Ceritasilat Novel Online

Seruling Perak Sepasang Walet 11

Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Bagian 11


pun pasti terluka oleh serangan-serangan itu.
Ciok Giok Yin mengucurkan keringat dingin. Setelah berhasil
berkelit, dia mulai menyerang dengan Soan Hong Ciang.
Terdengar suara menderu-deru dan angin pukulannya
mengandung hawa yang amat panas.
Akan tetapi Ciok Giok Yin tahu bahwa kepandaian gadis
berbaju hitam memakai kain penutup muka itu lebih tinggi
setingkat darinya. Maka dia segera mencelat ke belakang
beberapa langkah.
Kini Ciok Giok Yin ingin mengeluarkan ilmu pukulan Hong Lui
Sam Ciang. Namun serangan gadis berbaju hitam memakai
kain penutup muka yang bertubi-tubi itu membuatnya tiada
berkesempatan untuk mengeluarkan ilmu pukulan tersebut.
Lagi pula dia pun pikir, dirinya tiada permusuhan apa-apa
dengan gadis itu lalu mengapa harus turun tangan jahat
terhadapnya" Mungkin gadis berbaju hitam memakai kain
penutup muka itu hanya ingin menguji kepandaiannya. Oleh
karena itu Ciok Giok Yin sama sekali tidak mengeluarkan ilmu
pukulan Hong Lui Sam Ciang. Sesungguhnya, seandainya Ciok
Giok Yin ingin mengeluarkan ilmu pukulan tersebut, itu pun
sudah tidak memungkinkan lagi. Sebab gadis berbaju hitam
memakai kain penutup muka terus-menerus menyerangnya,
sehingga membuat Ciok Giok Yin tak mampu balas menyerang,
cuma berkelit ke sana ke mari saja. Mendadak gadis berbaju
hitam memakai kain penutup muka itu berseru,
"Roboh!"
Seketika terdengar suara jeritan. Tampak sosok tubuh
terpental dua tiga langkah kemudian jatuh di atas tanah.
Bum! Gadis berbaju hitam memakai kain penutup muka, melesat
maju sambil melancarkan sebuah pukulan.
Plak! Pukulan itu mendarat telak di dada Ciok Giok Yin. Gadis itu
tertawa puas lalu berkata,
"Kini tentunya kau sudah tahu siapa aku bukan?"
Kemudian ditendangnya Ciok Giok Yin hingga terpental
beberapa depa. Saat ini terdengar suara tua di dalam rimba,
"Nak, pergilah, dia tidak akan hidup lagi."
Akan tetapi, gadis berbaju hitam memakai kain penutup
muka, malah mencelat ke atas, kelihatannya ingin menghatam
kepala Ciok Giok Yin
Di saat bersamaan dari dalam rimba melesat sosok bayangan
hitam, yang langsung menahannya seraya berkata,
"Biar utuh mayatnya!"
Bukan main cepatnya gerakan bayangan hitam itu! Dalam
sekejap mata dia pergi ke dalam rimba sambil menarik gadis
berbaju hitam memakai kain penutup muka itu lalu
menghilang. Tak seberapa lama kemudian tampak beberapa
ekor burung elang terbang berputar-putar di angkasa, yang
kemudian meluncur ke bawah dengan perlahan-lahan. Ternyata
burung-burung elang itu melihat sosok mayat di tanah. Namun
burung-burung elang itu tampaknya merasa takut, tidak berani
meluncur terlampau ke bawah. Sedangkan Ciok Giok Yin yang
tergeletak di tanah tak bergerak sama sekali, kelihatannya
sudah mati. Walau dia memiliki lwee kang tinggi, namun tidak
akan tahan. Karena dia terpukul beberapa kali oleh gadis
berbaju hitam memakai kain penutup muka itu, bahkan setelah
itu, sebuah tendangan lagi membuatnya terpental beberapa
depa. Semua itu memang kesalahan Ciok Giok Yin. Sebab dalam
bertanding dia terlalu memikirkan banyak hal. Lantaran ingin
tahu mengapa gadis berbaju hitam memakai kain penutup
muka itu berkeras ingin bertanding dengannya, maka dia tidak
berani mengeluarkan ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang.
Karena itu, dirinya malah yang terpukul. Lagi pula begitu mulai
bergebrak, gadis berbaju hitam memakai kain penutup muka
itu langsung menyerangnya bertubi-tubi, sehingga membuat
Ciok Giok Yin terdesak. Oleh karena itu dia terkena beberapa
pukulan yang dilancarkan gadis baju hitam memakai kain
penutup muka, ditambah sebuah tendangan keras.
Ciok Giok Yin terpental beberapa depa, kemudian tergeletak
tak bergerak sama sekali. Akan tetapi benarkah dia telah mati"
Dia sendiri tidak tahu. Tentunya para pembaca yang budiman
juga tidak tahu. Namun burung-burung elang yang terbang
berputar-putar di angkasa pasti dapat melihat. Kalau tidak,
burung-burung elang itu pasti sudah dari tadi berebut
mematuk daging Ciok Giok Yin, bahkan kini mereka malah
terbang lebih tinggi. Saat ini suasana di sekitar tempat itu
berubah menjadi amat sunyi. Ternyata hari sudah mulai senja.
Sementara Ciok Giok Yin tetap tidak bergerak sama sekali.
Wajahnya pucat pias bagaikan kertas, dari mulutnya masih
mengalir darah segar, yang perlahan-lahan berubah menjadi
hitam. Sungguh kasihan Ciok Giok Yin! Semua budi, dendam
dan kebenciannya belum terbalaskan, tapi sudah menjadi
mayat. Dia tidak bisa mati dengan mata terpejam. Dia tidak
bisa mati begitu saja. Seandainya dia benar mati begitu saja,
murid murtad suhunya semua dendam, orang-orang yang
menyayanginya, pasti tidak terbalas. Dan juga beberapa gadis
yang mencintainya, bukankah akan hidup hampa dan merana
selama- lamanya" Yang jelas Ciok Giok Yin memang sudah
tidak bergerak lagi. Sementara itu Soat Cak masih terus
berseru-seru memanggil Ciok Giok Yin. Suara seruannya amat
memilukan. "Kanda Ciok, kau tidak boleh meninggalkanku, kau pergi ke
mana?" Soat Cak terus melesat pergi sambil berseru-seru. Suara
seruannya membuat orang yang berhati baja pun akan merasa
iba padanya. Soat Cak adalah gadis yang suci murni dan polos,
sama sekali tidak pernah berkelana di dunia persilatan. Kini
begitu Ciok Giok Yin pergi, dia tidak tahu harus ke mana
mencarinya. Sedangkan di dunia persilatan penuh bahaya dan
berbagai kelicikan serta kejahatan. Bagaimana dia bisa hidup
dikelilingi semua itu" Tentunya membuatnya amat gugup dan
panik. Dia cuma tahu mengerahkan ginkangnya untuk
mengejar Ciok Giok Yin. Dia pun tahu jelas bahwa Ciok Giok Yin
dalam keadaan terluka, tidak akan pergi jauh. Oleh karena itu
dia terus-menerus berseru-seru memanggil Ciok Giok Yin.
Soat Cak yakin dan percaya bahwa Ciok Giok Yin tidak akan
meninggalkannya, sebab dia sudah menjadi milik Ciok Giok Yin.
Bagaimana mungkin Ciok Giok Yin tega meninggalkan istrinya
sendiri" Akan tetapi sementara ini Ciok Giok Yin memang
merasa kurang senang. Itu disebabkan ibunya telah
berbohong. Namun kebohongan itu tidak akan mencelakai Ciok
Giok Yin. Asal berlalu beberapa waktu, Ciok Giok Yin pasti akan
memaafkannya. Sesungguhnya Soat Cak juga terluka oleh Si
Peng Khek. Namun dia terus melesat pergi mencari Ciok Giok
Yin, karena nyawa Ciok Giok Yin lebih penting dari pada
nyawanya sendiri. Berhubung berpikir demikian, maka dia tidak
mempedulikan lukanya yang dideritanya.
Akan tetapi walau dia berseru hingga suaranya berubah
serak, tidak mendengar suara sahutan Ciok Giok Yin. Kini
nafasnya sudah tersengal-sengal dan keringatnya pun
mengucur deras. Akhirnya dia duduk di atas sebuah batu dan
kemudian menangis terisakisak. Suara isak tangisnya amat
memilukan. Sesungguhnya ada hubungan apa Soat Cak dengan
Ciok Giok Yin" Mereka boleh dikatakan sebagai suami istri! Kini
Ciok Giok Yin hilang entah ke mana, bagaimana hati Soat Cak
tidak berduka" Dia sama sekali tidak tahu bahwa Ciok Giok Yin
sedang menghadapi maut. Kalau dia tahu, mungkin akan
bunuh diri demi mendampingi Ciok Giok Yin.
Soat Cak terus menangis, tapi mulutnya masih terus
memanggil Ciok Giok Yin. Oleh karena itu pendengarannya
menjadi tidak begitu tajam. Di saat bersamaan tampak sosok
bayangan melayang turun di belakangnya. Yang muncul itu
justru adalah Teng Hiang Kun, salah seorang pelindung
perkumpulan Sang Yen Hwee. Wanita jalang itu tersenyum licik
dan wajahnya tampak bengis sekali. Dia langsung menotok
jalan darah Soat Cak, yakni jalan darah Hong Bwee Hiat.
Soat Cak mengeluarkan suara rintihan, lalu roboh dan tidak
bergerak lagi. Suara isak tangisnya pun berhenti seketika. Dia
memandang ke samping melihat seorang wanita berdiri di situ,
memperlihatkan senyuman licik dan bengis. Soat Cak tidak
kenal wanita itu, cuma memandangnya dengan mata terbelalak
lebar. Walau jalan darah Hong Bwee Hiatnya sudah tertotok,
namun dia masih bisa berbicara.
"Kakak, mengapa kau berbuat begitu?" tanyanya.
"Aku masih ingin membunuhmu!" sahut Teng Hiang Kun
sengit. Hati Soat Cak tersentak ketika mendengar jawaban itu.
"Kakak, aku dan kau tiada dendam apa pun, mengapa Kakak
ingin membunuhku?"
Teng Hiang Kun tertawa sinis lalu menyahut.
"Karena aku merasa tidak senang padamu!"
"Apakah di dunia persilatan, kalau seorang tidak senang
terhadap orang lain lalu harus membunuhnya?"
"Kira-kira begitulah!"
Hati Soat Cak bertambah berduka. Dengan air mata meleleh
deras dia bergumam perlahan-lahan.
"Ibu, mengapa kau menghendakiku berkelana di dunia
persilatan" Kalau aku tahu dunia persilatan begini macam, biar
bagaimana pun aku tidak akan keluar." Dia memandang Teng
Hiang Kun. "Kakak, kalau kau memang ingin membunuhku,
silakan turun tangan!" katanya.
Gadis itu memejamkan mata, namun air matanya masih
berderai-derai membasahi kedua pipinya.
"Aku ingin membunuhmu karena ada suatu sebab!"
Soat Cak membuka matanya hingga terbeliak lebar.
"Apa sebabnya?"
Teng Hiang Kun menatapnya dingin
"Dalam hatimu kau pasti mengerti!"
Soat Cak tertegun.
"Aku mengerti?"
"Ng!"
"Maukah Kakak menjelaskannya?"
"Menjelaskannya?"
"Ya. Agar aku tidak mati penasaran."
"Sungguhkah kau ingin tahu?"
Soat Cak mengangguk.
"Ya."
"Siluman kecil, kau telah memikat seseorang. Maka begitu dia
melihatku, menganggapku sebagai musuhnya!"
"Kakak, aku memikat siapa?"
"Siluman kecil, kau tahu tapi sengaja bertanya! Aku akan
membunuhmu agar kalian tidak dapat bertemu lagi!"
Teng Hiang Kun mengangkat sebelah tangannya,
kelihatannya sudah siap turun tangan membunuh Soat Cak.
Mendadak Soat Cak berseru.
"Tunggu, Kakak!"
Teng Hiang Kun menurunkan tangannya, lalu bertanya
dengan dingin sekali.
"Kau masih ingin pesan apa?"
Saat ini Soat Cak justru tidak menangis lagi, sebab tahu
dirinya akan dibunuh.
"Kakak, sebelum aku mati, aku ingin mengajukan sebuah
permintaan."
"Sebuah permintaan?"
"Ya."
"Permintaan apa" Katakanlah!"
"Aku mohon Kakak sudi mencari seseorang!"
"Siapa?"
"Dia adalah tunanganku."
"Untuk apa mencari tunanganmu?" tanya Teng Hiang Kun.
Tiba-tiba dia tertawa. "Aku mengerti. Kau ingin suruh dia
mengubur mayatmu?"
Soat Cak menggelengkan kepala.
"Bukan."
"Lalu mengapa?"
"Aku menginginkan Kakak menyerahkan sebuah kitab
padanya." "Sebuah kitab?"
"Ya."
Terlintas suatu pikiran dalam benak Teng Hiang Kun. Dia
yakin bahwa kitab itu merupakan kitab pusaka. Maka, dia
segera bertanya.
"Di mana?"
Soat Cak memberitahukan.
"Di dalam bajuku!"
Tanpa menunggu lagi Teng Hiang Kun segera menarik baju
bagian dada Soat Cak sehingga robek. Kemudian diambilnya
sebuah kitab dari dalam baju gadis itu, yang tidak lain adalah
kitab Hong Lui Ngo Im Keng. Begitu meliat kitab tersebut,
seketika mata Teng Hiang Kun terbelalak lebar. Ternyata
pengetahuannya cukup luas, tahu bahwa itu merupakan ilmu
andalan Coat Ceng Hujin, tentunya membuatnya girang bukan
kepalang. Dia menengok ke sana ke mari, lalu dimasukkan ke
dalam bajunya. "Kakak harus menyerahkan padanya," kata Soat Cak dengan
rasa duka. Teng Hiang Kun manggut-manggut.
"Tentu, aku pasti serahkan padanya."
Di kolong langit ini terdapat begitu banyak lelaki, yang mana
tunangan Soat Cak" Teng Hiang Kun tidak bertanya,
sedangkan Soat Cak juga tidak memberitahukan. Seandainya
Soat Cak punya sedikit pengetahuan mengenai dunia
persilatan, pasti bisa melihat, bahwa Teng Hiang Kun
sesungguhnya cuma membohonginya. Akan tetapi dia tidak
berpengalaman dalam dunia persilatan, maka tidak tahu Teng
Hiang Kun membohonginya. Oleh karena itu dia telah
menghilangkan kitab pusaka keluarganya itu. Berselang sesaat
Soat Cak berkata lagi,
"Kakak, kau boleh turun tangan!"
Teng Hiang Kun mengangkat sebelah tangannya,
kelihatannya sudah mau turun tangan membunuhnya. Namun
tiba-tiba dia menarik kembali tangannya, dan berkata,
"Pikiranku berubah!"
Soat Cak menatapnya heran,
"Kakak tidak jadi membunuhku?"
"Tidak begitu gampang."
"Maksud Kakak?"
"Aku telah menotok jalan darah Hong Bwee Hiatmu."


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tahu itu."
Perlu diketahui, siapa yang tertotok jalan darahnya itu maka
enam jam kemudian, darah di dalam tubuhnya akan membeku
hingga mati. Teng Hiang Kun yang berhati keji itu justru ingin
menyiksa Soat Cak perlahan-lahan. Sebab dia amat membenci
Soat Cak, yang telah merebut jantung merebut jantung
hatinya. Siapa jantung hati itu" Dia tidak memberitahukan.
Sedangkan Soat Cak juga tidak bertanya. Kemudian Teng
Hiang Kun tertawa terkekeh-kekeh dan berkata,
"Syukurlah kau jelas..." Dia tertawa lagi. "Kini aku masih
memandang kitab ini maka membiarkanmu hidup beberapa
jam. Kau mengerti maksudku?"
Soat Cak tampak girang sekali. Tapi gadis itu malah berpurapura
sedih, karena khawatir pikiran Teng Hiang Kun akan
berubah lagi. "Kakak yang baik, bunuhlah aku agar aku tidak menderita!"
katanya lagi. "Kau memang harus bertahan!" sahut Teng Hiang Kun.
Wanita jalang itu membalikkan badannya, langsung melesat
pergi. Dalam sekejap mata sudah tidak kelihatan bayangannya.
Saat ini Soat Cak mulai tersadar akan kedustaan Teng Hiang
Kun. Dia amat menyesal karena telah kehilangan kitab pusaka
keluarganya. Akan tetapi dia pun merasa bersyukur sebab
secara tidak langsung kitab pusaka tersebut telah
menyelamatkan nyawanya. Dia masih merasa khawatir Teng
Hiang Kun akan kembali membunuhnya. Maka, dia segera
menghimpun hawa murninya untuk menembus jalan darah
Hong Bwee Hiatnya. Ternyata dia pernah belajar pada ibunya
mengenai cara membebaskan totokan, tak disangka sangat
bermanfaat baginya saat ini. Di saat mengerahkan hawa
murninya, dia pun memikirkan Ciok Giok Yin.
Berada dimana sekarang 'Kanda Ciok'nya itu" Biar bagaimana
pun harus pergi mencari Ciok Giok Yin sebab Ciok Giok Yin
dalam keadaan terluka. Namun bagaimana kalau bertemu
musuh" Bukankah dirinya akan celaka Semakin dipikirkan,
hatinya menjadi semakin gugup. Soat Cak ingin cepat-cepat
membebaskan jalan darahnya yang tertotok. Oleh karena itu
dia segera mengosongkan pikirannya, menghimpun hawa
murninya untuk menembus jalan darah yang tertotok tersebut.
Sementara sang waktu terus berlalu. Entah berapa lama
kemudian akhirnya Soat Cak berhasil membebaskan totokan
pada jalan darahnya. Namun sekujur badannya telah basah
oleh keringat. Padahal dia masih harus beristirahat sejenak,
namun sudah tidak memungkinkan, sebab hatinya sudah
terbang ke arah Ciok Giok Yin. Karena itu, dia langsung
melesat ke arah semula. Dia pikir Ciok Giok Yin tidak akan
pergi jauh, sebab terluka parah, mungkin bersembunyi di suatu
tempat untuk mengobati lukanya. Maka ketika dia berseru-seru
memanggilnya tiada sahutan sama sekali.
"Kanda Ciok, kau berada di mana?" Dia mulai berseru-seru
lagi. Sepasang matanya yang indah menengok ke sana ke mari
mencari Ciok Giok Yin. Terutama di tempat yang agak gelap,
dia memandang dengan penuh perhatian. Semak belukar dan
di balik batu besar, tidak terlepas dari sorotan matanya. Kini
suara seruannya berubah menjadi rendah. Ternyata dia
khawatir suara seruannya akan memancing kedatangan
musuh, itu pasti akan mencelakai Ciok Giok Yin. Tak seberapa
lama kemudian dia sampai di depan sebuah rimba. Di saat
itulah dia memusatkan pendengarannya. Mendadak dia
mendengar suara pekikan burung elang di tempat yang tak
begitu jauh. Sebenarnya dia tidak begitu mempedulikan suara
pekikan burung-burung elang itu. Akan tetapi... setelah berpikir
sejenak, dia segera melesat ke tempat suara burung-burung
elang tersebut.
Tampak beberapa ekor burung elang menukik ke bawah.
Karena itu Soat Cak memandang ke sana, dan dilihatnya
sesosok mayat tergeletak di sana. Hatinya tersentak dan dia
langsung melesat ke arah mayat tersebut. Seketika juga dia
menangis meraung-raung.
"Kanda Ciok! Kanda Ciok! Siapa yang mencelakaimu?"
Soat Cak terus menangis meratap.
"Kanda Ciok, kau akan kesepian, aku harus mendampingimu,"
gumamnya. Soat Cak masih terus menangis hingga suaranya menjadi
serak. Dari sepasang matanya yang indah juga telah mengalir
air mata bercampur darah. Berselang sesaat dia berhenti
menangis, duduk termangu-mangu di samping mayat Ciok Giok
Yin. Dalam hati dia telah mengambil keputusan untuk ikut mati
bersama Ciok Giok Yin. Dia menghapus air matanya, kemudian
mengeluarkan sehelai sapu tangan untuk menghapus noda
darah yang di badan Ciok Giok Yin.
"Kanda Ciok, tunggulah sebentar, istrimu ini pasti menyusul!"
gumamnya lagi. Usai bergumam, dia memandang jauh ke depan sambil
berkata, "Ibu pernah berkata, jadi istri harus setia selamanya. Suami
ke mana, istri harus ikut. Kini Kanda Ciok telah pergi, anak Cak
harus ikut dia...."
Setelah berkata begitu, air matanya mulai meleleh lagi.
Kemudian dia mengangkat tangannya perlahan-lahan, siap
menghantam kepalanya sendiri. Namun mendadak tangannya
yang telah terangkat itu diam, tak dapat menghantam
kepalanya. Di saat bersamaan terdengar pula suara dengusan dingin.
"Hmm! Dia belum mati, mengapa kau mau bunuh diri?"
Soat Cak tersentak segera mendongakkan kepala, dilihatnya
seorang wanita anggun berpakaian mewah berdiri di situ,
namun wajahnya kelihatan dingin sekali.
"Dia... dia belum mati?" tanya Soat Cak.
Wanita anggun berpakaian mewah mengangguk perlahan.
"Dia pernah makan buah Ginseng Daging dan Pil Api Ribuan
Tahun. Karena khasiat kedua benda mustika itu melindungi
nadi di jantungnya, maka dia tidak mati." Dia menatap Ciok
Giok Yin. "Di dalam bajunya terdapat sebuah botol kecil berisi
obat cairan Giok Ju. Beri dia beberapa tetes, kemudian
salurkan hawa murnimu ke dalam tubuhnya! Dia pasti sembuh!
Tapi...." "Tapi kenapa Cianpwee?"
"Mungkin kepandaiannya... akan punah."
"Asal dia bisa hidup, tidak memiliki kepandaian pun tidak apaapa."
Soat Cak merogoh ke dalam baju Ciok Giok Yin untuk
mengeluarkan sebuah botol kecil. Kemudian dibukanya tutup
botol itu dan dituangnya beberapa tetes isinya ke dalam mulut
Ciok Giok Yin. "Cukup!" kata wanita anggun berpakaian mewah.
Namun Soat Cak melihat cairan Giok Ju itu masih berada di
dalam mulut Ciok Giok Yin belum tertelan.
"Cianpwee, dia tidak bisa menelan. Bagaimana?" tanyanya
dengan wajah murung.
Wanita anggun berpakaian mewah balik bertanya.
"Kalian berdua punya hubungan apa?"
"Ibuku menjodohanku padanya."
"Kalau begitu, kalian berdua adalah calon suami istri?"
"Ya."
"Bagus! Kau boleh menggunakan mulutmu, mengerahkan
hawa murni meniup obat itu agar masuk ke dalam
tenggorokannya, lalu salurkan hawa murnimu ke dalam
tubuhnya!"
Walau mereka berdua adalah calon suami istri, namun Soat
Cak merupakan gadis yang suci murni dan polos. Bagaimana
mungkin dia dapat melakukan itu" Maka tidak mengherankan
kalau dia berdiri tertegun di tempat. Wanita anggun berpakaian
mewah tampak tidak sabaran.
"Kau tidak menghendakinya hidup" Kalian berdua adalah
calon suami istri, mengapa kau tidak mau berbuat seperti yang
kukatakan?"
Soat Cak berpikir sejenak, kemudian melakukan apa yang
dikatakan wanita anggun berpakaian mewah obat Giok Ju
masuk ke tenggorokan Ciok Giok Yin. Setelah itu Soat Cak
cepat-cepat menempelkan telapak tangannya di Tantian Ciok
Giok Yin sekaligus mengerahkan hawa murninya, disalur ke
dalam tubuh Ciok Giok Yin. Meskipun Soat Cak akan kehilangan
banyak hawa murni, tapi demi menyelamatkan 'Kanda Ciok'nya, dia sama sekali tidak mempedulikan itu. Berselang
beberapa saat Ciok Giok Yin mengeluarkan suara rintihan dan
nafasnya mulai berjalan. Bukan main girangnya Soat Cak,
sehingga dia terus menambah hawa murninya ke dalam tubuh
Ciok Giok Yin. Lewat beberapa saat, perlahan-lahan Ciok Giok
Yin membuka matanya.
"Apakah aku sedang mimpi?" gumamnya.
Usai bergumam, dia segera bangun duduk.
Sedangkan sekujur badan Soat Cak telah basah kuyup oleh
keringat. Begitu melihat Ciok Giok Yin bangun duduk, cepatcepat
dia menarik kembali telapak tangannya setelah bertanya.
"Kanda Ciok, kau sudah hidup lagi" Ini bukan mimpi kan?"
Ciok Giok Yin menatap Soat Cak, sambil balik bertanya.
"Kau yang menyelamatkanku?"
Soat Cak mengangguk.
"Ya. Tapi cianpwee itu yang memberi petunjuk padaku
bagaimana cara menyelamatkanmu."
Ciok Giok Yin segera mendekati wanita anggun berpakaian
mewah lalu memberi hormat seraya berkata.
"Sekian kali cianpwee menolongku, aku sungguh berterima
kasih sekali!"
"Seharusnya kau berterimakasih pada istrimu itu."
Ciok Giok Yin segera menoleh memandang Soat Cak,
kemudian berkata dengan penuh penyesalan.
"Adik Cak, aku... aku memang bersalah terhadapmu."
"Kanda Ciok, aku adalah calon istrimu. Asal kau selamat, aku
sudah merasa girang sekali. Kau jangan berkata begitu."
Mendadak Ciok Giok Yin mengucurkan air mata dan berkata
dengan suara gemetar.
"Adik Cak, tidak seharusnya kau menyelamatkanku."
Soat Cak tertegun.
"Kanda Ciok, kau...."
Wajah Ciok Giok Yin tampak berduka sekali.
"Ilmu silatku telah punah semua, apa artinya aku hidup?"
katanya dengan nada tak bergairah hidup.
"Kanda Ciok, kau jangan putus asa. Perlahan-lahan ilmu
silatmu akan pulih seperti sedia kala."
Di saat bersamaan tampak sosok bayangan hitam melayang
turun, ternyata adalah Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai, kepala
pelindung perkumpulan Sang Yen Hwee. Dia tertawa seraya
berkata dengan lantang.
"Bocah, sungguh besar nyawamu!"
Selangkah demi selangkah dia mendekati Ciok Giok Yin.
Sekonyong-konyong wanita anggun berpakaian mewah
melesat ke hadapannya lalu berkata dengan dingin sekali.
"Li Mong Pai, hari ini kau pasti mati!"
Li Mong Pai yang masih tersenyum-senyum langsung
bertanya, "Siapa kau?"
"Kau tidak usah tahu!"
"Kalau begitu, kau ingin melindungi bocah itu?"
"Tidak salah!"
"Menurut lohu, lebih baik kau kembali ke tempat tinggalmu,
dilayani para pelayan saja! Buat apa berkecimpung di dunia
persialatan, yang akan merendahkan keanggunanmu?"
Karena wanita anggun itu berpakaian mewah, maka Siau Bin
Sanjin menyindirnya demikian.
"Kau memang cari mampus!" bentak wanita anggun
berpakaian mewah.
Dia langsung bergerak cepat menyerang Siau Bin Sanjin.
Melihat serangan itu Siau Bin Sanjin tertawa gelak.
"Bagus...!" serunya.
Namun tak disangka kemudian terdengar suara jeritan dan
tampak Siau Bin Sanjin terpental beberapa depa. Wanita
anggun berpakaian mewah mendengus dingin.
"Hmm! Sungguh tak berguna! Kukira berkepandaian tinggi!
Hari ini kuampuni nyawamu! Tapi kelak kalau kita bertemu lagi
jangan harap aku akan mengampuni nyawamu lagi!"
Sambil meringis Siau Bin Sanjin bangkit berdiri perlahanlahan.
Dia melototi wanita anggun berpakaian mewah itu lalu
pergi dengan tertatih-tatih. Dia amat terkenal dalam rimba
persilatan, jarang menemukan tandingan. Namun tak disangka
sama sekali wanita anggun berpakaian wanita itu belum
menyerangnya dengan satu jurus pun sudah membuatnya
terluka parah, itu sungguh di luar dugaan! Setelah Siau Bin
Sanjin-Li Mong Pai pergi, wanita anggun berpakaian mewah
menoleh memandang Ciok Giok Yin lalu berkata.
"Kini jalan satu-satunya bagimu, adalah harus pergi mencari
Sa Pian Sih (Si Burung Murai) Gouw Ling. Mungkin dia punya
cara memulihkan kepandaianmu."
"Gouw Ling?" tanya Ciok Giok Yin dan Soat Cak hampir
serentak. "Ng!"
"Di mana tempat tinggalnya?"
"Dengar-dengar dia telah ditaklukkan oleh perkumpulan Sang
Yen Hwee."
"Haaaah...?" seru Ciok Giok Yin tak tertahan,
"Cepat ke sana! Lebih baik kalian menyamar saya," kata
wanita anggun berpakaian mewah.
Usai berkata, wanita anggun berpakaian mewah langsung
melesat pergi. Sedangkan Ciok Giok Yin dan Soat Cak saling
memandang. Kemudian Ciok Giok Yin mengeluarkan dua botol
kecil dari dalam bajunya, pemberian Tek Cang Sin Kay. Mereka
berdua mulai merias wajah dan berganti pakaian. Setelah itu
kedua muda-mudi itu berubah menjadi suami istri berusia
pertengahan. Mereka saling memandang dan tertawa seketika,
lalu pergi dengan bergandengan tangan.
Sementara Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai terus berjalan dengan
sempoyongan. Berselang sesaat, mendadak dia merasa seluruh
jalan darahnya amat dingin dan peredaran darahnya juga
kacau. Itu membuatnya terkejut sekali. Pengetahuannya amat
luas, tahu wanita anggun itu telah menggunakan semacam
ilmu, menutupi beberapa jalan darahnya. Kalau tidak segera
diobati, nyawanya pasti melayang.
Karena itu dia segera duduk bersila, menghimpun hawa
murninya untuk menembus jalan darahnya yang tertutup.


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa duga, begitu dia menghimpun hawa murni, bagian bawah
tubuhnya tak dapat bergerak sama sekali. Dia gugup dan
panik, kemudian berkata dalam hati. 'Habislah! Sayang kini aku
sudah tidak bisa jalan. Kalau bisa..." Tiba-tiba terdengar suara
langkah dan setelah itu terdengar pula suara percakapan.
"Istriku, coba jalan cepat dikit! Kalau tidak, kita tidak dapat
makan siang. Bukankah akan membuat orang membuang
biaya?" Terdengar suara sahutan wanita.
"Suamiku, apa boleh buat! Bagaimana mungkin seorang
wanita berjalan cepat?"
"Istriku, biar kupapah kau."
Terdengar suara langkah yang amat berat, pertanda mereka
bukan kaum rimba persilatan.
Hati Siau Bin Sanjin tergerak, kemudian dia berkata dalam
hati. 'Aku harus memanggil mereka ke mari'
Terdengar suara lelaki berseru kaget.
"Eh" Isteriku, bagaimana ada orang sakit di sini?"
Terdengar suara sahutan wanita.
"Peduli amat! Kita sudah tidak kuat jalan, mengapa harus
mempedulikan orang lain?"
"Tapi... kita tidak boleh melihat orang hampir mati tidak
menolongnya."
"Suamiku, kalau begitu pergilah kau melihatnya!"
Terdengar suara langkah semakin mendekat.
Siau Bin Sanjin segera membuka matanya. Dilihatnya seorang
lelaki berusia pertengahan, dandanannya seperti orang desa
dan tampak agak kebodoh-bodohan. Lelaki desa itu
memandang Siau Bin Sanjin kemudian bertanya,
"Lo siangseng, bagaimana rasamu?"
Siau Bin San Jin-Li Mong Pai terus mengerutkan kening.
"Penyakit lohu kambuh mendadak, tidak bisa jalan.
Bersediakah toako memapahku" Aku pasti berterimakasih
padamu." Lelaki desa itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku harus memapah istriku, jadi harus bagaimana?"
"Lohu mohon toako sudi membantuku!"
Saat ini muncul seorang wanita desa. Begitu melihat keadaan
orang tua itu, dia segera berkata,
"Suamiku, orang tua ini patut dikasihani. Papahlah dia!
Menolong orang adalah perbuatan terpuji."
"Lalu bagaimana denganmu?" tanya lelaki desa.
"Aku akan jalan sendiri."
Lelaki desa itu mengangguk, kemudian membangunkan Siau
Bin Sanjin-Li Mong Pai, setelah itu memapahnya. Setelah
tengah hari, barulah mereka tiba di depan sebuah kuil tua.
Suami istri orang desa itu memandang kuil tua, ternyata di
atas pintu kuil itu terdapat beberapa huruf, yakin Kuil Ling Si.
Suami istri orang desa itu terheran-heran, karena walaupun
kuil itu di kelilingi gunung, yang tidak terletak di atas tebing,
mengapa disebut Kuil Tebing Liar" Dewa apa yang
bersemayam di dalam kuil ini"
Mendadak Siau Bin Sanjin-Lin Mong Pai berkata, "Sudah
sampai." Dia bertepuk tangan satu kali, lalu tampak seorang anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee berjalan dari dalam kuil itu.
Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai cepat-cepat memberi isyarat
kepada orang itu dan berkata,
"Cepat bawa toako dan toaso ini ke dalam untuk beristirahat!"
Anggota perkumpulan Sang Yen Hwee tersebut menatap
suami istri desa itu sejenak kemudian berkata, "Mari ikut aku!"
"Bagaimana dengan lo siangseng ini?" tanya lelaki desa.
"Kau tidak usah turut campur lagi."
Suami istri desa saling memandang, setelah itu barulah
mengikuti orang-orang itu ke dalam kuil, bahkan sampai di
bagian belakang. Tak terduga sama sekali, di bagian belakang
kuil itu terdapat tiga kamar yang amat bersih dan teratur.
Anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu, mempersilakan
suami istri desa masuk ke dalam kamar.
"Kalian berdua boleh beristirahat di kamar ini."
Usai berkata, dia langsung membalikkan badannya lalu
berjalan pergi. Setelah anggota perkumpulan Sang Yen Hwee
itu pergi, barulah wanita itu berkata,
"Kanda Ciok, keadaan di kamar ini agak ganjil."
Ternyata suami istri desa itu, adalah penyamaran Ciok Giok
Yin dan Soat Cak.
Ciok Giok Yin manggut-manggut.
"Adik Cak, kau harus hati-hati!"
Soat Cak tersenyum lembut.
"Kanda Ciok, aku pasti berhati-hati."
"Adik Cak, semua ini karena aku...."
Ciok Giok Yin tidak melanjutkan ucapannya. Walau
kepandaiannya telah punah, namun pendengarannya masih
cukup tajam. Dia tahu ada orang sedang berjalan menuju
kamar itu. Memang benar ada orang muncul, yakin anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee tadi. Dia membawa beberapa
macam hidangan, yang kemudian ditaruhnya di atas meja, dan
setelah itu dia pun pergi. Ciok Giok Yin dan Soat Cak tidak
berlaku sungkan lagi. Mereka langsung menyantap hidangan
itu dengan lahapnya. Tak seberapa lama kemudian, anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee itu muncul lagi, ternyata untuk
mengambil piring itu.
"Tuan, kami mau pergi," kata Ciok Giok Yin.
"Kepala pelindung ingin mengucapkan terimakasih pada
kalian berdua, bagaimana mungkin kalian boleh pergi."
"Ada urusan, kami harus pergi ke rumah famili."
"Tiada perintah dari kepala pelindung, aku tidak bisa
membiarkan kalian pergi, maaf!"
Kemudian dia pergi dengan membawa piring mangkok itu.
Ciok Giok Yin dan Soat Cak saling memandang, kemudian
tersenyum. Setelah itu mereka berdua duduk berdampingan,
persis seperti suami istri. Tanpa terasa saat itu hari mulai sore.
Mendadak di halaman depan kuil tua itu sepertinya ada suara
orang, namun sudah tidak terdengar lagi. Sementara Soat Cak
tetap bersandar pada Ciok Giok Yin. Gadis itu tahu bahwa
kepandaian Ciok Giok Yin telah punah, maka tidak mendengar
suara itu. "Kanda Ciok, di halaman depan sepertinya ada orang datang,"
katanya lembut sambil menatapnya.
Ciok Giok Yin manggut-manggut.
"Kemungkinan besar yang datang itu adalah Sai Pian Sih."
"Kanda Ciok, kita harus bagaimana?" tanya Soat Cak.
"Adik Cak, pikiranku sedang kacau, kau saja yang berpikir."
Soat Cak yang lemah lembut itu, segera duduk untuk berpikir,
sehingga tampak keningnya berkerut-kerut. Gadis itu adalah
calon istri yang baik, penuh pengertian dan mau berpikir demi
memecahkan persoalan calon suaminya. Sedangkan Ciok Giok
Yin terus menatapnya, kemudian memegang bahunya sambil
tersenyum mesra. Soat Cak mendongakkan kepala.
"Kanda Ciok, aku sudah teringat."
Kelihatannya Ciok Giok Yin tidak mendengar apa yang
dikatakan Soat Cak.
"Adik Cak, senyumanmu amat manis sekali! Sungguh
beruntung aku!" katanya tak tertahan.
Ciok Giok Yin langsung memeluknya erat-erat. Setelah itu,
bibirnya mendekati bibir Soat Cak dan mereka saling mencium
dengan mesra. Saat ini dalam hati mereka berdua
mengeluarkan suara desahan. Di saat mereka berdua
tenggelam dalam kemesraan, mendadak terdengar suara
langkah ringan di luar kamar. Ciok Giok Yin dan Soat Cak
cepat-cepat melepaskan ciuman masing-masing, lalu saling
memberi isyarat.
"Suamiku, kelihatannya hari ini kita tidak bisa pergi," kata
Soat Cak. "Istriku, biar bagaimana pun kita harus pergi. Nanti kalau ada
orang ke mari, kita titip salam padanya untuk berterimakasih
pada orang tua itu."
"Suamiku, hari ini kita pasti tidak bisa sampai di rumah famili
itu. Bagaimana baiknya?"
"Apa boleh buat. Kita harus melakukan perjalanan malam."
"Kau seorang lelaki, tentunya tidak masalah. Namun aku
seorang wanita, bagaimana mungkin aku bisa melakukan
perjalanan malam" Mungkin aku akan terpeleset jatuh."
Seusai Soat Cak berkata, tampak seorang masuk ke kamar
itu, membawa beberapa macam hidangan, yang kemudian
ditaruhnya di atas meja.
"Silakan makan malam!" kata orang itu.
Ciok Giok Yin berpura-pura terkejut.
"Sungguh merepotkan kalian! Aku... aku merasa tidak enak
dalam hati," katanya.
"Hm! Sungguh beruntung kalian berdua orang desa bisa ke
mari dan dilayani secara baik!" dengus anggota perkumpulan
Sang Yen Hwee itu lalu pergi.
"Tuan, tolong beritahukan pada lo sianseng itu, kami mau
pergi!" seru Ciok Giok Yin.
Angota perkumpulan Sang Yen Hwee itu menyahut sambil
melotot. "Lo sianseng sedang sibuk, kalian beristrahat saja!"
Usai menyahut, dia langsung pergi, tanpa menghiraukan
mereka lagi. "Adik Cak, mari kita makan!" kata Ciok Giok Yin sambil
menatap gadis itu. Kemudian mereka berdua mulai makan.
Seusai Ciok Giok Yin dan Soat Cak makan, anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee itu membuka pintu kamar, lalu
masuk untuk mengambil piring mangkok yang telah kosong.
Setelah anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu pergi, Soat
Cak berkata dengan suara rendah.
"Kanda Ciok, aku kira San Pian Sih sudah ke mari."
"Bagaimana kau mengira itu?"
"Tadi aku mendengar suara Siaun Bin Sanjin, sepertinya
sedang menghimpun hawa murninya. Pasti Sai Pian Sih
membantu mengobatinya. Ya, kan?"
"Lalu kita harus bagaimana?"
"Aku sudah memikirkan suatu akal."
"Kenapa kau tidak bilang dari tadi" Aku terus berpikir hingga
tujuh keliling lho!"
"Tadi sebelum makan aku mau bilang, tapi kau...."
"Kenapa aku?"
"Kau menutupi bibirku...."
Soat Cak tidak melanjutkan ucapannya. Dia tampak tersipu
dengan wajah kemerah-merahan. Ciok Giok Yin tertawa seraya
berkata, "Itu pertanda cintaku bagaikan air, lembut seperti kapas," dia
menatap Soat Cak.
"Adik Cak, kau punya akal apa?" tanyanya.
Soat Cak berbisik-bisik di telinga Ciok Giok Yin, lalu bertanya.
"Kanda Ciok, bagaimana menurutmu?"
"Bagus."
"Cuma agak... merendahkan dirimu."
Ciok Giok Yin menggenggam tangan Soat Cak dengan lembut,
lalu menghela nafas panjang seraya berkata,
"Adik Cak, kau ikut aku berkelana sehingga membuatmu
menderita, hatiku merasa tidak tenang, maka kau jangan
mengatakan merendahkan diriku."
"Kanda Ciok, jangan berkata begitu. Asal kau gembira, aku
merasa puas. Karena kau adalah suami, aku adalah istri, maka
aku harus menurutmu dan menggembirakan hatimu."
Bukan main terharunya hati Ciok Giok Yin mendengar itu,
hingga matanya berkaca-kaca, kemudian air matanya pun
meleleh. Soat Cak segera mengeluarkan sapu tangan untuk
menghapus air mata Ciok Giok Yin yang meleleh itu.
"Kanda Ciok, mengapa kau menangis?" tanyanya.
"Adik Cak, kau sungguh baik dan setia!" sahut Ciok Giok Yin
lembut. Soat Cak tersenyum lembut, lalu bersandar di dada Ciok Giok
Yin. Sedangkan Ciok Giok Yin menjulurkan tangannya,
membelai-belai rambut Soat Cak. Sementara hari sudah mulai
gelap. Anggota perkumpulan Sang Yen Hwee yang mengantar
makanan itu tidak pernah muncul lagi. Sunyi senyap di sekitar
tempat itu. Mendadak di dalam kamar tamu itu, terdengar
suara rintihan dan jeritan. Di saat bersamaan terdengar lagi
suara seorang wanita.
"Suamiku, penyakit lamamu kambuh, apa yang harus kita
lakukan?" "Aduuuh! Sakit sekali!" terdengar suara lelaki itu.
"Suamiku, aku akan memijitmu."
"Percuma. Kau pun tahu itu."
"Kalau begitu apa yang harus kulakukan?"
"Aku tidak mau dengar perkataanmu, mau tinggal di sini."
"Di sini jauh dari desa, juga tiada penginapan. Harus ke mana
mencari tabib" Suamiku, kau tidak boleh tinggalkan aku. Oh!
Thian (Tuhan)!"
Justru di saat itulah tampak sosok bayangan menerobos ke
dalam kamar tamu itu. Soat Cak melirik. Sosok bayangan itu
ternyata adalah anggota perkumpulan Sang Yen Hwee yang
mengantar makanan tadi. Sepasang matanya melotot.
"Mengapa kalian merintih dan menjerit jerit?" bentaknya
dingin. "Tuan, penyakit lama suamiku kambuh, kau bilang harus
bagaimana?" sahut Soat Cak sambil menangis tersedu-sedu.
Ketika anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu baru mau
membuka mulut, Soat Cak cepat-cepat mendahuluinya.
"Kami suami istri telah berbaik hati mengantar lo sianseng itu
ke mari, tapi Tuan justru tidak memperbolehkan kami pergi.
Kalau suamiku terjadi sesuatu, aku pun tidak mau hidup lagi."
"Diam! Sebenarnya dia sakit apa?" bentak anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee itu.
"Sakit perut. Setiap kali kambuh, pasti dia setengah mati.
Tuan, berbaik hatilah pada kami, tolong carikan seorang tabib!"
"Mampus pun tidak jadi masalah!" sahut anggota
perkumpulan Sang Yen Hwee itu.
Soat Cak berkata dengan air mata bercucuran. Sungguh
pandai gadis itu bersandiwara!
"Tuan sungguh tak punya hati nurani! Apabila dia mati, aku
akan jadi janda, lebih baik aku ikut mati saja."
"Kau boleh menikah lagi dengan lelaki lain."
Soat Cak terus menangis.
"Aku sudah ada umur, menikah dengan lelaki mana" Aku
mohon pada Tuan, berbaik hatilah pada kami, tolong carikan
seorang tabib! Selamanya kami tidak akan melupakan budi


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baik Tuan."
Mendadak Ciok Giok Yin menjerit-jerit kesakitan.
"Aduuh! Aku... aku mau buang air besar!"
Terdengar suara kentut yang cukup nyaring.
Tuuut! Praaat! Preeet!
Ciok Giok Yin cepat-cepat merosotkan celananya.
Seketika bau yang amat menusuk hidung memenuhi kamar
itu. Anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu cepat-cepat
menutup hidungnya dan segera melesat ke luar.
"Sial dangkalan! Dasar binatang, buang air besar di sini!"
cacinya. Sedangkan Ciok Giok Yin terus menjerit-jerit.
"Suamiku, bagaimana nih?" tanya Soat Cak.
Mereka berdua, justru saling menatap. Sesungguhnya hati
mereka berdua amat cemas, sebab tidak tahu Sai Pian Sih ke
mari tidak. Seandainya Sai Pian Sih tidak ke mari, bukankah
sia-sia rencana atau siasat mereka" Tak seberapa lama
kemudian terdengar suara langkah menuju kamar tersebut.
Soat Cak mendengar suara langkah itu dan segera memberi
isyarat kepada Ciok Giok Yin. Seketika juga Ciok Giok Yin
menjerit lebih keras, bahkan merintih-rintih tak henti-hentinya.
Terdengar pula suara kentut dan suara buang air besar. Itu
membuat kamar tersebut menjadi bau sekali. Sementara suara
langkah itu telah sampai di depan pintu kamar. Terlihat
anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu ingin melangkah ke
dalam tapi langsung mundur kembali, karena tidak tahan akan
bau busuk. Sepasang matanya melotot, dia mencaci maki di
luar pintu. "Sialan! Dasar binatang! Kamar ini dibikin hingga sedemikian
bau! Kalau aku naik darah, satu kali pukul kalian berdua pasti
mampus!" Dia menoleh ke belakang. "Kau ke dalam, periksa
dia!" Kemudian terdengar suara langkah yang agak berat, masuk
ke kamar itu. Soat Cak mencuri pandang. Dilihatnya seorang
tua berwajah pucat pias, sepasang matanya suram, berjalan
perlahan-lahan ke dalam. Kening orang tua itu berkerut-kerut,
kelihatannya agak tidak tahan akan bau busuk. Namun dia
tetap bertahan, berjalan mendekati ranjang. Dia menatap Ciok
Giok Yin, kemudian bertanya pada Soat Cak.
"Nyonya, suamimu sakit apa?"
Soat Cak berpura-pura sedih.
"Penyakit lamanya kambuh," sahutnya.
Ketika menyahut, Soat Cak sengaja meninggikan suaranya.
Sesudah itu dia berkata lagi dengan suara rendah.
"Mohon tanya, apakah lo cianpwee adalah Sai Pian Sih-Gouw
Ling?" Orang tua itu tampak tertegun. Dia langsung memandang
Soat Cak. Sepasang mata Soat Cak tampak bersinar terang. Itu
membuat orang tua tersebut tersadar, bahwa dirinya sedang
berhadapan dengan kaum persilatan.
"Tidak salah," sahutnya dengan hati berdebar-debar.
Seketika Ciok Giok Yin berhenti menjerit. Namun baru mau
membuka mulut, Soat Cak yang cerdas itu, cepat-cepat
menekan bahunya.
"Suamiku, kau harus bertahan! Tabib tua ini pasti dapat
menyembuhkan penyakitmu!" katanya lantang.
Ciok Giok Yin tahu akan maksud Soat Cak. Maka dia mulai
menjerit-jerit lagi seraya memandang Sai Pian Sih-Gouw Liang.
Soat Cak menghadap orang tua itu.
"Lo cianpwee dikuasai perkumpulan Sang Yen Hwee?"
tanyanya dengan suara rendah.
Sai Pian Sih-Gouw Ling manggut-manggut.
"Kami mendapat petunjuk dari seorang tokoh, maka kemari
minta pertolongan to cianpwee sudi memulihkan
kepandaiannya!" kata Soat Cak lagi.
Usai berkata, Soat Cak menunjuk Ciok Giok Yin.
Di saat bersamaan anggota perkumpulan Sang Yen Hwee
yang menunggu di luar itu bertanya.
"Bagaimana?"
Sai Pian Sih-Gouw Ling yang sudah berpengalaman dalam
rimba persilatan itu seketika menyahut,
"Penyakitnya amat parah, membutuhkan waktu untuk
memeriksanya."
Suara langkah di luar, yang kadang-kadang dekat dan
kadang-kadang jauh, sepertinya mondar-mandir. Tidak
diragukan lagi, mereka pasti sedang mengawasi di luar.
Sementara Soat Cak bertanya lagi dengan suara rendah.
"Apakah kepandaian to cianpwee juga telah punah?"
Soat Cak bertanya demikian, karena melihat sepasang
matanya amat suram, pertanda orang tua itu telah punah
kepandaiannya. Sai Pian Sih-Gouw Ling mengangguk.
"Kepandaian lohu, telah dipunahkan oleh mereka."
Mendengar itu, hati Soat Cak menjadi tenggelam, dan
kemudian dia membatin 'Kalau di luar cuma satu orang, pasti
dapat menerjang keluar. Tapi kalau banyak, pasti sulit dan
membahayakan.' Akan tetapi Soat Cak sudah membulatkan
hati dan nekat. Sebelah tangannya mengempit Ciok Giok Yin
dan yang sebelah lagi mengempit Sai Pian Sih-Gouw Ling, lalu
menerjang ke luar. Namun mendadak muncul seorang tua di
hadapannya. Begitu melihat orang tua itu, seketika juga sukma
Soat Cak terbang entah ke mana.
Jilid 18 Siapa yang muncul di halaman depan itu" Ternyata Siau Bin
Sanjin-Li Mong Pai. Dia tertawa gelak seraya berkata,
"Biasanya lohu amat cermat, justru malah dapat dikelabui!"
Bukan main gugup dan paniknya Soat Cak, sebab kedua
tangannya mengempit Ciok Giok Yin dan Sai Pian Sih-Gouw
Ling, tentunya tidak bisa bergebrak. Dalam keadaan mendesak
itu dia membentak,
"Maling tua! Lihat serangan!"
Mendadak dari dalam mulutnya meluncur keluar sebuah
benda kecil. Benda itu gemerlapan di bawah sinar rembulan
dan luncurannya cepat laksana kilat. Meskipun Siau Bin SanjinLi Mong Pai berkepandaian tinggi dan berpengalaman luas,
namun tidak tahu senjata apa yang meluncur keluar dari mulut
wanita desa itu. Badannya langsung bergerak, ternyata telah
mencelat ke belakang kira-kira enam langkah. Kesempatan ini
tidak disia-siakan oleh Soat Cak, secepatnya mencelat ke atas
melewati tembok kuil. Namun Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai
bergerak jauh lebih cepat. Tampak bayangannya berkelebat,
tahu-tahu sudah berada di hadapan Soat Cak. Dia tertawa
terkekeh-kekeh.
"Kalau masih bisa lobos" Cepat lepaskan orang itu!" sepasang
matanya menyorot bengis. "Ilmu rias kalian cukup hebat,
hampir saja aku tertipu!"
Selangkah demi selangkah dia maju mendekati Soat Cak.
Gadis itu sudah putus asa, mundur selangkah-selangkah.
Seandainya dia cuma mengepit satu orang, berdasarkan
kepandaiannya, tidak sulit baginya untuk kabur. Tapi kini
kedua belah tangannya mengempit dua orang, maka
membuatnya tidak bisa bergerak sama sekali. Kedua orang
tersebut tidak ada yang bisa dilepaskannya. Mendadak Soat
Cak tampak gemetar, ternyata pahanya terkena benda yang
meluncur dari kuku jari tangan Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai.
Dia maju lagi dan mengangkat sebelah tangannya, siap
melancarkan pukulan. Kelihatannya Soat Cak akan terhantam,
tapi mendadak terdengar suara orang tertawa gelak dan
berkata, "Li Mong Pai! Kau berlaku sewenang-wenang lagi di tempat
ini!" Tampak sesosok bayangan melayang turun secepat kilat,
langsung menyerang Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai. Siapa orang
itu" Tidak lain adalah si Bongkok Arak.
"Bocah perempuan, cepat bawa mereka pergi!" serunya.
Soat Cak segera melesat pergi. Akan tetapi tak disangka
terasa ada serangkum angin pukulan dari arah samping. Soat
Cak menengok, ternyata adalah anggota perkumpulan Sang
Yen Hwee yang mengantar makanan itu. Soat Cak cepat-cepat
membuka mulutnya, menyemburkan butiran-butiran air ludah,
lalu menatap orang itu.
"Karena kau yang mengantar makanan untuk kami, maka
kuampuni nyawamu!"
Anggota perkumpulan Sang Yen Hwee itu menutup mukanya
dengan sepasang tangannya sambil menyurut
mundur. Sedangkan Soat Cak tidak membuang-buang waktu,
langsung melesat pergi. Tak lama dia sudah mencapai jarak
beberapa mil. Ketika sampai di sebuah rimba yang lebat dia
menaruh Ciok Giok Yin dan Sai Pian Sih-Gouw Ling. Wajah Sai
Pian Sih-Gouw Ling kehijau-hijauan dan nafasnya sudah lemah
sekali. "Lo cianpwee" Lo cianpwee!" seru Ciok Giok Yin
memanggilnya. Beberapa saat kemudian barulah Sai Pian Sih-Gouw Ling
membuka matanya.
"Kalian berdua mati-matian menolongku, entah apa maksud
kalian?" tanyanya dengan lemah.
"Lo cianpwee, aku terpukul hingga luka parah, bahkan
kepandaianku juga punah. Mohon lo cianpwee sudi memulihkan
kepandaianku!" sahut Ciok Giok Yin.
"Lohu sudah tidak mampu lagi."
Bukan main terkejutnya Ciok Giok Yin dan Soat Cak.
"Apakah lo cianpwee tidak sudi?" tanyanya hampir serak.
"Tadi lohu terkena sebutir Cap Tok Tan (Pil Sepuluh Racun).
Kini racun itu telah menyerang jantungku. Maka lohu tiada
waktu untuk memulihkan kepandaianmu."
"Lo cianpwee ahli dalam hal pengobatan, juga tidak dapat
memunahkan racun itu?" tanya Ciok Giok Yin.
Sai Pian Sih-Gouw Ling menghela nafas panjang.
"Tiada obat penawarnya sama sekali. Pil racun itu mengikuti
aliran darah menerjang ke dalam. Kalau pun punya obat yang
dapat menghidupkan orang, tidak akan bisa memunahkan
racun itu." Mendadak sepasang matanya bersinar terang.
"Kalau kau ingin pulih kepandaianmu, harus pergi mencari
Thian Lui Sian Seng (Tuan Geledek Langit)."
"Thian Lui Sianseng?"
"Ya."
"Beliau berada di mana?" tanya Ciok Giok Yin dan Soat Cak
dengan serentak.
"Sebelum lohu ditangkap oleh perkumpulan Sang Yen Hwee,
lohu pernah dengar, dia tinggal di Gunung Thian San. Kau
boleh ke sana, mohon Kim Kong Tan (Pil Arahat) padanya,
sebab pil itu dapat memulihkan kepandaiannya."
"Terimakasih atas petunjuk lo cianpwee,", kata Ciok Giok Yin.
Mereka berdua memandang wajah orang tua itu semakin
menghijau dan nafasnya juga bertambah lemah, namun tidak
dapat berbuat apa-apa. Mendadak Sai Pian Sih-Gouw Ling
bertanya dengan suara lemah,
"Kalian berdua merias wajah?"
"Ya."
"Ke Gunung Thian San mencari Thian Lui Sian-seng, harus
dengan wajah asli, jangan merias wajah. Sifat Thian Lui
Sianseng bagaikan geledek. Kalian harus tahu itu!"
Ciok Giok Yin manggut-manggut.
"Kanda Ciok, lebih baik kembali pada wajah asli saja," kata
Soat Cak. Ciok Giok Yin segera mengeluarkan obat penghapus. Setelah
itu, mereka berdua segera menghapus wajah masing-masing.
Maka kini sudah tampak wajah asli mereka. Sedangkan Sai
Pian Sih-Gouw Ling memejamkan matanya beristirahat, namun
nafasnya sudah lemah sekali. Ciok Giok Yin menatapnya. Tanpa
terasa air matanya telah meleleh membasahi pipi. Soat Cak
yang berdiri di sampingnya, ketika melihat keadaan Sai Pian
Sih-Gouw Ling sudah sekarat, hatinya berduka
sekali. Mendadak Sai Pian Sih-Gouw Ling membuka matanya
perlahan-lahan, menatap Ciok Giok Yin sekilas. Bibirnya
bergerak-gerak, namun tak mampu mengeluarkan suara. Ciok
Giok Yin tidak tahu dia ingin berkata apa, maka langsung
berkata, "Lo cianpwee mau pesan apa" Pesan saja! Aku pasti
melaksanakannya."
"Kami berdua pasti memenuhi pesan lo cianpwee," sambung
Soat Cak. Tiba-tiba wajah Sai Pian Sih-Gouw Ling tampak kemerahmerahan,
bahkan juga bersemangat. Melihat itu, Ciok Giok Yin
tahu, itu merupakan saat terakhir bagi Sai Pian Sih-Gouw Ling.
Sai Pian Sih-Gouw Ling membuka mulut, berkata lemah sekali.
"Saudara Kecil, siapa namamu?"
"Ciok Giok Yin."
Sai Pian Sih-Gouw Ling menatap wajahnya lagi.
"Saudara Kecil, kau mirip seseorang," katanya perlahanlahan.
Hati Ciok Giok Yin tergerak.
"Lo cianpwee, aku mirip siapa?"
"Dia bukan marga Ciok."
Suaranya amat lemah, tidak terdengar jelas. Soat Cak yang
cerdas itu tahu, Ciok Giok Yin bertanya begitu pasti ada
sebabnya, maka dia segera bertanya.
"Orang tua itu bermarga apa?"
Wajah Sai Pian Sih-Gouw Ling sudah berubah pucat pias.
Bibirnya bergerak berkata lirih hampir tak kedengaran.
"Marganya... marganya...."
Perlahan-lahan mulut Sai Pian Sih-Gouw Ling menutup rapat,
ternyata nafasnya sudah putus. Ciok Giok Yin ingin tahu sedikit
asal-usulnya, cepat-cepat menggoyang-goyangkan bahunya
seraya berseru,
"Lo cianpwee bilang apa" Lo cianpwee bilang apa?"
Karena Sai Pian Sih-Gouw Ling diam saja, barulah Ciok Giok
Yin tahu bahwa orang tua itu telah meninggal. Tak terbendung
lagi, seketika juga air matanya bercucuran.
"Aku tidak membunuhnya, namun dia meninggal justru
karena aku," gumamnya. Sesungguhnya apabila kepandaian
Ciok Giok Yin tidak punah, tentunya Sai Pian Sih-Gouw Ling
juga tidak akan mati. Sedangkan Soat Cak juga mengucurkan
air mata. Gadis yang polos itu baru pertama kali melihat orang
mati, maka hatinya amat duka sekali. Mereka berdua berdiri
diam dengan air mata berderai-derai.
"Adik Cak, orang mati harus dikubur. Mari kita kuburkan
mayatnya!"
Soat Cak menghapus air matanya sambil mengangguk.
"Ya."
Mereka berdua menggali sebuah lubang, setelah itu


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengubur mayat Sai Pian Sih-Gouw Ling di lubang itu. Setelah
beres, matahari pun sudah merayap ke atas dari ufuk timur.
"Adik Cak, sekarang aku harus berangkat ke Gunung Thian
San," kata Ciok Giok Yin.
Tanpa berpikir lagi Soat Cak langsung menyahut, "Kita
berangkat bersama."
Ciok Giok Yin memandangnya.
"Perjalanan ke Gunung Thian San amat jauh, lagi pula penuh
bahaya. Karena itu aku ingin berangkat seorang diri.
Sedangkan kau berangkat ke Gunung Kee Jiau San markas
partai Thay Kek Bun, Setelah aku berhasil menemukan Thian
Lui Sianseng dan kepandaianku pulih, aku pasti pergi ke sana
menengokmu."
Soat Cak tampak gugup.
"Kanda Ciok, kepandaianmu telah punah. Aku sama sekali
tidak tega melihatmu melakukan perjalanan seorang diri. Lebih
baik aku mendampingimu ke Gunung Thian San. Ayo
berangkat!"
Gadis itu tidak menunggu Ciok Giok Yin berkata, segera
memegang lengannya lalu berangkat menuju ke Gunung Thian
San. Ciok Giok Yin sudah tidak bisa omong apa-apa, cuma
menurut saja. Berhubung kepandaiannya telah punah, dia tidak
bisa menggunakan ilmu ginkang. Ketika melihat Ciok Giok Yin
begitu susah berjalan, hati Soat Cak terasa amat sedih,
sehingga matanya tampak berkaca-kaca. Di saat melakukan
perjalanan, Soat Cak melihat ada orang menunggang kuda,
namun tidak tahu kuda itu dari mana. Dia memandang Ciok
Giok Yin seraya bertanya.
"Kanda Ciok, kita harus cari seekor kuda, jadi Kanda Ciok
tidak usah berjalan kaki."
Ciok Giok Yin tersenyum getir.
"Adik Cak, kuda itu harus dibeli."
"Beli?"
"Ng!"
"Kanda Ciok, kalau begitu kita harus membeli seekor kuda."
Ciok Giok Yin menggeleng-gelengkan kepala.
"Adik Cak, uangku tidak cukup untuk membeli seekor kuda.
Lagi pula dalam perjalanan, kita masih perlu makan dan
menginap, itu perlu pakai uang...."
Soat Cak tersenyum.
"Kanda Ciok, aku punya."
"Mana boleh pakai uangmu?"
"Kanda Ciok, aku adalah calon istrimu. Mengapa Kanda Ciok
masih berkata begitu" Ayo, kita ke kota membeli seekor kuda!"
Ciok Giok Yin mengangguk. Mereka berdua terus melakukan
perjalanan, tak lama sudah sampai di sebuah kota kecil. Di
kota kecil itu Ciok Giok Yin dan Soat Cak membeli seekor kuda,
juga makanan kering untuk bekal di perjalanan. Mereka berdua
menunggang kuda, langsung menuju arah barat. Dalam
perjalanan ini mereka berdua menempuh jalan kecil yang sepi
untuk menghindari musuh. Soat Cak amat memperhatikan Ciok
Giok Yin, membuat Ciok Giok Yin terharu dan berterimakasih
padanya. Sudah barang tentu cinta kasih mereka pun tumbuh
lebih mendalam. Ciok Giok Yin tahu akan tubuhnya yang tidak
seperti orang biasa, maka selalu mengendalikan diri, agar tidak
terjadi hal yang tak diinginkan. Di samping itu Ciok Giok Yin
juga memberitahukan pada Soat Cak mengenai dirinya, yang
mana tanpa sengaja telah makan Pil Api Ribuan tahun dan
juga.... Soat Cak tahu bahwa Ciok Giok Yin sudah mempunyai
tunangan, namun dia sama sekali tidak merasa cemburu,
sebaliknya malah bertambah gembira, karena masih ada gadis
lain mendampingi Ciok Giok Yin, jadi sama-sama tidak akan
kesepian. Hari ini mereka berdua telah tiba di Gunung Thian
San. Tapi gunung itu amat luas, lagi pula puncaknya menjulang
tinggi dan tertutup salju. Ingin mencari seseorang di gunung
itu bukanlah merupakan hal yang gampang. Kuda yang mereka
tunggangi, berjalan perlahan- lahan. Soat Cak sama sekali
tidak merasa lelah, tapi justru membuat Ciok Giok Yin amat
menderita, lantaran udara di gunung itu dingin sekali. Tak
seberapa lama kemudian kuda itu sudah tidak sanggup
mendaki lagi, maka terpaksa ditinggal begitu saja, sehingga
mereka berdua harus berjalan kaki menuju puncak.
Kini pakaian Ciok Giok Yin sudah tidak karuan, tersobek sana
sini. Sedangkan telapak tangannya sudah berdarah, sebab
ketika mendaki dia harus memegang batu-batu yang tajam.
Akan tetapi demi pulihnya ilmu kepandaiannya, dia berkertak
gigi dan menahan rasa sakit serta dingin, terus
mendaki. Hingga beberapa hari lamanya, jangankan berjumpa
orang, melihat burung pun tidak pernah. Ketika melihat
keadaan Ciok Giok Yin yang mengenaskan, bukan main
dukanya hati Soat Cak.
"Kanda Ciok, lebih baik kita beristirahat sejenak," katanya
dengan lembut. Ciok Giok Yin menengadahkan kepala, ternyata hari sudah
senja. Saat ini angin berhembus menderu-deru. Suara deruan
itu kedengaran amat menyeramkan, bahkan terasa amat dingin
menusuk tulang.
"Adik Cak, kau ikut aku menderita...," katanya perlahan.
Soat Cak segera memutuskan perkataannya.
"Kanda Ciok, asal aku bisa berada di sisimu, mengalami
penderitaan apa pun aku tetap merasa gembira. Kanda Ciok, di
sana ada sebuah goa kecil. Mari kupapah kau ke sana Kita
bermalam di situ, esok kita cari lagi."
Ciok Giok Yin memandang ke arah yang ditunjuk Soat Cak, di
sana memang terdapat sebuah goa kecil. Dia mengangguk,
maka Soat Cak segera memapahnya ke dalam goa kecil itu.
Mereka duduk berhadapan. Soat Cak mengeluarkan sedikit
makanan kering, kemudian mereka berdua makan bersama.
"Adik Cak, Gunung ini amat luas. Sebetulnya Thian Lui
Sianseng berada di mana" Kita mencarinya secara membabi
buta, mungkin seumur hidup tidak akan dapat
menemukannya," kata Ciok Giok Yin.
"Kanda Ciok, bersabarlah sedikit! Asal Thian Lui Sianseng
tinggal di gunung ini, aku percaya pasti dapat
menemukannya."
Ciok Giok Yin manggut-manggut lalu memeluknya erat-erat.
Sebelah tangannya terus membelai rambut gadis itu, dengan
penuh cinta kasih dan kemesraan. Soat Cak yang berada dalam
pelukan Ciok Giok Yin merasa hangat dan nyaman. Kehangatan
dan kenyamanan ini tidak pernah diperolehnya dari ibunya.
Karena cinta kasih ibunya merupakan cinta kasih seorang ibu
terhadap anak, sedangkan cinta kasih yang diberikan Ciok Giok
Yin kepadanya adalah cinta kasih suami istri. Soat Cak
memejamkan matanya, menikmati cinta kasih tersebut.
Sementara malam pun sudah tiba. Di sekitar tempat itu gelap
gulita, tidak tampak apa pun. Mereka berdua tetap berpelukpelukan.
Mendadak sepasang mata Soat Cak terbelalak lebar,
kelihatannya dia sedang mendengar suatu suara. Suara yang
didengarnya ternyata adalah suara lonceng. Soat Cak segera
duduk. "Kanda Ciok, kau mendengar suara?"
"Suara lonceng?"
"Ya."
"Tempat yang amat dingin dan tiada jejak manusia justru ada
kuil, bukankah aneh sekali?"
"Kanda Ciok, kita bertanya pada mereka, pasti dapat
menemukan Thian Lui Sianseng."
Di malam nan sunyi itu suara percakapan mereka bergema
keluar cukup jauh. Karena amat girang, maka tidak
mengherankan suara percakapan mereka menjadi begitu
kencang. Mendadak terdengar suara desiran. Tampak sesosok
bayangan bagaikan roh, muncul di hadapan goa kecil itu. Soat
Cak langsung bangkit berdiri, menghadang di depan Ciok Giok
Yin. Gadis itu memandang ke luar, ternyata yang muncul itu
adalah seorang hweesio tua. Sepasang matanya memancarkan
sinar tajam, menatap Soat Cak dan Ciok Giok Yin.
"Ada urusan apa kalian berdua ke mari?" tanyanya dengan
dingin. "Taysu, kami ingin mencari seseorang," sahut Soat Cak.
"Cari siapa?"
"Thian Lui Sianseng."
"Thian Lui Sianseng?"
"Ya."
"Ada urusan apa mau cari dia?"
Saat ini Ciok Giok Yin sudah bangkit berdiri.
"Aku ingin memohon sesuatu pada beliau, mohon Taysu
memberi petunjuk!" sahut Ciok Giok Yin.
Air muka hweeshio tua tampak tenggelam.
"Belum pernah dengar ada Thian Lui Sianseng tinggal di
Gunung Thian San. Cepatlah kalian pergi, jangan mengantar
nyawa di tempat ini." katanya.
"Apakah ada bahaya?" tanya Ciok Giok Yin.
"Gunung Thian San diselimuti salju, lagi pula banyak binatang
buas. Orang yang kalian cari itu sama sekali tidak tinggal di
sini, maka alangkah baiknya kalian cepat-cepat meninggalkan
tempat ini."
"Bolehkah kami tahu gelar Taysu?"
"Gelarku Sih Ceng."
"Taysu berada di sini, tidak takut terhadap binatang buas?"
sela Soat Cak. Si Ceng Taysu tidak menyangka gadis itu akan bertanya
demikian, sehingga membuatnya tertegun.
"Lolap (Aku Hweeshio Tua) punya cara melawan binatang
buas." "Bagaimana cara Taysu melawan binatang buas. Bolehkah
Taysu memberitahukan" Sebab biar bagaimana pun kami harus
menemukan Thian Lui Sian- seng," kata Soat Cak.
Di saat bersamaan mendadak terdengar suara siulan panjang
di dalam lembah. Suara siulan itu bagaikan pekikan sang naga,
amat nyaring dan bergema menembus angkasa. Seketika
sepasang mata Sih Ceng Taysu berputar, lalu dia berkata,
"Kalau kalian tidak mau mendengar nasehat lohap, terserah
kalian mau pergi mencari!"
Badannya bergerak, langsung melesat menuruni gunung.
"Tunggu Taysu!" seru Soat Cak gugup.
Begitu mendengar seruan gadis itu Sih Ceng Taysu langsung
berhenti. "Ada urusan apa?" tanyanya.
"Taysu tinggal di sini, tentunya tahu Thian Lui Siangseng
berada di mana. Mohon Taysu sudi memberitahukan,
selamanya kami tidak akan melupakan budi kebaikan Taysu!"
sahut Soat Cak dengan nada bermohon.
"Sebetulnya ada urusan apa kalian mencari dia?"
"Aku ingin mohon sebutir pil Kim Kong Tan," sahut Ciok Giok
Yin. "Kim Kong Tan?"
"Ya."
"Untuk apa pil Kim Kong Tan itu?"
Ciok Giok Yin diam. Soat Cak memandangnya sambil berkata
dengan lembut. "Kanda Ciok, katakan!"
Ciok Giok Yin mengangguk lalu menutur tentang dirinya dan
bagaimana kepandaiannya punah. Setelah itu dia pun
menambahkan. "Mohon petunjuk Taysu!"
"Lebih bagus kepandaian itu punah. Mengapa harus
dipulihkan lagi?" kata Sih Ceng Taysu dingin.
Mendengar itu, gusarlah Ciok Giok Yin.
"Dasar keledai gundul, sama sekali tidak tahu aturan!"
bentaknya. Justru sungguh mengherankan. Sih Ceng Taysu tidak marah
dicaci demikian. Sebaliknya dia malah tertawa gelak lalu
berkata, "Lohap tahu pun tidak akan memberitahukan pada kalian! Ha
ha ha!" Dia langsung melesat ke arah lembah itu. Di saat bersamaan
terdengar lagi suara siulan di dalam lembah itu, pertanda ada
seorang tokoh berkepandaian amat tinggi di dalam lembah
tersebut. Lantaran Sih Ceng Taysu berkata begitu, membuat
kegusaran Ciok Giok Yin memuncak dan dia langsung mencaci.
"Keledai gundul, suatu hari nanti aku pasti melubangi
kepalamu yang gundul itu!"
"Dia adalah orang yang telah menyucikan din, namun hatinya
begitu kejam, sampai hati tidak memberitahu kita," kata Soat
Cak. Dia pun tampak gusar. Ingin rasanya menyusul hweeshio tua
itu untuk memberi pelajaran padanya. Namun dia tidak berani
meninggalkan Ciok Giok Yin, khawatir Ciok Giok Yin akan
terjadi sesuatu. Sementara Ciok Giok Yin masih terus mencaci
Sih Ceng Taysu. Mendadak suara bentakan sengit dari dalam
lembah. "Bocah, kalian cari Thian Lui Sianseng, apakah kalian kenal
dia?" "Beliau adalah kakek dari ibuku!" sahut Soat Cak.
"Tapi dia tidak kenal kalian!" kata orang yang ada di dalam
lembah. "Kenal tidak kenal tidak jadi masalah, yang penting kami
memperoleh sebutir Pil Kim Kong Tan, agar Kanda Ciok pulih
kepandaiannya!" seru Soat Cak.
Terdengar suara seruan di dalam lembah.
"Itu omong kosong! Cepatlah kalian enyah! Ha ha ha!"
Bukan main gusarnya Ciok Giok Yin!
"Apakah gunung ini milikmu" Aku tidak mau pergi, kalian bisa
berbuat apa terhadap diriku?" sahutnya.
"Bocah, kau memang cari mati!"
Terdengar suara itu semakin dekat. Tampak sosok bayangan
berkelebat bagaikan roh masuk ke dalam goa, sekaligus
menyambar Ciok Giok Yin dan dibawa pergi. Dapat
dibayangkan betapa terkejutnya Soat Cak!
"Lepaskan dia!" bentaknya nyaring lalu melesat ke dalam
lembah. Ketika sampai di dalam lembah dia melihat tiga buah gubuk.
Di samping salah satu gubuk itu terdapat sebuah telaga kecil,
yang airnya agak kehitam-hitaman. Karena amat
mencemaskan Ciok Giok Yin, Soat Cak langsung menerobos ke
dalam gubuk itu. Tampak Sih Ceng Taysu sedang duduk bersila
di sebuah ranjang. Saking gusarnya Soat Cak langsung
membentak. "Keledai gundul, cepat kembalikan Kanda Ciok-ku!"


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia langsung menyerang Sih Ceng Taysu. Hweeshio tua itu
tersenyum dan mendadak ujung jubahnya bergerak. Seketika
Soat Cak merasa ada serangkum angin keras menerjang ke
arah Cian Mo Hiatnya. Gadis itu ingin berkelit, tapi sudah
terlambat, karena jalan darahnya itu telah tertotok, sehingga
membuat sekujur badannya tak dapat bergerak.
"Bocah perempuan, kau tenang-tenanglah sebentar di sini!"
kata Sih Ceng Taysu dingin, kemudian melesat ke luar.
Gugup, panik dan gusar membaur dalam hati Soat Cak. Tapi
dia sama sekali tidak bisa bergerak, membuatnya amat cemas,
karena tidak tahu Ciok Giok Yin berada di mana. Kalau terjatuh
ke tangan musuh, nyawanya pasti melayang. Soat Cak cepatcepat
menghimpun hawa murninya untuk menembus jalan
darahnya yang tertotok. Sementara Ciok Giok Yin yang dibawa
pergi ternyata sudah dibawa sampai di pinggir telaga. Orang itu
melempar Ciok Giok Yin ke bawah, kemudian menamparnya
dua kali. Plak! Plak! "Bocah, sungguh besar nyalimu! Berani datang di Gunung
Thian san!" bentaknya.
Usai membentak, orang itu memukul dan menendang Ciok
Giok Yin, sehingga badannya terguling-guling di tanah. Di saat
berhenti, barulah Ciok Giok Yin melihat jelas orang itu ternyata
adalah seorang tua. Ciok Giok Yin ingin membuka mulut
mencacinya, tapi orang tua itu sudah menendangnya lagi,
maka Ciok Giok Yin tidak sempat mencacinya. Perbuatan orang
tua itu membuat Ciok Giok Yin yakin dia adalah seorang tokoh
dari golongan hitam. Sayang sekali Ciok Giok Yin belum
menemukan Thian Lui Sianseng. Seandainya dia telah bertemu
Thian Lui Sianseng dan kepandaiannya bisa pulih, dia pasti
akan membunuh orang tua itu. Memang sadis juga orang tua
itu. Dia terus menerus menendang dan memukul Ciok Giok Yin.
Mendadak orang tua itu menyambar Ciok Giok Yin dan
membentak. "Bocah, kau harus minum beberapa teguk air telaga dingin
itu, agar kau tahu diri, tidak berkeliaran di tempat ini!"
Plum! Ternyata orang tua itu telah melempar Ciok Giok Yin ke dalam
telaga dingin itu. Sedangkan dia duduk di pinggir telaga,
kelihatannya santai sekali, bahkan menggoyang-goyangkan
sebelah kakinya. Walau Ciok Giok Yin dipukul dan ditendang,
tapi dia tidak pingsan. Ketika badannya tenggelam ke dalam
telaga dingin itu, dia cepat-cepat menahan nafas, lalu timbul ke
atas. Namun tak disangka ketika Ciok Giok Yin timbul, orang
tua itu menggunakan ilmu Sih Khong Ciap Yu (Ilmu Menyambut
Jarak Jauh), maka Ciok Giok Yin jatuh di pinggir telaga.
"Bocah, nyawamu sungguh panjang!" bentak orang tua itu.
Usai membentak dia pun mengayunkan tangannya.
Plak! Plak! Ternyata dia menampar Ciok Giok Yin. Saat ini kegusaran
Ciok Giok Yin sungguh-sungguh memuncak.
"Orang tua sialan! Aku tidak bermusuhan denganmu,
mengapa..." cacinya.
"Agar kau tahu kelihayanku!" sergah orang tua itu.
Di saat bersamaan mendadak terdengar suara bentakan
nyaring. "Tua bangka, kau berani!"
Ternyata yang membentak itu adalah Soat Cak. Dia melesat
cepat ke tempat itu. Badannya masih berada di udara,
sekonyong-konyong terdengar suara pujian pada sang Buddha.
"Omitohud! Bocah perempuan! Hebat juga kau dapat
membebaskan totokanku!"
Tampak sebuah tasbih meluncur ke arah Soat Cak dan
kemudian berkelebatan mengurungnya. Siapa hweeshio itu,
tidak lain adalah Sih Ceng Taysu. Walau kepandaian Soat Cak
cukup tinggi, namun tetap tidak dapat menandingi hweeshio
tua itu. Oleh karena itu dia terdesak ke belakang. Kelihatannya
hweeshio tua dan orang tua itu mempunyai maksud
memisahkan Soat Cak dengan Ciok Giok Yin. Sebab hweeshio
tua itu terus mendesak Soat Cak, sedangkan orang tua itu
terus menyiksa Ciok Giok Yin yang telah punah kepandaiannya.
Dia menampar Ciok Giok Yin kemudian menendang lagi
hingga terpental ke dalam telaga. Kali ini Ciok Giok Yin
merasakan dinginnya air telaga itu sampai menusuk ke dalam
tulang. Kesadaran Ciok Giok Yin masih jernih, maka dia dapat
timbul lagi di permukaan telaga lalu berenang ke tepi. Namun
tak disangka orang tua itu telah menduga akan hal tersebut.
Dia telah menunggu di tempat yang akan dituju oleh Ciok Giok
Yin. "Bocah, kau harus tenggelam ke dasar telaga dingin ini!"
bentaknya sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya
ke arah Ciok Giok Yin.
Angin yang ditimbulkan oleh dorongan sepasang telapak
tangan orang tua itu amat dahsyat, berhasil menekan tubuh
Ciok Giok Yin hingga tenggelam. Begitu berturut-turut
beberapa kali, sehingga membuat Ciok Giok Yin tidak dapat
mencapai pinggir telaga. Saat ini Ciok Giok Yin sama sekali
tidak menyadari satu hal, yakni dia mampu meloncat ke atas
permukaan telaga hingga satu depa. Dalam hatinya hanya
terdapat dendam terhadap orang tua itu. Akan tetapi dia tidak
bisa naik ke atas. Lagi pula dia pun tidak tahan terhadap
dinginnya air telaga. Oleh sebab itu tanpa sadar dia
mengerahkan hawa murni di Tantiannya.
Buuuyar! Ternyata dia telah mencelat ke atas tiga depa. Namun setelah
badan Ciok Giok Yin berada di udara, orang tua itu sudah tidak
tampak lagi. Ciok Giok Yin segera melesat ke tepi telaga.
Setelah sampai di tepi telaga dia tercengang. Ternyata rasa
sakit di sekujur badannya telah hilang, bahkan sebaliknya
kepandaiannya malah telah pulih kembali. Dapat
dibayangakan, betapa girang hatinya! Orang tua itu
menampar, memukul dan menendangnya, tujuannya adalah
memulihkan kepandaiannya. Pantas ketika terpukul, sekujur
badannya terasa panas. Di saat itulah dia teringat sesuatu dan
langsung berseru tak tertahan.
"Thian Lui lo cianpwee! Thian Lui lo cianpwee... !"
Ketika dia baru mau melesat perti, mendadak terdengar suara
yang amat menderu di belakangnya.
"Tunggu, Saudara!"
Ciok Giok Yin segera membalikkan badannya. Tampak berdiri
seorang gadis berusia tujuh belasan. Di belakang gadis itu, di
permukaan telaga terapung selembar daun teratai yang amat
lebar. Kelihatannya gadis itu tidak berniat jahat, lagi pula
parasnya cukup cantik. Ciok Giok Yin segera menjura.
"Mohon tanya, Nona ada petunjuk apa?"
Gadis itu menatap Ciok Giok Yin sejenak.
"Siapa nama Saudara?"
"Namaku Ciok Giok Yin."
"Nyonya kami mengundang Saudara ke rumah."
"Nyonya?"
"Ya."
"Siapa nyonya itu?"
"Saudara ke sana pasti tahu."
Ciok Giok Yin tertegun, karena dia baru pertama kali ini
datang di Gunung Thian San, bagaimana mungkin ada orang
mengenalnya" Sungguh aneh sekali! Namun Ciok Giok Yin
teringat kepada Soat Cak, maka dia berkata,
"Aku harus memberi tahu temanku dulu, setelah itu barulah
pergi bersama Nona."
"Tidak perlu memberi tahu dia, sebab cuma pergi sebentar
saja." Ciok Giok Yin mengerutkan kening.
"Aku khawatir dia akan jatuh ke tangan penjahat."
"Legakan hatimu, itu tidak akan terjadi."
Berhenti sejenak, kemudian gadis itu melanjutkan.
"Silakan, Saudara!"
Jari tangan gadis itu menunjuk daun teratai lebar yang
terapung di permukaan telaga. Ciok Giok Yin tidak langsung
melesat ke sana, melainkan wajahnya kelihatan serba salah.
Gadis itu menatapnya.
"Apakah Saudara bercuriga aku berbohong?"
Usai berkata, gadis itu melesat ke atas daun teratai tersebut.
Seketika Ciok Giok Yin berpikir. Nyawaku boleh dikatakan
terpungut kembali dan kini kepandaianku telah pulih. Kalaupun
telaga naga atau goa macan, aku harus menerjang ke sana!
Di saat Ciok Giok Yin sedang berpikir, gadis itu berkata,
"Silakan, Saudara!"
Ciok Giok Yin mengeraskan hati, lalu melesat ke atas daun
teratai tersebut. Begitu sepasang kaki Ciok Giok Yin baru
menginjaknya, daun teratai tersebut mulai bergerak ke tengah
telaga. Hati Ciok Giok Yin tersentak, gadis itu masih begitu
muda, namun ginkangnya sudah sedemikian tinggi. Sungguh
mengagumkan! Ketika Ciok Giok Yin berpikir demikian,
mendadak daun teratai itu mulai tenggelam.
Ciok Giok Yin terkejut.
"Nona..." katanya.
Gadis itu sudah tahu apa yang akan diucapkan Ciok Giok Yin.
Dia langsung senyum seraya berkata.
"Jangan takut, Saudara. Aku keluar masuk memang
menggunakan daun teratai ini. Di dalam ada pintu rahasia,
juga terdapat Pik Sui Cu (Mutiara Penangkal Air), jadi pakaian
kita tidak akan basah."
Ciok Giok Yin cepat-cepat menengok ke sekelilingnya, tampak
air telaga terbelah jadi dua. Melihat kejadian itu, wajah Ciok
Giok Yin menjadi kemerah-merahan. Gadis itu tertawa geli.
"Hi hi! Kau takut ya?"
Hati Ciok Giok Yin menjadi kesal mendengar itu.
"Aku berkelana dalam rimba persilatan, masih belum tahu apa
yang disebut takut. Sebetulnya siapa nyonya itu?"
"Sabar! Sebentar lagi Saudara akan mengetahuinya."
Sementara daun teratai itu terus merosot ke bawah. Namun
walau sudah belasan depa, belum mencapai dasar telaga.
Mendadak di depan mata Ciok Giok Yin tampak terang
benderang. Sebuah goa muncul di hadapannya. Sungguh
mengherankan! Kira-kira dua depa di depan goa itu sama
sekali tidak tampak air setetes pun. Gadis itu langsung
meloncat, sudah sampai di depan pintu goa. Sedangkan Ciok
Giok Yin mendongakkan kepala. Dia melihat di atas pintu goa
terukir beberapa huruf 'Coat Ceng Tong Thian (Goa Langit
Tanpa Perasaan)'. Setelah membaca keempat huruf itu, dia
meloncat ke depan pintu goa lalu bertanya kepada gadis itu
dengan suara rendah.
"Nona, mengapa di sini tidak ada air?"
"Di dinding goa terdapat Mutiara Penangkal Air, maka di
dalam goa tidak ada air. Silakan masuk!"
Ciok Giok Yin mengikuti gadis itu ke dalam goa. Lorong goa
itu amat panjang. Setiap berapa langkah pasti terdapat sebutir
mutiara yang memancarkan cahaya, sehingga lorong goa itu
menjadi agak terang. Tentunya membuat Ciok Giok Yin
terheran-heran. Di kolong langit ini memang banyak hal aneh.
Mimpipun tak dapat menduga, bahwa di dasar telaga dingin ini
terdapat sebuah goa. Penghuni goa ini pasti seorang tokoh tua
yang tidak tertarik akan duniawi. Di saat Ciok Giok Yin sedang
berpikir, gadis itu berkata dengan suara rendah.
"Tunggu sebentar ya, aku ke dalam melapor!"
Usai berkata, dia langsung berjalan ke dalam. Ciok Giok Yin
berjalan ke dalam menuju ruang batu. Sampai di dalam, dia
melihat seorang wanita berusia lima puluhan duduk di atas
ranjang batu, sedangkan gadis yang membawa Ciok Giok Yin
berdiri di sampingnya. Sepasang mata wanita itu amat tajam,
sepertinya akan menembus ke dalam hati orang. Sekujur
badan Ciok Giok Yin menjadi merinding, tidak berani beradu
pandang dengannya. Setelah berada di hadapan wanita itu,
Ciok Giok Yin memberi hormat seraya berkata,
"Boanpwee (Aku Yang Rendah) Ciok Giok Yin memberi hormat
pada lo cianpwee!"
"Kau bernama Ciok Giok Yin?" tanya wanita itu dengan dingin.
"Ya."
"Bagaimana kau bisa datang di telaga dingin Gunung Thian
San ini?" "Aku ke mari mencari seorang lo cianpwee."
"Siapa" Bolehkah aku tahu?"
"Thian Lui Sianseng."
"Thian Lui Sianseng?"
"Ya."
"Ada urusan apa kau mencarinya?"
Ciok Giok Yin tahu bahwa wanita itu tidak berniat jahat
terhadapnya, maka dia menyahut dengan jujur.
"Karena kepandaianku masih rendah, sehingga terluka parah
di tangan seorang gadis yang memakai kain penutup muka,
membuat kepandaianku punah. Seorang cianpwee memberi
petunjuk padaku, harus ke mari mencari Thian Lui Sianseng."
"Kau sudah menemukannya?" tanya wanita itu.
"Belum."
"Bagaimana cara kepandaianmu bisa pulih kembali?"
Ciok Giok Yin tidak tahu orang tua tadi, karena itu dia
menutur tentang kejadian tersebut. Setelah mendengar
penuturan Ciok Giok Yin wanita yang duduk di atas ranjang
batu, mendengus dingin.
"Hmmm! Tak disangka setan tua itu masih punya
kehebatan!"Dia memandang Ciok Giok Yin. "Dia sudah
memberimu pil Kim Kong Tan?"
"Belum," sahut Ciok Giok Yin dengan tertegun.
"Untuk apa setan tua itu menyimpan pil Kim Kong Tan?"
Mendadak hati Ciok Giok Yin tergerak, kemudian dia berkata
dalam hati, 'Wanita ini menyebut Thian Lui Sianseng setan tua.
Apakah mereka berdua telah lama kenal"' Karena itu dia
bertanya. "Mohon tanya siapa cianpwee?"
Sepasang mata wanita yang duduk di atas ranjang batu itu
langsung menyorot dingin dan kemudian dia balik bertanya,
"Kau melihat empat huruf yang terukir di atas pintu goa?"
Ciok Giok Yin terbelalak.
"Coat Ceng Hujin?" serunya tak tertahan.
"Ya."
Seketika Ciok Giok Yin berseru lagi.
"Hah" Kalau begitu, cianpwee...!"
"Maksudmu aku belum mati?" kata Coat Ceng Hujin.
Ciok Giok Yin tertegun tidak berani menyahut.
"Jangan takut, kau dengar dari siapa?" tanya Coat Ceng Hujin


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. Di saat bersamaan Ciok Giok Yin teringat akan penuturan
Khouw Pei Ing, serta Soat Cak yang dijodohkan padanya. Oleh
karena itu dia langsung menutur tentang itu, kemudian
menambahkan, "Cianpwee, kini Adik Cak masih berada di tepi telaga."
"Kalau begitu dia adalah cucuku."
"Ya."
Ciok Giok Yin cepat-cepat melanjutkan.
"Dia berada di sana, apakah dalam bahaya?"
"Legalah hatimu, setan tua itu adalah Thian Lui Sianseng yang
kau cari itu."
Ciok Giok Yin terbelalak.
"Jadi orang tua itu benar Thian Lui Sianseng?"
"Tidak salah."
"Kalau begitu aku tidak mau menemui orang tua itu lagi."
"Mengapa?"
"Orang tua itu... telah menyiksaku, sehingga aku pun
mencacinya."
"Itu tidak jadi masalah, sifatnya memang begitu." Coat Ceng
Hujin berpikir sejenak. "Tahukah kau apa sebabnya aku
memanggilmu ke mari?"
"Tidak tahu."
Coat Ceng Hujin berkata dengan dingin.
"Urusanku masa lalu tentunya kau sudah dengar dari ibunya
Soat Cak. Itu menghancurkan diriku atau bukan, aku sendiri
pun tidak dapat membedakannya. Biarlah kaum rimba
persilatan yang menilainya."
Mendadak terlintas suatu hal dalam benak Ciok Giok Yin,
maka dia segera bertanya.
"Lo cianpwee, bolehkah lo cianpwee menjelaskan tentang
urusan masa lalu itu?"
"Urusan itu telah berlalu, untuk apa diungkit kembali" Aku
terpukul jatuh ke dalam telaga dingin ini oleh tiga tokoh
persilatan yang berhati kerdil. Kemudian aku hidup menyendiri
dua puluh tahun di sini. Namun hatiku masih amat penasaran
terhadap ketiga tokoh persilatan itu."
"Siapa ketiga tokoh persilatan itu?"
"Yang pertama adalah Mok Pak Tiau (Rajawali Gurun Utara).
Dia adalah hweeshio tua yang di atas itu."
"Hah" Ternyata dia!" seru Ciok Giok Yin tak tertahan.
"Dia berada di telaga itu sesungguhnya sedang mengawasiku,
apakah aku sudah mati atau belum. Justru tak disangka setan
tua itu malah jadi kawannya."
"Bagaimana sikap Mok Pak Tiau terhadap orang?"
"Dari segi luarnya kelihatan memang welas asih, namun
hatinya licik dan banyak akal busuknya. Dia manusia rendah."
"Mohon tanya, bagaimana Thian Lui lo cianpwee bisa menjadi
kawan baiknya?"
"Kini dia adalah Sib Ceng Taysu, menutupi wajah aslinya yang
dulu." "Dia berada di atas sana, mengapa lo cianpwee tidak mau
membasminya demi keselamatan dunia persilatan?"
"Kaum rimba persilatan semuanya tahu aku telah tenggelam
ke dalam telaga dingin. Lagi pula sepasang kakiku telah
lumpuh, tidak leluasa berjalan, maka aku bersabar hingga saat
ini. Kini kau sudah ke mari, maka aku ingin mohon
bantuanmu."
"Mohon bantuanku?"
"Ya. Namun aku tidak memakaimu secara cuma-cuma."
"Bantuan apa yang dapat kuberikan, lo cianpwee katakan
saja!" "Sekarang jangan bicarakan soal ini, terlebih dahulu kau
kuwarisi Coat Ceng Ciang (Ilmu Pukulan Tanpa Cinta)."
"Coat Ceng Ciang?"
Coat Ceng Hujin mengangguk.
"Benar. Sekarang perhatikan!"
Mendadak badan Coat Ceng Hujin mengapung ke atas dengan
posisi tidak berubah. Tampak telapak tangannya berkelebat ke
sana ke mari, namun tidak mengeluarkan suara. Ketika
menyaksikan ilmu pukulan itu Ciok Giok Yin berpikir, ilmu
pukulan itu tidak menimbulkan suara maupun angin pukulan,
bagaimana mungkin dapat melukai orang" Lagi pula dalam
keadaan posisi duduk. Kelihatannya Coat Ceng Hujin tahu akan
apa yang dipikirkan Ciok Giok Yin.
"Cobalah kau berlatih sebentar!"
Walau Ciok Giok Yin tidak begitu yakin akan ilmu pukulan
tersebut, namun dia tidak berani membantah. Tak disangka
begitu dia mulai berlatih, ternyata ilmu pukulan itu amat luar
biasa. Meskipun cuma satu jurus, tapi banyak mengandung
perubahan yang tak dapat diduga sama sekali.
Coat Geng Hujin manggut-manggut kemudian berkata,
"Kau harus membunuh ketiga orang itu dengan ilmu pukulan
ini." Hati Ciok Giok Yin tersentak.
"Membunuh tiga orang?"
"Tidak salah."
"Siapa ketiga orang itu?"
"Orang yang pertama adalah hweeshio tua yang di atas itu."
Ketika mendengar itu, Ciok Giok Yin termundur selangkah dan
membatin. 'Walau dulu orang itu amat licik dan berakal busuk,
tapi kini dia telah menyucikan diri bergelar Sih Ceng Taysu.
Buddha bersabda, 'Letakkan golok pembunuh dan segeralah
menjadi Buddha.' Lalu apakah aku harus turun tangan
terhadap murid Sang Buddha"'
Karena melihat Ciok Giok Yin diam, maka Coat Ceng Hujin
segera bertanya,
"Kau tidak bersedia?"
"Kini dia telah menyucikan diri menjadi hweeshio," sahut Ciok
Giok Yin. Coat Ceng Hujin mendengus dingin.
"Hmm! Aku beritahukan, dia berada di sini selain
mengawasiku, juga mempunyai suatu tujuan.
Ciok Giok Yin tercengang.
"Masih ada tujuan lain?"
"Betul."
"Apa tujuannya?"
"Dia ingin memiliki kitab Hong Lui Ngo Im Keng."
"Hong Lui Ngo Im Keng?"
"Ya."
"Lo cianpwee, Hong Lui Im Keng ada di tangan Adik Cak."
Coat Ceng Hujin terbelalak dan langsung bertanya,
"Kini berada di tangan Anak Cak?"
"Ya."
"Kalau begitu, kau harus segera keluar, jangan sampai kitab
itu direbut hweeshio keparat itu!"
Ketika Ciok Giok Yin baru mau pergi, mendadak Coat Ceng
Hujin memanggilnya.
Ciok Giok Yin berhenti, maka Coat Ceng Hujin lalu berkata,
"Dua orang lagi adalah Pek Hap Hui Su dari Siauw Lim Si, tapi
sudah dikeluarkan dari pintu perguruan Siauw Lim Si. Yang
satu lagi adalah Tong Hai Kui Mo (Setan Iblis Laut Timur). Dia
menatap Ciok Giok Yin. "Kau harus mewakiliku membasmi
ketiga orang itu dengan ilmu pukulan Coat Ceng Ciang."
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Ya."
Namun dia berkata dalam hati. 'Seandainya ketiga orang itu
sudah bertobat, apakah tetap harus kubunuh"' Karena itu Ciok
Giok Yin bertanya,
"Bolehkah aku mengajukan sebuah pertanyaan?"
"Pertanyaan apa?"
"Seandainya ketiga orang itu sudah bertobat, lalu aku harus
bagaimana?"
Coat Ceng Hujin tertegun, karena tidak menyangka Ciok Giok
Yin akan mengajukan pertanyaan seperti itu.
"Sifat manusia sulit diubah, itu tidak akan salah. Kalau
memang mereka sudah bertobat, terserah kau saja," katanya
kemudian. "Terimakasih, lo cianpwee."
Coat Ceng Hujin menengok gadis yang berdiri di sampingnya.
"Antar dia keluar!"
"Ya."
Gadis itu segera mengantar Ciok Giok Yin meninggalkan goa
tersebut, tetap melalui daun teratai itu meluncur ke atas.
Setelah sampai di permukaan telaga gadis itu berkata,
"Saudara Ciok, silakan ke darat, aku tidak mengantar lagi."
"Terimakasih, Nona!" ucap Ciok Giok Yin sambil memandang
gadis itu. Kemudian dia melesat ke tepi. Ketika dia
membalikkan badannya, gadis itu sudah tidak
kelihatan. Beberapa saat kemudian, ketika Ciok Giok Yin mau
mencari Soat Cak, mendadak terdengar suara desiran ujung
baju. Ciok Giok Yin bergerak cepat membalikkan badannya,
tampak orang tua itu berdiri di situ. Sepasang matanya
menyorot tajam menatap wajah Ciok Giok Yin, bahkan tak
berkedip sama sekali.
"Bocah, kau ke mana?" tanya orang tua itu dingin.
Ciok Giok Yin balik bertanya.
"Apakah lo cianpwee adalah Thian Lui Sian-seng?"
"Tidak salah."
"Terimakasih atas kebaikan lo cianpwee telah memulihkan
kepandaianku."
"Jangan omong kosong! Tadi kau ke mana?"
"Aku pergi menemui Coat Ceng Lo cianpwee...."
Mendadak Thian Lui Sianseng bergerak cepat laksana kilat,
mencengkeram lengan Ciok Giok Yin.
"Kau bilang apa?" bentaknya.
Ciok Giok Yin yang tidak menduga bahwa Thian Lui Sianseng
akan mencengkeramnya, maka dia tidak sempat berkelit.
Begitu lengannya tercengkeram, sekujur badannya menjadi
ngilu tak dapat bergerak. Bukan main gusarnya Ciok Giok Yin!
"Thian Lui lo cianpwee, kini aku sudah berada di tanganmu!
Kalau lo cianpwee mau membunuhku, silakan! Tapi kalau lo
cianpwee menginginkan aku menjawab, jangan harap!"
Thian Lui Sianseng tersadar, bahwa tindakannya memang
kelewat batas. Maka dia segera melepaskan tangannya dan
mundur tiga langkah.
"Katakan!" desaknya.
"Tadi aku pergi menemui Coat Ceng lo cianpwee."
"Dia berada di mana?"
"Di dasar telaga dingin itu."
"Benarkah itu?"
"Aku tidak perlu bohong, tapi... apakah lo cianpwee pernah
salah paham terhadapnya?"
Mendadak Thian Lui Sianseng tertawa gelak. Suara tawanya
bergema ke mana-mana. Beberapa saat kemudian dia berkata,
"Lohu menyesal dua puluh tahun lebih, karena telah salah
paham terhadapnya, kini memang sudah waktunya." Dia
merogohkan tangan ke dalam sakunya untuk mengeluarkan
sebuah botol kecil. "Bocah, pil Kim Kong Tan!" serunya.
Thian Lui Sianseng melempar pil tersebut ke arah Ciok Giok
Yin. Di saat bersamaan, mendadak tampak sosok bayangan
melesat ke sana laksana kilat. Ketika Ciok Giok Yin baru
menjulurkan tangannya mau menerima pil itu, bayangan
tersebut mendahului bahkan langsung menelannya.
Setelah itu terdengar suara tawa terkekeh
"Terimakasih, sobat lama!"
Thian Lui Sianseng dan Ciok Giok Yin memandang orang itu,
ternyata adalah Sih Ceng Taysu. Bayangkan betapa gusarnya
Thian Lui Sianseng!
"Sih Ceng, lohu cuma punya sebutir, kau..." bentaknya
dengan suara dalam.
Saat ini wajah Sih Ceng Taysu tampak bengis dan jahat.
Mendadak Ciok Giok Yin menggeserkan badannya mendekati
Sih Ceng Taysu lalu membentak sengit.
"Maling tua, kau memang sungguh jahat! Hari ini aku akan
mewakili Coat Ceng Hujin lo cianpwee membasmimu!"
Sembari berkata Ciok Giok Yin menyerang Sih Ceng Taysu
dengan ilmu pukulan Coat Ceng Ciang. Terdengar suara jeritan.
Mulut Sih Ceng Taysu menyemburkan darah segar. Dia
langsung melesat pergi lalu hilang di tikungan sebuah batu
besar. Ciok Giok Yin ingin mengejar, namun Thian Lui Sianseng
berseru, "Siapa dia?"
"Apakah lo cianpwee tidak kenal?" sahut Ciok Giok Yin.
"Lohu cuma tahu dia dipanggil Sih Ceng Taysu."
"Dia adalah salah seorang dari tiga pengeroyok Coat Ceng lo
cianpwee, hingga terpukul jatuh ke dalam telaga dingin. Mok
Pak Tiau adalah dirinya."
"Hah" dia... dia adalah Mok Pak Tiau?" seru Thian Lui
Sianseng. Ciok Giok Yin mengangguk.
"Ya."
"Kau dengar dari siapa?"
"Coat Ceng lo cianpwee."
"Dua puluh tahun lohu tertipu olehnya."
Mendadak Ciok Giok Yin teringat pada Soat Cak.
"Thian Lui lo cianpwee, di mana gadis yang bersamaku itu?"
Air muka Thian Lui Sianseng langsung berubah.
"Celaka!"
Ketika Thian Lui Sianseng baru mau pergi mengejar Sih Ceng
Taysu, mendadak terdengar suara seruan dari tengah-tengah
telaga. Thian Lui Sianseng dan Ciok Giok Yin menoleh, tampak
dua gadis berdiri di atas daun teratai. Salah satu gadis itu
adalah Soat Cak. Bukan main girangnya Ciok Giok Yin! seketika
itu juga hatinya menjadi lega. Soat Cak berkata dengan nada
duka. "Kanda Ciok, untung tadi kakak ini menyelamatkanku" Kalau
tidak, mungkin aku akan dibawa pergi oleh keledai gundul itu.
Sementara ini aku akan tinggal di sini untuk belajar kungfu
pada nenekku. Kanda Ciok, jaga diri baik-baik, aku pasti
mencarimu kelak!"
Usai gadis itu berkata, daun teratai mulai merosot ke bawah.
Tiba-tiba Thian Lui Sianseng menengadahkan kepalanya
memandang langit seraya berseru dengan penuh kedukaan.
"Sudahlah! Sudahlah! Lohu mana masih punya muka
menemuinya?"
Usai berkata, dia meloncat ke dalam telaga dingin itu. Di saat
bersamaan kedua gadis yang berdiri di atas daun teratai sudah
tidak kelihatan lagi. Sedangkan Ciok Giok Yin ingin mencegah
perbuatan Thian Lui Sianseng, tapi sudah terlambat. Ciok Giok


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yin sama sekali tidak menduga bahwa Thian Lui Sianseng akan
mengambil jalan pendek, membunuh diri meloncat ke dalam
telaga dingin itu. Dia menghela nafas panjang. Kini hatinya
terasa agak hampa, sebab Soat Cak tinggal di tempat Coat
Ceng Hujin maka dalam perjalanan nanti dia akan kehilangan
pendamping, itu membuat hatinya terasa agak duka. Beberapa
saat dia berdiri termangu-mangu, setelah itu barulah berjalan
perlahan meninggalkan tempat itu.
Kini bertambah satu beban lagi di atas bahunya, yakni harus
mewakili Coat Ceng Hujin membasmi tiga orang, Salah seorang
di antaranya adalah Sih Ceng Taysu. Ternyata dia belum
bertobat. Sedangkan dua orang lagi, mungkin juga belum
bertobat. Ketika Ciok Giok Yin baru berjalan beberapa langkah,
mendadak terdengar suara seruan nyaring.
"Kanda Ciok, tunggu sebentar!"
Ciok Giok Yin cepat-cepat membalikkan badannya. Tampak
sosok bayangan langsing melayang turun di hadapannya, lalu
mendekap di dadanya. Ciok Giok Yin segera memeluknya
seraya berkata dengan lembut,
"Adik Cak, kau tidak mau tinggal di sini?"
Soat Cak menyahut sedih.
"Kanda Ciok, sementara ini aku memang harus tinggal di sini.
Kau harus baik-baik menjaga diri. Setelah melewati beberapa
waktu, aku akan mohon pada nenekku agar melepaskanku
untuk kembali ke sisimu."
Ciok Giok Yin membelai rambut gadis itu dengan penuh kasih
sayang. "Adik Cak, kau juga harus baik-baik menjaga diri!"
"Aku tahu."
"Baiklah. Kau harus kembali ke sana."
"Kanda Ciok, nenekku menyuruhku menyampaikan satu
masalah, harus dilaksanakan."
"Urusan apa?"
"Cari kembali kitab Hong Lui Ngo Im Keng!"
Tertegun Ciok Giok Yin, menatap Soat Cak terbelalak.
"Eh" Bukankah kitab Hong Lui Ngo Im Keng ada padamu?"
"Telah hilang," sahut Soat Cak dengan wajah muram.
"Kok bisa hilang?"
Soat Cak tidak segera menyahut, sebab khawatir akan
membuat hati Ciok Giok Yin berduka. Ciok Giok Yin merasa
heran mengapa Soat Cak diam tidak mau memberitahukan.
"Adik Cak, beritahukanlah!"
Soat Cak menundukkan kepala, kemudian menutur tentang
kejadian itu dan menambahkan,
"Kanda Ciok, kalau kau berhasil mencari kitab Hong Lui Ngo
Im Keng, kakek dan nenek pasti bisa rujuk kembali. Kalau
tidak, nenek tidak akan memperdulikan kakek."
Ciok Giok Yin manggut-manggut. Hatinya amat terharu akan
kesetiaan Soat Cak padanya. Kemudian dia membelai gadis itu
sambil berkata dengan lembut.
"Adik Cak, aku telah membuatmu menderita," Ciok Giok Yin
menatapnya lembut. "Adik Cak, tadi Thian Lui lo cianpwee
terjun ke dalam telaga dingin, apakah tidak terjadi sesuatu
atas dirinya?"
"Sudah diselamatkan oleh nenek, namun sementara ini
mereka berdua belum berjumpa. Maka Kanda Ciok harus
berhasil mencari kitab itu, barulah mereka berdua akan
bertemu dan rujuk kembali."
Ciok Giok Yin manggut-manggut.
"Oooooh!"
Kemudian dia mendekati Soat Cak. Namun ketika baru ingin
menciumnya, mendadak terdengar suara seruan nyaring.
"Kakak Cak, kita sudah harus kembali!"
Soat Cak mengangguk.
"Ya."
Kemudian dia menatap Ciok Giok Yin dengan mata berkacakaca,
namun penuh diliputi cinta kasih yang amat dalam.
"Kanda Ciok, jaga dirimu baik-baik..." katanya dengan suara
rendah. Soat Cak langsung melesat pergi dan tak lama sudah berada
di atas daun teratai. Dalam waktu sekejap kedua gadis itu
sudah tidak kelihatan. Ciok Giok Yin termangu-mangu
memandang permukaan telaga dingin itu. Berselang beberapa
saat barulah dia pergi dengan perasaan hampa. Ketika datang
di Gunung Thian San dia membawa perasaan perih dalam hati,
karena kepandaiannya telah punah. Berhasil dipulihkan atau
tidak, itu masih merupakan tanda tanya besar. Akan tetapi
hatinya masih terhibur karena Soat Cak berada di sampingnya.
Kini walau kepandaiannya telah pulih, tapi Coat Ceng Hujin
justru menahan Soat Cak tinggal di dalam dasar telaga dingin,
sehingga membuatnya merasa merana dan kesepian. Ciok Giok
Yin terus melesat dengan pikiran kacau. Namun dia telah
mengambil keputusan menuju ke Gunung Liok Pan San,
mencari Thian Thong Lojin untuk memecahkan rahasia kain
potongan itu. Sesudah itu dia harus berusaha mencari Seruling
Perak agar berhasil menguasai ilmu silat tertinggi, demi
membasmi murid murtad suhunya dan membasmi para
penjahat rimba persilatan. Pikiran ini membuatnya melesat
lebih cepat menuju Gunung Liok Pan San. Walaupun harus
melewati batu-batu curam, namun dia tetap melesat cepat,
karena ginkangnya memang sudah cukup tinggi.
Berselang beberapa saat, ketika dia sedang melesat di sebuah
puncak, mendadak dia melihat sosok bayangan yang diselimuti
kabut hijau. Ciok Giok Yin segera berhenti lalu memperhatikan
bayangan itu, ternyata adalah seorang wanita. Karena wanita
itu diselimuti kabut hijau, maka Ciok Giok Yin tidak dapat
melihat jelas wajahnya. Menyaksikan itu sekujur badan Ciok
Giok Yin menjadi merinding. Di tempat yang amat sepi ini
bagaimana mungkin ada wanita yang duduk diselimuti kabut
hijau" Kemungkinan besar adalah siluman penguasa gunung
itu. Dia ingin meninggalkan tempat itu perlahan-lahan, namun
mendadak bayangan itu menghela nafas panjang dan
kemudian berkata, seakan bergumam.
"Hua, sungguhkah kau tidak datang?" Dia menghela napas
panjang lagi, "Langit dan bumi takkan tua dan berubah, namun
cinta, budi dan dendam sulit dilarang."
Mendengar itu hati Ciok Giok Yin tersentak. Kemudian dia
berkata dalam hati. 'Wanita itu pasti bukan siluman penguasa
gunung ini. Mungkin dia telah berhasil melatih semacam ilmu
silat tingkat tinggi, maka sekujur badannya mengeluarkan
kabut hijau, dan kelihatannya dia sedang menunggu
seseorang."
Di saat Ciok Giok Yin sedang berkata dalam hati, wanita
tersebut sepertinya telah mengetahui akan kehadiran Ciok Giok
Yin. Badannya bergerak sedikit, kemudian bertanya pada Ciok
Giok Yin dengan dingin sekali.
"Mau apa kau ke mari?"
"Kebetulan aku lewat di sini, tanpa sengaja telah mengganggu
lo cianpwee, mohon lo cianpwee sudi memaafkanku!" sahut
Ciok Giok Yin. "Kau juga kaum rimba persilatan?"
"Aku baru berkecimpung di rimba persilatan, namaku tidak
terkenal."
"Itu berarti kau memang kaum rimba persilatan. Aku ingin
bertanya padamu tentang seseorang!"
"Siapa?"
"Pernahkah kau mendengar Bu Tek Thay Cu (Pangeran Tanpa
Tanding) Siangkoan Hua?"
Ciok Giok Yin tertegun.
"Aku tidak pernah mendengarnya," sahutnya lalu berpikir
sejenak. "Kalau cianpwee membutuhkan tenagaku untuk
mencarinya, aku pasti melaksanakannya. Bagaimana menurut
cianpwee?"
Lama sekali barulah wanita itu menyahut.
"Tidak usah. Aku yakin cepat atau lambat dia pasti ke mari."
Usai menyahut, mendadak wanita yang diselimuti kabut hijau
melesat pergi, dan dalam sekejap sudah tidak kelihatan
bayangannya. Ciok Giok Yin terbelalak, kemudian berkata
dalam hati, 'Bukan main cepatnya gerakkan wanita itu!' Dia
maju beberapa langkah lalu memandang ke arah wanita itu
menghilang. Sekujur badannya menjadi bergemetaran,
ternyata di situ merupakan jurang yang amat dalam. Kalau
ginkang wanita itu belum mencapai tingkat tertinggi, tentunya
tidak berani melesat ke bawah jurang itu. Ciok Giok Yin
menggeleng-gelengkan kepala sambil bergumam.
"Sungguh di luar orang masih ada orang, di luar langit masih
ada langit!"
Dia mengela nafas panjang, setelah itu barulah melesat pergi.
Ketika baru melesat dua puluh depa, mendadak terdengar
suara percakapan. Dia tercengang dan langsung berhenti serta
pasang kuping mendengar dengan seksama. Terdengar suara
yang amat lirih, namun kemudian tidak terdengar lagi. Itu
membuat Ciok Giok Yin ragu, mungkin salah dengar, pada hal
cuma suara desiran angin. Ketika dia baru mau pergi, tiba-tiba
suara lirih itu terdengar lagi, tapi kali ini terdengar agak jelas.
"Kakak Yin, beberapa waktu ini kau ke mana?"
Ciok Giok Yin tertegun, karena mengenal suara itu. Kemudian
bertanya dalam hati, 'Siapa dia"' Di saat bersamaan terdengar
pula suara lelaki.
"Berkelana ke mana-mana."
"Kakak Yin, aku sungguh bersalah padamu," kata wanita itu.
"Maksudmu?"
"Tempo hari setelah aku mencuri peta si Kauw Hap Liok Touw,
aku pergi secara diam-diam, aku... sungguh bersalah! Tapi aku
melakukan itu karena terpaksa."
Mendengar sampai di sini, barulah Ciok Giok Yin ingat.
Ternyata wanita itu adalah murid Bu Lim Sam Siu, yang
diperintahkan untuk mencari petanya, tidak lain adalah Cen
Siauw Yun. Seketika juga amarah Ciok Giok Yin meluap, baru
mau.... Tapi setelah berpikir sejenak, dia batal keluar karena
ingin tahu siapa orang yang dipanggil Kakak Yin itu. Terdengar
lagi suara lelaki itu,
"Adik Yun, urusan itu telah berlalu, jangan diungkit kembali."
"Tidak, kau harus dengar dulu perkataanku," kata Cen Siauw
Yun. "Baik, katakanlah!"
"Ketika itu aku memang ingin pergi begitu saja, namun
merasa tidak tega. Maka aku cepat-cepat meninggalkan tulisan
di kertas itu, agar kau berangkat duluan. Apakah kau
memperoleh itu?"
"Memperoleh apa?"
"Benda pusaka di dalam Goa Cian Hud Tong."
"Sama sekali tidak."
Cen Siauw Yun berseru kaget.
"Hah" Sungguh?"
"Untuk apa aku membohongimu?"
"Kalau begitu, mengapa suhuku mengambil kembali
kepandaianku?"
"Bagaimana mengambil kembali kepandaianmu?"
"Suhuku Bu Lim Sam Siu, ketika pulang wajah mereka
tampak gusar sekali. Mereka mencaciku telah berkhianat
karena memberitahu kau secara diamdiam, maka benda
pusaka yang di dalam Goa Cian Hud Tong itu telah kau
peroleh." Cen Siauw Yun berhenti sejenak, kemudian melanjutkan,
"Karena itu ketiga suhuku langsung memusnahkan
kepandaianku. Seandainya aku tidak bertemu seorang lo
cianpwee, tentu kepandaianku tidak akan pulih kembali."
"Bu Lim Sam Siu begitu kejam?" kata lelaki itu.
"Karena tidak memperoleh benda pusaka yang mereka
inginkan, maka jadi amat gusar."
Hening sejenak, kemudian Cen Siauw Yun bertanya,
"Kakak Yin, sungguhkah kau belum memperolehnya?"
"Sungguh!"
"Mengapa begitu banyak orang mengatakan, bahwa kau yang
memperolehnya?"
"Yah! Mereka cuma menyebarkan isyu saja."
Ketika Ciok Giok Yin mendengar sampai di situ, barulah
teringat olehnya orang itu yang menyamar dirinya. Dapat
dibayangkan betapa gusarnya Ciok Giok Yin! Di saat dia baru
mau..... Justru mendadak dia mendengar lelaki itu berkata, "Adik yun,
langit dan bumi menjadi saksi kita! Setelah kita seranjang,
barulah...."
Cen Siauw Yun segera memutuskan perkataannya.
"Kakak Yin, aku...."
Belum juga Cen Siauw Yun usai berkata, Ciok Giok Yin sudah
membentak sengit.
"Sungguh tak tahu malu kalian, aku Ciok Giok Yin berada di
sini!" Suara bentakannya belum lenyap, terdengar suara jeritan
yang menyayat hati, kedengarannya seperti merosot ke bawah.
Di saat bersamaan tampak sosok bayangan mencelat ke atas
bagaikan kilat. Setelah diperhatikan, ternyata wajahnya mirip
sekali dengan Ciok Giok Yin, seperti pinang dibelah dua atau
saudara kembar.
Bagaimana Ciok Giok Yin akan membiarkannya kabur" Dia
mendorongkan sepasangan telapak tangannya ke depan seraya
membentak. "Berhenti!"
Dorongan telapak tangan Ciok Giok Yin menimbulkan angin
yang amat kuat, bahkan mengandung hawa panas. Orang itu
terpaksa berhenti lalu berdiri tegak di hadapan Ciok Giok
Yin. Jarak mereka cuma dua depa. Ciok Giok Yin maju dua
langkah sambil berkata dengan dingin sekali.
"Maling jahat! Kau menyamar diriku dan melakukan
kejahatan di mana-mana! Tempo hari kau dapat melarikan diri,
hari ini kau jangan harap dapat kabur dalam keadaan selamat!"
Ciok Giok Yin palsu tertawa terkekeh-kekeh.
"Bocah! Siapa mati di tangan siapa masih belum tahu!"
Ciok Giok Yin maju dua langkah lagi.
"Mengapa kau menyamar sebagai diriku?" bentaknya sambil
mencelat ke atas, kelihatannya ingin menyerang orang itu.
"Tentu ada sebabnya!" sahut orang itu sambil mencelat ke
belakang. Mendengar itu Ciok Giok Yin batal menyerangnya.
"Katakan!" bentaknya.
"Aku tidak mau mengatakan! Kau mau apa?"
"Lihat kau mau mengatakan atau tidak?"
Sembari berkata badan Ciok Giok Yin sudah maju, sekaligus


Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerangnya dengan ilmu pukulan Soan Hong Ciang. Pukulan
tersebut membuat orang itu termundur-mundur, namun
akhirnya berhasil mengelak serangan yang bertubi-tubi itu.
Orang itu tertawa dingin lalu berkata,
"Bocah haram! Hari ini aku pun tidak akan melepaskanmu!
Asal kau sudah mati, aku pun kembali pada wajah asliku!"
Mendadak dia melancarkan pukulan dahsyat ke arah Ciok
Giok Yin. Amarah Ciok Giok Yin sudah memuncak. Dia
berkertak gigi seraya membentak seperti guntur.
"Hari ini aku akan membuatmu kembali pada wajah aslimu!"
Ciok Giok Yin mengeluarkan jurus pertama ilmu pukulan Hong
Lui Sam Ciang. Akan tetapi tak disangka gerakan orang itu
amat gesit, bagaikan roh halus. Dia berhasil berkelit
menghindari pukulan yang dilancarkan Ciok Giok
Yin. Sedangkan Ciok Giok Yin sama sekali tidak menduga
bahwa gerakan orang itu begitu aneh. Mendadak tampak
telapak tangan Ciok Giok Yin berkelebat cepat, ternyata dia
telah mengeluarkan ilmu pukulan Coat Ceng Ciang. Terdengar
suara jeritan. "Aaaakh !"
Krek! Krek! Krek!
Ternyata tulang rusak orang itu telah patah, badannya
terpental beberapa depa. Ciok Giok Yin melesat ke arahnya,
sepasang matanya tampak membara. Orang itu roboh
tertelentang. Ciok Giok Yin mengangkat sebelah kakinya lalu
dihentakkan di dada orang itu.
"Sebetulnya siapa kau?" bentaknya sengit.
Wajah orang itu kini kelihatan amat menyeramkan, sebab
penuh noda darah. Bahkan mulutnya masih mengeluarkan
darah. Dia dalam keadaan pingsan. Ciok Giok Yin menatapnya
dengan bengis. Berselang sesaat orang itu mulai siuman.
Sepasang matanya tampak suram.
"Aku sudah jatuh ke tanganmu. Kau mau membunuhku
silakan!" "Mau tidak mau kau harus bilang, mengapa kau menyamar
sebagai diriku" Mengapa?" bentak Ciok Giok Yin.
Ciok Giok Yin mengerahkan tangan untuk menginjak dada
orang itu. Orang itu menjerit kemudian pingsan lagi. Beberapa
saat kemudian barulah dia siuman.
"Ciok Giok Yin, jangan harap aku mau buka mulut. Kalau kau
mau membunuhku silakan! Tapi kalau hari ini kau
membunuhku, tidak sampai tiga bulan kau pun tak akan
selamat!" Usai berkata, dia memejamkan matanya dan mulutnya
ditutup rapat-rapat. Bukan main gusarnya Ciok Giok Yin! Dia
mengerahkan tenaga untuk menginjak dada orang itu lagi.
Seketika terdengar suara jeritan. Mulut orang itu
menyemburkan darah segar dan badannya kelonjotan sejenak,
lalu diam. Ternyata nafasnya telah berhenti. Ciok Giok Yin
belum merasa puas. Dia mengayunkan kakinya menendang
mayat orang itu ke dalam jurang. Dia teringat pada Cen Siauw
Yun, maka segera melesat ke belakang batu besar. Di sana dia
melihat selembar kain yang bernoda sedikit darah. Itu
membuktikan bahwa laki-laki itu telah mengadakan hubungan
intim dengan Cen Siauw Yun. Namun setelah tadi terdengar
suara jeritannya, gadis itu tidak kelihatan lagi.
Mungkinkah orang itu mendengar suara bentakan Ciok Giok
Yin, lalu menendang Cen Siauw Yun ke dalam jurang" Ciok
Giok Yin memandang ke dasar jurang, tapi tidak tampak apa
pun. Maka dia membalikkan badannya lalu melesat pergi. Saat
ini hati Ciok Giok Yin terasa lega, karena telah membasmi
orang yang menyamar dirinya. Akan tetapi dia sama sekali
tidak tahu siapa orang itu dan mengapa menyamar dirinya.
Apakah di antara mereka berdua terdapat dendam kesumat,
sehingga orang itu menyamar sebagai Ciok Giok Yin untuk
melakukan kejahatan, demi merusak namanya" Sesungguhnya
apa maksud tujuan orang itu" Ciok Giok Yin terus berpikir,
namun sama sekali tidak menemukan jawabannya. Di saat dia
terus berpikir, tanpa terasa sudah tiba di sebuah tebing.
Setelah menikung di tebing itu, ternyata dirinya berada di
mulut sebuah lembah. Ciok Giok Yin terbelalak, karena tadi dia
melihat wanita yang diselimuti kabut hijau melayang turun ke
lembah tersebut. Ketika dia baru ingin meninggalkan lembah
itu, mendadak tampak lima sosok bayangan melesat ke
arahnya lalu mengepung Ciok Giok Yin. Setelah melihat tegas,
seketika juga sekujur badan Ciok Giok Yin menjadi dingin dan
tanpa sadar dia menyurut mundur beberapa langkah.
Jilid 19 Ternyata yang muncul itu adalah Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai
dan empat orang lainnya adalah Si Peng Khek. Ciok Giok Yin
tahu jelas bagaimana kepandaian mereka. Untuk melawan Si
Peng Khek saja tidak sanggup, apalagi ditambah Siau Bin
Sanjin-Li Mong Pai. Setelah mundur beberapa langkah, Ciok
Giok Yin mengeraskan hatinya lalu berdiri tegak sambil
menatap mereka berlima. Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai tertawa
gelak seraya berkata.
"Di mana-mana manusia pasti akan bertemu, tak disangka
kita bertemu kembali di sini!"
Walau dalam hati Ciok Giok Yin ada rasa gentar, namun di
wajahnya tetap tampak gagah, sepasang matanya bersinar
terang. "Setelah bertemu di sini, lalu mau apa?" sahutnya.
Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai tertawa terkekeh.
"Terlebih dahulu aku mengucapkan terimakasih padamu,
karena tempo hari kau memapahku sampai ke kuil Yeh Ling Si.
Kebaikan itu masih belum kubalas." Dia memandang Ciok Giok
Yin. "Tak kusangka ilmu rias wajahmu itu, cukup hebat!"
"Maling tua, hari itu kalau aku tidak melihatmu terluka parah,
aku pasti tidak melepaskanmu!" bentak Ciok Giok Yin.
Siau Bin Sanjin-Li Mong Pai tertawa gelak.
"Aku pun tahu, kalau waktu itu kepandaianmu tidak punah,
tentu aku tidak dapat melepaskan diri, dan hari ini kita pasti
tidak bertemu di sini."
Ciok Giok Yin diam, tapi wajahnya tampak bengis sek
Hati Budha Tangan Berbisa 11 Puteri Es Seri 5 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pendekar Bayangan Setan 12

Cari Blog Ini