Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
Bukan main marahnya Cin Hai mendengar ini, sedangkan Ang I Niocu dengan muka merah lalu membentak, "Bangsat gundul kurang ajar! Tutup mulutmu dan minggirlah!"
Akan tetapi hwesio tadi memandang heran dan tertawa lagi, "Eh, eh, mengapa marah-marah"
Apakah aku mengganggu kalian?"
"Hwesio gemuk, jangan kau menghadang di depan kami!" kata Cin Hai yang lebih sabar,
"Kami akan mengejar pencuri perahu itu!"
Si Hwesio tertawa terus dan berkata, "Pencuri perahu" Kau maksudkan tosu itu" Ah, dia adalah saudaraku! Kami hanya ingin pinjam sebentar perahumu itu!"
"Bagus, hwesio maling!" kata Ang I Niocu yang segera melompat maju dan mengayun
kepalan tangan menghantam dada hwesio yang gemuk itu. Akan tetapi Ang I Niocu terkejut sekali karena tidak menyangka bahwa hwesio segemuk ini dapat bergerak gesit sekali ketika ia mengelak dari pukulan Ang I Niocu.
"Waduh, ganas... ganas...!" seru hwesio gendut itu yang masih saja tertawa-tawa sungguhpun Ang I Niocu menyerang bertubi-tubi dengan pukulan cepat hingga ia harus mengelak ke sana ke mari dengan repot sekali.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
279 Sementara itu, tosu yang hendak mencuri perahu tadi, ketika melihat betapa saudaranya diserang oleh Ang I Niocu dan terdesak sekali, segera menarik kembali perahu itu ke darat dan berlari-lari ke arah tempat pertempuran.
"Jangan kau memukul Adikku!" teriaknya dan segera menyerang Ang I Niocu. Melihat serangan ini hebat juga datangnya, Cin Hai lalu maju menangkis dan keduanya lalu bertempur ramai! Keadaan tosu ini sama sekali berbeda dengan hwesio itu. Kalau hwesio itu gemuk dan pendek bermuka ramah dan mulutnya selalu tersenyum, adalah Si Tosu ini mukanya seperti orang mewek dan menangis, matanya yang sipit itu seakan-akan memandang dengan sedih hingga membikin sedih pula kepada orang yang melihatnya.
Ang I Niocu biarpun sedang marah, akan tetapi melihat betapa hwesio itu biarpun terdesak sekali masih saja tertawa-tawa dengan muka sama sekali tidak memperlihatkan ketakutan, menjadi tidak tega hati untuk melukainya, dan hanya mendesak dengan ilmu silat yang baru dipelajarinya dari Bu Pun Su, yaitu ilmu Silat Kong-ciak-sin-na hingga hwesio itu tak dapat membalas menyerang dan dipermainkan oleh Ang I Niocu bagaikan seekor kucing. Ang I Niocu memang sengaja menggunakan hwesio itu sebagai ujian bagi ilmu silatnya yang baru dan ia merasa girang sekali mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dipelajarinya dari Bu Pun Su ini memang betul-betul luar biasa.
Sebaliknya dengan mudah Cin Hai pun dapat mendesak Si Tosu. Kemudian, sebelah kakinya berhasil menggaet kaki tosu itu yang segera jatuh terguling-guling dan mengeluh kesakitan.
"Nah, biar kau kapok mendapat hajaran sedikit!" kata Cin Hai. "Dan agar lain kali tidak berani mencoba untuk mencuri perahu lain orang."
Si Tosu itu dengan muka seperti orang menangis menoleh ke arah hwesio yang masih diserang kalang-kabut oleh Ang I Niocu. Ia mengeluh lagi dan berseru. "Ceng Tek, sudahlah baik kita menyerah. Mereka ini bukan makanan kita!" Mendengar kata-kata ini, hwesio gemuk itu lalu melompat mundur dan berkata sambil tertawa, "Sudahlah Nona, pinceng mengaku kalah!" Ang I Niocu menjadi geli hatinya dan ia pun tidak tega untuk menyerbu terus.
"Kalian dua orang tua ini siapakah dan mengapa hendak mencuri perahu kami?" tanyanya.
Kedua pendeta itu saling pandang dan sambil menjura, tosu itu berkata. "Kami dua kakak beradik adalah pendeta-pendeta perantau. Adikku ini bernama Ceng Tek Hwesio dan pinto sendiri bernama Ceng To Tosu. Tadinya kami kira bahwa kalian berdua adalah sepasang orang muda yang hendak berpelesir di sini, maka kami berani mengganggu dan hendak meminjam perahu kalian. Tidak tahunya, melihat pakaian dan kepandaian Nona ini, kami tidak akan heran apabila kau mengaku wanita yang berjuluk Ang I Niocu!"
Ang I Niocu tersenyum. "Memang dugaanmu tepat sekali, Totiang. Aku adalah Ang I Niocu dan saudaraku ini adalah Pendekar Bodoh!"
Kedua mata Ceng To Tosu yang sipit itu dipentang lebar. "Apa" Dengan kepandaiannya seperti itu, ia masih disebut Pendekar Bodoh" Ah, kalau yang bodoh saja kepandaiannya setinggi ini, apalagi yang pintar?" Biarpun tosu ini mengucapkan kata-kata yang mengandung kelakar, namun tetap saja mukanya mewek seperti mau menangis! Dan hwesio pendek gemuk itu tetap tersenyum dengan muka sesenang-senangnya!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
280 Cin Hai tertarik sekali melihat dua saudara yang aneh ini, maka ia lalu bertanya. "Harap kau dua orang suci suka berkata terus terang saja. Sebetulnya mau meminjam perahu kami hendak pergi ke manakah?"
Kini hwesio gemuk itu yang menjawab dan ucapannya penuh kejujuran. "Kami hendak pergi ke laut dan mencari sebuah pulau."
"Pulau Emas?" Cin Hai cepat menyambung dan kedua pendeta itu tercengang.
"Kau... sudah tahu?"
"Tentu saja! Kami hendak pergi ke sana!"
"Aha! Sungguh kebetulan sekali. Sudahkah kalian dua anak muda tahu di mana letaknya Kim-san-to (Pulau Gunung Emas)?"
Terus terang saja Cin Hai menyatakan belum tahu. Kedua pendeta itu lalu saling pandang dan akhirnya Si Tosu berkata,
"Baiklah, sekarang diatur begini saja. Perahu ini cukup lebar untuk ditumpangi empat orang.
Kami berdua membonceng kalian dan sekalian menjadi penunjuk jalan. Kalian mempunyai perahu akan tetapi tidak kenal jalan, sedangkan kami berdua yang kenal jalan tidak mempunyai perahu! Bukankah kita dapat saling menolong?"
Cin Hai dan Ang I Niocu kini saling berpandangan dan akhirnya Cin Hai mengangguk dan berkata,
"Kata-katamu ini pantas juga. Biarlah kita sama-sama mencari pulau itu dan kalian berdua menjadi petunjuk jalan!"
"Akan tetapi perahu kita kecil dan hwesio gemuk ini tentu berat sekali! Asal saja kau tidak banyak bergerak hingga jangan-jangan perahu kita akan terguling dan tenggelam!" kata Ang I Niocu sambil tertawa sehingga mereka berempat sama-sama tertawa gembira. Cin Hai dan Ang I Niocu merasa suka kepada dua orang aneh itu dan mereka dapat menduga bahwa kedua orang ini tentulah orang-orang kang-ouw yang berwatak baik.
Beberapa hari kemudian, keempat orang dalam perahu kecil itu telah sampai di samudera dan mulai dengan usaha mereka mencari Pulau Kim-san-tho. Atas petunjuk kedua pendeta itu, perahu didayung ke kiri dan melalui pantai yang curam dan batu-batu karang yang tinggi.
Ketika perahu mereka bergerak perlahan di tepi batu karang yang tinggi dan hitam, tiba-tiba dari atas menyambar turun bayangan yang cepat sekali gerakannya! Bayangan ini menyambar ke arah dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang telanjang.
Kaget sekali empat orang di dalam perahu itu ketika melihat bahwa yang menyambar adalah seekor burung rajawali yang besar dan buas sekali! Agaknya burung ini tertarik oleh Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
281 kegemukan dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang bergajih dan montok itu, hingga ia menyambar turun hendak mencengkeram daging gemuk itu!
Ceng Tek Hwesio kaget dan hendak berkelit, akan tetapi berat badannya membuat perahu berguncang!
"Hai, jangan bergerak!" Ang I Niocu mencegah dan gadis ini dengan cepat lalu menendang ke arah burung yang menyambar turun itu dan alangkah kagetnya ketika burung itu dengan cepat dapat mengelak tendangannya dan melayang ke atas lagi!
Cin Hai yang berdiri di kepala perahu dan memandang tajam, juga ia merasa kagum melihat ketangkasan dan kecepatan burung yang besar itu. Sedangkan hwesio pendek gemuk itu, melihat bahwa dirinya diserang oleh burung rajawali, hanya tersenyum-senyum dan tertawa ha-ha-hi-hi saja, dan biarpun hatinya berdebar ngeri, akan tetapi mukanya tetap tersenyum.
Sebaliknya, muka Ceng To Tosu makin nampak sedih dan mewek bagaikan benar-benar
hendak menangis tersedu-sedu oleh karena ia merasa kuatir dan juga marah kepada burung pemakan manusia itu.
Kini burung rajawali menyambar turun dari atas dengan cepatnya. Ang I Niocu yang merasa mendongkol melihat tendangannya tadi dapat dikelit oleh burung besar itu, berkata kepada kawan-kawannya,
"Jangan bergerak dan biarkan aku bikin mampus burung celaka itu!" Ketika burung itu mengulur cakarnya dan kembali hendak menyerang hwesio gendut itu, Ang I Niocu cepat menghantam dengan tangan kanannya sekerasnya! Kembali ia tertegun oleh karena burung itu dapat miringkan tubuh dan mengibas dengan sayapnya seakan-akan menangkis pukulan Ang I Niocu! Akan tetapi pukulan itu bukanlah pukulan biasa dan dilakukan dengan tenaga lweekang hingga biarpun burung itu menangkis dengan sayap, namun tubuh burung itu terlempar jauh dan oleh karena sakitnya, tiba-tiba sambil memekik keras burung yang terlempar ke atas itu mengeluarkan kotoran yang jatuh menimpa berhamburan ke arah perahu bagaikan hujan. Kebetulan sekali kotoran itu jatuh tepat ke arah Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang hingga muka dan baju kedua pendeta itu menjadi kotor kena kotoran burung itu.
Ang I Niocu makin gemas dan marah karena burung itu agaknya tidak terluka dan hanya terpental dan kaget saja. Juga burung itu kini terbang berputaran di atas perahu sambil mengeluarkan suara nyaring. Ang I Niocu mencabut keluar pedangnya dan dengan muka merah karena gemas ia berkata,
"Burung keparat, turunlah kalau kau berani!"
Seakan-akan mengerti dan dapat mendengar tantangan gadis itu, burung rajawali yang berbulu kuning emas dan berparuh merah itu memekik panjang dan kembali menyerang turun dan kini bukan menyerang kepada hwesio gendut, akan tetapi langsung menyerang Ang I Niocu, oleh karena agaknya ia marah sekali kepada Dara Baju Merah yang telah dua kali menyerangnya itu.
Burung ini adalah semacam Kim-tiauw atau Rajawali Emas yang jarang terdapat dan yang disebut raja segala burung. Ketika ia menyerang Ang I Niocu, gerak tubuhnya cepat dan tak Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
282 terduga oleh karena ia bukan menyerang langsung dari atas, akan tetapi turun sambil bergerak-gerak ke kanan kiri dengan cepatnya. Ang I Niocu bukanlah sembarangan gadis yang takut akan segala macam burung. Dengan seruan keras, sebelum burung itu menyambar, Ang I Niocu sudah mendahului melompat ke atas sambil menyambar dengan pedangnya.
Burung Kim-tiauw itu kembali secara aneh dapat mengelak dan mumbul lagi ke atas, kemudian berkali-kali ia menyerang turun. Terjadilah pertempuran yang hebat dan indah dipandang antara Ang I Niocu di atas perahu dan burung rajawali yang menyambar-nyambar dari atas. Beberapa kali pedang Ang I Niocu yang hampir dapat memenggal leher burung itu, tiba-tiba dapat disampok dengan sayap atau cakar dengan kuku burung itu, hingga Ang I Niocu menjadi makin marah dan penasaran saja. Biarpun Ang I Niocu belum berhasil membunuh Kim-tiauw, akan tetapi banyak bulu burung itu telah rontok ketika sayapnya menyampok pedang, sedangkan burung itu sama sekali tidak mendapat kesempatan
menyerang gadis perkasa itu.
Sebenarnya kalau ia berada di atas tanah keras, tentu Ang I Niocu sudah berhasil membunuh Kim-tiauw itu, akan tetapi ia berada di atas perahu yang bergerak-gerak hingga membuat gerakannya tidak leluasa sekali. Setelah berkali-kali gagal serangannya, bahkan hampir saja pedang tajam menembus dadanya dan memenggal leher, akhirnya Kim-tiauw itu agaknya mengakui kelihaian Ang I Niocu dan sambil mengibaskan sayapnya yang lebar dan kuat dan mengeluarkan bunyi seperti orang mengeluh panjang, ia lalu terbang pergi dengar cepat sekali hingga sebentar saja tubuhnya hanya merupakan titik kuning emas di langit biru.
Ang I Niocu menyimpan kembali pedangnya dan duduk dengan muka merengut, hatinya
tidak puas sekali karena kegagalannya membunuh burung besar itu, akan tetapi Ceng To Tosu lalu ber kata sambil menghela napas panjang,
"Baiknya kau tidak membunuhnya Lihiap."
"Eh, mengapa, kau berkata baik sedangkan hatiku kecewa sekali karena tidak berhasil membunuhnya?" kata Ang I Niocu sambil memandang heran.
Burung itu adalah burung Kim-sin-tiauw atau Rajawali Sakti Berbulu Emas, dan burung itu di daerah ini terkenal burung pembawa rezeki dan kebahagiaan. Kita telah bertemu dengan dia dan memusuhi kita, hal ini tidak baik sekali, apalagi kalau kau tadi sampai salah tangan dan membunuhnya!"
Diam-diam Cin Hai terkejut sekali mendengar ini, akan tetapi Ang I Niocu berkata, "Burung jahat itu mana bisa membawa kebahagiaan?" Biarpun Cin Hai tidak setuju mendengar ucapan gadis ini akan tetapi oleh karena ia telah maklum bahwa gadis ini tidak takut apa pun juga, ia diam saja dan tidak menyatakan kekuatirannya, hanya berkata memuji,
"Kim-sin-tiauw itu lihai sekali dan gerakannya tangkas dan cepat."
"Kalau di darat ada harimau menjadi raja dan di laut ada naga, maka di udara Kim-sin-tiauw boleh dibilang menjadi raja udara!" kata Ceng Tek Hwesio yang masih tersenyum-senyum seakan-akan kejadian tadi adalah hal yang menyenangkan hatinya!
"Dan raja udara itu hampir saja berpesta pora menikmati kelezatan dagingmu yang gemuk!"
kata Cin Hai dan semua orang tertawa geli, kecuali Ceng To Tosu yang agaknya selama hidup Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
283 tak pernah tertawa, dan ia hanya mengutarakan kegelian hatinya dengan mewek makin menyedihkan!
Kita tinggalkan dulu perahu kecil yang dinaiki empat orang yang sedang mencari Pulau Emas itu, pulau yang aneh dan mengandung rahasia dan yang pada waktu itu menjadikan sebab terjadinya hal-hal yang hebat oleh karena tiga bangsa sedang berusaha merampasnya!
Kerajaan Turki di waktu itu yang telah mendengar tentang adanya Pulau Emas di laut timur Negara Tiongkok telah mengirim dan menyebar para penyelidiknya, di antaranya Yousuf yang cerdik dan yang menjadi orang pertama mendapatkan pulau itu. Di samping menyebar mata-mata, Kerajaan Turki lalu mengirim sejumlah besar tentaranya untuk menyerbu ke daerah ini. Mereka tidak berani melalui daratan Tiongkok, oleh karena maklum bahwa apabila mereka melalui daratan pedalaman Tiongkok, mereka akan menghadapi rintangan-rintangan besar yang memungkinkan gagalnya usaha mereka, oleh karena Tiongkok selain mempunyai daerah luas yang berbahaya, juga memiliki banyak orang pandai yang tentu akan melawan tentara Turki yang menjelajah negaranya. Oleh karena ini, barisan Turki itu mengambil jalan memutar dari utara, bergerak ke timur melalui sepanjang perbatasan Negara Tiongkok dan masuk di daerah Mongol dan mereka ini pun tidak tinggal diam dan melawan barisan asing yang tanahnya. Akan tetapi oleh karena pada waktu itu bangsa Mongol masih belum kuat dan hidupnya berkelompok-kelompok ini dapat dihalau oleh barisan Turki yang kuat.
Barisan Turki ini dipimpin oleh orang-orang pandai, bahkan di dalam barisan terdapat seorang pemimpin aneh yang merupakan seorang pendeta bertubuh besar sekali bagaikan seorang raksasa akan tetapi agak pendek. Pendeta ini berkepala botak, berjenggot hitam dan kaku bagaikan kawat dan yang menyongot ke sana ke mari tidak terawat. Tubuhnya yang gemuk besar itu mengenakan pakaian yang aneh pula, oleh karena pakaian ini terbuat dari banyak macam kain kembang yang ditambal-tambal. Dilihat dari keadaan pakaiannya, pendeta ini lebih pantas disebut seorang pengemis jembel!
Pendeta ini lihai dan sakti sekali dan ia menjadi jago nomor satu di seluruh Kerajaan Turki.
Namanya di Turki terkenal sebagai Balutin, sedangkan pendeta yang telah seringkali merantau di pedalaman Tiongkok ini disebut dalam bahasa Tiongkok sebagai Pouw Lojin.
Oleh karena sering masuk di daerah Tiongkok, maka Balutin pandai bicara dalam bahasa Tionghoa.
Dengan adanya pendeta ini, maka ekspedisi Turki ini tidak mengalami banyak rintangan, oleh karena setiap penghalang yang kuat selalu hancur apabila berhadapan dengan Balutin yang lihai. Selain ilmu silatnya yang tinggi, Balutin juga mahir dalam ilmu sihir, dan lweekang serta khikangnya sudah mencapai tingkat tinggi sekali.
Oleh karena adanya gerakan tentara Turki inilah yang membuat bangsa Mongol gelisah sekali. Mereka ini merasa pun akhirnya dapat juga mencari tahu akan rahasia Kerajaan Turki dan dapat mengetahui bahwa bangsa Turki ini hendak mencari sebuah Pulau Emas di Laut Tiongkok. Maka, bangsa Mongol lalu menguasakan kepada Pangeran Vayami yang cerdik dan untuk menghubungi Kaisar Tiongkok. Ini pulalah sebabnya maka Hai Kong Hosiang diutus oleh kaisar untuk mengundang Pangeran Vayami datang ke istana kaisar. Setelah Vayami bertemu dengan kaisar secara cerdik sekali Vayami lalu menghasut dan memberi tahu bahwa tentara Turki bermaksud mengurung ibu kota Tiongkok dan merampas sebuah pulau di Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
284 Laut Tiongkok yang mengandung banyak emas! Secara cerdik sekali Pangeran Vayami
menghasut dan hendak mengadudombakan tentara Turki dan tentara Tiongkok, sedangkan diam-diam pangeran yang cerdik dan licin ini telah mempersiapkan kaki tangannya untuk secara mendadak menyerbu pulau itu. Ia mengambil siasat "Membiarkan Dua Ekor Anjing Berebut Tulang" dan kemudian diam-diam membawa tulang itu berlari sementara kedua anjing itu masih bergumul!
Akan tetapi, Kaisar Tiongkok pun bukan seorang bodoh, dan seandainya ia sendiri bodoh, namun para penasehatnya adalah orang-orang cendekiawan yang berpemandangan luas. Oleh karena ini biarpun kaisar telah masuk dalam perangkapnya dan mengirimkan barisan besar yang dikepalai oleh Beng Kong Hosiang dan beberapa orang perwira tertinggi kepandaiannya bahkan kepala bayangkari, seorang perwira kekasih kaisar yang amat tinggi kepandaiannya dan bernama Lui Siok In, mendapat tugas khusus untuk memimpin barisan itu bersama-sama Beng Kong Hosiang dan lain-lain perwira, bergerak menuju ke pantai laut di sebelah utara dekat tapal batas Tiongkok, di mana menurut keterangan Pangeran Vayami tentara Turki itu berkumpul. Sementara itu, kaisar memerintahkan Hai Kong Hosiang untuk tetap menemani Pangeran Vayami dengan alasan melindungi keselamatan tamu agung itu dalam
perjalanannya kembali ke negerinya, sedangkan sebetulnya kaisar ini bukan hendak menjaga keselamatan orang, akan tetapi bahkan ingin mengawasi dan mengikuti gerak-geriknya, dan membatasi usaha-usaha kecurangan yang mungkin hendak dilakukan oleh Pangeran Vayami yang cerdik. Oleh karena ini, Hai Kong Hosiang mendapat tugas istimewa dan hwesio ini pun lalu mengajak supeknya, yaitu Kiam Ki Sianjin yang telah pikun dan gagu, akan tetapi masih lihai sekali itu.
Pangeran Vayami lalu keluar dari istana bersama Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin, dan pangeran ini langsung menuju ke utara pula dan memberi tahukan kepada Hai Kong Hosiang tentang adanya Pulau Emas itu. Hai Kong Hosiang walaupun seorang pendeta, namun hatinya tertarik dan ingin sekali mendapatkan gunung emas itu, maka ia pun lalu menyetujui ajakan Pangeran Vayami untuk menyaksikan pulau itu dari dekat dan kalau mungkin mendarat di pulau itu. Hal ini menurut Hai Kong Hosiang tidak ada salahnya, oleh karena tugasnya yang didapat dari kaisar hanya mengawasi dan menjaga agar pangeran ini jangan melakukan sesuatu yang akan merugikan, pendeknya kaisar mencurigai Pangeran Vayami dan Hai Kong Hosiang bertugas mengawasinya.
Ketika tentara Turki yang dipimpin dan dilindungi oleh Balutin itu tiba di tepi pantai laut, mereka berhenti dan memasang kemah. Sementara itu, bagian perlengkapan lalu sibuk membuat perahu-perahu untuk keperluan menyeberang. Biarpun mereka telah lebih dulu menyediakan segala keperluan untuk membuat perahu-perahu ini, akan tetapi oleh karena jumlah tentara yang hendak diseberangkan ini tidak kurang dari seribu orang, maka pembuatan perahu itu makan waktu berhari-hari.
Dan pada waktu mereka sedang sibuk membuat persiapan menyeberang, datanglah tentara Kerajaan Tiongkok yang dipimpin oleh Lui Siok In, Beng Kong Hosiang dan perwira-perwira lain! Tentara Tiogkok lebih banyak jumlahnya dan karena mereka datang di waktu hari telah menjadi gelap, maka tentara Tiongkok di bawah pimpinan Lui Siok In yang pandai, lalu diam-diam mengurung perkemahan tentara Turki. Kemudian, serentak tentara Tiongkok, yang sudah mengurung ini memasang obor hingga keadaan menjadi terang sekali bagaikan siang hari!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
285 Tentu saja, ketika tiba-tiba melihat ribuan obor menyala mengelilingi tempat mereka, tentara Turki menjadi panik. Akan tetapi, Balutin dengan senyumnya yang selalu menghias mukanya yang bulat dan gemuk, berhasil menyuruh anak buahnya berlaku tenang. Mereka
diperintahkan untuk memasang dan memegang obor pula, kemudian ia lalu berdiri di depan barisannya menanti kedatangan musuh.
Lui Siok In dengan tindakan gagah, pedang di pinggang dan sayap garuda menghias topinya, tanda bahwa ia adalah seorang perwira Sayap Garuda tingkat tertinggi, diikuti oleh perwira-perwira lain dan Beng Kong Hosiang, maju menghampiri Balutin dan berkata dengan suara lantang,
"Hai, tentara Turki! Kalian telah melanggar wilayah kami dan karena sekarang kamu telah dikurung dan tak berdaya, maka lebih baik kamu menyerah saja agar menjadi orang-orang tawanan yang akan kami perlakukan dengan baik-baik!"
Di bawah penerangan obor di sekeliling mereka yang dipegang oleh tentara kedua belah fihak, Balutin kelihatan seperti seorang raksasa pendek. Pendeta Turki ini lalu melangkah maju dan sambil tertawa ia menuding ke arah Lui Siok In dan berkata, "Hai, Perwira muda!
Siapakah yang menjadi pemimpin besar barisanmu ini" Suruhlah dia sendiri maju, dan jangan majukan segala perwira hijau untuk bicara dengan aku!"
Mendengar dirinya disebut "perwira hijau" oleh pengemis jembel yang gemuk sekali ini, tentu saja Lui Siok In menjadi marah.
"Bangsat jembel, siapakah kamu?"
Balutin tertawa bergelak sambil memegangi perutnya. "Kau mau tahu aku siapa" Akulah pemimpin besar barisan Turki! Akulah Balutin atau boleh juga kausebut Pouw Lojin! Anak muda, panggillah keluar pemimpin besarmu agar dapat bicara dengan aku!"
Lui Siok In terkejut mendengar bahwa yang berdiri di depannya seperti seorang pengemis jembel ini adalah Balutin sendiri, tokoh yang amat terkenal semenjak tentara Turki menyerbu melalui Mongol. Nama Balutin ini pernah disebut-sebut oleh kaisar sendiri ketika memberi perintah kepadanya untuk memimpin barisan, oleh karena kaisar pun telah mendengar dari Pangeran Vayami yang sangat memuji-muji Balutin sebagai orang gagah dan pemimpin besar. Lui Siok In tidak sudi memperlihatkan kelemahan dan kejerihannya, maka sambil tertawa ia berkata,
"Aha, tidak tahunya pemimpin besar tentara Turki yang bernama Balutin dan yang
disohorkan sangat gagah perkasa itu hanyalah seorang pengemis jembel yang terlantar. Ha-ha-ha! Ketahuilah, Jembel gemuk, akulah pemimpin barisar ini dan namaku Lui Siok In.
Lebih baik kau menyerah saja agar kau dapat diberi makan enak dan tak usah mampus di ujung senjata!"
Balutin memandang heran dan hampir tak percaya bahwa panglima besar tentara Tiongkok hanyalah seorang perwira muda ini. Ia lalu berkata menghina,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
286 "Agaknya Tiongkok sudah kehabisan orang gagah, maka terpaksa memajukan kau sebagai panglima. Mari, hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!'
Sambil berkata demikian, Balutin menengok ke arah pohon yang tumbuh di dekat situ. Daun-daun pohon itu bergantungan di atasnya dan ia lalu menggerakkan kedua tangannya
menampar ke arah daun-daun pohon itu. Angin besar keluar dari kedua lengannya yang dipenuhi tenaga khikang itu dan beberapa helai dauh pohon itu lalu rontok dan melayang ke bawah! Balutin masih menggerak-gerakkan kedua tangannya dan daun-daun pohon yang melayang ke bawah itu bergerak-gerak di udara dan tak dapat melayang turun, seakan-akan tertahan oleh tiupan dari bawah dan kini bermain-main di udara bagaikan hidup!
Lui Siok In terkejut sekali dan ia mengerti bahwa Balutin sedang mempergunakan
kepandaian khikang yang disebut Mempermainkan Daun Rontok! Ia maklum bahwa daundaun ini biarpun ringan, akan tetapi dapat digerakkan dengan tenaga khikang dan dapat dipakai menyerang lawan bagaikan senjata-senjata hasia hebat! Di Tiongkok juga terdapat ilmu ini yang dipelajari sambil menggunakan tenaga khikang dan angin gerakan tangan dapat diarahkan kepada daun-daun itu hingga daun-daun itu dapat digerakkan ke mana saja menurut kehendak orang.
Benar saja sebagaimana dugaan Lui Siok In. Tiba-tiba Balutin lalu membuat gerakan dengan kedua telapak tangannya dan daun-daun itu dari atas lalu menyambar turun hendak
menyerang tubuh Lui Siok In. Perwira muda ini bukan orang sembarangan dan ia juga memiliki kepandaian tinggi. Kalau ia tidak lihai, mana ia bisa diterima menjadi kepala pengawal pribadi kaisar. Ia lalu berseru keras dan membuat gerakan dengan jari-jari tangannya pula yang ditelentangkan. Dari kedua telapak tangannya ini keluarlah tenaga khikang yang hebat pula dan aneh. Daun-daun yang tadinya dari atas melayang naik kembali dan terapung-apung di tengah udara. Pertempuran hebat dan adu tenaga khikang ini berlangsung lama dan menegangkan hingga semua tentara yang memegang obor dan
menyaksikan pertandingan hebat ini menahan napas. Kedua panglima itu berhadapan dengan mata saling pandang dan kedua tangan bergerak-gerak dan diulur ke depan seakan-akan dua orang pengemis sedang minta sedekah, sedangkan daun-daun itu melayang-layang di tengah udara, sebentar menyambar turun, sebentar melayang naik kembali.
Akan tetapi, akhirnya ternyata bahwa Lui Siok In kalah tinggi kepandaiannya dan tenaga khikangnya masih kalah setingkat oleh Balutin yang lihai itu. Beberapa kali kedua orang itu berseru mengerahkan tenaga, dan perlahan tapi tentu, kedua tangan Lui Siok In mulai gemetar, sedangkan pada mukanya yang pucat itu mengucur peluh membasahi jidat dan pipinya. Daun-daun yang bergerak-gerak di udara itu mulai mendesak turun dan makin mendekati kepala Lui Sok In.
Perwira she Lui itu maklum bahwa apabila adu khikang ini diteruskan, keadaannya akan berbahaya sekali. Maka secepat kilat ia lalu membuat gerakan Ikan Gabus Melompat Tinggi, menjatuhkan diri ke belakang sambil membuat gerakan berjungkir balik, lalu cepat menjatuhkan diri pula sambil bergulingan di atas tanah. Ia memang harus menggunakan gerakan ini, karena kalau tidak ia akan terpukul oleh tenaga khikang yang telah menekan dan mendesaknya. Dengan cara bergulingan itu ia memulihkan aliran darahnya kembali dan membebaskan ia daripada serangan daun-daun itu yang lalu meluncur dan jatuh ke atas tanah.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
287 Balutin tertawa bekakakan sambil bertolak pinggang. "Ha-ha-ha! Hanya begitu saja kepandaianmu, Perwira muda! Dan kau berani bersombong hendak menawan aku" Ha-ha-ha!"
"Balutin jembel busuk, jangan sombong!" teriak Lui Siok In dengan marah sekali dan ia lalu mencabut pedang dan menyerang Balutin dengan hebat. Balutin hanya tertawa dan ia memberi tanda ke belakang sambil mengelak ke samping. Seorang pembantunya segera melompat dan melemparkan sebatang tongkat yang panjang dan besar kepada Balutin. Setelah Balutin menerima senjatanya ini ternyata oleh Sui Siok In bahwa senjata itu adalah sebatang tongkat yang nampaknya berat sekali dan entah terbuat dari apa, karena kekuning-kuningan dan berkilau bagaikan emas. Maka keduanya lalu bertanding hebat sekali dan para tentara yang tadinya bersorak-sorak saja menyaksikan pertandingan ini, lalu bergerak maju makin mendekat! Perwira-perwira kedua belah fihak telah melompat maju dan pertandingan semakin seru hingga akhirnya kedua barisan maju saling gempur menimbulkan suara hiruk-pikuk!
Ujung pedang, golok dan lain-lain senjata berkelebat dan berkilauan di bawah sinar obor dan terdengarlah pekik jerit kemenangan tercampur keluh kesakitan. Darah mengucur keluar bersama peluh dan membasahi tanah yang terpaksa harus menerima segala kengerian yang dilakukan oleh manusia-manusia tu!
Balutin benar-benar tangguh sekali. Baru bertempur beberapa puluh jurus saja maklumlah Lui Siok In bahwa ia takkan dapat mengalahkan pendeta gemuk ini, maka ia lalu berteriak memberi perintah hingga beberapa orang perwira maju mengeroyok. Juga Beng Kong
Hosiang tidak ketinggalan mengeroyok Balutin. Kepandaian Beng Kong Hosiang setingkat dengan kepandaian Lui-ciangkun, maka tentu saja ketika ia pun ikut menyerbu dengan perwira-perwira lain, Balutin mulai terdesak. Akan tetapi, dua orang perwira Turki maju dengan ilmu silat mereka yang aneh dan cepat hingga kembali pihak Balutin dan kawan-kawannya yang mendesak hebat!
Beng Kong Hosiang yang melihat betapa pihaknya terdesak hebat, menjadi marah sekali. Ia lalu memutar-mutar senjatanya yang istimewa, yaitu pacul yang bergagang bengkok itu dan menyerang Balutin dengan sepenuh tenaga. Memang semenjak tadi, yang diperhatikan oleh Balutin hanya Beng Kong Hosiang yang menyerangnya dengan ganas, maka ia cepat
menangkis dan kedua orang ini bertempur seru sekali. Pada suatu saat, ketika Beng Kong Hosiang menyerampang kaki Balutin dengan paculnya, Balutin lalu menangkis sekuat tenaganya hingga terdengar bunyi keras sekali dan gagang pacul Beng Kong Hosiang telah patah! Akan tetapi, tongkat di tangan Balutin juga terlepas dari pegangan. Demikian hebat dan keras benturan tenaga itu! Melihat betapa senjatanya telah patah, Beng Kong Hosiang berseru keras dan ia menyambitkan sisa senjatanya ke arah Balutin yang mengelak cepat. Gagang pacul yang disambitkan itu meluncur cepat bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya dan dengan jitu menancap di dada seorang Turki yang bertempur di belakang Balutin!
Beng Kong Hosiang masih marah dan bagaikan seekor banteng terluka, ia lalu menubruk maju ke arah Balutin dengan Eng-jiauw-kang atau Cengkeraman Kuku Garuda! Tangan
kirinya mencengkeram ke arah dada dan tangan kanannya ke arah leher lawan! Serangan ini hebat sekali dan Balutin berseru keras, menundukkan kepala untuk menghindari serangan leher dan serangan tangan pada dadanya ia tangkis dengan tangan kiri. Akan tetapi, gerakan Beng Kong Hosiang cepat dan ganas sekali hingga ketika lengan kiri Balutin menangkis, Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
288 maka tangan kirinya itu berhasil mencengkeram lengan tangan Balutin yang menangkis!
Balutin berseru kesakitan dan tangan kanannya lalu memukul ke dada lawan.
"Buk!" terdengar suara keras ketika pukulan tangan ini dengan jitu menghantam dada Beng Kong Hosiang. Pukulan ini keras sekali datangnya hingga dari mulut Beng Kong Hosiang keluar darah segar dan tubuh hwesio itu terpental ke belakang dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Akan tetapi, cengkeraman tangannya pada lengan kiri Balutin masih belum terlepas hingga tubuh Balutin terbawa maju.
Balutin cepat sekali menggunakan jarinya mengetuk sambungan siku lawannya yang telah mati itu. Urat lengan Beng Kong Hosiang yang telah kaku itu ketika kena totokan ini menjadi mengendur dan pegangan atau cengkeramannya terlepas hingga tubuhnya lalu menggelinding ke bawah.
Balutin memandang ke arah lengan kirinya yang telah menjadi matang biru karena
cengkeraman lawan tadi! Ia menggeleng-geleng kepala dan kagum akan ketangguhan Beng Kong Hosiang. Luka di lengan kirinya tidak berbahaya, maka ia lalu mengambil senjatanya lagi dan mengamuk hebat. Banyak perwira roboh di bawah pukulan tongkatnya.
Sementara itu, tentara Tiongkok yang kurang terlatih oleh karena kaisar dan para perwira hanya ingat bersenang-senang saja selama ini, tidak kuat pula menghadapi tentara musuh.
Apalagi mereka baru habis melakukan perjalanan hingga keadaan mereka masih lelah sekali, sedangkan pihak musuh sudah berhari-hari beristirahat di situ, maka biarpun jumlah mereka lebih besar, namun korban yang jatuh di pihak mereka juga lebih banyak.
Melihat kerugian yang diderita oleh pihaknya dan melihat kelihaian Balutin, Lui Siok In lalu memberi perintah mundur, sedangkan ia sendiri pun lalu melompat mundur. Tentara
Tiongkok menarik diri dan mundur. Beberapa orang perwira segera diutus untuk mencari bala bantuan!
Tentara Turki tidak mau mengejar oleh karena mereka mempunyai tugas yang lebih penting, yaitu menyelesaikan pembuatan perahu untuk dipakai menyeberang dan mengurus korban yang roboh di pihak mereka. Mereka hanya berjaga jaga saja kalau-kalau pihak musuh menyerbu lagi.
Akan tetapi, oleh karena bala bantuan yang diharapkan masih jauh dan belum tentu akan dapat segera datang maka pihak Turki mendapat kesempatan untuk menyelesaikan pembuatan perahu dan mereka lalu beramai-ramai menurunkan perahu-perahu itu ke air dan mulai berlayar! Beberapa orang kawan Yousuf yang dulu bersama-sama pergi mendapatkan Pulau Emas itu, menjadi penunjuk jalan. Ketika bala bantuan yang diharapkan datang jauh letaknya dari tempat itu pihak tentara kerajaan pun lalu mempergunakan perahu-perahu untuk mengejar hingga terjadi pengejaran ramai di atas laut. Akan tetapi perahu-perahu Tiongkok ini terlambat dua hari hingga tertinggal jauh.
Dengan mempergunakan sebuah perahu besar dan mewah, Pangeran Vayami, pangeran
bangsa Mongol yang menjadi pemimpin Agama Sakia Buddha itu berlayar ditemani oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Di atas perahu besar ini telah disediakan dua buah perahu-perahu kecil untuk keperluan khusus dan perahu ini berlayar cepat ke tengah samodra.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
289 Ketika terjadi pertempuran di malam hari, Pangeran Vayami dan Hai Kong Hosiang melihat dari atas perahu mereka. Akan tetapi mereka hanya melihat obor menerangi seluruh tepi dan mendengar suara teriakan mereka yang berperang. Diam-diam Pangeran Vayami bersorak girang di dalam hatinya oleh karena tipu dayanya berhasil baik. Ia telah memberi perintah kepada anak buahnya, yaitu pendeta-pendeta Sakia Buddha untuk dengan diam-diam menuju ke Pulau Emas yang diperebutkan itu.
Tipu daya Pangeran Vayami amat jahat dan licin. Ia memerintahkan para pengikutnya itu untuk mengangkut harta benda berupa emas yang berada di pulau itu, setelah berhasil mencari dan mengangkutnya ke perahu, para pendeta itu diharuskan membakar sebuah telaga yang mengandung minyak bakar agar pulau itu terbakar habis!
Sebetulnya, ketika mendengar akan adanya Pulau Emas itu, Pangeran Vayami pernah pergi menyelidiki dan ia mendapat kenyataan bahwa pada malam hari, pulau itu mengeluarkan cahaya berkilauan dan terang sekali seakan-akan gunung di pulau itu seluruhnya terbuat dari pada emas yang bersinar gemilang, Akan tetapi, ketika ia mendarat di pulau itu, ia tidak bisa mendapatkan di mana adanya emas yang bercahaya di waktu malam itu, bahkan yang
didapatkannya hanya sebuah telaga kecil yang airnya berkilauan dan berwarna kehitam-hitaman. Untuk penyelidikan, ia mengambil sebotol air dan ketika pada malam harinya ia membuat penerangan, hampir saja tangannya terbakar. Tangan yang masih basah terkena benda cair itu tercium api, lalu bernyala hebat! Ia tidak tahu bahwa pulau itu mengandung minyak tanah dan hanya menduga benda cair di telaga itu adalah air mujijat yang mudah terbakar. Ia lalu menyulut air di dalam botol itu yang berkobar dan terbakar dengan mudah sekali. Oleh karena inilah, ia menggunakan tipu daya untuk membakar telaga itu apabila emas sudah terdapat oleh kaki tangannya, agar semua orang yang berada di pulau itu dan hendak mencari emas, termakan habis oleh api yang membakar pulau dan anak buahnya dapat melarikan emas itu dengan aman!
Tentu saja ia tidak memberitahukan kepada Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin tentang tipu dayanya ini, oleh karena ia pun maklum bahwa kedua orang tua luar biasa ini mendapat tugas untuk menjaga dirinya, dan ia dapat menduga pula bahwa kaisar telah mencurigainya!
Pangeran Vayami sengaja memutar-mutar perahunya dan tidak mau membawa Hai Kong
Hosiang menuju ke pulau itu untuk memberi kesempatan kepada anak buahnya. Demikianlah, perahunya hanya berputaran melalui pulau-pulau yang banyak sekali itu, dan ketika rombongan perahu Turki menyeberang ke lautan, Pangeran Vayami merasa kuatir sekali.
Anak buahnya belum kelihatan kembali dan sekarang perahu-perahu Turki telah menyeberang ke pulau itu! Ia menjadi gelisah sekali, terutama ketika melihat betapa rombongan perahu tentara kerajaan mengejar pula. Celaka, pikirnya, pulau itu tentu akan penuh dengan tentara kedua pihak dan mungkin sekali akan terjadi perang hebat di pulau itu. Bagaimana anak buahnya akan dapat bekerja baik"
Ia ingin sekali pergi ke pulau itu untuk memimpin sendiri pekerjaan anak buahnya, akan tetapi ia tidak berdaya oleh karena selalu ditemani oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Tiba-tiba Pangeran Vayami yang cerdik ini mendapatkan akal baik.
Ketika itu, Hai Kong Hosiang juga berdiri di kepala perahu dan melihat betapa perahu-perahu Turki telah mendahului berlayar dan kemudian dikejar oleh perahu-perahu tentara kerajaan, Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
290 dan hwesio ini memandang dengan kuatir. Ia dapat menduga bahwa peperangan semalam tentu dimenangkan oleh pihak musuh, kalau tidak demikian tentu musuh tak akan dapat menyeberang!
"Hai Kong Bengyu," kata Pangeran Vayami. "Apakah kau dapat menduga apa yang
menjadikan kegelisahan hatiku?"
Hai Kong Hosiang sebenarnya dapat menduga bahwa Pangeran Mongol ini tentu menjadi gelisah dan kuatir melihat pergerakan barisan Turki itu, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu dan menggelengkan kepala.
"Hai Kong Bengyu, tidakkah kau melihat betapa barisan Turki sudah mempergunakan
perahu-perahu dan menyeberang ke pulau-pulau" Ini berarti bahwa barisan kerajaanmu telah kalah perang! Dan apakah kau tega melihat hal itu terjadi begitu saja" Kurasa di pihak barisan Turki terdapat orang-orang pandai maka memang sebaiknya kau dan supekmu tinggal saja di sini."
Pangeran Vayami di samping mencela juga menyinggung-nyinggung hati pendeta itu, akan tetapi Hai Kong Hosiang diam saja, seakan-akan tidak mengerti akan maksud sindiran Pangeran Vayami.
"Untung sekali kau berada di sini, Hai Kong Bengyu, kalau kau ikut menyerbu tentu kau berada dalam bahaya. Aku mendengar bahwa panglima Turki yang bernama Balutin atau Pouw Lojin, amat sakti dan lihai hingga kurasa tidak ada orang Han (Tionghoa) yang mampu mengalahkannya!"
Hai Kong Hosiang tak dapat menahan sabarnya lagi dan ia memandang kepada Vayami
dengan mata mendelik. Akan tetapi Vayami tidak mempedulikannya bahkan berlaku seakan-akan tidak melihat kemarahan Hai Kong Hosiang, dan ia menambah omongannya seperti berikut,
"Celaka sekali. Aku mendengar bahwa suhengmu yang bernama Beng Kong Hosiang juga ikut dalam barisan kerajaan! Jangan-jangan Suhengmu terkena celaka, oleh karena aku merasa ragu-ragu apakah dia sanggup menghadapi Balutin yang sakti itu?"
"Vayami! Kau sungguh-sungguh memandang rendah kekuatan kami! Kaukira aku takut
kepada segala macam orang seperti Balutin itu" Baik! Aku dan Suhuku akan menyusul dan menghancurkan mereka itu, anjing-anjing bangsa asing yang kurang ajar!" Dalam makian ini, otomatis Vayami terkena dimaki juga, karena bukankah ia pun di hadapan Hai Kong Hosiang merupakan orang asing pula"
Hai Kong Hosiang lalu memberitahu kepada supeknya yang gagu itu, dan Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk menyatakan setuju untuk menggempur barisan Turki. Hai Kong
Hosiang lalu menurunkan sebuah daripada perahu kecil yang berada di situ, kemudian ia menghampiri Vayami dan berkata,
"Pangeran Vayami, aku dan Supek akan pergi dulu, dan kau..." Setelah berkata demikian, secepat kilat Hai Kong Hosiang mengulurkan tangan menotok, Vayami terkejut sekali, akan tetapi terlambat, oleh karena jari tangan Hai Kong Hosiang telah menotok jalan darahnya Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
291 dengan tepat hingga pangeran itu roboh terduduk dengan tubuh lemas dan tak mampu bergerak lagi.
"Maaf, Pangeran Vayami. Aku terpaksa melakukan ini untuk menjaga agar kau tidak bisa sembarangan bergerak." Hai Kong Hosiang lalu tertawa bergelak-gelak dengan girangnya dan Vayami terpaksa tak dapat berdaya sesuatu dan hanya memandang keberangkatan dua orang itu dengan hati gemas dan mendongkol sekali.
Sambil tertawa-tawa puas melihat hasil kecerdikannya, Hai Kong Hosiang dan Kam Ki Sianjin mendayung perahu kecilnya menuju ke arah pulau di mana kedua barisan itu menuju.
Di atas pulau itu telah terjadi pertempuran hebat lagi antara barisan kerajaan yang telah mendapat bala bantuan. Akan tetapi, kembali Balutin mengamuk dan puluhan perajurit kerajaan tewas dalam tangannya. Banyak perwira mengeroyoknya, akan tetapi tak seorang pun yang dapat menandingi kelihaian pendeta gemuk ini.
Ketika tiba di tempat pertempuran, Hai Kong Hosiang mendengar tentang kematian
suhengnya di tangan Balutin, maka bukan kepalang marahnya. Sambil mencabut keluar tongkat ularnya, ia melompat dan menerjang Balutin sambil berteriak,
"Balutin bangsat besar! Akulah lawanmu!" Ia lalu menyerang dengan hebat sekali. Balutin terkejut melihat sepak terjang pendeta ini dan melawan dengan hati-hati. Mereka berdua ternyata merupakan tandingan yang setimpal dan seimbang, baik dalam kepandaian maupun dalam kehebatan tenaga mereka. Tak seorang perwira dari kedua pihak berani maju mendekat oleh karena beberapa orang perwira yang mencoba untuk membantu kawan, ternyata baru beberapa gebrakan saja telah roboh dan tewas oleh amukan kedua orang yang sedang bertempur sengit ini. Keduanya mengeluarkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Adapun Kiam Ki Sianjin yang sudah tua itu memandang dan menonton dari pinggir saja, akan tetapi dengan penuh perhatian dan siap menolong apabila Hai Kong Hosiang berada dalam bahaya.
Perahu besar Vayami yang ditinggal seorang diri terapung-apung di atas laut, terdampar ombak dan kebetulan sekali mendekati pulau itu. Tiba-tiba kelihatan perahu kecil yang cepat sekali majunya dan perahu ini bukan lain adalah perahu yang ditumpangi oleh Cin Hai, Ang I Niocu, Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu. Melihat perahu besar yang terombang-ambing seakan-akan tidak ada orangnya yang mengemudikannnya itu, Cin Hai dan Ang I Niocu lalu melompat ke atas perahu itu dan meninggalkan tosu dan hwesio itu di dalam perahu kecil.
Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat Vayami duduk tak bergerak bagaikan patung batu. Juga Vayami terkejut sekali melihat kedua orang ini, akan tetapi ia hanya dapat duduk tanpa mengeluarkan suara apa-apa. Cin Hai maklum bahwa pangeran ini berada di bawah pengaruh totokan, maka ia lalu mengulurkan tangan memulihkan totokan yang mempengaruhi tubuh Pangeran Vayami.
Pangeran Vayami lalu berdiri menjura dengan hormat sekali kepada Cin Hai dan Ang I Niocu.
"Terima kasih, Taihiap. Sukur engkau datang menolong, kalau tidak entah bagaimana dengan nasibku yang buruk ini." Sambil berkata demikian, ia mengerling kepada Ang I Niocu dengan bibir tersenyum, akan tetapi hatinya berdebar khawatir dan takut!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
292 Cin Hai dan Ang I Niocu merasa sebal dan benci melihat pangeran ini, akan tetapi mereka berdua tertarik untuk mengetahui apakah yang sedang dilakukan oleh pangeran aneh dan licin ini di atas perahu di dekat Pulau Emas itu.
"Bagaimana kau bisa berada di sini seorang diri dan berada dalam keadaan tertotok orang"
Siapakah yang melakukan itu dan apa pula maksudmu berada di sini?" tanya Cin Hai tanpa memakai banyak peradatan lagi.
Pangeran Vayami menghela napas da ia mengebut-ngebutkan pakaiannya yang indah model bangsawan Han itu. "Dasar Hai Kong Hosiang yang jahat dan berhati palsu!"
Cin Hai girang sekali mendengar nama itu disebut-sebut. "Eh, apakah bangsat Hai Kong Hosiang berada di sini" Katakanlah di mana dia!"
Vayami menghela napas dan memutar otaknya yang licin dan cerdik. Ia maklum bahwa di antara Hai Kong dan anak muda ini tentu terdapat permusuhan besar sekali hingga pemuda ini selalu berusaha membunuhnya, dan ia teringat pula bahwa dulu Cin Hai di perahunya pernah memberitahu bahwa Hai Kong Hosiang adalah musuh besarnya. Maka ia lalu mengarang sebuah alasan untuk mengadu domba lagi demi keuntungannya sendiri.
"Sebagaimana kauketahui Hai Kong Hosiang membawaku untuk menemui kaisar, akan tetapi hwesio itu mendengar bahwa aku mengetahui tentang Pulau Emas di laut ini, lalu timbul hati jahatnya dan bersama Supeknya yang gila dan gagu itu, ia memaksa aku mengantarkan mereka berdua ke sini! Akan tetapi setelah sampai di sini dan mengetahui tempat itu dia lalu menotokku dan mencuri perahu kecilku dan bersama dengan Supeknya ia lalu menuju ke sana!"
Mendengar tentang Pulau Emas ini tiba-tiba Ang I Niocu dan Cin Hai teringat kepada si tosu dan si hwesio yang tak kelihatan lagi, dan ketika mereka memandang ternyata perahu kecil itu telah bergerak maju dan telah jauh meninggalkan tempat itu!
"Hai...!!" Ang I Niocu berteriak marah "Kembalilah kalian!!"
Akan tetapi dari jauh kedua pendeta hanya melambaikan tangan saja, si hwesio tetap tertawa dan si tosu tetap mewek! Ang I Niocu marah sekali dan hendak menggunakan perahu kecil yang berada di perahu besar Vayami itu untuk mengejar, akan tetapi Vayami mengangkat kedua tanganya dan berkata mencegah,
"Lihiap janganlah mengejar, mereka akan pergi ke Kim-san-to, biarlah mereka ikut dibakar hidup-hidup!"
Ang I Niocu dan Cin Hai terkejut dan memandang kepada pangeran yang tersenyum-senyum girang itu dengan heran. Pada waktu itu, hari telah gelap dan angin bertiup kencang.
"Pangeran Vayami, apa maksudmu dengan ucapan tadi?" tanya Cin Hai dan Ang I Niocu tidak jadi mengejar kedua pendeta itu oleh karena ia pun tidak mempunyai urusan dengan mereka. Tadi ia hendak mengejar hanya karena marah saja dan kini kedua pendeta itu telah lenyap dan tak tampak lagi pula.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
293 Vayami tersenyum dan berkata, "Sebelum aku menceritakan kepada kalian, lebih dahulu bantulah aku memasang layar ini karena aku hendak memperlihatkan sebuah pemandangan indah kepada kalian!"
Cin Hai lalu membantunya memasang layar dan sebentar perahu besar itu bergerak laju ke kanan. Ternyata Vayami yang juga pandai mengemudikan perahu, memutarkan perahunya mengelilingi Pulau Kim-san-to dan berada di belakang pulau setelah melakukan pelayaran lebih dari dua jam.
"Nah, kalian lihat itu!" kata Pangeran Vayami menunjuk ke pulau.
Ang I Niocu dan Cin Hai cepat memandang dan mereka berdua menjadi tercengang sekali melihat pemandangan yang mereka lihat di depan mereka. Di atas Pulau Kim-san-to itu kelihatan sebuah bukit yang menjulang tinggi dan berujung runcing. Kini di dalam gelap senja, bukit itu nampak bercahaya dan seakan-akan mengeluarkan sinar yang berkilauan!
Puncak bukit itu nampak nyata berwarna putih kuning kemerah-merahan bagaikan emas murni, dan di bawah bukit membentang pohon-pohon yang gelap dan hitam. Ang I Niocu berdiri di pinggir perahu dengan penuh takjub hingga gadis itu untuk beberapa lama berdiri tak bergerak bagaikan patung! Sementara itu Cin Hai yang dapat menekan perasaan heran dan kagetnya, segera minta keterangan dari Vayami!
"Ketahuilah, Taihiap, inilah Bukit Emas yang dicari-cari oleh mereka semua! Tentu kau juga telah melihat bahwa tentara-tentara Turki dan tentara kerajaan telah saling gempur dan sekarang ini pun saling bertempur mati-matian di atas pulau itu untuk memperebutkan Bukit Emas itu, semua orang yang berjumlah ribuan itu, mereka berebut mati-matian untuk memiliki Bukit Emas. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa mereka telah berada di tepi neraka, Ha, ha! Juga Hai Kong yang jahat itu sebentar lagi takkan dapat menyombongkan kepandaiannya karena ia pun akan mati terpanggang api, di pulau itu, ha, ha, ha!"
Mendengar keterangan ini, Cin Hai merasa heran sekali dan ia lalu membentak, "Pangeran Vayami! Kaujelaskanlah semua ini kepadaku! Apakah maksudmu?"
Setelah berusaha sekerasnya untuk menekan kegirangan dan kegelian hatinya yang hendak tertawa saja, Vayami lalu berkata lagi,
"Dengarlah, Taihiap dan kau juga, Lihiap. Kami orang-orang Mongol tidaklah segoblok orang-orang Turki atau orang-orang dari kaisarmu itu. Aku tidak sudi harus bersusah payah mengerahkan barisan tentara untuk memperebutkan pulau ini. Sebentar lagi, pulau ini akan menjadi lautan api dan semua emas akan berada di tanganku. Ya, semua emas akan berada di tangan Pangeran Vayami!"
Cin Hai makin heran dan ia memandang Pangeran Pemuka Agama Sakya Buddha yang muda dan tampan ini. Ia melihat bahwa pakaiannya pemberian kaisar sebagai hadiah dan tanda perhahabatan, akan tetapi tetap saja mukanya masih jelas bahwa ia adalah seorang Mongol.
Cin Hai sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Pangeran Vayami yang cerdik ini sengaja membawa perahunya ke tempat itu oleh karena memang ia telah berjanji kepada anak buahnya untuk menanti dengan perahu besar di tempat itu untuk menerima mereka setelah selesai mengerjakan tugas mereka.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
294 Pangeran Vayami memang mempunyai pikiran yang cerdik sekali. Ia maklum bahwa Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianli lihai sekali, maka setelah melihat munculnya Cin Hai dan Ang I Niocu, ia berniat menarik kedua orang ini untuk menjadi pembela-pembelanya dan untuk menghadapkan kedua orang gagah ini kepada Hai Kong Hosiang apabila hwesio itu muncul untuk mengganggunya. Oleh karena ia menganggap bahwa kedua orang muda gagah ini tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan Turki maupun dengan tentara kerajaan, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu melanjutkan ceriteranya dengan suara yang jelas menyatakan kebanggaan akan kecerdikannya.
"Orang-orang Turki dan barisan kerajaan kaisar sedang memperebutkan harta di pulau itu, dan oleh karena mereka sedang bertempur mati-matian, mereka sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk mencari emas itu yang belum dapat diketahui pasti di mana tempatnya.
Dan diam-diam aku telah menyuruh anak buahku yang tiga puluh enam orang banyaknya untuk mencarinya semenjak tiga hari sebelum tentara-tentara kedua pihak itu tiba dan telah memerintahkan apabila mereka telah dapat mengangkut harta itu, mereka segera harus membakar sebuah danau di pulau itu yang airnya dapat terbakar seperti minyak domba!
Bahkan aku memerintahkan agar seluruh hutan di situ dibakar semua sampai habis, baru mereka mengangkat kaki dan mengangkut semua emas itu ke sini!"
Cin Hai dan Ang I Niocu bergidik memikirkan kekejian orang ini, dan Cin Hai yang teringat kepada Lin Lin tiba-tiba menjadi pucat wajahnya dan saling pandang dengan Ang I Niocu.
Juga Ang I Niocu teringat bahwa Lin Lin diduga pergi ke pulau itu, maka cepat bertanya,
"Bilakah kiranya perintahmu yang kejam itu dilakukan?"
Vayami memandang dengan muka berseri. "Malam ini, tepat tengah malam, jadi tak lama lagi!" katanya sambil memandang ke arah pulau dan diam-diam pangeran ini juga merasa kuatir sekali oleh karena orang-orangnya yang ditunggu-tunggu belum kelihatan muncul seorang pun.
Ang I Niocu dan Cin Hai merasa makin terkejut. "Vayami, tahukah kau di mana adanya seorang Turki Yang bernama Yousuf?" tanya Cin Hai yang teringat bahwa Lin Lin, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng berlayar dengan orang Turki ini dan nama ini ia dengar dari dua orang nelayan yang menceritakan pengalaman mereka dulu.
Vayami berubah air mukanya mendengar nama ini. Ia pernah bertemu dengan Yousuf dan tahu akan kelihaian orang Turki ini yang sebenarnya menjadi penemu pertama dari Kim-san-to. "Kau mencari setan itu" Ha, ha, ha! Tentu dia juga berada di pulau itu. Ya, setan yang bernama Yousuf itu pun berada di atas pulau dan sebentar lagi ia pun akan musnah!"
"Dan kawan-kawannya yang berlayar bersama dia?" tanya pula Cin Hai dengan suara
gemetar. "Kawan-kawannya?" kata Vayami yang menyangka bahwa kawan-kawannya yang
dimaksudkan oleh Cin Hai ini tentulah orang-orang Turki lainnya. "Ha, ha, ha! Semua kawan-kawan Yousuf juga akan terpanggang mampus di pulau itu."
"Bangsat besar!" Tiba-tiba Cin Hai memaki dan ketika tangannya menampar, pipi Vayami kena ditampar hingga giginya rontok dan tubuhnya terguling ke atas papan perahu. Pangeran Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
295 ini mengeluh dan merintih-rintih sambil memegang-megang pipinya yang menjadi matang biru dan memandang kepada Cin Hai dengan heran.
"Niocu, jaga bangsat ini! Aku hendak menyusul Lin Lin!"
"Jangan Hai-ji! Pulau itu sebentar lagi akan terbakar dan siapa tahu, danau berminyak itu bisa meledak'!' kata Ang I Niocu dengan wajah pucat.
"Lin Lin berada di sana, bahaya besar apakah yang dapat mencegah aku pergi
menolongnya?" tanya Cin Hai dengan napas memburu dan ia lalu pergi ke perahu kecil dan hendak melemparnya ke air untuk dipakai menyusul ke Pulau Kim-san-to.
Akan tetapi, pada saat itu, ia melihat bahwa perahu itu telah dikelilingi oleh banyak perahu-perahu kecil dan tiba-tiba dari perahu-perahu kecil itu berlompatan naik tubuh orang-orang tinggi besar yang berjubah merah. Ternyata orang-orang ini adalah anak buah Pangeran Vayami, pendeta-pendeta Sakia Buddha yang berilmu tinggi dan yang kini berlompatan ke atas perahu besar dengan senjata di tangan. Jumlah mereka banyak sekali hingga terpaksa Cin Hai melompat mundur ke dekat Ang I Niocu bersiap sedia menghadapi keroyokan.
Pangeran Vayami ketika melihat bahwa tiba-tiba anak buahnya muncul, menjadi girang sekali dan ia lalu timbul pikiran jahat. Memang hatinya amat tertarik oleh kecantikan Ang I Niocu dan kalau saja kepandaiannya lebih tinggi dari Gadis Baju Merah yang cantik jelita itu, tentu ia telah memaksa Ang I Niocu untuk menjadi isterinya. Kini melihat datangnya semua anak buahnya yang ia percaya akan dapat menundukkan kedua anak muda itu dengan
keroyokan, lalu ia memerintah,
"Tangkap pemuda itu dan lempar dia ke laut! Tapi jangan ganggu gadis itu dan tawan dia."
Bagaikan serombongan anjing pemburu yang terlatih dan mendengar perintah tuannya, tiga puluh enam orang pendeta Sakia Buddha itu lalu menyerbu dengan mengeluarkan seruan-seruan menyeramkan. Cin Hai dan Ang I Niocu mencabut pedang masing-masing dan
melakukan perlawanan dengan gagah. Semua pendeta itu adalah orang-orang pilihan yang sengaja dibawa oleh Vayami untuk melakukan tugas pekerjaan penting, maka mereka ini rata-rata memiliki kepandaian yang tidak rendah, bahkan ilmu silat mereka yang bercorak ragam itu membuat Ang I Niocu dan Cin Hai menjadi bingung juga. Akan tetapi, kedua orang muda ini memiliki ilmu kepandaian sempurna terutama Cin Hai, maka baru beberapa jurus mereka bertempur, dua orang pengeroyok telah dapat dirobohkan. Sungguhpun demikian, kesetiaan anak buah Pangeran Vayami terhadap pangeran itu besar sekali. Mereka tidak mundur bahkan makin mendesak maju. Jangankan baru menghadapi dua orang anak muda yang lihai, biarpun harus menyerbu ke lautan api, mereka takkan segan-segan untuk mentaatinya asal keluar dari mulut Pangeran Vayami, oleh karena mereka menaruh kepercayaan penuh bahwa kesetiaan mereka ini akan diganjar hadiah Sorga ke tujuh oleh pemimpin agama itu.
Cin Hai dan Ang I Niocu menjadi serba salah. Untuk membinasakan semua pengeroyok ini bukanlah hal terlalu sukar bagi mereka berdua, akan tetapi mereka tidak tega untuk membunuh sekian banyak orang yang hanya menjalankan perintah. Dan keduanya masih merasa gelisah memikirkan nasib Lin Lin yang berada di pulau itu!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
296 Pada saat itu, terdengar bentakan-bentakan hebat dan tahu-tahu tiga bayangan orang melompat ke atas perahu dan mengamuk dengan hebat disertai suara tertawa menyeramkan!
Ketika Cin Hai memandang, ternyata bahwa yang naik adalah Hek Mo-ko, Pek Mo-ko, dan Kwee An! Ia merasa girang sekali akan tetapi berbareng juga terkejut dan heran oleh karena bagaimana pemuda itu dapat datang bersama kedua iblis ini" Ketika melihat Pek Hek Mo-ko dan Kwee An mengamuk dan membabat semua pendeta Sakia Buddha, Cin Hai lalu
melompat ke pinggir perahu dengan maksud hendak menyusul Lin Lin. Akan tetapi, ketika ia memandang, ia menjadi terkejut sekali oleh karena di dalam kekalutan itu, Ang I Niocu telah mendahuluinya dan telah melempar perahu kecil yang tadi berada di atas perahu dan mendayungnya sekuat tenaga menuju ke pulau yang bukitnya bersinar-sinar itu!
"Niocu, tunggu!" teriak Cin Hai, akan tetapi Ang I Niocu melambaikan tangan kepadanya sambil menjawab,
"Jangan, Hai-ji. Biarlah aku saja yang menyusul, jangan kita berdua terancam bahaya bersama. Kautunggulah saja, aku akan membawa Lin Lin kepadamu!" Setelah berkata
demikian Ang I Niocu mendayung makin cepat!
Cin Hai bingung sekali dan ia melihat ke bawah oleh karena teringat bahwa semua pendeta Sakia Buddha tadi datang dengan perahu-perahu kecil. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kini tak sebuah pun perahu kecil nampak di situ, dan perahu-perahu ini telah dipukul hancur dan tenggelam oleh Hek Pek Mo-ko dan Kwee An ketika ketiganya datang dan melompat ke atas!
Dalam kebingungannya, dan karena keadaan di situ makin gelap hingga sukar mencari perahu kecil yang dapat membawanya ke Pulau Kim-san-to, Cin Hai lalu berlaku nekad dan mengayun dirinya ke laut! Ia mengambil keputusan bendak berenang ke arah pulau yang tak seberapa jauh itu! Ia tidak rela kalau sampai Ang I Niocu berkorban seorang diri dalam usaha menolong Lin Lin, sedangkan dia sendiri harus enak-enak menunggu!
Sementara itu, dalam kegembiraan mereka mengamuk dan membasmi para pendeta Sakia Buddha itu, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko tidak mempedulikan lagi hal-hal lain dan sama sekali tidak melihat Cin Hai dan Ang I Niocu. Sedangkan Kwee An yang melihat mereka, tidak mengerti maksud mereka itu dan ia pun sedang dikeroyok oleh banyak lawan hingga tak mendapat kesempatan bertanya lagi. Amukan Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko hebat sekali,
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bagaikan sepasang naga yang haus darah. Terutama sekali Pek Mo-ko yang masih menderita sedih karena kematian puterinya, kini mengamuk dan merupakan seorang iblis tulen! Baik Hek Mo-ko maupun Pek Mo-ko tidak mempunyai alasan untuk memusuhi pendeta-pendeta baju merah ini dan mereka bertempur hanya atas permintaan Kwee An yang melihat Cin Hai dan Ang I Niocu dikeroyok! Kedua iblis ini memang suka sekali bertempur, dan asal mereka bisa bertempur dan membunuh banyak orang, tidak peduli lagi apa alasannya, mereka sudah cukup merasa senang dan puas! Inilah sifat aneh yang membuat kedua orang ini disebut Iblis Putih dan Iblis Hitam! Sedangkan Kwee An yang juga tidak mengerti sebab-sebab
pertempuran, hanya bertindak untuk menolong kedua orang kawannya itu. Kini melihat kedua orang itu lari ke laut, ia menjadi menyesal akan tetapi tidak berdaya untuk mencegah kedua iblis itu mengamuk dan melakukan pembunuhan besar-besaran.
Tak lama kemudian, habislah ketiga puluh enam orang pendeta Sakia Buddha ini berikut Pangeran Vayami terbunuh mati semua oleh Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko! Sambil tertawa bergelak-gelak kedua iblis ini lalu menendangi mayat-mayat itu ke dalam laut. Pangeran Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
297 Vayami yang bernasib malang itu sampai tidak mengetahui bagaimana hasil dari perintahnya kepada anak buahnya untuk mencari emas itu! Kalau ia tahu bahwa anak buahnya tidak mendapatkan emas sepotong pun, jika ia masih hidup pun tentu ia akan jatuh binasa karena kecewa dan menyesal! Anak buahnya ternyata tak berhasil mendapatkan sedikitpun emas di pulau itu, biarpun sudah berhari-hari mereka mencari-cari, karena di pulau itu tidak terdapat emas sepotong kecil pun! Akan tetapi, mereka mentaati perintah Pangeran Vayami dan ketika melihat peperangan hebat yang terjadi antara barisan Turki melawan barisan dari kaisar, mereka lalu membakar minyak yang memenuhi danau kecil di atas bukit itu! Danau itu mulai terbakar dan bernyala-nyala hebat, akan tetapi hal ini masih belum diketahui oleh kedua fihak yang mabok perang!
Cin Hai mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk berenang secepat mungkin, akan tetapi di dalam air ia tidak seleluasa seperti di darat di mana ia boleh mempergunakan ginkangnya untuk bergerak cepat. Tidak saja kepandaian renangnya memang kurang
sempurna, akan tetapi air laut itu berombak dan ia tidak kuat melawan ombak air hingga tubuhnya hanya maju perlahan saja dan sebentar juga perahu yang dinaiki Ang I Niocu telah jauh meninggalkannya. Keadaan di atas permukaan laut itu lebih gelap lagi dan penunjuk jalan satu-satunya bagi Cin Hai ialah cahaya terang yang memancar keluar dari Bukit Kim-san-to itu.
Ia masih bergulat dengan ombak laut ketika Ang I Niocu sudah lama mendarat dan gadis ini tanpa mempedulikan mereka yang berperang mati-matian, lalu berlari naik ke atas bukit untuk mencari Lin Lin. Ketika ia naik makin tinggi, sungguh luar biasa, karena cahaya terang itu makin menghilang dan keadaan di atas bukit sunyi sekali! Bahkan di atas bukit itu tidak terlihat pohon sama sekali Ang i Niocu berseru keras memanggil,
"Lin Lin?" Suaranya yang dikerahkan dengan tenaga khikang ini terdengar bergema keras sekali, bahkan terdengar lapat-lapat oleh Cin Hai yang masih berenang di laut!
"Niocu...!" Cin Hai berseru memanggil karena ia mengenal suara Ang I Niocu. Hatinya bingung dan cemas sekali. Akan tetapi, biarpun ia mengerahkan khikangnya, di dalam air itu suaranya tak terdengar jelas dan menjadi kacau oleh bunyi riak ombak yang menggelora.
"Lin Lin...!" terdengar lagi teriakan Ang I Niocu dan suara ini membangunkan semangat Cin Hai yang lalu mengerahkan tenaganya sehingga ia dapat maju lebih cepat.
Ang I Niocu berlari terus ke atas sambil memanggil nama Lin Lin. Ia sudah berjanji kepada Cin Hai untuk menemukan gadis kekasih pemuda itu, maka ia bertekad takkan kembali sebelum mendapatkan Lin Lin. Ketika Ang I Niocu tiba di sebuah puncak yang tinggi, tiba-tiba ia memandang ke bawah dan kedua matanya terbelalak dan ia menggunakan kedua tangan untuk menutupi matanya oleh karena tiba-tiba matanya menjadi silau. Di bawah, tak jauh dari situ ia melihat pemandangan yang dahsyat dan menggetarkan sanubarinya. Di bawah puncak itu ia melihat api besar sekali berkobar-kobar dan bernyala-nyala seakan-akan neraka sendiri terbuka di hadapan kakinya! Inilah danau penuh minyak tanah yang dibakar oleh kaki tangan Pangeran Vayami!
Dengan hati penuh kengerian dan cemas, Ang I Niocu berteriak lagi, "Lin Lin"! Lin Lin"!
Di mana kau?"?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
298 Akan tetapi suara teriakannya yang keras ini seakan-akan hanya menambah besar
berkobarnya api yang membakar seluruh danau itu! Ang I Niocu dengan mata terbelalak memandang ke arah api dan tiba-tiba ia melihat seakan-akan bayangan Pangeran Vayami berdiri di tengah-tengah api sambil tersenyum-senyum dan melambai-lambaikan tangan kepadanya! Ang I Niocu menggigil dengan penuh kengerian dan mukanya penuh keringat. Ia menggosok-gosok kedua matanya akan tetapi bayangan Pangeran Vayami makin jelas saja.
Sambil berseru ngeri dan takut, Ang I Niocu berlari ke sana ke mari sambil memekik-mekik memanggil nama Lin Lin,
"Lin Lin...! Lin Lin...! Keluarlah, Lin Lin. Hai-ji menunggu kau...!"
Akan tetapi, sampai serak suaranya memanggil-manggil dengan kerasnya sambil berlari-lari menubruk sana menubruk sini, namun yang dipanggilnya tidak juga menjawab atau muncul.
Nyala api di danau yang membesar dan membubung tinggi itu nampak juga oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Maka Hai Kong Hosiang segera menyerang makin keras
kepada Balutin sambil berteriak minta supeknya membantu. Kiam Ki Sianjin lalu melompat maju dan menyerang Balutin dengan kebutan ujung lengan bajunya yang lebar. Balutin terkejut sekali oleh karena merasa betapa angin sambaran ujung baju itu keras dan luar biasa!
Ia mencoba berkelit, akan tetapi serangan susulan dari Kiam Ki Sianjin membuatnya terhuyung-huyung ke belakang dan pada saat itu tongkat ular Hai Kong Hosiang tepat menusuk jalan darah lehernya. Sambil mengeluarkan teriakan keras, Balutin roboh dan tewas!
Kiam Ki Sianjin lalu mengempit tubuh Hai Kong Hosiang dan dengan lari cepat bagaikan terbang, kakek gagu ini meninggalkan tempat pertempuran menuju ke pantai dan keduanya lalu melarikan diri di atas sebuah perahu!
Cin Hai juga melihat membubungnya api yang menjilat-jilat langit dan seakan-akan membakar awan-awan di atas itu. Ia makin bingung dan gelisah, lalu berteriak-teriak sambil berenang cepat-cepat.
"Niocu...! Lin Lin...!" Akan tetapi lagi-lagi suaranya tenggelam ditelan suara ombak menderu.
Pada saat itu, terdengar ledakan yang kerasnya sampai menggetarkan tubuh Cin Hai yang berenang di air! Pemuda ini melihat betapa api yang berkobar di atas bukit itu tiba-tiba saja pecah dan pulau itu dalam sekejap mata menjadi terang oleh karena telah terbakar menjadi lautan api! Tepat sebagaimana ramalan Pangeran Vayami, pulau itu berubah menjadi neraka!
Cin Hai membelalakkan matanya dan pada saat setelah suara menggelegar itu lenyap, ia masih mendengar suara Ang I Niocu lapat-lapat.,
"Lin Lin... Lin Lin... Hai-ji...!"
Cin Hai merasa seakan-akan jantungnya berhenti berdetik dan tenggorokannya seakan-akan tercekik sesuatu! Tiba-tiba, sebagai akibat daripada letusan dahsyat itu, ombak besar datang menggulung dirinya dan tubuhnya terlempar ke atas, lalu diterima lagi oleh ombak dan dibawa hanyut jauh kembali ke tempat semula!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
299 Cin Hai mencoba berseru lagi. "Niocu... Lin Lin...!" akan tetapi suaranya tak dapat keluar dari kerongkongannya dan ia merasa betapa tubuhnya menjadi lemas dan tidak kuat berenang pula! Perlahan-lahan tubuhnya tenggelam, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara bisikan.
"Hai-ji... kuatkanlah hatimu... Lin Lin menanti-nantimu..."
Cin Hai terkejut. Inilah suara Ang I Niocu! Cepat ia mengerahkan tenaga dan dapat timbul lagi ke permukaan air. Ia memandang ke sana ke mari mencari-cari, akan tetapi yang nampak hanya ombak dengan kepala ombak keputih-putihan menyambar lagi dan ia terombang-ambing menjadi permainan ombak. Kembali tubuhnya menjadi lemas dan ketika ia telah merasa putus asa tiba-tiba ia melihat bayangan wajah Ang I Niocu di dalam air dan bibir bayangan gadis itu bergerak-gerak dalam bisikan,
"Hai-ji... kuatkanlah hatimu... kuatkanlah, aku mencari Lin Lin untukmu..."
Dengan tenaga terakhir Cin Hai berenang lagi dan tiba-tiba tangannya menyentuh benda keras yang ternyata adalah sebuah perahu kecil yang terbalik. Ia segera mengangkat perahu itu dan membalikkannya, dan itu adalah perahunya yang siang tadi ia naiki bersama Ang I Niocu dan yang telah dilarikan oleh Si Hwesio dan Si Tosu, Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu! Agaknya perahu itu terpukul ombak dan terguling, dan entah bagaimana nasib kedua pendeta itu! Dengan sekuat tenaga Cin Hai mengangkat tubuhnya ke dalam perahu dan akhirnya jatuh pingsan di dalam perahu kecil yang masih terombang-ambing oleh ombak besar itu.
Ternyata bahwa oleh karena pulau itu mengandung minyak yang terbakar dan meletus, maka minyak yang telah menjadi api itu membakar seluruh pulau, bahkan kini minyak yang bernyala-nyala terbawa oleh air sampai di mana-mana hingga seakan-akan laut itu telah terbakar! Daya tekan letusan hebat itu telah menimbulkan gelombang hebat yang susul menyusul dengan dahsyatnya.
Seluruh benda, berjiwa maupun tidak, yang berada di atas pulau itu binasa dan terbakar habis. Jangankan mahluk tak bersayap yang tak dapat melarikan diri, sedangkan burung-burung yang berada di pohon pun tak dapat menghindarkan diri dari bencana dan sebelum mereka terbang cukup tinggi, telah terpukul oleh letusan itu dan runtuh ke atas tanah untuk menjadi korban api yang mengamuk hebat.
Perahu kecil yang ditumpangi Cin Hai terdampar ombak dan kembali ke pantai daratan Tiongkok. Ketika Cin Hai siuman dari pingsannya, ia merasa kepalanya masih pening.
Pemuda itu bangkit perlahan dan ternyata ia telah berada di dalam perahu kecil itu semalam penuh oleh karena waktu itu telah menjelang pagi! Karena melihat bahwa dekat dengan pantai, maka Cin Hai lalu melompat turun ke air yang dangkal dan berlari cepat ke pantai.
Tiba-tiba ia mendengar suara luar biasa, teriakan yang dibarengi suara senjata beradu! Ia cepat berlari menuju ke arah suara itu dan menjadi kaget berbareng girang melihat bahwa di sebelah kiri, dekat pantai di mana air laut masih bergelombang memukul batu-batu karang, di situ terdapat dua orang yang sedang bertempur hebat! Ketika ia telah datang dekat, maka yang bertempur itu adalah Hek Mo-ko melawan Pek Mo-ko. Inilah yang membuat ia kaget dan heran, sedangkan yang membuat hatinya memukul girang adalah ketika ia melihat bahwa di Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
300 dekat tempat pertempuran itu, empat orang sedang berdiri sebagai penonton, yaitu bukan lain Kwee An, Biauw Suthai, Pek I Toanio dan Si Nelayan Cengeng!
Melihat hadirnya Si Nelayan Cengeng di situlah yang membuat hati Cin Hai berdebar girang sekali, karena bukanlah Lin Lin bersama-sama dengan nelayan tua itu" Akan tetapi hatinya kecut dan cemas kembali, karena ia tidak melihat Lin Lin dan Ma Hoa berada di situ!
Cin Hai lalu berlari keras menghampiri mereka dan tanpa mempedulikan orang lain maupun yang sedang bertempur, ia lalu menghampiri Kong Hwat Tojin Si Nelayan Cengeng dan terus menjatuhkan diri berlutut sambil bertanya dengan suara tak sabar,
"Locianpwe, di mana adanya Lin Lin?"
Kedatangan pemuda ini sama sekali di luar dugaan Nelayan Cengeng dan yang lain-lain, maka mereka berempat lalu mengurung pemuda ini, hanya Pek Mo-ko dan Hek Mo-ko yang tidak ambil peduli dan terus bertempur dengan hebat dan mati-matian!
"Locianpwe, bagaimana dengan Lin Lin?" tanya pula Cin Hai dengan muka pucat dan tubuh menggigil karena terdorong oleh gelora hatinya yang penuh kecemasan.
"Ah, Cin Hai... engkau selamatkah...?" tanya Si Nelayan Cengeng dengan terharu sekali, kemudian melihat keadaan pemuda itu yang amat mengkhawatirkan ia segera menyambung.
"Lin Lin dan Ma Moa selamat, mereka berdua pergi dengan Yousuf!"
Mendengar betapa Lin Lin selamat, Cin Hai tiba-tiba menangis tersedu-sedu, menggunakan kedua tangan menutupi mukanya dan setelah menjerit perlahan, "Lin Lin... ah, Niocu...!" lalu pemuda itu jatuh pingsan lagi!
Semua orang sibuk sekali, terutama Kwee An yang terus memeluk tubuh kawannya itu dan memijat-mijat belakang kepala Cin Hai hingga tak lama kemudian pemuda ini sadar kembali dalam pelukan Kwee An. Melihat Kwee An, Cin Hai lalu membalas memeluk dan pemuda ini menangis lagi.
Seribu satu macam hal yang telah berada di ujung lidah mereka hendak diceritakan dan ditanyakan kepada Cin Hai, akan tetapi kini mereka terganggu oleh pertempuran hebat di dekat mereka. Bahkan Cin Hai tak sempat menceritakan pengalamannya, dan sambil
memandang ke arah dua iblis yang sedang bertempur itu, ia tak tahan pula untuk tidak menyatakan keheranannya dan bertanya kepada Kwee An,
"Mengapa mereka saling hantam sendiri?"
Dengan muka sedih Kwee An berkata kepadanya tanpa menjawab pertanyaan itu, "Cin Hai, hanya kau yang bisa menolong. Pergunakanlah kepandaianmu dan cegahlah mereka saling membunuh."
Cin Hai tidak mengerti akan maksud Kwee An oleh karena ia tidak tahu hubungan Kwee An dengan Hek Mo-ko, akan tetapi oleh karena ia percaya penuh kepada Kwee An, ia lalu bangkit berdiri dan mengumpulkan seluruh tenaganya yang telah lemas.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
301 Akan tetapi ia terlambat. Pada saat itu, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang bertempur sambil mempergunakan pedang mereka yang luar biasa, telah mempergunakan serangan-serangan nekad dan pada suatu saat, keduanya menjerit ngeri dan terhuyung-huyung ke belakang. Pek Mo-ko terus roboh binasa dengan dada terluka oleh pedang Hek Mo-ko, sedangkan Iblis Hitam ini sendiri telah terkena pukulan tangan kiri Pek Mo-ko yang tepat menghantam dadanya hingga Pek Mo-ko mendapat luka dalam yang hebat dan jantungnya terguncang.
Setelah melihat Pek Mo-ko roboh tak bernyawa, Hek Mo-ko yang masih dapat bergerak, lalu merangkak menghampiri adik seperguruannya ini dan setelah tertawa bergelak-gelak ia lalu memeluk mayat Pek Mo-ko sambil menangis sedih sekali. Kemudian ia muntahkan darah dari mulutnya dan roboh pingsan di dekat mayat Pek Mo-ko.
Mengapa kedua iblis yang biasanya sehidup semati dan saling membela ini tiba-tiba bisa bertempur mati-matian dan saling membunuh di pantai itu, ditonton oleh Kwee An, Biauw Suthai, Pek I Toanio dan Si Nelayan Cengeng" Baiklah kita melihat keadaan di situ sebelum Cin Hai terdampar ke pantai.
Setelah Kwee An dan kedua iblis itu mengamuk dan membasmi Pangeran Vayami dan
seluruh anak buahnya, mereka bertiga lalu mengajukan perahu itu ke arah Pulau Kim-san-to.
Akan tetapi di pulau itu, mereka melihat api berkobar hebat hingga menjadi takut dan memutar arah perahu. Tiba-tiba terjadi letusan hebat itu dan perahu mereka yang besar menjadi permainan gelombang air laut dan terbawa ke pantai daratan Tiongkok kembali.
Dengan pucat dan ketakutan ketiganya lalu melompat ke darat sambil memandang ke arah Pulau Emas yang menjadi neraka itu. Mereka bergidik, bahkan Hek Pek Mo-ko dua iblis yang berhati kejam dan tak kenal takut, kini setelah melihat pemandangan mengerikan itu, menjadi pucat dan merasa ngeri juga.
Terutama sekali Kwee An, oleh karena pemuda ini teringat akan Cin Hai dan Ang I Niocu yang telah disaksikan dengan kedua mata sendiri bahwa kedua orang itu tadi menuju ke Pulau Emas. Bagaimanakah nasib mereka" Kwee An tak terasa pula mengalir air mata oleh karena ia tidak ragu-ragu lagi bahwa jiwa kedua orang itu pasti sukar ditolong dalam keadaan seperti itu. Siapakah orangnya yang kuasa menolong mereka yang berada di dekat neraka dan lautan api itu"
Menjelang fajar, tiba-tiba sesosok bayangan orang melompat dari air ke dekat mereka dan ternyata bahwa bayangan orang ini adalah Si Nelayan Cengeng! Tepat pada saat itu, dari jurusan darat datang berlari dua orang yang gerakannya cepat sekali dan ketika telah dekat, dua orang itu bukan lain ialah Biauw Suthai dan Pek I Toanio! Kwee An yang mengenal ketiga orang yang baru muncul pada waktu yang sama ini segera berlari menghampiri berteriak memanggil.
Akan tetapi, Pek Mo-ko yang masih haus darah dan agaknya masih belum puas dengan pembunuhan-pembunuhan hebat yang ia lakukan dengan Hek Mo-ko di atas perahu Pangeran Vayami, telah mendahului Kwee An dan tanpa bertanya apa-apa lagi ia lalu menyerang Si Nelayan Cengeng yang berada terdekat. Kaget sekali Nelayan Cengeng ketika melihat dirinya diserang hebat oleh seorang tinggi besar yang berjubah putih! Akan tetapi Nelayan Cengeng bukanlah orang lemah maka dengan mudah ia lalu berkelit dan balas menyerang sambil berseru,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
302 "Eh, iblis dari mana datang-datang menyerang orang" Apakah tiba-tiba kau kemasukan setan Pulau Kim-san-to?"
Akan tetapi, ketika melihat bahwa kakek yang muncul dari dalam air itu dengan mudah dapat mengelak seranganpya, Pek Mo-ko menjadi marah sekali dan menyerang lebih hebat lagi.
"Pek-susiok, jangan menyerang dia! Dia adalah Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng!"
Akan tetapi, Pek Mo-ko tidak mau pedulikan teriakan Kwee An bahkan menyerang makin hebat lagi.
Sementara itu, Biauw Suthai yang mendengar nama kedua orang yang sedang bertempur itu disebut oleh Kwee An, tak ragu-ragu lagi untuk memilih hak. Ia telah lama mendengar nama Nelayan Cengeng sebagai seorang tokoh persilatan golongan pendekar berbudi, sedangkan nama Pek Mo-ko telah terkenal bagai iblis jahat yang kejam, maka ketika melihat bahwa lambat laun Si Nelayan Cengeng terdesak hebat, Biauw Suthai lalu melompat maju sambil mencabut keluar hudtimnya dan berseru,
"Pek Mo-ko, jangan kau mengganggu orang di depanku!"
Pek Mo-ko tertawa ketika melihat tokouw ini, oleh karena ia dapat mengenal wanita pendeta yang bermata satu dan beroman buruk ini.
"Biauw Suthai, kebetulan sekali aku sedang gembira! Mari kau maju sekalian untuk menerima binasa!" Sambil berkata begini Pek Mo-ko lalu mencabut keluar pedangnya yang luar biasa itu dan menyerang dengan penuh semangat, Biauw Suthai menangkis dan Si Nelayan Cengeng yang mendengar nama Biauw Suthai, lalu berkata,
"Suthai, jangan kuatir, aku membantumu membasmi iblis ini," lalu kakek nelayan yang gagah ini maju pula dengan tangan kosong melawan pedang Pek Mo-ko. Ia mengeluarkan pukulan-pukulan keras dan lihai dan biarpun bertangan kosong, namun kakek yang lihai ini tidak kurang berbahayanya. Dikeroyok dua Pek Mo-ko menjadi sibuk juga dan terdesak.
Pengeroyoknya bukanlah orang-orang biasa dan adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi, maka tidak heran apabila Pek Mo-ko kehilangan kegarangannya menghadapi mereka ini.
Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu Hek Mo-ko telah menyerbu ke tengah pertempuran, membantu Pek Mo-ko. Ilmu silat kedua iblis ini memang merupakan kepandaian pasangan dan apabila kedua iblis ini telah maju berbareng, maka kelihaian mereka menjadi berlipat-ganda. Sebentar saja Biauw Suthai dan Nelayan Cengeng terdesak hebat oleh kedua pedang Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang luar biasa.
Pek I Toanio ketika melihat gurunya berada dalam bahaya, tidak mau tinggal dan maju membantu. Namun apa artinya bantuan Pek I Toanio yang tingkatnya masih kalah jauh"
Tetap saja sepasang iblis itu mendesak hebat sambil tertawa-tawa.
Kwee An menjadi sibuk sekali. Berkali-kali ia berteriak mencegah Hek Pek Mo-ko, akan tetapi suaranya tidak dihiraukan oleh kedua iblis yang sedang bergembira itu, seperti biasa kalau mereka berkelahi dan dapat mendesak serta mempermainkan lawan! Kwee An tak dapat membiarkan kedua iblis itu membunuh tiga orang ini, maka terpaksa ia lalu mencabut pedang Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
303 dan menyerbu membantu Biauw Suthai dan kawan-kawannya. Pertempuran makin hebat,
akan tetapi ketika Hek Mo-ko melihat "anaknya" maju membantu lawan, menjadi ragu-ragu dan tiba-tiba ia berteriak,
"Tahan dan mundur semua!" Suaranya menggeledek dan berpengaruh sekali hingga semua orang menahan senjata masing-masing.
"Siauw-mo (Setan Cilik), mengapa kau membantu musuh?" tanya Hek Mo-ko sambil
memandang Kwee An dengan heran tapi suaranya penuh nada mencinta.
"Maaf, Ayah. Mereka ini adalah kawan-kawan baikku, bahkan Kong Hwat Locianpwe ini masih dapat disebut guruku sendiri. Tidak boleh Ayah dan Pek-susiok membinasakan mereka!" kata Kwee An dengan gagah sambil menentang pandangan mata ayah angkatnya.
Hek Mo-ko menghela napas dan berkata perlahan, "Kalau begitu biarlah aku tidak
menyerang mereka lagi."
Akan tetapi Pek Mo-ko tiba-tiba menjadi beringas dan marah sekali. Ia menuding dengan pedangnya ke arah Kwee An dan membentak. "Anjing tak kenal budi! Beginikah kau
membalas kami" Bagaimana juga, hari ini aku harus mencium bau darah orang-orang ini!"
Setelah berkata demikian, Pek Mo-ko maju menyerang lagi dengan hebat, akan tetapi pedang Kwee An menangkis pedangnya dan anak muda ini berseru, '"Pek-susiok! Kebaikan mereka lebih dari pada kekejamanmu! Kalau kau tetap berkeras, terpaksa aku memberanikan diri melawanmu!"
Pek Mo-ko makin marah. "Bagus sekali! Aku akan membunuh kau lebih dahulu!" Ia lalu mengirim serangan hebat dan ketika Kwee An menangkis, pemuda ini terkejut oleh karena tenaga Pek Mo-ko benar-benar hebat sehingga tangkisan itu membuat ia terhuyung-huyung belakang. Pek Mo-ko memburu dan mengirim serangan hebat hingga terpaksa Kwee An
membuang diri ke belakang sambil bergulingan di atas tanah, untuk menghindarkan diri dari serangan maut.
"Ha-ha-ha! Bangsat rendah, kau hendak lari ke mana!" teriak Pek Mo-ko sambil memburu untuk memberi tusukan terakhir, tetapi pada saat itu Hek Mo-ko melompat maju dan menangkis pedang Pek Mo-ko sehingga terdengar suara keras dan kedua pedang itu
mengeluarkan api! Baru kali ini selama mereka hidup, pedang mereka ini saling beradu.
Pek Mo-ko memandang kepada Hek Mo-ko dengan mata terbelalak dan muka berubah
merah, tanda bahwa ia merasa penasaran dan marah sekali, juga heran.
"Suheng, kau... kau... hendak melawan aku?" tanyanya gagap.
Hek Mo-ko memandang tajam. "Sute, kau tidak boleh turunkan tangan kepada anakku!"
"Apa" Dia bukan anakmu, dia adalah kawan musuh-musuh kita!" bentak Pek Mo-ko sambil menubruk lagi ke arah Kwee An yang telah bersiap sedia dan menangkis.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
304 "Pek-sute! Jangan kauserang anakku!" teriak Hek Mo-ko dengan marah.
"Suheng, tinggal kaupilih. Kau membela aku atau membela binatang ini!" jawab Pek Mo-ko dengan melolotkan mata.
"Pikir saja sendiri olehmu! Anak dan Sute, mana lebih berat?"
Tiba-tiba Pek Mo-ko tertawa bergelak. "Anak" Ha-ha, kau mabok, Suheng! Kau tidak punya anak! Ha-ha, kau tidak punya anak lagi! Anakmu telah mampus, seperti anakku!"
Mengertilah semua orang kini bahwa sebenarnya Pek Mo-ko yang kematian puterinya itu, merasa iri hati melihat Hek Mo-ko mengambil Kwee An sebagai anak angkat! Biauw Suthai, Pek I Toanio, dan Si Nelayan Cengeng memandang perdebatan ini dengan penuh perhatian dan tak terasa pula mereka berdiri saling mendekati, merupakan kelompok yang menonton pertentangan antara kedua iblis itu.
Hek Mo-ko menjadi marah sekali mendengar ucapan adiknya itu, maka ia lalu menggerak-gerakkan pedang di tangannya dan berkata tegas. "Siapa peduli ocehanmu" Pendeknya, kalau kau mengganggu Siauw Mo, kau harus dapat mengalahkan pedangku ini dulu!"
"Kau sudah bosan hidup!" Pek Mo-ko membentak dan menyerang dengan hebat. Hek Mo-ko juga menggereng marah dan menangkis lalu balas menyerang. Demikianlah, kedua saudara yang tadinya sehidup semati itu lalu bertempur mati-matian sehingga mereka tidak menghiraukan kedatangan Cin Hai dan bahkan kemudian Pek Mo-ko mati di ujung pedang Hek Mo-ko, sedangkan Iblis Hitam ini terkena pukulan hebat dari Pek Mo-ko hingga menderita luka dalam yang berbahaya dan roboh pingsan.
Melihat keadaan Hek Mo-ko itu, hati Kwee An yang merasa sayang karena berhutang budi, menjadi terharu sekali. Pemuda ini menubruk tubuh Hek Mo-ko dan mengangkat kepala iblis itu di pangkuannya sambil mengeluh,
"Ayah..." Tentu saja Cin Hai dan lain-lain merasa heran sekali dan saling pandang dengan tak mengerti melihat kelakuan Kwee An itu!
Kwee An segera memeriksa keadaan Hek Mo-ko, lalu pemuda ini menengok kepada Biauw Suthai yang pandai hal pengobatan sambil berkata,
"Suthai, tolonglah kauobati dia ini!"
Biarpun hatinya ragu-ragu untuk memeriksa dan menolong Iblis Hitam yang terkenal jahat dan kejam itu, Biauw Suthai tidak menolak permintaan Kwee An. Ia lalu menghampiri dan memeriksa dada yang terpukul, akan tetapi ia lalu menggeleng-geleng kepalanya dan berkata,
"Tak ada gunanya lagi. Jantungnya telah kena pukul dan terluka. Tidak ada obatnya bagi pukulan ini." Ia lalu mengurut dan menotok dada Hek Mo-ko untuk mengurangi rasa sakit yang diderita oleh Iblis Hitam itu.
Tak lama kemudian Hek Mo-ko membuka matanya ketika melihat bahwa ia berada dalam pelukan Kwee An, ia tersenyum dan dari kedua matanya mengalir air mata!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
305 "Bagus... bagus... kau betul-betul anakku yang kusayang, Siauw Mo! Aku... aku puas dapat mati dalam pelukan anakku..." Agaknya Hek Mo-ko telah menggunakan tenaganya yang terakhir untuk mengucapkan kata-kata ini, karena lehernya lalu tiba-tiba menjadi lemas dan ia menghembuskan napas terakhir.
Kwee An menahan isak tangis yang mendorong perasaannya dari dada. Kemudian dengan sedih dan tak banyak mengeluarkan kata-kata ia lalu menggali lubang, dan dibantu oleh Cin Hai dan Si Nelayan Cengeng, mereka lalu mengubur kedua jenazah sepasang iblis yang telah menggemparkan kalangan kang-ouw untuk puluhan tahun lamanya itu.
Setelah penguburan kedua jenazah itu selesai barulah semua orang berkumpul untuk menuturkan riwayat dan perjalanan masing-masing. Sebelum menuturkan pengalamannya, Cin Hai menengok ke arah Pulau Kim-san-to dengan pandangan sayu dan melihat betapa pulau itu masih tetap berkobar bagaikan api neraka mengamuk. Lalu dengan suara terputus-putus dan keharuan besar mempengaruhi lidahnya ia menceritakan riwayatnya, semenjak berpisah dari Kwee An dalam pertempuran melawan Hai Kong Hosiang dulu sampai
tertolong oleh Ang I Niocu dan bersama Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu mencari Pulau Emas. Ketika ia menceritakan tentang pertempuran Ang I Niocu dengan seekor burung Kim-tiauw, ia menghela napas dan berkata,
"Memang betul ramalan pendeta itu bahwa pertempuran dengan burung Rajawali Emas itu mendatangkan bencana besar. Niocu yang bertempur melawan burung itu sekarang tidak ketahuan nasibnya di pulau yang berubah menjadi neraka, sedangkan kedua pendeta yang tertimpa kotoran burung itu pun agaknnya terkena bencana pula. Buktinya perahu mereka kudapatkan terbalik di lautan sedangkan mereka tidak kelihatan lagi!"
Semua orang merasa terharu dan kasihan sekali kepada Ang I Niocu yang telah mencegah Cin Hai mendekati pulau untuk mencari Lin Lin, bahkan yang menggantikan pemuda itu menuju ke pulau yang berbahaya, padahal telah mendengar dari Pangeran Vayami bahwa pulau itu hendak dibakar dan diledakkan! Dara Baju Merah yang luar biasa itu ternyata telah mengorbankan diri guna menolong dan membela Cin Hai dan Lin Lin. Sungguh perbuatan yang mulia sekali. Apalagi bagi Cin Hai yang mengetahui apa yang terkandung dalam hati sanubari Dara Baju Merah itu terhadap dirinya.
Setelah Cin Hai selesai menuturkan pengalamannya yang mengerikan, lalu tiba giliran Kwee An untuk menuturkan perjalanannya. Ia menceritakan betapa setelah ia terlempar ke dalam sungai dirinya terbawa hanyut dan diserang oleh ratusan ekor buaya yang ganas dan kemudian jiwanya tertolong oleh Hek Mo-ko. Kemudian ia diambil anak oleh Iblis Hitam itu dan diberi pelajaran silat, dan bersama Hek Pek Mo-ko lalu pergi mencari Pulau Emas dan berhasil membantu Cin Hai dan Ang I Niocu yang dikeroyok di perahu Pangeran Vayami. Ia
menuturkan betapa kedua iblis itu telah membasmi seluruh anak buah Pangeran Vayami dan membinasakan pangeran itu sendiri dan betapa perahunya terdampar oleh gelombang besar ke pantai.
Setelah ia menuturkan semua pengalamannya, maka mengertilah semua orang mengapa
Kwee An yang telah diaku anak dan diberi nama Siauw Mo atau Iblis Kecil oleh Pek Mo-ko itu demikian sayang kepada lblis Hitam ini. Dan hal ini pun dianggap wajar oleh semua pendengarnya, oleh karena memang demikianlah seharusnya sifat seorang ksatria yang Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
306 biarpun kejam dan jahat, namun masih diliputi hati sayang dan cinta suci terhadap seorang anak pungut.
Biauw Suthai dan Pek I Toanio yang mendapat giliran menuturkan pengalaman mereka, tidak dapat bercerita banyak. Mereka ini oleh karena mengkhawatiran keadaan Ang I Niocu dan Lin Lin yang diam-diam pergi meninggalkan rumah tanpa memberi tahu, lalu menyusul.
Akan tetapi, biarpun telah merantau berapa lama, mereka tak berhasil mendapatkan jejak kedua orang gadis itu. Akhirnya mereka bertemu dengan orang-orang dusun di utara yang bicara tentang penyerbuan tentara Turki ke timur hingga hal yang aneh ini menarik hati Biauw Suthai dan ia mengajak muridnya untuk menyusul ke timur dan melihat apakah sebenarnya yang dikerjakan oleh barisan asing itu. Akhirnya mereka dapat menyusul ke pantai ini dan melihat Si Nelayan Cengeng bertempur melawan Pek Mo-ko dan membantu kakek nelayan yang gagah ini.
Setelah tiba giliran Si Nelayan Cengeng untuk menuturkan riwayatnya yang didengar dengan penuh perhatian oleh Cin Hai, Kwee An, Biauw Suthai dan muridnya, Kong Hwat Lojin menghela napas berulang-ulang, kemudian ia mulai ceritanya yang panjang.
Sebagaimana telah diketahui di bagian depan, setelah Nelayan Cengeng memperlihatkan kemahirannya di dalam air dan berhasil mengambil perahu Yousuf yang tenggelam dari dasar sungai, dia dan Yousuf dengan bantuan Ma Hoa dan Lin Lin lalu memperbaiki perahu itu dan kemudian berangkat berlayar menuju ke laut.
Di sepanjang pelayaran mereka, Yousuf dapat menggembirakan hati Nelayan Cengeng, Lin Lin dan Ma Hoa dengan macam-macam cerita yang didongengkannya. Ternyata bahwa orang Turki ini telah mempunyai banyak sekali pengalaman hidup dan sudah banyak melakukan perantauan-perantauan ke luar negeri. Ia bercerita tentang orang-orang yang tinggi besar seperti raksasa, berambut merah dan bermata biru, hingga Lin Lin dan Ma Hoa menjadi ngeri dan takut.
"Apakah mereka itu suka makan orang?" tanya Ma Hoa sambil menggeser duduknya
mendekati Lin Lin oleh karena ketika itu telah malam dan kegelapan malam membuat ia membayangkan hal-hal yang mengerikan ketika mendengar cerita Yousuf tentang orang-orang aneh itu.
Mendengar pertanyaan ini, Yousuf tertawa geli. "Aah, tidak, mereka itu juga manusia seperti kita. Bahkan, mereka itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dapat membuat barang-barang yang aneh dan indah. Hanya saja, mereka itu bersikap kasar dan tidak tahu adat. Mereka tinggal di Barat."
"Apakah yang disebut Dunia Barat?" tanya Lin Lin. Pada waktu itu Tiongkok telah kenal dengan India yang di sebut Dunia Barat, bahkan Agama Buddha datangnya juga dari India.
Mendengar bahwa raksasa-raksasa berambut merah dan bermata biru itu berada di Barat, maka Lin Lin mengajukan pertanyaan itu.
"Bukan, mereka bahkan tinggal lebih jauh lagi dari Dunia Barat. Orang-orang di Dunia Barat memang tinggi besar akan tetapi kulit dan warna rambut mereka sama dengan kita. Mungkin Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
307 banyak yang lebih hitam kulitnya kalau dibandingkan dengan kalian orang-orang Han. Akan tetapi adat istiadat mereka itu tak berbeda jauh dengan kita sendiri."
Kemudian Yousuf menceritakan pula pengalaman-pengalamannya ketika ia merantau jauh ke utara hingga ia menyebut-nyebut tentang bukit-bukit es yang dinginnya membuat ludah yang dikeluarkan dari mulut menjadi beku sebelum tiba di atas tanah! Pendeknya, banyak hal-hal aneh yang terjadi di luar Tiongkok yang bagi ketiga orang pendengarnya, jangan kata menyaksikan, bahkan mendengar pun belum pernah, diceritakan oleh Yousuf hingga ketiga orang itu menjadi tertarik dan senang sekali. Juga perasaan mereka terhadap Yousuf yang peramah dan pandai membawa diri itu menjadi makin berkesan baik. Setelah bergaul selama beberapa hari di atas perahu, kedua gadis itu harus mengakui bahwa Yousuf adalah seorang laki-laki yang sopan santun, pandai berkelakar dengan sopan, dan mempunyai pribadi tinggi.
Bahkan Nelayan Cengeng terpaksa harus melempar syakwasangka yang tadinya timbul di hatinya ketika bertemu dengan orang Turki ini.
"Dulu kau berkata tentang Pulau Kim-san-to, maukah kau menceritakan tentang pulau itu"
Kita sedang menuju sana, maka ada baiknya bagi kami bertiga untuk mengetahui serba cukup tentang hal-ihwal pulau itu," kata Nelayan Cengeng, dan Lin Lin serta Ma Hoa pun mendesak sambil mendengarkan.
Setelah bergaul dengan ketiga oraang Han ini, Yousuf juga mendapat kesan baik sekali dan ia mengagumi sepenuh hatinya sifat-sifat mereka yang gagah berani. Ia kini percaya bahwa di Tiongkok memang banyak sekali pendekar-pendekar atau orang-orang gagah yang
pekerjaannya hanya menolong sesama manusia dan menjadi pelopor-pelopor serta penegak-penegak keadilan. Terhadap Nelayan Cengeng ia merasa kagum sekali dan memandang penuh hormat seperti seorang saudara tua, sedangkan terhadap Ma Hoa don Lin Lin, ia merasa sayang dan suka. Hatinya yang tadinya tertarik seperti tertariknya hati laki-laki terhadap seorang wanita, lambat laun berubah menjadi kasih sayang seorang tua terhadap anaknya atau seorang kakak terhadap adiknya. Hal ini timbul dari kesadarannya yang tinggi yang tidak mengizinkan hatinya untuk memaksa seorang gadis mencintainya, dan biarpun ia mencinta gadis itu dengan sungguh-sungguh, melihat sikap Lin Lin terhadapnya yang polos dan jujur bagaikan sikap seorang adik sendiri, maka nafsu-nafsu berahi yang tadinya mengotori kasih sayangnya terhadap gadis itu, menjadi luntur dan banyak mengurang.
Ketika mendengar permintaan mereka untuk menceritakan perihal Pulau Kim-san-to, Yousuf merasa ragu-ragu. Akan tetapi, kemudian ia berkata,
"Cerita ini sekaligus membongkar rahasiaku dan keadaan diriku. Apakah hal ini takkan menimbulkan kekecewaan kalian dan tidak akan membuat kalian membenciku" Sungguh
tidak enak kalau kita yang melakukan pelayaran seperahu dan setujuan ini akan mempunyai perasaan tak suka, dan benci satu kepada yang lain!"
Nelayan Cengeng tertawa. "Saudara Yo Se Fei! Kau sungguh-sungguh terlalu sungkan-sungkan! Kalau sekiranya hal ini tak dapat kauceritakan kepada kami, janganlah
kauceritakan! Kami juga tidak begitu nekat untuk memaksamu, bukankah begitu, anak-anak?"
Akan tetapi Nelayan Cengeng tertegun ketika Ma Hoa dan Lin Lin dengan suara berbareng dan tegas berkata, "Ah, Yo-sianseng (Tuan Yo) harus menceritakan tentang pulau itu kepada kita!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
308 Bahkan Lin Lin lalu berkata lagi, "Apakah Yo-sianseng kurang percaya kepada kami hingga masih menyimpan segala rahasia?"
Kalau Nelayan Cengeng tercengang, Yousuf tertawa terbahak-bahak dan ia lalu berkata, "Ha-ha, Kong Hwat Lojin yang masih mempunyai sikap sungkan-sungkan, bukan aku dan bukan pula kedua nona ini! Baiklah, aku akan menceritakan pengalamanku!" Kemudian setelah minum air teh yang dibuat oleh Lin Lin dan dihidangkan oleh Ma Hoa, orang Turki itu bercerita,
"Beberapa tahun yang lalu, aku dan dua orang kawanku berlayar di laut ini. Pada suatu malam, ketika kami melalui banyak pulau di pantai laut ini, tiba-tiba kami dikejutkan oleh pemandangan yang dahsyat dan aneh dan yang sebentar lagi kalian juga akan dapat
menyaksikannya.
Sebuah pulau di depan kami yakni pulau yang disebut Pulau Gunung Emas, nampak
bercahaya mengeluarkan sinar kuning emas yang menakjubkan. Kami bertiga merasa takut sekali karena pemandangan itu sungguh aneh sekali. Kami lalu berhenti berlayar dan malam itu kami tidak tidur, terus berdiri di perahu mengagumi keindahan pulau itu dari jauh. Pada keesokan harinya, kami mendayung perahu mendekati pulau itu kami mendarat. Akan tetapi, apa yang menyambut kami" Sungguh di luar dugaan! Ketika kami mendarat di pulau itu, tiba-tiba dari belakang sebatang pohon, keluarlah seekor harimau besar yang mempunyai sebuah tanduk di tengah-tengah kepalanya! Harimau itu lari menerjang, kami terpaksa melawannya.
Harus diketahui bahwa kedua kawanku itupun memiliki kepandaian yang hanya berada sedikit di bawah kepandaianku, akan tetapi kami bertiga masih tak dapat mengalahkan harimau itu! Dan dalam saat yang berbahaya itu tiba-tiba dari atas menyambar turun seekor burung rajawali berbulu kuning emas ke arah kami dan menyerang dengan tidak kalah hebatnya! Kami menjadi sibuk dan terdesak hebat, bahkan seorang kawan kami telah kena cakar harimau itu dan dipukul dengan sayap oleh Kim-tiauw hingga keadaan kami makin berbahaya! Akan tetapi, ketika kami telah berada di tepi jurang maut, tiba-tiba datanglah penolong yang tidak kalah anehnya. Penolong ini adalah seekor burung merak yang besar sekali dan bulunya hijau bercampur kuning keemasan yang indah sekali. Merak ini
menyambar turun sambil mengeluarkan suara nyaring dan aneh! Begitu melihat merak ajaib ini, Rajawali Emas dan Harimau Bertanduk itu lalu mengeluarkan keluhan panjang dan berlari pergi seolah-olah dalam ketakutan hebat!"
"Merak ajaib itu lalu turun dan sambil mengembangkan semua sayap dan ekornya yang indah, ia berjalan hilir mudik seakan-akan membanggakan keunggulan dan kecantikannya.
Aku merasa sangat tertarik dan timbul keinginanku hendak menangkap dan memelihara Sin-kong-ciak (Merak Sakti) itu, akan tetapi tiba-tiba ia mengibaskan sayap kirinya dan aku jatuh terpelanting! Angin kibasan sayapnya ini mempunyai tenaga yang luar biasa besarnya hingga aku mengerti mengapa Harimau Bertanduk dan Rajawali Emas itu takut menghadapinya.
Ternyata merak itu bukanlah binatang sembarangan dan mempunyai kesaktian luar biasa!"
Nelayan Cengeng menjadi kagum sekali mendengar cerita tentang merak ajaib ini, maka ia lalu berkata, "Aku pernah mendengar tentang burung merak yang datang dari negeri sebelah selatan Tiongkok, dan kabarnya merak di negeri itupun amat cantik dan kuat, akan tetapi belum pernah aku mendengar tentang burung merak sehebat seperti yang kauceritakan itu."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
309 Juga Lin Lin dan Ma Hoa merasa kagum sekali, dan Lin Lin segera mendesak agar Yousuf suka melanjutkan penuturannya!
"Terpaksa kami berdua membawa kawan kami yang terluka dan melarikan diri ke atas perahu. Kami tidak berani mendarat oleh karena pulau itu ternyata mempunyai penghuni yang aneh-aneh dan lihai. Kami hanya mendayung perahu mengitari pulau itu dan sungguh aneh.
Selain tiga ekor binatang aneh itu, kami tidak melihat apa-apa lagi. Kami lalu mendarat dari bagian lain untuk menyelidiki dan ternyata di puncak bukit terdapat sebuah telaga yang air berwarna indah, kadang-kadang hijau, ada merahnya, lalu kuning, bagaikan warna pelangi di udara, akan tetap pada dasarnya berwarna kehitam-hitaman. Kami mempunyai keyakinan bahwa pulau itu tentu menyimpan harta yang luar biasa, maka kami lalu berputar sambil memeriksa. Untung sekali kami tidak pergi terlalu jauh dari pantai, oleh karena selagi kami berjalan, tiba-tiba dari atas terdengar suara yang menakutkan dan betul saja, burung Rajawali Emas yang kami takuti itu telah menyambar dari atas dan menyerang kami! Kami berdua lalu memutar-mutar pedang di atas kepala untuk melindungi kepala kami dari terkaman burung hantu itu sambil berlari ke perahu kami. Dan dengan penuh ketakutan, kami lalu pergi dari pulau itu, dan kawan kami yang terluka itu terpaksa kami lempar ke laut oleh karena ia meninggal dunia karena lukanya. Demikianlah kami kembali ke negeri kami dan Raja kami yang mendengar tentang penuturanku, lalu memerintahkan barisan besar untuk menyelidiki keadaan pulau itu. Dan harap kalian jangan kaget, aku adalah seorang yang ditugaskan untuk memimpin rombongan penyelidik atau mata-mata Pemerintah Turki."
Ketika melihat betapa ketiga orang Han itu tidak terpengaruh oleh pengakuannya, ia lalu melanjutkan, "Dan aku pergi sekarang ini pun oleh karena perintah Rajaku untuk membuka jalan sebagai perintis menuju ke pulau itu." Sambil berkata begini, ia memandang tajam kepada Nelayan Cengeng untuk melihat perubahan muka pendengarnya, akan tetapi Nelayan Cengeng agaknya tidak tertarik sama sekali, bahkan lalu berkata,
"Aku ingin sekali melihat binatang-binatang aneh itu."
Juga Lin Lin dan Ma Hoa berkata. "Alangkah senangnya kalau dapat membawa pulang
burung merak sakti itu."
Maka gembiralah hati Yousuf melihat keadaan ketiga orang itu yang sama sekali tidak mau atau ambil peduli tentang segala urusan negeri. Saking girang dan lega hatinya, Yousuf lalu bernyanyi sebuah lagu Turki yang didengar oleh kawan-kawannya dengan penuh perhatian, kagum dan geli, oleh karena biarpun mereka harus mengakui bahwa Yousuf memiliki suara yang empuk dan merdu, namun lagu yang dinyanyikannya terasa asing bagi telinga mereka hingga terdengar sumbang dan lucu.
Pada saat Yousuf selesai bernyanyi, hari telah menjadi gelap dan mereka telah tiba di dekat Pulau Kim-san-to. Tiba-tiba Yousuf menunjuk ke depan dan berkata, "Nah, kalian lihatlah baik-baik, bukanlah Kim-san-to benar-benar pulau yang menakjubkan?"
Nelayan Cengeng, Lin Lin dan Ma Hoa menengok dan ketiganya menahan napas dengan
mata terbelalak ketika melihat pemandangan ajaib yang terbentang di depan mata mereka.
Mereka telah melihat Kim-san-to di waktu malam, melihat bukit yang mencorong dan berkilauan seakan-akan bukit itu terbuat daripada emas murni.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
310 "Mungkinkah ini?" Nelayan Cengeng menggerakkan bibirnya.
"Apakah aku sedang mimpi?" bisik Lin Lin sambil mengucek-ngucek kedua matanya
seakan-akan tak percaya kepada matanya sendiri. Ma Hoa juga terpesona hingga gadis ini berdiri diam bagaikan patung batu.
"Hebat bukan" Aku sendiri ketika melihat untuk pertama kalinya, telah berlutut dan menyebut nama Dewata, karena menyangka bahwa aku telah melihat Surga diturunkan di atas tempat ini. Tempat seperti itu, pantasnya menjadi kediaman para Dewata, bukan?" terdengar Yousuf berkata hingga ketiga orang itu tersadar dan menghela napas.
"Benar-benar hebat, Saudara Yousuf. Terus terang saja, tadinya aku masih ragu-ragu dan timbul persangkaanku bahwa kau membohong atau melebih-lebihkan ceritamu, akan tetapi melihat pemandangan ini aku menjadi percaya penuh kepadamu, juga tentang penghuni pulau yang aneh-aneh itu," kata Nelayan Cengeng.
"Mari kita ke sana sekarang juga!" kata Ma Hoa dengan gembira, dan Lin Lin juga mendesak supaya mereka segera pergi ke pulau indah dan ajaib itu. Akan tetapi Yousuf menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata,
"Jangan pergi sekarang aku belum tahu benar, apakah selain ketiga binatang sakti itu tidak ada lain makhluk berbahaya di pulau itu. Mendarat malam-malam adalah hal yang sembrono dan berbahaya sekali. Lebih baik kita menanti di perahu sampai besok pagi, barulah kita mendarat dengan hati-hati."
Nelayan Cengeng yang dapat memaklumi hal ini dan dapat berpikir lebih luas menyetujui ucapan ini hingga terpaksa Lin Lin dan Ma Hoa yang sudah tidak sabar menanti itu menekan perasaan mereka dan semalam suntuk mereka tidak mau tidur, hanya duduk di atas perahu sambil menikmati pemandangan indah itu dan mengaguminya. Melihat pemandangan indah sekali itu, Lin Lin dan Ma Hoa yang duduk berdua saja, lalu teringat kepada kekasih masing-masing. Dan tiba-tiba wajah mereka menjadi berduka. Ma Hoa tahu akan perubahan pada muka Lin Lin dan ia bertanya perlahan,
"Lin Lin mengapa tiba-tiba kau menghela napas dan seperti orang berduka?" Lin Lin tiba-tiba menjadi merah mukanya dan dengan perlahan sambil memegang tangan Ma Hoa, ia bertanya, "Enci Hoa, apakah kau tidak teringat pada kakakku Kwee An?"
Ma Hoa memegang tangan Lin Lin erat-erat sambil bermerah muka, lalu berkata, "Jadi itukah yang mengganggu pikiranmu" Kita harus meneguhkan hati dan bersabar, Adikku. Aku yakin bahwa Saudara Cin Hai dan... dia akan selamat oleh karena mereka berdua memiliki kepandaian yang tinggi."
Lin Lin maklum bahwa keadaan hati dan pikiran Ma Hoa pada saat itu sama dengan keadaan hati dan pikirannya maka ia tidak mau bicara tentang hal kedua pemuda itu terlebih lanjut.
Dalam berdiam, mereka seakan-akan mendengar bisikan jantung mereka masing-masing yang membuat mereka merasa saling tertarik lebih dekat lagi.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
311 Pada keesokan harinya, pagi-pagi setelah matahari naik ke puncak bukit, Yousuf baru berani mendarat di pulau yang aneh itu. Dilihat pada siang hari, pulau itu merupakan sebuah pulau kecil yang berbukit satu dan yang kelihatan biasa saja seperti pulau-pulau lainnya.
Mereka berempat lalu mendarat dan bersiap sedia dengan senjata mereka kalau-kalau ada binatang luar biasa yang datang menyerang. Akan tetapi aneh sekali, dan terutama Yousuf merasa heran karena tak seekor binatang pun yang dulu dilihatnya kelihatan muncul.
"Apakah selama beberapa tahun ini mereka telah mati?" katanya pada diri sendiri akan tetapi diucapkan dengan mulut.
"Mungkin juga, karena benda atau mahluk apakah di dunia ini yang tidak akan menyerah terhadap kematian?" kata Nelayan Cengeng yang membawa dayungnya yang besar dan berat dipanggul di pundak.
Mereka lalu menjelajah di pulau itu dan ternyata bahwa selain burung-burung kecil yang berkicau di atas pohon pulau itu nampaknya tidak ada mahluk yang berbahaya. Mereka lalu mengunjungi danau yang dulu diceritakan oleh Yousuf dan bersama-sama mengagumi danau yang berwarna macam-macam itu.
"Ada sesuatu yang mengerikan di bawah danau ini agaknya," kata Nelayan Cengeng hingga Lin Lin dan Ma Hoa lalu saling mendekat dan saling berpegang tagan oleh karena kedua gadis ini pun merasa betapa danau ini berbeda dengan danau biasa, seakan-akan di dasarnya yang hitam dan mengerikan!
Yousuf lalu mengajak mereka memeriksa terus keadaan pulau itu dengan pengharapan untuk mendapatkan harta atau emas yang disangkanya berada di pulau itu akan tetapi mereka tidak mendapatkan sesuatu yang berharga.
Pendekar Kembar 10 Amanat Marga Karya Khu Lung Pendekar Panji Sakti 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama