Ceritasilat Novel Online

Pedang Ular Mas 5

Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Bagian 5


"He, sahabat kecil, siapa hendak main-main denganmu?" Beng Tat menegur. "Lekas kau
omong!" Anak muda itu bersemu.
"Lootjianpwee semua ada bertubuh sehat wal'afiat," katanya, "masih mesti ditunggu lagi
banyak tahun untuk lootjianpwee menemui dia itu. Dia telah menutup mata!"
Mendengar jawaban ini, semua orang tertjengang, hingga mereka pada berdiri menjublak,
hanya adalah Oen Tjeng yang terdengar menjerit dan terus memanggil-manggil : "Ibu! Ibu!
Ibu, bangun!"
Sin Tjie heran, ia segan menoleh, maka terlihatlah olehnya, si nyonya usia pertengahan
sudah rubuh pingsan, tubuhnya berada dalam pangkuan si anak muda Oen Tjeng. Nyonya
itu tutup rapat mulutnya, mukanya pucat sekali.
Ngo Tjouw pun terkejut.
"Dosa!" kata Oen Beng San ber-ulang-ulang.
Beng Gie segera kata pada Oen Tjeng : "Tjeng Tjeng, lekas pondong ibumu kedalam!
Jangan kau mendatangkan malu, hingga orang nanti menertawainya!"
Oen Tjeng menangis dengan tiba-tiba, tapi ia menjawab dengan sengit. "Malu apa" Ibu
dengar ayah menutup mata, tentu saja ia kaget dan jadi bersusah hati karenanya!..."
"Nyonya eilok itu jadi ada isterinya Kim Coa Long-koen?" tanyanya dalam hatinya. "Dan
Oen Tjeng ini puteranya..."
Beng Gie gusar bukan main mendengar perkataan Oen Tjeng hingga ia kertak giginya
berulang-ulang.
"Toako, jikalau masih kau sayangi bocah ini, nanti aku yang ajar padanya!" kata ia dengan
keras pada Beng Tat, sang kanda.
"Siapa itu ayahmu?" Beng Tat bentak sang cucu. "Kau tidak mau lekas masuk?"
Oen Tjeng lantas pepayang si nyonya eilok, untuk diajak masuk kedalam. Nyonya itu
sudah sadar tapi ia masih sangat lemah.
"Kau minta Wan Siangkong menemui aku besok malam," ibu ini kata dengan pelahan.
"Aku hendak tanyakan dia."
Oen Tjeng manggut, terus ia menoleh pada Sin Tjie.
"Masih ada satu hari!" katanya. "Besok malam kau boleh datang pula untuk curi emas, aku
ingin lihat kau mampu atau tidak!"
Dengan roman sengit, ia lirik Siauw Hoei, habis itu ia pepayang ibunya dan bertindak
masuk. "Mari kita pergi!" Sin Tjie ajak Siauw Hoei.
Lantas keduanya bertindak keluar.
"Pelahan dulu!" tiba-tiba Ngo-yaya Oen Beng Go mencegah sambil kedua tangannya
dipakai menghalangi. "Aku masih ingin tanya kau."
Sin Tjie rangkap kedua tangannya, untuk memberi hormat.
"Sekarang sudah jauh malam, lain hari saja aku kunjungi lootjianpwee," katanya.
"Kim Coa Kan-tjat itu dimana matinya" "Beng Go tanya. "Ketika dia mati, siapa yang lihat
padanya?" Ditanya begitu, berpetalah dimatanya Sin Tjie kejadian itu malam didalam gua diatas
puncak gunung Hoa San ketika Thio Tjoen Kioe serang si pendeta.
"Terang sudah, kamu sedang cari warisan Kim Coa Long-koen," pikir dia. "Tidak, aku tidak
bisa kasi keterangan!"
Maka ia jawab: "Aku ketahui itu dari pendengaran satu sahabat. Jikalau tidak keliru, Kim
Coa Long-koen meninggal dunia disebuah pulau diluar propinsi Kwietang."
Ngo Tjouw saling mengawasi, nampaknya mereka heran.
"Maka itu pergilah kamu kepulau itu dilaut Kwietang!" Sin Tjie kata. Terus ia memberi
hormat pula,dan tambahkan : "Aku yang muda tak dapat menemani lebih lama pula...."
"Jangan kesusu!" Oen Beng Go mencegah pula. Dia masih mau menanya melit-melit,
kembali dia lintangi kedua tangannya.
Sin Tjie keluarkan tangannya, untuk tolak lengan orang, tapi Beng Go segera tekuk
lengannya itu, untuk dipakai menggaet. Ia gunai tipu "Kim-na-hoat" akan cekal tangan si
anak muda. Sin Tjie tidak niat bertempur pula, selagi kedua tangan mereka beradu, ia tarik Siauw Hoei
dengan tangan kiri, ia ajak si nona loncat akan lewati jago tua ini yang kelima.
Si nona adalah yang loncat lebih dahulu, akan lewat disamping jago tua itu, baju siapa pun
tidak sampai terlanggar.
Oen Beng jadi panas, hingga selagi tarik pulang tangan kanannya, ia bawa itu
kepinggangnya, maka dilain saat ia sudah tarik keluar sepotong cambuk lemas terbuat
dari kulit kerbau, senjatanya yang istimewa. Dengan itu, ia lantas serang bebokong si anak
muda dengan tipu pukulannya "Tjoen Ma toat kiang" atau "Kuda jempol meloloskan
pelana". Jikalau lain orang bergegaman cambuk dari baja atau lain logam, Beng Go gunai bahan
kulit, yang lemas tapi ulet, yang ia biasa gunai sama hebatnya seperti logam.
Sin Tjie dengar suara angin dibelakangnya, sambil masih tarik tangan si nona An, ia
mendak seraya terus berlompat, dengan begitu, serangan cambuk jadi mengenai sasaran
kosong. Habis itu ia berlompat kearah tembok.
Oen Beng Go jadi sangat penasaran. Ia punyakan latihan dari beberapa puluh tahun
dengan cambuknya itu, siapa tahu, dengan gampang saja si anak muda lolos dari
serangannya. Maka tak mau ia berhenti dengan begitu saja. Meneruskan gerakan
tangannya, yang ia tarik pulang, ia rabih kaki Siauw Hoei.
Jago tua ini tahu, kepandaian si nona masih sangat berbatas, ia percaya ia akan berhasil
merubuhkan nona itu. Ia tidak pikir bahwa si anak muda ada bersama si nona.
Sin Tjie dengar suara anginnya cambuk lemas itu, sambil menoleh ia ulur tangan kirinya,
untuk menanggapi, guna lindungi Nona An. Ia berhasil dengan dayanya ini. Justru ia
sudah injak tembok, ia segera kerahkan tenaganya, akan tarik cambuk itu.
Beng Go menyerang sambil berlompat maju, tentang gerakannya si anak muda, ia tidak
pernah sangka, maka itu, ia kaget tidak terkira ketika cambuknya kena ditangkap dan terus
ditarik, percuma ia mencoba akan pertahankan diri, tubuhnya kena tertarik hingga
terangkat, hingga kedua kakinya tak menginjak tanah. Maka dengan tergantung
sedemikian rupa, tak mampu lagi ia kerahkan tenaganya.
Ngo-yaya ini ingin bikin terang mukanya, ia pasti akan berhasil jika ia sanggup bikin Siauw
Hoei rubuh, siapa nyana, ia justru jadi bertambah malu karena si anak muda pecundangi
padanya. Malah dengan tergelantung demikian rupa, ia sekarang terancam bahaya.
Oen Beng Sie kuatirkan saudaranya itu, ia ayun tangannya akan terbangkan dua buah
goloknya, hingga dengan perdengarkan suara "Swing! Swing!" kedua hoeitoo menyambar
kearah bebokongnya si anak muda. Sie-yaya ini hendak tolongi adiknya, tidak niat ia
mencelakai orang.
Melihat ada serangan golok, Sin Tjie lepaskan cekalannya kepada cambuk lemas, ia tarik
Siauw Hoei, buat diajak terus lompat turun keluar tembok. Akan tetapi sebuah golok sudah
mendekati kakinya, dengan gesit ia jejak itu, hingga golok jadi berbalik, membentur golok
yang kedua, hingga dua-duanya lantas jatuh kebawah.
Sementara itu Beng Go ada di kaki tembok, kemana ia jatuh tanpa bahaya ketika Sin Tjie
lepaskan cekalan cambuk. Kapan ia lihat turunnya golok, ia sambar dengan cambuknya,
dengan niat dililit. Apamau, selagi ia menyabet, cambuknya itu putus sendirinya, hingga ia
jadi kaget. Maka untuk luputkan diri dari sambaran golok, ia rubuhkan diri untuk
bergulingan dengan gerakannya "Lay louw ta koen" atau "keledai malas bergulingan". Ia
sudah berlaku cepat sekali tetapi tidak urung ujung golok mengenai ujung bajunya hingga
baju itu robek. Maka itu, waktu ia bangkit bangun, ia keluarkan keringat dingin, mulutnya
ternganga. Tidak pernah ia sangka, dalam keadaaan seperti itu Sin Tjie telah bisa bikin cambuknya
tertekuk patah hingga jadi hilang kekuatannya.
Oen Beng Tat saksikan itu semua, ia menggeleng-geleng kepala. Lain-lain saudaranya pun
heran dan kagum.
"Bocah itu Baru berumur kurang-lebih dua-puluh tahun, umpama kata ia belajar silat sejak
dalam kandungan, temponya toh tak lebih dari dua-puluh tahun, maka heran sekali,
kenapa dia ada begini liehay?" kata Oen Beng Gie si Djie-yaya.
Akan tetapi Oen Beng San sangat penasaran.
"Si bangsat Kim Tjoa ada sangat liehay, dia toh rubuh ditangan kita!" katanya. "Besok
malam bocah itu bakal datang pula, besok nanti kita layani dia pula!"
Sampai disitu, keluarga Oen itu bubaran, sedang Sin Tjie dan Siauw Hoei dengan tidak
kurang suatu apa sudah kembali kepondok mereka dirumahnya si orang tani.
Nona An sangat kagumi ini sahabat sejak kecil, ia memuji tidak putusnya.
"Tjoei Soeko biasa puji tinggi gurunya," katanya "tapi aku percaya gurunya itu tak nanti
sanggup tandingi kau!"
"Apa sih namanya Tjoei Soekomu itu?" Sin Tjie tanya. "Dan siapakah gurunya?"
"Gurunya itu adalah murid dari Bok Loo-tjouwsoe dari Hoa San Pay, katanya gelarannya
ada Tong-pit-Thie-shoei-phoa. Mendengar gelaran itu, yang berarti pit kuningan dan
shoeiphoa besi, pada mula kalinya aku tertawa tak hentinya. Tak ingat aku akan tanyakan
soeko tentang nama gurunya itu."
Sin Tjie manggut, didalam hatinya, ia kata: "Kiranya Tjoei Soeko itu ada muridnya Toasoeheng,
maka dia mesti panggil soesiok padaku..."
Ia tidak beritahukan Siauw Hoei tentang hubungannya ini dengan Hie Bin atau Tong-pitThie-shoei-phoa.
Kemudian keduanya masuk tidur.
Dimalam kedua, Sin Tjie minta Siauw Hoei menanti saja di pondokan.
Siauw Hoei insaf, kepandaiannya masih belum berarti, malah tadi malam, ia seperti bantu
merintangi kawan ini, maka ia menurut akan berdiam di rumah meski sebenarnya sangat
ingin ia turut.
Sin Tjie tunggu sampai sudah tengah malam, Baru ia berangkat. Ia ambil jalan seperti
kemarinnya untuk pergi kerumah keluarga Oen itu. Ketika ia sampai diluar tembok, ia lihat
di-mana-mana gelap, tidak ada cahaya api seperti kemarinnya. Tadinya ia mau terus
masuk ketika dengan tiba-tiba ia dengar seruling merayu tiga kali, berhenti sedetik setiap
rintasan. "Itulah Oen Tjeng memanggil aku," pikir anak muda ini yang otaknya tajam. "Ngo Tjouw
ada licin tapi Oen Tjeng masih ingat persahabatan."
Maka ia, urung lompat naik keatas tembok, anak muda ini memutar tubuh, akan bertindak
kearah dari mana suara seruling datang. Ialah dari Bwee Koei San, bukit yang bertaman
bunga mawar. Selagi ia mendaki, dari jauh-jauh ia sudah tampak dua orang sedang duduk
didalam paseban, ketika ia mendekati, ia lihat mereka itu adalah orang-orang perempuan.
Diantara sinarnya si Puteri Malam, kelihatan juga, satu diantaranya lagi tempeli seruling
kepada bibirnya, hingga segera terdengar irama merayu-rayu.
"Itu toh suara serulingnya Oen Tjeng"..." pikir pemuda ini, yang menjadi heran dan curiga.
Karena ini, selagi mendekati, ia bertindak dengan pelahan-lahan.
Orang perempuan yang meniup seruling itu bertindak keluar paseban, untuk papaki si
anak muda. "Toako!..." katanya dengan pelahan.
Sin Tjie terkejut, hingga ia berdiri melongo. Nona itu Oen Tjeng adanya, anak muda yang ia
anggap sebagai sahabatnya! Ia masih berdiam sekian lama, Baru ia tanya : "Kau....kau...."
katanya tak lancar.
Oen Tjeng tertawa geli, suaranya pelahan.
"Sebenarnya aku adalah seorang perempuan," ia kasi keterangan. "Sampai sebegitu jauh
aku telah abui kau, toako, harap kau jangan buat kecil hati."
Lantas ia memberi hormat sambil menjura.
Sin Tjie balas hormat itu. Sekarang Barulah lenyap kecurigaannya sekian lama mengenai
perangainya Oen Tjeng, tentang sifat-sifat kewanitaannya.
"Namaku adalah Oen Tjeng," berkata pula si nona. Ia rupanya dapat mengerti keheranan si
anak muda. "Sebegitu jauh aku perkenalkan diri Tjeng, sebenarnya masih kurang satu
huruf Tjeng lagi..."
Dan ia tertawa dengan manis.
Dengan dandan sebagai satu nona, Oen Tjeng Tjneg benar elok dan manis sekali, alisnya
bagus, matanya jernih, pipinya dadu, bibirnya seperti buah engtoh.
"Dasar aku yang tolol, orang perempuan tak aku kenali..." pikir Sin Tjie.
"Disana ibu; ibu ingin bicara denganmu," kemudian berkata pula si nona. "Mari!"
Sin Tjie bertindak kedalam paseban, terus ia memberi hormat.
"Pehbo," ia memanggil sambil ia perkenalkan diri.
Nyonya itu berbangkit untuk membalas hormat.
"Jangan pakai adat-peradatan," katanya.
Sin Tjie lihat kedua matanya nyonya itu merah dan bengul, romannya sangat lesu, tanda
dari kedukaan hati yang hebat.
"Menurut Tjeng Tjeng, ibunya ini telah diganggu orang jahat hingga terlahirlah dia," pikir
anak muda kita. "Orang jahat itu tentu Kim Tjoa Long-koen adanya. Kelihatan nyata sekali,
lima ketua dari keluarga Oen sangat benci pada Kim Tjoa Long-koen, sebab ketika Tjeng
Tjeng sebut dia itu sebagai ayah, ia ditegur oleh Djie-yaya. Sebaliknya ibunya mendengar
hal kematiannya Kim Tjoa Long-koen, telah pingsan karenanya, tanda kedukaan yang
hebat. Bukankah disini mesti ada terselip suatu rahasia" Apakah adanya itu" Baik aku
hiburkan dia..."
Nyonya itu berdiam sekian lama, Baru ia bicara pula.
"Dia.....apakah benar dia telah menutup mata?" tanyanya. "Wan Siangkong, apakah kau
lihat sendiri dia meninggal?"
Anak muda itu manggut.
"Wan Siangkong baik terhadap Tjeng Tjeng, inilah aku tahu," kata pula si nyonya yang
elok tetapi laju itu. "Maka itu pasti aku tidak akan berlaku sebagai sekalian yayanya itu,
yang anggap kau sebagai musuh. Aku minta sukalah kau tuturkan aku tentang
meninggalnya dia..."
Mengenai sifatnya Kim Tjoa Long-koen, Sin Tjie masih gelap dan ragu-ragu. Gurunya
sendiri, yang bicara dengan Bhok Siang Toodjin, mengatakan si ular emas ada seorang
berperangai luar biasa, cara hidupnya ada diantara sesat dan tak sesat. Akan tetapi, sejak
ia dapatkan "Kim Tjoa Pit Kip" dan peroleh ilmu silat dari kitab pusaka itu, diam-diam ia
kagumi orang luar biasa itu, yang otaknya sangat cerdas, dan diam-diam juga ia pandang
si orang aneh sebagai gurunya. Biar tidak langsung dia toh dappat pelajaran berharga dari
Kim Tjoa Long-koen. Maka itu, mendengar Ngo Tjoue mendamprat Kim Tjoa Long-koen
sebagai "kan-tjat", bangsat yang hina dan licik, ia jadi gusar sekali, cuma karena ia belum
tahu duduknya hal, tak bisa ia bilang suatu apa. Sekarang ia dengar suaranya ibu dari
Tjeng Tjeng, ia kembali dapat pemandangan lain.
"Belum pernah aku bertemu dengan Kim Tjoa Long-koen," ia jawab pertanyaan si nyonya,
"akan tetapi walaupun demikian, dia dan aku ada sebagai guru dan murid, karena
sebagian dari ilmu silatku aku dapat pelajarkan dari beliau. Aku pikir tidak leluasa untuk
tuturkan jelas hal Kim Tjoa Long-koen setelah ia menutup mata, aku kuatir orang jahat
nanti pergi menyatroni dan merusak kuburannya itu...."
Baru si nyonya mendengar kata terakhir dari si anak muda, ia lantas saja tergeletak rubuh,
sehingga Tjeng Tjeng mesti sambar tubuhnya,untuk ditolongi.
"Ibu, Ibu!" memanggil si nona. "Keraskan hatimu, ibu...."
Tidak lama pingsannya nyonya ini, lalu ia sadar pula. Ia lantas menangis.
"Delapan-belas tahun lamanya aku nantikan dia, aku harap dengan sangat dia datang
untuk sambut kami ibu dan anak, supaya kami bisa berlalu dari sini, siapa sangka justru
dialah sendiri yang sudah pergi lebih dahulu..." mengeluh nyonya Kim Tjoa Long-koen ini.
"Dan Tjeng Tjeng sama sekali belum pernah lihat muka ayahnya..."
"Jangan berduka, pehbo," Sin Tjie menghibur. "Sekarang ini Hee lootjianpwee sedang
tidur dengan senang dialam baka. Tulang-tulangnya semua akulah yang kubur dengan
baik-baik."
"Oh, kau yang menguburnya, Wan Siangkong?" kata si nyonya. "Budimu ini ada sangat
besar, aku tidak tahu bagaimana nanti aku membalasnya."
Ia segera berbangkit, untuk memberi hormat.
Sin Tjie sibuk, untuk mencegah.
"Tjeng Tjeng, hayo kau paykoei kepada Wan Toako!" nyonya ini titahkan gadisnya.
Tanpa bilang suatu apa, Tjeng Tjeng lantas jatuhkan diri berlutut didepan si anak muda,
sehingga dia ini repot berlutut juga untuk membalas hormat, buat sekalian mengasih
bangun kepada nona itu.
"Apakah dia meninggalkan surat untuk kami?" kemudian nyonya itu tanya pula.
Ditanya begitu, Sin Tjie ingat pesan dari Kim Tjoa Long-koen bahwa siapa "dapatkan
warisannya, dia mesti pergi ke Tjio-liang di Kie-tjioe, Tjiatkang untuk cari Oen Gie, untuk
serahkan emas banyaknya sepuluh laksa tail." Pesan itu membikin ia bingung, lalu ia tak
perhatikan lebih jauh. Ia sendiri pun tidak tergiur hatinya oleh itu harta besar, malah ia
bayangi, jangan-jangan Kim Tjoa Long-koen bercelaka karena harta besar itu. Ia juga ingat
baik-baik kata-kata gurunya bahwa harta besar bisa mendatangkan malapetaka. Karena
ini, ia rada jemu dengan petanya Kim Tjoa Long-koen itu. Sampai sekarang nyonya ini
menanyakannya. "Maaf, pehbo," katanya, "aku memberanikan diri untuk tanya apa pehbo bernama Gie?"
Ibunya Tjeng Tjeng nampaknya terperanjat.
"Benar," jawabnya. "Bagaimana kau ketahui itu?" Belum sampai si anak muda sahuti ia, ia
sudah tambahkan : "Tentu kau ketahui itu dari surat peninggalannya! Apakah Wan
Siangkong bawa suratnya itu sekarang?"
Tegang sekali sikapnya si nyonya selagi ia menanyakan demikian.
Disaat Sin Tjie hendak jawab nyonya itu, mendadak ia menjejak dengan kaki kanannya,
segera tubuhnya lompat mencelat melewati lankan, menyambar kesuatu gerombolan
pohon mawar. Oen Gie danTjeng Tjeng, ibu dan anak, kaget dan heran, keduanya segera mengawasi
anak muda itu. Tiba-tiba terdengar satu jeritan "Aduh!" kemudian tertampak Sin Tjie gusur keluar satu
orang, tubuh siapa diam saja, karena rupanya dia telah ditotok jalan darahnya. Dengan
jambak bebokongnya, pemuda ini bawa orang itu kedalam paseban dimana dia itu
digabruki kelantai.
"Eh, inilah tjit-pehhoe!" Tjeng Tjeng bersuara tertahan.
Oen Gie pun mengenalinya, ia lantas menghela napas panjang.
"Wan Siangkong, tolong kau merdekakan dia," mintanya. "Didalam rumah keluarga Oen
ini, kecuali kita berdua ibu dan anak, tidak ada orang lain lagi yang pandang kami sebagai


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang dalam..."
Sin Tjie lihat sikap lesu nyonya itu, ia dengar suara yang lemah bersedih. Lantas saja ia
tepuk jalan darahnya orang tawanannya itu, atas mana dia ini keluarkan jeritan perlahan,
lalu mendusin. Nyatalah orang ini ada Oen Lam Yang dengan siapa Sin Tjie pernah bertempur. Dia adalah
anak Oen Beng Gie dan turut runtunan, dia ada anak ketujuh dalam keluarga Oen itu.
"Tjit-pehhoe!" Oen Tjeng tegur mamaknya itu., "kami sedang bicara di sini,mengapa kau
mencuri mendengari" Sama sekali kau tidak hargai derajatmu sebagai orang yang terlebih
tua!" Kedua matanya Oen Lam Yang bersinar, rupanya ia mendongkol, tapi sebentar saja, lantas
ia ngeloyor pergi dengan tak bilang suatu apa. Rupanya ia jeri atas keliehayan si anak
muda, yang barusan cekuk ia dengan gampang, sedang kemarinnya, ia pun gagal layani
anak muda itu. Akan tetapi, setelah beberapa tindak diluar paseban, dia menoleh dan kata
dengan sengit : "Perempuan tidak tahu malu pasti bisa melahirkan satu anak perempuan
tidak tahu malu juga! Sudah sendiri mencuri lelaki, sekarang pun anak sendiri diajari curi
lelaki juga!"
Tapi Tjeng Tjeng tidak bisa antap hinaan itu, sambil hunus pedangnya ia loncat keluar
paseban, untuk menyusul.
"Eh, tjit-pehhoe, mulutmu kotor sekali!" ia berseru. "Apa kau bilang?"
Oen Lam Yang putar tubuhnya lalu ia berdiri tegak.
"Eh, kacung hina, kau hendak berontak?" tanyanya. "Yaya semua yang perintah aku
datang kemari! Habis kau mau apa?"
"Jikalau kau hendak bicara dengan kita, kau boleh bicara terus-terang!" Tjeng Tjeng tegur.
"Kenapa kau curi dengar pembicaraan kita?"
"Kita" Hm!" Oen Lam Yang menghina, sambil tertawa dingin. "Entah orang hutan dari
mana datang kemari yang lantas dimasuki dalam lingkungan kita! Muka terang delapanbelas
turunan dari keluarga Oen telah kau bikin malu!"
Mukanya Tjeng Tjeng menjadi merah saking malu. Ia menoleh pada ibunya.
"Ibu, dengarlah kata-katanya itu!" katanya.
"Tjit-ko, mari, aku hendak bicara denganmu," kata Oen Gie dengan pelahan.
Oen Lam Yang kasih dengar suara :" Hm!" lantas ia bertindak menghampiri, sikapnya
jumawa sekali. "Kita ibu dan anak hidup menderita," berkata si nyonya kemudian. "Kita berterima kasih
kepada lima yaya dan semua saudara, yang masih mengijinkan kita tinggal belasan tahun
dalam rumah keluarga Oen ini. Tentang urusan si orang she Hee, belum pernah aku
omong suatu apa terhadap Tjeng Tjeng, tetapi sekarang setelah dia menutup mata, selagi
tjitko ketahui semua dengan baik, tolong kau tuturkan itu kepada Wan Siangkong dan
Tjeng Tjeng...."
"Kenapa aku yang mesti menuturkan?" tanya Oen Lam Yang dengan mendongkol. "Inilah
urusan kamu, kamu sendiri yang harus menceritakan asal jangan kamu tahu malu!"
Nyonya itu menghela napas.
"Baiklah," sahut dia. "Aku tahu, dia pernah tolongi jiwamu, aku percaya, sedikitnya kau
masih bersukur terhadapnya, siapa tahu kau sama saja dengan semua anggauta keluarga
Oen ini, semuanya bong in pwee gie - semua tidak kenal budi-kebaikan!"
Oen Lam Yang jadi sangat gusar.
"Dia pernah tolong jiwaku, itu benar!" katanya dengan sengit.
"Tapi kenapa dia tolongi aku" Baiklah, aku nanti tuturkan semua, supaya kalau kau yang
menceritakannya, tak bisa kau menambahi bumbu hingga aku akan jadi orang macam apa
tahu!" Ini mamak yang ketujuh lantas duduk.
"Orang she Wan, Tjeng Tjeng," katanya, mulai, "nanti aku tuturkan bagaimana duduknya
hingga kami kenal Kim Tjoa Kan-tjat, aku nanti jelaskan semua dengan terang supaya
kamu ketahui bagaimana jahatnya kantjat itu!"
"Jikalau kau omong jelek tentang dia, tak suka aku mendengari!" memotong Tjeng
Tjeng.Dan ia tutupi kupingnya.
"Tjeng Tjeng, kau dengarilah!" berkata sang ibu. "Ayahmu yang telah meninggal dunia ini,
walaupun dia tak dapat dikatakan orang baik seluruhnya, akan tetapi apabila dia dipadu
dengan keluarga Oen, dia masih terlebih baik beratus lipat!"
"Hm, kau lupa bahwa kau pun she Oen!" mengejek Oen Lam Yang sambil tertawa dingin.
Oen Gie tidak perdulikan ejekan kakak itu.
Maka Oen Lam Yang segera mulai dengan penuturannya : "Itu adalah kejadian pada duapuluh
tahun yang telah lampau. Ketika itu aku baru berumur dua puluh satu tahum. Ayah
telah utus aku ke Yang-tjioe untuk bantui liok-siokhoe..."
"Kiranya," pikir Sin Tjie," Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay bukan cuma berlima saudara
hanya berenam..."
Liok-siokhoe adalah paman yang keenam.
"Ketika aku sampai di Yang-tjioe, aku tak dapat menemui Liok-siokhoe," Lam Yang
melanjuti. "Pada suatu malam aku pergi keluar, untuk bekerja, apa celaka, karena kurang
waspada, aku gagal..."
"Kau tidak jelaskan, kerjaan apa itu yang kau lakukan," kata Oen Gie dengan dingin. Lam
Yang mendongkol, ia gusar.
"Aku toh satu laki-laki, aku berani berbuat, mustahil aku takut menyebutkannya?" katanya
dengan sengit. "Aku telah dapat lihat satu nona yang cantik sekali, aku lompat masuk
kedalam pekarangannya , untuk memetik bunga. Nona itu tolak aku, maka aku lantas
bunuh dia. Nona itu masih dapat ketika untuk menjerit dan jeritannya itu terdengar orang.
Ada beberapa guru silat yang menjadi tjinteng rumah itu, mereka itu keluar mengepung
aku. Aku tidak sanggup layani begitu banyak orang, akhirnya aku kena ditangkap...."
Sin Tjie bergidik sendirinya mendengar orang cerita tentang kekedjian dan kekejamannya
sendiri tanpa merasa jengah atau malu. Istilah "petik bunga" itu adalah perkosaan
terhadap orang perempuan. Ia pikir, kenapa Oen Lam Yang sedemikian jahat.
"Orang lantas kirim aku kepenjara," mamaknya Oen Tjeng Tjeng itu melanjuti. "Aku tidak
takut. Aku ingat, liok-siokhoe toh ada di kota Yang-tjioe. Untuk seluruh Kanglam,
boegeenya paman itu tidak ada tandingannya. Aku percaya, asal paman ketahui
kegagalanku, pasti dia bakal datang menolongi aku. Akan tetapi sepuluh hari sudah aku
menanti-nanti, tidak juga paman muncul. Sementara itu surat keputusan telah datang dari
pembesar lebih atas, aku telah diputuskan hukuman mati, yang mesti dijalankan didalam
kota Yangtjioe juga. Satu pegawai penjara beritahukan aku keputusan itu. Sampai itu
waktu Barulah aku ketakutan..."
"Hm! Aku menyangka kau tak kenal takut!..." Tjeng Tjeng mengejek.
Lam Yang tidak gubris keponakannya ini.
"Selang tiga hari, sipir bui datang dengan arak secawan besar dan sepiring daging,"
demikian ia meneruskan ceritanya. "Aku tahu artinya makan besar ini, ialah besok aku
bakal jalankan hukumanku. Aku pikir, semua orang memang satu kali mesti mati, hanya
aku, aku merasa sayang atas diriku sendiri. Aku masih muda dan belum cukup merasai
kesenangan....Tapi aku keraskan hati, aku dahar, aku minum, aku habiskan daging dan
arak itu, sesudah mana, aku pergi tidur. Tepat pada tengah malam, aku tersedar karena
ada orang tepuk-tepuk pundakku dengan pelahan. Aku segera geraki tubuh, untuk
bangun. Lantas aku dengar kisikan di kupingku : "Jangan bersuara! Aku akan tolong
padamu!" Orang itu lantas gunai senjatanya, akan tabas kutung pesawat borgolan di
tangan dan kakiku. Itulah senjata yang tajam luar biasa, karena borgolan besi terpapas
dengan beberapa bacokan saja. Habis itu dia tarik tanganku, dia ajak aku menyingkir dari
penjara. Kita kabur sampai diluar kota, disebuah kuil tua. Selama diajak lari, aku turut saja.
Memang aku tak dapat berbuat lain. Dia itu larinya pesat sekali, tenaganya pun besar luar
biasa, tak bisa aku lepaskan diri dari cekalannya. Karena separuh ditarik, aku jadi tidak
terlalu cape. Setelah dia nyalakan lilin diatas meja suci, Baru aku dapat lihat tegas
romannya, ialah satu pemuda yang cakap- ganteng, usianya lebih muda beberapa tahun
daripadaku, mukanya putih-bersih. Hm!"
Lantas saja ia berpaling kepada Oen Gie dan Tjeng Tjeng bergantian, akan lirik itu ibu dan
anak. "Aku lantas kasih hormat pada pemuda itu seraya menghaturkan terima kasih." Lam Yang
cerita lebih jauh setelah ia mengejek ibu dan anak itu dengan lirikannya. "Dia sangat
jumawa, dia tak balas hormatku itu. Dia kata : "aku seorang she Hee, apa kau ada orang
she Oen dari Tjio Liang Pay?" Aku manggut. Sementara itu aku lihat dia masih cekal
senjata tajamnya yang tadi dipakai menabas kutung rantai borgolanku. Itu adalah pedang
warna hitam, anehnya adalah ujung pedang terpecah dua sebagai cagak."
Didalam hatinya, Sin Tjie kata : "Itulah dia pedang Kim Tjoa Kiam yang aku dapatkan." Ia
diam saja, ia mendengari terus.
"Habis itu aku tanya namanya," Oen Lan Yang bercerita terus. "Tak usah kau ketahui
namaku!" jawabnya. "Biar bagaimana, dibelakang hari, tidak nanti kau berterima kasih
kepadaku!" Aku jadi sangat heran. Pikirku, dia telah tolongi jiwaku, tentu saja aku mesti
senantiasa ingat budinya itu, ingat seumur hidupku. "Aku tolong kau untuk kepentingan
pamanmu yang keenam," ia menambahkan. "Mari turut aku!"
"Dengan keheran-heranan, aku ikuti dia. Kita pergi ketepi sungai Oen Hoo, kita naik atas
sebuah perahu dan masuk kedalamnya. Dengan ringkas dia suruh tukang perahu
berangkat, keselatan. Sesudah menyingkir dari Yangtjioe lebih dari sepuluh lie, Baru
hatiku mulai lega. Itu artinya, pembesar negeri tidak akan mampu susul pula padaku."
"Dari sakunya, anak muda itu keluarkan sepasang ngo-bie-tjie, ialah semacam senjata
mirip dengan tempuling. Aku kenali itu sebagai gegaman liok-siokhoe. Biasanya tidak
pernah liok-siokhoe terpisah dari gegamannya itu, maka aku heran, kenapa ngo-bie-tjie itu
berada ditangannya penolongku yang tidak dikenal itu.
"Liok-siokhoemu itu adalah sahabat karibku!" kata dia sambil tertawa. Ia tertawa beberapa
kali, lalu dengan tiba-tiba mukanya jadi berperongos bengis. Tanpa merasa, aku menggigil
saking heran, kaget dan jeri.
"Disini ada sebuah peti," katanya kemudian. "Aku ingin kau bawa pulang itu kerumah.Dan
ini surat kau serahkan pada ayahmu, pada mamak dan pamanmu semua!" Dia menunjuk
pada sebuah peti didalam perahu itu. Itulah peti yang besar sekali yang ditutup dan dipaku
keras, lalu dilibat dengan dadung.
"Kau mesti pulang dengan lekas, jangan kau singgah ditengah jalan," dia pesan. "Peti ini
mesti dibuka dengan tangan sendiri oleh mamakmu yang pertama!"
Aku terima baik pesan itu.
"Dalam satu bulan ini, aku akan datang berkunjung kerumahmu," dia berkata pula. "Kasih
tahu pada semua tertua dirumahmu supaya mereka sambut aku secara baik-baik!"
"Itulah kata-kata tidak keruan juntrungannya, akan tetapi aku toh terima juga. Setelah
memesan dan aku menerimanya, se-konyong-konyong dia sambar jangkar rantai dari atas
perahu, hingga rantainya berbunyi berisik. Segera ia lemparkan itu, malah beruntun semua
empat-empatnya jangkar."
"Bagus!" berseru Tjeng Tjeng tanpa ia merasa.
"Cis!" meludah Lam Yang, hingga ludahnya itu menodai lantai paseban,yang sangat
bersih. Sekitar paseban ditanami pohon kembang mawar, Tjeng Tjeng tanam itu dengan
tangannya sendiri. Paseban itu, terutama lantainya, sangat bersih karena si nona sangat
resik. Sekarang ia lihat paseban diludahi, ia jadi berduka.
Sin Tjie tampak roman menyesal sahabatnya, ia ulur sebelah kakinya, akan gusak-gusak
ludah itu. Melihat kelakuan itu, si nona menoleh pada pemuda ini, agaknya ia sangat berterima
kasih. Oen Gie lihat kelakuan dua anak muda itu, ia manggut dengan pelahan. Nyata ia puas
dengan tingkah-laku pemuda itu.
"Terang dia telah perlihatkan tenaga besarnya padaku, tetapi aku tidak dapat terka apa
artinya itu," Oen Lam Yang melanjutkan untuk kesekian kalinya. "Dengan kekuatannya itu,
dia telah bikin putus rantai-rantai jangkar. Kemudian Baru dia kata padaku: "Jikalau kau
tidak lakukan pesanku ini, contohnya adalah ini jangkar!"
"Setelah itu, dia rogo sakunya, akan keluarkan sepotong goan-po kelantai perahu sambil
berkata : "Inilah ongkos jalanmu!" Tanpa tunggu jawabanku, dia sambar dua potong gala,
sepotong ditiap tangan. Ketika dengan tangan kiri ia tancapkan gala kedalam sungai,
tubuhnya segera turut terangkat naik dan melayang ketengah air. Menyusul itu ia
tancapkan gala yang kanan, tubuhnya turut melayang juga, sedang gala kiri, ia cabut, ia
angkat, untuk ditancapkan pula kearah depan. Secara demikian, dalam beberapa gerakan
saja, ia sudah sampai ditepian dimana ia letaki kaki seraya memutar tubuh. "Kau sambut
ini!" ia berseru, menyusul mana dua batang gala ditimpuki kearah perahu. Aku tidak berani
sambuti kedua gala itu, yang jadi nancap digubuk perahu. Selagi aku kaget dan kagum,
dari tepian aku dengar seruannya yang panjang, lantas tubuhnya lenyap ditempat gelap."
"Sungguh gagah Kim Tjoa Long-koen," pikir Sin Tjie.
Pemuda ini cuma memikir didalam hati, tidak demikian dengan si pemudi.
"Dia ada satu enghiong, satu hoo-kiat!" Tjeng Tjeng berseru dengan pujiannya. Enghiong
atau hookiat adalah satu pahlawan atau orang gagah.
"Satu Enghiong " Cis!" Oen Lam Yang mengejek. Ketika itu aku pandang dia sebagai tuan
penolong. Melihat sinar matanya, yang tajam dan bengis, dia rupanya sangat benci aku,
akan tetapi aku mau percaya itulah tabeatnya yang koekoay, maka aku tidak
memperdulikannya lebih jauh. Setelah itu aku lanjuti perjalanan pulang. Semua kuli, yang
aku suruh gotong peti bilang, peti itu berat sekali. Aku duga, tentunya liok-siokhoe peroleh
untung besar, bahwa peti itu terisi emas dan perak dan mustika lainnya. Aku pun percaya,
setelah dengan susah payah aku bawa pulang itu, semua paman dan mamak akan
hadiahkan aku sedikitnya satu bagian dari harta itu. Maka juga, aku sangat bergembira.
Ketika akhirnya aku sampai dirumah, yah, mamak dan paman, semua puji aku, mereka
katakan, Baru pertama kali aku pergi bekerja, aku telah peroleh hasil yang tidak dapat
dicela..."
"Memang tidak dapat dicela!" Tjeng Tjeng menyelak dengan ejekannya.
"Sudah kau bunuh satu nona remaja, kau juga pulang dengan gondola sebuah peti besar!"
"Tjeng Tjeng, diam!" Oen Gie melarang. "Kau dengarkan cerita pehhoe."
Oen Lam Yang tidak ladeni keponakannya itu.
"Malam itu kami berkumpul," demikian lanjutan penuturannya. "Lilin dinyalakan terangterang
di seluruh thia. Empat bujang gotong peti besar. Ayah beserta keempat mamak
duduk ditengah ruangan. Aku sendiri adalah yang loloskan semua dadung, kemudian aku
cabut setiap pakunya.
Aku masih ingat benar ketika toapehhoe sambil tertawa berkata : "Entah lauwliok kepincuk
oleh si cantik siapa, ia sampai lupa daratan dan tak mau pulang, dia cuma suruh ini bocah
bawa pulang petinya ini! Mari! Mari kita lihat mustika apa yang dia antar pulang!" Aku
lantas buka tutup peti, diatas mana ada sepotong sampul surat yang ada tulisannya, yang
berbunyi : 'Lima saudara Oen harus buka bersama' Itulah huruf-huruf yang indah, yang
bukan buah-kalam liok-siokhoe. Aku serahkan surat itu pada toa pehhoe.
"Toa pehhoe sambuti surat tetapi ia tidak lantas buka untuk dibaca. "Coba lihat dulu, apa
isinya bungkusan!" kata dia. Peti besar itu memang berisikan sebuah bungkusan besar
sekali, yang atasnya diampar kertas. Bungkusan itu dijahit rapat.
"Liok-teehoe, coba ambil gunting, guntingi benang itu," toa pehhoe kata pada encim yang
keenam. "Aku heran, liok-tee boleh menjadi begini terliti..."
"Encim lantas ambil gunting, akan putuskan semua benang, sesudah mana, ia buka
bungkusan itu. Dengan tiba-tiba dari dalam bungkusa menyambar tujuh atau delapan
batang anak panah beracun..."
Tjeng Tjeng menjerit sendiri saking kaget.
"Itulah kepandaian yang umum dari Kim Tjoa Long-koen," kata Sin Tjie dalam hatinya. Ia
tidak jadi heran dan kagum seperti si nona.
"Mengingat kejadian itu, aku bersuku kepada Thian," Oen Lam Yang kata dengan
pujiannya. "Coba aku keburu napsu, aku yang buka bungkusan itu, mana jiwaku masih
dapat hidup sampai sekarang ini" Semua gandewa itu mengenai dengan telak kepada
tubuh encim keenam. Semua ada gandewa beracun yang liehay sekali, yang mengenai
darah lantas menutup tenggorokan. Hampir tidak berseru lagi, encim keenam rubuh,
anggauta tubuhnya semua berubah menjadi hitam. Dan ia mati tak berampun lagi!..."
Berkata demikian, Lam Yang menoleh pada Tjeng Tjeng.
"Itulah perbuatan bagus dari ayahmu!" kata dia dengan ejekannya. "Karena kejadian itu,
seluruh thia menjadi gempar. Ngo-siok lantas menyangka jelek padaku, dia suruh aku
yang buka bungkusan besar itu. Dengan terpaksa, aku menurut. Aku berdiri jauh-jauh, aku
buka bungkusan dengan pakai gala untuk menggaet dan menggower. Sukur tidak ada
gandewa lainnya yang menyambar. Kau tahu, apa isinya bungkusan itu?" ia tanya si nona.
"Apakah itu?" Tjeng Tjeng balik tanya.
Oen Lam Yang kasi dengar suara nyaring ketika ia menjawab : "Itulah mayat entjek
keenam!" Tjeng Tjeng kaget hingga parasnya menjadi pucat.
Oen Gie rangkul puterinya itu, untuk dipeluki, untuk tetapkan hatinya.
Untuk sesaat, keempat orang berdiam semua.
"Coba bilang, dia kejam atau tidak?" kemudian Oen Lam Yang mulai lagi, dengan
pertanyaannya. "Sebenarnya sudah cukup dia bunuh lioksiokhoe, maka apa perlunya dia
bungkus mayatnya dan dikirim pulang secara demikian?"
"Kau tidak hendak sebutkan sebabnya kenapa dia berbuat demikian!" Oen Gie sahuti
kakak itu. "Hm, kau tentunya anggap harus demikian," Lam Yang balas.
Oen Gie memandang kelangit yang luas akan lihat bintang-bintang, agaknya ia tersemsem.
Kemudian, sembari memandang puterinya, ia kata dengan pelahan : "Ketika itu, Tjeng
Tjeng, aku berusia lebih tua satu tahun daripadamu sekarang ini. Akan tetapi aku masih
bersifat seperti kanak-kanak, apa juga aku tak mengerti. Dirumah ini, semua mamak dan
paman, tidak ada kejahatan yang mereka tidak lakukan. Aku tidak sukai mereka itu. Melihat
mayat liok-siokhoe, aku tidak berduka. Inilah aku bicara terus-terang. Aku melainkan
heran, dia yang ilmu silatnya liehay, cara bagaimana dia kena dibinasakan! Aku umpatkan
diri dibelakang ibu, aku tidak berani mengucap apa-apa. Kemudian adalah toapehhoe yang
membuka surat, untuk dibacakan dengan nyaring. Dua-puluh tahun sudah lewat tetapi aku
masih dapat bayangi kejadian malam itu, toapehhoe gusar hingga mukanya pucat, hingga
suaranya menggetar. Aku ingat, beginilah dia membaca : "Kepada yang terhormat, Tujuh
saudara Oen dari Tjio Liang Pay! Aku kirimkan bersama ini satu mayat lengkap, harap
kamu suka terima dengan gembira.
Orang ini sudah perkosa encie kandungku, habis itu dia bunuh encieku itu, kemudian lagi,


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia juga binasakan ayah, ibu dan dua saudara tuaku, hingga semua lima anggauta dari
keluargaku mati terbunuh ditangannya! Melainkan aku sebatang kara yang bisa kabur
meloloskan diri dari ancaman malapetaka hebat itu, untuk terus berkelana. Baru sekarang
aku pulang, untuk menuntut balas! Hutang darah itu mesti ditebus sepuluh lipat, dengan
cara demikian Barulah aku bisa puaskan hatiku. Aku mesti bisa bunuh lima-puluh jiwa
anggauta keluargamu yang lelaki dan perkosa sepuluh anggauta perempuan ! Jikalau
jumlah ini tak dapat aku penuhkan, aku sumpah tak mau aku menjadi manusia! Hormatnya
Kim Tjoa Long-koen Hee Soat Gie."
Habis membaca, Oen Gie menghela napas lega.
"Engko Lam Yang, benar atau tidak liok-siokhoe, telah bunuh semua anggauta
keluarganya?" dia tanya Lam Yang.
Orang yang ditanya manggut.
"Kami ada bangsa laki-laki, kami sudah masuk Jalan Hitam," jawabnya dengan bangga,"
maka untuk kami, merampas harta-benda, membunuh orang dan membakar rumah adalah
pekerjaan biasa! Liok-siokhoe lihat wanita cantik, dengan jalan perkosa dia masih tak
dapatkan maksudnya, kalau karenanya dia cabut golok dan membunuhnya, itu mungkin
terjadi." Oen Gie menarik napas panjang.
"Kamu orang-orang lagi, diluaran kamu sudah lakukan kedosaan besar, kita orang-orang
perempuan didalam rumah, mana kita dapat tahu"...."
"Sesudah baca surat itu, toapehhoe tertawa berkakakan," demikian Oen Lam Yang mulai
pula dengan ceritanya. "Dia kata :" Dia hendak datang kemari, itulah bagus! Kalau tidak,
kita mesti pergi cari dia! Kalau dia umpatkan diri, kemana kita mencarinya?"
"Walaupun toapehhoe bilang demikian, ia tapinya berlaku teliti. Sejak malam itu,
penjagaan diperkeras. Malah dua orang segera diutus ke Kim-hoa dan Giam-tjioe untuk
panggil pulang tjit-siokhoe dan pat-siokhoe."
Sin Tjie heran.
"He, kenapa mereka bersaudara sedemikian banyak?" pikirnya.
"Ibu," Tjeng Tjeng juga tanya," kiranya kami masih punyakan Tjit-yaya dan Pat-yaya"
Kenapa aku tidak tahu"..."
"Mereka adalah saudara tjintong dari yayamu," terangkan Oen Gie. "Memang, mereka itu
tidak tinggal disini."
"Tjit-siokhoe tinggal di Kim-hoa, pat-siokhoe di Giamtjioe," kata Lam Yang. "Mereka ada
keluarga kita tetapi orang luar jarang yang ketahui. Akan tetapi Kim Tjoa Long-koen benar
liehay. Begitu lekas tjit-siokhoe dan pat-siokhoe berangkat menudju kemari, ditengah jalan
mereka dipegat dan dibinasakan oleh dia. Dia sungguh seperti malaikat muncul dan hantu
selam, entah kapan terjadinya, pada suatu malam dia telah masuk kedalam rumah kita, dia
telah curi lima-puluh batang tjiam yang kita biasa pakai diwaktu pungut panen. Setiap kali
dia bunuh satu orang kita, ditubuh korbannya itu dia tancap sebatang tjiam. Rupanya dia
hendak wujudkan sumpahnya, sebelum dia binasakan lima-puluh orang kita, dia tidak mau
berhenti...."
"Dirumah kita ini sama sekali ada seratus orang lebih, cara bagaimana tak mampu kita
melawan dia?" tanya Tjeng Tjeng. "Dia berjumlah berapa banyak orang?"
"Dia bersendirian saja," sahut Oen Lam Yang. "Kantjat itu belum pernah berani perlihatkan
diri, kita juga tidak tahu dimana dia sembunyikan diri. Terang dia menantikan,asal ada
orang kita yang mencil sendirian, lantas dia bunuh mati. Ayah jadi gusar berbareng sibuk,
sampai ayah undang belasan orang Kang-ouw datang ke Tjio-liang ini, untuk setiap hari
atau malam berpesta besar disini, guna tunggui kantjat itu. Diluaran juga kita sudah
tempelkan surat-surat pengumuman, akan tantang dia secara berterang, untuk satu
pertempuran yang memutuskan. Akan tetapi tak mau dia terima tantangan kita itu. Melihat
kita berjumlah banyak, dia tidak pernah datang-datangpula. Maka itu, selang setengah
tahun, sahabat-sahabat kang-ouw itu pada pamitan pulang satu demi satu. Tapi, begitu
lekas rumah kita sepi, engkoh yang ketiga dari kamar kedua dan adik lelaki kesembilan
dari kamar kelima telah kedapatan mati tenggelam didalam empang, pada tubuh mereka
tertancap masing-masing sebatang tjiam. Nyata sekali, kantjat itu pandai sekali mengatasi
diri, ia bisa menanti dengan sabar sampai berbulan-bulan, akan datang pula disaat
pilihannya. Sejak itu beruntun selama sepuluh hari, setiap harinya ada saja orang kita
yang binasa sebagai korbannya, sampai di Tjio-liang ini, tukang-tukang peti-mati
kehabisan peti untuk merawat korban-korban itu, hingga kita mesti pergi beli peti dikota
Kie-tjioe. Tentu saja, terhadap orang luar, kita siarkan berita bahwa kita terganggu iblis
jahat dan penyakit hebat. Adik Gie, kau tentunya masih ingat baik-baik itu hari-hari yang
menggiriskan?"
"Ketika itu, seluruh desa pun gempar saking ketal," Oen Gie jawab. "Rumah kita telah
dijaga dan dirondai setiap siang dan malam, malah ayah bersama semua yaya meronda
juga dengan bergiliran, sedang semua orang perempuan dan anak-anak pada
sembunyikan diri didalam rumah, tidak ada yang berani keluar dari pintu hek sekalipun
satu tindak."
"Walaupun demikian," menyambung Lam Yang dengan gigi bertjatrukan," kedua enso dari
kamar keempat, pada suatu malam lenyap dua-duanya, diculik diluar tahu kita. Kita sudah
menduga, mereka itu tentu bakal terbinasa ditangan si kantjat, siapa tahu selang satu
bulan lebih, kedua enso itu telah berkirim surat dari Yangtjioe dalam mana mereka
memberi tahu bahwa oleh si kantjat mereka sudah dijual dirumah hina dimana mereka
dipaksa mesti melayani tetamu-tetamu lelaki selama satu bulan. Soe-yaya menjadi
demikian mendongkol, sehingga ia rubuh pingsan. Tidak bisa lain, terpaksa kita kirim
orang dan uang ke Yangtjioe untuk tebus kedua enso itu..."
Sin Tjie bergidik sendirinya.
"Hebat pembalasannya Kim Tjoa Long-koen," pikir ia. "Memang ia harus balaskan sakit
hati ayah, ibu, encie dan kedua engkohnya, akan tetapi setelah musuh besarnya sudah
terbinasa, sikap selanjutnya ini rada keterlaluan..."
Pemuda ini goyang-goyang kepala.
"Yang paling hebat," menyambung pula Oen Lam Yang," setiap perajaan Toan-ngo, Tiong
Tjioe dan penutup tahun, dia tentu-tentu kirimkan kami sepucuk surat berikut sepotong
surat perhitungan dalam mana dia peringati bahwa kami masih berhutang beberapa jiwa
lelaki dan beberapa orang perempuan. Tjio Liang Pay telah malang-melintang di Kanglam
beberapa puluh tahun lamanya, sekarang mereka dipermainkan secara begini rupa oleh
dia satu orang, bagaimana kami tidak berduka dan lelah" Mau kita menuntut balas, akan
tetapi musuh sangat licin dan gagah. Ayah dan beberapa paman pernah tempur dia secara
perseorangan, semuanya bukan tandingan dia itu. Maka juga pihak kami jadi putus asa,
kita cuma bisa ambil putusan akan bela diri secara beramai-ramai. Asal kita menjaga
dengan keras, dia tidak pernah muncul, sampai bulanan pun tidak. Kalau kita alpa, lantas
dia muncul dan bekerja. Demikian selama dua tahun, besar dan kecil, sama sekali dia telah
binasakan tigapuluh delapan jiwa. Tjeng Tjeng, hayo bilang, pantas atau tidak kita benci
dia?" "Kemudian bagaimana?" tanya si nona, yang tidak jawab pertanyaan mamak itu.
"Baik ibumu saja yang melanjuti," sahut sang mamak dengan lesu.
Sampai disitu, Oen Gie awasi Sin Tjie, wajahnya berduka.
"Wan siangkong," katanya dengan pelahan," kau telah rawat jenasah dia, maka sekarang,
apa jua boleh aku tak usah sembunyikan kepadamu. Hanya aku minta sebentar, tolong kau
tuturkan aku perihal meninggalnya dia itu, supaya kita ibu dan anak mendapat tahu,
dengan begitu...."
Nyonya ini tidak bisa bicara terus, ia menangis sesenggukan, sehingga ia mesti menunda
beberapa detik untuk legakan hati.
"Ketika itu aku tidak tahu kenapa dia demikian kejam, malah aku tidak ingin
mengetahuinya," kemudian nyonya Hee ini mulai dengan keterangannya. "Ayah larang aku
keluar dari pekarangan rumah walaupun setindak juga, aku jadi sangat masgul. Maka itu
setiap hari aku cuma bisa memain didalam taman. Malah ayah bilang, tanpa ada beberapa
engko yang temani, siang pun orang perempuan dilarang berkeliaran didalam
pekarangan."
"Dalam bulan ketiga, selagi bunga-bunga mekar indah dan harum baunya, ingin aku pergi
kebukit untuk tengok pohon-pohon bungaku, apamau disebabkan sepak terjangnya Kim
Tjoa Long-koen itu, tak dapat aku puasi hatiku, aku mesti dikeram didalam rumah. Pernah
aku memikir untuk membolos sendirian akan tetapi aku tidak berani karena bengisnya
ayah." "Pada suatu hari aku pergi memain didalam taman, bersama encie ketiga dari kamar kedua
serta enso dari kamar kelima. Bersama kita ada engko Lam Yang serta kaupunya engko
Liam Tjoe. Jadi kita ada berlima. Dengan gembira kita main ayunan, yang diayun makin
lama makin tinggi, hingga kita bisa melihat keluar tembok pekarangan dimana tertampak
pohon-pohon yanglioe yang hijau-segar serta bunga-bunga toh yang gompiok-indah."
"Disaat kita sedang bergembira, se-konyong-konyong engko Liam Tjoe menjerit sekali,
Begitu lekas kita memeriksa, nyata dadanya engko Liam Tjoe itu telah tertikam sebatang
bor Kim-tjoa-tjoie, hingga ia habis nyawanya seketika juga. Engko Lam Yang! Aku ingat
betul, kau sudah lantas lari masuk kedalam rumah, kau tinggalkan kita bertiga berada
didalam taman!"
Mukanya Lam Yang menjadi merah.
"Seorang diri aku tidak dapat lawan dia, apa itu bukan berarti aku akan antari jiwa secara
kecewa?" katanya, untuk bela diri: "Aku lari ke dalamuntuk minta bantuan..."
Oen Gie tidak gubris bantahan saudara itu, ia lanjuti ceritanya: "Selagi aku bingung karena
belum tahu duduknya perkara, tiba-tiba seorang berkelebat diatas tembok, dia lompat
turun kebawah, tepat kepadaku, yang masih berdiri diatas ayunan. Dengan sekuat tenaga,
ia ayun ayunan itu, lalu ia peluk pinggangku. Aku rasakan seperti aku terbang melayang
ditengah udara, aku percaya kita berdua bakal jatuh mati. Kakiku tidak injak lagi papan
ayunan." "Orang itu cekal aku dengan tangan kiri, ketika ia turun diluar tembok, tangan kanannya
sambar secabang pohon yanglioe, habis mana, dengan turuti cabang yang meroyot turun,
ia turun ketanah, dengan begitu, aku terhindar dari bahaya. Dalam bingung, aku pukuli dia
pada mukanya. Ketika ia tekan pundakku, lantas seluruh tubuhku jadi lemas, akan
kemudian lenyaplah tenagaku. Tapi aku dengar suara berisik dibelakangku. Itulah orangorang
yang susul aku.
"Tidak antara lama, siraplah suaranya sekalian pengejar itu. Terang mereka telah
ketinggalan jauh. Masih aku dibawa lari terus, sampai akhirnya kita berhenti disebuah gua
dilamping jurang yang nampaknya seperti jurang tergantung. Sampai disitu, dia totok pula
padaku, hingga aku jadi dapat pulang tenagaku. Ia awasi aku sambil bersenyum
menyengir."
"Tiba-tiba aku ingat kedua enso yang bernasib malang. Maka aku pikir, daripada terhina,
lebih baik aku binasa. Begitulah aku loncat, akan benturkan kepalaku kebatu gunung. Dia
lihat sikapku itu, dia kaget, dia lantas jambret bebokongku. Cegahan ini membikin gagal
kenekatanku itu. Tapi aku telah kena bentur juga batu, tidak keras, karena mana, aku jadi
dapat ini tanda...."
Oen Gie tunjuki jidatnya, dibagian ujung, yang ketutupan rambut, dimana ada satu cacat,
melihat mana, waktu itu lukanya itu tentu bukan enteng. Ia menghela napas.
"Coba itu waktu dia tidak jambret aku, coba dia antap aku benturkan diri, hingga aku
terbinasa, urusan tidak bakal jadi berlarut-larut. Untuk dia sendiri, mungkin itu ada banyak
baiknya. Tapi karena dia berhasil mencegah aku, dia justru jadi terancam, Karena lukaku
itu, aku pingsan, ketika kemudian aku sadar, aku dapati aku sedang rebah diatas sepotong
permadani didalam gua itu. Aku kaget hingga hampir aku pingsan pula, Baru hatiku lega
apabila aku dapati kenyataan, pakaiannya rapi seperti tadinya. Mungkin karena melihat
aku nekat, jangkitlah yang jernih, dia tidak ganggu aku," kata nyonya ini.
(Bersambung bab ke 8)
"Rupa-rupanya dia kuatir aku nanti berlaku nekat pula, selama dua hari terus-terusan dia
jaga aku," Oen Gie bercerita lebih jauh. "Dia matangi sendiri bahan makanan, untuk aku
dahar. Aku melainkan menangis, tidak sudi aku layani dia. Hari ketiga lewat, datang hari
keempat. Dalam empat hari saja, aku telah jadi kurus bukan main. Ia masaki aku daging
kuah, dengan sabar ia bujuki aku untuk dahar daging kuah itu. Tetap aku tidak perdulikan
padanya. Tiba-tiba dia jambak aku, untuk bikin kepalaku melenggak, hidungku terus
ditutup, sesudah mana, selagi mulutku terpentang, dia paksa cekoki kuah daging itu.
Secara demikian, mau atau tidak, aku kena tenggak separuh dari isinya mangkok. Baru
setelah itu, ia tidak jambak pula padaku. Dengan sengaja aku sembur mukanya, aku ingin
bikin dia gusar, supaya dia bunuh aku, sebab tak ingin aku nanti diperkosa dia, tak sudi
aku diperlakukan sebagai kedua enso, yang dijual pada rumah hina. Sedikitpun ia tidak
gusar, ia tertawa saja. Dengan sabar ia susuti mukanya, ia awasi aku dengan diam saja,
Baru kemudia dia menghela napas."
"Malam itu dia rebahkan diri dimulut gua.
"Aku hendak nyanyikan satu lagu, apa kau suka dengar?" dia kata padaku.
"Aku tidak suka dengar," aku jawab dia.
Dengan tiba-tiba dia kegirangan hingga dia lompat berjingkrakan.
"Aku sangka kau gagu, kiranya kau bisa bicara!" katanya gembira.
"Diluar keinginannku, aku tertawa. Aku anggap lucu yang dia sangka aku tidak bisa bicara.
Kemudian secara mendamprat, aku kata padanya: "Siapa yang gagu" Bertemu sama
orang jahat, aku memang tidak sudi bicara!"
"Dia tidak layani aku bicara, sebaliknya dengan suara muluk, dia nyanyikan satu lagu
pegunungan. Dia nyanyi terus, sampai lanjut malam, hingga sang rembulan muncul
dengan keindahannya. Masih saja dia bernyanyi. Seumurku, aku hidup terkurung didalam
rumah, mana pernah aku dengar nyanyian semacam itu" Itulah nyanyian percintaan
diantara orang-orang lelaki dan perempuan...."
"Kau tidak sudi dengarkan tapi toh kau dengari, bukan?" mendadakan Oen Lam Yang
campur bicara. "Siapa mempunyai kesabaran akan dengarkan cerita burukmu ini?"
Lantas dia bertindak keluar paseban, tindakannya lebar.
"Tentu dia pergi untuk mengadu pada yaya semua," kata Tjeng Tjeng.
"Biar saja, aku tidak takut!" sahut Oen Gie.
"Kalau begitu,ibu, hayo lanjuti ceritamu," sang puteri minta.
"Kemudian lagi, dengan lapat-lapat aku ketiduran sendiri," Oen Gie melanjuti. "Besoknya
pagi aku mendusi, aku tidak lihat dia. Aku lantas memikir untuk minggat. Tapi setelah aku
melongok kemulut gua, aku putus asa. Gua itu berada dipuncak bukit, disebuah lamping,
diempat penjurunya, tidak ada jalanan untuk turun. Cuma orang-orang sebagai dia, yang
sempurna ilmu silatnya dan bisa ilmu mengentengkan tubuh, bisa naik dan turun dengan
merdeka. "Kira-kira tengah-hari, dia pulang. Dia bawakan aku banyak barang perhiasan, yantjie dan
pupur. Aku tidak inginkan itu, aku jumput, aku lemparkan kedalam jurang. Dia tidak gusar,
malah dia gembira sekali."
"Kapan sang malam sampai, kembali dia bernyanyi untukku."
"Dilain harinya, dia pergi untuk kembali dengan bawakan aku banyak barang mainan,
antaranya anak ayam yang berciap-ciap dan anak kucing yang mengeong-ngeong, juga
anak burung dan anak kura-kura yang merayap pergi-datang. Tentu saja tak tega aku akan
lemparkan semua binatang itu kedalam jurang. Dia rupanya ketahui perasaanku itu. Maka
hari itu, terus seantero hari, dia temani aku memain dengan keempat binatang itu, yang
kita pun kasih makan. Malamnya, kembali dia nyanyi untuk aku dengari."
Melihat yang dia tidak niat ganggu aku, aku menjadi sedikit lega, hingga aku jadi suka juga
dahar. Hanya sampai lebih dari satu bulan, tetap aku tidak suka bicara dengannya.
Meskipun demikian rupa sikapku terhadapnya, tidak pernah dia hunjuk kegusarannya,
terus-menerus dia bersikap lemah-lembut terhadapku. Sekalipun ayah dan ibuku belum
pernah berlaku baik sebagai dia terhadap aku."
"Adalah pada suatu hari ketika dengan sekonyong-konyong datang perubahan atas
dirinya. Dengan tiba-tiba saja dia awasi aku dengan rupa bengis dan sikap mengancam,
hingga aku jadi ketakutan, hingga aku menangis."
"Dia awasi aku sekian lama, lantas ia menghela napas sendirinya.
"Sudah, jangan nangis," dia bujuk aku akhirnya.
"Pada malam itu aku pergoki dia menangis seorang diri, suaranya pelahan sekali, akan
tetapi aku tahu, dia menangis dengan sangat sedih. Dia menangis diluar gua. Apamau,
malam itu turun hujan.
Dia tidak mau masuk kendati juga hujan turun dengan lebat. Aku jadi tidak tega.
"Mari masuk," aku kata padanya.
Dia tidak perdulikan ajakanku itu.
"Kenapa kau menangis?" aku tanya pula.
"Secara mendadak saja dia menyahuti, dengan bengis : "Besok adalah hari ulang setahun
dari matinya ayah, ibu, encie dan kedua kandaku! Dalam itu satu hari saja, seluruh
keluargaku musnah terbinasa dalam tangannya seorang dari keluargamu! Maka besok aku
mesti bunuh lagi orang keluargamu, sedikitnya mesti satu jiwa! Sekarang ini rumahmu
dijaga sangat keras dan kuat! Keluargamu sudah minta bantuannya Lie Tjwee Toodjin dari
Ngo Bie Pay dan Tjeng Beng Siansoe dari Siauw Lim Pay! Tapi aku tidak takut!"
"Habis mengucap demikian, dia lantas pergi. Dia pergi sampai magrib dihari yang kedua,
masih dia belum kembali. Tanpa merasa aku jadi senantiasa ingat dia. Diam-diam aku
meng-harap-harap pulangnya dia."
Diam-diam Tjeng Tjeng lirik Sin Tjie, akan lihat orang memandang hina atau tidak kepada
ibunya itu,akan tetapi ia dapati pemuda itu duduk dengan tetap tenang dan perhatiannya
sangat tertarik. Menampak demikian, diam-diam ia merasa girang.
Oen Gie melanjuti :
"Selagi cuaca mulai menjadi gelap, dia masih belum kembali juga. Dua-tiga kali aku telah
melongok kemulut gua. Ketika untuk keempat kalinya aku melongok pula, aku tampak
tubuh empat orang diatas puncak, kelihatannya bagaikan bajangan saja. Mereka itu
sedang saling kejar."
"Aku coba mengawasi dengan teliti, maka akhirnya, dengan samar-samar, bisa juga aku
mengenalinya. Orang yang terdepan adalah dia, lalu satu imam, disusul sama satu
pendeta yang menyekal sebatang sian-thung, tongkat yang panjang sebagai toya. Orang
yang keempat ada ayah dengan senjatanya yang istimewa, tongkat berkepala naganagaan.
Dia sendiri cekal pedang Kim Tjoa Kiam. Sendirian saja dia layani tiga lawan,
nampaknya dia terancam bahaya. Sebab sesampainya dipuncak itu, mereka lantas
bertempur."
"Sekarang aku dapat melihat terlebih tegas. Pendeta yang bersenjatakan tongkat itu liehay
sekali, ia dapat mendesak, akan akhirnya mengemplang dengan tongkatnya itu. Aku kaget
hingga aku menjerit, sebab aku lihat dia telah sangat terdesak, aku kuatir dia tak dapat


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghalau bahaya. Tapi dengan pedangnya, dia bisa menangkis, malah tangkisa itu
membuat sapat ujungnya tongkat."
"Ayah dapat dengar jeritanku, ia menoleh kearah aku, lantas ia tidak berkelahi lebih lama,
ia berlari-lari menuju aku."
"Menampak sikap ayah, dia jadi sibuk sekali. Dia desak kedua lawannya, itu imam dan
pendeta, lantas dia tinggalkan, untuk dia susul ayah. Karena ini, dia pun dikejar kedua
orang beribadat itu."
"Tidak lama sampailah mereka dilembah dimana dia telah dapat mencandak ayah, untuk
cegah ayah mendekati aku, dia serang ayah, hingga kembali mereka berdua jadi
bertempur. Baru beberapa jurus, si imam dan si pendeta pun sudah datang, diaorang lalu
mengepung pula padanya."
"Ayah lantas gunai ketika untuk menyingkir dari pertempuran itu, untuk ia ber-lari-lari pula
kearah aku. Selama itu, mereka telah mendatangi aku semakin dekat. Aku girang sekali.
"Ayah, lekas!" aku teriaki ayahku.
"Sebagai orang kalap, dia desak kedua lawannya, lalu dia lari akan susul ayah. Dia
berhasil dia serang ayah dengan hebat, hingga ayah terdesak mundur. Sebentar saja, ayah
jadi terancam bahaya.
"Selagi aku berpikir untuk lari kepada ayah, untuk tolongi dia, si imam dan si pendeta
sudah menyusul pula, maka kembali mereka bertempur pula."
"Eh, Gie, bagaimana dengan kau?" ayah teriaki aku.
"Aku tidak kurang suatu apa, ayah, jangan kuatir," aku jawab.
"Baik!" ayah bilang. "Nanti aku bereskan dahulu ini kantjat!"
Bertiga mereka kepung pula dia.
"Kim Tjoa Long Koen," terdengar suaranya si imam dari Ngo Bie Pay," aku hendak bicara
denganmu supaya kau mengerti. Kami dari Ngo Bie Pay tidak bermusuh denganmu, kita
tidak punya sangkutan apa juga, tapi sekarang aku telah campur tahu urusanmu, ini
melulu disebabkan perbuatanmu keterlaluan. Aku janji akan tidak bantu siapa juga asal
kau suka hentikan permusuhan, supaya selanjutnya kau tidak satroni pula keluarga Oen.
Aku ingin supaya urusan diselesaikan mulai hari ini."
"Sambil kertak gigi, aku dengar dia menjawab:
"Habis, apa aku tidak boleh balas sakit hatinya ayah dan ibuku, encie dan kandakandaku?"
demikian tanyanya.
"Kau sudah binasakan banyak jiwa, aku anggap pantaslah kau merasa puas," kata si
imam. "Aku minta, dengan memandang mukaku, sukalah kamu kedua pihak habiskan
persengketaan ini."
"Tapi dia tidak menjawab, malah dengan tiba-tiba dia serang si pendeta. Karena ini, lagilagi
mereka jadi bertempur."
"Senjatanya si imam ada liehay, imamnya sendiri berilmu silat tinggi. Disamping dia,
tongkatnya si pendeta perdengarkan suara angina men-deru-deru. Tongkat itu masih bisa
digunai dengan sempurna walaupun ujungnya sudah terkutung."
"Aku lihat dia terancam. Dia mandi keringat. Dia terdesak. Tiba-tiba aku tampak dia
sempoyongan, hampir-hampir dia rubuh terguling. Justru itu, tongkatnya si pendeta
menyambar. Masih dia bisa luputkan diri dari bahaya dengan berkelit miring."
"Justru karena dia berkelit, dia dapat lihat mukaku. Menurut keterangannya belakangan,
hari itu dia sudah sangat letih, urat-uratnya lemas semua. Akan tetapi kapan dia dapat lihat
aku, dan dia dapat perasaan aku sangat memperhatikan padanya, tiba-tiba bangkitlah
semangatnya, tenaganya jadi kumpul pula. Maka ketika dia bikin perlawanan lebih jauh,
Kim-tjoa-kiam jadi sangat berbahaya."
"Nona Oen, jangan takut!" dia serukan aku. "Kau lihat!"
"Entah bagaimana dia telah gunai senjatanya, mendadak terdengar si pendeta keluarkan
jeritan yang menyeramkan, tubuhnya rubuh, lalu bergelundungan kebawah. Kemudian
ternyata, batok kepalanya yang gundul telah tertancap bor Kim-tjoa-tjoei."
"Ayah dan si imam jadi kaget."
"Segera datang saatnya dia serang ayah. Gunai ketika yang baik, si imam membokong dari
belakang. Tapi dia tidak kena ditikam bebokongnya. Dalam ancaman bahaya itu, ia
mendahulukan memutar tubuh, sambil berkelit, tangan kirinya diulur, dua jarinya menusuk
kedua matanya si penyerang. Sambil berbuat demikian, dia berseru keras."
"Imam itu terkejut, lekas-lekas ia tunduk, untuk selamatkan diri dari totokan itu kearah
mata. Selagi ia tunduk, lengan kanannya telah menyambar. Itulah lengan yang menyekal
pedang. Tidak ampun lagi, tubuh si imam terbabat pedang, sehingga dengan satu jeritan
mengerikan, dia rubuh binasa."
Tjeng Tjeng berseru mendengar cerita ibunya itu. Ia kagum.
"Habis itu, dia kembali serang ayah."
"Ketika itu muka ayah telah jadi pucat hingga seperti tak ada darahnya, terang ia kaget dan
jeri karena dapatkan dua kawannya yang liehay telah dibinasakan dengan cepat. Ayah
menangkis secara sembarangan. Tidak lagi ayah bisa mainkan tongkatnya dengan
sempurna. "Aku lantas lari keluar gua."
"Tahan! Tahan!" aku berseru berulang-ulang.
"Mendengar teriakan aku, dia berhenti menyerang."
"Inilah ayahku," aku perkenalkan dia kepada ayah.
Dia pandang ayah dengan mata bengis. "Kau pergi, aku kasi ampun padamu!" ia kata pada
ayah. "Ayah tercengang, lalu ia putar tubuhnya, untuk pergi."
"Itu hari, seantero hari aku belum dahar, tubuhku lemas, ditambah dengan kaget karena
menyaksikan pertempuran hebat itu, dan berbareng aku girang sekali karena ayah dikasih
ampun, mendadak aku rubuh sendiri."
"Dia lihat aku rubuh, segera ia lompat untuk kasih bangun padaku. Aku tidak pingsan,
selagi ia membungkuk, aku lihat ayah mengawasi dengan mata bersinar bengis. Tiba-tiba
ayah ayun tongkatnya dipakai mengemplang bebokongnya. Tentu sekali dia tidak
menyangka, karena perhatiannya ada padaku, yang dia hendak tolongi. Aku kaget, aku
berseru:" Awas!"
"Dia pun kaget, segera dia putar tubuh. Akan tetapi tongkat sudah sampai, bebokongnya
kena terhajar. Syukur untuk dia, dia telah berkelit, serangan itu tidak parah. Sambil putar
tubuh, tangannya menyambar menyekal tongkat, yang dia dapat rampas, setelah mana,
tongkat itu dilempar kelembah. Dia tidak berhenti sampai disitu, sambil merangsak, dia
serang ayah, dengan kedua tangannya."
"Ayah gugup. Rupanya ia menyesal karena serangannya gagal dan ia kaget tongkatnya
kena dirampas. Ketika serangan datang, ia putus asa, bukannya ia berkelit atau
menangkis, ia justru berdiam seraya tutup kedua matanya.
"Dengan mendadak saja, dia tarik pulang serangannya. Dia menoleh kepadaku,lantas dia
menghela napas. Kemudian dia pandang ayah dan kata : "Lekas kau pergi, jangan tunggu
sampai pikiranku berubah, nanti kau tak dapat ampun lagi!"
"Sampai disitu, tanpa bilang apa juga, ayah putar tubuhnya, akan angkat kaki sambil
berlari-lari."
"Dia awasi ayah pergi, lantas dia menoleh kepadaku. Tiba-tiba ia muntahkan darah,
darahnya menyemprot kebajuku..."
Tjeng Tjeng terkejut, hingga ia keluarkan seruan tertahan. Kemudian : "Sam yaya tak tahu
malu!" katanya. "Depan berdepan dia tidak berani lawan musuh, dia membokong dengan
tangannya yang jahat!"
Oen Gie menghela napas.
"Sebenarnya dia adalah musuh kita," katanya, melanjuti. "Dia pun telah binasakan
beberapa puluh orang dari keluarga kita. Akan tetapi melihat dia dibokong, tak dapat aku
diam saja, makanya aku sudah berseru. Mungkin ini yang dinamakan takdir celaka. Habis
itu dengan sempoyongan, dia bertindak kedalam gua, lantas dia ambil obatnya untuk terus
dimakan. Masih beberapa kali ia muntahkan darah. Aku kaget dan berkuatir, sehingga aku
menangis sendiri."
"Dia terluka akan tetapi dia gembira."
"Kenapa kau menangis?" dia tanya aku.
"Sebab kau terluka parah," jawabku.
Dia tertawa. "Jadi kau menangis untukku?" tanyanya pula.
"Aku berdiam aku tidak menjawab. Tetap aku berduka."
"Sebentar kemudian, dia kata padaku: "Sejak semua anggauta keluargaku dibunuh oleh
pamanmu yang keenam, sejak itu sudah tidak ada lagi orang yang menaruh perhatian atas
diriku, yang menyayangi aku. Hari ini aku telah bunuh lagi satu kandamu tjintong, maka itu
sama sekali sudah berjumlah empat-puluh orang yang aku binasakan. Sebenarnya masih
ada sepuluh orang lagi, yang mesti jadi korban pembalasanku, akan tetapi sekarang,
memandang kepada airmatamu, aku janji aku akan hentikan pembunuhan terlebih jauh.
Nyata masih ada kau seorang yang memperhatikan aku."
"Aku menangis saja, aku tidak jawab dia."
"Juga orang-orang perempuan keluargamu, sejak hari ini aku tidak akan ganggu pula,"
demikian dia kata lagi. "Kau tunggu sampai lukaku ini sudah sembuh, aku nanti antar kau
pulang..."
"Masih aku berdiam, tak tahu aku apa perasaanku saat itu. Aku cuma merasa lega yang dia
telah berjanji untuk hentikan pembunuhan-pembunuhan terlebih jauh."
"Sdjak itu selanjutnya, beberapa hari, akulah yang masak nasi dan masak air, dengan
sungguh-sungguh aku rawati dia," Oen Gie cerita lebih jauh. "Pada suatu hari, dia
pingsan, terus selama satu hari, dia tak sadar akan dirinya. Aku jadi berkuatir, aku kuatir
dia bakal tak ketolongan. Aku lantas menangis, menangis saja, sampai kedua mataku pada
merah dan bengul. Selagi aku menangis, sekonyong-konyong dia buka matanya, dia
tertawa." "Tidak apa, tak nanti aku mati," katanya.
"Selang lagi dua hari, benar-benar kesehatannya mulai pulih. Dia bisa bangun dan jalanjalan.
Itu malam dia beritahukan aku, sebetulnya luka bekas bokongan ayah ada hebat
sekali, akan tetapi ia tertolong obat dan kuat hatinya. Dia bilang, asal dia mati, aku pun
bakal mati kelaparan. Seorang diri, pasti aku tidak bisa berlalu dari gua itu, dilain pihak,
tidak ada orang dari rumahku yang berani datang menyatroni., kalau tidak, selama itu
tentulah sudah ada datang orang, entah siapa. Aku anggap dia omong dari hal yang
benar." "Ibu," Tjeng Tjeng kata," dia berlaku baik sekali kepadamu, dia ada orang baik."
Setelah mengucap demikian, nona ini menoleh pada Sin Tjie.
Anak muda ini merasakan mukanya panas, ia melengos kelain arah.
"Dengan pelahan-lahan kesehatannya maju terus," Oen Gie mulai pula. "Selama itu, suka
sekali dia bicara dengan aku tentang masanya kanak-kanak. Dia bilang bagaimana
ayahnya, ibunya,s angat sayang dia, bagaimana kedua engkonya, encienya, sangat
menyinta dia. Katanya pernah satu kali dia jatuh sakit sampai ibunya tidak tidur tiga hari
tiga malam. Akan tetapi pada suatu malam, liok-siokhoe telah bunuh ibunya itu, ayahnya,
saudara-saudaranya!"
"Diluar aku lihat dia kejam dan telengas, akan tetapi bicara tentang kekeluargaannya,
nyata ia ada berbatin baik, halus martabatnya. Begitulah ia perlihatkan aku sepotong oto
merah yang tersulam indah. Dia kata, itulah oto sulaman ibunya sendiri ketika dia masuk
umur satu tahun..."
Selagi mengucap demikian, Oen Gie rogo sakunya dari mana ia keluarkan oto yang ia
omongi itu, yang ia letaki diatas meja.
Sin Tjie lihat oto itu tersulam satu bayi montok tanpa pakaian, wajahnya manis dan sangat
menyenangi. Sulamannya sendiri benar-benar indah. Tiba-tiba ia terharu sendirinya. Ia jadi
ingat, sejak masih sangat kecil, ia sudah tidak punya ayah dan ibu....
"Sering-sering dia nyanyikan lagu pegunungan untuk aku dengari," kembali Oen Gie
melanjuti. "Diwaktu senggangnya, dia ambil kayu untuk dibikin menjadi barang-barang
permainan untukku. Dia kata aku adalah satu bocah yang tak mengerti apa-apa..."
"Akhir-akhirnya dia sembuh seluruhnya. Akan tetapi, walaupun sudah sembuh, aku lihat
dia tidak punya kegembiraan. Aku jadi heran. Pada suatu hari, aku tanyakan sebabnya.
Jawabannya mengherankan aku. Dia bilang dia merasa tidak tegah meninggalkan aku."
"Kalau begitu baiklah aku berdiam terus disini menemani kau!" kataku tanpa berpikir lagi.
"Mendengar perkataanku itu, dia jadi girang bukan main. Dia pergi kepuncak, dia loncat
naik turun disebuah pohon kayu besar, dia berjingkrakan, dia jumpalitan bagaikan kera.
Kemudian dia beritahukan aku, dia telah dapatkan selembar peta dari suatu tempat dimana
ada disimpan banyak emas dan barang permata. Katanya ketika dulu Pangeran Yan Ong
rampas tahta-kerajaan, dari Pakkhia ia menerjang ke Lamkhia, Baginda Kian Boen kabur
dari kota raja, sebelum kabur, raja itu telah pendam harta besarnya disuatu tempat
rahasia. Setelah naik tachta, Yan Ong coba cari harta itu diseluruh kota Lamkhia, tidak ada
hasilnya. Kemudian Yan Ong utus Sam Po Thaykam beberapa kali berlayar mengarungi
samudera, ke Selatan, katanya untuk membuat penyelidikan dimana kaisar Kian Boen
bersembunyi, tapi sebenarnya guna cari harta itu."
Diam-diam Sin Tjie manggut-manggut sendirinya.
"Jadi itulah peta yang aku dapatkan dalam kitab Kim Tjoa Pit Kip," pikirnya. "Itu jadi ada
peta yang melukiskan tempat rahasia itu..."
"Dia ceritakan padaku bahwa seumur hidupnya Kaisar Beng Seng Tjouw tetap tak dapat
cari peta itu - adalah setelah berselang beberapa ratus tahun, secara kebetulan saja, dialah
yang mendapatinya. Setelah sekarang dia sudah puas menuntut balas, dia hendak mulai
cari harta karun itu. Dia janji, begitu lekas dia berhasil mendapati harta besar itu, dia bakal
kembali untuk sambut aku. Maka itu, katanya, sekarang dia hendak antarkan aku pulang."
Nyonya ini berhenti sebnetar, ketika sesaat kemudian ia melanjuti, ia ada sengit sekali. Dia
kata : "Ketika aku sampai dirumah, semua orang pandang hina kepadaku. Aku jadi
mendongkol dan gusar sekali. Aku sebal terhadap mereka.Mereka tidak punya
kemampuan untuk melindungi satu gadis keluarganya, setelah aku pulang dengan tubuh
putih-bersih, mereka perhina aku. Maka itu selanjutnya aku tidak perdulikan mereka, tak
suka aku bicara dengan mereka itu!"
"Ibu, kau berbuat benar!" kata Tjeng Tjeng.
"Setelah tiga bulan aku berada dirumah, selama mana aku harap-harap dia," bercerita pula
Oen Gie. "Pada suatu malam aku dengar suara nyanyian lagu pegunungan diluar jendela
kamarku. Aku kenali baik sekali suara nyanyian itu. Dia datang! Lekas-lekas aku buka
jendela, aku kasih dia masuk. Pertemuan ini ada sangat menggirangkan aku, dan malam
itu, kami berdua lantas hidup sebagai suami-isteri, hingga kemudian, anak, terlahirlah
kau....Perangkapan jodoh itu telah terjadi karena keinginanku sendiri, sampai sekarang
aku tidak menyesal karenanya. Orang bilang dia perkosa aku, itulah tidak benar! Tjeng
Tjeng, selama sekian lama itu ayahmu tetap perlakukan baik padaku, kami berdua sangat
saling menyinta. Selama itu dia selalu hormati aku, belum pernah dia paksa aku."
Diam-diam Sin Tjie puji keberaniannya nyonya ini. Ia pun terharu untuk dengar riwayat
percintaan yang demikian sulit.
"Rupa-rupanya, dengan kedatangannya ini, Hee lootjianpwee telah dapatkan tempat
rahasia dari harta besar itu," kata Sin Tjie.
Nyonya itu manggut.
"Dia bilang dia masih belum dapat cari," sahutnya. "Akan tetapi dia kata dia sudah
dapatkan endusan hingga dia merasa, segera dia akan dapat mencarinya. Maka itu kami
telah berdamai untuk dihari kedua, pagi-pagi, pergi minggat. Diluar tahu kami,
pembicaraan kami itu ada yang curi dengar. Besoknya fajar sebelum terang tanah, aku
sudah lantas siapkan pakaianku. Aku pun telah tinggalkan sepotong surat untuk ayah.
Disaat kami hendak berangkat, tiba-tiba ada orang ketok pintu kamarku. Pasti sekali aku
kaget dan takut.
"Jangan kuatir," dia kata padaku," biar dalam kepungan satu pasukan perang, kita kaan
dapat noblos keluar!"
Lantas saja dia buka pintu.
"Yang ketok pintu itu ada ayah bersama toapeh dan djipeh bertiga. Mereka tidak bawa
senjata, malah pakaiannya pun thungsha, baju panjang yang dilapis makwa, baju luar
yang pendek. Kami heran memandang dandanan mereka itu.
"Urusan kamu berdua aku sudah tahu," berkata ayah." Inilah takdir celaka yang telah
ditetapkan sebelum kamu terlahir. Biarlah selanjutnya kitaorang menjadi satu dengan lain,
supaya tak usah lagi kita main angkat senjata."
"Dia menyangka ayah semua kuatir dia nanti melakukan pembunuhan pula, dia bilang :
"Kau jangan takut, aku telah berjanji dengannya untuk tidak bunuh lagi anggota-anggota
keluargamu!"
"Walaupun demikian, tak dapat kamu berlalu dengan diam-diam," ayah bilang. "Adalah
pantas apabila kau melamar dengan terang dan menikah dengan upacara."
"Dia girang sekali mendengar kata-kata ayah. Tidak tahunya dia kena terjebak ayah."
"Jadi ayahmu dustakan dia, bukankah?" Sin Tjie tanya.
Oen Gie manggut.
"Ayah lantas berikan dia tempat dikamar samping," nyonya ini melanjuti. "Segala apa
segera diatur untuk perayaan pernikahan. Dia ada cerdik sekali. Semua arak, barang
makanan dan air, yang ayah perintah suguhkan, lebih dahulu dia kasi anjing yang
cobakan, tapi meski anjing makan itu tanpa akibat, dia masih tidak minum dan dahar itu,
tidak dia cobai. Dia tunggu sampai malam, semua itu dia buang keluar. Untuk tangsel
perutnya sendiri, dia pergi kepasar Tjio-liang dimana dia beli barang makanan dan dahar."
"Pada suatu malam ibu datang dengan semangkok bubur biji teratai. "Suguhkan ini pada
baba mantu," ibu kata padaku."
"Aku benar-benar tidak menduga suatu apa, aku sangka ibu menyayangi dia, dengan
gembira aku bawa bubur teratai itu kedalam kamarnya. Dia pun girang sekali melihat aku
datang dengan barang makanan, dia sambuti itu, tanpa curiga, dia makan bubur itu. Dia
Baru mengirup beberapa kali, selagi dia bicara denganku, mendadakan air mukanya
berubah menjadi pucat. Segera ia berbangkit.
"Oh, A Gie, hatimu telengas!" dia tegur aku.
Aku kaget tidak terkira.
"Apa?" aku tanya.
"Kenapa kau racuni aku?" tanya dia.
Sin Tjie dan Tjeng Tjeng bergidik sendirinya.
Sekejab saja, seluruh paseban dan sekitarnya jadi sangat sunyi. Akan tetapi sekejab saja
juga, atau mendadak terdengarlah suara tertawa ramai dan menyeramkan yang datangnya
dari luar paseban. Kapan Sin Tjie menoleh, dia tampak lima bersaudara Oen sedang
berdiri diluar paseban.


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"A Gie, bagus!" Oen Beng San berseru. "Urusanmu yang busuk kau tuturkan kepada
orang luar! Apakah kau masih punyakan muka?"
Mukanya nyonya yang bernasib buruk itu menjadi pucat dan merah bergantian. Ingin dia
bicara tetapi tercegah sendirinya. Maka ia lantas menoleh kepada Sin Tjie dan puterinya.
"Sudah sembilan belas tahun, belum pernah aku omong sepatah kata jua dengan ayah,"
berkata dia," dan selanjutnya, aku pun tidak nanti bicara pula dengannya! Aku tidak takut
terhadap mereka! Kau sendiri, kau takut atau tidak?"
"Engko Sin Tjie tidak kenal takut!" Tjeng Tjeng jawab.
"Bagus! Kalau begitu, aku nanti bercerita terus!" kata nyonya yang tak beruntung ini, yang
sekarang tiba-tiba nyalinya jadi besar, dia tak lemah lagi sebagaimana biasanya. Malah dia
sengaja perbesar suaranya:
"Aku lantas saja menangis. Aku tidak tahu bagaimana harus bicara, aku tidak tahu juga
mesti berbuat apa. Dengan sebenarnya aku tak tahu suatu apa tentang racun itu. Aku
bersusah hati karena dia menyangka jelek terhadapku. Selagi begitu, pintu kamar ada
yang tendang dan gembrak, lantas menyerbu masuk banyak orang dengan pelbagai alatsenjatanya."
"Orang-orang yang berbaris dimuka pintu itu waktu adalah mereka ini semua!" melanjuti
ia. "Ditangannya itu telah tergenggam masing-masing senjata rahasia."
Ayah masih juga punya liang-sim.
"A Gie, kau keluar." Dia panggil.
"Aku tahu mereka tunggu aku keluar, Baru mereka hendak menyerang dengan senjata
rahasia mereka. Kamar ada sempit, kemana dia bisa singkirkan diri" Maka aku menjawab:
"Aku tidak mau keluar! Kamu baik bunuh juga aku!"
"Ketika itu, dia duduk diatas kursi dengan alis mengkeret. Dia menyangka aku
bersekongkol dengan ayah semua, dia jadi sangat bersusah hati, hingga dia tak niat untuk
melakukan perlawanan. Akan tetapi kapan dia dengar penolakanku untuk keluar, bahwa
aku rela binasa bersama dia, sekonyong-konyong dia berlompat bangun."
"Apakah kau tahu bubur teratai ini dicampuri racun?" dia tanya aku, suaranya tak lagi
sebengis tadi. "Aku jumput mangkok bubur itu, aku lihat masih ada sisanya, lantas saja aku minum satu
ceglukan. "Jikalau bubur ini ada racunnya, mari kita mati bersama!" kataku.
"Dia sampok mangkok bubur itu hingga terlempar hancur, akan tetapi aku telah
meminumnya. Lantas saja dia tertawa.
"Bagus!" katanya. "Mari kita mati bersama!..." Segera dia berpaling kepada ayah semua,
dia menegur : "Kamu gunakan cara rendah sekali, apa kamu tidak malu?"
Toapeh gusar sekali.
"Siapa racuni padamu?" katanya. "Jikalau kau andali ilmu silatmu yang liehay, mari keluar,
kita bertempur!"
"Baik!" dia jawab tantangan itu. Dia tuntun tanganku untuk diajak keluar dari kamar.
"Diluar telah diatur panggung pelatok Bwee-hoa-tjhung, diatas itu dia ditantang akan
layani ayah bersama mamak dan paman semua bertempur. Dia tidak perdulikan yang dia
bakal dikepung.
"Dia benar tidak diracuni dengan racun, tetapi kemudian aku dapat tahu, bubur teratai itu
telah dicampuri Tjoei-sian-bit yaitu madu tercampur obat pulas, yang kekuatannya kendor,
yang membuat orang yang memakannya jadi ber-angsur-angsur kehilangan tenaganya,
akan akhirnya orang nanti rubuh dan tidur seperti mayat, selang satu hari satu malam
Baru orang akan sadar sendirinya. Mereka itu tidak niat meracuni, mereka hendak
merobohkan dengan pengaruh obat pulas itu, untuk selanjutnya mereka siksa padanya!"
Oen Gie bicara dengan sengit, menyatakan kemarahannya yang besar yang tertahan, yang
Baru sekarang dapat dilampiaskan.
Ketika itu Oen Beng San berseru," Eh, orang she Wan, kau berani atau tidak melayani
berbareng kita berlima bersaudara?"
Pada dua hari yang sudah, karena ingat mereka adalah orang-orang tertua dari Tjeng
Tjeng , Sin Tjie berlaku hormat terhadap mereka, akan tetapi sekarang, setelah mendengar
penuturan Oen Gie dan mengetahui mereka ada orang-orang jahat, ia tidak sudi
menghormati lagi, malah dia mendongkol dan gusar.
"Hm!" jawabnya. "Kamu boleh maju berbareng sepuluh saudara, aku masih tidak jeri!...."
Belum sampai Sin Tjie tutup mulutnya, atau satu bajangan telah menerjang kedalam
paseban. "Bocah tidak tahu adat, menggelindinglah kau keluar!" bajangan itu membentak.
Sin Tjie lihat seorang dengan tubuh besar dan kekar, rambutnya yang riap-riapan dililit
sepotong gelang tembaga yang berkilauan, sedang bajunya adalah jubahnya kasee, maka
dia tahu, itu adalah satu pendeta tauwtoo. Pada dua malam yang sudah, belum pernah dia
lihat orang beribadat ini.
Tauwtoo itu adalah Teng Seng, satu bandit besar dari Hoolam. Dia Baru datang, dia
kunjungi lima saudara Oen untuk beritahu dia niat "bekerja" sama-sama jago-jago dari
Tjio-liang itu. Kapan dia ketahui keluarga Oen, yang kenamaan di Selatan dan Utara
Sungai Besar jeri terhadap satu bocah, dia jadi panas hati, maka dia lantas maju paling
dulu. Ia ingin ajar adat pada bocah ini....
Sin Tjie lihat gerakan orang, dengan sebat ia berkelit kekanan, berbareng mana tangan
kirinya menyambar, menjambak rambut panjang orang itu, setelah mana, ia menyempar, ia
lepaskan cekalannya. Tidak ampun lagi, tubuh besar dari si pendeta terlempar ke pohon
mawar, yang banyak durinya, hingga mukanya, bahunya, pahanya, kena tertusuk duri
pohon bunga itu, sehingga keluar darah!
Itulah bantingan atau hajaran yang si tauwtoo tidak pernah sangka.
Melihat demikian, Oen Gie tertawa dingin. Dia berkata : "Pada malam itu, mereka berlima
bersaudara mengepung dia satu orang. Sebenarnya dia sanggup melayani, apa celaka, dia
sudah minum madu obat pulas, makin lama, dia berkelahi makin lelah. Disebelah itu, lima
saudara itu berkelahi secara mengepung yang dinamakan "Oen-sie Ngo-heng-tin", maka
dikepung secara demikian, sulit untuk dia meloloskan diri..."
"A Gie!" membentak Oen Beng San. "Apakah kau buka rahasia kepada orang luar?"
Oen Gie tidak perdulikan lagi ayahnya itu, kepada Sin Tjie dia melanjuti penuturannya:
"Kelihatan nyata dia ingin lekas-lekas pukul rubuh salah satu musuhnya, dengan begitu,
dia akan dapat pecahkan barisan pengurung itu. Akan tetapi dia berkelahi dengan semakin
lama semakin kendor, tubuhnya sempoyongan semakin hebat. Maka itu, aku teriaki dia:"
Kau pergi lekas! Untuk selamanya, aku tidak akan tinggalkan padamu!"
Suaranya nyonya ini menyedihkan secara dahsyat, melebihkan dahsyatnya jeritannya
kemarin ini. Tjeng Tjeng kaget bukan main.
"Ibu!" dia memanggil.
Sin Tjie lihat sinar mata si nyonya kabur dan napas memburu, ia tahu nyonya itu
mendongkol dan berduka sangat. Terang sekali dia tak dapat bicara lebih jauh karenanya.
"Sudah, pehbo, silakan kau kembali kekamar untuk beristirahat," kata anak muda ini.
"Sekarang aku hendak pasang omong dengan ayahmu beramai, besok aku nanti datang
pula..." "Tidak! Tidak!" kata Oen Gie seraya tarik ujung bajunya. Nyonya ini bisa pula bicara
dengan lekas sekali. "Sudah sembilanbelas tahun aku menahan didalam hatiku, tak dapat
tidak, hari ini aku mesti keluarkan semua! Wan siangkong, kau dengari aku...."
Suara itu tercampur tangisan. Sin Tjie manggut.
"Aku akan mendengari," ia jawab.
Masih saja, nyonya ini pegangi ujung bajunya si anak muda.
"Mereka inginkan jiwanya!" berkata ia, meneruskan. "Dan yang terlebih penting daripada
itu, mereka juga mengharap harta karun! Terus dia layani mereka bertempur, lalu lagi
sejurus, dia terluka, tak dapat dia menahan diri, dia rubuh dari pelatok-pelatok itu. Mereka
tahu dia punyakan peta dari tempat rahasia harta karun disembunyikan, mereka memaksa
dia untuk serahkan peta itu. Tapi dia jawab : "Peta itu tidak ada padaku! Siapa berani, dia
boleh ikut aku untuk mengambilnya!"
"Jawaban itu membuat mereka menghadapi kesulitan," melanjuti si nyonya. "Jikalau dia
dimerdekakan, apabila sebentar dia sadar dari pengaruhnya obat pulas, lantas tidak ada
orang yang sanggup kendalikan dia lagi! Jikalau dia dibinasakan saja, lantas peta itu
untuk selama-lamanya bakal lenyap, harta karunnya tak akan ada orang yang akan
dapatkan... Maka akhirnya ayahku adalah yang berikan pikirannya yang bagus! Ha,ha!
Sungguh cerdik dia, bukankah?"
"Ketika itu dia mulai jatuh pulas, aku sendiri pingsan. Ketika ini digunai mereka untuk
menggeledah tubuhnya. Inilah aku ketahui sebab aku sudah lantas ingat akan diriku.
Mereka tidak dapatkan peta itu, yang tidak tersimpan ditubuhnya. Maka mereka jadi sengit,
mereka melakukan penganiayaan hebat dan kejam, ialah urat-urat tangan dan kakinya
telah dipotong putus!Dengan ini mereka hendak bikin percuma kepandaian ilmu silat
liehay itu, supaya selanjutnya ilmu silat itu tak dapat digunakan pula! Habis itu Barulah dia
dilepaskan dari belengguan. Dia masih dipaksa untuk serahkan peta bumi yang diarah
sangat itu. Tidakkah itu ada cara cerdik sekali?"
Sin Tjie terkejut. Nyatalah pikirannya si nyonya menjadi waswas seketika.
"Pehbo, baiklah kembali saja, beristirahat," katanya.
"Tidak!" jawab Oen Gie. "Asal kau pergi, mereka bisa aniaya aku sampai binasa! Aku
hendak tuturkan semua, Baru aku puas! Kau tahu, mereka bawa dia pergi! Lima
bersaudara itu tidak percaya satu kepada lain! Bersama mereka ada turut dua jago dari
Ngo Bie Pay. Mereka semua ingin peroleh harta karun! Entah bagaimana, kemudian
ternyata, dia bisa loloskan diri dan kabur! Mungkin dia telah berikan mereka peta itu,
hingga, begitu lekas mereka kegirangan, penjagaannya jadi kendor. Mereka semua ada
cerdik sekali, akan tetapi Kim Tjoa Long-koen bukannya seorang tolol! Bertujuh mereka
telah dapatkan selembar peta, mereka saling berebut. Lima saudara itu bersekongkol,
mereka curangi kedua jago Ngo Bie Pay sampai dua-duanya binasa!....."
Oen Beng Gie dari luar paseban berseru dengan ancamannya :
"A Gie! Jikalau kau tetap ngaco-belo, awas!"
"Untuk apa aku mesti awas?" Oen Gie balik menanya sambil tertawa. "Apa kamu sangka
aku masih takut mampus?" Dia menoleh kepada si anak muda, akan berkata : "Peta yang
mereka dapati adalah yang palsu! Lima saudara itu pergi ke Lamkhia, mereka gali sana
dan gali sini, sampai setengah tahun lamanya, mereka hamburkan lebih dari selaksa tail
perak, tapi sepotong kecil perak jua mereka tak dapatkan! Ha-ha! Sungguh tak ada yang
lebih memuaskan daripada ini!"
Siasia saja lima saudara Oen itu kertak gigi mereka diluar paseban. Mereka jeri terhadap si
anak muda, tidak berani mereka lancang menerjang kedalam paseban itu.
Habis berkata-kata demikian, Oen Gie berdiam melongo, kemudian dengan pelahan-lahan,
Baru ia berkata pula. Suaranya pelahan :
"Setelah kepergiannya itu, selanjutnya aku tak peroleh lagi kabar dari atau tentang
dia....Urat-urat tangan dan kakinya telah diputuskan, dia mirip dengan satu manusia
tapadaksa....Dia beradat tinggi dan keras, karenanya, apabila dia tidak mati lantaran lukalukanya
itu, tentu mati karena mendongkol yang tak terlampias...."
Dari luar, Oen Beng Tat menantang :
"Orang she Wan!" katanya," kau telah dengar perkataan dia tentang kami keluarga Oen
mempunyai Ngo-heng-tin, jikalau kau benar satu laki-laki, mari keluar, kau coba terjang!"
"Kau pergilah!" Oen Gie dului si anak muda menjawab. Nyonya ini hendak mencegah.
"Jangan kau layani mereka bertempur!"
Sin Tjie tahu,apabila mereka bertempur satu sama satu, tidak ada seorang juga dari lima
saudara itu yang nempil terhadapnya, akan tetapi apabila berlima mereka maju berbareng,
sedang mereka pun punyai Ngo-heng-tin, barisan "Panca-logam", itulah lain.
Menurut Oen Gie, Ngo-heng-tin itu berdasarkan Kim, Bok, Soei, Hoh dan Touw, ialah emas,
kayu, air, api dan tanah (ngo-heng), yang berhubungan satu dengan yang lain, yang saling
ganti perubahannya. Maka itu, memang itu adalah "barisan" yang sulit untuk digempur.
Dan lagi, ketika pertama kali mereka bertanding, mereka tidak mendendam satu dengan
lain, masing-masing bisa berlaku sungkan, akan tetapi sekarang dia tekah ketahui rahasia
mereka, dan mereka menyangka ia punya hubungan dengan Kim Tjoa Long-koen, pasti
sekali mereka akan pandang ia sebagai musuh besar. Mereka bangsa telengas, mereka
siap-sedia akan gunai segala tipu-daya, mungkin dia dibikin celaka. Satu kali dia tak
berhati-hati, dia bisa tak ketolongan. Karena ini, sangsilah dia.
"Apa" Kau tidak berani?" Oen Beng Gie tanya dengan ejekannya. "Kalau begitu hayo kau
berlutut tiga kali dan manggut-manggut kepada kami, nanti kami ijinkan kau pergi!..."
Itulah ejekan yang hebat.
Oen Beng Sie, dengan suara seram, pun berkata : "Sekarang ini walaupun kau berlutut
dan manggut-manggut, sudah kasip!"
Lantas saja Sin Tjie berkata dengan nyaring :
"Katanya Ngo-heng-tin dari keluarga Oen ada liehay sekali tapi aku yang muda ingin
mencoba-cobanya, untuk belajar kenal, namun saat ini aku letih sekali, maka kamu
ijinkanlah aku beristirahat barang satu jam! Akur?" tanyanya.
"Satu jam ialah satu jam!" jawab Oen Beng Gie dengan mengejek. "Walaupun kau
beristirahat sampai delapan atau sepuluh hari, toh tak nanti kau mampu lolos!"
"Jangan-jangan binatang ini hendak menggunai akal-muslihat," Beng San kata dengan
pelahan. "Baik kita lantas kerjakan dia!"
"Djie-tee telah berikan perkataan padanya, biarlah dia hidup lebih lama satu jam," Beng
Tat bilang. "Biarlah dia beristirahat, supaya dia tak usah sampai mati menyesal! Melainkan
kita harus jaga jangan sampai dia kabur!"
"Kasi dia beristirahat didalam thia," Oen Beng Go usulkan. "Disana kita kurung padanya."
Oen Beng Tat akur, lalu dengan suara nyaring, dia kata: "Orang she Wan, pergi kau ke
Lian-boe-thia untuk beristirahat. Dengan berdiam disini, kami kuatir kau lolos...."
"Baik!" sahut Sin Tjie tak bersangsi sedikit jua. Lantas dia berbangkit.
Oen Gie dan putrinya jadi bingung sekali, mereka tidak berdaya untuk mencegah. Maka
terpaksa mereka ikuti anak muda itu.
Didalam Lian-boe-thia , ruang latihan silat, Oen Beng Tat si Toa-yaya sudah lantas
perintahkan orang-orangnya nyalakan puluhan batang lilin, dengan begitu, seluruh
ruangan jadi terang sekali.
"Kapan nanti sebatang lilin ini telah menyala habis, bukankah telah cukup waktunya
untukmu beristirahat?" tanya tertua Ngo Tjouw dari Tjio Liang Pay.
Sin Tjie tidak menjawab, dia melainkan manggut, habis itu dia lantas duduk atas sebuah
kursi yang diletaki di-tengah-tengah ruangan itu.
Lima saudara Oen angkat masing-masing sebuah kursi, untuk mereka duduk sendiri.
Mereka mengurung di lima penjuru dengan sikapnya Ngo-heng. Mereka juga duduk diam
dan meram, untuk sekalian beristirahat juga. Akan tetapi dibelakang mereka berkumpul
enam belas orang lain diantara siapa ada Oen Lam Yang dan Oen Tjheng, semua orang
angkatan terlebih muda, semuanya duduk atas masing-masing sebuah kursi kate.
Sin Tjie lihat kedudukannya enam belas orang itu, ia dapati mereka ambil sikap delapan
penjuru, atau Pat-kwa, maka itu lengkaplah Ngo-tjouw punya barisan Ngo-heng Pat-kwa-tin
itu, yang ringkasnya disebut Ngo-heng-tin.
"Benar-benar sulit untuk memecahkan barisan ini dan lolos," pikir si anak muda, sambil
duduk diam, kedua tangannya dikasi turun. Ia merasa, dibawah kepungan dua puluh satu
orang itu, paling bisa ia membela diri, untuk lolos, sukar sekali. Ia pun insaf, jikalau lamalama
ia dikurung, tenaganya bisa habis, hingga akhirnya, dia bakal dirubuhkan juga. Kim
Tjoa Long-koen yang demikian liehay masih tidak sanggup pecahkan Ngo-heng-tin ini,
maka pasti tin ini ada punyakan perubahan-perubahan luar biasa.
Selagi sibuk berpikir, tiba-tiba si anak muda ingat beberapa halaman terakhir dari Kim Tjoa
Pit Kip. Itulah bagian-bagian yang pertama kali membingungkannya, karena ia tak dapat
menginsyafi artinya, sampai perlu ia pergi pula kedalam gua untuk meyakinkan gambargambar
di tembok gua, untuk diakuri dengan bunyinya kitab pusaka itu, sesudah mana,
Barulah ia mengerti. Melainkan itu waktu ia masih belum insaf, apa perlunya ilmu silat
yang nampaknya kusut sekali itu. Siapa bisa dengan satu gebrakan saja menyerang
keempat atau ke delapan penjuru" Toh ilmu itu ada untuk melayani serangan berbareng
dari pelbagai penjuru itu"
Terus Sin Tjie memikir, hingga ia menduga, tentulah Kim Tjoa Long-koen, setelah lolos
dari tangan musuh-musuhnya, telah sembunyikan diri untuk memikirkan jalan guna
pecahkan ngo-heng-tin itu dan dia akhirnya berhasil menciptakan ilmu silat istimewa ini.
Tentu sekali maksud Kim Tjoa Long-koen untuk kembali ke Tjio-liang, guna menuntut
balas, maka sayanglah urat-urat tangan dan kakinya telah terputus hingga dia tak dapat
bersilat terlebih jauh. Maka, untuk dijadikan warisan, ilmu silat itu dicatat rapi dalam
kitabnya, dalam gambar-gambar ditembok gua. Dan sengaja dia bikin kitab yang palsu,
yang diperlengkapi dengan panah rahasia dan beracun, guna menjaga kalau-kalau pihak
Tjio Liang Pay mencurinya.
"Syukur aku telah dapati kitab itu dan dapat memahamkan juga semua isinya," pikir
pemuda ini lebih jauh. "Dengan gunai ilmu silat itu, kecuali dapat lolos dari bahaya, aku
juga dapat tolong lampiaskan dendaman Kim Tjoa Long-koen, maka didunia baka, pastilah
dia akan bersenyum puas, hingga tak sia-sialah capai lelahnya menciptakan ilmu silat
itu...." Sin Tjie menjadi gembira hingga ketika ia buka kedua matanya, wajahnya ada terang-riang.
Ia dapatkan lilin hampir habis terbakar, tinggal hanya satu dim saja.
Lima saudara Oen juga membuka mata, mereka heran apabila mereka tampak roman
bergembira dari anak muda itu, tak dapat mereka menerka pikiran anak muda ini. Akan
tetapi mereka percaya betul ketangguannya Ngo-heng-tin, mereka tidak terlalu perhatikan
sikap orang itu, mereka cuma membuka mata lebar-lebar, untuk bersiaga kalau-kalau
orang lompat melesat untuk kabur....
Kembali Sin Tjie rapati kedua matanya. Ia mencoba ingat diluar kepala segala
pengunjukan Kim Tjoa Long-koen. Kemudian ketika ia sampai dibahagian "Koay too tjhan
loan ma" atau "Dengan golok cepat memotong guni awut-awutan", mendadak ia keluarkan
keringat dingin, ia terkejut sendirinya.
"Celaka!" demikian ia menjerit dalam hati. "Habis ini, pertempuran membutuhkan golok
atau pedang mustika, untuk bikin lawan tak berani datang dekat, senjata tajam itu perlu
untuk membikin kalut kepungan , akan tetapi Kim Tjoa Kiam tidak ada padaku,
bagaimana?"
Selama itu Tjeng Tjeng terus awasi si anak muda, hatinya lega melihat air muka terang dari
pemuda itu, tapi sekarang ia pun terperanjat mendapati orang mandi keringat, romannya
berkuatir. "Belum sampai bertempur, hatinya sudah goncang, bagaimana nanti?" pikir dia. Maka ia
menjadi turut bingung sendirinya.


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sin Tjie awasi lilin, yang hampir padam, ia sendiri masih belum peroleh daya, bukan main
sibuknya dia. Itu waktu satu bujang perempuan bertindak kedalam ruangan, tangannya menyekal
secawan air teh, ia hampirkan si anak muda.
"Wan siangkong, silakan minum teh," katanya.
Selagi kusut pikiran itu, Sin Tjie sambuti cawan teh dengan tidak ragu-ragu, malah ia terus
antar cawan kemulutnya, akan tetapi disaat bibir dan cawan hampir nempel, mendadakan
terdengar suara nyaring didepan mukanya sendiri dan tangannya tergetar, untuk
kagetnya, ia dapatkan cawan sudah terpukul terlepas panah-tangan, jatuh hancur dilantai.
Masih anak muda ini sempat lihat Tjeng Tjeng menarik pulang tangannya, maka ia tahu,
adalah si nona yang sudah serang cawan itu. Maka berbareng kaget, ia insaf.
"Sungguh berbahaya!" kata ia dalam hatinya. "Kenapa aku jadi begini goblok" Kenapa tak
ingat aku yang mereka juga bisa kasi aku minum obat pulas?"
Justru itu waktu, bagaikan guntur, Oen Beng Go mendamprat : "Ada ibunya, ada gadisnya.
Keluarga Oen telah tidak menumpuk jasa-jasa baik maka juga telah terlahirlah anak hinadina
ini yang bersekongkol dengan orang luar!"
Tjeng Tjeng tahu, dialah yang dicaci, dia tidak mau mengalah.
"Ya, leluhur keluarga Oen telah menumpuk banyak sekali jasa-jasa baik! Mereka telah
perbaiki jembatan-jembatan, jalan-jalan besar, mengamal terhadap orang-orang melarat!
Segala macam perbuatan baik, mereka lakukan!"
Itulah sindiran belaka terhadap Ngo Tjouw yang tidak ada kejahatan yang tidak dilakukan
mereka. Oen Beng Go jadi demikian murka sehingga dia lompat bangun sambil berjingkrak, dia
hendak hajar cucu atau cucu-keponakan itu, akan tetapi Oen Beng Tat menghalangi dia.
"Sabar, ngo-tee," kata engko ini. "Jaga itu bocah saja!"
Pada waktu itu, telah lenyap roman berkuatir dari Sin Tjie, sebagai gantinya, anak muda ini
kembali berwajah riang-gembira. Serangan Tjeng Tjeng dengan panah rahasia terhadap
cawan seperti memberikan ia ilham.
"Kenapa aku tidak mau gunai senjata rahasia?" demikian pikirnya. "Dalam hal senjata
rahasia, walaupun Kim Tjoa Long Koen masih tak dapat menandingi aku! Bukankah pada
tubuhku juga ada baju kaos istimewa hadiah dari Bhok Siang Toodjin" Kenapa aku tidak
mau antap orang hajar beberapa kali bebokongku, supaya berbareng dengan itu aku bisa
pecahkan Ngo-heng-tin ini?"
Sekejab saja, pemuda ini ambil putusannya. Tidak lagi dia tunggu habisnya sebatang lilin,
segera ia berbangkit.
"Cukup!" katanya. "Silakan kamu beri pengajaran kepadaku!"
Oen Beng Tat lantas perintah orang-orangnya tukar semua lilin.
"Ini kali, kalau ada keputusan menang atau kalah, bagaimana?" Sin Tjie tegaskan.
"Jikalau kau menang, pergi kau bawa emas itu!" jawab Oen Beng Tat. "Jikalau kau tidak
berhasil, nah, tak usah omong banyak lagi!"
Sin Tjie mengerti, jikalau dia yang kalah, jiwanya tidak bakal tertolong lagi, akan tetapi
apabila dia yang menang, orang masih bisa menyangkal. Maka ia kata pula :
"Kalau begitu, keluarkanlah emas itu! Begitu aku menang, aku hendak segera bawa pergi!"
Lima saudara Oen itu kagum. Sudah terkepung, lagi menghadapi bahaya maut, anak muda
ini masih berkeras kepala. Tetntu sekali, mereka tidak kuatir. Mereka tahu, Kim Tjoa Longkoen
yang liehay masih tak mampu dobrak ngo-heng-tin, apapula bocah ini.
Setelah asah pikiran belasan tahun, Ngo Tjouw berhasil menciptakan Ngo-heng-tin,
setelah itu, mereka melatih diri dengan sempurna. Ngo-heng-tin ada pusaka bagi Tjio
Liang Pay. Buat layani tiga sampai empat-puluh musuh masih leluasa, apapula akan
hadapi satu orang. Biasanya tak sembarangan Ngo Tjouw gunai barisannya ini, ia kuatir
orang lihat dan menirunya, sekarang terpaksa mereka pakai karena Sin Tjie terlalu
tangguh untuk mereka, sehingga mereka tak kuatir nanti ditertawai orang banyak
berkelahi dirumah sendiri secara mengeroyok.
"Kau keluarkan emas itu!" akhirnya Beng Tat titahkan Tjeng Tjeng.
Nona ini sangat menyesal, Jikalau ia tahu bakal jadi begini rupa, pasti dari siang-siang ia
sudah kembalikan emas itu. Ia tidak berani bantah yaya itu, terpaksa ia pergi ambil
bungkusan emas itu, diletaki diatas meja dalam ruang itu.
"Jangan letaki secara demikian," kata Oen Beng San. "Tjheng, kau atur berdiri semua
emas itu, bikin menjadi peta!"
Oen Tjheng menyahuti, ia ambil bungkusan emas itu, akan sepotong demi sepotong dia
letaki di lantai, diatur semacam gambar Thay-kek (dunia bundar), hingga diluar itu,
seputarnya, merupakan pat-kwa.
"Mari!" berseru lima saudara One begitu lekas sepuluh potong emas itu selesai diatur,
mereka lantas bergerak, senjata mereka pun lalu dihunus.
Sin Tjie sambut tantangan itu, akan tetapi disaat ia hendak mulai lompat maju, sekonyongkonyong
terdengar suara tertawa ber-gelak-gelak diatas rumah, disusul dengan kata :
"Orang-orang tua dari keluarga Oen! Aku Eng Tjay datang berkunjung untuk menanggung
dosa!" Lima saudara Oen terkejut.
"Silakan turun!" mereka mengundang.
Menyusul undangan itu, belasan orang lompat turun dengan saling susul dari atas
genteng ruangan latihan silat itu, sesuatu orangnya tak rata tubuhnya, ada yang tinggi,
ada yang kate, tetapi yang bertindak dimuka adalah Eng Tjay, pang-tjoe atau ketua dari
partai Liong Yoe Pang.
Justru itu Sin Tjie berpaling kepada Tjeng Tjeng. Ia tampak, biarpun si nona mencoba
mentenangkan diri, pada wajahnya ada ketegangan.
Oen Beng Tat sudah lantas tanya tetamunya yang tak diundang itu.
"Lao Eng, sahabatku, tengah malam buta-rata kau berkunjung kegubukku ini, apakah
maksudmu" Lu Djie Sianseng dari Hong-gam juga turut datang bersama!"
Sembari mengucap, Toa-yaya ini rangkap kedua tangannya untuk memberi hormat kepada
satu orang yang berada dibelakang Eng Tjay. Orang itu dandan sebagai seorang
mahasiswa, usianya pertengahan.
Eng Tjay tidak jawab pertanyaan, atau teguran itu, hanya dia kata : "Oen Loo-ya-tjoe, kau
berbahagia sekali! Kau telah dapatkan seorang cucu perempuan yang ilmu silatnya
sempurna, yang otaknya cerdas sekali, tidak saja See Loo-toa kami serta belasan saudara
lainnya rubuh ditangannya, malah aku sendiri si tua-bangka turut mendapat malu juga!...."
Beng Tat heran. Memang dia dan saudara-saudaranya belum tahu hal bentrokan diantara
Tjeng Tjeng dan rombongan dari Liong Yoe Pang itu. Yang pasti adalah, diantara Tjio
Liang Pay dan Liong Yoe Pang, ada pergaulan. Dimana sekarang mereka lagi menghadapi
lawan tangguh, Ngo Tjouw tidak inginkan keruwetan baru.
"Lao Eng, apakah yang diperbuat cucu kami terhadapmu?" Beng Tat tanya dengan sabar.
"Tidak nanti kami melindungi pihak yang bersalah. Siapa bunuh orang, dia berhutang jiwa,
siapa berhutang uang, dia mesti membayar dengan uang juga! Tidakkah demikian?"
Ketua dari Liong Yoe Pang itu melengak.
"Heran!" pikirnya. "Kenapa tua bangka ini yang biasa tekebur sekali hari ini jadi begini
pandai omong" Mustahil dia jeri terhadap Lu Djie sianseng sampai begini macam
jerinya?" Tapi segera juga ia tampak Sin Tjie diantara rombongan tuan rumah itu, ia jadi bertambahtambah
heran. Maka ia kembali berpikir.
"Tua bangka ini mempunyai pembantu yang liehay sekali, mungkin Lu Djie sianseng juga
tak nanti sanggup lawan dia. Baiklah aku lihat selatan untuk menyimpan lajar...."
Maka ia lantas menyahut dengan tenang: "Kami dari Liong Yoe Pang belum pernah
bentrok dengan pihakmu, maka itu dengan memandang kepada kamu lima saudara,
sukalah aku bikin habis kematian See Loo Toa, anggap saja dia mesti sesalkan
kepandaiannya sendiri yang cetek, melainkan mengenai emas itu...." Dia menyapu dengan
matanya kepada sepuluh potong emas dilantai, lalu dia melanjuti: "Kami telah mengikuti
jalanan jauhnya beberapa ratus lie, kami telah bercape-lelah dan bercape-hati, buang
ongkos juga, malah ada orang kami yang sampai mengantari jiwanya, semua itu adalah
usaha kami untuk hidup dalam dunia kang-ouw...."
Eng Tjay berhenti sampai disitu.
Oen Beng Tat heran, ia mengawasi. Segera hatinya menjadi lebih tenteram. Teranglah
sudah, Eng Tjay datang bukan untuk pembalasan hanya guna emas itu.
"Semua emas itu ada disini, jikalau kau menginginkannya, pergilah ambil, tidak ada
halangannya," berkata dia.
Eng Tjay heran hingga ia menatap wajah tuan rumahnya. Kenapa ketua Tjio Liang Pay itu
jadi demikian baik budi" Ia tadinya mau menyangka orang hendak mengejek padanya,
tetapi ia dapati air muka tenang dan biasa, tidak ada bajangan kepalsuan. Maka ia kata:
"Oen Toaya, jikalau kau sudi memberikannya separuh saja dari jumlah itu, untuk kami
pakai menunjang korban-korban yang terbinasa dan terluka, bukan main berterima
kasihnya aku...."
"Silakan kau ambil sendiri," Beng Tat berikan persetujuannya.
Eng Tjay angkat kedua tangannya untuk memberi hormat.
"Terima kasih!" ujarnya, terus ia memberi tanda kepada orangnya, maka dua orang segera
maju kearah emas, mereka ini membungkuk untuk jumput potongan-potongan emas itu.
Akan tetapi, Baru tangan mereka raba emas atau mereka telah rasai pundak mereka
masing-masing ada yang tolak dengan pelahan, atas mana tubuh mereka jadi terdorong
kebelakang, hingga mereka mesti mundur beberapa tindak, kalau tidak, tentu mereka
rubuh. Lekas-lekas mereka angkat muka, akan memandang, maka tampaklah mereka Sin
Tjie berdiri didepan mereka.
Dengan tenang, pemuda ini segera berkata kepada ketua Liong Yoe Pang :
"Eng Loo-ya-tjoe, emas ini adalah uang belanja tentaranya Giam Ong, maka jikalau kau
ambil, pastilah itu kurang sempurna!"
Nama Giam Ong di utara ada menggetarkan, adalah di Selatan, kaum kang-ouw tak terlalu
memperdulikannya, maka itu, Eng Tjay lantas menoleh pada Lu Djie Sianseng.
"Lihat, dia sebut-sebut nama Giam Ong untuk gertak kita!" katanya sambil tertawa.
Lu Djie Sianseng itu ada menyekal sebatang hoentjwee yang besar, dia menyedot satu
kali, dia kebulkan asapnya, dia ulangi dan ulangi itu, gerak-geriknya ada tenang sekali.
Sebelum jawab ketua Liong Yoe Pang itu, ia melirik pada si anak muda, ia menatapnya.
Sin Tjie dapat kenyataan, tenang dia ada, mahasiswa itu tapinya ada angkuh atau agungagungan,
dari itu tak puaslah hatinya. Kapan ia lihat sinar matanya, dan kulit mukanya
yang bersemu dadu, ia percaya dia mestinya ada seorang kang-ouw kenamaan, mungkin
dia mempunyai kepandaian istimewa karenanya, tak berani ia memandang enteng. Malah
ia lantas saja menjura.
"Apakah tjianpwee she Lu?" tanya ia. "Akuyang muda Baru kali ini mulai berkelana, dari
itu maafkanlah aku tidak kenal tjianpwee..."
Lu Djie Sianseng kepulkan pula asap hoentjweenya, sekali ini tepat kearah muka si anak
muda, kemudian kapan ia menyedot lagi, ia keluarkan asapnya diantara kedua lobang
hidungnya. Maka bagaikan sepasang naga melilit, asap itu bergulung-gulung melayang....
Sin Tjie tidak murka karena lagak orang itu, tidak demikian dengan Tjeng Tjeng, yang
hatinya panas, hingga mau ia menegurnya. Tapi Oen Gie lihat sikap puterinya, dia tekan
pundaknya. Tjeng Tjeng menoleh dengan cepat, ia lihat ibunya meng-geleng-geleng kepala dengan
pelahan. Ia mengerti cegahannya sang ibu, ia terpaksa telan pula kemendongkolannya.
Lu Djie Sianseng ketruk-ketruki hoentjweenya, akan buang bersih sisa-sisa abu dan
tembakau, lalu dengan pelahan-lahan, ia mengisi pula.
Juga Ngo Tjouw nampaknya tak sabaran mengawasi tingkah-laku dibuat-buat itu, akan
tetapi mereka tahu, mahasiswa ini adalah seorang kang-ouw kenamaan selama beberapa
puluh tahun, sebisa-bisa mereka kendalikan diri. Mereka pernah dengar bagaimana
dengan ilmu silatnya Hoo Koen, koentauw burung Hoo, Lu Djie Sianseng tidak punyakan
tandingan di Selatan dan Utara Sungai Besar, sedang hoentjwee itu adalah senjatanya
yang istimewa, senjata mana selain bisa dipakai menotok jalan darah juga bisa dibuat
menggaet senjata lawan. Namun mereka belum pernah saksikan sendiri kegagahannya.
Maka meng-harap-haraplah mereka yang jago itu nanti bentrok sama Sin Tjie, sukur kalau
si anak muda kena dipecundangi, dengan begitu, pekerjaan mereka akan jadi lebih ringan.
Lu Djie Sianseng keluarkan tekesan api dari sakunya, ia menekes-nekes, akan tetapi ia
masih tidak hendak lantas sulut hoentjweenya itu.
Selagi jago Hoo Koen itu ayal-ayalan, tiba-tiba diatas genteng muncul seorang lain, malah
dia ini segera berseru : "Kembalikan emasku!"
Menyusul itu seorang perempuan muda loncat turun. Tetapi dia tidak bersendirian, dia
segera diikut oleh seorang muda yang sifatnya kasar, dibelakang siapa ada lagi seorang
usia pertengahan, umur lima puluh tahun lebih, yang dandan sebagai seorang dagang,
tangan kirinya memegang shoei-phoa, tangan kanannya menyekal sebatang pit, sedang
romannya lucu....
Sin Tjie kenali Siauw Hoei, ia girang berbareng kaget, ia kuatir juga. Ia girang karena
datangnya bala-bantuan, melainkan ia belum tahu, bagaimana dengan kepandaiannya dua
kawan dari nona An itu. Dilain pihak, ia berkuatir untuk Oen Gie dan Tjeng Tjeng. Dipihak
sana, ialah Tjio Liang Pay, ada pula Liong Yoe Pang, itu artinya ia menghadap dua lawan
tangguh. Ia mesti bela diri, ia pun perlu lindungi ibu dan gadisnya. Atau kalau kawankawannya
Siauw Hoei lemah sebagai si nona sendiri, ia pun sibuki mereka itu....
Suasana sungguh-sungguh tidak menggembirakan pemuda ini.
Itu waktu dari pihak Tjio Liang Pay sudah lantas ada yang maju untuk rintangi Siauw Hoei,
yang mereka tegur.
"Lekas kembalikan emasnya tuan-tuan besarmu!" kata si anak muda yang romannya kasar
itu seraya terus saja membungkuk, akan jumput emas dilantai itu.
Sin Tjie kerutkan alis mengawasi kesembronoannya.
"Dia begini sembrono, tentu dia tak dapat diharap," pikirnya.
Oen Lam Yang lihat orang hendak jumput uang, ia ayun kakinya untuk tendang tangannya
si anak muda. "Tjoei Soeko, awas!" Siauw Hoei berseru. Ia lihat gerakan si orang she Oen itu.
Walaupun ia sembrono, pemuda itu tapinya awas dan sebat. Ia berkelit kesamping, untuk
elakkan tendangan, setelah itu sambil merangsak, ia balas menyerang, dengan dua tangan
berbareng. Oen Lam Yang tidak sudi mengalah, ia keluarkan dua-dua tangannya, untuk menangkis,
hingga empat tangan bentrok, setelah mana, keduanya terdampar mundur sendirinya
sampai beberapa tindak.
Si anak muda penasaran, ia maju pula.
"Hie Bin, tahan!" berseru kawannya yang mirip saudagar.
Sekarang Sin Tjie ingat kepada kawannya Siauw Hoei, dengan siapa si nona sama-sama
mengantar emas itu. Bukankah Siauw Hoei bilang, sebab ia berpisah dari sang kawan,
emas jadi kena disambar Tjeng Tjeng" Anak muda sembrono itu jadinya ada Giok-bin Kimkong
Tjoei Hie Bin, keponakan Tjoei Tjioe San. Karena itu, apa mungkin si orang dagang
ada toasoehengnya sendiri, Tong-pit Thie-shoeiphoa Oey Tjin" Maka ia lantas awasi
Bukit Pemakan Manusia 2 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Pendekar Cacad 10

Cari Blog Ini