Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Bagian 3
seketika tangan Siang Siau-hun yang sudah terangkat itu lemas
semampai. Sungguh diluar dugaan bahwa Siang Siau-hun bisa
mengambil jalan pendek, sa-king kejut keringat dingin membasahi
seluruh tubuh. "Nona Siang, kau".mengapa kau berbuat begitu?" "Bing-ko"."
seru Siang Siau-hun sambil berlari me-nubruk
kedaiam pelukan Suma Bing dan pecahlah tangisnya tergerung2.
Selama hidup ini kapan Suma Bing pernah menghadapi adegan
yang mendebarkan ini, kontan merah jengah seluruh wajahnya,
jantung berdetak keras, kaki tanganpun lemas gemetar, entah apa
yang harus diperbuatnya menjurungnya atau memeluknya.
Bau wangi khas seorang perawan merangsang hidungnya, dua
tubuh hangat bersentuhan menimbulkan suatu perasaan mesra
mengalir keseluruh tubuh. Karena tangisnya yang penuh perasaan
hingga badannya tergetar naik turun, Suma Bing merasakan dada
sinona yang padat dan lunak menempel diatas tubuhnya,
membuat pikirannya melayang se-perti di awang-awang.
Lengan Suma Bing yang kokoh kuat akhirnya melingkar memeluk
tubuh yang montok dan langsing menggiurkan, Akhirnya terangkap
juga hati sepasang muda-mudi ini setelah mengalami segala
lika-liku aral lintang. Tapi tidak dapat disangkal bahwa rangkapan
jodoh mereka ini penuh mengandung sifat duka.
"Bing-ko, kalau kau".aku dapat melulusi segala permintaanmu."
suaranya penuh buaian mesra mengandung daya tarik yang tiada
batasnya. Semangat Suma Bing terombang-ambing, namun pikiran-nya masih
sadar, bagaimana boleh begitu saja ia mengor-bankan jiwa seorang
gadis demi menghibur jiwa hidupnya yang sudah tak lama lagi. Maka
perlahan2 ia lepaskan pelukannya. Wajah Siang Siau-hun masih
bersemu merah, kedua matanya penuh mengembeng air mata,
katanya sam-bil sesenggukkan, "Bing-ko, untuk aku, kau
mengorbankan jiwamu"."
"Tapi sekarang aku masih belum mati?" "Memang belum, tapi
seratus hari, betapa pendek jangka
itu, aku".apa yang dapat kuberikan kepadamu?" "Adik Hwi, hal
itu terjadi diluar dugaan, sedikitpun aku tidak
bermaksud mengorbankan jiwaku untuk kau, maka kaupun tidak
perlu menaruh dalam hati, hidup memang menyenangkan, bagi
seorang laki2 sejati matipun tidak perlu dibuat sedih, hanya".ai!"
"Bing-ko, bagaimana kau bisa menghapus kenyataan hakikatnya
kau telah memberikan pengorbanan yang tiada taranya karena
aku." Meskipun Suma Bing seorang laki2 yang Keras hati, akhir-nya toh
dia mengeluh juga akan nasibnya itu, dendam per-guruan dan
musuh keluarga bagai dua pisau tajam me-lintang didalam
benaknya. Seratus hari, apa yang dapat di-perbuatnya" Apa ada
muka ia menemui gurunya yang ber-budi dan ayah bundanya
dialam baka" "Aku tidak boleh mati?" keluhannya ini seakan
memperotes akan nasib yang sudah menentukan jalan hidupnya.
Siang Siau-hun merasa hatinya bagai di-iris2, namun mulutnya
kehabisan kata2 untuk membujuk dan menghibur- nya, jikalau itu
mungkin terjadi, besar harapannya ia rela menggantikan
kematiannya itu, namun itu tak mungkin terlaksana.
"Bing-ko, sampai keujung langitpun kita harus mencari obat
pemunah itu"."
Suma Bing membisu sambil goyang kepala, lalu katanya, "Adik
Hun, itu tidak mungkin, walaupun jangka seratus hari ada
batasnya, aku ada banyak urusan yang harus ku selesaikan, aku
tidak boleh menghamburkan waktu sedetik pun. Mungkin semua
itu tidak bisa terlaksana, namun seta-pak demi setapak akan
kucapai dengan sekuat tenagaku, setelah mati baru hatiku merasa
tentram." "Bing-ko!" Siang Siau-hun mengeluh pendek, suaranya
mengandung penjesalan, cemas, menghibur dan putus ha-rapan".
Nafsu membunuh segera merangsang dalam benak Suma Bing,
achirnya diambilnya ketetapan teguh. "Adik Hun, dimanakah
tempat tinggal Racun utara ayah beranak?"
"Di lembah racun di belakang puncak ketujuh gunung Eu- san,
ada apakah kau".
"Terlebih dahulu hendak kubunuh Racun Utara ayah ber-anak,
baru menjelesaikan urusan yang lain."
Saking kaget Siang Siau-hun mundur tiga langkah, mata- nya
membelalak tanpa bicara.
Pada saat itulah, sebuah suara serak terdengar berkata, "Bujung,
mendengar nama Racun utara ayah beranak saja kaum persilatan
sudah lari menyingkir, sungguh takabur ucapanmu itu."
Berobah kaget wajah Suma Bing dan Siang Siau-hun, sungguh
diluar tahu mereka bahwa dalam biara bobrok itu kiranya masih
ada orang ketiga yang sembunyi disitu. Segera sinar tajam Suma
Bing menatap kearah dari mana suara itu terdengar, serunya,
"Orang kosen dari manakah ini, si-lakan keluar untuk bicara."
"Hahahaha, Siaucu, darimana kau tahu kalau aku ini seorang
kosen?" ditengah gema suaranya ini, seorang tua beruban yang
bertubuh buntak dan pendek, dengan ringan- nya melayang turun
dari atas penglari yang penuh kotoran debu, sedemikian enteng
bagai asap tubuhnya menginjak tanah tanpa mengeluarkan suara.
Tanpa merasa Suma Bing berseru kejut tertahan. Siang
Siau-hunpun tidak kalah kaget dan malunya, bahwa orang tua
pendek gemuk ini kiranya telah bersembunyi diatas penglari
semalaman lamanya, terang segala gerak geriknya tadi tentu telah
disaksikan olehnya, bersama itu iapun kagum akan kelihayan
ringan tubuh orang.
Mulut siorang tua terbuka lebar tertawa besar, katanya, "Siaucu,
apa benar kau ini adalah muridnya Kho-losia?"
"Bagaimana pendapat tuan?" "Ja, anggap saja benar. Kau
tahu siapa Lohu ini?" "To-singtaugwat Si Ban-can." Dalam pertempuran memperebutkan
pedang darah tempo
hari, Suma Bing pernah melihat orang muncul memberi
peringatan, lalu segera tinggal pergi lagi, maka segera ia bisa
menyebutt nama julukan siorang tua.
To-sing-tau-gwat Si Ban-cwan manggut " manggut, "Tidak malu
kau menjadi murid Lam-sia, pengalamanmu boleh juga."
"Tadi tuan mengatakan apa?" "O, bukankah barusan kau
bermulut besar hendak
mem-bunuh Pak-tok ayah beranak?" "Tidak salah, tapi aku tidak
takabur." "Itu berarti kau ingin
mempercepat kematianmu," Berobah air muka Suma Bing,
sahutnya lantang, "Kukira belum tentu."
To-sing-tau-gwat (mencuri bintang merampok rembulan) Si
Ban-cwan tertawa hambar katanya, "Siaucu, kepandaian PakTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tok seumpama Suhumu sendiri juga harus menghadapi sekuat
tenaga, kemampuanmu terpaut terlalu jauh, dan lagi dalam
lembah beracun itu segala tumbuhan termasuk rumputpun
mengandung bisa, apa kau jakin dapat mema-suki lembah itu?"
Suma Bing merinding, serunya penuh kebencian, "Kalau aku tidak
bunuh Pak-tok ayah beranak, belumlah terlampias rasa penasaran
dalam hatiku."
"Buyung, mungkin kau menganggap hidup seratus hari itu terlalu
panjang?" "Tuan bicaralah sopan dan tahu aturan." "Hihihihi, buyung, ini
sudah sangat sungkan. Orang yang
tidak masuk dalam pandangan Lohu, malas aku bicara dengan
dia. Jangka seratus hari bukan waktu pendek, kau masih bisa
menyelesaikan banyak urusan, buat apa kau main berlagak?"
"Lo-cianpwe," tiba2 Siang Siau-hun menjelak, "Racun Pek- jit-kui
itu, adakah obat pemunahnya?"
"Tentang ini".Kecuali dapat menemukan tertua dari Bu limsipyu yang bernama Wi-thian-chiu Poh Jiang."
Suma Bing merasa sangat terkejut, Bu-lim-sip-yu adalah musuh
perguruannya, dia hanya tahu adanya Tiang-un Suseng Poh Jiang,
namun belum pernah dengar adanya julukan Wi- thian-chiu
(tangan membalik langit). Maka dengan penuh curiga ia bertanya,
"Apa diantara Bu-lim-sip-yu itu ada terdapat dua Poh Jiang?"
"Tidak, satu saja." "Lalu "Tiang-un Suseng Poh Jiang"." "Asal
julukannya adalah Wi-thian-chiu, pandai menyamar
dan pintar pertabiban, akhirnya entah mengapa dia berganti
julukan menjadi Tiang-un Suseng. Kalau kalian dapat menemukan
orang ini, mungkin masih ada sedikit harapan."
Suma Bing mengiakan, hatinya berpikir, "Su seng adalah salah
seorang musuh besar perguruan yang ha-rus dibunuh, kini dia
mengumpet dan melarikan diri, sam-pai keujung langitpun pasti
kupenggal kepalanya, mana bisa aku minta obat penawar
padanya." Sebaliknya Siang Siau-hun berjingkrak kegirangan, seru-nya
gemetar, "Bing-ko, singkirkan semua itu dulu, lebih pen-ting kita
pergi mencari Tiang-un Suseng?"
Tawar2 Suma Bing mengangguk kepala, lantas terpikirkan juga
akan wanita seragam hitam yang juga ingin segera menemui
Tiang-sun Suseng- Dia pernah berkata bahwa untuk Tiang-un
Suseng dia telah rela menderita selama tiga puluh tahun lamanya,
meskipun hubungan mereka itu terikat olen rangkaian cinta yang
belum diselesaikan. Demikian juga Pek- hoat-sian-nio, dia hendak
mencari jejak Tiang-un Suseng, untuk apa hal ini belum jelas.
Setelah Pek-hoat-sian-nio mengetahui asal-usul perguruannya lantas
dia mencecar menanyakan jejak Suhengnya Loh Cu-gi malah turun
tangan keji terhadap dirinya, kalau gadis putih yang bernama Ting
Hoan itu tidak membantunya secara diam2 mungkin dia sudah mati
beberapa saat lamanya. inipun kenapa" Apa mungkin antara
Pek-hoat- sian-nio dengan perguruannya ada permusuhan yang
dalam" Pikiran Suma Bing semakin tenggelam, lantas teringat pula akan
Suhengnya Loh Cu-gi yang sudah menghianati perguruan, setelah
merebut simbol teragung sebagai jago nomor satu diseluruh jagad
terus menghilang sejak empat lima tahun yang lalu. entah dimana
dia sekarang, diapun salah seorang yang harus dicari dan dibunuh
menurut pesan gurunya.
Nyata2 simaling bintang Si Ban-cwan menghentikan tawanya
katanya: -Siaucu, kalau kau dapat menemukan Tiang-un Suseng
tentu kau takkan mati."
Katanya tegas. "Aku tentu bisa, akan kucari dia dengan sekuat
tenagaku" dimulut dia berkata begitu tapi maksud hati Suma Bing
mengandung arti lain.
Siang Siau-hun kegirangan ujarnya tertawa, "Bing-ko, itulah baik,
kita harus berpegang pada kesempatan hidup ini."
Sudah tentu dia tidak mengetahui arti ucapan Suma Bing yang
mempunyai maksud tertentu. Simaling bintang berkata kepada
Siang Siau-hun, "Budak kecil, orang yang mati keracunan beberapa
waktu yang lalu adalah adikmu?"
Air muka Siang Siau-hun berobah suram, sahutnya sedih "Ja,
itulah adik kandungku Siang Siau-moay dan seorang kawannya
bernama Li Bun-siang bersama menjadi korban."
"Jadi karena itu kau mencari Bocah beracun itu?" "Benar,
menurut hematku Racun tanpa bayangan yang
jahat itu selain Pak-tok ayah beranak mungkin"." "Sudah tentu
hal ini tidak bisa menyalahkan kau. Racun
tanpa bayangan konon adalah semacam bisa paling jahat,
mungkin Racun-utara sendiripun kewalahan menghadapinya,
adikmu itu adalah korban yang penasaran."
"Apa Lo-cianpwe mengetahui hal ihwal peristiwa itu." tanya
Siau-hun terkejut.
"Tidak banyak, kutahu kulitnya saja." "Harap Lo-cianpwe suka
memeriahkan teka-teki ini?" Sejenak simaling bintang berpikir,
lalu katanya, "Cerita ini
harus dimulai dari pedang darah itu"." Tergugah semangat Suma
Bing mendengar Pedang darah
disinggung lagi, sebab "Pedang darah" semestinya menjadi hak
milik ayahnya Suma Hong, karena pedang darah itu pula maka
ayah bundanya menemui ajal, untung dia sendiri dapat lolos dari
kematian, maka Pedang darah itupun harus dike-jar kembali. Dan
hutang darah yang timbulkan pedang da-rah itu
juga harus ditagih. Disamping itu, sebelum meninggal Suhunya "
Lam-sia pernah berpesan supaja dirinya merebut Pedang darah
dan Bunga iblis supaja dapat melatih kepandaian mujijad yang
tiada taranya untuk membersih-kan nama perguruan, sebab
Suhengnya Loh Cu-gi yang ber- chianat itu telah mencuri sebutir
Kiu-coan-hoan-yang-cau-ko, Lwekangnya sudah lebih tinggi dari
gurunya sendiri. Ini boleh dikata sebagai harapan Sia-sin Kho Jiang
sebelum mati, dan Suma Bing sendiri besar hasratnya untuk
melaksa-nakan harapan itu.
Siang Siau-hun menyambung mulut, "Apa barang yang dititipkan
kepada kita bertiga itu benar2 adalah "Hiat-kiam" itu?"
Si maling bintang Si Ban-cwan membalik mata, sahutnya, "Jangan
kau menyelak, dengarkan ceritaku ini; Lima belas tahun yang lalu
Hiat-kiam pernah muncul sekali dan terjadilah penjembelihan
besar2an, pemiliknya Su-hay-yu-hia.p Suma Hong suami-istri dan
anaknya yang berusia kira2 tiga tahun mati mengenaskan, konon
Hiat-kiam itu achirnya terebut oleh Tang-Mo (iblis timur)."
Setelah merandek sejenak lantas disambungnya lagi, "Be-lum lama
ini dikalangan Kangouw tersiar kabar yang menga-takan bahwa
Pedang darah itu berada ditangan Mo- san-ji-kui. Pada waktu itu
Lohu merasa heran, bahwa Tang- mo termasuk salah satu tokoh
dari Bu-lim-su-ih (empat gembong aneh dari Bu-lim),
kepandaiannya berimbang dengar Lam-sia Pak-tok dan Se-kui,
barang yang sudah mereka dapatkan, mana mungkin bisa terjatuh
ditangan orang lain lagi. Selain itu dengan kemampuan
Mo-san-ji-kui, mana mungkin dapat merebut Hiat-kiam itu dari
tangan Tang- mo?"."
Lahirnya Suma Bing berlaku tenang, namun sanubarinya
bergejolak susah tertahan.
"Bagaimana selanjutnya?" tanya Siang Siau-hun ingin tahu benar.
"Gembong2 silat dari aliran hitam dan putih pada melurus
kesarang Mo-san-ji-kui digua Kim pitong, disana mereka
menemukan jenazah kedua setan itu sudah menggeletak di luar
gua, maka banyaklah mulut2 usil yang mengatakan bahwa
Hiat-kiam itu sudah direbut pula oleh orang lain lagi."
Simaling bintang menghela napas panjang lalu melanjutkan
ceritanya, "Secara sangat kebetulan, seorang tua yang berseragam
hitam tengah membawa sebuah buntalan kain minyak sepanjang
satu kaki, maka timbullah serakah dan ketamakan orang ceroboh
dan gegabah itu, dan terjadilah pengerojokan, siorang tua itu
akhirnya dapat lolos dari kepungan dengan membawa luka2 berat,
karena lukanya terlalu berat ditengah jalan ia roboh dan kebetulan
ber-temu dengan kalian kakak beradik lantas ia menitipkan
buntalan kain itu supaya disampaikan kepada ketua kelenteng Yoktongbio di Seng-toh"."
Siang Siau-hun manggut2 tak hentinya. "Kiranya lo-cianpwe
sangat jelas akan duduk perkara peristiwa itu?"
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Orang yang meracun adikmu dan merebut buntalan kain itu
menamakan dirinya sebagai Tok-tiong ci-tok (Racun di racun)"."
"Racun didalam racun?" "Betul, sebelum ini belum pernah
terdengar adanya
se-orang tokoh macam ini didunia persilatan. Tapi racun tan- pa
bayangan yang dia gunakan itu boleh terhitung sebagai racun
diracun"."
"Apakah buntalan kain itu benar2 berisi Hiat-kiam?" "Bukan,
hanya sebatang jinsom yang berusia ribuan
tahun." "Benar," sahut Siang Siau-hun tersedar, "Wanpwe pernah
menjelidiki ke Yok-ong-bio di Seng-toh, ketua biara itu kebetulan
meninggal belum lama ini, mungkin jinsom itu adalah obat yang
untuk mengobati penyakitnya". sungguh tak terduga terjadilah
peristiwa diluar dugaan ini."
Sebaliknya Suma Bing tak habis mengarti, tanyanya "Apakah racun
diracun dapat mengetahui bahwa apa yang dia rebut itu bukan
Hiat-kiam" Atau mungkin tujuannya adalah memang Jinsom ribuan
tahun itu?"
Mata simaling bintang Si Ban-cwan menatap tajam ke arah Suma
Bing, katanya, "Setelah mendapatkan buntalan kain itu, segera
"Racun diracun" membuka buntalan itu, melihat hanya berisi
sebatang Jinsom, dengan dongkol ia buang diatas tanah, entah
karena pikirannya tergerak akhirnya ia kembali dan menjemputnya
lagi. Dari kejadian in dapatlah disimpulkan bahwa "Racun diracun"
memang khusus mengincar Hiat-kiam itu?"
"Lalu bagaimana dengan peristiwa pedang berdarah palsu buatan
Bwe-hwa-hwe itu?"
"Kejadian itu membuat orang susah mengarti, Lohu sendiripun
belum jelas, mungkin Bwe-hwa-hwe mempunyai suatu muslihat"."
"Tuan pernah muncul memberi peringatan, untuk apa pula itu?"
"Kali ini Lohu salah melihat, aku tidak tahu bahwa Hiat kiam itu
palsu, tujuanku mem-peringati mereka adalah ka-rena aku kuatir
"Racun diracun" akan menjebarkan maut-nya untuk merebut
pedang darah itu. Bukankah semua orang yang hadir akan mati
konjol?" Akhirnya sebagian pertanyaan dalam benak Suma Bing sudlah
terjawab, tapi urusan agaknya semakin ruwet, de-ngan munculnya
tokoh baru seperti "Racun diracun". Siapa dan dari aliran manakah
Racun diracun itu" Bwe-hwa-hwe
menggunakan Hiat-kiam palsu untuk menimbulkan perebu-tan,
tanpa sengajakah atau memang sudah dalam rencana mereka"
Kalau memang sudah diatur demikian, apakah tujuannya" Lantas
Hiat-kiam tulen masihkah berada ditangan Tang-mo" Mo-san-ji kui
mati konyol disarangnya sendiri apakah berita itu benar bahwa
kematiannya itu karena Hiat-kiam itu juga" Dia menggelengkan
kepalanya dengan ham-pa.
Justru yang paling diperhatikan oleh Siang Siau-hun ada-lah racun
Pek-jit-kui yang mengeram dalam tubuh Suma Bing itu, dengan
sinar pandang yang penuh harapan ia me-natap kearah
To-sing-tau-gwat Si Ban-cwan dan berkata, "Lo- cianpwe,
dapatkah Tiang-un Suseng mengobati racun yang mengeram
dalam tubuhnya itu?"
Si maling bintang melirik dan menyahut, "Aku orang tua tidak
dapat memberi pertanggungan jawab, namun itulah jalan
satu2nya yang harus kalian tempuh."
"Jejak kau orang tua sudah kelana sampai dimana2. sukalah kau
memberi petunjuk dimanakah kiranya kita da-pat menemukan
Tiang-un Suseng?"
"Apa, jejakku tersebar diseluruh Kangouw. Budak kecil jadi kau
mau maksudkan bahwa aku orang tua sudah mencuri diseluruh
jagad ini?"
"Bukan begitu maksud Wanpwe." "Konon bahwa Tang-un
Suseng Poh Jiang sudah
me-ninggal dunia, namun waktu kuburannya dibongkar orang
kiranya kosong." " Dalam ber-kata2 Itu sengaja atau tidak
matanya melirik kearah Suma Bing. Berdetak keras jantung Suma
Bing. Siang Siau-hun berkerut alis, katanya, "Kalau begitu berarti bahwa
Tiang-un Suseng sengaja menghindarkan diri dari dunia ramai,
untuk mencarinya mungkin sangat sukar"
"Semua kejadian dalam dunia tergantung pada djodoh, ucapanmu
itu belum tentu."
"Tangbun Yu bocah berbisa itu benar2 jahat, karena sedikit salah
paham saja dia lantas turunkan tangan keji meracuni orang?"
"Kau hanya tahu satu tak tahu kedua- Ketahuilah bahwa Lam-sia
dan Pak-tok selamanya tidak akur bertentangan se-perti api dan
air, begitu ada kesempatan bertemu tentu ti-daklah sia2
digunakan. Apalagi temanmu sebelumnya ini su-dah melukainya"
"Kalau Pak-tok sudah merajai dalam dunia racun, siapa yang
berani bermusuhan padanya."
"Dia sejajar sebagai salah satu gembong aneh yang tinggi
kepandaiannya, tanpa mengingat gengsi sendiri lantas turun
tangan menggunakan racun, apalagi selama hidup situa bangka
berbisa itu paling membanggakan kepintaran-nya itu."
"Lo-cianpwe sudah sekian lama mengumpet diatas belandar itu
bukan" Tentu kau orang tua juga takut akan racun, jadi sampai
sekarang baru muncul?"
Wajah tua simaling bintang merah jengah. katanya, "Budak kecil
runcing benar mulutmu. Akan tetapi bukan aku orang tua takut
akan bisa itu, ada sebab lain maka aku tidak mau berurusan
dengan bangsat tua beracun itu."
Segera Suma Bing mengalihkan pembicaraan, "Bagai-manakah rupa
atau bentuk orang yang mengaku sebagai Racun didalam racun itu?"
"Seorang aneh bertubuh tinggi lencir kurus kering seluruh tubuh
kulitnya berwarna hitam gelap."
Suma Bing manggut2 dan mengingat keterangan itu. Kata
Siang Siau-hun penuh kasih mesra, "Bing-ko sudah
saatnya kita berangkat."
"Benar kita harus segera berangkat." "Nanti dulu." mendadak
maling bintang perampok bulan Si
Ban-cwan pentang tangannya. "Tuan masih ada ucapan apa
lagi?" tanya Suma Bing sambil
mengerutkan alis. "Apa kepergian kalian ini benar2 hendak
mencari Tiang-un
Suseng?" "Sudah tentu," selak Siang Siau-hun. "Itulah baik, jikalau
kalian lebih dulu dapat menemukan
dia"." Suma Bing menjadi heran dan bertanya, "Jadi kau juga
tengah mencari Tiang-un Suseng." "Ja, tapi aku mendapat pesan
orang lain, kalian tak perlu
banyak tanya, jikalau kalian menemukan dia katakan saja bahwa
Lohupun ingin segera menemuinya."
"Itu boleh, adik Hun, mari berangkat," habis berkata segera ia
mendahului angkat langkah keluar dari biara bobrok itu. Sebelum
pergi Siang Siau-hun membungkuk memberi hormat kepada Si
Ban-cwan serta berkata, "Se-lamat bertemu". ~ terus mengintil
dibelakang Suma Bing meninggalkan tempat itu.
Sampai diluar segera Suma Bing menghentikan langkah, dan
katanya, "Adik Hun, dunia sedemikian besar, Tiang-un Susengpun
sengaja menghindarkan diri dari keramaian, mencari jejaknya
berarti mencari jarum didalam laut"."
"Ja, memang. Tapi hanya itulah harapan satu2-nya, janganlah kita
buang kesempatan ini."
"Aku mempunyai sebuah cara."
"Cara apa?"
"Kita berpisah mencarinya, begitu lebih gampang dan praktis."
Berobah air muka Siang Siau-hun. katanya:"Bing-ko kau hendak
meninggalkan aku?"
"Adik Hun dengarkan penjelasanku; kita membatasi waktu tiga
bulan, tiga bulan kemudian kita bertemu lagi dikelenteng bobrok
ini. Sebelum bertemu tidak berpisah."
"Kalau". kalau"." "Bagaimana?" "Kalau kau tidak datang?"
Pedih rasa hati Suma Bing seperti di-iris2, sebuah ucapan
yang sederhana mengandung betapa besar rasa cinta kasih,
pengharapan dan ketulusan hati. Apa benar dia tidak akan datang"
Mengapa dia harus datang" Obat pemunah itu merupakan angan2
hampa yang tidak mungkin terlaksana, tiga bulan kemudian, hidup
jiwanya akan sampai pada titik terachir". tapi sekuatnya ia
menguatkan hati dan unjuk senjum dibuat2, katanya, "Adik Hun,
percayalah, aku pasti datang."
Kedua mata Siang Siau-hun merah tergenang air mata, dengan
suara yang memilukan hati ia berkata, "Bing-ko, aku percaya
kepadamu. Tapi ingatlah ucapanku ini, kini jiwaku merupakan
sebagian dari jiwamu sudah kupasrah-kan jiwaku kepada kau, itu
berarti persamaan jiwa hanya sama akibatnya, tak mungkin ada
dua akibat, tak peduli akibat itu baik atau buruk".
Tergetar sanubari Suma Bing, walaupun dia tidak rela si nona
belia ini menjadi pengiringnya masuk dalam liang kubur, tapi,
apakah hanya dengan kata2 halus lantas dapat merobah tekadnya
yang besar itu" Hatinya mendelu dia goyang2 kepala dengan
hampa, sahutnya, "Aku tahu!"
Setelah berpandangan sekian lamanya, mereka berpisah tanpa
kata2, tanpa kata2 perpisahan sebagaimana lazimnya, tanpa
ucapan selamat tinggal!
Cinta pertama adalah perjalanan hidup manusia yang termahal,
akan tetapi cinta pertama mereka ini adalah pa-hit getir. Suma
Bing berusaha untuk menghilangkan ba-yangan kekasihnya ini dari
sanubarinya untuk sementara, dia harus mengatur serapi mungkin
akan acara yang harus di-lakukan selanjutnya. Pertama menuju ke
Ceng seng-san mencari Leng Hun-seng Ciangbun dari
Ceng-seng-pay. Dari mana menuju ke Siau-lim mencari Goan Hi
Hwesio lalu memutar balik ke gunung Lo-san menemukan Lo-san
siang-kiam. Terachir baru sekuat tenaga berdaja mencari jejak
Tang-mo, dan mengejar para pembunuh ayah-bundanya sembari
berusaha mencari Tiang-un Suseng. Tentang Hiat-kiam Mo-hoa
dan mencuci nama perguruan mungkin tinggal suatu harapan
hampa yang usah dicapai.
Setelah mengambil ketetapan hati bangkitlah semangatnya
dibuangnya hal2 menakutkan dibenaknya, demi mencapai cita2nya
dan untuk memperpendek waktu dia akan berlaku kejam telengas
tak mengenal apa yang dinamakan kasihan atau welas-asih.
Dua hari kemudian jejaknya sudah berada di Sam-ceng- koan
diatas Ceng-seng.san. Begitu ia sampai diluar pintu bangunan
agung yang angker itu tanpa merasa kakinya merandek dan was2,
pikirnya; apa mungkin sekali lagi aku menubruk tempat kosong"
Pintu besar gedung megah itu tertutup rapat tanpa bayangan
seorang jua. Sudah beberapa kali ia bersuara tanpa ada
penyahutan. Setelah dipikir2 mendadak ia layangkan sebuah
tangannya membelah kearah pintu besar itu, angin badai segera
memberondong mener- jang kedepan terdengarlah suara
gedubrakan yang nyaring, pecahan kaju beterbangan, pintu besar
yang kokoh kuat itu sudah ambruk berkeping2 dan pecah
berserakan diatas tanah.
Betapapun seorang yang tuli juga akan mendengar suara
gedubrakan yang nyaring ini. Sungguh aneh dan menghe-rankan
sedikitpun tidak tampak adanya reaksi apa2.
**************** Pengalaman apa lagi yang akan Suma Bing
alami diatas gunung Ceng-song-san ini" Tokoh jahat kejam apakah Racun
diracun yang segera akan
berhadapan dengan Ketua Bwe-hwa-hwe yang serba misterius
itn" Bwe-hwa-hwe menggunakan Pedang darah palsu menimbulkan
keributan, ada latar-belakang apa dibalik muslihat ini"
-oo0dw0o- Jilid 3 9. TOK TIONG-TJI-TOK = RACUN DIRACUN.
Lantas terasalah akan adanya hal2 yang mencurigakan
Suma Bing, alisnya berkerut semakin dalam, sejenak ia ragu2
dilain saat tiba2 tubuhnya berkelebat cepat melesat kedalam biara
besar yang angker itu. Mendadak dilihatnja di sebelah sana dua
laki2 yang mengenakan pakaian ketat warna biru, tengah
mengertak gigi dan mendelik sambil melintangkan pedang didepan
dada sikapnya mengancam, tanpa terasa ia tertawa dingin dan
mengejek: "Kukira seluruh penghuni biara ini sudah modar semua,
kiranya?" Hanya separo kata2nya dilihatnya keadaan kedua laki2 seragam
biru itu sangat aneh, maka cepat2 ia telan ucapan selanjutnya,
dan melangkah maju dua tindak, berdirilah bulu
kuduknya. Kiranya apa yang dihadapi itu adalah mayat yang sudah
dingin kaku, dari keadaan kematiannya ini jelas menunjukkan
mereka tertutuk jalan darah mematikan oleh seorang tokoh silat
lihay luar biasa, maka setelah mati matanya tidak tertutup
jenazahnyapun tidak roboh. Dilihat suasana ini naga2nya pihak
Ceng seng pay telah tertimpa bencana besar, waktu ia angkat
kepala memandang sekitarnya, bukan olah2 lagi kejutnya, disana
ditengah pelataran bergelimpangan beberapa sosok mayat. Siapa
yang telah turun tangan sekejam ini"
Melewati pelataran besar Suma Bing melangkah terus kedalam,
sepanjang dimana ia lewat dilihatnya mayat bergelimpangan bau
anyir darah merangsang hidung betapa seram dan mengenaskan
keadaan kematian orang2 itu sungguh menggiriskan. Sampai yang
paling belakang berdiri bulu kuduk Suma Bing, terdengar ia berkata
seorang diri: "Semua mati, semua penghuni biara sebesar ini tiada
satupun yang masih ketinggalan hidup,"
Betapa besar rasa benci dan dendam hatinya meluruk datang
untuk menuntut balas, serta melihat banjir darah di Sam ceng
koan ini, sungguh mimpipun tak terduga olehnya, sedapat
mungkin ia menenangkan gejolak hatinya, pikirannya melayang
kejadian yang telah dialaminya terdahulu, setelah tugas pertama
memenggal kepala Ci Khong membawa hasil yang memuaskan
lantas ber-turut2 ia menemui kegagalan yang menjengkelkan,
entahlah itu hanya secara kebetulan ataukah memang telah diatur
oleh pihak musuh, atau mungkin juga ada peristiwa lain telah
terjadi tanpa setahu dirinya. Dalam berpikir itu tanpa terasa
tubuhnya sudah basah kuyup oleh keringatnya sendiri, perobahan
kejadian yang dialaminya ini benar2 diluar dugaannya dan lagi
juga seram menakutkan. Kalau dianalisa secara teliti se-olah2
merupakan serangkaian kejadian yang berhubungan satu sama
lain. Tapi hakikatnya tak bisa dicampur adukkan dalam satu
persoalan. Untuk selanjutnya entahlah beberapa musuh lain yang akan
dicarinya itu bakal terjadi perobahan mengenaskan apa lagi"
Pandangan matanya penuh kecewa menyapu keempat penjuru,
tidak tahu dia apakah Ciangbungjin Ceng seng pay Leng Hun seng
juga berada diantara mayat2 itu, karena bukan saja belum kenal
juga dia belum pernah ketemu, lama dan lama sekali sorot matanya
berhenti diatas sesosok mayat yang rebah diserambi sebelah sana.
Dari pakaian yang dipakainya, usia dan wajahnya dapatlah
diperkirakan mungkin dia itulah Leng Hun seng adanya. Tapi dia
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah mati, apa aku harus menghancurkan jenazahnya" Sudah
tentu tidak! Tekad bulatnya yang besar untuk menuntut balas
dendam perguruannya lama kelamaan semakin goyah, serangkaian
kejadian yang nyata menunjukkan bahwa dibelakang semua
peristiwa ini terkandung suatu unsur bahaya yang susah
dibayangkan. Tengah pikirannya tenggelam dalam keadaan sadar tak sadar
itulah, mendadak terdengar seruan dingin yang gemetar menarik
kembali kesadarannya: "Suma Bing. perbuatanmu ini benar2
sangat kejam."
Ter-sipu2 Suma Bing membalikkan badan, tampak dibawah teras
sana berdiri tegak dan garangnya si orang berkedok yang belum
lama ini berpisah dengan dirinya.
Si orang berkedok bisa muncul disini benar2 diluar tahunya.
"Saudara kecil, kiranya kau inilah murid Sia sin Suma Bing
yang menggemparkan kalangan kangouw itu?" "Benar, itu tidak
akan kusangkal." "Lantas kedatanganmu ini hendak menuntut
balas?" Tercekat hati Suma Bing tanyanya: "Tidak salah,
darimana Bong bian heng mendapat tahu?" Agaknya si orang berkedok
menahan gelora hatinya,
sahutnya gemetar penuh haru: "Apa masih ingat aku
pernah berkata bahwa aku berhubungan sangat erat dan kental dengan
Tiang un Suseng Poh Jiang. Maka kejadian permusuhan antara
gurumu dengan Bu lim sip yu dulu sedikit banyak aku mengetahui,
peristiwa itu merupakan, salah paham"
"Salah paham" Hm," jengek Suma Bing. Dimarkas besar Ngo ouw
pang ia mendengar dari mulut Coh hujin akan perkataan 'Salah
paham' itu. Sekarang si orang berkedok yang misterius ini juga
mengatakan 'salah paham'. Apa mungkin. Baru saja pikirannya
me-layang2, se-konyong2 si orang berkedok berteriak dengan
bengis: "Saudara kecil, perbuatanmu ini sungguh tak terampunkan
oleh Yang maha kuasa."
Alis Suma Bing menjengkit tinggi, tanyanya: "Bong bian heng,
perbuatan apa?"
"Apa karena kesalahan seseorang lantas kau membanjirkan darah
diseluruh biara?"
"Apa kau tahu pasti bahwa aku yang turun tangan?" "Apa
bukan kau?" desis si orang berkedok kaget. Suma Bing
manggut2 dengan geram, katanya: "Aku datang
terlambat, tak dapat kuturunkan tanganku sendiri untuk membalas
sakit hati suhu, sungguh sayang dan harus disesalkan."
"Kalau begitu, saudara kecil benar bukan kau?" "Aku ingin
akulah yang berbuat, bermula memang
begitulah maksud kedatanganku. Bila Leng Hun seng tidak mau
unjukkan diri, aku tak akan mengenal kasihan. Sayang aku
terlambat."
Sorot mata si orang berkedok menunjukkan kejut, heran dan
gusar tercampur aduk, dengan nanar ia awasi mimik wajah Suma
Bing, akhirnya berobah gelap dan luyu, katanya
seperti menggumam: "Siapakah yang telah berbuat sekejam ini?"
Memang atas munculnya si orang berkedok Suma Bing sudah
merasa heran dan curiga, segera mulutnya menyeletuk: "Bong
bian heng bagaimana kaupun bisa tiba disini?".
"Mencari jejak Tiang un Suseng!" "Kaupun mencari jejak Tiang
un Suseng?" "Ya, begitu aku dengar bahwa kuburan Tiang un
Suseng ternyata kosong, lantas aku mulai mencari dan menyelidiki
jejaknya. Sebab kita adalah sahabat kental tidak bisa tidak aku
harus ikut mencari dan turut berkuatir akan keselamatannya. Tuan
rumah biara besar ini adalah salah satu dari Bu lim sip yu, maka
tempat inipun menjadi salah satu alamat yang harus kuselidiki
juga." demikian si orang berkedok menjelaskan, tiba2 ia balik
bertanya: "Saudara kecil, apakah kuburannya itu adalah kau yang
membongkar?"
"Bukan." "Bukan, lalu siapa?" "Seorang wanita misterius."
"Aneh, menurut apa yang aku tahu, belum pernah Tiang un
Suseng bermusuhan dengan seorang wanitapun, wanita macam
apakah itu?"
"Seorang wanita berambut panjang berseragam hitam".
Sejenak si orang berkedok menunduk sambil merenung,
lalu menggeleng2, naga2-nya tak teringat olehnya siapakah
wanita misterius seperti yang dikatakan Suma Bing itu. Tiba2 ia
mengalihkan bahan bicara, tanyanya: "Saudara kecil, jadi kau
benar2 adalah murid Lam sia."
"Kau tidak percaya?" "Bukan tidak percaya,
hanya gurumu itu..."
"Dia belum mati" "Dia belum mati?" suara si orang berkedok
gemetar. "Betul, karena dibokong dia orang tua kehilangan
sebuah matanya dan kedua kakinya. Justru sangat ajaib akhirnya dia
tidak mati, sampai..."
"Bagaimana?" "Belum lama berselang baru dia meninggal
karena racun dalam tubuhnya kumat." "O, saudara kecil, maukah kau dengar
cerita tentang peristiwa sebab permusuhan itu?" "Baik, coba kau ceritakan".
"Konon tiga diantara Bu lim sip yu yang tenar
menggetarkan kalangan Kangouw itu telah terbunuh ditangan Sia
sin Kho Jiang tanpa dosa. Dalam gusarnya tujuh kawan lainnya
segera meluruk mencari Lam sia dan minta pertanggungan
jawabnya. Lam sia sudah malang melintang didunia persilatan,
sudah tentu tujuh kawan itu insaf bahwa merekapun tak bakal
ungkulan menghadapinya. Sebaliknya bagaimanapun juga mereka
harus membalaskan kematian tiga sahabatnya yang konyol itu.
Siapa tahu begitu turun tangan baru mereka tahu bahwa urusan itu
ada latar belakang diluar sepengetahuan mereka"
"Bagaimana duduknya perkara?" "Naga2nya Lwekang Lam sia
tidak seperti yang mereka
duga sebelumnya, maka walaupun akhirnya lima dari tujuh kawan
itu terluka berat, toh mereka terhitung mendapat hasil yang
memuaskan. Setelah kejadian itu, Tiang un Suseng menganalisa
sebelum dan sesudah kejadian itu, baru akhirnya dia insaf bahwa
mereka telah terjebak dalam suatu tipu muslihat seseorang yang
keji yang telah direncanakan sebelumnya"
"Tipu muslihat apakah itu?" "Pertama; bahwa Lam sia
membunuh Tam yu (tiga kawan;
hanyalah berita angin, tiada seorangpun yang melihat sendiri.
Kedua; dalam pertempuran itu sebelumnya Sia sin Kho Jiang
sudah keracunan, ketiga; Suhengmu Loh Cu gi itu ganda
menonton sambil menggendong tangan, hal ini diluar batas tata
krama" "Lalu kenapa sebelum turun tangan Tiang un Suseng tidak mau
memberi penjelasan tentang maksud kedatangannya itu?"
"Gurumu beradat aneh dan tinggi hati begitu melihat orang luar
menginjak batas daerahnya yang terlarang tanpa banyak mulut
lantas menyerang lebih dulu, tujuh kawan itu tiada kesempatan
untuk buka mulut. Apalagi begitu dia turun tangan, tambah
besarlah kenyataan kabar berita itu, maka lahirlah akibat yang
begituan."
"Benar, agaknja inilah suatu salah paham, pangkal dari semua
kejadian ini atau dikatakan juga sebagai durjana si perencana
bencana ini pasti adalah Loh Cu gi itu, tapi tujuh kawan itupun
tidak mungkin terhindar dari bencana akibat perbuatan mereka."
Si orang berkedok tertawa melengking menyedihkan, serunya:
"Memang selain Tiang un Suseng yang sampai sekarang belum
diketahui jejaknya yang lain semua sudah mati terbunuh oleh
orang" Sungguh kaget Suma Bing susah dilukiskan, serunya geram: "Apa,
tujuh kawan itu sudah mati terbunuh orang?"
"Betul, Lo san siang kiam menggeletak ditengah perjalanan Siang
im. Goan Hi Hwesio dari Siau lim tulangnya terpendam diluar kota
Kay hong" Suma Bing terhuyung mundur tiga tindak, hampir ia tidak percaya
bahwa dendam kesumat gurunya tak perlu dibalas
lagi. Karena semua musuh2nya telah mati secara aneh dan
menghilang secara misterius.
Saking haru dan bersedih tubuh si orang berkedok gemetar keras,
lalu katanya lagi: "Bermula kukira semua itu adalah perbuatanmu,
baru sekarang aku tahu kiranya masih ada orang lain yang
berbuat sekeji itu, siapakah kiranya orang itu, susah diduga."
Mendadak sebuah lengking tertawa dingin bergema dalam biara
itu, suara itu bagai bunyi burung kokok-beluk diwaktu malam,
ditambah ditengah pegunungan yang sunyi dan dalam biara besar
yang sekitarnya bergelimpangan mayat2 manusia, keadaan ini
benar2 sangat seram dan mendirikan bulu roma manusia.
Keruan bergidik dan merinding seluruh tubuh Suma Bing dan si
orang berkedok, berbareng mereka menoleh, terlihat terpaut jarak
tiga tombak didepan sana berdiri seorang yang mengenakan jubah
panjang warna ungu, wajahnya dingin membeku, sekali pandang
dapatlah diketahui bahwa orang berpakaian ungu ini mengenakan
topeng. Sorot tajam dan dingin mata Suma Bing menatap kearah orang
berjubah ungu itu, sapanya tidak kalah dinginnya: "Orang kosen
darimanakah tuan ini?"
Tidak menjawab si jubah ungu malah balas bertanya: "Kau inilah
murid Sia sin Kho Jiang yang bernama Suma Bing itu?"
"Untuk apa kau menanyakan aku?" "Hehehehe" si jubah ungu
perdengarkan tertawa dingin
yang panjang, diselingi suara tawanya itu air muka si jubah ungu
yang membeku bagai mayat itu benar2 membuat takut dan ngeri
orang yang melihatnya.
Suma Bing mendengus hina, katanya: "Tuan apa ada yang
menggelikan?"
"Tidak ada, sungguh sangat kebetulan, dicari susah2 tidak
ketemu, tanpa dicari ketemu sendiri."
Melonjak hati Suma Bing, kiranya si jubah ungu ini tengah
mencari dirinya. Dia belum lama kelana didunia persilatan, belum
pernah bermusuhan secara langsung dengan orang, delapan
bagian tentu perhitungan lama gurunya itu, maka sambil
mengerut alis ia bertanya: "Jadi tuan hendak mencari aku?"
"Betul, untuk mengambil jiwamu." Sejenak Suma Bing tertegun
lantas tertawa gelak2,
serunya: "Mulut tuan ini sungguh sangat temberang, apa kau
mampu berbuat begitu?"
"Segampang membalikkan tangan!" sahut si jubah ungu tegas.
"Untuk apa kau bunuh aku?" "Karena kau adalah murid Lam
sia, ini sudah cukup jelas
bukan?" Diam2 Suma Bing membatin, tepat dugaannya kiranya
malah salah seorang musuh gurunya. Nada ucapannya itu juga
persis seperti kata Pek hoat sian nio, maka sahutnya sambil
menyeringai: "Sedikitnya tuan mempunyai sebuah nama bukan?"
"Ada, tapi kau tiada harganya bertanya, dijalan menuju keneraka
'sesat tua' itu dapat memberitahu kepadamu."
Seketika membaralah hawa amarah Suma Bing, nafsu membunuh
sontak merangsang hatinya, keras2 ia mendengus lalu serunya:
"Baik, biar kuiringi keinginanmu."
Pada saat itulah mendadak si orang berkedok membentak dingin:
"Pembunuhan besar2an dalam biara ini apakah buah karya tuan?"
"Kalau benar kau mau apa?"
"Ada permusuhan apa Ceng seng pay terhadap kau, sampai
demikian keji kau membanjirkan darah mencabut semua nyawa
penghuni biara ini."
"Pertanyaanmu ini terlalu berlebihan. Begitu kau menginjakkan kaki
kedalam biara ini sudahlah ditakdirkan kematianmu."
Rasa gusar dan benci Suma Bing yang belum terlampias saat itu
sudah tak kuat ditahan lagi, segera ia menghardik keras: "Bangsat
takabur, biar kubunuh kau dulu." mengikuti bentakannya kedua
tangannya disodokkan kedepan membawa damparan angin bagai
gugur gunung melanda kearah si jubah ungu yang mengenakan
kedok itu. Si jubah ungu ganda tertawa ejek sambil kiblatkan sebuah
lengannya. Kontan Suma Bing rasakan angin pukulannya bagai menerjang
sebuah tembok besi yang kokoh kuat 'bum' tenaga pukulannya
membal balik. Kejutnya bukan alang kepalang, bahwa lwekang
lawan ternyata sedemikian tinggi susah diukur. Maka cepat2 ia
menarik kembali tangannya sambil menggeser kedudukan
kesamping lima kaki.
Dalam waktu yang bersamaan si orang berkedokpun telah
lancarkan sebuah hantaman hebat mengarah si jubah ungu.
Tanpa perhatian si jubah ungu menjengek hina, sekali berkelebat,
bukan menyingkir malah tubuhnya meluruk maju kedepan si orang
berkedok, dimana tangannya diulur langsung ia cengkram kedada
si orang berkedok. Berkelebat, menghindar dan melancarkan
cengkraman boleh dikata dilakukan dalam sekejap mata, cepatnya
sukar diikuti pandangan mata. Saking kaget dan takut nyawa
seakan terbang ke-awang2, demikianlah keadaan si orang berkedok
waktu itu, untuk berkelit sudah tak mungkin lagi, dalam keadaan
yang mengancam jiwa itu terpaksa ia berlaku nekad, sebelah
kakinya diangkat secepat kilat menyepak kejalan
darah Tan tian dipusar musuh. Perbuatannya ini boleh dikata
mengadu nyawa dan ingin gugur bersama, meskipun dirinya pasti
terluka berat atau mati dibawah cengkraman musuh, tapi
musuhpun harus membayar mahal dengan tersepak pusarnya.
Hebat kepandaian si jubah ungu dalam keadaan yang tak mungkin
menarik balik serangan bagi orang lain tahu2 secara licin luar biasa
tubuhnya melesat kesamping tiga kaki. Maka dalam waktu yang
bersamaan tendangan si orang berkedokpun mengenai tempat
kosong, sebat sekali iapun segera berputar menyingkir lima kaki
jauhnya. Kini jarak mereka meski hanya setombak lebih, si jubah
ungu berteriak melengking, 'Wut, wut' dua kali tangannya terayun
aneh dan cepat sekali melancarkan pukulan dahsyat yang
berkekuatan besar.
Belum si orang berkedok dapat menenangkan hatinya, angin
tenaga pukulan musuh sudah merudung tiba bagai gugur gunung
terpaksa lekas2 ia gerakan tangannya untuk menangkis.
Benturan menggeledek yang memekakkan telinga terdengar santer
sekali, dibarengi seruan kesakitan yang sangat lalu disusul sebuah
bayangan orang terpental terbang jatuh ditengah ruang
sembahyang. Hampir dalam waktu yang bersamaan, si jubah
ungupun terhuyung mundur dua langkah, tak urung mulutnyapun
mendehem keras seperti mau muntah.
Kiranya bersamaan dengan si jubah ungu memukul terbang si
orang berkedok, dari sebelah samping sana Suma Bing pun
lancarkan sebuah pukulan yang menggunakan setaker tenaganya.
Sebenarnya tujuannya hanya mau menolong keselamatan si orang
berkedok, sayang ia terlambat setengah detik.
Si jubah ungu mengekeh tawa aneh lalu serunya: "Suma Bing,
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apa Kho lo sia benar2 sudah mati?"
Tidak menjawab pertanyaan orang Suma Bing lancarkan lagi
sebuah pukulan.
Ringan sekali si jubah ungu melejit menyingkir sembari berkata:
"Cincin iblis kepunyaan Kho lo sia tentu sudah diturunkan
kepadamu bukan?"
Suma Bing mendelik dan mengertak gigi, sahutnya: "Tidak salah,
kau ingin apa?"
"Hehehehehe, kematianmu sudah didepan mata, maka aku harus
tahu jelas supaya tidak jatuh ketangan orang lain."
"Kau tahu pasti bahwa kau tidak mati?" "Mengapa tidak kau
coba2." Sambil menggeram gusar Suma Bing lancarkan
serangannya dengan jurus Liu kim hoat ciok. Seperti diketahui
jurus Liu kim hoat ciok ini pernah membuat putra Racun utara
Tangbun Yu terluka berat, memang dunia persilatan masa itu
yang kuat menyambut pukulannya ini hanya beberapa gelintir
saja. Siapa tahu apa yang dia saksikan dalam gelanggang yang
dihadapinya ini ternyata benar2 diluar dugaan.
Tanpa menyingkir atau berkelit si jubah ungu cukup memutar dan
melintangkan kedua tangan, perbuatannya ini kiranya cukup
membuat Suma Bing tidak mampu melancarkan jurus
serangannja, malah terdesak mundur tiga langkah lagi.
"Suma Bing, Kho lo sia telah mengajarkan kepandaian apa lagi
kepadamu, silahkan berondong keluar semua, jangan nanti kau
mati tidak meram, kalau kau mengabaikan waktu ini tidak akan
mempunyai kesempatan lagi untuk selamanya?"
Saking marah uap putih mengepul dari atas kepala Suma Bing, tapi
hatinya terkejut juga bahwa kepandaian lawan ternyata sedemikian
tinggi, hal ini belum seberapa yang paling mengejutkan hatinya
ialah bahwa semudah itu lawan memunahkan Liu kim hoat ciok
jurus tunggal terlihay ciptaan gurunya. Akan tetapi karena sifat
pembawaannya yang keras
kepala dan tinggi hati tak mau dia tunduk atau menyerah
mentah2. Sambil berteriak panjang Suma Bing lancarkan lagi pukulannya
yang ketiga kali.
Kali ini si jubah ungu tidak berani berlaku gegabah, sedikit
menggeser kaki tubuhnya melesat menyingkir. Waktu Suma Bing
menarik pulang pukulannya otaknya berputar seketika timbullah
kekuatan Kiu yang sin kang dalam tubuhnya, kalau sekali
pukulannya ini gagal lagi, maka susahlah dibayangkan bagaimana
akibatnya. Dibarengi bentakan nyaring gelombang panas bagai
lahar gunung berapi ber-gulung2 melanda kedepan.
"Kiu yang sin kang!" seru si jubah ungu penuh nada mengejek.
Kali ini dia berdiri tenang sambil menggerakkan tangan kiri
membuat satu lingkaran terus disurung kesamping, sedang tangan
kanan bersamaan memukul kedepan dengan kecepatan luar biasa.
Seketika Suma Bing merasakan bahwa pengerahan Kiu yang sin
kangnya itu karena gerakan memutar dan menyurung pihak lawan
tenaganya kena tersedot dan ikut menyelonong kesamping. Tanpa
terasa arwahnya bagai melayang meninggalkan badannya, untuk
menarik kembali atau berkelit sudah tidak sempat lagi, sedang
sebuah pukulan musuh yang berkekuatan dahsyatpun sudah
merangsang tiba. 'Blang' tubuh Suma Bing ter-huyung2 dan
beruntun mundur delapan langkah, tidak tertahan lagi mulutnya
menguak dan muntah darah.
Si jubah ungu tertawa gelak2 saking kepuasan, serunya: "Siaucu,
apa yang kau pelajari dari Kho lo sia kiranya hanya begitu saja,
masih ada simpanan lain tidak?"
Suma Bing insaf bahwa dirinya bukan tandingan musuh. Tapi
terang gamblang bahwa musuh mencari dirinya, masa murid Lam
sia yang ditakuti itu harus lari atau menyingkir
menghadapi bencana. Bahwasanya dirinya sudah terkena racun
Pek jit kui, hidupnya tinggal seratus hari, kalau memang tiada
harapan hidup, apa bedanya segera mati dengan berlebihan hidup
selama seratus hari lagi. Dalam berpikir itu secepatnya ia merogoh
keluar Cincin iblis terus dimasukkan kedalam jari tengahnya.
Begitu melihat Cincin iblis itu, segera kedua mata si jubah ungu
dibalik kedoknya itu menyorongkan rasa takut2 dan tamaknya,
katanya dingin. "Mo hoan, sedetik lagi dia akan menjadi milikku!"
Wajah Suma Bing sudah penuh diliputi nafsu membunuh, maju
beberapa langkah ia kerahkan tenaga saktinya, seketika Mo hoan
dijarinya itu menyorongkan sinar terang yang menyilaukan mata,
tapi hanya secarik sinar yang menyeluruh memancar kedepan
bagai sebatang pedang sejauh satu tombak lebih.
Terdengar si jubah ungu menggumam: "Kalau Mo hoan ini
ditanganku, dalam jarak dua tombak dapat kupenggal kepala
orang, kukira tidak menjadi soal."
Suma Bing mendengus dan katanya: "Dalam jarak setombak
kupenggal kepalamu, kukira juga tidak menjadi soal." sambil
berkata ia melangkah maju sambil mengayun tangan, sejalur sinar
dingin kemilauan sepanjang satu tombak segera menyapu datang
bagai kilat menyambar."
Sebat sekali si jubah ungu melompat jumpalitan kebelakang
sejauh dua tombak, dimana kakinya menginjak tanah kini dia
berada diluar pekarangan. Tidak perlu disangkal lagi, ternyata
diapun gentar menghadapi keampuhan Cincin iblis ini.
Suma Bing mendesak maju beberapa langkah dan turun dari
undakan berdiri tegak ditengah pekarangan.
Saat mana si orang berkedok yang terpukul terbang oleh
hantaman si jubah ungu juga sudah bangun lagi dan
menggelendot dipinggir meja yang terbuat dari kayu cendana,
sedikitpun ia tidak bergerak lagi, entah apa yang tengah
direnungkan. Sepasang mata Suma Bing mendelik bundar menatap si jubah
ungu, katanya: "Sebelum kubunuh kau, aku ingin tahu namamu
dan tujuan kedatanganmu?"
Si jubah ungu ter-loroh2 ejek, serunya: "Suma Bing namaku kau
tidak perlu tahu, tujuanku hendak membunuh kau. Malah boleh
kutambah mengapa aku harus membunuhmu, karena kau adalah
murid Sia sin Kho Jiang"
Hampir meledak dada Suma Bing, bentaknya beringas. "Kau
sudah pasti mati" " sinar dingin yang menyorong dari
Cincin iblis dijarinya semakin melebar dan tajam, dimana
digerakkan terciptalah sebuah jaring sinar putih yang mengurung
seluruh tubuh si jubah ungu, terdengarlah juga suara mendesis
yang menambah keseraman keadaan sekelilingnya.
Si jubah ungu berloncatan berkelit dengan lincahnya enteng dan
tangkas seperti setan tanpa bayangan sungguh hebat pertunjukan
ilmu ringan tubuhnya ini, namun sedikitpun ia tidak berani
terang2an menyentuh sinar jaringan Mo hoan.
Menggunakan Cincin iblis menghadapi musuh hanya mengandalkan
tenaga murni yang didesak keluar menambah keampuhan senjata
itu, kalau terlalu lama tentu hawa murni dalam tubuhnya akan
semakin susut dan ludas. Agaknya si jubah ungu tahu akan
kelemahan ini, selama ini ia hanya main petak dan pertunjukkan
gerak tubuhnya yang lihay tiada taranya dalam dunia persilatan,
karena berlompatan dan berlarian dalam pekarangan yang
sedemikian besar, terpaksa Suma Bing pun harus mengejar dan
menyerang kalang kabut hingga napaspun megap2. Setanakan nasi
kemudian, keampuhan sinar Cincin iblis itu semakin suram sinarnya
hanya menyorong tinggal delapan kaki jauhnya. Gundah dan gugup
hati Suma Bing insaf dia bahwa tenaga murninya
semakin susut, seluruh tubuhnya sudah basah kebes oleh keringat
tapi ujung jubah musuh saja belum disentuhnya.
Kini tibalah saatnya. si jubah ungu balas menyerang, dengan
kekuatan pukulan yang susah diukur dia lancarkan, sembilan kali
pukulan dari sembilan kedudukan yang tidak sama, angin pukulan
bergelombang tinggi bagai damparan ombak yang berlapis2
menerjang tiba dari pelbagai penjuru mengarah satu sasaran.
Begitu si jubah ungu selesai melancarkan sembilan pukulannya,
sinar terang yang menyorong keluar dari Cincin iblis seketika
lenyap dibarengi suara kesakitan yang luar biasa tubuh Suma Bing
terpental terbang balik kedalam ruangan besar karena damparan
gelombang pukulan musuh yang dahsyat. Agaknya si jubah ungu
masih belum puas, sekali berkelebat dia melompat diatas undakan
sambil lancarkan lagi sapuan tangannya. 'Blang' lagi2 Suma Bing
mengeluarkan suara menguak keras darahpun menyembur deras
dari mulutnya, tubuhnya terpental lagi lebih jauh kebetulan
tubuhnya meluncur kearah si orang berkedok, cepat2 dia ulurkan
tangan dan tepat sambut tubuh Suma Bing kedalam pelukannya.
Per-lahan2 dan mantep si jubah ungu maju dua langkah berdiri
diluar pintu sembahyang itu, kedua matanya menyorotkan sinar
tajam yang menyedot semangat orang nada ucapannya sedingin
es: "Kau hendak bunuh diri atau harus aku yang turun tangan!"
Serta merta si orang berkedok mundur dua langkah, darahnya yang
mendidih tadi kini terasa membeku dalam jantungnya, diam2 ia
mengeluh: "Tamatlah sudah!" mengandal kemampuannya saat itu
tidak mungkin ia dapat lolos dari tangan jahat si jubah ungu,
apalagi dia harus membopong dan melindungi Suma Bing, hanya
kematianlah kiranya jalan satu2nya, tanpa terasa ia termenung
menatap wajah Suma Bing yang pingsan dalam pelukannya,
katanya menghela napas: "Saudara kecil, segala dendam permusuhan
selanjutnya boleh dihapuskan."
Pada saat itulah mendadak terdengar lolong suara aneh panjang
yang menggetarkan bagai suara tertawa iblis atau jin raksasa.
Ter-sipu2 si jubah ungu membalik badan tampak olehnya ditengah
pekarangan sana berdiri seorang aneh yang bertubuh kurus tinggi
mengenakan jubah hitam, tidak ketinggalan wajah dan seluruh
badannya berwarna hitam logam, dipandang dari kejauhan seperti
tonggak yang habis terbakar. Seluruh tubuh dari atas sampai
bawah hanya terlihat dua titik putih diatas tubuhnya, yaitu kedua
bola matanya yang aneh itu.
Si orang berkedok yang berada jauh didalam ruang sembahyangan
tak luput merasa keder dan seram merinding, dengan
pengalamannya yang luas dikalangan Kangouw, tidak diketahuinya
siapa dan tokoh darimanakah si manusia aneh yang serba hitam
ini. 10 HUTANG DARAH BAYAR DARAH.
Kedua bola mata manusia aneh yang banyak putihnya
daripada hitam ber-putar2 jelalatan dengan suaranya yang
melengking menusuk ia berkata kepada si jubah ungu: "Sebagai
ketua Bwe hwa hwe yang kenamaan mengapa harus mengenakan
kedok menutup muka, apa kau malu dilihat orang?"
Agaknya si jubah ungu tergetar kaget, tanpa terasa ia mundur
satu langkah. Dilain pihak tidak kurang pula kejut si orang berkedok, sungguh
diluar tahunya bahwa si jubah ungu ini kiranya adalah Ketua Bwe
hwa hwe yang sangat misterius itu. Kenapa
Bwe hwa hwe Hwe tiang harus membabat rumput dan membuat
banjir darah di Sam ceng koan ini" Kenapa pula dia mengejar dan
hendak membunuh Suma Bing"
Sementara itu terdengar si jubah ungu menyahut dingin: "Tuan
sebutkan nama besarmu?"
"Kau mengakui tidak kedudukanmu itu?" Kiranya manusia aneh
bagai arang inipun belum berani
memastikan kalau si jubah ungu ini benar2 adalah Bwe hwa hwe
Hwe tiang (ketua)!
Si jubah ungu tertawa ringan, sahutnya: "Kau dengar aku tidak
menyangkal!"
Orang aneh serba hitam itu manggut2, serunya lantang : "Kalau
begitu baiklah kuberitahu. aku yang rendah ini tak lain tak bukan
adalah "Tok tiang ci tok!"
"Tok tiong ci tok?" "Benar, akulah Racun didalam racun!" Ketua
Bwe hwa hwe sendiri adalah seorang yang sangat
misterius, tapi setelah dengar orang memperkenalkan diri tanpa
terasa iapun terperanjat juga, beruntun mundur tiga langkah dan
tanyanya lagi: "Jadi tuan adalah Racun diracun yang baru saja
muncul, kau menggunakan racun tanpa bayangan..."
Racun diracun terloroh2, katanya: "Baru saja muncul, hm, tingkat
kedudukanmu ketua Bwe hwa hwe toh belum tentu lebih tinggi
dari aku?"
"Diseluruh jagad yang merajai menggunakan racun hanyalah Pak
tok Tangbun Lu seorang, tuan berani menamakan diri sebagai
Racun diracun, masa bisa lebih..."
"Hehehe, Pak tok terhitung barang apa?"
Lagi2 Bwe hwa hwe Hwe tiang tergetar hatinya, apa mungkin
manusia aneh ini bisa lebih beracun dari Pak tok. Tapi selama ini
belum pernah dengar adanya seorang tokoh yang benar2 lihay
dalam bidang itu. Maka segera ia menarik muka dan berkata berat:
"Tuan kebetulan lewat disini ataukah..."
"Aku datang khusus mencari kau!" "Ada pengajaran apakah?"
Dingin dan berat Racun diracun mengucapkan sekata demi
sekata: "Apakah Pedang darah berada ditanganmu?" "Pedang
darah, hahahaha, darimana Pun hwe tiang (ketua)
mendapatkan Pedang darah itu?" "Hm, Mo san ji kui mati
ditangan siapa" Dengan sebilah
Pedang darah palsu Bwe hwa hwe menimbulkan huru-hara
dikalangan Kangouw, menimbulkan gelombang pertikaian besar,
apa tujuan kalian?"
Dalam pada itu si orang berkedok yang masih berada diruang
sembahyang melihat adanya kesempatan ini, secara diam2 segera
ia payang tubuh Suma Bing mengeloyor pergi melalui pintu
samping. Sejenak Ketua Bwe hwa hwe menelan ludah dan ragu2 lalu
serunya lagi lebih dingin: "Bukankah pertanyaan tuan ini terlalu
berkelebihan, kalau kau sudah tahu yang kita dapatkan adalah
Pedang darah palsu, buat apalagi kau bertanya?"
"Mo san ji kui terkapar mati diluar guanya, apakah itu buah karya
kumpulan kalian. "Memang benar."
"Menurut apa yang tersiar dikalangan Kangouw, bahwa Pedang
darah itu telah dimiliki oleh Mo san ji kui. Mo san ji kui kini telah
terbunuh oleh orang2mu, bukankah itu mengatakan bahwa
Pedang darah itu telah terjatuh ditangan kalian."
"Bukankah tuan tadi mengatakan juga bahwa Pedang darah yang
kita, dapatkan itu adalah Pedang darah palsu"
"Hm, mencuri kelintingan menutupi kuping sendiri, begitu Pedang
darah tulen terjatuh ditangan kalian, lantas dengan Pedang darah
palsu kalian mengatur tipu daya dikalangan Kangouw,
perbuatanmu ini benar2 masih sangat hijau!"
"Jadi tuan pasti menuduh bahwa Pedang darah yang tulen berada
diperkumpulan kita?"
"Kenyataan memang demikian." "Setelah peristiwa itu baru Pun
hwe tiang (aku si ketua)
sadar bahwa karena kurang teliti kita telah terjebak kedalam
kabar angin itu."
"Bagaimana maksud ucapanmu ini?" "Lima belas tahun yang
lalu, Pedang darah terjatuh
ditangan Tang mo, coba pikir dengan kemampuan Mo san ji kui
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mana mungkin dapat merebut Pedang darah itu dari tangan Tang
mo. Maka kukatakan bahwa kita telah tertipu oleh kabar angin
itu." Mata Racun diracun yang banyak putihnya dari hitam ber- kilat2,
sejenak ia merenung lalu tanyanya menegasi: "Apa ucapanmu itu
dapat dipercaya?"
"Percaya atau tidak terserah kepada tuan sendiri!" "Kalau kelak
aku dapatkan apa yang kau ucapkan ini
bohong..." "Bagaimana?" "Aku tidak seperti Pak tok yang suka
mengagulkan gengsi
atau kedudukan, maka dapatlah kau bayangkan sendiri apa
akibatnya."
Se-konyong2 Bwe hwa hwe Hwe tiang perdengarkan suara tawa
yang menggelegar, nadanya seperti gembreng ditabuh
sedemikian kerasnya hingga seisi biara itu terasa menggetar,
setelah menghentikan suara tawanya segera ia berkata temberang.
"Tuan kau terlalu memandang rendah perkumpulan kita."
Wajah Racun diracun sedemikian hitam legam hingga susah dilihat
bagaimana mimik air mukanya. Tapi dilihat dari sorot matanya
yang ber-kilat2 bengis itu, naga2nya sedikitpun ia tidak gentar
atau terpengaruh oleh pertunjukan Lwekang Ketua Bwe hwa hwe
dengan suara tawanya tadi, jawabnya dingin: "Memang, jago2
kalian sangat banyak, tapi apa yang pernah kuucapkan tentu
dapat kuperbuat, selamat bertemu!"
Sekali berkelebat bayangan hitam itu sudah menghilang bagai
angin lalu. Waktu ketua Bwe hwa hwe membalikkan tubuh lagi, jejak si orang
berkedok dan Suma Bing sudah menghilang entah kemana.
**** Waktu Suma Bing siuman kembali yang terlihat
dipandangan matanya adalah sebuah pelita minyak, bau apek
yang basah menyerang hidung, terasa dirinya rebah diatas sebuah
dipan batu, ia meng-ucek2 matanya lalu katanya seorang diri:
"Apa aku belum mati?"
"Kau belum mati." Suma Bing memandang kearah datangnya
suara, dilihatnya
si orang berkedok tengah berduduk dipojok sana terpaut
setombak, serunya kaget: "Bong bian heng, kaulah yang
menolong aku?"
"Itulah kewajiban seorang kawan." "Tempat
apakah ini?" "Ruang rahasia dibawah Sam
ceng koan"
"Ruang rahasia dibawah tanah." "Benar." "Kau bukan keluarga
dalam Sam ceng koan ini, darimana
kau tahu akan tempat ruang rahasia ini?" "Ciangbunjin Ceng seng
pay Leng Hun seng adalah salah
satu dari Bu lim sip yu, sedang Tiang un Suseng adalah sahabat
karibku, sudah tentu hubungankupun sangat erat dengan Sam
ceng koan, ruang dibawah tanah inipun bukan rahasia lagi
bagiku." "O, lalu si jubah ungu itu" "Dialah Bwe hwa hwe Hwe tiang"
"Bwe hwa hwe Hwe tiang?" seru Suma Bing melonjak
kaget. "Ada permusuhan apakah antara Bwe hwa hwe dengan
Ceng seng pay" Ada dendam apa pula dengan, aku" Ini... ini"
"Inilah teka-teki, saat ini sukar untuk ditebak, sudah tentu
ada sebabnya mengapa dia menimbulkan banjir darah di Sam
ceng koan ini dan hendak membunuhmu lagi."
"Darimana saudara tua mengetahui bahwa dia adalah Ketua Bwe
hwa hwe?" "Ditunjuk oleh Tok tiong ci tok, untung Racun diracun muncul
pada saat yang tepat, maka kita ada kesempatan menghindarkan
diri." Bukan olah2 kejut Suma Bing, sungguh tak terduga olehnya
bahwa Racun diracun bisa muncul ditempat itu, serta merta
mulutnya berkata: "Si algojo yang menggunakan Racun tanpa
bayangan membunuh adik Siang Siau hun dan Li Bun siang?"
"Darimana kau tahu?" tanya si orang berkedok heran. Terpaksa
Suma Bing mengisahkan pengalamannya
dikelenteng bobrok itu, tapi soal dirinya keracunan tidak
dibicarakan. Si orang berkedok baru sadar dan jelas, katanya:
"Begitulah tujuan Racun diracun hanya menginginkan Pedang
darah itu. Benda yang dititipkan kepada Siang Siau hun bertiga
bentuknya sama seperti buntalan Pedang darah, maka Racun
diracun salah sangka dan turun tangan keji, tidak heran iapun
mendesak Ketua Bwe hwa hwe untuk mengetahui dimana jejak
Pedang darah itu berada, kiranya masih banyak sebab lainnya,"
"Lalu akhirnya bagaimana?" "Ketua Bwe hwa hwe menyangkal"
Bergegas Suma Bing bangun, mendadak dirasakan tiada
keanehan dalam tubuhnya, serunya, kaget dan heran: "Kuingat
aku terluka berat"
"Memang lukamu tidak ringan, untung aku mengetahui sedikit
cara pengobatan dan membekal obatnya pula"
Kata Suma Bing menghela napas: "Lagi2 aku berhutang budi
kepada saudara tua, ai"
"Apa maksud ucapanmu itu saudara kecil, seumpama aku yang
terluka, masa kau tidak akan menolong aku."
"Meskipun begitu, tapi aku tidak suka berhutang budi kepada
orang lain. sebab..."
"Sebab apa?" "Aku tidak akan dapat membalasnya." Si orang
berkedok tertawa ringan ujarnya: "Saudara kecil,
agaknya kaupun keracunan." Suma Bing melengak kaget,
tanyanya: "Darimana Bong
bian heng dapat tahu?" "Waktu aku mengobatimu tadi, kudapati
diatas pusarmu ada setitik hitam, kalau titik hitam ini melebar sampai dijalan
darah Pek hwe hiat, jiwamupun akan tamat."
Dengan penuh kebencian yang me-nyala2 segera Suma Bing
bercerita tentang bagaimana dirinya terkena racun Pek jit kui dari
Tangbun Yu itu.
Sontak si orang berkedok tutup mulut tak dapat bicara. Suma Bing
sendiripun tenggelam dalam renungannya, ruang bawah tanah itu
menjadi sedemikian hening lelap yang terdengar hanyalah jalan
pernapasan mereka saja. Lama dan lama kemudian baru si orang
berkedok memecah kesunyian dengan suaranya yang bernada
berat berkata: "Saudara kecil, aku tahu ada semacam benda dapat
memunahkan racun dalam tubuhmu itu."
Keruan girang Suma Bing sukar dilukiskan mendengar keterangan
itu. Karena menurut Tangbun Yu sendiri mengatakan bahwa
racunnya itu tiada orang lain yang dapat mengobati, sedang si
maling bintang Si Ban cwan juga berpendapat hanya Tiang un
Suseng seoranglah yang mungkin dapat mengobati dirinya.
Sungguh diluar tahunya bahwa si orang berkedok ini kiranya juga
mengetahui cara memunahkan racun itu. Ter-sipu2 ia melompat
turun terus mendekati si orang berkedok sembari berkata: "Apa
saudara tua dapat mengobati racun berbisa itu?"
"Bukan aku yang dapat memunahkan, maksudku aku tahu ada
suatu benda yang dapat memunahkan racun dalam tubuhmu itu,
hanya..." "Bagaimana?" "Benda itu sukar diperoleh." "Benda apakah
itu?" "Coa ham cau (rumput ular), rumput ini tumbuh ditengah
lembah pegunungan yang berbahaya, bentuknya tidak begitu aneh
hanya mengeluarkan bau wangi yang aneh justru baunya ini paling
disenangi oleh ular berbisa. Dimana ada tumbuh rumput ini maka,
disitulah tempat berkumpul ratusan atau ribuan macam ular
berbisa, mereka berebutan untuk
mengulum daun rumput itu, sedikitnya rumput semacam itu harus
sudah pernah dikulum oleh ribuan laksa ekor ular2 itu hingga
warnanya berobah menjadi putih bening bagai batu giok, baru ada
khasiatnya untuk memunahkan racun. Tapi rumput Coa ham cau
ini sukar dicari..."
Suma Bing menghembuskan napas panjang, ujarnya: "Terhadap
racun dalam tubuhku ini memang aku sudah tidak mengharap
dapat dipunahkan lagi "
Si orang berkedok mengulap tangan menukas kata orang lalu
katanya tersenyum: "Saudara kecil, kalau tiada harapan tentu aku
takkan buka mulut. Tentang rumput ular ini menurut apa yang
kuketahui Si gwa sian jin ada menyimpan sepucuk"
"Si gwa sian jin?" "Benar, manusia bebas diluar dunia itu
bertabiat sangat
aneh dan menyendiri, selamanya dia tak mau berhubungan
dengan kaum persilatan."
Terbangun semangat Suma Bing, ujarnya: "Dimanakah tempat
tinggal Si gwa sian jin?"
"Bu in san (gunung tanpa bayangan), dari sini kira2 tiga hari
perjalanan baru bisa sampai!"
"Baik, banyak terimakasih atas keteranganmu ini, biar kupergi
kesana, mencoba peruntungan."
"Biar kuiring kau kesana, gunung tanpa bayangan itu sukar dicari
biar aku yang menunjuk jalan."
"Ah, mana aku enak menyusahkan kau..." ujar Suma Bing penuh
haru. "Kita toh sudah terikat sebagai sahabat, terhitung apa bantuanku
ini?" "Kalau begitu marilah kita berangkat?"
"Nah kan begitu." Mengintil dibelakang si orang berkedok
Suma Bing berdua
berjalan keluar menyusuri jalanan rahasia dibawah tanah, setelah
belak-belok sekian lamanya kemudian tibalah mereka diujung
lorong jalan rahasia itu, segera si orang berkedok mengulur
tangan menekan dinding sebelah kanan, maka terdengarlah suara
keresekan, tiba2 diatas kepala mereka terbukalah sebuah lobang
selebar lima enam kaki persegi.
"Dari sinilah kita keluar !" " Beruntun mereka melompat keluar
dan menginjak tanah, waktu mereka angkat kepala memandang
tanpa terasa dingin perasaan mereka, karena kelenteng Sam ceng
koan yang sedemikian megah dan agung itu kini sudah tinggal
puing2 yang rata dengan tanah. Sang surya baru muncul dari
peraduannya, itu berarti sudah selama satu hari satu malam
mereka berada diruang bawah tanah itu.
Kata Suma Bing penuh haru dan berang: "Ketua Bwe hwa hwe itu
benar2 keji, bangunan gedung yang megah inipun tidak
ketinggalan dibakarnya juga. Aliran dari Ceng seng pay
selanjutnya habis total, mungkin tiada saatnya lagi mereka dapat
bangun kembali."
Saking haru dan bersedih si orang berkedok gemetar, ujarnya
penuh kebencian: "Hutang darah ini lambat atau cepat pasti ada
orang yang akan menagihnya."
Begitulah kedua orang berdiri terlongo dan merenung sekian
lamanya, lalu bersama2 melejit berlarian turun gunung. Dan pada
saat mereka mulai bergerak itulah dari jarak yang agak jauh
disana terdengar derap langkah ramai yang tengah mendatangi
dengan cepat. "Kita mengumpat dulu dalam rimba, kita intip siapakah mereka
itu." kata si orang berkedok.
Baru saja mereka membelok dan menghilang dalam hutan
sebelah sana, beruntun lima bayangan manusia berlompatan tiba
dipelataran diluar pintu kelenteng yang tinggal puing2-nya
itu, mereka terdiri dua orang tua dan tiga orang gagah kekar,
mereka berseragam hitam sekuntum bunga Bwe yang besar
warna putih menghiasi baju depan dada mereka.
"Para begundal dari Bwe hwa hwe," kata si orang berkedok lirih,
"mungkin mereka meluruk datang mencari kita!"
Suma Bing mendengus gusar, pendek singkat dan tegas
ucapannya: "Bunuh!"
Terdengar salah seorang tua baju hitam itu tengah berkata:
"Entah bagaimanakah hasil pemeriksaan?"
Salah seorang tua lainnya menjawab: "Sepuluh li dalam
lingkungan daerah ini seekor kelinci juga jangan harap dapat lolos,
apalagi dua orang yang terluka berat, masa mereka dapat terbang
kelangit..."
"Benar, masa dapat terbang kelangit!" sebuah suara dingin
menggiriskan pendengarnya menandangi ucapannya.
Serentak kelima orang itu berputar balik, air muka mereka
berobah heran dan kaget. Tampak seorang pemuda gagah
ganteng yang berlagak congkak dan bersikap angkuh tengah
berdiri dua tombak jauhnya dari mereka, wajahnya penuh nafsu
membunuh yang me-nyala2, mimik wajahnya itu benar2 membuat
orang bergidik seram menggiriskan.
"Siapa kau, sebutkan namamu!" hardik kedua orang tua dengan
nada berat. Orang yang mendadak muncul ini kiranya adalah jago kita Suma
Bing. Dengan penuh ejek sambil melerok Suma Bing mendengus
hidung, lalu katanya: "Bangsat kurcaci seperti kalian belum
berharga menanyakan namaku, tapi supaya kalian mati tidak
penasaran, dengarlah, akulah Suma Bing."
Begitu si pemuda memperkenalkan diri seketika kelima gembong
Bwe hwa hwe itu undur ketakutan, ketiga orang bertubuh kekar
itu segera melolos senjata.
Perlahan dan pasti Suma Bing melangkah maju mendekat, setiap
langkahnya mengandung nafsu membunuh yang ber- kobar2.
Kelima gembong Bwe hwa hwe itupun serta merta undur dan
mundur terus. "Berhenti!" mendadak sebuah suara lain menghardik keras dari
belakang. Melonjak kaget kelima orang itu sukma seakan terbang keluar
badan kasarnya, waktu mereka berpaling dilihatnya seorang
berkedok mengenakan pakaian warna hijau telah menghadang
dibelakang mereka. Salah seorang tua itu mendadak mengayun
sebelah tangan, selarik bunga api warna merah darah segera
melesat tinggi membumbung angkasa, terang bahwa mereka
melepas pertanda bahaya dan minta bantuan. Bunga api itu
terbang setinggi lima puluh gunung sana minta bantuan. Bunga api
itu terbang setinggi lima puluh tombak baru meluncur turun dan
jatuh dibelakang gunung sana.
Si orang berkedok ter-loroh2 sekian lamanya, katanya "Bagus
sekali, undanglah semua para cakar anjing itu, darah yang
mengalir di Sam ceng koan dari ratusan nyawa penghuninya, harus
dicuci bersih oleh darah kalian bangsa kurcaci ini."
Serempak tiga orang kekar membentak berbareng, dimana sinar
pedang berkelebat serentak mereka menyerang kearah si orang
berkedok. Sementara kedua orang tua itu saling pandang sebentar
terus menerjang kehadapan Suma Bing.
Memang sudah sejak lama nafsu membunuh sudah bersemi dalam
benak Suma Bing maka begitu turun tangan ia tidak mengenal
kasihan lagi, kedua tangannya ditarik lalu disodokkan kedepan
sedang kedua kakinyapun sedikit ditekuk, gelombang panas bagai
hujan badai segera menerjang kearah kedua orangtua yang
menubruk tiba. Seketika terdengar pekikan panjang yang
mengerikan bergema dikesunyian alas pegunungan. Kedua orang
itu masing2 menyemburkan darah
segar dan tubuh mereka terpental sejauh tiga tombak sebelum
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuhnya menyentuh tanah jiwanya sudah melayang.
Disebelah sana terdengar juga sebuah jeritan, salah satu laki2
kekar itu terhantam remuk kepalanya oleh si orang berkedok,
keruan kedua temannya ketakutan setengah mati berbareng
mereka kiblatkan pedangnya terus putar tubuh hendak melarikan
diri. "Roboh!" si orang berkedok membentak keras, kedua tangannya
bergerak bagai kilat, 'blang, blung' disusul teriakan mengerikan
kedua sisa laki2 kekar inipun muntah darah dan roboh terkapar
jiwapun melayang.
Baru saja Suma Bing berdua selesai membereskan musuh2nya,
derap langkah yang ramai beruntun mendatangi dari pelbagai arah
semua meluruk keatas puncak sini.
Serta merta sorot mata Suma Bing menyapu kearah orang
berkedok, kebetulan mata orangpun tengah memandang kearah
sini masing2 manggut2. Anggukkan bersama yang menandakan
kesepakatan hati ini akan menentukan nasib para tokoh Bwe hwa
hwe yang mendatangi. Maka terjadilah pertempuran hebat
mati2an dibawa puing2 Sam ceng koan, darah mengalir deras,
mayat2 beterbangan dengan anggota tubuh yang tidak lengkap.
Sedemikian banyak bantuan jago2 Bwe hwa hwe berdatangan dari
segala penjuru, teriakan dan pekikan kesakitanpun tak henti2nya
terdengar saling susul, mayat bergelimpangan semakin bertumpuk.
Beratus anggota Ceng seng pay dari ketuanya sampai muridnya
terkecil tidak kecuali terbabat habis oleh pembunuhan kejam,
tempat suci yang agungpun tidak luput terbakar habis menjadi
puing. Sekarang darah para anggota Bwe hwa hwepun membanjir
menyiram diatas puing2 itu. Inilah yang dinamakan hutang darah
bayar darah, penyembelihan besar2an tengah berlangsung gila2an.
Puncak Ceng seng san diselubungi bau
busuk dan anyir darah yang memualkan, lambat laun semakin
sirap juga suara jeritan atau pekik kesakitan yang mendirikan bulu
roma. "Berhenti!" terdengar sebuah suara melengking mendatangi, suara
ini tidak begitu keras tapi sangat mengejutkan pendengarnya.
Tanpa berjanji sebelumnya Suma Bing dan si orang berkedok
segera menghentikan pertempuran. Tampak seorang wanita
berusia 30-an berwajah cantik molek entah kapan sudah berdiri
ditengah gelanggang pertempuran, dibelakang wanita ini berdiri
jajar dua belas busu laki2 berpakaian ketat.
Maka berkesempatanlah para jagoan Bwe hwa hwe yang masih
ketinggalan hidup berlarian menyingkir menyelamatkan diri.
Dengan bola matanya yang cemerlang si wanita menyapu
pandang kearah mayat2 yang bergelimpangan itu lalu dengan
langkah ringan gemulai ia maju beberapa langkah, sepasang
matanya jelalatan pelerak-pelerok menatap wajah Suma Bing
yang ganteng, kedua pipinya agak kemerah2an, mimiknya cerah
tidak tertawa tapi juga tidak tersenyum, sikapnya ini sungguh
sangat menggiurkan dan memikat hati semua pria mata
keranjang. Sorot mata Suma Bing tajam bagai ujung pedang, wajahnya
membeku dingin ia pandang pendatang baru ini lalu berpaling
kearah si orang berkedok dan bertanya: "Apa kedudukan wanita ini
didalam Bwe hwa hwe?"
Si orang berkedok menggeleng kepala tanda tidak tahu.
Pinggang dan pinggul si wanita berjentit ia maju beberapa
langkah, suaranya nyaring bening bagai kicau burung: "Kau inikah
Suma Bing?"
"Benar."
"Perbuatanmu terlalu telengas!" "Ini baru permulaan saja!"
"Hm, mungkin juga yang terakhir, kalau kukatakan bahwa
kalian berdua mampir ke perkumpulan kita, tapi kalian tidak
menampik bukan?"
"Kau ini terhitung barang apa?" jengek Suma Bing menghina.
"Barang apa" Ccce! Suma Bing, akulah Hun Cit koh pejabat Hoa
than Thancu (kepala panggung kembang) dari Bwe hwa hwe!"
Suma Bing ganda mendengus ejek sambil menjerit katanya: "Itulah
bagus, semua orang yang datang semua mendapat bagian, aku
tidak boleh memberi persen secara berat sebelah."
Semakin suram pandangan mata Hun Cit koh, wajahnyapun
mengelam, katanya dingin: "Suma Bing, kalau kau mau dengar
kata ikut Pun than (aku), kujamin keselamatan jiwamu, kalau
tidak" Saking marah Suma Bing malah tertawa gelak2, ujarnya "Hun Cit
koh. Sebaliknya aku tidak ingin menjamin keselamatan nyawamu!"
"Para murid pelindung dengar perintah!" tiba2 Hun Cit koh
berteriak, wajahnya semakin beringas. Serentak keduabelas Busu
seragam ketat itu mengiakan berbareng memencarkan diri
menjadi dua kelompok. Masing2 enam orang dikanan kiri.
"Hadapilah si orang berkedok itu, tangkaplah hidup2" Tanpa
banyak kata lagi segera duabelas murid pelindung
itu be-ramai2 menubruk kearah si orang berkedok. Dalam waktu
yang bersamaan Hun Cit kohpun melangkah maju mendesak
kearah Suma Bing.
Sementara itu si orang berkedokpun telah terkepung oleh
keduabelas musuhnya, terjadilah pertempuran seru, kiranya
keduabelas murid pelindung itu rata2 berkepandaian lumayan
juga, begitu saling gebrak masing2 lancarkan serangan hebat
yang mengejutkan.
Disebelah sini Suma Bing masih berdiri ditempatnya dengan
tenang, matanya dingin2 mengawasi gerak gerik Hun Cit koh
bersiap melayani semua kemungkinan.
Pada jarak delapan kaki dari Suma Bing, Hun Cit koh
menghentikan langkahnya, seketika berobah pula sikapnya, alis
lentik matanya menjengkit lantas katanya: "Suma Bing, aku...
benar2 aku tidak ingin bergebrak dengan kau!"
"Mengapa?" "Sebab kau persis benar dengan suamiku yang
telah meninggal" "Perempuan jalang yang tidak tahu malu." demikian
Suma Bing memaki dalam hati, nadanya tetap dingin, katanya: "Apa
betul demikian?"
"Tiada faedahnya aku menipu kau." "Lalu kau mau apa?"
"Kuharap kau suka ikut aku pergi keperkumpulan kita,
kalau kau mau menjadi anggota kita tanggung paling rendah kau
menjabat sebagai Thancu."
"Benarkah kalian mendapat perintah untuk mengejar dan
membunuh aku?"
"Aku tidak menyangkal." "Mengapa?" "Aku bertugas menurut
perintah!" "Ketua kalian tidak akan berhenti sebelum
meringkus aku, apakah maksud tujuannya?"
"Mungkin... mungkin dia iri pada kepandaianmu." "Mungkin"
Hm, tidak sedemikian gampang bukan?" "Begitulah menurut
hematku." "Siapakah nama besar ketua kalian?" "Ini, tidak
leluasa kusebutkan". "Kalau begitu segeralah turun tangan."
"Jadi kau harus berkelahi dengan aku?" "Berkelahi" Hendak
kubunuh kau" Berobah hebat air muka Hun Cit koh, serunya
sambil mendengus ejek: "Suma Bing, kau tidak tahu kebaikan." "Buat
apa aku terima kebaikanmu?" "Lihat serangan!" sambil berseru
secepat kilat ia lancarkan
sebuah pukulan mengarah dada Suma Bing. Kekuatan pukulannya
ini boleh dikata sangat berat sekokoh gunung juga secepat kilat,
sekali serangannya ini menunjukkan bahwa kepandaiannya bukan
olah2 lihay. Sigap luar biasa Suma Bing pun julurkan tangan memapak pukulan
musuh. 'Blang' kedua pukulan saling bentur dengan telak, seketika
kedua belah pihak tergetar mundur satu langkah, dalam jangka
sedetik itulah Suma Bing sudah melancarkan serangan balasan
dengan tangan kanan.
Terkesiap darah Hun Cit koh melihat kehebatan serangan musuh
ini, sekali menggeliatkan pinggang berbareng sebelah kaki
menahan tanah terus tubuhnya berputar setengah lingkaran,
secara tepat dan sangat berbahaya dia hindarkan serangan ini.
Bersamaan itu dari sebelah sana terdengar bentakan nyaring
disusul dua suara pekik kesakitan. Suma Bing berkesempatan
melirik kearah sana, terlihat olehnya dua diantara Busu berpakaian
ketat itu terhuyung mundur sambil
muntah darah keluar kalangan. Sedang si orang berkedok selicin
belut dan selincah kera selulup timbul diantara kesepuluh
lawannya, cara turun tangannya juga tidak mengenal kasihan lagi
dan gerak-geriknya masih tetap garang dan semangat, hal ini
melegakan sangat hatinya.
Sekali pukulannya meleset, pukulan kedua Suma Bing pun sudah
merangsang tiba. Kedua tangan Hun Cit koh me-nari2 berebut
kesempatan untuk menyerang lebih dulu. Kepandaian kedua belah
pihak tidak terpaut jauh, sekali mereka bergebrak sengit mati2-an
benar2 hebat pertempuran ini. Dalam sekejap masing2 pihak
sudah lancarkan lima puluh kali tipu lihay masing2, sedemikian
jauh belum dapat ditentukan mana lebih unggul dan siapa yang
asor. Sementara itu, meskipun kepandaian si orang berkedok setinggi
langitpun akhirnya terdesak juga oleh kerubutan nekad dari sepuluh
lawannya yang menyerbu mati2an, lama kelamaan keadaannya
terdesak dibawah angin, dari menyerang ia kini ganti siasat
bertahan dengan rapat demi keselamatan nyawa sendiri.
Dalam pada itu otak Suma Bing bekerja keras, kalau dirinya tidak
melancarkan ilmu simpanannya pertempuran ini tentu akan
berjalan terlalu lama dan tiada akhirnya. Kalau pihak Bwe hwa
hwe kedatangan seorang kawan berkepandaian setingkat dengan
Hun Cit koh, pasti berbahayalah mereka berdua. Bersama itu
iapun sudah melihat keadaan si orang berkedok yang sudah
ber-kali2 menghadapi bahaya. Dalam ber-pikir2 itu, segera ia
merobah cara permainan silatnya, dalam melancarkan tipu2
silatnya diam2 ia kerahkan tenaga sakti Kiu yang sin kang
sebanyak tiga bagian sebagai landasan pukulannya itu.
Hun Cit koh coba bertahan sekuat tenaga namun akhirnya tidak
tahan diterjang badai gelombang panas seperti lahar gunung
jebluk, sambil meraung kesakitan ia terhuyung mundur sejauh
delapan kaki. Agaknya Suma Bing pun sudah
mulai mata gelap, tanpa mengenal belas kasihan meski yang
dihadapi adalah seorang wanita, sekali berhasil dimana tubuhnya
melejit maju beruntun ia kirim tiga kali pukulan berat pula.
Sesudah ketiga pukulannya dilancarkan terdengar Hun Cit koh
memekik lebih keras badannya terbang sejauh satu tombak lebih,
mulut kecilnya yang mungil menyembur deras darah segar,
wajahnya kelihatan memucat dan beringas menakutkan. Bagai
setan gentayangan Suma Bing mendesak maju lagi seraya kirim
satu hantaman pula.
Hun Cit koh berteriak panjang, tanganpun diangkat untuk
menangkis serangan lawan pukulannya ini adalah himpunan
seluruh sisa tenaganya, perbawanya bukan olah2. 'Blang' dibarengi
setengah pekik kesakitan yang tertahan, beruntun Hun Cit koh
hamburkan lagi tiga kali darah segar tubuhpun meloso duduk
diatas tanah. Sedang Suma Bing sendiripun terpental oleh tenaga
perlawananan musuh yang hebat luar biasa, darah terasa bergolak
dalam dada, tubuhnyapun terjorok dua langkah kebelakang.
Dalam pada itu, keadaan si orang berkedokpun tidak kalah
berbahayanya, namun demikian diluar gelanggang pertempuran kini
ditambah lagi rebah tiga Busu berpakaian ketat itu. Sebat luar biasa
Suma Bing sudah meluruk tiba dihadapan Hun Cit koh, sebelah
tangan sudah diayun mengarah batok kepalanya, bentaknya bengis:
"Hun Cit koh, katakan asal usul Ketua kalian?"
"Tidak mungkin." sahut Hun Cit koh ketus sambil kertak gigi.
"Kau benar2 ingin mati?" Hun Cit koh meramkan kedua
matanya, dua butir air mata
sebesar kacang meleleh membasahi kedua pipinya serunya penuh
kepedihan: "Silahkan turun tangan!"
Tergerak hati Suma Bing, pikirnya: "Tidak sedikit jumlah anggota
Bwe hwa hwe yang mati konyol, diusut dari semua
pangkal mula peristiwa ini, hanya si ketua Bwe hwa hwe
seoranglah yang benar2 merupakan musuh besarnya. Dalam
keadaan yang belum jelas dan terang ini tiada faedahnya aku
terlalu kejam turun tangan" karena pikirannya ini, tangan yang
sudah diangkat tinggi itu per-lahan2 diturunkan lagi. Lalu tanpa
membuka suara lagi mendadak ia putar tubuh terus menubruk
kearah si orang berkedok belum tubuhnya tiba angin pukulannya
sudah sampai lebih dulu. Seketika ada dua musuh terbawa
terbang oleh angin pukulannya itu. Begitu kelima kawannya
menyapu pandang kesekitar gelanggang, terbanglah semangat
mereka, serta merta mereka segera mundur dan menyingkir jauh.
Kalau si orang berkedok masih kuat bertahan adalah berkat
keteguhan hatinya yang keras, namun demikian napasnya sudah
empas empis seumpama pelita yang hampir kehabisan minyak tak
urung tubuhnya terhuyung hampir roboh tak dapat berdiri tegak
ditempatnya. 11. MANUSIA BEBAS DILUAR DUNIA.
"Bong bian heng bagaimana keadaanmu?" tanya Suma
Bing penuh perhatian. "Tidak apa, aku hanya kehabisan tenaga,"
habis berkata ia
merogoh keluar dua butir obat dimasukkan kedalam mulutnya
"mari kita pergi."
Si orang berkedok manggut2, dalam sekejap mata mereka sudah
menghilang dan berlarian cepat turun gunung, langsung menuju
kearah 'gunung tanpa bayangan'.
Ditengah perjalanan si orang berkedok berkata "dengar kejadian
ini masih belum sirap, saudara kecil kalau hendak membuka tabir
pembunuhan di Ceng seng san dan teka teki penyergapan
terhadap kau, kecuali dapat membongkar kedok
asli ketua Bwe hwa hwe, maka tiada kepikir untuk kau main tebak
apa segala."
"Wajah aslinya atau asal usul Ketua Bwe hwa hwe masa tiada
seorangpun yang tahu didunia persilatan?"
"Mungkin begitu!" "Termasuk anak buahnya?" "Itu soal lain
lagi. Tapi menurut hematku, didalam Bwe hwa
hwe sendiri yang mengetahui wajah asli ketuanya sendiri mungkin
tidak banyak, kalau tidak mungkin sudah bocor dan tersiar
dikalangan Kangouw."
"Namun cepat atau lambat pasti harus dibongkar kedoknya".
"Ketua Bwe hwa hwe sekali ini telah salah perhitungan..."
"Mengapa?" "Menurut penilaiannya mungkin dia anggap kita
berdua sudah terluka berat, kalau meratpun takkan dapat berjalan, maka
dia hanya perintahkan anak buahnya untuk mengadakan razia
besar2an, sedang dia sendiri tidak ikut muncul kalau tidak,
mungkin saat ini kita sukar lolos dari lobang maut."
"ltupun belum tentu, kalau kemaren aku tidak terlalu bernafsu dan
nekad, tidak sampai sedemikian mengenaskan kekalahanku"
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiga hari kemudian, mereka tiba diatas sebuah puncak tinggi yang
menembus langit.
Menunjuk lautan awan didepannya yang tidak berujung pangkal si
orang berkedok berkata: "Disanalah letak gunung tanpa bayangan
itu." Tanpa terasa Suma Bing mengerut kening, katanya: "Mana,
sedikitpun aku tidak melihat?"
"Kalau sudah dinamakan tanpa bayangan, sudah tentu sampai
bayangannyapun tidak begitu gampang dapat ditemukan orang.
Kita hanya memerlukan melanjutkan terus mendekati kearah lautan
awan itu, kalau jaraknya sudah dekat dan penglihatan lebih terang
tentu gampanglah mencari jalan. Tapi watak manusia bebas diluar
dunia ini sangat aneh diluar kesopanan.
Suma Bing tersenyum ewa, katanya: "Masa dia lebih aneh dari
guruku Lam Sin Kho Jiang"
"Sifat sesat suhumu kesohor karena dia paling menentang adat
istiadat atau kebiasaan umum, namun sedikit banyak ia masih
mau bicara tentang kebenaran. Lain dengan manusia bebas dari
dunia luar ini, saking aneh dia tidak mengenal apa yang
dinamakan kebenaran."
"Peduli apa, pendek kata kita harus mendapatkan rumput ular
itu." Begitulah dengan cepat mereka telah mendekati dan mulai tiba
dilautan awan, mereka langsung menerobos terus ketengah.
Dengan kekuatan tenaga Lwekang Suma Bing matanya dapat
melihat terang dalam jarak sepuluh tombak, diluar jarak itu hanya
remang2, maka mereka harus menggeremet maju per-lahan2.
Setengah jam kemudian si orang berkedok menunjuk sebuah bukit
batu yang kelihatan remang2 dan berkata: "Itulah disana, mari
kita naik kesana!"
Ber-kobar2 semangat Suma Bing, segera ia mendahului berlari
mendaki kearah bukit batu itu. Baru saja mereka tiba dilamping
bukit, se-konyong2 terdengar sebuah suara berat dan keras
membentak: "Siapa itu, berhenti!"
Segera Suma Bing hentikan langkahnya, waktu ia angkat kepala
terlihat seorang tua baju kuning, rambut dan jengot serta alisnya
sudah beruban, berduduk tenang diatas sebuah
batu yang menonjol. Ter-sipu2 si orang berkedok maju memberi
hormat serta berkata hormat: "Wanpwe"
Orang tua baju kuning tertawa dingin dan menukas ucapan si orang
berkedok: "Kalau kalian tahu diri lekas menggelinding pergi!"
Kebentur kekerasan orang, siorang berkedok mendjadi tertegun dan
melongo ditempatnja tanpa mampu menge?luarkan suara lagi.
Adalah Suma Bing malah berpikir, kalau dia menamakan orang
aneh, buat apa bicara segala kesopanan apa segala, maka segera
ia maju dua langkah, suaranyapun tidak kalah dingin dan
ketusnya: "Apa tuan ini yang bernama Si gwa sian jin?"
Orang tua baju kuning agaknya melengak karena sikap kasar
Suma Bing ini, kedua matanya menyorotkan sinar dingin menatap
kewajah Suma Bing, lama dan lama kemudian baru ia membuka
mulut: "Kau menyebut aku sebagai apa?"
"Apa tidak tepat?" "Berapa umurmu sekarang?" "Umur" Dalam
Bu lim mengutamakan peribudi, buat apa
mempersoalkan usia orang!" "Bocah kurangajar, kau dari
perguruan mana?" "Tuan sendiri belum menjawab
pertanyaanku?" "Huh, memang aku inilah Si gwa sian jin." "Kalau
begitu akulah Suma Bing, guruku adalah Sia sin Kho
Jiang." Berobah air muka Si gwa sian jin, tanyanya: "Kau adalah
murid Kho lo sia?" "Benar." "Tak heran sifatmu nyeleweng, untuk
apa kau datang kemari?" "Konon tuan mempunyai sepucuk pohon rumput ular, tuk itulah
aku datang kemari supaya diberi sedikit, sebab aku yang rendah
terkena bisa Pek jit kui."
"Tidak salah, memang ada! Rumput ular adalah benda mujijat
yang tak ternilai harganya, merupakan obat pemunah racun yang
paling ampuh khasiatnya. Lantas dengan mulut kecilmu yang
masih hijau itu, kau kira Lohu segera akan memberikan
kepadamu" Hahahaha,"
Suma Bing mendengus keras, menghentikan tertawa orang,
serunya angkuh: "Tuan ada syarat apa, coba kemukakan."
"Syarat, kenapa?" "Aku selamanya tidak sudi terima budi kasih
orang lain kuharap dengan sesuatu syarat apa untuk dapat menukar rumput
ular itu" "Lohu tidak akan memberikan rumput ular kepadamu, juga tidak
perlu syarat apa segala."
Namun Suma Bing masih keras kepala, serunya ketus: "Tapi aku
sudah pasti harus mendapatkan rumput ular itu."
"Apa mungkin kau berani menggunakan kekerasan?" "Aku sudah
minta kau mengeluarkan syarat untuk
menukar, bukankah itu sangat adil!" "Siaucu, barang itu
kepunyaan Lohu, Lohu tidak ingin
bertukar apa dengan kau." "Kutegaskan sekali lagi, aku pasti harus
memperoleh rumput ular itu." Diam2 si orang berkedok menarik lengan baju
Suma Bing dan membisiki dengan suara sangat lirih hampir tidak terdengar:
"Saudara kecil jangan kau mengeruhkan urusan ini, sabarlah
sedikit, mintalah dengan kata2 halus, kepandaian! si tua bangka ini
tidak dibawah salah seorang dari Bu lim su ih (empat gembong
silat aneh)."
Baru saja Suma Bing menggelengkan kepala mendadak si manusia
bebas diluar dunia sudah membentak marah2: "Siaucu, Gurumu
Kho lo sia sendiri melihat akupun tidak berani bersikap demikian
kurangajar"
"Itu urusannya bukan urusanku." sahut Suma Bing temberang.
Memang orang aneh bertabiat aneh, karena watak Suma Bing yang
berani berbantahan itu malah mencocoki selera si manusia bebas
aneh ini. Bukan marah dia malah tertawa gelak2 kegirangan
ujarnya: "Siaucu, sungguh menyenangkan sifat itu. Baiklah Lohu
meluluskan permintaanmu, akan tetapi, selamanya Lohu paling
benci dan tidak senang adanya kuat diluar dan keropos didalam,
wajahnya gagah tapi otaknya tumpul. Begini saja, kalau kau kuat
menahan tiga kali pukulanku, rumput ular boleh kau bawa pergi,
kalau sebaliknya gunung tanpa bayangan ini adalah tempat
keramat, tidak bakal kubiarkan orang seenaknya pergi datang."
Mau tak mau Suma Bing harus berpikir: sudah pasti dirinya harus
mendapatkan rumput ular itu atau jiwanya takkan hidup lewat
seratus hari, mati atau hidup sudah ditakdirkan oleh Tuhan, buat
apa aku main sangsi atau ragu" Karena berpikir seperti itu segera
mulutnya menjawab congkak. "Apa hanya menyambuti tiga kali
pukulanmu?"
Si gwa sian jin menarik muka, airmukanya mengelam desisnya:
"Siaucu, tiga pukulan itu bukan saja menentukan mati hidupmu,
juga menentukan nasib kawan karibmu itu."
Terkesiap darah Suma Bing mendengar keterangan itu mati hidup
dirinya tidak perlu dibuat sayang, tapi kalau sampai merembet
keselamatan si orang berkedok, bagaimanapun hatinya tidak tega,
maka segera ia memutar tubuh berkata kepada si orang berkedok:
"Bong bian heng, dengan setulus hatiku minta sukalah kau
sekarang juga meninggalkan tempat ini."
Tanpa ragu2 si orang berkedok segera menjawab: "Saudaraku, kau
tahu aku tidak akan pergi."
"Namun kalau terjadi" "Tentu aku tidak sesalkan kau!" Apa
boleh buat Suma Bing menggeleng kepala. Sedemikian
besar budi si orang berkedok menolong jiwanya, tak urung dalam
hati ia berkata: "Saudara tua, terlalu banyak aku berhutang budi
kepadamu."
Saat mana si manusia bebas telah melompat turun dari batu
menonjol itu dan berdiri tegak dihadapan Suma Bing, Ia tanya
menegas: "Siaucu, kau sudah pastikan belum?"
Suma Bing mengertak gigi, sahutnya: "Selamanya aku maju tidak
mengenal mundur!"
"Matipun kau tidak penasaran?" "Kurasa terlalu pagi
mempersoalkan itu." "Baiklah sambutlah jurus pertama ini."
baru saja suaranya
lenyap, sepasang tangan manusia bebas telah bergerak2 menjojoh
kedepan. Segera Suma Bing merasa bahwa pukulan lawan ternyata sangat
aneh lain daripada yang lain, perobahannya sukar dijajaki, sukar
pula untuk ditangkis atau memunahkannya, lagipula begitu
dilancarkan serangannya segera merangsang tiba. Sedikitpun tidak
memberi kesempatan dirinya banyak berpikir. Maka serta merta ia
lancarkan sejurus Pit bun cia khe (menutup pintu menampik tamu)
menjaga diri menutup jalan darah.
'Bum' jurus Pit bun cia khe Suma Bing ternyata masih belum
mampu menahan serangan lawan, seketika dadanya seperti
dipukul godam, sambil meraung kesakitan tubuhnya terhuyung
lima langkah, darah hampir menyembur keluar dari mulutnya.
Tanpa tertahan si orang berkedokpun berseru kaget. Si
manusia bebas tertawa dingin, ia mundur satu langkah
sembari berkata: "Sekarang sambutlah jurus kedua." dua tangannya
terayun lagi, gelombang angin pukulannya bagai gugur gunung
menerjang dahsyat kearah Suma Bing. Suma Bing mengertak gigi,
seluruh kekuatan Kiu yang sin kang tersalurkan dikedua telapak
tangannya menyambut pukulan lawan secara keras. Benturan keras
menggelegar memekakkan telinga, awan terapung disekitar mereka
ikut tergulung menyiak keempat penjuru, saking dahsyat benturan
pukulan mereka, batu2 gunungpun berguguran.
Tubuh Si gwa sian jin bergoyang gontai akhirnya terhuyung
mundur satu tindak, wajah tuanya berobah merah padam
membeku. Suma Bing sendiri kontan jatuh terjerembab duduk
diatas tanah, dua baris darah segar meleleh keluar dari ujung
mulutnya, airmukanya pucat pias sangat mengenaskan.
Si orang berkedok mengeluh dalam hati. Sekarang Suma Bing
sudah terluka berat, bagaimanapun takkan mampu menyambuti
pukulan ketiga, baru saja ia hendak maju membantu, Suma Bing
sudah terhuyung2 bangkit dan bertindak maju tiga langkah,
suaranya gemetar hampir tak terdengar: "Silahkan lancarkan jurus
ketiga." Tak urung Si gwa sian jin tergerak sanubarinya, serunya dengan
nada berat: "Buyung, kau mempertaruhkan jiwamu?"
"Harap tuan segera turun tangan", teriak Suma Bing geram.
Si gwa sian jin mengangguk kepala, kedua tangannya bergerak...
"Saudara kecil, sudahlah, mari kita turun gunung," seru orang
berkedok lesu penuh kepedihan.
"Tidak!" sahut Suma Bing tegas.
"Inilah jurus ketiga!" bentak Si gwa sian jin. Kedua tangannya
disodokkan keras2. Damparan angin badai lebih deras menyambar
bagai guntur seperti hujan badai. Cepat2 si orang berkedok
memalingkan muka, tak kuat hatinya menyaksikan sahabatnya mati
konyol. Dalam pada itu Suma Bing juga sudah himpun seluruh sisa
tenaganya, kedua tangannya pun menyapu kedepan menyambuti
pukulan musuh secara keras. 'Bum' ditengah suara mengguntur
dari benturan dua tenaga dahsyat, tubuh Suma Bing terbang bagai
layang2 yang putus benangnya, darah berhamburan ditengah
udara. 'Blang' tubuhnya melurus jatuh keatas tanah kebentur batu
gunung. Sekali berkelebat gesit sekali si orang berkedok menubruk maju
hendak menolong.
"Berhenti!" Segera si orang berkedok menghentikan langkah,
dan tanyanya gemetar: "Apa maksud Cianpwe?" "Dia sudah kalah!" "Ya,
memang aku tidak menyangkal bukan." Saat mana Suma Bing
merasakan seluruh tulang
belulangnya terasa sakit bagai copot ruasnya, kupingnya
mendengung pandangannya gelap bintang kecil2 beterbangan
didepan matanya, meski demikian watak kerasnya masih berusaha
untuk mengobarkan semangatnya, seolah2 sebuah suara berkata
dalam benaknya: kau jangan mati, jangan kau menyeret si orang
berkedok mengorbankan jiwanya, maka dengan kedua tangannya
ia menahan tubuh.
Ia berusaha berlutut lalu punggung mengelendot dibatu gunung
perlahan2 bangkit berdiri.
"Saudara kecil, kau!" seru si orang berkedok dengan suara
gemetar. Si gwa sian jinpun tidak ketinggalan berseru kaget, rambut dan
jenggotnya ber-gerak2 bahna heran dan kagumnya melihat
kebandelan si bocah muda ini.
Bibir Suma Bing ber-gerak2 entah hendak mengatakan apa, tapi
suaranya tidak terdengar, 'buk' tubuhnya jatuh lagi diatas tanah
tanpa bergerak lagi.
Bukan kepalang kaget si orang berkedok, cepat2 ia menubruk
maju dengan tangannya dirabanya denyut nadi darah Suma Bing,
sekarang baru lega hatinya. Namun bila teringat ucapan yang
pernah diucapkan oleh manusia bebas tadi hatinya pilu.
Mendadak Si gwa sian jin memutar balik badannya dan berlarian
cepat melesat keatas puncak.
Sungguh si orang berkedok tidak habis mengerti apa yang
dikandung dalam benak orang aneh itu. Tadi dia mengatakan kalau
Suma Bing kuat menahan tiga kali pukulannya rumput ular segera
dipersembahkan tanpa syarat namun kini walaupun Suma Bing
belum menemui ajalnya tapi terluka berat sekali, apakah ini sudah
terhitung lulus dalam ujian, maka segera dikeluarkan beberapa
pulung obat lalu dijejalkan kedalam mulut Suma Bing.
Tidak lama kemudian Si gwa sian jin telah balik kembali
ditangannya menggenggam sebatang rumput aneh berwarna
putih bening bagai batu giok, batang pohon itu berupa daun
delapan lembar, dan berbuah sebesar ibu jari dan berwarna
hitam. Hal ini diluar dugaan si orang berkedok, termenung2 dia
memandangi orang entah apa yang harus diucapkan.
Sambil mengangkat tangannya si manusia bebas berkata: "Inilah
Coa hun cau, rumput ular ini adalah obat paling aneh, mustajab
dan tak ternilai, sudah tumbuh selama seribu tahun lamanya,
kalau ditelan bersama buahnya, begitu khasiatnya
merembes keseluruh semua urat nadi dan jalan darah, tubuhnya
akan kebal segala racun..."
Dalam ber-kata2 itu ia sudah berjongkok disamping tubuh Suma
Bing lalu menjejalkan seluruh batang rumput ular itu kedalam
mulut Suma Bing, lalu mengurut beberapa kali ditulang jidatnya
terus menutuk pula jalan darah Hok thin hiat.
Kini legalah hati si orang berkedok, lantas tercetus pula katanya:
"terima kasih sebesarnya atas bantuan Cianpwe ini."
Mata Si gwa sian jin membalik, mendelong ia awasi si orang
berkedok katanya: "Tidak perlu terima kasih apa segala, kalau
bukan sifat sesat bocah ini menyenangkan hatiku. Lohu tidak akan
mengorbankan rumput ular ini, sekarang kau bawalah dia pergi
carilah sebuah gua, dua jam kemudian bukalah jalan darahnya,
Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu rumput ini masuk kedalam perutnya tentu bekerja
khasiatnya dan dia akan merasakan suatu siksaan yang hebat
sekali..."
Si orang berkedok tunduk dan patuh, sahutnya: "Hal ini wanpwe
sudah mendapat tahu..."
"Apa kau sudah mengerti?" "Sedikit banyak aku sudah paham."
"Kalau begitu cepatlah pergi!" Segera si orang berkedok
membungkuk tubuh terus
memanggul Suma Bing dibawa turun gunung. Setelah berlarian
sekian lamanya tibalah dia disebuah puncak tinggi, mendongak
keudara ia menyedot hawa dalam2, perasaaannya lega dan
nyaman bagai baru saja terlepas dari belenggu. Dia harus segera
menemukan sebuah gua untuk segera memberi pertolongan pada
Suma Bing. Mendadak didapatinya dipuncak sekitarnya ada bayangan
beberapa orang berkelebatan hatinya menjadi gelisah dan gugup,
kalau mereka itu anakbuah Bwe hwa hwe yang mengikuti
jejaknya, maka sukarlah dibayangkan akibatnya.
Luka berat Suma Bing belum tersembuhkan, khasiat obat rumput
ular akan segera bekerja pula. Dengan pengalaman pahit
digunung Ceng seng tempo hari, tentu Bwe hwa hwe
mencurahkan seluruh tenaganya. Kalau hanya dirinya seorang
pasti gampang untuk mengundurkan diri, tapi kalau dibebani
Suma Bing yang pingsan ini berbeda pula persoalannya.
Sejenak ia menyapu pandang keempat penjuru melihat keadaan
sekitarnya terus berlari memasuki sebuah lembah disamping
sebelah kanan sana. Supaya jejaknya tidak konangan oleh orang
lain dia menyusup diantara semak belukar, setelah bersusah payah
sekian lamanya baru dia tiba dibawah lembah, disini ia berhenti
sejenak memperhatikan sekelilingnya lantas maju terus kedepan...
"Berhenti!" mendadak suara dingin terdengar menghentikan
langkahnya. Sungguh terkejut si orang berkedok bukan kepalang, segera ia
menghentikan langkahnya dan membalik kearah dimana suara itu
terdengar. Maka terlihat olehnya seorang nenek2 beruban dengan
wajah yang merah bagai air muka seorang bayi dengan angkernya
berdiri dua tombak jauhnya disebelah sana. Dibelakang nenek tua
ini berdiri pula seorang gadis ayu molek mengenakan pakaian
serba putih. Si nenek bukan lain adalah Pek hoat sian nio, sedang gadis
dibelakangnya itu adalah Ting Hoan. Bahwa Pek hoat sian nio
muncul ditempat itu benar2 diluar persangkaannya.
Melihat yang muncul ini bukan orang dari golongan Bwe hwa hwe
legalah hati si orang berkedok, segera ia memberi hormat sambil
berkata: "Kiranya Sian nio telah tiba, harap terimalah hormat
cayhe." "Tidak perlu banyak peradatan." "Sian nio memanggil
cayhe, entah ada petunjuk apa?" "Beritahukan namamu"
"Nama cayhe sudah lama kulupakan, harap suka dimaafkan."
"Apa yang kau panggul itu adalah Suma Bing?" Si orang
berkedok terhenyak ditempatnya, sahutnya:
"Memang, inilah Suma Bing adanya." "Apa hubunganmu dengan
dia?" "Sahabat karib." "Baik sekarang kau letakkan dia, berikanlah
kepadaku!" Si orang berkedok mundur selangkah dengan kaget,
tanyanya menegasi: "Berikan kepada Sian nio, kenapa?" "Kenapa
kau tidak perlu tahu, letakkan dan tinggal pergi." "Kalau Sian nio
tidak terangkan sebabnya, tak mungkin
cayhe melulusi." "Apa kau berani membangkang?" Saking gugup
keringat membanjir ditubuh si orang
berkedok, tahu dia bahwa dirinya terang bukan lawan Pek hoat
sian nio, mungkin juga muridnya saja ia takkan mudah mengatasi.
Akan tetapi bagaimanapun juga dia tidak bisa menyerahkan Suma
Bing kepada orang, sekilas ia berpikir lalu katanya: "Saat ini Suma
Bing tengah terluka berat dengan kedudukan dan nama Sian nio,
tidak seharusnya memaksa orang disaat kesusahan?"
Berobah air muka Pek hoat sian nio mendengar cerita ini,
katanya: "Seumpama dia tidak terluka juga tak mungkin bisa lolos
lari tanganku, tiada alasan aku memakai apa segala".
"Itu lain persoalan, tapi sekarang kenyataannya dia terluka
berat." Benar2 si orang berkedok tak habis mengerti mengapa Pek hoat
sian nio demikian kukuh menghendaki dirinya menyerahkan Suma
Bing, dendam baru atau permusuhan
lama atau juga... entahlah dia tidak tahu, maka segera ia
membantah: "Aku takkan menurut."
"Benar2 kau membandel?" "Terpaksa aku harus berbuat
demikian." "Kau tahu apa akibatnya?" ucapannya ini
mengandung ancaman yang serius. Si orang berkedok tertawa gelak2, katanya
penuh keharuan: "Kau minta aku dengar perintahmu, kecuali napasku
sudah berhenti."
Kata Pek hoat sian nio dengan ketusnya: "Mengambil nyawamu
segampang membalikkan tangan, kau tidak sukar mencari
kematian."
Melihat tiada harapan lagi berkobarlah amarah si orang berkedok,
serunya murka: "Pek hoat sian nio, tidak malukah kau menamakan
diri sebagai datuk persilatan, tidak malu kau ditertawakan sesama
kaum Kangouw. Memang aku bukan tandinganmu, tapi sebagai
seorang kawan yang setia kau harus mencabut nyawaku dulu,
kalau tidak aku takkan lepas tangan."
Wajah si gadis pakaian putih Ting Hoan pun penuh kekuatiran,
bibirnya sudah bergerak hendak bersuara tapi kata2nya ditelannya
kembali. Kebetulan pada saat itulah dari puncak bukit sebelah sana
berkumandang sebuah suitan nyaring tinggi yang mendebarkan hati
orang. Wajah Pek hoat sian nio kembali seperti sedia kala, tangan
diulapkan dia berkata: "Kali ini terpaksa kulepaskan dia, Mari
berangkat!"
Si orang berkedok insaf bahwa banyak orang2 kaum persilatan
tengah berkumpul disekitar situ, mungkin ada sesuatu kejadian
penting telah terjadi. Sudah tentu Pek hoat
sian nio juga salah satu diantara mereka. Bermula disangkanya
orang2 Bwe hwa hwe yang menguntit dirinya, sekarang kenyataan
membuktikan bahwa prasangkanya tadi salah. Dalam saat ini dia
tidak perlu tahu mengapa gembong2 persilatan itu berkumpul disini
yang penting ia memikul tugas menyelamatkan jiwa Suma Bing
maka cepat2 ia berlari semakin dalam kearah lembah.
Tidak lama kemudian ia menemukan sebuah gua, bergegas ia
menerobos masuk lalu merebahkan Suma Bing diatas tanah,
di-hitung2 waktunya kira2 tepat dua jam sejak ia meninggalkan
tempat Si gwa sian jin, tanpa me-nunda2 lagi segera ia menutuk
jalan darah Hek thin hiat ditubuh Suma Bing, lalu duduk diluar gua
ber-jaga2. Tidak lama kemudian Suma Bing mulai siuman, terasa mulutnya
kering, jalan darah dan seluruh urat nadi dalam tubuhnya terasa
melar mengembang bagai hendak meledak. Sekuat tenaga ia coba
bertahan lalu meng-amat2i tempat apakah itu, didapatinya dirinya
rebah didalam sebuah gua, si orang berkedok tengah duduk
terpekur dimulut gua, baru saja ia hendak membuka mulut
memanggil, seluruh tubuh mendadak mengejang, lalu disusul
beberapa jalur hawa dingin merangsang kepelbagai jalan darah
dan nadinya. Sakitnya bagai beribu jarum menyusup kepelbagai
anggota tubuhnya. Saking kesakitan tak tertahan lagi ia
bergulingan diatas tanah, mulutnya mengeluarkan pekik dan
merintih tak henti2nya. Bagai tidak mendengar apa2 si orang
berkedok tetap tenang duduk dimulut gua. Kira2 setanakan nasi
kemudian suara Suma Bing sudah serak dan tak kuasa lagi
bergerak, ia rebah terlentang lemas didalam gua. Segera si orang
berkedok merogoh keluar tiga butir obat semua dijejalkan kedalam
mulutnya, lalu secepat kilat beruntun ia menutuk tiga puluh enam
jalan darah penting diseluruh tubuh Suma Bing. Katanya: "Saudara
kecil, kerahkan tenaga murnimu bantulah obat bekerja."
Sekuat tenaga Suma Bing bangkit berduduk, terasa didalam
pusarnya ada tiga macam hawa hangat yang ber-beda2 perlahan2
menjalar keatas, cepat2 ia kerahkan tenaga murni
menuntun ketiga hawa hangat itu berputar menyeluruh kedalam
tubuhnya, tiga kali putaran kemudian lambat laun terlupakanlah
apa yang tengah dialaminya.
Si orang berkedok masih tetap berjaga dimulut gua dengan
tekunnya. Kalau disekitar pegunungan situ terang muncul jejak
gembong2 silat yang tak terhitung banyaknya, tentu ada
kemungkinan mereka bisa menerjang datang kemari, keadaan
Suma Bing tengah mencapai tingkat yang paling gawat tidak boleh
terganggu oleh apapun yang bisa mengagetkan.
Sebuah suitan nyaring bergema lama ditengah udara, tak berapa
lama kemudian dari empat penjuru angin terdengar juga
penyambutan suitan yang riuh rendah, apa yang tengah terjadi itu
benar2 membuat pendengarnya tegang dan merinding. Yang lebih
mengejutkan bahwa suitan nyaring tadi terdengar diatas puncak
dimana si orang berkedok dan Suma Bing tengah bersembunyi
didalam gua. Setelah sirapnya berbagai suitan tadi lalu disusul
suara bentakan yang bergantian. Terang kalau dipuncak bukit itu
tengah terjadi suatu pertempuran dahsyat, tapi entah peristiwa apa
Harpa Iblis Jari Sakti 21 Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long Bentrok Rimba Persilatan 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama