Ceritasilat Novel Online

Pendekar Naga Mas 10

Pendekar Naga Mas Karya Yen To Bagian 10


ruangan, tampak tiga sosok tubuh bugil sedang berjalan menghampirinya, kontan napsu birahinya
menggelora. Ketika ketiga nona itu menyaksikan Siang Ci-ing ikut berada dalam ruangan, kontan mereka
jadi jengah. Sambil tertawa tergelak Cau-ji pun berseru, "Bagus, bagus sekali, Siaute memang merasa
badan serasa lengket semua, paling enak memang mandi!"
Sembari berkata dia pun mulai melucuti pakaian sendiri.
Agak tersipu-sipu Siau-hong segera maju menghampiri dan membantunya melepaskan pakaian.
Sementara itu Suto Bun telah menghampiri Siang Ci-ing dan membisikkan sesuatu ke
telinganya. Tak lama kemudian Siang Ci-ing telah membalikkan badan, lalu dengan kepala tertunduk mulai
melepaskan semua pakaian yang dikenakan.
Cau-ji malas ikut mengurus bisikan apa yang mereka katakan, sambil meletakkan tangannya di
punggung Siau-hong, katanya sambil tertawa, "Siau-hong, kau amat cantik!"
Sembari berkata, diawasinya wajah gadis itu lekat-lekat.
Kontan Siau-hong merasakan jantungnya berdebar keras, dengan tangan gemetar, sahutnya,
"Kongcu, terima kasih atas pujianmu, budak tak lebih hanya seorang perempuan kotor yang sudah
sering dinodai orang, bagaimana bisa dibandingkan dengan beberapa nona itu?"
Tiba-tiba Cau-ji maju memelukkan, kemudian dengan mesra dan hangat diciumnya nona itu,
sementara sepasang tangannya mulai jahil dan menggerayangi seluruh bagian tubuhnya yang
paling terlarang.
Ciuman dan gerayangan ini kontan membuat tubuh Siau-hong terasa lemas tak bertenaga,
hampir saja ia tak sanggup berdiri tegak.
Beberapa saat kemudian Cau-ji baru mengendorkan pelukannya sambil berkata dengan wajah
sungguh-sungguh, "Enci Hong, dalam pandangan Siaute, kau tak jauh berbeda seperti enci Ing,
enci Si serta enci Bun!"
"Kongcu.." saking terharunya Siau-hong mendesis.
"Eeei, enci Hong, kenapa kau tidak mengganti panggilan terhadapku?" tukas Cau-ji cepat.
"Kongcu ... ah bukan ... adik ... adik Cau, aku ...."
Belum selesai berkata, dia sudah menangis tersedu-sedu.
Dengan penuh rasa sayang, sekali lagi Cau-ji memeluk tubuhnya dan berkata lembut, "Enci
Hong, kegelapan sudah lewat, mulai sekarang kau hanya ada kegembiraan, tak ada air mata,
mengerti?"
"Terima kasih adik Cau!" buru-buru Siau-hong membesut air matanya.
Siapa tahu makin diseka, air mata makin deras meleleh, tentu saja air mata itu air mata
terharu. Dengan penuh kasih sayang Cau-ji menjilat air mata nona itu, menjilat sambil meraba bagian
sensitif nona itu.
Girang bercampur malu buru-buru Siau Hong menyeka air matanya sambil melepaskan diri dari
pelukan. Dalam pada itu Suto Si telah selesai melucuti semua pakaian yang dikenakan Cau-ji, katanya
lembut, "Adik Cau, kau memang luar biasa, membuat perasaan orang jadi tenteram dan bahagia,
kau memang Pousat penebar kenikmatan!"
"Omitohud, ucapan Li-sicu kelewat serius, mana berani Siauceng jadi Pousat, mungkin lebih
tepat kalau hidup dalam neraka yang penuh kenikmatan duniawi"
Kontan para nona tertawa cekikikan.
Sambil tertawa para nona pun mulai berebut menyabuni seluruh badan Cau-ji, kemudian
menggosoknya dengan handuk basah.
Berhadapan dengan empat nona telanjang bulat, kontan napsu birahi Cau-ji bangkit, tanpa
sadar tombaknya mulai berdiri tegak, serunya, "Hei nona-nona cantik, apakah kalian sudah
membersihkan sayur hijau milik kalian?"
"Tidak bisa begitu," seru Suto Bun cepat, "tubuhmu masih kotor oleh darah dan hancuran
daging, harus dicuci dulu sampai bersih, kalau tidak, bagaimana mungkin bau anyir darah bisa
hilang?" Mendadak Cau-ji menyambar tubuh gadis itu, memeluknya kemudian tubuh bagian bawahnya
menohok ke depan kuat-kuat.
"Cluppp ...!", tak ampun tombaknya langsung menembus gua nirwana, sambil memeluk
badannya kuat-kuat dia pun mulai menusuknya berulang kali.
Suto Bun malu bercampur kegirangan, teriaknya, "Adik Cau, mana boleh kau main serobot?"
"Kenapa tak boleh?" sahut Cau-ji sambil memperkuat tusukannya, "peraturan negara nomor
berapa yang melarang aku berbuat begini" Enci Si, kalian mandi dulu sampai bersih!"
Sambil berkata dia menusukkan tombaknya semakin gencar dan kuat.
Menghadapi gempuran daging lawan daging semacam ini, Suto Bun seketika merasakan dasar
lubangnya jadi linu, geli dan nikmatnya luar biasa, apalagi setiap kali ujung tombak menghentak
dasar lubangnya, seluruh tubuhnya gemetar keras.
Mimpi pun ketiga nona lainnya tak menyangka kalau Cau-ji dapat merancang permainan
semacam ini, sembari menggosok tubuhnya, mereka menonton jalannya pertempuran itu.
Suto Bun yang ditonton jadi malu setengah mati, protesnya, "Cici, kalian mandilah dulu, tolong
jangan menonton saja
"Tidak bisa!" sela Cau-ji cepat, "seluruh badan Siaute kotor oleh darah dan daging, harus
dibersihkan lebih dulu, kalau tidak, mana mungkin bau amisnya darah bisa hilang?"
Suto Bun yang sudah ditusuk berulang kali oleh bocah muda itu segera berusaha meronta
untuk berdiri. Tapi dengan cepat Cau-ji menariknya, lalu mulai menghisap puting susu sebelah kirinya.
"Aduh ... aduh ... adik Cau ... jangan begitu.."
"Kalau kau bersikap lebih alim, Siaute pun akan lebih alim lagi!" kata Cau-ji sambil melepaskan
hisapannya dan tertawa.
Merah padam wajah Suto Bun saking malunya, dia pejamkan mata dan tak berani banyak
bicara lagi. Terdengar Suto Si berkata sambil tertawa, "Adik Cau, istirahatlah sejenak! Kalau ingin main
lagi, tunggu sajalah setelah mencuci bersih badanmu!"
Setelah usil beberapa saat, Cau-ji sendiri pun merasakan tubuhnya jauh lebih nyaman dan
segar, maka sambil melepaskan pelukannya pada tubuh Suto Bun, ujarnya sambil tertawa, "Enci
Bun, maaf!"
Merah padam wajah Suto Bun lantaran jengah, cepat dia beranjak pergi untuk membersihkan
badan. Ketiga gadis itu segera turun tangan membersihkan tubuh Cau-ji dan menyisir rambutnya.
Selesai mandi, kembali Cau-ji melirik sekejap Suto Bun yang masih berdiri di samping dengan
malu-malu, mendadak dia sambar lagi tubuh gadis itu lalu membopongnya naik ke atas
pembaringan. Terdengar Suto Bun berseru tertahan, dengan wajah jengah cepat dia memejamkan matanya.
Setelah berada di atas ranjang, Cau-ji langsung menindih tubuh gadis itu dan siap menusukkan
tombaknya, cepat Suto Bun berbisik, "Adik Cau, biar Cici duluan, hari ini kau bakal amat sibuk!"
Selesai bicara dia pun membalikkan badannya dan naik ke atas badan pemuda itu, setelah
mengincar tepat sasarannya, dia tekan lubangnya persis di ujung tombak lawan.
Kontan tombak panjang itu tertelan bulat-bulat, maka setelah mengambil posisi duduk, dia pun
mulai bergoyang ke atas dan ke bawah secara beraturan.
Cau-ji mencoba setengah bangkit, tangannya mulai meremas payudara sang nona, sedang
mulutnya menghisap puting susu yang lain, hal ini membuat Suto Bun gemetaran saking
nikmatnya. "Adik Cau," teriaknya lirih, "jangan ... jangan begitu ... Cici takut geli... ah ... aduh.."
Terendus bau harum semerbak, ternyata Suto Si telah duduk di samping pembaringan dengan
senyum di kulum, katanya lembut, "Adik Cau, jangan permainkan adik Bun!"
Seraya berkata dia tekan kembali tubuh Cau-ji hingga berbaring di atas pembaringan.
Sambil tertawa Cau-ji segera berseru, "Enci Ing, kemarilah, kau bertugas menghisap puting
susunya, sedang enci Hong, kau menjilati punggung!"
"Jangan ... jangan begitu" teriak Suto Bun cemas, "kalau begitu caranya, aku bisa mati
kegelian!"
"Kalau ingin mati, marilah kita mati bersama!" tukas Cau-ji sambil tergelak.
Begitu selesai berkata dia langsung memeluk tubuh Suto Si dan mulai menciuminya dengan
penuh gairah, sementara tangan kanannya mulai jahil dan menggerayangi seluruh tubuhnya.
Sambil tertawa Siang Ci-ing menurut seperti apa yang diperintahkan, dia mulai menghisap dan
menggigit puting susu Suto Bun.
Sementara Siau Hong pun mulai menjilati punggungnya.
Menghadapi serangan gencar dari tiga penjuru, Suto Bun merasakan sekujur badannya linu,
kaku dan geli, pelbagai perasaan bercampur aduk, lama-kelamaan dia tak tahan hingga mulai
mendesis dan merintih, goyangan tubuhnya pun semakin kencang dan cepat.
Dengusan napas makin kencang ... rintihan makin keras ....
Tak sampai setengah jam kemudian Suto Bun hanya bisa mengertak gigi sambil gemetaran
tiada hentinya.
Tapi dia pantang menyerah, tubuhnya masih bergoyang terus mati-matian....
Apa daya, pertahanan sekokoh apa pun, serangan musuh jauh lebih hebat, terdengar dia
mendesah lirih dan tak kuasa menahan diri lagi.
Seketika itu juga Cau-ji merasakan liang surganya gemetar sangat kuat, dia segera tahu kalau
gadis itu sudah mencapai puncaknya, maka sambil tertawa serunya, "Enci Ing, sekarang
giliranmu!"
"Biar adik Si duluan!" sahut Siang Ci-ing malu-malu.
Suto Si mencoba melirik sekejap tempat yang diduduki gadis itu, melihat seprei sudah basah
kuyup, maka katanya sambil tersenyum, "Enci Ing, kita semua adalah saudara sendiri, tidak
masalah siapa duluan."
Habis berkata, dia pun membopong tubuh Suto Bun dan dibaringkan di samping.
Dengan wajah tersipu malu Siang Ci-ing pun merangkak naik ke atas tubuh Cau-ji.
Siau Hong yang berada di sampingnya segera membantu pemuda itu dengan mengarahkan
tombaknya persis ke arah lubang kecil milik Siang Ci-ing, kemudian seninya sambil tertawa,
"Sudah pas sekarang, nah bisa dimulai!"
Dengan wajah tersipu-sipu malu Siang Ci-ing pun perlahan-lahan menekan tubuhnya ke bawah.
Seketika itu juga Cau-ji merasakan mulut guanya begitu kencang menghimpit tombaknya, satu
perasaan nikmat yang tak terkirakan pun seketika menyusup ke dalam hatinya.
"Enci Hong," ujarnya kemudian sambil tertawa, "kau hisap teteknya dan enci Si, kau jilati
punggungnya!"
"Aku ... mungkin aku bisa tak tahan" buru-buru Siang Ci-ing berseru dengan wajah memerah.
"Tak usah kuatir, bukankah enci Bun pun tidak masalah?" sahut Cau-ji sambil tertawa, "coba
lihat, dia malah keenakan setengah mati!"
Waktu itu Suto Bun dengan mata terpejam dan senyum di kulum sedang membayangkan
kembali masa puncak yang baru dialaminya, ketika mendengar perkataan Cau-ji itu, segera
ujarnya sambil tertawa, "Enci Ing, nikmati saja permainan gila itu satu kali, wah ... selain tegang,
terasa nikmatnya luar biasa."
Cau-ji tertawa terbahak-bahak, sambil menekan badannya lebih keras, serunya, "Ayo, kita
mulai!" Siang Ci-ing segera merasakan liang surganya jadi linu dan gatal, tak tahan ia berseru tertahan
dan betul saja badannya mulai bergoyang.
Dari caranya bergoyang, Suto Si tahu gadis itu masih awam terhadap permainan semacam ini,
maka dia pun mulai memegangi pinggangnya dan mengajarnya bagaimana menggoyangkan
pinggulnya ke depan, belakang, kiri dan kanan, lalu membantunya pula melakukan gerakan
melingkar dan memutar.
Dasarnya Siang Ci-ing memang seorang gadis pintar, begitu diberi petunjuk, sesaat kemudian
ia sudah dapat melakukan gerakan itu sendiri.
Menyaksikan hal ini, Suto Si pun menjadi lega, dia mulai menjilati punggungnya.
Siang Ci-ing merasakan seluruh jalan darah di punggungnya terjilat secara merata, hal itu
mendatangkan perasaan lega luar biasa.
Tanpa disadari gerakan pinggulnya jadi semakin cepat.
Waktu itu Siau-hong sedang duduk di tepi pembaringan sambil menghisap puting susu Siang
Ci-ing, Cau-ji yang menyaksikan hal itu kontan merangkul pinggangnya dan menariknya ke atas
dada sendiri. Dengan tangan kanan dia mulai menggerayangi sekeliling mulut gua, sedangkan tangan kirinya
meremas sepasang payudaranya, hal ini membuat gadis itu menggeliat tiada hentinya.
Cau-ji merasakan tombak miliknya dijepit begitu kencang oleh liang milik Siang Ci-ing, bukan
saja terjepit kencang, bahkan terasa seperti dihisap kuat-kuat, semua ini membuat tusukannya
semakin menggila.
Tapi liang kecil itu memang kelewat sempit, semakin dia bergerak cepat, jepitan liang itu
semakin mengencang, betul-betul suatu kenikmatan yang tak terbayangkan.
Tak kuasa lagi dia masukkan jari kelingkingnya ke dalam liang surga milik Siau-hong.
Begitu liang kecilnya tersentuh jari tangan Cau-ji, sebagaimana kebiasaan Siau-hong, segera
merasakan ketegangan yang luar biasa, secara otomatis liang miliknya ikut menyusut kencang.
Melihat itu buru-buru Cau-ji memindahkan jari tangannya ke tempat lain.
Suto Bun yang menyaksikan hal ini segera bangun duduk, dengan lembut dibelainya tubuh
Siau-hong, sementara dengan bibirnya yang kecil dia hisap sekujur badannya.
Kini Cau-ji tak berani menyentuh Siau-hong lagi, maka konsentrasinya pun dipusatkan untuk
mengimbangi goyangan pinggul Siang Ci-ing.
Beberapa saat kemudian, Siang Ci-ing merasakan bulu kuduknya berdiri, tanpa sadar dia pun
mulai merintih dan mendesis.
Sebagaimana diketahui, perempuan ini memiliki potongan tubuh yang sangat indah, jangan
dilihat dia selalu tampil suci dan anggun, tapi begitu naik ranjang, perempuan yang anggun inipun
berubah seperti wanita jalang.
Coba kalau di sampingnya tidak hadir tiga gadis lain, mungkin sejak tadi dia sudah menjerit
keras melampiaskan seluruh birahinya.
Kini dia mengubah seluruh birahinya menjadi kekuatan, sekuat tenaga menggoyang pinggulnya
mengimbangi tusukan lawan.
Dalam keadaan seperti ini, Siau-hong maupun Suto Si sudah tak dapat menjilat dan menghisap
pusing susunya lagi, maka mereka bertiga pun sambil tersenyum berdiri di depan pembaringan,
menyaksikan pertarungan seru yang sedang terjadi di antara kedua orang ini.
Sambil menarik tangan Siau-hong, hibur Suto Bun dengan lembut, "Enci Hong, kau tak usah
tegang! Sekalipun senjata milik adik Cau besar, panjang dan kasar, coba kau lihat, bukankah enci
Ing pun bisa melayani dengan leluasa?"
"Aku tahu!" jawab Siau-hong sambil tertawa getir, "tapi aku tak mampu mengendalikan diri!"
Sementara itu Suto Si juga ikut menarik tangannya sambil menghibur,
"Enci Hong, tak usah kuatir! Siaumoay pasti akan membantumu!"
Mendadak terjadi perubahan besar di atas pembaringan, ternyata sepasang sejoli itu sudah
bertukar posisi, kini Cau-ji gantian berada di atas, dia segera menggerakkan tombaknya dan mulai
melancarkan tusukan bertubi-tubi.
"Plak ... plak" bunyi aneh pun berkumandang tiada putusnya dalam ruangan.
Siang Ci-ing merasakan tubuhnya mulai melayang di udara, tak tahan lagi dia pun merintih,
"Aduuuuh ... aduuuh.."
Cau-ji merasakan liang gadis itu mulai gemetar keras dan menyusut kencang, tahu kalau
lawannya sudah hampir mencapai puncak, dia pun menarik napas dan mulai melancarkan
gempuran lagi secara bertubi-tubi.
Lima puluh tusukan kemudian, akhirnya Siang Ci-ing menyerah kalah, dia pun tergeletak lemas
di atas ranjang.
Cau-ji tidak berhenti begitu saja, kembali dia melancarkan lima jurus serangan berantai yang
menempel lekat-lekat di dasar liangnya.
Segera dirasakan liang gadis itu sebentar mengendor sebentar mengencang, rasanya bagaikan
dihisap kuat-kuat, tak terkirakan rasa nikmatnya.
"Ooh ... nikmat benar!" keluh Siang Ci-ing sambil menghela napas panjang.
Selesai berkata, dia secara otomatis menghadiahkan sebuah kecupan mesra di bibir pemuda
itu. Tertegun Siau-hong menyaksikan semua adegan syur ini.
Sesaat kemudian Siang Ci-ing baru mendorong tubuh Cau-ji agar turun dari atas tubuhnya, lalu
katanya, "Adik Cau, adik Hong sedang menunggumu!"
Cau-ji tertawa ringan, dia pun merangkak turun dari atas tubuhnya.
"Plook!", tombaknya langsung dicabut, air lendir pun tampak meleleh keluar dari lubang Siang
Ci-ing yang membuat seprei di atas pembaringan langsung basah kuyup.
Ketiga gadis itu segera saling bertukar pandang dengan tertegun.
Mereka tak menyangka gadis itu bakal mengeluarkan cairan begitu banyak, helaan napas
bergema. Cau-ji melompat turun dari atas pembaringan, dipeluknya tubuh Siau-hong, lalu dibaringkan ke
atas ranjang. Begitu pemuda itu mulai melebarkan pahanya, Suto bersaudara langsung mengangkat kaki
Siau-hong tinggi-tinggi.
Merasa amat malu Siau-hong segera memejamkan mata dan tak berani memandang siapa pun.
Cau-ji segera menyiapkan tombaknya dan langsung ditusukkan ke dalam lubang kecilnya,
seakan dia membersihkan selokan air itu.
Dia merasakan liang surga gadis itu mulai mengejang keras, tahu kalau begini terus tak bakal
berkesudahan, dia pun jadi nekat, dengan maksud racun lawan racun, dia malah menusukkan
tombaknya semakin kencang dan ganas.
Menusuknya hingga mencapai dasar, menusuk dengan berat dan ganas.
Sesaat kemudian dia mulai memutar tombaknya dan tiada hentinya menggesek dinding dasar
lubang gadis itu.
Permainan semacam ini sangat melelahkan dan menguras banyak tenaga, coba kalau dia bukan
jagoan lihai yang berpengalaman di bidang ini, mungkin sejak tadi dia sudah mencapai puncaknya.
Biarpun begitu, ketika dia sudah menggesek hampir tujuh-delapan puluh kali, terasalah otot
yang semula mengejang makin lama semakin mengendor.
Untung Siau-hong sendiri pun sudah mulai merasakan kenikmatan, kini bukan saja dia tidak
tegang lagi, bahkan mulai mendesah lirih, "Aduuuh ... nikmat... ah ... nikmat... aduh ... koko,...
aduh sayang.."
Melihat si nona sudah mulai mendesah, diam-diam Cau-ji dan dua bersaudara Suto
menghembuskan napas lega.
Bagaimana pun ilmu silat yang dimiliki Siau-hong masih ketinggalan jauh, dia tak kuasa
menahan gempuran Cau-ji yang menusuknya ratusan kali, akhirnya sambil menjerit keras nona itu
pun mencapai pada puncaknya.


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia seperti terserang penyakit ayan, tubuhnya gemetar tiada hentinya sementara liang
surganya mengejang berulang kali, seakan dia hendak menggigit tombak itu kencang-kencang.
Cau-ji membiarkan tombaknya dihisap berulang kali oleh kekejangan otot lawan, setelah
menikmati beberapa saat, akhirnya dia pun mencabut keluar tombaknya.
Tapi berbareng dicabutnya sang tombak, tiba-tiba saja pemuda itu menjerit tertahan sambil
mundur. Suto bersaudara menyangka telah terjadi sesuatu, cepat mereka berpaling, tapi begitu melihat
ada cairan yang sedang menyembur keluar dari liang surga milik Siau-hong, mereka pun tertawa
geli. Dengan wajah tersipu malu Siau-hong segera berlari menuju ke kamar mandi.
Cau-ji masih berbaring di atas ranjang, Suto Si segera memahami keinginannya, maka dia pun
berbaring di atas tubuhnya dan menelan tombak milik pemuda itu, kemudian sambil menggoyang
dengan lembut, tanyanya lirih, "Adik Cau, kau tidak lelah?"
"Lelah" Tidaklah, cuma aku merasa tegang sekali!"
Suto Si segera tertawa.
"Enci Hong sudah pulih kesegarannya, sebentar lagi kau tak bakal merasa tegang!"
Dengan lembut Cau-ji membelai sepasang payudara Siang Ci-ing yang berbaring di samping
tubuhnya, bisiknya lembut, "Pusaka milik enci Ing jauh berbeda dengan milik orang lain, milikmu
membuat Siaute selain tegang, juga merasakan sukma serasa terenggut dari rongga badan."
Siang Ci-ing jadi semakin malu, untuk sesaat dia tak sanggup berkata-kata.
"Enci Ing, kau jangan marah kepada Siaute karena ucapanku kelewat cabul" kata Cau-ji
kemudian sambil tertawa, "dalam pikiran Siaute, suami-istri membicarakan masalah hubungan
badan merupakan hal yang wajar dan bukan sesuatu yang tabu."
"Coba kau bayangkan saja enci Ing, sejak zaman kuno hingga sekarang, dan kaisar sampai
pekerja kasar, bukankah setiap orang melakukan perbuatan semacam ini" Siapakah yang tidak
bermain begituan di dalam kamar?"
"Enci Ing, apa yang diucapkan adik Cau memang benar!" sambung Suto Si pula sambil
tersenyum, "begitu suami-istri naik ke atas ranjang, maka permainan jorok seperti apa pun boleh
mereka lakukan, tapi begitu meninggalkan kamar, tentu saja penampilan harus pulih menjadi
normal kembali."
"Terima kasih, aku sudah tahu sekarang," jawab Siang Ci-ing malu-malu.
"Enci Si, ayo mulai menggila!" seru Cau-ji kemudian sambil tertawa.
Sambil tersenyum Suto Si mulai menggoyang pinggulnya mengimbangi tusukan lawannya yang
tertubi-tubi. Ucapan tadi nampaknya memompa semangat Siang Ci-ing, agak malu-malu dia mulai menciumi
sekujur badan Cau-ji.
Dengan lembut dan penuh kasih-sayang Cau-ji meraba pula seluruh badannya.
Kurang lebih setengah jam kemudian tiba-tiba Cau-ji mendorong tubuh Siang Ci-ing, kemudian
memeluk badan Suto Si, tiba-tiba ia membalikkan badannya dan kini kedua orang itu berganti
posisi. "Plook ... plookkk ... creeep ... creeep" suara aneh mulai bergema dalam ruangan.
Setengah jam kemudian di tengah rintihan dan desahan Suto Si, Cau-ji mengejang berulang
kali dan melepaskan tembakan secara gencar....
Waktu itu Siang Ci-ing, Suto Bun serta Siau-hong telah selesai membersihkan tubuh dan
berpakaian, melihat kedua orang itu masih saling berpelukan dengan kencangnya, diam-diam
mereka ikut girang.
"Beristirahatlah dahulu kalian," kata Siang Ci-ing kemudian, "aku akan keluar mencari
makanan." 0oo0 Keesokan harinya Cau-ji menyamar menjadi seorang lelaki berbaju hijau, diantar oleh kawanan
gadis cantik itu, berangkatlah dia menuju ke rumah makan Jit-seng-ciu-lau.
Sepanjang perjalanan, secara diam-diam ia mencoba mengawasi situasi sekelilingnya, benar
saja, ia jumpai kawanan jago dari kalangan hitam sedang berbincang masalah dukungan mereka
terhadap Jit-seng-kau, hal ini membuat pemuda itu semakin bertekad ingin menawan pentolannya
lebih dulu sebelum membasmi kawanan bandit, dia bertekad akan melenyapkan Su Kiau-kiau dari
muka bumi. Oleh karena itu pada hari kelima dia pun menyaru kembali menjadi Hek Hau-wan dan mulai
melanjutkan perjalanan.
Hari ini menjelang siang, tibalah dia seorang diri di rumah makan Ui-hok-lau.
Dia jadi teringat pengalamannya beberapa hari berselang, gara-gara gelak tertawanya yang
nyaring akibatnya memancing kedatangan orang-orang Jit-seng-kau serta jagoan lainnya hingga
terjadi pertempuran sengit melawan Lokyang Cap-ji Eng.
Kini noda darah yang membekas di permukaan tanah belum lenyap, beberapa bagian tempat
yang rusak akibat pertempuran pun belum diperbaiki, Cau-ji jadi teringat kembali akan betapa
sengitnya pertempuran yang terjadi saat itu.
Tanpa terasa dia pun berdiri terkesima di tempat. Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba dari
belakang tubuhnya terdengar seseorang membentak nyaring, "Hey, setan tua, mengganggu
perjalanan orang saja, cepat menggelinding ke samping!"
Begitu tersadar dari lamunan dan mendengar perkataan lawan yang begitu tak sopan, berkobar
hawa amarah Cau-ji.
Perlahan-lahan dia membalikkan badan, lalu menegur dengan suara berat, "Anjing busuk dari
mana yang sedang menggonggong di sini?"
Terlihat ada tiga lelaki berbaju hitam yang berwajah bengis dan berusia empat puluh tahunan
berdiri lebih kurang beberapa tombak di hadapannya. Salah seorang lelaki di tengah yang
mendengar jawaban yang begitu tak sopan itu langsung meraung gusar dan menerjang maju.
Belum lagi tubuhnya tiba, angin pukulan berhawa dingin telah menyambar tiba lebih dulu,
sadar musuhnya berilmu tinggi, Cau-ji malah tertawa dingin, dia balas mengayunkan tangan
kanannya membabat tubuh orang itu.
Ketika lelaki itu melihat pihak lawan ternyata berani melancarkan serangan balasan, maka
tenaga pukulannya segera ditambah lagi sepuluh persen.
"Blam ...!", lelaki itu datang begitu cepat tapi pergi pun sangat cepat, tahu-tahu badannya
sudah mencelat sejauh tiga tombak lebih, begitu jatuh ke tanah tampak dia menggeliat beberapa
saat, setelah itu merenggang nyawa.
Inipun dia lakukan karena tak ingin membocorkan identitasnya sehingga tenaga pukulan yang
digunakan hanya lima bagian, kalau tidak, niscaya tubuhnya bakal remuk berantakan.
Dua lelaki yang lain jadi amat terkesiap sesudah menyaksikan kehebatan tenaga dalam
musuhnya, tanpa sadar mereka mundur satu langkah.
Cau-ji tak ingin mencari masalah, karena itu setelah tertawa seram dia pun bersiap
meninggalkan tempat itu.
Tiba-tiba terdengar lelaki yang di sebelah kiri membentak nyaring, "Setan tua, besar amat
nyalimu, setelah melukai anggota Jit-seng-kau, kau ingin kabur begitu saja?"
Cau-ji memang sedang risau karena tak berhasil menemukan anggota Jit-seng-kau, dia jadi
kegirangan setelah mendengar ucapan itu, sahutnya sambil tertawa seram, "Hehehe, bagus,
bagus sekali! Jadi kalian tidak mengenali Lohu?"
"Siapa yang kenal setan tua macam kau?" hardik lelaki yang ada di sebelah kanan.
"Kurang-ajar, kalian berasal dari ruang apa?" bentak Cau-ji dengan suara menyeramkan.
Begitu mendengar teguran itu, kedua lelaki tadi segera sadar kalau gelagat tidak beres, buruburu
sahutnya dengan nada yang lebih lunak, "Pek-hou-tong!"
Begitu tahu kedua orang ini ternyata merupakan anak buah Hek Hau-wan yang digunakan
identitasnya sekarang, Cau-ji merasa teramat bangga, tegurnya lagi sambil tertawa seram,
"Tahukah kau siapa Lohu?"
"Harap Cianpwe maafkan Wanpwe yang punya mata tak berbiji" buru-buru kata orang di
sebelah kanan agak gemetar.
"Hehehe, kau panggil Lohu sebagai Cianpwe" Cepat panggil kepala regumu, suruh dia
menghadap Lohu!"
Tergopoh-gopoh orang itu mengiakan dan segera berlalu dari sana.
Sepeminuman teh kemudian terlihat seorang kakek berbaju hitam berusia enam puluh tahunan
yang bertubuh tegap, dengan membawa dua puluhan lelaki kekar berbaju hitam menyusul datang
dengan langkah cepat.
Pada jarak belasan tombak, orang itu segera mengenali Cau-ji, tampak dia menghentikan
langkah, menjatuhkan diri berlutut dan teriaknya lantang, "Hamba Che Toa-jong menjumpai
Tongcu, harap maafkan hamba yang telah terlambat datang menyambut!"
Lelaki berbaju hitam yang berdiri di hadapan Cau-ji nyaris jatuh semaput begitu tahu orang itu
adalah atasannya, cepat dia menyembah ke tanah sambil berseru minta ampun.
Cau-ji tertawa seram, tanpa bicara sepatah kata pun dia membalikkan badan memandang ke
arah rumah makan Ui-hok-lau.
Para pelancong di atas rumah makan yang menyaksikan kejadian ini jadi ketakutan, buru-buru
mereka menyembunyikan diri.
Sementara Cau-ji masih mengeluh karena kegarangan pengaruh Jit-seng-kau, mendadak dari
belakang tubuhnya terdengar dua kali jeritan ngeri yang menyayat hati, menyusul kemudian
terdengar Che Toa-jong berkata dengan penuh rasa takut, "Tongcu, maafkan hamba yang tak
becus mendidik anak buahku!"
Menunggu Cau-ji membalikkan badan lagi, tampak kedua orang itu sudah terkapar bersimbah
darah di atas tanah, maka kepada kedua puluh orang yang masih berlutut di tanah, serunya,
"Kalian bangun semua, kita bicarakan lagi setelah pulang nanti!"
"Terima kasih Tongcu!"
0oo0 Untuk sementara waktu baiklah kita tinggalkan dulu Cau-ji yang mendapat tahu dari mulut Che
Toa-jong kalau Su Kiau-kiau sedang dalam perjalanan menuju ke rumah makan Jit-seng-ciu-lau,
sehingga dia pun langsung menuju ke arah Tiang-sah.
Dalam pada itu menjelang pagi hari di bawah bukit Lian-hong-san tiba-tiba muncul empat puluh
satu orang, mereka mengenakan jubah panjang berwarna kuning emas dan menunggang kuda
jempolan. Setiap kuda yang ditumpangi tampak mengeluarkan asap putih dari mulutnya dengan bulu
basah kuyup, hal ini membuktikan rombongan itu baru saja menempuh perjalanan jauh.
Setelah terdengar ringkikan kuda yang memanjang, tiba-tiba keempat puluh satu orang itu
menghentikan perjalanannya.
Terdengar seorang berkata dengan suara nyaring, "Leng tua, jalan perbukitan di depan sana
amat sulit untuk ditempuh dengan menunggang kuda, lebih baik kita lanjutkan pendakian dengan
berjalan kaki!"
"Baik!"
Setelah semua orang melompat turun dari kuda, terlihat ada tiga lelaki kekar berusia empat
puluh tahunan yang tetap tinggal di tempat untuk mengurus kawanan kuda itu, sementara ketiga
puluh delapan orang lainnya segera melanjutkan perjalanan dengan kecepatan tinggi.
Tiga orang yang berada paling depan tak lain adalah Cu bersaudara yang mengenakan jubah
kuning dan berdandan anggun, sejak meninggalkan Liong-ing-hong, mereka langsung kembali ke
kota raja. Setelah pulang ke istana, Cu Bi-ih bertiga langsung mohon menghadap ibu suri dan
menceritakan kisah yang mereka alami serta membeberkan semua kejahatan yang telah dilakukan
orang-orang Jit-seng-kau.
Tong-kiong Nio-nio yang mendapat laporan itu jadi gusar, ia menerima usulan dari ketiga gadis
itu dan mengirim laporan kepada Baginda raja.
Dari laporan para menterinya, Baginda raja sudah mengetahui tentang lotere Tay-ke-lok yang
menyengsarakan rakyat banyak, maka setelah menerima tambahan laporan dari putri
kesayangannya, raja pun tahu kalau Jit-seng-kau tidak dilenyapkan maka undian lotere Tay-ke-lok
tak bakal bisa ditumpas.
Namun Sri Baginda merasa kesulitan untuk mengambil keputusan ketika putri kesayangannya
mengusulkan untuk menganugerahkan gelar An-lok-ong kepada Ong Sam-kongcu, karena masalah
ini sudah menyangkut tata-cara protokol kerajaan.
Tong-kiong Nio-nio cukup memahami kesulitan Sri Baginda, maka dia pun mengusulkan untuk
menanyakan pendapat kedua perdana menteri serta panglima perang.
Begitu Sri Baginda memberikan persetujuannya, maka tak sampai setengah jam kemudian
sudah ada enam menteri kerajaan yang datang menghadap.
Secara ringkas Cu Bi-ih pun menceritakan kembali semua kejadian yang dialaminya, sekalian
menerangkan pula posisi Ong Sam-kongcu serta kakeknya yang pernah memimpin umat persilatan
membasmi kekejian perkumpulan Jit-seng-kau.
Terdengar Yu Siang-kong berkata, "Lapor Baginda, hamba pernah bertemu muka satu kali
dengan Ong Sam-kongcu dari kota Kim-leng, orang ini memang setia pada negara dan melindungi
kepentingan rakyat banyak."
"Waktu itu hamba berniat mengajaknya berbakti kepada kerajaan, sayang dia hambar terhadap
nama dan kedudukan, bahkan menyatakan rela hidup mengasingkan diri di tempat terpencil."
"Kalau memang sembilan partai besar berniat mengangkat Ong Sam-kongcu sebagai pemimpin
mereka, apabila Baginda menganugerahkan gelar An-lok-ong kepadanya, mungkin hal ini akan
semakin membantu orang persilatan untuk mendukungnya!"
Kelima pembesar lain pun menyatakan persetujuannya.
Mendengar pendapat para pembantunya, kaisar pun segera menurunkan titah untuk memenuhi
permintaan itu.
Maka keesokan harinya tiga bersaudara keluarga Cu dengan membawa Thian-te-sian-lu dan
tiga puluh enam jagoan berilmu tinggi berangkat menuju ke Liong-ing-hong.
Kemudian setelah melalui perundingan yang matang, mereka putuskan minta pihak biara Siaulim
yang tampil mengumpulkan seluruh kekuatan partai besar untuk berkumpul di Tiang-sah,
bersamaan waktu mereka pun menantang pihak Jit-seng-kau untuk berduel di Gak-lek-san di luar
kota Tiang-sah sebulan kemudian.
Tanpa membuang waktu, keempat puluh satu orang itupun melakukan perjalanan siang malam
tanpa berhenti, langsung menuju gunung Lian-hong-san.
0oo0 Sementara itu, Cu Bi-ih sekalian melakukan perjalanan tiada hentinya, setelah berlarian hampir
setengah jam lamanya, tibalah mereka di depan perkampungan Hay-thian-it-si.
Dari kejauhan tiba-tiba mereka mendengar suara auman binatang buas yang menyeramkan,
tanpa sadar rombongan pun memperlambat larinya.
Ketika tiba di tembok luar perkampungan Hay-thian-it-si, terlihat ada dua puluhan muda-mudi
sedang bermain dengan aneka binatang buas seperti singa, harimau, beruang, macan tutul, gorila,
monyet, kijang ....
Pemandangan semacam ini kontan membuat semua orang tertegun.
Yang membuat mereka tertegun adalah di antara jenis binatang buas yang berada di sana, ada
sementara hewan yang bermusuhan turun-temurun, tapi kini justru bermain dengan muda-mudi
itu tanpa ada sikap bermusuhan, selain jinak juga sangat menarik, betul-betul satu kejadian yang
aneh. Ketika memperhatikan kawanan muda-mudi itu, terlihat bukan saja mereka berwajah bersih,
bahkan lincah, cekatan, dan jelas memiliki ilmu silat tangguh.
Ketika menengok lagi ke arah lain, maka terlihatlah seorang sastrawan berwajah tampan yang
mengenakan baju putih sedang berbincang dengan tiga belas wanita cantik.
Saat itulah seorang lelaki kekar berusia empat puluh tahunan berjalan mendekat sambil
berbisik, "Lapor Kongcu, sastrawan berbaju putih itu tak lain adalah Ong Sam-kongcu Ong It-huan
dari kota Kim-leng!"
"Ehm, seorang lelaki tampan yang luar biasa," Cu Bi-ih segera tersenyum sambil manggutmanggut.
Tiba-tiba dari dalam ruangan gedung terdengar seseorang berkata sambil tertawa nyaring,
"Sobat-sobat kecil, sudah puas kalian bermain?"
Kemudian terlihatlah si Raja hewan Oh It-siau muncul dengan wajah berseri.
Bwe Bu-jin (kini Ong Bu-jin telah berganti memakai nama marga ayahnya) ikut muncul pula
dengan wajah tersenyum.
Sepeninggal kawanan hewan itu digiring pergi oleh raja hewan, terlihat Ong Sam-kongcu
bangkit berdiri secara tiba-tiba dan berkata dengan suara nyaring, "Ah, gara-gara menyaksikan
putra-putriku bermain dengan hewan mengakibatkan tamu jauh harus menunggu lama, sungguh
hal ini membuat Ong It-huan merasa sungkan. Lo-ong, cepat sambut kedatangan tamu-tamu
kita!" Habis berkata dia pun memimpin semua orang untuk menyambut di depan pintu gerbang.
Leng Bang segera tampil ke depan dan menyahut sambil tertawa tergelak, "Sudah lama kami
dengar Ong Sam-kongcu adalah seorang yang Bun-bu-siang-cuan (menguasai ilmu silat maupun
ilmu sastra), setelah berjumpa hari ini, terbukti nama besarmu memang bukan nama kosong,
hahaha" Selesai berkata, bersama Chin Tong dan semua jago bergerak mendekati pintu gerbang.
Waktu itu si Raja hewan telah menghimpun tenaga dalamnya siap melakukan pertempuran,
tapi sewaktu pandangan matanya melintas di wajah Thian-te-sian-lu, mendadak jeritnya tertahan,
"Lo-sinsian (dewa tua)!"
Selesai bicara, dia pun menjatuhkan diri berlutut.
Sambil tertawa terbahak-bahak Leng Bang maju sambil membangunkannya, serunya, "Oh kecil,
jangan banyak adat!"
Raja hewan Oh It-siau sama sekali tak menyangka setelah berpisah puluhan tahun, akhirnya
pada hari ini dia dapat bersua kembali dengan tuan penolong yang pernah menyelamatkan
jiwanya di masa lalu, tak heran saking terharunya dia segera berlutut.
Seusai berdiri, dengan hormat Raja hewan bertanya, "Lo-sinsian, ada kepentingan apa kalian
berkunjung kemari?"
Leng Bang tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, sudah cukup lama Lohu mendengar tempat
tinggal Ong Sam-kongcu indah dan megah bagaikan nirwana, ternyata apa yang dikatakan orang
memang tidak salah, hahaha"
Dalam pada itu Ong Sam-kongcu pun telah mengenali Thian-te-sian-lu, cepat katanya dengan
hormat, "Sungguh suatu kebanggaan bagiku dapat bersua dengan Sin-heng serta teman-teman
sekalian, silakan masuk ke dalam dan minum teh!"
"Kongcu, terima firman kaisar!" mendadak Leng Bang berkata dengan nada serius.
"Firman" Firman apa?" tanya Ong Sam-kongcu tercengang.
"Tentu saja firman dari Sri Baginda!"
Ong Sam-kongcu segera berpaling dan memberi tanda kepada semua penghuni perkampungan
Hay-thian-it-si, serentak semua orang menjatuhkan diri berlutut.
Perlahan Cu Bi-ih tampil ke depan, setelah melihat semua orang berlutut, dari sakunya dia
mengeluarkan sebuah gulungan kain, merentangkannya dan mulai membaca isi firman.
Untuk beberapa saat lamanya Ong Sam-kongcu tertegun dan tak sanggup berkata-kata, dia tak
menyangka kalau Baginda telah menganugerahkan gelar An-lok-ong kepadanya, bahkan
memerintahkan dirinya untuk memimpin para jago menumpas perkumpulan Jit-seng-kau.
Sebagaimana diketahui, sejak dulu pihak kerajaan boleh dibilang jarang sekali berhubungan


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan orang persilatan, dia sama sekali tak menyangka kalau hari ini Baginda telah mengutus
tuan putri untuk menyampaikan firman kepadanya.
Selain itu, kecuali keturunan keluarga Cu, pada hakikatnya belum pernah ada orang luar yang
diberi gelar raja muda, apalagi untuk Ong Sam-kongcu yang belum pernah berhubungan dengan
pihak kerajaan. Tak heran bila ia terperangah dibuatnya. Leng Bang yang berlutut lebih kurang
tiga kaki di samping kanannya, secara diam-diam mengamati terus perubahan wajahnya, begitu
melihat rekannya terperangah, maka dengan ilmu menyampaikan suara ia berbisik, "Terima dulu
firman Baginda!"
Mendengar itu, Ong Sam-kongcu segera maju dan menerima firman.
"Kionghi Ongya!" seru Cu Bi-ih kemudian dengan suara nyaring.
"Terima kasih atas pujian tuan putri!" sahut Ong Sam-kongcu tersipu-sipu.
Maka semua orang pun maju untuk memberi selamat.
Dua belas tusuk konde emas sendiri meski tak mengerti apa sebabnya Sri Baginda mengutus
orang menganugerahkan gelar kehormatan, tak urung mereka ikut bergembira juga atas kejadian
yang tak terduga ini.
Ong Sam-kongcu mempersilakan para tamunya masuk ke dalam ruang utama, baru saja Go
Hoa-ti dan dua belas tusuk konde emas siap mengundurkan diri, sambil tertawa tergelak Leng
Bang telah mencegah.
Terdengar orang tua itu berkata sambil tertawa terbahak-bahak, "Ongya, tolong tanya apakah
kau mempunyai seorang Kongcu yang bernama Ong Bu-cau?"
"Ada! Jangan-jangan dia telah menyalahi kalian?"
"Hahaha, Ongya tak periu kuatir, bukan saja putramu tidak membuat keonaran, malahan dia
telah menyelamatkan ketiga tuan putri serta menolong biara Siau-lim dari bencana"
Maka secara ringkas dia pun menceritakan semua kehebatan serta keberanian yang telah
dilakukan Cau-ji.
Betapa gembira dan bersyukurnya Ong Sam-kongcu sekalian setelah mendengar kabar itu.
Sedangkan para jago pihak kerajaan diam-diam merasa terkejut juga akan kehebatan ilmu silat
pemuda itu. Melihat ketidak percayaan kawanan jago itu, sambil tersenyum Ong Sam-kongcu pun segera
menceritakan kisah pengalaman yang pernah dialami Cau-ji di masa lalu.
Cerita ini segera mengundang decak kagum banyak orang, khususnya tiga bersaudara keluarga
Cu. Dari perubahan mimik muka ketiga tuan putri itu, dua belas tusuk konde emas segera tahu
kalau gadis-gadis cantik itu sudah jatuh hati kepada Cau-ji, serta-merta mereka pun jadi mengerti
apa sebabnya pihak kerajaan menganugerahkan gelar kehormatan kepada keluarga mereka.
Sementara itu meja perjamuan telah dipersiapkan, Ong Sam-kongcu pun mengundang semua
orang untuk bersantap di ruang Ti-wan.
Hari ini Ong Sam-kongcu kelihatan amat gembira, sama sekali tak pernah terlintas dalam
benaknya untuk menjadi seorang raja muda dengan gelar An-lok-ong.
Perjamuan kali ini berlangsung hampir satu setengah jam lamanya.
Dalam keadaan setengah mabuk, Ong Sam-kongcu mempersilakan para tamunya untuk
beristirahat di kamar tamu, kemudian ia sendiri bersama Go Hoa-ti ibu beranak dan dua belas
tusuk konde emas kembali ke ruang utama untuk minum teh seraya berbincang-bincang.
Terdengar Go Hoa-ti berkata, "Engkoh Huan, kionghi kau memperoleh anugerah ini, terlepas
apakah punya kekuasaan atau tidak, yang pasti kau telah menjadi orang pertama dari dunia
persilatan yang mendapat kehormatan semacam ini!"
Ong Sam-kongcu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, mana, mana, semua ini berkat kehebatan Cau-ji!"
"Sungguh tak kusangka ilmu silat yang dimiliki Cau-ji telah mencapai tingkatan yang begitu
hebat, kelihatannya sulit untuk menemukan orang yang sanggup mengalahkan dirinya lagi!"
"Hahaha, jago Jit-seng-kau sangat banyak dan tangguh, bukan saja cara kerja mereka kejam,
siasatnya pun licik dan busuk, sekalipun Cau-ji hebat namun setiap saat dia berada dalam
ancaman mara bahaya."
Go Hoa-ti manggut-manggut, sahutnya, "Memang apa yang kau ucapkan merupakan
kenyataan, hanya saja kalau memang pihak kerajaan dan berbagai partai besar bersedia tampil,
aku rasa saat musnahnya Jit-seng-kau sudah tinggal waktu saja."
"Betul!" Ong Sam-kongcu tertawa, "jangankan ilmu silat yang dimiliki Thian-te-sian-lu luar biasa
hebatnya, bahkan kungfu si Pena emas Sin Goan pun tidak berada di bawah kemampuanku."
"Jangan dilihat mereka hanya terdiri dari tiga puluhan orang, padahal kekuatannya paling tidak
sanggup menghadapi serbuan tiga ratusan jago kelas satu! Sungguh tak disangka pihak kerajaan
telah membina begitu banyak jago lihai!"
"Di mulut pihak kerajaan menyatakan kalau tak berhubungan dengan umat persilatan, tapi
secara diam-diam telah membina begitu banyak jago tangguh, rasanya kejadian ini agak sedikit
tak masuk akal."
"Inilah yang dinamakan 'Menggunakan cara Kangouw untuk mengatasi orang Kangouw",
bahkan aku pun merasa bahwa penganugerahan gelar untukku kali inipun mengandung maksud
semacam ini."
Go Hoa-ti manggut-manggut dan tidak bicara lagi.
Si Ciu-ing yang selama ini hanya berdiam diri tiba-tiba menyela sambil tertawa, "Engkoh Huan,
kau jangan marah, menurut dugaanku, pemberian anugerah gelar kali ini bisa jadi dikarenakan
ketiga tuan putri berniat mengikat tali hubungan dengan keluarga kita."
"Hahaha, kenapa aku mesti marah?" Ong Sam-kongcu tertawa tergelak, "masa aku harus
minum cuka gara-gara Cau-ji" Sejak tadi aku telah merasa kalau ketiga tuan putri itu menaruh hati
kepada Cau-ji!"
Semua orang manggut-manggut setelah mendengar perkataan ini.
Sambil tertawa, kembali Si Ciu-ing berkata, "Engkoh Huan, enci Ti, adik-adik semua, menurut
apa yang kuketahui, pihak kerajaan telah memutuskan untuk tidak berhubungan dengan umat
persilatan, jadi tak mungkin si tuan putri akan menikah dengan anggota persilatan."
"Padahal ketiga tuan putri menaruh hati kepada Cau-ji, jadi satu-satunya cara untuk
menanggulangi masalah ini adalah mengangkat engkoh Huan jadi pejabat negara ... aku yakin
pangkatmu makin hari akan semakin tinggi"
Mendengar perkataan itu, kontan Ong Sam-kongcu tertawa terbahak-bahak.
Membayangkan bagaimana keluarga Ong akan punya menantu tuan putri, semua orang ikut
bergembira atas peristiwa ini.
Belum berhenti Ong Sam-kongcu tertawa, mendadak terdengar seseorang tertawa tergelak.
Menyusul kemudian terlihat sepasang dewa langit dan bumi memasuki ruangan.
Sambil tertawa, ujar Leng Bang, "Ongya, barusan aku sempat mendengar apa yang dibicarakan
Hujin, untuk itu perlu kusampaikan sepatah-dua patah kata."
"Benar, seperti apa yang diduga Hujin tadi, kali ini ketiga tuan putri memang telah
mengeluarkan begitu banyak tenaga dan pikiran untuk mendapatkan gelar kehormatan itu bagi
Ongya, semua ini tak lain karena menyangkut masa depan mereka bertiga."
"Dalam hal ini, Cau-ji masih belum tahu karena menurut pengamatan Lohu, Cau-ji sengaja
menjaga jarak dengan ketiga tuan putri karena dia tak ingin terjadi kemelut yang bakal
menyusahkan kedua belah pihak."
"Benar," kata Ong Sam-kongcu sambil tertawa, "aku memang sudah menjodohkan Cau-ji
dengan seseorang, sebelum mendapat ijin dariku, tak nanti Cau-ji berani menerima nona lain
sebagai bininya."
Sebetulnya Leng Bang ingin menyinggung juga masalah dua bersaudara Suto dan Siang Ci-ing
yang bergaul mesra dengan Cau-ji, tapi dia segera mengurungkan niatnya setelah mendengar
perkataan itu. Terdengar ia berkata sambil tertawa tergelak, "Ongya, mengenai perkawinan antara putramu
dengan ketiga tuan putri, Lohu suami-istri ingin menawarkan diri menjadi mak comblang."
"Terima kasih banyak atas maksud baik Cianpwe, hal semacam ini merupakan kebanggaan
keluarga Ong kami, hanya saja Wanpwe perlu menanyakan maksud hati Cau-ji terlebih dulu
sebelum mengambil keputusan.
Begitu mendengar persetujuan pihak lawan, Leng Bang jadi kegirangan setengah mati,
sahutnya cepat, "Sudah seharusnya begitu!"
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Ongya, Kongcu telah meminta pihak biara Siaulim
untuk tampil mengundang para partai besar dan minta mereka untuk berkumpul di bukit Gaklisan di luar kota Tiang-sah pada awal bulan depan, bahkan telah menulis surat tantangan kepada
pihak Jit-seng-kau!"
"Bagus, mau hidup atau mati, kita tentukan dalam pertempuran ini!" Ong Sam-kongcu
manggut-manggut tanda setuju.
"Engkoh Huan, bagaimana dengan kami kakak beradik.."tanya Si Ciu-ing lembut.
"Adik Ing, adik-adik semua, lebih baik kalian melindungi markas besar kita! Soal permainan
besar ini, biar peran penting kita letakkan pada pundak Cau-ji!"
Para perempuan itupun menurut dan manggut-manggut.
Karena urusan penting telah usai dibicarakan, maka para wanita itupun menanyakan keadaan
Cau-ji. Leng Bang tidak langsung menjawab, dia hanya termenung. Jelas orang tua ini sedang
mempertimbangkan perlu tidak membicarakan hubungan Cau-ji dengan tiga gadis lain.
Melihat keraguan orang, sambil tertawa Ong Sam-kongcu berkata, "Cianpwe, tahun ini Cau-ji
baru berusia empat belas tahun, kecerdasan otaknya tak bisa dibandingkan dengan kemampuan
ilmu silatnya, jadi tak mungkiri dia bisa lolos dari segala kesalahan, silakan saja dikatakan secara
terus terang."
Sambil tertawa getir, ujar Leng Bang, "Sungguh tak nyana aku Leng Bang setelah malang
melintang di dunia persilatan selama puluhan tahun, akhirnya harus bersikap penuh keraguan
hanya dikarenakan masalah tuan putri dengan Cau-ji. Kalau memang Ongya sudah berkata begitu,
baiklah, Lohu akan bicara terus terang!"
Maka dia pun membeberkan semua yang diketahui tentang hubungan Cau-ji dengan dua
bersaudara Suto serta Siang Ci-ing, bahkan dia menambahkan, "Ongya, Lohu berani jamin, Cau-ji
tidak berniat jahat!"
Ong Sam-kongcu segera menarik wajah dan terbungkam tanpa bicara.
Si Ciu-ing juga terbungkam dalam seribu bahasa setelah melirik Go Hoa-ti sekejap.
Diam-diam mereka kuatir bila Go Hoa-ti merasa tak puas karena ulah Cau-ji, khususnya
terhadap putri Bwe Bu-jin, karena itu semua orang menutup rapat mulutnya.
Siapa tahu Go Hoa-ti sama sekali tidak marah, setelah melirik mereka sekejap, katanya,
"Cianpwe, dengan nama besar keluarga Suto di dunia persilatan, keluarga Ong merasa sangat
berterima kasih sekali bila bisa peroleh menantu hebat semacam ini."
"Sedang nona Siang dari Liong-ing-hong juga tersohor sebagai wanita suci, dengan kekayaan,
kedudukan, serta nama besar keluarga Siang, aku rasa nona inipun pantas menjadi menantu
keluarga Ong."
"Apalagi bukankah engkoh Huan pun mempunyai dua belas orang Cici sebagai istri, berada
dalam keadaan seperti ini, apa salahnya bila Cau-ji pun memiliki banyak istri!"
Selesai berkata, kembali dia tertawa. Semua orang pun merasa lega setelah mendengar
penjelasan ini.
Dengan perasaan haru, kata Si Ciu-ing, "Enci Ti, terima kasih banyak. Siaumoay hanya merasa
bersalah terhadap Jin-ji!"
"Enci Ing, kalau orang bertambah banyak, hokki pun akan bertambah banyak pula, apalagi
Cau-ji begitu kuat, rasanya Jin-ji seorang tak akan sanggup melayaninya, selama mereka semua
bisa hidup rukun, tambah banyak pun tak ada masalah!"
Begitu ganjalan terurai, pembicaraan pun berlangsung lebih lancar dan santai.
Leng Bang pun bercerita lagi akan sepak-terjang Cau-ji sewaktu melawan serbuan para jago Jitsengkau di biara Siau-lim, secara terperinci dia pun menceritakan kehebatan jurus pedang serta
kesempurnaan tenaga dalamnya.
Terkejut bercampur girang semua orang ketika mengetahui Cau-ji telah memperoleh Pedang
pembunuh naga serta jurus pedangnya, bahkan sekali gebrakan mampu melukai lima orang
sekaligus. Malam itu tiga bersaudara keluarga Cu bersama Bwe Bu-jin bercerita penuh kehangatan dalam
kamar, dalam waktu singkat mereka dapat bergaul dengan begitu akrabnya hingga menjelang
fajar mereka baru naik pembaringan untuk beristirahat.
Menjelang senja, Ong Sam-kongcu mengantar para tamunya hingga keluar pintu gerbang, dia
baru kembali ke dalam gedung tatkala para jago sudah lenyap dari pandangan mata.
0oo0 Matahari tepat di tengah angkasa, rumah makan Jit-seng-lau sudah dipenuhi orang yang
bersantap, namun di antara sekian banyak tamu, sebagian besar merupakan orang-orang daerah
yang khusus datang untuk mengikuti lotere Tay-ke-lok, sambil menunggu dibukanya undian,
mereka menikmati santapan siang.
Begitu tahu dari mulut Che Toa-jong kalau Su Kiau-kiau sedang dalam perjalanan menuju
rumah makan Jit-seng-lau, Cau-ji segera minta seekor kuda jempolan dan segera melakukan
perjalanan cepat.
Begitu masuk pintu gerbang, pelayan yang mengenali Tongcunya segera mengantarnya masuk
ke dalam kamar belakang.
Baru saja Cau-ji mengambil tempat duduk, Im Jit-koh secepat kilat telah menyusup masuk,
bahkan dengan ilmu menyampaikan suara berbisik, "Tongcu, sungguh kebetulan kepulanganmu,
bagus sekali!"
Begitu melihat ia berbicara dengan menggunakan ilmu menyampaikan suara, Cau-ji segera
sadar kalau ada sesuatu yang tak beres, maka sahutnya pula dengan ilmu menyampaikan suara,
"Jit-koh, setelah bertemu Siau-hong, aku segera pulang kemari, bagaimana keadaan saudaraku?"
"Ilmu silat Tongcu telah ditotok oleh Hu-kaucu bahkan dia diawasi siang malam, hanya hamba
seorang yang boleh masuk ke dalam kamarnya, namun dilarang mengajak bicara!"
"Besar amat nyali Ni Ceng-hiang, hm! Berani betul menganiaya saudaraku. Jit-koh, apakah saat
ini Kaucu berada di rumah makan?"
"Kaucu hanya berdiam selama tiga jam di sini, begitu mendapat tahu kalau berbagai partai
besar telah menantang partai kita untuk berduel habis-habisan awal bulan depan, dia segera
berangkat meninggalkan tempat ini!"
"Hehehe, tak disangka bangsat itu berani datang untuk mengantar kematian! Ah, benar, Jitkoh,
tahukah kau Kaucu telah pergi kemana?"
"Entahlah, menurut dugaan hamba, setelah kematian dua ratusan jago di tangan Manusia
pelumat mayat, besar kemungkinan Kaucu sedang mencari bala bantuan."
Diam-diam Cau-ji tertawa dingin, tapi di luar tanyanya lagi, "Jit-koh, apakah saat ini kakakku
berada di dalam kamar?"
"Benar."
"Bagus, Lohu akan langsung mencari Hu-kaucu untuk menanyakan masalah ini, kau berlagaklah
seakan tidak mengetahui kejadian ini."
"Baik Tongcu, kau harus berhati-hati, hamba segera akan pergi mengontrol lapangan pacuan
kuda!" "Baiklah!"
Sepeninggal Im Jit-koh, Cau-ji mengatur napas, sesaat kemudian baru berjalan menuju ke
kamar Bwe Si-jin dan mengetuk pintu tiga kali.
Begitu kamar dibuka, terlihat Bwe Si-jin berdiri di depan pintu.
Betapa terkejut dan girangnya lelaki ini setelah melihat kemunculan Cau-ji, untuk beberapa saat
dia sampai tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
"Lotoa, apakah Hu-kaucu ada di sini?" sengaja berat nada suara tanya Cau-ji.
Belum sempat Bwe Si-jin menjawab, terdengar Ni Ceng-hiang berseru, "Hek tua, ada urusan
apa kau mencari aku?"
Seusai mengunci pintu kamar, Cau-ji segera mengawasi sekejap Ni Ceng-hiang yang masih
berbaring di atas ranjang, tegurnya berat, "Hu-kaucu, dosa kesalahan apa yang telah dilanggar
saudaraku?"
"Hahaha, Hek tua, siapa yang memberitahu kejadian ini kepadamu?" tanya Ni Ceng-hiang
sambil tertawa terkekeh.
"Hu-kaucu, kau tak usah tahu. Aku ingin kau jawab, kenapa ilmu silat saudaraku kau
kendalikan?"
Ni Ceng-hiang tidak menjawab, dia hanya tertawa terkekeh.
Bwe Si-jin sendiri telah menyingkir ke samping, menuang secawan teh dan duduk sambil
termenung. Cau-ji segera menghimpun tenaga dalamnya sambil bersiap sedia.
Sesaat kemudian Ni Ceng-hiang baru berhenti tertawa, sambil menarik wajah, bentaknya,
"Orang she Hek, besar amat nyalimu, berani amat kau bersikap kurang-ajar kepadaku."
"Memangnya ada yang perlu kuhormati terhadap dirimu?" Cau-ji balas bertanya.
"Kau ... kau benar-benar sudah tak ingin hidup?"
"Hehehe, siapa yang bakal mampus pun belum tahu, buat apa kau bersikap begitu galak?"
"Hehehe, orang she Hek, jangan lupa di saat racunmu mulai kambuh, kau masih butuh obat
penawar dariku."
Begitu mendengar perkataan itu, Cau-ji segera tahu kalau Hek Hau-wan pun telah diracuni
pihak Jit-seng-kau, maka segera serunya dengan suara menyeramkan,
"Perempuan sundal, hari ini juga Lohu akan membinasakan dirimu!"
Dengan geram Ni Ceng-hiang bangkit, bentaknya, "Orang she Hek, besar amat nyalimu!"
Cau-ji sama sekali tak acuh, kembali ejeknya,
"Keadaan yang memojokkan Lohu, jadi jangan salahkan bila aku bersikap kasar, kecuali kau
bersedia membebaskan saudaraku!"
"Hehehe, orang she Hek, kenapa tidak kau pertimbangkan dulu kemampuan yang kau miliki,
berani betul main ancam. Baik! Asal kau bisa menundukkan aku, pasti akan kukabulkan
keinginanmu itu!"
"Apa yang harus kuperbuat untuk bisa membuat kau takluk?"
"Hehehe, lebih baik kita coba dulu kehebatan silat masing-masing!"
Habis berkata, dia pun berdiri sambil menggendong tangan.
"Ayo, turun tangan!" seru Cau-ji.
"Hehehe, kau tak lebih hanya panglima perang yang pernah keok di tanganku, kalau memang
pemberani, lancarkan saja seranganmu!"
Cau-ji tertawa seram, jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya segera ditegakkan
bagaikan pedang, dengan jurus Pedang pembunuh naga ia ciptakan selapis jaring hawa yang
makin lama berkembang makin melebar.
Ni Ceng-hiang mendengus dingin, sepasang tangannya melancarkan pukulan berulang kali,
segulung tenaga dingin seketika meluncur ke depan.
Tapi begitu tenaga bacokannya menyentuh di atas jaring hawa mumi tadi, tenaga serangannya
hilang lenyap seketika, sementara jaring tenaga justru makin berkembang dan akhirnya
menghimpit jalan darah penting di depan dadanya.
Bagaimana pun dia mencoba menghindarkan diri atau melawan, ternyata gagal juga
meloloskan diri.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba ia menghampiri Bwe Si-jin, lalu menggunakan tubuhnya


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai tameng.
Cau-ji sama sekati tak menyangka kalau perempuan itu bakal berbuat serendah ini, sodokan
jarinya langsung dihantamkan ke atas meja yang terbuat dari batu kali hingga hancur jadi abu.
Bwe Si-jin tidak menyangka kalau ilmu silat yang dimiliki Cau-ji telah mengalami sedemikian
majunya, untuk sesaat ia jadi tertegun dibuatnya.
"Manusia pelumat mayat!" jerit Ni Ceng-hiang kaget.
Cau-ji tertawa terkekeh, sembari melepaskan penyaruannya dia mengejek, "Mau takluk tidak?"
Begitu melihat kegantengan wajah Cau-ji, napsu birahi Ni Ceng-hiang langsung saja berkobar,
timbul niat jahatnya untuk menghisap tenaga dalam lawan dengan ilmu Im-kang miliknya.
Karena itu dia tertawa terkekeh tiada hentinya.
Dengan perasaan cemas, buru-buru Bwe Si-jin berseru, "Cau-ji, jangan pedulikan aku, cepat
bunuh dia!"
Sambil tertawa Cau-ji menggeleng, katanya, "Toasiok, Cau-ji tak tega menghancurkan seorang
wanita cantik bak bunga yang sedang mekar, bak arak yang memabukkan dan bak parfum
wanginya "Hahaha, saudara cilik, tak nyana kau begitu menyayangi kaum wanita, bagaimana kalau kita
berunding?" ujar Ni Ceng-hiang sambil tertawa jalang.
"Hahaha, katakan saja."
"Saudara cilik, temani Cici bermain satu babak, asal kau bisa membuat Cici merasakan
kenikmatan, biar harus mati pun Cici akan menuruti semua perintahmu, bagaimana?"
"Hahaha, bagus, kita pegang janji ini!"
Bwe Si-jin tahu kalau Cau-ji dilindungi Kui-goan-sinkang yang secara kebetulan merupakan ilmu
tandingan im-kang milik perempuan itu, diam-diam ia kegirangan. Tapi dalam penampilan dia
berlagak cemas, jeritnya, "Anak cau, jangan kau kabulkan permintaannya!"
Ni Ceng-hiang tertawa jalang, dia segera menotok jalan darah kakunya, kemudian berkata,
"Engkoh Jin, kau tak usah makan cuka! Siaumoay hanya akan melayaninya satu babak!"
Habis berkata dia pun meletakkan tubuh Bwe Si-jin ke atas bangku.
Cau-ji tertawa terbahak-bahak, dia mulai melepas seluruh pakaian yang dikenakan.
Tatkala Ni Ceng-hiang melihat Pedang pembunuh naga itu, sinar matanya segera berkilat, tapi
hanya sejenak kemudian sudah lenyap kembali, diiringi tertawa jalang, dengan cepat dia
melepaskan juga seluruh pakaian yang dikenakan.
Setelah melirik sekejap ke arah tombak milik Cau-ji yang sudah berdiri kaku, kembali
perempuan itu berseru sambil tertawa terkekeh, "Wah, barang langka! Semoga saja ilmu
ranjangmu tidak lebih lemah daripada ilmu silatmu!"
Habis berkata dia langsung berbaring di atas ranjang sambil membuka sepasang pahanya
lebar-lebar. "Hahaha, tanggung kau pasti akan puas!" jawab Cau-ji sambil tertawa tergelak.
Habis berkata dia pun naik ke atas ranjang dan menindih di atas badannya.
"Serangan yang hebat!" teriak Ni Ceng-hiang sambil menggoyang pinggulnya keras-keras.
Bwe Si-jin kuatir Cau-ji kelewat memandang enteng musuhnya, cepat dia berseru lagi, "Cau-ji,
dia bernama Ni Ceng-hiang, bisa mencapai puncak sepuluh kali lebih, kau mesti melayaninya
dengan baik!"
"Hahaha, Toasiok, jangan kuatir, Cau-ji pasti akan membuatnya keenakan!"
Sambil berkata dia pun mulai mengembangkan serangan dengan gencar.
Ni Ceng-hiang merasakan tusukan pemuda itu penuh dengan tenaga hidup, setiap tusukan dan
cabutannya cepat, kuat dan mantap, sadar kalau lawannya merupakan jagoan berpengalaman, dia
pun segera menghimpun tenaga untuk melayani pertarungan dengan penuh tenaga.
"Plookkkk ... plook" di antara suara aneh yang bergema, waktu berjalan sangat cepat.
"Criiippp ... crreeet" makin kencang gesekan yang terjadi, makin keras desahan perempuan itu.
Entah berapa kali sudah dia mencapai puncaknya.
Bwe Si-jin mencoba memeriksa waktu, dia tahu kedua orang itu sudah bertempur hampir dua
jam lebih, selain menguatirkan kehebatan ilmu im-kang Ni Ceng-hiang, dia pun merasa kagum
pada ketangguhan anak muda itu.
Mendadak terdengar Cau-ji tertawa nyaring, sepasang tangannya bergerak cepat mengangkat
tinggi kedua pahanya, kemudian melancarkan tusukan berantai.
Di tengah tusukan yang semakin gencar, dia sertakan juga gesekan keras di dasar liang
perempuan itu, gesekan demi gesekan yang kencang membuat Ni Ceng-hiang menjerit makin
keras, akhirnya teriihat tubuhnya gemetar keras, cairan pun mulai meleleh keluar membasahi
permukaan ranjang.
Tergopoh-gopoh perempuan itu menarik napas membiarkan dasar liangnya melengkung lebih
ke dalam, dia mencoba menghindarkan diri dari serangan frontal.
Cau-ji sama sekali tak ambil peduli jurus kembangan macam apa yang akan dia gunakan, bagi
pemuda ini, dia hanya tahu menggempur! Gempur! Dan gempur terus! Prinsipnya dia
menggunakan tenaga dalam tingkat tinggi untuk melakukan tusukan itu.
Sekilas pandang orang akan mengira sepasang laki-perempuan itu sedang melakukan adegan
syuur yang membetot sukma, padahal kenyataan permainan itu dipenuhi hawa napsu membunuh
yang luar biasa, sedikit saja kurang berhati-hati, bisa jadi ada ancaman jiwa raga.
Dengan tegang Bwe Si-jin mengawasi pertempuran yang sedang berlangsung antara kedua
orang itu. 0oo0 Bab 6. Kaum sesat musnah, dunia aman.
Begitu melihat Ni Ceng-hiang yang semula merintih tiada hentinya dengan wajah merah padam
mendadak mulai mengatur pemapasan, dia tahu kalau perempuan itu segera akan menggunakan
ilmu im-kang untuk menghisap hawa kelakian lawan. Karena itu segera bentaknya, "Hati-hati!"
Ni Ceng-hiang tertawa dingin, dia seolah sedang mengejek, "Sudah terlambat!"
Tiba-tiba Cau-ji merasakan liang perempuan itu mulai menyusut kencang, seolah-olah seluruh
kepala tombaknya terbungkus oleh dasar liang dan mulai menghisapnya kuat-kuat, begitu
nikmatnya hisapan demi hisapan yang muncul membuat anak muda itu merasa sangat nikmat
sehingga beberapa kali nyaris melepaskan tembakan.
Cepat dia menarik napas panjang, lalu dengan menggunakan tehnik "menghisap" dari kui-goansinkang dia balas menghisap liang musuh,.
Begitulah, untuk beberapa saat kedua orang itu saling bertahan tanpa seorang pun yang
bergerak. Bwe Si-jin merasa sangat tegang, saking paniknya nyaris dia jatuh pingsan.
Lebih kurang setengah jam kemudian terlihat sekujur tubuh Ni Ceng-hiang mulai gemetar
keras, tiba-tiba jeritnya kaget, "Kau..."
Seketika itu juga paras mukanya berubah jadi pucat-pias bagaikan mayat, sekujur badannya
gemetar makin keras.
Dari getaran yang muncul pada dasar liangnya, Cau-ji tahu kalau perempuan itu sudah
mendekati puncaknya, tanyanya sambil tertawa, "Menyerah tidak?"
Ni Ceng-hiang sama sekali tak menyangka kalau pihak lawan meski masih muda usia namun
sanggup mengendalikan dirinya.
Merasa nyawanya berada di ujung tanduk, buru-buru serunya dengan gemetar, "Menyerah!
Menyerah! Siauhiap, ampuni jiwaku!"
"Hahaha, kalau begitu pulihkan dulu ilmu silat Bwe-toasiok."
Dalam keadaan begini, tentu saja Ni Ceng-hiang tak berani membangkang, telapak tangan
kanannya diayunkan berulang kali di udara dan membebaskan jalan darah kaku di tubuh Bwe Sijin,
kemudian serunya, "Engkoh Jin, tolong mendekatlah ke tepi pembaringan!"
Bwe Si-jin menurut dan segera mendekati pembaringan.
Ni Ceng-hiang segera mengayunkan telapak tangan kanannya, dalam waktu singkat ilmu silat
yang dimiliki Bwe Si-jin telah pulih kembali.
Sambil tertawa Bwe Si-jin manggut-manggut, ia segera duduk bersila sambil mengatur
pemapasan. Begitu melihat pamannya telah pulih kembali, dengan perasaan lega Cau-ji pun melanjutkan
kembali tusukannya.
"Plook ... plokkkk ...." ternyata Ni Ceng-hiang mengimbangi tusukan itu dengan goyangan
pinggulnya. Desahan napas, rintihan nikmat pun berkumandang memenuhi ruangan.
Perempuan itu sadar, walaupun untuk sementara dia berhasil lolos dari bencana kematian, tapi
setiap saat kemungkinan besar goan-im hawa perempuan miliknya bisa tersedot habis, oleh
karena itulah dia berusaha keras mengambil hati anak muda itu.
Sementara Cau-ji sendiri pun sudah mempunyai dua cara untuk menyelesaikan masalah ini,
asal Bwe-toasioknya telah sadar, maka keputusan pun bisa diambil, sebab itulah dia tidak
bertindak banyak.
Sepeminuman teh kemudian Bwe Si-jin telah berdiri lagi dengan tubuh segar.
Sambil menghentikan tusukannya, Cau-ji sambil tertawa, "Toa-siok, bagaimana kita selesaikan
perempuan ini?"
Menyaksikan sorot mata minta ampun yang terpancar dari mata Ni Ceng-hiang, Bwe Si-jin
segera menghela napas, katanya, "Siau-hiang, bukalah suara!"
"Engkoh Jin, tolong berilah satu kesempatan kepada Siaumoay untuk hidup baru!" pinta Ni
Ceng-hiang dengan suara gemetar.
Kembali Bwe Si-jin menghela napas panjang.
"Siau-hiang" katanya, "tentunya kau masih ingat bukan ketika kita sedang belajar silat kepada
Suhu, coba kalau bukan dirusak Su Kiau-kiau secara diam-diam, mungkin waktu itu aku sudah
meminangmu!"
Pandangan mata Ni Cing-hiang terlihat kabur, dia seolah sedang mengenang kembali kejadian
di masa silam. Kembali Bwe Si-jin berkata dengan lembut, "Siau-hiang, tentunya kau masih teringat dengan
kejadian di malam Tiong-ciu waktu itu bukan" Tatkala kita sedang asyik berhubungan badan, Su
Kiau-kiau telah menyingkirkan kau dengan siasat!"
"Tentu saja masih ingat," jawab Ni Ceng-hiang gemas, "sebetulnya malam itu dialah yang
mendapat tugas untuk menyerahkan kegadisannya, tapi dengan siasat dia justru menyuruh akulah
yang pergi menggantikan dirinya, sementara dia justru menikmati kehangatan tubuhmu!"
Perbincangan kedua orang ini seketika membuat mereka berdua terjerumus dalam kenangan
lama. Secara diam-diam Cau-ji meninggalkan tubuhnya, kemudian masuk ke kamar mandi untuk
membersihkan badan.
Tatkala dia balik kembali ke dalam kamar untuk berpakaian, kedua orang itu masih berbincang
dengan suara lirih.
Cau-ji segera mengenakan kembali pakaiannya dan mengambil Pedang pembunuh naga, baru
saja akan beranjak pergi, mendadak terdengar Bwe Si-jin berbisik, "Cau-ji, tetaplah tinggal di sini
menjadi saksi!"
"Toasiok, Cau-ji harus menjadi saksi apa?" tanya pemuda itu tercengang.
Sembari memeluk tubuh Ni Ceng-hiang yang tertunduk malu, dengan wajah bersungguhsungguh
ujar Bwe Si-jin, "Cau-ji, Toasiok berniat mengambil seorang istri lagi, tolong kau bisa
menjelaskan nanti bila bertemu adikTi!"
Cau-ji sadar, pamannya demi menyelamatkan keadaan sengaja mengawini Ni Ceng-hiang, agar
perempuan sesat ini dapat kembali ke jalan benar, karena itulah dengan sikap amat hormat dia
menyembah tiga kali di depan ranjang.
"Toasiok, Toacim, semua masalah serahkan saja kepada keponakan!"
Saking terharunya, air mata jatuh bercucuran membasahi wajah Ni Ceng-hiang, untuk beberapa
saat dia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Seusai berpakaian dan menyaru muka, Cau-ji pun beranjak pergi meninggalkan ruangan.
Baru keluar dari pintu, dia segera menyaksikan Im Jit-koh sedang bersembunyi di belakang
pintu sambil menggapai ke arahnya.
Dengan seksama anak muda itu memeriksa dulu sekeliling tempat itu, kemudian secepat kilat
menyelinap masuk ke dalam kamarnya.
"Tongcu, bagaimana masalahnya?" tanya Im Jit-koh dengan ilmu menyampaikan suara.
"Semuanya sudah beres," jawab Cau-ji sambil tertawa, "bukan saja ilmu silat kakakku sudah
pulih kembali, bahkan mereka berdua telah melupakan semua kejadian masa lampau, seterusnya
tak bakal ada masalah lagi."
"Ah, bagus sekali," Im Jit-koh menghembuskan napas lega, "ulah Hu-kaucu selama ini cukup
membuat hamba ketakutan setengah mati."
"Jit-koh, menyusahkan kau saja."
"Mana, Tongcu begitu baik kepada hamba, sudah sepantasnya bila aku pun berbuat untuknya!"
"Jit-koh, apakah sudah mendapat kabar tentang partai-partai besar?"
"Menurut laporan yang masuk, sepuluh tetua Bu-tong-pay sore nanti akan mengerahkan tigaempat
ratusan tukang kayu untuk mulai mendirikan barak di punggung bukit Gak-li-san,
tampaknya barak itu disiapkan untuk tempat menerima tamu!"
Cau-ji sama sekali tidak menyangka kalau Bu-tong-sip-lo yang punya kedudukan begitu
terhormat ternyata bersedia menyandang gelar sebagai mandor tukang kayu, maka kembali
tanyanya, "Apakah mereka telah melakukan sesuatu gerakan?"
'Tidak, mereka hanya melakukan pengamatan secara diam-diam, oleh karena Kaucu telah
menurunkan instruksi bahwa sebelum terjadinya pertarungan habis-habisan awal bulan depan,
semua orang dianjurkan sebisa mungkin menghindari bentrokan, daripada kerugian akan
bertambah besar."
"Ehm, masuk akal, kalau begitu perintahkan orang untuk menyiapkan hidangan dan arak di
dalam kamarku, aku bermaksud merayakan hari keberhasilan-ku ini."
Diloloh berulang kali oleh Cau-ji dan Bwe Si-jin, akhirnya Ni Ceng-hiang mabuk berat.
Setelah menidurkan perempuan itu di atas ranjang dan menutupinya dengan selimut, Bwe Si-jin
balik kembali ke tempat duduknya dan berkata sambil tertawa, "Cau-ji, tak kusangka kau berhasil
menyelesaikan semua persoalan di sini dengan lancar, terima kasih banyak!"
"Toasiok, di antara kita berdua kenapa mesti sungkan" Tapi ... benarkah Toasiok bermaksud
mengawininya"'
"Benar, jangankan di masa lalu Toasiok pernah berpacaran dengannya, ditambah lagi perangai
perempuan ini sebetulnya cukup baik, tentu saja Toasiok tak ingin dia terjerumus makin dalam
kejalan yang sesat."
"Toasiok, mungkin tidak dia mengacau secara diam-diam?"
"Seharusnya tidak, semisal dia menyesal, aku tetap masih bisa mengirimnya ke liang kubur.
Cau-ji, tempat ini serahkan saja kepadaku, sementara kau sendiri tak ada salahnya menciptakan
suasana teror dengan identitasmu sebagai Manusia pelumat mayat!"
"Bagus sekali!" seru Cau-ji kegirangan, "Toasiok, sebetulnya aku pun berniat melemahkan
semangat juang para cecunguk Jit-seng-kau dengan melakukan berbagai teror, hanya saja aku
tidak tahu di manakah mereka tinggal?"
"Ayo jalan, kita cari Jit-koh, dialah yang menyambut dan mengatur tempat tinggal orang-orang
itu." Ketika kedua orang itu sudah meninggalkan ruangan, Ni Ceng-hiang yang pura-pura tidur di
atas ranjang segera menangis dengan sedihnya.
"Ternyata Suheng benar-benar bersikap baik kepadaku," gumamnya, "padahal aku adalah
perempuan kotor dan hina, pantaskah aku mendampinginya?"
Berpikir sampai di situ, air mata yang meleleh keluar bertambah deras.
Tengah malam telah menjelang tiba, di luar kota Tiang-sah, di dalam gedung milik Liu-wangwe.
Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan hitam meluncur masuk dari luar dinding pagar sebelah kiri
dengan kecepatan bagaikan kilat, tak lama kemudian bayangan hitam itu sudah selesai
mengelilingi wilayah seluas tiga li itu.
Bayangan hitam itu tak lain adalah Cau-ji yang bersiap menebar teror.
Terlihat dia melayang turun di atas sebatang pohon yang rindang di tengah halaman, ia sedang
berpikir bagaimana cara untuk turun tangan.
Mendadak terdengar seseorang berkata, "Hei, Lo-ong, rupanya kau mengantuk, kalau sampai
tertangkap Hiocu baru tahu rasa kau!"
"Aduh, Lo-kiu, kenapa kau mesti berteriak keras, saat ini Hiocu sedang bermain cinta dengan
Siau Tho-ang, tak mungkin dia keluar kamar untuk inspeksi, tolong bantulah aku mengawasi
sekitar sini, aai ... aku merasa mengantuk sekali."
"Maknya, dasar mata keranjang, begitu melihat nona kau langsung seperti orang kehilangan
sukma, aku bilang, kalau kau tidak bisa mengendalikan diri, cepat atau lambat kau bakal mampus
di bawah selangkangan wanita."
"Cuhhh, cuuuh ... Lo-kiu, kau jangan bicara sembarangan, siapa suruh kau berlatih ilmu Kungoankhi-kang hingga tak berani menyentuh wanita."
"Hehehe, tahukah kau nona yang berada di Giok-hong-tong begitu menawan, bukan saja
orangnya cantik, kungfunya juga hebat, apalagi ilmu ranjangnya ...."
"Maknya, kalau ingin tidur cepatlah tidur, buat apa ngaco-belo tak keruan.."
Lelaki di sebelah kanan tertawa ringan, lalu bersiap tidur.
Mendadak terasa angin dingin berhembus, tahu-tahu Cau-ji dengan senyum dikulum telah
muncul di hadapannya. Terdengar pemuda itu berkata, "Hehehe, kalau ingin tidur, tidur saja
selamanya."
Secepat kilat tangan kanannya melancarkan sebuah bacokan ke depan.
"Blamm!", seketika itu juga orang itu sudah terhajar hancur.
Saking takutnya, sekujur badan Lo-kiu gemetar keras, ia merasakan seluruh tubuhnya lemas
dan tak mampu berkutik.
Melihat orang itu ketakutan sampai terkencing-kencing, Cau-ji segera menegur sambil tertawa
seram, "Lo-kiu, kau kemanakan ilmu Kun-goan-khi-kang?"
Ejekan itu seketika menyadarkan Lo-kiu dari rasa takutnya, cepat dia menjatuhkan diri bertutut
dan mohonnya, "Manusia pelumat mayat Cianpwe, hamba tidak melakukan kesalahan apa-apa
terhadapmu, mohon ampunilah nyawaku."
"Hehehe, siapa suruh kau bergabung dengan Jit-seng-kau?"
"Baik, baik, hamba segera akan keluar dari perkumpulan."
"Hehehe, mengingat kau tidak suka main perempuan, kali ini aku hanya minta telingamu saja
sebagai peringatan, cepat enyah dari sini."
"Baik, baik!"
Terdengar suara dengusan tertahan, tahu-tahu Lo-kiu sudah merobek sepasang telinganya dan
terhuyung-huyung kabur dari tempat itu.
Cau-ji sama sekali tak menyangka kalau julukannya sebagai Manusia pelumat mayat dapat
mendatangkan teror dan horor yang begitu dahsyat terhadap musuh-musuhnya.
Waktu itu di tengah ruang utama tampak ada dua-tiga puluhan orang sedang bersenda-gurau.
Ketika mendengar jeritan ngeri Lo-ong tadi, serentak kawanan jago itu bermunculan dari dalam
ruangan, betapa gusarnya orang-orang itu ketika melihat ada seorang pemuda tampan sedang
tertawa mengejek di depan pintu.
Tatkala mereka semakin dekat dan melihat tubuh Lo-ong yang hancur berantakan, kawanan
jago itu baru menjerit kaget, "Manusia pelumat mayat!"
Tanpa diperintah pun serentak orang-orang itu melompat mundur.


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cau-ji berhenti tertawa, perlahan-lahan dia mencabut Pedang pembunuh naganya, lalu
mengejek, "Ingat baik-baik, dalam penitisan mendatang janganlah melakukan kejahatan."
Habis berkata, pedangnya segera diayun dan menerjang ke arah kerumunan manusia itu.
Menghadapi datangnya ancaman, terpaksa kawanan jago itu menggigit bibir, melolos senjata
dan melakukan pengepungan.
Di antara kilatan cahaya tajam, jeritan ngeri berkumandang silih berganti.
Di mana jaring pedang menyapu lewat, hancuran tubuh beterbangan ke empat penjuru.
Tidak sampai tiga gebrakan, sudah ada dua puluhan manusia yang kehilangan nyawa.
Melihat begitu ganas dan buasnya sepak-terjang Manusia pelumat mayat, lima-enam puluhan
jago yang menyusul datang kemudian serentak mengambil Am-gi dan menimpuknya dengan
gencar bagaikan hujan deras.
Dengan tangan kanan memegang pedang, tangan kiri melancarkan pukulan, Cau-ji merangsek
maju, begitu lolos dari timpukan senjata rahasia, dia terjang kerumunan orang banyak itu dan
mulai melakukan pembantaian secara besar-besaran.
Dalam waktu singkat bangunan megah yang indah dan mewah itupun berubah jadi neraka
dunia, jaring pedang yang menyebar di udara seolah utusan setan pencabut nyawa, dalam waktu
singkat kembali tiga puluhan nyawa melayang.
Sedang asyik-asyiknya Cau-ji membantai kawanan jago yang sedang melarikan diri terbirit-birit,
mendadak terdengar suara derap kaki kuda yang santar berkumandang dari kejauhan, dia tahu
bala bantuan musuh telah datang, segera pemuda itu memperdengarkan suara pekikan yang
menusuk telinga.
Permainan pedangnya semakin diperketat, pembantaian pun berlangsung makin mengerikan.
Dalam keadaan seperti ini, kawanan jago itu hanya bisa menyesal mengapa orang tuanya
hanya memberikan sepasang kaki untuk mereka, sekalipun sekuat tenaga orang-orang itu
melarikan diri, namun korban yang berjatuhan di ujung pedang Cau-ji tetap banyak jumlahnya.
Selesai melakukan pembantaian, Cau-ji berdiri menanti di tengah halaman gedung, diawasinya
lelaki berbaju hitam yang baru melompat turun dari kudanya itu.
Ternyata jumlah mereka mencapai tiga puluh enam orang dan masing-masing memegang golok
panjang di tangan kanan dan tameng di tangan kiri.
Setelah memasuki halaman gedung, orang-orang itu melirik sekejap hancuran tubuh yang
berserakan di mana-mana, kemudian secepat kilat mengepung Cau-ji dari empat penjuru.
"Hehehe," Cau-ji tertawa seram, "besar juga nyali kalian, berani mengantar kematian di tempat
ini!" Seorang lelaki berbaju hitam yang berada di posisi tengah segera membentak keras, "Manusia
pelumat mayat, kau jangan merasa bangga dulu, coba buktikan dulu apakah hari ini kau bisa lolos
dari tangan Sah-cap-lak-thi-wi (tiga puluh enam pengawal baja)!"
"Hehehe, pengawal baja" Akan kulihat seberapa kerasnya tubuh kalian, ayo maju!"
"Serang!" mendadak orang itu membentak keras.
Serentak ketiga puluh enam orang itu bergerak maju melancarkan serangan bersama ke arah
Cau-ji. Diam-diam Cau-ji menghimpun tenaga dalamnya dengan mengalihkan perhatiannya ke ujung
pedang, dia sama sekali tak pandang sebelah mata pun terhadap orang-orang itu.
Di sinilah letak kepintaran bocah muda ini, sebab gerakan cepat barisan lawan gampang
menggoyahkan pikiran orang, semakin kau perhatikan maka kepalamu akan semakin pening,
pandangan matamu akan semakin berkunang.
Mendadak terdengar kawanan jago itu membentak nyaring, segera terlihat ada enam orang
bergulingan di atas tanah, dengan tameng melindungi badan, golok panjangnya dipakai untuk
membabat kaki Cau-ji.
Bersamaan itu ada enam orang lain melambung ke udara dan mengancam dari atas kepalanya.
Sementara enam orang lagi menyerang masuk dari samping mengancam jalan darah penting di
dada dan punggung lawan.
Cau-ji berpekik nyaring, tubuhnya melambung ke udara dan melesat sejauh lima tombak dari
posisi semula, begitu lolos dari kepungan kedelapan belas orang itu, dia lepaskan satu tusukan ke
dada seorang lelaki kekar.
Merasakan datangnya cahaya tajam, lelaki itu segera menyongsong dengan tamengnya,
sementara golok panjang di tangan kanannya menyapu ke iga kanan lawan.
"Bluuukkk ...!", disusul jerit kesakitan yang memilukan.
Lelaki itu berikut tamengnya tercabik-cabik oleh jaring pedang yang mengurungnya.
"Criiing ...!", tersisa golok panjangnya yang segera jatuh ke lantai.
Para jago lainnya sama-sama menjerit kaget begitu melihat tameng pelindung badan mereka
ternyata ibarat kayu lapuk yang sama sekali tak ada gunanya, kontan barisan pun jadi kalut.
Menggunakan kesempatan yang sangat baik inilah Cau-ji segera mengembangkan serangan
pedang maupun pukulannya.
Jeritan ngeri pun bergema silih berganti.
Hancuran badan, ceceran darah berhamburan mengotori seluruh permukaan tanah.
Dua puluhan gadis Giok-hong-tong yang semula berniat membantu rekan-rekannya yang
sedang bertempur jadi ketakutan setengah mati setelah menyaksikan kehebatan ilmu silat Cau-ji,
bukannya maju membantu, perempuan-perempuan itu justru bersembunyi di dalam kamar karena
ketakutan. Setengah jam kemudian jago-jago yang tersisa pun semakin tercecar hebat, tak lama kemudian
mereka ikut punah dengan badan hancur-lebur.
Cau-ji tertawa seram, dengan gerakan cepat dia menerobos masuk ke dalam ruangan,
kemudian dengan kejinya dia menghabisi semua perempuan anggota Giok-hong-tong yang berada
di situ. Menjelang pagi hari terlihat api berkobar dengan ganasnya membakar bangunan gedung yang
megah dan mewah itu.
Dalam waktu singkat lautan api yang membara telah menyelimuti seluruh udara.
Diiringi tertawa seram, Cau-ji pergi meninggalkan tempat itu.
0oo0 Selama beberapa hari berikutnya, secara beruntun Cau-ji menyatroni gedung yang digunakan
Jit-seng-kau untuk menampung anggotanya, baik fajar atau malam, pembunuhan berdarah terjadi
di mana-mana. Setiap kali habis melakukan pembunuhan, Cau-ji pun lenyap jejaknya.
Begitulah, dalam waktu singkat ada tujuh-defapan ratus orang anggota Jit-seng-kau yang
menemui ajalnya.
Sebagian anggota jit-seng-kau yang melihat gelagat tidak menguntungkan, secara diam-diam
kabur meninggalkan induknya.
Tengah hari itu, Su Kiau-kiau bersama Ngo-hong-tong Tongcu si dewi burung hong dengan
mengajak tiga orang kakek berusia delapan puluh tahunan yang berdandan aneh tiba di rumah
makan Jit-seng-ciu-lau.
Bwe Si-jin segera menemani Ni Ceng-hiang dan Im Jit-koh menyambut kedatangan kelima
orang itu masuk ke dalam ruang rahasia.
Tatkala Su Kiau-kiau memperkenalkan ketiga rekan yang dibawanya, diam-diam Bwe Si-jin
merasa terperanjat sekali.
Dia sama sekali tak menyangka kalau tiga siluman dari wilayah Biau ternyata masih hidup, dia
lebih kuatir lagi ketika mengetahui bahwa ketiga jago itu merupakan jago yang lihai dalam
menggunakan racun.
Ketika Su Kiau-kiau mendapat tahu kalau Manusia pelumat mayat telah melakukan
pembunuhan secara besar-besaran, bahkan telah memusnahkan ratusan jagonya, dalam terkejut
dan ngerinya dia pun segera memohon bantuan dari tiga manusia siluman itu.
Setelah tertawa seram berulang kali, terdengar siluman pertama berkata, "Kaucu, tak ada
salahnya kita gunakan cara yang sama untuk membalas mereka, bagaimana kalau kita habisi dulu
para jago dari partai besar?"
"Hebat!" sahut Su Kiau-kiau gembira, "kalau begitu aku serahkan semua masalah ini kepada
kalian bertiga dewa hidup!"
Siluman pertama tertawa terkekeh, sambil memeluk tubuh Su Kiau-kiau, katanya lagi, "Sayang,
besok pagi aku akan mulai turun tangan terhadap mereka."
Sembari berkata, sepasang tangannya mulai menggerayang badan perempuan itu.
Siluman kedua segera melirik sekejap ke arah Ni Ceng-hiang, lalu sambil tertawa dia menggapai
ke arahnya. Biarpun merasa muak dalam hati, Ni Ceng-hiang berlagak seolah-olah tidak mengerti.
"Sumoay," seru Su Kiau-kiau kemudian tertawa jalang, "Lo-sinsian ingin menyayangimu,
hehehe" Baru saja Ni Ceng-hiang hendak menampik dengan alasan badannya tak sehat, tahu-tahu
siluman kedua telah menggapaikan tangan kanannya, tak tahan lagi tubuhnya terhisap sehingga
maju selangkah ke depan.
Menghadapi kejadian seperti ini, diam-diam dia pun menghela napas panjang, kemudian
berjalan mendekat.
Bwe Si-jin yang menyaksikan kejadian itu merasa amat gusar, namun dia tak berani
mengumbar hawa amarahnya, terpaksa sambil menahan rasa mendongkol dia pun mengundurkan
diri dari kamar.
Berhubung Su Kiau-kiau telah balik, walaupun Bwe Si-jin masih melakukan kontak dengan Cauji,
namun dia tak berani bertindak sembarangan.
Dari mana dia tahu kalau saat itu Cau-ji sedang menyamar menjadi seorang sastrawan berusia
pertengahan dan duduk di atas loteng Jit-seng-ciu-lau sambil meneguk arak"
Ketika melihat kemunculan tiga siluman dari wilayah Biau, dia seketika tertarik perhatiannya
oleh dandanan serta gerak-gerik ketiga orang itu, saat itu dia sedang berusaha mendekati orangorang
itu. Berhubung identitasnya sebagai Hek Hau-wan telah disiarkan sebagai jelmaan dari Manusia
pelumat mayat, saat ini dia pun kehabisan akal untuk mencari peluang itu.
Sementara dia masih pusing tujuh keliling, mendadak terlihat Im Jit-koh sedang berjalan
menuju ke meja kasir, dengan perasaan girang segera bisiknya dengan ilmu menyampaikan suara,
"Jit-koh, aku berada di atas loteng!"
Habis berkata, dia pun berteriak keras, "Pelayan, siapkan sepoci arak lagi!"
Im Jit-koh segera menyahut, sambil membawa sepoci arak ia berjalan menghampirinya.
Sambil tersenyum Cau-ji manggut-manggut, tiba-tiba ia saksikan Im Jit-koh menjatuhkan
segulung kertas ketika sedang mengambilkan mangkok baginya, kemudian menindih gulungan
kertas itu dengan poci arak.
"Apakah tuan masih menghendaki sesuatu?" tanyanya nyaring.
"Cukup, kalau perlu aku akan memanggil lagi."
Menggunakan kesempatan ketika orang tidak menaruh perhatian, diam-diam Cau-ji membuka
gulungan kertas itu dan membaca isinya:
"Besok pagi Jit-seng-kau akan mulai menyerang partai-partai besar!"
Diam-diam Cau-ji terkesiap, cepat dia simpan kertas itu dalam saku, lalu sambil meneguk arak
dia mulai putar otak mencari akal.
Akhirnya cepat dia membayar rekening, kemudian berangkat menuju ke bukit Gak-li-san.
Gunung Gak-li-san terletak di samping sungai Leng-kang, bukan saja pemandangan sangat
indah, bahkan bisa ditempuh baik lewat jalan darat maupun jalan air.
Setelah menyeberangi sungai, Cau-ji segera menelusuri jalan perbukitan dan menuju ke puncak
gunung. Sepanjang jalan seringkali ia mendengar suara kicauan burung dari balik pepohonan, Cau-ji
tahu kalau suara itu bukan kicauan burung melainkan kode rahasia petugas yang berjaga di sana,
karenanya sambil tersenyum kembali ia melanjutkan perjalanan.
Ketika tiba di punggung bukit, segera terlihatlah pagar kayu yang tinggi menghadang
perjalanan selanjutnya, di antara pagar kayu itu terdapat sebuah pintu, di atas pintu tergantung
papan nama yang berbunyi, "Khe-sim-jut-mo" (bersatu-padu membasmi iblis).
Baru saja dia akan melangkah masuk ke pintu pagar itu, tampak seorang Tosu dan seorang
Hwesio muncul menghadang jalan perginya.
Tampak Hwesio berusia tiga puluh tahunan itu menegur,
"Omitohud, boleh tahu siapa nama Sicu" Ada urusan apa datang kemari?"
"Aku dari marga Ong dengan julukan Manusia pelumat mayat, khusus datang kemari untuk
turut serta membasmi kaum iblis!"
Begitu mendengar gelar itu, kedua orang itu nampak sangat terperanjat, dengan mata
terbelalak lebar jeritnya, "Manusia pelumat mayat?"
"Benar, tolong tanya apakah It-ci Lo-siansu dan Goan-tong Ciangbunjin berada di sini juga?"
Mendengar pertanyaan ini, Hwesio itu segera tahu kalau orang ini tak lain adalah Ong-kongcu
yang pernah menyelamatkan biara mereka dari bencana.
Sahutnya cepat dengan sikap hormat, "Silakan Sicu mengikuti Pinceng!"
Cau-ji diajak menelusuri bangunan rumah yang berderet-deret sepanjang jalan sebelum
akhirnya tiba di sebuah bangunan yang luas.
Tampak Hwesio itu melanjutkan perjalanan ke dalam ruangan, tampaknya dia sedang memberi
laporan. Tak lama kemudian terdengar sorak-sorai bergema dari balik ruangan diikuti munculnya
segerombol manusia.
Begitu dilihat, Cau-ji merasa amat terperanjat, ternyata orang yang berjalan paling muka tak
lain adalah ayahnya, Ong Sam-kongcu.
Sesudah tertegun sejenak, akhirnya cepat dia hapus penyaruannya dan berlutut sambil
memanggil, "Ayah!"
Dengan wajah berseri Ong Sam-kongcu membangunkan putranya.
"Cau-ji" katanya, "mari kukenalkan beberapa orang Cianpwe!"
Di depan pintu ruangan tampak ada puluhan orang sedang berdiri di sana sambil mengawasi ke
arahnya dengan senyum dikulum, biar dia bernyali besar pun tak urung terkesiap juga dibuatnya.
Oleh Ong Sam-kongcu, dia diperkenalkan kepada Ciangbunjin sembilan partai besar, ketua Kaypang,
serta kawanan jago lainnya, ketika melihat tiga bersaudara Cu serta Thian-te-sian-lu pun
berada di sana, Cau-ji sempat tertegun karena kaget.
Dengan wajah memerah karena malu, Cu Bi-ih menegur sambil tersenyum, "Kongcu, mari
kuperkenalkan dirimu dengan tiga puluh enam pengawal pribadi ayahku."
"Cau-ji," sambung Ong Sam-kongcu cepat, "para Cianpwe ini dulunya adalah para Enghiong
Hohan kenamaan, kau tak boleh lupa adat!"
Begitulah satu per satu Cu Bi-ih memperkenalkan pengawalnya kepada Cau-ji. Ketika melihat
Suto bersaudara, Siang bersaudara serta Siau-hong pun hadir di sana, pemuda itu segera
menyapa, "Baik-baikkah kalian."
"Saudara-saudara sekalian," terdengar Ong Sam-kongcu berkata lagi sambil tersenyum,
"kedatangan putraku hari ini pasti ada urusan penting yang hendak disampaikan kepada kalian,
mari kita berbicara di dalam ruangan saja."
Semua orang mengangguk tanda setuju, maka Ong Sam-kongcu dengan memimpin para jago
masuk ke dalam ruangan.
Cu bersaudara dengan statusnya sebagai tuan putri sebetulnya duduk di sisi kanan Ong Samkongcu,
kini secara otomatis bergeser ke samping berhubung It-ci Taysu telah memaksa Cau-ji
untuk duduk di posisi Cu Bi-ih itu.
Jelas para jago pun tahu kalau ketiga tuan putri itu telah dijodohkan kepada Cau-ji.
Terdengar Ong Sam-kongcu bertanya dengan lantang, "Cau-ji, selama beberapa hari ini ada
beratus orang anggota Jit-seng-kau yang mati terbunuh, apakah semua pembantaian itu
merupakan hasil karyamu?"
"Benar, mohon maafkan tindakan ananda!"
"Hahaha, membasmi kejahatan sesungguhnya merupakan suatu perbuatan mulia, hanya saja
caramu turun tangan kelewat telengas dan kejam!"
"Soal ini.."
"Omitohud!" sela It-ci Taysu tiba-tiba, "Ongya, Jit-seng-kau sudah kelewat jahat dan kejam,
apabila putramu tidak bertindak telengas, mungkin mereka tak akan keder."
Tertegun Cau-ji mendengar pendeta itu menyebut ayahnya sebagai Ongya.
Melihat itu Ong Sam-kongcu segera berlagak pilon, tampaknya dia masih ingin merahasiakan
masalah ini, maka tanyanya sambil tersenyum, "Cau-ji, secara tiba-tiba kau menyusul kemari,
apakah ada urusan penting yang harus dilaporkan" Bagaimana keadaan Bwe-toasiok?"
"Ayah, saat ini Bwe-toasiok masih menyusup di rumah makan Jit-seng-ciu-lau, tengah hari tadi
ketua Jit-seng-kau tiba-tiba balik ke rumah makan dengan membawa tiga orang kakek berdandan
aneh, menurut laporan, besok siang mereka akan melancarkan serangan ke tempat ini!"
Mendengar laporan ini, semua orang jadi terperanjat.
"Cau-ji" kata Ong Sam-kongcu kemudian, "tahukah kau akan asal-usul dari ketiga orang kakek
itu?" Cau-ji menggeleng.
"Ananda tidak tahu, tapi ananda masih ingat bagaimana wajah serta dandanan mereka."
Bicara sampai di situ, dia pun segera menjelaskan secara terperinci.
Begitu mendengar penuturan bocah itu, Leng Bang segera berteriak keras, "Ah, rupanya Tiga
siluman dari wilayah Biau, tak disangka mereka masih hidup di dunia ini!"
Sebagian besar jago yang hadir di tempat itu belum pernah berjumpa dengan Tiga siluman dari
wilayah Biau, namun sudah sering mendengar sepak terjang serta perbuatan busuk yang mereka
lakukan, ketika melihat Leng Bang menunjukkan mimik muka begitu kaget, paras muka mereka
pun ikut berubah.
Terdengar Leng Bang berkata dengan serius, "Sebelum Lohu suami-istri bergabung dengan
istana, suatu ketika pernah bertempur sengit melawan mereka bertiga, gara-gara pertarungan itu
nyaris kami berdua kehilangan nyawa."
"Berbicara soal ilmu silatnya," sambung Chin Tong, "sekalipun termasuk aliran sesat dan aneh,
kemampuan kita semua masih sanggup menghadapinya, yang dikuatirkan justru ilmu racunnya."
Bagi kawanan jago dunia persilatan, "racun" merupakan musuh yang paling ditakuti, tak heran
kalau hati semua orang bergetar keras mendengar ucapan itu.
Tiba-tiba Cu Bi-ih bertanya, "Congkoan, apakah pil Cay-seng-wan mampu mencegah
bekerjanya pengaruh racun?"
"Bisa," jawab Chin Tong cepat, "hanya saja bukankah pil itu merupakan obat mestika miliki
nona bertiga."
"Demi kepentingan umum, ambil dan cairkan ke dalam air, kemudian bagikan kepada para
Cianpwe." Betapa terharu dan terima kasihnya kawanan jago itu mendengar perkataan ini.
Setelah Thian-te-sian-lu memberi penjelasan tentang ilmu silat yang dimiliki ketiga siluman dari
wilayah Biau, Ong Sam-kongcu mulai mengajak para jago memikirkan cara terbaik untuk
menghadapinya, sementara Chin Tong bersama para nona pergi menyiapkan air yang telah
dicampuri pil Cay-seng-wan.
Selesai bersantap malam dan minum air yang bercampur pil Cay-seng-wan, para jago pun
kembali ke kamar masing-masing untuk mengatur pemapasan.
Dengan susah-payah Cau-ji menunggu hingga semua orang sudah meninggalkan ruang
pertemuan, ketika sekelilingnya tinggal Siang Ci-ing, Suto bersaudara serta Siau-hong, dia baru


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanya kepada ayahnya mengapa bisa menjadi Ongya.
Sambil tertawa terbahak-bahak sahut Ong Sam-kongcu, "Cau-ji, ayahmu bisa terhormat garagara
dirimu." "Ayah, ananda.tidak paham maksud perkataanmu itu."
"Hahaha, Cau-ji, seandainya kau tidak menolong biara Siau-lim serta menyelamatkan nyawa
nona-nona dari keluarga Cu, mana mungkin mereka bisa memperjuangkan gelar kehormatan serta
posisi tertinggi dalam sejarah dunia persilatan bagiku?"
Cau-ji semakin tercengang dibuatnya, buru-buru dia melirik sekejap ke arah para gadis,
kemudian tanyanya, "Ayah, apakah kau mengetahui asal-usul para nona keluarga Cu?"
"Tentu saja tahu! Sungguh tak kusangka meski merupakan keturunan kaum ningrat, namun
mereka sama sekali tidak memperlihatkan kesombongan, bahkan pandangannya jauh ke depan.
Cau-ji, mungkin ini memang merupakan rejekimu, baik-baiklah memanfaatkan kesempatan!"
"Ayah, aku dengar ada peraturan dari kerajaan yang melarang tuan putri menikah dengan
rakyat biasa, khususnya orang-orang persilatan, aku rasa hal ini kurang begitu cocok!"
"Hahaha, berkat kemurahan hati Baginda raja, ditambah lagi ketajaman mata ketiga tuan putri,
begitu perkumpulan Jit-seng-kau berhasil dimusnahkan, kami keluarga Ong segera akan
menyelenggarakan pesta perkawinan. Hahaha"
Merah padam wajah Cau-ji mendengar perkataan itu, begitu pula dengan Suto bersaudara
sekalian berempat.
Sambil tersenyum, kembali Ong Sam-kongcu bertanya, "Cau-ji, selain anak Ing, anak Si, anak
Bun serta anak Hong, apakah di luaran kau masih mempunyai nona lainnya?"
Dari sebutan yang digunakan ayahnya, Cau-ji tahu kalau nona-nona itu sudah diterima secara
resmi, dengan hati gembira buru-buru sahutnya, "Ayah, mana berani ananda mencari nona lain
lagi?" "Cau-ji, baru keluar rumah beberapa hari, kau sudah mendapat tujuh orang nona, bila tidak
sedikit dikendalikan, kemungkinan besar kau bisa mengalahkan rekor ayahmu."
"Ananda tidak berani, karena dipaksa keadaan ananda mendapatkan nona-nona itu, tentang
keadaan yang sesungguhnya biar Bwe-toasiok yang menjelaskan kepadamu, terutama
menghadapi ketiga tuan putri, ananda selalu berusaha menjaga jarak!"
Tiba-tiba Ong Sam-kongcu berbisik dengan ilmu menyampaikan suara, "Cau-ji, kau memang
hebat sekali, apa yang telah kau lakukan hingga ketiga tuan putri mengejar dirimu?"
Habis berkata ia segera mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
Keempat nona itu menyangka Ong Sam-kongcu sedang menertawakan mereka, hal ini
membuat mereka semakin jengah.
Cau-ji sendiri hanya termenung sambil tertawa bodoh.
Tiba-tiba tampak Leng Bang muncul dari dalam ruangan.
Ong Sam-kongcu segera menghentikan tawanya seraya bertanya, "Leng tua, kau belum
beristirahat?"
"Ongya," sahut Leng Bang sambil tersenyum, "bolehkah putramu berbincang sebentar dengan
ketiga tuan putri kami?"
"Hahaha, Leng tua, itu kan urusan muda-mudi, aku tidak ikut campur."
Sekalipun berkata begitu, namun dia manggut-manggut juga ke arah Cau-ji tanda setuju.
Cau-ji segera mengalihkan pandangan matanya ke wajah keempat gadis itu, melihat Siang Ciing
maupun Suto bersaudara mengangguk sambil tersenyum, hatinya jadi lega, dia pun segera
beranjak pergi mengikut di belakang Leng Bang.
Setelah keluar dari ruangan, mereka berdua menuju ke sebuah bilik di sisi kanan, setelah
mengangguk kepada dua orang pengawal, mereka pun melangkah masuk ke dalam ruangan.
Chin Tong serta tiga bersaudara Cu segera bangkit menyambut.
Dengan wajah merah padam Cau-ji mengambil tempat duduk, untuk sesaat dia tak tahu
bagaimana harus buka suara.
"Huma (menantu raja)!" kata Leng Bang sambil tertawa tergelak, "apakah kau yakin
menghadapi pertempuran esok hari?"
"Cianpwe," sela Cau-ji dengan wajah semu merah, "kenapa kau panggil aku dengan sebutan
itu?" "Hahaha, Baginda telah menganugerahkan gelar Ongya kepada ayahmu, berarti rintangan di
hadapan kalian pun sudah disingkirkan, begitu Jit-seng-kau dilenyapkan, bukankah kalian segera
akan menikah di kota raja."
"Terima kasih atas bantuan Cianpwe."
"Lohu tidak berani merebut jasa ini, semuanya berjalan lancar berkat bantuan ketiga tuan putri
serta permaisuri, sudah, kalian boleh berbincang-bincang, sudah menjadi orang sendiri, tak perlu
sungkan." Habis berkata, bersama Chin Tong segera ia mengundurkan diri dari ruangan.
Kini tinggal empat orang yang masih berada dalam ruangan, namun mereka semua tenggelam
dalam rasa malu hingga tak seorang pun yang buka suara.
Lama kemudian akhirnya Cau-ji memberanikan diri buka suara, tiba-tiba dilihatnya Cu Bi-ih pun
sedang bersiap bicara, maka buru-buru serunya, "Tuan putri, silakan bicara dulu."
"Kongcu, silakan kau dulu," jawab Cu Bi-ih jengah.
Cau-ji menarik napas panjang, setelah menenangkan hati ia berkata sambil tersenyum, "Tuan
putri, terima kasih banyak karena kalian telah mengangkat derajat keluarga Ong."
"Kongcu, sepak terjang Jit-seng-kau sudah sangat meresahkan kehidupan rakyat banyak,
bagaimana pun sudah sewajarnya bila Ongya menerima gelar ini atas jasa-jasanya."
"Kongcu, bukannya aku sedang mencari simpatik darimu, sejujurnya masalah gelar bukanlah
sesuatu yang gampang diperoleh, karena sebelum kejadian ini memang tak pernah ada peristiwa
semacam ini. "Untuk menghindari perdebatan di antara para menteri, sebelum mengambil keputusan soal
gelar, kami telah membicarakan dulu dengan para perdana menteri.
"Sejujurnya, apa yang kami lakukan selama ini tak lepas dari kepentingan kami sendiri, karena
itu kami berharap Kongcu bisa menerima kehadiran kami bertiga"
Luar biasa, ungkapan perasaan secara blak-blakan!
"Cici," seru Cau-ji serius, "padahal Siaute tak mempunyai kemampuan apa-apa, tak disangka
kalian bertiga bisa begitu menyayangi aku. Siapa bilang menolak" Untuk merasa senang pun
Siaute tak sempat."
"Hanya saja Siaute perlu kemukakan terlebih dulu, dalam pandangan Siaute Cici bertiga sama
seperti kelima Cici lainnya, Siaute tak akan bersikap lebih hormat hanya dikarenakan status Cici
bertiga adalah tuan putri."
"Tidak berani!" buru-buru ketiga nona itu menyahut.
Dengan perasaan amat girang Cau-ji segera menggenggam tangan ketiga nona itu sambil
berseru lembut, "Cici, terima kasih banyak!"
Ketiga nona itu tertegun begitu tangannya dipegang Cau-ji, mereka merasakan pergolakan
perasaan yang aneh.
Cau-ji tidak tinggal diam, cepat dia peluk Cu Bi-ih dan langsung mencium bibirnya.
Ternyata Cu Bi-ih menyambut ciuman itu dengan pasrah, bahkan sambil memejamkan mata dia
balas mencium pemuda itu.
Begitulah secara bergantian Cau-ji menciumi ketiga gadis itu....
Entah beberapa saat sudah lewat, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara pertarungan yang
berkumandang datang dari arah lapangan.
Buru-buru mereka berempat keluar dari kamar dan menyusul ke tempat kejadian.
Tampak ratusan orang berbaju hitam sedang terlibat dalam pertarungan sengit melawan para
jago. Begitu Ong Sam-kongcu melihat kemunculan Cau-ji, ia segera berseru dengan ilmu
menyampaikan suara, "Cau-ji, kau jangan turun tangan dulu!"
Melihat Suto bersaudara berempat berdiri di samping Ong Sam-kongcu, Cau-ji segera mengajak
tiga orang bersaudara Cu menyusul ke sana, tanyanya, "Ayah, kenapa ananda tak boleh turun
tangan?" "Cau-ji, kedatangan orang-orang itu hanya ingin menyelidiki kekuatan kita, jadi cukup diladeni
para jago saja. Coba lihat, betapa kosennya ketiga puluh enam pengawal itu!"
Ketika semua orang mengalihkan pandangan mata ke tengah arena, terlihatlah ketiga puluh
enam jago lihai dari istana itu, di bawah petunjuk Thian-te-sian-lu telah membentuk sebuah
barisan untuk membendung datangnya serangan musuh.
Berhubung mereka merupakan jago-jago berilmu tinggi, ditambah pula ilmu barisan yang
digunakan pun sangat hebat, tak sampai beberapa saat kemudian ketiga puluhan jago Jit-sengkau
berhasil ditumpas.
Melihat serangan musuh begitu tangguh, mendadak salah satu dari manusia berbaju hitam itu
berseru, "Mundur!"
Kemudian bagaikan air bah segera mengundurkan diri dari sana.
Ketiga puluh enam jago keraton itu segera membentak nyaring, barisan mereka dibentangkan
makin lebar, dalam waktu sekejap ada dua puluhan orang yang kurang cepat larinya seketika
terkurung dan tak mampu melarikan diri.
Selang beberapa saat kemudian di tengah jerit kesakitan yang menyayat hati, dua puluhan jago
Jit-seng-kau berhasil dimusnahkan.
Dengan buyarnya serangan musuh, ketiga puluh enam pengawal istana pun ikut mundur dari
arena pertarungan, sementara Leng Bang dan istrinya berjalan mendekat sambil tertawa tergelak.
"Cianpwe, hebat sekali ilmu barisanmu!" seru Ong Sam-kongcu sambil menyongsong
kedatangannya. "Hahaha, Ongya kelewat memuji, semuanya ini merupakan hasil didikan Toakongcu!" ujar Leng
Bang sambil tertawa.
"Ooh, benarkah itu anak Ih?" tanya Ong Sam-kongcu sambil berpaling ke arah Cu Bi-ih.
Tak terlukiskan rasa girang Cu Bi-ih setelah mendengar panggilan itu, buru-buru sahutnya
dengan hormat, "Ayah, ananda senang mengatur barisan, hanya permainan kecil!"
"Bagus, bagus sekali," kata Ong Sam-kongcu, kemudian dia pun mengajak para jago
menjenguk korban terluka.
Sementara Cu Bi-ih pun berbisik, "Adik Cau, Cici semua, mari ikut aku."
Setelah berada dalam ruangan, Cu Bi-ih kembali berkata, "Adik Cau, Cici semua, setelah
menyaksikan pertarungan tadi, timbul keinginanku untuk menciptakan sebuah ilmu barisan baru,
mari kita rundingkan bersama."
Habis berkata, dia pun membuat gambar barisan delapan dewa dan mulai menjelaskan selukbeluknya.
Semua orang memperhatikan dengan seksama, setengah jam kemudian semua orang sudah
mengerti, maka dilakukan pembagian tugas, Cau-ji yang berilmu paling tinggi bertugas menjadi
ujung tombak, sementara Siau-hong yang kungfunya paling cetek bertugas membantu mana yang
perlu. Selesai pembagian tugas, mereka berdelapan pun mulai melakukan latihan.
Setelah berlatih hampir satu setengah jam lamanya, barisan itu mulai dapat berjalan dengan
lancar. Baru saja mereka hendak berhenti berlatih, mendadak terdengar Leng Bang berseru sambil
tertawa, "Lihat serangan!"
Ternyata dia bersama Chin Tong dan sepuluh jago istana melancarkan serangan dari empat
penjuru. Barisan delapan dewa ternyata memang sangat luar biasa, serangan demi serangan yang
dilancarkan seolah membentuk selapis dinding hawa murni yang tak berwujud, bukan saja gagal
menyarangkan pukulannya, bahkan timbul tenaga pantulan yang membuat mereka kelabakan.
Dalam keadaan begini, terpaksa para jago harus berkelit kian kemari.
"Berbalik!" tiba-tiba Cau-ji membentak keras.
Di antara berkelebatnya bayangan manusia, dalam waktu singkat Leng Bang berdua belas
orang malah terkepung rapat di tengah barisan.
Leng Bang sekalian segera merasakan tubuh mereka seolah diombang-ambingkan di tengah
gelombang dahsyat, dari empat penjuru seakan timbul tenaga pukulan yang dahsyat, hal ini
membuat kawanan jago itu kelimpungan.
Mereka merasa tenaga yang menekan datang semakin menghimpit, napas pun makin berat dan
tersengal. Cau-ji melirik sekejap ke arah para jago yang waktu itu berkumpul di sana makin banyak,
serunya, "Mohon petunjuk dari Cianpwe sekalian!"
Sambil tersenyum Ong Sam-kongcu segera memberi tanda, ketua Kay-pang, Ciangbunjin dari
sembilan partai serta belasan jago serentak membentak nyaring dan menerjang dalam barisan.
Dua puluhan jago itu terhitung tokoh kelas satu dalam dunia persilatan saat ini, tentu saja
kekuatan mereka luar biasa hebatnya.
Dihimpit oleh kekuatan yang datang dari luar dan dalam, barisan delapan dewa mulai
menunjukkan kekalutan.
Untung ilmu silat yang dimiliki Cau-ji sangat hebat, dengan menggunakan jari tangan sebagai
pengganti Pedang pembunuh naga, dia mulai melawan dengan ilmu pedang andalannya itu,
sepeminuman teh kemudian keadaan barisan itu makin stabil.
Menyusul kemudian daya kekuatannya pun mulai tampak.
Setengah jam berikutnya keadaan para jago mulai tercecar, dengus napas mereka pun
terdengar makin berat.
"Hati-hati para Cianpwe!" tiba-tiba Cau-ji tertawa nyaring, "bubar!"
Barisan itupun segera ditarik kembali, sementara kedelapan muda-mudi itu hanya berdiri
dengan tersenyum.
Sambil menjura kepada para jago, Cau-ji pun berkata, "Terima kasih banyak atas petunjuk para
Cianpwe" "Hebat, mengagumkan!" sahut para jago sambil menjura.
"Hahaha, malam sudah kelam, mari kita pergi beristirahat," sela Ong Sam-kongcu kemudian
sambil tertawa tergelak.
0oo0 Tengah hari telah menjelang, angin utara berhembus kencang, awan tebal pun menyelimuti
angkasa, membuat langit terasa gelap gulita.
Para jago sarapan lebih awal, kemudian mereka pun bersemedi sambil menghimpun kekuatan.
Suasana di tanah perbukitan terasa hening sekali, kecuali deru angin utara, nyaris tak terdengar
suara apa pun. Tiba-tiba terdengar suara tertawa seram berkumandang dari kejauhan.
Dengan wajah serius para jago serentak berlari menuju ke tengah lapangan, tampak Ong Samkongcu
berdiri di posisi tengah dan dikelilingi oleh Cau-ji, ketujuh gadis serta Ciangbunjin dari
partai-partai besar.
Di sayap kiri berdiri dua ratusan jago dari berbagai aliran, sementara di sayap kanan berjajar
Thian-te-sian-lu serta tiga puluh enam jago istana.
Suara pekikan makin lama semakin nyaring, sepeminuman teh kemudian terdengar suara
benturan keras memekakkan telinga, tahu-tahu papan nama yang tergantung di depan pagar kayu
telah hancur dan berhamburan ke mana-mana.
"Sreeeet...!", enam sosok lelaki berdandan aneh, berwajah menyeramkan tahu-tahu sudah
memasuki lapangan dengan langkah lebar, mereka berhenti lebih kurang lima tombak di hadapan
para jago. Suara pekikan makin lama makin bertambah nyaring, terlihat tiga buah tandu mewah muncul
dari balik reruntuhan pagar kayu.
Kemudian terlihat ratusan lelaki berdandan aneh menyebar di belakang ketiga tandu itu dengan
membuat posisi kipas, sedang lima ratusan lelaki berbaju hitam lainnya tersebar di kedua sisi
mereka. Bwe Si-jin dengan pakaian serba hitam serta Im Jit-koh segera tampil membuka tirai yang
menutupi ketiga tandu mewah tadi, terlihat tiga siluman dari wilayah Biau sambil memeluk tubuh
Su Kiau-kiau, Ni Ceng-hiang dan Un Bun melompat keluar dari balik tandu.
Ternyata mereka memang tak malu disebut siluman, biarpun sedang maju perang, tidak lupa
tetap memeluk wanita cantik.
Dengan langkah genit Su Kiau-kiau segera tampil ke depan, setelah memandang sekejap
kawanan jago itu, serunya, "Aduh mak, ternyata semua jago telah berkumpul di sini, hebat, hebat
sekali." "Su-kaucu" ujar Ong Sam-kongcu lantang, "dulu mengingat kau adalah seorang wanita, umat
persilatan pernah mengampuni jiwamu satu kali, seharusnya kau manfaatkan kesempatan itu
untuk memperbaiki diri, kenapa malah menggerakkan pasukan lagi untuk membuat keonaran?"
Su Kiau-kiau tertawa seram.
"Mengampuni nyawaku" Hehehe, pembantaian berdarah yang pernah kau lakukan di masa
lampau serta siksaan batin yang kualami selama puluhan tahun, membuat hatiku benar-benar
amat mendendam. Hari ini, aku akan menuntut balas terhadap kalian!"
"Dasar perempuan tak tahu diri," Ong Sam-kongcu menghela napas panjang, "terpaksa kita
harus menyelesaikan semua masalah dengan kekerasan."
Mendengar perkataan itu, serentak para jago melolos senjata.
Siluman pertama berpekik nyaring, kawanan siluman yang berada di belakangnya serentak
melolos senjata gada gigi serigala, kemudian di bawah pimpinan keenam manusia raksasa itu,
mereka menyerbu dari tiga arah.
Cau-ji berdelapan dengan barisan delapan dewanya segera mengurung ketat ketiga manusia
raksasa itu, pertempuran pun berlangsung amat seru, sementara tiga puluh lelaki berbaju hitam
mengepung dari luar.
Melihat itu, tiga puluh enam jago istana serentak maju mengepung orang-orang itu dari lapisan
paling luar. Di antara kilatan cahaya senjata, pertempuran sengit pun seketika berlangsung.
Meskipun jumlah orang tidak berimbang, namun para jago dari kalangan putih bertarung
dengan gagah berani, mereka sudah melupakan keselamatan sendiri.
Jerit kesakitan, teriakan gusar, desingan angin tajam bergema silih berganti.
Cau-ji dengan mengandalkan pedang di tangan kanan dan pukulan di tangan kiri bertekad
menyelesaikan pertarungan secepat mungkin, dia menyerang tanpa belas kasihan, tak sampai
sepuluh gebrakan ketiga raksasa itu sudah dibabat kutung jadi tiga bagian.
Tiba-tiba dia mulai bersin berulang kali, sadar pihak lawan mulai menggunakan racun, segera
teriaknya, "Hati-hati ada racun!"
Hawa napsu membunuhnya makin berkobar, jaring pedang pun semakin melebar.
Tak sampai setengah jam kemudian beberapa ratus orang itu secara beruntun menemui
ajalnya, yang aneh tiga siluman dari wilayah Biau itu hanya tertawa seram dan sama sekali tidak
mengirim orang untuk membantu.
Melihat sikap yang sangat aneh itu Ong Sam-kongcu merasa keheranan, tapi begitu mendengar
teriakan Cau-ji, dia segera mengerti, rupanya pihak lawan sedang menunggu hingga lawannya
mulai keracunan baru turun tangan, maka bentaknya, "Maju!"
Jauh sebelum Ong Sam-kongcu menurunkan perintah, Cau-ji sudah mendengar bisikan dari
Bwe Si-jin, "Cau-ji, kau serang siluman ketiga dengan kecepatan tinggi, mari kita bekerja sama
dengan Toasiok untuk melenyapkan iblis-iblis itu!"
Maka begitu mendengar perintah Ong Sam-kongcu, segera bentaknya, "Serbu!"
Dengan memimpin tujuh gadis, dia langsung menyerang tiga siluman dari wilayah Biau.


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bentakan ini disertai tenaga dalam yang amat sempurna, akibatnya kendatipun ketiga siluman
tua dari wilayah Biau itu memiliki tenaga dalam yang amat sempurna, tak urung tergetar juga
hatinya. Pada saat itulah mendadak Ni Ceng-hiang mencabut pisau belati dari dalam sakunya, lalu
ditusukkan langsung ke jalan darah Bing-bun-hiat di tubuh siluman kedua.
Peristiwa ini terjadi sangat mendadak dan di luar dugaan, apalagi saat itu perhatian siluman
kedua sedang terbelah, mimpi pun dia tak menyangka kalau Ni Ceng-hiang yang begitu binal dan
menuruti semua kemauannya bisa turun tangan membokongnya.
Tak ampun lagi tusukan itu seketika bersarang telak.
Baru saja dia menjerit kesakitan, secepat kilat Ni Ceng-hiang menghadiahkan sebuah pukulan
lagi ke tubuhnya.
"Kau.." baru saja ia berteriak keras, tahu-tahu napasnya sudah putus.
Pada saat itulah siluman pertama dan siluman ketiga meraung gusar, serentak mereka
melancarkan pukulan dahsyat ke tubuh Ni Ceng-hiang.
Su Kiau-kiau dan Un Bun tak tinggal diam, mereka ikut mengembut juga.
Sejak memberi kisikan kepada Cau-ji, secara diam-diam Bwe Si-jin dan Im Jit-koh telah
bergeser ke samping tubuh siluman ketiga, begitu melihat ada peluang, serentak mereka berdua
mencabut pisau belati dan ditusukkan ke pinggul siluman ketiga.
Mendadak terdengar Ni Ceng-hiang mendengus tertahan, tubuhnya mundur dengan
sempoyongan. Siluman ketiga meraung keras, cepat tubuhnya menggelinding ke samping.
Menggunakan kesempatan itu Bwe Si-jin dan Im Jit-koh menerjang Su Kiau-kiau.
Waktu itu sebetulnya siluman pertama, Su Kiau-kiau dan Un Bun sedang mengejar Ni Cenghiang,
begitu melihat Bwe Si-jin dan Im Jit-koh membokong siluman ketiga hingga terluka, mereka
berdiri tertegun.
Pada saat itulah Cau-ji membentak nyaring, lalu menyerang ke depan.
Di pihak lain, kawanan jago pun sambil berusaha mengendalikan gejolak hawa murni di
tubuhnya, mereka menyongsong datangnya kelima ratusan orang berbaju hitam.
Ni Ceng-hiang meski sudah terluka parah karena gencetan keempat jago lihai itu, dia tetap
melanjutkan terkamannya ke arah tandu siluman pertama.
Menyaksikan hal ini, Un Bun membentak keras, satu pukulan dihantamkan ke muka.
Merasa tak mungkin menghindar lagi, sambil mengertak gigi Ni Ceng-hiang menyambut
datangnya pukulan itu dengan punggungnya, menggunakan kesempatan itu dia meluncur masuk
ke dalam tandu dan berusaha menemukan obat penawar racun.
Sesaat kemudian ia berhasil menemukan buli-buli berisi obat penawar racun, cepat dia
menggelinding keluar dari tandu, lalu sambil mengangkat tinggi buli-buli besi itu, serunya lemah,
"Obat penawar racun"
Dalam keadaan tegang, Cau-ji berdelapan telah mengurung siluman pertama, Su Kiau-kiau,
Bwe Si-jin, Im Jit-koh dan Un Bun di tengah arena, tapi untuk sesaat mereka tak tahu bagaimana
harus bertindak.
Cau-ji mengalihkan pandangan matanya ke atas buli-buli besi itu, tiba-tiba tubuhnya menerjang
ke sana. Melihat itu, siluman pertama membentak gusar, dia siap menyusul ke tempat itu.
Sambil menggigit bibir Im Jit-koh menerkam juga ke depan, lalu menarik kaki kirinya dan
sampai mati pun tak dilepas.
Siluman pertama meraung marah, satu pukulan langsung dibacokkan ke tubuhnya.
"Aduuuh, ...!" diiringi jerit kesakitan, Im Jit-koh tewas seketika itu juga, namun jenazahnya
masih tetap memegangi kaki kiri siluman pertama, membuat gembong iblis ini tidak leluasa
bergerak menghalangi Cau-ji.
Dengan satu gerakan cepat Cau-ji menyambar buli-buli besi itu, melihat siluman pertama
berniat memotong sepasang lengan mayat Im Jit-koh, ia pun membentak nyaring, "Tahan!" satu
tusukan kilat dilontarkan ke depan.
Sementara itu Suto bersaudara yang berhasil mencabut nyawa siluman ketiga segera menubruk
ke arah siluman pertama.
Waktu itu sebetulnya kelima gadis lainnya ingin bersama-sama mengembut Su Kiau-kiau, siapa
tahu Bwe Si-jin dengan tongkat berkepala ularnya sedang bertarung sengit melawan perempuan
siluman itu, terpaksa mereka pun menyerang Un Bun secara bersama-sama.
Dengan kepandaian silat yang dimiliki kelima gadis itu, sesungguhnya mereka dapat mengatasi
Un Bun secara mudah, namun berhubung racun yang menyerang tubuh tiga bersaudara Cu dan
Siau-hong mulai bekerja, tenaga dalam mereka berkurang separoh bagian, sehingga untuk
sementara waktu sukar untuk menangkan pertarungan ini.
Sambil melancarkan serangan ke arah siluman pertama, diam-diam Cau-ji memperhatikan juga
keadaan di sekelilingnya.
Tampak ketiga puluh enam jago dari istana serta Thian-te-sian-lu meski berhasil melukai
ratusan orang, namun karena keadaan luka yang semakin bekerja, mereka dipaksa untuk
menahan diri. Ong Sam-kongcu serta para ketua partai besar yang menyaksikan kondisi para jago makin
melamban, sadarlah mereka kalau racun dalam tubuh kawanan jago itu mulai bekerja, serentak
mereka pun menerjang masuk ke dalam arena.
Biarpun begitu, korban yang berjatuhan pun semakin meningkat.
Cau-ji jadi sangat gelisah, dia membentak berulang kali, serangannya terhadap siluman
pertama pun semakin gencar.
Apa daya tenaga dalam yang dimiliki siluman pertama kelewat hebat, gerakan tubuhnya pun
ringan dan cekatan, untuk beberapa saat dia tak mampu berbuat banyak.
Untung saja pada saat itu Cu Bi-ih berhasil menghabisi nyawa Un Bun, segera teriaknya, "Adik
Cau, lemparkan obat penawar racun itu kemari!"
Sambil berkata, dia menubruk ke depan.
Diam-diam Cau-ji menyumpahi kebodohan sendiri, cepat dia lemparkan buli-buli itu ke arah Cu
Bi-ih. Begitu melihat obat penawar sudah berada di tangan Cu Bi-ih, Bwe Si-jin segera berteriak,
"Cairkan dengan air, lalu diminum!"
Merasa lega dengan keadaan para jago yang keracunan, semangat Cau-ji bangkit kembali, ia
segera memberi tanda, lalu bersama Siang Ci-ing sekalian melancarkan serangan kilat ke arah
siluman pertama.
Dalam pada itu siluman pertama telah berhasil lolos dari cengkeraman Im Jit-koh, sepasang
tangannya segera melancarkan pukulan berulang kali, angin pukulan bagaikan amukan gelombang
samudra disertai percikan bubuk beracun segera menyergap tubuh keempat orang itu.
Melihat kehebatan lawan, cepat tiga bersaudara Cu serta Siau-hong mundur ke arah ruang
tengah. "Halangi mereka!" bentak siluman pertama berulang kali.
Tapi sayang kawanan iblis itu mendapat perlawanan yang begitu gigih dari para jago sehingga
terpaksa hanya bisa membiarkan para gadis mundur masuk ke dalam ruangan.
Di pihak Su Kiau-kiau, meskipun dia berhasil berada di posisi di atas angin, tapi berhubung Bwe
Si-jin sangat menguasai aliran ilmu silatnya, maka untuk sesaat pun dia tak sanggup meloloskan
diri. Pertarungan berjalan makin sengit, Cau-ji dengan mengandalkan Pedang pembunuh naga dan
pukulan dahsyatnya, dibantu tiga gadis yang bertarung gigih mencecar siluman pertama makin
gencar. Dalam keadaan begini, biar tenaga dalam yang dimiliki siluman pertama sangat lihai pun
setelah bertarung ratusan gebrakan kemudian, lengan kirinya berhasil dihajar.
Tiga puluh jurus kemudian terdengar siluman pertama menjerit ngeri, tubuhnya hancur terhajar
serangan Cau-ji hingga mampus seketika.
Tak terlukiskan rasa kaget Su Kiau-kiau mengetahui kejadian ini, sedikit gerakan tangannya
melambat, seketika Bwe Si-jin berhasil melepaskan diri dari kuningannya.
Terdengar lelaki itu segera berteriak keras, "Cau-ji, aku serahkan perempuan ini kepada kalian!"
Habis berkata dia langsung menggabungkan diri dengan kawanan jago lainnya.
Pada saat itulah tampak Cu Bi-ih berempat dengan masing-masing menggotong segentong air
berlarian mendekat.
Bwe Si-jin segera berseru, "Lindungi gentong air, secara bergilir ambil air pemunah racun itu!"
Keempat gadis itu mengangguk dan meletakkan keempat gentong air itu jadi satu, kemudian
mereka berbalik menyongsong datangnya kawanan manusia berbaju hitam yang sedang
menerjang tiba.
Buru-buru para ketua partai berhamburan datang, mereka membentuk satu pagar betis untuk
melindungi air berisi obat pemunah racun itu.
Begitulah secara bergilir para jago dari berbagai partai mengambil air pemunah untuk
membebaskan diri dari pengaruh racun, begitu segar kembali, mereka pun segera terjun kembali
ke arena pertarungan.
Pada saat itulah terdengar Su Kiau-kiau menjerit ngeri dan tewas seketika.
Sementara para iblis masih terkejut bercampur ketakutan, tiba-tiba terlihat sekilas cahaya tajam
berkelebat. Ternyata Cau-ji dengan kecepatan luar biasa telah mengejar ke arah kawanan iblis, jaring
pedang yang terbentuk dari pedang pembunuh naganya menyambar kian kemari, dalam waktu
singkat belasan orang kembali jadi korban.
Sebetulnya kawanan iblis itu ingin memanfaatkan kesempatan baik ini untuk menghabisi para
jago, siapa tahu mereka bertemu dengan lawan tanding yang menakutkan, selang beberapa saat
kemudian kembali puluhan orang jadi korban.
Tak sampai setengah jam kemudian tampak mayat berserakan di mana-mana, genangan darah
pun menganak sungai.
Tujuh-delapan puluh orang iblis yang merasa tak sanggup melakukan perlawanan lagi segera
mundur, entah siapa yang berteriak duluan, mendadak semuanya kabur terbirit-birit meninggalkan
tempat itu. Sebenarnya Cau-ji ingin mengejar, tiba-tiba terdengar Ong Sam-kongcu berseru, "Lepaskan
mereka!" Waktu itu para jago sehabis minum obat penawar telah pulih kembali kesehatannya,.
Sedang Bwe Si-jin tampak sedang memeluk jenazah Ni Ceng-hiang dan Im Jit-koh sambil
menangis sesenggukan.
Cau-ji segera berjalan menghampiri, katanya, "Coba kalau tak ada kedua orang ini yang
membantu, belum tentu dalam pertempuran hari ini kita bisa memperoleh kemenangan seperti
ini." "Cau-ji," ujar Bwe Si-jin dengan suara parau, "bolehkah Toasiok mengubur mereka berdua
secara baik-baik?"
"Toasiok, Cau-ji yakin semua orang pasti akan menyetujui permintaanmu itu."
Setelah memandang sekejap tumpukan mayat yang berserakan memenuhi lapangan, sambil
menghela napas kata Ong Sam-kongcu, "Aai ... tidak sampai empat jam ratusan nyawa telah
hilang, latihan selama puluhan tahun pun menguap begitu saja ... ai, apa gunanya?"
"Omitohud!" sela It-ci Taysu, "Ongya berhati mulia dan bijaksana, bila setiap orang dapat
meniru suri teladanmu, dunia persilatan pasti akan aman tenteram"
Tiba-tiba terdengar Leng Bang berkata dengan nada hormat, "Ongya, boleh tahu perkawinan
dari tuan putri akan diselenggarakan di mana?"
"Urusan ini biar Baginda saja yang memutuskan," sahut Ong Sam-kongcu cepat, "tentu saja
aku tak akan berebut dengan kaisar untuk menyelenggarakan pesta perkawinan ini di
Perkampungan Hay-thian-it-si. Haha, aku harap sampai waktunya nanti kalian ikut
menghadirinya."
Para jago serentak mengangguk sambil tersenyum.
"Ayah" seru Cu Bi-ih malu-malu, "sewaktu meninggalkan kota raja, ayah Baginda telah memberi
pernyataan, katanya sudah banyak tahun dia tak pernah mendatangi tembok besar, karena itu
menggunakan kesempatan saat diselenggarakannya perkawinan Ih-ji sekalian, beliau berniat
pesiar ke tembok besar!"
Begitu para jago mendengar Kaisar akan memimpin sendiri upacara perkawinan di
perkampungan Hay-thian-it-si, kontan semua maju memberi selamat.
Dengan penuh kegembiraan Ong Sam-kongcu tertawa terbahak-bahak.
TAMAT Rahasia 180 Patung Mas 4 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bukit Pemakan Manusia 11

Cari Blog Ini