Ceritasilat Novel Online

Pedang Pembunuh Naga 8

Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Bagian 8


"Coba kau ceritakan bagaimana ia menemui ajalnya?" demikian orang berbaju lila itu akhirnya bertanya pula.
Dalam otak Hui Kiam terbayang pula kejadian pada sepuluh tahun berselang. Kematian ibunya yang menyedihkan, telah menyebabkan dirinya menjadi orang yang hampir tidak
berperasaan, kecuali kebencian dan dendam. Maka ditanyakan demikian, matanya memancarkan sinar kebencian sangat hebat. Ia lalu berkata sambil menggeretak gigi:
"Sepuluh tahun berselang ibu dibinasakan oleh seorang wanita!"
"Seorang wanita?"
"Benar."
"Bagaimana macamnya wanita itu?"
"Tidak tahu. Kala itu aku bersembunyi di lobang tanah. Sewaktu hendak menutup mata ibu hanya mengeluarkan sepatah kata."
Orang berbaju lila itu tiba-tiba tertawa bergelak-gelak sambil mendongakkan kepalanya. Ia tertawa bagaikan orang gila tetapi juga seperti menangis lama baru berhenti... kemudian secara tiba-tiba ia membalikkan badan dan menggempur makam itu.
Hui-Kiam merasa heran terhadap perbuatan orang berbaju lila itu, tetapi ia tak merintanginya.
Di antara menggulungnya angin hebat, lantas disusul oleh batu dan tanah yang terbang berhamburan, sekejap mata saja makam itu sudah rata sama sekali.
Dengan nada suara dingin Hui Kiam berkata:
"Mengapa kau menghancurkan makam ini!"
Orang berbaju lila itu membalikkan badannya dan menjawab dengan suara parau:
"Ini adalah makam palsu, sudah seharusnya dihancurkan."
"Benar atau palsu ada hubungan apa denganmu?"
"Sudah tentu" tidak ada hubungannya denganku. Aku hanya sangat mendongkol karena tertipu."
"Apa" Tertipu" Kau tertipu oleh siapa?"
Orang berbaju lila itu dengan sepasang matanya yang tajam, terus menatap wajah Hui Kiam. Dalam sinar matanya itu, ternyata menunjukkan perasaan hatinya yang pilu, sehingga membuat Hui
Kiam semakin heran, terutama terhadap perbuatannya yang hampir seperti perbuatannya seorang yang tidak waras pikirannya.
"Kau masih belum menjawab pertanyaanku?" Hui Kiam berkata.
"Dahulu ketika Suma Suan mengetahui istrinya yang sudah mengandung telah dibinasakan oleh musuhnya, bukan kepalang sedihnya. Kemudian tulang-belulangnya dipungut dan ditanam di tempat ini, sungguh tak disangka bahwa itu hanya merupakan suatu tipu muslihat belaka, satu muslihat yang amat keji!"
"Apakah Suma Suan sudah tak mengenal wajah istrinya sendiri?"
"Bagian roman wajah jenazah itu telah dirusak!"
"Oh!"
Kini Hui Kiam seolah-olah sudah mengetahui riwayat tentang dirinya sendiri. Orang baju lila itu berkali-kali mengatakan bahwa Suma Suan adalah suaminya Yok-sok Sian-cu, sudah tentu juga menjadi ayahnya sendiri. Dan antara ayah dan ibu itu, sebetulnya apakah yang telah terjadi" Mengapa berbicara dan akhirnya menjadi musuh" Apa sebabnya ibunya harus menyingkir ke tempat yang sepi" Dan apakah sebabnya pula dalam pesan terakhirnya minta supaya ia membunuh ayahnya itu"
Apakan ucapan orang berbaju lila itu boleh dipercaya"
Ini ada satu soal yang amat penting. Jika ditilik dari kelakuan dan perbuatan yang telah diperlihatkan selama itu, serta penilaian Tong Hong Hui Bun atas dirinya ia merupakan orang gagah yang sangat rendah martabatnya, apakah ucapannya itu boleh dipercaya sebetulnya masih merupakan suatu pertanyaan besar.
"Jika menurut keterangan ini, Suma Suan seharusnya adalah ayahku."
"Ya!" jawabnya orang berbaju lila itu yang nampaknya semakin sedih.
Sekujur badan Hui-Kiam gemetar. Ia bertanya pula:
"Kau dengan ayah ada hubungan apa?"
"Sahabat!"
"Tetapi kau telah membunuhnya mati!"
"Karena ia harus mati, maka lebih baik siang-siang mati."
"Apa artinya?"
"Ia tidak pantas perbuatannya terhadap istri dan anaknya sendiri, segala perbuatannya sedikitpun tidak mempunyai prikemanusiaan."
"Apakah karena itu hingga kau menggunakan dirinya sebagai umpan untuk memancing Penghuni Loteng Merah mati bersama-sama?"
"Hui Kiam, jangan dikatakan lagi."
"'Penghuni Loteng Merah ada hubungan apa dengannya?"
"Kekasih!"
"Kekasih?"
Hati Hui Kiam merasa perih. Dia sungguh tidak menyangka bahwa dirinya mempunyai seorang ayah demikian, sudah meninggalkan istrinya sendiri dan mencari kekasih perempuan lain. Apabila demikian halnya, apakah tidak bisa jadi bahwa wanita yang membinasakan ibunya adalah penghuni loteng merah itu" Besar kemungkinannya. Sebab seorang perempuan yang ingin mendapatkan kekasih seluruhnya dari seorang laki-laki, ia bisa berbuat dengan tanpa memilih cara. Akan tetapi kini kedua-duanya sudah binasa semua.
Orang berbaju lila itu berkata pula dengan suaranya tetap mengunjukkan perasaan sedih.
"Apakah ibumu pernah menyebut Suma Suan?"
"Ada."
"Apa kata ibumu?"
"Sebelum menutup mata, ibu meninggalkan pesan kepada aku untuk membunuhnya."
Dengan badan gemetar orang berbaju lila itu mundur selangkah dan bertanya:
"Menyuruh kau membunuhnya?"
"Tetapi sayang ia sudah binasa!"
"Jikalau tidak, benarkah kau akan membunuhnya?"
Hui Kiam bergidik. Apabila sebelum ia mengetahui keadaan yang sebenarnya, dengan tanpa pikir sedikitpun juga ia dapat membunuhnya, ini berarti merupakan suatu tragedi yang sangat menyedihkan. Tetapi pesan ibunya minta ia supaya membunuh mati orang yang sebetulnya merupakan ayahnya itu, mungkin ada sebabnya. Tetapi orang-orang yang bersangkutan semua sudah tidak ada di dalam dunia, bagaimana teka-teki ini harus dibongkarnya"
Menurut keterangan orang berbaju lila, satu-satunya sebab ialah ibunya itu karena disia-siakan dan kemudian dibunuh oleh kekasih suaminya, sehingga meninggalkan pesan terakhir yang hebat itu, ini sesungguhnya terlalu menakutkan.
"Apakah keterangan ini benar seluruhnya?"
"Sedikitpun tidak salah."
"Tidak perduli bagaimana To Liong Kiam Khek adalah ayahku, yang mati di tanganmu, ditambah lagi dengan musuh perguruanku, aku sekarang hendak membunuh mati kau, kau tentunya tidak bisa berkata apa."
Nada suaranya itu bengis dan dingin serta mengandung penuh hawa amarah yang telah meluap.
Di luar dugaan Hui-Kiam orang berbaju lila yang selama itu hendak membinasakan dirinya kini telah menunjukkan sikap yang telah berobah seratus delapan puluh derajat. Jawabnya dengan suara sedih:
"Kau.... bunuhlah!"
"Orang berbaju lila, apakah tidak bisa bersedia melawan?"
Tetapi yang ditanya tidak menjawab. Sejenak kemudian tiba-tiba berkata sendirian:
"Aku masih belum bisa mati kemudian tidak dapat menyelesaikan semua persoalan"."
Hui-Kiam yang sudah naik darah tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Sepuluh tahun lamanya yang ia nanti-nantikan adalah hari di mana ia harus dapat menjumpai musuh besarnya itu, dan musuh besarnya itu kini sudah berada di hadapan matanya, maka ia lalu maju setindak dan berkata:
"Orang berbaju lila, ajalmu sudah tiba. Sebelum kau mati, harap kau suka berkata terus terang tentang jarum melekat tulang itu."
Orang berbaju lila itu memancarkan sinar matanya yang tajam, kemudian berkata dengan keras:
"Kau berkata Hwee-tee dan Tho-tee badannya terkena senjata jarum melekat tulang?"
"Benar!"
"Apakah itu terjadi sewaktu bertempur dengan aku?"
"Benar!"
"Ini sungguh aneh, sedangkan senjata bagaimana macamnya aku sendiri masih belum tahu."
''Sekalipun kau menyangkal juga sudah tidak bisa berobah keputusan."
"Senjata jarum melekat tulang itu kabarnya adalah senjata tunggal Jien Ong ...."
"Jien Ong sudah menjadi padri. Beberapa puluh tahun lamanya belum pernah meninggalkan tempat ibadahnya."
"Apakah tidak bisa jadi itu dilakukan oleh muridnya?"
"Ia tidak mempunyai murid."
"Apakah kau sudah melihat Jin Ong?"
"Pernah berjumpa dengannya."
"Ini sungguh heran...."
"Orang berbaju lila, tidak perduli kau tahu atau tidak, sebagai pembunuh kau sudah tidak salah, dan sekarang serahkanlah jiwamu."
Orang berbaju lila itu berkata dengan suara bengis:
"Kau bukan tandinganku."
"Betul atau tidak perkataanmu ini, kau boleh coba dulu, nanti akan kau ketahui sendiri!"
Setelah itu ia lalu mengayun tangannya. Mata beringas parasnya menunjukkan sikap yang menakutkan.
Orang berbaju lila itu segera berkata sambil mengulapkan tangannya:
"Tunggu dulu!"
Hui Kiam terpaksa mengurungkan serangannya. Ia bertanya dengan suara dingin:
"Kau masih ingin meninggalkan pesan terakhir?"
"Hui Kiam, aku perlu nasehatkan kepadamu, kau harus memutuskan hubungan dengan Tong Hong Hui Bun perempuan yang sangat rendah martabatnya itu...."
"Tutup mulut! Ha, ha, ha orang berbaju lila, sampai pada hari mendekati ajalmu kau masih mengeluarkan ucapan ini. Apakah kau anggap itu bisa terjadi?"
"Jikalau kau tidak dengar nasihat, di kemudian hari kau akan menyesal sendiri untuk selama-lamanya!"
"Hal ini tidak perlu kau turut memikirkan!"
"Hui Kiam, kau... tidak bisa jatuh cinta kepadanya"."
"Apakah hanya kau yang bisa, betul tidak" Pada saat ini kau mengeluarkan perkataan demikian, sesungguhnya sangat bodoh sekali, setelah jiwamu nanti melayang apakah keinginan itu akan
terlaksana" Apakah kau dapat mencegah orang lain cintakan dirinya?"
"Hui Kiam, ini adalah nasehatku yang sejujurnya."
"Maksud baikmu ini akan kuterima dalam hati. Di dalam dunia ini tiada sesuatu perbuatan yang dapat mencegah aku mencintainya."
"Usianya cukup pantas menjadi ibumu...."
"Aku tidak perduli."
"Kau jangan paksa aku membunuh kau!"
"Kau hendak membunuh aku ini bukan pertama kalinya. Ucapan ini bukankah ucapan kosong belaka?"
"Hui Kiam, kau nanti akan mengerti. Tahukah kau dia ada hubungan apa dengan Suma Suan?"
Hati Hui Kiam bercekat. Ia bertanya dengan suara agak gemetar:
"Hubungan apa?"
Orang berbaju lila itu sepatah demi sepatah dengan sikap yang sungguh-sungguh berkata:
"Suma Suan setelah istrinya meninggal dunia, pernah melakukan upacara perkawinan dengan perempuan itu...."
Kini adalah giliran Hui Kiam yang bagaikan disambar geledek. Ia mundur sehingga tiga langkah, sekujur badannya gemetar. Apabila perkataan orang berbaju lila ini benar, maka Tong-hong Hui Bun itu berarti ibu tirinya sendiri. Untuk sesaat lamanya, ia berdiri bagaikan patung, hatinya seperti ditembusi oleh sebatang anak panah beracun.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang tertawa yang mengandung ejekan, kemudian disusul oleh kata-katanya:
---ooo0dw0ooo--JILID 16 "ORANG berbaju lila, pandai benar kau mengarang cerita bohong yang bagus sekali. Kau benar-benar merupakan seorang rimba persilatan yang tak tahu malu."
Suara itu kemudian disusul oleh kedatangan seorang perempuan cantik bagaikan bidadari yang bukan lain dari pada Tong Hong Hui Bun sendiri.
Kedatangan Tong Hong Hui Bun secara tiba-tiba bukan saja mengejutkan orang berbaju lila, tetapi juga mengherankan Hui Kiam.
Tong Hong Hui Bun lebih dulu melancarkan lirikannya yang mengandung penuh arti kepada Hui Kiam, kemudian dengan suara bengis berkata kepada orang berbaju lila:
"Tidak kusangka kau dapat mengarang suatu cerita bohong yang sangat menarik."
Orang berbaju lila itu memotongnya dengan suatu bentakan keras:
"Perempuan hina, tutup mulutmu, apakah ini kau anggap cerita bohong" Pembalasan terhadap segala perbuatanmu sudah tiba waktunya."
Tong-hong Hui Bun perdengarkan suara di hidung dan menunjukkan sikapnya yang dingin berkata:
"Oiang berbaju lila, aku tidak kira nyawamu begitu panjang, ternyata kau masih hidup. Selagi aku keluar rumah, kau telah membunuh orang-orangku dan membakar kediamanku. Pada hari ini dan saat ini, aku akan minta keadilan darimu!"
"Ha ha ha, keadilan" Perempuan hina, tak kusangka parasmu yang begitu cantik dan bentuk tubuhmu yang begitu menarik, ternyata mempunyai jiwa yang begitu rendah dan tidak berharga. Kelakuanmu yang sangat cabul dan kejam melebihi daripada ular berbisa...."
"Kau mencari mampus!"
Setelah itu Tong Hong Hui-Bun lalu melancarkan serangannya yang hebat kearah orang berbaju lila.
Dengan cepat orang berbaju lila itu menghunus pedangnya dan menyambut serangan tersebut. Suatu pertempuran seru, sengit dan hebat telah terjadi. Kedua pihak bertekad hendak mengambil jiwa musuhnya, maka setiap serangannya sangat ganas dan mematikan.
Tong-Hong Hui-Bun dengan sepasang tangannya melawan ilmu pedang orang berbaju lila itu yang sudah tidak ada taranya.
Kepandaian itu, benar-benar merupakan suatu kepandaian yang luar biasa.
Dalam waktu sepuluh babak orang berbaju lila itu nampaknya terdesak terus menerus. Beberapa kali jiwanya telah terancam.
Pikiran Hui-Kiam pada saat itu terus berada dalam kekalutan. Ia berusaha menenangkan pikirannya. Setelah berusaha sekuat tenaga, ia baru terlepas dari gangguan pikirannya, kemudian ia berteriak:
"Bohong, bohong! Apa yang diucapkan seluruhnya itu tak boleh dipercaya!"
Teriakannya itu telah mengejutkan dua orang yang sedang bertempur sengit itu, sehingga kedua pihak menghentikan serangannya.
Tong Hong Hui-bun dengan perhatian sangat besar bertanya kepada Hui Kiam:
"Adik, apa katamu?"
Aku kata hahwa apa yang diucapkannya tadi, seluruhnya bohong belaka!" jawabnya Hui Kiam dengan gusar.
"Adik, memang begitu. Aku benar-benar khawatir kau terpedaya olehnya."
"Kakak, biarlah aku yang membereskannya."
Orang berbaju lila itu bagaikan orang kalap berkata:
"Perempuan hina, karena kau aku telah membunuh orang mengalirkan darah, dan menjual prikemanusiaanku, sepasang tanganku berlumuran darah"."
"'Itu kesukaanmu sendiri!"
"Apabila kau mempunyai sedikit prikemanusiaan, kau harus hentikan perbuatanmu yang berarti menambah dosamu itu ...."
"Orang berbaju lila, sudah dekat ajalmu kau masih terus mengoceh."
"Perempuan hina, manusia kau boleh perhina sesukamu, tetapi Tuhan tidak. Tuhan adalah mahaadil, kejahatan dan kebaikan selalu ada timbalannya."
"Jangan banyak bicara, serahkan jiwamu!"
Tong Hong Hui Bun mengeluarkan bentakan keras. Ia melakukan serangan lagi. Kali ini ia menggunakan tenaga sepenuhnya. Orang berbaju lila itu dengan beruntun mundur beberapa langkah Tong Hong Hui Bun terus mendesak.
Orang berbaju lila merggerakkan tangannya. Pedangnya mengeluarkan sinar gemerlapan. Ia berkata sambil gertakkan gigi:
"Aku akan adu jiwa denganmu!"
Hui Kiam yang menyaksikan keadaan yang demikian sangat terkejut. Jelas itu adalah suatu tanda pembukaan dari ilmu pedang Bulan Emas. Ia masih ingat bahwa komandan pasukan Persekutuan Bulan Emas Koo Han San dahulu bisa melakukan gerakan itu dengan menciptakan sinar pedang yang berbentuk lima buah bulan sabit. Tetapi sekarang orang berbaju lila ini ternyata dapat menciptakan sembilan sinar yang berbentuk bulan itu. Mengapa dia juga mahir dengan ilmu pedang Bulan Emas" Kalau mau dikatakan ia mempunyai hubungan dengan Persekutuan Bulan Emas, agaknya tidak mungkin, karena pada beberapa hari berselang di puncak gunung dekat lembah gedung kediaman Tong-hong Hui Bun, ia pernah membinasakan empat orang Utusan Bulan Emas.
Belum lagi lenyap pikirannya, pedang orang berbaju lila yang memancarkan banyak sinar bentuk bulan sabit itu, dengan kecepatan bagaikan kilat menerjang Tong-hong Hui Bun.
Tong-hong Hui Bun agaknya tidak berani memandang ringan lawannya, secepat kilat ia melompat mundur, yang tepat ke samping diri Hui Kiam.
Orang berbaju lila itu maju lagi sambil melakukan serangannya.
Hui Kiam sangat murka. Ia menyentil dengan jari tangannya.
Trang! Demikian suara nyaring terdengar. Pedang di tangan orang berbaju lila telah terputus menjadi dua potong o!eh hembusan angin yang keluar dari tangan Hui Kiam.
Dengan sikap terheran-heran orang berbaju lila itu menghentikan gerakannya.
Tong Hong Hui Bun saat itu juga menunjukkan perobahan di atas parasnya yang cantik.
Itu adalah serangan dengan jari tangan yang Hui Kiam dapat pelajari dari dalam kitab Thian Gee Po-kip bagian lanjutannya. Hasilnya yang demikian hebat, ia sendiri juga terperanjat dan terheran-heran. Sungguh tidak diduga bahwa satu jari tangan mempunyai kekuatan demikian dahsyat. Apabila itu mengenakan tubuh manusia, bukankah akan segera binasa"
Orang berbaju lila itu matanya nampak bergerak berulang-ulang, kemudian berkata dengan suara bengis:
"Tong Hong Hui Bun, aku peringatkan kepadamu hentikanlah perbuatanmu yang menumpuk dosa ini."
Setelah perkataan terakhir itu keluar dari mulutnya, badannya sudah bergerak, dan bagaikan asap saja ia sudah menghilang.
Tong Hong Hui bun mengejar sambil berseru:
"Kau hendak lari kemana?"
Hui Kiam tidak menduga bahwa orang berbaju lila itu akan kabur. Sesaat ia tercengang, pikirannya bekerja. Mengapa ia tidak
memegat dari samping" Karena apabila dibiarkan ia merat, selanjutnya mungkin susah diketemukan lagi.
Oleh karenanya, maka ia lari turun dari samping gunung kemudian memutar balik.
Tak disangka perbuatannya itu ternyata salah besar. Bukan saja tidak berhasil memegat dirinya orang berbaju lila, tetapi juga sudah kehilangan bayangannya Tong-hong Hui Bun. Ia merasa sangat masgul. Ia coba mencari di sekitar tempat itu, tetapi tetap tidak menemukan apa-apa.
Setelah berpikir sejenak, ia lalu berkeputusan hendak pergi ke bawah jurang puncak gunung batu coba-coba untuk menjumpai sucinya. Apabila tidak bertemu, terpaksa pergi menemui Ie It Hoan untuk menepati perjanjian.
Tiba di bawah jurang, ia coba mencari dan memutar ke sebelah kanan di bawah jurang.
Tempat itu terdapat banyak batu besar yang bentuknya sangat aneh. Pohon-pohon tua daunnya rindang. Ini suatu tanda bahwa tempat itu tidak pernah diinjak oleh manusia.
Dengan susah payah ia baru tiba di bawah jurang belakang puncak gunung. Maksudnya hanya mengharap dapat menjumpai sucinya, sebab orang berbaju lila ternyata masih hidup, hingga tidak perlu diselidiki lagi.
Dari bawah menengok ke atas, hanya lamping bukit yang menjulang tinggi ke langit. Tidak habis mengerti apa sebabnya orang berbaju lila yang dipaksa terjun ke bawah jurang ini tidak sampai mati.
Oleh karena disitu ternyata tidak menjumpai orang yang dicari, terpaksa balik lagi. Ia berpikir mungkin dengan sucinya itu sudah selip waktunya, oleh karena ia sendiri telah terhambat lima enam hari, karena mempelajari ilmu silatnya dan kitab Thian Gee Po-kip, tetapi Pui Ceng Un yang pergi ke gunung Gu-san jika dihitung waktunya sekalipun selisih waktunya juga tidak terlalu banyak.
Mungkin juga, karena orang bermata biru yang pergi menuntut balas kepada Si Raja Pembunuh, dengan adanya pertempuran hebat antara orang tua itu dengan gurunya, sudah tentu ia tak dapat meninggalkan, dan bagaimana kesudahannya pertempuran itu, sesungguhnya susah diramalkan andaikata tak ada perjanjian dengan Ie-It Hoan, Hui-Kiam pasti akan pergi ke gunung Gu-san untuk mencari keterangan.
Pui Ceng Un adalah satu-satunya orang yang masih ada dari keturunan perguruannya. Apabila terjadi apa-apa atas dirinya, benar-benar merupakan suatu hal yang patut disesalkan.
Ia teringat pula pada diri sucinya itu. Karena hasratnya untuk menuntut balas sampai ia rela mukanya sendiri dirusak untuk menjadi muridnya Si Raja Pembunuh. Penderitaan ini sesungguhnya bukan setiap orang yang sanggup menerima.
Ia berpikir bolak-balik, ternyata tidak dapat memecahkan soal itu.
Dengan perasaan sedih ia menengok lagi ke tempat yang suram itu. Selagi hendak berlalu, tiba-tiba terdengar suara seorang tua:
"Jika aku membiarkan engkau terlolos dari tanganku lagi, aku akan segera membunuh diri!"
Bukan kepalang terkejutnya Hui-Kiam. Di tempat yang tidak pernah diinjak oleh kaki manusia ini, ternyata terdapat manusia. Tatkala ia menengok ke arah suara itu, terlihat olehnya seorang tua pendek yang rambutnya putih seluruhnya, berdiri terpisah kira-kira dua tombak dari tempat ia berdiri.
Ditilik dari munculnya orang tua itu di tempat sedekat itu yang tidak diketahui olehnya, dapat diduga betapa tingginya kepandaian orang tua itu.
Maka seketika itu, ia lalu berkata sambil memberi hormat:
"Bagaimanakah sebutan locianpwee yang mulia?"
Mata orang tua pendek itu berputaran sejenak, lalu berkata:
"Eh, bocah, siapakah kau?"
Hui Kiam kini baru dapat melihat dengan tegas bahwa sepasang mata dua orang tua itu ternyata sudah buta. Biji matanya tertutup oleh selapisan putih, hingga ia dapat menduga bahwa orang tua itu sudah menganggapnya sebagai orang yang sedang dicari. Setelah mendengar suaranya baru tahu, bahwa Hui Kiam bukanlah orang yang sedang dicari, maka ia menyatakan perasaan terkejutnya.
Hui-Kiam menjawab:
"Boan-pwee Hui-Kiam!"
"Apakah maksudmu datang kemari?"
"Kucari seseorang!"
"Siapa yang kau cari?"
"Seorang wanita!"
Orang tua pendek itu tiba-tiba mengeluarkan suara tertawanya yang tidak enak didengarnya tetapi demikian nyaring, sehingga memekakkan telinga. Setelah tertawa baru berkata:
"Bocah, tempat ini belum pernah kedatangan manusia. Kau berkata mencari seorang wanita, terang itulah bohong belaka. Katakanlah, kau sebetulnya mendapat perintah siapa?"
"Boan-pwee datang untuk mencari orang ini adalah yang sebenar-benarnya tidak diperintah oleh siapapun juga!"
"Kau masih tidak mau omong terus terang?"
"Inilah keteranganku yang sebenarnya!"
"Hem!"
Setelah mengeluarkan suara itu, tangan si orang tua pendek itu yang pendek tetapi gemuk sudah menyambar demikian cepat dengan gerakannya yang sangat aneh, sehingga sulit bagi orang untuk melakukannya,
Hui Kiam berkelit untuk menyingkirkan dirinya dari serangan tersebut. Kali ini ia menggunakan ilmunya menggerakkan kaki
menurut pelajaran dari kitab Thian Gee Pokip tanpa sedikitpun suara seolah-olah bayangan yang menghilang.
"Eh!" demikian orang tua pendek itu berseru setelah usahanya untuk menangkap Hui Kiam tidak berhasil.
Sebagaimana umumnya, setiap orang buta yang bertindak melakukan apa-apa selalu mengandalkan daya pendengarannya dan perasaannya yang tajam untuk membedakan letaknya. Karena gerakan Hui Kiam tadi bagaikan bayangan yang menghilang, sudah tentu ia tidak dapat mengejar, sehingga saat itu ia berdiri terheran-heran.
"Locian-pwee"."
Baru saja Hui-Kiam membuka mulut, orang tua pendek itu dengan kecepatan bagaikan kilat tangannya sudah menyambar lagi. Tetapi sambaran itu juga dapat dielakkan oleh Hui-Kiam. Jikalau tidak menggunakan gerak kaki yang tidak ada taranya itu, Hui-Kiam benar-benar sulit untuk mengelakkan serangan tersebut.
Untuk kedua kalinya lagi-lagi serangan si orang tua itu mengenai tempat kosong. Keheranannya semakin besar. Jenggotnya yang putih bergerak-gerak, lalu berkata dengan suara keras:
"Sudahlah, sungguh tidak kusangka berkali-kali aku terjungkal di tangannya orang-orang tingkatan muda!"
Tangannya segera menyerang ke atas. Dari tangan itu menghembus gelombang angin. Sebuah batu besar di tempat sejauh tiga tombak terpukul hancur. Jelas bahwa perbuatannya itu dilakukan semata-mata hendak mengumbar hawa amarahnya....
Hui Kiam yang menyaksikan itu, dalam hati juga sangat kagum. Kekuatan tangan semacam itu sesungguhnya jarang tampak. Jika orang tua itu tidak buta matanya, apakah ia sanggup melawannya atau tidak masih merupakan suatu pertanyaan.
Orang tua itu duduk numprah di tanah. Dengan napas tersengal-sengal ia berkata:
"Bocah, kau mau apa, katakanlah?"
"Boanpwee tidak menghendaki apa-apa."
"Kalau begitu ada keperluan apa kau datang kemari?"
"Mencari orang."
"Berapa usiamu?"
"Duapuluh tahun."
"Duapuluh tahun, kau sudah mempunyai kepandaian sedemikian tinggi" Gurumu...."
"Lima Kaisar Rimba Persilatan."
"Oh! Jadi kau adalah murid Lima Kaisar. Tetapi tidak mungkin kau mempunyai kepandaian sedemikian tinggi"
"Kepandaian Boan-pwee didapat dari tambahan pelajaran lain."
"Pantas kalau begitu."
"Apakah Locian-pwee kenal dengan suhu Boan-pwee almarhum?"
"Suhu almarhum"......apakah mereka sudah menutup mata semua?"
"Ya, meninggal di tangan manusia keji rimba persilatan."
"Astaga!" demikian orang tua berteriak, sehingga Hui Kiam hampir melompat. Kemudian orang tua itu berkata pula:
"Aku kira kau diutus oleh tua bangka itu untuk menyelidiki jejakku...."
Hui Kiam merasa heran. Ia lalu bertanya:
"Siapakah yang locian-pwee maksudkan?"
"Orang yang membikin sepasang mataku buta dengan perbuatannya yang sangat rendah."
"Ia siapa?"
"Mungkin kau sudah pernah dengar tentang Tiga Raja Rimba Persilatan?"
"Pernah dengar. Kepandaian ilmu silat tiga raja itu kabarnya sudah tak ada taranya. Tentang mereka hampir semua rimba persilatan mengetahuinya!"
"Kepandaiannya sudah tidak ada taranya" Ha, ha, ha! Kalau benar demikian, bagaimana aku berkali-kali mengalami kekalahan?"
Hui Kiam semakin heran. Ia berkata:
"Ucapan locianpwee ini...."
"Tahukah kau siapa aku ini?"
"Itulah yang boanpwee justru ingin tahu!"
"Aku adalah salah satu Tiga Raja itu, namaku Cui Boan Siu dan gelarku Raja dari Tanah atau Tee hong!"
Hui Kiam berseru terkejut. Ia sesungguhnya tak menduga sama sekali bahwa orang tua pendek yang matanya buta ini, adalah salah satu dari Tiga Raja, jago tua luar biasa yang namanya sangat tersohor di dalam rimba persilatan. Tetapi dengan kedudukan dan kepandaian seperti Tee-hong ini, mengapakah bisa mengalami nasib demikian" Siapakah yang membuat buta matanya"
Tertarik oleh rasa ingin tahu, maka selanjutnya ia bertanya:
"Locianpwee adakah Tee-hong?"
"Benar!"
"Siapakah orangnya yang berani membokong locian-pwee?"
Perasaan orang tua itu agaknya terpengaruh oleh pertanyaan tersebut, biji matanya berputaran, lama sekali ia baru berkata sambil menghela napas panjang.
"Ah, sudahlah, aku sebetulnya sudah tidak ada muka menunjukkan diri di hadapan orang tingkatan muda."
"Jikalau, locian-pwee sudi memberitahukan mungkin boan-pwee bisa memberi sedikit bantuan sesuatu!"
Tee-hong tiba-tiba melompat bangun. Dengan perasaan tergetar ia berkata:
"Apa" Apakah kau ingin mewakili aku untuk membalas dendam?"
"Begitulah maksud Boanpwe."
"Tetapi.... ah! Sudahlah, kau bukan tandingan mereka."
Perkataan itu telah membangkitkan sifat Hui Kiam yang gemar membela orang. Ia mulai memperhitungkan kepandaian dan kekuatannya sendiri pada waktu itu tentu sanggup melayani musuh kuat yang manapun juga. Karena ucapan orang tua itu semakin besar keinginannya untuk mengetahui entah betapa tingginya musuh Tee-hong yang dimaksudkannya itu. Maka ia segera berkata:
"Boanpwe mempunyai satu gelar ialah Penggali Makam. Boanpwee sudah bersumpah hendak mengamalkan kepandaian yang boanpwee dapat untuk melakukan perbuatan guna kepentingan rimba persilatan. Boanpwee telah bertekad hendak membasmi segala kejahatan dan menggali makam bagi manusia-manusia yang jahat...."
"Oh, kau beranggapan besar, sahabat kecil aku seorang tua sesungguhnya merasa malu terhadap diriku sendiri, karena di dalam rimba persilatan aku hanya mendapat nama saja tetapi tidak mendirikan pahala apa-apa, percuma saja aku mendapat nama kosong, sebetulnya belum pernah menyumbangkan tenaga bagi rimba persilatan. Ah!"
"Perlu apa locianpwee harus sesalkan diri sendiri...?"


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sahabat kecil, orang yang menjelaskan diriku adalah Thian Hung atau Raja dari Langit yang dalam barisan nama Tiga Raja menduduki tempat pertama...."
"Oh!"
Bukan kepalang terkejut Hui Kiam. Ia sungguh tidak menduga bahwa Tiga Raja Rimba Persilatan yang namanya pernah menggetarkan dunia rimba persilatan hampir seratus tahun lamanya, ternyata saling bermusuhan baku hantam sendiri. Kalau ia
bukan mendengar dari mulut Tee-hong sendiri, siapa yang percaya kebenarannya"
Tetapi mengapa" Dalam hal ini pasti ada sebabnya. Maka ia lalu bertanya dengan suara gemetar:
"Thian Hong?"
"Sedikitpun tidak salah. Sahabat kecil agaknya tidak percaya, betul tidak?"
"Bolehkah Boanpwee bertanya apa sebabnya?"
"Tidak ada sebab apa-apa, melainkan ada orang yang namanya sama-sama kesohor dengannya. Kalau mau dikatakan sebabnya sebetulnya hanya karena berebut nama kosong belaka! Ini" ini... benar-benar susah dimengerti."
"Ya, ini memang susah dipercaya bagi siapapun juga."
"Bolehkah boan-pwee bertanya, bagaimana kepandaian Thian Hong itu?"
"Masih di atas kepandaianku dan kepandaian Jin Ong!"
Hui Kiam dalam hati berpikir. Thian-Hong karena satu nama kosong telah mencelakakan diri orang sesamanya. Kepandaian dan kedudukannya Thian-Hong, boleh dikatakan sudah merupakan seorang kuat nomor satu, tetapi ternyata masih belum sanggup menghindarkan diri dari keinginannya untuk mendapat nama kosong. Kalau begitu, apakah Jin-Ong yang mengasingkan diri jadi padri juga ada hubungannya dengan Thian-Ong" Namun dalam rimba persilatan belum pernah terdengar kabar munculnya Thian-Ong. Dan apakah maksud yang sebenarnya dengan perbuatannya itu"
Selama beberapa puluh tahun di dalam kalangan rimba persilatan hanya tersiar nama Tiga Raja, tidak pernah terdengar nama Thian Ong yang disiarkan tersendiri. Kalau ia berebut nama, seharusnya ia mengunjukkan diri!
"Urusan dalam dunia kadang-kadang memang tidak dapat dimengerti oleh pikiran manusia. Sudah beberapa puluh tahun
kedua mataku dibikin buta. Apa yang sudah lalu biarlah tinggal lalu. Walaupun aku masih merasa sangat penasaran, tetapi rasa dendam sakit hati sudah dilunturkan oleh berlalunya sang waktu. Masa seratus tahun, sebentar saja sudah lalu. Pada akhirnya bukankah tetap merupakan tulang belulang yang berada di dalam tumpukan tanah. Suka menang dan ingin dirinya menjadi seorang kuat, berebut kedudukan dan nama kosong, semua itu akhirnya toh percuma saja. Bukankah kita nanti semua akan terkubur di dalam tanah?"
Dalam hati Hui Kiam sangat heran. Ia berkata:
"Ucapan locian-pwee ini sesungguhnya mengandung filsafat kehidupan yang sangat dalam, hanya"."
Tee-hong segera menyelak:
"Maksud sahabat kecil apakah menganggap bahwa perbuatanku di masa yang lampau dengan perkataanku sekarang ini sangat bertentangan" Betulkah itu?"
"Boan-pwee memang benar mempunyai perasaan demikian."
"Ya, walaupun aku sering berpikir demikian tetapi keinginan mendapat kemenangan masih belum lenyap dari pemikiranku. Tadi setelah aku tidak berhasil dalam usahaku menangkap kau, barulah aku tersadar sehingga melenyapkan pikiranku yang selalu ingin menang itu."
Hui Kiam merasa tidak enak. Ia berkata dengan nada menghibur:
"Jikalau locian-pwee tadi sudi menerangkan nama locian-pwee lebih dulu, tidak nanti boan-pwee berani berbuat demikian."
"Ha, ha, ha, sahabat kecil, kau menempelkan emas di mukaku. Kenyataan sudah cukup membuktikan bahwa orang baru dari tingkatan muda harus diberi kesempatan untuk menggantikan kedudukan orang yang sudah tua. Tadi hanya aku yang memandang diriku sendiri yang terlalu tinggi, apa salahnya dengan kau" Dua kali kuserang kau tidak membalas, ini suatu bukti bahwa kau berlaku sangat hati-hati!"
"Locian-pwee terlalu memuji. Boan-pwee mengetahui keadaan diri sendiri, boleh dikata sedikitpun tidak mempunyai kesabaran hati. Tetapi untuk pertama kali locianpwee mengetahui kedatangan boanpwee, lalu menanyakan maksud kedatanganku, apakah karena menganggap ...?"
"Aku anggap kau mungkin adalah orang yang diutus oleh Thian Hong."
"Kedatangan boanpwee ini sebetulnya hendak mencari suci boanpwee, entah ...."
"Di sini belum pernah ada orang perempuan yang datang."
Hui Kiam merasa kecewa. Nampaknya Pui Ceng Un mungkin belum berlalu dari gunung Gu-san. Jikalau tidak terjadi hal-hal yang luar biasa, tidak mungkin sucinya itu tidak menepati janjinya. Perbuatan orang tua bermata biru yang hendak menuntut balas, sebetulnya sangat mengkhawatirkan. Tetapi ia sendiri tidak dapat membagi dirinya, bagaimana ia harus berbuat" Seandainya hal itu terjadi setelah ia berhasil memahami kepandaian dalam kitab Thian Gee po-kip seluruhnya, keadaan akan berobah lain, setidak-tidaknya sang suci itu tak sampai dipaksa oleh orang tua bermata biru untuk menunjukkan jalan.
Si Raja Pembunuh bukan orang sembarangan. Yang dikhawatirkan ialah orang bermata biru itu akan menggunakan sucinya untuk mengancam Si Raja Pembunuh, sedangkan sifatnya Si Raja Pembunuh itu juga sangat kejam, jikalau ia tidak suka diancam, mungkin akan mengorbankan sucinya.
Berpikir demikian, hatinya bergidik. Ia segera berpikir tidak dapat menunda waktunya lagi. Ia harus segera menjumpai Sukma Tidak Buyar Ie It Hoan, untuk menunda urusan gunung Bu-ling-san dan mencari keterangan keselamatan diri sucinya lebih dulu....
"Locian-pwee, boanpwee ingin minta diri!" demikian ia pamitan kepada orang tua itu.
"Apa" Kau hendak pergi?"
"Ya, boan-pwee khawatir ada terjadi apa-apa atas diri orang yang boan-pwe cari itu...."
"Tunggu dulu!"
"Locianpwee hendak memberi petunjuk apa?"
"Bukan petunjuk, justru aku yang ingin minta pertolonganmu!"
"Jikalau membutuhkan tenaga boanpwee, harap locianpwee perintahkan saja. Boanpwee merasa bangga dapat mencurahkan tenaga membantu locianpwee."
Teehong sejenak nampak terdiam, kemudian baru berkata dengan suara lambat-lambat:
"Tiga puluh lima tahun berselang, mataku telah dibutakan oleh Thian Hong dengan menggunakan dedaunan sangat berbisa dari daerah luar perbatasan. Aku bersumpah hendak menuntut balas, maka selama tigapuluh tahun lebih ini, dengan tekun aku menciptakan semacam ilmu serangan dengan jari tangan, yang khusus untuk mengorek biji mata orang. Di waktu yang teratur ini, walaupun aku sudah merasa bahwa ilmu yang kuciptakan itu sudah berhasil, tetapi dengan badanku yang sudah cacat ini, sebetulnya sudah tidak sanggup melakukan tindakan menuntut balas itu, maka aku hanya mengharap agar dalam sisa hidupku ini aku dapat menemukan orang yang berjodoh denganku, maka aku akan mewariskan seluruh kepandaianku untuk mewakili aku melakukan pembalasan...."
"Maksud locian-pwee itu apakah...."
"Dengar habis dulu perkataanku ini. Pertemuan secara kebetulan ini memang merupakan jodoh tidak dapat diminta oleh manusia, manusia hidup dalam dunia pada akhirnya pasti akan pulang ke asalnya maka ilmuku ini kutulis di atas dinding dalam goa. Di situ kutinggalkan pesan, apabila ada orang berjodoh yang datang kemari boleh mempelajari ilmu itu serta mengambil kitab pelajaran yang kusimpan baik di gua tempat kediamanku, tetapi dengan syarat menuntut balas bagiku...."
"Oh!"
"Sudah tentu ada kemungkinan semasa aku masih hidup, sudah terkabul keinginanku itu. Mungkin juga setelah aku menutup mata, baru diketemukan orang yang berjodoh. Besar pula kemungkinannya, dengan berlalunya sang waktu aku dan musuhku itu sudah binasa semuanya sehingga pesanku itu akan hilang semua maksud dan tujuannnya."
"Rencana locianpwee ini sesungguhnya sangat sempurna!"
"Belum lama berselang tatkala aku duduk bersemedi di bawah kaki gunung, tiba-tiba ada satu barang yang jatuh dari atas. Dengan tak disengaja kusambut barang itu. Ternyata adalah satu manusia yang dipaksa terjun oleh musuhnya."
Bukan kepalang terkejut Hui Kiam mendengar keterangan itu. Maka ia segera berkata:
"Oh, pantas dia tidak sampai mati!"
Sahabat kecil, kau kenal dengannya?"
"Silahkan locianpwee ceritakan habis dulu."
"Baiklah. Aku membawanya ke dalam gua kediamanku. Setelah kutanya, aku baru tahu bahwa ia dipaksa terjun oleh musuhnya. Aku lihat kepandaian orang itu sangat tinggi, maka merasa girang bahwa Tuhan tidak sia-siakan pengharapanku, sehingga mendapat kesempatan demikian kebetulan...."
"Maka locian-pwee ambilnya sebagai pewaris kepandaian locian-pwee!"
"Aku memang bermaksud demikian. Tak kusangka dia berhati kejam dan serakah. Di luarnya ia menerima baik dan menyanggupi semua permintaanku, tetapi kemudian secara diam-diam selagi aku tidak menduga sama sekali, ia telah mencuri kitab pelajaran ilmu silatku dan kabur. Sudah tentu pelajaran ilmu jari tangan yang kutulis di atas dinding itu juga sudah didapatkan olehnya, sebab setelah ia pergi aku telah mendapat tahu bahwa tulisan-tulisan yang kuukir di atas dinding itu sudah diratakan olehnya."
"Waktu pertama kali locian-pwee berjumpa dengan boan-pwee, apakah pertanyaan pertama yang locian-pwee katakan itu adalah kesalahan anggap boan-pwee sebagai orang berbaju lila?"
"Benar, aku kira balik lagi... Orang Berbaju Lila katamu?"
"Ya, ia dinamakan Orang Berbaju Lila!"
"Kau tidak asing dengannya?"
"Dia adalah musuh besar boanpwee. Cepat atau lambat boanpwee hendak membunuhnya!"
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata:
"Ini sungguh kebetulan sekali. Permintaan terhadap kau juga adalah supaya minta kembali kitabku dari tangannya. Selain daripada itu, kau juga harus memusnahkan kepandaiannya jari tangan telunjuk dan jari manis, dengan demikian sehingga ia tidak dapat menggunakan ilmu jarinya itu untuk melakukan kejahatan."
"Boan-pwee pasti akan melakukan tugas yang locian-pwee berikan ini. Selain daripada itu, apabila boanpwee nanti mengetahui di mana adanya Thian Ong, boanpwe akan menggunakan pelajaran apa yang boan-pwee ada berusaha minta kembali dua biji mata locian-pwee."
Terpengaruh oleh ucapan Hui Kiam yang gagah itu, sekujur badannya gemetar. Ia berkata dengan suara gemetar:
"Sahabat kecil, aku tidak berani mengharap terlalu banyak...."
"Tidak usah locian-pwee jadikan pikiran. Boan-pwee bergelar Penggali Makam, sudah tentu tidak dapat membiarkan manusia-manusia jahat itu berkeliaran di dalam dunia."
"Aku merasa malu tidak dapat memberikan apa-apa kepadamu sebagai pernyataan terima kasihku."
"Ucapan locian-pwee ini sangat berat!"
Orang tua itu berpikir sejenak, tiba-tiba mengulurkan tangannya seraya berkata:
"Mari bersalaman denganku sebagai tanda kepercayaan."
Hui Kiam tercengang. Ia suka melakukan kewajiban itu sebetulnya karena terdorong oleh jiwanya yang benar, yang tidak dapat membiarkan orang sejahat itu terus tinggal hidup, tetapi orang tua itu mima tanda kepercayaan, apakah benar salah seorang dari Tiga Raja yang berkedudukan sangat tinggi itu tidak akan menganggap rendah dirinya sendiri" Walaupun dalam hati berpikir demikian, tetapi ia masih menyodorkan tangannya.
Tatkala kedua telapakan tangan menempel, tiba-tiba terdengar suara plak....
Hui Kiam cepat-cepat menarik kembali tangannya. Tetapi tiba-tiba merasakan sesuatu kekuatan tenaga hebat yang menggenggam tangannya dengan kencang, bukan kepalang terkejutnya. Selagi hendak mengerahkan kekuatannya untuk menarik kembali tangannya, hawa panas tiba-tiba dirasakan mengalir masuk dari telapakan tangan orang tua ke telapakan tangannya sendiri. Ia segera mengerti apakah sebetulnya telah terjadi. Sebelum ia membuka mulut, orang tua itu tiba-tiba berkata:
"Terimalah dengan baik. Jikalau tidak, kedua pihak akan terluka!"
Hui Kiam tidak berdaya, dalam keadaan demikian mau tidak mau ia harus terima aliran kekuatan tenaga dalam yang diberikan oleh orang tua itu. Apabila ia menarik kembali tangannya, kedua-duanya pasti akan terluka.
Tidak berapa lama hawa panas itu berhenti mengalir. Keduanya lalu melepaskan tangan. Hui Kiam segera berkata:
"Untuk apa perbuatan locian-pwee ini"
"Sahabat kecil, aku tidak dapat minta tolong daripadamu dengan cuma-cuma, maka aku hadiahkan kepadamu kekuatan tenaga dalam yang sudah kupupuk selama tiga puluh tahun, hanya sekedar sebagai tanda terima kasihku," jawabnya orang tua itu sambil tersenyum.
"Boan-pwee sungguh merasa malu untuk menerimanya!"
"Apakah kau tidak memikirkan bahwa aku juga merasa malu untuk menerima bantuan begitu saja?"
Hui Kiam terpaksa memberi hormat dan berkata:
"Kalau begitu boanpwee mengucapkan banyak-banyak terima kasih!"
"Tidak usah!"
"Andaikata boanpwee berhasil mendapatkan kembali kitab locian-pwee...."
"Dengan kepandaianmu seperti sekarang ini, kitab itu tidak ada gunanya bagimu. Aku minta supaya kau hadiahkan kepada orang yang berjodoh."
"Boan-pwe akan ingat pesan ini, tidak akan mengecewakan pengharapan locianpwee."
"Sahabat kecil, masih ada satu hal. Ilmu jari tangan yang kuucapkan itu, harus digunakan dengan kekuatan yang dipusatkan kepada jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri. Itu tidak akan mempengaruhi kepandaian sendiri, jika ilmu itu dilakukan oleh orang yang mempunyai kekuatan tenaga dalam sudah cukup sempurna, kehebatannya sangat mengejutkan. Satu-satunya jalan untuk memecahkan serangan itu adalah dengan cara begini...."
Sehabis berkata orang tua itu menggunakan tangan kanannya untuk melakukan suatu gerakan dengan beruntun sampai tiga kali.
Hui Kiam ingat betul pelajaran itu. Dengan jari tangan untuk melakukan serangan yang tidak dipengaruhi gerak tangan kanannya, ia menggunakan kepandaiannya sendiri. Ini benar-benar sangat luar biasa.
"Sahabat kecil, apakah kau sudah ingat betul?"
"Sudah. Sekarang boan-pwee minta diri!"
"Semoga kita masih ada jodoh untuk bertemu lagi...."
"Bisa!"
Hui Kiam memberi hormat, kemudian meninggalkan orang tua itu dengan perasaan tilak tega. Nasib manusia memang aneh, ia sendiri adalah murid Lima Kaisar, tetapi secara kebetulan telah mendapat hadiah kekuatan tenaga dalam dari Jin Ong dan Tee-hong, tetapi akhirnya ia harus menghadapi Thian Hong, ini benar-benar merupakan suatu kejadian aneh yang tidak diduga sebelumnya.
Keluar dari gunung Kheng-san, ia mencari jalan yang menuju ke barat. Dalam hatinya masih terkandung sedikit harapan, bisa bertemu lagi dengan sucinya di tengah jalan. Tetapi sepanjang jalan itu pengharapannya itu tidak menjadi kenyataan, hingga perasaannya semakin berat.
Setelah berjalan beberapa lama, tiba-tiba ia ingat bahwa dalam perjalanan itu harus melalui Makam Pedang. Dengan kepandaiannya sendiri pada saat itu, tidak sulit baginya untuk kembali ke Makam Pedang. Ia juga ingin mengetahui siapakah sebetulnya pemilik pedang sakti itu yang disebut oleh Pelindung Pedang.
Maka ia lalu menggerakkan kakinya ke lembah Ciok-beng-san.
Wajah cantik tanpa make-up dari perempuan yang menamakan dirinya sebagai Pelindung Pedang kembali terbayang dalam otaknya, terutama pandangan matanya yang aneh sewaktu berpesan sebelum berpisah membuat jantungnya berdebar.
Orang Berbaju Lila sudah mengaku terus terang atas perbuatannya yang mencelakakan toasupek Hui Kiam, maka gambar peta tempat menyimpan pedang seharusnya berada di tangannya. Tetapi mendadak muncul seorang yang menamakan dirinya sebagai pemilik pedang sakti itu, ini benar-benar merupakan suatu teka-teki. Andaikata Orang Berbaju Lila adalah pemilik pedang sakti, mengapa ia tidak menggunakan pedang sakti itu dalam pengembaraannya di dunia Kang-ouw" Jika dengan pedang sakti itu untuk mengimbangi ilmu pedangnya yang tinggi sekali, bukankah merupakan satu jago tanpa tandingan"
Tiba di tempat yang dituju, dengan tanpa ragu-ragu Hui Kiam berjalan melalui jalan lembah yang sempit itu. Baru saja hendak memasuki sudut lembah, dua orang berpakaian hitam tiba-tiba muncul menghadang.
Hui Kiam merandek, matanya mengawasi kedua orang itu, kemudian berkata dengan nada suara dingin:
"Kalian berdua bermaksud apa?"
Salah satu di antaranya lalu menjawab sambil memberi hormat dengan sikapnya yang menghormat sekali:
"Harap Siao-hiap balik kembali!"
"Mengapa?"
"Kami berdua telah mendapat perintah tidak mengijinkan siapapun juga memasuki lembah ini!"
"Perintah siapa?"
"Beng-cu."
"Persekutuan Bulan Emas?"
"Ya, ya, ya!"
Hui Kiam naik darah. Dahulu ketika ia datang kemari, komandan pasukan persekutuan itu, Ong Kheng Kauw, telah memimpin orang-orangnya hendak meledakkan Makam Pedang, tetapi akhirnya tidak berhasil. Dan sekarang persekutuan itu kembali mengutus orang-orangnya menjaga tempat itu, tidak mengijinkan orang luar masuk. Nampaknya persekutuan tersebut hendak mendapatkan pedang sakti tersebut. Ia lalu berkata dengan nada suara dingin:
"Sebaiknya kalian menyingkir saja!"
"Kami berdua juga mendapat perinlah tidak boleh menganggap siao-hiap sebagai musuh, maka ...."
"Apa pula artinya ini?"
"Entahlah."
"Minggir!"
"Kami tidak dapat melanggar perintah!"
"Kalau begitu kalian mencari mampus?"
Dua orang berbaju hitam itu merasa serbasalah, maka wajah mereka segera berobah. Seorang lagi lalu berkata:
"Apakah ini juga berarti bahwa siao-hiap telah menyulitkan kedudukan kita?"
"Sedikitpun tidak. Aku bisa berkata, juga bisa berbuat. Kalau kalian tidak memberi jalan, itu berarti mati!"
"Siao-hiap"."
Walaupun dalam hati Hui Kiam merasa heran mengapa pemimpin Persekutuan Bulan Emas memerintahkan anak buahnya tidak boleh bermusuhan dengannya, tetapi itupun tak mengurangi anggapan Hui Kiam terhadap persekutuan tersebut yang selama ini selalu dianggap musuh. Untuk mempercepat waktu, ia tidak mau bicara. Dengan menggunakan kakinya, bagaikan setan sudah berhasil melewati dua orang itu dan memasuki jalanan ke lembah.
Dua orang itu mengejar dengan pedang terhunus.
Hui Kiam membalikkan badannya dan mengayunkan tangannya. Sebentar terdengar seruan tertahan, dua orang itu lalu jatuh roboh di tanah. Dengan tanpa menoleh Hui Kiam melanjutkan perjalanannya.
Tidak berapa lama, ia sudah melalui jalanan lembah itu. Baru saja keluar dari jalanan sempit itu, beberapa bayangan orang sudah mengepung dirinya. Orang-orang itu dipimpin oleh seorang tua berambut putih dengan keadaannya yang amat aneh. Orang tua itu di punggung kirinya tergantung sebuah buli-buli arak yang sangat besar sekali, di punggung sebelah kanannya membawa sebuah kantong besar. Orang tua itu tidak lain daripada si Manusia Gelandangan Ciok Siao Ceng, yang telah menggabungkan diri dengan Persekutuan Bulan Emas dan diangkat sebagai ketua pelindung hukum.
Di sampingnya, adalah delapan jago pedang yang semuanya berpakaian serbahitam.
Hui Kiam memandang rendah martabat orang tua itu. Selain daripada itu, belum lama berselang di luar Loteng Merah, orang tua itu pernah menghadangnya. Hingga saat itu ia masih merasa benci terhadap orang tua itu.
"Ciok Siao Ceng, sudah lama kita tak berjumpa!"
"Sama-sama!"
"Rekening kita seharusnya dibereskan saja!"
"Penggali Makam, kami telah mendapat perintah tidak boleh mempersulit kau. Aku lihat sebaiknya kau berlalu dari sini."
Sinar mata Hui Kiam yang dingin menatap wajah orang tua itu, kemudian ia berkata:
"Ciok Siao Ceng, dalam usiamu yang setua ini, kau ternyata tak dapat mengendalikan nafsumu sehingga rela menyediakan dirimu membantu melakukan kejahatan. Aku benar-benar merasa sayang terhadap kedudukan dan nama baikmu yang telah kau pertahankan sampai pada usia setuamu ini."
Manusia gelandangan itu tertawa terbahak-bahak lalu berkata:
"Setiap orang mempunyai pikiran dan tujuan hidup sendiri-sendiri. Penggali Makam, sekali lagi aku berkata padamu, sebaiknya kau berlalu dari sini!"
"Enak sekali kau berkata. Aku juga mempunyai tujuan hidup. Tujuan itu ialah menggali makam bagi kalian orang-orang macammu ini!"
"Kami bukan takut kepadamu, melainkan tidak boleh melanggar perintah yang tak boleh bermusuhan denganmu...."
Hui Kiam sama sekali tidak mau ambil pusing untuk memikirkan apa sebabnya pemimpin Persekutuan Bulan Emas memerintahkan orang-orangnya untuk tidak bermusuhan dengannya.
"Kau boleh tak memperdulikan perintah itu, sebab hari ini aku sudah bertekad hendak membunuhmu!"
"Kau jangan takabur. Pelindung hukum tertinggi persekutuan kami sekarang sedang melakukan tugas di dalam Makam Pedang. Ia bukan seorang yang mudah diajak bicara seperti kami. Nanti setelah tugasnya selesai, sangat tidak menguntungkan bagi dirimu sendiri."
Hui Kiam terperanjat, matanya mengawasi ke arah Makam Pedang. Benar saja, dari sana samar-samar terdengar suara saling bentak. Ia tahu bahwa orang yang disebut sebagai pelindung hukum tertinggi, pasti orang yang dikatakan oleh Sukma Tidak Buyar, ialah salah satu dari Delapan Iblis negara Thian-tik.
Iblis itu bisa melalui barisan batu hitam ajaib dan masuk ke dalam Makam Pedang, tentunya sudah paham ilmu memasuki barisan gaib itu.
Dengan kepandaiannya wanita muda yang menyebut dirinya Pelindung Pedang, sekalipun ia mempunyai senjata sakti, barangkali masih belum sanggup melawan kepandaian iblis yang luar biasa tinggi kepandaiannya itu. Jikalau pedang sakti itu terampas olehnya".
Karena berpikir demikian, maka seketika itu hatinya merasa sangat gelisah. Ia segera berkata dengan suara keras:
"Ciok Siao Ceng, rekening kita sebentar kita perhitungkan lagi!"
Setelah mengucapkan demikian, badannya sudah bergerak dengan tiba-tiba....
Manusia Gelandangan berkata sambil menggerakkan tangannya:
"Apakah kau ingin mencari mampus?"
Hui Kiam yang sudah bergerak dipaksa untuk kembali lagi. Delapan jago pedang semuanya telah menghunus pedangnya untuk menghalangi Hui Kiam.
Hui Kiam sangat murka. Dengan nada suara keras ia membentak:
"Kalian mencari mampus!"
Ancaman itu dibuktikan dengan serangannya yang hebat sekali. Berulang-ulang terdengar suara jeritan ngeri. Dua di antara dari delapan jago itu terpental dan tubuhnya melayang ke danau yang airnya sangat dingin itu, dan yang lainnya pada mundur dalam keadaan sangat menyedihkan.
Hui Kiam tidak ingin melakukan pembunuhan lebih banyak jiwa. Badannya melesat lagi tinggi ke atas bagaikan asap melayang memutari semua orang itu dan menuju ke Makam Pedang.
Sebagai orang yang sudah kenal baik, dengan mudah ia dapat melalui barisan batu hitam yang aneh itu.
Di mulut gua, empat laki-laki berpakaian hitam berdiri menjaga dengan pedang terhunus.
Dengan tanpa mengeluarkan suara ia maju menghampiri. Dengan menggunakan ilmu serangan tangan dan jari telah berhasil merobohkan empat orang itu tanpa menimbulkan sedikitpun suara. Setelah membereskan empat orang itu, ia lalu menuju ke kamar batu dalam makam itu.
Apa yang disaksikan olehnya, membuat darahnya naik seketika.
Apa yang disebut sebagai anggota pelindung hukum tertinggi ternyata adalah orang tua bermata biru yang dahulu pernah memaksa Pui Ceng Un mengunjukkan jalan untuk mencari Si Raja Pembunuh. Ia sesungguhnya tidak menduga bahwa orang tua bermata biru itu ternyata adalah salah satu iblis dari Delapan Iblis Negara Thian-tik.
Gadis yang mengaku sebagai pelindung pedang, dengan pedang sakti di tangannya berdiri membelakangi dinding. Parasnya pucat pasi, mulutnya terdapat banyak tanda darah begitu pula pakaiannya juga sudah merah karena darah. Gadis itu masih belum mengetahui kedatangan Hui Kiam. Dengan sinar matanya yang bengis mengawasi orang tua bermata biru itu.
Orang tua bermata biru itu mulutnya mengeluarkan suara tertawanya yang menyeramkan, setindak demi setindak maju mendekati gadis itu.
Dengan kepandaiannya yang sedemikian tinggi seperti orang tua bermata biru itu ternyata masih belum merasa kalau Hui-Kiam sudah berdiri di belakangnya hanya terpisah dua tombak saja. Suatu bukti bahwa kepandaian Hui Kiam pada saat itu sudah mencapai taraf yang sangat tinggi sekali.
Gadis yang sedang berdiri membelakangi dinding itu badannya nampak gemetar. Jelas bahwa ia telah terluka parah, tetapi tangannya yang memegang pedang sakti nampak tegas masih dapat memegang erat-erat. Dengan suara yang sudah agak serak itu ia berkata:
"Iblis tua, kalau kau maju setindak lagi aku akan menusukkan pedang ini!"
"Budak, kau sudah tidak mempunyai kesempatan lagi!"
Setelah mengucap demikian ia terus maju lagi tanpa menghiraukan ancaman gadis itu.
Gadis pelindung pedang itu tubuhnya semakin gemetar, darah hidup keluar dari mulutnya. Dengan suara putus asa ia berkata:
"Ayah, anakmu sudah tidak berdaya lagi!" Kedua tangannya memegang gagang dan ujung pedang. Pedang itu diangkat hendak dipatahkan dengan jalan membenturkan di bagian lututnya.
Orang tua bermata biru itu mengulurkan tangannya menyambar pedang tersebut....
"Jangan bergerak!" demikian suara keras tercetus dari mulut Hui-Kiam. Ia melarang gadis pelindung pedang itu dalam usahanya hendak merusak pedang sakti itu, tetapi suara itu juga mengejutkan orang tua bermata biru sehingga ia harus menarik kembali tangannya dan membalikkan badannya.
Setelah mengetahui siapa orang yang datang, orang tua bermata biru itu lalu berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Oh, kau bocah!"
Gadis pelindung pedang itu nampaknya terperanjat, bibirnya bergerak-gerak tetapi tidak mengeluarkan suara dan akhirnya ia jatuh roboh di tanah.
Sambil tertawa dingin Hui Kiam berkata:
"Tidak disangka di sini aku berjumpa denganmu!"
"Bocah, dengan cara bagaimana kau bisa masuk kemari?"
"Aku masuk dengan menggunakan kakiku!"
"Apa maksudmu?"
"'Sama dengan maksudmu!"
"Karena pedang sakti?"
"Tepat!"
"Tetapi di sini sudah ada aku si orang tua. Kedatanganmu ini, berarti cuma-cuma!"
"Belum tentu!"
"Apakah kau masih ingin berebut denganku?"
"Rebut" Ucapan ini sangat keterluan. Kau tokh tidak mempunyai hak atas barang itu sebab pedang sakti ini sudah ada pemiliknya."
"Ha ha ha, siapakah pemilik pedang sakti?"
"Itulah aku sendiri!"
"Bocah, jikalau bukan karena pesan Bengcu, aku sudah bunuh mati dirimu."
"Hem! Sekarang barangkali kau sudah tidak mungkin lagi."
"Apa kau ingin mencoba?"
"Selagi kau masih bisa membuka mulut, mari kita omong-omong lebih dulu. Di dalam barisan Delapan Iblis Negara Thian-tik itu, kau sebetulnya termasuk urutan nomor berapa?"
Orang tua bermata biru itu wajahnya menunjukkan sikap yang bengis. Katanya dengan suara berat:
"Kau bocah ternyata dapat mengetahui asal-usulku. Tidak halangan kuberitahukan kepadamu, aku adalah Hektomu yang mempunyai nama julukan Singa Sakti Bermata Biru!"
"Jadi kau Iblis Singa?"
"Hem, hem!"
"Bagaimana dengan perjalananmu ke gunung Bu-san?"
"Apakah kau kira aku masih dapat membiarkan Si Raja Pembunuh itu hidup lagi" Ha, ha."
Hati Hui Kiam bercekat. Apa yang ia pikirkan selama itu ialah keselamatan sucinya, maka ia bertanya pula:
"Bagaimana dengan perempuan berkerudung yang menunjukkan jalan kepadamu itu?"
"Budak perempuan itu sangat licin, ia dapat meloloskan diri."
Hui Kiam menarik napas lega. Matanya mengawasi gadis pelindung pedang yang saat itu telah rebah terlentang di tanah dengan tanpa bergerak namun pedang itu masih belum terlepas dari tangannya, entah sudah mati atau masih hidup masih belum diketahui, dalam keadaan demikian, kalau ia tidak mengusir pergi Iblis Singa itu, sudah tentu ia tidak bisa mendekati, maka ia lalu berkata pula kepada si Iblis Singa:
"Sekarang sudah waktunya untuk turun tangan."
"Aku sebetulnya tidak maksud ingin membunuh kau"."
"Tetapi aku juga tak mau melepaskan kau!"
"Karena kau paksa aku membunuhmu, terpaksa aku harus melanggar perintah Beng-cu. Bocah, lihatlah seranganku!"
Ucapan itu ditutup dengan satu serangan tangan kosong yang hebat sekali.
Hui Kiam menggunakan gerakan kakinya yang baru berhasil dipelajarinya dari kitab Thian Gee Po kip, hingga begitu bergerak orangnya sudah menghilang, tetapi setelah serangan lewat ia muncul lagi. Dengan cara itu ia undur setombak lebih dari tempat semula ia berdiri, maksudnya ia memancing Iblis Singa itu supaya terpisah lebih jauh dengan gadis pelindung pedang.
Iblis Singa itu mengira Hui Kiam tidak berani menyambut serangannya, lalu melancarkan serangannya yang kedua. Hui Kiam menyingkir lagi. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh kemudian disusul oleh terhamburnya hancuran batu. Ternyata dinding batu dekat pintu telah terbuka satu lubang karena terkena serangan iblis itu.
Karena dua kali serangannya mengenakan tempat kosong, iblis itu sangat murka.
"Bocah, kalau aku tidak berhasil membikin hancur tubuhmu, percuma saja aku mendapat nama julukan Iblis Singa."
Setelah itu kedua tangannya menyambar badan Hui Kiam.
Hui Kiam kembali menggunakan gerak kakinya yang lincah menghilang ke samping. Dengan cara demikian, dari manapun datangnya iblis itu, tidak usah khawatir dapat melukai diri gadis pelindung pedang.
Kepandaian Iblis Singa benar-benar luar biasa. Dengan cara yang tidak berobah ia terus mengikuti bagaikan bayangan....
Sampai di situ Hui Kiam tidak perlu merasa ragu-ragu lagi. Ia lalu balas menyerang dengan satu jari tangannya.
Reaksi iblis itu ternyata cepat sekali. Agaknya sudah merasakan bahwa sambaran angin jari tangan itu adalah aneh, dengan cepat ia lompat menyingkir. Sekalipun demikian, sambaran angin yang melewati atas kepalanya telah melukai kepala dan menimbulkan rasa sakit.
Andaikata angin itu melalui tempat yang agak rendah sedikit, batok kepala iblis itu niscaya akan terlobang.
Iblis itu semakin murka. Dengan suara keras ia membentak:
"Aku ternyata sudah salah hitung terhadap kepandaianmu!"
Setelah mengucap demikian, kembali mengeluarkan serangannya dengan menggunakan dua tangan....
Kepandaian Hui-Kiam, yang seluruhnya didapatkan dari kitab wasiat Thian-Gee Po-kip karena gerak tipunya yang sederhana dan hanya beberapa jurus saja sudah tentu tidak bisa menurut keinginan lawannya yang bertempur secara melibat. Di antara suara bentakan ia sudah melancarkan serangan dengan menggunakan telapak tangan kosong. Apabila serangannya itu tidak berhasil menundukkan lawannya, maka akibatnya tidak menyenangkan baginya.
Serangan telapak tangan yang digunakan itu, mengandung kekuatan keras dan lunak. Di luarnya sedikitpun tidak tampak kehebatan gerakan itu, tetapi kekuatan yang terkandung dalamnya amat dahsyat sekali, daya kekuatan yang membalik bisa berbeda menurut keadaan dan kekuatan orang yang diserang.
Setelah serangan itu meluncur keluar dari tangannya telah menimbulkan suara kekuatan yang meluncur keluar membuat ruangan kamar itu, seperti tergoncang. Setelah itu terdengar suara seruan tertahan, badan Iblis Singa mundur terhuyung-huyung, mulut dan hidungnya mengeluarkan darah.
Baru pertama kali ini Hui Kiam menggunakan serangan tangan kosong itu, tetapi itu ternyata sudah berhasil membuat salah satu dari Delapan Iblis Negara Thian-tik terluka. Hal ini sesungguhnya di luar dugaannya.
Iblis Singa benar-benar tidak menduga bahwa dalam waktu yang sangat singkat kekuatan dan kepandaian Hui Kiam sudah mendapat kemajuan sedemikian pesat. Serangannya itu membuat ia terheran-heran dan bergidik. Setelah berdiam sejenak, dengan tiba-tiba tangannya bergerak menyambar pedang sakti di tangan gadis pelindung pedang.
Apabila ia berhasil mendapatkan pedang sakti itu, ini berarti Hui Kiam yang menghadapinya dengan tangan kosong sukar dikatakan siapa yang akan jatuh.
Hui Kiam tidak menduga iblis itu setelah terluka masih bisa bergerak sedemikian cepat. Selagi tangan iblis itu sedang menyentuh gagang pedang, Hui Kiam dalam keadaan cemas segera melanjutkan serangannya dengan satu jari tangan.
Serangan itu mengenai lengan tangan Iblis Singa, sehingga pedang sakti yang sudah berada di tangannya jatuh lagi di tanah.
Hui Kiam dengan cepat melancarkan serangannya lagi, sehingga iblis itu terpental dan mundur tiga langkah. Hui Kiam lompat maju dan menyambar pedang sakti ke dalam tangannya.
Tepat pada saat itu, Iblis Singa dari satu sudut dinding menyambar sebuah barang, kemudian melesat keluar dari kamar.
Hui Kiam segera mengejar sambil berseru:
"Hendak lari kemana!"
Iblis itu sebetulnya tidak kabur. Ia berdiri jauh-jauh di mulut gua. Di tangannya kini telah memegang tongkat bambu.
Hui Kiam melompat maju sambil mengangkat pedangnya ia berkata dengan suara dingin:
"Serahkanlah jiwamu!"
Hui Kiam lalu menyerang dengan pedang sakti.
Tongkat di tangan iblis itu membuat satu lingkaran untuk menutup serangan Hui Kiam.
Hui Kiam tidak melanjutkan serangannya. Ia menunggu sampai tongkat lawannya agak miring baru menyerang lagi.
Serangan pedang meluncur, tiba-tiba terdengar suara derak, tongkat di tangan iblis yang beradu dengan ujung pedang, telah terpapas satu kaki panjangnya.
Hampir bersamaan pada saat itu, dari lobang bambu yang terpapas oleh pedang itu, telah menyemburkan kabut putih.
Hui Kiam sudah tidak mendapat kesempatan untuk menyingkir, kabut putih itu mengurung mukanya, kedua matanya dirasakan sakit. Ia tahu bahwa ia tertipu oleh akal keji musuhnya. Dengan perasaan sangat gusar ia melompat mundur beberapa kaki, tetapi seketika itu juga kedua matanya sudah tak dapat melihat apa lagi.
Terdengar suara Iblis Singa yang berkata sambil tertawa bergelak-gelak:
"Bocah, kau sudah terkena racun dedaunan yang kumasukkan dalam tongkat ini. Seumur hidupmu jangan harap kau dapat melihat matahari lagi, ha, ha, ha...!"
Racun dari dedaunan. Tee-hong orang tua pendek yang diketemukan di bawah jurang itu juga dilukai oleh Thian Hong dengan racun itu sehingga kedua matanya buta.
Seketika itu hati Hui Kiam bergidik kegusarannya semakin meluap, tetapi apa daya"
Suara tertawa iblis itu, telah memberi petunjuk kepadanya untuk sasaran serangannya. Maka secepat kilat ia bertindak.
"Serahkan jiwamu!" Demikian ia berseru, pedang sakti di tangannya dengan sepenuh tenaga telah digunakan untuk melakukan serangannya kepada iblis itu.
Sebentar terdengar suara jeritan ngeri, kemudian disusul oleh semburan darah yang menyemprot di muka Hui Kiam, setelah itu terdengar suara kedebukan robohnya Iblis Singa yang sudah tak bernyawa.
Hui Kiam menarik napas lega, tetapi segera disusul oleh suara keluhan. Sepasang matanya kini telah buta, hidup bagaikan mati.
"Oh, mataku! Mataku...!" demikian ia telah berteriak dengan kalap.
---ooo0dw0ooo--JILID 17

Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

IA kini berada dalam kegelapan, hanya pikirannya yang masih terang. Api kehidupan, juga telah padam.
Kepandaian sudah berhasil didapatkan, pedang sakti sudah berada di tangannya. Akan tetapi, segala-galanya kini telah musnah.
Dendam, kasih dan semua musuh-musuhnya seolah-olah sudah berlalu dari dirinya.
Entah berapa lama sudah berlalu, pikirannya perlahan-lahan mulai tenang kembali, namun otaknya kosong melompong, apapun dia tidak pikir, juga tidak memikirkan.
Dengan hati pilu ia duduk di tanah. Tangannya mengelus-elus pedang sakti itu.
Rasa sakit di kedua matanya perlahan-lahan mulai berkurang, ia sudah dapat membuka kelopak matanya tetapi tidak dapat melihat sesuatu apapun.
Keadaan di sekitarnya gelap gulita dan sunyi senyap.
Tiba-tiba satu suara halus telah mengejutkan dirinya. Sebagai seorang yang sudah berkepandaian yang sangat tinggi dengan sendirinya daya pendengarannya jauh berbeda dengan orang biasa. Suara yang halus itu telah membangkitkan kekuatannya, lalu menegurnya dengan suara dingin:
"Siapa?"
"Aku... Pelindung Pedang!"
"Kau... tidak binasa?"
"Belum binasa, tetapi... belum tentu bisa hidup terus."
Suara itu sudah berada di belakang dirinya, tetapi ia kini sudah tidak dapat lihat parasnya gadis itu lagi.
"Parahkah luka nona?"
"Hanya tinggal denyutan jantung yang masih belum berhenti...eh, eh! Kau sudah berhasil membunub mati iblis itu?"
"Ya!"
"Oh!"
Suasana sunyi kembali, hingga suara napas Pelindung Pedang terdengar dengan nyata.
Hui kiam tiba-tiba ingat soal yang lama berada dalam otaknya. Apabila gadis pelindung pedang ini benar-benar akan binasa karena lukanya, maka teka-teki itu tidak akan terungkap untuk selama-lamanya. Walaupun pada saat itu ia masih perlu hidup terus atau tidak, masih perlu dipertimbangkan dengan seksama, tetapi soal yang sudah lama ingin diketahuinya itu besar sekali penariknya. Maka ia segera bertanya:
"Nona, bolehkah aku bertanya kepadamu sesuatu hal?"
"Urusan apa?"
"Siapakah pemilik pedang sakti ini?"
"Tidak tahu."
"Apa" Nona sebagai pelindung pedang, ternyata masih belum tahu siapa pemiliknya, ini benar-benar tidak habis dimengerti. Kalau begitu atas perintah siapa nona melindungi pedang itu?"
"Pesan ayah ibuku!"
"Siapakah ayahmu?"
"Tentang ini, maaf aku tidak dapat memberitahukan kepadamu!"
"Luka nona berat sekali, sudikah nona menerima bantuanku untuk menyembuhkan luka itu?"
Sejenak pelindung pedang itu nampak sangsi, kemudian ia berkata:
"Kau rupanya terluka?"
Hati Hui Kiam merasa sedih, tetapi ia tetap mengendalikan perasaannya dan menjawab sambil kertak gigi:
"Tidak."
"Kalau begitu mengapa sedari tadi kau duduk saja dan tidak bangun dari tempatmu?"
"Beristirahat."
"Baik! Aku... terima baik bantuanmu. Lebih dulu kau sudah melepas budi telah menolong jiwaku, tiada halangan ditambah satu kali budi lagi!"
"Kalau begitu harap nona duduk di hadapanku!"
Gadis pelindung pedang itu geser badannya agaknya sangat susah.
Setelah duduk Hui-Kiam mengulurkan tangan kanannya. Baru saja tangan itu menyentuh belakangan punggung gadis itu, tiba-tiba gadis itu berkata dengan nada suara gemetar:
"Tidak, aku tidak bisa menerima!"
Hui Kiam terkejut. Dengan perasaan heran ia tarik kembali tangannya, kemudian bertanya:
"Mengapa?"
Gadis pelindung pedang itu agaknya sangat terpengaruh perasaannya oleh perbuatan gagah Hui-Kiam, ia menjawab dengan suara gemetar:
"Aku berutang budi kepadamu. Jika aku tidak mati, aku berdaya untuk membayar aku tidak berani menerima budi kebaikanmu lagi!"
"Kau seharusnya memberi penjelasan sebab-musababnya."
"Sebab aku tidak bisa melepaskan tugasku!"
"Melihat pedang sakti?"
"Ya!"
"Dengan keadaan nona seperti sekarang ini, apakah kau masih sanggup melindungi pedang itu" Apa lagi pedang itu kini sudah terjatuh dalam tanganku."
"Itu soal lain!"
"O! Aku mengerti, nona agaknya terlalu memandang rendah martabatku. Aku hendak menyembuhkan lukamu itu bukan berarti hendak memeras dengan melepas budi."
"Pendeknya aku tidak bisa!"
"Jikalau luka nona terlalu parah sehingga tidak dapat disembuhkan, edang ini bukankah akan menjadi kepunyaanku?"
"Setidak-tidaknya pikiranku tidak terganggu, sebab itu adalah nasib yang tidak dapat dilawan oleh manusia!"
"Apakah nona berpikir sekalipun kepandaian nona masih cukup kuat seluruhnya, mungkin juga tidak bisa mendapatkan kembali pedang ini?"
"Aku bisa membela dengan jiwaku sampai titik darah penghabisan!"
Tergerak hati Hui Kiam. Ia berkata dengan suara lemah lembut:
"Sebaiknya nona terimalah dulu bantuanku untuk menyembuhkan lukamu. Soalnya lain nanti kita bicarakan lagi, mungkin aku juga dapat merobah pikiranku!"
"Maksudmu, apakah kau hendak melepas pedang sakti ini?"
"Mungkin demikian!"
"Baik, aku menurut!"
"Ada satu hal aku perlu menerangkan lebih dulu...."
"Silahkan!"
"Orang tua bermata biru yang kubunuh itu adalah Iblis Singa, salah satu dari Delapan Iblis Negara Thian-tik!
"O!" gadis itu nampaknya terkejut.
"Empat dari delapan iblis itu sudah diangkat sebagai anggota pelindung hukum tertinggi oleh Persekutuan Bulan Emas, persekutuan itu sudah bertekad hendak memiliki pedang sakti ini. Kalau selama beberapa tahun ini nona bisa melindungi pedang ini
tanpa ada yang mengganggu, itu disebabkan tiada orang yanq mengenali barisan gaib ini, tetapi sekarang Iblis Singa itu sudah bisa masuk, apakah kita bisa menjamin bahwa tiga iblis lainnya itu tidak bisa masuk juga" Maka jika nona masih ingin mengandalkan barisan gaib ini untuk melindungi pedang, kenyataannya sudah tidak memungkinkan lagi ...."
"Maksudmu?"
"Aku tidak ingin pedang pusaka ini diketemukan oleh kawanan iblis, yang akan digunakan untuk menimbulkan pertumpahan darah, apabila keadaan sudah mendesak, sudilah nona merusakkannya?"
?"Aku memang akan berbuat demikian!"
"Baik, sekarang mulai!"
Tangannya ditempelkan di bagian jalan darah Beng-bun-hiat lagi. Tenaga dalamnya perlahan-lahan disalurkan ke dalam tubuh si nona.
Kekuatan tenaga dalam Hui Kiam pada waktu ini, sudah boleh dikata tidak ada tandingannya, untuk menyembuhkan luka bagian dalam, tidaklah sukar baginya.
Satu jam kemudian, luka dalam tubuh nona itu sudah sembuh.
Gadis pelindung pedang meloncat bangun, sekonyong-konyong ia menjerit bagai terpagut ular.
"Matamu?"
Hui-Kiam terkejut. Ia menekan perasaan pedih di dalam hatinya. Dangan suara berat dan tenang, ia menjawab:
"Buta!"
"Ini... bagaimanakah sebetulnya?"
"Terkena akal keji Iblis Singa. Ia menyembunyikan racun dedaunan di dalam tongkatnya. Tatkala tongkat itu aku papas dengan pedang, bubuk racun dalam tongkat menyembur keluar dan membutakan mataku!"
Gadis pelindung pedang itu menangis, tiba-tiba menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Hui Kiam.
Seketika itu Hui Kiam kelabakan, tindakan nona itu sungguh di luar dugaannya.
"Nona, mengapa... kau berbuat begini?"
"Oleh karena aku, kau telah merusak dirimu sendiri. Pengorbanan dan budi ini, dalam hidupku ini sulit bagi aku untuk membalasnya."
Hui Kiam sedapat mungkin coba menenangkan pikirannya. Ia berkata dengan suara sedih:
"Nona, kau keliru. Perbuatanku ini bukan semata-mata karena kau "."
"Tidak! Kau tidak usah membohongi aku, jikalau kau tidak kau, siang-siang aku sudah binasa."
"Apabila nona coba memikirkan sejenak tentang maksud kedatanganku itu, tidak nanti bisa mengucapkan demikian."
"Aku tahu, kedatanganmu memang karena pedang sakti itu, akan tetapi kau sudah menolong jiwaku itu tokh tidak salah dan kau sudah berkorban untuk itu tokh juga tidak salah, jikalau kau hanya bermaksud hendak mendapatkan pedang sakti, sedikitpun tidak mempunyai jiwa besar dan perasaan kebenaran setelah kau mendapatkan pedang itu, gampang saja kau pergi!"
Perkataan itu memang masuk di akal, hingga Hui Kiam bungkam. Ia tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk membantah.
Nona itu berkata pula dengan suara sedih:
"Aku bernama Cui Wan Tin, dan kau?"
"Aku Hui Kiam."
"Oh! Engko Kiam, aku hendak merawatmu seumur hiduip ...."
Bukan kepalang terkejutnya Hui Kiam, sesaat lamanya ia berdiri tertegun lama baru bisa berkata:
"Nona Cui, apa kau kata?"
"Aku cinta kepadamu, aku hendak merawat dirimu seumur hidup!"
"Aku sudah merupakan seorang cacat, tiada harganya ...."
Dengan jari tangannya Cui Wan Tin menekap mulut Hui Kiam, tidak mengijinkan ia mencetuskan perkataannya. Dengan suara gemetar ia berkata:
"Justru karena itu, maka aku hendak mengawani kau seumur hidup. Apakah kau sudi menerimaku?"
"Bukan, sejak pertama kali kau datang kemari aku sudah ..."
"Sudah apa?" ia agak malu untuk mengeluarkannya, akan tetapi maksud dalam perkataan itu jelas sekali dapat dimengerti oleh Hui Kiam.
Hati Hui Kiam kembali tergoncang, tetapi ia segera cepat berpikir. Kalau matanya telah buta, jikalau tidak mempunyai keberanian untuk mengakhiri hidupnya sendiri, maka hari-hari selanjutnya akan merupakan suatu penderitaan dan siksaan yang tak ada habisnya. Kecuali itu dengan matanya yang sudah bercacad, bagaimana dapat menerima cintanya si nona, ini berarti akan mensia-siakan masa remaja nona itu. Seketika itu ia pura-pura berkata dingin, katanya:
"Aku tidak sudi menerima perasaan kasihan siapapun juga!"
"Engko Kiam, ini bukanlah kasihan, melainkan kasih sayang yang sejujurnya."
"Tetapi aku tidak bisa menerimanya."
"Apakah kau tidak cinta kepadaku?"
"Ya. Di antara kita belum bisa dikatakan soal cinta," jawab Hui Kiam sambil gigit bibir.
Cui Wan Tin sangat duka. Air mata mengalir di kedua pipinya. Tangannya memeluk Hui Kiam semakin erat. Dengan suara tegas dan perasaan mantap ia berkata:
"Tidak perduli kau cinta aku atau tidak, tetapi cinta yang tumbuh dalam hatiku adalah sejujurnya itu sudah cukup."
Dalam hati Hui Kiam bergolak hebat bagaikan gelombang air laut, tetapi di luarnya sedikitpun tidak mengunjukkan kegelisahan dalam hatinya.
"Nona Cui, cinta itu tidak dapat dipaksa, jikalau tidak akan menjadi suatu penderitaan."
"Engko Kiam, jangan menganggap aku seorang perempuan yang tidak tahu malu, antara kau dengan aku satu sama lain sudah bersentuhan secara begini, apa kau kira tubuhku ini dapat kuberikan kepada orang lain?"
Hati Hui Kiam merasa pedih. Manusia bukanlah batu atau kayu, biar bagaimana masih mempunyai perasaan sebagai manusia, terutama setelah mengalami peristiwa yang menyedihkan itu, maka cinta kasih yang timbul dari hati sejujurnya semakin besar pengaruhnya cinta demikian, boleh dikatakan satu pengorbanan suci. Akan tetapi dengan apa ia harus menerima pengorbanan orang lain" Maka ia berkata pula dengan nada tetap dingin:
"Anak-anak dari golongan rimba persilatan tidak memandang segala peraturan yang sudah usang itu. Dalam pelajaran kuno yang melarang kaum pria dan wanita tak boleh bersentuhan apabila bukan suami istri, ini cuma berlaku untuk sebagian orang saja, tetapi bagi kita itu sudah merupakan suatu peraturan yang sudah usang ."
"Walaupun demikian cintaku ini bukan berdasar atas itu."
"Biar bagaimana aku tidak sanggup menerima!"
Paras Cui Wan Tin kembali berubah. Ia berkata dengan suara sedih:
"Apapun katamu dan anggapanmu, tidak akan merubah hatiku!"
Sehabis mengucapkan demikian, ia melepaskan tangannya lalu berbangkit untuk membuang mayatnya Iblis Singa dan empat anak
buahnya. Lima bangkai itu dilemparkan ke dalam danau air dingin, kemudian ia balik lagi ke samping Hui-Kiam seraya berkata:
"Mari kita masuk!"
"Tidak, aku hendak pergi!"
"Pergi" Kedua matamu sudah tidak bisa melihat, kau hendak pergi kemana?"
Ucapan itu bagaikan anak panah beracun yang menancap hulu hatinya. Ya, kemana ia harus pergi" Kedua matanya sudah buta, sudah tidak dapat melihat apa-apa. Ia juga tidak mempunyai rumah tinggal, kemana ia harus menetap"
la sudah tidak sanggup mengendalikan perasaannya lagi. Di wajahnya yang dingin nampak berkerenyut. Ia ingin menangis, tetapi tiada setetespun air mata yang keluar dari matanya.
Ia ingat perjanjiannya dengan Sukma Tidak Buyar, janji itu dalam hidupnya ini sudah tidak dapat ditepati lagi.
la ingat si Orang Berbaju Lila yang merupakan musuh perguruannya, akan tetapi permusuhan itu sudah tidak bisa dituntut selama-lamanya.
Sekonyong-konyong otaknya terbayang bayangan Tong Hong Hui Bun yang cantik jelita. Tetapi sekarang si cantik itu seolah-olah sudah menjadi suatu kenangan yang lalu yang tidak akan dapat dilihat lagi untuk selama-lamanya.
Hatinya tergoncang hebat. Cintanya si cantik jelita itu ia tidak dapat melupakan, juga tidak dapat menyingkirkan dari dalam kenangannya. Akan tetapi apakah ia masih bisa mencintakannya" Sekalipun si cantik itu masih tetap mencintainya, ia juga merasa malu terhadap dirinya sendiri. Seorang cantik bagaikan bidadari, pantaskah mempunyai kekasih seorang bercacat"
Ini agaknya terlalu kejam.
Sudahlah, biarlah kenang-kenangan itu akan tinggal suatu kenangan yang indah!
Keputusan itu diambilnya dengan hati pedih yang tak dapat dibayangkan perasaan orang luar.
Beberapa jam sebelumnya, Hui Kiam datang dengan penuh semangat, tetapi setengah hari kemudian segala-galanya sudah berobah.
"Mari jalan!"
Dengan satu tangan Cui Wan Tin mengambil pedang saktinya di tanah, tangan yang lain menggandeng Hui Kiam. Keadaan itu, benar-benar mirip dengan sepasang merpati.
"Nona Cui ..."
"Engko Kiam, namaku Wan Tin, apakah kau tidak dapat merobah panggilanmu?"
"Ini ..."
"Beratkah perasaanmu" Tidak apa, terserah bagimu bagaimana kau panggil aku tidak apa!"
Nona itu ternyata tidak mengkukuhi pikirannya sendiri, sedapat-dapat ia hendak menenangkan hati kekasihnya maka walaupun hati Hui Kiam keras bagai baja, akhirnya juga dibuat lumer apalagi ia memang bukan seorang berhati dingin, hanya keadaan dan pengalaman hidupnya, membuat ia bersikap dingin terhadap sesamanya, namun demikian ia masih tetap mempunyai perasaan hangat seperti apa yang dimiliki oleh setiap orang hanya perasaan itu ia tindas sendiri jangan sampai meluap, akan tetapi apabila perasaan hangat itu tertarik keluar, maka hangatnya lebih-lebih meluapnya dari pada orang biasa. Maka akhirnya ia tidak sanggup menindas perasaan sendiri dan tercetuslah dari mulutnya perkataan yang sudah dinanti-nantikan oleh Cui Wan Tin:
"Adik Tin!"
Tetapi selanjutnya hanya keluhan napas seorang yang sudah putus harapan.
Bagaimanakah selanjutnya" Ia masih belum dapat memikirkan dengan seksama.
Cui Wan Tin merasa sangat girang mendengar suara panggilan itu, maka ia lalu menarik tangan Hui Kiam, diajak masuk ke dalam kamar batu di dalam gua itu.
Tiba di dalam kamar, ia disuruh duduk di atas suatu pembaringan. Ia tidak dapat lihat bagaimana keadaan dalam kamar itu, akan tetapi ia tahu itu adalah kamar tidur Cui Wan Tin.
"Adik Tin, apakah ini kamar tidurmu?"
"Ya!"
"Bolehkah pindah ke lain kamar?"
"Aku pikir tidak perlu, di tempat ini hanya kau dan aku berdua saja, sekarang begitu nantipun begitu juga!"
Selagi Hui Kiam hendak membuka mulut, Cui Wan Tin sudah berkata lagi:
"Kau beristirahat dulu, aku akan membuat makanan!"
Setelah itu, ia kemudian berlalu dari kamar.
Hui Kiam kembali berada dalam kesunyian sekarang. Ia boleh memikirkan dengan tenang bagaimana harus berbuat terhadap dirinya sendiri. Harus menjadi suami istri dengan Cui Wan-Tin yang berdiam dalam Makam Pedang itu untuk selama-lamanya" Sudah tentu tidak mungkin tinggal seharusnya mengorbankan kebahagiaan Cui-Wan Tin yang masih muda belia untuk mengawani seorang buta.
Apakah ia harus bunuh diri" Ya! Inilah jalan satu-satunya untuk melepaskan diri dari penderitaan.
Akan tetapi, benarkah kematian itu sudah cukup untuk melepaskan penderitaannya" Bagaimana ia harus menghadap kepada arwah suhunya di alam baka" Bagaimana harus menghadap kepada ibu almarhumnya..."
Pikirannya berputaran di antara soal mati atau tidak mati. Berpikir bolak-balik, belum juga menemukan keputusannya.
Pada saat itu Cui Wan Tin datang lagi dengan membawa makanan. Ia bimbing Hui Kiam duduk di pinggir meja dengan penuh kasih sayang ia berkata:
"Engko Kiam, mari kita makan, bagaimana kalau aku yang menyuapimu?"
Hui Kiam merasa sedih, ia menindas jangan sampai air matanya mengalir keluar. Sambil tertawa kecil ia berkata:
"Aku tidak bisa makan!"
"Sedikitpun tidak apa, kau coba hidangan ini kubuat sendiri. Ini adalah jamur yang kuambil dari atas gunung, dan ini...."
la berkata dengan tidak berhentinya, nampaknya sangat gembira sekali. Sudah tentu maksudnya ialah mengharap agar Hui Kiam melupakan penderitaannya. Akan tetapi penderitaan yang terlalu hebat itu, bagaimana dapat dilupakannya"
Hanya tergerak oleh kelakuan yang begitu kasih dan cinta dari Cui Wan Tin, akhirnya Hui Kiam makan juga sedikit.
Pengalamannya ini, boleh dikata ia mimpikan belum pernah impikan. Waktu pertama kali ia berjumpa dengan Tee-hong, reaksinya timbul dalam perasaannya ialah perasaan simpati dan benci terhadap orang yang melakukan kejahatan terhadap diri orang tua itu, tetapi sekarang ia harus merasakan sendiri bagaimana rasanya sebagai seorang buta, hingga ia baru dapat merasakan betapa besar jiwa Tee-hong, betapa kuat iman orang itu. Dengan kedudukan dan nama baiknya dalam dunia rimba persilatan orang tua itu masih sanggup memikul penderitaan sampai beberapa puluh tahun lamanya, bahkan masih sanggup melatih ilmu kepandaian yang hendak digunakan untuk menuntut balas, ini benar-benar tak dapat dilakukan oleh manusia biasa.
Sehabis makan, Cui Wan Tin membersihkan meja makan, dan Hui Kiam mulai berpikir lagi.
Ia teringat diri Tee-hong yang di dalam dunia rimba persilatan dipandang sebagai satu dewa, dari diri Tee-hong teringat pada dirinya sendiri.
Maka berobahlah pikirannya. Pikirannya ingin mati mulai lenyap.
Ia sadar bahwa kematian bukanlah merupakan suatu pembebasan, itu dan hanya merupakan suatu perbuatan pengecut, yang berarti hendak melarikan diri dari kewajiban. Namun demikian, perasaan perih masih tidak bisa lenyap begitu saja. Semua tugas dan kewajiban yang harus diselesaikannya, ia tidak mendapat mengelakkan dari tanggung jawabnya. Setelah tugasnya untuk menuntut balas itu selesai, baru boleh merasa bebas.
Kini ia teringat dengan kenyataannya:
Apakah harus-berlalu, tetapi kemana harus pergi"
Apakah harus berdiam untuk menerima cinta Cui Wan Tin"
Selagi belum dapat mengambil keputusan, Cui Wan Tin sudah masuk lagi.
"Engko Kiam, aku sedang berpikir, di dalam dunia ini ada barang pasti ada satu lawannya. Racun di dalam dedaunan itu meskipun sangat berbisa tetapi juga seharusnya ada obat pemunahnya."
"Adik Tin, sudah tidak mungkin. Tee-hong yang merupakan salah seorang tokoh dari Tiga Raja Rimba Persilatan, juga buta kedua matanya karena racun dedaunan itu, dengan pengalamannya dan pengetahuannya seorang seperti dia toh masih tidak berdaya."
"Kau... pernah melihat Tee-hong?"
" Ya."
"la dianiaya oleh siapa?"
"Thian Ong."
"Oh, oh, ini benar-benar merupakan suatu rahasia yang tidak dapat dipikir oleh suatu pikiran yang waras. Mengapa Thian Ong harus menganiaya diri Tee-hong?"
"Hanya karena satu nama kosong saja!"
"Urusan di dalam dunia kadang-kadang tidak dapat dipikir secara pikiran biasa."
"Aku juga beranggapan demikian."
"Enko Kiam, aku bersumpah hendak melakukan sesuatu kebaikan untukmu. Aku hendak mencari tabib pandai, sekalipun aku harus menjelajahi seluruh dunia, supaya kedua matamu bisa terang lagi."
Hui Kiam merasa terharu hingga air matanya mengalir keluar tanpa dapat dikendalikan lagi.
Ia menyambar badan Cui Wan Tin, lama baru berkata:
"Adik Tin, apakah aku begitu berharga sehingga kau berbuat begitu?"
Cui Wan Tin segera menjatuhkan diri ke dalam pelukan Hui Kiam. Dengan suara lemah lembut ia berkata:
"Mengapa tidak?"
"Coba kau ceritakan apa sebabnya!"
"Aku dibesarkan di dalam makam batu ini, hidup seorang diri dalam kesunyian. Sejak pertama kali aku berjumpa denganmu, aku tidak dapat mengendalikan perasaanku sendiri. Mungkin inilah yang dinamakan jodoh itu."
"Jodoh" Aku sekarang sudah menjadi orang buta"!"
"Itulah sebabnya aku lebih lebih mencintaimu! Kita boleh berdampingan setiap hari malam, tiada perlu khawatir direbut orang lain."
"Adik Tin, kau sesungguhnya terlalu bodoh. Apakah kau anggap bisa bahagia?"
"Sudah tentu. Dapat menyintai apa yang dicintai olehnya sendiri itu adalah suatu kebahagiaan yang paling besar!"
Air mata Hui Kiam mengalir semakin deras. Dengan suara terharu ia berkata:
"Adik Tin, yang bahagia adalah aku, kau telah korbankan"."
"Tidak."
"Aku senantiasa merasa bahwa kebahagiaanku ini datangnya secara mendadak juga di luar dugaan, barangkali ...."
"Kau jangan berkata lagi. Sudah lama aku jatuh cinta kepadamu dan sekarang Tuhan telah mengabulkan keinginanku. Ini memang suatu kebahagiaan yang wajar."
"Hanya, ah.... aku sesungguhnya merasa tidak enak!"
"Jangan bicarakan soal ini, mari kita bicarakan diri kita masing-masing."
Bicara soal dirinya, wajah Hui Kiam segera mengunjukkan rasa dukanya. Ada siapa lagi yang mempunyai riwayat hidup yang begitu aneh dan menyedihkan seperti ia" Ibu yang mati teraniaya sehingga sekarang masih belum diketahui siapa pembunuhnya. Ayahnya Suma-Suan, entah terjadi apa sama ibunya" Mengapa ibunya menyuruh ia yang membinasakannya" Tetapi sang ayah itu sudah binasa di tangan Orang Berbaju Lila yang menggunakan akal keji....
"Engko-Kiam, jikalau kau mempunyai riwayat hidup yang menyedihkan, untuk sementara janganlah kau menceritakan!"
"Tidak, adik Tin, untuk menambah pengertian kita satu sama lain, seharusnya kita bicarakan!"
Tiba-tiba Cui-Wan Tin berseru terkejut:
"Ada orang menerjang barisan!"
Hui Kiam agaknya tidak mengerti. Ia lalu bertanya:
"Kau berada di sini, bagaimana bisa kau tahu ada orang menerjang barisan?"
"Di dalam kamar ini aku pasang kaca untuk mengintai keadaan di luar makam hingga apa yang terjadi di luar dapat dilihat dengan nyata!"
"Oh, sayang aku...."
"Orang ini sudah menerjang masuk melewati dua garis pertahanan!"
"Bagaimana orangnya?"
"Seorang wanita!"
"Wanita?"
"Ya, sekarang ia nampaknya sangsi. Nampaknya pengetahuannya tentang barisan ini sangat terbatas, ia tidak berani menerjang masuk lagi. Ia sudah mengundurkan diri... dan berdiri di luar barisan... agaknya sedang memanggil orang. Entah siapa yang dipanggil?"
"Wanita macam bagaimana?"
"Ehm, em! Nampaknya ia cantik sekali, kecantikannya sungguh luar biasa...."
Hui Kiam tergerak hatinya, dengan sendirinya lalu teringat kepada dirinya Tong hong Hui Bun. Maka ia lantas berkata:
"Sayang aku tak dapat melihat!"
"Orang yang coba menerjang masuk barisan itu memang sering ada, aku sudah biasa melihatnya."
"Adik Tin, apakah masih ada orang lain?"
"Ada, itu beberapa perempuan semacam pelayan."
"Berpakaian warna apa?"
"Kurang jelas, hanya nampak warnanya gelap."
Hui Kiam seketika merasa tak tenang.
"Apakah bukan warna kebiru-biruan?"
"Eh! Engko Kiam, bagaimana kau tahu?"
"Aku hanya sedang menduga-duga saja."
"Kau jangan membohongi aku. Apakah kau kenal dengan wanita itu?"
Kini Hui Kiam tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi, pikirannya mulai kalut. Andaikata benar perempuan yang datang itu
ialah Tong-hong Hui Bun, ia harus berbuat bagaimana" Menjumpainya atau tidak"
"Engko Kiam,. katakanlah!"
"Adik Tin, kau kata perempuan itu sedang memanggil-manggil?"
"Nampaknya iya. Ia terus memanggil-manggil tanpa henti-hentinya...."
"Bolehkah kau keluar untuk mendengar siapa yang dipanggil?"
"Kau kenal dengannya atau tidak?"
"Aku tidak bisa memastikan, ia itu orang dalam dugaanku atau bukan?"
"Baiklah, aku akan keluar untuk melihatnya!"
"Adik Tin, setelah kau dengar tegas segera kembali, jangan bertindak apa-apa terhadapnya."
Cui Wan Tin selalu menuruti keinginan Hui Kiam, ia segera keluar kamar.
Pikiran Hui Kiam yang sudah mulai tentram kini telah bergolak lagi.
Andaikata benar orang yang datang itu adalah Tong-hong Hui Bun, bagaimana ia harus berbuat"
Ia benar-benar sangat gelisah, bagaikan semut dalam kuali penggorengan.
Walaupun kedua matanya sudah buta, tetapi masih terbayang-bayang paras Tong hong Hui Bun yang cantik jelita, sehingga membuatnya hampir kalap. Ia menarik-narik rambutnya sendiri seolah-olah dengan menyiksa dirinya sendiri itu dapat meringankan penderitaaan batinnya.
To hong Hui Bun sudah menempati hatinya. Ia pernah menyatakan bahwa si cantik jelita itu adalah sebagian dari jiwanya! Akan tetapi pada saat ini, segala-galanya sudah berubah semua!
Pengalamannya yang menyedihkan, telah membuyarkan semua pengharapannya.
Tidak berapa lama, Cu Wan Tin sudah balik ke dalam kamar. Parasnya pucat tetapi Hui Kiam tidak bisa melihat perobahan itu. Begitu bertemu segera berkata:
"Siapa dia?"
"Tidak tahu, dia seorang perempuan sangat cantik sekali. Beberapa perempuan yang lainnya sudah kau tebak jitu, mereka adalah pelayan-pelayan saja," jawabnya Cui Wan Tin dengan nada suara tidak wajar.
Sekujur badan Hui Kiam gemetar. Katanya:


Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh! Itulah dia"."
"Dia siapa?"
"Enciku yang berlainan she!"
"Apakah bukan kekasihmu?"
Muka Hui Kiam merah seketika. Ia berpikir tidak seharusnya membohonginya, maka akhirnya mengaku terus terang:
"Ya!"
Paras Cui Wan Tin berubah, duduk termangu-mangu di atas kursinya, parasnya semakin pucat, dalam waktu sekejap mata saja semangat dan keremajaannya yang tumbuh karena kekuatan cinta juga lenyap tanpa bekas.
Hui Kiam lama tidak mendengar suara, segera menyadari bahwa perkataannya tadi sudah melukai hatinya. Ia tidak dapat melihat, tetapi bisa membayangkan bagaimana keadaan Cui Wan Tin pada saat itu. Maka ia lalu berkata dengan suara lemah lembut:
"Adik Tin, jangan susah hati...."
"Aku.... tidak."
"Jangan kau kira aku tak melihat, tetapi aku dapat membayangkan. Adik Tin, tindakan apa yang dilakukan selanjutnya oleh wanita itu?"
"Dia... dia memanggil namamu!"
"Oh! Ia... ia...."
Hui Kiam mundur dua langkah sehingga badannya terbentur dengan dinding batu. Sekujur badannya gemetar. Ia tidak mengerti entah bagaimana Tong-bong Hui Bun mengetahui dirinya berada di dalam Makam Pedang itu" Dan bagaimana ia bisa datang kemari" Ia masih ingat keduanya antara ia dengan Tong hong Hui Bun, telah berpencaran karena mengejar Orang Berbaju Lila, apakah jejaknya sendiri selalu di bawah pengawasannya" Mengapa ia tidak mengunjukkan muka dulu-dulu"
"Terlambat! Semuanya sudah terlambat, enci!"
Dengan tanpa sadar ia menggumam sendiri.
Air mata mengalir dengan tanpa dirasa. Seorang yang keras hati dan dingin bagaikan baja seperti dia, ternyata telah berubah demikian lemah.
Setelah melalui keheningan yang cukup lama, tiba-tiba ia memperdengarkan suara tertawa terbahak banak....
Ini adalah suatu cara untuk mengumbar perasaan sedihnya, juga suatu tantangan bagi nasibnya sendiri.
Suara tertawa itu pada akhirnya lebih tidak enak daripada suara tangisan.
Cu Wan Tin juga meluncurkan air mata. Entah merasa terharu karena keadaan Hui Kiam ataukah karena mempunyai pikiran lain"
la berbangkit dan memegang pundak Hui Kiam seraya berkata dengan suara duka:
"Engkoh Kiam, kau jangan begitu, ada kalanya orang harus belajar menerima nasib."
"Ya, ini adalah... nasib"."
"Engko Kiam, beristirahatlah sebentar."
"Adik Tin, kau gemetar."
"Aku" aku sedang berpikir, sejak anak-anak aku sudah dipermainkan oleh nasib, setelah aku menerimanya dengan segala kesabaran kemudian seolah-olah aku menemukan sesuatu akan tetapi barang yang baru kuketemukan itu seolah-olah sudah direbut lagi oleh nasib. Aku tidak tahu apakah aku masih sanggup menerima atau tidak?"
Hui Kiam sudah tentu mengerti apa yang dimaksudkan dalam perkataannya itu, selagi hendak menghibur".
Suara panggilan yang menyedihkan, tiba-tiba masuk ke dalam telinganya:
"Hui Kiam, adik, apakah kaudengar suaraku" Apakah kau masih hidup" Jawablah panggilanku."
Suara itu diulangi berkali-kali. Setiap patah seolah-olah ketukan martil pada hati Hui Kiam!
Itu adalah suatu ilmu yang tertinggi untuk menyampaikan suara ke dalam telinga orang yang dipanggil dari jarak jauh. Jikalau tidak menggunakan ilmu itu, suara tidak akan masuk ke dalam kamar batu itu.
Hati Hui Kiam merasa seperti ditusuk oleh pedang tajam, pembuluh darah sekujur badannya seolah-olah hendak meledak.
Ia sudah hampir menjadi kalap. Katanya dengan nada suara keras:
"Aku harus menengoknya walaupun hanya sebentar saja!"
Cui Wan Tin melepaskan tangannya, ia mundur terhuyung-huyung. Dengan suara sedih ia berkata:
"Engko Kiam, kau harus pergi menengoknya. Pergilah! Aku...."
"Adik Tin, maafkan diriku!"
"Tidak usah kau berkata demikian, aku tadi sudah berkata bahwa ini adalah nasib."
"Aku hanya ingin menengoknya sebentar saja dan berbicara beberapa patah kata."
"la cantik bagaikan bidadari, aku malu terhadap diriku sendiri, ia kenal denganmu sebelum aku mengenalmu, dengan apa aku...."
"Adik Tin, aku hanya ingin menengok sekali saja...."
"Engko-Kiam, semoga kau masih ingat diriku jangan kau hapus dari dalam hatimu dengan demikian aku sudah merasa puas aku mencintaimu, selama-lamanya sehingga nyawaku terakhir."
"Adik Tin, aku bukan hendak meninggalkan kau."
"Engko-Kiam, aku mempunyai firasat bahwa kau bisa meninggalkan aku!"
"Tidak bisa adik Tin, selama-lamanya aku akan hargai perasaanmu yang agung itu."
"Ya, aku percaya sekarang biarlah aku bimbing kau keluar!"
Hui-Kiam ternganga, perasaannya yang bergolak hebat segera padam. "Dibimbingnya keluar" kedengarannya sangat mustahil tetapi toh benar suatu kenyataan, ia sendiri yang berjalan harus dibantu orang bagaimana Tong-hongHui Bun boleh melihat keadaannya yang menyedihkan itu apakah ia masih pantas bagi dirinya" Apakah ia harus merusak semua kenang-kenangan yang indah di masa yang lalu"
"'Tidak! tidak bisa!" demikian Hui Kiam berteriak sendiri.
"Engko Kiam, apa yang tidak bisa?"
"Aku tidak bisa menemui dirinya, harap kau beritahukan padanya, bahwa aku... sudah mati!" jawab Hui Kiam duka.
Cui Wan Tin menundukkan kepala untuk berpikir, kemudian berkata:
"Tidak, kau harus pergi menengoknya."
"Adik Tin, mengapa" Bukankah kau?""
"Kalau kau tidak menengoknya dan menjelaskan apa yang telah terjadi dalam dirimu, dalam hatimu selama-lamanya akan diudak-aduk oleh bayangan gelap. Kau tidak akan sanggup. Aku juga tidak mengharap untuk melihat kau menderita selama-lamanya karena peristiwa ini. Rantai yang mengikat hatimu itu harus dibuka. Aku tidak pandai bicara, tetapi kau tentu dapat mengerti apa maksud perkataanku ini?"
"Ya, aku mengerti, tetapi aku sudah berpikir bertemu muka hanya berarti menambah penderitaan dan kedukaan bagi kedua pihak. Seandainya, karena ia menganggapku sudah buta sehingga berubah sikap dan perlakuannya seperti yang sudah-sudah, aku tidak akan sanggup menerima penderitaan ini!"
"Tetapi katamu hanya seandainya saja, apabila kau membiarkan bayangan gelap itu berada dalam hatimu itu akan lebih menakutkan!"
"Adik Tin, aku sudah dapat memikirkan."
Pada saat itu dari luar terdengar pula suara Tong-hong Hui Bun. Suara itu berubah sangat pilu dan bernada putus asa:
"Adik, jikalau kau meninggalkan aku untuk selama-lamanya, seharusnya kau juga mengunjukkan rohmu!"
Suara itu mengunjukkan bagaimana pilunya hati Tong-hong Hui Bun pada saat itu.
Pikiran Hui-Kiam tergoncang lagi. Ia merasa bahwa ia benar-benar harus menemui satu kali saja. Maka ia lalu berkata:
"Adik Tin, bimbinglah aku keluar!"
Cut Wan Tin diam-diam membersihkan air mata yang mengalir di kedua pipinya. Katanya dengan suara terharu: "Marilah!"
Keadaan demikian pada waktu itu mirip dengan pesakitan yang dibawa menghadap hakim. Setiap langkah, hatinya selalu bergoncang dan berdebaran.
Sepanjang jalan keduanya tidak membuka mulut lagi, agaknya tertindih perasaan masing-masing.
Perjalanan itu tidak panjang, dalam waktu sebentar saja sudah berada di pintu barisan. Dengan suara gemetar Cui Wan Tin berkata:
"Engko Kiam, maju ke depan lima langkah sudah keluar dari dalam barisan. Pergilah menengoknya!"
"Kau" tidak ikut aku?"
"Aku tunggu kau di sini."
Hui Kiam menggenggam erat tangan Cui Wan Tin. Perbuatannya itu mengandung perasaan dan hiburan tanpa batas. Ini juga berarti suatu pernyataan bahwa ia akan kembali di sisinya lagi.
Lama sekali ia tidak dapat menggerakkan kakinya. Ia merasa terganggu dan takut apa yang akan terjadi selanjutnya.
Suara panggilan kedengarannya sangat dekat sekali, bahkan dapat didengarnya dengan nyata.
"Engko Kiam, kau harus lekas keluar!"
Hui Kiam akhirnya bertindak keluar sambil mengatupkan gigi.
"Ah! Adik!"
Bagaikan angin puyuh, menubruk dirinya, bau harum yang sudah tidak asing lagi bagi Hui Kiam. Tubuhnya yang penuh padat, lengan tangannya yang halus bagaikan tak bertulang, telah merangkul dirinya. Telinga mendengar suara ucapan sangat perlahan yang mengandung getaran hati kegirangan:
"Adik, kukira aku sudah kehilangan kau."
Hui Kiam sangat bingung, ia tak tahu ia harus berkata apa. Tenggorokannya seperti terkancing. Ia seperti sudah lupa segala-galanya.
Di lain pihak di balik pintu barisan batu itu, Cui Wan Tin sedang berdiri mendekap mukanya sambil menangis tersedu-sedu.
Gadis yatim piatu yang bernasib malang itu hatinya telah hancur luluh.
Sekonyong-konyong Tong Hong Hui Bun berseru terkejut:
"Adik, matamu"."
Ia lalu melepaskan tangannya dan mundur terhuyung-huyung!
Suara itu seolah-olah menarik kembali jiwa Hui Kiam dari lamunannya kepada kenyataan juga bagaikan terjatuh dari angkasa, perasaan pilu keluar dari dalam lubuk hatinya!
Ia tidak melihat paras Tong Hong Hui Bun, sehingga tidak dapat membayangkan bagaimana reaksinya.
Suasana berobah menjadi sunyi.
Lama sekali Hui Kiam baru memecahkan kesunyian itu:
"Mataku sudah buta."
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut kekasihnya!
Hati Hui Kiam bagaikan terjatuh ke dalam gua yang dalam dan tinggi. Ia pikir ia sudah berbuat keliru, tidak seharusnya menjumpai kekasihnya itu. Tetapi sekarang menyesal sudah terlambat.
Di samping duka dan kemenyesalannya, timbul pula sifatnya tinggi hati dan kesombongannya. Katanya dengan nada suara dingin:
"Enci, anggaplah aku sudah binasa!"
Sehabis berkata ia lalu memutar badannya dan balik menuju ke pintu makam.
Cui Wan Tin dapat menyaksikan semua kejadian dengan jelas. Selagi hendak maju menyambut".
Tiba-tiba terdengar suara Tong-hong Hui Bun yang tajam:
"Adik!" tangannya menyambar Hui Kiam.
"Lepaskan aku."
"Adik, apakah artinya ini?"
"Enci, adikmu yarg dahulu itu sudah mati. Aku hanya merupakan seorang cacat yang tidak berharga."
"Adik, mengapa kau berkata demikian terhadap aku?" bertanya Tong-hong Hui Bun dengan suara gemetar.
"Enci, lupakanlah yang sudah lalu!"
"Apa" Lupakan yang sudah lalu" Adik, apakah kau kira dapat dilupakan" Kau .... apakah ucapanmu ini keluar dari dalam hati sanubarimu sendiri?"
"Aku... sudah tidak pantas lagi."
"Tidak pantas" Ha, ha, adik, tenanglah sedikit, dengarlah sedikit kataku, walaupun di luarnya aku kelihatannya masih cantik, tetapi usiaku sebenarnya sudah lanjut, latihan kekuatan tenaga dalam, membuat diriku tetap dalam keadaan awet muda. tapi biar bagaimana aku tak dapat menguasai kekuasaan Tuhan. Akulah sebetulnya yang mencintai kau. Di samping itu, masih ada sebab lain lagi, yang aku tidak mencintai kau. Namun demikian adik, selama hidupku ini untuk pertama kali aku jatuh cinta kepada seseorang dengan setulus hatiku juga kudapatkan cintanya orang itu adalah kau. Aku hanya terperanjat karena terjadinya di luar dugaan, apakah kau kira hatiku sudah berubah?"
Perasaan Hui Kiam pada saat itu telah terombang- ambing oleh ucapan perempuan cantik itu. Air matanya mengalir keluar lalu berkata dengan suara gemetar:
"Enci, maafkanlah aku...."
"Aku tidak sesalkan kau!"
"Enci, aku sudah merasa puas, juga merasa tentram, aku akan ingat selamanya kecintaan ini."
"Apa kau akan meninggalkan au?"
"Enci, aku tak bisa memberikan kebahagiaan!"
"Adik, kita tidak usah bicara hal ini lagi. Ceritakanlah apa sebetulnya telah terjadi?"
"Aku terkena racun dedaunan dari tangan Si Iblis Singa."
"Oh! Racun dedaunan...?"
"Ya!"
"Dan di mana Iblis Singa itu sekarang?"
"Sudah kubunuh!"
"Kau" sudah membunuh Iblis Singa?"
"Ya. Apakah enci merasa heran?"
"Memang menurut tafsiranku kepardaianmu tidak nanti sanggup menandingi dirinya!"
"Dengan terus terang, waktu aku berada di kamar rahasiamu, aku sudah berhasil memahami pelajaran ilmu silat dalam kitab Thian Gee Po-kip itu!"
"Oh!"
Paras Tong-hong Hui Bun berubah seketika, tetapi perubahan itu tidak dapat dilihat oleh Hui Kiam.
Sejenak ia berdiam, lalu berkata pula:
"Adik, tindakanmu ini sekali-kali tidak boleh tersiar keluar!"
"Kenapa?"
"Bisa mendatangkan pembalasan yang menakutkan!"
"Aku tidak perduli, sekalipun beberapa iblis itu tidak mencari aku, tetapi aku tetap hendak ...."
Hendak apa ia tidak dapat melanjutkan. Ia telah lupa kepada dirinya sendiri yang sudah buta, apa yang bisa berbuat" Maka akhirnya ia menundukkan kepala.
Tong-hong Hui Bun sudah tentu mengerti bagaimana perasaan kekasihnya itu, maka lalu berkata dengan suara lemah lembut:
"Adik jangan putus asa, aku pasti akan berusaha supaya matamu dapat melihat lagi."
"Enci, terima kasih atas kecintaanmu, tapi ini adalah satu hal yang tidak mungkin."
"Apakah kau tidak percaya?"
"Kenyataannya memang begitu!"
"Aku bukan menghibur dirimu dengan perkataan kosong."
"Apa, apakah benar?"
"Sudah tentu, aku yakin!"
Hui Kiam setelah mendengar ucapan itu hatinya merasa sangat girang. Apa yang tadinya ia tidak percaya ternyata Tong Hong Hui-Bun mengatakan begitu yakin, sudah tentu itu bukanlah bohong. Dengan asal-usulnya yang sangat misterius dan kepandaiannya yang sudah tidak ada taranya, sudah tentu dapat melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.
Membuat ia bisa melihat lagi ini berarti mengembalikan jiwanya yang akan hilang, bagaimana kalau ia tidak merasa girang" Keadaannya itu seperti juga dengan seorang pesakitan yang sudah dijatuhi hukuman mati mendadak dapat keampunan.
"Adik, keretaku ada di luar lembah ini, kita" ow.ow, aku lupa bertanya kepadamu, apakah karena kabar tentang pedang pusaka itu sehingga kau masuk ke dalam Makam Pedang ini?"
"Ya."
"Benda itu kepunyaan siapa?"
Hui-Kiam tiba-tiba teringat kepada diri Cui Wan Tin yang mencintainya begitu besar dan tulus hati. Kenyataan telah membuktikan seperti apa yang dikatakan oleh gadis itu. Oleh karena ingin kedua matanya bisa melihat lagi, kini benar-benar akan meninggalkannya. Perbuatannya terhadap diri gadis itu akan merupakan suatu pukulan yang hebat.
"Eh, kau kenapa?"
"Enci, apakah aku harus ikut kau jalan bersama-sama?"
"Sudah tentu."
"Andaikata aku menunggu kau sampai kau dapatkan obatnya?""
"Urusan tak semudah itu. Mengapa kau berkata demikian?"
"Aku merasa tidak enak bagaimana harus kita berkata kepada orang yang menjadi pelindung pedang!"
"Pelindung Pedang, siapa?"
"Seorang nona."
Paras Tong-hong Hui Bun lalu berubah.
"Dalam Makam Pedang itu ada seorang wanita?"
"Adik, aku tidak menduga kau juga adalah seorang romantis."
"Enci, bukan begitu. Aku... bagaimana harus menjelaskan" Andaikata tidak ada dia, niscaya kau sudah tidak bisa bertemu dengan aku, tidak mungkin aku bisa hidup lagi!"
"Oleh karena merasa hutang budi kau merasa harus membalas budi itu. Apa kau jatuh cinta kepadanya?"
"Istilah menghargai lebih tepat daripada istilah jatuh cinta!"
"Ai! Alangkah hebat Tuhan yang mengatur nasib manusia, aku yang semula mengira bisa mendapatkan dirimu dan cintamu seluruhnya, tidak kusangka...."
"Enci, cintaku terhadap dirimu sedikitpun tidak berubah."
"Tetapi kau juga cinta kepadanya?"
"Enci harap kau coba memikirkan pengalamanku. Aku sebetulnya sudah berpikir tidak akan menemui kau lagi. Aku malu terhadap diriku sendiri, juga tak ingin merusak kenang-kenanganku yang indah. Tahukah kau bagaimana aku harus menggunakan banyak waktu untuk berpikir sehingga baru dapat mengambil keputusan untuk menemui kau?"
"Baiklah! Dan sekarang kau pikir bagaimana?"
Hui Kiam setelah berpikir bolak-balik, lama baru bisa menjawab:
"Aku harus menjelaskan kepadanya, meninggalkan pesan beberapa kata kemudian aku baru ikut kau pergi!"
"Baik, aku tunggu kau!"
Hui Kiam dengan jalan meraba-raba balik masuk ke dalam makam. Kedatangannya segera disambut oleh Cui Wan Tin yang segera berkata:
"Engko Kiam, kau hendak pergi?"
Suaranya penuh kedukaan.
Hati Hui Kiam merasa sangat tidak enak. Dengan suara berat ia berkata:
"Adik Tin, percayalah kepadaku, aku cinta kepadamu."
"Ya, mau tak mau aku harus percaya kepadamu, sebab dalam hidupku ini sudah tak ada pilihan lain."
"Dengarlah keteranganku ...."
"Tidak perlu kau memberi keterangan, aku sudah dengar seluruhnya."
"Adik Tin, ia berkata bahwa ia yakin dapat menyembuhkan mataku supaya dapat melihat lagi"."
"Engko Kiam, kau tentunya tidak akan melupakan diriku yang bernasib malang ini?"
"Pasti tidak."
"Aku doakan semoga kau bisa lekas melihat lagi. Aku menunggu kedatanganmu selama-lamanya."
"Adik Tin, aku tidak bisa menduga aku bisa berlaku begini harus baik-baik menjaga dirimu."
"Aku bisa, sebab aku hendak menantikan kedatanganmu."
"Kalau begitu sekarang aku hendak pergi."
"Engko Kiam "."
"Adik Tin masih hendak berkata apa lagi?"
Cui Wan Tin memeluk Hui Kiam, ia mencium berulang-ulang. Perbuatan itu segera dibalas oleh Hui Kiam.
Apakah yang akan terjadi selanjutnya setelah perpisahannya itu" Siapapun tidak ada yang bisa menduga.
Lama sekali, mereka baru berpisah. Kedua-duanya sudah penuh air mata.
"Engko Kiam, aku masih ingin berkata sesuatu yang tidak boleh tidak aku harus keluarkan."
"Keluarkanlah."
"Tetapi harap kau jangan salah mengerti bahwa perkataan ini mengandung maksud jahat."
"Tidak."
"Encimu itu siapa namanya?"
"Tong Hong Hui Bun."
"Kedudukannya?"
Tentang ini... ia tidak pernah mengatakan, aku juga tidak menanyakannya."
"Perhubungan kedua pihak sudah meningkat sampai begitu dalam, tetapi kau masih belum tahu asal-usulnya, ini...."
"Aku hanya tahu ia mempunyai sebuah batu kumala sebagai tanda kepercayaan. Kepandaian ilmu silatnya sudah mencapai ke taraf yang tidak ada taranya."
"Harap kau berlaku hati-hati!"
"Apakah adik Tin menemukan tanda sesuatu?"
"Sudah beberapa kali ia muncul di tempat ini. Orang-orang berbaju hitam yang sering menjaga di sekitar tempat ini agaknya sangat takut sekali terhadap dirinya...."
"Ini aku tahu. Ada kalanya ia membunuh orang tanpa menggerakkan tangan, hanya dengan beberapa patah kata saja sudah bisa memaksakan orang membunuh diri sendiri!"
Pendekar Cacad 5 Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Istana Pulau Es 20

Cari Blog Ini