Ceritasilat Novel Online

Pendekar Kidal 5

Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Bagian 5


anya dari dala m: "Siapa?"
"Inilah cengcu dari Liong-bin-san-ceng, kau harus melayaninya
baik2," kata Hou Thi jiu.
"Baik, bawa dia ke dala m," sahut suara merdu itu. Lalu dia
mendahului melangkah di kuti Hou Thi-jiu.
Kun-gi me mbatin pula: "Kiranya sudah sa mpai di Kwi-pin-koan."
seorang membuka daun jendela, suara merdu berkata pula:
"Taruh dia di atas dipan"
Hou-Thi-jiu lantas merebahkan Kun-gi di atas dipan yang
beralaskan kasur e mpuk.
Suara merdu itu bertanya: "Kapan cengcu ini akan sadar"."
Pertanyaan inipun a mat penting artinya bagi Ling Kun-gi.
Didengarnya Hou Thi- hou menjawab: "Kira2 kentongan kedua
nanti." "O," suara merdu berkata pula, "kini sudah kentongan pertama, jadi masih satu ja m lagi."
Hou Thi-jiu lantas keluar, katanya: "Cayhe mohon diri."
Suara merdu ikut melangkah ke luar dan menutup
pintu, sekemba linya dia langsung mendekati pe mbaringan, kain
hita m penutup mata Kun-gi dia copot, lalu ditariknya ke mul
untuk menutupi badan Kun-gi, dari gerak-geriknya jelas gadis ini
sudah terlatih baik menjalankan tugasnya.
Entah apa tujuan mereka menculik Cu Bun-hoa ke mari dengan
jalan ber-liku2 sede mikian rupa" De mikian Kun-gi ber-tanya2 dala m
hati, tapi dia tidak berani me mbuka mata, karena dengan jelas dia
merasakan he mbusan napas si gadis tengah berdiri di pinggir
pembaringan, mungkin orang tengah menga mati dirinya, atau
menga mati "Cia m-liong Cu Bun-hoa Cengcu" dari Liong- bin-sunceng. . Dengan telentang di atas pembaringan, kelopak matapun Kun-gi
tak berani bergerak, karena gerakan kelopak mata menanda kan
bahwa dirinya sudah siuman- Untung hanya sejenak gadis bersuara
merdu ini menga mati dirinya, lalu mengundurkan diri dia m2.
Setelah orang sampai di luar dan menurunkan kerai, dia tetap
tidak berani me mbuka mata. ia selalu ingat pesan gurunya sebelum
berangkat, beliau bilang "Muridku, dengan bekal kepandaianmu
sekarang, tiada suatu tempat di dunia Kangouw yang pantang kau
datangi, cuma berkelana di Kangouw, bekal kepanda ian hanya
sebagai cangkingan belaka, yang penting adalah kecerdikan
bertindak dan hati2, ada sepatah kata perlu gurumu berpesan dan
kau harus mengukirnya di lubuk hatimu, yaitu semakin besar
nyalimu, kau harus se makin hati2. Peduli persoalan atau kejadian
apapun yang kau hadapi, kau harus tetep tenang dan waspada."
Sementara itu gadis bersuara merdu tadi sudah berada di luar,
tapi dia tetap rebah tak bergerak. dia sedang mengerahkan tenaga
saktinya, memusatkan seluruh perhatian mendengarkan keadaan
sekelilingnya. Umpa ma di dala m ka mar masih ada orang lain, pasti
suara napasnya bisa didengarnya.
Sepeminuman teh ke mudian barulah Kun-gi yakin bahwa di
dalam ka mar betul2 tiada orang lain kecuali dirinya, pelan2 dia
me mbuka mata, walau hanya setengah mengintip saja, tapi dia
sudah melihat jelas keadaan di depannya.
Itulah sebuah kamar tidur yang amat besar, pajangannya serba
mewah, serba antik. Di bawah penerangan cahaya yang rada redup,
semua benda pajangan yang ada di da la m ka mar kelihatan indah
menarik. letaknya juga diatur sedemikian dan serasi benar
me mbuktikan hasil dari tangan seorang ahli pajang kena maanSekilas pandang Kun-gi lantas pejamkan mata pula, dalam hati ia
me-nimang2 cara baga imana dia harus menghadapi situasi
selanjutnya nanti" Akhirnya dia berkeputusan dirinya harus teguh
iman, teguh pendirian, berani menghadapi segala perubahanWaktu berlalu dengan cepat, sejam telah berselang, langkah le mbut
mendatang dari luar pintu, Kun-gi tahu wa ktunya sudah tiba, ia
tetap rebah di pembaringan, ia pura2 menarik napas panjang
seperti baru siuman dari tidur, dengan suara kereng dia bertanya:
"Siapa di luar" Apa Kwi-hoa" Tida k kupanggil, untuk apa kau
ke mari?" Sembari bicara dia me mbuka mata. Begitu mata terpentang
segera dia berjingkrak berdiri, ke mana sorot matanya berpancar
seketika dia berdiri tertegun. Dia sengaja berbuat demikian- Sorot
matanya yang tajam menatap gadis baju hijau yang melangkah
masuk menyingkap kerai tanpa berkedip. lalu dengan suara kaget
dia bertanya: "Siapa kau, ini . . . . tempat apa ini" Bagaimana aku
bisa rebah di sini?" seka ligus tiga pertanyaan keluar dari mulutnya,
menandakan kegugupan hatinya yang kaget dan heranGadis baju hijau kira2 berumur 20-an, perawakannya tinggi
sema mpai, ramping menggiurkan, wajahnya manis dan molek. buah
dadanya menonjol besar, dadanya dihiasi sebuah ma inan kalung
besar bentuk jantung hati, semuanya terbuat dari mas murni, dua
kuncir ra mbutnya yang besar legam menjuntai di kedua sisi
pundaknya. Gadis ini sudah tentu amat cantik, kecuali cantik juga me mpunyai
daya tarik bagi setiap lelaki yang melihatnya. Tangannya menjinjing
sebuah nampan putih, baru saja dia menyingkap kerai melangkah
masuk lantas dijumpainya Ling Kun-gi berjingkrak dengan rentetan
pertanyaan tadi. Dia lantas berhenti di ambang pintu, sepasang
matanya yang jeli me natap Kun-gi sa mbil tersenyum mekar,
tertampak barisan giginya yang putih rata bagai biji mentimun,
begitu menggiurkan senyum tawanya. Terdengar suaranya nan
merdu mengandung rasa ma lu: "Cu-cengcu sudah bangun, ha mba
Ing jun, ditugaskan meladani Cu-cengcu di sini"
Terasa oleh Kun-gi kakinya menginjak kabut tebal, ia tetap
menatap pelayan yang bernama Ing-jun dan bertanya: "Lekas nona
beritahu, tempat apakah ini" Bagaima na aku bisa sa mpa i di sini?"
Melihat sorot mata Ling Kun-gi yang bersinar mengawasi dirinya
tanpa berkedip. Ing-jun menunduk malu, dia meletakkan na mpan di
atas meja di sa mping dipan, sahutnya:
"Inilah bubur yang ha mba sengaja buatkan untuk Cengcu."
"Nona belum jawab pertanyaanku," desak Kun-gi sa mbil
menge lus jenggot.
Ing jun tetap menunduk. sahutnya, "Tempat ka mi ini adalah Coat
Sin-san-ceng, Cu-cengcu adalah tamu agung yang diundang Cengcu
kami yang telah lama mengagumimu." Sebagai pelayan yang
ditugaskan me layani tamu, sudah tentu dia panda i bicara.
Coat Sin-san-ceng" Dia m2 Kun-gi me mbatin- "Belum pernah
kudangar nama perka mpungan ini di kalangan Kangouw?" Segera ia
tanya pula, "Entah siapa she dan na ma besar Cengcu kalian-"
Sedikit angkat kepalanya, sikap Ing jun lebih hormat, sahutnya:
"Cengcu kami she Cek, tentang nama besar beliau, kami sebagai
pelayan tiada yang mengetahui." Jelas dia t idak ma u menerangkan.
Tak enak Kun-gi bertanya lebih lanjut, katanya "Lohu ingin
bertemu dengan Cengcu ka lian-"
"Betapa sukarnya Cengcu ka mi mengundang Cu-cengcu ke mari
dan dilayani sebagai ta mu luar biasa, sudah tentu nanti beliau akan
menjenguk ke mari, cuma ......"
"Cuma apa?" desak Kun-gi.
Sekilas bentrok sorot mata mereka, lekas Ing-jun tunduk kepala
pula, katanya lirih: "sekarang sudah kentongan kedua, Cengcu kami
sudah tidur."
Kehadiran Kun-gi di sini mewakili Cu Bun-hoa, sebagai duplikat
orang, tak enak dia banyak omong, apalagi tujuannya menyelidiki
jejak ibunva, maka dia manggut2, katanya: "Baiklah, terpaksa Lohu
tunggu sa mpai besok pagi batu mene mui Cek-cengcu ka lian-"
Tiba2 sorot matanya menatap tajam, tanyanya: "Dapatkah nona
jelaskan, cara bagaimana ka lian me mbawa Lohu ke mari?"
Le mbut suara Ing-jun: "Ha mba hanya tahu cengcu kami a mat
mengagumi ke mashuran Cu-cengcu, maka beliau mengundang Cucengcu ke mari, tentang cara bagaimana mengundangnya, hamba
tidak tahu apa2."
"Baiklah," ujar Kun-gi dengan tersenyum, "segala persoalan
terpaksa kubicarakan besok kalau berhadapan dengan cengcu
kalian-" "Mala m sudah larut, silakan Cu-cengcu dahar dulu sebelum
istirahat," kata Ing-jun.
Me mangnya sudah sehari sema la m kelaparan, Kun-gi tidak
menolak lagi, dengan lahapnya dia habiskan semangkok bubur
sarang burung itu, semangat seketika berbangkit, rasa lapar tadipun
lenyap. Dengan muka jengah Ing-jun mendekat, katanya: "Cu-cengcu
silakan istirahat, biar ha mba bantu menanggalkan paka ian-"
Melihat wajah orang yang merah ma lu2 dan hendak me mbuka
pakaiannya, keruan Kun-gi menjadi kelabakan, katanya gugup: "Tak
usahlah, nona sendiri pergilah tidur."
Mendadak Ing-jun berkata dengan suara pelahan: "obat bius
yang diminum Cu-cengcu semala m tercampur obat racun yang
me mbuyarkan Lwe kang, kekuatan sekarang hanya tersisa tiga
bagian, maka hamba harap cengcu hati2 dan jangan sembarangan
bergerak."
Kun-gi me lenggong, katanya sambil mengawasi Ing-jun "Terima
kasih atas kebaikan nona."
Merah pula wajah Ing-jun, katanya lebih lirih: "Ha mba lihat cu
cengcu seorang ksatria tulen, makanya berani me mberi peringatan,
kalau nasihatku tadi terdengar oleh Cengcu ka mi, ha mba pasti akan
dihukum pancung."
Dia m2 Kun-gi tertawa dingin, batinnya: "Yang terang Cengcu
kalian sengaja suruh kau bertingkah de mikian-" Tapi lahirnya dia
tetap tersenyum, katanya mengangguk: "Terima kasih nona."
Ing-jun lantas menga mbil mang kok serta me mberi hormat
kepada Kun-gi, katanya: "Ha mba mohon diri," lalu ia menyingkap
kerai dan keluar. Waktu itu kentongan kedua baru saja lewat, saat
paling tepat dan baik bagi setiap pejalan ma la m. tapi Kun-gi tahu
perkampungan ini pasti terjaga keras, dengan susah payah dan
tersiksa sehari se mala m dirinya baru berhasil me nyelundup ke mari,
sudah tentu dia tidak berani bergerak secara semberono. Maka
setelah Ing-jun mengundurkan diri, iapun ke mbali rebah di
pembaringan, lampu dia pada mkan, terus duduk semadi di atas
ranjang. oooodwoooo Karena menyamar sebagai Kwi-hoa, setelah meninggalkan ka mar
buku, Pui Ji-ping langsung ke mbali ke ka mar Kwi-hoa terus tutup
pintu. Dia m2 dia a mbil keputusan dala m hati bila pamannya
diketahui lenyap, seluruh perka mpungan pasti akan geger, mala m
ini baru saja dia me mpelajari ilmu tata rias, maka tiba saatnya dia
sekarang berdandan sebagai laki2, meningga lkan Liong-bin-sanceng secara dia m2 dan secara dia m2 pula ia henda k menguntit
musuh. Tapi pada saat dia siap2 hendak merias diri, di bawah jende la
mendadak seorang bersuara. "Ji-ping, lekas buka pintu"
Ji-ping tahu itulah suara pamannya, sekilas dia me lengak,
bergegas dia bereskan bahan2 obat rias terus lari membuka pintu.
Sebat sekali Cu Bun-hoa menyelinap masuk, lalu menutup daun
pintu pula Ji-ping bertanya: "Pa man, darimana kau bisa ke mari?"
Cu Bun-hoa tersenyum, katanya: "Paman datang dari lorong
bawah tanah, Kwi-hoa sudah mengaku terus terang."
"Apa yang dia katakan" Ke mana mereka hendak me mbawa
paman?" Sudah tentu yang dia perhatikan adalah Ling Kun-gi.
"Diapun tidak tahu, tugasnya hanya mendesak In Thian-lok
supaya me mbius diriku dan orang la in a kan datang me mberi
bantuan," tanpa menunggu Ji-ping bertanya dia melanjutkan pula:
"Waktu terlalu mendesak. pa man tida k bisa bicara banyak lagi
dengan kau, lekas kau ke mbali ke ka mar buku, beritahu kepada In
Thian-lok bahwa di dala m ka mar buku ada ruangan rahasia, Lokhun-san milik pa man disimpan di ka mar rahasia itu, kau boleh bawa
dia ke depan rak buku dan pura2 mencari tombolnya, lalu bawa dia
masuk ke dala m."
Terbelalak mata Ji-ping, tanyanya: "Apa yang dinamakan Lokhun-san itu?"
"Jangan tanya, bekerjalah menurut pesanku, beritahukan pada In
Thian-lok saja."
"Aku toh tidak tahu cara me mbuka alat rahasianya."
"Anak bodoh, cukup asal kau pura2 saja, paman akan bantu kau
dari dala m," lalu dia mendesak. "hayolah cepat" Habis berkata dia tarik pintu la lu menyelinap keluar pula.
Ji-ping tak berani ayal, sekali tiup dia padamkan la mpu, dengan
langkah enteng ia lari ke depan- Baru saja dia keluar dari serambi
tengah, dilihat-nya In Thian-lok sedang menimang Cin-Cu-ling
mendatang dengan langkah gopoh. Begitu melihat "Kwi-hoa" segera
dia mengulap tangan, katanya lirih: "Sudah kubereskan se mua,
lekas kau ke mba li ke ka mar, tiada urusan nona lagi di sini "
"Tunggu sebentar," kata Ji-ping dengan suara tertahan-In Tianlok tertegun, tanyanya: "Nona masih ada urusan?"
Berputar biji mata Pui Ji-ping, katanya lirih: "Di sini bukan tempat
bicara, ikutlah aku ke ka mar buku." Se karang dia tahu kedudukan
Kwi-hoa lebih tinggi daripada In Thian-lok. maka sikap dan nada
bicaranya kedengaran dingin dan ketus.
Lekas In Thian-lok mengiakan, tanpa bicara dia putar tubuh
me mbuka jalan. Cepat sekali langkah kedua orang, sekejap saja
mereka sudah berada di ka mar buku. Waktu Ji-ping angkat kepala,
dilihatnya jendela sudah tertutup semuanya, agaknya In Thian-lok
me mbawa Cin cu-ling hendak me mberi laporan kepada Cu-hujin di
belakang. Cara kerja yang dia lakukan sede mikian rapi, ka lau
kejadian ini tersiar di kalangan Kangouw, tentu ceritanya adalah
pintu jendela tak terbuka dan pa mannya lenyap tanpa bekas.
Dari kejadian ini dapatlah di simpulkan bahwa lenyapnya kepala
keluarga Tong dan Un pasti dilakukan secara berkomplot oleh
orang2 dalam keluarga masing2, demikian pula mata2 sudah
menyelundup ke Siau-lim-si.
Dika la dia meng-a mat2i keadaan, In Thian-lok maju setapak dan
katanya lirih: "Ada urusan apa nona, sekarang boleh kau katakan ?"
Kuatir orang mengenali suaranya, maka Ji-ping tahan suaranya:
"Tadi aku lupa me mberitahu kepada In congkoan, pa . . . . ." ha mpir saja dan menyebut "pa man", ia pura2 merande k. lalu ber-kata pula sambil me nghela napas: "Yaitu . . . . " dala m gugupnya timbul
akalnya, suaranya tetap lirih: "Di ka mar buku cengcu ada sebuah
kamar rahasia, Lok-hun-san tersimpan di ka mar rahasia itu."
"Ka mar rahasia?" seru In Thian-lok me longo.
"Kenapa cayhe tidak tahu?" bersinar biji mata In Thian-lok.
tanyanya cepat: "Nona tahu di mana letak ka mar rahasia itu?"
"Aku hanya pernah melihat sekali, yaitu . . . ." sembari berkata
dia pura2 mengingat2 sa mbil mengitari ra k buku seperti mencari
apa2, lain menyambung: "Agaknya di sini." Dengan badan
terbungkuk dia meraba dan menekan rak buku, dalam hati dia
menduga2: "Entah pa man sudah ke mbali ke ka mar be lum?"
Lekas In Thian-lok mendekatinya dan berdiri di bela kang Kwi-hoa
samaran Pui Ji-ping, kata-nya lirih: "Sudah puluhan tahun aku ikut
Cu-cengcu, nona baru tiga tahun, tapi sudah berhasil sedemikian
rupa . . . . "
Ji-ping hanya mendengus. Pada saat itulah, terdengar suara
getaran lemah, dua rak buku di depannya mendadak terpisah ke sisi


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

samping dan muncul sebuah pintu. Dengan pura2 girang .Ji-ping
berseru: "He, kute mukan sekarang"
Mendadak didengarnya suara sang paman dengan ilmu Thoan-im
jip-bit (mengirim ge lombang suara ) mengiang dipinggir kuping: "J iping, suruh In Thian-lok berjalan di depan- Ingat, sedikitnya kau
harus lima ka ki di belakangnya, jangan terlalu dekat"
Sementara itu, In Thian-lok sudah menga mbil lentera di atas
meja dan mengha mpiri mulut pintu la lu berhenti, dengan seksama
dia pasang kuping dan lepas pandang ke dala m, tapi ka mar rahasia
itu gelap gulita, tiada sesuatu yang dapat dilihatnya. Agaknya dia
juga tahu bahwa Cu-cengcu sangat lihay, ma lah seorang ahli
pencipta alat2 perangkap. maka ia tidak berani sembarangan
masuk. Melihat orang ragu2 dan jeri,Ji-ping lantas mengejek dingin: "Incongkoan, waktu kita terlalu mendesak."
In Thian-lok menyengir, katanya: "Ya, ya, biar cayhe masuk
me lihatnya." dalam keadaan begitu, terpaksa dia keraskan kepala
dan melangkah masuk dengan hati kebat kebit.
Ji-ping tertinggal lima kaki lebih dibe lakangnya, pelan2 iapun
masuk dan pintu di bela kang mereka lantas menutup, Betapapun In
Thian-lok sudah puluhan tahun menjadi pe mbantu Cu Bun-hoa,
sedikit banyak dia juga tahu tentang segala peralatan rahasia, walau
pintu di belakang mereka menutup tanpa menge luarkan suara, tapi
nalarnya ternyata sangat tajam, reaksinyapun cepat, sigap sekali dia
me mba lik tubuh, pintu dari mana tadi mereka masuk kini sudah
menjadi sebuah dinding tebal, entah ke mana letak pintu tadi"
Keruan wajahnya yang kelam itu menjadi se makin ge lap. tangan
yang pegang lenterapun gemetar, tanyanya kepada Ji-ping "Nona
yang menutupnya?"
"Tida k." seru Ji-ping pura2 kaget dan gelisah, "aku mengintil di belakangmu, sedikitpun tanganku tak bergerak."
In Thian-lok terbeliak, katanya: "Tak mungkin, setelah pintu ini
terbuka, tak mungkin me nutup sendiri, kecuali di da la m ka mar ini
ada orang yang menguasai alat rahasianya."
"Orang ini ternyata licik dan licin," demikian batin Ji-ping, tapi dia tetap pura2 ketakutan, katanya: "Memangnya ada siapa pula di
dalam ka mar ini?"
Serius wajah In Thian-lok. kedua matanya jelilatan mengawasi
sekelilingnya, akhirnya ia berhenti di arah dipan yang terukir indah
itu, bentaknya kereng: "Siapa kau" Lekas bangun"- Di bawah
penerangan lentera yang dia angkat tinggi tampak di atas dipan
rebah celentang kaki seorang, badannya ditutupi kemul tipis sa mpa i
kepalanya sehingga tak diketahui siapa dia"
Me mangnya ka mar ini gelap. tahu2 melihat sesosok tubuh rebah
kaku berkerudung rapat begitu, sungguh a mat mena kutkan- Ka lau
Ji-ping tidak menduga bahwa yang rebah itu pasti paman-nya, tentu
ia sudah menjerit kaget.
Orang yang rebah itu diam saja tidak bergeming meski sudah
dihardik berulang kali oleh In Thian-lok. Keruan In Thian-lok
semakin murka, katanya geram: "Tuan tidak mau bangun, terpaksa
orang she In tidak sungkan2 lagi." tapi orang itu tetap tidak
bergerak. Mata In Thian-lok mencorong terang laksana obor ditengah
keremangan, kelima jari tangan kiri mene kuk laksana cakar
me lintang di depan dada, mendadak dia melompat maju terus
menarik ke mul yang menutupi tubuh orang. Seketika pandangnya
yang garang buas terbeliak kaget, tubuhpun tergetar hebat.
Pui Ji-ping yang berada dibelakangnya dapat melihat jelas, orang
yang rebah di atas dipan ternyata seorang perempuan, rambut
panjang awut2an, wajah yang semula putih halus kini sudah
berubah hijau mengkilap. matanya mendelik besar ha mpir mencotot
keluar. Warna hijau sebetulnya warna yang kalem indah, warna yang
tidak menakutkan- Tapi kulit muka manusia dan biji matanya mana
ada yang berwarna hijau" Muka hijau yang dilihatnya ini sungguh
menyerupai warna setan yang menggiriskan- Perempuan yang
rebah itu ternyata adalah Kwi-hoa. Sekali pandang sudah dapat
diketahui bahwa dia sudah mati. Mati keracunanBelum pernah Ji-ping menyaksikan pe mandangan yang seram ini,
kedua kaki se ketika menjadi le mas, badan ge metar.
Betapa cerdik In Thian-lok. melihat mayat yang mati keracunan
itu adalah Kwi-hoa, segera ia menyadari ganjilnya keadaan ini,
mendadak dia putar badan menatap Ji-ping, hardiknya bengis.
"Siapa kau?"
Jarak Ji-ping hanya beberapa kaki di belakang, jadi pamannya
sudah me mperingatkan supaya dia berdiri saja tanpa bergerak di
tempatnya, segera dia me mbusungkan dada, dengusnya, "coba
katakan, siapa aku?"
In Thian-lok tidak berani pandang sepele padanya, karena dia
tahu racun yang menyebabkan kematian Kwi-hoa adalah Lok-husan, racun milik Liong-bun-san yang paling ganas. Bahwa dirinya
dipancing masuk ke ka mar rahasia ini, tentu orang sudah punya
cara lihay untuk menundukkan dirinya. Maka iapun tidak berani
mendesak terlalu dekat, tetap berdiri beringas ditempatnya, pelan2
dia menarik napas lalu berkata: "Kau bukan Kwi-hoa"
Belum Ji-ping me njawab mendadak sebuah suara
dingin menanggapi: "Dia me mang bukan Kwi- hoa."
Sejak masuk tadi In Thian-lok sudah yakin kecuali orang yang
rebah di pe mbaringan, ka mar ini t iada orang kee mpat. Kini sudah
jelas bahwa yang rebah dan mati adalah Kwi hoa, ini berarti tiada
orang ketiga yang masih hidup, tapi orang yang menanggapi
kata2nya ini jelas berada di dalam kamar juga, malah sela ma
puluhan tahun dia sudah sering dan apal mendengar suara orang
ini, tanpa menoleh iapun tahu siapa yang berbicara itu. Dala m
sekejap itu, laksana disamber geledek kepala In Thian-lok, darah
tersirap. dengan gugup dia berpaling ke arah datangnya suara.
Betul juga, di sa mping almari sebelah kiri sana, entah kapan
tahu2 sudah muncul satu orang. Dia berdiri menggendong kedua
tangan, wajahnya mengulum senyum, na mun kedua biji matanya
ke milau dingin, tida k kelihatan gusar, tapi wibawanya cukup
menggetar nyali In Thian-lok yang ditatapnya. Siapa lagi dia kalau
bukan cia m-liong Cu Bun-hoa adanya.
Pelan2 Cu Bun-hoa berkata: "In Thian-lok. apa pula yang ingin
kau katakan?"
Pucat pias seperti kapur wajah In Thian-lok, keringat dingin
gemerobyos, sahutnya me mbungkuk. "A mpun cengcu ......."
Sebelah tangan mengelus jenggot, tangan yang lain tetap
dibelakang punggung, dingin suara Cu Bun-hoa: "coba terangkan,
siapa yang jadi biang keladi komplotanmu ini?"
"Harap cengcu maklum, karena ceroboh...", sembari bicara
matanya melirik kearah Ji-ping, la lu meneruskan: "Kwi-hoa lah yang
menjadi biang keladinya, siapa sebetulnya orang yang berdiri di
belakang layar peristiwa ini ha mba juga t idak tahu."
"Kau sudah tahu bahwa anak Ping yang menyamar Kwi hoa,
masih berani kau mungkir menumple kkan dosa kepadanya,"
damprat Cu Bun-hoa, In Thian-lok me mang licik dan banyak
muslihatnya, jelas dia saksikan sendiri Kwi-hoa sudah mati dan
rebah di atas ranjang, jawaban itu me mang disengaja untuk
mengorek keterangan Cu Bun-hoa siapa sebetulnya orang yang
menyaru jadi Kwi-hoa ini" Se mula dia mengira puteri cengcu Cu Yakhim, sungguh tak diduganya bahwa Pui Ji ping yang menya mar.
Sudah tentu Ji ping juga berguna baginya, karena dia adalah
keponakan Cu-cengcu, asal dirinya berhasil me mbe kuk nona itu
sebagai sandera, dirinya tetap akan bisa lolos dengan selamat. Maka
tanpa terasa ia melirik pula ke arah Pui Ji-ping setelah mendengar
keterangan Cu Bun-hoa.
Lirikan ini dia m2 me mperhitungkan jarak kedua pihak. jarak Jiping kira2 ada beberapa kaki, sementara cengcu ada di samping
almari sebelah kiri sana, jaraknya dengan dirinya ada setombak
lebih. Inilah kesempatan baik dan harus mene mpuh bahaya. Ia
cukup kenal perangai sang cengcu, jelas jiwanya takkan diampuni.
Dia m2 ia berpikir cara bagaimana harus menge labui sang cengcu
untuk secara mendadak menyergap Pui Ji-ping. Maka dengan pura2
gelisah dan jeri, berulang kali dia menjura, katanya: "Sukalah
cengcu dangarkan penjelasaan .... " mendadak tubuhnya berputar
dan melompat kesana menerka m Pui J i-ping.
Sergapan ini dilakukan secara mendadak, gerak geriknya cepat
dan gesit lagi, jelas Cu Bun-hoa tida k se mpat menolong, sementara
Ji-ping sendiri juga tak menduga bahwa orang bakal menerka m
dirinya. Tahu2 orang sudah menubruk tiba, keruan kaget Ji-ping tidak
kepalang, secara refleks dia menjerit seraya mundur selangkah,
sementara itu tangan kanan In Thian-lok sudah berada di atas batok
kepalanya. Pada detik2 gawat itulah mendadak didengarnya Cu Bun-hoa
bergelak tertawa, serunya:
"Anak Ping jangan takut"
Belum lenyap suaranya, terdengar dua kali "trang-trang"
beradunya barang besi. Lekas Ji-ping tenangkan diri, waktu dia
angkat kepala, tampak In Thian-lok yang menubruk ke arah dirinya
itu berdiri tanpa menggunakan ka ki, kedua tangannya terbelenggu
oleh dua gelang besi yang tiba2 turun dari langit2 rumah sehingga
tubuhnya terangkat sedikit, demikian pula kedua ka kinya
terbelenggu juga oleh dua gelang besi yang timbul dari bawah
lantai, baru sekarang dia sadar kenapa pa mannya berseru supaya
dirinya tenang dan tak perlu takut.
Karena kaki tangan terbelenggu dan tak mungkin berkutik lagi In
Thian-lok. katanya sambil menghela napas panjang, "Ha mba tahu
diri tida k sepandai cengcu, pantas segala gerak gerikku selalu di
bawah pengawasan cengcu."
Cu Bun-hoa tertawa, katanya: "Kau mengorek keteranganku,
dia m2 berniat menyergap anak Ping, kalau maksud jahatmu ini tak
bisa kuraba, memangnya Liong- bin-san-ceng bisa berdiri di
kalangan Kangouw." Setelah menghela napas, ia menambahkan:
"Tapi kalau ma la m ini anak Ping tidak keburu pulang me mberi
kabar, aku toh tetap akan terjebak olehmu."
Terpancar sorot mata aneh dari mata In Thian-lok. tanyanya
sambil mengawasi Ji-ping: "cara bagaimana Piau-slocia bisa
mengetahui?"
Pui Ji-ping tertawa dingin dengan bangga, katanya: "Ka lau ingin
orang lain tidak tahu, kecuali awak sendiri tak berbuat. Waktu aku
me lihat kelima blok kain katun yang termuat di depan toko Tekhong, lantas aku tahu kau adanya."
Berubah air muka In Thian-lok. dia menunduk dan tidak bersuara
lagi. "In Thian-lok," kata Cu Bun-hoa, "sudah puluhan tahun kau
menjadi pe mbantuku, biasanya kau kerja keras dan setia terhadap
junjungan, tak pernah melakukan kesalahan pula, bagaimana kau
sampai hati timbul niat jahatmu, kalau dipikir sungguh a mat
mengecewakan- "
In Thian-lok tetap menunduk tak bersuara.
Berubah kela m air muka Cu Bun-hoa, katanya sambil
menggerung gusar: "orang lain mungkin t idak tahu, tapi kau sudah
puluhan tahun mengikutiku, tentunya sudah jelas tindakan apa yang
harus kula kukan sekarang."
Pucat muka In Thian-lok, katanya. "Selama puluhan tahun
me mbantu cengcu, ha mba banyak menerima kebaikan cengcu,
bukannya hamba berusaha me mbalas kebaikan ini, tapi ma lah
me mbantu dan diperalat orang, memang me ma lukan hidupku ini,
sekali terpeleset akan menyesal selamanya, biarlah hamba menebus
dosa ini dengan ke matian-"
"Mengingat kesetiaanmu sela ma ini, asal kau mau bertobat, Lohu
akan me mberi kese mpatan pada mu untuk menebus dosa ini."
Sedih tawa In Thian-lok, katanya: "Sudah terlambat, kalau
cengcu katakan hal ini sejak tadi mungkin masih keburu, sekarang
sudah terlambat."
Cu Bun-hoa menatap tajam muka In Thian-lok, tanyanya:
"Katakan, kenapa terla mbat?"
"Ha mba sudah menelan racun," sahut In Thian-lok.
Guram a ir muka Cu Bun-hoa, katanya: "Bahwa kau sudi diperalat
orang lain, kenapa tidak mau me mbantuku ma lah?"
"Ya, hamba akan mene mbus kesalahan ini dengan ke matian-"
Mendadak Cu Bun-hoa tanya dengan suara bengis: "Siapa pula
mata2 yang berada diperka mpungan kita ini?"
Megap2 mulut In Thian-lok, matanya melotot, tapi suaranya tidak
keluar. Cu Bun-hoa menatap tajam, dari gerakan bibir dan lebarnya
mulut, agaknya In Thian-lok henda k mengatakan "delapan", cepat
dia tanya: "Se mua kau yang me mbawanya ke mari?"
Entah dengar atau tidak pertanyaan ini, kepala In Thian-lok
seperti mengangguk sedikit, tapi lantas lertunduk lemas tak
bergerak lagi. "Paman, dia sudah mat i?" tanya Pui Ji-ping.
Pelahan Cu Bun-hoa mengha mpiri, ia raba dada In Thian-lok,
katanya manggut: "Ya, sudah mati"
Tiba2 kakinya menggentak lantai, terdengariah suara "cret-cret",
gelang yang me mbelenggu kaki tangan In Thian-lok tiba2 lepas,
maka tubuh In Thian-lok yang mulai dingin segera jatuh gedebukan
di lantai. Tanpa bicara lagi Cu Bun-hoa me langkah ke sana, dari dalam
bajunya dia keluarkan sebuah botol kecil warna hijau, dia cukil
sedikit obat bubuk dengan kuku jarinya terus ditaburkan ke muka In
Thian-lok, tepat ke mulut dan hidungnya.
"Paman," tanya Pui Ji-ping, "Budak Kwi-hoa itu juga mati
menelan racun?"
"Dia mengaku bukan komplotan Cin-Cu-ling, maka secara
sukarela dia menuturkan kejadian sesungguhnya, katanya dia dibeli
seorang laki bernama Hoa Thi-jiu, lalu diselundupkan ke mari,
tugasnya mengirim kabar keluar, dia minta aku menga mpuni
jiwanya, sudah tentu dia takkan menelan racun."
"Jadi pa man yang me mbunuhnya?" tanya Ji-ping.
"Ya, kulihat dia pernah me mperoleh ge mblengan yang
meyakinkan- seorang agen yang lihay, sudah tentu takkan
kulepaskan dia .... Sekarang lekas kau ikut keluar, kita harus segera
menya mar untuk me mbuntuti jejak mereka."
Pui Ji-ping berjingkra k senang, tanyanya: "Maksud paman
hendak mengejar jejak Ling toako?"
"Ya, Kwi-hoa dan In Thian-lok tidak mau menerangkan siapa
biang keladi dari komplotan Cin-Cu-ling ini dan dimana sarangnya"
Terpaksa kita kuntit saja jejak Ling-lote secara diam2, setiba di
tempat tujuan, kita bisa me mberi bantuan kepada-nya."
"Tapi mere ka sudah pergi seja m yang lalu, ke mana kita harus
mengejarnya?"
"Paman sudah suruh orang mengejar me mbawa anjing secara
dia m2, sepanjang jalan ini mere ka pasti meningga lkan tanda
pengenal, kenapa takut tak mene mukannya" Sekarang kau bersiap2, aku akan bereskan mata2 yang lain, segera kita akan
berangkat."
"Bagaimana dengan kedua mayat ini, paman?" tanya Ji-ping.
Waktu dia bepa ling, seketika dia berseru kaget dan heran, hanya
sekejap saja mayat Kwi-hoa dan In Thian-lok ternyata sudah lenyap.


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cairan air darah tampa k menggenang lantai.
Cu Bun-hoa berpesan- "Anak Ping, ada satu hal yang harus kau
perhatikan, jangan kau usik Piaucimu, si budak Ya-khim itu juga liar
seperti kau, kalau dia tahu, tentu dia ma u ikut."
Ji-ping mengangguk, katanya: "Pa man jangan kuatir, aku tidak
akan mengajaknya."
00oodwoo00 Fajar telah menyingsing, baru saja Kun-gi turun dari ranjang,
Ing-jun, si pe layan montok ini sudah masuk me mbawa baskom,
katanya tertawa sambil mengerling: "Cu-cengcu, sila kan cuci muka "
Sebagai tempat penginapan para tamu agung, sudah tentu semua
perabot dan peralatan yang digunakan serba baru.
Inilah hari permulaan Kun-gi datang dengan maksud tertentu,
maka sikapnya tak acuh dan dia m2 melihat gelagat saja.
Menunggu Kun-gi se lesai cuci muka, segera Ing-jun bertanya:
"Pagi ini cu-cengeu ingin sarapan apa" Ha mba akan segera
menyiapkan."
Kun-gi mendapat angin, katanya "Di tempat ini apapun yang
kuinginkan pasti akan disediakan?"
"De mi menyesuaikan se lera para tamu yang ada di sini, sengaja
cengcu mengundang koki kena maan, apapun yang di nginkan para
tamu pasti bisa disedia kan," sahut Ing-jun.
Tergerak hati Kun-gi, sambil menge lus jenggot, dia bertanya:
"Dari apa yang barusan nona katakan, jadi tamu2 yang diundang
cengcu kalian bukan hanya Lohu seorang?"
"Ha mba juga kurang jelas," sahut Ing-jun tertawa sambil
menutup mulut dengan lengan baju, "beberapa kamar di sekitar sini
me mang diperuntukkan tempat tinggal para tamu." Lalu dengan
gerakan menantang dia bertanya pula: "cengcu pesan hidangan
apa, hamba segera menyediakan."
"Licin juga budak ini," demikian batin Kuni-gi, dengan tertawa dia lantas berkata: "Kalau pagi Lohu suka ma kan bubur."
Cemerlang biji mata Ing-jun, katanya tertawa, "Bubur selalu
tersedia, hamba akan siapkan pula beberapa lauk-pauk yang lain-"
Lalu dia putar tubuh hendak pergi.
"Tunggu dulu nona," seru Kun gi.
"Ha mba Ing-jun, harap Cu-cengcu panggil nama hamba saja,
kalau cengcu dengar hamba di-panggil nona, tentu hamba akan di
caci ma ki," tanpa menunggu Kun-gi bicara lagi, segera ia bertanya
pula: "Cu-cengcu masih ada pesan apa?"
"Setiap bangun tidur, Lohu punya kebiasaan jalan2 di kebun, apa
aku boleh ke luar?"
"Te mpat kita ini dikelilingi air, di luar air terkurung gunung lagi,
dalam kebun ada tanaman yang terus berke mbang sela ma e mpat
musim, panorama sangat permai, sebagai tamu undangan, sudah
tentu Cu-cengcu boleh pergi ke mana saja, nanti kalau Cu-cengcu
ke mbali ke ka mar, hidangan-pun sudah kuantar ke mari."
Kemanapun boleh pergi, me mangnya mereka tidak takut tamu
agung yang diundang secara paksa ini me larikan diri" Kun-gi lantas
berkata: "Baik, Lohu a kan jalan di luar."
Ing-jun menyingkap kerai, Kun-gi lantas melangkah keluar
kamar, kini dia berada di sebuab ruang tamu yang luas dan serba
mewah, pekarangan mungil di luar sana, berderet dan puluhan pot
ke mbang berbagai jenis sedang me kar se merbak, harum
me mabukkan-. Ing-jun mendahului me mbuka pintu besar yang bercat merah,
sembari melangkah ke luar dia berkata: "Cu-cengcu baru datang,
keadaan di sini masih asing perlukah ha mba me mberi sekedar
penjelasan?" Lalu dia tuding ke tempat jauh, katanya: "Kebun ini
luasnya ada beberapa hektar, air mengelilingi te mpat ini di bagian
timur, selatan dan barat, sebelah utara adalah puncak gunung yang
terjal dan mencakar langit, tepat di sebelah selatan, di mana
bangunan gedung2 bertingkat itu adalah letak dari Coat Sin-sanceng, cengcu kita bertempat tingga l di sana. "
"Dari Coat Sin-san-ceng kearah timur adalah Hiat-ko-cay. Menuju
ke utara tiba di Kwi-ping-kip. di mana ada lima bilangan, tempat kita
ini adalah bilangan ketiga yang bernama Lan-wan- Dari sini ke
barat, itulah Thian-oe-tong, menuju ke selatan akan tiba di A mhung- ih, maju lagi adalah Goa-kia m-khe k dan Hiat-ko-cay yang
terletak secara berhadapan, tepat di tengah2 ada sebuah gunungan
palsu besar dengan puncak Kok-hun-ting, dari sini dapat melihat
pemandangan di se kitarnya, begitulah kira2 keadaan di sini."
Kun-gi manggut2 ber-ulang2, katanya tersenyum: "Terima kasih
atas petunjuk nona," Lalu dia menyusuri jalanan kecil bertabur
batu2 putih. Ta man bunga ini ternyata amat luas, di mana2
pepohonan tumbuh subur dan lebat, teratur dan terawat baik, bau
bunga semerbak, burung berkicau, suasana pagi hari ini sungguh
cerah dan segar.
Berjalan ditengah taman nan indah perma i ini, orang akan lupa
segala2nya, me mang siapa akan percaya bahwa di tengah2 taman
ini merupakan sumber kekacauan di kalangan Kangouw dan menjadi
pusat komplotan Cin-Cu-ling.
Sedikit banyak Kun-gi sudah mendapat gambaran dari
keterangan Ing jun mengenai seluk-beluk taman ini, pikirnya: "Aku
baru datang, lebih baik kupanjat gunung buatan menuju ke Ke khun-ting, ingin kulihat denah dari keseluruhan ta man ini."
Langsung dia menyusuri ja lanan kecil di tengah2 itu. Tak la ma
ke mudian, betul tiba di depan gunung buatan itu.
Gunung buatan ini dibangun dari tumpukan batu2 yang diuruk
tanah, tak ubahnya seperti bukit2 umumnya, di atas gunung buatan
inipun tumbuh pepohonan, na mun yang terindah adalah pohon2
bambu kuning, berbagai jenis kembang juga tumbuh se merbak.
jauh lebih teratur dan terawat, undakan dan jalan liku2 menanja k
tinggi ke atas, untuk membangun gunung buatan yang beberapa
puluh tombak tingginya ini terang menghabiskan biaya dan pikiran
yang tidak sedikit. Tepat di puncak bukit terdapat sebuah gardu,
itulah Kek-hun-t ing, "gardu se kuntum mega ".
Dengan berlenggang Kun-gi telah menuju ke atas, lain dengan
gardu umumnya yang berbentuk petak. gardu di sini dipagari kayu2
merah setinggi pinggang yang berbela k-belok. pajangannya cukup
megah, ke arah manapun me nghadap. seluruh pe mandangan ta man
ini dapat terlihat jelas.
Begitu Kun-gi melepas pandangannya, seketika ia berdiri
me longo. Sema la m waktu turun kereta, walau kedua matanya
ditutup kain, tapi ketika dia diturunkan oleh Hou Thi-jiu, pernah dia
mengintip sebentar, kereta benar2 berhenti di depan sebuah pintu
gerbang perkampungan- Tapi te mpat sekarang dirinya berada
justeru di bangun di tengah pegunungan- Dia ingat le laki baju abu2
menggendongnya turun kereta, lalu me mbe lok ke kiri masuk pintu
seperti me lewati beberapa pekarangan dan rumah baru sa mpa i di
taman belakang. Dari pintu taman yang bersuara berat itu terang
terbuat dari besi tebal, lalu Hou Thi jiu sendiri yang menjinjing dirinya menyelusuri lorong berbatu ke Kwi-pin koan. Meski tida k
me lihat dengan mata terpentang, namun se mua itu di ngatnya
betul2. Menurut rekaannya, letak dari ta man bela kang ini pasti berada
paling belakang dari perka mpungan- Karena orang2 yang di
"undang" ke mari sudah di bius, malah di da la m obat bius dica mpur obat yang dapat membuat seseorang kehilangan tenaga, betapapun
tinggi ilmu silat seseorang, setelah minum obat itu, kekuatannya
paling tersisa tiga bagian saja dari keadaan biasanya.
Untuk lari me lompat pagar tembok yang a mat tinggi terang
mustahil, apalagi penjagaan dari jago2 berkepandaian tinggi tentu
juga sangat ketat, yang terang setiap gerak-gerik dirinya tentu
diawasi secara dia m2.
Tapi kenyataan yang dilihat dan dihadapi Kun-gi sekarang justeru
berlainan. Apa yang dijelaskan oleh Ing-jun si pelayan tadi me mang
tidak salah, taman bunga ini di kelilingi air, hanya bagian utara
berdiri puncak gunung tinggi mencakar langit yang curam dan terjal.
Jadi perka mpungan besar sebetul-nya terletak di bagian selatan,
tapi yang dia lihat sekarang hanyalah Coat Sin-san-ceng, di selatan
Coat Sin-san-ceng adalah sungai yang lebarnya puluhan tombak
pepohonan Yang-liu tampa k me la mbai2 di seberang sana, mana ada
perkampungan besar lain"
Jelas semalam kereta berhenti di depan perkampungan dan
dirinya digusur turun, kalau letaknya terpaut sebuah sungai, cara
bagaimana kereta bisa sampai di sini" jelas dirinya melihat
bangunan tembok yang tinggi, pintu gerbang perka mpungan begitu
angker, lalu ke mana pula se karang perka mpungan besar itu"
Sejak dirinya masuk ke mari sa mpa i sekarang, keadaan dirinya
tetap segar bugar, terang tak mungkin dipindah ke te mpat lainBegitulah Kun-gi berdiri menjublek di te mpatnya.
Waktu dia berpaling ke utara, puncak mencakar langit yang terjal
itu seperti sudah amat dikenalnya, itulah puncak gunung tinggi yang
semala m dilihat berada di belakang perka mpungan itu. Dan di sini
letak keanehannya, perkampungan besar itu lenyap. namun punca k
tinggi ini tetap bercokol di te mpatnya. Ini me mbuktikan bahwa apa
yang dilihatnya semala m tentu tidak salah. Hati se makin heran dan
bingung, terasa pula bahwa urusan rada ganjil.
Coat Sin-san-ceng (perkampungan yang lepas dari kera maian
dan kotoran duniawi), na ma ini me mang tepat dan tidak
berkelebihan, karena tiga bagian seke lilingnya dilingkari permukaan
air yang luas, me mang merupa kan tempat yang terasing dan
terpencil dari luar.
Tujuan Kun-gi hanya ingin me lihat dan me meriksa keadaan
sekeliling, kini keadaan sudah dilihatnya dengan jelas, maka me lalui
jalan datangnya tadi dia me nuju ke Lan- wanMasih ada suatu hal yang membuatnya heran, di tempat ini tiada
seorangpun yang dijumpa inya, se-akan2 pemilik tempat ini tida k
merasa kuatir, sehingga tidak perlu mengutus orang mengawasi
dirinya secara dia m2.
Hal ini ma lah mena mbah rasa curiga Ling Kun-gi, dengan susah
payah, menggunakan berbagai daya upaya mengundang para tamu
agung ini ke mari, apakah ma ksud tujuannya"
oo 0dwoo Lan-wan, sesuai dengan na manya, yang ada di tengah2
lingkungan ta man ini seluruhnya adalah bunga anggrek melulu,
ratusan pot2 bunga tersebar dan diatur begitu rapi, terbagi menjadi
kelompok dari berbagai jenis2 yang berlinan, di bawah pot bunga
ditaruh tatakan berisi air bening untuk me ncegah se mut
menggerogoti akarnya.
Tatkala itu Kun-gi berada di antara deretan rak bunga, sambil
menggendong tangan, dengan seksama dia me lihat2 bunga.
Sifatnya bebas dan rileks, se-olah2 dialah tuan rumah dari se mua
yang ada di ta man ini.
Waktu itu hari sudah menje lang lohor, tampak seorang pelayan
baju hijau sedang mendatangi dari jalanan kecil berbatu krikil sana.
Dari gerak langkahnya yang enteng, sekali pandang orang a kan
tahu bahwa pelayan ini me miliki dasar Ginkang yang a mat bagus.
Tiba di depan pintu Lan- wan, pelayan itu hanya bicara beberapa
patah kata dengan Ing-jun.
Tampak Ing-jun mengantarnya me masuki taman menuju ke arah
Ling Kun-gi. Tapi Kun-gi pura2 tidak tahu, dengan tekun dia
me meriksa tana man bunga. Setelah mereka de kat di belakangnya
baru Ing-jun bersuara: "Cu-cengcu"
"o." Kun gi bersuara sekali, pelan2 dia me mba lik tubuh.
Ing-jun berkata, "cengcu sudah menunggu di ruang depan Jun
hiang ci-ci sengaja diutus ke mari untuk mengundang Cu-cengcu ke
sana." Jun- hiang, pelayan baju hijau, lantas maju selangkah dan
me mberi hormat, katanya: "Hamba Jun-hiang me mberi hormat
kepada Cu-cengcu."-Gadis pelayan ini ternyata berparas elok
laksana puteri kahyangan dala m lukisanKun-gi manggut2, katanya: "Lohu me mang ingin me ne mui
cengcu kalian, silakan nona menunjukkan ja lan-" Jun-hiang
mengiakan, lalu dia mendahului jalan di muka.
Jalan yang menuju ke Coat Sin-san-ceng dari Lan-wan cukup
lebar beralas batu2 gunung, kedua pinggir jalan dipagari tana man
pohon yang tidak diketahui apa namanya, angin menge mbus
sepoi2, dahan pohon sama bergoyang menerbitkan paduan suara
yang mengasyikkan.
Berjalan di belakang Jun-hiang, tiba2 tergerak hati Kun-gi,
batinnya: "Se mala m wa ktu Hoa Thi-jiu me mbawa ku ke mari juga
kudengar suara lirih dari gesekan dedaunan pohon, mirip sekali
dengan keadaan sekarang yang kulewati ini, jadi jalan yang menuju
ke kebun kiranya berada di dala m Coat Sin-san-ceng. Ya, kebun ini
dikelilingi air tiga jurusan, Coat Sin-san-ceng tepat berada di selatan
kebun bunga, mungkin seka li harus mela lui lorong bawah tanah
untuk keluar masuk, ma ka pintunya harus menggunakan papan besi
yang berat."
Coat Sin-san-ceng terdiri dari lima lapis bangunan gedung yang
menghadap ke utara tanah-nya luas, bentuknya megah dan angker,
tembok dan pilar2 gedungnya bercat dan terhias dengan berbagai
warna lukisan berbagai corak. hanya di bilangan gedung besar inilah
Kun-gi merasakan adanya gaya hidup kaum persilatanDiatas undakan lebar setinggi puluhan t ingkat itu, di samping
empat saka merah besar berdiri e mpat laki2 yang me mbusungkan
dada dengan seragam hijau menyoreng golok.
Jun-hiang bawa Kun-gi naik ke atas undakan langsung menuju ke
serambi. Tepat di depan sebuah pendopo besar berdiri seorang
berperawakan sedang berjubah sutera.
Begitu melihat Kun-gi, segera ia bergelak tertawa sambil
menyongsong maju, katanya sambil menjura: "Sudah la ma siaute
mendengar na ma besar Cu-cengcu, hari ini dapat mengundang
ceng-cu ke mari sungguh merupakan kehormatan besar yang tiada
taranya, semala m tak se mpat menya mbut selayaknya, harap
dimaafkan dan jangan Cu-cengcu berkecil hati"
Orang ini le laki setengah baya, wajahnya bersih, tulang pipinya
menonjol, sorot matanya tajam, perawakannya sedang, tapi
suaranya keras bergema seperti genta, di antara sikapnya yang
ramah ta mpak kereng dan berwibawa.
Mendengar nada ucapannya, Kun-gi lantas tahu orang inilah
cengcu dari Coat Sin-san-ceng. Lekas dia balas menjura, katanya
tertawa: "Tuan ini tentunya Cek-cengcu pemilik te mpat ini" Beruntung Siaute bisa berkunjung ke sini."
Berulang kali laki2 jubah sutera me mbungkuk badan, katanya:
"Tida k berani, Siaute sendiri Cek Seng-jiang adanya."
"Tak pernah dengar seorang tokoh Bu lim yang berna ma Cek
Seng-jiang," de mikian batin Ling Kun-gi, "ka lau dia tida k
menggunakan na ma palsu, tentunya karena dia jarang muncul di
kalangan Kangouw." .
Tanpa menunggu Kun-gi buka suara, Cek Seng-jiang berseri tawa
sambil angkat tangan: "Silakan, silakan Harap Cu-cengcu duduk di
dalam." Di bawah iringan tuan rumah, Kun-gi masuk ke ruang pendopo
yang penuh ukiran ini, dilihatnya tiga orang sudah di tengah ruang
pendopo sana. Ketiga orang ini adalah seorang paderi tua berjubah
abu2, alisnya panjang matanya sipit, usianya sekitar 60, duduk
tegak menunduk kepala, tangannya me megang serenceng tasbih.
Dua orang yang lain adalah kakek berjubah biru, alisnya tebal
matanya lebar, muka persegi kuping besar, jenggot hitam menjuntai
di depan dada, usianya mende kati setengah abad. Seorang lagi laki2


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjubah coklat, wajahnya putih, tubuhnya sedang tapi rada gemuk.
dagunya tumbuh ja mbang yang lebat, usianya lebih 50 tahun.
Waktu Cek Seng-jiang mengiringi Kun-gi me langkah masuk- sorot
mata mereka lantas menatap ke arah Ling Kun-gi. Dari sorot mata
mereka dia m2 Kun-gi tahu bahwa ketiga orang ini sebetulnya
me miliki dasar Lwekang yang tangguh, sayang sinarnya redup
buyar. Sembari tertawa Cek Seng jiang angkat tangan, katanya: "Cuheng pertama kali datang, sila kan duduk di te mpat atas."
Kun-gi tidak sungkan2, dengan sewajarnya dia lantas duduk di
tempat yang di tunjuk. Cek Seng-jiang mengiringi duduk. dua
pelayan segera maju mengisi dua cangkir arak. Sa mbil me ngangkat
cangkirnya Cek Seng-jiang berkata: "Mari, silakan minum"
Setelah minum dan me letakkan cangkirnya, Cek Seng-jiang
lantas berdiri, katanya: "Tuan2 tentunya sudah lama saling dengar
nama masing2, tapi belum pernah berkenalan. Nah, marilah
kuperkenalkan satu persatu. Lalu dia menunjuk Ling Kun-gi,
katanya: "Inilah cengcu dari Liong-bin-san-ceng. Di ka langan
Kangouw mendapat julukan cia m-liong, tentunya, tuan2 bertiga
tidak asing akan na manya."
Lekas Kun-gi berdiri seraya menjura. Ketiga orang yang duduk
segera berdiri juga dan me mbalas hormat, sorot mata mereka
me mbayangkan rasa heran dan tida k habis mengerti. Paderi tua
jubah abu2 segera bersabda: "Kiranya cu- tayhiap. sudah lama
Lolap ingin berkena lan-"
Cek Seng-jiang tuding padri tua, katanya: inilah Lok-san Taysu."
Tergetar hati Kun-gi, Katanya: "Kiranya Taysu adalah paderi sakti
Siau-lim-si."
Melihat wajah orang mengunjuk kaget dan heran, tanpa terasa
Cek Seng-jiang mengulum senyum, katanya pula sambil me nunjuk
kakek tua berjubah biru: "Inilah Tong Thian-jong, Tong-toako dari
Sujwan-" La lu dia tunjuk la ki2 Jubah coklat pula. "Yang ini ada lah Un It- hong, Un-lauko dari Ling-la m."
"Ketiga orang ini sudah hadir di sini, lalu di mana ibuku" Pasti
berada di dala m taman ini pula," de mikian Kun-gi me mbatin.
Karena pikiran ini, mendadak berubah air mukanya, katanya
dingin menatap Cek Seng-jiang: "Jika demikian, jadi Cek-cengcu
adalah pemimpin Cin-cu-ling yang me mbikin geger dunia
persilatan?"
Cek Seng-jiang tertawa lebar, ujarnya: "Mana berani, mana
berani. soalnya kawan2 Kangouw tidak tahu duduknya perkara
sehingga timbul sa lah paha m terhadap Siaute ...."
Kata Kun-gi tegas: "La lu apa ma ksud tujuan Cek-cengcu me nculik
kami berama i ke mari?"
"Cu-heng jangan salah paha m," ujar Cek Seng jiang tertawa,
"Sudah la ma Siaute mengagumi na ma besar kalian bere mpat,
bahwa para pendekar kami undang ke mari adalah untuk
menghindarkan suatu petaka yang bakal menimpa Bu-lim, se-kali2
tiada terkandung maksud2 pribadi, soal ini panjang kalau dijelaskanNah marilah, hidangan sudah tersedia, marilah sa mbil ma kan minum
kita mengobrol."
Kun-gi menge mban tugas dari gurunya untuk menyelidiki
peristiwa Cin-Cu-ling, sudah tentu dia tidak boleh bersikap keras
terhadap si tuan rumah, maka sambil mendengus dia duduk ke mbali
ke tempatnya, walau wajah masih mena mpilkan rasa gusar, tapi dia
tekan amarahnya. Sikap pura2nya me mang tepat, seperti masih
menaruh curiga terhadap Cek Seng jiang, tapi iapun ingin
mendengar penjelasannya.
Dua pelayan mengisi pula cangkir mereka dengan arak. hanya
Lok san Taysu yang minum teh. Cek Seng jiang angkat cangkirnya
lebih dulu, katanya: "Cu-heng tiba diperka mpungan kita, demi
keselamatan Bu-lim, Siaute aturkan dulu secangkir arak ini kepada
Cu-heng." Demi kesela matan Bu-lim, tidak kecil arti kalimat yang dia
ke mukakan ini.
Setelah hadirin sa ma mengeringkan cangkirnya, maka
pembicaraan selanjutnya menjurus pada soal pokok. Kun-gi buka
suara lebih dulu: "Tadi Cek-cengcu bilang bahwa Siaute diundang
ke mari de mi untuk melenyapkan petaka Bu-lim yang sudah ada di
depan mata, bagaimana duduk persoalannya, bolehkah cengcu
menerangkan saja?"
Kembali Cek Seng-jiang tenggak habis secangkir arak. katanya:
"Tanpa Cu-heng tanya juga Siaute akan menerangkan" Setelah
merandek sebentar, lalu ia menyambung: "Soal ini harus dibicarakan
dari diriku sendiri. Keluarga cek ka mi sebetulnya mengikat
persaudaraan kental sejak beberapa keturunan dengan keluarga Ui,
dulu badanku terlalu le mah, kesehatan sering terganggu, ma ka
pernah aku menye mbah guru kepada Seks-poh Lojin, beliaupun
kuangkat sebagai ayah angkat ...."
Guru Kun-gi me mang pernah bercerita bahwa ayah Ui-san
Tayhiap Ban Tin-gak bergelar sekpoh, pada tujuh puluh tahun yang
lalu pernah dijuluki Ui-san-it-kia m,jadi Cek-cengcu ini adalah ana k
angkat Sek-poh Lojin.
Sampa i di sini Cek Seng-jiang mengawasi Ling Kun-gi, tanyanya:
"Permulaan tahun yang lalu, mendadak kuperoleh kabar bahwa
saudara angkatku telah wafat, tentunya Cu-heng juga dengar kabar
ini. Dia terluka oleh semaca m pukulan beracun yang jahat, akhirnya
muntah darah dan meninggal."
"o", Kung-gi pura2 mengunjuk rasa kaget.
"Sebab dari kematiannya itu lantaran dia mene mukan suatu
muslihat keji yang bakal menimbulkan malapetaka bagi kaum
persilatan .... "
"Muslihat apa?" tanya Kun-gi pura2 ketarik.
"Pada suatu tempat di sebuah pegunungan yang tersembunyi,
tanpa sengaja saudara angkatku itu mene mukan t iga ge mbong iblis
yang dulu terkenal jahat, telah mendirikan perkumpulan bersa ma
Sam-goan-hwe, mereka sedang me mpersiapkan diri dan mengirim
kartu hitam mencari hubungan dengan gembong2 aliran hita m
secara rahasia ..."
"Kartu undangan hita m?" Kun-gi menegas.
Cek Seng-jiang mengangguk sa mbil menoleh kepada tiga orang
yang lain- "Betul, di atas kartu undangan hita m itu mereka lumuri
semaca m racun, yang amat jahat dan aneh, setiap orang yang
menerima undangan pasti terkena racun, maka mereka harus
tunduk dan menyerahkan jiwa raga sendiri kepada Sam-goan-hwe
untuk menerima obat penawarnya dalam wa ktu terbatas, kalau
tidak jiwa takkan tertolong lagi."
"Apa tujuan mereka?" tanya Kun-gi.
"Mereka punya dua langkah kerja yang sempurna, pertama,
mengumpulkan semua tokoh2 aliran hita m, supaya menjadi anggota
dan terikat dengan Sam-goan hwe. Langkah kedua, mereka
me mbuat rencana jangka tiga tahun, semua aliran putih serta
tokoh2 silat siapa saja yang menentang Sam-goan- hwe akan
diracun satu persatu ......"
Setengah percaya setengah curiga Kun-gi mendengarkan cerita
ini, katanya bimbang "Betulkah ada kejadian ini?"
Lok-san Taysu sejak tadi mendengarkan sambil peja m mata tiba2
bersabda Buddha dua kali.
"Mereka telah berhasil menciptakan semaca m getah beracun
yang amat jahat, setetes saja orang kena jiwanya pasti melayang,
tiada obat yang dapat menolongnya. Mendengar muslihat keji ini,
tidak kepalang kaget saudara angkatku itu. Maka secara diam2 dia
berhasil mencuri sebotol kecil getah beracun itu, sayang pada saat
dia hendak meninggalkan te mpat, jejaknya konangan, sebetulnya
saudara angkatku cukup cerdik, tapi sepasang tangan sukar
me lawan empat kepalan, akhirnya dia terkena hantaman Bu-singciang lawan, dengan me mbawa luka2 dia me larikan diri."
Sampa i di sini dia mengunjuk rasa sedih, katanya lebih lanjut:
"Dia tahu lukanya tidak ringan, tapi mengingat sebotol getah
beracun yang dicurinya ini teramat besar artinya bagi keselamatan
kaum Bulim umumnya, tanpa menghiraukan kesela matan sendiri,
dengan luka parah akhirnya dia- berhasil mencapai te mpatku ini,
setelah habis mengisahkan pengala mannya, dia minta kepadaku
supaya getah beracun ini di kirim ke Siau-lim atau Bu-tong.
Mendadak dia muntah darah tak henti2-nya, melihat keadaannya
yang gawat, mala m itu juga aku me mbawanya pulang ke Ui-san,
tapi dia sudah tak bisa bicara, karena tiada obat, akhirnya dia
meninggal."
Hatinya tampak berduka, sesaat kemudian baru mena mbahkan:
"Sejak pulang dari Ui-san, belum berhasil kuperoleh langkah yang
tepat untuk menghadapi peristiwa ini, pertama lantaran Siaute tak
pernah muncul di Kangouw, umpa ma botol getah itu kuantar ke
Siau-lim atau Bu-tong, kukuatir ke dua aliran besar itu belum
percaya kepadaku. Kedua botol getah itu diperoleh saudara
angkatku dengan me mpertaruhkan jiwa raganya, kejadian
menyangkut seluruh Bu-lim, jiwa ribuan orang, jika ciangbunjin dari
kedua aliran tidak menaruh perhatian, bukankah sia2 saja jerih
payah saudara angkatku itu?"
Kun-gi hanya mendengarkan dengan tenang2, tidak bersuara.
"Oleh karena itu," tutur Cek Seng-jiang lebih lanjut, "kuputuskan akan mencari sendiri obat penawarnya serta memikul tugas ini,
waktu itu Siaute lantas teringat kepada Ko-hi Ko Put-hwi dari ciongla m-san, dia pandai dan ahli dala m bidang obat2an, julukannya saja
Yok-su (juru obat) tapi Siaute sudah menje lajahi seluruh
pegunungan ciong - la m tanpa mene mukan jejak Ko Put- hi,
kudengar dari seorang penebang kayu bahwa Ko Put-hi telah
meninggal dunia tiga tahun yang lalu, maka perjalananku ke congla m itu hanya sia2 bela ka."
Setelah meneguk secangkir arak baru dia me lanjutkan ceritanya:
"Ke mbali dari cong-la m-san Siaute lantas teringat kepada Tongheng dan Un-heng, yang seorang ahli racun yang lain ahli obat bius,
mungkin mereka ma mpu menawarkan getah racun itu"
"Terima kasih atas perhatian besar Cek-cengcu, tapi kami berdua
amat mengecewakan ........" Tong Thian-jong dan Un It-hong
bersuara bersama.
"Kedua saudara tidak usah merendah hati, disamping itu siaute
juga teringat kepada Lok-san Taysu dari Siau lim-si yang sudah
puluhan tahun mengetuai Yok-ong tian ...... " demikian sa mbung
Cek Seng-jiang.
"Pinceng juga a mat mengecewakan," ujar Lok-san Taysu.
Cek Seng-jiang tertawa tawar, katanya: "Sudah dengar bahwa
Cu-cengcu dari Liong-bin-san-ceng juga ahli racun ........."
Kun-gi tertawa sambil menge lus jenggot, katanya: "Mungkin Cekcengcu salah dengar. Dulu ayahku almarhum pernah menolong
seorang tua yang terluka sela ma t iga tahun sa mpai se mbuh,
sebelum pergi dia meninggalkan secarik resep obat, ayahku dipesan
untuk me mbuatnya menurut resep itu dan disebarkan tiga li di
sekeliling ka mpung, kawanan penjahat dapat dicegah menyerbu
kampung ka mi, tapi sejak ayah meningga l, resep obat itu tak
kutemukan lagi "
Belum habis dia bicara Cek Seng-jiang sudah menyela sa mbil
goyang tangan: "Cu-heng jangan curiga, tujuanku hanya mencari
penawar getah racun itu, bukan niatku mengincar resep obat itu."
Lalu dia melanjutkan: "Sebetulnya siaute hendak bawa getah itu
dan berkunjung ke tempat kalian bere mpat, tapi setelah ku-pikir2
lagi, bila perist iwa ini sa mpai bocor, tentu jiwa siaute bakal menjadi
incaran Sam-goan-hwe, jiwaku tidak jadi soal, kuatirnya kalau getah
racun ini tak kuasa kupertahankan lagi, maka setelah kupikir dengan
seksama, terpaksa kugunakan akal untuk me ngundang kalian
ke mari, atas kesalahan dan kekasaran mana harap Cu-heng suka
maklum dan me mberi maaf," lalu ia me mberi hormat kepada Ling
Kun-gi. Tergerak hati Kun-gi, lekas dia ba las hormat, katanya sungguh2:
"De mi kesela matan insan persilatan umumnya, Cek-cengcu berjerih
payah sungguh Siaute amat kagum, me mang Siaute ada sedikit
mengenal sifat obat2an, tapi entah dapat tidak me mbantu kesulitan
Cek-cengcu ini."
Melihat cerita panjang lebarnya berhasil mengetuk hati Cu Bunhoa, sudah tentu bukan kepalang senang hati Cek Seng-jiang,
katanya ter-gelak2: "Kabarnya getah itu merupa kan kombinasi
berbagai racun jahat dari seluruh jagat ini, apakah kita bisa
mendapatkan penawar obatnya itu soal lain, yang terang Thian
punya kuasa manusia punya usaha, asal kita mau berusaha,
umpa ma tidak berhasil juga tidak mengapa, bahwa Cu-heng sudi
bekerja sama sungguh Siaute teramat senang dan berterima kasih"
"cengcu-jangan terlalu sungkan," ujar Kun-gi. Segera ia bertanya
lagi: "Kecuali ka mi bere mpat, entah adakah orang lain yang Cekcengcu undang ke mari?"
Tanpa pikr Cek Seng-jiang menjawab: "Tiada, terhadap soal ini
Siaute amat hati2, memang tidak sedikit ahli racun yang punya
nama di Kang-ouw, tapi kalau aku mengundang mereka se mua,
terlalu banyak orang, urusan tentu bisa bocor, oleh karena itu orang
lain t idak kuundang ke mari."
Dia m2 Kun-gi bertanya dalam hati: "Agak-nya dia tidak membual,
jadi ibu bukan terculik olehnya." Sa mbil ma nggut2 iapun berkata:
"Me mang betul ucapan Cek-cengcu."
Habis ma kan, dibawah iringan tuan rumah, mere ka ke luar dari
coat sin- san-ceng, menyusuri serambi menuju ke timur, berjalan
kira2 seratusan langkah, mereka tiba di Hiat-ko cay. Sesuai dengan
namanya, Hiat-ko-cay adalah kamar buku tempat menyimpan kitab2
kuno, di mana terdapat sebuah ruang tamu dan empat petak ka mar
baca. Letak kamar tamu di tengah, pajangannya serba antik, semua
perabot serba ukiran, tata warnanya serasi, dihias lukisan2 kuno
pula di dinding sehingga suasana tampa k se marak.
Cek Seng-jiang persilakan para tamunya masuk. lalu katanya
kepada Ling Kun-gi: "Di sinilah te mpat kalian bekerja, ruang tamu
ini tempat kalian ist irahat."
"Ruang kerja?" tergerak hati Kun-gi, batinnya: "ruang kerja yang dimaksud te mpat untuk menyelidiki getah racun dan mencari obat
pemunahnya."
Dua pelayan lain berpakaian hijau pupus muncul me mbawa
nampan berisi masing2 dua cangkir teh.
"Leng hong dan Long-gwat," kata Cek Seng-jiang, "ke marilah
mene mui Cu-cengcu ini."
Lekas kedua pelayan itu maju ke depan Ling Kun-gi, sedikit
menekuk lutut dan me mberi hormat, sapanya dengan suara aleman,
"Ha mba menghadap Cu-cengcu."
"Mereka adalah pe layan yang ditugaskan melayani ta mu di sini,"
ujar Cek Seng jiang, "selanjutnya bila ada keperluan apa2 boleh Cucengcu berpesan kepada mereka."
"Siaute mohon petunjuk Cek-cengcu," kata Kun gi, "bagaima na
keadaan sebenarnya dari cara kerja yang akan ka mi la kukan?"
"Me mang a kan kuterangkan," kata Cek Seng-jiang, "te mpat
kaliau menginap anggap saja rumah kalian se mentara, pagi bekerja
sore kembali, tempat ini hanya khusus untuk menyelidiki racun serta
mencari obat penawarnya. Siaute berpikir kerja ini ada lah tugas
luhur dan mulia bagi kesela matan jiwa kaum persilatan umumnya,
padahal getah racun itu adalah racun yang teramat ganas dijagad
ini, supaya kalian bisa saling tukar pikiran, sengaja kami sedia kan
kamar ini untuk kalian"
"Mungkin se la ma kerja kalian ini tidak suka diganggu orang,
maka ka mi sediakan pula masing2 -ka mar untuk bekerja, bukan saja
bisa saling berkunjung, bisa pula menyelidiki secara tersendiri,
semoga mencapai hasil yang ge milang,


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua ini de mi kesejahteraan insan persilatan umumnya . "
Kun-gi manggut2, katanya: "Sempurna sekali persiapan Cekcengcu.." Cek Seng jiang berdiri, katanya: "Kamar Cu-heng adalah yang
pertama di sebelah kanan, mari sila kan periksa." La lu iapun
me mberi hormat kepada tiga orang yang lain, katanya: "Taysu,
Tong-heng dan Un-heng boleh sila kan-"
Ketiga orang itupun secara balasmenghormat lalu
mengundurkan diri masuk ke ka mar masing2, Kun-gi coba
menga mati, ka mar Lok- san Taysu adalah paling kiri, sementara
kamar Thong Thian-jong ada di belakang sebelah kiri, sedangkan
kamar Un It-hong ada di sebelah kanan bagian depan .Jadi
kamarnya sendiri di bela kang ka marnya Un It-hong, seberang
menyeberang dengan ka mar Tong Thian-jong.
Cek Seng-jiang angkat tangan, katanya: "Di belakang ruang ta mu
ini adalah ka mar obat, di sana ada seorang pelayan bernama Hing
hoa yang menguasai dan me ngurusnya, semua obat2an yang
diperlukan di sini adalah bahan obat2an yang sengaja siaute
kumpulkan dari berbagai te mpat aslinya ......." sembari bicara
mereka sudah me masuki ka mar petak seluas dua tombak persegi
ini, tiga sisi ruangan me mang dipajang le mari dan ra k obat-obatan
Seorang pelayan baju hijau melihat kedatangan cek cungcu dan
Ling Kun-gi segera me mapa k maju dan me mberi hormat.
Cek Seng-jiang mengulap tangan, katanya: "inilah tamu agung
kita Cu-cengcu yang baru saja ku undang ke mari."
"Ha mba Hing-hoa," pelayan itu menjura kepada Ling Kun-gi,
"terimalah hormat ha mba."
Menuding le mari obat2an Cek Seng-jiang ber-kata: "Setiap petak
dari laci yang ada di sini sudah dibubuhi na ma2 obatnya, obat apa
saja yang Cu-heng perlukan boleh menga mbilnya sendiri atau boleh
juga suruh Hing-hoa me nga mbilkan, umpa ma obat2an perlu
digodok. boleh serahkan kepadanya pula, sudah tentu umpa ma cucengcu punya cara tersendiri dari warisan keluarga dan tak ingin diketahui orang lain, boleh silakan kerja sendiri, semua perabot dan
peralatan tersedia lengkap." Dari sini Cek Seng jiang ajak Kun-gi ke
kamar tugas, yaitu kamar di mana dia harus menyelidiki getah racun
itu, setelah me mberi penjelasan ala kadarnya, sebelum berialu dia
berkata pula : "Siaute doakan semoga Cu-heng mencapa i sukses
yang kita harapkan sehingga petaka yang menganca m jiwa kaum
persilatan dapat kita lenyapkan, mewakili berlaksa jiwa kaum
persilatan Siaute mendahului mengucapkan terima kasih. Nah, Cucengcu terimalah hormatku."
Lekas Ling Kun-gi ba las menghormat, katanya tertawa: "Jangan
Cek-cengcu lupa, Siaute juga se-orang persilatan-"
Cek Seng-jiang tertawa keras, katanya: "Mendengar ucapan Cucengcu ini, legalah hati Siaute:"
Setelah Cek Seng-jiang pergi, Kun-gi me mbuka sebuah almari
kecil, di mana tadi Cek Seng-jiang menunjuk sebuah cupu2 kecil
yang berisi getah beracun itu, sebentar dia me longo mengawasi
cupu2 hijau itu lalu dike mbalikan serta menutup dan menguncinya
pula. Pelan2 dia mundur lalu duduk kursi malas yang beralas kasur
empuk. terasa nyaman duduk di kursi malas ini.
"Sedemikian se mpurna segala keperluan yang disediakan bagi
para tamu yang diundang ke mari," de mikian batin Ling Kun-gi, "apa yang dikisahkan Cek Seng-jiang sudah tentu bisa dipercaya, tapi
orang yang diculik ke mari bukan dipaksa menyerahkan resep
rahasia dari keluarga masing2, bukan dipa ksa untuk me mbikin
semaca m racun jahat lagi, tapi hanya diminta jerih payah kami
berempat untuk mene mukan obat penawar dari getah racun itu,
agaknya tiada maksud mencela kai orang, lalu di ma na letak
muslihatnya?"
"Kalau tidak mencela kai orang, sudah tentu tak bisa dikatakan
muslihat. Tapi Suhu berpesan sewaktu diriku akan berangkat bahwa
dibalik peristiwa Cin-Cu-ling ini pasti ada suatu muslihat jahat,
supaya diriku menyelidiki dengan seksama. Apa yang dikata guru
tentu tidak akan salah, lalu bagaimana tindakan diriku selanjutnya?"
inilah tugas berat dan rumit yang direnungkan Kun-gi pula..
oooodwoooo Jilid 7 Halaman 61/62 Hilang
--ganas, dalam jangka satu ja m si korban akan se maput
keracunan, setengah jam ke mudian, ka lau tidak di obati sekujur
badan akan gatal2 dan linu sampa i ajal, kalau tidak kepepet,
kularang kau menggunakannya."
"Paman, mana obat penawarnya?" tanya Ji-ping.
"Ada di dala m kantong kulit itu, ditelan dan dibubuhkan pada
luka masing2 cukup satu butir, di sa mping itu pa man juga
menyediakan 120 batang yang lain, tersimpan pula di dala m
kantong itu."
Ji-ping kegirangan, serunya "ibu angkatku me mberi satu stel
oow-tiap-piau (piau kupu2 ), dita mbah bumbung ini, betapapun
lihaynya musuh tak perlu kutakuti lagi."
Tiba2 Cu Bun-hoa menarik muka, katanya serius: "Seperti Yakhim, kaupun punya cacat, yaitu tidak tahu tingginya langit dan
tebalnya bumi, betapa banyak orang2 lihay di Bu-lim, me mangnya
dengan senjata rahasiamu itu saja lantas boleh sembarangan
bertindak" berke lana di Kangouw yang penting ada lah
menye mbunyikan keaslian diri sendiri, sedapat mungkin jangan
pamer. " "Baiklah pa man, marilah berangkat," desak Ji-ping.
"Nanti dulu pa man juga perlu berdandan ala kadarnya," lalu dia
buka ka mar rahasia serta masuk kedala m. Tak la ma ke mudian dia
sudah keluar mengenakan pakaian ketat dengan mantel segala,
kepala ditutupi topi lebar, wajahnya yang semula putih bersih
mendadak berubah ke la m dan tua penuh keriput, jenggot yang
hitam kini menjadi ubananMelenggong Ji-ping, serunya. "Hah,jadi paman juga pandai
merias diri, sela ma ini kau mengelabuhi kita se mua."
"Ini hanya cara menyamar yang paling gampang, kaum
persilatan umumnya juga bisa, ka lau dibandingkan Ling-lote, jauh
sekali bedanya,." ujar Cu Bun-hoa.
Teringat kepada Ling-toako, Ji-ping menjadi gelisah, serunya
mendesak: "Pa man, hayolah le kas berangkat"
"Nanti dulu, paman masih ada pesan padamu, setelah
meninggalkan Liong-bin- san-ceng kita tidak boleh jalan bersama,
kau harus di belakangku, kuntitlah aku dari kejauhan, umpa ma
makan atau menginap di hotel, pura2 tida k kenal saja."
"He kenapa?" tanya Ji-ping.
"Menurut dugaan pa man, sepanjang jalan ini mata2 musuh pasti
tersebar di mana", maka kita harus ber-hati2," sa mpai di sini dia
menggerakkan tangan- "Baiklah Ji-ping, sekarang kita berangkat,
akan kusuruh mengeluarkan dua ekor kuda"
"Tida k usah paman, waktu datang bersama Ling-toako aku sudah
mena mbat dua ekor kuda di luar hutan sana."
"Bagus kalau begitu," seru Cu Bun-hoa.
Sinar cemerlang mulai terpancar di ufuk timur, fajar telah
menyingsing. Cu Bun-hoa kepra k kudanya ke timur menuju ke Sauthian-tin. Orang2 desa ber-bondong2 jalan cepat menuju ke kota, tapi Cu
Bun-hoa tidak masuk kota, sorot matanya bersinar tajam dan melirik
ke arah kaki te mbok dari sebuah gubuk reyot, lalu keprak kuda-nya
menuju ke arah barat.
Pui Ji-ping hanya tertinggal setengah li di be lakang, tidak la ma
setelah Cu Bun-hoa berlalu ia-pun tiba di luar kota Sau-thian-tin
terus menuju ke arah barat pula.
Daerah ini termasuk pegunungan Hoa-san, dengan pegunungan
Pak-say-san dari Tay-piat-san merupakan daerah segi tiga, tiada
tanah datar, aliran sungai bercabang lintang melintang, antara kota
dan kampung hanya dihubungi sebuah jalanan kecil, tiada jalan
raya. Sebelumnya Cu Bun-hoa mengirim dua anak buahnya me mbawa
anjing pelacak mengejar dan mengikuti Ling Kun-gi, sepanjang jalan
ini sudah ditinggaikan tanda2 rahasia. Sesuai tanda inilah Cu Bunhoa mene mpuh perja lananKira2 tengah hari dia tiba di Tay-hoat-ping. Dia cukup teliti,
setelah me lakukan pengejaran setengah hari ini, a khirnya
ditemukan suatu rahasia olehnya. Yaitu sepanjang jalan yang
dilaluinya ini dia mendapatkan rumput2 liar dipinggir ja lan ada
bekas tergilas roda kereta, bekas roda kereta ini menjurus ke arah
yang sama dengan jalan yang harus dite mpuhnya ini.
Dala m wilayah ini umum mengetahui hanya ada kereta dorong
beroda tunggal selain gerobak keledai atau menunggang kuda,
jarang yang mengguna kan kereta kuda. Darinya ia kuda yang dia
temukan sepanjang jalan ini, dia dapat menganaliaa bahwa kereta
itu ditarik oleh dua e kor kuda.
Terutama diantara kampung dengan kampung banyak
persimpangan jalan, tapi bekas2 rumput tergilas roda itu terus
muncul di depan kudanya, Hakikatnya dia tidak perlu lagi mene lit i
tanda2 peninggalan kedua anak buahnya lagi, cukup asal mengikut i
bekas2 roda itu, pasti tida k akan salah lagi.
Maklumlah untuk menculik dirinya (yang disamar Ling Kun gi),
supaya tidak menimbulkan curiga orang lain, jalan paling baik
adalah dimasukan ke dala m kereta yang tertutup.
Dia berhenti dan sarapan di sebuah warung di luar kota. Warung
ini hanya dikuasai seorang la ki2 tua, setelah persilakan ta munya
duduk dia antar teh la lu bertanya: "Tuan mau ma kan apa?"
Cu Bun-hoa minta sekati arak. dimintanya pula sepiring sayur
asin dan kacang goreng, serta satu porsi mi. Baru saja pemilik keda i
mengiakan dan mengundurkan diri, segera Cu Bun-hoa mendengar
suara kelentingan kuda, cepat sekali seekor kuda berlari mendatang
ke warung kecil ini..
Semula Cu Bun-hoa kira Ji-ping telah menyusul tiba, tapi waktu
dia angkat kepa la, yang masuk adalah la ki2 berbaju ke labu
bercelana biru, golok terselip di pinggang, sebelah tangan
me megang pecut terus duduk di meja dekat jalan, seru-nya ke arah
dalam: "Hai, si tua, lekas beri rumput kepada kudaku, setelah aku
makan akan segera me lanjutkan perja lanan. "
Si tua tadi mengiakan sa mbil munduk2, bergegas dia lari keluar
menyediakan yang diminta.
Sekilas pandang Cu Bun-hoa lantas tahu, laki2 baju kelabu yang
bermuka tirus dan bermata tikus ini adalah orang yang menga mati
gerak-geriknya di Mo-cu-t ia m tadi, tadi dia berjongkok di kaki
tembok, kini ternyata berani terang2an me-nguntitnya. Diam2 Cu
Bun-hoa tertawa dingin.
Waktu itu Pui Ji-ping juga sudah datang menunggang kuda, dia
berpakaian pelajar, tangan pegang kipas, langkahnya me mang mirip
anak sekolahan, dia duduk di meja tengah, tanyanya: "Tia m-keh,
kalian jual apa" Ke luarkan yang enak2."
Pemilik kedai yang sudah tua itu lekas me-nyambut, katanya
tertawa: "Siangkong harap sabar, kami hanya menyediakan sayur
asin, daging rebus, telur pindang juga ada, kacang dan bakmi juga
lengkap. minum ada arak, teh dan wedang kacang, Siangkong
pesan yang mana?"
"Aku minta arak saja, seporsi daging rebus, usus babi dan dua
telur, satu porsi bakmi," de mikian pesan Ji-ping.
Dia m2 Cu Bun-hoa mengerut kening, pikirnya: "Anak perempuan
juga minum arak segala?"
Pemilik keda i menjadi repot lari kian ke mari me layani permintaan
ketiga tamunya, sebentar ke luar, lain kejap berlari ke dapur lagi.
Sembari minum arak. lelaki baju abu2 sering melirik ke arah Cu
Bun-hoa. Kalau dia ini komplotan penjahat, paling2 dia hanya
seorang keroco, maka Cu Bun-hoa anggap tidak tahu, sikapnya
tetap wajar dan ma kan minum seenaknya.
Tak la ma ke mudian le laki baju abu2 sudah kenyang makan
minum, sa mbil mengusap mulut, dia merogoh uang dan digabrukan
ke atas meja, serunya: "Hai si tua, hitung re keningnya"
Lekas pemilik kedai me mburu datang, katanya: "Semuanya 32
ketip." Setelah me mbayar, dengan langkah lebar laki2 itu lantas keluar
menceplak kuda terus dikeprak pergi.
Cepat Cu Bun-hoa juga bayar rekening, kudanyapun dibedal
me mburu dengan kencang. Kuda tunggangannya se mula milik Ling
Kun-gi, pemberian keluarga Tong, merupakan kuda pilihan yang
larinya pesat, sekejap saja kuda di depannya itu sudah diausulnya.
Waktu menoleh dan me lihat Cu Bun-hoa mengejar datang, lelaki
baju abu2 segera pecut kuda-nya supaya lari lebih kencang lagi. Cu
Bun-hoa tertawa dingin, mendadak d ia jepit perut kuda dan kuda
itu segera berlari lebih cepat, tahu2 sudah menyusul beriring
diaampingnya. Secepat kilat Cu Bun-hoa ulur lengan mencengkera m
baju kuduk laki2 itu serta dijinjingnya dari punggung kuda
tunggangannya. Menghadapi jago lihay seperti Cu Bun-hoa, sudah tentu seperti
kambing berhadapan dengan harimau, kecuali mencak2 dan
meronta, mulutpun ber-kaok2 seperti babi hendak diaembe lih,
orang itu tak ma mpu berbuat apa2.
Begitu Cu Bun-hoa kendorkan kakinya, kuda tunggangannyapun
berlari semakin la mban. Dengan tangkas Cu Bun-hoa lantas
me lompat turun, sekilas matanya memandang sekelilingnya,
kebetulan dilihatnya tak jauh di sana ada sebuah batu besar,
dengan tangan kanan menjinjing si baju abu2 dia mengha mpiri ke
sana. "Blang", laki2 itu dia banting ke atas tanah, saking keras laki2
itu sa mpai se kian la ma hanya mengge liat saja tak ma mpu bangun.
Terdengar Cu Bun-hoa yang duduk di atas batu bertanya dingin,
"Kenapa kau menguntit aku?"
Laki2 itu meringia kesakitan, katanya: "cayhe tidak tahu apa
maksud perkataanmu?"
Mendelik mata Cu Bun-hoa, desisnya: "Ya, sebentar akan
kuberitahu apa ma ksudku."
Selagi dia bicara, mendadak laki2 itu melolos golok di
pinggangnya, sembari menyeringai, goloknya terus me mbacok
kepala Cu Bun-hoa. Gerak-annya ternyata tangkas dan cepat,
"Trang", ke mbang api terpercik, Cu Bun-hoa yang duduk di atas
batu tetap tidak bergeming, tapi golok itu me mbacok lewat
disa mping badannya mengenai batu.
Keruan sibaju abu2 kaget, dia kira saking terburu nafsu sehingga
serangannya kurang mantap. mendadak dia menghardik,
pergelangan tangan me mbalik, golok menyamber pula melintang
me mbabat pundak Cu Bun-hoa. Kali ini dia sudah mengincar betul
baru melancarkan serangan, kalau sampai sasarannya kena, batok
kepala Cu Bun-hoa pasti dipengga lnya putus.
Tapi sa mberan goloknya hanya mengeluarkan deru angin bela ka
tanpa rintangan, itu berarti babatan goloknya mengenai te mpat
kosong. . Kini baru dia betul terperanjat, tapi untuk mengere m
gerakannya sudah tak sempat lagi, terasa sejalur tenaga maha
dahsyat tiba2 menindih punggung goloknya terus dibetot keluar
sehingga golok tak kuasa dipegangnya lagi, goloknya mence lat dan
jatuh ke se mak2 rumput di kejauhan sana, telapak tangan terasa
linu dan lecet.
Cu Bun-hoa tetap duduk di atas batu tanpa -bergerak. suaranya


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kereng dingin: "sekarang mau percaya tidak- jatuh ke tangan Lohu,
mau lari atau adu jiwa hanya sia2, de mi jiwa mu lebih baik menyerah
dan menga ku terus terang, Siapa suruh kau mengunt it Lohu,
kepada siapa pula kau hendak laporan" Mungkin Lohu a kan
me mberi a mpun pada mu"
Si baju abu2 menjublek. sekian la ma dia mengawasi dengan
mata mendelong, sesaat kemudian baru tertawa getir, katanya,
"Tiada gunanya kalau cayhe mengaku, jiwa ku tetap takkan
selamat." "Asal kau mengaku terus terang, Lohu pasti akan melindungi jiwa
ragamu." Laki2 itu menggeleng, katanya: "Percuma, walau ilmu silat mu
tinggi ......"
Mendadak badannya mengejang, terus jatuh tersungkur.
Melihat keadaan orang agak ganjil. le kas Cu Bun-hoa
me meriksanya, setelah berkelejetan sebentar, laki2 itu tak bergerak
lagi, darah kental hita m me leleh dari ujung mulutnya,
Prihatin wajah Cu Bun-hoa, katanya menghela napas: "Bunuh diri
pakai racun, orang2 ini berani mati, tapi tak berani me mbeber
rahasia untuk cari hidup?" Ia mengge leng dan melompat ke sana
menje mput golok orang lalu mengga li liang dan mengubur mayat
laki2 itu, setelah selesai baru meneruskan perjalananSepanjang jalan ini tanda2 rahasia tinggalan anak buahnya masih
terus dia temukan, jalur bekas roda kereta juga masih kelihatan,
setelah melewati Lui-clok-ho, dia terus maju ke Wan-cui-ho, haripun
sudah petang. Maju lebih lanjut Cu Bun-hoa sudah akan berada di
pegunungan Tay-piat- san"Mungkinkah sarang penjahat ada di Tay-piat-san?" demikian ia
me mbatin. Di Wan-cui-ho dia cari, sebuah rumah makan, cukup la ma dia
berhenti dan menunggu, tapi tidak tampak Ji-ping menyusul datang,
hati sedikit was2 tapi sepanjang jalan ini ia sudah meninggalkan
tanda2 rahasia, si nona pasti akan terus mengikuti jejaknya sesuai
petunjuk tanda2 itu. Maka dia lantas meneruskan pengejarannya ke
depan- Menuju ke barat lagi ja lanan tidak rata, jalan kecil yang harus
ditempuhpun ber-liku2 me lingkar di antara pegunungan yang turun
naik, tat-kala itu sudah petang, di antara lebatnya hutan di tengah
pegunungan terdengar ge ma suara burung kokok beluk yang seram,
namun bagi cia m-liong Cu Bun-hoa yang berkepandaian tinggi,
semua itu bukan soal. cuma sejak keluar dari Wan-cui-ho, sejauh ini
tanda rahasia yang dia harapkan ditingga lkan oleh kedua ana k
buahnya ternyata tak kelihatan lagi, keruan ia heran dan mula i
curiga. Me mang untuk meninggalkan tanda rahasia tak mungkin
ditempat yang terang dan menyolok mata, umumnya kalau tida k di
ujung atau di kaki tembok. akar pohon, kalanya di bawah batu atau
tempat yang agak tersembunyi. Kini hari sudah petang, tempat2
yang tersembunyi ini jadi lebih sukar dite mukanTapi ini hanya bagi orang2 biasa, bagi jago silat seperti si naga
terpendam Cu Bun-hoa yang me miliki Lwe kang tinggi, walau di
tengah udara gelap. dalam jarak setombak masih dapat dilihat-nya
dengan jelas. Tapi tanda rahasia yang di tinggalkan oleh kedua ana k
buahnya yang menguntit kereta pengangkut Ling Kun-gi telah
putus, sementara bekas roda kerota itu masih tetap kelihatan jelas.
Kalau kedaan anak buahnya itu kesasar, ini tidak mungkin,
karena untuk menuju ke barat, sejak dari Wan cui-ho sudah tiada
jalan lain kecua li jalan pegunungan kecil yang melingkar turun naik
ini. Kembali 20 li sudah dite mpuhnya, keadaan jalan sema kin
menanjak dan sukar dite mpuh. maju lebih jauh lagi dia akan tiba di
Liong-bun-kiu. Liong-bun-kiu adalah sebuah jalan pegunungan yang
sempit dan diapit batu2 cadas yang runcing dan semrawut letaknya,
kecuali pohon2 ce mara yang tersebar jarang2, hanya pepohonan
rambat saja yang me menuhi sekitarnya, jalan pegunungan se mpit
ini ada lima lijauhnya, setelah keluar dari daerah Liong-bun kin
barujalanan akan ke mbali agak datar.
Pada saat cu Bun-boa berjalan itulah, agak jauh di depan sana
kelihatan meringkuk segulung benda hita m, lari kudanya cukup
kencang, begitu dia me lihat gundukan hita m ini, se mentara kudanyapun sudah berlari dekat, lekas Cu Bun-hoa tarik tali kendali
menghentikan kudanya. Waktu dia mengawasi gundukan bayangan
hitam yang menggeletak ditengah jalan itu, kiranya seekor anjing,
mengge letak tanpa bergerak.
Betapa tajam mata Cu Bun-hoa, sekali pandang dia lantas
mengenali anjing ini adalah anjing pelacak peliharaannya, seketika
dia menjublek. Lalu dia melompat turun, waktu diperiksa anjing ini
sudah dingin kaku, namun seluruh badannya utuh tidak kelihatan
luka apa2, mungkin terpukul mati oleh se macam pukulan luna k yang
maha kuat, atau mungkin juga mati terkena racun jahat.
Bahwa anjing pelacak ini sudah mati, bukan mustahil jejak kedua
anak buahnya pasti sudah konangan oleh musuh, pantas sejak dari
Wan-cui-ho sa mpai sini dirinya tidak mene mukan lagi tanda2 rahasia
peninggalan mere ka.
cepat ia Cempla k kudanya lari beberapa tombak ke depan pula,
seekor anjing yang lain dite mukan pula meringkuk di jalan, jelas
nasib anjing yang ini mirip juga kawanannya tadi, maka dia tida k
turun me meriksanya pula. Kuda dia keprak me mbeda l terus ke
depan, jarak lima li hanya ditempuh beberapa kejap saja, akhirnya
dia me masuki mulut le mbah, maka dilihatnya dila mping gunung
kira2 tiga tomba k tingginya, diatas pohon cemara kanan kiri
masing2 mengge lantung sesosok tubuh.
Waktu Cu Bun-hoa mengawasi, siapa lagi ka lau bukan kedua
Centingnya yang dia suruh mengunt it jejak musuh" Kedua tangan
mereka menjulur turun, kontal-kantil tertiup angin mala m tanpa
meronta lagi, jelas jiwa merekapun sudah me layang.
Sudah tentu tidak kepalang gusar Cu Bun-hoa, dada terasa
hampir meledak. dua anjing dibunuh dan dibiarkan mengge letak di
tengah jalan, kedua centingnya juga dibunuh dan digantung di atas
pohon, jelas musuh sengaja hendak pa mer ke kuatan dan
merupakan anca man terhadap dirinya.
Cu Bun-hoa kerahkan tenaga murni, sekali jejak dengan gaya
cia m-Liong-siang thian (naga terpendam naik ke langit), dia
me lompat tinggi ke atas dari punggung kudanya, di tengah udara
dia me lolos pedang me luncur ke kiri, dimana pedang berkelebat, tali
pengikat jenazah orang telah di babat putus, Dengan enteng
kakinya menutul dinding gunung, badannya mela mbung miring ke
sebelah kanan, di mana pedangnya bekerja, tali yang mengikat
jenazah disebelah kananpun dia tusuk putus, lalu dia anjlok ke
bawah. Gerakannya tangkas dan cepat luar biasa, waktu dia
menginjak tanah baru terdengar suara "bluk", mayat kedua
centingnya juga berjatuhan pula.
Kuda tunggangannya itu me mang kuda pilihan dari keluar Tong,
begitu merasakan penunggangnya meloncat ke atas, segera dia
berhenti sendiri tanpa diperintah, agaknya kuda ini me mang sudah
terlatih baik sekali.
Cu Bun-hoa simpan ke mba li pedangnya, dengan seksama dia
periksa keadaan mayat kedua centing, kematian mereka mirip
dengan kedua ekor anjing itu. tiada bekas luka apa2 yang
ditemukan- -cuma kulit anjing tumbuh bulu rada sukar diperiksa,
tapi kulit muka kedua centing ini berwarna kelabu, jelas mereka
mati oleh pukulan se macam Tok-sat-ciang yang lihay dan beracun,
kadar racun menyerang jantung, maka jiwapun melayang.
Di tempat itu juga dia kubur kedua centingnya, mulutnya berkata
lirih: "Lohu akan menuntut balas bagi ke matian kalian-" Segera dia cemplak kuda dan dibeda l ke mulut le mbah.
Sejak ke luar dari le mbah se mpit, timbul kewaspadaan Cu Bunhoa, matanya menjelajah dengan teliti keadaan sekitarnya, tanah
berumput yang luas dan datar tampak sunyi di tengah kegelapan,
tapi bayangan orang tampa k berdiri di sana.
Semuanya ada empat orang, tak bersuara dan tak bergerak.
empat orang berseragam hitam, mereka seperti empat pucuk
pohon, se-olah2 dirinya sudah terkepung di antara mereka .Jelas
keempat orang inilah pe mbunuh kedua anjing dan kedua centing
nyaitu, dari posisi mereka berdiri, agaknya me mang sedang
menunggu kedatangan dirinya.
Agaknya mereka sudah memperhitungkan dengan cermat,
sekeluar dari lembah dirinya pasti akan menghentikan kuda di
tengah tanah berumput yang lapang ini, maka posisi berdiri mere ka
tepat mengepung sehingga dirinya tidak diberi kese mpatan untuk
me loloskan diri.
Sudah tentu belum tentu Cu Bun-hoa punya niat melarikan diri.
Keempat orang itu mengenakan jubah hita m yang kedodoran, dan
yang lebih aneh lagi, mereka sa ma me miliki wajah yang kaku
dingin, tak ubahnya muka mayat hidup. Mereka sama menjulurkan
tangan ke bawah, berdiri kaku seperti tonggak kayu.
Tampaknya mereka tida k me mbe kal senjata, tapi dari punggung
kuda Cu Bun-hoa dapat melihat jelas keempat orang tengah
mengumpulkan se mangat, mata merekapun berkilauan dite mpat
gelap. kepandaian keempat orang ini agaknya tidak kepalang
lihaynya. Ginkang merekapun tidak le mah. Di ka la Cu Bun-hoa
mengawasi mere ka, serentak keempat orang jubah hitam itu
me langkah ber-sa ma mengha mpiri, kira2 setombak disekitar dirinya
baru berhenti. Sudah tentu Cu Bun-hoa pandang enteng keempat musuhnya ini,
dengan Celingukan seperti melihat suatu benda aneh layaknya, dia
berkata: "Kalian mencegat jalan Lohu, apa ma ksud kalian?"
Terdengar orang yang tepat di depannya bersuara dingin: "Tua
bangka, turunlah kau."
Cu Bun-hoa menjawab: "Lohu
masih a kan meneruskan
perjalanan, kenapa harus turun?"
"Karena kau sudah sa mpai akhir jalanmu," ketus suara orang itu.
Sambil mengelus jenggot, Cu Bun-hoa terseyum, katanya:
"Kukira kalian keliru, ke utara aku masih bisa sa mpai Say-gong-kiu,
ke barat bisa mencapai ceng-thay-koan, kenapa kau bilang sudah
sampai di akhir jalan?"
"Maksudku kau sudah mencapai akhir hidupmu," jengek laki2
jubah hita m. Cu Bun-hoa ngakak sa mbil menengadah, katanya: "Kalian sendiri
belum mencapai akhir hidup kalian, bagaimana tahu kalau Losiu
sudah mencapai a khir hidup?"
Tajam dingin sorot mata orang itu, dengusnya: "Nada dan sikap
bicara tuan ke lihatan bukan kaum keroco, sebutkan na ma mu."
"Di kalangan Kangouw ada pa meo yang bilang, di atas langit
masih ada langit, orang pandai ada yang lebih pandai. Siapa na ma
Lohu, biar kukatakan juga ka lian tidak mengenalnya"
orang di depan ini agaknya pe mimpin rombongan, katanya
sambil me nyeringai: "Tuan me mang bermulut besar, entah
bagaimana bekal kungfumu?"
"Kalian mencegat dan mengelilingi Lohu, tentu ada maksud turun
tangan, kenapa tidak le kas coba saja?" tantang Cu Bun-hoa.
Menyipit mata orang itu, jengeknya: "Sekali ka mi turun tangan
jiwa mu pasti tamat, hanya ada satu cara untuk menghindari
ke matian atau luka2 parah."
"cara apa?" tanya Bun-hoa.
"Kutungi sendiri sebelah lenganmu, lalu ikut ka mi me ne mui
Thian-su."
"Thian-su (utusan langit)?" tergerak hati Cu Bun-hoa. "Siapakah Thian-su kalian?"
"Setelah kau tabas lenganmu, ku bawa mu me ne mui beliau."
Lantang gelak tawa Cu Bun-hoa, ujarnya: "Suruhlah Thian-su
kalian mene muiku di sini saja."
Orang berjubah hitam sebelah kiri menggera m gusar, teriaknya:
"Jangan me mbual, tua bangka. Tak perlu kita me mbuang wa ktu
lagi, ringkus dia saja"
Cu Bun-hoa pandang sekelilingnya, katanya dengan tersenyum:
"Hanya kalian bere mpat saja, ma mpukah meringkus Lohu?"
"Berani kau me mandang enteng ka mi?" bentak orang di sebelah
kiri. Mendadak dia melompat maju seraya ulur tangan diri, secepat
kilat pundak Cu Bun-hoa dicengkera mnya.
Di atas kudanya terasa oleh Cu Bun-hoa Cengkera man orang
setajam pisau sekuat tangga m, keruan ia heran, batinnya: "Senjata
apa yang dia gunakan?" - otak bekerja, sementara tangan kanan
sudah melolos pedang terus me mbabat pergelangan tangan lawanGerakan pedangnya sungguh secepat kilat, maka terdengar suara
"trang", dengan telak pedangnya me mbabat pergelangan tangan
lawan, tapi tangan orang sedikitnya tidak terluka, ma lah
menge luarkan suara keras nyaring dan me mercikkan ke mbang api.
Sudah tentu terkesiap hati Cu Bun-hoa, tapi orang berjubah
hitam itupun terpental oleh getaran pedang Cu Bun-hoa. Tapi pada
detik lain, ketiga orang yang lain juga bergerak bersama, serentak
mereka menubruk maju.
Cu Bun-hoa belokkan kudanya, pedang berputar sekeliling
menciptakan tabir sinar kemilau, maka terdengarlah suara "trang,
tang, tang," tiga kali secara berantai. Sekali gerak dia berhasil
menangkis tiga serangan musuh, tapi tangan sendiri yang
me megang pedang juga terasa kesemutan- Kini baru dia jelas
bahwa tangan keempat orang ternyata semuanya dipasang lengan
besi. Semakin kaget dan heran hatinya: "Ilmu silat keempat orang
ini a mat tinggi, entah dari aliran mana" Belum pernah terdengar
jago silat menggunakan tangan besi di tangan kirinya di ka langan
Kangouw." Tatkala pikirannya bekerja, pada saat lawan terpental mundur,
iapun sudah me lompat turun dari kudanya serta menepuk sekali
pantat kuda. Begitu kaki menancap di tanah, Cu Bun-hoa lantas
bergelak tertawa, katanya: "Kalian mau main keroyok. nah, majulah
bersama." Keempat orang berjubah hitam agaknya tidak mengira bahwa tua
b angka tak terna ma ini ternyata memiliki lwekang dan kepanda ian
tinggi, walau wajah mereka me mbesi kaku tidak mena mpilkan
perasaan, tapi sorot mata mereka tak urung meng- unjuk rasa kaget
dan melenggong, sekilas mereka saling pandang dan tidak lantas
turun tangan pula.
"Sebetulnya tuan dari kalangan mana?" tanya si jubah hitam
sebelah depan- "Lohu sendiri juga ingin tanya kalian?" balas Cu Bun-hoa tak
acuh. . "Jadi tuan tidak mau perkenalkan diri?"
"Kalian toh tak mau me mperkenalkan diri?"
"Tuan harus tahu, bukan kami gentar terhadap-mu, soalnya kami
perlu tahu siapa tuan, baru akan bertindak. menamatkan jiwa mu
atau me mbekukmu hidup,hidup,"
"Kalau begitu boleh silakan turun tangan," ujar Cu Bun-hoa
tertawa tawar. Pemimpin berjubah hita m itu angkat sebelah tangan, matanya
yang mencorong me mandang ke-tiga kawannya, lalu berkata
dengan suara berat, "Baik, kalian dengar, tak peduli mati atau
hidup, ganyang dia" Be lum habis bicara dia sudah mendahului
menubruk maju, laksana kilat tangan kirinya mencengkeram tiba.
Tiga orang berjubah hitam yang lain sere mpak beraksi pula dengan
menubruk ma ju.


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cu Bun-hoa bergelak lantang panjang, sebat sekali pedangnya
me lingkar bundar, segera ia kembangkan ilmu pedangnya dan
me luruk sengit ke-e mpat lawannya.
Cu Bun-hoa, naga terpendam yang berkuasa di daerahnya sendiri
me mang me miliki kepanda ian yang mengejutkan seka li dan tida k
bernama kosong, pedangnya bergerak laksana naga sakt i yang
lincah dan gesit, cahaya dingin yang me mancar dari batang
pedangnya se-akan2 menaburkan bintik2 sinar ke milau ke delapan
penjuru angin. Karena dia jarang berkelana di Kangouw, maka kee mpat
musuhnya jadi sukar dan belum dapat menyela mi ja lan ilmu
pedangnya, betapa tinggi kepandaian kee mpat orang ini dibuat
keripuhan juga, tapi kepandaian keempat orang ini me mang juga
aneh, apalagi lengan kiri mere ka semua terpasang lengan baja,
kelima jari bagai cakar tidak takut segala senjata tajam, walau
sementara Cu Bun-hoa berada di atas angin, namun dala m wa ktu
singkat terang dia tidak akan ma mpu merobohkan atau me luka i
lawan- Dengan cepat 20 jurus telah berlalu. Mau tak mau Cu Bunhoa mence los juga hatinya, batinnya: "Kepandaian silat kee mpat
orang ini terhitung kelas wahid di ka langan Kangouw, permainan
merekapun berlainan satu dengan yang lain, kenapa sama2
mengutungi lengan sendiri serta menggantinya dengan tangan
besi?" Pada saat itulah, tiba2 dari kejauhan berkumandang sebuah
bentakan keras: "Kalian berhenti" Bentakan ini berge ma laksana
bunyi genta, lembah pegunungan serasa bergetar oleh bentakan
keras ini. 000dw000 Pui Ji-ping yang ketingga lan setengah li di bela kang pa mannya,
waktu Cu Bun-hoa mengompes keterangan laki2 baju abu2 dan
mene mukan bangkai anjing dan kedua anak buahnya di selat sempit
tadi, iapun menyusul tiba, sudah tentu iapun melihat se mua
kejadian yang diala mi pa mannya.
Cuma dia sela lu ingat pesan pa mannya agar diri-nya menga mbil
jarak tertentu, dilarang bicara lagi, maka kini dia hanya berdiri di
tempat kejauhan saja. Setelah Cu Bun-hoa naik kuda dan berangkat
pula baru diapun me mbedal kudanya kedepan.
Tak tahunya baru saja dia tiba di mulut le mbah, segera ia
mendengar suara beradanya senjata tajam. Lekas dia melompat
turun dari kudanya, pelan2 dia merunduk maju terus lompat ke atas
sebuah batu besar dan menyembunyikan diri serta mengintip ke
bawah. Dilihatnya empat orang berjubah hita m tengah mengerubut
pamannya. Melihat orang2 berjubah hita m itu, tergerak pula
hatinya, pikirnya: "Hou Thi jiu juga mengguna kan lengan besi di
tangan kirinya, demikian juga keempat orang ini, terang mereka
adalah sekomplotan dengan Hou Thi-jiu."
Tak la ma ke mudian lantas didengarnya seo-rang me mbentak
keras: "..Kalian berhenti"
Kuping Ji-ping mendengung pe kak oleh bentakan keras bagai
bunyi genta itu, keruan kagetnya bukan main, lekas dia berpaling ke
sana, di-lihatnya kira2 setengah li di kejauhan sana ada dua titik
sinar seperti api setan tengah terbang turun naik menyusuri kaki
bukit berlari ke arah sini. Berta mbah besar rasa kejutnya, batinnya:
"Masih setengah li jauhnya, tapi suara orang ini dapat me mbuat
pekak kuping, kalau dia menghardik berhadapan mungkin aku bisa
jatuh semaput."
Mendengar bentakan keras ini, keempat orang jubah hitam tadi
segera melompat mundur berpencar pada posisi masing2. Dengan
pedang melintang di depan dada Cu Bun-hoa berpaling ke arah
datangnya suara, tertampak dari pegunungan sana beriring
mendatangi ena m orang berjubah hitam pula. Keena m orang ini
bukan saja berpakaian sama, wajah dan sikap merekapun sa ma.
kaku dingin tidak berperasaan- Masing2 dua orang berjajar beriring
datang, gerak langkah mereka kaku mirip mayat hidup dan seperti
tonggak berjalanDia m2 kaget juga cu Bun-goa me lihat orang2 ini, dia insaf untuk
menghadapi kee mpat lawan ini sudak cukup berat, kini keta mbahan
enam orang lagi. agaknya nasib dirinya mala m ini lebih banyak
celaka daripada selamat, semoga Ji-ping jangan le kas2 menyusul ke
mari. De mikian batinnya.
Lekas sekali keena m orang ini sudah tiba di tanah berumput
sebelah kiri, mendadak ta mpak pula sesosok bayangan orang tinggi
besar berlenggang mendatangi, jangan kira gerak ka kinya kelihatan
seperti berlengang, mirip badut di atas panggung, lapi setiap
langkah kakinya mencapai jarak dua tiga tombak jauhnya, kedua
kakinya seperti tidak menyentuh tanah.
Sekali pandang Cu Bun-hoa lantas tahu bahwa kepanda ian si
gede inijauh lebih tinggi dari kawanan jubah hitam ini, ma ka dia
tumplek perhatiannya terhadap si gede ini.
Badan orang ini tingginya delapan kaki, dada lebar lengan besar,
wajahnya mengkilap mirip te mbaga, alisnya pendek. matanya sipit,
hidung besar mulut lebar, jubah sempit warna tembaga yang
dipakainya hanya sebatas di lutut, kaki telanjang me makai teKie k
tembaga. Sebagai cengcu dari Liong-bin-san-ceng, meski jarang berkelana
di Kangouw, tapi tokoh-tokoh Kangouw kena maan pada ja man ini
tidak sedikit yang dikena lnya, paling tidak pernah mendengar na ma
atau keahlian dan keistimewaannya. Kini me lihat dandanan si gede
yang aneh ini, mendadak di ngatnya seseorang, keruan hatinya
kaget bukan ma in, batinnya: "Mungkinkah dia ini La m-kiang-it-ki
Thong- pi-thian-ong?"
Jabatan atau kedudukan si gede serba tembaga ini terang jauh
lebih tinggi daripada kawanan jubah hitam, ini jelas kelihatan dari
sikap keenam orang jubah hita m yang baru datang serta cara
mereka berdiri, kelihatan me mberi peluang untuk si gede ini nanti,
tapi toh masih ada te mpat kosong lagi di sebelah mereka, hal ini
me mbuat Cu Bun-hoa men-duga2 pula bahwa kecuali si gede
agaknya pihak lawan masih ada tokoh lain pula yang berkedudukan
lebih t inggi yang belum tiba. Siapa kah orang yang be lum t iba ini"
Maklumlah si tokoh aneh dari La m-kiang (wilayah selatan) ini
biasanya merajai daerah selatan, selamanya belum pernah tunduk
terhadap orang lain, lalu siapakah yang telah ma mpu menundukkan
dia sekarang"
Begitu si gede tiba dan berdiri di samping, Cu Bun-hoa lantas
buka suara: "Yang menghentikan perte mpuran tadi apakah tuan?"
Mendelik sebesar jengkol mata si gede, bentaknya: "Diam, tak
boleh ribut" Suaranya me mang keras seperti bunyi genta.
Kini Cu Bun-hoa lebih yakin bahwa si gede me mang Thong- pithian-ong adanya, tapi caranya bicara jelas dia hanya mengawa l
seseorang belaka. Sungguh luar biasa. Sema kin kejut dan heran Cu
Bun-hoa, mendadak dia mendongak sa mbil berge lak tawa, katanya:
"Dandanan dan tampang tuan ini mirip seka li dengan La m- kiang-itki Thong-pi-thian-ong, entah sejak kapan tuan terima diperbuda k
orang atau jadi pengawal pribadinya"
Semakin bulat mendelik mata si gede, suara-nya menggerung
gusar: "Kusuruh kau dia m, kau harus diam, me mangnya kau tua
bangka ini sudah bosan hidup?"
Gerungannya yang dahsyat itu me mbuat Pui Ji ping yang
sembunyi di atas batu hampir pecah kupingnya,jantungnya berdebar2, hampir saja dia me njerit.
Tiba2 terasa dari belakang tersalur sejalur tenaga yang tidak
kelihatan me mbantu dirinya mengendalikan darah yang bergolak,
kupingpun lantas mendengar suara lirih berbisik seperti bunyi
nyamuk: "jangan bersuara Siau-sicu, itulah Kim-loh-ong yang hebat
dari Thong-pi-thian-ong. "
Heran Ji-ping, baru saja dia kendak berpaling, suara lirih seperti
nyamuk berkata pula: "Situasi ma la m ini a mat gawat dan
berhahaya, sekali2 jangan Sicu menoleh ke belakang, mata dan
kuping Thong-pi-thian-ong amat tajam. Jarakmu hanya sepuluh
tombak dengan mereka, sedikit lena, jejakmu pasti konangan."
Tatkala itu tampa k dua buah la mpion tengah mendatangi dari
jalanan gunung sana. Dua gadis belia baju hijau tengah mendatangi
dengan ge mulai sa mbil me nenteng dua la mpionMala m di tengah pegunungan sudah tentu amat gelap sehingga
cahaya lampu la mpion ini terasa terang benderang. Tak jauh di
belakang kedua gadis me mbawa la mpion menyusul sebuah tandu
mewah dan indah, dan laki2 ke kar me mikul tandu mini ini, langkah
mereka enteng seperti berlari menuju ke tanah berumput ini.
Selarik ka in warna merah sutera panjang semampir di pundak
dan pinggang kedua laki2 kekar pe mikul tandu itu bertuliskan empat
huruf warna hitam yang berbunyi: "Wakil langit mengada kan
ronda". Akhirnya tandu mini itupun berhenti dan diturunkan di tanah
berumput sebelah kanan atas. Kedua gadis pembawa la mpion
berdiri di kiri kanan tandu, di bawah sinar lampion tandu itu tampa k
indah ge merlapan, kerai menjuntai le mbut dan rapat sehingga tidak
kelihatan siapa yang duduk di dalamnya" Tapi Thong- pi-thian-ong
dan kesepuluh kawanan jubah hitam serempa k me mberi hormat lalu
berdiri tegak dengan prihatinTiba2 tergerak hati, Cu Bun-hoa melihat keadaan ini, tadi dia
dengar salah seorang jubah hita m pernah menyinggung "Thiansu"
atau duta langit, setelah melihat tulisan "Wa kil langit mengada kan
ronda", jelas bahwa orang di da la m tandu adalah Thian-su yarg
dimaksud, cuma siapa dia dan tokoh maca m apa pula"
Pedang disimpan ke mbali, Cu Bun-hoa berdiri me mbusung dada
sikapnya gagah berwibawa, tapi hatinya kebat-kebit, dia m2 dia
kerahkan Lwekang-nya, me mpersiapkan diri untuk bertindak bila
menghadapi sergapan musuh.
Maka terdengarlah sebuah suara halus nyaring berkumandang
dari dala m tandu: "Thio thijiu" Suaranya bagai kicau burung kenari, le mbut dan merdu.
Tak pernah terpikir dala m benak Cu Bun-hoa bahwa Thian-cu
atau "duta langit" ini ternyata seorang perempuan, dari suaranya
kedengaran bahwa dia adalah gadis belia pula.
Tampak salah seorang jubah hitam yang berdiri paling depan tadi
mengiakan sa mbil melangkah ke depan tandu.
Terdengar perempuan da la m tandu bertanya: "Kalian sudah
tanya asal usulnya?"
"Dia tidak mau mengatakan," sahut Thio thi-jiu.
"Bagaimana ilmu silatnya?" tanya perempuan dala m tandu pula.
"Ka mi berempat mengeroyoknya, tapi tak ma mpu mengalahkan
dia." "Pada jaman ini. dengan kekuatan kalian bere mpat, me mangnya
siapa yang tak ma mpu ka lian kalahkan, tapi siapakah dia" kata2
terakhir a mat lirih, seperti bicara untuk dirinya sendiri.
Thio thi-jiu berdiri tegak lurus, sudah tentu dia tak berani
bersuara. Sesaat kemudian perempuan dala m tandu berkata pula: "Baiklah,
kau boleh minggir."
Thio-thi-jiu mengia kan, lalu mundur ke te mpatnya semula.
Perempuan dala m tanda lantas berpesan kepada gadis pe mbawa
la mpion sebe lah kiri. katanya: "Mintalah orang tua itu maju ke mari,
ada pertanyaan hendak kuajukan padanya."
Gadis itu segera tampil ke depan Cu Bun-hoa, katanya setelah
me mberi hormat. "Tuan ini diharap maju kedepan, Siancu ( dewi )
kami ingin bicara dengan kau"
Cu Bun-hoa juga ingin tahu asal usul pihak sana, memangnya
siapa sebetulnya Thian-cu yang serba misterius ini" Maka dengan
menge lus jenggot dan tertawa lebar, katanya: "Lohu me mang ingin
bertemu dengan Siancu kalian." Lalu dengan langkah lebar dia
mengha mpiri, beberapa kaki di depan tandu dan berhenti, katanya
sembari me mberi hormat: "Silakan Siancu, terima kasih a kan
undanganmu, entah ada petunjuk apa?"
Perempuan dala m tandu cekikik riang, katanya: "Loyacu adalah
tokoh kosen Bu-lim, sungguh beruntung kita bertemu di sini."
Sampa i di sini tiba2 dia berseru keras: "Kenapa tidak singkap kerai
ini?" Kedua gadis yang berdiri di kiri kanan segera menyiba k kerai
kedua sisi, kedua lampionpun di-arahkan ke depan tandu sehingga
perempuan yang duduk di dala m tandu ke lihatan wajahnya.
Ternyata "Dewi yang mewakili langit menga-dakan ronda" ini
hanyalah seorang nyonya muda belia yang berusia sekitar 25,
berpakaian serba putih, dandanannya mirip puteri keraton, tengah
tersenyum simpul me ngawasi dirinya.
Sesaat Cu Bun-hoa melenggong, dia jarang ke luar pintu, tapi
semua tokoh Kangouw yang sedikitpunya nama pasti pernah
didengarnya. Nyonya muda molek ini ma mpu menundukkan La mkiang-it-ki sa mpai terima menjadi pengawal pribadinya, kenapa
belum pernah dia mendengar adanya perempuan selihay ini, serba
misterius lagi da la m tindak tanduk.
Me mang otaknya cerdik, banyak akal dan pandai mengikuti
situasi, sekilas me lenggong segera Cu Bun-hoa berdehem, katanya
tertawa: "Siancu me-ronda mewakili langit tentunya kau inilah
Thian-su adanya" Entah siapakah na ma harum Siancu yang mulia?"
Jari jemari nan runcing halus dari nyonya muda itu terangkat dan
menge lus gelung kunda inya, katanya tertawa: "Agaknya tidak
sedikit yang Loyacu ketahui. aku she Coh, karena biasanya aku suka
mengenakan pa kaian serba mulus begini, maka orang me manggilku
Hian-ih-s ian-cu, harap Loyacu tidak mentertawakan diriku."
"Hian-ih-sian-cu" Cu Bun-hoa tetap tidak pernah dengar na ma
julukan ini. Mengerling biji mata Hian-ih-sian-cu, katanya sambil cekikikan
"Loyacu adalah tokoh kosen pada ja man ini, mohon tanya siapakah
nama besar Loyacu?"
Cu Bun-hoa bergelak tertawa, katanya: "Lohu Ho Bunpin, orang
liar yang hidup di gunung, mana berani disebut tokoh kosen
segala." Hian-ih-sian-cu ce kikikan genit, katanya: "Na ma yang Loyacu
sebutkan kukira bukan na ma tulen bukan?"
"Mungkin Siancu be lum pernah dengar na ma- ku yang tidak
terkenal ini, dan lagi apa perlunya Lohu harus menye mbunyikan
nama dan asal-usul?"
"Betul," kata Hian-ih-sian-cu, "menurut penglihatanku, wajah
Loyacu juga dirias, entah betul tidak perkataanku?"
Semakin terkejut hati Cu Bun-hoa, katanya dingin: "Tidak perlu
Lohu ma in se mbunyi dengan cara me nyamar segala."
"Berkelana di Kangouw, supaya tidak menarik perhatian orang,
merias diri dan ubah wajah asli itu sudah biasa, apakah Loyacu
merias diri t iada sangkut pautnya dengan aku" cuma ingin kutanya,
Loyacu main selidik me masuki daerah Tay-piat-san ini, entah apa
maksudnya"
"Betul, Lohu juga ingin tanya kepada Siancu, tanpa sebab anak
buahmu merintangi perjalananku, apa pula maksudnya?"
"Bukankah Ho-loyacu telah saksikan sendiri" Mala m ini kebetulan
aku meronda sa mpai di sini, anak buahku me lihat Loyacu me masuki
selat gunung seorang diri, gerak-geriknya mencurigakan lagi, sudah
tentu kau harus dimintai keterangan-"
Cu Bun-hoa mendengus, katanya: "Sekarang Siancu sudah jelas
tentang keteranganku?"
"Pertanyaanku tadi sia2 belaka, karena Loyacu tidak menjawab


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sejujurnya."
"Lalu apa pula kehendak siancu?"
"Silakan Ho-loyacu ikut ka mi, setelah ka mi je las menyelidiki asalusulmu akan kuantar kau ke luar gunung."
Terangkat alis Cu Bun-hoa, katanya: "Siancu kira orangmu
banyak. mau main keroyok terhadap-ku seorang?" Mendadak dia
mundur selangkah tangan sudah siap me lolos pedang.
"Aku tak perlu turun tangan terhadapmu," ujar Hian-ih sian-cu
sambil tertawa.
Hanya sekejap itu, Cu Bun-hoa sudah merasakan adanya gejala2
yang tidak normal pada diri sendiri. Sudah timbul pikiran Cu Bunhoa untuk mundur dan melolos pedang, tapi kaki tangan ternyata
tidak menurut perintah lagi, keruan kejutnya bukan ma in, air
mukapun berubah hebat, bentak-nya: "Sundel keparat .........."
Hian-ih-sian-cu tetap unjuk senyum menggiurkan, katanya riang:
"DapatmengundangHo-loyacu,sungguhmerupakan
kebanggaanku." Lalu dia mengulap tangan dan mena mbahkan:
"Mari kita ke mbali"
Kedua gadis menurunkan kerai, pemikul tandu lalu berputar
balik, di bawah pimpinan La m-kiang-it-ki, kesepuluh kawanan jubah
hitam menggusur Cu Bun-hoa mengintil di bela kang tandu.
oooodwoooo Jodoh Rajawali 14 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Jodoh Rajawali 26

Cari Blog Ini