Ceritasilat Novel Online

Pedang Tanpa Perasaan 12

Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Bagian 12


itu. Tiba-tiba air matanya mengalir dengan deras. Samar-samar benaknya mulai mengingat
sedikit, tetapi masih diliputi kebimbangan. Seperti tahu namun tidak. Dia hanya
maklum bahwa tempat itu membangkitkan kesedihan hatinya. Dan dia ingin menangis
sepuas-puasnya. Suara tangisannya yang berpadu dengan deburan ombak di bawah
jurang, terdengar demikian menyayat hati dan mengenaskan.
Sampai langit mulai menggelap, Tao Ling masih menangis di tepi jurang itu. Air
matanya terasa sudah kering, tetapi dia masih ingin menangis. Terus menangis sampai
dia benar-benar tidak sanggup menangis lagi.
Langit sudah gelap. Perlahan-lahan Tao Ling berjalan mendekati tepian jurang. Di
bawah cahaya rembulan, air laut di bawah ruang tampak berkilauan. Kelihatannya
indah sekali. Tiba-tiba saja perasaan Tao Ling seperti terbuka.
Untuk sesaat, dia ingat apa yang telah terjadi di tepi jurang itu. Dia juga tahu mengapa
dia ingin menangis di tempat itu. Sejenak Tao Ling termangu-mangu di sana. "Cun Ju,
Cun Ju . . . aku datang sekarang . . .aku datang sekarang!" teriaknya dengan suara
melengking. Suaranya memecahkan keheningan malam.Tiba-tiba Tao Ling menghempaskan
tubuhnya ke dalam jurang. Berat tiang dan rantai yang mengikat dirinya paling tidak
ada dua ratus kati. Karena itu daya luncur tubuhnya juga semakin cepat. Tidak lama
kemudian tampak gulungan ombak yang tinggi menerpa datang, airnya memercik ke
tubuh Tao Ling.
Tetapi pada saat itu juga, luncuran tubuh Tao Ling terhenti seketika. Dia
memberontak, berharap agar gulungan ombak menelannya. Tetapi tubuhnya hanya
bergelantungan di tengah udara.
"Cun Ju, aku ingin bersama-sama denganmu ... aku ingin bersama-sama denganmu!"
teriak Tao Ling keras-keras.
452 Tao Ling sendiri tidak mengerti mengapa tubuhnya masih belum juga terjatuh ke
dalam air laut. Rantai yang mengikat tangannya cukup pan-jang dan tiang besi yang
bersambungan dengan rantai itu terkait sebatang pohon. Dengan demikian Iuncuran
tubuhnya jadi tertahan.
Tao Ling terus berteriak. Dalam hatinya, orang yang menahan gerakan tubuhnya dan
tidak memperbolehkan ia besatu dengan Lie Cun Ju pasti I Ki Hu. Dengan asal-asalan
dia menghantam kesana kemari. Tidak lama kemudian, kembali dia menjerit histeris,
laiu jatuh tidak sadarkan diri dalam keadaan tergelantung.
Setelah Tao Ling tidak sadarkan diri beberapa saat, tampak sebuah sampan kecil
terapung-apung di atas laut yang menggelora. Sampan itu bergerak seiring dengan
hempasan ombak dan dalam sekejap mata sudah mendekat
Di bagian depan sampan itu berdiri seseorang yang sepasang tangannya ditelikungkan
ke belakang. Di bagian belakang, tampak seseorang sedang menggerakkan dayung.
Dayung itu terdiri dari sepasang, lebarnya tiga dok. Dengan mengandalkan kekuatan
tangan si pendayung dan arus air yang deras, sampan itu melaju dengan cepat.
Tidak lama kemudian sampan sudah sampai di bawah Tao Ling bergelantung. Orang
yang berdiri di depan sampan menggapai-gapaikan tangannya kepada orang yang
berdiri di belakang. Orang itu mengambil sebuah benda berwarna hitam pekat,
kemudian dilemparkannya ke atas.
Trak . . .! Benda itu sudah menancap pada dinding jurang. Rupanya sebuah kaitan besi. Sampan
kecil itu langsung terhempas oleh deburan ombak yang besar sehingga membentur
batu karang di pinggiran jurang. Orang yang berada di belakang tadi segera
menggunakan dayungnya menekan batu karang agar sampannya agak menjauh.
Saat itu mulai tampak jelas bahwa orang yang mendayung perahu itu mempunyai
perawakan yang pendek dan kurus. Sungguh sulit dibayangkan. Orangnya begitu kecil
kurus bisa mempunyai tenaga sebesar itu.
Sedangkan orang yang berdiri di bagian depan perahu adalah seorang laki-laki berusia
lanjut, tubuhnya tinggi dan jenggotnya panjang melambai-lambai. Warna rambut dan
jenggotnya putih keperakan dan mengeluarkan cahaya yang berkilauan.
Kakek itu mendongakkan kepalanya ke atas dan menatap sejenak. Tampak dia
menarlk nafas panjang. Tiba-tiba tubuhnya menceiat ke atas setinggi dua depaan.
Ketika tubuh kakek itu mencelat ke atas, sepasang tangannya masih menelikung di
belakang. Ketika tubuhnya hampir meluncur turun kembali, kakek itu mengulurkan
tangannya mencekal sebatang ranting pohon. Kemudian dengan bantuan tenaga
pantulan dari ranting itu, dia mencelat ke sebuah batang pohon dan duduk dengan
santai. Matanya melirik sekali lagi kepada Tao Ling. Lagi-lagi dia menarik nafas
panjang. Dia menjulurkan tangannya untuk memutuskan ranting pohon. Dengan
patahnya ranting pohon tubuh Tao Ling pun meluncur ke bawah terjatuh di lautan
yang menggelora. Kakek itu juga langsung terjun. Ternyata luncuran tubuhnya malah
453 lebih cepat dari luncuran tubuh Tao Ling. Sesampainya di atas sampan, dia
merentangkan kedua tangannya untuk menyambut tubuh Tao Ling.
Dari munculnya sampan itu sampai kakek itu berhasil menolong Tao Ling, semuanya
hanya terjadi dalam sekejap mata. Tampak orang tua itu memberi isyarat kepada si
Kecil Kurus, agar mendayung sampannya meninggalkan tepi jurang itu. Keadaan air
laut masih menggelora, tidak ada bedanya dengan sebelumnya.
Tidak lama setelah sampan itu pergi, di atas tepian jurang muncul beberapa orang.
Salah satu di antaranya melongokkan kepalanya ke dalam jurang. Tampangnya panik,
dia menghentakkan kakinya keras-keras lalu memhalikkan tubuhnya. Tidak berapa
lama kemudian, tampak beberapa sosok bayangan berkelebat. Orang itu menerjang ke
depan dan mencengkeram leher baju dua orang di antara para pendatang.
"Dimana" Dimana orangnya?"
Kaki kedua orang itu terasa lemas. Tanpa dapat bertahan diri lagi, mereka jatuh
berlutut di atas tanah.
"I sian sing, kami tidak . . . tahu . .."
Orang yang pertama-tama muncul itu ternyata Gin Leng Hiat Ciang I Ki Hu.
Terdengar dia mendengus dingin.
"Mungkin ada jalan Iain untuk menuju dasar jurang."
Kedua orang yang menjatuhkan diri berlutut; itu tampak gemetar.
"Meskipun kami di . . . besarkan di sini, kami, tidak pernah mengetahuinya."
I Ki Hu tertawa dingin. Tangannya mencekal leher kedua orang itu. Begitu tenaga
dalam I Ki Hu dikerahkan, tanpa sempat bersuara sedikit pun, kedua orang bertubuh
kekar itu terkulai mati seketika.
Tiga-empat orang lainnya terkejut setengah mati melihat tindakan I Ki Hu. Mereka
segera mengambil langkah seribu. I Ki Hu mengeluarkan suara siulan yang panjang.
"Mau coba kabur?" Gerakan tubuh si Raja Iblis bagai seekor burung yang aneh, dia
menerjang ke depan secepat kilat. Tangannya mengibas angin kencang menerpa.
Keempat orang itu terhempas. Satu persatu mereka jaiuh di atas tanah dan tidak
bangun kembali.
I Ki Hu kembali lagi ke tepian jurang. Setelah memperhatikan sejenak, dia
mengguncangkan sebatang pohon yang ada di sisi jurang itu, kemudian terjun ke
bawah. Dengan memeluk batang pohon itu, tubuhnya meluncur pesat ke bawah. Tetapi
dengan aman dia mendarat di salah sebuah dahan pohon yang mengait tubuh Tao Ling
tadi. 454 I Ki Hu membuang batang pohon itu. Dengan seksama dia memperhatikan pohon
siong tersebut Akhirnya dia berhasil melihat jejak yang ditinggalkan ranting pohon
tempat tubuh Tao Ling tersangkut tadi. I Ki Hu mengeluarkan suara siulan yang
panjang. Matanya menatap permukaan laut lekat-lekat.
Meskipun otaknya sangat cerdas dan kepandaiannya tinggi sekali, dia juga tidak berani
men-ceburkan diri ke dalam laut yang ombaknya besar-besar itu.
Wajahnya menyiratkan kekesalan hatinya yang tidak terkatakan. Setelah
mengeluarkan suara siulan panjang, dia mengerahkan gin kang taraf tertinggi yakni
Cicak merayap di dinding, tangannya menempel pada dinding jurang. Dengan gerakan
cepat dia merayap ke atas. Sekejap kemudian si Raja Iblis sudah sampai di tepian
jurang. Tubuhnya berkelebat dan menghilang di sebuah tikungan.
***** Sementara itu, sampan yang membawa Tao Ling terus melaju kurang lebih satu li. Si
Kecil Kurus kembali menggerakkan sepasang dayungnya. Tampak sampan membelok
tepat ke sebuah celah goa lalu melaju dengan cepat.
Air laut demikian bergelora bahkan ombaknya bergulung-gulung. Tetapi setelah
masuk ke dalam celah goa, permukaan air ternyata begitu tenang hanya beriak-riak
sedikit. Sampan kecil itu terus bergerak, sebentar membelok ke kanan, sebentar membelok ke
kiri. Gerakannya cepat sekali. Kedua orang di atas sampan itu juga tidak pernah
terlibat pembicaraan.
Seperti orang-orang gagu, tidak ada yang bersuara sedikit pun. Tidak lama kemudian,
di depan mata mereka muncul seberkas cahaya keperakan.
Cahaya keperakan itu cukup besar. Tampak sepintas lalu, seperti sebuah kolam berair
jernih yang tersorot sinar rembulan.
Sampai di situ, sampan baru berhenti. Kakek itu mengempit tubuh Tao Ling dan
loncat ke tepian. Dia mengitari cahaya keperakan itu beberapa kali. Rupanya cahaya
perak itu bukan kolam tetapi selembar jala besar berwarna keperakan dan tergantung
di atas ranting sebuah pohon.
Jala itu berukuran besar sekali, hampir sepetak sawah. Sungguh sulit diduga apa
kegunaannya. Seandainya saat itu apabila Tao Ling tidak pingsan, atau pikirannya
masih waras, tentu dia akan ingat bahwa tiga tahun yang lalu, ketika dia terdampar di sebuah
pulau tandus lalu bertemu dengan Lie Cun Ju, mereka juga pernah melihat jala besar
itu. Di pulau itu pula cinta mereka pertama kali bersemi.
Tetapi sayangnya saat ini, bukan saja Tao Ling sedang tidak sadarkan diri, otaknya
juga sudah kosong melompong, seandainya dia bangun dan melihat jala itu, belum
tentu dia bisa teringat kembali.
455 Begitu kakek itu naik ke tepian, orang yang kecil kurus itu segera menambatkan
sampannya disebatang pohon. Kemudian dia mengikuti di belakang orang tua itu.
Gerakan tubuhnya gesit dan cepat. Kedua orang itu mengitari jala dua-tiga kali,
seakan-akan jala itu mengandung arti yang besar bagi mereka. Setelah itu mereka baru
melangkah memasuki celah goa.
Dari celah goa masuk sampai ke tepian daratan. Ternyata ada sebuah jalan tembus
yang bisa menuju ke sebuah lembah. Sekeliling tempat itu berupa dinding atau
permukaan bukit yang tinggi sekali, sehingga mereka seperti berada di dalam sebuah
sumur yang dalam.
Orang tua dan si Kecil Kurus berjalan terus ke depan kurang lebih dua-tiga depa. Tibatiba
dari belakang mereka terdengar suara tawa yang menusuk gendang telinga dan
menyeramkan. Suara tawa itu mendadak saja timbul dalam suasana yang demikian
damai. Biarpun seseorang yang kepandaiannya tinggi sekali, tetap saja terkejut
setengah mati. Kedua orang itu tampak biasa-biasa saja, mimik wajah mereka tidak meitunjukkan
perasaan terkejut. Lain halnya dengan Tao Ling. Tadinya perempuan itu dalam
keadaan tidak sadar, begitu suara tawa itu meledak, tiba-tiba dia membuka sepasang
matanya dan memberontak sekuat tenaga. Kemudian dia pun ikut tertawa terbahakbahak
Suara tawa yang pertama itu sudah begitu tidak enak didengar, dipadu lagi dengan
suara tertawa Tao Ling yang otaknya sudah tidak waras, sehingga kedengarannya
seperti serigala-serigala kelaparan yang sedang melolong tinggi, seperti kawanan
burung bantu yang sedang meratap, benar-benar mendirikan bulu roma.
Kakek itu mengernyitkan keningnya. Tiba-tiba dia menjulurkan tangannya untuk
menotok Tao Ling. Dengan demikian gerakan perempuan itu jadi terhenti. Keadaan
Tao Ling saat itu sungguh mengerikan. Rambutnya awut-awutan, mulutnya ma~sih
dalam posisi membuka lebar seperti masih tertawa terbahak-bahak.
Begitu suara tertawa Tao Ling berhenti, suara tawa yang aneh itu reda. Keadaan
menjadi hening kembali. Saat itu, kakek dan si Kecil Kurus sudah sampai di depan dua
buah pondok beratap rumbia. Si Kecil Kurus maju, lalu membuka pintu pondok itu.
Gerakan kakek itu sejak semula tenang sekali. Tetapi begitu dia memasuki pondok itu,
dengan cepat dia sudah melesat keluar kembali.
Dalam waktu yang besamaan, segulung suara siulan yang melengking tinggi
memecahkan ke-heningan. Suara siulan itu keluar dari mulut si Kecil Kurus. Dari hal
itu dapat dibuktikan bahwa tenaga dalam si Kecil Kurus itu sudah mencapai taraf yang
tinggi sekali. Begitu kakek itu menghambur keluar dari dalam pondok, si Kecil Kurus pun langsung
mener-jang ke arah suara tawa yang aneh itu.
Tubuh kakek itu bergerak sedikit.
456 "Kenapa kau?"
Gerakan tubuh si Kecil Kurus itu cepatnya bukan main. Dalam sekejap mata dia sudah
mener-jang sejauh satu depa lebih. Tetapi ketika kakek itu membentak, mendadak pula
tubuh si Kecil Kurus itu berjungkir balik di udara dan melayang kembaii lalu mendarat
di atas tanah dengan mantap.
Setelah berdiri tegak si Kecil Kurus itu lalu menggerakkan tangannya dengan
serabutan. Mulutnya mengeluarkan suara siulan yang melengking. Tidak usah
diragukan lagi bahwa dia memang gagu
Jilid 9________
Kakek itu memperhatikan sejenak. Sepasang alisnya bergerak-gerak, dengan langkah
lebar dia memasuki pondok. Keadaan di dalam pondok tampak berantakan. Meja,
kursi, dan perabotan lain-nya terlempar ke mana-mana. Tampaknya ada seseorang
yang mengacau di sana. Kakek itu tertegun sejenak, kemudian mengangkat balai-balai
dari rotan dan membaringkan Tao Ling di atasnya. Setelah itu dia baru keluar kembali.
"Kau rapikan keadaan di dalam ruangan, aku pergi sebentar," kata kakek itu.
Mimik wajah si Gagu menyiratkan perasaan seperti serba salah, seakan-akan ingin
menyatakan bahwa dia tidak ingin melakukan perintah kakek itu. Wajah kakek itu
berubah kelam. "Cepat lakukan!" perintahnya lagi.
Tenggorokan si Gagu mengeluarkan suara krok-krok. Akhirnya dia membalikkan
tubuhnya memasuki pondok itu. Terdengar suara bising seperti barang-barang yang
dibanting sembarangan. Tampaknya si Gagu sedang melampiaskan kekesalan hatinya.
Kakek itu tidak memperdulikannya, dia melangkah terus ke depan. Arah yang
ditujunya juga sumber suara tawa yang menyeramkan tadi. Berjalan tidak seberapa
jauh, kakek itu sudah sampai di sebuah goa yang entah seberapa dalamnya, yang pasti
gelap gulita. "Apakah kau yang melakukannya?" bentaknya dengan suara keras. Suara kakek itu
dalam sekali, menyusup terus ke dalam goa dan menimbulkan gema yang berkepanjangan.
Sampai cukup lama suara gema itu baru sirap. Saat itu juga terdengar
sahutan dari dalam goa.
"Tentu aku yang melakukannya!"
Suara sahutan itu sungguh tidak enak didengar. Wajah orang tua itu tampak semakin
garang, tampaknya dia sudah marah sekali. Jubahnya yang berwarna abu-abu bergetar
karena tubuhnya yang gemetar menahan luapan emosi.
"Kau berani melanggar sumpahmu sendiri?" bentaknya sekali lagi.
Dari dalam goa terdengar suara tawa yang aneh.
457 "Kau yang melanggar lebih dahulu, kenapa malah menyalahkan aku?"
"Omong kosong!"
Dari dalam goa kembali terdengar suara tawa aneh berkali-kali.
"Dulu, sudah kita putuskan, apabila kau, aku maupun si Gagu mengajak orang
keempat ke dalam Tian te kok, kita semua keluar masuk lembah sesuka hati, maka
sumpah yang pernah diucapkan pun jadi batal. Apakah kau sudah melupakannya?"
Kakek itu terdiam sejenak.Seperti kehabisan kata-kata untuk berdebat dengan orang
dalam goa itu. Setelah agak lama, nada suaranya pun mulai melunak.
"Perempuan itu sudah terluka parah, apalagi dia terjatuh dari jurang. Hampir saja dia
tertelan ombak yang bergulung. Kalau aku tidak kebetulan menemukannya, tentunya
dia juga sudah mati. Masa aku harus membiarkan seseorang mati di depanku begitu
saja?" "Aku tidak mau tahu urusan itu," sahut orang dalam goa.
"Apa yang kau inginkan sekarang?"
Orang di dalam goa tertawa terkekeh-kekeh.
"Kau tidak usah tahu."
Kakek itu menarik nafas panjang.
"Kau tentunya tahu bahwa apa yang kulakukan adalah demi kebaikanmu sendiri."
Orang di dalam goa itu langsung memaki dengan suara keras.
"Kentut busuk! Kau sudah merampas Gin Hun Bang (Jala awan perak) milikku.
Kemudian malah mengurung aku di sini. Selama dua puluh tahun ini, entah sudah
berapa banyak penderitaan yang aku rasakan. Apakah semua ini demi kebaikanku
juga?" Wajah kakek itu berubah semakin kelam.
"Waktu itu kau sudah terluka parah, kalau aku tidak menolongmu, bagaimana kau bisa
hidup sampai hari ini?"
Dari dalam goa kembali berkumandang tawa yang aneh dan menyeramkan.
"Selama dua puluh tahun ini, boleh dibilang aku hidup dalam neraka. Apakah tidak
lebih baik mati saja."
Berkali-kali kakek itu ingin menerjang ke dalam goa, tetapi seperti ada sesuatu yang
diper-timbangkannya. Baru berjalan satu-dua langkah, dia berhenti lagi. Sedangkan


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

458 suara orang di dalam goa juga kadang-kadang dekat, kadang-kadang menjauh lagi.
Tampaknya ia juga bermaksud menerjang keluar, tetapi masih ngeri dengan kelihaian
kakek itu. Di saat kedua orang itu berdiam diri, dari dalam goa terdengar suara rintihan
seseorang. "Kau lepaskan pemuda itu, maka aku tidak akan mengungkit kembali kejadian ini, kita
dapat hidup damai sebagaimana biasanya." Terdengar kakek itu berkata.
"Jangan bermimpi! Wajah pemuda itu penuh dengan tonjolan urat merah. Tidak
diragukan lagi dia kena semburan racun laba-laba merah. Sedangkan jenis laba-laba
itu hanya ada di istana rahasia sebelah barat Gunung Kun Lun san. Tempat lain biar
dicari seratus tahun pun tidak akan menemukan satu ekor. Hal itu membuktikan bahwa
pemuda itu sudah pernah mendatangi istana rahasia itu. Aku menahannya di sini,
justru karena ada sesuatu yang kuinginkan darinya. "Kalau kau memang hebat,
mengapa kau tidak masuk saja ke dalam goa dan merebutnya dari tanganku?" sahut
orang dalam goa itu sambil ter-tawa terbahak-bahak.
Mimik wajah kakek itu menyiratkan emosinya yang meluap-luap. Dia terpaku di
depan goa itu beberapa saat. Kemudian dia membalikkan tubuhnya dan berlari
meninggalkan tempat itu.
Gerakan tuhuh kakek itu tampak seperti terbang. Akhirnya dia datang ke samping jala
besar itu. Diambilnya jala itu lalu dilipat-lipatnya. Dalam sekejap mata, jala itu sudah
menjadi lipatan seperti selimut.
Apabila jala itu direntangkan menjadi lebar sekali seperti sepetak sawah. Tetapi
setelah dilipat, ternyata dapat menyusut menjadi kecil. Kakek itu mengempit jala di
bawah ketiak dan dibawanya berlari lagi ke mulut goa tadi.
"Kalau kau tidak membawa keluar pemuda itu,aku akan menerjang ke dalam!"
"Bagus sekali, aku akan menyambutmu dengan kedua tangan terbuka," sahut orang
dalam goa itu sambil tertawa dingin.
Lengan orang tua itu berputar. Angin yang terpancar dari pukulannya menderu-deru.
dalam waktu yang bersamaan, dia melangkah ke dalam satu tindak. Tepat pada waktu
itu pula, muncul titik sinar berwarna hijau yang bergerak bagai kilat meluncur ke arah
kakek itu. Tampaknya si kakek sudah mengerti kelihaian titik sinar hijau itu. Cepatcepat
dia menggelin-dingkan tubuhnya keluar dari goa. Titik hijau yang meluncur
bagai bintang komet itu terus melaju ke depan sejauh dua-tiga depa. Bum . . .!
Terdengar suara ledakan.
Dari dalam goa kembali terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh. "Si Tua tidak tahu
mampus. Kau tidak berani menangkis panah apiku bukan?"
Kakek itu merentangkan tangannya. Selembar jala itu sudah terbuka, tapi tidak
semuanya, hanya kira-kira sebesar lukisan. Dia mendengus berat satu kali. Tanpa
459 memberikan komentar apa-apa, sepasang lengannya bergetar, lembaran jala itu
dijadikan pelindung tubuh, sekali lagi dia menerjang ke dalam goa.
Ketika kakek itu bergerak masuk, dari dalam goa terdengar suara bentakan marah.
Lagi-lagi setitik sinar berwarna hijau melesat datang. Orang tua itu menggunakan
jalanya untuk melindungi tubuh, dia pantang mundur. Tubuhnya terus bergerak.
Dalam dua kali loncatan, sekejap mata saja dia sudah heradu dengan titik hijau itu.
Bum . . .! Titik hijau itu kembali meledak. Terdengar kakek itu memekik aneh,
kemudian melangkah mundur beberapa tindak.
Ketika dia menerjang masuk, gerakan tubuhnya bukan main cepatnya. Tetapi ketika
dia mengundurkan diri, kecepatannya melebihi ketika menerjang masuk. Sungguh
sulit diuraikan dengan kata-kata. Kedatangan dan kepergiannya seperti hembusan
angin. Sesosok bayangan hitam dengan pelindung cahaya keperakan tahu-tahu sudah sampai
di depan goa. Tampak sebagian jubah dan rambutnya masih diperciki sinar kehijauan.
Kakek itu mengibaskan lembaran jala itu ke sekujur tubuhnya, akhirnya sinar api
berwarna hijau yang menyelimuti tubuhnya padam seketika. Tentu saja keadaannya
sungguh mengenaskan sekali.
Dari dalam goa justru berkumandang suara tertawa yang terbahak-bahak. "Tua bangka
tidak tahu mampus! Kau toh sudah tahu kehebatan panah apiku. Kalau kau sudah
bosan hidup, boleh saja kau coba lagi. Tetapi kalau kau masih menyayangi selemhar
nyawamu, lebih baik kau cepat-cepat menggelinding dari tempat ini!"
Tampak orang tua itu berjingkrak-jingkrak kalap di depan goa. Mulutnya terus
mencaci maki seperti ingin memancing kemarahan orang dalam goa agar menerjang
keluar. Karena lorong untuk masuk goa itu sangat sempit, apabila dia tetap ingin
menerjang ke dalam, tentu sulit menghindar dari serangan panah api orang itu. Bahkan
tidak ada tempat untuk bergeser sedikit pun. Tetapi orang dalam goa itu juga tidak
kalah liciknya. Dia hanya membalas memaki seenaknya. Selain itu tidak memberikan
reaksi apa-apa lagi.
Kakek itu saling memaki dengan orang dalam goa beberapa saat. Akhirnya dengan
kesal dia kembali ke pondok. Si Kecil Kurus yaitu si Gagu keluar menyambutnya.
Orang tua itu hanya mendengus marah satu kali, kemudian memasuki pondok. Dia
menjulurkan tangannya dan menepuk jalan darah Tao Ling yang tertotok. Tao Ling
langsung bangun dan duduk di atas balai-balai.
"Siapa kau?" tanya kakek itu.
Tao Ling memandangi orang tua itu. "Aku tidak tahu, bolehkah kau mengatakannya
kepadaku?" jawabnya sambil tertawa cekikikan.
Orang tua itu tertegun. "Masa kau sendiri tidak tahu siapa dirimu?" ucapnya.
460 Tao Ling kembali tertawa cekikikan. "Tidak tahu." Tiba-tiba mimik wajahnya
menjadi murung. Namun dalam sekejap mata, dia tertawa terbahak-bahak kembali.
"Aku tahu sekarang. Aku adalah manusia yang paling berbahagia di dunia ini."
Kakek itu tampak bergetar sedikit. Perasaannya menjadi dingin. "Rupanya orang gila!"
gerutunya sendirian.
Kemudian dia menolehkan kepalanya dan berkata kepada si Gagu. "Ambil perisai
besi!" Meskipun orang kecil kurus itu gagu, tapi telinganya tidak tuli. Mendengar suara
bentakan si kakek, wajahnya berseri-seri seketika. Cepat-cepat dia membalikkan
tubuhnya. Tidak lama kemudian sudah kembali lagi dengan membawa sebuah tameng
berbentuk orang-orangan. (Mirip dengan prajurit berbaju besi namun tertutup dari atas
kepala sampai ke ujung kaki pada jaman kekaisaran Romawi dulu). Cuma yang
dibawanya hanya setengah bagiannya yang tertutup. Kakek itu menyambut perisai.
Tangan kirinya menjulur menotok jalan darah Tao Ling. Setelah itu ia berjalan keluar
dari pondok itu dan si Gagu mengikuti dari belakang.
Tidak lama kemudian keduanya sudah sampai di mulut goa. Terdengar dari dalam goa
berkumandang suara rintihan yang terputus-putus. Kakek itu menggerakkan tangannya
memberi isyarat kepada si Gagu. Kakinya maju perlahan-lahan memasuki goa satu
tindak. Gerakan si kakek boleh dibilang sudah cukup hati-hati. Bahkan langkah kakinya tidak
menge-luarkan suara sedikit pun. Tetapi baru saja dia masuk satu langkah, dari dalam
goa terdengar suara bentakan.
"Berhenti!"
Begitu suara bentakan itu terdengar, si kakek langsung menghentikan langkah
kakinya. Dia menggunakan perisai tadi untuk melindungi bagian depan tubuhnya dan
lembaran jala tadi diletakkannya di atas kepala. Cepat-cepat dia maju lagi satu
langkah. Terdengar suara tertawa menyeramkan dari orang di dalam goa. "Aku sudah menduga
kau akan kembali lagi," katanya.
Kakek itu tidak menyahut, kakinya terus maju setindak demi setindak ke dalam goa.
Langkahnya tampak hati-hati sekali.
Tidak lama kemudian, dia sudah masuk ke dalam goa kurang lebih dua depaan. Tetapi
dia belum mendengar suara apa pun dari orang dalam goa itu. Dia juga tidak melihat
luncuran panah api. Di dalam hatinya, hanya dapat menduga-duga. Kembali dia
melangkah memasuki goa sejauh satu depa lebih. Tiba-tiba tampak seberkas cahaya
suram yang terpancar dari sebuah celah kecil.
Celah itu besarnya kurang lebih seperti kepalan tangan. Keadaan di dalam goa itu
begitu gelap. Dengan adanya seberkas cahaya itu yang meskipun suram, tapi keadaan
di dalam goa dapat dilihat. Tampak di bagian depan terdapat sebuah pintu batu. Celah
itu adanya di atas pintu batu.
461 Ketika melihat keadaan itu, si kakek langsung menyadari bahwa dirinya telah tertipu.
Sepasang kakinya menghentak, dengan panik dia mengundurkan diri ke belakang.
Terdengar suara desisan dari celah kecil itu, yang kemudian disusul dengan
meluncurnya titik berwarna hijau. Orang di dalam goa tertawa terkekeh-kekeh. Titik
sinar hijau terus meluncur memburu si kakek.
Meskipun gerakan tubuh kakek itu ketika menyurut mundur sudah terhitung bukan
main cepatnya. Tetapi luncuran titik hijau itu ternyata lebih cepat lagi.
Cring . . .! Dalam sekejap mata titik hijau itu sudah beradu dengan perisai berbentuk
orang tadi. Ketika titik sinar itu beradu dengan perisai besi, langsung terdengar suara ledakan
yang dahsyat. Percikan api yang jumlahnya tidak terkirakan memenuhi seluruh tempat
itu. Sekaligus menimbulkan suara desisan yang menyelimuti tubuh si kakek.
Meskipun bagian depan tubuh kakek itu sudah dilindungi sebuah perisai dan
kepalanya sudah ditutupi lembaran jala, ternyata dua percikan api sempat mengenai
tubuhnya. Meskipun hanya dua percikan bunga api yang kecil, tetapi hebatnya bukan
main, bahkan lebih dahsyat daripada kobaran api yang besar. Kakek itu memekik
histeris. Tubuhnya yang terus mencelat ke belakang, bergerak semakin panik. Tidak
lama kemudian dia sudah sampai di depan goa. Dia menggelindingkan tubuhnya di
atas tanah beberapa kali, agar api yang memerciki tubuhnya padam. Rasa sakitnya
demikian hebat sehingga peluh membasahi seluruh tubuhnya.
Wajah orang tua itu berubah semakin tidak enak dilihat. Kemarahannya hampir tidak
tertahankan lagi. "Baik, aku ingin lihat, kau keluar atau tidak dari tempat
persembunyianmu."
"Tumpukkan ranting-ranting kering kemudian bakar!" perintah kakek kepada si Gagu.
Kepandaian kakek itu tampaknya sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Jelas tenaga
dalam-nya juga hebat. Dalam keadaan marah, dia mengeluarkan suara bentakan yang
demikian kerasnya. Suaranya berkumandang masuk melalui lorong dan mencapai
dalam goa. Tentu saja orang yang ada dalam goa itu juga dapat mendengarkan dengan jelas setiap
patah kata yang diucapkan oleh kakek itu.
"Un . . . tuk a ... pa kau bawa aku kesini?" Terdengar seseorang bertanya dengan suara
lemah. "Tidak perlu kau urus!" Suara yang melengking dan tidak enak didengar
menyahutnya. Orang pertama yang mengajukan pertanyaan tidak lain adalah Lie Cun Ju.
Ternyata, ketika terhantam pukulan I Ki Hu, Tao Ling yang dipeluknya berhasil
terlepas. Kemudian I Ki Hu menghantamnya sekali lagi, sehingga tanpa dapat bertahan
462 diri tubuh Lie Cun Ju meluncur ke dalam jurang. Dalam hati dia yakin, bahwa dirinya
pasti mati. Dalam kegugupannya, Lie Cun Ju jatuh tidak sadarkan diri.
Tetapi, tidak lama kemudian perlahan-lahan dia siuman kembali. Begitu membuka
matanya, dia menemukan dirinya terbaring di dalam sebuah pondok. Dia berbaring di
atas balai-balai rotan. Pondok itu kosong, dengan arti tidak ada orang lainnya.
Sesaat kemudian, pikiran Lie Cun Ju semakin sadar. Tetapi dia tidak tahu di mana
dirinya berada, dan siapa gerangan yang menolongnya. Justru ketika dilanda
kebingungan, tiba-tiba dari luar pondok terdengar suara bentakan yang menyakitkan
gendang telinga.
"Tua bangka tidak tahu mampus! Apakah kau ada di dalam?"
Sekali lagi Lie Cun Ju tertegun. Karena saat itu dia baru siuman dari pingsan. Dia
tidak tahu siapa orang yang datang dan lebih-Iebih tidak tahu siapa si Tua tidak tahu
mampus yang dipanggilnya.
Itulah sebabnya Lie Cun Ju terpaksa berdiam diri. Sesaat kemudian, terdengar lagi
suara yang menusuk gendang telinga itu.
"Tua bangka tidak tahu mampus, aku rasanya mendengar suara orang keempat di
dalam pondokmu itu, apakah kau sudah melanggar sumpahmu sendiri?"
Lie Cun Ju masih dilanda kebingungan. Baru saja dia ingin mengatakan bahwa tuan
rumah sedang tidak ada di tempat, pintu pondok itu sudah terbuka. Lie Cun Ju
mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa yang masuk. Ketika melihat dia
menjadi tertegun.
Dalam bayangannya, orang yang suaranya begitu tidak enak didengar itu pasti
mempunyai bentuk wajah yang mengerikan dan tampang garang. Tetapi tidak
disangka, orang yang me-ngeluarkan suara bentakan tadi ternyata seorang perempuan
berusia kurang lebih empat puluhan tahun dengan tubuh kekar seperti laki-laki.
Lie Cun Ju segera menenangkan diri.
"Tempat apa ini?" tanyanya pada perempuan itu.
Perempuan itu juga sempat tertegun ketika melihat Lie Cun Ju, namun sekejap
kemudian wajahnya tampak berseri-seri dan tertawa ter-bahak-bahak.
"Ternyata si tua bangka itu omongannya tidak dapat dipercaya," ucapnya.
Sembari berbicara, tangan perempuan itu menghantam ke depan. Sebuah kursi hancur
beran-takan oleh pukulannya. Perasaan Lie Cun Ju terkejut setengah mati menghadapi
situasi seperti itu. Perempuan itu menolehkan kepalanya dan menatap Lie Cun Ju
lekat-lekat. "Apakah kau pernah sampai di istana rahasia yang terdapat di sebelah barat Gunung
Kun Lun san?" tanya perempuan itu dengan suara melengking.
463 Lie Cun Ju benar-benar tidak habis pikir mengapa perempuan itu bisa tiba-tiba
mengajukan pertanyaan itu.
"Benar," jawab Lie Cun Ju asal-asalan.
Sebetulnya, istana rahasia di sebelah harat Gunung Kun Lun san itu, setiap tokoh bu
lim yang ternama pasti tertarik perhatiannya. Dan urat-urat merah yang menonjol di
wajah Lie Cun Ju, membuat perempuan itu mengira Lie Cun Ju juga pernah
mengunjungi istana rahasia itu.
Perempuan setengah baya itu maju satu langkah. Jarak antara perempuan itu dan Lie
Cun Ju sudah dekat sekali, sehingga pemuda itu dapat melihatnya agak jelas.
Meskipun wajahnya biasa-biasa saja, tetapi sepasang matanya menyorotkan sinar
kesesatan. Membuat orang yang menatapnya langsung merasa meremang bulu
kuduknya. Perempuan itu menghampiri Lie Cun Ju. Tiba-tiba dia menjulurkan tangannya
mencekal lengan pemuda itu. Lie Cun Ju menjerit kesakitan tetapi perempuan itu tidak
memperdulikannya.
"Apa yang kau temukan di dalam istana rahasia itu" Apakah kau mempunyai Tong
tian pao liong" Apakah kau mempunyai anglo emas penembus langit?"
Lie Cun Ju ditanya secara bertubi tubi oleh perempuan setengah baya itu. Dia menjadi
ke-labakan sehingga tidak tahu bagaimana harus menjawab. Justru di saat hatinya
masih dilanda kebingungan, tiba-tiba tampak mimik wajah perempuan itu agak
berubah. Hampir dalam waktu yang bersamaan, perempuan itu menjulurkan kepalanya sedikit
seakan sedang mendengarkan sesuatu dengan seksama. Kemudian menjulurkan
tangannya mencekal Lie Cun Ju. Telapak tangannya menghantam ke depan beberapa
kali. Dalam waktu yang singkat seisi pondok itu jadi berantakan. Tidak ada satu pun
perabotan yang utuh. Setelah itu ia melesat keluar dari pondok membawa Lie Cun Ju.
Keluar dari pondok, Lie Cun Ju melihat bentangan cahaya berwarna keperakan.
Meskipun tubuh Lie Cun Ju sedang terluka parah, tetapi pikirannya masih sadar.
Begitu melihat jala besar itu, hatinya tergerak seketika.
Tetapi gerakan perempuan itu begitu cepat, maka pemuda itu tidak sempat berpikir
banyak. Tidak lama kemudian, Lie Cun Ju dibawa masuk ke dalam sebuah lorong goa
dan sampai di sebuah ruangan batu. Lie Cun Ju diletakkan di atas sebuah tempat tidur
batu. Tak lama kemudian, dari luar terdengarlah suara si kakek yang tidak enak
didengar. Pikiran pemuda itu semakin bingung.
Dengan perasaan gundah, mereka menunggu. Akhirnya kakek itu pergi juga. Si
perempuan setengah baya itu merapatkan pintu batu kemudian mengganjalnya dengan
sebatang besi. Lalu dia menolehkan kepalanya kembali.
"Siapa yang melukaimu?" tanya perempuan itu.
464 "Gin Leng Hiat Ciang, I Ki Hu."
Perempuan setengah baya itu hanya mengeluarkan suara 'oh . . .' Nama I Ki Hu
tampaknya tidak membawa pengaruh apa-apa terhadapnya.
"Cepat kau ceritakan pengalamanmu di istana rahasia itu!" kata perempuan itu.
Lie Cun Ju menghela nafas beberapa kali, sekujur tubuhnya masih terasa sakit,
sehingga kadang-kadang dia tidak dapat mempertahankan diri dan mengerang.
"Apa yang ingin kau ketahui dan untuk apa?" tanyanya.
Perempuan itu tampak marah sekali mendengar kata-kata Lie Cun Ju.
"Aku hanya menyuruh kau menceritakan pengalamanmu. Urusan lain tidak perlu kau
tahu. Hati-hati kalau aku memecahkan batok kepalamu."
Ketika berlangsung pembicaraan antara si perempuan setengah baya dengan orang tua
di luar goa, Lie Cun Ju sudah dapat menduga bahwa orang yang menolongnya dari
bawah jurang di saat ia terjatuh sebenarnya orang tua di luar goa itu. Kesannya
terhadap si perempuan setengah baya memang sudah kurang baik.
Saat itu, perempuan setengah baya itu kembali memaksanya dengan kasar. Hati Lie
Cun Ju jadi mendongkol.


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku toh orang yang sudah pernah mati satu kali apalagi yang perlu ditakutkan?"
katanya sambil tertawa dingin.
Wajah perempuan itu berubah hebat. Tiba-tiba dia berjalan lagi menuju pintu batu.
Tepat pada saat itu si kakek juga sampai di dalam lorong. Perempuan itu
menyambitkan panah apinya sehingga kakek itu terdesak keluar.
Tidak lama kemudian, suara kakek itu berkumandang lagi ke dalam ruangan batu
tempat mereka berada. Saat itu tubuh Lie Cun Ju sedang terluka parah sehingga tidak
dapat sembarangan bergerak. Hatinya terkejut sekali mendengar kata-kata si kakek.
Dia segera bertanya kepada si perempuan setengah baya.
"Apakah di sini ada jalan keluar yang lain?"
Mimik wajah perempuan berubah sedemikian rupa sehingga sungguh tidak enak
dilihat. "Tidak ada!" sahutnya ketus.
Lie Cun Ju jadi panik sekali.
"Orang itu mulai menumpuk ranting-ranting kering untuk membakar tempat ini,
apakah kita harus terbakar hidup-hidup di sini?"
465 Melihat Lie Cun Ju begitu panik menghadapi situasi ini, perempuan setengah baya itu
justru tertawa dingin.
"Kau toh sudah pernah mati satu kali, apalagi yang perlu kau takutkan?"
Apa yang dikatakan Lie Cun Ju, sebetulnya hanya ungkapan hatinya yang kesal. Apa
yang tidak dapat dilupakannya adalah Tao Ling yang berhasil direbut kembali oleh I
Ki Hu. Mana sudi dia mati begitu saja"
Ketika mendengar sindiran si perernpuan setengah baya itu, Lie Cun Ju jadi gagap
gugup sehingga tidak sanggup berkata apa-apa.
Terdengar perempuan setengah baya itu berteriak melalui celah kecil di atas pintu.
"Tua bangka tidak tahu mampus, kalau kau sampai membakar tempat ini, habislah
semuanya."
Orang tua di luar goa tertawa terbahak-bahak.
"Kalau begitu, keluarlah kau dari dalam goa!"
Perempuan setengah baya itu tertawa dingin.
"Kalau aku sudah keluar nanti, mungkinkah kau bersedia melepaskan aku begitu saja"
Itu sama saja orang bodoh mengigau di siang hari . . ."
Sekali lagi orang tua itu tertawa. "Kita toh tidak mempunyai demam permusuhan apaapa,
mengapa aku tidak bersedia melepaskanmu" Istana rahasia di sebelah barat
gunung Kun Lun san sudah didatangi orang. Kalau kita tidak cepat bergerak, jangan
menyesal apabila rahasia itu terjatuh ke tangan orang lain!"
Dari dalam ruangan batu Lie Cun Ju dapat mendengar jelas pembicaraan yang
berlangsung antara si perempuan setengah baya dengan kakek itu. Dia sadar kedua
orang itu tidak berbeda keadaannya dengan I Ki Hu dan Cen Sim Fu. Sebenarnya
mereka saling bermusuhan, tetapi demi menyelidiki rahasia besar yang menyangkut
Tong tian pao liong, tidak segan-segan menyampingkan semua dendam dalam hati
untuk bekerja sama mencapai maksud bersama.
Diam-diam Lie Cun Ju menarik nafas panjang-panjang dalam hati. Perlahan-lahan dia
mengangkat tangannya lalu meraba tempat tidur batu tempat dia berbaring, lalu
dengan bantuan tumpuan kedua tangannya dia duduk bersandar.
Dalam waktu yang bersamaan, dia merenungkan kembali pertanyaan yang diajukan si
perempuan setengah baya kepada dirinya tadi.
Kenyataannya, mana pernah Lie Cun Ju datang ke sebelah barat Gunung Kun Lun
san" Dia hanya pernah mendengar tentang Tong tian pao liong. Tapi dia sama sekali
tidak tahu rahasia apa yang terkandung dalam Tong tian pao liong itu.
466 Dia tidak mengerti mengapa perempuan setengah baya itu berkeras mengatakan dia
pernah datang ke sebelah barat Gunung Kun Lun san.
Tadi lukanya begitu parah, dia enggan banyak bicara. Karena itu sembarangan saja dia
meng-iakan apa yang ditanyakan perempuan itu. Saat itu, menggunakan kesempatan di
saat perempuan setengah baya itu terlibat pembicaraan dengan si orang tua, dia segera
mengatur pernafasannya, hawa murni dalam tubuhnya juga diedarkan beberapa kali.
Perasaannya jadi jauh lebih nyaman. Tetapi mengingat kembali apa yang dialaminya
tadi, hatinya malah dilanda kebingungan.
Sebab ketika si perempuan setengah baya melihat wajahnya dia langsung yakin
dirinya per-nah datang ke istana rahasia. Keyakinan perempuan itu demikian tebal
sebab entah laba-Iaba merah apa yang menurutnya hanya ada di sebelah barat Gunung
Kun Lun san. Perasaan Lie Cun Ju makin curiga. Apa yang dinamakan laba-Iaba merah saja, baru
didengar-nya tadi. Dia tetap duduk bersandar di atas tempat tidur batu. Terdengar
perempuan itu tertawa aneh beberapa kali.
"Tua bangka, bagaimana kalau kau tidak memegang kata-katamu sendiri, sedangkan
aku tidak dapat mengalahkanmu" Sebaiknya kau ucapkan sumpah berat terlebih
dahulu!" "Apabila aku mengingkari kata-kataku sendiri, biarlah kedua batang pedang yang
tajam itu menembus jantungku sampai mati!" Terdengar suara berat si kakek itu.
Apa yang diketahui Lie Cun Ju tentang Tong tian pao liong, tidak jauh berbeda dengan
umumnya yang diketahui orang-orang bu lim. Itulah sebabnya pembicaraan yang
berlangsung antara si perempuan setengah baya dan orang tua itu, dia juga hanya
mengerti sebagiannya saja. Sedangkan sebagian lainnya lagi justru membuat
pikirannya semakin bingung.
Sementara itu, tampak wajah perempuan setengah baya itu berseri-seri. Dia menoleh
kepada lie Cun Ju sambil tersenyum.
" Kau tidak perlu khawatir. Sekarang kami masih memerlukanmu, tidak mungkin kami
mem-biarkan kau terluka sedemikian rupa. Tenaga dalam si tua bangka itu tinggi
sekali. Dengan bantuannya, luka dalammu pasti bisa disembuhkan," katanya.
Lie Cun Ju hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Perempuan itu
menjulurkan tangannya, ditentengnya Lie Cun Ju kemudian tiang besi yang
mengganjal pintu ruangan batu itu diangkatnya, terakhir dia mendorong pintu batu.
Di depan pintu perempuan itu berdiri bimbang sekian lama. Terdengar kakek itu
berkata lagi. "Aku sudah bersumpah berat, mengapa kau masih tidak keluar juga" Apakah kau
benar-benar ingin aku sampai membakar tempat ini?"
"Kenapa harus terburu-buru?" sahut perempuan itu dengan nada dingin. Selesai
berkata, tampak tubuhnya berkelebat dan melesat keluar goa.
467 Sekejap kemudian, lie Cun Ju merasa pandangan matanya menjadi terang. Tahu-tahu
mereka sudah sampai di luar goa. Ketika matanya memperhatikan dengan seksama,
Lie Cun Ju melihat seorang laki-laki bertubuh kecil kurus sedang menatap perempuan
setengah baya itu dengan pandangan marah. Di sampingnya berdiri seorang laki-Iaki
lainnya yang usianya sudah lanjut sekali. Bibirnya mengembangkan seulas senyuman
yang licik. "Akhirnya kau keluar juga?"
Perempuan setengah baya itu tertawa terbahak-bahak. "Tidak perlu mengoceh yang
bukan-bukan. Sekarang kau semhuhkan dulu luka dalam bocah ini, urusan lainnya
nanti baru kita bicarakan lagi."
Orang itu menjulurkan tangannya untuk menyambut Lie Cun Ju, kemudian
menolehkan kepalanya memberi isyarat kepada si Kecil Kurus. Si Kecil Kurus segera
mengeluarkan sebuah botol porselen kecil dan menuangkan dua butir pil.
Si Kecil Kurus yaitu si Gagu memasukkan dua butir pil itu ke dalam mulut Lie Cun
Ju. Pemuda itu membiarkan saja. Dia merasa telapak tangan si orang tua sudah
menempel di punggungnya.
Dari telapak tangan yang menempel itu, tersalur serangkum hawa hangat yang terus
beredar di seluruh tubuhnya. Kurang lebih setengah kentungan kemudian, seluruh
tubuh Lie Cun Ju terasa nyaman dan segar kembali.
Orang tua itu melepaskan tangannya dari punggung Lie Cun Ju. "Asal kau beristirahat
beberapa hari lagi, lukamu akan semhuh seluruhnya."
Lie Cun Ju berdiri dan menjura dalam-dalam kepada si kakek. "Budi pertolongan Lo
cianpwe sangat besar artinya bagi boanpwe, untuk selamanya boanpwe tidak akan
melupakan budi yang besar ini."
Orang tua itu tersenyum. "Asal kau bisa membawa kami menuju istana rahasia itu,
kami malah yang akan mengucapkan terima kasih kepadamu."
Mendengar kata-katanya Lie Cun Ju menjadi tertegun. "Istana rahasia apa?"
Orang tua dan perempuan setengah baya itu saling lirik sekilas. Wajah perempuan itu
berubah kelam. Dia berkata dengan nada suara yang berat. "Bocah cilik, apa maksud
perkataanmu barusan" Apakah kau sengaja ingin mencari gara-gara dengan kami?"
Lie Cun Ju sudah dapat melihat bahwa di antara kedua orang itu, ilmu si orang tua
tam-paknya lebih tinggi. Sedangkan mereka kedua-duanya bukan terhitung golongan
lurus. Tapi Lie Cun Ju merasa dirinya sudah berhutang budi kepada si orang tua yang
menolong jiwanya. Seandainya orang tua itu meminta pertolongannya, tentunya tidak
menyalahi peraturan dunia kang ouw. Dan apabila permintaannya itu masih sanggup
468 dilaksanakan oleh Lie Cun Ju, tidak bisa dia menolaknya begitu saja. "Masa lo
cianpwe menganggap boanpwe orang yang begitu rendah?"
Sepasang mata si kakek menatap Lie Cun Ju dari atas kepala sampai ke bawah kaki.
Perempuan setengah baya itu berkata dengan suara yang melengking tinggi.
"Sekarang kau mengatakan tidak tahu apa yang disebut istana rahasia, tetapi mengapa
ketika aku menanyakan tadi, kau langsung menjawab iya. Kau sengaja
mempermainkan aku?"
Lie Cun Ju menarik nafas panjang. "Saat itu aku sedang terluka parah, aku pikir toh
tidak ada harapan lagi untuk hidup. Karena itu aku sembarangan mengiakan saja."
Orang tua itu tertawa aneh. "Bocah cilik, kau tidak perlu berbohong lagi. Kalau kau
memang belum pernah datang ke sebelah barat Gunung Kun Lun san, mengapa di
wajahmu bisa terdapat tonjolan urat merah seperti itu?"
Mendengar kata-kata si kakek, Lie Cun Ju terkejut setengah mati. "Cianpwe, apa yang
kau katakan" Wajahku?"."
"Urat-urat merah yang menonjol di wajahmu, tidak diragukan lagi karena disemprot
racun oleh laba-laba merah. Sedangkan laba-laba merah itu binatang yang langka,
kami tahu, hanya di sebelah barat gunung Kun Lun san pernah muncul laba-laba
seperti itu. Kau masih berusaha mungkir?" tukas kakek itu.
Perasaan Lie Cun Ju diselimuti kebingungan. Ketika dia bertemu lagi dengan Tao
Ling, dia pernah melihat wajah perempuan itu yang dipenuhi tonjolan urat-urat merah
yang mengerikan. Apakah saat itu wajahnya juga sudah berubah seperti wajah Tao
ling" Tanpa sadar dia meraba wajahnya sendiri, tetapi dia tidak merasakan adanya keanehan
apa-apa. Perempuan setengah baya itu tertawa dingin. Dia mengeluarkan sebuah kaca dari balik
pakaiannya. "Nih, kau lihat sendiri!"
Lie Cun Ju masih bimbang, dia menyambut kaca itu dan menatap wajahnya Iewat
pantulan cermin. Hampir saja dia menjerit histeris dan membuang kaca yang
dipegangnya. Perempuan setengah baya dan orang tua itu ternyata tidak berbohong, wajahnya sudah
sama seperti Tao Ling, penuh dengan tonjolan urat-urat merah yang mengerikan. lie
Cun Ju sendiri merasa bingung. Dari mana datangnya urat-urat merah itu" Tanpa
dapat menahan diri lagi Lie Cun Ju memeletkan lidahnya, sampai sekian lama dia
tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
"Bocah cilik, sekarang kau sudah harus berkata terus terang bukan?" kata orang tua itu
dengan nada dingin.
Lagi-lagi Lie Cun Ju menarik nafas panjang. "Cianpwe, kau yang menolong selembar
jiwa-ku. Seharusnya apa pun permintaanmu, aku harus menyetujuinya. Tapi urat-urat
merah ini . . . aku sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba wajahku bisa berubah seperti ini
469 ... Aku benar-benar belum pernah mengunjungi istana rahasia di sebelah barat Gunung
Kun Lun san. Lebih-lebih belum pernah melihat apa yang dinamakan laba-laba merah.
Bagaimana bisa disemprot racunnya" Apa yang kukatakan semuanya merupakan
kenyataan, tidak sepatah pun dusta. Aku harap Locianpwe bisa mengerti!"
Wajah orang tua itu berubah hebat, perlahan-lahan dia mengangkat tangannya ke atas.
Pada saat itu, pikiran Lie Cun Ju sudah terang sekali. Kondisi tubuhnya juga sudah
jauh lebih baik, tetapi ilmu silatnya masih menyurut banyak. Lagipula, biarpun dia
belum terluka tetap saja kepandaiannya bukan tandingan si orang tua. Itulah sebabnya
ketika melihat si orang tua mengangkat tangannya dan sepasang matanya menyorotkan
hawa pembunuhan, dia hanya memejamkan matanya dengan tenang. Dia sudah siap
mati di tangan orang tua itu. Tetapi, setelah menunggu beberapa saat, telapak tangan si
orang tua belum mendarat juga di tubuhnya.
Ketika Lie Cun Ju membuka matanya dia melihat telapak tangan orang tua itu hanya
tinggal setengah kaki saja. Serangkum hawa dingin mulai mendesak ke wajahnya.
Sekali lagi Lie Cun Ju menarik nafas panjang.
"Mohon tanya kepada locianpwe, kapan sebetulnya locianpwe menemukan wajah
boanpwe dalam keadaan demikian?"
"Ketika aku mengangkatmu dari dalam air, keadaanmu sudah seperti itu."
Sekali lagi Lie Cun Ju tertegun. "Cianpwe, aku cuma tahu, ketika aku tercebur ke
dalam jurang itu, wajahku belum ada urat-urat merah yang menonjol ini."
Apa yang dikatakan Lie Cun Ju, setiap patah katanya merupakan kenyataan, tapi orang
tua itu tidak mau percaya juga. Dia melirik sekilas kepada si perempuan setengah
baya. "Apakah kau yang menyuruhnya agar jangan mengatakan apa-apa?"
Wajah si perempuan setengah baya menyiratkan kemarahan. "Tua bangka, kau berani
menyangka yang bukan-bukan?"
"Baik, bocah cilik. Kalau kau tidak bersedia membawa kami ke istana rahasia itu, kau
akan rasakan kekejian tanganku."
Hati lie Cun Ju lama-lama mendongkol juga. "Aku kan tidak pernah kesana,
bagaimana aku bisa membawa kalian mengunjungi istana rahasia itu?" katanya serius.
Perempuan setengah baya itu tertawa licik. "Tua bangka, buat apa kau banyak bicara
dengannya sekarang" Yang penting kita sama-sama tahu jalan masuk menuju istana
rahasia itu. Kita bawa saja dia ke sana, kalau dia masih menyayangkan selembar
nyawanya, tentu dia harus membawa kita masuk ke dalamnya."
Orang tua itu merenung sejenak. "Apa yang kau katakan beralasan juga. Baiklah, kita
berangkat sekarang juga!"
Mendengar pembicaraan mereka, hati lie Cun Ju jadi bergidik. Diam-diam dia berpikir
dalam hati, kalau mereka benar-benar membawanya serta, biar bagaimana dia harus
470 menemukan jalan untuk meloloskan diri. Apabila tidak dia pasti akan terkubur
bersama-sama mereka di tempat entah istana rahasia apa itu.
Si kakek dan perempuan setengah baya itu melihat lie Cun Ju tidak mengucapkan
sepatah kata pun, diam-diam hati mereka merasa bangga karena mengira rencana
mereka akan berhasil.
"Tua bangka, sebelumnya aku ingin menegaskan bahwa kita harus mendapatkan
pedang pusaka itu seorang satu!"
Orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Tentu saja!"
Si Gagu yang sejak tadi berdiri di samping tiba-tiba mengeluarkan suara raungan yang
aneh. Perempuan setengah baya itu menoleh kepadanya. "Gagu bau, kau ingin
mendapatkan bagian?"
Tubuh si Gagu bergerak, telapak tangannya langsung mengirimkan sebuah pukulan
kepada perempuan setengah baya itu. Terdengar suara menderu, pukulan si Gagu
ternyata mengandung kekuatan yang dahsyat.
Tubuh perempuan .setengah baya itu berkelebat, dia menggeser ke samping, lengan
bajunya niengibas, setitik sinar berwarna hijau melesat keluar dari lengan bajunya.
Si Gagu tentu sudah tahu kelihaian panah berapi perempuan itu.Cepat-cepat dia
mencelat ke belakang, sebatang panah berapi melesat di sampingnya. Untung saja
gerakan tubuh si Kurus cukup gesit. Dia berhasil menghindarkan diri.
"Jangan berkelahi lagi!" bentak orang tua itu.
Tampaknya si Gagu merasa sungkan sekali kepada si orang tua. Begitu mendengar
bentakan-nya, dia langsung berhenti.
"Kita akan berangkat segera, kau bereskan sampan kita dulu!" kata orang tua itu
kembali. Mimik wajah si gagu tampak menunjukkan perasaannya yang kurang puas, tetapi dia
pergi juga melaksanakan perintah orang tua itu.
Lie Cun Ju berdiri di samping dengan perasaan galau. Pikirannya ruwet sekali. Dia
tidak habis pikir apa yang dimaksud dengan 'pokoknya dari dua batang pedang pusaka,
kita harus mendapatkan satu masing-masing' yang dikatakan perem-puan setengah
baya itu. Sejak dia terjun ke dalam jurang, apa yang dihadapinya merupakan suatu teka
teki yang tidak terjawab.
Mula-mula Lie Cun Ju tidak tahu siapa dan bagaimana asal usul kakek dan perempuan
itu, juga si Gagu. Orang tua itu sudah menolongnya, tetapi belakangan ini justru ingin
mencelakainya. Apakah dia menolong dirinya karena mengandung maksud tertentu"
Lie Cun Ju juga tidak tahu. Terakhir, ketika di tepi jurang berhadapan dengan I Ki Hu,
471 selembar wajah Lie Cun Ju masih baik-baik. Mengapa begitu ditolong oleh si kakek,
langsung berubah demikian mengerikan yakni penuh dengan urat-urat merah yang
bertonjolan" Bukankah semua itu merupakan teka teki yang tidak bisa dijawabnya"
Lie Cun Ju sudah hidup selama tiga tahun di kuil Ga tang. Sehetulnya perasaan hati
pemuda itu sudah hambar dengan apa saja yang menyangkut keduniawian. Segala
pertikaian yang ada di dalam dunia bu lim dianggapnya suatu hal yang menggelikan.


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia menginjakkan kakinya keperkampungan keluarga Sang, hanya untuk satu tujuan.
Yakni dia masih belum bisa membebaskan dirinya dari cinta kasih yang terjalin antara
dirinya dan Tao Ling. Tadinya dia bermaksud mencari gadis itu kemudian diajaknya
tinggal di kuil Ga tang yang tenang dan damai dari segala macam pertikaian di dunia
bu lim. Tapi akhirnya dia malah mendengar kabar bahwa kekasihnya itu sudah
menikah dengan si Raja Ihlis I Ki Hu. Hal itulah yang kemudian menyeret dirinya
dalam berbagai kemelut.
Sementara itu, si perempuan setengah baya dan orang tua itu memaksanya membawa
mereka menuju istana rahasia yang dia sendiri tidak tahu bagaimana bentuknya dan di
mana letaknya. Dia benar-benar tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis
menghadapi kejadian seperti itu. Baru saja dia berpikir untuk mencari alasan yang baik
guna menolak permintaan kedua orang itu, tiba-tiba dari arah pondok berkumandang
suara tawa yang menyeramkan.
Mendengar suara tawa itu, wajah Lie Cun Ju langsung berubah hebat. Untuk sesaat,
sulit melukiskan mimik wajah Lie Cun Ju. Dia seperti terkesima, gembira, tapi juga
menderita. Bahkan apabila ditanyakan, mungkin dia sendiri tidak tahu bagaimana
perasaan hatinya saat itu. Tampak dia tertegun sesaat. "Ling moay, kaukah itu?"
teriaknya kemudian.
Sembari berteriak tubuh pemuda itu melesat bak sebatang anak panah yang terlepas
dari busurnya. Orang tua dan si perempuan setengah baya segera mengikuti dari
belakang. Lie Cun Ju berlari menuju pondok beratap rumbia itu. Ketika ia
mengalihkan pandangan matanya, tampak Tao Ling sedang duduk di atas sebuah
balai-balai dengan tangan begerak-gerak seperti sedang menari. Sementara itu, Lie
Cun Ju juga tertawa terbahak-bahak.
Lie Cun Ju belum sempat mengucapkan sepatab kata pun.
"Bagus sekali. tua bangka. Ternyata kau masih berani menyimpan seorang lagi di
sini," teriak perempuan itu.
"Jangan sembarangan mengoceh dia orang gila"
Lie Cun Ju terkejut setengah mati. Dia segera mengbambur ke depan. "Ling moay!
Ling moay!"
Meskipun jalan darah Tao Ling sudah ditotok oleh si kakek. dan otaknya sudah tidak
waras tetapi kepandaiannya tidak menyurut. Tanpa sadar dia menghimpun hawa murni
dalam tubuhnya dan mendesak jalan darah yang tertotok sehingga bebas.
472 Lie Cun Ju memanggilnya beberapa kali, tetapi sepasang rnata Tao Ling yang kosong
hanya menatapnya tanpa menunjukkan kesan seperti kenal dengannya.
Melihat keadaan Tao Ling, hati Lie Cun Ju terasa perih sekali. "Ling moay, apakah
kau benar-benar sudah gila?"
Baru saja ucapannya selesai, tiba-tiba Tao Ling mengangkat tangannya dan mengibas
ke depan. Pada saat itu hati Lie Cun Ju sedang dilanda keperihan, dan tidak
menyangka akan diserang oleh Tao Ling. Karena itu dia juga tidak menghindarkan
diri. Plok! Pukulan Tao Ling tepat mendarat di pipinya. Sebelah wajah Lie Cun Ju jadi
bengkak seketika.
Lie Cun Ju tertegun kemudian dia berkata. "Ling moay, ini aku!"
Tao Ling tertawa terbahak-bahak. "Kau" Siapa kau" Aku" Siapa pula aku ini?"
Mendengar kata-kata Tao Ling, perasaan Lie Cun Ju seperti terpukul. Dia berdiam diri
sejenak. "Ling moay, kau tidak ingat lagi kepadaku?" katanya lagi.
Tao Ling memandanginva beberapa saat. Tiba-tiba dia menunjuk wajah Lie Cun Ju
dan tertawa aneh. "Bagaimana mungkin aku tidak mengenalmu"
Meskipun kau hangus tinggal abu, aku juga tidak akan melupakanmu. Kau adalah I Ki
Hu!" kata Tao Ling.
"Aku bukan I Ki Hu!" teriak Lie Cun Ju.
Orang tua itu langsung berteriak dengan nada melengking. "Buat apa kau banyak
bicara dengan orang gila seperti dia. Kita harus berangkat sekarang!"
Tiba-tiba Lie Cun Ju membalikkan tubuhnya. "Tunggu dulu!"
"Kenapa?" tanya orang tua itu.
"Kalian pergi saja, aku di sini menemaninya."
Wajah perempuan setengah baya itu langsung berubah garang. "Apa hubunganmu
dengan perempuan gila itu?"
Lie Cun Ju tertegun sejenak. "Dia satu-satunya orang terdekat denganku," jawabnya
tegas. Perempuan setengah baya itu mengernyitkan keningnya. "Kalau begitu perempuan gila
itu tidak boleh dibiarkan hidup!"
Perasaan Lie Cun Ju semakin bingung. "Kenapa?"
473 "Kau harus membawa kami ke sebelah barat gunung Kun Lun san, mana mungkin kita
membawa serta perempuan gila itu" Lebih baik bunuh saja sekarang, agar kau tidak
terus-terusan merindukannya." Selesai berkata, tubuhnya berkelebat, tahu-tahu dia
sudah sampai di samping Tao Ling. Lalu mengangkat tangannya ke atas.
Fuh! Perempuan itu melancarkan serangan ke arah kepala Tao Ling dari atas ke
bawah. Lie Cun Ju terkejut setengah mati. Dia bermaksud menghalangi, tetapi ternyata
perempuan setengah baya itu sudah bergerak terlebih dahulu.
Tampak perempuan setengah baya itu mengirimkan sebuah pukulan, tubuh Tao Ling
bergeser ke samping sedikit. Tao Ling mengeluarkan suara tawa yang aneh, tiba-tiba
juga menjulurkan tangannya menyambut pukulan perempuan itu.
Tao Ling masih duduk di atas tempat tidur. Kedua telapak tangan mereka beradu.
Blam . . .! Tempat tidur yang berupa balai-balai itu berguncang, tubuh Tao Ling terjatuh ke atas
tanah, dia segera menggelinding beberapa kali.
Perempuan setengah baya itu mendengus satu kali. "Ternyata masih sanggup menahan
pukulanku."
Hal itu membuat kemarahannya semakin meluap. Dia ke depan satu tindak,
sekonyong-konyong menjulurkan kedua jari tangannya dan mengincar ubun-ubun
kepala Tao Ling. Seandainya sampai tertotok, tidak usah diragukan lagi selembar
nyawa Tao Ling pasti sulit dipertahankan.
Meskipun luka Lie Cun Ju belum sembuh dengan sempurna, mana mungkin dia tidak
per-dulikan mati hidup Tao Ling" la segera mengeluarkan suara bentakan, tubuhnya
bergerak menerjang ke arah perempuan setengah baya itu.
Perempuan setengah baya itu mengibaskan tangan kirinya. Serangkum angin yang
kencang menghempas tubuh Lie Cun Ju sehingga terhuyung-huyung mundur beberapa
langkah. Jarak jari tangannya sudah demikian dekat dengan ubun-ubun kepala Tao
Ling. Hati Lie Cun Ju panik sekali. "Kalau dia mati, jangan harap aku bisa hidup lebih
lama!" teriaknya keras-keras.
Mendengar ucapannya, gerakan tangan perempuan setengah baya itu terhenti seketika.
Dia menolehkan kepalanya memandang si kakek, seakan-akan ingin meminta
pendapatnya untuk mengatasi masalah itu.
Mimik wajah orang tua itu tampak serba salah. Dari urat-urat merah yang menonjol di
wajah Lie Cun Ju, mereka yakin pemuda itu pernah mendatangi istana rahasia di
sebelah barat Gunung Kun Lun san. Itulah sebabnya mereka meminta pemuda itu
sebagai penunjuk jalan. Kalau tidak, mungkin sejak semula Lie Cun Ju sudah mati.
474 Seandainya pada saat itu Lie Cun Ju nekat, mereka memang bisa membunuh keduanya
dengan mudah, tapi mereka juga tidak mendapatkan apa-apa. Yang terpikirkan dalam
benak keduanya hanya kepentingan diri mereka sendiri.
Lie Cun Ju melihat kedua orang itu berdiam diri sekian lama. "Aku berkata yang
sebenarnya tapi kalian tetap tidak percaya. Aku benar-benar belum pernah
mengunjungi sebelah barat Gunung Kun Lun san itu, tetapi dialah yang pernah pergi
ke sana." Tangannya menunjuk ke arah Tao Ling.
Orang tua itu menatap Lie Cun Ju lekat-lekat. "Maksudmu, kau ingin kami
mengajaknya serta?"
Lie Cun Ju menatap Tao Ling sekilas. Tampak mimik wajah Tao Ling yang datar,
kemungkinan benaknya juga kosong melompong. Diam-diam dia berkata dalam hati,
meskipun kami membawanya serta, kemungkinan sesampainya di istana rahasia itu,
dia juga tidak bisa mengingat apa-apa. Tapi, seandainya dia tidak bisa hidup sampai
tua bersama-sama Tao Ling, apa salahnya mati bersama-sama"
Setelah merenung sejenak, pandangan Lie Cun Ju terhadap kehidupan menjadi tawar
kembali. "Tidak salah," jawabnya.
Orang tua dan perempuan setengah baya itu saling melirik sekilas.
"Baiklah, mari kita berangkat!"
Lie Cun Ju menghampiri Tao Ling dan menjulurkan tangannya merangkul pundak
perempuan itu. Dia berusaha menahan keperihan hatinya.
"Ling moay, kita akan meninggalkan tempat ini."
Tao Ling tertawa cekikikan.
"Kemana?"
"Kesebuah tempat yang jauh sekali. Hanya kita berdua. Bagaimana?"
Tao Ling memalingkan wajahnya.
"Siapa kau?"
Lie Cun Ju menarik nafas panjang. Dia menarik Tao Ling sekuat tenaga. Tubuh Tao
Ling tertarik bangun, berikut dengan rantai yang mengikat tangannya.Tiba-tiba dia
memekik aneh, tubuhnya mencelat ke atas dan mengangkat tangannya. Tampaknya dia
hendak menghantam Lie Cun Ju dengan tiang besi yang menyambung tali rantainya
itu. Lie Cun Ju terkejut setengah mati. Dia berdiri terpaku tanpa tahu apa yang harus
dilakukannya. Tampaknya kalau tiang besi sampai menghajar kepalanya, selembar
jiwa Lie Cun Ju pasti melayang.
475 Dalam keadaan yang darurat itu, tiba-tiba si orang tua menggerakkan tangannya, tahutahu
tiang besi itu sudah tercekal olehnya. Kemudian tubuhnya mendoyong ke depan,
dengan tiang besi itu, dia mendorong tubuh Tao Ling sehingga terdesak mundur
beberapa langkah. Sembari bergerak, dia menolehkan kepalanya. "Bocah cilik,
bagaimana mungkin kita membawa orang gila seperti ini?" teriaknya.
Pundak Tao Ling terhempas oleh dorongan tiang besi di tangan orang tua. Setelah
terhuyung-huyung mundur beberapa tindak, dia pun jatuh terduduk di atas tanah. Tapi
tampaknya dia tidak mengalami luka apa-apa. Lie Cun Ju segera menghampirinya.
"Pokoknya kemana pun dia pergi, aku harus ikut serta. Demikian pula dia."
Orang tua itu mendengus dingin. Dia menerjang ke depan dan secepat kilat jari
tangannya bergerak. Beberapa jalan darah di tubuh Tao Ling telah tertotok olehnya.
Kemudian dia mengempit tubuh Tao Ling dan dibawanya berlari ke depan.
Lie Cun Ju dan perempuan setengah baya itu bergegas mengikuti dari belakang. Tidak
lama kemudian mereka sudah sampai di tepi perairan.
Tampak si Gagu sudah menyiapkan perahu yang cukup besar. Dia sedang menunggu
mereka di celah goa. Ketiga orang itu meloncat ke atas perahu. Orang tua itu pun
menurunkan tubuh Tao Ling. Lie Cun Ju segera membungkuk di sampingnya dan
terus menguraikan air mata melihat keadaan Tao Ling yang mengenaskan.
Tidak lama kemudian, mereka sudah keluar dari celah goa. Mereka sudah sampai di
lautan yang luas. Mengikuti gerakan ombak yang deras, perahu itu terus melaju ke
depan. Akhirnya mereka berada di tengah lautan yang airnya lebih tenang. Si Gagu
mengambil dayungnya dan menggerakkannya dengan cepat. Kira-kira dua kentungan
kemudian, mereka melihat daratan. Si Gagu menepikan perahunya. Mereka berempat
meloncat turun. Lie Cun Ju tampak memondong tubuh Tao Ling.
Keempat orang itu menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Kira-kira belasan li
jauhnya mereka berjalan, sudah sampai di jalan raya.
"Sesampainya di kota, kita harus mencari kereta kuda untuk membawa perempuan gila
ini," kata orang tua itu.
Lie Cun Ju tahu, Tao Ling menjadi gila karena tidak tahan mengalami pukulan hatin
ketika mengetahui dia terjatuh ke dalam jurang. Perempuan itu pasti mengira dia
sudah mati. Jiwanya yang terguncang membuat pikirannya menjadi kurang waras.
Mendengar sebutan si orang tua, hatinya seperti disayat sembilu.
"Locianpwe, kau tidak boleh menyebut kata-kata itu terhadap Tao kouwnio!"
Orang tua itu tertawa dingin.
"Betul. Seharusnya aku mengatakan cari kereta kuda untuk membawa bidadarimu."
Lie Cun Ju memandang Tao Ling sekejap. Pada saat itu, wajah Tao Ling sudah cacat
karena penuh dengan urat-urat merah yang bertonjolan. Kenyataannya wajah itu
476 memang mengerikan sekali, tetapi dalam pandangan Lie Cun Ju, dia tetap merupakan
gadis tercantik yang pernah ditemuinya selama hidup.
Lie Cun Ju menarik nafas panjang. "llmu kalian begitu tinggi, apakah tidak bisa
menyembuhkan penyakit Tao kouwnio ini?" ucapnya.
"Tunggu sampai kita sampai dulu di istana rahasia, mungkin kita bisa menemukan
cara untuk menyembuhkannya."
Mendengar kata-kata kakek itu hati Lie Cun Ju menjadi gembira. "Apakah benar kalau
kita sudah sampai di sana kalian mempunyai cara untuk menyembuhkannya?"
Orang tua itu tertawa licik. "Mengapa kau begitu panik, tentu kami sudah mempunyai
pertimbangan tersendiri."
Di dalam hati Lie Cun Ju timbul secercah harapan mendengar kata-kata si orang tua.
Asalkan Tao Ling dapat disembuhkan, dia rela mengorbankan apa saja. Apalagi dalam
bayangannya pergi ke istana rahasia bukan suatu hal yang sulit sekali.
Lie Cun Ju merenung sejenak. Meskipun ada terlintas dalam benaknya bahwa
mungkin saja orang tua itu mendustainya karena takut mereka akan melarikan diri
dalam perjalanan. Tetapi, meskipun harapan itu kecil sekali, setidaknya lebih baik
daripada tidak sama sekali. Karena itu dia pun menganggukkan kepalanya.
"Baiklah. Tapi bagaimana pun aku harus mengatakan bahwa sesungguhnya aku belum
pernah mendatangi sebelah barat Gunung Kun Lun san itu."
Perempuan setengah baya itu tertawa melengking. "Pernah atau tidak, buat apa kau
mengatakannya sekarang?"
Melihat kedua orang itu tetap tidak percaya dengan kata-katanya, Lie Cun Ju hanya
bisa menarik nafas diam-diam. Dia juga malas berdebat lebih lanjut.
Keempat orang itu sampai di sebuah kota kecil. Dibelinya sebuah kereta kuda. Si
Gagu dan orang tua itu duduk di depan mengendalikan jalannya kereta. Perempuan
setengah baya, Lie Cun Ju dan Tao Ling duduk di belakang.
Kereta kuda itu terus melaju ke arah utara. Lie Cun Ju dan Tao Ling tidak pernah
berkata-kata. Setiap selang satu hari, orang tua itu akan membuka totokan pada jalan darah Tao Ling
dan memaksanya menelan sedikit makanan, kemudian baru menotoknya kembali.
Lie Cun Ju mengingat kembali masa lalunya ketika pertama kali bertemu dengan Tao
Ling, juga kerinduannya selama bertahun-tahun terhadap gadis itu. Sekarang,
meskipun setiap hari dia dapat bersama-sama dengan Tao Ling, tapi gadis itu sudah
gila. Perasaan hati Lie Cun Ju saat itu dapat dibayangkan. Sepanjang perjalanan, boleh
dibilang tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun.
477 Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu bulan, mereka sudah keluar dari Giok
bun kwan. Udara dingin sekali. Pada malam itu sekonyong-konyong salju turun
dengan derasnya. Dalam waktu yang bersamaan, angin seperti mengamuk, membuat
salju-salju beterbangan. Suaranya menggetarkan gendang telinga. Jalan di depan
demikian samar tertutup kabut sehingga pemandangan menjadi tidak jelas.
Orang tua itu membentak nyaring. Dia menghentikan keretanya di tepi jalan. Lalu
bersama-sama masuk ke dalam kabin kereta. Untung saja kabin kereta itu cukup luas,
sehingga empat orang mengisi di dalamnya pun tidak terasa sempit.
Kedua orang itu mengibas-ngibaskan tangannya setelah masuk ke dalam kereta. Orang
tua itu mengernyitkan keningnya. "Kalau salju ini turun terus menerus, perjalanan kita
bisa terhambat."
"Apa yang dikhawatirkan kalau kita terlambat?" kata perempuan setengah baya itu
dingin. Orang tua itu mendengus kesal. "Sekarang ini para tokoh dunia bu lim sudah banyak
yang mengetahui rahasia itu. Apabila sampai didahului orang lain, jerih payah kita
selama ini akan sia-sia. Lebih baik kita mendahului mereka."
Perempuan setengah baya itu tertawa terbahak-bahak. "Takut apa" Kecuali jala Gin
hun bang milikku itu, siapa yang berani sembarangan menyentuh kedua batang pedang
pusaka itu. Ingin cari mati?"
Wajah orang tua itu langsung menjadi garang. "Jala perak siapa?"
Wajah si perempuan setengah baya itu tampak menyiratkan kemarahan yang meluapluap.
Bibirnya sampai bergetar. Seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya
keinginan saja, tidak berani dia mengutarakannya.
Orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh. "Dulu, kau boleh mengatakan jala itu milikmu.
Tetapi kau sendiri yang rela menyerahkannya kepadaku untuk ditukarkan dengan
selembar nyawamu. Masa sampai sekarang kau baru menarik kembali kata-katamu
sendiri?" Wajah perempuan setengah baya itu sungguh tidak enak dilihat. Sampai cukup lama
dia terdiam. "Tua bangka, kau ingin menelan sendiri Gin hun hangku itu?" tanyanya
kemudian. "Kapan aku pernah bilang begitu?" sahut orang tua itu sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Mimik wajah perempuan setengah baya itu berubah agak enak dilihat. Tepat pada saat
itu juga, tiba-tiba terdengar suara binatang dari tempat yang tidak begitu jauh.
"Jangan ribut, ada yang datang!"
"Ngaco! Itu hanya suara salakan anjing, mana ada orang datang?"


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

478 "Coba dengar lagi!"
Perempuan setengah baya itu mendengarkan dengan seksama. Samar-samar Lie Cun
Ju juga sudah mulai mendengar. Seiring dengan suara lolongan atau salakan binatang
itu, dia juga mendengar suara pecut yang dilontarkan. Perempuan setengah baya itu
membuka tirai penyekat kereta. Dia melongokkan kepalanya keluar, serangkum angin
dingin menerpa wajahnya. Tampak salju putih menghampar di mana-mana. Delapan
ekor anjing hutan menarik sebuah kereta salju. Gerakannya cepat sekali, sehingga
orang yang melihatnya pasti akan terkagum-kagum.
Melihat keadaan itu, wajah si perempuan setengah baya langsung berseri-seri. "Tua
bangka, kita sudah mendapat jalan keluar."
Pada saat itu si orang tua juga sudah melihat luncuran kereta salju yang dihela delapan
ekor anjing hutan itu. "Jangan cari masalah. Kemungkinan orang yang datang itu
bukan tokoh sembarangan."
Di saat pembicaraan berlangsung, jarak kereta salju itu sudah semakin dekat. Tampak
orang yang duduk di atas kereta salju itu mengenakan sehelai mantel yang cukup tebal.
Bagian kepalanya ditutupi dengan sehelai kain sehingga wajahnya tidak dapat terlihat
dengan jelas. Perempuan setengah baya itu mengeluarkan suara tertawa dingin.
"Tua bangka, mengapa kau sekarang berubah jadi penakut?" Selesai berkata, tubuhnya
bergerak menyelinap keluar dari kabin kereta. la mengibaskan tangannya, setitik sinar
berwarna hijau melesat ke depan secepat kilat.
Orang tua itu mengernyitkan keningnya, Dia juga melongokkan kepalanya lewat tirai
kereta. Tampak kereta salju itu tiba-tiba dilambatkan, timbullah bunga-bunga salju
yang bercipratan kemana-mana. Orang yang duduk di atas kereta salju itu
mengayunkan pecutnya, tahu-tahu panah berapi yang disambitkan perempuan
setengah baya tadi sudah terlilit olehnya. Kemudian dia melontarkannya lagi ke depan.
Bum . . .! Panah berapi itu meledak.
Perempuan setengah baya itu tertegun sejenak. "Kepandaianmu hebat!" katanya.
Suaranya yang melengking tinggi diadu dengan desiran angin, membuat perasaan
orang yang mendengarnya jadi bergidik. Orang itu tidak mengucapkan sepatah kata
pun. Dia menghentakkan pecutnya ke depan. Kedelapan ekor anjing hutan itu melesat
lagi ke depan. Dalam waktu yang singkat dia sudah melesat melewati perempuan
setengah baya itu.
Tar . . .! Tar . . .! Tar . . .! Ketika kereta salju melalui kereta kuda mereka, orang itu
mengayunkan pecutnya tiga kali ke arah perempuan setengah baya.
Ketiga pecutan itu berbahaya sekali, datangnya juga terlalu mendadak. Timbul belasan
bayangan pecut melayang ke arah tubuh perempuan setengah baya itu.
479 Dasar kepandaian perempu in setengah baya itu memang tidak lemah. Ketika melihat
keadaan yang kurang beres, cepat-cepat dia menghindarkan diri. Tetapi sudah
terlambat. Tar . . .! Orang itu mengayunkan pecutnya kembali. Bagian pundak perempuan itu
sudah kena ayunan pecut orang di atas kereta salju.
Perempuan setengah haya itu memekik histeris kesakitan, tubuhnya terhuyung-huyung
ke be-lakang. Sedangkan dalam waktu yang demikian singkat, kereta salju itu sudah melesat lagi
sejauh tiga-empat depa.
"Tua bangka, apakah sampai sekarang kau masih belum keluar juga?" teriaknya.
Orang tua itu tertawa terbahak-bahak. "Sejak tadi aku sudah mengatakan jangan cari
gara-gara. Kau sendiri yang tidak mau mendengarkan nasehatku. Sekarang kau malah
meminta pertolongan kepadaku?" Sembari berbicara, tubuhnya melesat keluar dari
pintu kereta. Gerakannva yang sangat cepat, termasuk langka ditemukan. Seperti
seekor burung aneh yang tiba-tiba terbang di atas permukaan salju.
Setelah melesat keluar, orang tua itu sempat menghentakkan kakinya di atas salju lalu
menerjang lagi ke depan. Pada saat itu, salju yang memenuhi permukaan tanah sudah
cukup tebal. Tetapi herannya tidak ada sedikit pun bekas hentakan kaki kakek itu di
atas permukaan salju.
Dalam beberapa kali loncatan saja, kakek sudah berhasil mengejar kereta salju tadi.
"Sahabat, tunggu sebentar!" teriaknya keras-keras.
Orang di atas kereta tetap berdiam diri, tidak menyahut sepatah kata pun. Ketika jarak
kakek itu dengan kereta salju sudah tidak seberapa jauh lagi, tiba-tiba orang di atas
kereta salju itu melontarkan pecut di tangannya, timbul suara yang memekakkan
telinga. Ayunan pecutnya melayang ke arah wajah si kakek.
"Bagus sekali!" bentak kakek itu.
Tiba-tiba tubuh kakek itu berjungkir balik ke belakang untuk menghindarkan diri.
Bayangkan saja, dalam keadaan genting seperti itu, ternyata dia bisa menahan
luncuran tubuhnya bahkan berjungkir bidik ke belakang.
Justru ketika tubuhnya berjungkir balik, orang di atas kereta salju sudah gagal
mengincar sasaran-nya.
Yang paling menakjubkan, justru setelah berjungkir balik, kaki kakek itu masih terus
juga meluncur ke depan dan dalam sekejap mata dia sudah melewati kedelapan ekor
anjing hutan yang menarik kereta salju itu.
"Berhenti!" bentaknya keras-keras.
480 Sepasang tangannya disilangkan di depan dada, mendadak dia menghantam ke depan.
Angin yang kencang pun melanda ke arah orang di atas kereta salju itu.
Sejak tadi Lie Cun Ju mengintip dari dalam kereta. Saat itu, dia melihat orang tua itu
melan-carkan dua buah pukulan ke arah orang di atas kereta salju. Yang membuat
perasaannya ter-kesiap, justru sepasang telapak tangannya yang merah tampak seperti
berlumuran darah.
Warna merah berdarah di telapak tangan kakek itu berpadu dengan hamparan salju
yang putih bersih menjadikan suatu pemandangan yang mencolok.
Lie Cun Ju terkejut setengah mati, ternyata orang yang duduk di atas kereta salju juga
tidak kalah terkejutnya. Tubuhnya mencelat ke atas kemudian berjungkir balik ke
belakang satu depa lebih. Dia berhasil menghindarkan diri dari serangan si kakek.
Tangannya terangkat dan disingkapkannya kain pembungkus kepalanya.
"Siapa kau?" bentaknya lantang.
Dalam waktu yang bersamaan, orang tua itu juga membentak.
"Siapa kau?"
Kedua orang itu mengajukan pertanyaan yang sama. Tiba-tiba mereka sama-sama
mengeluarkan seruan terkejut.
"Rupanya engkau!"
Si kakek langsung tertawa terbahak-bahak.
"I ko ya, tidak disangka masih ada hari untuk kita bertemu muka."
Orang di atas kereta salju itu juga tertawa terbahak-bahak, namun dapat dirasakan
bahwa suara tertawanya itu sangat dipaksakan.
"Senang dapat berjumpa kembali."
Pada saat itu, Lie Cun Ju yang masih duduk di dalam kereta juga melihat jelas wajah
orang di atas kereta salju itu ketika kerudung penutup kepalanya dilepaskan. Orang itu
bukan orang lain, tetapi musuh bebuyutannya, juga orang yang paling dibencinya di
dunia ini, Gin Leng Hiat Ciang I Ki Hu.
Sebetulnya, ketika si kakek melancarkan serangan, Lie Cun Ju sudah terkejut setengah
mati melihat telapak tangannya yang merah itu. Memang ada beberapa jenis pukulan
di dunia ini yang bila dilancarkan, telapak tangan orang itu juga akan berubah warna
menjadi merah. Tapi warna merah yang diperlihatkan biasanya agak gelap, tidak segar
seperti pukulan telapak berdarah dari Mo kau. Dan pukulan telapak berdarah itu
memang hanya diwariskan kepada keturunan ketua Mo kau sendiri. Bahkan anak
muridnya saja tidak ada yang mempelajari ilmu pukulan itu.
481 Apalagi setelah melihat kenyataannya bahwa orang tua itu saling kenal dengan I Ki
Hu. Dia sudah dapat menduga bahwa orang tua itu pasti salah seorang angkatan tua
dari pihak Mo kau.
"I ko ya melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa, apakah ada suatu keperluan yang
mendesak sekali" Bolehkah aku menanyakan kemana tujuanmu?" Terdengar si kakek
itu bertanya kepada I Ki Hu.
"Apa maksudmu menghalangi perjalananku?" tanya I Ki Hu dingin.
Orang tua itu mengeluarkan suara siulan yang aneh.
"Tadinya aku ingin meminjam kereta saljumu, tentu saja sekarang tujuannya lain lagi."
I Ki Hu tertawa dingin beberapa kali.
"Bagus sekali. Ada urusan apa harap kau katakan saja agar aku bisa mendengarnya!"
Orang tua itu menatap I Ki Hu dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Beberapa kali
pandangan matanya beredar.
"Belasan tahun tidak bertemu, ternyata I ko ya semakin tampan saja."
Pada saat itu, wajah I Ki Hu tidak berbeda dengan wajah Tao Ling, yakni dipenuhi
dengan urat-urat merah yang bertonjolan. Tentu saja jelek dan mengerikan. Hal itu
membuktikan bahwa ucapan si kakek barusan merupakan sindiran yang tajam.
Wajah I Ki Hu berubah hebat.
"Tua bangka, hanya untuk kata-kata itu kau menghalangi perjalananku?"
Orang tua itu melangkah maju satu tindak.
"Tentu saja masih ada hal lainnya. Dulu, abangku dan istrinya, keponakanku yang
perem-puan, entah berbuat kesalahan apa terhadap dirimu sehingga akhirnya kau
melakukan tindakan demikian keji kepada mereka?"
Mendengar kata-kata kakek itu, lagi-lagi Lie Cun Ju tertegun.
Tempo dulu, I Ki Hu mengkhianati partai Mo kau. Dia membunuh kedua mertuanya,
istrinya bahkan enam belas tokoh angkatan tua atau para tancu dari pihak Mo kau.
Boleh dibilang urusan itu sudah diketahui oleh seluruh umat bu lim.
Sedangkan mendengar nada kata-kata kakek itu, ketua Mo kau lama yang mati di
tangan I Ki Hu justru abang si kakek itu. Kalau memang benar demikian, kedudukan si
kakek di dunia bu lim sudah tergolong tinggi sekali sehingga sulit dicari tandingannya.
Karena dia masih setingkat lebih tua dari pada I Ki Hu.
Pikiran Lie Cun Ju sedang melayang-layang, tiba-tiba dia mendengar si Gagu yang
duduk di sampingnya mengeluarkan suara dari tenggorokannya. Lie Cun Ju
menolehkan kepalanya tampak sepasang mata si Gagu menyorotkan sinar yang buas.
482 Kedua telapak tangannya sudah mengenakan sebuah sarung tangan yang bentuknya
aneh sekali. Sepasang sarung tangan itu bentuknya seperti cakar burung. Ujungnya runcingruncing.
Sepasang matanya mendelik kepada I KI Hu lekat-lekat.
Lie Cun Ju tahu, antara I Ki Hu dengan pihak Mo kau telah terlibat dendam
permusuhan sedalam lautan. Tetapi menurut yang diketahuinya, dulu, I Ki Hu telah
turun tangan dengan telengas sekali. Para tokoh kelas satu Mo kau semuanya mati
terbunuh di tangannya. Meskipun ada beberapa yang sempat melarikan diri, tapi
jumlahnya hanya segelintir dan terdiri dari bu beng siau cut. Meskipun selama
bertahun-tahun ini mereka sangat membenci I Ki Hu, tetapi tidak ada satu pun yang
berani menunjukkan jejaknya di dunia kang ouw. Mereka takut akan didatangi oleh I
Ki Hu. Karena itu pula, mereka tidak berani mengungkit masalah balas dendam.
Seandainya orang tua dan si Gagu benar-benar tokoh angkatan tua Mo kau tempo
dulu, tentu mereka tidak akan melepaskan I Ki Hu begitu saja.
Berpikir sampai di situ, Lie Cun Ju sungguh berharap I Ki Hu dapat mati di tempat
yang berhamparan salju ditangan si kakek.
Setelah mengenakan sarung tangannya, tampak si Gagu mengendap-endap keluar dari
pintu kereta. Tubuhnya terhalang oleh pintu kereta sehingga tidak dapat terlihat jelas.
Apalagi perawakannya memang kecil kurus. Hanya Lie Cun Ju seorang yang tahu dia
sudah menyelinap keluar. Si Gagu merayap di atas permukaan salju sampai kira-kira
lima kaki jauhnya, kemudian dia mengendap di atas tanah.
Salju turun semakin deras. Dalam waktu sekejap seluruh tubuh si Gagu sudah tertutup
lapisan salju. Tetapi dia tetap mengendap di atas tanah tanpa bergerak sedikit pun. Lie
Cun Ju tidak mengerti apa yang sedang dilakukannya. Dia hanya mendengar
perempuan setengah baya itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Tua bangka, itukah keponakan mantumu yang namanya sudah menggetarkan kolong
langit dan merupakan orang terbaik dari pihak Mo kau di jaman keemasannya dulu?"
Wajah si kakek berubah menghijau sehingga menakutkan. "Betul, dia memang
keponakan menantu terbaik dari Mo kau kami."
I Ki Hu tertawa terkekeh-kekeh. "Kwe loyacu . . . Kau sudah hidup lebih lama dari
orang Iain dua puluh tahunan, seharusnya kau sudah merasa puas."
Orang tua itu tertawa terbahak-bahak. "Terima kasih kau telah membiarkan aku hidup
selama dua puluh tahun, tapi sekarang aku juga masih ingin hidup terus. I Ko ya,
keponakan perem-puanku di alam baka pasti sangat merindukan dirimu."
Begitu melihat orang tua itu, Gin Leng Hiat Ciang I Ki Hu terperanjat setengah mati.
Tentu saja dia mengenali bahwa orang tua itu adalah seorang angkatan tua dalam
partai Mo kau tempo dulu. Namanya Kwe Tok. Kedudukan di dalam Mo kau di bawah
Kwe lo kaucu, tetapi masih di atas keenam orang tancu. Lagipula Kwe Tok itu masih
483 saudara kandung dengan kaucu itu. Kepandaiannya tinggi sekali, boleh dibilang sulit
ditemukan tandingannya.
Ketika mengkhianati Mo kau, I Ki Hu sudah menghabiskan banyak waktu untuk
merencana-kannya. Sedangkan dalam rencananya, dia sudah mengambil keputusan
untuk membunuh semua tokoh angkatan tua dari Mo kau.
Tetapi Kwe Tok yang mendapat julukan Siu lo cun cu selalu bepergian seorang diri.
Jarang ada di markas pusat Mo kau. Kecuali di saat putri Mo kau menikah dengan I Ki
Hu. Saat itu dia mengatakan baru kembali dari Lam Hay. Bahkan sempat menetap di
markas Mo kau selama beberapa hari. Selanjutnya tidak pernah terlihat lagi.
Hari itu, I Ki Hu mendapatkan kesempatan yang sangat baik. Itulah sebabnya dia tidak
perduli Kwe Tok ada di tempat atau tidak. Sebab bila dia memhatalkan niatnya, tentu sulit lagi
menemukan kesempatan yang sama. Raja Iblis itu langsung turun tangan dan ternyata
berhasil. Setelah kejadian itu, I Ki Hu terus mencari jejak Kwe Tok ke mana-mana,
tetapi selalu tidak berhasil. Dia henar-benar tidak menyangka, kalau orang tua itu
yakni Kwe Tok dapat ditemukannya di tempat itu.
Lie Cun Ju yang ada dalam kereta, terkejut sekali ketika melihat I Ki Hu melangkah
menghampiri orang tua itu. Niatnya ingin menyemhunyikan diri, tetapi terlambat.
Dengan panik dia memeluk Tao Ling erat-erat.
Si Raja Iblis itu membuka tirai kereta seraya berkata. "Aih! Mengapa kau belum
berangkat juga?"
Lie Cun Ju tidak tahu apa arti pertanyaan I Ki Hu, namun dia tidak menjawah sepatah
kata pun. I Ki Hu membalikkan tubuhnya, hendak meninggalkan kereta itu. Dia tampak tertegun
sejenak lalu niendadak membalikkan tubuhnya lagi dan memperhatikan dengan
seksama. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara tawa yang menyeramkan. "Rupanya kau si
bocah busuk!" katanya. Selesai berkata, tangannya terangkat ke atas hendak
menghantam ubun-ubun kepala Lie Cun Ju.
Pemuda itu terkejut setengah mati, gerakan tangan I Ki Hu bukan main cepatnya.
Dalam keadaan panik dia hanya menggeser tubuhnya sedikit untuk menghindarkan
diri. Pada saat itu juga I Ki Hu melihat Tao Ling dalam pelukannya.
Sekali lagi I Ki Hu tertegun, ketika melongok ke dalam kereta. Dia melihat sepintas
lain seorang pemuda yang wajahnya penuh urat-urat merah sedang memeluk seorang
perempuan. Tadinya dia mengira mereka adalah Tao Heng Kan dan I Giok Hong.
Karena itu dia mengajukan pertanyaan 'Mengapa kau belum berangkat juga"' Seperti
diketahui, Cen Sim Fu mengajak Tao Heng Kan dan I Giok Hong bersama-sama
berangkat menuju sebelah barat Gunung Kun Lun san untuk mengulangi penyelidikan
mereka. Itulah sebabnya 1 Ki Hu heran mengapa Tao Heng Kan dan I Giok Hong
belum berangkat juga. Dan setelah mengajukan pertanyaan, dia sudah melangkah
meninggalkan kereta itu.
484 Tetapi, tiha-tiba I Ki Hu merasa curiga. Rasanya wajah pemuda itu tidak begitu mirip
dengan Tao Heng Kan. Maka dia membalikkan tubuhnya kembali dan memperhatikan
dengan sek-sama. Ternyata kedua orang itu justru Lie Cun Ju dan Tao Ling. Api
amarah dalam dadanya langsung herkobar-kobar. la langsung mendengus dingin.
"Bocah busuk, aku ingin lihat apa kali ini kau masih bisa meloloskan diri?" Dia
menyurut mundur satu langkah, lengannya disilangkan, siap untuk melancarkan
serangan. Hati I Ki Hu dilanda kebencian yang tidak terkirakan. Dalam pandangannya, Tao Ling
tidak bergerak atau bersuara sedikit pun karena sudah mengambil keputusan untuk
mengikuti Lie Cun Ju baik hidup maupun mati. Karena itu dia mengerahkan tenaga
dalam sepenuhnya dan hendak menghancurkan kereta berikut kedua orang di
dalamnya sehingga lebur menjadi satu.
Belum lagi kedua pukulan itu dilancarkan, Kwe Tok sudah berkata. "Tunggu dulu!
Kedua orang itu tidak mungkin membantu aku. Tunggu sampai kita berhasil
menentukan siapa yang menang di antara kita. Masih belum terlambat apabila kau
berniat membunuh mereka."
Mendengar kata-kata si kakek, hati I Ki Hu tergerak. Diam-diam dia berpikir, untung
saja aku belum melancarkan kedua pukulan ini. Apabila tidak kemungkinan Kwe Tok
akan menggunakan kesempatan itu untuk membokongku. Pasti aku akan menderita
luka parah dan tidak sanggup memberikan perlawanan lagi.
Cepat-cepat I Ki Hu menarik kembali pukulannya yang belum sempat dilontarkan.
Dua jari tangannya menjulur ke depan untuk menotok jalari darah lie Cun Ju dan Tao
Ling. Setelah itu dia baru memhalikkan tubuhnya seraya mengeluarkan suara tertawa
yang panjang. "Mari!" katanya.
Pikiran I Ki Hu memang sulit ditebak orang lain. Dia tidak lang.sung mengiakan katakata
Kwe Tok. Sedangkan saat itu juga, dia sudah siap melancarkan serangan yang


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tadi ditundanya kepada musuh di hadapannya itu.
Tapi meskipun sampai di mana liciknya hati I Ki Hu, dia tetap manusia yang tidak
terlepas dari kesalahan. Dia tidak mengetahui masih ada seorang lagi yang tiarap di
atas tanah dengan seluruh tubuh tertutup salju.
Kwe Tok tertawa menyeramkan. "Bagus! I Ko ya memang baik hati."
Diam-diam I Ki Hu berpikir dalam hati, apabila Kwe Tok sudah disingkirkan, berarti
semua musuh hesarnya sudah mampus. Mulai sekarang dia pun dapat hidup tenang
tanpa ada ganjalan apa-apa lagi.
Itulah sebabnya I Ki Hu berhati-hati sekali. Hawa murninya diedarkan sebanyak tiga
kali, kemudian didesakkan ke arah telapak tangan. Lengannya diangkat ke atas,
telapak tangannya berubah warna seperti matahari yang baru terbit.
Siu lo cun cu Kwe Tok yaitu si kakek sadar bahwa kematian abang dan kakak iparnya
dua puluh tahun yang lalu bukan hal yang kebetulan.
485 Setidaknya I Ki Hu memang mempunyai kepandaian yang dapat diandalkan. Karena
itu, dia juga meningkatkan kewaspadaan, perhatiannya dicurahkan sepenuhnya.
Perlahan-lahan dia mengangkat tangannya ke atas dan maju setindak demi setindak.
Da lain sekejap mata jarak Kwe Tok dengan I Ki Hu sudah tinggal tiga kaki. Lambat
laun tampak tangannya menjulur ke depan untuk mengirimkan sebuah serangan.
Tubuh I Ki Hu merendah sedikit, lalu menghantamkan sebuah pukulan ke depan.
Gerakan kedua orang itu tampaknya lamban sekali, tetapi ketika dilancarkan,
kecepatannya justru hampir tidak terbayangkan. Tampak bayangan merah berkelebat,
kedua tangan mereka sudah saling membentur. Blam . . .!
Setelah beradu satu kali, keduanya pun tergetar mundur kira-kira dua kaki.
Pukulan yang dilancarkan I Ki Hu maupun Kwe Tok, sejak awal hingga beradu,
tampaknya sama-sama sudah mengerahkan segenap kekuatannya. Tapi hanya sekali
pukulan keduanya langsung memencarkan diri. Kedua-duanya sama-sama tergetar ke
belakang, sedangkan salju-salju yang berhamburan langsung memenuhi tubuh mereka.
Tidak lama kemudian salju turun semakin deras. Tubuh keduanya tampak tertutup
lapisan salju. Sedangkan saat itu keduanya sedang mengedarkan hawa murni dalam
tubuh. Arus hangat bergerak-gerak, salju yang melekat di tubuh mereka berjatuhan.
Tetapi karena hawanya yang terlalu dingin, belum lagi salju itu menetes di atas tanah,
aliran airnya sudah membeku kembali menjadi batangan es halus yang menggelantung
di pakaian mereka.
Setelah sama-sama tergetar mundur, hati I Ki Hu tersentak kaget sekali. Karena dalam
serangannya tadi, dia merasa pukulannya sudah beradu dengan pukulan lawan padahal
sebetulnya belum. Jarak antara kedua telapak tangan mereka masih satu cun lebih.
Namun karena tenaga dalam mereka sama-sama hebat, belum sempat saling beradu,
angin yang terpancar dari pukulan masing-masing telah menggetarkan lawan.
Dengan demikian I Ki Hu juga menyadari bahwa tenaga dalam Kwe Tok seimbang
dengan tenaga dalam sendiri. Apabila terus mengadu kekerasan akibatnya pasti kedua
belah pihak sama-sama akan terluka parah. Tentu saja I Ki Hu tidak mengharapkan
akibat akan berakhir demikian, karena rahasia besar Tong tian pao liong sudah di
depan mata. Sebetulnya I Ki Hu sedang melakukan perjalanan bersama Cen Sim Fu, Kim Ting
siong jin dan rombongan Coan lun hoat ong menuju sebelah barat Gunung Kun Lun
san. Mengapa tahu-tahu dia bisa muncul di tempat itu.
Rupanya, mereka baru berjalan tidak seberapa jauh, perasaan I Ki Hu terus
mengkhawatirkan Tao Ling. Itulah sebabnya dia balik lagi untuk melihat keadaan
istrinya itu. I Ki Hu menyadari hahwa dia mempunyai seekor Tong tian pao liong,
rombongan Cen Sim Fu dan yang lainnya mau tidak mau harus menunggunya di kaki
Gunung Kun Lun san.
486 Ketika dia sampai kembali ke perkampungan keluarga Sang, Tao Ling sudah
melarikan diri. Hati I Ki Hu panik sekali. Cepat-cepat dia pergi mencarinya. Akhirnya
dia mendatangi tepian jurang tempat Tao Ling menerjunkan diri. Tetapi
kedatangannya terlambat sedikit. Pada saat itu Tao Ling sudah tertolong oleh Kwe
Tok dan dibawanya pergi ke tempat tinggalnya.
I Ki Hu mencari lagi beberapa saat, kemudian melanjutkan perjalanan seorang diri.
Itulah sebabnya dia bisa bertemu dengan Kwe Tok di tempat itu.
Sementara itu, hati I Ki Hu agak menyesal juga terhadap tindakannya sendiri.
Meskipun Tao Ling sedang mengandung anaknya, tapi masih juga tidak memiliki
sedikit pun perasaan terhadap I Ki Hu. Dan dia sendiri yang bersusah payah berusaha
menemukan Tao Ling kembali, malah bertemu dengan Kwe Tok musuh besarnya di
tempat seperti itu.
Setelah berdiam diri beberapa saat, terdengar Kwe Tok tertawa terbahak-bahak.
"Ternyata kepandaian I ko ya memang hebat. Tetapi tetap ada satu hal yang
membuatku penasaran. Pada waktu itu, tenaga dalam abangku itu di atas kekuatanku
sekarang, entah bagaimana caranya I ko ya bisa berhasil membunuh seluruh keluarga
abangku itu?"
Mendengar sindirannya yang begitu tajam, wajah I Ki Hu menjadi merah padam
seketika. Dua puluh tahun yang lalu, dia berhasil mernbunuh ketua Mo kau dan
istrinya justru dengan cara membokong, tetapi hal itu tidak pernah dia utarakan kepada
siapa pun juga.
I Ki Hu tertawa terbahak-bahak untuk menutupi rasa malunya. "Apakah pandangan
Kwe lo yacu terhadap abangmu itu tidak terlalu tinggi?"
Sembari berbicara, dia mengeluarkan sebatang piau kecil dari balik pakaiannya.
Senjata rahasia itu terjepit antara jari telunjuk dan jari tengahnya, yang tampak hanya
bagian ujungnya yang tajam. Raja Iblis sudah bersiap melontarkan senjata rahasia itu.
"Apakah kita hanya mengadu pukulan satu kali saja?" katanya.
Siu Lo Cun Cu Kwe Tok melihat I Ki Hu yang memeriksa kereta. Dia tidak
menemukan si Gagu. Diam-diam dia sudah dapat membayangkan bahwa dia yang
akan memenangkan pertarungan kali ini. Karena keyakinannya yang besar,
perasaannya jadi jauh lebih tenang.
"Tentu saja harus diteruskan sampai ketahuan siapa yang lebih unggul di antara kita!"
sahut Kwe Tok. Lengan tangannya perlahan-lahan terangkat ke atas, kemudian dengan gerakan lambat
menjulur ke depan. Pukulannya sudah dekat dengan dada I Ki Hu. Tiba-tiba Raja Iblis
menggerakkan tangannya menyambut pukulan itu.
Justru tepat pada saat itu juga, Kwe Tok melihat kira-kira empat kaki di belakang I Ki
Hu, salju beterbangan, sesosok bayangan mencelat bangun.
Bayangan itu tadinya sedang tiarap di atas tanah dan dalam keadaan tertutup salju.
Sekarang tiba-tiba mencelat bangun, salju berhamburan ke mana-mana, namun tidak
487 timbul suara sedikit pun. Orang itu nienerjang ke bagian punggung I Ki Hu dengan
kedua tangan merentang ke depan membentuk cakar.
Salju memercik ke mana-mana. Tetapi I Ki Hu tidak dapat merasakan hal itu. Saat itu
salju sedang turun dengan deras, yang jatuh dari langit tidak kalah banyak dengan
yang memercik dari permukaan tanah. Itulah sehabnya I Ki Hu tidak memperhatikan.
Sedangkan I Ki Hu sendiri juga tidak pernah menduga, di saat sebentar lagi dia
mempunyai keyakinan untuk melumpuhkan seluruh lawannya, tahu-tahu masih ada
seorang musuh yang mendekam di atas tanah.
Seluruh perhatian I Ki Hu sedang terpusat pada Kwe Tok. Gerakan tubuh si Gagu
yang melonjak bangun mempunyai kecepatan yang sungguh mengagumkan. Ketika I
Ki Hu curiga mengapa tiba-tiba Kwe Tok menyurutkan pukulannya sedikit, dalam
waktu yang bersamaan, sepasang cakar si Gagu tinggal dua cun lagi sampai di
punggung I Ki Hu.
Biar hagaimana pun, I Ki Hu memang bukan tokoh sembarangan. Meskipun ketika si
Gagu melonjak bangun dia belum menyadarinya, tetapi ketika orang itu menerjang ke
arahnya, dia sudah merasakan ada yang tidak beres di belakangnya. Sekonyongkonyong
dia meraung keras-keras, telapak tangan kirinya dibalikkan lalu meluncurkan
sebuah pukulan kebelakang.
Blam . . .! Pada saat itu, jarak si Gagu dengannya tidak sampai setengah kaki, pukulan I Ki Hu
tepat me-ngenai dada si Gagu.
Ilmu warisan yang dirahasiakan Mo kau yakni pukulan telapak berdarah. Dapat
dibayangkan sampai di mana kehebatannya. Si Gagu mengeluarkan suara gerungan
yang aneh, darah segar bermuncratan dari mulutnya.
Sekumpulan darah segar tiba-tiba saja meluncur ke bagian belakang leher I Ki Hu. Si
Raja Iblis itu terkejut setengah mati. Pada dasarnya si Gagu yang terkena pukulan I Ki
Hu itu, tidak perlu diragukan lagi bahwa nyawanya tak dapat dipertahankan lebih
lama. Tapi sebelum kematian menjelang, si Gagu mengerahkan sisa tenaganya untuk
menerjang ke depan dan mencakar. Dapat dibayangkan betapa besar tenaga dalam
yang terkandung pada cengkeramannya itu. Sungguh sulit diuraikan dengan kata-kata.
Dengan tangannya yang sudah mengenakan sarung tangan yang ujungnya runcingruncing,
secepat kilat dia mencakar pundak I Ki Hu.
I Ki Hu merasa pundaknya dilanda rasa perih yang tidak terkirakan. Kemarahannya
semakin meluap-luap. Dia mengerahkan tenaga dalamnya, tubuh si Gagu terpental di
udara. Terdengar I Ki Hu mendengus satu kali, lalu membalikkan tubuhnya dan
menerjang kembali ke arah si Gagu. Sesampainya di samping tubuh si Gagu, Raja
Iblis menyepakkan kakinya agar tubuh si Gagu itu membalik. Namun ketika dia
berhasil melihat raut muka si Gagu, wajahnya sendiri langsung berubah hebat. Setelah
tertegun beberapa saat, dia malah tertawa terbahak-bahak.
488 Suara tawanya berkumandang memenuhi seluruh tempat itu dan memecahkan
kesunyian malam yang mencekam, sehingga membuat perasaan orang menjadi
bergidik dan sukma seakan melayang seketika.
Di pundak I Ki Hu telah terdapat empat-lima buah lubang kecil dan darah segar terus
menetes dari lubang lukanya. Sedangkan sebelum terhempas di tanah untuk mati
selamanya, si Gagu malah sempat tertawa terbahak-bahak seakan mengejeknya.
Sekarang si Gagu pasti sudah mati, suara tawa I Ki Hu masih berkumandang terus.
Kwe Tok memandangnya dengan terpaku. Hampir setengah kentungan lamanya I Ki
Hu tertawa seperti orang gila. Dia menolehkan kepalanya kepada Kwe Tok.
"Apa yang kau tertawakan?" bentak Kwe Tok.
I Ki Hu tertawa panjang sekali lagi. "Tidak disangka aku I Ki Hu yang entah sudah
bertemu dengan berapa banyak orang gagah di dunia ini, entah sudah berapa banyak
bahaya yang kutemui, ternyata hari ini aku bisa mati di tangan seorang budak hina dari
Mo kais," Kwe Tok tertawa dingin beberapa kali."Ini yang dinamakan hukum karma."
Tubuh I Ki Hu terhuyung-huyung beberapa kali, wajahnya berubah sedemikian rupa
sehingga sungguh mengerikan. Keempat anggota tubuhnya terasa lemas, ngilu dan
kesemutan. Dia jatuh terduduk di atas salju. Matanya terpejam erat-erat, dan tanpa
mengucapkan sepatah kata pun.
Ketika pundaknya tercakar sarung tangan si Gagu, I Ki Hu masih mengira lukanya
tidak seberapa parah. Tapi ketika dia membalikkan tubuh si Gagu dan menatapnya
dengan seksama, hatinya tersentak kaget sekali, sulit diuraikan dengan kata-kata.
Karena dia langsung mengenali siapa si Gagu dan kehebatan sarung tangan yang
dikenakannya. Si Gagu itu salah seorang budak pelayan bekas ketua Mo kau yang
telah mati di tangan 1 Ki Hu.
I Ki Hu tahu, meskipun selamanya tidak ada orang yang tahu siapa nama si Gagu, tapi
dulunya dia seorang pentolan dari golongan sesat dan sarung tangan yang
dikenakannya mengandung racun yang keji.
Beberapa kali I Ki Hu berusaha menyelidiki racun apa sebenarnya yang terdapat di
sarung tangan itu. Tapi tidak pernah berhasil mencapai keinginannya karena selama di
Mo kau, si Gagu tidak pernah menunjukkan sikap bersahahat dengannya.
Sekarang pundak I Ki Hu sudah terluka oleh cakar runcing sarung tangan si Gagu, dan
tidak usah diragukan lagi racunnya juga sudah menyerap ke dalam lukanya.
Meskipun racun itu tidak langsung bekerja, tetapi saat itu I Ki Hu sedang berhadapan
dengan seorang musuh tangguh yaitu Siu Lo Cun Cu Kwe Tok. Bagaimana pun dia
tidak sanggup meloloskan diri dari cengkeraman maut. Itulah yang membuat perasaan
I Ki Hu perih sekali. Selama puluhan tahun, semangatnya menyala-nyala. Tetapi saat
itu semuanya menjadi am blas seketika. Tidak disangka-sangka dia akan mati di
tangan seorang budak hina yang tidak mempunyai nama sedikit pun di dunia bu lim.
489 Saking sakitnya hati I Ki Hu, dia malah mendongakkan kepala untuk tertawa terbahakbahak.
Ketika suara tawanya terhenti, seluruh tuhuhnya sudah begitu ngilu sehingga hampir
tidak ter-tahankan olehnya. I Ki Hu berusaha menghimpun hawa murni dalam
tubuhnya, tetapi tubuhnya sudah begitu lemas. Raja Iblis itu sadar, dirinya tidak akan
luput dari kematian. Dia duduk di atas tanah heberapa saat, kemudian baru berdiri.
Dengan terhuyung-huyung dia berjalan menghampiri kereta kuda.
I Ki Hu berjalan ke samping kereta, lalu menyingkapkan tirai kuda itu. Ditariknya
nafas dalam-dalam. Plak! Plak!
Dua kali dia menepuk tubuh Lie Cun Ju dan Tao Ling membebaskan totokan di kedua
orang itu. Tetapi racun dalam tubuh I Ki Hu sudah bereaksi. Seluruh tubuhnya terasa
lemas tak ber-daya lagi. Tepukan tangannya pada tubuh kedua orang itu tak memhawa
hasil sedikit pun.
"Lie . . . kongcu . . . kau . . . harus menjaga Tao kouwnio . . . baik-baik . . ., anak dalam
perut . . . nya adalah darah dagingku. Lie kongcu . . . meskipun du ... lu aku sering
melakukan kesalahan ter . . . hadapmu . . . harap kau . . . jangan menyulitkan anak i . . .
tu." Pada dasarnya I Ki Hu adalah seorang manusia yang tinggi hati. Tetapi saat itu dia
menyadari racun sudah mengedar ke seluruh tubuhnya, sebentar lagi dia pasti akan
mati. Karena itu dia mengucapkan kata-kata yang belum pernah dilontarkan selama
hidupnya. Jalan darah Lie Cun Ju sedang tertotok, dia tidak bisa menjawab perkataan I Ki Hu,
tapi hatinya terharu sekali. I Ki Hu mengeluarkan sebuah Tong tian pao Hong
miliknya kemudian disusupkannya ke dalam telapak tangan Lie Cun Ju.
"Sebuah . . . Tong ti . . . an pao li.. . ong ini, aku hadiahkan kepadamu. Ha ... rap kau
simpan baik . . . baik!"
Selesai berkata, I Ki Hu menoleh kepada Kwe Tok.
"Kwe loyacu harap kau bebaskan jalan darah mereka!"
Pada saat itu, tampang I Ki Hu sudah berubah sedemikian rupa sehingga benar-benar
tidak enak dilihat. Tampak tubuh Kwe Tok berkelebat, sekejap mata kemudian, dia
sudah sampai di depan mereka.
"Perempuan itu sudah gila, jalan darahnya tidak boleh dibebaskan."
I Ki Hu menarik nafas panjang. "Aku tahu."
Kwe Tok menjulurkan tangannya menepuk jalan darah Lie Cun Ju yang tertotok pun
bebas seketika. Lie Cun Ju menggenggam Tong tian pao liong yang diberikan oleh I
Ki Hu. 490 "Lie kongcu, penyakit Tao kouwnio ini masih ada kemungkinan untuk disemhuhkan.
Harap kau memperlakukannya baik-baik," kata I Ki Hu.
"I sian sing, kau tidak perlu khawatir, anakmu itu, akan kuperlakukan seperti anakku
sendiri," sahut Lie Cun Ju.
Wajah I Ki Hu semakin lama semakin tidak enak dilihat. Dia mengatur nafasnya
sejenak kemudian bertanya kepada Lie Cun Ju. "Lie kongcu dari mana datangnya uraturat
merah di wajahmu itu?"
Lie Cun Ju menggelengkan kepalanya.
"Aku juga tidak tahu."
"Coba . . . kau ingat-ingat la ... gi! Urat-urat merah itu ter . . . jadi karena ra . .. cun
laha-laba merah. Apabi ... la kau mene . . . mukan laba . . . laba merah yang hidup,
racun . . . i . . . tu masih bi . . . sa dise . . . dot kem . . . bali dan . . . wajahmu bi . . . sa
pulih seper . . . ti sedia .. . ka ... la ..."
Berkata sampai di sini, tenggorokan I Ki Hu mengeluarkan suara beherapa kali,
wajahnya pucat pasi, urat merah di wajahnya seakan mengerut sehingga semakin
mengerikan. Tubuhnya sempoyongan akhirnya terkulai jatuh di atas salju.
Belum berapa lama tubuh I Ki Hu terjatuh di atas tanah, lapisan salju sudah
menutupnya. Tampak Lie Cun Ju dan Kwe Tok berdiri di sampingnya dengan terpaku.
Sesaat kemudian tampak keempat anggota tubuh I Ki Hu bergetar sedikit lalu terdiam
untuk selamanya.
Lie Cun Ju mendongakkan kepalanya dan melirik Kwe Tok sekilas, lalu menarik nafas
panjang. "Kwe locianpwe, dia sudah mati."
Kwe Tok mendengus dingin satu kali. "Hm! Sejak dulu dia memang sudah harus
mati." Tangan kakek itu menjulur ke depan.
"Berikan Tong tian pao Hong itu kepadaku!" bentaknya garang.
Lie Cun Ju memang tidak memusingkan apa yang dinamakan Tong tian pao Hong itu.
Dia langsung menyodorkannya kepada Kwe Tok. Orang tua itu mengambilnya dari
tangan Lie Cun Ju kemudian menoleh kepada perempuan setengah baya tadi. Rupanya
entah sejak kapan perempuan setengah baya itu sudah tertotok oleh I Ki Hu. Dia
berdiri di atas salju tanpa dapat menggerakkan tubuhnya sedikit pun. Tubuh
perempuan itu sejak tadi sudah dipenuhi lapisan salju yang cukup tebal. Pada alisnya
bergelantung beberapa batang es halus. Lie Cun Ju dapat melihat dengan jelas, ketika
Kwe Tok meliriknya sekilas, perempuan itu menyorotkan sinar ketakutan.
Melihat keadaan itu, hati Lie Cun Ju tergerak. Diam-diam dia berpikir, kalau Kwe Tok
memang benar orang dari pihak Mo kau di jaman dulu, tentu tindak tanduknya juga
491 sangat keji dan tangannya telengas. Tampaknya hal itu memang tidak perlu diragukan
lagi. Sedangkan perempuan setengah baya itu sudah dapat menebak isi hatinya saat itu


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka matanya baru menyorotkan sinar demikian ketakutan.
Berpikir sampai di situ, Lie Cun Ju merasa keadaannya sekarang juga sedang terancam
bahaya. Setelah mencelakai perempuan setengah baya itu, apakah Kwe Tok juga akan
membereskan Tao Ling"
Di saat pikiran Lie Cun Ju sedang melayang-layang, Kwe Tok sudah sampai di depan
perempuan setengah baya itu.
"Tempat ini sudah dipenuhi salju, pasti jarang ada orang yang lewat. Kau juga bisa
beristirahat dengan tenang."
Mata perempuan itu menyorotkan sinar kemarahan, tetapi dia tidak bisa bersuara
sedikit pun. Siu Lo Cun Cu Kwe Tok tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba tangannya
bergerak menghantam dada perempuan setengah baya itu.
Dipukul demikian keras oleh Kwe Tok, jalan darahnya yang tertotok pun jadi bebas.
Dia meraung kalap, tubuhnya terhuyung-huyung jatuh di atas salju. Tetapi dia masih
sempat menggetarkan tangannya menyambitkan tujuh-delapan batang panah berapi ke
arah Kwe Tok. Seketika itu tampak titik sinar berwarna hijau melesat ke depan, timbul
suara mendesis-desis.
Sayangnya setelah terhantam satu kali oleh pukulan Kwe Tok, tubuh perempuan itu
sudah luka parah. Tenaga dalamnya juga sudah terbatas. Panah berapinya seperti
permainan untuk menggertak lawan. Buktinya dengan mudah dapat dihindari oleh
Kwe Tok. Perempuan setengah baya itu tertawa terbahak-bahak beberapa kali, kemudian
menangis tersedu-sedu. Sepasang tangannya terus meremas salju di atas tanah, dapat
dibayangkan kebencian dalam hatinya saat itu terhadap Kwe Tok.
Tidak lama kemudian gerakan perempuan itu berubah lamban. Perlahan-lahan
tubuhnya mulai dilapisi salju. Seluruh tempat itu penuh dengan hamparan salju.
Demikian tenang, demikian mencekam. Siapa yang mengira bahwa belum berapa lama
tadi telah berlangsung pertarungan yang sengit. Pasti tidak ada orang yang percaya
bahwa ada tiga sosok mayat yang semuanya merupakan tokoh-tokoh bu lim kelas satu
telah terkubur di bawah hamparan salju itu.
Setelah seluruh tubuh perempuan itu tertutup lapisan salju dan tidak ada gerakan lagi,
Kwe Tok baru berjalan perlahan-lahan menghampiri Lie Cun Ju.
"Hamparan salju terlalu dalam, kereta kuda tidak bisa lewat lagi. Kita gunakan saja
kereta salju itu!" katanya.
Lie Cun Ju tertawa getir.
492 "Kwe locianpwe, aku memang belum pernah menginjak istana rahasia itu. Sekarang
seharusnya kau sudah percaya bukan?"
Tiba-tiba Kwe Tok tersenyum licik. Sepasang matanya menyorotkan sinar yang tajam
dan melirik sekilas kepada Tao Ling.
Lie Cun Ju melihat sinar mata orang tua itu mengandung hawa pembunuhan yang
tebal, sekonyong-konyong hatinya dilanda perasaan terkesiap.
"Kwe locianpwe, a ... pa yang akan kau lakukan?" tanyanya dengan suara parau.
Mimik wajah Kwe Tok benar-benar sulit diterka.
"I Ki Hu benar-benar tua-tua keladi, semakin tua semakin tidak tahu malu. Benarkah
budak perempuan ini istrinya?" tanyanya dengan nada dingin.
"Tao Kouwnio menikah dengannya karena terpaksa," jawab Lie Cun Ju menjelaskan.
Kwe Tok tertawa terkekeh-kekeh.
"Dipaksa kek, rela kek, pokoknya sama saja. Anak dalam perutnya merupakan benih si
jahanam itu."
Berkata sampai di situ, saking terkejutnya, selembar wajah Lie Cun Ju sudah pucat
pasi. Tubuhnya bergeser dan menghadangi tubuh Tao Ling. Matanya menatap Kwe
Tok lekat-lekat.
"Pada waktu itu, seluruh Mo kau hancur di tangan I Ki Hu seorang. Meskipun aku
pernah mendengar berita itu, saat itu aku sedang menyelesaikan suatu urusan yang
penting sekali. Karena itu belum sempat mencarinya untuk mengadakan perhitungan.
Sekarang musuh tangguh sudah berhasil dienyahkan. Benar-benar merupakan
kebangkitan partai Mo kau. Bocah cilik, watakmu boleh juga, bagaimana kalau kau
masuk menjadi anggota Mo kau dan merebut kedudukan tinggi di dunia Bu lim?"
"Kwe locianpwe, terus terang saja, nama dan kedudukan tidak ada artinya lagi bagiku.
Hatiku sudah tawar terhadap semua itu. Aku hanya ingin hidup dalam ketentraman
dan kedamaian bersama Tao kouwnio. Aku tidak berminat sedikit pun untuk terjun di
dunia ramai yang penuh dengan pertikaian."
Kwe Tok tersenyum mendengarkan kata-katanya. "Dulu, karena sedikit kecerobohan
dari pihak Mo kau sendiri, akibatnya seluruh Mo kau habis terbasmi. Sekarang aku
ingin membangkitkan partai kami kembali. Tentu aku tidak boleh membiarkan sedikit
pun bibit bencana yang bisa berakibat fatal di kemudian hari."
Tentu saja Lie Cun Ju mengerti yang dimaksud sebagai bibit bencana oleh Kwe Tok
Sepasang Pedang Iblis 8 Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung Jodoh Rajawali 8

Cari Blog Ini