Ceritasilat Novel Online

Pedang Dan Kitab Suci 10

Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Bagian 10


milik Tan Siang Kok di Hayling.
Meski usia Hwi Yang sudah lanyut, tapi kepandaiannya ternyata tidak pernah berhenti
melatih, ia tahu tugas sekali ini sangat berat, maka tak berani ia berlaku ajal, dari ber bagai kantor Cabangnya ia tarik kembali enam pembantu yang kuat, disamping itu
pemerintah mengirimkan juga empat jago bayang kari keraton beserta tiga 0 perajurit
Gi-lim-kun untuk mengawal. Karena itulah, sepanyang jalan sedikitpun tiada aral lintang meski mereka selalu ber-jaga 2.
Harini sudah lohor, jarak mereka dengan kota Hang-Ciu hanya belasan li saja,
perjalanan sejauh itu sudah banyak-banyak penduduknya, tampaknya sudah pasti
takkan terjadi apa-apa lagi. Karena itu semua orang yang mengawal itu sangat gembira, mereka sama sibuk merenCanakan Cara bagaima na nanti akan pesiar se-puas 2nya
sesudah tiba sampai dikota 'sjorga' itu.
Selagi mereka .berCakap dengan senang, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda, dari
belakang telah menyalip lewat Se orang penunggang kuda dengan Cepat-cepat .
Melihat ilmu menunggang kuda orang itu sangat tinggi, pula gerak-geriknya tertampak
hebat, tak tertahan hati semua orang rada tergontyang ; tapi bila pikir HangCiu sudah didepan mata, tak mungkin kiranya ada orang berani turun tangan disini.
Setelah 2 li lagi, dari depan suara derapan berbunyi lagi, ternyata orang yang lewat tadi telah kembali dari sana. Sekali ini Ong Hwi Yang cs. Coba ber-hati-hati, tapi orang itu terlihat menutupi setengah mukanya dengan sebuah topi rumput yang berpinggiran
lebar, hanya sekejap saja kudanya sudah melewati rombongan mereka.
Nyata tindak-tanduk orang itu mirip benar dengan mata 2 pengintai kawanan begal
dikalangan kangouw.
"Ha, masakan ada segala penyahat berani tepuk lalat diatas kepala harimau?" demikian Ong Gok Thian pemimpin Cabang Tin Wan piaukiok dikota Hongthian, telah berkata
dengan tertawa.
"Memangnya kita lagi kesel, kalau bisa membunuh beberapa gergajul juga baik
rasanya," ujar Be King Hiap, salah seorang jago pengawal yang ikut serta.
Tak lama lagi tibalah mereka sampai disuatu kota, sebagai seorang kawakan kangouw,
Ong Hwi Yang orangnya sangat Cerdik dan hati-hati, katanya lantas pada Kawan-kawan
nya: "Meski jarak sampai di HangCiu hanya sepuluh li saja, tapi aku lihat orang tadi agak menCurigakan, jangan kita Buru-buru memburu waktu, tapi berhentilah disini
bersantap dahulu, seandainya nanti terjadi apa-apa, sesudah perut kenyang biar ada
tenaga untuk membereskan penyahatnya."
Habis itu mereka lantas memasuki satu restoran besar dan meminta daharan.
"Setibanya di HangCiu dan serahkan barang kawalan, barulah kita membuka pantangan
meminum arak," demikian kata Hwi Yang pula.
Tentu saja ikatan demikian ini bagi Be King Hiap cs. yang bertugas sebagai jago bayang kari, menjadi kurang senang. Kota HangCiu sudah didepan mata, tapi masih perlu
berlaku begitu hati-hati, sesungguhnya terlalu lemah. Tapi usia Ong Hwi Yang lebih tua, namanya lebih tenar, apa yang dia bilang terpaksa harus diturut.
Dan sedang mereka angkat mangkok hendak makan, tiba-tiba terdengar suara
meringkiknya seekor kuda bagus diluar pintu, suaranya nyaring luar biasa.
Suara binatang itu ternyata sangat menusuk telinga Han Bun Tiong yang ikut mengawal
dalam rombongan Ong Hwi Yang ini, Cepat-cepat ia melongok keluar, dan betul saja
dilihat nya kuda kesajangannya dulu itu lagi lewat didepan dengan pelahan 2, diatas
binatang tunggangan itu bukannya orang, tapi penuh dimuat kaju 2 bakar.
Ternyata kuda bagus telah disalah gunakan sebagai kuda muatan, tentu saja Han Bun
Tiong sangat sayang juga gusar, sekali melompat ia memburu kuda itu hendak menarik
tali kendalinya,
Siapa duga dibelakang kuda itu mengikut seorang desa, ketika mendadak melihat Han
Bun Tiong melompat keluar, lebih dulu orang desa ini telah memeCut sekali bebokong
binatang itu, lalu orangnya menCemplak keatas kuda dan berduduk diatas tumpukan
kaju bakar itu.
Sekali Han Bun Tiong menarik tak kena, sementara itu kuda itu sudah melompat pergi
belasan tombak jauhnya. Ketika melihat Bun Tiong tak mampu menyandak larinya kuda,
orang desa tadi tiba-tiba berteriak sekali, duduknya seperti tidak benar dan akan
merosot jatuh. Karena itu Bun Tiong menjadi panas hatinya, kembali ia mengudak, tapi sesudah
membiluk kesana dan putar kesini, achirnya kuda itu telah berlari masuk kedalam satu rimba.
Melihat orang hanya seorang udik saja, Bun Tiong pikir kenapa harus takut, maka iapun tidak pikirkan lagi tentang pantangan "ih-lim-bok-jip" atau ketemu rimba jangan
dimasuki, segera saja ia menguber kedalam rimba.
Ketika para piauthau melihat Han Bun Tiong pergi memburu seorang udik, maka
merekapun tidak ambil perhatian. Kata Ong Gok Thian dengan tertawa: "Ha, rupanya
memikir kan kudanya yang hilang itu hingga Han-toako hampir 2 gila, ditengah jalan
melihat kuda orang yang berbulu putih se dikit lantas disangka kudanya terus diuber
hendak melihatnya yang jelas. Jangan 2 besok kalau sudah kembali dirumah dan
melihat tubuh enso Han yang putih bisa juga disangka kudanya."
Karena kata-kata itu, segera semua orang ter-bahak 2.
Sedang berkelakar, tiba-tiba terdengar pelajan ber-ulang 2 me nyapa tetamu lain,
katanya: "Thio-loya, silahkan duduk disini saja, harini kenapa sempat pesiar keluar !"
Lalu terlihatlah seorang yang memakai baju panyang dari sutera dan berdandan seperti saudagar besar telah masuk, dibelakangnya mengikut empat Centeng, ada yang
membawa kantong tembakaunya dan ada yang menyinying kan kotak makanannya,
lagaknya ternyata besar sekali.
Thio-loya itu memilih satu tempat yang baik, lalu pelajan membawakan teh serta
menyilat dengan berbagai perta nyaan 2 yang memikat. Kemudian pelajan itu pergi dan
datang pula dengan senampan daging dan arak yang menguarkan bau semerbak.
"He, sudah begini lama, kenapa Han-laute masih belum kembali?" tiba-tiba Hwi Yang
teringat pada Han Bun Tiong yang menguber orang desa tadi.
Dan selagi Sun lo-sam, situkang teriak dijalan, hendak menyawab, tiba-tiba dari luar terdengar suara tindakan orang yang menyeret sandal, lalu masuklah seorang laki 2
kurus kecil, dibelakangnya mengikut satu nona dan seorang laki 2 tegap. Ketiganya
berdandan seperti orang pengelana.
Sesudah berada ditengah ruangan, tiba-tiba lelaki kurus kecil itu memberi hormat
sekeliling, lalu katanya: "Kata pribahasa, dirumah tergantung orang tua dan diluar
tergantung kawan. Cayhe ter-lunta 2 dikangouw, kini ada sedikit permainan hendak
disuguhkan sebag4i penghibur para tamu yang ter hormat, kalau sekiranya bagus,
mohonlah tuan 2 suka memberi persen sekedarnya, dari kalau jelek permainanku,
masih mengharap juga petunyuk 2 dan memaafkan."
Habis itu ia tambahi lagi beberapa kata kangouw yang umum sebagai pembukaan lalu
topinya yang sudah butut itu ditanggalkannya, diambilnya pula sebuah tyang kir diatas meja terus ditutup dengan topinya.
"Hilang!" mendadak ia berteriak terus topi itu diangkat nya. Betul saja, tyang kir tadi ternyata sudah tak kelihatan.
Semua orang sudah tahu juga bahwa sunglapan hanya palsu saja, tapi Cara bagaimana
tyang kir itu menghilang tak dapat juga diketahui.
Jilid 18 RUPANYA orang yang dipanggil Thio-loya tadi menjadi ketarik, ia berbangkit dan
mendekati. "Apakah pipa tembakau LoyaCu ini boleh dipinyam se bentar?" kata silelaki pendek
tukang sunglap itu dengan tertawa.
Ternyata Thio-loya itu tidak keberatan, dengan berseri-seri ia angsurkan pipa
tembakaunya. Lalu sipendek masukan lagi pipa tembakau kebawah topinya. Dan waktu
dibuka, lagi-lagi pipa tembakau itu sudah tak berbekas.
"Awas kau, pipa tembakau itu sangat mahal, jangan sampai kau bikin rusak," sela
seorang Centeng Thio-loya itu dengan tertawa.
"Coba kau merogoh sakumu," ujar sipendek.
Dan waktu Centeng itu masukan tangannya kedalam saku, seketika ia terCengang;
pelahan tangannya ia keluarkan, dan semua orangpun terkesima, ternyata pipa
tembakau itu benar dirogoh keluar dari saku Centeng itu.
Dengan demikian, tidak saja itu Thio-loya bersama Cen tengnya merasa heran, bahkan
para piauwsu serta jago-jago bayang kari itupun merasa aneh, be-ramai mereka lantas
merubung maju buat melihat sunglapan itu.
Dalam pada itu dari luar restoran ber-turuta telah masuk lagi belasan orang, ada
saudagar, ada yang berdandan pe tugas negeri, ada pula perwira tentara. Ketika
dilihatnya orang banyak-banyak berkerumun menonton sunglapan, tanpa merasa
merekapun ikut merubung maju.
"Ah, oranga kangouw biasanya menipu belaka, kentut apa yang perlu dibuat heran"
Kalau berani, Coba barangku ini kau berani sunglap tidak?" demikian tibaa seorang
perwira memaki terus menggebrak keatas meja.
Waktu semua orang memandang, ternyata diatas meja itu diletakkan sepuCuk surat
dinas yang tertulis disampulnya tandaa surat dinas kilat dan alamat pengirimnya adalah panglima HangCiu.
"Ai, harap paduka tuan jangan marah, hamba hanya sekedar menCari sesuap nasi saja,
betapapun besar nyali hamba masakan berani menyunglap surat dinas pemerintah yang
maha penting itu," jawab sipendek tukang sunglap tadi dengan tertawa.
Agaknya Thio-loya tadi kurang senang oleh lagak siperwira itu, maka katanya: "Hanya
sunglapan saja apa salahnya, biarlah kau lantas Coba menyunglapnya." " Habis ini ia
berpaling kepada Centengnya dan berkata pula: "Bawakan sepuluh tail perak kemari."
Ketika Centengnya membuka buntalan yang dia bawa dan mengangsurkan sebongkot
perak, lantas Thio-loya itu letakan uang perak itu diatas meja sambil berkata pada
sipendek: "Nah, bila kau menyunglap lebih baik, uang ini adalah mi likmu."
Melihat uang, rupanya mata sipendek itu menjadi merah, ia menoleh bisika dengan
sinona kawannya itu, kemudian baru katanya pada perwira tadi: "Hamba beranikan diri
untuk main sunglap, Cuma mohon paduka tuan sukalah memaafkan."
Habis itu ia angkat topi bututnya terus menutup keatas sampul surat diatas meja sambil mulutnya mem-bentak; "Hat, hut, Kau-Ce-thian datang, Ti-pat-kay tolonga !"
Mendengar gembar-gembor situkang sunglap yang tak karuan itu, mau-tak-mau Ong
Hwi Yang merasa geli juga. Ia lihat tangan sipendek itu tudang-tuding kesini dan
kesana, lalu tiba-tiba menuding kearah kotak yang berisi vaas jade itu terus membentak lagi: "Hat, hot, masuk, masuk, Kau-Ce-thian masuk kedalam kotak dan lenyap !"
Dan ketika topi dibuka, benar saja sampul surat itu sudah tak kelihatan lagi.
"Anak kura, benar pandai juga," demikian perwira tadi memaki.
Sebaliknya situkang sunglap itu lantas memberi hormat pada Thio-loya itu sambil
berkata: "Banyak-banyak terima kasih atas hadiah Loya." " Segera bongkotan perak itu diambilnya dan diteruskan kepada sinona yang berdiri disampingnya. Sedang semua
orang tiada hentinya bersorak memuji.
"Baiklah, sudah, mana suratku, serahkan kembali," kata perwira tadi.
,.Didalam kotak ini, silahkan paduka tuan membukanya," sahut sipendek itu dengan
tertawa. Tapi demi mendengar jawabannya ini, seketika orang-orang piauhang dan jago-jago
pengawal yang ikut serta itu terperan jat. Kiranya kotak kulit itu diatasnya disegel rapat dengan tanda milik keraton, siapa orangnya yang begitu besar nyali nya berani
membukanya"
Tapi perwira itu ternyata tidak peduli, ia mendekati dan ulur tangannya hendak
memegang kotak itu.
"He, tuan, inilah barang milik keraton, jangan Coba dipegang," segera piauthau Ong
Gok Thian itu memper ingatkan.
"Jangan kau bergurau," sahut perwira itu dan tangannya tetap hendak menggerayang i.
Namun bayang kari keraton Be King Hiap segerapun buka suara: "Siapa yang bergurau
dengan kau" Lekas kau ming gir !"
Melihat King Hiap berpakaian sebagai jago bayang kari, pangkatnya lebih tinggi dari
dirinya, maka perwira itu tak berani membantahnya, lalu pintanya: "Kalau begitu,
silahkan Taijin kembalikan surat dinasku itu."
Sebab itu, lantas King Hiap membentak situkang sunglap tadi: "Ayo, jangan kau main
gila, lekas kau kembalikan surat dinas tuan ini."
"Tapi surat itu benara didalam kotak ini, kalau Taijin tak percaya, silahkan membuka dan memeriksanya," sahut sipendek itu.
Karuan perwira itu menjadi gusar, sekali jotos ia hantam kena pundak sipendek sambil membentak: "Kurangajar, masih Cerewet, tidak lekas kau kembalikan?"
Karena kawannya dipukul, sinona menjadi gusar, selanya segera: "Kalau ada urusan
bisa dirunding baik-baik , kenapa kau pukul orang?"
"Bangsat, keparat, surat dinasku berani kau gunakan buat main gila!" perwira itu lantas menCuCi maki.
Karena itu Thio-loya tadi tidak bisa tinggal diam, ia me misah: "Janganlah main kasar,"
lalu ia berpaling pada situkang sunglap. dan katanya: "Baiknya lekas kau kembalikan
surat dinas tuan ini."
"Tapi mana berani aku mendustai Loya, surat itu sesung guhnya berada didalam kotak
ini dan tak mungkin disunglap kembali lagi," sahut sipendek itu dengan muka muram.
Lantas Thio-loya itu mendekati Be King Hiap dan me nanya: "She apakah Taijin ini?"
"She Be," sahut King Hiap.
"Tampaknya orang kecil begini ini susah diajak urusan, maka sukalah Be-taijin memberi tolong mengembalikan sampul suratnya," kata Thio-loya pula.
"Kembalikan" Andaikan betul berada didalam kotak ini, tapi ini adalah milik keraton, keCuali titah kaisar, siapa yang berani membukanya?" sahut Be King Hiap.
Karena. itu, Thio-loya mengkerut kening dan tampaknya ikut serba salah.
"Kalau kau tidak kembalikan surat dinasku hingga tugasku terhalang, tentulah aku bakal dipenggal kepala," demikian kata perwira tadi. "Lihatlah, saudara-saudara, Coba kalian mem be rikan pertimbangan yang adil !"
Segera belasan perwira dan perajurit yang berada disitu yang - berpakaian seragam
seperti perwira itu, lantas merubung maju membenarkan sang kawan dan berkeras
meng haruskan Be King Hiap mengembalikan surat dinasnya.
Ong Hwi Yang adalah kawakan kangouw selama berpuluh tahun, ia lihat kejadian yang
menCurigakan itu, ia pikir urusannya berpangkal pada sipendek tukang sunglap itu,
maka sekali tangan diulur, segera sipendek itu hendak dipegangnya.
Namun sipendek itu sempat mengegos pergi terus ber teriak: "Paduka tuan, ampunilah
daku !" Melihat gerak orang begitu gesit dan Cepat-cepat , rasa Curiga Ong Hwi Yang semakin
menjadi , dan selagi ia hendak menguber, sementara itu belasan perajurit tadi sudah
ribut juga dengan para piauthau serta jago- bayang kari.
Melihat gelagat jelek, Ong Gok Thian telah bopong kotak kulit itu kerangkulannya,
piauthau yang lain berdiri menyaga disampingnya. Sedang Be King Hiap terus melolos
goloknya dan membaCok keatas meja sambil membentak : "Siapa berani mengaCau
lagi" Lekas enyah !"
Tapi perwira tadipun lantas Cabut senjatanya dan men jawab: "Kalau kau tak
kembalikan suratku, nanti juga aku. bakal Celaka, biarlah sekarang juga aku, adu jiwa padamu! Ayo, saudara, serbu saja !"
Habis itu orangnya lantas menubruk maju terus saling gebrak dengan Be King Hiap.
Ber-ulang Ong Hwi Yang membentak agar berhenti, tapi perajurit yang lain-lain sudah
angkat senjata pula terus menyerbu hingga keadaan menjadi saling kerojok.
Be King Hiap adalah jagoan kelas satu diantara pasukan jago-jago pengawal, tapi kini sesudah beberapa jurus melawan perwira rendahan tadi, ternyata sedikitpun tidak lebih unggul, bahkan dilihatnya ilmu permainan golok musuh sangat bagus nya, ilmu silatnya ternyata sangat tinggi, karuan ia terkejut terCampur gusar; sesudah beberapa gebrakan pula, malahan pundaknya hampir kena dimakan golok musuh.
Sedang keadaan kaCau-balau, tiba-tiba dari luar ber-dujun masuk lagi serombongan
orang, lalu ada orang telah ber teriak: "Siapa berani bikin rusuh disini, tangkap semua!"
Para perajurit tadi rupanya menjadi keder oleh suara gertakan itu hingga semuanya
lantas berhenti. Karena itu barulah Be King Hiap merasa lega, ia lihat beberapa puluh perajurit mengiringi seorang Kongcu muda telah masuk kedalam restoran itu, segera
Kongcu ini dapat dikenalinya sebagai "anak emas" kaisar Kian Liong sekarang yang ber nama Hok Gong An, kini menyabat panglima kotaraja merangkap komandan pasukan
pengawal itu, maka lekas-lekas ia maju memberi hormat, begitu pula jago-jago bayang
kari lain ikut maju menyura.
"Ada apa kalian ribut disini?" segera Kongcu muda itu menanya.
"Lapor Taijin, mereka itulah yang bikin kaCau disini tanpa sebab," sahut King Hiap.
Habis itu iapun tuturnya apa yang terjadi tadi.
"Dimana situkang sunglap itu?" tanya Kongcu itu.
Sebenarnya sipendek tukang sunglap itu telah menyingkir jauh-jauh disuatu sudut, kini terpaksa tampil kemuka dan memberi hormat.
"XJrusan ini agak aneh, biarlah kalian ikut aku ke HangCiu, biar aku memeriksanya yang teliti," kata Kongcu itu pula.
"Ja, terserah kebijaksanaan Taijin," sahut King Hiap.
"Baiklah, berangkat sekarang!" perintah Kongcu itu. Lalu ia mendahului melangkah
keluar, sedang perajurit yang ia bawa terus menggiring orang-orang piauhang serta
perwira yang menimbulkan gara itu.
Oleh karena Curiga, sebenarnya Ong Hwi Yang sudah lolos senjata hendak menaklukan
perwira yang menimbulkan gara tadi baru kemudian akan diajaknya bicara baik-baik ,
siapa duga mendadak kedatangan komandan Gi-lim-kun, Hok Gong An, karuan ia
menjadi girang.
"Hok-taijin," kata Be King Hiap kemudian kepada Kongcu itu, "inilah Ong Hwi Yang,
Ong-lopiauthau dari Tin Wan piaukiok."
Segera juga Hwi Yang maju kedepan memberi hormat.
Tak terduga Kongcu muda itu ternyata tidak begitu gu bris padanya, hanya dari kaki
sampai kepala ia mengamat amati orang sejenak, lalu terdengar ia menyengek terus
berkata: "Berangkatlah !"
Sesudah sampai dikota HangCiu, Ong Hwi Yang dan kawan-kawan. dengan mulut
bungkam terus ikut pasukan Gi-lim-kun itu menuju kesuatu gedung besar ditepi Se-ouw, diam-diam Hwi Yang pikir mungkin inilah tempat kediaman Hok-thongling, ia adalah
"anak emas" kaisar, pantas kalau begini hebat lagak-lagunya.
Dan sesudah semua orang masuk kedalam gedung itu, segera Kongcu muda itu berkata
pada Be King Hiap: "Ka-lian menunggulah sebentar." "? Habis itu iapun tinggal masuk
kedalam. Tak lama kemudian, seorang perwira keluar memanggil siperwira yang bikin gara,
tukang sunglap, Thio-loya beserta Centeng-centengnya.
"Sungguh tadi aku menjadi kuatir kalau vaas pusaka ini dibikin rusak mereka,
tampaknya asal-usul kaum perusuh itu tidaklah beres," demikian kata Ong Gok Thian.
"Ehm, ilmu silat beberapa orang itu sungguh bagus sekali, tidak mirip seperti perwira biasa," ujar Be King Hiap. "Baiknya kita ketemukan Hok-taijin, kalau tidak entah apa jadinya tadi."
"Lwekang Hok-taijin itu sungguh mendalam sekali, seorang Kongcu bangsawan bisa
memiliki latihan begitu bagus, sungguh tidaklah gampang," demikian Ong Hwi Yang ikut berkata.
"Apa, lwekang?" tanya King Hiap heran. "Darimana kau tahu ilmu silat Hok-taijin sangat bagus?"
"Dari sinar matanya, pasti ilmu silatnya bukan kaum lemah," sahut Hwi Yang. "Cuma
orang-orang dalam keluarga bangsawan tidak sedikit juga orang pandai, hal ini tidak
perlu dibuat heran."
Dan sedang mereka berbicara, tibaa perwira tadi keluar lagi memanggil: "Ong Hwi Yang dari Tin Wan piaukiok silahkan masuk."
Segera Hwi Yang berdiri dan ikut orang masuk kedalam.
Setelah melewati ruangan, sampailah diruangan be-lakang, ia lihat Kongcu muda tadi
duduk ditengah, didepan-nya satu meja tulis dan ke sisinya berbaris perajurit, sipendek tukang sunglap itu dan Thio-loya berlutut disebelah kiri.
Ketika Ong Hwi Yang masuk, ke baris perajurit itu segera membentak: "Berlutut!"
Sampai disitu tak-dapat-tidak Ong Hwi Yang terpaksa tekuk lutut.
Lalu terdengarlah Kongcu itu telah menanya: "Hm, apakah kau ini Ong Hwi Yang?"
"Ja, hamba Ong Hwi Yang adanya," sahut jago tua itu.
-"Kabarnya julukanmu ialah 'Wi-Cin-ho-siok', apa benar?" tanya Kongcu itu pula.
"Itu hanya nama kosong yang diberikan Kawan-kawan kalangan kangouw, saja," sahut
Hwi Yang. "Hm, hebat sekali julukanmu, Hongsiang (Sri Baginda) dan aku tinggal di Pakkhia
semua, dengan begitu bukankah kewibawaanmu telah menggetarkan juga Hongsiang
dan aku?" tanya Kongcu itu.
Terkejut sekali Ong Hwi Yang oleh pertanyaan itu, lekas-lekas ia menyawab ber-ulang:
"Mana hamba berani, biar hamba segera hapuskan julukan itu."
"Sungguh besar amat nyalimu, tangkap!" bentak Kongcu itu tiba-tiba .
Lantas saja ke baris perajurit itu merubung maju terus meringkusnya, perCuma. Ong
Hwi Yang memiliki ilmu silat yang tinggi, namun tak berani melawan sedikitpun.
Menyusul itu Be King Hiap dan yang lain-lain satu persatu juga dipanggil masuk serta diringkus semua dan ditahan. Sampai achirnya kusir keretapun ditangkap juga. Lalu


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang perwira membawa kotak kulit itu kemeja Kongcu itu sambil setengah berlutut
mempersembahkannya dengan tertawa: "Hok-taijin, inilah vaas-nya."
Mendadak Kongcu itu bergelak ketawa terus turun dari tempat duduknya. Begitu pula
Thio-loya serta sipendek dan yang lain-lain yang berlutut itupun sama berbangkit sambil tertawa.
"Chit-ko, kau benar tidak keCewa dijuluki sebagai 'Bu-Cu-kat'!" kata Kongcu muda itu kepada sipendek.
Kiranya orang yang menyamar sebagai sipendek tukang sunglap itu ialah Ji Thian Hong, dan yang mengikut dibelakangnya adalah Ciu Ki serta An Kian Kong, yang menya mar
Thio-loya ialah Ma Sian Kun dan yang menyamar Hok Gong An dengan sendirinya
adalah Tan Keh Lok, sedang yang menyamar sebagai perwira yang Cari gara ialah Siang
He Ci serta Beng Kian Hiong dan kawan-kawan.
Orang yang per-tama menyamar sebagai pengintai adalah Wi Jun Hwa, ketika ia
kembali memberi laporan, lantas Thian Hong mengatur suatu tipu muslihat untuk
menyebak orang, tapi mengingat diantara piauwsu itu Han Bun Tiong telah kenal jagojago Hong Hwa Hwe itu, maka Tio Pan San disuruh menyamar sebagai orang udik
sambil menunggang kuda putihnya Lou Ping untuk memanCing Bun Kong kedalam
rimba, disitu sudah menunggu Siang Pek Ci, bersama-sama lalu mereka menawan Han
Bun Tiong Caranya Thian Hong mainkan sunglapan adalah sudah diatur se-baik-baik nya, topi
bututnya itu berlapis-rangkap dibagian dalam, pipa tembakau dan barang lain yang
disung lap itu semuanya terdiri dari sepasang yang satu diambil Thian Hong, lantas dari saku mereka masing-masing dikeluarkan duplikatnya, dengan sendirinya orang luar tak
tahu akan rahasia ini.
Sedang mengenai isi kotak kulit itu sudah tentu tiada surat dinas apa segala yang
disunglap kedalam, Cuma senga ja dibikin ribut saja hingga ketika Tan Keh Lok datang, karena para piauthau dan jago-jago bayang kari itu sudah pusing tujuh keliling oleh
ribut sunglapan itu; dengan sendirinya tidak Curiga apa-apa lagi.
Sebenarnya menurut siasat yang diatur Thian Hong, Keh Lok hanya disuruh menyamar
seorang pembesar tinggi saja, siapa tahu secara kebetulan sekali wajah Keh Lok
memang mirip benar dengan Hok Gong An hingga para bayang kari itu maju memberi
hormat lebih dulu, karuan sandiwara mereka berjalan lebih lancar lagi.
Begitulah, ketika Keh Lok lantas menyobek kertas segel kotak kulit itu dan
membukanya, tiba-tiba pandangan mereka menjadi silau. Ternyata isinya sepasang
vaas jade putih yang tingginya lebih satu kaki, halus dan bersih hingga mengkilap,
ketika diraba dengan tangan, rasanya bukannya dingin, tapi hangat, diatas vaas itu
terlukis pula seorang wanita aju. Wanita aju ini terlukis berkunCir dan memakai topi kecil seperti dandanan gadis suku Uigor umumnya, lukisan itu begitu indah dan Cantik tiada bandingannya hingga mem pesona siapa yang melihatnya.
Keh Lok sendiripun kesemsem, sungguh susah dipercaya didunia ini ada wanita seCantik ini"
Ketika semua orang merubung menikmati keindahan vaas itu, merekapun sama gegetun
memuji tiada hentinya.
"Waktu aku kenal adik Ceng Tong, aku sangka wanita sejelita seperti dia sudah tiada
bandingannya dijagat ini, siapa tahu wanita yang terlukis diatas vaasi ini jauh lebih Cantik lagi," demikian kata Lou Ping.
"Ini hanya lukisan saja, masakan kau anggap benar ada wanita aju seperti ini?" ujar Ciu Ki.
"Kalau tidak pernah melihat orang yang sesungguhnya, aku rasa pelukiSnya susah juga
hendak menggambarkan wajah seCantik ini," kata Lou Ping.
"Kalau kita tanya utusan orang Uigor itu tentu lantap taliu," ujar Thian Hong.
Utusan suku Uigor itu mengira pasti Keh Lok adalah pembesar tinggi, maka ketika
berhadapan ia lantas memberi hormat.
"Tuan utusan datang dari jauh-jauh tentunya sangat lelah, dapatkah mohon tanya
siapakah nama tuan," kata Keh Lok.
"Aku yang rendah bernama Ibrahim, dan entah paduka tuan bersebutan apa?" balas
utusan itu. Namun Keh Lok bersenyum tanpa menyawab.
Mendadak saja Thian Hong menyela dari samping: "Ini adalah panglima HangCiu, Litaijin." Keh Lok dan para pahlawan ter-heran entah apa maksud si "Khong Beng" itu
memalsukan nama orang. Tapi lantas Keh Lok bertanya juga: "Dan bagaimanakah
dengan Bok-loenghiong, apakah baik-baik saja?"
Ibrahim itu terCengang. "Li-taijin kenal kepala suku kami?" tanyanya.
"Aku hanya sudah lama kagumi namanya saja," sahut Keh Lok. "Dan dapatkah aku
bertanya, wanita aju yang dilukis diatas vaas itu sebenarnya maCam apakah orangnya,
apakah benar ada orang sesungguhnya atau timbul dari chajalan pelukisnya saja?"
"Itulah hasil karya pelukis bangsa kami yang tersohor Mu'in," tutur Ibrahim. "Sepasang vaas jade ini sebenarnya milik puteri kecil kepala suku kami, maka gambar wanita itu ialah dia sendiri."
"He, kalau begitu ia adalah adik perempuan enCi Ceng Tong?" tanya Ciu Ki menyeletuk.
Kembali Ibrahim terkejut. "Nona ini kenal pada 'Cui-ih-wi-sam' ?" tanyanya kemudian.
"Ja, kami pernah bertemu sekali," sahut Ciu Ki.
Dan selagi Keh Lok ingin menanya keadaan Ceng Tong paling belakang ini, namun
wajahnya terasa menjadi me rah, sebelum ia buka mulut, tiba-tiba dari luar berlari
masuk Ma Sian Kun dan melapor dengan suara tertahan: "Itu pang lima HangCiu Li khik
Siu dengan pimpin tiga ribu perajuritnya sedang menuju kemari, kuatirnya datang buat menghadapi kita.
Keh Lok mengangguk tanda mengarti. Lalu katanya pada Ibrahim: "Tuan utusan
silahkan pergilah mengaso, nanti saja kita berbicara pula."
Ibrahim memberi hormat, tapi lantas tanyanya: "Dan se pasang vaas ini?"
"Aku akan mengaturnya nanti," sahut Keh Lok. Lalu pergilah Beng Kian Hiong membawa
Ibrahim ke ruangan lain.
"Koko sekalian, terpaksa sekarang juga kita mundur keluar HangCiu dulu," demikian
kata Keh Lok kemudian. "Kita belum berhasil menolong Bun-suko, rasanya tiada
paedahnya bertempur matian dengan pasukan musuh."
Lou Ping menjadi geram, teriaknya segera: "Li Khik Siu telah mengurung Toako, marilah kita bunuh dulu selirnya itu, Congthocu, kau mengijinkan tidak?"
"Selirnya?" Keh Lok Senegas, ia tidak paham.
"Ja, wanita bersolek seperti setan yang kita tawan ditaman panglima itulah selirnya Li Khik Siu, namanya disebut In Hong apa," sera Lou Ping. "Tadi ia menangis dan ribut
terus, dan sesudah kuberi persen beberapa kali tamparan barulah diam dan menurut."
Mendengar itu, para pahlawan menjadi geli, tentunya nyonya jelita ini terlalu kenangkan sang suami yang malang itu hingga menampar orang sekedar untuk melampiaskan rasa
mendongkolnya. "Congthocu, biaklah kau lantas tulis sepuCuk surat kepada Li Khik Siu untuk melihat apa yang ia hendak per buat?" kata Thian Hong tiba-tiba .
Keh Lok tahu akan maksud "juru pikir" itu, maka segera tulis sepuCuk surat yang
berbunyi : Li-tayCiangkun jth.,
Dalam perburlian pagi tadi telah berhasil kami peroleh sesuatu yang diketahui adalah barang kesajangan Ciang;kun, maka sengaja mengun dang kedatanganmu. Harap
maklum. Hormat, Tan Keh Lok/Ketua Hong Hwa Hwe.
Sehabis itu, ia minta Wi fojun Hwa yang mengantar surat itu kepada Li Khik Siu, sei ang Seng Hiap disuruhnya me nyusul dari belakang, apabila terjadi kemungkinan ditang kap.
Setelah kenya pergi, berkata Tan Keh Lok: "Li Khik Siu sangat menyintai selirnya itu, mungkin dia tak berani sembarangan bergerak. Tapi kalau dia memang me nerima titah
kaisar, terpaksa tentu akan bergerak juga. Chit-ko, apa daya kita?"
"Bermula maksud kita untuk rnerampas vaas ini, adalah untuk tawar menawar dengan
kaisar. Tapi dengan adanya lukisan pada vaas itu, kurasa raja tentu akan kesengsem,
dan kemungkinan besar beliau tentu akan mengabulkan permintaan damai dari suku
Hwe. Bukankah tindakan kita itu, bahkan akan merintangi maksud Bok-loenghiong.
Untuk menolong suko seorang, kurang bijaksana kalau kita sampai menerbitkan
pertumpahan darah dari sebuah suku bangsa," demikian Thian Hong, si "Khong Bing'
mengutarakan pen dapatnya.
"Memang benar, tapi vaas yang kita dapatkan dengan
susah payah ini, apakah harus dengan begitu mudah saja dikembalikan," tanya Keh Lok.
"Aku telah pikirkan suatu daya entah Cong-tho-Cu setu ju atau tidak?" Dan Ttian Hong segera beber renCananya itu.
Tibaa Ciu Ki menyelak dengan kurang senang: "Ah, Cara itu terlalu kotor, aku tak suka."
"Dengarkan pesan Cong-thocu, jangan banyak-banyak mulut !" bentak Tiong Ing.
Ciu Ki diam, tapi pelan-pelan dia menggerutu : "Ah, permain an yang kurang senonoh !"
"Agar tidak melantarkan tujuan suku Hwe, disamping kitapun dapat menolong Bun
suko, kita terpaksa lakukan Cara itu. Chit-ko, Coba kau rundingkan dengan utusan itu", ujar Keh Lok kemudian.
Dan setelah mendapatkan Ibrahim Thian Hong lantas menghantarnya menghadap pada
raja. Beng Kian Hiong yang membawa kotak. Salah sebuah vaas yang sudah diambil
keluar; ditempeli dengan segel lagi. Utusan itu tak mengerti maksudnya.
Kira-kira lohor, penyaga masuk dengan membawa karcis nama dari seorang perwira.
Karcis nama itu dari "Can Tho Lam," yang minta berjumpa dengan Tan Keh Lok.
"Chit-ko, tipu yang kau atur itu rupanya berhasil. Can Tho Laim itu adalah orang
kepercayaan Li Khik Siu," ujar Ma Sian Kun.
Tan Keh Lok suruh Jun Hwa membawanya masuk. Ketika berjalan keluar, Jun Hwa
dapatkan seorang perwira yang bertubuh kekar sedang menantinya. Muka perwira itu
penuh dengan bintika daging yang melepuh kena minyak mendidih. Menyawab
pertanyaan Jun Hwa, berkatalah Can Tho Lam:
"Aku diutus oleh Li-Ciangkun, untuk merundingkan suatu hal dengan Tan Cong-thocu."
"Ah, Cong-thocu kita sedang sibuk. Can taijin berunding dengan aku pun sama saja,"
kata Jun Hwa. Can Tho Lam kurang puas. Ia adalah utusan pembesar negeri. Dia mau datang
menemui kepala perkumpulan kaum kangouw itu saja sudah merasa merendahkan diri,
masa ketua itu masih jual laga. Tapi karena dia mempunyai ke pentingan, jadi terpaksalah dia tahan kemarahannya. Katanya :
"Li Ciangkun sudah menerima surat Tan Cong-thocu. Dia mengerti bahwa isteri
mudanya berada disini. Kita adalah kaum persilatan. Dia mengharap Tan Cong-thocu
suka le paskan, nanti Ciangkunpun akan membalas budi."
"Ah, mudahlah. Kurasa Tan Cong-thocupun tak kebe ratan," sahut Jun Hwa.
"Selain itu masih ada suatu urusan lagi, jakni mengenai vaas giok dari suku Hwe," kata Can Tho Lam pula.
Jun Hwa perdengarkan suara hidung, tanpa menyahut apa".
"Orang Hwe mempersembahkan sepasang vaas giok selaku tanda minta damai, ketika
baginda membukanya, ternyata kurang satu. Baginda sangat murka, menurut
keterangan dari utusan Hwe, katanya ada seorang kongcu bangsawan yang telah
menahannya. Kongcu itu menyebut dirinya sebagai Li Khik Siu Ciangkun dari HangCiu.
Ketika Li Ciangkun dipanggil menghadap, sudah tentu dia tak tahu satu apa. Sju'kur
baginda Cukup bijaksana. Dia percaya bahwa Li Ciangkun pasti tidak melakukan hal itu dan tentu terjadi suatu hal yang kurang beres. Karenanya Li Ciangkun tak dijatuhi
hukuman." "Itulah bagus," sahut Jun Hwa acuh tak acuh.
"Namun baginda menetapkan bahwa dalam waktu tiga hari, Li Ciangkun harus sudah
dapat menyerahkan vaas itu, atau.............
"Kalau tak berhasil menemukan, apakah sekiranya kuatir akan dilepas dari pangkatnya?"
sela Jun Hwa tiba-tiba . "Se benarnya, tidak memegang jabatan negeri, kan lebih
tenang." Can Tho Lam tak pedulikan ejekan orang. Katanya pula: "Kita sekarang ini menghadapi
persoalan sungguh-sungguh, maka aku sengaja dikirim kemari untuk minta agar Tan
Cong-thocu suka menyerahkan kembali vaas itu."
Jun Hwa tetap tenang saja. Jawabnya dengan tawar: "Vaas apa, kita belum pernah
mendengarnya. Tapi karena Li Ciangkun mendapat kesulitan itu, dan Can taijin sudi
datang sendiri, kita dengan segala senang hati akan mem bantunya.
Mendengar ucapan orang yang lunaks keras itu, Can Tho Lam mengetahui bahwa kini
dia sedang berhadapan dengan seorang yang lihai. Perwira she Can itu adalah tangan
kanan Li Khik Siu. Meskipun bugenya tak keliwat lihai, tapi berotak Cerdas, Cakap
bekerja. Dia tahu, bahwa lawannya sedang membawakan Cara orang kangouw tawar
menawar. Maka berkatalah dia :
"Li Ciangkun berpesan, bahwa sudah lama dia ingin ber kenalan dengan Tan Congthocu yang begitu kesohor nama nya. Sayang belum ada kesempatan. Dengan adanya
permintaannya yang kubawa kemari ini, diapun berjanyi akan membalasnya. Tan Congthocu punya permintaan apa, silahkan menyatakan."
"Can taijin suka berlaku terus terang, itulah baik sekali. Tan Cong-thocu mempunyai
harapan, pertama: kesalahana orang Hong Hwa Hwe kepada Li Ciangkun pagi tadi
harap suka di maafkan," kata Jun Hwa.
"Ah, itulah sudah jamak. Aku yang menyamin, bahwa Li Ciangkun tentu takkan ambil
tindakan apa-apa kepada orang-orang Hong Hwa Hwe Dan apa yang ke itu?" memutus
Can Tho Lam. "Su-tangkeh kita, Bun Thay Lay, disekap dalam tangsi Li Ciangkun, apakah Can taijin
mengetahui?" tanya Jun Hwa.
"Hm........." jengek Can Tho Lam. "Dia adalah pesakitan negara. Bagaimanapun
pengaruh Li Ciangkun, dia tentu tak berani melepaskannya. Hal ini kitapun
mengetahuinya. Hanya saja Tan Cong-thocu sangat kangen padanya, maka akan minta
bertemu malam ini."
Can Tho Lam merenung sampai sekian saat. Katanya kemudian: "Hal ini amat penting,
aku tak berani ambil pu tusan sendiri. Baik kutanyakan dulu pada Li Ciangkun, nanti
kuberi jawaban. Apakah Tan Cong-thocu masih ada harapan lainnya?"
"Tidak," sahut Jun Hwa.
Can Tho Lam pamitan pulang. Lewat beberapa waktu, dia datang lagi. Yang
menerimanya juga Jun Hwa lagi.
"Li Ciangkun berpesan bahwa Bun sutangkeh adalah pe sakitan negara yang penting
sekali. Sebenarnya tak boleh orang menengokinya," kata Can Tho Lam.
"Memang sebenarnya," sahut Jun Hwa.
"Tapi karena Tan Cong-thocu sudah meluluskan akan mengembalikan vaas giok itu,
terpaksa Li Ciangkun pun akan membalas kebaikan untuk mengidinkan Cong-thocu
menemuinya. Tapi ada sjarat yang Cong-thocu diminta meluluskan."
"Harap Can taijin katakan," tanya Jun Hwa.
"Pertama, ini adalah demi kepentingan persahabatan, maka Li Ciangkun berani ambil
resiko yang begitu besar. Kalau sampai ketahuan orang, artinya suatu
malapetaka........."
"Jadi Li Ciangkun maukan supaya Cong-thocu jangan sampai boCorkan rahasia ini,
bukan?" Jun Hwa menegas.
"Benar!" sahut Tho Lam.
"Dalam hal ini aku dapat mewakili Cong-thocu untuk menyetujuinya."
"Baik. Dan yang ke, yang menengok kepenyara hanya boleh Tan Cong-thocu seorang
diri !" . "Cong-thocu pun sudah memperhitungkan bahwa Ciangkun tentu ajukan sjarat itu.
Sudah tentu dikuatirkan kita akan ramai rampok penyara. Baiklah, kita terima sjarat itu.
Yang akan datang menengok penyara hanyalah Tan Cong-thocu seorang dan kitapun
berjanyi takkan me rampok pesakitan."
"Wi toako adalah seorang hohan, ucapannya tentu dapat dipercaya. Nah, aku segera
akan pulang melapor. Malam nanti Tan Cong-thocu boleh datang ke tangsi," kata Tho
Lam pula. "Cong-thocu menyumpai Bun-su-tangkeh tentu akan merundingkan urusan partai yang
penting-, tidak diperboleh kan lain orang menCuri dengar. Juga Thio Ciauw Cong itu tak boleh mengganggu," pesan Jun Hwa.
Setelah berpikir sebentar, Can Tho Lam menyawab : "Baik, biar nanti Li Ciangkun yang mengurusnya."
"Kita kaum kangouw, mengutamakan kebejikan. Asal Li
Ciangkun betul-betul dapat menepati janyi, kita pasti akan menyerahkan isterinya dan vaas itu," kata Jun Hwa achirnya.
Begitulah Can Tho Lam segera pamitan. Lalu orang-orang Hong Hwa Hwe berkumpul
pula diruangan besar untuk dengarkan pembagian tugas dari ketuanya dalam
renCananya menolong Bun Thay Lay. Kembali Tan Keh Lok minta Thian Hong mengatur
orang-orang nya. Setelah berpikir sejurus, berkatalah "Khong Beng" Hong Hwa Hwe
itu : "Kita harus singkirkan dulu Thio Ciauw Cong itu, baru Cong-thocu bisa bebas masuk
kedalam. Merampok penyara tidak susah, hanya saja Li Khik Siu itu tentu bukan orang
tolol. Dia tentu juga membuat penyagaan. Kita harus mengetahui lebih dulu bagaimana
tindakannya, baru dapat kita bekerja diluar dugaannya."
"Benar!" kata Keh Lok.
"Kurasa paling banyak-banyak dia tentu kerahkan tentara untuk mengepung pintu
penyara tanah itu," ujar Tio Pan San.
"Kitapun harus bersiap diluar tangsi, menyaga kemung kinan perbuatan yang
menCelakakan Cong-thocu," Siang He Ci utarakan pikirannya.
"Memang hal itu akan kita lakukan. Tapi kurasa mereka takkan berani berbuat Curang
pada Cong-thocu, karena selir kesajangannya ditangan kita," kata Thian Hong.
Selama perundingan itu, mereka merasa bahwa kedudukan nya kini sangat
menguntungkan. Pertama akan dapat mengetahui keadaan dan alat-alat rahasia
penyara dibawah tanah itu, sehingga kalau gunakan kekerasan kelak tentu dapat
berhasil. "Malam ini kita lakukan pertempuran habis-habisan dengan mereka," Bu Tim berkata
menurutkan suara hatinya.
"Ah, beginilah," tiba-tiba Keh Lok berseru. "Chit-ko, kalau menemui Bun suko biar aku pakai mantel, dan kerudung muka. Dengan alasan supaya jangan dilihat orang...........
Thian Hong dapat menduga pikiran ketua itu, maka ja wabnya: "Kita mendapat seorang
dan kehilangan yang seorang lagi. Itu kurang sempurna."
"Cong-thocu, lanyutkanlah omonganmu tadi," Bu Tim meminta, nyata ia belum paham.
"Begitu berada didalam, aku akan saling tukar pakaian dengan Bun suko. Biarkan dia
keluar. Penyaga tentu me ngira aku, dan saudara-saudara nanti harus seCepat-cepat
nya membawa suko pergi," tutur Keh Lok.
"Tapi kau bagaimana?" tanya Bu Tim.
"Kalau nanti baginda mengetahui aku, beliau tentu akan melepaskannya, karena beliau
sangat baik sekali kepadaku," ujar Keh Lok.
"RenCanamu itu hebat juga Cong-thocu. Tapi kau adalah ketua perkumpulan kita, tak
boleh bermain api berbahaja itu. Lebih baik aku saja yang melakukannya," kata Jun
Hwa. "Saudara-saudara sekalian, bukan aku sombong, tapi rasanya hanya akulah Yang paling
tepat. Kalau diantara saudara ada yang pergi salah satu, berarti hanya tukar dengan
Bun suko saja. Kita pandang sama rata, Bun suko tidak akan lebih berharga dengan
saudara-saudara kita yang manapun juga," me nerangkan Keh Lok.
"Tapi kalau Cong-thocu yang pergi, kurasa kurang le luasa," Seng Hiap ikut menyokong pendapat Jun Hwa.
"Ah, saudara-saudara tidak tahu, bahwa dengan baginda aku telah adakan sumpah
untuk tidak saling menCelakai satu sama lain."
Kemudian Keh Lok tuturkan apa yang telah terjadi ketika berada dengan baginda
dikuburan orang tuanya dulu itu.
,.Baginda orang yang kejam, ucapannya sukar dipercaya," kata Thian Hong.
Tapi ketua Hong Hwa Hwe itu tetap berkeras untuk meneruskan renCananya.
"Kalau memang Cong-thocu menghendaki begitu, kita jalankan saja maCam renCana,"


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

achirnya Thian Hong berkata.
Menampak bagaimana saudara-saudara Hong Hwa Hwe itu ber-sungguh-sungguh untuk
menolong suaminya, Lou Ping sampai tak dapat meng uCap suatu apa. Sedang Ciu
Tiong Ing yang menyaksikan kesemuanya itu, diam-diam kagum atas peribudi dari
orang-orang Hong Hwa Hwe Dia menghampiri Lou Ping dan menghiburnya.
"Siasat "kim-sian-toat-kak" (tonggeret berganti kulit) dari Congthocu itu memang bagus, Cuma agak berbahaja. Itu boleh dijalankan, tapi begitu suko sudah keluar, kita harus serbu penyara untuk menyambut Congthocu keluar," kata Thian Hong lebih jauh.
Sebenarnya orang-orang Hong Hwa Hwe sama kuatirkan tindakan ketuanya untuk
bermain api itu, namun kiranya tak ada lain pilihan lagi, saking terharunya, Lou Ping menghampiri kehadapan Tan Keh Lok dan memberi hormat, katanya: "Budi kebaikan
Congthocu itu, kita suami isteri takkan lupakan sampai mati."
"Ah, harap suso jangan mengucap begitu. Persaudaraan kita bagai tulang dengan
daging, masa mesti me-nyebut soal budi," kata Keh Lok seraja membalas hormat.
Begitulah dengan mengenakan pakaian yang mengerudungi badan dan mukanya, Tan
Keh Lok ajak Wi Jun Hwa me nuju ketangsi tentara Ceng. Ketika itu hari sudah men
dekati gelap, bintang-bintang mulai nampakkan diri dilangit.
Begitu tiba dimuka tangsi, ada seorang yang menyambut nya dengan bertanya bisikbisik : "Apakah yang datang ini Tan Congthocu?"
Wi Jun Hwa anggukkan kepala.
"Silahkan ikut aku, dan saudara ini tinggal disini saja!" kata orang itu. Terpaksa Jun'
Hwa tak ikut masuk.
Malam pelan-pelan diselubungi kegelapan. Hati Jun Hwa kebat-kebit memikirkan
keselamatan ketuanya. Ketika itu orang-orang Hong Hwa Hwe dengan menyamar sudah
sama berpenCar mengelilingi tangsi itu, menunggu saat ada perintah.
Sementara itu sesudah masuk kedalam, Tan Keh Lok da patkan bahwa tangsi itu penuh
dengan serdadu yang ber baris dengan senjata lengkap. Setelah melalui tiga ruangan,
orang itu membawa Keh Lok kesebuah ruangan besar dan menyilahkannya duduk.
Tak berapa lama, Li Khik Siu Ciangkun masuk keruangan situ, dan mengucapkan
selamat datang. Keh Lok membuka kerudung mukanya, katanya dengan tertawa:
"Tempo dulu kita sudah pernah bertemu sekali, tidak terduga kalau hari ini kita bertemu lagi.
"Sekarang mari menemui pesakitan. itu," ajak Li Khik Siu.
Tapi baru saja kenya melangkah kepintu, tiba-tiba ada seorang pengawal menobros
dengan napas memburu dan melapor: "Baginda datang, harap Ciangkun lekas-lekas
menyam butnya."
Li Khik Siu terperanyat, katanya kepada Tan Keh Lok : "Harap kau tunggu dulu disini."
Nampak wajah orang ber-sungguh-sungguh, Keh Lok angguk kepala dan kembali duduk
pula. Begitu keluar dari situ, Li Khik Siu melihat pintu tangsi itu sudah penuh dengan barisan gi-lim-kun dan si-wi, Kian Liongpun sudah berjalan masuk. Khik Siu tersipu-sipuberlutut.
"Sediakan sebuah kamar rahasia, aku akan memeriksa Bun Thay Lay!" kata Kian Liong
tiba-tiba . Li Khik Siu antar baginda kekamarnya sendiri. Barisan pengawal sama menyaganya
dengan rapat. Sampaipun diatas genteng tak luput dijaganya dengan keras.
"Aku mempunyai urusan penting pada pesakitan itu, jangan sampai ada seorangpun
yang mendengarnya," titah baginda kepada Pek Cin.
Pek Cin memberi hormat terus undurkan diri. Sebentar pula dengan tangan dan kaki
diborgol, Bun Thay Lay digusur masuk oleh 4 orang si-wi istimewa. Keempat si-wi itu
terus berlalu, dan kini diruangan itu hanya tinggal Bun Thay Lay dan Kian Liong ber.
Keadaannya sepi hening.
Luka Bun Thay Lay boleh dikata sudah sembuh. Hanya karena kaki tangannya diborgol,
dia duduk dibangku tak dapat bergerak. Begitu dongakkan kepala, dia terperanyat.
Kiranya dulu dia pernah mengikut ketua Hong Hwa Hwe mendiang Ie Ban Thing untuk
masuk kedalam istana. Kalau kali ini dia bisa berjumpa dengan baginda lagi di HangCiu, sungguh diluar dugaannya.
"Apakah lukamu sudah sembuh?" tanya baginda.
"Terima kasih atas perhatian paduka, hampir sembuh," sahut Thay Lay.
"Kuminta kau datang ke Pakkhia, karena perlu berunding. Tapi ternyata masing-masing
pihak timbul salah paham. Aku sudah membereskan hal itu, tak usah kau kuatir."
Mendengar raja itu berkata dengan tinggi hati, Bun Thay Lay murka sekali. Dia
perdengarkan suara hidung.
"Dulu kau dengan orang she le telah menemui aku. Se betulnya kita sedang
merundingkan suatu urusan besar. Tapi sayang , sewaktu pulang dia terus menutup
mata," kata Kian Liong.
"Mungkin kalau le lotangkeh belum menutup mata diapun akan diperlakukan seperti aku
sekarang," sahut Bun JTiay Lay dengan ketus dan tajam.
Kian Liong tertawa gelaka. Katanya: "Ha, kamu bangsa kangouw memang beradat
keras, apa yang terkandung dalam hati dinyatakan dengan terus terang. Akan
kutanyakan suatu hal, kau jawablah dengan sejujurnya, nanti akan ku lepaskan kau."
"Paduka lepaskan hamba?" sahut Thay Lay. "Ha, ha, paduka anggap hamba ini seperti
anak kecil" Hamba tahu, kalau paduka tak bunuh hamba, pasti paduka tak dapat tidur
dengan nyenyak, tak dapat makan dengan enak. Kalau sampai sekarang hamba masih
dibiarkan hidup, adalah karena paduka perlu mendapat keterangan hamba."
"Ah, mestinya jangan kau banyak-banyak Curiga lagi," ujar Kian Liong.
Tiba-tiba baginda mendengar suatu suara lemah dari luar kamar, seperti suara orang
menahan batuk. Dengan gesit beliau memburu kepintu terus mendorongnya. Namun
diluar kosong tak ada seorangpun.
Setelah menengok kekanan kiri, barulah Kian Liong me nutupnya lagi, dan melanyutkan
pertanyaannya: "Pemimpinmu orang she le apa memberitahukan padamu tentang
pembicaraannya dengan aku?"
"Paduka maksudkan omongan yang mana?" Thay Lay menegas.
Kian Liong mengawasi dengan tajam pada Bun Thay Lay, siapa dengan berani balas
memandang. Selang berapa jurus kemudian, Kian Liong berpaling dan berkata dengan
bisik-bisik : "Tentang asal usul diriku."
Telah diperhitungkan oleji Bun Thay Lay, bahwa dengan jatuh ketangan raja itu, berarti dia harus mati. Tapi rombongan besar dari Hong Hwa Hwe sudah berada di HangCiu.
Kalau hukumannya dapat dipertangguhkan sehari saja, saudara-saudara itu tentu akan
dapat merampas penyara dan menolongnya. Maka katanya :
"Dia tak mengatakan apa-apa. Kau adalah seorang raja, putera dari raja dan ratu yang dahulu. Asal usulmu siapa yang tak mengetahuinya, apa yang harus kukatakan !"
"Habis waktu kalian menemui aku itu, tahukah kau untuk urusan apa ?" tanya Kian
Liong. "Kata le lotongkeh, dulu dia pernah membantumu. Karena itu waktu Hong Hwa Hwe
kekurangan uang, dia akan mohon bantuanmu uang sebanyak-banyak sejuta tail perak.
Tapi anehnya, sudah kau tak memberinya, malah menangkap aku juga. Kalau aku bisa
bebas lagi, akan kusiarkan tentang ketidak ingat budi dari kau itu."
Kian Liong tertawa lebar. Dia melirik kemuka orang. Tampaknya Bun Thay Lay berkata
dengan sungguh-sungguh, tak bermain sandiwara. Dia setengah percaya setengah
tidak. Katanya :
"Kalau begitu, lebih baik kubunuh kau. Karena kalau ku lepas, kau akan menyelekkan
namaku !" "Siapa yang melarang kau tak lekas menghabiskan nyawa ku. Habisilah jiwaku, supaya
kau lekas dapat makan dan tidur dengan enak. Berhadapan dengan Thay-houw pun tak
perlu takut-takut lagi," kata Thay Lay.
Wajah Kian Liong berobah seketika.
"Mengapa Thay-houw"!"
"Kau tahu sendirilah!" sahut Bun Thay Lay dengan tegas. "Jadi kalau begitu kau sudah mengetahuinya!" tanya kaisar.
"Tidak semuanya. Kata le lotangkeh Thay-houw pun mengetahui bahwa lotangkeh
pernah membantu kau dan pernah minta kau membalas budinya. Tentang apa bantuan
itu, rasanya kau sendirilah yang tahu. Aku kurang jelas."
Kembali hati Kian Liong tergentar. Dia tertawa. Dia ambil saputangannya untuk
mengusap keringat dikepalanya dan mondar mandir diruangan itu. Pada lain saat
kedengaran dia ketawa.
"Dihadapan raja, kau bersikap menantang, nyata tak takut mati. Kau ada pesanan apa,
lekas katakan. Nanti se telah kau meninggal, tentu kusuruh orang mengerjakannya,"
katanya kemudian.
"Apa yang kutakuti" Kau tak nanti berani membunuh aku dengan segera!" sahut Thay
Lay. "Tidak berani?"
"Adanya kau akan membunuh aku, karena kau takut raha siamu boCor. Tapi dengan
membunuh aku, ha, ha, apakah rahasiamu juga turut terpendam?"
"Adakah orang mati bisa berCerita?" ejek Kian Liong.
Bun Thay Lay tak mempedulikannya. Dia menggerendeng seorang diri: "Biar aku mati,
tapi lain orang tetap akan dapat membuka surat itu dan akan menyiarkannya keseluruh
negeri. Pada waktu itulah raja akan menemui nasibnya."
Kian Liong kaget dan Buru-buru bertanya tentang surat itu.
"Ie lotangkeh telah menuliskan semua urusanmu itu pada sebuah surat, dengan
diberikutkan buah bukti yang penting. Semua itu diberikan pada seorang sahabat. Baru kemudian kita masuk menemui kau di stana," kata Thay Lay.
"Apa yang kamu takutkan itu?" desak kaisar Kian Liong.
"Sudah tentu, kita tak dapat mempercayai kau. Kata le lotangkeh kepada sahabatnya
itu, kalau sampai kejadian kita ber mati, supaya surat itu dibukanya. Kini le lotangkeh sudah meninggal, mungkin kau tak berani membunuhku."
Tangan Kian Liong gemetar, dia nampak gugup.
"Surat dan bukti itu, bagimu lebih berharga dari pada uang sejuta tail perak!" kata Thay Lay pula.
"Ha, memang aku sedia untuk menebusnya, pula kaupun akan' kulepas. Kau tulis surat
pada sahabatmu itu, suruh dia antarkan surat dan bukti itu, nanti pasti kubajar," bujuk kaisar.
"Hahaa, kalau kuberitahukan nama sahabatku itu, kau tentu akan kirim kawanan si-wi
untuk menangkapnya. Terus terang saja, aku senang berada disini. Tak ingin aku keluar lagi. Kita ber ini sehidup semati. Kalau aku yang lebih dulu meninggal, kaupun takkan hidup lama," sahut Thay Lay.
Kian Liong mengeretek gigi. Dia memutar otak betul-betul. Sesaat kemudian, lalu
katanya pula: "Kalau kau tak mau tulis surat itu, tak apa. Kuberikan kau tempo hari, lusa kita akan berada disini lagi. Kalau kau tetap keras kepala, terpaksa kubunuh. Sudah tentu kematianmu itu takkan ada orang yang tahu, sehingga sahabatmu itu masih
mengira kalau kau masih hidup. Tegasnya, sekalipun kau masih ber nyawa, tapi kau
akan menjadi manusia tanpa mata dan lidah........." sampai disini, tiba-tiba Kian Liong menobros ke pintu. Disitu Pek Cin tampak bersiap.
"Kau berbuat apa disini!" bentak Kion Liong dengan murka.
"Tadi hamba dengar didalam kamar ada suara benda beradu, untuk menyaga
keselamatan baginda, maka hamba menyaga di sini, sahut Pek Cin.
Tanpa menyahut apa-apa, Kian Liong berpaling pada Bun Thay Lay lagi dan katanya :
"Kau pikir lagi se-masaknya dalam hari ini !"
Terus dia keluar di ringkan rombongan si-wi. Dengan berlutut Li Khik Siu mengantar
sampai kaisar itu keluar dari tangsi.
Begitu Kian Liong berlalu, Bun Thay Lay dibawa lagi kedalam penyara tanah. Selama
di ring itu, Thio Ciauw Cong mengawalnya dengan pedang terhunus.
Berada sendirian didalam kamarnya, Thay Lay terkenang akan isteri dan saudarasaudaranya. Mereka tentu menyibuki dirinya. Penyagaan penyara sedemikian kuatnya,
ia tak inginkan karena akan menolongnya, saudara-saudaranya itu berbalik menemui
keCelakaan. Tapi kalau tidak dibebaskan mereka, sukarlah rasanya dapat hidup lagi.
Kalau ia tengah memikir begitu, adalah waktu itu seorang serdadu mendapatkan Thio
Ciauw Cong dan menyampaikan permintaan dari Li Khik Siu untuk mengundangnya
kekantor. Ciauw Cong segera tinggalkan Bun Thay Lay sendirian dalam kamarnya.
Tengah Bun Thay Lay ter-menung, tiba-tiba nampak pintu kamarnya terbuka dan
masuklah seorang kesitu. Thay Lay mengira kalau itu tentu Thio Ciauw Cong, maka dia
diam saja tak mempedulikan. Orang itu menghampiri dekat ke pembaringannya, dan
bisika tibaa: "Suko, kudatang menengok kau !"
Bun Thay Lay kaget seperti dipagut ular. Dia menatap dengan tajam. Nyata ialah ketua perkumpulannya, Tan Keh Lok Cong-thocu. Burua ia- memberi hormat sambil berseru
girang: "Cong-thocu !"
Keh Lok bersenyum dan mengangguk. Ia merogoh keluar sebuah tanggem, terus
menanggem borgolan Bun Thay Lay. Sampai beberapa kali dia berusaha untuk
memutuskan, tapi borgolan itu hanya bergurat sedikit. Tanggem itu buatan luar negeri, tapi tetap tak berdaya. Keh Lok menjadi gopoh, ia kerahkan seluruh tenaganya
menCoba lagi, tapi, krekk......
bukan borgolan yang lepas, tapi tanggemnya yang putus !
Keh Lok ambil sebuah tanggem baru, tapi tetap tak ber geming. Dia keluarkan tatah,
pukul besi dan lain-lain. alat, tapi tetap borgolan itu sedikitpun tak leCet.
"Cong-thocu, borgolan dikakiku hanya dengan pokiam saja dapat diputuskan," kata Bun
Thay Lay. Tibaa Keh Lok teringat akan pertempurannya dengan Thio Ciauw Cong ketika
menyeberang sungai Hoangho tempo hari, 'leng-bik-kiam' dari orang she Thio itu
ternyata dapat memapas kutung pedangnya sendiri dan pedang Bu Tim Tojin.
"Bukankah se-hariaan Ciauw Cong menyaga suko disini?" tanyanya segera.
"Sejengkalpun dia tak mau berpisah dari aku. Tadi entah karena apa dia pergi keluar,"
sahut Thay Lay.
"Baik, kita, tunggu dia kembali, lalu rampas pokiamnya," kata Keh Lok.
"Dapat tidaknya aku keluar susah diramalkan. Baginda mau bunuh aku untuk menutup
mulutku, kuatir rahasianya boCor," kata Thay Lay. "Cong-thocu, rahasia itu akan ku
beritahukan padamu. Jadi andaikata aku meninggal, urusan besar itu tak sampai
terlantar. "Baiklah, suko," sahut Keh Lok.
"Ketika aku diajak masuk keistana oleh le lotangkeh kita berhasil menemui baginda,"
demikian tutur Thay Lay.
Baginda terkejut. Ie lotangkeh memberikan keterangan, bahwa ia diutus kesitu oleh Tan lothay-thay dari Hayling untuk menyampaikan surat kepada baginda. Begitu baginda
menyambuti surat itu, wajahnya berobah puCat. Aku di perintahkan menunggu diluar.
Sampai lama kenya berunding secara rahasia sekali. Ketika pulang Ie lotangkeh
memberitahu aku, bahwa raja itu sebenarnya orang Han. Dia bukan lain, adalah kau
punya kanda sendiri, Congthocu!"
Begitu kaget perasaan Keh Lok ketika itu, hingga dia menjadi kemekmek. Berselang
agak lama, baru dia seperti orang tersedar, katanya: "Ah, tak mungkin. Kokoku kini
masih di Hayling."
"Dalam soal itu, memang banyak-banyak sekali belat belitnya," kata Thay Lay pula.
Belum sempat dia mengachiri keterangannya, tiba-tiba digang kedengaran tindakan kaki orang mendatangi. Keh Lok Buru-buru menyusup kebawah tempat tidur. Yang masuk
itu ternyata seorang serdadu pengawal. Dia heran tak mendapatkan Tan Keh Lok disitu, tanyanya; "Dimana ketua Hong Hwa Hwe itu?"
Karena itu Keh Lok loncat keluar dari tempat persem bunyiannya.
"Thio taijin segera akan kembali. Li Ciangkun tak dapat menahannya lebih lama.
Silahkan kau keluar!" kata pengawal itu.
Sebagai jawaban, Keh Lok berputar badan dan seCepat-cepat kilat menolak jalan darah
"ki-bun-hiat" dari serdadu itu. Tanpa mengeluarkan suara lagi, serdadu itu roboh.
"Cong-thocu, lihai benar tanganmu!" seru Bun Thay Lay dengan suara tertahan.
Keh Lok hanya tersenyum, terus merijeret serdadu itu kebawah kolong randyang .
"Thio Ciauw Cong segera datang, keteranganku yang lebih jelas tak sempat lagi. Karena mengetahui bahwa raja itu seorang Han, Ie lotangkeh menganyurkan supaya mero
bohkan kerajaan Boan dan membangunkan kerajaan Han lagi. Usir semua orang Boan
keluar Tiongkok dan mengambil pulang seluruh daerah negeri Han. Dan bangsa Han
akan tetap mengakuinya sebagai rajanya. Agaknya baginda, tergerak hatinya. Tapi
benar tidaknya omongan itu, rupanya dia masih belum jakin. Dia minta supaya.Ie
lotangkeh memberi kan ke benda kesaksian yang penting Itu," baru dia nanti pikirkan
daya upaja lagi. Tapi seperti ditakdirkan oleh Tuhan, tak berapa lama Ie lotangkeh jatuh sakit dan menutup mata. Dia meninggalkan pesan, supaya kau yang menjadi Congthocu (pejabat ketua). Itulah kesempatan satunya, agar kerajaan Han dapat
dibangunkan kembali. Baginda adalah kokomu sendiri, kalau dia tak mau merobohkan
pe merintah Boan, kita bangsa Han akan angkat kau sebagai raja" demikian Bun Thay
Lay mengachiri Ceritanya de ngan singkat.
Keh Lok mendengari dengan termangu-mangu. Teringat dia, bagaimana pertama kali
berjumpa dengan Kian Liong dite laga Se-ouw. Dan ke kalinya, sewaktu berjumpa diku
buran ayah bundanya, raja itu bersikap sedemikian baiknya. Segala tingkah laku raja itu apakah ada hubungannya bahwa beliau itu memang anak kandung orang tuanya "
"Kalau benar dia itu bangsa Han, mengapa menjadi raja Boan " Soal itu, kabarnya ibu
Cong-thocu sudah menerang "kannya dalam sepuCuk surat. Disamping itu masih
menyim pan beberapa barang pembuktian yang penting. Demi kese lamatan, Ie
lotangkeh telah menyerahkan kesemuanya itu pada suhu Congthocu, Thian-tikoayhiap," Bun Tha.y Lay menerangkan pula.
"Ah, jadi pada musim panas jl. Siang-si Siang Hiap me ngunyungi suhu itu, jadinya
untuk keperluan tersebut?" tanya Keh Lok.
"Benar, itu adalah suatu urusan besar, sehingga kaupun tak mengetahuinia. Wan
LoCiangpwe (Thian Ti koayhiap) pun hanya tahu bahwa benda itu penuh sekali. Tapi
bagai mana hal yang sebenarnya, diapun kurang jelas. Sewaktu Ie lotiangkeh menutup
mata; dia berpesan harus kau yang menggantikan kedudukan CongtoCu Hong Hwa Hwe
itu. Surat itu harus menjadi pedoman untuk suatu gerakan besar. Ah, sayang aku
tertangkap, sehingga membikin kapiran urusan itu. Cong-thocu, andainya kau gagal
bebaskan diriku, harap kau segera menemui suhumu. Jangan sekali-kali karena urusan
diriku yang kecil artinyal itu sampai menelantarkan pe-kerjaan besar."
Pada waktu Thay Lay mengucap sampai disitu, nampak nya dia puas. Baru dia akan
lanyutkan keterangannya, mendadak dari arah gang kedengaran tindakan orang menda
tangi. Buru-buru Thay Lay mengisjaratkan supaya Keh Lok ber sembunyi dibawah
tempat tidur. Setelah itu dia sendiri me-ngatur sikap badannya, separoh diatas
pembaringan separoh menggelandot dilantai, se-olah seperti orang jatuh dari tempat
tidur. Masuk kedalam, segera Ciauw Cong samar melihat keadaan pesakitannya itu, siapa
disangkanya sudah bunuh diri. Terdorong oleh rasa terkejut, tanpa dipikir lagi, dia
memburu untuk mengangkatnya. Tapi tubuh Bun Thay Lay tampaknya kaku tak
bergerak, hal mana sangat mengejutkan Ciauw Cong. Dia terus ulur tangan untuk
memeriksa lu bang hidung pesakitan itu.
Siapa duga tiba-tiba tubuh Bun Thay Lay menCelat keatas, berbareng ke tangan yang
diborgol dikibaskan untuk menyapu Ciauw Cong. Karena tak menyang kanya sama
sekali. Ciauw Cong akan mundur selangkah. Tapi mendadak, jalan darah "tan-thianhiat" pada bagian perutnya terasa kesemutan. Tahulah dia, bahwa dia telah termakan
totokan seseorang yang bersembunyi dibawah pembaringan.
Dengan menggerung seperti harimau terluka, Ciauw Cong loncat mundur tindak sambil
dorongkan ke tangannya kemuka, untuk menyaga serangan. Berbareng itu, dia
kerahkan pernapasannya untuk menutup pintu jalan darah.
Nampak jago Bu Tong Pai itu tak kena dirobohkan dengan totokan itu, Tan Keh Lok
kagum dan kaget. Diapun loncat keluar, terus menyerang lawannya dengan ilmu silat
Siao Lim yang disebut 'Siao Lim Sin Kun'. Begitu sebat pukulan itu, hingga dalam
beberapa detik saja, Ciauw Cong sudah dihujani tujuh-delapan kali tempilingan secara ber-tubi.
Ciauw Cong terpaksa niandah saja dihajar lawah, karena kalau dia bergerak, jalan;


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

darahnya pasti tertutuk.
Paling dia hanya geser kakinya mundur kebelakang. Keh Lok tahu kelemahan orang, dia
segera kirim sebuah ten dangan kearah pinggang orang. Ciauw Cong berkelit ke sebelah kiri. Tapi, Celaka baginya! Dia rasakan jalan darahnya dibagian "sin-thing-hiat"
kesemutan sakit sekali. Kiranya, dia terkena totokan lawan lagi. Malah kali ini, dia tak dapat bertahan lagi. Sekujur badannya terasa lemah lunglai, terus numprah ditanah.
Cepat-cepat Keh Lok geledah badannya, tapi ternyata pokiam 'leng-bik-kiam' dari orang she Thio itu tak kedapatan. Dengan masgul, dia berpaling se bentar kearah Bun Thay
Lay. Kemudian dia lanyutkan penggeledahannya lagi. Dari saku dia mendapat sepuCuk
surat. Ternyata itulah surat Li Khik Siu yang diberikan pada Ciauw Cong a.l. mengatakan bahwa ada seorang tamu agung yang berminat melihat 'leng-bik-kiam'nya.
Itulah sebenarnya akal Li Khik Siu untuk menyingkirkan sang "harimau." Tapi ternyata Ciauw Cong keliwat hati-hati orangnya. Dia minta permisi sebentar pada Li Khik Siu
untuk menengok sebentar kamar pesakitan. Jadi pokiamnya masih berada dikantor Li
Khik Siu. Ketika Keh Lok menggeledah lagi. Sekonyong-konyong dia ber jingkrak kegirangan.
"Bagaimana?" tanya Bun Thay Lay dengan heran.
Keh Lok lemparkan seikat anak kunCi, lalu diCobakannya membuka borgolan Bun Thay
Lay. Seketika Thay Lay rasakan tangan dan kakinya enteng seperti hilang borgolannya.
Dilain saat pun Tan Keh Lok sudah membuka jubah dan kerudung muka, lalu diberikan
pada Bun Thay Lay supaya lekas memakainya.
"Dan kau?" tanya Thay Lay heran.
"Biar aku berada disini sebentar, lekas-lekas kau keluar!" Keh Lok menitah.
Barulah Thay Lay tahu akan maksud orang.
"Cong-thocu, aku merasa berterima kasih sekali padamu. Tapi kau tak lajak berbuat
begitu," katanya terharu.
Keh Lok kerutkan jidatnya. "Aku adalah ketua Hong Hwa Hwe Semua anggauta Hong
Hwa Hwe harus tunduk perintahku bukan?" tanyanya Cepat-cepat .
"Memang," sahut Thay Lay.
"Bagus. Dengarlah perintahan ini. Lekas pakai dan keluar dari sini, diluar saudarasaudara kita akan menyambutmu."
"Tapi menyesal kali ini aku terpaksa melanggar perintah mu. Kelak aku rela menerima
hukuman apapun dari Cap Ji Long!" sahut Thay Lay "tetap.
"Siang dan malam suso sangat terkenang padamu. Sekalian saudara pun sangat mengharap agar kau lekas keluar. Kini adalah kesempatan yang bagus, kenapa kau berhati
dingin?" kata Keh Lok. Dia lalu tuturkan dengan ringkas tentang ikatan janyinya dengan Kian Liong.
Namun Bun Thay Lay tetap tak mau Cong-thocu itu gantikan tempatnya. Sampai sekian,
lama mereka tak dapat mengambil putusan, sampai achirnya Tan Keh Lok tiba-tiba
mendapat pikiran.
Jilid 19 "KALAU begitu kita ber bersama-sama keluar. Pakailah pakaian orang she Thio itu."
"Bagus, kenapa Cong-thocu sedari tadi tak mau bilang !" seru Thay Lay girang.
Setelah bertukar pakaian, borgolan itu dipasang juga pada tubuh Ciauw Cong. Anak
kunCinya disimpan Tan Keh Lok dalam kantongnya. Dengan demikian sekalipun kepan
daian Ciauw Cong setinggi langit tak nanti dapat terlepas.
Ke pemimpin HONG HWA HWE itu dengan Cepat-cepat tinggalkan ruangan itu. Melintasi
gang mereka naik ke-undakan. Sampai diatas, tiba dilihatnya sekeliling taman situ
terang benderang disinari Cahaja obor. Dengan tombak ditangan, ber-puluh serdadu
Ceng menujukan senjatanya kearah mulut penyara dibawah tanah itu. Tidak jauh dari
situ, beratus serdadu siap dengan busurnya. Juga arah tujuannya ialah mulut gowa itu.
Tampak Li Khik Siu mengangkat tangannya kanan. Sepasang matanya ber-api
mengawasi. Asal dia sekali mengibas turun, tombak dan anak panah akan menghujani.
Sekalipun Tan Keh Lok dan Bun Thay Lay bagaimana tinggi kepandaiannya tak nanti
dapat lolos dari bahaja itu.
Tan Keh Lok mundur selangkah seraja membisiki Bun Thay Lay: "Bagaimana lukamu"
Apa bisa menyerbu terus?"
Bun Thay Lay tertawa tawar. "Tidak jadi saja, pahaku masih kaku. Cong-thocu, kau
keluar sendirilah, jangan pikirkan aku," sahutnya.
"Coba kau tiru sikap Ciauw Cong!" pesan Keh Lok. Lalu dengan menarik turun topinya
sampai menutupi alis, dia melangkah maju.
Melihat yang keluar adalah Ciauw Cong dan Tan Keh Lok, Li Khik Siu mengeluh dalam
hati. Ia kira kalau Tan Keh Lok kena tertangkap. Karena itu ia berpaling kearah puteri nya dan berkata: "Wan Ci, kembalikan pedang ini pada Ciauw Cong dan ajaklah dia
berbicara se-banyak-banyaknya, supaya ketua HONG HWA HWE itu sempat melarikan
diri !" Pada waktu Wan Ci membawa 'leng-bik-kiam' kemulut gowa. Tan Keh Lok ber sudah
naik keatas. Sengaja Wan Ci angsurkan pokiam itu kepada pemiliknya dengan
menengahi ke orang itu.
"Thio susiok, inilah pedangmu!" demikian katanya.
Berbareng menyodorkan pokiam, sikut Wan Ci menying gung tubuh Tan Keh Lok
dengan maksud agar ketua HONG HWA HWE itu larikan diri. Sebaliknya dengan
perdengarkan suara hi dung Bun Thay Lay hendak sambuti pokiam itu. Demi keli hatan
dari Cahaja obor siapa gerangan Ciauw Cong itu, berserulah gadis itu dengan kagetnya:
"Bun Thay Lay, kau mau lolos"!" Berbareng ia tarik kembali tangannya, dengan gerakan
"sun-Cui-thwi-Cu," menurutkan angin men dorong perahu, ia menusuk kedada orang.
Bun Thay Lay egoskan tubuhnya, tangan kirinya dibalikkan, terus dengan jari telunyuk dan buah jarinya lagi, dia Cepit mata pedang. Berbareng, sebat luar biasa tangannya
menganCam jalan darah "thay-yang-hiat" dipilingan sigadis.
Wan Ci mundur selangkah. Tapi tak urung pundaknya terkena sedikit. Tapi pokiam itu
sudah terjepit dalam.jari Bun Thay Lay, sedikitpun tak bergeming. Saking terperanyat, Wan Ci lepaskan pokiam itu, terus akan lari.
Saling berebut pedang itu telah diachiri dengan terCenge ramnya pundak Wan Ci oleh
Bun Thay Lay. Seketika itu, sinona rasakan sakit sekali. Sebenarnya, penyerangan itu ber langsung dalam beberapa kejab saja, namun ketika Tan Keh Lok yang pada saat itu
sudah maju beberapa langkah, menoleh kebelakang, Bun Thay Lay tampak sudah
dikepung rapat oleh serdadu Ceng, Bun Thay Lay dengan beringas bolang balingkan
'leng-bik-kiam' (pedang Thio Ciauw Cong) kesana kemari, dan beberapa ujung tombak
telah terpapas kutung.
"Tahan, atau akan kutitahkan melepas panah!" tiba Li Khik Siu berteriak menganCam.
Karena mengeluarkan tenaga, luka di paha Bun Thay Lay kembali melekah dan mulai
mengalirkan darah lagi. Melihat itu, tahulah dia bahwa dirinya tak dapat menobros
kepungan musuh.
"Cong-thocu, terimalah pedang ini. Kau lekas keluar sendiri!" teriaknya segera.
Berbareng dengan seruan itu, Bun Thay Lay akan lempar kan pedang 'leng-bik-kiam' itu kepada Tan Keh Lok. Tapi pada saat itu juga, ia rasakan pundaknya sakit sekali dan
tangannya lemas. Sehingga pedang itu jatuh terlempar di tanah. Kiranya sebatang anak panah dari serdadu Ceng telah mengenai pundaknya itu.
Nampak Bun Thay Lay kembali terluka, Tan Keh Lok loncat beberapa tindak kearah Li
Khik Siu dan menyerukan agar jenderal itu memerintahkan anak buahnya berhenti
memanah. Sebagai gantinya hujan panah, pasukan Ceng itu segera memagari ke
pemimpin HONG HWA HWE itu dengan tombak.
"Lekas undangkan sinshe untuk mengobati luka Bun su tangkeh. Nah, aku hendak
pergi!" seru Keh Lok pula.
Dengan ucapan itu, ketua HONG HWA HWE tersebut sudah melesat keluar. Karena
sudah mendapat perintah dari Ciangkunnya, tentara Ceng itu puras ber-sorak
mengejarnya. Tapi hal yang sebenarnya, mereka itu tak menghalanginya dengan
sungguh-sungguh. Ketika loncat keatas tembok, Keh Lok segera dapatkan bagaimana
didalam dan diluar tangsi tersebut sudah siap tiga lapis pasukan pemanah dan pasukan bertombak.
Diam-diam ketua HONG HWA HWE itu mengeluh dalam hati. Dengan penyagaan yang
sekokoh itu, sukarlah rasanya untuk menolong Bun Thay Lay.
Sekeluarnya dari tangsi, Wi Jun Hwa dan Lou Ping sudah menunggu. Dengan
bersenyum keCut, Keh Lok gelengs kepala. Hari sudah mulai terang tanah. Apaboleh
buat, dengan menanggung kemengkalan, oranga HONG HWA HWE itu segera balik
kerumah Ma Sian Kun di Kosan.
Hanya jam saja mereka beristirahat, lalu kembali berkumpul di ruangan untuk
berunding lagi.
"Kiuko (saudara kesembilan), kau antar vaas giok dan selir Li Khik Siu itu kepadanya.
Kita tak boleh salah janyi," kata Tan Keh Lok kepada Wi Jun Hwa.
Baru saja Wi Jun Hwa keluar, Ma Tay Thing, putera Ma San Kun, masuk sambil berkata:
"Cong-thocu, Thio Ciauw Cong menghaturkan sepuCuk surat untukmu."
"Surat dari Ciauw Cong?" tanya Keh Lok. "Aneh, entah apa maunya !"
"Kuduga dia tentu akan ajak pi-bu padamu Cong-thocu," kata Thian Hong.
Ketika dibaCanya, ternyata surat Ciauw Cong itu penuh dengan kataa yang
mengunyukkan kemarahan. Memaki ketua HONG HWA HWE itu telah berlaku liCik,
karena menotok orang dengan menggelap, kemudian memborgolnya. Tindakan itu
dikatakan bukan laku seorang jahtan, karenanya ditantang nya adu silat (pi-bu) saja
untuk menetapkan siapa sesung guhnya yang lebih unggul. Waktu dan tempat
diserahkan kepada ketua HONG HWA HWE itu.
"Kau benar, Chitko. Dia tantang aku. Hem, bertanding satu lawan satu, dia kira aku
takut padanya!" kata Keh Lok.
Keh Lok Cepat-cepat menulis balasan. Ajakan pi-bu itu dite rimanya. Pertandingan akan dilangsungkan besok pagi di bukit Pak-ko-nia. Harus satu lawan satu. Kalau sampai ada orang lain yang membantunya, itu bukan seorang laki. Se dianya surat balasan itu terus akan disuruhnya mengirim, tapi tiba Thian Hong menyatakan pikiran, bahwa pi-bu itu
bukan soal yang penting. Sebaiknya dapat diundurkan dulu sampai nanti urusan
menolong Bun Thay Lay sudah selesai.
"Baiklah, hari ini tanggal 0. Kalau begitu diundurkan saja sampai tanggal nanti."
Tan Keh Lok tulis lagi sepuCuk balasan, lalu disuruhnya orang mengirimkan ke tangsi
tentara Ceng. "Pokiam Thio Ciauw Cong itu sungguh lihai. Congthocu jangan adu senjata dengannya.
Lebih baik dengan tangan kosong saja," kata Tio Pan San.
"Dikuatirkan dia tentu akan minta adu pedang, bangsat itu............" Bu Tim, imam
tangan satu itu, ikut mengeluarkan suara dengan gusarnya. Dia teringat akan
pertempuran di penyeberangan sungai Hongho, dimana pedangnya telah kena dipapas
oleh pokiam Thio Ciauw Cong.
"Cong-thocu, jangan kau salah faham, aku hendak me nyatakan pendapat," tibaa Ciu
Tiong Ing berkata.
"Silahkan Ciu loCiangpwe memberi pengunyukan, siaotit tentu akan mengindahkannya,"
kata Keh Lok. Kepandaian Cong-thocu pernah aku menerima pengaja ran. Memang luar biasa. Tapi
orang she Thio itupun bukan orang sembarangan," demikian kata Ciu Tiong Ing. "Kita
pernah beramai tempur dia. Bukan maksudku akan memuji tinggi dia dan merendahkan
kekuatan sendiri. Memang Cong-thocu takkan terkalahkan oleh dia. Tapi untuk me
nundukkannya, juga sukar rasanya. Kita harus menCari akal untuk mengatasinya."
"Ucapan Ciu loCiangpwe itu tak salah kiranya. Memang sukarlah bagiku akan
mengalahkannya. Tapi karena dia me nantang, kiranya kurang leluasa jika mesti
menolak. Jadi terpaksa harus kuhadapinya, tanpa memperhitungkan kalah atau
menang," jawab Keh Lok.
"Sebaiknya kita singkirkan dulu pokiamnya itu, agar dia Ciut nyalinya," Siang Pek Ci utarakan pendapat.
"Kita satu persatu ganggu dia. Sekalipun takkan mengalahkannya, tapi sekurangkurangnyanya dia tentu akan lelah. Sedang selama hari ini, baiklah Cong-thocu
mengasoh baik-baik . Dengan semangat yang segar, rasanya Cong-thocu akan dapat
menundukkan bangsat itu," Ciang Cin, si Bongkok ikut bicara.
Mendengar oraongan si Bongkok itu, peCahlah ketawa orang-orang HONG HWA HWE
Mereka mengakui, se-bodoh si Bongkok itu, namun akalnya boleh juga. Tengah mereka
masih ber Cakapa, seorang Cengteng masuk menghampiri Ma San Kun dan melapor :
"Loya, Ong Hwi Yang, situa itu, sampai sekarang tak mau makan. Dia terus menerus
menCuCi-maki saja."
"Apa yang dia maki?" tanya tuan rumah itu.
"Dia menCaCi pasukan gi-lim-kun itu tak kenal aturan. Dia mengatakan, selama
berpuluh tahun berkelana di kangouw itu, oranga sama menghormatinya. Dia tak
menyang ka kalau kali ini mengantar piau bagi baginda, malah telah ditahan tanpa
alasan apa-apa," tutur Cengteng itu.
"Sekalipun dia bergelar Wi-tin-ho-siok, hm, biar dia rasa kan 'kopi pahit' didaerah
Kanglam sini!" kata Bu Tim dengan tertawa.
Mendengar pembicaraan itu, tiba Thian Hong mendapat pikiran. Katanya segera: "Aku
ada tipu yang dinamakan 'Pian Cong membunuh harimau', entah saudara-saudara
sekalian dapat menerima, entah tidak?"
Thian Hong lalu bentangkan tipunya. Ternyata sekalian orang sama memuji dan
menerimanya. Sampai Tio Pan San berseru menyatakan kagum. Sedang Ciu Tiong Ing
pun tertawa dan geleng kepala.
"Sebenarnya tipu itu termasuk liCik. Tapi menghadapi seorang siaojin, tak perlu kita berkukuh pada keutamaan. Beng toako, silahkan kau omongi si Wi Tin Ho Siok itu," kata Keh Lok.
Memang selama 40 tahun lamanya Ong Hwi Yang malang melintang didaerah utara,
tanpa ada yang menandingi. Tapi kali ini dia menyejakkan kakinya didaerah Kanglam,
dia telah tertumbuk batu. Selama dalam kamar tahanannya, dia tak mau dahar apa-apa.
Ber-ulang dia ber-kaok, minta bertemu dengan pemimpin pasukan gi-lim-kun. Karena
sampai saat itu, dia masih mengira bahwa yang meringkusnya itu adalah pasukan gilim-kun. Sedikitpun dia tak merasa kalau sebenarnya dia telah masuk perangkap dan
berada dalam tangan orang-orang HONG HWA HWE
Selagi dia masih marahs itu, masuklah seorang pemuda, yang mengenakan pakaian gilim-kun. Orang itu bukan lain ialah Beng Kian Hiong. Murid Ciu Tiong Ing itu ternyata juga seorang yang Cerdas, tak kalah dengan Wi Jun Hwa. Karena itulah maka Tan Keh
Lok menunyuk dia melakukan peranan tersebut.
"Apakah kau ini yang disebut Wi Tin Ho Siok?" tanya Kian Hiong setelah mengambil
tempat duduk disebuah kursi.
"Betul. Gelar itu sahabats kangouw yang memberikannya. Aku sendiripun tak merasa
senang dengan gelar itu. Kalau memang Hok thongling menganggapnya tak lajak, kelak
akan kumaklumkan kepada sahabata kangouw, bahwa gelar itu kuhapuskan," kata Ong
Hwi Yang dengan kurang senang.
"Hok thongling adalah keluarga baginda, dia tak ambil pusing dengan kaum kangouw,"
kata Kian Hiong sembari perdengarkan ketawa tawar.
"Kini aku sedang menyalankan tugas untuk mengantar baranga baginda ke HangCiu.
Mengapa tanpa sebab aku di tahan begini?" tanya Hwi Yang .
"Jadi kau belum mengetahui?" tanya Kian Hiong.
"Memang !"
"Ah, kukuatir karena usiamu begitu tinggi, nanti tak tahan mendengarnya !"
Ong Hwi Yang paling benCi orang mengatakan dirinya tua. Karena dia masih merasa
seperti anak muda yang berapi api semangatnya. Maka dia segera menggebrak meja,
se hingga ujung meja itu sempal. Katanya dengan gusar :
"Aku Ong Hwi Yang, meskipun umurku tua, tapi aku tak gentar untuk menerobos pagar
golok atau masuk kedalam minyak mendidih. Apanya yang kutakuti?"
"Aha, Ong loCiangpwe sesungguhnya masih berdarah panas. Hm, kalau begitu memang
tak salah bisak-bisik yang tersiar dikalangan kangouw bahwa 'lebih baik menghadap
Giam Ong daripada kesamplokan dengan Lo Ong. Lebih suka menerima tusukan
tombak, daripada bertemu dengan orang she Thio'. Bukankah begitu?" tanya Kian
Hiong. Yang dimaksud dengan Lo Ong atau Ong si Tua, adalah Ong Hwi Yang itu. Sedangi
orang she Thio itu, bukan lain jalah Thio Ciauw Cong. Jadi hal itu membuktikan
bagaimana pengaruh ke jago itu dikalangan persilatan.
"Itulah sahabat- dari golongan Hek To yang memberi muka padaku secara ber-lebih*an," kata Ong Hwi Yang.
"Mengapa orang lebih dulu menyebut Lo Ong, baru orang she Thio" Apakah kepandaian
Lo Ong itu berada diatas orang she Thio?" tanya Kian Hiong.
Ong Hwi Yang berjingkrak bangun, maju setindak dia lalu berkata: "Jadi si 'Hwe Chiu
Poan Koan' yang hendak menguji kekuatanku"! Memang aku tolol sekali, hingga tak
dapat memikir sampai disitu."
"Thio taijin adalah pemimpinku, kau juga mengetahuinya?" tanya Kian Hiong pula.
"Aku tahu bahwa Thio Ciauw Cong berada dalam dinas gi-lim-kun," sahut Hwi Yang.
"Jadi kau kenal padanya ?" tanya Kian Hiong.
"Meskipun kita sama-sama tinggal di Pakkhia dan sesama kaum persilatan, tapi dia
menjadi pembesar negeri, sedang aku seorang rakjat biasa. Memang sudah lama
kudengar namanya yang kesohor itu. Sayang tak pernah berjumpa."
"Kebetulan, memang Thio taijin juga kepingin belajar kenal denganmu. Kini dia juga
berada di HangCiu sini. Dia berkata, ketika berada di Pakkhia dekat dengan kaisar.
Kalau sampai disebabkan urusan berebut nama kosong saja mesti perlu bentrok, itulah
kurang lajak. Kini, sama-sama berada diluar kotaraja, Thio taijin mengajukan tiga hal kepada Ong locianpwe. Kalau locianpwe suka menerimanya, dia idinkan locianpwe
keluar dari sini."
"Baik, aku telah kena tersergap oleh orang-orang mu dari pasukan gi-lim-kun. Ada
urusan apa lagi yang akan meminta persetujuanku. Mengapa harus aku yang
meluluskannya ?"
"Urusan itu mudah sekali. Tak usah kiranya lo-piauwtauw menjadi gusar," ujar Kian
Hiong. "Apa yang Hwe Chiu Poan Koan maukan padaku"!"
"Pertama, lo-piauwtauw harus menghapuskan gelaran 'Wi Tin Ho Siok' itu."
"Hm, lalu yang ke?" Hwi Yang putuskan omongan orang.
"Bubarkan Tin Wan piauwkiok !"
"Apa?" seru Hwi Yang dengan keras. "Piauwkiok itu telah kudirikan selama tiga 0 tahun lebih dengan disaksikan orang-orang kangouw tak pernah mendapat hinaan dari
kalangan Hek To. Jadi Thio taijin maukan aku membubarkan, baiklah. Dan yang
ketiga?" "Yang ketiga, supaya Ong lo-piauwtauw undang seluruh kalangan persilatan dan
umumkan bahwa bisak-bisik 'lebih baik menghadap Giam Ong daripada kesamplokan
dengan Lo Ong; lebih baik menerima tiga tusukan tombak daripada bertemu dengan
orang she Thio', ucapan itu supaya dibalik. Jadi artinya kalimat yang ke itu supaya
ditaroh diatas lebih dulu. Selain itu, Thio taijin ingin supaya Ong lo piauwtauw suka serahkan golok pat-kwa-to itu."
Sampai disitu, tak kuat lagi Ong Hwi Yang menahan ke marahannya. Serunya dengan
gusar: "Dengan Thio Ciauw Cong aku tak punya permusuhan apa-apa, mengapa dia
begitu menghina aku sampai keliwatan sekali !"
Kian Hiong ganda tertawa, sahutnya :
"Kau sudah menikmati kemasjhuran nama selama 40 tahun, sebaiknya kini mandah
mengasoh saja. Bukankah 'sebuah gunung tak dapat didiami oleh ekor harimau"' Masa
kata-kata itu saja Ong lo-piauwtauw sampai lupa?"
"Ah, kiranya dia akan minta penyelesaian, agar dia dapat mengkangkangi kolong langit.
Hm, sekiranya aku tak meluluskan, bagaimana" Apakah dia akan tetap menyikap aku
disini" Ah, biarlah kuserahkan jiwaku saja, masa dia akan lepas dari buah ketawaan
orang-orang kangouw."


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Thio taijin seorang gagah yang berambekan perwira. Tak nanti dia mau melakukan hal
itu. Dia minta padamu nanti siang, supaya beradu ilmu pedang dibukit Pak-ko-nia. Kalau sesungguhnya Lo Ong yang lebih lihai, bisak-bisik itu biarkan begitu seperti sediakala.
Kalau tidak, maka diharap lo-piauwtauw menerima ketiga permintaannya itu," kata Kian Hiong.
"Cara itu memang yang lajak. Biarlah namaku selama 40 tahun itu kupertaruhkan
padanya." "Tapi tadi Thio taijin berpesan, kalau lo-piauwtauw menerima undangannya itu, supaya suka datang sendirian, agar jangan sampai terdengar oleh baginda. Kalau lo-piauwtauw sampai undang sahabat untuk membantunya, lebih baik per tandingan itu ditiadakan
saja." Ong Hwi Yang karuan berjingkrak seperti orang keba karan jenggot.
"Sekalipun aku seorang tua akan remuk rendam tulang belulangku, tapi aku pasti
datang seorang diri," katanya kemudian dengan gemas.
"Kalau begitu harap lo-piauwtauw mengirim sepuCuk surat balasan, biar kusampaikan
pada Thio taijin nanti," kata Kian Hiong lalu keluarkan kertas dan alata tulis.
Karena menahan amarah, bergemetaranlah tangan Ong Hwi Yang sewaktu menulis
balasan. Ringkas saja surat itu :
Dihaturkan kepada Thio taijin,
Kata-kata dan sikapmu itu, keliwat memperhina kan aku. Nanti siang kita bertemu di
Pak-ko-nia. Kalau aku sampai jatuh di tanganmu, aku rela menerima hukuman
sekehendakmu. Hormatnya, Ong Hwi Yang
Ong Hwi Yang seorang bu, maka dia kurang mahir ilmu nya bun (surat). Apalagi sedang
marah, jadi lebih kaCau susunan kata-katanya itu. Kian Hiong hanya tertawa saja, terus akan berlalu. Tapi tiba Ong Hwi Yang berseru: "Tulung tanya nama toako yang mulia
ini, nanti akupun meminta pengajaran darimu !"
Rupanya Hwi Yang umbar kemendongkolannya. Kian Hiong yang disangkanya anggauta
"gi-lim-kun" juga akan diajak nya berkelahi nanti.
"Aku yang masih hijau ini dari angkatan muda, masih kurang pengalaman. Thio taijin
sedang menanti surat ini," jawab Kian Hiong terus keluar dari ruangan itu sambil
rapatkan pintu tanpa dikunCi.
Orang-orang HONG HWA HWE Cukup mengetahui bahwa Ong Hwi Yang paling jerih jika
berhadapan dengan pembesar negeri. Jadi ia tak mau berusaha meloloskan diri, terima
mandah disekap dalam tahanan itu. Karena kalau ia mau, sebenarnya dengan mudah ia
dapat dobrak pintu tahanannya itu.
Kini diCeritakan tentang Thiat-pi-peh-Chiu Han Bun Tiong yang karena akan mengejar
penCuri kudanya, telah masuk dalam perangkap. Dan kini iapun ditahan. Pagi itu, ia
dibawa kelain, sel kecil. Tapi lain halnya dengan Ong Hwi Yang, orang she Han itu tahu kalau dirinya kini jatuh ditangan orang HONG HWA HWE
Sedang dia gelisah memikirkan nasibnya, tiba didengarnya dari kamar sebelah, ada
orang ber-kaok memaki kalang kabut. Dia melengak, karena" dikenalnya suara orang itu adalah Cong-piauwtauw Ong Hwi Yang. Cong-piauwtauw itu tengah me-maki-maki Thio
Ciauw Cong yang dikatakan sebagai orang yang keliwatan menghina lain orang.
Diam-diam Han Bun Tiong heran, mengapa Cong-piauwtauw itu bisa berada ditempat
tahanan itu, dan pula me-maki-maki pada Thio Ciauw Cong. Ingin dia akan berseru
keras untuk menegor Hwi Yang, tapi tiba masuklah orang ketempat itu, seraja berkata:
"Silahkan Han toaya keruangan besar."
Berada diruangan besar Bun Tiong nampak dibarisan kursi yang sebelah kiri duduk tiga orang. Yang duduk dikursi pertama, jalah ketua HONG HWA HWE, Tan Keh Lok. Kursi
yang ke diduduki oleh seorang yang jenggotnya putih semua. Sedang pada kursi yang
lainnya, tampak seorang yang bertubuh pendek. Orang-orang itu agaknya Bun Tiong
sudah pernah menyumpainya ketika dalam perjalanan di wilayah Kamsiok. Piauwsu itu
kemaluan. Dia tak mau menengok, keCuali anggukkan ke palanya, lalu mengambil
tempat duduk. "Han toako, kita pernah bertemu di Kamsiok, tidak nyana kalau hari ini kita dapat
berjumpa lagi disini. Haha, agaknya kita ini memang berjodoh," kata Keh Lok.
Sampai agak lama, baru Bun Tiong dapat menyawab tegoran orang, katanya: "Ja,
ketika itu, aku memang berjanyi untuk tinggalkan kalangan persilatan dan mengasing
kan diri. Tapi karena Ong Cong-piauwtauw mendesak aku supaya turut serta dalam
pengawalan barangs kali ini, ter paksalah aku tak dapat menolaknya. Pertama,
mengingat perhubungan baik dengan Ong Cong-piauwtauw. Ke, karena barangs
kawalan itu adalah barang yang berharga untuk diantarkan ketempat kediaman Kongcu.
Kiranya pasti Kongcu takkan sesalkan aku, maka............"
"Sahabat Han, kita kaum kangouw hanya menyunyung kepercayaan dan kebejikan. Kau
telah langgar janyi, bagaimana rasa hatimu sendiri?" tanya Thian Hong, siorang pendek itu tiba, dengan suara tajam.
"Aku telah jatuh kedalam tanganmu, sia-siasaja aku omong ini itu, terserah sajalah
kalau mau dibunuh atau di............" sahut Bun Tiong lesu.
"Han toako, jangan Buru-buru berkata begitu!" Keh Lok putuskan omongan orang.
"Kitapun mempunyai hubungan yang baik dengan Ong Cong-piauwtauw. Untuk
kepentingan HONG HWA HWE, beliau tak segan akan tempur Hwe-Chiu Poan-koan Thio
Ciauw Cong. Kau dan aku bukan orang lain, urusan yang lampau tak perlu kiranya diungkat lagi. Bagaimanakah hubungan Han toako dengan orang she Thio itu?"
"Ketika di Pakkhia, sudah beberapa kali kujumpainya. Tapi rupanya dia terlalu agulkan kedudukannya yang tinggi, pula merasa berkepandaian jauh melebihi kita, agaknya dia
sungkan bergaul dengan kita orang, jadi tak ada hubungan apa-apa," sahut Han Bun
Tiong. "Oh, begitu. Coba Han toako baCa surat ini," kata Keh Lok sembari serahkan surat
tantangan Ong Hwi Yang kepada Thio Ciauw Cong itu kepada Bun Tiong.
Tentang isi surat itu, sebenarnya! Bun Tiong masih agak meragukan. Ia merasa tak
nanti Ong Hwi Yang sampai ber chianat kepada Thio Ciauw Cong hanya karena akan
mem bela urusan HONG HWA HWE Tapi dengan telinganya sendiri, tadi ia dengar
bagaimana Cong-piauwtauw itu memaki habis-habisan pada Ciauw Cong. Apalagi dia
mengetahui betul kalau surat itu ditulis oleh tangan Ong Hwi Yang sendiri. Sampai
disitu, hilanglah keraguannya.
"Kalau begitu, ingin aku menyumpai Ong Cong-piauwtauw, untuk merundingkan daya
menghadapi Thio Ciauw Cong nanti," katanya kemudian.
"Tapi kini rasanya waktu sudah mendesak sekali. Aku hendak mohon bantuan Han
toako untuk antarkan surat ini kepada Thio Ciauw Cong, baru nanti Han toako menemui
Ong Cong-piauwtauw. Entah bagaimana pendapat Han toako?" tanya Tan Keh Lok,
yang walaupun kata-katanya me minta pertimbangan Bun Tiong, tapi terselip suatu
perintah pada piauwsu itu. Jadi Han Bun Tiongpun terpaksa meluluskannya.
"Capjilong, keluarlah!" tiba Keh Lok berseru memanggil.
Segera Ciok Siang Ing tampak munCul, siapa lalu diper kenalkan kepada Han Bun Tiong.
"Biarlah saudara Ciok ini, menemani Han Toako ketempat Thio Ciauw Cong. Mungkin
Han toako masih belum jelas, mengapa Ong loenghiong membalik terhadap Thio Ciauw
Cong. Soal itu kalau dituturkan, panyang juga. Nanti saja kita Ceritakan kepada Han
toako. Dihadapan Thio Ciauw Cong, tolong akuilah kalau saudara Ciok ini salah seorang piauwsu dari Tin Wan piauwkiok. Selanyutnya biar kan dia sendiri yang bicara nanti,"
kata Keh Lok pula.
Kembali Bun Tiong Curiga, hingga sampai sekean lama dia tak menyawab.
"Dalam soal apa lagi yang kiranya Han toako masih belum jelas?" tanya ketua HONG
HWA HWE itu. "Oh, tidak ada. Aku turut saja apa yang Kongcu pesan," sahut Bun Tiong dengan
tersipus. Thian Hong tahu, bahwa orang she Han itu mulai Curiga, hal mana dia kuatir bisa
terbitkan keonaran, katanya tiba: "Silahkan tunggu sebentar !"
Dia terus masuk kedalam, dan ketika keluar lagi, sudah membawa sepoCi arak dengan
sebuah Cawannya. Setelah menuangkan arak, lalu dihaturkannya kepada Bun Tiong.
"Tadi omongan siaote itu terlalu keras, maka dengan ini mohon maaf kepada Han
toako. Mari Han Toako keringkan Cawan ini, dan anggaplah urusan kita itu sudah
selesai," kata Thian Hong.
Tergopoh Bun Tiong menyawab dengan kata-kata yang me rendah. Setelah meminum
Cawan itu dia minta diri kepada ketua HONG HWA HWE itu. Tan Keh Lok balas
pernyataah orang dengan merangkap ke tangannya selaku menghaturkan terima kasih.
Tapi baru saja Bun Tiong keluar dari ruangan itu, tiba Thian Hong berteriak dengan
suara mengagetkan :
"Haja, Celaka! Han toako, aku terlalu sembrono sekali. Tadi telah keliru mengambil arak yang ditaruhi raCun !"
Semua orang juga ikut terkejut. Lebih Han Bun Tiong seketika itu tampak puCat
wajahnya, lalu balik kedalam ruangan.
"Sungguh aku berdosa. Arak itu memang ditaruhi raCun, sedianya untuk merendam
piauw. Tadi orang-orang itu telah keliru memberikan kepadaku. Baru tahu setelah
kuCium, tapi Han toako sudah menghabiskan seCawan. Wah, Celaka! Lekas ambilkan
obat pemunah raCun!" demikian kata Thian Hong dengan gugup.
"Obat itu berada dimarkas kita yang terletak disebelah timur kota", sahut seorang
Cengteng. "Tolol, lekas naik kuda kesana!" bentak Thian Hong.
"Siaote ini memang orang gelo, seharusnya menerima hu kuman. Sekarang silahkan
Han-toako antar surat itu dulu. Kalau kesemuanya berjalan lancar menurut petunyuk
dari dari sdr. Ciok, begitu kembali dan minum obat pemunah itu tentu akan sembuh",
kata pula Thian Hong kepada Bun Tiong.
Kini baru tahulah Bun Tiong, bahwa orang sengaja akan menekannya secara halus, agar
dia kerjakan sungguh-sungguh perintah itu. Kalau sampai dia tak memenuhi
pemerintaan mereka, tentu habislah sudah jiwanya. Dia awasi Thian Hong dengan sorot
mata kebenCian, tanpa berkata apa-apa terus pergi, di kuti oleh Ciok Siang Ing.
Begitu ke orang itu sudah berlalu, maka bertanyalah Ciu Tiong Ing,: "Kulihat orang she Han itu juga tidak terlalu jahat. Thian Hong, perbuatanmu kali ini, ku rasa tidak
pantas !" "Harap gi-hu jangan kuatir, arak tidak ada raCunnya apa-apa." kata Thian Hong
tertawa. "Tidak beraCun?" tegas Tiong Ing dengan melengak.
"Ja," jawab Thian Hong, lalu menuang arak itu kedalam Cawan terus diminumnya
sendiri. "Aku kuatirkan dia nanti bikin kapiran urusan itu, maka perlu digertak sedikit.
Nanti kasih lagi dia minum seCawan sebagai obat pemunah, bu kankah dia akan
menjadi baik?"
Semua orang HONG HWA HWE tertawa geli mendengar Cerita itu.
Kini kita tengok Thio Ciauw Cong, yang setelah menerima jawaban dari Tan Keh Lok
untuk mengadakan pi-bu dibukit Pak ko-nia, kegusarannya agak reda. Karena beberapa
kali dia pernah tempur ketua HONG HWA HWE itu, rasanya akan dapatlah dia
menimpahkan penasarannya. Dia jakin tentu dapat menundukkan lawannya. Waktu itu
ia sedang duduk disebelah kamar tutupan Bun Thay Lay. Tiba pintu ter buka, dan
masuklah seorang pengawal yang memberitahukan bahwa ada seorang tetamu yang
ingin bertemu padanya. Berbareng itu, pengawal tersebut. menyerahkan surat dari
tetamu itu yang ternyata bertuliskan nama dari "Wi-Tin-Ho-Siok Ong Hwi Yang".
Melihat itu, Ciauw Cong agak mendongkol, karena belum pernah menurut kelaziman,
surat kunyungan itu sampulnya ditulis nama julukan sipengunyung sendiri.
"Bilanglah pada tetamu itu, aku sedang ada urusan penting tak dapat menemuinya.
Suruh dia tinggalkan alamat, biar lain hari kudatangi", kata Ciauw Cong kepada
pengawal itu. Tapi belum berapa saat pengawal itu berlalu, dia sudah kembali lagi dan melapor.
"Tamu itu tak mau berlalu, ini suratnya".
MembaCa isi surat itu, Ciauw Cong gusar dan heran. Ia merasa tak pernah ada
ganyelan apa-apa dengan Ong Hwi Yang, mengapa akan diajak pi-bu"
"Katgkan pada Li Ciangkun, aku akan menemui tetamu, minta dia kirim orang mewakili
jaga disini", kata Ciauw Cong pada serdadu pengawal itu.
Tak lama datang 4 orang siwi, dan barulah Ciauw Cong keluar keruangan tetamu.
Dikenalnya salah seorang tamunya itu adalah Han Bun Tiong, maka di tegornya :
"Apakah Ong Cong-piauw-tauw tidak datang?"
"Thio taijin, maaf, taiar ku perkenalkan ini Ciok piauwsu dari Tin Wan piawkiok. Ong Cong-piauwtauw ada beberapa omongan yang akan disampaikan oleh Ciok piauwsu ini",
balas Bun Tiong.
Ciauw Cong lemparkan surat Hwi Yang diatas meja, serunya: "Kesohoran nama Ong
Cong-piauwtauw memang sudah lama kudengar. Tapi selama ini aku belum pernah
berhubungan dengan dia, masa aku dikatakan 'keliwat meng hina orang'. Tentu
didalamnya terselip salah faham. Harap kalian ber beri penyelasan."
Ciok Siang Ing ketawa dingin, kemudian baru menyawab: "Ong Cong-piauwtauw adalah
ketua dari kaum. persilatan. Kalau dikalangan itu munCul bangsa bebodoran, baik ada
atau tidak hubungannya, dia tentu tak mau berpeluk tangan. Kalau tidak demikian,
masakah dia berani memakai gelaran 'Wi Tin Ho Siok'?"
Thio Ciauw Cong gebrak meja karena gusarnya.
"Jadi Ong Hwi Yang sebut aku ini bebodoran dalam kalangan persilatan?" teriaknya
sengit. Ciok Siang Ing dongakkan mukanya yang penuh dengan bintik bekas luka itu, tanpa
menyawab apa-apa. Ciauw Cong makin berkobar hatinya.
"Dalam soal apa aku pernah menodai nama sahabat bulim, Coba terangkan!" bentaknya
kemudian. "Ada beberapa hal yang Ong Cong-piauwtauw inginkan penyelasan Thio taijin," Siang
Ing balas bertanya. "Per tama, kita belajar silat ini, baik dari Cabang dan golongan apa saja, pantang menghina orang yang lebih tua. Thio taijin adalah seorang ahli dari Bu Tongj Pai, tapi konon kabarnya, selain tak akur dengan suhengnya juga kemaruk
pangkat hendak menangkap dan menyerahkan suheng itu pada pemerintah. Apakah
kiranya hal itu benar?"
"Urusan kami antara suheng dan sute, orang luar tak berhak Campur tangan!" sahut
Ciauw Cong gusar.
"Yang ke, pergaulan dalam kalangan persilatan, baik golongan Pek To maupun Hek To
ataupun yang bekerja pada pemerintah, semuanya menyunyung kepercayaan dan
kebejikan. Taijin tidak berrausuhan dengan kaum HONG HWA HWE, tapi karena ingin
naik pangkat temaha harta, lalu menang kap Bun Thay Lay dan menipu putera Thiat-tan
Ciu Tiong Ing, sehingga anak itu menerima hukuman mati, apakah hal itu wajar?"
"Aku jalankan tugas sebagai pembesar negeri, peduli apa dengan kau orang dari Tin
Wan piauwkiok?" Ciauw Cong berseru murka.
"Dan taijin hanya agulkan kelihaian sendiri, sehingga tak pandang mata pada lain orang.
Coba ingats, selama ber-tahun tinggal di Pakkhia itu, taijin, pernah menolong sahabat kangouw yang mana" Kau hanya pandai menCela kai orang, dengan gunakan siasat
'kim-sian-toat-kak', kau menCelakai orang-orang piauwkiok dan Go Kok Tong, sehingga
beberapa kawan kami banyak-banyak yang menjadi korban !"
Soal Giam Se Ciang, Te Ing Bing dan lain-lain piauwsu dari Tin Wan piauwkiok yang
telah terbunuh dan soal terlukanya Chi Ceng Lun itu, diketahui juga oleh Han Bun
Tiong, maka tak dapat menahan perasaannya lagi ia ikut berkata: "Ja, dalam urusan itu Thio taijin memang bersalah, maka tak heran kalau Ong Congpiauwtauw jadi marahs."
"Lain-lain hal tak kita tanyakan, hanya bagaimanakah dengan ke tiga soal itu", tanya Siang Ing. Orang ini mempunyai ju lukan 'Kwi-kian-Chiu' atau setan ketakutan
melihatnya, dan menyabat sebagai algojo dari HONG HWA HWE Waktu itu memang
sikapnya keren sekali.
Dihujani pertanyaan seakan-akan seorang terdakwa, Ciauw Cong habis kesabarannya,
ia maju kemuka selengkah, dan membentak: "Binatang, kau sudah bosan hidup" Berani
me nepuk lalat dimulut harimau !"
Pada saat orang akan bergerak menyerang. Siang Ing Cepat-cepat berbangkit dari
tempat duduknya dan mundur selang-kah, serunya segera :
"Apa" Wi Tin Ho Siok ajak kau pi-bu, kau jeri bukan" Sebaliknya mau ajak berkelahi
aku?" " Siapa bilang aku takut! Aku terima tan tangan pi-bu di Pak-kao-nia nanti siang, jangan dipanggil laki kalau aku jeri!" sahut Ciauw Cong murka.
"Kalau kau tidak bersedia datang, selanyutnya jangan berCokol dikalangan bu-lim lagi.
Pesan Ong Cong-piauwtauw, jika kau ada keberanian, harus datang seorahg diri, karena fihak Cong-piauwtauw pun tak membawa kawan. Kalau kau kerahkan tentara negeri,
maaf, kita tak mau melajani!" kata Siang Ing.
"Ong Hwi Yang hanya mempunyai nam'a kosong, mengapa harus kujerihkan dan
membawa balabantuan?" Ciauw Cong mulai sengit.
"Ong Cong-piauwtauw orangnya sih tak pandai bicara. Pertemuan nanti hanya semataa
mengadu ketangkasan sen jata, bukan adu lidah. Maka kalau kau mau memakinya,
lebih baik me-maki-maki saja, sekarang se-puasnya," kata Siang Ing.
Ciauw Cong tidak pandai bicara. Dikili sampai habis-habisan itu, dia kesima saja tak dapat mengucap apa-apa.
"Nah, sampai sekean dulu, kita akan minta diri supaya kau dapat kesempatan untuk
berlatih dan mengatur pesan terachir seperlunya!" kata. Siang Ing pula.
Rasanya mau meledaklah dada Ciauw Cong, saking tak tahannya, seCepat-cepat kilat
tangan diajun kemuka orang. Siang Ing Coba berusaha untuk berkelit kesamping, tetapi sudah terlambat. Pundaknya kiri bagaikan dihantam dengan palu godam. Seketika itu ia terhujung sampai beberapa langkah.
Ciauw Cong sudah ketelanyur mengumbar napsu. Begitu pukulan pertama berhasil,
pukulan ke segera menyusul. Kali ini ditujukan kearah dada lawan.. Siang Ing gunakan gerakan "lan-jiok-wi" burung gereja pentang sajap, salah satu jurus dari ilmu silat Thay Kek Pai. Pukulan Ciauw Cong itu dapat ditangkis. Nampak berhadapan dengan se orang
achli lwekang, Ciauw Cong terkesiap. Saat itulah telah digunakan oleh Siang Ing untuk melesat mundur.
"Bagus, hm, kalau kau jerih bertemu dengan Ong Cong-piauwtauw, baiklah, kitapun
boleh adu kekuatan sendiri," seru Siang Ing dengan bersiap.
"Apanya yang kujerihkan" Bilanglah pada Ong Hwi Yang, nanti aku tentu datang!" sahut Ciauw Cong tak mau kalah.
Siang Ing unyuk ketawa dingin, ia memutar tubuh terus berlalu. Apa yang telah terjadi itu diketahui jelas oleh Han Bun Tiong. Tapi apa yang dipikirkan oleh orang she Han itu, hanyalah keierangan Thian Hong bahwa dirinya terminum raCun itu. TerCengkeram oleh
rasa takut itu, keringat menguCur deras membasahi tubuhnya. Dia tak sabaran
menunggu Siang Ing adu lidah tadi. Sehingga ketika diajak bicara oleh Siang Ing
tentang Ciauw Cong, dia tak mau menyawab apa-apa. Sikapnya seperti orang yang
sakit perut. Dan begitu tiba dirumah, dia terus lemparkan diri kekursi.
"Inilah obat pemunahnya, harap Han toako lekas minum," kata Thian Hong seraja
menuang arak. Ter-gegap orang she Han itu menyang gapinya, tapi tiba Tiong Ing menyawutnya terus
diminum habis. Bun Tiong terlongong-longong, tetapi Tiong Ing tertawa.
"Ini keterlaluan, Han toako, sebenarnya kau tidak minum raCun. Dia hanya ber-mainmain dengan kau. Thian Hong, Ayo lekas haturkan maaf pada Han toako!" kata Tiong
Ing kemudian. Dengan tertawa Thian Hong maju untuk menyura dan menghaturkan maaf pada Bun
Tiong, dan menyelaskan se babnya. Han Bun Tiong tampak kurang senang, tapi dia tak
mendendam apa-apa. Hal itu mengunyukkan bagaimana ke jujuran hati Ciu Tiong Ing.
Karena dia mengetahui bahwa dengan perbuatan itu, orang tentu akan dendam sakit
hati" pada Thian Hong. Kalau sang mertua tidak lekas-lekas bertindak, mungkin nanti
dibelakang hari timbul hal yang menyusahkan pada Thian Hong. Dalam pada itu Kian
Hiong disuruh menemui Ong Hwi Yang pula.
"Thio taijin menerima baik tantangan Ong locianpwe, sebaiknya locianpwe lekas pergi
sekarang juga. Tetapi Thio taijin tak inginkan lain-lain orang ikut serta. Kalau
loenghiong ada pesanan apa-apa, silahkan katakan sekarang. Agar setibanya di Pak-konia nanti terus dapat dilakukan pertempuran. Segala pembicaraan apa saja. Thio taijin tak mau gubris. Kalau sekiranya loenghiong jerih dan sesalkan suratnya tadi, supaya
sekarang juga menyatakannya agar tidak teriambat."
"Baiklah memang aku sudah bosan dengan jiwaku yang lojo ini!" seru Hwi Yang sembari
loncat bangun, terus bertindak keluar.


Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Atas isjarat Kian Hiong, seorang Cengteng segera mem-berikan senjata pat-kwa-to dan
kantong piauw pada jago tua itu. Dimuka pintu, bertemulah Ong Hwi Yang itu dengan
Han Bun Tiong. "Harap Ong Cong-piauwtauw berlaku hati-hati," kata Bun Tiong.
"Kaupun tahu perkaranya?" tanya Hwi Yang. "Akulah yang ikut menemui Thio taijin,"
sahut Bun Tiong dengan anggukkan kepala. "Dia katakan aku apa?"
"Jangan percaya dengan keteranganku ini," kata Bun Tiong.
"Tak apa, kau katakanlah."
"Dia maki kau situa gila, yang tak punya gawe apa-apa!"
"Hm! Apa benar tak punya gawe, biarlah nanti boleh dia Cobas. Kalau sampai terjadi
apas dengan diriku, Han laote,
"Ah, aku percaya akan kepandaian Ong Cong-piauwtauw, tentu orang she Thio itu
takkan dapat berbuat apa-apa padamu. Kupujikan keselamatan untuk Ong Congpiauwtauw."
Ong Hwi Yang terus ajak Cengteng penunyuk jalan untuk berangkat ke bukit Pak-konia. Pada bukit itu, ter dapat sebuah lapangan datar yang dikelilingi oleh puhun yang besar. Ketika sampai dipunCak bukit, ada seorang yang bertubuh kekar dan berpakaian
ringkas menghampirinya dan menegor: "Adakah kau ini Ong Hwi Yang?"
Ditegur begitu, Hwi Yang gusar. Tapi dia itu seorang yang sudah berusia hampir tujuh0
tahun, jadi darah panasnya pun berkurang. Apalagi dia tahu bahwa Ciauw Cong adalah
seorang pembesar negeri, sedikitnya orang harus taruh perindahan. Maka sahutnya :
"Benar, memang aku yang rendah ini adalah Ong Hwi Yang. Apakah kau ini Hwe-Chiu
Poan-koan Thio taijin?"
"Ja, dan kita akan adu dengan tangan kosong atau pakai senjata?" jawab orang itu.
Mendengar jawaban orang yang tegas dan dingin itu, diam-diam Ong Hwi Yang heran,
sedangnya dia tak mempunyai permusuhan hebat .dejigan orang itu, mengapa orang
begitu menghinanya sekali, sedikitpun tak berlaku sungkan. Tapi sebaliknya dia berpikir untuk jangan menimbulkan permusuhan yang mendalam, lebih baik Cobas dengan
tangan kosong saja, agar orang she Thio itu sadar kalau dia bukan situa yang tak punya gawe.
"Aku siorang tua ini, hendak, mohon pengajaran Thio taijin punya ilmu silat Bu-kek
Hian-kang-kun yang kesohor itu," katanya lalu.
"Baik," sahut Ciauw Cong dengan rangkapkan ke tangan.
Meskipun adat Ciauw Cong itu keliwat tinggi, tapi dia seorang achli lwekang dari Bu
Tong Pai yang memiliki pe lajaran ilmu silat berdasarkan ketenangan. Jadi waktu itu
mengambil sikap menunggu serangan orang. Ong Hwi Yang insyap bahwa orang tak
mau mendahului menyerang, maka serunya: "Maaf!"
Mulut mengucap, tangan kiri mendahului mengibas keluar dan dengan gerakan "yugong-tam-jiau" atau melayang di udara sambil mengulur Cakar, tangan kanannya
menebas pundak kanan Ciauw Cong. Menyusul tangan kirinya tadi dibalikkan keatas
dengan gerakan "beng-hou-hok-Ceng" atau macan buas menerkam mangsa, ia hantam
pundak kanan lawan. Tapi itu masih belum habis, karena tangannya kanan tadi
sekonyong-konyong berubah gerakan untuk menyotos kedada. Jadi sekaligus orang tua
itu sudah menyerang dengan tiga gerakan susul menyusul dengan sebat sekali.
Untuk memunahkannya, Ciauw Cong terpaksa mundur sampai tiga tindak. Ia gunakai
pokoka ketenangan dari ilmu silat Bu Kek Hian Kang untuk menolaknya. Tampak pada
saat itu, ke jago itu se-olah berubah menjadi sebuah bayangan saja. Dalam hati
masing-masing, tidak lepas perasaan saling mengagumi.
Pikir Ciauw Cong: "Tiga jurus gerakannya tadi luar biasa sebat dan berbahajanya. Dia ternyata bukan sembarang jago."
Sebaliknya Ong Hwi Yangpun berkata dalam hatinya sen diri: "Dia dapat menolak ketiga seranganku tadi dengan tenang dan tepat. Kiranya kesohoran HweChiu Poan Koan itu
memang bukan omong kosong."
Kini mereka tak berani memandang rendah lawannya. Mereka berkelahi dengan
sungguh-sungguh. Dalam lain perputaran, Ciauw Cong tampak bungkukkan tubuh, maju
selangkah terus menyapu kakinya kiri. Sembari loncat keatas, sepasang tinyu Hwi Yang menyotos muka lawannya.
Petualang Asmara 25 Pendekar Riang Karya Khu Lung Angrek Tengah Malam 2

Cari Blog Ini