Ceritasilat Novel Online

Pedang Ular Mas 7

Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Bagian 7


Tjeng Tjeng lihat hujan sudah berhenti betul, ia berniat melanjutkan perjalanannya, akan
tetapi disaat ia berbangkit, untuk bertindak keluar, sekonyong-konyong Sin Tjie menjerit:
"Aduh! Aduh!...." Ia kaget sekali, segera ia menoleh, hingga ia tampak si anak muda,
dengan terbungkuk-bungkuk sedang pegangi perutnya, anak muda itu lantas mendeplok
di lantai. Masih saja ia teraduh-aduh dan pegangi perutnya, mukanya meringis menahan
sakit. Dalam kagetnya, Tjeng Tjeng lompat mendekati. Ia lihat jidatnya Sin Tjie mandi keringat!
"Kau kenapa?" tanyanya. "Apakah perutmu sakit?"
Sin Tjie tidak menyahuti, sedang dalam hatinya, ia berpikir : "Bersandiwara tidak boleh
kepalang-tanggung...." Dan ia tahan ambekannya, hingga ketika si nona raba tangannya,
tangannya itu dingin bagaikan es.
"Kau kenapa, kenapa?" tanya pemudi ini, yang jadi sibuk bukan main.
Si anak muda merintih, ia tidak menjawab.
Tanpa merasa, nona itu menangis, saking bingung dan berkuatir.
"Adik Tjeng, sakitku ini tak dapat disembuhkan," kemudian kata Sin Tjie dengan suara
lemah. "Tidak usah kau perdulikan aku, pergilah kau berangkat...."
"Tapi kenapa, tidak keruan-keruan kau sakit?" tanya si nona.
"Sejak masih kecil aku ada punya serupa penyakit," sahut Sin Tjie dengan susah," ialah
tak dapat aku dibikin mendongkol atau gusar, asal orang menerbitkannya, hatiku pepat,
lantas penyakitku itu kumat, perutku sakit....Aduh!.....Aduh!....Sakit amat!..."
Tjeng Tjeng jadi demikian sibuk hingga lupa dia pada adat sopan-santun, ia tubruk si anak
muda untuk dirangkul, dipeluki, lalu ia urut-urut dada si anak muda.
Sin Tjie merasa likat sendirinya karena orang peluki ia.
"Engko Sin Tjie, dasar aku yang salah..." nona itu mengaku kemudian. "Sudah, engko, aku
minta kau jangan bergusar lagi..."
Sin Tjie pikir : "Apabila aku tidak terus bersandiwara, dia bisa sangka aku ada satu
pemuda ceriwis..." maka ia tunduk terus, ia merintih.
"Aku bakal tidak hidup lebih lama pula," ia mengeluh," kalau nanti aku menutup mata,
tolong kau kubur mayatku, habis itu tolong kau beri kabar pada Oey Toako..."
Ia merintih pula, ia mengeluh, akan tetapi dalam hatinya, ia tertawa geli.
"Tak dapat kau mati," Tjeng Tjeng menangis. "Kau tidak tahu, aku bergusar secara mainmain
saja, aku gusar bohong, sengaja aku hendak gaduh padamu, sedang hatiku,
sebenarnya, aku suka, aku sangat sukai kau....Jikalau kau mesti mati, mari kita mati
bersama...."
Heran Sin Tjie, kaget dia.
"Ah, kiranya dia menyintai aku...." Pikirnya. Hatinya lantas memukul. Ia girang, Ia pun likat,
dalam bimbang, ia jadi berdiam saja.
Tjeng Tjeng masih saja berkuatir, ia sangka si pemuda benar-benar bakal mati, maka ia
merangkul dengan keras sekali.
"Engko, engko, tak dapat kau mati!...." katanya.
Mereka berada demikian dekat, Sin Tjie membaui harum istimewa, hatinya goncang. Tapi
mendadak ia seperti sadar.
"Sakit hatiku belum terbalas, cara bagaimana aku sudah main cinta?" demikian ia pikir.
"Satu laki-laki mesti berlaku terus-terang! Bagaimana aku dapat pedayakan satu anak
dara?" "Aku bergusar bohong, jangan kau anggap sebenar-benarnya," kembali si pemuda berikan
pengakuannya. Tiba-tiba saja Sin Tjie tertawa.
"Sakitku juga sakit bohong, jangan kau anggap sebenar-benarnya!..." kata dia, yang
kembali tertawa berkakakan.
Tjeng Tjeng terperanjat, hingga ia melengak. Dengan tiba-tiba ia lepaskan rangkulannya,
dia lompat bangun, menyusul mana sebelah tangannya melayang kekupingnya si anak
muda, hingga Sin Tjie rasai kepalanya pusing, matanya berkunang-kunang.
Tjeng Tjeng tutupi mukanya, terus dia lari.
Sin Tjie bingung sekali.
"Tadi dia bilang dia menyayangi aku, dia tak dapat hidup tanpa aku, kenapa sekarang dia
gusar dan pukul aku?" pikirnya.
Dalam bingungnya, Sin Tjie lompat bangun, untuk susul si nona, akan mengikuti
dibelakangnya. Tjeng Tjeng sudah umbar adatnya, habis itu hatinya lega, ketika ia menoleh, ia lihat tanda
merah bergelang dipipi kiri si anak muda, bekas gaplokannya, lantas hatinya jadi lemah.
Tapi ia masih likat. Tanpa kehendaknya, ia telah beberkan rahasia hatinya, ia malu
sendirinya, ia jengah sekali.
Itu magrib mereka sampai di Gie-ouw, lantas mereka cari hotel.
Tjeng Tjeng lantas minta disediakan barang makanan, Sin Tjie duduk di satu meja, untuk
bersantap bersama-sama.
Tiba-tiba si pemudi tertawa sendirinya.
"Mau apa ikuti orang saja, sungguh menjemukan...." Katanya.
Sin Tjie raba pipinya, ia pun tertawa.
"Perutku sakit, itulah sakit bohong," katanya. "Yang benar-benar sakit adalah ini...."
Ia maksudkan pipinya sasaran gaplokan itu.
Tjeng Tjeng tertawa pula. Itulah tertawa yang membuat mereka berdua akur pula, hingga
mereka bisa bersantap dengan bernapsu, kemudian mereka pasang omong dengan asyik.
Malam itu mereka tidur dalam kamar masing-masing. Puas hatinya Tjeng Tjeng akan
saksikan pemuda itu ada satu laki-laki terhormat.
Besoknya pagi, Sin Tjie kata pada si nona : "Adik Tjeng, pekerjaan kita paling penting
sekarang ini adalah antar abu ibumu ke gunung Hoa San untuk dikubur disana."
"Benar," sahut si nona. "Sebenarnya, bagaimana duduknya maka kau dapat menemui
kuburan ayahku"'
"Nanti kita bicara ditengah jalan saja," jawab pemuda itu.
Si pemudi menuruti, dari itu, setelah sarapan, mereka melanjuti perjalanan, menuju
keutara. Adalah selagi berjalan, Sin Tjie tuturkan kejadiannya bagaimana ia ketemukan
tulang-tulangnya Kim Coa Long-koen didalam gua, bagaimana ia dapati peti besi yang
berisi kitab atau peta berharga. Ia tuturkan semua dengan jelas.
Tjeng Tjeng girang berbareng berduka.
Sin Tjie lanjuti penuturannya tentang sepak-terjangnya Thio Tjoen Kioe dan si pendeta,
yang datang dan bekerja bersama tapi akhirnya saling menjahati.
Bergidik Tjeng Tjeng mendengar cerita itu.
"Thio Tjoen Kioe itu ada muridnya Soe-yaya," terangkan ia kemudian. "Dia ada seorang
yang jahat sekali. Dan itu hweeshio, bukankah pada mukanya ada tanda bekas satu luka?"
"Benar, itu benar," Sin Tjie mengasi kepastian.
"Dia ada Goh In, ia muridnya djie-yaya," Tjeng Tjeng kasi keterangan lebih jauh. "Sejak
ayah lenyap, yaya semua kirim belasan muridnya kesegala penjuru untuk mencari, telah
ditetapkan setiap tiga tahun mereka mesti memberi kabar berhasil-tidaknya penyelidikan
mereka. Dua binatang itu ada sangat jahat, pantas mereka terima kebinasaan mereka
secara demikian rupa!"
Nona ini berhenti sebentar, lalu ia menambahkan : "Ayah telah menutup mata, setelah
mati, dia masih bisa atur daya untuk binasakan musuh-musuhnya, sungguh luar biasa
sekali!" ia jadi bangga sekali.
"Yayamu semua tahu ada hubungan diantara aku dan ayahmu itu, aku percaya mereka
bakal berdaya lebih keras untuk mencari tahu hal harta besar itu dan kuburan ayahmu,"
Sin Tjie utarakan kemudian.
"Tapi mereka tahu juga mereka tidak sanggup lawan kau, percuma saja mereka bikin
dirinya tambah sibuk saja," kata si nona. "Coba ayah masih hidup dan ia tahu kau telah
hajar mereka kucar-kacir begini rupa, entah betapa girangnya ayah!...Tapi ibu telah
menyaksikannya sendiri kau labrak mereka, tentu ibu akan menyampaikannya kepada
ayah.... Coba kau kasih lihat pula tulisannya ayah kepadaku."
Sin Tjie perlihatkan apa yang diminta si nona.
"Ini ada barang ayahmu, harus ini dipulangi kepadamu," ia bilang.
Tjeng Tjeng tidak menjawab, dengan penuh perhatian ia awasi peta dan tulisan ayahnya
itu, nampaknya ia berduka berbareng bersuka-ria juga.
Sejak itu, setiap ada kesempatan, selagi singgah dipemondokan, ia suka keluarkan peta
itu, untuk diawasi, untuk dibuat main.
Pada suatu hari dua anak muda ini sampai di Siong-kang, tiba-tiba si pemudi kata :
"Engko, begitu lekas kita sampai di Lam-khia, paling dulu kita cari itu mustika berharga!"
Sin Tjie heran.
"Kau maksudkan apa?" tanyanya.
"Bukankah dalam peta ayah ada disebutkan hal mustika berharga?" si nona baliki.
"Bukankah ayah telah menulis, siapa dapatkan mustika itu, ia mesti berikan itu sepuluh
laksa tail emas" Maka teranglah sudah, mustika itu mesti berharga besar sekali."
Rupanya Sin Tjie Baru ingat.
"Kau benar, akan tetapi mengurus urusan kita ada lebih penting," ujarnya dengan
perlahan. Pemuda ini senantiasa ingat gurunya dan habis menemui gurunya, hendak ia menuntut
balas untuk ayahnya.
"Kita telah punyakan petanya, aku pikir, dengan cari mustika itu, tidak nanti kita sia-siakan
banyak tempo," si nona utarakan.
"Habis, buat apa kita punya harta besar itu?" Sin Tjie tanya.
"Adik Tjeng, aku harap sukalah kau menjadi orang baik-baik, jangan kau terpancing oleh
harta besar...."
Tapi Tjeng Tjeng menjebikan bibir, waktu dia masih juga dinasehati, dia jadi tidak puas
hingga itu malam tak mau dia dahar....
Dihari kedua, perjalanan dilanjutkan.
"Engko," kata si nona, selagi berjalan," aku cuma ambil emasnya Giam Ong dua ribu tail,
mereka itu jadi sibuk luar biasa, sampai toasoehengmu turun tangan sendiri untuk
merampas pulang emas itu. Kenapa sikapnya Giam Ong demikian cupat?"
"Keliru jikalau kau anggap Giam Ong cupat pikiran," Sin Tjie kasi mengerti. "Aku pernah
bertemu sendiri dengannya, dia ramah tamah dan budiman, ia tak sayang uangnya untuk
menolong mereka yang membutuhkannya. Dia lagi berdaya untuk membebaskan rakyat
jelata dari kesengsaraan, karenanya ia jadi sangat hemat. Dia adalah satu enghiong, satu
hookiat terbesar! Emas dua ribu tail itu ia sangat butuhkan, pasti sekali tak bisa ia
antapkan lenyap."
"Kalau demikian, itulah lain," Tjeng Tjeng bilang. "Sekarang umpamakan kita hadiahkan
Giam Ong dengan dua-puluh laksa tail emas, sampai dua ratus laksa tail emas, bagaimana
kau pikir, tidakkah itu bagus?"
Sin Tjie sadar dengan tiba-tiba, hingga dia lupa akan dirinya. Dia sambar tangannya si
nona dan cekal itu dengan keras.
"Adik Tjeng, kenapa pikiranku jadi begini butek?" berseru dia. "Syukur kau
memperingatinya!"
Tjeng Tjeng lepaskan tangannya.
"Tak perlu aku dengan pujianmu," katanya. "sudah cukup bagiku asal kemudian kau
kurangi teguranmu."
Pemuda itu tertawa.
"Umpama berhasil kita mencari harta besar itu dan kita menghadiahkannya kepada Giam
Ong, sungguh itu ada satu berkah besar untuk rakyat jelata!" katanya dengan girang.
Maka keduanya lantas numprah ditepi jalanan, mereka beber petanya Kim Tjoa Long-koen,
untuk diperdatakan dengan seksama.
(Bersambung bab ke 10)
Ditengah-tengah peta itu ada satu bundaran kecil warna merah, disamping itu diberi tanda
antaranya empat huruf halus, bunyinya : "Goei Kok Kong Hoe", yang berarti "Istana Goei
Kok-Kong". Goei Kok-Kong itu adalah "Pangeran (hertog) Goei".
Masih saja mereka menelitinya.
"Menurut bunyinya keterangan," berkata lagi Sin Tjie kemudian, "harta besar itu
disimpannya didalam tanah dari sebuah kamar yang mencil didalam pekarangan istana
pangeran Goei itu., jikalau disitu kita menggali kita akan dapati suatu lapis lembaran besi
dibawah mana akan kedapatan sepuluh peti besi yang besar. Itulah dia harta besar itu."
"Maka kalu nanti kita sampai di Lamkhia, baik kita lantas cari istana Goei Kok-kong itu,"
sarankan si pemudi. "Asal kita berhasil mendapati istana itu, selanjutnya mesti kita
punyakan daya lain!"
"Goei Kok-kong itu ada gelaran kebangsawanan dari Tay-tjiangkoen Tjie Tat," Sin Tjie
terangkan pula. "Jendral itu ada salah satu menteri besar dari kerajaan Beng. Istananya
mestinya luar biasa sekali, umpama kata kita dapat memasukinya, pasti sulit untuk
menggali sana dan menggali sini untuk cari harta itu..."
"Sekarang ini tak ada gunanya kita pikirkan itu terlalu jauh," Tjeng Tjeng bilang. "Buat apa
kita menduga-duga saja" Nanti setelah sampai di Lamkhia Barulah kita berdaya pula."
Sin Tjie anggap si nona benar, ia menurut.
Kembali mereka lakukan perjalanan mereka, sampai lewat pula beberapa hari, sampailah
mereka di Lamkhia, kota yang dituju itu, yang dengan lain nama disebut Kim-leng, satu
kota bertembok batu yang dipandang sebagai kota paling besar di "kolong langit", sedang
disanapun adanya Beng Hauw-leng, ialah makam raja-raja ahala Beng. Itulah ibukota
pertama sejak dibangunnya kerajaan Beng oleh Beng Tha-tjouw, kaisar Beng yang
pertama. Walau kota itu pernah mengalami kekalutan besar, kotanya masih tetap indah
dan ramai. Sin Tjie berdua Tjeng Tjeng ambil tempat di hotel dengan mengaku mereka datang ke
Lamkhia untuk mencari sahabat , dari itu dihari kedua, si anak muda panggil jongos untuk
dimintai keterangan dimana pernahnya istana Goei Kok-kong.
Jongos itu bingung. Ia bilang tak tahu ia perihal istana itu.
Tjeng Tjeng sangka orang mendusta, ia jadi gusar.
"Goei Kok-kong ada menteri nomor satu yang besar jasanya dari kerajaan kita, kenapa kau
bilang tidak ada istana Goei Kok-kong disini?" ia bentak.
"Jikalau memang benar ada istana itu silakan siangkong cari sendiri," jawab si jongos.
"Benar-benar aku tidak tahu."
Tjeng Tjeng anggap jongos itu kurang ajar, ia ayun tangannya untuk memberi bogem
mentah, tetapi Sin Tjie cegah dia, hingga kesudahannya si jongos ngeloyor pergi sambil
menggerutu sendiri...
"Mari kita cari," mengajak Sin Tjie pada kawannya.
Tjeng Tjeng menurut, berdua mereka keluar dari hotel itu. Itu hari mereka mengidar
dengan sia-sia saja, tak dapat mereka peroleh keterangan perihal istana Pangeran Goei
itu. Mereka ulangi mencari dihari kedua, hasilnya tetap sia-sia saja, demikianpun ketika
mereka lanjuti penyelidikan sampai tujuh atau delapan hari.
Sin Tjie berniat keras mencari balas, ia ingin tunda dulu menyelidiki tentang istana itu,
akan tetapi kawannya penasaran.
"Mari kita cari terus," Tjeng Tjeng bilang.
Mereka kembali putar-putaran didalam kota beberapa hari lamanya, tapi hasilnya tetap
tidak ada kecuali capai-lelah.
Menurut keterangan yang mereka peroleh sampai sebegitu jauh, katanya turunan dari
Taytjiangkoen Tjie Tat atau Goei Kok-kong itu adalah raja muda dengan kekuasaan atas
bala tentara didalam kota Lamkhia, bahwa istananya Baru beberapa tahun yang lalu
dibangunkannya, sedang tentang istananya Goei Kok-kong, tak ada yang mengetahuinya.
Saking penasaran, Tjeng Tjeng usulkan untuk diwaktu malam satroni onghoe atau
istananya raja muda she Tjie itu.
Sin Tjie tidak setuju, ia tentang usul itu dengan bilang, karena istana ada pendirian baru,
tak mungkin harta karun didapatkan disana, atau umpama kata benar harta tersimpan
disana, dengan berdua saja, apa mereka bisa buat" Sebaliknya apabila mereka gagal,
rahasia jadi ketahuan oleh raja muda itu, yang pastinya akan cari sendiri harta itu. Istana
pasti terjaga kuat sekali.
Puterinya Kim Coa Long-koen itu dapat dikasi mengerti.
Dilain harinya, diwaktu sore dua orang ini pergi kesungai Tjin Hoay Hoo yang kesohor ,
untuk menyewa perahu pelesiran, buat mencoba menghibur diri setelah buat banyak hari
mereka putar-kayun dengan siasia.
"Ayahmu ada satu enghiong, setelah mendapati peta, dia sendiri masih belum berhasil
mencari tempatnya harta karun itu, inilah benar sulit," si pemuda nyatakan.
"Akan tetapi ayah menulis dengan jelas sekali, mustahil ia keliru," si pemudi bertahan.
"Karena harta itu bukan cuma satu tail atau dua tail emas, pasti sekali tempat simpannya
sulit untuk gampang-gampang dicari sembarang orang..."
"Kalau begitu, mari kita cari lagi satu hari, apabila tetap kita gagal, kita berangkat dari
sini," Sin Tjie bilang akhirnya.
"Kita mencari sampai lagi tiga hari!" kata Tjeng-Tjeng.
Di sungai itu, dari beberapa penjuru, terdengar suara seruling yang diiringi dengan
nyanyian-nyanyian. Selain itu, terdengar juga suaranya penggayu-penggayu dari pelbagai
perahu pelesiran lainnya, sedang cahaya api memain sebagai bajangan di permukaan air.
Tjeng Tjeng tenggak beberapa cawan arak, mukanya yang dadu jadi bersemu lebih merah,
hingga diantara sinar api, ia nampaknya jadi bertambah-tambah cantik.
Sin Tjie tertawa.
"Baik aku turut kau, kita mencari lagi tiga hari!" kata Sin Tjie.
Nampaknya si nona puas.
Itu waktu dari perahu tetangga terdengar suara nyanyian bercampur tertawa dan omongan
gembira, bukan main tertarik hatinya si nona. Pengaruh air kata-kata pun sudah mulai
menarinya. "Engko," kata Tjeng Tjeng sembari tertawa, "bagaimana jikalau kita panggil dua nona
untuk mereka nyanyi, akan temani kita minum?"
Mukanya Sin Tjie merah dengan tiba-tiba mendengar pertanyaan itu. Bukankah ia ada satu
pemuda alim"
"Apakah kau sudah sinting?" tanyanya. "Kenapa kau ngaco?"
Anak-anak perahu paling girang kalau penumpangnya berpelesiran dengan nona-nona
tukang nyanyi, dengan itu mereka mengharapi hadiah, maka itu, mendengar perkataan
penumpang yang satunya itu, tanpa tunggu si penumpang lain sahuti kawannya, dia
sudah nyelak. "Semua siangkong yang pelesiran di Tjin Hoay Hoo, tidak ada satu yang tidak undang


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nona-nona tukang nyanyi untuk menemaninya," katanya.
"Jikalau siangkong kenal salah satu tukang nyanyi, nanti aku panggil dia..."
"Jangan, jangan," Sin Tjie goyangi tangan.
"Disini ada berapa nona yang paling kesohor?" Tjeng Tjeng sebaliknya menanya.
"Ada, ada, siangkong !" sahut tukang perahu itu. "Seperti Pian Giok Keng, Lioe Djie Sie,
Tang Siauw Wan dan Lie Hiang Koen. Mereka ini pandai juga ilmu surat dan bersyair,
mereka adalah sioetjay-sioetjay wanita!"
"Nah, kau coba panggil Lioe Djie Sie dan Tang Siauw Wan berdua!" Tjeng Tjeng
menyuruh. Ia tidak perdulikan kawannya.
Tukang perahu itu celangap.
"Rupa-rupanya siangkong Baru untuk pertama kali ini datang ke Lamkhia?" bilangnya.
"Habis kenapa?"
"Nona-nona yang kenamaan itu, pergaulannya cuma dengan pemuda-pemuda bangsawan
atau sedikitnya sioetjay," sahut tukang perahu itu. "Umpama orang dagang biasa saja,
apabila dia hendak menemui nona-nona itu, kendati dia angkut semua hartanya, tidak
nanti si nona sudi melayaninya. Jangan kata mengundang datang, melihat romannya saja
tak dapat..."
"Cis, segala bunga raya saja demikian bertingkah!" kata Tjeng Tjeng. Dia dipanggil
siangkong karena tetap dia dandan sebagai pria.
"Disini ada nona-nona lainnya yang eilok, baik aku panggil dua saja diantaranya," kata
tukang perahu kemudian.
"Sekarang kami hendak pulang, lain hari saja," Sin Tjie bilang.
"Aku belum puas!" kata Tjeng Tjeng sambil tertawa. Ia memandang si tukang perahu dan
lalu kata : "Pergi kau panggil mereka."
Selagi Sin Tjie bungkam, tukang perahu itu, yang girang tak kepalang, sudah lantas buka
suara nyaring beberapa kali, untuk memanggil dua nona yang ia kenal.
Sebentar saja, sebuah perahu terhias datang menghampirkan, dari situ lantas muncul dua
nona, yang terus naik keperahunya Tjeng Tjeng. Mereka kasi hormat kepada kedua anak
muda. Sin Tjie berbangkit, untuk memberi hormat, mukanya merah padam bahna jengah.
Tjeng Tjeng lihat perubahan air muka kawan itu dalam hatinya ia tertawa geli.
Kedua nona tukang nyanyi itu tidak cantik tetapi mereka dibikin bersinar oleh yantjie dan
pupur. Segera yang satu meniup seruling dan yang lain bernyanyi.
Tjeng Tjeng kerutkan alis mendengar suara seruling dan nyanyian itu, tak sedap dia
mendengarnya. Sin Tjie pun kerutkan alis.
"Dasar kau!" katanya, menyesali kawannya. "Makin lama kau jadi makin angot!"
Tjeng Tjeng tertawa.
"Sudah, sudah!" katanya. "Apa belum cukup kau tegur aku" Nanti aku meniup seruling
untuk kau dengar..."
Ia ambil seruling dari tangannya si nona manis, ia celup saputangannya kedalam arak, lalu
saputangan itu dipakai menyusuti seruling itu, sampai sekian lama, Barulah ia masuki
kedalam mulutnya sendiri, untuk dicoba pelahan-lahan. Atau dilain saat, ia telah mulai
perdengarkan sebuah lagu.
Segeralah terdengar sebuah lagu yang lain sekali dari lagunya si bunga raya barusan!
Di Tjio-liang, diatas bukit bunga mawar, Sin Tjie pernah dengar lagu yang mnearik hati ini,
maka teringatlah ia dengan kejadian diatas bukit itu, sedang sekarang, suasana ada lain sungai ada indah, dihadapan mereka ada arak wangi, ada nona-nona manis...
Kedua nona manis itu duduk bengong apabila mereka dengar tiupan lagu itu.
Sin Tjie mendengari dengan asyik sekali, sampai ia tidak tahu sebuah perahu pelesiran
yang besar yang mendekati perahunya sendiri, tahu-tahu ada suara tertawa nyaring
disusul pujian : "Sungguh merdu! Sungguh merdu!"
Menyusul itu, tiga orang lelaki pun lantas naik keperahunya pemuda dan pemudi ini tanpa
mereka itu minta perkenan lagi.
Tjeng Tjeng tidak suka atas kelakuan orang itu, yang ia pandang sebagai gangguan. Ia
letaki serulingnya, ia lirik mereka itu dengan mata tajam.
Dari tiga tetamu yang tidak diundang itu, yang jalan ditengah ada seorang dengan kipas
ditangan, bajunya tersulam, umurnya kira-kira tiga-puluh tahun, alisnya kasar, matanya
kecil, mukanya pun kasar. Dibelakang dia ini ada dua kee-teng atau hamba, yang
membawa lentera atau tengloleng yang bertuliskan tiga huruf : "Tjong Tok Hoe" atau
artinya "Gedung Tjong Tok".
Sin Tjie berbangkit, ia menyambut sambil memberi hormat.
Kedua bunga raya itu memberi hormat sambil menjura.
Cuma Tjeng Tjeng yang duduk tetap, tidak bergeming.
Orang itu tertawa, ia bertindak masuk ke ruangan dalam perahu.
"Maaf, maaf!" katanya dengan gembira, lalu ia jatuhkan diri atas sebuah kursi, untuk mana
ia tidak nantikan undangan lagi.
"Maaf tuan, apa she dan namamu yang besar?" Sin Tjie tanya.
Pemuda ini sabar dan selalu berlaku manis-budi.
Orang yang ditanya belum menyahuti, atau salah satu bunga raya dului ia dengan berkata
: "Inilah Ma Kongtjoe dari Tjongtok-hoe dari Hong-yang."
Kongtjoe ini tidak jawab Sin Tjie, dia hanya mengawasi Tjeng Tjeng dengan kedua
matanya yang sipit.
"Kau dari rombongan wayang mana?" ia tanya nona kita, yang ia sangka ada satu
pemuda. "Merdu sekali tiupan serulingmu! Kenapa kau tidak hendak layani toa-ya-mu ini"
Ha-ha-ha!"
Sepasang alisnya Tjeng Tjeng bangun. Ia gusar orang anggap dia ada satu anak wayang.
Sebenarnya ia hendak tegur kongtjoe itu tetapi Sin Tjie kedipi dia.
"Inilah saudaraku, kami datang ke Lamkhia untuk cari sahabat," anak muda kita
menjawab. "Kamu cari sahabat, siapa itu?" tanya Ma Kongtjoe. "Ini hari kamu telah bertemu
denganku, mari kita bersahabat! Dengan bersahabat dengan aku, aku tanggung kamu
nanti tidak kekurangan makan dan pakai!"
Ia tertawa pula.
Sin Tjie jadi mendongkol, akan tetapi ia masih dapat mengatasi dirinya. Ia tidak perlihatkan
roman gusar. "Taydjin Ma Soe Eng itu pernah apa dengan tuan?" tanyanya.
"Ma Taydjin itu adalah pamanku!" sahut Ma Kongtjoe dengan roman sangat bangga.
Itu waktu dari perahu pelesirannya si kongtjoe ini muncul pula seorang lain, pakaiannya
perlente tetapi kepalanya kecil dengan mata kecil juga, sedang kumisnya caplang. Ia
lantas menjura kepada Ma Kongtjoe.
"Kongtjoe-ya," katanya sambil tertawa. "saudara ini pandai sekali meniup seruling."
Melihat dandanan orang, Sin Tjie merasa pasti orang ini gundalnya pemuda itu.
"Keng Teng, pergi kau bicara dengan mereka," kata Ma Kongtjoe.
Itulah titah yang cuma dimengerti orang yang dipanggil Keng Teng itu, yang sebenarnya
ada orang she Yo. Dia ini lantas hadapi Sin Tjie dan Tjeng Tjeng untuk terus berkata :
"Ma Kongtjoe ini adalah keponakannya Ma Taydjin, Tjongtok dari Hongyang, dan dia
sangat gemar ikat persahabatan. Ma Taydjin sangat sayang keponakannya ini, hingga dia
perlakukannya sebagai puteranya sendiri saja. Djiewie, baiklah kamu pindah, untuk tinggal
bersama-sama Ma Kongtjoe!"
Sin Tjie tdiak enak hati mendengar kata-kata itu, terutama ia kuatir Tjeng-Tjeng gusar,
akan tetapi diluar sangkaanya, ia lihat nona itu tertawa dengan ramah-tamah.
"Itulah bagus sekali," katanya Tjeng Tjeng. "Mari kita berangkat sekarang!"
Ma Kongtjoe girang seperti ia mendapati mustika yang terjatuh dari langit, dia sambar
tangannya Tjeng Tjeng untuk ditarik. Tapi Tjeng Tjeng mendahului tarik tangannya sendiri,
untuk dipakai membetot satu bunga raya, tubuh siapa ditolak kepada Kongtjoe itu, hingga
mereka itu jadi saling tabrak!
Sin Tjie heran, ia diam saja.
Tjeng Tjeng segera berbangkit.
"Aku lagi memberi hadiah kepada dua nona ini dan tukang perahu," katanya. "seorangnya
lima tail perak..."
"Jangan, nanti akulah yang menghadiahkannya!" berkata Ma Kongtjoe itu. "Besok kamu
pergi kepada tukang uangku untuk terima hadiahmu ini!" Ia tambahkan kepada bunga raya
itu dan tukang perahu.
"Apakah bukan lebih baik hadiahkan sekarang saja?" tanya Tjeng Tjeng dengan tertawa
manis. "Ya, ya , sekarang pun boleh!" kata Ma Kongtjoe hampir berseru, lantas ia ulapi tangannya
kepada salah satu orangnya, maka satu kee-teng lantas keluarkan uang lima-belas tail,
yang dia letaki diatas meja.
Tukang perahu dan kedua nona bunga raya itu menghaturkan terima kasih, kemudian si
tukang perahu kembali pada penggayunya.
Ma Kongtjoe terus menatap Tjeng Tjeng, sampai sebentar kemudian perahu sudah sampai
di tepi. "Nanti aku cari joli," Keng Teng bilang.
"Eh, tunggu dulu," tiba-tiba Tjeng Tjeng kata, romannya agak terperanjat. "Aku kelupaan
serupa barang di tempatku, perlu aku pulang dulu untuk mengambilnya."
"Nanti aku titahkan orangku yang pergi ambil," Ma Kongtjoe bilang. "Tak usah kau yang
pulang sendiri. Saudara yang baik, dimana kau tinggal?"
"Aku mondok di kuil Hoat Hoa Sie diluar pintu kota Kim-Coan-moei," sahut Tjeng Tjeng.
"Tapi barangku itu tak dapat lain orang yang mengambilnya."
Yo Keng Teng sudah lantas bisiki Ma Kongtjoe.
"Awasi dia, jangan kasi dia molos!"
"Benar, benar!" kata Kongtjoe itu dengan mata membelalak. Terus ia pandang "pemuda"
itu dan kata: "Kalau begitu, saudara yang baik, aku nanti temani kau pergi bersama!"
Ma Kongtjoe ulur tangannya, untuk sengklek bahu orang.
Tjeng Tjeng tertawa geli, tapi ia menyingkir kesamping.
"Tidak, aku tidak ingin kau turut!" ia menolak.
Semangatnya Ma Kongtjoe seperti meninggalkan pergi raganya melihat kelakuan yang
menggiurkan itu.
"Kau lihat, Keng Teng," katanya , "apabila saudara yang baik ini dandan sebagai satu
nona, pastilah didalam kota Kimleng ini tidak ada satu gadis jua yang nempil
dengannya!..."
"Engko, mari kita pergi," Tjeng Tjeng mengajak kawannya. Dan ia sambar tangannya Sin
Tjie, untuk dituntun pergi.
Ma Kongtjoe melirik kepada Keng Teng, ia lantas mengikutnya, maka gundalnya itu,
bersama dua pengiringnya, turut mengikuti ia, hingga berempat mereka berjalan
dibelakang dua pemuda itu. Si Kongtjoe sendiri kemudian cepati langkahnya, untuk susul
Tjeng Tjeng, supaya berdua mereka berada berdampingan, untuk bicara sambil ter-tawatawa.
Tjeng Tjeng melayaninya seperti acuh tak acuh.
Sudah lebih dari sepuluh hari Tjeng Tjeng dan Sin Tjie putar-kayun dikota Kimleng, luar
dan dalam, maka itu, mereka ingat baik letaknya tempat. Sekarang Tjeng Tjeng, yang jalan
didepan, menuju ke tempat yang makin lama makin sepi, Sin Tjie segera bisa duga pikiran
si nona. "Ma Kongtjoe ini benar ceriwis tetapi kesalahannya tak demikian besar hingga ia harus
menemukan kematiannya," pikir anak muda she Wan ini. "Soehoe sering bilang padaku,
siapa yakinkan ilmu silat, tak dapat ia membinasakan orang yang tak selayaknya binasa.
Inilah pantangan untuk kita. Bagaimana aku dapat cegah si Tjeng Tjeng?"
Dengan tiba-tiba, pemuda ini hentikan tindakannya.
"Saudara Tjeng, mari kita pulang!" ajak ia.
Tjeng Tjeng menyambutnya sambil tertawa manis.
"Pergi kau pulang sendiri," sahutnya.
Ma Kongtjoe girang bukan buatan.
"Benar, benar!" katanya nimbrung. "Pergi kau pulang sendiri!"
Kongtjoe ini demikian tertarik hatinya, ia tak dapat artikan ajakan "pulang" dari si anak
muda. Bukankah mereka sedang menuju kepondokannya si anak muda (Tjeng Tjeng)"
Kenapa sekarang anak muda lainnya mengajak pulang lagi"
Sin Tjie menggeleng kepala, ia pun menghela napas.
"Dia lagi menghadapi saat mampusnya, dia masih belum menyadarinya..." pikirnya.
Selama itu mereka telah sampai ditempat dimana terdapat hanya kuburan. Ma Kongtjoe
mulai berat tindakannya karena mereka sudah jalan jauh. Tidak biasanya keponakan
tjongtok itu jalan kaki demikian lama. Napasnya pun mulai sengal-sengal.
"Apa sudah dekat?" tanyanya.
"Sudah sampai!" sahut Tjeng Tjeng dengan suara nyaring, yang disusul sama tertawanya
yang panjang. Ma Kongtjoe tercengang, dia melengak.
"Sudah sampai" Ini toh kuburan?" pikirnya.
Yo Keng Teng si gundal menjadi curiga, hatinya jadi tidak tenteram. Akan tetapi mereka
berempat, dan dua pengiringnya itu - ia tahu - ada bertenaga, karenanya, dapat ia hiburkan
diri juga. "Apa yang mereka berdua, anak-anak sekolah, dapat perbuat?" pikirnya pula.
"Saudara, sudahlah!" katanya kemudian. "Sudah, tak usah kamu pulang lagi. Mari kita
beramai pergi ke gedung kongtjoe kami, disana bisa kita duduk minum..."
Tjeng Tjeng tertawa dingin.
"Pergilah kamu pulang sendiri!" Sin Tjie bilang maksudnya baik. "Baik kau jangan turut
kami!" Pemuda ini membuka jalan hidup.
Tapi Ma Kongtjoe berempat adalah bangsa gentong kosong, otak mereka tak dapat
tangkap nasihat yang diberikan secara samar-samar itu. Malah si kongtjoe bawa aksinya.
"Saudara, aku sudah letih sekali," katanya, dengan tingkah dibikin-bikin. "Tolong, kau
pegangi aku..."
Kongtjoe ini berada didamping Tjeng Tjeng, ia bisa ulur tangannya kepundak nona kita,
untuk menggelendotkan dirinya.
Se-konyong-konyong saja, satu cahaya putih berkelebat.
Sin Tjie mengeluh dalam hatinya, ingin ia mencegah, akan tetapi kepalanya Ma Kongtjoe
sudah mendahului jatuh ketanah dan menggelinding, darah muncrat, membasahkan
tubuhnya, yang lantas turut rubuh juga.
Keng Teng kaget hingga ia berdiri menjublak, demikian juga kedua pengikutnya.
Tjeng Tjeng lompat kepada gundal itu dan dua kawannya, satu kali dengan satu kali, ia
babat batang leher mereka, sebelum mereka sempat sadar dari tercengangnya, hingga roh
mereka pergi susul rohnya kongtjoe mereka.
Sin Tjie tidak mencegah lagi, karena ia pikir, si kongtjoe sudah binasa, perlu mereka
singkirkan saksi-saksi, untuk mencegah ancaman bencana dibelakang hari. Menghapus
rumput mesti dicabut berikut akar-akarnya.
Tjeng Tjeng susuti pedangnya dibajunya Ma Kongtjoe, ia bersenyum saking puas hatinya.
"Orang-orang sebangsa mereka ini cukup diberi hajaran, perbuatan kau ini rada bengis,"
kata Sin Tjie. Tapi si nona mendelik.
"Tak dapat aku terima keceriwisannya!" jawabnya. "Siapa tahu, kejahatan apa mereka
sudah perbuat dan apa lagi yang akan terjadi dibelakang hari?"
Sin Tjie anggap si nona benar juga. Memang Ma Kongtjoe tentu siap sedia mencelakai
orang apabila napsu-hatinya tak tercapai. Akan tetapi, ia toh kata : "Memang sesuatu telur
busuk mesti dibunuh mati, tetapi aku ingin kau mengatasi diri sendiri. Bagaimana apabila
keliru terbunuh satu orang baik-baik" Apakah itu tidak hebat" Bisa-bisa pergaulan kita
putus..." Tjeng Tjeng tertawa.
"Itulah tak nanti aku lakukan," katanya. "Mari bantui aku."
Dengan cara mendupak, Tjeng Tjeng singkirkan mayat Ma Kongtjoe kedalam gombolan,
perbuatan diturut oleh Sin Tjie, hingga keempat mayat tak kelihatan lagi.
"Mari kita pulang," si nona mengajak.
Tiba-tiba Sin Tjie tarik ujung baju kawannya.
"Sembunyi!" katanya.
Mereka lantas lompat, untuk sembunyi dibelakang sebuah kuburan.
Suara tindakan dari banyak kaki terdengar, datangnya dari arah timur dan barat. Cuaca
yang gelap pun lantas menjadi terang, karena orang-orang yang datang - jumlahnya
belasan - membawa tengloleng.
Selagi rombonga itu mendatangi dekat satu pada lain, yang di timur perdengarkan tepukan
tangan tiga kali, lantas datang sambutan dua kali dari rombongan barat, disusul dengan
dua kali lagi. Setelah ini, mereka bergabung menjadi satu, tanpa sepatah kata juga, mereka
lantas duduk didepan sebuah kuburan.
Jarak diantara mereka ini dengan Sin Tjie berdua kira-kira sepuluh tumbak, tak dapat
Tjeng Tjeng dengar suara bicara, karena ia ingin mengetahuinya, ia bertindak, untuk
mendekatinya. "Tunggu dulu..." Sin Tjie mencegah seraya ia tarik ujung baju si nona.
"Tunggu apa lagi?" nona itu tanya.
Sin Tjie ulapkan tangannya, untuk cegah kawan itu bicara.
Tjeng Tjeng menanti, dengan tidak sabaran. Disaat seperti itu, detik-detik waktu dirasakan
lambat jalannya.
Tapi segera datang sambaran angin, yang cukup besar, hingga daun-daun pohon dan
rumput perdengarkan suara berisik.
Berbareng dengan suara berisik itu, Sin Tjie sambar lengan si nona, untuk diajak
berlompat, hingga dilain saat, mereka sudah berada dibelakang kuburan tanpa ada
seorang juga dari antara rombongan itu yang dapat lihat mereka berdua. Disini mereka
lantas mendekam, untuk pasang kuping sambil pasang mata.
Tjeng Tjeng sementara itu kagumi kawannya itu, terutama kegesitannya dan tenaganya. Ia
pun merasai sopannya ini anak muda, sebab tangannya segera dilepaskan dari
cekalannya dia itu.
"Dia benar ada satu koentjoe, cuma dia rada kering..." pikir nona ini, yang sendirinya
sangat bergembira.
Segera mereka dengar satu suara sedikit serak : "Saudara-saudara perlukan datang dari
tempat yang jauh, untuk membantu kepadaku, aku sangat berterima kasih."


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Satu suara lain jawab pengutaraan bersyukur itu : "Guruku sedang sakit, sudah kira-kira
sebulan ia tak dapat bangkit dari pembaringan, dari itu dia telah minta Twie-hong-kiam
Ban Hong Ban Soesiok pimpin kami dua-belas muridnya datang kemari untuk disuruhKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
suruh oleh Bin Loosoe."
"Gurumu itu, Liong Ya-tjoe, sudi bantu aku, aku sangat berterima kasih kepadanya." Kata
pula si suara rada serak.
"Pedang Twie-hong-kiam Ban Soeheng telah menggetarkan wilayah selatan, sekarang
soeheng telah datang sendiri ke Kimleng ini, mustahil kita nanti tak berhasil" Begitu lekas
aku melihatmu, Ban Soeheng, hatiku lantas saja lega tak terkira."
"Itulah pujian belaka!" terdengar suara orang yang ketiga. "Kami dari Tiam Tjhong Pay
justru kuatirkan kami nanti tak dapat berbuat suatu apa untuk membantu Bin loosoe..."
Suara orang ini kecil tetapi terang.
Hatinya Sin Tjie tergetar juga. Ia ingat, di waktu-waktu senggang gurunya suka rundingkan
ilmu pedang dari pelbagai partai, atau kaum persilatan lainnya, diantaranya empat partai
terbesar ialah Boe Tong Pay, Koen Loen Pay, Hoa San Pay dan Tiam Tjhong Pay, bahwa
setiap partai punyakan ilmu-ilmu silatnya yang istimewa. Sekarang ini yang datang, si
orang she Ban, ada dari Tiam Tjhong Pay. Jauh dari tempat ribuan lie, orang datang ke
Kimleng ini, apakah maksud mereka itu"
Setelah kedua saling bicara secara sungkan itu, kembali terdengar tepukan tangan dari
kejauhan, suara mana disambut oleh rombongan dimuka kuburan ini. Atas sambutan itu,
lalu muncul lagi tiga rombongan lain, yang datangnya saling susul. Mendengar dari
pembicaraan mereka, Sin Tjie ketahui dia ini ada dari kalangan mana.
Rombongan yang pertama adalah rombongan Siauw Lim Sie dari Pouw-thian, Hokkian,
yang dipimpin oleh Sip Lek Taysoe, kam-ih atau kepala dari ruang Tat Mo In dari kuil partai
Siauw Lim Pay. Rombongan yang kedua adalah kawanan bajak dari sepanjang pesisir Tjiatkang dari
Hokkian, yang dipimpin sendiri oleh Pek-hay Tiat-keng The Kie In si ikan lodan, yang jadi
Tjong-bengtjoe atau ketua dari bajak-bajak dari tujuh puluh dua pulau di sepanjang
propinsi-propinsi tersebut.
Dan rombongan yang ketiga adalah partai Tiang Pek Pay dari gunung Tiang Pek San di
Liauw-tong dengan dipimpin sendiri oleh ketiga ketuanya, yang dikenal dengan julukannya
jaitu Tiang Pek Sam Eng atau tiga jago Tiang Pek ialah Soe Peng Kong, Soe Peng Boen
dan Lie Kong. Sin Tjie jadi makin heran. Mereka itu, semuanya ada orang-orang kang-ouw kenamaan.
Apa perlunya mereka berkumpul di Lamkhia" Mereka hendak bantu si orang she Bin
dalam urusan apa" Orang she Bin ini hampir tak hentinya menghaturkan terima kasihnya
kepada mereka itu. Teranglah sudah, mereka itu sengaja diundang datang.
Tjeng Tjeng pun heran, ingin ia tanya Sin Tjie, tapi untuk ber-hati-hati, ia coba atasi diri
sendiri. Ia insyaf, dimuka orang-orang liehay itu, sedikit saja ia berkelisik, mereka bakal
dapat tahu, atau sedikitnya mereka bakal bercuriga.
Segera terdengar pula suaranya si orang she Bin : "Aku Bin Tjoe Hoa...."
"Inilah nama yang aku pernah dengar," berpikir Sin Tjie. "Tidak salah, aku dengarnya dari
soehoe. Dia ini orang macam apa" Ah, kenapa aku bolehnya lupa?"
Si orang she Bin lanjuti omongannya : "Saudara-saudara, aku sangat bersyukur yang
saudara-saudara telah datang untuk membantu aku, karena itu, harap saudara-saudara
suka terima hormatku..."
Sin Tjie percaya orang she Bin itu berlutut untuk hunjuk terima kasihnya itu, karena ia
dengar suara-suara yang merendah dan yang mempersilakan orang berbangkit.
"Jangan berbuat begini, Bin Djieko, tak sanggup siauwtee menerimanya," demikian
terdengar juga.
Kemudian terdengar pula suaranya Bin Tjoe Hoa itu : "Selama beberapa hari ini, Thio Sim
It soeheng dari Koen Loen Pay, beberapa tootiang dari Ngo Bie Pay, dan beberapa
soeheng dari Hoa San Pay juga pasti bakal datang semuanya..."
"Oh, dari Hoa San Pay juga bakal ada yang datang?" tanya satu suara. "Inilah bagus
sekali! Murid siapakah dia itu?"
Sin Tjie heran, tapi ia kata dalam hatinya: "Bagus pertanyaan ini! Aku memang ingin
menanyakannya..."
Segera terdengar jawabannya Bin Tjoe Hoa : "Mereka adalah beberapa soeheng muridmuridnya
Tjio Poan San Long...."
"Kalu begitu, mereka adalah muridnya djie-soeheng," pikir Sin Tjie.
"Apakah Bin Djieko bersahabat kekal dengan Kwie Sin Sie suami isteri?" ada suara yang
menanya pula. "Inilah bagus! Dengan adanya mereka itu, tak usah kita kuatirkan lagi
kepada kan-tjat she Tjiauw itu!"
"Mana dapat aku sendiri yang bersahabat dengan suami-isteri she Kwie itu?" ada
jawabannya Bin Tjoe Hoa. "Adalah murid kepalanya, Bwee Kiam Hoo, yang bersahabat
karib denganku."
"Bwee Kiam Hoo?" tanya satu suara lain. "Dia toh Boe Eng Tjoe si Bajangan Tak Ada yang
dengan sebatang pedangnya telah taklukkan tujuh jago di jalanan propinsi Shoatang,
bukankah?"
"Tidak salah, benarkah dia?" Bin Tjoe Hoa berikan kepastian.
Sin Tjie masih heran akan tetapi sekarang hatinya lega.
"Disini turut orang dari pihakku, rupanya mereka ini berada di pihak benar," pikir ia. "Baik
aku jangan muncul diantara mereka, apabila ada ketikanya , aku nanti bantu mereka
secara diam-diam saja."
Lalu kembali terdengar suaranya Bin Tjoe Hoa : "ketika dulu hari kandaku terbinasa
teraniaya secara hebat itu, untuk lebih daripada sepuluh tahun aku telah berkelana
kesegala tempat untuk cari musuhku itu, tak juga aku berhasil mengetahui, siapa
sebenarnya dia. Adalah baru-baru ini, aku memperoleh penghunjukkan dari
persaudaraaan Soe dan Tiang Pek San kandaku telah terbinasa ditangannya kantjat she
Tjiauw itu! Aku sumpah, apabila tidak dapat aku balaskan sakit hati kandaku itu, tak sudi
aku jadi manusia!"
Menjusul itu terdengarlah suatu suara keras. Rupanya dengan semacam senjata, Bin Tjoe
Hoa perkuatkan sumpahnya dengan membacok atau memukul batu bongpay dari kuburan.
Lantas terdengar suara seorang lain : "Tiat-pwee Kim Go Tjiauw Kong Lee si Buaya Emas
Berbokong Besi adalah seorang kang-ouw yang juga berkenamaan, aku tidak sangka dia
bisa berbuat demikian macam. Entah dari mana kedua saudara Soe itu ketahui rahasia
pembunuhan itu?"
Mendengar lagu-suaranya, orang ini menyatakan kesangsian.
Bin Tjoe Hoa tidak tunggu Soe Peng Kong dan Soe Peng Boen menjawab sendiri, ia
mendahuluinya : "Kedua saudara Soe telah tuturkan jelas kepadaku duduknya
penganiayaan terhadap kandaku itu di Shoa-tang, untuk itu ada buktinya, maka haraplah
Taysoe tidak usah sangsi lagi."
Orang yang menyatakan ke-ragu-raguan nya itu tidak menanya lebih jauh, lalu terdengar
suaranya seorang lain lagi : "Tjiauw Kong Lee itu telah berdiam untuk puluhan tahun
dikota Kimleng ini, pengaruhnya telah mendalam dan kuat, sekarang kita hendak gempur
dia, harus kita ber-hati-hati...."
"Memang kita harus ber-hati-hati," jawab Bin Tjoe Hoa. "Aku tahu, dengan seorang diri
saja, tak dapat aku gempur dia, maka itu aku telah besarkan hati mengundang saudarasaudara
sekalian. Besok pada jam yoe-sie tepat aku undang saudara-saudara untuk
menghadiri satu perjamuan sederhana dirumahku di gang Tjhia-lam diluar kota Selatan,
aku harap sangat kedatangan saudara-saudara."
Suara jawaban ramai menerima undangan itu; ada yang mengucap terima kasih, ada yang
minta orang she Bin itu tak sungkan-sungkan.
Kemudian Bin Tjoe Hoa berkata pula : "Kali ini jumlah sahabat-sahabatku ada banyak, tak
usah disangsikan lagi yang pihak musuh tak mengetahuinya, maka kalau besok saudarasaudara
datang, baik kita menggunai tanda, ialah sesuatu saudara angkat tangan terhadap
orang-orang ku yang menyambut dimuka pintu, dengan tunjuki tiga jari tangan kanan ialah
jeriji-jeriji tengah, manis dan kelingking, yang dikasi turun sambil dengan pelahan pun
mengucapkan "kang-ouw gie khie, poat too siang tjie." Dengan cara ini dapat kita cegah
seumpama musuh kirim mata-matanya."
"Itu benar!" menyatakan beberapa suara setuju. "Kita semua datang dari empat penjuru,
banyak diantara kita yang belum kenal betul satu dengan lain, maka untuk selanjutnya,
baik tetap kita gunai pertandaan ini."
Usul ini pun telah dapat persetujuan.
Kemudian, setelah ditetapkan juga, siapa mesti dikirim kerumah keluarga Tjiauw, untuk
membuat penyelidikan, me-nyerep-nyerepi kabar, pertemuan rahasia itu ditutup, lalu
mereka bubaran.
Setelah orang sudah pergi jauh, Barulah Sin Tjie berdua berani bergerak, untuk duduk
beristirahat. Tjeng Tjeng merasa kakinya pada kaku.
"Toako, besok kita pergi menonton keramaian, bukan?" si nona tanya.
"Pergi menonton sih boleh, akan tetapi kau mesti dengar perkataanku," jawab Sin Tjie.
"Tak dapat kau timbulkan gara-gara."
"Memangnya siapa yang hendak membikin ribut?" Tjeng Tjeng menjawab.
Habis itu, mereka berlalu, untuk pulang.
Besoknya tengah-hari, seluruh kota Kimleng menjadi gempar karena perkara pembunuhan
gelap atas dirinya Ma Kongtjoe serta gundal dan pengiring-pengiringnya. Sin Tjie berdua
dengar kabar itu, berdua Tjeng Tjeng, ia keram diri dalam kamar. Akan tetapi kapan sang
magrib datang, setelah salin pakaian, mereka pergi keluar, ke gang Tjhia-lam dimana,
dengan tindakan lambat, mereka perhatikan sebuah rumah besar yang muka pintunya
diterangi tengloleng, banyak tetamu yang datang saling susul.
Dengan berani, tapi dengan sikap biasa, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng bertindak kepintu,
kepada penjaga pintu, mereka tunjuki tiga jari mereka seraya menyebut "Kang-ouw gie
khie, poat too siang tjie", dengan begitu, satu penyambut beri hormat pada mereka dan
seorang lainnya lagi antar mereka kedalam dimana mereka disuguhkan teh, lantas she dan
nama mereka ditanyai. Dengan enak saja mereka ngaku she Thia dan Boen.
"Sudah lama kau dengar nama besar dari djiewie," kata penyambut itu dengan pujiannya,
walaupun ia sebenarnya tak kenal kedua tetamu ini.
Tjeng Tjeng geli didalam hatinya, ia berpikir : "Aku sendiri Baru pertama kali denga she-ku
ini, kau sebaliknya telah dengar sejak lama..."
Sementara itu, tetamu yang datang semakin banyak, maka untuk menyambut mereka,
penyambut ini mohon diri, untuk layani mereka. Didalam hatinya ia anggap, mereka ini
berdua entah muridnya siapa.
Sin Tjie berdua tidak usah menunggu lama, lantas orang semua diundang duduk
berkumpul, karena rapat hendak dimulai. Mereka duduk di pinggiran dengan ditemani oleh
murid kelima dari Bin Tjoe Hoa. Yang lainnya juga ada anak-anak muda. Hati mereka lega
karena orang tidak perhatikan mereka.
Pertemuan dibuka dengan keringkan arak tiga idaran, Bin Tjoe Hoa hampirkan sesuatu
tetamunya, untuk memberi selamat datang kepada mereka dengan secawan arak. Kapan
tuan rumah ini hampirkan meja mereka, Sin Tjie dapat lihat tegas tuan rumah ini, seorang
umur empat puluh delapan atau sembilan tahun, lengannya berurat kasar, romannya
cerdik, tindakannya gagah, tanda ilmu silatnya tinggi, akan tetapi kedua matanya bengul
dan merah, suatu tanda ia sedang bersedih untuk kandanya, rupanya selama beberapa
hari ini, ia menangis saja.
"Dia sangat mencintai saudaranya, dia harus dihormati," pikir Sin Tjie. "Dia bikin
undangan kepada begini banyak sahabatnya, mestinya si orang she Tjiauw itu, musuhnya,
berpengaruh besar sekali."
Bin Tjoe Hoa menjura tiga kali kepada semua tetamunya, ia ber-ulang-ulang menghaturkan
terima kasih, ia undang pula sekalian tetamu keringkan cawan mereka.
Rombongannya Sin Tjie membalas hormat, terutama karena mereka dari golongan muda.
Mendadak salah seorang muridnya Bin Tjoe Hoa muncul dengan kesusu, ia hampirkan
gurunya, untuk berbisik, setelah mana, kelihatan tuan rumah itu jadi sangat girang, lekaslekas
ia letaki cangkirnya diatas meja, lantas ia lari kearah pintu, kapan sebentar kemudian
ia kembali, ia berserta tiga orang yang ia perlakukan hormat sekali. Ia juga undang ketiga
tetamu itu duduk dikepala meja.
"Pasti mereka ini adalah orang-orang kenamaan," pikir Sin Tjie, yang awasi mereka.
Orang pertama, yang dandan sebagai satu pelajar, menggendol sebatang pedang panjang
dibelakangnya, kedua matanya bersinar dan sikap-dedeknya angkuh. Orang kedua
berumur tiga-puluh lebih. Dan yang ketiga, umur dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun,
adalah sorang perempuan yang eilok parasnya, tapi sikapnya adem.
"Bwee toako datang tepat sekali, aku sangat bersukur." Terdengar suaranya Bin Tjoe Hoa.
Pelajar itu tertawa.
"Urusan Bin Djieko mana dapat kami tak campur tahu?" kata dia.
"Kalau begitu, dia pasti ada Bwee Kiam Hoo, muridnya Djie-soeheng kwie Sin Sie," pikir
Sin Tjie. "Kenapa dia begini jumawa?"
Bwee Kiam Hoo berkata pula :
"Dalam urusan sebagai ini, guruku tentu tak berkeinginan untuk mencampur tahu, tetapi
aku sendiri adalah lain, maka itu, aku telah undang dua orang lain untuk bantu kau, Bin
Djieko. Ini adalah sam-soeteeku Lauw Pwee Seng dan ini ngo-soemoay Soen Tiong Koen."
"Sungguh aku beruntung," mengucap Bin Tjoe Hoa. "Memang sudah sejak lama aku
dengar namanya Sin-koen Thaypo dan Soen Liehiap!"
Orang she Bin ini tidak berani sebut gelarannya Soen Tiong Koen, maka ia memanggil
"liehiap" (wanita gagah). Kaum kang-ouw djuluki si nona "Hoei Thian Mo-lie" atau "Hantu
perempuan yang terbang kelangit", atau ringkasnya, Hantu Perempuan. Sebab Soen Tiong
Koen terlalu disayang gurunya, dan karena mengandali boegeenya yang liehay, ia jadi
galak dan telengas juga, hingga umumnya orang jadi jeri terhadapnya.
Kemudian Bin Tjoe Hoa perkenalkan Sip Lek Taysoe, Tiang Pek Sam Eng, Pek-hay Tiang
Keng dan Twie-hong kiam Ban Hong, juga yang lain-lain, kepada tiga tetamu yang
terbelakang ini.
Perjamuan dilanjuti pula, sampai satu muridnya Bin Tjoe Hoa hampirkan gurunya untuk
serahkan dua lembar ang-tiap lebar, membaca surat mana, mulanya orang she Bin itu
berubah wajahnya, lalu kemudian ia tertawa kering.
"Tjiauw Loodjie benar-benar liehay!" berkata dia dengan nyaring. "Pihak kami belum
sempat cari dia, dia sudah mendahului datang kepada kami. Bwee toako, Baru kamu
sampai, dia sudah lantas dapat tahu?"
Ia serahkan angtiap itu kepada orang she Bwee ini.
Surat yang satu bertuliskan kata-kata: "Hormatnya adik yang muda, Tjiauw Kong Lee,"
sedang yang kedua memuat nama-namanya Bin Tjoe Hoa, Sip Lek Taysoe, Tiang Pek Sam
Eng dan yang lain-lain, tak terkecuali nama Bwee Kiam Hoo bertiga. Mereka semua
diundang untuk besok sore berkunjung kerumahnya orang she Tjiauw itu, untuk hadirkan
perjamuan. "Sebagai tee-tauw-Coa, Tjiauw Loo-djie benar-benar liehay," kata orang she Bwee ini. "kita
orang tak dapat menjadi kiang-liong akan tetapi boleh juga kita mencoba-coba
melawannya!"
"Tee-tauw-Coa" berarti "ular setempat", yang dimaksudkan sebagai tuan rumah, dan
"kiang-liong" adalah "naga yang tangguh", yang sebagai tetamu endonan. Tegasnya,
walaupun kosen, tak dapat layani ular setempat....
Kemudian Bin Tjoe Hoa kata pada muridnya : Pergi kau undang masuk pada pembawa
surat undangan ini!"
Murid yang diperintah itu lantas pergi keluar.
Semua orang menunda cawan arak mereka, semua mata diarahkan kepintu, darimana si
murid tadi kembali dengan diikuti seorang laki-laki, berumur kurang lebih tiga puluh tahun,
bajunya baju panjang, tindakannya sabar, romannya tenang, sesampai didepan Bin Tjoe
Hoa, ia itu memberi hormat sambil menjura, terus ia berkata : "Guruku dengar kabar para
tjianpwee telah datang ke Kimleng ini, ia undang para tjianpwee untuk besuk datang, beromongomong dengannya, maka teetjoe ini dikirim untuk mengundangnya."
Bwee Kiam Hoo tertawa dingin.
"Tjiauw Loo-djie mengadakan pesta Hong-boen!" katanya. Lalu ia menoleh pada pembawa
surat undangan itu dan kata : "Eh, apa namamu?"
Meski juga ia diperlakukan tak dengan hormat, utusan itu tetap berlaku sopan santun.
"Teetjoe bernama Lo Lip Djie," sahutnya.
Bwee Kiam Hoo membentak dengan pertanyaannya pula: "Tjiauw Loodjie undang kita, dia
mengatur tipu daya keji macam apa" Apakah kau ketahui itu?"
Tetap dengan hormat, Lip Djie menyahuti : "Guruku dengar para Tjianpwee telah datang
dikota Lamkhia, ia sangat kagum dan menghargainya, ingin dia bertemu dengan tjianpwee
semua, dari itu ia tidak kandung maksud lainnya."
"Hm, bagus benar kata-katamu!" kata pula Kiam Hoo. "Aku tanya kau: Ketika dulu Tjiauw
Kong Lee aniaya kandanya saudara Bin Tjoe Hoa ini, kau turut saksikan sendiri kejadian
itu atau tidak?"
"Itulah urusan sangat panjang, maka guruku undang para tjianpwee," sahut Lip Djie.
"Adalah maksud guruku, kesatu untuk memberi penjelasan kepada para tjianpwee, dan
kedua, ingin dia menghaturkan maaf kepada Bin Djie-ya."
"Bagus betul!" berseru Kiam Hoo. "Orang telah dibunuh mati, apa itu dapat dihabiskan
dengan penghaturan maaf saja?"
"Pada waktu itu, guruku telah didesak sampai ia habis daya, karenanya ia kesalahan turun
tangan," kata pula Lip Djie. "Sejak itu hari, sampai sekarang ini guruku masih tetap
menyesal...."
"Kalau begitu, pada waktu kejadian kau menghadapinya sendiri!" berteriak Hoei Thian Molie
Soen Tiong Koen.
"Aku tidak saksikan itu sendiri," jawab Lip Djie, "akan tetapi guruku ada seorang baik,
tidak nanti dia membunuh secara sembarangan..."
"Celaka, kau masih membantah!" berseru pula si Hantu Wanita, yang tubuhnya
mendadakan mencelat dari kursinya, kearah pembawa surat itu, selagi dia berlompat,
pedangnya berkelebat, lalu dengan tangan kirinya, dia tekan dadanya utusan ini.
Lo Lip Djie terkejut, dengan tangan kanan, ia tolak tangan kiri si nona. Ia gunai tipu
gerakan "Tiat boen soe" atau "Palang pintu besi."
"Celaka, tangan kanannya itu bakal kutung!" kata Sin Tjie kepada Tjeng Tjeng. Ia terkejut
melihat sikapnya Soen Tiong Koen dan daya pembelaan si utusan.
"Apa kau bilang?" tanya Tjeng Tjeng.
Belum sempat Sin Tjie menyahuti si nona, atau Lo Lip Djie sudah perdengarkan seruan


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hebat, bahu kanannya telah terbacok sapat.
Semua hadirin jadi kaget, semua berbangkit.
Lo Lip Djie berdiri dengan muka pucat, akan tetapi ia tidak rubuh, dengan tangan kiri ia
beset ujung bajunya, untuk dipakai membalut lukanya, kemudian ia membungkuk, akan
jumput lengannya yang kutung itu, buat dibawa pergi dengan tindakannya yang lebar.
Para hadirin tercengang melihat orang sedemikian tangguh, hingga mereka berdiam
seraya saling mengawasi saja.
Soen Tiong Koen susuti darah pada pedangnya, dengan tenang ia kembali ke kursinya,
untuk duduk dengan anteng, akan minum araknya seperti biasa saja.
"Orang ini bandel dan bertingkah, gurunya tentu galak dan jahat melebihkan dia," berkata
Kiam Hoo. "Bagaimana besok, kita hadirkan pesta perjamuannya atau tidak?"
"Pasti kita mesti pergi!" kata Ban Hong. "Jikalau kita tidak pergi, tentu dia akan pandang
sebelah mata pada kita!"
"Baiklah malam ini kita kirim orang untuk membuat penyelidikan," usulkan Pek-hay Tiang
Keng The Kie In si Ikan Lodan. "Kita cari tahu secara rahasia, dia sebenarnya undang
siapa-siapa untuk bantui pihak dan besok dia telah atur tipu-daya atau tidak..."
"The totjoe benar!" Bin Tjoe Hoa puji tetamunya itu., ketua umum kawanan bajak. "Turut
dugaaanku, tentunya Tjiauw Kong Lee telah mengatur persiapan kuat. Maka dari pihak
kita, saudara-saudara siapa yang sudi bercape-lelah akan intai musuh kita itu?"
"Siauwtee suka pergi!" mengatakan Twie-hong-kiam Ban Hong si Pedang Angin.
Bin Tjoe Hoa berbangkit, ia isikan satu cawan arak, yang ia bawa kepada tetamunya itu.
"Silakan minum, toako!" ia memberi selamat.
Ban Hong menyambuti dan meminumnya kering sekali cegluk.
Sampai disitu, pembicaraan telah selesai, maka setelah perjamuan dilanjuti lagi sekian
lama, orang semua bubaran.
Sin Tjie kasi tanda gerakan tangan kepada Tjeng Tjeng, terus ia ikuti Ban Hong dengan si
nona mengiringi ia. Perbuatan mereka tak diketahui oleh orang Tiam Tjhong Pay itu.
Itu waktu sudah kira-kira jam dua. Ban Hong pulang kehotelnya untuk salin pakaian, lantas
ia keluar pula, menuju ketimur. Sin Tjie berdua terus menguntit hingga mereka dapati
orang she Ban itu menikung dan menembusi tujuh atau delapan pengkolan jalan besar,
kemudian, setelah mengitari sebuah rumah besar, dia lompat naik untuk memasuki
pekarangan. Sin Tjie saksikan gerakan pesat orang itu.
"Tidak kecewa dia dijuluki Twie-hong-kiam," pikirnya.
Mereka juga berlompat, untuk menguntit terus.
Dari sebuah kamar tampak sinar terang. Kamar itu dilewati oleh Ban Hong. Tapi Sin Tjie
ingin tahu, berdua Tjeng Tjeng, ia hampirkan jendela, dari sela-sela, ia mengintip kedalam.
Didalam kamar itu kedapatan tiga orang yang sedang duduk, yang duduk madap keluar
ada seorang usia lima-puluh lebih, sepasang alisnya mengkerut, wajahnya berduka.
"Lip Djie bagaimana?" tanya dia setelah menghela napas.
"Lo Soeko telah pingsan beberapa kali, tapi sekarang darahnya sudah berhenti keluar,"
sahut orang yang duduk dibawahannya.
Sin Tjie lantas menduga, orang tua itu tentulah Tjiauw Kong Lee bersama dua muridnya.
Mereka pun lagi omong hal lukanya Lo Lip Djie, si utusan pembawa surat.
Terdengar orang yang ketiga berkata: "Soehoe, baik kita minta beberapa saudara untuk
mengadakan perondaan disekitar rumah kita ini, aku kuatir musuh nanti kirim orang untuk
intai kita..."
Orang tua itu menghela napas pula.
"Dirondai atau tidak, sama saja," jawabnya. "Sekarang ini aku sudah peserah kepada
takdir. Besok pagi kamu antar soebo, soemoay serta soeteemu yang kecil kerumah
keluarga Gouw di Ouw-tjioe."
"Soehoe, harap kau tidak putus asa!" berkata murid itu tanpa ia mengiakan titah gurunya
itu. "Kita didalam kota Lamkhia ini toh mempunyai lebih daripada dua ribu saudara, jikalau
kita lakukan perlawanan, apa musuh bisa berbuat terhadap kita?"
Masih orang tua itu menghela napas.
"Lawan kita telah undang orang-orang kang-ouw yang sangat kenamaan," katanya.
"Percuma-cuma saja , kita akan buang jiwa jikalau kita lawan keras kepada mereka itu.
Maka, kalau nanti aku terbinasa, aku minta sukalah kamu rawat baik-baik pada soeboe,
soemoay dan soeteemu itu. Mereka semua mengandal atas tunjangan kamu beramai..."
Lantas orang tua itu mengucurkan air mata.
"Soehoe, jangan soehoe mengucapkan begitu," kata murid yang lainnya. "Ilmu silat
soehoe tinggi, hingga soehoe bis amenjagoi di kanglam, umpama kata soehoe tak dapat
memenangkan mereka, toh tidak nanti soehoe bakal kena dikalahkan. Kita terdiri dari dua
puluh lima soeheng-tee, kecuali Lo Soeko, masih ada dua puluh empat, mustahil kita tidak
sanggup lawan mereka itu" Kenapa soehoe tidak mau undang sahabat-sahabat soehoe
dipelbagai tempat, supaya mereka datang membantu?"
"Dulu dimasa muda, aku pun berdarah panas sebagai kamu," kata guru itu.
"kesudahannya, seperti kau lihat, onar menjadi begini rupa. Sekarang ini aku terserah, aku
hendak kasi diriku dibunuh mereka, untuk membayar hutang jiwa, dengan begitu urusan
menjadi beres...."
Terharu Sin Tjie dan Tjeng Tjeng dengar pembicaraan guru dan murid-muridnya itu.
"Kelihatannya Tjiauw Kong Lee ini bukan seorang jahat," memikir pemuda kita. "Mungkin
dulu dia telah berbuat salah tetapi sekarang ia sudah insaf dan menyesal...."
"Soehoe!" tiba-tiba seru seorang murid.
"Oleh karena soehoe berkeputusan tidak hendak lawan mereka," berkata murid ini dengan
jawabannya, "marilah malam ini juga kita berangkat untuk menyingkirkan diri, sedikitnya
untuk sementara waktu..."
"Mana dapat tindakan itu diambil?" berseru seorang murid yang lainnya. "Soehoe
kenamaan, apa mungkin kita jeri terhadap musuh?"
"Apa sih kenamaan atau tidak kenamaan?" kata Tjiauw Kong Lee, orang tua itu. "Sekarang
ini aku tidak pikiri soal kenamaan lagi. Menyingkir juga tak dapat kita menyingkir untuk
selama-lamanya. Maka besok pagi, kamu semua berangkat, aku akan berdiam sendirian
disini, untuk layani mereka!"
Kedua murid itu menjadi sibuk.
"Aku suka temani soehoe!" berseru mereka.
"Apa?" berseru juga sang guru. "Selagi ancaman malapetaka mendatangi, kau tak suka
dengar perkataanku?"
Dua murid itu tunduk, mereka bungkam.
"Pergilah, kamu bantui soebo berkemas-kemas," Tjiauw Kong Lee menitah. "Juga lihat,
kereta sudah siap atau belum."
"Baik soehoe," sahut kedua murid, akan tetapi kaki mereka tidak bergerak. Mereka seperti
terpaku disitu.
Tjiauw Kong Lee awasi mereka itu, ia menghela napas pula.
"Baik, kamu suruh semua berkumpul disini!" akhirnya guru ini.
Baru setelah titah ini, kedua murid itu bertindak keluar.
Sin Tjie ajak Tjeng Tjeng segrea menyingkir kepojok yang gelap. Tapi justeru karena
menyingkir kesitu , selagi pasang mata, mereka lihat dua tubuh sedang mendekam dipojok
tembok sebelah barat. Sin Tjie mengawasi, hingga samar-samar ia kenali tubuh seperti
tubuhnya Ban Hong, sedang yang satunya lagi adalah satu tubuh langsing dengan baju
merah, hingga ia pun kenali Hoei Thian Mo-lie Soen Tiong Koen.
Jadi rupanya, setelah tadi menuju kebelakang, orang she Ban itu pergi sambut kawan
perempuan itu. Gemas Sin Tjie apabila ia ingat ketelengasan si Hantu Wanita tadi, yang secara getas
membabat kutung sebelah lengannya Lo Lip Djie. Orang Hoa San Pay tak selayaknya
berbuat demikian bengis dan kejam. Maka mau ia memberi ajaran.
"Kau berdiam disini, aku larang kau bergerak!" pemuda ini pesan Tjeng Tjeng, dikuping
siapa ia berbisik.
Nona itu geraki tubuhnya, ia bersenyum.
"Aku justru ingin bergerak..."katanya.
Sin Tjie tidak menegur, ia malah bersenyum juga. Lantas ia menyelinap ditempat gelap itu,
ia jalan mutar, hingga ia berada di sebelah belakangnya Ban Hong dan Soen Tiong Koen.
Dua pengintai itu sedang memasang mata kedalam kamar, perhatian mereka dipusatkan,
hingga mereka tidak tahu orang membayangi mereka. Rupanya mereka tak curiga sedikit
juga. Sin Tjie hunjukkan kegesitannya. Setelah datang dekat, dia lompat melesat kebelakang
nona Soen itu, selagi lewat, tangannya diulur, akan menyambar pedang, sehingga pedang
itu sekejab saja berpindah tangan tanpa si nona engah!
Tjeng Tjeng lihat kawannya kembali kepadanya, tapi kapan ia tampak kawan ini curi
pedangnya Soen Tiong Koen, ia tidak puas.
"Kau simpan ini!" kata Sin Tjie dengan pelahan seraya sodorkan pedang curian itu.
Melihat ini, Barulah Tjeng Tjeng girang. Ia lantas sambuti pedang itu. Kemudian berdua
mereka mengintai pula di jendela.
Selama itu, hampir beruntun, datang dua-puluh orang lebih. Karena mereka terlihat tegas,
kenyataan yang paling tua berusia kira-kira empat puluh dan yang termuda Baru belasan
tahun. Tidak salah lagi, mereka adalah murid-muridnya Tjiauw Kong Lee ini.
Sesampainya didalam kamar, semua murid itu beri hormat pada guru mereka, lantas
mereka berdiam diri, tidak ada yang buka suara.
Tjiauw Kong Lee awasi mereka semua, ia perlihatkan air muka guram.
"Dimasa mudaku, aku hidup dalam dunia Rimba Hijau," kata guru ini. "Sekarang ini tak
perlu aku umpatkan apa jua terhadap kamu semua. "
Sin Tjie pandang semua murid itu, mereka angkat kepala, tapi masih mereka berdiam saja.
Terang sudah, semua murid itu benar-benar tidak ketahui hal-ikhwal guru mereka itu.
"Sekarang musuh telah datang, ingin aku jelaskan kamu semua duduknya permusuhan,"
kata pula guru itu.
(Bersambung bab ke 11)
Lagi-lagi Tjiauw Kong Lee menghela napas.
"Sebagai orang rimba hijau, aku ambil kedudukan diatas bukit Siang Liong Kong,"
demikian ia mulai. "Pada tahun itu, pada suatu hari aku terima laporan dari beberapa
saudara pengawas tentang bakal lewatnya serombongan "minyak air" dibawah gunungku.
Itulah rombongannya bekas tootay dari Souwtjioe dan Siongkang, yang bersama
keluarganya dalam perjalanan pulang kekampung halaman mereka. Adalah kebiasaan kita
kaum rimba hijau, kita hidup dari pembegalan atau perampasan, apapula hartanya
pembesar-pembesar jahat, yang makin tak dapat dikasi hati. Laginya, dengan membegal
satu lepasan pembesar, hasilnya berlipat seratus kali daripada kita ganggu rombongan
saudagar, sedang harta mereka biasanya harta tidak halal dan pantaslah bila kita
merampasnya. Maka bulatlah tekadku untuk merampasnya. Turut keterangan lebih jelas,
bekas tootay itu ada orang she Khoe dan rombongannya bakal lewat diwaktu lohor. Apa
yang menyulitkan kita, terkabar bekas tootay itu pakai pelindung yang bukan orang
sembarangan, sebab dia adalah Bin Tjoe Yap, pemimpin Hwee Yoe Piauw Kiok dari
Tjeelam, Shoatang. Bin Tjoe Yap itu adalah kandanya Bin Tjoe Hoa ini."
Baru mendengar sampai disitu, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng lantas saja mengerti duduknya
hal. "Beginilah kiranya," pikir pemuda kita. "Tjiauw Kong Lee hendak merampas, Bin Tjoe Yap
hendak membelainya. Sebagai piauwsoe, itulah kewajibannya Bin Tjoe Yap. Rupanya
mereka telah bertempur, Bin Tjoe Yap kalah, dia mati terbunuh...."
Sembari pasang kuping, Sin Tjie juga tidak lepas mata terhadap Ban Hong dan Soen Tiong
Koen, maka itu ia dapat melihat ketika nona Soen satu kali meraba bebokongnya, dia
terperanjat karena pedangnya tak ada ditempatnya, hingga dia kaget dan berjingkrak
karenanya, segera dia memberi tanda pada Ban Hong, lantas keduanya angkat kaki dari
rumahnya si orang she Tjiauw itu.
Diam-diam Sin Tjie tertawa dalam hatinya. Ia terus mendengari :
"Bin Tjoe Yap itu, dalam kalangan kang-ouw, ada kenamaan," Tjiauw Kong Lee melanjuti.
"Dia ada satu ahli silat dari Boe Tong Pay...."
"Oh, persaudaraaan Bin itu ada dari Boe Tong Pay," Sin Tjie pikir. "Menurut soehoe, Boe
Tong Pay adalah pusat utama dari pelajaran ilmu silat pedang diseluruh negara dan
ketuanya ada punya pergaulan luas dengan lain-lain kaum persilatan. Pantas sekarang Bin
Tjoe Hoa bisa undang demikian banyak orang kosen."
"Mulanya tak berani aku segera turun tangan," Tjiauw Kong Lee bercerita pula, "malah aku
segera turun gunung untuk membikin penyelidikan sendiri. Malam itu aku mengintai
dirumah penginapan. Apa yang aku saksikan membuat perutku hendak meledak saking
gusar dan mendongkol. Diluar dugaan, Bin Tjoe Yap ada seorang yang kemaruk paras
eilok, dan dia telah incar puteri kedua dari Khoe-Tootay. Untuk ini, dia telah bersekongkol
sama Thio Tjeetjoe, pemimpin Hoei Houw Tjee. Rencana mereka adalah Thio Tjeetjoe akan
turun tangan didekat Hoei Houw Tjee, selagi perampasan dilakukan, Bin Tjoe Yap nanti
berpura-pura melakukan perlawanan, tapi dia akan berpura-pura kalah , supaya Thio
Tjeetjoe dapat binasakan Khoe Tootay sekeluarga kecuali gadisnya yang kedua itu, yang
mesti dirampas bersama semua hartanya. Setelah itu, Bin Tjoe Yap akan berpura-pura
berlaku nekat, untuk tolong nona Khoe itu. Apabila si nona sudah dapat ditolong, kata Bin
Tjoe Yap, dia pasti jadi sebatang kara, tidak ada pelindungnya lagi, hingga ia percaya,
nona itu akan berhutang budi padanya dan nanti suka serahkan diri untuk menjadi
isterinya. Thio Tjeetjoe bersedia melakukan rencana itu, karena ia pun temahai hartanya
tootay itu. Aku dengar semua itu, aku gusar, lantas aku pulang, untuk ajak sekalian
saudara bersiap didekat Hoei Houw Tjee, guna rintangi rencana itu. Benarlah, pada jam
yang disebutkan, rombongan Khoe Tootay sampai di jalanan gunung bagian kiri dari Hoei
Houw Tjee, sarangnya Thio Tjeetjoe itu."
"Ah, inilah lain," pikir Sin Tjie. Tadinya ia menduga, begal dan piauwsoe perebuti harta
saja. Ia mendengari terus :
"Waktu itu tak dapat aku sabarkan diri," kata Tjiauw Kong Lee yang melanjuti. "Aku
junjung pantang kita kaum Rimba Hijau mengenai soal paras eilok. Kita boleh buntu jalan,
kita boleh menjadi begal, tapi kita tetap mesti jadi satu laki-laki, tidak demikian ada Bin
Tjoe Yap. Kenapa dia jadi begitu hina, sedang dia ada satu piauwsoe" Sebagai piauwsoe,
dia menyalahi tugas, dia bikin turun derajatnya, dan sebagai orang gagah, dia perhina
martabat sendiri! Segera setelah munculnya rombongan Khoe Tootay, Thio Tjeetjoe dan
laskarnya pun keluar, dengan banyak berisik, mereka mengancam hendak membegal. Bin
Tjoe Yap maju kemuka, dengan tingkahnya yang tengik, ia berlagak hendak melindungi
keluarga Khoe itu. Aku habis sabar, tidak tunggu sampai mereka lanjuti sandiwara mereka,
aku keluar dari tempat tersembunyi. Adalah maksudku untuk cegah kejadian busuk itu,
akan tetapi kita kedua pihak tak mendapat kecocokan, hingga kita jadi bentrok. Dengan
pedangnya, Bin Tjoe Yap benar-benar liehay, untungnya bagiku, dia sedang gusar dan
kalap, dia seperti tak dapat kendalikan diri, maka kebetulan aku dapat ketika, aku telah
kena bacok dia sehingga dia binasa...."
"Soehoe, manusia keji semacam dia pantas dibinasakan!" berseru satu murid, yang
potong omongan gurunya. "Kenapa kita mesti jeri" Kalau besok mereka datang, kita
bongkar rahasianya Bin Tjoe Yap ini, umpama dia norek hendak menuntut balas juga,
mustahil diantara rombongannya tidak ada orang-orang yang jujur ?"
"Kau benar," Sin Tjie kata dalam hatinya, mendengar kata-katanya murid itu. "Umpama
benar keterangannya orang she Tjiauw ini, dia pantas dihargai. Aku kuatir masih ada lain
urusan lagi diantara mereka itu...."
Tjiauw Kong Lee menghela napas pula sebelum ia menutur lebih jauh.
"Setelah membinasakan Bin Tjoe Yap, aku menginsyafi bahaya yang bakal ancam aku,"
demikian guru itu. "Gurunya Bin Tjoe Yap ada Oey Bok Toodjin, bersama guru ini ada
banyak saudara-saudaranya seperguruan, diaorang itu tentunya tidak mau mengerti dan
bakal menuntut balas. Bagaimana aku sanggup lawan mereka semua" Beruntung untuk
aku, saudara-saudaraku dapat pengaruhi Thio Tjeetjoe, lantas aku paksa dia untuk
menulis surat keterangan yang menuturkan persekutuan mereka, bahwa maksud Bin Tjoe
Yap ada untuk ganggu nona Khoe itu. Thio Tjeetjoe telah tulis surat pengakuannya itu."
"Khoe Tootay merasa sangat bersyukur yang aku telah tolongi dia, dia sampai menulis
sehelai kertas dalam mana ia juga tuturkan dengan jelas duduknya perkara itu, untuk
mana dia paksa dua piauwsoe dari Hwee Yoe Piauw Kok bubuhkan tanda-tangannya,
untuk menguatkan surat keterangan itu. Kedua piauwsoe itu tidak tahu maksudnya Bin
Tjoe Yap, mereka tidak mendendam sakit hati padaku, sebaliknya, mereka bersyukur,
karena kalau tidak, tentu nama mereka akan turut bercacat. Karenanya, kita menjadi
sahabat-sahabat. Karena kejadian itu, tak dapat aku terus menduduki Siang Liong Kong,
terpaksa aku membubarkan diri, kemudian dengan bawa itu dua surat bukti, aku pergi ke
Boe Tong San, untuk menemui Oey Bok Toodjin, guna jelaskan duduknya hal."
"Diluar dugaanku, pihak Boe Tong Pay telah terlebih siang mendengar kabar perihal
kebinasaannya Bin Tjoe Yap, mereka telah berpapasan denganku selagi aku Baru ditengah
perjalanan. Mereka berniat ganggu aku, baiknya aku dapat pertolongan seorang kang-ouw
yang luar biasa, siapa terus antar aku naik ke Boe Tong San hingga aku dapat menemui
Oey Bok Toodjin. Dibantu oleh penolong itu, aku ceritakan duduknya kejadian. Oey Bok
Toodjin ada seorang jujur, ia suka percaya keteranganku, maka ia larang murid-muridnya
musuhkan aku. Akan tetapi, untuk nama baiknya Boe Tong Pay, ia kehendaki aku jangan
uwarkan hal itu kepada umum. Aku berikan janjiku. Maka setelah turun gunung, terus aku
tutup mulut. Inilah sebabnya kenapa hampir tidak ada orang kang-ouw yang ketahui
rahasia itu. Pada waktu itu, Bin Tjoe Hoa masih kecil. Aku percaya, dia pun tidak tahu halihwalnya
engko itu."
"Apakah kedua surat keterangan itu masih ada, soehoe?" tanya satu murid.
"Justru kedua surat itu yang membuat sulit padaku," sahut sang guru. "Duduknya begini:
Pertama-tama aku mesti sesalkan mataku, yang seperti buta, hingga aku tak dapat kenali
wajah manusia. Baru pada musim rontok tahun yang lalu, satu sahabat menyampaikan
berita kepadaku bahwa adiknya Bin Tjoe Yap sudah rampungkan pelajaran silatnya, bahwa
adik ini, mengetahu kandanya binasa ditangan aku, dia hendak cari aku untuk menuntut
balas. Tentu saja, aku lantas berdaya untuk selamatkan diriku. Turut penyelidikanku, Tiang
Pek Sam Eng bersahabat rapat dengan Bin Tjoe Hoa itu. Tiga jago dari Tiang Pek San itu
ada kenalanku untuk banyak tahun, kami bersahabat rapat, cuma sudah belasan tahun,
kami tak bertemu satu sama lain. Aku masih ingat bagaimana diwaktu muda kami bekerja
dan hidup bersama dalam dunia Rimba Hijau, maka itu, ingin aku minta perantaraannya.
Demikian, aku telah berangkat mencari Tiang Pek Sam Eng...."
Salah satu murid menyelak: "Jadi ketika tahun lalu soehoe pergi ke Liauwtong, hingga
seantero tahun Soehoe tidak berada di rumah, sebenarnya soehoe lagi urus perkara ini?"


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar," Tjiauw Kong Lee manggut. "Aku telah pergi ke Liauwtong untuk cari Tiang Pek
Sam Eng dirumahnya. Ketika itu adalah akhir tahun, hawa udara sangat dingin, aku duga
dua saudara Soe mesti berada dirumahnya. Tidak kebetulan untuk aku, aku tidak lantas
dapat menemui kedua saudara itu. Turut keterangan orang dirumahnya, mereka kebetulan
dipanggil oleh Kioe Ong-ya di Kian-tjioe-wie. Tapi sudah telanjur, terpaksa aku
menantikan. Selang beberapa hari Soe Peng Kong dan Soe Peng Boen Barulah pulang.
Bukan main girangku bertemu sama sahabat-sahabat lama, demikian juga dua saudara
itu." "Tidak ayal lagi, aku tuturkan maksud kedatanganku. Untuk itu, perlu aku jelaskan
duduknya permusuhanku dengan keluarga Bin itu. Soe Peng Kong berjanji suka menolong
aku, malah ia bertepuk dada memastikan urusan bakal beres. Karenanya, aku serahkan dia
dua surat keterangan itu. Peng Kong bilang, kedua surat itu perlu diperlihatkan kepada Bin
Tjoe Hoa. Ia malah kata, pabila Tjoe Hoa sudah lihat surat-surat itu, tidak nanti dia punya
muka untuk menuntut balas lebih jauh, mungkin dia akan minta orang perantaraan untuk
menghaturkan maaf padaku, serta untuk mohon agar aku tidak siarkan cerita kebusukan
kakaknya itu. Alasannya Peng Kong itu masuk diakal, aku percaya padanya."
"Dua saudara itu layani aku dengan telaten dan gembira sekali, hingga aku suka berdiam
lamaan dirumahnya. Aku pun sedang punyakan tempo terluang. Setiap hari kami pergi
berburu atau pergi menonton wayang. Kemudian pada suatu hari, Peng Kong omong
kepadaku bahwa bintangnya kerajaan Beng sudah guram, selagi kami mempunyai
kepandaian silat, kenapa kami tidak mau mencari junjungan baru, katanya. Dia hunjuk,
kami bakal peroleh pangkat besar, anak-isteri hidup mewah dan agung. Tidakkah kami
bakal jadi menteri pendiri kerajaan" Aku tercengang mendengar ajakan itu. Aku tanya apa
kami bakal pergi menghamba kepada Giam Ong " Peng Kong tertawakan aku, dia bilang
Giam Ong adalah berandal rumput dan tidak bakal peroleh kemajuan. Dia lalu
menjebutkan kerajaan Boan, yang katanya angkatan perangnya kuat, rangsumnya banyak,
bahwa bangsa asing itu bakal segera datang menyerbu. Dia kata, kalau aku suka terima
ajakannya, dia dua saudara bakal pujikan aku kepada Kioe Ongya, supaya aku diterima
bekerja. Mendengar itu, tiba-tiba saja aku jadi gusar, hingga aku tegur mereka, mereka
sebenarnya bangsa apa, kenapa sebagai cucu Oey Tee, mereka suka menjadi kacung
bangsa asing! Aku katakan, apa dengan begitu kami tidak akan jadi cucu yang berdosa
besar dan setelah mati, mana kami ada muka untuk bertemu dengan leluhur kita?"
Mendengar ini, Sin Tjie manggut-manggut sendirinya.
"Dia seorang cerdas, dia dapat bedakan yang benar dan tidak benar," pikirnya. Maka ia
kagumi orang she Tjiauw ini.
"Untuk sementara itu, kami bentrok," Tjiauw Kong Lee melanjutkan penuturannya itu. "Di
hari kedua, kami baik pula seperti biasa dan mereka berdua kembali berlaku ramah-tamah
dan perlu. Peng Kong akui kemarin ia sinting, tak tahu dia, dia sudah ngoceh apa, dia
minta aku tidak buat pikiran. Kami adalah sahabat-sahabat dari belasan tahun, tentu saja
urusan demikian dapat kami bikin habis. Lagi belasan hari aku berdiam di Liauwtong, Baru
aku pulang."
"Benar-benar aku tidak sangka, dua saudara Soe itu adalah dua ekor srigala atau anjing!
Teranglah, bukan mereka pergi pada Bin Tjoe Hoa untuk akuri kita, mereka justru ciptakan
gelombang, mereka sengaja ogok orang she Bin itu, hingga Bin Tjoe Hoa bersiap sedia
untuk satroni aku. Selama setengah tahun, aku masih belum ketahui rahasianya dua
saudara Soe itu, sampai sekarang ini, mereka muncul dengan mendadakan dikota
Lamkhia ini, malah Bin Tjoe Hoa telah undang orang-orang liehay untuk bantu dia. Aku
percaya, dua surat keterangan itu tentu masih berada pada dua saudara Soe itu. Sudah
berselang banyak tahun sejak kejadian itu, maka sekarang ini, mereka yang menjadi saksi,
yang ketahui perkara, tentu sudah menutup mata atau entah dimana tinggalnya mereka
sekarang apabila mereka masih hidup. Tanpa bukti dan saksi, bagaimana aku bisa bela
diri" Tentu sekali, Bin Tjoe Hoa tidak nanti percaya aku. Malah mungkin, dia bakal jadi
semakin gusar dan akan tuduh aku mengarang cerita untuk fitnah kandanya itu. Aku heran
sikapnya dua saudara Soe itu. Kami toh bersahabat kekal, umpama mereka ingat
bentrokan, tapi kami sudah baik pula. Kenapa sekarang mereka datang bersama Bin Tjoe
Hoa " Aku duga mereka semua ingin tumpas pihakku."
Mendengar keterangan itu, dua puluh empat muridnya Tjiau Kong Lee jadi sangat gusar,
gusar terutama terhadap dua saudara Soe, sehingga ingin diaorang tempur mereka itu.
"Sabar," Tjiauw Kong Lee bilang. "Sekarang pergi kamu undurkan diri. Ingat, apa yang aku
terangkan kepada kamu ini, jangan kamu bikin bocor. Saking terpaksa saja, aku telah buka
rahasia ini kepada kamu semua. Aku sudah berjanji sama Oey Bok Toodjin, untuk tutup
rahasianya Bin Tjoe Yap, aku hendak menetapkan janji. Lebih suka aku merekalah yang
tak berkepantasan daripada aku yang menyalahi janji!" ia menghela napas. "Pergi kamu
panggil soemoay dan soeteemu!"
Dengan wajah masih gusar, murid-murid itu pergi keluar. Tapi menyusul keluarnya
mereka, moielie lantas tersingkap pula dan sekarang datangnya satu nona umur enam
atau tujuh belas tahun serta satu bocah usia delapan atau sembilan tahun.
Si nona bercucuran air mata, ia berseru memanggil "Ayah!" lantas ia tubruk Tjiauw Kong
Lee. Ayah itu usap-usap rambut gadisnya, untuk sekian lama, ia tak dapat bicara. Si anak
sendiri telah menangis sesenggukan.
Si bocah mengawasi dengan pentang mata lebar-lebar, tak tahu ia kenapa encienya itu
menangis. "Apakah ibumu telah siapkan segala apa?" Kong Lee tanya kemudian.
Nona itu tidak menjawab, ia cuma manggut.
"Jikalau nanti adikmu tambah usianya, kau baik-baik ajari dia bersekolah dan meluku,"
kata ayah itu pula. "Tetapi ingat, jangan perkenankan dia turut dalam ujian untuk
memperoleh pangkat. Juga jangan kau ajarkan pula dia ilmu silat."
"Adik justeru perlu belajar ilmu silat, supaya dibelakang hari dia dapat menuntut balas,"
kata si nona. "Ngaco!" Kong Lee membentak. "Apakah kau hendak gaduh aku hingga aku mati gusar!"
Tapi cuma sedetik saja, dia melanjuti dengan sabar : "Didalam Rimba Persilatan, saling
mendendam dan saling membalas, entah sampai kapan habisnya! Maka itu tak ada lebih
baik daripada menjadi rakyat jelata yang lurus dan damai selama hidup kita. Dasarnya
adikmu tidak sempurna, jikalau dia belajar silat, tidak nanti dia mendapat kepandaian yang
berarti, tidak separuh dari semua kepandaianku. Lihat contohnya aku sendiri, aku telah
terdesak begini rupa, sehingga aku tidak bakal akhirkan usiaku secara damai. ....Ah, tak
dapat aku tunggu kau hingga kau berumah-tangga, ini adalah ganjalan untuk
hatiku....Pergi kau beritahukan mereka semua, setelah aku mati nanti, urusan Kim Liong
Pang kita baik semuanya diserahkan kepada Kho Siokhoemu yang menjadi Hoe-pangtjoe,
biar mereka semua dengar titahnya...."
Sin Tjie heran.
"Aku dengar Kim Liong Pang adalah satu partai besar diwilayah Kanglam ini, siapa tahu,
Tjiauw Kong Lee adalah yang menjadi pangtjoe, ketua. Mereka beranggauta banyak dan
besar pengaruhnya, kenapa sekarang Tjiauw Kong lee bersikap begini lemah" Benarbenar
aneh!" "Sekarang aku pergi cari Kho Siokhoe," berkata si nona.
"He, kenapa kau masih tidak ketahui sikapku?" sang ayah menegur. "Pamanmu itu
bertabeat keras, jikalau dia datang dan ketahui urusanku ini, apa kau anggap dia mau
sudah saja orang perhina aku begini rupa" Satu kali dia datang, perang bakal segera
terbit, entah berapa banyak jiwa akan melayang! Diumpamakan aku ketolongan, luput dari
bahaya kematian, akan tetapi karena itu, mungkin beberapa ratus saudara kita bakal
terbinasa, apabila sampai terjadi demikian, mana bisa hatiku tenang" Tidak, aku tidak
tega! Hayolah kau lekas pergi!"
Nona itu menangis, tapi ia paykoei kepada ayahnya dua kali, sesudah mana, ia tuntun
tangan adiknya, untuk diajak pergi. Ketika ia sampai dipintu, tiba-tiba ia berhenti dan
menoleh. "Ayah!" katanya. "Apa mungkin, kecuali dari mati, tidak ada jalan yang kedua untuk
menghindarinya?"
"Tentang itu aku telah pikirkan selama beberapa hari dan malam," sahut sang ayah.
"Apakah aku tidak bakal bergirang andaikata bisa aku terluput daripada kematian"
Didalam dunia ini, cuma ada satu orang yang bisa tolong aku, akan tetapi orang itu
kebanyakan sudah tidak berada lagi didalam dunia..."
Kong Lee menghela napas pula.
Wajahnya si nona bercahaya dengan tiba-tiba, ia hampirkan ayahnya dua tindak.
"Ayah, siapakah orang itu?" tanyanya." Siapa tahu kalau-kalau dia belum meninggal
dunia...."
"Dia orang she Hee," sahut ayah itu. "gelarannya ialah Kim Coa Long-koen."
Selagi gadisnya masih berdiam, Tjiauw Kong Lee menambahkan: "Dialah orang yang aku
maksudkan si orang kang-ouw yang luar biasa. Dialah juga yang ketahui jelas perkaraku
dengan Bin Tjoe Yap. Ketika dulu dua-belas murid kepala dari Boe Tong Pay hendak
ganggu aku, dialah yang sendirian saja mundurkan jago Boe Tong San, untuk tuturkan
duduknya hal, hingga perkara jadi dapat dibikin habis. Sekarang ini Oey Bok Toodjin
sudah meninggal dunia dan Kim Coa Long-koen sendiri katanya pada belasan tahun telah
orang aniaya hingga sekarang dia pun tak berada dalam dunia lagi. Coba dia masih
hidup....Ah, sudahlah, pergilah kamu....."
Dengan sangat berduka, si nona berlalu.
Sin Tjie beri tanda pada Tjeng Tjeng, mereka tinggalkan jendela, untuk kuntit nona Tjiauw
itu, kapan mereka telah sampai ditaman bunga, dimana tidak ada lain orang, mendadakan
pemuda kita berlompat, akan lombai nona itu, untuk berdiri didepannya.
"Nona Tjiauw, mau atau tidak kau tolongi ayahmu?" tanya ia secara mendadakan.
Nona itu terkejut, hingga ia melengak, atau segera ia hunus pedangnya.
"Siapa kau?" ia membentak.
"Jikalau kau hendak tolong ayahmu, mari ikut aku!" kata Sin Tjie, yang tidak jawab teguran
orang. Lantas dengan satu loncatan tinggi dan jauh, dengan "It Hoo Tjiong Thian" ia
mencelat untuk lewati tembok pekarangan.
Tjeng Tjeng, yang berdiam saja, telad contoh kawannya itu.
Nona Tjiauw kembali melengak, terutama ia tidak sangka orang itu demikian liehay ilmu
entengkan tubuh, maka kemudian, tanpa ayal lagi, ia pergi susul mereka. Ia telah
mengubar sejurus tempo ia lihat orang masih terus lari keras, hingga ia bersangsi dan
hentikan tindakannya, lantas ia memutar tubuh, untuk pulang. Tapi Baru ia berbalik,
mendadak ia rasakan sampokan angin dipinggangnya, tali pedang dipinggangnya kendor
dan terlepas, menyusul mana, ia pun rasakan sebelah tangannya sesemutan, cekalannya
lepas sendirinya, hingga dilain saat pedangnya sudah terampas orang yang ia tak kenal
itu. Sin Tjie pun sudah lantas berdiri didepan nona ini.
Bukan main kaget dan herannya nona Tjiauw.
"Jangan takut, nona," Sin Tjie berkata. "Jikalau ada niatku mencelakai kau, aku dapat
lakukan itu secara gampang sekali. Aku ada sahabat dari keluargamu, maka kau mesti
dengar perkataanku apa yang aku bilang!"
Nona itu manggut, tapi Sin Tjie lihat orang masih ragu-ragu.
"Ayahmu sedang terancam bahaya maut, kau berani tidak menempuh bahaya untuk tolong
dia?" Sin Tjie tanya. Ia tidak perduli orang bersangsi atau curiga.
"Asal ayah dapat tertolong, walaupun tubuhku hancur-lebur, aku membelainya," kata si
nona kemudian. "Ayahmu itu seorang baik," Sin Tjie bilang. "Dia lebih suka korbankan diri sendiri daripada
mesti lakukan pertempuran besar yang bakal meminta banyak korban. Orang semacam
dia, langka, dari itu aku suka bantu dia. Aku pastikan ini!"
Melihat sikap orang dan mendengar perkataannya, nona Tjiauw tidak bersangsi lagi, malah
ia lantas tekuk lututnya, untuk paykoei.
"Jangan nona!" Sin Tjie mencegah. "Perlu aku jelaskan padamu, walau begini, aku tidak
merasa pasti kita bakal berhasil atau tidak."
Nona Tjiauw itu tidak dapat tekuk lutut, lengannya dicekal si anak muda, ia merasai satu
tenaga yang besar, hingga tubuhnya seperti terangkat naik. Karena ini, semakin kuatlah
kepercayaannya.
"Sekarang mari ajak kami ke kamar tulis," Sin Tjie minta. "Disana aku hendak menulis
sepucuk surat untuk ayahmu."
"Sebenarnya siapa djiewie berdua?" tanya nona Tjiauw. "Apa tidak lebih baik djiewie
bicara langsung sama ayah?"
"Kita pasti bekerja cepat," Sin Tjie bilang. "Kapan sebentar ayahmu baca suratku, tidak
nanti dia berputus asa terus, tidak nanti dia hendak cari kematiannya pula! Kita tak boleh
ayal-ayalan, inilah tindakan yang pertama."
Entah bagaimana, Nona Tjiauw lantas saja mempercayai habis.
"Kalau begitu djiewie, marilah!" ia mengundang.
"Inilah rahasia," Sin Tjie peringati." Kecuali kau sendiri, lain orang tak boleh lihat kita!"
Nona itu manggut.
Bertiga mereka loncati tembok pekarangan, untuk masuk kedalam. Nona rumah ajak
kedua tetamunya kedalam sebuah kamar yang kecil dimana ia keluarkan kertas dan pit, ia
gosoki juga baknya. Kemudian ia mundur, akan duduk disedikit jauh.
Sin Tjie sudah lantas menulis.
Tjeng Tjeng berada didampingnya kawan ini, melihat "surat" yang ditulis Sin Tjie ia
terperanjat. Sin Tjie lipat surat itu, untuk dimasuki kedalam sampul, yang ia tutup rapat.
"Besok pagi tepat jam sin-sie," ia pesan si nona, "kau pergi ke hotel Hin Liong kamar no.3
huruf Oey, disana aku nanti tunggui kau."
Nona Tjiauw manggut.
Sekarang Sin Tjie serahkan suratnya.
"Sampaikan surat ini segera pada ayahmu," ia kasi tahu. "Tapi kau mesti janji satu hal
kepadaku."
"Aku nanti turut pesanmu," sahut si nona.
"Tidak perduli apa yang ayahmu tanyakan, terutama jangan kau beritahu dia tentang
roman dan usiaku!" pesan pemuda kita.
Nona Tjiauw heran sekali.
"Kenapa begitu?" tanyanya.
"Asal kau beritahu, tak dapat aku bantu kau!" ada jawaban si anak muda.
Nona itu melengak tapi ia lantas manggut.
"Baik, aku turut kau," jawabnya.
Sin Tjie tarik tangannya Tjeng Tjeng.
"Sudah cukup, mari kita pergi!"
Nona Tjiauw lihat orang berlompat keluar pekarangan, gesitnya bagaikan burung terbang,
hingga kembali ia jadi kagum. Tapi ia beragu-ragu ketika ia berlari-lari kekamar ayahnya,
yang pintunya sudah ditutup. Ia coba menolaknya dengan sekuat tenaga, tidak ada
hasilnya. Ia jadi heran dan kuatir. Ia lari ke jendela, dengan satu toyoran, ia bikin daun
jendela menjeblak terbuka, terus saja ia berloncat masuk, justru ayahnya lagi bawa satu
cawan kebibirnya.
"Ayah!" berseu gadis ini, yang kaget tak terkira. Ia bisa duga perbuatannya ayah itu.
"Ayah, lihat ini dulu!"
Tjiauw Kong Lee menunda cawannya, ia mengawasi dengan mendelong.
Nona itu buka sampul surat, ia sodorkan suratnya kepada ayahnya itu.
"Baca ini, ayah!" kata dia.
Kong Lee tidak lihat surat hanya lukisan serupa pedang. Dengan mendadakan saja,
cawannya terlepas dari cekalannya, sehingga cawan itu jatuh kelantai dan hancur
bergomprangan! Si nona kaget sehingga ia berjingkrak. Tapi segera ia tampak perubahan air mukanya
ayahnya itu, yang dari duka dan suram mendadakan jadi bercahaya kegirangan.
"Dari mana datangnya surat ini?" ayah itu tanya, kedua tangannya bergemetar. "Siapa
berikan ini padaku" Apakah dia sendiri yang datang" Ah, apakah benar-benar dia telah
datang?" Nona itu tidak lantas jawab ayahnya, ia hanya mendekati, untuk turut lihat bunyinya surat.
Ia pun tidak lihat lain daripada gambarnya sebatang pedang yang panjang, yang romannya
luar biasa, pedang berkepala ular-ularan, lidahnya bercabang dua bagaikan cagak. Ia tidak
mengerti, pedang itu ada punya khasiat apa hingga ayahnya mendadakan jadi demikian
girang. "Ayah, apakah ini?" akhirnya dia balik tanya ayah itu.
"Asal dia datang, jiwa tua dari ayahmu akan ketolongan!" berkata ayah itu. "Apakah kau
telah bertemu dengannya?"
Masih si anak dara heran.
"Dia siapa, ayah?" tegasinya.
"Dia yang melukiskan gambar pedang ini?" sahut ayah itu.
Baru sekarang gadis itu manggut.
"Dia pesan aku akan besok pergi cari dia ditempatnya," ia terangkan.
"Apakah dia tidak bilang bahwa aku pun perlu turut bersama?"
"Dia tidak bilang itu."
"Orang gagah luar biasa itu memang aneh perangainya," Kong Lee bilang. "Siapa juga
mesti dengar perkataannya. Maka pergilah besok kau seorang diri!....Ah sedetik saja kau
terlambat datang ayah akan sudah tidak dapat lihat pula padamu..."
Nona Tjiauw terkejut. Sekarang ia ingat cawan yang ayahnya bawa kemulutnya. Jadi itulah
cawan berisikan racun. Lantas saja ia ambil sesapu, akan sapui pecahan cawan, akan
keringkan racunnya.
"Sekarang baik ayah tidur," kata ia, yang terus layani orang tua itu.
Sebentar kemudian nyonya Tjiauw dan semua muridnya Kong Lee dengar kabar yang
melegakan hati itu, semuanya bergirang, walau mereka masih belum pasti, "tuan
penolong" itu akan berhasil atau tidak menolong mereka. Tapi mengingat ketua Kim Liong
Pang itu berlega hati, mereka mau percaya ancaman bahaya sudah dapat diredakan.
Karena ini batallah orang menyingkir pergi dan bubaran....
Ketika itu, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng sudah berlalu dari rumahnya Tjiauw Kong Lee.
"Kau melukis pedang, apakah artinya itu?" Tjeng Tjeng tanya.
"Apakah kau telah tidak dengar sendiri?" Sin Tjie baliki. "Dia sendiri bilang, didalam dunia
ini, asal ayahmu datang, jiwanya bakal ketolongan. Gambar pedang itu adalah gambarnya
Kim Coa Kiam kepunyaan ayahmu."


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tjeng Tjeng manggut, tetapi ia berdiam.
"Kenapa kau hendak tolongi dia?" sesaat kemudian ia tanya.
"Aku lihat Tjiauw Kong Lee itu seorang baik," jawab Sin Tjie. "Dia telah dibikin celaka oleh
sahabatnya yang busuk. Apa mungkin kita melihat kematian dan tak menolongnya"
Apalagi dia adalah sahabatnya ayahmu."
"Ah, aku menyangka kau melihat gadisnya cantik, jadi kau hendak menolong dia...." Kata
si nona. "Adik Tjeng, kau pandang aku orang macam apa?" Sin Tjie gusar.
"Oh, oh, jangan gusar!" Tjeng Tjeng tertawa. "Kenapa dan kau suruh gadis orang datang
kehotel kita untuk cari padamu?"
Mau atau tidak, si anak muda turut tertawa.
"Matamu picik, tak tahu aku bagaimana harus mengobatinya," katanya.
"Hayo sudah, mari turut aku!"
"Hm!" si nona bersuara tetapi kembali dia tertawa. Ia lari keras kearah barat, untuk
menyusul. Sin Tjie tahu tenaganya nona itu, ia sengaja lari sedang-sedang saja, untuk bikin mereka
lari berendeng.
Mereka berlari-lari tidak seberapa lama, sampailah mereka dirumah Bin Tjoe Hoa.
Sin Tjie tarik tangan si nona, untuk ajak dia lompati tembok pekarangan, buat masuk
kesebelah dalam. Dipojok tembok, mereka umpetkan diri.
"Didalam rumah ini banyak sekali orang-orang liehay, asal mereka dapat pergoki kita,
gagallah usaha kita," Sin Tjie bisiki kawannya.
"Jikalau kau hendak bantui nona cantik itu, aku tidak ijinkan!" kata Tjeng Tjeng tapi sambil
tertawa. "Sebaliknya, aku nanti mengacau, aku nanti berteriak-teriak, berkaok-kaok!"
Sin Tjie tertawa, dia tak memperdulikannya.
Keduanya mendekam sekian lama, apabila mereka dapati suasana tetap sunyi, mereka
bertindak maju dengan pelahan-lahan. Kebetulan sekali untuk mereka, satu bujang lelaki
melintas sendirian, dengan tiba-tiba saja dia itu dibekuk seraya diancam untuk tutup
mulut. "Dimana kamarnya tetamu-tetamu she Soe?" Sin Tjie tanya.
Bujang itu ketakutan, ia berikan keterangannya.
"Baik, kau tunggu disini," Sin Tjie bilang. Ia totok urat gagu orang itu habis dia
melemparkannya ketempat pepohonan yang lebat.
Dengan hati-hati, mereka cari kamarnya dua saudara Soe. Langsung mereka menuju ke
jendela. Dengan pakai tenaganya tetapi pun dengan hati-hati, Sin Tjie bongkar daun
jendela. Ia bisa bekerja tanpa menerbitkan suara, setelah mana, ia loncat masuk.
Tjeng Tjeng pun turut masuk.
Peng Kong dan Peng Boen liehay, mereka sedang tidur tapi mereka segera mendusi.
Celakanya untuk mereka, mereka kalah sebat, Baru mereka hendak menegur, jari
tangannya Sin Tjie sudah menotok jalan darah mereka sehingga mereka jadi mati daya.
Begitulah mereka cuma bisa lihat, api dinyalakan, orang merogo kebawah bantal mereka.
Sin Tjie rasai tangannya membentur benda dingin, ia tahu, itulah senjata tajam, maka itu,
berdua mereka lantas geledah latji dan lemari. Mereka dapati beberapa potong pakaian
dan uang, juga senjata rahasia. Masih mereka mencari terus tatkala mereka dengar
tindakan kaki diluar kamar. Maka lekas-lekas Sin Tjie tiup padam apinya.
Didalam gelap mereka mencari terus, malah Sin Tjie geledah saku bajunya orang itu.
Untuk kegirangannya, ia dapati segumpal kertas. Ia ambil semua itu, yang ia masukkan
kedalam sakunya.
"Sudah dapat!" ia bisiki Tjeng Tjeng.
"Mari kita pergi," mengajak si nona. "Rupanya diluar ada orang."
"Tunggu sebentar," sahut Sin Tjie, yang lantas meraba ke meja dengan jeriji tangannya
yang kanan. Nyatalah, dengan jeriji tangan, ia menulis enam huruf besar yang berarti: "Hormat dari
adikmu Tjiauw Kong Lee". Ia menekan keras, enam huruf itu melesak seperti pahatan pada
batu! Dengan loncati pula jendela, dua kawan ini berlalu dari dalam kamarnya dua saudara Soe
itu. Cuaca diluar ada gelap seperti tadinya.
Sekonyong-konyong ada angin berkesiur, lalu sebatang pedang menyambar kearah si
pemuda. Sin Tjie tidak lompat, tanpa kelit ia ulur tangan kirinya, untuk memapaki, cekal
lengannya si penyerang. Tapi penyerang itu sebat sekali, ujung pedangnya mendahului
mengenai ulu hati. Sin Tjie tidak takut, karena ia pakai baju kaos mustika Bhok Siang
Toodjin, ia tidak terluka sedikit juga.
Penjerang itu terperanjat apabila ia rasai ujung pedangnya mengenai barang yang empuk,
ia pun kaget akan rasai lengannya tercengkeram lima jari tangan yang kuat bagaikan sepit
besi, sedang dilain pihak, satu tamparan menyambar kearah mukanya. Dia lekas berontak
sambil berkelit, tapi pedangnya sudah kena terampas. Dalam kagetnya, dia loncat mundur,
terus dia kabur.
Penyerang gelap ini ada Twie-hong-kiam Ban Hong. Dia telah dapat tugas dari Bin Tjoe
Hoa, untuk intai Tjiauw Kong Lee, ia pergi seorang diri. Tapi Hoei Thian Mo-lie Soen Tiong
Koen juga pergi dengan diam-diam, untuk turut mengintai, maka itu, mereka jadi bekerja
sama-sama. Mereka sedang memasang mata ketika tanpa ketahuan lagi, pedangnya nona
Soen disambar Sin Tjie. Mereka kaget, meski mereka tahu, pihak pencuri itu tidak
bermaksud jahat. Coba mereka dibokong, tentu celakalah mereka. Karena ini, keduanya
lantas kabur pulang.
Ban Hong mendongkol bukan main, ia malu sekali, sebab Baru saja keluar, Baru
melakukan pengintaian, orang telah rubuhkan dia. Dan Soen Tiong Koen lebih-lebih
mendongkolnya, nona ini gusar sekali, sebab pedangnya hilang.
Twie-hong-kiam tidak dapat tidur, maka itu, ia pergi keluar kamarnya, untuk mencari angin,
guna legakan pikiran. Tiba-tiba ia lihat api berkelebat didalam kamarnya dua saudara Soe.
Ia kenali, api apa adanya itu. Ia lantas menghampirkan, ia sembunyi diluar jendela, untuk
serang dengan mendadakan pada orang didalam itu sebentar selagi dia keluar. Ia percaya,
dengan satu gebrak saja, ia bakal berhasil. Tapi ia gagal, malah ia dapat malu, karena
pedangnya pun kena dirampas.
Didalam partai Tiam Tjhong Pay, Ban Hong adalah yang paling liehay untuk ilmu
pedangnya Twie-hong-kiam yang semuanya terdiri dari enam puluh empat jurus, hingga di
Selatan, ia sangat dimalui. Didalam ilmu silat, malah dia melebihi toasoehengnya Liong Tit
yang menjadi tjiang-boen-djin, ahliwaris partainya. Sekarang ia menghadapi orang yang
tidak mempan senjata, ia sampai mau menduga apa ia sedang layani hantu.
Tidak ayal lagi, ia bertepuk tangan keras-keras untuk memberi tanda kepada kawankawannya.
Sin Tjei dan Tjeng Tjeng tinggalkan si penyerang yang kabur setelah anak muda itu
berhasil selamatkan diri dari penyerangan gelap, mereka loncati tembok untuk menyingkir,
tapi mereka segera dengar tepukan tangan riuh di empat penjuru, tandanya orang-orang
kaumnya Bin Tjoe Hoa sudah bergerak.
"Mari kita sembunyi," Sin Tjie ajak kawannya. Ia tidak mau berlaku semberono ditempat
dimana ada berkumpul banyak orang liehay itu. Mereka lantas mendekam dikaki tembok.
Diatas genteng segeralah terdengar suara kaki dari orang-orang yang mundar-mandir.
"Eh, apakah ini?" kata Tjeng Tjeng kepada kawannya. "Coba kau raba!"
Ia pegang tangannya Sin Tjie, untuk dibawa ketempat yang ia suruhnya meraba.
Sin Tjie raba kaki tembok, yang sudah penuh lumut. Ia kena pegang batu yang berlobang
disana-sini, seperti ukiran. Ia mengusut-usut dengan ikuti jalannya ukiran itu.
"Inilah huruf Tee," pikirnya. Ia meraba lebih jauh, ia meng-usut-usut pula. Ia menemui
huruf "Soe". Maka ia meraba terus. Sebagai huruf ketiga, ia dapati huruf "Kong", lalu huruf
keempat huruf "Kok". Masih ia meraba terus, hingga ia menemui huruf terakhir, jaitu huruf
"Goei".
Tjeng Tjeng juga turut meraba-raba terus.
Sebagai kesudahan, bukan main girangnya Sin Tjie. Untuk banyak hari, mereka sudah
mencari istana Goei Kok-kong, hasilnya sia-sia belaka, siapa tahu sekarang, diluar
sangkaan, dengan tiba-tiba mereka menemuinya. Inilah yang dibilang : "Orang mencari
sampai sepatu besi yang dipakainya rusak, tak nampak, sekalinya ketemu, begini sedetik
saja." Sebab apabila digabung, kelima huruf itu berbunyi " Goei Kok Kong Soe Tee",
artinya "Istana Goei Kok-kong hadiah kaisar"
Rupa-rupanya, setelah turun menurun banyak tahun, Goei Kok-kong pindah rumah, rumah
yang lama telah dijualnya kepada orang lain, kemudian orang tak ingat lagi istana lama itu.
Selagi Sin Tjie berdiam dengan kegirangan, ia rasai gatal atau geli pada pundaknya,
hingga ia egos lehernya itu.
Itulah Tjeng Tjeng, yang saking girang, sampai lupa segala apa, dia bernapas dari
hidungnya di pundak si pemuda sekali.
"Hus, jangan nakal!" Sin Tjie bentak, tapi dengan pelahan. 'Lihat, musuh datang!"
Benarlah, tiga bajangan lompat lewati tembok, masuk kedalam rumahnya si orang she Bin
itu. "Mari!" pemuda ini mengajak. 'Lekas!"
Menggunai kesempatan tidak ada orang datang kearah mereka, mereka keluar dari tempat
sembunyi, mereka lari dengan keras, hingga dilain saat sampailah mereka dihotel mereka
dengan tidak kurang suatu apa.
Tatkala itu sudah jam empat, semua penumpang hotel lainnya sudah pada tidur, seluruh
hotel jadi sunyi-tenteram.
Tjeng Tjeng lantas nyalakan lilin, dan Sin Tjie rogo keluar surat-surat yang ia rampas dari
sakunya dua saudara Soe. Paling dulu ia jumput dua sampul, yang sudah kuning
menandakan tuanya, suratnya dikeluarkan satu persatu. Untuk kegirangan mereka,
benarlah itu ada surat-surat keterangannya Thio Tjeetjoe dan Khoe Tootay, ialah suratsurat
yang membuat Tjiauw Kong Lee jadi putus asa dan nekat.
Tjeng Tjeng tertawa.
"Sekali ini kau berhasil menolong jiwa ayahnya," katanya," entah dengan apa dia nanti
balas budimu ini...."
"Dia! Dia siapa?" tanya Sin Tjie heran.
Masih Tjeng Tjeng tertawa, malah tertawa geli.
"Siapa lagi, tentunya nona puterinya Tjiauw Kong Lee!" sahutnya. Tak mau Sin Tjie
meladeni orang yang bersifat ke-kanak-kanakan itu. Ia gunai ketikanya untuk membaca
dua surat keterangan itu.
"Apa yang Tjiauw Kong Lee katakan, benar semuanya." Kata dia habis membaca. "Coba
dia mendusta sedikit saja, tidak nanti aku sudi bantu dia, supaya aku tidak usah bentrok
dengan banyak orang kang-ouw apapula dari angkatan tertua, apalagi diantara mereka
termasuk murid-muridnya djie soeheng."
Tjeng Tjeng tertawa pula.
"Dan itu yang dipanggil Hoe Thian Mo-lie sungguh cantik!" menggoda ia.
"Dia itu telengas," Sin Tjie bilang. "Dia berbuat tak berkepantasan! Kenapa tidak keruKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
keruan dia tabas kutung lengan orang?" dia berdiam sebentar. "Apabila aku tidak kuatir
djie-soeheng berkecil hati, pasti aku sudah ajar adat padanya." Kembali ia berdiam, lalu ia
menambahkan : "Sebabnya aku minta nona Tjiauw datang kemari adalah untuk
sembunyikan sepak-terjang kita ini. Apabila diantara kita saudara-saudara seperguruan
terbit sengketa, itu sungguh tidak bagus terhadap soehoe yang telah rawat dan didik aku."
Sekarang Sin Tjie periksa surat-surat yang lainnya, tiba-tiba saja ia jadi sangat gusar, air
mukanya suram. "Kau lihat!" katanya kepada si nona.
Belum pernah Tjeng Tjeng lihat pemuda ini demikian gusar, malah waktu menghadapi
lawan tangguh, dia ada tenang sekali. Sekarang muka orang merah-padam, urat-uratnya
seperti melingkar keluar. Hingga mau atau tidak, ia heran dan kaget sekali. Buru-buru ia
menyambuti surat yang diangsurkan dan baca itu.
Itulah suratnya Kioe-Ong-ya To Djie Koen, pangeran Boan yang disebut-sebut
persaudaraan Soe. Itulah surat rahasia untuk dua saudara Soe itu. Mereka ini diberi
perintah, sesudah memfitnah Tjiauw Kong Lee hingga Kong Lee tumpas, mereka mesti
gunai ketika untuk merampas kekuasaan dalam Kim Liong Pang, supaya anggautaanggauta
perkumpulan rahasia ini bisa dijadikan pekakas, penyambut dari dalam, bagi
penyerbuan bangsa Boan kepada Tionggoan. Peng Kong dan Peng Boen dianjurkan akan
tancap kekuasaan di Kanglam, supaya sambil selidiki rahasia negara, mereka cari kawankawan
orang-orang kang-ouw, untuk bekerja bersama. Mereka mesti sambut serbuan
angkatan perang Boan agar serbuan itu pasti berhasil.
Tjeng Tjeng begitu murka hingga tak dapat ia mengucapkan kata-kata. Ia muda dan besar
kepala, tapi ia mencintai negerinya. Dalam murkanya, setelah sadar, ia hendak robek surat
rahasia itu. Sin Tjie sambar surat penting itu.
"Hei, adik Tjeng, kenapa kau begini semberono?" menegur dia.
Tjeng Tjeng sadar dengan cepat.
"Kau benar," katanya. "Inilah surat bukti!"
"Apakah kau tahu, kenapa dua saudara Soe tidak hapuskan surat ini?" Sin Tjie tanya.
"Aku tahu," jawab si pemudi. "Dia hendak pakai ini untuk pengaruhi Bin Tjoe Hoa!"
"Begitulah pasti," Sin Tjie membenarkan," Aku telah pikir, habis menolongi Tjiauw Kong
Lee, aku hendak lepas tangan, untuk tidak campur lebih jauh urusan mengenai mereka,
siapa tahu disini menyelip urusan amat besar ini. Jangan kata Baru bentrok dengan djiesoeko,
biar ada rintangan lain yang terlebih besar, aku tidak takut."
Bukan main kagumnya Tjeng Tjeng terhadap pemuda ini.
"Memang kita harus campur tangan," iapun kata. "Umpama kata djie-soeheng itu mengadu
kepada gurumu, aku percaya gurumu bakal benarkan pihakmu. Toako, aku bersalah...."
"Apa?"
Pemudi ini tunduk.
"Aku telah goda padamu...." Katanya.
Mendengar itu, Sin Tjie tertawa.
"Sudah, pergilah kau tidur!" kata dia. "Sekarang aku hendak memikirkan daya upaya
dengan cara bagaimana kita bisa hadapi kawanan pengkhianat itu."
Tjeng Tjeng menjadi jinak, ia menurut.
Besoknya pagi, kapan ia mendusi dari tidurnya, Sin Tjie terus bercokol diatas
pembaringan, untuk bersamedhi, akan pelihara napasnya, akan bikin jalan darahnya
sempurna. Diam-diam ia merasa sangat gembira karena semakin lama ia rasai
kemajuannya terus bertambah. Kapan kemudian ia turun dari pembaringan, ia lihat diatas
meja sudah disajikan dua mangkok lektauw serta sepiring yoetiauw. Ia tahu itu ada
sajiannya Tjeng Tjeng hanya ia tidak tahu, kapan itu disiapkannya.
Tiba-tiba saja si nona muncul sambil terus tertawa.
"Hweeshio tua, apa kau sudah selesai sembahyang?" tanyanya.
"Ah, kau bangun pagi-pagi sekali!" kata Sin Tjie sambil tertawa juga.
"Kau lihat ini!" kata si nona, yang tidak sahuti pemuda itu. Dari belakangnya, ia tunjuki
satu bungkusan besar, yang ia letaki dimeja, untuk terus dibuka. Itulah dua perangkat
Kisah Pedang Bersatu Padu 20 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Kisah Pendekar Bongkok 5

Cari Blog Ini