Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
Ketika Cin Hai melihat Sie Ban Leng, ia merasa gemas sekali lalu membentak, "Ah, inikah macamnya orang yang telah mengkhianati Ayahku?" Pedangnya menyerang hebat dan
dengan suara keras, rebab itu terbelah dua! Sie Ban Leng terkejut sekali, bukan hanya karena rusaknya senjatanya, akan tetapi juga karena kata-kata Cin Hai.
"Siapakah kau?" bentaknya.
"Kau masih ingat kepada Sie Gwat Leng" Nah, dialah Ayahku!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
518 Pucatlah wajah Sie Ban Leng mendengar ucapan ini hingga tubuhnya menggigil. Pada pandangan matanya, wajah Cin Hai tiba-tiba berubah menjadi wajah kakaknya yang dulu telah dikhianatinya itu! Dan sebelum ia sempat mengeluarkan kata-kata, pedang Liong-cu-kiam di tangan Cin Hai telah menyambar cepat dan robohlah Sie Ban Leng dengan dada kiri tertembus pedang dan tewas pada saat itu juga!
Melihat betapa dengan beberapa gebrakan saja pemuda itu telah berhasil menjatuhkan Sie Ban Leng, bukan main kagetnya hati Kam Hong Sin. Ia bersuit keras sekali dan memutar pedangnya dengan hebat untuk menahan serbuan Ang I Niocu dan Cin Hai. Maka datanglah berturut-turut beberapa orang perwira kerajaan yang berkepandaian tinggi sehingga kini yang mengeroyok kedua orang muda itu tak kurang dari sepuluh orang! Akan tetapi, Ang I Niocu dan Cin Hai mainkan pedang dengan seenaknya saja, karena mereka ini hanya membela diri saja dan tidak berniat menjatuhkan para perwira itu. Terutama sekali mereka tidak tega melukai Ceng Tek Hosiang yang bertempur sambil tersenyum dan Ceng To Tosu yang
mewek dengan sedihnya itu.
Pada saat pertempuran masih berjalan seru, tiba-tiba terdengar teriakan riuh dan muncullah serombongan orang Mongol yang dikepalai oleh Thai Kek Losu, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio!
"Pendekar Bodoh, hayo kauserahkan tutup cawan itu kepada kami!" teriak Thai Kek Losu sambil menerjang dan menyerang Cin Hai.
Melihat datangnya rombongan yang terdiri dari belasan orang pendeta Mongol jubah merah itu, Cin Hai lalu memberi tanda kepada Ang I Niocu untuk melarikan diri. Sedangkan para perwira kerajaan ketika melihat pendeta-pendeta Mongol ini pun segera menyerangnya, sehingga terjadilah pertempuran antara perwira-perwira kerajaan dengan pendeta-pendeta Mongol. Sebenarnya hal ini tidak dikehendaki oleh Kam Hong Sin maupun oleh Thai Kek Losu, akan tetapi Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu yang mendahului menyerang para pendeta Mongol itu, karena diam-diam mereka berdua ini suka kepada Cin Hai dan Ang I Niocu hingga ketika para orang Mongol datang menyerang, mereka berdua lalu membantu Cin Hai dan menyerang para pendeta Mongol itu! Memang diantara kedua golongan ini telah ada rasa benci membenci hingga mudah saja membakar api diantara mereka. Serangan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu cukup membuat yang lain lain lalu menyerbu dan saling gempur dengan sengitnya!
Sementara itu, Ang I Niocu dan Cin Hai telah melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat pertempuran itu.
"Niocu, harta pusaka itu benar-benar berada di terowongan kecil itu!" kata Cin Hai kepada Ang I Niocu dan secara singkat ia menuturkan betapa banyaknya harta itu bertumpuk di dalam terowongan kecil. Ia memperlihatkan bukti dua butir mutiara itu kepada Ang I Niocu yang memandangnya dengan kagum.
"Kalau kau suka, ambillah, Niocu," kata Cin Hai sambil memberikan dua butir mutiara besar itu. Ang I Niocu menerimanya, akan tetapi lalu ia kembalikan sebutir sambil berkata,
"Simpanlah yang sebutir ini untuk diberikan kepada Lin Lin kelak."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
519 "Sekarang bagaimana baiknya, Niocu" Fihak Kaisar dan Mongol juga menghendaki harta benda itu, bahkan fihak Turki juga tidak mau ketinggalan. Bagaimana kita harus mengambil harta itu tanpa mereka ketahui dan kalau sudah kita ambil, lalu untuk apa?"
Setelah mendengar banyaknya harta yang terdapat di situ, Ang I Niocu sendiri pun menjadi bingung dan tidak tahu harus menjawab bagaimana.
"Lebih baik kita membuat laporan kepada Susiok-couw saja, Hai-ji. Kaubawalah sepasang pedang Liong-cu-kiam ini dan berikan kepada Susiok-couw, sekalian kauceritakan tentang harta pusaka itu dan tentang keadaan di sini."
"Kenapa hanya aku yang harus menceritakan" Bukankah kita pergi ke sana berdua?" tanya Cin Hai.
"Tidak, kau pergilah sendiri. Aku harus tinggal di sini mengamat-amati gua itu, jangan sampai didapatkan oleh lain orang. Kalau kita berdua pergi dan harta itu diambil orang lain, kita takkan dapat berbuat sesuatu."
Cin Hai mengangguk-angguk, dan bertanya lagi, "Kalau kedua pedang kubawa, habis kau bagaimana, Niocu" Kau perlu memiliki pedang yang cukup baik untuk menghadapi bahaya.
Tempat ini penuh dengan orang-orang pandai dan jahat."
Ang I Niocu tersenyum, lalu menyerahkan pedang Liong-cu-kiam kepada Cin Hai, kemudian mencabut pedang Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong
"Pedang ini cukup baik dan kuat. Kaulihatlah!" Ang I Niocu mengayun pedangnya
membacok sebuah batu karang hitam di pinggir jalan dan batu terbelah dengan mudah. Cin Hai mengangguk-angguk dan memuji.
"Po-kiam (pedang pusaka) yang bagus!"
Kemudian ia lalu berangkat menuju ke tempat pertapaan suhunya, yaitu di Gua Tengkorak di mana dulu ia mempelajari ilmu silat dari Bu Pun Su. Sedangkan Ang I Niocu tinggat di Lan-couw untuk menjaga dan mengamat-amati gua rahasia di mana tersimpan harta pusaka yang besar itu.
Cin Hai melakukan perjalanan dengan cepat menuju ke timur. Jarang ia berhenti kalau tidak hendak makan dan beristirahat, karena ia hendak cepat-cepat tiba di tempat itu, seakan-akan ada besi sembrani yang menariknya, yaitu Lin Lin. Pemuda itu baru saja berpisah beberapa lama, sudah merasa rindu sekali dan kini ia tergesa-gesa bukan lain ialah karena ingin bertemu dengan kekasihnya itu.
Pada suatu hari ia tiba di sebuah dusun dan tertariklah hatinya melihat betapa penduduk dusun itu seakan-akan sedang mengadakan semacam pesta keramaian. Tadinya ia hendak lewat terus saja, akan tetapi ketika melihat beberapa orang dusun memikul sebuah orang-orangan dari kertas yang besar dan rupanya seperti Hai Kong Hosiang, ia menjadi terheran sekali dan menunda perjalanannya. Ia menduga bahwa persamaan wajah orang-orangan itu dengan Hai Kong Hosiang tentulah merupakan hal yang kebetulan saja, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia bertanya gambar siapakah yang mereka gotong itu, ia mendapat jawaban, Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
520 "Gambar si keparat Hai Kong."
Cin Hai tertarik sekali dan ingin melihat apakah yang hendak dilakukan oleh orang-orang kampung itu dan mengapa mereka menggotong gambar Hai Kong Hosiang yang mereka
maki-maki keparat. Rombongan itu menuju ke sebuah rumah kecil yang sudah penuh orang dan di depan pintu rumah itu terdapat sebuah meja sembahyang.
Setelah orang-orangan itu digotong ke situ, semua orang berdiri dan memaki-maki, "Hai Kong keparat! Hai Kong Hwesio bangsat!" dan lain-lain makian lagi menyatakan kemarahan mereka. Kemudian beramai-ramai semua orang mengeroyok orang-orangan itu dan
menghujani pukulan dengan senjata tajam sehingga orang-orangan dari kertas itu robek-robek dan hancur, kemudian sisa-sisanya dibakar dibawah sorak-sorai yang riuh!
Cin Hai makin terheran-heran dan menonton saja. Kemudian orang-orang dusun itu lalu bersembahyang dan semuanya berlutut di depan meja sembahyang itu dengan muka berduka, bahkan ada pula beberapa orang wanita yang menangis! Cin Hai tak dapat menahan
keheranannya lagi, maka ia lalu bertanya kepada seorang laki-laki tua yang berada di belakang dan juga ikut bertutut,
"Lopek, mengapa kalian demikian membenci Hai Kong Hosiang dan meja sembahyang siapa ini?"
Kakek itu memandang kepada Cin Hai dengan tajam dan setelah mengetahui bahwe pemuda itu adalah orang dari luar dusun, ia lalu menjawab,
"Siangkong, ketahuilah. Dulu di dusun kami ini datang seorang hwesio jahat bernama Hai Kong Hosiang yang mengganggu kami, bahkan hampir membunuh seorang anak kecil di
dusun ini. Kemudian datanglah dua orang pendekar wanita yang membela kami dan
bertempur melawan Hai Kong Hosiang si keparat itu, akan tetapi dua orang pendekar wanita itu tewas dalam tangan Si Bangsat Gundul. Oleh karena kami berterima kasih sekali kepada kedua orang pendekar wanita yang telah mengorbankan nyawa demi pertolongannya kepada kami maka sekarang kami mengadakan peringatan untuk menghormati jasanya itu."
Cin Hai merasa tertarik sekali mendengar ini. "Lopek, siapakah namanya dua orang pendekar wanita yang gagah dan mulia itu?"
"Entahlah, kami juga tidak tahu dan tidak mendapat kesempatan untuk mengetahui hal itu.
Akan tetapi senjata kedua pendekar itu masih kami simpan dan sekarang pun kami memuja senjata-senjata mereka itu yang ditaruh di atas meja sembahyang."
Karena tertarik, Cin Hai lalu menghampiri meja itu, diikuti oleh pandang mata semua orang kampung yang merasa heran dan curiga. Cin Hai mendekati meja dan memandang. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat sebuah hud-tim (kebutan pertapa) warna merah dan sebatang pedang. Ia melangkah maju untuk memandang lebih teliti lagi dan menjadi pucat ketika ia mengenal senjata-senjata itu. Kebutan meitu adalah senjata Biauw Suthai dan pedang itu adalah pedang Pek I Toanio, guru dan suci dari Lin Lin!
Lemaslah tubuh Cin Hai dan kedua kakinya gemetar. Ia segera berlutut dan ikut
bersembahyang bersama semua orang kampung yang kini lenyap kecurigaan mereka melihat pemuda itupun memberi hormat! Selesai bersembahyang, Cin Hai lalu minta keterangan Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
521 penjelasan dari kakek tadi dan setelah ia mendengar cerita tentang dua orang pendekar wanita itu, bahwa yang seorang adalah seorang pendeta wanita tua dan yang kedua adalah seorang wanita berpakaian putih yang cantik, ia tidak ragu-ragu lagi. Biauw Suthai dan Pek I Toanio telah tewas dalam tangan Si jahat Hai Kong! Kalau saja ia tidak melihat bahwa Hai Kong Hosiang sudah menggelinding ke dalam jurang, tentu ia makin merasa dendam dan sakit hati kepada hwesio jahat itu!
Cin Hai tak pernah bermimpi bahwa Hai Kong Hosiang yang disangkanya telah mati itu sebetulnya masih hidup dan sebentar lagi akan bertemu dengannya!
Ia lalu melanjutkan perjalanannya dan berpikir-pikir bagaimana ia harus menyampaikan berita sedih ini kepada Lin Lin. Ia maklum bahwa Lin Lin pasti akan berduka sekali mendengar tentang matinya gurunya dan sucinya yang amat dikasihinya itu.
Pada keesokan harinya, ia telah tiba dekat Gua Tengkorak, hanya tinggal perjalanan beberapa belas li saja. Ketika ia masuk ke dalam sebuah hutan, tiba-tiba ia melihat serombongan orang berjalan cepat dari depan. Melihat gerakan mereka yang cepat, Cin Hai menjadi heran dan segera ia bersembunyi di balik sebatang pohon besar dan mengintai.
Ketika rombongan itu telah datang dekat, tiba-tiba ia membelalakkan kedua matanya dan menggosok-gosok mata itu seakan-akan ia tidak percaya kepada kedua matanya sendiri. Tak salah lagi, yang berjalan di depan adalah Hai Kong Hosiang! Bentuk badan dan pakaian hwesio itu masih sama dengan dulu, hanya bedanya sekarang matanya tinggal sebelah, yang kanan tertutup dan buta, sedangkan yang kiri terdapat cacat bekas terobek dan menjadi lebih lebar dari biasa! Muka hwesio itu kelihatan buruk dan menyeramkan sekali.
Dan yang lebih mengherankan hati Cin Hai adalah ketika ia melihat Bu Pun Su berjalan di tengah-tengah rombongan itu. Anehnya, gurunya ini nampak sedih dan putus asa, berjalan sambil menundukkan kepala, sebagai seorang tawanan! Aneh sekali! Siapakah orangnya yang dapat menawan dan menundukkan suhunya" Tak mungkin Hai Kong Hosiang! Cin Hai
memandang rombongan itu dan selain Hai Kong Hosiang, ia melihat pula Balaki, perwira Mongol yang dulu pernah dikalahkannya itu, seorang perwira Mongol lain, seorang pendeta Mongol jubah merah, dan seorang wanita tua berbaju putih bercelana hitam dan tak bersepatu! Wanita ini nampak aneh karena walaupun nampak tua, akan tetapi rambutnya masih hitam dan biarpun pakaiannya amat sederhana bahkan ia tidak bersepatu, akan tetapi sabuk yang mengikat pinggangnya terbuat dari pada sutera merah yang panjang dan indah, sabuk yang biasa dipakai oleh nona-nona muda!
Pada jidat wanita tua itu nampak garis palang hitam, tepat di tengah-tengah alis agak di atas.
Nenek aneh ini berjalan di sebelah kiri Bu Pun Su. Cin Hai menjadi bengong dan terheran-heran. Mungkinkah orang-orang ini dapat mengalahkan dan menawan suhunya yang demikian sakti" Hampir ia tidak percaya, akan tetapi pemandangan yang oleh kedua matanya bukanlah terlihat di alam mimpi! Dari perasaan heran Cin Hai menjadi marah sekali terhadap rombongan itu. Ia mencabut sepasang pedang Liong-cu-kiam, memegangnya erat-erat di tangan kanan kiri, lalu melompat keluar sambil berseru, "Hai Kong keparat! Kau berani menghina Suhuku?" bentaknya dan kemudian ia menerjang mereka. Semua orang terkejut melihat berkelebatnya bayangan Cin Hai yang memegang sepasang pedang yang bercahaya dan menggerakkannya secara hebat sekali! Balaki dan pendeta Mongol berjubah merah menyambut serangannya dengan senjata mereka, akan tetapi sekali bentrokan saja senjata kedua orang itu terpental jauh, terlepas dari pegangan! Cin Hai hendak menyerang Hai Kong Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
522 dan nenek tua itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suhunya berseru keras, "Cin Hai, tahan pedangmu!!" Suara ini menyiram api yang membakar di dada Cin Hai dan ia berdiri
memandang kepada suhunya dengan heran dan cemas. "Suhu..." katanya menahan napas,
"mereka ini... mau apakah?" "Jangan sembarangan turun tangan!" kata pula Bu Pun Su dengan suaranya yang amat berpengaruh. "Kau pergilah saja ke Gua Tengkorak dan
kautolong Lin Lin." "Lin Lin... kenapa dia, Suhu...?" tanya Cin Hai dengan wajah pucat. Dan aneh sekali, Bu Pun Su menarik napas panjang dengan wajah berduka. Baru kali ini Cin Hai melihat suhunya berduka! "Pergilah dan kau akan mendapat penjelasan dari Lin Lin." Cin Hai mendengar suara ketawa bergelak dan ia cepat berpaling memandang kepada Hai Kong Hosiang yang masih tertawa sehingga menimbulkan rasa bencinya. Ingin ia menggerakkan pedangnya menusuk dada hwesio yang jahat itu. "Akan tetapi, Suhu..." ia mencoba
membantah. "Diam! Dan jangan banyak cakap lagi. Pergilah!" seru Bu Pun Su marah.
Dengan kepala tunduk dan beberapa kali menengok, Cin Hai lalu bertindak pergi. "Ha-ha-ha!
Pendekar Bodoh, kau benar-benar tolol dan bodoh. Bu Pun Su lebih pintar dari padamu!
Nyawa Lin Lin kekasihmu itu berada di dalam tanganku dan tergantung kepada Suhumu apakah ia menghendaki kekasihmu itu hidup atau mati. Awas, jungan kau berani main-main dengan kami kalau menghendaki Suhumu dan kekasihmu itu dapat hidup! Ha-ha-ha!" Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak sehingga menggema di dalam hutan itu. Suara
tertawanya saja membuktikan bahwa kini ilmu lweekang hwesio itu telah naik berlipat ganda hingga diam-diam Cin Hai merasa tertegun. Akan tetapi, kepandaian itu masih jauh daripada cukup mengalahkan suhunya! Ia tidak berani membantah perintah suhunya. Apalagi
mendengar ancaman Hai Kong Hosiang tadi, membuat ia merasa gelisah dan cemas
memikirkan nasib Lin Lin. Maka ia segera berlari cepat menuju ke Gua Tengkorak diikuti oleh gema suara tertawa Hai Kong Hosiang. Cin Hai berlari cepat, mengerahkan seluruh kepandaiannya karena benar-benar merasa gelisah sekali. Kalau saja Lin Lin kalian ganggu, pikirnya dengan gemas, awaslah kalian! Ketika tiba di depan Gua Tengkorak hatinya merasa berdebar. Ia tidak mendengar sesuatu, keadaan sunyi sekali, membuat hatinya berdebar cemas dan hampir saja ia tidak berani masuk karena merasa takut melihat hal-hal mengerikan yang terjadi pada diri kekasihnya. Setelah menetapkan hatinya, ia lalu melompat masuk ke dalam ruang besar di mana tengkorak-tengkorak raksasa masih berdiri dengan megahnya. Bertahun-tahun ia tinggal di tempat ini mempelajari ilmu silat, maka pemandangan ini tidak menimbulkan keseraman di hatinya lagi. Ia segera memandang dengan kedua matanya
mencari-cari, dan karena tidak melihat Lin Lin di ruang itu, ia lalu berlari masuk ke dalam kamar tempat menaruh hio-louw (tempat hio). Dan di situ ia melihat Lin Lin rebah telentang, pucat tak bergerak bagaikan mayat.
Cin Hai berdiri terpaku di atas lantai, tak kuasa bergerak, wajahnya pucat dan kepalanya terasa pening. Hampir saja ia jatuh pingsan kalau ia tidak menekan perasaannya dan menguatkan hatinya.
"Lin Lin..." akhirnya ia dapat berseru dan menggerakkan kakinya, menubruk maju dan memeriksa keadaan kekasihnya. Ternyata bahwa Lin Lin hanya pingsan saja dan
pernapasannya masih berjalan, sungguhpun amat lemah. Tidak ada tanda-tanda luka hebat di tubuh Lin Lin, kecuali bintik hijau yang terdapat pada lehernya, dan ketika Cin Hai meraba bintik itu, terasa panas menyerang jari tangannya. Ia merasa terkejut sekali dan dapat menduga bahwa kekasihnya tentu terkena senjata jarum yang mengandung racun hebat.
Bukan main marahnya. Mengapa suhunya mendiamkannya saja, bahkan menyerah menjadi tawanan musuh" Cin Hai lalu memondong tubuh Lin Lin dan melompat keluar. Ia tidak mau menerimanya begitu saja. Ia harus mengejar mereka itu dan memaksa mereka memberi obat pemunah bagi kekasihnya, atau kalau mereka tak sanggup menyembuhkan Lin Lin, ia hendak Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
523 mengamuk dan membunuh mereka semua dengan taruhan jiwa. Biarpun andaikata suhunya akan melawan, ia akan nekat dan tidak menurut perintah suhunya. Cintanya kepada Lin Lin jauh lebih besar daripada ketaatannya kepada gurunya. Kecemasan telah menggelapkan jalan pikiran Cin Hai dan sambil memondong tubuh Lin Lin yang lemas tak berdaya dan yang meramkan kedua matanya itu, Cin Hai mempergunakan ilmu berlari cepat, melompati jurang dan mengejar secepatnya. Akan tetapi, ketika ia tiba di sebuah hutan yang sunyi, tiba-tiba tubuh Lin Lin bergerak-gerak. Ketika ia memandang, ternyata kekasihnya telah membuka matanya. Cin Hai berhenti berlari dan mendekap kepala Lin Lin sambil berbisik, "Lin-moi...
Lin-moi... kau kenapakah...?" Untuk sejenak Lin Lin tidak menjawab, hanya memandang kepada wajah Cin Hai seakan-akan baru sadar dari mimpi, lalu tangannya merangkul leher Cin Hai dan ia menangis terisak-isak di dada pemuda itu. Cin Hai mendiamkannya saja dan setelah tangis Lin Lin mereda, ia lalu menurunkan tubuh kekasihnya itu, didudukkan di atas rumput dan ia sendiri duduk di sebelahnya. Ia merasa heran melihat betapa tubuh Lin Lin kini pulih seperti bisia kembali, hanya wajahnya masih nampak pucat. Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan bertanya lagi dengan wajah kuatir,
"Lin-moi, kau kenapakah?" "Hai-ko, sukur sekali kau keburu datang. Telah terjadi malapetaka hebat menimpa Suhu dan diriku." Cin Hai mengangguk. "Aku tahu bahwa Suhu telah ditawan oleh keparat itu. Anehnya, ketika aku hendak menolongnya, Suhu bahkan melarangku dan pergi dengan suka rela menjadi tawanan mereka!" "Kau tidak tahu, Hai-ko.
Suhu sengaja mengalah dan menurut menerima hinaan mereka hanya untuk menolong
jiwaku." Terkejutlah Cin Hai mendengar ini dan teringatlah ia akan kata-kata Hai Kong Hosiang yang mengejek ketika ia hendak pergi meninggalkan mereka. "Apa... apa maksudmu, Moi-moi...?" Lin Lin menarik napas panjang lalu bercerita seperti berikut. Semenjak ikut pergi dengan Bu Pun Su, Lin Lin memperdalam ilmu pedangnya di bawah pimpinan kakek jembel yang sakti itu. Mereka berdua lebih dulu singgah di dalam hutan dan membawa serta burung Merak Sakti dan Bangau Sakti, hingga kini di Gua Tengkorak itu terdapat tiga burung sakti, yaitu Sin-kong-ciak si Merak Sakti, Sin-kim-tiauw si Rajawali Emas dan Ang-siangkiam si Bangau Sakti. Gadis ini melatih diri dengan giat sekali dan sebentar saja ia telah mencapai kemajuan yang luar biasa sehingga kalau ia mainkan pedang Han-le-kiam dengan ilmu pedang yang diciptakan oleh Cin Hai untuknya maka gerakannya menjadi luar biasa hebatnya! Bu Pun Su telah memperbaiki gerakan-gerakannya itu dengan gerakan yang sesuai dan tepat, disesuaikan dengan pedang yang pendek itu. Pada suatu pagi, selagi Lin Lin berlatih seorang diri di luar gua karena gadis yang rajin ini setiap hari bangun pagi-pagi sekali dan berlatih seorang diri, datanglah rombongan Hai Kong Hosiang itu. Seperti juga Cin Hai, Lin Lin merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa pendeta jahat itu masih hidup. Ia melihat empat orang lain datang bersama Hai Kong Hosiang, yaitu dua orang perwira Mongol, seorang pendeta Sakya Buddha dan seorang nenek tua yang aneh. "Hai Kong si Jahat! Kau belum mampus?" teriak Lin Lin dengan terheran-heran. Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak mendengar ucapan ini hingga sebelah matanya yang kiri itu melotot dan mengeluarkan air mata! "Kwee Lin, anak jahat! Kau dan Pendekar Bodoh yang membuat aku menjadi begini, akan tetapi, Sang Buddha adalah adil dan bijaksana! Kau memaki aku jahat, akan tetapi sebetulnya kaulah yang jahat. Buktinya, biarpun aku telah menggelundung ke dalam jurang, akan tetapi ternyata Sang Buddha masih melindungiku dan cabang-cabang pohon menangkap dan menolong nyawaku ketika aku tergelincir jatuh ke dalam jurang!
Sekarang aku telah datang kembali dan aku harus mencokel sebelah matamu sebelum
kubunuh mampus kau dan Cin Hai untuk membalas dendamku. Ha-ha-ha!" "Gundul keparat, jangan sombong!" Lin Lin dengan garang memaki. Lin Lin sekarang bukanlah Lin Lin dulu, karena sekarang ia telah memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan dulu. Setelah membentak, ia segera menyerang dengan pedang Han-le-Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
524 kiam di tangannya. Hai Kong memandang rendah dan menghadapi gadis itu dengan tangan kosong, maksudnya hendak dengan satu dua jurus saja menggulingkan gadis itu, akan tetapi kesombongannya ini hampir saja membuat nyawanya melayang! Ketika Lin Lin menyerang dengan gerakan limu Pedang Han-le-kiam yang diberi nama Ang-i-to-hwa atau Ang I Niocu Memetik Kembang, pedang pendeknya membacok ke arah jidat yang licin dari hwesio itu dengan cepat sekali. Hai Kong Hosiang tersenyum sindir dan membentak keras lalu
mempergunakan tangan kiri menyambar dari samping ke arah pergelangan tangan Lin Lin untuk merampas pedang dan tangan kanan mengeluarkan jari telunjuk, ditotolkan ke arah mata kiri Lin Lin untuk mencokel keluar mata itu. Tidak tahunya, Lin Lin tidak melanjutkan serangannya dan secepat kilat ujung Han-le-kiam telah dibalikkan dan dari gerakan membacok jidat berubah menjadi tusukan ke bawah mengancam tenggorokan hwesio itu dengan gerakan Cin Hai Membacok Kayu! Sedangkan menghadapi tusukan jari tangan Hai Kong ke arah matanya, Lin Lin mengelak sambil merendahkan tubuh dan tangan kirinya tidak mau tinggal diam akan tetapi membarengi gerakan pedangnya mengirim pukulan ke arah dada kiri Hai Kong Hosiang dengan ilmu Pukulan Pek-in-hoatsut yang dilakukan dengan sepenuh tenaga! Bukan main terkejutnya hati Hai Kong Hosiang melihat perubahan yang tak pernah disangka-sangkanya ini. Kalau saja ia tidak memandang rendah dan berlaku hati-hati tentu takkan mudah dibikin terkejut oleh serangan ini, sungguhpun serangan Lin Lin ini benarbenar merupakan gerakan silat yang tinggi tingkatnya. Akan tetapi karena tadinya memandang rendah dan tidak menyangka, Hai Kong Hosiang hanya dapat mengelak dari serangan pedang ke arah tenggorokannya saja, yaitu dengan jalan miringkan tubuh ke kiri.
Akan tetapi menghadapi pukulan Pek-in-hoatsut itu, ia tidak keburu berkelit lagi hanya dapat memutar dada dan menerima pukulan itu yang kini tak mengenai dada kiri, akan tetapi mengenai dada kanannya! Hai Kong Hosiang berseru kaget lagi dan untung ia telah merasai hebatnya angin pukulan yang panas sehingga telah mengerahkan lweekangnya ke arah dada kanan, kalau tidak pasti akan pecahlah dadanya! Tubuhnya terpental ke belakang, dan biarpun ia masih dapat mencegah tubuhnya terhuyung dan jatuh, namun dada kanannya masih terasa panas dan ketika ia melihat, ternyata kulit dadanya telah menjadi biru! Ia mengeluarkan keringat dingin, karena kalau tadi pukulan itu mengenai dada kiri, pasti jantungnya akan terluka! Ia merasa bergidik memikirkan bagaimana gadis ini sekarang telah memiliki ilmu kepandaian sehebat itu, sedangkan Lin Lin yang melihat betapa pukulan dari Ilmu Pek-in-hoatsut yang ampuh itu tidak merobohkan Hai Kong Hosiang, juga menjadi terkejut dan maklum bahwa ilmu kepandaian hwesio ini telah mencapai tingkat tinggi yang sukar diukur lagi! Ia menjadi nekat dan maju lagi menyerang dengan keras, sedangkan Hai Kong Hosiang yang merasa marah lalu mencabut senjatanya yang masih seperti dulu, yaitu tongkat dari tubuh ular kering, akan tetapi ular ini sekarang berwarna hijau dan mengerikan sekali. Sambil membentak marah Hai Kong Hosiang menyambut terjangan Lin Lin dan bertempurlah
mereka dengan seru. Pendeta Sakya Buddha kawan Hai Kong Hosiang yang melihat betapa gagah gadis itu sehingga dapat mempertahankan diri dari serangan Hai Kong Hosiang dengan baiknya, menjadi habis sabar dan maju mengeroyok sambil mainkan pedangnya yang juga lihai. Pada saat Lin Lin bertempur dikeroyok dua dengan serunya, terdengar suara dari dalam gua, "Siancai... siancai?" dan muncullah tubuh Bu Pun Su dengan langkah tenang dan perlahan. "Aha, Hai Kong... kaukah yang kembali datang mengacau" Mundurlah dan jangan bermuka tebal mengeroyok seorang gadis muda!" Sambil berkata, Bu Pun Su membuat
gerakan mendorong dengan tangan kanannya ke arah Hai Kong Hosiang dan pendeta baju merah itu, dan terkejutlah Hai Kong Hosiang dan kawannya karena dorongan ini benar-benar merupakan angin puyuh yang membuat mereka terhuyung mundur. Lin Lin juga menahan pedangnya dan berdiri sambil memandang suhunya, karena pada saat itu terjadi hal yang aneh. Bu Pun Su setelah mendorong Hai Kong dan pendeta Sakya Buddha tadi kini berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada nenek yang tak bersepatu itu, dan berseru Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
525 perlahan, "Wi Wi... kau datang juga...?" Nenek itu tersenyum menyindir, lalu berkata dengan suaranya yang terdengar merdu dan halus bagaikan suara seorang nyonya bangsawan
terpelajar, "Lu Kwan Cu, dimanakah ada perceraian yang kekal?" "Wi Wi, tak kusangka bahwa kau masih hidup..." "Kau sendiri masih betah tinggal di dunia, mengapa aku tidak?"
Melihat sikap Bu Pun Su yang agaknya takut-takut terhadap nenek itu dan mendengar percakapan mereka yang aneh ini, Lin Lin berdiri bengong dan seluruh perhatiannya tertuju kepada suhunya dan nenek itu, hingga ia tidak menduga datangnya bencana dari fihak Hai Kong Hosiang. Ketika melihat gadis yang gagah itu berdiri bengong, pendeta Sakya Buddha lalu mengayun tangannya dan belasan batang jarum hitam menyambar ke arah dada dan leher gadis itu. Lin Lin telah mempunyai perasaan dan pendengaran yang amat halus dan tajam, maka kedatangan belasan batang jarum yang menyambar ke arahnya itu biarpun tidak dilihatnya, dapat ditangkap oleh telinganya, maka ia menjadi terkejut sekali. Tak ada lain jalan baginya selain menggulingkan tubuh ke atas tanah dan dengan demikian sambaran jarum-jarum itu mengenai tempat kosong dan ia dapat menghindarkan diri. Akan tetapi ia tidak menduga bahwa ketika itu, Hai Kong Hosiang menunjuk dengan tongkat ularnya yang ketika ditekannya lalu memuntahkan jarum-jarum hijau ke arah tubuh Lin Lin yang masih bergulingan! Lin Lin mencoba berkelit, akan tetapi datangnya jarum-jarum yang lihai dan cepat itu sukar sekali dikelit atau ditangkis, maka biarpun gerakan Lin Lin cukup cepat, sebatang jarum hijau masih berhasil mengenai leher! Lin Lin sudah mengerahkan
lweekangnya untuk membuat kulit dan dagingnya mengeras hingga jarum halus itu tidak sampai menancap seluruhnya dan ia segera melompat dan mencabut jarum itu, lalu dengan marahnya hendak menyerang Hai Kong Hosiang, akah tetapi, tiba-tiba ia merasa pening dan menjerit keras terus roboh tak berdaya. Tubuhnya terasa panas dan lumpuh, sedangkan kepalanya pening sekali. Ia masih melihat betapa Bu Pun Su menjadi kaget dan marah. Tadi kalau kakek itu tidak sedang terheran-heran dan seluruh perhatiannya tertarik dan hatinya tergoncang karena perjumpaannya dengan nenek itu, pasti ia dapat menggunakan
kepandaiannya untuk menolong Lin Lin. Akan tetapi, keadaan kakek jembel itu tadi seperti seorang yang kena hikmat dan tidak ingat apa-apa bahkan ketika Lin Lin diserang oleh Hai Kong dan pendeta baju merah, ia tidak tahu atau mendengar sama sekali. Setelah Lin Lin menjerit dan roboh, barulah ia sadar dan cepat memandang. "Hai Kong, pengecut berbatin rendah!" ia berteriak marah dan menggerakkan kedua tangannya. Kalau dua tangan Bu Pun Su itu jadi diangkat dan digerakkan ke arah Hai Kong Hosiang, entah nasib apakah yang akan dialami pendeta gundul itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nenek itu dengan halus akan tetapi nyaring. "Lu Kwan Cu, jangan bergerak!" Bu Pun Su memandang dan melangkah mundur dengan muka pucat. Nenek itu memegang sebatang tusuk konde terbuat daripada perak yang berbentuk naga indah sekali dan bermata intan, diangkatnya tusuk konde itu tinggi-tinggi sambil matanya memandang ke arah Bu Pun Su dengan tajam. Lemaslah tubuh kakek itu dan ia menurunkan kembali kedua tangannya. "Wi Wi, kau hendak mempergunakan itu untuk membela kejahatan?" bisiknya. "Kwan Cu, apakah kau yang sudah tua bangka ini hendak melanggar sumpahmu?" Bu Pun Su menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak akan melanggar sumpahku biarpun tubuhku akan hancur lebur. Apakah yang kau kehendaki, Wi Wi?" "Kehendakku yang harus kauturut ialah, kau tidak boleh mengganggu kawan-kawan ini selama mereka berada di sampingku!" Bu Pun Su menarik napas panjang dan mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baik, baik, aku takkan mengganggu mereka selama mereka berada di sampingmu!" ia berjanji. Nenek itu tersenyum dan menyimpan kembali tusuk kondenya yang demikian berpengaruh terhadap Bu Pun Su itu. Sedangkan kakek jembel itu dengan muka penuh kecemasan lalu menghampiri Lin Lin yang masih rebah miring dan memandang semua peristiwa itu dengan mata terbelalak heran. Bu Pun Su memeriksa luka di leher Lin Lin dan ketika ia meraba luka bintik warna hijau itu, ia menjadi terkejut sekali. "Hai Kong, kau kejam sekali!" katanya sambil memandang kepada hwesio gundul yang berdiri sambil tersenyum Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
526 penuh kepuasan. "Bu Pun Su, jembel tua! Tahukah kau racun apa yang mengancam jiwa gadis ini?" tanya Hai Kong Hosiang dengan senyum sindir. "Kau telah menggunakan racun Ular Hijau yang hidup di Mongolia. Alangkah kejamnya hatimu!" kata Bu Pun Su. "Ha-ha-ha. Matamu masih cukup awas!" Hai Kong Hosiang menyindir. "Tahukah kau cara
bekerjanya racun itu" Ha-ha-ha! Racun Ular Hijau bekerja lambat akan tetapi pasti. Dan tidak ada obat di dunia yang dapat menyembuhkan orang yang terkena racun itu. Gadis ini hanya akan hidup selama seratus hari lagi. Keadaannya akan biasa saja, tidak merasa sakit apa-apa asalkan ia jangan merasa kuatir. Kalau ia merasa kuatir, racun itu akan lebih hebat kerjanya dan akan menyerang jantungnya hingga ia akan jatuh pingsan! Akan tetapi hal itu pun tidak berbahaya, dan pendeknya, ia akan hidup sampai seratus hari lagi. Ha, ha, ha!" "Hai Kong, demi Ketuhanan dan Perikemanusiaan, jangan kau sekejam itu. Aku tahu bahwa untuk racun ini ada semacam obat di Mongolia dan kau yang bermain-main dengan racun ini tentu mempunyai pula obat penyembuhnya. Berikanlah obat itu untuk menolong nyawa muridku ini!" "Ha, ha, ha! Enak saja kau bicara, pengemis tua!" Hai Kong menjadi berani karena ia maklum bahwa kakek jembel itu berada di dalam kekuasaannya. "Aku tidak begitu bodoh untuk membawa-bawa obat itu bersamaku. Obat itu berada di suatu empat yang aman!" "Hai Kong, aku minta kepadamu, serahkan obat itu untuk menolong dia! Aku sudah tua dan takkan lama lagi hidup di dunia. Aku tidak takut akan kematian, akan tetapi dia ini masih muda, dan masih berhak untuk hidup lebih lama lagi. Berikan obat itu dan aku berjanji hendak melakukan apa saja yang kaupinta, asal bukan kejahatan yang harus kulakukan!" kata lagi Bu Pun Su dengan suara mengandung permohonan.
Melihat dan mendengar semua ini, Lin Lin segera bangkit duduk dan pada saat itu, agaknya serangan racun di tubuhnya sudah banyak mengurang.
"Suhu, teecu tidak takut mati. Biarlah teecu diancam bahaya maut, tidak apa. Akan tetapi perkenankan teecu mengadu jiwa dengan pendeta rendah budi itu!"
Bu Pun Su menggelengkan kepalanya. "Jangan, muridku. Bukan saatnya, jangan
menggunakan kekerasan..." kemudian ia memandang kepada Wi Wi Toanio, nenek yang aneh itu. "Wi Wi, sekarang apakah kehendakmu lagi?"
"Kau harus ikut dengan kami dan membantu kami mendapatkan harta pusaka terpendam di gua Tun-huang."
"Hanya itukah?"
"Ya, hanya itu dan setelah berhasil mendapatkan harta itu, kau boleh bebas. Akan tetapi ketahuilah bahwa pihak Turki dan juga Kaisar mencari-cari pula harta itu dan kau harus melindungi kami melawan dan mengundurkan mereka!"
"Aku menurut, Wi Wi, akan tetapi hanya dengan satu syarat, tanpa dipenuhinya syarat itu, aku takkan menurut, biarpun dengan berbuat demikian berarti aku melanggar sumpah!
Marilah kita masuk ke dalam guaku dan di sana kita bicarakan hal ini lebih mendalam pula."
Sambil menuntun tangan Lin Lin, Bu Pun Su mendahului rombongan itu memasuki Gua
Tengkorak. "Lin Lin kau beristirahatiah di dalam kamar hio-louw itu dan bersamadhilah dengan tenang, membersihkan pernapasanmu agar racun yang menyerangmu itu tidak begitu keras jalannya,"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
527 katanya kepada Lin Lin dan tidak mempedulikan suara ketawa Hai Kong Hosiang yang mengejeknya. Lin Lin melontarkan pandang mata membenci ke arah pendeta gundul itu, lalu ia mentaati perintah suhunya dan masuk ke dalam kamar hiolouw lalu bersila dan mengatur napas. Akan tetapi, ia memasang telinganya dan mendengarkan semua percakapan mereka.
Akhirnya diputuskan oleh Bu Pun Su, Hai Kong Hosiang, dan Wi Wi Toanio, bahwa Bu Pun Su harus membantu mereka mendapatkan harta pusaka itu, kemudian kalau harta pusaka itu telah terjatuh ke dalam tangan mereka, barulah Hai Kong Hosiang akan memberi obat penyembuh racun yang menguasai Lin Lin.
Mendengar percakapan itu, Lin Lin merasa terhina sekali dan ia merasa penasaran mengapa Bu Pun Su menjadi demikian lemah dan tidak berdaya terhadap nenek itu" Apakah nenek itu lebih lihai daripada Bu Pun Su" Andaikata lebih juga, mungkinkah suhunya bersikap demikian pengecut dan takluk tanpa mengadakan perlawanan terlebih dulu" Ia menjadi gelisah dan duduknya tidak bisa diam.
Tiba-tiba terdengar Bu Pun Su berkata, "Lin Lin, aku tahu mengapa kau merasa gelisah dan penasaran." Kemudian, kakek yang lihai ini lalu berkata kepada Wi Wi Toanio, "Wi Wi, jangan kau membuat aku dipandang rendah oleh muridku sendiri. Kalau kau tidak mau menceritakan riwayat kita berdua hingga terdengar muridku dengan jelas, jangan harap kau akan dapat membawaku ke barat untuk mencari harta pusaka itu."
"Apa?" nenek itu berseru heran. "Kau tidak takut rahasia kita itu kubongkar?"
"Apakah yang kutakuti lagi" Nama buruk" Biarlah, aku sudah tak bernama lagi," jawab Bu Pun Su.
"Tidak akan merasa malukah kau?"
"Di mana letaknya malu" Perbuatan yang telah dilakukan tak perlu disimpan-simpan! Telah puluhan tahu kita menyimpan rahasia itu, lebih baik sekarang dibuka sebelum kita mati."
"Tapi... tapi mengapa kaumasih tunduk kepadaku kalau kau tidak takut rahasia itu terbongkar?" nenek itu suaranya mengandung gelora penuh keheranan dan kejutan.
Bu Pun Su tersenyum. "Itulah rahasiaku sendiri, Wi Wi. Sekarang ceritakanlah semuanya dengan jelas sebelum kita berangkat."
Dengan suara gemetar, berceritalah nenek yang aneh itu.
Dulu ketika muda dan masih berusia dua puluh lima tahun, Bu Pun Su bernama Lu Kwan Cu, muda, tampan, dan gagah. Ilmu kepandaiannya amat tinggi hingga pada masa itu ia menjagoi di seluruh daerah dan merupakan pendekar yang ditakuti para penjahat. Karena kakeknya, Perdana Menteri Lu Pin, menderita karena pemberontakan An Lu San, maka Lu Kwan Cu membenci semua orang Tartar dan mencari mereka untuk dibunuhnya sebagai pembalasan dendamnya. Yang terutama dicarinya adalah keturunan An Lu San yang bernama An Kai Seng dan yang sudah menjadi orang Han semenjak kawin dengan seorang gadis Han yang cantik. An Kai Seng sendiri biarpun berkepandaian tinggi, namun merasa takut sekali kepada Lu Kwan Cu yang mencari-carinya, hingga diam-diam ia melatih diri bersama isterinya, yaitu Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
528 yang bernama Wi Wi, seorang gadis Han yang masih berdarah Tartar juga dan yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Akhirnya Lu Kwan Cu berhasil menjumpai mereka dan biarpun dikeroyok oleh banyak
kawan-kawan An Kai Seng namun tak seorang pun dapat menghadapinya. An Kai Seng
menjadi gelisah dan takut sekali dan tiba-tiba muncullah isterinya, yaitu Wi Wi Toanio yang cantik. Melihat suaminya berada dalam bahaya, Wi Wi Toanio lalu mempergunakan
kecantikannya untuk menggoda hati Lu Kwan Cu dan sengaja memancingnya dan
menantangnya untuk mengadu jiwa di dalam sebuah hutan antara pendekar itu dan Ang Kai Seng suami isteri. Tantangan ini tentu saja diterima oleh Lu Kwan Cu dengan baik, dan ketika pendekar muda ini pergi ke hutan itu pada saat yang telah ditetapkan, ia hanya menjumpai Wi Wi seorang diri.
Wi Wi mempergunakan segala kecantikannya untuk memikat dan menjatuhkan hati Lu Kwan Cu dengan cara yang tak patut dituturkan di sini. Lu Kwan Cu adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam hubungan dengan wanita dan darah mudanya menggelora ketika ia
menghadapi Wi Wi yang cantik dan pandai menggairahkan hatinya itu. Keteguhan imannya runtuh dan bagaikan tak sadar ia menuruti kehendak wanita itu bagaikan seekor ikan bodoh yang tidak tahu akan bahaya umpan pancing!
Semenjak saat itu, ia jatuh bertekuk lutut di depan Wi Wi yang cantik dan menjadi tergila-gila. Seringkali mereka mengadakan pertemuan rahasia, dan Lu Kwan Cu sama sekali tak sadar bahwa ia telah melakukan perbuatan terkutuk dan melanggar kesusilaan dengan isteri orang lain, bahkan isteri musuh besarnya yang tadinya akan dibunuhnya! Semenjak saat itu, jangankan bercita-cita membunuhnya, bahkan segala permintaan Wi Wi diturutinya belaka.
Ini masih belum hebat, yang celaka sekali ialah ketika ia memberi sebatang tusuk konde kepada wanita itu pada saat ia mengucapkan sumpahnya bahwa selama hidupnya, ia akan menurut segala perkataan wanita yang juga bersumpah "mencintanya" itu, dan tusuk konde itu menjadi saksi. Lu Kwan Cu benar-benar mabok asmara dan tergila-gila. Ia percaya sepenuh hatinya bahwa Wi Wi benar-benar mencintainya dengan setulus hati.
Akhirnya, ketika pada suatu hari ia mengadakan pertemuan dengan Wi Wi di hutan, ia mendengar gerakan orang. Cepat ia melompat dan menangkap orang itu yang ternyata bukan lain ialah Ang Kai Seng sendiri yang mengintai. Ia hendak memukulnya, akan tetapi tiba-tiba Wi Wi mengeluarkan tusuk konde itu dan minta ia melepaskan suaminya! Bukan main
terkejut dan herannya hati Lu Kwan Cu melihat hal ini. Ternyatalah kini bahwa tak terduga-duga sekali, An Kai Seng telah mengetahui akan perhubungan itu, dan bahkan dengan berani sekali Wi Wi mengeluarkan tusuk konde pemberiannya di depan suaminya untuk menolong suami itu. Terbukalah matanya bahwa agaknya An Kai Seng dengan sengaja merencanakan hal itu bersama isterinya, yaitu mempergunakan isterinya yang cantik sebagai umpan untuk menjebaknya! Dalam takutnya, An Kai Seng beserta isterinya telah menjalankan siasat keji dan rendah itu untuk menyelamatkan jiwa mereka.
Hancurlah hati Lu Kwan Cu melihat kenyataan ini, akan tetapi ia adalah seorang gagah yang menetapi janji. Oleh karena ia sudah berjanji kepada Wi Wi terpaksa ia lalu meninggalkan tempat itu. Semenjak itu, ia lalu menjauhkan diri dari Wi Wi yang merupakan bahaya besar baginya itu. Ia takut kalau-kalau Wi Wi mempergunakan tusuk konde yang mempunyai kekuasaan besar itu untuk memerasnya dan memaksanya membantu wanita itu melakukan hal-hal yang jahat! Maka ia melarikan diri dan merantau jauh meninggalkan tempat itu, bahkan lalu beralih nama menjadi Bu Pun Su dan bertapa di pulau kosong, yaitu Pulau Kim-Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
529 san-to! Ia menyangka bahwa wanita itu tentu telah mati. Tidak tahunya, setelah menjadi tua, tiba-tiba saja wanita iblis itu muncul lagi membuat gara-gara hingga terpaksa ia memegang teguh sumpah dan janjinya dulu dan membiarkan Lin Lin terluka dan terancam bahaya maut.
Setelah Wi Wi Toanio menceritakan semua ini yang tidak saja didengarkan oleh Hai Kong Hosiang dan kawan-kawanya, akan tetapi juga oleh Lin Lin, terdengar Bu Pun Su menarik napas panjang dan berkata,
"Tepat sekali ujar-ujar Nabi Khong Cu yang berbunyi, Pok-hian-houw-in, Bok-hian-houw-bi, Koh-kuncu-sin-ki-tok-ha! (Tidak ada yang lebih jelas dari pada yang tersembunyi, dan tak ada yang lebih tegas dari pada yang paling lembut. Maka seorang budiman selalu berhati-hati terhadap hal yang tersembunyi). Ujar-ujar ini jelas memperingatkan manusia akan bahayanya musuh yang bersembunyi di dalam hati dan pikiran sendiri. Segala hal yang diperbuat oleh lahir, selalu datangnya dari dalam, bagaikan munculnya tunas yang mekar terdorong oleh suatu tenaga yang keluar dari dalam cabang! Hm, usia muda memang penuh bahaya!"
Setelah berkata demikian, Bu Pun Su lalu berkata kepada Lin Lin,
"Muridku, kau telah mendengar hal itu semua, dan kau tentu mengerti mengapa aku tidak dapat melanggar sumpah sendiri. Kau tenanglah dan tunggu saja di sini dengan baik-baik bersama tiga burung kita, tunggulah sampai aku kembali membawa obat penawar lukamu!"
Setelah berkata demikian, pergilah mereka meninggalkan Gua Tengkorak meninggalkan Lin Lin seorang diri di kamar hio-louw itu. Dan di dalam hatinya, ia merasa berkuatir sekali, bukan kuatir terhadap diri sendiri, karena Lin Lin berhati tabah dan tidak takut mati, akan tetapi ia menguatirkan keadaan suhunya. Ia lupa bahwa ia tidak boleh mempunyai perasaan kuatir, maka begitu penasaran itu mendesak jantungnya, ia menjerit keras lalu jatuh pingsan!
Dan kemudian datanglah Cin Hai menemukannya dalam keadaan masih pingsan!
Cin Hai mendengarkan penuturan itu dengan amat tertarik, gelisah dan terharu. Jarang terdapat orang seperti suhunya. Gagah perkasa, memegang teguh sumpahnya, sungguhpun sumpah terhadap seorang jahat, akan tetapi rela mengorbankan dirinya demi keselamatan muridnya!
"Kalau demikian halnya, kau harus menenangkan hatimu, Lin-moi. Seratus hari adalah waktu yang cukup banyak bagi kita untuk berusaha mencari obat bagimu. Biarpun aku percaya penuh kepada Suhu bahwa ia tentu akan berhasil membawa obat penyembuh itu, akan tetapi, terlebih baik pula kalau kita tidak tinggal diam dan marilah kita pergi ke Kan-su untuk menyusul mereka. Jangan kau kuatir, Adikku, aku telah berada di sampingmu dan demi Tuhan Yang Maha Agung, kau pasti akan tertolong."
Pada saat itu, di udara nampak tiga titik hitam yang melayang turun dan tak lama kemudian, tiga burung yang menjadi kawan Lin Lin, yaitu Merak Sakti, Rajawali Emas, dan Bangau Sakti, menyambar turun dan berdiri dekat mereka sambil mengeluarkan suara riuh rendah, seakan-akan menegur mereka mengapa meninggalkan begitu saja.
"Marilah kalian ikut kami pergi ke barat," kata Lin Lin.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
530 Cin Hai lalu melanjutkan perjalanan bersama Lin Lin menuju ke barat, diikuti oleh tiga burung sakti yang terbang tinggi di atas udara. Mengingat akan keadaan Lin Lin, Cin Hai diam-diam merasa berduka dan gelisah sedangkan Lin Lin yang mengetahui keadaan
kekasihnya itu, menghiburnya dengan berlaku riang gembira dan jenaka hingga Cin Hai merasa terhibur juga. Melihat sikap Lin Lin, seakan-akan ia tidak menderita sakit apa-apa dan memang betul ucapan Hai Kong Hosiang bahwa racun Ular Hijau itu amat halus kerjanya hingga orang yang terkena seakan-akan tidak merasa apa-apa padahal orang itu makin hari makin mendekati maut!
Dalam usahanya menghibur Cin Hai, Lin Lin bahkan mempergiat latihan pedangnya. Cin Hai bukanlah seorang pemuda yang berhati lemah dan bersemangat kecil, maka ia pun segera dapat melupakan kekuatirannya dan sikap Lin Lin yang gembira ini banyak menolongnya, bahkan ia lalu sadar bahwa seharusnya dialah yang seharusnya memperlihatkan sikap gembira agar kekasihnya itu tidak memikirkan keadaan dirinya dan tidak timbul kekuatiran, perasaan yang menjadi pantangan bagi Lin Lin itu. Maka dengan gembira ia pun lalu membantu dan memberi petunjuk-petunjuk hingga ilmu pedang Lin Lin kini menjadi makin maju saja.
Cin Hai tidak mau menceritakan kepada Lin Lin tentang tewasnya Biauw Suthai dan Pek Toanio karena ia maklum bahwa hal ini membahayakan kesehatannya. Bahkan ia sengaja mengambil jalan memutar dan tidak melalui dusun di mana kedua pendekar wanita itu tewas.
Kita mengikuti keadaan Ang I Niocu yang ditinggal seorang diri oleh Cin Hai yang pergi memberi laporan kepada Bu Pun Su. Dara Baju Merah itu menanti kembalinya Cin Hai sambil menjaga gua rahasia tempat harta pusaka itu, juga sambil menunggu datangnya rombongan Kwee An, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng yang juga menuju ke Kan-su
mengambil jalan lain.
Pada suatu hari, karena merasa kesal tidak ada kawan dan tidak ada sesuatu yang dikerjakan, Ang I Niocu keluar dan pergi berjalan-jalan di sekeliling ibu kota Lan-couw yang ramai.
Daerah Kan-su adalah daerah barat daratan Tiongkok dan di situ banyak terdapat suku-suku bangsa, bahkan banyak pula orang-orang asing yang berdagang di situ. Oleh karena ini, maka banyak sekali nampak pemandangan-pemandangan yang ganjil, yaitu jalan-jalan penuh orang-orang yang mengenakan pakaian bermacam ragam dan warna. Banyak pula wanita-wanita suku Hui dan lain-lain yang berwajah manis dengan pakaian mereka yang berbeda dengan pakaian orang-orang Han.
Akan tetapi, ketika Ang I Niocu berjalan-jalan dengan pakaiannya yang serba merah, langkahnya yang gagah, tubuhnya yang ramping dan wajahnya yang cantik jelita itu, ia merupakan pemandangan yang amat mencolok mata dan yang jarang terlihat oleh orang-orang di situ. Oleh karenanya hampir semua mata memandang Dara Baju Merah itu dengan penuh kekaguman. Akan tetapi Ang I Niocu sudah biasa dengan pandangan-pandangan mata seperti ini, maka ia tidak mengacuhkannya sama sekali, seakan-akan mereka itu hanyalah patung-patung batu yang memandangnya tanpa berkedip.
Ketika lewat depan sebuah toko yang menjual barang-barang kuno, Ang I Niocu teringat akan cawan tertutup yang menjadi penunjuk jalan baginya dan Cin Hai untuk menemukan rahasia gua rahasia itu. Ia teringat betapa anehnya ia mendapatkan cawan berukir itu, yaitu dari seorang gila! Ketika itu ia sedang berjalan menuju ke Kan-su, yaitu sebelum bertemu dengan Cin Hai. Tiba-tiba ia melihat seorang yang berpakaian tidak karuan dan hampir telanjang duduk di tepi jalan, tertawa-tawa seorang diri. Orang itu adalah seorang Turki sudah Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
531 tua, dan yang amat aneh ialah biarpun pakaiannya compang-camping tidak karuan dan keadaannya menunjukkan kemiskinan yang amat besar, namun ia memegang sebuah cawan perak yang indah!
Ketika Ang I Niocu sedang memandang dengan terheran-heran, datanglah tiga orang bangsa Hui yang mendekati orang gila itu dengan mata melirik ke sana ke mari. Melihat bahwa tempat itu sunyi dan hanya ada seorang gadis baju merah berdiri di tempat yang agak jauh, ketiga orang itu lalu maju dan hendak merampas cawan perak itu.
Si Gila lalu berteriak-teriak, berdiri dan menendang-nendang, mencakar-cakar melakukan perlawanan, sambil mulutnya mengomel, "Pergi, pergi! Kalian tidak berhak mendapatkan harta pusaka ini! Pergi!"
Seorang di antara tiga orang yang hendak merampas cawan itu lalu mengubah siasat dan sambil tersenyum ia berkata,
"Kakek sinting, biarlah kami tukar dengan uang untuk membeli nasi!" orang itu lalu mengeluarkan uang perak beberapa potong, akan tetapi orang gila itu mendekap cawan itu erat-erat sambil memaki.
"Perampok-perampok, pergi! Aku tidak butuh uang! Harta pusaka ini milikku!"
Tiga orang itu menubruk dan merampas cawan, tiba-tiba mereka roboh sambil merintih-rintih. Ternyata Ang I Niocu telah bertindak karena kasihan kepada orang gila itu.
Tiga orang laki-laki bangsa Hui itu bangkit lagi dan hendak menyerang, akan tetapi kembali tubuh Ang I Niocu bergerak cepat dan sebelum mereka tahu apakah yang terjadi dan menimpa diri mereka, tahu-tahu ketiga orang itu telah terlempar lagi dengan tubuh sakit-sakit!
Mereka memandang dengan mata terbelalak ketakutan seakan-akan melihat setan di tengah hari, lalu berlari pergi secepat kaki mereka dapat bergerak!
Orang gila itu menghampiri Ang I Niocu dan karena orang itu bertubuh tinggi sekali, maka ketika ia mengulurkan kedua tangannya yang kotor ke atas kepala Ang I Niocu, kedua tangan itu menumpang di atas kepala gadis itu, seakan-akan seorang pendeta memberi berkah.
"Kau gagah, ha, ha, mereka lari pontang-panting, ha-ha-ha! Kau patut menjadi ratu, patut memiliki harta pusaka itu. Ini, kauterima harta pusaka yang tak ternilai harganya!" Ia memberikan cawan perak itu kepada Ang I Niocu yang menerimanya dengan heran.
"Untuk apa cawan ini?" tanyanya.
Orang gila itu memandangnya dengan marah. "Untuk apa katamu" Itu bukan cawan. Bodoh, menyebut harta pusaka sebagai cawan biasa!" Si Gila itu lalu pergi dengan langkah lebar dan terdengar ia bernyanyi dalam bahasa Turki yang tidak karuan. Ang I Niocu mengamat-amati cawan itu dan melihat ukir-ukiran yang indah, hingga timbul sayangnya. Ia lalu masukkan cawan itu ke dalam saku dan tidak tahu maksud ucapan orang gila itu sampai ia bertemu dengan Cin Hai yang membawa tutup cawannya.
Demikianlah, sambil mengenangkan peristiwa semua ini, Ang I Niocu tak sengaja berhenti depan toko barang antik itu sambil melamun. Tiba-tiba ia melihat dua orang Turki berkelebat Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
532 masuk ke dalam toko dan ketika seorang di antara mereka memandang keluar toko, maka nampak wajahnya yang dibayangi ketakutan hebat! Ang I Niocu menjadi tertarik dan curiga, maka ia segera melompat ke pinggir rumah dan terus mengintai dari atas genteng.
Ia melihat dua orang itu bicara dengan seorang Turki lainnya dan agaknya mereka
membicarakan hal-hal yang mengandung rahasia. Akan tetapi sebuah perkataan saja yang dimengerti oleh Ang I Niocu karena mereka bicara dalam bahasa Turki, yaitu kata-kata mereka "Yousuf"! Kata-kata ini cukup untuk membuat ia memperhatikan mereka baik-baik dan ketika ketiga orang itu keluar dari luar rumah melalui pintu belakang lalu berlari-lari cepat, ia lalu mengikuti mereka dengan diam-diam.
Dengan mudah ia dapat mengikuti ketiga orang itu tanpa mereka mengetahuinya. Untuk beberapa lama ketiga orang itu masuk keluar hutan dan kemudian tiba di sebuah
perkampungan kecil di mana banyak terdapat rumah-rumah model Turki. Tiga orang Turki itu masuk ke dalam rumah yang terbesar. Ang I Niocu segera melompat naik ke atas genteng dari bagian belakang dan menuju ke wuwungan di sebelah tengah. Ia membuka genteng dan mengintai ke dalam dengan hati-hati. Dilihatnya ketiga orang tadi masuk ke dalam sebuah ruangan yang kebetulan berada di bawahnya. Di dalam ruangan yang lebar nampak duduk dua orang Turki. Seorang di antara mereka telah tua sekali, dan yang seorang lagi setengah tua, sikapnya gagah. Juga kakek yang sudah tua dan rambutnya sudah putih semua sehingga menimbulkan kontras yang mencolok dengan kulitnya yang hitam, nampak lemah lembut akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh.
Tiga orang Turki itu setelah melihat mereka, lalu maju dan memberi hormat dengan membungkukkan tubuh dalam-dalam dan kedua tangan di depan. Mereka bertiga lalu bicara seakan-akan membuat laporan kepada dua orang itu. Tak lama kemudian, orang setengah tua tadi menjawab dengan beberapa perkataan yang agaknya memberi perintah, karena setelah mendengar ucapan itu, tiga orang pendatang tadi lalu pergi lagi.
Tiba-tiba, orang setengah tua itu tertawa dan sambil menengok ke atas ke arah genteng yang dipijak oleh kaki Ang I Niocu ia berkata dalam bahasa Han yang lancar, "Sahabat yang berada di atas genteng, harap kau suka turun saja apabila ada perlu dengan kami."
Ang I Niocu terkejut sekali. Tak pernah disangkanya bahwa orang itu dapat melihat atau mendengarkannya, dan selagi ia merasa ragu-ragu, tiba-tiba kakek rambut putih itu juga berkata,
"Nona berbaju merah agaknya Ang I Niocu! Kalau benar, kami persilakan turun karena kita masih kawan sendiri!"
Makin terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar ini. Kalau laki-laki setengah tua itu hanya dapat mengetahui bahwa di atas genteng terdapat orang mengintai, adalah kakek berambut putih itu bahkan tahu bahwa yang mengintai adalah seorang gadis baju merah, bahkan dapat menduga namanya dengan tepat! Ang I Niocu masih merasa ragu-ragu untuk turun, maka ia teringat sesuatu dan bertanya,
"Apakah seorang diantara Jiwi ada yang bernama Yousuf?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
533 Mendengar pertanyaan ini, laki-laki setengah tua itu berseri wajahnya dan sambil berdiri ia menjawab girang. "Akulah yang bernama Yousuf! Kalau begitu Nona tentu benar-benar Ang I Niocu adanya! Lihiap, silakan turun!"
Kini Ang I Niocu tidak merasa ragu-ragu lagi. Ia membuka beberapa potong genteng dan melayang turun sambil berkata, "Mohon dimaafkan sebanyaknya atas kelancanganku!"
Yousuf memandang kepada Nona Baju Merah itu dengan mata kagum, kemudian ia menjura sambil berkata girang, "Betul, betul! Kau tentu Ang I Niocu. Aku telah lama mengenalmu dari penuturan anakku Lin Lin!"
Ang I Niocu menjadi girang sekali. "Dan aku pun telah lama mengenal nama Yo-lopek dari kawan-kawan."
Mendengar bahwa tanpa ragu-ragu lagi Ang I Niocu menyebutnya lo-pek (uwa) seperti Cin Hai, Kwee An dan yang lain-lain. Yousuf merasa girang sekali.
"Ang I Niocu, kedatanganmu ini bagiku laksana jatuhnya sebuah bintang dari langit! Kau disangka telah tewas di atas Pulau Kim-san-to hingga melihat kesedihan kawan-kawan kita, aku sendiri merasa amat berduka. Dan sekarang, tiba-tiba saja kau muncul dalam keadaan yang kebetulan sekali!"
Ang I Niocu memandang ke arah kakek berambut putih yang lihai tadi dan bertanya,
"Siapakah Locianpwe yang terhormat ini?"
Kakek itu tertawa bergelak dan menjawab, "Ang I Niocu, kau tentu belum pernah mendengar namaku, sungguhpun telah seringkali aku mendengar namamu dari muridku ini."
"Ah, kalau begitu Locianpwe tentu yang bernama Ibrahim!" kata Ang I Niocu.
Baik Ibrahim maupun Yousuf menjadi tercengang. "Bagaimana kau bisa tahu, Lihiap?" tanya Yousuf heran.
Ang I Niocu lalu menceritakan pengalamannya, dan bahwa Cin Hai pernah bercerita tentang pertemuannya dengan guru Yousuf itu ketika Ibrahim menangkap ular.
Bukan main girangnya hati Yousuf ketika mendengar bahwa Ma Hoa dan Kwee An berada dalam keadaan selamat, bahkan kini sedang menuju ke Lan-couw sehingga banyak
kemungkinan ia akan bertemu dengan mereka. Kalau tadinya ia masih agak muram wajahnya, kini ia menjadi riang gembira dan berkata,
"Lihiap, tadi kukatakan bahwa kedatanganmu ini seperti bintang jatuh dari langit, akan tetapi sekarang ternyata bahwa kau bukan merupakan bintang saja, bahkan seakan-akan bulan sendiri jatuh di pangkuanku! Kau tidak saja memperkuat fihakku, bahkan kau membawa berita yang amat menggirangkan hatiku. Patut aku mengucap syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Tunggal." Sambil berkata demikian, orang Turki itu mengangkat kedua tangan ke atas sebagai puji syukur kepada Tuhan.
"Sebenarnya, apakah yang sedang terjadi, Yo-lopek" Tadi aku melihat tiga orang itu dan aku merasa curiga. Ketika mendengar namamu disebut-sebut, aku lalu mengikuti mereka ke sini Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
534 dan agaknya mereka membuat laporan. Ada apakah?" tanya Ang I Niocu yang sama sekali tidak mengerti karena selama ini semua pembicaraan dilakukan dalam bahasa Turki.
Yousuf menarik napas panjang. "Sebetulnya hal yang sedang terjadi dan akan terjadi ini adalah urusan pribadi Turki sendiri. Akan tetapi, oleh karena di sini terkandung juga soal-soal kejahatan, maka kami percaya bahwa kau tentu akan suka membantu kami. Orang-orang Turki yang berada di daerah ini terpecah menjadi dua rombongan, yaitu pengikut-pengikut Pangeran Tua yang pada waktu ini masih menjadi raja di Turki, dan sebagian pula pengikut-pengikut Pangeran Muda yang selalu menimbulkan kekacauan. Kami adalah pengikutpengikut Pangeran Tua, kami selalu mengambil sikap baik dan bersahabat terhadap negerimu, akan tetapi politiknya yang bersahabat itu dikacau dan dirusak oleh Pangeran Muda yang selalu mencari perkara. Kini pengikut-pengikut Pangeran Muda itu bahkan mempunyai maksud menyerbu ke pedalaman Tiongkok, dan mereka datang hendak mencari harta pusaka yang bukan menjadi hak orang Turki. Nah, kami para pengikut Pangeran Tua mendapat tugas untuk menghalangi maksud jahat ini, karena kalau maksud mereka itu dilanjutkan, yang akan menderita rugi adalah bangsa kami sendiri, karena tentu dianggap jahat oleh bangsamu. Kami bertugas menghalangi maksud mereka mencuri harta pusaka itu, dan mencegah mereka melanjutkan usaha menyerbu ke pedalaman Tiongkok!"
Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum. "Kalau begitu, kau dan kawan-kawanmu
memang orang-orang gagah yang mulia, Yo-lopek. Aku pun pernah mendengar sedikit-sedikit tentang maksud orang-orang Turki itu, akan tetapi tak pernah menyangka bahwa ada dua rombongan yang bertentangan. Di fihak siapakah orang-orang seperti Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan yang lain-lain itu berdiri?"
Tiba-tiba Ibrahim berdiri dari tempat duduknya dan berkata dengan gemas,
"Nah, itulah yang amat menyebalkan hati kami. Para pengikut Pangeran Muda itu telah mempergunakan cahaya emas untuk menggunakan orang-orang jahat seperti mereka itu dalam usaha mereka yang rendah. Yang menyebalkan hati, bagaimana orang-orang Han sendiri sudi membantu usaha pengikut-pengikut Pangeran Muda, yang mempunyai maksud buruk terhadap negeri mereka sendiri?" Ibrahim menarik napas panjang.
Ang I Niocu tersenyum. "Tidak sangat aneh, Locianpwe. Iman yang lemah dikuasai hati, hati yang kotor dikuasai pikiran dan pikiran yang picik dikuasai oleh mata. Kalau mata mereka sudah silau dan buta karena cahaya harta benda, kejahatan apakah lagi yang pantang bagi mereka?"
Ibrahim mengangguk-angguk. "Kau benar, kau benar..." lalu kakek rambut putih itu duduk melamun tidak mempedulikan lagi keadaan di sekelilingnya.
"Ang I Niocu," kata Yousuf, "sekarang kami menghadapi puncak pertentangan antara kami dan mereka. Tadi kawan-kawan melaporkan bahwa pengikut-pengikut Pangeran Muda
agaknya telah mendapatkan kunci yang membawa mereka kepada tempat harta pusaka itu!
Kabarnya bahwa mereka telah berhasil mendapatkan cawan yang berukirkan peta yang menunjukkan di mana tempat harta itu, yang dirampasnya dari seorang gila. Kalau hal ini betul, kami harus menghalangi mereka!"
Ang I Niocu tersenyum. "Tak usah, Yo-lopek. Harta pusaka itu telah diketemukan dan yang mendapatkannya bukan lain ialah aku sendiri dan Cin Hai."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
535 Yousuf memandangnya dengan bengong sehingga Ang I Niocu segera menceritakan
pengalamannya. Yousuf menjadi girang sekali sehingga ia segera berpaling kepada gurunya dan menuturkan semua cerita Ang I Niocu dengan cepat kepada gurunya dalam bahasa Turki, karena tadi ketika Ang I Niocu bercerita, agaknya kakek itu masih melamun dan tidak mendengar apa-apa! Ibrahim juga merasa girang dan tertawa senang.
"Akan tetapi, Lihiap, sekarang mereka sedang menuju ke sini untuk menyerbu kami, demikian menurut laporan kawan-kawan. Kami telah siap sedia menghadapi serbuan mereka dan kalau perlu, kami bersedia untuk bertempur pula."
"Jangan kuatir, Yo-lopek. Aku telah berada di sini dan aku pasti akan membantu kalian."
Pada saat itu, dari luar masuk seorang penjaga dan memberi laporan singkat kepada Yousuf yang segera dijawabnya dengan perintah singkat pula. Orang itu pergi lagi dan Yousuf talu berkata kepada Ang I Niocu,
"Mereka telah datang dan kuminta pemimpin-pemimpin mereka datang ke sini untuk
mengadakan pembicaraan."
"Kalau begitu aku harus mengundurkan diri," kata Ang I Niocu, yang menganggap bahwa tidak sepantasnya ia ikut bicara tentang urusan negara orang lain, apalagi kalau mereka bicara dalam bahasa mereka yang tidak dimengertinya sama sekali itu.
Akan tetapi Yousuf mengangkat tangan. "Tak usah Li-hiap. Kau duduklah saja di sini, mengawani kami berdua. Mereka yang datang ini pun hanya wakil-wakil dan utusan-utusan saja dan pembicaraan akan dilakukan dalam bahasa Han, karena mereka itu sebagian besar juga orang-orang Han yang telah kaukenal tadi."
Rombongan tamu yang datang itu adalah tujuh orang yang terdiri dari seorang Turki tua yang bersorban merah, diiringkan oleh Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan ketiga Kang-lam Sam-lojn, yaitu Giok Im Cu, Giok Yang Cu dan Giok Keng Cu.
Yousuf menyambut mereka dengan dingin dan angkuh, karena sebagai pemimpin pengikut Pangeran Tua itu merasa lebih tinggi derajatnya, sedangkan Ibrahim hanya duduk saja tak mempedulikan mereka sama sekali dan Ang I Niocu duduk dengan tegak dan gagah.
Rombongan itu merasa heran juga ketika melihat bahwa penyambut mereka hanya tiga orang saja, akan tetapi ketika mereka melihat bahwa Ang I Niocu berada di situ, mereka menjadi terkejut.
"Hm, agaknya kau juga sudah mendapat bantuan seorang Han, Saudara Yousuf yang baik!"
Kata pemimpin Turki sambil tersenyum sindir. Seperti keterangan Yousuf tadi, orang Turki ini menggunakan bahasa Han oleh karena para pembelanya menghendaki demikian.
"Nona yang berdiri di pihakku adalah seorang pendekar wanita yang membela persahabatan dan keadilan, tidak seperti pembantu-pembantumu yang hanya membela uang dan emas yang kausodorkan kepada mereka, mana mereka bisa dipersamakan?" jawab Yousuf menyindir hingga wajah enam orang itu menjadi merah karena marah dan malu.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
536 Yousuf lalu berkata lagi kepada pemimpin orang Turki itu, "Sahabat, apakah maksud kedatanganmu membawa sekalian tukang-tukang pukulmu ini?"
Sahimba tertawa, kemudian berkata dengan sikap angkuh, "Yousuf, di negeri kami kau boleh berlaku sebagai seorang kepercayaan raja dan kami harus tunduk terhadapmu. Akan tetapi sekarang kita berada di negeri orang lain dan kau tak berhak untuk mencampuri urusan kami!
Kami melakukan usaha kami sendiri mencari keuntungan di tempat ini, mengapa kau dan orang-orangmu begitu tidak tahu malu untuk menghalangi kami menimbulkan permusuhan di antara bangsa sendiri?"
"Sahimba, kalau usahamu itu baik dan jujur, siapa yang akan sudi mencampuri urusanmu"
Akan tetapi, kau menurut perintah dan nafsu jahat dari Pangeran Muda, hendak mengacau negeri lain orang, bahkan hendak mencuri hak lain bangsa. Hal ini tentu saja akan memalukan bangsa kita, dan sebagai seorang patriot, tentu saja kami takkan membiarkannya saja! Dengan perbuatanmu yang memalukan bangsa sendiri, kau boleh dianggap sebagai seorang
pengkhianat yang merusak nama negara dan bangsa, apakah ini harus didiamkan saja?"
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yousuf kau manusia sombong! Kau mengandalkan apakah maka berani berkata demikian"
Orang yang mencampuri urusan lain orang dan yang ingin tahu usaha orang lain adalah orang yang rendah! Kuperingatkan kepadamu sekali lagi sebagai orang-orang sebangsa, lebih baik kaulepaskan tangan dan jangan ikut-ikut urusan kami, agar kami tak usah merepotkan tangan membasmi kau dan kawan-kawanmu!"
Yousuf menjadi marah sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum ketika menjawab, "Sahimba, kau bicara tanpa mempergunakan pikiran sehat! Aku adalah hamba dari Pangeran Tua yang menjadi raja di negeri kita, sedangkan kau adalah pengikut seorang pangeran yang selalu membuat kacau, ada apakah lagi yang dapat dirundingkan antara kita" Jangan kauanggap kami merasa takut akan ancaman-ancamanmu yang hanya merupakan raung anjing di waktu malam terang bulan!"
"Kalau begitu, kita harus putuskan hal ini dengan senjata!" kata Sahimba dengan marah, dan ia bersama keenam orang-orangnya itu meraba gagang senjata!
"Terserah kepadamu, Sahimba!" kata Yousuf sambil menepuk tangan tiga kali dan dari segala lubang pintu muncullah puluhan orang dengan senjata lengkap! "Kami sudah bersiap sedia!"
Sahimba dan kawan-kawannya memandang ke sekeliling dan ternyata bahwa kawan-kawan Yousuf yaitu pengikut Pangeran Tua telah mengurung rumah itu dan menjaga dengan kuat!
"Kau hendak menggunakan orang banyak mengeroyok kami?" kata Sahimba dengan senyum sindir untuk menyembunyikan kegelisahannya.
"Hanya orang-orang macam kaulah yang suka mengeroyok dan mengandalkan banyak
kawan!" Jawab Yousuf. "Kawan-kawanku siap sedia bukan untuk mengeroyok, akan tetapi untuk menjaga kalau-kalau kau yang berkawan banyak ini berani berlagak!"
"Yousuf!" terdengar si Nenek Bongkok Siok Kwat Mo-li berseru. "Jangan kau sesombong itu! Kalau kau memang laki-laki, marilah kita adu kepandaian, seorang lawan seorang, jangan main keroyok."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
537 Ibrahim mengeluarkan suara batuk-batuk dan sikapnya masih tenang ketika dia berkata,
"Aduh, galak benar! Yousuf, kalau tamu-tamu kita menghendakinya, kita sebagai tuan rumah seharusnya menerima untuk membuktikan keramahan terhadap tamu-tamu yang datang tanpa diundang!"
Yousuf lalu menghadapi Sahimba. "Kau telah mendengar sendiri ucapan Guruku dan kalau kau menghendaki, boleh kita mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian!"
"Boleh-boleh! Inilah kesempatan baik untuk membikin mampus kalian dalam sebuah
pertandingan yang jujur." jawab Sahimba.
Yousuf lalu memberi aba-aba dan beberapa orang penjaga lalu masuk untuk membersihkan ruangan yang lebar itu. Meja kursi disingkirkan dan kini ruangan itu menjadi sebuah tempat yang cukul luas di mana orang boleh bertempur sesuka hatinya.
Yousuf berkata lagi, "Karena pihakku hanya ada tiga orang jago, sedangkan kulihat bahwa kau membawa enam orang tukang pukul, maka kau boleh majukan tiga orang tukang
pukulmu." "Orang sombong, kauanggap kami tukang pukul" Jaga lidahmu baik-baik!" kata Giok Yang Cu, orang ke dua Kang-lam Sam-lojin yang bertubuh tinggi besar. Yousuf tersenyum dan memandangnya dengan mengejek, "Aku adalah tuan rumah, mengapa harus menjaga lidah"
Kaulah yang harus menjaga lagakmu baik-baik. Apakah kau merupakan orang pertama yang maju mewakili pihakmu?"
Sebelum Giok Yang Cu menjawab, terdengar suara tertawa bergelak dari luar rumah dan terdengarlah suara orang, "Sahabatku Yo Se Pu, jangan kauborong semua babi-babi itu, berilah kesempatan kepadaku untuk menikmati dagingnya juga!" Dan dari luar berkelebatlah tiga bayangan orang memasuki rumah itu. Mereka ini bukan lain adalah Nelayan Cengeng yang mengeluarkan kata-kata tadi, diikuti oleh Kwee An dan Ma Hoa!
Bukan main girangnya hati Yousuf melihat Kwee An dan Ma Hoa hingga ia melompat maju dan memeluk mereka berdua seakan-akan seorang ayah bertemu dengan dua orang anaknya yang telah disangka mati. Kedua mata orang Turki ini basah dengan air mata. Ia pun lalu memegang tangan Nelayan Cengeng dengan girang dan berkata kepada Sahimba,
"Dasar kau yang sedang berbintang gelap! Dengan datangnya ketiga orang ini, keadaan kita menjadi berimbang jumlahnya!" Kemudian, tanpa mempedulikan Sahimba dan kawan-kawannya, Yousuf lalu memperkenalkan Ibrahim kepada Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Kwee An hingga mereka bertiga lalu menjura memberi hormat yang dibalas dengan gembira oleh Ibrahim.
"Nama kalian telah kukenal lama sekali dan setelah melihat orang-orangnya, aku makin merasa kagum saja!" kata kakek itu.
Sementara itu, Giok Yang Cu yang sudah maju ke depan akan tetapi tidak mendapat
pelayanan dari tuan rumah yang sebaliknya sibuk bercakap-cakap dengan pendatangpendatang baru itu, menjadi mendongkol sekali.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
538 "Yousuf apakah tidak ada orang yang berani melawanku?" tegurnya marah.
Melihat laku Giok Yang Cu, Nelayan Cangeng tertawa lagi bergelak-gelak dan berkata kepada Yousuf, "Saudara Yo, mengapa kau tidak segera memberi sepotong tulang busuk kepada anjing itu agar ia tidak melolong-lolong lagi?" kemudian ia tertawa lagi dengan geli hati hingga keluar air mata bercucuran dari kedua matanya!
"Orang gila jangan kau menghinaku!" seru Giok Yang Cu yang segera mencabut pedangnya.
Akan tetapi sebelum ia maju menyerang Nelayan Cengeng, Yousuf telah melompat di
depannya dan berkata,
"Sebagai tuan rumah, biarlah aku turun tangan lebih dulu!" Orang Turki ini lalu mencabut pedangnya pula dan kedua orang ini segera bertempur hebat, disaksikan oleh semua orang yang berada di situ.
Ilmu Pedang Liong-san Kiam-hwat telah banyak mengalami perubahan dan kemajuan hingga ilmu kepandaian Giok Yang Cu jauh lebih lihai daripada dulu, sedangkan pertapa tinggi besar ini terkenal sebagai ahli gwakang yang memiliki tenaga sebesar gajah, maka ketika ia mainkan pedangnya, pedang itu mendatangkan angin dan mengeluarkan suara.
Akan tetapi Yousuf selain tinggi ilmu kepandaiannya juga telah banyak sekali
pengalamannya bertempur menghadapi orang-orang pandai, maka ia dapat bergerak dengan tenang menghadapi gempuran-gempuran dahsyat dari lawannya itu. Juga, semenjak dekat dengan Nelayan Cengeng, Lin Lin dan yang lain-lain, Yousuf telah banyak memahamkan rahasia-rahasia ilmu silat Tiongkok hingga pengertiannya menjadi luas dan kepandaiannya banyak maju.
Giok Yang Cu tadinya merasa girang melihat bahwa yang maju menghadapinya adalah orang Turki itu, karena betapapun juga, ia anggap bahwa kepandaian orang itu tentu tak seberapa tinggi. Akan tetapi setelah bertempur dua puluh jurus lebih ia menjadi terkejut dan diam-diam mengeluh, karena dalam hal kecepatan dan tenaga, orang Turki itu tidak kalah bahkan lawannya itu hebat sekali gerakan pedangnya dan tingkat ginkangnya lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri! Akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kejerihannya dan maju mendesak makin hebat dengan serangan-serangan yang ditujukan ke bagian-bagian yang berbahaya.
Yousuf tidak menjadi gugup sungguhpun desakan lawannya yang menggunakan gerakan
terlihai dari Liong-sam-hwat yang disebut Naga Liong-san. Mengamuk itu hebat sekali.
Dengan ketenangannya yang diperkuat oteh kekuatan batinnya, Yousuf menghadapi serbuan sambil mainkan pedangnya dengan cepat hingga tubuhnya tertutup oleh gulungan sinar pedangnya. Tiba-tiba terdengar pekik kesakitan Giok Yang Cu dan Si Tinggi Besar itu roboh dengan dada terluka oleh pedang Yousuf. Walaupun luka itu tidak membahayakan nyawanya, akan tetapi cukup membuat ia pada waktu itu tidak berdaya lagi dan harus mengundurkan diri sambil dibantu oleh adiknya yaitu Giok Keng Cu. Yousuf juga melangkah mundur dan berkata kepada Sahimba,
"Seorang tukang pukulmu telah kalah, Sahimba!"
Terdengar bentakan keras dan tahu-tahu Giok Im Cu, saudara tertua dari Kang-lam Sam-lojin telah melompat maju dengan gesit sekali dan di tangannya memegang sebatang bambu Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
539 panjang. Giok Im Cu hendak menebus kekalahan sutenya, maka tanpa bertanya lagi kepada Sahimba ia telah melompat ke tengah lapangan bersilat.
"Biar pinto menerima pengajaran dari tuan rumah!" katanya.
"Pek-hu, biarkan aku main-main dengan Tosu ini," kata Ma Hoa yang mendahului Ang I Niocu, karena ia merasa tertarik melihat bahwa tosu itu pun bersenjata sebatang tongkat.
"Kau?" Yousuf memandang ragu-ragu, akan tetapi Nelayan Cengeng segera berkata,
"Saudara Yo, keponakan Ma Hoa ini telah mempelajari cara memukul anjing, biarkan dia maju!"
Yousuf selamanya tak pernah meragukan ucapan Nelayan Cengeng apa lagi dalam hal ini tentu saja Nelayan Cengeng takkan membiarkan muridnya yang terkasih itu menghadapi bencana, maka ia lalu menganggukkan kepala sambil berkata kepada Ma Hoa,
"Baiklah, akan tetapi kau berhati-hatilah!"
Ma Hoa tersenyum dan segera melangkah maju menghadapi Giok Im Cu yang merasa tidak enak sekali. Ia merasa sungkan dan dipandang rendah. Masa ia seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw harus menghadapi seorang gadis muda yang cantik dan bertangan kosong ini"
"Nona, dengan senjata apakah kau hendak memberi pengajaran kepada pinto?"
Ma Hoa tersenyum dan mencabut keluar sepasang bambu runcingnya yang berwarna kuning dan bentuknya pendek itu. "Dengan ini!" jawabnya singkat.
Terbelalak mata Giok Yang Cu memandang senjata yang aneh itu, akan tetapi berbareng pada saat itu juga ia merasa berdebar karena teringat akan seorang sakti yang menjadi ahli dalam permainan sepasang bambu runcing yang pendek. Segera ia menggerak-gerakkan senjatanya dan berkata,
"Mari, mari, majulah!"
Ma Hoa tidak berlaku sungkan lagi dan segera menyerang dengan kedua bambu runcing yang digerakkan secara luar biasa. Yousuf yang belum pernah melihat Ma Hoa bermain bambu runcing itu merasa terheran-heran hingga tak terasa lagi terjatuh ke dalam kursinya, duduk sambil memandang bengong. Gerakan gadis ini benar-benar lihai dan indah dipandang.
Rambutnya yang terurai bergerak-gerak di sekeliling kepalanya sedangkan bambu runcing itu ketika digerakkan untuk menyerang, demikian cepat gerakannya hingga seolah-olah berubah menjadi puluhan batang!
Giok Im Cu tercengang melihat ini dan ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi serangan yang amat aneh ini. Makin keras dugaannya ketika melihat permainan ini karena selama ia hidup, baru sekali ia pernah menyaksikan permainan sepasang tongkat yang luar biasa, yaitu yang dimainkan oleh Hok Peng Taisu, seorang pertapa sakti yang lihai.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
540 Ia mengigit bibir dan sebagai seorang ahli lweekang ia lalu mengerahkan lweekangnya hingga tiap sambaran tongkatnya membawa tenaga besar yang ganas. Ia hendak
mengandalkan tenaga lweekangnya untuk mengalahkan gadis yang pandai bermain bambu runcing itu. Akan tetapi kembali ia tercengang karena gadis itu dengan pandainya tak mau mengadu tenaga, hanya mengandalkan kelincahannya untuk berkelebat di antara sambaran tongkat lawannya, dan mengirim serangan-serangan berupa totokan dan tusukan ke arah jalan darah lawan!
Ramai sekali mereka bertempur, dan kini Yousuf tak dapat menguasai kegembiraannya lagi.
Berkali-kali ia berseru dengan girang sambil mengeluarkan pujian-pujian. Lima puluh jurus telah lewat dan Giok Im Cu mulai terkurung oleh pukulan batang bambu runcing yang seakan-akan bergerak berbareng mengurung dirinya itu. Ia mencoba untuk mengirim pukulan maut, akan tetapi, tiba-tiba ia merasa sebelah tubuhnya bagian kanan menjadi lumpuh dan mati hingga tak terasa lagi tongkatnya terlepas dari pegangan dan jatuh ke atas lantai.
Ternyata jalan darah Ta-sen-hiat telah tertotok oleh ujung bambu runcing Ma Hoa. Gadis itu pun menahan sepasang senjatanya dan memandang sambil mengeluarkan senyuman.
Wai Sauw Pu pendeta bersorban itu melompat dan seketika ia mengeluarkan tangan menepuk pundak dan mengurut punggung Giok Im Cu, tosu itu pulih kembali jalan darahnya. Giok Im Cu menjura kepada Ma Hoa dan bertanya,
"Nona, apakah hubunganmu dengan Hok Peng Taisu?"
"Ada perlu apakah kau menanyakan Suhuku?"
"Oh... jadi kau murid Hok Peng Taisu" Pantas... pantas." dengan kecewa sekali Giok Im Cu mengundurkan diri. Ia tadi merasa penasaran dan malu sekali karena dikalahkan sedemikian macam oleh seorang gadis muda yang tidak terkenal. Bagi seorang jagoan, jauh lebih baik dikalahkan sampai tewas dalam pertandingan daripada dikalahkan secara demikian, yaitu tertotok sampai tak berdaya yang hampir sama dengan penghinaan namanya. Akan tetapi setelah ia mendengar bahwa gadis itu adalah murid Hok Peng Taisu, rasa penasarannya sebagian besar lenyap. Ia telah menyaksikan kepandaian Hok Peng Taisu dan maklum bahwa ilmu kepandaian mainkan bambu runcing itu adalah semacam ilmu yang takkan dapat
dilawannya, biarpun ia akan melatih diri sepuluh tahun lagi!
Dengan girang sekali, juga disertai kebanggaan hati, Yousuf lalu menghampiri Ma Hoa dan berkata, "Anak nakal, kelak kau harus menceritakan padaku darimana kau mendapatkan ilmu silat yang luar biasa itu!"
Melihat betapa dua kali fihaknya mengalami kekalahan, Sahimba gelisah sekali dan hendak minta kepada Siok Kwat Mo-li yang dianggap paling lihai di antara semua pembantunya untuk menebus kekalahan. Akan tetapi, Wai Sauw Pu yang merasa penasaran dan marah, telah mendahului dan kini pendeta bersorban yang tinggi besar itu telah berdiri sambil bersedakap dan menantang.
"Dia yang mempunyai kepandaian boleh maju!"
Pendeta dari Sin-kiang ini selain bertubuh tinggi besar, juga sepasang matanya tajam berpengaruh sekali. Ia memang telah mempelajari banyak ilmu kepandaian yang tinggi, diantaranya ia mempelajari pula hoat-sut (ilmu sihir) yang datang dari barat. Pernah ia Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
541 menghadapi Ang I Niocu dan tahu bahwa dalam hal ilmu silat, belum tentu ia akan dapat menangkan rombongan lawan yang biarpun masih muda-muda akan tetapi memiliki ilmu silat tinggi, maka kini ia mengambil keputusan untuk melawannya dengan ilmu silat yang dipengaruhi sihir! Oleh karena itu, ia memasang kuda-kuda dengan berpangku tangan seperti orang hendak bertapa berdiri!
Ketika Ang I Niocu hendak maju, tiba-tiba Ibrahim berseru, "Ang I Niocu, tahan dulu, yang besar ini adalah bagianku!"
Dengan langkah yang sembarangan bagaikan orang lelah atau malas, Ibrahim menghampiri Wai Sauw Pu dan memandangnya dengan muka memperlihatkan kegelian hatinya. Si Pendeta Tinggi Besar itu tertawa ketika ia berkata,
"Aku tadi mendengar bahwa kau diperkenalkan sebagai guru dari Yousuf, apakah kau orang tua yang sudah tinggal menanti saat terakhir ini juga hendak meniru kedunguan muridmu dan mencampuri urusan orang lain?"
"Wai Sauw Pu, sebagai seorang yang mempelajari kebatinan, agaknya kau lupa akan dua perkara. Pertama, bahwa jalan yang ditunjuk Tuhan bagi manusia adalah jalan kebenaran yang berdasarkan amal kebaikan dan bahwa mereka yang berjalan di atas ini saja akan mendapat berkah abadi. Ke dua, bahwa akhir kehidupan tidak tergantung daripada usia tua, bilamana saja Tuhan menghendaki, setiap manusia, tua maupun muda, akan berakhir
hidupnya! Akan tetapi kau telah melanggar syarat pertama dan tidak berjalan di atas jalan kebenaran, bahkan membiarkan hatimu ditunggangi oleh nafsu keduniaan dan menjadi silau oleh bersinarnya emas yang sebetulnya tiada bedanya dengan tanah lempung biasa! Pula, kau telah mengingkari kekuasaan Tuhan yang berkuasa atas nyawa setiap manusia dengan mengatakan bahwa saat terakhir bagiku sudah dekat, karena menurut pandanganku yang bodoh kalau kau tidak lekas-lekas mengubah dan menginsyafi kesesatanmu, agaknya kaulah yang akan mendahului aku masuk ke dalam neraka!"
Tadinya Wai Sauw Pu sengaja mengucapkan omongan menghina untuk memancing
kemarahan dalam hati kakek tua itu, akan tetapi tidak tahunya sekarang dia sendiri yang menjadi marah mendengar petuah ini! Ia hendak membikin lawan yang akan dihadapinya marah karena ia maklum bahwa kemarahan akan melemahkan batin orang agar mudah
dipengaruhi oleh ilmu sihirnya. Ia tidak tahu bahwa ia berhadapan dengan Ibrahim, tokoh tua yang dihormati orang di I Turki oleh karena selain pandai ilmu silat dan pengobatan, kakek ini terkenal sebagai seorang ahli kebatinan berilmu tinggi!
"Kalau begitu, hendak kita lihat bersama saja, siapa yang akan mampus terlebih dahulu!"
teriak Wai Sauw Pu sambil mengeluarkan senjatanya yang luar biasa, yaitu seikat tasbeh dari gading. Ang I Niocu, Ma Hoa dan Kwee An pernah merasai kelihaian Wai Sauw Pu ini maka mereka memandang dengan penuh kekuatiran. Dapatkah kakek rambut putih yang
kelihatannya lemah itu menghadapi pendeta tinggi besar itu" Hanya Yousuf seorang yang masih tenang karena ia percaya penuh akan kelihaian gurunya.
Gerakan tasbeh gading di tangan Wai Sauw Pu kali ini berbeda dengan gerakan biasanya, karena kini ia bersilat dengan ilmu sihir sehingga dari sambaran gadingnya itu seakan-akan keluar hawa yang membuat hati menjadi gentar dan berpengaruh melemahkan semangat lawan. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara halus dari Ibrahim dan kakek rambut putih ini pun lalu menarik keluar seikat tasbeh kecil yang terbuat daripada batu-batu kemala putih!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
542 Tasbeh ini kecil saja dan digerakkan dengan lambat dan perlahan, akan tetapi aneh, tiap kali tasbeh gading dari Wai Sauw Pu menyambar dan bertemu dengan tasbeh kecil itu, senjata pendeta bersorban itu terpukul dan membalik menyambar ke arah muka atau tubuh
pemegangnya sendiri! Wai Sauw Pu terkejut sekali karena ia baru maklum bahwa kakek itu ternyata memiliki ilmu batin yang kuat sehingga ilmu sihir yang ia kerahkan dalam serangan tasbehnya ternyata telah dikembalikan dan membahayakan dirinya sendiri! Ia cepat menghentikan ilmu sihirnya dan kini menyerang dengan menggunakan seluruh tenaga dan kepandaian silatnya!
Ia bertindak benar. Kalau saja ia melanjutkan serangannya mengandalkan ilmu sihir, dia pasti akan menderita celaka karena dalam hal ilmu sihir, gurunya sendiri belum tentu akan dapat mengatasi kekuatan Ibrahim! Akan tetapi dalam hal ilmu silat, ternyata bahwa keadaan mereka seimbang. Ibrahim yang sudah tua itupun harus mengerahkan kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang benar-benar tangguh ini! Kalau saja dia mau, Ibrahim dengan mudah dapat menggunakan kekuatan batinnya untuk merobohkan Wai Sauw Pu tanpa mengeluarkan tenaga tubuh, akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini. Kalau lawannya mempergunakan ilmu hitam barulah ia akan menjaga diri dan mengembalikan segala serangan itu, akan tetapi oleh karena Wai Sauw Pu kini hanya mengandalkan kepandaian silatnya, Ibrahim yang tidak mau bermain curang itu pun lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melawan.
Biarpun ilmu silat mereka seimbang, akan tetapi Ibrahim kalah tenaga dan kalah ganas, biarpun ia menang dalam hal ketenangan dan pengalaman. Oleh karena itu, kedua orang itu bertempur dengan ramai sekali, sukar diduga siapa yang akan mendapat kemenangan terakhir.
Ang I Niocu, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng menjadi gelisah juga dan merasa kasihan melihat betapa Ibrahim yang sudah tua sekali itu terpaksa bertempur mati-matian menghadapi Wai Sauw Pu yang mempunyai gerakan ganas dan kuat. Akhirnya Nelayan
Cengeng tak dapat menahan hatinya lagi dan dengan keras ia berkata, "Ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Seorang tinggi besar dan kuat seperti itu tidak berdaya menghadapi seorang kakek tua renta. Sedangkan tasbehnya saja gede-gede, segede obrolan dan kesombongannya. Ha-ha-ha. Lihat, lihat, aku berani bertaruh apa saja, dalam sepuluh jurus lagi ia tentu akan roboh bertekuk lutut!"
Bukan main marahnya Wai gauw Pu mendengar ejekan ini, karena ia pun tadi telah merasa penasaran dan panas perut karena kakek rambut putih itu ternyata sukar sekali dijatuhkan, kini ditambah dengan sindiran Nelayan Cengeng, ia tidak dapat menahan marahnya lagi dan sekali ia berseru, tangan kirinya telah mengayun senjata rahasianya yang lihai yaitu golok-golok kecil yang disebut Hui-to (Golok Terbang) dan yang jumlahnya tiga buah itu meluncur cepat ke arah Ibrahim. Hui-to ini selain harus menggunakan tenaga lweekang untuk
menyambitkannya, juga disertai ilmu sihir sehingga golok itu seakan-akan hidup dan menyambar bagaikan digerakkan oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan.
Ibrahim tertawa bergelak dan berkata, "Wai Sauw Pu, mengapa kau menyerang dirimu sendiri dengan hui-to?"
Dan aneh, sehabis kakek itu mengeluarkan ucapan ini disertai gerakan tangan kirinya, tiga batang golok yang meluncur ke arahnya itu tiba-tiba membelok dan membuat gerakan kembali serta menyerang ke arah Wai Sauw Pu sendiri.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
543 Bukan main terkejutnya pendeta bersorban itu ketika melihat betapa tiga batang hui-tonya menyerang dia dan tak dapat dikendalikan oleh kekuatan sihirnya lagi, maka cepat-cepat ia mengebut dengan tasbehnya ke arah tiga batang golok itu sambil membentak.
"Runtuh!!"
Benar saja, tiga batang golok itu runtuh ke bawah, akan tetapi yang sebatang masih menghantam kakinya sehingga terlukalah kakinya oleh ujung golok.
Pada saat itu, di luar terdengar sorak sorai hebat dan Sahimba dengan senyum menyeringai lalu berseru,
"Yousuf, tibalah saatnya kalian binasa di ujung senjata!" Sambil berkata demikian, Sahimba lalu mencabut pedang dan menyerang Yousuf, diikuti oleh Siok Kwat Mo-li yang mencabut sabuk kuning emas dan mainkan sabuk itu dengan hebat. Lok Kun Tojin lalu mengeluarkan senjatanya yang lihai, yaitu sepasang roda yang diikat dengan tali. Juga ketiga orang tosu Kang-lam Sam-lojin lalu menarik keluar senjata masing-masing dan maju menyerbu kepada Yousuf dan kawan-kawannya.
"Manusia-manusia curang!" seru Nelayan Cengeng sambil memutar-mutar dayungnya yang hebat bagaikan seekor naga sungai mengamuk. Ang I Niocu juga lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam, Kwee An mencabut pedangnya Oei-hong-kiam yang bercahaya kuning,
sedangkan Ma Hoa lalu menggerak-gerakkan sepasang bambu runcingnya!
Pertempuran dalam ruangan itu makin menghebat, dan kini mereka bertempur bukan untuk mengadu kepandaian, akan tetapi mengadu jiwa! Ternyata bahwa sorakan tadi datang dari kawan-kawan Sahimba yang memang telah direncanakan untuk maju menyerbu dan jumlah mereka amat besar sehingga orang-orang kampung pengikut Pangeran Tua yang dikepalai oleh Yousuf terdesak. Para penyerbu itu telah tiba di depan pintu Yousuf dan sebentar lagi mereka menyerbu ke dalam, membantu Sahimba dan kawan-kawannya!
Siok Kwat Mo-li dilawan oleh Ang I Niocu, Lok Kun Tojin dilawan oleh Nelayan Cengeng sedangkan Kang-lam Sam-lojin bertempur melawan Ma Hoa dan Kwee An. Kepandaian
mereka berimbang dan pertempuran pasti akan berjalan seru dan lama apabila fihak Sahimba tidak menggunakan kecurangan. Terdengar seruan Siok Kwat Mo-li dan iblis wanita ini lalu menyebar jarum-jarumnya yang berbahaya, sedangkan Wai Sauw Pu kembali mengeluarkan hui-to-hui-to yang tak kurang berbahayanya pula.
Tak lama kemudian, selagi Yousuf dan kawan-kawannya terdesak karena fihak lawan
menyebar senjata-senjata rahasia yang lihai itu, dari luar masuklah para penyerbu yang telah berhasil memecahkan pertahanan para anak buah Yousuf. Pengikut-pengikut Pangeran Muda lebih ganas dan lebih banyak jumlahnya, sehingga banyak sekali anggota pengikut Pangeran Tua kena dilukai atau dibinasakan.
Melihat itu, Ibrahim segera berseru nyaring bagaikan seorang berdoa,
"Ampunkan hamba, Tuhan! Bukan maksud hamba hendak mengotorkan tangan membunuh,
akan tetapi demi keselamatan semua kawan ini!" ia lalu mengerahkan kesaktiannya dan tiba-tiba ia mementang kedua lengannya ke depan dengan mata memandang penuh kekuatan batin.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
544 "Sahimba... Dan enam orang kawanmu... dengarlah... aku perintahkan kalian berlutut...
berlutut... berlutut...!"
Hal yang aneh terjadi. Sahimba dan kawan-kawannya tiba-tiba merasa kepala mereka pening dan tak dapat menguasai diri sendiri lagi. Akhirnya, seorang demi seorang menjatuhkan diri berlutut dan melempar senjata! Hanya Wai Sauw Pu yang juga memiliki ilmu sihir itu masih kuat mempertahankan diri.
"Ha-ha-ha... tua bangka... kau harus mampus..." Dan secepat kilat ia mengayun enam batang hui-to ke arah Ibrahim yang masih berdiri diam dengan tangan terpentang bagaikan patung.
Enam batang hui-to itu menancap dengan jitu ke sasarannya dan tubuh Ibrahim terhuyung-huyung lalu roboh. Wai Sauw Pu tertawa bergelak-gelak, akan tetapi pada saat itu sebatang dayung di tangan Nelayan Cengeng menghantamnya dan biarpun ia masih mencoba
mengelak, akan tetapi dayung itu masih menghantam dadanya sehingga beberapa tulang iganya patah-patah dan ia roboh di dekat mayat Ibrahim dalam keadaan tidak bernyawa pula!
Sementara itu, karena tewasnya Ibrahim maka pengaruh sihirnya pun lenyap dan Sahimba beserta kawan-kawannya menjadi sadar kembali. Akan tetapi, sebelum mereka sempat mengambil kembali senjata mereka, Yousuf yang marah sekali telah maju menyerang
Sahimba hingga tembuslah punggung Sahimba oleh pedang Yousuf. Juga Ang I Niocu dan kawan-kawannya lalu menyerang lawan-lawannya yang kini melakukan perlawanan dengan tangan kosong. Akan tetapi, para penyerbu yang terdiri dari anak buah Sahimba, telah masuk dan mengeroyok, sehingga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan ketiga Kang-lam Sam-lojin telah mendapat kesempatan untuk mengambil senjata mereka kembali.
Pertempuran hebat berlangsung terus dan kini Yousuf dan kawan-kawannya mengamuk
seperti harimau-harimau berebut daging. Terutama sekali Nelayan Cengeng yang sambil tertawa bergelak dan mata mengalirkan air mata, memutar-mutar dayungnya dengan dahsyat sehingga tidak saja para penyerbu menjadi gentar, akan tetapi juga Siok Kwat Moli dan kawan-kawannya menjadi jerih juga.
Dalam perkelahian itu, Siok Kwat Mo-li mendapatkan luka oleh tusukan pedang Ang I Niocu di pundaknya, sedangkan sebuah roda dari Lok Kun Tojin telah terampas oleh bambu runcing Ma Hoa. Oleh karena ini, mereka makin cemas dan lenyaplah nafsu perlawanan mereka, apalagi karena kini Sahimba yang mereka bantu telah tewas dan anak buahnya mulai melarikan diri pula.
Dengan teriakan keras, Siok Kwat Mo-li lalu mengajak kawan-kawannya untuk kabur.
Yousuf tidak mengejar mereka, bahkan mencegah kawan-kawannya yang hendak mengejar,
"Biarlah, sudah terlalu banyak orang binasa dalam perang saudara yang terkutuk ini!"
Yousuf lalu mengumpulkan anak buahnya yang masih ada dan mereka lalu merawat semua orang baik kawan maupun lawan yang terluka dalam pertempuran itu, serta mengurus yang telah tewas.
Ang I Niocu, Nelayan Cengeng, Kwee An dan Ma Hoa tidak mau mengganggu Yousuf yang sedang berduka dan sedang sibuk mengurus semua itu, maka mereka lalu beristirahat dalam sebuah rumah di dalam kampung itu yang disediakan untuk mereka.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
545 Setelah mereka berempat ramai membicarakan peristiwa yang baru terjadi dan mengambil keputusan untuk membantu Yousuf selama para pengacau dari Turki itu masih
mengganggunya, tiba-tiba Ma Hoa lalu berkata kepada Kwee An.
"An-ko, mengapa kita lupa untuk memberi selamat kepada Enci Im Giok?" gadis ini bicara sambil tersenyum gembira sehingga Ang I Niocu menjadi terheran. Apalagi ketika ia melihat Kwee An memandangnya dengan tersenyum pula.
Selagi ia hendak bertanya, tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa girang dan berkata, "Tadi kita tidak ada kesempatan. Sekarang akulah orang pertama yang harus memberi selamat
kepadanya!" Kemudian ia menghadapi Ang I Niocu lalu mengangkat kedua lengan memberi selamat sambil berkata keras-keras,
"Ang I Niocu, kionghi... kionghi" (selamat, selamat)!"
Ucapan ini diturut oleh Kwee An dan Ma Hoa yang juga berdiri memberi selamat.
Ang I Niocu memandang berganti-ganti kepada mereka bertiga lalu katanya gagap,
"Nanti dulu...! Memberi selamat sih mudah, akan tetapi terangkanlah dulu untuk apakah kalian memberi selamat...?"
"Ha, masih berpura-pura lagi! Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!" Ma Hoa menggodanya sambil memegang lengan Ang I Niocu. "Enci Im Giok, kau memang tidak
ingat kepada kawan. Mengapa urusan itu kau rahasiakan saja?"
"Adik Hoa, kalau kau tidak mau lekas menceritakan padaku apa maksud kalian ini, tentu akan kucubit bibirmu!" kata Ang I Niocu dengan gemas sambil memandang kepada Ma Hoa dengan mata dipelototkan.
"Ha-ha-ha!" Nelayan Cengeng tertawa bergelak. "Urusan pertunangan dan jodoh adalah hal biasa saja, mengapa harus dirahasiakan terhadap kawan-kawan?"
"Pertunangan..." Jodoh... ?" Ang I Niocu memandang heran.
"Enci Im Giok, janganlah kau berpura-pura lagi. Kami tanpa disengaja telah mengetahui rahasiamu!" kata Ma Hoa, sedangkan Kwee An hanya tersenyum saja karena ia merasa malu dan tidak berani menggoda Ang I Niocu.
"Nanti dulu, Adik Hoa, aku masih belum mengerti. Urusan pertunangan yang manakah kaumaksudkan?"
"Aduh, pandainya bermain sandiwara!" Ma Hoa menggunakan telunjuknya yang runcing menuding ke arah muka Ang I Niocu. "Siapa lagi kalau bukan urusan pertunanganmu" Jangan kau menyangkal bahwa kau telah bertunangan, Enci Im Giok! Buktinya nampak di depan mata!"
"Apa buktinya?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
546 Ma Hoa menuding ke arah pedang yang tergantung di pinggang Dara Baju Merah itu.
"Bukankah pedang yang kau pakai itu adalah Cian-hong-kiam pemberian tunanganmu?"
Mulai berdebar dada Ang I Niocu.
"Darimana kau dapat mengetahui hal ini?" tanyanya.
"Dari siapa lagi kalau bukan dari Lie-taihiap!"
Ang I Niocu bangkit berdiri dari tempat duduknya. "Di... di mana dia...?"
Ma Hoa bertepuk tangan. "Nah, nah... sekarang kau mencari-carinya. Kau mencari dia...
siapakah, Enci...?"
Dengan gemas Ang I Niocu mengulurkan tangan hendak mencubit pipi Ma Hoa. "Jangan main-main, Adik Hoa. Benar-benarkah kau bertemu dengan dia?"
"Eh... dia siapakah..." Jelaskan namanya, ah..." Ma Hoa menggoda lagi, akan tetapi Kwee An merasa kasihan kepada Ang I Niocu maka ia berkata,
"Kami memang telah bertemu dengan taihiap Lie Kong Sian."
"Di mana" Bagaimana kalian bisa bertemu dengan dia?" tanya Ang I Niocu dengan heran.
"Sabar, Enci Im Giok. Sabar dan tenang. Kaududuklah baik-baik dan dengarlah ceritaku bagaimana kami bertemu dengan... calon suamimu yang gagah perkasa itu!"
Dengan muka merah karena jengah dan malu, Ang I Niocu yang "mati kutunya" terhadap godaan Ma Hoa itu, lalu duduk dan mendengarkan penuturan Ma Hoa.
Setelah berpisah dari Ang I Niocu di dalam hutan, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat. Tujuan mereka ialah Propinsi Kan-su dan ibu kotanya, yaitu Lan-couw. Mereka bertiga kini lebih bergembira melanjutkan perjalanan, oleh karena kenyataan bahwa Ang I Niocu masih hidup benar-benar membuat mereka merasa gembira sekali, lebih-lebih Ma Hoa yang merasa suka sekali kepada Dara Baju Merah yang lihai itu.
Gadis ini merasa betapa beruntungnya hidup ini. Ia dan kekasihnya selamat, bahkan mendapat guru baru yang lihai, dan kini mendapat kenyataan bahwa Ang I Niocu juga selamat pula. Dan ia merasa yakin bahwa Lin Lin dan Yousuf tentu akan terhindar dari bahaya pula.
Alangkah akan senangnya kalau ia dapat bertemu dengan Lin Lin lagi.
Kegembiraannya membuat ia merasa seakan-akan seekor burung yang terbang bebas di udara, sehingga seringkali ia mendahului Kwee An dan Nelayan Cengeng, berlari-lari di depan. Kwee An dan Nelayan Cengeng hanya tertawa saja melihat kegembiraan gadis itu.
Mereka berdua dalam hati dan cara masing-masing mengagumi Ma Hoa dan memandang
rambut gadis yang terurai dan berkibar-kibar di belakang leher itu. Kwee An merasa terharu melihat kesetiaan Ma Hoa yang untuk menyenangkan hatinya, benar saja menepati janjinya dan selalu membiarkan rambutnya terurai indah.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
547 Ketika Ma Hoa sedang berlari-lari seorang diri di depan dan Kwee An Nelayan Cengeng berjalan di belakang seenaknya, tiba-tiba gadis itu mendengar teguran suara halus,
"Aduh, alangkah indah dan jelitanya bidadari berambut panjang."
Ketika ia memandang, ia melihat seorang pemuda yang tampan dan yang berpakaian indah mewah sedang duduk di atas cabang pohon di atasnya sambil memandang dengan kagum dan tersenyum kepadanya.
"Laki-laki ceriwis! Tutup mulutmu yang lancang!" kata Ma Hoa dan ia tidak mau terganggu kegembiraannya, karena di dalam hatinya ia merasa bangga dan girang mendapat pujian itu.
Wanita manakah yang tidak suka menerima pujian tentang kecantikannya, apa lagi kalau yang memuji itu seorang pemuda tampan" Ma Hoa melanjutkan perjalanannya, akan tetapi ia menahan tindakan kakinya karena pemuda, itu berkata lagi sambil tertawa.
"Bidadari manis! Hatimu gembira menerima pujianku, mengapa kau tidak membentangkan sayapmu dan terbang melayang ke sini, duduk di atas cabang yang enak ini di sampingku, menikmati angin yang bersilir di pohon?"
Kini marahlah Ma Hoa. "Bangsat bermulut lancang! Apakah kau sudah ingin mampus?"
"Eh, eh, makin manis saja kalau marah-marah. Jarang aku melihat seorang gadis semanis kau! Sayang sekali rambut itu terlalu liar dan seharusnya diikat dengan pita merah ini!"
Sambil berkata demikian, pemuda itu lalu mengeluarkan sehelai pita merah dan sekali ia mengayun tangannya, pita merah itu meluncur ke bawah dan menyambar kepala Ma Hoa! Ma Hoa mengelak dan miringkan kepalanya, akan tetapi agaknya pemuda itu memang telah memperhitungkan hal ini, maka ia menyambit ke arah belakang kepala, karena ketika Ma Hoa miringkan kepala, rambutnya terbawa angin gerakan ini dan terurai di belakangnya sehingga dengan tepat pita merah itu mengenai rambutnya dan secara aneh sekali pita merah itu betul-betul membelit rambutnya, seakan-akan dipasang oleh tangan seorang ahli!
Ma Hoa marah sekali. Ia merenggutkan pita merah itu, membantingnya ke atas tanah dan menginjak-injaknya!
"Bangsat liar! Kau betul-betul sudah bosan hidup!" teriaknya sambil meloloskan sepasang bambu runcingnya dan dengan gerakan kilat ia melompat ke atas sambil menyerang!
Pemuda itu terkejut juga karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa gadis yang digodanya itu pandai ilmu silat yang luar biasa ini, maka ia lalu menggerakkan tubuh dan mengelak sambil melayang turun, lalu berdiri dan bertolak pinggang.
"Ah, ah, tidak tahunya bidadari rambut panjang ini lihai juga! Mari, kau majulah untuk main-main denganku sebentar!"
Ma Hoa tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi saking marahnya. Ia lalu menyerang dengan gesit dan sengit hingga pemuda tampan itu terpaksa harus berlaku waspada. Akan tetapi, begitu ia bergerak, Ma Hoa merasa kaget. Sambaran angin yang keluar dari kebutan tangan pemuda itu telah berhasil membuat serangan bambu runcingnya jadi miring! Alangkah hebatnya tenaga ini. Maka ia lalu menyerang lagi bertubi-tubi dengan ganas dan penasaran.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
548 Pada saat itu, datanglah Kwee An dan Nelayan Cengeng. Melihat betapa Ma Hoa sedang menggunakan sepasang bambu runcing menyerang seorang laki-laki yang hebat sekali gerakannya, mereka lalu berlari cepat menghampiri.
"Tahan...!" kata Nelayan Cengeng hingga Ma Hoa meloncat mundur dengan taat.
Pemuda tampan itu memandang kepada Nelayan Cengeng dan Kwee An, lalu mengernyitkan hidungnya dengan pandang menghina dan bertanya.
"Tuan besarmu sedang bermain-main dengan gadis cantik, mengapa kalian ini budak-budak hina berani mengganggu?"
Merahlah wajah Kwee An mendengar ini, maka ia segera mencabut pedang dan membentak,
"Darimana datangnya bajingan yang kurang ajar?"
Sementara itu, Nelayan Cengeng yang menerima hinaan ini balas mengejek,
"Eh, eh! Ma Hoa, Kwee An, kalian lihatlah baik-baik. Manusia ini bukan seorang laki-laki aseli, juga bukan seorang wanita."
Kwee An tidak tahu bahwa kakek ini sedang berolok-olok, maka dengan heran ia bertanya,
"Kalau bukan laki-laki juga bukan wanita, habis apa?"
"Banci"! Ia seorang banci...! Ha-ha-ha!" dan Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak sehingga bercucuranlah air matanya. Juga Ma Hoa dan Kwee An ikut pula tertawa.
Akan tetapi, laki-laki tampan itu dengan masih bertolak pinggang, lalu bertanya, "Kakek gila, dengan alasan apakah kau menyebutku banci?"
"Tidak ada laki-laki yang membedaki mukanya dan tidak ada perempuan yang berlagak seperti ini, akan tetapi kau tidak hanya membedaki mukamu, bahkan kulihat memakai yancu dan pemerah bibir! Ha-ha-ha!"
Memang laki-laki itu pesolek benar sehingga mukanya sampai dibedaki dan diberi merah-merah. Akan tetapi ketika mendengar kata-kata ini ia menjadi marah dan berkata,
"Kakek gila, kau belum tahu siapa adanya orang yang kauhina ini, maka kau berani membuka mulut secara sembrono. Ketahuilah, aku Song Kun yang berjuluk Kwie-eng-cu Si Bayangan Iblis, tidak biasa memberi ampun kepada orang yang telah menghinaku!"
Setelah berkata demikian, secara tiba-tiba pemuda itu lalu menggerakkan tangannya dan memukul kepada Nelayan Cengeng. Melihat pukulan ini, terkejutlah Nelayan Cengeng karena pukulan itu luar biasa sekali dan dari tangan yang melakukan pukulan mengepul uap putih!
Inilah Pek-in-hoatsut yang pernah ia mendengarnya dan yang dimiliki oleh Cin Hai! Ia cepat melompat jauh untuk menghindarkan diri dari serangan itu dan karena maklum bahwa pemuda ini tangguh sekali, sambil melompat ia lalu mengayun dayungnya, memukul dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, pemuda itu memang pantas diberi gelar Si Bayangan Iblis, oleh karena gerakan tubuhnya luar biasa cepatnya dan hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
549 Melihat kelihaian pemuda ini, Kwee An tidak mau tinggal diam dan lalu menyerang dengan pedangnya, juga Ma Hoa maju pula mengerjakan sepasang bambu runcingnya.
Pemuda itu memang benar Song Kun adanya, murid dari Han Le Sianjin yang lihai. Inilah sute dari Lie Kong Sian yang menjalani kesesatan dan yang telah bertemu dan bertempur dengan Cin Hai! Tadinya Song Kun memandang rendah lawan-lawannya, akan tetapi setelah menyaksikan gerakan pedang Kwee An dan gerakan dayung di tangan Nelayan Cengeng, diam-diam ia terperanjat dan mengeluh bahwa ia ternyata telah "salah tangan" dan mencari perkara dengan orang-orang yang berilmu tinggi!
Akan tetapi, ilmu silatnya memang hebat dan setelah beberapa lama ia menghadapi mereka dengan tangan kosong, akhirnya ia mencabut pedang Ang-ho-sian-kiam yang mengeluarkan cahaya merah berapi-api dan berhawa panas itu!
Nelayan Cengeng terkejut sekali melihat pedang itu dan ia berseru kepada Ma Hoa dan Kwee An, "Hati-hati terhadap pedangnya!" Song Kun tertawa mengejek dan ia lalu memutar-mutar pedangnya dengan gerakan luar biasa cepat dan hebatnya sehingga sibuklah ketiga orang itu mengeroyok dari kanan kiri! Biarpun tidak berani mengadu pedangnya, namun Kwee An yang mempergunakan ilmu silat yang diwarisinya dari Hek Mo-ko, cukup hebat dan
berbahaya. Sementara itu, Ma Hoa juga merupakan pengeroyok yang berbahaya oleh karena gadis ini selain memiliki Ilmu Silat Bambu Runcing yang aneh, juga tidak takut mengadu senjata, oleh karena bambu lemas kecil itu tidak takut terkena pedang tajam. Di samping dua orang anak muda yang tangguh ini, masih ada lagi Nelayan Cengeng yang memiliki ilmu silat tinggi dan tenaganya luar biasa sehingga Song Kun sendiri merasa ragu-ragu untuk mengadu pedangnya dengan dayung yang besar dan berat itu, takut kalau-kalau pedangnya akan menjadi rusak! Oleh karena ini, maka pertempuran berjalan seru dan ramai, akan tetapi mereka lebih banyak bertempur dari jarak jauh dan berlaku hati-hati hingga dapat diduga bahwa pertempuran itu akan berjalan lama sekali.
Song Kun memaklumi hal ini dan karena itu ia lalu mendesak maju. Ketika dayung Nelayan Cengeng menyambar, ia memapaki dengan pedangnya yang disabetkan dan putuslah ujung dayung itu! Nelayan Cengeng terkejut dan hampir saja ia menjadi korban sabetan pedang pada pinggangnya kalau tidak Ma Hoa yang menjadi nekat telah melakukan serangan kilat dari belakang, menotok ke arah kedua iga lawan itu! Song Kun menarik kembali pedangnya dan kalau ia mau, ia akan dapat menjatuhkan Ma Hoa dengan serangan pedang, akan tetapi Song Kun memang mempunyai kelemahan terhadap wanita cantik. Ia tidak tega melukai Ma Hoa, maka ia hanya menahan kedua bambu runcing itu dengan pedangnya di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya ia ulur ke depan untuk mengusap pipi Ma Hoa! Gerakannya ini adalah pecahan dari limu Silat Kong-ciak-sin-na, dan kecepatannya luar biasa hingga colekan itu berhasil! Ma Hoa yang merasa betapa pipinya diusap oleh tangan Song Kun, menjerit marah dan menyerang lebih seru!
Namun dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, Song Kun dapat menjaga diri dan kini bahkan melancarkan serangan-serangan mematikan ke arah Nelayan Cengeng dan Kwee An!
Ia mengambil keputusan untuk membunuh dua orang laki-laki itu untuk dapat melarikan gadis muda berambut panjang ini!
Pada saat itu, terdengarlah bentakan keras.
"Song Kun...! Janganlah kau terjerumus ke jurang makin dalam saja!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
550 Mendengar suara ini, Song Kun terkejut sekali dan melompat jauh ke belakang.
"Suheng...!" katanya.
Nelayan Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa memandang. Ternyata yang datang adalah seorang laki-laki yang berusia tiga puluh lebih, bermuka bundar dan gagah, bersikap tenang dan kumis kecil menghias di atas bibirnya. Tubuhnya tegap dan bidang, sedangkan sepasang matanya bercahaya tajam dan berpengaruh. "Song Kun, setelah berpisah bertahun-tahun, setiap hari aku mengharapkan dan berdoa supaya kau dapat insyaf akan kesesatanmu. Tidak kusangka bahwa kau makin dalam terjerumus ke dalam jurang kejahatan!" kata orang itu yang bukan lain Lie Kong Sian adanya, dengan suara mengandung penuh penyesalan.
Song Kun mengeluarkan suara ketawa mengandung ejekan. "Lie Kong Sian! Tadi aku
menyebut Suheng kepadamu karena kukira kau hendak berbaik, tidak tahunya datang-datang kau memaki orang! Apakah kau masih merasa penasaran karena dulu kalah olehku. Jangan kaukira aku takut karena kedatanganmu ini, dan segala perbuatanku adalah aku sendiri yang melakukan dan aku sendiri pula yang menanggungjawabnya! Kau peduli apakah?"
Rajawali Hitam 8 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Bukit Pemakan Manusia 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama