Ceritasilat Novel Online

Pendekar Kidal 24

Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Bagian 24


rputar bola mata Pho Kek-pui, katanya: "Berapa usia Limheng, belum berke luarga bukan?" Setelah dua cangkir masuk perut,
mukanya tampak mulai merah.
"Cayhe berusia dua puluh empat, kaum kelana Kangouw, mana
berani berumah tangga?"
Tiba2 Pho Ke k-pui tertawa pula, katanya: "Lim-heng lebih tua
empat tahun dari aku, pantasnya aku panggil Toa ko pada mu." Sebelum Lim Cu jing bicara dia menya mbung lagi: "Lim-heng begini
gagah dan serba pintar, ada sepatah kata ingin kuutarakan, entah
boleh tidak?"
"Pho-heng boleh bicara saja."
"Siaute punya seorang adik pere mpuan, tahun ini berusia
sembilan be las, Siaute tidak berani mengagulkan dia, tapi dapat
dikatakan serba pandai dan cukup se mpurna, kalau Lim-heng sudi
Siaute suka me mbantumu . . . . "
Lekas Lim Cu-jing menggoyang tangan, katanya: "Pho heng suka
berkelakar, Cayhe seorang gelandangan Kangouw., sekali2 tak
berani pikirkan soal nikah segala."
"Kenapa Lim-heng merendahkan derajat sendiri, seorang
pahlawan tidak dinilai keturunannya, Siaute sudah bilang Lim-heng
pasti bukan orang sembarangan, kalau adikku bisa me mperoleh
suami segagah kau justeru dia yang untung."
"Pho-heng terlalu me muji, soal ini jangan dibicarakan lagi, Cayhe
...." Kebetulan pelayan mengantarkan hidangan pula, Pho Kek-pui
mengawasinya dengan tertawa, tapi dia tidak berbicara lebih lanjut.
Lekas sekali hidangan susul menyusul disuguhkan pula sampa i
me menuhi meja. Meski bukan masakan pilihan, tapi di tempat
sekecil ini dapat menghidangkan masakan ini, boleh dikatakan
lumayanlah. Menghadani hidangan yang me menuhi meja di depannya, Lim Cu
jing menjadi rikuh, katanya: "Buat apa Pho-heng memesan masakan
sebanyak ini?"
"Siaute dapat berkenalan dengan Lim-heng, sungguh beruntung
sekali, ma ka Siaute perlu merayakannya, malah Siaute kuatir
hidangan ini tidak me menuhi selera Lim heng."
Haru Lim Cu jing dibuatnya, katanya: "Pho-heng terlalu baik
padaku." Pho Kek- pui sudah mulai terpengaruh oleh arak yang
ditenggaknya, mukanya tampak merah, matanya mengerling,
tanyanya: "Orang jaman dulu sering menggunakan arak untuk
mengikat persaudaraan, sejak kini Siaute pandang Lim-heng sebagai
saha-bat karibku, apakah Lim-heng sudi pandang Siaute sebagai
teman sehaluan pula?"
"Pho-heng sudi pandang Cayhe sebagai orang sendiri, sudah
tentu kuterima maksud baikmu ini."
Pho Kek-pui berseru girang: "Apakah kau bicara setulus hati?"
"Persahabatan yang sejati harus terukir di dalam hati, sudah
tentu Cayhe bicara sejujurnya."
"Bagus, Lim- heng, hayo habiskan secangkir lagi, mala m ini
Siaute benar2 sangat ge mbira."
Begitulah mere ka makan minum sa mpai Pho Ke k-pui ha mpir
mabuk, menyadari keadaannya yang sudah tak tahan lagi, Pho Kekpui berkata: "Lim-heng masih kuat minum, tapi Siaute tak tahan
lagi, sungguh sayang. Mohon maaf, biarlah Siaute masuk ka mar
istirahat saja."
"Betul, silakan Pho-heng istirahat saja," ucap Lim Cu jing.
Ceng-ji dan dua pe layan segera me layani Pho Kek-pui masuk ke
kamarnya. Mala m itu tiada terjadi apa2, esok pagi waktu Lim Cu-jing bangun
tidur dan me mbuka pintu, seorang pelayan sudah berdiri di depan
pintu dan mengangsurkan sepucuk surat, katanya: "Lim-ya sudah
bangun, Pho-kongcu ada pesan supaya hamba menyerahkan
sepucuk surat ini langsung kepada Lim-ya."
Lim Cu jing me mbaca pada sampul
surat itu tertulis: "Disa mpa ikan kepada Lim heng pribadi".
"Mana Pho kongcu?" tanya Lim Cu jing.
"Pho-kongcu ada urusan penting, sebelum fajar telah berangkat
lebih dulu," jawab pelayan.
Lim Cu-jing heran, tapi dia manggut2. Pelayan segera berlalu, tak
la ma kemudian datang pula me mbawa sebaskom air untuk cuci
muka. Lim Cu-jing me mbuka sa mpul surat, dia keluarkan secarik kertas
yang ditulis dengan huruf yang bergaya indah dan rapi, bunyi surat
itu de mikian: Diaturkan kepada saudara. Cu jing yang mulia,
Persahabatan di rantau sungguh merupakan pengala man yang
menyenangkan sela ma hidup Siaute. Karena ada urusan penting,
pagi2 Siaute sudah berangkat lebih dulu, kuatir mengganggu tidur
Lim heng, terpaksa kutinggalkan sepucuk surat ini, dala m perjalanan
ke Jiat-ho, bila Lim-heng gagal mendapatkan pekerjaan, di sini
terlampir sepucuk surat untuk seorang pembesar kenalanku. boleh
saudara ke sana dan mencobanya, kuda seekor kutinggalkan supaya
Lim-heng gunakan, de mikian pula lima puluh tahil e mas ini untuk
sangu di perjalanan, untuk ini sudi kiranya Lim-heng me nerimanya.
Hanya sekian saja yang dapat kuutarakan melalui surat ini,
Salam hangat dari adikmu,
Pho Kek-pui. Habis me mbaca surat ini, diam2 Lim Cu-jing me mbatin: "Dia
punya hubungan baik dengan penguasa di J iat ho, me mangnya dia
bangsa Ki-jin?"
Waktu dia merogoh ke da la m sa mpul, di dala m me mang ada
le mpitan sa mpul surat yang lain dan bertuliskan: "Disa mpaikan
kepada Hu-tok-jong pribadi."- Nadanya tidak begitu sungkan. Waktu
sampul itu dia balik ternyata tidak direkat, keruan Lim Cu-jing
semakin heran, maka dia ke luarkan surat di dala mnya dan dibaca,
tulisannya hanya sebaris yang berbunyi: "Dengan ini kuperkenalkan
sahabatku Lim Cu-jing, harap dilayani se mestinya, kebaikan yang
diterimanya akan kurasakan juga." - Di bawah tulisan ada sebuah
cap bergaris melingkar, waktu ditegasi kiranya dua huruf Boan.
Nada surat yang satu ini bila dibanding dengan isi surat yang
ditujukan dirinya sungguh sangat jauh bedanya, kalau surat untuk
dirinya menyatakan penyesalannya harus berpisah dan betapa tebal
rasa persahabatannya, tapi surat yang kedua ini bernada
me merintah dari seorang atasan kepada bawahannya.
Pho Kek-pui, me mangnya siapa dia"
Segera Cu-jing le mpit pula surat itu dan dimasukkan ke dala m
sampul terus disimpan dalam kantong, setelah bebenah lalu dia
keluar. Rekening hotel jelas sudah dibayar oleh Pho Kek-pui, di luar
pelayan sudah menuntun seekor kuda dan menunggunya. Di depan
pelana kuda terikat sebuah buntalan warna ungu, bobotnya agak
berat, kiranva berisi uang mas.
Meski keberatan terpaksa Cu-jing terima juga barang tinggalan
ini, sekenanya dia rogoh saku me mberi sekeping uang perak kepada
pelayan, kuda terus dibedal me lanjutkan perjalanan.
ooo(00dw00)ooo Kota Seng-tek terletak di barat propinsi Jiat-ho, sebuah kota
pegunungan yang permai.
Tahun ke-42 kaisar Khong-hi bertahta, dia mendirikan Pi-s ioksan-ceng di sini, akhirnya dina makan vil a raja di Jiat-ho,
bangunannya megah dan angker, letaknya di atas puncak yang
menghadap danau dan me mbelakangi pegunungan yang indah
permai. Meski kota pegunungan, tapi Seng-tek merupakan pusat
pemerintahan di daerah ini. Terutama kaisar Khong-hi sering liburan
di sini, tamasya dan berburu binatang. Kehidupan dalam kota cukup
makmur ra mai, meski kurang sepadan dibanding kotaraja, tapi tak
kalah ra mai dan ma kmurnya dari pada ibu kota propinsi la in.
Kota ini merupakan pusat berkumpulnya suku bangsa Han,
Mancu, Mongol, Tibet dan Uigur, orang2 yang berlalu lalang di ja lan
raya sama mengenakan paka ian adat suku bangsa masing2, meski
berbeda bahasa dan tata cara, tapi mereka dapat bergaul dan
bersahabat dengan rukun, masing2 berusaha menurut lapangan
kerja sendiri, tak pernah terjadi pertikaian.
Jadi kota gunung ini seperti sebuah perkampungan besar dari
lima suku bangsa yang ca mpur aduk, keadaan yang luar biasa ini
takkan terdapat di kota2 lain. Jalan raya yang menjurus ke arah
timur terhitung tempat yang pa ling ra mai di seluruh kota, pedagang,
restoran, berbagai maca m toko serba ada di sini. Ma klumlah Sengtek merupakan kota terbesar di daerah Ko-pak-gau, kaum pedagang
dari segala penjuru sa ma berpusat di sini, kalau bukan berbelanja
juga mesti menginap dan bertamasya di kota pegunungan yang
sejuk dan nyaman ini, sudah tentu keadaan dalam kota semakin
ramai. Di jalan raya timur yang agak menjurus ke ujung sana terdapat
sebuah gang kecil yang melintang berna ma Tam-hoa-pui, agar
mengikut i perubahan jaman, gang kecil ini sekarang dina ma kan
Khek-can oh-hui, karena di gang kecil ini banyak terdapat hotel atau
losmen. Di sini ada sembilan hotel besar kecil, yang terbesar adalah
Tang sun-can, pintu luarnya saja begitu luas sampai mengguna kan
tujuh sayap pintu masuk, di dala mnya beberapa lapis pekarangan
dan bangunan, bukan saja kamar2 di sini cukup baik, pelayanan pun
istimewa, Tang-sun-ting yang terletak dibilangan paling depan
merupakan bangunan yang mewah untuk te mpat makan minum.
tamu2 yang tidak menginap juga boleh makan di sini sesukanya.
Kalau jalan raya timur ini pa ling ra mai di seluruh kota, maka gang
kecil dengan restoran Tang sun ting dari Tang-sun-can ini ada lah
paling menonjol di bilangan ja lan raya timur ini.
Padahal dala m satu gang kecil itu ada se mbilan hotel yang sa ma
me mbuka restoran pula, konon setelah Tang-sun-ting penuh sesak
dan tak kuasa me layani arus ta munya baru ta mu2 yang datang
belakangan mau masuk ke restoran yang lain, tapi restoran yang
lain setiap hari juga selalu penuh sesak. Usaha dalam satu bidang
adalah ja mak kalau bersaing, saling sirik dan dengki, tapi cukong
atau pemilik Tang-sun-can ini kabarnya me mpunyai asal-usul yang
tidak se mbarangan, bukan saja di seluruh wilayah Jiat-ho dia cukup
terpandang, di kalangan pe merintahan juga dia cukup dihargai,
hubungan cukup int im dengan para pejabat yang berkuasa dari
kelas rendah sa mpai tingkat tinggi, kabarnya majikan Tang sun can
me mang punya tulang punggung yang kuat di kotaraja.
Seorang tokoh yang kaya raya, yang punya tulang punggung
para pejabat lagi adalah jamak kalau tersohor dan dikenal ba ik oleh
khalayak ra mai di Jiat-ho, kenyataan justeru tidak de mikian.
Anehnya, sampaipun pegawai Tang-sun-can sendiri, kecuali tahu
majikan mere ka dipanggil Kan loya, segala sesuatu priha l
majikannya tiada seorangpun yang tahu. Kan-loya se-olah2 tokoh
misterius, orang yang cuma berada di be lakang tabir, maka tiada
seorangpun yang tahu dan pernah me lihat mukanya.
Oleh karena itu timbul rekaan orang bahwa pemilik Tang sun-can
adalah salah seorang pe mbesar di kotaraja yang menana m
moda lnya di sini, se mentara Kan-loya tida k lebih hanyalah sa lah
seorang budak yang dipercaya saja untukmengurusi
perusahaannya. Sudah tentu ini hanya rekaan saja, siapapun tiada
yang bisa me mbuktikannya.
Pada siang hari itu, di depan pintu Tang-sun-can datang seorang
laki2 bermuka merah, usianya paling2 baru empat likuran,
mengenakan jubah biru yang sudah luntur warnanya, tapi kuda
yang ditungganginya ternyata seekor kuda pilihan yang gagah
kekar. Sekilas pandang orang akan tahu bahwa dia kaum persilatan.
Pelayan yang bertugas di luar pintu segera menerima tali kendali,
sementara seorang pelayan lagi maju menyambut sa mbil menjura:
"Tuan mau menginap atau mau makan siang sekedar me lepas
lelah?" "Mau menginap," sabut laki2 muka merah.
"Tuan sila kan!" pelayan munduk2 sambil menyila kan tamunya
masuk ke dala m.
Laki2 muka merah segera melangkah masuk ke da la m, pelayan
berkata pula: "Tuan mau ka mar istimewa atau ka mar biasa?"
"Ka mar istimewa," sahut la ki2 muka merah singkat.
Mendengar orang mau me nginap di ka mar istimewa, sema kin
lebar tawa pelayan, berulang dia mengia kan, katanya: "Tuan tamu
she apa dan datang dari mana."
Laki2 muka merah kurang senang, katanya: "Apa2an, nginap di
hotel juga harus laporan segala?"
"Harap tuan tidak salah paha m," lekas pelayan menjelaskan,
"soalnya pihak berwenang di sini se mala m mengeluarkan maklumat,
barang siapa menginap dihotel harus didaftar, nama dan asal usul
serta alamat asalnya, memang de mikianlah ketentuan setiap tahun
bila tiba musimnya orang berburu, bagi tuan2 tamu la ma pasti
sudah paham, mungkin tuan baru sekali ini datang ke Jiat ho?"
"O," laki2 muka merah mengangguk maklum. "Ba iklah, aku Lim
Cu-jing, datang dari Kangla m. Sudah cukup?"
"Tuan me mang suka berterus terang, soalnya daftar harus
dilaporkan, harap tuan tidak kecil hati. Mari kutunjukkan ka marnya."
pelayan segera bawa Lim Cu jing me masuki sebuah ka mar ka mar
istimewa dari Tang-sun-can me mang betul2 istimewa, bukan saja
kamarnya besar luas, jendelanya juga berkaca dan pintu angin
serba ukiran, perabotnya mewah dan antik, kain seprei dan bantal
guling se muanya baru.
"Bagaimana dengan ka mar ini tuan?" tanya pelayan.
Lim Cu jing manggut, pelan2 dia melangkah masuk. Pelayan
segera menuang secangkir teh dan disuguhkan, katanya: "Tuan
masih ada pesan apa?"
"Sudah tiada," sahut Lim Cu-jing. Pelayan segera mengundurkan
diri sambil menutup pintu dari luar.
Lim Cu-jing merebahkan diri di ranjang sesaat la manya,
ke mudian me mbuka pintu dan keluar menuju ke Tan-sun-ting.
setelah ma kan siang baru dia tanya kasir di mana letak ja lan
"Rejeki", sudah itu lalu dia berlenggang ke jalan raya.
Letak jalan Rejeki sudah mendekati pintu gerbang kota selatan,
di sini keadaan agak sepi dan tenang, kecuali ada sebuah toko buku
dari toko kelontong, tiada orang lain lagi yang berjualan.
Sebetulnya Lim Cu-jing sudah jauh2 hari me ncari tahu keadaan
di sini, sudah tentu keadaan ini tidak me mbuatnya heran, sengaja
dia mondar-mandir beberapa kali di jalan raya situ baru pelan2
me masuki toko buku, langsung dia menjura kepada seorang tua
yang duduk di kursi serta menyapa dengan tawa: "Sela mat siang
Lotiang." Laki2 tua itu sedang berangin2 sa mbil mengisap pipa
cangklongnya, melihat Lim Cu jing me masuki tokonya segera dia
menya mbut sambit tertawa lebar: "Siangkong mau me mbe li buku
apa?" "Cayhe bukan mencari buku, mohon tanya kepada Lotiang, di
jalan Rejeki ini ada sebuah Tin-wan Piaukiok, entah ke mana
sekarang pindahnya?"
Laki2 tua me mandang Lim Cu-jing sekilas lagi, katanya: "Agaknya
tuan baru pertama ka li datang ke Jiat-ho sini" Tin-wan Piaukiok


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah la ma tutup pintu."
Lim Cu-jing pura2 melengak kaget, katanya menegas: "Tin-wan
Piaukiok sudah tutup pintu?"
"Kira2 dua bulan yang lalu, Lo-piauthau Lim Tiang-khing
meninggal dunia, maka perusahaan itu-pun menghentikan
usahanya."
Hou-pian-liong jiau ( ca mbuk harimau ca kar naga) Lim Tiangkhing terhitung jago silat kena maan di lima propinsi utara, Lionghou-ki ( panji naga harimau ) dari Tin-wan Piaukiok sudah jauh
menje lajah keluar perbatasan selama tiga puluhan tahun dan belum
pernah mengala mi musibah apapun.
Lim Cu-jing mengunjuk rasa kecewa, katanya sambil menjura:
"Kalau begitu banyak terima kasih atas keterangan Lotiang," segera dia mengundurkan diri.
Beruntun dua hari Lim Cu-jing t inggal di hotel, karena iseng,
maka dia sering keluyuran di ja lan raya.
Hati ketiga tengah hari, waktu dia pulang ke hotel, baru saja dia
me langkah masuk, pelayan lantas berlari mengha mpiri, katanya:
"Lim-ya, pagi tadi datang seorang Jin-ya mencarimu, ha mba bilang
engkau sedang pergi, maka Jin-ya itu bilang siang ini akan datang
lagi." Lim Cu jing heran, di Jiat ho boleh dikatakan dia tidak punya
seorang kenalan siapapun, maka dia bertanya: "Apa dia tidak
me mperkenalkan na manya?"
"Tida k, Jin-ya itu cuma bilang te man ba ikmu."
Lim Cu-jing berpikir katanya. "Aneh, Cayhe selamanya tidak
punya teman she Jin."
"Mungkin engkau lupa, untung dia tadi bilang mau datang lagi
siang ini."
Lim Cu jing mengia kan dan kembali ke ka marnya. Pelayan segera
mengaturkan minuman. Lim Cu-jing tida k tahu siapa orang she Jin
itu" Untuk keperluan apa pula mencari dirinya" Sehabis minum baru
saja dia duduk di kursi di dekat jendela, didengarnya orang
mengetuk pintu, pelan2 daun pintu terpentang, kepala pelayan tadi
tampak menongol, katanya dengan tertawa: "Lim-ya, tuan Jin itu
sudah datang mencarimu lagi."
Waktu Lim Cu jing berdiri, pelayan sedang berkata pula di luar
pintu: "Sila kan Jin-ya!"
Maka tertampaklah seorang la ki2 berusia sekitar lima puluhan
mengenakan jubah sutera panjang warna biru tua melangkah
masuk dengan pe lahan.
Lim Cu-jing yakin dirinya tidak pernah kena l laki2 ini, tapi karena
orang sudah masuk terpaksa dia menya mbut kedatangannya.
Sebelum Lim Cu-jing buka suara laki2 itu sudah tertawa sambil
menjura, katanya: "Tuan ini tentunya Lim- tayhiap?"
"Cayhe me mang betul Lim Cu jing."
"Aku yang rendah Jin Ji-kui, pagi tadi aku sudah kecelik. majikan
kami sudah tak sabar lagi, baru saja habis ma kan siang ka mi
didesak pula datang ke mari, syukurlah bisa kete mu dengan Limtayhiap. Haha, berhadapan muka lebih jelas dari pada mendengar
namanya, sungguh menyenangkan dapat berkenalan dengan Limtayhiap." Melihat sikap orang yang ra mah dan berseri, kata2nya
mengumpak lagi, dia m2 Cu-jing merasa bingung, lekas dia balas
menjura dan berkata., "Jin-lotiang terlalu me muji, pagi tadi Cayhe
ada urusan dan ke luar hingga tuan kecelik, untuk ini Cayhe mohon
maaf, mari silakan Jin-lotiang duduk."
Mereka lalu duduk berhadapan di dekat jendela. Lim Cu-jing
menuang secangkir teh, katanya: "Jin-lotiang sila kan minum."
Jin Ji kui menerima dengan kedua tangan, tawanya semakin
lebar, katanya: "Terima kasih."
"Kedatangan Jin-lotiang entah ada petunjuk apa?" tanya Lim Cu
jing ke mudian.
"Cayhe pengurus surat2 di balai kota, atas perintah majikan
sengaja kemari menyampa ikan sala m kepada Lim-tayhiap," kiranya
dia adalah sekretaris walikota di sini.
Tampak serius muka Lim Cu-jing, katanya: "Kiranya Jin-lotiang
adalah sekretaris walikota yang berkuasa, mohon maaf akan
kelancangan cayhe ini."
"Ah, kenapa Lim-tayhiap bilang de mikian, sema la m majikan
menerima surat dari istana, baru kami tahu bahwa Lim-tayhiap telah
berada di Jiat-ho, maka tadi pagi Cayhe lantas diutus ke-mari, Jiatho me mang daerah kecil, tapi Lim-tay-hiap adalah tamu terhormat
dari majikan ka mi, apa-pun t idak pantas kalau menginap di hotel."
Dia m2 Lim Cu-jing, sudah maklum apa yang dina makan surat
kirima n dari istana pasti kirima n Pho Kek-pui. Maka dia balas
menjura. katanya: "Berat kata2 Jin-lotiang, kedatangan Cayhe ke
Jiat-ho ini, tujuan semula adalah cari pekerjaan pada seorang
paman. Ini urusan pribadi yang sepele, mana berani kubikin repot
pada majikanmu?"
"Surat dari istana sudah menjelaskan bahwa Lim-tayhiap punya
seorang paman yang me mbuka Piaukiok di Jiat-ho, Lim-tayhiap
diundang untuk me mbantu usahanya. maka Lim tayhiap tidak mau
bekerja di kotaraja. Tapi dengan bekal kepandaian Lim-tayhiap
kalau sampa i terbenam di ka langan Kangouw kan terlalu sayang,
dalam surat majikan ka mi ada pesan betapapun diharus kau
me manfaatkan kehadiran Lim-tayhiap serta bakatmu yang tinggi,
waktu Cayhe datang tadi, majikan sudah siap menunggu
kedatanganmu, harap sudi kiranya Lim-tayhiap datang dan bicara
langsung dengan be liau, bagaimana ka lau sekarang juga Limtayhiap berangkat?"
Lim Cu jing ragu2 katanya: "Cayhe adalah rakyat kecil . . . . "
Sebelum Cu jing habis bicara, Jin Ji kui telah menukas: "Kenapa
Lim-tayhiap begini sungkan dan merendah diri, majikan ka mi adalah
anak buah setia yang ditugaskan di sini oleh istana, adalah tugas
kami untuk mengundang Lim-tayhiap ke sana, toh kita sudah
terhitung satu keluarga. kalau terlalu banyak bicara akan
merenggangkan hubungan malah." - Sa mpai di sini dia mendahului
berdiri. "Lim-tayhiap, marilah berangkat sekarang, jangan me mbuat
majikan me nunggu terlalu la ma,"
Karena didesak, terpaksa Lim Cu jing ikut berbangkit, katanya:
"Jin-lotiang sudah bicara sejelas ini, baiklah Cayhe menurut saja."
Jin Ji-kui tergelak2, katanya: "Lim-tayhiap kemba li sungkan lagi.
Haha, terus terang, entah mengapa, walau baru pertama kali ini kita
bertemu, baru bicara beberapa patah kata saja, namun Cayhe
merasa Lim-tayhiap sebagai teman la ma layaknya, agaknya kita
me mang berjodoh."
"Malah Jin lot iang, yang terlalu mengagulkan Cayhe selanjutnya
harap Lotiang suka me mbantu"
Tidak kepalang senang hati Jin Ji-kui karena diumpak, katanya
dengan tertawa: "Kita sekali bertemu seperti kenalan la ma.
selanjutnya me mang harus saling bantu." - Tiba2 dia berseru
tertahan seperti ingat sesuatu, katanya: "Eh, panggilan Lim-tayhiap
tak berani kuterima, usiaku me mang lebih tua beberapa tahun,
kalau sudi boleh kau me mbahasakan saudara tua padaku,
selanjutnya akan kupanggil kau Lote, bagaimana pendapat Limtayhiap?" "Loko sudi mengalah, baiklah Siaute menurut saja " sahut Cu
jing. Jin Ji-kui sema kin girang, dia pegang kencang tangan Lim Cujing, katanya: "Baiklah, selanjutnya aku menjadi saudara tua," Sembari bicara mereka lantas beranjak ke luar.
Tiba di luar tampa k seorang perajurit menunggu di luar pintu
sambil menuntun kuda. Se mentara kacung kuda tadi juga sudah
menge luarkan kuda tunggangan Lim Cu-jing. Serdadu itu bantu Jin
Ji-kui na ik ke punggung kuda, setelah Lim Cu- jing juga cemplak ke
atas kudanya, kata Jin Ji-kui: "Lim-lote, biar Lokoko menunjukkan
jalan bagimu." -Lalu dia mengulap tangan. Serdadu itu segera
menarik tali kendali dan jalan di depan, Lim Cu jing jalankan
kudanya pelan2 mengikut i di bela kang. Tidak la ma mereka sudah
tiba di balai kota.
Tampak di depan pintu gerbang yang megah itu berdiri sebuah
tiang bendera besar dan tinggi, bendera kebesaran walikota
berkibar2 ditiup angin. Di unda kan pendopo berjajar enam serdadu
yang berdinas jaga, semuanya menyoreng golok dipinggang.
kelihatan garang dan gagah.
Setelah turun dari kuda, Jin Ji-kui mengajak ta munya masuk
lewat pintu sebelah kanan. Tiba di dala m, mereka berada di sebuah
serambi panjang yang mene mbus ke pintu kedua, di depan pintu
berdiri dua serdadu, waktu Jin Ji-kui datang serentak mereka berdiri
tegak me mberi hormat.
Jin Ji-kui tidak hiraukan mereka, dia terus jalan ke dala m
me mbawa Lim Cu-jing me masuki sebuah sera mbi yang berpagar
kayu warna merah, di luar pagar adalah taman bunga, di bawah
emper ada beberapa sangkar yang berisi berbagai macam jenis
burung yang sedang berkicau, suasana di sini terasa tenteram dan
sejuk, harum bunga dan kicau burung terasa mengasyikkan.
Sembari jalan Jin Ji-kui berkata lirih: "To Swe mungkin sudah
menunggu di ka mar buku, biar langsung kubawa engkau ke sana
saja." "Loko, sa mpai detik ini Cayhe masih belum tahu siapa she dan
nama To swe?"
"To swe (walikota) she Pho, satu marga dengan yang kuasa di
istana, namanya Bin thay."
"To-swe sedang me meriksa surat dan menyelesaikan urusan
dinas di ka mar buku. disanalah letak kantornya pula yang penting,
cuma kau boleh tak usah menggunakan adat pe merintahan,
biasanya jarang dia terima tamu dikantornya itu, soalnya beliau
pandang Lote bukan orang luar lagi."
"Ya, berkat kebija ksanaan To-swe," ucap Lim Cu-jing.
Kebetulan mereka sudah tiba di depan ka mar buku, tampak di
depan taman bunga ada sebaris rumah2 mungil yang dipajang
serba antik dan indah, kerai bambu menjuntai turun, suasana di sini
sunyi senyap. Di sini terdapat empat pintu panjang, tembok
me manjang mengelilingi bangunan dan taman, pada setiap pintu
berjaga dua orang serdadu.
Jin Ji-kui langsung mendekati pintu, ia bersuara lirih: "lote
tunggu dulu sebentar, biar Lokoko masuk me mberi laporan."
Setelah itu dia meluruskan kedua tangan, dia me mbasahi
kerongkongan lalu menjura ke arah da la m sa mbil berseru: "Ha mba
Jin Ji-kui mengiringi Lim Cu-jing siap menghadap To-swe."
Baru habis dia bicara, tampa k seorang pengawa l baju hijau
menyingkap kerai muncul dia mbang pintu, sekilas dia lirik kedua
orang lalu berkata: "Tayjin me mpersilakan!"
Cepat Jin Ji-kui angkat sebelah tangannya "Sila kan Lim-lote!"
"Cayhe baru datang, silakan Lokoko dulu," ucap Lim Cu-jing.
Jin Ji-kui terpaksa me langkah masuk dulu, kiranya itulah sebuah
ruang tamu yang cukup besar dan luas. di sini terasa nyaman,
pajangan serba serasi, di bagian dala m ada sebuah pintu re mbulan,
me lewati pintu bundar ini baru tiba di kamar, buku. Kebetulan dari
balik pintu re mbulan ini beranjak keluar seorang laki2 bermuka putih
bersih, alisnya gombyok, matanya besar tajam. Orang ini terang
adalah walikota she Pho adanya. Dengan pakaian preman yang
sederhana, sikapnya kelihatan angker dan berwibawa menanda kan
bahwa dia seorang yang disegani.
Bergegas Jin Ji-kui me mbungkuk se mbilan puluh derajat, katanya
sambil me ngunjuk Lim Cu-jing: "Lapor Tayjin, tuan inilah Lim Cujing adanya."
Lim Cu-jing ikut menjura, katanya: "Rakyat kecil Lim Cu jing
menya mpaikan hormat kepada To-swe Tayjin."
Pho-tujong ( walikota she Pho yang sekaligus me megang
kekuasaan militer ) menatap Lim Cu-jing sekian la manya, mukanya
yang putih menampilkan secercah senyum, katanya sambil
mengangguk: "Lim-congsu tak usah banyak adat, silakan duduk." Lalu dia mengha mpiri kursi besar berlapis beludru dan duduk
disana. Lim Cu-jing menjura pula tanpa bergerak, katanya: "Di hadapan
Tayjin, rakyat kecil maca mku ini mana berani . . . . . . . . "
sebelum dia habis bicara Pho-tujong telah menyela : "Lim-congsu
jangan sungkan, di sini ka mar bukuku, biasanya Lohu tidak suka
peradatan, silakan duduk saja."
"Me mang," timbrung Jin Ji-kui bermuka2, "To-swe Tayjin pa ling suka bebas, Lim-congsu boleh duduk saja untuk bicara."
Setelah menyatakan terima kasih, terpaksa Lim Cu-jing duduk di
kursi sa mping Pho-tu-jong.
"Ji-kui," ucap Pho-tu-jong, "kaupun duduklah."
Jin Ji-kui mengiakan dengan munduk2, lalu duduk di kursi
sebelah Lim Cu-jing.
Pengawal tadi segera menyuguhkan dua cangkir minuman terus
mengundurkan diri.
Pho-tujong mengelus jenggot, katanya dengan tertawa:
"Se mala m Lohu menerima surat dari istana, baru kuketahui bahwa
Lim-congsu telah tiba di Jiat-ho, menurut Thio-po yang mengantar
surat, kedatangan Lim-congsu ke Jiat-ho ini berniat mencari kerja di
sebuah Piaukiok milik pa manmu" Piaukiok mana kah milik pa manmu
itu?" "To-swe harap maklum, pa man me mbuka Tin-wan Piaukiok di
Jiat-ho ini."
"O, maksudmu Hou-pian-liong-jiau Lim Tiang-khing." ucap Photu-jong, lalu berpaling ke arah Jin Ji kui: "Ka lau tidak salah Lim
piauthau juga pernah bekerja untuk urusan dinas kita."
Jin Ji-kui berdiri dan menjura, katanya: "Ya, Tin-wan Piaukiok
pernah dua kali mengawal upeti, malah Lim-piauthau sendiri yang
me mbawanya ke-mari dari Ki lin."
"Em," Pho-tu-jong bersuara puas, lalu berpaling pula, katanya
kepada Lim Cu jing: "Masih ada sedikit kesan Lohu atas Limpiauthau, apakah dia ke-luarga se marga dengan Congsu?""
"Bukan, hanya kebetulan saja beliau sahabat karib ayahku
almarhum," sahut Lim Cu-jing.
"Jadi kau bermaksud kerja di perusahaan pengawalan itu?"
"Bulan lima tahun ini beliau pernah tulis surat padaku supaya aku
datang ke Jiat-ho, tapi kemarin waktu aku mendatanginya di jalan
Rejeki, konon Piaukiok itu sudah tutup usaha, malah Lim-piauthau
sudah meninggal dua bulan yang lalu, keluarganya entah pindah
ke mana." Sambil me ngelus jenggot ka mbingnya, Pho tu-jong bertanya:
"Hok-ti ke ke sengaja suruh Thio-po menyusul ke mari, kepada Lohu
dia perkenalkan Lim-congsu karena Lim-congsu me miliki Kungfu
yang luar biasa, sayang kalau bakat sebaik ini di sia2kan, kini Tinwan Piaukiok sudah tutup usaha, biarlah sementara Lim-congsu
bekerja dikantor Lohu saja, biar nanti kuperiksa dan kucarikan
lowongan yang sepadan dengan bakat dan kemampuan Limcongsu" Waktu mendengar Hok-ti-keke tadi sekilas Lim- Cu-jing
me lengak, baru sekarang dia mengerti surat dari "istana" yang
dimaksudkan kiranya dari Hok-ti-ke ke, hakikatnya dia sendiri tida k
tahu di mana Hok-ti (istana marga Hok itu serta siapa pula
orangnya. Cuma dia tahu "keke" adalah panggilan bahasa Boan
untuk seorang puteri raja.
Mungkinkah Pho Kek-pui" Betul dia she Pho, nama palsu ini
sengaja pakai "Kek" yang senada dengan "Ke ", jelas yang di maksud adalah "Keke" itu. Tanpa terasa merah muka Lim Cu-jing, sesaat dia jadi bingung dan tak ma mpu bersuara.
Pho tujong me mandanginya dengan tertawa, katanya pula: "Dari


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thio-po kudapat tahu bahwa Keke ada menulis surat perkenalan
supaya Congsu kemari mencariku, bila seorang gila pangkat dan
kedudukan, sebelum kuundang tentu dia sudah mencariku, namun
hal ini tida k kau lakukan, dari hal ini dapatlah kunilai bahwa Limcongsu seorang yang tak acuh terhadap pangkat dan nama,
sungguh harus dipuji."
Karena orang sudah bicara blak2an, terpaksa Lim Cu jing
keluarkan surat perkenalan yang ditulis sendiri oleh Pho Kek-pui.
Sikapnya sedikit kikuk dan risih, katanya ragu2: "Karena paman
sudah meninggal dan menghentikan usahanya, semula aku berniat
pulang saja, maka surat perkenalan inipun tidak jadi kusa mpa ikan,
kepada To-swe, harap dima klumi."
Meski dala m hati dia menduga "Keke " yang dikatakan Pho-tujong
ini adalah Pho Kek-pui, tapi sebelum hal ini terbukti dia tidak berani
menyinggung Pho Ke k-pui dan tida k berani tanya siapakah Ke ke itu"
Seterima surat itu Pho-tujong tergelak2, katanya: "Kalau tidak
kutanya, surat inipun tida k akan dikeluarkan." - Sekilas dia baca isi
surat itu lalu berkata kepada Jin Ji-kui dengan tertawa: "Surat yang
dibawa Thio-po sema la m isinya me mang tegas, tapi Lohu kenal itu
tulisan Hoa-suya, surat yang ini baru betul2 tulisan Keke pribadi.
waktu kecil dulu dia sering naik di punggung Lohu seperti
menunggang kuda, ma ka gaya tulisannya a mat kukenal."
Agaknya dia bangga bahwa Keke menunggang punggungnya
seperti naik kuda, ini lebih me mperjelas bahwa Pho-tujong ini dulu
adalah pe mbantu di istana Hok itu.
Habis berkata Pho-tujong angsurkan surat itu kepada Jin Ji-kui,
katanya pula: "Ji kui, coba kau ikut pikirkan, di mana ba iknya
mene mpatkan Lim-lote sesuai bakatnya" Ini tugas dari Keke, maka
kau harus lebih perhatikan." - Dari Lim-congsu dia ubah panggilan
Lim lote, ini lantaran dalam surat Pho Kek- pui me nyebut "temanku
Lim-Cu-jing", nadanya amat hormat dan mengindahkan terhadap
Lim Cu jing. adalah jamak kalau diapun berubah sikap dan
bermuka2 de mi ke lanjutan karirnya.
Dengan laku hormat Jin Ji kui terima surat itu, sebelah tangan
me me lintir kumis, sesaat dia berpikir, katanya kemudian: "Ha mba
ada sebuah usul, entah bagaimana pendapat To-swe?"
"Coba jelaskan."
"Di kantor kita ini bukan saja tiada lowongan, umpa ma ada
jabatannya juga terlalu rendah, kurang sembabat dengan bakat
Lim-congcu . . . . "
"Me mangnya ada jabatan yang lebih tinggi di kantor kita di
wilayah hat-ho ini?" tanya Pho-tujong.
Jin Ji kui tertawa lebar, katanya: "Hanya kedudukan To-swe saja
yang paling tinggi di sini, umpa ma komandan barisan jaga di istana
paling2 juga cuma berpangkat wakil Tu jong, maka menurut
pendapat hamba, lebih ba ik Lim congsu di masukkan kepasukan
bayangkari pasanggerahan, Pertama di sana bukan kantor
pemerintahan yang harus selalu dinas, tapi kedudukan lebih tinggi
dari pada pejabat pemerintahan biasa, namanya lebih dihormati.
Kedua, kecuali setiap tahun se kali baginda raja cuti dan berburu di
sini, hari biasa tiada tugas2 penting. bukankah di sana jauh lebih
baik daripada kerja di kantor kita ini" Apalagi To swe sekaligus bisa
me mberikan pertanggungan jawab kepada Keke"
Pho tujong manggut2, katanya: "Usulmu me mang baik, kenapa
tadi tidak kupikir kesana."-Lalu dia bertanya: "Lantas jabatan apa yang ada di dala m pasukan bayangkari, apa kau tahu?"
"Dala m pasukan bayangkari pasanggerahan baginda terdiri dari
tiga barisan, setiap barisan dipimpin oleh seorang komandan dan
seorang wakilnya, setiap barisan terdiri dari sepuluh kelompok,
setiap kelompok dipimpin seorang lagi .. .. "
"Cukup," potong Pho-tu-jong "coba kau pergi cari tahu, adakah lowongan pimpinan barisan atau wakilnya" Kalau ada suruhlah Ki
jongtay berikan lowongan itu kepada Lim-lote, katakan ini pesan
dari istana Hok."
Lekas Jin Ji kui berkata: "Bukankah nanti ma la m Tayjin hendak
menja mu Lim-congsu, menurut pendapat hamba, sekalian undang
saja Ki-jongtay ke mari, secara langsung To-swe bisa bicara
padanya, kan lebih baik?" agaknya laki2 ini pan-da i melihat arah
angin, dia sengaja bermuka2 kepada Lim Cu-jing de mi kepentingan
dirinya ke lak.
"Betul," ujar Pho-tu-jong, "pergilah kau suruh orang mengundang Ki-jongtay ke mari."
Jin Ji-kui mengiakan lalu keluar.
Dengan rasa tidak tenteram Lim Cu-jing berkata: "Terima kasih
banyak atas kebaikan To-swe, hamba hanya mengharapkan te mpat
berteduh, bila menduduki jabatan terlalu tinggi jangan2 akan
menimbulkan rasa sirik orang lain."
"Lote tak usah kuatir, jangankan soal ini sudah ditangani sendiri
oleh Keke, umpa ma Lohu sendiri yang mengutus orang ke sana,
siapa yang berani tida k tunduk padanya" Soal ini pasti Lohu atur
dengan baik."
"Budi kebaikan To-swe tida k akan ha mba lupakan sela manya."
"Tolo Ke ke bukan saja adalah anak angkat Seng-cin-ong, malah
ia menjabat sastra di istana timur, kelak ke mungkinan bisa terpilih
sebagai perma isuri, dengan keke sebagai tulang punggung Lote,
me mangnya apapula yang dikuatirkan" Haha Lohu dulu juga utusan
istana Hok, kini Lote terhitung orang sana pula, kita terhitung orang
sendiri, kalau Lohu tidak berusaha me mbantu orang sendiri,
me mangnya me mbantu siapa?"
Sekarang lebih jelas bagi Lim Cu jing bahwa istana Hok yang
dimaksud ternyata adalah istana Hok-kun-ong, tak heran
pengaruhnya begitu besar ( Menurut tradisi bangsa Boan, puteri
Kun-ong dipanggil Tolo Ke ke.).
Tengah bicara Jin Ji-kui sudah ke mbali. katanya sambil menjura
kepada Pho-tujong: "Lapor To-swe, ha mba sudah suruh. Pho An
pergi mengundang Ki jongtay."
Pho tujong mengangguk. Jin Ji- kui lalu berpaling kepada Lim Cujing, katanya: "Seperti biasanya To swe Tayjin saat ini harus
menyelesaikan beberapa urusan dinas, silakan Lim-congsu istirahat
ala kadarnya di ka mar saja, mala m nant i To-swe akan mengada kan
perjamuan untukmu."
Lim Cu jing berdiri dan mohon diri. Setiba di ka mar Jin Ji-kui, Lim
Cu-jing bertanya: "Siapakah orang yang Lokoko suruh datang
ke mari?" "Dia komandan pasukan bayangkari dipesanggerahan raja, she Ki
bernama Seng-jiang, asal orang Kanglam, konon Kungfunya tinggi,
sudah la ma dia terjun kepasukan perang, dulu ikut menumpas
pemberontakan di Siau-kim-jwan. keberaniannya mendapat
penghargaan Hok-kun- ong, tatkala To-swe masih me mimpin
barisan bayangkari dia sudah berpangkat kelas tiga, dia berjasa pula
dan dinaikkan pangkatnya menjadi komandan pasukan bayangkari,
hitung2 dia masih termasuk bawahan To-swe."
Sambil mengobrol mereka me mbuang waktu di ka mar Jin Ji-kui,
tak lupa Jin Ji-kui keluarkan seperangkat pakaian baru dan diberikan
kepada Lim Cu-jing. .
Menjelang petang Jin Ji-kui berdiri mengajak: "Waktu ha mpir
tiba, marilah, supaya To-swe tidak menunggu."
Jin Ji-kui me mbawa Lim Cu-jing menyelusuri serambi panjang
berliku2 dan akhirnya ke mbali ke taman sebelah barat, di mana
terdapat sebuah ruang ma kan.
Baru saja mereka me masuki ruangan, seorang pelayan maju
menya mbut: "Tayjin sudah menunggu, harap Jin-loya me mbawa
Lim-ya ke dala m."
lekas Jin Ji-kui me mpercepat langkah me mbelok ke kiri di sana
ada sebuah pintu bundar, dua pelayan perempuan baju hijau
bergaun putih segera menyingkap kerai menyilakan mereka jalan.
Lekas Lim Cu-jing me langkah masuk dan menjura, katanya:
"Maaf me mbuat To swe menunggu."
"Lohu juga baru t iba, silakan ka lian duduk," ucap Pho-tujong..
Maka Lim Cu jing dan J in Ji kui duduk di sebelah bawahnya.
Pho-tujong tanya kepada Jin Ji-kui: "Ji kui. kau suruh Pho An
mengundang Ki jongtay, sudahkah kau terangkan untuk ma kan
ma la m di sini?"
"Ha mba sudah me mberi pesan padanya, sekarang seharusnya
dia sudah sa mpa i."
Baru selesai dia bicara, didengarnya di luar pengawal berteriak:
"Lapor To-swe, Ki-jongtay telah tiba."
Pho-tujong berseru: "Boleh sila kan masuk."
Waktu kerai tersingkap, tampak seorang la ki2 tua berperawakan
sedang mengenakan pakaian dinas beranjak masuk dengan langkah
cepat2, langsung dia me mberi hormat kepada Pho-tujong, serunya:
"Bawahan menya mpaikan hormat kepada To swe."
Orang ini berusia lima puluhan, wajahnya bersih, cuma tulang
pipinya menonjol tinggi, sekilas pandang orang akan tahu bahwa dia
seorang cerdik yang banyak akal muslihat licik. Dia bukan lain
adalah Ki Seng-jiang, yang dahulu berkuasa di Coat-seng san-ceng,
tapi jabatan sebenarnya adalah wakil Tu jong di daerah Jiat ho ini,
komandan barisan bayangkari pesanggrahan raja.
Pho tujong hanya mengangguk, katanya tertawa. "Seng jiang, di
kamar makan sini, segala peradatan boleh dibuang jauh, lekas
duduk." Ki Seng jiang mengiakan dengan berdiri tegak.
Pho tujong berpaling, katanya: "Ji kui, kau tak beritahu kalau
makan mala m ini bersifat pribadi."
Sebelum Jin Ji kui menjawab Ki Seng-jiang sudah mendahului:
"Lapor To-swe, Ji-kui sudah me mberi pesan pada Pho An tentang
perjamuan makan ini, tapi hamba ada tanya kepada Pho An dan
mengetahui To swe hendak menja mu utusan dari istana Hok,
hamba t idak berani kurang hormat, ma ka kukenakan pa kaian dinas
ini." "Me mangnya kau sok pintar, kau sudah kubilang bersifat pribadi,
kenapa harus bertele2 begini" Le kas buka jubah kebesaranmu, nant i
kuperkenalkan ka lian."
Ki Seng jiang mengiakan, dia me lepas kopiah serta me mbuka
jubah, seorang pengawal menyambutnya dan mengundurkan diri.
Pho tujong menunjuk Ki Seng jiang, katanya pada Lim Cu-jing:
"Lim- lote, mari Lohu perkenalkan, dia inilah komandan tertinggi
dari pasukan bayangkari pesanggerahan raja, Ki-jongtay." - Lalu dia
berpaling kepada Ki Seng jiang: "Lim-lote ini bernama Lim Cu-jing,
utusan dari istana Hok."
Lim Cu-jing dan Jin Ji-kui sudah berdiri tatkala Ki Seng-jiang
masuk. Setelah diperkenalkan le kas Lim Cu-jing merangkap kedua
tangan, katanya: "Cayhe Lim Cu-jing, sela mat bertemu Jongtay."
"Kiranya Lim-heng, syukur dapat berkena lan denganmu," Ki
Seng-jiang ba las menghormat dengan basa basi a la kadarnya.
"Kalian boleh duduk se maunya," kata Pho-tu-jong.
Tiga orang lantas duduk bersama. Pho tujong merogoh keluar,
dua pucuk surat dan diangsurkan kepada Ki Seng jiang, katanya:
"Seng jiang, kedua surat ini kiriman dari istana Hok, sepucuk lagi
adalah tulisan Keke pribadi, boleh kau baca."
Ki Seng jiang terima dan baca surat2 itu dengan hormat, lalu
dile mpit pula serta diaturkan kembali, katanya membungkuk: "Limheng adalah utusan istana Hok, kalau To-swe ada perintah yang
perlu kukerjakan sila kan katakan saja."
"Dugaanmu me mang betul," ucap Pho-tujong, "sebagai utusan
istana Hok yang langsung me mbawa surat perkenalan Keke, kalau
kita me mberi jabatan rendah, tentu menurunkan pa mor Keke,
kupikir lebih baik dicarikan kedudukan di pasukan bayangkari yang
kau pimpin, tugas ini akan lebih cocok dengan bakat dan
ke ma mpuannya."
"Pesan To swe pasti kuperhatikan, cuma mungkin harus sedikit
merendahkan derajat Lim-heng ." ucap Ki Seng-jiang.
"Coba kau pikir dala m pasukan bayangkari adakah lowongan
wakil pimpinan uta ma, biarlah dia me mbiasakan diri lebih dulu,
setelah menyesuaikan diri ke lak bila ada kese mpatan dapat
mengangkatnya lebih lanjut." Sekali minta jabatan wakil pimpinan,
sudah tentu hal ini me mbuat Ki Seng-jiang serba susah, tapi di
mulut dia mengiakan.
Lekas Jin Ji kui menimbrung dengan tertawa: "Pasukan
bayangkari ada tiga baris pasukan, jadi hanya tiga jabatan wakil
pimpinan utama, mungkin Ki jongtay punya kesulitan, maka
menurut pendapat ha mba, bagaimana kalau diadakan mutasi, salah
satu wakil pimpinan uta ma dipindah ke mari me mbantu To-swe,
Entah bagaimana pendapat To swe?"
"Begitupun boleh. Kelompok ketiga dari barisan keamanan kota
masih ada lowongan wakil pimpinan, kalau dibanding kedudukannya
ma lah lebih t inggi."
Ki Seng-jiang berpikir sejenak, lalu berkata: "Pesan To swe pasti
akan kulaksanakan, baiklah kumutasikan saja wakil komandan dari
barisan pertama Pian Mi ci ke mari."
"Baik, Ji-kui, besok kau siapkan suratnya, Pian Mi ci dimutasikan
ke barisan kea manan kota," lalu ia berpaling pula kepada Ki Seng
jiang: "Se mentara surat2 Lim- lote tolong kau saja yang
menguruskan."
Ki Seng-jiang me ngiakan, lalu berpa ling kepada Lim Cu- jing:
"Besok Lim-heng boleh datang ke Le kiong untuk me laporkan diri."
"Terima kasih atas bantuan To-swe dan Jong-tay," kata Cu-jing.
"Besok pagi2, biar kute mani Lim lote me laporkan diri." t imbrung Jin Ji kui.
Esok paginya Jin Ji-kui mengiringi Lim Cu-jing menunggang kuda
menuju ke Pi-siok-san-ceng. Pesanggrahan lui didirikan di atas
bukit, luasnya ada puluhan hektar, sekeliling dipagari te mbok tinggi,
di luar tembok mengalir sungai yang cukup lebar dan dalam.
Diantara pepohonan yang menghijau subur tampak beberapa
bentuk bangunan megah berloteng tersebar di sana sini. Panora ma
di sini tak kalah dengan pe mandangan di puncak2 gunung terna ma
seperti Thay-san dan Heng san.
Waktu mereka keluar dari pintu utara, dari kejauhan sudah
nampak bukit menghijau permai, di antara lebatnya dedaunan, di
sebelah selatan sana berjajar menjulang tinggi tiga bangunan istana
yang angker. Dari kejauhan Jin Ji-kui me nuding, katanya: "Lim-lote, itulah
pasanggerahan raja, maju lagi beberapa jauh kita harus turun dan
berjalan kaki."
Kejap lain mereka sudah tiba di tempat ketentuan bahwa
pembesar sipil harus turun dari tandu dan pe mbesar militer turun
dari kuda, sa mbil menarik kendali kuda mereka terus maju ke
depan. Dari rumah sebelah kanan sudah ada orang ke luar menyambut
kedatangan mereka, setelah memberi hormat dia tuntun kedua ekor
kuda ke istal. Dari sini menuju ke gedung induk kira2 masih ada setengah li,
tapi setiap lima langkah seorang serdadu berdiri tegak berjaga,
setiap puluhan tombak ada satu pos penjagaan lagi, semua serdadu
yang bertugas di sini bersenjata lengkap.
Belum lagi Jin Ji-kui sampa i di tempat tujuan, dari istana ketiga
sebelah kanan beranjak keluar seorang la ki2 bergolok dengan ikat
pinggang ketat, mema kai topi lancip, dia me mapa k maju serta
menyapa: "Ha mba Coh Te-seng, atas perintah Jong-tay sejak tadi
sudah menanti kedatangan Jin-loya dan Lim ya."
"Terima kasih, bikin capai Coh heng saja," ujar Jin Ji-kui tertawa, Lim Cu jing balas menjura pula.
"Silakan, biar hamba menunjukkan jalan," ucap Coh Te-seng, lalu
mendahului beranjak ke istana.
Bagian dala m istana adalah sebuah lapangan luas yang dialasi


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

papan batu marmer, tak jauh ke depan ada sebuah aliran sunga i
kecil, di atas sungai dibangun sebuah je mbatan batu putih yang
diukir indah. Tidak jauh dari je mbatan, mereka dihadapi unda kan batu yang
lebar, tidak tinggi cuma puluhan unda kan, di sebelah atasnya lagi
adalah istana yang dibangun laksana ja mrut di atas mahkota
kerajaan. Pintu gerbang istana tertutup rapat, beberapa laki2
bergolok bertugas jaga di sini.
Coh Te-seng hawa mereka mena iki undakan batu terus menuju
ke sebelah kiri, di mana ada sebuah ja lan batu yang dipagari
pepohonan tua dan besar mencakar langit. kira2 setengah li
perjalanan, tampak sebuah lapangan rumput yang a mat luas, di tengah
lapangan itulah berderet lima bangunan berloteng, di luar pintu
berjaga dua laki2 bergolok, seragam pakaiannya mirip Coh Te-seng.
Pada kiri kanan masing2 terdapat bangunan asrama, kelihatan
teratur amat rapi.
Lim Cu-jing tahu di sinilah letak markas pasukan bayangkari yang
bertugas jaga pesanggerahan raja ini.
Baru saja Coh Te seng me mbawa mereka berdua menaiki
undakan, tampak Ki Seng jiang telah me mapa k keluar, wajahnya
yang bersih tampak cerah, tawanya lebar, katanya: "Jin-lote, Lim
lote, maaf akan keterlambatan sa mbutanku."
"Jongtay terlalu sungkan, aku hanya mene mani Lim lote saja."
Lim Cu-jing maju serta me mberi hormat: "Ha mba datang untuk
lapor kepada Jongtay."
Ki Seng-jiang terbahak2, katanya: "Lim lote jangan sungkan,
sebelum urusan dinas diumumkan, kau masih terhitung ta mu kita,
mari kita bicara di dala m."
Ki Seng-jiang persilakan mereka masuk ke ka mar ta mu dan
berduduk. Seorang pengawal keluar menyuguhkan teh.
"Jin-lote," kata Ki Seng Jiang, "apakah surat2 dari To swe sudah diselesaikan?"
"Sudah, sekalian kubawa serta," sahut Jin Ji-kui sa mbil
menge luarkan gulungan surat dinasnya dan diangsurkan.
Seterima surat dinas itu Ki Seng jiang me mbacanya sebentar lalu
berteriak keras: "Penjaga?"
Pengawal yang jaga di luar pintu mengiakan dan berlari masuk,
serunya: "Hamba siap me nerima perintah."
"Pergilah kau panggil pimpinan uta ma barisan kesatu dan
wakilnya, Pui Hok-ki dan Pian Mi-ci." de mikian perintah Ki Sengjiang. Pengawal itu mengia kan terus mengundurkan diri.
Dari bajunya Ki Seng jiang keluarkan sepucuk surat, dengan
tertawa ia berkata kepada Lim Cu-jing: "Lim lote, inilah surat
pengangkatanmu, kau baru datang sementara ini untuk beberapa
la ma dudukilah jabatan ini."
Tampak terharu Lim Cu-jing, dengan gugup dia terima surat
pengangkatan itu, lalu berkata dengan sikap tegak: "Terima kasih
akan kebaikan Jong-tai, mungkin ha mba tidak sesuai untuk jabatan
ini." "Ini ma ksud To-swe sendiri, apalagi utusan dari istana Hok,
me mangnya tidak sesuai apanya" Lote tidak perlu berterima kasih
padaku, asal kau bekerja dengan giat, rajin dan baik, bila ada
kesempatan pasti kubantu me mberi laporan ke piha k atas."
Setelah kedua orang bicara, lekas Jin Ji-kui menjura, katanya:
"Kiong-hi Lim-lote telah me mangku jabatannya."
Dala m pada itu, dari luar ta mpak masuk dua orang, yang di
depan seorang setengah umur berperawakan gemuk. wajahnya
bulat, alis tebal mata sipit. Laki2 di belakangnya berperawakan
sedang, usianya sekitar tiga puluhan enam, tampa k kekar berotot,
langkahnya gesit. Tiba di ambang pintu kedua orang berdiri tegap,
si gendut itu buka suara: "Ha mba Pui Hok-ki dan Pian Mi-ci datang
menghadap."
Ki Seng-jiang manggut2, katanya: "Kalian boleh masuk."
Kedua orang jelas adalah pimpinan uta ma dan wakilnya dari
barisan kesatu. Maka Pui Hok-ki dan Pian Mi-ci beranjak ke dala m
ruangan besar. Jin Ji-kui sudah berdiri menyambut, katanya menjura: "Pui-heng,
Pian-heng, sela mat bertemu."
Lim Cu jing juga berdiri, tapi dia hanya menyapa dengan
anggukan kepala.
Wajah bulat Pui Hok-ki yang ge mbur penuh daging lebih ta mpak
berseri tawa, berulang dia balas menjura, katanya: "Jin-lo, kau
baik2 saja."
Ki Seng-jiang segera menuding Lim Cu-jing, katanya kepada Pui
Hok-ki: "Hok-ki, adik Lim Cu-jing ini adalah utusan istana Hok." Lalu dia ba las perkenalkan kedua orang kepada Lim Cu jing.
Mendengar utusan istana Hok, semakin lebar tawa Pui Hok-ki,
berulang dia menjura sa mbil basa-basi sekedarnya.
"Kita orang sendiri, hayolah duduk." ucap Ki Seng-jiang.
Dari atas meja Ki Seng-jiang a mbil surat pe mindahan dan berkata
kepada Pian Mi-ci: "Sela mat Pian-heng, inilah surat pengangkatan
untukmu, kau dimutasikan setingkat lebih tinggi ke kantor balai kota
menjabat wakil komandan barisan kea manan kota, sementara
jabatanmu sekarang a kan di isi oleh Lim-lote."
Wakil pimpinan uta ma dari barisan bayangkari dimutasikan
menjadi wakil komandan barisan kea manan kota, menurut
jamaknya jabatannya naik setingkat, tapi pasukan bayangkari
betapapun adalah tenaga2 ahli dan terdidik yang bisa selalu
menda mpingi baginda, kini dimutasikan ke kantor balai kota, berarti
sudah keluar lingkungan istana.
Mimik Pian Mi-ci menunjuk perasaan yang aneh, sudah tentu dia
juga mengerti, soalnya Lim Cu-jing orang utusan istana Hok, untuk
mencarikan jabatan sesuai bagi Lim Cu-jing, terpaksa dirinyalah
yang dikorbankan. Tapi ini perintah, terpaksa dia menerima,
katanya: "Hamba terima perintah, entah kapan harus laporan?"
"Setelah menyelesaikan surat2 mutasimu di sini, boleh segera
kau melaporkan diri ke sana,"
Bahwa penggantinya sudah hadir, adalah jamak kalau dia harus
segera menyingkir. Ma ka Pian Mi-ci mengia kan pula.
Ki Seng-jiang tertawa lebar, katanya: "Pasukan kea manan kota
tiada bedanya dengan barisan bayangkari, semua adalah orang kita
sendiri, bukankah dulu a ku juga bertugas di bawah pimpinan Toswe, malah jabatan Pian-heng sekarang lebih tinggi daripada aku
waktu itu."
Pian Mi-ci ke mba li mengiakan, katanya: "Baiklah, sekarang juga
hamba me nyelesaikan surat mutasi, bila Jongtay tiada pesan lain,
hamba mohon diri saja."
"Baiklah, selesaikanlah surat2mu, kebetulan Jin-lote berada di
sini, siang nanti kau harus ke mbali, aku akan menja mu kedatangan
Lim-lote, sekaligus untuk menja mu perpisahan dengan Pian-heng,
biarlah kita berge mbira bersa ma."
Setelah Pian Mi-ci pergi Ki Seng-jiang berpaling kepada Pui Hokki, katanya. "Hok-ki, sejak kini Lim-lote termasuk orangmu. boleh
kau iringi dia mene mui He-congkoan untuk laporkan diri dan
menyelesaikan surat2nya."
Lekas Pui Hok-ki berdiri sa mbil me ngiakan, lalu berkata kepada
Lim Cu-jing dengan tertawa, "Lim-heng, bawalah surat2mu, ikutlah
aku ke sekretariat."
"Mohon bantuan Pui ling-pan (pimpinan she Pui)," seru Cu jing.
Muka bulat Pui Hok-ki ta mpak berseri, katanya: "Lim-heng jangan
sungkan, untuk selanjutnya kita terhitung orang sendiri, saling
bantu adalah semestinya." - Karena Lim Cu jing orang utusan istana
Hok, maka sengaja dia merapat dan menga mbil hatinya.
Setelah mohon diri kepada Ki Seng jiang, kedua orang langsung
masuk ke istana lebih dala m. He-congkoan adalah Thay-ka m
(dayang- kebiri) yang berkuasa di pasanggerahan ini, tahu bahwa
Lim Cu-jing utusan istana Hok, sudah tentu pelayanannya berbeda
dengan yang lain, setelah dia periksa surat2 yang ada, segera dia isi
formulir riwayat hidup Lim Cu-jing serta na ma tiga turunan
leluhurnya, ma ka selesailah soal mutasi ini, Lim Cu jing pula
me mperoleh sebentuk medali perak tanda pangkat wakil pimpinan
barisan kesatu.
Siang hari itu Ki Seng jiang mengadakan perja muan di ka mar
tamu itu, tamunya ada tiga orang, yaitu Lim Cu-jing serta Pian Mi-ci
yang kini dimutasikan ke barisan keamanan kota, orang ketiga
adalah Jin Ji kui. Sementara para tamu pengiring ada lima, yaitu
pimpinan utama barisan kesatu Pui Hok-ki, pimpinan utama barisan
kedua Hok Ji-liong, wakilnya Pok Coan-seng, pimpinan uta ma
barisan ketiga Pi Si-hay dan wakilnya Keh Tiang-sin. Biasanya jarang
ada perjamuan besar macam ini dala m pasukan bayangkari seperti
sekarang. Hanya kedatangan seorang wakil pimpinan uta ma yang baru
ternyata Jongtay telah menya mbutnya dengan perja muan sebesar
ini, agaknya kecuali menya mbut kehadirannya, sekaligus juga untuk
pesta perpisahan dengan Pian Mi-ci, tapi Lim Cu-jing kenyataan
duduk di kursi uta ma, jelas perjamuan ini lebih mengutama kan
kepada Lim Cu jing. Tiada alasan lain karena Lim Cu-jing adalah
orangnya Tolo Keke. Bukankah se mala m To-swe sendiri juga telah
mengadakan perja muan menya mbut kedatangannya"
Biarpun para pimpinan uta ma dan para wakilnya ini se mula juga
tokoh2 Bu-lim yang sudah la ma berkecimpung di dunia Kangouw,
tapi sekali sudah masuk kalangan pe merintahan, siapapun akan
ke maruk harta dan pangkat, kalau tidak siapa yang sudi menjua l
nyawa, rela menjadi antek dan ca kar alap2 kerajaan penjajah"
Pho-tujong juga orang dari istana Hok, untuk apa pula dia harus
bermuka2 kepada Lim Cu-jing, hal ini tidak sukar diterka, yakni
lantaran Lim Cu-jing didukung oleh seorang yang punya kuasa tinggi
di istana Hok, mereka yang cerdik akan le kas me maha mi liku2 ini,
maka ada lah ja mak pula bila para pimpinan uta ma dan para
wakilnya yang hadir dalam perja muan ini berusaha me mikat dan
mengikat persahabatan dengan Lim Cu-jing, secara bergiliran
mereka menyuguh arak kepada Lim Cu jing.
Lim Cu jing juga tahu dan dapat me lihat gelagat bahwa arak
yang disuguhkan padanya adalah arak persahabatan, arak menjilat
untuk menarik hatinya.
Hampir selesai perjamuan, seorang pengawal tampak masuk
mende kati Ki Seng-jiang serta berbisik di telinganya.
Ki Seng jiang ta mpak melengak, tanyanya: "Mana orangnya?"
"Ada di luar," sahut pengawal itu, "tanpa izin Jongtay dia tidak berani masuk."
Ki Seng jiang mengulap tangan, katanya: "Suruh dia masuk."
Pengawal mengiakan sambil meluruskan kedua tangan, setelah
me mbungkuk terus mengundurkan diri. Tak la ma ke mudian sudah
berjalan masuk pula me mbawa seorang baju hijau. Usia orang ini
lima puluhan, mukanya lancip tirus, tubuhnya tinggi kurus, begitu
me langkah masuk segera ia me mberi hormat dan berseru: "Ha mba
menghadap Jongtay."
Melihat si baju hijau ini, Lim Cu-jing ta mpak melenggong. Dia
kenal orang ini adalah salah satu dari kedelapan Koan-tay Hek-liong
hwe, yaitu Tu Hong-seng adanya.
Ki Seng jiang mengangguk, katanya: "Tu-heng tidak usah banyak
adat, kau buru2 menghadapku, apakah Cui-congkoan yang
mengutusmu untuk minta bala bantuan kesana?"
Kembali Lim Cu jing melenggong mendengar pertanyaan ini,
pikirnya: "Agaknya Cui Kin-in berkuasa untuk me merintahkan
bantuan dari pasukan bayangkari di pesanggerahan raja ini,
bukankah ini berarti jabatan dan kekuasaan Cui Kin-in jauh lebih
tinggi daripada Ki Seng-jiang" Bahwa Cong-kam (komisaris umum)
Hek-liong-hwe dapat me merintah dan menguasai pada pasukan
bayangkari di sini, me mangnya siapakah dia sebenarnya?"
Tu -Hong seng ta mpak berdiri tegak, sahutnya: "Lapor Jongtai,
hamba datang untuk me mberi laporan."
"Urusan apa boleh kau katakan saja."
"Hek liong hwe telah dipukul hancur oleh musuh, Jan-hwecu,
Nao-tongcu, Ci tongcu dan Nyo-jilingpun yang ditarik dari pasukan
bayangkari di sini se muanya sudah gugur."
Dia m2 Lim Cu-jing mengangguk, pikirnya: "Kiranya Nyo Ci-ko
adalah wakil pimpinan uta ma dari barisan bayangkari di sini."
"Prang", muka Ki Seng jiang seketika berubah pucat, cangkir
yang dipegangnya terlepas jatuh berantakan, tanyanya gugup:
"Bagaimana dengan Cui-congka m?"
"Agaknya Cui-congkam sudah meninggalkan te mpat itu," sahut
Tu Hong-seng. Sesaat baru Ki Seng-jiang menenangkan diri, seperti teringat
apa2, wajahnya kini menjadi ke la m, tanyanya: "Kau tahu siapa saja
yang telah menyerbu Hek-liong-hwe?"
"Ha mba hanya tahu kalau mereka adalah orang2 Pek hoa-pang,
yang menjadi tulang punggung Pek-hoa-pang adalah kedua puteri
Thi Tionghong, pentolan He k liong-hwe dulu, tapi yang paling lihay
di antara mereka Cong-houhoat Pek-hoa-pang yang bernama Ling
Kun-gi, konon dia adalah putera Ling Tiang-hong, murid Hoan-jiu-jilay, Hek-liong-hwe boleh dikatakan seluruhnya runtuh di tangan
orang she Ling ini."
Berubah pula a ir muka Ki Seng Jiang, serunya murka: "Lagi2
bocah keparat she Ling itu."
Tu Hong-sing mengeluarkan setumpukan kertas tebal dan
diangsurkan, katanya: "Inilah laporan tertulis ha mba, semuanya
tercatat dengan jelas di sini."
Seorang pengawal maju me nerima kertas laporan itu dan
dihaturkan kepada Ki Seng-jiang. Tapi Ki Seng jiang mengulap
tangan, katanya: "Bawalah ke kamar bukuku saja,- - Lalu dia
berkata kepada Tu Hong-sing: "Bagus seka li, Tu heng boleh istirahat
dulu, sementara boleh kau tinggal di markas, setelah aku mohon
petunjuk langsung dari Cui-cong-koan baru kuputuskan tinda kan
selanjutnya."
Tu Hong-sing mengia kan, katanya sambil me mandang ke arah Ki
Seng jiang: "Jongtai, masih ada soal penting yang akan hamba
laporkan."
"Yang hadir di sini se mua orang kita sendiri, ada urusan penting
atau rahasia apa boleh kau katakan saja." .
Tu Hong sing mengia kan dan berkata: "Waktu hamba keluar
perbatasan, di tengah jalan pernah kulihat dua rombongan orang
yang mencurigakan, mereka mirip komplotan Pek hoa-pang,
tujuannya juga ke Jiat-ho sini."
"Ada berapa orang?" tanya Ki Seng jiang.
"Jumlahnya tidak banyak, mungkin kuatir menarik perhatian
orang, maka mere ka berpencar dala m beberapa kelompok."
Tiba2 terunjuk hawa nafsu membunuh pada wajah Ki Seng-jiang,
katanya tertawa dingin: "Berani juga mereka meluruk ke Jiat ho.
Hehe, jelas tujuannya adalah mencari perhitungan kepada aku
orang she Ki."
Lalu dia mengulap tangan, "Baiklah, kau boleh mundur dulu.
Semala m kau menginap di mana?"
"Ha mba menginap di losmen Liong-kip,"
"Lebih baik kau tetap ke mba li ke penginapanmu, perhatikan
baik2orang2disekelilingmu,nantikusuruhorang
menghubungimu."
"Ha mba terima
perintah,"
sahut

Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

To Hong-s ing terus mengundurkan diri.
Setelah perjamuan usai, Sin Ji kui dan Pian Mi-ci mohon diri, Ki
Seng jiang dan lain mengantar sampai di depan pintu. Akhirnya Ki
Seng-jiang berpaling kepada Lim Cu jing, katanya: "Lim-heng,
tolong kau antarkan Jin loya, sekembalinya langsung ke ka mar
bukuku. Waktu Lim Cu-jing ke mbali setelah mengantar Jin Ji-kui,
pengawal Ki Seng-jiang telah menunggunya, katanya: "Jongtai
sudah menunggu di ka mar buku, Lim-lingpan silakan ikut ha mba."
Kamar buku terletak di sebelah timur, ruang tengah adalah
tempat tinggal Ki Seng-jiang, dinding ka mar buku penuh digantungi
lukisan kuno, tepat di tengah kamar terletak rak buku Ki Seng-jiang
tampak duduk di belakang rak buku di kursi berukir dan berlapis
sutera sulaman, agaknya dia tengah membaca laporan Tu Hongsing tadi. Tepat di atas kepala pada dinding dibelakangnya
tergantung sebilah pedang panjang, coraknya kuno, jelas pedang
pusaka juga. Ki Seng jiang adalah anak pungut Ui-san-it-kia m Ciok-boh Lojin,
sudah tentu diapun seorang jago pedang.
Pui Hok ki, pimpinan uta ma barisan kesatu tampak duduk di kursi
yang me mbelakangi jendela sebelah kiri. Setiba di depan pintu,
pengawal itu berhenti serta me mbungkuk, serunya: "Lapor Jongtay, Lim-jilingpan telah tiba."
"Silakan masuk!" seru Ki Seng-jiang
Lim Cu-jing segera melangkah masuk. "Silakan duduk Lim-heng,"
ucap Ki Seng-jiang.
Lim Cu jing lantas duduk di kursi sebelah Pui Hok-ki.
Ki Seng-jiang menatapnya, katanya kale m:
"Ingin a ku mohon sekedar penje lasan dari Lim-heng . . ."
Berdetak jantung Lim Cu jing, katanya sambil berbangkit: "Entah
soal apa yang Jongtay ingin tanyakan?"
"Lim heng sengaja diutus oleh istana Hok kepada To-swe,
tentunya kau memiliki Kungfu yang tidak sembarang, tapi ingin
kutanya asal-usul dan aliran dari mana ilmu yang Lim heng
pelajari?"
"Menjawab pertanyaan Jongtay, hamba tiada masuk golongan
tidak punya aliran, semasa hidup ayahku bekerja di Piaukiok juga,
beliau adalah saudara angkat Lim piauthau dari Tin-wan Piau-kiok,
ilmu cakar kucing yang kupelajari dari ayah adalah pelajaran
kampungan, paling2 hanya bisa main kepalan, telapak tangan, golok
dan pedang."
Ki Seng jiang tersenyum, katanya: "Hou-pian-liong-jiu Limlopiauthau pernah menggetarkan Kwan-tang, bahwa ayah Lim heng seangkatan dengan Lo piauthau, tentunya beliau juga seorang
persilatan yang punya na ma."
"Waktu ayah almarhum angkat saudara dengan Lim-piauthau
usianya masih terlalu muda. Setelah ayah menikah, ibu me larang
ayah berkecimpung di Kangouw, katanya usaha di Piaukiok hanya
me mpertaruhkan jiwa belaka, penghasilan juga tidak me madai,
sebaliknya bahaya yang harus ditempuh teramat besar, lebih baik
hidup tenang di ka mpung hala man dengan usaha dagang kecil2an,
maka sejak itu ayah lantas putus hubungan dengan Lim-lopiauthau,
sampai sekarang sudah dua puluhan tahun lebih . . . . "
Agaknya Ki Seng jiang tidak tertarik oleh cerita riwayat hidupnya,
katanya: Apakah Lim-heng pernah meyakinkan Ginkang?"
"Se masa ayah masih hidup beliau me mang pernah melatih
Ginkang dan Lwekang padaku," kalau hanya ketinggian dua-tiga
tombak, saja masih dapat kucapai."
"Itu sudah cukup, nah se karang Hok-ki, kau mencoba dia."
Pui Hok ki me ngiakan terus berbangkit, katanya dengan tertawa:
"Lim-heng, Jongtay ada sebuah tugas rahasia yang teramat penting
minta supaya kau menyelesaikannya, tapi pihak lawan se muanya
adalah musuh2 tangguh, kuatir Lim-heng mengala mi sesuatu
alangan dan tentu akan sukar me mberi laporan kepada To-swe,
maka Lim-heng sengaja di undang ke ka mar buku ini, kita perlu
mengetahui sa mpai di ma na tingkat ke ma mpuan Lim-heng. . . "
"Ada tugas apa yang akan Jongtay serahkan, umpa ma
menerjang lautan api dan terjun minyak mendidih juga hamba tida k
akan menolak," seru Lim Cu jing.
Pui Hok ki berkata: "jongtay ingin supaya aku menjajalmu satu
dua jurus, Lim-heng jangan sungkan, juga tidak usah ragu2 dan
kuatir, boleh turun tangan sekuat tenaga menurut kema mpuan,
cukup asal saling tutul atau jamah saja," sembari bicara dia mula i
pasang kuda2 serta mena mbahkan: "Lim heng hati2, aku a kan
turun tangan."Kelima jari tangan kanannya terkembang, bagai cakar
ia terus mencengkera m pundak Lim Cu- jing.
Gerakan yang kelihatan la mban ini adalah Kin-na jiu-hoat yang
lihay, pimpinan uta ma barisan kesatu ini ternyata me mang
me mbe kal kepandaian tinggi, dari jurus permainan ini sudah dapat
dinilai ke mantapan tipu, serangannya dengan pakai jari yang keras.
Lim Cu-jing tertawa tawar, ujarnya: "Hamba mana berani "Sambil bicara badannya masih berdiri tegak tidak mengegos atau
berkelit. Tatkala telapak tangan Pui Hok-ki, ha mpir menyentuh
pundaknya, mendadak ia berputar ke kanan, kelima jari tangan kiri
menegak terus didorong keluar, ujung jarinya menyapu dan
menyerempet pergelangan tangan Pui Hok-ki. Gerakan ini
merupakan tipu serangan biasa, namanya "mendorong jende la
me lihat gunung", gerakan untuk menutup dan me matahkan
serangan, jadi kelihatannya tiada yang istimewa.
Tapi Ki Seng-jiang dan Pui Hok-ki ada lah jago silat yang cukup
tajam pandangannya, sekali Lim Cu-jing bergerak, meski gerakan
yang sepele, tapi jelas mengandung gaya perubahan yang
menakjubkan, serentak menimbulkan deru angin yang kencang
menyerempet pergelangan tangan Pui Hok-ki.
Pada hal jarak pergelangan tangan Pui Hok-ki masih ada satu
kaki jauhnya dengan tangan Lim Cu-jing, tapi orang sudah
merasakan tangannya seperti tersampuk mistar besi, tiba2
tangannya terasa sakit. Keruan bukan main kagetnya, lekas Pui
Hok-ki tarik tangannya seperti orang berjingkat kaget karena
keselomot api, matanya terbeliak menatap Lim Cu-jing, katanya
dengan keheranan: "Lim-heng ternyata hebat sekali."
Lim Cu-jing telah meluruskan kedua tangannya. katanya: "Terima
kasih atas ke murahan hati Toa-lingpan."
Pui Hok ki tergelak2, katanya: "Jongtai me mang ahli, tentunya
sudah menyaksikan sendiri, gerakan menyapu Lim-heng tadilah
betul2 menaruh belas kasihan padaku, kalau tidak, pergelangan
tanganku ini tentu sudah cacat."
Ki Song-jiang tampa k riang, katanya mengangguk: "Cukuplah,
hanya sejurus saja sudah meyakinkan bahwa tiada tugas apapun
yang takkan bisa diselesaikan oleh Lim-heng."
"Jongtai terlalu me muji," ucap Lim Cu-jing, -"ha mba ingin tanya, apakah Toa-lingpan juga mahir mengguna kan senjata rahasia?"
"Apa?"" seru Pui Hok-ki sa mbil goyang tangan, "Lim-heng ingin bertanding Am-gi denganku" Sudahlah. barusan aku sudah pa mer
kebodohan, me mangnya Lim-heng tega me mbikin ma lu a ku lagi."
"Toa-lingpan jangan salah mengerti, bukan begitu maksud
Cayhe, soalnya Jongtai tadi ada tanya soal Ginkang, ma ka ha mba
ingin mencobanya."
"Me mangnya untuk apa Lim-heng tanya soal Am-gi?" tanya Pui
Hok-ki. Lim Cu-jing tertawa, katanya: "Bila Toa-lingpan, sekarang
me mbawa A m-gi, bolehlah dicoba sekarang juga."
Agaknya Ki Seng-ji ing tertarik, katanya kepada Pui Hok-ki: "Hokki, baiklah, biarkan dia mencobanya Pui Hok-ki menyengir, katanya:
"Inilah perintah, terpaksa aku menurut keinginan Jongtai, biarlah
aku konyol sekali lagi."
Pui Hok-ki mengeluarkan tiga batang panah pendek, tanyanya
kepada Lim Cu-jing: "Cara bagaimana Lim-heng a kan mencobanya?"
"Sebatang saja sudah cukup." ujar Cu jing, lalu dia tuding keluar
jendela. "Inilah panah timpuk yang paling kecil, mungkin harus
ditimpukkan dengan kekuatan jari. Baiklah, sekarang boleh Toalingpan menimpuknya keluar jende la."
Sekenanya Pui Hok-ki je mput sebatang panah dan ditimang2 di
telapak tangan, katanya tertawa: "Apa yang harus kubidik?"
"Terserah, Toa-lingpan mau me mbidik lurus ke depan atau
ditimpukkan ke angkasa juga boleh."
"Baiklah," sahut Pui Hok-ki, begitu tangan terayun, panah kecil
itu lantas me leset keluar jende la,
Pada saat itulah Lim Cu-jing yang berdiri di sa mping Pui Hok-ki
mendadak menutul kedua ka kinya, badannya melesat lurus ke
depan bagai meteor mengejar rembulan, menguda k ke arak panah
kecil yang meluncur keluar. Gerakan keduanya sungguh cepat luar
biasa. Ki Seng jiang dan Pui Hok ki tidak pernah bayangkan bahwa
tujuan Lim Cu- jing suruh Pui Hok-ki menimpuk panah pendek Itu
hanya untuk dikejarnya. Dalam Bu-lim sudah sering orang
mende monstrasikan kepandaian menya mbut dan menimpuk senjata
rahasia secara berhadapan. Tapi Lim Cu-jing baru menguda k panah
setelah panah itu ditimpukkan, bahwa dia sudah mengejar tentu
dapat menangkap panah itu. Bila Lim Cu-jing tidak yakin dapat
menyandak senjata rahasia itu, tak mungkin dia berani pa mer
dihadapan orang dan me mpersulit diri sendiri.
Pikiran mereka berdua sama ma ka dengan mendelong mereka
menyaksikan dengan hati berdebar kejadian hanya sepercikan api
belaka, belum lagi mereka melihat jelas kejadian sesungguhnya,
terasa angin berkesiur, tahu2 Lim Cu-jing sudah melayang masuk
pula lewat jende la dan hinggap di hadapan mereka.
Tampak di antara dua jari tangan kanannya menjepit sebatang
panah kecil, katanya sambil menjura dengan tertawa lebar:
"Jongtai, dihadapan Toa-lingpan Cayhe telah pamer kejelekan,"
Terpancar cahaya aneh pada sinar mata Ki Seng-jiang, katanya
tertawa. " Tak heran Ke ke sa mpai begitu tinggi menilaimu, haha,
demonstrasi yang Lim-heng tunjukkan barusan, jangankan dala m
pasukan bayangkari kita tiada seorangpun yang mampu
menandangi kau, meski jago2 lihay dari istana rajapun sukar
mencari bandingannya."
Kedua bola mata Pui Hok-ki terbelia k sekian la manya, akhirnya
dia tertawa ngakak serunya: "Dengan bekal kepandaian yang
barusan Lim-heng pa merkan, adalah pantas kalau aku menukar
jabatan dengan kau, malah terasa kurang setimpal aku menjadi
wakilmu." Lim Cu-jing menjadi gugup, katanya: "Jangan, Toa-lingpan
berkata demikian, hamba jadi tidak enak hati."
"Aku bicara sejujurnya," ucap Pui Hok-ki, "da la m jangka sepuluh tahun, Lim-heng pasti menonjol dan me ngungguli jago2 silat
manapun, naik pangkat hidup senang, hahaha . . . . "
Walau masih tertawa, tapi mimik Ki Seng-jiang tampak kurang
wajar mendengar umpakan Pui Hok-ki ini, katanya sambil goyang2
tangan: "Marilah, kita bicara sa mbil duduk." La lu dia ke mba li ke kursi kebesarannya.
Lim Cu-jing dan Pui Hok-kipun duduk pula di kursi se mula.
Menghadap ke arah Lim Cu-jing, pelan2 Ki Seng-jiang berkata:
"Barusan kau telah me lihat orang yang berna ma Tu Hong-seng, dia
adalah Koan-tai dari pihak pe merintah yang sengaja ditanam dala m
Hek-liong-hwe, beberapa hari yang lalu kabarnya Hek-liong-hwe
telah dige mpur oleh Pek-hoa-pang dan hancur lebur ...........
"Hek-liong-hwe?" Lim Cu-jing pura2 menepekur, "rasanya hamba
pernah mendengar orang me mperbincangkan, tapi nama Pe k-hoapang, selamanya belum pernah ha mba dengar?"
Ki Seng-jiang tersenyum: "Itulah suatu sindikat ge lap yang
terorganisir baik dan rapi, tidak pernah terjun ke percaturan dunia
persilatan secara terbuka, sudah tentu kau tak tahu, begini dia
jemput kertas laporan Tu Hong seng dan diangsurkan, katanya:
"Inilah laporan Tu Hong-seng, boleh kau me mbacanya dengan teliti,
nanti pasti akan mengerti. Menurut laporan Tu Hong-seng, kaum
pemberontak dari Pek-hoa-pang sudah menyusup ke Jiat ho sini,
tujuannya jelas mengadakan kembali keonaran dan kejahatan, tadi
sudah kusuruh Tu Hong seng agar tetap menginap di losmen Liong
kip, dan secara dia m2 menyelidik dan mengawasi gerak-gerik
mereka, kau orang baru, jelas piha k musuh be lum ada yang
mengenalmu, maka tugas ini kuserahkan pada mu seluruhnya . . . . .
...." "Berkat kebijaksanaan Jongtai, maka tugas yang diserahkan
padaku pasti akan kukerja kan sekuat tenaga," demikian Lim Cu jing
me mberikan janjinya.
"Tugas Lim-heng yang pertama sekarang adalah, kaupun harus
menginap ke Losmen Liong kip itu, secara diam2 kau boleh
mengadakan kontak dengan Tu Hong seng, bila mene mukan orang
yang patut dicurigai, Tu Hong seng t idak leluasa bertemu muka
dengan mereka, ma ka tugasmulah yang menyelidikinya secara
dia m2 lalu kau mengada kan hubungan dengan Pui Hok-ki, cuma ada
satu hal harus Lim heng perhatikan, yaitu jangan terburu nafsu
mengejar paha la, supaya tidak mengejutkan pihak lawan."
"Ha mba mengerti," sahut Lim Cu jing.
"Baik, setelah kau baca habis laporan ini boleh segera berlalu,
bila tiada urusan penting tidak usah kau sering ke mbali ke markas
sini, supaya jejak asal usulmu tidak konangan musuh," lalu dia
berpaling dan bicara kepada Pui Hok-ki: "Tugas ini seluruhnya
kuserahkan kepada barisan kesatu, dari sini kau boleh langsung
bawa Lim- heng ke kesatuanmu, supaya anak buahmu mengena l
wakilmu dan Lim-heng kenal juga anak buahnya, bila di luar markas
bertemu da la m menja lankan tugas, mereka harus tunduk pada
perintah Lim-heng,"
Pui Hok-ki me ngiakan, sa mbil munduk2.
Dika la mereka bicara Lim Cu-jing sudah baca laporan Tu Hongseng, kejadian hancurnya Hek-liong-hwe seperti yang ditulis dala m
laporan Tu Hong-seng me mang sesuai dengan kenyataan. Cuma
demi kepentingan pribadinya dia terlalu menonjolkan jasa2 pribadi
sendiri, bagaimana dia tertawan musuh oleh obat bius keluarga Un,
bagaimana pula dia berusaha menipu musuh tidak gugup sedikitpun
meski menjadi tawanan, dan akhirnya berhasil melarikan diri setelah
menge labui musuh Dia m2 Lim Cu-jing menghela napas, pikirnya:
"Bila manusia sudah ke maruk pangkat dan harta, sampai matipun
dia tidak akan insaf akan kesalahannya."
Akhirnya dia tutup laporan itu serta menaruhnya di atas meja,
katanya: "Hamba sudah me mbacanya, Jongtai."
"Dala m laporan Tu Hong seng ini cukup jelas, wajah, usia dan ciri
para pemberontak, ini banyak me mbantu bagimu dala m
menja lankan tugas, kau me ngingatnya se mua"
"Beberapa orang penting sudah kuingat dengan baik," sahut Lim
Cu-jing. "Baiklah, sekarang kalian boleh berangkat," ucap Ki Seng jiang.
Pui Hok-ki dan Lim Cu jing menjura bersama dan mengundurkan
diri. Setelah kemba li di tempatnya, Pui Hok-ki lantas mengumpulkan
anak buahnya dan me mperkena lkan Lim Cu-jing kepada mereka,
terutama kepada komandan ketiga kelompok pasukannya, yaitu
kepala kelompok pertama berna ma Go Jong-gi, berusia empat
puluhan, muka putih tubuh kurus kecil, mirip pe lajar yang lemah
le mbut. Kepala kelompok kedua bernama Ko Siang seng, perawakan
sedang, mukanya lonjong kurus, usianya sekitar lima puluhan.


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kepala kelompok ketiga berna ma Thio Ih-bin, agak ge muk, usianya
juga sudah e mpat puluh lebih.
Akhirnya Pui Hok-ki berkata: "Baiklah, sekarang tiada urusan lain,
kalian boleh bubar, Go Jong-gi, kau saja yang tinggal di sini." Kemudian berkata pula Pui Hok-ki kepada Go Jong-gi: "Lim-heng
akan menginap di Tang sun-can untuk melakukan tugas rahasia,
untuk ini kutugaskan kau sela lu mengadakan kontak dengan Limheng, ada pesan dan petunjuk apapun dari Lim-heng harus segera
kau la ksanakan."
"Ha mba mengerti " sahut Go Jong-gi la lu ia berputar menghadap
Lim Cu-jing, katanya: "Jilingpan entah ada pesan apa?"
"Setiap mala m setelah makan ma la m kuharap Go-lingpan datang
ke ka marku, supaya hubungan tetap diadakan, kalau ada kejadian
atau urusan mendadak satu sa ma lain bisa berunding, entah
bagaimana pendapat Go heng?"
"Jilingpan be kerja secara rapi, sudah tentu ha mba terima
petunjuk saja."
"Di luar markas harap Go heng tidak me manggilku de mikian lagi,
kita saling me mbahasakan saudara saja, untuk ini Go-heng tida k
boleh la lai "
Melihat hari sudah sore, Lim Cu-jing lantas menjura kepada Pui
Hok-ki, katanya: "Toalingpan, waktu sudah mendesak, biarlah
hamba me ngundurkan diri."
"Ya, demi tugas, bolehlah segera berangkat," ucap Pui Hok ki.
Setelah minta diri kepada Pui Hok-ki, bersama Go Jong-gi mereka
terus keluar markas menuju ke istal, kuda tunggangan Lim Cu jing
sudah disiapkan, dia ce mplak ke punggung kuda dan berpisah
dengan Go Jong-gi, langsung dibedal ke Tang-sun-can.
Waktu itu sudah ma grib, pelayan yang bertugas di luar segera
menyongsong kedatangan Lim Cu-jing dan menyapa dengan
tertawa : "Lim- ya, kau sudah ke mbali lagi."
Lim Cu jing mengangguk, dengan tangkas dia melompat turun,
tanyanya: "Masih ada ka mar?"
"Silah Lim-ya tanya saja di kantor, hamba tugas di luar, kurang
terang keadaan di dala m."
Waktu Lim Cu jing me langkah masuk, kasir hotel ter gopoh2
menya mbutnya, Lim Cu-jing bertanya pula: "Ciangkun, masih ada
kamar istimewa?"
Kasir ini bersikap hormat berlebihan, katanya munduk2: "Ha mba
tidak tahu bahwa Lim-ya adalah tamu agung sehingga pelayanan
kurang baik, harap Lim-ya me mberi maaf sebesar2nya, rekening
Lim-ya beberapa hari yang lalu sudah dilunasi seluruhnya oleh Jin
loya, kamar yang Lim-ya perlukan sekarang masih ada, mari sila kan
periksa, entah mencocoki selera Lim ya tidak?"
Tang-sun-can adalah hotel terbesar di seluruh Jiat-ho dengan
restorannya pula, waktu itu lampu baru saja dipasang, restorannya
bertingkat lima dengan lima ruangan makan yang besar, luas dan
nyaman, seluruhnya sudah ha mpir dipenuhi tetamu.
Dengan enteng, Lim Cu-jing me langkah ke atas loteng, seorang
pelayan menyambutnya dengan tertawa: "Tuan hanya seorang diri,
silahkan ikut hamba." - Lalu dia berlari kecil di depan, dalam
suasana yang riuh rama i dan penuh sesak, untuk mencari te mpat
duduk diruang ma kan se luas ini me ma ng bukan soal ga mpang.
Pelayan membawa Lim Cu-jing ke sebuah meja yang dekat
jendela menghadap jalan raya, setelah menarik kursi dia menyila kan
dengan tertawa: "Silakan tuan duduk di sini saja, tamu cukup
banyak, terpaksa satu sama lain saling menga lah."
Pada meja itu sudah ada dua orang, pedagang yang sedang
makan minum sa mbil berundang soal dagang. Maka merekapun
tidak hiraukan kedatangan Lim Cu-jing, Cu-jing juga tidak pedulikan
mereka, seorang diri dia pesan makanan serta menunggu dengan
sabar. Dika la dia berduduk itulah, sekilas dilihatnya dimeja sebelah
kanan sana duduk tiga orang. Seorang nenek sudah ubanan
rambutnya, seorang lagi nyonya muda jelita, dari dandanan mereka
seperti ibu mertua dengan menantunya, Seorang lagi yang duduk di
depan mereka adalah kakek kurus bermuka kuning, meski se meja
tampak sikapnya a mat hormat dan munduk2.
Begitu melihat ketiga orang ini, hampir saja Lim Cu-jing
berteriak. Soalnya ketiga orang ini adalah sa maran ibunya, Bok-tan
dan Ting Kiau. Walau mereka sudah berganti rupa, tapi Lim Cu-jing
tetap dapat mengenalnya.
Mengapa ibu juga berada di Jiat-ho" De mikian dala m hati dia
bertanya2. Maka Lim Cu-jing angkat poci menuang secangkir teh, dengan
pura2 menikmati air teh panas yang dihirupnya sedikit de mi sedikit
Lim Cu jing gunakan ilmu gelombang suara berkata kepada nenek
itu: "Bu, bagaimana kaupun datang ke mari?"
Nenek itu me mang sa maran Thi-hujin, mendengar bisikan suara
Ling Kun-gi, sekilas tampak dia melengak, lekas sekali dia berpaling,
segera iapun dapat me lihat Lim Cu-jing. Karena dia sedang makan,
sudah tentu orang lain tidak perhatikan bila bibirnya lagi bergerak
bicara, dengan ilmu yang sama dia menjawab: "Anak Gi, kau sudah
mene mukan Ki Seng-jiang" Sorenya setelah kau berangkat, nona
Pui mendadak minggat, mungkin diapun menyusul ke Jiat-ho ini,
maka ibumu bersa ma Un-cengcu dan Cu-cengcu terbagi dala m t iga
rombongan mencari jejaknya ke mana2, sayang tidak ketemu."
Mencelos hati Lim Cu jing mendengar kabar ini, Tu Hong-seng
bilang di jalanan pernah melihat beberapa kelompok kaum
pemberontak, jelas yang dilihat adalah rombongan ibunya dengan
rombongan Un-cengcu dan Cu cengcu. Untung Ki Seng-jiang
serahkan tugas ini padaku, kalau tidak bukankah segala
persoalannya akan terbongkar, Yang menjadi beban pikirannya kini
adalah Pui Ji-ping, me mang nona itu pernah belajar ilmu rias untuk
menya mar ala kadarnya, bila ketiga rombongan orang yang
mencarinya ini bertemu muka secara langsung juga pasti tida k
mengenalnya lagi.
Nona ini me mang binal, sifat kanak2 masih menghayati
setiap gerak langkahnya yang suka iseng, apa saja yang dipikirkan
lantas dikerjakannya. Yang dikuatirkan adalah si nona bertindak
secara ceroboh. bukan saja bakal menggagalkan rencananya,
malah me mbawa kesulitan pula.
Sesaat pikirannya jadi kusut dan gelisah, dia memegang cangkir
pura2 seperti orang minum pelan2, dengan ilmu ge lombang suara
dia ceritakan pengala mannya sela ma berada di sini.
Thi-hujin terdia m sebentar, katanya kemudian: "Anak Gi apa kau
tidak merasakan semua ini terlalu mudah kau peroleh" Bukan
mustahil pihak lawan me mang sengaja mengatur semua ini untuk
menjebakmu kedala m perangkapnya?"
"Ibu tidak usah kuatir, hal ini tidak mungkin, anak juga tidak
semudah itu kena tipu mereka."
"Ini daerah kekuasaan mereka, apapun kau harus hati2,"
demikian pesan Thi-hujin.
Bok tan duduk di samping Thi-hujin, sudah tentu segera diapun
merasakan adanya tanda2 yang tidak beres ini, tak tahan dia
bertanya: "Apakah popo kurang selera ma kan hidangan di sini?"
Dengan tersenyum Thi-hujin menggeleng lalu me mberi tahu
dengan suara lirih. Bok-tan menjadi jengah dan melirik ke arah Lim
Cu-jing. Selanjutnya Lim Cu-jing beritahu bahwa Tu Hong-seng juga
sudah berada di Jiat-ho sini serta telah me laporkan kepada Ki Seng
jiang tentang jejak mereka, maka dia anjurkan setelah mene mukan
Pui Ji ping harus cepat2 meninggalkan Jiat-ho supaya tidak
mengganggu rencananya, juga jangan menginap di hotel, carilah
rumah penduduk saja.
"Baiklah, besok ka mi akan pindah keluar kota," demikian ucap
Thi-hujin, "ibu belum se mpat mengadakan kontak dengan Uncengcu dan Cu-cengcu, entah di mana sekarang mereka berada,
tapi ini soal sepele, asal ibu meninggalkan tanda rahasia akhirnya
pasti dapat bertemu dengan mereka."
Lim Cu-jing mengucapkan syukur. Kebetulan pelayan datang
me mbawa kan pesanan makanannya.
Thi-hujin, Bok-tan dan Ting Kiau sudah selesai ma kan, beriring
mereka berdiri, Ting Kiau merogoh kantong me mbayar rekening dan
turun ke bawah.
Tak la ma ke mudian Lim Cu jing pun turun dari loteng. Saat itu
suasana di jalan raya masih ra mai. Sekeluar dari Tang-sun-can, Lim
Cu jing langsung menuju ke losmen Liong kip.
Losmen Liong-kip jauh lebih kecil, letaknya juga di ujung gang,
maka ta mu2 yang menginap di sini kebanyakan adalah kaum
pertengahan atau orang2 yang kurang mampu keuangannya. Pada
hal dalam gang ini masih ada delapan hotel yang lain, Tu Hong seng
justeru menginap di losmen yang paling kecil dan murah, tujuannya
sudah tentu supaya tidak diperhatikan orang.
Seperti lazimnya pelayan segera menyambut kedatangan Lim Cujing dengan sikap ra mah yang berkelebihan, "Toaya ingin kamar,
meski kecil tapi ka mar ka mi cukup bersih untuk ist irahat."
"Cayhe hanya ingin mencari seorang teman saja," ucap Lim Cu
jing. Mendengar orang bukan cari ka mar, tawa dan sikap ramah si
pelayan seketika kuncup, tapi melihat dandanan dan perawakan Lim
Cu-jing gagah, tak berani dia bersikap se mbarangan, tanyanya:
"Toaya hendak cari siapa?"
"Adakah seorang tuan Tu yang menginap di sini?"
Mendengar orang she Tu yang menginap di ka mar kelas satu
yang dicari, ke mbali mekar tawa si pe layan, katanya sambil
munduk2 pula: "Ada, ada, kiranya tuan adalah kenalan Tu-toaya,
silakan, silakan, biar kutunjukkan tempatnya."
Dengan langkah lebar segera si pelayan berlari2 ke dalam serta
berteriak: "Tu-ya, ada kenalan-mu mencarimu."
"Siapa?" pintu ka marpun terbuka, begitu melihat Lim Cu jing,
sekilas Tu Hong-seng tertegun, lekas dia menjura dan menyapa: "O,
kiranya Ji.."
Cepat Lim Cu-jing melangkah maju, tukasnya dengan tertawa:
"Cayhe Lim Cu-jing, Tu-heng tidak kira akan kedatanganku bukan?"
- Sembari bicara berulang kali dia me mberi tanda kedipan mata,
maksudnya supaya tidak me mbocorKan rahasia dirinya di depan
pelayan. Sebagai kawakan Kangouw, segera Tu Hong-seng paha m
maksudnya, maka dia tertawa katanya:
"Sungguh tak nyana kedatangan Lim-heng, lekas silakan duduk
di dala m. Hahaha, inilah yang dina makan dirantau kete mu orang
sekampung." Lengan Lim Cu-jing digengga m serta digoyang2kan,
lalu menyilakan ta munya masuk. dia berpesan kepada pelayan:
"Pelayan, lekas bikin teh."
Pelayan mengiakan dan mengundurkan diri.
Tu Hong-seng segera tutup pintu, cepat dia me njura, katanya:
"Ha mba tida k tahu kedatangan Jilingpan, harap dimaafkan."
Lim Cu-jing mengulap tangan, katanya tertawa bangga: "Tuheng, me mangnya tempat apa di sini" Lebih baik kita saling
me mbahasakan saudara saja."
"Ya. . . . . silakan duduk Lim-heng," sejenak Tu Hong-seng
tergagap. Lim Cu jing tidak sungkan, dia duduk di kursi sebelah sana.
Pelayan telah datang pula membawa dua cangkir kosong dan sepoci
teh wangi panas.
Tu Hong-seng mengisi secangkir penuh, dengan sikap menjilat
segera dia aturkan ke depan Lim Cu jing, katanya: "Silakan minum
Lim-heng."
"Terima kasih," ucap Lim Cu-jing, lalu dia duduk dengan bersikap
kereng, katanya tegas: "Laporan Tu-heng sudah kubaca dengan
seksama." Padahal laporan Tu Hong-seng diserahkan kepada Ki
Seng jiang, bahwa dia mengatakan sudah me mbaca laporan itu,
berarti dia adalah orang terpercaya dari Ki Seng-jiang.
Dari Ki Lok, kacung Ki Seng-jiang, Tu Hong-seng sudah
mendapat tahu bahwa Jilingpan yang baru ini adalah utusan dari
istana Hok, asal usulnya tentu luar biasa. Sudah tentu sikapnya
sangat hormat, lalu ia mohon petunjuk, katanya: "Entah bagaimana
pendapat dan petunjuk Lim-heng?"
Lim Cu jing tertawa tawar, mendadak dia berbisik: "Jongtai
serahkan perkara ini padaku untuk menyelesaikannya , ada
beberapa soal yang ingin kutanyakan kepada Tu heng."
"Ada soal apa yang kurang jelas, boleh Lim-heng tanyakan, bila
kutahu tentu kuje laskan."
"Yang ingin kutanyakan adalah beberapa ke lompok orang2 Pek
hoa pang yang pernah Tu heng lihat di tengah jalan itu, entah di
mana Tu-heng me lihat mereka" Berapa orang dan siapa saja
mereka?" "Tengah hari kedua setelah aku keluar dari perbatasan, di daerah
kim kou-tun kulihat seorang tua dan muda beserta dua nona, laki2
tua muda itu aku tidak mengenainya, tapi kedua nona itu sudah
kukenal baik."
"Siapa kedua nona itu?"
"Lim-heng sudah me lihat laporanku itu, tentunya juga tahu
bahwa dari Ceng liong ta m Yong King-tiong dan Ling Kun-gi pernah
menolong dua laki dan dua perempuan, dua nona yang kulihat itu
adalah nona2 yang ditolong keluar dari Ceng-liong-ta m itu, kalau
tidak ke liru she Tong dan she Cu."
"Laki2 tua muda yang dimaksud tentu Cu Bun-ho dan Tong Siaukhing," de mikian pikir Lim Cu-jing. Dengan mengangguk dia
me mberi komentar, "Ya, tapi belum tentu mereka menuju ke Jiat-ho
sini, apakah mere ka pernah me lihat Tu-heng?"
"Tida k," tutur Tu Hong-seng lebih lanjut. "waktu aku melihat mereka, mereka sudah naik kuda hendak berangkat, kuatir jejakku
konangan, maka aku menginap di hotel, petangnya kulihat pula
rombongan orang lain."
"Siapa pula rombongan ini?"
"Dua laki2 kurus me mbawa seorang gadis, mereka menunggang
kereta keledai, merekapun menginap di Kim-kau-tun, gadis itu juga
sudah kukenal juga, dia berna ma Un Hoan-kun, orang dari keluarga
Un di Ling la m yang panda i menggunakan obat bius, aku pernah
merasakan ke lihayan obat bius si budak centil itu, karena itulah aku
menjadi tawanan mereka."
"Ke mudian Tu-heng me lihat kelompok siapa pula?"
"Tida k, karena hari kedua sebelum terang tanah aku sudah buru2
me lanjutkan perjalanan ke Jiat-ho sini."
Lim Cu jing tersenyum, katanya: "Di tengah jalan Tu-heng hanya
me lihat beberapa gadis yang kau kenal itu, berdasar apa kau berani
menyimpulkan bahwa tujuan mere ka ke Jiat-ho" Dan lagi hanya
beberapa nona2 manis belaka, me mangnya apa yang bisa mereka
lakukan?" "Benar," sahut Tu Hong- seng yakin, "je las mereka bertujuan ke Jiat-ho, walau hanya dua kelompok ini saja yang kulihat, tapi
kuduga pasti ada beberapa rombongan yang lain pula, termasuk
Ling Kun-gi di dala mnya, bocah she Ling itu katanya murid Hoan-jiu
ji lay. ilmu silatnya tinggi, lawan yang paling tangguh di antara
mereka." "Bahwa Pek hoa-pang bermusuhan dengan Hek-liong bwe itu


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merupakan pertikaian orang2 Kangouw, sebetulnya tiada alasan
mereka meluruk ke Jiat-ho sini."
"Lim-heng, mungkin kau belum tahu, tujuan mereka ke Jiat-ho ini
mungkin henda k menuntut ba las kepada Jongtai."
Pura2 kaget dan heran Lim Cu-jing, ia bertanya: "Kawanan
pemberontak ini berani menuntut balas apa kepada Jongtai" Apakah
mereka bermusuhan dengan Jongtai?"
"Agaknya Lim-heng me mang tida k tahu, dulu Hek-liong-hwe
didirikan untuk me lawan pe merintahan kerajaan kita, beberapa jago
kosen dari istana raja menjadi korban di sekitar sarang Hek-lionghwe, waktu itu Ki-jongtai baru berpangkat ke las tiga di pasukan
bayangkari, dia pula yang ditugaskan untuk mengusut perkara ini,
dialah yang me mbujuk a ku dan kawan2 la in untuk menyerah dan
berbakti kepada kerajaan sehingga Hek-liong-hwe akhirnya dapat
kita gempur dan duduki, belakangan kerajaan mengangkat Kijongtai secara resmi sebagai komisaris Hek-liong-hwe, akupun
dinaikkan pangkat menjadi Koan-tai."
Dia m2 Lim Cu jing me mbatin: "Jadi yang menjual Hek-liong-hwe
dulu kaupun ikut a mbil bagian, kau me mang pantas ma mpus." Tapi
Cu-jing pura2 me lenggong, lekas dia merangkap tangan katanya:
"Jadi sela ma dua puluhan tahun ini Tu-heng sudah ikut Jongtai,
maaf Cayhe berlaku kurang hormat."
"Mana berani," terbayang rasa bangga pada mimik muka Tu
Hong-seng, katanya: "Coba Lim-heng bayangkan. Maha Pangcu
Pek-hoa pang adalah puteri Thi-hwecu Hek-liong-hwe yang dulu,
setelah Hek liong-hwe kita rebut, mana mereka mau melepaskan Ki
jongtai?" Lim Cu jing mendengus, katanya: "Memangnya mereka berani
berontak di wilayah Jiat-ho?"
Tujuan Lim Cu jing ke mari adalah untuk me licinkan jalan dala m
peranannya untuk berma in sandiwara menyelidiki beberapa
kelompok pe mberontak sesuai yang dilaporkan Ki Seng- jiang oleh
Tu Hong seng, sudah tentu dia harus mencari hubungan pada Tu
Hong-seng serta me mbukt ikan alibinya mala m ini berada di te mpat
Tu Hong-seng, Tapi dari pe mbicaraan ini, secara tak terduga dia
me mperoleh dua bahan pertimbangan yang a mat berharga.
Pertama, Tu Hong-song ternyata adalah salah satu dari anggota
Hek-liong-hwe yangkhianat,menjual perkumpulandan
pemimpinnya kepada kerajaan, mungkin Yong King-tiong sendiri
tidak tahu akan hal ini.
Kedua, Tu Hong-song hanya melihat jejak kelompok Cu Bun-hoa
dan Un It-hong di Kim-kou-tun, jejak mereka selanjutnya belum
diketahui dengan pasti.
Setelah mengobrol sekian la manya pula, maka Lim Cu jing
berdiri, katanya: "Tiba saatnya aku harus mohon diri, supaya tidak
menarik perhatian lawan, aku menginap di bilangan belakang Tangsun-can, perkara ini oleh Jongtai sudah diserahkan padaku dan Tuheng diminta me mbantu, bila Tu-heng mene mukan apa2 harap
sewaktu2 me mberi kabar ke sana"
"Sudah tentu," ucap Tu Hong-seng dengan sungguh2, "Lim-heng
adalah orangnya Ki-jongtai dan juga atasanku, aku akan tunduk dan
patuh pada segala perintah Lim-heng."
Setiba di depan pintu Tu Hong seng masih ma u mengantar
keluar. Lekas Lim Cu-jing berkata: "Tu-heng tak usah mengantar,
jangan kita perlihatkan jejak di sini." -Lalu dia tarik daun pintu
menutupnya dari luar terus melangkah pergi.
Waktu tiba di hotel, kentongan pertama sudah la lu, setelah
me mada mkan la mpu, lekas Lim Cu-jing lepas jubah, segesit kucing
dia menyelinap keluar melalui jende la. Dengan Ginkang yang tinggi
laksana segumpal asap dia mela mbung .tinggi ke atas terus
berlompatan di antara wuwungan rumah ke arah utara.
Tak la ma ke mudian, Pit-siok-san-ceng yang megah dan angker
sudah kelihatan dari kejauhan. Dia m2 Lim Cu-jing melompat turun
ditempat gelap, dengan me minja m bayang2 rumah penduduk dia
menyelinap kian ke mari dan a khirnya tiba di te mpat sepi, dengan
gerak kecepatan yang luar biasa dia meluncur kekaki tembok, tanpa
menge luarkan suara, dengan ringan dia hinggap di te mbok istana.
Pagi tadi dia sudah apalkan letak asrama pasukan bayangkari,
matanya yang tajam sekilas menyapu pandang sekelilingnya,
tempat di mana ia berada kebetulan di sebelah selatan, dari sini ada
sebuah jalanan datar menjurus ke asrama pasukan bayangkari itu,
jalan lebar ini dipagari pohon2 tua dan tinggi besar, sangat baik
untuk te mpat se mbunyi.
Tapi jarak pepohonan itu masih ada puluhan, tomba k dari
tembok, di tengah masih dipisahkan sungai kecil. Tapi Lim Cu-ling
tidak banyak pikir, ia meneliti sebentar, seringan burung ia menutul
permukaan air, terus melambung tinggi pula dan hinggap di
seberang sungai. Hanya sekali tutul pula badannya meluncur maju
dan sekali berkelebat ia sudah meluncur ke pinggir hutan di bawah
bukit, sebat sekali bayangannya ditelan kege lapan dibalik hutan,
setangkas kera dia lompat ke atas pohon terus berlompatan di
antara pucuk pohon.
Untung dia berlompatan seperti terbang. di pucuk pohon, dari
sini didapatinya jalan berbatu di bawah, pada setiap pengkolan pasti
dijaga oleh dua orang. Malah ada pula barisan ronda yang mondarmandir. Betapapun vil a di sini adalah tempat kedia man raja, meski
baginda jarang menetap di sini, tapi aturan dinas tetap berlaku,
maka penjagaan tetap amat ketat dan keras.
Berlompatan terbang di atas pohon Lim Cu-jing tidak perlu kuatir
jejaknya akan konangan, apalagi tanpa rintangan, cepat sekali dia
sudah me mbe lok ke la mping gunung dan tiba di bela kang
pekarangan besar di belakang asrama pasukan bayangkari. Dari
ketinggian dia menyapu pandang sekelilingnya, lalu seringan daun
jatuh dia menukik turun menyusur tanah lapang yang bersemak2,
sekali kakinya menutul, ke mba li ia me la mbung ke atap rumah.
Asrama pasukan bayangkari a mat luas, luar dala m se luruhnya
ada tiga lapis bangunan, untung siang tadi Lim Cu-jing pernah
ke mari, sedikit banyak dia masih apal tempat ini. Dengan gerakan
yang luar biasa cepat, langsung dia me nuju ke ka mar Ki Seng jiang.
Selamanya keadaan di sini tetap aman, tak pernah terjadi onar,
mimpipun mereka tak mengira ada orang yang berani menyelundup
ke mari, walau ada penjagaan, hakikatnya mereka tidak waspada.
Maka dengan leluasa Lim Cu-jing terus maju ke depan tanpa
konangan. Sebelah utara ka mar buku merupakan kebun bunga yang luas,
karena kamar buku merangkap kantor kerja Ki Seng jiang, ma ka
kebun itu dipagari te mbok. Dengan enteng Lim Cu jing melayang
turun di kebun bunga ini, sekali berkelebat dia menyelinap maju ke
bawah jendela, kertas jendela dia tusuk berlubang dengan jari lalu
mengintip ke da la m.
Waktu sudah menjelang kentongan kedua, sudah tentu kamar
buku itu kosong tiada orang. Pe lan2 Lim Cu jing menyongkel jende la
lalu melejit masuk ke ka mar buku. Matanya dapat melihat jelas
ditempat gelap, maka langsung dia mengha mpiri kursi yang berlapis
kain sutera tempat duduk Ki Seng-jiang, sekilas dia mene liti meja,
laporan Tu Hong-seng t iada lagi, maka pelan2 dia berduduk,
pelahan ia me narik laci.
Pada detik2 itulah tiba2 ia mendengar suara "trak, trak", dari
sandaran kursi me ndadak menjepret keluar tiga jepitan baja.
Batangan besi menerobos dari bawah ketiak kanan kiri menjepit
dada, yang kedua menjepit pinggang dan yang ketiga menjepit kaki
kanan kiri. Sudah tentu pada sandaran tangan masing2 juga
menjepit keluar borgol tangan, tapi kedua tangan Lim Cu-jing tadi
sedang menarik laci sehingga tidak terborgol.
Kejadian a mat mendada k, keruan Lim Cu jing kaget setengah
mati. Laci sudah tertarik, tumpukan kertas laporan Tu Hong-seng
me mang berada dalam laci. Tapi badan Lim Cu jing sudah terjepit di
kursi, kecuali kedua tangan, sekujur badan tak ma mpu bergerak
lagi. Untunglah kedua tangan masih bebas, hal inilah yang menghibur
dan menabahkan hatinya, ia yakin dirinya masih ma mpu me loloskan
diri. Lebih celaka lagi begitu ketiga jepitan itu me mbelenggu
badannya, agaknya alat rahasiapun telah bekerja, tepat di atas
dinding di belakang kursi itu mendadak terdengar dering kelinting
yang berbunyi ramai. Ma la m gelap nan sunyi, maka suara alarm ini
kedengaran jelas dan berkumandang jauh, sebentar lagi seluruh
penghuni asra ma ini akan bangun dan me mburu ke sini.
Lim Cu jing agak gugup, dia coba me mbetot jepitan di depan
dada, tapi jepitan ini tera mat kukuh, maklumlah terbuat dari besi
baja. Cepat ia keluarkan Seng-ka-kia m, pedang disusupkan,
"Creeng", dengan mudah jepitan baja di depan dada dan pinggang
terpotong putus, sigap sekali Lim Cu-jing terus berdiri.
Didengarnya dari ka mar sebelah berkumandang bentakan keras:
"Pe mberontak beryali besar, berani bertingkah di istana raja." - Kain gorden tersingkap, tampak Ki Seng-jiang dengan pa kaian ringkas
menerobos masuk sa mbil menenteng Yu-liong-kia m dan langsung
menubruk ke arah Lim Cu-jing.
Lim Cu-jing se makin gelisah, dari kejauhan tangan kiri menepuk
menyongsong kedatangan Ki Seng-jiang, cepat2 tangan kanan
menggerakkan pedang pende k untuk me mutus jepitan yang
mengacip ka kinya, dengan mudah kedua jepitan inipun dia
putuskan. Ki Seng-jiang me mang tida k malu sebagai komandan pasukan
bayangkari, gerak-geriknya gesit dan tangkas, padahal dia sedang
menubruk dengan sengit, tapi begitu melihat Lim Cu jing
menyongsong dengan pukulan tangan, deru angin kencang terasa
mengiris mukanya, badan yang terapung itu, lekas2 miring
kesamping, sementara pedang ia pindahkan ke tangan kiri, cepat
sekali tangan kanan me mukul ke depan.
Dua angin pukulan bentrok mengakibatkan suara keras
menimbulkan pusaran kencang, terasa oleh Lim Cu-jing, meski Ki
Seng jiang me lontarkan pukulan dikala badannya terapung, ternyata
kekuatannya setanding dengan tenaga angin pukulannya, mau tidak
mau dia merasa kagum dan mencelos hatinya.
Pada saat itulah tampak cahaya benderang, Ki Lok berlari keluar
dari balik ka mar sebelah sambil me mbawa la mpu sorot jarak jauh,
sasarannya tepat ke badan Lim Cu-jing.
Kedua mata Ki Seng-jiang tampak mende lik tajam menatap Lim
Cu-jing, setelah menggera m sekali dia tanya: "Anak muda, siapa
kau?" Tak perlu kau tanya siapa aku," jengek Lim Cu-jing. Se mbari
bicara pelan2 tangan kanan menekan ke dala m laci di mana laporan
Tu Hong-seng berada. Soalnya laporan ini menyangkut jiwa
beberapa orang, jika Ki Seng-jiang sampai melaporkannya ke istana,
tentu buntutnya teramat panjang.
Melihat orang mengulur tangan ke dala m laci, Ki Seng jiang
mengira orang hendak mencuri laporan itu, keruan ia gusar,
hardiknya: "Lepaskan!"
Sekali berke lebat dia menubruk tiba, tangan kanan terayun, sinar
pedangpun menyapu tiba.
Tapi Lim Cu-jing tida k mundur juga tidak berkelit, pedang pendek
me mancarkan cahaya gemilang, begitu kedua sinar pedang saling
bentrok menimbulkan suara nyaring menusuk telinga, hanya
sekejap saja kedua orang sudah saling bergebrak tiga kali.
Tampak selarik sinar pedang dingin menggaris lewat di antara
perut dan dada Ki Seng-jiang. Selama hidupnya belum pernah Ki
Seng jiang menghadapi ilmu pedang seaneh dan se lihay ini, keruan
darahnya tersirap, lekas dia menarik napas mendekuk dada serta
menyurut mundur sekuatnya, tapi tak urung baju di depan dadanya
koyak tergores oleh taja m pedang pendek Lim Cu jing itu.
Dika la pedangnya berhasil paksa mundur Ki Seng-jiang inilah,
mendadak Lim Cu-jing mendengar sebuah suara halus lirih: "Lekas
mundur Lim-heng, kalau tertunda pasti tak keburu lagi!"
Karena, suara bisikan tera mat lirih dan ha lus, sukar bagi Lim Cu
jing me mbedakan suara siapa?"
Muka Ki Seng jiang tampak me mbesi hijau, pedang melintang di
depan dada, hardiknya bengis: "Kau ini Ling Kun-gi!" - Hanya murid Hoan-jiu ji-lay yang mahir menggunakan pedang dengan tangan
kiri, ma ka segera ia dapat mengena lnya. . .
"Tida k salah," sahut Lim Cu jing, Mendadak pedangnya
mendahului bergerak menjadi selarik sinar kilat menerobos jendela
di kuti luncuran badannya.
Berdiri alis Ki Seng-jiang, hardiknya: "Masih ingin lari ke ma na
kau?" - Segera ia mengudak dengan suatu tubrukan. Tapi dika la
hampir saja mencapai jendela, mendadak didengarnya sebuah suara
me mbentak: "Awas!" - Serangkum jarum le mbut tahu2 bertaburan
ke arah dirinya.
Maklumlah dika la Cu-jing menyentuh alat rahasia sehingga
menimbulkan dering alarm sa mpai dia menerjang keluar jendela
terpaut hanya beberapa kejap saja, begitu mendengar suara
peringatan tadi, tahu2 segenggam jarum menyongsong mukanya
dari sebelah atas, sebagai jago yang berpengalaman, lekas Ki Seng
jiang kebutkan lengan baju disertai angin pukulan kencang,
sementara dengan paksa dia mengerem tubuhnya terus mencelat
balik delapan kaki jauhnya. .
Pada saat itu pula, dua orang penjaga di luar telah me mburu
datang. Demikian pula para pimpinan utama dari ketiga barisan
pasukan bayangkari karena mendengar dering peringatan be ramai2
juga me mburu t iba Ki Seng-jiang menca k2 gusar seperti kebakaran
jenggot, bentaknya murka: "Kalian gentong nasi se mua, hayo lekas
kejar!" Waktu Lim Cu jing menerobos keluar dari jende la, dilihatnya di
atas tembok di taman belakang sana berdiri seorang pelajar
berjubah putih tengah memberi tanda lambaian tangan kearahnya,
berbareng ia pun mendengar suara lembut lirih: "Lekas ke mari Limheng, mundurlah dari arah datangmu tadi."
Semula Lim Cu-jing mengira ada seorang kena lan atau orang
pihak sendiri yang me mbantunya, kini setelah jarak agak dekat baru
dia lihat bahwa pemuda pelajar ini sela manya belum pernah
dikenalnya, keruan ia melenga k, tanyanya: "Saudara ini ......."
"Jangan banyak tanya," kata pemuda pelajar baju putih, "le kas kau menyingkir dulu."
"Dan kau . . . . "
"Lekas pergi aku tidak apa2" habis berkata mendadak dia
me la mbung tinggi, berbareng menghardik: "Awas!" - Tangan
terayun, dia ha mburkan segengga m jarum ke arah jendela.
Lim Cu-jing tida k sempat bicara lagi, segera ia melambungkan
tubuh setinggi mungkin, kaki ke mba li me nutul di atas te mbok,
seenteng burung ia melayang turun di tanah berumput, sekali
lompat lagi dia menerobos masuk ke dala m hutan. Waktu dia
berpaling, bayangan pemudi pelajar baju putih sudah tidak kelihatan
lagi, tapi dilihatnya tujuh delapan bayangan orang sama muncul dari
kamar Ki Seng-jiang me ngejar ke arah yang berlawanan dengan
arah dirinya ini."
Lim Cu-jing maklum bahwa pe muda pelajar baju putih sengaja
me mancing musuh mengejar ke arah yang berlawanan, supaya
dirinya dapat me larikan diri dengan le luasa. Bila dia tidak apal a kan
seluk beluk vil a raja ini, tak mungkin dia dapat menolong dirinya,
me mangnya siapakah dia"
Benak berpikir sementara langkah Lim Cu-jing tak pernah
berhenti, dengan menge mbangkan Thin-liong-ih-bong-sin-hoat dia
berlompatan dari pucuk pohon yang satu melayang kepucuk pohon


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lain. Meski terjadi geger dan keributan besar di vil a raja itu,
tapi seperti apa yang dikatakan pemuda baju putih, sepanjang jalan
ini keadaan tetap tenang tidak terlihat adanya gerakan sama sekali.
Dengan le luasa akhirnya Lim Cu jing mengundurkan diri dari vil a
raja langsung ke mbali ke dala m ka marnya terus tidur.
Dala m hati dia masih me mikirkan kesela matan pemuda pelajar
baju putih, entah orang sudah selamat meninggalkan tempat itu
tidak" Padahal dirinya tidak mengena lnya, entah dari mana dia tahu
dirinya she Lim" Tengah layap2 hampir tertidur, tiba2 di dengarnya
derap kaki orang mendatangi dan berhenti di depan ka marnya.
Terdengar pelayan berkata, "Lim-ya tinggal di dala m ka mar ini,
mungkin sudah tidur, biar hamba mengetuk pintu." - Lalu terdengar
daun pintu diketuk pelahan dari luar dua tiga kali pelayanpun
berteriak dengan suara tertahan: "Lim-ya, Lim-ya, engkau
bangunlah sebentar."
Dengan suara di buat2 Lim Cu-jing bertanya: "Siapa?"
"Ada seorang teman datang mencarimu, katanya ada urusan
penting," sahut pelayan.
Maka didengarnya suara Go Jong-gi berkata: "Lim-heng, inilah
aku, Go Jong-gi."
Lim Cu-jing me mbuka pintu dengan mata masih kelihatan sepat,
me lihat Go Jong- gi, dia terbelalak, serunya: "Me mangnya ada
urusan apa?"
Agaknya Go Jong -gi gugup dan tidak sabar, lekas dia tarik orang
masuk ke ka mar, katanya:
"Ada huru-hara di vil a, Ki-to suruh aku ke mari me manggilmu
sebentar."
Lekas Lim Cu-jing pakai jubah luarnya, tanyanya: "Ada huru hara
apa?" "Ki-to sedang menunggu, biar nanti kuceritakan di tengah jalan,"
ujar Go Jong gi.
Lim Cu-jing me ngiakan, bergegas mereka ke-luar, sementara
pelayan sudah menyiapkan kuda Lim Cu-jing. Go Jong-gi juga
datang naik kuda, langsung mereka ke mbali ke istana.
Di tengah jalan secara ringkas Go Jong-gi ceritakan kejadian
yang diketahuinya. Yang dikuatirkan Lim Cu-jing ada lah
keselamatan pe muda baju put ih, ma ka dia pura2 kaget dan
bertanya: "Ada kejadian begini" Entah tertangkap tidak penyatron
itu?" "Entahlah, Jongtai mendesak
Kisah Para Pendekar Pulau Es 15 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Petualang Asmara 11

Cari Blog Ini