Ceritasilat Novel Online

Pedang Darah Bunga Iblis 11

Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Bagian 11


memecah peti mati juga akan merusak jenazah itu.
Bersamaan waktu gadis baju hitam roboh terkapar. Rasul
penembus dada langsung berkelebat tiba dipinggir peti mati,
dimana cundriknya yang kemilauan sudah terangkat.
Benak Suma Bing berputar cepat, tak peduli Pek chio Lojin benar2
mati atau pura2 mati. Yang benar dirinya hendak minta obat
kepada orang, Rasul penembus dada ini juga merupakan musuh
besarnya, mana bisa dibiarkan saja...
Karena pikirannya ini gesit sekali tubuhnya mendesak maju
mendekati Rasul penembus dada, bentaknya sinis: "Letakkan
cundrik itu!"
Rasul penembus dada melotot gusar kearah Suma Bing sambil
membanting kaki, tanpa terasa dia turunkan cundrik yang sudah
terangkat tinggi itu, katanya: "Suma Bing, kau hendak berbuat
apa?" "Membuat perhitungan!" "Nanti setelah kerjaanku selesai,
seumpama kau tidak
mencari aku, malah aku akan mencarimu!" "Tidak kuizinkan kau
menyentuh jenazah itu." "Tidak boleh" Apa kau bisa?" "Silahkan
kau coba2." Rasul penembus dada mendesis geram, sinar tajam
berkelebat cundrik ditangannya itu tahu2 sudah menyelonong
mengarah ulu hati Suma Bing. Cara tusukan ini benar secepat
kilat dan aneh sekali. Suma Bing insaf dirinya tak bakal dapat
melawan tusukan maut ini, gesit sekali badannya melayang
berkelit, kalau tidak mengandal kehebatan Bu siang sin hoat,
sudah siang2 cundrik musuh itu sudah bersarang didadanya.
Memang sudah terhindar dan selamat dari serangan maut itu.
Tapi tak urung jantungnya berdetak keras, keringat dingin
membasahi jidatnya.
Baru saja Suma Bing berkelebat menyingkir. Mendadak Rasul
penembus dada membalik tubuh, cundriknya lagi2 menusuk
kearah peti mati!
"Cari mati!" Suma Bing membentak sengit, segulung angin
pukulan bagai gugur gunung langsung menerjang tiba, sejak dia
minum Darah pusaka naga bumi, betapa tinggi dan dalam
kekuatan tenaga dalamnya, sukar dicari tandingan di Bu lim.
Rasul penembus dada membalik sebuah tangan untuk menangkis.
Ternyata kali ini dia tidak kuat bertahan, beruntun mundur lima
tindak. Mendapat peluang ini cepat2 Suma Bing mendesak maju
merintang didepan peti mati.
Pada saat itulah kebetulan gadis baju hitam kebetulan berdiri,
tanpa buka suara tangannya diangkat terus menghantam
kepunggung Rasul penembus dada.
"Menyingkir!" Lalu disusul seruan kejut yang ketakutan. Dengan
kecepatan bagai kilat Rasul penembus dada
membalik tangan menangkis lalu disusul cundriknya berkelebat
menusuk. Gadis baju hitam itu tak mampu lagi menyingkir. Baju
didepan dadanya seketika dedel dowel, buah dadanya yang putih
montok itu membal keluar, sambil berseru kaget cepat2 kedua
tangan disilangkan didepan dada untuk menutup sambil mundur
sampai dipojokan.
Kontan merah jengah wajah Suma Bing melihat adegan yang lucu
menggelikan ini.
"Cundrik penembus dada hanya khusus untuk membunuh para
durjana, kau tidak tercatat dalam daftar, maka kuampuni
jiwamu!" Gadis baju hitam tidak berani banyak tingkah dan bercuit lagi.
Tanpa terasa tergerak hati Suma Bing, apa maksud dengan daftar
yang tercatat itu" Naga2nya Jeng siong hwe mengutus Rasul
penembus dada membunuh dan menimbulkan banjir darah
dikalangan Kangouw merupakan kejadian yang sudah
direncanakan terlebih dulu. Mungkin mereka membunuh karena
menuntut balas, atau mungkin juga ada latar belakang lainnya.
Tapi tak peduli bagaimana, hari ini dirinya harus merintangi
perbuatan keji Rasul penembus dada. Kalau tidak jikalau Hoan hun
tan tidak bisa diperoleh bukanlah berarti jiwa bibinya Ong Fong jui
akan melayang. Maka hardiknya keras: "Rasul penembus dada,
perhitungan kita selesaikan dalam pertemuan selanjutnya.
Sekarang silahkan kau menggelinding pergi!"
Rasul penembus dada ganda mendengus ejek: "Suma Bing, kau
sedang bermimpi!"
"Kau enyah tidak?" "Kau hendak menjual jiwamu untuk Pek
chio Lojin?" "Kalau benar kau mau apa?" "Apa hubunganmu
dengan setan tua itu?" "Kau tidak perlu tahu!" "O, mungkin
kau ketarik dengan muridnya ini?" "Kau kentut apa?" "Suma
Bing, jiwamu hanya sementara saja kutitipkan diatas
badanmu. Cundrik penembus dada setiap saat bisa melobangi
dadamu. Ketahuilah diatas daftar pencabutan jiwa namamu masih
tercantum dan belum kucoret!"
Suma Bing menggerung gusar, semprotnya: "Meski cundrikmu itu
tajam, takkan mempan menusuk dadaku!"
"Boleh kau tunggu saja!" "Sekarang aku ingin kau enyah!"
"Suma Bing, jiwamu sendiri belum tentu bisa selamat,
masih banyak lagak menjual jiwa bagi kepentingan orang lain?"
"Belum tentu!" "Coba kau berpaling!" Suma Bing agak terkejut,
waktu ia berpaling seketika
merinding bulu tengkuknya, diarah dekat pintu biara sebelah luar
berjajar berdiri empat orang serba putih dan berkedok putih pula,
jubah didepan dada mereka bergambarkan sebuah cundrik merah
darah. Benar2 Suma Bing merinding dibuatnya, sungguh diluar
sangkanya dalam waktu bersamaan ini sekaligus muncul lima
Rasul penembus dada.
Jikalau kepandaian dan Lwekang kelima Rasul penembus dada ini
sama tinggi dan lihaynya, hari ini mungkin dirinya susah menang,
kalau untuk merat saja tidak menjadi soal, tapi untuk melindungi
Pek chio Lojin guru dan murid agaknya tidak gampang.
Tapi pembawaan wataknya yang keras dan sifat2 sesat gurunya
yang sudah menular dan berdarah daging itu membuat dia tidak
tahu apa artinya mundur, sekilas ia menyapu pandang para
musuhnya, wajahnya membeku dingin tanpa mengunjuk reaksi,
jengeknya dingin: "Mengandal kekuatan kalian berlima?"
"Masa belum cukup untuk mengantar kematianmu?"
"Mari segera dimulai!"
Rasul penembus dada yang berhadapan dengan Suma Bing itu
ulapkan tangan, segera empat rasul lainnya yang berdiri diambang
pintu serentak menubruk kearah Suma Bing sambil kirim serangan
gabungan, empat gelombang badai pukulan menerpa mengurung
seluruh tubuh Suma Bing.
Suma Bing insaf kalau dirinya berkelit menyingkir meninggalkan
peti mati ini, pasti Rasul yang seorang itu menggunakan peluang ini
untuk turun tangan. Maka terpaksa dia tetap berdiri ditempatnya
dan kerahkan tenaga dikedua belah tangan untuk menyambut
serangan tenaga gabungan empat musuhnya secara keras.
Dar... ditengah benturan yang menggeledek ini, terjadilah hujan
abu dan pecahan genteng berhamburan, seluruh bangunan
kelenteng itu tergetar ber-goyang2 hampir ambruk. Kalau Suma
Bing masih berdiri tanpa bergeming dengan muka pucat,
sebaliknya keempat musuhnya itu tergetar mundur sempoyongan.
Sementara itu gadis baju hitam sudah membetulkan letak
pakaiannya, dengan sorot mata yang susah dijajaki dia tengah
mengawasi Suma Bing.
Begitu dapat berdiri tegak lagi keempat Rasul itu segera
merangsang maju lagi lebih hebat dari jurusan yang berlainan,
masing2 lancarkan sebuah pukulan lagi.
Seketika terlihat bayangan pukulan berkelebat bagai bentuk
gunung, perbawanya bagai gelombang lautan yang tidak kenal
putus. Sedemikian keras dan deras samberan angin pukulan itu
seumpama keserempet saja pasti kulit manusia bisa terkupas,
bukan saja perlawanan Suma Bing ini sangat aneh dan ajaib
kecepatan bergerak juga bagai kilat. Seluruh tokoh silat pada masa
itu yang kuat bertahan dari kepungan empat Rasul sekaligus
mungkin dapat dihitung dengan jari.
Pertempuran para tokoh silat yang berkepandaian sempurna, kalah
menang hanya tergantung dalam waktu
sedetik saja, hampir boleh dikata tiada kesempatan untuk berpikir.
Tanpa sadar terpaksa Suma Bing gunakan gerak kelit dari ilmu Bu
siang sin hoat berkelebat keluar dari kepungan para musuhnya,
dan hampir dalam waktu yang bersamaan Rasul penembus dada
yang membekal cundrik terhunus itu dengan kecepatan kilat terus
menubruk maju kearah peti mati.
Suma Bing berpekik kalap: "Berani kau!" Seluruh kekuatan
dihimpun untuk melancarkan pukulan Kiu
yang sin kang yang dahsyat. Sejak minum darah pusaka naga
bumi, dan sudah
membaurkan kekuatan tambahan ini kedalam Kiu yang sin kang,
perbawa kekuatan pukulan Kiu yang sin kangnya sekarang sudah
berlipat ganda lebih hebat dari sebelumnya. Meskipun belum bisa
mencapai tingkatan Loh Cu gi yang dapat sekali pukul membumi
hanguskan benda tapi juga sudah sangat mengejutkan.
Gelombang panas bagai lahar gunung berapi segera menggulung
tiba, kecepatannya juga sangat mengejutkan.
Terdengar jerit panjang yang mengerikan, tampak Rasul
penembus dada terbang sejauh satu tombak lebih, kedok putih
yang menutup mukanya berobah warna darah.
Belum lenyap suara jeritan pertama disusul lagi jeritan kedua, kini
Suma Bing sendiri yang terpental terbang kebelakang menumbuk
dinding, dan 'Bum' tubuhnya melorot jatuh lagi dikaki tembok.
Yang turun tangan membokong Suma Bing ini bukan lain adalah
keempat Rasul lainnya itu.
Sambil menggigit bibir Suma Bing merangkak bangun, ujung
bibirnya berlepotan darah segar, baju depan dadanya juga basah
kuyup oleh darah.
Melihat keadaan Suma Bing ini, keempat Rasul itu agak gugup dan
kesima, mereka mundur ketakutan.
Wajah Suma Bing sedemikian pucat menakutkan, sorot matanya
memancar buas menggiriskan bulu roma, dengan langkah lebar
dia menghampiri kearah peti mati, lalu berputar menghadapi
keempat Rasul itu lagi.
Agaknya keempat Rasul itu sesaat terpengaruh oleh sorot mata
dan sikap gagah Suma Bing, mereka berdiri terlongong tanpa
bergerak lagi. Rasul yang terpukul oleh hantaman Suma Bing saat itu juga sudah
terhuyung bangun, tangannya masih tetap menggenggam
cundriknya itu, sorot matanya menembus keluar dari balik kedoknya
menatap wajah Suma Bing, keadaan ini benar2 membuat merinding
bagi yang menyaksikan.
Walaupun malam semakin larut, keadaan sekelilingnya hitam
pekat, tapi bagi mereka tokoh2 silat kelas tinggi, kegelapan malam
tidak menjadi halangan, mereka masih tetap dapat melihat seperti
disiang hari. Sementara gelanggang pertempuran hening senyap, tapi
mengandung nafsu membunuh yang me-luap2 dan setiap saat
dapat meledak. Agaknya Rasul yang mencekal cundrik itu adalah kepala dari
kawanan Rasul itu, sedang empat yang lain hanya pembantunya
saja. "Maju!" Rasul yang mencekal cundrik itu memberi aba2, keempat
Rasul lainnya bagai tersadar dari lamunannya, serempak mereka
maju mendesak. Saat mana Suma Bing juga menghimpun kekuatannya pada
kedua lengannya siap menghadapi setiap serangan.
Setelah maju beberapa langkah, berbareng keempat Rasul itu
lancarkan sebuah pukulan.
-oo0dw0oo- Jilid 10 37. LIMA RASUL DIBIKIN KEOK SEKALIGUS.
Bagai bayangan setan tubuh Suma Bing berkelebat
memutar kebelakang keempat Rasul itu, kedua tangan tiba2
diayun berbareng.
'Blang', disertai sebuah seruan tertahan, satu diantara keempat
Rasul itu terbang jauh keluar pintu kelenteng. Bertepatan dengan
itu sebilah cundrik yang berkilau dingin tahu2 sudah mengancam
didepan dada Suma Bing.
Keruan kaget Suma Bing bukan alang kepalang, begitu tangan
digentakkan, Cincin iblis yang dikenakan ditengah jari kontan
memancarkan sinar mencorong 'Creng' kontan Suma Bing tergetar
sempoyongan, Rasul yang membekal senjata itu juga terhuyung
beberapa langkah. Ketiga Rasul yang lain juga pada saat itu
menyerang tiba pula.
Bu siang sin hoat benar2 sakti mandraguna, begitu tubuhnya
limbung karena benturan keras tadi, kakinya lantas menggeser
selicin belut berganti tempat, dimana kekuatan tenaga dipusatkan
ditangan kanan, lagi2 cahaya sinar Cincin iblis mencorong lebih
tajam terus disapukan kearah ketiga Rasul yang menyerang tiba.
Kaget ketiga Rasul itu bukan alang kepalang serasa arwah mereka
terbang meninggalkan badan, cepat2 mereka menjejakkan kaki
melejit jauh menyingkir.
Kini Suma Bing kembali berdiri tegak didepan peti mati lagi,
sikapnya garang dan siap siaga.
Pada saat itulah Rasul yang terpental keluar pintu kelenteng itu
agaknya lukanya tidak terlalu berat, kini melangkah masuk lagi
kedalam ruangan ini. Kelima Rasul berdiri dalam posisi lima
penjuru, Suma Bing terkepung ditengah.
Sekian lama kedua belah pihak sama berdiri mematung siap siaga
menunggu serangan musuhnya.
Setengah jam telah berlalu, keadaan tetap sunyi tanpa seorang jua
bersuara. Akhirnya Suma Bing sendiri berlaku kurang sabar.
Dimana sinar Cincin iblisnya menyapu datang. Dua Rasul yang
berdiri dihadapannya segera melejit menyingkir kebelakang. Tapi
sebelum cahaya Cincinnya mengenai sasarannya mendadak tubuh
Suma Bing membalik terus kirim sebuah hantaman dahsyat
kebelakang dengan kekuatan Kiu yang sin kang, gerak kecepatan
tubuhnya benar2 mempesonakan sampai susah diikuti oleh
pandangan mata.
Betapapun tinggi kepandaian Rasul penembus dada, juga susah
menghadapi rangsangan yang datang secara mendadak ini.
Kontan terdengar dua lolong jeritan panjang, satu diantara Rasul
yang menerjang tiba lebih dulu kontan roboh terkapar, sedang yang
lain terpental jungkir balik setombak lebih, kedok dimukanya basah
oleh air darah, agaknya lukanya tidak ringan. Bentakan2 nyaring
memekak telinga, tiga Rasul lainnya menubruk maju berbareng
sambil lancarkan serangan berantai, jurus dan tipu serangannya
sangat aneh menakjubkan se-akan2 air sungai mengalir deras
tanpa putus- putus.
Keruan Suma Bing kebingungan dan gugup mencak2, beruntun
empat kali tubuhnya berputar sambil menangkis, baru tubuhnya
dapat berdiri tegak lagi.


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cara turun tangan ketiga Rasul itu adalah menggunakan gerak
cepat, jurus dan tipu serangannya sedemikian gencar dan rapat
bagai hujan derasnya. Sehingga tiada sempat Suma Bing
menggunakan Cincin iblis dan melancarkan pukulan Kiu yang
sinkang. Dalam sekejap mata tiga puluh jurus telah berlalu. Tadi
berulangkali Suma Bing lancarkan Kiu yang sinkang
dan Cincin iblis tenaga murninya banyak terkuras keluar, meskipun
jalan darah mati hidupnya sudah tembus, tenaga dalamnya tidak
mengenal putus. Tapi bagaimana juga musuh terlalu tangguh
untuk menghadapinya ia harus kerahkan setaker tenaganya, maka
dengan cepat tenaga murninya semakin susut, keadaannya
semakin payah dan terdesak dibawah angin.
Sebaliknya ketiga Rasul penembus dada itu lebih gencar lagi
menyerang secara mati2an, ditengah berkesiurnya angin pukulan
diselingi juga sinar berkeredep dari cahaya cundrik yang
menciutkan nyali orang, perbawa dan kekuatan gabungan mereka
bertiga ini benar2 mengagumkan.
Memangnya kelenteng itu sudah tua dan reyot, apalagi angin
pukulan sedemikian deras sehingga atapnya bergetar, genteng
dan debu berterbangan tak henti2nya. Agaknya kalau kedua belah
pihak yang bertempur tiada seorangpun yang mau menghentikan
pertempuran ini, tanggung tak lama lagi kelenteng reyot ini pasti
ambruk sama sekali.
Bagi Suma Bing yang kedatangannya memang ada maksud
tertentu, sudah tentu tidak bakal mau mundur atau mengalah.
Terdengar sebuah bentakan menggeledek, kontan terlihat salah
satu dari ketiga Rasul itu terjengkang mundur sambil muntah
darah. Dalam waktu yang bersamaan, cundrik Rasul penembus dada juga
menyobek kulit lengan Suma Bing sehingga terluka panjang, darah
membanjir keluar dengan derasnya. Maka
wajahnya yang semula sudah tegang penuh nafsu membunuh kini
tambah pucat menakutkan, napasnya juga mulai memburu.
Suma Bing insaf mara bahaya selalu mengancamnya, dia harus
secepat mungkin mengakhiri pertempuran ini, kalau tidak entah
bagaimana akhirnya susah dibayangkan. Karena ketetapan hatinya
ini, tenaganya dikerahkan seluruh sambil kertak gigi beruntun dia
lancarkan sembilan kali pukulan berantai.
Begitu sembilan pukulan ini dilancarkan habis tepat sekali satu
diantara Rasul pengeroyok itu dengan telak kena terpukul roboh
terjungkal tak bisa bergerak lagi.
Karena pengerahan tenaga yang ber-lebih2an ini, seketika Suma
Bing rasakan pandangannya ber-kunang2, kepala terasa berat
sebaliknya tubuhnya enteng bagai terapung ditengah udara.
Demikian juga keadaan Rasul penembus dada yang membekal
cundrik itu, napasnya juga ngos2an, dadanya turun naik dengan
keras. Sekarang tinggal Suma Bing dengan Rasul penembus dada yang
pegang cundrik saja masih berhadapan seperti dua ayam jago
yang sudah kehabisan tenaga saling pentelengan tanpa bergerak
lagi. Agak lama kemudian baru Suma Bing membuka mulut dengan
suara gemetar: "Hari ini akan kubuat kalian berlima menggeletak
tak bernyawa lagi dalam kelenteng bobrok ini."
Rasul penembus dada menyeringai sinis: "Suma Bing, cundrikku ini
juga dapat menembus ulu hatimu!"
Lantas terdengar pula suara bentakan dan teriakan yang simpang
siur mereka berkutet dan bertempur lagi dengan sengitnya. Tapi
sudah tidak sehebat tadi sebab kedua belah pihak sudah sama2
kehabisan tenaga, mereka hanya bergerak
dan meronta demi kemenangan terakhir saja. Bukti dan kenyataan
sudah jelas, akhirnya mereka berdua pasti akan sama2 gugur dan
tamat riwayatnya.
Pada saat itulah mendadak terdengar sebuah bentakan nyaring:
"Berhenti!"
Tanpa diminta kedua kalinya serta merta mereka berhenti
bertempur. Masing2 mundur dua langkah sambil pentelengan
dengan mata membara gusar.
Ternyata gadis baju hitam itu kini tampil lagi kedepan, alisnya
dikerutkan dalam2, matanya mendelik buas penuh nafsu
membunuh. Baru sekarang Suma Bing berkesempatan menghela napas lega.
Dia maklum dengan terluka berat pasti kelima Rasul penembus
dada tidak bakal berani mengumbar keganasannya lagi. Pasti gadis
baju hitam ini berkecukupan untuk menghadapi mereka. Maka
segera ia mengundurkan diri kesamping, diam2 ia kerahkan tenaga
untuk berobat diri.
Sorot mata gadis baju hitam menyapu pandang kepada empat
Rasul yang terluka berat, lalu beralih menatap kearah Rasul
penembus dada yang mencekal cundrik itu katanya: "Kalian
mendapat perintah dari siapa untuk mengambil jiwa suhuku?"
"Dari ketua Jeng siong hwe!" sahut Rasul penembus dada.
"Siapakah ketua kalian?" "Kau tidak perlu tahu!" "Ada
permusuhan dan dendam apa dengan guruku?" "Tidak perlu
kujelaskan." Gadis baju hitam mengacungkan sebelah
tangannya, ancamnya: "Ini segenggam pasir beracun yang dinamakan Cui
hun soa. Segenggam ini kukira cukup untuk menamatkan riwayat
kalian berlima bukan?"
"Mungkin, tapi kau sendiri juga tidak akan tetap hidup!" Gadis
baju hitam menurunkan tangan, ujarnya: "Sekarang
ini aku tidak akan berbuat begitu. Sebab suhu memang benar
sudah meninggal, orangnya mati permusuhan himpas. Hanya aku
ada sedikit permohonan, jangan kalian merusak jenazahnya!"
"Tidak mungkin!" seringai Rasul penembus dada dingin. Gadis
baju hitam naik pitam teriaknya: "Orangnya sudah
mati, jenazahnya juga tidak kau lepaskan!" "Ya, cundrik ini harus
menembusi dadanya dulu!" "Kujelaskan sekali lagi, suhuku betul2
sudah meninggal!" "Mati atau hidup sama saja!" "Kalau begitu
jangan kalian sesalkan cara turun tanganku
terlalu kejam!" "Silahkan sesuka hatimu kau turun tangan, tapi
kau sudah tiada kesempatan lagi!" "Omong kosong!" Tiba2 badan gadis baju
hitam melejit mundur setombak
lebih, tangannya sudah terangkat tinggi, siang2 tangannya sudah
menggenggam pasir beracun tinggal menaburkan saja...
Rasul penembus dada ganda mendengus dingin tanpa bergerak
dan membuka suara.
Namun mendadak gadis baju hitam menurunkan tangannya pula,
ujarnya: "Kalian pergilah!"
Rasul penembus dada juga masukkan cundrik kedalam balik
bajunya, suaranya sedingin es: "Inilah kesempatan, kenapa tidak
kau turun tangan, untuk selanjutnya, selamanya kau takkan ada
kesempatan lagi?"
Rona wajah gadis baju hitam berobah bergantian, timbul lagi
nafsunya membunuh, namun secepat itu pula terus menghilang,
katanya dengan suara tawar: "Silahkan kalian pergi!"
Sekilas Rasul penembus dada melirik kearah Suma Bing yang
tengah bersemedi, lalu berkata kepada gadis baju hitam:
"Beritahu kepada gurumu, soal cundrik ini menembusi dada
tinggal tunggu waktu saja, dia tidak akan dapat lolos!"
Berobah hebat air muka gadis baju hitam, serunya gemetar: "Dia
sudah mati!"
"Mati" Pek chio Lojin pandai meramu obat yang aneh2, pura2 mati
hanya dapat mengelabui orang saja!"
Habis berkata beruntun ia menutuk dan menepuk beberapa jalan
darah ditubuh keempat Rasul lainnya, satu persatu mereka berdiri
terus beriring berjalan keluar.
Kaki gadis baju hitam maju selangkah agaknya hendak merintangi
kepergian mereka, tapi dia urung bersuara. Dia maklum seumpama
membunuh kelima Rasul ini juga tidak bakal dapat membereskan
persoalan ini. Mereka hanyalah petugas yang menjalankan perintah
orang lain saja. Orang dibelakang layar itulah yang lebih kejam
menakutkan, bersama itu dia juga insaf bahwa Lwekang Rasul
penembus dada, meskipun sudah terluka berat, mungkin dirinya
masih bukan tandingannya, maka akhirnya dia ambil kepastian
untuk tidak turun tangan.
Bayangan kelima Rasul itu akhirnya menghilang ditengah kabut
malam. Gadis baju hitam menyumat sisa lilin didepan meja sembahyang.
Air muka Suma Bing pelan2 mulai bersemu merah, itulah pertanda
bahwa tenaganya sudah mulai pulih kembali.
Diam2 gadis baju hitam menggeremet kebelakang Suma Bing,
sebuah tangannya sudah menekan jalan darah besar Thian leng
hiat. Mimpi juga Suma Bing tidak menduga bahwa bayangan kematian
sudah mengulur tangan kepadanya.
Rona wajah gadis baju hitam ini be-robah2 susah diraba, entah
apa yang tengah diterawangi. Dia tengah berpikir haruskah dia
turun tangan membunuhnya. Tangannya agak gemetar, hatinya
bimbang untuk mengerahkan tenaga.
Pada saat itulah mendadak Suma Bing membuka matanya,
melihat suasana yang sepi ini tanpa terasa dia berseru heran:
"Eh!"
Cepat2 gadis baju hitam menarik tangannya. Suma Bing juga
sudah merasa, badannya berkelebat terus
membalik, serunya kejut: "Ternyata kau, dimana mereka?" "Sudah
pergi!" "Sebenarnya gurumu..." "Lebih baik tuan jangan
menanyakan hal itu lagi!" "Baik kita kembali pada persoalan
pertama, aku mohon
diberi sebutir Hoan hun tan!" "Karena kau mati2an melindungi
jenazah guruku, biarlah
kuberi sebutir, tapi..." "Bagaimana?" Bola mata gadis baju hitam
ber-putar2, memancarkan
cahaya aneh, lama kemudian baru dia bersuara: "Ada syaratnya!"
"Syarat apa" Syarat yang tadi kau ajukan..."
"Bukan!" "Syarat apa?" Suma Bing menegas.
Agaknya gadis baju hitam ingat sesuatu, maka sambil manggut2
dia berkata: "Aku berhak menunda dulu syarat yang bakal
kuajukan itu!"
"Menunda?" "Benar, asal kau ingat bahwa kau masih hutang
satu syarat kepadaku sudah cukup. Mungkin suatu waktu kelak bisa kuajukan,
tapi... juga mungkin tidak kuajukan..."
"Ini! Mengapa begitu?" "Sudah tentu ada alasanku!" Suma
Bing tak habis mengerti, orang hendak menunda hak
pengajuan syarat yang hendak diajukan, kemana tujuannya susah
diraba. Tapi bila diingat waktu dirinya pertama kali memasuki
biara ini, orang mengajukan penggantian dengan kepalanya,
dengan tegas dirinya sudah setuju, mati saja tidak ditakuti,
apalagi syarat lainnya. Maka segera ia mengangguk: "Baik aku
setuju!" "Tapi perlu kutandaskan, bila kelak syarat itu kuajukan, lalu tuan
tidak menepati janji..."
"Nona terlalu berkuatir, aku yang rendah bukan manusia macam
itu!" "Aku percaya kau, ambillah!" Lalu dari balik bajunya
dikeluarkan sebuah botol kecil yang
terbuat dari porselin terus diangsurkan kepada Suma Bing.
Tangan Suma Bing gemetar menyambuti botol kecil itu.
Legalah hatinya, kalau obat ini sudah ditangannya maka jiwa
bibinya Ong Fong jui tidak perlu dikuatirkan lagi.
"Cayhe minta diri!" "Silahkan!" Begitu keluar dari Yok ong bio
malam itu juga Suma Bing
berlarian kencang, ingin rasanya tumbuh sayap dan segera
tiba diselokan yang belum diketahui namanya itu untuk menolong
bibinya. Hari kedua tengah hari, Suma Bing sudah menempuh sejauh lima
ratusan li, karena perut terlalu lapar terpaksa dia memasuki sebuah
kota hendak menangsel perut. Baru saja sampai diujung jalanan,
sebuah bayangan dengan cepat memapak datang terdengar pula
suara yang sangat dikenalnya: "Buyung, sudah lama benar kucari
kau!" Cepat2 Suma Bing menghentikan larinya, waktu angkat kepala
kiranya yang mendatangi ini adalah si maling bintang Si Ban cwan,
cepat2 ia memberi hormat: "Cianpwe apa baik2 saja selama
berpisah?"
"Masih baik, belum mati. Buyung, sungguh tak duga kau bisa lolos
dari Bwe hwa hwe dengan tetap masih bernyawa."
"Cianpwe, musuh besar sudah kutemukan jejaknya!" "Siapa?"
"Loh Cu gi!" "Loh Cu gi?" seru si maling bintang penuh
keharuan. "Benar!" "Kau sudah menuntut balas?" "Belum,
hampir saja jiwaku melayang ditangannya!" "Dimana dia
berada?" "Bwe hwa hwe!" "Dia juga..." "Dia adalah sesepuh
atau tulang punggung dari Bwe hwa
hwe. Chiu Thong ketua mereka itu adalah muridnya."
"O, dia kenal kau tidak?" "Aku sendiri yang
memperkenalkan asal-usulku!"
"Masa dia mau melepasmu begitu saja?" "Tidak, dalam penjara
bawah tanah, kebetulan aku
bertemu dengan Tiang un Suseng Poh Jiang, dialah yang
membantu aku lolos dari kurungan!"
"Lalu bagaimana dengan Tiang un Suseng?" Mengelam air
muka Suma Bing, ujarnya sedih: "Dia sudah
mati, bersama suciku Sim giok sia!" "Benar2 terjadi demikian?"
"Suci Sim Giok sia meninggal karena diperas, sedang Tiang
un Suseng hanya mengikuti jejaknya saja. Kalau tidak dengan
gampang dia dapat lolos dari penjara itu. Hm, hutang darah itu
kelak biar kubalaskan secara total!"
"Loh Cu gi pernah merebut kedudukan jago silat kelas satu,
Lwekangnya tentu..."
"Yang lain aku tidak tahu, yang jelas Kiu yang sinkang telah
dilatihnya sampai sempurna, lebih tinggi dari dugaan suhu
semula. Sekali pukul dia dapat membumi hanguskan benda
sasarannya!"
Berobah wajah keriput si maling tua, katanya: "Sekali pukul
membumi hanguskan benda sasarannya, siapa pula tokoh yang
kuat melawannya, buyung, selain..."
"Selain apa?" "Dapat kau mempelajari ilmu sakti yang
tersembunyi didalam Pedang darah dan Bunga iblis itu!" "Tapi..."
"Bagaimana?" "Pedang darah telah hilang!" "Apa, Pedang
darah kau hilangkan?" "Ya, tapi masih ada harapan dapat
diminta kembali!"
"Siapakah orang yang mengambil?" "Phoa Cu giok!" "Belum
pernah kudengar nama itu!" "Ai, dia adalah adik kandung Phoa
Kin sian!" Maka berceritalah Suma Bing akan pengalamannya
dalam latihannya yang sesat karena terganggu, dan kini tengah


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjalankan tugas minta obat di Yok ong bio. Si maling tua Si Ban
cwan meng-geleng2 sambil menghela napas panjang.
Suma Bing tertawa kikuk, katanya: "Cianpwe, mari kita tangsel
perut dulu baru bicara lagi bagaimana?"
"Bagus sekali, buyung, memang ada omongan yang perlu
kuberitahukan kepadamu, untuk tidak mengurangi selera makan
kita, setelah perut kenyang baru kita perbincangkan lagi."
Begitulah mereka memasuki kota terus mencari rumah makan,
kebetulan tak jauh disebelah depan sana ada sebuah rumah arak
Tiau yu kip, langsung mereka masuk dan mencari tempat duduk
terus pesan makanan dan minuman.
Saat itu kebetulan tiba tengah hari para pengunjung sangat
banyak yang makan minum suasana menjadi ramai dan gaduh.
Tengah makan minum, tak kuat Suma Bing menahan sabar lagi,
tanyanya: "Cianpwe, nona Siang Siau hun..."
Si maling tua membalik mata, ujarnya: "Dia pulang kerumahnya.
Dia salahkan aku tidak mencegah kau menepati janjimu ke Bwe
hwa hwe!" "Ada lebih baik dia pulang kerumah, betapa berbahayanya
berkelana di Kangouw."
"Siapa tahu apa benar dia pulang kerumah."
Suma Bing terkejut, serunya: "Mengapa?"
"Ada kemungkinan dia pergi mencari kau!" "Mencari aku" Wah
celaka, markas Bwe hwa hwe bagai
sarang naga dan gua harimau." "Ini hanya dugaan saja, aku
sudah mencari tahu susah
payah, tapi tiada kabar beritanya." Tanpa terasa tenggelam dan
berat perasaan Suma Bing,
hatinya risau dan gundah. Siang Siau hun adalah perempuan yang
berhati kukuh dan berpendirian teguh, mungkin dia bisa
melakukan hal2 yang bodoh, maka katanya: "Jadi untuk persoalan
ini maka Cianpwe mencari wanpwe?"
"Tidak, masih ada urusan lain." "Urusan apa?" "Mari kita bicara
diluar." Bergegas mereka tinggalkan rumah arak itu terus
berlarian keluar kota, setelah ditempat yang agak sepi baru si maling tua
bicara dengan nada berat tertekan: "Buyung, kau kenal seorang
gadis yang bernama Ting Hoan?"
Sebuah wajah ayu dan jelita segera terbayang dalam benak Suma
Bing. "Ya, aku kenal dia." sahut Suma Bing. "Dia minta aku si maling
tua menyampaikan berita
kepadamu." "Berita apa?" "Dia minta aku si maling tua membawa
kabar untuk kau!" "Kabar apa?" "Dia ingin melihatmu untuk yang
terakhir." Suma Bing berjingkrak kaget, tanyanya gemetar: "Yang
terakhir, apakah maksudnya?"
"Dia sudah hampir mati, tapi sebelum ajal ini dia ingin benar
bertemu dengan kau!"
"Dia, sudah hampir mati?" "Benar, sudah kempas-kempis
tinggal menunggu waktu
saja!" "Kenapa terjadi demikian?" "Setelah bertemu kau akan tahu
segala2nya." "Dimana dia sekarang berada?" "Kira2 limapuluh li
dari sini ada sebuah kampung bernama
Sam keh cheng. Didalam gubuk reyot disamping jembatan batu
merah itulah dia berada"
"Baik, segera aku berangkat..." "Nanti dulu!" "Cianpwe masih
ada pesan apa?" "Tadi kau berkata kau tersesat waktu berlatih.
Apakah bibimu yang menembusi jalan darah setengah tubuhmu yang
terbuntu itu?"
"Begitulah!" "Apa kau tahu asal usul perguruannya?" "Ini... aku
tidak begitu jelas." "Aneh!" "Apakah Cianpwe ada menemukan
sesuatu?" "Dalam dunia persilatan, entah sudah berapa tokoh2
silat kosen yang mati atau cacat karena tersesat dalam latihannya itu.
Maka kalau tersesat dalam latihan dipandang sebagai jalan buntu
yang membawa maut. Dia dapat dan kuat menggunakan tenaga
murni dalam tubuhnya untuk menjebol dan menembusi jalan
darahmu yang tertutup. Bukan saja Lwekangnya itu sangat tinggi
juga sangat ajaib. Aku si maling
tua curiga pasti dia adalah satu murid gembong persilatan yang
kenamaan pada ratusan tahun yang lalu."
"Siapa?" "Yang mengenal ilmu Kan guan kay hiat sip meh tay
hoat, boleh dikata hanya satu aliran ini saja tiada keduanya!" "Siapakah
sebenarnya?" Si maling tua Si Ban cwan berkerut alis, ujarnya:
"Masing2 aliran dan golongan dalam dunia persilatan ada peraturan dan
pantangannya. Lebih baik kelak kau tanyakan sendiri."
Apa boleh buat Suma Bing manggut2. Memang selama ini belum
pernah terpikirkan untuk menanyakan asal usul perguruan bibinya.
Malah tidak terpikirkan juga olehnya bahwa Phoa Kin sian adalah
istrinya, sebelum ini yang diketahui hanyalah bahwa dia adalah
murid bibinya saja.
"Cianpwe masih ada pesan apalagi?" "Tidak ada, kau pergilah.
O, ya..." "Harap katakan!" "Maling tua ini sudah menyirapi
kemana2, tapi kabar berita
tentang ibumu masih belum dapat kuperoleh. Mengenai
perempuan yang terkurung dibelakang puncak Siau lim itu aku
masih tetap bercuriga..."
Suma Bing memandang penuh rasa terima kasih kepada maling
tua katanya: "Kelak wanpwe pasti akan kembali ke Siau lim si
untuk membuka tabir rahasia ini untuk berita ibunda sampai
Cianpwe susah payah kian kemari, wanpwe menyatakan banyak2
terjma kasih!"
"Tidak menjadi soal, ini kan kerelaan dari maling tua ini. Kau
pergilah!"
"Selamat bertemu!"
Dengan rasa kesal dan kuatir Suma Bing berlarian menuju tempat
yang ditunjuk oleh si maling tua. Satu jam kemudian tibalah dia
didepan sebuah gubuk reyot dipinggir jembatan batu merah.
Gubuk ini terbagi dalam tiga susun bilik, sebuah pintu dan tiada
jendela, keadaannya sangat jorok dan bobrok sekali agaknya
sudah lama tidak ditinggali manusia. Entah bagaimana Ting Hoan
bisa menetap ditempat semacam ini"
Eh, bukankah si maling tua mengatakan dia sudah kempas kempis
tinggal menunggu ajal. Mungkin mendadak dia terserang penyakit
berat atau telah mengalami apa2" Berpikir sampai disini tanpa
terasa bergidik dan merinding tubuhnya.
Waktu kakinya melangkah kedalam, hidungnya segera diserang
oleh bau apek yang menyesakkan dada. Suma Bing menahan
napas dan memandang kearah dalam sebelah kiri sana. Kosong
melompong, lalu berputar memandang kearah kanan. Dipojokan
kamar dalam sana mendekam dan melingkar sebuah benda warna
putih, apa mungkin dia adanya" Mulai berdebar keras jantung
Suma Bing. Waktu dia mendekati, memang tidak salah, itulah
seorang perempuan yang berpakaian warna putih.
"Kau... kau adalah... nona Ting?" Tubuh orang berbaju putih itu
bergerak, tapi tidak
mengeluarkan suara. "Apakah kau adalah adik Hoan?" "Siapa?"
suara lemah dan lembut sekali hampir tidak
terdengar. "Akulah Suma Bing." seru Suma Bing agak keras.
Bergetar tubuh orang baju putih itu bergegas membalik
tubuh menghadap atas...
"Oh, kau..."
Beruntun Suma Bing mundur tiga langkah, kaki tangan terasa
dingin. Tidak salah lagi memang dia adalah Ting Hoan. Gadis
rupawan yang berwajah cemerlang itu sekarang telah berobah
menjadi sedemikian pucat kurus dan peyot, sinar matanya redup,
tapi mengandung perasaan kebencian yang ber-limpah2,
membuat bergidik dan berdiri bulu roma orang.
"Kau... akhirnya kau datang" Benar... kah kau ini?" Suma Bing
maju lagi terus membungkuk disampingnya,
katanya gemetar: "Adik Hoan, inilah aku, Suma Bing!" "Ini...
bukan mimpi?" "Ya, ini kenyataan, aku, akulah Suma Bing, aku
memburu tiba setelah mendengar kabar dari Si cianpwe si maling bintang!"
Ting Hoan pejamkan kedua matanya sambil menenangkan gejolak
hatinya, napasnya mulai teratur, sesudah sekian lamanya kedua
matanya dipentang lagi, agaknya semangatnya sudah pulih
sebagian besar.
"Engkoh Bing, bolehkah aku... memanggil demikian?" "Adik
Hoan, asal kau suka!" Wajah pucat dan kurus keropos dari Ting
Hoan menampilkan rasa girang dan tersenyum simpul, katanya: "Engkoh
Bing, sejak pertama kali melihatmu, aku... berjanji dalam hati, aku
tidak minta balas cintamu, asal aku mencintai kau... sudah cukup!"
"Adik Hoan, aku... sangat mencintaimu, tapi, beban yang kupikul
terlalu berat!"
"Engkoh Bing, aku tidak perlu mendengar penjelasanmu. Aku
sudah merasa girang dan puas dalam waktu sebelum ajal ini kau
dapat berada disampingku. Ini sebetulnya hanyalah khayalanku
belaka, tapi sekarang menjadi kenyataan!"
Tenggorokan Suma Bing menjadi tersumbat, sekuatnya ia
menahan mengalirnya airmata. Terbayang dalam ingatannya
waktu pertama kali dirinya menunaikan tugas yang diserahkan
gurunya, kalau bukan Ting Hoan membangkang perintah gurunya,
pasti jiwanya sudah lama melayang...
"Adik Hoan, kau terserang penyakit atau..." "Aku"
Hahahaha..." meski suara tawanya lemah dan rendah
tapi mengandung kedukaan dan nestapa yang tak terperikan. "Adik
Hoan," tergetar suara Suma Bing, "Sebetulnya
apakah yang telah terjadi?"
38. GUGURNYA SEKUNTUM BUNGA AYU
Ting Hoan menghentikan tawanya, wajahnya berganti
serius, katanya sambil mengertak gigi: "Engkoh Bing, sebetulnya
aku malu bertemu dengan... kau, tapi, sebaliknya aku juga
mengharap betul bertemu dengan kau. Kalau tidak aku tidak akan
bisa mati... meram."
"Adik Hoan, kau..." "Engkoh Bing, aku... aku telah diperkosa
orang..." Bergolak darah Suma Bing, "Siapa?" tanyanya gusar.
Tutur Ting Hoan: "Iblis itu menodai aku karena aku telah
menyebut... namamu, dengan tutukan berat dia hendak mencabut
nyawaku, tapi... aku tidak segera mati, aku hidup lagi selama tiga
hari,... sekarang, sebab... aku ingin bertemu sekali lagi dengan
kau!" Tanpa terasa meleleh keluar air mata Suma Bing, serunya beringas:
"Siapa dia, akan kubeset dan kuremukkan tubuhnya?"
"Dia... adalah..."
"Siapa?" "Racun diracun!" "Apa, Racun diracun?" "Be... nar!"
Kontan pandangan Suma Bing terasa gelap, dadanya
hampir meledak saking gusar. Dengan Racun tanpa bayangan
Racun diracun sudah membunuh adik Siang Siau hun dan Li Bun
siang. Juga memelet Thong Ping sehingga perempuan malang ini
melahirkan anak diluar perkawinan, malah membunuh juga ibunda
Thong Ping. Sekarang lagi seorang telah dinodainya, malah orang
yang malang ini adalah kekasihnya lagi.
"Kalau tidak kuhancur leburkan tubuh manusia laknat itu, aku
bersumpah tidak akan menjadi manusia!" Begitulah Suma Bing
menggerung dan memaki kalangkabut dan mengertak gigi untuk
melampiaskan kedongkolan hatinya.
"Engkoh... Bing..." Dari warna pucat pasi air muka Ting Hoan
mulai berobah menjadi bersemu kuning ke-abu2an. Dengkul Suma Bing tertekuk
dan memeluknya kencang2.
Bibir Ting Hoan ber-gerak2, matanya juga ber-kedip2, entah apa
yang hendak diucapkan, namun suaranya tidak terdengar.
"Adik Hoan!" keluh Suma Bing sesenggukan, tubuhnya mulai
merinding, ia menyadari apa yang bakal terjadi. Se- konyong2
teringat Hoan hun tan yang digembol ditubuhnya, mungkin jiwa
kekasihnya ini masih bisa ditolong dengan obat mujarab itu.
Wajah Ting Hoan berobah ke-biru2an dan unjuk senyuman yang
terakhir, lantas kepalanya teklok kesamping, nyawanya
meninggalkan badan kasarnya.
Tak tertahan lagi air mata Suma Bing meleleh semakin deras,
sebutir demi sebutir menetes diatas wajah Ting Hoan yang sudah
mulai membeku. Waktu hidupnya dia tidak pernah memberikan apa
yang diharapkan, kini setelah orang mati, hanya air matalah yang
diberikan sebagai pengantar keberangkatan jiwanya kealam baka.
"Ia sudah mati, mati dibawah cengkraman setan iblis!" demikian
Suma Bing menggumam.
Satu jam kemudian, tak jauh dari letak jembatan batu merah itu
dibangun sebuah kuburan baru. Batu nisan didepan kuburan
digores dengan jari bertuliskan: "Kasihan bunga jelita dipetik
gugur, tinggal daku hidup merana didunia fana." tulisan ini tanpa
nama dan she serta tanda tangan, diatas kuburan terletak
seonggok bunga-bunga liar. Tampak seorang berdiri menunduk
dan terpekur nglamun, berdiri tegak mematung.
Dia bukan lain adalah Sia sin kedua Suma Bing yang baru saja
ditinggalkan kekasihnya yang tercinta.
Se-konyong2, terdengar sebuah panggilan dingin: "Suma Bing!"
Suma Bing tergugah dari rasa kepedihan hati oleh panggilan dingin
ini, pelan2 dia membalik tubuh, begitu matanya melihat siapa yang
berada didepannya ini, kontan dia bergelak tawa menggila,
nadanya penuh mengandung kepedihan hati dan nafsu membunuh
untuk pelampiasan yang menyeluruh.
Ternyata orang yang baru muncul ini tak lain tak bukan adalah
Racun diracun. Kedatangan Racun diracun ini bagi Suma Bing seumpama Tuhan
memberikan restunya kepada pemohonnya. Belum dingin jenazah
Ting Hoan dikebumikan, kalau dirinya membunuh iblis laknat ini
didepan kuburan, benar2 suatu hal yang sangat menyenangkan.
Bola mata Racun diracun yang banyak putih dari hitamnya itu
mengunjuk rasa heran tak mengerti. Hardiknya dingin: "Tutup
mulut!" Suma Bing menghentikan tawanya, wajahnya dirundung
kekejaman membunuh yang buas matanya me-nyala2 menatap
lawannya. Dengan nada tidak mengerti Racun diracun bertanya: "Suma Bing,
apa yang kau tertawakan?"
Rasa kebencian semakin merangsang benak Suma Bing, geramnya
gemetar: "Aku girang bahwa kedatanganmu ini sangat kebetulan!"
"Apa maksudmu?" "Kedatanganmu ini meringankan aku, jadi
tidak perlu jauh2
mencarimu kian-kemari". "Mencari aku, untuk urusan apa?" "Apa
tuan kenal seorang perempuan yang bernama Thong
Ping?" "Thong Ping?" "Benar, dia bernama Thong Ping!" "Belum
pernah kudengar
nama ini." "Tuan benar2 tidak ingat atau..." "Suma Bing, apa
maksudmu ini?" "Tidak apa, dia minta aku melakukan sesuatu!"


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terangkanlah secara jelas!" Sebelum bicara Suma Bing
mendengus keras2: "Racun
diracun, cocok dan serasi benar nama julukanmu ini, sungguh
kejam, telengas tak mengenal peri kemanusiaan..."
Sejenak Racun diracun melengak, lalu semprotnya gusar: "Suma
Bing, berkatalah secara terus terang?"
"Bukankah ini sudah jelas. Thong Ping minta padaku untuk
menagih sesuatu kepadamu!"
"Siapakah Thong Ping itu?" "Kau tidak berani mengakui?"
"Suma Bing, perlu kutandaskan sekali lagi, bicaralah yang
terang!" Sekian lama Suma Bing memandang nanap kepada
musuhnya ini sambil menggigit gigi, desisnya: "Tuan sendiri yang
minta aku berkata terus terang, baiklah, kau dengar. Setelah kau
memelet cinta Thong Ping lantas kau menodai tubuhnya
selanjutnya kau buang dan tinggal pergi begitu saja, malah lebih
durhaka lagi kau bunuh ibunya, kau... inikah manusia?"
Saking kaget mendengar tuduhan yang berat ini, Racun diracun
terhuyung tiga tindak, suaranya gemetar: "Apa yang kau
katakan?" Suma Bing maju dua langkah, serunya: "Sekarang Thong Ping
telah melahirkan anakmu!"
"Anak?" "Ya, seorang bayi perempuan!" "Anak" dia... dia..."
Racun diracun mengeluh dengan sedihnya, mulutnya
kemak-kemik entah apa yang diucapkan, seluruh tubuhnya
bergemetaran. "Kau tidak akan menyangkalnya lagi bukan?" "Aku... tidak
menyangkal... tidak..." Suma Bing mendesak maju lagi
selangkah serta ujarnya:
"Maka aku melulusi dia untuk menagih sesuatu kepadamu!"
"Sesuatu... apa?"
"Jiwamu!" "Ha! Suma Bing... kau... jangan..." Dirangsang rasa
kebencian yang ber-limpah2 Suma Bing
tidak memperhatikan sikap dan mimik Racun diracun yang luar
biasa aneh dari kebiasaannya.
"Dengar, masih ada..." "Masih ada apa?" Setelah melirik kearah
gundukan tanah kuburan yang meninggi itu, wajah Suma Bing berkerut mengejang
dengan penuh kepedihan, desisnya serak: "Racun diracun, kukira
kau sudah tahu siapakah yang berbaring dibawah gundukan tanah
ini?" "Siapa?"
Sepatah demi sepatah Suma Bing berkata: "Ting Hoan yang telah
kau perkosa!" "Ting... Hoan?"
"Ya, Ting Hoan. Gurunya Pek hoat sian nio mungkin takut
menghadapi racunmu, tapi ketahuilah, yang menagih jiwanya
adalah aku Suma Bing."
Racun diracun mengeluh panjang dengan sedih menyayatkan hati,
tiba2 tubuhnya melenting tinggi terus tinggal pergi...
"Lari kemana kau!" Betapa mujijat Bu siang sin hoat itu, dalam
suara bentakan yang keras itu, tahu2 Suma Bing sudah berkelebat menghadang
didepannya sambil mengayunkan tangan. Kontan Racun diracun
terhuyung dan sempoyongan sepuluh langkah lebih.
"Kau hendak pergi begitu saja?" "Suma Bing, apa yang hendak
kau lakukan?" "Hendak kuhancur leburkan tubuhmu, untuk
melampiaskan dendam korbanmu yang mati penasaran."
"Kau... berani pastikan bahwa semua itu adalah perbuatanku?"
Suma Bing menjengek gusar: "Apa mungkin bukan kau?"
Seakan tergugah oleh suatu hal, Racun diracun terlongong
sejenak naga2nya ada apa-apa yang tengah dipikirkan, tak lama
kemudian mendadak dia menghela napas dan berkata: "Suma
Bing, saat ini tidak leluasa aku memberi penjelasan..."
"Ada apa lagi yang perlu dijelaskan?" "Aku ada satu
permintaan..." "Katakan!" "Setengah tahun lagi kuberikan
pertanggungan jawabku
kepadamu!" "Tidak bisa, hari ini juga didepan kuburan Ting Hoan
harus kuselesaikan urusan ini!" "Suma Bing, kau jangan terlalu
memaksa." "Sehari lebih panjang umurmu, akan lebih menambah
penasaran orang yang menjadi korbanmu!" "Suma Bing, jangan
kau terlalu takabur!" "Bagaimana?" "Menjangan bakal mati
ditangan siapa masih susah
ditentukan!" Sambil mengacungkan tangannya Suma Bing
membentak: "Mari kau coba2!" "Nanti dulu!" "Masih ada pesan apalagi yang
perlu kau sampaikan?" "Yang kau andalkan tidak lebih hanyalah
kemujijatan Bu siang sin hoat dan tidak mempan racun, paling2 ditambah lagi
dengan Lwekangmu yang baru dilebur itu, benar bukan" Tapi
jangan kau lupa betapa hebat Racun diracun bukanlah omong
kosong belaka."
Berdetak jantung Suma Bing, darimana Racun diracun bisa
mengetahui dirinya ketambahan Lwekang baru" Peristiwa dirinya
minum darah naga pusaka diperkampungan bumi, selain bibinya
Ong Fong jui dan istrinya Phoa Kin sian, belum pernah dirinya
ceritakan kepada lain orang. Sudah tentu tidak bisa karena
beberapa patah kata itu lantas dia dilepas begitu saja. Maka
serunya penuh kemurkaan: "Racun diracun kalau hari ini aku Suma
Bing tidak mencincang tubuhmu menjadi perkedel, aku
bensumpah tidak akan menjadi manusia!"
"Suma Bing, kau ini binatang yang berdarah dingin!" "Apa, aku
binatang berdarah dingin. Memangnya kau
adalah binatang berdarah panas?" "Aku Racun diracun jangan kau
anggap takut kepadamu.
Seumpama tiada menanam budi kepadamu, tapi hubungan
sekedarnya yang tak berarti masih ada. Sedemikian kukuh dan
keras kepala kau ini, kenapa kau tidak terima permohonanku
untuk menunda urusan ini sampai setengah tahun lagi."
Serta-merta Suma Bing mundur dua langkah, ucapan orang tepat
menusuk lubuk hatinya. Memang, musuhnya ini pernah beberapa
kali mengulur tangan menolong jiwanya, malah secara jantan mau
menyerahkan Pedang darah tanpa syarat. Semua ini adalah
kenyataan yang tak mungkin dihapus dan tidak bisa dilupakan.
Mungkinkah dirinya turun tangan mencabut jiwanya"
Sumpahnya kepada Thong Ping, dendam sakit hati Ting
Hoan, dapatkah hapus dan impas begitu saja" Sesaat mulut Suma
Bing tersumbat tak bisa memberi jawaban.
Perasaan Racun diracun agak tenang, katanya: "Suma Bing,
urusan didunia ini kadang2 susah diselami dan dipahami dengan
pikiran sehat. Lebih baik kau berpikir tenang sedikit."
"Jadi maksud tuan dalam peristiwa ini masih ada latar
belakangnya?"
"Mungkin sekali!" "Peristiwa diluar perikemanusiaan ini bukan
kau yang melakukan?" "Aku tidak mengakui. Tapi juga tidak menyangkal
tuduhanmu itu" "Bagaimana maksud jawabanmu ini?" "Setengah
tahun kemudian, akan kuberikan pertanggungan
jawabku. Hutang jiwa bayar jiwa, hutang darah bayar darah!"
"Kenapa harus ditunda sampai setengah tahun?" "Suma Bing,
kalau saat ini juga aku minta kau segera mati,
apakah kau tidak merasa berat karena banyak hal2 yang belum
kau laksanakan?"
Suma Bing mendengus dingin, jengeknya: "Kau ingin aku mati?"
"Kau sangka aku tidak sanggup?" "Marilah dicoba!"
"Ketahuilah, walaupun rumput ular yang kau telan itu dapat
memunahkan kadar racun umumnya, tapi tidak dapat
memunahkan racun dalam racun, apa kau tidak percaya?"
"Racun dalam racun?" "Benar, selama aku berkecimpung didunia
persilatan bellum pernah kugunakan, kalau kau memang memaksa
ya kau akan tahu sendiri apa akibatnya!"
"Adalah kau sendiri yang menimbulkan pertikaian ini." "Kau
mengancam aku?" Ujar Suma Bing dengan angkuhnya:
"Silahkan kau sebarkan
racunmu itu, aku pandang sepele saja!" Racun diracun
menyeringai dingin, katanya: "Sekarang
boleh kau coba2 menyalurkan hawa mumimu!"
Keruan bergidik dan dingin perasaan Suma Bing, dalam keadaan
yang tidak berasa ini apa mungkin lawan sudah tebarkan racunnya
yang lihay itu" Karena pikirannya ini, tiba2 ia menyedot napas
panjang terus menyalurkan hawa murni dari pusarnya. Benar juga
Yang kiau dan Im kiau dua nadi besar ada tanda2 mulai mengerat,
sedang empat dari delapan jalan darah besar juga sudah buntu.
Kejutnya ini benar2 bukan kepalang, kiranya ucapan Racun
diracun bukan main2 belaka betul2 dirinya sudah terkena racun
berbisa lawan. Tapi kapan dan bagaimanakah lawan menyebarkan
racunnya itu"
"Bagaimana?" desak Racun diracun. Timbul sifat2 angkuh dan
kesesatan turunan gurunya
dalam benak Suma Bing, katanya nekad: "Seumpama aku mati
karena racunmu ini kumat, terlebih dulu aku harus membunuh kau
manusia laknat ini!"
"Saat ini kau tak mungkin dapat melakukan!" Cepat2 Suma
Bing menyalurkan Kiu yang sin kang, baru
saja tenaganya timbul lantas dia merasakan adanya banyak
rintangan dijalan darahnya banyak yang sudah buntu. Kecut
perasaannya, keringat dingin membanjir keluar, sambil
membanting kaki serunya: "Baik, kita bertemu pada lain
kesempatan!"
"Nanti dulu, kau telanlah dulu obat pemunah ini!" "Tidak perlu"
Jantung Suma Bing berdetak semakin keras, tapi
bagaimana bisa ia menerima obat pemunah musuhnya" "Kalau
begitu kau tidak akan dapat pergi jauh!" Racun diracun menghela
napas lalu berkata lagi: "Suma
Bing, aku menggunakan racun hanya untuk mengambil
kesempatan membuatmu kepepet saja, tiada maksudku hendak
mengambil jiwamu. Hendak kutanya kepadamu, hari2
yang lalu sedikit banyak bukankah kita mengikat persahabatan
yang erat?"
"Ya, memang hal itu boleh kuakui." "Maka pandanglah
persahabatan kita itu, terimalah obat
pemunah ini!" "Tidak!" "Sebelum sepuluh li kau akan mati
keracunan!" Suma Bing menyeringai sedih, ujarnya: "Itu urusanku
sendiri!" "Suma Bing, seorang laki2 harus dapat secara tegas
membedakan antara budi dan dendam. Persahabatan kita dulu
adalah satu soal. Sekarang kau menuntut balas untuk orang lain
juga lain soal lagi, jangan kau campur adukan kedua persoalan itu
menjadi satu, sudah kukatakan dan sekarang kutegaskan sekali
lagi, setengah tahun kemudian akan kuberikan pertanggungan
jawabku kepadamu supaya kau puas."
Suma Bing menjadi bimbang, dia ragu2 bukan karena tergerak oleh
bujukan orang atau takut mati, adalah dia teringat akan sakit hati
ayahnya dan dendam kebencian ibundanya dan dendam kesumat
perguruan. Dan sekarang yang terpenting adalah menolong jiwa
bibinya yang tergenggam dalam tangannya, dia harus secepat
mungkin mengantar tiba Hoan hun tan. Aku tidak boleh mati,
demikian hatinya berteriak.
Kata Racun diracun lagi: "Suma Bing, menurut apa yang kutahu,
istrimu Phoa kin sian setengah tahun lagi bakal melahirkan,
mungkin sekali dia akan mengalami kesukaran, apakah kau tidak
memikirkan akan masa depan keturunanmu?"
Tanpa terasa tergerak sanubari Suma Bing, Racun diracun
mengatakan Phoa Kin sian mungkin mengalami kesukaran,
darimana dia mengetahui" Kesukaran apakah itu" Darimana pula
dia tahu bahwa Phoa Kin sian tengah mengandung dan bakal
melahirkan. Karena pikirannya ini, tanyanya heran: "Apa, tuan
katakan istriku bakal mengalami kesukaran?"
"Benar!" "Kesukaran apa?" "Kelak kau akan tahu sendiri, kau
takkan percaya mendengar penjelasanku." "Darimana tuan mengetahui hal itu?"
"Ini tidak perlu kau tanyakan, pendek kata hal itu adalah
kenyataan." Risau dan gundah perasaan Suma Bing, hatinya
penuh tanda tanya. Kalau orang tidak mau mengatakan, tidak mungkin
dia memaksa orang bicara. Namun naga2nya ucapannya itu
sungguh2 dan boleh dipercaya. Tiada perlunya Racun diracun
membual dan membuat sensasi. Satu hal yang mengherankan
adalah darimana dia tahu bakal terjadinya peristiwa yang susah
diketahui orang sebelumnya ini"
Tapi sifat angkuh dan keras kepala Suma Bing membuat dia tidak
suka tunduk dihadapan orang lain, sahutnya dingin: "Terima kasih
akan petunjukmu ini, selamat bertemu."
"Benar2 kau hendak pergi?" "Sudah tentu, sebab sekarang aku
tidak mampu lagi
melenyapkan jiwamu!" "Kau tidak takut mati?" "Apa yang perlu
ditakutkan, yang kutakuti adalah susah
membedakan antara budi dan dendam, ini akan mengganjal dalam
hati dan menyesal seumur hidup!" habis berkata dia putar tubuh
menghadapi kuburan Ting Hoan dan berkata penuh haru: "Adik
Hoan, kau nantikanlah, waktunya tidak akan terlalu lama." sekali
melejit tubuhnya sudah berlarian
ditengah jalan raya. Dibelakangnya terdengar suara helaan napas
sedih Racun diracun.
Suma Bing ber-lari2 kencang, hatinya ber-tanya2 dan tak habis
mengerti akan sepak terjang Racun diracun selama ini terhadap
dirinya, betul2 susah diduga.
Perkataan Racun diracun terkiang lagi ditelinganya: "Sebelum
sepuluh li kau akan mati keracunan!" " Benar juga baru lima li
kemudian hawa murninya mulai luber kepala terasa berat,
kecepatan larinya semakin lamban, sampai akhirnya gerak geriknya
tak ubah seperti orang biasa yang tidak pandai bermain silat. 'Apa
memang sudah suratan takdir aku Suma Bing harus mati
keracunan"' " demikian ia bertanya pada dirinya sendiri, timbul
rasa sedih yang mencekam sanubarinya.
'Apa aku harus menerima pengobatannya. Tapi aku hendak
membunuhnya!' " begitulah sambil berpikir2 itu tak terasa dia
sudah berjalan lagi sejauh tiga li. Mendadak tubuhnya terhuyung
pandangan mata ber-kunang2, kakinya berhenti melangkah,
tubuhnya limbung hampir roboh. Bayangan kematian sontak
melingkupi sanubarinya. Benar, memang tidak kanti sejauh sepuluh
li dirinya dapat berjalan.
Berkat rumput ular dari pemberian Si gwa Lojin dirinya kebal akan
segala racun, sungguh tak duga ternyata masih tidak kuat
bertahan akan bisa racun dalam racun yang ditebarkan oleh Racun
diracun. Pikirannya mulai kabur dan melayang, tanpa kuasa tubuhnya
limbung terhuyung terus roboh terlentang...
Mendadak samar2 terasa olehnya tubuhnya ada rebah dalam
pelukan seseorang, sebuah suara terkiang dalam telinganya:
"Engkoh Bing, kuatkan semangatmu!"
Begitu mendengar suara itu tahulah Suma Bing siapakah orang


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang bicara itu, benar juga bangkit semangatnya, katanya
gemetar: "Adik Sian, kaukah itu?"
"Ya, akulah!" "Aku... aku sudah payah!" "Kau, kenapakah kau
ini?" "Aku telah keracunan!" "Apa kau keracunan?" "Benar."
"Siapa yang meracun kau?" "Racun diracun!" "Rebahlah biar
kuperiksa. Engkoh Bing, sungguh kebetulan,
dulu tanpa sengaja aku beroleh sebutir Tan tiong tan dari seorang
tua tak bernama, khasiatnya dapat menyembuhkan penyakit dan
segala bisa..."
"Adik Sian, racun dalam racun bukan sembarang bisa, rumput ular
juga tidak mempan lagi, apalagi..."
"Coba saja kau telan dulu." " sambil berkata dari dalam bajunya
ia merogoh keluar sebuah peles kecil warna hijau, begitu tutup
peles itu dibuka bau wangi segera merangsang hidung, seketika
membuat pikiran segar dan semangat bangkit hati juga terasa
lapang. Katanya lemah lembut: "Engkoh Bing, coba telanlah ini!"
Tanpa bersuara Suma Bing pandang istrinya lekat2 penuh kasih
mesra, mulutnya dipentang terus telan obat pemberiannya itu. Saat
itu terasa bahagia tak terhingga dalam benaknya, sebelum ajal ini
dirinya rebah dalam pangkuan istrinya tercinta. Alangkah indah
hidup manusia ini. Matanya dipejamkan menikmati kehangatan
pelukan sang istri. Seumpama Tan tiong tan tidak mujarab, namun
dapat mati dipelukan istri tercinta rasanya juga cukup puas dan
terhibur. "Engkoh Bing, kerahkan tenaga mengeluarkan racun."
Suma Bing menurut, sebelumnya ia hilangkan segala pikiran lalu
pelan2 mulai kerahkan hawa murninya...
Dalam saat2 genting inilah dari kejauhan terdengar berkesiur angin
baju dan derap langkah kaki beberapa orang tengah mendatangi
kearah mereka dengan cepat, dilain saat beberapa bayangan
manusia meluncur turun tiga tombak dihadapan mereka.
Waktu Phoa Kin sian melihat para pendatang ini, seketika berobah
air mukanya. Kiranya mereka tak lain adalah Si tiau khek. Suma
Bing tengah rebah dalam pangkuannya dan menyalurkan tenaga
untuk mengusir racun dalam tubuhnya, tak mungkin dia melepas
diri untuk menghadapi mereka, seumpama mereka turun tangan
pasti mereka suami istri bakal mengantar jiwa secara konyol.
Air muka Si tiau khek yang membeku bagai setan hidup itu tanpa
menunjukkan mimik yang susah diraba, sorot matanya
memancarkan sinar kehijauan yang menyeramkan, tali yang
terikat dileher mereka menjulur turun didepan dada, keadaan ini
benar2 menggiriskan.
Sambil berpaling kearah ketiga kawannya Heng si khek berkata:
"Inilah kesempatan baik yang diberikan oleh Tuhan."
Hui bing khek menggerakkan tangan tunggalnya sambil
terkekeh2, ujarnya: "Lotoa, ingin yang hidup atau yang mati?"
"Sudah tentu lebih baik masih hidup, Losi, ringkus mereka!"
Tenggorokan Teh ciam khek ber-kerok2 mengiakan, terus
angkat langkah maju... Sudah tentu gugup dan gelisah Phoa Kin
sian bukan main,
keringat membanjir membasahi tubuh. Begitu melihat Teh ciam
khek mendatangi serasa kabur sukmanya. Dia tidak dapat
bergerak dan tidak boleh membentak merintangi orang, kalau
sedikit saja Suma Bing terganggu, maka akibatnya susah
dibayangkan. Dalam keadaan yang terpaksa ini diambilnya
sebutir batu dipinggir tubuhnya terus disambitkan kearah Teh
ciam khek. Teh ciam khek menyeringai tawa iblis, serunya: "Nyonya manis,
apa2an kau jual lagak dihadapanku, berani main sambit2an
dengan batu!" " tengah berkata itu dia ulurkan tangan untuk
menyambuti batu yang melayang tiba.
Mendadak terdengar Teh ciam khek berpekik panjang mengerikan
terus roboh terlentang.
Keruan kaget ketiga setan gantung lainnya bukan alang kepalang,
mereka sama2 berseru heran, tanpa berjanji menubruk maju
berbareng. "Jangan sentuh, racun!" terdengar Heng si khek berseru gemetar.
Wajah membeku bagai setan hidup dari Hui bing khek dan Bao
bong khek seketika berobah ketakutan, berbareng mereka
menyurut mundur.
Sekian lama Heng si khek mengawasi Phoa Kin sian penuh
dendam, lalu serunya: "Maju berbareng, gunakan pukulan jarak
jauh, kalau tidak bisa hidup biar mati juga tidak menjadi soal!"
Serempak ketiga setan gantung ini maju dari tiga jurusan, pelan2
tangan masing2 sudah diangkat, dalam detik2 yang tegang
mencekam hati ini. Hati Phoa Kin sian semakin tenggelam dan
pasrah pada nasib saja.
Se-konyong2 terdengar sebuah bentakan nyaring: "Berhenti!"
Ketiga setan gantung sama2 melengak heran, tanpa terasa
mereka menghentikan langkah terus berpaling kebelakang.
Tampak seorang nyonya muda yang cantik rupawan dengan
wajah membeku dingin tengah berdiri setombak dibelakang
mereka. Betapa hebat kepandaian ketiga setan gantung ini, toh masih
belum mengetahui ada musuh yang mengintip gerak gerik mereka,
maka sudah terang kalau kepandaian pendatang ini bukan olah2
lihaynya. Dengan penuh keheranan Phoa Kin sian mengawasi nyonya muda
yang datang tanpa diundang ini.
Heng si khek menjengek dingin, tanyanya: "Siapa kau?" Sorot
mata nyonya muda itu menatap kearah Suma Bing,
tapi mulutnya menyahuti: "Kau belum berharga menanyakan
namaku!" Kontan timbul nafsu keji ketiga setan gantung, Bao bong khek
terloroh2, serunya sinis: "Nyonya busuk besar benar mulutmu itu!"
Berobah gusar wajah nyonya muda itu mendengar makian 'nyonya
busuk' itu, timbul juga nafsu membunuh yang membayang
mukanya, matanya mendelik memancarkan sinar dingin. Tanpa
terasa Bao bong khek bergidik seram dan mundur selangkah.
Terdengar nyonya muda itu mendesis berat: "Karena ucapanmu ini
kau pantas dihukum mati!"
Masih suaranya itu terdengar, tanpa terlihat bagaimana ia
bergerak, tahu2 tubuhnya sudah melejit tiba dihadapan Bao bong
khek, kelima jarinya yang lencir dan runcing2 memutih bagai kilat
mencengkram tiba, cara cengkraman ini benar2 aneh dan belum
pernah terlihat selama ini.
Betapa tinggi kepandaian Bau bong khek, kiranya juga tidak
mampu berkelit atau menyingkir, maka dilain saat terdengar
jeritan yang menyeramkan diselingi suara kejut tertahan.
Serasi benar kematian Bau bong khek dengan nama julukannya
ini, kepalanya pecah otaknya berhamburan keluar, tubuhnya roboh
tanpa bernyawa lagi.
Betapa kaget Heng si khek dan Hui bing khek serasa arwahnya
terbang ke-awang2. Kepandaian nyonya muda ini benar2 lihay dan
dan jarang terlihat atau terdengar dalam dunia persilatan. Tapi
betapapun nama Si tiau khek sudah kenamaan akan kekejian dan
kekejamannya, kini dua diantara empat setan gantung itu sudah
tamat riwayatnya, mana mereka mau tinggal diam dan mandah
saja disembelih.
Maka sambil mengacungkan tangan yang tinggal sebelah itu Hui
bing khek menubruk nekad kearah nyonya muda itu. Dalam waktu
yang bersamaan Heng si khek juga menubruk kearah Suma Bing
suami istri... "Berani mati!" " dimana terlihat nyonya muda itu menggertak
nyaring sambil memutar sebelah tangannya, kontan Hui bing khek
dihantam terpental balik, jeritan kesakitan memecah kesunyian,
lantas disusul sebuah bayangan manusia terbang mumbul beberapa
tombak terus terbanting mampus diatas tanah.
Demikian sebat dan gesit luar biasa gerak gerik nyonya muda itu,
begitu melancarkan serangannya terus dia memutar tubuh,
seketika terhiburlah hatinya dan menghela napas lega. Tampak
Suma Bing telah berdiri dengan kerengnya, wajahnya diseliputi
hawa membunuh, sedang Heng si khek terlihat rebah tak bergerak
lagi dikejauhan sana.
Ternyata waktu Heng si khek menubruk tiba hendak membokong
kebetulan Suma Bing siuman dari latihannya yang telah sempurna
dan pulih lagi tenaganya, begitu melihat ada bayangan orang
menubruk tiba tanpa banyak bicara lagi, Kiu yang sin kang
dikerahkan sepuluh bagian terus dihantamkan keluar. Mimpi juga
Heng si khek tidak menduga akan serangan balasan dari Suma
Bing, kontan isi perut dan dadanya rontok berantakan tanpa dapat
membela diri tubuhnya terbanting mampus.
Sinar mata Suma Bing menyapu pandang kearah nyonya muda itu
serunya penuh kepedihan: "Kaukah ini?"
Nyonya muda mengangguk sayu, sahutnya: "Ya, akulah Engkoh
Bing!" Nyonya muda yang berwajah ayu cemerlang ini bukan lain adalah
putri Perkampungan bumi yaitu Pit Yau ang.
"Siapa dia?" senggak Phoa Kin sian dingin. Suma Bing unjuk
tertawa kecut, katanya: "Adik Sian, dialah
Pit Yau ang!" "O!" seru Phoa Kin sian terperanjat, ter-sipu2 ia
maju mendekat sambil berseru riang: "Oh, adikku!" Pit Yau ang
melengak, tanyanya: "Kau..." "Akulah Phoa Kin sian!" "O, cici,
terimalah hormat adikmu!" sambil berkata dia
membungkuk tubuh memberi hormat. Ter-sipu2 Phoa Kin sian
menarik tangannya serta berseru: "Jangan dik, tidak perlu banyak
peradatan!"
Mendelu dan terpukul batin Suma Bing. Meskipun lahirnya sikap
Phoa Kin sian dingin dan kaku, namun hakikatnya dia adalah
seorang perempuan yang polos dan welas asih, buktinya terhadap
Pit Yau ang sedikitpun tidak merasa iri atau cemburu dan jelus.
Sudah tentu Pit Yau ang sendiri juga merasa terhibur dan lega
sekali, kedudukannya saat itu tidak lebih hanya gundik Suma Bing
saja. Memang sikap dan tingkah laku Phoa Kin sian ini benar2
diluar dugaannya.
Sekilas Suma Bing menyapu pandang tiga mayat diatas tanah terus
berseru kejut: "Wah, Hui bing khek telah melarikan diri."
Phoa Kin sian dan Pit Yau ang berbareng celingukan keempat
penjuru, benar juga memang bayangan Hui bing khek sudah
menghilang tanpa jejak.
Tiraik asih Websi te http:// kangz usi.co m/ Waktu pandangan Suma Bing bentrok dengan mayat Teh ciam
khek, ia berseru kejut: "Dia ini mati karena keracunan?"
Wajah Phoa Kin sian sedikit berobah. Pit Yau ang melirik
kearah Phoa Kin sian dan menyahut:
"Dia ini mati ditangan cici?" Berkerut alis Suma Bing, tanyanya:
"Adik Sian, kau juga
pintar menggunakan racun?" Phoa Kin sian tertawa kikuk,
katanya: "Ya, tidak begitu
mahir, karena terpaksa dan terdesak baru aku turun tangan!"
Berputar cepat pikiran Suma Bing, dirinya terkena Racun
dalam racun yang disebarkan Racun diracun, kebetulan dia
mempunyai Tan tiang tan untuk memunahkan. Sekarang diketahui
pula bahwa dia juga pandai menggunakan racun, hal ini mustahil
dan kurang masuk akal. Bersama ini lantas terlintas ucapan si
maling bintang Si Ban cwan tentang bibinya Ong Fong jui dan
Phoa Kin sian, katanya bahwa asal-usul perguruan mereka ada
sedikit mencurigakan. Tapi karena mengingat pantangan dan
peraturan dunia persilatan dia tidak mau menjelaskan secara
terang, sekarang lebih baik dia menanyakan secara langsung
kepada istrinya, maka tercetus pertanyaannya: "Adik Sian, aku ada
satu soal hendak bertanya padamu!"
39. GAN DAR WA MER AH DUT A DAR I MEN ARA IBLI S. "Tentang urusan apa?" "Tentang asal-usul perguruanmu!"
Phoa Kin sian bersikap serba susah dan tertawa pahit,
katanya: "Engkoh Bing, maaf Siau moay tidak bisa beritahukan
kepadamu!"
"Mengapa?" "Karena peraturan perguruan, sangat keras!"
Suma Bing menghela napas, ujarnya: "Kalau demikian, aku
tidak memaksa kau!" Habis berkata lalu dia berpaling kearah Pit
Yau ang dan berkata: "Adik Ang, kenapa kau tinggalkan Perkampungan
Bumi..." "Perkampungan Bumi" Hahahahahahaha..." Terdengar suara
gelak tawa yang keras dan berat sampai
menggetarkan telinga. Kontan tergetar perasaan ketiga orang ini.
Ditengah suara gelak tawa itu tampak seorang tua gagah kereng mengenakan
jubah merah, pelan2 menghampiri kearah mereka bertiga.
"Tuan ini orang kosen darimana?" tanya Suma Bing dingin!
Orang tua jubah merah seakan tidak mendengar, langsung
dia berlenggang sampai didepan mereka kira2 berjarak satu
tombak baru menghentikan langkahnya, kedua matanya bagai
mata elang memancarkan sinar terang menatap tajam kearah Pit
Yau ang. Melihat kelakuan orang tua yang kurang ajar ini, bangkitlah
kemarahan Suma Bing bentaknya keras: "Hei, tuan tidak tuli
bukan?" Pelan2 baru orang tua jubah merah ini mengalihkan
pandangannya, tanyanya: "Buyung, kau ini gembar-gembor
terhadap siapa?"
"Terhadap kau!" "Buyung seperti kau ini memanggil aku
dengan sebutan tuan?" "Karena kupandang kau seorang
laki2!" Mata elang si orang tua jubah merah melotot besar, memancarkan
cahaya kehijauan yang berjelalatan, katanya sambil tertawa
kering: "Siapa namamu?"
"Suma Bing!" "Dari perguruan mana?" "Tiada perlu kuberitahu


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada tuan!" "Kau inikah buyung yang kenamaan dikalangan
Kangouw sebagai Sia sin kedua?" "Itulah cayhe adanya!" "Kedua anak jelita
ini apamu?" "Istriku!" "Heehe, besar keberuntunganmu, sayang
mujur tapi kurang abadi!" Suma Bing mendengus dingin, semprotnya: "Tuan
apa maksudmu itu?" "Kau tetap memanggil Lohu sebagai tuan?"
"Bagaimana anggapan tuan aku harus memanggil?" "Locianpwe!"
"Kau tidak sembabat!" "Kenapa?" "Pokoknya tidak sembabat!"
"Hm, kau pintar membual dan pintar putar lidah!" "Dalam Bulim
mengutamakan keluhuran dan budi pekerti,
tiada perbedaan antara tua dan muda." "Buyung agaknya kau
terlalu fanatik akan kekuatan ilmu
silatmu?" "Ini juga kurang benar, silat atau kekuatan tidak lepas dari
pengertian kebajikan".
"Jadi anggapanmu aku ini tidak pandai silat juga kurang
bijaksana?"
"Tepat sekali, terhadap kedua pengertian itu sedikitpun tuan tidak
menonjolkan bahwa tuan sudah paham dan tuan sebagai seorang
tua yang harus dijunjung puji!"
"Nanti sebentar akan Lohu tunjukkan kepada kalian." lalu dia
berputar menghadapi Pit Yau ang, tanyanya: "Pit Gi itu apamu?"
"Orang tuaku!" "Bagus sekali, kau ikut Lohu saja, aku tidak
perlu kuatir lagi
Pit Gi bakal mengeram diri terus seperti bulus." "Kau ini
mengoceh apa?" semprot Pit Yau ang marah. "Budak, berani kau
berkata kurang ajar?" "Akan kumaki kau ini orang tua tidak tahu
mampus..." "Cari mati!" "Belum tentu?" Pit Yau ang tidak tahu
ada permusuhan apa antara orang
tua jubah merah ini dengan ayahnya, namun kata2 'mengeram diri
sebagai bulus' benar2 menusuk dalam pendengarannya. Baru saja
selesai perkataannya, kelima jarinya dipentang terus mencengkram
kearah batok kepala si orang tua jubah merah.
Kedua mata orang tua jubah merah melotot keluar bagai
kelereng, sedikitpun dia tidak bergerak atau berkelit.
Tadi sekali cengkram dengan mudah sadja Pit Yau ang
mencengkram mati Bau bong khek salah satu dari empat setan
gantung yang kenamaan, maka dapatlah diukur betapa hebat
serangan cengkraman ini. Begitu melihat orang tua
jubah merah tidak menyingkir dan tidak bergerak, segera ia
tambah tenaganya berlipat ganda pada kelima jari2 tangannya
langsung mengarah batok kepala orang.
Sudah dalam dugaan bahwa orang tua jubah merah ini bakal
pecah dan tercengkram hancur batok kepalanya.
Tapi lantas terdengar seruan kaget tertahan, tampak Pit Yau ang
mundur terhuyung beberapa langkah, wajahnya menunjukkan
keheranan. Karena waktu tangannya menyentuh batok kepala
orang, yang terasa tangannya mencengkram selapis besi baja
yang kokoh kuat, karena terlalu besar tenaga yang dia gunakan
untuk mencengkram, sampai tangan sendiri yang terasa tergetar
linu. Keruan bukan kepalang kejut Suma Bing dan Phoa Kin sian.
Entah darimana asal-usul orang tua jubah merah ini.
Sedemikian hebat dan tinggi kepandaiannya sampai berani
terang2an mandah dicengkram batok kepalanya tanpa kena
cidera sedikitpun jua.
Orang tua jubah merah menyeringai puas, katanya: "Budak kecil,
kau masih terpaut sangat jauh, cengkramanmu ini hanya
menggaruk2 gatal diatas kepalaku, lebih baik kau menurut saja
ikut Lohu pergi, atau kau ingin Lohu turun tangan?"
Sudah kejut dirangsang amarah lagi, saking dongkol sampai tubuh
Pit Yau ang gemetar, bentaknya: "Siapa kau sebenarnya?"
Orang tua jubah merah ngakak dingin, serunya: "Setelah melihat
ini pasti kau akan tahu."
Baru saja lenyap suaranya entah cara bagaimana dia bergerak
tahu2 pergelangan tangan Pit Yau ang sudah digenggam keras
olehnya. Gerak tubuh dan cara turun tangan yang begitu aneh
benar2 luar biasa dan tiada bandingannya.
"Tangan setan!" tanpa terasa tercetus seruan kaget dari mulut
Phoa Kin sian. Orang tua jubah merah manggut2: "Terhitung kau yang luas
pengalaman!"
"Kalau tidak salah dugaanku." kata Phoa Kin sian bersikap
sungguh2, "Tuan pasti adalah Ang go ngo tang salah satu dari Kui
tha siang go bukan?"
"Tepat sekali memang itulah Lohu adanya" Tergetar perasaan
Suma Bing, tidak nyana, bahwa si orang
tua jubah merah ini ternyata adalah anak buah Kui tha itu salah
satu tempat keramat yang disegani oleh kaum persilatan. Entah
ada permusuhan atau pertikaian apakah antara Kui tha(menara
iblis) dan Perkampungan bumi" Atau mungkin antara Ang go ngo
tang dengan raja bumi yaitu Pit Gi mempunyai ganjelan hati
pribadi" Dilihat cara orang turun tangan, agaknya ilmu silat Kui tha juga
sangat mengejutkan dan tidak kalah hebatnya.
Namun Pit Yau ang adalah istrinya, mana bisa dirinya berpeluk
tangan tinggal diam, maka segera dia tampil kedepan dan berseru,
mengancam: "Lepaskan dia!"
Ang go ngo tang atau gandarwa merah Ngo Tang mengekeh iblis,
serunya: "Buyung, ringan benar ucapanmu!"
Desis Suma Bing dengan geramnya: "Tuan hendak berbuat apa
kepada dia?"
"Tersangkut-paut apa dengan kau buyung kecil ini?" "Dia
adalah istriku, kenapa tiada sangkut-pautnya dengan
aku?" "Lalu kau buyung kecil ini hendak apa?" "Lepaskan dia!"
Sebagai putri kesayangan Perkampungan bumi, selama
hidup baru pertama kali ini Pit Yau ang merasa dihina dan
direndahkan, betapa malu dan gusarnya, namun karena jalan
darah sendiri dicengkram oleh lawan, tenaga untuk bergerak saja
tidak ada, saking gugup dan gelisah keringat membanjir keluar
membasahi tubuh.
Terdengar si gandarwa merah Ngo Tang menjengek acuh tak
acuh: "Buyung, kalau kau adalah suaminya, tentu kau adalah
salah satu anggota dari Perkampungan bumi juga, baiklah
kupinjam mulutmu untuk memberi kabar kepada Pit Gi, katakan
kepadanya; dalam satu bulan dia harus tiba ditelaga hitam dalam
perbatasan Kui ciu dan Sucwan, untuk menyelesaikan urusan
lama. Dalam jangka sebulan ini kujamin keselamatan putrimasnya
ini, selewatnya..."
"Selewatnya satu bulan bagaimana?" "Keselamatannya susah
diramalkan!" Suma Bing tertawa hambar, serunya: "Aku minta
kau lepaskan dia!" "Mengandal kau masih belum mampu!" "Baiklah biar
kucoba!" ditengah suara bentakannya
secepat kilat ia turun tangan, langsung kirim sebuah pukulan
mengarah dada si gandarwa merah ini.
'Blang.' kontan gandarwa malah Ngo Tang tergetar mundur tiga
langkah. Terdengar dia malah bergelak tawa, serunya: "Buyung,
hebat juga tenaga dalammu, tapi masih belum mampu
mengapakan Lohu?"
Berobah airmuka Suma Bing, kecut perasaan hatinya, secara
keras, si gandarwa merah mandah digenjot dadanya, ternyata
tanpa kurang suatu apa. Betapa dahsyat himpunan kekuatan
tenaga dalamnya ini, kenyataan si gandarwa merah ini hanya
tergetar mundur tiga langkah. Naga2nya memang dirinya bukan
tandingan orang, tapi mana ia mau menyudahi begitu saja. Maka
begitu mengerahkan hawa murninya, terus disalurkan kearah jari
tengah tangan kanan, kontan cincin iblisnya memancarkan cahaya
terang menyilaukan mata.
Agaknya gandarwa merah ini insaf akan kekuatan cincin iblis yang
hebat itu, air mukanya sedikit berubah tegang.
Wajah Suma Bing penuh diselimuti kekejaman, seringainya
dingin: "Kau lepas tangan tidak?"
"Tidak!" "Kalau tidak kukremus kau hidup-hidup!" "Kau tidak
akan mampu!" "Lihat saja nanti!" dimana sorot cahaya cincin
Iblisnya berkelebat, tenggorokan gandarwa merah Ngo Tang yang diincar.
Gandarwa merah mengelak kesamping, sambil bergerak itu, tubuh
Pit Yau ang dibawa berputar untuk memapaki cahaya serangan
cincin iblis...
Diam2 Suma Bing mengumpat dan mencaci kelicikan lawan,
ter-sipu2 ia harus mendoyong tubuh sambil menekuk lengan
tangannya sehingga sorot cahaya cincin iblis mencong kesamping,
terpaut serambut hampir saja Pit Yau ang kena terlukakan.
Dalam saat itulah seumpama berkelebatnya sinar kilat, secara
diam2 Phoa Kin sian mengayunkan sebelah tangannya tanpa
mengeluarkan suara menghantam kearah gandarwa merah Ngo
Tang. Serangan bokongan secara tiba2 ini betapa tinggi dan kosen
kepandaian orang yang diserang juga susah menghindari diri
lagi... Dimana terlihat bayangan merah berkelebat, tahu2 gandarwa
merah Ngo Tang bagai bayangan setan, sudah menggeser tempat
sejauh satu tombak lebih, lalu seringainya sambil berpaling.
"Mengandal hasil latihanmu ini masih kurang cukup sempurna."
Bukan saja serangannya gagal malah diejek lagi, keruan gusar
dan malu Phoa Kin sian bukan buatan, wajahnya sampai
pucat dan gemetar. Betapa cepat cara gandarwa merah ini
menghadapi reaksi bokongan musuh sungguh sangat mengejutkan.
Sekali membanting kaki, tiba2 bayangan Suma Bing menghilang...
"Bu siang sin hoat!" terdengar gandarwa merah berseru kaget.
Tiba2 badannya berputar cepat seperti gangsingan...
"Lepaskan dia!" tahu2 sebelah tangan Suma Bing sudah
mencengkeram jalan darah Kian kin hiat sebelah kanan. Tapi
betapa kaget dan herannya sungguh susah dilukiskan. Ternyata
dimana tangannya menyentuh ternyata badan orang sedemikian
keras bagai besi baja, keruan ia tertegun. Dan pada detik2 ia
tertegun itulah, gandarwa merah Ngo Tang sudah berkelebat
selicin belut lolos dari cengkeramannya.
Keruan gemes dan dongkol Suma Bing bukan main. Tampak
gandarwa merah Ngo Tang mengunjuk rasa kejut2
heran, katanya: "Buyung, sabar sebentar, Lohu ada sedikit
omongan!" "Lekas katakan!" "Benar2 kau adalah murid Sia sin Kho Jiang?"
"Apa perlunya aku membual?" "Lalu darimana kau peroleh
pelajaran Bu siang sin hoat
tadi?" "Darimana, kau juga tidak perlu tahu!" "Buyung, kuharap
kau suka bicara secara terus terang,
jangan kau nanti menyesal sudah terlambat!"
"Menyesal, apa maksudmu?" "Apa hubunganmu
dengan Bu siang Hujin?"
Suma Bing me-nimang2, apakah musuh gentar dan takut
menghadapi ketenaran nama Bu siang Hujin, atau ada sebab lain"
Maka sahutnya sinis: "Tiada sangkut-paut apa2!" "Lalu Bu
siang sin hoat yang kau kembangkan tadi kau
pelajari darimana?" "Tidak perlu kuberitahukan kepadamu!" Wajah
tua gandarwa merah berkerut membesi, katanya
sungguh2 dengan nada berat: "Benar2 tiada sangkut-paut apa2?"
"Tidak salah!" "Bagus sekali. Masih tetap seperti yang
kukatakan tadi, beri
kabar kepada Pit Gi dalam satu bulan dia harus tiba di Telaga air
hitam untuk menyelesaikan urusan lama dan mengambil pulang
putri kesayangannya ini. Selewatnya satu bulan, segala akibatnya
susahlah dikatakan sekarang!" habis berkata sambil mengempit
Pit Yau ang, tubuhnya berkelebat sepuluh tombak lebih jauhnya.
"Lari kemana kau!" Betapa sakti Bu siang sin hoat sambil
membentak gusar itu,
tubuh Suma Bing sudah berkelebat mencegat dihadapan orang.
Gandarwa merah mengekeh gila2an, serunya: "Buyung, kalau kau
tidak rela dia segera mati, lebih baik kau tahu diri." sambil berkata
sebelah tangannya yang lain menekan jalan darah Tay yang hiat di
pelipis Pit Yau-ang, lalu ancamnya lagi: "Hanya dengan tenaga jari
Lohu..." "Kau berani!" "Bukan soal berani atau
tidak berani!"
"Ingin kutanya, kau ini tengah menjalankan tugas atau sedang..."
"Ya, Lohu tengah menjalankan tugas!" "Menerima tugas dari
siapa?" "Majikan dari Menara iblis!" "Ada pertikaian apa antara
Menara iblis dengan
Perkampungan bumi?" "Bocah kecil seperti kau tidak perlu tahu."
"Justru aku ingin bertanya!" "Lohu juga tidak akan beritahu
kepada kau." Saking murka kepala Suma Bing sampai menguap,
ingin rasanya sekali keremus telan musuh ini bulat2. Tapi bagaimanapun
dia tidak bisa sembarangan turun tangan, karena Lwekang sendiri
masih kalah jauh dengan musuh. Maka mulutnya saja yang dapat
bekerja, ejeknya: "Ngo Tang, betapa tenar dan besar nama
majikan menara iblis kalian, sungguh tak nyana bisa menyuruh
anakbuahnya melakukan perbuatan rendah yang memalukan ini?"
Wajah gandarwa merah mengelam biru, sahutnya sinis. "Habis
kalau tidak begini, Pit Gi selamanya akan mengeram diri seperti
bulus..." "Kentut!" "Keparat kau memaki siapa?" "Memaki kau, kau mau
apa?" "Kau cari mati!" orangnya bergerak mengikuti hilangnya
suara makiannya, dengan kecepatan yang paling cepat, langsung
ia mencengkram kedada Suma Bing, serangan cengkraman ini
bukan saja aneh, lihay juga sangat ajaib jarang terlihat sebelum
ini. Seumpama tokoh silat kosen juga susah dapat menghindar
diri... Tapi hanya sekali menggeser kaki dan berkelebat menghilang
dengan mudah Suma Bing melepas diri dari ancaman musuh.
Sudah tentu kalau tidak mengandal keampuhan Bu siang sin hoat,
tak mungkin Suma Bing mampu meluputkan diri dari serangan
cengkraman setan ini.
Gandarwa merah menyeringai seram, ujarnya: "Buyung, kalau kau
mau menerangkan dimana letak Perkampungan bumi berada,
segera Lohu melepas dia!"
Selama diringkus oleh musuh itu, sampai detik itu belum pernah
Pit Yau ang membuka mulut. Sekarang mendadak dia bersuara:
"Engkoh Bing, biarkan saja, dia takkan dapat berjalan sejauh lima
li!" Tanpa terasa Suma Bing melengak sendiri, entah apa maksud
perkataan istrinya ini, apa mungkin...
Gandarwa merah ter-loroh2 sikapnya sangat angkuh, katanya:
"Justru Lohu tidak percaya akan bualanmu!"
Pada saat itulah sebuah suara serak dingin yang keras menyahut:
"Bualannya ini kau harus percaya betul!"
Begitu mendengar penyahutan ini, semua orang terperanjat, waktu
memandang kearah datangnya suara. Tampak seorang tua yang


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memegang kipas, dengan ikat kepala sutra dan jubah panjang
bergambar patkwa didepan dadanya, sikapnya tak ubahnya seperti
malaikat dewata. Entah kapan kedatangannya, tahu2 sudah berdiri
terpaut dua tombak dari mereka.
Begitu melihat orang tua ini, bergegas Suma Bing maju memapak
terus membungkuk tubuh memberi hormat sambil sapanya:
"Menghadap pada Locianpwe!"
Cepat2 Phoa Kin sian juga maju turut memberi hormat.
Ternyata si pendatang ini tak lain tak bukan adalah Kang
kun Lojin yang kenamaan itu.
Kata Kang kun Lojin sambil menunjuk Phoa Kin sian: "Dia ini..."
"Istriku!" sahut Suma Bing cepat. Sekian lama Kang kun Lojin
mengamat2i Phoa Kin Sian,
wajah tuanya mendadak mengelam dalam sambil geleng2 kepala.
Gerak geriknya ini membuat Suma Bing tidak habis mengerti.
Adalah Phoa Kin sian sendiri juga berpaling kearah lain sambil
tunduk terpekur.
Baru saja Suma Bing hendak membuka mulut bertanya,
terdengarlah sebuah suara halus lirih seperti bunyi nyamuk
terkiang dalam telinganya: "Buyung, Lohu ada sedikit paham ilmu
meramal. Dalam jangka seratus hari ini istrimu bakal tertimpa
suatu bencana, maka ber-hati2 dan waspadalah!"
Berobah airmuka Suma Bing. Seorang aneh dan kenamaan seperti
Kang kun Lojin pada jamannya dulu, sudi menggunakan ilmu coan
im jip bit untuk memperingati dirinya, sudah tentu bukan bualan
belaka. Entah mala petaka apakah yang bakal menimpa diri Phoa
Kin sian, sebab saat ini dia tengah mengandung, kalau ada kejadian
apa2, bukankah... Karena batinnya ini tanpa terasa tubuhnya
bergidik dan merinding.
Pandangan Kang kun Lojin beralih menyapu kepada gandarwa
merah Ngo Tang, katanya: "Lepaskan dia!"
Kata2nya ini seolah2 mengandung suatu kekuatan yang tidak
terbendung, gandarwa merah Ngo Tang mundur ketakutan,
hilanglah sikap angkuh dan kegarangannya tadi, sahutnya
tergagap: "Apakah cianpwe ini yang bernama Kang kun Lojin?"
"Hm, tepat sekali!" Lagi2 berobah airmuka gandarwa merah,
kata Ngo Tang: "Wanpwe menerima tugas dan terpaksa..."
"Kau lepaskan dia dulu!"
"Baiklah!" Segera Gandarwaa merah melepaskan Pit Yau ang.
Karena sedikit teledor maka Pit Yau ang sampai teringkus
oleh lawan, gemes dan dongkol benar hatinya. Maka begitu
dirinya dilepas tanpa tanggung2 lagi segera tangannya diayun
terus menggablok membalik. 'Plak' kontan gandarwa merah
terhuyung lima langkah sambil meringis kesakitan.
"Siau ang kau mundur!" seru Kang kun Lojin sambil mengulapkan
tangan. Ter-sipu2 Pit Yau ang mengundurkan diri kesamping Suma Bing.
Wajah Kang kun Lojin berobah serius, katanya kepada gandarwa
merah Ngo Tang: "Aku orang tua bekerja selamanya tidak
kepalang tanggung, dalam jangka sebulan. Pit Gi pasti menepati
janjinya pergi ke Telaga air hitam. Sekarang kau boleh pergi!"
Tanpa banyak bercuit lagi, segera gandarwa merah melejit tinggi
terus menghilang.
Alis Pit Yau ang berkerut dalam, katanya: "Paman, sebenarnya ada
pertikaian apakah antara ayah dengan majikan Menara iblis?"
Sahut Kang kun Lojin sambil mengipas2: "Tentang itu kau tanya
sendiri kepada ayahmu."
"Selamanya tidak pernah dengar dia menyinggung tentang urusan
ini?" "Sudah tentu tidak semua urusan terus bercerita kepada kau.
Sekarang segera kau kembali ke Perkampungan bumi, suruh
ayahmu dalam sebulan ini menepati janji. Kalau aku orang tua
sudah mewakilinya berkata, janji ini tidak dapat tidak harus,
ditepati. "Akan tetapi..."
"Bagaimana, berat meninggalkan suami mudamu ini?" "Tua2
keladi, semakin tua semakin jadi!" semprot Pit Yau
ang dengan muka merah dan malu. Suma Bing sendiri juga
merasa mukanya panas. Kata Kangkun Lojin sungguh2: "Kalau
majikan Menara iblis
mengutus orang untuk meringkus kau buat memaksa ayahmu
keluar, pasti urusan ini bukan sembarang urusan, kau harus
segera kembali, supaya dia bisa bersiap sebelumnya!"
"Biar Titli mengutus orang memberi kabar..." "Tidak boleh,
sekarang juga kau harus pulang sendiri." Keadaan Pit Yau ang
serba susah dipandangnya Kangkun
Lojin dengan sorot tanda tanya, lalu berpaling kearah Suma Bing,
katanya: "Engkoh Bing, kapan kau akan pulang kampung?"
Suma Bing tertawa kecut, sahutnya: "Aku...?" "Masa kau..."
"Urusanku belum selesai, kapan aku kembali susah
ditentukan." sambil berkata sorot matanya melirik kearah Phoa Kin
sian, selalu dia merasa mengganjal dalam hati, lirikan selayang
pandang ini mengandung rasa penyesalan yang dalam. Sebaliknya
Phoa Kin sian mengunjuk tertawa tawar saja.
Pit Yau ang menghampiri kearah Phoa Kin sian dan berkata: "Cici,
kau sudah berjanji hendak menetap bersama Engkoh Bing di
perkampungan bumi bukan?"
"Ya, dulu aku pernah berjanji!" "Sekarang saja kau berangkat
dulu bersama aku?" "Jangan, masih ada urusan pribadiku yang
belum selesai kukerjakan."
"Urusan pribadi apa?" "Saat ini tidak leluasa kuberitahukan
kepadamu, tapi ada
sebuah pertanyaan hendak kutanya kepada kau..." "Silahkan cici
katakan." "Apa kau benar2 cinta dia?" "Ini... apa maksud cici?"
"Jawablah menurut isi hatimu." "Ya, memang aku cinta dia, malah
perkawinan kita sudah
direstui oleh orang tuaku." "Harap selalu ingatlah perkataanku ini,
berilah bahagia
kepada dia." Pit Yau ang mengunjuk rasa tak mengerti dan
termangu heran, katanya: "Cici, mengapa kau berkata demikian?" "Kelak kau
akan paham!" Alis Suma Bing berkerut semakin dalam, ucapan
atau kisikan Kangkun Lojin tadi membuatnya risau dan was2. Pikirnya,
apa benar2 dalam jangka seratus hari ini Phoa Kin sian bakal
tertimpa malapetaka" Ini benar2 menakutkan cara yang sempurna
untuk mengatasinya adalah segera dirinya mengantar tiba Hoan
hun tan kedalam solokan untuk menolong bibinya Ong Fong jui,
lalu secara diam2 memberi kisikan kepada bibinya supaya
mengawasinya selalu tanpa berpisah selangkahpun juga.
Karena pikirannya ini hatinya sedikit terhibur dan dada terasa
lapang. Terdengar Kangkun Lojin mendesak lagi: "Siau ang, kau segera
berangkat!"
Dengan penuh rasa berat Pit Yau ang ambil berpisah kepada
mereka bertiga terus berlari menghilang dikejauhan sana.
Kangkun Lojin kebutkan lengan bajunya serta berkata: "Aku orang
tua juga harus pergi. Buyung, selamat bertemu!"
"Selamat bertemu!" Begitu habis ucapannya bayangan Kangkun
Lojin juga lantas menghilang. Suma Bing terlongong memandangi Phoa Kin
sian, hatinya penuh diliputi kuatir dan ketakutan. Kata Phoa Kin sian sambil
mengulum senyum: "Engkoh
Bing, kenapa kau pandang aku demikian?" "Oh, tidak apa2." Sudah
tentu dia tidak akan memberitahukan kisikan
Kangkun Lojin kepada Phoa Kin sian. "Agaknya kau ada urusan
apa2 yang mengganjal hatimu?" "Adik Sian, jejak adikmu..."
Berobah gelap air muka Phoa Kin sian, sahutnya lesu:
"Belum ketemu!" Tanpa terasa tenggelam juga perasaan Suma
Bing. Pedang darah dibawa lari oleh Phoa Cu giok ini benar2 mempengaruhi
segala rencananya. Tapi orang itu adalah adik iparnya sendiri, dia
hanya dapat mengeluh dalam hati, maka katanya apa boleh buat:
"Cari saja pelan2, tak perlu tergesa2."
"Tidak, engkoh Bing, aku harus terus mencarinya sampai
ketemu." "Urusan ini biarlah serahkan saja kepadaku..." "Tidak
mungkin..." "Kenapa tidak mungkin?" "Dia seorang kukuh yang
senang membawa adatnya
sendiri, aku tidak suka terjadi hal2 yang jelek akibatnya."
"Kau tidak perlu kuatir, aku pasti..."
"Sudah kukatakan tidak mungkin!" "Tapi keadaanmu saat ini
tidak leluasa banyak bergerak!" "Kenapa?" "Sebab kau...
sedang mengandung dan tak lama lagi bakal
melahirkan!" Ucapan Suma Bing ini setengah benar, tujuan Suma
Bing adalah supaya dia tidak berkelana seorang diri, karena dia kuatir
ramalan Kangkun Lojin bisa menjadi kenyataan, itulah sangat
menakutkan. Kata Phoa Kin sian tawar: "Itu tidak menjadi soal, toh bukan
hendak bertempur mati2an."
"Tapi aku tidak izinkan kau berbuat begitu!" Merah mata Phoa
Kin sian, air mata sudah berlinang
dikelopak matanya, ujarnya sedih: "Engkoh Bing, aku hanya punya
seorang adik yang nakal dan tak genah ini, menurut pesan ayah
dan bunda aku harus menjaga dan melindunginya. Mungkin ini
kesalahanku, akulah yang terlalu memanjakan sehingga dia
menyeleweng dan tersesat. Kalau aku tidak mencarinya kembali,
pasti dia bakal melakukan sesuatu hal yang siapapun tidak berani
membayangkan akibatnya..."
"Mari kita pulang dulu menilik bibi Jui!" "Dia, kenapakah Suhu?"
"Untuk menyembuhkan luka dalamku karena tersesat
dalam latihan, saat ini masih dalam keadaan pingsan!" "Oh, lalu..."
"Aku sudah dapat memohon sebutir Hoan hun tan, kau
tidak perlu kuatir." "Syukurlah, mari
cepat pulang!"
Berbareng mereka berlarian melanjutkan perjalanan menuju
kesolokan yang tidak bernama itu.
Hati Suma Bing masih merasa was2 dan kuatir, dia tidak tahu
apakah Hoan hun tan ini benar2 manjur atau tidak. Kalau tidak
manjur, bukankah bibinya bakal tertidur untuk selama2nya.
Hari itu, Suma Bing suami istri sudah tiba didepan solokan dimana
sembilan hari yang lalu Suma Bing pergi mencari obat.
Segera Suma Bing me-nekuk2 jari menghitung, lalu katanya: "Adik
Sian, bahaya betul, hari ini kebetulan adalah tepat hari kesepuluh!"
Baru saja selesai ucapannya, mendadak dari empat penjuru
bermunculan beberapa bayangan manusia. Orang terdepan yang
memimpin rombongan pendatang tidak diundang ini tak lain
adalah ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong dan perempuan setengah
umur yang cantik molek bersama Loh Cu gi itu.
Kontan timbul nafsu membunuh Suma Bing, dia mereka dalam
hati, kalau toh perempuan molek ini sudah mengunjuk diri, pasti
Loh Cu gi sendiri juga turut hadir disini, dendam dan sakit hati
mulai bergolak dalam darahnya yang mulai deras mengalir. Diam2
ia merogoh kantong dan mengeluarkan Hoan hun tan terus
diserahkan kepada Phoa Kin sian, serta katanya: "Adik Sian, segera
kau menyingkir, bibi rebah diatas pembaringan kamar dalam, lebih
penting kau pergi menolong jiwanya!"
"Lalu kau bagaimana?" "Hendak kubunuh semua para kurcaci
rendah ini!" "Kita bersama ganyang mereka dulu baru masuk
kedalam!" "Jangan, segala urusan susah diramalkan, jangan
kau main kelakar dengan jiwa bibi. Hari ini adalah hari terakhir."
"Apa kau cukup kuat menghadapi mereka?"
"Mereka sudah mendesak tiba, lekas kau pergi. Jangan sampai
diketahui rahasia dalam solokan dibawah sana."
"Hm, kalau ada orang berani masuk kesolokan sana, berarti
mereka mencari mati!"
"Adik Sian lekas pergi!" Phoa Kin sian ulurkan tangan
menyambuti Hoan hun tan
terus melejit tinggi berlari keluar... "Lari kemana?" ditengah suara
bentakan yang riuh rendah,
empat orang jagoan dari Bwe hwa hwe maju mencegat jalan
larinya. "Cari mati!" terdengar Suma Bing juga menghardik keras terus
berkelebat maju.
Belum sempat Suma Bing turun tangan empat jagoan Bwe hwa
hwe yang mencegat jalan keluar Phoa Kin sian itu baru saja terpaut
setombak didepan Phoa Kin sian, mendadak melolong tinggi terus
roboh kelejetan, jiwanya lantas melayang.
Tanpa terasa Suma Bing sendiri juga tertegun heran, cepat2 ia
hentikan langkahnya.
Maka terdengarlah seruan kejut dan kaget saling susul dari empat
penjuru: "Ha racun!" "Awas sundel ini menebarkan racun!" Dalam
keributan itulah sekejap mata saja Phoa Kin Sian
sudah lolos keluar dari kepungan. Keadaan yang diluar dugaan
ini, benar2 membuat ciut dan
gentar nyali setiap jagoan dari Bwe hwa hwe. Mendadak Suma
Bing memutar tubuh menghadap kearah
Ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong dan perempuan cantik itu.
Wajahnya membeku diliputi hawa membunuh. Musuh2nya
yang mengepung diempat penjuru mulai mendesak maju, tiga
orang satu kelompok, dua orang satu iringan. Tercekat hati Suma
Bing, terang lawan agaknya tengah mengatur satu barisan untuk
mengepung dirinya.
Terdengar Ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong tertawa menyeringai,
ujarnya: "Suma Bing, kau menyerah saja untuk diringkus!"
Suma Bing mendengus, jengeknya: "Chiu Thong, hari ini kau pasti
mati!" Baru saja suaranya lenyap, tahu2 tubuhnya sudah berkelebat tiba
didepan ketua Bwe hwa hwe itu, terus kirim sebuah pukulan
mengarah dada...
Gerak-geriknya ini adalah menggunakan ilmu Bu siang sin hoat,
kecepatannya susah diikuti oleh pandangan mata, tapi begitu
tangannya menyerang mendadak ia kehilangan bayangan
musuhnya. Malah pada saat itu juga ia rasakan beberapa jalur
angin pukulan melanda tiba dari berbagai jurusan menyerang
dirinya, benar2 hebat angin pukulan gabungan ini, kontan Suma
Bing terpental balik ketempat asalnya lagi.
--ooo0dw0ooo-- 40. BWE HWA HWE KONTRA PERKAMPUNGAN BUMI.
Sungguh kejut Suma Bing bukan kepalang, terang dirinya
sudah terkepung dalam barisan, barisan apa yang diatur oleh
musuhnya dia juga tidak tahu.
Terdengar perempuan cantik itu tertawa genit, serunya: "Suma
Bing, kau benar2 hebat dapat lolos dari kurungan


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penjara bawah tanah. Tapi hari ini seumpama kau tumbuh sayap
juga jangan harap dapat terbang keluar."
Suma Bing mengertak keras: "Siluman rase, aku ingin jiwamu!"
Kiu yang sin kang dikerahkan sampai sepuluh bagian terus
dihantamkan keluar. Sejak minum darah pusaka naga bumi.
Lwekangnya sudah tambah berlipat ganda, maka diantara angin
pukulannya itu samar2 sudah mengandung berkelebatnya sinar
merah. Sedikit bergoyang badan perempuan cantik setengah umur itu
tahu2 sudah menggeser kedudukan. Maka pukulan Suma Bing
yang mengejutkan ini mengenai tempat kosong lagi.
Kata ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong dengan nada mengancam:
"Suma Bing, kalau kau ingin melawan itulah mimpi belaka, kau
seorang laki2 harus tahu diri dan pasrah nasib saja, jikalau barisan
ini kugerakkan, kau Sia sin kedua tidak lebih seperti anjing yang
bergulingan diatas tanah saja."
Hampir meledak dada Suma Bing, bukan saja karena diejek dan
dihina, adalah kedua kali pukulannya yang mengenai tempat
kosong tadi menurunkan semangat tempurnya. Disinilah baru ia
sadari sebelum mengetahui seluk beluk barisan ini janganlah
sembarangan bergerak, itu akan sia2 dan menghabiskan tenaga
saja. Maka dia menahan gusar dan menekan perasaan, matanya
tajam dan memasang kuping bersiaga mencari kesempatan untuk
lolos. Perempuan cantik setengah umur itu berseri girang, katanya
kepada Chiu Thong: "Thongji, gerakkan barisan, supaya tidak
membawa buntut dikelak kemudian hari..."
Ketua Bwe hwa hwe sedikit mengangguk terus angkat sebelah
tangan memberi aba2...
Dalam sekejap itu bayangan orang terus berkelebatan, angin
pukulan juga terus bergulung dan menerjang tiba dari
empat penjuru seperti angin lesus, suara benturan yang
menggelegar tak henti2nya sehingga memekakkan telinga, angin
pukulan yang dahsyat seumpama gugur gunung terus melanda
bergantian menerjang ketengah dari berbagai penjuru terus
menebar dan berputar balik lagi...
Betapapun Suma Bing sudah menggunakan seluruh kekuatannya
untuk melindungi tubuh, bagaimana juga susah mengendalikan
badan sendiri, tubuhnya tergoyang gontai dan sempoyongan
kekanan kiri terbawa arus angin pukulan yang mengekang dari
luar. Kekuatan pukulan sendiri juga amblas ditelan gelombang
pukulan gabungan para musuhnya tanpa meninggalkan jejak.
Dalam keadaan demikian, betapa tinggi juga Lwekangnya, pasti
takkan kuat bertahan selama sepeminuman teh, pada saat itu mau
tak mau dia harus mandah menyerah dan diringkus saja. Sungguh
dia sangat menyesal, sebetulnya dia sudah harus bergerak sebelum
lawan sempat atau sempurna mengatur barisannya, tapi sekarang
sudah terlambat, sesal kemudian tak berguna.
Sang waktu sedetik menuju kesemenit terus berjalan tanpa
menanti. Keadaan Suma Bing sudah semakin payah, karena
tenaga tidak dapat mengimbangi kekerasan hatinya, tubuhnya
terus bergulingan mengikuti arus angin pukulan yang keras
ber-gulung2. Keadaan ini sangat berbahaya, sungguh dia tidak
berani membayangkan kalau dirinya sudah kehabisan tenaga dan
mandah diringkus oleh musuh. Loh Cu gi adalah musuh
bebuyutannya, kalau dirinya terjatuh ditangan orang2 Bwe hwa
hwe, kematian hanyalah bagiannya.
Pada saat itulah, mendadak terdengar berbagai seruan kejut dan
pekik kesakitan, barisan yang mengepung itu menjadi ribut dan
kocar kacir, kekuatan angin pukulan yang mengekang dirinya juga
susut sebagian besar.
Suma Bing menenangkan pikiran dan menghimpun semangat, kini
dengan gampang saja dia dapat menerjang keluar dari kepungan
barisan musuh, waktu matanya
menyapu kesekelilingnya, tampak dua orang berseragam hijau
dan berpuluh orang hitam tengah bertempur seru melawan para
jagoan Bwe hwa hwe.
Terutama kedua orang seragam hijau itu, bagai banteng ketaton
dan harimau kelaparan, cara bertempurnya hebat luar biasa,
dimana terlihat tangan bergerak dan kaki menendang lantas
terdengar seruan kesakitan. Maka dalam sekejap mata saja mayat
bergelimpangan diatas tanah, jumlahnya tidak kurang dari
duapuluh lebih.
Sekali pandang Suma Bing sudah jelas bahwa mereka ini tak lain
adalah anak buah dari Perkampungan bumi. Kedua orang
seragam hijau itu tidak lain adalah Sim tong Tongcu Song Liep
hong dan Bu tong Tongcu Pau Bing sam.
Bahwa Sim dan Bu dua Tongcu datang tepat pada waktunya
memecahkan barisan dan menolong jiwanya, hal ini benar2 diluar
dugaan Suma Bing.
Betapa gusar dan murka perempuan cantik setengah umur itu dan
Chiu Thong kelihatan pada mimik wajahnya yang merah padam,
susahlah dilukiskan betapa geram hati mereka. Maka terdengar
Chiu Thong membentak keras: "Berhenti!"
Gelanggang pertempuran seketika sunyi senyap. Menggunakan
kesempatan ini, segera Sim dan Bu dua
Tongcu maju menghadap Suma Bing sambil memberi hormat:
"Sim tong Tongcu Song Liep hong menghadap Huma!"
"Bu tong Tongcu Pau Bing san menghadap Huma!" Berkerut alis
Suma Bing, katanya acuh tak acuh:
"Sudahlah!" "Terima kasih kepada Huma!" "Kalian
berdua sejak kini panggil saja namaku..." "Hamba
tidak berani."
Semua jagoan Bwe hwa hwe dari sang Ketua sampai anak
buahnya sama pandang memandang, sungguh tidak nyana bahwa
Sia sin kedua ternyata sudah menjadi Huma (menantu raja) hal ini
sebelumnya tidak diketahui oleh mereka.
Segera Bu tong Tongcu Pau Bing sam maju sambil membungkuk
tubuh serta berseru: "Harap Huma memberi petunjuk bagaimana
kita harus bertindak!"
Sorot mata Suma Bing yang mengandung nyala kebencian
menyapu keseluruh gelanggang lalu serunya: "Harap kalian
pimpin semua anak buahmu menjaga empat penjuru, jangan
lepaskan satu orangpun."
"Terima perintah!" Tiba2 perempuan cantik setengah umur
mendesak maju kearah Song Liep hong serta tanyanya: "Tuan ini dari aliran atau
golongan mana?"
Sebelum menjawab Song Liep hong memandang dulu Suma
Bing... Segera Suma Bing yang menyanggah: "Jangan banyak mulut
ladeni dia, jalankan perintah!"
"Baik!" Begitu kedua Tongcu ini keluarkan perintahnya, semua
anak buahnya yang berseragam hitam segera berpencar keempat
penjuru mengepung diluar barisan. Jadi situasi dalam gelanggang
kini berobah, pihak Bwe hwa hwe yang semula mengepung kini
berganti dikepung.
Sorot pandangan dingin Suma Bing menatap Ketua Bwe hwa hwe
tajam2, desisnya: "Chiu Thong, biar kusempurnakan kau dulu!"
Tanpa terasa Ketua Bwe hwa hwe mundur satu langkah. Segera
lima jagoannya melejit tiba menghadang dihadapannya untuk
melindungi sang Ketua.
Pelan tapi pasti selangkah demi selangkah Suma Bing mendesak
maju, mimik wajahnya semakin gelap dirundung kekejaman yang
buas. Situasi sangat tegang mencekam hati.
"Minggir!" disertai gertakan nyaring ini, mendadak Suma Bing
menggerakkan kedua tangannya, dengan kekuatan himpunan
Lwekangnya sekarang, betapa dahsyat pukulannya ini susahlah
diukur. Maka dimana angin pukulannya melanda, kontan terdengar
jerit dan pekik kesakitan saling susul, tiga bayangan manusia
terpental terbang sedang dua yang lain ter-guling2 dengan muntah
darah. Bola mata Ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong merah membara,
sambil mengertak keras ia menerjang maju sambil menyerang
dengan satu pukulan. Pukulannya ini sungguh hebat dan aneh
sekali, jarang terlihat dalam dunia persilatan gaya serangan
semacam ini. Tanpa berkelit atau menyingkir, Suma Bing malah memutar kedua
tangannya terus memapak pukulan lawan secara kekerasan.
Keruan kaget Ketua Bwe hwa hwe bukan kepalang, serta merta
gerak geriknya menjadi lamban dan ragu-ragu.
Sementara itu sambil tertawa ejek tangan kanan Suma Bing
bergerak melintang terus menyelonong menjojoh dada musuh,
baru saja serangannya ini sampai ditengah jalan disusul pula oleh
serangan tangan kiri, kecepatannya bagai kilat berkelebat. Tersipu2
Ketua Bwe hwa hwe menjejakkan kaki melejit menyingkir. Dalam
waktu yang bersamaan ini, dari sebelah belakang perempuan cantik
setengah umur itu juga melancarkan serangan membokong
punggung Suma Bing.
Mendadak Suma Bing kembangkan ilmu gerak kelit dari ilmu Bu
siang sin hoat, tubuhnya berputar dan menggeser kedudukan
selicin belut, maka tahu2 bayangannya sudah menghilang, terus
Pendekar Panji Sakti 16 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Pendekar Satu Jurus 3

Cari Blog Ini