Ceritasilat Novel Online

Pedang Golok Yang Menggetarkan 7

Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Bagian 7


"Nyonya Uh adalah kakak sepupuku."
siauw Pek berpikir cepat. ia tak mau menyebutkan sanak terlalu
jauh supaya tidak dicurigai.
Mendengar itu, cuPeng berkata cepat, dengan perlahan sekali:
"imam itu penegak hukum kami, kalau sebentar dia menanyakan
kau, hati-hatilah menjawabnya. Mari ikut aku " lantas dia memutar
tubuh dan berjalanSiauw Pek mengikuti. ia heran juga atas sikap pelindung hukum
ini. cic Tiat Eng menatap tajam pada si anak muda, dia seperti
hendak menembusi hati orang. Siauw Pek bersikap tenang sekali.
"Nic Hu hoat, apakah jabatannya orang ini?"
"Dia sanak keluarga Nyonya Uh."
"Apakah kau kenal dia?"
"Pernah ketemu, tapi tidak kenal baik."
cu Peng tahu siimam telengas, tanpa terasa dia melindungi Siauw
Pek. Tiat Eng menatap pula si anak muda. "Apakah kau mengerti
silat?" " Nyonya Uh menjadi kakakmu, kenapa dia tidak ajak kau masuk
menjadi anggota?"
"Hal itu pernah aku bicarakan dengan kakakku, soalnya ialah
waktunya belum tiba. Kakak belum dapat mengajakku."
" Kenapa waktunya belum tiba?"
"Kata kakak, aturan partai sangat keras, dia kuatir kalau aku
menjadi anggota, aku nanti banyak lagak apa bila sampai terjadi
sesuatu meski dialah kakakku, tak dapat dia melindungi aku,
katanya aku perlu menati satu atau dua tahun lagi, sesudah aku
bertambah usia."
"Kalau begitu, Nyonya Uh berhati-hati..."
" Diantara saudara saudari, biasa orang saling memperhatikan-"
Tiat Eng menoleh pada Tju Peng.
"Nio Hu-hoat, benarkah kata-kata dia ini?"
"Itu.... itu... sahut si Hu hoat ragu ragu.
"Itu, itu apa?" tegaskan si imam, suaranya dingin- "Benar atau
tidak katanya ini ?"
"Benar," sahut bawahan itu terpaksa.
Tiba-tiba si imam tertawa dan tangannya menepuk lengan si
anak muda. "Terlalu kakakmu itu " katanya. "kau toh berbakat baik Kalau
nanti punco kembali ke pusat, akan punco perkenalkan kau kepada
ketua kami "^
"Terima kasih" kata Siauw Pek cepat.
Habis tertawa, mendadak si imam memperlihatkan wajah keren.
"Nio Hu hoat," tanya dia, "disaat Uh Tong cu terbunuh, apakah
kau berada bersama.?"
"Malam itu hee slok tak pernah meninggalkan kamar."
"Bagaimana dengan Nyonya Uh?" tanya pula si imam, hanya kali
ini hampir berbisik.
"Nyonyapun berada bersama."
"Didalam cabang kita disini banyak anggotanya yang pandai,
kenapa orang membokong Tongcu tetapi tidak ada yang tahu ?"
"Setahuku, malam itu tidak ada orang yang menyelundup masuk.
Yang dikuatirkan jalan ada yang menyelit masuk sejak siangnya..."
"Eh, bagaimana kau dapat menerka demikian"
cu Peng terkejut, hingga ia merasai punggungnya dingin"Hee siok cuma menduga saja."
Ketika itu terdengar suara tambur tiga kali, seorang muda berlari
keluar. "cio toaya diundang masuk untuk menghadiri upacara" katanya.
"Aku tahu " si imam berkata sambil mengulapkan tangan, terus
dia menatap cu Peng, "Nio Hu-hoat, siapakah diantara orang-orang
ini yang harus turut menghadiri upacara ?" dia tanya.
"Inilah hee siok akan atur," sahut cu Peng, yang terus memilih
dua belas orang. Tapi ia tidak memilih Siauw Pek.
" Kenapa dia tidak dipilih?" tanya Tiat Eng sambil menunjuk si
anak muda. "Baik, siangeo," kata bawahan itu. ia mengajak sianak muda,
sambil menarik tangannya.
oey Eng maju dua tindak. ia berkata peralahan kepada si orang
she Nio: "Aku bersyukur aku diterima datang disini, karena itu sudah
seharusnya jikalau aku turut masuk untuk menghunjuk hormatku."
cu Peng mengerutkan alis, ia hendak membuka mulut tetapi
batal. ia kuatir nanti ditegur si imam. Terpaksa ia mengulapkan
tangan, mencegah. oey Eng melihat lagak orang, ia dapat menduga
sebabnya, tetapi ia berpura tidak melihat cegahan itu, ia berjalan
terus mengikuti ketuanya.
Melihat kedua saudara itu berjalan masuk. Kho Khong menyusul,
tanpa minta ijin lagi dari cu Peng. Dan si hu hoat, yang telah
terlanjur, membiarkan saja. Dia tetap berpura tak melihat. Akan
tetapi, didalam hatinya, dia curiga. Seingatnya, belum pernah ia
bertemu dengan oey Eng dan Kho Kong. Bahkan dia merasa asing
sekali. "Ah, mesti aku berdaya mengetahui siapa mareka " pikir dia
akhirnya. Sementara itu didalam rombongan, oey Eng dan Kho Kong
tampak seperti orang biasa saja, mereka tidak menimbulkan
kecurigaan. Tidak demikian dengan Siauw Pek, yang mirip seorang
pemuda sastrawanSegera
orang berada didalam sebuah halaman besar, setelah
mendaki tujuh undak tangga batu, mereka mulai memasuki tangga
halaman yang kedua. Dan segera hidung mereka diserbu bau yang
harum halus dari kayu cendana.
siauw Pek mengangkat kepala. Ia melihat dua buah peti mati
yang dilatar belakangi tirai putih ditaruh didepan sebuah ruang a,
karangan bunga teratur rapi, dan empat pasang liling putih
menerangi ruang itu. Kedua peti ditaruh berjajar. Dua nona berbaju
putih berdiri dikiri dan kanan pintu.
cio Tiat Eng berjalan dimuka bagaikan mengepalai rombongan,
selagi dia hendak memasuki ruang, tiba-tiba dia mendengar
bunyinya tetabuhan dengan irama sedih, yang disusul dengan
munculnya dua rombongan orang dari kedua sisi ruang besar,
semua menuju kedalam ruang besar itu.
Diam-diam Siauw Pek memasang mata. Di sebelah kiri, orang
yang berjalan dimuka rombongan ada seorang tua berusia lebih
kurang lima puluh tahun, bajunya biru, lengannya terlibat sepotong
kain putih. Dia mempunyai janggut yang panjang. orang yang kedua
berumur kira kira tiga puluh tahun, matanya besar, mukanya
persegi, dan wajahnya muram.
Yang ketiga ialah seorang nyonya muda, wajahnya tak terlihat
sebab dia menutupi mukanya dengan saputangan yang terang ialah
dia sangat berduka.
"Mungkin dialah nyonya Uh...." pikir Siauw Pek. Dibelakang
sinyonya ada enam atau tujuh orang dengan pakaian berlainan.
Disebelah kanan, rombongan dipimpin oleh seorang tua dengan
baju panjang kuning muda," mukanya panjang bagaikan "muka
kuda", sinar matanya tajam seperti " kilat berkelebat" sedangkan
kedua belah tangannya panjang luar biasa, hampir sampai
kelututnya. Dia diiringi oleh dua orang kacung berpakaian hijau,
yang satu membawa pedang, yang lain tongkat. Dua dua mereka itu
tampan- Dibelakang mereka ada seorang nona cantik dengan baju
biru muda. Dengan begitu maka mereka semua merupakan tiga rombongan,
yang sama-sama menghampiri ruang besar itu. Setibanya didepan
ruang, tetabuhan berhenti dengan tiba tiba. Dua orang nona dengan
baju putih lantas memutar tubuh, berlari kedalam ruang, untuk
mengambil tiga tabung bunga putih buat dibagikan kepada para
pemimpin dari ketiga rombongan itu, kemudian bertiga mereka ini
maju kedepan, guna memberi hormat. Habis menjura, ketiganya
dengan cepat berdiri tegak.
Si orang bertubuh besar dan bermuka panjang mirip kuda itu
melemparkan bunganya, sesudah itu ia menghadapi si orang tua
berjanggut panjang danputih disebelah kiri, sambil mengangguk
memberi hormat ia berkata: "Tak beruntung partai kami telah
mengalami bencana ini, hingga membuat kedua pocu banyak kesal
dan pusing. Untuk kebaikan pocu itu kami sangat bersyukur dan
berterima kasih".
"Berat kata katamu ini saudara siang", berkata si orang tua
berjanggut panjang sambil tersenyum, "justru akulah yang harus
berterima kasih sebab saudara sekalian memandang tinggi
kepadaku, karena mana senang aku meminjamkan ruangku ini
untuk upacara perkabungan- Tak berani aku menerima kata kata
banyak kesal dan pusing itu".
---ooo0dw0ooo--JILID 13 cie Tiat Eng menyela, katanya: "Sebenarnya ketua kami hendak
datang sendiri kemari, sayang ia sangat repot dengan urusan partai,
maka ia telah mengutus aku saja. ia memesan menyampaikan
hormat dan terima kasihnya kepada pocu berdua."
orang tua berjanggut panjang dan ubanan itu memberi hormat
serada mengucapkan terima kasih.
" Kapankah kiranya ketuamu akan datang?" tanya si muka seperti
kuda itu. "Sukar untuk menentukan, pocu," sahut Tiat Eng "Sekarang ini
partai kami kebetulan lagi berselisih dengan pihak Siauw Lim-sie,
benar soalnya soal kecil akan tetapi apabila pengurusannya tidak
sempurna, akibatnya itu bisa menjadi onar hebat.Jikalau saudara
Siang hendak bicara, silahkan bicara denganku saja." Si muka
panjang itu mengawasi kesegala penjuru ruang.
" orang-orang macam apakah itu yang tubuhnya ditutupi dengan
kain putih?" tanya dia kemudianMemang selain kedua peti mati, ditengah ruang besar itu pula
rebah beberapa mayat yang tubuhnya ditutupi cuma dengan kain
putih. "Sukar untuk menjelaskannya," jawab si orang tua ubanan- "
Umumnya merekalah anggota anggota partai partai besar."
Dengan kakinya, si muka panjang itu menyingkap kain putih
penutup satu mayat.
Siauw Pek menggunakan kesempatan itu untuk turut melihat
mayat itu seorang yang usianya belum tinggi, yang dadanya
ditancapkan sebatang pedang Kiu Heng cie Kiam.
"Dia ini murid bukan pendeta dari Siauw Lim sie," kata si muka
panjang. "Benar," kata si orang tua ubanan- "Pengetahuan saudara Siang
luas sekali hingga orang tak mudah menandinginya."
Kembali dengan kakinya, si muka panjang menyingkap tutup satu
mayat lainnya. Ia mengawasi, lalu ia kata: "Inilah seorang murid
dari Liong Hong Pang."
"Liong Hong Pang" ialah partai "Naga Burung Hong". (Burung
Hong - phoenix).
"Tidak salah " kata pula si orang tua ubanan- "Tidak kecewa
saudara Siang menjadi seorang ketua partai."
Agaknya si muka panjang itu bangga. Terus ia menyingkap tutup
mayat yang ketiga. Tetap ia menggunakan kakinya.
Siauw Pek melihat mayat itu bermuka hitam legam pakaiannya
hangus terbakar di sana sini, kecuali secabik potongan jubah di atas
perutnya. Didalamnya itupun nancap sebatang pedang Kiu Heng cie
Kiam "Mungkinkah dia ini seorang imam?" tanya si muka panjang.
Beberapa lama ia mengawasi, agaknya dia ragu-ragu. si orang tua
ubanan melengak.
"Bagaimana saudara Siang dapat tahu dialah Sam ceng ?"
tanyanya. "Sam ceng" ialah tri-tunggal dari Too Kauw. Inilah suatu sebutan
buat agama Nabi Loo cu (LaoTze).
Si muka panjang tertawa terbahak. agaknya dia puas sekali.
"Aku melihatnya dari robekan jubah di atas dadanya Benar,
bukan ?" sahutnya ganti menanya.
Memang, sepotong kain yang menutup dada mayat itu adalah
sobekan jubah imam.
"Benar," menjawab siorang tua ubanan- "Dia ini murid dari Kun
Lun Pay." "Eh puco yang baik, mengapa kau ketahui itu?" menegaskan
simuka panjang.
"Aku tahu karena aku melihat dari senjatanya."
Kembali simuka panjang menyingkap tutup mayat yang keempat.
"Dia ini murid Pat Kwa Bun " katanya setelah mengawasi sejenak.
Menyusul kata-kata simuka panjang ini, sesosok tubuh terlihat
melompat menghampiri mayat itu, setelah diamat amatinya, dia
segera mencabut pedang Kiu Heng cie Kiam didada mayat itu.
orang yang berlompat ini adalah seorang kate kecil yang
membawa sepotong tiatpay di punggungnya dan sebuah golok
pendek tergantung dipinggangnya. Simuka panjang berpaling,
keningnya berkernyit.
"Saudara menjadi apa didalam Pat Kwa Bun?" sapanya.
"Aku orang she ouw," sahut orang itu tawar. Dia bukan
menjawab hanya memberitahukan she nya.
si orang tua ubanan lekas lekas menyela: "Tuan tuan belum tahu
satu sama lain" Mari aku perkenalkan-" ia menunjuk simuka
panjang. "Inilah saudara Siang put tong, ketua Thay Im bun, yang
namanya kesohor karena kepandaian ilmu tongkat bergabung ilmu
pedang." "oh, nama yang telah lama aku dengar " berkata orang she ouw
yang kate kecil itu.
si orang tua menunjuk siorang kate yang membawa tiatpay pada
punggungnya. Katanya: "Inilah saudara oue Bwee, anggota
keamanan dari Pat Kwa Bun."
Mendengar itu, dengan dingin Siang put tong berkata: "sering
aku mendengar didalam dunia Rimba Persilatan orang
membicarakan nama saudara ouw, hari ini kita dapat bertemu aku
merasa beruntung." Tiba-tiba ia merandak sejenak. kemudian
menanya: "Apakah ketua saudara tidak ikut datang?"
"Suhengku sudah lama tidak muncul lagi dalam dunia Kang ouw,"
sahut ouw Bwee tawar. Jikalau saudara Siang hendak menunjukkan
sesuatu harap tunjukkan saja kepadaku." ouw Bwee ini ialah yang
bergelar si Tua Terbang.
"Aku kenal ketuamu itu," berkata Siang Put Tong. "Dulu selagi
malam-malam menyerbu Pek Ho Po, aku pernah bertemu satu
kali..." Selama itu Siauw Pek terus memasang mata dan telinga, ia
tertarik mendengar kata kata Siang PUt Tong itu. Tiba tiba ada yang
menolak punggungnya, hingga tubuhnya terjerumus. Ia berdiri
didekan Nyonya Uh, tanpa dapat dicegah, tubuhnya membentur
sinyonya. Ia terperanjat. Lekas lekas menenangkan dirinya.
Nyonya Uh menoleh, dengan sinar mata tajam dia mengawasi si
anak muda, sepasang alisnya berdiri. Agaknya ia hendak membuka
mulutnya, tetapi segera sudah terdengar pula suaranya ouw Bwee
suara yang dalam: "Itulah peristiwa belasan tahun yang lampau.
Selama belasan tahun itu, suhengku tak pernah lagi meninggaikan


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pat Kwa peng."
ouw Bwee memanggil "suheng", kakak seperguruan kepada
ketuanya itu. Pat Kwa peng adalah tempat kedudukan Pat Kwa Bun.
Karena kata-kata ouw Bwee itu. batallah si nyonya berbicara.
Sementara itu Siang PUt Tong berkata pula: "Ketua kamu itu
bersemangat besar, pastilah dia sedang menyekap diri untuk
mempelajari suatu kepandaian yang istimewa, untuk persiapan nanti
setelah tiba saatnya untuk muncul pula guna menggemparkan dunia
Kang ouw."
ouw Bwee tersenyum, dia tak menjawab. Sebaliknya dia menoleh
kepada siorang tua berjanggut panjang dan ubanan.
"Saudara Ma," tanyanya, " apakah saudara pernah mengirim
orang membuat penyelidikan-" orang tua yang ditanya
menggelengkan kepala.
"Sungguh malu saudara ouw," sahutnya. "Aku telah mengirim
tiga belas orangku akan tetapi selama satu bulan lebih kami belum
juga berhasil memperoleh suatu keterangan-.."
"Satu hal aku tidak mengerti," berkata ouw Bwee, si Tua
Terbang. " orang seperti hendak memusuhi kita kaum Rimba
Persilatan- Kita dari pelbagai partai agaknya hendak dijadikan
sasaran pembalasan sakit hati pihak sana itu. Setelah memikir lama,
aku cuma melihat kemungkinan-.."
Kata kata ouw Bwee terputus oleh satu suara keras yang
datangnya dari arah luar: "Siapa bilang pintoo tidak boleh melihat
lihat" Bagaimanapun pintoo mesti masuk kedalam" menyusul itu,
orang banyak mendengar suara seperti robohnya sesosok tubuh
orang. si orang tua berjenggot panjang segera berpaling kepada
seorang bertubuh besar bermuka persegi disisinya, seraya berkata.
"Jiet te, coba kau pergi lihat Yang datang itu orang gagah dari
mana, kenapa dia demikian galak?"
orang yang dipanggil "jie tee" itu adik yang nomor dua,
menyahuti. Akan tetapi belum lagi kakinya digerakkan untuk
bertindak, orang yang dikatakan galak itu yang tadi menyebut
dirinya pintoo, kata kata "aku" untuk murid Too Kauw, sudah
muncul dengan tindakannya yang lebar. Dia benar seorang murid
San ceng, yang mengenakan jubah dan menggantungkan pedang
dipinggangnya. Memang kaum Too Kauw yang paham silat semua
menggunakan pedang sebagai senjatanya. Melihat imam itu, ouw
Bwee tertawa terbahak bahak. "Aku kira siapa, kiranya kau si imam
hidung kerbau," sapanya nyaring. Memang ada suatu kebiasaan
bahwa seorang imam diejek "si hidung kerbau".
"Saudara ouw kenal imam itu?" tanya orang tua berjanggut
panjang. "Dialah sahabatku dulu," jawab Hui Siu. "Kita sudah berkenalan
dua puluh tahun dan telah juga bertempur belasan kali."
"Jikalau begitu, lekas saudara kenalkan aku dengannya" kata si
orang tua agak terburu. "Seorang tetamu yang dihormati tak dapat
disambut secara sembrono "
"Baiklah" jawab ouw Bwee yang terus membuka tindakan lebar
memapak si imam sambil berkata. "Eh, imam tua hidung kerbau,
tempat ini bukan tempat dimana kau dan mengganas." Tapi, habis
berkata begitu, dia menunjuk kepada si orang tua berjanggut
panjang untuk memperkenalkan- "lnilah Toapocu Ma Goan Hok dari
Hok Siu Po."
"Toa po cu" ialah "tuan rumah yang besar" tertua.
Ma Goan Hok merangkapkan kedua tangannya, memberi hormat.
"Too heng, terima kasih banyak atas kunjungan tooheng ini,
katanya." Imam itu juga merangkapkan tangannya.
"Terima kasih atas pujian pocu," sahutnya. "Sudah lama pintoo
mendengar nama besar pocu bagaikan guntur menulikan telinga,
sekarang kita dapat bertemu, sungguh beruntung "
ouw Bwee segera menunjuk orang yang bermuka persegi.
:"inilah jie pocu Ma Goan Siu dari Hok siu Po " ia memperkenalkan
lebih jauh. Jiepocu, ialah tuan rumah yang nomor dua.
Kedua pihak saling memberi hormat. Ma Goan Siu batuk batuk
dua kali. "Dapatkah kami mengetahui gelar too- heng ?" dia bertanya.
"Too heng", kakak dari golongan Too Kwan adalah panggilan
untuk seorang imam.
"Pintoo ialah Kim cong," si imam menjawab.
Tiba tiba Siang Put Tong menyela : "Apakah Tootiang murid dari
Bu Tong Pay?"
"To tiang" juga panggilan lain untuk imam.
"Tidak salah", sahut Kim cong. "Mohon tanya nama sicu?"
"Siang Put Tong," jawab Put Tong, dingin. "Satu nama yang tidak
masuk buku, mungkin too tiang tidak kenal "
"oh, maaf, maaf," berkata si imam lekas lekas. "Kiranya ketua
dari Thay Im bun "
"Tootiang mengenal aku, itulah bukti bahwa pengetahuan
tootiang luas sekali," berkata ketua Thay Im bun itu. Dia puas.
Berkata pula Kim cong. "Seorang yang ternama sekali, siapakah
didalam dunia Kang ouw yang tidak kenal ?"
"Tooheng, silakan masuk." Ma Goan Hok mengundang.
Siang Put Tong tetap membawa sikap yang sombong, dia tidak
segan segan dengan tindakan lebar dia kembali kedalam ruang.
Selagi berjalan, tiba tiba ouw Bwee menghampiri kedua peti mati,
untuk mengawasi dengan teliti. ia melihat didepan peti yang kanan
diletakkan sebuah lengpay dengan tulisan yang berbunyi "Jenazah
Uh Tay Hong, ketua cabang pusat wilayah Kang lam dari cit ceng
Hwee" Ia mengerutkan keningnya. Kemudian diawasinya peti mati
yang disebelah kiri, yang juga ada lengpaynya, "yang bertuliskan cu
Eng dari Thay Im bun." Membaca itu, tiba tiba jago tua ini menjadi
panas hati. " celaka betul Pengaruh uang, oh, pengaruh uang " serunya.
Ma Goan Siu, yang berjalan disebelah belakang, menjadi heranSegera dia berpaling.
"Ada apakah, saudara ouw ?" dia bertanya.
Dari berseru gusar, si Tua Terbang tertawa terbahak2. Dia
menjawab : "Kami dari Pay Kwa Bun dengan Hok Siauw Po
persahabatan kita bukannya baru. Persahabatan kita tak dapat
dibandingkan dengan kit seng Hwee tetapi toh jauh lebih erat
daripada Thay Im Bun Mengapa selain orang orang cit Seng Hwee
dan Thay Im Bun, mayat mayat dari lain lain partai dimasukkan peti
mati ?" Mendengar itu, Ma Goan Siu berkata cepat: "Saudara ouw, harap
jangan salah mengerti. Jenazah saudara tongcu Uh Tay Hong ini
telah dibawa kemari oleh cit seng hwee cabang pusat kang lam..."
"Bagaimana dengan jenazah pihak Thay Im Bun itu, adakah
bawaan dari lain tempat?" tanya lagi ouw Bwee.
"Bukan," sahut Goan Siu.
"Habis, apakah Kok siupo hanya mempunyai sebuah peti mati ?"
Berkata begitu, si Tua Terbang tertawa dingin.
Wajah Ma Goan Siu berubah. Katanya : "Kami pihak Kok siupo
bukanlah tempat menerima dan mengurus mayat orang, maka itu
buat apa kami mesti menyiapkan banyak peti mati?"
"Jikalau peti mati tidak ada, toh selayaknya apabila mayat
dibungkus dengan kain putih. Kenapa cuma pihak Thay Im Bun
yang diistimewakan dan yang lainnya diabaikan?"
"Saudara ouw, apakah artinya ini ?" tanya Goan Siu. "Sungguh
aku tidak mengerti..."
"sangat sederhana " ouw Bwee tertawa pula, tetap nadanya
dingin. "Saudara Ma mengurus mayatnya pihak Thay Im Bun
dengan diberi peti tetapi mayat pihak kami dari pihak Pat kwa Bun
dan lainnya digeletakkan saja dilantai, cuma tubuhnya dikerobongi
sehelai kain putih Bukankah itu perlakuan berat sebelah yang nyata
sekali" Apakah didalam hal ini aku perlu membuka suara bagaikan
tambur ditimpali gembreng ?" Sampai di situ, Ma Goan Siu pun
tertawa dingin.
"Kami dari pihak Hok siu Po, kami biasa bersahabat dengan
pelbagai partai. Buat kami, merawat mayat atau tidak juga sama
saja." "Bukan niatku menegur," kata ouw Bwee, "aku hanya merasa
inilah perlakukan membeda bedakan, perlakuan yang akan
memperkecil hati orang orang kosen diseluruh negara, bahkan ini
merugikan nama besar Hok Siu Po."
Ma GOan siu tetap bersikap dingin. Katanya pula : "Kami pihak
hok siu kami memandang kau, saudara ouw, sebagai sahabat. Kami
sekali bukannya takut terhadap nama besarmu Jikalau semua orang
yang datang kemari bersikap seperti kau ini, habislah kami semua,
mana kami mempunyai muka untuk menaruh kaki di muka bumi ini
?" Sepasang alis ouw Bwee bangun berdiri, dia agaknya hendak
meluapkan kemurkaannya, tetapi segera dia dapat menindasnya.
Sebaliknya dia lalu tertawa tergelak.
"Maaf, saudara Ma " katanya. "Aku hanya bertanya sambil lalu,
harap tidak saudara pikirkan-"
Berkata begitu, segera dia meneruskan bertindak kedalam.
Ma Goan Siu mendongkol tetapi ia tidak berani umbar itu. Iapun
bertindak masuk.
Ketika itu, semua orang sudah berkumpul di dalam ruang, duduk
menghadapi sebuah meja besar.
ouw Bwee melihat orang yang duduk dikursi pertama ialah Siang
Put Tong, hatinya panas pula. tapi ia coba menguasai dirinya, tapi
tidak urung, didalam hati, ia berpikir : "Heran, nama Thay Im Bun
didalam kalangan Rimba Persilatan tidak terlalu kenal dan Siang Put
Tong juga tidak ternama, mengapa Ma Goan Siu serta saudara
bersikap begini menghormat kepadanya ?"
Oleh karena kemendongkolan itu, walaupun dia membungkam,
wajah situa Terbang berubah. Ma Goan Ho melihat itu, hatinya
bercekat. Ia kuatir nanti terbit onar. Maka lekas ia bangkit seraya
berkata : "Saudara ouw, mari duduk disini "
ouw Bwee bersuara "Hm" perlahan sekali, ia pura-pura tidak
mendengar perkataan tuan rumah, ia terus duduk disebelah Kim
cong Tojin. Goan Hok merasa tersinggung akan tetapi dia tidak
memperlihatkannya, sikapnya tenang saja. ia dapat menguasai diri,
tidak seperti Goan Siauw, si adik.
"Saudara-saudara," terdengar suara Siang Put Tong : "Aku ingin
bicara, apakah saudara-saudara mau mendengarnya ?"
"Saudara siang mau bicara apa, silahkan " berkata Kim cong.
Imam ini,jago Bu Tong pay, biasa memandang rendah lain-lain
partai yang termasuk partai cabang. Dia bisa memandang tinggi
partainya sendiri, yang termasuk partai besar dan murni. Ketika dia
bicara, nadanya tawar.
"Maksudku yang rendah," berkata siauw Put Tong tawar, "aku
berpikir meminta saudara-saudara memilih seorang kepala yang
ilmu silatnya liehay untuk mengepalai upacara disini."
"Pintoo pikir orang itu tak usah repot-repot dipilih lagi," kata Kim
cong Tojin. "Baik Siang ciangbun saja yang mengetahuinya."
"ciang bun atau lengkapnya "ciang bunjin" ialah ketua partai.
ciangbun biasa dipakai sebagai panggilan : ketua, atau tuan ketua.
"Akupun pikir begitu," ouw Bwee turut mengutarakan pikirannya.
siang Put Tong mengawasi tajam dua orang itu. "Apakah saudara
saudara bicara dengan setulus hati ?" dia bertanya.
"Itulah soal lain," sahut ouw Bwee. "Kami bicara cuma
disebabkan mendengar nama besar ketua,prihal kepintaran dan
kepandaian tuan, belum pernah kami melihatnya, jadi kalau
dikehendaki suara hati kami yang setulusnya, itulah kehendak. atau
permintaan, yang keterlaluan-"
Siang Put Tong batuk batuk dua kali.
"Saudara ouw memikir buat belajar kenal bukan ?"
"Jikalau saudara Siang sudi memberi pelajaran, aku suka sekali
menerimanya," sahut si Tua terbang.
siauw Pek bertiga mendengar dan melihat semua, karena
merekapUn turut masuk kedalam ruang itu, cuma mereka tidak
dapat tempat duduk. Mereka tidak memperhatikan urusan itu sebab
mereka datang untuk mencari tahu segala sesuatu yang mengenai
uruasn mereka sendiri, urusan coh Ke Po.
Sampai disitu, tiba-tiba cio Tiat Eng campur bicara.
"Saudara siang, saudara ouw " katanya. "Harap sabar sedikit
Bagaimana kalau saudara-saudara dengar beberapa kata-kataku ?"
"Bagaimanakah pendapatmu, saudara $cio ?" tanya Siang Put
Tong. "Kita berkumpul di Hok Siupo, ini untuk menyelidiki urusan Kiu
Heng cie Kiam." berkata orang she cio itu "sekarang ini kita belum
mendengar apapun juga, lalu kita hendak saling bunuh, bukankah
itu sangat tidak berguna ?"
"Habis, bagaimanakah pikiran saudara ?"
"Kita semua adalah orang orang yang sedang menerima tugas,"
kata Tiat Eng pula, " apabila kita tidak berhasil dengan penyelidikan
kita, selain tidak dapat pulang untuk bertanggung, juga kita bakal
ditertawakan-Jikalau kemudian kita dijadikan buah pembicaraan
dalam dunia Kang ouw, tidakkah itu akan merusak sangat nama kita
?" "Bicara memang sangat mudah " Kim ciong Toosu turut bicara.
"Paling benar kau utarakanlah rencanamu"
Tiat Eng sabar akan tetapi hatinya panas juga. Dia merasa
sangat tersinggung.
"Bu tong pay terpuji sebagai suatu partai besar mengapa
tootiang bicara begini rupa?" dia menegur, wajahnya merah padam.
"Hei kau mencaci siapakah?" menegur Kim ciong. Dia
menganggap kata kata orang she cio ini sebagai dampratan"Jikalau aku memaki kau, lalu bagaimana ?"
Heng Seng tongcu ini mau jadi juru pemisah, tapi tak disangka,
dia justru terlibat sendirinya.
Ma Goan Hok bingung sekali, lekas lekas ia bangkit.
"Saudara tenang " dia berkata. "Mari dengar kata kataku siorang
she Ma. Sebenarnya akulah yang keliru, yang tak menyediakan lebih
banyak peti mati untuk merawat para korban itu, hingga hati
saudara saudara terasa pedih. Sebenarnya Hok Siu po memandang
sama semua saudara kaum Sungai Telaga. Kami tidak membeda
bedakan. Sekarang ini justru aku amat berterima kasih karena para
korban telah dibawa kemari, karena itulah bukti cinta kasihnya
saudara saudara terhadap kami. Mohon maaf buat segala kelalaian
kami " Berkata begitu, tuan rumah ini memberi hormat pada para
hadirin- Sebenarnya ouw Bwee dan Kim ciong tak puas terhadap pihak
Hok siu Po karena perbedaan pelayanannya terhadap para korban
itu tapi karena mereka tak mau bentrok dengan keluarga Ma itu,
mereka melampiaskannya terhadap pihak cit Seng Hwee dan Thay
Im bun sekarang menyaksikan sikap ma Goan Hok. mereka malu
hati. Kim ciong membalas hormat seraya berkata:
"Kami tidak menyesaikan kedua pocu, bahkan kami bersyukur
bahwa pocu telah sudi ketempatan mayat murid murid partai kami."
Ma Goan Hok berkata pula: "Sekarang ini aku sudah
memerintahkan orang buat mencari peti mati sebanyak bisa didapat,
maka sebentar setelah memperoleh, kami akan rawat baik baik
semua mayat mayat ini."


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siang Put Tong yang berdiam sejak tadi itu, tertawa kering.
"Kiranya kau berselisih karena urusan ini" katanya mengejek. ia
melirik pada ouw Bwee lalu dia menyambung, "sebetulnya aku tidak
suka sembarang bicara, atau kalau aku bicara mesti ada buktinya.
Saudara ouw gusar terhadapku, baiklah, harap saudara jangan
bicara lebih banyak. Kita atur begini saja:
Masing masing kita memberi satu pertunjukkan, lalu
pertimbangannya kita serahkan kepada para hadirin, mereka yang
menilainya bagus buruknya." ouw Bwee tak mau menunjukkan
kelemahannya sendiri.
"Saudara siang satu ketua partai, silahkan kau yang memulainya"
katanya. "Tak biasa aku berlaku segan, baiklah, aku akan lebih dulu
memperlihatkan permainanku yang buruk."
Berkata begitu, ketua Tay im bun meluruskan tangannya,
mengangkat cawan didepannya.
Para hadirin memasang mata. cawan teh itu diletakkan segera di
telapak tangan, airnya tidak tumpah.Justru air itulah yang aneh
perlahan lahan air itu beku bagai es.
Siang Put Tong tertawa lebar, agaknya dia puas dan bangga. Dia
membalikkan cawan teh hingga teh es itu jatuh kelantai. Mengenai
lantai es itu pecah berantakan.
"Telah aku pertunjukkan kepandaianku yang buruk" akhirnya dia
kata, tertawa. "Kini persilahkan kau, saudara ouw." Hati ouw Bwee
gentar. "Tidak aku sangka tenaga dalamnya begini liehay," pikirnya.
Tentu saja, tak dapat dia mundur." Dengan terpaksa, dia berkata.
"Saudara siang tenaga dalammu amat mahir, aku kuatir tak
sanggup menandinginya. Baiklah, aku juga mau pinjam air teh
untuk mempertunjukkan keburukanku."
Berkata begitu, si Tua Terbang meletakkan tangannya diatas
cawan teh. ia menekan-Sambil berbuat begitu, diam diam dia
mengarahkan tenaga dalamnya.
Dengan perlahan lahan, cawan itu melesak masuk kedalam meja,
kemudian menjadi rata dengan permukaan meja
Menyaksikan pertunjukkan itu, Ma Goan Hok tertawa.
"Saudara saudara, kamu memiliki masing masing kepandaianmu
yang istimewa" katanya. " Dengan begini maka terbuka lebarlah
mataku " Walaupun demikian, ouw Bwee tahu bahwa dia kalah
seurat. Siang Put Tong tertawa.
"Saudara ouw, sungguh lihay kau " dia memuai.
"Inilah kepandaian yang tidak berarti, aku cuma menyebabkan
buah tertawaan saja," berkata si Tua Terbang.
"Sudahlah " kata Put Tong kemudian- "Yang penting sekarang
ialah bagaimana kita harus berdaya mencari ciu Heng cie kiam "
ciu heng cie kiam. Pedang sakit hati itu, telah ditakuti oleh Put
Tong sekalian, baik pedang nyama upun pemiliknya .
"Aku telah mengirim delapan orang ku pergi melakukan
penyelidikan," Ma Goan Siu memberitahukan.
"Apakah telah ada hasilnya ?"
"Menyesal, belum. ciu heng cie kiam mirip dengan apa yang
dikatakan orang, naga terlihat kepalanya, tidak ekornya. Dia tak
dapat diterka dimana adanya. Sebaliknya, siapa pernah melihatnya,
dia pastilah hilang jiwanya "
" Tentunya dia lihay sekali, kalau tidak. tidak nanti dia tidak
melihat mata pada semua partai di wilayah kang lam ini " kata siang
Put Tong pula " Hanya masih menjadi suatu pertanyaan, dia sendiri atau
berkelompok..." kata Tiat Eng.
"Aku kira bukan satu orang," kata Tiat Eng lagi. "Dia cerdik
sekali." "Jka dia berani menunjukkan diri, biarpun dia lihay berlipat
ganda, pasti dia tidak akan sanggup menghadapi semua partai."
"Pintoo mempunyai satu tipu untuk memancingnya keluar," Kim
cung Toojin turut berbicara.
"Apakah itu tooheng?" tanya Put Tong.
"Kita sukar mencarinya, maka itu, mengapa kita tak menjebaknya
" Biarlah dia datang sendiri masuk kedalam jaring."
"Perangkap apakah itu ?"
"Aku telah memikir dayanya, hanyalah aku masih ragu ragu akan
hasilnya..." menjawab si imam, matanya berputar putar. Ketika ia
melihat Siauw Pek bertiga, tiba tiba ia berhenti bicara. Inilah karena
ia mendapatkan ketiga orang itu sedang memasang telinga.
Siang Put Tong liehay sekali. Dia melihat gerak gerik imam itu,
dia menerka tentu ada sebab sebabnya. Maka dia berpaling kepada
ciu Tiat Eng. "Saudara ciu, apakah mereka semua anggota cit Seng
Hwee?" tanyanya.
"Benar, saudara Siang. Ada titah apakah untuk kami?" sahut
tongcu dari cit Seng Hwee.
" Dapatkah kau menitahkan mereka keluar dulu dari ruangan
ini?" "Dapat," sahut Tiat Eng, terus dia mengulapkan tangan terhadap
Siauw Pek. Anak muda itu segera memutar tubuhnya, untuk
berjalan keluar.
"Tunggu" ouw Bwee mencegah sambil dia bangkit. Siauw Pek
memutar pula tubuhnya, ia berdiri diam, kepalanya tunduk. ouw
Bwee menghampiri pemuda itu.
"Siapakah kau ?" tanyanya. "Rasanya aku mengenal kau.
Dimanakah kita pernah sua ?"
"Aku tak kenal kau," sahut Siauw Pek. Ia menggelengkan kepala.
"Ingatan aku melebihi kebanyakan orang" kata siorang tua
dingin. "Tak mungkin aku salah ingat" Dia menatap tajam muka
orang. Mendengar suara si Tua Terbang, Siang Put Tong turut menatap.
Ia melihat tegas orang tampan bertubuh kekar. Diam diam ia kagum
sekali. Katanya di dalam hati, "sungguh suatu bakat bagus untuk
belajar silat"
oey Eng dan Kho Kong mendampingi ketuanya, mereka bersiap
sedia turun tanganSiauw Pek berdiri tegak, kepalanya tunduk terus, matanya
dipejamkan- ia menerka ancaman bahaya, tetapi ia bersikap tenang.
ouw Bwee jalan mengelilingi sianak muda dua kali putaran"Anak kau she apakah?" dia tanya.
"she coh" sahut si anak muda.
"she coh?" mengulangi jago tua itu, matanya mengimplang.
"Haha Aku ingat Ketika kita bertemu dulu kami masih seorang bocah
cilik Iyakan...?"
Siauw Pek menggelengkan kepala. "Aku belum pernah bertemu
dengan tuan-" Hut Siu tertawa dingin.
"Seumur hidupku aku telah menjelajah dunia Kang ouw, mana
dapat aku membiarkan mataku ini kemasukan pasir?" katanya.
"Bukankah kau ini turunan dari coh Kam Pek ketua dari Pek Ho Po
?" Mendengar disebutnya nama Pek Ho Po, semua hadirinpun
terkejut. Mereka masih ingat baik sekali peristiwa yang hebat itu.
Bahkan banyak diantaranya turut di dalam rombongan penyerbu.
Tak mudah melenyapkan kesan.
"Bukankah turunan si orang she coh telah mati di Seng Su Kio?"
Siang Put Tong tanya.
"Aku hadir di tempat peristiwa ketika itu" kata ouw Bwee pula.
"Siapa bilang dia mati dijembatan maut?"
"Semua orang Kang ouw ketahui itu." kata Put Tong.
"Aku justru melihat dia berjalan d iatas jembatan dan tak
jatuh..." ouw Bwee memastikan- Terus dia menoleh kepada Kim
cong Toojin, kemudian meneruskan kata katanya.
"Tatkala itu tooheng juga hadir bersama. Apakah tooheng
melihat anak coh Kam Pek tergelincir jatuh dari jembatan itu?"
"Benar seperti katamu, saudara ouw, pintoo tidak melihat bocah
itu jatuh tergelincir kedalam jurang." sahut si imam. Seng Su Kio
tertutup kabut tebal, selama seratus tahun entah berapa banyak
jago Rimba Persilatan yang telah mengubur dirinya didalam jurang
disana. Pada waktu itu, anak coh Kam Pek belum mengerti ilmu
silat, mana bisa dia melintasi jembatan" Menurut dugaanku, dia
tentu telah tergelincir masuk kedalam jurang."
"Tapi pandanglah ini" ouw Bwee masih berkukuh. Dia tertawa
hambar. "Lihat, dia mirip coh Kam Pek atau tidak ?"
Kim cong bangkit, ia bertindak menghampiri si anak muda. Tiba
tiba dia menyambar tangan kanan anak muda itu. Siauw Pek
menarik tangannya.
Si imam heran sekali, sampai dia tercengang. orang bergerak
gesit luar biasa.
"Dia mencurigakan, dia harus diperiksa" kata Siang Put Tong,
yang terus menoleh pada cie Tiat Eng, untuk bertanya. "Dia menjadi
anggota cit Seng Hwee, saudara tentu ketahui asal usulnya bukan?"
"Jumlah anggota kami banyak sekali," sahut tongcu itu. "Dia
berasal dari cabang pusat Kang lam, mungkin Nyonya Uh mengenal
tentang dirinya." Dia segera berpaling kepada nyonya janda itu dan
bertanya: "Apakah nyonya kenal dia ?" Nyonya Uh mengawasi
Siauw Pek. Diluar dugaan, diantara Kim cong dan si anak muda telah terjadi
pertempuran, yang berat sebelah. Sebab si imam penasaran gagal
mencekal tangan Siauw Pek. segera dia mengulangi menyambar
pula, ketika percobaan yang kedua kalinya. selama itu, Siauw Pek
terus mengelut diri. Lalu, karena mendongkol si imam menyambar
terus menerus, dia menggunakan capjie ciauw Kim na ciu, ialah ilmu
mencekal Dua belas Jurus.
oey Eng dan Kho Kong terus berdiam diri. Mereka mentaati pesan
ketuanya untuk tidak turun tangan kecuali sudah sangat terpaksa.
"Apakah nyonya kenal dia ?" Siang Put Tong pun bertanya
karena si nyonya hanya mengawasi saja.
"Aku terhalang imam itu," sahut Nyonya Uh. Kim ciong
mengalinginya. "Nanti aku cegah mereka," kata Put Tong yang terus lompat
sambil berseru. "Too heng, tahan " sedang kedua tangannya
dipentang, untuk menghalang.
Kim ciong menghentikan serangannya. cegahan Put Tong
menyenangkan hatinya. Dia memang lagi bingung sebabtakadajalan
buat mundur teratur.
"Nyonya, silakan lihat " kata Put Tong sambil bergerak kesisi.
Nyonya Uh memandang dengan leluasa kepada si anak muda,
yang tidak terhalang siapa juga.
"Aku tidak kenal dia." sahutnya sejenak kemudian- Dia pun
menggeleng kepala. cie Tiat Eng berlompat kepada si anak muda.
"Bagus, bocah" bentaknya. "Betapa berani kau menyamar
sebagai anggota cit Seng Hwee" Siang Put Tong menggerakkan
tangan, mencegah tongcu itu.
"Percuma kau bergusar, saudara cie " berkata ketua Thay Im Bun
ini. "Sekarang lebih baik kita menanya jelas dahulu kepadanya." Tiat
Eng masih gusar, dia menghunus pedangnya.
"Tidak perduli dia siapa, sebab dia memalsukan anggota partai
kami, kematianlah bagiannya " katanya sengit.
Berkata begitu, tongcu ini berpaling. ia tidak melihat Nio Su Heng
si hu hoat, pelindung hukum cit Peng Hwee.
Ini disebabkan karena orang nio itu, yang melihat gelagat buruk.
diam-diam sudah mengundurkan diri.
"Kau berani menyebut shemu. Kau betul berani " berkata Put
Tong kepada si anak muda. "sekarang aku tanya kau, beranikah kau
menyebut juga namamu ?"
Siauw Pek melihat sekelilingnya, sinar matanya tajam sekali.
"Namaku Siauw Pek " ia menjawab, berani. "Aku coh Siauw Pek "
"coh siauw Pek... coh Siauw Pek..." ouw Bwee berkata kata
seorang diri, perlahan-Tapi tiba-tiba, dia menghunus pedang
pendeknya, untuk menghadapi anak muda itu: "Kau apanya coh
Kam Pek ?"
Pertanyaan itu membuat ruang sunyi sekali sampai terdengar
suara napas orang. Semua diarahkan kepada anak muda itu, semua
heran, semua menantikan jawabannya. Siauw Pek tetap membawa
sikapnya tenang dan agung.
"Sudah pastikah tuan-tuan ingin mengetahui siapa aku ?" ia
tanya kepada para hadirin- Ia menatap mereka dengan sinar mata
bengis. "Bukan hanya kami disini," sahut Siang Put Tong, "semua kaum
Rimba Persilatan juga sama ingin mengetahuinya "
Siauw Pek segera menjawab, tanpa ragu-ragu : "coh Kam Pek
ialah ayahku " Siang Put Tong melengak. begitupun para hadirin
semuanya. "Benar benarkah kau anaknya coh Kam Pek ?" kemudian Put
Tong menegaskan- Dia mendengar nyata setiap kata kata tetapi ia
masih sangat ragu ragu.
Sebelum menjawab, ouw Bwee telah menyela. "Benarkah kau
tidak tergelincir mampus di dalam jurang dijembatan maut itu ?"
suaranya sangat dingin- Siauw Pek memandang lagi kesekitarnya,
dengan sabar ia menyingsatkan bajunya yang panjang untuk
menghunus pedangnya. Setelah itu, ia berkata dingin: "Tidak niatku
membinasakan orang baik baik. Tapi diantara kami kebanyakan
tentulah ada orang orang yang dahulu turut menyerbu Pek Ho Po,
maka mengingat pepatah " Kutangang darah bayar darah hari ini
aku hendak membuka pantangan membunuh "
"Kukira tidak mudah " ouw Bwee mengejek. Dia mengangkat
tangannya kebelakang, guna menurunkan Pat Kwa Tiatpay,
senjatanya yang istimewa itu. orang tua ini bicara besar akan tetapi
didalam hati, tak berani dia memandang ringan kepada si anak
muda. Kim ciong Tojin juga menghunus pedangnya.
"Bagus" serunya. "Hari ini kami hendak mewakilkan kaum Kang
ouw menyingkirkan satu ancaman bahaya yang tersembunyi "
Dia mengatakan : " ancaman tersembunyi" sebab Siauw Pek
masih sangat muda dan belum dikenal siapa juga, kecuali baru pada
detik ini. Menyaksikan perubahan suasana itu, oey Eng dan Kho
Kong segera menyiapkan senjatanya masing masing. Siauw Pek
telah memperkenalkan dirinya, maka mau tak mau mereka harus
menghadapinya. Sekonyong konyong Ma Goan Hok mengangkat kepalanya, terus
dia mengeluarkan seruan yang nyaring dan panjang, hingga
suaranya itu mendengung telinga para hadirin.
oey Eng menerka bahwa orang ini memberi isyarat guna
mengumpulkan anak buah Hok Siu Po. ia percaya, segera mereka
bertiga bakal dikurung musuh. Tapi ia melihat ketuanya tetap berdiri
tenang, tanpa bergerak tanpa bersuara, iapun berdiam, cuma diam2
ia waspada. Menyaksikan sikap si anak muda, Siang Put Tong jadi berpikir.
"TUantuan, sabar dulu..." ia mencegah ouw Bwee dan Kim ciong.
ia menatap pula si anak muda, terus ia menanya tenang : "Aku
masih hendak menanyakan sesuatu, entah coh siauw pocu sudi
menjawab atau tidak "..."
sekarang ia memanggil "Siauwpocu", tuan ketua muda (dari coh
Kee Po) "Jangan kau mencoba memandang panas hatiku " kata siauw
Pek, keren. "Aku ingin lihat dulu urusan apa itu yang hendak kau
tanyakan "
"Hendak aku tanyakan apakah siu Heng cie Kiam itu karyamu


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang istimewa ?" tanya Siang Put Tong.
"Bukan" jawab Siauw Pek, cepat dan tegas. "Didalam dunia ini
pastilah bukan hanya satu keluargaku yang tercelakai secara kejam
itu Dan aku percaya, sakit hati siu Heng cie kiam tentulah melebihi
sakit hati keluargaku " Siang Put Tong heran dan kagum.
Anak muda ini tenang dan berkeberanian besar sekali. Dia bicara
keras dan bengis tetapi wajanya tidak sebengis suaranya itu.
Wajahnya agung sedikitpun tak sombong. Karena ini ia menjadi
ragu: Mungkinkah anak ini liehay kepandaiannya "
Dan juga ouw Bwee dan Kim ciong Toojin, orang orang ulung
kaum sungai telaga, menjadi ragu dan curiga. Sikapnya putra Coh
Kam Pek ini amat mengesankan.
oleh karena kedua belah pihak itu yang satu tenang, yang lain
ragu ragu, keduanya sama sama berdiam saja.
Akhirnya Kho Kong yang kalah sabar. ia telah bersiap siap
bersama oey Eng ia merasa sudah menunggu lama sekali, hingga
tak dapat ia mengendalikan lagi hatinya. Demikianlah, di luar tahu
ketuanya, ia berseru sambil berlompat menerjang ouw Bwee
dengan poan koan pit, sepasang senjatanya yang mirip alat tulis itu
pit. Itulah senjata istimewa untuk menotok jalan darah. ouw Bwee
waspada, apa pula penyerang nyapun berseru. ia menangkis
dengan Tiatpay, sambil menangkis, ia membacok. ia memegang
tiatpay dengan tangan kiri dan golok pendek dengan tangan kanan.
Memang lazimnya ditimpali dengan golok. bahkan habis menangkis
dan membacok itu, ia terus mengulangi bacokannya itu dua kali
saling susul Mau tidak mau, Kho Kong terpaksa mesti membela diri sambil
mundur. Siauw Pek tidak mencegah tindakan kawannya itu, ia hanya
memasang mata. Dilihatnya ilmu golok ouw Bwee liehay sekali, dan
kalau Kho Kong didesak terus, itulah berbahaya.
"Kho Kong masih kurang pengalaman- Maka, untuk melindungi
saudara itu, ia segera maju mewakili si saudara menangkis serangan
orang tua itu, dan seterusnya dialah yang menyambut dan
melayani. ouw Bwee telah memikir merobohkan anak muda yang
bergenggaman pian koan pit itu, tidak tahunya, orang
merintanginya, tetapi kebetulan sekali, ini jurus Siauw Pek adanya,
ia pikir baik sekalian saja ia gempur anak muda ini. Tanpa ragu ragu
lagi, segera ia menggunakan "Hoan Inpat-sie" atau delapan jurus
ilmu golok "Mega terbalik" suatu ilmu silat istimewa dari partai Pat
Kwa Bun. Dengan senjatanya itu, si Tua Terbang biasa menangkis menolak
dan membacok- membabat, demikian dia lalu mendesak si anak
muda. Tapi baru dua gebrakan, dia sudah menjadi heran- Si anak
muda tidak kena terdesak, sebaliknya dia sendiri yang kena tertahan
lalu terkuurng sinar pedangnya lawan"Eh, hebat ilmu pedangnya bocah ini " pikirnya.
Dari heran, segera juga ouw Bwee menjadi terperanjat. Tidak
dapat dia meloloskan diri dari kurungan sinar pedang walaupun dia
sudah mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Tidak ada gunanya
ilmu Mega Terbalik yang sebenarnya liehay itu. Didalam beberapa
jurus, dia masih dapat membalas menyerang, setelah itu, dia habis
daya, dia cuma bisa menangkis atau berkelit saja. Diapun tidak
tahu, ilmu pedang lawan itu ilmu pedang apa, sebab dia tidak dapat
mengenalinya. Kim ciong Toojin heran menyaksikan si Tua Terbang mati daya.
Si Tua Terbang adalah rekannya selama pembasmian terhadap Pek
Ho Po, maka ia telah memikir untuk memberikan bantuannya pada
saat saat genting. Ia mengerti kalau ouw Bwee roboh, si anak muda
tentu bakal menyerang padanya. ia berpikir lebih baik ia mendahului
mengeroyok. Hanya sekarang...
Luar biasa ilmu pedang anak muda itu. ouw Bwee sudah
bermandikan peluh. Repot dia melindungi diri dengan tameng dan
goloknya, kacau ilmu silatnya. Rasa heran, kaget dan kuatir lalu
menyelubunginya.
Tdiak hanya Kim ciong Toojin, juga hadirin yang lainnya heran
dan bingung menyaksikan cara berkelahi si anak muda. Dia sudah
menang diatas angin, tetapi dia tidak merobohkan lawannya
"Pocu," Pat Tong kepada Goan Hok. "kenalkah pocu ilmu pedang
anak muda itu?"
"Aku tidak kenal," jawab tuan rumah. "Saudara berpengetahuan
luas, mungkin saudara tahu..."
Siang Put Tong tersenyum getir.
"Tidak." sahutnya, jengah. "Hanya seorang aku ingat seorang
tertua dari Rimba Persilatan yang termashur karena ilmu
pedangnya..."
"Siapakah jago tua itu, saudara siang?"
Siang Put Tong mau menjawab, tapi ia tercegah oleh seruannya
Kim ciong Toojin"ouw si katai, jangan takut Mari aku membantumu" demikian
suara si imam, yang segera lompat masuk ke dalam kalangan
pertempuran, untuk segera menikam Siauw Pek.
Si anak muda mendengar suara, ia melirik. Ketika ujung pedang
mengancam, dengan gesit ia berkelit, kemudian, dengan satu
kelebatan, ujung pedangnya segera meluncur ketulang rusuk
penyerangnya itu.
Kim ciong kaget sekali, dengan gugup dia melompat mundur
sambil tangannya menangkis tikaman itu.
Kho Kong gusar sekali melihat ketuanya dikeroyok.
"Imam hidung kerbau bangkotan, kau curang" teriaknya. Lalu dia
hendak menyerang, guna membantu pihaknya. Tapi tiba-tiba, ada
yang meraba tangannya hingga dia batal maju dan terus menoleh.
Itulah oey Eng, yang mencegah majunya. Ia heran- Tapi, ketika
ia melihat saudara itu mengedipkan mata, ia terdiam. Terus ia
memandang kearah pertempuranouw
Bwee terus terkurung sinar pedang. Kim cong yang akan
membantu atau menolong, tergetar diluar kalangan, setiap
serangannya dapat dihalau. Jago Bu Tong itu tampak tidak berdaya.
Girang hati Kho Kong menyaksikan jalannya pertempuran itu,
sampai ia lupa maksudnya membantu sang ketua. Bahkan didalam
hati, ia berpikir: "Ilmu pedang apa ilmunya bengcu" Melihat ini,
andaikata ada lagi dua musuh maju membantu konconya, pasti
bengcu tak akan kalah."
oey Eng juga kagum hanya dia berbareng heran- Dia heran
sebab agaknya Siauw Pek ayal-ayalan menjatuhkan kedua
lawannya. Dari heran dia menjadi bingung.
"Toako mau menanti apa lagi"..." pikirnya. "Disini masih ada
Siang put tong, seorang ketua partai yang liehay, begitu juga kedua
tuan rumah she Ma itu. Disini pula d isarang musuh, keadaan kita
berbahaya sedangkan kita cuma bertiga. Seharusnya Toako
bertindak cepat, guna memenangkan waktu..."
Akhirnya saking bingungnya pemuda she oey ini berseru: "Toako,
sabar dulu Untuk mencuci bersih sakit hati, waktunya masih banyak
..." Itulah pemberian ingat, atau nasehat, untuk sang ketua
bertindak lekas, untuk bisa mengundurkan diri dari sarang musuh...
Siauw Pek tengah mengurung kedua lawannya ketika ia
mendengar suara oey Eng itu. Saat itupun, Kim ciong telah didesak
masuk ke dalam kurungan sinar pedangnya. Tanpa merasa, ia
bergerak lambat.
ouw Bwee dan Kim ciong sangat gelisah dan bingung, repot
mereka membela diri, salah sedikit, jiwa mereka bisa melayang.
Tentu saja, sendirinya hati mereka menjadi kecil. Justru itu, mereka
mendapatkan si anak muda berlaku ayal itu. Mendadak saja mereka
memperoleh harapan- Walaupun tanpa berjanji lagi, serempak
keduanya berlompat mundur, keluar dari kalangan arena. Segera
saja mereka berdiri diam, berendeng, napas mereka bekerja keras
sekali. untuk sejenak. Siauw Pek berdiam mengawasi kedua lawan yang
licik itu. Dibenaknya, teringat ia akan kesengsaraan ayah bundanya,
kedua kakaknya dan sendiri disaat mereka dikejar kejar rombongan
musuhnya, yang tak sudi mengasih hati kepada mereka. Didepan
matanya pula terbayang saat-saat pertempuran mati hidup yang
dilakukan ayahbunda dan kakak kakaknya guna mempertahankan
jiwa mereka. Mereka dibasmi di Pek Keepo, dikejar dan dikeroyok
dipelbagai tempat, dan pelbagai waktu. Tak ada orang yang merasa
kasihan terhadap mereka yang telah tidak berdaya itu, puncak
kehebatannya ialah didepan jembatan maut Seng Su Klo, hingga
selanjutnya ia mesti hidup sebatang kara
"Ayah, ibu, kakak kakak " ia berseru dalam hati. "Lihatlah
bagaimana anakmu membalaskan sakit hati kamu"
Dengan pertempuran tertunda, sunyilah ruang itu, sedangkan
tadinya ramai dengan suara bentroknya pedang dan golok serta
tameng. Sekalipun suara napas memburu dari ouw Bwee dan Kim
ciong tak terdengar pula. Mereka heran menyaksikan si anak muda
berdiam saja, tapi mulutnya berkelemak kelemik dan wajahnya
suram sekali. Semua hadirin lainnya juga bungkam, semua mata
mereka diarahkan kepada si pemuda.
Tak lama kesunyian itu menguasai ruang yang besar dan luas itu.
otak Siauw Pek sudah berhenti bekerja, matanya tak berbayangbayang
lagi. Sadar ia akan keadaan yang dihadapinya itu. Tiba tiba
dia berseru menggeledek: "Hutang jiwa bayar jiwa " Segera dia
menuding dengan pedangnya, tubuhnya lompat mencelat kepada
kedua musuhnya.
Semua orang terperanjat melihat lompatan yang pesat itu, yang
disusul dengan berkelebatnya sinar pedang.
ouw Bwee kaget bukan main- Tak sempat ia mundur untuk
menolong diri, tak keburu ia mengangkat tameng dan goloknya,
guna melakukan pembalasan, bahkan didalam hati ia mengeluh,
"Habislah aku..." Ia merasai bersiurnya hawa dingin, sinar pedang
lewat didepan matanya, lalu... sehelai rambutnya terpapas kutung
Kim ciong Toojin sebaliknya masih ada sisa ketabahan hatinya.
Tak mau ia mati konyol. Tatkala pedang lawan dari kepala ouw
Bwee membabat terus kearahnya, ia menangkis dengan pedangnya.
Maka beradulah senjata mereka berdua, atas mana, ia terhuyung. ia
menangkis keras, tetapi karena kalah kedudukan ia kalah tenaga.
Siauw Pek tidak berhenti dengan serangannya itu, ia memutar
balik tangannya dan membabat pula. Kalau tadi pedangnya
menyambar dari kanan kekiri, sekarang dari kiri kekanan, sedikit
menurun, mengikuti tubuh si imam yang doyong karena dia
terhuyung. Didalam keadaan seperti itu, Kim ciong tidak sanggup
menangkis atau berkelit lagi, ujung pedang menggores bahunya,
merobek jubahnya, melukai kulit dagingnya, hingga darahnya lantas
keluar bercucuran
Masih Siauw Pek tidak mau berhenti, selagi kedua lawan itu tidak
berdaya, kembali ia mengurung dengan sinar pedangnya.
Siang Put Tong menyaksikan pemandangan didepan matanya itu,
ia heran, kagum dan berkuatir menjadi satu. Ia heran dan kagum
pada ilmu pedang si anak muda, ia kuatir buat ouw Bwee dan Kim
ciong serta dirinya. Kalau dua orang itu terbinasa, ia bakal terancam
si anak muda. "Baiklah aku coba..." pikirnya. Ia masih mempunyai kepercayaan
atas kegagahannya sendiri.
"Saudara ouw, Kim ciong Tootiang, jangan takut " dia berseru.
"Aku akan bantu kamu " seruan itu disusul dengan lompatan
tubuhnya kepada Siauw Pek, yang ia terus serang dengan tangan
kosong. Itulah serangan tenaga dalam yang lihay.
Siauw Pek mendengar suara orang, ia juga melihat datangnya
serangan, dengan sebat ia memutar diri dan tangannya, maka tepat
sekali, serangan itu dapat ia tangkis. Siang Put Tong terkejut.
"Mari senjataku " ia menyerukan kedua kacungnya, yang berdiri
diluar garis. ia tahu tidak dapat ia melawan musuh dengan tangan
kosong. Kedua kacung itu menyahut, keduanya lalu lompat maju, yang
satu mengangsurkan peda yang lain menyodorkan tongkat besi.
Ketua Thay Im bun itu meyambut senjatanya pedang ditangan
kanan, tongkat di tangan kiri. Sama sebatnya, ia berseru dan
menyerang, tongkatnya menggunakan tipu silat "Sin Liong cut Im",
"Naga Sakti Keluar dari Gumapan Awan".
"Tak tahu malu " berteriak Kho Kong, yang hendak maju pula.
Tapi lagi lagi ia dicegah oey Eng. Saudara ini tetap berlaku sabar
dan kata : "Saudaraku, tenang Mari kita lihat dulu"
Kho Kong batal maju, ia melengak. Lalu ia mengawasi ketuanya
yang lagi melayani Siang Put Tong serta ouw Bwee dan Kim ciong,
tiga orang musuh.
Heran Siauw Pek itu. Melayani satu orang, dua orang, tiga orang,
sama saja gerak geriknya. Dia bertempur tenang tetapi lincah juga
Siang Put Tong, si tenaga baru, sudah kena dikurung sinar pedang
seperti dua rekannya itu.
"Bukankah Siang Put Tong paling lihay diantara kawan
kawannya?" tanya orang she Kho itu kepada kawannya.
"Diantara mereka bertiga, memang dia yang paling lihay," Oey
Eng menjawab. " Entah kedua tuan rumah itu..."
"Aku duga mereka tak lebih tangguh daripada si orang she
Siang..." Berkata begitu, oey Eng melirik si nona berbaju hijau. Katanya,
menyambung: "Yang sulit diterka ialah nona berbaju hijau itu.
Melihat dari sikapnya yang tenang ayem itu, mungkin dia lihay..."
Ketika itu ouw Bwee terkurung hingga dia bermandikan peluh
dan Kim ciong bingung sekali. Siang Put Tong paling kosen diantara
mereka bertiga, dia pula tenaga baru tetapi diapuntelah dikekang
sinar pedang si anak muda.
Tiba tiba terdengar suara nyaring dari Ma Goan Hok si tuan
rumah: "Hei, apakah kamu kira Hok Siu Po ini dapat membiarkan
orang main gila disini ?"
Mendengar itu, oey Eng berbisik pada Kho Kong: "Rupa rupanya
tuan rumah ini lagi mencari alasan turun tangan-.."
Belum berhenti suaranya itu, Ma Goan Hok sudah berlompat
maju dan menyerang
Siauw Pek menyambut serangan tuan rumah ini yang
bersenjatakan golok yang mirip gergaji. Ia berlaku sangat sebat,
dengan lekas ia mengurung seperti ia mengurung tiga lawannya
yang pertama. "Tak dapat kita membiarkan bengcu dikeroyok " kata Kho Kong.
"Sabar," oey Eng mencegah. "Jikalau kita maju, mungkin tidak
ada faedahnya, salah salah kita membuat bengcu kurang leluasa
menggunakan pedangnya."
Kho Kong mengawasi tajam, ia melihat bagaimana Ma Goan Hok
juga sudah terkurung sinar pedang, goloknya sampai tak leluasa lagi
bergeraknya. Sementara itu Ma Goan Siu, tuan rumah yang kedua, menjadi
penasaran- Ia telah menyaksikan bagaimana musuh muda itu sia sia
belaka dikurung tiga orang. Pikirnya: " Entah ilmu silat apa ilmu
pedang bocah ini... Bagaimana dia dapat melawan tiga orang jago"
Sudah sekian lama dia bertempur, masih belum letih dia... Baiklah
akupun maju..."
Setelah berpikir begitu Goan Siu berlompat menerjang. Dia pun


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunakan golok, yang diberi nama cit chee too golok Tujuh
Bintang. "Bagus betul " teriak Kho Kong. "Ma Goan Siu juga turun tangan
" "Eh, kau melihat atau tidak?" tanya oey Eng.
"Melihat apa ?" saudara itu tegaskan" Hebat ilmu pedang toako, demikian banyak perubahannya. Aku
percaya, meski maju lagi beberapa orang, toako masih sanggup
melayaninya. Baik kita tak usah berkuatir " selagi dua saudara ini
berbicara, Goan Siu sudah menerjang Siauw Pek.
Si anak muda menyambut tambahan lawan ini, hatinya tidak
gentar. Ia tenang, malah nampak lebih bersemangat. Dengan cepat
ia membuat musuh ini kena dikurung seperti tiga yang lainnya.
Dari berkuatir, Kho Kong menjadi heran.
"Aneh ilmu pedang toako " katanya. "Ilmu itu luas bagaikan
lautan Semua orang terkekang sinar pedangnya itu"
Tak dapat si tabiat aseran ini melanjutkan kata katanya, matanya
segera tertarik si nona berbaju hijau. Dengan sabar nona itu
bertindak menghampiri kalangan pertempuran" Lihat, lihat nona itu " katanya pada oey Eng. "Rupanya diapun
mau maju mengepung toako..."
"Biarkan saja," kata oey Eng, yang hatinya menjadi besar.
"Dengan berjumlah banyak. mereka tak leluasa bergerak."
Si nona maju bukan untuk mengeroyok. setelah datang dekat
kalangan, dia berhenti, sambil menggendong tangan, dia
mengawasi jalannya pertempuran
---ooo0dw0ooo--JILID 14 Tetap kelima orang itu terkurung sinar pedang. Diantara mereka,
Siang Put Tong yang paling bingung. Dia maju dengan maksud
untuk menonjolkan kepandaiannya, sebaliknya dia gagal dan kecele,
bahkan dia segera dia menjadi kuatir sekali. Buat membalas
menyerang, dia tidak memperoleh kesempatan- Seperti empat
kawannya, dia cuma mampu menangkis dan berkelit, terus dia
dibuat repot oleh lawannya.
"Saudara ouw, bagaimana kau lihat ilmu pedang bocah ini?"
kemudian Put Tong mengambil kesempatan menanya ouw Bwee
siTua Terbang. Dia menggunakan ilmu saluran suara "Toan Im Jip
bit." sama dengan "Toan Im cie- sut". Mulutnya berkelemik tetapi
tanpa suaranya, sebab suara itu cuma dapat didengar oleh orang
yang diajak bicara, orang yang mengerti ilmu saluran itu.
"Inilah ilmu pedang yang luar biasa, yang aku tidak tahu apa
namanya. Seumurku belum pernah aku melihatnya," sahut ouw
Bwee. orang she ouw ini dapat berbicara, walaupun dia repot dan
agaknya terancam ujung pedang Siauw Pek. Sebab, meskipun
serangan si anak muda senantiasa mengancam tetapi belum pernah
diteruskan menikam lawan hingga terluka.
"Secara begini, kita akan menghadapi bahaya?" kata Put Tong
pula. "Kenapa kita tidak mau menerjang bahaya guna meloloskan
diri kita?"
"Kalau saudara Siang mau mencoba, mari kita bekerja sama."
"Baiklah saudara Ouw. Dengan perisaimu, kau kekang
pedangnya, nanti aku hajar dia dengan lm Hong Touw Put ciang,
untuk melukai dia."
"Im Hong Touw Put ciang" ialah pukulan tangan kosong, dengan
angin tinjunya. Nama tipu silat itu berarti "Angin jahat
menembuskan tulang".
ouw Bwee menyetujui ajakan itu sebab ia ingat Siauw Pek
tentunya sangat membencinya dan menghendaki jiwanya, dari itu,
baik ia mencoba menempuh bahaya, siapa tahu ia bisa meloloskan
diri dari ancaman maut.
Segera juga orang nekad ini menggerakkan perisainya untuk
memecah kurungan sinat pedang, guna membuka jalanSiang Put Tong sudah bersiap sedia. Pedangnya dari tangan
kanan segera dipindahkan ke tangan kiri. Lalu ia mengerahkan
tenaga dalam menyalurkan ketangan kanan itu.
Untuk sejenak. Siauw Pek merasa pedangnya tertahan, tetapi
dilain detik, la sudah dapat menguasai pula. Ia mendesak. memaksa
semua lawan tak dapat merangsek.
ouw Bwee kaget. Baru saja dia berhasil mendesak. tapi dia
segera terkekang kembali, sinar pedang berkelebatan didepan
matanya, mengecilkan hatinya.
"celaka" dia berseru tertahan- Ujung pedang meluncur ketangan
kirinya, lolos dari tangkisan perisai. Guna menolong diri, dia mundur
sambil melepaskan perisainya, hingga tiatpay itu jatuh kelantai
Sedang siauw Pek hampir melukai lengan lawan itu, tapi tiba-tiba
ujung pedangnya langsung mengancam Siang Put Tong. Ketua Thay
Im Bun terkejut. Dia telah bersiap sedia tetapi diapun gugup, Dalam
gugupnya dia menerjang dengan im Hong Touw Kut ciang.
Tanpa dapat dicegah lagi, ujung pedang berkenalan denganjari
tangan- Kalahkah sang jeriji-jeriji manis yang terkutung seketika dan
darahnya lalu mengucur keluar. Kaget dan nyeri, Siang Put Tong
berlompat mundur.
Tapi juga Siauw Pek terganggu serangan tinju angin dari
lawannya yang liehay itu, siuran angin membuat tubuhnya
menggigil hingga dengan begitu gerakan pedangnya sedikit ayal.
Kim ciong Toojin bersama ouw Bwee dan dua saudara Mamelihat
kelambatan sianak muda serentak mereka lompat mundur, keluar
dari medan laga itu.
siauw Pek melihat orang mundur, ia tidak mengejar. Diam-diam
ia mengerahkan tenaga dalamnya, pedangnyapun sudah ditarik
kembali. Ia berkata dingin: "Seratus lebih jiwa Pek Ho Po telah
terbinasa, buat itu aku siorang she coh akan membayar hutang
darah dengan darah. Akan tetapi, aku tidak mau sembrono
membunuh, lebih dahulu aku hendak mengadakan penyelidikan
yang seksama. Aku hanya hendak menghabiskan jiwa mereka yang
menjadi kepala atau biang keladi, satu demi satu. Malam ini aku
cuma mau memperlihatkan kepandaianku, aku hendak meminjam
mulut kamu untuk memperkenalkan namaku "
Sudah terlanjut, anak muda ini tidak mau menyembunyikan diri
lagi. Habis berkata, iapun memasukkan pedangnya kedalam
sarungnya, segera ia memutar tubuh, buat mengeloyor pergi.
Tidak ada orang yang berani untuk menghalang-halangi pemuda
itu. siang Put Tong mengerahkan tenaga dalamnya, guna
menghentikan keluarnya darah, dengan mendelong ia mengawasi
belakang sianak muda, mulutnya berkata seorang diri:
"Jikalau bocah ini tidak dimampuskan maka pastilah pula Sungai
Telaga akan menjadi tidak aman-"
Ma Goan Hok sebaliknya menghela napas panjang dan berkata:
"Aku telah berpengalaman puluhan tahun tetapi belum pernah aku
mengalami kekecewaan sebagai hari ini. Kita beramai tetapi kita
tidak mampu menahan seorang bocah. Jikalau peristiwa ini sampai
tersiar luas, masihkah kita mempunyai muka menaruh kaki didalam
Rimba Persilatan ?"
ouw Bwee dengan lesu menjemput tamengnya katanya masgul :
"Didalam pertempuran ini, semua kita tidak berhasil merebut
kemenangan sekalipun setengah jurus, apa bila kejadian ini sampai
tersiar, memang nama baik kita bakal rusak sendirinya..."
Mendadak si Tua Terbang menutup mulutnya tak disengaja ia
melihat si nona berbaju hijau.
oleh karena IHui Siu merandak bicara dan menatap kesuatu arah,
dengan sendirinya mata lain-lain hadirin menjurus kearah yang
serupa semua bersatu hati, mungkin si nonalah yang bakal menebus
kekalahan mereka ini. Ma Goan Hok menghela napas perlahan.
"Saudara Siang, bagaimana lukamu ?" tanyanya.
siang Put Tong bertindak untuk memungut jari manisnya yang
menggeletak dilantai, untuk dimasukkan kedalam sakunya.
"cuma terkutung sebuah jari tangannya, tidak apa," sahutnya.
Kim ciong Toojin merobek ujung jubahnya, dengan itu dia
membalut luka ditangannya. Dia menghibur diri dengan berkata:
"Kalah atau menang adalah hal lumrah, tuan-tuan baik jangan
berduka karena kesudahan pertempuran ini..."
ouw Bwee mengalihkan pandangannya. Ia mengawasi muka cio
Tiat Eng. "Aku dengar bahwa cit Seng Hwee paling pandai menyimpan
rahasia," katanya, "cit Seng Hwee yang menjadi nomor satu
diantara tiga Hwee, maka aku tidak sangka sama sekali bahwa
seorang musuh diakui sebagai anggotanya, bahkan dia diajak masuk
kedalam Hok Siu Po ini, terang sudah bahwa cerita diluar itu tak
dapat dipercaya."
Jago ini mendongkol karena kelalaiannya, maka ia melampiaskan
itu kepada cio Tiat Eng, sengaja dia menghina cit Seng Hwee.
Belum lagi Tiat Eng menunjukkan sesuatu sikap. ruangan telah
tertawa nyaring halus dari sinona berbaju hijau, tiba tiba dia
menjadi mendongkol. Ejekan ouwBwee memang membuatnya
terasa tertikam. Maka sekarang dia alihkan perasaan tak senangnya
terhadap sinona.
"Apakah yang kau tertawakan ?" dia menegur.
Nona itu berhenti tertawa. Dia tidak tersenyum lagi. Bahkan
cepat sekali. Wajahnya menjadi dingin bagaikan es.
"Kau orang cit Seng Hwee apakah jabatanmu ?" ia menegur.
"Akulah Heng Tong Tong cu," Tiat Eng jawab.
Mengetahui orang menjadi hengtong tong-cu kepala penegak
hukum nona itu berkata dengan keren : " Dengan memandang
kepada Thei bin Losat dan cit Seng Sin Kiam, aku beri ampun
kepadamu dari kematian, maka ayolah kau gaplok mukamu dua kali
Dengan itu kau menebus dosa kepadaku buat kata-katamu tadi "
cit Seng Sin-kiam, Pedang Sakti TUjuh Bintang, yang disebutkan
sinona adalah ketua dari cit Seng Hwee, perkumpulan Tujuh Bintang
itu. Dia membangun perkumpulan itu dengan mengandalkan
senjatanya, yang berupa pedang. Dan Thie-bin Lo-sat, si Raksasa
Bermuka Besi, adalah isterinya ketua cit Seng Hwee itu. Ilmu silat si
nyonya lebih unggul dari pada ilmu silat suaminya. Dia berwajah
dingin berhati es, berhati keras bagaikan batu dan besi. Karenanya
dia memperoleh julukannya itu. Dia ditakuti dan dihormati anggotaanggotanya
melebihi ketuanya. Tiat Eng heran ia melengak.
"Kau kenal ketua kami?" dia bertanya.
Nona itu tidak menjawab hanya berkata: "Jikalau aku tidak
pandang suami isteri itu, sekalipun kau tidak mampus, akan aku
beset kulitmu " suaranya dingin dan bengis sekali. Tiat Eng panas
hati. Ia merasa terhina. Mereka toh berada diantara banyak orang.
"Ketua kami suami istri sangat terkenal, di kolong langit ini, tidak
ada yang tidak mengetahuinya " katanya keras, suaranya dingin.
"Sekalipun kau dapat menyebut nama ketua kami itu, belum tentu
kau kenal mereka pribadi " Sinona tertawa dingin pula. Ia tidak mau
melayani bicara.
"Jikalau kau tidak hendak menampar muka sendiri, aku yang
akan lakukan " katanya mengancam.
Semua hadirin melongo. orang tidak kenal nona itu. orang heran
atas kesombongan dan kegarangannya itu.
Karena pedagak hukum cit Seng Hwee itu terdiam, sinona segera
tertawa pula: "Aku hendak menambah hukumanmu menjadi dua
lipat dua tamparan menjadi empat tamparan"
Serentak dengan ucapan itu, sekonyong-konyong tubuh sinona
mencelat maju kepada Tiat Eng, kedua tangannyapun dipentang,
sebelum hengtong tong cu tahu apa-apa, terdengar sudah suara
kelepak kelepok yang nyaring
Tiat Eng gelagapan, hendak dia menangkis sudah terlambat.
Tentu saja, tak mampu dia balas menyerang.
Semua mata diarahkan kepada penegak hukum cit Seng Hwee
itu, yang mukanya kontan menjadi merah bengap. sedangkan dari
mulutnya mengalir darah segar. Semua orang terperanjat dan
heran- "Saudara Siang, kenalkah kau siapa wanita ini ?" Ma Goan Hok
berbisik pada Put Tong.
"Tidak," sahut orang yang ditanya.
"Bukankah dia datang bersama-sama saudara?" Put Tong
menyeringai likat.
"Kami bertemu ditengah jalan, maka itu kami berjalan bersama
sama..." Si nona memandang semua orang, habis itu dia berkata, tetap
dengan dingin: "sebatang Kiu Heng cie Kiam telah menggemparkan
dunia Kang ouw, membuat hantu-hantu tidak tenang hatinya. Kamu
semua menjelajahi ke timur dan kebarat, keselatan dan keutara
untuk mencari pedang itu. sayang sedang dia berada di antara
kamu, kamu tidak tahu..." Tiba-tiba ouw Bwee menepuk pahanya.
"Nona benar" katanya. "Pemilik Kiu Heng cie Kiam itu pastilah
sibocah coh Siauw Pek tadi"
"Kau menerka dia?" tanya sinona. "Apakah buktinya ?"
"Dahulu," ouw Bwee menerangkan, " empat hwee, tiga bun, dua
pang bersama-sama sembilan partai besar sudah bergabung
menyerbu Pek Ho Po dan telah membinasakan orang orang keluarga
coh seratus jiwa lebih, tentu sekali bagi keluarga itu, itulah sakit hati
yang besar sekali, dendam yang tak dapat dilupakannya. Sekarang
coh Siauw Pek muncul, dia menggunakan Kiu Heng cie Kiam dia
main melakukan pembunuhan tidakkah terkaanku ini tepat?"
Beda dari tadi-tadinya, si nona berbaju hijau itu tertawa.
"Jadi menurut kau, tepat orang menggunakan ciu Heng cie Kiam
itu?" tanya.
"Tepat jikalau sipemilik pedang benar coh Siauw Pek adanya."
Selama itu Tiat Eng berdiam saja, ia gusar tetapi ia tidak berani
bertindak sembrono, ia cuma meraba-raba kedua belah pipinya
yang bengkak dan masih meninggalkan rasa nyeri. Ia tidak tahu
siapa nona itu.
Segera terdengar pula suaranya sinona: "Tuan tuan, kamu
percaya turunan keluarga coh masih hidup dan juga telah memakai
pedang maut itu membuat dunia Rimba Persilatan menjadi tidak
tenang tentram, sampai orang ketakutan setiap saat, kenapa kamu
tidak dari dulu berdaya untuk menghadapinya?"^
"Kau benar, nona," berkata ouw Bwee "Memang setelah kita
ketahui siapa pemilik pedang maut itu, sudah selayaknya kita
berdaya untuk menentangnya."
"coh Siauw Pek lihay, kita bukanlah lawannya," Kim ciong Toojin
turut bicara, "maka itu pintoo pikir baiklah lekas-lekas memberi
kabar kepada semua partai, untuk mengundang mereka berkumpul,
buat kita bekerja sama menentang musuh. Seharusnya kita dapat
dengan satu gerak saja membinasakannya, guna melenyapkan
ancaman petaka dibelakang hari..."
"Air yang jatuh tidak dapat menghilangkan dahaga yang sedang
diderita," berkata Ma Goan Hok. "Lagi juga coh Siauw Pek berada
disini, sembarang waktu dia dapat datang pula, jikalau kita menanti
datangnya kawan kawan, kita membutuhkan waktu sedikitnya tiga
bulan- selama itu, mungkin dia sudah pergi jauh, atau kita keburu
mati ditangan Kiu Heng cie Kiam."
Siang Put Tong berpikir. "Aku ada akal," katanya.
"Apakah itu ?" tanya Ma Goan Hok bernapsu. Tuan rumah ini
sangat menghawatirkan coh siauw Pek nanti keburu datang lagi
hingga Hok Siu Po bisa dihancurkan dia itu.


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siauw Pek lihay, akan tetapi menurut penglihatanku, dia kurang
pengalaman, maka itu kita mengirim kepelbagai tempat, untuk
menghadapi rumah-rumah penginapan, asal ketahuan dia singgah
disuatu penginapan atau bersantap kita dapat meracuni dia,"
demikian Put Tong mengutarakan pikirannya .
"Akal yang bagus, saudara Siang Dasar seorang ketua partai "
Goan Hok memuji.
"Bagaimana jikalau dia tidak singgah dipenginapan tapi dia
mondok ditempat terbuka atau didalam rumah suci ?" tanya sinona.
"Ya, benar juga" kata Goan Hok.
"Bagaimana sekarang?"
"Mungkin dia tidak bermalam tetapi apakah dia tidak bersantap?"
"ini benar juga," kata Goan Hok. yang cuma bisa nimbrung.
"Memang dia mesti makan dan minum. Soalnya sekarang cara
bagaimana kita bisa mendekati dia..." ouw Bwee batuk-batuk.
"Aku ada mempunyai satu pendapat, entah dapat dipakai atau
tidak." ujarnya.
"Silakan jelaskan, saudara Ouw," Goan Hok menganjurkan"Siapa cepat pandangan, dia bukan seorang kuncu," kata ouw
Bwee. "Siapa tidak kejam dia bukan seorang laki laki sejati, jikalau
coh Siauw Pek tidak disingkirkan dalam dunia ini kaum Kang ouw
tidak bakal merasai hari hari yang aman, bahkan Hok Siu Po kamu
ini, saudara Ma, bakal jadi sasaran yang pertama " Hati Goan Hok
berCekat. Dia terkejut.
"Itu aku tahu," katanya "Memang siang-siang aku telah
menerkanya. Nah, saudara ouw, silahkan kau utarakan tipu dayamu
itu" "Pikiranku ini adalah sebagai tambahan pikiran saudara Siang,"
ouw Bwee menjelaskan-"Sebaiknya Hok siu Po memilih sejumlah
orangnya, pria dan wanita, yang cerdik dan pandai bekerja, guna
mengintai coh Siauw Pek dan menyelidiki dimana dia mondok, tetapi
kita harus jaga jangan sampai menimbulkan kecurigaannya. Setelah
itu kita kirim seorang yang gagah, untuk pergi berkenalan
dengannya dan berusaha mendapatkan kepercayaannya. Tentu saja
orang kita itu mesti menyamar, umpama sebagai seorang yang
bercacat..." Selagi berkata kata itu, ouw Bwee melihat kesekitarnya.
Tiba tiba ia berhenti bicara.
" Kemudian?" Goan Hok tanya. ouw Bee mengawasi tuan rumah.
"Saudara Mamari, aku bisiki," katanya.
Majikan dari Hok Siu Po menghampiri, untuk mendekatkan
telinganya. Begitu si Tua Terbang sudah berbisik, dia mengangguk
angguk. "Bagus, saudara ouw Aku akan segera perintahkan
orangku," katanya.
"Pek Ho Po telah muncul ahli warisnya, bahkan sangat gagah,"
berkata Kim ciong Toojin, "karena itu perlu aku lekas pulang guna
memberitahukan kepada ketua . Nah, disini aku memohon diri "
Imam ini segera merangkap kedua belah tangannya didepan
dadanya, memberi hormat pada para hadirin, setelah itu, tanpa
menanti kata kata siapapun, dia memutar tubuh berangkat pergi.
"Baik baik dijalan, tootiang" kata Ma Goan Hok seraya membalas
hormat. "Maaf kami tak dapat mengantar "
"Tak berani pintoo memberabekan poCu " kata si imam yang
sudah sampai diluar ruang. Si nona baju hijau mengawasi lenyapnya
si imam, terus dia menghela nafas.
" Wajah imam itu sangat suram, kalau dia tidak mampus,
sedikitnya selapis kulitnya bakal copot..." katanya.
Ma Goan Hok tidak menghiraukan kata kata si nona, dia
memandang Siang Put Tong, terus kepada Nyonya Uh. Kemudan
berkata "Sebenarnya aku hendak mengurus para kurban ini, siapa
tahu, mendadak telah terjadi peristiwa ini, terpaksa aku harus
merubah rencanaku..."
" Itu sudah selayaknya, saudara Ma," berkata ouw Bwee.
"Memang sekarang ini tindakan yang pertama ialah mencari tahu
tentang coh Siauw Pek." ia menoleh mengawasi kedua peti mati dan
mayat mayat, lalu ia menyambungi : "Semua jenazah itu baiklah
dipindahkan dulu..."
Ma Goan Hok mengangguk, ia menggapai, maka salah seorang
datang menghampiri. ia berbisik pada orang itu, yang terus
mengangguk angguk dan mengundurkan diri.
Tidak lama muncullah beberapa puluh orang yang terus bekerja
mengangkut pergi semua mayat berikut kedua peti mati, hingga
ruang itu menjadi lega.
ouw Bwee melihat kesekitarnya, lalu tiba-tiba dia terperanjat dan
berseru: "Eh, manakah sinona berbaju hijau?" Semua orang kaget,
mereka menjadi heran-Memang nona tadi sudah lenyap dari
ruangan. "Disini terdapat banyak orang tetapi dia bisa pergi tanpa
ketahuan..." kata siang Put Tong yang juga turut merasa sedih.
Kata kata itu terputuskan oleh satu suara keras dari robohnya
satu manusia, hingga orang menjadi terperanjat dan heran, lebih
lebih ketika semua hadirin sudah melihat bahwa yang roboh itu ialah
Nio cupeng,hu hoat, pelindung undang undang, dari cit Seng Hwee.
cio Tiat Eng kaget dan mendongkol. Dia menghampirkan cu
Heng, yang dia sambar lengan kanannya dan menegur: "Kau
tahu..." Tapi baru dia berkata sampai disitu, mendadak dia
melepaskan cekalannya, mukanya menjadi pucat, separuh mencelat,
dia mundur tiga langkah. Dia mendelong mengawasi tubuh orang.
Hadirin lainnya pun segera menjadi heran dan kaget sebagai
tongcu itu. Karena mereka segera melihat bahwa didada cu Peng
nancap sebatang pedang bahkan itulah Kiu Heng cie Kiam pedang
sakit hati Ketika itu napas cu Peng sudah berhenti berjalan.
Hati semua hadirin terguncang keras, juga saling mengawasi...
"Teranglah sipenjahat ciu Heng cie Kiam berada diantara kita "
kata Ma Goan Hok kemudian"Dia demikian liehay, terang kita bukanlah lawannya," berkata
ouw Bwee. "Dia berada di sini, dan turun tangan, lalu dia berlalu,
semua itu diluar tahu kita bersama Sanggupkah kita mendandingi
dia?" Siang Put Tong menoleh kepada Tiat Eng.
"Saudara, tahukah kau sudah berapa lama matinya bawahanmu
ini ?" tanyanya.
"Sungguh memalukan-.." sahut orang yang ditanya, menggeleng
kepala, "aku tidak tahu..."
"Bagus kalau begitu " kata Put Tong kemudian "Didalam waktu
yang pendek akan kita ketahui siapa Kiu Heng cie Kiam itu "
"Siapakah dia ?" tanya Goan Hok heran"Mudah untuk mengetahuinya" menjawab ketua Thay Im Bun itu.
"Kita disini terdiri dari tiga rombongan. Yang pertama coh Siauw Pek
serta dua orang kawannya. Dua yang lainnya ialah Kim ciong Toojin
dan si nona berbaju hijau yang tidak dikenal itu. Diantara mereka
bertiga pasti ada salah satu si pemilik pedang maut "
"Kalau Kim ciong Toojin, tak mungkin," berkata ouw Bwee
"Dialah kenalanku sejak beberapa puluh tahun dan tadi pun dia
telah menempur coh Siauw Pek. coh Siauw Pek bertiga sudah pergi
sekian lama. Menurut aku, baik Siauw Pek dan Kim ciong Toojin
tidak dapat dicurigai. Sekarang tinggallah si nona baju hijau
seorang." "Selama disini nona itu tidak pernah mendekat cupeng..." berkata
Goan ciu. Tiat Eng berpikir sejenak. dia berkata: "Itulah betul. Seingatku,
nona itu selalu berada dekatku sejarak satu tombak. Mungkinkah dia
dapat menyerang dari jarak jauh" Mustahil dia demikian liehay. Tapi
biar bagaimana, aku percaya pembunuh itu pasti yang berada
didalam ruang ini."
"Kalau coh Siauw Pek bukan dan si nona juga bukan," berkata
Siang Put Tong, "kecurigaan jadi jatuh atas diri Kim ciong Toojin-.."
"Tuan-tuan, kata kata kalian semua beralasan," berkata Ma Goan
Hok. "tapa akupun mempunyai suatu pikiran- Rasanya si pembunuh
masih ada didalam ruang ini..."
Kembali semua hadirin terperanjat. Segera mereka masing
masing saling melirik dan hati mereka semua berdenyut karena
kekhawatiran- Semua takut menjadi sasaran pedang maut itu.
Ruang besar itu menjadi sunyi sekali.
"Terkaan saudara Ma beralasan," berkata Siang Put Tong, "Kiu
Heng cie Kiam turun tangan didepan mata kita, tikamannya telak
sekali. Kalau dia tidak berada dekat Nlo cu Peng, mana bisa dia
menyerang demikian rupa" Tapi coh Siauw Pek dan si nona berbaju
hijau tidak dapat dituduh. Habis, siapakah Bukankah yang paling
dapat dicurigai hanya Kim ciong Toojin" Atau kalau semua hadirin
disangsikan, yang terutama ialah cio Tiat Eng..."
"Aku?" tanya Tiat Eng terkejut.
"Benar Kau berada paling dekat dengan cu Peng, kalau kau turun
tangan, lain orang tak akan dapat lihat..."
" omong kosong" bentak tongcu itu. Dia tertawa hambar.
"Jangan salah mengerti, saudara cio," kata Put Tong. "Aku cuma
mengatakan orang yang dapat dicurigai, bukan aku menuduh kau
sebagai si pembunuh." Tiat Eng masih tidak puas.
"Bagaimana jikalau aku menuduh kau, Siang ciang bun?" dia
tanya. "Boleh saja Memang akupun termasuk salah seorang yang
harus dicurigai "
Menjawab begitu, ketua Thay Im Bun itu segera berpaling
kepada nyonya Uh. Dia hanya bersangsi sejenak. lalu dia
melanjutkan: "Melihat keadaan maka Nyonya Uh adalah orang
kedua yang harus turut dicurigai..."
Nyonya yang tengah mengenakan pakaian berkabung itu
memandang ketua Thay Im Bun itu. Ia heran dan mendongkol. Tapi
ia masih dapat mengendalikan diri.
"Apa katamu?" tanyanya, menegaskan"Aku cuma tengah memahami si pemilik pedang maut," sahut Put
Tong. "Lalu apakah sangkut pautnya dia dengan aku?" suara si nyonya
tawar sekali. "Nlo cu Peng terbinasakan didalam ruang ini, dihadapan kita,
karena itu, siapapun disini dapat dicurigai," Put Tong menjelaskan"
Sudahlah," ouw Bwe menyela. "Sekarang ini tindakan kita yang
paling utama ialah membicarakan soal untuk menghadapi coh Siauw
Pek dan kedua mencari pembunuhnya Nlo cu Peng..."
"Bukankah aku justru tengah memikirkannya" balik bertanya Put
Tong. "Aku hanya tidak mengerti cara kerjamu, Siang ciangbun," kata
ouw Bwee. "Emas tulen pastilah tidak takut api, saudara ouw, berkata siang
Put Tong terus terang, kau juga terhitung orang yang dapat
dicurigai."
"Aku?" kata si Tua Terbang, mengejek. "Tak pernah aku berkisar
dari tempatku berdiri ini dan aku juga orang yang pertama
menempur coh Siauw Pek."
"Soalnya segalanya masih gelap..." Put Tong membela terhadap
anggapannya sendiri. ia terus mengawasi dua saudara Madan
menyambung i: "Kamu juga dapat giliran, saudara saudara."
Ma Goan Hok tertawa terbahak.
"Mungkinkah kami bersaudara sudi mencari kesulitan kami
sendiri?" kata dia.
"Siapa juga dapat dicurigai, karenanya kamu pun tak terkecuali.
Put Tong berkata pula. Sudah tentu diantara kamu berdua, sang
adik yang harus lebih dicurigakan-.."
"Jadi akulah yang paling dicurigai?" Ma Goan Siu tegaskan- Dia
gusar. Siang Put Tong tertawa.
" Itulah karena kau berdiri disitu dan kau lebih mudah bergerak
dibanding dengan kakimu," Put Tong menjelaskan"Saudara Siang, harap kau jangan sembarang membuka mulut ini
bukan sebuah lelucon Kalau hal ini tersiar luas, bagaimana harus
mencegahnya ?"
Put Tong tertawa pula.
"Inilah pendapat kakakmu sendiri, saudara. Dia yang
mengatakan bahwa semua hadirin di sini bisa dicurigai si pemilik
pedang maut "
"Kiranya, saudara, kau menyangka kami " kata GOan Siu.
"Tentang kata kataku ini benar atau salah, tinggal harus
dipikirkan saja. Menurut aku, rasanya tak sulit buat mencari
sipenjahat..."
"oh ya, akupun mendapat suatu pikiran-.." berkata ouw Bwee
tiba tiba. "Apakah itu, saudara ouw?" tanya Put Tong. "Tolong kau
jelaskan."
"Belum pernah kau kekantor cabang cit Seng Hwee," si Tua
Terbang menjelaskan, "tetapi aku merasa, penjagaan disana
tentunya keras sekali..."
"Benar," menyela nyonya Uh. "sepuluh lie disekitar markas ada
dipasang penjagaan yang dirahasiakan, seandainya ada orang
memasuki wilayah kami itu, segera gerak gerikn dapat diketahui."
"Kalau begitu, nyatalah pemikiranku bertambah kemungkinan
kebenarannya..."
"Saudara, lekas sedikit memberikan penjelasanmu," Ma Goan
Hok mendesak. "Coh Siauw Pek dan si nona baju hijau dapat dicurigai," kata ouw
Bwee, "demikian juga kita. Karena itu, mengapakah Nio Cu Peng
tidak dapat menjadi pembunuh dirinya sendiri."
"Kau maksudkan dia membunuh diri?" tanya Goan Hok.
"Benar Mungkin dia telah kena dibeli dan berkhianat terhadap
partainya..."
" Habis kenapakah dia bunuh diri?" tanya Put Tong.
"Mungkin dia takut rahasianya terbuka. Atau mungkin Kiu Heng
Cie Kiam sudah mempunyai seorang pengganti didalam cit Seng
Hwee." "Saudara ouw, hati-hati kalau bicara" tegur Tiat Eng, " kata- kata
mu ini mengenai nama baik partai kami, ini tak patut kami terima "
Mendengar semua pembicaraan itu, Ma Goan Hok menghela
napas berduka. " Kelihatannya tetap kita tak akan berhasil mencari si penjahat,"
katanya, "sikap saling curiga-mencurigai bukanlah suatu cara yang
baik untuk menyelesaikan soal ini."
" Kakakku telah menyiapkan meja santapan diruang barat, tuantuan
mari kita makan dulu," berkata Ma Goan Siu, menyela.
"Bagaimana kalau kita berbicara sembar bersantap?"
"Begitupun baik" kata Put Tong. Terima kasih.
Ma Goan Hok lalu mengundang para tetamunya itu. Ia berjalan
didepan, diikuti ouw Bewe Goan Siu dan Tiat Eng beserta lainnya.
Put Tong jalan paling belakang.
Ruang barat itu adalah sebuah halaman yang ditanami banyak
pohon bunga, temboknya biru. Ruang itu terpisah dari bangunan
lainnya. "Nah, tuan-tuan disini kita dapat berbicara dengan bebas," kata
Goan Hok setelah dia mempersilahkan para tetamunya mengambil
tempat duduk. Put Tong merasa heran.
"Kenapa dilain tempat kita tidak bisa bicara tetapi disini dapat
dengan leluasa ?" tanyanya.
"Karena tempat ini dikurung dengan pesawat pesawat rahasia,"
Goan Hok menjelaskan- "orang luar tidak dapat mendekati kita
hingga semua pembicaraan tidak akan bocor."


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mulai minum, Put Tong mengeringkan tiga buah cawan- Mulanya
dia diam saja, setelah menegak air kata kata itu, baru dia berkata.
"Coh Siauw Pek sebagai turunan keluarga Coh sudah tidak dapat
disangkal lagi, sebab dia telah mengaku sendirinya. Tentang
kegagahannya, kita juga telah menyaksikan sendiri. Dia pula tidak
dapat dituduh sebagai pemilik pedang maut itu. Maka sekarang kita
harus menyelidiki lain orang.. ^" Ia menatap wajah semua tetamu,
setelah itu baru ia meneruskan: "pemilik pedang maut itu luar biasa.
Dia menamakan pedangnya secara aneh dan gerak geriknyapun
sangat rahasia. Melihat dari kurban- kurbannya, terang dia tidak
memilih partai, dia bagaikan memusuhi semua pay, bun, hwee dan
pang Sekarang, saudara saudara, coba pikirkan, kecuali Pek Ho bun,
apakah ada pernah ada sebuah partai lain yang telah dibasmi oleh
kaum Rimba Persilatan kita ?"
"Aku ingat sesuatu. Mungkin ada hubungannya dengan soal kita
ini " Itulah kata kata Hui Siu ouw Bwee si tua terbang.
"Tolong jelaskan, saudara ouw," Ma Goan Hok minta"Apakah saudara-saudara pernah dengar nama Thian San Sam
Cian?" bertanya ouw Bwee.
"Thian San Sam Cian- artinya si Tiga Cacat dari (gunung) Thian
San" "Pernah aku mendengarnya. Dahulu merekalah jago jago rimba
persilatan yang kenamaan untuk wilayah Tiong goan-"
"Betul " ouw Bwee membenarkan. " Ketika aku sedang menuju
kemari, aku dengar kabar halnya Thian San Sam Cian sudah
memasuki Tiong goan dan maksud kedatangannya guna melakukan
pembalasan sakit hati sebab dahulu orang telah mengusirnya dari
Tiong goan-" Semua orang terkejut, paras mereka berubah.
"Saudara, darimana kau peroleh berita itu?" tanya Goan Hok.
wajahnya pucat.
"Aku mendengarnya sewaktu aku berada di lauwteng Hong Ho
Lauw. Ketika itu aku tidak menaruh perhatian- Baru sekarang,
setelah saudara siang menyebutnya, aku jadi ingat kembali."
Suasana diruang perjamuan itu menjadi tegang. Ruang sunyi
tetapi setiap orang berpikir keras, lebih lebih Ma Goan Hok.
Kini, baiklah kita mengikuti dahulu coh Siauw Pek bertiga.
Pemuda itu meninggalkan Hok Siu po sebab dia terlukakan pukulan
angin Im Hong Touw Kut ciang. Ia tahu tak dapat ia berkelahi
terlalu lama, maka ia mengajak kedua saudaranya mengangkat kaki.
Sambil berlari lari, ia mempertahankan diri dengan mengerahkan
tenaga dalamnya untuk mencegah lukanya menjalar. Ia lari cepat
sekali sampai oey Eng dan Kho Kong hampir tidak dapat
mengejarnya, hingga mereka ini heran menyaksikan ia dapat lari
begitu keras. Lewat kira kira dua puluh lie, mendadak tubuh Siauw
Pek limbung. Kho Kong terkejut, segera dia lompat guna menyambut. Tapi dia
gagal, ketuanya itu telah roboh terguling. Dia lalu berjongkok sambil
mencekal tangan Siauw Pek. Tetapi tiba tiba dia menjadi kaget pula.
Tangan ketua itu dingin seperti es. oey Eng pun memburu.
"Bagaimana, adik?" ia tanya Kho Kong.
"Berat lukanya," Kho Kong menjawab. "Tangannya dingin sekali."
oey Eng berkuatir tetapi ia tak sebingung kawannya. Ia
mengangkat tubuh siauw Pek sambil berkata: "Jangan bingung,
orang baik diberkahi Tuhan Mari kita cari pondokan dahulu, baru
kita berusaha mengobatinya. Kelihatannya pengaruh Hok Siu po di
daerah ini besar sekali, kita harus menyingkir dari mereka."
Kho Kong setujui kakak ini. "Mari " katanya.
Berdua mereka berlari lari, menuju kearah barat dimana nampak
sebuah rimba. Mereka tiba disana selang setengah jam. Itulah
sebuah rimba besar dan lebat, yang berada dibelakang sebuah
gunung. "Inilah tempat baik untuk kita berlindung," kata oey Eng setelah
memasuki rimba dan melihat kesekitarnya. Tak mudah orang
melihat mereka. "Tapi luka toako mungkin perlu pertolongan tabib,"
kata Kho Kong. oey Eng mengangguk.
"Mari kita cari dahulu tempat beristirahat," katanya seraya terus
bertindak maju.
Lewat sepuluh tombak, mereka sukar maju lebih jauh, karena
lebatnya pohon dan tebalnya rumput.
"Mari aku membuka jalan " kata Kho Kong. Mereka perlu maju
lebih jauh. oey Eng mengangguk.
Kho Kong menghunus pedang Siauw Pek.
"Jangan " oey Eng mencegah. "Dengan membabat pepohonan,
memang kita mudah masuk lebih jauh, tetapi itu akan memudahkan
orang lain pula untuk mengetahui jejak kita."
"Habis bagaimana, kakak ?"
"Lebih baik gunakan saja kedua tanganmu."
Kho Kong menurut, ia berjalan dimuka, saban saban ia
mementang tangannya kekiri dan kekanan, membuka jalan- Lagi
tujuh atau delapan tombak. mereka sampai dibawah sebuah pohon
jie yang besar dan banyak cabangnya serta daunnya lebat.
Dibawahnya tumbuh rumput rumput tebal. Maka setelah meratakan
rumput itu, segera tubuh Siauw Pek diturunkan, untuk ditidurkan"Kita beristirahat disini saja," berkata oey Eng.
Kho Kong mengangguk, ia mengangkat kepalanya.
"Lihat cabang lebat itu," katanya. "Disana kita dapat berdiam..."
oey Eng berdongak. Benar, ia melihat banyak cabang besar
malang melintang hingga berupa balai balai.
"Kalau perlu, dapat kita berdiam diatas," katanya.
"Bagaimana dengan luka toako?" Kho Kong tanya kemudian"Aku tidak mengerti tentang obat obatan, terserah kepada kau saja,
jieko." "Jieko" ialah kakak yang nomor dua.
"Jangan kuatir. Tenaga dalam toako mahir sekali, luka ini tidak
akan membahayakannya. Toako pingsan disebabkan terlalu letih."
Berkata begitu, oey Eng meraba nadi kiri ketuanya. Tiba-tiba ia
terkejut. Kalau tadi ia nampak tenang, sekarang wajahnya tegang.
Kho Kong dapat melihat perubahan mukanya.
"Bagaimana, berbahayakah, Jieko?" tanyanya buru-buru.
"Denyutan nadinya lemah. Tak sanggup aku meringankannya..."
"Habis bagaimana jieko pikir?"
"Kau tunggu disini, aku mau pergi ke desa yang terdekat, buat
mencari tabib."
"Kalau begitu, pergilah cepatan " oey Eng mengangguk.
"Mari kita pindahkan dahulu toako keatas pohon."
Kho Kong setuju. Dia mendahului memanjat keatas untuk
mengatur tempat. Beberapa potong batang dipotongi, diseling dan
diikat. Tak lama kemudian, diatas pohon itu sudah terdapat
semacam balai balai. Tabuh Siauw Pek segera diikat dengan sabuk,
separuh ditarik dan didorong, ia dibawa naik keatas, direbahkan
diatas balai balai istimewa itu.
"Sekarang jagalah toako baik baik, aku hendak pergi," pesan oey
Eng, yang terus melompat turun, akan keluar dari rimba, buat
menuju ke dusun yang paling dekat.
Kho Kong mendampingi ketuanya dengan bajuhnya, ia kerobongi
tubuh ketua itu, yang masih belum sadarkan diri juga. ia sangat
bingung. Maka ia duduk termenung saja. Setelah lewat beberapa
lama, mendadak terdengar suara yang nyaring.
Kho Kong heran, ia menoleh. Maka ia melihat seekor burung,
yang tidak dikenalnya, terbang melintasi cabang cabang dan
berhenti di bawah pohon jie itu. Bulu burung itu berwarna dan
mengkilat, dia menghampiri sebuah pohon dengan bunga warna
ungu, dipatuknya dua tangkai bunga, terus dia terbang pergi pula.
"Entah pohon kembang apa itu?" si anak muda berpikir.
"Mengapa burung itu mencarinya dari jauh dan ditempat hebat
begini?" Saking herannya, Kho Kong berlompat turun- Dipetiknya satu
tangkai, lalu diciumnya. Ia tidak membaui apa apa. Kemudian timbul
keinginannya untuk menggigit, buat merasai sarinya. Tetapi belum
sampai kemulutnya, tiba tiba ia ingat: "Kalau bunga ini beracun,
bukankah aku akan mati konyol" Buatku tidak apa tetapi bagaimana
dengan toako, siapa akan menungguinya?" Karenanya, ia batal
menggigit kembang itu, dan ia terus memasukkannya ke dalam
sakunya. Dilain detik, timbul pula herannya anak muda ini. ia bertanya
tanya, apa perlunya burung itu memetik hanya bunga itu saja"
Kenapa tidak lain bunga" Karena ini, ia petik pula beberapa tangkai,
lalu dimasukkannya kesakunya, baru ia melompat lagi naik keatas
pohon. Mengawasi ketuanya, Kho Kong menjadi semakin bingung, Maka
ketua itu menjadi semakin pucat, tangan dan kakinya dingin. juga
nafasnya, jalannya semakin perlahanKetika itu, tak diketahui anak muda ini sudah jam berapa. Dahan
dahan menutupi cahaya matahari. Apa yang ia tahu ialah cuaca
makin guram. Sangat ia mengharapkan kembalinya oey Eng. Sulit
untuknya menenangkan hati. ia merasakan lama seperti sudah
berhari hari dan bulanan...
Akhirnya Kho Kong mendengar suara tindakan kaki orang berlari
lari, segera ia menoleh dan memasang mata. ia melihat seorang
dengan dandanan sebagai petani sedang lari mendatang. Petani itu
menggendong seorang lain dipunggungnya. ia terkejut dan heranSegera ia bertanya tanya sendiri, apa perlunya orang itu lari
kedalam rimba" Sangat pesat lagi seorang itu, selagi ia masih
menerka nerka, orang telah tiba dibawah pohon"Adikku, bagaimana sakitnya toako?" demikian ia mendengar
orang itu menanya.
Hanya sedetik, hilanglah keheranannya Kho Kong. Ia mengenali
suara oey Eng. Dengan hati lega, ia melompat turun- Dilihatnya
orang yang digendong itu, ternyata adalah seorang tua. Walaupun
digendong, dia rupanya capai sekali, hingga napasnya memburu.
"Nampak keadaan toako makin parah," sahutnya kemudian, "Aku
justru lagi bingung. Syukur kau kembali" oey Eng membuka
tudungnya. "Lekas kau naik dan menurunkan sabuk. mari kita ke atas." Kho
Kong menurut, ia lari berlompat naik.
Sesaat kemudian, orang tua itu sudah berada diatas pohon,
duduk disisi Siauw Pek. masih saja ia tersengal sengal. Baru
sesudah hilang letihnya, ia meraba nadi si anak muda. Lalu ia
menggeleng geleng kepala. Katanya, "keadaannya terlalu parah,
tidak dapat aku menolongnya..."
Kho Kong terkejut, hatinya sedih sekali dan bingung^
"Apakah katamu?" tanyanya, keras. "Kakakku tak dapat ditolong
lagi?" "Aku tidak berkata dia tak dapat ditolong, tetapi akulah yang
tidak sanggup," sahut orang tua itu.
"Jangan takut, tuan," kata oey Eng. "Kau coba saja. Kalau kau
gagal, kami tidak akan minta ganti jiwa dari kau..."
"Aku percaya kamu tidak akan menyesali atau menggusari aku,
hanya..." "Biar bagaimana, tuan, cobalah," oey Eng meminta, "katanya kau
tabib pandai sekali. Percayalah, jikalau kau berhasil, kami akan
memberi hadiah besar kepadamu "
"Aku tidak mengharapkan hadiah," kata tabib itu. "Baiklah akan
kucoba, tetapi tak dapat aku memastikannya." Kho Kong tidak
sabar. "Luka begini saja kau tidak mampu obati, buat apa kau menjadi
tabib ?" tegurnya. Tabib itu terkejut, dia jeri hingga tubuhnya
bergentar. "Akan aku coba..." katanya pula.
"Mustahil kau tidak tahu dia terluka karena apa?" tanya Kho
Kong. "Mungkin dia terkena angin jahat."
"Omong kosng Tenaga dalam kakakku mahir, mana mungkin dia
dapat terlukakan angin." Tabib itu melengak.
"Sudah, adikku," menyela oey Eng, menghela napas "jangan
bikin dia takut. Bagaimana dia bisa mengobati?"
Tabib itu mulai memeriksa nadi Siauw Pek.
"Nampaknya dia benar terkena angin," katanya kemudian"Mungkin ada hawa jahat di dalam perutnya..."
"Dapatakah tuan menolongnya?" oey Eng tanya.
"Sebaiknya dia harus mengeluarkan banyak peluh, supaya hawa
jahat diperutnya itu turut keluar, sesudah itu baru dia makan obat
kuat." "Bukankah itu berarti memakan banyak waktu ?" tanya Kho
Kong. "Menurut pengalamanku, demikianlah. Dia perlu waktu satu hari
satu malam, setelah itu dengan melihat keadaannya, kita berikan
obat. Aku tidak mengetahui ilmu silat, maka itu aku bicara menurut
ilmu pengobatan belaka."
oey Eng percaya orang bicara dengan sejujurnya.
"TUan," tanyanya, "tahukah kau kalau disekitar tempat ini ada
lain tabib yang pandai" Aku maksud tabib yang mengerti ilmu luka
terpukul?" orang tua itu berpikir.
"Tabib tidak ada, tetapi ada seorang pendeta yang mengerti ilmu
obat obatan yang mungkin melebihi aku," sahutnya. "Dia tinggal
dari sini jauhnya tiga puluh lie lebih."
"Jangan bicara soal kemungkinan" kata Kho Kong. "Katakan saja,
dia sanggup atau tidak."
"Sebenarnya aku mengetahui tentang dia pada belasan tahun
yang lampau," kata tabib itu. " Waktu itu aku diundang mengobati
seseorang yang mendapat sakit mendadak. Kami telah melewati
rumah penginapan, sudah begitu, kebetulan turun hujan besar.
Kami mampir dikuil yang terletak disebuah tegalan-.."
Tabib ini batuk batuk. baru ia melanjutkan kata katanya: "Kuil itu
sudah tua dan rusak disana sini, penghuninya juga cuma seorang
pendeta yang sudah berusia lanjut sekali. Dia memberi kami kamar
ditempat sebelah barat."
Kho Kong tidak sabaran mendengar orang bercerita lambat
sekali, mau dia menegur, baiknya oey Eng dapat mencegahnya.
Terpaksa dia menahan diri.
Tabib itu melirik sianak muda, dia melanjutkan- "Kira kira jam
tiga lewat, hujan turun semakin besar, angin menderu deru, dan
guntur berbunyi tak hentinya, diseling halilintar saling menyambar
berkedapan- orang yang menjemput aku sudah tidur nyenyak.
Gangguan guntur membuatku sukar memejamkan mata. Aku pergi
kejendela, untuk melongok sebentar.Justru itu, aku melihat sesuatu
yang luar biasa."
"Apakah itu?" tanya Kho Kong. "Lekas jelaskan. Kau mengulur
waktu ya?"
"oh, tidak..." sahut tabib itu. Dia menyusut peluh didahinya
"Selagi aku melongok itu, kilat berkelebat, maka aku melihat
seseorang yang (tidak jelas). Ditangannya memegang senjata
tajam. Hujan lebat sekali, aku tidak dapat melihat tegas. Akupun
kaget. Tapi si orang perempuan mengenakan pakaian putih,
bajunya yang penuh darah membuatnya terlihat lebih nyata..."
"Apa" seorang perempuan?" oey Eng memotong.
"Merekalah seorang pria dan seorang wanita. Wanita itu riapriapan
rambutnya, nampaknya menakutkan- Si pria memondong
wanita itu tetapi kelihatannya lukanya jauh lebih parah. Menurut
penglihatanku waktu itu, mereka itu perlu segera dibalut, supaya


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

darahnya dapat dicegah keluarnya. Maka aku memikir buat
membukakan mereka pintu, untuk mengajak masuk.Justru itu aku
segera melihat sipendeta tua, yang matanya picak sebelah, sudah
berdiri menantikan ditangga didepan pendopo..."
"Jadi pendeta itulah yang telah menolong mengobati kedua
orang itu?"
Ketika itu aku mendengar wanita itu berkata, "Loo siansu,
tolonglah..." lalu dia bersama si pria roboh ditangga itu. Pendeta itu
menghela napas, dia mengangkat pria dan wanita itu untuk dibawa
masuk." "Loo siansu" adalah panggilan untuk seorang pendeta tua yang
dianggap suci dan berilmu.
"Kemudian?"
"Selanjutnya aku tidak tahu, sebab aku tidak melihat mereka
lagi." " Kau tidak melihat, kenapa kau tahu pendeta itu telah
menyembuhkan kedua orang itu?" tanya Kho Kong.
"Aku hanya menerka. Peristiwa itu mengagetkan aku. Malam itu
aku tidak dapat tidur pulas. Besoknya, setelah terang tanah dan
hujan angin berhenti, aku lalu pamitan pulang. Selama itu tidak ada
sesuatu yang terlihat dan mencurigakan atau luar biasa, semuanya
tenang tenang saja."
"Apakah alasan dari terkaanmu itu?"
"Aku memikir si pendeta orang yang baik hati, jikalau dua orang
itu tidak tertolong dan mati, pastilah si pendeta akan mengurus dan
mengubur mayat mereka itu. Tapi ketika itu di luar dan sekitarnya,
aku tidak melihat kuburan atau tanah yang bekas digali dan
ditumpuk lagi."
"Tahukah kau, apa namanya kuil itu?" tanya oey Eng.
"Mulanya aku tidak memperhatikan, satu kali aku menoleh
kebelakang, baru aku melihat namanya, yaitu Siauw Thian ong sie."
"Siauw Thian ong sie..." oey Eng mengulang perlahan- Lalu dia
menegaskan: "Apakah kau tidak salah ingat?"
"Tidak."
"Kira kira apakah si pendeta masih berada dikullnya itu atau
tidak?" "Ini aku tidak tahu pasti. Peristiwa telah berselang sepuluh
tahun- Kuil itupun berada ditempat sepi dan sudah tua sekali. juga
si pendeta telah berusia lanjut."
oey Eng masih menanya dimana letak kuil itu, setelah itu dia
mendukung si tabib untuk dibawa turun- Segera ia memesan"Tuan, jikalau kau ingin selamat berumah tangga, aku minta
janganlah kau menyebut nyebut halnya kami telah mengundang kau
datang kemari untuk mengobati orang " Kata kata itu berupa
peringatan keras.
"Aku tahu," sahut si tabib.
"Baiklah Sekarang sudah tidak ada apa apa lagi, mari aku antar
kau keluar dari rimba ini."
Kho Kong heran saudaranya begitu mempercayai si tabib. Ia
anggap itulah tindakan gegabah. Tapi ia tidak berkata apa apa.
Hanya setelah saudara itu sudah kembali, ia memperlihatkan rupa
tidak puas. Katanya: "Kalau terjadi sesuatu atas diri toako, aku akan
adujiwaku, akan aku bakar Hok Siu Po "
oey Eng tahu kawannya gelisah, ia tidak mempedulikan, ia hanya
meraba dada Siauw Pek. Ketia itu masih tak sadarkan dirinya, tetapi
jantungnya masih berdenyutan"Sabar, saudaraku," katanya kemudian- "Percuma kau bingung
tidak keruan..."
"Kau benar, tetapi aku bingung sebab memikirkan bagaimana
kita harus menolong toako. Baru saja kau biarkan tabib itu pergi..."
"Tabib itu tabib umum, bukan tabib luka, dia tak dapat menolong
kita." "Kalau begitu, bagaimana sekarang" Apakah kita membiarkan
saja toako menderita?"
"Kita pergi ke Siauw Thian ong Sie "
"Sudah lewat sepuluh tahun, apakah si pendeta masih ada?"
"Kita coba saja. Mungkin pendeta itu seorang jago Rimba
Persilatan yang sudah mengundurkan diri, maka dia tinggal menyepi
di sana." "Kalau begitu, mari kita pergi sekarang. Kita tak boleh menyia
nyiakan waktu."
"Kita tak dapat pergi sekarang. Ada kemungkinan pihak Hok Siu
Po lagi mencari kita..."
"Habis bagaimana?"
"Kita tunggu sampai nanti malam. Semoha Thian melindungi kita"
Mau tidak mau, terpaksa Kho Kong menurut kata oey Eng.
"Sekalipun kita jalan diwaktu malam, siapa tahu kalau kita bertemu
dengan orang Hok Siu Po..." Kho Kong berpikir, kata kata kakak itu
benar, terus ia duduk bersemedi.
oey Eng pun beristirahat, walaupun pikirannya tidak tenang.
Berat rasanya akan menantikan datangnya sang sore.
Bagaikan merayap. sang cuaca mulai guram dan gelap.
Dengan menyabarkan diri, oey Eng menantikan sang waktu.
Akhirnya, ia memondong tubuh Siauw Pek, dibawa berlompat turunKho Kong turut turun juga.
"Saudaraku, kau ikatkan tubuh toako pada punggungku," kata
kakak yang nomor dua itu. Kho Kong menurut, ia bekerja cepat.
"Mari" mengajak Oey Eng. ia melihat arah, lalu ia mulai berjalan,
untuk menuju kekuil Thian ong sie, kepada Kho Kong ia berpesan:
"Jikalau kita bertemu orang Hok Siu po, kita memisah diri, lalu kita
bertemu di Siauw Thian ong Sie. Andaikata di dalam waktu satu hari
aku tidak tiba disana, tak sudah kau cari aku..."
" Kenapa, kakak?" tanya Kho Kong heran.
"Itu berarti aku menghadapi bahaya. Selanjutnya, adikku
berusahalah sendiri..."
"Tidak" kata Kho Kong, tapi dia bingung.
"Kita sudah sehidup semati, bila kakak berdua mendapat bahaya,
tidak dapat aku hidup sendiri..."
oey Eng tahu tabiat adik itu, ia tidak mau bicara lagi. "sudahlah"
katanya. Kho Kong maju kedepan, melewati saudaranya. ia menyiapkan
sepasang pitanya.
Meskipun hari telah malam, tetapi demi keamanan, dua orang ini
mengambil jalan kecil, karena ini, mereka jadi memakan waktu lebih
lama. Selang dua jam, baru mereka sampai di kuil yang dituju itu,
yang mudah dicari sebab letaknya mencil di tengah tegalan sepi.
Di depan pintu peka rangan tumbuh dua buah pohon pek yang
besar. Kho Kong mau segera mengtuk pintu, tapi kakaknya
mencegah. "Kita masuk dengan melompati tembok," bisik saudara ini.
Bahkan ia mendahului, melompat naik, untuk terus lompat turun
kesebelah dalam. Kho Kong menyusul.
"Jika si pendeta benar liehay, bukankah perbuatan kita ini tidak
pantas sekali?" katanya.
"Jika dia tidak sudi menemui orang, bukankah percuma kita
datang kemari?" oey Eng menjawab. "Kita berbuat begini karena
terpaksa."
Kuil itu dinamakan Siauw thian ong Sie. "Siauw" berarti kecil,
tetapi kuilnya cukup besar. Dilihat dari luar, di dalamnya mungkin
ada belasan kamarnya. Bagaimana kita cari pendeta picak itu?"
tanya Kho Kong.
"Datangi saja setiap kamar," sahut oey Eng.
Tiba tiba keduanya mendengar satu suara yang berat:
"Amidabuddha Siecu berdua berkenan mengunjungi kuil kami, ada
apakah pengajaran siecu?"
oey Eng dan saudaranya terkejut. Serentak mereka berpaling.
Sejarak beberapa belas tombak mereka melihat sesosok tubuh
manusia. Kho Kong maju mendekati, ketika ia melihat mata orang
buta sebelah, tiba tiba dia tertawa.
"Nampaknya kau girang sekali, siecu Apakah yang kau
tertawakan?" tanya sosok tubuh itu, setelah dia menghela napas
perlahan- "Itulah karena boanpwee girang dapat bertemu dengan
loocianpwee," menjawab Kho Kong "karena dengan begini menjadi
terbukti kami tak sia sia belaka datang kemari."
Si sembrono ini masih ingat akan bicara dengan memakai aturan,
menyebut dirinya "boanpwee", tingkat muda, dan memanggil si
pendeta "loocianpwee", tingkat tua. ini disebabkan setelah dapat
melihat lebih nyata, ia mendapatkan imam picak itu berwajah
tenang dan agung.
oey Eng cepat menghampiri, sambil memberi hormat, ia berkata:
"Loosiansu, kami memohon pertolonganmu. . . " Pendeta itu
mengawasi. "Apakah dia sakit parah?" tanyanya. Dia melihat Siauw Pek.
"Kakakku ini mahir tenaga dalamya, tak mudah dia sakit,"
berkata Kho Kong. "Dia sebenarnya mendapat luka didalam..."
Agaknya si pendeta heran. Bergantian dia menatap kedua
tamunya. "Kita tidak kenal satu sama lain, kenapa siecu berdua dapat
mencariku disini?" tanyanya kemudian"
Kami mendapat petunjuk seorang loocianpwee," menjawab oey
Eng. "Karena itu dengan lancang kami datang berkunjung. Kami
mohon dengan sangat supaya loosiansu sudi menolong saudara
kami ini."
"Tahukah kamu siapa loo ceng ini?" tanya si pendeta. Dia
menyebut dirinya "loo-ceng", si pendeta tua. inilah karena dia telah
berusia lanjut. Umumnya seorang pendeta membahasakan dirinya
"pin-ceng". si pendeta miskin.
"Kami belum tahu nama atau gelaran loosiansu."
"Kamu belum tahu atau tak mau menyebutnya?"
"Sebenarnya belum tahu. Ketika loocianpwee yang memberitahu
kami menyuruh kami datang kemari, dia tidak menyebut nama
loosiansu."
Pendeta bermata satu itu mengangkat kepalanya, memandang
langit yang gelap. sambil mendongak dia berkata seorang diri:
"Kamu telah datang, tak dapat loo ceng merusak nama Sang Budha
dengan menolak kamu."
"Terima kasih, loosiansu," kata oey Eng. Ia menjura pula. "Kami
sangat bersyukur."
"Jikalau loosiansu dapat menolong kakakku ini, bersedia aku
menjadi muridmu," kata si sembrono tanpa pikir masak masak lagi.
Pendeta itu tertawa.
"Loo ceng sudah tua, sudah lama aku tidak menerima murid
lagi," katanya. ia menoleh pada oey Eng sambil menambahkan.
"Mari masuk kedalam "
oey Eng mengikut, Kho Kong menyusul.
Mereka melewati toa-tian, pendopo besar, memasuki sebuah
kamar. Pendopo itu diterangi oleh sebuah pelita. Maka terlihatlah sebuah
kamar yang sangat sederhana. DiSitu hanya terdapat sebuah
pembaringan kayu, sebuah poutoan, dan buku (Poutoan ialah alasan
se-orang pendeta berlutut atau duduk be(halaman ini hilang
separo)" Pendekar Laknat 7 Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara 7

Cari Blog Ini