Ceritasilat Novel Online

Pedang Tanpa Perasaan 8

Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Bagian 8


Peristiwa ini diceritakan oleh Tao Heng Kan ketika mereka melakukan perjalanan
bersama menyusuri tepi sungai itu.
Bila ingin mengetahui peristiwa ini dengan jelas, maka kita harus kembali ke
permulaan cerita ini.
Saat itu air sungai tidak seberapa deras. Kedua perahu bergerak dengan tenang. Di
perahu yang satu, terdapat pasangan suami istri Lie Yuan dan kedua putra mereka, Li
Po dan Lie Cun Ju. Se-dangkan di perahu yang satunya lagi, terdapat pasangan suami
istri Tao Cu Hun dan kedua buah hati mereka, Tao Heng Kan dan Tao ling.
Kedua keluarga itu bertemu secara kebetulan. Begitu sating menyebutkan nama
masing-masing, akhirnya terjadi perkenalan. Justru pada malam pertama perkenalan
kedua keluarga itu, timbullah kejadian yang aneh.
Malam itu, rembulan bersinar redup. Seluruh permukaan sungai bagai diselimuti kabut
tebal. Sebab tidak jauh lagi, mereka akan mencapai selat Pa tung yang terkenal dengan
aliran airnya yang deras karena adanya air terjun yang besar. Karena itu tukang perahu
juga tidak berani menjalankan perahu di malam hari. Mereka berhenti di tepian
dermaga. Kedua orang tua Tao Heng Kan sedang berbincang-bincang dengan pasangan suami
istri Lie Yuan di perahu sebelah. Sedangkan Tao ling sejak sore-sore sudah tertidur
pulas. Tao Heng Kan yang ditinggal seorang diri dan belum mengantuk juga. Tadinya
dia berniat mencuri dengar pembicaraan kedua orang tuanya di perahu sebelah. Tetapi
287 dia merasa sikap pasangan suami istri Lie Yuan agak angkuh sehingga timbul sedikit
perasaan sebal dalam hatinya.
Karena sendirian, Tao Heng Kan merasa iseng. Dengan menyilangkan tangannya di
depan dada, dia berjalan mondar mandir di buritan perahu. Sepasang matanya menatap
sinar rembulan yang redup. Lama-lama terasa asyik juga. Setelah berdiri beberapa saat
di buritan perahu, Tao Heng Kan kembali berjalan-jalan menuju geladak perahu di
bagian depan. Pada saat ini, para tukang perahu sudah naik ke atas dermaga dan menuju desa kecil
yang letaknya tidak seberapa jauh untuk membeli arak dan mengobrol di kedai arak.
Di dalam perahu hanya tersisa beberapa orang yang usianya sudah agak lanjut dan
sejak tadi sudah tertidur pulas. Boleh dibilang suasana di atas perahu itu benar-benar
sunyi mencekam.
Ketika melangkah perlahan-lahan menuju bagian depan perahu, tiba-tiba Tao Heng
Kan melihat sesosok bayangan hitam berlari di atas permukaan air sungai dan sedang
melesat ke arah perahunya.
Mula-mula Tao Heng Kan agak tertegun. Dia mengira pandangan matanya yang salah.
Tetapi setelah diperhatikan berulang kali, ternyata pandangan matanya jelas sekali dan
tidak terjadi kesalahan apa-apa.
Sebab, meskipun ilmu gin kang seseorang sudah mencapai taraf yang tinggi sekali,
sehingga dapat berjalan di permukaan air, tetapi biasanya apabila permukaan airnya
tenang. Meskipun perairan di tempat itu tidak sederas selat Pa tung, namun gelombang
ombaknya cukup besar. Bahkan semua perahu terus bergerak-gerak karena gelombang
air sungai itu. Seandainya ingin berlari di atas permukaan air yang gelombangnya
sebesar itu, memang tidak semudah membicarakannya.
Seandainya hal itu dapat dilakukan setiap orang, legenda tentang Tat mo cousu yang
dapat menyeberangi lautan pun tidak akan demikian termasyhur sampai sekarang ini.
Tetapi, meskipun Tao Heng Kan sudah mengucek matanya berulang kali, apa yang
dilihatnya tetap tidak berubah. Bahkan gerakan orang itu dalam sekejap mata sudah
mendekat. Dan ia pun dapat melihat dengan jelas bahwa bentuk tubuh orang itu
tingginya luar biasa.
Ketika menyadari bahwa ia tidak salah lihat, hanipir saja Tao Heng Kan membuka
mulut berteriak. Tetapi kemudian dia menahan dirinya sendiri. Mulutnya sama sekali
tidak bersuara. Karena tiba-tiba dia teringat, kedua orang tuanya sedang berbincangbincang
dengan pasangan suami istri Lie Yuan. Apabila dia sampai berteriak dan
akhirnya mereka tidak menemukan apa-apa, bukankah dirinya sendiri yang akan
menjadi bahan tertawaan"
Justru ketika pikiran Tao Heng Kan sedang tergerak, orang itu sudah sampai di
samping perahu. Tiba-tiba tubuhnya mencelat ke udara seakan-akan hendak melesat ke
atas atap perahu. Pandangan mata Tao Heng Kan menjadi samar. Dengan tiba-tiba
orang itu pun menghilang.
288 Rasa terkejut Tao Heng Kan tak terkirakan. Sebab tadi dia sudah yakin pandangan
matanya tidak salah, tetapi mengapa dalam sekejap mata, bayangan bertubuh tinggi itu
bisa menghilang"
Dengan gugup Tao Heng Kan membalikkan tubuhnya. Memang dia berdiri di bagian
depan perahu. Asal dia membalikkan tubuhnya dan menjulurkan tangannya, maka
dapat menyentuh kahin perahu itu. Tidak ada tempat untuk menyembunyikan diri.
Seandainya orang itu mencelat ke atas perahu, dia pasti berdiri di belakang
punggungnya. Namun hetapa tercekatnya hati Tao Heng Kan ketika dia membalikkan
tubuhnya. Ternyata tidak menemui siapa-siapa.
Tetapi Tao Heng Kan yakin tadi ada seseorang yang mencelat ke atas perahu dari
permukaan air sungai. Apa yang dilihatnya sama sekali bukan khayatan. Tetapi orang
itu dapat menghilang begitu saja. Hal itu membuktikan bahwa kepandaiannya sudah
mencapai taraf yang bukan main tingginya.
Sebelum identitas orang itu diketahuinya, dia tidak akan bergembar-gemhor. Karena
itu, Tao Heng Kan segera menenangkan perasaannya.
"Sahabat mana yang datang berkunjung, harap memperlihatkan diri!" sapanya dengan
suara yang dalam.
Baru saja ucapannya selesai, tiba-tiba terde-ngar suara tertawa yang dingin sekali.
Asalnya dari tengah udara. Tao Heng Kan adalah turunan seorang pendekar pedang
yang cukup mempunyai nama di dunia kang ouw. Kepandaiannya juga tidak rendah.
Dia segera rnendongakkan wajahnya. Kembali hatinya terkesiap.
Tampak di atas atap perahu ada seseorang yang sedang berdiri dengan mengerahkan
ilmu 'Bangau berdiri menangkring'. Sebetulnya, dengan kepandaian yang dimiliki oleh
Tao Heng Kan, tidak sepatutnya merasa heran apahila ada seseorang yang berdiri di
atas atap perahu. Ketika dia mendongakkan kepalanya, ternyata orang itu sedang
menerjang ke arahnya.
Tanpa dapat mempertahankan diri lagi Tao Heng Kan mengeluarkan suara seruan
terkejut. Namun baru saja suaranya tercetus keluar, orang itu sudah berdiri di atas
geladak dan tangannya terjulur mencengkeram bahu Tao Heng Kan.
Tinggi atap perahu itu paling tidak ada dua depaan. Orang itu menerjang turun dan
men-julurkan tangannya mencengkeram. Boleh dibilang keduanya dilakukan dalam
satu kali gerakan. Kecepatannya sulit diuraikan dengan kata-kata. Bahkan Tao Heng
Kan tidak sempat mempunyai pikiran untuk menghindar. Tahu-tahu pundaknya sudah
tercengkeram oleh tangan orang itu.
Hati Tao Heng Kan semakin tercekat.
"Sahabat, dari mana asalmu?" tanyanya cepat.
Terdengar orang itu mengeluarkan suara tawa yang dingin.
"Kalau kau menolehkan kepalamu, kau toh bisa melihat sendiri?"
289 Sepasang pundak Tao Heng Kan dicengkeram kuat-kuat oleh tangan orang itu.
Dengan demikian tubuhnya tidak dapat bergerak sedikit pun. Mendengar orang itu
menyuruh dia menolehkan kepalanya, Tao Heng Kan tidak tahu harus menangis atau
tertawa. Tetapi selesai berkata, orang itu sudah membalikkan tubuh Tao Heng Kan.
Tao Heng Kan memperhatikan dengan seksama. Tampak orang yang tangannya
mencengkeram pundaknya sendiri itu mempunyai tubuh yang bukan. main tingginya.
Untuk melihat wajah orang itu terpaksa Tao Heng Kan harus mendongakkan
kepalanya. Wajah orang itu kurus sekali. Sulit menebak berapa usianya. Hanya matanya yang
menyorotkan sinar tajam berkilauan. Ketika pandangan mata mereka bertemu, Tao
Heng Kan segera merasakan adanya semacam perasaan yang sulit dilukiskan.
Pokoknya perasaan tidak nyaman. Tao Heng Kan berniat memalingkan wajah, tapi dia
tidak sanggup menghindarkan diri. Saat itu juga, semangatnya seakan hilang entah ke
mana. Bahkan dia seperti tidak ingat lagi di mana dirinya berada.
Tao Heng Kan dapat merasakan gejala yang kurang beres. Segera dia
mempertahankan ketenangannya. Terdengar orang itu tertawa panjang sekali lagi.
Sinar matanya beredar. Tao Heng Kan segera menggunakan kesempatan itu untuk
menyurut mundur satu langkah.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya anak muda itu sekali lagi.
Orang itu tersenyum simpul.
"Kau tidak perlu menanyakan dulu siapa diriku. Aku ingin bertanya dulu kepadamu.
Dalam seumur hidupmu, kepandaian tertinggi yang pernah kau lihat, kira-kira sampai
taraf apa?"
Tao Heng Kan tertegun beberapa saat. Dia rnerasa pertanyaan itu aneh sekali. Anak
muda itu berpikir sesaat.
"Menggunakan bunga melukai lawan, menyambitkan daun mengundurkan musuh.
Rasanya semua ini sudah termasuk taraf yang tertinggi," jawab Tao Heng Kan.
Orang itu menganggukkan kepalanya.
"Tetapi sejak jaman dahulu kala sampai sekarang, ada berapa orang yang sanggup
mencapai taraf itu?"
Sembari berbicara, dia menjawil ujung pakaian Tao Heng Kan secuil, kemudian
dengan seenaknya disambitkan ke dalam permukaan sungai.
Tao Heng Kan tidak mengerti apa yang dilakukannya. Tampak secuil kain itu
perlahan-lahan melayang menuju permukaan sungai. Belum sempat menyentuh
permukaan sungai, tampak tekanan secuil kain itu menimbulkan gerakan memutar
dalam air. Bahkan menimbulkan per-cikan yang cukup besar sampai setinggi satu
depaan. Beberapa titik di antaranya sempat men-ciprat ke tubuh Tao Heng Kan
sehingga anak muda itu merasa kesakitan.
290 Kali ini, rasa tercekat di dalam hati Tao Heng Kan tidak alang kepalang.
Karena ilmu yang dipamerkan orang itu benar-benar hebat sehingga hampir tidak
masuk akal. Tao Heng Kan melihat dengan mata kepala sendiri. Orang itu hanya menyambitkan
secuil kain ke dalam sungai, namun percikan airnya begitu tinggi bahkan sempat
membuat beberapa bagian tubuhnya kesakitan.
Tao Heng Kan sampai termangu-mangu. Tidak ada sepatah kata pun yang
diucapkannya. Kepandaian yang diperlihatkan oleh orang itu sangat sulit dicarikan
tandingannya di kolong langit ini. Bahkan tokoh nomor satu Gin leng hiat dang pun
mungkin masih belum sanggup menyamainya.
Padahal, ketika orang itu mencuil ujung pakaian Tao Heng Kan tadi, Tao Heng Kan
tidak menyadari bahwa tangan orang itu mencengkeram sebilah kayu yang
didapatkannya dari atap perahu. Karena gerakan tangannya sangat cepat, Tao Heng
Kan tidak sempat melihatnya. Tenaga dalam orang itu dipancarkan melalui bilah kayu
tersebut sehingga daya tekannya menjadi besar. Dan ketika kain itu dicemplungkan ke
dalam sungai menimbulkan bunyi yang nyaring.
Tao Heng Kan adalah pemuda yang jujur mana mungkin pikirannya sampai kesana.
Setelah tertegun sejenak, dia baru berkata.
"Tidak disangka tenaga dalam Cianpwe sudah mencapai taraf demikian tinggi. Boan
pwe benar-benar kagum sekali."
Orang itu tertawa terbahak-bahak.
"Bagaimana kalau kau menyembah aku sebagai guru?"
Sekali lagi Tao Heng Kan tertegun. Kepandaian orang itu demikian tinggi. Seandainya
bisa berguru kepadanya, tentu tidak ada yang lebih bagus lagi. Tetapi dia bahkan tidak
mengetahui asal usul orang itu, mana boleh sembarangan menyembahnya sebagai
guru" "Usul Cianpwe sesungguhnya dimohon pun belum tentu terkabul. Tetapi masalah ini
besar sekali. Boan pwe harus memohon dulu ijin kedua orang tua, baru dapat
memberikan jawaban."
"Kedua orang tuamu sendiri mempunyai rahasia yang disembunyikannya darimu. Buat
apa kau harus menanyakan dulu persoalan ini kepada mereka?"
Tao Heng Kan tergerak hatinya mendengar keterangan orang itu. Sejak kemarinkemarin
dia memang sudah curiga atas tindakan kedua orang tuanya yang tiba-tiba
meninggalkan kampung halamannya. Meskipun dia sudah berulang kali berusaha
meminta penjelasan, tetap saja mereka membungkam.
291 Bahkan di sepanjang perjalanan, kedua orang tuanya selalu menghindari mereka kakak
beradik apabila ingin merundingkan sesuatu. Hal itu menunjukkan ada sesuatu yang
mereka rahasiakan.
Meskipun hati Tao Heng Kan tergerak oleh kata-kata orang itu, tapi apabila dia
langsung menyembahnya sebagai guru, tanpa menanyakan lagi kepada kedua orang
tuanya, Tao Heng Kan tetap tidak sanggup melakukannya.
"Walaupun locianpwe berkata demikian, boanpwe tetap tidak berani melancangi
mereka." Orang itu tertawa terkekeh-kekeh. "Benar-benar seorang anak yang penuh
bakti. Aku memberimu waktu dua hari untuk berpikir. Kalau kau tidak bersedia
menjadi muridku, takut-nya seluruh keluargamu akan menemui bencana besar. Ada
satu hal lagi, apabila kau berani menceritakan gerak gerikku kepada siapa saja, maka
aku akan segera membantai kedua orang tuamu." Selesai berkata, tubuhnya berkelebat
bagai segumpal asap melesat keluar. Kakinya menghentak di permukaan sungai dan
melangkah dengan cepat. Dalam waktu yang singkat, orang itu sudah sampai di
pertengahan sungai. Sekejap mata kemudian, tidak terlihat lagi.
Datang tanpa suara, pergi tanpa bayangan. Tao Heng Kan seakan baru saja mengalami
mimpi buruk. Tao Heng Kan masih berdiam diri di atas geladak beberapa saat. Kemudian dia masuk
kem-bali ke dalam kabin. Tidak lama kemudian kedua orang tuanya sudah kembali
lagi. Tao Heng Kan tidak berani mengatakan apa-apa. Dua hari kemudian, perahu
mereka bersandar di dermaga. Serombongan orang diundang ke gedung kediaman
Kuan Hong Siau. Tao Heng Kan yang mengingat kemungkinan orang itu akan
kembali lagi, selalu menunjukkan mimik wajah bermuram durja.
Tampangnya yang selalu murung itu tidak mendapat perhatian orang lain. Namun Tao
Ling yang sejak kecil akrab dengan kokonya, sempat niemperhatikan. Hal ini sudah
kita kisahkan di awal cerita.
Hanya saja, Tao Ling juga tidak tahu apa yang menyebabkan kokonya selalu
bermuram durja. Hatinya merasa aneh. Sama sekali tidak membayangkan bahwa
akibatnya demikian mengerikan.
Setelah sampai di gedung kediaman Kuan Hong Siau, kemudian ada orang yang
mengusulkan agar kedua keluarga pedang kenamaan itu mengadu ilmu. Bahkan Tao
Heng Kan yang disuruh ayahnya meminta petunjuk dari putra tertua pasangan suami
istri Lie Yuan.
Pada saat itu perasaan hati Tao Heng Kan sedang gundah. Dia terus memikirkan orang
yang kemungkinan akan datang kembali menagih janji. Dalam hatinya tidak ada minat
membandingkan apakah ilmu pedang keluarganya yang lebih hebat ataukah ilmu
pedang Pat kua kim gin kiam yang lebih hebat. Tetapi karena dirinya sudah terpilih,
terpaksa dia turun juga ke arena bertanding dengan LiPo.
Mula-mula Tao Heng Kan juga tidak merasakan apa-apa. Tetapi setelah lewat lima
jurus, dia mulai merasakan gejala yang kurang beres. Tiba-tiba saja, Tao Heng Kan
merasa gerakan pedang Hek pek kiam di tangannya tak dapat lagi dikendalikan.
292 Setiap serangan yang dikerahkannya selalu mengincar bagian mematikan pada tubuh
Li Po. Jurus-jurus yang dimainkannya juga mengandung kekejian bukan main.
Beberapa kali Tao Heng Kan berusaha mengubah arah gerakan pedangnya, namun
selalu tidak berhasil.
la merasa setiap serangan yang dilancarkannya mengandung serangkum kekuatan yang
menyerang jalan darahnya. Sedangkan serangkum kekuatan itu demikian lembutnya
namun setiap kali menyentuh jalan darah di tubuhnya, tanpa dapat ditahan lagi Tao
Heng Kan tergetar.
Malah setiap gerakan pedangnya mengandung keuntungan bagi dirinya. Dia tidak
dapat mempertahankan diri untuk tidak menyerang Li Po secara keji. Dalam tujuhdelapan
jurus saja, Tao Heng Kan sudah berhasil melukai Li Po.
Saat itu, kepanikan dalam hati Tao Heng Kan jangan dikatakan lagi. Dia sadar apabila
hal ini didiamkan, pasti akan timbul masalah besar.
Timbul perasaan ingin memberontak dalam hati Tao Heng Kan. Dia bermaksud
melemparkan pedang Hek pek kiamnya kemudian kembali kesamping kedua orang
tuanya. Justru tepat pada saat itu, jalan darah di pinggangnya terasa kesemutan. Juga
jalan darah di bagian lututnya. Tanpa dapat mempertahankan diri lagi, kaki Tao Heng
Kan menekuk dan pedangnya langsung menghunjam dada Li Po.
Pada saat itu, hanya Tao Heng Kan yang tahu kesulitan dirinya sendiri. Orang lain
mana mungkin mengetahuinya, dia bahkan dianggap sengaja menggunakan cara licik
membunuh Li Po.
Orang-orang yang hadir di dalam taman bunga itu pun menjadi kalang kabut. Tao
Heng Kan masih berdiri termangu-mangu dengan perasaan serba salah. Tiba-tiba
telinganya mendengar serentetan tertawa terbahak-bahak yang disusul dengan
perkataan seseorang.
"Sekarang kau sudah merasakan kehebatanku bukan" Aku akan menunggumu di atas
perahu." Begitu mendengar suara itu, Tao Heng Kan segera mengenalinya sebagai orang yang
justru sedang dikhawatirkan olehnya akan muncul tiba-tiba itu. Tanpa dapat ditahan
lagi keringat dingin mengucur deras membasahi seluruh tubuhnya.
Tao Heng Kan menyadari, apabila saat itu dia ingin berdebat dengan orang-orang yang


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hadir di dalam taman bunga gedung Kuan Hong Siau itu, meskipun menceburkan
dirinya ke dalam sungai Huang ho juga tidak akan membersihkan nama baiknya.
Satu-satunya jalan yang dapat dipilihnya, hanya kembali ke atas perahu dan menemui
orang itu terlebih dahulu. Setelah itu baru mencari jalan untuk mengemukakan ketidak
bersalahan dirinya.
Karena itu dia segera membalikkan tubuhnya melarikan diri dari gedung rumah Kuan
Hong Siau. Dia berlari menuju tepi sungai. Saat itu, pikiran Tao Heng Kan rumit
293 sekali. Dia mengerahkan segenap kemampuannya untuk berlari. Ketika sampai di tepi
sungai, nafasnya sudah tersengal-sengal.
Begitu niasuk ke dalam kabin perahu, dia melihat orang bertubuh tinggi kurus itu
sudah duduk dengan santai di atas kursi. Tao Heng Kan berusaha menenangkan
perasaannya. "Kau ..." sapa Tao Heng Kan.
Baru saja Tao Heng Kan mengucapkan sepatah kata, lengan orang itu sudah mengibas
perlahan-lahan. Tao Heng Kan merasa ada serangkum kekuatan yang lembut melanda
dirinya sehingga gerakan tubuhnya tertahan dan nafasnya sesak. Kata-katanya pun
tidak dapat diteruskan lagi.
"Apakah kau sudah tahu sampai di mana kehebatanku?" tukas orang itu.
Kegusaran dalam hati Tao Heng Kan meluap-luap. Tetapi dia tidak sanggup
mengucapkan sepatah kata pun.
"Kalau kau tidak menuruti kemauanku, maka seluruh keluargamu akan tertimpa
bencana yang lebih besar lagi!" Orang itu melanjutkan ucapannya.
Sampai beberapa saat Tao Heng Kan mengerahkan segenap kemampuannya, akhirnya
dia sanggup juga mencetuskan beberapa kalimat.
"Apa yang harus kulakukan?" katanya.
Orang itu tertawa seram.
"Kau harus menyembah aku dulu sebagai gurumu, nanti baru aku bicarakan hal
lainnya." Sekarang Tao Heng Kan sudah menyadari. Untuk mencapai tujuannya, orang itu tidak
segan-segan mengorbankan selembar jiwa Li Po. Hal ini membuktikan bahwa orang
itu bukan dari golongan lurus. Mana mungkin Tao Heng Kan sudi menerima
permintaannya begitu saja"
Dia mendongakkan wajahnya dan memandang orang itu dengan berani.
"Meskipun ilmu kepandaianmu tinggi sekali, tetapi aku juga tidak rakus. Tidak perlu
kau ungkit lagi soal menyembah dirimu sebagai guru!"
Wajah orang itu berubah angker.
"Kau tidak sudi mengangkat aku sebagai guru" Sebentar lagi aku akan
memperlihatkan kekejianku!"
Mereka berdua belum sempat bicara banyak di dalam kabin. Tiba-tiba terdengar suara
langkah kaki mendatangi. Rupanya pasangan suami istri Tao Cu Hun dan Tao Ling
putri mereka sudah kembali ke atas perahu. Ketika di atas dermaga saja, ketiga orang
294 itu sudah melihat ada bayangan seseorang yang berbentuk tinggi kurus di dalam kabin.
Namun mereka tidak tahu siapa orang itu.
Ketika mereka bertiga masuk ke dalam kabin, orang itu sudah menghilang, di dalam
kabin tinggal Tao Heng Kan seorang diri. Pada saat itu, sebetulnya Tao Heng Kan
sudah bertekad menceritakan apa yang dialaminya kepada kedua orang tuanya. Namun
belum lagi sempat, pasangan suami istri Lie Yuan dan Lim Cin Ing sudah menyusul
datang bersama Kuan Hong Siau dan rombongannya. Setelah itu, timbul serentetan
kejadian aneh, jalan darah pasangan suami istri Lie Yuan tiba-tiba ter-totok oleh
seseorang. Kemudian perahu itu terbelah menjadi dua bagian dan kandas ke dalam
sungai. Orang-orang yang ada di atas perahu pun hanyut terbawa air sungai yang
deras. Tao Ling dan Lie Cun Ju malah terdampar ke sebuah pulau tandus. Dan
akhirnya timbul cinta kasih di hati kedua remaja itu.
Namun apa yang dialami Tao Heng Kan justru jauh berbeda.
Ketika tubuhnya tercebur ke dalam sungai, hal pertama yang diingatnya tentu ingin
menyem-bulkan kepalanya ke permukaan air. Namun justru baru ingin menyembulkan
kepalanya, tiba-tiba dia merasa di sampingnya ada seseorang yang menjulurkan tangan
dan menekan kepalanya agar tidak dapat disembulkan lagi.
Perasaan Tao Heng Kan tercekat seketika. Karena dia tidak dapat menahan nafas
terlalu lama di dalam air, lagipula kepala merupakan bagian terpenting dalam tubuh
manusia. Dengan ditekannya bagian kepalanya, boleh dibilang sama artinya nyawanya
telah tergenggam di tangan orang itu.
Tao Heng Kan berusaha menenangkan perasaannya. Perlahan-lahan dia membuka
matanya. Di dalam kemilau air yang beriak-riak, dia melihat tidak jauh darinya ada
sepasang mata yang sedang menatapnya dengan tajam.
Begitu melihat sinar mata itu, Tao Heng Kan segera mengenali. Ternyata orang yang
menekan kepalanya tidak lain dari laki-laki bertubuh tinggi kurus itu.
Tao Heng Kan benar-benar tidak habis pikir. Laki-laki bertubuh tinggi kurus itu
mengapa demikian mendesak dirinya agar menyembahnya sebagai guru" Hawa
marahnya semakin meluap. Dia menghimpun hawa murninya kemudian mengirimkan
sebuah pukulan kepada orang itu.
Tetapi pukulannya itu tidak sempat mengenai lawan. Bahkan orang itu sudah
menjulurkan sebelah tangannya menotok jalan darah di pinggangnya. Tubuhnya pun
menjadi lemas seketika. Tanpa dapat dipertahankan lagi, mulutnya membuka dan
Glek! Glek! beberapa teguk air sungai mengalir ke dalam tenggorokannya. Sesaat
kemudian pandangan matanya pun menjadi gelap dan ia jatuh tidak sadarkan diri.
Ketika tersadar kembali, dia merasa ada cahaya terang benderang yang menyilaukan.
Per-lahan-Iahan Tao Heng Kan memhuka matanya. Dia menemukan dirinya sudah
terbaring di atas geladak sebuah perahu. Sedangkan perahu itu sedang melaju dengan
tenang di tengah-tengah sungai. Matahari bersinar dengan terik. Ternyata sudah tengah
hari. Tao Heng Kan merasa perutnya mual. Ketika dia bangkit dan duduk, Tao Heng
Kan langsung memuntahkan air yang terasa asam di mulut. Dengan susah payah,
295 tangannya berhasil meraih pinggiran perahu dan berdiri perlahan-lahan. Tiba-tiba dari
belakangnya terdengar suara orang tua yang dingin dan menyeramkan.
"Sudah sadar?"
Tao Heng Kan segera menolehkan kepalanya. Tampak si laki-laki bertubuh tinggi
kurus dan misterius itu sudah berdiri di belakangnya.
Hati Tao Heng Kan merasa benci dan kesal. Dia ingin menantang orang itu, tapi dia
sadar kepandaiannya belum mampu melawannya. Dia ingin melarikan diri, tetapi
sekarang ia berada di tengah-tengah sungai. Tidak ada jalan baginya untuk lari.
Keadaan saat itu benar-benar apa boleh buat dan terpaksa pasrah menunggu nasib.
"Apa sebetulnya yang kau inginkan?" kata Tao Heng Kan.
Orang itu tertawa dingin.
"Pasangan suami istri Lie Yuan sudah kutotok jalan darahnya dengan semacam ilmu
yang khas. Tidak ada orang di dunia ini yang sanggup membebaskannya. Apakah kau
ingin kedua orang tuamu menjadi korban berikutnya"
Sejak kecil Tao Heng Kan mendapat didikan keras. Orang-orang yang ada
hubungannya dengan kedua orang tuanya, boleh dibilang terdiri dari para pendekar
berjiwa besar. Seumur hidup dia belum pernah menemukan orang yang menggunakan
cara selicik ini untuk mencapai tujuannya. Untuk sesaat, dia tidak sanggup
mengatakan apa-apa.
"Setiap orang yang kutotok dengan semacam ilmu yang khas itu, kecuali Kui lo (Setan
tua) jaman dahulu hidup kembali, jangan harap ada yang dapat membebaskannya. Apa
lagi, keluarga Sang dari Si Cuan, atau keluarga Lie dari Tung cuan sekali pun, tidak
dapat mengetahui bahkan ilmu apa yang aku gunakan," kata orang itu kembali.
Sebetulnya Tao Heng Kan sama sekali tidak tahu asal usul orang itu. Tetapi tiba-tiba
mendengar mulut orang itu mengucapkan dua kata 'Kui lo', seakan mengandung
makna bahwa ilmu kepandaiannya sealiran dengan Kui lo, tanpa dapat ditahan lagi
keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
Sebab orang yang mendapat julukan 'Kui lo' itu, terkenal sebagai orang yang paling
keji dalam golongan sesat seratusan tahun yang lalu. Pada usia tujuh belas tahun dia
muncul di kalangan umat persilatan. Tidak sampai tiga tahun namanya sudah
menggetarkan dunia kang ouw. Ilmu kepandaian yang dikuasainya tidak ada seorang
pun yang tahu sumbernya. Namun satu hal yang diketahui setiap tokoh persilatan,
yakni ilmu kepandaiannya mengandung jurus-jurus yang bukan main anehnya.
Pokoknya tidak ada seorang pun tokoh dunia bu lim yang pernah melihat ilmu serupa.
Dengan demikian tidak ada seorang pun yang tahu darimana ia mempelajari ilmu-ilmu
itu. Orang yang mendapat julukan Kui lo itu seorang perempuan. Dengan kepandaian yang
dimilikinya, dia malang melintang di dunia persilatan, selama tiga puluhan tahun. Apa
pun yang dilakukannya tidak pernah mengindahkan peraturan dunia bu lim.
296 Tergantung dari kesenangan hatinya sendiri. Hal ini membuat para tokoh bu lim
angkat tangan terhadapnya.
Namun, ketika menjelang usia senja, tiba-tiba saja perempuan iblis ini menghilang
dari kalangan dunia bu lim. Tidak ketahuan rimbanya. Sedangkan para tokoh bu lim
masih saja dilanda kekhawatiran karena tidak tahu mati hidupnya iblis itu.
Sampai bertahun-tahun kemudian, di saat orang-orang merasa usia Kui lo sudah
demikian lanjut sehingga tidak dimungkinkan lagi masih hidup di dunia ini, mereka
baru mulai melupakannya.
Memang di dalam hati para jago kelas tinggi menyadari bahwa orang yang
mempunyai ke-dudukan tertinggi dan kepandaian terhebat di dunia bu lim bukan
orang dari golongan lurus, namun orang dari golongan sesat yaitu Kui lo, si nenek
iblis. Bahkan para tokoh golongan lurus di dunia bu lim pernah mengadakan penyelidikan
untuk mencari tahu asal usul ilmu yang dimiliki Kui lo.
Pada saat itu, mereka berkumpul di gunung Go Bi san. Jumlahnya mencapai puluhan
orang, tetapi sampai akhirnya, tetap saja tidak ada seorang pun yang sanggup
mengutarakan dari mana asal usul kepandaian Kui lo.
Tao Heng Kan turunan seorang pendekar besar. Tentu saja dia juga pernah mendengar
nama Kui lo yang sempat menggetarkan dunia bu lim seratusan tahun yang lalu.
Karenanya dia terkejut setengah mati mendengar orang tinggi kurus tadi menyebutkan
nama itu. "A ... pa hubunganmu dengan Kui lo?" tanyanya gugup.
Tampak bahu orang itu menjungkit ke atas, bibirnya bergerak sedikit seakan ingin
mengatakan sesuatu. Namun akhirnya dia membatalkannya. Tao Heng Kan menunggu
beberapa saat. "Tidak usah kau tahu!" kata orang itu dengan ketus.
Tao Heng Kan melihat perahu yang mereka tumpangi terus melaju ke depan.
"Lalu, kemana akan kau bawa aku sekarang?" tanya Tao Heng Kan.
Orang itu tertawa seram.
"Tadi kau menanyakan soal Kui lo. Sekarang aku akan mengajak kau menemui dia."
Tubuh Tao Heng Kan langsung tergetar mendengar kata-katanya.
"Kui . . . lo masih hidup?"
Orang itu tidak menjawab. Tao Heng Kan tidak tahu apa isi hatinya.
297 "Sekarang aku masih mempunyai beberapa urusan yang ingin menggunakan
tenagamu, karena itu kau tidak perlu khawatir, aku tidak akan mencelakaimu. Tetapi
ada satu hal yang perlu kau mengerti, nasib kedua orang tuamu justru ada di
tanganmu."
Sebetulnya kebencian Tao Heng Kan terhadap orang itu bukan main dalamnya. Tetapi
dia juga menyadari bahwa kepandaian orang itu tinggi sekali. Bahkan sulit dicari
tandingannya di dunia ini. Tiap dia mengucapkan kata-kata gertakan, bukan tidak
mustahil dia akan melakukannya.
Mata Tao Heng Kan menatap orang itu lekat-lekat.
"Kalau kau tidak bersedia menyembah aku sebagai guru, kedua orang tuamu pasti
akan mati. Terus terang saja kukatakan kepadamu, di dalam dunia ini, orang yang
berani berhadapan dengan aku sebagai musuh, dapat terhitung dengan jari. Harap kau
camkan baik-baik." Terdengar orang itu berkata lagi.
Tao Heng Kan merenung beberapa saat. Hatinya mendongkol sekali, tetapi dia tidak
tahu bagaimana harus menghadapi orang itu.
"Mengapa kau begitu kukuh ingin aku menyembahmu sebagai guru?" tanya Tao Heng
Kan. "Tentu saja ada alasannya." Watak Tao Heng Kan memang keras kepala. "Kalau kau
tidak mengatakan alasannya, biar harus mati sekali pun aku tetap tidak bersedia
menyembah engkau sebagai guru."
Orang itu menatap Tao Heng Kan beberapa saat.
"Boleh saja. Setelah kalian meninggalkan Tai Hu, aku terus mengikuti kalian dari
belakang. Sepanjang perjalanan aku melihat sikapmu yang cocok dengan seleraku.
Dapat diandalkan, bila kau bersedia menyembah aku sebagai guru, tentu kau akan
menuruti setiap perintahku dan menjadi murid yang setia."
Tao Heng Kan tertawa dingin. "Kau kira kalau kau menyuruh aku memperkosa anak
gadis orang atau membakar rumah rakyat jelata, aku juga akan menuruti
kemauanmu?"
Orang itu tertawa terbahak-bahak. "Tentu saja aku tidak menyuruh engkau melakukan
tugas seperti itu. Kau hanya perlu ikut aku ke satu tempat untuk mengambil suatu
barang. Hanya begitu saja. Pasti kau tidak ingin kedua orang tuamu sampai celaka
karena penolakanmu, bukan?"
Pada dasarnya Tao Heng Kan memang seorang anak yang berbakti. mendengar orang
itu lagi-lagi mengancam keselamatan ayah bundanya, hati pemuda itu panik setengah
mati. Tanpa berpikir panjang lagi dia segera menyetujui permintaan orang itu.
"Baiklah. Aku akan menyembah engkau sebagai guru."
Wajah orang itu berseri-seri seketika.
298 "Nah, begitu. Setelah menyembah aku sebagai guru, kau baru tahu bahwa banyak
keuntungan yang akan kau peroleh."
Demi menyelamatkan jiwa kedua orang tuanya, Tao Heng Kan sudah mengeluarkan
janjinya. Tentu saja dia tidak bisa menjilat ludahnya kembali. Pada saat itu, Tao Heng
Kan tidak pernah membayangkan urusannya bisa menjadi sedemikian rupa.
"Bila aku menyembah kau sebagai guru, tentunya aku berhak tahu siapa engkau
sebetulnya?"
Orang itu tersenyum.
"Dulu .. . aku terkenal sebagai Pangcu perkumpulan Hek Can pang (Ulat hitam) Cen
Sim Fu." Orang itu bicara dengan lembut, namun Tao Heng Kan yang mendengarnya justru
terkejut setengah mati. Tanpa sadar dia berteriak.
"Apa" Kau pangcu dari Hek Can pang?"
Cen Sim Fu menganggukkan kepalanya. "Betul. Apanya yang aneh?"
Tiba-tiba kaki Tao Heng Kan menyurut mundur satu langkah, lengannya terangkat dan
sebilah pukulan dihantamkan ke arah Cent Sim Fu. Dalam waktu yang bersamaan,
sepasang kakinya menghentak, tubuhnya segera berjungkir balik kebelakang.
Tadinya dia memang berdiri di atas geladak. Begitu tubuhnya bejungkir balik di udara,
kelihatannya sedikit lagi anak muda itu akan tercebur ke dalam sungai. Namun, Tao
Heng Kan lebih rela dirinya terjatuh ke dalam sungai daripada berhadapan dengan
manusia semacam Cen Sim Fu.
Gerakan tubuhnya memang cukup cepat. Begitu mencelat, tubuhnya sudah melayang
ke luar dari perahu, asal dia mengempos hawa murninya, tubuhnya pasti akan tercebur
ke dalam sungai. Tapi pada saat itu juga, tiba-tiba Cen Sim Fu mengeluarkan suara
siulan panjang. Tampak seperti segumpal asap hitam, orang itu ikut mencelat diudara.
Tubuh Tao Heng Kan yang sedang melayang di tengah udara, merasa ada serangkum
tenaga yang kuat meluncur ke arahnya seiring gerakan tubuh Cen Sim Fu. Tiba-tiba
bagian lehernya mengencang. Tahu-tahu kerah bajunya sudah dicengkeram oleh orang
itu. Begitu dicengkeram, kembali ada serangkum kekuatan yang menekan dirinya
sehingga tanpa dapat dipertahankan lagi tubuhnya meluncur terus ke bawah dan jatuh
dengan keras. Blukkk! Tubuhnya menghantam geladak perahu itu. Sampai beberapa
saat Tao Heng Kan berusaha memberontak, tetap saja ia tidak sanggup bangkit
kembali. Sedangkan Cen Sim Fu sendiri, setelah berhasil menekan tubuh Tao Heng Kan,
tubuhnya berjungkir balik di udara setinggi satu depaan, berputaran lalu menukik
299 turun dan mendarat di atas geladak perahu dengan indah. Matanya menatap Tao Heng
Kan dengan pandangan dingin.
Dengan susah payah Tao Heng Kan berusaha berdiri. Akhirnya berhasil juga. Namun
seluruh tulang belulang di tubuhnya terasa sangat ngilu. Biarpun sudah berhasil
bangkit namun gerakan kakinya masih limbung, hampir saja dia tersungkur jatuh
kembali. Tao Heng Kan memang keras kepala. Begitu berhasil bangun, ternyata ia
berniat menceburkan diri kembali ke dalam sungai.
Namun kemana pun dia berlari, Ceng Sim Fu selalu berhasil menghadang di
depannya. Telapak tangan orang itu mengibas perlahan, tubuh Tao Heng Kan terpental
jauh karena kekuatan yang melanda dirinya.
Demikianlah sampai tujuh-delapan belas kali Tao Heng Kan dipermiankan oleh Cen
Sim Fu. Tubuhnya dibanting kesana kemari sampai akhirnya mata anak muda itu
berkunang-kunang dan tidak sanggup lagi membedakan mana utara mana selatan.
Meskipun Tao Heng Kan hampir pingsan diperlakukan orang itu, tapi hatinya tetap
sadar. Biar bagaimana pun, dia harus meninggalkan perahu itu, harus pergi dari
pangcu Hek Can pang itu.


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena nama Hek Can pang di dunia bu lim tidak bedanya dengan kotoran yang
menjijikkan. Perkumpulan ini termasuk perkumpulan paling rendah dalam golongan
sesat. Sedangkan ketua perkumpulan itu sendiri, yakni Cen Sim Fu sudah terkenal di
dunia kang ouw. Hatinya keji, tangannya telengas dan tidak ada satu perbuatan pun
yang tidak sanggup dilakukan oleh orang itu. Mana mungkin Tao Heng Kan sudi
menyembah orang itu sebagai guru"
Dalam waktu yang bersamaan, hati Tao Heng Kan juga merasa aneh. Sebab, meskipun
nama perkumpulan Hek Can pang di dunia kang ouw demikian busuknya, namun
sebetulnya tidak seberapa lihai. Karena setiap pengikut perkumpulan itu tidak
memiliki kepandaian yang seberapa tinggi dan sebagian besar mengandalkan obat bius
atau dupa bius untuk melakukan kejahatan. Perkumpulan ini dianggap kelas teri di
dunia kang ouw dan beberapa tahun belakangan ini, tidak pernah lagi terdengar gerak
gerik perkumpulan itu. Mengapa ilmu kepandaian Hek Can pang tahu-tahu bisa
berubah sedemikian tinggi"
Namun pada saat itu, Tao Heng Kan tidak mempunyai minat menyelidiki hal itu.
Begitu tubuhnya terhempas di atas geladak perahu, dia berusaha bangkit kembali.
Tiba-tiba saja nafasnya menjadi sesak, dadanya terasa tertekan oleh beban yang berat.
Begitu dia membuka matanya, tampak kaki kiri Cen Sim Fu sudah menginjak
dadanya. Saat itu juga, timbul pikiran Tao Heng Kan untuk memejamkan matanya menunggu
kematian. Kalau dia memang tidak ingin menyembah orang itu sebagai guru, tapi juga
tidak sanggup melolos-kan diri, apa lagi yang harus dikatakan"
Terdengar Cen Sim Fu tertawa terkekeh-kekeh dengan nada dingin.
"Kau bermaksud kabur?"
300 Tao Heng Kan tidak menyahut sama sekali. Kembali Cen Sim Fu tertawa dingin.
"Bocah busuk, aku justru ingin melihat sampai di mana kekerasan hatimu. Aku ingin
kau melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kedua orang tuamu mengalami
kematiannya!"
Mendengar sampai di sini, tanpa dapat mempertahankan diri lagi, seluruh tubuh Tao
Heng Kan bergetar hebat.
Kalau saja Cen Sim Fu membuat dirinya menderita atau menyiksanya sampai sekejam
apa pun, Tao Heng Kan yakin dia dapat menggeretakkan giginya menahan semua
siksaan. Tetapi Cen Sim Fu justru tidak berbuat demikian. Karena kekerasan hatinya,
dia ingin menyiksa bathin Tao Heng Kan dengan membunuh kedua orang tuanya.
Tao Heng Kan merasa siksaan bathin seperti itu justru lebih sulit ditahan daripada
siksaan badan yang sekejam apapun.
"Cen pangcu, di antara kita tidak ada permusuhan apa-apa. Mengapa kau begitu kukuh
ingin aku menyembahmu sebagai guru?" Tao Heng Kan berkata dengan lemas.
Cen Sim Fu tertawa dingin. "Kau anggap aku masih pangcu Hek Can pang yang dulu,
yang mana kejahatan kelas teri apa pun sanggup melakukannya" Sekarang aku sudah
menguasai kepandaian demikian tinggi. Perbuatan semacam itu sudah lama
kutinggalkan!"
Tao Heng Kan tertawa getir.
"Aku mengerti. Sekarang kau justru akan melakukan kejahatan besar."
Cen Sim Fu hanya tertawa tanpa memberikan komentar apa-apa.
"Taruhlah aku bersedia menyembah engkau sebagai guru, tetapi kalau kau menyuruh
aku berbuat kejahatan, aku pun tidak akan melakukannya," ucap Tao Heng Kan
kembali. Mata Cen Sim Fu mengeluarkan sinar yang ganjil.
"Kita mengadakan perjanjian untuk dua tahun.
Dalam dua tahun ini, kau harus menyembah aku sebagai guru, tapi aku tidak akan
menyuruhmu melakukan hal yang tidak kau suka. Setelah dua tahun, kita bebas
menentukan jalan masing-masing, bagaimana?"
Tao Heng Kan merenung sejenak.
"Baiklah. Aku bersedia menyembah kau sebagai guru, tapi untuk dua tahun saja!"
301 Cen Sim Fu tertawa dingin. Kakinya diangkat dari dada Tao Heng Kan kemudian
menyurut mundur satu langkah. Dengan susah payah Tao Heng Kan baru berhasil
bangun. "Sekarang kau istirahat dulu. Besok aku baru memberitahukan kepadamu mengapa
aku kukuh ingin kau menyembah aku sebagai guru," kata Cen Sim Fu.
Tao Heng Kan terpaksa mengiakan. Dia masuk ke dalam kabin perahu dan beristirahat
sepanjang malam.
Pada pagi keduanya, Cen Sim Fu masuk ke dalam kabin. Tao Heng Kan benar-benar
kehabisan akal. Terpaksa dia menyembah orang itu dan menyebutnya 'suhu'.
Wajah Cen Sim Fu tampak serius sekali.
"Aku menerima kau sebagai murid, karena ada sebuah urusan besar. Aku memerlukan
orang yang bernyali besar. Mempunyai pengetahuan cukup luas dan yang paling
penting tidak bisa bertingkah macam-macam di hadapanku, atau dengan kata Iain
orang yang jujur. Kau merupakan orang yang sesuai dengan apa yang kuinginkan. Dan
ini juga suatu keberuntungan bagi dirimu."
Diam-diam TaoHeng Kan menggerutu dalam hati. "Masih dibilang keberuntungan,
justru entah sial berapa turunan!"
Cen Sim Fu cengar cengir, Dibilang meringis bukan, tersenyum pun bukan. Sungguh
tidak enak dilihat mimik wajahnya.
"Mungkin dalam hatimu, kau tidak percaya apa yang kukatakan. Tapi dua tahun
kemudian, mungkin kau niatan tidak ingin pergi dari sisiku lagi. sekarang kau akan
membantu aku menyelesaikan suatu urusan, sedangkan ilmu kepandaianmu masih
cetek sekali. Aku akan mengajarkan semacam ilmu lwe kang dengan lisan. Kau ikuti
apa yang kukatakan dan berlatih dengan keras. Satu bulan kemudian kau akan
mencapai basil yang gemilang."
Diam-diam Tao Heng Kan memaki lagi dalam hati.
"Tokoh golongan hitam seperti kau saja, mana mungkin mengajarkan aku lwe kang
tingkat tinggi segala macam, paling-paling ilmu sesat."
Tetapi Tao Heng Kan sudah mengadakan perjanjian, terpaksa dia mengiakan perlahanlahan.
Cen Sim Fu mulai menguraikan ilmu lwe kang yang dimaksudkannya. Tao
Heng Kan pun mendengar-kan dengan seksama. Sebetulnya bukan karena ia ingin
mempelajari ilmu itu. Dia hanya ingin membuktikan kebenaran kata-kata Cen Sim Fu.
Tidak disangka-sangka setelah mendengar sebagian, hati Tao Heng Kan langsung
tercekat. Ternyata lwe kang yang diuraikan oleh Cen Sim Fu memang benar-benar lwe
kang tingkat tinggi yang mempunyai kehebatan yang tak terkatakan.
Diam-diam Tao Heng Kan segera memusatkan seluruh perhatiannya. Dihapalkannya
uraian Cen Sim Fu baik-baik dan mengulanginya beberapa kali. Dia benar-benar tidak
302 habis pikir, tokoh seperti apa sebetulnya orang yang mendapatkan julukan Hek tian
mo (Iblis langit hitam) Cen Sim Fu ini"
Setelah selesai menguraikan ilmu lwe kang kepada Tao Heng Kan, Cen Sim Fu
memerintahkan tukang perahu agar berlabuh di dermaga. Dia sendiri langsung
mengajak Tao Heng Kan naik ke tepi sungai. Daerah itu merupakan perbukitan yang
tandus. Cen Sim Fu menetapkan bahwa dalam waktu satu bulan dia tidak boleh
bertemu dengan siapa pun. Tao Heng Kan harus melatih lwe kang yang diajarkannya.
Dia sendiri tidak akan menemui pemuda itu. Satu bulan kemudian ia baru akan
menemuinya. Ternyata Tao .Heng Kan sendiri juga sudah kesemsem dengan ilmu yang diajarkan
oleh Ce Sim Fu. Dia mencari sebuah goa yang sunyi dan sepanjang hari berlatih
dengan keras. Boleh dibilang pemuda itu sampai lupa diri. Tanpa disadari satu bulan
telah berlalu. Cen Sim Fu datang menemuinya. Saat itu tenaga dalam Tao Heng Kan ternyata maju
pesat. Apabila tidak mendapat uraian dari orang itu, tentu dia tidak mungkin mencapai
taraf sedemikian rupa hanya dalam waktu satu bulan saja.
Cen Sim Fu pun mengajak Tao Heng Kan ke daerah Si Cuan, dari sana mereka
meneruskan perjalanan ke wilayah barat. Sepanjang perjalanan, mereka menyebut diri
masing-masing bagai guru dan murid. Selama itu Cen Sim Fu juga tidak pernah
melakukan kejahatan apa-apa. Dengan demikian kesan buruk dalam hati Tao Heng
Kan pun jadi jauh berkurang.
Hari itu, mereka sampai di sekitar Iembah Gin Hua kok. Cen Sim Fu mengajak Tao
Heng Kan masuk ke dalam rimba. Dia duduk di atas sebuah batu besar kemudian
menyusupkan tangannya ke dalam saku dan mengeluarkan empat ekor naga-nagaan
emas yang berkilauan.
"Muridku, apakah kau pernah melihat kedua orang tuamu memegang naga-nagaan
emas seperti ini?" tanya Cen Sim Fu.
Tao Heng Kan memperhatikan sejenak, dia menggelengkan kepalanya dengan heran.
"Tidak pernah. Benda apa itu?"
Cen Sim Fu tersenyum misterius.
"Hanya semacam senjata rahasia, harap kau simpan baik-baik."
Tao Heng Kan tidak tabu bahwa benda yang dilihatnya adalah Tong tian pao Kong.
Dia pun tidak tahu hahwa dunia bu lim saat itu sedang gempar karena benda itu.
Padahal Cen Sim Fu justru sedang menguji pendirian dia sebagai manusia, apakah Tao
Heng Kan cukup jujur atau tidak. Namun pemuda itu tidak curiga apa-apa, sambil lalu
dia menerima keempat buah naga-nagaan emas kemudian disusupkannya ke dalam
saku. 303 "Tidak jauh dari sini ada sebuah Iembah yang dinamakan Iembah Gin Hua kok. Kau
masuk ke dalam goa rahasia di Iembah itu dan bawa putra kedua pasangan suami istri
Lie Yuan untuk menemuiku!"
Tao Heng Kan tidak banyak bertanya. Dia segera mengiakan dan menuju Iembah Gin
Hua kok. Mengenai apa yang terjadi di dalam Iembah itu, sampai Cen Sim Fu
memaksa Tao Heng Kan menikam jantung 1 Giok Hong, sudah kita ceritakan di
bagian yang terdahulu. Rasanya tidak perlu kita ulangi kembali.
Keempat buah naga-nagaan emas itu benar-benar digunakan sebagai senjata rahasia
oleh Tao Heng Kan. Ketiga iblis dari keluarga Lung dan Leng Coa sian sing
memperebutkannya. Tetapi Cen Sim Fu keburu muncul dan merebut kembali naganagaan
emas itu. Peristiwa ini diteritakan Tao Heng Kan ketika melakukan perjalanan bersama I Giok
Hong. Sekarang kita kembali kepada I Giok Hong dan Tao Heng Kan yang
meninggalkan I Ki Hu dan Tao Ling.
Tampak sepasang alis I Giok Hong menjungkit ke atas.
"Heng Kan, kalau ditinjau dari arah yang mereka ambil, tampaknya kedua orang itu
juga menuju sebelah barat gunung Kun Lun san."
Tao Heng Kan tertawa getir.
"Aku justru tidak percaya ada yang ingin menuju tempat itu. Tadi pagi, Suhu berhasil
me-ngejar kita, tetapi dia tidak menanyakan masalah Lie Cun Ju yang menghilang. Ini
benar-benar sebuah keberuntungan bagi kita. Ternyata dia malah memerintahkan kita
menemuinya di sebelah barat Gunung Kun Lun. Kita turuti saja kata-katanya. Tidak
perduli dengan orang lain."
I Giok Hong berdiam diri beberapa saat.
"Heng Kan. apakah suhumu sebelumnya tidak pernah mengatakan apa yang
ditugaskannya kepadamu?" tanya I Giok Hong.
Tao Heng Kan menganggukkan kepalanya.
"Tidak salah. Dia tidak pernah mengatakan apa-apa dan aku juga tidak berani
menanyakannya,"
Mereka berdua meneruskan perjalanan. Ketika hari sudah gelap, mereka sampai di
sebuah lembah gunung yang tidak seberapa luas. Begitu masuk ke dalam lembah,
tampak seonggok api unggun yang menyala. Di samping api unggun itu duduk dua
orang. Begitu melihat kedua orang itu, I Giok Hong langsung bermaksud mengundurkan diri.
"Koko!" sapa salah satu dari kedua orang itu.
304 Rupanya mereka berdua bukan orang lain, lagi-lagi I Ki Hu dan Tao Ling. Baru saja
Tao Heng Kan ingin menyahut, I Giok Hong sudah berbisik di samping telinganya.
"Mari kita pergi!"
Suara bisikannya lirih sekali, namun tetap saja tidak luput dari pendengaran I Ki Hu.
"Daerah sini apabila malam tiba, serigala-serigala keluar berombongan. Jangan keras
kepala, akhirnya malah mengenyangkan perut serigala!" Terdengar laki-laki setengah
baya itu menyindir.
Perlu diketahui bahwa antara I Ki Hu dan I Giok Hong memang sudah saling
memalingkan muka. Anak bisa jadi tidak rnenginginkan orang tua, tetapi orang tua
biar mulut mengatakan putus hubungan, perasaan mengkhawatirkan tetap ada. Apa
yang dikatakan I Ki Hu memang ketus seperti menyindir, namun kenyataannya dia
justru memberikan nasehat yang baik.
I Giok Hong tertawa dingin. Dia tidak memperdulikan ucapan I Ki Hu. Ditariknya
lengan Tao Heng Kan dan diajaknya meninggalkan mereka berdua.
"Giok Hong, mengapa kau begitu keras kepala terhadap ayahmu sendiri?" tanya Tao
Heng Kan dengan suara rendah.
Wajah I Giok Hong segera menyiratkan kegusaran. Selama melakukan perjalanan
beberapa hari bersama-sama, seluruh perasaan Tao Heng Kan sudah tercurah pada I
Giok Hong. Pertama, I Giok Hong memang sengaja ber-manis-manis di hadapan Tao Heng Kan
untuk mencari kesempatan menyiksanya perlahan-lahan demi membalaskan sakit
hatinya atas perbuatan adik pemuda itu yang dianggap merebut ayahnya. Kedua,
dalam beberapa bulan terakhir ini, Tao Heng Kan mengalami bebagai perubahan yang
mengejutkan. Tiba-tiba saja dia mendapat perhatian I Giok Hong. Baginya, hal ini
merupakan pendorong semangat, juga menimbulkan kehangatan yang tidak terkira
dalam batinnya.
Karena itu, bagi I Giok Hong, boleh dibilang mempunyai tujuan tertentu mendekati
Tao Heng Kan. Sedangkan bagi pemuda itu sendiri, perasaannya memang keluar dari
hati yang tulus. la benar-benar sudah jatuh cinta pada gadis itu.
Begitu melihat wajahnya yang menyiratkan kegusaran, Tao Heng Kan cepat-cepat
mengem-bangkan seulas senyuman.
"Baik, baik. Terserah kau saja."
Diam-diam hati I Giok Hong merasa senang. Dia berpikir, Tao Heng Kan demikian
menuruti apa pun kehendaknya. Kelak rencananya dapat berjalan lancar dan
berkembang setahap demi setahap. Pada saat itu, tidak usah khawatir pemuda itu tidak
mungkin akan tersiksa batinnya.
305 I Giok Hong dan Tao Heng Kan pun berjalan ke luar dari lembah itu. Kurang lebih
berjalan setengah li, mereka duduk di atas rerumputan yang subur. Tao Heng Kan juga
menyalakan api unggun dan membakar daging hasil buruan mereka untuk mengisi
perut. Tidak lama kemudian, langit semakin menggelap. Tao Heng Kan menganjurkan I
Giok Hong agar beristirahat. Dia sendiri akan duduk di samping api unggun
menungguinya. Setengah kentungan kembali berlalu. Malam mulai larut.
Tao Heng Kan baru merasa bahwa keadaan di sekitarnya demikian hening dan sunyi,
bahkan terkesan agak mencekam. Tiba-tiba saja dari kejauhan terdengar kumandang
suara 'Uh . . . uh . . uh . . .', seperti suara tangisan seseorang, tapi tidak mirip sekali.
Seperti suara tertawa, namun bukan juga. Pokoknya tidak enak didengar dan membuat
bulu kuduk jadi meremang. Setelah berkumandang beberapa kali suara itu pun
menghilang dan suasana di tempat itu menjadi hening kembali.
Tao Heng Kan tiba-tiba teringat kata - kata I Ki Hu menjelang malam tadi.
Menurutnya di sekitar daerah ini banyak terdapat serigala -seripala yang buas. Hatinya
menjadi tercekat, cepat-cepat dia bangkit Namun begitu berdiri, Tao Heng Kan pun
tertegun. Tampak tidak jauh di hadapannya, tempat cahaya api unggun tidak bisa menjangkau,
antara kegelapan ada berpuluh-puluh pasang mata yang menyorotkan sinar berkilauan
dan sedang memandang kepadanya dan I Giok Hong,
Setelah tertegun sejenak, Tao Heng Kan bergegas membangunkan I Giok Hong.
"Giok Hong, cepat bangun. Coba kau lihat, apa itu?"
I Giok Hong mengucek - ngucek natanya. Begitu melihat dengan jelas, dia terperanjat
setengah mati. Rupanya entah sejak kapan di sekeliling mereka telah mengepung
ratusan ekor serigala.
Malam itu, cuaca gelap sekali langit tertutup awan hitam. Bentuk tubuh serigala itu
pun tidak dapat tertangkap jelas oleh pandangan mata.
Namun, mata-mata serigala itu justru memancarkan sinar yang herkilauan dalam
kegelapan malam. Suatu pemandangan yang menggetarkan hati.
I Giok Hong segera melepaskan pecutnya dari selipan ikat pinggangnya, Tao Heng
Kan juga sudah menghunus pedangnya. Tangannya menyentakkan sebongkah kayu
bakar dan dikibaskannya ke arah kerumunan serigala. Tampak gerombolan serigala itu
sempat panik sebeotar. Namun sekejap kemudian mereka tenang kembali.
Kedua orang itu sadar, gerombolan serigala itu belum menerjang mereka karena api
unggun masih menyala. Tapi api unggun itu toh tidak mungkin bisa menyala terus
sampai sepanjang malam.
Apabila api unggun itu padam, pasti terjadilah petarungan antara kedua manusia dan
gerombolan serigala itu. Suatu pertarungan yang berlimpah darah.
306 Sedangkan jumlah serigala-serigala itu demikian banyak, di pihak mereka hanya
berdua. Apakah mereka sanggup melawan binatang yang terkenal buas itu, masih
merupakan sebuah tanda tanya.
Baik Tao Heng Kan maupun I Giok Hong tidak ada satu pun yang bersuara. Perasaan
mereka diliputi ketegangan yang tidak terkatakan. Kira-kira sepeminuman teh


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian, baru terdengar suara keluhan Tao Heng Kan.
"Seandainya kita tahu di tempat ini banyak serigala-serigala buas, seharusnya sejak
tadi kita mengumpulkan kayu bakar yang banyak agar api unggun bisa menyala terus
sepanjang ma lam. Dengan demikian, kita tidak menghadapi bahaya seperti ini."
I Giok Hong tertawa dingin.
"Sekarang baru menyesal, apa gunanya" Lebih baik kita siap-siap mengadu jiwa
dengan binatang-binatang itu."
Tao Heng Kan langsung terdiam. Dalam kegelapan malam, tampak sinar mata para
serigala yang berkilauan. Jumlah mereka semakin lama pun semakin banyak. Sungguh
menggidikkan hati. Lagi pula, begitu suasana hening kembali, suara dengus nafas
binatang itu pun dapat terdengar dengan jelas. Apalagi api unggun semakin lama
semakin redup sinarnya.
Setiap kali sinar api unggun meredup, gerombolan serigala itu pun mendesak ke depan
satu langkah. Sampai akhirnya Tao Heng Kan dan I Giok Hong sudah terkurung di
dalam sebidang tanah yang luasnya hanya satu setengah depa.
I Giok Hong mengayunkan pecut di tangannya.
"Daripada menunggu gerombolan serigala itu menerjang, lebih baik kita dulu yang
menyerang mereka!" teriak gadis itu.
"Betul juga! Ada baiknya kalau kita cari sebatang pohon yang tinggi dan
menyembunyikan diri di atasnya."
Dengan berdampingan, kedua orang itu segera mengempos hawa murninya lalu
melesat ke arah gerombolan serigala itu.
Pada saat itu, jumlah serigala yang mengepung mereka kira-kira ada tiga ratusan ekor.
Begitu keduanya melesat datang, terdengar suara lolongan histeris sebanyak dua kali.
Dua ekor serigala terpijak kaki kedua orang itu sehingga tulang punggungnya patah
dan mati seketika.
Tapi, justru dalam waktu yang hanya sekejapan mata itu, terdengar pula sret! sret! dua
kali, ternyata pakaian I Giok Hong sudah terkoyak oleh cakar kuku serigala yang
tajam. Hati gadis itu tercekat, tetapi tangannya tidak berani memperlambat ayunan
pecut. Tampak bayangan pecutnya menyambar kesana kemari. Dengan cara demikian
dia melindungi seluruh tubuhnya.
307 "Terjang terus ke depan!" teriak gadis itu.
Pedang di tangan Tao Heng Kan juga menari-nari. Dalam tiga kali sabetan, tampak
ada tiga ekor serigala yang menjadi korban pedangnya. Tetapi lengan kirinya juga
terluka akibat cakaran serigala itu.
Kedua orang itu menyadari, pertarungan yang tidak seimbang ini lebih banyak
kemungkinan kalahnya daripada menangnya. Kalau mengandalkan kepandaian mereka berdua,
untuk mem-bunuh sepuluh atau lima belas ekor serigala saja tentu tidak menjadi
masalah. Namun, serigala yang harus mereka hadapi sekarang justru jumlahnya lebih dari tiga
ratus ekor. Kedua orang itu tidak berani rnemisahkan diri selangkah pun. Dengan
memaksakan diri mereka terus menerjang ke depan. Setiap jengkal tanah yang mereka
lalui, pasti ada bangkai serigala yang menggeletak. Darah-darah serigala itu sudah
seperti hujan yang memercik ke mana-mana.
Tapi, setelah kurang lebih setengah kentungan, mereka berhasil juga mendesak ke
depan kurang lebih setengah li. Yang menjadi pokok persoalan, mereka tetap tidak
bisa meloloskan diri dari kepungan serigala-serigala itu. Setiap kali mereka bergerak,
serigala-seriga itu pun ikut bergerak.
Tubuh kedua orang itu sudah penuh dengan luka-luka. Meskipun belum sampai
kehilangan nyawa, namun bekas luka cakaran serigala itu menimbulkan rasa perih dan
gatal. Sebab kuku serigala memang mengandung racun. Penderitaan mereka dapat
dibayangkan. Tidak ada gunanya kedua orang itu menerjang ke depan. Akhirnya mereka berdiri
dengan bahu membahu. Yang satu mengayunkan pecutnya, yang lain mengibaskan
pedangnya, mereka membunuh gerombolan serigala itu dengan kalap.
Serigala-serigala itu terus mengeluarkan suara lolongan. Hal ini memancing datangnya
serigala-serigala yang Iain. Karena itu pula, semakin lama jumlahnya bukan semakin
berkurang melainkan bertambah banyak.
Sejak awal hingga sekarang, satu kentungan sudah berlalu. Tenaga I Giok Hong dan
Tao Heng Kan mulai terkuras. Mereka mulai merasa tidak kuat lagi mengadakan
perlawanan. Tetapi mereka tetap memaksakan diri.
"Giok Hong, ayahmu berada di tempat yang tidak jauh dari sini. Mengapa kau tidak
berteriak meminta pertolongannya?" tanya Tao Heng Kan tiba-tiba.
Rambut I Giok Hong sudah awut-awutan. Dia menggeretakkan giginya erat-erat.
"Ngaco! Aku lebih rela mati dimakan serigala-serigala ini daripada memohon
pertolongannya," sahut gadis itu sinis.
Ketika pembicaraan berlangsung, perhatian mereka agak terpencar, Tanpa disadari ada
dua ekor serigala yang menerjang.
308 Kedua ekor serigala itu besarnya kurang lebih seperti seekor keledai kecil. Begitu
menerjang di hadapan kedua orang itu, kedua kaki depan mereka langsung terangkat
ke atas. Lidah yang panjang menjulur ke depan, nafas kedua binatang itu mendengusdengus
dan tiba-tiba cakar kaki depan mencengkeram ke arah dada Tao Heng Kan dan
I Giok Hong. Pedang panjang Tao Heng Kan langsung dikibaskan, begitu pedangnya berkelebat,
bagian kepala berikut dua kaki depan serigala itu langsung tertebas putus. Serigala
yang satu itu tadinya mengincar I Giok Hong, ia juga menyerang terlebih dahulu. Tao
Heng Kan yang cukup waspada. Dia segera menggerakkan pedangnya sehingga
serigala itu mati seketika. Sedangkan yang seekor lainnya, menyerang belakangan.
Anehnya binatang itu seakan-akan mengerti siasat pertarungan. Dia tidak menerjang
kepada Tao Heng Kan, tetapi menyeruduk tubuh rekannya yang sudah terluka pedang.
Tao Heng Kan sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan sedemikian
rupa, karena itu dia juga tidak bersiap sedia. Bangkai serigala yang pertama langsung
menghantam tubuh pemuda itu. Darah memerciki seluruh tubuhnya dan tanpa dapat
dipertahankan lagi kaki Tao Heng Kan menyurut mundur beberapa langkah.
Justru tepat pada saat kakinya menyurut mundur ke belakang, tiba-tiba dia merasa
punggungnya perih sekali. Tao Heng Kan dapat merasakan sesuatu yang tidak beres,
pedangnya segera dihunjamkan ke belakang. Kembali darah memercik kemana-mana.
Pada saat seperti ini, meskipun Tao Heng Kan berniat melindungi I Giok Hong,
kesempatan sudah tidak memungkinkan.
Terdengar suara bentakan nyaring dari mulut I Giok Hong. Dengan demikian Tao
Heng Kan tahu, meskipun keadaannya berbahaya namun belum sampai mengorbankan
selembar jiwa. Dia juga mengeluarkan suara raungan marah dan menyerang serigalaserigala
itu dengan kalap. Keadaan demikian berlangsung lagi selama setengah
kentungan. Kedua orang itu merasa hampir tidak ada kekuatan lagi untuk bertarung.
Perasaan hati Tao Heng Kan bukan main tertekannya. Diam-diam dia menyadari
dirinya tidak akan luput dari kematian. Mengapa tidak menggunakan sisa waktu yang
sedikit itu untuk mengutarakan isi hatinya secara terus terang"
Sret! Sret! Sret! Tiga kali berturut-turut dia mengirimkan kibasan pedangnya.
Serigala-serigala yang menghadang di depannya cepat-cepat menghindar. Tao Heng
Kan menggunakan kesempatan itu untuk berteriak.
"Giok Hong, apa . . . kah kau . . . tahu isi ... hatiku?"
Pada saat itu, I Giok Hong sama sekali tidak rela menerima kematian begitu saja.
Meskipun tadi mulutnya berkeras tidak ingin meminta pertolongan I Ki Hu. Tetapi
sebetulnya diam-diam dalam hati dia berharap I Ki Hu maupun Tao ling datang
menolong mereka.
Namun dia juga tahu benar watak ayahnya yang keras. Lagipula jumlah serigala itu
demikian banyak. Biarpun kepandaian I Ki Hu sangat tinggi, belum tentu dia bisa
membunuh semua serigala itu. Sedangkan I Ki Hu tidak pernah melakukan sesuatu
yang belum pasti.
309 Karena itu, I Giok Hong sebetulnya juga sudah putus asa. Tetapi ketika mendengar
kata-kata Tao Heng Kan, dia sendiri tidak dapat melukiskan bagaimana perasaannya.
Ternyata dia malah tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya mengandung keperihan
yang tidak terkirakan.
Dari suara tawanya yang mengandung penderitaan, Tao Heng Kan juga dapat
menduga isi hati gadis itu. Karenanya dia juga ikut tertawa terbahak-bahak.
Apabila sepasang pemuda pemudi terlibat dalam cinta kasih dan menyatakan perasaan
hatinya, itu adalah hal yang lumrah dan dapat ditemui di mana saja. Tetapi Tao Heng
Kan dan I Giok Hong justru menyatakan cinta kasih mereka dalam situasi sedemikian
berbahaya. Boleh dibilang tidak ada duanya di dunia ini.
Setelah tertawa terbahak-bahak, Tao Heng Kan kembali merasa bagian bahu kirinya
tercakar oleh kuku serigala. Tetapi dia tidak memperdulikannya.
Perlahan-lahan dia mendekat ke arah I Giok Hong. Awan gelap mulai membuyar,
rembulan memperlihatkan sedikit cahayanya. Dalam keadaan genting, kedua orang itu
saling melirik sekilas. Bibir mereka hanya dapat tertawa getir tanpa sanggup
mengucapkan sepatah kata pun.
Tampaknya tidak lama lagi kedua orang itu akan menjadi mangsa gerombolan serigala
yang sudah kelaparan. Tetapi tiba-tiba, dari arah timur laut tampak tiga titik sinar obor
yang melesat cepat datang ke arah mereka.
Tiga titik sinar api itu bergerak dengan cepat. Dalam sekejap mata jaraknya sudah
tidak begitu jauh dari mereka. Tao Heng Kan dan I Giok Hong dapat melihat bahwa
ada tiga orang berusia setengah baya yang tangan masing-masing menggenggam
sebatang obor. Hati kedua orang itu langsung diliputi kegembiraan. Mereka segera berteriak.
"Sahabat dari mana, tolong gunakan obor kalian untuk mengusir gerombolan serigala
yang mengepung kami!"
Suara teriakan sirap, tampang ketiga orang itu mulai tampak jelas. Jarak mereka saat
itu kurang lebih belasan depa dari luar gerombolan serigala. Mereka berhenti sebentar,
namun kemudian membalikkan tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu.
Tao Heng Kan dan I Giok Hong mendongkol sekali.
"Melihat kematian tanpa menolong, pendekar kelas apa kalian?" teriak Tao Heng Kan
kesal. "Kami ..." Ketiga orang itu hanya mengucapkan sepatah kata saja. Sebetulnya mereka
bukan orang lain, tapi tiga iblis dari keluarga Lung.
Sementara itu, baru saja mengucapkan sepatah kata, tiba-tiba dari samping mereka
melesat sesosok bayangan hitam, gerakan tubuhnya secepat kilat dan langsung
menerjang ke arah tiga iblis dari keluarga Lung.
310 Tao Heng Kan dan I Giok Hong sedang kerepotan menghadapi kawanan serigala.
Dalam keadaan panik mereka hanya sempat melihat sepintas sosok bayangan itu.
Kemudian sibuk lagi menghadapi kawanan serigala. Dalam hati keduanya, karena
gerakan bayangan itu begitu cepat, yang datang pasti I Ki Hu. Pada saat itu, I Giok
Hong hanya mengharap ada orang yang datang memberikan pertolongan, tidak perduli
orang itu musuhnya atau bukan"
Di saat sosok bayangan itu menerjang kepada tiga ibiis dari keluarga Lung, terdengar
mulut mereka masing-masing mengeluarkan suara jeritan ngeri, seperti bertemu
dengan setan. Meskipun jumlah serigala demikian banyak, namun binatang itu
menyerang tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Karena itu sejak tadi suasana tetap
hening mencekam. Sekarang tiba-tiba terdengar suara jeritan dari mulut ketiga ibiis
dari keluarga Lung. Dalam keadaan sibuk, Tao Heng Kan dan I Giok Hong
menyempatkan diri menoleh. Tampak ketiga iblis dari keluarga Lung itu lari terbiritbirit,
masing-masing mengambil arah yang berbeda-beda.
Tiga batang obor di tangan tiga ibiis itu tampak sudah berhasil direbut oleh bayangan
hitam. Tadi, mereka tidak dapat melihat dengan jelas siapa orang itu. Tetapi sekarang
tangannya memegang tiga batang obor yang sinarnya menerangi sekelilingnya sekitar
satu depa lebih. Tao Heng Kan dan I Giok Hong dapat melihat wajah orang itu dengan
jelas, ternyata bayangan itu bukan I Ki Hu, tetapi Hek Tian mo Cen Sim Fu.
Sejak menyembah orang itu sebagai guru, Tao Heng Kan tidak melihat Cen Sim Fu
pernah melakukan kejahatan apa-apa. Karena itu, rasa takutnya pun jadi jauh
berkurang dan ternyata tindak tanduknya tidak seburuk cerita yang pernah tersebar di
dunia kang ouw.
Karena itu pula, perasaan Tao Heng Kan tidak begitu sebal lagi terhadap Cen Sim Fu.
Tapi, tetap saja di antara mereka terdapat jarak yang cukup renggang. Hal ini memang
tidak perlu diherankan.
Keadaan Tao Heng Kan dan I Giok Hong saat itu sedang gawat-gawatnya. Maka Tao
Heng Kan belum pernah segembira saat itu melihat kedatangan gurunya.
"Suhu, cepat kemari!" Katanya sembari menebaskan pedangnya pada seekor serigala.
Baru saja ucapannya selesai, Hek Tian mo Cen Sim Fu sudah bergerak laksana terbang
ke arah mereka. Kecepatannya jangan ditanyakan lagi.
Meskipun kawanan serigala itu bukan main ganasnya, tetapi mereka takut terhadap
api. Hek Tian mo menerjang masuk ke dalam kepungan sambil mengibaskan ketiga
batang obor di tangannya. Saat itu juga, kawanan serigala menjadi kalang kabut.
Kaki Cen Sim Fu menendang secara bergantian. Tubuh kawanan serigala langsung
menggelinding dan terinjak-injak oleh rekannya yang lain. Dalam sekejap mata Cen
Sim Fu sudah sampai di samping Tao Heng Kan dan I Giok Hong.
311 Cen Sim Fu mengedarkan ketiga batang obor itu ke sekelilingnya. Meskipun jumlah
kawanan serigala masih ada seratus ekor lebih, tetapi mereka tidak berani mendekat,
hanya mengepung dari jarak yang agak jauh.
Saat itu, hari sudah menjelang subuh. Jika matahari muncul, kawanan serigala itu pun
akan mengundurkan diri. Tao Heng Kan dan I Giok Hong sudah bertarung matimatian
selama dua kentungan lebih. Meskipun keadaannya agak aman, mereka tidak
sanggup berdiri tegak lagi. Keduanya jatuh terduduk di atas tanah dengan nafas
tersengal-sengal.
Tidak lama kemudian, matahari mulai bersinar di ufuk timur. Kawanan serigala pun
berbondong-bondong meninggalkan tempat itu. Tao Heng Kan baru bisa
menghembuskan nafas lega.
"Suhu, bukankah kau menyuruh kami menemuimu di sebelah barat Gunung Kun Lun.
Mengapa kau justru kembali lagi kesini?"
Wajah Cen Sim Fu tampak angker. Dia mengeluarkan dua butir pil dari balik
pakaiannya. "Kalian minum dulu obat ini. Sebagian diborehkan ke luka. Setelah luka-luka kalian
sembuh, baru kita bicara lagi!"
Tao Heng Kan dan I Giok Hong segera menerima obat itu. Cen Sim Fu menyilangkan
kedua tangannya di depan dada dan berjalan mondar mandir. Tiba-tiba, dari jarak yang
tidak begitu jauh, terdengar suara ringkikan kuda. Wajah Cen Sim Fu langsung
berubah hebat. "Siapa yang mencuri kuda?" bentaknya Iantang.
Suaranya begitu keras dan seakan bergema di seluruh tempat itu. Dapat dibayangkan
sampai seberapa jauh berkumandangnya suara bentakan orang itu. Belum lagi gema
suaranya habis, terdengar lagi suara ringkikan kuda yang semakin menjauh.
Wajah Cen Sim Fu menyiratkan kegusaran. la mengeluarkan suara raungan marah,
kemudian tampak tubuhnya berkelebat, dan tahu-tahu dia sudah melesat sejauh tiga
depa. Terdengar suaranya berkumandang dari kejauhan.
"Kalian berdua cepat ikut aku!" Terdengar suara Cen Sim Fu berkumandang.
Tao Heng Kan dan I Giok Hong saling melirik sekilas. Mereka berdua tahu, apabila
ada seseorang yang berani main gila di hadapan pangcu Hek Can pang Cen Sim Fu,
pasti bukan siapa-siapa, kecuali Gin leng hiat ciang I Ki Hu.
Meskipun keduanya mengerahkan segenap kemampuan mengikuti Cen Sim Fu dari
belakang. Tetapi tidak lama kemudian, mereka sudah tertinggal jauh. Kecepatan
gerakan kaki Cen Sim Fu, benar-benar sulit diuraikan dengan kata-kata.
Tetapi mereka tidak berani berhenti. Dengan sekuat tenaga mereka terus berlari. Tidak
lama kemudian, mereka sampai di samping sebatang pohon yang besar. Tampak di sisi
312 pohon terikat seekor kuda yang warnanya hitam mulus. Sedangkan di batang pohon
tergurat beberapa bans tulisan.
"Kuda hitammu dikembalikan, kuda putih diambil lagi oleh pemiliknya. Harap dapat
berjumpa di sebelah barat gunung Kun Lun san."
Di bawah tulisan itu terdapat cap telapak tangan. Sekali lihat saja I Giok Hong tahu
tulisan itu ditinggalkan oleh I Ki Hu. Dia mengeluarkan suara terkekeh-kekeh yang
dingin. "Semua orang menuju sebelah barat gunung Kun Lun, mungkin di sana ada
pertunjukan yang bagus."
I Giok Hong segera menarik lengan Tao Heng Kan. Keduanya mencelat ke atas kuda,
jari tangan I Giok Hong menghentak tali yang terikat di pohon. Jari tangan gadis itu
benar-benar setajam pisau. Begitu dihentakkan, tali itu langsung putus. Kuda hitam itu
pun melesat ke depan seperti terbang.
Kira-kira tengah hari, mereka baru melihat Cen Sim Fu sedang berlari ke sana ke mari
di antara bukit bebatuan. Setiap jengkal tanah yang dilewatinya, tampak batu-batu
kecil berhamburan. Suaranya bergemuruh seperti tiba-tiba terjadi tanah longsor. Tao
Heng Kan dan I Giok Hong tidak tahu apa yang sedang dilakukannya. Cepat-cepat
mereka menghentikan gerakan kudanya. Tiba-tiba Cen Sim Fu menghantamkan
tinjunya pada sebuah batu besar. Batu itu langsung terpecah menjadi dua bagian.
Wajahnya menyiratkan kegusaran, kepalanya didongakkan, dan matanya menyorotkan
sinar yang menyeramkan. Kakinya menyepak ke depan, sebuah batu lainnya langsung
melayang ke luar dan meluncur ke arah I Giok Hong.
"Kau lihat sendiri!" teriaknya marah.


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

I Giok Hong terkejut setengah mati. Dengan panik dia menjatuhkan tubuhnya di atas
tanah dan menggelinding beberapa kali. Batu besar itu membawa serangkum angin
yang kencang. Terdengar suara menderu-deru. Untung saja reaksi I Giok Hong cukup
cepat, kalau terlambat sedikit saja, tubuhnya pasti akan terhantam batu besar itu dan
tersungkur jatuh dari atas kuda dengan terluka parah.
Baru saja I Giok Hong berdiri tegak, batu besar tadi sudah menimbulkan suara.
Blam! I Giok Hong menolehkan kepalanya, tampak di atas permukaan batu itu tergurat
beberapa baris tulisan.
Kuda San Tian pek dapat berlari sejauh ribuan li, tidak mungkin bisa tersusul. Bila ada
jodoh, kita bertemu lagi di sebelah barat Gunung Kun Lun san.
Tentu tulisan itu digurat oleh tangan I Ki Hu.
I Giok Hong tahu Hek Can pang Pangcu pasti mendongkol sekali karena dipermainkan
oleh lawannya. Karena itu dia mendongakkan wajahnya dan berkata dengan dingin.
313 "Cen Pangcu, antara aku dengan orang itu tidak ada hubungan apa-apa lagi. Mengapa
kau mengumbar kemarahanmu kepadaku?"
Tiba-tiba tubuh Cen Sim Fu berkelebat dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan I Giok
Hong. "Mulai sekarang aku sudah bertentangan dengannya. Bagaimana dengan engkau
sendiri?" Wajah I Giok Hong tidak memperlihatkan rasa takut sedikit pun.
"Tentu aku juga sama!"
"Baik!" Cen Sim Fu membalikkan tubuhnya. "Heng Kan, kalian teruskan perjalanan
menuju sebelah barat Gunung Kun Lun san. Aku akan berangkat lebih dahulu."
Tao Heng Kan tidak tahu mengapa gerak gerik gurunya itu selalu dirahasiakan. la
hanya dapat menganggukkan kepalanya. Dalam sekejap mata tubuh Cen Sim Fu
tampak berkelebat kemudian melesat pergi dari tempat itu.
I Giok Hong naik kembali ke atas kuda. Bersama Tao Heng Kan, dia menuju arah
barat. Dua hari kemudian, mereka sampai di daerah pegunungan. Jalanan di sana
berkelok-kelok dan harus melalui banyak tanjakan. Dengan demikian, Tao Heng Kan
dan I Giok Hong tidak dapat meneruskan perjalanan dengan menunggang kuda.
Mereka melepaskan Cui hong be di tempat itu, dan meneruskan perjalanan dengan
berjalan kaki. Tiga hari kembali berlalu, perjalanan semakin sulit ditempuh. Mereka harus melalui
tebing-tebing yang curam. Untung saja kepandaian keduanya tidak rendah sehingga
dapat melalui semua rintangan. Pada hari keempat, tampak salju bertebaran di depan
mata. Begitu putihnya sehingga menyorotkan sinar yang berkilauan. Mereka sudah
menginjak di Pegunungan Kun Lun san. Sepanjang perjalanan, mereka tidak bertemu
dengan seorang manusia pun.
Baru saja mereka ingin melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar suara seperti
seseorang yang melesat datang dari arah belakang punggung.
Cepat-cepat mereka menolehkan kepalanya. Tampak sepasang ular yang panjangnya
kira-kira lima ciok dan berwarna kuning keemasan sedang melesat datang ke arah
mereka dengan mulut mengeluarkan suara desisan.
Kemudian, mereka juga melihat seseorang yang tangannya menggenggam sebatang
tongkat panjang. Seekor ular berwarna hijau melilit di tongkat itu. Orang itu berjalan
dengan cepat mengikuti sepasang ular kecil berwarna kuning keemasan tadi.
Sekali saja melihat, I Giok Hong segera dapat mengenali orang itu sebagai Leng Coa
sian sing. Leng Coa sian sing sendiri tampaknya tertegun dapat bertemu dengan I Giok Hong di
tempat itu. 314 "Eh ... Rupanya I kouwnio juga ada di sini?"
I Giok Hong tahu Leng Coa sian sing seorang manusia yang licik dan culas. Pokoknya
tidak termasuk golongan baik-baik. I Giok Hong juga malas bicara dengannya. Tetapi
dia ingin tahu apakah tujuan orang itu juga sebelah barat Gunung Kun Lun san.
Karena itu dia bertanya. "Leng Coa sian sing, apakah kau juga ingin menimbrung
keramaian di sebelah barat Gunung Kun Lun san?"
Leng Coa sian sing tertawa terkekeh-kekeh. "Tidak berani. Saya ingin melihat-lihat
saja," sahutnya dengan nada licik.
"Aku nasehati kau agar jangan membuang tenaga secara percuma. Gin leng hiat ciang
dan Hek tian mo berdua sudah menuju ke sana. Apakah kau merasa umurmu sudah
terlalu panjang sehingga ingin cepat-cepat mati?" sindir I Giok Hong.
Mendengar keterangan I Giok Hong, wajah Leng Coa sian sing berubah hebat, namun
sekejap kemudian sudah pulih kembali seperti sedia kala.
"Hal ini juga sulit dikatakan. Ada pepatah yang mengatakan 'siapa yang berjodoh,
dialah yang mendapatkan'. Siapa tahu aku justru berjodoh?"
"Apa yang ingin kau dapatkan?" tukas Tao Heng Kan.
"Apa pun yang ingin kalian dapatkan, aku juga menginginkannya," sahut Leng Coa
sian sing sambil tertawa terbahak-bahak.
Kemudian Leng Coa sian sing mengeluarkan suara siulan panjang. Sepasang ular emas
yang membuka jalan segera melesat lagi ke depan. Leng coa siang sing
menganggukkan kepalanya sedikit, kemudian mengikuti di belakang sepasang ular itu.
Tao Heng Kan memandangi bayangan punggung Leng Coa sian sing sembari menarik
nafas panjang. "Entah benda apa yang terdapat di sebelah barat gunung Kun Lun san, sehingga setiap
tokoh persilatan ingin mengambil bagian dalam pencarian itu."
I Giok Hong merenung beberapa saat. "Kita berangkat saja ke sana. Bukankah nanti
kita akan tahu juga?"
Kedua orang itu meneruskan perjalanan. Dalam satu hari itu, mereka bertemu dengan
tiga rombongan orang. Rombongan pertama tiga iblis dari keluarga Lung. Rombongan
kedua jumlahnya ada tujuh-delapan orang, pemimpin mereka seorang laki-laki berusia
lanjut yang pakaiannya penuh dengan sulaman emas. Tampangnya gagah. I Giok
Hong dan Tao Heng Kan tidak dapat menebak asal usulnya.
Rombongan ketiga, sepasang laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki berwajah bersih,
ta-ngannya menggenggam sebatang sitar (Sejenis alat niusik jaman dulu, bentuknya
mirip gitar, senarnya ada yang tiga belas, ada juga yang enam belas) kayu. Setiap kali
melangkah tangannya menjentik senar sitar itu sehingga menimbulkan bunyi cring!
315 cring! Kalau ditilik dari tampangnya, mirip dengan tokoh persilatan nomor satu dari
wilayah Hok kian, Bok Cin sian sing. Perempuan yang berjalan bersamanya
mempunyai wajah yang jeleknya tidak ketolongan. Pakaiannya juga tidak karuan.
Tangannya menggenggam sebatang pedang yang aneh. Panjangnya kira-kira lima
ciok, leharnya cuma sejari tangan.
Ketiga rombongan itu seakan-akan sedang melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa.
Karena itu tidak ada satu pun yang mencari kesulitan dengan yang lainnya. Malam itu,
mereka mendaki ke tempat yang agak tinggi yang tidak begitu banyak salju. Mereka
menyalakan api unggun dan menghangatkan diri di sampingnya.
Tao Heng Kan dan I Giok Hong bermaksud beristirahat satu malam di tempat itu.
Sepanjang malam, masih banyak orang yang melewati mereka atau bermalam juga di
sekitarnya. Begitu banyaknya orang seakan membuat perjanjian sebelumnya menuju
tempat yang sama.
Baik Tao Heng Kan maupun I Giok Hong menyadari, desas desus di dalam dunia kang
omv paling cepat menyebar luas. Satu orang menyebarkan ke sepuluh, sepuluh pun
menyebar lagi menjadi seratus. Dalam waktu satu bulan saja seluruh dunia bulim akan
mengetahuinya. Dari orang-orang yang melewati mereka malam itu, Tao Heng Kan dan I Giok Hong
mendapatkan sebagian besar dari mereka terdiri dari golongan lurus. Menjelang tengah
malam, ada tiga orang hwesio yang lewat. Yang berjalan di tengah usianya paling tua.
Jenggotnya yang putih melambai-lambai. Wajahnya bersih dan tampak menyiratkan
welas asih. Entah tiang lo dari perguruan atau partai mana. Pokoknya dapat dipastikan
bukan tokoh sembarangan.
Tao Heng Kan dan I Giok Hong tetap duduk di samping api unggun dan
memperhatikan secara diam-diam. Malam pun berlalu dengan cepat. Hari kedua, I
Giok Hong dan Tao Heng Kan meneruskan perjalanan kembali. Kira-kira tengah hari,
tampak di hadapan mereka menjulang tinggi sebuah bukit.
Bukit itu tinggi dan terjal. Bahkan dari bagian pertengahannya sampai ke puncak atas
diselimuti salju yang tebal. Cahaya putih berkilauan. Di bawah bukit berkumpul
banyak orang. Semuanya mendongakkan kepala memandang ke atas. Seakan-akan
sedang mempertimbangkan bagai-mana caranya mencapai puncak bukit itu.
Tao Heng Kan dan I Giok Hong memandangi dari kejauhan. Mereka mendapatkan
bahwa orang-orang itu merupakan para pendatang yang mereka temui dalam beberapa
hari belakangan ini. Sedangkan mereka tampaknya terhadang di depan bukit yang
menjulang tinggi itu.
Seharusnya pasangan suami istri I Ki Hu dan Tao Ling serta Pangcu Hek Can pang,
Cen Sim Fu juga ada di tempat itu. Tetapi mereka bertiga justru tidak tampak.
Perasaan Tao Heng Kan dan 1 Giok Hong juga sedang gelisah. Karena bukit itu
demikian tinggi dan curam, belum lagi bagian atasnya diliputi salju yang tebal.
Tampaknya sulit melaluinya.
316 Di antara kerumunan orang-orang terdengar suara yang lantang dan nyaring. "Kalau
kita tidak mengambil jalan memutar, bagaimana kita bisa sampai di sebelah barat
Gunung Kun Lun san?"
Begitu ucapannya selesai, tampak ada beberapa orang yang keluar dari kerumunan dan
memutar ke sebelah timur. Dalam waktu yang singkat, gerombolan orang itu pun
bubar. Tidak sampai satu kentungan, suasana di bawah bukit itu sudah hening
mencekam. Satu orang pun tidak ada yang tertinggal.
Pada saat itu, Tao Heng Kan dan I Giok Hong berjalan menuju bawah bukit. Mereka
mendongakkan kepala ke atas. Setelah memperhatikan sesaat, mereka menemukan
memang tidak ada cara Iain melalui bukit itu kecuali mengitarinya.
"Ah! Coba kau lihat!" seru I Giok Hong terkejut.
Tao Heng Kan tidak tahu apa yang ditemukannya, karena itu cepat-cepat dia
mengikuti arah telunjuk gadis itu. Tampak sebuah batu besar yang di atas
permukaannya penuh dengan lumut. Tetapi di sebelah kiri bawah, ada beberapa bagian
lumutnya yang sudah terkelupas. Seakan ada seseorang yang mengerahkan tenaga
menggesernya dan meninggalkan bekas seperti itu.
Hati Tao Heng Kan langsung tergerak.
"Mungkinkah di balik batu besar itu ada sesuatu yang aneh?"
I Giok Hong merenung sejenak. "Rasanya belum tentu juga. Batu besar itu beratnya
paling tidak lima laksa kati, siapa yang sanggup menggesernya?"
"Tidak salah. Tadi begitu banyak tokoh persilatan yang berkumpul di bawah bukit ini.
Pasti ada beberapa di antaranya yang sempat melihat bekas jejak yang terdapat pada
batu itu." Berkata sampai di sini, tiba-tiba pikirannya tergerak. "Giok Hong, setiap
orang yang melihat bekas itu pasti mempunyai pikiran yang sama denganmu. Tapi
bagaimana ada bekas seperti itu apabila benar-benar tidak ada orang yang
menggesernya" Coba kita dorong saja!"
Sepasang alis I Giok Hong langsung menjungkit ke atas. "Boleh juga!"
Kedua orang itu menyatukan tenaga mendorong batu besar itu. Kalau ditilik dari
bentuknya, berat batu itu pasti niencapai lima laksa kati. Tetapi ketika kedua orang itu
mulai mendorong, ternyata tidak seberat dugaan mereka. Paling-paling ribuan kati.
Dengan tenaga Tao Heng Kan dan I Giok Hong, mungkin tidak sulit mendorong batu
itu. Tidak lama kemudian, ternyata batu itu mulai terdorong sedikit. Tampaklah celah
yang kecil. Terasa ada serangkum angin yang dingin terpancar dari dalam. Di balik
batu itu rupanya ada sebuah goa alam.
Melihat penemuan itu, Tao Heng Kan dan I Giok Hong merasa terkejut juga gembira.
Yang membuat perasaan mereka gembira, yakni sesuatu yang demikian mudah dan
bisa tercapai tanpa banyak kesulitan. Ternyata begitu banyak orang yang melihatnya,
namun belum apa-apa sudah timbul perasaan mustahil sehingga tidak ada satu pun dari
mereka yang mencobanya. Namun kenyataannya begitu dicoba oleh Tao Heng Kan
317 dan I Giok Hong justru mudah sekali. Dan yang membuat perasaan mereka terkejut,
karena tidak tahu kemana tembusnya goa itu.
Pertama-tama I Giok Hong yang menyusup ke dalam goa itu. Gadis itu menyalakan
batu api. Nyala api tertiup oleh serangkum angin yang dingin, sehingga cahaya bergerak-gerak
dan berubah menjadi kehijauan. Redupnya mengenaskan sekali. Tetapi begitu batu api
itu nyala, I Giok Hong sudah berhasil melihat kuda putih, San Tian pek yang sudah
terkulai di atas tanah menjadi bangkai.
Cepat-cepat I Giok Hong mengedipkan matanya kepada Tao Heng Kan. Pemuda itu
segera mengerti, dari luar dia mengambil setumpuk ranting kayu dan dipanggulnya di
atas pundak. Kemudian dia masuk lagi ke dalam goa. Dengan bantuan I Giok Hong,
mereka menggeser batu itu kembali ke tempatnya. Dengan peletekan api mereka
membakar ranting kayu untuk dijadikan obor Setelah batu menutup rapat kembali.
Serangkum demi serangkum angin dingin menerpa tubuh sehingga dinginnya
menyusup ke dalam tulang.
I Giok Hong menunjuk ke arah bangkai kuda. "Bangkai kuda ini ada di sini. Pasti
mereka menyusup ke dalam dengan berjalan kaki."
Tao Heng Kan membungkuk di samping bangkai kuda itu kemudian memeriksa
dengan teliti. Ternyata di atas kepala kuda itu terdapat sebatang paku yang warnanya
hitam pekat. Tao Heng Kan berdiri kembali dan menyurut mundur satu langkah.
"Tidak salah. Kuda ini mati karena paku Hek can ciam (Paku ulat hitam)."
I Giok Hong langsung tertegun. "Kalau begitu, apakah sudah terjadi perkelahian antara
mereka?" "Belum tentu. Aku rasa I. . . lo sian sing sengaja meninggalkan kudanya di sini lalu
berjalan ke dalam."
Ketika menyebut I Ki Hu, Tao Heng Kan menjadi serba salah. Sebab bagaimana pun I
Ki Hu ayah kandung I Giok Hong. Sebetulnya dia bisa menyebut 'ayahmu', tetapi
sehubungan antara mereka ayah dan anak sudah terputus. Apalagi tali kekeluargaan
mereka menjadi semakin rumit. Sebab I Ki Hu sekarang malah sudah menjadi adik
iparnya. Tetapi perkataan moay hu (panggilan untuk suami adik) rasanya sulit tercetus
dari bibir Tao Heng Kan. Karena usia I Ki Hu pada dasarnya jauh lebih tua daripada
dirinya sendiri. Karena itu, setelah berpikir sekian lama, dia menyebut I Ki Hu dengan
panggilan 'I lo sian sing' (Tuan I).
I Giok Hong menganggukkan kepalanya mendengar keterangan Tao Heng Kan.
"Kalau begitu, meskipun goa ini tampaknya cukup luas, kemungkinan keadaan di
dalamnya justru sempit, sehingga kuda ini tidak dapat lewat."
Sembari berbicara, kedua orang itu terus menyusup ke dalam. Cahaya obor yang ada
di tangan mereka hanya bisa menerangi sekitar tubuh mereka saja. Di dalam goa itu
seakan-akan terdapat hawa gelap sehingga cahaya obor pun tidak bisa menembus
sampai agak jauh.
318 Kedua orang itu juga khawatir di dalam goa terdapat makhluk-makhluk aneh. Karena
itu langkah mereka terpaksa dilakukan dengan hati-hati sekali. Sampai cukup lama,
mereka baru berjalan sejauh dua li. Tiba-tiba di hadapan mereka terbentang cahaya
yang terang benderang.
Mereka berjalan ke depan beberapa langkah. Ternyata kedua orang tua sudah
mencapai celah yang sempit. Begitu kecilnya celah itu sehingga hanya muat tubuh
satu orang untuk melaluinya. Dan sinar terang benderang itu terpancar dari suatu
benda yang menempel di kedua sisi celah. Entah benda apa, mungkin juga sejenis batu
alam yang dapat memancarkan sinar.
I Giok Hong melihat ternyata dugaannya tidak salah. Mereka berhenti sebentar di
depan celah yang sempit itu. Obor di tangan diselusupkan ke dalam, tampak di dalam
celah terdapat sebuah lorong yang entah seberapa dalamnya.
I Giok Hong dan Tao Heng Kan berunding sejenak, kemudian mengambil keputusan
untuk maju terus. Semakin lama jalan yang mereka tempuh semakin sempit, sehingga
mereka harus menggeserkan tubuh selangkah demi selangkah. Sampai akhirnya,
mereka harus memaksakan diri,baru bisa melewati celah itu. Tetapi setelah menempuh
perjalanan kurang lebih lima li. Goa alam itu pun melebar kembali.
Mereka berdua menghembuskan nafas lega. Mereka yakin setidaknya jalan yang
ditempuh itu tidak salah. Mereka duduk di tempat itu untuk beristirahat sejenak, baru
saja bermaksud meneruskan perjalanan, tiba-tiba dari depan berkumandang suara
tertawa dingin.Suara itu terus bergema di dalam goa. Membuat perasaan orang yang
mendengarnya jadi bergidik.
Tao Heng Kan dan I Giok Hong saling melirik sekilas. Keduanya dapat megenali
suara tertawa dingin itu keluar dari mulut I Ki Hu.
"Hek Han mo, dengan nama dan kedudukanmu di dunia bu lim, ternyata kau berhasil
mempelajari kepandaian demikian tinggi. Apakah kau masih belum merasa puas juga"
Aku anjurkan agar kau urungkan saja niatmu itu!" Terdengar ucapan I Ki Hu.
Kedua orang itu segera menghentakkan kakinya melesat ke depan.
"Sahabat I, berapa banyak yang kau ketahui tentang urusan sebelah barat Gunung Kun
Lun san ini?" sahut Cen Sim Fu kemudian.
Tao Heng Kan dan I Giok Hong berlari sejauh satu li lebih. Ternyata mereka sudah
melihat dua buah obor besar yang tertancap di dinding goa. Di bawah obor yang pertama berdiri I
Ki Hu dan Tao Ling. Sedangkan di obor yang kedua Pangcu Hek Can pang, Cen Sim
Fu. Kedua pihak itu berdiri berhadapan.
Yang paling aneh, di bawah cahaya obor yang terang, dapat terlihat jelas bahwa goa
itu tidak mempunyai jalan tembus kemana pun. Dengan kata lain, mereka sudah
mencapai batas ujung goa.


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

319 Ujung goa itu merupakan sebuah dinding berbentuk bundar, permukaannya licin dan
berwarna putih. Di tengah-tengah permukaan dinding yang putih itu terdapat sebuah
gambar peta. Cen Sim Fu melihat Tao Heng Kan dan I Giok Hong sudah menyusul tiba.
"Kalian kemari!" katanya.
Kedua orang itu juga tidak sempat memperhatikan gambar apa sebetulnya yang
terdapat di permukaan dinding itu. Mereka segera berjalan ke depan dan berdiri di
samping Cen Sim Fu.
Cen Sim Fu menganggukkan kepalanya sedikit kepada mereka berdua.
"Sekarang, di antara tujuh buah Tong tian pao Hong, sudah ada enam buah yang ada di
tanganku. Sedangkan kain belacu pembungkusnya juga ada sebagian pada diriku.
Coba kau perhatikan dulu permukaan dinding itu, tiba-tiba saja kau ingin berebutan
denganku, apa kau tidak merasa dirimu terlalu tolol?" kata Cen Sim Fu kepada I Ki
Hu. Sembari berbicara, tangannya menunjuk ke arah permukaan dinding yang putih. Pada
saat itu Tao Heng Kan dan I Giok Hong berdua baru mendapat kesempatan
memperhatikan dinding goa itu.
Dari kejauhan, gambar di dinding itu tampak seperti peta yang tidak beraturan. Namun
setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata gambar itu melukiskan tujuh orang
Portugis. Di atas kepala setiap orang itu, terdapat tujuh ekor naga kecil yang agak
melekuk ke dalam. Sedangkan di samping ketujuh orang berdandanan Portugis itu,
terdapat seorang penduduk Tiong Goan yang tinggi tubuhnya sedang dan wajahnya
tampan. Tangannya menggenggam sehelai kain belacu.
Apa arti lukisan yang ada di permukaan dinding goa itu" Tao Heng Kan dan I Giok
Hong semakin bingung dibuatnya.
"Tidak salah. Kau sudah memperoleh enam dan tujuh buah Tong tian pao Hong.
Tetapi aku juga mempunyai sebuah. Meskipun jumlahnya tidak sebanding,
kegunaannya justru sama dengan keenam buah milikmu itu. Masa kau belum tahu,
dengan merangkapkan tujuh buah Tong tian pao Hong di lubang masing-masing, pintu
goa itu baru bisa terbuka?" ujar I Ki Hu kepada Cen Sim Fu. Cen Sim Fu tertawa
terbahak-bahak.
"Lo I, kau sedang bermimpi?" sahut Cen Sim Fu.
"Apakah kau tidak percaya aku mempunyai sebuah Tong tian pao Hong?"
"Tentu saja. Jumlah Tong tian pao Hong seluruhnya ada tujuh buah. Jaman dahulu,
orang-orang Portugis itu yang membawanya ke daerah Tiong Goan. Menurut cerita
yang pernah tersebar, tujuh buah Tong tian pao Hong dan selembar kain belacu itu
menyangkut suatu urusan yang dapat mengubah seluruh dunia bu lim. Tetapi tidak ada
seorang pun yang percaya. Sampai akhirnya mereka berhasil juga membujuk Mo kau
320 kaucu pada jaman itu dan berangkat bersama-sama menuju sebelah barat gunung Kun
Lun san ini."
Mengenai masalah ini, otomatis I Ki Hu juga sudah tahu. Tapi I Ki Hu berhasil
mengetahui masalah ini, karena dulu dia pernah menjadi menantu ketua Mo kau dan
diberi kepercayaan penuh menangani buku harian dan pembukuan Mo kau. Boleh
dikatakan bahwa penemuannya itu tanpa disengaja. Yang mengejutkan, mengapa Cen
Sim Fu juga bisa tahu urusan itu" Diam-diam I Ki Hu merasa heran.
Oleh karena itu, dia memperdengarkan suara tertawa dingin untuk menutupi
perasaannya. "Urusan ini boleh dikatakan sudah diketahui oleh setiap tokoh bu lim, apa yang perlu
diherankan?" kata I Ki Hu.
Cen Sim Fu tertawa lebar. "Lo I, kalau urusan ini benar sudah diketahui oleh seluruh
umat bu lim, coba kau teruskan kelanjutannya!"
Mendengar pertanyaan Cen Sim Fu, I Ki Hu langsung tertegun! Karena, menurut
pengetahuan I Ki Hu, Mo kau kaucu pada jaman itu pergi mengikuti ketujuh orang
Portugis, setelah itu tidak ada kabar beritanya lagi.
Mengenai ketujuh buah Tong tian pao liong dan selembar kain belacu itu, bisa kembali
ke Tiong goan, dia sama sekali tidak tahu. Sekarang Cen Sim Fu meminta dia
meneruskan kelanjutan cerita itu, tentu saja dia menjadi kelabakan.
Sejak namanya menjulang tinggi di dunia kang ouw, baik orang golongan putih
ataupun hitam bertemu dengannya, tidak ada seorang pun yang berani bertindak
kurang sopan dihadapannya. Bahkan sebaliknya setiap orang berlaku sungkan.
Sekarang, ditanya sedemikian rupa oleh Cen Sim Fu, rasa malu di dalam hatinya
berubah menjadi kemarahan. Wajahnya tiba-tiba saja menjadi angker.
"Huh! Urusan yang tidak ada gunanya, untuk apa dibicarakan?" ucap I Ki Hu.
Cen Sim Fu tertawa terbahak-bahak. "Lo I, lagakmu itu boleh saja untuk menakutnakuti
orang lain. Orang she Cen ini tidak akan gentar sedikit pun terhadapmu.
Mumpung masih pagi, lebih baik kau cepat-cepat keluar dari goa ini!"
Hawa amarah dalam dada I Ki ilu semakin berkobar-kobar.
"Jadi kau ingin bergebrak denganku?" Sembari bertanya, kakinya menindak maju satu
langkah. "Tidak salah. Aku justru ingin tahu sampai di mana kehebatan telapak tangan
berdarahmu."
I Ki Hu juga tertawa terbahak-bahak.
"Selama tiga puluh tahun belakangan ini, tidak ada seorang pun yang berani sesumbar
demikian di hadapanku." Lengannya perlahan-lahan terangkat ke atas. Lengan
321 pakaiannya menyurut ke dalam. Tampaklah telapak tangannya. Namun yang terlihat
hanya sebuah telapak tangan yang putih bersih. Entah sebutan telapak darah
didapatkan dari mana. Tetapi tak lama kemudian, tampak ada guratan yang seperti
bergerak di telapak tangannya. Guratan itu mirip awan yang berarak. Sesaat saja,
telapak tangannya sudah berubah warnanya menjadi merah darah. Bahkan, orangorang
yang ada dalam goa itu mulai mengendus samar-samar bau amis darah. Bau
amis itu memang tidak menusuk, tapi bagi orang yang menciumnya tiba-tiba saja
timbul rasa mual. Tao Heng Kan, Tao Ling, dan I Giok Hong sejak tadi hanya
memperhatikan dari samping. Melihat ilmu telapak darah belum dikerahkan saja sudah
menimbulkan pengaruh yang begitu hebat. Diam-diam hati mereka menjadi tercekat.
Terlebih-lebih I Giok Hong. Meskipun sejak kecil dia diasuh oleh I Ki Hu dan
ayahnya terkenal dengan julukan Gin leng hiat ciang, namun belum pernah sekali pun
dia melihat ayahnya mengerahkan ilmu itu.
Pada saat itu, I Ki Hu hanya mengangkat lengannya perlahan-Iahan ke atas. Ilmu yang
sebenarnya masih belum dikeluarkan, tetapi hal ini saja sudah sanggup membuat
perasaan orang menjadi terkesiap. Dengan demikian terbukti bahwa nama besar I Ki
Hu yang menggetarkan dunia persilatan bukan hanya sekedar nama kosong.
Cen Sim Fu menatap telapak tangan I Ki Hu dengan sorot mata yang tajam. "Lo I,
ternyata kepandaianmu boleh juga," kata Cen Sim Fu dengan nada dingin.
Sembari berkata, Cen Sim Fu membalikkan telapak tangannya. Tampak tengah-tengah
telapak tangannya terdapat guratan-guratan halus yang bergerak-gerak, warnanya
hitam, seakan-akan ada beberapa ekor ulat hitam yang sedang merayap di telapak
tangannya. "Ilmu telapak darah memang terkenal di dunia Bu lim, tetapi Hek Can ciang (Pukulan
ulat hitam) dari partai kami juga belum tentu kalah dengan ilmumu itu. Bagaimana
kalau kita saling mengadu kekerasan beberapa kali?"
"Baik!" sahut I Ki Hu.
Tiba-tiba saja mereka berdua saling mendekat. Tao Heng Kan dan yang lainnya
melihat tubuh keduanya mulai bergerak. Ketiga orang itu segera menyingkir. Tampak
tubuh keduanya berkelebat. Tidak jelas jurus apa yang mereka kerahkan. Hanya
terdengar suara aduan telapak tangan beberapa kali berturut-turut. Blam! Blam! Plak!
Kemudian keduanya pun terpisah kembali. Wajah mereka sama-sama pucat pasi.
Keduanya langsung menjatuhkan diri duduk di atas tanah tanpa mengucapkan sepatah
kata pun. Tao Heng Kan bertiga sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi. Untuk sesaat
mereka malah saling memandang dengan bingung. Kurang lebih setengah kentungan
kemudian, tampak keduanya tanpa bersepakat terlebih dahulu bangun serentak.
Dalam waktu yang bersamaan, tedengar Cen Sim Fu tertawa terbahak-bahak. "Lo I,
kalau kita berdua menjadi sahabat, maka di dunia ini tidak akan ada lagi orang yang
dapat menandingi kita. Tetapi apabila kita bermusuhan, tentu kita akan menjadi bahan
tertawaan musuh-musuh kita."
322 Tadi I Ki Hu sudah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menyambut dengan
keras empat kali pukulan lawannya. Ternyata di antara mereka tidak ada yang kalah
maupun menang. Bahkan hampir saja kedua-duanya terluka.
Bagi I Ki Hu, hal ini merupakan peristiwa yang belum pernah dialaminya. Meskipun
dalam hatinya mengakui kebenaran kata-kata Cen Sim Fu, tapi walaupun dia bukan
tokoh golongan lurus, tetap saja dia tidak sudi berteman dengan orang semacam itu.
Karenanya, dia hanya tertawa dingin. "Tidak perlu bicara hal yang tidak penting.
Menurut pendapatku, sebaiknya kita bekerja sama saja. Tetapi, apa pun keuntungan
yang kita dapatkan dari Tong tian pao Hong, harus kita bagi sama rata. Bagaimana?"
kata I Ki Hu. Cen Sim Fu tertawa seram. "Lo I, apa yang kau andalkan sehingga kau ingin
mendapatkan bagian yang sama?"
"Aku mempunyai seekor Tong tian pao Hong!" sahut I Ki Hu dengan tenang.
Tertawa Cen Sim Fu semakin lebar. "Asal mulanya Tong tian pao liong memang ada
tujuh buah. Tetapi sekarang justru tinggal enam buah. Dan keenam buah itu semuanya
ada padaku. Kau bilang kau juga punya satu buah, mengapa kau tidak
mengeluarkannya agar dapat kita lihat semua?"
Diam-diam I Ki Hu merasa aneh. Sudah jelas dia memiliki sebuah Tong tian pao
Hong, mengapa Cen Sim Fu begitu yakin bahwa I Ki Hu tidak memilikinya.
Tampaknya Cen Sim Fu menggunakan akal licik agar I Ki Hu mengeluarkannya.
Jangan sekali-kali terjebak dalam perangkapnya, pikir I Ki Hu dalam hati.
"Barang ini toh milikku, mengapa aku harus memperlihatkannya kepadamu?" kata I
Ki Hu dengan tertawa dingin.
Mendengar ucapan I Ki Hu, Cen Sim Fu semakin yakin dengan kecurigaannya bahwa
lawannya hanya menggertak saja.
"Terbukti bahwa kau memang tidak sanggup mengeluarkannya. Mungkin karena kau
tidak tahu kelanjutan cerita tentang benda itu. Kau menggunakan akal itu untuk
menipuku. Tahukah kau, setelah Mo kau kaucu jaman dulu berangkat ke sebelah barat
Gunung Kun Lun san bersama-sama ketujuh orang Portugis, terjadi peristiwa besar
apa lagi?"
I Ki Hu tetap tertawa dingin tanpa memberi komentar sedikit pun.
"Mereka berdelapan sampai ke tempat ini. Tiba-tiba saja timbul keserakahan dalam
hati Mo kau kaucu. Padahal sebelumnya mereka sudah mengikat perjanjian,
keuntungan apa pun yang didapatkan dari Tong tian pao Hong, akan dibagi rata antara
mereka berdelapan. Dan Mo kau kaucu harus menerima ketujuh orang Portugis itu
menjadi anggota Mo kau dengan kedudukan tinggi dan sama-sama merajai dunia bu
lim," lanjut Cen Sim Fu.
323 Semakin memperhatikan, perasaan hati I Ki Hu semakin heran. Diam-diam dia
berpikir, aku sendiri berdiam di Mo kau cukup lama, tetapi aku tidak tahu urusan ini.
Mengapa Hek Tian mo Cen Sim Fu justru lebih banyak tahu daripada aku?"
Dengan licik I Ki Hu tetap tertawa dingin."Aku akan menjadi pendengar yang baik,"
katanya santai.
Cen Sim Fu tertawa terbahak-bahak. "Lo I, apakah kau sudah mulai mempercayai
kata-kataku?"
I Ki Hu tetap memilih berdiam diri. Terpaksa Cen Sim Fu meneruskan ceritanya.
"Ketika timbul keserakahan dalam hati Mo kau kaucu itu, dia menghina ketujuh orang
Portugis itu tidak mengerti ilmu silat. Dalam sekali gerak saja dia menghantam
ketujuh orang itu sehingga mati seketika. Tetapi sayangnya dia tidak tahu bahwa ada
salah seorang dari mereka pernah mempelajari ilmu Iwe kang. Turun tangan Mo kau
kaucu agak ringan. Mungkin karena dia menganggap tidak perlu mengeluarkan banyak
tenaga untuk membunuh orang yang tidak mengerti ilmu silat. Dengan demikian, salah
satu orang itu tidak langsung mati. Dan tanpa diketahui oleh Mo kau kaucu, dia
menelan seekor Tong tian pao Hong ke dalam perut."
I Ki Hu tertawa dingin. "Mungkin waktu itu kau juga hadir di tempat itu sehingga
dapat mengetahui demikian jeias, bukan?" sindirnya tajam.
Cen Sim Fu tidak mengambil hati terhadap sindirannya. "Meskipun waktu itu aku
belum lahir di dunia ini, tapi orang Portugis yang satu itu berhasil melarikan diri
kembali ke Tiong goan. Dia menulis semua peristiwa yang dialaminya dan aku sudah
membaca catatan itu."
Mendengar nada bicaranya yang demikian serius, I Ki Hu mulai setengah percaya
dengan kata-katanya.
"Dari tempat itulah Mo kau kaucu berjalan terus ke dalam, tetapi karena jumlah Tong
tian pao Hong kurang satu, maka cita-citanya tidak tercapai. Akhirnya ia mati di dalam
goa ini. Menjelang kematiannya, dia mengoyak kain belacu itu menjadi dua bagian,
sekalian dengan enam buah Tong tian pao Hong dilemparkan ke luar goa. Beberapa
ratus tahun kemudian kebetulan dipungut kembali oleh orang yang sedang melakukan
perjaianan ke wilayah barat dan akhirnya dibawa kembali kewilayah Tiong goan."
"Kalau menurut apa yang kau katakan, ketujuh buah Tong tian pao Hong itu ada
kemungkinan muncul kembali."
"Satu ekor Tong tian pao Hong sudah ditelan dalam perut orang Portugis itu. Dan jejak
orang itu kemudian tidak ada kabar beritanya lagi. Kemana harus mencari Tong tian
pao Hong yang ketujuh itu?"
I Ki Hu tertawa dingin.
"Mungkin dia mati dalam perjaianan. Berapa ratus tahun kemudian, tentu mayatnya
tinggal abu. Dengan demikian sebuah Tong tian pao liong yang ditelannya juga
324 muncul lagi dan ada kemungkinan pula ditemukan orang. Tidak ada yang perlu
diherankan, bukan?"
Cen Sim Fu tersenyum. "Tentu saja ada kemungkinan seperti yang kau katakan, tapi
kemungkinan itu terlalu kecil kan?"
I Ki Hu menyusupkan tangannya ke dalam saku, dikeluarkannya sebuah naga-nagaan
emas yang ukurannya kurang lebih lima ciok dan memancarkan cahaya berkilauan.
"Coba kau lihat, apa ini?"
Tiba-tiba saja hati Cen Sim Fu tergerak, wajahnya agak berubah.
"Hek tian mo, pada jaman dulu Mo kau kaucu juga memiliki enam ekor Tong tian pao
Hong, tetapi akhirnya dia tidak berhasil mendapatkan apa-apa. Apakah kau ingin
mengikuti jejaknya?" kata I Ki Hu dengan bangga.
Cen Sim Fu tertawa getir. "Lo I, anggaplah kau memang hebat." "Dari setiap
keuntungan yang akan kita dapatkan, harus dibagi rata, bagaimana?"
"Apa yang akan kita dapatkan dari Tong tian pao liong saja belum ketahuan. Tetapi
kalau bukan keuntungan, bahkan kerugian, kau juga harus ikut menanggung
setengahnya?"
I Ki Hu tertawa terbahak-bahak. "Tentu saja."
Sembari berbicara, tanpa bersepakat lagi kedua orang itu membalikkan tubuh. Plak!
Telapak tangan mereka menekan di dinding batu, dengan mengerahkan tenaga dalam
mereka mendorongnya.
Terdengar suara bergemuruh, dinding batu yang berwarna putih itu ternyata mulai
terdorong. Tidak lama kemudian membuka selebar lima-enam ciok. Keduanya
menyurut mundur. "Silakan!" kata mereka serentak. Tao Heng Kan dan yang lainnya
merasa heran dan terkejut melihat dinding batu itu dapat terbuka. Ketika diperhatikan,
keadaan di dalam goa terlihat gelap gulita. Apa pun tidak tampak, I Ki Hu dan Cen
Sim Fu serentak mengucapkan kata 'silakan', tetapi siapa pun tidak ada yang mau
mendahului. Di depan pintu goa itu mereka tampak ragu beberapa saat. Kemudian Cen Sim Fu
tertawa terbahak-bahak.
"Lo I, bagaimana kalau kita masuk bersama-sama?" tanyanya.
Tangan mereka menjulur ke depan.
Plak! Telapak tangan mereka saling menggenggam dan melangkah masuk bersama-sama.
325 Pada saat itu, kecuali I Ki Hu dan Cen Sim Fu, mungkin masih ada Tao Ling yang
mengetahui apa tujuan mereka masuk ke dalam goa itu. Karena sebelumnya, I Ki Hu
pernah menceritakan secara garis besar kisah tentang ketujuh orang Portugis yang
mengajak Mo kau kaucu datang ke tempat itu. Sedangkan Tao Heng Kan dan I Giok
Hong belum seberapa mengerti, mereka hanya mendengar sedikit dari mulut Cen Sim
Fu barusan. Karena itu, mereka juga agak ragu apakah harus ikut masuk ke dalam atau
menunggu di depan dinding batu itu.
Tao Ling sendiri merasa enggan ikut masuk apabila tidak disuruh oleh I Ki Hu. Ketiga
orang itu menunggu di depan goa beberapa saat. I Giok Hong melirik sinis kepada Tao
Ling sekilas. Tao Heng Kan dan Tao Ling saling memandang dengan perasaan apa
boleh buat. "Hu jin, masuklah!" panggi! I Ki Hu.
"Kalian berdua juga masuk!" teriak Cen Sim Fu.
Ketiga orang itu segera mengambil sebatang obor dan ikut masuk ke balik pintu
dinding itu. Begitu mereka melangkah masuk, terdengarlah suara yang bergemuruh.
Dinding batu yang mempunyai gambar ketujuh orang Portugis itu pun merapat
kembali. Sedangkan obor-obor api sudah dibawa masuk oleh mereka berlima.
Keadaan di dalam goa pun menjadi gelap gulita.
Seandainya pada saat itu ada orang yang memasuki goa, kalau dia tidak tahu tentang
dinding berpermukaan putih itu yang dapat didorong agar terbuka, meskipun


Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawa obor, tentu dia akan mengira bahwa saat itu dia sudah mencapai batas ujung
goa yang buntu dan tidak ada jalan lainnya lagi.
Karena dinding batu itu sangat alami buatannya, setelah merapat kembali, tidak
terlihat jejak sedikit pun bahwa dinding batu itu sebenarnya merupakan sebuah pintu
yang dapat menembus ke goa yang dalam.
Setelah mendorong dinding batu itu, I Ki Hu berlima pun masuk ke dalamnya. Tempat
apa itu sebetulnya, dan apa yang mereka cari di dalam, ternyata akhirnya menjadi
sebuah teka teki. Sebab sejak mereka berlima masuk ke dalam, ternyata tidak ada yang
tahu lagi jejak mereka.
Kepergian Gin leng hiat ciang I Ki Hu dan Hek Tian mo Cen Sim Fu menuju sebelah
barat gunung Kun Lun san sebetulnya dilakukan dengan sangat rahasia.Tentunya
semua itu ada kaitannya dengan Tong tian pao Hong. Tetapi di dalam dunia kang ouw,
benar-benar sulit merahasiakan sesuatu.
Karena itu, setelah mendengar kabar selentingan tentang kepergian I Ki Hu dan Cen
Sim Fu, berbagai tokoh dari dunia bu lim pun ikut berdatangan. Tujuan mereka tentu
ingin ikut mengambil keuntungan. Tetapi ternyata mereka tidak mendapatkan apa-apa.
Di samping itu, para tokoh bu lim tentunya menyadari sampai di mana tingginya
kepandaian I Ki Hu dan Cen Sim Fu, karenanya, orang-orang yang berani tampil di
sana bukan tokoh sembarangan.
326 Misalnya Leng Coa sian sing, dia juga merupakan tokoh kelas satu, hanya saja dia
jarang berkecimpung di dunia kang ouw sehingga namanya tidak begitu terkenal.
Namun rombongan orang-orang yang pernah dilihat oleh Tao Heng Kan dan I Giok
Hong justru terdiri dari jago-jago dari kalangan putih dan hitam.
Tetapi, setelah orang-orang itu sampai di sebelah barat Gunung Kun Lun san, ternyata
mereka tidak berhasil menemukan jejak I Ki Hu dan Cen Sim Fu.
Orang-orang itu berdatangan dari tempat yang jauhnya laksaan li. Tentunya mereka
tidak ingin pulang tanpa membawa hasil apa pun. Maka dari itu, di sebelah barat
Gunung Kun Lun san, mereka terus melacak ke sana ke mari sampai tiga bulan lebih
lamanya. Namun, setelah mencari tiga bulan lebih, ternyata mereka tidak menemukan sedikit
jejak pun dari I Ki Hu maupun Cen Sim Fu.
Pada mulanya, orang-orang dunia kang ouw mengira mereka mendapat berita yang
salah. Namun ada beberapa orang yang berani bersumpah bahwa mereka melihat I Ki
Hu dan Cen Sim Fu mengadakan perjalanan ke wilayah barat. Setelah tidak
mendapatkan hasil apa-apa, orang-orang itu langsung menduga bahwa I Ki Hu dan
Cen Sim Fu tentu sudah berhasil meraih keuntungan dan sudah kembali ke Tiong goan
secara diam-diam.
Berpikir sampai di sini, perasaan orang-orang itu pun menjadi tertekan. Karena mereka
tidak bisa menduga sebetulnya keuntungan apa yang akan didapatkan dari Tong tian
pao liong. Tapi, setidaknya mereka tahu pasti sesuatu yang ada kaitannya dengan ilmu silat. Dan
apabila benar 'sesuatu yang berkaitan dengan ilmu silat' itu didapatkan oleh I Ki Hu
dan Cen Sim Fu, mengingat gerak gerik mereka sebelumnya, apakah masih ada hari
tenang bagi tokoh-tokoh dunia bu lim"
Karena itu, mereka pun berbondong-bondong kembali ke Tiong goan. Ketika melewati
lembah Gin Hua kok, mereka bersepakat untuk menyerbu ke dalam. Siapa tahu I Ki
Hu dan Cen Sim Fu bersembunyi di sana. Tetapi kenyataan yang mereka temukan,
keadaan di dalam lembah Gin Hua kok justru kacau balau. Dinding penyekat
sekeliling lembah itu hancur berantakan, pepohonan tumbang, dan bunga-bungaan
layu. Terbukti tempat itu sudah lama tidak terurus atau dihuni siapa pun.
Sampai setahun kemudian, hati para tokoh dunia bu lim masih dilanda kegelisahan.
Mereka khawatir sewaktu-waktu I Ki Hu dan Cen Sim Fu akan muncul kembali di
dunia bu lim lalu bekerja sama menimbulkan berbagai bencana.
Tetapi satu tahun kembali berlalu, kedua iblis itu tetap tidak ada kabar beritanya.
Lambat laun hati para tokoh bu lim pun menjadi lega.
Ada beberapa orang yang menduga bahwa terjadi pertikaian antara Gin leng hiat ciang
I Ki Hu dengan Hek Tian mo Cen Sim Fu. Mungkin setelah mendapat hasil di sebelah
barat Gunung Kun Lun san, di dalam hati mereka timbul keserakahan untuk memiliki
sendiri. Akhirnya kedua tokoh itu berkelahi dan mati bersama-sama.
327 Dugaan ini tadinya banyak yang tidak percaya. Tetapi setelah tiga tahun kemudian,
cerita me-ngenai kematian kedua tokoh itu lambat laun dapat diterima oleh kalangan
masyarakat. Sebab tidak ada keterangan lain yang menjelaskan mengapa mereka tibatiba
menghilang tanpa kabar berita.
Tiga tahun sudah berlalu, jangankan I Ki Hu atau Cen Sim Fu, bahkan Tao Heng Kan,
Tao Ling dan I Giok Hong pun tidak pernah muncul lagi di dunia kang ouw. Akhirnya
Pendekar Pemetik Harpa 26 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 16

Cari Blog Ini