Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Bagian 3
Ciok Giok Yin langsung melesat bagaikan kilat menuju perkampungan Hong
Yun Cuang. Jarak ke perkampungan tersebut tidak begitu jauh. Maka
berselang beberapa saat kemudian, sudah tampak halaman
perkampungan tersebut yang amat luas. Di bawah matahari
senja, tampak beberapa huruf di tembok perkampungan
tersebut, 'Hong Yun Cuang'. Ciok Giok Yin mendekati gerbang
perkampungan itu, dan setelah dekat dia tertegun. Ternyata di
pintu gerbang itu tergantung kain putih, pertanda
perkampungan itu sedang berkabung. Sungguh diluar dugaan!
Di saat orang sedang berduka cita, dia malah datang menuntut
balas, tentunya tidak berperasaan sama sekali. Akan tetapi
Ciok Giok Yin justru merasa tidak rela pergi. Setelah
termenung sejenak, dia pun melangkah memasuki
perkampungan itu. Tiba-tiba dari arah samping pintu gerbang
muncul empat orang, kelihatannya para jongos perkampungan
itu. Salah seorang memperhatikan Ciok Giok Yin, lalu menjura
seraya bertanya.
"Apakah Tuan Muda ingin melawat Cuangcu (Majikan
Perkampungan)?"
Ciok Giok Yin tertegun.
"Cuangcu?"
"Ya."
"Kapan cuangcu kalian meninggal?"
"Semalam."
"Sakit apa?"
"Sakit mendadak lalu meninggal."
"Sebelumnya dia pernah sakit?"
"Tidak pernah."
"Sungguh aneh!"
"Apakah Tuan Muda kemari bukan untuk melawat?"
"Tidak salah. Aku dan Cuangcu kalian ada sebuah janji, maka
hari ini aku berkunjung kemari. Tak diduga dia sudah
meninggal, itu betul-betul di luar dugaan."
"Janji apa?"
Keempat jongos itu termangu-mangu.
Ciok Giok Yin menatap mereka, dan sekilas suatu pikiran
timbul dalam benaknya.
"Yah! Tidak usah kukatakan!" Dia diam sejenak. "Aku sudah
kemari, tentunya harus melawat! Tuan pengurus, harap tunjuk
jalan!" Sudah lama Ciok Giok Yin ikut kakek tua berjenggot
putih, maka dia tahu tata krama. Ucapannya amat sopan,
membuat keempat jongos itu tidak berani menolak. Salah
seorang jongos itu segera membalikkan badannya membawa
Ciok Giok Yin ke dalam. Sedangkan yang lain tetap berdiri di
sana. Ciok Giok Yin mengikuti jongos itu ke dalam. Bukan main
megahnya rumah tersebut! Tampak para jongos dan pelayan
wanita bermuram durja, kelihatan amat sedih
sekali. Berdasarkan itu, membuktikan bahwa Tui Hong Sin
Cian-Cu Ling Yun memang telah meninggal.
Akan tetapi, dalam hati Ciok Giok Yin malah timbul rasa
curiga. Mendadak terdengar suara tangisan yang amat
memilukan. Ciok Giok Yin segera memandang ke arah ruang
duka. Tampak sebuah meja besar dekat dingin. Di atas meja
besar itu terdapat berbagai macam buah-buahan, makanan
dan sebuah papan nisan bertulisan nama orang yang
meninggal. Di depan meja besar itu, terdapat sebuah peti mati,
sedangkan yang menangis itu tentunya sanak keluarga orang
yang meninggal. Tiba-tiba seorang tua berseru lantang.
"Ada tamu datang melawat, anak yang berbakti harus
mengucapkan terimakasih!"
Sebuah gordyn tersingkap, lalu muncul seorang pemuda
berpakaian duka. Pemuda itu menangis hingga sepasang
matanya membengkak. Namun ketika gordyn itu disingkap,
berkelebat sepercik cahaya. Di saat pemuda berpakaian duka
itu baru mau berlutut, Ciok Giok Yin justru berseru.
"Tunggu!"
Mendengar seruan itu, semua orang menjadi
tertegun. Mereka langsung memandang Ciok Giok Yin dengan
penuh keheranan, Ciok Giok Yin memang tampan. Namun, di
saat ini wajahnya diliputi hawa membunuh. Orang tua yang
berseru tadi maju selangkah, mendekati Ciok Giok Yin.
"Mohon tanya siapa Tuan Muda?"
"Ciok Giok Yin."
Nama tersebut bagaikan sambaran geledek di siang hari
bolong, membuat hati semua orang tersentak, dan wajah
mereka berubah pucat pias seketika. Tak disangka pemuda itu
adalah orang yang membunuh Khiam Sin Hweshio dalam satu
jurus. Semua orang tahu akan maksud kedatangannya,
terutama pemuda berpakaian duka itu, sepasang matanya
menyorot penuh kebencian. Sedangkan suasana di ruang duka
tentu berubah menjadi tegang mencekam. Yang masih tampak
tenang hanyalah orang tua yang berseru tadi.
"Tuan muda Ciok, ada petunjuk apa?" katanya dengan
perlahan. "Bagaimana Cu Cuangcu mati?"
"Sakit mendadak lalu meninggal semalam."
Ini memang tidak masuk akal. Sebab bagi orang yang
berkepandaian tinggi, tidak mungkin akan sakit mendadak
hingga meninggal. Apalagi Ciok Giok Yin pernah belajar ilmu
pengobatan, lebih tidak percaya tentang itu. Karena itu dia
maju dua langkah, lalu berkata dengan suara dalam.
"Aku mengerti ilmu pengobatan, ingin membuka tutup peti
mati untuk memeriksa Cu Cuangcu, sesungguhnya dia
mengidap penyakit apa?"
Wajah orang tua itu langsung berubah menjadi hebat.
"Peti mati sudah ditutup, tidak boleh sembarangan dibuka
lagi." "Mungkin aku dapat membuat Cu Cuangcu hidup kembali."
"Apa maksudmu itu?"
"Tiada maksud apa-apa, hanya ingin membuka peti mati ini."
Badan orang tua itu agak bergemetar, kemudian menghadang
di hadapan Ciok Giok Yin.
"Kau berani cari gara-gara di sini?" bentaknya keras.
"Harus Anda mengerti!"
"Apa yang harus kumengerti?"
"Aku punya janji dengan Cu Cuangcu, maka peti mati ini
harus dibuka."
Mendadak pemuda berpakaian duka itu menggeram.
"Kau cari mati!"
Lalu menyerang dada Ciok Giok Yin. Ciok Giok Yin berkelit,
justru ke arah peti mati. Di saat bersamaan tampak sosok
bayangan hitam berkelebat bagaikan setan gentayangan ke
arah Ciok Giok Yin, dan terdengar suara seruan.
"Harap Tuan Muda berhenti!"
Padahal Ciok Giok Yin sudah menjulurkan tangannya sambil
mengerahkan lwee kangnya, siap membuka tutup peti
mati. Namun ketika mendengar suara seruan itu, dia menarik
kembali tangannya sambil menoleh. Ternyata seorang wanita
berpakaian duka berdiri di sana. Sepasang mata wanita itu
masih basah, sedangkan wajahnya tampak berduka sekali. Ciok
Giok Yin tersentak, lalu berkata dalam hati. 'Tidak salah, wanita
ini pasti nyonya Cu. Dari wajahnya dapat diketahui bahwa
benar semua ini.' Ciok Giok Yin segera mundur selangkah.
"Siapa kau?" katanya dingin.
"Aku adalah Nyonya Cu," sahut wanita berpakaian duka itu.
"Nyonya mau bicara apa?"
"Mohon tanya Tuan Muda ada permusuhan apa dengan
mendiang suamiku?"
"Tiada permusuhan apa-apa."
"Punya dendam?"
"Tiada dendam."
"Kalau begitu, kau..." bentak pemuda berpakaian duka
dengan gusar. Dia ingin menyerang Ciok Giok Yin, namun
wanita berpakaian duka itu cepat-cepat mencegahnya.
"Nak, tenang dulu!" katanya dengan suara gemetar.
Kemudian dia memandang Ciok Giok Yin. "Tuan muda dengan
mendiang suamiku tiada permusuhan dan tiada dendam, tapi
mengapa ingin membuka peti mati memeriksa mayat
mendiang suamiku" Bolehkah dijelaskan padaku?"
Ciok Giok Yin menatap semua orang, lalu menyahut dengan
dingin. "Menuntut balas dendam almarhum suhuku."
"Siapa suhumu?"
"Suhuku adalah Sang Ting It Koay."
"Sang Ting It Koay?"
"Tidak salah."
"Dengar-dengar empat belas tahun yang lampau, dia mati
terpukul orang di puncak Gunung Muh San."
Mendadak Ciok Giok Yin tertawa gelak. Suara tawanya
mengandung kedukaan dan dendam kebencian.... Ternyata dia
teringat akan keadaan Sang Ting It Koay yang mengenaskan,
hidup menderita di lembah Tok Coa Kok tanpa sepasang
kaki. Kalau dia tidak memiliki lwee kang tinggi, tentu sudah
mati dari dulu. Dapat dibayangkan betapa menderita dan
tersiksanya Sang Ting It Koay hidup seorang diri di dalam
lembah itu. Usai tertawa, Ciok Giok Yin lalu berkata dengan
dingin. "Sayang sekali, beliau tidak mati!"
Bukan main terkejutnya semua orang yang berada di situ!
Mereka saling memandang dengan wajah pucat pias. Begitu
pula Nyonya Cu, dia tampak terkejut sekali.
"Belum mati?" katanya.
"Tidak salah."
"Dia tinggal di mana sekarang?"
"Sekarang dia justru sudah tiada."
"Sudah mati?"
"Dugaan Nyonya memang tidak salah."
"Kalau begitu, Tuan Muda pasti menerima pesan dari
almarhum untuk kemari menuntut balas?"
Ciok Giok Yin mengangguk. Nyonya Cu menghela nafas
panjang. "Tapi Tuan Muda datang terlambat," katanya dengan sedih.
"Masih belum terlambat."
"Maksudmu?"
"Aku ingin membuka peti mati untuk membuktikannya!"
Air muka Nyonya Cu, pemuda berpakaian duka dan beberapa
orang tua yang berada di rumah itu seketika berubah. Diamdiam
mereka semua sudah bersiap-siap. Asal Ciok Giok Yin
bergerrak, mereka pasti akan menyerangnya dengan
serentak. Gerak-gerik mereka itu tidak terlepas dari mata Ciok
Giok Yin, maka timbullah rasa curiga dalam
hatinya. Bagaimana mungkin begitu kebetulan" Hari ini dia
kemari, justru Tui Hong Sin Cian-Cu Ling Yun meninggal
semalam. Oleh karena itu, dia berkeras ingin membuka peti
mati itu untuk memeriksanya. Suasana di ruang duka menjadi
tegang mencekam. Pemuda berpakaian duka menatap Ciok
Giok Yin dengan penuh kebencian.
"Tuan Muda, orang mati habis hutangnya. Apakah kau masih
tidak mau melepaskannya?" kata Nyonya Cu.
"Aku ingin menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, baru
puas hatiku."
"Hanya menyaksikannya dengan mata kepalamu sendiri?"
"Tidak salah."
"Kau ingin merusak mayat?"
"Ini...."
Ciok Giok Yin terdiam, merasa tidak enak hati. Dia terus
berpikir, membuka peti mati merusak mayat, memang dapat
melampiaskan dendam suhu. Namun terhadap sanak famili
orang yang meninggal, merupakan suatu penghinaan
besar. Oleh karena itu, menyebabkan Ciok Giok Yin tidak tahu
harus menjawab apa, hanya berdiri termangu-mangu.
"Apakah Tuan Muda memikirkan akibatnya merusak mayat?"
tanya Nyonya Cu.
"Akibatnya?"
"Ng! "
"Apa akibatnya?"
"Kami semua pasti harus menjaga keutuhan mayat mendiang
suamiku. Maka kami akan menghadapimu dengan serentak.
Apakah kau akan selamat meninggalkan tempat ini?"
Perkataan Nyonya Cu membuat Ciok Giok Yin gusar, sepasang
matanya langsung berapi-api.
"Apakah Nyonya tahu seorang tokoh rimba persilatan
dikeroyok oleh kaum rimba persilatan sehingga menyebabkan
tokoh itu kehilangan sepasang kakinya, akhirnya harus hidup
menderita dan tersiksa di sebuah lembah" Keadaannya yang
mengenaskan itu tentunya akan menimbulkan kegusaran
Nyonya. Ya, kan?"
"Berdasarkan apa yang kudengar, itu cuma merupakan suatu
kesalah pahaman saja."
"Kesalah pahaman?"
"Nyatanya memang begitu!"
Ciok Giok Yin tertawa getir.
"Kesalah pahaman itu sungguh mengerikan!"
"Kalau begitu, kau tetap berkeras ingin membuka peti mati?"
"Ya!"
Air muka Nyonya Cu berubah menjadi hebat.
"Aku punya satu permohonan," katanya dengan suara
gemetar. "Katakan!"
"Bolehkah kau jangan merusak mayat suamiku?"
Ciok Giok Yin memandang ke sekelilingnya. Tampak semua
orang menatapnya dengan kebencian, dan itu membuat
hatinya tersentak. Sesungguhnya hati Ciok Giok Yin tidak
jahat, bahkan boleh dikatakan amat baik. Mendadak dia
teringat akan sebuah pepatah 'Orang sudah mati, segalanya
telah berakhir.' Teringat akan pepatah tersebut, dia lalu
berpikir, seandainya dia adalah sanak famili keluarga Cu, kalau
ada orang ingin merusak mayat, lalu dirinya harus
bagaimana" Setelah berpikir demikian, Ciok Giok Yin manggutmanggut.
"Nyonya Cu, silahkan buka peti mati! Kalau benar suamimu
sudah mati, maka semua dendam habis sampai di sini!"
"Orang sejati cuma sepatah kata!"
"Pasti! Harap Nyonya membuka peti mati itu!"
Nyonya Cu berpaling, ketika baru mau membuka peti mati
itu. Mendadak pemuda berpakaian duka itu maju selangkah.
"Ibu...," katanya.
"Nak, kalau tidak begini, Tuan Muda Ciok pasti curiga. Kau
Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mundur saja!"
Pemuda berpakaian duka mundur, namun sepasang matanya
terus menatap Ciok Giok Yin dengan penuh dendam
kebencian. Saat ini, para jongos sudah membawa perkakas.
"Buka peti mati!" seru Nyonya Cu dengan sedih. Para jongos
langsung membuka peti mati itu dengan perkakas yang telah
mereka siapkan.
"Ting! Tang...!"
Tak lama kemudian, peti mati itu terbuka. Ciok Giok Yin
mendekati peti mati itu dengan wajah diliputi hawa membunuh.
Dia menundukkan kepala melihat, tampak seorang tua yang
wajahnya pucat pias terbaring di dalam peti mati itu. Orang tua
itu berpakaian baru, namun memang sudah tidak bernafas
lagi. Ciok Giok Yin tidak melihat sesuatu yang
mencurigakan. Membuktikan bahwa orang tua itu memang
telah mati. Akan tetapi, semua orang yang berada di ruang
duka itu tampak bersiap-siap. Ciok Giok Yin menghela nafas
panjang, kemudian menjura pada Nyonya Cu.
"Aku mempercayai perkataan Nyonya, selamat tinggal!"
ucapnya. Badan Ciok Giok Yin bergerak, ternyata dia sudah melesat ke
luar. Akan tetapi, di saat bersamaan, mendadak terdengar
suara menderu-deru, ternyata suara angin pukulan yang
mengarah Ciok Giok Yin. Bersamaan itu, terdengar pula suara
bentakan sengit.
"Anak jahanam, kau telah menghina keluarga Cu, sehingga
membuat kami tidak punya muka lagi bertemu kawan-kawan
rimba persilatan! Tinggalkan nyawamu!"
Pemuda berpakaian duka juga ikut melancarkan
pukulan. Sedangkan badan Ciok Giok Yin berada di udara,
tentunya amat sulit baginya untuk menangkis atau
berkelit. Karena itu, dia terpaksa merosot turun lalu berdiri di
tempat. Wajahnya yang tampan berubah menjadi dingin,
sepasang matanya berapi-api menatap
"Kalian mau apa?"
"Menghabisimu!"
"Kalian mampu?"
"Tidak percaya lihat saja!"
Ruang duka itu kini dipenuhi hawa membunuh. Sedangkan
kegusaran Ciok Giok Yin sudah memuncak. Dia mengangkat
sepasang tangannya, tapi mendadak Nyonya Cu berseru
dengan suara gemetar.
"Tunggu, Tuan Muda!"
Ciok Giok Yin menurunkan sepasang tangannya.
"Ada petunjuk apa, Nyonya?" katanya sambil menatap
Nyonya Cu. Nyonya Cu menoleh menatap pemuda berpakaian
duka. "Binatang! Kau berani berlaku kurang ajar?" bentaknya
sengit. Pemuda berpakaian duka menundukkan kepala, kelihatannya
amat takut pada Nyonya Cu.
"Ibu.... Nyonya Cu berkata dengan air mata bercucurann.
"Binatang! Mulai sekarang dan selanjutnya kau masih berani
sedemikian kurang ajar, aku pasti tidak mengakumu sebagai
anak lagi! Cepat berlutut di hadapan peti mati!"
Pemuda berpakaian duka segera berlutut di hadapan peti
mati. Barulah Nyonya Cu menoleh memandang Ciok Giok Yin.
"Tuan Muda Ciok, pandanglah mukaku, kejadian tadi jangan
disimpan dalam hati!" katanya. Ciok Giok Yin merasa tidak
enak melampiaskan kegusarannya.
"Nyonya, aku mohon diri!" Dia segera melesat pergi. Tak lama
kemudian, dia sudah berada di luar perkampungan Hong Yun
Cuang. Saat ini malam sudah larut. Langit diselimuti awan
hitam. Sedangkan salju masih beterbangan, ternyata saat itu
musim rontok. Angin dingin terus berhembus menderu-deru.
Walau pakaian Ciok Giok Yin agak tipis, namun dia memiliki
lwee kang tinggi, maka tidak merasa dingin. Dia terus melesat
di bawah terjangan salju, sambil berkata dalam hati. 'Lebih
baik aku mencari kota untuk bermalam.' Lagi pula dia sudah
merasa lapar sekali. Ternyata sejak meninggalkan lembah Tok
Coa Kok, dia sama sekali tidak makan dan minum. Oleh karena
itu, dia terus melesat.
Berselang beberapa saat dia tiba di sebuah kota kecil, lalu
berjalan perlahan memasuki sebuah jalan. Namun, semua
rumah di kota itu sudah tertutup rapat. Siapa yang ingin keluar
dalam udara yang amat dingin ini" Tentunya mereka sedang
menghangatkan badan di ranjang atau di depan
tungku. Kebetulan Ciok Giok Yin melihat sebuah rumah
penginapan, tapi juga sudah tutup. Dia mendekati penginapan
itu, lalu mengetuk pintu. Lama sekali barulah terdengar suara
serak, terus mencaci tidak karuan.
"Udara sedemikian dingin, masih ada yang ke mari
menyampaikan berita duka" Siapa orang sial dangkalan itu"
Membuat darahku langsung naik!"
Ciok Giok Yin mendengar jelas cacian itu, maka membuatnya
amat gusar. Sementara suara cacian itu sudah sampai di balik
pintu, terdengar lagi suara bentakan.
"Siapa?"
"Aku!"
"Siapa kau?"
"Aku ya aku!"
"Kau kemari menyampaikan berita duka?"
Seketika kegusaran Ciok Giok Yin memuncak. Dia tidak
menyangka ada orang yang begitu tidak tahu tata
krama. Perlahan-lahan dia menjulurkan tangannya, lalu
terdengar suara.
Braak! Pintu itu telah hancur. Kemudian, Ciok Giok Yin juga
mengayunkan tangannya.
Plaaak! Ternyata dia menampar orang itu.
"Kau memang anjing buta, berani mencaci sembarangan!"
bentaknya. Orang itu tidak tahu apa yang terjadi, namun masih sempat
menjerit kesakitan.
"Aduuuh!" Dia menatap Ciok Giok Yin. "Kau berani memukul
orang?" bentaknya gusar. Kini orang itu sudah melihat jelas
Ciok Giok Yin, namun karena Ciok Giok Yin berdandan seperti
pemuda desa, maka orang itu menjadi berani.
"Dasar anak kampungan tak tahu diri! Kau sudah makan..."
cacinya lagi. "Plaaak!"
Ternyata Ciok Giok Yin sudah menamparnya, bahkan kali ini
jauh lebih keras dari pada tadi, sehingga membuat gigi orang
itu rontok tiga buah, dan pipinya membengkak.
"Aduh! Mak.... Tolong! Ada orang mau pukul aku..." jeritnya.
Tak lama, muncullah beberapa orang dari belakang.
"Ong Sam, apa yang terjadi?" tanya salah seorang dari
mereka. Di saat bertanya, orang itu sudah melihat Ciok Giok Yin,
begitu pula yang lain. Ciok Giok Yin berdiri dengan wajah
dingin, dan sepasang matanya menyorot tajam menatap
mereka. Orang-orang itu terkejut bukan main. Karena tatapan
Ciok Giok Yin membuat mereka merinding. Sebelum orang
yang dipanggil Ong Sam menyahut, Ciok Giok Yin telah
mendahuluinya. "Kalian tanya padanya!"
"Dia... dia pukul aku... tanpa alasan," sahut Ong Sam.
Mendengar itu, semua orang menatap Ciok Giok Yin dengan
gusar. "Mohon tanya..." tanya salah seorang dari mereka.
Mendadak Ciok Giok Yin mendekati Ong Sam.
"Coba katakan sekali lagi!" bentaknya sengit. Ternyata Ciok
Giok Yin teringat akan siksaan yang dialaminya setahun yang
lalu. Salah seorang lagi, segera teringat akan mulut Ong Sam yang
amat jahat itu, maka dia segera memberi hormat pada Ciok
Giok Yin. "Harap Tuan jangan marah!" katanya, kemudian orang itu
memandang Ong Sam. "Kau pasti sembarangan mencaci,
sehingga membangkitkan kegusaran tuan ini! Cepat enyah!
Untuk apa punya pelayan yang begini macam!" bentaknya
sengit. Orang itu mengayunkan kakinya menendang Ong Sam.
"Aduuuh...!" jerit Ong Sam. Mendadak dia menjatuhkan diri
berlutut di hadapan orang itu, "Majikan, memang aku yang
bersalah. Jangan pecat aku, maafkan aku kali ini...," katanya
memohon. Ternyata orang itu majikan penginapan.
Menyaksikan itu Ciok Giok Yin malah merasa tidak enak
dalam hati. "Sudahlah! Ajar dia agar lain kali tidak berlaku kurang ajar
lagi!" katanya kepada majikan penginapan. Ong Sam cepatcepat
berlutut di hadapan Ciok Giok Yin.
"Aku yang bersalah, tidak seharusnya aku mencaci maki Tuan
Muda. Kalau aku dipecat, ibuku yang sudah tua di rumah, pasti
akan mati kelaparan," ujarnya. Diam-diam Ciok Giok Yin
menghela nafas panjang, dia membujuk majikan penginapan
agar tidak memecat Ong Sam.
"Aku memandang muka tamu ini, kali ini kau kuampuni, cepat
bangun!" kata majikan penginapan pada Ong Sam. Bukan main
girangnya Ong Sam! Dia segera bangkit berdiri, kemudian
membawa Ciok Giok Yin ke kamar belakang, dan melayaninya
dengan hormat sekali. Kini dia sudah tahu, pemuda tampan ini
pasti orang dunia persilatan. Kalau tidak, bagaimana mungkin
gerakannya begitu cepat" Diam-diam Ciok Giok Yin tertawa geli
dalam hati, sebab melihat Ong Sam begitu takut dan
menghormatinya.
Sudah setahun lebih Ciok Giok Yin tidak menikmati hidangan
lezat, kali ini dia betul-betul bersantap bagaikan macan
kelaparan. Seusai makan, barulah Ciok Giok Yin duduk beristirahat.
Mendadak terdengar suara yang amat lirih.
Serrr! Ciok Giok Yin cepat-cepat membuka matanya. Sekilas dia
melihat seorang wanita berambut panjang mengenakan
pakaian putih, berkelebat melewati pintu kamarnya. Dia segera
meloncat turun. Justru di saat bersamaan tampak sebuah
benda putih meluncur ke arahnya. Ciok Giok Yin bergerak cepat
menyambut benda itu, yang rasanya amat lunak. Kemudan
tanpa melihat benda itu, dia langsung melesat ke luar. Setelah
itu, dia mencelat ke atas atap. Dilihatnya sosok bayangan putih
berkelebat, kemudian menghilang. Ciok Giok Yin tersentak, lalu
berkata dalam hati. 'Sungguh cepat gerakannya, membuktikan
wanita itu memiliki ilmu ginkang yang amat tinggi!'
Ciok Giok Yin tidak tahu akan maksud wanita itu, maka dia
berdiri termangu-mangu di atap. Tiba-tiba dia teringat akan
benda lunak yang di tangannya. Maka benda itu segera
dilihatnya, ternyata gumpalan kertas. Ciok Giok Yin
tercengang. Dia cepat-cepat membuka gumpalan kertas itu dan
kemudian dibacanya. Ternyata tulisan dalam kertas itu hanya
berbunyi ' hati-hati' .
Ciok Giok Yin tertegun. Apa maksud dengan kata 'hati-hati'
itu" Dia tidak kenal wanita itu, mengapa memperingatkannya"
Apakah ada orang menguntitnya dari belakang" Ketika Ciok
Giok Yin sedang berpikir, mendadak terdengar suara dengusan
dingin di belakangnya.
"Hmmmm!"
Ciok Giok Yin segera membalikkan badannya. Dilihatnya
seorang berusia empat puluhan berdiri di belakangnya. Orang
itu mengenakan pakaian hitam, di bagian depan bersulam
sepasang burung walet warna putih. Wajah orang itu tampak
dingin sekali, sepasang matanya terus menatap Ciok Giok Yin
tanpa berkedip.
"Bocah, sungguh cepat langkah kakimu!" katanya.
Ciok Giok Yin tertegun.
"Siapa Anda?"
"Ciu Kah, si Penyelidik dari perkumpulan Sang Yen Hwee!"
"Sang Yen Hwee?"
"Tidak salah!"
"Ada urusan apa?"
"Mari bicara di luar kota!"
Ciu Kah melesat pergi menuju pinggir kota. Ciok Giok Yin
tanpa banyak pikir, langsung mengikutinya. Tak lama mereka
berdua sudah tiba di pinggir kota. Ciu Kah berdiri di hadapan
Ciok Giok Yin. "Cepat serahkan Gin Tie!" katanya lantang.
"Gin Tie?"
"Tidak salah!"
"Aku juga sedang mencari Seruling Perak itu, cepat
serahkan!"
Ciu Kah tertawa dingin.
"Bocah, kalau kau tidak mengaku, aku pasti menghabisimu!
Lihat kau mau mengaku atau tidak" Dan juga kau pun harus
menyerahkan peta Si Kauw Hap Liok Touw!"
Usai berkata, Ciu Kah langsung menyerang Ciok Giok
Yin. Bukan main gusarnya pemuda itu! Dia tidak menyangka,
bahwa begitu keluar dari Goa Toan Teng Tong, akan begitu
banyak orang mendesaknya menyerahkan Seruling Perak. Ciok
Giok Yin tertawa dingin.
"Peta Si Kauw Hap Liok Touw memang ada padaku, maka
kalau kau punya kepandaian, silakan ambil!" bentaknya sambil
balas menyerang. Seketika serangkum angin yang amat panas
menerjang ke arah Ciu Kah.
"Soan Hong Ciang!" seru orang itu kaget.
"Tidak salah, memang Soan Hong Ciang!"
Ketika tanya jawab itu, pertarungan mereka telah melewati
tujuh jurus. Kedudukan Ciu Kah di perkumpulan Sang Yen
Hwee amat tinggi, tergolong pula pesilat kelas satu. Maka tidak
mengherankan kalau jurus-jurus yang dikeluarkannya amat
lihay. Pertarungan mereka sangat sengit, sehingga
menimbulkan suara yang menderu-deru. Mendadak terdengar
suara siulan panjang, dan tampak sesosok bayangan melayang
turun di tempat mereka bertarung.
Ternyata orang berpakaian hitam yang di bagian dada
bersulam sepasang burung walet warna putih juga. Di lengan
kiri orang itu, melingkar seekor ular beracun warna keemasemasan,
menjulurkan lidahnya menyemburkan uap
beracun. Kemunculan orang itu membuat Ciu Kah menyurut
mundur beberapa langkah, kemudian memberi hormat.
Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tong Cu (Pemimpin Ruang)!"
Ternyata orang itu Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee. Dia
mendengus. "Hm!"
Kemudian Tong Cu itu menatap Ciok Giok Yin. Namun
wajahnya tidak tampak, sebab ditutup dengan kain hitam, yang
tampak hanya sepasang matanya yang menyorot
tajam. Selangkah demi selangkah dia mendekati Ciok Giok Yin.
"Bocah, cepat serahkan Seruling Perak!" bentaknya.
"Jangan harap!"
"Kau cari mati!"
Ciok Giok Yin teringat pada Phing Phiauw Khek yang mati di
tangan para iblis perkumpulan Sang Yen Hwee. Seketika
timbullah rasa dendamnya terhadap orang-orang perkumpulan
Sang Yen Hwee. Maka dia langsung melancarkan sebuah
pukulan dengan sepenuh tenaga ke arah orang itu. Akan tetapi,
Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee itu menggerakkan
tangannya perlahan-lahan, membuat tenaga pukulan Ciok Giok
Yin seperti tenggelam ke dalam laut. Kemudian Tong Cu itu
pun mengibaskan tangannya. Bukan main dahsyatnya
kibatasan tangan orang itu! Membuat Ciok Giok Yin terpental
tiga depa ke belakang. Tampak dari mulutnya mengalir keluar
darah segar, dan matanya terasa berkunang-kunang.
Di saat bersamaan sesosok bayangan putih melayang turun
dari angkasa dan langsung menyambar Ciok Giok Yin, sekaligus
dibawa pergi. Bukan main cepatnya gerakan bayangan itu!
"Lepaskan dia!" bentak Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee
dan Ciun Kah dengan serentak lalu melesat
mengejarnya. Bayangan putih membawa Ciok Giok Yin ke
dalam rimba. Setelah sampai di tengah rimba dia menaruh Ciok
Giok Yin ke bawah seraya berkata dengan suara rendah.
"Cepatlah kau pergi, aku akan menghadang dua orang itu!"
Ciok Giok Yin masih dalam keadaan sadar. Dia melihat wanita
itu tidak lain adalah wanita yang melempar secarik kertas
padanya. Namun dia tidak menduga, bahwa wanita itu
berwajah buruk, amat tak sedap dipandang.
Hati Ciok Giok Yin tersentak.
"Mohon tanya Nona...."
Wanita itu menyahut dingin sebelum Ciok Giok Yin usai
berkata. "Namaku Yap Ti Hui."
"Yap Ti Hui?"
"Ya."
"Ini...."
"Tidak mirip sebuah nama kan" Hi hi hi..:!" Wanita itu tertawa
cekikikan. Suara tawanya amat nyaring dan merdu, sangat
sedap didengar, tidak seperti wajahnya yang tak sedap
dipandang. "Kau masih belum pergi?" bentak wanita itu.
"Tapi Nona...!"
Tiba-tiba terdengar suara siulan, membuat Yap Ti Hui
mengerutkan kening. Saat ini Ciok Giok Yin telah terpukul oleh
Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee. Dia tahu jelas bahwa
dirinya tidak bisa membantu wanita itu, bahkan sebaliknya
malah akan merepotkannya. Karena itu, dia langsung menarik
nafas dalam-dalam menghimpun hawa murninya, kemudian
melesat pergi. Baru saja berlari belasan depa, dia mendengar
suara pertarungan antara Yap Ti Hui dengan Tong Cu
perkumpulan Sang Yen Hwee dan Ci Kah. Mendadak terdengar
bentakan Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee.
"Kau masih ingin kabur?"
Tong Cu itu langsung memanahnya. Karena Ciok Giok Yin
telah terluka dalam, maka telinganya kurang peka. Tahu-tahu
panah itu telah menancap di bahunya, sehingga darah
segarnya langsung mengucur,
"Aduuuuh!" jeritnya lain roboh di tanah.
Untung dia tidak pingsan. Dia menahan rasa sakit dan
berkertak gigi berupaya bangkit berdiri, kemudian kabur
sekencang-kencangnya. Kini pakaiannya berlumuran darah,
lagi pula sebelumnya dia telah terluka parah, maka makin lama
larinya semakin lemah, sebab terlampau banyak darah
mengucur keluar.
Akhirnya dia roboh pingsan di atas salju. Sementara salju
terus brterbangan dan dingin berhembus menderuderu.
Perlahan-lahan tubuh Ciok Giok Yin tertutup salju, namun
panah yang menancap di bahunya masih menongol di
permukaan salju. Suara pertarungan antara Yap Ti Hui dan
kedua orang itu sudah tidak terdengar lagi. Suasana di tempat
itu menjadi sangat hening. Ini sudah keesokan harinya.
Mendadak seseorang bagaikan arwah penasaran muncul di
tempat itu. Tiba-tiba orang itu mengeluarkan suara
'Ih' Ternyata dia melihat sebatang panah nongol di permukaan
salju. Di saat bersamaan, secara mendadak Ciok Giok Yin
siuman. Dia langsung meloncat bangun dan ketika ingin lari,
dia melihat sosok bayangan di hadapannya. Bukan main
gusarnya Ciok Giok Yin!
"Aku akan mengadu nyawa dengan kalian!"
Dia menyerang orang itu. Orang itu terbelalak dan tertegun,
namun cepat-cepat berkelit. Setelah menyerang, Ciok Giok Yin
lalu membalikkan badannya kabur sekencang-kencangnya.
Sekonyong-konyong terdenngar suara di belakangnya. Sambil
terus berlari, Ciok Giok Yin menoleh ke belakang. Ternyata
yang bersiul adalah Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee dan
Ciu Kah. "Berhenti, kau ingin membawa pergi Seruling Perak?" bentak
Tong Cu perkumpulan dan Sang Yen Hwee.
Akan tetapi, orang yang muncul tadi menghadang di
depannya. Tentunya membuat Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee
amat gusar. "Siapa kau?" bentaknya keras.
"Cak Hun Ciu (Tangan Penusuk Roh)!"
"Kau ingin cari mati?"
"Tidak begitu gampang!"
Blam. Ternyata mereka berdua sudah saling mengadu
pukulan. Setelah beradu pukulan, Cak Hun Ciu tergerak
hatinya. 'Apakah bocah itu memiliki benda pusaka rimba
persilatan... Seruling Perak"' Karena berpikir begitu, dia
mengerahkan lwee kangnya, lalu melancarkan sebuah pukulan
ke arah Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee. Bukan main
dahsyatnya pukulannya itu! Tidak percuma orang itu
mempunyai julukan Cak Hun Ciu (Tangan Penusuk
Roh). Pukulan yang dilancarkannya, berhasil mendesak Tong
Cu perkumpulan Sang Yen Hwee selangkah ke belakang. Cak
Hun Ciu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia bergerak
cepat menyambar Ciok Giok Yin, lalu dibawa pergi.... Akan
tetapi, Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee tertawa dingin,
lalu bergerak cepat menghadang di depan Cak Hun Ciu.
Apa boleh buat Cak Hun Ciu terpaksa melempar Ciok Giok
Yin, kemudian melancarkan serangan ke arah kedua orang
itu. Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee dan Ciu Kah juga
melancarkan serangan serentak.
Blaaammmm! Walau Cak Hun Ciu berkepandaian tinggi, namun Tong Cu
perkumpulan Sang Yen Hwee dan Ciu Kah juga berkepandaian
tinggi, itu membuat Cak Hun Ciu tidak kuat menahan
gempuran lwee kang mereka berdua.
"Aaaakh!" jeritnya.
Mulutnya menyembur darah segar. Badannya terpental
beberapa depa, kebetulan jatuh di dekat Ciok Giok Yin. Tong
Cu perkumpulan Sang Yen Hwee menatap ke sana, sepasang
matanya menyorot tajam dan dingin. Dia dan Ciu Kah
mendekati mereka selangkah demi selangkah, kedua orang itu
pun berpikir, Seruling Perak dan peta Si Kauw Hap Liok Touw
pasti akan jatuh ke tangan mereka berdua. Akan tetapi, di saat
bersamaan, medadak melesat ke luar seorang wanita berambut
panjang mangenakan pakaian putih langsung menyerang
mereka berdua. Wanita itu tidak lain adalah Yap Ti Hui, Betapa
gusarnya Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee!
"Akan kuhabisi kan!" bentaknya mengguntur.
"Kau mampu" Kau menginginkan Seruling Perak, akupun
menginginkan peta Si Kauw Hap Liok Touw!"
Blam!" Plaak! Ternyata mereka sudah mulai bertarung. Walau dikeroyok
dua orang, Yap Ti Hui masih kelihatan gesit. Kepadaiannya
sungguh amat tinggi dan aneh pula. Akan tetapi, justru
mengherankan, Yap Ti Hui bertarung sambil mundur, seakan
ingin memancing mereka meninggalkan tempat itu. Namun
Tong Cu perkumpulan harus adalah orang licik. Setelah
menyerang, dia malah kembali ke tempat semula. Mendadak
sepasang matanya terbelakak, ternyata dia melihat sebuah
panji kecil menancap di tanah. Panji kecil itu bergambar
sekepal rambut putih.
"Pek Hoat Hujin (Nyonya Rambut Putih)!" serunya kaget.
Apabila panji tersebut muncul, pasti akan muncul pula Pek
Hoat Hujin. Belasan tahun ini, Pek Hoat Hujin telah
menggemparkan dunia persilatan. Baik golongan putih maupun
golongan hitam, tiada seorangpun pernah melihat wajah
aslinya, sebab dia muncul dan hilang selalu secara
mendadak Seketika Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee
memberi isyarat kepada Ciu Kah, kemudian mereka melesat
pergi meninggalkan tempat itu.
"Kalian mau kabur ke mana?" bentak Yap Ti Hui.
Wanita berbaju putih itu langsung mengarahkan ging kang
mengejar mereka berdua. Sementara Ciok Giok Yin siuman
perlahanlahan. Ketika membuka matanya, dia melihat Cak Hun
Ciu pingsan di sebelahnya. Ciok Giok Yin tahu, dia terluka
parah lantaran menolongnya. Oleh karena itu hatinya menjadi
berduka sekali.
"Lo cianpwee! Lo cianpwee!" serunya dengan mata bersimbah
air. Lama sekali. Beberapa saat kemudian Cak Hun Ciu
membuka matanya perlahan-lahan.
"Sobat kecil, aku... aku sudah tidak kuat...," katanya dengan
suara lemah sekali. Hati Ciok Giok Yin, tersentak.
"Lo cianpwee, aku mengerti sedikit tentang ilmu
pengobatan...,"
Cak Hun Ciu tersenyum geitr, sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Sobat kecil, nyawamu sediripun sulit dipertahankan."
Perkataan Cak Hun Ciu membuat Ciok Giok Yin tersentak
sadar, dan nyaris pingsan seketika. Kini dia baru ingat di
bahunya masih tertancap panah, dan darah segarnya masih
mengalir. Kalau tidak segera menambah darahnya, mungkin
dia hanya bisa hidup tiga atau lima hari lagi. Akan tetapi, di
tempat yang amat sepi ini, ke mana dia harus mencari obat
untuk menambah darahnya" Satu-satunya jalan, dia cuma
duduk diam menunggu kematian. Namun Ciok Giok Yin tidak
rela mati dengan cara begitu. Sebab dia masih punya banyak
urusan yang harus diselesaikannya, yaitu asal-usulnya,
mencari kekek tua berjengot putih, menuntut balas dendam
Sang Ting It Koay, dan mencari Seruling Perak serta sebuah
kitab Cu Cian. Apabila dia mati, bukankah semua itu akan ikut
kandas" Oleh karena itu, Ciok Giok Yin berusaha tenang.
"Lo cianpwee...," katanya.
Cak Hun Ciu menggoyang-goyangkan sebelah tangannya,
"Sobat kecil, terus terang lohu sama sekali tidak berniat
menolongmu, cuma mendengar mereka berkata, kau memiliki
Seruling Perak, lohu ingin.... tapi...," Berkata sampai di sini,
Cak Hun Ciu terbatuk-batuk, kemudian memuntahkan darah
segar. Ciok Giok Yin merasa tidak tega, maka segera mengurut
dadanya. "Sobat kecil, betulkah kau telah memperoleh Seruling Perak
itu?" tanya Cak Hun Ciu.
Ciok Giok Yin menggeleng kepala.
"Aku sama sekali tidak pernah melihat Seruling Perak itu...,"
dia menutur apa yang telah dialaminya.
"Mengapa Lo cianpwee menginginkan Seruling Perak itu?"
katanya kemudian.
"Kini urusan sudah jadi begini, tidak usah kukatakan lagi.
Sobat kecil, bagian dadaku telah remuk, aku pikir...,"
Berkata sampai di situ, mulutnya menyemburkan darah segar
lagi, dan wajahnya pucat pasi. Hati Ciok Giok Yin menjadi
kalut. "Lo cianpwee! Lo cianpwee...,"
"Usiamu masih muda, dan masa depanmu pasti cemerlang.
Maka... aku ingin menyalurkan hawa murniku ke dalam
tubuhmu agar kau dapat hidup beberapa hari lagi. Asal dalam
waktu beberapa hari, kau berhasil mencari Tiong Ciu Sin Ie, dia
pasti bisa menyembuhkanmu." kata Cak Hun Ciu perlahanlahan.
"Tiong Ciu Sin Ie?"
"Tidak salah."
"Sebetulnya bagaimana orangnya?"
Di dalam benak Ciok Giok Yin, muncul bayangan kakek tua
berjenggot putih. Dia yakin kakek tua berjenggot putih itulah
Tiong Ciu Sin Ie.
"Dia sudah berusia lanjut, dan rambutnya putih bagaikan
perak. Dia tahu cara menjaga badan dan mahir ilmu
pengobatan, maka dia tampak seperti baru berusia lima
puluhan. Asal kau berhasil mencarinya, kaupun pasti bisa
sembuh," sahut Cak Hun Ciu.
Ciok Giok Yin manggut-manggut dan amat terharu, sebab Cak
Hun Ciu akan menyalurkan hawa murninya.
"Lo cianpwee tidak boleh berbuat demikian."
Cak Hun Ciu menghela nafas panjang.
"Sobat kecil, apakah nyawa kita berdua harus melayang di
sini" Seandainya ajalmu belum tiba, tentunya dapat mencari
Tong Cu!" Ciok Giok Yin tidak menyahut. Cak Hun Ciu menatap Ciok
Giok Yin dengan mata suram.
"Lohu ingin bertanya satu hal padamu."
"Mengenai hal apa" Tanyalah!"
"Kau suddah bertunangan belum?"
"Belum."
"Bagus! Lohu punya seorang anak perempuan, namanya Ie
Ling Ling, namun telah hilang belasan tahun. Lohu harap kau
dapat mencarinya, lalu kalian menikah menjadi suami istri.
Kalau permintaan lohu ini kau kabulkan, lohu akan mati dengan
Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mata terpejam. Ciok Giok Yin tidak tahu harus menjawab apa,
akhirnya dia mengangguk. Cak Hun Ciu tampak girang sekali.
Dia berkertak gigi sambil bangun duduk. Setelah itu, sepasang
telapak tangannya ditempelkan pada punggung Ciok Giok
Yin. Ternyata Cak Hun Ciu mulai menyalurkan hawa murninya
ke dalam tubuh pemuda itu. Seketika Ciok Giok Yin merasa di
punggungnya ada aliran hangat menerobos ke dalam
tubuhnya. Berselang beberapa saat, sepasang telapak tangan Cak Hun
Ciu merosot ke bawah. Ciok Giok Yin segera menoleh ke
belakang, ternyata Cak Hun Ciu sudah meninggal dengan mata
terpejam. Demi nyawa Ciok Giok Yin, orang tua itu memperpendek
nyawanya sendiri. Dapat dibayangkan, betapa terharunya Ciok
Giok Yin. Lagi pula kini dia pun menjadi menantu orang tua itu.
Tidak heran dia menangis meraung-raung, lama sekali dia
menangis sedih. Berselang beberapa saat, barulah dia berhenti
menngis, lalu mengubur mayat Cak Hun Ciu. Kuburan itu
diberinya papan nama, agar kelak bisa membawa Ie Ling Ling
ke sana untuk berziarah. Ciok Giok Yin meninggalkan tempat
tanpa arah. Yang jelas dalam waktu sepuluh hari, dia harus
berhasil mencari Tiong Ciu Sin Ie. Kalau tidak, dia pasti akan
mati. Kini dia pun menaruh dendam terhadap perkumpulan
Sang Yen Hwee, karena orang-orang perkumpulan tersebut
telah melukai dirinya, bahkan juga telah membunuh Cak Hun
Ciu, mertuanya itu.
Tapi yang terpenting, dia harus berusaha mencari Tiong Ciu
Sin Ie, sebab kalau tidak, segala-galanya pasti
berakhir. Karena melakukan perjalanan tergesa-gesa,
membuat bahunya mulai mengucurkan darah lagi. Namun dia
tetap bertahan. Dalam perjalanan, dia terus berpikir. Apakah
Tiong Ciu Sin Ie adalah kakek tua berjenggot putih" Kalau
benar, kakek tua itu pasti dapat menyembuhkannya. Akan
tetapi, harus ke mana dia pergi mencari Tong Cu tersebut" Di
dunia persialatan yang sedemikian luas, untuk mencari
seseorang, bukan merupakan hal yang gampang.
Urusan yang samar-samar. Harapan yang samarsamar.
Namun. Justru ada suatu kekuatan terus mendukung
dirinya. Sepertinya dia melihat seorang tua berambut dan
berjengot putih bagaikan perak, berdiri di hadapannya.
Kemudian orang tua itu menjulurkan tangannya mencabut
panah yang menancap di bahunnya, setelah itu mulai
mengobatinya. Ciok Giok Yin yang mengerti ilmu pengobatan,
tanpa sadar berseru.
"Kakek tua...!"
Mendadak terdengar suara tawa dingin di belakangnya, yang
disusul oleh suara parau.
"Bocah, kali ini tiada lagi yang akan menyelamatkanmu!"
Ciok Giok Yin tersentak sadar dari lamunannya. Dia segera
membalikkan badannya dan seketika merasa sukmanya
terbang pergi. Ternyata Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee
dan Ciu Kah berdiri di sana, menatapnya dengan dingin
sekali. Saat ini, Ciok Giok Yin telah terluka parah. Kalaupun
tidak terluka parah, dia juga tidak akan mampu menandingi
kedua orang itu. Musuh berhadapan, mata pasti memerah.
"Bayar nyawa mertuaku!" bentak Ciok Giok Yin.
Dia langsung menerjang ke arah ke dua orang itu. Kedua
orang itu sama sekali tidak berkelit, cuma mendengus dingin.
"Hmmm! Lebih baik kau diam!"
Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee menggerakkan
tangannya, sehingga membuat pukulan Ciok Giok Yin kandas
seketika. Di saat bersamaan, dia pun merasakan adanya
serangkum angin halus menerjang ke arahnya, sehingga
sekujur badannya menjadi tak bertenaga. Ciok Giok Yin
menghela nafas panjang dan berkeluh dalam hati,
'Habislah!' Dia memejamkan matanya, keringat sebesar-besar
kacang hijau merembes keluar dari keningnya.
Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee, mendekati Ciok Giok
Yin selangkah demi selangkah, sepasang matanya menyorot
bengis. Langkahnya menimbulkan suara 'Serrr! Serrrr' Mautpun
mulai mendekati Ciok Giok Yin. Apakah dia akan mati di tempat
itu" Sesungguhnya Ciok Giok Yin memang tidak ingin mati,
sebab masih banyak urusan yang harus diselesaikannya.
Namun apa boleh buat, keadaan tidak menginginkanya untuk
hidup. Kini hatinya terasa hampa, apapun tidak dapat
dirasakannya! Mungkin disaat manusia hampir mati, memang
begitu. Karena apabila berpikir yang bukan-bukan, malah akan
menambah penderitaan. Saat ini, Tong Cu perkumpulan Sang
Yen Hwee sudah mendekati Ciok Giok Yin. Dia mengangkat
sebelah tangannya, siap melancarkan pukulan maut ke arah
Ciok Giok Yin. Mendadak terdengar suara siulan yang amat nyaring,
bergema menembus angkasa. Di saat bersama, melayang
turun sebuah panji kecil di tengah-tengah Tong Cu
perkumpulan Sang Yen Hwee dan Cak Hun Ciu . Panji kecil itu
berwarna merah, di tengahnya ada gambar rambut putih
panjang. Bukan main terkejutnya Tong Cu perkumpulan Sang
Yen Hwee ! "Pek Hoat Hujin!" serunya tanpa sadar. Sekujur badannya
bergemetar, lalu melesat pergi dan diikuti Ciu Kah dari
belakang. Ciok Giok Yin tidak tahu apa yang telah terjadi. Namun dia
mendengar suara siulan itu dan suara seruan Tong Cu
perkumpulan Sang Yen Hwee. Akan tetapi, Ciok Giok Yin tetap
tidak membuka matanya, menunggu Tong Cu perkumpulan
Sang Yen Hwee turun tangan membunuhnya. Lama sekali tidak
terjadi apa-apa, lagi pula suasana di tempat itu telah berubah
menjadi sangat hening. Ciok Giok Yin merasa heran, kemudian
dengan perlahan-lahan membuka sepasang matanya. Dia
terbelalak, karena Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee dan
Ciu Kah sudah tidak kelihatan.
Ciok Giok Yin merasa penasaran. Dia menengok ke sekeliling,
namun tidak tampak seorangpun di sekitarnya. Dia berkata
dalam hati. 'Siapa Pek Hoat Hujin" Apakah barusan dia yang
menyelamatkanku" Padahal aku tidak pernah berjumpa
dengannya, juga tidak pernah mendengar tentang dirinya.
Bagaimana dia mau turun tangan menyelamatkan diriku"' Ciok
Giok Yin benar-benar tidak habis pikir tentang itu, tidak habis
pikir, sebetulnya siapa Pek Hoat Hujin tersebut" Dia mencoba
menggerakkan badannya. Ternyata tangannya telah pulih
hanya saja merasa beberapa jalan darahnya agak
tersumbat. Memang wajar, sebab dia banyak kehilangan darah.
Kalau dia memperoleh obat penambah darah, kesehatannya
pasti akan pulih seperti semula.
Bahaya telah berlalu, maka kini timbul lagi harapannya. Dia
mengayunkan kakinya, mulai melesat pergi. Sementara hari
sudah mulai gelap. Sedangkan angin dingin terus berhembus,
sehingga salju tak henti-hentinya beterbangan. Tak seberapa
lama kemudian dia mulai merasa lelah, namun demi mencari
Tiong Ciu Sin Ie, dia harus terus bertahan. Bahunya mulai
mengucurkan darah lagi. Itu membuatnya cepat merasa lelah
dan matanya mulai berkunang-kunang. Dia berharap
mendapatkan sesuatu tempat yang tenang untuk beristirahat
sejenak,Setelah itu, barulah melanjutkan perjalanan. Mendadak
dia behenti. Ternyata dia meihat sebuah kuil tua. Tanpa perduli
ada bahaya atau tidak di dalam kuil tua itu, dia langsung
menerobos ke dalam.
Di dalam kuil tua itu terdapat beberapa buah patung dewa
dan sebuah meja bobrok, tidak terdapat benda lain. Suasana di
dalam kuil tua itu amat mcnyeramkan, sehingga sekujur badan
Ciok Giok Yin menjadi merinding. Tiba-tiba terdengar suara
'Serrt', dan tampak sebuah benda hitam meluncur
turun. Bukan main terkejuinya Ciok Giok Yin, sehingga bulu
kuduknya berdiri. Lama sekali, tidak terdengar suara itu
lagi. Ciok Giok Yin menoleh perlahan-lahan, tapi tidak tampak
ada sesuatu di dalam kuil tua itu, barulah Ciok Giok Yin
menarik nafas lega.
Namun di saat bersamaan, tampak berkelebat sebuah benda
hitam meluncur ke dalam kuil. Kali ini Ciok Giok Yin
memberanikan diri untuk melihat dengan seksama. Setelah
melihat jelas benda hitam yang meluncur ke dalam itu, Ciok
Giok Yin nyaris tertawa geli, karena ternyata adalah
kelelawar. Kini dia betul-betul menarik nafas lega. Dia
mengambil keputusan untuk tidur di kolong meja bobrok itu,
esok pagi baru melanjutkan perjalanan.
Karena itu, dia merangkak ke dalam meja itu.... Akan tetapi,
mendadak dia berseru kaget dan langsung membalikkan
badannya untuk keluar dari kolong meja. Kali ini dia betul-betul
merasa sukmanya terbang entah ke mana dan sekujur
badannya pun merinding. Ternyata ketika dia merangkak ke
dalam kolong meja, tangannya menyentuh tubuh seseorang
yang berlumuran darah.
Walau Ciok Giok Yin tergolong pemuda pemberani, namun di
saat ini, dia seorang diri berada di dalam kuil tua yang
suasananya menyeramkan, membuatnya merasa takut juga.
Apalagi setelah menyentuh tubuh orang yang berlumuran di
kolong meja itu, tentu dia bertambah takut dan merasa seram.
Setelah berada di luar kolong meja, barulah Ciok Giok Yin
ingat, tubuh orang itu masih terasa hangat, pertanda orang itu
belum mati. Seketika timbul rasa simpatinya terhadap orang
yang berlumuran darah di kolong meja. Dia harus memeriksa
luka orang itu, siapa tahu masih bisa ditolong. Dia
membungkukkan badannya, namun ketika dia baru mau
merangkak ke dalam kolong meja, tiba-tiba terdengar suara
siulan yang amat nyaring, dan tak lama kemudian tampak
sesosok bayangan hitam melayang turun di depan kuil.
Ciok Giok Yin segera memandang ke sana. Orang yang baru
datang itu berwajah amat bengis dan seram, sepasang
matanya menyorot liar dan ambutnya awut-awutan. Sungguh
menakutkan orang itu! Dia memandang ke dalam kuil tua itu.
Begitu melihat Ciok Giok Yin, orang itu langsung bertanya.
"Siapa kau?"
Ciok Giok Yin yang telah ketularan sifat aneh Sang Ting It
Koay, menyahut ketus.
"Perduli amat siapa aku?"
"Bocah, aku ingin bertanya satu urusan padamu!" bentak in
itu. "Urusan apa?"
"Kau harus mengatakannya dengan jujur!"
"Kalau tidak?"
"Aku akan mematahkan tangan dan kakimu, kemudian
membeset kulitmu, setelah itu...,"
"Setelah itu bagaimana?"
"Akan kucincang kau jadi daging halus!"
Hati Ciok Giok Yin tersentak mendengar itu. Kemudian dia
berkata dalam hati. 'Kalau kedatangannya lantaran diriku,
walau aku mengatakan sejujurnya, juga sulit lolos dari bahaya.
Seandainya kedatangannya karena orang yang berlumuran
darah di kolong meja itu...'
"Mau bertanya apa, tanyakan saja!" katanya dengan dingin.
"Kau pernah melihat seseorang?"
"Siapa?"
"Seorang yang terluka parah, sekujur badannya berlumuran
darah!" Ciok Giok Yin manggut-manggut sambil berkata dalam hati.
'Ternyata memang begitu!'
"Aku melihat!" sahutnya dingin.
"Dia berjalan ke mana?"
"Dia berlari cepat sekali, kelihatannya... berlari ke arah
timur!" "Baik! Kalau kau berdusta, aku akan kemari mencabut
nyawamu!" Mendadak sepasang mata orang itu menyorot bengis.
"Tua bangka sialan! Bagaimana kau dapat lolos dari tanganku
Tui Beng Thian Cun (Malaikat Langit Pengejar Nyawa)?"
katanya dengan sengit. Badannya bergerek, tahu-tahu sudah
melesat pergi. Orang itu menyebut dirinya Tui Beng Thian Cun. Namun Ciok
Giok Yin belum pernah berkecimpung di dunia persilatan, maka
tidak tahu asal-usul orang itu. Namun Ciok Giok Yin yakin,
orang itu bukan dari golongan lurus.
"Kalau aku masih bisa hidup, aku bersumpah akan membasmi
para penjahat di dunia persilatan, agar orang baik tidak
dicelakai para penjahat lagi!" gumamnya.
Mendadak Ciok Giok Yin tersentak, kemudian berkata dalam
hati. 'Kalau Tui Beng Thian Cun itu tidak berhasil mengejar,
pasti akan balik ke mari. Aku dan orang tua berlumuran darah
itu, tentunya akan celaka di tangannya.' Oleh karena itu, Ciok
Giok Yin cepat-cepat merangkak ke dalam kolong meja itu, lalu
membawa orang tua berlumuran darah itu meninggalkan kuil
tua. Ciok Giok Yin membawa orang tua berlumuran itu menuju ke
arah barat. Dia yakin Tui Beng Thian Cun tidak akan kembali
dalam waktu singgkat. Tak seberapa lama, Ciok Giok Yin
sampai di sebuah gunung. Dia meihat sebuah goa, kemudian
bersembunyi di dalam goa itu, dan rasanya cukup aman. Udara
amat dingin, membuat sekujur badannya menggigil. Itu karena
dia terluka parah, sudah tiada tenaga untuk menghimpun hawa
murninya. Lagi pula tadi dia terus berjalan dengan kencang,
sudah barang tentu melelahkan dirinya, namun membuat
badannya terasa hangat. Kini dia telah berhenti, ditambah
terhembus angin dingin, maka tidak mengherankan kalau
sekujur badannya menjadi menggigil.
Hingga saat ini, dia masih belum melihat jelas wajah orang
tua yang berlumuran darah itu. Maka dia keluar dari goa,
mencari sedikit dahan kering, kemudian dibawa ke dalam
goa. Akan tetapi, bagaimana cara menyalakan api" Dia
termangu-mangu. Mendadak dia teringat pada orang tua yang
berlumuran darah. Dia adalah kaum rimba persilatan, tentunya
membawa barang-barang itu.
Karena itu, Ciok Giok Yin segera merogoh ke dalam baju
orang tua yang terluka parah itu. Benar di dalam baju orang
tua itu terdapat semacam batu yang dapat dipergunakan untuk
menyalakan api. Ciok Giok Yin cepat-cepat menyalakan api dan
membakar dahan-dahan pohon kering itu. Setelah api menyala
dan dahan-dahan itu terbakar, keadaan di dalam goa menjadi
agak terang dan hangat.
Dia justru tidak berpikir, menyalakan api di malam hari pasti
akan terlihat orang. Saat ini barulah dia menengok ke arah
orang tua yang berlumuran darah. Seketika dia terbelalak dan
Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekujur badannya menjadi gemetar.
"Kakek Tua! Kakek Tua..." serungnya kaget. Dia
menggoyang-goyangkan badan orang tua itu. "Kakek Tua!
Kakek Tua...." Air matanya bercucuran. Ciok Giok Yin terus
menangis, sehingga tidak mampu berkata. Siapa orang tua
yang badannya berlumuran darah itu" Ternyata kakek tua
berjenggot putih yang sedang dicari Ciok Giok Yin. Justru tak
disangka, kini kakek tua itu terluka parah dengan sekujur
badan berlumuran darah, bahkan nafasnya juga amat
lemah. Ciok Giok Yin terus menangis meraung-raung.
Kakek tua berjengot putih adalah penolongnya, dan juga
satu-satunya orang yang amat dekat dengannya. Kini keadaan
kakek tua berjenggot putih itu sudah sekarat, bagaimana dia
tidak merasa sedih" Saking sedihnya, Ciok Giok Yin menjadi
lupa bertanya pada kakek tua berjenggot putih apa gerangan
yang terjadi. Dia cuma terus menangis dan menangis, kalau
saat ini kakek tua berjenggot putih meninggal, di dunia ini
sudah tiada lagi orang yang amat dekat dengannnya. Dia tidak
boleh membiarkan kakek tua berjenggot putih itu mati.
Mereka berdua harus hidup, sebab masih banyak urusan yang
harus mereka selesikan, juga banyak hal yang harus
ditanyakan pada kakek tua berjenggot putih itu. Dia terus
menangis sambil memanggil kakek tua berjengot putih itu.
"Kakek Tua! Kakek Tua...."
Suara tangisnya amat memilukan. Akhirnya air matanya
berubah menjadi agak kemerah-merahan, ternyata matanya
mulai mengeluarkan air mata darah. Berselang beberapa saat
kemudian, telinga kakek tua berjenggot putih itu sepertinya
mendengar suara tangisan Ciok Giok Yin. Hatinya tergerak, lalu
menarik nafas yang amat panjang. Mendengar itu Ciok Giok Yin
langsung berhenti menangis.
"Kakek Tua , aku adalah Anak Yin..." katanya.
Perlahan-lahan kakek tua berjenggot putih membuka
matanya. Walau pandangannya agak kabur, namun dia masih
dapat melihat seraut wajah yang amat dikenalnya. Seketika
kakek tua berjenggot putih bergumam.
"Apakah ini... ini dalam mimpi...?"
Mendengar suara itu, Ciok Giok Yin bertambah sedih.
"Kakek Tua, ini bukan mimpi, aku benar Anak Yin," sahutnya
terisak-isak. Kakek tua berjenggot putih mengangkat sebelah
tangannya perlahan-lahan, kemudian membelai wajah Ciok
Giok Yin. Sedangkan wajah kakek tua tampak tenang dan
berseri. "Sungguhkah... kau adalah Anak Yin?"
"Sungguh, Kakek Tua!"
Kakek tua itu membelalakakan matanya, agar dapat melihat
lebih jelas, kemudian menggeleng-gelengkan kepala.
"Bukan, kau membohongiku."
"Kakek Tua, aku tidak bohong, aku memang benar Anak Yin."
"Anak Yinku kurang berbakat, lagi pula tidak pernah belajar
ilmu silat. Kau pasti Ciok Giok Yin palsu, yang belum lama
muncul di dunia persilatan. Cepat katakan sejujurnya!"
Ciok Giok Yin tahu saat ini pikiran kakek tua itu masih kabur,
maka dia segera mengeluarkan sebutir obat Ciak Kim Tan, lalu
dimasukkan ke dalam mulut kakek tua itu.
"Kakek Tua, ini obat Ciak Kim Tan pemberian Kakek Tua.
Telanlah obat ini, Kakek Tua pasti dapat melihat dengan jelas
siapa diriku. Kakek tua itu menelan obat tersebut. Berselang beberapa
saat, mendadak dia memeluk Ciok Giok Yin erat-erat, sambil
berkata dengan suara gemetar.
"Nak, sungguh menyusahkanmu!" Dia berhenti sejenak.
"Nak, tuturkanlah segala apa yang menimpa dirimu!"
lanjutnya. Ciok Giok Yin mengangguk, lalu menutur tentang apa yang
dialaminya selama ini. Kakek tua berjenggot putih
mendengarkan dengan penuh perhatian. Seusai Ciok Giok Yin
me- nutur, kakek tua itu berkata.
"Nak, sabarlah sebentar!"
Kakek tua itu merogoh ke dalam bajunya untuk
mengeluarkan sebuah botol kecil. Kemudian dia menuang dua
butir obat berwarna putih, sekaligus dimasukkan ke dalam
mulutnya. "Nak, aku akan bersemedi sejenak. Setelah itu, barulah kita
bicara." Kakek tua itu langsung duduk bersemedi, mulai menghimpun
hawa murninya. Ciok Giok Yin terus memandangnya. Dalam
hatinya entah merasa girang atau sedih. Dia merasa girang
karena berjumpa kakek tua berjenggot putih, tapi sedih karena
kakek tua itu terluka parah. Seandainya kakek tua itu.... Dia
tidak berani berpikir lagi, cuma air matanya yang meleleh. Di
saat bersamaan, dia pun merasa pandangannya agak gelap. Itu
karena terlampau banyak mengeluarkan darah. Dia segera
duduk dan memejamkan matanya untuk beristirahat.
Akan tetapi, dia sama sekali tidak bisa beristirahat, sebab
pikirannya terus berjalan. Dia memikirkan ilmu pengobatan
yang diturunkan kakek tua berjenggot putih padanya, apakah
terdapat bahan obat yang dapat menahan darah" Walau terus
berpikir, namun sama sekali tidak menemukan itu, hanya ada
satu cara, yaitu mengambil darah orang yang sehat, kemudian
disalurkan ke dalam tubuhnya. Sembari berpikir, dia membuka
matanya memandang ke arah kakek tua berjenggot putih.
Dilihatinya wajah kakek tua itu masih kekuning-kuningan. Kini
dalam hati Ciok Giok Yin amat dendam pada perkumpulan Sang
Yen Hwee, juga pada Tui Beng Thian Cun.
Dia bersumpah apabila dia masih bisa hidup, akan
memusnahkan perkumpulan Sang Yen Hwee. Mengenai Tui
Beng Thian Cun, dia akan mencincangnya demi menuntut balas
dendam kakek tua berjenggot putih. Mendadak kakek tua
berjenggot putih itu membuka sepasang matanya, kemudian
pasang kuping mendengarkan suara di luar. Tapi yang
terdengar hanya suara desiran angin, tidak ada suara
lain. Kakek tua itu tampak lega. Dia segera menggenggam
tangan Ciok Giok Yin, sambil berkata agak terisak.
"Nak, Kakek ke luar justru demi dirimu." Ciok Giok Yin
tertegun. "Demi diriku?"
"Tidak salah, aku melihat tulangmu tidak cocok untuk belajar
ilmu silat, namun kau justru harus belajar ilmu silat, maka aku
pergi ke gunung mencari bahan obat untukmu."
"Kakek Tua berhasil mencari bahan obat itu?"
"Segala benda pusaka maupun buah langka yang berkhasiat,
tidak bisa dicari. Kalau berjodoh, barulah dapat
menemukannya. Maka, selama itu aku tidak pulang ke Tong
Keh Cuang." Dia memandang bahu Ciok Giok Yin.
"Nak, aku harus mencabut panah itu dulu, barulah kita
bercakap-cakap."
Kakek tua berjenggot putih menotok jalan darah di bahu Ciok
Giok Yin. "Nak, jangan kuatir, tidak akan sakit."
Mendadak tangan kakek tua itu bergerak cepat, ternyata
telah berhasil mencabut panah itu.
"Aduuuh!" jerit Ciok Giok Yin.
Dia nyaris pingsan. Sedangkan kening kakek tua itu
mengucurkan keringat. Dia cepat-cepat menaruh obat pada
bekas luka panah itu.
"Nak, aku akan membantumu melancarkan peredaran
darahmu." Ciok Giok Yin mengangguk. Kakek tua berjenggot putih mulai
membantu Ciok Giok Yin melancarkan jalan
darahnya. Berselang sesaat, wajah kakek tua itu tampak
berubah hebat. "Nak, kau cuma bisa hidup enam hari lagi," kata dengan
suara gemetar. "Aku sudah tahu." Sahutnya , dengan tenang, tanpa terkejut.
"Kau bilang Cak Hun Ciu menyuruhmu pergi mencari Tiong
Ciu Sin le?"
"Ya."
"Tahukah kau siapa aku?"
"Aku...."
Ciok Giok Yin tidak tahu harus menjawab apa. Walau dia
dibesarkan kakek tua berjenggot putih, namun tidak tahu
julukannya. "Sesungguhnya aku tidak mau memberitahukan, tapi kini
sudah amat terdesak sekali, maka harus kuberitahukan. Aku
memang Tiong Ciu Sin Ie."
"Kakek Tua...."
"Nak,aku telah terluka parah oleh pukulan Tui Beng Thian
Cun. Setelah aku mati, dendamku ini berada pada bahumu,
kau harus menuntut balas dendamku ini!"
"Kakek tua tidak akan..."
Tiong Ciu Sin Ie tersenyum getir.
"Aku menyembuhkan seorang musuhnya. Entah bagaimana
dia mengetahuinya, maka dia menantangku bertarung.
Kepandaiannya memang amat tinggi sekali, cuma dengan
sebuah pukulan, dia telah berhasil melukaiku." Tiong Ciu Sin Ie
menarik nafas dalam-dalam.
"Nak, tahukah kau tentang asal-usulmu?"
Ciok Giok Yin menggelengkan kepala.
"Tidak tahu."
"Kelak kau harus pergi ke gunung Cong Lam San mencari Can
Hai It Kiam. Dia akan menyerahkan sepucuk surat padamu.
Setelah membaca surat itu, kau akan tahu sendiri."
"Dia akan menyerahkan padaku?"
"Kau harus bilang, Tiong Ciu Sin Ie yang suruhmu ke sana."
Sepasang biji mata Tiong Ciu Sin Ie berputar.
"Nak, nyawamu cuma tinggal enam hari." lanjutnya.
"Anak Yin sudah tahu itu."
Tiong Ciu Sin Ie mengerutkan kening.
"Kau tahu penyakitmu itu?" katanya heran.
Ciok Giok Yin mengangguk.
"Tahu."
"Bagus! Ilmu pengobatanku ada yang menerusinya."
Tiong Ciu Sin Ie mengeluarkan sebuah pipa perak yang amat
kecil, kemudian juga mengeluarkan dua batang jarum dan obat
koyok. "Tancapkan pada saluran darahmu!"
Terkejut sekali Ciok Giok Yin mendengar itu, sebab dia mahir
ilmu pengobatan, berkata dengan suara bergetar.
"Kakek Tua, tidak boleh! Anak Yin tidak bisa...."
Wajah Tiong Ciu Sin Ie berubah dingin.
"Cepat tancapkan, tentunya kau punya alasan!" bentaknya
sengit. Akan tetapi, Ciok Giok Yin tidak melakukan itu, karena dia
tahu Tiong Ciu Sin Ie akan menyalurkan darahnya, kalau
begitu, bukankah nyawa kakek tua itu akan melayang" Tiong
Ciu Sin Ie menatap Ciok Giok Yin dengan gusar, kemudian
mendadak menarik tangannya, sekaligus menancapkan pipa
kecil itu di lengannya. Setelah itu, sebelah ujung pipa kecil itu
juga ditancapkan pada lengannya sendiri.
"Apabila kau sudah merasa agak pusing, boleh mencabut pipa
kecil itu!" pesannya.
Jilid 05 Cara menyalurkan darah ini tidak boleh dibuat main-main,
sebab kalau kurang hati-hati, mereka berdua pasti celaka,
bahkan mungkin akan mati. Akan tetapi, di saat bersamaan,
terdengar suara siulan yang menyeramkan bergema
menembus angkasa, dan tak seberapa lama kemudian, tampak
sosok bayangan melayang turun di depan goa itu. Orang itu
tertawa seram, "Bocah jahanam, kau sungguh berani membohongiku Tui
Beng Thian Cun! Aku akan mencincang kalian berdua!"
bentaknya. Sepasang matanya menyorot bengis ke dalam goa, kemudian
dia berjalan ke dalam selangkah demi selangkah. Kini maut
mulai mendekati Tiong Ciu Sin Ie dan Ciok Giok Yin. Saat ini
sepasang mata Tiong Ciu Sin Ie berputar.
"Nak, kau cuma beristirahat saja! Segalanya ada aku,"
katanya rendah. Ciok Giok Yin tidak bisa bergerak dan
bersuara, namun hatinya amat berduka sekali. Sementara Tui
Beng Thian Cun tertawa seram lagi.
"Kalian berdua pasti mati!" katanya dengan suara parau.
Kini jarak mereka cuma satu depa lebih, sedangkan Tui Beng
Thian Cun sudah mengangkat sebelah tangannya.
"Kau bisa menyembuhkan satu orang, aku justru bisa
membunuhmu!"
Di saat Tui Beng Thian Cun baru mau melancarkan pukulan,
mendadak Tiong Ciu Sin Ie membentak keras.
"Iblis! Terimaalh pukulanku!"
Ternyata Tiong Ciu Sin Ie melancarkan sebuah pukulan ke
arah Tui Beng Thian Cun.
Plak! Tui Beng Thian Cun sama sekali tidak menyangka, bahwa
dalam keadaan seperti itu Tiong Ciu Sin Ie masih mampu
melancarkan pukulan yang begitu dahsyat, otomatis
membuatnya termundur dua langkah. Sedangkan Tiong Ciu Sin
Ie juga mengucurkan keringat dingin, sebab kedua ujung pipa
kecil itu nyaris tercabut.
Tui Beng Thian Cun tertawa seram, dan mulai melangkah
maju, namun ketika dia baru mengangkat sebelah tangannya,
mendadak serangkum angin yang amat kuat dan tajam,
menerjang ke arah punggungnya. Apabila dia melancarkan
pukulannya ke arah Tiong Ciu Sin Ie, tentu dia juga akan
binasa oleh terjangan angin serangan itu. Demi
menyelamatkan nyawanya sendiri, maka dia terpaksa harus
berkelit ke samping, sehingga batal melancarkan pukulan
itu. Tui Beng Thian Cun membalikkan badannya, sepasang
matanya menyorot bengis menatap ke luar, namun tidak
tampak seorang pun di sana.
"Kalau punya kepandaian, cepat muncullah!"
Namun tiada tersahut. Di luar hanya terdengar suara desiran
angin. Karena itu, dia segera rnenghadap ke arah Tiong Ciu Sin
Ie, siap melancarkan pukulan. Namun ketika dia mengangkat
sebelah tangannya, mendadak terasa lagi ada serangkum angin
menerjang ke arah punggungnya. Bukan main terkejutnya Tui
Beng Thian Cun! Dia langsung melesat ke luar. Namun di luar
goa, dia tetap tidak melihat siapapun di sana. Tentunya saja
dia amat gusar, sehingga wajahnya yang seram itu bertambah
menyeramkan. "Dasar kunyuk tak tahu diri!"
Mendadak tampak sosok bayangan merah melayang turun di
Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hadapan Tui Beng Thian Cun, dan terdengar pula suara
bentakan kasar.
"Dasar anjing kurap buta!"
Begitu melihat bayangan merah, seketika Tui Beng Thian Cun
berseru kaget. "Heng Thian Ceng!"
"Tidak salah!"
"Kau berani turut campur urusanku?"
"Memang itu maksudku!"
"Siluman wanita, kau ingin cari daun muda?"
Ucapan itu sungguh menggusarkan Heng Thian Ceng,
sehingga wajahnya yang buruk itu bertambah buruk.
"Kau cari mati!" bentaknya.
Heng Tian Ceng melancarkan tiga pukulan. Bukan main
cepatnya! Tui Beng Thian Cun menangkis sekaligus balas
menyerang, maka terjadilah pertarungan yang amat seru dan
sengit. Mereka berdua merupakan tokoh dunia persilatan yang
berkepandaian amat tinggi. Angin pukulan mereka membuat
saju beterbangan bagaikan terhembus angin topan. Sementara
itu di dalam goa, wajah Tiong Ciu Sin Ie tampak semakin
kuning, nafasnya memburu dan kesadarannya mulai
kabur. Sedangkan wajah Ciok Giok Yin, makin lama makin
memerah. Mendadak Ciok Giok Yin merasa pusing. Dia tahu bahwa
penyaluran darah itu telah cukup, maka cepat-cepat mencabut
pipa kecil itu, sekaligus menempelkan koyok pada bekas
tancapan pipa di lengannya. Namun ujung pipa kecil itu justru
masih mengucurkan darah. Hati Ciok Giok Yin tersentak. Dia
cepat-cepat mencabut ujung pipa yang menancap di lengan
Tiong Ciu Sin Ie, lalu menempelkan koyok pada bekas itu. Di
saat bersamaan, Tiong Ciu Sin Ie roboh. Seketika CiokGiok Yin
menangis meraung-raung, terus memanggil Tiong Ciu Sin Ie.
"Kakek Tua! Kakek Tua..." Suaranya amat memilukan.
Beberapa saat kemudian Tiong Ciu Sin Ie membuka matanya,
namun tampak suram sekali. Perlahan-lahan kakek tua itu
mengangkat sebelah tangannya, lalu membelainya sambil
tersenyum. "Nak, tidak sia-sia aku membesarkanmu, akhirnya kau akan
berhasil menguasai ilmu silat tinggi keluarga Ciok kalian..."
"Kakek Tua, kenapa keluarga Ciok?" tanya Ciok Giok Yin
terisak-isak. "Setelah kau berjumpa Can Hai It Kiam, pasti tahu!"
"Bolehkah Kakek Tua memberitahukan padaku?"
"Tidak boleh."
"Mengapa?"
"Tiada manfaatnya bagimu, sebaliknya malah akan
mencelakai dirimu. Kau... kau..."
Bibir Tiong Ciu Sin Ie mulai kaku. Menyaksikan itu, Ciok Giok
Yin sudah tahu apa yang akan terjadi. Maka dia langsung
menangis dengan air mata bercucuran.
"Kakek Tua! Kakek Tua tidak boleh pergi...."
Mendadak wajah Tiong Ciu Sin Ie tampak bercahaya,
pertanda ajalnya telah tiba.
"Nak, aku telah menyalurkan kecerdasanku melalui darahku
padamu. Kini kau memiliki dua kecerdasan, maka gampang
sekali bagimu belajar kungfu apapun."
Ketika Ciok Giok Yin ingin membuka mulut, Tiong Ciu Sin Ie
menggelengkan kepala agar dia diam.
"Kini aku cuma bisa memberitahukamu satu urusan,"
lanjutnya. "Urusan apa?"
"Carilah Seruling Perak!"
"Seruling Perak?"
"Biar bagaimanapun, benda itu harus kau peroleh."
Untuk keempat kalinya Ciok Giok Yin mendengar tentang
Seruling Perak. Tentunya Seruling Perak tersebut bukan
merupakan benda biasa.
Karena hatinya terlampu berduka, maka Ciok Giok Yin lupa
bertanya, harus diserahkan kepada siapa kalau sudah
memperoleh Seruling Perak itu. Seandainya dia bertanya
demikian, tentu akan tahu asal usulnya. Tubuh Tiong Ciu Sin Ie
menggigil sebentar.
"Nak, di dalam bajuku terdapat beberapa obat, keluarkanlah!"
Dengan air mata bercucuran, Ciok Giok Yin mengeluarkan
obat-obat tersebut dari dalam baju Tiong Ciu Sin Ie.
"Semua itu merupakan obat mujarab, kau harus baik-baik
menyimpannya, agar dapat menolong orang lain. Terutama
obat Giok Ju (Susu Perak), itu merupakan obat yang paling
mujarab, kau harus simpan baik-baik!" kata kakek tua itu.
Ciok Giok Yin mengangguk, lalu memasukkan semua obat itu
ke dalam bajunya. Dia tahu bahwa Tiong Ciu Sin Ie sudah tiada
harapan lagi. "Di daalm saku baju dalamku, terdapat secarik kertas. Pada
kertas ini tercantum Hong Lui Sam Ciang (Tiga Jurus Ilmu
Pukulan Angin Geledek), anggaplah hadiah dari kakek!" kata
kakek tua itu. Suaranya bertambah lemah.
"Hong Lui Sam Ciang?"
"Tidak salah, cepatlah kau ambil!"
Ciok Giok Yin menurut, dan segera merogoh ke dalam saku
baju dalam Tiong Ciu Sin Ie, mengeluarkan secarik kertas
kumal. Di kertas kumal itu memang tercantum ketiga jurus ilmu
pukulan tersebut. Dia terus membaca karena hatinya amat
tertarik. Mendadak terdegar suara Tiong Ciu Sin Ie.
"Nak, kertas kumal itu kuperoleh dari orang yang tak kukenal.
Aku menyembuhkan lukanya, lalu dia menghadiahkan kertas
kumal itu padaku. Aku pernah mencoba mempelajarinya,
namun tidak berhasil, maka kusimpan baik-baik hingga saat
ini. Kau pernah makan buah Ginseng Daging, mungkin kau
akan berhasil menguasai Hong Lui Sam Ciang itu." Nafasnya
semakin memburu, maka dia beristirahat sejenak.
"Nak, Hong Lui Sam Ciang amat lihay dan dahsyat. Cobalah
kau berlatih sekarang, siapa tahu berguna bagimu!" lanjurnya.
Saat ini, luka dalam yang diderita Ciok Giok Yin telah sembuh,
begitu pula luka di bahunya. Bahkan lwee kangnya telah
bertambah tinggi. Itu karena dia memperoleh darah dari Tiong
Ciu Sin Ie, maka membuat lwee kangnya bertambah
tinggi. Ciok Giok Yin menurut, lalu bangkit berdiri dan mulai
berlatih Hong Lui Sam Ciang itu.
Jurus pertama Terbang!
Jurus kedua Terjang!
Jurus ketiga Menggelegar!
Kini kecerdasan Ciok Giok Yin melebihi orang biasa, namun
masih sulit baginya menyelami ketiga jurus itu. Sementara
Tiong Ciu Sin Ie memandang Ciok Giok Yin dengan penuh
harapan. Itu membuat hati Ciok Giok Yin tersentak, karena itu,
dia mulai berlatih jurus pertama. Begitu mulai berlatih, dia
merasa lwee kangnya terus mengalir. Demi menghibur Tiong
Ciu Sin Ie, Ciok Giok Yin mengeraskan hatinya. Mendadak
badannya mencelat ke atas lalu tampak bayangan berkelebatan
dan terdengar suara menderu-deru bagaikan suara angin
geledek. Bum! Daar! Dinding goa itu hancur berantakan, sehingga menimbulkan
debu beterbangan. Selanjutnya Ciok Giok Yin mulai berlatih
jurus kedua. Itu membuat darahnya seakan terbalik dan
matanya menjadi berkunang-kunang. Di saat itulah mendadak
Tiong Ciu Sin Ie tertawa terbahak-bahak, namun suara
tawanya makin lama makin lemah, kemudian berkata terputusputus.
"Nak... aku... aku... sudah... lega...."
Bibinya masih bergerak, tapi sudah tidak mengeluarkan suara
lagi. Akhirnya bibirnya tidak bergerak sama sekali, ternyata
nafasnya telah putus. Tiong Ciu Sin Ie yang hidupnya cuma
mengobati orang, akhirnya justru harus mati begitu
mengenaskan. Namun dia merasa puas, karena terakhir masih
dapat menolong Ciok Giok Yin. Ciok Giok Yin Iangsung
menangis meraung-raung, dan tak lama air matanya mulai
berubah menjadi kemerah-merahan. untuk kedua kalinya dia
menangis hingga mengeluarkan air mata darah. Sesungguhnya
Tiong Ciu Sin Ie masih ingin menyaksikan jurus kedua yang
dilatih Ciok Giok Yin, tapi kondisi badannya sudah tak
mengijinkannya. Meskipun begitu, dia tetap merasa puas
karena Ciok Giok Yin telah menguasai jurus pertama.
"Kakek Tua! Kakek Tua...."
Ciok Giok Yin terus menangis sambil meratap memanggil
Tiong Ciu Sin Ie. Akan tetapi, Tiong Ciu Sin Ie sudah tidak
mendengar lagi, karena dia sudah meninggal. Di saat
bersamaan, mendadak terdengar suara desiran angin, dan
berkelebat sosok bayangan wanita ke dalam goa. Wanita itu
berambut panjang, namun wajahnya sangat buruk. Siapa
wanita berambut panjang buruk rupa itu" Tidak lain adalah Yap
Ti Hui. Berselang sesaat, barulah dia berkata dengan dingin.
"Kalaupun kau menangis hingga mati tetap tiada gunanya!
Kini musuh besar berada di depan mata, lebih baik kau cepatcepat
menguburnya, kemudian membalas dendamnya!"
Ciok Giok Yin langsung berhenti menangis.
"Terima kasih atas petunjuk Nona," katanya.
Ciok Giok Yin segera menggali sebuah lubang, lalu mengubur
mayat Tiong Ciu Sin Ie. Setelah itu dia bersujud di hadapan
kuburan itu dengan air mata bercucuran.
"Kakek Tua, Anak Yin pasti membalas dendammu."
Sepasang mata Ciok Giok Yin membara. Tiba-tiba dia bersiul
panjang, kemudian melesat ke luar. Sedangkan Yap Ti Hui
sudah tidak kelihatan. Namun dia melihat Heng Thian Ceng dan
Tui Beng Thian Cun berada di tempat puluhan depa. Kedua
orang itu berdiri berhadapan dengan tangan dijulurkan ke
depan. Ciok Giok Yin tahu, mereka berdua sedang mengadu
lwee kang. Cara bertarung seperti itu, sungguh amat bahaya
sekali. Sebab siapa yang mengendurkan lwee kangnya, pasti
akan mati seketika. Ciok Giok Yin memang telah berjumpa
Heng Thian Ceng beberapa kali, tapi dia tidak menghendaki
Heng Thian Ceng yang membunuh Tui Beng Thaln Cun. Biar
bagaimanapun, Tui Beng Thian Cun harus mati di tangannya,
agar Tiong Ciu Sin Ie dapat tenang di alam baka. Oleh karena
itu, dia menggeram sambil melesat ke tempat itu. Tanpa
menghiraukan Heng Thian Ceng dia akan menerjang ke arah
Tui Beng Thian Cun.
"Iblis Tua! Serahkan nyawamu!" bentaknya.
Ciok Giok Yin menyerang Tui Beng Thian Cun dengan ilmu
pukulan Soan Hong Ciang. Sementara Tui Beng Thian Cun
masih mengadu lwee kang dengan Heng Thian Ceng. Apabila
ditambah Ciok Giok Yin, bukankah.... Akan tetapi, Tui Beng
Thian Cun yang sudah berpengalaman, masih sempat berkelit
ke samping. "Song Hong Ciang!" serunya.
"Tidak salah! Ternyata matamu belum buta!"
Kehadiran Ciok Giok Yin yang mendadak, membuat Tui Beng
Thian Cun dan Heng Thian Ceng berhenti mengadu lwee kang.
Wajah Tui Beng Thian Cun penuh diliputi hawa membunuh.
"Apa hubunganmu dengan Sang Ting It Koay?" bentaknya.
"Beliau adalah suhuku!"
"Bagus! Lohu akan menghabisimu!"
Dia langsung menerjang ke depan. Tentunya Tui Beng Thian
Cun punya dendam terhadap Sang Ting It Koay. Kalau tidak,
bagaimana mungkin iblis tua itu melancarkan pukulan yang
begitu dahsyat terhadap Ciok Giok Yin" Serangkum angin
pukulan yang amat dahsyat menerjang ke arah Ciok Giok Yin.
Di saat bersamaan, terdengar pual suara bentakan.
"Berhenti!"
Ternyata Heng Thian Ceng yang membentak. Dengan wajah
penuh kegusaran dia menatap Ciok Giok Yin.
"Bocah! Kau mau cari mampus?"
Bentakan itu membuat sifat aneh Ciok Giok Yin timbul.
"Apa maksud lo cianpwee?" sahutnya dingin.
"Kau tidak tahu peraturan rimba persilatan?"
"Peraturan apa?"
"Aku sedang bertarung dengannya, ada hubungan apa
denganmu?"
"Aku harus menuntut balas dendam Tiong Ciu Sin Ie, apakah
aku tidak boleh turun tangan?"
"Kau mau menuntut balas juga harus beritahukan!"
"Mengapa?"
"Kau tahu kok masih bertanya?"
Ciok Giok Yin kebingungan, sama sekali tidak tahu akan
maksud Heng Thian Ceng. Begitu pula Tui Beng Thian Cun,
maka dia berdiri termangu-mangu sambil menatap Heng Thian
Ceng. Namun dalam hatinya, justru berharap mereka berdua
bertarung. Tentunya yang akan memperoleh keuntungan
adalah dirinya. Maka tidak mengherankan kalau hatinya terasa
girang. Sedangkan Heng Thian Ceng membentak algi.
"Bocah, aku sedang bertarung dengan iblis tua itu, tapi secara
mendadak kau turut campur! Bukankah iblis tua itu akan
mengatakan kita berdua mengeroyoknya?" Dia berhenti
sejenak, namun sepasang mataya menyorot bengis sekali.
"Kalau begitu, menangpun akan menanggung rasa malu!
Cepatlah kau enyah dari sini!" lanjutnya.
Kini musuh besar berada di depan mata, bagaimana mungkin
Ciok Giok Yin membiarkan Heng Thian Ceng turun tangan
terhadap musuh besarnya itu" Dia segera memberi hormat
pada Heng Thian Ceng seraya berkata angkuh.
"Harap lo cianpwee mundur dulu! Biar aku seorang diri
menghadapi iblis tua itu."
Hong Thian Ceng tertegun.
Dia boleh dikatakan seorang wanita iblis yang membunuh
orang tanpa mengedipkan mata. Selama ini belum pernah
mendengar perkataan orang, dan juga belum pernah ada orang
berbicara demikian padanya. Akan tetapi, sejak melihat Ciok
Giok Yin, justru membuatnya tidak tahu harus
bagaimana. Karena itu, setelah tertegun sejeak, dia manggukmangguk
sambil melangkah ke belakang. Bukan main kesalnya
Tui Beng Thian Cun! Sebab perhitungannya telah keliru, lagi
pual dia tidak menyangka Heng Thaln Ceng akan menurut
perkataan Ciok Giok Yin, itu sungguh diluar dugaan! Namun,
diapun berlega hati, karena tidak usah bertarung dengan Heng
Thian Ceng. Sedangkan Ciok Giok Yin masih begitu muda. Seandainya
berkepandaian tinggi, juga tidak akan menyamai
kepandaiannya. Yakni, hanya dengan satu pukulan, pemuda itu
pasti tergeletak tak bernyawa. Setelah itu, barulah menghadapi
Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Heng Thian Ceng. Demikian pikir Tui Beng Thian Cun. Karena
itu, dia tertawa terkekeh-kekeh sambil menatap Ciok Giok
Yin. Sementara wajah Ciok Giok Yin sudah diliputi hawa
membunuh, sepasang matanya menyorot tajam penuh
dendam. "Iblis Tua, serahkan nyawamu!" bentaknya.
Ciok Giok Yin langsung bergerak. Angin pukulannya menderuderu
menerjang ke arah Ciok Giok Yin. Dia harus membalas
dendam Tiong Ciu Sin Ie, dan kegusaran otomatis membuat
pukulannya bertambah dahsyat. Tui Beng Thian Cun berkelit
dan dalam waktu sekejap, dia sudah balas menyerang dengan
tiga pukulan. Bukan main dahsyatnya ketiga pukulannya!
Pesilat tinggi manapun tidak akan mampu menyambut ketiga
pukulan itu. Namun Ciok Giok Yin telah menerima saluran hawa murni dari
Phing Phiauw Khek, dan menerima darah dari Tiong Ciu Sin Ie.
Maka membuat lwee kangnya bertambah tinggi dan
kecerdasannya berlipat ganda. Karena itu, dia berhasil
mengelak ketiga pukulan yang dilancarkan Tui Beng Thian
Cun. Setelah itu, dia menyerang dengan dahsyat sekali,
bahkan hawa pukulan semakin panas, sehingga membuat salju
yang ada di sekitarnya langsung mencair.
Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya Tui Beng Thian Cun,
dan timbul pula rasa gentarnya. Dia sama sekali tidak
menyangka, Ciok Giok Yin yang belum berusia dua puluh justru
memiliki lwee kang dan kungfu yang begitu tinggi. Mulailah Tui
Beng Thian Cun bertarung dengan hati-hati sekali, tidak berani
meremehkan Ciok Giok Yin lagi.
Ciok Giok Yin yang ingin membalas dendam Tiong Ciu Sin Ie,
semakin dahsyat melancarkan seranganserangannya.
Mendadak pukulan yang dilancarkannya berubah
seketika. Badannya mencelat ke atas dan tampak bayangannya
berkelebatan, begitu pula pukulannya, menderu-deru tak hentihentinya.
Ternyata dia mengeluarkan jurus pertama Terbang
dari ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang. Terdengar suara jeritan
yang menyayat hati. Tampak badan Tui Beng Thian Cun
terpental ke atas, kemudian meluncur ke dalam rimba. Setelah
mengeluarkan jurus itu, Ciok Giok Yin merasa hawa darahnya
bergolak. Ketika melihat Tui Beng Thian Cun kabur, dia
langsung membentak.
"Iblis tua, mau kabur ke mana?"
Badannya bergerak melesat ke dalam rimba mengejar Tui
Beng Thian Cun. Akan tetapi, mendadak dua rangkum angin
yang amat kuat menerjang ke arahnya, dan di saat bersamaan,
terdengar pula suara yang amat dingin.
"Bocah, kali ini kau pasti mampus!"
Ciok Giok Yin segera berkelit, sekaligus membalikkan
badannya. Ternyata Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee dan
Ciu Kah. Begitu melihat kedua orang itu, sepasang mata Ciok Giok Yin
langsung membara, dan berkertak gigi hingga berbunyi
gemeletuk. Tong Cu perkumpulan Sang Yen Hwee menyorot bengis dan
dingin, tertawa terkekeh-kekeh seraya berkata.
"Ciok Giok Yin, sebelum kau mati, kuberitahukan dulu bahwa
aku adalah Tok Tiong Tong Cu dari perkumpulan Sang Yen
Hwee, agar kau dapat melapor pada raja akhirat!"
Usai berkata, Tok Tiong Cu maju beberapa langkah. Namun,
Ciu Kah segera menjura seraya berkata.
"Tong Cu, biar aku yang membereskan bocah ini!"
Tok Tiong Tong Cu mengangguk, lalu menggeser ke samping.
Ciu Kah segera maju ke hadapan Ciok Giok Yin.
"Ciok Giok Yin, cepat serahkan Seruling Perak, aku akan
bermohon pada Tong Cu agar mengampuni nyawamu!"
bentaknya. Ciok Giok Yin amat mendendam pada Sang Yen Hwee. Maka
ketika mendengar bentakan Ciu Kah itu, kegusarannya makin
memuncak. "Siapa akan mengampuni nyawa anjingmu itu?" bentaknya.
Dia langsung menyerang Ciu Kah dengan sengit. Ciu Kah
mendengus. "Hmm! Cari mati!"
Dia juga melancarkan sebuah pukulan.
Plak! Terdengar suara benturan pukulan, masing-masing terpental
ke belakang satu langkah. Kemudian kedua-duanya maju lagi,
maka terjadi pertarungan yang amat seru. Ciok Giok Yin yang
amat dendam pada Sang Yen Hwee, mendadak mengeluarkan
jurus pertama "Terbang" dari ilmu pukulan Hong Lui Sam Ciang.
Terdengar suara jeritan, dan darah pun tampak
muncrat. Ternyata kepala Ciu Kah telah hancur, dan nyawanya
pun melayang. Ciok Giok Yin tertegun. Dia tidak menyangka jurus itu begitu
dahsyat. Lalu bagaimana kedahsyatan jurus kedua dan jurus
ketiga" Tentunya jauh lebih dahsyat dari jurus pertama itu. Di
saat Ciok Giok Yin tertegun, tiba-tiba di depan dan di
belakangnya terdengar suara seruan kaget.
"Hong Lui Sam Ciang!"
Tampak bayangan Heng Thian Ceng berkelebat ke hadapan
Ciok Giok Yin. Wajahnya yang buruk kelihatan amat
menakutkan. "Kau murid Kui Mo (Setan Iblis)?" bentaknya.
"Ada hubungan apa kau dengan Kui Mo?" sambung Tok Tiong
Tong Cu. Seketika suasana di tempat itu berubah menjadi
tenang mencekam. Kelihatannya apabila Ciok Giok Yin salah
menjawab, Heng Thian Ceng dan Tok Tiong Tong Cu pasti akan
menghadapinya. Namun tiba-tiba hati Ciok Giok Yin tergerak.
"Mohon lo cianpwee bersabar sebentar, aku pasti
memberitahukan!" sahut Ciok Giok Yin.
"Bocah! Kau jangan macam-macam!" bentak Heng Thian
Ceng. "Lo cianpwee harap berlega hati, aku tidak akan macammacam!"
Heng Thian Ceng mendengus.
"Hmm! Bagaimana kau berani macam-macam terhadapku?"
Dia mundur beberapa langkah, lalu berdiri di situ.
"Kau dan Kui Mo ada hubungan apa?" bentak Tok Tiong Tong
Cu. "Hubungan akan amat dalam."
"Katakan!"
"Kalau aku tidak mau mengatakannya, kau berani berbuat
apa?" Tok Tiong Tong Cu mendengus dingin.
"Hm! aku akan membuatmu mampus!"
"Mampukah kau?"
Ciok Giok Yin telah membunuh Ciu Kah dengan jurus pertama
itu, maka kini dia bertambah percaya diri. Apabila dia
mengeluarkan jurus kedua dan jurus ketiga, Tok Tiong Tong Cu
pasti mati! Dia amat membenci Tok Tiong Tong Cu, karena
orang itu pernah memanahnya hingga membuat nyawanya
nyaris melayang. Kalau tidak secara kebetulan bertemu Tiong
Ciu Sin Ie, mungkin dia tiada harapan untuk hidup
terus. Sementara kegusaran Tok Tiong Tong Cu sudah
memuncak. "Dalam tiga jurus, aku akan suruh kau mampus secara
mengenaskan!" katanya sepatah demi sepatah. Dia langsung
menyerang Ciok Ciok Yin.
Ciok Giok Yin pernah merasakan kelihayan pukulan Tok Tiong
Tong Cu, maka cepat-cepat berkelit. Akan tetapi, walau dia
bergerak cepat, pihak lawan bergerak lebih cepat. Ketika dia
berkelit, Tong Cu itu melancarkan beberapa pukulan dahsyat
lagi ke arahnya. Justru di saat bersamaan, Ciok Giok Yin
mengeluarkan jurus pertama Terbang dari ilmu pukulan Hong
Lui Sam Ciang. Tok Tiong Tong Cu tahu akan kelihayan ilmu
pukulan itu, maka dia tidak berani menyambutnya, melainkan
berkelit. Tapi angin pukulan itu masih berhasil menyambar ular
kecil yang melingkar di lengannya. Bukan main terkejutnya Tok
Tiong Tong Cu, sehingga membuatnya mengucurkan keringat
dingin. Mendadak Tok Tiong Tong Cu bersiul pendek. Ular kecil
itu, langsung meluncur. Ciok Giok Yin yang belum
berpengalaman, sama sekali tidak menyangka Tok Tiong Tong
Cu akan menyerangnya dengan ular kecil. Dia ingin berkelit,
tapi terlambat, karena ular kecil itu telah berhasil menggigit
pahanya. Seketika dia merasa separuh badannya kesemutan, akhirnya
roboh di tanah. Tok Tiong Tong Cu tertawa terkekeh-kekeh. Dia
mengangkat sebelah tangannya siap menghantam Ciok Giok
Yin. Namun mendadak terdengar suara bentakan gusar.
"Kau berani?"
Ternyata Heng Thian Ceng telah melancarkan sebuah pukulan
ke arah Tok Tiong Tong Cu, sedangkan sebelah tangan lagi
melancarkan sebuah pukulan ke arah ular kecil yang menggigit
paha Ciok Giok Yin.
Plak! Terdengar suara benturan, dan seketika itu juga tampak Heng
Thian Ceng terhuyung-huyung ke belakang. Sedangkan tangan
Tok Tiong Tong Cu tetap di arahkan pada Ciok Giok Yin,
kelihatannya Ciok Giok Yin akan mati di bawah tangan Tok
Tiong Tong Cu, namun mendadak terdengar suara cacian yang
amat dingin. "Jadah! Sialan! Jahanam! Siapa yang sedang berkelahi?"
Dalam waktu bersamaan, muncul pula seseorang berpakaian
compang-camping tidak karuan, ternyata seorang tua bongkok
yang amat aneh. Di punggung orang tua itu bergantung sebuah
guci arak yang amat besar, namun gerakannya amat cepat
sekali, tahu-tahu sudah sampai di tempat itu. Tidak terlihat
orang tua bongkok itu turun tangan, tapi terdengar Tok Tiong
Tong Cu menjerit dan terhuyung-huyung ke belakang beberapa
langkah. Bukan main gusarnya Tok Tiong Tong Cu!
"Siapa kau?" bentaknya.
Orang tua bongkok menoleh memandang Heng Thian Ceng.
"Dia berkata pada siapa?" katanya dengan mata setengah
terpejam. "Kau!" sahut Heng Thian Ceng.
"Berkata padaku?"
"Tidak salah!"
Orang tua bongok itu seperti baru terdengar, lalu berpaling
memandang Tok Tiong Tong Cu.
"Kau bertanya siapa aku?"
Tok Tiong Tong Cu adalah pesilat tinggi di perkumpulan Sang
Yen Hwee, namun tidak dapat melihat jelas bagaimana cara
orang tua bongkok turun tangan terhadap dirinya, itu
membuatnya amat gusar sekali.
"Tidak salah!" sahutnya dengan dingin.
"Tapi aku tidak mau memberitahukan padamu!"
"Kalau begitu, aku akan mencabut nyawamu!"
Sepasang mata orang tua bongkok berkedip-kedip.
"Kau telah mengagetkan mimpi indahku, aku masih belum
membuat perhitungan denganmu, sebaliknya kau malah ingin
mencabut nyawa tuaku ini! Baik, aku akan menghajarmu!"
Entah bagaimana cara namun tua bongkok itu bergerak,
tahu-tahu sudah terdengar suara.
Plak! Plak! Ternyata pipi Tok Tiong Tong Cu telah ditampar dua kali,
membuatnya berkunang-kunang, bahkan mulutnya
menyemburkan darah segar. Sedangkan orang tua bongkok
tetap berdiri di tempat semula.
"Hari ini aku orang tua tidak mau membunuh orang, cepatlah
kau enyah!" katanya.
Sepasang mata Tok Tiong Tong Cu menyorot bengis dan
penuh dendam. "Sampai jumpa!" ucapnya.
Kemudian dia bersiul pendek, dan ular kecil itu langsung
meluncur ke arah lengannya. Setelah itu, barulah Tok Tiong
Tong Cu melesat pergi. Orang tua bongkok sama sekali tidak
menghiraukannya, melainkan mendekati Ciok Giok Yin yang
duduk di tanah, kemudian mengambil guci arak di
punggungnya, sekaligus meneguk beberapa kali.
"Kruk! Kruk! Kruk...."
Setelah itu, dia memandang Ciok Giok Yin, seketika
mengeluarkan suara 'Ih' dan berkata.
"Kau seperti...." Dia menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak
mungkin." lanjutnya.
Orang tua bongkok menatap Ciok Giok Yin sejenak, lalu
membalikkan badannya dan berjalan pergi. Sebetulnya Heng
Thian Ceng ingin menghadangnya, tapi begitu melihat wajah
Ciok Giok Yin sudah berubah menjadi kuning, dia segera
mendekati pemuda itu seraya berkata.
"Bocah, kau telah digigit .oleh ular emas, maka harus cepatcepat
diobati." Tentunya Ciok Giok Yin tahu bahwa ular emas itu amat
beracun. Akan tetapi bagaimana. mungkin dalam waktu singkat
dia bisa memperoleh bahan obat" Sebab dia hanya membawa
obat Ciak Kim Tan, sama sekali tidak membawa obat pemunah
racun. Namun apabila dalam waktu singkat tidak memperoleh
bahan-bahan obat tersebut, maka Ciok Giok Yin pasti mati
keracunan. "Lo cianpwee, sekarang aku tidak bisa bergerak," kata Ciok
Giok Yin. "Maksudmu?" - "
"Kalau badanku bergerak, racun akan lebih cepat menjalar ke
jantung, dan berarti tiada obat lagi."
"Lalu harus bagaimana?"
"Harus... harus...."
Ciok Giok Yin berkata terputus-putus, membuat Heng Thian
Ceng menjadi gusar sekali.
"Harus bagaimana" Cepat katakan!" bentaknya.
"Kalau lo cianpwee sudi membantu, tolong kempit diriku!
Dalam waktu satu jam harus berhasil mencari bahan obat
pemunah racun!" sahut Ciok Giok Yin.
Tanpa banyak berpikir, Heng Thian Ceng langsung
mengangguk. "Baiklah."
Ketika Heng Thian Ceng baru ingin mengempit badan Ciok
Giok Yin, tiba-tiba berkelebat sosok bayangan putih ke tempat
itu dan, terdengar pula suara yang amat dingin.
"Tunggu!"
Ciok Giok Yin dan Heng Thian Ceng mendongakkan kepala.
Ternyata pendatang itu adalah Yap Ti Hui.
Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nona ada pesan apa?" tanya Ciok Giok Yin.
"Di mana peta Si Kauw Hap Liok Touwmu itu?"
"Nona ingin memiliki peta itu?"
"Memang ada maksud demikian!"
Ciok Giok Yin merogoh ke dalam bajunya untuk mengeluarkan
peta tersebut. "Kuberikan padamu!" katanya sambil menyodorkan peta itu
kepada Yap Ti Hui. Sesungguhnya Ciok Giok Yin tidak
bermaksud memberikan peta tersebut pada Yap Ti Hui, sebab
peta itu pemberian Ho Siu Kouw. Lalu mengapa dia
menyodorkan peta itu" Ternyata dia akan menggunakan Sam
Yang Hui Kang menghancurkan peta itu di saat Yap Ti Hui
mengambilnya. Akan tetapi Yap Ti Hui malah tertegun, sama sekali tidak
menjulurkan tangannya mengambil peta tersebut.
"Kau simpan saja! Padahal aku cuma ingin mencobamu,
sampai jumpa!" katanya lalu melesat pergi.
Sedangkan Heng Thian Ceng memandang Ciok Giok Yin
dengan heran. "Bocah, kau kenal dia?" katanya dengan suara rendah.
"Pernah berjumpa dua kali."
"Kenapa dia tidak mau mengambil peta itu?"
"Entahlah. Aku tidak jelas."
Tiba-tiba wajah Heng Thian Ceng yang buruk itu tampak
aneh, sepertinya tersadar akan satu hal.
"Bocah, aku ingin bertanya padamu tentang sesuatu."
"Silakan, locianpwe!"
"Pernahkah kau mencintai seorang anak gadis?"
Wajah Ciok Giok Yin tampak kemerah-merahan.
"Ti... tidak pernah," sahutnya tersendat-sendat.
"Tidak benar!"
Ciok Giok Yin tercengang.
"Maksud lo cianpwee?" katanya sambil menatap Heng Thian
Ceng. "Aku lihat gadis buruk rupa itu di wajahnya tidak tampak
perasaan apapun. Mungkin karena wajahnya telah dirias.
Tapi... dari sepasang matanya terlihat ada sedikit api
cemburu." Saat ini maut sedang mengancam diri Ciok Giok Yin, maka
mana dia punya waktu untuk membicarakan hal tersebut"
"Lo cianpwee, tentang ini kita bicarakan kelak saja. Boleh
kan?" Heng Thian Ceng tampak tersentak.
"Ah! Aku justru telah melupakan urusan penting."
Mendadak terdengar suara yang amat dingin di belakang
mereka. "Dalam waktu satu jam, apakah kalian akan berhasil
menemukan bahan obat itu?"
Heng Thian Ceng ingin membalikkan badannya, tetapi
terdengar lagi suara yang amat dingin di belakangnya.
"Harap kau jangan membalikkan badan! Kalau tidak, begitu
tanganku bergerak, nyawamu pasti melayang!"
Bukan main terkejutnya Heng Thian Ceng, sebab terasa
sebuah tangan menekan jalan darah Leng Tay Hiatnya.
Sementara Ciok Giok Yin sudah tergeletak di tanah,
sepertinya telah ditotok jalan darahnya hingga pingsan.
Hal itu amat memalukan, sebab Heng Thian Ceng
berkecimpung di dunia persilatan sudah puluhan tahun, entah
sudah beberapa banyak orang yang dibunuhnya. Namun kali
ini, ada orang mendekatinya, dia justru tidak tahu sama sekali.
Dapat dibayangkan, betapa gusar dan penasarannya.
"Siapa kau?" katanya.
"Kau tidak perlu tahu!"
"Sebetulnya apa maksudmu berbuat begitu?"
"Hanya bermaksud baik, memberitahukan pada kalian bahwa
dalam jarak lima puluh mil tidak ada bahan obat untuk
memunahkan racun ular emas itu! Maka apabila ingin
memunahkan racun ular emas itu, hanya merupakan mimpi
belaka! Lagi pula dalam waktu satu jam kau tidak akan mampu
melesat sejauh lima puluh mil!"
"Kau terus nyerocos, bukankah secara tidak langsung telah
menyita waktu kami?" bentak Heng Thian Ceng.
"Tiada maksud demikian'!"
"Lalu kau mau apa?"
"Aku bisa memunahkan racun ular emas itu!"
"Tanpa pamrih atau punya maksud tertentu?"
Terdengar suara tawa cekikikan yang amat merdu dan sedap
di dengar, kemudian terdengar suara yang dingin.
"Kau berhati sempit, tidak tahu maksud baik orang!"
"Tapi, aku tidak percaya kata-katamu!"
"Bagaimana agar kau percaya?"
"Kalau kau bersedia memunahkan racun itu, tentunya dapat
dimulai dari sekarang! Kenapa kau harus bertindak
bersembunyi-sembunyi seakan takut terlihat orang?"
"Tentunya aku punya alasan."
"Apa alasanmu?"
"Tak dapat kukatakan!"
Suasana hening sejenak. Berselang sesaat, terdengar lagi
suara yang dingin.
"Dia terkena racun ular emas, aku pasti menyembuhkannya!"
Mendadak Heng Thian Ceng merasa punggungnya ringan. Dia
cepat-cepat membalikkan badannya. Dilihatnya sosok
bayangan mengempit Ciok Giok Yin melesat pergi laksana kilat
memasuki rimba, dan sekejap sudah hilang dari pandangan
Heng Thian Ceng.
"Mau lari kemana!" bentak Heng Thian Ceng.
Dia juga melesat ke dalam rimba mengejar bayangan itu,
namun bayangan itu sudah tidak kelihatan, itu membuat Heng
Thian Ceng penasaran sekali. Perlu diketahui, Heng Thian Ceng
malang melintang di dunia persilatan sudah puluhan tahun dan
amat ditakuti golongan putih maupun golongan hitam. Namun
kali ini dia betul-betul dipermalukan orang, sebab dia sama
sekali tidak dapat melihat wajah orang itu, bahkan orang itu
berhasil membawa pergi Ciok Giok Yin di depan hidungnya. Itu
sungguh membuatnya merasa malu! Saking kesal dan
penasarannya dia menghempaskan kakinya sehingga tanah
menjadi berlubang.
Wajahnya yang buruk saat ini tampak bertambah
buruk. Berselang sesaat, barulah dia melesat pergi. Sementara
itu, entah berapa lama kemudian, barulah Ciok Giok Yin siuman
dari pingsannya. Terdengar suara yang amat dingin di
belakangnya. "Kini racun ular emas itu telah punah."
Ciok Giok Yin terbelalak ketika mendengar ucapan itu.
"Telah punah?"
"Tidak salah."
"Siapa kau?"
"Bok Tiong Jin (Orang Dalam Kuburan)."
Seketika Ciok Giok Yin merinding, dan hatinya berdebar-debar
tegang. Dia menengok ke kiri ke kanan. Akan tetapi karena
keadaan di tempat itu gelap gulita, pandangannya cuma
terbatas dalam satu depa.
Ketika dia ingin bangkit, mendadak terdengar suara yang
amat dingin. "Duduk!"
Bukan main terkujurnya Ciok Giok Yin! Bulu kuduknya bangun
dan keringat dinginnya mengucur.
"Apakah aku sudah mati?"
"Kau tidak mati."
"Kalau begitu, bagaimana aku berada di dalam kuburan?"
"Ini malam hari, saatnya roh-roh berkeliaran. Aku melihat kau
tergigit oleh ular emas, maka aku menolongmu."
Seketika Ciok Giok Yin teringat akan Heng Thian Ceng. Di saat
mereka berdua sedang membicarakan bahan obat tiba-tiba dia
merasa pusing lalu pingsan.
Tidak disangka dia telah dibawa pergi oleh roh. Itu
membuatnya merinding.
"Aku berterima kasih atas pertolonganmu, yang telah
menyelamatkan nyawaku. Sekali lagi kuucapkan terima kasih."
Akan tetapi, terdengar sahutan dingin.
"Tidak usah berterima kasih."
"Kau punya suatu permintaan?"
Hening sejenak. Berselang sesaat, terdengar helaan nafas
panjang. "Aaah! Aku ingin hatimu."
"Apa" Hati?"
Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya Ciok Giok Yin. Bahkan
dia merasa takut dan seram, sebab roh wanita itu
menghendaki hatinya. Coba pikir, kalau hati orang dicukil ke
luar, apakah masih bisa hidup" Kalau begitu, roh wanita itu
suka makan hati orang....
Terdengar suara yang amat dingin itu.
"Kau berikan tidak?"
"Ini... itu... ini...."
"Apa ini dan itu?"
"Kalau begitu, kau menyelamatkan dengan maksud tertentu?"
"Betul."
"Maksudmu menginginkan hatiku?"
"Tidak salah dugaanmu."
Menghadapi maut, Ciok Giok Yin malah menjadi tenang.
"Kalau kau menginginkan hatiku, mengapa tidak kau ambil
ketika aku dalam keadaan pingsan?" tanya dengan dingin.
Terdengar sahutan dingin.
"Sebab aku menghendakimu menyerahkan padaku secara
rela." Sekali timbul suatu pikiran dalam benak Ciok Giok Yin.
"Bolehkah kau perlihatkan dirimu?"
"Tidak bisa."
"Mengapa?"
"Karena kau orang hidup."
"Kalau hatiku dikeluarkan, bukankah akan sama sepertimu"
Tentunya sudah tidak terdapat perbedaan antara orang dengan
hantu lagi. Karena itu, sebelum aku mati, ingin berkenalan
denganmu."
"Tidak usah."
"Kalau begitu, kau betul-betul menginginkan hatiku?"
"Siapa bergurau denganmu?"
Ciok Giok Yin menghela napas panjang.
"Baiklah. Silakan ambil sendiri."
Dia memejamkan matanya, namun air matanya sudah
meleleh. Ternyata dia teringat akan asal-usulnya yang belum jelas,
dendam gurunya dan lain sebagainya. Kalau kini harus mati,
bukankah segala-galanya ikut berakhir"
"Kau tidak rela?"
"Aku tidak bilang tidak rela."
"Kalau kau rela, mengapa kau menangis?"
"Ini adalah urusanku, sekarang kau boleh ambil hatiku."
"Sudah kubilang tadi, harus kau yang serahkan padaku."
"Aku tidak dapat melakukannya."
"Apa?"
"Kau jangan salah paham. Kalau aku mengambil hatiku
sendiri, pasti nyawaku akan hilang. Bagaimana mungkin aku
bisa menyerahkan hatiku" Maka kau yang harus mengambil
sendiri." "Kau tidak usah memusingkan itu. Asal kau bersedia
membedah dadamu, aku bisa ambil sendiri. Tapi... harus kau
berikan dengan rela."
Ciok Giok Yin berkertak gigi.
"Baiklah! Kalau begitu, harap kau bersiap-siap!"
Ciok Giok Yin menggunakan kedua jarinya, menusuk ke arah
dadanya sendiri. Namun ketika kedua jarinya hampir
menyentuh dadanya, tiba-tiba tangannya terasa semutan,
sehingga tak kuat diangkat. Di saat bersamaan, terdengar
helaan nafas panjang.
"Aaah! Sungguhkah kau ingin berikan padaku?"
"Kau menyelamatkan nyawaku, aku serahkan hatiku padamu.
Itu berarti di antara kita sudah tiada hutang piutang lagi."
"Terus terang, hati yang kuinginkan itu, tiada bentuknya
sama sekali."
"Aku tidak mengerti."
"Aku adalah roh, seandainya hatimu kauserahkan padaku,
aku pun tidak dapat menjaganya."
Ciok Giok Yin menarik nafas dalam-dalam.
"Kalau begitu, harus bagaimana?"
"Apabila kau bersungguh-sungguh, selamanya memberikan
hatimu padaku Bok Tiong Jin, itu sudah cukup."
"Ohya, bolehkah aku melihatmu?"
"Boleh, tapi sekarang belum waktunya."
"Kapan waktunya?"
"Sulit dikatakan."
"Kalau sekarang kau tidak perlihatkan dirimu, bagaimana
kalau kelak aku bertemu denganmu" Bukankah aku akan sulit.
"Tentang ini akan kuberitahukan padamu. Dia berhenti
sejenak. "Sekarang..... kau boleh pergi!" lanjutnya.
"Terima kasih!"
Ciok Giok Yin bangkit berdiri. Namun ketika baru mau
melangkah, mendadak Bok Tiong Jin berkata dengan dingin.
"Berhenti!"
Sesungguhnya Ciok Giok Yin ingin cepat-cepat meninggalkan
tempat yang amat menyeramkan ini, tapi ketika Bok Tiong Jin
menyuruhkan berhenti, dia pun langsung berhenti. Dia tahu
Bok Tiong Jin berada di belakangnya, tapi dia tidak berani
membalikkan badannya. Ternyata ketika Ciok Giok Yin masih
kecil, kakek tua berjenggot putih pernah bercerita padanya,
bahwa hantu wanita amat menyeramkan, berambut panjang,
lidahnya panjang terjulur keluar dan sepasang matanya
melotot. Karena itu, dia tidak berani menoleh ke
belakang. Teringat akan cerita itu, bulu kuduknya menjadi
bangun. Memang menggelikan, dia berkepandaian tinggi,
namun masih merasa takut terhadap hantu wanita.
"Kau harus ingat, hatimu telah diserahkan padaku!" kata Bok
Tiong Jin. "Aku... aku... tidak akan lupa," sahut Ciok Jin dengan suara
agak gemetar. Di saat bersamaan, dia melihat sosok bayangan berambut
putih berkelebat, tapi dalam sekejap sudah menghilang.
"Hantu wanita!" serunya tanpa sadar sambil melesat ke luar.
Setelah itu dia memandang ke depan, ternyata di hadapannya
terdapat sebuah kuburan.
Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan main takutnya Ciok Giok Yin. Dia segera melesat pergi
laksana terbang. Berselang beberapa saat kemudian, barulah
berhenti. Dia menoleh ke belakang, lalu menarik nafas lega
karena dia telah meninggalkan tempat yang
menyeramkan. Kini dia berjalan agak santai, justru mendadak
jauh di depan terdengar suara rintihan. Ciok Giok Yin
tersentak. Bersamaan itu, terngiang pula di telinganya suara
yang tak dapat dilupakannya.
"Anak Yin, belajar ilmu pengobatan, harus didasari sikap
gemar menolong. Meskipun orang jahat, kalau memerlukan
pertolongan, harus kau tolong. Kalau kau berpegang teguh
pada dasar itu, citra ilmu pengobatan tidak akan rusak."
Ini adalah pesan dari Tiong Ciu Sin Ie. Teringat akan pesan
tersebut, maka Ciok Giok Yin segera melesat ke arah suara
rintihan itu. Dalam sekejap dia sudah sampai di tempat suara
rintihan itu. Dilihatnya seorang pemuda tergeletak di bawah
pohon dengan tubuh berlumuran darah. Pemuda itu amat
tampan, namun wajahnya pucat pias lantaran terluka dalam
yang amat parah. Nafasnya sudah lemah, namun masih
mengeluarkan suara rintihan.
Ciok Giok Yin membungkukkan badannya untuk memeriksa
bagian dada pemuda itu, lalu memanggilnya.
"Saudara! Saudara!"
Walau sudah memanggil dua kali. Namun pemuda itu tetap
tidak membuka matanya. Ciok Giok Yin cepat-cepat memeriksa
nadinya. Setelah itu dia menggeleng-gelengkan kepala.
"Jantungnya telah hancur, dewapun sulit menolongnya,"
gumamnya. Ciok Giok Yin menatapnya dengan iba, sambil
berkata dalam hati. 'Aku memang tidak sanggup
menyelamatkan nyawanya, namun paling tidak aku harus
membuatnya siuman, agar tahu asal-usulnya. Kalau tidak, dia
pasti mati penasaran.' Karena itu, Ciok Giok Yin terus
memanggil pemuda tersebut.
"Saudara! Saudara!"
Beberapa saat kemudian pemuda itu membuka sepasang
matanya, namun sudah suram sekali. Bibirnya bergerak seakan
ingin mengatakan sesuatu, namun ia segera mencegahnya.
"Kau harus menghimpun hawa murni sejenak, setelah itu
barulah bicara!"
Ciok Giok Yin menatapnya, kemudian melanjutkan.
"Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan, akan berusaha
mengobatimu."
Ciok Giok Yin adalah penerus ilmu pengobatan Tiong Ciu Sin
Ie, tentu tahu bagaimana menghadapi orang sakit yang sudah
sekarat. Maka, dia menghibur pemuda itu agar bisa
tenang. Akan tetapi, pemuda itu malah tersenyum getir.
"Te..., terima kasih... atas maksud baikmu, jantungku...
telah... hancur... tiada obatnya lagi..." katanya sangat lemah.
"Aku akan mencobanya."
Pemuda itu tersenyum getir lagi.
"Nama Anda?"
"Namaku Ciok Giok Yin."
"Kaukah orangnya yang telah menggemparkan rimba
persilatan belum lama ini, bersama Heng Thian Ceng
memperoleh Seruling Perak itu?"
"Aku memang Ciok Giok Yin. Namun mengenai kabar berita
tentang diriku dan Heng Thian Ceng telah memperoleh Seruling
Perak, sesungguhnya itu tidak benar. Aku dan Heng Thian Ceng
sama sekali tidak pernah melihat Seruling Perak tersebut."
Pemuda itu manggut-manggut.
"Aku percaya."
"Ohya, siapa nama Saudara?"
Pemuda itu menarik nafasnya dalam-dalam.
"Namaku But It Coan, tahun ini berusia dua puluh lima."
"Saudara Bun, perlukah bantuanku?"
Bun It Coan berpikir sejenak.
"Aku lebih besar, harus memanggilmu adik."
"Kakak Bun, kau ingin mengatakan apa, katakan saja!"
Bun It Coan menghela nafas panjang. Beberapa saat
kemudian barulah dia berkata perlahan-lahan.
"Tiga tahun yang lalu, aku mulai berkelana di dunia
persilatan. Karena kurang berpengalaman, maka aku
bergabung dengan perkumpulan Sang Yen Hwee. Setelah aku
tahu latar belakang perkumpulan itu, aku ingin melepaskan
diri, tapi sudah terlambat."
"Maksudmu?"
"Ketua perkumpulan Sang Yen Hwee punya anak perempuan
kembar, yang tua bernama Lan Lan dan adiknya bernama Hui
Hui. Lan Lan menikah denganku, sedangkan Hui Hui belum
menikah. Lan Lan bersifat jalang dan amat licik...."
Bun It Coan batuk-batuk beberapa kali, setelah itu baru
lanjutkan penuturannya.
"Dia melihatku selalu menentang ayahnya, dan tahu bahwa
aku berniat kabur. Maka dia menaruh racun pada makanan.
Karena kurang waspada, aku menyantap makanan tersebut.
Ketika aku tahu, racun telah menjalar ke jantungku. Meskipun
begitu, aku tetap mencari tabib terkenal untuk mengobatiku.
Karena itu, aku melarikan diri. Tapi aku dikejar oleh seorang
yang memakai kain penutup muka, dan aku terkena
pukulannya. Kalau ginkangku tidak tinggi, mungkin aku sulit
kabur." Mendengar itu, sepasang mata Ciok Giok Yin langsung
membara, berkertak gigi seraya berkata.
"Kakak Bun, aku bersumpah akan menuntut balas
dendammu! Ohya, siapa nama ketua perkumpulan Sang Yen
Hwee?" "Adik..." Bun It Coan menggeleng-gelengkan kepala. "Aku
sungguh tak berguna! Dalam tiga tahun itu, aku tidak pernah
melihat ketua perkumpulan itu, bahkan tidak tahu mereka
bermarga apa."
"Apakah Lan Lan tidak pernah memberitahukan padamu?"
"Wanita jalang itu, hatinya amat jahat. Bagaimana mungkin
dia akan memberitahukan padaku" Yang baik hati adalah Hui
Hui. Entah sudah berapa kali dia menyuruhku pergi, tapi dia
takut, maka tidak berani banyak bicara padaku." Bun It Coan
menatap Ciok Giok Yin dengan mata suram. "Adik, kau... kau
harus menuntut balas dendamku!" lanjutnya dengan perlahanlahan.
Ciok Giok Yin berkertak gigi.
"Legakanlah hatimu, aku pasti tidak akan melepaskan semua
orang perkumpulan Sang Yen Hwee, aku pasti membasmi
mereka semua!" katanya berjanji.
Bun It Coan tersenyum tenang.
"Sebelum aku mati, bisa mendapatkan seorang teman sejati,
aku... aku pasti mati dengan mata terpejam...."
Usai berkata begitu, Bun It Coan memejamkan matanya. Ciok
Giok Yin mulai menangis sedih.
"Toako! Toako!" teriaknya memanggil Bun It Coan.
Bun It Coan membuka matanya perlahan-lahan.
"Adik, tolong ambilkan cincinku di dalam baju."
Ciok Giok Yin mengangguk dengan air mata bercucuran, lalu
merogoh ke dalam baju Bun It Coan, mengeluarkan sebuah
cincin. "Toako, cincin ini?"
Bun It Coan manggut-manggut, kemudian menatap cincin
yang gemerlapan itu.
Tak lama, air matanya pun meleleh.
"Adik, simpanlah baik-baik cincin ini! Bawalah
Elang Terbang Di Dataran Luas 5 Pendekar Cacad Karya Gu Long Kisah Sepasang Rajawali 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama