Pendekar Naga Mas Karya Yen To Bagian 9
Tak ampun keempat orang itupun jatuh berguling dan bertumpukan jadi satu.
Tergopoh-gopoh Cau-ji merangkak bangun dan membuka tirai sambil melongok ke depan.
Ternyata ada lima lelaki kekar bersenjata pedang telah menghadang jalan pergi mereka.
Waktu itu si kusir sudah ketakutan setengah mati, bukan cuma badannya menggigil, bibirnya
yang gemetar pun tak sanggup berkata-kata.
Terdengar salah seorang lelaki kekar itu menghardik, "Ayo, semua penumpang kereta segera
menggelinding ke hadapan Toaya!"
Begitu melihat tampang kelima orang itu, Cau-ji segera tahu mereka adalah kawanan
pencoleng, diam-diam ia tertawa dingin.
Mendadak pemuda itu tertawa tergelak, serunya keras, "Turut perintah!"
Begitu tirai dibuka, tubuhnya bagaikan sebuah roda kereta dengan cepat menggelinding keluar.
Selama hidup belum pernah kelima orang itu menyaksikan kungfu seaneh ini, baru saja
menjerit kaget sambil berusaha menghindar, salah seorang lelaki kekar itu sudah terhantam
dadanya oleh sapuan kaki Cau-ji
Terdengar ia menjerit kesakitan, sambil muntah darah tubuhnya mencelat sejauh beberapa
tombak. Keempat rekannya jadi ketakutan setengah mati, baru saja siap melarikan diri, terdengar Cau-ji
kembali membentak keras, "Enyah!"
Ternyata keempat orang itu penurut sekali, tanpa banyak bicara serentak mereka melarikan diri
terbirit-birit.
Tinggal lelaki yang terluka parah menjerit keras, "Aduuh ... sakitnya ... eeei ... kalian jangan
tinggalkan aku sendirian!"
"Enyah!" kembali Cau-ji menghardik.
Orang itu mengiakan berulang kali dengan ketakutan, akhirnya sambil menahan sakit dia kabur
dari situ. Sambil tertawa terbahak-bahak Cau-ji balik ke samping kereta, belum sempat berbicara, kusir
kereta itu telah berseru dengan gemetar, "Kongcu, di sini banyak begalnya, hamba takut, ingin
balik saja."
Cau-ji tidak mengira kusir itu kecil nyalinya, setelah tertegun sejenak, ujarnya sambil tertawa,
"Datang pasukan kita hadang, datang air bah kita bendung, selama ada Kongcu di sini, apa lagi
yang ditakuti?"
"Tapi hamba masih mempunyai ibu berusia delapan puluh tahun, istriku masih muda, Kongcu,
kalau sampai terjadi sesuatu, bagaimana dengan mereka?"
"Baiklah!" sahut Cau-ji kemudian setelah berpikir sebentar, "cuma kau harus menyerahkan
kereta kuda ini kepadaku."
"Tapi... bagaimana dengan ganti ruginya?"
"Hahaha, gampang sekali, waktu beli dua ekor kuda dan kereta, kau habis uang berapa
banyak?" "Baik, coba aku hitung dulu!"
Dengan susah payah akhirnya dia berhasil menemukan sejumlah angka, maka serunya,
"Kongcu, jumlah seluruhnya adalah tiga puluh satu tahil empat renceng
"Hahaha, bagus, bagus sekali" tukas Cau-ji sambil tergelak, "kalau begitu bagaimana kalau
Kongcu bayar kereta dan kudamu seharga lima puluh tahil perak?"
"Lima puluh tahil perak" Sungguh" Bagus, bagus, bagus sekali!"
Baru saja Cau-ji akan merogoh sakunya untuk mengambil uang, nona berbaju putih itu telah
menyodorkan selembar uang kertas kepada kusir itu.
Begitu melihat nilai nominal di atas uang kertas itu, kusir itu segera menjerit kegirangan, "Wow,
seratus tahil perak ... wah, terima kasih, terima kasih sekali."
"Hahaha, pergilah membeli sebuah kereta baru yang lebih mewah," kata Cau-ji sambil tertawa.
"Baik, terima kasih, terima kasih."
Menanti Cau-ji siap melompat naik ke atas kereta untuk menjadi kusir, terdengar nona berbaju
hitam berseru, "Kongcu, silakan masuk untuk berunding sebentar."
Setelah masuk ke ruang kereta, Cau-ji memandang sekejap semua nona itu sambil tersenyum,
kemudian baru bertanya, "Nona, ada urusan apa?"
"Kongcu, kami ingin menuju ke kota Lok-yang, apakah kau tahu jalan?" tanya nona berbaju
hitam. "Belum pernah ke sana, tapi kita toh bisa bertanya," sahut Cau-ji sambil tertawa getir.
"Kongcu, selama ini kita senasib sependeritaan, aku lihat dalam beberapa hari belakangan
terjadi pergolakan besar dalam dunia persilatan, lebih baik sepanjang perjalanan kita bertindak
lebih berhati-hati."
"Adik Lian lebih mengenal jalanan serta situasi di kota seputar Lok-yang, lagi pula dia kaya akan
pengalaman dunia persilatan, sementara waktu biar dia saja yang membawa kereta, sementara
Siaumoay merundingkan beberapa persoalan lagi dengan lainnya."
"Bagus sekali kalau begitu," seru Cau-ji sambil tertawa.
Nona berbaju putih manggut-manggut, sambil membawa buntalan dia keluar dari ruang kereta.
Tak lama kemudian di tempat duduk kusir telah muncul seorang lelaki berbaju abu-abu,
terdengar lelaki itu berseru, "Tuan-tuan, kereta segera berangkat!"
Habis berkata dia pun tertawa cekikikan dan mulai menjalankan kereta.
"Mirip benar penyaruannya," puji Cau-ji sambil menghela napas.
"Ah, hanya ilmu cetek, Kongcu tak usah memuji."
"Nona kelewat sungkan. Ah benar, maaf Cayhe tak sopan, boleh tahu apa tujuan nona pergi ke
Lok-yang" Mau berpesiar, ziarah atau menengok famili?"
Nona berbaju hitam tertawa.
"Semuanya bukan. Keluarga kami memang tinggal di kota Lok-yang, aku she Cu bernama Bi-ih,
dia adalah adik bungsuku, Bi-hoa, sedang Toamoay bernama Bi-lian. Saat ini sedang menjadi
kusir. Kami merasa berterima kasih sekali atas pertolongan Kongcu."
Melihat pihak lawan begitu supel, bahkan langsung memperkenalkan diri, maka secara ringkas
Cau-ji pun memperkenalkan diri.
Betapa terkejut dan girangnya Cu Bi-ih dan Cu Bi-lian ketika tahu bahwa pemuda tampan
berilmu tinggi ini tak lain adalah putra Ong Sam-kongcu yang amat tersohor di dunia persilatan.
Tiba-tiba terdengar Cu Bi-lian yang berada di luar kereta berseru dengan nada nyaring, "Cici,
dugaanku tidak salah bukan" Ningrat!"
Merah jengah wajah Cu Bi-ih, bentaknya cepat, "Konsentrasi mengendalikan kereta!"
"Iya, benar, ningrat!"
"Eeei, nona, apa yang ditebak adikmu?" tanya Cau-ji keheranan.
Saking malunya Cu Bi-ih jadi tergagap hingga tak sanggup berkata-kata.
Dalam pada itu Cu Bi-hoa telah berkata pula sambil tertawa, "Ong-kongcu, Jici bilang ditinjau
dari wajah dan ilmu silat yang dimiliki, sudah jelas kau mempunyai asal-usul yang luar biasa, tapi
Toaci beda pandangannya, jadi kami bertaruh!"
"Oh. Bertaruh apa?"
Baru saja Cu Bi-hoa akan menjawab, buru-buru Cu Bi-ih menjerit, "Adik!"
Cu Bi-hoa segera membuat muka setan dan tak berani melanjutkan kembali kata-katanya.
Cau-ji tahu, orang lain merasa tidak leluasa untuk menjawab, lalu kenapa dia harus mendesak
terus" Maka kembali tanyanya kepada Cu Bi-hoa, "Nona, bagaimana ceritanya hingga kau terjatuh
ke tangan orang?"
Mendengar pertanyaan itu, kemudian terbayang kembali bagaimana tubuhnya yang telanjang
bulat telah dipandang anak muda itu sampai kenyang, merah padam wajah Cu Bi-hoa karena
malu, untuk sesaat dia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Melihat itu buru-buru Cu Bi-ih menyela sambil tertawa, "Kongcu, selama ini Siaumoay selalu
hati-hati, sayang sedikit kurang hati-hati hingga dia dipecundangi orang-orang Jit-seng-kau, masih
untung kau datang tepat waktu dan menolongnya, kalau tidak, entah bagaimana akibatnya!"
"Lagi-lagi perbuatan Jit-seng-kau!" seru Cau-ji gemas.
Cu Bi-ih jadi keheranan, tanyanya, "Kongcu.kalau kau memang begitu benci pada Jit-seng-kau,
kenapa bisa masuk keluar kantor penghubung mereka waktu di kota Bu-jang?"
Berhubung Cau-ji belum tahu secara pasti asal-usul ketiga nona itu, maka sahutnya, "Aku sama
sekali tidak tahu kalau rumah makan itu merupakan salah satu sarang Jit-seng-kau, untung nona
Lian memancingku keluar, kalau tidak, pasti diriku sudah mereka bokong!"
"Sebetulnya semua peristiwa ini hanya kebetulan," kata Cu Bi-ih sambil tertawa, "andaikata adik
Lian tidak melihat pedang pembunuh naga yang kau gembol, tak nanti kami mencarimu,
seandainya tidak menemukan dirimu, nasib Siaumoay pun pasti sangat tragis."
Habis berkata, kedua nona itu kembali memandang Cau-ji dengan mata berkilat.
Cau-ji pernah menjumpai sorot mata semacam ini di wajah Suto bersaudara, tentu saja dia tak
berani mencari "gara-gara" lagi, sambil mengalihkan pokok pembicaraan, tanyanya kemudian,
"Nona, kenapa kau bisa menguasai ilmu pedang pembunuh naga?"
Mula-mula Cu Bi-ih agak tertegun, kemudian jawabnya, "Sejak kecil aku suka membaca buku
dan pernah membaca tentang ilmu pedang ini, menurut apa yang kuketahui, pada sarung
pedangnya tertera jurus pedang itu secara utuh."
"Oya" Kalau begitu jika ada waktu senggang, pasti akan kuperiksa."
"Kongcu," kembali Cu Bi-ih berkata sambil tertawa, "bolehkah aku bertanya tentang satu hal,
mengapa kau kebal racun?"
"Ooh, karena aku pernah makan pil naga sakti berusia seribu tahun."
"Jadi benar-benar ada naga sakti berusia ribuan tahun," berkilat sepasang mata gadis itu.
Cau-ji manggut-manggut, secara ringkas dia pun bercerita tentang pengalamannya berduel
melawan naga seribu tahun.
Selesai mendengar kisah itu, Cu Bi-lian segera berteriak, "Kongcu, hokkimu memang luar
biasa." "Benar juga," sahut Cau-ji sambil tertawa, "padahal kalau membayangkan kembali, hatiku
masih terasa takut. Naga sakti berusia seribu tahun ini besar dan garang, setiap kali dia membalik
badan, terciptalah gelombang ombak maha dahsyat di seluruh permukaan telaga itu."
"Kongcu, apakah bangkai naga sakti berusia seribu tahun itu masih ada?" Cau-ji menggeleng.
"Aku sendiri pun kurang tahu karena waktu itu aku kabur melalui lorong bawah tanah. Saat itu
terjadi gempa dahsyat, gunung batu berguguran, kemungkinan besar bangkai naga itu sudah
tenggelam ke dasar telaga"
"Wah, sayang sekali" seru Cu Bi-ih gegetun, "coba kalau bangkai naga itu diawetkan, lalu
dipamerkan ke khalayak ramai.alangkah indahnya saat itu."
"Benar," seru Cu Bi-hoa pula, "ayah Baginda...."
Mendadak Cu Bi-ih berdehem sambil buru-buru menukas, "Kongcu, ternyata kau punya
pengalaman sehebat itu, tak aneh kawanan ular berbisa itu tak berani mendekatimu, bahkan
kawanan lebah beracun pun tak bisa berbuat banyak terhadapmu."
Dari perubahan mimik muka kedua gadis itu, Cau-ji segera tahu kalau di balik semua itu masih
tersimpan latar belakang yang luar biasa, khususnya panggilan "ayah Baginda", jelas panggilan itu
penting sekali artinya, hanya saja tak sampai dikemukakan.
Maka sambil tertawa getir, ujarnya, "Sungguh tak kusangka lebah beracun itu bisa berlagak
mati agar bisa membokong, wah ... sengatannya sakit sekali."
"Lebah terakhir kan ratu lebah," kata Cu Bi-ih sambil tertawa, "sudah hampir setengah harian
kau tak sadarkan diri, coba kalau tidak keburu mendusin, mungkin adik kecil bisa menangis sedih."
"Toaci, kenapa kau bilang begitu?"
"Tapi kan kenyataan."
"Betul," sambung Cu Bi-lian pula sambil tertawa,
"aku bersedia menjadi saksi."
"Kalian jahat semua ... sebentar akan kulaporkan kepada ayah .."seru Cu Bi-hoa manja.
Gelak tertawa pun bergema.
Sesaat kemudian kembali Cu Bi-ih berkata, "Kongcu, cobalah kau pelajari jurus pedang yang
berada di sarung pedang itu, kami tak akan mengganggumu!"
Selesai berkata dia pun memejamkan matanya.
Cau-ji pun mengambil sarung pedang pembunuh naga dan mulai meneliti dengan seksama,
betul saja, di kedua belah sisi sarung pedang penuh terukir tulisan kecil, isinya tak beda jauh
dengan apa yang pernah diajarkan Cu Bi-ih tadi.
Cau-ji terpekur beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia mulai berseri, jelas pemuda ini kembali
berhasil memahami rahasia jurus pedang itu.
Akhirnya dia menyimpan kembali pedangnya dan mulai memejamkan mata sambil berpikir.
Tanpa terasa dia pun terlelap dalam konsentrasinya.
Tak lama kemudian ketiga orang yang berada dalam kereta telah terkonsentrasi dalam
semedinya. Setengah jam kemudian mendadak terdengar suara derap kaki kuda bergerak mendekat, lalu
terlihat seekor kuda melintas secepat kilat.
Di saat lewat di samping kereta, tiba-tiba orang itu mengayunkan tangan kanannya, kemudian
dengan cambuknya dia singkap tirai di depan jendela kereta.
Tak terlukiskan rasa gusar Cu Bi-lian, baru akan turun tangan, satu ingatan segera melintas,
maka dengan berlagak kaget bercampur gugup, dia menyingkir ke samping.
Sewaktu kain tirai tersingkat oleh pecut tadi, kuda itu sudah melintas sejauh lima-enam depa.
Terdengar orang itu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, dua nona yang cantik sekali, sayang Toaya masih ada urusan penting!"
Jelas maksudnya, dia merasa sayang karena tak bisa menjamah gadis-gadis itu.
Cau-ji membuka mata sambil memandang keluar, terlihat lelaki itu berusia tiga puluh tujuhdelapan
tahun, mukanya hitam keabu-abuan, sebuah codet bekas bacokan golok sepanjang
beberapa senti terpampang di pipi kirinya.
Memandang hingga bayangan punggung lelaki itu hilang dari pandangan, Cau-ji berbisik lirih,
"Nona Lian, bagus sekali sandiwaramu, Cuma kau jadi ikut tersiksa."
"Sungguh mengecewakan, aku hampir saja turun tangan," sahut Cu Bi-lian tertawa.
Kembali cambuknya diayunkan ke depan, kereta itupun bergerak semakin cepat menuju ke
depan. Sepanjang perjalanan, mereka berusaha menyembunyikan identitas, maka ketika menjelang
senja, tibalah mereka di sebuah kota.
Ketika kereta sudah berhenti di depan sebuah rumah penginapan besar, C u Bi-lian baru
menghembuskan napas lega.
Seorang pelayan segera menyambut kedatangan mereka sembari menyapa, "Toaya, apakah
akan menginap" Kami mempunyai kamar yang bersih ...."
Mendadak terdengar suara derap kaki kuda bergema mendekat, lalu terdengar seseorang
dengan suara parau berteriak, "Ada kamar?"
Belum sempat pelayan itu buka suara, Cu Bi-lian sudah menyahut duluan, "Baiklah, kami ambil
kamar itu!"
Baru selesai dia berkata, dua ekor kuda telah berhenti di depan rumah penginapan.
Orang yang berada di depan adalah lelaki berwajah hitam keabu-abuan, dia tak lain adalah
lelaki ber-codet yang dijumpai di tengah jalan tadi, sedangkan di sampingnya adalah seorang lelaki
bertubuh pendek.
Cu Bi-lian langsung mengernyitkan dahi begitu melihat tampang kedua orang ini.
Terdengar lelaki bercodet itu tertawa tergelak, katanya, "Hahaha, sangat kebetulan. Eei,
pelayan, cepat urus kuda Toaya dan siapkan juga hidangan"
Melihat tampang kedua tamunya yang garang, pelayan itu tampak ketakutan, buru-buru
sahutnya, "Maaf Toaya, kamar kami tinggal satu dan kebetulan sudah diambil tamu itu!"
Lelaki itu kontan mendelik dan siap mengumbar amarah.
Tapi si pendek yang berada di belakangnya segera mencegah, tukasnya, "Kalau memang di sini
sudah tak ada kamar lagi, kita tak boleh mamaksakan kehendak, ayo pergi saja."
Habis berkata, dia langsung naik kembali ke atas kudanya dan bedalu dari situ.
Menanti kedua orang itu sudah pergi jauh, pelayan itu baru berpaling ke arah Cu Bi-lian sambil
menggerutu, "Tahukah kau, caramu bicara yang acuh tak acuh nyaris membuat aku kena gebuk!"
"Maaf!" senyum Cu Bi-lian sambil melompat turun dari kereta kuda.
Baru saja pelayan itu akan mengomel lagi, tiba-tiba matanya jadi berkilat.
Ternyata tirai kereta telah disingkap dan muncullah Cau-ji yang tampan dan gagah.
Disusul kemudian dua bersaudara Cu yang cantik jelita pun turun dari dalam kereta.
Buru-buru pelayan itu tutup mulut dan segera mengajak ketiga orang itu menuju ke dalam
penginapan. It-teng-ho adalah rumah penginapan paling besar di kota ini, bukan saja mencakup tanah
berhektar luasnya, kamarnya bagus, bersih dan hidangannya lezat.
Biarpun saat ini bukan waktu bersantap, namun banyak tamu yang berada di ruang makan,
puluhan pasang mata serentak dialihkan ke wajah kedua gadis itu, tampaknya mereka tertarik
dengan kecantikannya.
Sesaat sebelum turun dari kereta, Cu Bi-ih telah memperhatikan lebih dulu wajah para tetamu
yang ada dalam ruangan, setelah yakin tak satu pun yang kenal, bersama adiknya ia baru turun
dari kereta. Dua bersaudara ini berlagak seolah-olah gadis lemah yang tidak biasa jalan jauh, mereka saling
bergandengan dengan kepala tertunduk dan langkah lambat.
Tapi justru penampilan seperti ini semakin menggoda perasaan kaum lelaki, puluhan tamu yang
berada dalam ruangan serentak menatap ke arah mereka dengan mata terbelalak dan mulut
melongo. Pelayan langsung mengajak Cau-ji dan kedua gadis itu melewati dua lapis halaman luas
sebelum tiba di muka sebuah pintu bulat di sisi halaman. Katanya kemudian sambil tertawa,
"Inilah salah satu kamar terbaik rumah penginapan kami, perabotnya indah, suasananya tenang"
Sembari berkata dia mendorong pintu dan berjalan masuk terlebih dulu.
Cau-ji mencoba memperhatikan suasana di seputar halaman itu, benar saja, suasana amat
tenang dengan sekeliling halaman terlindung oleh dinding pagar yang tinggi.
Dalam halaman tumbuh aneka bunga seruni musim gugur, bukan saja indah, bahkan harum
baunya, sementara di sisi halaman utama yang tinggi dan terang masih terdapat dua buah bilik
lain. "Apakah tuan merasa cocok dengan ruangan ini?" tanya sang pelayan kemudian sambil
tertawa. Perlahan-lahan Cu Bi-ih melangkah masuk ke dalam ruangan, betul saja, perabot di sana ratarata
indah dan mewah, bukan saja cukup sinar bahkan tak nampak sedikit debu pun di atas meja.
Sambil tersenyum dia pun merogoh keluar sekeping emas murni, katanya sambil menyerahkan
emas itu ke tangan pelayan, "Simpanlah untuk sementara waktu uang ini di kasir, kita hitung lagi
besok!" Sambil menerima emas itu si pelayan mencoba menimangnya, kemudian berpikir, "Luar biasa,
paling tidak bobot emas ini mencapai sepuluh tahil lebih!"
Buru-buru serunya sambil tertawa dibuat-buat, "Kongcu, nona berdua, kalian ingin pesan
hidangan apa" Silakan perintahkan saja, hamba segera akan menyiapkan!"
"Tidak perlu!" tukas Cu Bi-ih sambil mengulap tangan, "kalau butuh sesuatu, aku akan
memanggilmu!"
Setelah memberi hormat buru-buru pelayan itu mengundurkan diri, di tengah jalan ia bertemu
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cu Bi-lian, maka sambil menarik kembali senyumannya, dia tunjuk ke arah kamar samping sambil
berkata, "Kedua bilik kamar itu adalah kamar tidurmu"
Belum habis berkata, mendadak dari balik pintu bulat menerobos masuk seorang lelaki
berpakaian ketat warna hitam, tanpa berkata-kata dia langsung menerjang masuk ke dalam
kamar. Tak sempat meneruskan pembicaraan dengan Cu Bi-lian, buru-buru pelayan itu menghadang
sambil teriaknya, "Toaya, seluruh halaman ini sudah disewa orang, lagi pula dalam kamar ada
kaum wanita ...."
Lelaki berbaju hitam itu tertawa dingin, dengusnya, "Jangankan perempuan biasa, sekalipun
permaisuri ada di sini pun aku tak takut, ayo cepat menyingkir!"
Begitu tangan kirinya dikebaskan, pelayan itu segera menjerit kesakitan, badannya terlempar
sejauh lima-enam kaki, mulutnya langsung berdarah dan giginya patah karena bantingan itu, dia
tetap menggenggam kepingan emas itu erat-erat.
Cu Bi-lian langsung maju menghadang di depan pintu, hardiknya, "Siang hari bolong, berani
amat saudara bertindak kurang-ajar, bukankah sudah tahu kalau dalam kamar terdapat kaum
wanita, ada urusan apa kau menerobos masuk kemari?"
Lelaki berbaju hitam itu memperhatikan gadis itu sekejap, tiba-tiba dia merangsek ke depan,
tangan kanannya langsung menghantam ke dada lawan, selain cepat serangannya, kekuatan yang
digunakan pun amat dahsyat.
Cu Bi-lian segera memutar tangan kiri mencengkeram pergelangan tangan kanan lelaki berbaju
hitam itu, begitu dibetot lalu mendorong, tak ampun lelaki berbaju hitam itu segera terpental
tujuh-delapan langkah dan jatuh terduduk di lantai.
Tampaknya bantingan itu cukup keras, untuk beberapa saat lelaki berbaju hitam itu harus
duduk diam sebelum akhirnya dapat merangkak bangun, setelah menengok ke arah Cu Bi-lian
sekejap, sambil mendengus benci cepat dia mengundurkan diri dari halaman itu.
Sambil merangkak bangun dan menunjukkan senyuman yang dibuat-buat, pelayan itu berkata
kemudian, "Maaf, maaf! Tampaknya hamba memang punya mata tak mengenal gunung Thay-san,
tak disangka seorang kusir pun memiliki kungfu sedemikian hebatnya."
Cu Bi-lian hanya tertawa hambar, tanpa bicara dia langsung menuju ke ruang utama.
Kali ini sang pelayan tak berani lagi memerintahnya menuju ke ruang samping.
Baru melangkah masuk ke dalam kamar, gadis ini menyaksikan Cau-ji dan kedua saudaranya
sedang duduk bergurau di ruang tamu.
Terdengar Cau-ji berseru dengan nada minta maaf, "Nona Lian, merepotkanmu saja!"
Cu Bi-lian tertawa.
"Ong-kongcu, kau terlalu sungkan, sudah menjadi kewajiban Siaumoay untuk melakukannya.
Ah benar, sudah berapa jurus pedang yang berhasil kau pahami?"
"Mungkin sudah delapan-sembilan puluh persen," sahut Cau-ji sambil tertawa, "semuanya ini
berkat bantuan nona Ih!"
"Kongcu kelewat sungkan," sela Cu Bi-ih cepat, "kalau bukan Kongcu memiliki tenaga dalam
dan kecerdasan yang luar biasa, buat orang awam, mungkin butuh bertahun-tahun untuk
mempelajarinya."
Cau-ji tersenyum lebar, baru akan buka suara, mendadak ia tertawa dingin, jari tangan
kanannya disentilkan ke depan, segulung serangan jari segera meluncur keluar jendela.
Menyusul kemudian dia pun menjejakkan kakinya, tubuh berikut bangku yang didudukinya
langsung melesat keluar ke balik jendela.
Ketiga gadis itu tahu kungfu yang dimiliki Cau-ji sangat hebat, menyaksikan perbuatannya itu,
mereka tetap duduk tak bergerak sambil menonton perubahan.
Gerakan tubuh Cau-ji betul-betul cepat bagaikan sambaran petir, begitu tiba di luar jendela, dia
pun mengayunkan kembali tangannya sembari bergumam, "Kau pandai bermain ular" Baguslah,
akan kuajak kau untuk bermain-main ...."
Habis berkata, sekali lagi dia meluncur balik ke dalam ruangan.
Ketika ketiga nona itu menyaksikan kehadirannya kembali, serentak mereka terkejut bercampur
geli. Tampak seorang kakek berbaju hitam berhasil dibekuk Cau-ji dan dibanting ke atas tanah,
seekor ular berwarna kuning emas yang panjangnya mencapai dua kaki sedang bergerak melilit
tubuh kakek itu.
Sementara ketiga nona itu sedang merasa heran mengapa ular emas itu tidak juga
meninggalkan tubuh kakek itu, segera terlihat ternyata ekor ular itu sudah ditembusi sebatang
ranting pohon dan kini terpantek di atas bahu orang itu.
Kejadian itu kontan membuat ketiga nona ini terperanjat.
Dalam pada itu si kakek berbaju hitam itupun ketakutan setengah mati, tubuhnya gemetar
keras, dia ingin buka suara, tapi kuatir juga kalau ular emas tadi menerobos masuk ke dalam
tubuhnya, padahal jalan darahnya tertotok hingga tak mampu bergerak, untuk sesaat dia seperti
tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Sobat, siapa yang menyuruh kau datang kemari?" tanya Cau-ji kemudian sambil tertawa
dingin. "Aku... tolong ...."
Bani saja dia buka mulut ingin bicara, sekilas cahaya tajam mendadak meluncur masuk dari luar
jendela, langsung menghantam ke hulu hati sendiri.
Dalam kaget dan takutnya, kakek itu tak ambil peduli lagi soal rasa malu atau tidak, kontan dia
berteriak minta tolong.
Sejak awal Cau-ji sudah tahu kalau di atas pohon di tengah halaman terdapat seseorang yang
sedang bersembunyi, maka begitu menyaksikan datangnya serangan senjata rahasia, sambil
memukul jatuh pisau belati yang datang menyergap dengan tangan kirinya, dia lepaskan pukulan
keluar jendela dengan tangan kanan.
Bersamaan badannya ikut pula meluncur keluar.
Tiba-tiba terdengar jeritan ngeri bergema dari tengah halaman.
Tak lama kemudian terlihat Cau-ji melangkah masuk ke dalam kamar sambil mengempit tubuh
seorang lelaki berbaju hitam yang muntah darah.
Begitu melihat orang itu, kakek berbaju hitam yang nyaris dibokong tadi kontan mengumpat,
"Thian-lip, kau berani melancarkan serangan mematikan kepadaku?"
Dengan ketakutan sahut lelaki berbaju hitam itu, "Suhu, perintah dari Tongcu tak berani Tecu
lawan." "Perintah dari Tongcu tak berani dilawan" Cuuh!" sambil berteriak kakek berbaju hitam itu
segera menggigit lidah sendiri, lalu dengan darah yang bercucuran dia sembur wajah Thian-lip.
Kebuasan yang diperlihatkan kakek ini seketika membuat Cau-ji serta ketiga nona itu tertegun.
Tiba-tiba terdengar Thian-lip menjerit kesakitan, tubuhnya kontan berguling di atas lantai.
Tak lama kemudian tubuhnya berubah jadi segumpal cairan berwarna kuning.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Cu Bi-ih, dia terbayang akan seseorang yang
seluruh tubuhnya mengandung racun dan tiap hari bersantap ular untuk menyambung hidupnya.
Dengan tubuh gemetar karena ngeri, serunya, "Kau adalah Rasul ular!"
Kakek berbaju hitam itu tertawa seram.
"Hahaha, betul, betul sekali, Lohu adalah Rasul ular, hanya sayang gara-gara godaan sesaat,
aku terjebak oleh siasat busuk Si Kiau-kiau, kalian harus lebih berhati-hati."
Sambil berkata dia gigit ular berwarna emas itu, lalu menelan kepala ular yang putus karena
gigitan itu ke dalam perut.
Tak lama kemudian ia menjerit ngeri dan putus nyawa.
Melihat tubuh ular yang masih menggeliat walaupun tanpa kepala itu, ketiga gadis itu jadi
mual, tak ampun mereka muntah-muntah karena ngeri.
Memandang mayat yang telah berubah jadi gumpalan cairan kuning, diam-diam Cau-ji
menghela napas panjang, dia pun memanggil pelayan untuk membersihkan ruangan.
Tiba-tiba terdengar seorang memanggil, "Kongcu, nona, air teh!"
Keempat orang itu saling bertukar pandang sekejap, Cu Bi-lian yang menyamar sebagai kusir
segera membuka pintu.
Tak lama kemudian terlihat Cu Bi-lian diikuti seorang pelayan berjalan masuk ke dalam, pelayan
itu berdandan aneh, ia mengenakan topi yang direndahkan hingga nyaris menutupi wajahnya dan
membawa nampan berisi cawan teh.
Begitu meletakkan cawan teh, pelayan tadi kembali mengundurkan diri dengan cepat.
Cu Bi-lian memandang Cicinya sekejap, kemudian mengikut di belakang pelayan itu keluar
ruangan. Sepeninggal sang pelayan, Cu Bi-ih melirik sekejap warna air teh dalam cawan, sekulum
senyuman dingin segera menghiasi bibirnya.
Menanti Cu Bi-lian balik kembali ke dalam kamar, ia baru bertanya lirih, "Apakah pintu halaman
sudah dikunci?"
"Sudah!"
Perlahan Cu Bi-ih mengambil secawan air teh, lalu bertanya lirih, "Kongcu, menurutmu apakah
air teh ini mencurigakan?"
Cau-ji mencoba memeriksa air teh dalam cawan, tampak warna air hijau muda dengan bau
yang sangat harum, sama sekali tak nampak sesuatu yang aneh atau mencurigakan, maka balik
tanyanya, "Memangnya air teh ini tidak beres?"
Cu Bi-ih tidak berkata apa-apa, dia seduh air teh itu, kemudian dicipratkan ke meja, seketika
muncullah asap putih dari tempat yang terpercik air teh tadi.
Terkesiap hati Cau-ji melihat itu.
Sambil menghela napas, ujar Cu Bi-ih, "Siasat busuk orang-orang Jit-seng-kau memang
menakutkan, bayangkan saja, bukan hanya tindak-tanduknya, sampai dalam air teh pun sudah
dicampuri racun jahat. Ai, kita mesti lebih berhati-hati."
Cau-ji ikut menghela napas panjang.
"Ternyata ketajaman mata dan pendengaran orang-orang Jit-seng-kau memang amat tajam,
tak nyana jejak kita sudah ketahuan mereka. Nona, dengan cara apa kita harus menghadapi
mereka?" "Maaf, kami tiga bersaudara memang target yang kelewat mencolok," ujar Cu Bi-ih dengan
nada minta maaf, "coba kalau hanya Kongcu seorang, belum tentu orang-orang Jit-seng-kau akan
menemukan jejakmu."
Cau-ji tahu, Im Jit-koh dan Bwe-toasiok pasti tak akan membocorkan identitasnya, ia mengerti
bahwa apa yang dikatakan gadis itu memang tak salah, maka sahutnya sambil tertawa, "Aku sih
tak peduli, yang di-kuatirkan justru kalau kita kurang hati-hati hingga terjebak dalam perangkap
mereka, kalau sampai begitu baru susah."
"Hm! Ulah para anggota Jit-seng-kau memang keterialuan," seru Cu Bi-ih jengkel, "tak sampai
setengah tahun lagi, kujamin perkumpulan mereka pasti akan musnah."
"Kongcu, bagaimana kalau kita pura-pura terjebak oleh siasat mereka, kami berdua akan
berbaring di kedua sisi meja, silakan Kongcu bersandar di bangku, sementara adik Lian berbaring
di belakang pintu sembari mengawasi suasana di luar jendela!"
Begitulah, mereka pun segera berlagak keracunan.
Cau-ji memejamkan mata sambil berbaring di atas meja.
Kurang lebih seperempat jam kemudian tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.
Keempat orang itu segera berpura-pura tak sadarkan diri.
Setelah mengetuk beberapa saat, akhirnya suara itupun berhenti.
Kembali setanakan nasi sudah lewat tanpa terjadi sesuatu apa pun.
Baru saja Cau-ji habis kesabarannya, mendadak terdengar suara irama musik yang lembut
berkumandang datang dari kejauhan, diikuti kemudian suara gesekan aneh.
"Ah, lagi-lagi gerombolan ular berbisa," pikir Cau-ji, dia pun kembali memejamkan mata.
Tampak dua ekor ular sawah yang cukup besar menyelinap masuk lewat jendela, tubuh ular itu
sebesar mulut cawan dan berwarna belang.
Diam-diam Cau-ji menghimpun tenaga dalam dan siap membunuh kedua ekor ular itu.
Tampak ular itu bergeser mendekati Cu Bi-lian, salah satu di antaranya merangsek ke depan
dengan gerakan cepat, langsung mematuk ke tubuh mangsanya.
Secepat kilat Cu Bi-lian menyambar bagian tujuh inci dari kepala ular itu, sementara kaki kanan
menendang ular kedua.
Perlu diketahui, bagi seseorang yang memiliki ilmu silat tingkat tinggi, menangkap ular
bukanlah termasuk pekerjaan sulit, yang sulit justru harus memiliki keberanian besar untuk
menangkap binatang melata itu.
Karena kedua ekor ular yang menyerang sekarang bukan saja besar bentuknya, bahkan amat
berbisa, bila gagal menangkap dalam sekali gempuran, bisa jadi sang uiar akan balik mematuk,
akibatnya bisa terluka oleh gigitan ular itu.
Melihat cara Cu Bi-lian menangkap ular, diam-diam Cau-ji bersorak memuji, perempuan ini
bukan saja cerdas dan cekatan, bahkan keberaniannya melebihi orang lain.
Terdengar kedua ekor ular itu mendesis perlahan, tahu-tahu bagian tujuh incinya di belakang
kepala sudah terhantam telak, setelah meronta sebentar akhirnya mampus seketika.
Sedangkan ular yang merangsek maju, meski sudah ditangkap bagian mematikannya, tapi sang
ular malah berbalik mencoba menggigit, sedang badannya yang besar langsung melilit di atas
lengan kanannya.
Tampak gadis itu menekuk lengan kanannya lalu mengebas kuat-kuat, tiba-tiba ular tadi
mengendorkan lilitannya.
Dengan wajah sama sekali tak berubah nona itu berdiri, dengan cepat dia letakkan bangkai
kedua ekor ular itu ke balik jendela, kemudian dia balik lagi ke tempat semula dan berbaring purapura
pingsan. Kembali setengah jam lewat tanpa terjadi sesuatu apa pun, baru saja Cau-ji mulai mengantuk,
tiba-tiba ia bersin berulang kali, tanpa sadar ia tingkatkan kewaspadaannya.
la tahu tubuhnya kebal terhadap racun, asal dia mulai bersin, hal ini menandakan ada hawa
racun yang terisap ke dalam tubuhnya.
Saat itu dia tak tahu bagaimana keadaan ketiga nona itu, diam-diam ia pun membuat
persiapan. Seperempat jam kembali berlalu, mendadak dari luar jendela terdengar suara lirih, kemudian
tirai kelihatan bergoyang dan sesosok bayangan manusia menyusup masuk ke dalam ruangan
dengan kecepatan tinggi.
Mengintip dari balik bajunya, Cau-ji melihat orang yang menyusup masuk itu adalah seorang
aneh berkerudung hitam yang mempunyai perawakan kecil pendek, saat itu dia sedang berjalan
memasuki ruangan.
Dengan begitu santai manusia aneh itu langsung menghampiri dua bersaudara Cu, mendadak
dengan sekali gebrakan dia totok jalan darah mereka berdua.
Belum sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu kedua gadis itu sudah tertotok jalan darahnya.
Saat itulah manusia aneh itu melepaskan kain kerudung hitamnya hingga tampak raut muka
panjangnya yang mirip muka kuda, gumamnya sambil tertawa ringan, "Wah, gadis cantik yang
menawan, tak malu disebut gadis bangsawan!"
Sambil berkata, diamatinya tubuh kedua gadis itu berulang kali.
Tenggelam perasaan Cau-ji menyaksikan kedua gadis itu tertotok jalan darahnya sementara Cu
Bi-lian tergeletak tak berkutik di lantai, jelas ia sudah keracunan, diam-diam dia pun membuat
persiapan untuk turun tangan.
Dalam pada itu manusia aneh bermuka kuda itu telah mengawasi pula tubuh Cu Bi-lian, lalu
katanya menyeramkan, "Lohu memang sedang hokki, ternyata dengan satu panah bisa mendapat
tiga burung, hehehe"
Sembari berkata, lagi-lagi dia mengayunkan tangan kanannya dan menotok jalan darahnya.
"Hm, bocah busuk ini kurang pas kalau dibiarkan berada bersama tiga nona cantik ini, lebih
baik biar dia mampus saja!"
Tiba-tiba badannya melompat maju, kaki kanannya langsung menendang pinggang Cau-ji.
Melihat datangnya serangan, Cau-ji mengayunkan tangan kanannya ke atas, lalu
mencengkeram pergelangan kakinya, setelah itu didorongnya kuat-kuat.
Terdengar lelaki aneh bermuka kuda itu menjerit kesakitan, tubuhnya langsung terbanting ke
lantai. Sambil tertawa seram Cau-ji bangkit berdiri, ejeknya, "Hei, setan tua, kau memang hokki
sekali!" Manusia aneh itu melotot buas, tiba-tiba dia mengayunkan tangan kanannya membacok
lambung Cau-jiDengan cekatan anak muda itu melepaskan satu tendangan kilat, yang diarah adalah alat
kelamin musuh. Terdengar jerit kesakitan bergema dalam ruangan, alat kelamin manusia aneh itu kontan
tertendang telak, tampak darah segar bercucuran membasahi celananya.
"Ayo, serahkan obat pemunahnya!" bentak Cau-ji sambil mencengkeram dadanya.
"Hm, jangan harap!" sahut manusia aneh itu gusar, apalagi mengingat alat pencipta
keturunannya sudah remuk terkena tendangan, sudah jelas di kemudian hari tak ada harapan lagi
baginya untuk mencari kesenangan.
Daripada terjatuh ke tangan lawan, dia jadi nekat, tiba-tiba sambil menggigit lidah sendiri ia
bunuh diri. Cau-ji sama sekali tidak menyangka kalau musuhnya bakal nekat, dalam jengkelnya dia pun
menggeledah seluruh saku manusia aneh itu.
Siapa tahu kecuali beberapa lembar uang kertas dan sedikit hancuran perak, tak ditemukan
benda apa pun. Diam-diam Cau-ji menghela napas, dengan perasaan kecewa ia bangkit kembali.
Dibopongnya tubuh Cu Bi-lian ke atas pembaringan, melihat wajah ketiga nona itu lamat-lamat
muncul warna hitam, pemuda itu jadi panik, ia tahu hawa racun sudah mulai menyerang.
Sementara masih panik dan tak tahu apa yang harus diperbuat, tiba-tiba matanya menyaksikan
darah yang meleleh dari mulut manusia aneh itu.
Satu ingatan segera melintas, wajahnya pun kembali berseri.
Setelah menyiapkan tiga cawan, ia gigit jari tangan sendiri hingga berdarah dan
menampungnya ke dalam cawan-cawan itu. Selesai itu, dia membawa secawan darah mendekati
pembaringan. Dilihatnya Cu Bi-lian berbaring dengan mata terpejam dan gigi terkatup rapat, ia tahu keadaan
begini agak susah baginya untuk melolohkan darah ke mulut gadis itu.
Akhirnya diteguknya darah anyir itu lalu menempelkan bibirnya ke atas bibir gadis itu, dengan
ujung lidah ia mencoba membuka katupan bibir si nona, setelah itu baru perlahan-lahan
menyalurkan darah segar itu ke mulutnya.
Tak lama setelah darah itu mengalir masuk ke dalam perutnya, Cu Bi-lian menghela napas
panjang dan siuman kembali.
Begitu tahu Cau-ji sedang menempelkan bibirnya di atas bibir sendiri, nona itu jadi jengah,
serunya lirih, "Kau...!"
Dia mencoba meronta sambil menghindari ciuman bibirnya.
Buru-buru Cau-ji menuding ke arah dua gadis lainnya sambil meneruskan ciumannya.
Berdebar keras jantung Cu Bi-lian, ia tahu pemuda itu sedang membantunya memunahkan
pengaruh racun, biar begitu dia mendorong juga tubuh sang pemuda sambil berbisik, "Kongcu,
biar aku minum sendiri!"
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cau-ji manggut-manggut, setelah menyerahkan cawan itu dia pun berjalan menghampiri Cu Biih.
Sambil meneguk sendiri darah dalam cawan, diam-diam Cu Bi-lian mengawasi tingkah-laku
Cau-ji yang menciumi dua nona lainnya, pipinya jadi panas dan merah begitu terbayang kembali
bagaimana pemuda itu menciumnya tadi.
Sambil tertawa, ujar Cau-ji kemudian, "Syukurlah kalian semua bisa lolos dari mara bahaya,
selesai bersemedi dan mengusir keluar seluruh pengaruh racun, besok aku akan mentraktir kalian
makan bakmi kaki babi!"
Ketiga nona itu tertawa cekikikan, tanpa bicara mereka pun segera duduk bersemedi.
Melihat cara ketiga nona itu bersemedi, Cau-ji tahu gadis-gadis itu selain mempelajari Sim-hoat
tenaga dalam aliran lurus, dasar yang mereka miliki pun cukup kuat, diam-diam dia pun merasa
lega. Selesai meronda keluar kamar, dia sendiri pun duduk bersemedi untuk memulihkan tenaga.
0oo0 Lok-yang merupakan salah satu dari enam bekas kota raja yang tersohor dalam sejarah
Tionggoan. Kota Lok-yang menjadi penting artinya karena letaknya yang strategis dan persis berada di
pusat kekuasaan militer.
Hari ini di depan sebuah bangunan mewah di sebelah barat kota Lokyang datang sebuah kereta
kuda, kalau dilihat dari debu yang mengotori seluruh badan kereta, bisa diduga kendaraan itu baru
saja menempuh perjalanan jauh.
Yang muncul tak lain adalah Cau-ji dan tiga bersaudara keluarga Cu.
Semenjak melancarkan serangan waktu berada di rumah penginapan malam itu, pihak Jit-sengkau
tidak mengirim anak buahnya lagi untuk melakukan sergapan, karena itulah mereka dapat tiba
di rumah dengan lancar.
Cu Bi-lian yang menyaru sebagai kusir kereta segera menggedor pintu besi tiga kali dan pintu
pun perlahan-lahan terbuka lebar.
Empat lelaki setengah umur yang berdandan Bu-su segera menjura dalam-dalam seraya
berseru, "Menjumpai nona!"
"Tak usah banyak adat!" tukas Cu Bi-ih sambil menyingkap tirai kereta dan berjalan turun.
Baru saja Cu Bi-hoa melompat turun dari kereta, seorang kakek berwajah bersih dan seorang
nyonya setengah umur bertubuh gesit telah muncul di samping kereta dan memberi hormat
kepada kedua gadis itu.
"Gara-gara di tengah jalan ada sedikit masalah hingga kami pulang telambat, di rumah tak ada
masalah bukan?" tanya Cu Bi-ih.
"Tak ada urusan," jawab nyonya setengah umur itu dengan hormat, "eeei, mana nona kedua?"
Cu Bi-lian yang selama ini masih duduk di atas kereta segera tertawa terkekeh-kekeh, serunya,
"Chin-congkoan, aku berada di sini!"
"Ah nona, ternyata ilmu menyaru mukamu makin hari makin hebat," puji wanita setengah umur
itu tercengang, "coba lihat, kau adalah putri ningrat, masa melakukan perbuatan rendah semacam
itu?" "Karena di dalam kereta ada tamu agung!" jawab Cu Bi-lian sambil tertawa misterius.
Dengan pandangan terkejut bercampur keheranan serentak sinar mata semua orang dialihkan
ke dalam kereta itu, mereka ingin tahu tokoh manusia seperti apakah yang bisa membuat Cu Bilian
yang selama ini angkuh dan enggan tunduk kepada siapa pun rela menjadi kusir keretanya.
"Tidak berani!" sahut Cau-ji sambil melompat turun dari dalam kereta.
Semua orang segera merasakan pandangan matanya jadi terang, tak tahan diam-diam
soraknya, "Wow, pemuda yang amat tampan!"
Sementara itu Cu Bi-ih telah berseru, "Kongcu, mari kita berbincang di dalam saja!"
Sambil tersenyum Cau-ji manggut-manggut kepada semua orang, kemudian bersama Cu Bi-ih
berjalan masuk ke dalam pintu gerbang.
Begitu Cu Bi-lian melompat turun dari tempat duduk kusir, seorang lelaki kekar segera
melompat naik menggantikan posisinya dan membawa kereta itu menuju ke pintu samping.
Pemandangan di dalam gedung sungguh indah, selain kebunnya luas, aneka bunga tumbuh
dengan harumnya.
Setelah masuk ke ruang dalam dan mengambil tempat duduk, Cu Bi-lian baru berkata sambil
tersenyum, "Kongcu, pernah mendengar tentang Thian-te-sian-lu (sejoli dewa langit dan bumi)?"
Cau-ji melirik sekejap ke arah kakek dan wanita cantik itu, kemudian sambil bangkit berdiri,
ujarnya dengan hormat, "Apakah Cianpwe berdua adalah Leng-cianpwe dan Chin-cianpwe?"
Kakek dan nyonya cantik itu serentak bangkit berdiri sambil menyahut, "Aku adalah Leng Bang,
sedang dia adalah istriku, Chin Tong, memberi hormat kepada Kongcu!"
Habis berkata mereka segera memberi hormat.
Cepat Cau-ji berkelit ke samping sambil katanya gugup, "Wanpwe adalah Ong Bu-cau dari kota
Kimleng, ayahku Ong lt-huan!"
Mendengar nama itu, Leng Bang nampak kegirangan, seninya cepat, "Oh, rupanya Kongcu
adalah keturunan Ong Sam-kongcu, tak heran nona kedua bersedia jadi kusirmu, sungguh
beruntung pada hari ini aku Leng Bang bisa berjumpa dengan Kongcu!"
Cu Bi-lian menggeleng kepala, katanya, "Leng tua, kau keliru! Biarpun keluarga Ong-kongcu
ternama di Seantero jagad, namun belum cukup untuk membuatku menjadi kusir bagi keretanya,
pernahkah kau melihat aku menjadi kusir untuk kereta ayahku?"
Dari pembicaraannya itu, bisa disimpulkan kalau asal-usul ayahnya pasti luar biasa.
"Maaf hamba salah bicara, maaf hamba salah bicara!" buru-buru Leng Bang minta maaf.
Kembali Cu Bi-lian tertawa. "Leng tua, aku tidak bermaksud menyalahkan dirimu, karena kau tidak
tahu Ong-kongcu telah menyelamatkan nyawa kami tiga bersaudara!"
Secara ringkas dia pun mengisahkan pengalamannya.
Mendengar itu Leng Bang berdua nampak sangat terharu, sinar mata mereka berkilat.
Sesaat kemudian terdengar Leng Bang berkata lagi, "Tampaknya Si Kiau-kiau sudah makan
nyali beruang, berani amat turun tangan terhadap anggota keluarga Cu. Hm, tampaknya Jit-sengkau
memang sudah tak ingin menancapkan kaki lagi di dunia persilatan."
Begitu mendengar kata "keluarga Cu", satu ingatan segera melintas dalam benak Cau-ji,
pikirnya, "Bukankah Baginda saat ini dari keluarga Cu" Kalau didengar dari caranya bicara, janganjangan
mereka adalah putri kaisar?"
Tanpa terasa dia pun berpaling ke arah ketiga gadis itu.
Chin Tong tahu, pasti ketiga nona itu belum membocorkan identitas sebenarnya, maka sambil
tersenyum, katanya, "Ong-kongcu, apakah kau pernah mendengar ibumu menyinggung tentang
aku?" Mendapat pertanyaan ini, Cau-ji segera memperhatikan sekejap nyonya cantik yang
penampilannya masih berusia tiga puluh tahunan, padahal usia aslinya sudah tujuh puluh tahun,
kemudian jawabnya dengan hormat, "Sucou, Cau-ji pernah mendengar nama besarmu."
"Eh, biniku, kenapa Ong-kongcu memanggilmu Sucou?" tanya Leng Bang keheranan.
Chin Tong segera tertawa lebar.
"Kau masih ingat bocah perempuan bernama Si Ciu-ing?"
Seakan baru sadar, Leng Bang segera tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, tentu saja masih
ingat, bocah perempuan itu cantik, pintar, bahkan pandai memahami maksud orang lain, tak aneh
dia memiliki keturunan sehebat dan setampan ini."
Chin Tong ikut mengawasi Cau-ji beberapa saat lamanya, tiba-tiba ujarnya lagi sambil tertawa,
"Bukan hanya tampan, kalau penglihatanku tidak rabun, kalian turun tangan bersama pun belum
tentu mampu bertahan sepuluh jurus serangannya!"
Ketiga nona itu jadi terperanjat. Terlebih Leng Bang, dengan nada tak percaya tanyanya,
"Mungkinkah itu?"
"Kau ini memang selalu tak puas dengan orang lain," sela Chin Tong sambil tertawa hambar.
Buru-buru Cau-ji berseru, "Sucou, jangan bandingkan cahaya kunang-kunang dengan sinar
rembulan. Aku tak sanggup melawan mereka."
"Cau-ji tak perlu sungkan," ujar Chin Tong sambil tertawa, "belum pernah kudengar jagoan di
dunia persilatan yang mampu membantai Rasul ular dan Raja beracun secara bersamaan."
Baru saja Cau-ji ingin mengucapkan kata-kata merendah, mendadak terlihat seorang lelaki
berjalan menghampiri Cu Bi-ih sambil melapor, "Nona, nona Siang mohon bertemu!"
Cu Bi-ih segera berpaling ke arah Cu Bi-hoa sambil katanya, "Adik kecil, persilakan nona Siang
masuk!" "Baik!"
Sepeninggal adiknya, Cu Bi-ih berkata lagi kepada Cau-ji sambil tertawa, "Kongcu, nona Siang
adalah salah satu penanggung jawab toko permata terbesar dan termegah di seantero negeri,
bukan saja berparas cantik bak bidadari, ilmu silat yang dimiliki pun sangat lihai!"
Mendengar itu Cau-ji jadi kegirangan, belum sempat dia mengutarakan kisah hubungannya
dengan Siang Ci-ing, dari luar ruangan sudah terdengar suara Siang Ci-ing yang berseru merdu,
"Nona besar, kau jangan memalukan Siaumoay!" bersamaan dengan selesainya perkataan itu,
tampak Siang Ci-ing dengan pakaian kuningnya telah melangkah masuk ke dalam ruangan.
"Ooh, rupanya ada tamu agung! Eeei! Ternyata kau adik Cau!"
Sambil berteriak, nona itu langsung menubruk ke dalam pelukan Cau-ji sambil menangis
tersedu-sedu. Kejadian ini kontan membuat seluruh hadirin tertegun dan berdiri terperangah.
Merah jengah wajah Cau-ji begitu melihat ulah gadis itu, buru-buru bisiknya, "Enci Ing, jangan
begitu, malulah! Coba lihat, semua orang mengawasimu"
Mendengar itu, Siang Ci-ing ikut berubah wajahnya karena malu, cepat dia tinggalkan Cau-ji
dan menundukkan kepala.
Cau-ji manggut-manggut kepada semua orang, kemudian secara ringkas dia pun menceritakan
kisah perkenalannya dengan Siang Ci-ing.
Kini semua orang baru tahu kejadian yang sebenarnya, mereka pun hanya tersenyum tanpa
bicara. Lebih jauh Cau-ji menceritakan pula kisahnya bertemu dengan tiga bersaudara Cu di kota Bujang,
dimana dari permusuhan berubah jadi teman kepada Siang Ci-ing.
Kontan gadis itu berseru berulang kali, "Ooh, sungguh menakutkan, sungguh mengerikan!"
"Semua yang diatur Thian memang luar biasa," akhirnya Cau-ji menutup pembicaraan sambil
tertawa. "Memang luar biasa," Siang Ci-ing manggut-manggut, "coba kalau bukan kau telah membantu
It-ci Taysu serta enci Si dan Enci Bun menembus jaringan nadi Jin-meh dan Tok-meh di tubuhnya,
mungkin sejak semalam biara Siau-lim-si sudah terhapus namanya dari peredaran dunia
persilatan."
Tak terlukiskan rasa kaget semua orang sesudah mendengar berita ini, tanpa sadar serentak
mereka berdiri.
"Enci Ing," teriak Cau-ji pula dengan terperanjat, "jadi semalam Jit-seng-kau telah melancarkan
serangan ke biara Siau-lim-si?"
"Benar! Su Kiau-kiau dengan memimpin dua ratusan anak buahnya telah melancarkan serangan
malam ke biara Siau-lim-si, sekalipun pihak Siau-lim telah melakukan persiapan, namun korban
tewas dan luka parah sangat banyak, andaikata enci Si dan enci Bun tidak mati-matian
menghadang serangan Su Kiau-kiau, mungkin situasinya akan semakin parah!"
"Apakah pihak Siau-lim tidak menyiapkan barisan Lo-han-tin untuk menghalau serangan
musuh?" tanya Cu Bi-ih cemas.
Siang Ci-ing menggeleng sedih, katanya, "Su Kiau-kiau memang banyak akal, ternyata dia
berhasil menaklukan Hong-lui-tong yang berada di luar perbatasan, di bawah serangan bahan
peledak yang luar biasa, mana mungkin jago-jago Siau-lim mampu menghadapinya"
"Di tengah kobaran api dan ledakan, anak murid Siau-lim mati-matian melakukan perlawanan
dan akibatnya bukan saja jagoan dari Hong-lui-tong berhasil dimusnahkan, namun mereka sendiri
pun ikut menjadi korban. Empat puluhan jago Hong-lui-tong akhirnya berhasil ditumpas habis,
sementara pihak biara kehilangan dua ratusan orang anggotanya."
Berubah hebat paras muka semua orang setelah mendengar penuturan ini.
Dengan air mata berlinang, kembali Siang Ci-ing melanjutkan, "Secara berturut-turut ketua
biara Siau-lim, ketua Tat-mo-wan, ketua bagian hukum, ketua bagian pelatihan, satu per satu
roboh terluka parah, malah jago-jago kalangan putih yang berada di seputar Lok-yang pun banyak
yang terluka atau tewas."
"Sute, kau belum pernah menyaksikan pertempuran sengit semacam ini, setiap orang bertarung
seperti orang gila, bahkan It-ci Taysu pun ikut melakukan pembunuhan secara besar-besaran
hingga jubahnya basah oleh darah."
"Lantas dimana enci Bun dan enci Si sekarang" Bagaimana pula dengan engkoh Liong?" tanya
Cau-ji cemas. "Enci Si dan enci Bun bertarung mati-matian melawan Su Kiau-kiau serta keempat nyonya
cantik pengiringnya, walaupun kehilangan banyak tenaga, untung mereka tak sampai terluka,
sedang kakakku menderita luka parah, hingga sekarang belum sadar dari pingsannya!"
"Enci Ing, kita segera berangkat ke sana," seru Cau-ji lagi dengan perasaan cemas.
Siang Ci-ing manggut-manggut.
"Kedatanganku hari ini tak lain adalah bermaksud minta bantuan ketiga nona ini, untung Thian
melindungi hingga bertemu juga denganmu, sekarang engkoh Liong pasti akan tertolong."
"Nona Siang, harap tunggu sebentar," seru Cu Bi-ih tiba-tiba, habis berkata dia mengangguk ke
arah Chin Tong.
Tak selang beberapa saat kemudian tampak Chin Tong muncul dari dalam ruangan sambil
membawa sebuah kotak kertas persegi panjang.
Kembali Cu Bi-ih berseru, "Nona Siang, bawalah kotak obat ini."
Dengan penuh berterima kasih Siang Ci-ing menerima kotak obat itu, kemudian bersama Cau-ji
pergi meninggalkan tempat itu.
Thian-te-sian-lu yang melihat ketiga nonanya mengantar sendiri kepergian kedua orang
tamunya buru-buru balik ke dalam kamar dan saling berpandangan sambil tersenyum.
Terdengar Leng Bang berbisik dengan ilmu menyampaikan suara, "Adik Tong, kelihatannya
ketiga tuan putri kita jatuh hati kepada Cau-ji."
"Rasanya memang begitu," sahut Chin Tong sambil tertawa, "tapi aturan kerajaan sangat ketat,
tak mungkin Baginda mengijinkan mereka bertiga menikah dengan orang persilatan."
"Hahaha, kau toh bisa menyuruh mereka bertiga minta tolong permaisuri, biarlah mereka kawin
lari, dunia begini luas, tak mungkin pihak kerajaan bisa menemukan mereka secara gampang."
"Wah, wah ... ternyata akalmu sangat busuk."
"Hahaha, coba jika dulu aku tak mengajakmu kawin lari, bukankah bakal menyesal sepanjang
masa?" Membayangkan kembali bagaimana dahulu dia pun tidak mendapat persetujuan dari tuanya
ketika hendak kawin dengan Leng Bang si Raja penggetar bukit, sehingga akhirnya mereka
putuskan untuk kawin lari, timbul perasaan hangat di hatinya.
Sambil menjatuhkan diri ke dalam pelukan suaminya, ia berkata lirih, "Engkoh Bang, selama
puluhan tahun ini kau selalu mengajak Siaumoay mengarungi bahtera hidup yang penuh
kebahagiaan, Siaumoay benar-benar bersyukur atas keberanian dan kenekatan engkoh Bang di
masa lalu."
"Tapi ada satu hal yang selalu membuat Siaumoay merasa tak tenang, selama ini aku gagal
memberi keturunan kepadamu, hal ini membuat kau jadi malu kepada leluhur keluarga Leng ...."
Leng Bang segera balas memeluk bininya dengan mesra, sahutnya lembut, "Adik Tong, buat
apa kau singgung masalah itu lagi, kalau memang sudah menjadi kehendak Thian, dipaksa pun
tak ada gunanya!"
Berkilat sepasang mata Chin Tong.
"Engkoh Bang," bisiknya, "bagaimana kalau kita angkat dua bersaudara keluarga Suto menjadi
cucu perempuan kita?"
Mula-mula Leng Bang agak tertegun, kemudian sahutnya sambil manggut-manggut, "Bagus
sekali, hubungan kita dengan Suto Lote suami-istri boleh dibilang sangat akrab, apa salahnya
kalau kita rawat mereka bagaikan merawat cucu perempuan sendiri."
Saking girangnya Chin Tong segera memeluk Leng Bang erat-erat, bahkan tiba-tiba saja
melayangkan ciuman mesranya ke bibir suaminya.
Tiba-tiba terdengar suara orang berdehem, dengan wajah merah padam buru-buru kedua
orang tua itu melepaskan pelukannya.
Terlihat tiga nona keluarga Cu dengan pakaian serba putih sedang berdiri di balik pintu dengan
wajah memerah. Dengan hormat Leng Bang segera bertanya, "Nona, apakah kalian akan keluar?"
"Benar, kami akan pergi ke Liong-ing-hong," sahut Cu Bi-ih sambil manggut-manggut.
Sementara itu Cau-ji yang mengikuti Siang Ci-ing meninggalkan gedung keluarga Cu segera
melakukan perjalanan cepat dengan menunggang tandu, tak sampai sepeminuman teh kemudian
mereka telah tiba di Liong-ing-hong.
Dalam keadaan begini Cau-ji tak berniat menikmati pemandangan di sekelilingnya, cepat ia
mengikuti Siang Ci-ing menuju ke kamar tidur Siang Ci-liong.
Dijumpai pemuda itu sedang berbaring dalam keadaan tak sadar, cepat dia maju mendekat
sambil memeriksa nadinya.
Tampak paras mukanya pucat-pias, napasnya lemah, jelas sudah menderita luka dalam yang
cukup parah. Dalam cemasnya dia sudah siap naik ke ranjang untuk membantu mengobati luka
pemuda itu. Tiba-tiba terendus bau harum obat memenuhi seluruh ruangan, kemudian terdengar Siang Ciing
menjerit girang, "Oh, Thian, pil Cay-seng-wan! Adik Cau, coba lihat, pil Cay-seng-wan yang
langka" Sambil berkata dia segera melompat ke hadapan anak muda itu.
Betul saja, di dalam sebuah kotak terlihat enam butir pil yang terbungkus lilin berwarna kuning,
di atas lilin itu tertera tiga huruf berbunyi "Cay-seng-wan".
Dengan perasaan girang segera tanyanya, "Enci Ing, pil ini punya khasiat menghidupkan
kembali orang yang sekarat, konon jauh lebih hebat khasiatnya daripada Toan-hun-wan dari Siaulim."
"Betul," sahut Siang Ci-ing sambil mengambil sebutir, "nona Cu benar-benar berjiwa besar. Adik
Cau, semua ini berkat dirimu."
Sambil berkata dia segera membelah lilin pembungkus obat itu, bau harum semerbak makin
menyelimuti ruangan.
"Aai, betul-betul obat mujarab, dari baunya sudah ketahuan kalau obat ini tak ternilai
harganya."
Kemudian sambil memotong pil itu jadi dua bagian, dia serahkan separoh bagian ke tangan
Cau-ji sambil ujarnya lagi, "Adik Cau, tolong cekokkan pil ini ke mulut engkoh Liong."
Kemudian sambil mencampur sisa separoh obat yang lain dengan air panas, katanya lagi, "Adik
Cau, sisanya akan kuberikan untuk enci Si dan enci Bun!"
Sambil tersenyum Cau-ji manggut-manggut, dia pun membuka mulut Siang Ci-liong dan
menjejalkan obat itu ke dalam mulutnya.
Begitu obat masuk ke mulut, segera mencair dan mengalir masuk ke dalam perut Siang Ciliong.
Cepat Cau-ji membangunkan badannya, lalu sambil bersila di belakang punggungnya dia
salurkan hawa murninya.
Cay-seng-wan memang luar biasa khasiatnya, apalagi ditambah tenaga dalam Cau-ji yang
mengalir tiada putusnya, tak sampai sepeminuman teh kemudian pemuda itu sudah tersadar
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali. "Engkoh Liong, aku adalah adik Cau, lanjutkan pengobatan luka darahmu," bisik Cau-ji cepat.
Selesai berkata, dia menarik kembali tangannya sambil melompat turun.
Siang Ci-liong tahu lukanya baru sembuh, sesudah mengangguk dia pun melanjutkan
semedinya. Baru melangkah keluar dari kamar Siang Ci-liong, dua gadis berpakaian ringkas telah memberi
hormat sambil menyapa pelan, "Kongcu, baik-baikkah kau."
"Kalian baik-baik bukan?" sahut Cau-ji sambil mengangguk, "boleh tahu nona Suto berdua
berada di mana?"
"Mereka berada di loteng Beng-gwe-lau di halaman belakang!" sahut nona di sebelah kanan.
Bab 4. Badai melanda Siau-lim-si.
Setelah meninggalkan kedua gadis itu, Cau-ji menembusi sebuah kebun bunga yang indah dan
memasuki ruang utama, belum melangkah masuk dia sudah mendengar suara pembicaraan dari
sisi kanan.. Dia tahu ketiga gadis itu sedang berbincang-bincang, terdorong rasa ingin tahu, dia pun
mendekati tempat itu sambil menahan napas.
Terdengar Suto Bun berseru kaget, "Apa" Enci Ing, tadi kau mengatakan bahwa adik Cau telah
menyelamatkan ketiga tuan putri dari kerajaan?"
"Benar, hanya saja identitas ketiga tuan putri ini sangat rahasia hingga sampai sekarang adik
Cau masih belum tahu keadaan yang sebenarnya. Lebih baik kalian pun ikut menjaga rahasia."
"Enci Ing, lebih baik kita beritahukan rahasia ini kepada adik Cau," sela Suto Si cepat, "sebab
selama ini peraturan yang berlaku dalam keluarga kerajaan sangat ketat, bila di antara mereka
sampai terlibat asmara, bisa sukar untuk menyelesaikannya."
"Waduh, celaka," Siang Ci-ing menjerit kaget, "kalau dilihat dari mimik muka ketiga tuan putri
itu, tampaknya mereka sudah jatuh cinta kepada adik Cau, padahal pihak kerajaan melarang tuan
putri menikah dengan rakyat biasa, apalagi kawin dengan orang persilatan!"
"Enci Ing, bagaimana reaksi adik Cau sendiri?" buru-buru Suto Si bertanya.
"Soal ini ... aku sendiri pun kurang jelas! Sebab dia memang selalu bergurau dengan siapa pun,
aku sendiri tak bisa membedakan apakah di balik gurauan itu terselip perasaan."
"Enci Ing, coba kau bayangkan kembali," desak Suto Bun lagi, "sewaktu memandang mereka
apakah sinar mata adik Cau nampak aneh, sama seperti waktu dia memandang ke arah kita?"
"Soal ini ... terus terang saja adik berdua, sewaktu bertemu adik Cau tadi, Cici kegirangan
setengah mati hingga sama sekali tidak memperhatikan hal lain lagi."
Kedua gadis itu saling pandang sekejap, lalu tidak bicara lagi.
Sebaliknya Cau-ji jadi amat terperanjat.
Dia sama sekali tidak menyangka kalau ketiga bersaudara Cu adalah tuan putri kerajaan, tak
heran gaya bicara Cu Bi-lian begitu besar dan takabur, sementara gerak-gerik mereka bertiga pun
memancarkan keanggunan.
Sejak melakukan perjalanan bersama Bwe-toa-siok kali ini, secara beruntun dia telah
"menghabisi" dua bersaudara Suto serta Siang Ci-ing, mengenai masalah inipun dia sempat pusing
kepala dan tak tahu bagaimana harus memberi penjelasan setelah pulang nanti.
Apalagi jika sampai meniduri ketiga tuan putri kerajaan, bisa jadi perbuatannya ini akan
mengundang hukuman pacung seluruh keluarga besarnya, bila hal semacam ini benar-benar
terjadi, bukankah dirinya akan menjadi manusia yang paling berdosa"
Berpikir sampai di situ, tak tahan lagi dia jadi merinding dan bersin berulang kali.
Suto Si segera menangkap suara aneh dari luar pintu, dengan hati tercekat segera hardiknya,
"Siapa di situ?"
Cau-ji tahu, sedikit konsentrasinya buyar, dia telah membocorkan jejak sendiri, maka jawabnya
nyaring, "Enci Si, Siaute!"
Sambil berkata, dia segera membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan.
Ketiga gadis itu segera bersorak kegirangan,
"Adik Cau!"
Tanpa membuang waktu lagi mereka langsung menubruk ke depan.
"Tunggu dulu!" seru Cau-ji, "satu per satu, kalau tidak, Siaute bisa jatuh terjerembab."
Sambil berkata dia langsung maju sambil memeluk erat Siang Ci-ing.
Secara bergilir ketiga nona itu dipeluk oleh pemuda itu, hal ini membuat mereka pun bisa
duduk kembali dengan perasaan puas.
Menyaksikan paras muka gadis-gadis itu sudah segar kembali, Cau-ji tahu semua itu tentu
berkat khasiat Cay-seng-wan yang mujarab, maka dengan perasaan kuatir tanyanya, "Cici, kalian
sudah tidak apa-apa bukan?"
"Tidak apa-apa," sahut gadis-gadis itu sambil tersenyum.
"Baguslah kalau begitu," seru Cau-ji sambil menghembuskan napas lega, "kurangajar betul Su
Kiau-kiau si nenek busuk itu, berani betul dia melukai bini kesayanganku, kalau sampai bertemu
aku kelak, pasti akan kuhajar dia hingga remuk tulang belulangnya."
Perkataan itu bagaikan madu yang tumpah dari tempatnya, membuat ketiga nona itu
merasakan hatinya manis sekali.
Menyaksikan wajah kesemsem ketiga orang itu, Cau-ji ikut terpesona dibuatnya, diam-diam
napsu birahinya muncul.
Pada saat itulah tiba-tiba dari luar pintu terdengar seseorang berseru nyaring, "Nona, ketiga
nona dari keluarga Cu serta kedua orang Congkoannya datang menyambangi."
"Cepat persilakan mereka masuk!" buru-buru sahut Siang Ci-ing.
"Baik."
Siang Ci-ing memandang dua bersaudara Suto sekejap, lalu tanyanya, "Adikku, adik Cau,
apakah kalian ingin bertemu dengan mereka?"
Belum sempat kedua nona itu menjawab, Cau-ji sudah berkata lebih dulu, "Enci Ing, kau saja
yang pergi menjumpai mereka!"
"Baiklah, kalian boleh kongkow di sini," Siang Ci-ing manggut-manggut, habis berkata dia pun
beranjak pergi.
Sepeninggal gadis itu, kembali Cau-ji bertanya, "Cici, benarkah Su Kiau-kiau mampu
menghadapi kalian berdua sekaligus?"
"Tentu saja tidak!" Suto Bun menggeleng, "coba kalau dia tidak dibantu empat wanita lain,
kami berdua yakin dapat mengalahkan dia dalam lima ratus gebrakan."
"Apa" Butuh lima ratus gebrakan untuk mengalahkan dia" Terlalu lama," teriak Cau-ji.
"Sute, kau tidak tahu, bukan saja Su Kiau-kiau memiliki jurus serangan yang aneh dan tangguh,
bahkan tenaga dalamnya amat sempurna, sulit untuk dihadapi."
"Bila di kemudian hari bertemu lagi, kalian saksikan saja bagaimana caraku meringkusnya."
Tiba-tiba Suto Si merendahkan suaranya dan bertanya, "Adik Cau, aku dengar tempo hari kau
telah menyelamatkan nyawa ketiga nona itu?"
"Nah, datang juga masalahnya" batin Cau-ji dalam hati, cepat dia menyahut sambil tertawa,
"Benar, sesungguhnya kungfu yang dimiliki ketiga nona itu sangat tangguh, namun dibandingkan
kalian berdua, kemampuannya masih kalah setingkat!"
"Apakah mereka cantik?" buru-buru Suto Bun bertanya lagi.
"Cantik!" sahut Cau-ji sambil memeluknya, "bahkan bukan cantiknya hijau daun, tapi
dibandingkan kalian berdua, mereka masih kalah setingkat."
"Aku tak percaya."
"Ayo jalan, kita buktikan bersama," sambil berkata Cau-ji langsung bangkit berdiri.
"Sudah, tak perlu," buru-buru Suto Si menukas sambil tertawa, "asal di hati Cau-ji masih ada
tempat buat kami berdua, peduli amat siapa lebih cantik."
Cau-ji segera memeluk pula tubuh Suto Si, katanya dengan wajah bersungguh-sungguh, "Enci
Si, buat apa kau berkata begitu" Memangnya kau anggap Siaute adalah lelaki yang suka yang
baru bosan dengan yang lama"
"Cici, mulai hari ini selama tidak memperoleh persetujuan kalian, biar orang-tuaku yang
menjodohkan pun Siaute tak akan menggundik perempuan lain."
Merah padam wajah dua bersaudara Suto mendengar perkataan ini. Terdengar Suto Si segera
berkata, "Adik Cau, Cici hanya bergurau, jangan dianggap serius."
Saking paniknya, air mata sampai bercucuran.
"Adik Cau, selama berpisah denganmu, perasaan Cici selalu bimbang tanpa pegangan, bila
ucapanku agak menyinggung perasaan, harap jangan kau masukkan ke hati."
"Cici, tahukah kau, sejak bertemu Cu bersaudara, secara diam-diam aku telah membandingkan
mereka bertiga dengan dirimu. "Kalian tak usah kuatir, tak nanti demi hidup makmur dan
terhormat Siaute memutuskan akan mengawini Cu bersaudara, bila kalian tetap tak percaya, ayo
sekarang juga kita pergi meninggalkan tempat ini"
"Jangan," buru-buru Suto Si mencegah, "adik Cau, Cici percaya kau memang benar-benar
mencintai kami, yang Cici kuatirkan justru kalau sampai kehadiran tiga bersaudara Cu bakal
mendatangkan kesulitan bagi keluarga Ong."
"Benar, adik Cau," sambung Suto Bun pula, "walaupun semalam Su Kiau-kiau telah menarik
mundur pasukannya, menurut laporan, mereka masih berada di sekitar sini, mana boleh kita
meninggalkan wilayah sini."
Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang agak parau tapi nyaring berkumandang dari arah
kebun, "Siang Kongcu, nona Siang, kebun bunga kalian sangat cantik, pada hakikatnya bagaikan surga
dunia, Lohu harus banyak belajar dari kalian."
"Ah, mana, mana, Congkoan terlalu memuji, silakan masuk!" jawab Siang Ci-liong nyaring.
"Cici," Cau-ji segera berbisik, "orang itu adalah Congkoan keluarga Cu, mungkin kedatangannya
untuk mencari kita."
Dengan cepat mereka bertiga berdiri sembari membenahi pakaian yang dikenakan.
Benar saja, tak lama kemudian tampak dua bersaudara Siang dengan mengajak tiga
bersaudara Cu dan kedua Congkoannya telah berjalan masuk.
Sambil tersenyum Siang Ci-ing segera memperkenalkan tamu-tamunya,
"Adik Cau, kedua Congkoan mendengar kalau kedua Cici merupakan keturunan sahabat
karibnya, mereka ingin datang menjumpai kalian!"
Tergopoh-gopoh dua bersaudara Suto memberi hormat, lalu kata Suto Si, "Maafkan Wanpwe,
karena tidak mengetahui nama besar Cianpwe berdua."
"Nak, kami adalah sahabat karib kakek dan nenekmu," ujar Chin Tong dengan ramah, "apakah
kalian pernah mendengar nama Thian-te-sian-lu?"
Buru-buru dua bersaudara Suto menjatuhkan diri berlutut dan berseru dengan air mata
berlinang, "Menjumpai Yaya dan nenek!"
Dengan keheranan Chin Tong memandang Leng Bang sekejap, lalu tanyanya tercengang, "Nak,
mengapa kalian.."
Sahut Suto Si sambil menyeka air mata, "Keluarga Suto kami habis dibantai orang-orang Jitsengkau, kami dua bersaudara pun berhasil lolos dari kepungan karena pengurus tua kami
menggadaikan nyawa untuk memberi perlindungan."
"Menurut pesan terakhir pengurus tua kami, di dunia sekarang hanya Yaya dan nenek berdua
yang bisa membalaskan dendam bagi kematian keluarga Suto, selama banyak tahun Si-ji telah
berusah mati-matian menemukan kalian."
Habis berkata dia pun menangis tersedu-sedu.
Cepat Chin Tong menarik bangun kedua gadis itu, katanya agak seseunggukan, "Nak,
kedatangan kami berdua hari ini tak lain adalah berniat menerima kalian berdua menjadi cucu
perempuan kami. Ternyata pucuk dicinta ulam tiba, sungguh kebetulan sekali!"
Bicara sampai di sini, air matanya pun tak berbendung pula.
Leng Bang sendiri sambil menahan rasa sedih, ujarnya sambil tertawa, "Sungguh bagus sekali,
hari ini merupakan hari yang sangat menggembirakan, kalian tak usah mengucurkan air mata
lagi!" "Betul, suatu kejadian luar biasa karena kalian semua telah berkumpul di rumahku" kata Siang
Ci-liong pula sambil tertawa, "biarlah aku mengadakan perjamuan untuk merayakan hari ini."
Selesai bersantap, Siang Ci-liong dengan membawa sebutir Cay-seng-wan pergi mengobati para
jago dari kota Lok-yang yang ikut membantu pertempuran kemarin, sedangkan Cau-ji serta Leng
Bang dengan membawa tiga butir Cay-seng-wan naik ke biara siau-lim-si.
Karena ingin secepatnya menyelamatkan nyawa anggota biara Siau-lim, kedua orang itu
menempuh perjalanan cepat, begitu menambatkan kudanya di kaki bukit, secepat kilat mereka
naik ke atas gunung.
Sepanjang perjalanan mereka saksikan noda darah berceceran di mana-mana, dari banyaknya
pohon yang tumbang, bisa dibayangkan betapa sengitnya pertempuran yang berlangsung
semalam. Kedua orang itu segera mempercepat langkahnya menuju ke atas bukit, tak sampai
sepeminuman teh kemudian, tibalah mereka berdua di depan bangunan yang porak-poranda.
Menyaksikan keadaan semacam ini, dengan suara geram Leng Bang berkata, "Perbuatan
orang-orang Jit-seng-kau memang keji dan keterlaluan, bangunan kuno yang begitu megah
ternyata sudah dihancurkan seperti ini!"
Mendadak terdengar seseorang berseru nyaring, "Omitohud!"
Dua Hwesio cilik berjubah abu-abu dan memegang pedang telah melompat keluar dari balik
pintu, dengan pandangan penuh curiga mereka mengawasi Cau-ji berdua.
Sambil tersenyum Cau-ji segera berkata, "Cayhe berdua ada urusan penting ingin berjumpa
dengan lt-ci Siansu, harap kalian mau membuka jalan!"
Bicara sampai di situ dia pun menunjukkan sebuah lencana yang bertuliskan "Liong-ing-hong".
"Harap Sicu menunggu sebentar!" Hwesio cilik di sebelah kanan segera menyahut sambil berlari
masuk ke dalam biara.
Setengah peminuman teh kemudian tampak It-ci Siansu dengan wajah berseri telah muncul di
hadapan Cau-ji berdua.
Buru-buru Cau-ji memberi hormat seraya berkata dengan ilmu menyampaikan suara, "Cianpwe,
Cayhe adalah Yu Si-bun, boleh Siansu bawa Cayhe untuk memeriksa para korban yang terluka
dalam biara?"
"Omitohud, Buddha memang maha pengasih," seru It-ci Siansu dengan wajah kegirangan,
"kehadiran Sicu tepat waktu, silakan masuk!"
Dengan menelusuri jalan beralas batu putih, Cau-ji masuk ke dalam biara, sepanjang jalan yang
tampak hanya bangunan yang hancur. Tak tahan serunya dengan gemas, "Perbuatan Su Kiau-kiau
memang kelewatan, dia pantas dicincang hingga hancur berkeping." It-ci Siansu hanya
menggeleng tanpa bicara. Memasuki ruang Cay-ti-wan, terasa sekali suasana di tempat itu amat
serius dan tegang, penjagaan dilakukan sangat ketat.
Begitu masuk ke dalam ruangan, maka tampaklah para pendeta yang terluka ada yang duduk,
ada yang berbaring, jumlahnya mencapai ratusan orang.
Mereka bertiga langsung memasuki sebuah kamar kecil, di atas pembaringan duduk bersila
seorang Hwesio berusia lima puluh tahunan yang mengenakan jubah berwarna kuning bergaris
benang merah. Begitu melihat kehadiran It-ci Taysu, pendeta itu segera memberi hormat sambil memanggil,
"Suhu!" Kemudian ia berusaha bangkit.
Buru-buru It-ci Taysu mencegahnya sambil berbisik, "Ciangbunjin, kau tak perlu banyak adat,
Lolap sengaja mengajak kedua orang Sicu ini untuk bertemu denganmu."
Ternyata pendeta itu tak lain adalah Goan-thong Taysu, Ciangbunjin biara Siau-lim saat ini.
Baru saja ia menengok ke arah kedua orang itu, Cau-ji berdua telah melepas topeng kulit
manusianya hingga muncullah seorang pemuda tampan dan seorang kakek berwajah angker.
Begitu melihat wajah asli Leng Bang, It-ci Taysu tampak sedikit tertegun, kemudian tanyanya,
"Bukankah Sicu bermarga Leng?"
Leng Bang tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, hei Hwesio, ternyata daya ingatmu hebat juga,
tepat sekali, Lohu memang Leng Bang!"
Dengan wajah berseri It-ci Taysu berkata lagi, "Sicu, tak kusangka setelah hidup mengasingkan
diri hampir tiga-empat puluh tahun, hari ini bisa muncul di biara Siau-lim."
Goan-tong Taysu begitu mendengar kakek yang berada di hadapannya adalah Leng Bang,
kontan turun dari pembaringan sambil berkata penuh hormat, "Goan-tong menjumpai Lengcianpwe."
"Ciangbunjin tak usah banyak adat, kedatangan Lohu hari ini adalah menemani Ong-kongcu
mengantar beberapa biji obat."
"Kongcu, kau dari marga Ong?" agak bingung It-ci Taysu berpaling ke wajah Cau-ji.
Setelah memberi hormat kepada Goan-tong Taysu, dengan nada minta maaf katanya kepada
It-ci Taysu, "Cianpwe, maaf kalau Wanpwe terpaksa berbohong, mari kita selamatkan orang dulu
sebelum bercerita tentang asal-usulku yang sebenarnya."
Sambil berkata dia mengeluarkan tiga butir Cay-seng-wan dari dalam sakunya.
Begitu melihat pil Cay-seng-wan, tubuh Goan-tong gemetar keras saking terharunya.
"Ciangbunjin, ambillah untuk menolong orang!" kata Leng Bang kemudian sambil tertawa.
It-ci Taysu mengiris sedikit pil itu dan diberikan kepada Goan-tong sambil ujarnya,
"Ciangbunjin, kau telanlah lebih dulu!"
Sambil tersenyum Goan-tong Taysu menerima obat itu, setelah ditelan dia pun duduk mengatur
pernapasan. Cau-ji pun mencampur sisa obat ke dalam satu teko air, kemudian ia serahkan kepada dua
orang Hwe-sio cilik agar dibagikan kepada semua korban yang terluka.
Selesai semua itu, It-ci Taysu baru membawa Cau-ji berdua menuju ke dalam sebuah kamar.
"Cianpwe," kata Cau-ji kemudian setelah memberi hormat, "Wanpwe segera akan melaporkan
identitasku yang sebenarnya!"
Selesai mendengar penuturan itu, dengan wajah girang It-ci Taysu berkata, "Omitohud!
Ternyata Kongcu adalah keturunan keluarga Ong, tak heran kau memiliki ilmu silat yang luar biasa
hebatnya!"
Leng Bang ikut tertawa tergelak.
"Kalau dahulu Ong-loenghiong yang memimpin para jago menumpas perkumpulan Jit-sengkau,
maka kali ini kita bakal mengandalkan kepemimpinan Ong-kongcu untuk menumpas Su Kiaukiau
beserta para begundalnya!"
"Cianpwe, harap kau jangan berkata begitu," buru-buru Cau-ji menyela, "ada begitu banyak
jago tangguh macam Cianpwe, apalah artinya kehadiran Wanpwe" Kehadiranku tak lebih hanya
tukang teriak saja!"
"Siausicu," ujar It-ci Taysu dengan wajah bersungguh-sungguh, "berbicara dari kemampuan
ilmu silat yang kau miliki, kehebatanmu sudah lebih dari cukup untuk memimpin umat persilatan!"
"Betul, Kongcu," Leng Bang menambahkan pula, "Lohu bersama ketiga nona sangat
memandang tinggi kemampuanmu, jika kau bersedia tampil untuk memimpin para jago, mereka
pasti akan mendukungmu dengan sepenuh tenaga."
Masih mending kalau tidak menyinggung tiga bersaudara Cu, begitu diungkit, dengan wajah
serius Cau-ji segera berkata, "Cianpwe, Wanpwe tak kemaruk nama maupun pangkat, Wanpwe
bersedia mengadu nyawa dengan Su Kiau-kiau tak lain karena tak tahan melihat ulahnya yang
buas, tapi soal menjadi pemimpin umat persilatan ... aku rasa.."
"Tahukah Kongcu, ketiga nona itu adalah.." tiba-tiba Leng Bang berseru tertahan, "ah, Lohu tak
berani melanjutkan, pokoknya asal didukung mereka, tak sampai satu bulan, perkumpulan Jitsengkau pasti sudah lenyap tertumpas!"
Namun Cau-ji bersikukuh dengan pendiriannya, kembali dia menggeleng.
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cianpwe, membasmi kaum sesat merupakan kewajiban setiap orang, kau tak usah kelewat
memaksa mereka untuk bertindak."
Leng Bang menghela napas panjang, ia tak mampu berbicara lagi.
Sementara itu It-ci Taysu telah berkata lagi setelah termenung sebentar, "Sicu, bagaimana
kalau kita mengundang Ong Sam-kongcu saja untuk tampil kembali!"
"Aai, kenapa Lohu tidak berpikir ke sana?" seru Leng Bang sambil tertawa, "bagus sekali, kalau
begitu kuserahkan tugas ini kepada pihak biara Siau-lim saja untuk mengurusnya."
It-ci Taysu manggut-manggut.
"Lolap akan melaporkan masalah ini kepada Ciangbunjin!"
Habis berkata dia pun segera beranjak pergi. "Kongcu," ujar Leng Bang kemudian sambil
tersenyum, "setelah mengalami serbuan yang berakibat fatal, pihak biara Siau-lim pasti sangat
membenci orang-orang Jit-seng-kau, dengan dasar musuh bersama, seluruh partai besar pasti
akan mendukung ayahmu menjadi pemimpin dunia persilatan."
Cau-ji ikut tertawa.
"Ayahku sudah lama hidup mengasingkan diri, aku pribadi berharap dalam dua-tiga hari
mendatang sudah bisa melenyapkan Su Kiau-kiau dari muka bumi, sehingga tak perlu merepotkan
ayahku lagi!"
"Hahaha, ternyata Kongcu sangat berbakti kepada orang tua, sungguh mengagumkan."
Pada saat itulah tiba-tiba dari arah biara berkumandang suara genta yang dibunyikan bertalutalu,
kedua orang itu sadar, pasti sudah terjadi sesuatu yang gawat, serentak mereka bangkit.
Tampak It-ci Taysu berlari masuk ke dalam ruangan sambil berseru, "Sudah pasti pihak Jitsengkau melancarkan serangan lagi, kalian berdua.."
"Hahaha, bagus sekali!" sela Cau-ji sambil mengenakan kembali topengnya, "akan kusuruh
mereka bisa datang tak bisa pergi, ayo kita ke sana!"
Baru saja mereka tiba di lapangan depan biara, terlihat ada lima puluhan padri Siau-lim dengan
senjata terhunus dan wajah serius sedang saling berhadapan dengan ratusan lelaki berbaju hitam.
"Omitohud!" seru It-ci Taysu dengan suara dalam, "ada urusan apa kalian datang ke biara
kami?" Seorang kakek berusia enam puluh tahunan tertawa seram, sahutnya, "Hehehe, Lohu
mendapat perintah dari Kaucu untuk membantu kalian kawanan keledai gundul secepatnya pulang
ke nirwana!"
Sambil berkata, dia mengayunkan tangan kanannya ke atas.
"Criiing, criiing, criiing..."pedang segera dilolos dari sarungnya, suasana tegang penuh hawa
membunuh pun seketika menyelimuti arena.
Para padri Siau-lim serentak memuji keagungan Buddha, mereka pun sudah siap melancarkan
serangan. Mendadak terdengar Cau-ji tertawa terbahak-bahak.
Suara tawanya begitu keras dan nyaring, kontan kawanan iblis itu dibuat terkesiap.
"Mana Su Kiau-kiau?" hardiknya nyaring, "apakah dia belum datang?"
"Kurang-ajar," umpat kakek itu gusar, "besar amat nyalimu, berani menyebut nama Kaucu kami
seenak hati."
"Hahaha, Su Kiau-kiau lonte busuk, kalau memang ia tak berani datang kemari, biar Toaya
yang menghabisi dulu kalian anak setan cucu kura-kura.."
Habis berkata dia langsung melangkah maju dengan tindakan lebar.
Takabur amat ucapannya, jumawa amat penampilannya, ternyata dia berani memaki ketua Jitsengkau dengan kata sekasar itu.
Kontan suara geram dan teriakan gusar bergema dari empat penjuru, tampak empat lelaki
berwajah bengis dengan senjata gada bergigi serigala langsung merangsek maju, gerak-geriknya
buas dan menyeramkan, seakan setan iblis yang datang dari neraka saja.
"Kongcu, hati-hati, terutama dengan senjata gada pengait sukmanya, mereka adalah Im-sansukui (empat setan dari lm-san)!" seru Leng Bang memperingatkan.
"Hahaha, bagus, bagus sekali! Kalau begitu biar Toaya mengubah kalian jadi setan betulan!"
Selesai berkata dia segera menyelinap maju dan mengayunkan sepasang tangannya berulang
kali. "Blam"
"Ah..."
Hancuran daging beterbangan ke angkasa, percikan darah segar menganak sungai.
Betul-betul sebuah pukulan maut yang sangat mematikan.
Seketika itu juga semua orang menahan napas karena terkena tekanan udara yang sangat
panas. Hawa napsu membunuh benar-benar sudah berkobar dalam hati Cau-ji, dia lolos pedang
pembunuh naga, "Criiing!" Begitu pedang itu terhunus, cahaya tajam pun memancar ke empat
penjuru. Sambil mengangkat tinggi pedangnya, kembali pemuda itu berseru, "Para Suhu Siau-lim yang
tertimpa musibah, roh kalian tak akan buyar di alam baka, hari ini saksikan bagaimana cara
Wanpwe membalaskan dendam sakit hati kalian. Lihat pedang!"
Terlihat sekilas cahaya terang melesat ke tengah gerombolan orang-orang Jit-seng-kau, jeritan
ngeri yang memilukan pun bergema.
Cahaya tajam memancar sampai beberapa kaki jauhnya dan lambat-laun membentuk sebuah
jaring pedang yang bergeser mengikuti gerakan tubuh Cau-ji, di mana pemuda itu bergeser, di
sanalah terjadi pembantaian besar-besaran.
Kawanan jago Jit-seng-kau serentak mengayun senjata masing-masing melakukan perlawanan,
serangan maut hampir semuanya ditujukan ke tubuh Cau-ji.
Sayang senjata yang mereka hadapi adalah pedang pembunuh naga yang amat tajam dan luar
biasa, apalagi Cau-ji telah mengerahkan segenap tenaga dalamnya, bisa dibayangkan betapa
dahsyat dan mematikan serangan itu.
Terdengar jeritan ngeri yang memilukan bergema silih berganti.
Tampak hancuran daging berserakan di mana-mana, darah segar pun menggenangi permukaan
tanah, keadaan waktu itu benar-benar sangat mengerikan.
Apalagi mendekati senja, suasana di seputar bukit terasa lebih menyeramkan.
Pertarungan semacam ini boleh dibilang bukan pertarungan antara manusia melawan manusia,
lebih cocok kalau dibilang pertarungan antara petugas pencabut nyawa dari neraka dengan
manusia, karena setiap kali Cau-ji mengayunkan pedangnya, paling tidak ada lima orang musuh
yang mati secara mengenaskan.
Sedangkan tangan kirinya setiap kali diayunkan, pasti ada tiga orang lawan bersimbah darah.
Pertarungan kali ini benar-benar sebuah pertarungan yang tidak seimbang.
Kawanan jago Jit-seng-kau yang sudah banyak melakukan kejahatan ini benar-benar mendapat
pembalasan yang setimbal, lapangan di depan biara suci Siau-lim pun kini berubah jadi tempat
pembantaian yang paling mengerikan.
Menyaksikan semua itu, kawanan padri Siau-lim hanya bisa memejamkan mata sambil
membaca doa. Bahkan Leng Bang yang sepanjang hidupnya malang melintang di dunia persilatan, bahkan
entah sudah berapa banyak pertarungan yang dialami, belum pernah menyaksikan adegan
mengerikan seperti saat ini.
Dengan wajah serius dia mengawasi ilmu silat Cau-ji yang begitu mengerikan.
Setelah melalui sebuah pembantaian yang sadis, tak sampai satu jam kemudian ratusan orang
lelaki berbaju hitam itu telah hancur dan punah, tumpukan mayat pun membukit di tengah
lapangan. Cau-ji memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sambil menghembuskan napas lega
dia sarungkan kembali pedangnnya, kepada It-ci Taysu ujarnya perlahan, "Taysu, sekujur badan
Wanpwe sudah basah oleh darah, tak baik bagiku untuk masuk lagi ke dalam biara, selamat
tinggal!" Perkataan itu seketika menyadarkan kembali It-ci Taysu dari lamunannya, cepat ujarnya,
"Siausicu, kau telah membantu biara kami lolos dari pembantaian, mana boleh kau pergi begitu
saja?" "Lagi pula sejak semalam biara kami sudah dinodai ceceran darah, tempat ini sudah tidak
pantang lagi menerima orang yang berdarah, bila Siausicu berlalu begitu saja, bagaimana cara
Lolap memberikan pertanggung-jawaban terhadap Ciangbunjin?"
Pada saat itulah terdengar seseorang berseru memuji keagungan sang Buddha. Dengan girang
It-ci Taysu segera berseru, "Siausicu, Ciangbunjin kami telah keluar!"
Benar saja, diiringi empat Hwesio cilik, Goan-tong Taysu telah muncul dari balik pintu gerbang.
Setelah semua orang memberi hormat, terdengar Goan-tong Taysu berkata dengan penuh rasa
terima kasih, "Omitohud, kehadiran Sicu berdua bukan saja telah mengantar obat mujarab,
bahkan membantu juga biara kami terhindar dari pembantaian, budi kebaikan ini sungguh luar
biasa, terimalah salam terima kasihku mewakili seluruh anggota biara."
Habis berkata, dia menjura.
Tergopoh-gopoh Cau-ji balas memberi hormat, serunya, "Ciangbunjin kelewat sungkan, Jitsengkau sudah terlalu sering melakukan kajahatan, perbuatan mereka dikutuk setiap orang,
sudah menjadi kewajibanku membantainya.
"Ciangbunjin, yang Wanpwe kuatirkan justru bila Jit-seng-kau sengaja membagi pasukannya
jadi dua rombongan, satu rombongan menyerang kemari sedang pasukan yang lain
memanfaatkan kesempatan ini menyergap gedung Liong-ing-hong. Oleh sebab itu Wanpwe ingin
mohon diri terlebih dulu, biar lain kali berkunjung lagi!"
"Kalau memang begitu, Pinceng akan mengantar Sicu berdua!" ucap Goan-tong Taysu.
"Tidak berani."
Di tengah bunyi genta yang bertalu-talu, Cau-ji berdua menuruni bukit Siong-san dan langsung
menuju ke kota Lok-yang dengan kecepatan tinggi.
Menjelang malam, kedua orang itu sudah tiba di kota Lok-yang, tampak rakyat di kota itu
menunjukkan wajah panik bercampur cemas, seolah suatu bencana besar telah terjadi.
Sekilas firasat tak baik segera melintas dalam hati kedua orang itu.
"Minggir!" bentak Cau-ji dengan suara keras.
Suara bentakan yang menggelegar ini kontan membuat penduduk kota ketakutan, buru-buru
mereka menyingkir ke samping memberi jalan lewat untuk Cau-jiBelum tiba di depan gedung Liong-ing-hong, Cau-ji berdua sudah melihat pintu gerbang
gedung itu telah dikepung dua puluhan manusia berbaju hitam, sementara darah berceceran
membasahi lantai, sudah ada belasan orang penjaga yang tergeletak tak bergerak.
Betapa gusarnya Cau-ji menyaksikan jago-jago Jit-seng-kau benar-benar telah melakukan
penyerangan di Liong-ing-hong, bahkan petugas negara pun dibantai tanpa ampun.
Sambil membentak nyaring dia melompat turun dari punggung kudanya dan langsung
menerkam ke depan.
Leng Bang pun sangat menguatirkan keselamatan junjungannya, dengan gerakan cepat dia
menerjang pula ke depan.
Begitu mendengar ada suara derap kaki kuda yang bergerak mendekat, kawanan manusia
berbaju hitam segera melakukan pengepungan dengan ketat, maka begitu Cau-ji berdua
menerjang ke depan, serentak lemparan Am-gi dan pukulan dahsyat dilontarkan berbarengan.
Cau-ji mengayunkan telapak tangannya berulang kali, begitu berhasil merontokkan sambitan
senjata rahasia dan memunahkan angin pukulan, segera hardiknya, "Siapa berani menghalangi
aku, mampus!"
Sepasang tangannya melontarkan pukulan berulang kali.
"Aduuuh.." di tengah jeritan ngeri, ada tiga lelaki berbaju hitam yang mencelat dengan tubuh
hancur. "Manusia penghancur mayat!" entah siapa yang menjerit kaget lebih dulu, serentak kawanan
manusia berbaju hitam itu mundur sejauh beberapa langkah.
Sambil mencabut pedang pembunuh naganya, kembali Cau-ji membentak, "Cianpwe,
kuserahkan tempat ini kepadamu!"
Selesai berkata, pedangnya dibabatkan kian kemari membuka sebuah jalan tembus dan
langsung menuju ke arah pintu gerbang.
Dalam waktu singkat lagi-lagi ada empat lelaki berbaju hitam yang dibabat hingga hancur
berkeping. Ketika tiba di halaman tengah, ia saksikan ada enam lelaki berbaju hitam bersenjatakan
pentungan langsung melancarkan serangan ke tubuhnya.
"Bangsat, cari mampus!" teriak Cau-ji gusar.
Dia sambut datangnya serangan itu dengan babatan pedang.
Tak sampai tiga gebrakan, keenam orang itu kembali dibabat mampus.
Kegaduhan segera melanda seluruh halaman. Menggunakan kesempatan itu Cau-ji memeriksa
sekejap keadaan sekeliling sana.
Tampak dua bersaudara Suto telah terkepung oleh delapan belas lelaki bersenjatakan pedang,
walaupun tidak menunjukkan tanda bakal kalah, namun peluh telah membasahi tubuh mereka,
jelas kedua gadis ini gagal untuk meloloskan diri dari kepungan.
Sementara Siang Ci-liong dan Siang Ci-ing dikepung juga oleh delapan belas jago berpedang,
tubuh mereka pun telah basah kuyup oleh keringat, tampak sekali mereka sudah sangat
kepayahan. Sebaliknya tiga bersaudara Cu dengan mengembangkan barisan Sam-cay-tin bertarung
melawan delapan belas jago berpedang lainnya, posisi mereka tampak berada di atas angin.
Chin Tong dengan mengandalkan sepasang telapak tangannya melayani serbuan lawan yang
bertubi-tubi, wajahnya sama sekali tak nampak jeri.
Selain itu terdapat pula belasan muda-mudi bersenjatakan pedang mati-matian
mempertahankan pintu masuk menuju ke ruang utama.
Di samping itu terdapat pula dua puluhan kakek berbaju hitam yang berdiri di sisi arena dengan
senyuman dingin dikulum, tapi sejak kemunculan Cau-ji, wajah mereka segera menunjukkan
perasaan kaget bercampur panik.
Tidak menunggu pihak musuh maju menyerang, Cau-ji sudah menerjang maju lebih dulu ke
arah Siang Ci-Jiong bersaudara yang terkurung, belum lagi tubuhnya sampai, pedang pembunuh
naganya bagaikan jaring pedang telah membacok tiba lebih dahulu.
Dua puluh lelaki yang menerjang lebih duluan tak sempat menghindar, seketika tubuh mereka
terbacok. Dua puluhan kakek berbaju hitam lainnya segera mengerang gusar, serentak mereka menyerbu
maju. Menggunakan kesempatan yang amat singkat inilah Cau-ji kembali berhasil melampaui tiga
lelaki. Kehadiran Cau-ji seketika membuat semangat Siang Ci-liong kakak-beradik makin berkobar,
begitu tekanan berkurang, mereka pun mundur ke arah pintu ruangan.
Cau-ji betul-betul memamerkan kehebatannya, pukulan dan ayunan pedang bergerak silih
berganti, dia sambut datangnya serbuan dari dua-tiga puluhan jago Jit-seng-kau dengan gagah
perkasa. Sesungguhnya dua-tiga puluhan jago itu merupakan jago-jago pilihan berilmu tinggi, tapi
sayang musuh mereka adalah Cau-ji, ditambah lagi mereka sudah dibuat keder terlebih dahulu
akan kehebatan ilmu silat "Manusia penghancur mayat", jadi sebelum bertarung kekuatan mereka
sudah jauh terpengaruh.
Cau-ji tidak berpikir panjang lagi, setiap kali melancarkan serangan, dia selalu menggempur
dengan sepenuh tenaga, hatinya tidak menjadi lunak hanya dikarenakan suara jeritan ngeri dari
korbannya. Sepeminuman teh kemudian situasi di tengah arena telah terjadi perubahan besar, pihak Jitsengkau telah berada di posisi bawah angin.
Kembali angin pukulan menggelegar, hawa pedang menyayat badan.
Hancuran daging dan potongan badan berhamburan ke mana-mana, darah segar bercucuran
membasahi seluruh tanah.
Dari dua-tiga puluhan kakek berbaju hitam itu, kini tersisa lima orang saja yang masih hidup.
Kesombongan dan kejumawaan mereka saat ini sudah lenyap tak berbekas, sebagai gantinya
perasaan ngeri, takut, dan kaget mencekam hati mereka, kini orang-orang itu sudah tak memiliki
kekuatan lagi untuk melakukan perlawanan.
Cau-ji seakan sudah lupa diri, serangan demi serangan dilancarkan makin gencar dan menggila,
terhadap sambitan Am-gi maupun pukulan yang tertuju ke arahnya dia seakan tidak merasa dan
tidak melihatnya, karena dia berpendapat, bagaimanapun juga keselamatan tubuhnya sudah
terlindung oleh hawa murni Im-yang-khi-kang.
Kawanan berbaju hitam itu semakin ketakutan, apalagi menyaksikan anak muda itu bukan saja
melancarkan serangan dengan kecepatan bagaikan sambaran petir, bahkan tubuhnya seolah kebal
terhadap sambitan senjata rahasia maupun angin pukulan.
Entah siapa yang berteriak duluan, "Kabur!" tak lama kemudian keempat-lima puluhan jago Jitsengkau yang tersisa sudah melarikan diri dari situ.
Cau-ji membentak gusar, sambil menghadang di depan pintu gerbang, serangan pedang dan
pukulannya dilontarkan berulang kali.
Waktu itu yang berada dalam benak kawanan berbaju hitam itu hanya melarikan diri dari
tempat pembantaian, begitu ada kesempatan menerobos, segera mereka gunakan dengan sebaikbaiknya.
Tak selang beberapa saat kemudian, kecuali dua puluhan jago yang termasuk golongan agak
lemah, sisanya sudah habis melarikan diri dari situ.
Bahkan delapan-sembilan orang yang sedang bertarung melawan Leng Bang di depan pintu
pun ikut kabur terbirit-birit.
Seakan baru terbebas dari beban berat, Siang Ci-liong berdua segera berjalan menghampiri
Cau-ji. Dua bersaudara Suto serta Siang Ci-ing seakan baru bertemu dengan kekasih yang sudah
berpisah lama, serentak berlari dan menubruk ke dalam pelukan
Cau-ji sambil berseru, "Adik Cau!"
Pada saat itulah mendadak dari balik semak di sisi kanan tembok terdengar seseorang menjerit
kaget, "Ternyata dia!"
Satu ingatan segera melintas dalam benak Cau-ji, tanpa banyak pikir lagi pedang pembunuh
naga yang berada dalam genggaman tangan kanannya langsung dilontarkan ke depan.
Sementara ketiga gadis itu tergopoh-gopoh menghentikan langkahnya setelah menyaksikan
kejadian ini. Sesosok bayangan orang segera menyelinap keluar dari balik kerumunan semak seraya
berseru, "Kongcu, aku Siau-hong!"
Pedang pembunuh naga yang sudah dilontarkan ke arah semak itu seakan memiliki kekuatan
yang terkendali, tiba-tiba saja sebelum mengenai tubuh orang itu, gerakan pedang telah berputar
arah dan meluncur balik ke tangan Cau-ji.
Dengan satu gerakan, Cau-ji menangkap kembali senjatanya kemudian disarungkan.
Tampak Siau-hong yang berpakaian serba hitam segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan
Cau-ji sambil teriaknya kegirangan, "Budak menjumpai Kongcu!"
Cau-ji segera maju membangunkan dayang itu, tegurnya sambil tertawa, "Siau-hong, mengapa
secara tiba-tiba kau datang kemari" Dari mana kau bisa mengenali aku?"
Sambil melepaskan topeng yang dikenakan dan tampil dengan wajah aslinya, sahut Siau-hong
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kegirangan, "Kongcu, Im-congkoan yang memberitahukan nama besarmu kepada budak, ia
berpesan agar budak mengikuti mereka datang kemari mencarimu!"
Mendengar itu, Cau-ji jadi amat terperanjat, buru-buru tanyanya, "Siau-hong, apakah di Jitsenglau sudah terjadi sesuatu?"
Sebagaimana diketahui, Im Jit-koh sama sekali tidak mengetahui identitas Cau-ji dan Bwe Si-jin
yang sebenarnya, bila Im Jit-koh tahu akan nama Cau-ji, berarti Bwe Si-jin yang memberitahukan
kepadanya, hal ini menunjukkan pula kalau ia sedang menghadapi ancaman bahaya.
Ternyata dugaannya tak salah, terdengar Siau-hong menyahut,
"Kongcu, Bwe-cianpwe telah ditangkap!"
Berubah paras muka Cau-ji, sambil mencengkeram bahu Siau-hong, serunya tanpa sadar,
"Sungguh?"
"Be ... benar ...." Siau-hong mengangguk sambil menahan rasa sakit di bahunya.
"Adik Cau, tak usah emosi," buru-buru Suto Si menghibur.
Teguran itu segera menyadarkan Cau-ji, melihat Siau-hong sudah dibuat ketakutan hingga
bermandikan peluh dingin, buru-buru dia kendorkan tangannya dan berkata dengan nada minta
maaf, "Siau-hong, maaf! Mari kita berbicara di dalam."
Sambil berkata ia menyapa semua orang, lalu mengajak dua bersaudara Suto dan Siau-hong
masuk ke dalam ruangan.
Ternyata semenjak Cau-ji mengajak Suto bersaudara pergi meninggalkan Jit-seng-lau, para
jago Jit-seng-kau yang dibuat heboh akan kemunculan Manusia pelumat mayat pun berbondongbondong
mendatangi rumah makan itu.
Untuk menampung kedatangan kawanan jago, terpaksa Im Jit-koh menyiapkan kamar di
seluruh rumah penginapan yang ada di kota itu dan menyebar semua kekuatan yang ada di
seluruh kota. Bwe Si-jin dengan status sebagai He Hau-ti didampingi Im Jit-kou pun mengadakan pesta
perjamuan untuk menyambut kedatangan para Hiocu Jit-seng-kau.
Berhubung Im Jit-koh mempunyai pergaulan luas dan supel orangnya, boleh dibilang dia sangat
mengenali setiap Hiocu yang hadir, karena itulah penyaruan Bwe Si-jin tidak terbongkar.
Sekalipun begitu diam-diam ia merasa terkejut juga oleh kehebatan dan begitu kuatnya
kawanan jago di bawah pimpinan Su Kiau-kiau.
Jangan dilihat orang-orang itu hanya seorang Hiocu dalam perkumpulan Jit-seng-kau, padahal
kebanyakan merupakan tokoh silat yang mempunyai asal-usul luar biasa, kalau bukan seorang
jagoan di suatu daerah, paling tidak merupakan seorang jagoan yang punya nama besar di dunia
persilatan. Apalagi setelah partai-partai besar melancarkan pembersihan secara besar-besaran,
kebanyakan jagoan dari kalangan Hek-to kabur dan bergabung dengan perkumpulan Jit-seng-kau,
hal ini membuat kekuatan perkumpulan ini jadi semakin berkembang.
Sore itu, baru saja Bwe Si-jin selesai bersemedi dan sedang putar otak mencari akal bagaimana
caranya menghimpun seluruh kekuatan partai besar untuk bersama-sama menumpas kekuatan Jitsengkau, mendadak terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya.
la tahu orang itu pasti Im Jit-koh, karenanya ia segera bangkit untuk membukakan pintu.
Siapa tahu begitu pintu kamar dibuka, tampak Im Jit-koh sedang berdiri hormat di sisi kiri
seorang perempuan cantik setengah umur yang tampak begitu matang dan genit. Kenyataan ini
membuatnya tertegun.
Terdengar nyonya cantik setengah baya itu menyapa sambil tertawa genit, "Hek tua, kau tak
menyangka aku bakal kemari bukan?"
Begitu bertemu nyonya cantik setengah umur itu, Bwe Si-jin segera mengenalinya sebagai adik
seperguruan sendiri, yakni wakil ketua perkumpulan Jit-seng-kau saat ini, Ni Ceng-hiang, tak
urung tertegun juga dibuatnya.
Begitu mendengar rayuan genitnya, dia segera sadar kalau perempuan ini memang Ni Cenghiang,
buru-buru katanya dengan hormat,
"Ooh, rupanya wakil ketua, silakan masuk!"
Ni Ceng-hiang segera berpaling ke arah Im Jit-koh sambil mengangguk, tanpa banyak bicara Im
Jit-koh segera mengundurkan diri dari sana.
Baru saja Bwe Si-jin menutup pintu, terdengar Ni Ceng-hiang telah berseru sambil tertawa
jalang, "Hek tua, tak aneh kalau kau enggan meninggalkan tempat ini!"
Habis berkata dia pun langsung menduduki bangku "Biau-biau-ki".
Bukan hanya duduk, bahkan perempuan itu segera membuka pahanya lebar-lebar sambil
memperlihatkan gaya menantang.
Menyaksikan itu, kontan Bwe Si-jin terangsang, pikirnya, "Benar-benar tak kusangka kalau
perempuan iblis ini begini merangsang!"
Satu ingatan segera melintas, pikirnya lagi dengan perasaan terperanjat, "Celaka, kelihatannya
di masa lalu Hek Hau-ti sering bermain serong dengan perempuan iblis ini, berarti hari ini aku tak
bisa lolos dari cengkeramannya, satu pertempuran ranjang pasti akan berlangsung amat seru."
"Lebih celaka lagi begitu aku bugil, maka segala sesuatunya tak bisa disembunyikan lagi,
andaikata barang Hek Hau-ti tidak sepanjang dan sebesar milikku, urusan bisa berabe!"
Biarpun hatinya sangat gelisah, namun penampilannya tetap penuh senyum cabul, sembari
menghampiri perempuan itu dia rangkul bahu kanannya sembari membelai dengan penuh rayuan.
Di sinilah letak kepintarannya, sebab dia hingga kini tak tahu bagaimana kedua orang itu saling
menyebut di masa lalu, karenanya dia menggantikannya dengan suara tertawa.
Tampak Ni Ceng-hiang menggeliat geli dan berseru sambil tertawa jalang, "Ah ... engkoh Ti,
memang kau belum puas dengan permainanmu di sini" Masa baru bertemu tanganmu sudah
begitu jahil?"
Betapa lega Bwe Si-jin mendengar perkataan itu, katanya lagi sambil tertawa terkekeh, "Adik
Hiang, siapa suruh wajahmu merangsang napsu birahi orang?"
Sambil berkata tangannya langsung dimasukkan ke balik baju dan mulai meremas sepasang
payudaranya. Ni Ceng-hiang tertawa geli, tubuhnya menggeliat kian kemari sambil tertawa senang.
Diam-diam Bwe Si-jin memperhatikan perubahan mimik wajah perempuan itu, melihat ia sama
sekali tidak curiga, sadarlah dia kalau di masa lalu perempuan ini memang paling suka serangan
ganas semacam ini.
Maka tanpa sungkan lagi dia langsung melepas kancing bajunya dan membetot pakaian
dalamnya dengan kasar.
"Breeeet...!", pakaian dalamnya yang terbuat dari bahan mahal itu langsung robek dan
terlepas, sepasang payudaranya yang montok berisi pun langsung melompat keluar.
Ni Ceng-hiang sama sekali tak mengira kalau dia menunjukkan perbuatan sebuas dan sekasar
itu, jeritnya tertahan, "Kau.."
Belum selesai dia bicara, tiba-tiba Bwe Si-jin memeluk badannya lalu mencium bibirnya dengan
buas, bukan hanya mencium, dia pun mulai menghisap ujung lidahnya dengan penuh napsu.
Ni Ceng-hiang mendesis lirih dan segera balas mencium dengan penuh napsu.
Begitu melihat reaksi yang ditunjukkan perempuan itu, Bwe Si-jin semakin sadar kalau jalan
yang ditempuh sudah benar, maka sambil menciuminya dengan buas, tangannya mulai bergerak
cepat melucuti semua pakaian yang dikenakan, tak lama kemudian perempuan itu sudah berada
dalam keadaan telanjang bulat.
Tangannya tak tinggal diam, dari payudara dia mulai menggerayangi seluruh tubuh perempuan
itu. Dia tahu selama ini Ni Ceng-hiang pasti selalu berperan sebagai "perempuan yang diperkosa",
karena itu tangannya bukan hanya meremas payudaranya, bahkan mulai memilir puting susunya.
Selang beberapa saat kemudian dia mulai menghisap puting susu perempuan itu dan
menggigitnya periahan, tak ampun perempuan itu mulai mendesah kenikmatan.
Tangan kanannya tidak tinggal diam, dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dia mulai meraba
hutan belukar dan menelusuri gua lembab yang sempit dan hangat.
"Ah ... ooh ... engkoh Ti... sejak kapan kau ... kau mempelajari jurus semacam ini ... aduh ...
aduh nikmatnya ... aduh ... sayang ... aduh.."
Sepeminuman teh kemudian terlihat tubuhnya gemetar keras, Bwe Si-jin segera merasakan jari
tangannya terkena cairan lengket yang hangat, tahulah dia kalau perempuan itu sudah mencapai
puncaknya. Maka tanpa pikir panjang dia masukkan jari tengahnya ke dalam barisan pencari harta,
congkelan demi congkelan seketika membuat tubuh Ni Ceng-hiang mengejang keras dan merintih
minta ampun. Bwe Si-jin tahu perempuan ini sangat cabul, tapi memiliki daya tahan yang luar biasa, dalam
sekali kerja ia sanggup mencapai puncak belasan kali, maka tak ampun penggalian harta karun
pun dilanjutkan makin ganas.
Akhirnya secara beruntun dia melepaskan tiga kali dan tergeletak dengan mata sayup dan
mulut merintih.
Karena kuatir rahasianya terbongkar, begitu Bwe Si-jin selesai melepaskan pakaian sendiri,
cepat dia merangkak naik ke atas tubuhnya dan menghujamkan tombak raksasanya langsung ke
dalam gua harta.
"Aduh mak, nikmat!" keluh perempuan itu, dengan cepat tubuhnya mulai digoyangkan keras.
Berulang kali Bwe Si-jin menekan tubuhnya ke bawah, kemudian dia tekan bangku ajaibnya
hingga kini berubah jadi sebuah pembaringan datar yang dapat bergoyang tiada hentinya.
Berkobarlah pertempuran sengit antara kedua orang itu di atas ranjang bergoyang.
Bwe Si-jin tiada hentinya menghisap puting susunya, sementara tubuh bagian bawahnya
menggenjot tak ada putusnya.
Ni Ceng-hiang segera menjepit pinggang lelaki itu dengan sepasang kakinya sementara
pinggulnya bagaikan batu gilingan berputar dan bergoyang terus tiada hentinya, sambil bergoyang
dia mendesis tenis menerus.
Dalam waktu singkat Bwe Si-jin telah menggenjot hampir tiga ratusan kali, yang membuat
perempuan itu melepas tiga kali. Bisiknya kemudian sambil tertawa cabul, "Adik Hiang, sekarang
tiba giliranmu!"
Sambil berkata dia segera merangkul tubuhnya sambil tiba-tiba berbalik badan, dia biarkan
perempuan itu menindihnya dari atas.
Setelah Ni Ceng-hiang berada di atas, dia pun kembali menekan tombol di bangku ajaibnya,
maka bangku Biau-biau-ki pun balik kembali seperti posisi semula.
"Hahaha ... permainan yang menarik," seru Ni Ceng-hiang kegirangan.
Sambil berkata dia segera mengaitkan ujung kakinya pada bangku itu, kemudian bergoyang
lagi pinggulnya kencang-kencang.
Perempuan ini memang tak malu disebut perempuan siluman yang hebat, sekalipun sudah
lepas enam kali, namun napsunya masih tetap berkobar.
Sejak dulu Bwe Si-jin sudah puluhan kali "bertempur" melawan dia, oleh sebab itu meski harus
bertarung sengit, dia sama sekali tidak menunjukkan rasa takut atau ngeri.
Kini yang terdengar hanya suara mencicit yang bergema dari bangku kenikmatan.
Setiap kali Bwe Si-jin menekan bangkunya, maka punggung bangku akan naik satu tingkat,
hingga akhirnya panggung bangku itu membuat kepalanya persis berada sejajar dengan sepasang
payudaranya. Dengan mulutnya kembali dia menghisap pusing susu sebelah kanan sementara tangannya
meremas puting susu sebelah kiri, begitu asyiknya hingga kerepotan sendiri.
Mendapat rangsangan semacam ini, Ni Ceng-hiang makin terangsang, tubuh bagian bawahnya
pun menggeliat semakin keras.
Jangan dilihat perempuan itu memutar pinggulnya begitu kuat, begitu berat, namun
gerakannya sama sekali tidak kalut.
Tampak perempuan itu sebentar memutar ke kiri kanan, sebentar lagi membiarkan ujung
tombak menggesek dasar liangnya, bahkan terkadang menghisap tombak musuh berulang kali, ia
tunjukkan keahlian dan kepiawiannya sebagai seorang jago perang yang sudah banyak
pengalaman di medan laga.
Perempuan ini membutuhkan waktu hampir setengah jam lamanya untuk melepas empat kali,
dengus napasnya mulai kasar dan terengah-engah, tapi dia masih berusaha mati-matian
menggesek bagian bawahnya.
Pemandangan saat itu persis seperti seorang pengemis yang sudah puluhan tahun tak pernah
makan daging, ketika secara tiba-tiba menemukan sekerat daging, dia pun memakannya dengan
lahap, memakannya dengan sepenuh tenaga.
Bwe Si-jin sendiri sembari menikmati permainan itu, diam-diam ia mulai berpikir menyusun
rencana untuk menghadapi keadaan selanjutnya.
Tatkala dia mulai mengendus bau amis yang lamat-lamat memancar keluar dari tubuh
perempuan itu, dia tahu Ni Ceng-hiang sudah memasuki tahap yang paling puncak, maka dia pun
menghisap lebih kuat lagi.
Keringat bercucuran seperti hujan gerimis, bau anyir pun makin lama semakin menebal. Sambil
tertawa terkekeh kata Bwe Si-jin kemudian, "Adik Hiang, kau sudah siap merasakan kenikmatan
yang luar biasa?"
Sambil berkata dia bopong tubuh perempuan itu turun dari bangku ajaibnya kemudian
melompat naik ke atas pembaringan.
Mula-mula dia baringkan dulu tubuh perempuan itu di tepi pembaringan, kemudian sepasang
kakinya diangkat tinggi-tinggi, diletakkan di atas bahu, setelah itu tombaknya langsung
dihujamkan ke dalam liang gua yang menganga lebar....
"Plook ...!", suara tusukan bergema diiringi jeritan jalang.
"Creeep... creeep suara gesekan makin nyaring, bau amis pun makin menebal.
Dalam waktu singkat dia lancarkan tiga ratusan tusukan, membuat perempuan itu bermandikan
keringat dan lemas sekujur tubuhnya.
Baru saja tubuhnya merinding karena kenikmatan, semburan cairan panas tahu-tahu telah
ditembakkan langsung menembus dasar liangnya, hal ini kontan membuat perempuan itu
berlinang air mata saking nikmatnya.
"Siapa kau sebenarnya ...?" ia berbisik.
Melihat perempuan itu tak ada maksud permusuhan, diam-diam Bwe Si-jin mengerahkan
tenaga dalamnya untuk melindungi badan, sahutnya lembut, "Siau-hiang, masa kau sudah
melupakan aku?"
Gemetar keras sekujur badan Ni Ceng-hiang sesudah mendengar bisikan itu, sambil
membelalakkan matanya lebar-lebar, jeritnya kaget, "Kau ... kau ... apakah kau engkoh Jin?"
Bwe Si-jin menghela napas panjang, sahutnya, "Siau-hiang, Thian memang maha pengasih,
akhirnya Siauheng berhasil juga menemukan dirimu!"
Habis berkata dia pun berniat menurunkan sepasang kakinya.
"Tunggu dulu!" buru-buru Ni Ceng-hiang mencegah, "engkoh Jin, biarlah Siaumoay merasakan
kehangatan lebih lama, ai! Sungguh tak disangka setelah berpisah belasan tahun, akhirnya hari ini
Siaumoay berhasil menjumpai dirimu lagi!"
Habis bicara dia pun menangis tersedu-sedu.
Bwe Si-jin tahu, di antara empat gembong iblis, dialah yang wataknya paling baik, sikapnya
terhadap dirinya pun paling bersahabat, oleh sebab itu dia berniat menggunakan siasat lelaki
tampan untuk menaklukkan wanita.
Terdengar dia berkata lagi setelah menghela napas, "Siau-hiang, tahukah kau berapa besar
kekuatan yang harus kugunakan untuk menyingkirkan Hek Hau-ti" Tahukah kau apa tujuanku
menyamar sebagai dirinya dan menanti di sini?"
Mendengar perkataan itu, Ni Ceng-hiang seketika teringat kembali bagaimana lelaki itu tersekap
dalam gua, dia sangka Bwe Si-jin berniat akan membalas dendam kepadanya, tanpa terasa dia
meningkatkan kewaspadaan hingga otot tubuhnya ikut mengencang.
"Siau-hiang," kembali Bwe Si-jin berkata lembut, "kalau ingin menagih hutang, haruslah
mencari yang berhutang. Aku hanya akan mencari Cicimu serta Su Kiau-kiau untuk membuat
perhitungan, sementara dengan dirimu sama sekali tak ada sangkut-pautnya!"
Perlahan-lahan Ni Ceng-hiang menghembuskan napas lega, setelah membuyarkan tenaga
dalamnya, ia berkata lagi, "Engkoh Jin, kekuatan Jit-seng-kau saat ini ibarat matahari di tengah
hari, kau tak boleh telur membentur batu, mencari penyakit buat diri sendiri!"
Perlahan-lahan Bwe Si-jin menurunkan kembali sepasang kakinya, kemudian sekali lagi dia
bopong tubuh perempuan itu menuju ke bangku ajaibnya.
"Siau-hiang, kau pasti pernah mendengar tentang Manusia pelumat mayat bukan?" katanya
lembut. Tak terlukiskan rasa kaget Ni Ceng-hiang mendengar pertanyaan itu.
"Engkoh Jin, jadi kaulah Manusia pelumat mayat?" tanyanya gemetar.
Cepat Bwe Si-jin menggeleng, sahutnya sambil tersenyum, "Mana mungkin aku memiliki
kekuatan semacam itu, justru berkat pertolongan dari Manusia pelumat mayat aku berhasil lolos
dari dalam gua dengan selamat!"
"Benarkah itu?" jerit Ni Ceng-hiang kaget. "Hahaha, Siau-hiang, kau masih ingat peristiwa Ceng
Giok-peng yang dimusnahkan di luar kota" Itulah hasil karya Manusia pelumat mayat untuk
membalaskan dendam sakit hatiku!"
"Engkoh Jin, tahukah kau saat ini Manusia pelumat mayat berada di mana?" tanya Ni Cenghiang
tegang. "Hahaha, tak usah kuatir Siau-hiang, aku tidak memasukkan namamu dalam daftar hitam, tentu
saja dia tak akan mencarimu!"
Ni Ceng-hiang menghembuskan napas lega, setelah termenung sejenak, katanya, "Engkoh Jin,
biarpun harimau ganas namun tak akan sanggup melawan kerubutan monyet. Mana mungkin
Manusia pelumat mayat sanggup menghadapi perkumpulan kita."
Bicara sampai di situ, mendadak ia totok jalan darah kakunya.
Mimpi pun Bwe Si-jin tidak menyangka kalau dia bakal turun tangan secara tiba-tiba, dengan
perasaan terperanjat jeritnya, "Siau-hiang, kau.."
"Engkoh Jin, kau tak usah kuatir," tukas Ni Ceng-hiang sambil tertawa, "Siaumoay tak akan
membocorkan rahasia kehadiranmu kepada siapa pun, aku harap kau bisa berada di sini dengan
tenteram."
"Ai ... Siau-hiang, kau kelewat bodoh, cepat bebaskan totokan jalan darahku!"
"Engkoh Jin, saat ini Jit-seng-kau sudah terwujud sebagai kekuatan luar biasa, tak seorang pun
dapat menghalanginya, ketika Jit-seng-kau berhasil menguasai seluruh dunia nanti, Siaumoay
pasti akan hidup bahagia denganmu."
"Siau-hiang, kau jangan pandang enteng kekuatan sembilan partai besar"
"Hahaha, sembilan partai besar sedang kerepotan dengan masalah rumah tangga sendiri, tak
sampai tiga bulan kemudian mereka bakal musnah dengan sendirinya, engkoh Jin, tunggulah
dengan sabar, tak sampai sepekan, biara Siau-lim pasti akan musnah!"
Bicara sampai di situ, kembali tangannya menabok beberapa tempat di tubuhnya.
"Siau-hiang, kau sumbat seluruh tenaga dalamku?" jerit Bwe Si-jin terkesiap.
"Hehehe, engkoh Jin, hiduplah bersenang-senang di tempat ini, urusan lain kau tak periu
memikirkan lagi!"
0oo0 Ternyata memang tak salah, malam itu ketika Bwe Si-jin sedang menemani Ni Ceng-hiang
minum arak, Im Jit-koh masuk ke dalam ruangan dan berkata dengan hormat, "Lapor Hu-kaucu,
orang-orang itu sudah berangkat!"
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan bangga Ni Ceng-hiang mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
Menggunakan kesempatan itu Bwe Si-jin segera mengedipkan mata berulang kali ke arah Im
Jit-koh. Tertegun juga Im Jit-koh melihat hal itu, bukankah mereka berdua berbicara dengan riang
gembira, mengapa Bwe Si-jin memberi tanda kepadanya"
"Jit-koh, mari duduklah kemari dan minum beberapa cawan dulu," buru-buru Bwe Si-jin berkata
lagi sambil tertawa.
"Tidak usah, hamba masih ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan," jawab Im Jit-koh
cepat. Seusai berkata dia segera memberi hormat dan cepat berlalu dari situ.
"Engkoh Jin," ujar Ni Ceng-hiang kemudian sambil berhenti tertawa, "tunggulah kabar baik
bagaimana biara Siau-lim musnah dari muka bumi."
Walaupun dalam hati merasa terperanjat, namun dalam penampilan dia tetap tertawa,
sahutnya sambil mengangkat cawan, "Semoga saja begitu!"
Habis berkata, ia pun meneguk habis isi cawannya.
Ni Ceng-hiang ikut meneguk habis isi cawannya, kemudian tertawa lagi.
0oo0 Siapa tahu, tengah hari ketiga, masuk kabar yang memberitahukan bahwa Manusia pelumat
mayat telah beraksi kembali di depan rumah makan Ui-hok-lau.
Mendapat laporan itu, cepat Ni Ceng-hiang meninggalkan ruangan untuk melakukan
penyelidikan lebih jauh.
Selang beberapa saat kemudian tampak Im Jit-koh menyelinap masuk ke dalam kamar dan
bertanya dengan lirih, "Tongcu, apa yang telah terjadi?"
"Jit-koh," sahut Bwe Si-jin cepat, "cepat utus Siau-hong untuk mencari adikku, Kaucu telah
menaruh curiga kepada kita, kini ilmu silat Lohu sudah ditotok olehnya, jadi kau sendiri pun harus
lebih berhati-hati!"
"Benarkah itu?" tanya Im Jit-koh dengan wajah berubah.
Bwe Si-jin manggut-manggut.
"Tak bakal salah! Lebih baik cepatlah suruh Siau-hong mencari seorang Kongcu yang
menggunakan nama Yu Si-bun atau Ong Bu-cau!"
"Baik! Aku segera laksanakan!"
Bercerita sampai di sini, kembali Siau-hong menambahkan, "Ni-hukaucu segera mengutus jagojago
lihai partainya datang kemari setelah mendapat kabar kalau Cicinya tewas di tangan Kongcu,
dengan menyelinap di antara merekalah budak berhasil tiba di tempat ini!"
Cau-ji termenung sambil berpikir sejenak, kemudian ujarnya, "Siau-hong, terima kasih banyak
atas laporanmu, selama ini pasti sudah menyusahkan dirimu!"
"Kongcu, ah salah, Tongcu," ujar Siau-hong dengan hormat, "semua ini merupakan tugas
budak, lagi pula kau telah membantu Siaumoay melepaskan iblis keji (Ciangkwe Jit-seng-ciu-lau)
itu!" "Siau-hong, siapa yang memberitahukan hal ini kepadamu?" tanya Cau-ji keheranan.
"Tongcu, budaklah yang mengetahui sendiri rahasia ini, karena waktu itu kebetulan budak
sedang mencari iblis itu."
Habis berkata dia segera menjatuhkan diri berlutut.
Cepat Cau-ji membangunkannya dan berkata, "Siau-hong, aku tahu nasib dan pengalamanmu
sangat tragis, itulah sebabnya kubantai bajingan itu, masalah ini tak perlu kau pikirkan."
Kemudian setelah berhenti sejenak, katanya pula kepada dua bersaudara Suto, "Cici, Bwetoasiok
menjumpai masalah besar, bagaimana cara kita menolongnya?"
Dengan penuh keyakinan sahut Suto Si, "Adik Cau, menurut apa yang dituturkan Siau-hong
tadi, tampaknya Ni Ceng-hiang tidak berniat mencelakai jiwa Bwe-toasiok, jadi kita pun tak usah
kelewat tegang dan panik!"
"Saat ini kekuatan Jit-seng-kau sedang berada dalam puncaknya, bila kita harus bertarung
sendiri, rasanya sulit untuk menghadapi mereka, jadi ada baiknya kita himpun dulu kekuatan dari
berbagai partai besar, baru serentak kita serbu markas Jit-seng-kau dan membantainya hingga
punah!" "Adik Cau," ujar Suto Bun pula, "bila perlu, kita bisa bergabung dengan Cu bersaudara ...."
"Jangan, kita tak boleh berbuat begitu," tukas Cau-ji sambil menggeleng, "Siaute putuskan
akan membekuk raja penyamun sebelum menghabisi kaum bandit, asalkan Su Kiau-kiau berhasil
kita bantai, maka antek-anteknya akan lebih mudah dihabisi."
"Mengenai menjalin kontak dengan partai-partai besar, aku rasa biarlah pihak Siau-lim yang
menyelesaikan urusan ini, dengan menyelinap ke dalam tubuh perkumpulan Jit-seng-kau, bukan
saja setiap saat Siaute dapat mengawasi gerak-gerik mereka, bila ada kesempatan akan kubekuk
Su Kiau-kiau."
"Apa" Adik cau, kau ingin menyusup ke dalam perkumpulan Jit-seng-kau?" jerit Suto
bersaudara kaget.
"Benar! Kalau tidak memasuki sarang harimau, dari mana bisa mendapatkan anak macan" Lagi
pula Siaute menyusup ke dalam perkumpulan mereka dengan meminjam identitas keluarga Hek,
ditambah lagi kepandaian yang kumiliki, rasanya tidak menjadi masalah untuk menjaga
keselamatan sendiri!"
Suto bersaudara tahu apa yang telah diputuskan sulit untuk diubah lagi, karena itu mereka pun
membungkam dan tidak bicara lagi.
Sambil tersenyum kata Cau-ji lagi, "Cici, untuk sementara waktu lebih baik kalian berdiam di
sini saja sambil membantu enci Ing, waktu para jago dari berbagai partai besar telah berkumpul,
saat itulah kita akan berkumpul kembali. Nah, sekarang biar Siaute menjumpai saudara Siang
sekalian lebih dahulu."
Habis berkata, cepat dia tinggalkan ruangan itu.
Sepeninggal anak muda itu, dua bersaudara Suto saling pandang sekejap, tiba-tiba air mata
jatuh berlinang.
Melihat itu, dengan keheranan Siau-hong bertanya, "Cici, mengapa kalian bersedih?"
Setelah menyeka air mata, perlahan-lahan Suto Si menceritakan asal-usul Cau-ji serta kejadian
mengenaskan yang pernah mereka berdua alami.
Dalam pada itu Cau-ji telah memasuki ruang tengah, di sana ia jumpai para jago sedang
berbincang sambil tertawa, maka sembari tersenyum, sapanya, "Engkoh Liong, apakah semua
urusan telah beres?"
"Benar! Adik Cau, silakan duduk," jawab Siang Ci-liong sambil tersenyum.
"Terima kasih!"
Menunggu setelah Cau-ji mengambil tempat duduk, Siang Ci-liong baru berkata lagi sambil
tertawa, "Ti-hu Tayjin merasa amat gusar dengan tingkah-laku dan sepak terjang Jit-seng-kau
yang begitu berani, saat ini beliau telah mengutus orang untuk melaporkan kejadian ini ke kota
raja. "Asalkan pihak kerajaan bersedia tampil ke depan, ditambah lagi kerja sama dari berbagai
partai besar, aku yakin Jit-seng-kau tak akan bisa menancapkan kaki lagi di dunia persilatan!"
Cau-ji segera menggeleng kepala, ujarnya, "Engkoh Liong, sejak zaman kuno hingga kini, umat
persilatan tak pernah berhubungan dengan pihak kerajaan, aku rasa lebih baik persoalan
semacam ini kita selesaikan sendiri saja!"
"Kongcu," ujar Cu Bi-ih serius, "demi melenyapkan lotere Tay-ke-lok yang sudah mewabah ke
seantero negeri, pihak kerajaan pernah bekerja-sama dengan umat persilatan untuk
menumpasnya, kenapa kita mesti bersikukuh dengan segala peraturan?"
"Nona," sahut Cau-ji sambil tertawa, "Cayhe tak lebih hanya seorang bocah kemarin sore yang
tak punya nama, biarlah persoalan besar semacam ini diputuskan pihak partai besar saja,
sementara Cayhe tak lebih hanya mengemukakan pendapat pribadi!"
Setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya kepada Siang Ci-liong, "Engkoh Liong, apa
rencanamu pribadi untuk masa depan?"
"Jit-seng-kau sudah kelewat banyak melakukan kejahatan, cara mereka bertindak pun kelewat
buas dan keji, aku sudah bertekad untuk sementara waktu menghentikan semua usaha
perdaganganku, selama Jit-seng-kau belum dimusnahkan, Liong-ing-hong pun tak akan membuka
usaha kembali!"
Jawaban Siang Ci-liong ini disampaikan secara tegas dan bersungguh-sungguh.
"Luar biasa!" puji Cau-ji dengan rasa hormat, "nah, begitulah baru pantas jadi engkoh Liong!"
"Adik Cau, kau sendiri ada rencana apa?" tiba-tiba Siang Ci-liong balik bertanya.
"Engkoh Liong, Siaute bertekad akan menyusup ke dalam perkumpulan Jit-seng-kau, aku ingin
mencari kesempatan untuk membunuh Su Kiau-kiau!"
Begitu mendengar jawaban itu, seketika itu juga Cu bersaudara serta Siang Ci-ing berubah
hebat paras mukanya.
Dengan perasaan cemas seru Siang Ci-liong, "Adik Cau, Jit-seng-kau mempunyai begitu banyak
jago tangguh, apa tidak terialu berbahaya dengan memasuki sarang macan seorang diri" Apalagi
kami masih membutuhkan bantuanmu dalam masalah menyatukan seluruh partai besar!"
Cau-ji segera berdiri, sahutnya sambil tertawa nyaring, "Hahaha, kalau tidak memasuki sarang
harimau, bagaimana mungkin bisa memperoleh anak macan" Siaute akan menggunakan identitas
Hek Hau-wan, seorang yang mempunyai kedudukan sebagai seorang Tongcu untuk menyusup ke
dalam Jit-seng-kau, lagi pula aku yakin kungfu yang kumiliki masih lebih dari cukup untuk
melindungi diri."
"Mengenai urusan menyatukan partai besar, aku rasa lebih baik kau saja yang minta bantuan
pihak Siau-lim untuk menyelesaikan urusan ini, lagi pula kedua orang Suto Cici juga tetap tinggal
di sini sambil mengadakan kontak dengan Siaute."
Tanpa terasa semua orang dibuat kagum oleh keberanian anak muda ini.
"Betul-betul bernyali!" puji Leng Bang cepat, "coba kalau semua orang mempunyai nyali
sebesar dirimu, kita tak usah takut lagi menghadapi Jit-seng-kau!"
"Tidak berani!" ujar Cau-ji sambil berdiri, "Wanpwe masih ada urusan yang harus dirundingkan
dulu dengan dua bersaudara Suto, maaf kalau harus mohon diri terlebih dahulu, enci Ing, harap
ikut Siaute!"
Selesai berkata dia segera menjura kepada semua orang.
Siang Ci-ing sendiri meski rada malu karena ditunjuk langsung oleh Cau-ji di depan umum,
namun rasa malu itu nyaris lenyap oleh perasaan girang yang luar biasa, dengan kepala tertunduk
dia segera me-ngintil di belakang anak muda itu.
Sebaliknya tiga bersaudara Cu dengan wajah murung segera menundukkan kepala tanpa
bicara. Leng Bang maupun Chin Tong adalah orang-orang kawakan, tentu saja mereka tahu kalau Cu
bersaudara merasa sedih karena tidak diperhatikan Cau-ji, untuk sesaat mereka pun tak tahu apa
yang harus dilakukan.
Beberapa saat kemudian terdengar Cu Bi-ih berkata dengan nada tenang, "Siang-kongcu,
Siaumoay mohon diri lebih dulu!"
Agaknya Siang Ci-liong merasa sedikit di luar dugaan, tanyanya cepat, "Nona, bukankah tadi
kau sudan bersedia makan di sini" Kenapa secara tiba-tiba berubah pikiran?"
"Siang-kongcu," sahut Cu Bi-ih tersenyum, "Siaumoay kuatir gedung kami pun mendapat
serangan, jadi ingin pulang untuk menengok keadaan."
"Ah ... betul, kenapa aku tak berpikir ke situ" Bagaimana kalau kutemani kalian?"
Cu Bi-ih menggeleng.
"Masih banyak urusan yang harus diselesaikan di tempat ini! Tak berani aku mengusik Kongcu,
maaf Siaumoay mohon diri lebih dulu!"
Seusai berkata dia langsung beranjak pergi dari sana.
Terbentur paku, terpaksa Siang Ci-liong mengantar tamunya sampai di depan pintu gerbang.
Sepeninggal tiga bersaudara Cu dan rombongan, ia hanya bisa mengawasi noda darah dan
hancuran daging yang berserakan di halaman rumahnya sambil menggeleng kepala berulang kali.
Dia tidak menyangka Liong-ing-hong bakal tertimpa bencana tragis semacam ini.
0oo0 Bab 5. Ong Sam-kongcu bergelar bangsawan.
Dalam pada itu Cau-ji bersama Siang Ci-ing sembari berbincang berjalan menuju ke dalam
kamar, baru saja membuka pintu kamar, ia sudah mendengar suara dua orang yang sedang mandi
sambil tertawa cekikikan.
Belum sempat mereka buka suara, segera terdengarlah suara Suto Si berseru merdu, "Adik
Cau, ayo cepat ikut mandi!"
Mendengar itu merah padam wajah Siang Ci-ing, cepat dia mengunci pintu kamar.
Ketika masuk ke dalam kamar mandi, ia saksikan di tengah uap panas yang memenuhi
Jodoh Rajawali 5 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Kisah Pedang Di Sungai Es 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama