Ceritasilat Novel Online

Pedang Berkarat Pena Beraksara 7

Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Bagian 7


Wi Tiong-hong berpaling dan memandang sekejap ke arah patung Buddha baja yang
angker itu, kemudian katanya: "It-teng taysu maksudmu" Dulu aku pernah mendengar
pamanku bercerita, katanya It-teng taysu adalah pendeta yang saleh dari Siau-lim-si."
"Konon, puluhan tahun berselang, ketua Siau-lim-pay yang lalu telah mewariskan
segenap kepandaian silatnya kepada orang ini dan menitahkan kepadanya untuk
melanjutkan jabatannya sebagai ketua Siau-lim-pay, namun dia menolak tawaran
tersebut dan rela menyerahkan jabatan ciangbunjin itu kepada sutenya, dan kemudian
dia-pun menjadi ketua di kuil sini."
"Kemudian dia-pun membangun ruangan rahasia yang megah dan mewah dalam
lambung bukit ini." sambung Lok Khi.
"Darimana kau bisa tahu?"
"Apa susahnya untuk mengetahui hal ini, bukankah semasa hidupnya ia tinggal disini"
Kalau tidak, mengapa dia membuat sebuah patung baja di tempat ini?"
Wi Tiong-hong segera tertawa. "It-teng taysu adalah seorang yang menjadi Buddha
berikut daging dan tubuhnya, maka dari itu orang harus mengguyur tubuhnya dengan
cairan baja sehingga tubuhnya tetap utuh selama beribu-ribu tahun."
"Apa yang dimaksudkan dengan menjadi Buddha berikut daging tubuhnya?"
"Dia adalah seorang pendeta yang saleh, setelah mati mayatnya tidak membusuk,
keadaannya persis dia selagi bersemedi, maka murid muridnya-pun menempakan
selapis baja yang disusupkan ke atas tubuh kasarnya."
Lok Khi menjadi keheranan sesudah mendengar perkataan itu, dia berseru tertahan.
"Tak heran kalau patungnya persis seperti manusia hidup, engkoh Hong, mari kita
tengok yang lebih jelas."
Selesai berkata, dia lantas membalikkan badan dan berjalan menghampiri patung itu.
Menyaksikan tingkah laku gadis tersebut, agaknya Wi Tiong-hong-pun dibuat lupa oleh
peristiwa yang menimpa dirinya, dia seperti lupa kalau dirinya sudah tersekap dalam
ruangan rahasia.
Meski-pun tidak tertarik, dia-pun tak tega menampik permintaan gadis itu, terpaksa
dia mengikuti di belakangnya.
Sifat kekanak-kanakan pada Lok Khi sama sekali belum hilang, ia merasa tertarik sekali oleh cerita It-teng taysu yang "menjadi Buddha bersama tubuh kasarnya", terdorong oleh rasa ingin tahunya. tanpa terasa dia menowel patung itu lalu memperhatikannya
dengan seksama.
Mendadak dia mengalihkan pandangan matanya, dia menemukan patung besi itu
berwarna serba hitam, hanya tangan kanannya yang menggenggam sebuah tasbeh
yang terdiri dari tujuh belas biji mutiara, besarnya seperti buah kelengkeng dan
berwarna keperak-perakan.
+++ MENYAKSIKAN kesemuanya itu, tanpa terasa dia berteriak: "Engkoh Hong, coba kau
lihat, biji tasbeh itu semuanya masih putih dan bersih" Ah, semestinya tasbeh ini ada
delapan belas biji, tapi disini hanya terdapat tujuh belas biji. Engkoh Hong, coba kau tebak, mengapa bisa kurang sebiji?"
"Mungkin benda itu merupakan senjata rahasia andalan It-teng taysu dimasa lampau, karena salah satu diantaranya tak bisa ditemukan lagi setelah dipakai umuk
menyerang, maka biji tasbeh itu tinggal tujuh belas biji."
"Ya betul, aku-pun berpendapat demikian."
Ternyata biji tasbeh itu masih bisa digerakkan, begitu ditarik, sebiji tasbeh tersebut terjatuh ke telapak tangan patung besi itu dan ... "Pluk" seakan akan sebiji batu terjatuh dari perut patung dan terjatuh di atas teratainya.
"Engkoh Hong, mungkin disinilah terletak tombol rahasia yang mengendalikan pintu
gerbang tersebut." seru Lok Khi amat terkejut.
Buru-buru ia berpaling, namun pintu tersebut masih tetap tertutup rapat, sama sekali
tidak bergerak.
"Masa bukan?" Di mulut Lok Khi bergumam demikian, sementara tangannya kembali
menarik pelan. "Pluuk ... " kembali terdengar biji tasbeh yang terjatuh ke dalam perut patung besi itu.
Semakin di dengar Lok Khi merasa semakin keheranan, tanpa terasa satu demi satu dia
menarik terus tali biji tasbeh tersebut, sementara biji tasbeh berwarna putih keemasemasan itu-pun satu demi satu terjatuh ke bawah ...
Secara beruntun dia menarik tujuh belas kali dan tujuh belas biji tasbeh terjatuh ke
bawah dengan menerbitkan suara nyaring.
Menanti dia menarik untuk ke delapan belas kalinya, suara "pluk" dalam perut Buddha itu sudah tak kedengaran lagi, namun kedua belah pintu gerbang tersebut masih
tertutup rapat.
Dia mencoba untuk menarik beberapa kali lagi, tapi tidak terdengar suara lain, tanpa
terasa ujarnya dengan kecewa.
"Adikku, tak usah ditarik lagi," kata Wi Tiong-hong kemudian, "apa yang kau ucapkan benar, sekali-pun kita berhasil menemukan tombol rahasianya, bila pintu ini digembok
dari luar, toh tak akan bisa terbuka juga pintunya."
Dengan marah dan mendongkol, Lok Khi menarik lagi berapa kali sebelum dilepaskan.
Sementara itu tangan yang lain telah meraba sebuah tongkat baja sebesar telur itik
yang berada di sisi patung itu, sambil dipegang dia berkata lembut: "Engkoh Hong, mungkin toya ini adalah senjata tajam yang dipakai It-teng taysu dimasa lampau, coba
kau lihat toya tersebut, wouw ... sungguh besar sekali, dari sini dapat diketahui kalau tenaganya paling tidak di atas ratusan kati?"
Tangannya yang telah meraba toya tersebut segera mencobanya untuk mengangkat,
siapa tahu toya mana seperti berakar saja, ternyata sama sekali tak berkutik.
Pada dasarnya Lok Khi adalah seorang gadis yang beradat keras, apalagi berada
dihadapan "engkoh Hong" nya, kalau cuma sebatang toya, saja tak sanggup diangkat, kejadian ini benar-benar memalukan sekali.
Dengan wajah merah karena jengah, dia berseru dengan gemas: "Kalau aku tak
mampu mengangkatnya, baru aneh namanya."
Sebenarnya Wi Tiong-hong ingin mencegah perbuatannya itu, tapi gadis itu sudah
keburu menarik napas panjang-panjang dan mengerahkan tenaga dalamnya ke dalam
pergelangan tangan kanan, lalu terdengar ia membentak keras. "Naik."
Seluruh tenaganya dikerahkan untuk mengangkat toya tersebut.
Betul juga, kali ini toya tersebut memang berhasil terangkat olehnya, tapi baru
terangkat satu depa lebih, dari bawah tanah seolah-olah muncul suatu daya hisap yang
besar sekali, menyusul kemudian ... "Blaamm," terdengar suara benturan nyaring.
Suara ledakan mana ternyata sempat menggetarkan seluruh ruangan tersebut,
sehingga goncang amat dahsyat, bahkan secara lamat-lamat disertai pula dengan
suara gemuruh. Suara gemuruh itu amat dahsyat sekali.
Lok Khi menjadi sangat terperanjat.
Kendati-pun begitu, dia masih belum puas bila toya mana hanya terangkat satu depa
belaka lalu tidak mampu di angkat lebih jauh, sambil tertawa dingin dia siap
mengerahkan tenaga untuk mengangkatnya kembali.
Siapa tahu, di tengah suara gemuruh yang amat keras itulah, tiba-tiba patung baja dari It-teng taysu itu pelan-pelan bergeser ke samping kiri ...
Lok Khi sama sekali tak menyangka kalau patung besi itu bakal membalikkan
tubuhnya, dia amat terkejut sambil berseru tertahan, cepat-cepat gadis itu mundur ke
belakang dan menubruk ke dalam pelukan Wi Tiong-hong.
Wi Tiong-hong sendiri-pun amat terperanjat buru-buru dia memeluk tubuh Lok Khi
yang menerjang tiba, lalu setelah mundur beberapa jangkah serunya kaget: "Ke ...
kenapa kau?"
Berada dalam pelukan anak muda itu, Lok Khi berkata kemalu-maluan: "Ooooh ..
hampir mati aku saking kagetnya."
Kali ini Wi Tiong-hong telah memeluk tubuhnya kencang-kencang, dia merasa
sepasang payudara gadis itu amat empuk, hangat dan lembut, dua hati di balik dadapun berdenyut sangat cepat.
Pemuda itu merasa agak terpesona, begitu pula dengan si nona, maka kedua orang
itu-pun, saling berpelukan dengan mesra dan hangatnya siapa-pun enggan
memisahkan diri. Lambat laun, suara gemuruh hampir lirih dan akhirnya sama sekali
terhenti. Sambil berpelukan, kedua orang itu berpaling ke samping, ternyata patung besi itu
sudah bergeser kesebelah kiri, sedang dinding batu tepat dihadapannya terbuka
sebuah pintu berbentuk bulat, melongok ke dalam tampak di situ-pun merupakan
sebuah ruangan istana yang gemerlapan.
Pelan-pelan Lok Khi melepaskan diri dari pelukan Wi Tiong-hong, kemudian dengan
cepat merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan sebuah bulatan bola berwarna
perak. "Cri ing." sekilas cahaya perak memancar bulat tersebut tahu-tahu sudah menjadi
lurus, seperti sebilah golok panjang. "Engkoh Hong, mari kita masuk," katanya.
Sekarang dia sudah tidak canggung lagi memanggil pemuda itu sebagai "engkoh Hong"
bahkan tidak malu lagi.
Sebaliknya Wi Tiong-hong juga telah terbiasa dengan panggilan itu, dia tidak aneh
pula. Begitu mendengar seruan tersebut, dia-pun turut berjalan masuk ke dalam liang
rahasia itu. Ternyata tempat itu merupakan sebuah lorong rahasia, kedua belah dindingnya licin
seperti cermin, setiap jarak satu kaki, terlihat sebutir mutiara sebesar buah kelengkeng memancarkan sinar lembut.
Lorong tersebut tidak terlalu panjang, dua orang berjalan bersama-pun cukup.
Belum berapa jauh, sebuah ruangan istana telah muncul di depan mata, dari balik
ruangan itu terpancar ke luar cahaya terang yang amat menyilaukan mata.
Tempat itu merupakan sebuah ruangan batu bergaya istana, luasnya beberapa kaki
dan mirip sekali dengan sebuah ruangan tamu, namun dekorasi mau-pun perabotnya
sangat megah dan indah, tak kalah dengan kemewahan rumah seorang raja muda.
Suasana di situ amat sepi dan tak kedengaran sedikit suara-pun.
Wi Tiong-hong mau-pun Lok Khi belum pernah menyaksikan dekorasi yang begini
indah dan mewah, untuk sesaat mereka berdiri tertegun.
Ketika menengok ke sisi kiri dan kanan ruangan tamu, masing masing terdapat sebuah
pintu berbentuk bulat, ternyata batu kepala putih dipakai sebagai pintunya. Di atas
pintu terukir banyak sekali gambar Buddha, ukirannya hidup dan sangat indah.
Dengan perasaan terkejut bercampur curiga Wi Tiong-hong segera berseru: "Aneh,
sebenarnya siapakah yang berdiam disini?"
Lok Khi menyimpan kembali golok tipisnya lalu sambil tertawa berkata: "Tentu saja tempat tinggal kau m hweeslo. Hhmm ... aku rasa Gho-tong bajingan gundul itu pasti
belum pernah masuk ke mari. Kalau tidak, mungkin sedari dulu dia sudah berdiam di
tempat ini."
Wi Tiong-hong manggut-manggut, setelah termenung sebentar dia berkata lagi: "Aku
rasa dia pasti mengetahui sedikit tentang tempat ini, ah, betul, lo Hong-tiang juga pasti tahu. Kalau tidak, Gho-tong hwesio tak akan bersekongkol dengan orang luar untuk
mencelakai kakak seperguruannya."
"Tak usah berpikir yang bukan-bukan, mari kita periksa ruangan lebih dalam, entah apa yang bisa kutemukan dalam kedua ruangan lainnya?"
Dia lantas berjalan lebih dulu menuju ke pintu gua sebelah kiri, mendorong pintu
kemala putih itu dan masuk.
Ruangan batu itu tidak begitu besar, tampaknya sebagai tempat tidur, namun dekorasi
mau-pun perabotnya sangat indah, mewah dan megah, di tengah-tengah ruangan
diletakkan sebuah pembaringan berukir yang sangat mempersonakan.
Di sisi kiri pembaringan dekat dinding terdapat pula sebuah lemari kayu, lemari itu di kunci dengan kunci emas kecil, tapi tidak berada dalam keadaan tergembok.
Dengan rasa ingin tahu Lok Khi melepaskan gembokan itu dan membuka almari
tersebut. Begitu di buka, ke dua orang muda mudi itu segera berdiri tertegun.
Ternyata almari tersebut terdiri dari empat lapis, setiap lapis tersimpan dua puluh
macam lebih intan permata serta mutu manikam yang tak ternilai harganya.
Pokoknya setiap benda berharga yang ada di situ, hampir semua bernilai sangat tinggi.
Lok Khi yang menyaksikan kesemuanya itu, dengan kejut bercampur girang segera
berseru: "Engkoh Hong, entah darimana It-teng taysu berhasil mendapatkan mutiara
dan intan permata yang tak ternilai harganya itu?"
"Mungkin dia mempunyai suatu kegemaran menyimpan benda-benda berharga ..."
"Mempunyai kegemaran menyimpan benda-benda berharga" " Lok Khi tertawa
cekikikan, "enak benar kalau bicara, sudah pasti benda-benda itu berasal dari sumber yang tak jelas."
Sementara dia berbicara, matanya telah memandang ke atas sebuah kotak kecil dalam
almari tersebut, dalam kotak tadi terdapat sepasang mainan terbuat dari batu kemala
hijau. Sepasang mainan tersebut bukan cuma berwarna hijau aneh dan bercahaya tajam,
lagi-pula yang satu berukirkan naga yang lain berukirkan burung hong, namun ke duaduanya tertera empat huruf yang berbunyi: "Ing liong ho beng."
Mendadak Lok Khi mengambil benda itu sambil berkata. "Setelah kita sampai disini, sudah sepantasnya kalau pulang tidak dengan tangan hampa, mari kita ambil sebuah
sebagai tanda mata."
Dia mengambil satu dan memberikan yang lain kepada Wi Tiong-hong.
Sebenarnya Wi Tiong-hong hendak mengatakan, "Kalau toh kau menyukainya, ambil
dan simpanlah untukmu."
Tapi setelah berpaling, ia baru menemukan wajah Lok Khi merah padam dan
kepalanya tertunduk rendah-rendah, nampak sekali kalau dia merasa amat jengah.
Dengan cepat pemuda itu menyadari akan sesuatu, kontan paras mukanya turut pula
berubah menjadi merah padam. Sementara itu Lok Khi sudah membalikkan badan
berjalan ke luar, sembari beranjak, dia berkata: "Disini sudah tak ada apa-apa lagi, mari kita periksa isi kamar diseberang sana."
Wi Tiong-hong menundukkan kepalanya dan memandang mainan itu sekejap,
kemudian disimpan dalam sakunya, setelah itu mengikuti Lok Khi mengundurkan diri
dari ruangan batu dan menuju ke gua sebelah kanan.
Ruangan batu disana-pun sama besarnya dengan ruangan disebelah kiri, tampaknya
tempat ini digunakan sebagai kamar baca.
Dalam rak buku banyak terdapat kitab-kitab Buddha di meja tersedia alat-alat tulis,
sedangkan di tengahnya nampak sebuah kotak gepeng dari kayu merah.
Lok Khi memandang sekitar sana lalu menghampiri meja tulis, dibukanya kotak kayu
itu sambil berseru. "Engkoh Hong, cepat kau lihat."
Wi Tiong-hong tak tahu apa yang telah ditemukan gadis tersebut, dengan cepat dia
memburu ke sana.
Ternyata isi kotak itu adalah kertas surat yang penuh dengan tulisan, hanya kertasnya
sudah berwarna kuning, mungkin sudah dimakan jaman.
"Mungkin inilah tulisan tangan dari It-teng taysu?" bisik Lok Khi kemudian.
Wi Tiong-hong mengangguk, mereka berdua bersama-sama membaca isi surat
tersebut yang isinya antara lain berkata begini.
"Sejak kecil aku sudah menjadi pendeta di kuil Siau-lim-si. Karena amat disayang oleh guruku, selama dua puluh tahun aku melatih diri terus dengan tekun dan tak pernah
meninggalkan barang selangkah-pun."
"Oleh karena aku adalah murid pertama dari angkatan "it" dalam Siau-lim-si, maka akulah yang berhak mendapatkan warisan kedudukan ciangbunjin perguruan."
"Tapi menurut peraturan aku harus turun gunung dan mencari pengalaman selama
tiga tahun sebelum kembali ke kuil."
Ketika berbicara sampai disini, Lok Khi lantas berkata: "Kalau dilihat dari tulisan tersebut, tampaknya dia memang It-teng taysu yang kau duga?"
Wi Tiong-hong tak menjawab, dia hanya manggut-manggut dan membaca isi surat itu
lebih jauh. "Setelah turun gunung, tampaknya dia belum tahu akan kelicikan dan bahayanya
dunia persilatan. Karena salah dalam pergaulan akhirnya dia terpancing untuk
menggabungkan diri dengan suatu organisasi rahasia, yakni perkumpulan Ban Kiamhwee." Membaca sampai di situ, Wi Tiong-hong ganti berseru tertahan, serunya keheranan.
"Ban-Kiam-hwee" Ternyata pada waktu itu-pun sudah terdapat perkumpulan Ban
Kiam-hwee?"
"Aku dengar dari suhu, konon Ban Kiam-hwee sudah berdiri sejak seratus tahun
berselang, katanya kiam cu mereka yang lampau memiliki ilmu silat yang sangat lihay,
terutama sekali dalam ilmu pedang. Tiada tandingannya di kolong langit waktu itu."
Sambil berbicara, kedua orang itu membaca isi surat itu lebih jauh.
"Sampai pada akhirnya, It-teng taysu baru tahu kalau orang-orang Ban Kiam-hwee
sudah lama mengincarnya, mendekatinya, memancing dan akhirnya menjebak, tujuan
mereka adalah agar pengaruh Siau-lim-si turun temurun bisa berada di tangan
mereka. Di samping mengincar pula ilmu pedang Tat m o hui kiam yang hanya
diwariskan kepada murid pertama calon ketua partai Siau-lim.
Ketua Ban kiam bwee memang pandai dalam ilmu pedang, dia sudah mengumpulkan
hampir segenap ilmu pedang dari pelbagai perguruan, Tat mo hui kiam dari Siau-lim-si
yang diciptakan oleh Tat mo cousu merupakan kepandaian paling top diantara tujuh
puluh dua macam ilmu silat Siau-lim-pay, tak heran kalau dia selalu mengincarnya.
Dalam gertakan, ancaman dan pancingan lawan, akhirnya dia persembahkan ilmu
pedang Siau-lim-pay itu dan memperoleh kedudukan salah seorang dari delapan
pelindung hukum perkumpulan Ban Kiam-hwee.
Tapi sejak dia terjerumus ke dalam perkumpulan Ban Kiam-hwee, hatinya mulai
menyesal, selain itu dia-pun kuatir bila jabatan ketua Siau-lim-pay sampai terjatuh
ketangannya, hal ini justeru akan membahayakan perguruannya, maka diputuskan dia
enggan menjadi ketua Siau-lim dan rela menjadi ketua dari kuil Pau-in-si ini.
Sedang mestika yang tersimpan di ruangan ini, tak lain adalah benda berharga yang
dikumpulkan selama puluhan tahun.
Dan secara beruntun ketua dari Kun-lun-pay, Bu-tong-pay, Go-bi-pay dan Hoa-san-pay
kena dikalahkan oleh seorang jago pedang berkerudung.
Siapa orang itu" Dia adalah Kiamcu atau ketua dari perkumpulan Ban Kiam-hwee.
Kendati-pun demikian, tak seorang manusia-pun yang pernah berjumpa dengan raut
wajah ketua Ban Kiam-hwee yang sebenarnya, termasuk juga kedelapan orang
pelindungnya. Membaca sampai disini, tanpa terasa Lok Khi berpaling seraya berkata: "Engkoh Hong, menurut dugaanmu, siapa saja yang dia maksudkan sebagai kedelapan orang
pelindung tersebut?"
"Entahlah," Wi Tiong-hong menggeleng.
Lok Khi tertawa ringan. "Aku pikir kedelapan orang itu sudah pasti adalah manusia-manusia ternama pada waktu itu," katanya, "kalau tidak, dengan mengandalkan ilmu
silat Ban-Kiam-hwee cu, mana mungkin mereka diundang sebagai delapan
pelindungnya?"
Wi Tiong-hong segera manggut-manggut, "Ucapan adik memang benar, aku pikir,
kemungkinan besar kedelapan orang itu adalah jago-jago lihay dari pelbagai perguruan
besar." "Itulah dia, aku-pun berpendapat demikian," kata si nona seraya berpaling ke samping.
Pada dasarnya kedua orang itu memang berdiri sangat dekat, begitu si nona berbicara
sambil berpaling, maka terenduslah bahu harum semerbak yang sangat aneh dari
mulut gadis itu.
Wi Tiong-hong jadi tercengang, buru-buru dia menundukkan kepalanya rendahrendah. Selang berapa saat kemudian, mereka-pun membaca isi surat itu lebih lanjut.
"Ban Kiam-hwee cu dengan mengandalkan ilmu pedangnya malang melintang dalam
dunia persilatan tanpa tandingan, entah dari mana memperoleh kabar, konon di
perguruan Lamhay terdapat sebutir mutiara mestika yang dinamakan Ing-kiam-cu
(mutiara pemancing pedang), benda tersebut merupakan satu-satunya benda yang


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sanggup menghadapi dirinya."
"Mutiara Ing-kiam-cu?" tanyanya, "engkoh Hong, apa sih yang dimaksudkan dengan Ing-kiam-cu tersebut?"
"Sudah, jangan menukas dulu, asal kau baca isi surat itu lebih jauh, segala sesuatunya akan bakal diketahui."
Ing-kiam-cu dihasilkan di pulau Tong ya-to di lautan Selatan, batu gunung dari bulan
itu memiliki daya magnet yang kuat, konon batu magnit tercebur ke laut dan ditelan
tiram raksasa, di mana akhirnya batu itu berubah menjadi mutiara yang dapat dipakai
untuk menahan senjata tajam.
"Waah, masa ada kejadian seperti ini?" gumam Lok Khi kemudian, "ehm, jika aku berhasil mendapatkan Ing-kiam-cu tersebut, mutiara itu pasti akan aku bikin menjadi
cincin yang dikenakan di atas jari, dengan begitu pelbagai macam senjata rahasia tak
bakal bisa melukai aku, bukankah hal mana bagus sekali."
Sementara berbicara dia lantas mengulurkan tangannya sambil menggoyanggoyangkannya di depan.
Tiba-tiba sorot matanya membentur dengan cincin berwarna hitam di atas jari manis
pemuda itu, lalu tanyanya dengan keheranan.
"Engkoh Hong, cincin apa sih yang kau kenakan itu?"
"Oooh, cincin ini disebut Ji-gi-huan, dipakai untuk menghadapi senjata rahasia."
Berbicara sampai disini, mendadak dia teringat kembali dengan pesan wanti-wanti
paman tak dikenalnya.
Waktu itu pamannya berpesan agar ke dua batang cincin Ji-gi-huan tersebut jangan
digunakan bilamana keadaan tidak mendesak, selain itu hanya cincin di tangan
kanannya saja yang boleh digunakan, sedang cincin yang berada di tangan kirinya tak
boleh dilepaskan setelah dikenakan olehnya.
Terdengar Lok Khi berseru dengan gembira. "Ah, benar, cincin dipakai untuk
menangkis senjata rahasia, suatu cara yang unik tapi jitu, bila ada waktu aku-pun akan membuat beberapa batang untuk dikenakan. Ah, betul, engkoh Hong, aku teringat
sekarang kau adalah murid Thian Goan-cu dari Bu-tong-pay, dari suhuku aku pernah
mendengar konon Thian Goan-cu berasal dari Siu-lo-bun, apakah ia pernah
mengajarkan ilmu silat aliran Siu-lo-bun kepadamu?"
Wi Tiong-hong belum pernah bersua dengan Thian Goan-cu, untuk itu menjadi
terbungkam dan tak sanggup menjawab barang sepatah kata-pun jua.
+++ Bab 26 SETELAH hening untuk berapa saat lamanya, Wi Tiong-hong mengalihkan pokok
pembicaraan ke soal lain, katanya: "Mari kita cepat lihat, bagaimana dengan It-teng taysu selanjutnya ...?"
Lok Khi tidak berani berbicara lagi, selesai membaca halaman pertama, mereka
membaca halaman kedua ...
Selama ini perguruan Lam-hay bun termashur karena ilmu silatnya yang sangat aneh,
anggota perguruan mereka-pun jarang sekali melakukan perjalanan di dunia
persilatan, sebab itu kebanyakan jago persilatan hanya pernah mendengar nama tak
pernah berkunjung ke Lam-hay.
Setelah Ban Kiam-hwee mengetahui kalau Ing-kiam-cu merupakan satu-satunya benda
yang bisa menandinginya, sudah barang tentu tak akan melepaskan mestika tersebut
dengan begitu saja.
Tak lama kemudian dia memilih ratusan orang jago pedang dan membawa kedelapan
orang-orang pelindungnya berangkat ke Lam-hay.
Dalam pertarungan tersebut, kedua belah pihak sama-sama jatuh korban, segenap
jago yang dibawa Ban Kiam-hwee cu telah punah tak berbekas, cuma ada tiga orang
yang pulang dengan membawa luka.
Ban Kiam-hwee cu sendiri-pun terkena pukulan Thian hui ciang lawan, tak lama
kemudian dia mati karena lukanya.
Yang betul-betul beruntung bisa pulang dengan selamat hanya aku, Tau Pek-li dan
Ciang Lam-san bertiga, tapi aku-pun menjadi cacad karena kaki kiriku terluka parah
dalam pertarungan mana ...
Membaca sampai di situ tanpa terasa Lok Khi mendongakkan kepalanya seraya
berkata: "Engkoh Hong, bukankah Tau Pek-li adalah Thi Pit-teng kan kun (Pena baja yang memenangkan jagad) pendiri dari perkumpulan Thi-pit-pang" Dia adalah ayah
angkat Ting Ci-kang, ternyata orang itu adalah pelindung hukum dari Ban Kiamhwee ... lantas siapa pula yang disebut Ciang Lam-san tersebut?"
Anak muda tersebut tidak berbicara, dia membaca lebih jauh: "Setelah terjadinya
peristiwa itu, ia lantas bertobat dan memahami semua kesalahan yang pernah
dilakukannya dahulu. Setelah pikiran kemaruk hilang, pikiran menjadi terang dan gua
batu itu-pun segera ditutup.
Ia sengaja meninggalkan surat yang bertuliskan pengalamannya karena dia berharap
generasi yang akan datang bisa turut mengetahui. Kendati-pun bisa mengumpulkan
banyak harta kekayaan, toh sewaktu, pulang ke alam baka tak bisa membawa apa-apa.
Inilah contoh yang paling baik bagi anggota perguruannya yang kemaruk akan harta.
Di bawah surat tertulis tanda tugasnya. "Ditulis oleh: It-teng."
Sambil menutup kembali kotak surat itu. Lok Khi berpaling seraya berkata. "Dalam
dunia persilatan, It-teng taysu mempunyai reputasi yang cukup baik, semua orang
mengatakan dia adalah pendeta agung dari Siau-lim-si, tapi tiada seorang-pun yang
tahu bahwa sesungguhnya dia adalah anggota perkumpulan Ban Kiam-hwee, dan
anehnya mengapa dia harus menulis pengalamannya itu agar semua orang
mengetahui rahasianya itu?"
Wi Tiong-hong berpikir sejenak, kemudian menjawab: "Mungkin sebelum dia menulis
riwayat hidupnya, pendeta itu merasa malu pada diri sendiri dan amat menyesal, siapa
tahu dia beranggapan jika riwayat hidupnya tidak ditulis, hal mana kurang
menunjukkan rasa sesalnya?"
"Oooh engkoh Hong, kalau begitu tak salah lagi." tiba-tiba Lok Khi berseru, "Sudah pasti Hong-tiang tua mengetahui rahasia di tempat ini. Sedang Gho-tong si bajingan
gundul itu merebut kedudukkan Hong-tiang, karena dia-pun sedang mengincar harta
kekayaan tersebut."
"Benar," sahut Wi Tiong-hong dengan kening berkerut. "Gho-tong si keledai gundul itu sudah bersekongkol dengan pihak selat pasir beracun, sudah pasti Hong-tiang tua
terbunuh olehnya."
"Coba lihat tampangmu itu." Lok Khi tertawa ringan, "mereka sama-sama saudara seperguruan saling bunuh membunuhi apa sih urusannya dengan kau" Mengapa kau
turut marah-marah?"
Kemudian dengan kening berkerut dia berbisik lagi: "Engkoh Hong, mungkin saat ini hari sudah malam, perutku lapar sekali, kau merasa lapar tidak?"
Kalau gadis itu tidak menyinggung Wi Tiong-hong masih melupakan soal itu, tapi
begitu disinggung kembali, betul juga, dia merasakan perutnya lapar sekali. Tanpa
terasa ia memandang sekejap ke arah si nona, lalu katanya dengan nada minta maaf:
"Lebih baik kita ke luar dari sini lebih dahulu, baru kemudian mencari akal."
Pelan-pelan Lok Khi menjatuhkan diri ke dalam pelukan pemuda itu, kemudian sambil
mendongakkan kepalanya dia berkata dengan manja: "Engkoh Hong, sejak kecil
sampai besar, baru aku ketahui bahwa menahan lapar adalah suatu peristiwa yang
paling menyiksa badan, aku pikir, bila kita harus menahan lapar sampai besok. Sudah
pasti esok lebih menderita daripada hari ini. Daripada kita berdua sama-sama
sengsara, lebih baik bunuhlah aku dengan pedangmu, kemudian makanlah dagingku.
Kita berdua akan selalu bersatu untuk selamanya, aku tak akan membencimu ..."
"Haaaahh ... haaahh ... haaahh ... " tiba-tiba Wi Tiong-hong mendorong tubuh Lok Khi dan tertawa terbahak-bahak, "aku benar-benar berotak bebal dan lamban untuk
berpikir ..."
Lok Khi tidak menduga sampai kesitu, ia kena didorong sampai mundur beberapa
langkah dengan sempoyongan, serunya dengan wajah tertegun: "Engkoh Hong, kau
tidak menyukai diriku?"
Sewaktu mendorong si nona tadi, Wi Tiong-hong sama sekali tak berperasaan apa-apa,
dia baru sadar akan kesilafannya itu, tanpa terasa merah padam selembar pipinya,
buru-buru dia berseru: "Maaf adikku, aku kelewat gembira sehingga hampir saja
membuatmu terjerambab."
"Engkoh Hong, persoalan apakah yang membuatmu kelewat gembira?" tegur Lok Khi dengan mata terbelalak lebar-lebar.
Kembali Wi Tiong-hong tertawa terbahak-bahak. "Haahh, haah ... haah ... bila kau tidak menyinggung soal pedang, hampir saja aku melupakan pedang mestika milikku ini."
"Cri ing." ia segera mencabut ke luar pedang berkaratnya yang sama sekali tak sedap dipandang itu, kemudian ditusukkan di atas tanah. Betul juga, permukaan tanah yang
terdiri dari batu gunung keras dan kuat itu segera tertusuk tembus tanpa
meninggalkan sedikit suara-pun.
"Sudah kau lihat," kata Wi Tiong-hong sambil menengok ke arah si nona, "meski pedangku ini nampaknya berkarat dan tumpul, sesungguhnya tajam sekali, bayangkan
sendiri walau-pun pintu batu itu amat tebal, apakah pintu itu sanggup menahan
pedang mestikaku ini?"
Wajah Lok Khi segera berseru, "Betul, aku-pun hampir melupakan hal ini, tempo hari kau-pun pernah menggunakan pedang ini untuk mematahkan pisau terbang Hwee-hong-to milik gu ... guu ..."
Tanpa sengaja gadis itu telah salah berbicara dengan mengucapkan kata "Gu"
sebetulnya ia hendak bilang "pisau terbang Hwee-hong-to milik guruku", tapi untung saja ia segera sadar akan kesilafannya dan cepat-cepat memperbaiki kesalahan
tersebut. Ternyata Lok Khi adalah murid Thian Sat-nio, namun hingga kini si nona masih tak ingin Wi Tiong-hong mengetahui riwayatnya.
Padahal saat itu Wi Tiong-hong sedang bergembira, bagaimana mungkin ia bisa
memperhatikan nada pembicaraan orang" Sambil meloloskan pedangnya, pemuda itu
lantas berseru. "Mari kita segera ke luar, adikku."
Mereka berdua segera meninggalkan ruang belakang, baru saja berjalan ke luar dari
lorong, mendadak terdengar suara gemerincing nyaring patung besi dari It-teng taysu
itu secara otomatis telah bergerak kembali dan bergeser ke posisi yang semula.
Tampaknya alat rahasia tersebut benar-benar amat hebat pembuatannya, asal orang
yang masuk ke lorong rahasia sudah mengundurkan diri dari tempat itu, secara
otomatis patung besi mana bergeser kembali ke tempatnya semula.
Wi Tiong-hong dengan pedang terhunus langsung menerjang ke pintu gerbang
ruangan. Buru-buru Lok Khi mengambil kembali rambut palsu dan topeng kulit manusia miliknya
dari tanah, kemudian serunya: "Engkoh Hong, tunggu dulu, aku akan mengenakan ini
lebih dulu baru kita sama-sama mendobrak pintu."
Sambil berkata dengan cepat dia mengenakan kembali topeng kulit manusia serta
rambut palsunya, kemudian langsung berjalan menghampiri Wi Tiong-hong.
Tapi pada saat itulah dari luar pintu gerbang secara lamat-lamat kedengaran suara
gemerincing nyaring, tampaknya ada orang sedang membuka pintu tersebut.
"Engkoh Hong, tunggu sebentar," buru-buru Lok Khi berseru, "tampaknya ada orang membuka pintu?"
Suara tersebut tentu saja didengar juga oleh Wi Tiong-hong, pelan-pelan dia mundur
ke belakang lalu mengangguk.
"Benar, suara tersebut memang suara orang melepaskan gembokan di muka pintu."
"Aku rasa Gho-tong si keledai bangsat itu tak mungkin datang menghantar makanan
buat kita bukan?" kata Lok Khi lagi sambil berpaling dan tertawa.
"Blaaammm ... " tiba-tiba pintu terbuka lebar, seorang lelaki berbaju biru telah berdiri tegak di depan pintu.
Terdengar orang itu mendengus dingin, kemudian berkata: "Kukira disini telah
dipasangi alat rahasia yang amat lihay, tak tahunya cuma dua belah pintu batu yang
berat saja ..."
Mendadak sorot matanya membentur wajah Wi Tiong-hong, ia nampak seperti
tertegun kemudian dengan suara dingin serunya lagi: "Jadi kau belum mampus?"
Dalam pada itu, Wi Tiong-hong juga sudah melihat jelas wajah pendatang itu, ternyata
dia tak lain adalah pemuda berbaju biru yang pernah dijumpai di luar kota Seng-siau
tempo hari, dan mengaku sebagai Lan-san-gin-san (kipas perak baju biru) tersebut.
Kontan rasa mendongkolnya muncul kembali, setelah mendengus dingin, serunya:
"Hmmm, jarum beracun dari keluarga Lan." sebetulnya dia hendak bilang begini:
"Jarum beracun dari keluarga Lan masih belum mampu berbuat apa-apa terhadap
diriku, nyatanya aku toh tetap sehat walafiat?"
Tapi baru saja berbicara sampai di setengah jalan, mendadak ia menyaksikan pula
seseorang berdiri tak jauh di belakang pemuda berbaju biru itu. Orang itu tak lain
adalah si nona berbaju hijau yang menghantar obat penawar racun baginya itu.
Tanpa terasa ia menjadi tertegun, andaikata tiada obat penawar pemberian gadis
tersebut, niscaya dia sudah mati keracunan. Itulah sebabnya kata-kata selanjutnya
rikuh dilanjutkan.
Setelah terhenti sesaat, dia-pun berkata lagi: "Aku tak sampai tewas oleh perbuatan kejimu itu apakah kau merasa di luar dugaan?"
"Tempo hari kau tak sampai mampus, bila hari ini kutambahi dengan sebuah tusukan
jarum lagi, bukankah urusan akan beres?"
Tiba-tiba Lok Khi menyelinap ke depan sambil bertanya: "Jadi kau yang telah
mencelakai engkoh Hong dengan jarum beracun keluarga Lan tempo hari?"
Agak tertegun juga pemuda berbaju biru itu tatkala dihadapannya mendadak muncul
seorang gadis yang bertampang sangat jelek. Segera tegurnya keheranan: "Siapa kau?"
"Hmmm, jangan perduli siapakah aku" Aku adalah adik misannya."
Tiba-tiba pemuda berbaju biru itu mendongakkan kepalanya lalu tertawa terbahakbahak. "Hei, apa yang kau tertawakan" " Lok Khi segera menegur sambil mendengus marah.
Pemuda berbaju biru itu berhenti tertawa, ditatapnya si nona berbaju hijau yang
berdiri di belakangnya, lalu menjengek. "Adik misan ..."
Gadis berbaju hijau itu bersikap dingin, ia berdiri disana tanpa ambil perduli terhadap ucapan pemuda tersebut, hanya sepasang matanya yang jeli mengawasi wajah Lok Khi
berapa kejap, lalu melirik pula ke arah Wi Tiong-hong, kemudian dia membalikkan
badan dan pergi meninggalkan tempat itu.
Buru-buru pemuda berbaju biru itu membalikkan badannya pula sambil berseru
tertahan. "Piau moay, kau ..."
"Hei, berhenti kau" " bentak Lok Khi keras-keras.
"Mau apa kau?"
"Barusan, apa yang kau tertawakan" sebelum kau jelaskan, jangan harap bisa pergi
meninggalkan tempat ini."
"Haaah, haaah, haaah, apa yang kutertawakan, apa urusannya dengan dirimu?"
Kembali Lok Khi mendengus. "Hm, kau mempunyai adik misan yang cantik, lantas
mentertawakan tampangku yang jelek" Hmm. Sudah pasti kau adalah lelaki hidung
bangor yang tak tahu malu, bila nona tidak memberi pelajaran kepadamu hari ini,
tentu kau anggap orang persilatan semuanya jeri terhadap keluarga Lan kalian."
Begitu selesai berkata, tiba-tiba dia mengayunkan tangannya ke depan
menghadiahkan sebuah tamparan ke wajah pemuda berbaju biru itu.
Sebetulnya si nona berbaju hijau itu sudah pergi meninggalkan tempat itu, akan tetapi
setelah mendengar perkataan terakhir dari Lok Khi begitu berkata turun tangan lantas
turun tangan, bahkan serangan tersebut datangnya begini cepat.
Buru2 dia mengegos ke samping meloloskan diri dari serangan Lok Khi, kemudian
dengan kening berkerut serunya petuh kegusaran: "Budak, kau ..."
Belum sempat kata "pingin mampus" diutarakan serangan berikutnya telah meluncur datang.
Lok Khi membalikkan badannya secepat kilat, telapak tangannya kembali diayunkan ke
muka menampar pipi anak muda tersebut, serunya sambil tertawa ringan: "Kau tak
akan bisa menghindar."
"Plook." Sebuah tamparan bersarang telak di atas wajah lawan.
Mimpi-pun pemuda berbaju biru itu tak mengira kalau gadis bertampang jelek yang
berada dihadapannya ini memiliki gerakan tubuh sedemikian cepatnya, tanpa terasa
dia bergeser setengah langkah ke kiri.
Apa yang terjadi dengan cepat mengobarkan hawa pembunuhan di wajah anak muda
tersebut, sambil membentak ia mencabut ke luar kipas peraknya dari saku, kemudian
bersiap siaga melancarkan tubrukan.
"Piauko, tunggu sebentar?" tiba-tiba gadis berbaju hijau itu berseru keras.
Dengan wajah tertegun pemuda berbaju biru itu menghentikan langkahnya, lalu
bertanya seraya berpaling: "Ada apa?"
"Aku hendak bertanya kepadanya."
"Lebih baik kubekuk orang itu lebih dulu, kemudian baru kau tanyai."
Sementara itu Lok Khi sudah kembali ke samping Wi Tiong-hong, mendengar ucapan
mana, ia segera tertawa dingin.
"Hehehehehehe ... dengan mengandalkan sedikit kepandaianmu itu, kau hendak
membekuk aku?"
Di pihak lain, gadis berbaju hijau itu-pun sedang berseru dengan gemas: "Aku hendak bertanya kepadanya atau tidak, tak usah kau campuri, mengerti?"
Sambil berkata, dengan langkah lemah gemulai dia berjalan menghampiri Lok Khi.
"Sebenarnya ada persoalan apa yang hendak kau bicarakan dengan diriku?" tanya Lok Khi kemudian sambil mengerdipkan matanya.
Nona berbaju hijau itu menatap wajah Lok Khi tajam-tajam, kemudian tanyanya:
"Bukankah kau menggunakan topeng kulit manusia?"
"Sejak dilahirkan aku sudah bertampang demikian, buat apa meski mengenakan
topeng?" sahut Lok Khi seraya berpaling.
Gadis berbaju hijau itu menatap sejenak ke wajah Wi Tiong-hong, lalu menatap pula
wajah Lok Khi, dia tak percaya kalau seorang pemuda tampan bisa mempunyai adik
misan yang berwajah begitu jelek.
Tanpa terasa ia mendengus dingin: "Hmmm, aku tidak percaya."
"Hmmm, siapa yang suruh kau percaya?" Lok Khi mendengus pula.
"Aku ingin menyaksikan raut wajah aslimu."
"Sekali-pun aku pakai topeng kulit manusia, apa urusannya dengan dirimu?"
"Sudah kubilang aku hendak melihatnya, aku tetap akan melihatnya."
"Dengan cara apa kau hendak melihatnya?"
Nona berbaju hijau itu menjengek sinis: "Kau anggap aku tak bisa mencopot topeng
kulit manusia yang kau kenakan itu?"
Lok Khi segera mencibirkan bibirnya yang tebal dan menuding ke wajah sendiri,
serunya. "Hmm, kalau memang begitu, ayo cobalah."
"Kau anggap aku tak berani?"
Tiba-tiba ia bertekuk pinggang, menyusul ucapan mana tubuhnya segera menubruk ke
arah Lok Khi, gerakannya aneh, cepat dan enteng, hanya tampak bayangan hijau
berkelebat lewat, tahu-tahu orangnya sudah melayang tiba sementara tangannya
menyambar wajah Lok Lhi dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
"Hmmm, kau benar-benar sudah sudah bosan hidup," dengus Lok Khi.
Telapak tangan kanannya setajam golok langsung dibacokkan ke tubuh gadis berbaju
hijau itu. Sungguh cepat gerakan tangan kedua nona itu, baru saja jari tangan nona berbaju
hijau itu menyentuh kulit wajah Lok Khi, tangan kanan Lok Khi telah menyambar pula
dada si nona berbaju hijau itu dengan sangat cepat.
Peristiwa ini membuat Wi Tiong-hong merasa amat terperanjat buru-buru ia menarik
tangan Lok Khi seraya berseru cemas: "Adikku, jangan kau lukai dia."
Padahal sekali-pun tidak ditarik, si nona berbaju hijau yang sedang menerjang ke
hadapan Lok Khi itu tetap tidak merubah gerakan tangan kanannya, sementara tangan
kirinya secepat sudah menangkis tangan kanan Lok Khi.
Berbareng itu pula tangan kiri Lok Khi telah membalik mencengkeram pergelangan


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan kanan si nona berbaju hijau yang menyambar tiba, tapi berhubung Wi Tionghong menarik tangan Lok Khi, akibatnya sama-sama kedua belah pihak sama-sama
mengenai sasaran kosong.
Begitu cengkeramannya mengenai sasaran kosong, tanpa terasa sepasang mata si
nona berbaju hijau yang jeli itu mengerling sekejap ke arah Wi Tiong-hong, menyusul
kemudian tubuhnya menerjang maju lagi ke depan, tangan kanannya diayunkan ke
depan menciptakan selapis bayangan jari tangan dan mengancam jalan darah penting
di tubuh Lok Khi.
Diam-diam Wi Tiong-hong berkerut kening sesudah menyaksikan kejadian tersebut,
tanpa terasa pujinya di dalam hati: "Kepandaian silat yang dimiliki nona ini benar-benar luar biasa hebatnya ..."
Lok Khi tidak melancarkan serangan balasan kali ini, dia hanya melompat dan
menyingkir ke samping.
Agaknya gadis berbaju hijau itu merasa amat mendongkol, sambil tertawa dingin
sepasang tangannya melancarkan serangan bersama, bayangan tangan membumbung
berlapis-lapis di angkasa, seperti bidadari yang sedang menyebar bunga saja.
Tampak Lok Khi menggerakkan sepasang bahunya sambil berkelit beberapa kali,
ternyata ia berhasil menghindarkan diri dari kepungan angin pukulan si nona berbaju
hijau yang berlapis-lapis.
Dalam sekejap mata gadis berbaju hijau itu sudah melancarkan tiga buah serangan
berantai, jurus serangan yang satu lebih hebat daripada serangan berikutnya, namun
semuanya berhasil dihindari lawan.
Sadar kalau menghadapi musuh yang tangguh tanpa terasa ia menghentikan gerakan
serangannya, lalu menegur dingin: "Mengapa kau tidak membalas?"
"Tidakkah kau dengar, piaukoku melarang aku melukai dirimu?"
"Hm, penurut amat kau dengan perkataannya?" dengus gadis berbaju hijau itu.
"Apakah kau tidak menuruti perkataan piaukomu?" Lok Khi balas menggoda sambil tertawa.
Merah padam selembar wajah nona berbaju hijau itu karena jengah, dari balik
matanya yang jeli terpancar ke luar sinar cahaya kegusaran dan sambil mendepak
kakinya berulang kali, dia berseru dingin: "Aku bersumpah hendak mencopot kulit
wajahmu itu." Sambil melompat ke depan, ia lepaskan sebuah pukulan dahsyat.
+++ "MANUSIA yang tak tahu diri." Lok Khi berseru pula dengan gusar, "kau anggap aku takut kepadamu?"
Tangan kanannya diayunkan pula ke depan menyongsong datangnya ancaman
tersebut. "Blaaam." ketika sepasang telapak tangan saling beradu, segera terjadilah suara benturan keras yang memekikkan telinga, pusaran angin berpusing memancar ke
empat penjuru, kedua belah pihak sama-sama tergetar mundur selangkah.
Tatkala Wi Tiong-hong menyaksikan kedua orang gadis itu sama-sama mengumbar
nafsu dan kedua belah pihak sama-sama tak mau mengalah, ia merasa salah,
mendadak sorot matanya menangkap sesuatu, buru-buru teriaknya: "Piau moay, cepat
tahan, ada orang datang."
Begitu mendengar "ada orang datang", Lok Khi mau-pun gadis berbaju hijau itu sama-sama berpaling ke arah luar pintu.
Pemuda berbaju biru yang semula memperhatikan pertarungan antara dua orang
gadis itu dengan kipas perak terganggam di tangan-pun, kini turut berpaling pula
dengan cepat. Dari luar ruangan tampak ada dua orang manusia sedang berjalan
mendekat. Orang yang berjalan di depan adalah seorang sastrawan setengah umur yang
mengenakan baju hijau, usianya antara tiga puluh tahunan, berwajah tampan, bersih
tanpa kumis dan kelihatannya lemah lembut macam orang terpelajar.
Mengikuti di belakangnya berwajah licik, penuh senyuman tengik dan bersikap amat
menghormati dia tak lain adalah Gho-tong hwesio, Hong-tiang baru dari kuil tersebut.
Begitu melihat kemunculan Gho-tong hwesio, Lok Khi kembali mendongkol segera
teriaknya: "Bagus sekali, keledai bangsat itu datang menghantar kematiannya, akan kubekuk batang lehernya."
Selesai berkata, dia siap menerjang ke muka.
"Adikku, tunggu dulu," buru-buru Wi Tiong-hong mencegah.
"Kenapa?"
"Tunggu saja sampai mereka masuk kemari," bisik Wi Tiong-hong lirih.
Sementara pembicaraan masih berlangsung, ke dua orang di luar ruangan itu sudah
melewati pelataran dan melangkah masuk ke dalam pintu. Sastrawan berbaju hijau
yang berjalan di depan itu segera memandang sekejap seputar ruangan, kemudian
tanyanya sambi berpaling: "Hanya ke empat orang ini?"
Buru-buru Gho-tong hwesio membungkukkan badannya memberi hormat, lalu sambil
menuding pemuda berbaju biru dan nona berbaju hijau itu, bisiknya lirih: "Ke dua
orang itu."
"Benar, kamilah yang datang mencari gara-gara, apa kalian?" pemuda berbaju biru itu segera menjawab dengan lantang.
Sastrawan berbaju hijau itu hanya memandang sekejap ke arahnya tanpa menggubris,
kembali tanyanya kepada Gho-tong hwesio: "Dan kedua orang yang lain?"
Tentu saja yang dimaksudkan adalah Wi Tiong-hong dan Lok Khi.
Gho-tong hwesio segera berkata: "Mereka datang mencari suhengku, tapi siau ceng
telah menyekap mereka di dalam ..."
Belum sampai Gho-tong hwesio menyelesaikan perkataannya, sastrawan berbaju hijau
itu telah mengalihkan sorot matanya ke wajah pemuda berbaju biru, tanyanya
kemudian: "Secara beruntun kau telah melukai banyak anggota kuil kami, dari mana
kau datang?"
"Hmm ... kebetulan aku-pun ingin bertanya kepadamu, saudara datang dari mana?"
balas pemuda berbaju biru itu sambil tertawa dingin.
Sastrawan berbaju hijau itu tersenyum. "Oooh ... kau datang mencari tempat kuburan
It-teng taysu, tentu saja kedatanganmu bertujuan ..."
Diam-diam Wi Tiong-hong mengangguk, tanpa terasa dia mengalihkan sinar matanya
kewajah Lok Khi, seakan-akan sedang berkata begini: "Betul tidak" Ternyata mereka datang karena suatu tujuan dan sama sekali tak ada hubungannya dengan kita."
Sementara itu, pemuda berbaju biru tersebut telah mendengus: "Hmmm, datang
karena suatu tujuan atau tidak, rasanya kau belum berhak untuk mencampurinya."
Perkataan ini ada benarnya juga, apa kedudukan orang itu dalam kuil Pau-in-si"
Sastrawan berbaju hijau itu tetap tersenyum sahutnya: "Padahal aku-pun tak usah
bertanya kepadamu."
"Apa maksud dari perkataan itu?"
Lok Khi tak sabar dibuatnya, sambil berpaling dia segera berseru. "Piauko, biarlah mereka membicarakan soal mereka, sedang kita hajar dulu keledai gundul ini
kemudian pergi mencari makanan."
Wi Tiong-hong ingin mencegah tapi tak sempat lagi, tampak gadis itu melompat ke
depan langsung menerjang ke arah Gho-tong hweesio.
Gerakan Lok Khi sewaktu melompat dan menerjang ke depan ini dilakukan dengan
kecepatan bagaikan sambaran kilat, tahu-tahu ia sudah muncul dihadapan Gho-tong
hweesio, belum lagi kakinya menempel tanah, tangannya sudah mencengkeram bahu
lawan. Sastrawan berbaju hijau itu sama sekali tidak memandang ke arahnya, dia hanya
mengebaskan ujung bajunya sambil berseru dengan suara dalam. "Bocah perempuan,
tenang saja, jangan gelisah."
Ilmu silat yang dimiliki Lok Khi berasal dari ajaran Thian Sat-nio, tentu saja dia sangat tangguh dan bukan manusia sembarangan tatkala tubuhnya menerjang ke muka tadi,
kendati-pun dia sudah mengetahui kalau sastrawan berbaju hijau itu mengebaskan
ujung bajunya, tapi lantaran gerakannya lamban, tentu saja dia enggan
menghindarkan diri dengan begitu saja.
Siapa tahu, pada saat itulah tiba-tiba ia merasakan munculnya segulung tenaga
pukulan tak berwujud yang menumbuk ke atas tubuhnya tanpa menimbulkan sedikit
suara-pun. Bukan begitu saja, bahkan tenaga tak berwujud itu sempat menggulung badannya,
melemparkannya ke belakang sehingga terjatuh kembali keposisi semula.
Tindakannya ini sungguh lihay dan luar biasa, orang luar yang tak tahu kejadian
sebenarnya tentu mengira Lok Khilah yang mengurungkan gerakannya di tengah jalan
dan melompat balik.
Padahal Lok Khi merasa terperanjatnya bukan kepalang, begitu berdiri tegak buruburu ia menghimpun tenaganya melakukan pemeriksaan yang seksama, masih untung
ia tak terluka, namun perasaan terkesiap betul sudah mencekam dadanya.
"Siapakah orang ini?" demikian ia berpikir, "mengapa kepandaian silat yang dimilikinya begitu lihay" Tampaknya tidak berada di bawah kepandaian Toa suko."
Kendati-pun di hati kecilnya ia terkesiap, namun di luar ia segan tunduk dengan begitu saja. Setelah mendengus serunya: "Aku datang mencari balas dengan bajingan gundul ini, apa sangkut pautnya dengan kau" Kau ingin menghalangi niatku" Hmm, tak ada
salahnya kalau nona mencoba lebih dulu kepandaian silatmu ..."
"Kalian berdua lebih baik berdiri dulu di situ," kata sastrawan berbaju hijau itu dengan suara dalam, "Sehabis berbicara dengan mereka, tentu saja aku-pun akan menanyai
kalian." Meski usianya belum tua, namun cara berbicara serta gayanya benar-benar besar
tingkahnya. Pemuda berbaju biru itu menjengek sinis, dia menyentilkan jari tangannya ke muka,
tiga gulung cahaya biru selembut rambut segera meluncur ke depan dan menghantam
dada sastrawan berbaju hijau itu dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Sastrawan berbaju hijau itu seolah-olah tidak merasakan apa-apa, tiga batang jarum
terbang berwarna biru itu dengan posisi segitiga langsung menerjang jalan darah Sianki-hiat di depan dada dan ciang-tay-hiat di kiri kanan dada.
Tapi anehnya ternyata pakaian yang dikenakan sastrawan itu sudah menggelembung
besar, tatkala ia menggetarkan badannya, ketiga batang jarum beracun itu sudah
rontok ke tanah.
+++ Bab 27 SASTRAWAN berbaju hijau itu mencibir sinis, dia memandang sekejap seputar arena
lalu katanya setelah tertawa dingin. "Apa hubungan kalian berdua dengan Lan Sim-hu"
Dengan mengandalkan berapa batang jarum beracun keluarga Lan, kau anggap
sanggup melukai aku ...?"
Gadis berbaju hijau itu mendengus dingin. "Hmm, kau tak lebih hanya mengandalkan
pakaian terbuat dari kulit, apanya yang aneh?"
Sementara itu, pemuda berbaju biru tersebut sudah menegangkan kipas peraknya, lalu
sambil tertawa nyaring berkata: "Aku adalah Lan Kun-pit dari Im lam, kalau didengar dari lagakmu tampaknya hebat, entah bagaimana dengan kepandaian silatnya?"
Mencorong sinar tajam dari balik mata sastrawan berbaju hijau itu, sambil menuding
ke dua orang itu, katanya sambil tersenyum. "Seandainya kalian bisa menyambut tiga jurus seranganku, malam ini juga aku akan melepaskan kalian."
"Sambut dulu tiga jurus seranganku ini,," tukas si nona berbaju hijau itu cepat.
Tubuhnya melejit sambil menerjang ke muka, tangan kirinya diayunkan cepat ke
depan belum lagi tubuhnya tiba di sasaran, jari tangannya sudah melentik melepaskan
serangan mengancam tiga buah jalan darah penting di tubuh sastrawan berbaju hijau
itu. Berubah hebat paras muka sastrawan berbaju hijau itu, bahu kanannya bergerak
mengegos ke samping, langkahnya tetap di tempat sementara lututnya tanpa
membengkok, tahu-tahu dia sudah meloloskan diri dari sergapan kilat dari gadis
berbaju hijau itu.
Kemudian sambil menatap gadis lekat-lekat, bentaknya dengan suara dalam. "ilmu
naga sakti pemotong nadi, ehm ... kau adalah murid Lam-hay-bun ...?"
Lok Khi turut tertegun setelah mendengar orang itu mengatakan kalau nona berbaju
hijau itu murid Lam-hay-bun, diam-diam pikirnya. "Tak heran kalau gerakan tubuhnya begitu aneh sewaktu bertarung melawan diriku tadi, seandainya aku tidak
mengandalkan ilmu Hiat im kiu coan sin hoat dari perguruanku niscaya sulit untuk
menghindarkan diri ..."
Berpikir sampai di situ, tanpa terasa ia berpaling dan menengok ke arah Wi Tionghong. Tampak Wi Tiong-hong sedang menatap ke arah gadis berbaju hijau itu dengan
terpesona, kontan hatinya menjadi mendongkol, setelah mendengus pikirnya: "Kau
menganggap dia cantik bukan" Huuh ... dasar siluman rase."
Sementara itu, gagal dengan serangannya nona berbaju hijau itu maju dan menerjang
ke depan, serunya dingin, "Perduli amat aku murid siapa?" sepasang tangannya kembali diputar menciptakan selapis bayangan jari tangan yang luar biasa, bagaikan
gelombang samudra saja langsung mengurung ke muka.
Gerakan serangannya begitu aneh dan mengerikan, diantara perputaran jari
tangannya dia sudah mengancam jalan darah penting di tubuh sastrawan berbaju
hijau itu, selain enteng dan lincah, juga jarang dijumpai di kolong langit.
Sastrawan berbaju hijau itu segera memutar lengan kanannya melancarkan sebuah
pukulan yang memaksa gadis berbaju hijau itu mundur selangkah ke belakang,
kemudian sambil tertawa terbahak-bahak katanya: "Haaahh haaahhh ... haaahhh, bila kalian berdua benar benar adalah murid Lam-hay-bun, malam ini kamu berdua tak bisa
di lepaskan dengan begitu saja."
Sejak kecil gadis berbaju hijau itu sudah terbiasa dimanja, belum pernah ia
dipermainkan orang atau dipandang rendah orang lain, dipukul mundur orang dalam
satu gebrakan-pun baru pertama kali ini dialaminya, tanpa terasa merah sepasang
matanya, air mata hampir jatuh berlinang.
Mendadak tanpa mengucap sepatah kata-pun dia menerjang ke muka, sepasang
tangannya digunakan bersama melancarkan serangkaian serangan dahsyat.
Lan Kun-pit atau pemuda berbaju biru itu cukup menyadari betapa lihaynya ilmu silat
yang dimiliki sastrawan berbaju hijau, dia kuatir adik misannya menderita kerugian di
tangan lawan, buru-buru serunya sambil tertawanya ringan: "Sekali-pun kau bersedia
melepas kami, belum tentu kami akan melepaskan dirimu."
Kipas peraknya segera dituding ke depan di ringi tubuhnya menerjang ke muka, tangan
kanannya diputar amat kencang melepaskan sebuah pukulan yang amat dahsyat ke
depan. Ketika gadis berbaju hijau itu menyaksikan kakak misannya turut terjun pula ke arena
pertarungan, semangatnya segera bangkit kembali jari tangannya diayunkan ke depan
berulang kali melancarkan serangkaian serangan dengan, jurus-jurus yang aneh dan
tangguh, ilmu membabat jalan darah-pun dilancarkan secara beruntun.
Sastrawan berbaju hijau itu sendiri justru tetap bertarung sambil tertawa dingin tiada hentinya, serangan yang dilancarkan tetap sederhana tanpa keistimewaan apa-apa,
namun sekali-pun ayunan tangan yang sederhana justru terkandungan pula jurus
serangan yang hebat.
Dalam permainannya, terasa kekuatannya mengerikan sekali, bagaimana-pun kedua
orang lawannya mengerubuti dia, bagaimana-pun hebatnya perubahan jurus yang
dipergunakan, kesemuanya itu telah dipunahkan olehnya secara gampang dan
sederhana. Dalam waktu singkat, gadis berbaju hijau dan pemuda berbaju biru itu sudah
melancarkan serangan sebanyak dua puluh gebrakan lebih, namun sastrawan berbaju
hijau itu cuma menggunakan empat lima jurus serangan biasa.
Dalam pada itu, Wi Tiong-hong sudah dapat menyaksikan pula keadaan pertarungan
yang sebenarnya, dia menemukan sastrawan berbaju hijau itu tak pernah melancarkan
serangan balasan, tampaknya ia berniat untuk memancing kedua orang itu
menggunakan segenap kepandaian yang dimilikinya.
Tanpa terasa bisiknya kepada Lok Khi sambil berpaling: "Nah, sudah kau lihat belum, dia ..."
Lok Khi masih mendongkol terhadap pemuda itu karena ia mengawasi nona berbaju
hijau itu terus menerus tanpa berkedip. Tidak menunggu ia menyelesaikan
perkataannya, dengan dingin ia menukas. "Apanya lagi yang sedap dipandang" Jika
kau ingin tinggal disini, lihatlah sampai puas, aku hendak pergi."
Selesai berkata, dia lantas berpaling sambil membalikkan badan, lalu melompat pergi
meninggalkan tempat itu.
Wi Tiong-hong menjadi tertegun, sebenarnya ia memperhatikan gadis berbaju hijau itu
dengan serius karena ia merasa berhutang budi kepada nona ini, maka dalam hati
kecilnya dia mengambil keputusan, jika mereka tak mampu menghadapi sastrawan
berbaju hijau nanti, dia bersiap sedia memberikan bantuannya.
Dan barusan, dia memanggil Lok Khi karena ingin menerangkan persoalan tersebut,
siapa tahu baru saja dia berkata setengah jalan, gadis itu sudah mengambek.
Buru-buru serunya lagi: "Adikku, tunggu sebentar." Dengan cepat dia menyusul pula di belakang Lok Khi.
Lok Khi sama sekali tidak menggubris, dengan kepala tertunduk dia maju terus ke
depan dengan langkah cepat.
Baru saja tiba di depan pintu, tiba-tiba terdengar sastrawan berbaju hijau itu berseru sambil tertawa nyaring: "Aku suruh kau tenang dan tak usah gelisah, buat apa kau
mesti terburu nafsu?"
Telapak tangan kirinya segera diayunkan ke tengah udara, menyusul gerakkan itu
muncul segulung tenaga pukulan langsung menerjang ke tubuh Lok Khi.
Sebetulnya Lok Khi adalah seorang yang cerdas, akan tetapi berhubung sastrawan
berbaju hijau itu sedang bertarung melawan dua orang, tentu saja ia tak menyangka
kalau orang itu masih sempat melancarkan serangan ke arahnya. Baru saja suara
bentakan berkumandang, segulung tenaga pukulan telah meluncur tiba.
Tadi ia pernah menderita kerugian, tentu saat ini gadis tersebut tak berani menyambut
datangnya ancaman tersebut dengan keras lawan keras.
Cepat dia menyingkir lalu mengegos dari ancaman mana. Kebetulan Wi Tiong-hong
mengikuti di belakang Lok Khi, begitu gadis itu berkelit serangan dahsyat yang
dilepaskan sastrawan berbaju hijau itu secara otomatis menerjang ke tubuhnya.
Lok Khi menjadi amat gelisah, buru-buru teriaknya: "Engkoh Hong, hati-hati ..."
Baru saja Wi Tiong-hong melayang turun di atas tanah, tiba-tiba ia merasa ada
segulung tenaga pukulan menerjang ke arahnya, tak terlukiskan rasa kagetnya.
Dalam keadaan demikian, tanpa berpikir panjang lagi dia merentangkan lengan
kanannya, dengan sebelah telapak tangan ditegakkan, ia gunakan ilmu cay im-jiu atau
tangan sakti penghadang awan menangkis ke muka secara keras lawan keras.
la segera merasakan tenaga pukulan lawan yang sangat kuat menghantam di atas
telapak tangannya, tanpa terasa tubuhnya terdorong mundur selangkah ke belakang.
Dalam serangannya tadi, meski sastrawan berbaju hijau itu tidak menggunakan
seluruh kekuatan yang dimilikinya, namun di dalam anggapannya, kedua orang itu tak
berani menyambut dengan kekerasan.
Sebab asal pukulan yang dilancarkan itu tidak disambut dengan kekerasan paling
banter tubuh mereka hanya akan terpental balik tanpa menderita luka apa-apa, akan
tetapi jika disambut dengan kekerasan, niscaya mereka akan tergetar pingsan oleh
tenaga pantulannya.
Siapa tahu, sewaktu kekuatan kedua belah pihak terbentur satu sama lainnya, walaupun Wi Tiong-hong bergetar mundur sejauh selangkah, akan tetapi ia berhasil
menerima serangan mana dengan keras lawan keras.
Kontan saja peristiwa ini menimbulkan perasaan terkesiap bagi sastrawan berbaju
hijau itu, diam-diam pikirnya: "Tak nyana kepandaian silat yang dimiliki beberapa orang lelaki perempuan itu yang satu lebih tangguh daripada yang yang lain.
"Serangan yang dipakai barusan mirip sekali dengan ilmu cay-im jiu dari Bu-tong-pay,


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi seperti juga Siu-lo-to ..."
Tergerak hatinya setelah berpikir sampai di situ, tanpa terasa serunya sambil tertawa
nyaring: "Sungguh tak disangka usiamu masih begitu muda, namun tenaga dalam yang
kau miliki tidak lemah, coba sambutlah sekali lagi seranganku ini."
Di bawah serangan gabungan dari pemuda berbaju biru dan nona berbaju hijau itu,
tangan kirinya segera menggunakan jurus Pay hong-tong im (menyapu angin mengusir
angin) untuk mendesak mundur serangan gabungan musuh, kemudian tangan
kanannya dari jarak satu kaki melepaskan sebuah pukulan udara kosong ke arah Wi
Tiong-hong. Wi Tiong-hong menyaksikan serangan yang dilancarkan lawan sama sekali tidak
membawa deruan angin, hanya ada segulung tenaga pukulan tak berwujud yang
menekan tiba, sebagai pemuda yang berdarah panas, ia segera mendengus dingin.
"Hm, kau anggap aku tak berani menghadapinya?"
Lengan kanannya berputar membuat satu lingkaran, kemudian menyongsong
datangnya ancaman tersebut.
Lok Khi tahu kalau kepandaian silat yang dimiliki sastrawan berbaju hijau itu amat
lihay, buru-buru teriaknya. "Engkoh Hong, jangan kau hadapi serangannya dengan
kekerasan."
Serangan yang digunakan Wi Tiong-hong masih tetap merupakan pukulan cay im jiu,
begitu terbentur dengan kekuatan lawan, mendadak ia merasa tenaga pukulan tak
berwujud dari sastrawan berbaju hijau itu jadi kuat sekali.
Sedemikian dahsyatnya serangan tersebut ibarat gunung karang yang jatuh dan
menindih di atas kepala, kontan hawa darah dalam dadanya tergetar keras,
membuatnya hampir saja tak sanggup menahan diri.
Tapi pada saat itulah, tenaga pukulan yang terpencar ke luar dari tangannya segera
melesat ke muka, bagaikan "membelah awan" saja segera menembusi tenaga pukulan lawan yang kuat dan membelahnya dari tangan hingga terbagi menjadi aliran yang
berbeda dan satu dari kiri lain dari kanan meluncurkan lewat dari ke dua belah sisi
tubuh. Sastrawan berbaju hijau itu berseru tertahan lalu mundur setengah langkah dari posisi
semula, setelah itu dia menarik kembali tenaga pukulannya dan memandang ke arah
lawan dengan pandangan terkejut bercampur keheranan, serunya. "Oooh ... ternyata
benar-benar adalah ilmu Siu-lo-to."
Menyambut serangan lawan, Wi Tiong-hong merasakan tubuhnya bergoncang keras,
kemudian mundur beberapa langkah dan muntah darah segar.
Dalam sekejap itulah, si gadis berbaju hijau serta pemuda berbaju biru itu sudah
menghentikan pula gerakannya. Terdengar gadis berbaju hijau menjerit kaget: "Dia ...
dia ... telah terluka."
Lok Khi lebih terperanjat lagi, tanpa memperdulikan perbedaan antara lelaki dan
perempuan, dia segera berteriak. "Engkoh Hong ..."
Tubuhnya segera menubruk ke depan, tangannya berkelebat menyanggah tubuh Wi
Tiong-hong agar jangan jatuh, kemudian bisiknya: "Kau terluka?"
Wi Tiong-hong menghembuskan napas panjang dan tersenyum. "Aaah, tidak menjadi
soal, aku hanya menyambut serangannya dengan kekerasan, karena menggunakan
tenaga kelewat batas, beginilah akibatnya, tapi jangan kuatir, sebentar-pun akan
sembuh dengan sendirinya."
Dari cara dan nada pembicaraan orang, Lok Khi tahu kalau anak muda tersebut
memang benar-benar tidak mengapa, lega juga hatinya, maka segera omelnya: "Aku
toh menyuruh kau jangan beradu tenaga dengannya, siapa suruh kau bertindak
nekad?" Berbicara sampai di situ, tiba-tiba tangan kanannya berputar dan ... "Cri ingg." ia telah meloloskan sebilah golok tipis yang panjang dan memancarkan cahaya tajam.
Sambil mengayunkan senjata mana ke depan serunya dengan gemas: "Kau tunggu saja
disini, akan kuhadapi orang itu ... " ia siap menerjang kembali ke arah sastrawan berbaju hijau itu.
Pada saat itulah mendadak berkumandang suara pekikan aneh yang membelah
angkasa, lalu tampak sesosok bayangan manusia meluncur masuk lewat pintu gerbang
dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, dengan cepatnya orang itu melayang
turun di hadapan sastrawan berbaju hijau itu.
Tanpa terasa si nona berbatu hijau dan pemuda berbaju biru itu sama-sama mundur
dua langkah. Lok Khi-pun tanpa terasa menghentikan gerakan tubuhnya, golok tipisnya disilangkan
di depan dada menghadang di muka Wi Tiong-hong.
Semua orang tidak tahu pendatang tersebut seorang kawan atau lawan, maka setiap
orang bersiap siaga penuh, sorot mata mereka-pun bersama-sama dialihkan ke depan.
Tampak orang itu berbaju hitam bermuka buas, kecuali sepasang matanya yang tajam,
wajahnya kaku tanpa emosi, dia berdiri kaku di tempat tanpa mengucapkan sepatah
kata-pun. Bukan saja dandanan dan sikapnya sangat aneh, gerak geriknya-pun aneh
sekali, lagi pula kedatangannya cepat bagaikan sambaran kilat.
Sesudah tertegun berapa saat, akhirnya ia berhasil tenangkan kembali hatinya, setelah
menjura, ujarnya sambil tertawanya nyaring: "Sobat, kau jagoan dari mana" Selamat berjumpa."
Manusia aneh itu berdiri di hadapannya bersikap seakan-akan tidak mendengar
perkataan itu, bibirnya tertutup rapat tanpa berbicara namun dilihat dari posisinya
berdiri, tersisa sebuah tanah kosong cukup luas di belakang tubuhnya, jelas dia ada
maksud menghadang di muka sastrawan berbaju hijau itu agar semua orang dapat
mengundurkan diri dari ruangan.
Akan tetapi ke empat orang muda mudi yang berada di ruangan itu boleh di bilang
merupakan anak harimau yang belum takut menghadapi apa-apa. Walau-pun mereka
tak tahu siapakah orang tersebut, namun mengerti kalau manusia aneh tersebut
bermaksud membantu mereka, atau paling tidak dia merupakan musuh paling
tangguh bagi sastrawan berbaju hijau itu.
Maka hampir bersamaan waktu pula ke empat orang itu sama-sama berpendapat
ingin mengetahui keadaan lebih jauh, tak heran kalau tak seorang-pun diantara
mereka yang mengundurkan diri.
Sewaktu sastrawan berbaju hijau itu menyaksikan pihak lawan hanya berdiri kaku dan
tidak menggubris tegurannya, tanpa terasa dia mendongakkan kepalanya sambil
tertawa terbahak-bahak: "Haaah, haaah, haaah, selama berkelana dalam dunia
persilatan, pelbagai ragam manusia sudah pernah aku jumpai, tampaknya saudara-pun
tak usah berperan sebagai setan atau manusia aneh lagi di hadapanku."
Manusia aneh itu masih tetap berdiri tenang di tempat semula, tidak berbicara tidak
pula bergerak. Berkerut sepasang kening sastrawan berbaju hijau itu, kembali ia menegur sambil
tertawa dingin: "Sobat, jika kau tetap membungkam, jangan salahkan siaute akan
bertindak kurang sopan."
Tangan kanannya diayunkan ke depan, sebuah pukulan dahsyat langsung menghantam
ke dada orang itu.
Selisih jarak kedua belah pihak tak sampai lima depa, serangan yang dilepaskan
sastrawan berbaju hijau-pun cepat bagaikan sambaran kilat, tampaknya pukulan itu
segera akan mencapai depan dada manusia aneh tersebut.
Akan tetapi manuia aneh itu masih tetap berdiri tak berkutik, tidak mencoba berkelit,
tidak berusaha menghindar, bahkan sikapnya seolah-olah tidak memandang kejadian
tersebut. Sikap semacam ini kontan membuat sastrawan berbaju hijau itu tertegun, tanpa sadar
ia-pun menjadi ragu untuk bertindak lebih lanjut.
Namun satu ingatan segera melintas dalam benaknya, tiba-tiba saja serangannya
dipercepat, telapak tangannya diputar lalu menyodok ke perut lawan dengan
kecepatan tinggi.
Empat orang muda-mudi yang berada di arena sama-sama dibikin terkesiap oleh
peristiwa ini, semua orang tahu kalau tenaga dalam yang dimiliki sastrawan berbaju
hijau itu lihay, seandainya serangan mana bersarang telak, sekali-pun orang yang
berilmu tinggi juga pasti akan terluka parah.
Diam-diam pemuda berbaju biru itu menggenggam tiga batang jarum beracun dan
siap dilepaskan ke depan.
Lok Khi juga menggenggam kencang-kencang golok tipisnya, golok tersebut tanpa
terasa bergoncang pelan.
Tapi di saat yang amat kritis inilah, tiba-tiba terdengar manusia aneh itu berpekik
nyaring, tangan kanannya diangkat dan tahu-tahu sudah menyambut serangan dari
sasterawan berbaju hijau itu dengan keras lawan keras.
Serangan orang itu cepat bukan kepalang pada hakekatnya sukar dilihat jelas oleh
orang lain. "Plaaak." terdengar suara bentrokan nyaring menggema, sepasang telapak kedua belah pihak sudah saling membentur satu sama lainnya, akibat dari bentrokan itu
tubuh masing-masing pihak bergoncang pelan, ternyata tenaga dalam mereka
seimbang. Baik sastrawan berbaju hijau mau-pun manusia aneh itu sama-sama sadar kalau
mereka telah berjumpa dengan musuh paling tangguh yang pernah dijumpainya
selama ini, tanpa terasa masing-masing mundur dua langkah dengan penuh tanda
tanya. "Sebenarnya siapakah kau?" tegurnya dengan kening berkerut.
Sesudah terjadi benturan kekerasan, ternyata manusia aneh tersebut masih tetap
berdiri kaku, tidak menjawab, tidak pula turun tangan. Ia masih tetap berdiri kaku
tanpa berkutik.
Karena tidak digubris lawannya, lama kelamaan meledak pula hawa amarah
sasterawan berbaju hijau itu, sambil tertawa nyaring, serunya: "Buyung Siu sudah
banyak menjumpai jagoan lihay, tapi belum tentu memandang sebelah mata-pun
terhadap kau."
Tiba-tiba ia maju selangkah, sepasang tangannya diayunkan bersama ke depan
melancarkan tiga buah serangan berantai.
Serangan yang dilancarkan dalam keadaan gusar ini benar-benar luar biasa sekali,
selain serangannya cepat, lagi pula setiap pukulan mengandung tenaga penghancur
yang menggeledek hebatnya bukan kepalang.
Dari empat orang muda mudi yang hadir di arena sekarang, tak seorang-pun diantara
mereka pernah mendengar nama "Buyung Siu". Diam-diam semua orang merasakan
keheranan. Kalau berbicara menurut kepandaian silat yang dimiliki, seharusnya dia
adalah seorang tokoh persilatan yang amat termashur, tapi anehnya mengapa nama
orang ini justru tak pernah terdengar"
Meski masing-masing memikirkan persoalan itu di hati, namun sorot mata mereka tak
pernah lepas menatap kedua orang tersebut lekat-lekat ...
Tiga buah serangan yang dilancarkan sastrawan berbaju hijau itu dahsyat dan
mengerikan sekali, namun manusia aneh itu tidak mundur atau-pun menghindar
malah sambil menjengek dingin, tiba-tiba ia maju menyongsong, sepasang telapak
tangannya melancarkan serangan bersama menyambut datangnya ancaman tersebut
dengan keras lawan keras.
"Blaaammm. Blaaammm ... Blaaammm ... " secara beruntun terjadi tiga kali benturan keras yang memekikkan telinga.
Ternyata ketiga buah serangan yang dilancarkan sastrawan berbaju hijau itu berhasil di sambut semua oleh manusia aneh tersebut.
Tenaga dalam yang dimiliki ke dua orang ini seimbang, begitu turun tangan secara
beruntun mereka lakukan berapa kali bentrokan kekerasan, kejadian mana segera
menggetarkan hati empat muda-mudi yang berada di dalam ruangan.
Jarang sekali mereka jumpai pertarungan adu kekerasan macam begini dalam dunia
persilatan. *** Bab 28 SELAMA ITU, Gho-tong hweesio selalu berdiri di belakang sastrawan berbaju hijau itu,
sesungguhnya dia memang menggunakan sastrawan berbaju hijau itu sebagai tulang
punggungnya. Ia selalu berdiri dengan wajah berseri karena dalam anggapannya
kemenangan sudah pasti berada di pihaknya.
Akan tetapi, setelah kemunculan manusia aneh tersebut secara tiba-tiba, dan
kenyataan menunjukkan kalau ilmu silatnya tidak berada di bawah kepandaian
sastrawan berbaju hijau itu, perubahan situasi yang mendadak ini membuat wajahnya
segera diliputi perasaan tidak tenang.
Tiga kali bentrokan secara kekerasan membuat sastrawan berbaju hijau dan manusia
aneh tersebut sama-sama merasakan hawa murninya tergoncang hebat, ujung baju
berkibar kencang dan masing-masing mundur tiga langkah ke belakang.
Pada saat itu, tiba-tiba manusia aneh itu berpaling sambil membentak dengan mata
melotot. "Apa yang hendak kalian saksikan?"
Jelas maksud dari perkataan itu adalah menyuruh mereka cepat pergi, kalau tidak
pergi lagi, maka dia tak akan mengurusi keselamatan mereka lagi.
Sementara itu sastrawan berbaju hijau tersebut sudah mundur sejauh tiga langkah,
waktu itu dia sedang menghimpun tenaganya mengatur napas. Mendengar ucapan
mana, dengan mata melotot dan tertawa tergelak tegurnya: "Sobat, kau jago lihay dari Lamhay" Atau mungkin kau adalah Siu-lo Khi-su?"
Dari permainan si nona berbaju hijau dalam menggunakan ilmu memotong nadi, dia
kenali kepandaian tersebut sebagai Soh liongjiu (tangan sakti pengunci naga).
Kemudian ia menemukan juga kalau Wi Tiong-hong yang mainkan ilmu cay im jiu
terselip pula ilmu Siu-lo-to, dia lantas menduga kalau manusia aneh tersebut tentu
mempunyai hubungan dengan ke dua perguruan mana.
Sedang dia tahu kalau pemuda berbaju biru itu sebagai keturunan keluarga Lan di Im
lan, satu-satunya yang tidak ia ketahui adalah Lok Khi sebagai murid Thian-sat-bun.
"Hmm, kau tak bisa melihatnya?" jengek manusia aneh itu.
Mendadak ia menyerang ke muka, tangan kirinya menyambar secepat kilat
mencengkram bahu kiri sastrawan berbaju hijau itu.
Menghadapi ilmu Kimna jiu hoat yang penuh dengan perubahan aneh ini, diam-diam
sastrawan berbaju hijau itu terkesiap.
Ia segera berkelit ke samping sambil membentak: "Aaa ... ilmu Tay sui pit jiu dari Siau-lim-pay," cepat-cepat dia mengeluarkan jurus Keng to paan (ombak dahsyat
menghantam pantai) untuk balas menghantam datang itu. Cengkeraman manusia
aneh itu amat cepat dengan perubahan yang luar biasa hebatnya.
Begitu sastrawan berbaju hijau itu melepaskan pukulan, ia telah merobah ilmu
cengkramannya menjadi sebuah kebasan, setelah membentuk satu gerakan lingkaran,
ia menolak telapak tangannya ke depan.
Mendadak tangan kirinya ditegangkan bagaikan sebuah tombak, lalu disodokkan ke
jalan darah Thian tu hiat di tubuh sastrawan berbaju hijau itu.
Buru-buru sastrawan berbaju hijau itu miringkan badan sambil mundur tiga langkah,
bentaknya. "Tay kek kun dari Bu-tong-pay, cuan im ci dari Go-bi-pay, haaahh ... haaahh
... haaahh ... tampaknya kau benar-benar amat berhasil menguasai pelbagai ilmu silat
dari dunia."
Begitu suara bentakan dikumandangkan, tangan kananya segera menggenggam
gagang pedang dan mencabut sebilah pedang berbulu hijau, dengan sorot mata yang
tajam pelan-pelan dia menatap manusia aneh itu.
Lalu ujarnya sambil tersenyum: "Tak nyana Buyung Siu dapat berjumpa dengan jago
lihay seperti anda, ingin sekali aku coba kelihayanmu di ujung permainan senjata."
Gerak geriknya amat halus dan santai, kendati pedangnya sudah dicabut ke luar
namun caranya berbicara masih tetap lemah lembut dan amat tenang ...
Melihat orang itu meloloskan pedangnya, manusia aneh tersebut segera mundur
selangkah tangan kanannya segera merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan sebilah
pedang pendek sepanjang dua depa.
Setelah melintangkannya di depan dada, seraya bentaknya: "Harap kalian ke luar dari sini, jangan merepotkan aku saja."
Wi Tiong-hong dapat melihat kalau pedang yang berada di tangan kedua orang itu
merupakan pedang mestika, kalau pedang yang berada di tangan sastrawan berbaju
hijau itu berwarna kehijau-hijauan dan bening seperti air, maka pedang pendek dari
manusia aneh itu gemerlapan cahaya tajam, tujuh butir mutiara bersinar tajam
memancar ke luar dari tubuh pedang tersebut.
Walau-pun selama ini sastrawan itu tetap tersenyum, namun sinar mata yang di
pancarkan ke tubuh manusia aneh itu kian lama kian bertambah tajam, sementara
tangan kirinya membuat gerakan dan pelan-pelan di angkat ke atas.
Begitu manusia aneh tadi selesai membentak, pedang pendeknya yang terangkat
sejajar dada pelan-pelan ditudingkan ke arah lawan.
Diam-diam Wi Tiong-hong merasa terperanjat setelah menyaksikan kejadian itu,
pikirnya. "Tampaknya kedua orang ini sama-sama lagi menghimpun tenaga dalamnya,
kalau serangan pedang tingkat tinggi yang mereka lancarkan sudah mulai bergerak.
niscaya mengerikan sekali akibatnya. Aku lihat, apa yang diucapkan manusia itu
memang benar, kehadiran kami semua disini hanya akan mengganggu mereka saja."
Sementara ingatan mana masih melintas dalam benaknya, Lok Khi telah menarik ujung
bajunya sambil berkata: "Engkoh Hong, mari kita pergi."
Wi Tiong-hong manggut-manggut, mereka berdua segera berjalan meninggalkan pintu
ruangan. Pemuda berbaju biru dan gadis berbaju hijau itu tidak berdiam lebih lama pula disana,
mereka turut mengundurkan diri pula dari situ.
Di kala keempat orang itu hendak pergi meninggalkan ruang cou-su-tian, tiba-tiba dari
belakang mereka berkumandang suara pekikan nyaring seperti pekikan naga,
menyusul kemudian terjadi suatu bentrokan nyaring yang amat memekikkan telinga.
"Traaang Traaaang."
Tanpa sadar Wi Tiong-hong menghentikan langkahnya, dia hendak membalikkan
badan untuk mengetahui siapa yang berhasil menangkan pertarungan tersebut.
Tapi sebelum niat tersebut dapat dilakukan, Lok Khi sudah menarik ujung bajunya
seraya berkata dengan gelisah: "Engkoh Hong, tak usah dilihat lagi, mari kita segera pergi."
Tanpa menghentikan langkahnya, gadis itu melanjutkan perjalanannya menuju ke
depan. Wi Tiong-hong sudah berkumpul beberapa dengan gadis itu, dia cukup mengetahui
bahwa kepandaian silat dari adiknya ini jauh lebih tinggi dari kepandaian sendiri, lagi pula dia berjiwa tak sudi mengaku kalah, tapi kali ini, mengapa dia justru merecoki
dirinya agar cepat-cepat pergi dari situ"
Walau-pun di dalam hatinya merasa heran, namun langkahnya tetap dipercepat untuk
menyusul Lok Khi.
Terdengar suara dari sastrawan berbaju hijau itu bergema dari kejauhan sana:
"Haaa ... haaa ... haaa, ternyata kau adalah Siu-lo-si-ci ..."
Setelah melompati dinding pagar, ketika Wi Tiong-hong berpaling, ia tidak melihat si


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda berbaju biru dan nona berbaju hijau lagi, diam-diam segera pikirnya:
"Mungkin mereka tak sejalan denganku."
Lok Khi juga tidak berbicara, dia hanya melanjutkan perjalanan dengan kepala
tertunduk. Tatkala Wi Tiong-hong melihat gadis itu tetap melakukan perjalanan menuju ke kota
Sang-siau, tanpa terasa tanyanya: "Adikku, apakah kita akan kembali lagi kota Sang-siau?"
"Sekarang sudah begini malam, kalau tidak pulang ke kota, darimana mungkin kita bisa mendapat makanan dan tempat kediaman?" sahut Lok Khi sambil berpaling.
Ucapan tersebut ada benarnya juga, tempat di sekitar sana gersang dan sepi, sebuah
rumah-pun tak ada, tentu saja sulit untuk menemukan tempat pemondokan, apalagi
setelah seharian penuh tidak bersantap. Tak heran kalau perutnya amat lapar.
Seteleh melompati dinding kota, kedua orang itu balik kembali ke rumah penginapan
Ko seng. Waktu itu sudah mendekati kentongan pertama. Ketika pelayan menyaksikan dua
orang tamunya yang sudah membereskan rekening di pagi harinya, sekarang datang
kembali, buru-buru dia menyambut sambil tertawa lebar.
"Wi ya, sampai sekarang baru kembali" Hamba mengira kalian berdua sudah pergi."
"Masih ada kamar"," tanya Wi Tiong-hong.
"Kamar sih masih ada, cuma kamar yang dipakai Wi ya semalam sudah dipakai orang
lain. Di halaman belakang sana masih tersedia sederet kamar, apakah ..."
"Cepat bawa kami ke sana, tak usah cerewet," tukas Lok Khi tak sabaran.
Pelayan itu mengiyakan berulang kali, cepat-cepat dia mengajak kedua orang itu
menuju ke kamar di halaman belakang, ruangan tersebut terdiri dari dua kamar tidur
dengan sebuah ruang tamu di tengah.
Sambil melangkah masuk ke dalam ruangan, Wi Tiong-hong segera memerintahkan:
"Pelayan, cepat siapkan makanan untuk kami, lebih cepat lebih baik."
"Kalian berdua menginginkan apa" Hamba akan segera siapkan."
"Apa saja boleh, tapi harus cepat.," seru Lok Khi sambil mengulapkan tangan.
Pelayan itu mengiyakan dan mengundurkan diri, tak selang beberapa saat kemudian ia
sudah muncul dengan membawa dua mangkuk bakmi dan sejumlah bakpao.
Setelah mengisi cawan dengan air teh, dia baru mengundurkan diri dari situ.
Sepeninggal pelayan itu, Lok Khi baru berbisik sambil tertawa: "Engkoh Hong, coba kalau lapar sebentar lagi, tentu aku tak bertenaga lagi untuk berjalan."
Wi Tiong-hong bangkit berdiri dan menutup pintu, kemudian seraya berpaling katanya.
"Kalau begitu, cepatlah bersantap."
Selesai bersantap, kedua orang itu baru mencuci muka dan membersihkan badan.
Selesai semuanya, Wi Tiong-hong baru tak tahan berkata: "Adikku, mengapa kau
menyuruh aku cepat-cepat pergi tadi" Apakah kau berhasil menemukan sesuatu?"
Sambil tertawa rendah, Lok Khi menyahut. "Sekali-pun tidak kau tanyakan aku-pun
akan memberitahukan hal ini kepadamu, tahukah kau siapakah Buyung Siu tersebut?"
"Siapakah dia?"
"Dia adalah Pau-kiam-suseng (sastrawan pemeluk pedang), ketua dari pita hijau dalam perkumpulan Ban-kiam-hwee, dahulu aku pernah dengar toako berkata, konon tidak
banyak manusia dalam dunia persilatan dewasa ini yang mampu bertahan gebrakan di
ujung pedangnya."
"Pau Kiam suseng" Tampaknya aku seperti pernah mendengar juga nama orang ini
disebut paman."
"Sewaktu dia menyebutkan namanya tadi, aku masih belum tahu kalau dia adalah Paukiam suseng, coba tebaklah kemudian bagaimana aku bisa mengetahui akan hal ini?"
"Tak bisa kutebak." Wi Tiong-hong menggeleng.
"Huuuh, belum lagi menebak tentu saja tak bisa menebaknya, ayo cobalah ditebak
dulu." "Apakah kau baru mengingat kemudian?"
"Tidak benar, aku hanya pernah mendengar toako menyebut tentang Pau Kiam
suseng, namun tidak mengetahui namanya, bagaimana dengan kau" Bukankah kau
pernah mendengarnya dari pamanmu" Mengapa kau-pun tidak tahu?"
"Yaa, betul . Aku-pun pernah mendengar paman membicarakan tentang nama Pau
Kiam suseng."
"Dari manusia aneh itulah aku baru mengetahui siapa orang itu," kata Lok Khi
kemudian sambil tertawa.
Tampak Wi Tiong-hong agak tertegun oleh ucapan tersebut, serunya dengan matanya
terbelalak: "Kau maksudkan manusia aneh yang mengajak Pau-kiam suseng bertarung
tadi?" "Kalau bukan dia, masa ada manusia aneh ke dua?"
"Apa yang dia katakan?" Wi Tiong-hong keheranan.
"Sewaktu ia menampakkan diri untuk pertama kalinya tadi, aku masih menyangka dia
adalah toakoku, waktu itu perutku sudah amat lapar, karena kuanggap dia adalah
toakoku, maka aku baru tinggal di situ."
"Apa lagi setelah dia bentrok beberapa kali dengan Pau Kiam suseng, aku makin
percaya selain toakoku, tiada orang lain yang memiliki tenaga dalam sedemikian
sempurnanya."
"Apakah dia adalah toakomu?"
Lok Khi mengerling sekejap ke arahnya, lalu tertawa cekikikan. "Hei, bagaimana sih kamu ini" Masa arti perkataanku-pun tidak bisa kau tangkap" Kalau dia adalah
toakoku, masa aku pergi dari situ meninggalkannya?"
"Lantas siapakah dia?"
"Menanti dia meloloskan pedang pendek tujuh bintangnya dan menyuruh kami pergi
agar jangan mengganggu konsentrasinya, aku baru tahu kalau dia bukan toakoku, dan
pada saat itu juga ia menggunakan ilmu menyampaikan suara menyuruh aku
mengajakmu cepat-cepat pergi dari sini, kalau dipikir kembali sekarang, kemungkinan
besar dia datang karena hendak membantumu ..."
"Membantu aku?" Wi Tiong-hong keheranan, "apa yang telah ia bicarakan dengan dirimu?"
"Ia bilang begini: "Nona, mengapa tidak segera mengajaknya pergi" Kepandaian silat yang dimiliki cing sui congkoan (pengurus ruang pita hijau) dari perkumpulan Ban
Kiam-hwee, Pau Kiam suseng lihaynya bukan kepalang, bila pertarungan mulai
berkorbar nanti, aku tak mampu mengurusi kalian lagi, bayangkan saja kalau bukan
lantaran kau, apa lantaran aku" Aku toh tidak kenal dengannya?"
"Tapi aku juga tidak kenal dengannya.," seru Wi Tiong-hong.
"Oooh ... " mendadak seperti teringat akan sesuatu, Lok Khi berseru tertahan lalu sambil menatap Wi Tiong-hong lekat-lekat, tanyanya: "Engkoh Hong, agaknya kau
seperti kenal dengan gadis berbaju hijau itu ...?"
Wi Tiong-hong tidak menyangka dia akan mengajukan pertanyaan tersebut, sesudah
tertegun baru jawabnya: "Dia pernah menyelamatkan selembar jiwaku, sewaktu aku
terkena jarum beracun dari keluarga Lan, dialah yang menghadiahkan obat penawar
tersebut untukku."
Lok Khi mengerdipkan matanya berulang kali, kemudian tanyanya lagi: "Mengapa dia
menghadiahkan obat penawar kepadamu?"
Sekali lagi Wi Tiong-hong dibikin tertegun oleh pertanyaan tersebut, untuk sesaat dia
menjadi gelagapan dan tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu sebaikbaiknya. "Soal ini ... aku kurang begitu tahu ... ," sahutnya kemudian agak gugup.
"Kau tidak tahu, aku tahu " " Tidak menanti Wi Tiong-hong buka suara, gadis itu menyambung lebih lanjut: "Dia tidak menyukai kakak misannya."
Wi Tiong-hong lantas teringat kembali dengan sikap si nona berbaju hijau itu di saat
menghadiahkan obat penawar itu kepadanya. Waktu itu dia-pun pernah berkata kalau
merasa tidak leluasa menyaksikan keangkuhan dan kesombongan pemuda berbaju
biru itu. Diam-diam dia-pun merasa kagum sekali atas ketelitian adik misannya ini dalam
menganalisa setiap persoalan.
Ketika Lok Khi menyaksikan pemuda itu hanya menunduk belaka tanpa berbicara,
mendadak sambil tertawa ia mengerling sekejap ke arah Wi Tiong-hong, kemudian
ujarnya lagi: "Tahukah kau" Yang dia sukai sebenarnya adalah kakak misanku?"
Merah padam selembar wajah Wi Tiong-hong karena jengah, buru-buru serunya agak
tersipu: "Huuus, kau jangan sembarangan berbicara."
"Hm, apakah aku salah berbicara" Tadi, aku dapat melihat kalau dia sedang
memandang ke arahmu dengan pandangan yang begitu hangat dan mesra."
Wi Tiong-hong tidak menjawab, dia hanya membungkam terus dalam seribu bahasa.
Melihat itu, Lok Khi makin marah, sambil berpaling serunya, "Lebih baik kau jangan berlagak bodoh. Hmm tentu saja kau-pun mempunyai maksud kepadanya kalau tidak.
mengapa kau melarang aku untuk melukai dirinya?"
Sepatah demi sepatah kata gadis itu mendesak terus sang pemuda dan berusaha
memojokkan dia.
Dasar perempuan, kalau sudah terlibat di dalam persoalan tersebut, biasanya dia
memang enggan mengendorkan sikapnya barang sedikit-pun jua.
Paras muka Wi Tiong-hong berubah semakin memerah, akhirnya dia berkata dengan
serius: "Mungkin hal ini dikarenakan dia pernah melepaskan budi pertolongan
kepadaku."
Mendadak Lok Khi mengerdipkan mata, dua titik air mata jatuh berlinang membasahi
pipinya, sambil cemberut ia berseru: "Sewaktu dia melancarkan serangan dengan
gencar dan dahsyat kepadaku, mengapa kau tidak melarangnya untuk menghentikan
serangan tersebut" Hm, sudah jelas kalau kau berat sebelah dan lebih condong untuk
membelai dia."
"Eeeh, eeeh, adikku, harap kau jangan banyak curiga," dengan gugup Wi Tiong-hong berseru. "aku tidak begitu kenal dengan dirinya, bagaimana mungkin aku bisa
menyuruhnya untuk menghentikan serangan?"
Mendadak Lok Khi membalikan badannya sambil mengomel. "Sekali berjumpa masih
asing, dua kali bertemu sudah akrab, apakah kau anggap belum akrab dengannya?"
Selesai berkata dia lantas beranjak meninggalkan ruangan itu, kemudian ... "Blaamm."
dia menutup pintu kamar itu keras-keras.
Pada hakekatnya tuduhan tersebut merupakan sebuah tuduhan tanpa dasar, tak heran
kalau Wi Tiong-hong dibikin gelagapan setengah mati, dengan gugup dia berseru:
"Adikku adikku ..."
Lok Khi sama sekali tidak menggubris, dia lari terus dan kembali ke dalam kamarnya.
Wi Tiong-hong berdiri beberapa saat lamanya di depan kamar tidurnya, setelah tidak
mendengar suara apa-apa lagi, mungkin gadis itu tertidur karena mangkel, terpaksa
sambil menggelengkan kepalanya berulang kali ia kembali ke kamar sendiri untuk
beristirahat. *** DENGAN terburu-buru Lok Khi menerjang masuk ke dalam kamarnya, waktu itu dia
hanya merasa mangkel dan terdorong oleh sifat kewanitaannya yang suka cemburu
saja, padahal keadaan seperti ini sesungguhnya sudah lumrah dan seringkali dijumpai.
Biasanya setelah terjadi suatu kesalahan paham, maka hubungan kedua belah pihak
akan semakin bertambah akrab dan mesra, asal Wi Tiong-hong bersedia minta maaf
saja kepada si nona, maka urusan pasti akan beres dengan sendirinya, dan si nona-pun
tetap akan membukakan pintu baginya.
Tapi di kala Lok Khi menerjang masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu
kamarnya dengan sekuat tenaga itulah, mendadak dia menyaksikan ada seseorang
sedang duduk di tepi pembaringannya.
Itulah seorang gadis berbaju hitam yang mengenakan kain kerudung berwarna hitam
pula, waktu itu dia sedang bangkit berdiri.
Setelah berdiri terperanjat, dengan perasaan terkejut bercampur girang Lok Khi segera
menubruk ke depan, serunya manja: "Oooo ... ji-suci."
Pelan-pelan gadis berbaju hitam itu melepaskan kain kerudung hitam yang menutupi
wajahnya hingga tampaklah raut wajahnya yang cantik jelita itu, kemudian bisiknya:
"Sam moy, jangan keras-keras."
"Ji suci, kapan kau datang" Hampir saja membuatku amat terperanjat ..."
Gadis berbaju hitam itu tersenyum. "Toako bilang sam moy sudah mempunyai kekasih
hati, aku agak tidak percaya, tak tahunya apa yang dia katakan memang merupakan
kenyataan, kalau begitu cici harus mengucapkan selamat kepadamu."
Merah jengah selembar wajah Lok Khi, agak tersipu-sipu katanya: "Aah, ji suci jahat, kau hanya suka menggoda aku saja ... !!
"Apa sih yang kau malukan lagi?" tukas gadis berbaju hitam itu sambil tertawa rendah.
"Bukan cuma cici saja yang merasa gembira, bahkan suhu dia orang tua-pun ikut
bergembira bagimu, Toa-suko memuji wataknya yang baik, ternyata apa yang dia
katakan memang benar."
Lok Khi cepat-cepat menutupi telinga sendiri sambil menggelengkan kepalanya
berulang kali. "Ji-suci, harap kau jangan membicarakan tentang soal seperti itu, aku tak mau mendengarkan, aku tak mau mendengarkan lagi." Padahal secara diam-diam ia
merasa girangnya bukan main.
Sambil tertawa ringan kembali gadis berbaju hitam itu berkata: "Hubungan kita
sebagai sesama saudara seperguruan lebih akrab daripada saudara kandung sendiri,
apa gunanya kau merahasiakan persoalan itu di hadapanku" Baik, kalau tak mau
dibicarakan yaaa sudahlah."
"Ji suci, secara tiba-tiba saja kau menampakkan diri di sini, sebenarnya ada urusan apa"," tanya Lok Khi kemudian sambil mengangkat kepala.
"Tentu saja ada urusan, ketika suhu mendengar Lou-bun-si tersebut berhasil dirampas oleh orang-orang Ban Kiam-hwee, dia lantas mendamprat toa suko habis-habisan, kata
suhu sekali-pun kita sudah lepas tangan, tapi takkan rela kalau benda itu terjatuh ke
tangan pihak Ban Kiam-hwee oleh sebab itu dia menitahkan kepadamu untuk
merampasnya kembali."
Sekujur badan Lok Khi bergetar keras karena terkejut, serunya agak tertahan: "Beliau menyuruh siaumoay merebutnya kembali?"
"Benar." gadis berbaju hitam itu tertawa hambar, "dewasa ini hanya kau seorang yang sanggup merampasnya kembali."
Lok Khi segera ternganga dengan penuh keheranan, dia seperti tak tahu apa yang
mesti dilakukan.
Sambil tertawa gadis berbaju hitam itu berkata lagi: "Sam-sumoay, kau-pun
nampaknya tolol amat bukankah dalam sakunya terdapat lencana Siu Lo Cin-leng?"
"Jadi maksud suhu ... " Lok Khi agak ragu-ragu.
Dengan suara lembut gadis berbaju hitam itu berkata. "Jangan takut, suhu telah
menitahkan kepada Toa suko dan kepadaku untuk melindungi kalian secara diamdiam, entah benda itu berhasil diminta kembali atau tidak. Semuanya tak menjadi soal,
yang penting adalah kau harus berkunjung ke situ."
"Mengapa harus begini?"
Gadis berbaju hitam itu segera tersenyum. "Tentang soal ini, kau akan mengetahui
dengan sendirinya di kemudian hari ... "
Berbicara sampai di situ, sambil tertawa cekikikan dia melanjutkan, "Nah, cukup
sudah, sekarang aku hendak pergi dulu, paling baik kalau besok pagi kalian segera
berangkat. Oya. Suhu juga bilang, tentang urusanmu, dia orang tua merasa setuju
sekali ..."
Belum selesai berkata, gadis itu sudah melompat ke luar lewat jendela, dan bagaikan
segulung asap, tahu-tahu ia sudah berlalu dari situ dan lenyap dari pandangan mata.
Keesokan harinya, sementara Wi Tiong-hong masih tertidur nyenyak. Ketukan pintu
yang sangat ramai telah membangunkannya dari tidur.
Dengan cepat dia melompat bangun dan siap menegur, tapi sebelum ia sempat
membuka suara, Lok Khi sudah berteriak dari luar pintu: "Engkoh Hong, cepat
bangun." *** Bab 29 WI TIONG HONG segera melompat turun dari pembaringannya. "Adikku, apakah telah
terjadi sesuatu"," serunya.
"Tidak, tidak ada sesuatu yang terjadi, kita harus segera melanjutkan perjalanan
sekarang."
"Kita hendak ke mana"," tanya Wi Tiong tertegun.
"Bukit Kiam-bun san."
Wi Tiong-hong semakin keheranan lagi, kembali dia bertanya: "Ada urusan apa pergi ke Kiam-bun san?"
"Kalau kau tak mau pergi yaa sudahlah, biar aku pergi kesitu seorang diri ... ," seru Lok Khi tak sabar.
Selesai berkata, dia lantas membalikkan badan dan siap berlalu dari situ.
Buru-buru Wi Tiong-hong berseri "Adikku, apakah kau masih marah kepadaku" Kalau
kau menyuruh aku pergi, tentu saja aku akan pergi bersamamu, masa cuma bertanya
saja tidak boleh?"
Lok Khi mencibirkan bibirnya yang tebal hingga nampak dua baris giginya yang putih
bersih, kemudian ujarnya sambil tertawa. "Aku masih mengira kau hendak pergi
mencari si nona yang datang dari Lam-hay itu, sehingga tidak bersedia melanjutkan
perjalanan bersamaku."
Merah jengah selembar wajah Wi Tiong-hong, buru-buru serunya lagi dengan serius.
"Adikku, kita sedang membicarakan soal penting, mengapa kau selalu melantur ke soal yang tak karuan" Cepat beritahu kepadaku, ada urusan apa kau hendak pergi ke Kiam-bun-san?"
"Mencari orang-orang dari Ban Kiam-hwee."
"Mengapa harus begitu," tanya Wi Tiong-hong lagi dengan nada amat terperanjat.
"Ting Ci-kang telah menggabungkan diri dengan pihak Ban Kiam-hwee, tahukah kau
akan hal ini?"
"Tidak," pemuda itu menggeleng.
Lok Khi segera mendengus. "Hmm, kau dan Ting Ci-kang bersama-sama dibekuk oleh
orang-orang Ban Kiam-hwee, kemudian toakolah yang telah menanggungmu ke luar,
sedangkan kau menggunakan lencana Lo Cin-leng meminta kepada pihak Ban Kiamhwee untuk membebaskan Ting Ci-kang bukankah begitu?"
Ketika Wi Tiong-hong mendengar gadis itu berkata. "Toako telah menanggungmu ke
luar," tanpa terasa hatinya menjadi amat terperanjat segera teriaknya tertahan. "Jadi Kam heng adalah toakomu" Mengapa tidak kau beritahukan kepadaku sejak dulu?"
Lok Khi tertawa. "Mengapa pada saat ini-pun belum terlambat, mengapa mesti
bingung. Dia adalah toa-sukoku, eh mm, pertanyaanku tadi belum kau jawab, ayo
jawab dulu ..."
Ketika Wi Tiong-hong mendengar kalau gadis itu adalah anak murid Thian Sat-nio,
dalam hati kecilnya segera timbul suatu perasaan yang sukar dilukiskan dengan katakata. Kam Liu-cu telah melepaskan budi kepadanya, Lok Khi juga pernah menyelamatkan
jiwanya, kalau dibilang semestinya Thian Sat-nio adalah seorang gembong iblis yang
membunuh orang itu bersikap sangat baik kepadanya.
Pemuda itu hanya melamunkan persoalan yang memenuhi benaknya saja, sambil
melamun dia-pun manggut-manggut.
Terdengar Lok Khi berkata lebih jauh. "Padahal sewaktu Ting Ci-kang mengadakan
pembicaraan dengan Chin Tay-seng, congkoan pita hitam dari Ban Kiam-hwee tempo
hari, dia sudah menggabungkan diri dengan pihak Ban Kiam-hwee, kemudian kau
menanggungnya ke luar dengan mempergunakan lencana Siulo Cin-keng, tindakanmu
itu justru telah terjebak oleh siasat mereka."
"Hal ini tak mungkin terjadi.," seru Wi Tiong liong tertegun.


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hmmm, hal ini hanya tidak diketahui olehmu saja, padahal segala sesuatunya sudah mereka atur dengan serapinya, setelah Ting Ci-kang dibebaskan waktu itu, bukankah
kalian bersantap di rumah makan Hwee pia loo" Aku dan toako berada tak jauh dari
kalian berdua."
"Mengapa aku tidak menyaksikan kalian?" tanya Wi Tiong-hong dengan perasaan
keheranan. Lok Khi tidak menjawab pertanyaan itu, melainkan melanjutkan kembali kata-katanya:
"Kemudian bukankah kau pergi dahulu untuk menyampaikan pesan dari Tok Hay-ji?"
"Di kala Ting Ci-kang bangkit berdiri untuk membayar rekening, secara diam-diam dia
telah menyampaikan kabar berita ke luar. Orang yang menyaru sebagai seorang
saudagar itu. Sesungguhnya adalah penyaruan dari orang-orang Ban Kiam-hwee."
"Kabar apa sih yang dia sampaikan kepada pihak Ban Kiam-hwee?" tanya Wi Tionghong lagi keheranan.
"Yakni pesan dari Tok Hay-ji yang telah di sampaikan kepadamu itu, dari beberapa
patah kata tersebut, terutama pada kalimat yang terakhir justru menyangkut tentang
jejak Lou-bun-si tersebut, oleh karena itu di kala Ting Ci-kang merampas Lou-bun-si
tersebut dari tanganmu, kesemuanya ini adalah atas perintah dari Ban Kiam-hwee ..."
"Apa mungkin untuk memintanya kembali?"
"Bukankah kau mempunyai lencana Siulo Cin-keng" Sekali-pun Ban Kiam-hwee sangat
lihay, aku rasa mereka-pun tidak akan berani membangkang perintah dari lencana
milik Siu lo cinkun tersebut ..."
Wi Tiong-hong tak mengetahui sampai di manakah daya pengaruh lencana Siulo Cinkeng tersebut terhadap umat persilatan"
Tapi kalau dilihat dari sikap Thian Sat-nio yang segera mengundurkan diri setelah
menyaksikan lencana tersebut tempo hari, kemudian sikap Kam Liu-cu yang
menyuruhnya menggunakan lencana itu untuk minta orang dari Chin congkoan, bisa
ditarik kesimpulan kalau lencana mana memang benar-benar memiliki kekuasaan yang
luar biasa sekali.
Namun pemuda itu menggelengkan kepalanya lagi seraya berkata. "Sudah kukatakan
sejak dulu, Lou-bun-si hanyalah benda yang kutemukan tanpa sengaja, sekali-pun
berhasil diminta kembali, sesungguhnya benda tersebut tak ada manfaatnya sama
sekali terhadap diriku, sudahlah, biarkan saja benda itu diperoleh mereka."
"Tidak bisa," seru Lok Khi mendongkol, "Sekali-pun Lou-bun-si sama sekali tak berguna bagimu, kita harus memintanya juga, kalau dibilang hal ini hanya dikarenakan Ting Cikang yang kemaruk harta dan kemudian merampasnya dari tanganmu, maka anggap
saja hal sebagai kesalahanmu sendiri di dalam pergaulan sehingga mengenali manusia
semacam ini. Tapi orang yang merampas Lou-bun-si dari tanganmu itu jelas adalah
orang-orang dari Ban Kiam-hwee, mereka sudah mempunyai rencana busuk untuk
merampas benda itu, bahkan sudah jelas mengetahui kalau dalam sakumu terdapat
Lencana Siulo Cin-keng, jelas tahu kalau kau adalah sahabat toakoku, mereka masih
bersikap begitu keji terhadap dirimu, bukankah hal ini sama artinya dengan tidak
memandang sebelah mata-pun terhadap kita" Sekali-pun kita tidak membutuhkan
benda itu, namun sudah sewajarnya kalau benda itu kita tuntut kembali, paling tidak
kita akan menghancur lumatkan benda tersebut di hadapan mereka, agar pihak Ban
Kiam-hwee tidak memungut keuntungan tersebut dengan seenaknya."
Wi Tiong-hong cukup memahami watak dari gadis tersebut dia termenung dan berpikir
sebentar, kemudian serunya: "Tentang soal ini ..."
"Tak usah ini itu lagi, orang lain telah merampas barangmu, sudah sewajarnya kalau kau-pun menuntutnya kembali, tapi kalau kau memang takut terhadap kelihayan
orang-orang Ban Kiam-hwee, ya ... sudahlah ..."
Dibakar hatinya oleh gadis tersebut, Wi-Tiong-hong segera merasakan semangatnya
berkobar kembali, ia segera tertawa-tawa. "Haaa haaa haaa siapa sih yang takut
dengan pihak Ban Kiam-hwee?"
"Kalau tidak takut, itu mah lebih bagus lagi," seru Lok Khi sambil tertawa geli.
Kemudian sambil mendorong Wi Tiong-hong, serunya lagi: "Cepat bersihkan muka,
kita berangkat sekarang juga."
Wi Tiong-hong tak bisa menangkan gadis itu, maka setelah membersihkan muka dan
bersarapan pagi, buru-buru mereka membayar rekening lalu berangkat.
Ketika pelayan itu menyaksikan ke dua orang tamunya hendak ke luar pintu lagi, cepat
menyusul dari belakang, kemudian katanya sambil tertawa paksa. "Wi-ya berdua,
apakah kamar kalian akan dipergunakan lagi?"
"Tidak usah, kami masih ada urusan penting yang harus segera diselesaikan," sahut pemuda itu sambil tertawa.
Mereka berdua berangkat meninggalkan rumah penginapan dan menelusuri jalan
raya. Baru melewati dua buah jalan raya, mendadak dari arah belakang terdengar seseorang
berseru memanggil: "Wi sauhiap ..."
Dengan perasaan tertegun Wi Tiong-hong berpaling, tampak dua orang lelaki berbaju
biru sedang memburu datang.
Wi Tiong-hong tidak kenal dengan mereka berdua, akan tetapi melihat mereka
berlarian mendekat dengan keringat bercucuran seakan-akan ada sesuatu urusan
penting yang hendak disampaikan saja, dia lantas tahu kalau mereka ada urusan
dengannya. Kejadian ini kontan saja membuat hatinya merasa keheranan, pelan-pelan ia bertanya,
"Ada urusan apakah kalian berdua mencariku?"
Dua orang lelaki berbaju biru itu bersama-sama membungkukkan badan memberi
hormat, lalu katanya. "Hamba adalah anggota perguruan Thi-pit-pang, sewaktu berada diperusahaan An-wan piaukiok tempo hari pernah bersua dengan Wi sauhiap, telah
pergi buru-buru kami menyusul ke mari, untung saja kami berhasil menyusul Wi
sauhiap." "Engkoh Hong, kau kenal dengan mereka?" tiba-tiba Lok Khi bertanya.
Wi Tiong-hong menggelengkan kepalanya berulang kali, kepada kedua orang itu ia
lantas bertanya. "Ada urusan apakah kalian mencari aku?"
Lelaki yang berada di sebelah kiri itu segera menjawab. "Hamba mendapat perintah
untuk mengundang Wi sauhiap."
"Kalian mendapat perintah dari siapa?"
"Dari Tam dan Ku huhoat, katanya ada urusan yang penting sekali hendak dibicarakan dengan Wi sauhiap."
Mendengar perkataan itu Wi Tiong-hong kembali berpikir. "Aku tidak kenal dengan
Tam huhoat dan Ku huhoat kalian."
Lelaki yang berada di sebelah kanan buru-buru menerangkan, "Tam huhoat kami
disebut orang persilatan sebagai Thipoan (pena baja) Tam Si-hoa, sedangkan Ku
huhoat kami disebut orang To Ciok-siu (Mahluk bertanduk tunggal) Ku Tiang-sun,
mereka selalu berada di dalam markas besar dan jarang sekali melakukan perjalanan
di dalam dunia persilatan."
"Ada urusan apa mereka mencari aku?"
Lelaki yang berada di sebelah kiri segera menjura dalam-dalam, sahutnya. "Hamba tak begitu tahu, tapi menurut Tam huhoat, urusan itu sangat penting sekali artinya, harap
Wi sauhiap bersedia untuk berkunjung sebentar ke sana."
"Sekali-pun amat penting, itukan urusan kalian sendiri, apa sangkut pautnya dengan kami?" timbrung Lok Khi mendadak, "engkoh Hong, mari kita pergi saja."
Lelaki yang berada di sebelah kiri itu menjadi gelisah sekali, "harap sudilah kiranya ..."
Lok Khi segera mendengus dingin, tukasnya: "Hmmm, kalau teman semacam Ting Cikang mah ..." Sebenarnya ia hendak bilang, "Kalau teman semacam Ting Ci-kang mah tak bisa dianggap seorang teman lagi," namun sebelum ia menyelesaikan kata-kata
tersebut, mendadak gadis itu berhenti di tengah jalan.
Dari mimik wajah ke dua orang lelaki berbaju biru itu, Wi Tiong-hong dapat merasakan
kegelisahan orang, dia mengerti hal ini pasti disebabkan oleh sesuatu alasan, maka
katanya kemudian: "Adikku, mungkin mereka benar-benar mempunyai urusan yang
amat penting, biar aku tanyai dahulu sampai jelas."
Lalu sambil mengangkat kepala tanyanya: "Kini, ke dua orang huhoat kalian berada di mana?"
"Ku huhoat masih berada di istana Sik-jia-tian, sedangkan Tam huhoat telah kemari, sekarang ia berada di rumah penginapan Ko cian menantikan kedatangan Wi sauhiap."
"Adikku, bagaimana kalau kita kembali dan melihat-lihat dulu?" ujar Wi Tiong-hong kemudian.
Lok Khi segera mencibirkan bibirnya dengan cemberut, "Huuuuh, kau memang
sukanya mencampuri urusan orang ..."
Tapi setelah mengucapkan perkataan itu, mendadak satu ingatan melintas dalam
benaknya. Ia lantas berpikir: "Jangan-jangan urusan ini ada hubungannya dengan Lou-bun-si?" Berpikir sampai di situ dia lantas berbisik: "Engkoh Hong, mari kita berangkat."
Mereka berdua segera berjalan mengikuti di belakang kedua orang lelaki berbaju biru
itu kembali ke rumah penginapan Ko cian.
Tatkala sang pelayan menyaksikan Wi Tiong-hong dan Lok Khi yang baru ke luar rumah
muncul kembali di situ, tanpa terasa ia menyambut kedatangan mereka dengan
senyum dikulum, serunya. "Wi ya, baru saja kalian ke luar rumah, sudah ada orang
yang datang mencari, kini dia sedang menunggu di ruang belakang."
"Aku sudah tahu," Wi Tiong-hong manggut-manggut.
*** Bab 30 KEDUA ORANG LELAKI berbaju biru itu mengajak mereka berdua langsung menuju ke
halaman belakang, mereka baru berhenti setelah tiba di depan pintu ruangan, ujarnya
sambil menjura: "Tam huhoat sedang menanti di dalam sana, silahkan kalian berdua
masuk ?" Kamar tersebut adalah kamar yang telah mereka gunakan selama beberapa hari ini,
sambil mengangguk Wi Tiong-hong mengajak Lok Khi bersama-sama masuk keruang
dalam. Di ruang tamu duduk seorang lelaki berbaju hijau yang bermuka bersih, sepasang alis
matanya berkenyit agaknya ada suatu masalah besar yang sedang mengganjal hatinya.
Ketika menyaksikan kedatangan kedua orang itu, dia segera bangkit berdiri dan
menjura seraya berkata: "Aku rasa saudara tentunya Wi tayhiap bukan" Siaute Tam Si-hoa."
Buru-buru Wi Tiong-hong balas memberi hormat. "Aku adalah Wi Tiong-hong, dan dia
adalah adik misanku Lok Khi, entah ada urusan apa saudara Tam mengundang kami
kesini?" Si pena baja Tam Si-hoa kembali menjura kepada Lok Khi sambil berkata. "Oooh,
kiranya Lok Lihiap, silahkan duduk silahkan duduk."
Sementara berbicara, dia telah merapatkan pintu depan dari ruangan tersebut.
Wi Tiong-hong melihat di luar pintu sana sudah ada dua orang lelaki berbaju biru
melakukan penjagaan, maka menyaksikan Tam Si-hoa merapatkan pintu ruangan, dia
lantas berpikir: "Tadi, kedua orang lelaki berbaju biru itu sudah bilang kalau ada urusan maha penting yang hendak dibicarakan, kini dia-pun bersikap begitu serius dan
berhati-hati, seakan-akan kuatir kalau pembicaraan mereka disadap orang, entah
masalah apa yang hendak ia bicarakan denganku?"
Dengan penuh tanda tanya dia bersama Lok Khi segera mengambil tempat duduk.
Pelan-pelan Tam Si-hoa membalikkan badannya, tiba-tiba dengan wajah yang amat
menghormat dia menjura kepada Wi Tiong-hong dalam-dalam, lalu serunya lirih.
"Hamba Tam Si-hoa menjumpai pangcu."
"Pangcu?" Suatu sebutan yang amat aneh dan sama sekali di luar dugaan, Wi Tionghong tertegun.
Begitu pula dengan Lok Khi, dia turut tertegun.
Kedua orang itu hampir saja mencurigai telinga sendiri yang mungkin salah
mendengar, tapi di hadapan mereka masih terlihat jelas Tam Si-hoa, pelindung hukum
dari perkumpulan Thi-pit-pang sedang menjura bangkit berdiri.
Dengan gugup Wi Tiong-hong berkelit ke samping, kemudian sambil mengawasi Tam
Si-hoa, serunya dengan terperanjat: "Saudara Tam, mungkin kau telah salah melihat orang."
Masih berada dalam posisi menjura, Tam Si-hoa berkata: "Mulai dari sekarang, Wi
tayhiap adalan pangcu dari perkumpulan Thi-pit-pang kami."
Benar-benar suatu peristiwa yang sangat aneh dan sama sekali di luar dugaan siapa
saja. "Saudara Tam, kau tak boleh berbuat demikian," seru Wi Tiong-hong cepat,
"Sebenarnya ada urusan apakah yang hendak kau bicarakan denganku?"
Pelan-pelan Tam Si-hoa meluruskan badannya, lalu menjawab dengan hormat sekali.
"Pangcu kami yang lalu telah meninggalkan pesan terakhirnya yang menetapkan
bahwa jabatan pangcu selanjutnya akan diwariskan kepada Wi tayhiap. Kini hamba
datang kemari untuk melaksanakan perintah tersebut."
Wi Tiong-hong semakin keheranan, berbagai kecurigaan segera berkecamuk dalam
benaknya, dia tak tahu apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi"
Lok Khi sendiri-pun sangat keheranan setelah termenung sebentar, dia-pun bertanya
dingin, "Jadi Ting Ci-kang telah tewas?"
Sekilas rasa sedih dan murung segera menghiasi wajah Tam Si-hoa, sahutnya lirih:
"Perkataan lihiap memang benar, Ting pangcu telah terbunuh ..."
"Kapan terbunuh nya?" seru Wi Tiong-hong setelah tertegun beberapa saat lamanya.
"Kemungkinan pada tiga hari berselang, hanya belum bisa dipastikan secara tepat."
Wi Tiong-hong adalah seorang pemuda yang jujur dan polos, walau-pun
persahabatannya dengan Ting Ci-kang dinodai oleh sebatang Lou-bun-si, namun
bagaimana-pun jua persahabatan tersebut pernah berlangsung.
Maka setelah mendengar tentang berita kematiannya, dia menjadi turut berduka,
segera tanyanya: "Ting toako mati dibunuh siapa?"
"Di atas kepala Ting pangcu tampak bekas pukulan beracun, mayatnya ditemukan di
Sik-jin-tian, hamba dan Ku huhoat mendapat kabar dan menyusul ke sana, paling tidak
Ting pangcu sudah kedapatan mati selama dua hari, siapakah pembunuhnya hingga
kini masih belum diketahui."
Legenda Kematian 1 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pukulan Naga Sakti 10

Cari Blog Ini