Ceritasilat Novel Online

Pendekar Naga Mas 8

Pendekar Naga Mas Karya Yen To Bagian 8


Terdengar Siang Ci-ing berseru lirih, lalu mulai menggerakkan keempat anggota badannya,
beruntung dua bersaudara Suto sudah membuat persiapan hingga genggamannya tak sampai
terlepas. Sekalipun tangan dan kakinya tak dapat bergerak, namun tubuhnya menggeliat ke sana kemari.
Khususnya tubuh bagian bawahnya, terlihat lubang surganya ditonjol-tonjolkan ke atas seolah
mulut kering yang menunggu datangnya air.
Melihat lubang surga si nona yang buka tutup seperti mulut orang yang tersengal-sengal, Cau-ji
mulai terangsang napsu birahinya, darah serasa mengalir lebih cepat dalam tubuhnya.
Karena birahinya timbul, tombaknya pun ikut bangkit berdiri dan tegak mengeras.
Tubuh Siang Ci-ing menggeliat semakin keras, dengus napasnya pun semakin memburu.
Bila ada orang menyaksikan keadaannya saat itu, mereka pasti akan mengira Siang Ci-ing
sebagai seorang wanita jalang yang amat cabul.
Lama kelamaan Siau-si tak tega juga, segera bisiknya, "Adik Cau, cepat masukkan milikmu ke
dalam lubangnya, kasihan dia."
Cau-ji segera merentang sepasang kaki gadis itu lebar-lebar, lalu dengan tangannya dia
merentangkan pintu gerbang di atas lubang itu, baru saja ujung tombaknya ditempelkan di atas
lubang itu, Siang Ci-ing bagaikan harimau kelaparan telah menerkamnya ke atas dan langsung
menelan tombak itu sepertiganya.
Cau-ji segera merasakan tombaknya menusuk liang kecil yang masih kencang dan sempit,
untuk mendorongnya lebih ke dalam, dia mesti menggunakan tenaga tambahan.
Masih untung lubang milik Siang Ci-ing waktu itu sedang kelaparan hebat sehingga dia pun ikut
membantu melahapnya secara rakus, tak lama kemudian seluruh tombak panjang itu sudah
tertelan. Tak kuasa lagi Cau-ji berpekik kenikmatan.
Ternyata ujung tombaknya sudah ditekan Siang Ci-ing hingga menyentuh dasar lubang,
sentuhan itu membuat tubuhnya menggigil kenikmatan, itulah sebabnya dia pun berteriak
kegirangan. Siang Ci-ing seakan sama sekali tidak merasakan kesakitan, dia masih menggoyang tubuhnya
dengan sepenuh tenaga.
Berhubung sudut ruangan yang tidak menguntungkan, Cau-ji merasa gerakan tubuhnya sangat
terhambat, segera bisiknya, "Cici, biar dia saja yang berada di atas, mungkin jauh lebih leluasa
ketimbang aku yang menidurinya dari atas!"
Suto bersaudara mencoba membalik tubuh gadis itu, tapi tenaga yang dimiliki Siang Ci-ing
waktu itu kuat sekali hingga mereka gagal membalik tubuhnya.
Tiba-tiba Cau-ji berbisik lagi, "Pegangi saja badannya, biar aku yang membalikkan."
Kemudian sambil memeluk tubuh gadis itu kuat-kuat, dia berguling ke samping dan
mengangkat tubuh Siang Ci-ing yang semula berbaring di bawah menjadi mendudukinya di bagian
atas. Cau-ji tetap memegangi tangan gadis itu erat-erat, tapi membiarkan badannya bergoyang
sekehendak hati.
Suara "plokk, plok" bunyi gencetan badan yang basah pun bergema tiada hentinya.
Dengan kehebatan tenaga dalam yang dimiliki mereka bertiga, biar berada dalam ruang gelap
pun mereka dapat menyaksikan keadaan di seputar sana dengan jelas.
Mereka dapat menyaksikan juga darah perawan yang meleleh keluar dari lubang surga Siang
Ci-ing berceceran ke mana-mana.
Suto bersaudara pernah merasakan juga bagaimana sakitnya ketika selaput perawan mereka
terobek, melihat kegilaan Siang Ci-ing saat ini, mereka mulai menguatirkan keadaan si nona
setelah sadar nanti, bagaimana mungkin bisa berjalan"
Waktu berlalu sangat cepat, pertempuran antara Cau-ji melawan Siang Ci-ing masih
berlangsung dengan serunya.
Mendadak paras muka Cau-ji agak berubah, bisiknya lirih, "Cici! Ada orang datang!"
"Adik Cau, lanjutkan kerjamu, biar kami yang menengok keluar"
"Cici Si, keamanan nomor satu, yang penting keselamatan sendiri, berapa banyak yang bisa
kalian hadapi, hadapi saja seperlunya, nanti biar Siaute yang bereskan sisanya."
Siau-si mengangguk dan segera keluar dari gua bersama adiknya.
Di luar gua mereka berdua menyembunyikan diri, tampaklah bayangan manusia berkelebat,
secara beruntun muncul dua puluhan orang dari balik semak belukar.
Dengan cepat mereka dapat mengenali kalau orang-orang itu adalah kawanan jago kalangan
hitam yang pernah menyatroni rumah makan Jit-seng-lau beberapa hari berselang.
Kenyataan ini membuat mereka berdua makin terkesiap.
Diam-diam Siau-si mencoba menghitung jumlah mereka.
"Kwan-tiong-ji-ok (dua manusia jahat dari Kwan-tiong), Tiang-pek-sam-him (tiga beruang dari
bukit Tiang-pek), Im-san-siang-kiam (sepasang pedang dari Im-san), Yau-san-su-sat (empat
malaikat dari Yau-san) ... ah, masih ada lagi perempuan cantik itu beserta beberapa orang kakek
berbaju hitam, nampaknya pertarungan sengit tak terelakkan lagi."
Kedua puluhan jago itu segera menyebar di sekitar gua setelah tiba di tempat itu, apalagi ketika
mendengar suara bergeseknya daging dan dengusan napas memburu yang bergema dari dalam
gua. Sambil tertawa dingin perempuan cantik itu berkata, "Kebetulan sekali! Sekarang Manusia
penghancur mayat sedang berbuat begituan dengan budak itu, cepat kia terobos masuk ke dalam
gua dan meringkus mereka berdua!"
Suto bersaudara mendengus dingin, tiba-tiba mereka muncul dari tempat persembunyian dan
berdiri menghadang di depan mulut gua.
Seorang kakek berbaju hitam segera merangsek maju, pedangnya langsung ditusukkan ke dada
Siau-bun dengan jurus serangan yang aneh.
Siau-bun mendengus dingin, tanpa menggeser barang selangkah pun dia mengayunkan tangan
kanannya ke depan, sebuah pukulan langsung dihantamkan ke tubuh orang itu.
Belum lagi telapak tangannya tiba, desingan angin tajam telah menyambar duluan.
Kakek berbaju hitam itu sadar akan kelihaian lawannya, buru-buru dia menebaskan pedangnya
dengan jurus serangan dari ilmu pedang pengejar nyawa.
Tampak tubuhnya bergerak bagaikan bayangan setan, cepatnya bukan kepalang.
Dari perubahan jurus serangan yang dilakukan lawan, Siau-bun sadar tenaga dalam musuh
cukup tangguh, dia segera menarik tubuhnya sambil berputar ke samping, kemudian secepat
sambaran petir sepasang tangannya melepaskan serangan secara bertubi-tubi.
Segulung angin pukulan bagai gulungan ombak di tengah samudra meluncur tiba dengan cepat,
dikurung oleh serangan yang amat dahsyat, permainan pedang kakek berbaju hitam itu jadi makin
melamban dan tercecar.
Lebih kurang sepeminuman teh kemudian tampak bayangan hitam berkelebat, kakek berbaju
hitam itu menjerit kesakitan sambil mundur tiga langkah dengan sempoyongan, belum lagi berdiri
tegak, darah segar sudah menyembur keluar dari mulutnya.
Siau-si memburu ke depan, dia berniat menambahi lagi dengan sebuah pukulan untuk
mencabut nyawanya, mendadak terdengar bentakan keras, si pukulan lembek Yu Bun-poh sudah
maju sambil melepaskan pukulan.
Siau-bun segera berkelit ke samping, lalu melayang ke samping.
Yu Bun-poh sama sekali tak bersuara, kembali tubuhnya merangsek maju, tangan kanannya
menghantam ke wajah Siau-bun sementara tangan kirinya membabat ke bahu kanan.
Menyusul kemudian tangan kanannya berganti membabat ke samping, sementara tubuhnya
berputar menyelinap ke sisi kanan nona itu.
Suto Bun tertawa dingin, tidak nampak tubuhnya bergerak, secepat kilat tangan kanannya
sudah membabat ke depan.
Yu Bun-poh sadar, bila gadis itu menduduki posisi di atas angin maka dia akan menjadi bagian
yang kena dihajar, cepat badannya bergeser, kini dia mengembangkan ilmu pukulan Pat-kwa-yusinciang yang ampuh.
Tampak tubuhnya bergerak secepat petir, sebentar melayang bagaikan hembusan angin,
sebentar maju sebentar mundur, jurus serangan dilancarkan susul menyusul.
Untuk sesaat Suto Bun terbelenggu oleh gerakan tubuh lawan dan tak mampu berbuat banyak.
Sesaat kemudian dia himpun segenap kekuatannya ke dalam tangan, lalu telapak kirinya
dibabatkan ke tubuh Yu Bun-poh yang sedang menubruk datang.
Tidak menunggu musuhnya melancarkan jurus tandingan, badannya merangsek maju lebih ke
depan, tangan kanannya membabat ke dada lawan dengan sepenuh tenaga.
Serangan berantai yang dilakukan gadis itu meski agak lemah dalam hal kekuatan, namun
mendatangkan manfaat yang besar untuk menanggulangi gerakan tubuh Yu Bun-poh yang lincah.
Seketika itu keampuhan Yu Bun-poh terhambat, dia tak bisa lagi bergerak selincah naga sakti.
Siau-bun pun memutar badan mengikuti gerakan serangan, pukulan demi pukulan dilontarkan
berurutan. Sepeminuman teh kemudian hawa napsu membunuh telah menyelimuti wajah Suto Bun, tibatiba
dia mengeluarkan ilmu pukulan Cing-li-im-ciang.
Serangan yang dilancarkan kali ini menggunakan tenaga lunak, bukan saja lembek, bahkan
langsung mengendalikan gerak serangan lawan.
Sudah empat puluh tahun lebih Yu Bun-poh meyakinkan ilmu pukulan itu, selama malangmelintang
di dunia persilatan belum pernah ia jumpai musuh setangguh hari ini.
Diam-diam ia menggigit bibir, jurus serangannya kembali berubah, kini dia mengandalkan keras
untuk melawan keras.
Siau-bun mendengus dingin, sekali lagi gerak serangannya diubah.
Waktu itu kebetulan Yu Bun-poh sedang mendorong sepasang tangannya dengan sepenuh
tenaga, Siau-bun segera memutar badannya setengah lingkaran, lalu sambil menekuk pinggang,
tangannya ditalakkan ke dada musuh.
Angin pukulan yang menderu pun seketika menyapu ke tubuh lawan.
"Ah!" serangan Yu Bun-poh patah di tengah jalan, dengan tubuh berlumuran darah buru-buru
dia berjumpalitan menjauh.
Kegemparan segera terjadi dalam kerumunan jago-jago itu.
Yau-san-su-sat langsung menubruk ke arah Siau-bun tanpa menimbulkan sedikit suara pun.
"Jangan membokong orang!" hardik Siau-si mendadak, sepasang tangannya langsung
dihantamkan ke depan dan mengancam tubuh keempat orang itu.
Merasakan betapa dahsyat dan kuatnya ancaman yang tiba, Yau-san-su-sat terkesiap, cepat
mereka menahan kembali gerakan tubuhnya.
Si bayangan setan segera melolos golok berge-langnya, pemuda tampan pembetot sukma
melolos ruyung, jago pengejar sukma mencabut senjata Boan-koan-pit, sementara iblis wanita
berwajah kemala mencabut pedangnya.
Serentak empat orang dengan empat macam senjata meluruk ke tubuh Siau-si.
Menghadapi datangnya ancaman itu, Siau-si menggetarkan pedangnya, dengan jurus burung
merak pentang sayap, terlihat bianglala putih berkelebat.
"Traang!", bentrokan nyaring segera bergema memecah keheningan, tampak tubuh keempat
orang itu bergetar keras dan masing-masing mundur dengan sempoyongan.
Bagi seorang ahli, begitu bertarung segera akan ketahuan berisi atau tidak. Yau-san-su-sat
adalah pentolan kalangan hitam di wilayah gunung Yau-san, kehebatan ilmu silatnya boleh
dibilang sudah amat tersohor di dunia persilatan.
Siapa tahu dengan kemampuan mereka berempat yang begitu hebat ternyata tak mampu
melukai pihak lawan, sebaliknya malah dipukul mundur oleh musuh, kejadian itu kontan membuat
para jago yang hadir di situ terkesiap.
Siau-si tahu, biarpun mereka berhasil menduduki posisi di atas angin, namun demi keselamatan
Cau-ji yang berada dalam gua, mereka perlu membasmi musuh secepatnya.
Maka secara diam-diam ia telah menyalurkan hawa murni Bu-siang-sin-kangnya di balik jurus
pedang, berbareng dia pun menggunakan ilmu pedang Ciu-thian-sin-kiam andalan keluarganya
untuk menghabisi lawannya.
"Sreet, sreet, sreet!", secara beruntun dia melancarkan tiga bacokan, semuanya diarahkan ke
tubuh keempat orang itu.
Yau-san-su-sat tercecar hebat, tubuh mereka mundur berulang kali.
Di tengah pertarungan, kembali terdengar Siau-si membentak nyaring, dimana cahaya tajam
berkelebat, sebuah babatan kilat membuat lengan kiri si bayangan setan terlepas dari tempatnya,
sementara iga kanan si jago pengejar nyawa terluka parah.
Sambil menjerit kesakitan kedua orang itu mengundurkan diri dengan sempoyongan.
Melihat itu Kwan-tiong-ji-ok segera maju menerjang sambil mengayun senjatanya, kawanan
iblis lain pun serta-merta ikut maju mengembut.
Kembali terdengar dua kali jeritan kesakitan bergema di angkasa.
Perlu diketahui, Yau-san-su-sat memang bukan tandingan Siau-si kendatipun mereka melawan
dengan sepenuh tenaga, tak heran begitu mereka kehilangan dua orang anggotanya, kedua orang
yang tersisa tak sanggup menahan diri.
Secara beruntun Siau-si melancarkan serangkaian serangan mematikan, dengan jurus Senglionging-hong (menunggang naga menggiring burung hong) dia tangkis cambuk Toh-ming-longkun,
kemudian ujung pedangnya ditusukkan langsung ke dadanya.
Tak sempat lagi menghindarkan diri, Toh-ming-long-kun menjerit kesakitan dan roboh terkapar.
Pada saat bersamaan Sim-lojit belum sempat mencapai permukaan tanah ketika Siau-si dengan
jurus Ji-yan-shia-hui (burung walet terbang ke samping) telah membabat ubun-ubun Giok-lo-sat
ini hingga terbelah jadi dua.
Tiba-tiba terasa desingan angin tajam datang dari arah belakang, cepat Siau-si mengegos ke
kanan, saat itulah sepasang pedang Im-san-siang-kiam telah menyambar dari sisinya.
Baru lolos dari tusukan sepasang pedang Im-san-siang-kiam, Kwan-tiong-ji-ok telah menyusul
tiba, menyusul kemudian ada belasan orang jago ikut mengembut.
Dengan gigih dua bersaudara Suto memberikan perlawanan, sekalipun tiada tanda-tanda akan
kalah, namun mereka sudah dipaksa makin menjauhi mulut gua.
Menggunakan kesempatan itu, dua orang segera menyelinap masuk ke dalam gua.
Waktu itu Cau-ji masih berbaring di lantai sambil dinaiki Siang Ci-ing yang cantik dan menawan,
coba kalau kejadian ini berlangsung di saat lain, betapa bahagianya anak muda itu.
Bukan cuma bertarung habis-habisan melawan si nona, paling tidak dia pasti akan meremasremas
dan menghisap sepasang buah dadanya yang montok itu.
Sayang suara pertarungan yang berlangsung di depan gua telah mengusik konsentrasinya,
sekalipun dua bersaudara Suto tidak menunjukkan gejala kalah, tapi seleranya kontan hilang, kini
dia hanya bisa menghimpun tenaga dalamnya sambil bersiap sedia.
Coba kalau bukan dia sedang mengobati racun obat perangsang yang mengendon dalam tubuh
Siang Ci-ing, mungkin sejak tadi Cau-ji sudah menerjang keluar gua dan menghabisi kawanan iblis
itu. Pada saat itulah tiba-tiba ia mendengar ada suara lirih bergema di dalam gua menyusul dua
orang berbisik lirih, Cau-ji tahu pasti ada orang sedang menyusup masuk, satu ingatan cepat
melintas dalam benaknya.
Dia pun berlagak seolah-olah tidak tahu akan kehadiran mereka berdua, sementara sepasang
tangannya masih meraba dan meremas sepasang payudara yang putih montok, diam-diam tenaga
dalamnya dihimpun ke dalam telapak tangan kanannya, ia berencana menghajar mampus kedua
orang musuhnya begitu mereka muncul di depan mata.
Benar saja, tak lama kemudian terlihat dua orang menyusup masuk ke dalam ruangan, mereka
langsung tertawa menyeringai begitu melihat ada sepasang muda-mudi sedang bergumul dengan
serunya. Tanpa banyak bicara mereka langsung mengayunkan keempat telapak tangannya dan
membabat tubuh anak muda itu.
Diam-diam Cau-ji mendengus dingin, sebelum keempat belah tangan lawan menyambar tiba,
tenaga pukulan yang telah disiapkan sejak tadi itu langsung didorong ke muka.
"Aduh! Aduh!", dua kali jeritan pilu bergema.
"Blum!", hancuran badan bercampur percikan darah segar segera berhamburan ke mana-mana.
Biarpun orang-orang yang berada di luar gua tidak menyaksikan sendiri bagaimana hancuran
daging dan percikan darah berhamburan, namun jeritan ngeri yang begitu memilukan diiringi
suara benturan yang menakutkan cukup memberi kesan betapa dahsyat dan menakutkannya
tenaga pukulan Manusia pelumat mayat.
Kontan perempuan cantik dan beberapa orang kakek berbaju hitam itu pecah nyali dan
ketakutan setengah mati, tak kuasa serentak mereka berseru, "Cepat kabur!"
Tanpa membuang waktu lagi mereka kabur terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
Kawanan jago lainnya yang menyaksikan kejadian itu serentak balik badan dan ikut melarikan
diri dengan tergesa-gesa.
Dalam waktu singkat kawanan manusia itu sudah lenyap dari pandangan.
Dua bersaudara Suto menghembuskan napas lega, setelah menyarungkan kembali pedangnya,
cepat mereka berlari masuk ke dalam gua.
Setelah melalui dinding gua yang kotor karena percikan darah dan hancuran daging, akhirnya
mereka jumpai Cau-ji sedang duduk bersila di tengah ruang gua dengan senyum dikulum.
Pertarungan sengit yang barusan berlangsung telah menguras sebagian besar tenaga dalam
kedua orang itu.
"Enci Si, enci Bun" sambil tertawa Cau-ji menegur, "apakah mereka sudah kabur"'
"Adik Cau, mereka sudah pecah nyali setelah menyaksikan kedahsyatan tenaga pukulanmu,
bahkan saking takutnya sempah menyumpahi orang tua sendiri kenapa hanya memberi dua kaki
saja, tentu saja orang-orang itu sudah kabur semua," sahut Suto Bun sambil tertawa.
"Hahaha, ternyata mereka cukup tahu diri, kalau tidak, pasti akan kuhancur lumatkan tubuh
mereka semua."
Sementara itu Suto Si sedang memperhatikan Siang Ci-ing yang masih bermandikan keringat
sambil menggerakkan tubuh bagian bawahnya dengan hebat. Keluhnya sambil menghela napas,
"Sungguh dahsyat daya kerja obat perangsang ini!"
"Adik Cau," kembali Suto Bun bertanya, "apakah kondisi badan enci Ing masih memungkinkan
untuk berlanjut?"
"Siaute sendiri pun tak tahu bagaimana harus berbuat," sahut Cau-ji sambil tertawa getir.
Dari dalam sakunya Suto Si mengeluarkan sebuah botol porselen dan menuang dua butir pil
yang harum baunya, kemudian ia buka mulut Siang Ci-ing dan menjejalkan pil itu ke dalam
mulutnya. "Cici," kata Cau-ji lagi sambil tertawa getir, "menurut kalian, sampai kapan ia baru
menghentikan gerakan tubuh erotiknya?"
"Cau-te, dalam masalah seperti ini rasanya hanya kau sendiri yang lebih tahu, masa kau malah
bertanya kepada kami berdua" Aneh."
Cau-ji menggeleng.
"Cici," katanya, "kalau begitu kalian beristirahatlah lebih dulu!"
Kedua gadis itu tahu, dengan anak muda itu sebagai pelindungnya, mereka dijamin aman
tenteram tak kekurangan sesuatu apa pun, maka dengan perasaan lega kedua orang nona itupun
mulai mengatur pernapasan.
Melihat kedua orang nona itu sudah mulai bersemedi, Cau-ji pun memasang telinga dan


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencoba memeriksa sekeliling tempat itu, setelah yakin sepuluh li di seputar sana tak ada orang,
dengan perasaan lega dia mulai menggerayangi kembali sekujur badan Siang Ci-ing.
Memang harus diakui, Siang Ci-ing yang berasal dari keturunan orang kaya benar-benar pandai
memelihara badan.
Bukan saja kulit tubuhnya putih mulus, lembut dan licin, ditambah lagi ia berlatih silat sejak
kecil, badannya nampak sangat kencang dan menggiurkan.
Makin meraba Cau-ji merasa hatinya tambah gatal, napsunya makin berkobar, bahkan 'barang'
miliknya mulai berdiri tegak. Coba kalau bukan sedang melindungi Suto Bun berdua yang sedang
bersemedi, niscaya dia sudah melancarkan jurus serangan bombadir yang kencang ke lubang
surga milik gadis itu.
Dengan susah payah akhirnya Suto Bun selesai juga dengan semedinya, ia membuka matanya
yang indan dan menatap anak muda itu sambil tersenyum.
Cau-ji tahu, sekarang dia sudah bebas tugas dan tak periu lagi menjadi pelindung keselamatan
kedua gadis itu, tanpa banyak membuang waktu lagi dia segera membalikkan badan, menindih
tubuh Siang Ci-ing dan mulai menusukkan 'benda'nya ke dalam lubang lawan.
Sudah hampir dua jam lamanya pemuda itu harus bersikap tegang dan kuatir, maka begitu
mendapat kesempatan baik saat ini, seketika dia mulai melancarkan serangkaian serangan gencar.
Tak selang beberapa saat kemudian dari dalam gua berkumandanglah suara gesekan yang
nyaring, bertubi-tubi dan menggetarkan sukma.
Suara gesekan yang menggetarkan sukma seketika membuat sekujur tubuh Suto Si terasa
panas sekali, apalagi setelah menyaksikan tubuh bugil yang sedang bergumul dengan sengitnya,
kontan gadis ini merasa bibirnya jadi kering.
Apalagi saat itu dia sedang berdiri di belakang Cau-ji yang sedang "bergumul", setiap kali
pemuda itu mencabut atau menghujamkan kembali "tombak" panjangnya dari liang Siang Ci-ing,
ia dapat mengikuti semuanya secara jelas.
Terlihat dengan jelas 'dua belah bibir pintu luar" liang milik Siang Ci-ing yang ditusuk oleh
'tombak panjang", berulang kali 'melumat' dan 'menyembur', sementara titik darah bercampur
cairan putih meleleh keluar tiada hentinya dari lubang bagian bawah dan membasahi sebagian
bulu yang lebat.
Ketika dibasahi cairan putih bercampur darah, bulu yang warnanya memang hitam terlihat
makin bercahaya dan mengkilap.
Tanpa sadar Suto Si mulai menggerayangi tubuh bagian bawah sendiri dan menggosoknya
berulang kali. Tak lama kemudian dengus napas Siang Ci-ing mulai memburu, diiringi suara napas
ngos-ngosan gadis itu mulai merintih dengan nyaring,
"Oh ... oh ... uh ... ah ... ah ... aduh... aduuh ... lebih keras... ah..."
Mengikuti teriakan-teriakan itu, sekujur badannya gemetar makin keras.
Melihat anggota badannya meronta tiada hentinya, Cau-ji jadi panik, buru-buru dia kempit
sepasang kakinya dengan lengan kemudian sambil menekan pinggangnya, ia mulai menggempur
secara ganas. Tiba-tiba lubang surga Siang Ci-ing terasa menghisap kencang, begitu kencang isapan itu
membuat 'batang tombak' nya seolah terbelenggu kencang, liang gua yang semula sempit pun
tiba-tiba terasa jauh lebih longgar dan lebar.
Sambil menggenjot terus, diam-diam ia mulai memperhatikan keadaan Siang Ci-ing, tampak
seluruh wajah dan rambut nona itu sudah basah oleh keringat, paras mukanya yang semula merah
pun kini bertambah pucat, sadarlah pemuda ini, si nona telah menghabiskan banyak tenaga untuk
goyangannya tadi.
Terlihat gadis itu memejamkan mata dengan sepasang bibirnya sebentar membuka sebentar
menutup, sekulum senyum kepuasan tersungging di ujung bibirnya, ini membuktikan kegetiran
yang semula dicicipi kini telah menghasilkan madu yang manis.
Dia merasa 'tombak panjang' miliknya seakan direndam dalam termos kecil yang dipenuhi air
panas, mulut termos terasa kencang dan sempit, tapi bagian dalamnya lebar dan hangat.
Ketika tombak panjangnya masuk keluar, ia dapat merasakan isapan yang kencang tapi nikmat,
sedemikian nikmat hingga membuatnya berkeinginan untuk 'kencing', tak kuasa lagi dia bersorak
kenikmatan. Apalagi liang dasar termos itu begitu dalam dan kering, mengikuti setiap goyangan pinggung
Siang Ci-ing selalu membuat ujung tombaknya seolah terbentur keras, kenikmatan yang dirasakan
waktu itu sungguh tak terlukiskan dengan kata-kata.
Tak kuasa lagi dia pun ikut bergoyang dan menggenjot makin kencang.
Dua bersaudara Suto yang menonton dari samping tak kuasa menahan diri lagi, api birahi mulai
membakar sekujur tubuh, membuat kedua gadis ini kegerahan, haus dan... 'kepingin'!
Lama kelamaan mereka tak sanggup menahan diri lagi, satu per satu baju mereka tanggalkan,
tak selang beberapa saat kemudian kedua gadis ini sudah telanjang bulat.
Dalam keadaan seperti ini, Suto Bun seolah lupa dengan pernyataannya tadi, lupa kalau ia
sudah berjanji tak akan memberi "bantuan".
Kedua orang itu sembari mengempit tubuh bagian bawahnya, sambil menahan rasa gatal yang
tiba-tiba menyerang liang mereka, menonton jalannya pertarungan itu dengan mulut
membungkam. Dengan susah payah akhirnya tiba juga saat Siang Ci-ing mulai merintih berulang kali, sekujur
badannya mulai lemas tak bertenaga, sambil tertawa cekikikan Suto Bun mengambil handuk kecil,
lalu mulai menyeka keringat yang membasahi jidat Cau-ji.
Dengan gerakan lembut Cau-ji membaringkan tubuh Siang Ci-ing ke lantai, tubuh bagian
bawahnya masih menempel ketat, dia merasa 'tombak panjang'nya masih terisap kencang di
dalam 'termos kecil' itu, bukan cuma tergencet, bahkan terasa bagaikan diisap dengan
kencangnya. Tak terlukiskan rasa nikmat yang dirasakannya waktu itu, jauh lebih nikmat ketimbang bermain
di nirwana, bahkan nyaris memaksa tombaknya muntah.
Coba kalau bukan pada saat yang bersamaan Cau-ji menangkap sinar kelaparan yang terpancar
dari balik mata Suto bersaudara, ingin sekali pemuda itu melampiaskan semburan cairannya ke
balik liang hangat gadis itu.
Terlihat Siang Ci-ing menghela napas kepuasan, anggota badannya direntangkan santai, lalu
sambil tersenyum terlelap tidur.
Cau-ji ikut menghembuskan napas panjang, ujarnya kemudian sambil tertawa getir, "Wow,
puas, sungguh puas! Lelah benar pertempuran kali ini, rasanya jauh lebih penat dibanding
pertarungan di muka loteng Hong-hok-lau tempo hari!"
Sambil berkata, dia cabut 'tombak panjang'nya dari dalam termos air hangat itu.
Sambil menyeka tubuh bagian bawah Siang Ci-ing dengan handuk, tiba-tiba bisik Suto Si,
"Sangat mengerikan! Tak nyana luka di bibir miliknya bisa begitu lebar...."
Sembari bergumam, dia mengambil bubuk obat luka luar dan dibubuhkan ke atas luka itu.
Cau-ji yang berbaring di sisi Siang Ci-ing pun berbisik sambil tersenyum, "Cici Bun, kemari kau,
ayoh kita main yang enak!"
Sambil menahan rasa girang yang luar biasa, dengan muka bersemu merah Suto Bun berjalan
menghampiri Cau-ji, lalu sambil menunggang di atas perut pemuda itu, dengan sangat
pengalaman dia incar tombak milik lawan dan ... dengan telak dilalapnya senjata lawan hingga
lenyap. "Wah, enci Bun, sekarang kau lebih trampil dan pengalaman, cepat amat kemajuanmu! Ooh,
dibandingkan gerakan ngawur tadi, benar-benar bedanya bagaikan langit dan bumi!"
Sementara berbicara, tangannya mulai menggerayangi dada nona itu dan mulai meremasremas
sepasang payudaranya.
"Adik Cau," jawab Suto Bun malu-malu, "kepunyaanmu rasanya makin lama makin besar,
panjang dan kasar, kalau benda itu berkembang terus, lain kali siapa yang berani mengawinimu!"
"Hahaha, enci Bun, kau jangan menggoda aku, padahal kepunyaanmu pun semakin hari
semakin bertambah lebar. Hahaha.."
"Jangan tertawa," tukas Suto Bun sambil meninju dadanya, "kalau bukan gara-gara milikmu,
mana mungkin kepunyaanku jadi makin lebar!"
Cau-ji tak kuasa menahan gelinya lagi, ia tertawa berulang kali.
Sesudah memindahkan tubuh Siang Ci-ing ke sisi lain, Suto Si segera ikut menggabungkan diri,
sambil menciumi dada Cau-ji yang kekar, katanya sambil tertawa, "Cau-ji, kau benar-benar
seorang lelaki yang banyak rezeki, semua perempuan pernah kau nikmati, aku benar-benar kagum
atas kehebatanmu!"
"Enci Si, benar juga ucapanmu," sahut Cau-ji sambil membelai rambutnya, "semenjak Siaute
berkumpul bersama Cici berdua, rasanya segala urusan jadi lancar, kalian memang pembantu
Siaute yang paling hebat!"
Sambil berkata dia rangkul tubuh nona itu, lalu menciumnya dengan penuh kemesraan.
Sementara itu Suto Bun telah mencapai puncak orgasme, dengan wajah puas dia menyeka
tubuh bagian bawahnya dengan handuk, lalu sambil bangkit berdiri, katanya, "Cici, sekarang
giliranmu!"
Tiba-tiba Cau-ji melompat bangun, dengan cepat dia rampas handuk kecil yang mengganjal
tubuh bagian bawah Suto Bun, ketika melihat cairan kental masih meleleh keluar dari tubuh
bagian bawahnya, kontan ia tertawa cekikikan.
"Nakal kamu!" jerit Suto Bun sambil mengambil handuk lagi dari buntalannya dan ditutupkan ke
tubuh bagian bawahnya, "sekarang kau tak dapat merebutnya lagi"
"Ehm, sungguh harum!" bisik Cau-ji setelah mengendus handuk kecil itu berulang kali, lalu
sambil tertawa dia membaringkan diri lagi.
"Kembalikan!" teriak Suto Bun malu, sambil menerkam dia berusaha merebutnya kembali.
Cau-ji tertawa terkekeh, bukan saja tidak menghindar, malah dengan ujung kaki kanannya
cepat ia menggaet handuk yang terjepit di tubuh bagian bawahnya dan berseru sambil tertawa
tergelak tiada hentinya.
Melihat usahanya 'mencuri ayam tak berhasil malah kehilangan beras segenggam', buru-buru
Suto Bun berseru, "Dasar bandel!"
Tubuhnya langsung membalik dan menindih tubuh Cau-ji kuat-kuat, lalu tangannya berusaha
menyambar kembali handuknya yang kena dirampas itu.
Ternyata untuk memperebutkan handuk itu, mereka berdua sama-sama telah menggunakan
ilmu Kim-na-jiu-hoat.
Setelah menunggu dengan susah-payah, akhirnya Suto Si baru mendapat kesempatan untuk
'menikmati surgawi', dia jadi amat gelisah setelah melihat gurauan kedua orang itu malah
membuatnya terabaikan, dalam gelisah tanpa banyak bicara dia segera merebut handuk yang ada
di ujung kaki Cau-ji.
Mula-mula Cau-ji agak tertegun setelah merasa handuk itu terampas, tapi bocah ini segera
mengerti apa yang diinginkan lawannya.
Tanpa banyak bicara dia peluk Suto Si erat-erat, lalu teriaknya sambil tertawa, "Enci Si, kau
tidak adil, kenapa malah membantu enci Bun?"
Sambil berkata dia membalik tubuh gadis itu dan ditindih di bawah badannya, tanpa membuang
waktu 'tombak panjang'nya langsung dihujamkan ke lubang gua lawan dan mulai melepaskan
serangkaian serangan gencar.
Baginya inilah hukuman setimpal yang harus diterima gadis itu!
Suto Si menerima hukuman itu dengan wajah berseri, bukan saja tidak marah, dia malah
mengimbangi serangan lawan dengan goyangan pinggul ke kiri kanan.
Ketika Suto Bun selesai membersihkan tubuh bagian bawahnya dan melihat kedua orang itu
sedang saling bertempur dengan ganasnya, cepat ia berjalan mendekat, lalu sambil menjepit
pinggul Cau-ji dengan kedua belah tangannya, ia bantu mendorong pantat pemuda itu ke bawah.
"Plook!", tekanan itu membuat tombak Cau-ji menghujam makin dalam dan makin keras.
Seketika itu juga Suto Si merasakan dasar liangnya sakit, linu, kaku, dan gatal, menyusul
kemudian perasaan kecut, manis, getir, pedas, asin bercampur aduk di rongga dadanya.
"Adik Bun, jangan bergurau!" buru-buru teriaknya.
Suto Bun melongok sekejap, melihat saudaranya setengah memejamkan mata sambil
tersenyum, dia tahu gadis itu 'lain di mulut lain di hati', diam-diam ia tertawa geli sendiri.
Cau-ji sendiri pun merasa sangat tertarik dengan permainan ini, maka dia pun membiarkan
gadis itu berbuat semaunya.
Berapa ratus genjotan kemudian Suto Si mulai tak kuasa menahan diri, dia mulai mendesis
sambil menjerit,
"Aduuh ... aduuuh ... linu ... aduh ... aduh ... linu... gatal ... aduuuh ... aku tak tahan lagi ... aku
hampir mati... aduh hampir mati.."
Kalau di masa lalu, seenak dan senikmat apa pun Suto Si pasti rikuh untuk mendesis apalagi
berteriak, tapi hari ini benar-benar berbeda, hari ini dia merasakan kenikmatan yang luar biasa,
jadi tak heran dia tak sanggup mengendalikan diri.
Begitu Cau-ji merasakan dasar liang perempuan itu mulai mengisap dengan kuatnya, cepat ia
berbisik lirih, "Enci Bun, istirahat saja dulu! Jangan sampai milikmu terlukai Kalau kejadiannya
sama seperti yang dialami nona Siang, kita yang susah nanti!"
Tergerak hati Suto Bun begitu mendengar ia menyinggung tentang nona Siang, ketika
berpaling, kebetulan ia jumpai tubuh nona itu sedang gemetar, satu ingatan pun segera melintas
dalam benaknya.
"Baiklah!" katanya kemudian sambil bangkit dan duduk, "tapi... adik Cau, kau sudah 'selesai'
belum?" Sambil memeluk Suto Si dan mengantarnya mencapai puncak orgasme, sambut Cau-ji, "Enci
Bun, gara-gara membantu nona Siang memunahkan racunnya dan mesti mengerahkan tenaga
untuk menghadapi kawanan iblis itu, Siaute sudah cukup banyak kehilangan tenaga, sekarang
sekujur badanku malah terasa makin bertenaga."
Suto Bun jadi tegang setengah mati sehabis mendengar ucapan itu.
Diam-diam ia coba memperhatikan dengus napas Siang Ci-ing, dia tahu gadis itu sudah
mendusin, namun karena malu maka berlagak belum sadar, menggunakan kesempatan itu buruburu
ia bantu Cau-ji memberi penjelasan.
"Adik Cau," katanya sambil tertawa, "kau memang luar biasa kuatnya, padahal untuk
membantu enci Ing memunahkan racun yang mengeram di tubuhnya, kau sudah bekerja keras
selama hampir dua jam. Masa sampai sekarang kau masih bertenaga" Hi, kau memang sangat
menakutkan!"
"Hahaha, semuanya ini berkat empedu naga sakti berusia ribuan tahun yang kumakan. Enci
Bun, enci Si sudah hampir loyo, tolong kau bersiap-siap menggantikannya!"
Dengan wajah merah jengah Suto Bun membaringkan diri, katanya, "Adik Cau, kau mesti
pandai mengendalikan diri, kalau sampai aku pun tak mampu memuaskanmu, kau bakal kerepotan
sendiri!" Pada saat itulah terdengar Suto Si berkeluh sambil menghela napas, "Oh, Thian, nikmatnya!"
Setelah tubuhnya gemetar sesaat, akhirnya dia pun tergeletak lemas tak bertenaga.
"Enci Si, istirahatlah dulu!" bisik Cau-ji sambil mengecup bibirnya dengan mesra.
"Adik Cau, terima kasih banyak, kau telah memberi kenikmatan yang luar biasa untuk Cicimu,"
sahut Suto Si terharu.
Coba kalau tubuhnya tidak sedang lemas tidak bertenaga, niscaya dia akan memeluk adik
Caunya kencang-kencang.
Setelah meninggalkan Suto Si, kali ini Cau-ji menubruk ke atas tubuh Suto Bun, 'tombak
panjang'nya begitu ditusukkan masuk ke dalam liang, ia mulai menggenjot dengan ganasnya.
"Plak ... plak", suara gesekan disertai bunyi keras bergema tiada hentinya.
Suto Bun dengan sepasang tangan memeluk punggung Cau-ji, sementara sepasang kakinya
melingkar di pinggangnya, tubuh bagian bawahnya bergesek mengimbangi gerakan Cau-ji yang
memompa dengan penuh tenaga.
Menggunakan kesempatan ini dia praktekkan semua pelajaran ilmu ranjang yang dipelajarinya
secara diam-diam ketika masih berada di rumah makan Jit-seng-lau tempo hari.
Sementara itu sebenarnya Siang Ci-ing sedang menikmati pesiarnya di alam surga tingkat ke
tiga puluh tiga ketika secara tiba-tiba dikejutkan oleh suara jeritan Suto Si yang keras.
la jadi malu sekali ketika mendusin dan melihat di sampingnya ada sepasang laki perempuan
sedang melakukan 'pertempuran habis-habisan', buru-buru dia memejamkan mata kembali sambil
berpikir, siapa gerangan mereka itu" Kenapa dirinya bisa berada di situ"
Tapi setelah diperhatikan sesaat, dia pun segera mengenali suara Cau-ji yang serak-serak itu
sebagai kekasih hati yang baru saja merenggut mahkota gadisnya, rasa kejut bercampur girang
membuat sekujur tubuhnya kembali gemetar keras.
Apalagi sesudah mendengar pembicaran Cau-ji dengan Suto Bun, tanpa terasa ia terbayang
kembali dengan pengalamannya sewaktu bertarung melawan wanita cantik dan kakek berbaju
hitam, ia sadar dirinya pasti sudah diracuni orang-orang itu.
Untung saja dalam keadaan kritis ia berhasil diselamatkan pujaan hatinya, coba kalau tidak,
mungkin dia akan mengalami nasib yang amat tragis.
Dalam bersyukur dan girangnya, diam-diam ia memeriksa tubuh sendiri, segera dijumpai bukan
saja dirinya berada dalam keadaan bugil, bahkan secara lamat-lamat tubuh bagian 'rahasia'nya
terasa agak sakit dan pedih.
Kenyataan ini seketika membuatnya terkejut bercampur girang.
Terkejut karena tak disangka ia telah melakukan perbuatan itu.
Girang karena keinginannya terkabul sekarang, kalau bukan lantaran ingin menyelamatkan dia,
tak nanti kekasihnya akan berbuat selancang ini, berarti selanjutnya dia pun sudah mempunyai
tambatan hati. Berpikir sampai di situ hati pun merasa lega, karena sudah tenang maka dia pun mulai 'mencuri
dengar' suara yang ada di sekitarnya.
la mulai mendengar suara napas yang memburu!
Lalu suara "plook ... plookk yang nyaring.
Disusul suara mendesis yang aneh ....
Ketika masuk ke lubang telinganya, suara itu terasa begitu aneh, begitu menggetarkan sukma,
membuat dadanya menggelora.
Tak lama kemudian ia mulai merasa gejala tak beres dengan tubuh bagian bawahnya.
Setelah bertahan hampir satu jam, Suto Bun mulai merasa napsunya semakin memuncak, titik
orgasme sudah semakin menghampiri, ini semua membuatnya tak kuasa mengendalikan diri lagi,
dia mulai merintih, mulai mengerang.
"Yau-siu (dasar umur pendek)," desis Cau-ji dengan perasaan cemas, "sejarah bakal terulang
lagi, padahal aku sedang nikmatnya merasakan hubungan ini, kenapa enci Bun sudah hampir
keok" Wah, bagaimana ini?"
Sambil berpikir dia pun mempergencar genjotannya.
Suto Bun semakin tak kuat menahan diri, ia mulai menjerit sambil berteriak, "Ah ... aa ... adik
Cau ... jangan ... jangan kuatir... enci Ing ... enci Ing pasti akan membantumu ... aduh ... aduh.."
Mendengar teriakan itu, sambil memperlambat genjotannya Cau-ji menengok ke samping, betul
saja, ia jumpai Siang Ci-ing sedang menggerakkan tubuhnya, dengan perasaan girang dia
melanjutkan tusukannya.
Siang Ci-ing merasa malu setengah mati, buru-buru dia membalikkan tubuhnya ke arah lain.
Melihat kejadian ini Suto Si pun tersenyum sambil menghembuskan napas lega.
Dalam pada itu sekujur tubuh Suto Bun telah mengejang keras, bulu kuduknya berdiri, berulang
kali dia merintih tiada hentinya.


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terakhir setelah gemetar keras, dia pun mencapai orgasme.
Dengan lembut Cau-ji mendekam di atas tubuh Suto Bun, sembari menikmati kenyamanan
yang diberikan gadis itu ketika mencapai puncaknya, dia mulai berpikir bagaimana caranya
mengajak Siang Ci-ing melakukan hubungan kembali.
Suto Si segera memahami jalan pikiran pemuda itu, buru-buru ia mendekati Siang Ci-ing
sembari berbisik, "Enci Ing, aku adalah dua bersaudara dari keluarga Suto, Suto Si dan Suto Bun.
Kami berharap Cici mau menolong adik Cau lolos dari kesulitan yang sedang dihadapi, nanti kalau
semua telah beres, kita berbincang lagi. Mau kan?"
Sambil berkata ia membantu menelentangkan tubuh gadis itu.
Tersipu-sipu Siang Ci-ing memejamkan mata, dalam keadaan begini ia tak berani sembarang
bergerak. Suto Si melirik Cau-ji sekejap, kemudian sambil tersenyum ia mulai menggeser ke samping.
Dengan terharu Cau-ji manggut-manggut, dia cabut keluar 'tombak panjang'nya, kemudian
setelah menindih di atas tubuh Siang Ci-ing, tubuh bagian bawahnya ditekan ke bawah, 'tombak
panjang' miliknya pun kembali menusuk masuk ke dalam 'termos kecil'.
Dengan lemah lembut dipeluknya pinggang si nona yang ramping, lalu sambil perlahan-lahan
menggerakkan badannya, ia berbisik lembut, "Enci Ing, Siaute dari marga Ong bernama Bu-cau!"
Secara garis besar dia memperkenalkan asal-usul keluarga sendiri.
Siang Ci-ing tidak mengira kekasih hatinya adalah putra sulung Ong Sam-kongcu yang
termashur dalam dunia persilatan, rasa kejut bercampur girang yang dirasakan sekarang benarbenar
tak terlukiskan dengan kata.
Kembali Cau-ji berbisik dengan lembut, "Enci Ing, gara-gara keteledoran Siaute berakibat kau
terkena bubuk perangsang milik Jit-seng-kau, untung atas kebijaksanaan kakakmu, dia telah
merestui perkawinan Siaute denganmu"
Siang Ci-ing yang selama ini hanya memejamkan mata rapat-rapat jadi amat girang mendengar
kabar ini, tanpa terasa ia membuka matanya dan berseru sambil menatap mesra wajah pemuda
itu, "Sungguh?"
Cau-ji manggut-manggut.
"Benar!" sahutnya, "kalau tidak, Siaute mana berani mengusik tubuh Cici?"
"Adik Cau, terima kasih banyak ... terima kasih banyak " tak tahan Siang Ci-ing memeluk
kencang anak muda itu.
Rasa girang yang luar biasa membuat air matanya tak terbendung lagi.
Sementara itu Suto Bun menghembuskan napas lega, ketika melihat Siang Ci-ing masih mampu
bertahan setengah jam lamanya, dia pun mengenakan pakaian sembari memutar otak.
Suto Si menunggu sampai adiknya selesai berpakaian, lalu mereka berdua meninggalkan gua
itu sambil saling melempar senyuman.
Tentu senyuman itu adalah senyum kepuasan.
Mereka tak mengira segala peristiwa berjalan secara lancar.
Begitu melihat Suto bersaudara sudah meninggalkan ruang gua, Siang Ci-ing merasa sangat
lega, rasa rikuh atau malunya ikut hilang setengah, pelan tapi pasti dia mulai mengimbangi
gerakan tusukan Cau-ji dengan goyangan pinggulnya.
Biarpun gerakan tubuhnya masih bebal dan bodoh, namun "termos" alam yang dimilikinya
sangat membantu gadis itu dalam proses menuju kenikmatan, Cau-ji pun memperoleh rasa nikmat
yang tidak terhing-ga.
Sebaliknya Cau-ji tahu belum lama berselang "selaput dara"nya baru robek, agar gadis itu tak
merasa sakit karena gesekan, pemuda ini memperlambat dan memperingankan gerakan tubuhnya.
Begitulah, sambil melakukan gerakan yang erotis, pemuda itu menceritakan pula asal-usul Suto
bersaudara. Siang Ci-ing tidak menyangka nasib dua bersaudara Suto begitu tragis, terlebih tak mengira
mereka pun menjadi korban kebusukan orang-orang Jit-seng-kau, di samping ikut merasa gusar,
timbul pula perasaan simpatiknya terhadap kedua gadis itu.
Mereka pun mulai bercumbu rayu ....
Perasaan batin muda-mudi itu kian lama kian bertambah mesra dan hangat....
Tanpa sadar ... tanpa terasa ... mereka berdua sama-sama mencapai orgasme.
Dalam pada itu, dua bersaudara Suto yang menunggu di luar gua mulai terusik oleh suara
cicitan burung yang terbang balik ke sarang, ketika mendongakkan kepala, mereka baru sadar
bahwa senja telah menjelang tiba.
Suto Bun mencoba untuk pasang telinga, setelah mendengarkan sejenak, bisiknya sambil
tertawa, "Cici, kelihatannya mereka berdua cocok sekali!"
"Ya, mereka cocok dan bercumbu rayu, sementara kita disantap nyamuk gunung, kalau tidak
pergi sekarang, langit bakal gelap lebih dulu."
"Benar! Setelah sibuk seharian sejak kemarin, seharusnya kita mencari tempat untuk
membersihkan badan. Tapi ... adik Cau dan enci Ing masih berasyik-masyuk, bagaimana cara kita
memanggil mereka?"
"Kalau begitu, adikku, lebih baik kita gunakan suara nyanyian saja untuk memancing perhatian
mereka," usul Suto Si sambil tertawa.
Maka mereka pun mulai bersenandung, mulai bernyanyi dengan suara merdu.
Entah beberapa saat sudah lewat, tiba-tiba kedua orang itu merasa pinggang mereka dipeluk
seseorang dengan lembut, menyusul kemudian terdengar suara Cau-ji berbisik, "Cici, suara
senandung kalian sungguh manis dan merdu didengar!"
"Ah, rupanya adik Cau, maaf kalau kami telah mengganggu ketenanganmu!" sahut Suto Si lirih.
"Ah, tidak apa-apa, tidak apa-apa," sahut Cau-ji sambil tertawa pula, "tadi Siaute hanya merasa
ada suara nyamuk sedang mendengung di sisi telinga, aku segera sadar, tentu malam sudah
menjelang tiba."
Siang Ci-ing yang berdiri di belakangnya sambil membawa buntalan, tak kuasa menahan rasa
gelinya lagi, ia tertawa cekikikan.
"Bagus," Suto Bun kontan berteriak, "adik Cau, ternyata kau lupa budi kami, baru selesai
menikmati malam pengantin, kau sudah mulai mencari akal untuk mendepak kami berdua si 'mak
comblang nyamuk', huuh, kau tak boleh begitu."
Seraya berkata, dengan gemas dia cubit paha pemuda itu keras-keras.
"Aduuh mak, sakit ...."jerit Cau-ji. Melihat tingkahnya yang kocak, kontan ketiga gadis itu
tertawa cekikikan.
"Mari kita pergi!" ajak Cau-ji kemudian sambil tertawa, "cari rumah penginapan, mandi yang
segar dan makan sampai kenyang!"
Berkata sampai di situ, ia pun beranjak pergi.
Suto bersaudara segera mengikut dari belakang, sambil berjalan mereka membersihkan obat
penyamar muka dari wajahnya.
Diam-diam Siang Ci-ing menghela napas kagum, apalagi setelah menyaksikan wajah asli dua
bersaudara Suto yang cantik dan anggun itu.
Ketika tiba kembali di luar kota Bu-cong, untuk menghindari perhatian orang banyak mereka
sengaja mencari sebuah rumah penginapan kecil, setelah memesan kamar, mereka berempat pun
mulai mandi membersihkan badan dari keringat dan debu.
Kurang lebih satu jam kemudian, keempat orang itu sudah muncul kembali dalam rumah
makan nomor wahid di kota Tiang-sah.
Mereka mencari tempat duduk yang strategis dan mulai bersantap dengan santainya.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba terdengar sang Ciangkwe rumah makan berseru dengan
suara tergagap, "Liu-toaya, kenapa hari ini datang agak terlambat?"
"Maknya," terdengar seorang menyahut dengan suara keras bagai geledek, "belum lagi terang
tanah, entah setan busuk dari mana yang membuat onar hingga membuat kesayangan Toaya
sakit panas, ai ... dengan susah-payah aku mesti menunggu sampai dia tertidur baru bisa datang
kemari." Ketika Cau-ji berempat berpaling, terlihat seorang lelaki gemuk tinggi besar, wajah ramah,
perut buncit, dan senyum dikulum berjalan masuk ke dalam ruang rumah makan
Di belakangnya mengikut seorang lelaki kekar berusia tiga puluh tahunan, dari gayanya bisa
diduga orang itu adalah centengnya.
Terdengar pemilik rumah makan itu kembali berkata, "Toaya, aku dengar orang yang
mengeluarkan suara tertawa aneh pagi tadi sempat membunuh beberapa orang di muka rumah
makan Huang-hok-lau."
"Huh, untung yang dia hadapi cuma beberapa ekor kucing penyakitan," sahut Liu-toaya sinis,
"coba kalau bertemu Toaya, akan kuhajar dia sampai remuk badannya."
"Benar, siapa yang tak tahu kepandaian kungfumu hebat, tenaga saktimu tiada tandingan di
kolong langit."
"Hahaha, cepat hidangkan makanan lezat!"
"Baik, baik... cepat layani Toaya kita!"
Dari sisi kanan ruangan segera terdengar suara sahutan yang merdu, disusul kemudian
terendus bau harum semerbak, enam orang gadis bergaun kuning muncul dari balik ruangan dan
berjalan menuju ke hadapan Liu-toaya.
"Salam untuk Toaya!" seru keenam gadis itu serentak.
Menyusul tampak bayangan kuning berkelebat, ada empat gadis di antaranya segera bergeser
ke belakang tubuh orang itu, membuat kuda-kuda setengah jongkok dan berdiri setengah
lingkaran di belakang Liu-toaya.
Tanpa sungkan Liu-toaya duduk di atas lutut keempat gadis yang setengah berjongkok tadi,
sementara sepasang tangannya memeluk dua gadis lainnya dan mulai mencium sambil
menggerayangi tubuhnya.
Suara cekikikan jalang pun bergema.
Biarpun diduduki Liu-toaya yang bobot tubuhnya mencapai dua ratusan kati, ternyata keempat
gadis yang setengah berjongkok itu tetap tersenyum simpul, bukan saja tubuhnya bergeming,
bahkan lebih mapan daripada bukit Thay-san, hal ini membuktikan kungfu mereka sangat
tangguh. Tak lama kedua gadis itu muncul lagi sambil membawa sebuah piring berisi hidangan, serunya,
"Toaya, silakan makan!"
"Hahaha, bagus, bagus, Tite (kaki babi) masak angsio yang harum baunya."
Sambil memeluk pinggang si nona dengan mesra, Liu-toaya pun mengunyah daging yang
disuapkan ke mulutnya.
Bukan cuma memeluk, Liu-toaya malah memasukkan tangannya ke balik baju gadis-gadis itu
sambil menggerayangi payudaranya.
"Toaya, jangan begitu," desis gadis berbaju kuning genit, "masa badanku digerayangi terus,
geli...." "Hahaha, minum arak wangi harus ditemani gadis cantik"
Bab 2. Merampas pedang pembunuh naga.
Melihat cara pelayanan yang begitu istimewa, diam-diam Cau-ji berempat merasa tercengang,
mereka mulai berpikir siapa gerangan orang ini.
Cau-ji sendiri pun mulai menduga-duga, dengan bentuk tubuhnya yang kedodoran dan perut
buncit, kira-kira gaya apa yang akan digunakan sewaktu menyelesaikan hajatnya.
Bayangkan saja, perutnya begitu buncit, yang jelas akan sangat mengganjal ketika menindih
tubuh cewek, bagaimana "tombak'nya bisa dimasukkan ke dalam lubang surga"
Makin dibayangkan dia semakin geli, pada akhirnya anak muda itupun tertawa terbahak-bahak.
Waktu itu Liu-toaya sedang menikmati arak dan perempuan cantik dengan santainya,
mendengar suara tertawa dia pun melirik sekejap, tapi begitu melirik, sepasang matanya kontak
berkilat. Tiba-tiba ia menyingkirkan kedua gadis yang berada di sisinya, lalu sambil bangkit ia berjalan
menghampiri Cau-ji.
Dengan pandangan tercengang dan keheranan para tamu lain pun sama-sama memandang ke
arah Cau-ji sekalian.
Begitu tiba di hadapan sang pemuda, sambil tertawa lebar tegur Liu-toaya, "Saudara cilik, apa
yang kau tertawakan?"
Begitu tertawa geli, Cau-ji sudah menduga pihak lawan bakal menghampirinya, maka sambil
tertawa lebar sahutnya, "Begitu melihat bentuk tubuhmu, Siauya langsung teringat Toaso yang
ada di dusun, entah saat ini sudah melahirkan atau belum?"
Berubah hebat paras muka Liu-toaya mendengar perkataan itu, dia tak mengira perut buncitnya
bakal dipakai sebagai bahan olok-olok.
Tergopoh-gopoh pemilik kedai berlari mendekat, serunya, "Kongcu, keliru besar perkataanmu
itu, tahukah kau bahwa kepala gede, muka Lopan, perut buncit menandakan orang yang banyak
rejeki?" "Aku tahu, cuma Siauya tidak percaya."
"Kongcu, banyak bicara lidah bisa keseleo, lebih baik jangan banyak omong!"
"Jangan banyak omong" Sayangnya Siauya tidak merasa ada yang keliru. Tadinya aku sangka
kau cukup makmur, ternyata setelah dibandingkan Loheng ini, kau termasuk orang yang kurang
gizi!" Siang Ci-ing bertiga tak kuasa menahan rasa gelinya lagi, kontan mereka tertawa cekikikan.
Merah bercampur pucat paras pemilik rumah makan itu, untuk sesaat ia tak tahu mesti berbuat
apa. Sementara Liu-toaya berdiri terperangah, apalagi setelah melihat senyuman ketiga gadis cantik
bak bidadari itu.
Cau-ji semakin tak suka, apalagi melihat gaya si gemuk mengawasi gadisnya, setelah
mendengus dingin, jengeknya, "Huh, siapa bilang kepala besar, muka Lopan, perut buncit itu
banyak rezeki" Memangnya babi gemuk pun dianggap banyak hokki?"
Bukannya gusar oleh makian itu, Liu-toaya malah tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, saudara cilik, bagus amat perkataanmu itu!"
Sembari bicara dia balik kembali ke tempat duduknya, duduk di atas pangkuan empat
perempuan cantik itu.
Dalam pada itu kedua lelaki kekar berwajah seram itu sudah menerjang maju lagi ke hadapan
Cau-ji, lelaki yang di sebelah kanan segera membentak dengan suara berat, "He, kunyuk kecil,
mari kita selesaikan urusan di luar saja!"
Cau-ji menggeleng sambil tertawa dingin.
"Lebih baik enyah dari hadapanku! Budak macam kau tak pantas bicara dengan Siauya!"
Tak terlukis rasa gusar orang itu, sambil membentak keras sebuah pukulan langsung
dibacokkan ke pipi kiri lawan.
"Cuuh!", tiba-tiba Cau-ji memuntahkan segumpal riak kental dan langsung disemburkan ke atas
telapak tangan orang itu.
"Aduh!" teriak orang itu kesakitan, dengan wajah pucat ia tarik kembali tangannya sambil
melompat mundur.
Siapa pun dapat melihat telapak tangan orang itu sudah hancur berlumuran darah karena
semburan riak kental itu, kehebatan kungfu semacam ini nyaris belum pernah dilihat oleh siapa
pun, tak heran jeritan kaget bergema.
Lelaki yang berada di sebelah kiri kembali membentak gusar, tinjunya langsung dilayangkan ke
depan membacok dada Cau-ji.
Biarpun menghadapi pukulan, Cau-ji sama sekali tak melirik, sambil menjengek kembali dia
meludah. Orang itu menjerit aneh, cepat dia tarik tinjunya sambil melompat mundur.
Kembali darah segar tampak meleleh dari telapak tangannya, jelas dia pun sudah terluka.
Kini semua yang hadir benar-benar terkesima dibuatnya, mereka berdiri melongo dengan mata
terbelalak lebar.
Berubah paras muka Liu-toaya menyaksikan kejadian itu, cepat ia bangkit dan berseru dengan
suara berat, "Sobat, tak kusangka kungfumu begitu hebat, kagum! Sungguh mengagumkan! Kalau
jantan, tinggalkan namamu!"
"Hahaha, tidak perlu."
"Ooh, dasar penakut!"
"Hahaha, menyandang gelar 'Manusia pelumat mayat' pun Cayhe tak takut, kenapa mesti jeri
kepada manusia macam kau/"
Begitu mendengar nama 'Manusia pelumat mayat', paras Ciangkwe gemuk itu seketika berubah
hebat, buru-buru tanyanya, "Kongcu, apakah kau dari marga Yu?"
Cau-ji tidak menyangka dia akan mengajukan pertanyaan itu, tergerak hatinya, sambil menatap
tajam orang itu, tegurnya dengan suara dalam, "Betul, Cayhe adalah Yu Si-bun!"
Seketika itu juga sikap Ciangkwe gemuk itu berubah seratus delapan puluh derajat, dengan
sikap yang amat hormat katanya lagi, "Cayhe Tong San-kok adalah saudara jauh In Jit-koh dari
rumah makan Jit-seng-ciu-lau, Jit-koh telah berpesan bila bertemu Kongcu, Cayhe harus melayani
dengan sebaik-baiknya!"
Cau-ji tidak menyangka tempat ini merupakan salah satu markas penghubung Jit-seng-kau,
dengan suara dalam segera serunya, "Jit-koh benar-benar kelewat banyak adat, sana, kau boleh
sibuk dengan urusanmu sendiri."
Habis berkata, kembali ia berpaling ke arah Liu-toaya sambil ujarnya, "Bagaimana" Siauya telah
menyebut nama, sekarang sudah merasa puas bukan?"
Begitu melihat pihak lawan punya hubungan yang akrab dengan Tong San-kok, sikap Liu-toaya
seketika berubah. Sambil mendengus dingin ia keluarkan selembar uang kertas, diserahkan ke
tangan seorang gadis di sisinya kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun dengan
tergopoh-gopoh meninggalkan tempat itu.
Kedua lelaki kekar itu ikut terlalu dengan tergesa-gesa, tapi sebelum berlalu mereka sempat
menoleh dan melotot sekejap ke arah Cau-ji dengan penuh rasa dendam.
Sepeninggal orang-orang itu, Tong San-kok baru berkata lagi, "Kongcu, silakan masuk, mari
kita bicara di dalam saja!"
Cau-ji tertawa terbahak-bahak, bersama ketiga nona, ia ikut di belakang Tong San-kok masuk
ke ruang baca di halaman belakang.
Setelah mengunci pintu, Tong San-kok berlutut sambil menyembah, katanya dengan penuh
rasa hormat, "Hamba Tong San-kok menjumpai Tongcu"
"Bangunlah!"
"Terima kasih Tongcu!"
"Sudah mendapat kabar tentang si Manusia pelumat mayat?" tanya Cau-ji dengan suara dalam.
"Lapor Tongcu, pagi tadi si Manusia pelumat mayat telah membunuh Chan-hukaucu serta
belasan orang jago lihai dari perkumpulan kita, saat ini dia sedang bersembunyi dalam sebuah gua
di atas gunung Lok-ka-san."
"Ooh, sudah dikirim orang untuk menguntit jejak mereka?"
"Soal ini...."
Cau-ji tahu, pasti mereka tak berani menguntit si Manusia pelumat mayat, maka setelah
tertawa dingin ujarnya lagi dengan suara dalam, "Apakah kejadian ini sudah dilaporkan ke markas
pusat?" "Sudah dan Kaucu memutuskan akan turun gunung sendiri, dia tak percaya tak mampu
menangkap dan membunuh Manusia pelumat mayat!"
Kejut dan gembira perasaan Cau-ji mendengar perkataan itu, setelah termenung beberapa
saat, tanyanya, "Apakah pihak sembilan partai besar sudah mulai melakukan tindakan terhadap


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

markas besar Tay-ke-lok"
"Benar, menurut laporan, selain sembilan partai besar, pihak Kay-pang pun ikut bergabung
dalam barisan ini. Hingga sekarang sudah ada ribuan rumah judi yang dipaksa untuk tutup usaha!"
"Apakah pihak kita banyak jatuh korban?"
"Berkat doa restu Kaucu, bukan saja tak ada korban yang berjatuhan di pihak kita, bahkan
menggunakan kesempatan ini kita berhasil menarik banyak sobat kalangan Hek-to untuk
bergabung dalam perkumpulan kita!"
"Hehehe, bagus sekali! Bila saatnya sudah tiba, akan kusuruh kaum yang menganggap dirinya
sebagai orang-orang bersih itu mendapat pembalasan yang setimpal!"
"Betul! Kaucu telah menurunkan instruksi, kita bersiap menyerang pihak Siau-lim-pay lebih
dulu!" Diam-diam Cau-ji sangat terkejut, tapi penampilannya tetap dijaga tenang, katanya dengan
suara dalam, "Bagus sekali, sekarang kau boleh pergi, malam ini aku akan bermalam di sini!"
"Baik, hamba segera akan memerintahkan orang untuk menyiapkan kamar!"
Sepeninggal Tong San-kok, Siang Ci-ing segera berseru dengan cemas, "Adik Cau, pihak Siaulimpay punya hubungan yang sangat akrab dengan Liong-ing-hong kami. Bila Jit-seng-kau sudah
memutuskan akan menyerang Siau-lim-si lebih dulu, kemungkinan besar kakak Liong akan
menghadapi bahaya juga."
"Ehm! Jagoan yang dimiliki Jit-seng-kau memang banyak dan rata-rata licik penuh tipumuslihat,
dalam hal ini kita harus lebih waspada."
"Adik Cau," sela Suto Si, "apakah perlu kita berangkat ke sana untuk membantu mereka?"
"Ehm, besok kalian boleh berangkat duluan! Sementara Siaute akan tetap tinggal di sini
menanti gerakan berikut yang dilakukan pihak Jit-seng-kau."
Ketiga gadis itu manggut-manggut tanda setuju.
Begitulah selesai berbincang, keempat orang itu-pun kembali ke dalam kamar untuk
beristirahat. Keesokan harinya, setelah mengantar kepergian ketiga gadis itu, baru saja Cau-ji kembali ke
ruang tengah, Tong San-kok sudah muncul sambil berbisik, "Tongcu, pagi tadi Liu-toaya telah
mengirim orang kemari, apakah kau bersedia menemui dirinya?"
"Ooh, si gendut ingin mencari kembali mukanya?"
"Tidak! Tak nanti ia punya nyali sebesar itu. Selama banyak tahun ia bisa hidup tenang di sini
sambil membuka usaha perjudian dan pelacuran, siapa lagi yang mendukung mereka secara diamdiam
kalau bukan perkumpulan kita!"
"Oh, orang itu sudah pergi?"
"Belum, hamba segera akan mengundangnya masuk."
Beberapa saat kemudian Tong San-kok telah muncul kembali di hadapan Cau-ji sambil
membawa seorang lelaki bertubuh kekar.
Begitu bertemu Cau-ji, lelaki itu segera memberi hormat seraya berkata, "Ho Thay-hay,
Congkoan keluarga Liu menjumpai Kongcu!"
Cau-ji manggut-manggut, katanya dengan suara dalam, "Ada urusan apa sepagi ini sudah
muncul di sini?"
"Tidak berani, hamba mendapat perintah Toaya untuk mengundang Kongcu berkunjung ke
gedung keluarga Liu siang ini, entah apakah Kongcu bersedia memberi muka?"
Sambil berkata ia mengeluarkan selembar kartu undangan berwarna merah kekuning-kuningan
dari sakunya. Tong San-kok segera menerimanya, lalu dipersembahkan ke tangan Cau-ji.
Begitu dibuka, benar saja ternyata selembar kartu undangan. Maka Cau-ji pun menyahut, "Bila
Liu-toaya sudah menyatakan niatnya, masa Cayhe harus menampik?"
Sembari berkata ia serahkan kembali surat undangan itu ke tangan Tong San-kok.
"Kongcu harap menunggu sebentar, akan hamba siapkan hadiah sekedarnya."
Sambil berkata dia pun berteriak, "Siau-sian, Siau-tiam!"
Dua gadis cantik berbaju kuning segera muncul di hadapan Cau-ji sambil membawa tiga buah
nampan. Mau tak mau Cau-ji harus merasa kagum juga dengan cara kerja Tong San-kok yang
berpengalaman, setelah mengangguk, diiringi Ho Thay-hay dia pun memasuki tandu indah yang
sudah menanti di depan pintu dan berangkat menuju gedung keluarga Liu.
Lebih kurang sepeminuman teh kemudian Cau-ji telah tiba di depan sebuah pintu gerbang
bangunan mentereng.
Baru turun dari tandu, terdengar seseorang telah berseru sambil tertawa nyaring, "Hahaha,
menyambut dengan gembira kedatangan Kongcu ke rumah kami."
Cau-ji memandang sekejap ke arah Liu-toaya yang telah berdiri menyambut di samping pintu,
kemudian katanya sambil tertawa, "Mendapat undangan dari Liu-toaya, mana berani aku tidak
datang!" "Hahaha, Liu Su-pin tidak berani, silakan masuk!"
Setelah memasuki halaman luar yang luas, indah dan berbau harum, Cau-ji memasuki ruangan
gedung utama. Begitu melangkah dia pun melihat ada enam perempuan cantik berusia antara
dua-tiga puluh tahun berdiri menyambut kedatangannya dengan senyum manis menghiasi
bibirnya. Cau-ji tahu keenam wanita itu sudah pasti para istri dan gundik Liu Su-pin, tak heran Tong Sankok
menyediakan enam buah nampan kado.
Maka setelah kedua belah pihak saling memberi hormat, dia pun segera memberi tanda kepada
Siau-sian dan Siau-tiam.
Kedua gadis itu tersenyum penuh arti, cepat mereka membagikan keenam nampan itu kepada
keenam wanita itu, kemudian baru berdiri kembali di belakang Cau-ji.
Begitu keenam wanita itu membuka nampan yang diterima, serentak mereka menjerit kaget.
Agaknya Liu Su-pin pun sudah melihat benda yang berada dalam nampan itu, dengan gugup
buru-buru serunya, "Kongcu, kadomu kelewat mahal dan berharga"
"Hahaha, orang bilang permata hanya cocok untuk wanita cantik, apa aku salah kalau
menghadiahkan intan permata yang mahal harganya untuk keenam istrimu yang cantik molek bak
bidadari dari kahyangan!"
Habis berkata dia melirik sekejap keenam wanita cantik itu satu per satu.
Dipandang seperti itu oleh Cau-ji, tak kuasa lagi keenam wanita cantik itu merasakan
jantungnya berdebar keras, berdebar saking gembiranya.
Liu Su-pin sendiri pun merasa sangat kegirangan setelah melihat keenam bininya mendapat
hadiah semahal itu, dengan perasaan girang buru-buru serunya, "Kui-hoa, cepat ambilkan pedang
pendek itu!"
"Toaya, apakah kau akan menghadiahkan pedang To-liong-kiam itu untuk Yu-kongcu?" tanya
Toa-hujin Kui-hoa kegirangan.
"Hahaha, sejak dulu, pedang mestika hanya pantas untuk pendekar sejati. Bukankah Yu-kongcu
telah memberi hadiah mahal untuk kalian, masa kita harus kikir terhadapnya?"
Selesai bicara, kembali ia tertawa terbahak-bahak.
Sambil tertawa girang Kui-hoa kembali ke kamarnya, tak lama kemudian ia muncul kembali
sambil membawa sebilah pedang pendek yang bentuknya sangat antik, pedang itu segera
diserahkan ke tangan Liu Su-pin.
Liu Su-pin pun menyerahkan pedang pendek itu ke tangan Cau-ji.
Dengan sekali gerakan Cau-ji mencabut pedang pendek itu dari sarungnya ... "Criiing!", diiringi
dentingan nyaring, seluruh ruangan seketika terbungkus oleh hawa pedang yang dingin
menggidikkan. "Pedang bagus!" puji Cau-ji tanpa terasa, "Liu-toaya, aku merasa kurang pantas menerima
hadiah pedang mestika yang begini berharga."
"Hahaha, To-liong-kiam sudah tiga generasi tersimpan dalam keluarga Liu kami tanpa mampu
melakukan prestasi maupun reputasi apa pun, kali ini terpaksa aku minta bantuan Lote
mencemerlangkan nama besar senjata ini... hahaha"
"Baiklah, kalau Toaya memang berkata begitu, biarlah Cayhe terima hadiah ini, terima kasih."
Sambil berkata ia masukkan kembali pedang itu ke dalam sarung.
Siau-sian pun segera menggantung senjata itu di pinggang kanannya.
Tak terkiranya rasa gembira Liu Su-pin melihat hadiahnya diterima sang tamu, cepat dia
perintahkan orang menyiapkan perjamuan dan mengajak Cau-ji menuju ke halaman paling
belakang. Sementara itu Siau-sian dan Siau-tiam pun masing-masing memperoleh sebuah kado.
Setelah menghabiskan arak beberapa poci, suasana dalam ruangan mulai menjadi hangat.
Selama ini Liu Su-pin memang selalu menuruti perkataan Tong San-kok, begitu melihat orang
she Tong itu begitu menaruh hormat dan jeri terhadap tamunya, ia segera tahu orang ini pasti
mempunyai asal-usul luar biasa, itulah sebabnya ia berusaha mencari kesempatan untuk
mengambil hati pemuda ini.
Begitu melihat cara Cau-ji minum arak dan berbicara, dia segera tahu pemuda ini pasti senang
juga mencari "hiburan", satu ingatan pun melintas dalam benaknya.
Cepat dia mengulap tangan kanannya, kawanan dayang yang hadir dalam ruangan pun segera
mengundurkan diri dari tempat itu.
Agaknya Kui-hoa mengerti apa yang dipikir suaminya, sambil mengangkat cawan dia pun
berseru manja, "Kongcu, mari kita bersulang satu cawan."
"Hahaha, tak nyana takaran minum Hujin luar biasa," sahut Cau-ji sambil menggeleng, "mana
boleh hanya secawan, mari, mari, kuhormati tiga cawan arak untukmu."
"Betul," sela Liu Su-pin pula, "kurang hormat kalau bukan tiga cawan, harus memakai cawan
besar." "Hahaha, bisa mabuk kalau tiga mangkuk besar," seru Kui-hoa sambil tertawa, meski berkata
begitu sekaligus ia teguk habis tiga cawan besar arak wangi.
Begitu arak mengalir ke dalam perutnya, warna merah seketika melapisi kulit mukanya yang
cantik, apalagi diimbangi kerlingan matanya-yang genit, sungguh membikin orang mendesah
penuh napsu. Jihujin Ciu-lian tak mau kalah, segera serunya manja, "Yu-kongcu, aku pun harus
menghormatimu dengan tiga cawan arak!"
Cau-ji sengaja berseru kepada Liu Su-pin, "Toaya, kau mesti membantu aku menghabiskan isi
cawan ini!"
"Tidak bisa begitu Kongcu ...." sela Ciu-lian semakin genit, "tadi kau layani Toaci dengan tiga
cawan arak, masa kali ini kau tak mau melayani permintaanku, apakah tak pandang mata
kepadaku?"
Liu Su-pin ikut tertawa tergelak.
"Hahaha, Lote, bukannya Loko tak mau membantu, tapi apa yang dia katakan masuk akal
juga!" "Hahaha, baik, baik, rasanya kali ini harus minum sampai mabuk. Ayo bersulang!"
Sekaligus dia menghabiskan lima belas mangkuk besar arak wangi.
"Sekarang tentunya Hujin sekalian merasa puas bukan?" seru Cau-ji kemudian.
Keenam perempuan cantik itu tidak menyangka kalau tamunya mempunyai takaran minum
yang hebat, di tengah suara cekikikan ramai terdengar Kui-hoa berseru, "Kongcu, seharusnya kau
pun minum beberapa cawan dengan Toaya kami!"
Cau-ji memandang wajah Liu Su-pin, lalu berlagak takut, serunya, "Wah, Siaute tak berani,
coba lihat takaran minum Toaya, Siaute menyerah sajalah!"
Tak terkira rasa gembira Liu Su-pin, kontan ia tertawa terbahak-bahak.
"Tidak bisa begitu," Samhujin Giok-ho berseru pula manja, "Toaya, kau harus menghormati
Kongcu dengan beberapa cawan arak!"
"Hahaha, betul, betul, sudah seharusnya, Lote, mari kita bersulang beberapa cawan arak."
"Hahaha, Toaya, tak kusangka kau bisa adil memimpin semua bini-binimu, ayo bersulang!"
Kawanan wanita itupun bertepuk tangan riuh rendah, memberi semangat kepada kedua pria
itu. Dalam waktu singkat kedua orang telah menghabiskan enam mangkuk arak, selesai itu mereka
saling pandang sambil tertawa terbahak-bahak.
"Kui-hoa," seru Liu Su-pin kemudian sambil tertawa, "kalian harus membuat acara yang
menarik untuk menghibur tamu istimewa kita!"
"Hihihi, Toaya ingin acara apa?"
"Lote, kau saja yang sebut, ingin tampil acara seperti apa?"
"Hahaha, Hujin sekalian bukan cuma cantik bak bidadari, suaranya pun merdu bagai kicauan
burung nuri, bagaimana kalau menyanyi sambil menari?"
"Hahaha, ternyata Lote memang tajam matanya, menari sambil bernyanyi memang keahlian
kami, ayo dimulai!"
"Baik!"
Setelah keenam wanita itu berdiri, Kui-hoa bersandar di sisi Liu Su-pin sementara Ciu-lian
bersandar di sisi Cau-ji. Kedua orang itu setelah saling pandang sambil tertawa, mulai bernyanyi:
"Kekasih, oh kekasih, tak terlupakan nyanyian mabuk di tengah malam itu. Kekasih, oh kekasih.
Bagaimana mungkin kulu-pakan ciuman mesra di tengah malam yang memabukkan.
Begitu banyak kupu-kupu mati karena bunga, begitu banyak kupu-kupu hidup karena bunga.
Tetapi aku mengorbankan nyawa demi kekasih hati.
Kekasih, oh kekasih, tak akan kulupakan ciuman hangatmu"
Keempat perempuan lainnya segera meliukkan pinggang sambil membusungkan dada,
membawakan tarian erotik.
Diam-diam Liu Su-pin memberi kedipan mata kepada kawanan perempuan itu, kemudian sambil
merangkul Kui-hoa dia beranjak pergi dari dalam ruangan.
Sambil menyanyi Ciu-lian menempelkan tubuhnya semakin rapat di tubuh Cau-ji, sedang
keempat wanita lainnya mulai melucuti pakaian sendiri satu per satu sebelum akhirnya benarbenar
dalam keadaan bugil.
Menghadapi adegan seperti ini, kontan Cau-ji merasakan darah panas yang mengalir dalam
tubuhnya mendidih, seluruh badan serasa dibakar api yang membara.
Dalam pada itu Ciu-lian sambil menyanyi, tangannya tak pernah berhenti, dia mulai melepas
baju yang dikenakan Cau-ji satu per satu.
Tatkala semua baju sudah terlepas dan ia menemukan 'tombak panjang' milik Cau-ji berdiri
tegak dengan gagah beraninya, kontan perempuan itu menjerit keras, nyanyiannya terhenti
seketika. Dengan penuh rasa ingin tahu keempat perempuan yang lain ikut datang melongok, begitu
tahu apa yang terpampang di depan mata, kontan tubuh semua orang gemetar keras, gemetar
saking girangnya.
Tak selang beberapa saat kemudian kelima perempuan dan seorang lelaki itu sudah pulih
kembali dalam keadaan zaman kuno, bugil tanpa sehelai benang pun.
Melihat mimik wajah kelima cewek yang mulai terbakar napsu birahi itu, Cau-ji pun bertanya
sambil tersenyum, "Jangan-jangan Liu-toaya jarang sekali menyentuh kalian berlima" Kalau tidak,
masa sikap kalian jadi begitu kelaparan?"
Merah jengah wajah kelima wanita itu, untuk sesaat mereka tak mampu berkata-kata.
Akhirnya Ciu-lian yang menanggapi, sahutnya lirih, "Toaya tak pernah kurang perhatian, apalagi
sampai tak pernah menjamah kami. Hanya saja ... "barang" miliknya kelewat pendek dan kecil, tak
tahan lama lagi, jadi kami..."
Bicara sampai di situ, wajahnya seperti memperlihatkan rasa sedih dan pilu yang mendalam.
Cau-ji tersenyum penuh arti.
"Sejak dulu hingga sekarang, kehidupan materi dan kehidupan seks memang selalu saling
bertolak belakang, tak mungkin seseorang bisa mendapat keduanya sekaligus, jalan pikiran kalian
harus lebih terbuka!"
Berubah hebat paras muka kelima perempuan itu mendengar ucapan itu.
"Kongcu, masa kau tega" seru Ciu-lian dengan suara gemetar.
Cau-ji tertawa terbahak-bahak, sambil memuntir puting susu sebelah kanannya dia berkata,
"Kita bisa bersua berarti memang punya jodoh, selewat hari ini entah sampai kapan kita baru bisa
berkumpul kembali. Tentu saja Siaute berharap kalian bisa memainkan peran sebagai nyonya Liu
dengan baik."
Kelima wanita itu menghembuskan napas lega, mereka pun mengangguk tanda mengiakan.
Sambil berdiri, kembali Cau-ji berkata, "Waktu sangat berharga, kita akan bermain dengan cara
apa?" Ciu-lian melirik keempat rekannya sekejap, kemudian katanya, "Kongcu, sampai hari ini kami
lima bersaudara belum pernah melihat barang sebesar itu, bagaimana kalau kau membiarkan kami
mencicipi dulu kehebatan barangmu satu per satu?"
"Hahaha, bagus, bagus, semua mendapat bagian yang sama. Sana, persiapkan diri lebih dulu!"
Dengan kegirangan kelima perempuan itu masing-masing mencari tempat dan memasang gaya
sendiri untuk bersiap menyambut kedatangan sang kenikmatan.
Cau-ji berjalan menghampiri pembaringan, ia lihat Cun-tho dan Tong-bwe sudah berbaring di
atas ranjang sambil mengangkat kedua kakinya lebar-lebar, mereka membiarkan lubang surganya
menonjol begitu jelas di hadapan pemuda itu.
Mula-mula Cau-ji mengangkat dulu sepasang kaki Cun-tho, lalu tubuhnya langsung ditekan ke
bawah, sang tombak panjang pun langsung menusuk masuk ke dalam liangnya yang sempit dan
kencang. "Aduuh ...!" terdengar perempuan itu mengaduh.
"Aneh, kenapa punyamu masih begitu rapat?" tanya Cau-ji keheranan.
Agak tersipu-sipu sahut Cun-tho, "Ah, sejak selaput perawanku dimakan Toaya, selama tujuhdelapan
tahun terakhir belum pernah bersentuhan lagi dengan si ular berbulu, tentu saja
kepunyaanku masih rapat dan kencang!"
"Hahaha, rupanya begitu. Ah betul, masa kau belum pernah melahirkan?"
"Belum pernah, kami enam bersaudara tak pernah ada yang melahirkan!"
Cau-ji tahu masalahnya pasti muncul dari tubuh Liu Su-pin, bisa jadi lantaran dia kelewat
banyak meniduri perempuan hingga Thian menghukumnya dengan tidak diberi keturunan.
Dalam waktu singkat ia sudah menghujamkan senjatanya berulang kali dalam lubang Cun-tho,
kemudian ia cabut tombaknya dan berganti menusuk lubang milik Tong-bwe.
Keadaan Tong-bwe tak ubahnya seperti bayi yang sedang kelaparan, tanpa peduli lubangnya
terasa perih dan sakit, dengan sekuat tenaga dia memutar dan menggoyang tubuhnya, berusaha
mengimbangi tusukan lawan untuk mencapai orgasme.
Ketika Cau-ji mulai memutar tombaknya dengan menindih tubuh Soat-kiok yang sedang
bersandar di tepi bangku, perempuan itu seakan kehilangan sukma, untuk sesaat dia hanya bisa
termangu-mangu.
Sampai Cau-ji sudah merondai sekujur badannya satu putaran, pemuda itu baru menyadari
kalau perempuan yang sedang dinaiki berada dalam keadaan kebingungan, maka sekali lagi dia
tusukkan tombak panjangnya ke dalam liang itu dan membenamkan dalam-dalam.
Saat itulah Soat-kiok baru seolah tersadar kembali, saking girangnya dia menangis.
Tak tega melihat keadaan perempuan itu, dengan penuh kasih sayang Cau-ji mulai menggenjot
badannya naik turun berulang kali, bahkan setiap kali tombaknya terbenam, dia selalu
menggesekkan kepala tombaknya di dasar lubang perempuan itu, Soat-kiok saking nikmatnya
sampai seluruh badan gemetar keras.


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaikan orang kalap perempuan itu mulai memutar dan menggoyang badannya ke sana
kemari.... Tak selang beberapa saat kemudian akhirnya dia mencapai puncak orgasme. Puncak
kenikmatan yang luar biasa, seolah bendungan air yang dijebol oleh air bah.
Saking girangnya sambil melelehkan air mata, ia bergumam dan menyebut 'Kongcu, Kongcu"
tiada hentinya.
Cau-ji mencabut tombaknya dan kali ini dia menghampiri Cun-tho, mula-mula sepasang kaki
perempuan itu dinaikkan dulu ke atas bahunya, kemudian setelah menarik napas panjang ia
hujamkan senjatanya ke dalam liang perempuan itu dan mulai melancarkan serangkaian tusukan
berantai. Ratusan kali tusukan kemudian, Cun-tho mulai terangsang hebat, jeritnya berulang kali, "Ooh
... ooh ... Kongcu ... Kongcu ... aduh ... Kongcu sayangku ... aduh ... nikmatnya ... mati aku"
Tak tahan dia mulai menggoyang badannya secara jalang dan liar...
Akhirnya diiringi jeritan lengking, dia pun mencapai puncak kenikmatan.
Dengan penuh kelembutan Cau-ji membaringkan badannya ke atas ranjang, kemudian dia
rangkul pinggang Soat-kiok, dengan jurus Li-san-ki-hwe (membelah bukit menyulut api)
senjatanya ditusukkan ke dalam liang perempuan itu dan menghujamnya berulang kali.
Bunyi gesekan bergema tiada putusnya, suara cairan kental yang bergesek dengan cairan ...
sementara lelehan cairan putih menggenangi lantai.
Di saat seluruh permukaan mulai basah kuyup oleh cairan, dia pun mulai mengerang
kenikmatan ... mengerang karena mencapai puncaknya ....
Kini giliran Giok-ho yang memilih bersandar di atas bangku, tatkala tombak panjang Cau-ji
mulai menusuk liang surganya, dengan cepat pinggulnya menjepit kuat-kuat senjata lawan
kemudian sekuat tenaga menggeseknya ke atas bawah.
"Plok ... plok" bunyi nyaring bergema dalam ruangan.
Cau-ji sendiri nampaknya mulai bernapsu, dengan cepat tangannya mulai meremas sepasang
payudara yang putih kencang, sementara tombaknya ditusukkan semakin ganas.
Ratusan kali tusukan kemudian Giok-ho mulai merintih keras, mengerang karena nikmat.
Ciu-lian yang menyaksikan kejadian itu kegirangan setengah mati, cepat ia tidur telentang,
sepasang kakinya dipentang lebar-lebar, pintu gerbang sudah dibuka siap menanti kedatangan
sang tamu agung.
Ternyata memang tidak membuatnya kecewa, selang beberapa saat kemudian Cau-ji telah
berhasil menombak Giok-ho di atas bangkunya, bahkan dengan satu gerakan cepat pemuda itu
sudah mencabut senjatanya dan berganti menusuk liang Ciu-lian.
"Aduuh mak! Nikmat... nyaman" jerit Ciu-lian penuh rangsangan.
Sepasang kakinya langsung saja melingkar dan menjepit pinggang Cau-ji, kemudian dengan
gerakan penuh napsu dia menggeser badannya mengimbangi gerak tusukan lawannya.
Di saat itulah tiba-tiba pintu kamar dibuka orang, dengan satu gerakan cepat Kui-hoa telah
menyelinap masuk ke dalam ruangan.
Begitu berhasil membuat keok Liu Su-pin, menggunakan kesempatan di kala lelaki itu tertidur
pulas, diam-diam ia mengeluyur balik ke ruang sebelah, rencananya mau ikut mencicipi kado
istimewa itu. Apalagi ketika ia selesai memeriksa Tong-bwe berempat dan menyaksikan tubuh bagian bawah
mereka basah oleh cairan lendir pekat bahkan tertidur dengan senyum dikulum, hatinya semakin
tegang. Mengapa ia jadi tegang"
Ternyata setelah Kui-hoa menyaksikan rekan-rekannya tertidur dengan penuh kepuasan, dia
mulai kuatir, takut kalau Cau-ji keburu tak mampu menahan diri dan terlepas duluan, bukankah
kalau sampai begitu dia bakal kecewa berat dan hanya bisa mengisap jari sendiri"
Oleh sebab itu dengan gerakan paling cepat dia lucuti semua pakaian yang dikenakan,
kemudian dengan waswas mengawasi pertempuran yang sedang berlangsung antara Cau-ji
melawan Ciu-lian.
Tatkala sorot matanya tertumbuk pada tombak panjang Cau-ji yang begitu panjang, besar dan
kasar, detak jantungnya kontan berdebar sangat kuat, begitu kuatnya nyaris mau melompat
keluar, liang milik sendiri pun mulai terasa gatal dan linu, gatal yang tak tertahankan.
Dalam keadaan begini, terpaksa ia gunakan jari tangan sendiri untuk menghibur liangnya yang
gatal, menghibur diri sambil menunggu giliran.
Dengan susah payah akhirnya tiba juga saat Ciu-lian takluk, saat itulah dengan agak tersipu ia
berteriak, "Kongcu, masih ada aku yang belum dapat giliran!"
Sambil berseru ia mulai membaringkan diri sambil memasang gaya.
Di saat tombak Cau-ji mulai menerjang masuk ke dalam liangnya, seketika itu juga ia
merasakan liangnya begitu bengkak dan sakit, tak tahan jeritnya, "Aduuh mak, besar amat!"
"Hahaha, ketakutan?"
"Hihihi, siapa takut" Makin besar makin mantap!"
Maka pertempuran sengit pun kembali berkobar.
Bagaikan lupa diri Cau-ji mulai menyerang, menusuk dan memutar dengan ganasnya ....
Sampai akhirnya Kui-hoa menjerit karena nikmat, Cau-ji baru bangkit berdiri, mengambil
selembar handuk dan mulai membersihkan peralatannya.
Kemudian setelah mengenakan kembali pakaiannya, dengan menggembol pedang To-liongkiam
ia tinggalkan gedung milik keluarga Liu.
Waktu itu jam menunjukkan sekitar shen-si (sekitar jam lima sore), ia pun bergumam, "Ai,
bagaimana pun perempuan yang tak tahu ilmu silat memang ketinggalan jauh dibandingkan
pesilat, masa enam perempuan tak bisa bertahan selama dua jam"
Habis berkata, dengan langkah lebar dia kembali ke rumah makan.
Pada saat itulah dari belakang tubuhnya, selisih beberapa kaki darinya muncul seorang gadis
berbaju putih, sewaktu mendengar gumaman pemuda itu, berkilat sepasang matanya, kemudian
secara diam-diam menguntit di belakangnya.
Ketika sorot matanya berhenti pada pedang To-liong-kiam yang tergembol di pinggang Cau-ji,
tubuh gadis itu nampak bergetar keras, lalu pikirnya, "Eh, bukankah pedang itu To-liong-kiam"
Kenapa bisa terjatuh ke tangan bajingan cabul ini?"
Ketika melihat Cau-ji memasuki rumah makan, ia nampak termenung sejenak, kemudian
terburu-buru meninggalkan tempat itu.
0oo0 Malam semakin kelam.
Deru angin malam berhembus amat kencang, sebagian penghuni kota sudah terlelap dalam
impian. Cau-ji baru saja selesai bersemedi, ia merasakan tubuhnya segar dan enteng bagaikan sedang
terbang, sadarlah ia bahwa apa yang dikatakan Toasiok tak salah, pil mestika naga berusia seribu
tahun telah membantu tenaga dalamnya meningkat sangat pesat.
Pada saat itulah tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara ujung baju tersampuk angin, tak tahan
pikirnya, "Sekarang malam sudah larut, kenapa masih ada Ya-heng-jin (orang berjalan malam)
yang lewat di tempat ini?"
Dengan sigap dia melompat turun dari ranjang, mengenakan pakaian dan tak lupa membawa
pedang. Kelihatannya gerak-gerik Ya-heng-jin itu sangat hati-hati, coba kalau bukan Cau-ji memiliki
tenaga dalam yang sempurna, rasanya mustahil untuk mengetahui kehadiran pejalan malam itu.
Begitu dirasakan Ya-heng-jin itu sudah hampir tiba di depan jendela kamar, cepat pemuda itu
memusatkan perhatiannya, dia ingin tahu malaikat dari mana yang berani mendatanginya.
Terlihat bayangan hitam berkelebat, sesosok wajah setan berambut panjang telah muncul di
luar jendela, begitu seram wajahnya membuat ia terperanjat.
Saat itulah tiba-tiba ia mendengar orang itu berkata dengan suara sedingin es, "Penjahat cabul,
kalau berani ikuti aku?"
Habis berkata, kembali terlihat bayangan hitam berkelebat, dalam waktu singkat orang itu
sudah lenyap dari depan jendela.
Begitu berhasil mengendalikan diri, cepat Cau-ji mendorong jendela melongok keluar, terlihat
sesosok bayangan manusia sedang bergerak ke arah timur.
Terdorong rasa dingin tahu, dia pun segera melompat keluar ruangan dan membuntuti.
Sungguh cepat gerakan Ya-heng-jin itu, dalam waktu singkat ia sudah meninggalkan daerah
perkotaan menuju ke tanah alas, bahkan bayangan tubuhnya lenyap ketika tiba di depan halaman
sebuah bangunan yang amat besar dan luas.
Dengan seksama Cau-ji coba memperhatikan sekeliling tempat itu, kemudian pikirnya,
"Bangunan siapa ini" Kenapa membangun gedung semegah ini di tempat yang begini terpencil?"
Rupanya di sisi kanan bangunan gedung itu merupakan komplek tanah pekuburan yang tak
terawat, sejauh mata memandang hanya gundukan tanah berserakan, sementara di sisi kiri
merupakan sebuah kolam ikan yang luas.
Di bawah cahaya bintang yang berkedip, kilauan cahaya pantulan gemerlapan di atas
permukaan air. Di depan bangunan megah itu tumbuh puluhan batang pohon Pek-yang setinggi empat-lima
depa, mengikuti hembusan angin bergema suara gemerisik nyaring guguran dedaunan.
Bangunan itu memang didirikan sangat aneh, dinding dan bangunannya dicat merah darah, tapi
sama sekali tak mirip sebuah kuil atau kelenteng, hal ini memberi kesan menyeramkan bagi yang
melihatnya. Bukan saja bentuk bangunan itu sangat aneh, didirikan pula di tempat terpencil seperti ini,
mendatangkan kesan misteri dan aneh bagi siapa pun yang melihatnya. Membuat orang menduga
siapa gerangan yang berdiam di sana" Manusiakah" Atau setan gentayangan"
Biarpun Cau-ji memiliki ilmu silat yang sangat tangguh, namun setelah melihat keadaan
sekeliling tempat itu, tak urung bergidik juga hatinya.
Baru saja dia hendak membalikkan tubuh meninggalkan tempat itu, tiba-tiba terdengar suara
tertawa cekikikan berkumandang mengikuti hembusan angin malam.
Suara tertawa itu sangat merdu bagaikan suara keleningan, kalau menganalisa berdasarkan
suara tertawa itu, orang pasti akan membayangkan tawa merdu itu berasal dari seorang gadis
cantik bak bidadari dari kahyangan.
Tapi bila suara tawa seperti itu muncul di tempat sepi yang terpencil seperti ini, apalagi di
tengah malam buta, cekikikan merdu itu justru menambah suasana seram, ngeri, dan horor bagi
siapa pun yang mendengarnya, cukup membuat bulu roma orang bangun berdiri.
Terdengar suara tawa merdu mengalun bagaikan liiran air di sungai kecil, bergema tiada
putusnya. Makin didengar, Cau-ji merasa semakin tak beres, akhirnya habis sudah kesabarannya,
diambilnya sebuah batu, lalu dengan mengerahkan tenaga dalam disambitkan ke arah asal suara
itu. Padahal tenaga dalam yang dimilikinya sekarang sudah luar biasa hebatnya, apalagi menyambit
dengan sepenuh tenaga, seketika terdengarlah suara desingan angin tajam membelah bumi, batu
itu langsung menghantam di atas batu nisan yang berada lebih kurang lima depa di hadapannya.
"Blaam!", tiba-tiba suara tawa itu terputus di tengah jalan, perlahan-lahan dari belakang batu
nisan muncul sesosok bayangan putih, di bawah cahaya rembulan yang redup, selangkah demi
selangkah dia berjalan mendekat.
Makin lama bayangan putih itu semakin dekat, sekarang sudah dapat dilihat dia adalah seorang
perempuan berambut sepanjang punggung, bergaun putih, karena rambutnya menutupi wajah
maka sulit untuk melihat dengan jelas raut muka aslinya.
Kembali Cau-ji berpikir, "Masa di kolong langit benar-benar terdapat setan dan roh
gentayangan?"
Berpikir begitu, sambil menghimpun tenaga murninya ia membentak, "Siapa kau" Kalau tetap
berlagak seperti setan untuk menakuti orang, jangan salahkan bila Cayhe berlaku tak sopan!"
Suara bentakannya begitu nyaring bak suara genta yang dibunyikan bertalu-talu, namun
perempuan berbaju putih yang berada di hadapannya itu seolah sama sekali tak mendengar, dia
tetap melanjutkan langkahnya maju.
Melihat hal ini, tak urung Cau-ji bergidik juga, badannya mulai gemetar.
Kini gadis berbaju putih itu sudah berada lebih kurang tiga depa di hadapannya.
Sambil berseru tertahan Cau-ji mengangkat tangan kanannya siap melancarkan bacokan, belum
lagi pukulan dilepaskan, tiba-tiba gadis berbaju putih itu mengangkat tangan kanannya dan
membelah rambut panjangnya yang menutupi wajahnya.
Begitu melihat tampang gadis itu, kontan Cau ji terkesiap sampai gemetar badannya, tanpa
sadar badannya mundur tiga langkah, belum lagi pukulannya di lancarkan, tangannya sudah
keburu lemas hingga tak mampu diangkat.
Tiba-tiba gadis berbaju putih itu tertawa terkokoh, kembali dia maju beberapa langkah, tangan
kirinya di ayun ke depan dan menyambar wajah Cau-ji dengan ujung bajunya.
Cau-ji membuang badannya ke belakang sambil mundur sejauh lima-enam kaki, dengan
cekatan dia menghindari datangnya sambaran itu.
Dia menarik napas panjang, sambil menghimpun tenaga dalam bersiap-siap, bentaknya,
"Sebenarnya kau ini manusia atau setan" Kalau berani maju lagi, jangan salahkan Cayhe akan
bertindak kasar."
Kembali gadis berbaju putih itu menggoyang pinggulnya sambil melangkah maju, sekali lagi dia
menyingkap rambutnya dengan tangan kanan.
Tadi Cau-ji sempat melihat wajah anehnya yang mendebarkan hati, tentu saja ia tak berani
memandang lebih jauh, tangan kanannya diayun, sebuah pukulan dahsyat kembali dilontarkan.
Dengan cekatan gadis berbaju putih itu mangegos ke samping kemudian meluncur maju.
Mendadak dia membungkukkan pinggang, secepat sambaran petir kembali menerjang maju.
sementara tangan kanannya menyingkap rambutnya yang panjang, ujung baju tangan kirinya
sekali lagi menyambal wajah Cau-ji.
Melihat datangnya ancaman, pemuda itu imun bentak nyaring, dengan jurus Eng-hong-ki-long
(menyongsong angin menggempur ombak) dia lontarkan sebuah bacokan kilat.
Gadis berbaju putih berseru tertahan, mengikuti datangnya bacokan kilat itu cepat dia
melompat mundur.
Kembali Cau-ji membentak keras, sambil menghimpun tenaga mumi sekali lagi dia lepaskan
sebuah bacokan, pukulannya kali ini disertai dengan kekuatan yang luar biasa, bagaikan ombak
dahsyat yang menghantam batu karang, langsung menggulung tiada putusnya.
Tak terlukiskan rasa kaget gadis berbaju putih, sadar pukulan lawan tak terkirakan dahsyatnya,
cepat ia berjumpalitan di udara kemudian bergeser sekitar delapan kaki ke samping kiri.
Dengan tangan kiri melindungi dada sementara tangan kanan siap melancarkan serangan,
kembali Cau-ji membentak nyaring, "Siapa kau sebenarnya" Apa maksudmu menyaru menjadi
setan gentayangan" Cepat mengaku!"
Tiba-tiba gadis berbaju putih itu menyingkap lagi rambut panjangnya, diiringi tertawa cekikikan
dia menubruk maju.
Begitu melihat wajah jelek si nona yang dipenuhi bekas codet, tak tahan Cau-ji kembali
bergidik. Sedikit perhatiannya terpecahkan, gadis berbaju putih itu telah menerkam ke samping
badannya. Tergopoh-gopoh Cau-ji mundur dua langkah, baru saja akan menyerang tiba-tiba dilihatnya
gadis berbaju putih itu membalikkan badan sambil menyentilkan jari tangannya ke arah pemuda
itu. Cau-ji segera mengendus bau harum yang aneh menyergap hidungnya.
la segera sadar kalau bubuk harum itu pasti sebangsa obat pemabuk, untuk mencari tahu
tujuan sebenarnya dari nona berbaju putih itu, dia pun berlagak keracunan, setelah mundur
sempoyongan badannya roboh ke tanah.
Gadis berbaju putih itu tertawa terkekeh, dengan lembut ia berjalan ke samping Cau-ji, lalu
sambil membungkukkan badan dia lepas pedang To-liong-kiam itu dari pinggang lawan.
Begitu pedang mestika itu dicabut dari sarungnya, sekilas cahaya dingin yang menggidikkan
seketika terpancar di balik kegelapan malam.
Baru saja dia akan menyarungkan kembali pedangnya, mendadak dari belakang tubuh gadis itu
muncul sebuah tangan yang besar dan kasar, dengan kecepatan luar biasa tangan itu
mencengkeram pergelangan tangan yang sedang menggenggam pedang itu.
Bersamaan itu terdengar seseorang berkata sambil tertawa terbahak-bahak, "Ternyata bubuk
pemabuk dari kelompok terhormat kaum bujangan memang bukan nama kosong, baru hari ini
mata Lohu benar-benar terbuka!"
Suara itu serak, selain serak terselip pula suara yang tak enak didengar.
"Lepas!" bentak nona berbaju putih itu sambil menumbuk dengan sikut kanannya.
"Hm, dasar budak binal, kerja Lohu setiap hari menangkap burung, masa kali ini kubiarkan
mataku dipatuk burung" Jangan harap kau bisa memanggil Cicimu untuk datang menolong!"
"Hehehe, mau tahu di mana Cicimu" Dia sudah tertotok jalan darahnya dan kusembunyikan di
suatu tempat, bila kau ingin mengangkangi pedang mestika ini seorang diri, hm! Jangan salahkan
kalau Lohu berhati keji!"
Rupanya nona berbaju putih itu tahu kalau serangan sikutnya tak bakal bisa melukai lawan,
maka di saat ia menyikut itulah dibarengi dengan suara bentakan nyaring, dia berniat mengirim
tanda bahaya untuk minta bantuan Cicinya.
Siapa tahu pihak lawan telah turun tangan lebih dulu dengan menotok jalan darah Cicinya.
Dalam keadaan begini, terpaksa sembari mengerahkan tenaga untuk melawan tekanan jari
yang makin kencang mencengkeram pergelangan tangannya, ia berkata dengan lembut,
"Lepaskan dulu cengkeraman-mu pada nadi pergelangan tanganku ini"
"Hehehe, percuma putar otak, Lohu sudah tahu kelompok bujangan macam kalian paling
banyak tipu-muslihatnya, kalau tahu diri, cepat serahkan sarung pedang To-liong-kiam itu
kepadaku!"
Habis berkata, ia menambah tenaga cengkeramannya satu bagian.
Kontan gadis berbaju putih itu merasakan hawa darahnya tersumbat, separoh badannya jadi
kesemutan dan mati rasa. la sadar bila berani melawan lagi niscaya jiwanya bakal melayang.
Terpaksa sambil menyodorkan sarung pedang itu ke belakang, teriaknya, "Terimalah!"
Oleh karena tak bisa berpaling, ia sodorkan sarung pedang itu lewat atas bahu kirinya. Padahal
ibu jari dan jari tengahnya sudah saling menempel, asal orang di belakang berani menyambut
sodoran sarung pedang itu, seketika dia akan menyentilkan bubuk pemabuknya.
Rupanya pihak lawan sudah mengetahui rencana ini, jengeknya sambil tertawa dingin, "Lohu
sudah tua, tak berani bersentuhan dengan tangan nona yang halus, silakan buang sarung itu ke
tanah, biar Lohu mengambilnya sendiri!"
Baru selesai perkataan itu diucapkan, mendadak jalan darah Jian-keng-hiat di bahunya terasa
kesemutan, belum lagi gadis itu sempat menjerit, tubuhnya sudah roboh terjungkal ke tanah.
Pedang pendek dalam genggamannya terjatuh ke tanah, bahkan nyaris menyambar wajah Cauji.
Diam-diam Cau-ji yang berlagak pingsan merasa amat terperanjat, cepat dia himpun tenaga
dalamnya ke jari tangan, menggunakan kesempatan di saat kakek itu membungkukkan badan
untuk memungut sarung pedang, tiba-tiba ia lancarkan sentilan.
Diiringi dengusan tertahan, kakek itu roboh terjungkal ke tanah.
Cau-ji segera mengenali kakek itu sebagai anggota Jit-seng-kau yang berhasil kabur dari rumah
makan Hong-hok-lau waktu itu, api amarahnya kontan berkobar, telapak tangan kanannya


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diayunkan ke muka menghajar batok kepalanya.
"Aduuuh ...!" diiringi jeritan ngeri yang memilukan hati, batok kepala kakek itu hancur
berantakan. Nona berbaju putih itu semakin tercekat, begitu ngerinya sampai tak berani bersuara.
Selesai menyarungkan kembali pedang pembunuh naganya, Cau-ji baru berpaling memandang
si nona berbaju putih yang sedang berbaring di tanah, dari biji matanya yang berputar, dia tahu
nona itu sudah tertotok jalan darahnya.
Cau-ji masih jengkel karena gadis itu berani mempecundangi dirinya, setelah mendengus ia pun
membalik badan siap beranjak pergi.
"Eeeh, tunggu sebentar," nona berbaju putih itu berteriak cemas.
"Ada apa?" biar menghentikan langkah, Cau-ji sama sekali tak berpaling.
"Mau ... maukah kau membantu aku membebaskan pengaruh totokan?"
"Hm! Bukankah kelompok bujangan punya kulit setebal badak" Sudah mencelakaiku secara
diam-diam, sekarang masih punya muka untuk minta bantuanku?"
"Kau... pergilah!"
"Hahaha, kalau kau suruh aku pergi, aku justru tak mau pergi!"
Benar saja, begitu selesai bicara dia benar-benar berdiri di hadapan gadis itu sambil mengawasi
tubuh indahnya yang menawan itu dengan mata nakal.
Begitu menyaksikan permainan matanya yang nakal, kontan gadis berbaju putih itu teringat
dengan gumamannya sewaktu meninggalkan rumah keluarga Liu, membayangkan kemampuannya
melalap habis enam perempuan hanya dalam dua jam, tak pelak hatinya ngeri bercampur
ketakutan. Tak tahan jeritnya, "Serigala rakus, cepat pergi!"
"Serigala rakus" Siapa itu serigala rakus?" tanya Cau-ji tertegun.
"Kau! Cepat pergi!"
Selama hidup belum pernah Cau-ji diumpat orang sekasar itu, dengan gusar teriaknya,
"Tunjukkan buktimu, kalau tidak, jangan salahkan aku benar-benar akan mempraktekkan
perbuatan serigala rakus!"
Gelisah bercampur ketakutan, kembali nona berbaju putih itu menjerit, "Kau berani!"
Cau-ji segera berjongkok di sisinya, lalu dengan tangan kanannya dia remas payudara sebelah
kanan gadis itu, sambil meraba, meremas dan mempermainkan puting susunya, dia mengejek,
"Lihat saja, aku berani tidak melakukannya!"
Belum pernah nona berbaju putih itu diperlakukan demikian oleh seorang lelaki, jeritnya
melengking, "Kau.."
Tiba-tiba ia jatuh tak sadarkan diri. Cau-ji tertawa dingin.
"Dasar budak busuk yang belum tahu urusan dunia, berani amat mengumpatku sebagai
serigala rakus! Cuuh!"
Baru saja dia hendak menyadarkan nona itu, tiba-tiba dari kejauhan terdengar seseorang
membentak nyaring, "Jangan kau lukai adikku!"
Sambil berdiri Cau-ji berpaling ke arah orang itu.
Terlihat seorang gadis berbaju hitam muncul dari kejauhan, dalam waktu singkat dia sudah
muncul di arena, bahkan secara beruntun sepasang tangannya melepaskan pukulan berantai,
semua pukulan tertuju ke arah dua jalan darah penting di tubuh Cau-ji.
Begitu cepat serangan itu membuat siapa pun akan bergidik dibuatnya.
Melihat datangnya serangan yang begitu cepat dan sasaran jalan darah yang begitu tepat, Cauji
merasa terkesiap, sambil menghimpun tenaganya ke bawah, cepat dia menjatuhkan diri ke sisi
kiri. Di saat tubuhnya belum berbaring, tangan kirinya dengan jurus Poh-liong-jut-hay (bertarung
naga di luar lautan) menerobos keluar dari belakang punggung, langsung mencengkeram urat
nadi pergelangan tangan kanan gadis itu.
Baru saja nona berbaju hitam itu melengak karena serangannya mengenai sasaran kosong,
belum sempat melihat jelas gerakan tubuh yang digunakan lawan untuk menghindari
serangannya, tahu-tahu urat nadi tangannya sudah dicengkeram lawan.
Buru-buru dia mengayun tangan kiri siap melancarkan bacokan lagi.
Cepat Cau-ji mengerahkan tenaga dalamnya, seketika nona berbaju hitam itu merasakan
peredaran darahnya tersumbat.
"Aduuuh ...!" sambil menjerit kesakitan tubuhnya terjatuh ke tanah dalam keadaan lemas.
Cau-ji mencoba memperhatikan wajah orang itu, ternyata perempuan ini memiliki wajah yang
sangat jelek dan menyeramkan, pikirnya, "Heran, kenapa semua anggota kelompok bujangan
memiliki wajah begitu jelek?"
Tiba-tiba terdengar nona berbaju hitam itu membentak nyaring, "Lepas tangan!"
Cau-ji dapat merasakan kewibawaan yang terselip di balik bentakan itu, tanpa sadar ia
kendorkan tangannya.
Tanpa memandang sekejap pun ke arah Cau-ji, nona berbaju hitam itu langsung menghampiri
gadis berbaju putih, setelah diperiksa sejenak, ia tepuk tubuhnya beberapa kali, seketika nona
berbaju putih itupun tersadar kembali.
"Cici, bukankah kau pun sudah ditangkap orang?"
"Tidak ada masalah, ayo kita pergi!"
"Tapi Cici, Pedang pembunuh naga itu" seru si nona berbaju putih sambil melirik Cau-ji sekejap.
"Kita bicarakan lagi esok!"
Pada saat itulah secara lamat-lamat Cau-ji mendengar suara dengungan aneh berkumandang
dari balik halaman gedung, dengan pengalamannya yang luas, meski sudah mendengar suara
aneh pun dia sama sekali tak ambil peduli.
Agaknya nona berbaju hitam itupun sudah menangkap suara aneh itu, segera dia urungkan
langkahnya dan pasang telinga untuk mendengarkan dengan seksama.
Terdengar suara dengungan itu makin lama semakin nyaring dan kuat, bahkan datang dari
empat penjuru. Tampaknya gadis itu segera menyadari keadaan tidak beres, cepat dia pusatkan tenaga
dalamnya mengawasi sekeliling tempat itu dengan seksama.
Dalam waktu singkat dari balik kegelapan segera muncul beribu titik hitam yang terbang
mendekat dengan kecepatan tinggi.
Satu ingatan melintas dalam benaknya, dengan perasaan terkesiap segera jeritnya, "Adikku,
hati-hati serangan lebah beracun!"
Cau-ji sendiri pun terkejut mendengar teriakan itu.
Tak selang beberapa saat kemudian ratusan ekor lebah beracun yang bentuknya sangat besar
dan aneh telah menerjang ke arah tubuhnya.
Cau-ji membentak keras, sebuah pukulan dahsyat langsung dilontarkan ke muka, di mana deru
angin pukulan dahsyatnya menyambar, puluhan ekor lebah beracun segera terhajar hancur dan
berguguran ke atas tanah.
Suara dengungan terdengar makin keras, puluhan lebah beracun kembali menyerang tiba.
Dalam keadaan begini, biarpun ketiga orang itu memiliki kungfu yang hebat pun tak urung
bergidik juga dibuatnya.
Sepasang tangan mereka bertiga diayunkan berulang kali, entah sudah berapa banyak lebah
beracun yang berhasil mereka tebas mati, tapi jumlah lebah beracun yang datang menyerang
beribu-ribu ekor jumlahnya, mati satu tumbuh seribu, bagaikan gulungan air bah menyerang
ketiga orang itu tiada putusnya.
Terpaksa Cau-ji bertiga harus mengerahkan segenap kekuatan untuk melindungi diri.
Cau-ji sama sekali tidak menyangka dirinya tanpa sebab sudah terjerumus dalam kepungan
barisan lebah beracun, dalam gelisahnya mendadak satu ingatan cerdik melintas dalam benaknya.
Cepat sepasang tangannya diayunkan berulang kali, memaksa gerombolan lebah beracun itu
terpental. Menggunakan kesempatan itu cepat tangannya menyambar jubah sendiri dan "Breeet...!",
merobeknya jadi dua bagian, dengan mengebaskan robekan pakaian itu kembali dia sapu
gerombolan lebah beracun itu.
Kali ini gerombolan lebah itu terdesak mundur.
Bahkan kawanan lebah beracun yang terkena sapuan pakaiannya seketika hancur lebur dan
mampus seketika.
Melihat usahanya membuahkan hasil, Cau-ji kegirangan, robekan bajunya diputar semakin
gencar. Akibat gempuran yang bertubi-tubi ini, kawanan lebah itu mulai berganti sasaran, kini mereka
hanya menyerang kedua gadis itu saja.
Dengan sepenuh tenaga kedua gadis itu melancarkan pukulan bertubi-tubi, namun kepungan
kawanan lebah beracun makin lama makin bertambah ketat, dalam keadaan begini, sedikit
kesalahan atau sedikit kekuatannya surut, niscaya tubuh mereka akan disengat lebah itu.
Sadar akan mara bahaya yang mengancam kedua gadis itu, Cau-ji segera mengerahkan
tenaganya lebih besar lagi untuk menghalau kawanan lebah itu, bentaknya, "Cepat lepas pakaian
kalian!" Kedua orang itu mendengus dingin, bukan saja tidak menggubris, mereka melanjutkan kembali
serangannya untuk melindungi badan.
Melihat betapa keras kepalanya mereka, sebetulnya Cau-ji ingin mengumpatnya dengan
beberapa patah kata pedas, tapi segera teringat olehnya kalau mereka adalah kaum wanita, mana
mungkin seorang gadis melepas pakaiannya di hadapan lelaki asing"
Berpikir begitu, diam-diam ia mengumpat kebodohan sendiri.
Setelah berhasil memukul mundur kepungan lebah beracun itu, bentaknya keras, "Sambut ini!"
Dia melemparkan sobekan bajunya ke arah nona berbaju hitam.
"Breeet...!", lagi-lagi Cau-ji merobek pakaian dalamnya, kini dengan hanya mengenakan celana
dia menggempur kawanan lebah itu.
Kepada nona berbaju putih itu kembali teriaknya, "Cepat sambut robekan kain ini!"
Lagi-lagi dia lemparkan pakaian dalamnya kepada si nona.
Begitu memegang robekan kain, semangat kedua gadis itu kembali berkobar, mereka memutar
tangannya berulang kali, memaksa kawanan lebah itu tersapu dan tak sanggup lagi maju.
Cau-ji menghalau datangnya serangan dengan mengandalkan kedua belah tangan, sambil
membunuh kawanan lebah itu dia mulai mengawasi sekeliling tempat itu.
Ternyata kawanan lebah beracun itu yang besar ukurannya mencapai satu inci sedang yang
terkecil pun mempunyai ukuran setengah inci.
Kawanan lebah beracun yang datang menyerang makin lama semakin banyak, kekuatan
serangan pun makin lama semakin melebar, sejauh mata memandang sekeliling tempat itu seolah
dilanda kegelapan, gerombolan lebah itu begitu rapat, begitu berlapis, nyaris menyelimuti seluruh
angkasa. Mungkin jumlahnya mencapai jutaan ekor.
Dalam pada itu si nona berbaju hitam pun sambil mengayunkan robekan pakaian sembari putar
otak, mencari akal untuk lolos dari kepungan. Pertarungan ini boleh dibilang merupakan
pertarungan paling hebat yang dihadapinya sepanjang hidup, biarpun dia cerdas dan banyak akal
muslihat toh untuk sesaat dibuat kelabakan juga.
Tak jelas berapa juta ekor lebah beracun yang melancarkan serangan saat ini, bertarung
dengan cara seperti inipun tak jelas akan bertarung hingga kapan, asal salah sedikit kurang
waspada, tubuh sendiri bisa tersengat lebah beracun yang bisa menyebabkan kematian.
Betul pertahanan mereka saat ini sangat rapat dan kuat, namun sangat menghabiskan tenaga
dan kekuatan, cepat atau lambat pada akhirnya bakal rontok juga.
Berpikir sampai di sini tanpa terasa ia melirik sekejap ke arah pemuda tampan yang berada di
sisinya, dilihatnya pemuda ini meski turun tangan dengan garang namun sama sekali tak nampak
kelelahan, malah sebaliknya semakin bertarung makin perkasa, hal ini kontan membuatnya
tercengang dan keheranan.
Sambil memutar robekan baju, diam-diam gadis ini mulai mengawasi gerak-geriknya.
Tatkala sinar matanya membentur pedang pembunuh naga yang tergeletak di tanah, tergerak
hati gadis berbaju hitam itu, pikirnya, "Andai kuajarkan ilmu pedang pembunuh naga kepadanya,
dengan tenaga dalam yang dimiliki rasanya tak susah membantai habis kawanan lebah beracun
ini, tapi.."
Rupanya dia sedang mempertimbangkan, seandainya Cau-ji adalah penjahat, bukankah
mengajarkan ilmu silat tangguh kepadanya sama artinya seperti harimau diberi sayap, siapa yang
akan mengatasinya di kemudian hari bila dia semakin jahat"
Tiba-tiba terdengar suara dentingan khim mengiringi suara suitan yang amat tak sedap
didengar berkumandang datang dari dalam halaman gedung.
Lebah beracun yang berada di empat penjuru jadi semakin kalap dan menyerang habis-habisan
ke arah ketiga orang itu begitu suara khim dan suitan aneh itu bergema, situasi makin lama
semakin gawat. Terlihat lebah-lebah beracun itu ada yang terbang rendah nyaris menempel tanah, ada pula
yang menyerang dari tengah udara, mereka mengurung sekeliling tempat itu lapis demi lapis,
begitu barisan depan rontok, barisan belakang segera menggantikan, suasana saat itu benarbenar
amat tegang. Biarpun sapuan baju yang dilakukan kedua orang itu amat dahsyat, tapi sayang kumpulan
lebah beracun itu makin lama semakin banyak, bahkan serangan yang dilakukan pun makin ganas
dan dahsyat, tak urung bergidik juga perasaan nona berbaju hitam.
Cau-ji mengayunkan tangan berulang kali melancarkan babatan dahsyat, lambat-laun dia
berhasil mendesak mundur kawanan lebah itu, baru saja melirik ke samping, tiba-tiba hatinya jadi
amat cemas, rupanya ada dua ekor lebah beracun yang menerjang dari tengah udara, langsung
mengancam kepala nona berbaju putih itu.
"Hati-hati nona!" segera bentaknya.
Sepasang tangannya diayunkan berulang kali, dua ekor lebah beracun itu seketika terhajar
mampus. Biar begitu, tak urung kedua nona itu ketakutan juga hingga bermandikan keringat dingin.
Siapa tahu gara-gara Cau-ji harus turun tangan menolong orang, pertahanan sendiri seketika
muncul lubang kelemahan, tiba-tiba terlihat ada tiga ekor lebah yang terbang langsung ke arah
kepalanya. "Hati-hati kepalamu," jerit si nona berbaju hitam.
Terlambat, dengan cepat lebah beracun itu telah mendekati batok kepalanya.
Siapa sangka baru saja ketiga ekor lebah itu berada beberapa inci di atas kulit kepala Cau-ji,
tiba-tiba saja binatang kecil itu mencelat ke udara lalu rontok ke tanah, mampus!
Rupanya ketiga lebah tadi telah terpencal hingga mati karena terkena pancaran tenaga dalam
Im-yang-kang-khi yang memancar keluar secara otomatis.
Cau-ji sendiri pun tidak tahu apa sebabnya bisa begitu, buru-buru dia mengayunkan kembali
tangannya menyapu serbuan lebah beracun itu.
Setelah tertegun sejenak, buru-buru nona berbaju hitam itu berbisik, "Kongcu, cepat lolos
pedang To-liong-kiam, dengarkan kupasan jurus pedang dariku."
Mendengar itu, Cau-ji pun berpikir, "Ah benar juga, kenapa aku lupa kalau membawa pedang
mestika?" Begitu memukul mundur serangan lebah, cepat dia bergeser ke arah pedang To-liong-kian yang
tergeletak di tanah, dengan kaki kanan mengait ke depan, secepat kilat telapak tangan kirinya
menyambar senjata itu.
"Criiiing!", di antara kilauan cahaya dingin, beberapa puluh ekor lebah beracun seketika
terpapas hancur.
Diam-diam nona berbaju hitam itu bersorak memuji, dia tak nyana pedang To-liong-kiam begitu
tajam dan tak malu disebut pedang mestika.
Begitu melihat Cau-ji dengan tangan kanan membawa pedang, tangan kiri melepaskan pukulan
kosong, meski cahaya tajam berkilauan namun kekuatannya tak mampu membunuh kawanan
lebah itu lebih banyak, maka dia pun segera mengambil keputusan.
Dengan ilmu Coan-im-jit-pit, bisiknya, "Kongcu, dengarkan penjelasanku tentang rahasia jurus
ilmu pedang pembunuh naga"
Mula-mula Cau-ji agak tertegun, tapi begitu mendengar ia akan menjelaskan teori pedang,
hatinya jadi girang setengah mati.
Sebagai keturunan keluarga Ong, sejak kecil dia sudah banyak belajar ilmu pedang dari Ong
Sam-kongcu maupun dua belas tusuk konde emas, tak heran dia pun tahu ilmu pedang pembunuh
naga merupakan ilmu pedang yang memiliki reputasi luar biasa.
Maka sambil membantai kawanan lebah beracun, diam-diam ia mulai mempelajari jurus Nuhayto-liong (membunuh naga di amukan samudra).
Jangan dilihat jurus ini hanya terdiri dari satu jurus dengan tiga gerakan, tapi setiap kata
mengandung arti yang sangat dalam, sekalipun Cau-ji memiliki dasar ilmu pedang yang luar biasa,
untuk sesaat sulit baginya untuk memahaminya.
Untung saja dia memiliki ilmu Im-li-kang-khi yang secara otomatis melindungi seluruh
badannya, sekalipun dia harus memecah perhatian pun masih tetap mampu membunuh lebahlebah
beracun itu. Sementara itu kedua gadis itu merasa tegang sekali, apalagi setelah melihat pemuda itu
bertarung sambil mempelajari ilmu.
Tak lama kemudian dari ujung pedang terpancar keluar sekilas cahaya tajam yang
menggidikkan. Melihat itu, nona berbaju hitam itu sangat kegirangan, buru-buru dia menyingkir ke samping.
Nona berbaju putih itupun segera mengintil di belakangnya, menyingkir jauh dari arena.
Ketika kedua nona itu sudah mundur, tampak cahaya tajam itu perlahan-lahan mengembang
dan melebar, akhirnya terbentuklah selapis cahaya pedang ber-bentuk jala.
"Dia telah berhasil!" bisik nona berbaju hitam itu sambil melelehkan air mata.
Betul saja, begitu Cau-ji menghentakkan tangan kanannya, sinar jala yang terpancar dari
pedangnya seketika menghancur-lumatkan beratus-ratus ekor lebah beracun yang berada di
sekelilingnya. Dalam waktu singkat ribuan ekor lebah beracun itu telah musnah tak berbekas.
Mendadak terdengar suara irama khim dan suitan aneh itu kembali bergema.
Sisa lebah beracun yang masih hidup pun segera terbang balik meninggalkan tempat itu.
Ternyata Cau-ji sama sekali tak menggubris kepergian kawanan lebah itu, dia masih terbuai
dalam pemahaman jurus pedangnya.
Diam-diam nona berbaju hitam itu mengeluh sambil merasa sayang, padahal asal Cau-ji mau
melancarkan serangannya beberapa kali lagi, niscaya seluruh lebah beracun itu bakal musnah.
Sayang dia telah melepaskan kesempatan emas itu begitu saja.
Tiba-tiba suara khim dan suitan berubah meninggi, khususnya suara suitan itu, nadanya
melolong seperti setan menangis serigala menjerit.
Nona berbaju hitam segera sadar gelagat tidak menguntungkan, tapi untuk sesaat dia pun tak
berhasil menduga, permainan busuk apa lagi yang akan dilakukan musuh.
Dalam keadaan begini, terpaksa dia pusatkan segala perhatian sambil mengawasi delapan
penjuru. Suara pekikan yang menusuk pendengaran seketika menyadarkan Cau-ji, tanpa sadar dia
memandang ke empat penjuru, kemudian teriaknya kaget, "Eeei, kenapa kawanan lebah beracun
itu lenyap?"
Terdengar suara suitan aneh itu makin lama semakin nyaring, bahkan lamat-lamat terdengar


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara mendesis bergema dari empat penjuru.
Sebagai gadis yang banyak pengetahuan dan tajam pendengarannya, dengan wajah berubah
nona berbaju hitam itu segera menjerit kaget, "Ular berbisa!"
Betul saja, ketika Cau-ji menengok ke depan, ia saksikan ada segerombol binatang melata
sedang bergerak mendekat dari di depan sana.
Dengan perasaan terkesiap Cau-ji berseru pula dengan nada berat, "Betul, semuanya ular
berbisa!" Sebagaimana diketahui, pada dasarnya kaum wanita paling takut kepada ular, begitu melihat
munculnya gerombolan ular berbisa dari empat penjuru, kedua gadis itu siap melompat naik ke
atas pohon, siapa tahu dari balik ranting dan dahan pohon tiba-tiba bermunculan pula ular
berbisa. Dalam keadaan begini, terpaksa kedua gadis itu bergeser merapat ke arah Cau-ji.
Dalam waktu singkat gerombolan ular berbisa itu telah bergerak mendekat.
Anehnya, gerombolan ular itu seakan takut terhadap Cau-ji, dari kejauhan mereka telah
bergerak menghindar dan bergeser menuju ke arah kedua gadis itu.
Melihat itu Cau-ji jadi tercengang.
Tanpa banyak bicara lagi dia segera mengayunkan pedang pembunuh naganya, di mana
cahaya tajam berkelebat, belasan ekor ular berbisa telah terbabat hancur.
Berhasil dengan serangan pertama, dia langsung menerjang masuk ke dalam gerombolan ular
berbisa itu dan mulai melakukan pembantaian besar-besaran.
Rupanya kawanan ular berbisa itu takut kepada hawa mumi yang berasal dari pil sakti naga
berusia seribu tahun yang ada dalam tubuh Cau-ji, begitu melihat dia menyerbu maju, serentak
kawanan ular itu menyingkir ke samping.
Dalam waktu singkat barisan ular berbisa itu jadi kacau-balau.
Sementara itu suara suitan aneh bergema makin keras dan tajam.
Sekali lagi kawanan ular berbisa itu bergerak maju, tapi baru beberapa langkah, kawanan
binatang melata itu kembali dibuat jeri oleh hawa yang terpancar dari tubuh Cau-ji.
Sedikit saja sangsi, lagi-lagi serangan Cau-ji berhasil membantai lima puluhan ekor ular berbisa.
Makin lama napsu membunuh Cau-ji makin membara, kini dia telah menggunakan seluruh
kekuatannya untuk melakukan pembantaian.
Daya pengaruh pedang pembunuh naga memang luar biasa, bukan saja cahaya dinginnya
menyebar luas, bahkan dalam waktu singkat telah menghancurkan sembilan puluh persen
kawanan ular berbisa itu.
Suara pekikan aneh kembali berubah, kali ini kawanan ular berbisa itu berusaha bergerak
mundur, tapi Cau-ji segera memanfaatkan kesempatan itu untuk melakukan pembantaian secara
besar-besaran. Mendadak terdengar suara bentakan gusar bergema, dari balik halaman gedung segera
bermunculan belasan orang.
Betapa terperanjatnya gadis berbaju hitam itu setelah menyaksikan betapa cepat gerakan
tubuh orang-orang itu, segera dia mengerahkan tenaga dalamnya sambil bersiap melakukan
pertarungan. Tak lama kemudian Cau-ji sudah dikerubut belasan orang berbaju hitam, sebagai pemimpinnya
adalah seorang kakek ceking berwajah menyeramkan.
Baru saja kedua nona itu siap maju memberi bantuan, Cau-ji telah berseru sambil tertawa
nyaring, "Ternyata di sini masih ada manusia. Kusangka hanya sarang binatang busuk ... hahaha
"Bocah keparat, tajam benar lidahmu," umpat kakek ceking itu gusar, "berani amat kau
musnahkan binatang kesayanganku, hm, malam ini akan kusuruh kau mati secara mengerikan."
Selesai berkata, ditatapnya wajah anak muda itu lekat-lekat.
"Waduh, galak amat kau ... takut ...." ejek Cau-ji sambil menyengir.
"Bocah keparat, serahkan nyawamu!"
Sambil membentak keras, dua butir benda berwarna hitam pekat segera dilontarkan ke arah
Cau-ji. "Hati-hati serangan bokongan!" buru-buru nona berbaju hitam itu memperingatkan.
Dengan satu pukulan Cau-ji menghajar kedua benda itu hingga hancur.
"Blum, blum!"
Diiringi dua kali suara ledakan, muncul dua gumpal kabut hitam yang segera mengurung
seluruh tubuh Cau-ji.
Kedua nona yang berdiri beberapa kaki dari sisi arena pun segera mengendus bau aneh yang
menyengat, kontan mereka merasakan kepala pening dan mata berkunang-kunang. Tergopohgopoh
mereka menutup jalan napas.
Dalam pada itu belasan orang berbaju hitam itu mulai tertawa menyeramkan.
Tiba-tiba terdengar suara pekikan nyaring berkumandang dari balik kabut hitam.
Baru saja belasan orang itu tertawa bangga, suara pekikan itu seketika membuat perasaan
mereka terkesiap.
Pada saat itulah sekilas cahaya tajam muncul dari balik kabut hitam dan berputar cepat di
sekeliling arena.
"Aduuuh di tengah jeritan ngeri yang menyayat hati, belasan orang itu sudah mati tercincang
pedang. Cau-ji tertawa terbahak-bahak.
Bab 3. Raja bisa, rasul ular.
Mendadak kedua orang nona itu merasakan perutnya sangat mual, buru-buru mereka merogoh
ke dalam saku mengambil sebutir pil dan cepat dijejalkan ke dalam mulut.
Beberapa saat kemudian keadaan baru sedikit membaik, ketika mengangkat kepala lagi,
tampak Cau-ji telah menyerbu masuk ke dalam gedung itu.
Biarpun suasana dalam ruang utama gelap gulita, namun Cau-ji masih dapat melihat kalau di
atas meja masih terdapat sisa hidangan, kelihatannya belasan orang itu baru saja berpesta-pora di
sana. Dengan tujuan akan menghabisi sisa lebah beracun yang masih hidup, secara beruntun Cau-ji
menembusi dua buah halaman gedung dan tiba di tengah sebuah halaman kecil yang penuh
ditumbuhi bunga.
Setelah menaiki tiga undak-undakan batu, ia pun mendorong sebuah pintu ruangan.
Ruangan ini tampak remang-remang, Cau-ji segera mendengar suara mendesis yang amat
tajam. Dengan hati tercekat segera pikirnya, "Tak kusangka di sini masih tersisa ikan yang lolos dari
jaring!" Begitu diamati lebih seksama, tampaklah seorang gadis cantik jelita sedang berbaring di atas
meja dalam keadaan telanjang bulat, di sekeliling meja terdapat empat ekor ular berbisa yang saat
itu sudah mengangkat kepala siap memagut Cau-ji.
Sebuah pemandangan yang mengerikan.
Gadis itupun sedang mengawasi Cau-ji dengan sorot mata ketakutan, seluruh tubuhnya yang
bugil sama sekali tak mampu bergerak, jelas jalan darahnya telah ditotok orang.
Tanpa terasa Cau-ji pun melangkah maju lebih ke depan.
Begitu dia bergerak maju, keempat ekor ular berbisa itu segera melesat maju melancarkan
serangan. "Dasar ular sialan" umpat Cau-ji sambil mengayunkan tangannya.
"Plaak ...!", tak ampun lagi keempat ekor ular itu mencelat ke belakang dalam keadaan binasa.
Cau-ji tertawa hambar, baru saja dia akan maju mendekat untuk membebaskan gadis itu dari
totokan, mendadak dilihatnya gadis bugil itu mengedipkan matanya berulang kali, dalam
tertegunnya, tanpa sadar dia pun menghentikan langkah.
Pemuda itu mencoba memperhatikan sekeliling tempat itu, tak ada yang mencurigakan, maka
tanyanya keheranan, "Nona, apakah kau maksudkan di sekitar sini masih ada jebakan?"
Gadis bugil itu mengedipkan matanya berulang kali.
Sekali lagi Cau-ji pasang telinga, betul saja, dari bawah tanah terdengar suara dengungan yang
terdengar secara lamat-lamat.
"Bagus sekali!" serunya kemudian kegirangan, "rupanya di bawah sana masih ada lebah
beracun." Sambil melolos pedang pembunuh naganya, kembali Cau-ji melangkah maju.
Melihat pemuda itu merangsek maju, nona bugil itu kelihatan makin panik, dia mengedipkan
mata. Sayang usahanya itu sia-sia belaka, karena waktu itu seluruh perhatian Cau-ji sudah tertuju
untuk menemukan lebah beracun, ia sama sekali tidak melihat kedipan matanya.
Ketika berada beberapa jengkal dari tepi meja, Cau-ji kembali mendengar suara gemerincing.
"Criiiing!", menyusul kemudian tampak sebuah ubin bergeser ke samping dan dari balik tanah
muncullah segerombolan bayangan hitam.
"Bagus sekali!" seru Cau-ji sambil mengayun pedangnya.
Sekilas hawa dingin menyambar, berpuluh ekor lebah beracun yang baru muncul dari balik ubin
seketika terpapas hancur dan mampus.
Tapi kawanan lebah beracun itu sungguh bandel, mati satu tumbuh seribu, kembali bayangan
hitam merangsek ke atas.
Cau-ji kembali memutar tangan kiri dan pedang di tangan kanannya, mati-matian dia sumbat
lubang itu. Sepeminuman teh kemudian suara dengungan itu mulai sirna.
Sambil menghembuskan napas lega, bisik Cau-ji, "Wah ... akhirnya kawanan lebah itu berhasil
kumusnahkan!"
Sambil berkata dia menghampiri gadis bugil itu.
Mendadak dari luar pintu kamar terdengar nona berbaju hitam berteriak keras, "Hati-hati lebah
beracun!" "Masih ada lebah beracun?" tanya Cau-ji tertegun.
Cepat dia menyelinap ke samping, siapa tahu baru dia tertegun, tahu-tahu punggungnya terasa
sakit sekali. "Aduuh!" diiringi jeritan mengaduh, tubuhnya seketika roboh terjungkal ke tanah.
Lamat-lamat dia masih sempat mendengar nona berbaju putih bersorak kegirangan, "Adik kecil,
rupanya kau berada di sini!"
Menyusul kemudian ia merasakan luka bekas sengatan lebah itu sakit sekali, lalu dia pun jatuh
tak sadarkan diri.
0oo0 Ketika Cau-ji mendusin dari pingsannya, ia mendengar suara derap kaki kuda yang kencang
disertai tubuhnya yang bergoncang, ia tahu dirinya pasti berada dalam kereta kuda yang sedang
dilarikan kencang. Pemuda itu membuka mata untuk memeriksa.
Mendadak terdengar suara merdu bersorak kegirangan, "Toaci, Jici, dia telah mendusin!"
Sekilas pandang Cau-ji segera kenal nona yang berbicara itu tak lain adalah gadis bugil yang
ditemukan dalam ruang rahasia itu, baru saja akan buka suara, tiba-tiba dilihatnya dua lembar
wajah yang berseri telah muncul di hadapannya.
Tak tahan dia pun tertegun.
Terdengar nona di sebelah kiri yang masih kekanak-kanakan berseru sambil tertawa, "Kongcu,
kau tak menyangka bukan!"
Cau-ji segera mengenali sebagai suara nona berbaju putih, seakan baru sadar akan sesuatu,
teriaknya, "Oh, rupanya kalian sedang menyaru, tapi kenapa mesti berdandan begitu jelek seperti
wajah setan?"
"Hahaha, bukankah kita bisa menghindari banyak kesulitan?"
"Ah, betul juga, dengan tampang sejelek itu, memang banyak kesulitan bisa dihindari. Tapi
tahukah kau, ada berapa banyak manusia yang terkencing-kencing gara-gara melihat tampang
seram kalian?"
Habis berkata, kembali ia tertawa tergelak sambil berduduk.
Di hadapannya duduk tiga nona yang mengenakan pakaian warna hitam, putih dan kuning,
saat ini mereka telah tampil dengan wajah aslinya, ternyata ketiga nona itu memiliki wajah yang
amat cantik. Dipandang secara begitu, merah padam wajah ketiga gadis itu, tanpa terasa kepalanya
ditundukkan rendah-rendah.
Diam-diam Cau-ji mencoba membandingkan wajah ketiga nona itu dengan dua bersaudara
Suto, enci Jin dan enci Ing. Terasa wajah nona-nona ini tak kalah dengan kecantikan gadis-gadis
koleksinya. Sementara keempat orang itu masih termenung, mendadak terdengar ringkikan kuda memecah
kesunyian disusul kereta itu berhenti secara mendadak.
Petualang Asmara 14 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Pendekar Cacad 5

Cari Blog Ini