Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Bagian 16
Pada saat itu bayangan orang satu persatu muncul di luar terali besi. Setiap orang menunjukkan sikapnya dengan penuh perhatian. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagaikan gunung meledak. Semua orang terperanjat, ternyata dinding batu yang dilapisi oleh terali besi telah roboh. Oleh karena terali besi itu berlapis tidak dengan jarak antara jauh, maka terali besi bagian dalam yang roboh telah menindih terali besi bagian yang ke dua.
Hui Kiam bagaikan binatang buas yang sudah terluka masih belum menghentikan tindakannya yang kalap itu.
Sebentar kemudian, kekuatan tenaganya perlahan-lahan mulai berkurang dan akhirnya ia jatuh roboh di tanah.
Semua orang saat itu baru bisa menarik napas lega.
Ia lalu diangkat dan dipindahkan ke dalam kamar batu yang bersih dan diperlengkapi dengan perabot yang sangat mewah.
Ie It Hoan berkata dengan perasaan terheran-heran:
"Sungguh tidak disangka bahwa kekuatan obat pemunah itu sedemikian hebat"."
"Kalau tidak demikian hebat tak dapat mengeluarkan racun yang mengeram dalam tubuhnya!" berkata Orang Berbaju Lila.
"Apakah sekarang sudah tidak dikhawatirkan lagi?"
"Hem, setengah jam kemudian, ia akan tersadar. Aku pikir, biarlah kau seorang saja yang mendatangi!"
"Kalau ia sudah sadar, apakah tidak mungkin"."
"Tidak mungkin lagi, kalau ia sudah sadar itu berarti sudah sembuh hanya keadaan badannya masih lemah."
"Mari kita keluar!"
Semua orang satu persatu meninggalkan kamar itu. Ie It Hoan menutup pintu kamar, kemudian duduk di atas sebuah kursi dekat pembaringan untuk melihat perubahan selanjutnya. Kalau mengingat bagaimana perubahan kalap Hui Kiam tadi karena pengaruhnya obat, hatinya berdebaran. Apabila nanti ia sadar dan berbuat begitu lagi atau kekuatan obat pemunah tidak seperti apa yang diharapkan, maka akibatnya akan lebih hebat lagi. Karena perasaan itu ia lalu menggeser kursinya untuk mendekati pintu apabila benar Hui Kiam mengamuk lagi supaya ia mempunyai kesempatan untuk kabur.
Waktu setengah jam itu, dirasakan oleh Ie It Hoan seperti satu hari.
Hui Kiam menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, kemudian membuka matanya:
Ie It Hoan segera lompat berdiri. Kita tidak dapat bayangkan bagaimana ketakutannya pada waktu itu.
Keadaan Hui Kiam seperti seorang yang baru bangun tidur, otaknya kosong melompong. Ia mengawasi keadaan dalam kamar dengan mata sayu".
Ie It Hoan mengawasinya dengan penuh ketakutan. Ia tak berani buka suara menegurnya:
Hui Kiam berusaha keras mengendalikan pikirannya. Ia teringat sedikit-sedikit apa yang telah terjadi, tetapi tiada dapat mengingat seluruhnya. Hanya samar-samar ia masih ingat melakukan pertempuran hebat dan pernah ditawan.
Lama sekali, Ie It Hoan yang sudah tidak sabar. Akhirnya ia membuka mulut:
"Toako, kau rasa bagaimana?"
Hui Kiam turun dari pembaringan, tetapi ia sudah tak bertenaga. Ia berdiri terhuyung-huyung, kemudian duduk lagi di atas pembaringan. Ia bertanya dengan perasaan heran:
"Adik Hoan, apa yang telah terjadi?"
Ie It Hoan kini baru berani mendekatinya. Ia menjawab sambil tertawa getir:
"Panjang ceritanya. Toako beristirahatlah dulu sebentar...."
"Tidak, aku ingin tahu sekarang juga!"
Ie It Hoan tak bisa berbuat lain lalu menceritakan sejak ia bertemu mendapat lihat gelagat tidak beres dari perubahan sikap Hui Kiam maka tak berani mengajak masuk ke dalam kamar rahasia, kemudian terjadilah pertempuran hebat di dalam rimba, sehingga akhirnya ia ditawan dan Pui Ceng Un pergi mencarikan obat pemunahnya".
Hui Kiam setelah mendengar penuturan Ie It Hoan, pikirannya mulai terang kembali. Ia kini telah ingat bagaimana di tengah jalan ia berpapasan dengan seorang pelayan yang minta kepadanya menemui Tong-hong Hui Bun untuk penghabisan kali, lalu ia dijamu oleh perempuan cantik itu di salah satu rumah tua dan kemudian".
Berpikir sampai di situ, mendadak ia lompat bangun. Sepasang matanya merah membara, mukanya beberapa kali berubah. Di bawah pengaruh obat perangsang, ia telah melakukan perhubungan tidak pantas dengan Tong-hong Hui Bun.
Perubahan sikap tiba-tiba ini kembali menakutkan Ie It Hoan. Ia mengira obat itu timbul lagi pengaruhnya, maka ia menanyakan dengan suara gemetar:
"Toako, kau"!?"
Hui Kiam memukul kepalanya sendiri dengan kepalan tangannya, lalu berkata dengan suara gusar:
"Aku... aku rusaklah sudah."
"Apamu yang rusak?"
"Aku telah dirusak oleh perempuan jahat bagaikan ular berbisa itu. Ya, aku masih ingat ia pernah menyatakan hendak menuntut balas ketika aku menyatakan hendak memutuskan perhnbungan dengannya. Sungguh tidak kusangka ia telah melakukan pembalasan dengan cara demikian. Aku seharusnya ingat itu, tetapi ternyata sudah tidak ingat lagi...."
"Toako, bolehkah kau ceritakan agak jelas sedikit?"
"Kalau aku tidak membunuhnya, aku bersumpah tidak mau jadi orang!"
"Toako "."
"Tentang itu sudahlah, jangan dibicarakan lagi. Apakah di sini tempat rahasia itu?"
"Ya."
"Tolong kau carikan Pui suci, minta ia datang kemari"."
"Sutee, aku ada di sini!"
Bersamaan dengan itu Pui Ceng Un sudah masuk ke dalam kamar dengan muka masih tertutup oleh kerudung kain hijaunya.
Hui Kiam segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan sucinya seraya berkata:
"Suci, lantaraa diriku yang telah memalukan nama baik perguruan kita, kau sampai mencarikan obat dengan menempuh bahaya demikian besar...."
Pui Ceng Un yang tidak menduga kedatangannya disambut secara demikian, saat itu sudah tentu gelagapan. Ia buru-buru segera berlutut juga dan berkata:
"Sute, mengapa kau berlaku demikian?"
Dua orang itu berdiri lagi. Hui Kiam lalu bertanya dengan suara berat:
"Suci, apakah kau ditolong oleh Manusia Menebus Dosa?"
"Ya!"
"Bagaimana kau bisa berada di sini?"
"Karena... Orang Menebus Dosa itu juga merupakan salah satu anggota dari sini."
"Aku sungguh tidak mengerti bagaimana kesabaran bisa berdiam bersama-sama dengan Orang Berbaju Lila" Ia adalah musuh perguruan kita, sedang si supek sendiri juga mati di tangannya. Sebagai turunan si supek, kau merupakan satu-satunya orang yang langsung memikul kewajiban untuk menuntut balas"."
Sejenak Pui Ceng Un nampak tercengang, sikapnya menunjukkan ragu-ragu dan akhirnya ia membungkam.
"Suci, kau kenapa?"
"Tidak apa-apa sute, dewasa ini kita hanya mementingkan tugas kita untuk membasmi kejahatan dan menegakkan keadilan, tentang permusuhan kita pribadi untuk sementara jangan dibicarakan dulu!"
"Perkataan suci ini agaknya bukan keluar dari hati nurani suci sendiri."
"Kenapa kau berkata demikian?"
"Jika ditilik dari beranimu, tak mungkin bisa berubah demikian cepat juga tak mungkin mempunyai kesabaran begitu besar menindas perasaanmu sendiri."
"Sutee, banyak perkara yang tidak dapat ditimbang dengan pemikiran biasa. Praktek dan teori ada kalanya sangat berlainan!"
"Ucapan suci ini pasti ada sebabnya?"
"Boleh dikata begitu!"
"Apakah sebabnya?"
Pada saat itu si Orang Tua Tiada Turunan juga sudah masuk ke dalam kamar.
Tiga anak muda itu segera memberi hormat kepada Orang Tua Tiada Turunan. Orang tua itu duduk di atas kursi, ia berkata kepada Pui Ceng Un:
"Kau beritahukan kepadanya apa yang telah kau ketahui!"
Pui Ceng Un menenangkan pikirannya, lama baru bisa berkata:
"Sute, kuperlihatkan kepadamu suatu barang lebih dulu!"
Dari dalam sakunya ia mengeluarkan serupa barang. Diletakkan di telapakan tangannya kemudian diberikan kepada Hui Kiam. Setelah Hui Kiam menyaksikan barang itu, ia berseru terkejut:
"Ini adalah jarum sakti melekat tulang senjata tunggal milik Jin Ong locianpwe!"
"Benar. Tahukah kau darimana jarum ini?"
"Darimana suci dapatkan itu?"
"Apakah kau masih ingat sewaktu kau kena senjata beracun dari tangan Iblis Gajah dan kemudian terjatuh di tangan Tong-hong Hui Bun setelah itu kau telah bertempur mati-matian dengan pemimpin Bulan Emas, lalu Orang Berbaju Lila dan kawan-kawannya datang menyerbu secara tiba-tiba."
"Ingat, mengapa?"
"Orang Berbaju Lila pada waktu itu terluka oleh senjata rahasia pemimpin Bulan Emas."
"Peristiwa ini ada hubungan apa dengan jarum melekat tulang?"
"Sudah tentu ada hubungnnya?"
Hui Kiam seketika itu terbangun semangatnya. Teka-teki mengenai jarum melekat tulang itu sudah lama membingungkan pikirannya. Orang Berbaju Lila itu pernah menyangkal menggunakan jarum itu, sedangkan pemiliknya yang asli ialah Jin Ong yang telah merubah nama julukannya menjadi Kak Hui setelah ia menjadi padri, juga tidak mengetahui bagaimana keadaan sebetulnya, maka ketika mendengar Pui Ceng Un berkata demikian hatinya rasa bergerak.
"Ada hubungan apa?"
"Senjata rahasia yang mengenai Orang Berbaju Lila pada waktu itu, adalah senjata rahasia jarum melekat tulang, juga jarum yang sekerang berada dalam tanganku ini."
Ini sesungguhnya merupakan suatu kejadian aneh yang tidaik terduga-duga, tidak heran kalau saat itu Hui Kiam demikian terkejutnya sehingga matanya terbuka lebar dan berkata dengan suara gemetar:
"Apa" Benarkah pemimpin Bulan Emas melukai Orang Berbaju Lila dengan senjata jarum melekat tulang?"
"Sedikitpun tidak salah!"
"Ini adalah sesungguhnya merupakan suatu kejadian yng sangat ganjil."
"Justru karena itu, barulah mengundang Kak Gui locianpwe turun gunung untuk menerima kembali separuhnya serta menolong Orang Berbaju Lila."
"Dengan cara bagaimana pemimpin Bulan Emas bisa mendapatkan senjata itu?"
"Menurut hasil daripada perundingan beberapa locianpwe, hanya ada satu pengertian!"
"Pengertian apa?"
"Dahulu ketika Kak Hui locianpwe melukai Delapan Iblis negara Thian-tik dengan senjata jarum itu"."
"Tentang ini aku tahu!"
"Tetapi delapan iblis itu tidak mati, dan hari ini beberapa puluh tahun kemudian setelah kejadian itu, empat di antara delapan iblis itu telah muncul lagi di kalangan Kang-ouw, bahkan sudah menjabat jabatan anggota pelindung hukum tertinggi Persekutuan Bulan Emas"."
"Lalu?"
"Penjelasan ini berdasar keadaan Delapan Iblis Negara Thian-tik yang dahulu terkena senjata itu, kemudian mereka telah ditolong oleh pemimpin Persekutuan Bulan Emas, jarum itu dikeluarkan dari tubuh mereka, dengan demikian, maka delapan buah jarum itu terjatuh di tangan pemimpin Persekutuan Bulan Emas. Delapan iblis itu yang merasa menanggung budi sudah tentu ingin membalasnya, demikianlah maka mereka menyediakan tenaga untuk membantu pemimpin persekutuan itu dalam usahanya, hendak menguasai seluruh rimba persilatan"."
"Kalau begitu, pembunuh yang sebetulnya adalah pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu?"
"Benar!"
"Bukankah ini berdasar atas dugaan saja"!
"Kenyataannya memang sudah jelas....."
"Pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu bisa mengeluarkan dan menggunakan senjata jarum itu, tentang ini...."
"Tahukah kau siapa sebetulnya pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu?"
"Siapa?"
"Dia adalah Thian Hong, salah seorang dalam barisan Tiga Raja Rimba Persilatan!"
Hui Kiam terperanjat mendengar perkataan itu!
"Jadi dia adalah Thian Hong?"
"Hem, hem!"
Hui Kiam hampir tidak percaya kepada telinga sendiri, karena hal itu benar-benar ada di luar dugaannya. Seorang gagah kenamaan yang pernah dijunjung tinggi oleh dunia rimba persilatan adalah satu penjahat besar yang membawa bencana seluruh rimba persilatan. Pantas saja ia mempunyai kepandaian sedemikian tinggi.
Hui Kiam lalu mengingat kembali semua peristiwa yang terjadi. Pertama ia memaksa Jin Ong mengasingkan diri menjadi padri. Kemudian ia membuat kedua mata Tee-hong sampai buta dengan racun dedaunan. Pada akhirnya ia masih tidak melepaskan begitu saja sehingga orang tua itu mati terbunuh. Lalu muncul lagi Orang Berbaju Lila karena kitab pusaka Thian Gee-po-kip, telah bertempur dengan Lima Kaisar. Kesempatan itu telah digunakan olehnya untuk menurunkan tangan jahat sehingga Lima Kaisar itu terkena senjata jarum melekat tulang. Dengan demikian satu persatu ia telah menyingkirkan lawan-lawannya yang dianggapnya dapat menghalangi untuk usahanya meguasai dunia.
Ini juga membuktikan bahwa keinginannya hendak menguasai dunia itu, ternyata sudah lama dipikirkannya.
Kemudian Sam Goan Lo-jin dengan anaknya, suami istri Liang-gee Sie-seng, juga dari Goosie, tangan seribu dan lain-lain telah mati dengan beruntun, ini merupakan kelanjutannya untuk menyingkirkan rintangan yang dikiranya hendak menghadapi usahanya.
Yang tidak dimengerti, ialah mengapa saudara perempuan istrinya Liang-gee Sie-seng Oiy Yu Hong, juga terbinasa di bawah senjata jarum itu. Oiy Yu Hong adalah Tong-hong Hui Bun, apakah karena hendak menutup mulutnya saja, sampai pemimpin Persekutuan Bulan Emas perlu menggunakan senjata jarum sakti yang ampuh itu"
Dan lagi, Orang Berbaju Lila itu pernah mengaku membinasakan Sam Goan lo-jin dan lain-lainnya. Ia juga pernah menggunakan ilmu pedang Bulan Emas. Bagaimana sebetulnya"
Karena berpikir demikian, maka ia lalu berkata:
"Suci, tentang kelakuan dan perbuatan Orang Berbaju Lila itu, aku mengharap bisa mengerti."
Pui Ceng Un lalu memberi keterangan:
"Dahulu, Orang Berbaju Lila itu karena serakah, ia telah merampas kitab pusaka Thian Gee po-kip dengan kekerasan ini memang benar. Tetapi dalam pertempuran itu ia berlaku secara jantan mengandalkan kepandaian dan kekuatannya sendiri untuk mendapatkan kitab pusaka itu, sedikitpun tidak melakukan serangan menggelap."
"Bagaimana tentang kematian toasupek di bawah gunung Tay-hong-san?"
"Ia mengaku di kemudian hari ia akan membereskan persoalan tersebut!"
"Apakah kau percaya?"
"Percaya!"
"Berdasar atas apa?"
"Tentang ini di kemudian hari kau akan mengetahui sendiri!"
"Mengapa tidak sekarang?"
"Persoalan menyangkut terlalu luas, sekarang belum tiba waketunya untuk menerangkan."
"Banyak orang gagah dari golongan benar mati terbunuh, semua ini adalah perbuatannya. Ia toh tidak menyangkal."
"la mengaku pernah menjadi algojo Persekutuan Bulan Emas."
"Kalau begini dengan persekutuan itu ia mempunyai hubungan luar biasa?"
"Benar, tetapi sekarang ia sudah insaf. Ia hendak menyumbangkan tenaga dan kepandaiannya untuk kepentingan golongan benar, sekedar untuk menebus dosanya."
"Baiklah, enci Un, tentang ini untuk sementara tidak perlu kita bicarakan."
Hui Kiam lalu berpaling dan berkata kepada Orang Tua Tiada Turunan:
"Locianpwe, ada satu hal boanpwe minta supaya locianpwe memberi keterangan sejujurnya."
Orang Tua Tiada Turunan menganggukkan kepala:
"Katakanlah, kalau aku tahu pasti aku akan menerangkan."
"Ayahku To-liong Khiam-khek Su-ma Suan dahulu apakah benar pernah ada hubungan suami-istri dengan Tong-hong Hui Bun?"
Orang tua itu sejenak merasa terkejut, selagi hendak membuka mulut tiba-tiba terdengar suara ledakan hebat, kamar itu seolah-olah hendak roboh. Akhirnya empat orang itu terperanjat.
Suara ledakan itu disusul pula oleh suara tanda bahaya, kemudian suara orang berkata yang amat nyaring:
"Pintu rahasia telah diledakkan, musuh sudah menyerbu ke dalam ruangan di bawah tanah"."
Perubahan yang terjadi tidak terduga-duga ini untuk menmbulkan rasa panik.
Orang Tua Tiada Turunan yang pertama menerjang keluar!
Hui Kiam mengawasi keadaan di sekitarnya sebentar, lalu berkata dengan suara keras:
"Di mana pedangku?"
"Di sini!" demikian dengan cepat Ie It Hoan menyahut dan membuka lemari di dalam dinding tembok batu kemudian memberikan pedangnya kepada Hui Kiam.
Begitu segera keluar dari dalam kamar, di dalam lorong banyak orang berbaju hitam tengah bertempur sengit dengan orang-orangnya Orang Berbaju Lila. Di suatu tempat tak jauh dari itu, keadaannya terang benderang, batu dan tanah bertumpukan, kamar
rahasia itu sudah terbuka, hingga kelihatan dari luar. Dari dalam ruangan di bawah tanah itu masih kelihatan asap yang mengepul dari kuil tua itu.
Orang-orang berbaju hitam dalam jumlah banyak sekali sudah menyerbu masuk melalui lobang ledakan itu.
Dalam waktu singkat, ruangan bawah tanah itu sudah berubah menjadi medan pertempuran hingga suara pekikan, suara jeritan dan suara beradunya senjata bercampur aduk menjadi satu.
Hui Kiam menyerbu bagaikan banteng mengamuk dengan pedang terhunus. Bagaikan membabati rumput, siapa yang terbabat oleh oleh pedangnya segera roboh tanpa ampun lagi.
Sementara itu Ie It Hoan dan Pui Ceng Un sudah menyerbu dari lain pintu.
Penyerbuan Hui Kiam telah menimbulkan banyak korban bagi orang-orang berbaju hitam. Bangkai berserakan di tanah, sehingga orang-orang berbaju hitam yang berada di luar ketika menyaksikan keadaan demikian, tidak berani masuk lagi.
Hui Kiam berdiri di depan lobang pintu yang sudah bobol karena ledakan. Dengan sikapnya yang keras itu, tiada seorang yang berani mendekati.
Sementara itu, di dalam ruangan bawah tanah masih berlangsung pertempuran hebat.
Sesosok bayangan orang tinggi besar dengan memakai kerudung mukanya, telah muncul dekat lobang pintu. Orang itu adalah pemimpin Persekutuan Bulan Emas sendiri.
Hui Kiam segera naik pitam, dengan cepat lari menyerbunya.
Sambil menggerakkan pedang Bulan Emasnya, pemimpin Bulan Emas itu menyambut serbuan Hui Kiam. Meski Hui Kiam dicecer demikian hebat, tetapi kemarahannya yang sudah meluap telah melupakan segala-galanya. Ia melawan mati-matian dengan ilmu pedangnya yang sangat ampuh itu.
Dalam suatu pertarungan hebat, badan Hui Kiam terpental, pundaknya dirasakan sakit tetapi ia masih terus bertahan. Ketika melayang turun ke tanah, baru ketahuan bahwa pundaknya terluka kena pedang lawannya. Darah mengucur deras. Ia buru-buru menotok dengan tangan kiri untuk menghentikan mengalirnya darah.
Dalam keadaan demikian pemimpin Bulan Emas melakukan serangannya lagi.
Hui Kiam menggunakan gerak tipunya yang kedua untuk balas menyerang.
Kini adalah giliran pemimpin Bulan Emas yang terdesak sehingga mundur dua langkah.
Sambil menggeram hebat, pemimpin itu menghardik:
"Bocah, kau benar-benar panjang umur!"
"Kau tidak perlu merahasiakan dirimu lagi. Kerudungmu itu sekarang kau boleh buka," berkata Hui Kiam dingin. "Thian-hong, kedokmu sudah terbuka, sudah waktunya kau sadar dari mimpimu yang gila itu!"
Pemimpin Bulan Emas mundur lagi satu langkah. Katanya dengan suara bengis:
"Benar, aku memang Thian-hong, seorang yang paling berkuasa dalam rimba persilatan."
"Aku merasa kasihan terhadap nasibmu."
"Jangan banyak bicara, serahkan jiwamu!"
"Tunggu dulu, lebih dulu aku hendak menerangkan. Hari ini aku hendak membunuhmu ada tiga sebab. Pertama, untuk menyingkirkan bencana rimba persilatan. Kedua, untuk menuntut balas terhadap Lima Kaisar Rimba Persilatan dan ketiga, untuk menagih hutangmu kepada Tee-hong locianpwe."
"Bocah, apakah kau sedang mimpi?"
Ucapan itu ditutup dengan satu serangan pedang yang amat dahsyat.
Hui Kiam menyambut dengan sepenuh tenaga. Baru tiga jurus, ia sudah berhasil mendesak pemimpin Persekutuan Bulan Emas itu mundur beberapa langkah.
Di luar dugaan, tiba-tiba pemimpin itu mengeluarkan bentakan keras: "Rebah!" dan berbareng dengan itu, dua bagian jalan darah Hui Kiam merasakan seperti tersengat binatang lebah kemudian kepalanya dirasakan pusing, sehingga jatuh roboh di tanah.
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas tertawa terbahak-bahak. Pedangnya meluncur ke arah Hui Kiam yang sudah rebah tidak berdaya....
Tiba-tiba terdengar suara beradunya dua senjata. Pedang pemimpin Bulan Emas yang akan menamatkan jiwa Hui Kiam itu tertahan oleh senjata yang bentuknya hitam jengat. Orang yang menahannya itu adalah Manusia Teragung dengan senjata istimewanya yang berupa tongkat rotan hitam, juga hanya senjata Manusia Teragung itulah yang tidak takut pedang pusakanya pemimpin Bulan Emas.
Sepuluh lebih bayangan orang tiba saling susul. Mereka itu adalah Kak Hui, Orang Berbaju Lila, Orang Tua Tiada Turunan, Pui Ceng Un dan lain-lainnya".
Pui Ceng Un segera melesat ke tempat di mana Hui Kiam jatuh menggeletak.
Pemimpin Persekutuan Bulan Emas masih penasaran. Ia menikam Hui Kiam lagi dengan pedangnya, tetapi juga sudah disingkirkan oleh Manusia Teragung.
Pui Ceng Un, dengan cepat mendukung Hui Kiam dibawa keluar dari medan pertempuran.
Manusia Teragung berkata dengan suara nyaring:
"Dia sudah terkena dua buah jarum melekat tulang, harap Kak Hui taysu segera memberi pertolongan!"
Dengan sinar matanya yang tajam Kak Hui taysu menatap wajah pemimpin Bulan Emas, kemudian berkata kepadanya:
"Perbuatanmu sesungguhnya terlalu kejam, sayang Tuhan tidak mengijinkan kehendakmu. Ruangan di bawah tanah itu sangat luas, jalanan rahasia bagian jaring, kau tidak berhasil mengubur hidup-hidup lolap dan lain-lainnya, ini suatu bukti bahwa perbuatanmu yang terkutuk itu telah ditentang oleh Tuhan yang Maha Esa, sekarang kau ingin balik juga sudah terlambat!"
"Dahulu kau seharusnya sudah kubunuh sekalian. Sekarang kalau aku ingat, nampaknya hatiku kala itu kurang kejam!" sahut pemimpin Bulan Emas, seakan menyesal waktu dulu tidak membunuh paderi tua itu sekalian.
"Jahanam, delapan buah jarum melekat tuIang itu sudah kau pakai semua, bukan" Dan sekarang Kak Hui taysu ingin supaya kau juga merasakan bagaimana orang yang terkena senjata itu," berkata Orang Berbaju Lila dengan suara keras.
Ucapan Orang Berbaju Lila itu mau tidak mau sangat mengejutkan pemimpin Bulan Emas itu. Jika benar Kak Hui taysu turun tangan, maka hari itu ia benar-benar kedudukannya sangat berbahaya sekali, maka tanpa banyak bicara lagi ia lalu membalikkan badan dan kabur.
Melihat pemimpinnya kabur, anak buahnya juga ikut lari terbirit-birit.
Tetapi kawan-kawannya yang berada di dalam ruangan tanah, tiada satupun yang bisa keluar. Semua sudah menggeletak menjadi bangkai.
Wajah Hui Kiam saat itu pucat pasi, badannya gemetar, hanya dengan mengandal latihan kekuatan tenaga dalamnya yang sudah cukup sempurna dan latihan ilmu silatnya yang berlainan dengannya, telah berhasil menahan jarum itu tidak sampai masuk ke dalam tulangnya. Kalau bukan Hui Kiam, mungkin sudah lama mati.
Kak Hui taysu lalu memerintahkan Pui Ceng Un supaya Hui Kiam direbahkan di atas tanah dalam keadaan terlentang, kemudian menotok delapan belas bagian jalan darahnya terpenting. Setelah itu, telapak tangannya ditempelkan di tempat terluka. Dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam, jarum itu perlahan-lahan diangkat keluar dari tubuhnya.
Begitu jarum itu terangkat keluar dari tubuhnya, Hui Kiam segera melompat bangun untuk memberi hormat dan menyatakan terima kasih kepada Kak Hui taysu.
"Tidak usah," demikian Kak Hui-taysu berkata: "Lolap sudah bertekad hendak menarik kembali seluruh jarum itu kemudian akan lolap musnahkan supaya tidak akan membawa bencana rimba persilatan lagi. Sayang jarum yang ada di tubuh suhumu sekalian, lolap sudah tidak berdaya menariknya kembali lagi."
Hui Kiam melirik kepada Orang Berbaju Lila. Orang Berbaju Lila itu segera menundukkan kepalanya.
Dalam hati Hui Kiam timbul semacam perasaan yang tidak dapat dilukiskan. Di hadapan musuh besarnya, sebetulnya berat baginya untuk mengendalikan perasaannya, akan tetapi, orang yang sekarang berdiri di hadapannya itu ternyata merupakan satu kawan dalam seperjuangan. Ia masih ingat ucapan bahwa seorang gagah harus mempunyai mentaliteit sebagai orang gagah. Yah, sekalipun berhadapan dengan musuh besarnya, juga harus berlaku sportif, tidak perlu mencaci-maki seperti kelakuan seorang gila."
Karena berpikir demikian maka akhirnya ia dapat menenangkan hatinya.
"Taysu, sudah tiba saatnya untuk bertindak. Harap taysu memberi petunjuk," demikian Orang Tua Tiiada Turunan berkata:
"Lolap adalah seorang pertapaan yang tak mencampuri urusan dunia. Hanya suatu "sebab" pada masa yang silam, terpaksa menerjunkan diri lagi ke dalam dunia yang penuh kekotoran ini, bagaimana lolap boleh melanggar haknya tuan rumah yang seharusnya bertindak sebagai pemimipinnya..." jawab Kak Hui taysu sambil memuja nama Budha.
Otang Tua Tiada Turunan terpaksa mengangkat pundak lalu berpaling dan berkata kepada Manusia Teragung:
"Kalau begitu, tugas berat ini hanya andalah yang sanggup memikulnya!"
"Bagaimana kalau anda sendiri?" Manusia Teragung balas menanya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Aku sendiri lebih tidak berani menjamah selain daripada itu juga tidak mempunyai kepandaian dan kecakapan sebagai pemimpin!"
"Anda keliru. Dalam pekerjaan membasmi kejahatan melindungi kebenaran, tujuannya adalah untuk menegakkan keadilan, membasmi kejahatan dengan keadilan. Ini bukanlah mengenai urusan pribadi perseorangan, inilah urusan dan usaha serta kewajiban kita bersama."
"Terima kasih atas keteranganmu, dan bagaimana menurut pandangan anda bagaimana kita harus lakukan!'
Manusia Teragung itu memejamkan matanya kemudian berkata:
"Kali ini dalam penyerbuan tiba-tiba oleh pihak musuh, di pihak kita mengalami kerusakan dan kehilangan tenaga serta jiwa hampir seratus orang, cukup besar pengaruhnya bagi kita. Untung kekuatan tenaga inti kita tak sampai tergoyah. Menurut pendapatku, kewajiban kita pada dewasa ini terlebih dulu harus mengubur jenazah saudara-saudara kita yang terbinasa dan merawat yang terluka. Setelah itu semua selesai, kita menantikan saat yang terakhir juga yang paling baik untuk bertindak."
Hui Kiam segera menyela:
"Bolehkah boanpwe bertanya, apakah yang locianpwe maksudkan, dengan saat yang paling baik itu?"
---ooo0dw0ooo--JILID 33 "NANTI pada waktu Persekutuan Bulan Emas mengadakan pertemuan besar untuk mendirikan perserikatannya secara resmi, kita segera bergerak. Gerakan kita ini pasti akan mendapat sambutan dari sebahagian besar partai-partai golongan kebenaran atau orang-orang yang selama ini terpaksa menyerah karena tekanan perserikatan itu. Kita dapat pastikan bahwa gerakan kita ini sekaligus pasti akan berhasil menumpas manusia jahat itu!"
"Kapankah waktunya untuk mendirikan persekutuan itu?"
"Tidak lama lagi. Kita harus sabar menantikan daangnya berita itu!"
"Di manakah sebetulnya letak pusat persekutuan tersebut?"
"Sekarang ini masih belum boleh diumumkan!"
"Mengapa?"
"Sebab takut karena menarik selembar rambut akan menggerakkan sekujur badan!"
Hui Kiam diam, sudah tentu ia mengerti maksud ucapan itu, dikhawatirkan ada orang yang karena tidak sabar menunggu lalu menimbulkan onar, sehingga mengejutkan setiap musuh dan merusak seluruh rencana, sedangkan orang yang berani melakukan perbuatan demikian, mungkin justru dirinya sendiri.
Manusia Teragung agaknya sudah dapat menebak isi hati pemuda itu, maka ia berkata dengan sungguh-sungguh:
"Bocah, dalam pertempuran yang akan datang, semua akan tergantung kepala dirimu, aku si orang tua dan lain-lainnya telah mengerti dengan baik kepandaian dan kekuatan sendiri siapapun bukan merupakan tandingan persekutuan itu!"
"Locianpwee terlalu memuji, boanpwee hanya merupakan salah satu anggota dalam barisan penegak kebenaran ini, sudah tentu harus mencurahkan seluruh kepandaian dan kekuatan bagi kita bersama?"
Pada saat itu sesosok bayangan orang tiba-tiba lari masuk. Hui Kiam begitu melihat segera mengetahui bahwa orang itu adalah Ie It Hoan.
Ie It Hoan sebetulnya juga turut bertempur dalam ruangan di bawah tanah, tetapi mengapa saat itu muncul dari jurusan luar, pemuda yang banyak akalnya dan susah ditebak tindak tanduknya, benar-benar mirip dengan nama julukannya Sukma Tidak Buyar.
Begitu melihat Hui Kiam, Ie It Hoan lalu berkata dengan napas masih memburu:
"Toako, aku baru saja mendapat suatu berita"."
"Berita apa?"
"Tadi pagi Tong-hong Hui Bun dengan membawa delapan anak buahnya yang merupakan pelayannya yarg terkuat, pergi menuju ke Makam Pedang."
Bukan kepalang terkejut Hui Kiam ketika mendengar berita itu. Ia segera teringat diri Cui Wan Tin yang demikian dalam mencintai dirinya. Hui Kiam yang di saat itu boleh dikata sudah mengetahui jelas bagaimana sifat kelakuan Tong-hong Hui Bun ternyata benar-benar lebih jahat daripada ular berbisa, barang yang tidak bisa dapatkan, atau barang yang dibencinya, ia harus merusaknya. Kepergiannya ke Makam Pedang itu kecuali hendak menyingkirkan Cui Wan Tin, sudah pasti tidak ada maksud lain. Gadis piatu itu merupakan keturunau satu-satunya toa-supek Hui Kiam juga merupakan satu-satunya kekasih pada dewasa ini ......
"Apakah berita ini dapat dipercaya kebenarannya?"
"Toako, apakah siaote perlu main gila terhadapmu?" jawab si Sukma Tidak Buyar sambil mengerutkan alisnya.
Pui Ceng Un merasa gelisah, katanya:
"Apa maksud perempuan jahat itu pergi kesana?"
"Kecuali hendak menyingkirkan enci Cui, masih ada apa lagi" Sedangkan ia tokh sudah tahu bahwa pedang sakti ini sudah berada dalam tanganku."
"Mengapa dia?"
"Sebab ia tahu bahwa enci Cui adalah kekasih toako!"
"Aku harus segera berangkat kesana. Jikalau tidak pasti akan terjadi suatu peristiwa yang menyedihkan!" berkata Hui Kiam dengan perasaan gusar.
"Makam pedang itu dilindungi oleh barisan gaib yang tidak dapat dimasuki oleh sembarang orang," berkata Pui Ceng Un dengan hati cemas.
"Dia sudah mendapat keterangan dan penjelasan dari Iblis Sin Mo bagaimana cara-caranya masuk ke dalam barisan gaib itu, justru karena hal itu berita kepergiannya ke sana itu telah bocor," berkata Ie It Hoan.
"Sutee, aku akan pergi bersama!" berkata Pui Ceng Un.
Hui Kiam menganggukkan kepala lalu berkata kepada Kak Hui Taysu dan lain-lainnya:
"Locianpwee sekalian, untuk sementara boanpwee ingin mohon diri dulu!"
Orang Tua Tiada Turunan melirik kepada Orang Berbaju Lila sejenak kemudian berkata kepada Hui Kiam:
"Siaohiap, ini urusan penting. Kita tak dapat merintangimu, tetapi kau harus lekas pergi dan lekas kembali. Aku usulkan paling baik kau binasakan saja iblis wanita itu!"
"Boanpwee nanti akan melakukan itu!"
"Pakaianmu harus ganti dulu, dengan berpakaian yang penuh darah seperti ini, nanti kau akan mengejutkan orang-orang yang melihatnya"."
"Boanpwe mengerti. Di tengah perjalanan nanti boanpwee akan tukar pakaian!"
"Di sepanjang jalan kau harus awas ada orang yang akan membokong!"
"Terima kasih!"
"Pergilah!"
Baru saja Ie It Hoan hendak berkata lagi, Orang Tua Tiada Turunan segera berkata sambil menggapaikan tangannya:
"Bocah, kau jangan memikirkan apa-apa lagi. Kau tidak bisa pergi, jikalau tidak siapa yang harus ditugaskan untuk menjadi mata-mata dan mencari keterangan dari pihak musuh?"
"Boanpwe tak akan pergi, hanya ingin mengantar toako saja untuk beberapa pal saja."
"Itu tidak ada gunanya!"
Hui Kiam dan Pui Ceng Un memberi hormat dan minta diri pada semua orang, lalu pergi menuju ke Makam Pedang. Ie It Hoan juga mengikuti di belakangnya.
Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang Berbaju Lila menghela napas panjang. Orang Tua Tiada Turunan menyaksikan dengan penuh rasa simpati.
Hui Kiam bertiga bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, dalam waktu sekejap sudah lari sejauh empat lima pal. Hui Kiam mendadak berhenti dan berkata kepada Ie It Hoan:
"Adik Hoan, aku ingin bertanya kepadamu."
Ie It Hoan segera berhenti, tetapi Pui Ceng Un dia sudah jalan sejauh sepuluh tombak dari mereka, hanya berhenti di pinggir jalan untuk menunggu.
"Toako hendak bertanya apa?"
"Apakah kau pernah dengar hubungan antara ayah di masa masih hidup dengan Tong-hong Hui Bun?"
"Tentang ini". Memang pernah dengar."
"Apakah itu benar?"
"Siaote tidak berani menjamin, tapi mungkin itu tidak salah."
"Lagi, apakah Orang Berbaju Lila itu dulu merupakan salah satu anggota daripada Persekutuan Bulan Emas?"
"Ya, bahkan kedudukannya cukup tinggi."
"Mengapa kemudian ia berkhianat terhadap Persekutuan Bulan Emas?"
"Tentang ini....aku tidak tahu! Hanya...."
"Hanya apa?"
"Sebahagian bekas anak buahnya yang setia kepada dirinya, telah berkorban karena perbuatannya itu, seperti Ko Han-san dan lain-lainnya, jikalau tidak orang-orang itu di kemudian hari merupakan suatu kekuatan yang tidak boleh dipandang ringan dan yang bisa memberi banyak hanya bantuan dari dalam untuk pihak kita."
Hui Kiam saat itu baru sadar, apa sebabnya Tong-hong Hui Bun di kala itu memaksa Ko Han-san dan lain-lain menghabiskan jiwanya sendiri. Waktu itu ia selalu merasa curiga, mengapa mereka saling bunuh-membunuh sendiri, tetapi sekarang setelah mendengar keterangan dari Ie It Hoan, ia baru mengetahui bahwa orang-orang yang dibinasakan itu semua adalah komplotannya Orang Berbaju Lila.
"Kalau demikian halnya, Orang Berbaju Lila tentunya masih ada komplotannya yang berada di dalam Persekutuan Bulan Emas?"
"Ya!"
"Pantas beritanya tentang persekutuan itu diketahuinya demikian jelasnya."
"Masih ada faktor lainnya, tentang gerak-gerik persekutuan itu, sebagian besar sudah berada di tangan orang-orang pihak kita."
"Faktor lain apa yang kau maksud?"
"Tentang ini maaf siaote tidak dapat memberitahukan."
"Lagi-lagi kau main teka-teki. Aku sekarang hendak menanyamu lagi, di manakah letaknya pusat Persekutuan Bulan Emas itu?"
"Hanya Orang Berbaju Lila yang tahu."
"Tetapi dia tidak pernah mengumumkan."
"Saatnya belum tiba."
"Toako...."
"Ada apa?"
Sesaat wajah Ie It Hoan kemerah-merahan. Lama ia berdiam, kemudian baru berkata:
"Ada suatu urusan siaote minta" bantuan toako."
"Urusan apa, kau ceritakanlah. Jangan berlaku seperti anak perawan yang kemalu-maluan, aku tak mempunyai banyak waktu lagi."
Ie It Hoan melirik kepada Pui Ceng Un yang berdiri sepuluh tombak lebih terpisah dengannya, lalu berkata dengan suara perlahan:
"Adalah soal enci Un itu"."
"Dia mengapa?"
Setelah Ie It Hoan menunjukkan sikapnya kemalu-maluan, barulah berkata:
"Dahulu waktu cici Un terkena racun, telah dibawa kemari untuk ditolong"."
"O ya," demikian Hui Kiam memotongnya, "Kau jawab dulu pertanyaanku, mengapa Orang Menebus Dosa hingga saat ini belum menunjukkan diri?"
"la tidak suka menunjukkan muka di hadapan orang banyak."
"Berapa banyak yang kau mengetahui tentang dirinya?"
"Hampir semuanya."
"Kalau begitu kau"."
"Toako, aku pernah menerima baik permintaannya sebelum tiba saatnya tidak akan membocorkan rahasianya."
Hui Kiam menarik napas panjang katanya:
"Sudahlah, teruskan perkataanmu."
Ie It Hoan mengawasi Hui Kiam sejenak, baru mengutarakan maksudnya yang semula:
"Setelah enci Un dibawa kemari selama diberikan pertolongan, beberapa locianpwee itu itu telah menunjuk siaote yang harus menunggu dan merawatnya."
"Apakah Orang Berbaju Lila dan lain-lainnya di bawah ini boleh dikata merupakan daerah terlarang bagi kaum wanita?"
"Teruskan!"
"Ini" sudah tentu, selama hari itu banyak urusan-urusan kecil dalam pergaulan hidup manusia, kadang-kadang tidak dapat dihindarkan"."
"Em! Bagi kita asal masing-masing berlaku jujur dalam urusan kecil tak perlu direcoki."
Berkata sampai di situ, tiba-tiba diam, ia tak dapat melanjutkan, karena pikirannya tiba-tiba teringat kejadian yang tidak patut dengan Tong-hong Hui Bun, akibat perbuatan itu bagaimana selanjutnya, sekarang ini belum diketahui, tetapi biar bagaimana martabatnya sendiri dibikin ternoda oleh perempuan cantik yang jahat itu, sekalipun hal ini bukan kemauannya sendiri, tetapi biar bagaimana noda itu tidak dapat dihapus begitu saja,
Ie It Hoan melanjutkan ucapannya:
"Siaotee......merasa sangat bersimpati terhadap dirinya dan pengalaman hidupnya yang menyedihkan, sebab kita berdua sama-sama merupakan anak-anak piatu yang hidup sebatang kara di dalam dunia ini."
"Lalu bagaimana kalau sudah merasa simpati?"
"Siaotee... pikir... ingin...."
"Ingin apa?"
Ie It Hoan menundukkan kepala, sepatah katapun tidak keluar dari mulutnya.
Hui Kiam sudah tidak sabar lagi, ia berkata:
"Apa sebetulnya yang kau ingin ucapkan, terus terang saja. Jikalau tidak aku akan melanjutkan perjalananku."
Ie It Hoan mengangkat kepalanya, agaknya sudah mengambil keputusan tetap. Maka akhirnya ia berkata:
"Aku bersedia mengawalinya untuk seumur hidup!"
Hui Kiam terperanjat. "Oh, kau berkata hampir setengah harian, maksudmu hanya hendak mengatakan kau cinta kepadanya!?"
"Ya!"
"Bagaimana dengan ia sendiri?"
"Justru inilah yang siaote ingin minta bantuan toako!"
"Apakah ia tidak menyatakan apa-apa?"
"Sebentar panas sebentar dingin, tidak menerima juga tidak menolak, sehingga membuat aku sangat menderita!"
"Adik Hoan, sesuatu barang di dalam dunia ini, semua boleh kita dapatkan dengan berbagai macam cara, hanya menyintai sedikitpun tidak boleh dipaksa!"
"Tentang itu aku tahu. Toako, aku hanya ingin mengetahui cinta kepadaku atau tidak. Andaikata karena mukanya bercacat sehingga ia harus menindas perasaannya sendiri, hal itu tidak perlu, sebab siaote tidak memikirkan soal mukanya!"
"Apakah kau menyintainya?"
"Ya. Tuhan boleh menjadi saksi."
"Adik Hoan, kau harus pikir dulu masak-masak. Soal ini merupakan soal kebahagiaan seumur hidup bagi kedua pihak, tidak boleh menuruti bisikan hati yang timbul dalam waktu sepintas lalu. Jikalau tidak, di kemudian hari akan membawa akibat buruk yang sangat menakutkan!"
Dengan sikap bersungguh-sungguh Ie It Hoan menjawab:
"Toako, sudah lama siaote memikirkan persoalan itu. Pikiranku ini sudah tetap, siaote yakin tidak akan berubah!"
"Baiklah, aku terima baik permintaanmu untuk berusaha memberi bantuan sepenuh tenaga!"
"Terima kasih toako!"
"Sekarang kau boleh balik!"
"Ya!"
Setelah berkata demikian, ia lambai-lambaikan tangannya kepada Pui Ceng Un seraya berkata:
"Enci Un, sampai kita berjumpa lagi!"
Hui Kiam menunggu sampai Ie It Hoan sudah tidak kelihatan bayangannya, baru menghampiri Pui Ceng Un yang segera ditegurnya lebih dahulu oleh sang suci:
"Apa yang dikatakan?"
Hui Kiam menerangkan pikirannya. Ia pura-pura berkata tenang, lalu menjawab:
"Tidak apa-apa, ia hanya minta aku untuk menanyakan kepada suci!"
"Menanyakan soal apa?"
"Ia berkata, hatinya telah merana, ia ingin mengetahui bagaimana sikap suci terhadapnya."
Pui Ceng Un terdiam, lama baru berkata dengan nada suara dingin:
"Aku tidak pantas."
"Tidak pantas, apa artinya?"
"Kau toh sudah tahu, mengapa pura-pura bertanya?"
"Suci maksudkan, apakah karena muka suci yang cacat itu?"
"Em, nasibku sudah ditentukan oleh peraturan si Raja Pembunuh ketika aku mengambil keputusan bersedia menjadi muridnya."
"Suci, perlu apa suci menyusahkan diri sendiri, dengan setulus hati ia...."
"Ya aku tahu. Justru karena itu aku lebih merasa tidak pantas. Coba pikir, aku tokh tidak mungkin berdiam dengannya selalu memakai kerudung muka ini, sedangkan wajah asliku malu untuk dilihat orang, lama kelamaan, bukankah akan menimbulkan perasaan jemu dan menyesal?"
"Tetapi ia menyatakan dengan tegas tidak akan terjadi hal demikian."
"Sute, aku tidak suka menimpakan penderitaanku sendiri kepada orang lain. Aku selamanya belum pernah memikirkan untuk memperbaiki nasibku. Aku berterima kasih atas simpatinya terhadapku, tetapi aku tidak dapat menerimanya."
"Suci, dia...."
"Perkataanku cukup sampai di sini saja tak perlu dibicarakan lagi. Aku sangat khawatir akan keselamatan suciku yang belum pernah bertemu muka itu. Kita harus melakukan perjalanan supaya lekas tiba di sana. Sedikit terlambat saja, akan membuat kemenyesalan untuk seumur hidup."
Ucapan sang suci itu bagaikan ujung pisau belati menikam hulu hatinya, maka segera berkata sambil menganggukkan kepala:
"Mari kita lekas berangkat."
Baru saja bergerak, di belakangnya tiba-tiba terdengar suara orang memanggil:
"Toako, tunggu dulu!"
Kiranya itu adalah Ie It Hoan yang balik kemari.
"Ada urusan apa?"
Ie It Hoan mengawasi Pui Ceng Un sejenak dengan perasaan tidak enak, kemudian baru berkata dengan tergesa-gesa:
"Aku lupa suatu persoalan besar."
"Soal apa?"
"Aku lupa memberitahukan kepada toako apabila berjumpa dengan orang-orang Persekutuan Bulan Emas, ada orang menunjukkan kode rahasianya secara begini...."
Ia berkata sambil mengacungkan tangan kirinya. Jari tangan telunjuk dan jempolnya membuat satu lingkaran kecil, tiga jari lainnya diluruskan. Kemudian ia berkata pula:
"Ini adalah kode rahasia untuk mengetahui bahwa orang yang sedang dihadapinya adalah orang sendiri, jangan sampai terjadi kesalahan yang menimbulkan pertumpahan darah antara kawan."
"Baik, aku tahu!"
"Sampai kita bertemu lagi!"
Hari itu di waktu senja, di jalan lembah sempit di luar Makam Pedang, telah kedatangan dua tetamu sepasang muda mudi. Mereka adalah Hui Kiam dan Pui Ceng Un.
Sambil menunjuk ke jalan lembah yang sempit itu, Hui Kiam berkata kepada sucinya:
"Kita sudah tiba. Setelah kita melalui jalan lembah yang sempit ini, adalah danau air dingin dan Makam Pedang itu."
"Apakah kita tidak terlambat?" bertanya Pui Ceng Un cemas:
"Mari kita lekas berjalan!"
Baru saja mereka tiba di mulut lembah, segera terdengar suara bentakan orang:
"Jangan maju lagi!"
Hui Kiam dan Pui Ceng Un menghentikan tindakannya. Dua pelayan wanita yang masih muda menghalang di mulut lembah. Dua pelayan itu setelah mengetahui siapa adanya dua tetamu yang baru tiba itu wajah mereka berubah seketika. Satu di antaranya lalu berkata:
"Oh, kiranya adalah Hui siangkong."
"Di mana ibu majikan kalian?" bertanya Hui Kiam dingin.
Dua pelayan itu mundur dua langkah, tidak menjawab.
"Minggir!" bentak Hui Kiam dengan keras.
Salah satu dari dua pelayan itu memasukkan tangannya ke dalam saku. Hui Kiam tahu bahwa pelayan itu hendak memberi kabar dengan tanda rahasia, hawa amarahnya meluap. Seketika tanpa memberi kesempatan sedikitpun juga kepadanya, ia sudah bertindak serentak dengan Pui Ceng Un, hingga dua pelayan itu sebentar sudah terbinasa dalam tangan mereka.
Hui Kiam berdua segera melanjutkan perjalanannya.
Keluar dari jalan lembah yang sempit itu tibalah mereka di tepi danau air dingin.
Seberang danau, terdapat sebuah batu hitam tinggi besar yang berdiri berderet-deret. Itulah barisan batu ajaib yang terkenal kemukzizatannya.
Di luar barisan itu, enam pelayan wanita sedang menjaga dengan berdiri atau duduk.
Hui Kiam yang berjalan di muka, lari mengitari danau diikuti oleh Pui Ceng Un.
Enam pelayan itu ketika mengetahui kedatangan mereka, serentak berdiri bersiap-siap. Satu di antaranya lalu berkata dengan suara gemetar:
"Mengapa dia juga bisa datang kemari?"
"Lekas beri kabar kepada ibu majikan!" berkata yang lainnya.
Tetapi sebelum mereka bertindak, Hui Kiam sudah berada di hadapan mereka, sehingga enam pelayan itu terperanjat. Satu di antaranya segera mengayunkan tangan kirinya sembari membuat lingkaran dengan jari jempol dan telunjuk.
"Hui siangkong, harap beritahukan maksud kedatanganmu."
Kini tahulah Hui Kiam bahwa Tong-hong Hui Bun sudah masuk ke dalam Makam Pedang. Maka seketika itu hatinya dirasakan hampir melompat keluar.
Dengan tanpa menjawab, Hui Kiam segera menghunus pedangnya. Dalam waktu sekejapan saja, pelayan-pelayan wanita itu sudah tamat riwayatnya, tinggal satu yang menegur dengan kode gerakan tangan, segera berkata dengan suara cemas:
"Siaohiap, lekas!"
Hui Kiam menyatakan terima kasih kepada pelayan itu, kemudian melesat ke dalam barisan dengan diikuti oleh Pui Ceng Un.
Dalam kamar batu di dalam Makam Pedang, Cui Wan Tin dengan sekujur badan mandi darah, berdiri menyender di dinding batu, sedangkan Tong-hong Hui Bun nampak berdiri di hadapannya sambil mengancam ujung pedangnya ke depan dadanya. Paras Tong-hong Hui Bun saat itu nampak sangat kejam, sehingga berubahlah seluruhnya kecantikan yang dimilikinya.
Keadaan itu serupa dengan keadaan sewaktu Cui Wan Tin menghadapi ancaman Iblis Gajah, yang memaksanya supaya menyerahkan pedang saktinya.
Dengan sangat hati-hati Hui Kiam menyelinap masuk. Ketika matanya mengawasi Cui Wan Tin, hatinya merasa lega, karena Cui Wan Tin ternyata masih belum mati. Namun demikian ia juga tidak berani bertindak secara gegabah, sebab betapapun gesitnya ia bergerak juga tidak dapat merintangi tindakan Tong-hong Hui Bun yang cukup dengan menusukkan ujung pedangnya ke dalam dada Cui Wan Tin.
Baik Cui Wan Tin maupun Tong-hong Hui Bun, semua tidak mengetahui kedatangan Hui Kiam itu.
Wajah Cui Wan Tin pucat putih bagaikan kertas, luka di badannya membuat tubuhnya gemetar. Apa yang tampak dalam pancaran sinar matanya, bukanlah rasa takut atau kebencian, melainkan rasa sedih dan duka.
"Mengapa kau harus membunuh aku baru merasa puas?" demikian terdengar ia bertanya kepada Tong-hong Hui Bun.
"Sebab dia mencintaimu!" jawab Tong-hong Hui Bun dingin.
"Kau... tidak mengijinkan dia menyintai aku?"
"Benar!"
"Aku tidak melarang dia mencintai kau karena kau jauh lebih cantik daripadaku sehingga aku merasa sedikitpun tidak berhak untuk merasa dengki terhadapmu."
"Cantik" Hahahaha...."
Suara tertawa itu kini dalam telinga Hui Kiam telah berubah seluruhnya. Suara itu seolah-olah suara burung hantu di waktu malam atau srigala di tengah hutan.
Setelah berhenti tertawa, Tong-hong Hui Bun berkata pula:
"Cantik, apa gunanya kecantikan" Dia toh tidak mencintai aku...."
"Apa" Dia tidak mencintaimu?"
"Tidak, dia memang cinta aku, tetapi hatinya telah berubah. Dia sekarang sudah putus hubungan denganku!"
Di wajah Cui Wan Tin yang pucat terlintas suatu senyuman. Meskipun di bawah ancaman pedang, masih menunjukkan betapa gembira perasaannya. Begitu besar cintanya terhadap Hui Kiam, cinta suci murni yang terbit dari hati setulusnya. Maka cintanya itu melupakan dirinya sendiri dalam bahaya, sehingga Hui Kiam yang menyaksikan itu, hampir saja ia mengeluarkan air mata.
"Jangan bangga dulu," berkata Tong-hong Hui Bun. "Meskipun dia sudah berubah terhadap diriku, namun dia sudah mengadakan perhubungan sebagai suami istri dengan aku."
Senyum di bibir Cui Wan Tin lenyap seketika diganti dengan getaran bibir, akan tetapi ia segera berkata dengan suara duka:
"Aku tidak sesalkan kepadanya asal ia suka."
"Sedemikian dalamkah cintamu terhadapnya?"
Hui Kiam hampir menyerbu, tetapi ia masih bersabar. Ia harus menantikan suatu kesempatan yang paling baik untuk menolong kekasihnya dari ujung senjata. Ia tidak boleh berlaku gegabah.
Cui Wan Tin nampaknya malah semakin tenang. Katanya:
"Mungkin lebih dalam daripada apa yang kau bayangkan."
"Maka aku juga semakin benci terhadapmu," berkata Tong-hong Hui Bun bengis.
"Kau boleh memiliki dia...."
"Sudah terlambat."
"Terlambat" Apa maksudmu?"
"Aku sudah bertekad hendak mengambil jiwanya."
"Kau ... hendak membunuhnya?"
"Benar, tanpa pilih cara aku bersumpah harus membunuhnya."
"Tetapi... kau toh pernah mencintainya" Sekarang kau hendak membunuh aku, bukankah juga karena...."
"Kau keliru, barang yang aku tidak bisa dapatkan, orang lain jangan harap memilikinya. Kau telah menyerobot cintaku, maka aku harus membunuhmu lebih dulu. Andaikata di kemudian hari aku tidak berhasil membunuh dia, kau sudah tidak bisa mendapatkan dirinya lagi."
Betapa kejam dan hebatnya pengakuan itu.
Cui Wan Tin hampir tidak sanggup pertahankan badannya yang menyender. Air matanya saat itu baru mulai mengalir keluar.
Terdengar pula ucapannya Tong-hong Hui Bun:
"Perkataanku sudah habis. Apakah kau benci aku" Apakah kau akan mati penasaran" Itulah yang memang aku harapkan!"
"Aku masih hendak menanyakan suatu hal."
"Katakanlah!"
"Kau akan membunuh aku juga akan membunuh dia, akhirnya kau akan mendapatkan apa"
"Aku" Ha ha ha! Apapun aku tidak akan dapat. Aku hanya ingin menuntut balas, supaya semuanya musnah. Biarlah kematian yang mengakhiri segala-galanya. Cinta sejati yang kuinginkan dalam hidupku, hingga sekarang aku masih belum dapatkan. Apa yang ada padaku hanya kebencian, kebencian, kebencian."
"Kau... semuanya hanya merupakan kebencian, bagaimana orang lain terhadapmu?"
"Aku ingin supaya semua orang membenciku. Semakin dalam mereka membenciku, itulah semakin baik. Apa yang aku sekarang butuhkan kecuali benci sudah tidak apa-apa lagi."
Cui Wan Tin mendadak berteriak histeris:
"Benci! Benar, aku juga seharusnya membenci. Membenci orang lain, juga membenci diriku sendiri!"
Tong-hong Hui Bun tertawa bangga, kemudian berkata:
"Itu benar. Membencilah! Aku paling senang menyaksikan orang mati dalam kebencian. Kau boleh membawa kebencianmu ke dalam liang kubur! Sekarang akan menusukkan pedang ini perlahan-lahan ke dalam ulu hatimu. Pandanglah wajahku. Gunakanlah semua kebencianmu untuk membenci aku, sehingga putus nyawamu...."
Nampaknya ia benar-benar hendak turun tangan.
Hui Kiam sangat gelisah. Tetapi jika pada saat itu ia bertindak atau bersuara, biar bagaimana sudah tak dapat mencegah perbuatan kejam Tong-hong Hui Bun yang seolah-olah sudah menjadi gila. Namun demikian, apakah ia dapat menyaksikan Cui Wan Tin disiksa oleh perempuan jahat itu"
Dalam keadaan cemas dan gusar, ia telah mendapat suatu pikiran nekad.
Dengan sangat hati-hati dan perlahan sekali ia menggunakan jari tangannya untuk menghancurkan batu kecil, kemudian dengan sangat hati-hati dan perlahan sekali dilemparkan ke samping.
Hancuran batu itu terbang dari tangannya tanpa menerbitkan suara. Ketika hancuran batu itu tiba di tanah, menerbitkan suara sangat ringan yang hampir tidak kedengaran.
Tong-hong Hui Bun tiba-tiba menoleh.
Bukan kepalang girangnya Hui Kiam karena usahanya telah berhasil. Secara kilat ia bergerak sambil melancarkan satu serangan dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.
Tong-hong Hui Bun tidak menduga sama sekali adanya perubahan itu, sehingga terhuyung-huyung badannya.
Sementara itu Hui Kiam sudah rintangkan dirinya di hadapan Cui Wan Tin.
Tetapi Tong-hong Hui Bun juga bukan bangsa lemah. Seolah-olah tanpa dipikir lagi, badannya yang terhuyung-huyung bergerak setengah memutar sambil melontarkan pedangnya. Dalam keadaan demikian ia masih dapat melakukan serangan pembalasan yang tidak mudah dilakukan oleh orang lain, hal itu sudah tentu di luar dugaan Hui Kiam. Dalam keadaan cemas, terpaksa ia melintangkan pedangnya untuk menangkis.
Tetapi apa yang terjadi selanjutnya ternyata di luar dugaannya sama sekali.
Pedang yang dilontarkan oleh Tong-hong Hui Bun tadi ternyata cuma merupakan satu serangan pura-pura saja, karena berbareng dengan dilontarkannya serangan pedang itu, tangan kirinya dengan kecepatan bagaikan kilat telah bergerak menyambar pergelangan tangan Cui Wan Tin.
Ketika Hui Kiam menyadari, ternyata sudah terlambat. Pergelangan tangan Cui Wan Tin sudah tergenggam di tangan Tong-hong Hui Bun.
"Kalau kau berani mengganggu seujung rambutnya saja, aku nanti akan cincang tubuhmu menjadi berkeping-keping!" berseru Hui Kiam dengan suara keras.
Tong-hong Hui Bun sambil membawa Cui Wan Tin menyingkir sejauh delapan kaki sehingga terpisah sejarak satu tombak lebih dengan Hui Kiam.
"Lepaskan tanganrnu!" demikian Hui Kiam mengancam.
"Hui Kiam, kau sudah berpikir, apakah kau kira aku takut ancamanmu?"
Pada saat itu Cui Wan Tin baru tahu siapa orangnya yang datang di hadapannya. Maka segera memanggil dengan suara gemetar
"Engko Kiam, kau... akhirnya datang juga!"
"Adik Tin, di sini ada aku, jangan takut!" jawab Hui Kiam.
Kulit wajah Tong-hong Hui Bun nampak berkerenyit beberapa kali. Sinar matanya bagaikan tajamnya pedang, seolah-olah hendak menembusi hati orang. Itu adalah suatu tanda bagaimana perasaan bencinya pada saat itu. Sikap itu tidak akan dilupakan untuk seumur hidupnya bagi siapa yang menyaksikannya.
"Hui Kiam, aku ingin kau menyaksikan bagaimana caranya ia menutup mata. Aku ingin kau merasakan bagaimana rasanya kebencian!"
"Perempuan hina, asal kau berani, aku akan beset kulitmu hidup-hidup!"
"Perempuan hina" Ahahaha! Adik, sekarang kau memaki aku perempuan hina, ingatkah kau malam yang indah itu" Meski hanya satu malam kita menjadi suami istri, tetapi itu sudah cukup menjadi kenangan untuk selama-lamanya. Kau sesungguhnya seorang laki-laki yang tidak berperasaan."
Darah Hui Kiam bergolak hebat, hampir saja muntah keluar dari mulutnya.
"Kau... benar-benar bukan manusia!"
Tong-hong Hui Bun mengerlingkan matanya. Katanya dengan nada mengejek:
"Aku bukan manusia" Dan kau sendiri" Apakah kau masih terhitung manusia" Adik, kau sudah pikirkan masak-masak atau belum?"
Hui Kiam sudah hampir gila. Ia tidak dengar jelas apa yang diucapkan oleh Tong-hong Hui Bun. Pikirannya sudah dipusatkan ke satu tujuan. Ialah dengan bagaimana harus menolong jiwa Cui Wan Tin"
Tong-hong Hui Bun berkata pula:
"Adik, kau sudah tak memanggil enci lagi?"
"Akan kubunuh kau!" demikian Hui Kiam berteriak kalap.
Pedangnya bergerak menyerang Tong-hong Hui Bun....
Tong-hong Hui Bun mendorong Cui Wan Tin sehingga Hui Kiam menarik kembali serangannya. Jikalau Hui Kiam tak bertindak, Cui Wan Tin pasti menjadi korban pertamanya.
Hui Kiam sangat marah, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa terhadap perempuan jahat itu.
"Hui Kiam, mengapa kau tidak berani turun tangan?" demikian Tong-hong Hui Bun bertanya dengan nada mengejek.
Cui Wan Tin lalu berkata dengan suara bengis.
"Engko Kiam, jangan pedulikan diriku, bunuh saja dia!"
"Ia tidak berani, ia juga tidak ingin kau mati," berkata Tong-hong Hui Bun sambil tertawa dingin.
Dada Hui Kiam dirasakan hampir meledak. Otot-ototnya menonjol keluar, air peluh bercucuran, matanya merah membara.
Tong-hong Hui Bun berkata pula:
"Adik, mari kita berunding tentang syarat-syaratnya, kau pikir bagaimana?"
"Kau katakan apa syaratnya?"
"Sederhana sekali, kau serahkan pedang saktimu untuk menukar jiwanya, nah itu saja."
"Tidak bisa."
"Kau tentunya tidak ingin dia mati, bukan" Kalian ada mempunyai hubungan sebagai saudara seperguruan, juga sebagai kekasih."
Hui Kiam merasa penasaran bila tak dapat membunuh perempuan itu. Rasa benci dalam hatinya sulit dilukiskan dengan kata-kata. Tetapi ia toh tidak berdaya, karena Cui Wan Tin berada dalam tangannya.
Tong-hong Hui Bun berkata pula:
"Pedang kau masih mempunyai kepandaian untuk merebut kembali, tetapi orang kalau sudah mati tidak bisa hidup kembali, kau mengerti atau tidak?"
Wajah Hui Kiam merah padam, badannya gemetar! Memang benar, kehilangan pedang bisa direbut kembali tetapi orang yang sudah mati tidak bisa hidup kembali. Namun demikian, apabila pedang sakti itu terpisah dari tangannya, niscaya ia sendiri sudah tidak berdaya untuk melawan musuh besar satu-satunya, pemimpin Persekutuan Bulan Emas apalagi untuk merebut kembali dari tangannya, sudah tentu tak mungkin lagi! Sekalipun terhadap Tong-hong Hui Bun saja, apabila pedang sakti itu berada di tangannya ia juga belum yakin dapat mengalahkan perempuan itu atau tidak" Apabila dari luar kedatangan bala bantuan, bagaimana akibatnya sungguh tidak dapat dibayangkan ....
"Adik, encimu sudah tidak dapat menunggu lama-lama lagi!"
"Tutup mulut! Siapa ada adikmu"
"Sekarang memang bukan, tetapi yang sudah lalu toh betul, bukan?"
"Di dalam dunia susah untuk mencari perempuan begitu jahat dan tidak tahu malu seperti kau ini...."
"Tidak perlu banyak bicara lagi. Nah, kita berjumpa lagi sampai di lain waktu."
Perempuan itu memegang erat-erat tangan Cui Wan Tin, lalu ditarik keluar....
"Jangan pergi!"
"Jadi kau sudah terima baik?"
"Kau hendak berbuat apa terhadapnya?"
"Tidak apa-apa, aku hendak bawa pulang ke markas, kemudian kita akan pikirkan lagi bagaimana harus membereskannya."
"Kau berani?"
"Dalam hal ini tidak ada persoalan berani atau tidak berani. Asal kau berani bergerak, aku akan bunuh dia lebih dulu."
Hui Kiam tidak berdaya, maka akhirnya ia terima baik syarat itu. Katanya dengan suara dingin:
"Aku terima baik syaratmu ini."
Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu, kau serahkan pedangmu lebih dulu, lalu kau menunggu di sini. Setelah aku berlalu dari sini dalam keadaan selamat, kuakan lepaskan ia kembali. Aku jamin tidak akan mengganggu seujung rambutnyapun juga, bagaimana?"
Cui Wan Tin menyemburkan darah merah dari mulutnya, kemudian berkata dengan suara bengis:
"Jikalau kau hendak menyerahkan pedang saktimu, lebih dulu harus membunuh aku."
"Adik Tin, tindakanku semata-mata hanya demi kepentinganmu," berkata Hui Kiam dengan nada suara duka.
"Tidak bisa, barang peninggalan perguruan kita itu adalah didapatkan dengan susah payah pengucuran darah, apabila kau berbuat demikian sekalipun aku sudah jadi setan juga tidak akan mengampuni perbuatanmu. Arwah ayah dan empat susiok yang ada di alam baka juga tidak akan memaafkannya."
Kata-kata itu diucapkan dengan nada sangat bernafsu dan semangat kejantanan. Hui Kiam yang mendengarkan, hatinya seperti ditusuk dengan ujung belati. Sesaat itu ia merasa bimbang tidak tahu bagaimana harus berbuat.
Cui Wan Tin berkata pula:
"Kematianku tidak perlu dibuat sayang, tetapi kau harus menggunakan pedang ini untuk menuntut balas dendam dan membasmi setiap orang jahat dalam rimba persilatan. Nah, sekarang kau boleh turun tangan."
Dengan mata merah Hui Kiam menjawab:
"Adik Tin, aku... tak bisa. Aku benar-benar tak sanggup!"
"Hui Kiam, atas nama ayah dan kedudukan sebagai suci, aku perintahkan kau untuk turun tangan!"
Tong-hong Hui Bun menotok jalan darah Cui Wan Tin, hingga gadis itu tidak bisa bicara lagi, hanya mengawasi dengan sepasang matanya yang penuh kebencian. Dari ujung bibirnya masih mengeluarkan darah.
Hati Hui Kiam hancur luluh. Ia tahu apabila keadaan itu terus berlangsung secara demikian ia sendiri pasti akan gila. Ia pikir bolak-balik ucapan Cui Wan Tin. Ia merasa bahwa ia sendiri tak seharusnya menempuh bahaya sebesar itu untuk melakukan perbuatan yang bodoh itu, sebab dengan orang berhati jahat seperti Tong-hong Hui Bun, apabila ia benar-benar sudah menyerahkan pedang saktinya kemudian lalu main gila, bagaimana harus bertindak, bukankah membuat penyesalan untuk seumur hidup"
Nafsunya memburu yang begitu berat dapat dilihat dari sinar matanya yang penuh kebencian. Akhirnya ia telah mengambil keputusan yang tetap.
Tong-hong Hui Bun yang menyaksikan sikap Hui Kiam itu, dalam hati juga merasa jeri. Dengan tanpa disadari ia sudah mundur dua langkah seraya berkata:
"Hui Kiam, sepatah kata sudah cukup, kau terima baik atau tidak syarat ini?"
Ketika sinar mata Hui Kiam beradu dengan sinar mata Cui Wan Tin yang penuh kebencian, telah membulatkan tekad Hui Kiam, maka itu menjawabnya sepatah demi sepatah:
"Tidak bisa!"
"Apakah kau menghendaki kematiannya?"
"Kau akan mendapatkan pembalasan yang setimpal. Aku akan membuatmu mati perlahan-perlahan. Darahmu yang penuh racun itu akan kukeluarkan setetes demi setetes sehingga habis. Aku hendak membelah dadamu, aku akan menyaksikan bagaimana macam nyalimu!"
"Apakah... kau tidak akan menyesal?"
"Tidak."
Tong-hong Hui Bun tidak berdaya. Perempuan yang cantik bagaikan bidadari tetapi hatinya kejam dan jahat melebihi ular berbisa mempunyai cara berpikir sangat kejam, setelah berpikir bolak-balik akhirnya ia mengambil suatu keputusan. Katanya dengan nada suara dingn:
"Hui Kiam, aku tarik kembali syaratku"."
Hui Kiam terheran-heran, mengapa"
"Aku telah merobah pendirianku yang semula!"
"Haha! Tong-hong Hui Bun, kiranya kau juga takut mati."
"Kalau begitu kau ternyata keliru menilai orang!"
"Mengapa kau merobah pendirianmu?"
"Karena apabila aku binasa bersama-sama dengannya sedangkan kau sendiri masih hidup, aku sangat penasaran, maka aku hendak tetap hidup untuk menyaksikan kematiannya juga."
Ucapan itu kedengarannya membangunkan bulu roma, tetapi memang sebenarnya.
"Aku percaya kebenaran ucapanmu ini. Orang semacam kau ini sudah tentu tidak akan mau mati begitu saja. Dan sekarang kau berpikir bagaimana?"
"Hui Kiam, kau tentunya tidak akan menyangkal, apabila tidak ada aku kau tidak bisa hidup sampai sekarang, juga tidak akan mendapat kepandaian seperti apa yang kau miliki sekarang."
Hui Kiam diam. Itu memang benar, beberapa kali Tong-hong Hui Bun pernah menolong jiwanya dari ayahnya yang kejam, maka ia berkata dengan terus terang:
"Aku tidak akan menyangkal, kenyataan tetap kenyataan!"
"Sekarang, aku tidak bermaksud minta kau kasihani. Aku juga tidak perlu akan menggunakan dia sebagai barang tawanan!"
Setelah berkata demikian, benar saja perempuan itu lalu membebaskan Cui Wan Tin.
Cui Wan Tin yang sudah terluka parah lagipula ia masih berusaha mempertahankan dirinya sekian lama, sebetulnya sudah tak sanggup berdiri lebih lama. Hanya perasaan penasaran dan kebenciannya yang membuat ia tetap bertahan. Tetapi sekarang setelah bebas dari tangan musuhnya, tidak sanggup lagi untuk mempertahankan dirinya. Badannya terhuyung-huyung dan kemudian duduk lemas di tanah.
Kejadian itu benar-benar di luar dugaan Hui Kiam. Tetapi ia tidak berani berlaku lengah, ia harus waspada terhadap Tong-hong Hui Bun yang mempunyai banyak akal busuk.
Sementara itu Tong-hong Hui Bun sudah melanjutkan ucapannya:
"Kuulangi sekali lagi, apabila aku tidak binasa, aku bersumpah pasti akan membunuhmu. Jikalau kau takut, sekarang kau boleh turun tangan membunuhku. Jikalau tidak, aku sekarang hendak pergi."
Setelah berkata demikian, dengan sinar mata yang dingin ia menatap Hui Kiam tanpa berkedip.
Pikiran Hui Kiam seketika itu menjadi kalut. Dibunuhnya ataukah dibebaskan" Ia telah menimbang lagi masak-masak segala budi dan permusuhan antara ia dengan perempuan itu. Pada saat itu ucapan Manusia Teragung mengenai jiwanya seorang kesatria, kembali mendengung di dalam telinganya.
Tindakan Tong-hong Hui Bun kali ini sungguh cerdik. Lebih dulu ia mengutarakan maksudnya sendiri, untuk menutup mulut Hui Kiam, kemudian ia menyebut budinya yang pernah menolong jiwa Hui Kiam, untuk menggerakkan hatinya, dan yang terakhir, ia telah membebaskan Cui Wan Tin dengan kemampuannya sendiri, untuk membuktikan bagaimana jiwa dan kelakuannya yang agaknya benar-benar sudah berubah. Ia sudah menduga dengan pasti reaksi Hui Kiam, sebab terhadap seseorang yang tinggi hati dan berjiwa seperti Hui Kiam, tindakan itu pasti berhasil.
Hakekatnya, mau tidak mau ia harus bertindak demikian, sebab ia sudah tahu bahwa usahanya hendak menggunakan diri Cui Wan Tin untuk memaksa Hui Kiam sudah tidak berhasil. Sikap Hui Kiam jelas sudah memberitahukan kepadanya bahwa pemuda itu akan turun tangan tanpa memperhitungkan nasib Cui Wau Tin lagi. Ia mengetahui bahwa kepandaiannya sendiri pada saat itu tidak sanggup melawan Hui Kiam sedangkan ia tidak rela mati sebelum maksudnya tercapai.
Kemudian, semua telah berakhir seperti apa yang diharapkan.
Dengan wajah beberapa kali berubah, akhirnya Hui Kiam berkata:
"Kau pergilah! Hari ini aku mengampuni jiwamu, hingga demikian antara budi dan permusuhan kita berdua sudah impas. Yang masih ada hanya dendam. Di lain waktu apabila berjumpa lagi, aku pasti akan membunuhmu!"
Tong-hong Hui Bun pura-pura bersikap menentang:
"Aku bukan minta belas kasihanmu. Kalau kau mau sekarang pun kau boleh turun tangan!"
"Lekas enyah dari sini!"
"Apakah kau tidak akan menyesal?"
"Seorang laki-laki tetap akan pegang janjinya, perlu apa merasa menyesal!"
"Kalau begitu aku sekarang hendak pergi!"
Setelah perempuan itu berlalu, Hui Kiam termangu-mangu. Ia pernah tergila-gila terhadapnya, sungguh tidak diduga akhirnya terjadi perubahan demikian rupa. Tetapi kalau ia ingat bagaimana di bawah pengaruh obat perangsang ia melakukan perbuatan tidak patut dengannya, ia lalu bergidik. Apabila benar perempuan itu mempunyai hubungan suami-istri dengan ayahnya, itu berarti bahwa perempuan itu ibu tirinya sendiri. Melakukan hubungan gelap dengan ibu tiri, bagaimana selanjutnya dia ada muka untuk hidup lagi"
Benarkah Tong-hong Hui Bun sudah mengetahui asal-usul diri Hui Kiam akan tetapi masih melakukan perbuatan binatang itu" Ini rasanya tak mungkin, tetapi ucapan dan nasihat Orang Tua Tiada Turunan serta lain-lainnya hampir semuanya serupa, semua itu maksudnya ialah supaya ia teguhkan tekadnya dalam usahanya menumpas kejahatan. Apakah karena maksud itu, sehingga orang-orang itu perlu membuat cerita bohong yang menakutkan itu" Apabila itu benar, meskipun tujuan mereka baik, tetapi rasanya tak dapat dimaafkan....
"Engko Kiam, pada saat ini kita benar-benar seperti berjumpa lagi dari lain dunia."
Demikian terdengar suaranya Cui Wan Tin sehingga Hui Kiam baru ingat bahwa gadis itu masih duduk di tanah. Ia mengawasinya sejenak lalu menghampirinya dan mendukungnya ke dalam tempat tidurnya, kemudian berkata kepadanya dengan dengan nada penuh kasih sayang:
"Adik Tin, aku sungguh menyusahkan kau!?"
"Engko Kiam, aku bisa berada lagi di sampingmu, apapun yang telah terjadi tidak penting lagi bagiku," berkata Cui Wan Tin dengan
penuh mesra, katanya sambil memegang kedua lengan tangan Hui Kiam.
Hui Kiam tidak sanggup mengendalikan perasaannya sendiri, ia mencium pipi gadis itu seraya berkata:
"Masih ingat!"
"Dan sekarang kau sudah balik kembali!"
"Ya, namun demikian budi aku belum berhasil membalasnya. Permusuhan dan dendam sakit hati juga belum berhasil menuntutnya. Kedatangan ini karena aku mendapat berita bahwa kau dalam keadaan bahaya ...."
"Kalau begitu" masih hendak meninggalkan aku lagi?"
"Aku cepat akan balik lagi ke sampingmu!"
"Tidak! Aku hendak ikut kau bersama-sama berkelana di dunia Kang-ouw. Sejak kau meninggalkan aku, aku melewatkan hari-hariku seperti bertahun-tahun lamanya. Aku benar-benar merasa takut... akan kehilangan kau berarti tidak ada aku"."
"Adik Tin!" Hui Kiam tak dapat melanjutkan ucapannya, sepasang matanya sudah basah.
Cui Wan Tin berkata pula:
"Engko Kiam, sudikah kau membawa aku pergi?"
"Adik Tin, bukankah kau hendak mengawani arwah ibumu, sehingga tidak bersedia meninggalkan tempat ini?"
"Engko Kiam, aku tidak tahu bagaimana sepi, aku sudah biasa aku hanya tak sanggup menyiksa batinku karena selalu memikirkan dirimu. Perbuatanku yang akan berlalu dari sini, pasti dimaafkan oleh ibu!"
Dua butir air mata mengalir keluar dari matanya.
Hui Kiam menundukkan kepala memberikan ciuman hangat. Sekarang ia sudah tidak memikirkan apa-apa lagi. Ia boleh mencurahkan seluruh cinta kasihnya kepada kekasihnya itu.
Tiba-tiba ia melompat bangun seraya berkata:
"Celaka! Mengapa aku berlaku begini gegabah!"
"Kau maksudkan apakah tidak seharusnya aku melepaskan perempuan itu?" bertanya Cui Wan Tin bingung.
"Bukan, bukan...."
"Kalau begitu karena apa?"
"Anak perempuan si-supek Pui Ceng Un tadi datang bersamaku...."
"Oh! Sekarang dji maonakah dia?"
"Aku hanya tujukan perhatianku untuk menolong jiwamu, sebaliknya sudah melalaikan dirinya, sedangkan ia tak paham barisan batu gaib ini...."
"Kebanyakan ia masih terkurung di dalam barisan batu...."
Gadis itu hendak bangun, tetapi mulutnya mengeluarkan rintihan dan kemudian jatuh lagi.
"Adik Tin, lukamu tidak ringan, kau jangan banyak bergerak, biarlah aku saja yang pergi...."
"Kau boleh melihat dulu dari kaca rahasia di dalam kamar sebelah itu. Apabila ia berada di dalam barisan batu, kau dapat menyaksikan dengan jelas!"
"Baiklah, aku pergi dulu."
Tiba di kamar sebelah, dengan penasaran Hui Kiam melihat keadaan dalam barisan dari kaca rahasia itu. Semua keadaan dalam barisan gaib itu, sampaipun bangkainya lima pelayan wanita yang berada di luar barisan, juga dapat dilihat dengan nyata, tetapi tidak tampak bayangan Pui Ceng Un. Bukan kepalang terkejutnya pada saat itu. Dengan hati sangat gelisah ia lari keluar. Ia memasuki barisan gaib itu untuk mencari, tetapi tetap tidak menemukan jejaknya.
Ia lalu berpikir, mungkin karena tidak mengerti ilmu barisan itu, hingga Pui sucinya itu tidak ikut masuk.
Terpaksa ia lari keluar dari dalam barisan. Keadaan seluruh pemandangan danau air dingin tertampak di hadapan matanya, tetapi ia tetap tidak dapat melihat bayangan sucinya. Menurut logika, kalau ia tidak masuk dalam barisan, seharusnya menunggu di luarnya. Mengapa sekarang tidak tampak bayangannya" Apakah ia sudah berlalu lebih dulu?"
Ia teringat kepada Tong-hong Hui Bun yang belum lama berlalu, seketika itu ia bergidik.
Dalam soal ilmu kepandaian, kepandaian mereka berdua selisih tak jauh. Setidak-tidaknya, Pui Ceng Un masih bisa mengundurkan diri dalam keadaan selamat. Yang dikhawatirkan ialah akal busuk dan tangan ganas Tong-hong Hui Bun.
Pada saat itu, dari belakang gundukan batu sejauh dua tombak, tiba-tiba terdengar suara rintihan yang sangat lemah.
Hati Hui Kiam semakin cemas. Ia segera melompat melesat ke arah datangnya suara itu.
Tiba di tempat itu, ia menjerit. Di tempat itu ada rebah menggeletak dirinya pelayan wanita dengan kode tanda tangan sebagai kawan sendiri, dalam keadaan menyedihkan. Nampaknya jiwa pelayan itu sudah tak dapat ditolong lagi.
"Nona! Nona!" demikian Hui Kiam memanggil berulang-ulang.
Pelayan wanita itu tidak menjawab. Hanya suara rintihan lemah yang keluar dari mulutnya.
Hui Kiam lalu menggerakkan jari tangannya menotok beberapa bagian jalan darah badan perempuan itu, kemudian menyalurkan kekuatan tenaganya ke dalam tubuhnya.
Pelayan wanita itu tiba-tiba membuka matanya. Ia menatap Hui Kiam dengan pandangan mata sayu.
Hui Kiam mengerutkan alisnya. Ia tahu bahwa jiwa perempuan itu sudah tak tertolong lagi, terpaksa ia bertanya:
"Nona terluka di tangan siapa?"
Bibir pucat perempuan itu bergerak-gerak. Dengan susah payah baru ia dapat mengeluarkan suaranya yang sangat lemah.
"Tong-hong... Hui Bun...."
"Mengapa ia berlaku demikian kejam terhadap nona?"
"Karena ...."
"Nona., apakah kau adalah orang yang disuruh menjadi mata-mata oleh Orang Berbaju Lila?"
"Ya."
"Apakah ia telah mengetahui rahasiamu?"
"Aku ... karena hendak mencegah dia"."
"Mencegah dia bagaimana?"
"Kawanmu.... Nona Pui itu telah...."
Hui Kiam terperanjat, ia bertanya dengan suara gemetar:
"Apakah ia telah dibunuh olehnya?"
"Tidak... ia telah dibawa pergi."
"Apakah nona Pui tidak memberikan perlawanan?"
"Dia... dibawa keluar dari dalam barisan gaib!"
Hui Kiam mendongakkan kepala, tiada sepatah kata keluar dari mulutnya karena kelalaiannya sendiri yang hanya mempertahankan keselamatan Cui Wan Tin telah melupakan bahwa sucinya itu tak mengenal cara memasuki barisan itu. Kini telah menjadi jelas bahwa sucinya itu pasti mengikuti dirinya masuk ke dalam barisan tetapi tak berhasil mengikuti jejaknya sehingga terkurung di dalam barisan. Waktu Tong-hong Hui Bun berlalu dari dalam Makam Pedang, telah berpapasan dengannya di dalam barisan sehingga akhirnya tertangkap dan dibawa pergi. Apabila di luar barisan, Tong-hong Hui Bun pasti tidak demikian mudah menangkapnya, setidak-tidaknya pasti terjadi pertempuran sengit.
Pui Ceng Un telah terjatuh di dalam tangannya, susah dibayangkan bagaimana akibatnya.
Sekarang satu-satunya jalan baginya harus ditempuh ialah menyusul secepat mungkin.
"Nona, perempuan hina itu entah kemana perginya?"
Tidak ada jawaban. Ketika Hui Kiam memeriksanya, pelayan itu ternyata sudah putus nyawanya. Hui Kiam lari balik lagi ke dalam kamar Cui Wan Tin.
Cui Wan Tin menyaksikan sikap Hui Kiam, ia mendapat firasat tak enak. Maka segera menegurnya lebih dulu:
"Bagaimana dengan Pui sumoy?"
"Kalau tahu bakal terjadi kejadian semacam ini, seharusnya aku sudah bunuh mati perempuan hina itu. Pui suci terkurung di dalam barisan, telah tertangkap dan dibawa lari oleh perempuan hina itu."
"Dibawa lari?"
"Ya. Adik Tin, bagaimana dengan lukamu, apakah kau dapat menyembuhkan sendiri?"
"Boleh...."
"Aku harus segera pergi mengejar, hanya terpaksa harus meninggalkan kau."
"Engko Kiam, aku dilahirkan seolah-olah sudah ditakdirkan tidak bisa terlepas dari penderitaan. Kau pergilah, kalau luka segera sembuh aku bisa keluar sendiri."
"Tidak, tidak, adik Tin, di dunia Kang-ouw banyak bahaya, hidupmu sudah cukup menderita. Kau di sini menemani arwah ibumu, menantikan kedatanganku. Tidak lama lagi aku bisa balik kembali dan lain kali kalau balik aku tidak akan meninggalkan kau lagi."
"Engko Kiam, menantikan kau?"
"Ya, menantikan aku. Apakah kau mau?"
"Engko Kiam, aku... akan menantimu. Harap perpisahan kali ini tak akan terlalu lama."
"Adik Tin, aku akan berusaha selekas mungkin menyelesaikan tugasku. Aku akan segera kembali untuk berkumpul denganmu!"
"Aku, aku" Engko Kiam, aku mendadak merasa takut."
"Takut apa?"
"Aku sendiri juga tidak tahu apa sebabnya, aku hanya merasa takut."
"Adik Tin, jangan takut. Aku tahu, sebab terlalu lama kau hidup dalam kesunyian seperti ini maka kau merasa takut, betul bukan" Jangan takut, tidak lama lagi aku akan kembali di sampingmu, tidak akan berpisah lagi untuk selama-lamanya."
"Benarkah kau tidak akan meninggalkan aku untuk selamanya?"
"Sudah tentu adik yang baik. Aku tidak tega berpisah denganmu."
Cui Wan Tin tertawa. Hui Kiam tidak dapat mengendalikan perasaannya, lalu dipeluknya dan diciumnya berulang-ulang.
"Adik Tin, aku terpaksa tidak dapat merawat lukamu, harap kau...."
"Engko Kiam, kau pergilah dengan hati lega, aku dapat mengurus diriku sendiri."
"Aku khawatir musuh-musuhmu itu akan datang lagi."
---ooo0dw0ooo--JILID 34 "TIDAK apa, dalam kesunyianku selama sepuluh tahun ia ini, aku menemukan keajaiban barisan itu, asal aku merubah sedikit saja, sudah tidak ada orang yang bisa masuk lagi."
"Mengapa kau tidak melakukannya itu sejak dahulu?"
"Aku baru menemukan pada waktu belakangan ini saja."
"Oh! Adik Tin, harap kau baik-baik jaga dirimu, aku hendak pergi."
Sekali lagi Hui Kiam memberi ciuman hangat, kemudian baru meninggalkannya. Dalam hati telah berjanji, ia tidak akan meninggalkannya terlalu lama. Sudah sekian tahun lamanya ia hidup menyendiri dalam kesunyian, hal ini tak dapat dilakukan oleh siapapun juga orangnya yang masih berusia demikian muda. Dahulu karena menerima perintah ayahnya yang harus melindungi pedang sakti dan menantikan pemiliknya, tetapi sekarang ia akan menantikan kembalinya sang kekasih.
Hui Kiam panas dan gelisah. Ia harus pergi menyusul Pui sucinya, tetapi kemana harus menyusul"
Sewaktu ia lari ke jalan raya, tiba-tiba melihat sesosok bayangan orang berdiri menyender di sebuah batu besar di pinggir jalan. Baru melihat dandanannya ia sudah berseru dengan perasaan girang:
"Suci, kiranya kau ada di sini!"
Bagaikan seorang yang mendapatkan barang berharga, demikian girang perasaan hati Hui Kiam pada saat itu. Maka ia segera lari menghampirinya.
Akan tetapi apa yang terjadi" Ketika Hui Kiam sudah berada sangat dekat, tiba-tiba ia menjerit, matanya berkunang-kunang, hampir saja roboh di tanah.
Ternyata Pui Ceng Un telah berdiri menyender dalam keadaan tak bernyawa. Di depan dadanya masih terdapat banyak tanda darah, tetapi belum membeku. Sepasang matanya terbuka lebar. Meskipun tak bersinar tapi masih dapat dilihat bagaimana rasa bencinya pada waktu belum putus nyawanya. Di samping jenazahnya, di lamping potongan batu, terdapat sebaris huruf yang tertulis dengan darah:
"Adik, inilah yang pertama. Aku hendak membunuh habis semua orang yang ada hubungan dengan kau, kau membencilah! Dalam hidupku aku cuma kenal dua perkara, ialah cinta dan benci. Kalau
bukan cinta aku harus benci, membenci sampai ke akar-akarnya tanpa meninggalkan bekas."
Sekujur badan Hui Kiam gemetar, nyawa dan semangatnya seolah-olah sudah meninggalkan raganya.
Hui Kiam berlutut di hadapan sucinya. Air mata mengucur deras. Ia menjawab:
"Suci, akulah yang membunuhmu, akulah algojonya!"
Tetapi sang suci itu sudah mati, biar bagaimana sudah tidak bisa hidup kembali!
Entah berapa lama telah berlalu, pikirannya perlahan-lahan telah pulih kembali. Wajahnya yang tampan telah menjadi dingin angkuh seperti biasanya, bahkan lebih dari itu.
Bunuh! Aku harus bunuh mati dia berikut semua orang Persekutuan Bulan Emas! Demikian ia menggumam sendiri.
Tidak lama kemudian matahari sudah terbenam di ufuk barat. Hui Kiam baru mulai menggali tanah untuk mengubur jenazah sucinya.
Selesai mengubur, ia berlutut di hadapan kuburannya dan menyatakan sumpahnya hendak menuntutkan balas untuknya.
Dalam dada Hui Kiam saat itu hanya dipenuhi oleh rasa dendam dan kebencian, tidak ada perasaan apa-apa lagi.
Seandainya ia tidak lengah dan mengajak sucinya masuk ke dalam barisan, sang suci itu pasti tidak akan mengalami kematiannya yang menyedihkan.
Seandainya ia tidak memegang derajatnya sebagai seorang gagah yang berjiwa besar dan membunuh Tong-hong Hui Bun pada waktu itu juga, sang suci pasti juga tidak akan binasa.
Akan tetapi nasi sudah menjadi bubur, menyesal tak ada gunanya.
Akhirnya, dengan hati kosong dan pikiran limbung Hui Kiam lari menuju keluar gunung.
Bagaikan seekor kelelawar, Hui Kiam terbang di waktu tengah malam. Agaknya hanya dengan cara demikian ia mengurangi kesedihannya. Ia lari tanpa tujuan, hanya lari, lari terus lari.
Tetapi manusia mempunyai semacam kodrat, tidak perlu dalam keadaan mabuk atau gila, dengan sendirinya bisa lari menuju ke tempat yang mempunyai kesan paling dalam dalam hatinya. Begitulah dengan keadaannya Hui Kiam, meskipun nampaknya lari tanpa tujuan, tetapi ia menuju ke arah pulang ke tempat darimana ia berangkat.
Matahari terbit, matahari terbenam dan kemudian terbit lagi.
Tenaga manusia biar bagaimana ada batas-batasnya. Letih membuat ia sadar, lapar dan dahaga datang saling susul. Maka setelah menenangkan pikirannya, ia singgah di satu perkampungan kecil untuk mengisi perutnya.
Rumah makan di perkampungan jauh berbeda keadaannya dengan rumah makan di kota besar, di situ hanya terdapat daging kambing atau sapi dan daging kering untuk teman nasi. Dalam pikiran pepat, Hui Kiam minum arak secawan demi secawan, agaknya sengaja ingin mabuk.
Kala itu hari masih pagi. Dalam ruangan makan hanya terdapat dua tiga orang tamu saja. Mereka makan dengan tergesa-gesa, tiada satupun yang memperhatikan Hui Kiam yang sikapnya agak aneh.
Sudah enam poci arak masuk ke dalam perutnya, tetapi ia masih minta ditambah lagi.
"Tuan ingin tambah arak lagi?" demikian pelayan rumah makan bertanya.
"Apakah kau sudah tuli"!"
"Heh! Hamba takut tuan tidak kuat, sebab arak keluaran tempat ini sudah terkenal kerasnya."
"Bohong!"
"Betul tuan."
Hui Kiam bersikeras. Pelayan itu terpaksa menambah araknya lagi.
Betul saja, mata Hui Kiam mulai berkunang-kunang hingga dalam hatinya menggumam: Apakah benar aku sudah mabuk"
Akan tetapi, ia masih terus minum secawan demi secawan melalui tenggorokannya.
Ia memang sengaja minum sepuas-puasnya, hendak melenyapkan kedukaan dalam hatinya. Tetapi kedukaan yang sudah menggores terlalu dalam itu tidak mudah dihapus. Maka semakin banyak ia minum arak, kedukaannya semakin bertambah.
Dalam keadaan demikian timbullah pikirannya ingin melihat darah. Darah musuhnya.
Seorang laki-laki setengah umur berdandan sebagai sastrawan dengan wajahnya seperti orang berpenyakitan, dia masuk ke rumah makan itu. Setelah matanya menyapu sejenak lalu menuju dan duduk di depan meja Hui Kiam. Sang pelayan segera menyediakan arak dan hidangan.
Laki-laki itu segera menuang arak dan diminumnya tanpa malu-malu lagi.
Hui Kiam sangat mendongkol. Ia menegurnya dengan suara dingin:
"Apa artinya perbuatan tuan ini?"
"Sahabat kecil, apakah kau sayang dengan satu cawan arak saja?" demikian laki-laki berpenyakitan itu balas bertanya.
"Tuan jangan coba-coba cari mampus!"
"Sahabat kecil, apakah lantaran satu cawan arak saja kau hendak membunuh orang?"
"Begitulah, sekarang aku justru ingin membunuh orang!"
Hui Kiam bangkit, tetapi kepalanya mendadak dirasakan berat, bumi yang diinjak seperti berputar, sehingga badannya terhuyunghuyung. Terpaksa ia duduk lagi. Dalam hatinya berpikir: Apakah aku benar-benar sudah mabuk"
Laki-laki setengah umur itu berkata pula:
"Apakah sahabat kecil adalah Hui siaohiap yang mempunyai nama julukan Penggali Makam itu?"
"Benar."
"Kaluu begitu sungguh kebetulan sekali. Aku yang rendah Teng Coan. Sudah lama aku mengagumi siaohiap, sayang tidak mendapat kesempatan untuk bertemu muka. Tadi di luar aku yang rendah telah mendengar pembicaraan orang yang hendak berlaku tidak baik terhadap siaohiap, maka aku yang rendah sengaja memberanikan diri...."
"Siapa yang akan berlaku jahat padaku?" bertanya Hui Kiam sambil menatap laki-laki itu dengan matanya yang sudah merah.
"Orang ini besar sekali pengaruhnya!"
"Siapa?"
"Minumlah dulu, nanti kau akan kuberitahukan...." katanya laki-laki itu kemudian menuangkan arak ke dalam cawan. Ia sendiri juga mengisi cawannya, kemudian diangkat dengan dua tangannya seraya berkata: "Mari!"
Hui Kiam melirik laki-laki berpenyakitan itu sejenak kemudian mengangkat cawannya. Selagi hendak diminumnya, tiba-tiba cawan di tangannya itu hancur berantakan disambit oleh tangan jail. Araknya mengepulkan asap, baju-baju yang tersiram arak itu juga meninggalkan bekas berlubang-lubang.
Laki-laki berpenyakitan itu tiba-tiba mengayunkan tangannya menyerang Hui Kiam. Karena serangan itu dilakukan dengan kecepatan bagaikan kilat, apalagi Hui Kiam masih belum sadar benar-benar hingga reaksinya tak secepat dari biasanya, serangan itu nampaknya tak dapat dihindarkan lagi.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri. Laki-laki berpenyakitan itu mendadak rubuh terjengkang.
Hui Kiam yang baru tersadar segera dapat lihat sebatang bambu sumpit menancap di pelipis laki-laki itu. Jelaslah sudah bahwa ada orang yang menolong dirinya secara menggelap. Matanya berputaran mengawasi orang-orang yang masih ada di situ, akan tetapi beberapa tamu yang masih ada ternyata sedang makan dan mengawasi kejadian itu dalam keadaan terkejut. Tidak jauh di tempat ia duduk, berdiri seorang pelayan yang sangat mencurigakan.
Hui Kiam mengawasinya sebentar lalu bertanya padanya:
"Kaukah?"
Pelayan itu dengan sikapnya bagaikan orang dungu balas bertanya:
"Hamba ada apa?"
"Oh, oh! Tuhan, bagaimana hamba berani membunuh orang" Ini" ini?" Tiba-tiba ia berteriak: "Tolong, tolong! Ada orang membunuh!"
Beberapa tamu yang masih ada, cepat-cepat meninggalkan tempatnya dan lari keluar. Tetapi para pegawai rumah makan itu termasuk tukang masaknya, bahkan menyaksikan kejadian itu dengan sikap acuh tak acuh.
Hui Kiam berdiri bingung. Siapakah yang menghancurkan cawan di tangannya dan kemudian dengan menggunakan sumpit bambu membunuh laki-laki setengah umur itu"
Setelah semua tetamu pada berlalu, pelayan yang mencurigakan dan yang tadi berteriak itu menggapai kepada Hui Kiam seraya berkata:
"Toako, mari ke dalam!"
Ia lalu berjalan dan masuk ke sebuah pintu yang tertutup oleh tirai.
Hui Kiam ketika mendengar suara itu segera mengetahui siapa adanya pelayan yang mencurigakan itu, maka segera mengikutinya.
Di belakang pintu bertirai itu ternyata sebuah pekarangan yang tidak seberapa luas. Pelayan itu menyambut kedatangan Hui Kiam sambil tertawa berseri-seri.
"Toako, sungguh berbahaya, untung berhasil."
Pelayan itu bukan lain daripada si Sukma Tidak Buyar yang menyaru.
"Apakah sebetulnya?"
"Toako, orang yang bernama Teng Coan itu tadi, adalah orang yang sangat berbahaya. Kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada siaote. Jikalau bukan karena perhatiannya dipusatkan kepadamu, sumpitku itu tadi sudah tentu tidak dapat menamatkan jiwanya."
"Dia orang dari golongan mana?"
"Dia adalah anggota pelindung hukum cabang ke-lima Persekutuan Bulan Emas."
"Apakah kedatangannya memang sengaja hendak membohong aku?"
"Bagaimana kau bisa berada di sini menyaru sebagai pelayan?"
"Rumah makan ini adalah kepunyaan salah seorang anak buah Orang Berbaju Lila yang digunakan sebagai tempat atau pos penghubung!"
"Oh! Kiranya begitu...."
Ie It Hoan tiba-tiba menanya dengan sikap gelisah:
"Enci Un bukankah jalan bersama-sama dengan toako, mengapa...?"
Wajah Hui Kiam berubah gusar, dingin, tetapi matanya mengembang air.
Sikap itu mengejutkan Ie It Hoan, tanya pula dengan perasaan cemas:
"Toako, bagaimana dengan dia?"
"Sudah meninggal!"
Jawaban itu bagaikan geledek di siang hari bolong. Ie It Hoan saat itu berdiri terpaku dengan mata dan mulut terbuka lebar. Ia terhuyung-huyung hampir rubuh, kemudian baru terdengar suara teriakannya:
"Dia... telah meninggal"!"
"Ya, ia sudah meninggal," jawab Hui Kiam sedih.
"Bagaimana cara kematiannya?"
"Aku yang membunuh!"
Ie It Hoan mundur beberapa langkah, lama baru berkata:
"Kau... telah membunuhnya?"
Hui Kiam membuka lebar matanya tidak menjawab.
"Toako, kau... kau... mengapa membunuhnya?"
Hui Kiam menarik napas, ia tetap membungkam, agaknya sedang berusaha menindas perasaannya.
Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekujur badan Ie It Hoan gemetaran matanya memancar sinar kebencian. Tiba-tiba ia berkata:
"Aku hendak mengadu jiwa denganmu!"
Dengan tenaga sepenuhnya ia meninju dada Hui Kiam.
Hui Kiam mengeluarkan seruan tertahan, badannya terhuyung-huyung mundur dua langkah, mulutnya mengeluarkan darah. Ie It Hoan sebaliknya, berdiri bingung mengawasi dengan mata terbuka lebar. Ia sungguh tidak menduga Hui Kiam tidak mengelak dan membalas serangannya. Ia menerima dirinya dihajar demikian rupa.
"Balaslah! Bunuhlah aku! Aku memang bukan lawanmu, mengapa kau tidak membunuhku?"
Hui Kiam tersenyum sedih, kemudian baru berkata:
"Adik Hoan, aku rela kau hajar. Meskipun bukan aku yang turun tangan sendiri, tetapi kematiannya itu disebabkan karena aku."
"Katakan, bagaimana ia binasa?"
"Ia telah terkurung di dalam barisan batu ajaib. Aku telah lalai bahwa dia tidak paham ilmu barisan itu, aku hanya tujukan perhatianku kepada keselamatan Cui suci. Untung aku keburu datang, sehingga Cui suci terhindar dari kematian. Tidak seharusnya aku melepaskan Tong-hong Hui Bun sehingga Pui suci kemudian terbunuh olehnya."
"Jadi diakah yang membunuhnya?"
"Ya."
"Dimana jenazahnya?"
"Sudah kukubur."
"Kalau begitu untuk melihat wajahnya yang terakhir saja aku sudah tidak bisa lagi."
Ie It Hoan mengepal-ngepal tangan dan menyambak-nyambak rambutnya sendiri, air mata mengalir bercucuran.
Dengan suara sedih Hui Kiam berkata:
"Adik Hoan, utang darah ini aku sudah bersumpah pasti hendak menagihnya."
"Tidak, aku hendak turun tangan sendiri untuk membunuhnya...."
"Kau bukan tandingannya"!"
"Kalau aku mati aku bisa berjumpa lagi dengan enci Un."
"Adik Hoan, tenanglah, kedukaanku tidak lebih ringan daripadamu, karena di samping kehilangan suciku, aku masih menderita batin karena kealpaanku...."
"Sudahkah kau sampaikan maksudku...?"
"Aku sudah beritahukan kepadanya. Ia hanya berkata ia tidak pantas, tetapi aku sudah dapat lihat bahwa ia juga mencintaimu."
Ie It Hoan membalikkan badannya, ia melesat keluar melalui dinding tembok pekarangan. Dengan cepat Hui Kiam menghalanginya seraya bertanya: "Kau hendak kemana?"
"Hendak membunuh perempuan jalang itu!"
"Apakah kau sudah gila"!"
"Biarlah!"
"Adik Hoan, kenapa hendak membunuhnya?"
"Cabang ke-lima persekutuan itu letaknya di satu kuil kira-kira sepuluh pal dari sini. Mungkin dia masih berdiam di sana. Jikalau tidak, tidak nanti akan terjadi usaha pembunuhan Teng Coan atas dirimu...."
Hui Kiam menganggukkan kepala. "Jalan, mari kau tunjuk jalannya!"
Belum lama mereka berjalan, Ie It Hoan tiba-tiba menghentikan kakinya dan berkata:
"Toako, aku ingin bicara sebentar!"
Hui Kiam juga menghentikan kakinya. Ia bertanya dengan perasaan heran:
"Kali ini siaote pergi, takkan sudah sebelum berhasil membunuh musuh, maka bagaimana kesudahannya masih belum dapat diduga. Ada suatu hal yang tidak boleh tidak aku hendak menyerahkan padamu lebih dulu."
"Jangan berkata yang bukan-bukan, mari jalan!"
"Tidak! Ini sangat penting, juga merupakan tugas Enci Un yang belum diselesaikan!"
"Oh! Urusan apa?"
"Sewaktu Enci Un pergi ke gua Raja Iblis di gunung Kui-im-san untuk minta obat buat toako, pernah terima baik syarat yang diajukan oleh penghuni goa itu."
"Syarat-syarat apa?"
"Enci Un telah berjanji kepada penghuni goa itu untuk mencari seorang yang bernama Giok-bin Sin Liong Cho Hong."
"Nama dan gelar ini"."
"Oh!"
"Dia adalah Orang Tua Tiada Turunan."
"Perghuni goa itu bernama Thio Hong Ge. Dahulu julukannya Bidadari Cantik Berkepandaian tinggi, juga adalah istri Orang Tua Tiada Turunan cianpwee yang dahulu pergi meninggalkannya!"
"Mengapa begitu kebetulan sekali" Orang Tua Tiada Turunan locianpwee pasti girang sekali."
"Tidak, ia masih belum tahu!"
"Mengapa?"
"Menurut keterangan Enci Un, mungkin bisa terjadi hal-hal yang tak terduga, maka kita pikirkan dulu sebaik-baiknya baru nanti diberitahukan kepadanya. Tetapi, Enci Un... sudah tidak dapat memikirkan pikiran lagi, maka soal ini aku minta toako yang menyelesaikannya. Menurut pikiran siaote, sebaiknya toako ikut padanya pergi ke gunung Kui-im-san, kemudian toako bisa bertindak dengan melihat gelagat."
"Bisa terjadi hal-hal yang tidak terduga?"
"Kita masih susah untuk menduganya."
"Bagaimana keterangan yang sejelasnya?"
"Semula Enci Un tidak mau memberi keterangan, sebab dalam peristiwa ini menyangkut guru Enci Un, ialah si Raja Pembunuh Ue-tie Siang, kemudian ia memberitahukan juga kepada siaote."
Ia lalu menceritakan apa yang telah didengarnya dari Pui Ceng Un.
Hui Kiam lalu berkata sambil menganggukkan kepala:
"Baiklah, aku nanti akan urus. Sekarang mari kita jalan!"
"Pihak musuh banyak mata-mata tersebar di mana-mana, wajah toako pasti tidak akan terlepas dari mata mereka."
"Masih berapa jauh letaknya cabang persekutuan itu?"
"Tidak sampai satu jam kita bisa tiba di sana."
"Kita harus menyerbu dengan kecepatan secepat-cepatnya, sudah tentu mereka tidak mendapat kesempatan untuk menyampaikan kabar, sebab mereka pasti tidak tahu tindakan kita."
"Baik."
Dua orang itu lari lagi untuk melanjutkan perjalanannya. Sebentar kemudian di depannya terbentang sebuah rimba lebat. Ie It Hoan lalu menunjuk rimba itu seraya berkata:
"Toako, kuil itu terletak di dalam rimba itu! Kalau kita maju lagi, pasti diketahui oleh mereka."
"Hem! Lekas!"
Hui Kiam dengan cepat melesat ke arah rimba. Begitu tiba di luar rimba, ia sengaja perlahankan gerakannya supaya Ie It Hoan dapat menyusulnya.
"Siapa" Jangan maju!" demikian Hui Kiam mendengar suara teguran. Empat orang berbaju hitam sudah menghalang di depannya. Satu di antaranya setelah menatap wajah Hui Kiam, lalu berseru:
"Penggali Makam!"
Sejak Hui Kiam berlalu dari Makam Pedang, karena kematian sucinya sepanjang hari kecemasan dan kemarahannya terus disimpan dalam hatinya. Dan sekarang ia telah mendapat kesempatan untuk mengumbar hawa nafsunya, maka segera menghunus pedang saktinya mendekati empat orang itu.
Empat orang berbaju hitam itu ketakutan. Mereka mundur beberapa langkah.
Hui Kiam lalu berpaling dan berkata kepada Ie It Hoan:
"Adik Hoan, mulai sekarang, jangan tinggalkan seorangpun hidup, bunuh!"
Begitu menutup mulut, lalu terdengar suara jeritan ngeri. Empat orang berbaju hitam itu masih belum sempat bertindak apa-apa, semua sudah mati di ujung pedang Hui Kiam.
Sebuah jalanan yang terbuat dari batu hijau, terus menuju ke pintu kuil. Begitu mendengar suara jeritan ngeri, beberapa puluh orang berpakaian hitam segera lari keluar dari dalam kuil. Dengan cepat Hui Kiam menyambut kedatangan mereka. Dengan tanpa banyak bicara ia sudah gerakkan pedangnya untuk menyapu orang-orang itu.
Sementara itu Ie It Hoan juga sudah bertindak dengan serangannya bagaikan binatang terluka.
Suara jeritan ngeri terdengar saling susul, hanya dalam waktu yang sangat singkat saja semua orang itu sudah menggeletak menjadi bangkai.
Kemudian terdengar riuh suara tanda bahaya. Dari empat penjuru muncul banyak orang. Dalam waktu sekejap mata saja, orang-orang itu sudah merupakan tembok manusia. Seorang tua yang jenggot dan rambutnya sudah putih dan di belakangnya diikuti tiga orang tua lain serta empat orang setengah umur, maju menghampiri Hui Kiam.
"Tuan...."
"Aku yang rendah adalah Penggali Makam!"
"Aku Ong-sin Hong, ketua cabang kelima Persekutuan Bulan Emas!"
"Suruh Tong-hong Hui Bun perempuan hina itu keluar!"
Orang-orang yang berada di situ, ketika mendengar disebutnya nama Penggali Makam, wajah mereka semua berubah.
Wajah Ong-sin Hong sendiri juga terjadi perubahan. Tetapi ia masih berusaha menenangkan pikirannya, kemudian bertanya:
"Kedatangan siaohiap ada keperluan apa?"
"Suruhlah perempuan itu keluar!"
"Pemilik tanda batu kumala pusaka tidak ada di sini!"
"Apakah itu benar?"
"Aku si orang tua tidak perlu berkata sembarangan."
"Perbuatan Teng Coan atas perintah siapa?"
Ong-sin Hong terperanjat. Ia mundur beberapa langkah, mulutnya tidak bisa menjawab:
Hui Kiam menggerak-gerakkan pedangnya. Ia berkata dengan nada dan sikap sangat dingin:
"Kau bereskanlah jiwamu sendiri!"
Ong-sin Hong perdengarkan suara tertawa dingin dan berkata:
"Penggali Makam, kau sungguh sombong!"
Tiga orang tua yang berdiri di belakang Ong-sin Hong tiba-tiba bergerak maju dengan sikap menentang.
Deogan kecepatan bagaikan kilat pedang Hui Kiam telah bergerak. Entah dengan cara bagaimana ia melakukan serangannya, tiga orang tua itu sudah roboh terjengkang. Tiga butir kepala manusia menggelinding sejauh beberapa kaki, darah masih menyembur dari leher mereka.
Semua yang ada di situ dikejutkan oleh kejadian itu. Suara seruan terkejut terdengar dari mulut mereka.
Dengan sinar mata yang menakutkan Hui Kiam mengawasi Ong Sin Hong seraya berkata:
"Sekarang tiba giliranmu!"
Ong Sin Hong yang sudah ketakutan setengah mati, ketika mendengar ucapan itu, ia segera menghunus pedangnya sambil memerintahkan orang pertengahan umur itu maju bersama.
Empat laki-laki pertengahan umur itu segera memencarkan diri ke kanan dan ke kiri sambil menyerang dengan pedangnya,
ditambah dengan pedang Ong-sin Hong sendiri, hingga dengan demikian Hui Kiam telah dihujani serangan pedang dari lima penjuru.
Sementara itu Ie It Hoan juga sudah bergerak menyerbu tembok manusia itu.
Pembunuhan besar-besaran kembali telah berlangsung di dalam rimba itu.
Dengan menggunakan ilmu pedangnya yang luar biasa Hui Kiam telah berhasil menebas putung lima batang pedang yang menyerang dirinya, sehingga yang tergenggam dalam tangan lima musuhnya hanya tinggal gagangnya saja sedangkan pedang sakti Hui Kiam saat itu sudah menembusi dada Ong-sin Hong.
Empat laki-laki pertengahan umur itu mungkin seumur hidupnya belum pernah menyaksikan pertempuran semacam itu, sehingga mereka berdiri terpaku bagaikan patung.
Hui Kiam perlahan-lahan mencabut pedangnya sehingga badan Ong-sin Hong roboh di tanah.
Di empat penjuru terdengar suara riuh. Ie It Hoan sudah tidak tampak bayangannya dalam arus manusia itu.
Hui Kiam menyaksikan keadaan itu sejenak. Ia menggerakkan lagi pedangnya, empat laki-laki setengah umur itu dengan tanpa berdaya sama sekali, satu persatu tamat riwayatnya di ujung pedang Hui Kiam. Selesai membereskan empat musuhnya itu, Hui Kiam menyerbu ke dalam gelombang arus manusia itu.
Dalam waktu yang sangat singkat, suara jeritan ngeri terdengar saling susul, darah merah membanjiri tanah. Di mana pedang sakti Hui Kiam bergerak, di situ telah jatuh korban. Pedaug itu bergerak bagaikan angin menyapu daun.
Semua anak buah cabang Persekutuan Bulan Emas itu lari ketakutan.
Hui Kiam yang sedang panas hatinya, lari kesana kemari, bagaikan seorang gila membunuh semua orang-orang yang menyelamatkan diri. Begitu juga keadaanya dengan Ie It Hoan, perbuatan kedua pemuda itu sedang melampiaskan semua kemarahannya kepada orang-orang itu.
Ketika suara jeritan telah reda, dalam rimba di depan kuil, bangkai bertumpuk-tumpuk, darah membanjir di mana-mana.
Yang beruntung bisa menyelamatkan diri mungkin sedikit sekali jumlahnya.
Ie It Hoan dengan napas tersengal-sengal berkata sambil mengawasi Hui Kiam yang sekujur badannya penuh tanda darah.
"Toako, perempuan jalang itu tidak ada di sini. Kalau ia ada, sejak tadi ia telah, menampakkan diri."
"Belum tentu. Kuduga sebelum ia yakin dapat menandingi aku, ia pasti tidak akan berani menampakkan muka."
"Mari kita mengadakan penggeledahan ke dalam kuil."
"Baik!"
Dan pemuda yang sudah kalap itu menyerbu ke dalam kuil, tetapi mereka tidak menemukan bayangan seorangpun juga, sudah terang mereka pasti sudah kabur semuanya.
"Toako, nampaknya siaote sulit untuk membalas dendam Enci Un dengan tangan siaote sendiri...." berkata Ie It Hoan dengan penuh penasaran.
"Adik Hoan, siapapun yang dapat membinasakan musuhnya, semua serupa saja. Kau sebetulnya apakah tahu atau tidak, di mana letaknya pusat Persekutuan Bulan Emas itu?"
"Toako, aku tidak boleh mengatakan, tetapi sekarang tidak boleh tidak siaote harus membuka rahasia ini. Pada dewasa ini, kecuali berusaha untuk menuntut balas sakit hati Enci Un, semuanya aku tidak pikirkan lagi"."
"Katakanlah, di mana letaknya tempat itu?"
"Di"."
Sebelum menyebutkan nama tempat itu, tiba-tiba terdengar suara bentakan Hui Kiam.
"Siapa, lekas keluar!"
Ie It Hoan terkejut, ia membatalkan maksudnya. Sesosok bayangan orang muncul dari sudut pintu.
Orang itu ternyata adalah Orang Tua Tiada Turunan.
Orang Tua Tiada Turunan itu mengawasi Hui Kiam sejenak, kemudian matanya beralih pada Ie It Hoan, lalu berkata:
"Bocah, apakah kau ingin menjadi seorang berdosa dalam rimba persilatan?"
Ie It Hoan mundur satu langkah. Terhadap orang tua ini ia merasa hormat dan takut tetapi juga segan menghadapinya.
Orang Tua Tiada Turunan berkata pula:
"Jangan kau mengumbar nafsumu sendiri sehingga menggagalkan urusan besar yang menyangkut nasib banyak orang sesama rimba persilatan. Apakah kau juga ingin menjerumuskan Setan tua pemabukan ke jurang kenistaan?"
Bukan satu kali ini Hui Kiam dengar dari mulut Orang Tua Tiada Turunan menyebut nama julukan Setan tua pemabukan itu. Ia tahu bahwa yang dimaksudkan dengan setan tua pemabukan itu adalah guru Ie It Hoan, tetapi bagaimana sebetulnya rupa orarg tua itu, ia tidak tahu sedangkan Ie It Hoan sendiri sikapnya juga tidak tegas, ia tidak mau menerangkan keadaan gurunya sekalipun Hui Kiam ingin tahu, tetapi ia tidak suka bertanya.
Benar saja ucapan orang tua itu seketika telah meredakan amarah Ie It Hoan, lalu berkata dengan suara sedih:
"Tahukah locianpwee bahwa nona Pui Ceng Un sudah meninggal dunia?"
"Aku sudah mendapat kabar. Memang ini suatu kejadian yang sangat menyedihkan, tetapi kita sebagai orang-orang gagah yang menyediakan tenaga untuk membela keadilan, seharusnya juga dapat memikirkan nasib mereka yang entah berapa banyak jumlah yang sudah dibikin susah oleh mannsia jahat itu. Kita juga harus menunjukkan perhatian dan kemarahan kita bagi mereka. Apalagi semua peristiwa yarng menyedihkan ini masih terus berlangsung di tempat yang berlainan. Kalau kita ingin menghentikan peristiwa yang menyedihkan ini, harus memusatkan semua kekuatan dan tenaga untuk menolong rimba persilatan dari bencana."
Ucapan yang penuh semangat dari orang tua gagah yang berjiwa besar itu, mau tidak mau Ie It Hoan harus mengakui kebenarannya.
Sudah tentu, ucapan itu juga ditujukan kepada Hui Kiam secara tidak langsung.
Hui Kiam juga mengerti maksud ucapan orang tua itu, tetapi sebagai seorang yang beribadat tinggi, ia tidak mau menyatakan apa-apa. Selain dari pada itu, karena kematian Pui Ceng Un disebabkan karena kelalaiannya, maka penderitaan batin itu, dirasakan lebih berat. Penderitaan batin itu membuat dirinya hampir gila. Ucapan Orang Tua Tiada Turunan itu meskipun benar, tetapi ia toh tak dapat menyesali tindakannya sendiri dan tindakan Ie It Hoan yang terpengaruh oleh kematian Pui Ceng Un. Ia mengalihkan pembicaraan ke lain soal:
"Mengaopa cianpwe bisa berada di sini?"
"Mencarimu untuk suatu urusan yang besar."
"Urusan besar?"
"Benar, satu urusan besar. Ini adalah urusan besar yang akan menentukan kalah atau menang dalam pertempuran antara
golongan kebenaran dan golongan jahat yang akan berlangsung, dan urusan ini hanya kaulah yang dapat menyelesaikannya."
"Bolehkah aku bertanya urusan besar apakah itu?"
"Sebelum aku menjelaskan, kau harus menerima baik satu soal."
"Apakah yang boanpwe harus terima baik?"
"Segala tindakanmu harus menurut rencana yang telah ditetapkan, tidak boleh bertindak menurut kemauan sendiri. Apakah kau sanggup?"
Hui Kiam bersangsi, tetapi kemudian ia berkata:
"Boonpwe terima baik."
"Hui siaohiap, kau harus mengambil keputusan bulat. Tidak perduli dalam keadaan bagaimana, kau dapat mengendalikan dirimu."
"Apa yang boanpwe sudah terima baik, pasti boanpwe akan mentaati."
"Baiklah, atas nama seluruh kawan-kawan rimba persilatan, lebih dahulu aku ucapkan banyak terima kasih."
"Itu boanpwe tidak sanggup menerima. Harap locianpwe suka memberi penjelasannya."
Orang Tua Tiada Turunan itu mengawasi keadaan di sekitarnya sejenak, lalu berkata:
"Kita meninggalkan tempat ini dulu. Kita harus menjaga di balik tembok itu ada telinganya."
Karena kuil itu merupakan tempat cabang kelima Persekutuan Bulan Emas, meskipuu dewasa ini tidak tampak jejak manusia, tetapi di situ terdapat banyak pintu dan ruangan, apabila ada orang bersembunyi, tidak mudah dilihatnya, maka kekhawatiran Orang Tua Tiada Turunan memang pada tempatnya. Ini juga merupakan suatu bukti bahwa perkataan yang hendak diucapkan
itu pasti sangat penting. Hui Kiam dan Ie It Hoan sudah tentu menurut.
Tiga orang itu keluar dari dalam kuil. Setelah melalui rimba, tibalah di suatu tempat yang terbuka. Meskipun jejak mereka mudah terlihat, tetapi tidak usah khawatir ada orang yang berani mencuri dengar suarauya.
Barulah Orang Tua Tiada Turunan itu menyatakan maksudnya:
"Kita pergi mengunjungi seorang luar biasa rimba persilatan yang sedikit sekali diketahui orang...."
"Orang luar biasa, siapa?"
"Bu-lim Cin-kun Sun It Hoa."
"Bu-lim Cin-kun Sun It Hoa" Nama ini masih sangat asing, belum pernah dengar orang menyebutnya."
"Tadi aku sudah berkata bahwa orang tua ini di dalam rimba persilatan namanya tidak kesohor, tetapi ia adalah seorang satu jaman dengan Tiga Raja Rimba Persilatan, bahkan mungkin munculnya di dunia Kang-ouw lebih dulu daripada Tiga Raja, kalau dihitung usianya sudah seratus tahun lebih!"
"Kita hendak mengunjunginya?"
"Benar."
"Untuk apa?"
"Ini sangat penting, sebab empat dari Delapan Iblis Negara Thian-tik yang diangkat sebagai anggota badan pelindung tertinggi Persekutuan Bulan Emas, tiga di antaranya sudah binasa, hanya tinggal Iblis Bi-mo seorang. Meskipun anggota Persekutuan Bulan Emas banyak sekali, tetapi yang berkepandaian tinggi sekali, jumlahnya tidak seberapa. Maka pemimpin persekutuan itu sudah mengutus orang kepercayaannya Ie Khi Kun pergi membujuk Bu-lim Cin Kun dengan membawa barang pusaka yang sangat berharga, minta
supaya orang tua itu turun gunung membantu usahanya, dan dijanjikan kedudukan wakil pemimpin dalam persekutuan itu"."
"Oh!"
"Ie Khie Kun kini sudah bergerak menuju ke perjalanannya...."
"Kalau begitu apakah maksud kita hendak mengunjunginya?"
"Harap supaya dia tidak akan digunakan atau diperalat oleh Persekutuan Bulan Emas!"
"Bagaimana kelakuan Bu-lim Cin-kun itu?"
"Tidak terlalu jahat, tetapi juga belum termasuk golongan baik-baik!"
"Kepandaiannya?"
"Dahulu berimbang dengan Tiga Raja dari Rimba Persilatan. Selama beberapa puluh tahun ini, sudah tentu bertambah tinggi."
"Jika sudah terima baik undangan Persekutuan Bulan Emas, bagaimana kita harus berbuat?"
"Bunuh saja!"
"Dibunuh?"
"Benar, itulah sebabnya maka harus pergi!"
"Bagaimana seandainya kekuatan dan kepandaian boanpwee tak dapat membunuhnya?"
"Kalau begitu ini berarti dia sudah tanpa tandingan. Dengan munculnya dia di pihak Persekutuan Bulan Emas, itu berarti kekuatan Bulan Emas itu bagaikan harimau tumbuh sayap, dan kita tidak perlu bicara tentang pertempuran menegakkan keadilan itu, karena sudah pasti akan kalah!"
Semangat Hui Kiam terbangun. Katanya dengan nada bernafsu:
"Dimana sekarang dia berada?"
"Kabarnya mengasingkan diri di lembah Hui-seng-kok di gunung Suat-hong-san!"
"Gunung Suat-hong-san, bukankah itu...?"
Ie It Hoan tiba-tiba menyela, tetapi baru sepatah kata mendadak bungkam.
"Gunung Suat-hong-san, mengapa?" bertanya Orang Tua Tiada Turunan sambil melototkan matanya.
Ie It Hoan hanya memandang Hui Kiam, tidak menjawab.
"Bocah, kau jangan coba main gila terhadap aku si orang tua. Apa yang kau sedang pikirkan, lekas kau beritahukan!" berkata Orang Tua Tiada Turunan dengan suara keras.
"Tidak... apa-apa. Boanpwe pernah pergi ke gunung Soat-hong-san, tetapi tidak tahu di mana letaknya lembah Hui-seng-kok itu?"
"Bocah, kau jangan coba mengelabui mata aku si orang tua, kelakuanmu dan gurumu aku sudah tahu dengan baik. Katakanlah, apa sebetulnya yang telah terjadi?"
Ie It Hoan kembali memandang ke arah Hui Kiam.
Orang Tua Tiada Turunan yang bermata jeli segera mengerti bahwa dalam soal ini pasti ada sebabnya, maka ia lalu berkata kepada Hui Kiam:
"Mungkin Hui siaohiap tahu pikiran bocah ini?"
Hui Kiam merasa sulit, dalam hati menyesalkan Ie It Hoan terlalu banyak mulut. Sungguh tak disangka, Ie It Hoan yang terkenal cerdik dan banyak akalnya, juga bisa melakukan kesalahan. Karena gunung Kui-im-san itu merupakan sebagian daripada gunung Suat-hong-san, maka kepergiannya ke lembah Hui-seng-kok itu mungkin akan melalui gunung Kui-im-san, sehingga Ie It Hoan kelepasan mulut.
Kisah Sepasang Rajawali 23 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Pendekar Sadis 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama