Ceritasilat Novel Online

Pedang Pembunuh Naga 15

Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Bagian 15


Ie It Hoan berjalan lebih dulu. ia lari menunjuk kedalam rimba. Didalam rimba itu tak ada jalan, ia membelok.ketimur dan kebarat mulutnya berseri-seri tanpa irama, sebentar kemudian, tibalah disuatu tempat lapangan, ia lalu berhenti dan berkata:
"Toako disinil"
Hui Kiam mengawasi keadaan disekitarnya dengan mata beringas, kemudian bertanya:
"Mengapa tidak tampak bayangan seorang pun juga?"
"Sebentar mereka akan menunjukkan diri." berkata le It Hoan dengan suara tidak wajar.
'Kenapa kau tidak mengajakku ke tempat nya" "
"Inilah tempatnya!"
"Bohong, lapangan ini nampaknya belum di urus orang. sedikitpun tidak ada bekasnya, sedangkan anak buah orang berbaju lila itu sedikitnya ada seratus jiwa, apakah tiada tempat yang lebih tepat untuk tempat pertemuan " '
"Toako........."
"Tutup mulut, aku tebas batang lehermu dulu, baru pergi ketempat bawah sumur itu untuk membuat perhitungan!"
Wajah Ie It Hoan berubah seketika, dengan-perasaan ketakutan ia mundur beberapa langkah, ia tahu bahwa pada saat itu pikiran Hui Kiam sudah tidak waras, tidak bisa diajak bicara menurut pikiran orang waras. Dengan kepandaiannya itu Ie It Hoan pasti sulit lolos
dari tangannya, betapapun cerdiknya Ie It Hoan pada saat itu juga tidak berdaya sama sekali.
Hui Kiam perlahan lahan menghunus pedang nya nampaknya benar-benar ia akan turun tangan.
Dengan perasaan cemas Ie It Hoan mengawasi keadaan disekitarnya, kemudian berkata dengan suara cemas.
"Toako kau dengar dulu keterangan siaotee mu....."
Hui Kiam sudah menunjukkan sikap hendak menyerang.
Keringat dingin mengucur deras dibadan Ie It Hoan .....
Dalam keadaan amat kritis itu, tiba-tiba terdengar suara orang tua:
"Jangan bertindak "
Hampir bersamaan pada saat itu, seorang tua kurus kering berambut putih melesat masuk kedalam lapangan, It Hoan menghapus keringat dingin yang membasahi dahinya lalu menjatuhkan dirinya ditanah, kemudian berkata dengan nada suara ketakutan:
"Locianpwee, aku sipengemis kecil hampir saja kehilangan jiwa!"
Hui Kiam memandang orang tua itu sejenak. Kemudian berkata dengan nada suaranya yang ketus dingin:
"Adakah kau orang tua tiada turunan Locianpwee"
Orang tua tiada turunan itu mengawas le it hoan dengan perasaan bingung, kemudian matanya ditujukan kepada Hui Kiam, barulah ia mengajukan pertanyaanya;
"Hui Siaolap, kalian berdua ada urusan apa?"
le it hoan segera menjawab: "Locianpwee toako mungkin salah paham ia hari ini datang hendak membunuh orang'." Sehabis berkata demikian, dengan diam diam ia menghirang dalam rimba.
"Apa" Hendak membunuh orang?"
"Benar, kedatanganku ini memang hendak membunuh orang. Mengapa orang berbaju lila tidak menampakkan diri?" Berkata Hui Kiam dingin.
"Apakah kedatanganmu ini semata mata hanya hendak membunuh orang berbaju lila saja?"
"Emmm, masih ada orang-orang sekelompoknya!"
"Termasuk aku siorang tua juga?"
"Mungkin!"
"Kenapa'"
"Harus mampus"
"Kenapa harus mampus?"
"Aku tidak tempo untuk mengadu lidah."
Orang tua tiada turunan sudah banyak makan asam garam didunia Kang Ouw, menyaksikan keadaan Hui Kiam, dalam hati sudah mengerti sebahagian, maka dengan tetap tenang ia berkata:
"Apakah siaohiap masih ingat nasehat orang menebus dosa?"
"Orang menebus dosa, hmm! Sama juga harus dibunuh!"
"Dia dengan saohiap agaknya toh tidak bermusuhan apa apa?"
Hui Kiarn agaknya sudah tidak dapat diajak bicara secara wajar, karena ia tahu pertanyaan itu sudah dijawab, bukan mundur malah semakin marah,
"Suruh mereka keluar semua, akan kubereskan kalian, sekarang aku tidak waktu menunggu lama-lama!"
"Mengapa siaohiap tidak menjelaskan dahulu sebab apa mereka harus dibunuh?"
"Nampaknya aku terpaksa akan turun tangan lebih dulu kepada dirimu!"
Pedangnya segera bengerak menyerang orang tua tiada turunan. Karena orang tua itu sudah waspada, maka baru saja Hui Kiam
bengerak ia sudah lompat menyingkir, namun demikian karena ilmu pedangnya Thian Kie Kiam Hoat adalah ilmu pedang luar biasa, sekali pun orang tua tiada turunan sudah berlaku gesit, tetapi baju panjang bagian bawahnya tak urung terpapas juga sepotong, hampir saja kakinya juga kena tersambar ujung pedang itu.
Hui Kiam berkata sambil tertawa mengejek "Kalau kau sanggup mengelakan sekali lagi, itu berarti umurmu masih panjang, maka hari ini boleh kulepaskan dengan keadaan hidup."
la bergerak maju lagi, pedangnya sudah di angkat.. ...
"Tahan!" demkian terdengar suara bentakan keras, sinar pedang meluncur dari samping setelah terdengar suara benturan nyaring ujung pedang Kui Kiam tengetar, sehingga tidak mengenakan sasarannya.
Dengan demikian tertolonglah Orang tua tiada turunan dari bahaya maut, orang yang turun tangan menolongnya itu, ternyata ada lah orang berbaju lila.
Ie It Hoan juga pada saat itu menunjukkan diri lagi.
Mata Hui Kiam segera beradu dengan mata Orang berbaju lila, seketika itu hawa amarah nya meluap, katanya dengan suara bengis:
"Orang berbaju lila akhirnya kau menunjukkan diri juga."
"Hui Kiam apakah kau mendapat perintah dari Tong hong Hui Bun siperempuan cabul itu datang kemari hendak membunuh orang?" bertanya Orang berbaju lila dengan suara gemetar .
"Kau berani menghinanya aku hendak cing cang tubuhmu menjadi bubur "
Badan Orang berbaju lila gemetar, katanya dengan suara gusar:
"Hui Kiam aku bersedia dibunuh olehnya sendiri, bawalah aku menjumpainya....'
"Aku akan bawa balok kepalamu menjumpai dia
Pedang Hui Kiam memancarkan sinar gemerlapan, dengan disertai oleh suara rrengaung pedang itu menyambar orang berbaju lila.
Orang berbaju lila menggerakkan tangannya pedang ditangannya juga mengeluarkan sinar gemerlapan menyambut pedang Hui Kiam.
Setelah terdengar beberapa suara nyaring. Orang berbaju lila lompat mundur empat lima langkah, pedang ditangannya tinggal gagangnya saja.
Hui Kiam maju mengancam dengan pedang nya lagi. sikapnya sangat menakutkan.
Sebelum Hui Kiam bertindak tiba-tiba terdengar suara orang memuji budha: "O Mie To Hud!"
Seorang padri tua beralis putih melayang turun ketanah lapangan.
Dengan suara sedih Orang berbaju lila itu berkata:
"Locianpwe, hati dan pikiran pemuda ini sudah dikendalikan oleh pengaruhnya obat. kita harus tangkap hidup hidup baru bisa dimusnahkan racunnya."
Padri tua yang baru datang itu adalah Jien Ong yang sekarang sudah mencucikan diri dan bergelar Kak Hui.
Dada Hui Kiam saat itu sudah dipenuhi oleh hawa amarah yang ia sendiri juga ridak mengerti, sepasang matanva merah membara sambil berputaran matanya ia berkata dengan suara bengis;
"Padri tua, kau juga boleh maju sekalian!"
Kak Hui ,berkata sambil rangkapkan kedua tangannya:
"O Mie To Hud. apakah sicu sudah tidak mengenali lolap lagi?"
"Perlu apa aku harus mengenalimu, serahkan jiwamu!"
Ucapan Hui Kiam itu ditutup dengan serangannya yang hebat.
Kak Hui mengibaskan lengan jubahnya yang mengeluarkan hembusan angin, bersamaan dengan itu orangnya juga lompat menyingkir dengan satu gerakan yang aneh.
Tatkala hembusan angin itu beradu dengan sinar pedang, Hui Kiam hanya merandek sebentar kemudian meancarkan serangannya lagi........,
Kak Hui terpaksa mundur lagi beberapa langkah.
Hui Kiam tidak mau menggendorkan serangannya, bagaikan bayangan ia mendesak terus, suatu pertempuran hebat telah berlangsung sinar pedang telah beradu dengan kekuatan tenaga dalam yang berubah hembusan angin hebat, sehingga daun daun pohon di.sekitar lapangan berterbangan.
Akan tetapi keadaan itu tidak berlangsung lama, hanya tujuh atau delapan gebrakan, Kak Hui sudah sangat berbahaya keadaannya, ia terus mindur, jiwanya terancam.
Orang berbaju lila menggapaikan tangannya kepada orang tiada turunan, kedua duanya lalu turut ambil bagian, dengan demikian, Hui Kiam telah dikerubuti oleh tiga orang jago tua.
Oleh karena Kui Kiam menggunakan senjata jaman purbakala yang luar biasa tajamnya ditambah lagi dengan ilmu pedangnya yang aneh dan ganas, sekalipun menghadapi tiga lawan Juga masih bisa melayani dengan leluasa.
Sememara itu Ie It Hoan berdiri sebagai penontonnya, wajah sebentar-bentar nampak berobah.
Pertempuran sengit semacam ini, siapapun tidak dapat menduga bagaimana kesudahannya namun tidak peduli siapa yang terluka, ini berarti merupakan suatu kerugian besar bagi kekuatan tenaga barisan yang hendak membasmi kejahatan
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri ber-ulang-ulang dan jauh semakin dekat.
Ie It Hoan lalu berseru: "Ada musuh kuat menyerbu!" Baru saja menutup mulut, telah muncul dua bayangan orang,
Orang yang datang itu, ternyata adalah pemimpin persekutuan Bulan mas bergsma putri nya Tong-hong Hui Bun.
Begitu tiba ditempai itu, pemimpin Bulan mas segera menghentikan pertempuran itu. Hui Kiam sambil menunjukan tertawanya menghampiri Tong-hong Hui Bun seraya berkata; "Enci bagaimana kau juga datang "
Tong-hong Hui Bun melirik kepada orang berbaju lila, mulutnya menjawab pertanyaan Hui Kiam:
"Adik, aku takut kau tidak sanggup melawan musuh yang jumlahnya lebih banyak, maka lalu menyusul kemari."
"Untuk menghadapi orang-orang semacam ini apa sebabnya."
Dengan mata beringas Orang berbaju lila menunjuk dan berkata kepada Tong-hong Hui Bun.
"Perempuan hina, dari dulu sampai sekarang, tak ada seorangpun mempunyai moralnya demikian bejat seperti kau. manusia kau boleh perlakukan sesukanya, tetapi Tuhan Allah tak jikalau kau nanti tidak mendapat hukuman yang setimpal, benar benar Tuhan tidak berlaku adil.'
"Orang berbafu lila, aku sudah tidur dalam satu pembaringan dengannya. kau mau apa?" demikian Tong Hong Hui Bun berkaca sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Badan Orang berbaju lila sempoyongan, mulutnya menyemburkan darah, hingga kain lila yang mengerudungi mukanya menjadi merah oleh darah.
Tong-hong Hui Bun berkata puia sambil menepuk nepuk pundak Hui Kiam.
"Adik, kau masih menunggu apa lagi?"
Hui Kiam segera menghadapi Orang berbaju bla dan menyerang dengan pedangnya.....
Orang berbaju lila seolah tidak tahu dirinya terancam ia masih, berdiri bagaikan patung.
Dalam keadaan kritis tiba-tiba kelihatan berkelebatnya sesosok bayangan orang, lalu dengan berkelebatnya sinar hitam, pedang Hui Kiam yang menyerang orang berbaju lila, telah beradu dengan senjata yang warna hitam' jengat, dan seketika itu juga Hui Kiam ter pental mundur tiga langkah.
Orang yang menunjukkan diri menolong orang berbaju lila dari bahaya kematian, adalah seorang tua yang berwajah luar biasa orang tua itu mengenakan pakaian baju kasar berwarna kuning, tangannya memegang seba tang tongkat rotan kasar berwarna hitam, dia adalah manusia Agung yang belom lama berselang pernah bertempur dengan Hui Kiam.
Tong hong Hui Bun terkejut, mungkin ia belum pernah melihat orang tua aneh itu. tetapi dari gerakan orang tua itu yang ternyata sudah bisa menyingkirkan pedang sakti Hui Kiam, pastilah bukan orang sembarangan. Setelah sejenak ia merasa heran lalu berkata sambil menunjukkan senyum yang menggiurkan;
"Siapa nama tuan yang mulia "'
Manusia Agung itu menarik napas panjang ia tidak langung menjawab pertanyaan Tong hong Hui Bun, sebaliknya menggumam sendiri:
"Perempuan-durhaka, perempuan durhaka."
Mata Hui Kiam nampak beringas, dengan tanoa bicara ia sudah menyerang dengan pedang nya. Manusia Agung menyambut dengan tongkatnva, kembali terjadi suatu pertempuran sengit yang tidak ada taranya.
Senjata Hui Kiam adalah pedang sakti Tiao Khie-sin Kiam, kecuali pedang Bulan masnya pemimpin persekutuan Bulan mas dan tongkat rotan hitam manusia Agung itu, sudah tiada senjata lain lagi yang mengimbangi keampuhan senjata Hui Kiam itu. Maka juga hanya manusia Agung itu sajalah merupakan satu satunya orang yang masih bisa melawan Hui Kiam.
Di lain pihak, pemimpin persekutuan Bulan mas telah berhadapan dengan Kak Hui ia berkata sambil tertawa terbabak-babak :
"Tidak disangka orang yang sudah menyucikan diri juga masih menyeburkan diri dalam urusan keduniawian."
Kak Hui setelah memuji nama Buddha baru berkata:
"Lautan dosa tiada tepinya, alangkah baik nya apabila segera insyaf kembali, manusia bidup paling lama hanya seratus tahun pada akhirnya raga kita ini akan membusuk didalam tanah kau dengan aku sama-sama merupakan orang-orang yang sudah tidak lama lagi harus menghadap Tuhan.........'"
Pemimpin persekutuan bulan mas segera memotong peikataan Kak Hui.
"Sahabat, kau tokh sudah tahu benar filsapat ini, mengapa pula kau turun gunung lagi?"
"Itu semata mata karena hendak menyelesaikan soal lama!"
"Ha ha ha, hari ini akan mengantarkan kau pergi menghadap Tuhanl"
"O Mie To Hud!"
"Meskipun Budha itu adalah kasih sayang tetapi barangkali juga tidak dapat menolong diri mu, kau telah meninggalkan pertapaanmu ini sudah berarti takdir bagi dirimu!"
"Perbuatan yang berlawanan dengan kehendak Tunan, ini merupakan suatu perbuatan terkutuk yang tidak dapat dibenarkan siapapun"
"Sahabat, kenyataan akan memberitahukan kepadamu kehendak Tuhan ataukah perbuatan manusia yang benar!"
"Nampaknya lolap terpaksa akan membuka pantangan......"
"Bagus katamu, jaga dirimu, aku sekarang hendak turun tangan."
Pedang Bulan mas pertahan-lahan digerak-kan, Kak Hui menyambut serangan itu hanya dengan menggunakan lengan jubahnya Kedua pihak mulailah bertarung sengit.
Sambil bertempur pemimpin persekutuan Bu lan mas itu berkata :
"Sahabat,tlidak kusangka kau sudah berhasil melatih ilmu kekuatan tenaga hawa Ceng kie, ha ha ha ha....."
Dipihakiiya, orang berbaju lila, sementara itu juga dia sudah menyerbu Tong-hong Hui Bun, karena merasa gemas, ia menyerang demikian hebat setiap serangannya ditujukan kebagian jalan darah terpenting badan Tong hong Hui Bun, nampaknya ia telah bertekad hendak membinasakan perempuan cantik, tapi Tong-hong Hui Bun juga bukan seorang lemah ia segera balas menyerang, serangan kedua pihak sama-sama ganasnya dan kejamnya. Pertempuran dua orang inilah yang merupakan pertempuran yang paling seru.
Sementara itu orang tua tiada turunan dan le It Hoan yang berdiri sebagai penonton, telah memusatkan perhatiannya kepada Manusia Agung.
Pertempuran itu meski hanya terdiri dari tiga kelompok, tetapi semuanya merupakan tokoh-tokoh terkuat dalam rimba persilatan, tidaklan heran kalau pertempuran itu merupakan suatu pertempuran sengit yang sudah tidak ada taranya.
Pertempuran itu juga merupakan pertempuran antara kebenaran dan kejahatan.
Baru pertama kali inilah pemimpin persekutuan Bulan mas menunjukkan diri dihadapan umum.
Orang berbaju lila yang nampaknya paiing ganas, ia melakukan serangannya secara nekad ia hanya menyerang tetap tidak perhitungkan penjagaan dirinya, dalam keadaan demikian. tak heran kalau Tong-hong Bui Bun segera terdesak muruur tanpa bisa membalas serangan.
Tiba-tiba seorang berpakaian perlente muncul didalam kalangan, sambil menunjukkan seyumnnya berseri seri orang itu berkata kepada Tong-hong Hui Bun.
"Siaohan, kau mundurlah, biarlah suhumu yang membereskannya !"
Sambil berbicara orang itu menggerakkan tangannya. suatu kepandaian tenaga dalam menghembus keluar memisahkan Tong hong Hui Pun dan Orang berbaju lila yang sedang bertempur setingkat ilmunya.
Orang berbaju lila dengan mata beringas mengawasi orang itu. kemudian berkata dengan suara gemetar!
"Sie mo, kedatanganmu sangat kebetulan, tempat ini akan menjadi kediamanmu untuk selama- lamanya!"
Siu-mo masih tetap dengan wajahnya berseri-seri, katanya dengan sikap menghina:
"Asal kau sanggup melakukan, aku juga senang tempat ini."
Siu-mo itu adalah salah satu dari delapan! iblis negara Thian-tik yang bersama sama dengan Bie-mo, iblis singa, iblis Gajah, diangkat sebagai anggauta pelindung hukum tertinggi persekutuan Bulan mas, kepandaian Siu-mo adalah yang paling tinggi diantara delapan iblis itu, iblis Singa dan iblis Gajah semua binasa di tangan Hui Kiam. Iblis Siu-mo ini meskipun usianya sudah lanjut, tetapi karena mempunyai ilmu menjaga diri, sehingga kelihatannya masih seperti orang berusia empat puluh lebih, ilmu awet muda Tong hong Hui Bun adalah pelajaran dari iblis itu, maka ia bahasakan suhu kepada iblis itu.
Orang berbaju liia telah kehilangan kesempatan membunuh Tong-hong Hui Bun, sehingga ia merasa gemas kepada iblis itu, katanya dengan suara bengis:
"Iblis tua, hari kematianmu sudah tiba!" Siu mo memperdengarkan suara dari hidung lebih dulu ia berkata kepada pemimpin persekutuan Bulan mas.
"Bengcu, kepala gundul itu biarlah tinggal hidup !"
Kemudian ia baru berkata kepada Orang berbaju lila dengan sikap tegang; "Sekarang kau boleh mulai!" Setelah berkata demikian, ia sudah mementang sepuluh jari tangannya, dengan Suatu gerakkan yang sangat aneh ia menyambar orang berbaju lila. Dengan cepat orang berbaju lila menangkis dengan tangan kirinya,
tangan kanan menyerang dari samping. Kedua orang itu begitu bergerak, segera melakukan pertempuran mati matian.
Tong-hong Hui Bun rupanya telah yakin bahkan Siu-mo pasti dapat mengambil jiwa orang berbaju lila maka ia geser kakinya menghampiri Hui Kiam dan berkata kepadanya dengan suara nyaring;
"Adik apakah kau tidak sanggup membereskan tua bangka ini" Perlukah bantuan enci mu" ..."
Hui Kiam merasa tersinggung oleh ucapan itu, sifat sombongnya lalu timbul, tetapi karena pikiran dan semangatnya terpengaruh oleh pengarubnya obat, kekuatannya hanya mencapai kebatas tak lebih tinggi dari biasanya.
"Tidak perlu, dalam waktu tiga jurus aku akan mengambil jiwanya!"
Gerak pedangnya segera dirobah. menyerang lawannya dengan hebat.
Manusia Agung yang sudah merasa berat menghadapi Hui Kiam. kini diserang secara hebat seketika itu sudah terdesak mundur sampai tiga langkah.
Hui Kiam menyusul dengan serangannya jurus kedua.
Wajah Manusia Agung berobah, ia tidak sanggup membendung serangannya itu. terpaksa mundur lagi sampai empat lima langkah.
Keadaan itu mencemaskan Ie It Hoan, dia terpaksa mengeraskan hatinya, siap sedia apa bila perlu dia hendak membantu Manusia Agung.
Pasangan lawan antara pemimpin Bulan mas dengan Kak Hui, nyata pemimpin Bulan masih yang nampak unggul,
Perhatian orang tua tiada turunan kini di tujukan kediri Tong-hong Hui Bun, ia harus waspada serangan menggelap perempuan itu.
Siu mo dan orang berbaju lila berimbang kekuatannya, untuk sementara belum diketahui siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Sementara itu Hui Kiam sudah menyusul dengan serangannya jurus ketiga, serangan itu biar bagaimana manusia teragung pasti tidak sanggup menyambutnya.....
Selagi dalam keadaan sangat berbahaya Ie It Hoan mengayun tangannya. . . .
Serentak, pada saat itu tiba tiba terdengar suara seruan nyaring! "Hui Kiam, tahan!'
Seruan itu mengejutkan Hui Kiam, kesempatan iiu digunakan oleh Manusia ter-Agung yang segera lompat menyingkir, seorang wanita berpakaian hijau dan berkerudung melayang turun kehadapau Hui Kiam.
Hui Kiam meskipun sudah hampir hilang ingatannya tetapi karena ditengah perjalanan pernah mendengar perkataan Ie It Hoan. maka begitu melihat wanita berbaju hijau itu segera dapat mengenali sispa orangnya, ia segera menarik kembali serangannya dan berkata: 'Adakah kau Pui-suci?"
Dengan perasaan cemas dan mendongkol Pui Geng Un berkata:
"Sutee, apakah kau sudah gila?"
Sementara itu terdengar suaranya Tong-hong Hui Bun kepada Hui Kiam:
"Adik, bunuhlah dia!"
Hui Kiam berpaling, sinar matanya terbentur dengan Tong-hong Hui Bun, seketika itu pikirannya kalut lagi, begitu juga nafsunya membunuh segera timbul.....
Mauusia ter-Agung menggerakkan tongkatnya melancarkan serangan kepada Tong-hong Hui Bun .
Hui Kiam yaog menyaksikan Itu segera mengangkat pedangnya .....
Pui Ceng Un tiba-tiba hatinya tengerak, ia berkata dengau suara cemas :
"Sutee! sutee! aku adaiah Pui-sucimu, apakah kau sudah tidak kenal lagi?"
Pikiran Hui Kiam yang sudah kalut, agaknya terlintas suatu ingatan, dengan sendirinya pedangnya diturunkan kebawah
Manusia ter-Agung melakukan serangan bertubi tubi sehingga Tong hong Hui Bun yang didesak sedemikian rupa sama sekali tak dapat kesempatan untuk membuka mulut.
Pui Ceng Un melanjutkan perkataannya:
"Sutee, dengarlah ucapanku ..." saat itu juga ia sudah berada disamping Hui Kiam.
Sedikit ingatan Hui Kiam tadi agaknya menyadarkan sedikit hati Hui Kiam yang sudah kusut, ia berkata dengan pikiran yang masin bingung:
"Suci, kau harus berlalu dari sini."
"Ya." sahut sang suci, tetapi badannya di geser semakin dekat kepada Hui Kiam.
Tangan Pui Ceng Un meraba sarung pedang dipinggang Hui Kiam lalu berkata:
"Sute apakah ini pedang Thian Thie Sio Kiam peninggalan toasupek."
Hui Kiam menganggukkan kepala seraya berkata:
"Suci, kau minggir, tunggu aku membereskan "
Dengan cepat Pui Ceng Un tangannya menotok badan Hui Kiam, hingga seketika itu juga Hui Kiam roboh ditanah.
Sebetulnya Hui Kiam yang mempelajari ilmu silat menurut kitab Thian Gee Po kiu, mengalirnya darah berlainan dengan keadaan biasa, ilmu totokan biasa bagi trya tidak ada gunanya sama sekali, tentang ini diketahui dengar jelas oleh le It Hoan dan orang berbaju
lila, sebaliknya dengan Pui Geng Un, ia malah tidak mengetahui sama sekali. Ia mengiira bahwa tindakannya itu sangat cerdik. tetapi ia tidak tahu bahwa perbuatan itu sangat berbahaya, apabila Hui Kiam mengetahui dirinya dibokong, pasti akan melakucan tindakan pembalasan yang menakutkan, tetapi untung selagi ia hendak turun tangan, telinganya mendengar suara aneh yang menunjukkan kepadanya jalan darah mana yang harus ditotoknya itu, maka Hui Kiam lalu roboh
le It Hiari seperti sudah mendapat petunjuk ketika Hui Kiam roboh, dengan cepat segera menyambutnya dan dibawa kabur kedalam rimba.
Orang tua tiada turunan dan Pui Ceng Un segera menyusul.
Tong-hong Hui Bun juga sudah menyaksikan kejadian diluar dugaan itu, tetapi karena diserang hebat oleh manusia ter-Agung. untuk menjaga dirinya sendiri masih sulit, sudah tentu tidak mendapat kesempatan untuk memberikan pertolongannya.
Pada saat ini Kak Hui yang ditekan hebat oleh ilmu pedang pemimpin persekutuun Bulan mas, sudah nampak kewalahan.
Sedangkan dipihaknya Siu-mo dengan orang berbaju lila, juga sudah makin kelihatan siapa yang lebih unggul, orang berbaju lila terus mundur, sedangkan Siu-mo terus mendesak dengan serangannya yang hebat....
Mari kita tengok kepada Ie It hoan yang membawa lari Hui Kiam. tiba disuatu tempat yang sangat tersembunyi ia baru berhenti dan meletakkan Hui Kiam ditanah.
Pui Ceng Un lalu berkaca dengan cemas, "Sekarang bagaimana?"
'Kita harus menunggu kedatangan Orang berbaju lila dahulu, baru mencari pikiran lagi," berkata Ie It Hoan sambil mengepal-ngepalkan tangannya.
Oreng tua tiada turunan setelah berpikir sejenak lalu berkata :
"Biarlah aku yaog menggantikannya!"
Sebabis mengucap demikian, orang tua itu lompat melesat dan menghilang.
Pui Ceng Un mengawasi Hui Kiam yang menggeletak ditanah. berkata dengan suara gemetaran.
"Ini benar-berir ada suatu kejadian yang tidak terduga-duga."
"Perbuatan perempuan itu, kekejamannya sesungguhnya sudah tidak ada tandingannya." berkata Ie It Hoan sambit tertawa getir "Jikalau bukan karena burung kucica yang memberikan firasat kepadaku, ruangan rahasia di bawah sumur itu mungi'n sudah dimusnahkan oleh musuh....aku sudah curiga toako mungkin dibikin hilang pikirannya oleh pengaruh obat beracun, setelah seekor burung kuoica terbang diatas kepalaku, aku segera mendapat firasat bahwa dibelakang toako ada orang yang mengikuti, maka segera aku mencari akal mengajak toako berputaran kedalam rimba ini, disamping itu dengan nada rahasia aku menyarnpaikan kabar kepada orang dalam kamar rahasia, jikalau orang tua tiada turunan lambat setindak saja, jiwaku barangkali sudah melayang dipedang toako. .."
"Ini masih terhitung suatu keberuntungan bagi kita."
"Entah bagaimana keadaan dimedan perternpuran itu?"
"Ada beberapa locianpwe yang menahan orang orang itu, mungkin tidak akan menimbulkan akibat yang membahayakan....."
Tetapi Pui Ceng Un tidak beranggapan demikian, ia berkata:
"Susah dikata, kalau hanya dipandang dari sudut kekuatan bertempur, mungkin kedua pihak berimbang, tetapi andaikata musuh menggunakan lain akal, kita tidak dapat menduga apa yang akan terjadi selanjutnya."
Ie It Hoan mengangguk anggukkan kepala dan berkata:
"Siaote hanya khawatir Orang tua tiada turunan locianpwee tidak dapat menggantikan kedudukan Orang berbaju lila. karena kepandaian Siu-mo, didalam persekutuan Bulan mas hanya dibawah pemimpinnya seorang saja, kecuali apabila manusia ter-Agung
locianpwee berhasil membereskan perempuan jalang itu, mungkin keadaan bisa berobah."
"Tetapi bagaimana apabila musuh masih ada bala bantuan lagi?"
"Kalau begitu hari ini merupakan pertempuran besar antara gotongan kebenaran dan golongan kejahatan."
Sekarang hanya mengharap supaya orang berbaju lila dengan cepat memulihkan kembali keadan Hui sutee karena kecuali dia, sudah tidak ada orang lagi yang dapat mengimbangi kepandaian pemimpin Bulan mas......"
"Ya !"
"O Ya' Adik Hoan, kau katakan anak perempuan toasupek Cui Wan Tin dengan Hui sute."
"Kasihan gadis itu, aku jupa tidak tahu apakah toako nanti tak akan mengecewakannya?"
"Kalau ia berani, akulah orang pertama yang tidak akan mengampuni kesalahannya."
"Enci Cui berdiam seorang diri didalam makam pedang itu, katanya karena ingin mendampingi arwah ibunya"
Mata Pui Ceng Un nampak suram, ia menundukkan kepala, ucapan pemuda itu telah membangkitkan perasaan sedih terhadap nasibnya sendiri.
Ie It Hoan segera mengetahui gelagat itu, ia mengalihkan pembicaraannya kesoal lain.
"Pos-pos penjagaan kita yang dirusak oleb musuh tidak kurang dari sepuluh tempat."
"Pemimpin persekutuan Bulan mas itu turun tangan sendiri. maksudnya sudah tentu hendak menggunakan tenaga Hui sutee, untuk menumpas bahaya yang mengancam kepada dirinya."
Sekarang kita balik lagi kepada orang tua tiada turunan, ketika orang tua itu tiba dimedan pertempuran, terjadilah suatu perobaban sangat besar.
Kak Hui dengan baju penuh darah berdiri disamping, sudah terang ia telah terluka ditangan pemimpin persekutuan Bulan mas.
Siu mo dan orang berbaju lila, masih bertempur mati-matian tetapi orang berbaju lila nampaknya sudah kehabisan tenaga, sedikitpun sudah tidak bisa melakukan serangan pembalasan sedangkan dipihaknya Siu-mo kelihatannya masih garang.
Sementara itu Manusia ter-Agung sudah berhasil menundukan Tong hong Hui Bun.
Pemimpin persekutuan Bulan mas berdiri berhadapan dengan Manusia ter Agung, mata nya memancarkan sinar beringas yang sangat menakutkan.
Orang tua tiada turunan ketika menyaksikan keadaan demikian, dianggapnya itulah merupakan suatu kesempatan baik untuk menggantikan orang berbaju lila. Ia segera geser kakinya berjalan menghampirinya ....
Saat itu tiba tiba terdengar suara bentakan pemimpin Bulan mas:
"'lepaskan dia!'
'Apakah tuan sanggup dia tidak seharusnya dibunuh mati"' Jawab Manusia Ter Agung dingin
"Jikalau kau berani mengganggu seujung rambutnya saja, aku nanti akan membunuh seribu orang sebagai gantinya" Berkata pemimpin Bulan mas sambil menggerak-gerakan pedangnya.
Ancaman pemimpin itu kedengarannya sangat seram sekali, sehingga membikin berdiri bulu roma bagi siapa yang mendengarkannya.
Pada saat itu dimedan pertempuran terdengar suara jeritan yang mengerikan Siu-mo menekap mukanya dengan kedua tangannya, darah mengalir keluar dari sela sela jari tangannya.
Orang berbaju lila agaknya digetarkan hati nya oleh hasil dari serangannya, badannya nampak gemetar, sementara itu semua orang yang ada disitu, satupun tidak tau dengan secara bagaimana ia yang semula terdesak telah berhasil melukai lawannya.
'Mataku' mataku......"Demikian terdengar suara jeritan Siu-mo yang mengerikan
Ketika Siu-mo menurunkan tangannya diwajahnya tertampak dua lobang yang berlumuran darah, kedua matanya sudah rusak seluruhnya.
Serangan yang digunakan oleh Orang berbaju lila, adalah gerak tipu jari tangan yang dapat dicurinya dari kitab pelajaran ilmu silat Tee-horig, hari itu untuk pertama kalinya ia gunakan, ia juga tak menyangka membawa hasil memuaskan, sehingga satu iblis yang sudah lama malang melintaag melakukan kejahatan telah roboh ditanah.
Pemimpin persekutuan Bulan mas memperdengarkan suara geraman hebat ia menyerbu Orang berbaju lila.
Orang berbaJu lila yang telah bertempur sengit sekian lamanya dengan Iblis Siu-mo, kekuatan tenaganya sudah terhambur tak sedikit. sudah tentu tidak sanggup melawan lagi, maka sewaktu hembusan angin yang keluar dari pedung pemimpin persekutuan Bulan mas menyambarnva, ia sudah mundur terhuyung-huyung sejauh hampir sepuluh langkah.
Orang tua tiada turunan melancarkan serangan tangan kosong dari samping, hingga memaksa pemimpin persekutuan Bulan mas merobah serangannya, ia kini ditujukan serangannya itu kepada orang tua tiada turunan. Menghadapi serangan hebat orang tua tiada turunan terpaksa mundur.
Pemimpin persekutuan Bulan mas setelah mendesak mundur Orang tua tiada turunan badannya memutar bagaikan titiran, pedang ditangan kanannya melancarkan serangan hebat sehingga Orang berbaju lila terpaksa lompat kesamping hampir serentak pada saat itu, tangan kirnya menyambar dengan cepat.
Terdengar seruan tertahan, tangan Orang berbaju lila sudah terpegang oleh pemimpin persekutuan Bulan mas.
Kak Hui dan Orang tua tiada turunan lompat melesat bersama . . , , .
"Jangan bergerakl" demikian pemimpin Bulan mas berseru, ujung pedang diletakkan atas-leher Orang beibaju lila.
Kak Hui dan orang tua tiada turunan terpaksa membatalkan maksudnya menyerang pernimpin persekutuan Bulan mas;
Iblis Siu-mo berkata dengan suara keras:
'"Beng-nu, aku hendak. . . membalas dendam ini dengan tanganku sendiri.'
Belum lagi pemimpin persekutuan Bulan mas membuka mulut. Manusia ter-Agung berkata dengan nada suara dingin:
"Sahabat, ular berbisa ini belum terlepas dari ancaman tanganku."
Setelah mengucap demikian ia gelandang dirinya Tong-hong Hui Bun.
Pemimpin persekutuan Bulan mas hanya dapat menyaksikan dengan mata melotot
Pada saat itu, seandai Kak Hui dan Orang tua tiada turunan hendak menghabiskan jiws Iblis Siu-mo, sebenarnya sangat mudah sekali.
Tetapi kedua orang tua itu masing-masing menghargai dirinya sendiri sudah tentu tidak suka melakukan perbuatan yang sangat merendahkan martabat itu.
Manusia teragung berkata pula : "Sahabat, hari ini kedua fihak jangan bertindak apa apa, kita tukar tawanan bagaimana!"
Biji mata pemimpin bulan mas berputaran, katanya dengan suara bengis:


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini enak saja bagi kalian....."
"Sama-sama! ' sahut manusia Teragung sambil tertawa terbahak-bahak.
Lama pemimpin persekutuan Bulan mas itu berpikir, akhirnya ia berkata:
"Kau lepaskan!"
Dengan tanpa ragu ragu Manusia Teragung membebaskan Tong-hong Hui Bun. kemudian berkata:
"Sahabat, sebagai laki-laki kau harus bisa menepati janjimu!"
Pemimpin Bulan mas juga rnelepaskan tangannya Orang berbaju lila dengan sikap murung berjalan sambil menundukan kepala sementara itu Tong-hong Hui Bun juga balik kepada ayahnya.
Orang berbaju lila baru berjalan kira sepuluh langkah, badannya terhuyung huyung dan kemudian roboh ditanah.
Kak Hui dan orang Tua tiada turunan berseru dengan serentak wajih mereka berubah Orang tua tiada turunan segera menghampiri dan membimbing bangun Orang berbaju lila, yang saat itu matanya sudah guram badannya gemetar.
Kak Hui segera membentak dengan suara keras:
"Sahabat, kau ternyata sedemikian rendah. Lolap sangat menyesal atas perbuatanmu itu!"
Pemimpin persekutuan Bulan mas itu memperdengarkan suara ketawanya yang mengejek kemudian berkata:
"Rendah atau tidak tiada berarti apa apa aku sudah tidak dapat membiarkan ia hidup sampai lebih lama lagi didunia! Nah nanti ketemu lagi !"
Setelah berkata demikian tangannya menarik iblis Siu mo yang sulah menjadi buta bersama-sama anaknya bertiga meninggalkan rimba tersebut.
Menghadap keadaan Orang berbaju lila. hanya Manusia teragung seorang yang tenang-tenang saja sejak tadi ia tidak pernah membuka mulut.
Orang tua tiada turunan segera menegurnva "Apakah pertukaran tawanan itu diakhiri begini saja ?"
"Tunggu sija mereka pasti segera kembali' Jawab Manusia Teragung tenang.
"Apa Sicu kau......." berkata Kak Hui dengan alis berdiri.
"Tay-hwee-shio indah yang dinamakan tahu keadaan sendiri juga tahu keadaan musuh, aku sudah menduga ia pasti akan berbuat demikian'
Baru saja menutup mulutnya, benar saja segera melihat tindakan pemimpin Bulan mas yang lari balik sambil memondong anaknya, kemudian dengan mata mendelik berkata kepada Manusia Teragung.
"Orang she Teng, sungguh berani mati kau berani main gila dihadapanku!"
"Sama-sama!" jawab Manusia tetagung acuh tak acuh.
"Kau.....sebetulnya perlakukan dirinya bagaimana?"
"Dan kau sendiri" Apakah yang telah kau perbuat dengannya?"
"Totok perbatasan antara jalan darah Im dan Yang."
"ha, ha, ha, kau sungguh cerdik dengan tindakan memutuskan kedua jalan darah ini akan mengakibatkan orang kehilangan kekuatan tenaga murninya."
Kak Hui pada saat itu sudah berada dihadapan Orang berbaju lila, ia menotok tiga kali dengan beruntun, Orang berbaju lila itu menarik napas panjang, kemudian melompat bangun.
Manusia teragung berkata sambil tertawa terbahak babak,
"Bengcu, apakah kau sudah pernah rnendengar permainan menguasai jalan darah dalam waktu tertentu!"
"Kau. ..,.."
"Nah, siiabkan diulang. Dalam waktu tak lama lagi,"tanpa kau buka totokan jalan darat itu akan terbebas sendirinya."
Pemimpin Bulan mas itu membanting-banting kakinya lalu berlalu dengan cepatnya.
Orang berbaju lila lalu berkata dengan cemas:
"Bagairnaoa dengan anak itu . . . "
"Ia berada didalam rimba itu untuk menantikan pertolonganmu, mari ikut aku." berkata Orang tua tiada turunan.
Orang berbaju lila dengan sikapnya menghormat berkata kepada Manusia ter Agung dan Kak Hui:
"Harap kedua locianpwee balik dulu kekamar rahasia untuk beristirahat.''
Setelah berkata demikian ia lalu mengikuti Orang tua tiada turunan lari kedalam rimba.
'Tidak lama kemudian mereka sudah tiba dimana Hui Kiam telah rebah terlentang, kedatangan mereka segera disambar oleh Pui Ceng Un dan le It Hoan, mereka meskipun masing masing tidak membuka mulut, tetapi perasaan hatinya sudah tampak tegas dalam sinar mata masing-masing.
Orang berbaju lila segera memeriksa keadaan Hui Kiam, kemudian ia berkata sambil menggertak gigi:
"Dugaanku ternyata tidak meleset bocah ini telah dikendalikan oleh pengaruhnya obat Bwe sin-wan dan long sin-tan, dua macam obat sangat berbisa yang hasiatnya menghilangkan semangat dan ingatan serta membuat orang yang makannya menjadi buas. Untung bocah ini mempunyai dasar yang sudah kokoh dan sempurna, jikalau tidak, ia sudah berubah menjadi seorang bangkai hidup yang tiada gunanya, hmm ini kalau bukannya nona Pui yang menggunakan akal cerdik telah menundukkannya, sungguh tidak tahu bagaimana akibatnya,"
Pui Ceng Un berkata:
'"Entah siapa yang memberikan petunjuk dengan suara kedalam telinga supaya aku menotok jalan darah sampingnya, jikalau tidak, mungkin aku sendiri yang akan menjadi korban pertama.....'
'Orang itu adalah suhu,' berkata Ie It JHoan dengan suara datar.
"Suhumu sebetulnya siapa" Mengapa hingga saat ini belum mau menunjukkan muka?" Bertanya Pui Ceng Un.
Ie It Hoan mengunjukkan sikap tidak berdaya, lalu berkata:
"Enci Un pada dewasa ini masih belum waktunya untuk kuberitahukan!"
Sementara itu orang tua tiada turunan dengan hati gelisah berkata kepada Orang berbaju lila.
''Bagaimana,dapatkah kau merjolongnya?"'
Orang berbaju lila tidak menjawab, badannya gemetar.
Pui Ceng Un merasa sedih ia bertanya dengan suara duka:
"Apakah sudah tidak dapat ditolong?"
Orang berbaju lila menganggukkan kepala masih tetap tak membuka mulut,, Ie It hoan dan Pui Ceng Un bertanya dengan berbareng;
"Apa, sudah tidak tertolong lagi"'
---ooo0dw0ooo--JILID 31 O R A N G Tua Tiada Turunan lalu berkata dengan suara berat:
"Kau katakan dia sudah tidak tertolong lagi?"
Orang Berbaju Lila masih mengawasi Hui Kiam sambil menundukkan kepala. Air matanya mengalir keluar. Ia menjawab dengan nada suara aneh:
"Ya!"
"Kau pernah menolong nona Pui yang terkena racun menghilangkan ingatan, apakah".?"
"Racun menghilangkan ingatan mudah dipunahkan, tetapi obat untuk menghilangkan sifat buas bagaikan serigala susah dicari, justru dia sudah makan dua rupa racun itu!"
"Maksudmu apakah hendak membiarkan ia hidup terus secara begini?"
"Tidak!"
"Dan kau bagaimana hendak berbuat?"
"Obat racun yang terbuat dari nyalinya serigala itu apabila tak dikeluarkan dari dalam badannya, akan merubah semua sifatnya. Ia hanya mau dengar perintah seorang saja, tak dapat membedakan yang baik dengan yang jahat, kawan atau lawan, hanya orang yang memberikan racun padanya yang bisa membunuh orang tanpa berkesip, dengan kepandaian dan kekuatan seperti dia, apabila digunakan oleh orang yang mempunyai ambisi besar dan maksud jahat, cianpwe boleh bayangkan sendiri apa akibatnya di kemudian hari"."
Puj Ceng Un yang mendengar keterangan itu menangis dengan sedihnya, badannya gemetar.
Ie It Hoan menunjukkan sikap sangat berduka yang belum pernah terjadi pada sebelumnya. Biar bagaimana ia dengan Hui Kiam mempunyai persahabatan sangat dalam, menyaksikan sahabat baiknya demikian rupa, bagaimana ia tidak bersedih.
Orang Tua Tiada Turunan berkata dengan sikapnya masih tetap tenang:
"Menurut kata ini, bukankah ia akan menjadi orang jahat?"
"Ya."
"Paling baik bukankah dihabiskan saja jiwanya?"
"Aku tidak berani memikirkan, juga tidak berani mengatakan, tetapi mungkin itu hanya satu-satunya cara yang paling tepat."
Pui Ceng Un menyela dengan suara bengis:
"Hendak membunuhnya?"
Ie It Hoan mendongakkan kepala ke atas, dan tampak sepasang matanya basah dengan air matanya.
Orang Tua Tiada Turunan lalu berkata:
"Apakah kau sendiri yang hendak turun tangan membunuhnya?"
Orang Berbaju Lila mengangkat mukanya. Dari dua lobang di bagian matanya tampak sinar matanya yang menakutkan.
Hui Kiam rebah di tanah dengan tenang. Ia berada dalam keadaan tidak ingat orang, sudah tentu tidak tahu ada orang yang membicarakan soal mati hidupnya.
Orang Tua Tiada Turunan tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Suara tertawanya itu demikian nyaring, sangat berbeda dengan kebiasaannya.
Pui Ceng Un dan Ie It Hoan telah dikejutkan oleh suara tertawa itu. Mereka tidak mengerti mengapa orang tua itu tertawa. Dalam keadaan seperti sekarang ini, hampir semua orang diliputi oleh perasaan duka, tetapi sebaliknya ia malah tertawa seperti orang gila, ini sesungguhnya merupakan kejadian aneh.
Sinar mata Orang Berbaju Lila nampak guram ketika mendengar suara Orang Tua Tiada Turunan itu, badannya juga gemetar. Mungkin ia sudah mengerti sebab-sebabnya orang tua itu tertawa.
Lama sekali, Orang Tua Tiada Turunan baru berhenti tertawa. Dengan nada suara bengis dan sungguh-sungguh:
"Ada sedikit perkataan yang tidak boleh tidak akan kuucapkan."
Orang Berbaju Lila itu berbangkit dan bertanya:
"Cianpwee hendak memberi nasehat apa?"
"Maksudmu bukankah hendak membinasakannya?"
Orang Berbaju Lila itu mundur dua langkah, lalu berkata dengan suara duka:
"Cianpwee, hanya ini rupa-rupanya merupakan jalan satu-satunya."
"Hem! Apakah karena takut dia akan membawa bencana bagi rimba persilatan?"
"Ya."
"Apakah bukan karena persoalan pribadi?"
"Persoalan pribadi" ... Apakah yang cianpwee maksudkan ....?"
"Andaikata racun nyali serigala yang mengeram dalam tubuhnya nanti akan merubah sifatnya menjadi iblis ganas, memusnahkan saja kepandaiannya, itu adalah cara yang paling baik. Dengan membuat begini saja aku sudah anggap keterlaluan, sebaliknya kau masih hendak membinasakannya."
Mata Pui Ceng Un dan Ie It Hoan ditujukan kepada Orang Berbaju Lila. Mereka ingin tahu bagaimana ia harus menjawab.
Orang Berbaju Lila menundukkan kepala. Lama sekali ia baru mengangkat kepala dan berkata:
"Seorang yang belajar ilmu silat, apabila dimusnahkan kepandaiannya, sekalipun hidup tetapi juga seperti mati. Apalagi meskipun kepandaiannya sudah musnah, tetapi racun belum hilang, siapa tahu ia nanti dapat melakukan perbuatan yang menakutkan?"
"Sungguh cerdik kau menyanggah! Kalau kepandaiannya sudah musnah, ia masih bisa berbuat apalagi" Lagi pula jikalau racun itu belum bilang, ingatan dan pikirannya masih belum kembali, bagaimana bisa terjadi hidup seperti mati?"
"Biar!"
"Apakah kau tidak menganggap bahwa perbuatan itu terlalu kejam baginya?"
"Keadaan sudah mendesak, kita tidak boleh tidak berbuat demikian!"
"Apakah kau memang sengaja tidak mau menolong dirinya?" berkata Orang Tua Tiada Turunan dengan suara sengit sambil menunjuk Orang Berbaju Lila.
Orang Berbaju Lila terkejut, kedua matanya memancarkan sinar aneh. Katanya dengan suara gemetar:
"Bagaimana Cianpwee mempunyai pikiran demikian?"
"Bukti sudah nyata, bagaimana kau dapat mengelabui mataku?" jawabnya sambil tertawa dingin.
"Boanpwe tidak mengerti...."
"Di dalam dunia tiada suatu racunpun yang tidak dapat dipunahkan. Tentang racun Bit-sin-wan, kau sekarang sudah ada obatnya, tentang racun Long-sim-tan juga pasti ada obat pemunahnya, hanya obat pemunah itu tentu saja berada di tangan orang yang memberikan racunnya. Mengapa kau tidak mencari pikiran keras dengan cara bagaimana harus mendapatkan obat pemunah itu?"
Orang Berbaju Lila itu mundur lagi satu tindak, berkata dengan suara gelagapan:
"Kenyataannya memang kita tidak dapat melaksanakan, sebab tiada seorangpun yang bisa mendapatkan obat pemunah dari tangan pemimpin Bulan Emas."
"Segala hal tergantung kepada manusia. Ada harganya atau tidak engkau lakukan."
"Ini"."
"Maksudmu tidak terlepas dari mataku. Oleh karena sepatah perkataan Tong-hong Hui Bun, kau lalu tega hati hendak membinasakannya?"
Pui Ceng Un dan Ie It Hoan bagaikan terkena strom listrik. Perhatian kedua pemuda itu terhadap diri Hui Kiam sama-sama besarnya. Ucapan yang mengejutkan itu agaknya mengandung arti yang menakutkan, tetapi saat itu mereka masih belum dapat memahami.
Orang Berbaju Lila menunjukkan sikap yang agak ganjil. Sambil mengepal kedua tangannya berulang-ulang digerakkan ke atas, ia berkata seperti orang sudah kalap:
"Boanpwee tidak tahu bagaimana harus berbuat?"
Pernyataan itu berarti ia sudah mengakui bahwa tuduhan Orang Tua Tiada Turunan itu benar.
Ini benar-benar sangat mengejutkan.
Sambil mengawasi Orang Berbaju Lila, Orang Tua Tiada Turunan itu berkata:
"Perempuan itu berkata bahwa ia sudah mengadakan gabungan rahasia dengan bocah ini, apakah kau percaya?"
"Dia memang dapat melakukan itu."
"Anggaplah begitu, tetapi bukanlah dia yang berdosa! Apalagi, itu baru ucapan sepihak saja."
"Cianpwee, berkata ini....."
"Sekarang tidak perlu kita meributkan soal ini. Kau harus berusaha menolong dirinya."
Orang Berbaju Lila itu lama berdiam, kemudian lalu berkata:
"Hendak mendapatkan obat pemunah dari tangan pemimpin Bulan Emas, kenyataannya memang tidak mungkin lagi...."
"Apakah tahu resepnya obat pemuda itu?"
"Tahu, hanya.... ada semacam ramuan obatnya terpenting yang susah dicari!"
"Coba kau sebutkan namanya!"
"Hiat-ay!"
"Apa itu Hiat-ay?" bertanya Orang Tua Tiada Turunan. Setelah sesaat lama terheran-heran baru berkata pula:
"Barang mustika yang mujijat, kadang-kadang bisa ketemu tetapi tidak dapat dicari. Nampaknya kita hanya berusaha ke arah Persekutuan Bulan Emas itu saja."
Ie It Hoan lalu berkata:
"Boanpwe mempunyai suatu akal."
"Bocah, kecerdikan dan akal muslihatmu tidak kalah daripada setan pemabukan tua itu, coba kau ceritakan," berkata Orang Tua Tiada Turunan.
"Boanpwe akan mengganti rupa sebagai Hui Kiam, lalu masuk ke Persekutuan Bulan Emas untuk bertindak sambil menantikan kesempatan."
Orang Berbaju Lila segera berkata:
"Itu tidak mungkin."
"Kenapa?" bertanya Orang Tua Tiada Turunan.
"Pertama, bentuk badannya jauh berbeda dengan Hui Kiam. Menyaru mengganti muka memang bagus, tetapi bentuk badan orang tidak mudah dirubah. Sekalipun dapat mengelabuhi tetapi itu hanya untuk sementara saja. Ke dua, kepandaian dan kekuatan juga masih terlalu jauh, setiap saat bisa terbuka rahasianya. Dan ke tiga, kepergianmu kali ini pedang sakti Thian Khie Sin Kiam merupakan barang yang harus dibawa, apabila rahasiamu terbuka, orang dan barang akan musnah semuanya."
"Kalau begitu kita sudah tiada harapan lagi?"
"Kedua tua bangka itu mungkin"."
"Boanpwe sudah berkata dengan mereka berdua. Semua tidak tahu kemana harus dicari tetumbuhan yang dinamakan Hiat-ay itu."
Pui Ceng Un tiba-tiba menyela:
"Boanpwe pernah mendengar ada semacam tetumbuhan yang dinamakan Hiat-ouw-co."
"Benar, Hiat-ouw-cu adalah nama gantinya Hiat-ay. Dari mana nona dengar?" bertanya Orang Berbaju Lila.
"Suhu pernah mengatakan itu."
"Di mana kita mencarinya?"
"Di dalam goa si Raja Iblis di gunung Kui-im-san. Dahulu suhu karena minta daun tumbuhan itu, hampir saja mengantarkan jiwa di dalam goa tersebut."
"Apakah suhumu pernah mendapatkan daun pepohonan itu?"
"Tidak, hanya berhasil menyelamatkan jiwanya."
"Apakah barang itu ada pemiliknya?"
"Ya."
"Sudah cukup kalau kita mengetahui tempatnya."
"Itu belum tentu."
"Kenapa?"
"Gunung Kui-im-san merupakan suatu tempat terpencil. Apabila kita tak mengenal jalannya, di setiap tempat setiap saat bisa mendapat bahaya. Selangkahpun sulit akan bertindak."
"Apakah nona tahu jalan ke gunung itu?"
"Dulu pernah dengar cerita suhu."
"Kalau begitu nona harap suka menunjukkan jalannya"."
"Boanpwee ingin pergi sendiri."
"Barang yang ada pemiliknya, apalagi tempat itu sangat berbahaya, bagaimana nona boleh pergi menempuh bahaya besar?""
"Harap cianpwe jangan lupa bahwa dia adalah sute boanpwee. Untuk menolong dia adalah kewajiban boanpwee sebagai sucinya."
Ie It Hoan berkata dengan sikap sangat gembira:
"Enci Un, biarlah siaote pergi bersama-sama denganmu."
"Kau tidak boleh."
"Aku... tidak boleh?"
"Ya. Sebab di gunung Kui-im-san itu ada semacam larangan yang melarang laki-laki masuk ke gunung tersebut. Siapa yang melanggarnya, bisa pergi tidak bisa kembali."
"Betulkah kejadian serupa itu?" bertanya Ie It Hoan yang agaknya tidak percaya.
"Aku tidak perlu membohongi kau," jawab Pui Ceng Un sambil menganggukkan kepala.
Ie It Hoan nampak berpikir, kemudian berkata:
"Begini saja Enci Un, siaute ikut mengawanimu. Setiba di tempat tersebut, kau mendaki ke atas gunung, dan aku menunggu di luar daerah pegunungan."
"Hem! Begitupun baik!"
Orang Berbaju Lila berkata:
"Nona Pui memerlukan waktu beberapa lama?"
"Apabila tiada halangan, dalam waktu sepuluh hari aku sudah bisa kembali."
"Jikalau begitu aku harus bawa Hui Kiam ke kamar rahasia untuk menantikan kabar baik darimu."
"Baik."
"Padahal orang Persekutuan Bulan Emas sangat membencinya, keselamatanmu di sepanjang jalan"."
"Boanpwee bisa berlaku hati-hati!"
Ie It Hoan lalu berkata sambil menepuk dada:
"Jangan khawatir, jika hanya untuk mengelabuhi mata orang, itu adalah keahlianku. Aku jamin tidak akan terjadi apa-apa."
Orang Tua Tiada Turunan berkata:
"Bocah, akal bulus semacam itu aku percaya kepadamu, tetapi kau jangan sampai lupa daratan, karena dalam soal ini menyangkut kepentingan banyak orang. Kau sudah pikirkan atau tidak?"
"Boanpwee tahu!"
"Baiklah, kalian berdua lekas balik untuk membereskan barang-barang yang kalian perlu pakai. Malam ini juga harus berangkat."
Hari itu udara cerah. Di atas jalan raya ada sepasang lelaki dan wanita setengah tua berpakaian seperti orang desa, berjalan dengan cepatnya menuju ke arah gunung Soat-hong-san. Kecepatan bergeraknya benar-benar sangat mengejutkan siapa yang melihatnya.
Mereka berdua adalah Ie It Hoan dan Pui Ceng Un yang sudah mengganti rupa dan pakaian, yang hendak pergi ke gunung Kui-im-san untuk minta tetumbuhan yang dinamakan Hiat-ay. Gunung Kui-im-san itu terletak di tengah-tengah gunung Pek-hoa-san di sebelah selatan gunung Soat-hong-san.
Selagi berjalan, Ie It Hoan berkata dengan suara perlahan:
"Kita telah diikuti!"
"Aku tahu. Kita berjalan terlalu cepat, sudah tentu menimbulkan perasaan curiga. Entah orang dari golongan mana orang yang menguntit kita itu?"
"Kita jangan ambil pusing!"
Pada saat itu dari belakang mereka tiba-tiba terdengar suara orang berkata:
''Tunggu sebentar! Sungguh gesit gerakan kalian."
Ie It Hoan dan Pui Ceng Un terpaksa berhenti dan membalikkan badan. Enam orang berpakaian hitam yang masing-masing membawa pedang sudah maju mengurung. Satu di antaranya seorang tua bermuka merah mengawasi mereka sejenak baru berkata:
"Sahabat-sahabat dari mana?"
Ie It Hoan setelah mengawasi orang tua itu lalu berkata:
'"Tuan apakah sesepuh dari partai Heng-san-pay yang bernama Hui-hoa-ciu Ouw Ceng?"
Orang tua itu nampaknya terkejut dan terheran-heran, lalu menjawab:
"Aku si orang tua adalah pemegang kuasa cabang Persekutuan Bulan Emas daerah gunung Heng-san!"
"Oh! Kalau begitu tuan adalah orang pertama yang menduduki kursi kekuasaan ini. Aku yang rendah sungguh kurang ajar tidak mengetahui kedatangan tuan yang terhormat."
Orang tua itu balas bertanya dengan nada suara dingin:
"Bagaimana nama sebutan sahabat yang mulia?"
"Satu pion yang tidak bernama, tidak perlu menyebut nama!"
"Sahabat terlalu merendahkan diri. Ditilik dari gerakan kaki kalian berdua tentunya bukan orang-orang sembarangan. Hanya si orang tua yang matanya sudah lamur, tidak mengetahui siapa sebetulnya kalian ini."
Pui Ceng Un yang nampaknya sudah tidak sadar lalu berkata:
"Ouw! Lengcu ada keperluan apa?"
"Apakah kalian berdua adalah suami isteri?"
"Kentutmu!"
"Orang perempuan, bagaimana enak saja memaki orang seenaknya saja!?"
"Dan kau mau apa"!"
Ie It Hoan karena khawatir akan menghambat perjalanannya, maka buru-buru berkata:
"Lengcu menghentikan kami berdua suci dan sute, pasti ada keperluan."
"Beritahukan dulu namamu?"
Pui Ceng Un yang pernah menjadi murid si Raja Pembunuh, sifatnya sedikit banyak ketularan sifat gurunya. Mendengar perkataan itu, segera dijawabnya dengan nada suara ketus dan dingin:
"Kau tidak berhak!"
Hui-hoa-ciu Ouw Ceng merasa malu, seketika itu timbul amarahnya. Maka segera berkata dengan suara bengis:
"Aku si orang tua karena memandang kau adalah kaum wanita...."
"Pui! Jangan berlagak seperti seorang satria padahal kau rela menjadi pembantunya orang jahat melakukan kejahatan terhadap sesama kawan rimba ptisilatan, dan kau masih belum merasa malu dengan nama baikmu yang pernah menjadi sesepuh dari partay golongan baik-baik."
"Kau mencari mampus?"
"Yang mencari mampus justru kau sendiri!"
Ie It Hoan diam-diam mengeluh, karena ia tahu bahwa pengaruh Persekutuan Bulan Emas besar sekali, orang-orangnya tersebar hampir di pelosok dunia. Apabila mereka datang menyerbu, meskipun tidak perlu ditakuti, dan ini berarti akan menelantarkan urusan penting juga berarti memperpanjang waktu penderitaan Hui Kiam. Tetapi kejadian sudah terjadi, ia juga tidak berdaya.
Orang tua itu menghunus pedangnya. Perbuatan itu segera ditiru oleh kawan-kawannya.
Di dalam partay Heng-San-Pay, Ouw Ceng merupakan jago pedang nomor satu, di kalangan Kang-ouw juga terhitung salah seorang jago pedang kenamaan. Ilmu pedangnya yang dinamakan Hui-hoa Kiam-hoat demikian rupa hebatnya sehingga mendapat gelar Hui-hoa-ciu yang berarti tangan bunga beterbangan.
Ie It Hoan berkata dengarn suara nyaring:
"Orang She Ouw, bicara dulu terus terang baru berkata lagi. Apakah maksudmu yang sebenarnya?"
Orang tua itu menatap wajah Pui Ceng Un seraya berkata:
"Orang-orang yang mencurigakan, semua harus diminta keterangan asal-usulnya."
"Apakah dunia rimba persilatan sudah dikuasai oleh Persekutuan Bulan Emas?"
"Kau tahu itu sudah cukup."
Mata Pui Ceng Un memancarkan sinar gusar. Ia berkata dengan nada suara dingin:
"Ouw-Ceng, jikalau kau mampu menyambut seranganku satu jurus saja, nonamu akan ampuni jiwamu!"
Siapa tahu bahwa perkataan "nonamu" itu merupakan suatu kesalahan besar, karena pada saat itu ia sudah menyaru sebagai seorang perempuan setengah tua, bagaimana menyebut diri sendiri "nonamu?" Di samping itu suaranya juga menunjukkan suara orang yang masih muda, jelaslah sudah bahwa perempuan itu sedang menyaru.
Dalam keadaan amarah Ouw Ceng tidak mencari keterangan siapa adanya perempuan itu. Dengan tanpa banyak bicara pedangnya segera bergerak melakukan serangan....
Sebentar kemudian terdengar suara jeritan ngeri. Wajah Ouw Ceng sudah hancur dan berlumuran darah. Keadaannya sangat mengerikan.
Pui Ceng Un perlahan-lahan menarik tangannya. Ujung jari tangannya masih penuh tanda darah.
Lima orang orangnya Ouw Ceng ketika menyaksikan keadaan demikian, semua merasa ketakutan, sehingga sudah lupa bertindak juga lupa melarikan diri. Mereka berdiri terpaku di tempatnya.
Ie It Hoan lalu berkata:
"Enci Un, mari kita melanjutkan perjalanan!"
"Aku sudah menyelesaikan tugas membasmi kejahatan. Manusia-manusia semacam ini, entah sudah berapa banyak mengalirkan darah sahabat-sahabat kita dalam rimba persilatan?"
Pada saat itu terdengar pula suara jeritan berulang-ulang. Dalam satu gerakan Pui Ceng Un sudah menamatkan jiwa lima orang berbaju hitam yang lainnya dalam keadaan serupa dengan Ouw Ceng.
Ie It Hoan meskipun dalam hati tidak setuju tindakan sekejam itu, tetapi ia tidak bisa berkata apa-apa hanya minta supaya lekas melanjutkan perjalanannya.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang berkata:
"Jangan pergi dulu."
Sesosok bayangan orang berpakaian hitam meluncur turun di hadapan mereka. Orang itu setelah mengawasi lima bangkai yang menggeletak di tanah, kemudian menatap wajah Pui Ceng Un seraya berkata:
"Cara membunuh orang si Raja Pembunuh benar-benar sangat kejam. Apakah nona seorang she Pui?"
Pui Ceng Un dikejutkan oleh pertanyaan orang itu. Dari sinar mata orang itu, dapat diduga bahwa orang itu berkepandaian tinggi sekali, tetapi ia tidak takut. Jawabnya dengan terus terang:
"Benar, nonamu adalah seorang she Pui. Kau siapa?"
"Utusan nomor tiga belas."
"Algojo Persekutuan Bulan Emas...."


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ie It Hoan kembali diam-diam mengeluh. Dengan munculnya Utusan Bulan Emas ini, orang-orang persekutuan tersebut tentunya bukan hanya ia seorang saja, dan orang yang sudah terpilih mendapat pangkat sebagai utusan persekutuan itu termasuk tenaga terpilih dari orang-orang rimba persilatan.
Utusan nomor tiga belas itu berkata sambil tertawa dingin:
"Nona Pui, siapa tuan ini?"
Utusan tiga belas itu matanya melirik kepada Ie It Hoan.
Karena urusan sudah berubah demikian rupa, biar bagaimana sudah susah sembunyikan dirinya lagi. Ie It Hoan juga mengatakan terus terang:
"Aku ini adalah Sukma Tidak Buyar."
"Bagus sekali. Kalian berdua merupakan tetamu penting yang akan diundang oleh persekutuan kita."
Setelah berkata demikian tangannya bergerak. Sebuah tanda yang berupa benda yang dapat mengeluarkan asap berwarna biru meluncur ke udara.
Nyatalah sudah bahwa utusan nomor tiga belas itu telah mengetahui bahwa kepandaiannya sendiri tak sanggup melawan murid si Raja Pembunuh dan Sukma Tidak Buyar, maka ia perlu melepaskan tanda SOS yang berupa anak panah berapi yang dapat mengeluarkan sinar dan asap biru.
Ie It Hoan sangat cerdik, ia sudah mengetahui dengan jelas keadaan pada saat itu. Apabila kepandaian bala bantuan yang akan datang itu berimbang dengan utusan nomor tiga belas itu, sudah pasti akan terjadi suatu pertempuran sengit, dengan demikian berarti akan menghambat perjalanannya. Dan apabila kepandaian bala bantuan itu lebih tinggi daripada utusan ini, susah diduga akibatnya. Apalagi orang-orang Persekutuan Bulan Emas bukan hanya mengandalkan kepandaian ilmu silat saja, segala akal dan perbuatan bisa dilakukan. Dengan kepandaiannya ia sendiri dengan Pui Ceng Un mungkin masih dapat meloloskan diri, tetapi apa selanjutnya yang akan terjadi, susah untuk diduga. Maka ia harus mengambil tindakan dengan tepat.
"Enci Un, waktu kita sangat berharga, tugas kita sangat berat, kita tidak boleh bertindak salah!" demikian ia berkata.
Pui Ceng Un sudah tentu mengerti ucapan pemuda itu.
Sementara itu Utusan nomor tiga belas masih belum memikirkan untuk bertindak, karena ia sedang menantikan kedatangan bala bantuan. Ia mengharap tindakannya sekaligus bisa berhasil.
Oleh karena hubungan dengan Hui Kiam, kedudukan Pui Ceng Un di mata utusan itu dipandangnya penting sekali.
Kedua pemuda itu saling berpandangan sejenak, keduanya lalu menyerbu.
Utusan nomor tiga belas itu dengan cepat menghunus pedangnya untuk membendung dirinya dari serangan. Jelas bahwa ia tiada bermaksud untuk bertempur mati-matian, maksudnya hanya hendak mengulur waktu. Ilmu pedangnya yang digunakan untuk menjaga diri benar-benar sulit dicari lowongannya.
Ie It Hoan yang tidak berhasil mencari tempat kosong untuk melancarkan serangannya, untuk sesaat juga tidak berdaya.
Tidak demikian dengan Pui Ceng Un. Ia masih tetap melancarkan serangannya, sehingga utusan itu terpaksa mundur.
Kenyataannya apabila pertempuran itu tidak lekas berakhir, akibatnya memang runyam.
Pui Ceng Un dengan beruntun melancarkan serangannya yang mematikan. Utusan nomor tiga belas yang harus menjaga diri mati-matian, akhirnya terbukalah suatu lowongan. Kesempatan ini sudah tentu tidak dibiarkan begitu saja oleh It It Hoan, maka segera melancarkan serangannya dengan sepenuh tenaga.
Utusan nomor tiga belas itu melompat mundur sejauh tiga tombak. Maksudnya masih tetap hendak mengulur waktu.
Pui Ceng Un membentak dengan suara keras:
"Tidak dapat membereskan dirimu, percuma menjadi murid si Raja Pembunuh!"
Sambil berseru demikian, badannya bergerak bagaikan bayangan menusuk di antaranya berkelebatnya sinar pedang....
Sebentar kemudian suara jeritan ngeri keluar dari mulut utusan nomor tiga belas itu, kemudian badan utusan itu roboh di tanah dalam keadaan hancur muka dan kepalanya.
Ie It Hoan lalu berkata sambil menunjuk ke sebuah rimba yang tidak jauh dari tempatnya:
"Enci Un, lekas!"
Kedua-duanya segera lompat melesat masuk ke dalam rimba.
Di kedua ujung jalan raya, saat itu sudah tampak bayangan manusia....
Ie It Hoan yang sudah berada di dalam rimba, lalu berkata dengan suara cemas:
"Enci Un, kita lekas ganti pakaian lagi. Kita jalan berpencaran. Kau jalan menuju ke utara mengitari rimba ini, dan belok lagi ke timur. Kita bertemu di depan."
Pui Ceng Un segera membuka kedok di mukanya, ia menukar dengan yang lain. Begitu juga dengan pakaiannya, ia segera menukarnya sehingga sudah berubah menjadi seorang perempuan desa tua, yang sebentar kemudian sudah menghilang ke dalam rimba.
Mata Ie It Hoan berputaran, seolah-olah mencari apa-apa. Kemudian ia melihat seorang penebang kayu sedang berjalan ke arahnya sambil memikul kayunya. Pikirannya terbuka seketika. Ia menghampiri dan secepat kilat menotok jalan darah tukang kayu itu.
Tukang penebang kayu itu belum tahu apa yang telah terjadi, sudah roboh pingsan.
Ie It Hoan segera mendukungnya dan disandarkan di bawah sebatang pohon besar. Ia mengeluarkan sepotong uang perak, dimasukkan ke dalam saku tukang penebang kayu itu seraya berkata:
"Sahabat, aku terpaksa menyusahkan dirimu. Duduklah kira-kira setengah jam. Uang ini sebagai ganti kerugianmu."
Tukang penebang kayu itu dalam hati mengerti, tetapi tidak bisa membuka mulut, bergerak juga tidak bisa.
Ie It Hoan memikul kayu itu dengan cepat meninggalkan tempat itu. Baru saja keluar dari rimba, tiga orang berbaju hitam sudah datang menghampiri.
Ie It Hoan yang memang berpakaian sebagai orang desa, dengan memikul kayu sudah tentu tidak menimbulkan curiga. Dengan tindakan lebar ia berjalan terus menuju ke jalan raya.
Sepanjang jalan itu, sedikitnya ia menjumpai sepuluh rombongan lebib orang berpakaian berwarna hitam itu.
Berjalan kira-kira tiga pal, ia lemparkan kayunya, lalu mengambil jalan kecil lagi untuk bertemu dengan Pui Ceng Un. Kemudian melanjutkan perjalanan ke gunung Pek Ma-San. Di waktu senja, sudah memasuki daerah pegunungan, mereka membawa bekal sedikit makanan, malam itu juga terus memasuki pegunungan.
Esok hari pagi-pagi sekali, dua orang itu sudah tiba di atas puncak bukit. Pui Ceng Un lalu berkata sambil menunjuk ke depan:
"Gunung yang tertutup oleh kabut dan awan itu adalah gunung Kui-im-san. Gua raja iblis itu terdapat di bawahnya."
Ie It Hoan mengawasi gunung yang ditunjuk oleh Pui Ceng Un itu. Ia segera melihat beberapa gunung anakan besar kecil yang tak sedikitu jumlahnya, berdiri berderet-deret bagaikan biji catur. Satu di antaranya, sebentar nampak nyata sebentar menghilang. Nama gunung Kui-im yang berarti bayangan setan, memang tepat.
"Apakah Enci Un hendak berangkat sekarang juga?" demikian ia bertanya.
"Sudah tentu, waktu sangat berharga, kau tunggu aku di sini saja!"
"Siaote...."
"Ada apa?"
"Siaote benar-benar tidak tega Enci Un pergi seorang diri untuk menempuh bahaya!" berkata Ie It Hoan dengan sikap sungguh-sungguh.
"Memang benar, dalam perjalanan ini memang menempuh bahaya, tetapi bahaya ini tidak boleh tidak aku harus menempuhnya. Hui sute adalah murid Ngo-tee satu-satunya. Kepandaian Ngo-tee tergantung di tangannya, jangan sampai lenyap dari muka bumi. Tugas menuntut balas bagi perguruannya, juga terletak di atas pundaknya. Di samping itu, pertempuran antara golongan baik dan golongan jahat sudah akan dimulai. Para locianpwe dan para sahabat dunia rimba persilatan menaruh harapan besar kepada dirinya. Ia boleh dikata adalah tiangnya rimba persilatan pada dewasa ini. Sesungguhnya ada harganya
untuk mengorbankan segala apa untuknya," berkata Pui Ceng Un dengan suara agak gemetar.
''Benarkah aku tidak boleh jalan bersama?"
"Benar!"
"Apakah Enci Un yakin benar bisa mendapatkan tumbuhan Hiat-ay itu?"
"Susah dikata!"
"Seandainya"."
Pui Ceng Un berusaha menindas perasaannya yang bergolak hebat, ia berkata dengan tenang:
"Adik Hoan, besok pagi setelah matahari terbit, apabila kau tidak melihat aku keluar dari gua itu, kau segera pulang menyampaikan kabar, minta kepada para locianpwe itu supaya mencari daya upaya lain."
Mata Ie It Hoan menampak merah. Ia berkata dengan suara gemetar:
"Enci Un, besok pagi apabila aku tidak nampak kau keluar, aku...."
"Bagaimana?"
"Menerjang masuk ke dalam goa!"
Sesaat Pui Ceng Un tercengang, kemudian ia berkata dengan sikap dan suara bengis:
"Kau ingin mati mudah sekali, tetapi Hui Kiam harus hidup, harus sembuh. Maka kau harus pulang untuk memberi kabar!"
Mata Ie It Hoan berkaca-kaca, tetapi ditahan jangan sampai mengeluarkan air mata. Katanya dengan suara gemetar:
"Baiklah, aku hendak pulang, tetapi aku bisa datang lagi."
"Datang lagi untuk mengantar nyawa?"
"Mati, apa yang harus ditakuti?"
Pui Ceng Un tergerak hatinya oleh ucapan pemuda itu. Pikirannya merasa kusut. Sudah tentu ia dapat memahami pikiran pemuda itu. Akan tetapi, sesuatu pikiran yang sudah lama ada dalam hatinya, membuatnya bertahan terus untuk mengendalikan setiap godaan. Ketika mendengar perkataan itu, ia berkata dengan suara sedih:
"Adik Hoan, perlu apa kau berbuat begitu?"
"Enci Un, setiap manusia mempunyai kemauan sendiri-sendiri."
Badan Pui Ceng Un gemetar, hatinya merasa pilu. Tetapi ia terpaksa harus mengambil keputusan yang mungkin menambah kedukaan Ie It Hoan.
"Aku hanya mengucapkan seandainya saja," demikian ia berkata.
"Siaotee tahu."
"Selain daripada itu, aku juga tidak ingin hutang budi orang!"
"Enci Un, sekarang.... sekarang....."
"Kenapa?"
"Bolehkah siaotemu mengeluarkan kata-kata yang sudah lama tersimpan dalam hati siaote?"
Pui Ceng Un sudah tentu membayangkan perkataan apa yang hendak diucapkan. Ia ingin mendengarnya tetapi ia tidak mau dengar! Ia keraskan hatinya, lalu berkata:
"Tidak, usahaku sekarang harus lekas menyelesaikan tugasku. Jikalau ada untung aku bisa pulang, nanti kita bicarakan lagi perlahan-lahan?"
Ie It Hoan menunjukkan sikap sangat berduka. D?ngan nada suara yang minta dikasihani, ia berkata:
"Enci Un, siaote harus menerangkan sekarang juga."
'"Aku tidak suka mendengar. Aku toh tidak minta kau ikut, adalah kau sendiri yang ingin turut kemari."
"Enci Un...."
"Aku hendak pergi!"
Setelah demikian Pui Ceng Un melesat ke bawah puncak gunung. Begitu tiba di bawah ia menengok ke atas, hanya dapat melihat sesosok bayangan orang samar-samar berdiri di atas puncak. Dalam hatinya merasa pilu, air matanya mengalir keluar. Ia berkata kepada diri sendiri:
"Adik Hoan, aku telah melukai hatimu, tetapi aku tidak pantas menerima cintamu. Parasku tidak dapat dilihat orang untuk selama-lamanya!"
Ia toh ingat akan tugasnya, maka segera mengkesampingkan semua pikirannya dan terus lari menuju ke jalan lembah. Ia memutari jalanan dalam lembah yang banyak tikungannya, akhirnya tibalah di mulut selat yang tiada terdapat tumbuh-tumbuhan sedikitpun juga. Di atas dinding batu gunung terdapat tulisan dengan huruf-huruf besar yang sangat menyolok.
Daerah terlarang bagi kaum pria! Siapa yang melanggar akan dihukum mati!
Hati Pui Ceng Un berdebaran. Ia membuka kedoknya, sehingga tampak wajah aslinya yang buruk dan banyak tanda cacat. Ia masih tetap mengenakan pakaiannya berwarna hijau, begitu pun kerudung mukanya yang berwarna hijau muda juga dipakainya lagi. Dengan memberanikan hati ia melesat memasuki mulut selat itu.
Jalanan yang merupakan terowongan sangat panjang dan gelap serta terdapat banyak cabang. Karena dia sudah tidak menghiraukan jiwanya sendiri, maka ia menenangkan kembali pikirannya untuk mengingat-ingat penuturan suhunya dahulu tentang keadaan dalam terowongan itu. Dengan tindakan sangat perlahan ia maju terus.
Dalam kabut yang amat tebal, samar-samar tampak banyak bayangan orang. Ia tahu bahwa itulah bayangan batu-batu runcing yang terdapat di dinding terowongan itu, maka ia tidak menghiraukannya sama sekali.
Berjalan hampir satu jam lamanya, tidak melihat suatu gerakan apa-apa.
Dari keadaan jalan dalam terowongan itu, ia dapat menduga bahwa tempat di mana ia berada sudah jauh lagi dari goa Raja Iblis seperti dituturkan oleh gurunya.
Bentuk dan roman muka penghuni dalam goa itu seperti apa yang dituturkan oleh gurunya dahulu, telah terbayang dalam otaknya, dan lamunannya terpeta satu bayaongan orang berwajah buruk penuh tanda luka, berambut putih, berpakaian warna-warni, berkepandaian sangat tinggi dan bersifat kejam.
Jantung hatinya berdebar semakin keras, bernapasnya juga mulai sesak.
Akan tetapi ia sedikitpun tidak mempunyai rasa takut. Untuk kepentingan Hui Kiam, ia menempuh bahaya ini tanpa menghiraukan jiwanya sendiri hanya satu sebab karena Hui Kiam adalah satu-satunya murid keturunan Lima Kaisar Rimba Persilatan.
Dengan tiba-tiba kabut yang tebal itu telah lenyap. Di hadapan matanya tampak mulut gua yang besar. Kabut yang demikian tebal itu agaknya terhalang sejarak lima tombak oleh semacam kekuatan yang tidak terwujud. Ini benar-benar merupakan sesuatu kejadian langka yang tidak habis dimengerti.
Pui Ceng Un berdiri tegak di depan. Keringat dingin dengan tanpa dirasa telah mengucur keluar. Dia berada dalam keadaan demikian, akhirnya ia memberanikan hati dan berkata:
"Siaoli Pui Ceng Un, seorang muda tidak berguna dari kalangan Kang-ouw. Karena ada sedikit urusan, ingin menjumpai Tongcu."
Dari dalam terowongan menggema suara Pui Ceng Un yang memantul balik. Selain itu, tak ada reaksi.
la mengulangi sekali lagi ucapannya itu tadi:
Tiba-tiba satu suara yang bernada dingin dan tidak jelas terdengar di belakang dirinya.
"Apa kau datang hendak mengantar jiwa?"
Bulu roma Pui Ceng Un dirasakan berdiri. Ia mengepal dua tangannya, dengan cepat membalikkan badannya. Sesaat itu mulutnya ternganga, matanya terbuka lebar.
Di hadapannya berdiri seorang perempuan tua yang wajahnya jelek sekali dan penuh tanda cacat dengan rambut putih serta pakaiannya berwarna-warni. Manusia yang berbentuk demikian, bagi orang yang berkeberanian kecil pasti akan mati ketakutan, karena manusia semacam itu sebenarnya tidak patut disebut sebagai manusia lagi.
Wajah Pui Ceng Un sendiri yang telah rusak, meskipun juga berubah buruk, tapi kalau dibanding dengan wajah nenek itu, ternyata masih jauh lebih bagus.
Nenek itu mulutnya nampak bergerak-gerak, mengeluarkan suara samar-samar tetapi masih bisa didengar:
"Ada keperluan apa kau datang kemari?"
Pui Ceng Un seolah-olah baru sadar dari mimpinya. Ia lalu memberi hormat dan berkata:
"Boanpwe Pui Ceng Un dengan setulus hati datang kemari hendak...."
"Kau terangkan saja ada keperluan apa?"
"Minta sedikit Hiat-ay!"
"Hiat...."
"Ya."
"Kak, kak, kak, kak!" demikian terdengar suara tertawanya bagaikan burung hantu, sehingga membuat bulu roma berdiri. Setelah memperdengarkan suara tertawanya yang aneh itu baru berkata:
"Di sini tak ada Hiat-ay, hanya satu macam"."
"Apa?"
"Kematian! Kak, kak. kak..."
Pui Ceng Un merasa seperti disiram oleh air dingin tetapi ia masih kendalikan perasaannya.
"Harap locianpwee berlaku murah hati dan kasihanilah...."
"'Nenekmu ini seumur hidupnya tidak kenal apa artinya kasihan. Budak, karena kau sudah datang kemari, terimalah nasibmu."
"Apakah locianpwe tak sudi memberikan?"
"Hem, tidak bisa."
Sesaat itu Pui Ceng Un telah kehilangan akal. Mati ia tidak takut karena kedatangannya ini memang sudah diberitahunya akan menempuh bahaya, maka ia tidak memikirkan soal kematiannya. Ia hanya ingat bagaimana racun di dalam tubuh Hui Kiam tidak dikeluarkan, ini berarti mati lebih baik daripada hidup".
Lama ia berdiri dalam keadaan bingung. Ia tidak tahu bagaimana harus membuka mulut lagi.
Tiba-tiba terdengar pula pertanyaan nenek aneh itu:
"Kau minta Hiat-ay untuk keperluan apa?"
"Untuk menolong orang."
"Siapa orangnya yang hendak kau tolong?"
"Sutee dalam seperguruan!"
"Apakah dia kekasihmu?"
"Bukan! Hubungan kami hanya terbatas kepada saudara seperguruan saja."
"Bagaimana kau tahu di sini ada Hiat-ay?"
Otak Pui Ceng Un bekerja keras. Kalau didengar dari perkataan nenek itu agaknya sudah mulai ada sedikit perbaikan, tetapi orang aneh dengan sikapnya yang aneh sulit sekali untuk diduga pikirannya. Oleh karena kedatangannya itu sudah tidak memikirkan mati hidupnya sendiri, sekalipun ia menerangkan asal-usul diri sendiri yang sebenarnya juga tiada halangan. Tiba-tiba ia ingat bahwa tempat itu merupakan tempat terlarang bagi kaum pria,
dengan cara bagaimana dahulu gurunya bisa keluar dalam keadaan hidup" Tentang ini dahulu gurunya belum pernah menerangkan secara terus terang. Dalam hal ini mungkin terselip sesuatu. Jikalau ia menerangkan asal-usul dirinya mungkin dapat mengungkap tabir yang menutupi rahasia ini, dan mungkin pula akan terjadi perubahan yang tidak diduganya.
Karena berpikir demikian ia lalu berkata dengan terus terang:
"Adalah suhu yang memberitahukan!"
"Siapa suhumu?"
"Si Raja Pembunuh."
"Apa" Si Raja Pembunuh ..."!"
"Bagaimana dia tahu?"
"Karena... suhu pernah datang kemari!"
"Bohong, di sini tiada seorang lelaki yang datang kemari bisa balik lagi dalam keadaan hidup. Selama aku berdiam di sini, sudah ada duabelas lelaki yang mati di sini. Di antara mereka yang datang tiada terdapat si Raja Pembunuh."
Pui Ceng Un tercengang. Apakah ucapan suhu itu bohong" Akan tetapi bagaimana keadaan dan cara jalannya menuju ke gua ini sama benar dengan penuturannya, bagaimana bisa membohong"
"Tetapi inilah sesungguhnya, jikalau tidak boanpwee juga tidak akan bisa sampai di sini dalam keadaan selamat!"
Perempuan aneh itu nampak berpikir, kemudian ia berkata:
"Siapa namanya?"
"Oet tie Siang!"
Badan nenek itu gemetar, mukanya yang buruk nampak berkerenyit. Perubahan sikap secara mendadak ini mengejutkan Pui Ceng Un.
"Katamu Oet-tie Siang adalah suhumu?"
"Ya!"
"Apakah... ia sudah meninggal?"
Tiba-tiba nenek itu menyambar pergelangan tangan Pui Ceng Un. Tindakan yang tidak terduga-duga itu sudah tentu tidak dapat dielakkan oleh Pui Ceng Un, sehingga mudah tangannya tergenggam oleh nenek itu.
"Ya, suhu meninggal pada beberapa bulan berselang!"
"Meninggal dengan cara bagaimana ?"
"Terbunuh oleh musuhnya, ialah si Iblis Singa, salah satu dari Delapan Iblis negara Thian-tik!"
Lama sekali tidak terdengar suara nenek itu. Tangannya mencekam pergelangan tangan Pui Ceng Un masih belum dilepaskan.
Suasana sepi sunyi dan menyeramkan.
Pui Ceng Un yang menantikan sekian lama masih belum mendengar pertanyaan apa, terpaksa bertanya.
"Apakah locianpwe dengan suhu"."
"Tutup mulut!" demikian nenek itu membentak setelah hening sejenak lalu menggumam sendiri:
"Memang harus mampus, bagus sekali kematiannya."
Pui Ceng Un bergidik. Ucapan nenek itu kedengarannya tak mengandung maksud baik.
Dengan sinar mata tajam nenek itu menatap Pui Ceng Un, kemudian berkata dengan bengis:
"Dia berkata bagaimana tentang diriku?"
Untuk sesaat Pui Ceng Un merasa bingung, tetapi kemudian ia segera mengerti.
"Boaopwee justru ingin bertanya kepada locianpwee ada hubungan apa dengan suhu almarhum?"
"Hubungan" Hem! Aku tidak membunuhnya namun dia sudah mati, dan sekarang kau datang sendiri maka aku juga hendak membunuhmu!"
Pui Ceng Un hampir tidak dapat mengendalikcn perasaan gusarnya, tetapi akhirnya ia masih bcrlaku sabar, karena kepandaiannya sendiri tidak sanggup menandingi kepandaian nenek itu. Dan yang terpenting adalah, selagi masih bisa bernapas, ia tetap akan berusaha mendapatkan Hiat-ay untuk menolong diri Hui Kiam. Jikalau tidak mengingat kepentingan diri Hui Kiam, dengan sifatnya Pui Ceng Un yang sudah ketularan sifat gurunya, sudah tentu tidak bisa berlaku jinak. Maka setelah menenangkan pikirannya ia baru berkata :
"Apakah locianpwe mempunyai permusuhan dengan suhu?"
Nenek aneh itu memperdengarkan suara tertawanya yang aneh dan menyeramkan, kemudian baru berkata dengan suaranya yang mengandung perasaan gemas:
"Selamanya aku hendak menghancurkan bangkainya!"
Kembali Pui Ceng Un terpaksa bungkam. Ia tak dapat mengatakan apa-apa.
"Budak, mengapa kau harus memakai kerudung di mukamu?"
Pertanyaan itu bagaikan sengatan kumbang di diri Pui Ceng Un. Ia menjawab dengan lesu:
"Sebab boanpwe berparas cantik."
"Jadi kau cantik" Sebelum aku membunuhmu aku ingin melihat bagaimana kecantikanmu."
Tanpa banyak bicara kain kerudung yang menutupi muka Pui Ceng Un ditariknya dan dirobek menjadi berkeping-keping.
"Astaga!" Demikian nenek itu berseru terkejut. Ia melepaskan tangannya dan mundur beberapa langkah. Matanya memandang tajam kemudian berkata:
"Tidak salah, memang inilah perbuatannya. Dia mengapa hendak merusak wajahmu?"
"Karena peraturan. Peraturan menerima murid."
"Peraturan" Ha ha ha. Suatu peraturan yang bagus sekali."
Setelah berkata demikian, ia menyambar tangan Pui Ceng Un lagi, kemudian ditariknya lari masuk ke dalam goa.
Dalam goa itu terdapat tiga kamar batu. Hanya satu kamar yang keadaan ruangannya teraag. Nenek aneh itu meletakkan diri Pui Ceng Un di ruangan tengah yang luas, kemudian ia sendiri duduk di atas kursi dan bertanya dengan nada suara dingin:
"Badak, apakah kau mempunyai kekasih?"
Pui Ceng Un tidak dapat menebak apa maksud nenek itu bertanya demikian, tetapi biar bagaimana ia harus menjawabnya. Ketika mendengar pertanyaan itu, dalam otaknya terbayang wajah seorang pemuda tampan, tetapi sebentar sudah lenyap lagi. Dengan suara tegas ia menjawab:
"Tidak!"
"Benar-benar tidak?"
"Ini rasanya tidak perlu untuk membohong. Tidak ya tidak!"
"Apakah kau memikirkan saja pun tidak?"
"Aku adalah manusia, sudah tentu juga bisa memikirkan soal itu, tetapi aku tidak boleh memikirkan, juga tidak ingin memikirkan!"
"Mengapa?"
"Aku tidak pantas. Tidak pantas mencintai orang, juga tidak pantas dicintai orang."
Wajah buruk nenek tua itu terjadi perubahan. Tetapi agak sulit untuk membedakan perubahan itu karena tertawa atau gusar ataukah tergerak pikirannya".
"Apakah kau membenci suhumu yang sudah mampus itu yang telah memberikan hadiah semacam ini kepadamu?"
"Tidak!"
"Katakan benci, lekas!"
"Tidak!"
"Mengapa kau tak membencinya?"
"Suhu merusak wajahku itu adalah peraturannya yang telah digariskan, dan aku juga rela. Apabila aku harus mengatakan benci, aku akan membenci kepada nasibku sendiri. Aku tidak mengeluh, juga tidak meoyesalkan orang."
Nenek itu berkata dengan suara bengis:
"Apa itu nasib" Nasib adalah di tanganmu sendiri. Jikalau sekarang aku hendak membunuhmu, apakah itu juga nasib?"
"Ya, boleh dikata begitu."
"Apabila kau tidak datang kemari, apakah kau bisa mati?"
"Tetapi aku toh sudah datang kemari."
"Kalau sekarang aku membunuhmu, apakah kau juga tidak membenci?"
"Tidak."
"Aku ingin kau membenci. Semakin dalam rasa bencimu semakin baik."
Ucapan itu bagaikan ucapan yang sudah gila yang sudah tidak waras pikirannya, sehingga membuat orang serba salah tidak tahu bagaimana harus menjawab.
"Aku tidak benci, aku tak pantas untuk membenci!" Demikian akhirnya Pui Ceng Un menjawab.
"Mengapa tidak pantas?"
"Jikalau dalam hatiku sudah timbul perasaan benci, aku seharusnya merusak apa yang kubenci. Tetapi kepandaianku tidak dapat menandingi kepandaianmu!"
"Bagus! Bagus! Satu jawaban yang bagus sekali. Ini barulah perasaan benci yang sebenar-benarnya. Jikalau tidak bisa membenci secara demikian, lebih baik tidak membenci. Budak, sekarang aku tidak ingin membunuhmu lagi. Sebelum pikiranku berubah, kau lekas pergi dari sini."
Pui Ceng Un memandang dengan sinar mata dingin kepada nenek aneh itu, sejenak kemudian berkata sambil menggeleng-gelengkan kepala:
"Aku tidak mau pergi."
"Kau... tidak mau pergi" Apakah kau ingin mati?"
"Penghidupan bagiku sudah kehilangan artinya. Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang jngin kulakukan. Kalau itu tidak dapat kulakukan, apa halangan kalau aku harus mati?"
Biji mata nenek itu berputaran beberapa kali, kemudian berkata:
"Urusan apa yang kau tidak dapat melakukan?"
"Soal untuk mendapatkan Hiat-ay."
"Demikian pentingnya sutemu itu bagimu?"
'"Bukan terhadap aku, tapi itu adalah terhadap perguruanku. Apalagi terhadap nasib seluruh rimba persilatan sangat penting sekali."
"Untuk apa kau hendak meminta Hiat-ay?"
"Untuk dibuat campuran obat ramuan untuk memunahkan racun Long-sin-tan."
"Apakah ia terkena racun Long-sin tan?"
"Ya."
"Siapa yang menggunakan racun itu?"
"Putri pemimpin Persekutuan Bulan Emas Tong-hong Hui Bun, seoraug siluman perempuan."
"Sudah lama aku tak menceburkan diri dalam dunia Kang-ouw, siapa pemimpin itu aku sudah tidak tahu. Sebaliknya aku mendadak
merasa senang terhadapmu. Sekarang begini saja, aku akan memberikan sebatang Hiat-ay dan kau harus melakukan beberapa pekerjaan untukku...."
Terjadinya perubahan ini benar-benar di luar dugaau Pui Ceng Un. Maka ia berkata dengan perasaan sangat girang:
"Silahkan Cianpwee memberikan perintah saja, boanpwee pasti akan melakukan."
"Bagus. Kau tolong carikan seseorang untukku, karena aku masih ada hutang kepada orang itu aku harus mesti bayar lunas hutangku kepadanya."
Nada suara Pui Ceng Un saat itu juga berubah merendah. Sikapnya juga menunjukkan sungguh-sungguh dan menghormat.
"Siapakah orangnya yang locianpwee ingin cari itu?"
"Kau dengarlah, aku nanti akan ceritakan satu kisah. Duduklah."
"Boanpwee bersedia mendengarnya."
Setelah itu ia lalu duduk di salah satu kursi di dekatnya.
Nenek itu nampaknya sangat berduka, akan tetapi nada suaranya masih tetap dingin, hanya sedikit banyak mengandung rasa terharu.
"Kisah ini terjadi pada empat puluh tahun berselang. Kala itu, di dalam rimba persilatan ada seorang perempuan yang mempunyai kecantikan luar biasa, dengan kepandaiannya yang tinggi sekali, sehingga kawan kawan dunia Kang-ouw menamakannya Bidadari.... berparas cantik dan berkepandaian tinggi."
"Ow! Nama julukan bidadari itu dulu boanpwe pernah dengar dari ayah. Kalau tidak salah bidadari itu bernama Thi Hong Gie."
"Kau jangan menyela! Dengarkan baik-baik. Bersamaan waktunya dalam rimba persilatan muncul seorang gagah berwajah tampan. Dalam suatu pertandingan persahabatan di antara orang-orang gagah, pemuda gagah itu berhasil mengalahkan dua puluh delapan lawannya, sehingga namanya seketika itu juga menjadi terkenal. Karena wajahnya yang tampan, oleh sahabat-sahabat
dunia Kang-ouw dia diberi nama julukan Giok-bin Sin-liong. Di dalam suatu kesempatan, perempuan cantik itu berkenalan dengan pemuda gagah dan tampan itu. Satu sama lain lalu jatuh cinta."
Berkata sampai di situ, ia berhenti sejenak. Parasnya yang penuh tanda cacat terlintas warna merah. Kemudian ia melanjutkan penuturan.
"Tidak lama kemudian, dua muda-mudi itu menjadi suami istri. Kejadian pada waktu itu merupakan suatu peristiwa romantis yang menggemparkan dunia Kang-ouw. Banyak pemuda rimba persilatan yang merasa iri hati, sudah tentu juga menimbulkan perasaan dengki."
Pui Ceng Un sangat tertarik oleh cerita itu. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian.
Terdengar pula nenek itu melanjutkan ceritanya:
"Setahun kemudian, pada saat hari terjadilah suatu kejadian yang tidak biasa. Giok-bin Sin Liong Cho Hong di dalam perjalanan pulang ke rumahnya, telah dicegat oleh tiga jago pedang muda yang tidak diketahui asal-usulnya. Terjadilah suatu pertempuran dengan satu melawan tiga. Ketika bidadari yang cantik dan gagah itu mendengar kabar dan menyusul ke tempat kejadian, ternyata Giok-bin Sin Liong sudah rebah di tanah dalam keadaan terluka parah. Dalam murkanya sang istri itu lalu bertempur dengan tiga jago pedang itu."
"Oh! Dan selanjutnya?"


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan menolak, sudah tiga bulan lamanya Giok-bin Sin Liong rebah di atas pembaringan. Setelah sembuh dari luka-lukanya, terjadilah suatu kejadian yang sangat menakutkan. Ternyata saat itu meskipun lukanya sudah sembuh, tetapi ia sudah kehilangan kemampuannya sebagai seorang lelaki. Ia telah menjadi impoten. Maka sejak saat itu pasangan suami istri yang membuat iri hati banyak orang itu sudah berubah menjadi suami istri dalam arti kata hanya tinggal namanya saja ...."
Pui Ceng Un mukanya merasa panas mendengar penuturan itu.
"Perhubungan demikian, berlangsung terus beberapa tahun lamanya ...."
Pui Ceng Un lalu menyela dan memberi pujian:
"Cinta kasihnya bidadari itu patut dihargakan!"
"Tutup mulutmu, dengar ceritaku. Bidadari yang masih muda belia itu, disuruh menjalani penghidupan yang amat kering itu, sebenarnya memang susah. Pada saat itu, masuklah seorang pemuda gagah lain yang baru rnuncul di kalangan rimba persilatan. Dengan berbagai cara dan akal muslihat, jago muda itu memancing dan memikat bidadari itu, akhirnya salah pikir karena tidak mampu mengendalikan godaan hatinya, telah nelakukan perhubungan gelap dengan jago muda itu."
"Kejadian ini agaknya sulit untuk menyalahkan pihak yang mana?" Demikian Pui Ceng Un menyelak pula.
---oo0dw0ooo--JILID 32 "SETELAH kejadian tersebut, bidadari cautiK itu amat menyesal atas perbuatanya sendiri. Dengan terus terang ia memberitahukan kepada suaminya, semua apa yang telah terjadi. Suami itu karena mengetahui cacat kepada dirinya sendiri, akhirnya telah memaafkan perbuatan istrinya, akan tetapi sejak saat itu hubungan suami istri itu sudah timbul sedikit keretakan. Bayangan gelap ini membuat mereka masing-masing berada dalam penderitaan batin yang sangat berat."
"Dan selanjutnya?" Demikian Pui Ceng Un bertanya.
Nenek aneh itu melototkan matanya, lalu berkata pula:
"Bidadari cantik itu sejak melakukan perhubungan gelap dengan jago muda itu, ternyata sudah mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki. Tetapi anak itu di mata suaminya sudah tentu merupakan duri. Dengan demikian keretakan suami istri itu semakin lama semakin dalam. Pada delapan belas tahun berselang, bidadari
cantik itu akhirnya pergi meninggalkan suaminya sambil membawa anaknya ia ingin mengasingkan diri untuk merawatnya ...."
Nada suaranya telah berubah, air mata mengalir keluar.
"Tetapi" Tuhan rupanya tidak mau mengampuni perempuan yang sudah berdosa. Anaknya yang susah payah dirawatnya itu, kemudian meninggal dunia karena kesalahan makan buah beracun...."
"Aaaa!" demikian Pui Ceng Un berseru.
Setelah hening cukup lama, nenek itu baru melanjutkan ceritanya:
"Sejak kejadian itu, satu-satunya pengharapan bidadari cantik itu telah musnah. Menyesal, membenci, kedukaan dan kesepian telah mengubah sifatnya yang semula. Ia ingin merusak dirinya sendiri tetapi ia tak mempunyai ketabahan hati untuk berbuat demikian. Urusan belum habis, pemuda yang pernah memancing dirinya dan menjerumuskannya ke jurang kedosaan itu, tiba-tiba datang mencarinya. Waktu itu pemuda itu usianya tidak muda lagi, dan bidadari tahu oleh karena akibat perbuatannya sendiri yang hendak merusak dirinya sudah merupakan seorang perempuan yang sudah banyak ubannya, sehingga tak secantik seperti dahulu lagi"."
Saat itu Pui Ceng Un sudah mulai dapat menduga siapa orangnya yang menjadi peranan utama dalan kisah itu, maka ia tidak berani menyela lagi.
Nenek itu berdiam sejenak untuk menindas perasaannya, demikian berkata pula:
"Setelah kedua pihak saling bertemu, bidadari cantik itu memberitahukannya tentang kematian anaknya, tapi laki-laki itu ternyata sedikitpun tidak tergerak hatinya. Seolah-olah ia menganggap sepi kejadian itu. belum lagi duduk ia sudah hendak berlalu. Semua omongan manis di waktu dahulu, seolah-olah bukan keluar dari mulut lelaki di hadapannya itu. Lelaki itu telah merusak penghidupannya, sebaliknya merasa tidak bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya. Dalam keadaan menyesal
dan benci, bidadari itn telah mengambil keputusan menghabiskan jiwa lelaki itu .... Ia turun tangan lebih dahulu, tetapi lelaki itu tak membalas, sehingga bidadari itu hatinya lemas lagi, tidak tega membunuhnya...."
Paras jelek nenek itu nampak berkerenyit beberapa kali. Dalam matanya Pui Ceng Un pada saat itu, paras nenek itu sudah tidak begitu buruk seperti semula.
Tak disangka bahwa itu adalah akal muslihatnya. Sebab ia sudah tahu bahwa kepandaiannya tidak sanggup melawan kepandaian bidadari itu. Selagi bidadari itu masih ragu-ragu dan bimbang pikirannya, lelaki itu tiba-tiba menggunakan tangannya yang ganas, dengan cara yang menakutkan, telah merusak paras bidadari itu."
Pui Ceng Un saat itu tidak dapat mengendalikan perasaannya, maka lalu berseru:
"Lelaki sialan!"
Nenek itu melanjutkan ceritanya dengan nada suara meluap-luap.
"Bidadari itu bukan seorang sembarangan. Dalam keadaan terluka, ia masih dapat melakukan serangan pembalasan. Dengan cara yang serupa ia merusak wajah laki-laki itu. Tetapi akhirnya karena luka parah di mukanya, bidadari itu sudah tidak mempunyai tenaga untuk membinasakan laki-laki itu, sehingga laki-laki itu meloloskan diri."
"Selama sepuluh tahun lebih ini, kebencian bidadari itu terhadap lelaki buas itu sedikitpun tidak luntur, bahkan semakin mendalam. Tetapi ia tidak pergi mencarinya untuk menuntut balas, sebab ia sudah tak mempunyai keberanian lagi untuk menjumpai kawan-kawan lamanya."
Pui Ceng Un merasa sangat terharu. Ia berkata dengan suara gemetar:
"Locianpwe kiranya mempunyai riwayat hidup yang demikian memilukan hati!"
"Coba kau tebak, siapakah lelaki yang kurusak wajahnya itu?"
"Boanpwe tidak bisa menebak!"
"Dia adalah gurumu sendiri."
Pui Ceng Un mendadak lompat dari tempat duduknya. Ia sangat terkejut, sehingga lama tidak bisa berbicara.
"Ini adalah hadiah pemberian suhumu. Ini adalah bidadari berparas cantik dan berkepandaian tinggi yang dahulu kecantikannya pernah menggemparkan dunia Kang-ouw!"
"Locianpwe...."
"Kau tidak perlu berkata apa-apa lagi setiap aku berkata satu kali. Biarlah penderitaan ini menebus dosa perbuatanku. Aku berdosa terhadap Giok-bin Sin Liong Cho Hong, aku hendak membayar hutang kepadanya. Jikalau tidak, sekalipun aku mati juga tidak bisa menutup mata. Orang yang aku ingin kau cari itu adalah dia, suruhlah dia datang kemari."
"Boanpwe berjanji pasti hendak melakukannya."
"Apabila dia sudah tidak ada di dalam dunia, kau harus mencari di mana kuburannya."
"Ya!"
"Baiklah, kisah ini sudah berakhir. Di sini kau menginap satu malam dulu, besok siang kau boleh turun gunung."
"Menginap satu malam?"
"Hm! Hiat-ay itu setelah dipetik, harus dimatangkan dulu dengan api, jikalau tidak akan lumer tertiup angin."
"Oh! Kalau begitu di sini boanpwe ucapkan banyak-banyak terima kasih lebih dahulu."
Malam itu telah dilewatkan tanpa kejadian apa-apa. Nenek itu menggunakan waktu satu malam dan setengah hari, baru mengeringkan Hiat-ay itu, lalu diberikannya kepada Pui Ceng Un. Setelah menyimpan baik-baik Pui Ceng Un segera minta diri.
Dalam perjalanannya itu telah berhasil demikian memuaskan, benar-benar di luar dugaannya.
Sepanjang perjalanan pulang itu, perasaan Pui Ceng Un dirasakan sangat berat. Di satu pihak ia merasa kasihan dan bersimpati pada nenek itu, di lain pihak ia sungguh merasa sebal terhadap sifat dan kelakuan gurunya sendiri.
Selagi masih berjalan, di hadapannya tampak seseorang bayangan orang yang lari ke arahnya. Oleh karena kabut tebal, ia tidak dapat melihat tegas wajah orang itu.
"Berhenti!" demikian ia mengeluarkan seruan.
"Enci Un...."
"Apakah Adik Hoan?"
"Ya."
Pui Ceng Un segera maju menghampiri. Sambil menarik tangan Ie It Hoan, ia lari dengan cepatnya sementara itu mulutnya berkata:
"Kau benar-benar mencari mati. Kau sudah berani masuk ke daerah terlarang ini."
Namun demikian dalam lubuk hatinya merasa sangat terharu, sebab ia mengerti bahwa perbuatan pemuda itu semata-mata hanya karena dirinya.
Setelah keluar dari mulut selat dan tiada melihat bayangan nenek itu, hatinya baru merasa lega. Pui Ceng Un mengenakan kedoknya lagi dan memakai pakaian penyamarannya. Dengan tidak sabar Ie It Hoan bertanya:
"Bagaimana?"
"Beruntung kita berhasil."
"Oh! Terima kasih kepada Tuhan."
"Mari kita jalan!"
"Enci Lo, bagaimana jalannya sampai kau berhasil mendapatkan benda itu?"
Pui Ceng Un tidak suka menjelaskan, sebab dalam kisah itu menyangkut gurunya sendiri yang sudah meninggal dunia. Setelah berpikir sejenak ia berkata sambil berjalan:
"Aku harus menggunakan banyak waktu dan kata-kata untuk menundukkan hati nenek itu. Hampir aku binasa di tangannya. Untung wajahku ini telah menolong aku, akhirnya ia menerima baik permintaanku, tetapi memajukan satu syarat."
"Syarat apa"''
"Untuk mencari keterangan dirinya seseorang masih hidup atau sudah mati!"
"Bagaimana orangnya?"
"Giok-bin Sin Liong Cho Hong!"
Ise It Hoan mendadak berhenti, ia berkata dengan suara gemetar:
"Enci Un, kau katakan Giok-bin Sin Liong Cho Hong?"
Pui Ceng Un juga dikejutkan oleh sikap Ie It Hoan itu. Ia berkata dengan perasaan heran:
"Betul. Apakah kau kenal orang itu?"
"Coba kau tebak siapa Giok-bin Sin-liong Cho Hong itu?"
"Siapa?"
"Dia adalah orang yang sekarang dikenal dengan nama julukannya Orang Tua Tiada Turunan!"
"Aaaaaaaaa!"
Pui Ceng Un sangat girang. Ia tak menduga dengan demikian mudah sudah berhasil menemukan orang yang dicari oleh nenek dalam goa itu. Tetapi jikalau ia ingat penuturan nenek itu, hatinya merasa sedih. Siapa menduga bahwa Oraug Tua Tiada Turunan mempunyai riwayat hidup yang demikian menyedihkan" Apabila ia mendapat kabar tentang diri bekas istrinya itu, apakah suka pergi
menjumpainya" Dan apa yang akan terjadi setelah kedua orang tua itu bertemu"
Pui Ceng Un sedang memikirkan sesuatu maka menanyanya dengan perasaan heran:
"Nenek itu mengajukan syarat demikian sebagai gantinya untuk kau mendapatkan Hiat-ay, nyata sekali betapa besar keinginannya hendak berjumpa dengan Orang Tua Tiada Turunan locianpwe. Di dalam hal ini entah terselip rahasia apa?"
"Coba kau tebak siapakah nenek penghuni goa Raja Iblis itu?"
"Bagaimana aku dapat menebaknya?"
"Dia adalah istri Orang Tua Tiada Turunan locianpwe yang pada delapan belas tahun lalu telah meninggalkannya dengan membawa anaknya!"
"Oh! Ini benar-benar satu hal di luar dugaan kita semua. Kalau begitu nama julukan orang tua itu boleh dihapus!"
Pui Ceng Un sebetulnya hendak menceritakan apa yang telah didengarnya, tapi ia berpikir karena urusan itu menyangkut urusan pribadi orang lain, bagaimana boleh disiarkan" Maka ucapan yang sudah akan dikeluarkannya, segera ditelan kembali, kemudian berkata dengan sekenanya:
"Hm! Sesungguhnya sangat unik!"
"Enci Un, tiada turunan berubah menjadi mempunyai turunan, orang sudah tua nama julukannya yang dahulu, Giok-bin Sin-liong sudah tidak tepat lagi, sebaiknya dirubah menjadi Orang Tua Mempunyai Turunan, entah bagaimana ia nanti gembiranya?"
Dalam hati Pui Ceng Un berpikir, mungkin dia nanti akan menangis, bagaimana bisa merasa gembira"
Tetapi perkataan itu tidak boleh diucapkan. Ia segera ingat suatu persoalan yang mengganggu pikirannya. Dengan bekas kekasih pada beberapa puluh tahun berselang ini telah berjumpa lagi dalam usianya yang sudah lanjut, tetapi akhirnya sudah terang ini akan merupakan suatu tragedi yang menyedihkan, seharusnya
diusahakan untuk mencegah terjadinya tragedi itu. Satu-satunya cara untuk mencegah ialah nanti sesudah Hui Kiam sembuh, biarlah dia mengawani Orang Tua Tiada Turunan pergi ke goa itu. Dengan kepandaian Hui Kiam, sudah tentu dapat mencegah tindakannya nenek itu ".
Karena berpikir demikian maka ia lalu berkata dengan sikap sungguh-sungguh:
"Adik Hoan, urusan ini untuk sementara jangan diberitahukan dulu kepada Orang Tua Tiada Turunan locianpwee!"
"Kenapa?"
"Karena dalam hal ini mungkin akan terjadi sesuatu yang tidak terduga-duga. Nanti setelah aku memikirkan caranya yang paling baik untuk menyelesaikan soal ini, baru diberitahukannya, juga jangan kau ceritakan kepada siapapun juga!"
"Enci Un agaknya masih menyimpan rahasia apa-apa"."
"Kau benar-benar sangat cerdik, di kemudian hari kau akan mengetahui sendiri. Sekarang mari kita jalan."
Ie It Hoan terpaksa menurut, hingga keduanya melanjutkan perjalanannya pulang.
Menurut janji yang ditetapkan semula, mereka akan kembali dalam waktu sepuluh hari. Hari itu adalah hari yang ke sepuluh, Ie It Hoan dan Pui Ceng Un dengan jalan memutar kota Lam-shia langsung menuju ke basis pangkalan Orang Berbaju Lila di luar kota bagian barat.
Tiba di tempat sejarak tiga pal dekat kuil tua itu, seperti biasa Ie It Hoan mengeluarkan tanda rahasia untuk menghubungi orang-orang yang menjaga di pos penjagaan, sementara mulutnya masih menjaga-jaga lagu rakyat tanpa irama, tetapi heran, dari pos penjagaan tidak ada reaksi apa-apa.
Jelaslah sudah bahwa di tempat itu sudah terjadi sesuatu.
Keduanya lalu berhenti. Mereka saling berpandangan. Tiba-tiba dengan kecepatan bagaikan kilat Pui Ceng Un lompat melesat ke
dalam sebelah kirinya, kemudian di dalam rimba itu terdengar beberapa kali suara jeritan ngeri. Ie It Hoan segera menyusul. Di situ ia baru dapat melihat empat orang berpakaian hitam sudah binasa di tangan Pui Ceng Un dalam keadaan remuk kepala masing-masing.
Ie It Hoan membuka baju salah satu di antaranya. Di depan dada bangkai itu terdapat tanda bulan sabit. Ia segera mengetahui siapa adanya orang-orang itu" Dengan alis berdiri ia berkata:
"Ini adalah orang-orang Persekutuan Bulan Emas."
"Bagaimana dengan pos penjagaan kita?"
"Siaote khawatir pangkalan kita itu apakah sudah diduduki oleh mereka."
"Tidak mungkin. Dengan orang-orang angkatan tua yang berkepandaian tinggi dan cerdik seperti Kak Hui locianpwe dan lain-lainnya, rasanya tak mungkin sampai tidak bisa mempertahankan kedudukannya."
"Akan tetapi orang-orang yang menjaga pos penjagaan ini sudah diganti dengan orang-orang dari pihak musuh."
"Ini hanya bagian garis luar saja!"
"Enci Un tadi seharusnya jangan membunuh mati semua. Tinggalkan salah seorang untuk diminta keterangannya."
"Ini mudah sekali. Di dalam daerah sekitar ini tentunya bukan cuma mereka empat orang saja."
Kini mereka berjalan menuju ke timur. Kira-kira sepuluh tombak mereka berjalan, dengan cepat memutar ke sebelah barat. Tiba-tiba terdengar suara seruan tertahan, seorang berbaju hitam sudah tertangkap oleh Pui Ceng Un. Orang itu dilemparkan ke samping empat orang berbaju hitam yang sudah menjadi bangkai itu, lalu berkata:
"Ceritakan apa tugasmu!"
Oraong berbaju hitam itu menyaksikan kematian kawannya yang mengerikan, saat itu sudah terbang semangatnya. Ia lalu menjawab dengan suara gemetar:
"Mengawasi sepuluh pal sekitar daerah ini."
"Mengawasi apa" "
"Untuk mencari sarang Orang Berbaju Lila."
Pui Ceng Un mengawasi Ie It Hoan sambil menganggukkan kepala, kemudian dengan satu kali pukulan orang itu sudah roboh binasa.
Dengan cepat Ie It Hoan membuka pakaian dua bangkai orang itu kemudian dikumpulkan di suatu tempat dan ditutupi dengan daun-daun kering.
Sekalipun Ie It Hoan tidak berkata apa-apa, Pui Ceng Un juga sudah tahu maksudnya. Keduanya segera memakai pakaian orang-orang sehingga saat itu mereka berubah menjadi orang-orang Persekutuan Bulan Emas. Masing-masing mengambil sebuah pedang kemudian lari menuju kuil tua itu.
Sepanjang jalan samar-samar dapat melihat bayangan orang berbaju hitam bergerak-gerak.
Ie It Hoan lalu berkata dengan suara perlahan:
"Enci Un, nampaknya kuil tua itu sudah di bawah pengawasan yang ketat. Kita terpaksa masuk melalui jalan rahasia di belakang kuil. Aku akan berusaha mengalihkan perhatian orang-orang yang mengawasi itu, kau mencari kesempatan untuk masuk."
"Baik!"
Ketika mereka berjalan hampir mendekati kuil, Ie It Hoan memberikan isyarat dengan matanya. Pui Ceng Un lalu memutar ke belakang kuil, sedangkan Ie It Hoan lari ke samping.
Dengan bantuan pohon-pohon lebat yang terdapat di tempat itu, Pui Ceng Un berhasil menyusup ke belakang kuil. Tiba di tempat tersebut sudah ada orang yang menegurnya:
"Siapa?"
"Orang sendiri!"
"Orang sendiri siapa, mana tandanya"
Tepat pada saat itu, dari tempat tak jauh terdengar suara jeritan mengerikan. Suara jeritan itu saling menyusup dari arahnya yang berlainan sehingga semua orang-orang yang menjaga di pos penjagaan yang tersembunyi pada muncul keluar.
Pui Ceng Un segera dapat menduga ini pasti perbuatannya Ie It Hoan yang banyak akal itu. Ia tidak mau membuang kesempatan dengan cepat menyerbu ke arah suatu tempat yang tertutup oleh sebuah batu besar. Selagi hendak membuka pintu rahasia yang terdapat di bawah batu besar".
Satu suara yang sangat perlahan tiba-tiba berkata kepadanya:
"Jangan gegabah, ada orang mengawasi perbuatanmu!"
Bukan kepalang terkejut Pui Ceng Un, ketika ia mengangkat kepala, di belakang batu itu ternyata berdiri seorang tua aneh. Orang tua itu pundak kirinya tergantung satu buli-buli arak yang besar, dan pundak kanannya menggantung satu kantong besar. Dia bukan lain daripada Manusia Gelandangan Ciok Siao Ceng yang menjabat pangkat kepala bagian pelindung hukum Persekutuan Bulan Emas.
Ia mundur dua langkah dan menegurnya:
"Tuan bermaksud apa?"
Manusia Gelandangan mengulapkan tangannya, memberi tanda supaya Pui Ceng Un jangan buka suara, kemudian tangannya menunjuk ke kiri dan berkata dengan suara keras:
"Mengurung ke sebelah kiri!"
Sebentar terdengar suara gerakan orang. Benar saja, di situ terdapat banyak orang yang sedang mengintai.
"Boleh masuk, lekas!" demikian orang tua itu berkata pula.
Pui Ceng Un terheran-heran. Ia tak tahu Manusia Gelandangan itu sedang bersandiwara apa. Nampaknya orang tua aneh itu sudah mengetahui pintu rahasia ini, tetapi mengapa ia membantu pihaknya"
"Lekas, budak!" demikian orang tua itu berkata pula.
Pui Ceng Un lebih heran lagi. Mengapa orang tua itu sudah mengetahui bahwa dirinya seorang perempuan" Apakah ia sengaja main sandiwara untuk mengetahui rahasianya membuka pintu rahasia itu"
Karena timbulnya perasaan curiga terhadap orang tua itu, maka segera angkat tangan dan menyambar kepala orang tua itu.
Sebelum ia bertindak, tiba-tiba terdengar suara Ie It Hoan:
"Enci Un lekas!"
Pui Ceng Un segera menarik tangannya dan pada saat itu juga Ie It Hoan sudah berada di depan matanya. Dengan gerak tangannya yang sangat gesit ia membuka pintu rahasia itu, lalu menarik tangan Pui Ceng Un dan melompat ke dalam batu besar itu tertutup lagi seperti biasa.
"Kau lagi main sandiwara apa?" demikian Pui Ceng Un menegurnya.
"Untuk mengejar waktu, jangan sampai diketahui oleh musuh."
"Manusia Gelandangan itu adalah kepala bagian pelindung hokum Persekutuan Bulan Emas."
"Siaotee tahu."
"Kalau begitu perbuatanmu, bukankah terang-terangan sudah memberitahukan kepadanya bagaimana caranya membuka pintu rahasia ini?"
"Jangan khawatir, kalau mereka berani masuk itu berarti mengantar jiwa. Obat peledak yang ada di dalam goa ini sudah cukup untuk merusak segala-galanya."
Hati Pui Ceng Un meski merasa curiga tetapi tidak bertanya lagi, karena saat itu pikirannya sudah melayang ke diri Hui Kiam. Ini semata-mata karena hubungannya persaudaraan dalam satu perguruan, tidak mengandung maksud lain.
Orang pertama yang menyambut kedatangannya adalah Orang Berbaju Lila.
Begitu bertemu muka dengan Orang Berbaju Lila segera bertanya:
"Cianpwee, bagaimana keadaan Hui sute?"
"Ia masih disekap dalam kamar tahanan!"
"Apa, disekap dalam tahanan?"
"Totokannya di dalam darahnya lama tidak terbuka, bisa melemahkan kekuatan tenaganya, juga bisa membawa akibat cacat seumur hidup, maka totokan jalan darah itu harus dibuka dulu. Tetapi kekuatan tenaganya tiada seorangpun yang dapat mengimbangi, kecuali disekap dalam kamar tahanan dengan pintu besi yang kokoh kuat, sudah tidak ada jalan lain yang lebih baik. Bagaimana dengan Hiat-ay?"
"Masih untung aku tidak mengecewakan pengharapan semua orang. Aku sudah berhasil mendapatkannya!"
"Aaaa! Kalau begitu aku harus mengucapkan banyak terima kasih kepada nona."
"Cianpwe terlalu merendah. Siaolie hanya melakukan kewajiban saja."
"Mari!"
"Daerah seputar sepuluh pal tempat kita ini apakah sudah dikuasai oleh orang-orang Persekutuan Bulan Emas?"
"Benar, sejak pertempuran hebat pada sepuluh hari berselang, musuh telah mengerahkan seluruh kekuatan untuk menghadapi kita, maka kita terpaksa mundur ke kamar rahasia ini."
"Kalau begitu berarti bahwa kita sudah putus perhubungan dengan dunia luar ?"
"Tidak! Meskipun jalan rahasia melalui sumur tua di dalam kuil ini sudah ditutup, tapi masih ada lima jalanan yang berlainan untuk kita menghubungkan dengan dunia luar. Hal ini tidak perlu dikhawatirkan."
Sementara itu Pui Ceng Un sudah berada di ruangan tamu. Di situ telah duduk menanti Orang Tua TiadaTurunan, Kak Hui taysu, Manusia Teragung dan beberapa orang yang mempunyai kedudukan baik di kalangan Kangouw.
Begitu Pui Ceng Un Ie It Hoan muncul, semua orang pada berlari dari tempat duduknya dan mengawasi mereka dengan sinar mata bertanya-tanya. Jelas sekali betapa besar perhatian mereka terhadap keselamatan diri Hui Kiam. Hal ini bagi Pui Ceng Un yang sebagai sucinya, sudah tentu merasa sangat terharu. Ia merasa turut bangga terhadap perhatian juga penghargaan yang begitu besar itu.
Dua orang itu setelah memberi hornat kepada semua orang yang berada di situ, Pui Ceng Un lalu mengeluarkan Hiat-ay dan diberikan kepada Orang Baju Lila, sementara itu matanya melirik kepada Orang Tua Tiada Turunan.
Orang Berbaju Lila yang bertindak sebagai tuan rumah, lalu berkata:
"Kalian berdua tentunya sudah lelah. Beristirahatlah dahulu. Aku akan segera membuat obatnya, dalam satu jam sudah selesai!"
Pui Ceng Un dan Ie It Hoan keluar dari ruangan tetamu dan lari menuju ke kamar tahanan.
Kamar tahanan itu merupakan kamar batu yang kokoh kuat, ditambah lagi dengan tiga lapis terali besi. Orang yang betapapun tinggi kepandaiannya, dan kuat tangannya juga tidak dapat jebol. Kamar itu dahulu sebetulnya dipakai sebagai kamar tawanan atau murid-murid padre dalam kuil itu yang melanggar peraturan kuil.
Penjaga kamar tahanan ketika melihat kedatangan mereka segera membuka pintu besinya.
Setelah melalui pintu besi, mereka segera melihat Hui Kiam.
"Toako!" demikian Ie It Hoan berseru.
"Sutee!" demikian Pui Ceng Un menegurnya.
Hui Kiam mengawasi mereka berdua sejenak lalu berkata sambil menggertak gigi:
"Pui Ceng Un, bagus sekali perbuatanmu. Kau telah berkomplot dengan musuh untuk menghadapi aku. Jikalau aku tidak mati aku pasti menghajarmu. Ie It Hoan, demikian juga dengan kau!"
Pui Ceng Un merasa sedih. Hui Kiam yang sudah terpengaruh oleh pengaruhnya obat beracun, sudah tentu tak dapat diajak bicara wajar, juga tidak ada gunanya dijelaskan duduknya perkara. Satu-satunya jalan hanya menantikan sampai Orang Berbaju Lila berhasil membuatkan obat pemunahnya. Ia lalu memberi isyarat dengan mata kepada Ie It Hoan kemudian mengundurkan diri. Dapat diduga bagaimana berat perasaan dalam hati mereka.
Di belakang mereka terdengar suara geram Hui Kiam yang sangat hebat, terali besi juga bergetar, seolah-olah binatang buas hendak melepaskan diri dari kurungan.
Dua jam kemudian, penjaga kamar tahanan itu seperti biasa mengantarkan barang makanan untuk Hui Kiam. Tetapi malam itu berbeda dengan biasanya, di samping barang hidangan masih ada sepoci arak.
"Siao-hiap, di sini ada sepoci arak. Adalah hambamu yang mencuri bawa masuk."
"Arak?"
"Ya, sukakah siaohiap minum arak?"
"Kau kata hendak membuka pintu besi ini, mengapa?"
Penjaga itu berkata dengan suara sangat perlahan:
"Siaohiap, nanti tengah malam pasti."
"Baik, setelah aku nanti keluar dari kamar tawanan ini, aku tidak akan mengambil jiwamu."
Arak dan barang hidangan itu dimasukkan satu-persatu ke kamar tawanan Hui Kiam melalui sela-sela terali besi. Hui Kiam mengambil poci arak lalu ditenggaknya sampai kering.
Penjaga kamar tahanan itu berkata sambil tertawa terbahak-bahak.
"Siaohiap, arak ini keras sekali, kau harus rebah sebentar!"
Sehabis berkata, penjaga itu undurkan diri dan mengunci dua lapis terali besi yang berada dalam kamar itu.
Tiba-tiba Hui Kiam menggeram dan berseru:
"Bangsat, bagus sekali perbuatanmu. Kau ternyata hendak meracuni aku!"
Kedua tangannya secara kalap memukul terali besi. Kekuatan tangannya sangat besar, membuat terali besi itu menggetar hebat.
Rahasia 180 Patung Mas 8 Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung Pendekar Kembar 14

Cari Blog Ini