Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bodoh 12

Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


Cin Hai benar-benar tak pernah menyangka hal ini dan sedikit kebencian yang berada di hatinya terhadap Kai Sianseng lenyap seketika.
"Kalau begitu, Si Tua itu tentu masih saja mengobral hadiah ketokan kepala itu kepada anak-anak yang sekarang menjadi murid-muridnya. Hayo, kita mengintai dia!"
Bagaikan dua orang anak-anak nakal, Cin Hai dan Kwee An menghampiri rumah kecil itu dengan perlahan dan mengintai dari balik jendela. Benar juga dugaan mereka, di dalam rumah itu Kwi Sianseng yang tampak sudah tua sekali dan tubuhnya makin kurus kering, sedang berdiri dengan tangan kanan di belakang punggung dan tangan kiri memegang sebuah kitab yang dikenal baik oleh Cin Hai dan Kwee An, oleh karena kitab yang terbungkus kulit kambing itu adalah kitab yang dulu dipakai untuk mengajar mereka pula. Di depan kakek sastrawan ini duduk di bangku dengan kedua tangan bersilang, tiga orang anak laki-laki yang mengerutkan kening bagaikan kakek-kakek yang sedang berpikir keras.
"Kalian anak-anak goblok, bodoh dan tolol! Dengarkan sekali lagi! Seng-cia-cu-seng-ya. Ji-to-cu-to-ya! Apakah artinya, siapa tahu?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
346 Kwee An dan Cin Hai mengintai dan menahan geli hatinya, dan Cin Hai lalu teringat akan segala yang dialaminya di waktu kecil, karena sifat dan sikap Kwi Sianseng sama sekali tidak berubah seperti dulu.
Seorang di antara para murid yang jumlahnya tiga orang anak-anak itu bangkit berdiri dan mengacungkan tangan, lalu berkata dengan suara lantang,
"Seng-cia-cu-seng-ya. Ji-to-cu-to-ya, artinya: kesempurnaan hati suci murni harus dicapai sendiri dengan penyempurnaan watak pribadi. Jalan kebenaran yang menjadi sifat setiap orang harus diajukan dalam perbuatan sendiri."
Kakek kurus kering itu mengangguk-anggukkan kepala seperti burung makan padi. "Bagus, bagus! Begitulah sifat seorang kuncu (budiman) tulen!" ia memuji. "Kok-ji, kitab apa yang mengandung ujar-ujar itu dan fasal ke berapa?"
Anak yang tadi menjawab dengan lagak bagaikan seorang ahli pikir yang sudah kakek-kakek itu menjawab lantang,
"Terdapat di dalam kitab Tiong-yong, fasal... fasal..." ia tidak dapat melanjutkan jawabannya dan memandang ke kanan kiri dengan bingung.
"Anak bodoh dan tolol!" gurunya memaki dan Cin Hai baru melihat bahwa makian ini agaknya memang telah menjadi kembang bibir Kwi Sianseng. Baru saja anak itu dipuji-pujinya sekarang telah dimaki tolol. Kemudian Kwi Sianseng berkata lagi, "Dengarlah, ujar-ujar itu terdapat dalam... fasal..." Ia juga lupa dan mencari-cari di dalam kitabnya, membuka-buka buku kitab itu dengan bingung.
Sambil menahan gelinya yang membuat perutnya kaku, Cin Hai menjawab dari luar, "Dalam fasal dua puluh lima ayat pertama!"
Kwi Sianseng terkejut sekali dan menoleh ke arah jendela yang rendah dan masuk ke dalam kamar. Kedua anak muda itu lalu menjura dan memberi hormat kepada Kwi Sianseng. Cin Hai berkata,
"Kwi Sianseng, hakseng berdua menghaturkan hormat."
Kwi Sianseng terheran dan ragu-ragu. "Jiwi ini siapakah?"
"Kwi Sianseng," kata Kwee An, "sudah lupakah kepadaku" Aku adalah Kwee An, putera Kwee-ciangkun!"
Kwi Sianseng melengak, kemudian setelah teringat, ia lalu tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri, nampak sekali kebanggaannya melihat betapa muridnya telah menjadi dewasa, gagah, dan cakap! Ia lalu memegang lengan Kwee An dan dengan muka yang terang berkata kepada ketiga anak muridnya,
"Nah, kalian lihatlah! Kwee-kongcu ini dulu adalah muridku yang baik dan pandai. Kalau kalian belajar baik-baik dari aku, kelak kau pun akan menjadi seorang berguna seperti dia Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
347 ini!" Kemudian ia teringat kepada Cin Hai yahg telah dapat menemukan fasal dalam kitab Tiong Yong maka ia lalu menjura dengan hormat kepada Cin Hai dan bertanya, "Dan kongcu yang cerdik pandai dan hafal akan fasal dan ayat dalam kitab Nabi kita ini, siapakah namamu yang mulia?"
Cin Hai menahan geli hatinya, menjawab sambil menjura, "Sianseng, sudah lupakah kepada hakseng yang tolol dan bodoh?"
Selagi Kwi Sianseng memandang heran dan mengingat-ingat, Kwee An yang tak dapat
menahan kegembiraan hatinya lalu berkata, "Kwi Sianseng, ini adalah Cin Hai, juga muridmu yang belajar darimu di Kelenteng Ban-hok-tong!"
Cin Hai tertawa bergelak. "Kwee Sianseng, sekarang hakseng tidak berani menggunduli kepala lagi, supaya jangan dijadikan sasaran pukulan dan ketokan!"
Merahlah muka Kwi Sianseng dan ia merasa betapa ia dulu memang sering kali memukul kepala anak gundul ini. Akan tetapi, sebagaimana sudah lazimnya sifat manusia yang teringat selalu adalah sifai-sifat keburukan orang lain, maka Kwi Sianseng lalu memegang tangan Cin Hai dan kini dengan suara sungguh-sungguh berkata kepada para muridnya,
"Lihatlah Kongcu ini, demikian gagah dan tampannya! Ketahuilah, dia ini dulu juga seorang muridku! Aku sayang sekali kepadanya maka tidak heran sekarang menjadi seorang pandai dan sekali mendengar saja sudah dapat menjawab pertanyaan tentang fatsal tadi! Kalian tadi mendengar bahwa dulu aku sering mengetok kepalanya" Nah, jangan kira bahwa ketokan kepalanya tidak ada gunanya! Tanpa diketok kepalanya, seorang murid takkan menjadi pandai!"
Hati Cin Hai yang dulu seringkali mengenangkan guru ini dengan benci dan mendongkol, kini menjadi lemah, bahkan ia merasa kasihan sekali melihat betapa pakaian guru ini butut dan tambal-tambalan, tanda bahwa keadaannya miskin sekali, sedangkan tubuhnya makin kurus kering dan lemah bagaikan mayat hidup! Betapapun juga, guru-guru yang pandai ujar-ujar akan tetapi tak mampu melaksanakan ini patut dikasihani oleh oleh karena dia adalah seorang jujur dan rela hidup dalam kemiskinan dan masih tekun menurunkan ilmu-ilmu batin yang hanya dikenal dibibir saja itu kepada anak-anak dengan menerima upah kecil! Ia mengerti bahwa segala penderitaan, makian, pukulan yang diterima dari guru ini dalam waktu mengajar, bukan tidak ada gunanya! Sakit dan derita merupakan obat pahit yang dapat menguatkan batin dan meneguhkan iman.
Maka teringatlah ia kepada ucapan Bu Pun Su dulu,
"Segala apa di dunia ini mempunyai dua muka yang berlainan dan baik buruknya muka itu terpandang oleh seseorang, hal ini tergantung sepenuhnya kepada orang itu sendiri, oleh karenanya banyak pertentangan di dunia ini yang terjadi karena perbedaan pandangan ini!"
Dan ia merasa betapa tepatnya ucapan ini. Dulu ia memandang perbuatan Kwi sianseng kepadanya amat buruk dan kejam sehingga menimbulkan rasa benci dan sakit hati. Akan tetapi sekarang, ia telah mempunyai pandangan lain dan menganggap bahwa perbuatan Kwi-sianseng itu telah menjadi watak guru ini dan bukan timbul karena membencinya, maka ia bahkan menganggap semua siksaan itu baik, hingga sebaliknya kini menimbulkan rasa terima kasih!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
348 Cin Hai lalu memberi isyarat dengan matanya kepada Kwee An dan ia merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa potong uang emas yang ada padanya. Ia masukkan uang itu ke dalam saku Kwi-sianseng tanpa dilihat oleh guru ini, kemudian setelah mereka berkelebat maka lenyaplah keduanya dari depan Kwi-sianseng. Tentu saja hal ini tak terduga sama sekali oleh guru itu, juga oleh anak anak tadi yang menganggap kedua pemuda ini main sulap.
"Hebat, hebat... mereka telah menjadi orang-orang gagah yang berkepandaian luar biasa,"
katanya kemudian ia berkata keras-keras agar terdengar oleh murid-muridnya yang kecil-kecil. "Mereka hebat sekali dan mereka itu adalah murid-muridku. Kalian bertiga yang bodoh ini kalau mau belajar sungguh-sungguh, kelak pun akan menjadi seperti mereka." Ketika seorang muridnya menjatuhkan kitab ke atas tanah karena terheran-heran melihat lenyapnya Kwee An dan Cin Hai hingga tanpa disengaja kitab yang dipegangnya jatuh, Kwi-sianseng marah sekali dan melangkah maju, siap dengan jari-jarinya untuk mengetuk kepala yang gundul itu. Akan tetapi tiba-tiba bayangan Cin Hai muncul dan guru ini teringat akan kejadian dulu-dulu, maka ia lalu menahan tangannya, dan sebaliknya ia lalu mengetok kepalanya sendiri yang sudah botak.
"Jangan kaulakukan kepada orang lain apa yang kau sendiri tidak mau diperlakukan oleh orang lain kepadamu," kata-kata Cin Hai yang dulu bergema di dalam telinganya. Semenjak saat ini Kwi-sianseng mempunyai kebiasaan baru, yaitu tiap kali ia mengetok kepala muridnya, tentu ia juga menambahkan sebuah ketokan kepada kepalanya sendiri.
Cin Hai dan Kwee An sambil tertawa-tawa mengenangkan peristiwa pertemuan dengan Kwi-sianseng tadi, lalu berjalan cepat meninggalkan Tiang-an. Mereka keluar dari kota itu dari jurusan timur dan tidak melewati Kelenteng Ban-hok-tong yang berada di sebelah barat kota itu. Hari telah agak gelap ketika mereka tiba di sebuah hutan di luar kota.
Tiba-tiba mereka mendengar suara orang berseru minta tolong dan ketika mereka lari menghampiri, ternyata seorang laki-laki tua yang berpakaian seperti piauwsu (pengawal kiriman barang berharga) sedang dikeroyok oleh lima orang perampok. Piauwsu ini biarpun melawan dengan nekad dan memutar-mutar goloknya, namun pengeroyoknya ternyata
memiliki kepandaian yang lihai hingga pundak kiri piauwsu itu telah berlumur darah karena mendapat luka bacokan pedang. Akan tetapi, sambil berseru minta tolong, piauwsu itu terus saja melawan dengan nekad.
Cin Hai marah sekali melihat pengeroyokan ini dan sekali pandang saja ia maklum bahwa piauwsu ini tentu dirampok, oleh karena di pinggir tampak sebuah kereta dan para pendorongnya yang terdiri dari empat orang telah berjongkok sambil menggigil ketakutan di belakang kereta.
"Perampok ganas, pergilah dari sini!" katanya dan tubuhnya telah menyambar cepat ke arah tempat pertempuran. Cin Hai tidak mau membuang banyak waktu, ia segera mempergunakan kepandaian Ilmu Silat Tangan Kosong Kongciak-sin-na yang hebat. Memang ilmu silat yang belum lama ia pelajari dari Bu Pun Su ini lihai sekali. Begitu kedua tangannya bergerak, pedang kelima orang perampok itu tahu-tahu telah kena dibikin terpental den sebelum kelima orang perampok yang juga memiliki ilmu silat lumayan itu tahu apa yang terjadi, tahu-tahu mereka telah dipegang oleh tangan kanan kiri pemuda itu dan dilempar-lemparkan ke kanan kiri bagaikan orang melempar-lemparkan kentang busuk saja.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
349 Tentu saja mereka merasa jerih dan ngeri melihat ilmu kepandaian sehebat ini den tanpa menoleh lagi mereka lalu berlari secepatnya ke jurusan yang sama hingga merupakan balap lari yang ramai. Kwee An tertawa bergelak, sedangkan Cin Hai hanya tersenyum saja melihat pemandangan yang lucu itu.
Sedangkan piauwsu itu ketika melihat pemuda luar biasa lihainya yang telah menolong jiwanya, lalu melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Hai sambil berkata dengan suara terharu,
"Taihiap yang gagah perkasa telah menolong jiwaku yang tak berharga, aku tua bangka lemah takkan dapat membalas budi besar ini dan untuk menyatakan terima kasihku, biarlah Taihiap menyebut nama Taihiap yang mulia agar dapat kuingat selama hidupku!"
Cin Hai merasa tidak enak sekali melihat dirinya dihormati sedemikian oleh piauwsu itu maka buru-buru ia memegang pundak piauwsu itu dan menariknya berdiri sambil berkata, Lo-piauwsu janganlah beriaku demikian. Pertolongan yang tidak ada artinya ini untuk apa dibesar-besarkan?"
Ketika piauwsu tua itu mengangkat muka dan memandang dengan sepasang matanya yang luar biasa lebar, Cin Hai merasa bahwa ia seperti pernah melihat muka ini, akan tetapi tidak ingat lagi di mana dan bilamana. Tiba-tiba Kwee An berseru sambil meloncat menghampiri,
"Tan-kauwsu! Kaukah ini?"
Memang benar, piauwsu itu ternyata adalah Tang-kauwsu, guru silat yang dulu pernah mengajar silat kepada putera-putera keluarga Kwee In Liang! Tan-kauwsu memandang heran dan ia segera mengenali Kwee An, maka sambil menjura ia berkata girang,
"Kwee-kongcu! Tak tersangka kita telah bertemu di sini! Ah, aku orang tua telah mendengar tentang kemajuan dan kelihaianmu dan telah mendengar pula bahwa engkau telah menjadi murid Eng Yang Cu-locianpwe, tokoh Kim-san-pai yang lihai itu! Sukurlah kepandaianmu tentu telah berlipat ganda dan aku orang tua yang tak berguna ini hanya merasa gembira!"
Kemudian ia memandang kepada Cin Hai dengan mata kagum dan melanjutkan kata-katanya,
"Akan tetapi, siapakah Taihiap yang muda akan tetapi telah memiliki kepandaian yang demikian lihainya hingga belum pernah mataku yang tua menyaksikan kelihaian seperti yang telah Taihiap lakukan tadi?"
Cin Hai ketika mengingat bahwa piauwsu ini bukan lain adalah Tan-kauwsu yang dulu membencinya dan bahkan mengejarnya untuk membunuh, timbul pula rasa bencinya, maka ia tidak mau menjawab dan hanya memandang tajam dengan muka tidak senang. Kwee An
belum pernah mendengar tentang kekejaman Tan-kauwsu kepada Cin Hai, oleh karena Cin Hai memang tidak menceritakan hal itu kepada siapapun juga, maka Kwee An lalu tertawa girang dan berkata,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
350 "Tan-kauwsu, sesungguhnya pemuda kawanku ini pun bukan orang luar, akan tetapi kurasa kau takkan dapat menduganya dia ini siapa biarpun kau akan mengingat-ingat sampai semalam penuh! Biarlah aku membantumu. Dia ini adalah Cin Hai anak gundul yang dulu pernah pula belajar silat padamu!"
Tiba-tiba pucatlah wajah Tan-kauwsu mendengar bahwa anak muda yang luar biasa
gagahnya yang baru saja telah menolong jiwanya itu, bukan lain adalah Si Cin Hai, anak gundul yang dulu hendak diambil jiwanya! Kedua kaki Tan-kauwsu menggigil dan ia tak dapat menahan dirinya lagi. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut lagi di depan Cin Hai dan tak tertahan lagi kedua matanya mengucurkan air mata!
"Taihiap... aku... aku... ah, apakah yang harus kukatakan" Kalau Taihiap suka, ambillah jiwaku. Aku tua bangka yang tak tahu diri akan mati dengan rela di dalam tanganmu!"
Kwee An memandang heran dan segera berkata, "Eh, eh, apa-apan ini" Tan-kauwsu, apakah kau mendadak telah menjadi mabok?"
Akan tetepi Cin Hai mengejapkan mata kepada kawannya itu dan kini ia tidak mengangkat bangun tubuh orang tua yang berlutut di depannya.
"Tan-kauwsu, memang benar kata ujar-ujar kuno yang menyatakan bahwa apa yang
diperbuat orang pada masa mudanya, akan mendatangkan sesal pada masa tuanya. Kau dulu berkeras hendak membunuhku, dan sekarang kau bahkan minta dibunuh olehku dengan rela.
Bukankah ini merupakan buah dari pohon kebencian yang dulu kautanam dengan kedua tanganmu sendiri" Kau minta aku membalas dendam" Tidak, Tan-kauwsu! Akan terlalu senang bagimu. Biarlah kaupikir-pikirkan perbuatanmu yang sewenang-wenang dulu itu dan menyesalinya. Kau tak berhutang jiwa padaku, maka bagaimana aku bisa membunuhmu"
Nah, selamat tinggal! Mari, Kwee An, kita pergi dari sini!"
Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu melompat pergi dan terpaksa Kwee An menyusul kawannya itu dengan heran. Kemudian, atas desakan Kwee An, Cin Hai lalu menuturkan pengalamannya. Kwee An menghela napas dan berkata,
"Memang nasib manusia itu tidak tentu. Sekali waktu ia boleh berada di bawah, di tempat yang serendah-rendahnya, akan tetapi akan tiba masanya ia akan berada di atas, di tempat yang setinggi-tingginya."
Setelah meninggalkan Tiang-an, kedua pemuda itu lalu menuju ke kota raja, oleh karena selain mencari jejak Lin Lin dan Ma Hoa, keduanya juga tidak pernah lupa untuk mencari Hai Kong Hosiang, hwesio yang kini merupakan musuh besar satu-satunya yang masih belum berhasil mereka balas. Dan ke mana lagi mencari hwesio itu kalau tidak di kota raja" Mereka merasa ragu-ragu apakah Hai Kong Hosiang berada di sana, akan tetapi karena tidak mempunyai pandangan lain di mana hwesio itu mungkin berada, mereka mencoba-coba dan pergi ke kota raja.
Mereka langsung menuju ke Enghiong-koan, gedung perhimpunan para perwira Sayap
Garuda di mana mereka dulu pernah datang mengacau dan berhasil membunuh mati musuh-musuhnya. Ketika mereka tiba di atas genteng gedung itu, mereka melihat dua orang sedang bertempur mengeroyok seorang kakek, sedangkan di sekeliling tempat pertempuran, para Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
351 perwira Sayap Garuda menonton sambil berseru-seru membesarkan hati kakek yang
dikeroyok itu. Melihat gerakan kakek tua renta itu, terkejut Kwee An dan Cin Hai oleh karena gerakan kakek ini benar-benar luar biasa hebatnya hingga kedua pengeroyoknya terdesak mundur terus. Dan ketika Cin Hai memandang tegas, ternyata bahwa kakek tua renta itu adalah Kiam Ki Sianjin sedangkan kedua pengeroyoknya adalah Eng Yang Cu guru Kwee An dan Nelayan Cengeng sendiri.
Kedua pemuda itu yang melihat betapa Eng Yang Cu dan Kong Hwat Lojin terdesak hebat oleh ilmu silat Kiam Ki Sianjin yang hebat luar biasa, segera melompat turun.
"Kwee An, jangan kau ikut turun tangan, biarlah aku sendiri menghadapi kakek tua renta itu.
Ia adalah supek dari Hai Kong Hosiang."
Kwee An kaget sekali dan menjadi jerih. Kalau Hai Kong Hosiang saja telah begitu hebat, apa lagi supeknya.
Cin Hai melompat masuk ke kalangan pertempuran dan berkata dengan suara hormat kepada Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu,
"Jiwi Locianpwe, biarkan teecu menghadapi setan ini, dan kalau teecu tidak dapat menandinginya, barulah jiwi berdua maju memberi hajaran kepadanya."
Sebetulnya Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng telah terdesak sekali, dan kata-kata yang diucapkan oleh Cin Hai ini terang menandakan bahwa pemuda ini pandai membawa diri dan menghormat mereka maka keduanya lalu melompat mundur.
Kiam Ki Sianjin!" kata Cin Hai dengan tenang, "dulu Suhuku Bu Pun Su telah mengampuni kau, maka apakah sekarang kau yang begini tua ini masih mau memamerkan kepandaian di depan mata umum?"
Kiam Ki Sianjin memandang kepada Cin Hai dengan sepasang matanya yang telah tua akan tetapi masih awas itu, lalu ia tertawa cekikikan dan tangan kanannya membuat gerakan merendah seperti hendak berkata bahwa Cin Hai masih kecil dan masih kanak-kanak, sedang tangan kirinya menuding keluar. Dengan gerakan ini Kiam Ki Sianjin hendak berkata bahwa Cin Hai yang masih muda dan masih kanak-kanak itu jangan datang mengantar kematian, lebih baik keluar dan pergi saja sebelum terlambat!
"Kiam Ki Sianjin, tak perlu kau menggertak. Keluarkanlah kepandaianmu kalau kau memang gagah!" Cin Hai menantang akan tetapi sikapnya tetap tenang dan waspada. Kiam Ki Sianjin menjadi marah sekali, dan sambil mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, ia lalu menerjang maju dengan hebat sekali!
Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu adalah tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, akan tetapi menghadapi Kiam Ki Sianjin, mereka berdua terdesak hebat setelah bertempur dua ratus jurus lebih, maka kini mereka memandang ke arah Cin Hai dengan penuh kekuatiran. Mereka maklum bahwa sebagai murid tunggal Bu Pun Su, pemuda itu tentu memiliki kepandaian Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
352 yang tinggi sekali, akan tetapi, tetap saja mereka merasa ragu-ragu dan cemas oleh karena kini pemuda itu menghadapi seorang lawan yang jauh lebih berpengalaman dan yang telah mereka rasakan sendiri kehebatan ilmu kepandaiannya!
Akan tetapi, mereka menjadi kagum sekali ketika melihat betapa dengan lincahnya Cin Hai dapat mengimbangi ginkang dari kakek itu. Bahkan ketika melihat betapa pemuda itu berani mengadu lengan dengan Kiam Ki Sianjin, tak terasa pula Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak sambil mengalirkan air mata dari kedua matanya. Ini adalah tanda bahwa Nelayan Tua ini merasa gembira sekali. Tadi ia pernah beradu lengan dengan Kiam Ki Sianjin, akan tetapi adu lengan yang sekali itu saja sudah cukup membuatnya kapok oleh karena betapa lengannya sakit sekali dan seakan-akan ada puluhan jarum menusuk-nusuk ke dalam daging lengannya!
Kini ia melihat betapa Cin Hai berani beradu tenaga dengan kakek sakti itu tanpa merasa sakit dan bahkan agaknya Kiam Ki Sianjin tidak saja nampak terkejut, akan tetapi juga terdorong sedikit tiap kali keduanya mengadu tenaga dalam!
Sementara itu, Kwee An memandang pertempuran hebat itu dengan bengong dan anak muda ini merasa heran sekali mengapa kini kepandaian Cin Hai agaknya telah bertambah berlipat ganda! Tadinya Kwee An merasa bangga bahwa ia telah menerima pelajaran ilmu silat dari ayah angkatnya, yaitu Hek Mo-ko dan diam-diam ia mengharapkan bahwa kini tingkat ilmu kepandaiannya sudah menyusul kepandaian Cin Hai. Tidak tahunya kepandaian Cin Hai kini pun meningkat luar biasa sekali dan bahkan ia merasa bahwa kepandaian pemuda ini sekarang berada di tingkat yang lebih tinggi daripada kepandaian Hek Pek Mo-ko sendiri. Tentu saja mereka ini tidak tahu bahwa Cin Hai telah mengeluarkan llmu Silat Pek-in-hoatsut atau Ilmu Silat Awan Putih! Kedua lengan tangannya mengeluarkan uap putih yang menimbulkan tenaga hebat sekali hingga lweekang yang tinggi dari Kiam Ki Sianjin masih saja tak kuat menghadapi ilmu pukulan ini!
Kiam Ki Sianjin selama hidupnya satu kali menerima tandingan yang tinggi ilmu
kepandaiannya dari kepandaiannya sendiri, yaitu ketika ia berhadapan dengan Bu Pun Su.
Sudah tiga kali selama hidupnya ia bertemu dengan Bu Pun Su dan tiap kali bertemu ia selalu dipermainkan oleh kakek jembel itu. Kini baru pertama kalinya ia menghadapi seorang pemuda yang dapat menandingi kelihaiannya hingga tentu saja ia menjadi marah, penasaran dan gemas sekali! Ia tadi ketika menghadapi Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng walaupun dapat mendesak namun agak sukar merobohkan dua orang lawan yang bukan sembarang
orang itu dan yang telah termasuk tingkat tokoh besar dalam lapangan ilmu silat, maka ia telah mengerahkan tenaganya, hingga membuat tubuhnya yang telah tua sekali itu menjadi lelah luar biasa. Kini menghadapi Cin Hai yang ternyata lebih lihai lagi daripada kedua kakek itu, ia benar-benar merasa terkejut dan marah. Namanya yang telah terkenal menjulang tinggi sampai ke langit itu akan runtuh kalau ia tidak dapat mengalahkan pemuda ini. Jika diingat bahwa pemuda ini adalah murid Bu Pun Su, maka ia makin penasaran dan ingin membalas kekalahannya yang dulu-dulu dari Bu Pun Su kepada muridnya ini.
Karena marahnya, Kiam Ki Sianjin lalu melupakan sumpahnya sendiri dan tiba-tiba ia mencabut keluar sebatang pedang yang aneh bentuknya. Pedang ini tipis sekali dan seakan-akan lemas tak bertenaga, akan tetapi, di bawah ujungnya yang runcing terdapat dua buah kaitan di kanan-kiri dan pedang ini mengeluarkan cahaya berkilauan saking tajamnya. Ketika beberapa tahun yang lalu ia merasa bahwa dirinya telah amat tua dan telah banyak darah ia alirkan melalui pedang ini, ia merasa menyesal sekali dan takut untuk menerima hukuman dari semua dosanya. Maka ia lalu bersumpah takkan mempergunakan pedang ini untuk Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
353 membunuh orang lagi. Akan tetapi, oleh karena sekarang ia merasa marah sekali, ia tidak ingat lagi akan sumpah itu dan mencabut keluar senjatanya yang hebat.
Cin Hai terkejut melihat gerakan ini. Ia tidak mempunyai permusuhan dengan Kiam Ki Sianjin dan tadi pun ia hanya ingin menolong Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu saja dan hendak mencoba kepandaian kakek luar biasa ini. Sekarang melihat betapa kakek itu mencabut keluar pedangnya, maka tahulah bahwa kakek itu telah marah sekali dan bermaksud mengadu jiwa.
"Kiam Ki Sianjin!" kata Cin Hai keras-keras, "kita tak pernah saling bermusuhan hingga tak perlu mengadu jiwa!" Kiam Ki Sianjin salah mengerti dan menduga bahwa pemuda itu merasa jerih melihat pedangnya, maka sambil tertawa cekikikan ia lalu menerjang maju dengan cepatnya.
"Baiklah, agaknya kau hendak membela muridmu yang durhaka Hai Kong Hosiang itu!" kata Cin Hai dan secepat kilat pemuda ini pun lalu mengelak dan mencabut keluar pedangnya, Liong-coan-kiam. Karena maklum bahwa ilmu kepandaian kakek ini hebat sekali dan ia takkan dapat mengambil kemenangan apabila ia hanya mengandalkan pengertian pokok persilatan dan mengikuti gerakan serangan orang tua itu tanpa membalas dengan serangan berbahaya, maka ilmu pedang yang ia ciptakan bersama Ang I Niocu dan yang telah
diyakinkan sempurna itu, pedangnya bergerak-gerak aneh bagaikan terbang ke udara dan tiada ubahnya dengan seekor naga sakti keluar dari surga menyambar-nyambar ke arah Kiam Ki Sianjin dengan garangnya.
Akan tetapi, Kiam Ki Sianjin benar-benar hebat dan luar biasa sekali ilmu silatnya. Biarpun ia merasa terkejut melihat ilmu pedang yang seumur hidupnya belum pernah disaksikan itu, namun pengalamannya membuat ia dapat menduga ke mana arah tujuan pedang Cin Hai dan dapat menjaga diri dengan baiknya serta dapat pula melancarkan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.
Kedua orang ini bertempur mengadu ilmu sampai tiga ratus jurus lebih dan para penonton telah merasa pening karena terpengaruh oleh gerakan pedang yang dimainkan secara hebat itu. Bahkan Kwee An sampai menjadi merah matanya karena tidak tahan melihat
menyambarnya sinar pedang, juga para perwira yang tadinya berseru-seru kini tidak bergerak dan memandang dengan muka pucat. Banyak di antara mereka yang mengalirkan air mata karena mata mereka terasa pedas sekali sehingga terpaksa mereka mengalihkan pandangan matanya dan tidak langsung memandang ke arah pertempuran.
Hanya Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng saja yang masih sanggup menonton dengan
tertariknya, akan tetapi juga kedua orang ini agak pucat karena maklum bahwa sekarang sedang berlangsung pertandingan tingkat tinggi yang langka terlihat. Mereka makin kagum saja kepada Cin Hai yang bagaikan sebuah batu mustika, baru sekarang tergosok dan kelihatan betul-betul sinar dan nilainya. Kedua tokoh besar ini diam-diam menghela napas saking tertarik dan kagumnya. Biarpun di luarnya tidak menyatakan perubahan, namun sebetulnya Kiam Ki Sianjin telah merasa lelah sekali dan rasa penasaran dan marah telah berkobar di dadanya yang membuat seluruh tubuhnya terasa panas sekali. Inilah kesalahannya dan ia pun maklum akan hal ini, akan tetapi ia tidak berdaya. Nafsu marah dan penasaran Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
354 yang sudah lama dapat ditenggelamkan di dasar hatinya, kini tiba-tiba melonjak dan timbul pula dengan serentak, maka tentu saja tangannya menjadi makin lemah.
Baiknya Cin Hai memang tidak bermaksud membunuh atau melukainya, karena betapapun juga, pemuda ini merasa kasihan melihat kakek yang amat tua hingga merupakan rangka hidup ini. Ia dapat menduga bahwa kakek ini telah mulai lelah, maka ia mendesak makin hebat dengan maksud agar kakek ini dapat menyerah karena kelelahannya.
Benar saja, desakannya telah membuat Kiam Ki Sianjin merasa lelah sekali. Tubuhnya telah penuh keringat dan napasnya mulai terengah-engah hingga membuat gerakannya menjadi lambat. Pada suatu kesempatan yang baik, tiba-tiba pedang Cin Hai menusuk ke arah leher kakek itu. Kiam Ki Sianjin tiba-tiba melakukan gerakan nekad sekali dan tanpa
mempedulikan tikaman pedang Cin Hai, ia membalas menikam ke arah dada Cin Hai.
Ternyata bahwa dalam keadaan putus asa, kakek ini hendak mengajak mati bersama.
Cin Hai terkejut sekali. Cepat ia menarik kembali pedangnya dan dihentakkan untuk menangkis pedang lawannya. Kiam Ki Sianjin merasa betapa pedang pemuda itu menempel keras pada pedangnya dan ia pun lalu mengerahkan tenaga dalam dan mengait pedang Cin Hai dengan kaitan pedangnya. Kedua lawan tua dan muda ini saling mengerahkan tenaga lweekang dan pedang mereka saling melengket bagaikan menjadi satu. Keduanya tidak bergerak, saling pandang bagaikan dua buah patung, tangan kanan memegang pedang yang saling menempel, tangan kiri diacungkan ke atas dengan jari-jari tangan terbuka seakan-akan menerima kekuatan dari atas. Tiba-tiba terdengar suara "krak!" yang keras sekali dan pedang di tangan Kiam Ki Sianjin telah patah menjadi dua. Dan secepat kilat Cin Hai melompat mundur dan berjungkir balik sampai lima kali di udara untuk menghindarkan diri dari serangan tenaga dalam kakek luar biasa itu. Ternyata ketika tadi ia mengerahkan tenaga dalamnya sampai sepenuhnya, tiba-tiba kakek itu menarik kembali tenaganya hingga pedangnya menjadi patah. Cin Hai terkejut dan menyangka bahwa penarikan tenaga ini adalah siasat yang hendak digunakan untuk memukulnya selagi ia kehabisan tenaga, maka ia lalu berjungkir balik di udara.
Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa sebenarnya kakek itu telah kehabisan napas dan tenaga. Ia telah amat tua dan tenaganya banyak berkurang maka sekarang menghadapi Cin Hai setelah tadi melawan keroyokan Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng, ia tidak-kuat lagi dan
tenaganya runtuh. Ketika semua orang memandang ternyata Kiam Ki Sianjin masih berdiri dengan pedang potong di tangan, tanpa bergerak sedikit pun dan kedua matanya masih meram.
Cin Hai mendekati dan melihat keadaan Kiam Ki Sianjin, ia menjadi terkejut dan menyesal, karena ia tahu bahwa kakek itu telah putus nyawanya karena serangan dari dalam. Ini hanya terjadi kalau orang terlalu marah.
Seorang perwira menghampiri tubuh Kiam Ki Sianjin yang masih berdiri diam dan hendak menariknya.
"Jangan!" teriak Cin Hai dan maju melompat hendak mencegah.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
355 Akan tetapi terlambat. Ketika perwira itu memegang lengan Kiam Ki Sianjin dan hendak menolong dan menuntunnya, tiba-tiba ia menjerit ngeri dan terjengkang ke belakang bagaikan mendapat pukulan hebat. Sementara itu tubuh Kiam Ki Sianjin lalu roboh ke depan dalam keadaan masih kaku.
Perwira itu roboh dan tewas di saat itu juga oleh karena ia terkena hawa dari tenaga dalam yang masih terkumpul di lengan tangan kakek itu dan biarpun ia telah mati, akan tetapi tubuhnya masih hangat dan hawa tenaga keluar dan menghantam perwira itu hingga binasa.
Dengan menyesal, Cin Hai lalu mengajak kawan-kawannya lari dari tempat itu untuk menghindari pertempuran-pertempuran selanjutnya, oleh karena mereka maklum bahwa kematian kakek ini tentu takkan dibiarkan saja oleh para perwira tadi!
Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu tiada habisnya memuji-muji kelihaian Cin Hai yang diterima dengan ucapan merendah oleh pemuda ini. Juga Kwee An, biarpun tidak
mengucapkan sesuatu, namun pandangan matanya kepada pemuda itu berubah penuh hormat dan bangga serta memandang tinggi.
Nelayan Cengeng lalu menceritakan bahwa dalam usahanya mencari jejak Lin Lin dan Ma Hoa, di jalan ia bertemu dengan Eng Yang Cu yang telah dikenal baik. Eng Yang Cu mendengar tentang penderitaan yang dialami oleh muridnya, maka mereka berdua merasa marah sekali kepada Hai Kong Hosiang lalu mencarinya ke kota raja untuk mengedu
kepandaian dan membalas sakit hati keluarga Kwee An. Akan tetapi, ternyata bahwa mereka tak dapat menemukan Hai Kong Hosiang, sebaliknya bertemu dengan Kiam Ki Sianjin yang menyerang mereka dengan hebat ketika mendengar bahwa mereka datang hendak membunuh Hai Kong Hosiang!
Setelah menceritakan pengalaman masing-masing, Cin Hai lalu menceritakan kepada Eng Yang Cu tentang ikatan jodoh antara Kwee An dan Ma Hoa dan minta pertimbangan orang tua ini. Cin Hai yang tahu bahwa Kwee An tentu tidak berani bicara sendiri, telah mewakili pemuda itu. Eng Yang Cu tertawa bergelak-gelak ketika mendengar ini.
"Ha, ha, ha! Aku sudah tahu tentang hal ini dan Nelayan Cengeng telah berunding denganku.
Tentu saja Pinto merasa bersyukur sekali, dan pinto yakin bahwa murid Si Cengeng ini tentu seorang nona yang baik asal saja sifat cengeng dari gurunya tidak menurun kepadanya!"
Nelayan Cengeng tertawa bergelak.
"Eng Yang Cu, begitulah kalau orang selamanya membujang! Tidak tahu akan sifat wanita.
Wanita manakah yang tidak cengeng" Ha, ha, ha!"
Ketika mereka berempat sedang mengobrol gembira, tiba-tiba terdengar suara yang
datangnya dari jauh sekali akan tetapi cukup jelas,
"Orang Turki dan kedua nona berada di bukit utara dekat tapal batas!"
Mendengar suara tanpa rupa ini, Cin Hai segera berlutut memberi hormat ke arah suara itu.
"Siapakah yang bicara dan memiliki khikang mujijat itu?" tanya Eng Yang Cu.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
356 "Suhu sendiri yang memberi tahu bahwa mereka berada di utara!" kata Cin Hai yang lalu mengangguk-anggukkan kepala menghaturkan terima kasih kepada gurunya.
Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu saling pandang dan mereka ini kagum sekali akan
kelihaian Bu Pun Su yang telah dapat mengirim suara dari tempat jauh. Kwee An merasa girang sekali dan setelah kedua orang tua itu berjanji hendak menghadiri perjodohan mereka, keduanya lalu pergi ke lain jurusan. Kwee An dan Cin Hai dengan hati girang lalu mempergunakan ilmu lari cepat untuk menuju ke utara, di mana kekasih mereka telah menanti dengan hati rindu!
Kwee An dan Cin Hai yang melakukan perjalanan dengan cepat sekali, beberapa hari kemudian telah tiba di pegunungan di utara dekat tapal batas. Mereka mulai mencari-cari hingga akhirnya tibalah mereka di dalam sebuah dusun di dekat lereng tempat tinggal Yousuf.
Ketika mereka bertanya kepada penduduk kampung tentang rumah seorang Turki dengan dua orang nona Han, mereka segera disambut oleh kepala kampung itu yang juga seorang Han dan berpakaian sebagai pembesar kampungan. Orang ini bertubuh pendek dan ramah tamah sekali. Ia menyatakan kenal baik kepada Yousuf karena sering kali saling mengunjungi dan bercakap-cakap.
Bukan main girangnya hati Kwee An dan Cin Hai yang menjadi berdebar ketika mengetahui bahwa rumah kekasih mereka telah dekat di depan! Kepala kampung yang baik hati dan ramah tamah itu bahkan lalu mengantar mereka menuju ke rumah Yousuf yang berada di lereng sebelah kiri dusun itu.
Ketika mereka telah melihat rumah kecil indah yang dikelilingi bunga-bunga itu dari jauh tiba-tiba dari atas bukit yang tak jauh dari situ terdengar suara pekik burung merak yang nyaring sekali. Cin Hai teringat akan Nelayan Cengeng tentang Merak Sakti, maka hatinya tertarik sekali dan ia lalu berkata kepada Kwee An,
"Saudara Kwee An, kau pergilah ke sana dulu dengan Chungcu (Kepala kampung) aku ingin sekali melihat burung aneh itu."
Kwee An tersenyum dan ia maklum bahwa selain tertarik hatinya oleh burung merak itu, juga Cin Hai hendak menyembunyikan rasa girang dan malunya karena hendak bertemu dengan Lin Lin!
"Akan tetapi jangan terlalu lama," katanya. "Aku tidak tanggung jawab kalau adikku marah-marah!"
Cin Hai mendelikkan mata dan melompat cepat ke arah puncak bukit itu hingga membuat kepala kampung merasa heran dan kagum sekali! Kwee An sambil tersenyum-senyum
melanjutkan perjalanan menuju ke rumah dengan hati berdebar.
Kebetulan sekali, ketika mereka tiba di dekat rumah, Kwee An melihat seorang gadis sedang menyirami kembang mawar hutan yang indah dan sedang mekar dengan segarnya. Gadis ini cantik jelita dan mengenakan pakaian titik-titik hijau dengan leher berwarna merah.
Rambutnya yang hitam panjang itu disanggul ke belakang dan agak kusut karena tertiup angin gunung, akan tetapi kekusutan rambutnya ini bahkan menambah kemanisannya. Kwee An Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
357 tiba-tiba berhenti dan memberi isyarat kepada kepala kampung itu agar tak mengeluarkan suara. Kemudian ia menghampiri gadis itu dengan meringankan tindakan kakinya dari belakang. Setelah berada dekat di belakang gadis itu, ia telah tak dapat menahan lagi perasaan girang dan debaran jantungnya yang mengeras, lalu mengeluarkan panggilan yang diucapkan dengan bibir gemetar,
"Hoa-moi..."
Ma Hoa cepat menengok sambil berdiri. Matanya yang indah dan lebar terbelalak dan wajahnya tiba-tiba menjadi merah. Tak terasa lagi tempat air yang tadi dipegangnya terjatuh ke atas tanah dan hanya dapat berkata,
"Kau... kau... An-ko..." Kemudian, setelah dua pasang mata itu saling bertemu dan saling pandang dalam seribu satu bahasa dan sinar mata itu mewakili hati masing-masing dan melepas kerinduan dengan pandangan mesra, Ma Hoa menundukkan kepalanya, lalu berkata perlahan,
"Koko, mengapa baru sekarang kau datang?" Ucapan ini biarpun terdengar seakan-akan gadis itu menegur, akan tetapi bagi telinga Kwee An merupakan sebuah pengakuan bahwa gadis itu telah lama merindukannya!
"Moi-moi, maafkanlah bahwa baru sekarang aku dapat menemukan tempat ini. Kau makin cantik dan manis, hingga bunga ini nampak buruk berada di dekatmu!" Ma Hoa mengerling dengan tajam dan bibirnya tersenyum senang, karena wanita manakah yang takkan merasa bahagia dan bangga apabila mendapat pujian dari kekasihnya"
Dalam kebahagiaan pertemuan ini, Kwee An sama sekali lupa bahwa ia datang dengan kepala kampung yang kini berdiri menjauhinya dan duduk di atas sebuah batu karena merasa jengah dan malu kalau harus mendekati mereka. Juga Kwee An lupa untuk bertanya tentang Lin Lin atau Yousuf. Sebaliknya Ma Hoa juga sama sekali tidak ingat untuk bertanya tentang Cin Hai atau orang-orang lain. Pendek kata, pada saat itu, mereka merasai bahwa di atas dunia ini hanya ada mereka berdua saja.
Tiba-tiba, ketika kedua teruna remaja ini sedang bercakap-cakap dengan suara bisikan mesra, terdengar bentakan keras dari dalam rumah kecil itu.
"Ada tamu datang! Silakan kau minum air teh, anak muda!" Dan, berbareng dengan bentakan ini tubuh Yousuf muncul dari pintu dan orang Turki yang berilmu tinggi ini lalu melempar sebuah poci yang tadi dipegangnya ke arah Kwee An! Kepala kampung yang tadi duduk, melihat hal ini lalu bangkit berdiri dan memandang dengan hati kuatir. Ia tahu akan keanehan sikap orang Turki ini, dan pernah ia mendengar tentang lemparan poci teh dan mengerti pula akan maksudnya oleh karena dulu pernah ada beberapa orang pemuda kampung yang tertarik oleh kecantikan kedua orang gadis itu dan datang pula ke situ. Akan tetapi, mereka ini pun mendapat sambutan lemparan poci teh yang membuat mereka lari tunggang langgang, oleh karena mereka tak sanggup menerima poci yang menyambar mereka bagaikan seekor burung yang dapat beterbangan dan bergerak-gerak!
Ternyata bahwa Yousuf menggunakan poci teh itu untuk mencoba pemuda yang berani
mendekati Ma Hoa atau Lin Lin dan lemparan poci ini adalah semacam kepandaian sihir yang digerakkan oleh tenaga khikang.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
358 Melihat menyambarnya poci teh ke arah kepalanya, Kwee An terkejut sekali karena ia telah merasa datangnya serangan angin sambaran benda itu.
Namun Kwee An tidak saja telah memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, bahkan kini setelah lama melakukan perjalanan dengan Cin Hai, ia mendapat petunjuk-petunjuk berharga dari pemuda itu dan kepandaiannya telah mengalami banyak kemajuan. Selain itu, Cin Hai juga memberi petunjuk tentang penyempurnaan latihan lweekangnya hingga dalam hal tenaga lweekang dan khikang, Kwee An juga mendapat kemajuan pesat.
Melihat datangnya poci teh yang menyambar, Kwee An lalu mengulur tangan kanannya dan ia makin terkejut ketika merasa betapa poci itu terdorong oleh tenaga yang kuat sekali. Akan tetapi ia dapat mengerahkan lweekangnya dan menerima poci teh dengan baik, bahkan air teh yang di dalam poci sama sekali tidak tumpah keluar!
"Bagus, bagus! Ma Hoa, siapakah pemuda gagah ini?" tanya Yousuf yang segera melangkah menghampiri.
"Lekas kauminum air teh dari poci. Ini adalah Yo-peh-peh," bisik Ma Hoa. Kwee An tanpa ragu-ragu melakukan apa yang dikatakan oleh kekasihnya itu dan ia minum air teh dari mulut poci begitu saja tanpa cawan. Yousuf makin girang dan tertawa bergelak-gelak.
"Yo-peh-peh, ini adalah An-koko yang seringkali kau dengar namanya itu."
Yousuf terkejut dan tahu bahwa ia tadi telah salah sangka. Maka cepat ia menghampiri dan membungkuk. "Maaf, Kwee-taihiap, aku tua bangka sembrono telah berlaku kurang ajar."
Akan tetapi, Kwee An dengan hormat sekali menjura setelah memberikan poci teh kepada kekasihnya dan berkata, "Yo-peh-peh, setelah Hoa-moi menyebut kau Peh-peh, maka kau bukanlah orang lain dan perkenankanlah aku menyebut Peh-peh pula kepadamu yang baik hati dan berkepandaian tinggi!"
Yousuf makin girang melihat sikap yang sopan santun dari pemuda ini, maka ia segera maju memeluknya. "Bagus, Ma-Hoa tidak keliru memilih. Memang Nelayan Cengeng itu pandai memilih jodoh muridnya!" Ia lalu melihat kepala kampung itu dan segera memanggilnya, dan beramai-ramai mereka lalu masuk ke dalam rumah.
"Di mana Lin Lin?" tanya Kwee An dan baru sekarang ia teringat kepada adiknya. Ma Hoa memandangnya dengan mata berseri lalu menjawab,
"Entahlah, dia semenjak tadi keluar dengan Sin-kong-ciak. Sebentar lagi tentu datang. Dan di manakah adanya Si-taihiap" Mengapa ia tidak datang bersamamu?"
"Kebetulan sekali! Dia tadi mendengar suara kong-ciak dan pergi mencarinya, tentu ia telah bertemu dengan Lin Lin!"
Ketika Cin Hai lari cepat ke arah puncak di mana ia mendengar burung merak memekik nyaring, ia mendengar lagi pekik burung merak itu yang agaknya sedang marah. Cin Hai Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
359 mempercepat larinya dan ketika ia tiba di puncak, ia melihat pertempuran yang hebat antara seekor burung merak yang indah bulunya dan besar sekali melawan seorang hwesio tinggi besar. Alangkah kaget dan girangnya ketika melihat bahwa hwesio itu bukan lain Hai Kong Hosiang!
Ternyata bahwa hwesio jahat ini dapat mengetahui tempat tinggal Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa. Maka timbullah niatnya hendak mengganggu gadis itu, terutama Lin Lin oleh karena ia tahu bahwa gadis ini adalah puteri Kwee-ciangkun yang menjadi musuh besarnya!
Demikianlah, ketika ia mengintai ke bukit itu, kebetulan sekali ia melihat Lin Lin dan burung merak maka segera ia muncul untuk menangkap Lin Lin. Tidak dinyana, burung merak itu dengan ganas sekali telah menyerangnya dan sebentar saja manusia dan burung ini bertempur sengit.
Ketika Cin Hai tiba di situ, burung merak sedang menyambar-nyambar dari atas dan Hai Kong Hosiang melawan dari bawah. Pertempuran berjalan ramai sekali, akan tetapi ketika Cin Hai memperhatikan, ia menjadi terkejut oleh karena melibat betapa gerakan burung itu kaku sekali, seakan-akan telah mendapat luka berat! Memang benar, sebelum Cin Hai datang, Hai Kong Hosiang yang kosen itu telah berhasil melukai Sin-kong-ciak dengan sebuah pukulan tangannya. Pukulan ini tepat mengenai dada kanan Merak Sakti itu dan kalau saja Merak Sakti tidak memiliki kekebalan dan tenaga luar biasa, pasti ia telah tewas dan dadanya hancur pada saat itu juga! Namun, Merak Sakti telah mendapat gemblengan luar biasa dari Bu Pun Su dan sutenya yang sakti dan telah menjadi seekor binatang sakti yang memiliki kekuatan luar biasa maka pukulan ini biarpun telah melukainya, namun tidak membunuhnya.
Betapapun juga, kepandaian Hai Kong Hosiang terlampau tinggi baginya dan kini biarpun ia menyambar-nyambar namun ia tidak berdaya menyerang Hai Kong Hosiang dan bahkan tiap kali mereka bergerak hampir saja Merak Sakti itu terkena serangan dahsyat dari Hai Kong Hosiang!
Melihat ini Cin Hai menjadi marah dan sekali loncat saja ia telah berada di dekat tempat pertempuran. Alangkah herannya ketika melihat seekor kuda yang dikenalnya baik-baik berada pula di situ, makan rumput hijau tanpa mempedulikan. Kuda itu adalah kuda Pek-gin-ma atau Kuda Perak Putih kepunyaan Pangeran Vayami yang dulu dibawa oleh Bu Pun Su untuk dikembalikan kepada yang punya. Ia dapat menduga bahwa kuda ini terjatuh dalam tangan Hai Kong Hosiang dan dugaannya memang betul. Hai Kong Hosiang datang ke bukit itu sambil menunggang Pek-gin-ma yang semenjak ia pergi dengan Pangeran Vayami ke Pulau Kim-san-to, memang telah berada di tangannya dan dipelihara baik-baik di kota raja.
"Hai Kong Hosiang, mari kita menentukan perhitungan terakhir hari ini!" kata Cin Hai yang menyambung ucapannya itu dengan suara halus ke arah Merak Sakti.
"Sin-kong-ciak-ko, biarlah siauwte menghadapi hwesio gundul kurang ajar ini dan kau beristirahatiah dulu!"
Merak Sakti ini agaknya maklum bahwa pemuda yang datang adalah seorang yang boleh dipercaya, maka ia lalu terbang ke atas dahan pohon di dekat situ dan setelah hinggap di situ ia lalu menggunakan paruh dan kepalanya untuk mengusap-usap dada kanannya yang terluka dan terasa sakit.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
360 Ketika Hai Kong Hosiang melihat siapa yang datang, bukan kepalang marahnya.
"Bangsat besar, akhirnya aku dapat juga bertemu dengan engkau!" katanya dan sedikit pun ia tidak merasa jerih.
Memang ia tahu bahwa kepandaian pemuda ini tinggi sekali sebagaimana telah ia rasakan ketika mereka bertempur di atas perahu Pangeran Vayami, akan tetapi kini ia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi supeknya.
Setelah mengeluarkan makian marah, Hai Kong Hosiang lalu maju dengan tongkat ularnya.
Cin Hai mencabut pedangnya Liong-coan-kiam dan menangkis dan sebentar saja kedua orang musuh besar ini telah bertempur mati-matian di atas bukit itu, disaksikan oleh Sin-kong-ciak yang bertengger di atas dahan pohon.
Setelah bertempur beberapa puluh jurus, keduanya tercengang dan kaget melihat kemajuan ilmu silat lawan. Akan tetapi kekagetan Hai Kong Hosiang lebih besar lagi oleh karena tenaga lweekangnya yang telah dilatih sempurna itu tidak berdaya menghadapi Cin Hai! Ia merasa betapa pemuda ini sekarang memiliki tenaga lweekang yang berlipat ganda hebatnya daripada dulu. Dan ketika Cin Hai membuka serangan dengan ilmu pedangnya yang baru
diciptakannya sendiri itu, maklumlah Hai Kong Hosiang bahwa pemuda ini kini telah memiliki ilmu kepandaian hampir menyamai tingkat Bu Pun Su sendiri! Diam-diam ia menjadi bingung dan jerih terutama sekali ketika Cin Hai dengan senyum sindir berkata "Hai Kong, sekarang kau harus menghadap Supekmu!"
Hai Kong Hosiang maklum bahwa supeknya telah meninggal dunia dan hal ini membuat ia makin jerih lagi. Ia tak perlu bertanya bagaimana supeknya meninggal namun dapat menduga bahwa tentulah pemuda ini yang merobohkannya, kalau tidak, tidak nanti Cin Hai
mengeluarkan kata-kata yang bermaksud melemahkan pertahanannya dan mengacaukan
pikirannya itu.
Kemudian dengan nekad Hai Kong Hosiang menyerang lagi dengan Ilmu Silat Tongkat Jian-coa-tung-hwat atau Ilmu Tongkat Seribu Ular yang menjadi kebanggaannya. Akan tetapi, serangan dengan ilmu tongkat ini yang telah dikenal baik oleh Cin Hai, hanya memperlebar senyum di mulut pemuda itu saja. Ketika Cin Hai mengeluarkan seruan keras dan
menggerakkan jurus ke dua puluh satu dari ilmu pedangnya, tiba-tiba tongkat di tangan Hai Kong Hosiang terlempar ke udara dan terdengar sayap mengibas karena ketika melihat tongkat hwesio itu melayang ke atas, Merak Sakti cepat menyambarnya dan membawa
terbang tongkat itu untuk dilempar jauh ke dalam sebuah jurang yang curam sekali!
Hai Kong Hosiang menjadi marah sekali dan tiba-tiba ia berjungkir balik dengan kepala di atas tanah dan kedua kaki bergerak-gerak di atas! Gerakannya cepat dan hebat, dan kedua kakinya mengeluarkan tenaga luar biasa karena anginnya saja menyambar-nyambar membuat daun-daun pohon yang bergantungan di situ bergoyang-goyang seperti tertiup angin keras!
Namun Hai Kong Hosiang tak dapat menakut-nakuti Cin Hai dengan ilmunya ini, bahkan pemuda ini lalu dengan tenangnya menyimpan kembali pedangnya, oleh karena ia tidak mau disebut licin untuk melawan seorang yang bertangan kosong dengan senjata di tangan! Ia maju menghadapi Hai Kong Hosiang yang telah berdiri dengan terbalik itu. Hai Kong Hosiang mengeluarkan seruan keras dan mengerikan lalu kedua kakinya menyambar dalam Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
361 serangan-serangan kilat dan maut! Cin Hai lalu menyambutnya dengan Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut yang ajaib, dan benar saja. Ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh terbalik ini tidak berdaya menghadapi Pek-in-hoat-sut dan setiap kali hawa pukulan kaki itu menyambar dan terpukul kembali oleh uap putih yang keluar dari sepasang lengan Cin Hai, maka kaki Hai Kong terpental kembali yang membuat tubuhnya bergoyang-goyang. Cin Hai maklum bahwa dalam keadaan terbalik itu, agak sukar baginya untuk mencari jalan darah lawan dalam keadaan jungkir balik itu. Kalau saja Hai Kong Hosiang bertempur sambil berdiri di atas kedua kakinya, takkan sukar agaknya bagi dia untuk merobohkan hwesio itu.
Tiba-tiba Cin Hai yang semenjak tadi memperhatikan gerakan Hai Kong Hosiang,
mengambil keputusan untuk meniru gerakan lawannya ini. Segera ia berseru keras dan berjungkir balik, kepala di atas tanah dan kedua kaki di atas. Dan bertempurlah mereka dalam keadaan aneh itu dengan hebatnya.
Kembali Hai Kong Hosiang menjadi terkejut sekali. Bagaimana pemuda ini dapat melakukan ilmu silat ini dengan sama baiknya"
"Siluman!" bentaknya dengan hati ngeri dan menyerang kembali dengan nekad. Tubuhnya berputar-putar di atas kepala dan kedua kakinya menyambar-nyambar, akan tetapi oleh karena kini Cin Hai juga berdiri di atas kepalanya seperti dia, sedangkan ilmu silatnya ini khusus diadakan untuk menghadapi seorang yang berkelahi dengan normal, maka semua pukulan kakinya ini menjadi ngawur saja. Kaki yang tadinya harus menyerang pundak lawan yang berdiri biasa, kini menyerang tumit kaki Cin Hai. Hai Kong Hosiang benar-benar bingung hingga kepalanya menjadi pening. Ia lalu berseru keras dan berdiri lagi di atas kedua kakinya, akan tetapi Cin Hai juga telah berdiri dan menyerangnya dengan hebat.
Menghadapi Pek-in-hoat-sut dengan berdiri di atas kedua kakinya, Hai Kong Hosiang tidak kuat menahan lagi dan dengan telak jari tangan Cin Hai berhasil menotok pundaknya dan tangan kiri anak muda itu menepuk pinggangnya. Hai Kong Hosiang tanpa mengeluarkan suara lalu roboh terbanting dalam keadaan lumpuh kaki tangannya.
Sebelum Cin Hai dapat mengeluarkan kata-kata atau menurunkan tangan keras untuk
menghabisi jiwa hwesio itu, tiba-tiba Merak Sakti turun menyambar. Agaknya Merak Sakti ini hendak membalas dendamnya oleh karena dadanya dilukai oleh Hai Kong Hosiang, dan kini sambil memekik-mekik marah ia menyambar dan mematuk ke arah kedua mata Hai Kong Hosiang. Hwesio ini biarpun sudah lumpuh kedua kaki tangannya, namun masih mempunyai tenaga untuk mengguling-gulingkan tubuhnya hingga ia dapat berhasil mengelak paruh merak yang hendak mematuk matanya.
Cin Hai melangkah mundur dan berdiri di dekat Pek-gin-ma yang masih enak-enak makan rumput. Sambil bertolak pinggang Cin Hai melihat pergulatan ini dan berkata, "Kong-ciak-ko, jangan kau habisi jiwanya. Itu bukan tugasmu."
Setelah beberapa kali mengguling-gulingkan tubuhnya untuk menghindarkan kedua matanya dari serangan Merak Sakti, akhirnya Hai Kong Hosiang terpaksa menyerah. Sambil
mengeluarkan jeritan ngeri, Hai Kong Hosiang masih berusaha mengelak, akan tetapi terlambat. Patuk yang merah dan kecil runcing dari Merak Sakti itu telah bergerak dua kali dan kedua mata Hai Kong Hosiang menjadi buta!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
362 Pada saat itu terdengar seruan girang,
"Hai-ko!"
Cin Hai cepat berpaling dan melihat bahwa yang berseru, itu bukan lain adalah Lin Lin!
Gadis ini ternyata tadi telah terjun ke dalam sebuah jurang dan bersembunyi ketika diserang hebat oleh Hai Kong Hosiang! Lin Lin maklum bahwa ia bukan lawan hwesio ini, maka ia berusaha melarikan diri dan memanggil Ma Hoa dan Yousuf untuk membantunya, akan tetapi ia kehabisan jalan dan akhirnya jalan satu-satunya ialah terjun ke dalam jurang itu! Untung baginya bahwa jurang itu dangkal dan pada saat itu, Sin-kong-ciak telah datang membelanya.
"Lin Lin...!" Cin Hai berseru girang sekali dan mereka lalu saling berpegang tangan dengan hati penuh kebahagiaan. "Lihat, Hai Kong yang jahat pun harus makan buah yang ditanamnya sendiri!" Mereka sambil berpegang tangan menonton betapa Merak Sakti menyerang Hai Kong Hosiang.
Setelah berhasil membalas sakit hatinya Merak Sakti terbang melayang ke atas dan memekik-mekik girang. Dan pada saat itu, dari lereng bukit berlari-lari Kwee An, Ma Hoa, dan Yousuf menuju ke tempat itu. Mereka juga mendengar pekik Merak Sakti dan merasa kuatir, maka ketiga orang ini lalu berlari cepat menyusul Cin Hai.
Melihat Hai Kong Hosiang telah rebah di tanah dengan mata buta dan tak berdaya lagi Kwee An lalu mencabut pedangnya dan hendak menusuk tubuh musuh besarnya itu, akan tetapi tiba-tiba Ma Hoa menjerit, "Koko, jangan!"
Kalau orang lain yang mencegah, mungkin takkan dihiraukan olah Kwee An yang merasa marah sekaii, akan tetapi suara Ma Hoa ini mempunyai pengaruh yang melemaskan tubuhnya dan memadamkan api kemarahannya.
"Jangan, An-ko, biarlah kita ampuni jiwa anjing ini agar jangan menodai kegembiraan pertemuan kita!"
Kwee An memandang kepada kekasihnya lama sekali, kemudian ia menghela napas dan
berpaling kepada Lin Lin. Ia melihat betapa adik perempuannya yang masih saling berpegang tangan dengan Cin Hai juga tidak berniat menurunkan tangan membunuh Hai Kong Hosiang, maka mereka lalu hanya saling pandang dengan bingung.
Yousuf tertawa. "'Anak-anak! Demikianlah seharusnya orang yang mempunyai pribadi tinggi. Jangan terlampau mengandalkan kekuatan dan kepandaian untuk secara mudah mengambil nyawa orang lain, betapa besar pun dosanya terhadap kita! Ada kekuasaan terbesar di dunia ini yang akan mengadili segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dan biarlah Dia mengatur sendiri hukuman yang akan ditimpakan kepadanya!"
Cin Hai merasa kagum sekali mendengar ucapan ini, dan Lin Lin lalu memimpin tangan kekasihnya mendekati Yousuf. "Ayah, inilah calon mantumu dan Hai-ko, ketahuilah bahwa orang tua ini adalah ayah angkatku!"
Cin Hai memberi hormat dan dibalas dengan selayaknya oleh Yousuf. Tiba-tiba tubuh Hai Kong Hosiang bergerak dan bergulingan sambil mulutnya berteriak, "Bangsat-bangsat rendah, Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
363 kaukira aku takkan dapat membalas dendam" Tunggulah pembalasanku!" Sambil memakimaki dan berteriak-teriak, Hai Kong Hosiang lalu menggulingkan dirinya cepat sekali dan tahu-tahu tubuhnya terguling masuk ke dalam sebuah jurang yang dalam!
"Nah, begitulah hukuman seorang jahat!" kata lagi Yousuf dan ia lalu mengajak mereka semua kembali ke rumahnya. Cin Hai tak lupa membawa Pek-gin-ma bersama mereka.
Malam yang indah. Bulan bersinar gemilang dan penuh hingga keadaan malam itu sama dengan siang, akan tetapi lebih indah. Daun-daun pohon menghitam dan mendatangkan pemandangan yang menarik sekali.
Di bawah pohon nampak dua orang muda berdiri dan bercakap-cakap dengan asyik dan mesra. Mereka ini adalah Lin Lin dan Cin Hai. Dengan suara penuh cinta kasih, kedua orang ini saling menuturkan pengalaman masing-masing diselingi pandang yang menyatakan betapa besarnya cinta kasih mereka. Ketika Lin Lin mendengar tentang nasib Ang I Niocu, gadis ini menangis karena terharu dan kasihan, hingga Cin Hai lalu mengelus dan membelai rambutnya sambil berkata,
"Lin Lin kita tak boleh melupakan Ang I Niocu yang telah mengorbankan jiwa dalam usahanya mempertemukan kita. Akan tetapi, kita pun tak boleh terlalu bersedih. Biarpun ia telah pergi ke alam akhir, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu untuk kita buat kenangan."
Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu mengeluarkan potongan kain merah dari pakaian Ang I Niocu yang ditemukan di permukaan air laut itu. Lin Lin menahan sedu sedannya dan mendekap kain itu ke dadanya. "Enci Im Giok...." bisiknya, "kau... kau di manakah?"
Kemudian, matanya terbelalak memandang kepada Cin Hai sambil berkata, "Engko Hai, aku tidak percaya bahwa Enci Im Giok telah meninggal dunia! Kalau aku tidak melihat
jenazahnya dengan mata kepala sendiri aku tidak percaya seorang seperti dia dapat meninggal dunia!"


Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cin Hai menghela napas dan menjawab, mudah-mudahan saja betul dugaanmu itu. Akan tetapi, menghadapi ledakan dan kebakaran hebat itu, manusia manakah yang sanggup menyelamatkan dirinya?"
Untuk beberapa lama mereka berdiam diri, seakan-akan berdoa kepada Thian Yang Maha Kuasa untuk keselamatan Ang I Niocu yang mereka sayang. Kemudian, setelah keharuan hati agak mereda, Lin Lin lalu menceritakan kepada kekasihnya tentang pertemuannya dengan Bu Pun Su dan tentang pedang pendek Han-le-kiam yang dibuat oleh kakek sakti dan diberikan kepadanya. Kemudian ia berkata,
"Hai-ko, Suhumu berpesan agar supaya engkau memberi pelajaran ilmu pedang kepadaku, karena setelah aku memiliki pedang ini aku berhak mempelajari ilmu pedangnya."
Cin Hai menghela napas dan berkata, "Lin-moi, ketahuilah. Dulu ketika aku mempelajari ilmu silat dari Suhu, aku diharuskan bersumpah."
"Aku pun bersedia bersumpah!" memotong Lin Lin sambil cemberut.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
364 Cin Hai tersenyum. "Bukan begitu maksudku Lin-moi. Aku dulu harus bersumpah bahwa selain harus mempergunakan ilmu kepandaian itu untuk kebenaran dan keadilan juga aku tidak boleh mengajarkan kepada orang lain, siapapun juga orang itu."
"Apa kau tidak percaya kepadaku?" Lin Lin memotongnya lagi.
Cin Hai memegang lengan kekasihnya. "Kau harus belajar bersabar, Lin-moi. Aku hanya hendak menyatakan kepadamu bahwa apabila bukan atas kehendak Suhu sendiri, biarpun di dalam hati aku ingin sekali memberi pelajaran kepadamu, namun aku takkan berani. Sekarang Suhu bahkan menyuruh aku memimpinmu, tentu saja aku merasa girang dan berbahagia!
Akan tetapi, oleh karena sudah menjadi keharusan, kau pun harus mengucapkan sumpah, Lin-moi. Dengan demikian, biarpun Suhu tidak menyaksikan sendiri akan tetapi kita tidak melakukan pelanggaran, oleh karena syarat terutama bagi seorang murid kepada gurunya yang terpenting ialah ketaatan dan kesetiaan!"
Lin Lin mengangguk girang. Kemudian ia lalu memegang pedang pendek Han-le-kiam itu dengan kedua tangannya, diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berlutut. Dengan suaranya yang nyaring dan merdu, dara jelita itu bersumpah,
"Teecu Kwee Lin, dengan disaksikan oleh Pedang Han-le-kiam pemberian Suhu Bu Pun Su, disaksikan pula oleh Hai-ko, dan oleh bulan purnama, oleh langit dan bumi, teecu bersumpah bahwa apabila teecu telah mempelajari ilmu silat dan ilmu pedang dari Hai-ko sebagai wakil Suhu Bu Pun Su, kepandaian itu akan teecu pergunakan semata-mata untuk menjaga diri dari serangan orang jahat, untuk menolong sesama hidup yang menderita, untuk membasmi penjahat-penjahat dan penindas rakyat."
Cin Hai menyaksikan sumpah ini sambil berdiri di bawah pohon dan memandang dengan wajah sungguh-sungguh.
Kemudian mereka lalu kembali ke pondok kecil di lereng bukit itu.
Keadaan di bukit itu demikian indahnya hingga Cin Hai dan Kwee An merasa kerasan sekali.
Mereka mengambil keputusan untuk berdiam di tempat indah itu beberapa bulan sebelum mengajak dua orang gadis kekasih mereka kembali ke pedalaman.
Dan mulai keesokan harinya Cin Hai mengajarkan ilmu-ilmu silatnya yang ia dapat dari Bu Pun Su. Akan tetapi, untuk dapat memiliki kepandaian mengenai dasar ilmu silat sebagaimana yang telah ia miliki, bukanlah pelajaran yang dapat difahamkan dalam beberapa bulan saja, maka Cin Hai lalu menurunkan Ilmu Pukulan Pek-in-hoat-sut dan Kong-ciak-sin-na kepada Lin Lin. Juga memberi pelajaran ilmu pedang yang telah diciptakannya sendiri itu.
"Apakah namanya kiam-hoat (ilmu pedang) ini?" tanya Lin Lin.
Cin Hai memandang dengan sinar mata bodoh, oleh karena sesungguhnya ia sendiri juga tidak tahu. Ia telah ciptakan ilmu pedangnya dan bahkan ilmu pedangnya yang luar biasa itu telah berjasa ketika digunakan dalam pertempuran hebat menghadapi Kiam Ki Sianjin yang tangguh akan tetapi sampai sekarang, ia sendiri masih belum tahu apa nama ilmu pedang ini.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
365 "Eh, kenapa kau bengong saja?" Lin Lin bertanya. "Kau bilang bahwa kau sendiri pencipta ilmu pedang ini, masa tidak tahu namanya?"
"Lin-moi, bayi yang baru terlahir tidak membawa nama pula."
Lin Lin tertawa geli. "Jadi kauanggap ilmu pedangmu seperti bayi" Kalau begitu kau terlambat memberi nama kepada bayimu! Jangan-jangan ia sudah jenggotan masih belum mempunyai nama!"
Cin Hai tertawa juga mendengar kelakar ini, kemudian ia lalu berkata dengan sungguh-sungguh,
"Lin-moi ilmu pedang ini kuciptakan atas anjuran dan desakan Ang I Niocu, kalau tidak dia yang mendesak dan memberi saran, mungkin sampai sekarang atau selamanya aku takkan bisa menciptakan kiam-hoat sendiri. Pada waktu aku menciptakan kiam-hoat ini, selain Ang I Niocu yang memberi petunjuk-petunjuk, juga aku mendapat bantuan yang amat berharga dari daun-daun bambu."
Lin Lin merasa heran sekali mendengar ini, hingga Cin Hai harus menceritakan bagaimana ia mencipta ilmu pedangnya itu, dan betapa Ang I Niocu telah memberi petunjuk-petunjuk pula tentang gaya gerakan untuk memperindah kiam-hoatnya.
"Aku telah mempelajari Tari Bidadari dari Ang I Niocu dan karenanya, selain suka akan seni suara, aku pun suka seni tari. Menurut pikiranku, ilmu silat tiada jauh bedanya dengan seni tari, atau boleh kusebut saja bahwa ilmu silat adalah seni tari yang tidak saja mempunyai gerakan indah dan manis dipandang, akan tetapi juga memerlukan bakat dan darah seni untuk dapat melakukannya dengan sempurna. Bedanya antara keduanya itu, yaitu antara tarian biasa dan ilmu silat adalah bahwa tarian hanya membayangkan keindahan, sebaliknya ilmu silat khusus mengatur gerakan kaki tangan yang keseluruhannya ditujukan untuk menjadi gerakan yang cepat dalam menyerang dan menangkis atau mengelak."
"Eh, eh, Hai-ko, biarpun uraianmu itu amat menarik, akan tetapi telah melantur jauh daripada inti percakapan kita semula," kata Lin Lin menggoda sambil tersenyum karena melihat betapa pandangan mata pemuda itu telah melayang jauh seperti orang melamun. "Kalau kau
bercakap seperti ini, kau seperti seorang kakek-kakek saja." Cin Hai bagaikan terbetot kembali dari alam renungan dan ikut tersenyum pula. "O ya, kita sedang mempercakapkan soal nama ilmu pedang kita. Hm, apakah gerangan nama yang terbaik" Akan tetapi, apa pula artinya memberi nama yang indah?" ia mencela sendiri.
Tak tertahan pula geli hati Lin Lin hingga ia tertawa. "Bagaimana sih kau ini" Berbantah-bantah seorang diri, seakan-akan dalam dirimu terdapat dua orang yang sedang bertengkar!"
"Biarlah kuberi nama Ilmu Pedang Daun Bambu saja!"
Sepasang mata Lin Lin yang indah itu bersinar gembira. "Alangkah lucu dan anehnya nama itu. Ilmu Pedang Daun Bambu! Aneh seperti... penciptanya!"
Cin Hai memandang dengan mata terbelalak. "Apa" Apakah dalam pandanganmu aku ini orang aneh?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
366 "Memang, aneh sekali! Karena di seluruh dunia ini tak mungkin aku bertemu dengan seorang pemuda seperti engkau. Kau berbeda dengan orang-orang lain, bukankah itu aneh namanya?"
"Kalau begitu sama saja dengan kau. Aku pun belum pernah dan rasanya takkan pernah bertemu dengan gadis seperti engkau, semanis kau, secantik kau, dan se... nakal engkau!"
Lin Lin mengulurkan tangan dan jari-jari yang halus itu mencubit lengan Cin Hai yang tertawa dengan hati beruntung.
"Sudahlah, Moi-moi, kalau kita bersendau-gurau saja, sampai kapan kau akan depat menghafal pelajaran Kim-hoatmu?"
"Tapi aku tidak suka nama kiam-hoat itu. Ilmu Pedang Daun Bambu, sungguh lucu! Kalau aku bertanding dengan seorang lawan mempergunakan ilmu pedang ini, kemudian lawan itu kalah hingga aku menjadi bangga, tetapi apabila lawan yang kalah itu bertanyakan nama ilmu pedangku bukankah kebanggaanku akan musnah dan terganti rasa malu kalau aku
menyebutkan bahwa ilmu pedang yang hebat itu, yang telah mengalahkannya, namanya tak kurang tak lebih hanya Ilmu Pedang Daun Bambu saja" Murah sekali!"
"Apa yang murah?"
"Daun bambu itu!"
Cih Hai hanya tertawa. "Kalau begitu, biarlah ilmu pedangku ini dirubah sedikit dan disesuaikan dengan gerakan-gerakanmu serta dengan pedangmu yang pendek ini. Kemudian, setelah kau dan aku menciptakan ilmu pedang baru berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, kau lalu memberi nama sendiri. Bagaimana?"
Bersinar-sinar mata Lin Lin mendengar ini. "Bagus! Hai-ko! Bagus, aku sudah dapat nama itu!"
Cin Hai terheran. "Sudah ada namanya" Ini lebih aneh lagi! Bayinya belum terlahir sudah diberi nama! Apakah namanya?"
"Namanya Han-le Kiam-sut, sesuai dengan nama pedang pemberian Suhu."
Cin Hai merasa girang karena menurut pikirannya, nama itu pun baik dan cocok sekali.
Demikianlah, mulai saat itu Cin Hai mengajar ilmu pedang kepada Lin Lin, berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, akan tetapi diadakan perubahan di sana-sini untuk disesuaikan dengan pedang pendek di tangan Lin Lin. Memang gerakan-gerakan pedang pendek berbeda dengan pedang panjang, karena pedang pendek yang merupakan sebilah belati atau pisau itu harus dipergunakan lebih cepat agar jangan didahului oleh ujung senjata yang lebih panjang. Senjata yang pendek ini harus dipergunakan dalam pertempuran secara mendekat dan rapat baru dapat berhasil, dan ini pun ada kebaikannya, oleh karena dalam menghadapi seorang lawan yang bersenjata toya, lebih menguntungkan apabila menghadapinya dengan rapat hingga gerak senjata yang panjang itu menjadi kurang leluasa. Sudah tentu hal ini membutuhkan keberanian dasar dan ketenangan serta kewaspadaan, juga terutama sekali harus memiliki Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
367 ginkang (ilmu meringankan badan) yang tinggi hingga gerakan bisa dilakukan dengan lincah dan cepat.
Akan tetapi, Lin Lin memang telah mempelajari dasar ilmu silat yang cukup baik dan tinggi serta ginkangnya memang sudah hebat, apa lagi kini mendapat petunjuk dan latihan lweekang dan ginkang, maka dalam beberapa hari saja ilmu kepandaiannya telah maju dengan pesatnya.
Tidak hanya Cin Hai dan Lin Lin yang hidup penuh kebahagiaan di lereng bukit yang indah itu. Kwee An dan Ma Hoa juga hidup dengan penuh kebahagiaan. Mereka berdua saling mencinta dan saling mengindahkan, saling menghormati dan seperti halnya Cin Hai dan Lin Lin, kedua teruna remaja ini pun bergaul dengan mesra akan tetapi penuh kesopanan dan jangankan dalam perbuatan, bahkan dalam pikiran pun sama sekeli tidak terdapat hal-hal yang melanggar norma kesusilaan. Hal ini membuat Yousuf merasa girang dan kagum sekali.
Diam-diam orang tua ini, seperti halnya orang-orang tua lain, amat memperhatikan pergaulan anak-anak muda itu. Tadinya timbul juga perasaan curiga dan tidak senang melihat pergaulan yong bebas itu, yang tak dapat dilarangnya oleh karena memang sudah biasa bagi orang-orang gagah untuk bergaul secara bebas akan tetapi, melihat betapa keempat anak muda itu bergaul dengan penuh kesopanan, ia menjadi kagum sekali. Makin yakin dan pasti perasaan hatinya bahwa mereka itu memang cocok untuk menjadi jodoh masing-masing, sama-sama cakap, sama-sama gagah, dan sama-sama sopan pula!
Biarpun selalu memilih tempat terpisah dari Lin Lin dan Cin Hai, tiap hari Kwee An dan Ma Hoa berjalan-jalan di pegunungan yang luas itu, menikmati keindahan tamasya alam sambil membicarakan tentang ilmu silat. Tak jarang mereka berlatih bersama, saling mengisi kekurangan dan saling belajar. Pada saat itu, tingkat kepandaian Kwee An lebih tinggi setingkat dari Ma Hoa, maka ia lalu memberi pelajaran kepada kekasihnya itu.
Telah beberepa hari ini, Ma Hoa selalu melepaskan rambutnya yang hitam dan kering indah di atas pundaknya. Rambutnya yang indah melambai-lambai tertiup angin dan mengeluarkan keharuman bunga yang selalu menghias rambutnya. Hal ini terjadi semenjak malam terang bulan di waktu ia berjalan-jalan bersama Kwee An bermandikan cahaya bulan yang sejuk.
Angin gunung bertiup perlahan dan tiba-tiba ikatan rambut Ma Hoa terlepas, hingga rambutnya itu terurai ke atas pundaknya. Kebetulan sekali ia berdiri menghadapi bulan hingga mukanya tertimpa cahaya sepenuhnya. Ketika ia menggunakan kedua tangannya hendak menyanggul dan mengikat rambutnya, Kwee An yang berdiri memandangnya dengan mata terbelalak segera mengangkat tangan berkata,
"Jangan... jangan sanggul rambutmu, Hoa-moi, biarkan saja..."
"'Eh, eh, kau kenapa, An-ko?" tanya Ma Hoa dengan heran sambil melepaskan kembali rambutnya yang telah dipegangnya.
"Kau...kau nampak cantik sekali dalam keadaan seperti ini, Moi-moi. Dengan rambutmu yang halus hitam berombak-ombak di sekitar lehermu, melambai tertiup angin, seakan-akan setiap lembar rambut itu hidup dan bernyawa kau seperti seorang bidadari yang baru turun dari surga. Demi segala kecantikan dan keindahan, jangan kausanggul rambutmu, Moi-moi, biarkan saja terurai di atas kedua pundakmu!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
368 Sampai bertitik dua butir air mata dari mata Ma Hoa karena amat terharu dan girang mendengar pujian yang keluar dari mulut kekasihnya ini dan semenjak saat itu ia berjanji tidak akan menyanggul rambutnya lagi. Tentu saja ia tidak memberi tahu kepada orang lain tentang hal ini dan hanya mengatakan bahwa ia lebih suka mengurai rambutnya. Lin Lin dan Cin Hai, juga Yousuf, menyatakan kagumnya karena dengan mengurai rambutnya yang
berombak menghitam itu sesuai sekali dengan potongan wajahnya yang membulat telur.
Pada suatu hari, ketika Kwee An dan Ma Hoa sedang berdiri sambil mengagumi
pemandangan di sebuah lereng yang baru kali itu mereka datangi, menikmati pemandangan yang ditimbulkan oleh matahari yang baru saja muncul hingga indah luar biasa itu, tiba-tiba mereka melihat dua orang mendaki bukit dengan tindakan kaki cepat sekali. Keduanya merasa terkejut oleh karena kedua orang itu lari cepat sekali, tanda ginkang mereka sudah mencapai tingkat tinggi. Keduanya lalu berdiri menanti dengan hati berdebar-debar dan menduga-duga, siapa gerangan orang asing itu. Ketika mereka datang dekat Kwee An dan Ma Hoa, ternyata bahwa mereka adalah seorang hwesio gundul yang tua dan seorang laki-laki muda yang rambutnya juga panjangterurai tertiup angin. Selain berambut panjang, laki-laki itu pun berpakaian secara aneh sekali, potongan baju itu berbeda dengan pakaian bangsa Han yang biasa dipakai orang. Juga kakinya mengenakan sepatu yang panjang sampai ke atas betis.
Akan tetapi gerak-gerik laki-laki ini gesit dan cepat, agaknya kepandaiannya tidak di sebelah bawah hwesio gundul itu.
Agaknya kedua pendaki bukit yang aneh itu pun telah melihat Kwee An dan Ma Hoa, karena mereka segera menujukan ke arah kedua anak muda itu. Setelah tiba di hadapan Kwee An dan Ma Hoa yang memandang heran, hwesio tua itu lalu menjura dan bertanya,
"Jiwi mohon tanya di mana rumah seorang Turki bernama Yousuf?"
Kwee An dan Ma Hoa saling pandang, sedangkan orang muda berambut panjang itu
memandang Ma Hoa dengan sinar mata kagum yang tidak disembunyikan.
"Suhu ini siapakah dan apakah perlunya mencari rumah Yo-sianseng?" tanya Kwee An yang berlaku hati-hati karena menaruh curiga kepada dua orang pengunjung ini.
"Eh, siapakah nama Nona yang cantik seperti bidadari ini" Kumaksudkan rambutnya yang cantik dan indah, alangkah bagusnya," kata pemuda berambut panjang itu dengan kagum.
Suaranya juga aneh, karena terdengar seperti suara wanita halus dan merdu, akan tetapi tak dapat disangsikan lagi bahwa dia adalah seorang pria, karena selain potongan tubuhnya yang kuat dan dadanya yang bidang itu, juga jelas nampak kalamenjing di lehernya yang takkan terdapat pada leher seorang wanita.
Ma Hoa menjadi marah sekali dan memandang dengan mata bernyala. Ia hendak menegur dan mendamprat, akan tetapi Kwee An memberi isyarat agar supaya ia bersabar.
"Pinceng hendak mencari dua orang gadis yang berada dengan orang Turki itu. Kenalkah Jiwi kepada dua orang nona bernama Ma Hoa dan Lin Lin?"
Makin curiga dan terkejutlah Kwee An dan Ma Hoa mendengar pertanyaan ini.
"Akulah yang bernama Ma Hoa. Suhu mencari aku ada keperluan apakah?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
369 Tiba-tiba mata hwesio itu terbelalak dan ia tertawa terbahak-bahak dengan girang. "Ha, ha, ha! Dicari-cari sampai pusing tidak bertemu, tahu-tahu mencari keterangan pada orang yang dicari! Ini namanya memang harus mampus di tangan pinceng ini hari!"
Bukan main terkejutnya hati Kwee An dan Ma Hoa mendengar ini, karena sungguh tak pernah mereka sangka bahwa hwesio tua ini mencari Ma Hoa dan Lin Lin dengan maksud jahat!
Kwee An melompat maju dengan marah. "Hwesio tua" Apa maksud kata-katamu yang jahat itu" Siapakah kau dan mengapa kau datang-datang mengandung maksud yang buruk dan jahat?"
"Buka lebar-lebar mata dan telingamu! Pinceng adalah Bo Lang Hwesio dan Boan Sip adalah muridku. Muridku itu terbunuh mati oleh Ma Hoa dan Lin Lin, maka sekarang pinceng mencari dua orang pembunuh itu untuk maksud apa lagi?" Sambil berkata demikian, Bo Lang Hwesio tertawa lagi bergelak. "Dan ketahuilah bahwa anak muda kawanku ini adalah Ke Ce, pendekar gagah dari Mongolia Dalam. Dia adalah adik sepupu Pangeran Vayami dan datang hendak membalas dendam kepada Yousuf! Karena Yousuf orang Turki itulah yang telah menggagalkan usaha Pangeran Vayami dan mungkin orang Turki itu pula yang telah
membunuh Pangeran Vayami!"
Bukan main marahnya Kwee An mendengar ucapan ini. "Hm, jadi kau ini guru Boan Sip yang jahat" Pantas muridnya jahat, tidak tahu, gurunya juga berpemandangan sempit dan berpikiran dangkal! Adapun pembunuh Vayami bukanlah Yo-sianseng akan tetapi Hek Pek Mo-ko dan tak perlu kau mencari kedua orang tua itu, cukup aku wakilnya!"
"Bagus!" Bo Lang Hwesio membentak marah dan ia segera melompat ke arah Ma Hoa dan mengirim serangan kilat!
"Bo Lang Suhu, jangan kaubunuh bidadari itu, tangkap hidup-hidup untukku!" teriak Ke Ce sambil menyerbu dan menyerang Kwee An.
"Ha, ha, ha, dasar kau mata keranjang!" kata Bo Lang Hwesio.
Ma Hoa terkejut melihat serangan Bo Lang Hwesio yang mencengkeram dan hendak
menangkap pundaknya, karena serangan ini mendatangkan angin gerakan yang lihai. Ia maklum bahwa lweekang hwesio tua ini tinggi sekali dan merupakan lawan yang tangguh, maka ia cepat mempergunakan ginkangnya untuk melompat ke pinggir dan mengelak.
Sementara itu, Kwee An dengan tenang lalu menangkis pukulan Ke Ce dan keduanya berseru heran dan kagum karena ketika kedua lengan tangan mereka beradu, keduanya terpental mundur karena hebatnya tenaga lawan. Diam-diam Kwee An terkejut karena tak disangkanya bahwa pendekar dari Mongolia Dalam ini memiliki tenaga dalam yang demikian besarnya hingga tidak kalah oleh tenaganya sendiri! Maka ia lalu membalas dengan serangan kilat dan mengerahkan kepandaiannya karena maklum bahwa kali ini lawannya bukan orang lemah.
Pada waktu Bo Lang Hwesio dan Ke Ce datang, Kwee An dan Ma Hoa sedang berdiri di dekat tebing gunung yang curam sekali hingga hutan dan pohon-pohon nampak kecil di bawah mereka maka ketika mereka berdua diserang, mereka sedang berdiri membelakangi Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
370 tebing itu hingga keadaan mereka amat berbahaya. Hal ini pun diketahui oleh Bo Lang Hwesio dan Ke Ce, maka mereka mendesak dengan hebat dan tidak memberi kesempatan kepada dua orang muda itu untuk berpindah tempat. Kwee An masih dapat mempertahankan diri dari serbuan Ke Ce dengan ilmu silatnya yang tinggi, bahkan ketika ia membalas dengan serangan-serangannya, Ke Ce menjadi sibuk sekali karena harus berlaku awas untuk menghindarkan diri dari kaki dan tangan Kwee An yang mempunyai gerakan gesit dan tak terduga sama sekali itu. Akan tetapi Ma Hoa yang menghadapi Bo Lang Hwesio, menjadi terdesak hebat sekali hingga gadis ini makin mundur mendekati tebing yang curam dan berbahaya! Kwee An yang melihat hal ini, merasa kuatir sekali, maka ia segera mengirim serangan kilat dengan tipu gerakan menyerampang dengan kaki kanan dan membarengi memukul dengan tangan kanan hingga Ke Ce terpaksa harus mempergunakan gerakan Ikan Leehi Melompati Ombak. Tubuh pemuda berambut panjang itu melompat ke atas dan
berjungkir balik ke belakang dan karenanya dapat menghindarkan diri dari serangan Kwee An yang berbahaya tadi.
Kesempatan ini digunakan oleh Kwee An untuk melompat ke dekat Ma Hoa sambil berseru,
"Hoa-moi, hati-hati di belakangmu tebing!" Sambil berseru demikian, ia lalu menyerbu untuk menahan serangan Bo Lang Hwesio yang lihai itu. Akan tetapi, pada saat itu, Ke Ce yang sudah mengejarnya, lalu mengirim pukulan yang berupa dorongan dengan kedua telapak tangan dibarengi bentakan yang keras sekali, bagaikan seekor harimau mengaum! Kwee An merasa terkejut sekali ketika dari dorongan ini keluar tenaga dan angin yang luar biasa hingga ia terhuyung ke belakang dan pada saat itu, Bo Lang Hwesio yang tahu bahwa Kwee An memiliki ilmu kepandaian cukup lihai, lalu mengejar dan mengirim tendangan maut ke arah perut Kwee An yang sedang terhuyung ke belakang itu! Ma Hoa menjerit ngeri melihat ini karena tendangan ini benar-benar berbahaya sekali dan agaknya Kwee An tak dapat mengelak lagi. Akan tetapi, Kwee An telah memiliki ketenangan dan kepandaian yang hampir
sempurna, maka ketika merasa betapa tendangan maut mengancam perutnya, ia berseru keras dan tubuhnya mumbul ke atas dengan gesit bagaikan seekor burung walet. Cara
menghindarkan diri dari tendangan maut ini sama sekali tidak diduga oleh Bo Lang Hwesio sendiri hingga tak terasa lagi hwesio ini mengeluarkan seruan kagum.
Akan tetapi, selagi tubuh Kwee An masih berada di udara, tiba-tiba Ke Ce menyerang lagi dengan pukulan atau dorongan kedua telapak tangan dibarengi bentakan hebat tadi. Kembali Kwee An merasa betapa besar tenaga yang mendorongnya sedangkan pada saat itu tubuhnya masih terapung di udara. Tanpa dapat dicegah lagi ia terdorong mundur dan ketika tubuhnya melayang turun, ia telah berada di sebelah sana tebing. Ma Hoa menjerit lagi dengan lebih ngeri dan ketika tubuh dara ini berkelebat, ternyata ia telah menyusul melompat ke dalam tebing yang curam itu, menyusul tubuh Kwee An yang sudah meluncur ke bawah. Keduanya jatuh ke dalam tebing yang tak dapat diukur dalamnya.
Ketika, Kwee An melihat betapa tubuh Ma Hoa juga jatuh menyusulnya, ia segera mengulur tangannya. Ma Hoa menangkap tangan itu dan keduanya meluncur terus ke bawah sambil saling berpegangan tangan. Entah bagaimana, setelah mereka berpegang tangan, rasa takut karena terjatuh itu lenyap sama sekali. Inilah daya rasa cinta yang besar dan ia mengalahkan segala rasa takut, bahkan maut sendiri tak dapat melenyapkan perasaan sentausa dan aman yang ditimbulkan oleh rasa cinta.
Melihat betapa Ma Hoa ikut meloncat ke dalam jurang yang curam itu, Ke Ce menyatakan penyesalannya. "Sayang... sayang sekali" katanya, akan tetapi sebaliknya Bo Lang Hwesio tertawa bergelak.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
371 "Boan Sip, muridku!" teriaknya bagaikan gila sambil berdongak ke atas memandang awan,
"seorang pembunuhmu telah tewas, kauterimalah nyawanya, kini tinggal yang seorang lagi!"
"Pendeta jahat dan rendah! Kau apakan kedua anak muda itu?" tiba-tiba terdengar suara yang keras dan Yousuf yang berlari mendatangi telah berada di situ. Dari jauh tadi ia telah melihat betapa Kwee An dan Ma Hoa terguling ke dalam jurang, maka alangkah marah dan
terkejutnya. Ketika ia memandang kepada pemuda berambut panjang itu, ia berkata lagi,
"Hm, Ke Ce, kau juga menempuh kejahatan, apakah kau tidak takut akan tertimbun oleh dosa?"
Melihat kedatangan Yousuf, Ke Ce menjadi marah sekali. "Bangsat rendah!" ia memaki.
"Kaulah yang berdosa besar, kau telah merintangi kehendak Kakanda Vayami yang suci, bahkan kau telah memberanikan diri untuk berusaha merampas Pulau Kim-san-to!" Sambil berkata demikian, Ke Ce lalu menerjang dan menyerang dengan sengit. Yousuf yang merasa gelisah memikirkan nasib Kwee An dan Ma Hoa, segera menyambutnya dan membalas
dengan serangan yang tak kalah hebatnya. Melihat bahwa kegesitan dan tenaga orang Turki ini masih mengatasi Ke Ce, Bo Lang Hwesio tidak mau membuang waktu lagi dan segera maju mengeroyok.
"Majulah, majulah! Biar kubinasakan sekalian kau hwesio jahat, untuk membalaskan kedua anak muda itu!" teriak Yousuf dengan gemas karena kalau ia teringat akan kedua anak muda yang dilihatnya terguling ke dalam jurang tadi, ia rasanya mau menangis dan berteriak keras.
Akan tetapi, ia segera terkejut sekali oleh karena ilmu kepandaian dan tenaga hwesio gundul ini benar-benar lihai sekali. Baru menghadapi Ke Ce saja, mungkin setelah bertempur lama baru ia akan dapat mengalahkannya, apalagi sekarang ditambah dengan Bo Lang Hwesio yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi lagi.
Tak terasa lagi Yousuf lalu mengumpulkan khikangnya dan berseru memanggil, "Lin Lin"!
Cin Hai...!! Lekas ke sini...!!"
"Ha, ha, ha! Kau memanggil kawan-kawanmu, ha, ha!" Ke Ce menyindir dengan tertawa menghina, "Panggillah semua agar lebih puas hatiku membasmi kau sekalian kaki tanganmu."
Akan tetapi Bo Lang Hwesio menjadi girang sekali ketika mendengar nama Lin Lin disebut.
Akan terlaksana agaknya usaha membalas dendam kali ini. Kalau benar-benar yang bernama Lin Lin itu adalah Kwee Lin pembunuh muridnya, maka akan bereslah tugasnya membalas dendam.
Teriakan Yousuf itu dilakukan dengan tenaga khikang sepenuhnya, maka suaranya bergema keras dan dapat terdengar sampai di tempat jauh. Ketika itu, Lin Lin dan Cin Hai sedang berlatih ilmu pedang di dekat rumah, maka ketika mendengar teriakan memanggil ini, keduanya terkejut sekali. Lin Lin lalu segera meloncat tanpa membuang waktu lagi, sambil membawa Han-le-kam di tangan kanannya. Cin Hai juga lalu meloncat bahkan ia mendahului Lin Lin oleh karena ia maklum bahwa Yousuf berada dalam bahaya. Pendengarannya yang lebih tajam daripada pendengaran Lin Lin dapat menangkap suara yang penuh kecemasan itu.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
372 Cin Hai yang datang lebih dulu dari pada Lin Lin, ketika melihat Yousuf didesak dan dikeroyok dua oleh seorang hwesio dan seorang gagah yang berpakaian aneh dan berambut panjang, tanpa banyak cakap lagi lalu menyerbu karena ia melihat betapa kedua orang lawan Yousuf itu tangguh dan hebat ilmu silatnya. Ia tidak mau mencabut pedangnya karena melihat betapa ketiga orang itu pun bertempur dengan tangan kosong dan memang menjadi pantangan bagi Cin Hai untuk melawan musuh yang bertangan kosong dengan menggunakan senjata.
Apalagi memang dengan kedua tangannya ia cukup kuat menghadapi musuh yang bagaimana lihai pun, maka kalau tidak sangat terpaksa, ia tidak mau menggunakan Liong-coan-kiam.
Sebaliknya, ketika Bo Lang Hwesio dan Ke Ce melihat sepak terjang anak muda ini, mereka terkejut sekali karena baik kegesitan maupun tenaga Cin Hai benar-benar luar biasa, dan membuat mereka menjadi gentar! Bo Lang Hwesio menjadi penasaran oleh karena belum pernah ia melihat seorang yang masih begini muda dapat memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi darinya, maka ia lalu mengerahkan tenaganya dan mengeluarkan ilmu kepandaian untuk menghadapi Yousuf seorang diri dan pertempuran berjalan seru dan hebat!
Tak lama kemudian sampailah Lin Lin di tempat pertempuran dan begitu melihat bahwa yang sedang bertempur melawan Cin Hai adalah hwesio tua yang telah dikenalnya sebagai guru Boan Sip, ia segera berteriak keras, "Hai-ko, iblis tua itu adalah Bo Lang Hwesio, suhu dari Boan Sip yang jahat!"
Cin Hai terkejut sekali dan tanpa terasa ia melompat mundur. Juga Bo Lang Hwesio yang melihat Lin Lin, segera bertanya, "Apakah kau yang bernama Kwee Lin dan yang telah membunuh muridku?"
"Benar!" jawab Lin Lin tanpa takut sedikitpun juga. "Aku dan Ma Hoa telah menghancurkan kepala Boan Sip, kau mau apa?"
"Celaka dan sayang'" tiba-tiba Ke Ce yang juga berhenti sebentar dan bersama Yousuf memperhatikan percakapan mereka berkata, "Mengapa musuh-musuhmu demikian cantik-cantik seperti bidadari, Bo Lang Suhu" Celaka, celaka dan sayang sekali!"
"Anak muda!" kata Bo Lang Hwesio kepada Cin Hai. "Kau mendengar sendiri bahwa Nona itu adalah pembunuh muridku, maka jangan kau ikut campur. Biarkan aku bertempur
mengadu jiwa dengan dia!" Ucapan ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa ia merasa jerih terhadap Cin Hai yang lihai.
Akan tetapi sambil tersenyum, Cin Hai menjawab, "Bo Lang Hwesio, ketahuilah bahwa kalau kiranya aku bertemu dengan muridmu itu, aku pun tentu akan membunuhnya untuk yang kedua kalinya! Muridmu adalah pembunuh keluarga nona ini, dan kebetulan sekali ibu nona ini adalah bibiku pula! Muridmu telah membunuh keluarganya dan dia telah membalas dan membunuh muridmu yang murtad itu, bukankah ini sudah pantas" Kalau sekarang kau membela murid jahat itu, maka banyak kemungkinan semua orang akan menuduh bahwa
kaulah orangnya yang salah mendidik murid itu! Peribahasa menyatakan bahwa pohon yang tidak sehat menghasilkan buah yang masam, berarti bahwa guru yang buruk tentu menjadikan muridnya jahat pula."
Merahlah muka Bo Lang Hwesio mendengar ini karena marahnya.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
373 "Jangan banyak cakap, kalau kau mau membela perempuan ini, pinceng pun tidak takut!"
"Hai-ko, biarkan aku melawan sendiri pendeta siluman ini dengan pedangku!" Lin Lin berseru dan Cin Hai yang maklum bahwa gadis ini tentu hendak mencoba Ilmu Pedang Han-le Kiam-sut yang baru dipelajarinya, segera berpikir bahwa baik juga membiarkan gadis itu mencoba ilmu pedangnya karena ia telah memberi latihan ginkang dan lweekang. Akan tetapi oleh karena ilmu pedang itu baru saja dipelajari hingga tentu saja belum matang dan sempurna ia lalu berkata,
"Baik, Moi-moi, kaulawanlah dia, kalau dia terlalu berat bagimu, baru aku yang akan turun tangan!"
Dengan seruan garang, Lin Lin lalu maju menerjang dengan pedang Han-le-kiam. Ketika mencipta ilmu pedang ini, Lin Lin yang berwatak jenaka dan gembira itu telah memberi nama pada tiap jurus dan gerakan bersama dengan Cin Hai. Maka muncullah sebutan-sebutan aneh dan lucu dalam tiap gerakan yang hanya dikenal dan dimengerti oleh Lin Lin dan Cin Hai.
Ada gerak tipu-gerak tipu yang diberi nama Cin-hai-kwa-houw atau Cin Hai Menunggang Harimau, ada Pula Lin-lin-chio-cu atau Lin Lin Merebut Mustika, bahkan ada nama Ang-i-lo-be atau Ang I Niocu Turun Dari Kuda. Ketika ia menerjang maju, ia menggunakan tipu gerakan Lin Lin-chio-cu, tangan kanan yang memegang pedang menusuk tenggorokan Bo Lang Hwesio, sedangkan tangan kiri bukan diangkat ke belakang sebagai imbangan badan, akan tetapi bahkan melaksanakan serangan pula dengan sebuah gerakan dari Ilmu Silat Kongciak Sin-na. Hebatnya Ilmu Pedang Han-le Kiam-sut ini ialah perkembangan atau
perubahannya yang benar-benar tidak terduga dan semua serangan hanya merupakan
pancingan belaka yang kemudian disusul menurut gerak dan serangan pembalasan lawan.
Maka ketika Bo Lang Hwesio yang mempergunakan kedua ujung lengan bajunya, mengebut ke arah pedang pendek yang menyambar tenggorokan sedangkan lengan kiri dengan tenaga lweekang sepehuhnya menghantam pergelangan tangan Lin Lin yang mencengkeram dada, tiba-tiba pedang pendek itu telah meluncur ke bawah mengubah sasaran dan kini bergerak menusuk iga kiri, sedangkan tangan kiri dara itu yang tadi mencengkeram dada ketika hendak dihantam oleh tangan Bo Lang Hwesio, tiba-tiba ditarik mundur dan terus diluncurkan ke atas dengan dua jari terbuka, mengarah kedua mata lawan.
Bukan main terkejutnya hwesio itu melihat perubahan gerakan yang sekaligus mematahkan serangan atau tangkisannya itu dan yang terus dilanjutkan dengan serangan lain. Ia cepat mengebutkan ujung lengan bajunya yang panjang untuk menangkis dan membelit pedang lawan yang mengarah iga kirinya, sedangkan untuk menghindari serangan jari pada matanya, ia menundukkan kepala. kan tetapi, kembali Lin Lin merubah gerakannya karena sebelum pedangnya tertangkis dan terlibat oleh ujung lengan baju, pedang itu dengan mengeluarkan suara angin telah berkelebat dengan belokan indah dan kini melakukan serangan hendak memenggal leher hwesio yang sedang menundukkan kepala itu, sedangkan tangan kiri ditarik dan langsung menyodok perut.
Memang hebat sekali llmu Pedang Han-le Kiam-sut ciptaan Cin Hai ini. Gerakan-gerakannya demikian cepat dan perubahannya amat tidak terduga hingga tiap kali serangan tidak berhasil, lalu disusul dengan gerak serangan lain yang disesuaikan dengan kedudukan atau posisi lawan. Sayang sekali bahwa Lin Lin belum mahir dan belum cepat betul dalam menjalankan serangan-serangan hingga biarpun perubahannya cepat, namun semua masih dapat dilihat oleh lawan hingga masih sempat mengelak. Kalau saja yang mainkan itu Cin Hai atau Ang I Niocu Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
374 yang sudah memiliki kecepatan tubuh yang otomatis dan memiliki gaya gerakan yang tidak sewajarnya hingga dapat membuat gerakan palsu yang tidak terduga, tentu ilmu pedang ini akan merupakan ilmu pedang yang amat sukar dilawan.
Betapapun juga, Bo Lang Hwesio dapat dibikin bingung dan untuk menghindari serangan-serangan selanjutnya yang bertubi-tubi dan yang seakan-akan otomatis dan timbul dari cara ia menangkis atau mengelak itu, ia lalu berseru dan melangkah ke belakang dua tombak lebih jauhnya. Setelah jauh dari Lin Lin barulah ia terhindar dari serangan yang bertubi-tubi dan kini ia menghadapi gadis itu dengan hati-hati sekali, lalu maju menyerang dengan cepat, memutar-mutar dua ujung lengan baju bagaikan kitiran angin cepatnya!
Sementara itu, Ke Ce semenjak tadi hanya berdiri dan memandang dengan kagum, sama sekali lupa kepada Yousuf yang masih berdiri saja karena orang Turki ini tidak akan mau menyerang apabila tidak diserang. Yousuf hanya berdiri dengan tegak sambil memandang pertempuran itu dan ia pun merasa kagum sekali melihat kehebatan ilmu pedang Lin Lin.
Karena ia maklum bahwa gadis itu mendapat latihan dan pelajaran dari Cin Hai, maka makin kagum dan hormatlah ia terhadap pemuda itu. Tiba-tiba melihat betapa Bo Lang Hwesio agaknya tak dapat mengalahkan Lin Lin dalam waktu pendek, Ke Ce yang curang hatinya itu lalu membentak keras dan kedua lengan tangannya mendorong ke arah Lin Lin. Inilah Pukulan Angin Taufan yang hebat dan merupakan semacam pukulan khikang yang tinggi tingkatnya di daerah Mongolia Dalam dan yang tidak sembarang orang dapat menguasai atau mempelajarinya dengan sempurna. Tenaga khikang Ke Ce sudah hampir sempurna, maka Kwee An sendiri sampai tak dapat menahan serangan ini!
Akan tetapi, kali ini Ke Ce tercengang sekali ketika tiba-tiba angin pukulannya yang dahsyat bagaikan tenaga angin taufan itu membalik dan membuat ia sendiri bergoyang-goyang!
Ketika ia memandang, ternyata bahwa dari tempat di mana ia berdiri, Cin Hai dengan tubuh setengah membongkok, juga mengulur kedua tangan dan melakukan gerakan yang sama
dengan gerakannya sendiri dan ternyata bahwa tenaga pukulan atau dorongan yang keluar dari kedua lengan anak muda itu lebih kuat hingga telah berhasil menggempur tenaga
dorongannya! Terbelalak mata Ke Ce memandang oleh karena bagaimana seorang bangsa Han dapat memiliki ilmu dorong ini" Ia tidak tahu bahwa Cin Hai mengerti semua gerakan ilmu pukulan dan baru melihat gerakan pundak dan lengannya saja, pemuda itu telah dapat menirunya dan pada saat tepat telah mengirim kembali tenaga yang tadinya ditujukan dengan maksud merobohkan Lin Lin itu.
"Eh, jangan main curang, kawan!" kata Cin Hai sambil tersenyum memandang. Yousuf menjadi marah sekali melihat betapa dengan curangnya Ke Ce telah menyerang Lin Lin yang masih bertempur ramai melawan Bo Lang Hwesio, maka ia berseru,
"Ke Ce, kalau sudah gatal-gatal tubuhmu ingin dipukul, akulah lawanmu!" ia lalu menerjang dengan marah dan hebat hingga Ke Ce terpaksa melayani. Cin Hai memandang dengan penuh perhatian dan sebentar saja maklumlah dia bahwa biarpun ilmu kepandaian kedua orang ini tidak jauh selisihnya, namun kepandaian Yousuf masih lebih kuat dan tak perlu dikuatirkan keadaannya. Maka ia lalu memusatkan perhatiannya kepada Lin Lin lagi. Ia melihat betapa gadis itu dengan garang melakukan penyerangan, akan tetapi menghadapi Bo Lang Hwesio ia kalah pengalaman. Bo Lang Hwesio, ternyata gagah sekali dan Cin Hai maklum bahwa Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
375 apabila pergelangan tangan Lin Lin kena dikebut oleh ujung lengan baju atau pedang Han-lekiam dilibat, tentu Lin Lin akan kalah dan mendapat celaka.
Baru saja ia berpikir demikian, tiba-tiba dengan bentakan keras Bo Lang Hwesio menyerang dengan telapak tangan dimiringkan memukul leher gadis itu dan ketika Lin Lin dengan lincahnya berkelit, tiba-tiba ujung lengan baju hwesio yang kosen itu telah berhasil melibat ujung pedang Han-le-kiam. Lin Lin berusaha mencabutnya, akan tetapi pedang itu seakan-akan telah melengket pada lengan baju dan tidak dapat ditarik kembali. Cin Hai berseru keras dan sekali tubuhnya berkelebat ia dapat mengirim serangan ke arah leher hwesio itu yang cepat mengangkat tangan yang tadinya dipakai memukul leher Lin Lin untuk menangkis karena sudah tidak ada jalan lain lagi baginya untuk mengelak. Ketika kedua lengan tangan mereka beradu, Bo Lang Hwesio mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya, maka ketika Lin Lin menarik pedangnya, "Brett!" sobeklah ujung lengan bajunya! Sedangkan tubuhnya menjadi terhuyung mundur ketika tenaga Cin Hai yang luar biasa mendorongnya dari pertemuan lengan itu!
"Hebat!" serunya sambil melompat mundur lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Aku yang tua dan lemah tak kuat melawan terus, biar lain kali bertemu pula! Ke Ce hayo kita pergi!" teriaknya kepada kawannya yang sementara itu telah didesak hebat oleh Yousuf!
"Sampai lain kali!" kata Ke Ce dan pada saat itu juga tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik empat kali di udara dan turun melayang ke tempat agak jauh hingga tentu saja kegesitan ini membuat Yousuf dan yang lain-lain merasa kagum sekali. Memang sungguh hebat
gerakan tadi dan jarang dapat dilakukan oleh orang yang ilmu ginkangnya belum tinggi!
Setelah kedua orang berlari turun gunung dengan cepat, Yousuf lalu menceritakan bahwa Kwee An dan Ma Hoa telah terdorong masuk ke dalam jurang!
"Celaka!" kata Cin Hai dan Lin Lin yang segera berlari ke pinggir jurang dan menjenguk. Lin Lin menjerit ngeri dan menangis sedih ketika melihat betapa jurang itu dalamnya tak terkira hingga tidak kelihatan dasarnya! Cin Hai menggeleng-gelengkan kepala.
"Ayah, kenapa kau tadi tidak memberitahu?" kata Lin Lin sambil menangis dan membanting-banting kaki dengan gemasnya. "Kalau aku tahu, tentu aku takkan melepaskan dua binatang kejam dan busuk itu!"
Juga Cin Hai merasa kecewa karena kalau ia tahu bahwa Kwee An dan Ma Hoa terbinasa dan terlempar ke dalam jurang oleh kedua orang tadi tentu ia juga tidak akan melepas mereka!
Yousuf merasa menyesal sekali dan merasa bahwa ia telah lupa sama sekali untuk
menceritakan hal itu.
"Biar aku mencari mereka di dalam jurang!" kata Yousuf yang lalu berlari secepat terbang ke rumahnya. Tak lama kemudian ia kembali lagi membawa segulung tambang yang panjang sekali.
"Peganglah ini, Cin Hai, aku hendak turun dan mencari Kwee An dan Ma Hoa," katanya sambil memberikan tambang itu kepada Cin Hai.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
376 "Jangan, Yo-pe-peh, biar aku saja yang turun. Kau dan Lin Lin yang memegang tambang itu!" kata Cin Hai.
"Biarkanlah aku yang turun," kata pula Yousuf dan tiba-tiba dari kedua mata orang tua ini mengalir turun air mata! Lin Lin dan Cin Hai maklum bahwa orang tua ini merasa bersalah sekali dan ia merasa demikian menyesal hingga sekarang ia hendak menebus kesalahannya dan ingin turun mencari mereka yang jatuh ke dalam jurang.
Lin Lin merasa amat terharu dan lalu menubruk dan memeluk pundak ayah angkat itu,
"Ayah... maafkanlah kami berdua... kami tidak menyalahkan kau. Ayah... biarkan Hai-ko saja yang turun."
"Benar, Yo-peh-peh, kau sudah tua dan aku yang muda lebih bertanggung jawab akan tugas berat ini. Tidak ada yang bersalah dalam hal ini dan soal kedua orang bangsat kecil itu, biar lain kali kita mencari mereka untuk membalas dendam!!"
Akhirnya Yousuf menurut juga dan tambang yang panjang itu lalu dilempar ke bawah dan ujungnya dipegang oleh Yousuf dan Lin Lin. Akan tetapi ternyata bahwa tambang yang panjangnya tidak kurang dari seratus kaki itu masih bergoyang-goyang, yang menandakan bahwa tambang itu belum mencapai dasar jurang! Lin Lin bergidik dan ngeri.
"Alangkah dalamnya!" katanya dengan bibir gemetar.
"Di rumah sudah tidak ada tambang lagi," kata Yousuf yang juga pucat wajahnya.
"Biarlah, sebegini juga cukuplah. Biar aku turun sampai di ujung tambang dan melihat apa yang berada di bawahnya," kata Cin Hai. "Peganglah tambang kuat-kuat!" Pemuda itu melangkah ke pinggir jurang dan tiba-tiba Lin Lin memegang lengannya. Cin Hai menengok.
"Ko-ko... hati-hatilah kau..."
Cin Hai tersenyum dan meraba dagu gadis itu, kemudian ia lalu turun ke bawah menyusur tambang. Karena ia telah memiliki kepandaian ginkang yang sempurna, maka mudah saja ia merayap melalui tambang itu. Ternyata bahwa tebing itu tinggi sekali dan di bawahnya tertutup oleh awan atau halimun tebal hingga keadaannya gelap benar. Setelah kedua kakinya merasa telah tiba di ujung tambang paling bawah, Cin Hai meraba-raba dengan kaki dan ternyata memang benar bahwa tambang itu masih tergantung di udara dan belum sampai ke tanah. Ia lalu mengayun tubuh ke depan hingga tambang itu ikut terayun. Tubuhnya terayun-ayun beberapa kali, makin lama makin keras dan akhirnya ia dapat menyentuh tanah di depannya. Ternyata bahwa tanah itu bukan batu karang yang keras ditumbuhi rumput dan pohon kecil. Akan tetapi karena tanah itu letaknya tegak lurus ke atas, tentu saja tak mungkin baginya untuk mendarat di situ. Ia berkali-kali memejamkan mata dan membukanya lagi untuk dapat membiasakan mata itu menembus halimun. Kemudian matanya memandang ke sekelilingnya mencari-cari.
Baik Cin Hai maupun Lin Lin dan Yousuf sama sekali tak pernah menyangka dan menaruh curiga terhadap Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sebetulnya kedua orang itu masih belum pergi dari situ. Memang benar bahwa mereka telah lari turun gunung, akan tetapi tiba-tiba Ke Ce berhenti berlari dan berkata perlahan, "Bo Lang Suhu, mari kita kembali ke atas!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
377 "Apa kau gila?" seru Bo Lang Hwesio yang tak dapat menangkap maksudnya,
"Dara manis itu... ia cantik jelita dan ia musuhmu, bukan" Kalau saja kita bisa
menyergapnya, tanpa bantuan Yousuf dan pemuda lihai itu, kita berdua masa tak dapat menangkapnya?" Sambil berkata demikian, kedua mata Ke Ce yang cerdik itu berputar-putar dan mulutnya tersenyum. Untuk beberapa lama Bo Lang Hwesio tertegun merasa malu dan rendah untuk melakukan hal ini, akan tetapi menghadapi mereka bertiga yang tangguh, sampai kapan ia dapat membalas sakit hati muridnya terhadap Lin Lin" Akhirnya ia anggukkan kepalanya yang gundul mereka berdua dengan berindap-indap dan sembunyi-sembunyi lalu naik lagi ke atas bukit.
Pada saat mereka tiba di tempat itu sambil mengintai dan bersembunyi di balik pohon, Cin Hai masih berada di bawah dan ujung tambang masih dipegang oleh Lin Lin dan Yousuf.
Bukan main girang hati Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Sambil tertawa dan membentak keras mereka berdua keluar dari tempat persembunyian mereka dan lari cepat ke arah Yousuf dan Lin Lin yang masih memegang tambang di mana tubuh Cin Hai bergantung di bawah.
Alangkah terkejut hati Yousuf dan Lin Lin melihat kedatangan mereka tak perlu diceritakan lagi. Keduanya memandang dengan wajah pucat sekali dan merasa bahwa kini mereka berdua berikut Cin Hai, pasti akan binasa.
"Pegang tambang itu kuat-kuat, aku melawan mereka mati-matian," kata Yousuf. Lin Lin lalu memegang tambang itu seorang diri dengan sekuat tenaga karena biarpun sebenarnya tenaganya sudah lebih dari cukup untuk memegang ujung tambang yang digantungi tubuh kekasihnya, akan tetapi oleh karena perasaan takut kalau kalau tambang itu terlepas dari tangan dan ngeri memikirkan nasib Cin Hai kalau terjadi hal demikian, maka ia
memegangnya erat-erat, seakan-akan nyawanya sendiri yang tergantung di ujung tambang itu.
Yousuf yang tadi ketika mengambil tambang juga mengambil pedangnya, lalu mencabut pedang itu dan menyambut mereka sambil berlari agar pertempuran dapat dilakukan di tempat yang jauh dari Lin Lin. Akan tetapi, Bo Lang Hwesio dan Ke Ce yang hendak bertindak cepat, lalu menerjang dengan hebat hingga sebentar saja Yousuf terkurung dan terdesak hebat sekali.
Sementara itu, Cin Hai yang tidak tahu apa-apa tentang peristiwa yang sedang terjadi di atas, masih mencari-cari dengan matanya. Ketika ia menggunakan ketajaman matanya menembus halimun tebal dan melihat ke bawah, ia hanya melihat warna putih kebiru-biruan yang bergerak-gerak di bawah kakinya, jauh di bawah. Ia menduga bahwa itu mungkin juga daun-daun pohon. Cin Hai lalu mencari akal, dan ketika tangannya menyentuh akar-akar dan daun pohon kecil, ia lalu memegang akar pohon kuat-kuat dan sambil menggantungkan kedua kakinya pada akar pohon, ia lalu mempergunakan kedua tangan untuk mengikat ujung tambang itu pada pinggangnya. Dengan demikian, ia mulai mencari-cari ke kanan-kiri sambil merayap dan berpegangan pada akar-akar pohon tanpa takut terpeleset atau akar itu patah, karena pinggangnya telah terikat tambang.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
378 Pada saat Lin Lin memandang dengan berdebar cemas betapa Yousuf terkurung hebat oleh kedua orang musuh yang tangguh itu tiba-tiba ia mendengar suara di atas kepalanya.
Alangkah girangnya karena melihat Merak Sakti terbang berkeliling di atasnya.
"Kongciak-ko, lekas tolong Ayah!" teriak Lin Lin dengan keras.Merak Sakti menyambar turun bagaikan tahu akan perintah Lin Lin, dan juga berkat rasa kesetiannya melihat Yousuf dikeroyok itu timbul, lalu ia menyambar ke arah Ke Ce sambil memekik keras!
Ke Ce terkejut sekali ketika melihat bayangan kuning kebiru-biruan menyambar turun dari angkasa ke arah kepalanya. Ia cepat mengelak dan mengeluarkan keringat dingin ketika patuk merak yang kecil merah dan tajam itu meluncur dekat kepalanya, hampir saja berhasil mematuk matanya! Ketika Merak Sakti menyambar lagi, ia cepat mengulur tangan dengan gerakan Eng-jiauw-kang untuk mencengkeram dan menangkap leher merak yang bagus itu.
Akan tetapi merak itu bukanlah burung sembarang burung, melainkan peliharaan orang sakti dan telah menerima latihan-latihan hingga ia menjadi seekor merak sakti. Menghadapi serangan ini, ia tidak gentar dan sambil terbang ia mengebut tangan yang hendak
mencengkeramnya itu dengan sayap. "Blekk!" dan Ke Ce hampir saja mengeluarkan pekik karena tangannya yang terpukul sayap itu terasa sakit dan pedas. Ternyata bahwa kebutan sayap merak itu mengandung tenaga yang bukan main besarnya! Ke Ce menjadi marah sekali dan mempergunakan ilmu pukulan Angin Taufan untuk mendorong jauh merak yang lihai itu.
Namun Merak Sakti agaknya yang telah maklum akan kelihaian pukulan yang mendatangkan angin ini hingga tiap kali Ke Ce memukul, ia selalu mengelak cepat. Betapapun juga, serangan Ke Ce dengan ilmu pukulan ini membuat merak itu tak berdaya untuk
menyerangnya. Biarpun kini hanya menghadapi seorang lawan saja, namun oleh karena kepandaian Bo Lang Hweso lebih tinggi daripada kepandaiannya, tetap saja Yousuf terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya! Lin Lin mengeluarkan keringat dingin ketika melihat betapa bantuan Sin-kong-ciak tetap belum dapat menolong ayah angkatnya, bahkan kini merak itu hanya berani terbang berputaran di atas kepala Ke Ce oleh karena tadi hampir saja pukulan Angin Taufan orang mongol itu mengenai dadanya! Lin Lin mulai menarik-narik tambang membetot-betot untuk memberi tanda kepada Cin Hai, tiba-tiba ia merasa tambang itu dikedut dari bawah, tanda bahwa Cin Hai telah merasa akan isarat yang ia berikan dan kini membalas dengan kedutan seakan-akan hendak bertanya.
Misteri Bayangan Setan 1 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kembar 8

Cari Blog Ini