jiat-ho, ini bukan main2.
Ling-lote dan Ling- hujin tidak tahu a kan hal ini, pasti bisa cela ka
dia." "Ke marin sudah kurasakan se-olah2 nona Pui dirundung
persoalan rumit apa, mungkin karena Thi-hujin ke marin me larang
orang banyak ikut, ma ka dan menjadi ne kat."
"Bukan begitu persoalannya," ucap Cu Ya-khim sa mbil cekikikan.
"Sela ma ini Piaumoay dia m2 kasmaran kepada Piaukonya, jadi dia
minggat dengan uring2an."
"Anak perempuan, sembarang omong," Cu Bun-hoa segera
menegur puterinya.
Tong Bun-khing segera mendekati ayahnya serta berbisik sekian
la manya. Tampak Tong Thian-jong me ngerut kening, katanya:
"Kukira nona Pui belum pergi jauh, marilah kita me mbagi jurusan
untuk menyusulnya kembali, umpa ma tidak ketemu juga harus
selekasnya me mberi kabar kepada ibu besan."
"Usul Tong-loko me mang benar," sela Yong King-tiong: "Urusan jangan ditunda, marilah kita kerjakan dengan berpencar."
"Kalau ketemu lalu bagaimana?" tanya Un It-hong.
"Kukira ibu besan pergi hanya me mbawa Bok-tan dan Ting Kiau,
kalau terjadi sesuatu pasti kekurangan tenaga, apakah perlu kita
menyusul lagi satu rombongan, dan secara diam2 me mberi bantuan
kepada mereka?"
"Aku jarang berkecimpung dala m Bu lim di daerah Kangla m,
biarlah aku saja yang berangkat," Un It-hong mena mpilkan diri.
"Te man2 Kangouw yang kenal padaku juga jarang2," Cu Bun-hoa
ikut bicara. "Baiklah kita bagi begini saja, Tong-loko tetap di sini, Un-loko dan
Cu-loko berpencar dalam dua rombongan, secara diam2 satu
dengan lain harus selalu mengadakan kontak untuk me ncari jeja k
nona Pui, kete mu atau tidak harus langsung maju ke Jiat-ho dan
secara diam2 me mberi bantuan dima na perlu kepada Ling-hujin,
jalanan daerah ini aku cukup apal, cuma aku sendiri kurang leluasa
ke Jiat ho. biarlah kubantu mencari jejak nona Pui di daerah yang
berdekatan sini saja, bagaimana pen-dapat hadirin"
Tong Thian-jong tertawa sambil mengelus jenggot, katanya:
"Untuk menjaga kedudukan di sini, me mang tepat pilihan jatuh pada
diriku." Dia ma klum bahwa Yong King tiong me milih dirinya me mang
tepat dan mengandang arti yang menda la m, karena sebagai
Ciangbunjin keluarga Tong, tidak sedikit kaum persilatan dari aliran
putih dan golongan hita m yang mengenalnya, bahwa dirinya
mendadak muncul di Jiat-ho pasti menarik perhatian banyak orang,
maka lebih ba ik dia berjaga di sini saja.
Un It-hong segera berkata: "Baiklah kita atur de mikian, aku
dengan jite (Un It kiau) dan anak Hoan satu rombongan, sementara
Cu-heng dan puterinya satu rombongan."
Kho Keh-hoa cepat menimbrung: "Wanpwe ingin pergi bersa ma
Cu-cencu."
Dia m2 Tong Bun-Khing menjawil engkohnya Tong Siau-khing
segera menoleh ke arah ayahnya, katanya: "Yah, anak dan Ji-moay
juga ikut pergi, dengan Cu-losiok."
Tong Thian-jong mendengus sa mbil menarik muka: "Lagi2
adikmu yang me mbikin gara2."
Terpaksa Tong Bun khing berteriak: "Yah, izinkanlah ka mi ikut
berangkat?"
Tong Thian-jong mengangguk, katanya: "Ya nona Un dan nona
Bok-tan juga pergi, kalau puteriku tidak ikut pergi, bukankah orang
lain akan merebut pahalanya" Sudah tentu ayah terpaksa
menyetujui."
"Yah!" seru Tong Bun-khing dengan jengah karena di olok2.
Tong Thian-jong tergelak2, katanya: "Anak perempuan selalu
berkiblat keluar, me mangnya ayah salah omong?"
"Baiklah, tak perlu banyak bicara," ajar Cu Bun hoa, "kita harus lekas berangkat.
Maka Un It hong dan Cu Bun hoa masing2 me mimpin
rombongannya terus berangkat, Yong King-tiong juga bawa kelima
jago pedangnya menyusul bela kangan.
>O< >O< >O<
Hou-pak-gau merupakan jalan penting keluar masuk te mbok
besar di sebelah barat laut, di kanan kirinya gunung gunung
sambung me nyambung tak berujung pangkal, tembok besar bagai
ular raksasa menjalar di pegunungan yang turun naik itu, pintu2
gerbang sudah tentu didirikan di pegunungan itu pula, lebarnya
cukup untuk lewat satu kereta, keadaan di sini cukup berbahaya.
Untuk wilayah Jiat-ho, Hou-pak-gau merupakan pintu gerbang
utama hubungan langsung antara Jiat-ho dengan kotaraja, maka
setiap hari orang dan kendaraan yang lalu lalang di sini cukup
ramai. Tatkala itu menjelang magrib, sang surya sudah ha mpir
terbenam, burung sama terbang kembali ke sarang, barisan
keretapun beriring sedang ke mbali me masuki kota supaya tidak
ke mala man di ja lan.
Pada saat begitulah tiba2 terdangar suara kelintingan berpadu
dengan derap tapal kuda tengah berpacu kencang keluar dari Hoa
pak-gau ke arah utara, agaknya penumpang kuda itu ada urusan
penting, pecutnya diayun berulang kali me mbeda l kudanya se makin
kencang, jalan pegunungan yang berdebu itu seketika menjadi
berhamburan sehingga orang2 yang beramai mengayun langkah
mau masuk kota sa ma mencaci kalang kabut.
Penunggang kuda itu tak peduli dengan caci ma ki orang,
kudanya tetap dibedal kencang dan seka ligus dilarikan puluhan li.
Setelah melewati suatu tempat yang bernama La hay-kou
penunggang kuda itu merogoh saku menge luarkan sebuah panji
kecil segi tiga terus diayun kian-ke mari ke arah hutan di lereng
gunung sana, mulutpun berteriak: "Perhatian, sudah datang." Belum habis bicara, kedua kakinya menge mpit perut kuda terus
dibedal pula ke depan.
Kira2 se masakan air ke mudian, dari kejauhan terdangar pula
derap tapal kuda yang berlari pelan2 mendatangi, kiranya ada dua
ekor kuda yang jalan beriring. Yang di depan adalah kuda warna
coklat mulus. di belakangnya adalah kuda warna ceplok putih hitam,
kudanya kuda pilihan yang kekar, cuma dilarikan pelan2, jelas kedua
penunggangnya me mang tidak begitu pandai na ik kuda. Meski
la mbat lari kuda toh lebih cepat daripada orang berja lan, kejap lain
kedua kuda itupun sudah tiba didepan hutan.
Jarak semakin dekat dan ke lihatan penunggang kuda coklat itu
adalah pemuda berbaju sutera, usia-nya belum ada dua puluh,
alisnya tebal, matanya besar bercahaya, bibirnya merah, kuncir
hitam yang cukup besar menjuntai di bela kang punggungnya,
sungguh gagah dan menarik seka li.
Yang berkuda ceplok hitam-putih adalah kacung berusia enam
belasan, wajahnya bersih dan cukup cakap juga, gerak geriknya
tampak cerdik. Majikan dan pe layan dua orang ini jelas adalah anak
bangsawan entah keluarga mana di kotaraja yang hendak buru2
masuk ke kota. Tatkala kedua kuda tunggangan mereka ha mpir mendekati
hutan, tiba2 dari dala m rimba berkumandang suitan nyaring
me lengking. Segera muncul bayangan tujuh delapan orang laki2
berkedok seperti burung terbang melayang hinggap di tengah jalan,
golok di tangan mereka tampak mengkilap, cepat mereka berpencar
mengurung kedua orang penunggang kuda.
Sudah tentu pemuda baju sutera itu menjadi ketakutan, hampir
saja dia terjungkal jatuh dari punggung kudanya, giginya berkrutuk
saling beradu, katanya gemetar: "Ka . . . . .ka. . . . .kalian. . . .
.mau. . . . . . . mau apa?"
Pemimpin rombongan laki2 berkedok me mbentak: "Jangan
cerewet, lekas turun, tuan besar hanya ingin harta tak mau nyawa.
kalau kau masih ingin hidup tinggalkan harta bendamu, tuan akan
Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menga mpuni jiwa kalian dan boleh lekas masuk kota." Pemuda baju
sutera mengiakan berulang sa mbil melorot turun, tapi segera
terjungkal bergulingan saking le mas kakinya.
Kacung yang berada di belakangnya juga me lompat turun
dengan ketakutan, lekas dia me mburu maju me mapah majikannya,
serunya gemetar: "Kongcuya, bagaimana baiknya?" - sa king takut
kedua lututnya juga lemas tak bertenaga, ada keinginan me mapah
majikannya tahu2 dia ikut terjungka l roboh sekalian saling t indih.
Seorang lelaki berkedok mengha mpiri dengan me lotot,
sementara pemimpin orang2 berkedok itu menga mbil buntalan di
punggung kuda terus dibuka, lainya kecuali berapa perangkat
pakaian masih ada sebuntal uang emas lima puluh tahil. Sorot mata
laki2 ini ta mpak mengunjuk rasa girang, tapi dia lantas mendengus
hardiknya: "Anak bangsawan yang keluyuran dari kotaraja masa
hanya membawa sangu sedikit ini" Bagaimana kita harus me mbagi
hasil?" Laki2 bergolok yang menatap kedua majikan dan pelayan itu
mende kat serta menodongkan golok-nya, bentaknya: "Lekas
katakan, masih ada barang lain di badanmu?"
Melihat keadaan gawat, pemuda baju sutera lekas berteriak:
"Ceng-ji, lekas . . . . . . uang perak perak dikantongmu keluarkan
semua." Dengan tangan gemetar kacung itu merogoh kantong dan
menge luarkan uang e mas dan beberapa keping uang perak dan
diletakan di tanah, katanya: "Semua . . . . . . semua ada . . . . . .
ada di sini."
"Hanya ini saja?" laki2 bergolok itu me nyeringai.
Kacung itu ketakutan, mukanya pucat kuning, sahutnya: "Betul .
. . . . . tiada lagi."
Laki2 bertopeng itu menjadi berang, golok dia te mpe lkan ke leher
pemuda baju sutera, ancamnya: "Kalau mau hidup lekas katakan, di
mana kau simpan uangmu?"
Pemuda baju sutera sema kin lunglai ketakutan, mukanya seperti
mayat, mulut megap2 dan bersuara lemah: "Toaya, am . . . . . . .
ampun!" Kacungnya merangka k dan menyembah, serunya: "Tuan2 besar
harap maklum . . . . . . Kongcu mau pulang . . . . . . . uang
sangunya sudah habis di tengah jalan, sungguh . . . . . . . hanya itu
saja yang masih ada."
Menyeringai pe mimpin rombongan itu, katanya: "Agaknya
sebelum melihat peti mati kalian tidak akan menangis, tuan
besarmu. ."
Takut luar biasa pemuda baju sutera itu, ia berteriak: "A mpun,
am . . . a mpun?"
Pada saat gawat itulah "tring", tiba2 golok yang mengancam
leher pemuda baju sutera itu mencelat, belum lagi pe megang golok
itu se mpat berteriak kaget, tahu2 goloknya sudah terbang jauh.
Terdengar seorang mendengus: "Begal bernyali besar, berani
beroperasi di ja lan raya dekat kota raja?"
Sekilas ta mpak mencorong sorot mata pe muda baju sutera yang
masih lungla i di tanah.
Kala itu hari sudah mendekati petang, kejadian teramat
mendadak, serempak kawanan begal berkedok itu melengak,
mereka menoleh kesana. Tampak dari arah Ko-pak-gau entah sejak
kapan berdiri seorang laki2 muka merah, jubah panjang warna biru
yang dipakainya sudah luntur, terbuat dari kain kasar pula, jelas dia
orang dari kalangan kurang ma mpu.
"Saudara dari golongan mana?" hardik pe mimpin begal.
Laki2 jubah biru luntur itu menyahut angkuh: "Aku bukan orang
dari golongan manapun."
Sekilas mengerling ke arah laki2 jubah biru, pe mimpin begal
menjenge k: "Saudara agaknya bukan penduduk setempat, kuharap
kau tidak menca mpuri urusan orang lain, menyingkirlah!
Laki2 jubah biru bergela k tawa, katanya: "Setiap orang di kolong
langit ini boleh mengurus apapun yang terjadi di kolong langit ini,
aku tidak senang me lihat cara me mbega l dengan kekerasan begini."
Pemimpin begal terbahak2, katanya: "Anak muda, kenapa tidak
kau pentang matamu, me mangnya kau belum pernah dengar na ma
besar Jit hiong (tujuh jagoan) dari Ko-pak-gau?" - Waktu dia
mengulap sebelah tangan, dua laki2 berkedok segera mengayun
golok me nubruk ke arah laki2 jubah biru itu.
Keruan pemuda baju sutera kaget. teriaknya kuatir: "Kalian tak
boleh me mbunuh orang"
"Hanya dua saja yang maju masih belum tandinganku," ejek laki2
jubah biru. Waktu bicara ke-dua orang berkedok itupun sudah
menubruk tiba, tanpa bicara mereka ayun golok terus membacok
dan menabas. Jangankan mengawasi, melirikpun tidak laki2 jubah biru atas
serangan kedua golok ini, ia tidak berkelit juga tidak mengegos,
waktu mata golok hampir mengenai badannya, tiba2 tangan kanan
meraih, sebat sekali pergelangan tangan laki2 sebelah kanan yang
pegang golok dia betot terus didorong ke kiri.
Hakikatnya tidak terlihat jelas, tahu2 golok dari orang itu sudah
didorong menubruk ke sebelah kiri, goloknya terayun kencang
me lintang, "trang", dengan tepat dia tangkis bacokan golok
temannya yang menyerang dari sebelah kiri. Keduanya sama
tergetar sakit tangannya oleh benturan keras ini, ha mpir saja golok
tak kuasa dipegang lagi, serempak mereka tertolak mundur dua
langkah. Hanya segebrak saja keduanya sudah kecundang, sudah
tentu mereka tidak terima, sembari menghardik ke mbali mereka
putar golok menyerbu pula.
"Manusia yang tidak tahu diri," jengek laki2 jubah biru. Tiba2
badannya berputar, kaki kanan terayun menyapu kencang. Gerak
sapuan kaki secepat kilat, belum lagi kedua la ki2 berkedok itu
menubruk tiba, dua2nya sudah tersapu jungkir-balik dan mencelat
dua tomba k jauhnya.
Celakalah mereka mengge linding ke lereng gunung, meski tidak
sampai terluka parah, tapi tulang seluruh tubuh serasa retak,
setengah harian mereka menjerit kesakitan tak ma mpu bergerak.
Kaget dan gusar pemimpin begal, sa mbil ang-kat tinggi golok
bajanya dia membentak: "Se mua maju, cacah hancur tubuh keparat
ini!" - Lima orang berkedok serentak merubung maju, sinar golok
ke milau segera menyambar.
Pemuda baju sutera dan kacungnya kini sudah berdiri, malah
mereka tidak mena mpilkan rasa takut lagi. Kini kedua orang ini
dapat menonton, ke lima orang berkedok bagai lima e kor harima u
kelaparan ingin menerka m mangsanya, mereka menubruk sa mbil
ayun golok me mbacok dan me mbabat serabutan dari sega la arah.
Tapi laki2 jubah biru itu tetap tenang2, di antara gerakan kedua
tangannya, dengan telak tangan kanannya dapat menepuk punda k
kiri laki2 berkedok pe mimpin begal itu, orang itu mengerang
tertahan dan terpental, "bruk", dengan keras terbanting dua tombak jauhnya. Sekali tangan kiri meraih pula la ki2 jubah biru tangkap
pergelangan tangan seorang lagi, golok yang masih terpegang di
tangan orang itu dia angkat untuk mengetuk golok orang ketiga
yang menyerang tiba. "Trang", golok orang ketiga kontan mence lat, berbareng dia lepaskan pegangannya sehingga laki2 yang dia
pegang itu roboh tersungkur me ncium tanah.
Sekaligus t iga musuh telah dia bereskan, begitu sikut kanan
bekerja, dia sodok pula orang ke empat tepat di bawah ketiaknya.
Orang inipun mengerang kesakitan, dengan mundur se mpoyongan
dia mendekap perutnya sambil menungging. Ke mba li lengan baju si
jubah biru me ngebut, dengan telak ujung lengan bajunya
menggubat golok orang kelima. Kali ini kepandaian yang dia
unjukkan lebih mena kjubkan lagi, betapa keras dan tajam golok
baja itu, tapi entah mengapa, hanya sekali kebas golok lawan sudah
tergulung. " Bruk", tahu2 golok besar itu berubah selarik sinar
ke milau terbang tinggi me luncur ke dala m hutan dan lenyap tak
keruan paran, pemilik golok sendiri sampa i berdarah tangannya,
cepat dia melompat mundur sa mbil mendekap tangan sendiri.
Kejadian ini terlalu panjang diceritakan, padahal hanya
berlangsung dala m sekejap saja. Bagi pandangan si pe muda baju
sutera dan kacungnya, begal2 yang garang itu tahu2 lantas kalangkabut dihajar oleh penolongnya.
Laki2 jubah biru tidak bertindak lebih jauh, dengan berdiri
menggendong tangan dia tertawa lantang: "Jago Kok-pak-gau apa
segala, kiranya hanya begini saja, mala m ini hanya sedikit kuberi
peringatan, kalau berani melakukan pe mbegalan dan mencabut jiwa
orang, awas bila kebentur di tangan-ku lagi pasti tidak kuberi
ampun." Lekas pe mimpin begal merangkak bangun, setelah menje mput
goloknya, tanpa bicara dia memberi tanda kepada keenam
saudaranya terus ngacir.
Melihat kawanan begal sudah pergi, bergegas kacung itu
me mbenahi barang mereka yang tercecer di ja lan. Pemuda baju
suterapun menghe la napas lega, dia mengha mpiri serta menjura
kepada laki2 jubah biru, katanya: "Syukur tuan telah menolong ka mi
berdua, budi pertolongan jiwa ini takkan kulupa kan sela manya,
harap terima lah puji hormatku."
Lekas laki2 jubah biru ba las menjura, katanya: "Berat kata2
Kongcu, kawanan begal ini berani beroperasi di daerah dekat
kotaraja, mereka patut dihajar adat, apalagi kebentur di tanganku,
sebagai kaum persilatan wajib kubantu yang le mah dan menindas
yang lalim. Selanjutnya kuyakin mereka pasti takkan berani
bertingkah pula dite mpat ini, sila kan Kongcu melanjut kan
perjalanan, Cayhe juga ingin lekas sampai ke te mpat tujuan, mohon
pamit," Habis berkata dia menjura terus putar badan dan me langkah
pergi. "Tunggu sebentar saudara," seru pemuda baju sutera.
Laki2 jubah biru berhenti, tanyanya menoleh: "Kongcu masih ada
urusan apa?"
"Saudara seorang pendekar yang me mbantu kaum le mah dan
me mbe la kebenaran. Pernah kubaca dalam hikayat para pendekar di
jaman dahulu, kukira ja man sekarang sudah tiada kaum pende kar
segala, baru hari ini bertemu dengan saudara sehingga mataku
benar2 terbuka, sungguh beruntung sekali aku ini. Kini cuaca sudah
hampir gelap, saudara jelas sudah tak keburu masuk kota, tak jauh
di depan adalah An kiang tun, umpa ma saudara buru2 melanjut kan
perjalanan juga harus cari penginapan, maka menurut hemat
Siaute, bagaimana kalau saudara kuundang ke sana untuk ma kan
minum bersama sa mbil mengobrol, sudikah kau me mberi muka?"
Melihat orang me mohon dengan tulus dan jujur, tanpa terasa dia
tertawa, katanya: "Kongcu sudah bilang de mikian, bagaimana pula
aku berani menola knya" Me mang Cayhe akan menginap di Ankiang-tun, kalau undangan Kongcu kutolak, rasanya kurang
hormat." Pemuda baju sutera kegirangan, serunya: "Saudara sudi me mberi
muka, sungguh me nyenangkan,"
ia mengawasi la ki2 jubah biru, lalu berkata pula: "Kita bertemu di
tengah perjalanan bukan lantaran pertolongan saudara tadi, yang
terang kita agaknya me mang ada jodoh, panggilan "Kongcu" padaku
sungguh tak berani kuterima, kalau sudi biarlah kita saling
me mbahasakan saudara saja, entah bagaimana pendapat mu?"
"Cayhe orang persilatan yang kasar, bagaimana ... ... "
"Aku yang muda Pho Ke k-pui, kalau saudara sudi boleh panggil
aku Ke k pui saja, entah siapa na ma dari she saudara yang mulia?".
"Cayhe Lim Cu jing."
"Kiranya Lim heng, ma la m sudah tiba, marilah kita berangkat
saja. Lim-heng."
"Boleh Pho-heng naik kuda saja," ucap Lim Cu jing.
Sudah tentu Pho Kek pui tidak mau naik kuda, katanya: "Dari sini
tak jauh ke An-kiang tun, kebetulan mendapat te man Lim-heng,
biarlah kita jalan kaki saja sa mbil ngobrol " - Lalu dia berpaling
me mberi pesan kepada kacungnya: "Ceng-ji, bawalah kuda
berangkatlah lebih dulu ke An-kiang-tun, mintalah Ban-an-can
me luangkan dua ka mar bersih untuk ka mi, suruh pula siapkan
beberapa macam hidangan kege maranku, ma la m ini aku a kan
ngobrol se mala m suntuk dengan Lim- heng."
Sambil mengiakan kacung itu cemplak kuda terus dibedal ke
depan, Pho Kek-pui mengiringi Lim Cu-jing berjalan kaki sambil
ngobrol panjang lebar, Terasa oleh Lim Cu jing bahwa pemuda belia
ini bukan saja sikapnya ramah, tutur katanya juga lembut,
terpelajar, pengetahuannya cukup luas, sehingga percakapan
mereka se ma kin cocok dan intim.
Tiba di An-kiang-tun, la mpupun telah menyala di mana2, toko2
kecil di pinggir jalan sudah tutup pintu semuanya, hanya kelihatan
beberapa sinar pelita masih menyorot ke luar dari sela2 pintu
jendela, tak jauh di muka tampak sebuah la mpion warna kuning
dengan sinar guram bergoyang tertiup angin mala m, di sanalah
letak Ban-an-can, sebuah hotel merangkap rumah makan.
An-kiang-tun hanya sebuah tempat persinggahan kaum musafir
yang kemala man di tengah perjalanan, tapi karena letaknya tepat di
tengah antara Ko-pak-gau dan Lian-ping, banyak kaum pedagang
yang terpaksa nginap di sini, maka jalan raya yang ramai ini
menjadi pusat perbelanjaan penduduk setempat. Setelah tutup toko,
penduduk suka ke luyuran di luar mencari angin dan jajan di
warung2, sudah tentu di sini ada pula sarang judi dan perempuan
yang siap menghibur laki2 yang kesepian.
Ban-an-can me miliki dua maca m ka mar, ka mar biasa dan ka mar
istimewa, ka mar ist imewa ini biasa dikhususkan untuk kaum
perempuan bangsawan atau isteri pejabat yang kebetulan nginap di
hotel kecil ini, di seberang jalan ada pula sebuah rumah makan,
meski t idak besar, tapi menyediakan delapan meja juga.
Kamar istimewa Ban-an-can mala m ini seluruhnya diborong Phokongcu. Kacung cakap itu bersama seorang pelayan hotel telah
menunggu di muka pintu, melihat Pho-kongcu datang bersama, Lim
Cu-jing, lekas dia me mburu maju serta menjura, katanya: "Lapor
Kongcu, ha mba sudah pesan ka mar dan hidanganpun sudah siap,
silakan Kongcu masuk kedala m."
Pelayan juga maju menya mbut serta membungkuk: "Silakan para
Kongcu!" Pho Kek-pui berpaling, katanya: "Silakan Lim-heng."
Lim Cu-jing balas menyila kan orang, akhirnya mereka masuk
bersama keruang depan, tertampak ada beberapa meja, keadaan
rada sepi, banyak meja yang kosong, meja yang terbesar dan
terletak di tengah tampak sudah siap menghidangkan beberapa
maca m masakan.
Ceng-ji dan pelayan sa ma2 me layani mereka ma kan minum.
Pho Kek-pui silakan Lim Cu-jing minum dan makan sa mbil ajak
bicara: "Lim-heng, ke manakah tujuanmu?"
Lim Cu-jing hirup secangkir arak lalu menyahut: "Ke Jiat-ho."
"Untuk apa Lim-heng ke Jiat-ho?"
"Ada seorang paman Cayhe me mbuka Piau-kiok disana, khusus
mengantar barang keluar perbatasan, Cayhe sudah lama berkelana
di Kangouw, selama ini tidak me mbawa hasil apa2, maka ingin
kesana mencari pe kerjaan tetap saja."
Pho Kek-pui mengerling, sorot matanya mena mpilkan rasa
gegetun, mulutnya sudah terbuka tapi urung bicara, tapi akhirnya
toh dia berkata juga: "Dengan beka l kepandaian Lim heng yang
tinggi ini hanya mau be kerja dala m sebuah Piau-kiok, apakah tida k
me mbena mkan masa depanmu sendiri?"
Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lim Cu-jing tertawa, katanya: "Cayhe seorang Kangouw,
terpaksa harus mencari hidup dala m percaturan dunia persilatan,
bekerja di Piaukiok hanyalah jalan satu2nya yang dapat kutempuh?"
"Walau Siaute baru pertama kali ini bertemu dengan Lim-heng,
tapi rasanya kita seperti sahabat lama saja, kita sudah saling
me mbahasakan saudara lagi, bila Lim-heng sudi pergi ke kotaraja,
Siaute akan bantu mencarikan pekerjaan di sana."
Lim Cu-jing menggeleng, katanya tertawa: "Banyak terima kasih
atas kebaikan Pho-heng, kota-raja adalah kota mewah, orang
Kangouw seperti diriku ini belum tentu cocok hidup dikota rama i itu.
Ceng-ji angkat poci, dia isi penuh pula cangkir kedua orang.
Pho Kek-pui angkat cangkir dan berkata: "Budi pertolongan Limheng yang besar tak berani Siaute bilang akan me mbalasnya,
biarlah kuaturkan secangkir arak ini seka ligus untuk merayakan
persahabatan baru kita." - Lalu dia tenggak habis lebih dulu
araknya. Lim Cu-jing mengiringi minum, katanya: "Kita kan sudah
bersahabat, kalau Pho-heng selalu bicara soa l menolong jiwa segala,
apa tidak merikuhkan kiranya?"
Pho Kek-pui tertawa, katanya: "Lim-heng benar, Siaute me mang
pantas dihukum "
Setelah Ceng-ji mengisi penuh cangkir mereka, ke mbali dia
tenggak habis secangkir, tanyanya: "Di rumah Lim-heng masih
punya famili siapa?"
"Di rumah masih ada ibunda seorang saja."
Be Kisah Pendekar Bongkok 8 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Harpa Iblis Jari Sakti 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama