Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Bagian 13
menyiram kuah, dia tusuk tenggo roka,: jago Thian San itu.
Yakin sudah Ceng Tik, bahwa babatannya tadi tentu akan dapat menabas putus lengan
lawannya. Dan andaikata musuh akan Coba menangkis, diapun sudah sedia langkah lagi
untuk menyusuli lain serangan. Tapi dengan terkejut, dia dapatkan babatannya tadi
kosong, karena musuh tak berlengan.
"Ah, tolol benar aku ini. Terang dia hanya punya satu lengan, mengapa kuserang Cara
begitu tadi"!" demikian pikirnya.
Tapi dia tak mempunyai waktu untuk merenungkan per-buatannya tadi, karena tahua
ujung pedang Bu Tim sudah menganCam tenggorokannya. Untuk menghindar, terang
sudah tak keburu. Dalam keadaan terancam itu, dia berlaku nekad. Sejalan dengan,
gerakan orang, diapun julurkan pe dangnya untuk membabat. Jadi Dua- 2nya tentu
berbareng terluka.
Melihat anCaman itu, Bu Tim bergerak kekanan. Begitu pedangnya ditarik, segera
ditangkiskan pedang musuh. "Trang." Begitu nyaring ke 2 pedang itu beradu,
berkumandang sampai lama sekali.
Kedudukan Bu Tim ketika itu sebelah lututnya ditekuk ke tanah, sembari menahan
pedang lawannya. Siapa yang ken dor, ujung pedang lawan tentu akan membabat
tubuh. Semua orang sama berseru kaget. Ke 2nya gunakan lwekang untuk mendesak lawan.
Selagi batang pedang sama tertahan, lama-lama saling masuk kedalam senjata masingmasing. Melihat keadaan itu, Tan Keh Lok tak mau berajal. Meminta pian dari Seng
Hiap, ketua Hong Hwa Hwe itu terus siap akan ma ju melerai. Tapi baru saja kakinya
maju selangkah, terdengarlah suara seorang tertawa ber-gelak 2: "Ilmu pedang yang
bagus!" Berbareng suara itu, sesosok bayangan berkelebat turun disusul dengan
gemerinCingnya suara senjata beradu. Pedang Bu Tim dan pedang Ceng Tik, 2anya
telah rompang kutung. Dan ke 2 jago silat itupun sama lompat mundur. Mereka
dapatkan seorang tegak berdiri di-tengah-tengah gelanggang sambil tertawa nyaring.
Sedang pokiam yang dipegang nya, tampak ber-kilau 2an menyilaukan mata.
Ketika Bu Tim mengetahui bahwa orang itu adalah Bian-li-Ciam Liok Hwi Hing, diapun
diam. Sebaliknya Tan Ceng Tik dengan masih memegangi separoh batang pedangnya,
matanya menjadi merah. Begitu ajun kakinya dia akan menyerang orang itu.
"Thut-heng, thut-heng, apakah kau tak kenal dengan Siaote lagi?" kata Hwi Hing
dengan tertawa.
Ceng Tik melengak, memandang tajam 2, kepada Hwi Hing, tibas dia berseru dengan
kaget: "Aha, kaulah Bian-li-Ciam!"
"Itulah siaote," sahut Hwi Hing.
"Mengapa kau disini?" tanya Ceng Tik.
Hwi Hing tak menyahut, pedangnya disarungkan, lalu memutar tubuhnya untuk menjura
pada Kwan Bing Bwe, katanya: "Toasoh, sepuluh th. kita tak berjumpa, rupanya ke
pandaianmu makin hebat!"
Kwan Bing Bwe Buru-buru balas menjura.
Kiranya sewaktu tadi Hwi Hing menjaga diloteng ke 11, dia ketahui akan datangnya ke 2
suami isteri Thian-san Siang Eng itu. Bentuk tubuh ke 2 jago Thian-san itu memang
istimewa, jadi sekalipun sudah sekean lama tak bertemu, masih juga Hwi Hing dapat
mengenalinya dengan lantas. Bahwa sepasang Garuda dari Thian-san itu adalah orangs
gagah yang mengutamakan keluhuran budi dan tak nanti sudi menjadi budak
pemerintah Ceng, yakinlah sudah Hwi Hing. Tapi mereka datang menyerang pagoda itu
untuk menCari baginda, itulah yang membuat Hwi Hing tak habis mengerti.
Karena sangsi, maka Hwi Hing tak mau jumpai mereka dan sembunyikan diri. Karena
itulah maka loteng kesebelas tadi kosong. Bagaimana Kwan Bing Bwee akan membunuh
Kian Liong dan salah paham dengan ketua Hong Hwa Hwe yang ber akhir pun diketahui
oleh jago Bu Tong Pai itu. Ketika rombongan orang banyak sekali menuju keloteng ke
1tiga , Hwi Hing sembunyi di penglari. Dan dengan andalkan ilmunya meng entengi
tubuh yang tinggi, dia merajap keloteng ke 1tiga .
Bagaimana ke 2 jago silat itu menguji kepandaiannya, tidaklah sampai membuat Hwi
Hing terkejut andaikata mereka tidak sampai saling labrak dengan adu lwekang itu.
Diketahuinya bahwa kalau sampai berlangsung lama, tentu ada salah seorang yang
akan menderita, maka sekali enjot tubuhnya dia melayang turun dan membabat ke 2
senjata dari Bu Tim dan Tan Ceng Tik. Dengan demikian bujarlah pertentangan yang
merugikan itu. "Hm, Liok-iaote, pedangmu betuis sebuah pokiam yang jarang terdapat ke 2nya," kata
Ceng Tik. Tahulah Hwi Hing bahwa Ceng Tik itu sekalipun usianya sudah tua, tapi adatnya masih
panas. Katanya seraya tertawa: "Ini kepunyaan lain orang, untuk sementara dititipkan padaku."
Memang pedang itu, adalah kepunyaan Thio Ciauw Cong. Seperti kita ketahui, dalam
pertempuran silat dibukit Pat Ko Nia, 'leng-bik-kiam' Ciauw Cong itu telah kena
diserobot oleh Lou Ping, kemudian diserahkan kepada Tan Keh Lok. Ketua Hong Hwa
Hwe itu ternyata seorang muda yang berpikiran luas. Dia tahu bahwa pokiam itu adalah pedang mustika dari Cabang Bu Tong Pai turun temurun. Karenanya, dia serahkan
kembali pedang itu pada Hwi Hing.
"Beruntung pedang ini bagus, kalau tidak, 2 orang yang berkepandaian begitu tinggi
seperti kalian, kalau saling ber-tempur siapakah yang dapat memisahkannya?" kata pula Hwi Hing.
Ucapan itu telah membuat Bu Tim dan Ceng Tik men jadi sabar.
"Kalau tidak bertempur tentu tidak saling kenal. Biarlah aku mengenalkan kalian ber 2,"
kata Hwi Hing lebih jauh. Dan habis itu dia mulai perkenalkan sepasang suami isteri
gagah itu pada semua orang-orang Hong Hwa Hwe
"Aku tahu bahwa kalian ber 2 menetap dikaki gunung Thian-san untuk menikmati haris
tua, tetapi mengapa tahu-tahu datang ke Kang Lam untuk membunuh baginda?" tanya
Hwi Hing. "Bukankah kalian sudah kenal dengan muridku Hwee Ceng Tong. Sebab dia, maka
sampai timbul urusan ini. Pemerintah Ceng telah mengirim pasukan untuk memukul
daerah Hwe. Ayahnya Ceng Tong, Bok To Lun melawannya.
Tapi karena kalah jumlah, maka beberapa kali dia harus menderita kekalahan.
Kemudian ransum tentara Ceng telah dibakar orang ditepi sungai Hoangho."
Baru saja Kwan Bing Bwe bicara sampai disitu, Hwi Hing Buru-buru menyelak: "Itulah
pekerjaan Enghiong 2 dari Hong Hwa Hwe yang dilakukan untuk membantu perjoangan
Bok To Lun loenghiong."
"Ah, didaerah Hwe, akupun sudah mendengar hal itu," sahut Bing Bwe. Memandang
kepada Tan Keh Lok, ia berkata pula: "Ah, makanya ia berikan badi 2 itu padamu."
"Sebelum terjadi peristiwa itu, kita telah bertemu dengan Bok To Lun loenghiong yang hendak merampas kembali kitab Qurannya. Disitulah kita beruntung dapat membantu
sedikit akan kerepotan Bok loenghiong itu," jawab Keh Lok.
"Ya, tanpa ransum, tentara Ceng itu terpaksa mundur. Dan menggunakan kesempatan
itu Bok To Lun menyorong kan perdamaian dengan menghaturkan 2 buah vaas giok.
Tetapi kurangajar betul mereka, setelah mendapat ransum, Tiau Hui kembali lakukan
penyerangan," kata Bing Bwe.
"Memang pembesar pemerintah Ceng- itu tidak boleh di percaya," kata Hwi Hing.
"Karena Bok-loenghiong tak dapat bertahan, rakyat Hwe ditindas sewenang 2 oleh
tentara Ceng. Sampai disitu, mereka minta bantuan pada kita. Sebenarnya kita ber 2 tak mau repoti urusan begitu," ujar Bing Bwe.
"Hm, gara 2mulah! Tapi sekarang kau Coba membersihkan diri," tiba-tiba Ceng Tik
memutus pembicaraan isterinya.
"Huh, mengapa aku saja kau Cela" Kalau melihat tentara Ceng membakari dan
menindas rakyat Hwe, tegakah kau melihatnya saja?" balas isterinya.
Ceng Tik keluarkan suara dari hidung dan akan menya wabnya lagi. Tapi Hwi Hing
segera menyelak sama tengah, katanya dengan tertawa: "Kalian ini suami isteri sudah
kolo tan, mengapa sih masih sering 2 suka setori. Apakah tidak malu kepada orangorang muda itu" Toasoh, jangan perdulikan Toako, kau teruskanlah keteranganmu
tadi." Setelah melerok pada suaminya, berkatalah Bing Bwe: "Setelah berunding, sebenarnya
kita akan bunuh jenderal mereka, Tiau Hui. Tapi kita pikir lebih lanjut, kalau Ceng-se-tay-Ciangkun itu dilenyapkan, raja masih bisa mengirim lagi gantinya. Jadi terus
menerus membunuh pun tak berguna, lebih baik kita basmi akarnya, bunuh raja Boan
itu. Begitulah selama tinggalkan daerah Hwe, disepanjang ja lan kita dapat keterangan
bahwa baginda berada di Kang Lain. Dengan membawa Anjing 2 itu, kita berhasil
menemukan jejak baginda di HangCiu. Kiranya kamu orang-orang Hong Hwa Hwe
membawa baginda dari jalan dibawah tanah itu, sehingga kita montang-manting
menCarinya."
"Apa" Hongte ditawan mereka?" seru Ceng Tik dengan heran.
Hwi Hing tuturkan apa yang telah terjadi dengan pen Culikan baginda itu.
"Rencana itu memang bagus, tapi kurang tegas. Mengapa hanya membikin lapar beliau
saja" Tabas saja batang lehernya kan lebih bagus!" kata Ceng Tik.
"Urusan negara masa Cukup dengan tabasan sebilah pedang saja sudah selesai!" sela
Bu Tim dengan suara dingin.
"Totiang, kaupunya ilmu pedang memang lihai sekali. Tadi kita belum ada
kesudahannya. Kalau totiang suka, bagaimana kita lanjutkan ber-main-main lagi?" kata Ceng Tik dengan gusar.
"Setua kau ini, agaknya masih kalah luas pandangannya dengan muridmu Hwe Ceng
Tong, sigadis itu. Kita kan orang sendiri, mengapa mesti bertempur lagi?" sahut Bu Tim.
"Tuh, lihat! Kau memang seorang tua tolol, tapi kau selalu tak mau kukatakan begitu.
Coba sekarang lain orang pun mengatakan kau begitu!" kata Bing Bwe dengan tertawa.
Sampai disitu rupanya ke 2 suami isteri itu mulai akan berCeCok lagi.
"Biarlah, anggap saja aku piCik," sahut Ceng Tik. Habis itu, dia berpaling kearah Bu Tim, katanya: "Bukan bertempur mati-matian, tak ada halangan kiranya kalau kita uji
permainan pedang kita bukan" Ilmu pedangmu tadi hebat, ingin aku meminta
pengajaran, apakah itu keliwatan?"
Takut kalau ke 2nya akan bertempur lagi dengan akibat meretakkan persahabatan,
Buru-buru Hwi Hing Campur mulut: "Toako, ilmu pedangmu disebut 'Sam-hun-kiam!
Sedang ilmu pedang Totiang dinamakan 'Cui-hun-toh-beng-kiam', ke 2nya adalah ilmu
Ciptaan kalian sendiri."
"Ah, belum pasti benar-benar dapat mengejar roh orang dan merampas jiwanya," kata
Ceng Tik. Sebenarnya karena memandang muka Hwi Hing, maulah Bu Tim mengalah. Tapi
ternyata Ceng Tik orang tua itu, masih suka unggul. Kata-katanya itu terang merupakan sindiran, maka panaslah hati Bu Tim. Sahutnya: "Baiklah kalau begitu, kita main-main lagi. Kalau kalah, aku takkan menyamah pedang lagi seumur hidupku."
Mendengar itu, tahulah orang-orang Hong Hwa Hwe bahwa Bu Tim marah benara.
Mereka Coba akan melerainya.
"Sewaktu kami berangkat dari daerah Hwe, kami pernah bersumpah, bahwa kalau tidak
sampai berhasil membunuh Hongte, kami takkan kembali kesana. Kalau kamu sekalian
tak mengijinkan kami membunuhnya, sepantasnya harus un juk sedikit kepandaiann
sehigga kami puas betul-betul. Tadi to tiang suka memberi pengajaran, rasanya; tak
ada lain hal yang melebihi itu bagusnya. Kalau kalah, aku rela pulang dan batalkan
rencana pembunuhan tadi," kata Ceng Tik.
Berbareng dengan kata-katanya, tahu-tahu dia sudah merampas pedang isterinya. Tapi
Tan Keh Lok tampil selangkah dan menjura dengan hormat sekali, katanya :
"Sekalipun ilmu pedang dari Bu Tim totiang hebat sekali, tapi dalam hal kemahiran
masih kurang dari Locianpwe. Kita sama-sama sedang' mempunyai tujuan, mengapa
harus saling tempur?"
Sengaja Tan Keh Lok berkata begitu, maksudnya akan meredakan suasana. Tapi
sebaliknya Tan Ceng Tik orang tua itu paling benci dengan segala kata-kata merendah
yang kosong, katanya dengan temberang:
"Tan Congthocu tak usah sungkan 2. Suhumu adalah orang luar biasa. Tak mau
Capekan tangan untuk memberi penga-jaran padaku yang tak punya guna ini. Maka
lebih baik kuminta pengajaran darimu saja. Akan kuminta pengajaran dari Totiang dulu, baru nanti kepadamu. Bagaimana kalua kau tolong seorang tua seperti aku ini?"
Semua orang sama menganggap bahwa orang tua itu sukar didekati orang. Mungkin dia
punya ganyelan apa-apa terhadap Thian-ti Koayhiap Wan Su Siau, sehingga bagitu
menden damnya. Dan dendaman itu ditumpahkan kepada muridnya, Tan Keh Lok.
Namun Keh Lok nampaknya berlaku sabar sekali.
"Aku bukan tandingan dari Locianpwe. Suhu sering me ngalem pada Thian San Siang
Eng. Dia begitu mengagumi sekali," katanya merendah.
Mendengar itu, Ceng Tik menuding pada isterinya dan berkata dengan gusar: "Aha,
mungkin mengaguminya, bukan aku."
"Dihadapan sekian banyak sekali orang kau masih mau Cari per-kara?" Kwan Bing Bwe
berseru separoh menjerit.
Sepasang suami isteri itu saling mengunjuk muka Cem berut.
"Thut-heng, bukankah kalian adalah suami isteri yang hampir berusia enam0 tahun"
Urusan itu kan sudah ber-larut 2 dipertengkarkan sampai berpuluh tahun?" Liok Hwi
Hing kembali menyelak.
Wajah Tan Ceng Tik tampak berobah. Sepasang alisnya tampak menyungkat keatas.
Sekali enjot kakinya, tiba-tiba dia melesat keluar dari jendela. Serunya: "Ajo, imam kecil, kalau takut keluar bukan seorang gagah!"
Orang-orang Hong Hwa Hwe bukan main mendongkolnya. Terang ban wa garuda
jantan dari Thian San keliwat tak memandang muka orang.
"Sayang Bun-suko tak berada disini. Kalau ada, tentu dia sanggup melayani orang itu,"
kata Thian Hong.
Kata-kata Thian Hong itu sengaja untuk membikin panas Bu Tim, siapapun menjadi
merah telinganya.
"Sam-te, kasih sebilah pedang padaku," kata Bu Tim.
Tio Pan San melambung dari tingkat bawah, lalu meng-angsurkan pedangnya seraya
berbisik: "Totiang, harap me-mandang muka Bok To Lun dan nona Hwe Ceng Tong."
Bu Tim anggukkan kepalanya, ia samber pedang terus loncat keluar.
Begitu nampak ada orang berada diujung atas pagoda, tentara Ceng segera
menyamoutnya dengan hujan anak panah.
"Kita bertanding disebelah bawah sana, di-tengah-tengah hujan anak nanah itu,
bagaimana kau rasa?" tanya Bu Tim. Ini suatu tantangan yang hebat. Dan Ceng Tik tak
mau unyuk kelemahan. "Baik!" sahutnya.
Sekali dia tendangkah sepasang,, kakinya, dengan kepala dibawah dan kaki diatas dia
melayang turun kebawah, dari atas Lingkat ke-1tiga melorot turun ketingkat keenam.
Sekali tangannya kiri menyamah atap tingkat keenam, tubuhnya segera menCelat diatas
wuwungan tingat ke-5, dimana dia sudah berdiri jejak lagi.
Riuh rendah tepuk sorak orang-orang Hong Hwa Hwe melihat pertun jukan yang
mengagumkan itu. Sebaliknya, tentara Ceng disebelah bawah makin seru melepaskan
panahnya. Dengan pedangnya, Ceng Tik menyapu bersih semua panah itu, sembari
menantikan kedatangan Bu Tim.
Tampak pada saat itu, Bu Tim rangkapkan ke 2 kakinya, sedang tangannya yang tinggal
satu itu dilekatkan pada pa hanya. Bagaikan sebuah tonggak kayu, tubuh Bu Tim lurus
melayang kebawah.
Tentara Ceng sama gempar dengan teriakannya dan menyingkir. Sampai ditingkat ke
enam, tampaknya tubuh Bu Tim masih terus melayang . Tampaknya akan melorot
ketingkat bawah. Tiba-tiba tangannya itu dijulurkan kemuka sehingga pedangnya menempel
diwuwungan tingkat ke 5. Sekali tangan ditekankan, pedangnya tadi melengkung
seperti ditekuk. Dan begitu tangan dikendorkan, pedang itu membal serta tubuhnyapun
berdiri tegak diatas wuwungan kelima itu. Itulah suatu ilmu entengi tubuh yang
sempurna sekali.
Melihat orang perlihatkan kepandaiannya yang luar biasa itu, Tan Ceng Tik tak berani berlaku ajal. Setelah lawan sudah berdiri tegak, diapun segera berseru: "Awas
serangan!"
Pedang berkelebat, pundak kiri Bu Tim terancam. Tentara Ceng mengira bahwa,
diantara ke 2 orang yang sedang bertempur itu, tentulah orangnya sendiri. Takut akan men Celakakan kawannya, mereka sama hentikan serangan anak panah.
"Mari kita masing-masing lemparkan sebatang anak panah, untuk membikin mereka
menghujani panah lagi!" ajak Bu Tim.
"Bagus!" sahut Ceng Tik.
Dari atas wuwungan, ke 2nya memungut sebatang anak panah, mereka ber 2 berhasil
melukakan 2 orang tentara Ceng.
Teriakan tentara Ceng kembali terdengar dengan gem parnya. Menyusul dengan itu,
hujan anak panah kembali menggencar dengan hebatnya.
Tingkat ke-5 itu tak berapa tingginya, jadi dekat dari tanah. Bu Tim dan Tan Ceng Tik sambil saling labrak sambil menghindar dari serangan anak panah, dan ada kalanya
menyampok panah 2 itu. Dapat dibayang kan bagaimana hebatnya Cara bertanding
semacam itu. Rombongan orang HONG HWA HWE turun keruangan tingkat ke enam
untuk menyaksikan pertandingan yang belum pernah dilihatnya seumur hidup itu.
Kwan Bing Bwe diam-diam kuatir. Tosu itu luar biasa ilmu nya bermain pedang. Sedang
suaminya sudah lanjut usianya. Mata dan pendengarannya sudah jauh berkurang. Kalau
bertempur ditempat datar, pasti tak mengapa. Tapi mereka bertempur diatas
wuwungan pagoda, apalagi diantara hujan anak panah yang lebat. Sungguh berbahaya
sekali. Diam-diam wanita gagah itu siapkan tiga biji 'thi-lian-Cu' dita ngannya, dan menanti didekat jendela.
Karena teriakan tentara Ceng yang gegap gempita, persaudaran Siang yang menjaga
baginda Kian Liong diting kat ke 2belas itu, tak tahan lagi untuk tidak melongok
kebawah dari jendela. Sebelum itu, masing-masing memegang sebelah tangan baginda,
untuk mencegah jangan sampai melarikan diri.
Ketika itu perasaan baginda diliputi oleh keCemasan. Benar pasukan Ceng sudah datang dan ber-sorak 2 dibawah. Tapi jika orang-orang HONG HWA HWE itu sampai kalah,
bukankah ada kemungkinan, karena malu mereka menjadi marah dan membunuh
dirinya. Hampir seratus jurus, rupanya masih belum ada kalah atau menang antara Bu Tim
lawan Tan Ceng Tik.
"Pertarungan kalian hanya menguntungkan fihak musuh sa saja. Lebih baik
berhentilah!" Tan Keh Lok berseru keras-keras.
Tapi ke 2 jago itu sudah terlanyur bertempur dengan gigih sekali. Jadi tak dapat ditahan rasanya.
"Ilmu pedang tojin ini lihai sungguh. Rasanya sukar ku tundukkan," diam-diam Ceng Tik berpikir.
Namun dia wataknya suka menang. Diam-diam dia geser kedudukan dan sengaja
menghadap kesebelan timur, sedang punggungnya membelakangi tentara Ceng yang
berada di sebelah bawah. Suatu kedudukan yang tak menguntungkan bagi dirinya.
Karena dia menghadapi sinar matahari, maka lebih banyak sekali ia menjadi sasaran
hujan panah. Mengapa dia berbuat begitu, apa maksudnya"
Tak lain jalah kalau dalam kedudukan buruk itu, dia masih terus dapat bertempur seri, artinya dia lebih unggul. Tapi hal itu diketahui juga oleh Bu Tim.
Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau Cari gebuk sendiri, jangan salahkan aku tak kenal kasihan," katanya diam-diam.
Dengan macam 2 Cara menyerang dalam ilmu pedang Cip taannya "Tui-hun-toh-bengkiam," Bu Tim merabu kearah muka dan tenggorokan orang. Ujung pedang ber-kilat 2
tertimpah sinar surja, membuat mata berkunang-kunang.
Baru tiga gebrak menyambuti, Ceng Tik sudah mengeluh Celaka. Tiba-tiba dari arah
belakang terdengar suara menderu-deru . Enam tujuh batang anak panah menyambar
datang. Buru-buru
Ceng Tik menurunkan tubuh dan tundukkan kepalanya. Sambil dengan gerakan "pingsah-lok-gan," burung belibis jatuh dipadang pasir, dia tusuk lengan Bu Tim. Dan karena Ceng Tik mendek, panah itu langsung menyamber pada tojin itu juga.
Bu Tim sampok panah itu sembari kasih kerja kakinya untuk menendang jalan darah
"thay-yang-hiat" dipelipis lawannya.
Sungguh sedikitpun jago Thian San itu tak menyang ka, kalau ilmu tendangan Bu Tim
sedemikian lihainya. Dengan terkejut, dia sedot ambekan, lalu mundur selangkah. Tapi tepat pada saat itu, sebatang anak panah melayang dengan santernya, tepat mengarah
punggungnya. Ditilik dari gerak panah itu, tentulah dilepas oleh seorang jago lihai dalam kalangan si-wi. Datangnya luar biasa Cepat-cepat nya.
Dengan mundur selangkah tadi, Ceng Tik tepat mema pakkan anak panah itu. Tanpa
terCegah menjeritlab Kwan Bing Bwe: "Celaka!"
Akan ditimpuknya dengan 'thi-lian-Cu', terang tak keburu. Juga orang-orang gagah
lainnya sama berteriak kaget. Dalam saat berbahaya itu, tiba-tiba Bu Tim unyukkan
permainan yang lihai, dengan gerakan "lempar garpu kemuka kuda", po kiamnya
dipakai untuk menimpuk. Pookiam dan panah maut itu berbareng sama jatuh kebawah
pagoda. Ber-angsur 2 terdengar helaan napas lega dari sekalian orang gagah. Tapi baru saja
mereka hendak sama bersorak memuji, tiba-tiba kembali ada serumpun anak panah me
nyambar dari bawah. Karena sudah tak memegang pedang, Bu Tim tak dapat
menyampok dan hanya berkelit menghin darinya saja.
Kwan Bing Bwe timpukkan thi-lian-Cunya dan berhasil membikin jatuh tiga batang
panah. Dalam pada itu, Ceng Tik pun memutar pedangnya untuk melindungi Bu Tim.
Kini pertandingan menjadi aneh. Dua orang musuh yang bermula saling mengadu jiwa,
pada saat itu berbalik saling tolong menolong. Tentara Ceng dibawah sana sama heran
tak habis-habisnya melihat kejadian itu.
Bahwa dirinya pernah dijatuhkan oleh Bu Tim dalam pertandingan dihadapan baginda
ketika pesiar di Se-ouw tempo hari, tak pernah dilupakan oleh Pek Cin. Maka sewaktu
nampak musuhnya itu tak bersenjata lagi, si-wi itu terus saja perintah melepaskan anak panah. Akibatnya, Bu Tim ripuh sekali untuk menghindari kesana sini.
"Yangan kuatir aku yang menghadangnya!" seru Tan Ceng Tik.
Dan pedang terus akan diputarnya. Sekonyong-konyong dari jen dela tingkat enam,
melesat keluar seorang kedepannya. Belum kakinya berdiri jejak, tahu-tahu orang itu
sudah dapat me nyang gapi belasan batang anak panah. Dengan tak kurang
tangkasnya, orang itu terus menimpukkan kembali kepada penyerangnya. Begitu gapah
dan tangkas dia. Secepat-cepat ada panah melayang datang terus disanggapinya dan
secepat-cepat itu pula terus diretour kembali. Satu orangnya, namun se-olah 2
mempunyai berpuluh tangan. Sehingga tentara Ceng berhenti memanah dengan
mendadak, saking kesimanya.
"Itulah, rasakan kalau Jian-pi-ji-lay sudah kerangsokan setan", seru Seng Hiap.
Jian-pi-ji-lay Tio Pan San hanya bersenyum saja. Karena tentara Ceng sudah berhenti
menghujani panah, dia lalu ajak Bu Tim dan Ceng Tik naik keatas. Kedatangan mereka,
disambut dengan seruan kagum dari sekalian orang gagah.
Sampai detik itu barulah sepasang suami isteri dari Thian San itu mau tunduk. Bukan
saja karena kepandaian "uar biasa dari Tio Pan San, pun karena keperwiraan Bu Tim
untuk menolong Ceng Tik tadi. Selagi orang-orang gagah itu saling mengagumi satu
dengan lain, dibawah sana tentara Ceng kembali ber-sorak 2 riuh gemuruh.
"Baik kuminta baginda mengatasi mereka", kata Thian Hong, terus naik keloteng atas.
Berselang tak berapa lama, Kian Liong tampak longokkan diri kejendela loteng ke-tujuh.
"Aku berada disini!" serunya.
Cepat-cepat sekali mata Pek Cin yang tajam itu mengenalnya, serunya: "Baginda ada
diatas pagoda !"
Kata-kata itu berpengaruh sekali. Perwira 2 dan seluruh anak buah tentara Ceng Buruburu berlutut seraya serentak berseru : "Banswe !"
"Budak 2 yang tak punya muka," Tan Ceng Tik mendamprat.
"Aku sedang punya urusan disini, jangan ribut", seru Kian Liong.
"Lekas kalian mundur agak jauh kesana," titahnya pula.
Lie Khik Sioe perintahkan pasukannya mundur sampai tiga puluhan tindak.
"Hiet-ko yang perintah baginda, dan baginda yang perintahkan mereka. Hebat! Lebih
bermanfaat daripada kita menyerbu kebawah. Hongte adalah orang yang diberkahi
Al ah. Daripada dibunuh lebih tepat digunakan," ujar Keh Lok tertawa.
Orang-orang HONG HWA HWE pun sama ketawa mendengar ucapan pemimpin mereka
itu. Melihat tentara Ceng mundur Jun Hwa tampak diantara barisan mereka itu, ada
beberapa orang pemburu dengan Anjing 2 mereka.
"Tadi aku tak mengerti, mengapa mereka dapat menemukan tempat persembunyian
baginda disini, kiranya Anjing 2 itulah yang menunyukkan," ujarnya.
Habis berkata begitu, Jun Hwa mengambil busur dan anak panah dari seorang
thauwbak, terus melepaskan 2 batang anak panah kebawah. Lolong yang panjang
segera terdengar. Dua ekor Anjing pemburu itu, segera numprah tak berjiwa ditanah.
Makin gemparlah sorak-sorai dari bawah. Tentara Ceng itu perCepat-cepat langkahnya
untuk mundur. "Liok dan Ciu Locianpwe ber 2, harap temani Tan lo Cianpwe sebentar. Aku akan
menuju kesebelah atas untuk melanjutkan pembicaraan dengan baginda," kata Keh Lok.
Ketika ketua mereka menuju keatas, orang-orang HONG HWA HWE sama tegak
mengantarkan. Juga Hwi Hing dan Tiong Ing memberi hormat. Nampak hal itu, Tan
Ceng1 Tik dan isterinya merasa heran. Ketua HONG HWA HWE itu masih muda dan
Cakap, tingkah lakunya lemah lembut. Tapi mengapa orang-orang HONG HWA HWE itu
begitu menghormat sekali.
Sampai diloteng ke-tujuh, barulah ke 2 saudara Siang dan Thian Hong minta diri.
Baginda duduk tepekur diam.
"Orang-orang mu itu hanya temaha jasa dan kedudukan, bangsa
'kantong nasi dan poCi arak". Kalau kau andalkan mereka untuk mendirikan pekerjaan
besar, dikuatirkan akan gagal," kata Keh Lok dengan tertawa.
"Akupun tahu karena aku telah berada ditanganmu, maka mereka tak berani turun
tangan," sahut Kian Liong.
"Benarkah itu?" Keh Lok tetap tertawa. Habis itu dia menepuk tangan, dan muncul ah
Sim Hi. "Undanglah Tan Ceng Tik loenghiong dan Bu Tim totiang kemari!" perintah Keh Lok.
Tak lama ke 2 jago lihai itu nampak masuk keruangan itu, disambut Tan Keh Lok
dengan kata-katanya: "Baginda mengatakan bahwa pahlawan dan anak buah
tentaranya sangat kuat sekali. Bagaimana ji-wi Cianpwe rasa?"
Bu Tim dan Ceng Tik berbareng mendongak keatas dan tertawa keras. Baginda
melengak dengan keheranan. Kembali Keh Lok berkata dengan tertawa. "Setengah hari
sudah ji-wi tadi saling ukur kepandaian. Tanpa sesuatu kesudahan. Nyata sama kuat.
Bagaimana kalau kini ji-wi adu untung saja?" tanyanya.
"Baiklah, tapi bagaimana Caranya?" tanya ke 2 jago itu dengan berbareng.
"Kalian masing-masing masuk kedalam barisan musuh dan harus bunuh seorang
perwira. Yang berhasil pulang lebih dulu, yang dapat membunuh perwira yang lebih
tinggi pangkatnya, itu yang menang!" ujar Keh Lok.
"Totiang, kita pergi sekarang," seru Ceng Tik, situa berdarah panas itu.
Dua buah bayangan segera berkelebat menobros keluar jendela.
"Mari kita saksikan pertandingan adu untung itu," ajak Keh Lok.
Bahwa jiwa perwiranya dibuat pertarohan gila itu, telah membuat gusar baginda, itulah mudah dimengerti. Tapi raja yang Cerdik itu tahu bahwa pasukan penolong yang datang
itu bukan sedikit jumlahnya. Mereka lengkap pula dengan senjatanya. Sekalipun ke 2
orang itu tangguh,- tapi mereka bertangan kosong tak bersenjata. Untuk bisa pulang
dengan selamat saja sudah sukar nampaknya, jangan kata dapat membunuh perwira.
Asal ada salah seorang dari ke 2 jago itu binasa atau sekurang-kurangnyanya terluka, akan redalah kebanggaan orang-orang HONG HWA HWE itu. Dan berpikir sampai disitu,
Kian Liong ikuti Keh Lok untuk melongok dari jendela.
Sampai dibawah pagoda, Bu Tim dan Ceng Tik langsung menuju kearah pasukan Ceng.
Tahu Bu Tim bahwa Pek Cin dan rombongan jago pengawal istana berada disebelah
timur. Sedang Li Khik Siu dengan menunggang seekor kuda putih, tengah memimpin
pasukannya disebelah barat. Dengan Pek Cin, Bu Tim pernah bertempur. Kalau
berhadapan dengan dia, rasanya sukar bisa mendapat kemenangan dengan lekas.
Melihat kedatangan ke 2 orang itu, anak buah tentara Ceng segera lepaskan anak
panah. Sekonyong-konyong Bu Tim memutar kesebelah barat dan terus melesat kesitu.
Melihat itu, diam-diam Ceng Tik girang, pikirnya: "Tanpa senjata, rasanya tojin itu tak berdaya, makanya dia takut hujan panah."
Cepat-cepat dia lolos bajunya, terus diputarnya sambil menyerbu masuk. Pek Cin melejit memapakkan. Baju Ceng Tik itu dalam sekejab saja, sudah berlobang kena beberapa
anak panah. Baju itu Cepat-cepat dilemparkan kepada Pek Cin.
Pek Cin mendek kebawah, sambil menyusup kemuka. Lima jarinya bagaikan Cakar besi
itu, menerkam kedada orang. Ceng Tik terkejut. Dia tak sangka kal^au dalam pasukan
Ceng, ada seorang jago yang begitu lihai. Cepat-cepat dia gerakkan tangan kanan
dalam "kin-na-hwat" untuk menangkap tapkan orang. Sedang tangan klrinya yang
masih memegangi baju tadi, disabetkan kepunggung.
Muka belakang diserang, Pek Cin melejit kesamping kanan. Setelah tenangkan hati, dia Cepat-cepat berputar untuk menghadangnya lagi.
Melihat bagaimana Ceng Tik memasuki barisan laksana harimau bersayap, Tan Keh Lok
mengira kalau dialah yang bakal berhasil. Sebaliknya Kian Liong menduga, orang tua
itulah yang bakal Celaka lebih dulu. Tapi ternyata keDua- 2nya menduga salah.
Bu Tim yang memilih arah barat tadi, tiba-tiba gunakan gerakan "burung walet
menyusup kebawah air," dengan Cepat-cepat terus meluncur kemuka kuda Li Khik Siu.
Tentara Ceng ber-sorak 2, Khik Siu menarik les kudanya, sehingga kuda itu meringkik
dan menjejakkan ke 2 kaki mukanya keatas. Seorang perwira Siu-pi dan seorang Yu-ki,
Cepat-cepat melindungi jenderal itu.
Tapi sekali tangan kanan Bu Tim menyikut iga perwira Siu-pi itu, waktu tangannya
membalik, golok panjang perwira itu sudah kena dirampasnya terus dibaCokkan miring
dari kanan kekiri, hingga perwira Yu-ki yang berada disebelah lain terpenggal
kepalanya, bahkan sebagian bahunya pun berpisah dengan tuannya.
Malahan tanpa berganti gerakan pula, sekalian Bu Tim memutar dari bawah kiri keatas
kanan, separoh buah kepala dari Siu-pi tadipun terbelah jatuh berikut kopiahnya. Ketika Bu Tim ajun kakinya, buah kepala Yu-ki tadi kena ditendang keudara, lalu golok
ditangan kanannya dibuang untuk me nyamber kepala perwira Siu-pi, habis itu baru
menyambut kepala Yu-ki yang jatuh dari udara itu.
Melihat sekaligus Bu Tim binasakan 2 perwira mereka, karuan serdadu 'Sjeng ketakutan setengah mati, sekali berteriak, mereka lari sipat-kuping serabutan. Lekas-lekas 2 jago bayang kari memapak maju hendak merintangi Bu Tim.
Tapi melihat maksudnya membunuh Li Khik Siu sudah tak berhasil lagi, Bu Tim tertawa
panjang terus putar balik.
Segera saja ke 2 jago bayang kari tadi mengejar. Tapi baru belasan tindak, tiba-tiba Bu Tim berhenti sambil berpaling. Karena itu, ke 2 bayang kari itu terperanyat, saking
kaget nya yang satu sampai roboh lemas, yang lainnya buang sen jatanya terus lari.
Melihat itu, Bu Tim ter-bahak 2. Ia lihat Tan Ceng Tik masih sengit menempur musuh,
maka dengan jinying hasil 2 buah kepala perwira musuh tadi, ia kembali dengan
langkah pelahan. Maka bersoraklah para saudara angkatnya yang berada dalam
pagoda. Mendengar suara sorakan, ketika Ceng Tik menoleh dan melihat Bu Tim sudah berhasil
dan kembali dahulu, ia tahu sekali ini sudah kalah, maka tak mau terlibat bertempur
lebih lama, segera ia menarik diri hendak mundur. Namun dengan gerakan yang gesit
Cepat-cepat Pek Cin terus merangsangnya hingga seketika Ceng Tik susah melepaskan
diri. Jago tua itu menjadi sengit, ke 2 kepalan diajun menghujani pukulan pada lawan,
hingga Pek Cin terpaksa harus mundur, kesempatan itu lalu digunakan Ceng Tik untuk
mundur pergi. Pek Cin insaf kepandaian orang masih diatas dirinya, kalau bertarung lama pasti kalah, maka tak berani ia mengejar pula.
Tapi baru beberapa langkah Ceng Tik bertindak, tiba-tiba terdengar suara teriakan
bergema keras dibelakangnya, ia menoleh dan terlihatlah sepasukan musuh berkuda
sedang mendatangi dengan Cepat-cepat , seorang perwira CamCiang memutar
goloknya berlari paling depan, mungkin inilah bala bantuan pasukan Ceng.
Li Khik Siu hendak membentak mencegah CamCiang itu, tapi sudah tak keburu lagi,
sekejap saja CamCianyg itu sudah menerjang sampai dibelakang Tan Ceng Tik. Jago tua
ini tampak seperti tidak berasa saja, CamCiang itu menjadi girang, goloknya diangkat terus membacok.
Tapi Ceng Tik tetap melanjutkan jalannya hingga ba-Cokan CamCiang itu mengenai
tempat kosong, kembali senjatanya diangkat dan membaCok sekuatnya pula. Mendadak
Ceng Tik mendekam ketanah, dan karena terlalu Cepat-cepat CamCiang keprak kudanya
hingga binatang, itu tak keburu ditahan, tapi terus melompat lewat diatas badannya.
"Celaka!" diam-diam Pek Cin mengeluh.
Betul saja, segera terlihat Tan Ceng Tik melompat bangun terus mencemplak keatas
kuda Camciang tadi, sekali Camciang itu disodok, kontan orangnya merosot jatuh, tapi sebelah kakinya kena ditarik oleh Ceng Tik terus diseret sampai masuk kembali kedalam pagoda.
Jilid 24 KARUAN pasukan berkuda itu menjadi kacau, hendak menolong perwira mereka, namun
panah segera berhamburan keluar dari pagoda hingga belasan serdadu berkuda itu
terjungkal. "Yangan kejar, mundur, lekas mundur!" seru Khik Siu,
Mendengar komando itu, tanpa diperintah lagi pasukan berkuda itu lantas mundur
Cepat-cepat. Melihat Bu Tim dan Ceng Tik kembali dengan kemenangan semua, Kian Liong sangat
kesal, ia jatuhkan diri diatas kursinya tanpa bisa buka suara. Kemudian terlihatlah Bu Tim masuk keruangan itu sambil lemparkan ke 2 buah kepala "oleh 2"nya dengan
tertawa. Sebentar pula Ceng Tik juga sudah kembali dan sedang berteriak diluar: "Aku berhasil menangkap satu hidup-hidup!" " Lalu CamCiang tadi kelihatan dikempitnya
masuk. "Sekali ini lagi-lagi kalian ber 2 seri," ujar Keh Lok tertawa, "Totiang pulang dahulu dan berhasil membunuh 2 perwira musuh, tapi Tan-Locianpwe menangkap hidup-hidup
satu, pula pangkatnya lebih tinggi."
Maka tertawalah ketiga orang dengan riangnya, hanya Kian Liong yang menyublek
sendirian disamping.
"Kau bernama siapa?" tegur Keh Lok kepada CamCiang yang dibanting diatas lantai itu.
"Lekas bilang. Kenapa tidak lekas menjura pada Hongsiang" Kenapa takut" Segera aku
bebaskan kau."
Tapi CamCiang itu tetap bungkam tak menyawab. "Manusia tak berguna, jangan bikin
malu orang disini, en/ahlah lekas!" kata Keh Lok pula dengan tertawa.
Akan tetapi masih CamCiang itu tak bergeming. Ceng Tik menjadi gusar, tengkuk
perwira itu diCengkeramnya terus diangkat. Kiranya CamCiang itu sudah lama mampus,
agaknya tenaga Ceng Tik terlalu besar, hingga dalam kem pitannya tadi jiwa perwira itu telah melayang.
"Ke 2 Cianpwe tentu sudah Capek, silakan mengaso kebawah saja," kata Keh Lok
kemudian. Sesudah depak majat CamCiang itu kepinggir, lalu Ceng Tik menggandeng tangan Bu
Tim turun kebawah.
"Kau sudah ambil keputusan belum?" tanya Keh Lok kemudian pada Kian Liong sesudah
tinggal ber 2an.
"Begini banyak sekali bawahanmu yang pandai, pula aku sudah jatuh ditanganmu,
hendak bunuh, boleh lekas kau bunuh, kenapa banyak sekali bicara?" sahut Kian Liong
ketus. "Ah, sayang , sayang !" ujar Keh Lok gegetun. "Sayang apa?" tanya Kian Liong.
"Ya, sayang ," sahut Keh Lok. "Selamanya aku pandang kau seorang pinter dan
berbakat, aku berSyukur ayah-bunda telah melahirkan seorang putera seperti kau dan
akupun punya seorang kaka baik, siapa tahu ..............."
"Siapa tahu apa?" tukas Kian Liong.
"Siapa tahu, lahirnya seperti pandai, batinnya ternyata ber nyali kecil amat," sahut Keh Lok sesudah memikir sejenak.
"Dimana letaknya nyaliku yang kecil?" tanya Kian Liong marah.
"Orang tak takut mati, itulah urusan paling mudah," sahut Keh Lok. "Liatlah CamCiang ini, tadi waktu ia mengudak dengan goloknya, masakan dia takut mati" Tapi kegagahan
seorang laki kasar begini, apa nilainya" Tapi untuk melakukan pekerjaan besar,
sebaliknya susah dilakukan orang yang tidak gagah. Dan dalam dalam hal ini, kau tak
mampu." Kian Liong adalah seorang yang tinggi hati dan suka unggul, maka demi mendengar
kata-kata Keh Lok ini, seketika ia berbangkit, katanya: "Sesuatu pekerjaan besar yang didirikan dan dilaksanakan dijagat ini, apakah pernah ada berhasil oleh karena
dipaksakan orang?"
"Banyak sekali terjadi," sahut Keh Lok. "Dahulu, ketika Tong Ko Cou mula 2 hendak
memberontak, ia ragu 2, setelah pu teranya Li Se Bin mendorongnya barulah berhasil
menanam pondamen dinasti Tong. Song Thay Cou kalau tidak dipaksa mengenakan
juba kuning di Tan-kio, darimana bisa menjadi Cakalbakal dinasti Song" Ke 2 pendiri
keraja an ini meski jadinya dipaksa oleh putera dan bawahan sendiri, tapi apa yang
sudah terlaksana itu, siapa dari angkatan kemudian yang tidak merasa kagum pada
mereka?" Kian Liong terdiam, hatinya rada tertarik.
"Apalagi kau, Koko, bakatmu melebihi Li Yan (Tong Thay Cou) dan Tio Kong Am (Song
Thay Cou) berlipstt ganda, asal kau berkeputusan pasti membangun kembali negeni
Han dan mengubah hubungan kita dari lawan menjadi kawan, pasti kami seluruhnya
tunduk dibawah pimpinanmu. Aku berani menyamin bahwa mereka pasti tak berani se
dikitpun membantah dan tak menghormat padamu."
Kini benar-benar hati Kian Liong tergerak dan ingin Coba-coba, Cuma dalam hati masih meragukan sesuatu yang susah diutarakan. Namun Keh Lok sudah dapat meraba
perasaan orang, katanya pula:
"Aku yang menjadi adik asal melihat Koko dapat melaksanakan pekerjaan besar itu,
rasaku sudah Cukup puas. Terhadap segala pangkat dan nama selamanya aku tidak
suka, bila nanti sudah berhasil membantu Koko mengusir bangsa Boan keluar, tatkala
mana tentu aku minta idin padamu agar memberi pesiun kembali kampung halaman
untuk melewatkan penghidupan yang aman tenteram bersama saudara-saudara
angkatku yang lain."
"Itulah mana boleh jadi," ujar Kian Liong. "Kalau bisa terlaksana pekerjaan besar itu, politik pemerintahan umum nya perlu mendapat bantuanmu untuk mengaturnya."
"Tidak, kita harus berjanji dahulu, begitu berhasil gerakan kita, kau harus idinkan kami undurkan diri," kata Keh Lok pasti. "Harus diketahui, para saudara angkatku itu tidak paham segala tata-Cara, kalau ada yang menyinggung perasaanmu, malahan akan bikin
hubungan baik kita sebagai yang dipertuan dan persaudaran."
Mendengar kata-kata Keh Lok begitu tegas dan pasti, Kian Liong tiba-tiba mentepuk
meja dan berkata: "Baik, kita putuskan beginilah!"
"Kau tidak ragu 2 lagi?" Keh Lok menegas dengan girang.
"Tidak," sahut Kian Liong. "Cumai aku minta kau lihat kan sesuatu dulu. Mendiang
Congthocu kalian Ie Ban Tong ada beberapa macam barang ditaruh didaerah Hwe,
katanya adalah bukti 2 tentang asal-usul diriku. Kau harus membawa benda 2 itu
Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perlihatkan padaku, sesudah aku yakin benar-benar aku memang orang Han, tatkala itu
baru aku tak" Curiga dan bekerja sama bikin pergerakan besar bersama kau."
Mendengar alasan itu memang masuk diakal, Keh Lok menyawab: "Baiklah, barang 2 itu
menurut Bun-suko katanya sangat penting, besok segera aku sendiri berangkat pergi
mengambilnya."
"Ya, sesudah kau kembali, lebih dulu kau bertugas didalam pasukan Gi-lim-kun, aku
angkat kau menjadi komandan pasukan itu, selang beberapa waktu, lalu angkat kau
merangkap sebagai komandan militer kotaraja," demikian Kian Liong. "Dan sesudah
kekuasaan militer lambat-laun sudah ditangan bangsa Han kepercayaan kita semua,
sampai nanti aku sudah angkat kau menjadi Peng-poh Siosi (menteri pertahanan),
sesudah pasukan Pat-ki-kun (tentera delapan panyi) kita pecah belah dan pencarkan,
lalu kita bisa bergerak secara serentak."
Keh Lok sangat girang atas rencana jang ka panjang itu, sahutnya: "Cara Hongsiang
memikir panjang itu, masakan gerakan kita tidak berhasil?" " Lalu ia berlutut men jura sebagai seorang hamba. pada junyungannya dan lekas-lekas Kian Liong
membangunkannya.
"Dan sekarang biarlah hamba menghantar Hongsiang kembali," ujar Keh Lok.
Kian Liong mengangguk tanda setuju. Lalu Keh Lok tepuk tangan sekali, ia suruh Sim Hi membawakan pakaian asal Kian Liong dan melayaninya bersalin. "Silakan semua
saudara masuk menghadap Hongsiang," kata Keh Lok kemudian.
Maka masuklah para pahlawan memberi hormat.
"Sejak kini kita mendukung Hongsiang untuk pergerakan besar kita, siapa yang
berpikiran serong hingga membocor kan rahasia ini, terkutuklah dia!" kata Keh Lok pula.
Lalu be-ramai 2 mereka bersumpah darah dengan minum arak. Hanya Tan Ceng Tik
dan Kwan Bing Bwe ber 2 yang tidak ikut, sebaliknya tersenyum dingin saja disamping.
"Toako, Toaso, marilah kalianpun ikut menCeguk seCa wan!" kata Liok Hwi Hing.
"Lebih muluk lagi kata-kata pembesar negeri, selamanya aku tak mau percaya, apalagi
yang berkata ialah kepala dari pembesar negerinya," ujar Ceng Tik.
"Soal membangun tanah air kita adalah kewajiban setiap anak CuCu keturunan Ui Te,"
sambung Kwan Bing Bwe. "Asal memang benar-benar rajanya punya hati sungguhsungguh, dimana memerlukan tenaga kami suami-isteri, Cukup Tan-Cong-thocu
memberi seCarik kertas, kemana pergi kami suami-isteri tua bangka ini tak nanti
menolak. Tapi arak ini, tak nanti kami meneguk lagi."
Mendadak Ceng Tik ulur tangannya menyojoh kedalam dinding, sepotong bata tembok
itu kena dikoreknya keluar terus berseru: "Kalau ada manusia berhati binatang yang
membocorkan rahasia, menyual kawan hingga bikin gagal pergerakan, biarlah ini
Contohnya!" " Habis berkata, sedikit ia gunakan tenaga, batu bata itu sudah
diremasnya menjadi bubuk.
Menyaksikan itu, sungguh hati Kian Liong amat terkejut.
"Meski ke 2 Cianpwe tidak ikut angkat sumpah, tentu berjiwa sama juga dengan kita,"
kata Keh Lok. "Semua orang disini adalah kawan berdarah pahlawan, rasanya akupun tak perlu banyak sekali berpesan, harap saja Hongsiang jangan Curiga dan sangsi
dan melupakan janji hari ini."
"Kalian tak perlu kuatir," sahut Kian Liong.
"Baiklah, biar kita menghantar Hongsiang keluar," kata Keh Lok akhirnya.
Segera Jun Hwa mendahului berlari keluar pagoda dan berteriak: "Ajo, lekas kalian
menyambut Hongsiang."
Mendengar itu, Li Khik Siu dan Pek Cin masih ragu 2, kuatir kalau jago-jago Hong Hwa Hwe itu memakai muslihat, tapi dengan memimpin pasukan pelahan-lahan mereka
mendekati juga, dan betul saja lantas terlihat Kian Liong berjalan keluar, lekas-lekas mereka mendekam menyembah diatas tanah.
Pek Cin membawakan seekor kuda bagus dan melayani Kian Liong naik keatas kuda.
"Aku. lagi minum arak sembari bersjair disini dengan mereka untuk ketenangan
beberapa hari saja, tapi kalian justru bikin ribut tak keruan mengaCau kesenanganku,"
Comel Kian Liong pada Pek Cin.
"Sungguh hamba berdosa," sahut Pek Cin berulang-ulang sambil menjura.
Lalu Kian Liong disongsong kembali ke HangCiu.
Dan selagi para jago HONG HWA HWE hendak kembali pagoda Liok-hap-tha lagi, tibatiba terdengar Kwan Bing Bwe bersuit, lalu beberapa ekor Anjing besar tadi kelihatan lari keluar dari dalam rimba terus meng-gosok 2 kepalanya ditubuh Thian-san-siang-eng. Tapi bila melihat Cio Su Kin, binatang 2 itu masih ketakutan sambil meng-geram 2
mengumpet dibelakang ke 2 majikannya itu.
"Hari ini kami suami-isteri dapat berkenalan dengan para ksatria daerah Kanglam, pula berjumpa dengan Ciu Tiong Ing loenghiong yang sudah lama kami kagumi, pula
bertemu dengan Liok Hwi Hing Lauto yang sudah lama berpisah, sungguh kami sangat
bergirang," demikian Tan Ceng Tik berkata. "Kini kami masih ada sedikit urusan lain, biarlah sekarang juga kami mohon diri saja."
"Yauh-jauh ke 2 Cianpwe bisa sampai di Kanglam, hendaklah suka tinggal beberapa hari lagi, agar kami bisa banyak sekali minta petunjuk 2," ujar Keh Lok.
"Masakan kami bisa berlaku sungkan 2 padamu," kata Ceng Tik melotot. "Bu Tim
Totiang, kelak kita harus mengukur kekuatan minunl lagi, Coba siapa lebih lihai."
"Itulah aku terima menyerah," sahut Bu Tim tertawa.
Tiba-tiba Kwan Bing Bwe menarik Keh Lok kesamping, lalu tanyanya: "Kau sudah
menikah belum?"
"Belum," sahut Keh Lok dengan wajah merah.
"Sudah tunangan?" tanya Bing Bwe pula.
"Juga belum," kata Keh Lok.
Bing Bwe meng-angguk-angguk sambil tersenyum penuh arti. Tapi mendadak iapun
berkata dengan suara bengis: "Jika kau tak setia dan tak berbudi hingga
mengeCewakan orang pemberi pedang itu, pasti aku nenek 2 tua bangka takkan
ampuni kau."
Keh Lok menjadi bingung hingga tak bisa menyawab.
Disebelah sana Tan Ceng Tik lantas berteriak: "Ajo, baiknya kita berangkatlah
sekarang!"
Dan sesudah memberi hormat pada semua orang, suami-isteri itu lantas berlalu dengan
Anjing 2 mereka.
"Kalian hendak kemana, Toako, Toaso?" seru Hwi Hing.
Tapi ke 2nya tidak menyawab, dan sebentar saja ba jangan mereka sudah menghilang
didalam rimba, hanya terdengar suara meng-gong 2nya Anjing yang makin menyauh.
"Dumeh tua, sedikitpun tiada tahu aturan," kata ke 2 saudara she Siang mendongkol
oleh sikap ke 2 jago tua dari Thian-san itu.
"Orang kosen dunia luar, kebanyak sekalian begitu," ujar Keh Lok. "Marilah kita bicara lagi kedalam pagoda."
Dan berkata Keh Lok kemudian sesudah masuk kembali kedalam Liok-hap-tha: "Aku
sudah sanggupkan pada baginda akan psrgi ketempat Suhu untuk mengambil sedikit
barang, kini marilah kita pergi ke Thian-bok-san dulu untuk menyenguk keadaan luka
Suko dan Sipsute, habis itu baru kita mengatur tugas masing-masing lagi?"
Karena tiada pendapat lain, segera semua orang ikut berangkat, hanya Ma Sian Kun dan puteranya, Ma Tay Thing yang kembali ke HangCiu.
Segera para pahlawan itu menuju kearah barat dengan Cepat-cepat , maka tiada
seberapa hari mereka sudah sampai di kaki gunung Thian-bok itu.
Tatkala itu sudah akhir musim rontok, pepohonan yang rindang disepanjang gunung
berubah warna Coklat kemerahan, rumput sudah kering. Ketika penjaga mendapat
kabar, segera melapor keatas gunung dan tertampaklah Ciang Cin datang menyambut.
Karena tak melihat Lou Ping, Keh Lok terkejut, ia kua tir terjadi sesuatu, maka Cepatcepat tanyanya: "Dimanakah Suso" Apakah Sipsute baik-baik saja?"
"Sipsute tiada apa-apa," sahut Ciang Cin. "Suso sudah pergi 2 hari, katanya hendak
menCari sesuatu barang menarik untuk Suko, apakah ditengah jalan kalian tak
mempergokinya?"
"Barang apakah?" tanya Keh Lok.
"Akupun tak tahu," kata Ciang Cin. "Keadaan Suko beberapa harini sudah baik,
sepanjang hari menjadi terlalu iseng merebah diranjang , maka Suso lantas usul hendak pergi menCarikan barang permainan. Ja, entah rumah siapa yang bakal sial."
"Sumoay memang terlaluan, sudah begitu besar, masih serupa anak kecil saja suka Cari gara 2," ujar Tio Pan San tertawa. "Kelak kalau sudah melahirkan anak, apakah juga
akan menurunkan keahliannya yang sudah turun te jnurun itu."
Maka bergelak-tawalah semua orang.
Kiranya ayah Lou Ping, yaitu Sin-to Lou Goan Thong, si golok sakti, terkenal ahli
mencuri, kepandaiannya mengge rayang i rumah tinggal orang ini tiada bandingannya
dikolong langit. Lou Ping sendiri sejak kecil suka ikut keluar dengan sang ayah, maka kepandaian kusus Cara mainkan "tangan panjang " itu sudah delapan bagian
dipelajarinya. Tempo hari waktu merampas kuda putih Han Bun Tiong. itu hanya sedikit dari.
kepandaiannya saja.
Begitulah sembari bergurau, para pahlawan terus masuk kesuatu perkampungan yang
luas, lebih dulu mereka pergi menyenguk Bun Thay Lay, tertampak Su-tangkeh atau
pemimpin keempat dari HONG HWA HWE itu lagi merebah keisengan, demi melihat
datangnya Kawan-kawan , ia menjadi kegirangan.
Setelah semua orang sekedar menCeritakan pengalaman nya, kemudian datang
kekamar depan sana untuk menyam bangi le Hi Tong.
Semua orang ber-indap 2 memasuki kamar Hi Tong, tiba-tiba terdengar suara senggaksengguk, suara orang menangis yang pelahan. Ketika Keh Lok menyingkap kelambu,
dilihat nya Hi Tong rebah mungkur menghadap bagian dalam, dari bahunya yang
kelihatan ter-gerak-gerak itu, terang pemuda itu sedang menangis dengan amat
pilunya. Sungguh hal ini sama sekali diluar dugaan semua orang, para pahlawan itu adalah
orang-orang berjiwa besar dan berhati terbuka, kaum wanitanya seperti Lou Ping dan
Ciu Ki saja juga sangat jarang menangis, kini mendadak melihat Hi Tong menangis
sedih, semua orang sangat heran dan ikut terharu juga.
"Sipsute," sapa Keh Lok kemudian, "kami be-ramai 2 datang menyambangi kau,
bagaimanakah kau" Sakit sekali lukamu, bukan?"
Hi Tong mengusap air matanya, lalu sahutnya tanpa membalik tubuh: "Congthocu dan
para Koko, banyak sekali terima kasih atas kesudian kalian datang menyambangi diriku.
Lukaku sudah banyak sekali baik, Cuma mukaku yang terbakar ini telah berubah tidak
karuan macamnya, tak dapat dilihat orang."
"Ah, Sipsuko," timbrung Ciu Ki tiba-tiba dengan tertawa. "Laki 2 sejati kenapa takut kebakaran muka" Apakah kuatir tidak mendapatkan isteri?"
Mendengar Caranya Ciu Ki bicara tanpa tedeng aling 2, ada yang menekap mulut
tertawa tertahan, ada yang terus bergelak ketawa.
"Ie-sutit," kata Liok Hwi Hing kemudian, "mukamu rusak terbakar, sebabnya karena
menolong jiwa Bun-suya dan jiwaku, kejadian ini kalau diketahui kaum ksatria diseluruh jagat, siapa orangnya yang tidak kagum dan menghormat padamu" Siapa yang takkan
bilang kau seorang gagah perwira yang berbudi" Semakin jelek wajah mu, semakin
menghormat orang lain kepadamu, kenapa kau pikirkan tentang wajahmu."
"Petua Susiok memang benar," sahut Hi Tong. Tapi tak tahan, kembali ia menangis lagi.
Kiranya yang ditangisinya bukanlah karena mukanya yang Cakap itu rusak terbakar, tapi ada lagi urusan lain.
Tatkala itu perasaan Hi Tong kusut luar biasa, sejak berada ditempat istirahat Thian-bok-san ini, siang-malam Lou Ping selalu datang menyenguk keadaan lukanya. Bun
Thay Lay juga setiap hari datang kekamarnya mengajak mengobrol untuk hilangkan
rasa iseng. Hi Tong sendiri tahu jatuh Cintanya pada Lou Ping yang sudah bersuami, apalagi
saudara angkat sendiri pula, se sungguhnya sangat tidak patut, tapi masih tetap ia
takbisa melupakan, setiap tengah malam selalu terkenang olehnya wajah sinyonya jelita itu, lalu ia menderita batin lagi dan sesal tak terhingga.
Ketika dilihatnya setiap kali Lou Ping, Bun Thay Lay dan Ciang Cin datang
menyenguknya, dan wajah mereka selalu mengunjuk kan rasa terkejut dan belaskasihan, sebagai seorang Cerdik, Hi Tong menduga pasti mukanya sendiri sudah
terbakar hingga tak keruan rupanya. Beberapa kali ia berniat mengambil kaCa Cermin,
tapi selalu tiada mempunyai keberanian itu.
Sebenarnya maksud mengorbankan dirinya menolong Bun Thay Lay untuk membalas
kebaikan Lou Ping, sambil melepaskan diri dari perasaan dosa dalam hatinya itu, siapa tahu justru tidak jadi mati, hasilnya sebaliknya mukanya yang rusak terbakar. Bila
teringat pula olehnya Cinta Li Wan Ci padanya yang mendalam, sebaliknya ia sendiri
tidak "mampu membalasnya hingga sangat mengeCewakan gadis jelita itu, hal ini
membuatnya kesal dan menyesal pula.
Begitulah, siang dan malam Hi Tong selalu terombang-ambing oleh macam 2 pikiran
yang menekan batin itu, hingga seorang Kim-tiok SiuCay yang tadinya Cakap ganteng,
kini tersiksa sampai kurus kering tak keruan macamnya.
Nampak Hi Tong dalam keadaan begitu, sekalian sauda ranya sama menuju keruangan
tengah untuk berunding.
"Sipsute karena menolong aku, telah menjadi begitu macam. Dia sebenarnya seorang
pemuda yang tampan, kini..... ah!" demikian kata Bun Thay Lay menyesal.
"Seorang taytianghu (laki 2 sejati) yang berkelana me ngabdi kebajikan, hanya
mengutamakan perilaku yang luhur. Soal tampang, hanya orang-orang yang piCik
pandangan saja, yang banyak sekali memikirkannya. Aku kehilangan sebelah lengan,
Ciang-sipte punggungnya bongkok, ke 2 saudara Siang wajahnya aneh menakutkan,
namun siapa yang berani menertawakan kita" Apalagi Sipsute pun tak keliwat jelek"
kata Bu Tim. "Ah, dia kan masih berambekan seperti anak muda, apalagi dalam keadaan sakit. Kelak
kalau kita sama menase hatinya, tentu dia akan terhibur juga. Kini kita harus minum
untuk kesehatan Sute," seru Tio Pan San.
Orang-orang sama girang dan thaubak segera diperintahkan untuk menyediakan
hidangan yang lengkap dengan minumannya.
"Sudah waktunya, enCi Ping masih belum datang, entah ia dapat pulang atau tidak
nanti. Ia pergi dengan menaik kuda putih bukan?" tanya Ciu Ki.
"Tidak. Katanya kuda putih itu menyolok sekali. Suko dan Sipsute masih belum sembuh, ia tak mau membikin kaget mereka," kata Ciang Cin.
Begitulah mereka segera "mengepung" hidangan yang lezat. Selama itu Tan Keh Lok
tampak berunding dengan Thian Hong. Pada lain saat tampak ketua HONG HWA HWE
itu bertepuk tangan beberapa kali, dan semua orang sama tegak berdiri.
"Liok dan Ciu Locianpwe harap jangan turut berdiri, lain kali harap jangan peradatan begitu lagi," kata Keh Lok demi dilihatnya ke 2 orang tua itu turut berdiri.
Apa boleh buat, ke 2 jago tua itupun lalu duduk kembali, "Kali ini, urusan kita telah dapat berjalan dengan menyenangkan. Hanya saja, dikemudian hari masih banyak
sekali pekerjaan yang harus kita selesaikan. Sekarang baik ku aturnya," kata Keh Lok.
"Wi-kiuko dan Cap-ji-long ber 2 harap berangkat ke Pakkhia untuk melihat 2 keadaan di sana, apakah Hongte betul-betul menjalankan persekutuan kita itu atau mungkin dia
merencanakan siasat untuk menangkap kita orang. Urusan ini maha penting, harap
kalian ber 2, berlaku hati-hati."
Wi Jun Hwa dan Ciok Siang Ing mengiakan.
"Siang-koko ber 2, harap pergi ke SuHwan dan Hunkwi untuk membuat perserikatan
dengan orang-orang gagah didaerah itu. Nyo-patko supaya mengunjungi daerah
Wanlam. Bu Tim totiang silakan kedaerah Liangouw (Seouw dan Thay-ouw). Ciosipsamko ke Liang Kwi (Kwitang dan Kwisay), Tio-sam-ko dan Ma-toako berserta
puteranya, ke Ciatkang dan sekitarnya. Shoatang dan Holam, silakan Liok-Locianpwe
yang bertindak. Wilayah Sepak (barat daya) mohon Ciu-Locianpwe beserta Beng-toako.
An-toako dan nona Ciu yang menggalang persatuan kaum orang gagah disana. Bunsuko dan I-sipsute tinggal disini untuk berobat dulu dengan meminta Suso dan Ciangsipko yang merawatinya. Hit-ko dan Sim Hi ikut aku pergi kedaerah Hwe. Mungkin ada
lain-lain usul?" tanya Keh Lok akhirnya.
"Kita setuju perintah Cong-thocu," sahut semua orang dengan serentak.
"Kunjungan saudara-saudara keberbagai daerah itu bukanlah hendak membuat
persiapan untuk bergerak. Tapi hanya supaya banyak sekali menghubungi orang-orang
gagah yang nantinya bakal menjadi tulang punggung dari gerakan besar kita
dikemudian hari. Urusan kita itu, adalah suatu rahasia negara yang maha penting.
Sekalipun kepada isteri atau sanak saudara, jangan sampai dibocorkan," kembali ketua HONG HWA HWE itu memberi penyelasan.
Semua orang berjanji dengan sepenuh hati.
"Setahun kemudian pada hari ini, kita bertemu lagi di ibukota. Ketika itu tentunya Suko dan Sipsute sudah sembuh, nah, itulah saatnya kita dapat bergerak melaksanakan tu
juan kita yang besar itu!"
Habis berkata begitu, ketua HONG HWA HWE itu bangkit seraya menepuk meja. Di kuti
oleh rombongan orang HONG HWA HWE mereka menuju keruangan tengah untuk mulai
"mengepung" hidangan. Semua orang sama merasa puas dan gembira.
Diantara itu, hanya Ciang Cin yang tampaknya kurang senang. Karena tadi dia
diperintahkan tinggal di Thian Bok San untuk merawat orang sakit. Hal itu dapat
diketahui oleh Bun Thay Lay, siapa lalu berkata kepada Tan Keh Lok:
"Congthocu, lukaku sudah banyak sekali sembuh. Juga luka Sipsute meskipun hebat tapi kalau banyak sekali beristirahat tentulah akan dapat sembuh dengan segera. Kalau
dalam satu tahun itu suruh kita tinggal diam disini, sungguh tawar rasanya. Bagaimana kalau kita berempat ikut Congthocu kedaerah Hwe sekalian agar hati Ie-sipsute dapat
terhibur?"
"Ya, benar, benar," seru Ciang Cin dengan kegirangan.
"Disepanjang perjalanan, kita tentu menikmati pemandangan alam yang indah permai,
hal itu tentu menambah Cepat-cepat nya persembuhan kita," kata pula Bun Thay Lay.
"Baiklah kalau begitu, tapi apakah Sipsute kuat menempuh perjalanan sejauh itu?"
tanya Keh Lok. "Biarkan dia naik kereta untuk beberapa hari dulu, setelah itu baru nanti naik kuda
sendiri!" usul Thay Lay.
Tan Keh Lok setuju. Ciang Cin dengan berseri-seri Buru-buru masuk memberitahukan Hi
Tong. "Sipsute mufakat," serunya ketika keluar lagi.
Tiba-tiba Ciu Tiong Ing menarik lengan Tan Keh Lok untuk diajak kesamping, katanya:
"Congthocu, kini Bun-suya sudah tertolong. Kau dengan baginda pun telah dapat
dipertemukan ikatan persaudarannya. Kesemuanya berakhir dengan baik. Tapi kalau
akan kutambah lagi dengan suatu kesenangan, apa kau dapat menyetujuinya?"
"Bukankah maksud LoyaCu hendak melangsungkan per jodohan nona Ciu dengan
Hitko?" tanya Keh Lok dengan girang.
"Itulah memang maksudku!"
"Bagus sedangnya sekalian saudara masih berkumpul disini, kita minum dulu arak untuk ke 2 pengantin itu. Hanya sayang karena waktunya keliwat mendesak, jadi kita tak
dapat mengundang lain-lain sahabat guna menambah me riahnya upaCara itu. Hal itu
mungkin dibuat sesalan oleh nona Ciu nanti."
Ciu Clong Ing tertawa, sahutnya: "Dengan adanya sekian banyak sekali ejnghiong yang
hadir disini, apanya lagi yang masih mengeCewakan ?"
"Nah, kalau demikian kita pilih saja hari yang baik," kata Keh Lok.
"Orang sebangsa kita ini, mana masih pusingi hari baik atau tidak. Maksudku sekarang juga pernikahan itu agar dilangsungkan!" sahut Tiong Ing dengan tegas.
Mengartilah ketua HONG HWA HWE itu bahwa jago tua itu lebih memikirkan
kepentingan semua orang daripada kepentingan peribadinya. Dia tak mau kalau dengan
adanya pernikahan itu mesti mengundurkan lagi keberangkatan orang-orang itu.
Keh Lok setuju dan haturkan terima kasih atas penghargaan jago Thiat-tan kepada
sekalian saudaranya itu.
Lalu dengan ketawa Keh Lok menghampiri Ciu Ki, ia membungkuk dan berkata: "Nona,
selamat!" Ke 2 belah pipi Ciu Ki menjadi merah dibuatnya. "Apa katamu itu?" tanyanya.
"Maksudku akan membahasakan kau sebagai Hit-so yang resmi!" Keh Lok
menggodanya. "Fui! seorang ketua perkumpulan masih berkelakuan begitu macam!" Cela sigadis.
"Ah, kau tak percaya?" tanya Keh Lok, lalu menepuk tangannya.
Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suasana perjamuan itu kembali menjadi hening.
"Tadi Ciu-lounghiong berkata padaku bahwa pada hari dan jam ini bermaksud akan
menyodohkan puterinya nona Ciu. Ki dengan Hit-ko kita. Jadi nanti saudara-saudara
akan menikmati juga arak kebahagiaan dari ber 2 pengantin !"
Gemuruh tepuk tangan para orang gagah itu. Mereka segera mengeremuni Ciu Tiong
Ing dan Thian Hong untuk memberi selamat. Karena urusan berjalan dengan sesung
guhnya, Ciu Ki seketika itu juga lari masuk kedalam.
"Sipte, Ayo lekas tarik ia kembali, jangan perbolehkan pengantin perempuan
bersembunyi didalam!" seru Jun Hwa.
Ciang Cin pura-pura akan menghadangnya, tapi sinona segera gerakkan tangannya
untuk menampar, keruan saja Ciang
Cin Buru-buru menghindar seraya berseru dengan tertawa: "Aduh, tolong! pengantin
perempuan pukul orang!"
Ciu Ki geli 2 Cemberut, terus lari masuk.
Tengah, para hadirin sama berisik itu, tiba-tiba Lou Ping masuk dengan membawa
sebuah kotak, serunya: "Bagus, semua sudah datang. He, apa-apaan begini sukaria
ini?" "Tanya sendiri pada Hitko!" balas Jun Hwa.
"Hitko, ada apa sih?" tanya Lou Ping.
Thian Hong kemekmek tak dapat menyahut.
"He, heran mengapa hari ini Cu-kat Liang menjadi seperti orang tolol?" kata Lou Ping.
Ciong Su Kin yang bersembunyi dibelakang Thian Hong, tangannya mengepal seperti
orang memberi hormat, lalu katanya :
"Hari ini Cu-kat Liang akan menjadi raja sehari. Rupanya dia berlagak seperti seorang menantu yang tolol !"
"Astagafirul ah!" seru Lou Ping dengan girang sekali.
"He, benar-benar kau ini aneh, Su-so, Hietko kawin, masa kau kaget seperti orang
disengat kala?" kata Seng Hiap.
Semua hadirin tertawa gelak 2.
"Kalau siang 2 kuketahui hari ini Hit-ko dan adik Ki hendak menikah, tentu akan
kubawakan kambing dan beberapa barang lain yang berharga. Kini aku tak punya apaapa untuk dihaturkan kepada mereka, bukankah ini pantas ku getunkan?"
"Habis, apa saja yang kau bawakan untuk Suko itu" Bolehlah kita semua melihatnya?"
Sambil tertawa Lou Ping buka kotak itu. Benda didalam nya, berkilat menyilaukan mata.
Itulah sepasang vaas giok putih yang dihaturkan orang-orang Hwe kepada Kian Liong.
Semua orang tentu saja terkejut dan bertanya.
"Waktu omong-omong dengan suko, kukatakan bahwa vaas itu luar biasa bagusnya
apalagi gambarnya, seorang wanita yang luar biasa Cantiknya. Tapi suko tidak percaya,"
tutur Lou Ping.
"Dan............ suko tentu bilang: 'tentu kaulah yang lebih Cantik'!" tiba-tiba Thian Hong menyelatuk.
Lou Ping tertawa kecil. Memang waktu itu suaminya mengatakan begitu.
"Yadi kau ambil ketempat baginda di HangCiu?" tanya pula Thian Hong.
Lou Ping mengangguk, sahutnya. "Untuk kuperlihatkan pada suko. Sesudahnya akan
diapakan, sudah tentu terserah kehendak Congthocu. Akan dikembalikan pada CiCi
Ceng Tong atau kita simpan sendiri."
Ketika memeriksa vaas itu, betul-betul Bun Thay Lay tak habis-habisnya memuji
keCantikan gambar nona itu. "Betul apa tidak kata-kataku itu?" tanya Lou Ping. Bun
Thay Lay tertawa sambil goyang kan kepalanya. Lou Ping heran, tapi pada lain saat ia teringat akan ucapan suaminya itu. Mukanya berobah merah.
"Sutemoag, baginda mempunyai banyak sekali sekali jago-jago yang lihai. Karena vaas
itu sangat berharga, tentu dijaga keras. Tapi bagaimana kau dapat mengambilnya "
Keberanian dan kepandaianmu itu, orang lelaki sungguh harus mengaku kalah. Aku,
sitosu tua ini, juga mengaku kalah padamu," kata Bu Tim.
Lou Ping tersenyum puas. Ia Ceritakan pengalamannya sewaktu masuk kedalam gedung
pembesar agung itu, ia berhasil menangkap dan mengorek keterangan dari seorang
thaykam (kebiri) yang mengurus barang itu. Ia dapat membinasakan Anjing penjaga
dengan memberinya makan bahpau yang diberi raCun dalamnya. Ia berhasil
mengelabui si-wi penjaga dengan meniru bunyi kuCing dan akhirnya berhasil
mendapatkan vaas giok itu.
Semua orang mendengarkan dengan asjik dan kagum.
"Su-naynay", tiba-tiba Hwi Hing buka suara. "Dengan mendiang ayahmu, aku menjadi
sahabat yang karib sekali. Mendasarkan umurku yang setua ini, aku hendak bicara
padamu, Harap kau jangan salah paham".
"Silakan Liok-lopeh memberi nasehat", sahut Lou Ping.
"Nyalimu besar dan kaupun Cukup lihaij. Dengan seorang diri kau mengambil vaas
disarang harimau. Tidak seorang yang tidak merasa kagum. Namun sesuatu urusan itu
dapat dinilai penting tidaknya atau besar kecilnya. Andaikata sepasang vaas itu memang sangat diperlukan untuk rencana gerakan kita, atau misalnya diperlukan untuk
menolong seorang yang terpitenah, perbuatanmu itu. memang mulia dan pada
tempatnya", demikian Hwi Hing. "Tapi hal yang sebenarnya, kau hanya main-main
secara iseng dengan Suya, dan kau telah menempuh bahaya yang sedemikian
besarnya. Andaikata sampai terjadi apa-apa, semua saudara kita apakah tidak menjadi
ribut" Lebih 2 bagaimana perasaan suamimu itu"!"
Tegoran Hwi Hing itu telah membuat Lou Ping mandi keringat sembari berulang'mengiakan saja.
"Malam itu kebetulan baginda masih kita tawan di Liok Hap Ta. Semua si-wi sibuk
menCari jejak baginda, jadi gedung agung itu boleh dikata kosong tak ada penjagaan
yang liliay. Andaikata orang seperti Kim-kao-thiat-jiau Pek Cin berada disitu, kau tentu menghadapi bahaya besar!" Hwi Hing melanjutnya tegorannya.
Lou Ping berjanji mengindahkan peringatan itu. Berpaling kearah Bun Thaij Laij, ia
leletkan lidahnya.
"Setelah Suko dapat dibebaskan, saking girang Suso sampai berbuat hal 2 yang keliwat berbahaya. Kelak jangan sekali-kali berbuat lagi". Tan Keh Lok menengahi.
"Baik, baiklah!" Sahut Lou Ping.
"Nah, sekarang kita ramai 2 bantu Hitko," kata Keh Lok "Hitko, kini urusan sudah begini mendesak untuk berbe lanya terang tak dapat. Kau seorang yang banyak sekali akal ren Cana, Ayo lekas keluarkan akalmu itu supaya lekas beres!"
Semua orang sama tertawa. Thian Hong karena hatinya penuh dengan berbagai
perasaan, juga ikut tertawa. Tapi kalau orang-orang ketawa karena akan menggodanya,
adalah dia sendiri ketawa, alias meringis.
"Bu-Cu-kat hari ini betul-betul berobah menjadi seorang tolol. Baiklah aku saja yang wakilkan dia mengaturnya. Wali dari fihak pengantin perempuan adalah Ciu-loyaCu.
Sedang wali dari pengantin laki 2 baiknya Tio-samko saja. Wi-kiuko, lekas pinjam
kudanya Suso untuk membeli barang 2 dikota. Beng-toako, kau pergi kepasar untuk
belanya barang-barang perjamuan. Tentang barang 2 hadiah kita masing-masing, besok
saja kita susulkan. Nah, bagaimana saudara-saudara, akur?" demikian Keh Lok
mengatur. Rasanya semua setuju. Hanya Tio Pan San yang mengusulkan supaya wali mempelai
lelaki, baiknya Tan Keh Lok sendiri, sedang dia nanti yang bakal menjadi "protokol"
upaCara perkawinan itu. Bermula Keh Lok menolak, tapi akhirnya dia mau juga setelah
di desak oleh lain-lain saudaranya.
Petang harinya, semua petugas yang disuruh berbelanya itu sudah sama pulang. Jun
Hwa, orangnya Cekatan. Dia dapat membeli semua barang 2 yang diperlukan. Malah
kopiah burung Hong untuk mempelai perempuan, tak lupa dibelinya juga.
Menyambuti pakaian untuk mempelai perempuan itu, Lou Ping terus akan masuk untuk
merias Ciu Ki. Tiba-tiba dilihat nya Jun Hwa juga membelikan pupur dan ginCu.
"Wah, Kiuko, benar-benar kau seorang ahli. Entah nona siapa yang beruntung bakal
menjadi isterimu?"
"Ai, Suso, jangan godai aku. Kan malam ini malam istimewa bagi mempelai nona Ciu Ki, jadi semua 2nya haruslah ditujukan padanya!" tangkis Jun Hwa.
"Baiklah, kau punya rencana apa?" tanya Lou Ping.
Dengar orang akan godai pengantin, Cio Su Kin ikut Campur.
"Suso, bahwa kau telah berhasil mengambil vaas giok dari penjaga 2 baginda, kita
semua memang kagum. Tapi tadi Liok-Locianpwe mengatakan, kalau saja beberapa Si
wi kelas tinggi berada disitu, mungkin tak semudah itu hasil pekerjaanmu," kata Jun
Hwa. "Mencuri itu suatu ilmu adu kepandaian, bukan adu kekuatan. Sekalipun aku tak dapat
melawan mereka, tapi bukan berarti tak dapat kucuri barang itu," debat Lou Ping.
"Bagus. Hitko terhitung salah seorang yang paling Cer dik. Kalau kau dapat mencuri
salah satu barangnya, baru aku mau tunduk betul-betul kepadamu."
"Apa yang harus kuambil?"
"Heh ............ begitu ke 2 mempelai sudah tidur pulas,
Curilah pakaiannya, agar besok harinya mereka tak dapat bangun keluar kamar," kata
Jun Hwa. Kontan Ciang Cin berseru setuju. Tiba-tiba Tio Pan San menghampiri dan menanyakan
halnya. "Ah, urusan ini tak selajaknya Samko mengetahui," Su Kin Coba mencegah orang.
Anak 2 muda itu kuatir kalau Tio Pan San sungkan dan diam-diam nanti memberi
kisikan pada Thian Hong. Karenanya, mereka menolak turut Campurnya Samko itu. Apa
boleh buat Pan Sanpun mengangkat pundak dan berlalu.
"Akal itu pernah kita gunakan terhadap baginda. Suso, soal itu memang pekerjaan yang berat sekali. Kurasa kau tentu gagal," kata Seng Hiap.
Lou Ping kerutkan sepasang alisnya, tanpa menyahut. Ha nya hatinya berpikir bahwa
hal itu memang sungguh-sungguh tak enak baginya. Tapi ketika di-kili 2 oleh Seng Hiap, timbul ah keangkuhannya. Katanya: "Kalau aku sampai berhasil me ngambilnya,
bagaimana?"
"Kita ini, Patko, Sipko, Sipjite, Sipsamte dan aku, ber jumlah 5 orang. Bersedia akan membikinkan perlengkapan untuk kudamu putih itu yang akan dibuat daripada emas.
Modelnya, tanggung, kau tentu puas," sahut Jun Hwa.
"Bagus. Untuk bagianku, kalau sampai gagal, akan kubuatkan sulaman 5 tas berbunga
terate, untuk kau berlima masing-masing setangkai", sahut Lou Ping.
"Setuju", seru Seng Hiap dan Jun Hwa dengan berbareng.
"Ya, tapi tas sulaman terate itu tak boleh sembarangan macamnya, lho!" kata Su Kin
dengan tertawa.
"Fui, pernahkan aku menipu kalian" Tapi awas, jangan kalian diam-diam kisiki Hit-ko
dan isterinya?" kata Lou Ping.
"Sudah tentu tidak. Kita mandah kalah pertaruhan itu, supaya dapat menyaksikan
leluCon besar!" sahut Seng Hiap.
Habis menetapkan perjanjian itu, mereka sama bubaran untuk membantu keperluan
pernikahan itu. Diam-diam Lou Ping bertanya pada diri sendiri, Cara bagaimana ia harus melakukan pekerjaan istimewa itu. Terhadap Ciu Ki sih mudah saja. Tapi berhadapan
dengan Thian Hong, si Cukat Liang alias Khong Bing itu, rasanya ia tak dapat berkutik.
Ja, apa boleh buat, tunggu gelagat saja.
Begitu hari gelap, diruangan besar segera terang benderang dengan penerangan lilin
yang besar 2. Thian Hong dengan berpakaian lengkap tampak berdiri disebelah kiri. Lou Ping papak menggandeng mempelai perempuan keluar. Tio Pan San membaCakan doa
perkawinan, di kuti ke 2 pasangan baru itu dengan berlutut sujud pada langit dan bumi.
Juga pada Cousu HONG HWA HWE Baru setelah itu, mereka memberi hormat kepada
Ciu Tiong Ing suami isteri serta
Tan Keh Lok selaku Congthocu. Ciu Tiong Ing dan Ciu-naynay separoh membalas
hormat. Sebaliknya Tan Keh Lok sama sekali tak berani menerima penghormatan itu. Dia Buruburu berlutut untuk membalas hormat. Berulang-ulang Ciu Tiong Ing menasehati
supaya ketua itu jangan sungkan 2.
Kini gilirannya, ke 2 mempelai itu memberi hormat kepada semua orang menurut
runtunannya. Pertama kepada Liok Hwi Hing, Bu Tim, Tio Pan San. Sim Hi menuntun Hi
Tong keluar untuk duduk disebuah kursi. Muka Hi Tong masih dibalut dengan kain
putih. Juga pemuda itu menerima penghormatan dari sepasang suami-isteri yang
bahagia itu. Suasana pesta itu betul-betul meriah sekali. Saking girangnya, Hi Tong
menyumbangkan nyanyian suling dalam lagu "hong-kiu-hong" atau burung hong d
jantan berCumbuan dengan burung hong betina. Melihat Hi Tong tampak gembira,
semua orangpun turut girang.
Selesai upaCara, mulailah hidangan dan arak dikeluarkan. Dengan mengangkat poCi
arak, Bu Tim berseru n jaring: "Malam ini siapa yang tidak minum sampai mabok, tidak boleh tidur".
Baru saja mulutnnya mengucap, secepat-cepat kil at poCi itu dilemparkan kearah
sebuah pohon kwi-hoa yang tumbuh di tengah-tengah halaman itu.
Serempak dengan melayang nya poCi itu, Jun Hwa dan Ciang Cin juga melesat
keruangan tengah. Sesaat poCi itu membentur ranting pohon dan jatuh kebawah, Jun
Hwa sudah dapat menyang gapinya, sedang Ciang Cin segera loncat keatas tembok
untuk memandang disekeliling tempat itu. Tapi tak tampak suatu apa.
Mereka kembali dan melapor pada ketuanya. Keh Lok melarang mereka untuk
melanjutkan pengejaran, karena hari itu adalah hari baik. Begitulah mereka telah
meneruskan pesta itu dengan gembira.
"Totiang," bisik Keh Lok pada Bu Tim, "akupun melihat juga sebuah bayangan
berkelebat diatas pohon itu. Ditilik dari gerakannya, kepandaiannya sih tidak seberapa."
Bu Tim angguk kepalanya tanda sepaham.
"Di Liok Hap Tha, totiang telah unyuk keangkeran, hingga Thian San Siang Eng tak
berani pandang rendah kita orang. Mari kita hormati Totiang dengan seCawan arak,"
kata Keh Lok kemudian.
Semua orang sama berdiri mengangkat Cawannya.
"Thian San Siang Eng memang tak bernama kosong. Tan Ceng Tik situa itu, kalau saja
masih berusia 20 tahun, aku sitosu tua ini tentu bukan tandingannya," kata Bu Tim
dengan tertawa.
"Tapi waktu itu kepandaiannyapun tidak sehebat dan ulet seperti sekarang," bantah Tio Pan San.
Pesta itu berjalan dengan gembira. Ada yang ber-Cakap 2 dengan melucu, ada yang
bertanding minum arak. Banyak sekali diantara mereka yang menghibur Ie Hi Tong.
Dalam pada itu, diam-diam Keh Lok kisiki Sim Hi supaya dengan beberapa thauwbak
keluar meronda, jangan sampai tetamu yang tidak diundang itu sempat melepas api.
Setelah beberapa macam hidangan beredar, ke 2 mempelai dibawa keluar untuk
memberi selamat dengan arak pada sekalian hadirin. Ciu Ki seorang nona yang dojan
minum, tapi hari itu mamahnya pesan jangan sekali-kali minum. Maka betapa ingin
rasanya ia untuk meminum, ketika sau dara 2nya sama mendesak padanya, namun
sedapat mungkin ditahannya. Karena mendongkol, wajahnya tampak kurang senang.
"Aduh, rupanya pengantin perempuan sedang marah pada. pengantin lelaki, Hit-ko,
Ayo, lekas berlutut minta ampun," seru Jun Hwa menggoda.
"Hit-ko, kau berlututlah. Kalau yang laki 2 mau tunduk, tanggung lekas punya anak
nanti," sela Seng Hiap.
Karena tak kuat menahan geli, Ciu Ki tertawa Cekikikan, sahutnya: "Huh, kau sendiri
belum punya anak, bagaimana bisa ngoCeh tak keruan !"
Semua orang tertawa geli. Ciu-naynay pun geleng 2 kepala nya mengelah napas:
"Coba, nona manya begitu sungguh tak patut menjadi pengantin."
Dalam pada itu Lou Ping membisiki Jun Hwa supaya meloloh arak pada Thian Hong agar
memudahkan pekerja annya. Jun Hwa memberi isyarat kepada Su Kin, untuk diajak
memberi selamat minum arak pada Thian Hong.
Melihat kasak-kusuk ke 2nya itu, Thian Hong Curiga. Karena sebagai mempelai lelaki tak boleh ia menolak pemberian selamat, terpaksa Thian Hong menerimanya. Tapi setelah
minum kira-kira sepuluh Cawan, sekonyong-konyong dia terhuyung-huyung dan
rebahkan kepalanya diatas meja. Ciu-naynay sayang kepada anak menantunya, lalu
perintahkan Kian Kong untuk membawanya kekamar tidur.
"Wah, kali ini rupanya kau ada harapan menang," diam-diam kata Seng Hiap kepada
Lou Ping. Lou Ping tersenyum. Diambilnya sebuah poCi dan di sinya penuh dengan arak, lalu
dibawanya kekamar Ciu Ki.
"CiCi, kebetulan, aku memang sedang gelisah," seru Ciu Ki segera oleh kedatangan Lou Ping.
"Kau tentu haus, minumlah teh ini," kata Lou Ping. "Ah, tidak. Aku sedang resah."
"Tapi teh ini wangi sekali," kata Lou Ping pula, sembari angsurkan dimuka Ciu Ki. Bau arak yang wangi itu mendekap hidung Ciu Ki, siapa menjadi girang sekali dan Buru-buru menyambutinya terus ditegak habis separoh. "CiCi Ping, kau memang baik sekali
kepadaku," ujar gadis itu.
Sebenarnya Lou Ping hendak mempermainkannya, tapi melihat sinona begitu jujur, ia
tak tahan sendirinya. Tapi karena pengantin baru itu seharusnya digoda, maka tak
apalah. "Adik Ki, sebenarnya aku hendak memberitahukan padamu sesuatu hal yang sangat
rahasia. Tapi mengingat kita ini sudah bersaudara, maka tak apalah, asal kau tidak
sesalkan aku."
"Lekas katakanlah !"
"Apakah ibumu tak pernah mengatakan, bagaimana nanti setelah kau lepas
pakaianmu."
"Apa" Mamah tidak bilang apa-apa," seru Ciu Ki dengan merah mukanya.
"Kuduga tentu beliau sendiripun tak mengetahuinya," kata Lou Ping dengan
bersungguh-sungguh. "Setelah laki 2 dan perempuan menjadi suami isteri, kalau bukan
sisuami yang menang hawanya, tentulah si-isteri yang menguasainya. Jadi tentu ada
salah seorang yang dibawah pengaruh."
"Hm, aku tidak ingin menindasnya, tapi jangan dia ngimpi akan mengendalikan aku,"
kata Ciu Ki. "Ya, namun orang lelaki itu sifatnya kasar, tidak mengerti perasaan orang perempuan.
Ada kalanya, kau susah untuk memegangnya. Terutama orang sebagai Hit-ko. Dia
pintar dan banyak sekali akal. Dan kau, adik Ki, orangnya tulus. Harus hati-hati
terhadapnya."
Kata-kata itu "termakan" dalam hatinya Ciu Ki, sekalipun dia sudah menaruh
kepercayaan penuh pada bakal suaminya itu. Memang kalau ditilik suaminya itu terkenal sebagai orang yang banyak sekali akal, maulah ia percaya keterangan Lou Ping itu.
"Kalau dia sampai menghina aku, aku tak takut, kita selesaikan dengan golok," sahut
Ciu Ki kemudian.
"Oho, kau tak boleh begitu galak. Suami isteri harus rukun. Masa akan bertempur matimatian."
Ciu Ki hanya tertawa saja.
"Bun-suya jauh lebih lihai dari aku. Kalau disuruh bertanding, biarpun ada sepuluh aku, rasanya tentu kalah. Tapi selama itu belum pernah kita berkelahi. Dia selalu turut
perkataanku."
"Tentunya kau ingin menanyakan, Cara bagaimanakah Caraku itu, bukan?" tanya Lou
Ping kemudian. Ciu Ki kemerah-merahan mukanya dan anggukkan kepalanya.
"Sebenarnya hal itu tak boleh kukatakan. Tetapi karena kau yang menanyakan, biarlah
kukasih tahu. Tapi sekali-kali tak boleh kau beritahukan kepada Hit-ko. Beginilah, nanti setelah Hit-ko tanggalkan pakaiannya, kau harus padamkan
lampu. Bawalah pakaianmu dan pakaian Hit-ko itu keatas meja," kata Lou Ping sembari
menunyuk kesebuah meja dimuka jendela. Lalu katanya pula: "Taruhkanlah pakaian Hitko dibawah pakaianmu. Tentu selanjutnya dia akan dengar katamu, tidak berani
menghina padamu."
Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sungguh?" Ciu Ki menegas dengan masih bersangsi.
"Mengapa tidak. Mamahmu takut pada ayahmu bukan " Nah, itulah karena beliau tidak
mengetahui Cara itu."
Di-pikir 2 memang mamahnya agak takut pada sang ayah. Diam-diam Ciu Ki mau
percaya. "Diwaktu menaruhkan pakaian, jangan sampai menimbulkan keCurigaannya. Kalau dia
sampai tahu, tentu tengah malam dia akan memindahkan pakaianmu dibawah pakaian
nya. Kalau sampai begitu, wah Celaka!"
Walaupun agak jang gal, tapi karena hal itu merupakan soal seumur hidupnya, Ciu Ki
mau juga menurut. Malah untuk menambah kepercayaannya, Lou Ping ajarkan juga
bagaimana Caranya menjadi seorang menantu. Dengan muka merah, Ciu Ki merasa
berterima kasih kepada Lou Ping.
Tengah mereka asjik ber-Cakap 2 itu, tiba-tiba diluar pintu tampak sesosok bayangan
orang berkelebat, dan berbareng itu kedengaran Thian Hong mendatangi dengan batuk
2. Ciu Ki bergegas-gegas memburu keluar. Tampak Thian Hong dengan berpakaian
pengantin menentang sebatang tongkat besi, loncat turun dari tembok.
"Bagaimana, apa ada penCuri?" tanya Ciu Ki segera.
"Tadi kulihat diatas tembok ada orang mengintip, ketika hendak kutangkap, dia sudah
menghilang," menerangkan Thian Hong.
Ciu Ki membuka peti pakaiannya, dan mengambil sebatang goiok. Sebenarnya Ciunaynay telah suruh puterinya untuk simpan senjatanya itu diluar kamar, tapi nona
bengal itu tidak mau menurut, senjata itu disimpannya dida-lam peti pakaian. Saat itu ia akan ajak Lou Ping memeriksa keluar.
"Ah, sudahlah! Kau tinggal ah disini dengan tenang. Bukankah diluar sudah banyak
sekali paman 2 dan sekalian saudara yang menjaganya. Masa kuatir penCuri kecil itu
menggasak barang 2mu" sahut Lou Ping.
Baru Ciu Ki mau kembali kedalam kamarnya. sambil menunyuk kepada Thian Hong,
berkatalah Lou Ping: "Sudahlah, kau jangan pura-pura mabuk, biar kutangkap penCuri
itu. Kau jaga baik-baik saja pengantinmu yang baru Ini, jangan sampai dia gunakan
senjata." Sambil berkata begitu, Lou Ping samber golok ditangan Thian Hong, siapa dengan
girang lalu kembali kedalam kamarnya sendiri. Betul pada lain saat didengarnya diatas atap rumah ada derap kaki orang, tapi karena dia percaya akan sekalian saudaranya,
maka dia tetap berlaku tenang 2 saja.
"Dengan baginda kita sudah adakan persetujuan, jadi mustahil kalau beliau sedemikian Cepat-cepat nya melanggar jan jinya. Dan kalau tilik gerakannya, nyata tetamu yang
tidak diundang itu kepandaiannya tak seberapa lihai. Mungkin seorang sahabat dari
kalangn hek-to yang karena kebetulan lewat didaerah sini dan mengetahui akan adanya
pesta perkawinan ini, lalu datang memberi selamat," pikir Thian Hong.
Pada saat itu, masuklah Lou Ping, Jun Hwa, Seng Hiap, Su Kin, Ciang Cin dan beberapa orang lagi- dengan membawa poCi dan Cawan arak. Berkata mereka dengan
berbareng: "Ayo, mempelai laki 2 pura-pura mabuk, harus didenda?"
Apaboleh buat Thian Hong sambuti pemberian arak mereka, dengan setiap orang, dia
minum tiga Cawan. Masih semua saudaranya itu tak puas, dan hendak melolohnya
terus. "SipenCuri kan belum tertangkap, lebih baik jangan ke banyak sekalian minum. Jangan
sampai kita kena dibobol," kata Thian Hong.
"Minumlah dengan sepuasmu saja. Kita nanti yang bergiliran menjaga." kata Seng Hiap
dengan tertawa keras.
Tengah ramai 2 memaksa sipengantin itu, Ciu Tiong Ing kelihatan datang. Demi
dilihatnya Thian Hong sudah mabuk sehingga omongannya sudah tidak jelas lagi, Buruburu mertua ini menengahi minum seCawan pada masing-masing orang. Setelah itu
dibawanya Thian Hong kedalam kamar.
Karena kali ini dilihatnya betul-betul Thian Hong sudah mabuk, setelah menggoda
beberapa waktu pada Ciu Ki, orang-orang itu lalu pergi.
Setelah berada ber 2an dengan Thian Hong, hati Ciu Ki kebat-kebit rasanya. Begitu
Coba memberanikan diri melihat Thian Hong, ternyata yang tersebut. belakangan ini
sudah Celentang diatas pembaringan dan menggeros.
Teringat akan kata-kata Lou Ping, pelan-pelan dia menghampiri dan menggerendel
palang pintu. Diantara sinar lilin, tampaklah sang suami itu mukanya merah dan tidur dengan nyenyak sekali.
"He, apa kau sudah tidur?" tegurnya.
Tapi Thian Hong tak menyahut.
"Ah, kau betul-betul sudah tertidur," gumam sigadis agak keCewa.
Setelah melihat kesekeliling situ tak ada orang lagi, barulah Ciu Ki lepaskan pakaiannya luar, lalu menghampiri tempat tidur. Sekali dorong, tubuh Thian Hong terguling
kesamping, lalu iapun naik pembaringan. Dengan beranikan diri, Ciu Ki lepaskan sepatu Thian Hong, begitu pula baju luarnya. Ketika akan mengambil juga pakaiannya dalam,
merah padamlah muka Ciu Ki. Pikirnya: "Bukankah baju luarnya sudah Cukup?"
Begitulah baju luarnya Thian Hong lantas dibawa turun kebawah jendela dan
diletakkannya diatas meja dengan ditumpangi pakaiannya sendiri. Balik ketempat tidur, ia ambil selimut dan ditutupkan ketubuh suaminya. Sedang ia sendiri telah mengambil
lain selimut dan membungkus dirinya rapat-rapat, terus tidur.
Berselang berapa lama, Thian Hong kelihatan membalik tubuhnya. Hal itu membuat Ciu
Ki terkejut sekali. Pada saat itu, kedengaran bunga api lilin meletik. Kuatir kalau Thian Hong mengetahui perbuatannya tadi, Buru-buru Ciu Ki akan meniup padam lilin itu.
Tapi ketika teringat dirinya hanya berpakaian dalam dan tidur disamping seorang laki 2
untuk pertama kalinya, ia takut-takut dan malu. Biar bagaimana ia tak berani bangun.
Diam-diam ia memaki dirinya sendiri ?tak berguna, keringat membasahi seluruh
tubuhnya. Dalam kebingungannya itu, tiba-tiba ia memperoleh akal. Ia beset 2 potong kain dari pakaiannya dalam, dipulungnya dan 'dimasukkan kedalam muluthja. Setelah
menjadi basah dan merupakan pulungan bundar, dengan gunakan kepandaian
menimpuk senjata rasia, ia berhasil menimpuk padam sepasang lilin itu.
Thian Hong masih tidur dengan pulas. Dia sebenarnya tak seberapa kuat minum arak,
karena keliwat dari takeran, maka dia sampai tidur tak ingat orang. Setiap kali ia
membalik tubuh, Ciu Ki terkejut dan makin ketakutan. Entah berlangsung berapa lama,
tiba-tiba diluar jendela terdengar suara tikus men-CiCit. Dan pada lain saat, kedengaran suara kuCing meyang -mejong. Menyusul terdeburnya jendela, seekor kuCing telah
meloncat masuk. Binatang itu berkeliaran didalam kamar dan tak bisa keluar
nampaknya. Binatang itu loncat keatas pembaringan dan tidur dibawah kaki Ciu Ki.
Setelah tak ada gangguan suara apa-apa lagi, barulah Ciu Ki pejamkan mata. Tapi
hatinya masih berkutak-kutik tak bisa tidur.
Kira-kira sampai jam tiga pagi, tiba-tiba daun jendela kedengaran beretak. Ciu Ki
mendengarkan dengan penuh perhatian. Agaknya diluar jendela seperti ada orang
bernapas. Dikira nya itulah tentu saudara-saudaranya yang ingin menggodainya, mau.
mencuri dengar 'kejadian' dalam kamar pengantin. Mau ia menegurnya, tapi tiba-tiba
tak jadi, karena waktu itu kedengaran diluar Sim Hi berseru: "Siapa" Jangan bergerak !"
Menyusul dengan itu, terdengar suara senjata beradu, dan kedengaran juga ke 2
saudara Siang berseru: "Ha, pen jahat yang bernyali besar !"
Menyusul sebuah teriakan "aduh" terdengar. Rupanya kena dihantam oleh ke 2 saudara
Siang itu. Saat itu barulah Ciu Ki insyap, kalau kedatangan musuh. Ia tersentak bangun terus menyembat golok. Tapi ketika ia merabah meja hendak mengambil pakaiannya,
segera ia menjerit kaget, karena pakaian 2 itu sudah lenyap.
Tanpa pikiran malu lagi, ia tarik tubuh Thian Hong sambil di-goyang 2i dan berseru:
"Lekas bangun, lekas bantu tangkap penCuri. Pakaian kita kena digasak."
Saking kagetnya, Thian Hong gelagapan dan hilang ma buknya. Dia rasakan sebuah
tangan hangat menariknya. Bau harum yang memenuhi kamar, telah menyedarkan
pikirannya bahwa malam itu adalah malam pertama dari perkawinannya.
Thian Hong melengak, terus tarik Ciu Ki kebelakangnya.
Tangannya menyeret sebuah kursi, siap untuk menyambut kedatangan musuh. Saat itu
diatas wuwungan dan disekeliling situ, terdengar suara tepukan orang.
"Saudara-saudara kita sudah siap menCegatnya, sipenyahat tentu tak dapat lolos," bisik Thian Hong.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Ciu Ki.
"Tepukan tangan itu adalah pertandaan rahasia dari kaum kita HONG HWA HWE Kini
diempat penyuru sudah dijaga oleh saudara-saudara kita, kita tak usah kuatir lagi," kata Thian Hong. Kursi pun dilepaskan, lalu dengan suara lemah lembut ka-tanya pula:
"Moaymoay, aku telah kebanyak sekalian minum, sehingga tertidur pulas, sungguh
keterlaluan ...............".
"Plak ............" golok Ciu Ki terjatuh ditanah. Ke 2 anak muda itu terduduk diatas pembaringan. Kepala Ciu Ki direbahkan didada Thian Hong. Hening seketika.
Tiba-tiba pada lain saat kedengaran suara Bu Tim memaki: "Penyahat itu sungguh liCin, kemana saja larinya?"
Diluar jendela tampak api berkobar, rupanya orang-orang HONG HWA HWE sama
nyalakan obor untuk menCari. Thian Hong suruh isterinya tidur, sementara dia terus
keluar. Tapi Ciu Ki nyatakan ikut. Ketika melangkah keluar, mereka dapatkan
pakaiannya terletak dengan rapih dimuka pintu. Hal mana membuat mereka heran,
terutama Ciu Ki.
"Penyahat itu aneh sekali, mengapa mengembalikan pakaian kita lagi?" kata sigadis.
Beberapa saat Thian Hong tak dapat menyahut, kemudian dia tanyakan dimana tadi
isterinya taruh pakaian itu.
"Kuingat disamping pembaringan, tapi entahlah, agak lupa aku," demikian sahut Ciu Ki malu-malu.
Saat itu Lou Ping dan Jun Hwa dengan membawa obor tampak datang.
"Ha, ha, sipenCuri telah mengganggu pengantin ini!" Jun Hwa tertawa.
"He, mengapa disini ada setumpuk pakaian?" seru Lou Ping seperti orang terkejut.
Pecah gelak-tawa Jun Hwa karena tak tahan gelinya. Thian Hong Cukup Cerdik, sepintas tahulah dia bahwa ke 2 orang itu main sandiwara. Namun dia tetap tenang, katanya:
"Aku kebanyak sekalian minum, sampai pakaian diambil penCuripun tidak tahu!"
"Kukuatir bukan sang arak yang memabukkan orang, tapi orang yang mabuk
sendirinya," kembali Lou Ping tertawa.
Thian Hnog tertawa tak dapat menyawab.
Kiranya pada tengah malam tadi, Lou Ping menduga kalau Ciu Ki tentu sudah tidur.
Dibukanya jendela, sebelum itu ia tirukan bunyi tikus dan melempar masuk seekor
kuCing. Secepat-cepat jendela didorong terbuka, secepat-cepat itu pula dia samber
pakaian ke 2 pengantin itu.
Ketika Seng Hiap mengetahui Lou Ping betul berhasil mencuri pakaian, dia sangat
heran. Lou Ping hanya tertawa saja. Sewaktu mereka mau masuk tidur, tiba-tiba Sim Hi kedengaran berseru menegur penyahat. Menggunakan kesempatan itu, Lou Ping
bermaksud mengembalikan pakaian, supaya besok paginya Ciu Ki jangan sampai malu.
Tapi ternyata ke 2 pengantin itu sudah bangun, jadi pakaian itu diletakkan begitu saja dimuka pintu, lalu ikut menge jar penyahat.
Sementara itu Keh Lok dan Ciu Tiong Ing bersama beberapa orang pun kelihatan
keluar. "Sekeliling rumah ini sudah dijagat rapat, tak nanti dia dapat lolos. Kita periksa setiap kamar," kata Keh Lok.
Tapi biarpun diCari ubek-ubekan, penyahat itu tak nampak bayangannya. Saking
mendongkolnya, Bu Tim me-maki-maki ka lang-kabut.
"Kita tengok kekamar Sipsute sana!" ajak Thian Hong tiba-tiba.
"Ah, siang 2 Congthocu sudah minta Liok-Locianpwe menjaga kamar Sipsute itu, dan
minta Tio-samko menya ga Bun-suko. Kalau tidak begitu, masa Suso begitu senggang
main taruhan dengan kita?" kata Jun Hwa.
Thian Hong puji keCermatan Congthocu itu, tapi dia tetap berkeras mengajak tengoki
ketempat ke 2 saudaranya itu. Akhirnya Keh Lok setuju juga. Mereka lebih dulu menilik Bun Thay Lay. Tampak kamar itu terang benderang. Bun Thay Lay dan Tio Pan San
tengah bermain Catur. Mereka tak hiraukan ramai 2 diluar itu.
Kini semua orang menuju kekamar Hi Tong. Terlihatlah Liok Hwi Hing duduk diatas
titian. Melihat rombongan orang banyak sekali datang, dia serentak berbangkit dan
menyata kan tak ada kejadian suatu apa. Semua orang menjadi uring 2an dan heran.
Demi mengawasi kesekeliling, Thian Hong dengan tiba-tiba melihat dari sela 2 jendela kamar Hi Tong itu, nampak ada sepelik letikan api yang baru saja padam. Jadi nyata lilin kamar itu baru saja dimatikan. Dia agak Curiga dan akan melihat Hi Tong.
Jilid 25 "DIA sudah tidur nyenyak, maka aku jaga diluar," Cegah Hwi Hing.
"Kalau begitu, Ayo kita Cari kelain tempat lagi," kata Lou Ping.
"Tidak, lebih baik tengoki Sip-sUte dulu," Thian Hong ber keras.
Sambil memegang obor, dia dorong daun pintu. Kamar tak ada apa-apa yang
mencurigakan keCuali tubuh Hi Tong nampak bergerak diatas pembaringan. Thian Hong
Coba sulut lilin dengan obornya, tapi. taj berhasil. Ketika diambilnya dan diperiksa, ternyata sumbu lilin itu sudah terputus rata, se-olah 2 dipotong. Jadi terang kalau api lilin tadi tidak ditiup padam, melainkan ditimpuk dengan senjata rahasia. Hati Thian Hong berCekat dan menghampiri kedekat tempat tidur.
"Sipsute, kau toh tidak kenapa-apa?" tanyanya.
Agak ke-malas 2an "kelihatan Hi Tong mengisar tubuhnya, seperti lakunya orang yang
gelagapan bangun tidur. Mukanya masih terbalut kain, sahutnya: "Ah, Hit-ko, bukankah malam ini kau menjadi pengantin" Mengapa menengoki Siaote?"
Lega hati Thian Hong, demi Hi Tong tidak kenapa-apa. Dia sulut lilin itu dengan
obornya. Ternyata dimana dinding terlekat sebuah anak panah kecil, ujungnya masih
terdapat minyak Ulin.
Diketahuinya bahwa panah kecil itu adalah milik Hi Tong, senjata yang sering ditiupkan dengan seruling emasnya. Tak habis dimengerti: mengapa begitu rombongan
saudaranya datang, Hi Tong Buru-buru membunuh lilinnya" Apalagi begitu terburu-buru
, sampai tidak ditiup tapi memadamkan dengan senjata rasia dengan serulingnya "
Saat itu Tan Keh Lok es. pun sudah sampai disitu.
"Wah, saudara-saudara semua datang kemari. Aku tak kenapa-apa, terima kasih atas
perhatian saudara-saudara," kata Hi Tong.
Thian Hong akan Cabut paku panah yang menancap di dinding itu, tapi tangannya
dijawil Keh Lok, maka tak jadi. Orang-orang sama mengetahui selimut Hi Tong itu agak menonyol. Selain dia, tentu dalamnya ada benda lainnya.
"Kalau begitu, harap Sipsute baik-baik mengasoh," ujar Keh Lok, seraya mengajak
semua orang berlalu. Katanya lalu kepada Hwi Hing: "Kita masih minta bantuan LiokloCian-pwe untuk menjaga disini lagi. Kita akan menyelidiki keluar".
Setelah semuanya pergi kembali Hwi Hing duduk diatas titian lagi.
"Undang semua penjaga kemari", kata Keh Lok ketika sudah kembali dikamar depan.
Tak berapa lama ke 2 saudara Siang, Ciang Cin, Ciok Siang Iing, Cio Su Kin masak.
Sedang Tan Keh Lok duduk diatas pembaringan, semua orang sama mengelilingi. Walau
pun merasa heran, namun mereka tak brani bertanya. Hanya Bu Tim yang tak sabar
lagi. "PenCuri itu terang bersembunyi didalam selimut Sipsute Siapakah dia itu sebenarnya"
Mengapa Sipsute melindunginya?"
Atas pernyataan Bu Tim itu, semua orang ikut heran. Hi Tong memang pada waktu
akhir 2 ini bersikap aneh. Dia lama juga menyelundup dalam tangsi Li Khik Siu, dan
malah pernah menolong jenderal itu sewaktu terjadi pembakaran tangsi, sewaktu
orang-orang HONG HWA HWE merampok penyara membebaskan Bun Thay Lay.
Demikian ramai 2 orang-orang omong ini-itu tentang diri Hi Tong.
"Lebih baik kita beramai tanya padanya. Kita toh sudah bersumpah sehidup semati,
mengapa dia akan mengelabuhi kita?" kata Ciang Cin.
Semua orang menyetujui.
"Mungkin Sipsute ada apa-apa yang berat untuk mengatakan nya. Lebih baik dengan
pura-pura mengantar makanan, kita Coba memeriksanya" usul Thian Hong.
Kembali orang-orang sama setuju. Tampak Ciu Tiong Ing akan ber-kata-kata, tapi tidak jadi. Hanya matanya memandang kearah Tan Keh Lok.
"Terang kalau orang itu sembunyi dikamar Sipsute. Kita tak boleh gegabah membikin
susah Sipsute. Dia setia sehidup semati dengan kita semua. Misalnya dia rela korban
kan jiwa untuk menolong Suko. Tentang jiwa Sipsute kita tak sangsi lagi. Kalau kini dia berbuat begitu, tentulah ada sebabnya. Adanya kuminta Liok-Locianpwe menjaga disitu, agar orang itu jangan sampai menCelakakan Sipsute. Asal Sipsute tidak kenapa-apa,
kita tak perlu menCari tahu hal itu lebih lanjut, agar jangan melukai perasaannya",
demikian Keh Lok akhirnya mengutarakan pendapatnya.
Ciu Tiong Ing memuji pikiran ketua HONG HWA HWE itu.
"Kelak kalau dia mau mengatakan, tentu dia bilang sendiri. Tak perlu kita usik. Memang sifat anak muda mudah tersinggung. Mungkin juga urusan peribadi. Asal tak melanggar
peraturan partai saja," kata Keh Lok lebih lanjut.
Kalau semua orang tunduk dengan kebijaksanaan pemimpin itu, adalah Thian Hong
sendiri yang merasa jengah. Diam-diam dia mengaku kalah dengan peribadi sang ketua
itu. "Setiap detik dari malam perkawinan adalah berharga sekali, mengapa kalian ber 2
masih bergadang disini," Lou Ping menggoda Thian Hong dan' Ciu Ki.
Kembali semua orang tertawa ria.
Kini kita tengok keadaan dikamar Hi Tong. Begitu semua orang sudah berlalu, dia
Cepat-cepat turun dari pembaringan, berdiri disamping meja. Ketika tindakan kaki
orang-orang sudah lenyap, dia nyalakan lilin seraya berkata dengan bisik-bisik :
"Mengapa kau kemari?"
Dari dalam selimut timbul sebuah kepala orang, terus loncat turun duduk ditepi
pembaringan. Orang itu kelihatan tundukkan kepala, dadanya ber-ombak 2, air matanya
mengalir. Itulah puteri Li Khik Siu, atau murid perempuan dari Liok Hwi Hing, Li Wan Ci adanya. Dia mengenakan pakaian serba hitam sehingga mukanya yang putih itu
nampak dengan jelas. Sepasang tangannya diletakkan diatas pangkuan, tetapi tak
berkata-kata, hanya air matanya yang ber CuCuran membasahi lengannya.
Hi Tong menghela napas.
"Kesungguhan hatimu terhadap diriku, Cukup kuketahui. Aku bukan kerbau atau kuda
yang tak punya perasaan. Hanya saja kau adalah 'Cian-kim-sioCia' (puteri kesajangan) dari seorang Ciangkun, sedang aku seorang kelana dari Dunia Persilatan, masa kuherani merusak hari depanmu?" katanya kemudian.
"Apakah dengan menghilang secara tiba-tiba itu saja kau rasa sudah berakhir?" tanya
Wan Ci dengan sesenggukan.
"Kutahu hal itu tidak pantas. Namun aku toh seorang yang bernasib malang. Hatiku
sudah beku laksana kayu..... lebih baik kau pulang saja," ujar Hi Tong.
"Karena menolong sahabat, kau menjadi fihak lawan ayahku. Hal itu tak dapat
kupersalahkan, karena kau men junyung keutamaan," kata Wan Ci. "Orang yang serba
guna (bun-bu-Cwan-Cay) seperti dikau ini, mengapa tak mengambil jalan benar,
berjoang untuk memperoleh pangkat kedudukan" Mengapa mesti berkelana dikangouw
yang tak keruan itu" Asal kau mau merobah, ayah tentu........."
"Kau puteri seorang pembesar, memang aku tak pantas mendampingimu. Kita kaum
HONG HWA HWE menjalankan kebaikan dan keadilan, menolong yang susah. Kita
semua adalah orang lelaki yang mempunyai ambekan, tak nanti sudi menjadi hamba
pemerintah asing?" Hi Tong marah.
Tahu kalau kelepasan omong, merah selebar muka Wan Ci. Katanya pula: "Setiap orang
mempunyai Cita 2 sendiri. Bukan aku hendak memaksamu. Kalau kau senang dalam hal
itu, akupun senang juga. Kuberjanji mendengar kata-kata mu, selanjutnya aku takkan
membantu ayah lagi. Kukira Suhuku pun dapat menjelaskan."
Kata-kata terakhir itu diuCapkan agak keras, agar Hwi Hing yang berada diluar kamar
itu dapat mendengarnya. Hi Tong merenung tak menyahut.
"Kau katakan sioCia dari pembesar itu tidak baik, nah, aku tak mau menjadi sioCia lagi.
Kau bilang HONG HWA HWE itu baik, akupun juga............ ikut padamu," kata-kata itu diuCapkan Wan Ci dengan napas yang sesak, dan saking malu serta bingungnya, ia
menangis. "Kalau tiada bantuanmu yang membawa aku kegedungmu dan mengobatinya, rasanya
jiwaku pasti tak tertolong lagi. Menurut kepantasan, sekalipun badanku hanCur lebur, masih
belum dapat membalas budimu itu. Tetapi, ah......... sayang ."
"Adakah kau sudah mempunyai tunangan, sehingga kau pandang diriku begini tak
berharga?" Wan Ci bangkit menegas.
Memang Hi Tong itu aneh. Dia tak dapat melupakan Lou Ping. Dalam hal paras dan asal
usul, Wan Ci tidak dibawah Lou Ping. Tapi entah bagaimana, dia begitu tawar terhadap nona itu. Sejak bertemu Hi Tong dirumah penginapan dulu itu, hati Wan Ci mulai tak
tenteram. Ia selalu terkenang akan wajah anak muda dengan seruling emasnya itu.
Ketika ke 2 kalinya berjumpa dipenyeberangan Hoangho, ia tampak berobah. Juga
ayahnya dapat melihat perubahan itu dan penuju juga. Siapa nyana dalam
pertempuran, anak muda itu ternyata orang HONG HWA HWE dan ikut kabur.
Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wan Ci seperti orang yang kehilangan semangat. Setiap hari ia berkuda keluar kota,
tanpa suatu tujuan. Khik Siu tahu perasaan puterinya, maka dibiarkan saja sang gadis berbuat begitu untuk melipur hati.
Hari itu Wan Ci habis pulang pesiar dari kota sebelah barat. Kebetulan berpapasan
dengan Lou Ping yang juga mau pulang setelah mencuri vaas giok. Tahu kalau Lou Ping
adalah orang penting dari HONG HWA HWE, maka dikuntitnya hingga sampai ke Thian
Bok San. Wan Ci berlaku hati-hati, sedang Lou Ping tengah dimabuk kegirangan, jadi lengah.
Sedikitpun ia tak menaruh Curiga kalau dikuntit.
Ketika Wan Ci masuk kedalam rumah, telah dapat diketahui oleh orang-orang HONG
HWA HWE, tapi ia beruntung dapat bersem bunyi. Tengah malam, ia bermaksud
menCari tempat Hi Tong, untuk tumpahkan isi hatinya. Apa lacur, ia keliru mendatangi kamar pengantin baru. Ia kesomplokan dengan Sim Hi dan Ciang Cin. Dalam
perkelahian, pundaknya kiri kena dihantam Siang He Ci. Sakitnya bukan buatan.
Dengan menahan sakit, ia sembunyi. Lebih dulu ia lempar beberapa batu kecil kearah
lain untuk membingungkan pe ngejarnya, lalu ia menyelundup keruangan belakang.
Disitu ia berpapasan dengan Suhunya, Hwi Hing, siapa segera menyambret lengannya.
"Suhu!" Wan Ci berseru tertahan dengan kaget.
"Mengapa kau kemari"!" bentak Hwi Hing dengan gusar.
"Aku Cari I-suko untuk menyampaikan beberapa perkataan," sahut sigadis. Hwi Hing
menunyuk kesebuah kamar disebelah kanan.
Wan Cie segera mengetok daun pintunya seraya memanggil. Karena suara berisik
orang-orang sama menCari penCuri tadi, Hi Tong pun sudah terjaga. Ia siap dengan
kim-tiok atau seruling emasnya, sandarkan tubuhnya ditepi pembaringan. Betapa
kagetnya, sewaktu kedengaran Wan Ci memanggil. Maka begitu gerendel pintu dibuka,
Wan Cipun menobros masuk.
Bingung juga Hi Tong di buatnya. Bahwa seorang pemuda dan seorang pemudi berada
dalam sebuah kamar adalah kurang lajak, Cukup di nsyapinya. Baru saja dia sulut lilin untuk menanya, tiba-tiba kedengaran derap kaki orang-orang sama mendatangi. Karena
luka-lukanya, dia masih belum leluasa ber gerak, terpaksa dia gunakan panah kecil yang ditiupkan dengan serulingnya untuk memadamkan api.
"Ie-suko, tolonglah aku!" Wan Ci berbisik separoh meratap, demi Thian Hong dan
Kawan-kawan nya mengetok pintu.
Karena kehabisan akal, Hi Tong suruh Wan Ci menyusup kedalam selimutnya.
Demikianlah kejadian tadi. Syukur atas kebijaksanaan Tan Keh Lok, Wan Ci tidak sampai mendapat malu.
Pada saat Wan Ci mendesak Hi Tong, adalah pemuda itu sudah mempunyai lain nona
yang telah dipenujuinya, Hi Tong menjadi serba salah. Hendak mengatakan hal yang
sebenarnya, malu. Kalau mau menyawab belum punya, pun salah.
"Begitu mendalam kau Curahkan perasaanmu, tentunya nona itu sepuluh kali lebih
hebat dari aku. Maukah kau me ngenalkannya padaku"!' Wan Ci terus mendesak.
Saking tak dapat menCari jawaban, Hi Tong segera menarik kain putih yang membalut
mukanya. "Kini aku telah berubah setan macam begini, lihatlah jelas 2!" serunya kemudian.
Diantara Cahja lilin, muka Hi Tong menakutkan sekali tampaknya. Boleh dikata roman
yang dulunya Cakap itu, kini sudah rusak penuh dengan bintik 2 merah yang tak keruan macamnya. Saking kagetnya Wan Ci sampai mundur setindak, sambil mengeluarkan
jeritan tertahan.
"Aku seorang Celaka, Hatiku buruk, kini rupaku pun jelek ............... nah, kau
pulanglah!" kata Hi Tong.
Beberapa detik, Wan Ci kehilangan kesedarannya. Hi Tong tertawa keras-keras.
"Mukaku seburuk iblis ini, tentu kau tak tahan melihat nya. Li-sioCia, kau tentu sesalkan kedatanganmu malam ini, bukan" Ha, ha!"
Tingkah pemuda itu tak wajar, berkata sambil tertawa. Saking takutnya, Wan Ci
menjerit terus tutupi mukanya lari keluar. Hi Tong ketawa sampai sekian lama. ketawa yang penuh mengandung arti. Dia kutuk peruntungannya yang Celaka itu.
Tengkurepkan kepalanya keatas meja, dia menangis ter-lara 2.
Sedari tadi Hwi Hing masih tetap duduk di-undak 2an. Sekalipun tidak mendengar jelas, dapat juga dia menduga. Dia mengerti, kalau saat itu menghibur Hi Tong tentu
perCuma saja. Sebaliknya dia mengambil putusan untuk memberitahukan kejadian tadi
Istana Pulau Es 15 Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung Harpa Iblis Jari Sakti 27
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama