Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Bangsat rendah! Kau berani melawanku?" bentaknya dan ia mengirim tendangan ke arah lambung Cin Hai. Tendangan iin gebat sekali dan kalau terkena, pasti nyawa anak itu akan melayang ke akhirat.
Louw Sun Bi terkejut dan marah. Pada saat ia bangun berdiri dan hendak loncat menolong, tiba-tiba ia terheran-heran dan duduk kembali dengan mata terbelalak. Ternyata sambil terhuyung-huyung mundur ketakutan, ketika kaki Ting Sun menyambar ke arah lambungnya, Cin Hai berkelit ke samping hingga tendangan itu tidak mengenai sasaran.
Dengan terus berpura-pura ketakutan, Cin Hai berdiri lagi dan berlari-lari memutari pelataran berlatih silat itu. Tetapi anehnya, kalau dikatakan takut dan melarikan diri, anak itu tidak mau lari keluar dari kalangan! Ting Sun yang tidak mengenal gelagat, biarpun dua kali serangannya telah dapat dikelit, masih terus mengirim serangan-serangan bertubi-tubi. Kalau dibicarakan memang sungguh aneh, tetapi benar-benar terjadi. Cin Hai terhuyung-huyung dan bahkan sekarang mulai menari-nari! Semua murid bukoan itu, termasuk Bin Nio bukan main herannya melihat sikap Cin Hai. Mereka menganggap anak itu tiba-tiba menjadi gila. Mana ada orang diserang oleh lawan tidak berkelit atau menangkis, tetapi bahkan menari-nari"
Dalam pandangan mata anak-anak murid dan Bin Nio, disangka bahwa Ting Sun merasa kasihan kepada Cin Hai dan tidak menyerang sungguh-sungguh hanya untuk menakut-nakuti saja, maka setiap pukulan dan tendangan selalu tidak mengenai sasaran dan hanya
menyerempet sedikit pakaian Cin Hai! Mereka ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pada saat itu Ting Sun merasa terkejut dan terheran-heran sekali karena sudah lebih dari dua puluh jurus ia menyerang sambil mengeluarkan pukulan-pukulan maut yang paling berbahaya, namun selalu pukulannya itu meleset dan tidak pernah dapat mengenai tubuh Cin Hai! Pada saat pukulan hampir mengenai sasaran, tiba-tiba tubuh atau bagian tubuh anak muda itu bergerak mengelak dengan cara yang luar biasa dan aneh sekali!
Yang dapat mengetahui hal yang sebenarnya hanyalah Louw Sun Bi seorang. Guru silat tua ini duduk bengong dengan mulut ternganga dan mata terbelalak heran. Ia tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan semacam ilmu silat yang aneh dan yang belum pernah dilihat seumur hidupnya, tetapi yang kelihatannya betul-betul mengherankan. Ia tidak tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan Tari Bidadari yang dipelajarinya dari Ang I Niocu. Biarpun belum banyak mempelajari ilmu silat mujijat ini, namun mana seorang kasar seperti Ting Sun dapat melawannya"
Makin cepat Ting Sun menyerang, makin lincah pula gerakan Cin Hai dan makin indah gerak tarinya. Setelah merasa cukup mempermainkan Ting Sun dengan kelitan dan loncatan, Cin Hai menganggap sudah tiba waktunya untuk memberi hajaran kepada guru sombong itu. Pada saat Ting Sun menendang, cepat ia menggeser tubuh ke samping dan tanpa dapat diduga lebih dulu kaki kirinya bergerak dan menotok urat pergelangan kaki Ting Sun yang berdiri, maka tidak ampun lagi guru silat itu roboh terguling-guling!
Ting Sun loncat berdiri dengan marah sekali, tetapi berkali-kali ia dibikin jatuh bangun oleh Cin Hai yang kini menggunakan limu Silat Liong-san Kun-hwat yang ganas! Setelah
memainkan ilmu silat ini barulah Ting Sun dan Louw Sun Bi tahu bahwa Cin Hai memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
90 Tetapi karena sudah merasa terlanjur dan malu untuk mundur, Ting Sun berlaku nekat sekali dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Tetapi dia hanya merupakan makanan yang lunak bagi Cin Hai. Dengan gerakan Hong-tan-ci atau Burung Hong Mementang Sayap ia berhasil menotok iga Ting Sun yang merasa tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan roboh di atas tanah!
"He, Siauwya, kau mengapakah?" Cin Hai mengejek sambil mengoyang-goyang tubuh Ting Sun yang rebah di atas tanah. Dalam gerakan mengoyang-goyang ini, Cin Hai sengaja memusnahkan totokannya hingga Ting Sun dapat bergerak kembali dan pada saat guru silat itu meloncat berdiri Cin Hai mendahuluinya dengan totokan lain yang membuat guru silat itu berdiri kaku bagaikan sebuah patung! "Eh, eh, Siauwya! Mengapa kau berdiri seperti patung?" kata Cin Hai lagi.
Murid-murid bukoan yang melihat betapa Cin Hai mempermainkan Ting Sun, menjadi heran sekali dan pada saat itu Louw Sun Bi meloncat di dekat Cin Hai dan tertawa bergelak-gelak.
"Anak-anak semua. Lihatlah, ini namanya tiam-hoat yang tepat sekali mengenai jalan darah tai-hwi-hiat hingga Ting-kauwsu menjadi kaku. Kalian sudah melihat baik-baik" Contohlah anak inil, sebenarnya ia seorang berilmu tinggi, tetapi yang dapat bertahan menyembunyikan rahasianya di sini sampai bertahun-tahun hingga jangankan kalian, bahkan aku sendiri tidak tahu bahwa dia adalah murid seorang ahli!"
Sambil berkata begini, Louw Sun Bi menepuk pundak Ting Sun yang segera dapat bergerak kembali. Guru silat ini sekarang maklum bahwa ilmu kepandaian Cin Hai lihai sekali, maka dengan muka merah karena malu ia lalu lari ke luar dari bukoan tanpa berani menengok lagi!
Louw Sun Bi mengiringnya dengan suara tertawa bergelak-gelak. Guru silat ini benar-benar kagum kepada Cin Hai, maka ia lalu bertanya, "He, anak muda! Engkau keterlaluan sekali, sampai-sampai kau tega menipu aku orang tua! Sebenarnya engkai ini murid siapakah.
Bukankah kau murid dari Liong-san-pai?"
Cin Hai dengan sikap hormat dan merendah menjura. "Bukan. Loya, saya bukan murid siapa-siapa." Memang ia tidak membohong karena ia baru belajar silat dari Kang-lam Sam-lojin dan Ang I Niocu, sedangkan mereka ini memang bukan guru-gurunya. Ia boleh mengaku bahwa gurunya adalah Bu Pun Su, tetapi kenyataannya, ia belum pernah belajar silat satu jurus pun dari gurunya itu.
Louw Sun Bi menyangka bahwa Cin Hai adalah seorang pendekar kecil yang telah dipesan oleh gurunya untuk menyembunyikan nama guru itu, maka ia tidak berani mendesak, hanya menyatakan kagumnya. Tetapi Cin Hai lalu minta maaf banyak-banyak serta menghaturkan terima kasih atas kebaikan Louw-kauwsu terhadapnya sampai dua tahun lebih itu.
Terpaksa Louw-kauwsu tak dapat menahan Cin Hai yang hendak melanjutkan
perantauannya, tetapi guru silat ini memaksanya untuk menerima bekal uang dan pakaian sebagai pengganti jasanya yang telah bekerja beberapa tahun itu. Cin Hai menerimanya dengan ucapan terima kasih. Kemudian setelah memberi hormat lagi, Cin Hai pergi
meninggalkan tempat itu. Ia tak lupa memberi hormat sambil berkata, "Siocia, mohon beribu maaf atas segala kesalahanku selama aku berada di sini dan jagalah dirimu baik-baik!" Bin Nio hanya menundukkan muka dan air matanya mengalir turun. Ia insaf betapa ia telah salah mengenal orang.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
91 Cin Hai merantau lagi dan hidup sebatang kara menjelajah ribuan li tanpa tujuan tertentu. Ia telah berusia hampir lima belas tahun dan karena tubuhnya terpelihara baik-baik semenjak tinggal di bukoan dari Louw Sun Bi, ia telah merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Tubuhnya tinggi tegap, matanya lebar dan mukanya bulat membayangkan kejujuran dan ketinggian pribadi.
Setelah mengalami banyak derita, matanya terbuka lebar dan ia maklum bahwa tugasnya sebagai seorang berkepandaian ialah harus menolong sesama hidup yang membutuhkan pertolongannya. Kalau dulu ia sering bersedih mengingat bahwa hidupnya tak bersanak kadang, kini perasaan itu lenyap. Ia kini mengerti akan maksud ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu bahwa "Di empat penjuru lautan, semua orang adalah saudara!" Dulu ia seringkali menggoda guru sastera dengan ujar-ujar ini yang dianggapnya kosong dan bohong. Tetapi sekarang, ia mengerti betapa tepat dan mulianya ujar-ujar ini. Ujar-ujar ini harus digunakan secara aktip, tidak boleh secara pasip, yaitu seharusnya kitalah yang bertindak terhadap semua orang seperti terhadap saudara sendiri, hingga sudah sepatutnya kita menolong saudara-saudara itu bila mereka di dalam kesukaran. Janganlah kita memandang ujar-ujar itu sebagai dorongan yang bersifat ingin senang sendiri dan menuntut supaya orang berlaku baik kepada kita bagaikan layaknya saudara-saudara berlaku kepada kita. Memang segala apa di dunia ini, sesuatu yang baik dapat menjadi buruk, dan yang buruk dapat menjadi baik, semua tergantung sepenuhnya kepada yang mengganggapnya. Bila kita dijauhi hendak hidup sendiri atau hendak senang sendiri maka akan terbukalah mata kita bahwa hidup ini tidak hanya asal makan dan tidur saja, bahwa di samping kedua kebutuhan hidup itu, masih banyak sekali terdapat tugas-tugas kewajiban yang luhur dan suci, di antaranya memperhatikan keadaan orang lain atau "saudara" kita yang hidup menderita kesusahan.
Setelah menanjak dewasa, sedikit demi sedikit Cin Hai dapat menangkap intisari segala ujar-ujar yang dulu ketika masih kecil dihafalkannya di luar kepala bagaikan seekor burung beo saja. Kini ia dapat mengerti dan tahu apa yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh para nabi itu dalam ujar-ujar mereka.
Dengan kepandaiannya, walaupun ia baru saja mempelajari tiga perempat bagian dari Liong-san-kun-hoat dan setengah bagian dari Ngo-lian-hwa-kiam-hwat, namun sudahlah cukup untuk membuat namanya menjadi terkenal. Orang-orang di kalangan kang-ouw menyebutnya
"Pendekar Bodoh" karena wajahnya yang tampan dengan mata yang lebar itu memang
tampaknya bodoh. Pada suatu hari, ketika memasuki dusun, ia mendengar suara tangis seorang wanita. Karena tertarik, ia mempercepat tindakan kakinya dan alangkah marahnya melihat seorang anggauta Sayap Garuda tengah menculik seorang perawan desa yang
meronta-ronta dalam pelukannya. Orang itu sambil memondong korbannya, meloncat ke atas seekor kuda besar dan hendak kabur. Tetapi sekali loncat saja Cin Hai sudah menghadang di depannya dan membentak, "Bangsat rendah! Lepaskan Nona itu!"
Anggauta Sayap Garuda itu marah sekali dan tangan kanannya terayun ke arah Cin Hai.
Sebatang piauw (senjata rahasia) melayang dan menyambar leher Cin Hai, tetapi anak muda itu dengan mudah dapat menangkap dengan menjepitnya di antara kedua jari tangan. Melihat kelihaian Cin Hai, orang itu lalu membedal kudanya dan kabur dari situ. Tetapi Cin Hai secepat kilat menggerakkan tangannya dan mengembalikan piauw tadi yang tepat menancap pundak anggauta Sayap Garuda itu.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
92 Si Penculik menjerit kesakitan, tetapi ternyata ia adalah seorang yang bertubuh kuat, karena biarpun telah terluka, ia tetap masih dapat kabur sambil membawa gadis yang diculiknya itu!
Cin Hai sudah banyak mendengar akan kekejaman gerombolan Sayap Garuda yang
merupakan barisan pengawal istana yang tersebar di mana-mana dan berlaku keji dan hina mengandalkan pengaruh dan kekuasaan mereka. Maka kini melihat dengan mata sendiri betapa seorang anggauta gerombolan itu menculik seorang gadis dusun, ia menjadi marah sekali. Ia cepat lari mengejar untuk menolong gadis itu.
Setelah berkejar-kejaran sejauh lima li lebih dan hampir dapat menyusul kuda besar yang lari cepat itu, tiba-tiba dari depan datang pula serombongan anggauta Sayap Garuda yang dikepalai oleh seorang hwesio gundul. Melihat betapa Cin Hai mengejar seorang anggauta mereka, rombongan itu lalu mengepung Cin Hai dan sebentar saja terjadilah pertempuran yang hebat!
Selama dalam perantauannya, Cin Hai tak pernah menggunakan senjata lain kecuali
sulingnya! Dengan suling bambunya itu, ia telah banyak menjatuhkan lawan yang bersenjata tajam, karena gerakan sulingnya yang hebat dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan. Akan tetapi kali ini, menghadapi keroyokan gerombolan Sayap Garuda yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, ia terdesak dan sibuk juga. Akan tetapi berkat kegesitan tubuhnya untuk beberapa lama ia dapat mempertahankan diri dan dia mengelak ke sana ke mari.
Tiba-tiba hwesio gundul Yang gemuk dan tadi mengepalai rombongan berseru,
"Semua mundur! Biar pinceng tangkap bangsat kecil ini!" Hwesio itu merasa penasaran sekali betapa kawan-kawannya yang berjumlah delapan orang agaknya tidak mudah
merobohkan Cin Hai.
Semua pengeroyok Cin Hai mundur dan kini hwesio gundul yang maju menghadapi Cin Hai.
Anak muda itu maklum bahwa lawannya ini tentu berkepandaian tinggi, maka ia
mendahuluinya dan mengirim serangan dengan suling yang ditotokkan ke arah leher lawan.
Tetapi sungguh aneh, lawannya tidak berkelit maupun menangkis dan ketika sulingnya tepat mengenai leher, tangan hwesio itu sudah terulur maju hendak menangkap pundaknya dengan gerakan Eng-jiauw-kang yang lihai sekali! Dan biarpun ujung suling tepat menotok jalan darah di leher hwesio itu, namun pendeta gundul itu agaknya tidak merasa apa-apa!
Cin Hai terkejut sekali dan terpaksa ia melepaskan sulingnya dan membuang diri ke belakang untuk menghindari cengkeraman lawannya! Hwesio itu tertawa bergelak-gelak melihat betapa Cin Hai menggelinding di atas tanah dan menjauhinya.
"Ha, ha, ha! Anak kecil, kau baru tahu kelihaian pinceng, ya?" Dan dengan tindakan kaki lebar, ia menghampiri Cin Hai yang sudah bertangan kosong!
Tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras,
"Biauw Leng-sute! Bagus sekali perbuatanmu, kau telah berani mengotori diri dan bergaul dengan segala kaki anjing?" Sebutan kaki anjing adalah sebutan untuk menghina kaum Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
93 pembela Kaisar seperti barisan Sayap Garuda itu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba di situ telah berdiri seorang wanita tua yang berwajah buruk sekali! Mukanya hitam seperti pantat kuali, pipinya keriput dan matanya yang sebelah kanan buta! Nenek-nenek ini memegang sebuah hudtim dan di punggungnya tampak gagang pedang.
Ketika Cin Hai memandang, ia mengenal nenek-nenek ini sebagai Biauw Suthai, wanita aneh yang dulu menculik Lin Lin puteri dari Kwee-ciangkun! Hampir saja ia berteriak dan menanyakan hal Lin Lin, tetapi pada saat itu terdengar jawaban Biauw Leng Hosiang, "Biauw suci, mengapa kau turut mencampuri urusanku?" "Tetapi kalau kau merendahkan diri dan membantu kaki anjing aku takkan tinggal diam saja. Kau tidak boleh mencemarkan perguruan kita dengan kerendahan ini!"
Hwesio itu menghela napas. "Baiklah, baiklah... memang kau selalu jail dan menghalang-halangi Sutemu yang hendak menikmati sedikit kesenangan dunia!" Setelah berkata demikian, Biauw Leng Hosiang lalu meloncat pergi dan Biauw Suthai juga menggerakkan tubuh dan lenyap dari situ!
Cin Hai kagum sekali akan kegagahan kedua orang itu, tetapi ia tidak diberi kesempatan untuk melamun terlebih jauh karena dengan marah sekali kawanan Sayap Garuda
menumpahkan kegemasan mereka yang ditinggal pergi oleh hwesio itu, kepada Cin Hai. Ia terpaksa melawan, tetapi kali ini karena ia tidak bersenjata lagi ia sangat terdesak dan keadaannya berbahaya sekali.
Tiba-tiba tampak berkelebat sinar putih yang gemilang dibarengi dengan sinar merah, dan begitu bayangan itu bergerak seorang anggauta Sayap Garuda roboh mandi darah!
"Niocu!!" Tiba-tiba Cin Hai berseru keras dan kedua matanya dikejap-kejapkan seolah-olah ia tidak percaya kepada pandangan matanya sendiri. Setelah jelas bahwa yang menolong dirinya dan mengamuk itu adalah Ang I Niocu, tak terasa pula mata Cin Hai basah oleh air mata.
"Niocu... !" sekali lagi ia berseru dengan lirih dan mesra.
"Hai-ji?" Ang I Niocu menjawab dan menjatuhkan lagi dua orang pengeroyok.
Di antara kawanan Sayap Garuda itu terdapat seorang yang telah mengenal Ang I Niocu, maka ia berteriak keras,
"Ang I Niocu yang datang, lekas lari!" Dan ia mendahului kawan-kawannya lari secepatnya dari gadis yang kosen itu! Sebentar saja kawanan Sayap Garuda itu lari dan meninggalkan gadis tawanan yang diculik tadi. Melihat bahwa kurban mereka telah ditinggalkan, Ang I Niocu tidak mengejar.
NIOCU...! Sekali lagi Cin Hai berseru girang dan gadis itu memandangnya dengan matanya yang bagus. Untuk beberapa lama mereka saling pandang dan melihat betapa Cin Hai kini telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, tak terasa pula Ang I Niocu
mencucurkan air mata karena girang dan terharu. Ia lalu memegang tangan Cin Hai erat-erat dan berkata.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
94 "Hai-ji, kau baik-baik saja, bukan?"
"Niocu... Niocu... jangan kautinggalkan aku lagi!" Mendengar ucapan yang masih bersifat kanak-kanak ini, mau tidak mau Ang I Niocu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.
Mereka berdua lalu mengantar gadis yang diculik itu pulang ke dusun. Kemudian Ang I Niocu mengajak Cin Hai pergi dari situ.
Di sepanjang jalan tiada hentinya Ang I Niocu bertanya tentag pengalaman Cin Hai sambil memandang wajah pemuda yang tampan itu dengan senang. Cin Hai tanpa menyembunyikan sesuatu lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya hingga ketika mendengar betapa anak itu menderita karena ia tinggalkan, Ang I Niocu menagis tersedu-sedu sambil memegang lengan Cin Hai.
"Dan bagaimana dengan pengalamanmu, Niocu?" tanya Cin Hai sambil memandang wajah yang masih tetap cantik jelita, bahkan kini makin manis itu. Melihat gadis itu dan pakaian merahnya, ia merasa seakan-akan baru kemarin mereka berpisah.
"Jangan menanyakan hal ini sekarang, Hai-ji. Aku mempuyai tugas penting sekali. Aku sedang menyelidiki sebuah gua rahasia yang disebut Gua Tengkorak Raksasa. Menurut peta yang kudapat, ternyata bahwa gua itu berada di puncak bukit yang tampak dari sini itu!
Karena itu kebetulan saja aku lewat di sini dan dapat bertemu dengan engkau kembali! Kalau sengaja dicari-cari, belum tentu dapat bertemu."
Dengan singkat Ang I Niocu menceritakan betapa ia telah menurutkan jalan di petanya sampai sebulan lebih dan akhirnya petanya itu membawanya ke daerah itu.
"Bukit itu namanya Bukit Tengkorak Raksasa," katanya sambil menunjuk ke arah bukit yang menjulang tinggi tidak jauh dari situ, "dan sekarang juga aku harus dapat mencari gua itu di sana. Ketahuilah, bahwa selain aku, masih banyak orang-orang pandai hendak mendahuluiku mendapatkan gua itu. Maka marilah kau ikut aku, kita jangan menyia-nyiakan waktu lebih lama lagi!"
Melihat bahwa urusan itu agaknya penting sekali, Cin Hai tak berani membantah dan dengan hati luar biasa gembiranya karena dapat berjalan bersama dengan Ang I Niocu lagi, ia mengikuti nona itu dan mereka secepatnya mendaki Bukit Tengkorak Raksasa.
Dengan bantuan petanya, akhirnya Ang I Niocu berhasil mendapatkan gua itu yang tertutup oleh tumpukan batu yang ratusan banyaknya. Dengan tak mengenal lelah, mereka berdua membongkar semua batu-batu itu dan akhirnya tampaklah sebuah guha yang luar biasa besarnya dan gelap! Mereka masuk ke dalam dan setelah berjalan dengan hati-hati dan merayap beberapa lamanya, ternyata di sebelah dalam gua itu terdapat penerangan yang turun dari sebuah lubang di atas. Mereka terus maju ke dalam dan akhirnya tiba di depan sebuah pintu besar yang tertutup. Karena pintu itu berat sekali, maka mereka terpaksa mendorong dengan tenaga dan akhirnya berhasil juga mereka membuka pintu raksasa itu. Dengan hati berdebar keduanya masuk, Ang I Niocu lebih dulu dan Cin Hai di belakangnya.
Ketika mereka memasuki ruang di balik pintu itu, mereka terkejut sekali dan Cin Hai merasa ngeri dan takut. Ternyata di sepanjang dinding di kanan kiri ruang yang luas dan tinggi itu, Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
95 tampak tengkorak-tengkorak yang tinggi besar berdiri berderet-deret dengan mulut mereka yang dahsyat itu menyeringai memperlihatkan gigi besar-besar. Tinggi tengkorak itu sedikitnya tiga kali tinggi manusia biasa hingga dapat dibayangkan betapa hebat dan mengerikan pemandangan dalam ruangan besar itu.
Keduanya berdiri termangu-mangu dengan bulu tengkuk berdiri. Tiba-tiba Ang I Niocu yang dapat menenangkan hati lebih dulu, berkata perlahan,
"Hai-ji, lihat di sana itu. Bukankah aneh sekali?"
Cin Hai bagaikan baru sadar dari mimpi dan ia memandang ke arah depan. Dan benar saja, di ujung ruangan itu tampak sebuah pintu lagi yang daun pintunya terpentang lebar. Daun pintu itu terbuat daripada batu yang sangat tebal dan di dalamnya terdapat ruang atau kamar lain yang gelap hitam. Di tengah-tengah kamar itu tampak sebuah hio-louw (periuk tempat hio) tertutup dan dari dalam hio-louw keluar asap bergulung-gulung naik memenuhi kamar! Ruang yang luar biasa luasnya ini dihias raksasa mengerikan, dan di sana ada hio-louw besar sekali yang masih mengebulkan asap putih, sungguh pemandangan yang bisa membuat seseorang menjadi mati ketakutan!
"Aneh," kata Cin Hai dengan suara gemetar, "Mengapa hio-louw itu masih mengebulkan asap?"
"Itulah yang kupikirkan," jawab Ang I Niocu, "Tak mungkin selama ini api di dalam hiolouw tak pernah padam! Tentu ada orang yang mendahului kita dan membakar dupa di dalam hio-louw itu."
Cin Hai menganggap kata-kata Ang I Niocu itu benar, karena tercium olehnya bau dupa yang harum sekali. Tetapi siapakah yang dapat memasuki tempat seperti ini! Tadi pun gua masih tertutup oleh banyak batu dan pintu kamar ini masih tertutup rapat, dari mana orang dapat masuk"
Ang I Niocu lalu bertindak perlahan menuju ke kamar tempat hio-louw itu. Ia berjalan perlahan sambil memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan tangan kanannya siap di gagang pedangnya yang tergantung di pinggangnya. Cin Hai mengikuti di belakangnya dengan hati dak-dik-duk dan mulut terasa kering. Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi pengalaman sehebat dan sengeri ini.
Seperti halnya Ang I Niocu, Cin Hai juga memandang ke sana ke mari, dan ia merasa seakan-akan sekalian tengkorak raksasa yang berdiri itu bergerak-gerak! Seakan-akan sepasang mata yang bolong itu melirik-lirik dan gigi yang besar-besar itu berkeretakan! Ia merasa betapa bulu tengkuknya berdiri saking ngeri dan takutnya.
Tiba-tiba Cin Hai melihat sesuatu dan ia menjadi pucat sekali. Tak terasa lagi ia memegang tangan kiri Ang I Niocu dengan tangan menggigil. Matanya tak lepas memandang kepada sebuah tengkorak yang berdiri tak jauh dari situ.
"Niocu..." katanya terengah-engah, "lihat..."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
96 Ang I Niocu cepat berpaling dan apa yang dilihatnya membuat ia menjadi terkejut dan ngeri.
Gadis yang gagah perkasa dan belum pernah merasa takut menghadapi lawan yang betapa tangguh pun ini, sekarang merasa betapa kedua kakinya menggigil sedikit! Ternyata tengkorak yang dipandang oleh Cin Hai dan yang kedua lengannya tergantung di kanan kiri itu kini bergerak-gerak sedangkan kepalanya bergerak ke kanan-kiri!
Ang I Niocu cepat mencabut pedangnya dan siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Cin Hai meloncat di belakang gadis itu dan bingung karena tidak membawa senjata. Sulingnya telah terinjak patah oleh Biauw Leng Hosiang, hingga ia kini bertangan kosong. Di sudut kamar itu ia melihat setumpuk tulang-tulang manusia yang besar-besar, maka tanpa berpikir panjang lagi ia lalu memungut sepotong tulang kaki raksasa yang besar dan siap sedia membantu Ang I Niocu dengan senjata istimewa itu di tangannya!
Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak-gelak! Suara tertawa ini bergema hebat di dalam ruang itu dan terdengar menyeramkan sekali.
"Hai-ji, kau berhati-hatilah. Benar-benar ada orang mendahului kita!"
"Niocu... benar-benar orangkah yang tertawa itu?"
"Hush..."
"Kiang Im Giok! Bagus, kau dapat sampai ke sini lebih dulu dari orang lain! Lekas sembunyi di belakang tengkorak! Lekas! He, kau gundul tolol! Kaukira aku tidak mengenal mukamu"
Hayo, kau juga sembunyi di belakang tengkorak! Cepat, mereka sudah mendatangi dan berada di luar gua!"
Kini mereka tahu siapakah yang bersuara itu. Bu Pun Su, kakek jembel yang luar biasa, Susiok-couw dari Ang I Niocu! Maka tanpa menyia-nyiakan waktu lagi keduanya meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa.
Baru saja Ang I Niocu dan Cin Hai meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang bercakap-cakap dan tiga bayangan orang cepat sekali menyambar masuk. Cin Hai heran sekali ketika melihat bahwa yang datang itu bukan lain ialah Kang-lam Sam-lojin, tosu yang pernah mengajar silat kepadanya yakni Giok Im Cu dan kedua sutenya! Akan tetapi pada saat itu ketiga tosu ini nampak tegang dan bersiap sedia untuk bertempur karena Giok Im Cu telah memegang sebatang ranting pohon.
Giok Yang Cu yang tinggi besar itu telah meloloskan pedangnya, sedangkan Giok Keng Cu yang pendek gesit memegang sebatang golok. Mereka bertiga berdiri di ruang itu sambil memandang ke kanan kiri.
"Orang yang berada di dalam gua, keluarlah untuk bertemu dengan kami!" terdengar Giok Im Cu berteriak dan suaranya bergema di dalam gua besar itu seakan-akan menjadi jawaban bagi teriakan itu. Akan tetapi Ang I Niocu dan Cin Hai tidak berani bergerak, karena mereka harus mentaati perintah Bu Pun Su yang sangat ditakuti oleh Ang I Niocu itu. Diam-diam Cin Hai merasa heran mengapa kakek itu bersembunyi! Kalau hanya menghadapi ketiga orang tosu ini apa harus bersembunyi" Ang I Niocu seorang diri pun akan sanggup menghadapinya!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
97 Akan tetapi pada saat itu dari luar gua terdengar suara orang dengan suara yang parau menyeramkan,
"Hai! Siapa yang berani mampus mendahului aku masuk gua ini?" Sebelum gema suara ini lenyap orangnya telah berkelebat masuk dan kembali Cin Hai terkejut sekali karena orang ini adalah Hai Kong Hosiang, hwesio gundul tinggi besar yang bermata besar itu. Jubahnya yang merah kotak-kotak terbuka, memperlihatkan dadanya yang berbulu, juga hwesio ini
memegang senjata yang lihai yakni sebatang tongkat ular. Ketika melihat Kanglam Sam-lojin, Hai Kong Hosiang tertawa bergelak sambil berdongak ke atas. Suara ketawanya
mendatangkan gema yang riuh, seakan-akan semua tengkorak raksasa yang berdiri di dalam gua itu ikut tertawa hingga keadaan menyeramkan sekali!
"Lagi-lagi orang-orang tua bangka mau mampus yang mendahuluiku. Sekarang kalian takkan dapat melarikan diri lagi dan agaknya memang sudah menjadi nasibmu untuk binasa di dalam tanganku!"
Giok Yang Cu marah sekali. "Hai Kong manusia sombong! Kalau di Tiang-an kami tak berhasil membunuhmu, adalah karena kau secara pengecut dibantu oleh ular-ularmu.
Sekarang kami akan menebus kekalahan itu!"
"Ha-ha-ha! Boleh, boleh! Majulah untuk menerima kematian!"
Mereka lalu bertempur hebat, dan Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berbisik,
"Ah, kepandaian hwesio gundul ini telah maju hebat sekali! Kanglam Sam-lojin pasti akan kalah!"
Memang benar kata-kata Nona Baju Merah ini. Kepandaian Hai Kong Hosiang dengan ilmu tongkatnya yang berdasarkan jian-coa-kun-hwat atau Ilmu Toya Seribu Ular memang luar biasa sekali gerakan-gerakannya dan tongkatnya cepat dan hebat hingga seakan-akan berubah menjadi ribuan ular yang datang menyerang lawannya. Hwesio itu agaknya telah melatih diri hingga ilmu tongkatnya makin hebat saja.
Hal ini pun terasa sekali oleh Kanglam Sam-lojin. Ketiga tosu ini segera mengeluarkan kepandaian mereka, yakni Liong-san-kun-hwat yang juga luar biasa dan lihai. Akan tetapi ketika senjata mereka beradu dengan senjata Hai Kong Hosiang, mereka terkejut sekali karena tenaga lweekang dari hwesio itu telah maju pesat dan kini berada setingkat lebih tinggi daripada tenaga mereka! Percuma saja mereka mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka karena benar-benar permainan tongkat Hai Kong Hosiang hebat sekali dan
mengurung mereka bertiga dengan ancaman-ancaman maut!
Hai Kong Hosiang yang melihat betapa ia dapat mendesak ketiga orang lawannya, merasa girang sekali dan hwesio gundul ini tertawa ha-ha-hi-hi sambil memperhebat serangannya.
"Eh, tiga orang tua bangka! Menyerahlah untuk mampus!"
Akan tetapi, biarpun ia sudah dapat mendesak ketiga lawannya, namun karena ketiga tosu itu bukanlah sembarangan tosu yang berkepandaian rendah dan karena Liong-san-kun-hwat memang merupakan ilmu silat yang tinggi, masih tak mudah bagi Hai Kong Hosiang untuk dapat merobohkan ketiga lawannya itu dalam waktu pendek.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
98 "Niocu, benar hebat kepandaian hwesio itu." kata Cin Hai sambil memandang muka Ang I Niocu yang berada begitu dekat dengan mukanya sendiri, " dapatkah kau mengalahkannya?"
Ang I Niocu membalas pandangan mata anak muda itu lalu bibirnya yang manis dan merah tersenyum.
"Agaknya takkan mudah mengalahkan dia, akan tetapi juga bukan tak mungkin!"
Cin Hai telah bertahun-tahun berpisah dengan Ang I Niocu dan telah lama ia merindukan Gadis Baju Merah ini. Sekarang dalam persembunyiannya ia berada begitu dekat Ang I Niocu maka hatinya merasa girang dan terharu sekali. Tanpe terasa Cin Hai menggerakkan tangan dan memegang tangan gadis itu erat-erat. Ia merasa betapa tangan yang berkulit halus dan berjari kecil itu membalas genggamannya dengan tekanan kuat, akan tetapi tiba-tiba tangan gadis itu mengendur, dan akhirnya ditarik terlepas dari pegangan Cin Hai. Ketika pemuda itu memandang, Ang I Niocu memberi tanda dengan muka untuk menonton pertempuran yang masih berlangsung hebat di dalam ruang tengkorak itu.
Ketika Cin Hai memandang, ia mendapat kenyataan bahwa kini Kanglam Sam-lojin benarbenar terdesak dan keadaan mereka berbahaya sekali, sementara itu Hai Kong Hosiang makin gagah dan ganas saja.
Pada saat itu, kembali terdengar suara gaduh di luar gua, tetapi kali ini dari suara tindakan kaki dapat diduga bahwa yang datang adalah serombongan orang yang besar jumlahnya, bahkan terdengar pula ringkik dan suara kaki kuda!
"Hai Kong, bangsat gundul! Ada orang-orang datang, kami tidak ada waktu untuk
melayanimu terlebih jauh," Giok Im Cu berseru. "Ha, ha, Kanglam Sam-lojin, hari ini sekali lagi aku ampuni jiwa kalian, dan lekaslah kalian pergi dari tempat ini dan jangan mengganggu aku!"
Kanglam Sam-lojin yang menginsafi akan kelihaian Hai Kong Hosiang tidak menjawab hinaan ini, lalu mereka menerobos keluar untuk meninggalkan tempat berbahaya itu. Hai Kong Hosiang lalu melangkah maju ke arah balik pintu di mana terdapat hiolouw yang masih mengebulkan asap itu. Ia membuka tutup hiolouw dan menjenguk ke dalamnya. Asap
mengepul makin banyak ketika tutup hiolouw itu terbuka dan Hai Kong Hosiang buru-buru mengembalikan tutup itu. Ia melongok ke sana-sini seperti orang sedang mencari-cari, kemudian ia mendekati hiolouw itu dan membaca huruf-huruf yang terukir di hiolouw raksasa itu. Ia mengangguk-angguk dan segera memasang kuda-kuda dengan kedua kaki dipentang kuat-kuat. Ia lalu memegang kaki hiolouw dengan tangan kanan dan mencoba untuk
mengangkatnya. Tetapi hiolouw itu tidak dapat terangkat. Jangankan terangkat, bahkan bergoyang pun tidak!
Hai Kong Hosiang memaki-maki dan Cin Hai terpaksa menggunakan tangan untuk menutupi mulutnya agar jangan sampai tertawa. Ia geli sekali melihat betapa hwesio itu tidak kuat mengangkat hiolouw dan kini mendengar maki-makian yang keluar dari mulut Hai Kong Hosiang, ia merasa geli bercampur heran. Tak pernah disangkanya bahwa mulut seorang hwesio dapat mengeluarkan makian-makian sekotor itu! Juga Ang I Niocu memandang
dengan mata menunjukkan kegelian hatinya.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
99 Kini Hai Kong Hosiang turun tangan dengan sungguh-sungguh. Ia mempergunakan
tangannya untuk mengangkat hiolouw itu dan benda yang besar itu mulai bergerak-gerak!
Akan tetapi, pada saat itu dari luar gua masuk seorang hwesio lain yang bertubuh gemuk dan berkepala gundul. Cin Hai makin heran ketika mengenal bahwa yang masuk ini adalah Biauw Leng Hosiang, hwesio yang sangat lihai dan yang menjadi adik seperguruan Biauw Suthai!
Mengapa banyak sekali orang-orang lihai datang ke gua ini"
Sementara itu, Hai Kong Hosiang ketika mendengar suara orang masuk ke dalam gua, lalu mengurungkan maksudnya mengangkat hiolouw itu dan ketika ia berdiri memandang ke arah Biauw Leng Hosiang, wajahnya telah berubah merah, tanda bahwa tadi ia telah menggunakan banyak tenaga untuk mencoba mengangkat hiolouw besar itu! Melihat bahwa yang datang adalah Biauw Leng Hosiang yang telah dikenalnya, ia tersenyum menyindir,
"Hm, agaknya Biauw Leng Hosiang juga tak mau ketinggalan dan mencari-cari pusaka ke dalam gua ini?"
Biauw Leng Hosiang membalas sindiran ini dengan suara memandang rendah, "Hai Kong, bercerminlah dulu sebelum mencela orang lain. Dan pinceng tidak ada waktu untuk
mengobrol denganmu pada saat ini. Harap kau suka mengalah dan keluar dari sini, nanti apabila pinceng telah selesai dengan urusanku, kau boleh berdiam di tempat ini sampai selama hidupmu!" "Biauw Leng, kau sungguh tidak memandang orang! Kepandaian apakah yang kauandalkan maka kau berani berkata semacam itu kepada orang seperti aku?"
"Sudahlah jangan banyak cakap dan keluarlah!" Biauw Leng Hosiang yang berwatak keras itu berkata lagi.
Kini Hai Kong Hosiang menjadi marah sekali. Ia membanting-banting kakinya dan
menggunakan telunjuknya menuding sambil berkata keras,
"Biauw Leng! Kau sungguh tak mengerti aturan kang-ouw! Bukankah aku yang masuk di sini terlebih dulu" Mengapa kau mendesak supaya aku keluar dan mengalah kepada kau"
Ketahuilah, aku masih memandang muka Sucimu, Biauw Suthai yang selain gagah perkasa juga patut dihargai karena memegang teguh peraturan kang-ouw. Jangan sampai aku lupa diri menggunakan kekerasan!"
Kini tiba-tiba Biauw Leng Hosiang tertawa, suara ketawanya tinggi nyaring seperti suara ketawa seorang wanita.
"Hai Kong! Sudah kukatakan tadi, sebelum memaki orang, kau bercerminlah dulu!
Kaubilang bahwa kau datang lebih dulu, akan tetapi, apakah kaukira bahwa aku tidak melihat Kanglam Sam-loji keluar dari sini" Aku tidak melihat mereka masuk, tetapi melihat keluarnya. Bukankah ini berarti bahwa mereka masuk lebih dulu dari padamu?"
Hai Kong Hosiang menjadi malu dat makin marah. Tak perlu kita mengadu lidah!
Pendeknya, kalau kau menghendaki aku keluar, kau harus dapat mengantarkan!" Ini adalah tantangain berkelahi!
"Hai Kong! Kaukira pinceng takkan dapat menyeretmu keluar dari sini?" Biauw Leng Hosiang membentak dan keduanya telah saling berhadapan, siap untuk bertempur!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
100 Yang paling merasa senang adalah Cin Hai. Memang sejak kecil ia suka sekali menonton orang bertempur mengadu kepandaian silat, maka kini, melihat betapa beberapa kali terjadi pertempuran-pertempuran di antara tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi, tentu saja ia merasa senang sekali. Ia maklum akan kelihaian Biauw Leng Hosiang yang pernah
dilawannya, akan tetapi ia pun tahu bahwa Hai Kong Hosiang memiliki kepandaian tinggi juga.
Sambil berseru keras Biauw Leng Hosiang yang berdarah panas itu sudah mulai menyerang dengan hebat. Hwesio ini menggunakan senjata sebuah kebutan di tangan kiri dan sebuah pedang pendek di tangan kanan, gerakannya cepat dan berat, kedua senjatanya bergerak bergantian! Hai Kong Hosiang tidak mau didahului dan berbareng mengirim tangkisan berikut serangan balasan yang tidak kalah hebatnya!
Cin Hai sambil mengintai berbisik kepada Ang I Niocu tanpa memandang gadis itu karena ia mencurahkan seluruh perhatian ke arah pertempuran. "Niocu, kauduga siapa yang akan menang?"
Ang I Niocu semenjak tadi melihat gerak-gerik Cin Hai. Entah bagaimana, ia merasa sayang dan suka sekali kepada anak muda ini. Dulu ketika Cin Hai masih kecil dan berkepala gundul, ia merasa suka dan kasihan sekali dan merasa seakan-akan anak itu menjadi adiknya sendiri, kini Cin Hai telah hampir dewasa dan melihat perawakannya, ia bahkan sudah dewasa karena tubuhnya memang tinggi tegap. Akan tetapi, semenjak tadi Ang I Niocu melihat betapa anak muda itu memandang pertempuran dengan mata berkilat-kilat dan wajah berseri-seri, mulut tersenyum kecil, tanda bahwa hatinya senang sekali! Hal ini menyatakan betapa sebetulnya ia itu masih seperti seorang kanak-kanak saja. Ang I Niocu merasa heran dan tidak mengerti mengapa hatinya seakan-akan berbisik bahwa ia takkan merasa senang dan bahagia hidupnya jika berada jauh dari Cin Hai!
"Apa katamu?" ia balas berbisik ketika Cin Hai mengulangi pertanyaannya, lalu ia memandang ke arah pertempuran. "Entahlah, siapa yang akan menang, kepandaian mereka berimbang. Walaupun ilmu silat Biauw Leng Hosiang lebih tinggi dan lebih lihai geraknya, namun Hai Kong Hosiang agaknya lebih menang dalam hal mempergunakan senjatanya yang lihai, juga Hai Kong memiliki banyak tipu-tipu curang dalam gerakannya. Mungkin akan berjalan lama pertempuran ini."
Cin Hai memperhatikan baik-baik. Tiap pertempuran baginya adalah penambahan
pengertiannya dalam ilmu silat, karena dari gerakan-gerakan mereka ia dapat memetik beberapa pelajaran. Melihat gerakan-gerakan di dalam pertempuran antara jago tua itu, ia merasa betapa kepandaiannya sendiri sebenarnya masih dangkal sekali. Ia merasa bahwa untuk dapat memiliki kepandaian tinggi dan dapat menghadapi orang-orang seperti Hai Kong dan yang lain-lain, ia masih harus belajar banyak!
Karena merasa jengkel tak dapat segera menjatuhkan Hai Kong Hosiang yang ternyata memiliki kepandaian lebih lihai daripada yang semula ia duga, Biauw Leng Hosiang merasa tak sabar dan tiba-tiba ia bersuit keras. Dari luar gua terdengar suitan-suitan balasan dan tiba-tiba dari luar menerobos lima orang yang berpakaian seragam. Mereka ini ternyata adalah Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
101 perwira-perwira Sayap Garuda yang sudah tinggi pangkatnya. Begitu masuk kelima orang ini lalu maju mengeroyok Hai Kong Hosiang!
Perlu diketahui bahwa barisan Sayap Garuda terdiri dari beberapa tingkat perwira menurut tingkat kepandaian mereka masing-masing. Dan lima orang yang masuk ini tingkatnya sudah ke tiga, maka mereka memiliki ilmu kepandaian yang sudah lumayan juga, dan senjata mereka adalah pedang panjang. Sudah tentu saja masuknya lima orang yang membantu Biauw Leng Hosiang ini membuat Hai Kong Hosiang yang memang sudah terdesak, menjadi makin sibuk. Akhirnya sebuah totokan yang dilakukan dengan ujung kebutan di tangan kiri Biauw Leng Hosiang tak dapat dihindarkan telah mengenai pundak Hai Kong Hosiang hingga hwesio ini berteriak keras sekali lalu roboh!
Kalau orang lain yang terkena totokan kebutan Biauw Leng Hosiang yang dilakukan dengan tenaga lweekang yang kuat tentu melayang jiwanya.
Hai Kong Hosiang bukan orang lemah dan tubuhnya sudah memiliki kekebalan hingga ia hanya menderita luka dalam yang tidak membahayakan jiwanya. Akan tetapi, totokan itu cukup hebat untuk merobohkannya dan untuk beberapa lama ia hanya duduk bersila sambil mengatur napasnya untuk menyembuhkan atau setidaknya meringankan luka pundak yang menembus dadanya.
"Biauw Leng Sute, kau sungguh bandel sekali!" tiba-tiba terdengar teriakan suara wanita dan tahu-tahu Biauw Suthai wanita pertapa dari Hoa-san yang bermuka seperti pantat kuali den matanya sebelah kanan buta ini, tahu-tahu telah berada di ruangan itu, tangan kiri memegang hudtim dan tangan kanan memegang pedang. Bukan main terkejutnya Biauw Leng Hosiang melihat sucinya telah berada di situ! Hal ini sama sekali tidak pernah diduganya.
Sebenarnya, setelah menegur adik seperguruannya yang sesat itu ketika Biauw Leng Hosiang menjatuhkan Cin Hai, Biauw Suthai lalu pergi. Akan tetapi ia masih merasa curiga kepada adik seperguruannya yang telah berkali-kali melakukan pelanggaran perguruan mereka dan berkali-kali ia tegur karena menjalankan kejahatan itu. Maka diam-diam ia lalu mengikuti adik seperguruannya itu. Alangkah marahnya ketika melihat betapa Biauw Leng Hosiang mengadakan pertemuan lagi dengan para perwira Sayap Garuda, bahkan bersama lima orang perwira menyerbu ke Gua Tengkorak itu.
Ia terus mengikuti ke mana mereka pergi dan setelah melihat betapa sutenya mengeroyok dan merobohkan Hai Kong Hosiang, ia lalu menyerbu masuk dan telah mengambil keputusan tetap untuk menghajar sutenya yang tersesat.
"Biauw-suci, kau lagi-tagi menghalang-halangi maksud dan sepak terjangku. Sebenarnya ada sangkut paut apakah segala perbuatanku dengan kau orang tua?" kata Biauw Leng Hosiang yang mulai memberontak dan hendak melawan karena ia mengandalkan bantuan kelima
perwira yang kosen itu.
"Biauw Leng! Apakah kau telah melupakan sumpahmu kepada mendiang Suhu dulu"
Percuma saja kau menjadi pendeta kalau kau selalu melanggar pantangan kita dan melakukan perbuatan-perbuatan sesat. Kau tentu masih ingat bahwa di antara segala pantangan, Suhu almarhum paling benci melihat orang membela kaisar lalim dan menjadi anjing penjilat."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
102 "Telah berkali-kali kau kuperingatkan dan selalu aku masih bersabar mengingat hubungan kita sebagai saudara seperguruan. Akan tetapi kau selalu tetap melanggar. Sekarang, mari kau ikut aku untuk mengadakan sumpah di depan makam Suhu!"
"Biauw-suci kau sungguh terlalu! Mengingat kau dulu sering melatih dan memberi pelajaran kepadaku, maka aku selalu mengalah saja terhadapmu. Tetapi kau jangan terlalu mendesak!
Ingat, seekor semut pun akan membalas dengan gigitan dan akan melawan jika diinjak, apalagi aku sebagai manusia. Kau pulanglah, Suci yang baik dan janganlah kau
mempedulikan lagi diriku. Aku bukan anak kecil!"
Wajah Biauw Suthai yang sudah buruk itu makin memburuk dan matanya yang tinggal satu di sebelah kiri itu mengeluarkan cahaya kilat tanda bahwa ia marah sekali. Biauw Leng Hosiang maklum akan hal ini dan sebenarnya ia menjadi takut dan jerih juga, akan tetapi ia segera memberi tanda kepada kelima perwira itu.
"Biauw Leng, lepaskan senjatamu dan kau berlutut!" perintah Biauw Suthai yang tiba-tiba mengeluarkan sebuah hudtim berbulu merah dari pinggangnya. Biauw Leng Hosiang terkejut melihat ini, karena ia ingat bahwa kebutan ini adalah milik mendiang suhu mereka dan yang bila dikeluarkan, berarti bahwa hukuman mati akan dijatuhkan kepada seorang murid yang murtad! Kini Biauw Suthai telah mengeluarkan kebutan merah ini dan jika ia tidak berlutut minta ampun, ia pun tentu akan dihukum mati oleh sucinya sendiri!
Akan tetapi, Biauw Leng Hosiang dapat menetapkan hatinya dan setelah memberi tanda kepada kawan-kawannya, mereka berenam lalu maju menyerbu dan menyerang Biauw Suthai.
Cin Hai pernah ditolong oleh Biauw Suthai, yaitu ketika ia dirobohkan oleh Biauw Leng Hosiang, maka ia merasa bersimpati kepada tokouw ini apa lagi kalau ia ingat bahwa tokouw yang buruk rupa ini adalah guru dari Lin Lin, maka ia tidak dapat menahan hatinya melihat tokouw itu dikeroyok enam! Ia memegang erat-erat tulang paha manusia yang masih
dipegangnya ketika ia pergi bersembunyi, lalu ia meloncat keluar sambil berteriak,
"He, kawanan Sayap Garuda! Jangan berlaku pengecut dan curang dengan keroyokan!"
Ang I Niocu terkejut sekali melihat sepak terjang Cin Hai. Ia maklum bahwa kepandaian Cin Hai masih terlampau lemah untuk melayani orang-orang berilmu tinggi itu maka ia lupa akan perintah Bu Pun Su tadi dan meloncat keluar pula mengejar Cin Hai sambil berseru,
"Hai-ji, hati-hati!"
Biauw Leng Hosiang terkejut melihat bahwa ternyata di ruangan itu telah ada orang yang datang dan bersembunyi, akan tetapi ia tak berdaya karena Biauw Suthai mendesaknya dengan hebat! Terpaksa ia melawan sekuat tenaga.
Sementara itu, kelima perwira Sayap Garuda ketika melihat keluarnya seorang pemuda dengan tulang di tangan, untuk sejenak tertegun. Kemudian setelah Ang I Niocu keluar mereka maklum bahwa pihak musuh bertambah, maka dua orang di antara mereka lalu
menyambut Cin Hai dan Ang I Niocu.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
103 Cin Hai melawan dengan tulang itu sambil mengeluarkan ilmu silat yang telah dipelajarinya.
Oleh karena ternyata bahwa lawannya cukup tangguh maka ia lalu mencampur-adukkan Ilmu Silat Liong san-kun-hwat! Dengan ilmu silat campuran ini ternyata Cin Hai dapat
mengimbangi kepandaian Perwira Sayap Garuda itu.
Sedangkan perwira yang bertanding melawan Ang I Niocu, dalam beberapa gebrakan saja telah menjadi sibuk dan dibingungkan oleh ilmu pedang Dara Baju Merah yang menari-nari di depannya itu! Melihat betapa perwira ini terancam oleh bahaya pedang di tangan Ang I Niocu yang gagah, dua orang perwira maju pula mengeroyok Ang I Niocu yang masih tetap gagah dan bahkan nampak gembira sekali dikeroyok tiga! Nona ini selain menghadapi ketiga lawannya, juga berusaha mendekati Cin Hai hingga dapat siap sedia membela dan menolong pemuda itu apabila sampai terdesak dan berada dalam bahaya.
Sementara itu, karena kini yang mengeroyoknya hanya Biauw Leng Hosian dan seorang perwira saja, Biauw Suthai dapat mendesak adik seperguruannya dengan hebat sekali dan pada suatu saat ia mengeluarkan seruan keras sekali dan kebutan merah yang dipegangnya telah dipakai menghantam dan tepat mengenai dada kiri Biauw Leng Hosiang! Hwesio ini mengeluarkan jeritan ngeri dan roboh sambil muntah darah dan tewas seketika itu juga!
Semua perwira merasa terkejut dan melompat mundur dengan wajah pucat. Melihat betapa orang yang mereka andalkan telah tewas, maka mereka tidak berani bertempur lagi.
Biauw Suthai ketika melihat sutenya rebah di atas lantai batu dan telah binasa, tiba-tiba ia menubruk sambil menangis tersedu-sedu!
"Sute" Sute" mengapa kau mencari kematian di tanganku?" Tokouw iin berkeluh-kesah dengan suara memilukan. Kemudian Biauw Suthai menghampiri Hai Kong Hosiang yang
masih duduk meramkan mata dan mengobati luka di dalam dadanya. Tokouw ini
menggunakan tangannya menepuk pundak Hai Kong Hosiang yang terluka hingga hwesio ini merasa betapa totokan Biauw Leng tadi dapat dipunahkan dan lukanya menjadi berkurang sakitnya.
"Hai Kong Hosiang, kaumaafkan Suteku yang telah menebus dosanya dengan jiwanya."
Hai Kong Hosiang hanya mengangguk, kemudian hwesio ini lalu meninggalkan tempat itu, Biauw Suthai lalu mengangkat sutenya dan sambil memondong tubuh yang tak bernyawa pula itu, ia hendak meninggalkan gua. Akan tetapi Cin Hai melangkah maju dan sambil memberi hormat ia bertanya,
"Suthai yang mulia, mohon tanya tentang keadaan Adikku Lin Lin. Bukankah dia muridmu?"
Biauw Suthai memandang heran kepada Cin Hai dan bertanya, "Eh, anak muda yang berani, kau siapakah?"
"Suthai tentu telah lupa kepada anak kecil yang dulu bersama dengan Lin Lin ketika kau mencu... eh membawanya pergi!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
104 Biauw Suthai teringat akan anak gundul itu, "Hm, ia baik... ia baik?" Lalu ia pergi sambil memondong jenazah sutenya!
Kelima Perwira Sayap Garuda itu pun pergi dengan cepat karena tanpa pembantu yang pandai, mereka merasa jerih menghadapi Ang I Niocu yang tadi telah mereka kenal
kelihaiannya. Ang I Niocu juga tidak mau mengejar karena sebenarnya nona ini sedang merasa kuatir sekali akan mendapat teguran dari susiok-couwnya karena telah berani-berani keluar dari tempat persembunyiannya. Oleh karena ini, sebelum ia menerima teguran ia segera membetot tangan Cin Hai dan bersama pemuda itu segera menjatuhkan diri berlutut di situ sambil berkata,
"Susiok-couw, mohon dimaafkan kelancangan teecu berdua dan kami bersedia menerima hukuman!"
Akan tetapi tidak terdengar jawaban apa-apa, sedangkan Cin Hai merasa tidak puas sekali melihat sikap nona itu yang agaknya sangat takut kepada Bu Pun Su. Pemuda ini lalu mengangkat kepala dan bukan main heran dan terkejutnya ketika melihat yang berada di depannya, telah berdiri seorang yang aneh sekali. Orang ini bertubuh pendek sekali, barangkali sama tingginya dengan seorang kanak-kanak berusia sepuluh tahun. Kedua matanya bundar besar melirik ke sana ke mari tiada hentinya seperti mata sebuah boneka mainan, kedua telinganya lebar sekali seperti telinga gajah, sedangkan mulutnya. Berbibir tebal. Ia memakai jubah panjang yang menggantung sampai ke tanah dan yang mencolok sekali adalah warna jubah ini yang hitam sekali.
"Eh, siapa orang kate ini?" Tak terasa pula Cin Hai bangun dari tanah karena ia tidak sudi berlutut di depan orang kate itu. Ang I Niocu juga menengok dan terkejutlah dia, terkejut karena mengingat betapa lihainya orang ini yang dapat datang ke situ tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan ia sendiri dalam berlutut tadi tidak mendengar suara kaki orang, tetapi tahu-tahu orang kate ini telah berdiri di depannya. Ketika ia bangun dan memandang, ia memperhatikan jubah orang kate itu maka kagetlah Ang I Niocu. Ia dapat mengetahui bahwa orang aneh ini tentulah Hek Moko Si Iblis Hitam yang telah terkenal sekali sebagai seorang jago tua yang sukar dapat dicari tandingannya di dunia kang-ouw bagian barat!
Ang I Niocu lalu mengangkat kedua tangan di dada dan menjura sambil berkata, "Locianpwe kami yang muda memberi hormat."
Tiba-tiba Hek Moko tertawa dan suara ketawanya ini kalau didengar di dalam gelap tanpa terlihat orangnya, tentu akan disangka orang suara setan. Suara ketawanya mula-mula rendah sekali bagaikan suara kodok besar, lalu perlahan-lahan meninggi menjadi nyaring dan kecil.
Tiba-tiba Hek Moko menahan tawanya karena mendengar Cin Hai juga tertawa geli.
"Pemuda tolol! Kau siapakah" Kau apanya Ang I Niocu?" Hek Moko bertanya dengan kata-kata kasar sedangkan kedua matanya berputar-putar.
Cin Hai tidak menjawab tetapi bahkan tertawa makin geli dan keras. Ketika tadi melihat bentuk dan rupa Hek Moko, ia telah merasa ngeri sekali, apalagi melihat sepasang telinganya.
Ketika Ang I Niocu bicara kepada Hek Moko dan menyebutnya locianpwe (orang tua gagah), ia merasa makin geli karena alangkah ganjilnya menyebut seorang yang tingginya hanya sama dengan tinggi pinggangnya dengan sebutan locianpwe. Kemudian, ketika Hek Moko tertawa dengan suara yang menyeramkan dan lucu itu, ia melihat betepa telinga gajah itu dapat Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
105 bergerak-gerak bagaikan telinga gajah yang benar.-benar digerak-gerakkan untuk mengipas tubuh. Maka pemuda ini tak dapat lagi menahan geli hatinya dan tertawa keras. Kini melihat Hek Moko mengajukan pertanyaan sambil memuta mutar kedua matanya, Cin Hai makin geli dan tertawanya makin keras pula.
"Hai, tolol! Kenapa kau tertawa?" Hek Moko membentak dengan muka heran.
"Kakek kate, aku tertawa mendengar kau tertawa!"
Hek Moko melengak dan menggerakkan kepalanya ke belakang. Belum pernah selama ia merantau ada orang berani mentertawakan suara tawanya!
"Tolol! Hati-hatilah menjaga lidahmu. Mengapa kau tertawakan aku?"
Melihat sikap Hek Moko, Cin Hai tahu bahwa orang ini marah, maka ia berkata,
"Orang tua, orang baru tertawa kalau berhati senang. Kau tadi tiada hujan tiada angin tertawa, tentu berarti kau senang bertemu dengan kami. Aku pun menjadi senang dan tertawa juga, apa salahnya" Eh, kakek kate, tahukah kau akan sebuah ujar-ujar tentang tertawa?"
Kembali Hek Moko tertegun. Ia kuatir kalau-kalau anak muda ini sedang
mempermainkannya, akan tetapi ia juga ingin sekali tahu apakah ujar-ujar tentang tertawa itu.
"Coba kauceritakan, aku belum mendengar," jawabnya dengan kedua mata tetap berputar-putar.
Cin Hai lalu mendongakkan kepala dan dengan suara sungguh-sungguh meniru suara dan lagak gurunya yang dulu mengajarnya sastera,
"Mati di antar tangis, lahir disambut tawa. Tapi bagaimanakah sikap orang bijaksana"
Kurangi tangis dan perbanyaklah tawa!"
"Bagus, bagus, bagus!" Hek Moko memuji dan ia tertawa lagi. Lenyaplah rasa marahnya yang tadi karena menyangka bahwa Cin Hai mempermainkannya.
"Dan kenapakah kau tertawa, orang tua yang aneh dan lucu?" tanya Cin Hai sedangkan Ang I Niocu terheran-heran melihat keberanian Cin Hai yang bercakap-cakap dengan kakek itu bagaikan dua orang sahabat baik sedang mengobrol!
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa aku tertawa" Ha, ha! Siapa takkan tertawa melihat Bu Pun Su jembel tua itu begitu malas! He, Bu Pun Su, benar-benarkah kau begitu malas dan memandang rendah kepadaku hingga masih terus mendengkur dan tidak mau keluar menyambut?" Tiba-tiba orang kate ini mengebutkan jubahnya yang hitam dan angin besar menyambar ke arah sebuah tengkorak yang dikebutnya hingga tengkorak itu bergoyang-goyang seakan-akan hendak roboh!
"Hek Moko, kau jangan terlalu seji (malu-malu). Suruhlah Pek Moko masuk juga!" Tiba-tiba terdengar suara Bu Pun Su, akan tetapi Cin Hai benar-benar tidak tahu dari mana datangnya suara itu, seakan-akan ada beberapa orang yang bicara dari berbagai penjuru! Ternyata dalam kata-katanya ini, Bu Pun Su telah mendemonstrasikan kehebatan khikangnya yang telah dapat Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
106 mengirim suaranya ke berbagai tempat dan biarpun dia tidak meninggalkan gua itu, namun dia telah tahu bahwa Hek Moko datang bersama Pek Moko. Hek Moko diam-diam memuji dan ia lalu mengeluarkan suara bersuit yang nyaring dan tajam menyakitkan anak telinga.
Dari luar gua terdengar pula suara suitan yang sama bunyinya dan sebelum gema suara suitan itu lenyap, dari luar gua menyambar sinar putih dan tahu-tahu Cin Hai melihat seorang yang tidak kalah anehnya berdiri di dekan Hek Moko! Orang yang baru datang itu adalah Pek Moko Si Iblis Putih. Tubuhnya tinggi besar akan tetapi anggauta mukanya kecil-kecil, bahkan matanya hanya merupakan dua garis melintang panjang sedangkan daun telinganya hampir tak tampak karena kecilnya!
Hek Moko dan Pek Moko adalah sepasang saudara seperguruan yang telah sangat terkenal di dunia kang-ouw, terutama di daerah barat. Mereka ini datang dari sebelah selatan Tibet dan memiliki kepandaian silat yang luar biasa tingginya. Biarpun tubuhnya kate, tetapi Hek Moko adalah saudara tua dan Pek Moko sutenya. Kalau Hek Moko selalu mengenakan jubah warna hitam, Pek Moko selalu mengenakan jubah warna putih bersih. Oleh karena warna jubahnya inilah maka mereka disebut Iblis Hitam dan Iblis Putih, sedangkan nama aseli mereka sudah dilupakan orang.
Berbareng dengan datangnya Pek Moko, maka Bu Pun Su juga muncul keluar dari balik tengkorak. Kakek tua ini berjalan dengan tindakan perlahan dan bermalas-malasan.
"Kalian Iblis Hitam dan Putih, setelah lebih dari lima belas tahun tak bertemu, kepandaianmu makin meningkat saja. Kalian jauh-jauh dari barat menuju ke sini, apakah juga silau oleh gemerlapnya emas dan perak?" kata Bu Pun Su setelah berhadapan dengan mereka.
"Bu Pun Su kakek jembel, kau benar-benar panjang umur! Tak kusangka kau masih hidup.
Apakah kali ini kau pun hendak menjadi perintang bagi kami berdua saudara?" tanya Hek Moko sambil memutar-mutar matanya.
"Hek Moko, jangan seperti anak kecil. Kau tahu betul bahwa aku jembel tua bukan manusia usilan. Asalkan kau tidak mengganggu orang, mengapa takut aku menjadi perintang"
Berbuatlah apa yang kausuka, aku takkan peduli."
Giranglah wajah Hek Moko mendengar ucapan ini. "Memang, semenjak tadi ia telah dapat melihat kakek jembel yang lihai itu dan ia merasa jerih hingga diam-diam ia menyuruh Pek Moko menunggu di luar untuk berjaga-jaga. Belasan tahun yang lalu, ia dan sutenya pernah bentrok dengan Bu Pun Su dan roboh dalam tangan orang tua lihai itu, hingga masih merasa jerih dan ragu-ragu untuk memusuhi orang tua itu.
"Ha-ha, bagus, Bu Pun Su!" Kemudian Hek Moko berpaling kepada Ang I Niocu dan Cin Hai. "Hai, kau Nona cantik dan anak muda yang aneh. Kalian mendengar tadi kata-kata Bu Pun Su si Kakek Jembel" Nah, kalian menjadi saksi!" Setelah berkata demikian, Hek Moko lalu melangkah maju menghampiri hiolouw besar yang berdiri di tengah kamar di balik pintu itu. Ia membungkuk dan menggunakan tangan untuk menggeser hiolouw yang beratnya seribu kati itu. Hiolouw itu bergerak dan tergeser dengan mudah! Di bawah hiolouw itu ternyata terdapat sebuah lubang yang cukup besar. Hek Moko menjenguk dan ia segera meloncat sambil memperdengarkan suara ketawanya yang aneh. Sementara itu, Pek Moko yang juga ikut menjenguk melihat keadaan lubang, lalu membalikkan tubuh memandang ke arah Bu Pun Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
107 Su. Kedua kakak beradik yang aneh itu berdiri bagaikan patung dan memandang ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri tak mengacuhkan sama sekali.
"Bu Pun Su tua bangka menyebalkan! Kembali kau mempermainkan kami!" Pek Moko
berseru dan suaranya juga kecil dan tinggi, tidak sesuai dengan tubuhnya yang besar.
"Biarlah sekali laqi kami mencoba-coba kelihaianmu!" teriak Hek Moko dan tiba-tiba Iblis Hitam ini menggunakan kedua tangannya memegang kaki hiolouw dan sekali ayun saja hiolouw itu melayang ke arah Bu Pun Su!
Cin Hai merasa terkejut dan ngeri sekali. Ia dan Ang I Niocu berdiri dekat Bu Pun Su hingga hiolouw itu tidak saja mengancam Si Kakek Jembel, tetapi juga sekaligus mengancam mereka berdua! Hiolouw raksasa itu demikian berat hingga sebelum datang, anginnya telah menyambar ke arah mereka. Benda kuno itu beratnya seribu kati lebih, kini dilontarkan dengan tenaga raksasa hingga dapat dibayangkan betapa hebat jika tertimpa hiolouw terbang ini! Akan tetapi di depan Ang I Niocu dan Bu Pun Su, Cin Hai tidak mau memperlihatkan sikap takut atau ngeri, maka ia tidak meloncat pergi untuk menghindarkan diri dari serangan hiolouw, hanya berdiri dengan urat-urat seluruh tubuhnya tegang dan mata terbelalak.
Ang I Niocu biarpun telah memiliki kepandaian tinggi, namun ia mengerti bahwa tenaganya masih belum cukup untuk menyambut datangnya hiolouw, maka ia hanya bersiap untuk menolak benda itu ke samping apabila jatuhnya menimpa dia atau Cin Hai. Gadis ini tentu saja cukup tahu diri dan tidak bergerak karena di situ terdapat kakek gurunyat takut kalau-kalau dianggap lancang tangan. Akan tetapi, alangkah heran dan terkejutnya Cin Hai ketika melihat bahwa Bu Pun Su yang berdiri miring agaknya sama sekali tidak mempedulikan datangnya hiolouw yang menyambar k arah dirinya! Keringat dingin mulai keluar membasahi jidat pemuda ini, karena betapa tabah pun hatinya, menghadapi bahaya maut di depan mata tanpa kuasa menghindarkannya membuat ia merasa cemas sekali.
Ketika hiolouw itu menyambar dekat sekali hingga Ang I Niocu telah mengangkat kedua tangan hendak menolak benda itu ke samping, tiba-tiba Bu Pun Su melangkah maju dua langkah dan ia menyambut hiolouw itu dengan kepalanya! Heran sekali, ketika kaki hiolouw itu menimpa kepalanya maka kepala Bu Pun Su seakan-akan besi sembrani yang menarik hiolouw itu hingga kaki hiolouw menempel pada kulit kepala dan berdiri lurus tanpa bergoyang-goyang sedikit pun. Hiolouw itu kini terletak di atas kepala Bu Pun Su, seakan-akan benda yang ringan dan yang diletakkan dengan hati-hati di atas kepala!
Tidak hanya Cin Hai yang terpaksa meleletkan lidah tanpa merasa lagi saking kagum dan herannya, tetapi juga Ang I Niocu memandang dengan mata kagum karena baru sekarang ia menyaksikan sucouwnya mendemonstrasikan kekuatan lweekangnya yang tak terbatas
tingginya itu. Kedua Iblis Hitam Putih juga tertegun.
Terdengar kakek tua itu tertawa ha-ha hi-hi, lalu berkata dengan suara lemah lembut, "Hek Pek Moko, hiolouw adalah benda suci tempat orang memuja dan bersembahyang maka harus dihormati. Apalagi benda ini umurnya telah ribuan tahun, jauh lebih tua daripada kalian atau aku, maka tidak boleh kita merusakkannya. Baiknya kau melemparkan dengan hati-hati dan tidak sampai menumpahkan isinya. Kalau tidak, tentu aku takkan mengampunimu, Hek Moko!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
108 Setelah berkata demikian, Bu Pun Su dengan hiolouw masih berdiri di atas kepala lalu berjalan seenaknya menuju ke tempat di mana hiolouw itu tadi berdiri. Hek Moko dan Pek Moko melangkah ke kanan kiri dan kedua iblis ini segera bergerak cepat. Mereka memang maklum bahwa kepandaian Bu Pun Su masih jauh lebih tinggi daripada kepandaian mereka sendiri dan biarpun mereka mengeroyoknya, belum tentu mereka akan berhasil merebut kemenangan. Akan tetapi, sekarang melihat bahwa kakek jembel yang lihai itu sedang berjalan dengan kepala membawa beban yang berat sekali, mereka melihat keuntungan bagus.
Untuk dapat menahan beban seberat itu di atas kepala, orang harus mengerahkan tenaga lweekangnya dan kakek itu biarpun tenaga lweekangnya sangat hebat, namun sedikitnya harus mempergunakan tenaga itu tiga perempat bagian untuk dapat membawa hiolouw di atas kepala. Dan keadaan ini tentu saja amat menguntungkan mereka, maka mengapa tidak mempergunakan kesempatan baik ini"
Biarpun mereka tidak menyatakan isyarat sesuatu, namun jalan pikiran mereka agaknya tak berbeda jauh karena ketika Bu Pun Su berjalan lewat di dekat mereka, tiba-tiba keduanya lalu mengayun tangan mengirim serangan dari kanan kiri! Serangan kedua iblis ini lihai dan berbahaya sekali karena mereka tidak hanya bermaksud untuk main-main.
Hek Moko dari kiri menyerang dengan tangan kanan dimiringkan dan menampar jalan darah di leher, sedangkan Pek Moko dari kanan menggunakan tangan kiri menotok urat kematian di iga belakang!
Ang I Niocu mengeluarkan jerit tertahan sedangkan Cin Hai berseru, "Sungguh curang!"
Akan tetapi dengan tenang sekali Bu Pun Su menggerakkan kepalanya dan hiolouw itu terlempar ke atas dan pada saat yang hanya sekejap itu ia telah mementang kedua lengannya dengan jari tangan terbuka dan mendahului mengirim totokan ke arah pergelangan tangan kedua iblis yang memukulnya!
Bukan main kagetnya Hek Moko dan Pek Moko karena mereka tak menduga sedikit pun
bahwa Bu Pun Su memiliki kecepatan tangan sedemikian rupa. Kalau mereka meneruskan serangan mereka, maka sebelum pukulan tangan mereka mengenai sasaran, tentu terlebih dahulu pergelangan tangan mereka akan tertotok. Cepat mereka menarik kembali tangan mereka untuk disusul dengan lain serangan! Mereka berpikir bahwa kali ini Si Jembel Tua takkan dapat menyelamatkan diri lagi, karena serangan tidak hanya datang dari mereka yang menyerang dari kanan kiri tetapi juga dari atas, karena hiolouw yang tadi terlempar ke atas kini melayang turun lagi akan menimpa kepala Bu Pun Su!
Kini Ang I Niocu tak terasa lagi berseru, "Celaka!" dan tubuhnya merupakan bayangan merah berkelebat ke arah tempat pertempuran, sedangkan Cin Hai lalu membungkuk untuk memungut kembali sepotong tulang raksasa yang tadi telah dilepaskan ke tanah!
Kini Hek Moko menyerang dengan pukulan ke arah dada dan Pek Moko menyerang dari atas ke arah kepala Bu Pun Su! Sementara itu, hiolouw yang berat itu makin cepat meluncur ke bawah hendak menimpa kepala kakek jembel itu hingga anginnya telah membuat rambut kakek itu berkibar.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
109 Bu Pun Su tidak saja lihai, tetapi juga ingin memegang teguh ucapannya. Tadi ia telah mengatakan bahwa orang harus menghormat hiolouw itu, maka biarpun berada dalam
keadaan yang sangat berbahaya, sekali-kali ia tidak mau membiarkan hiolouw itu jatuh terbanting ke tanah hingga tumpah isinya atau rusak. Kalau ia tidak menyayangi hilouw itu, mudah saja baginya untuk menangkis dan balas menyerang kepada kedua lawannya. Dengan sekali lompatan saja ia akan berhasil mengelak dari serangan Hek Moko dan Pek Moko. Akan tetapi, kalau ia melakukan ini, tentu hiolouw itu akan terbanting di atas lantai dan rusak.
Akan tetapi tidak percuma kakek jembel ini pernah dijuluki orang sebagai ahli silat terpandai di kolong langit. Memang ada jalan ke dua baginya untuk menyelamatkan diri daripada serangan kedua lawannya, yakni dengan membarengi mengirim pukulan maut sebagai
serangan balasan, akan tetapi ia tidak sudi menjatuhkan tangan besi dan mengotorkan tangannya dengan pembunuhan. Tiba-tiba saja ia mengeluarkan seruan keras sekali hingga seluruh ruangan itu menjadi tergetar dan tengkorak-tengkorak raksasa yang berdiri itu bergoyang-goyang mengeluarkan suara berkelotekan karena tulang-tulang beradu. Kedua iblis itu pun menjadi terkejut dan hawa yang keluar dari tenaga khikang ini membuat mereka tertegun dan memperlambat datangnya pukulan mereka. Kesempatan yang hanya beberapa detik ini digunakan oleh Bu Pun Su dengan baiknya karena tiba-tiba saja, tanpa dapat terlihat oleh mata bagaimana ia menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu tubuhnya itu telah rebah terlentang di atas lantai, melintang di antara kedua lawannya dan sekaligus ia terlepas daripada kedua serangan maut itu.
Perhitungan Bu Pun Su memang tepat sekali. Hiolouw itu menyambar turun makin cepat dan oleh karenanya hampir saja menimpa tangan Hek Moko dan Pek Moko yang terulur ke depan dalam menjalankan pukulan mereka tadi. Dengan terkejut kedua iblis itu menarik kembali pukulannya sambil melompat mundur, takut kalau-kalau tertimpa hiolouw yang berat itu.
Akan tetapi mereka bergirang hati, kini Si Jembel tua telah rebah terlentang dan hiolouw itu dengan kecepatan luar biasa melayang ke arah dadanya! Tentu akan remuk tubuh si Jembel tua yang mereka takuti itu.
Akan tetapi kini mereka semua disuguhi pertunjukan yang benar-benar hebat. Karena tiada kesempatan untuk melompat bangun dan menyelamatkan hiolouw itu, Bu Pun Su sambil rebah terlentang lalu mengangkat kedua kakinya berdiri lurus ke atas, kemudian setelah menyentuh hiolouw yang menyambar turun dengan cepat sekali, melebihi kecepatan luncuran hiolouw, kaki itu bergerak ke bawah dan membuat gerakan melengkung sedemikian rupa hingga hiolouw itu terayun dan kekuatan hebat yang ditimbulkan oleh gaya beratnya dan karena tekanan luncurannya dibelokkan oleh ayunan ini. Arah tekanan yang mula-mula meluncur ke bawah ini dengan indahnya telah dibelokkan ke samping oleh kedua kaki Bu Pun Su, kemudian kaki itu menendang sedikit hingga luncuran kini dibelokkan ke atas kembali!
Hiolouw itu bagaikan kena ditendang dan meluncur ke atas lagi dengan tenaga yang sudah patah hingga tidak sangat laju jalannya. Sementara itu Bu Pun Su telah meloncat berdiri dan kembali dengan kepalanya ia menerima hiolouw itu!
"Aduh, hebat! Aduh... hebat!!" Cin Hai bersorak memuji, sedangkan Ang I Niocu menarik napas panjang karena kecemasan yang tadi memenuhi dadanya telah lenyap.
Hek Moko dan Pek Moko hanya saling pandang saja dan tidak berani sembarangan bergerak ketika Bu Pun Su dengan tenang bagaikan tak pernah terjadi sesuatu, berjalan terus dan setelah tiba di tempat hiolouw, ia memegang kaki hiolouw itu dengan kedua tangan dan dengan sikap hormat dan berhati-hati sekali ia meletakkan hiolouw itu kembali ke tempatnya.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
110 Hiolouw itu berdiri dengan angker dan angkuh di tempatnya dan asap putih masih mengepul keluar dari renggangan tutupnya. Setelah itu barulah Bu Pun Su membalikkan tubuh menghadapi Hek Moko,
"Sungguh kalian dua iblis tua sangat sembrono hampir saja kalian merusak hiolouw itu." Bu Pun Su menegur dengan suaranya yang halus.
Cin Hai merasa terheran-heran. Kakek tua itu baru saja terlepas daripada bahaya maut dan ia tidak menegur kedua iblis itu untuk penyerangan mereka tetapi hanya menegur karena mereka hampir merusak hiolouw. Agaknya kakek aneh ini lebih mementingkan hiolouw daripada tubuh dan nyawanya sendiri!
Hek Moko dan Pek Moko yang sudah datang dari tempat yang ribuan li jauhnya, tentu saja merasa penasaran dan tidak mau tunduk dengan demikian mudah. Berbareng mereka lalu mencabut senjata mereka yang luar biasa, yaitu sebatang pedang yang bercabang di ujungnya di tangan kanan dan seikat tasbeh di tangan kiri. Pedang di tangan mereka itu lihai sekali karena ujungnya yang bercabang itu dapat digunakan untuk menjepit senjata lawan kemudian diputar hingga senjata lawan akan terampas. Akan tetapi tasbeh di tangan kiri itu tidak kalah berbahayanya. Tasbeh ini terbuat dari batu-batu hitam yang keras dan tidak dapat terputus oleh senjata tajam, sedangkan ikatannya dapat dilepas hingga memanjang merupakan pian dari batu yang lihai. Masih ada lagi keistimewaannya, yaitu apabila batu-batu hitam itu dilepas dari untaiannya, ia dapat digunakan sebagai senjata rahasia yang ampuh dan ganas!
"Eh, eh, kalian masih mau main-main seperti anak-anak nakal" Boleh, boleh. Kalian menghendaki pertempuran dan hendak merusak tubuhku, silakan. Asal saja jangan kalian mencoba merusak hiolouw!"
Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan halus dan sabar ini, kedua iblis itu berbesar hati. Masih baik bagi mereka kalau kakek jembel ini tidak marah, akan tetapi kata-katanya membuat Pek Moko merasa penasaran dan heran hingga ia tidak dapat bertahan untuk tidak bertanya,
"Eh, tua bangka. Agaknya kau lebih menyayangi hiolouw besar itu daripada tubuhmu sendiri!"
Kini jawaban Bu Pun Su terdengar sungguh-sungguh, "Tentu saja, tentu saja! Tubuhku yang sudah tua dan lapuk ini apakah gunanya" Kalau tubuhku ini rusak binasa, tidak akan ada yang dirugikan, dan kalau masih ada pun takkan ada gunanya bagi manusia. Sebaliknya, hiolouw ini telah ribuan tahun umurnya dan telah banyak jasanya bagi manusia, dan ratusan atau ribuan tahun kemudian setelah tubuhku ini lenyap menjadi kerangka seperti yang berdiri berderet-deret di tempat ini, hiolouw itu akan tetap berdiri dan berguna bagi manusia yang masih hidup, karena ia menjadi perantara dan saksi akan kehendak manusia yang hendak berhubungan dengan Tuhan."
Cin Hai tertegun mendengar filsafat yang terdengar sederhana tetapi mengandung arti yang dalam ini, dan diam-diam ia memutar-mutar otaknya mencari ujar-ujar kuno yang sesuai dengan filsafat ini, akan tetapi tetap tidak dapat ia menemukan.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
111 Sementara itu, Bu Pun Su lalu melangkah ke tengah-tengah ruangan dan di situ kakek jembel ini lalu duduk bersila lalu berkata kepada Cin Hai,
"He, gundul totol, muridku. Lemparkan ke sini senjata keramat di tanganmu itu!"
Cin Hai terkejut. Apakah yang dimaksudkan oleh Bu Pun Su" Yang dipegangnya hanyalah sepotong tulang besar, mungkin tulang bagian lengan atau kaki raksasa, maka ia lalu melemparkan tulang itu ke arah Bu Pun Su yang menyambut dengan muka berseri. Kemudian dengan memegang tulang itu di tangan kanan, Bu Pun Su lalu meramkan mata dan tak mengacuhkan lagi keadaan di sekelilingnya! Cin Hai merasa makin heran tetapi diam-diam ia girang juga karena ternyata kakek yang lihai itu tidak marah kepadanya. Hanya ia mendongkol mengapa sampai sekarang ia disebut tolol! Ia lalu berpaling kepada Ang I Niocu yang sedang memandang kepadanya dan alangkah herannya pemuda itu kenapa kedua mata Ang I Niocu basah dengan air mata! Cepat ia melangkah maju dan hendak memegang tangan dara itu akan tetapi Ang I Niocu menggerakkan tangan mengelak. Baru teringat oleh Cin Hai bahwa mereka tidak berada berdua saja di tempat itu dan bahwa di muka umum tak pantas baginya memegang tangan Ang I Niocu walaupun dara itu seorang yang sangat dikasihinya, bahkan satu-satunya orang di dunia ini yang disayangnya.
"Niocu, ada apakah?" bisiknya. Tetapi Ang I Niocu dengan perlahan menggeleng-geleng kepalanya yang cantik, lalu menundukkan mukanya.
Pada saat itu terdengar suara Hek Moko yang keras dan parau,
"Bu Pun Su, kau terlalu menghina kami! Ketahuilah, kami hendak mengadu ilmu dengan kau, tak peduli kau mau melayani kami atau tidak!"
Akan tetapi Bu Pun Su tidak menjawab dan tetap duduk tak bergerak bagaikan patung batu diam saja menyaingi diamnya tengkorak-tengkorak yang berdiri di situ merupakan saksi mati daripada segala peristiwa yang terjadi di ruangan itu. Cin Hai dan Ang I Niocu lalu berpaling memandang dengan kuatir sekali, mereka melihat betapa kedua iblis itu dengan senjata-senjata mereka yang mengerikan telah berdiri di depan dan belakang Bu Pun Su!
"Niocu, mari kita turun tangan membantu Suhu?" bisik Cin Hai.
Tetapi Dara Baju Merah itu tersenyum sedih dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Hai-ji, kau belum mengenal Susiok-couw. Diamlah dan mari kita menonton saja."
"Bu Pun Su, awas, akan kuhancurkan kepalamu!" Pek Moko berteriak dari belakang kakek itu, lalu ia mengayun tasbehnya memukul ke arah belakang kepala Bu Pun Su!
Dalam detik-detik ketika senjata hebat itu menyambar, jantung Cin Hai berhenti berdetak karena kuatirnya dan tanpa terasa lagi tangannya memegang tangan Ang I Niocu dan jari-jari tangan mereka saling genggam dengan erat. Akan tetapi, bagaikan ada mata di belakang kepalanya, ketika tasbeh itu telah menyambar dekat, tiba-tiba Bu Pun Su menundukkan kepala hingga tasbeh itu memukul angin! Legalah dada Ang I Niocu dan Cin Hai dan Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
112 teringatlah mereka bahwa mereka saling berpegang tangan, maka buru-buru mereka
melepaskan tangan mereka.
Ternyata Bu Pun Su bukan sedang bersamadhi sebagaimana yang mereka semua kira. Kakek jembel ini sebetulnya hanya duduk memusatkan pikiran dan kini segala pikiran dan perasaan dipusatkan menjadi satu hingga tanpa memandang atau bergerak, ia telah dapat tahu akan datangnya sebuah serangan dari mana pun datangnya!
Pek Moko dan Hek Moko menjadi marah sekali. Mereka merasa dipandang rendah sekali oleh kakek tua ini. Dulu, lima belas tahun yang lalu, biarpun mereka dirobohkan oleh Bu Pun Su, akan tetapi mereka dikalahkan dalam sebuah pertempuran yang hebat. Sedangkan semenjak kekalahan mereka dulu itu, mereka berdua melatih diri dan bahkan mereka telah menambah senjata pedang mereka dengan sebuah senjata tasbeh yang lihai. Dan apakah yang dilakukan oleh Bu Pun Su sekarang untuk menghadapi mereka" Hanya dengan duduk diam sambil meramkan mata dan memegang sebuah" tulang! Ini adalah penghinaan yang tiada taranya bagi mereka, maka di dalam kemarahannya, kedua iblis itu mengambil keputusan untuk berkelahi sampai mati! Hek Moko segera mengirim serangan dengan pedangnya, sedangkan Pek Moko dari belakang juga mengirim serangan-serangan kilat yang mematikan.
Betapapun juga, Cin Hai dan Ang I Niocu masih merasa kuatir akan keselamatan Bu Pun Su, karena mereka, terutama Ang I Niocu, maklum bahwa kepandaian kedua iblis ini cukup hebat dan lihai, masih lebih hebat daripada kepandaian orang-orang gagah yang tadi datang ke gua itu. Lebih tinggi tingkat kepandaiannya daripada Hai Kong Hosiang, atau Kanglam Sam-lojin, bahkan masih lebih lihai daripada Biauw Suthai sendiri! Dan Bu Pun Su hanya menghadapi mereka sambil duduk bersila dan meramkan mata dengan sepotong tulang di tangan.
Akan tetapi, setelah melihat agak lama tidak hanya lenyap perasaan kuatir mereka, bahkan mereka menjadi tertarik sekali berbareng heran dan kagum! Ternyata bahwa dengan tangkisan tulang dan gerakan kepala mengelak serangan, Bu Pun Su dapat membela diri dengan sangat baiknya! Kakek jembel ini tidak melakukan banyak gerakan, hanya duduk diam tanpa bergerak. Setelah datang sebuah serangan, barulah ia bergerak sedikit, yaitu untuk mengelak atau menangkis! Serangan yang ditujukan ke arah kepalanya, dapat ia kelit dengan mudah dan serangan yang mengarah tubuhnya tentu saja tak dapat ia elakkan, maka lalu ditangkisnya dengan tulang. Biarpun ada empat buah senjata menyerang berbareng dari empat jurusan, masih dapat ia tangkis dengan putaran tulang yang berubah menjadi senjata yang lihai itu!
Kedua iblis itu makin marah dan penasaran. Telah puluhan jurus mereka membacok,
menusuk, memukul dan melakukan serangan bermacam-macam akan tetapi selalu sia-sia hasilnya. Benarkah mereka takkan berhasil mengalahkan seorang tua yang hanya melawan mereka dengan duduk sambil meramkan mata dan tanpa membalas sedikit pun! Ah, sungguh memalukan! Mereka mengertak gigi dan menyerang lebih gencar dan hebat.
Sementara itu, melihat betapa Bu Pun Su hanya mempertahankan dan membela diri saja tanpa mau membalas sedikitpun Ang I Niocu dan Cin Hai penasaran sekali. Akan tetapi, apakah daya mereka" Untuk membantu, Cin Hai merasa bahwa kepandaiannya masih jauh daripada kuat untuk melawan kedua iblis yang lihai itu, sedangkan Ang I Niocu yang merasa sangat tunduk dan takut kepada susiok-couwnya, tidak berani turun tangan tanpa diperintah.
Cin Hai berpikir, kalau suhunya itu bertahan terus saja, apakah ia tidak akan lelah dan akhirnya terkena serangan juga" Ia lalu memutar-mutar otaknya, dan tiba-tiba dengan suaranya yang nyaring ia mengucapkan ujar-ujar yang dulu dipelajarinya,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
113 "Seorang budiman hanya mencabut pedang untuk mempertahankan kehormatan dan nama.
Mengadu senjata untuk memperebutkan benda dan kesenangan diri, bukanlah perbuatan orang gagah, hanya dilakukan oleh anak-anak dan orang tolol!" Kemudian dengan suara yang lebih nyaring lagi Cin Hai menambahkan kata-katanya sendiri, "Aku masih bingung memilih nama untuk Hek Pek Moko, apakah mereka ini anak-anak ataukah orang tolol?""
Karena suasana di situ sunyi dan hanya terdengar suara senjata kedua iblis itu yang kadang-kadang beradu dengan tulang di tangan Bu Pun Su, maka suara Cin Hai terdengar jelas dan nyaring, bahkan bergema di dalam ruang yang luas itu. Tentu saja kedua iblis itu mendengar sindiran ini dan wajah mereka memerah. Biarpun hanya menduga-duga saja, ternyata kata-kata Cin Hai bahwa mereka sedang "memperebutkan benda" adalah tepat sekali. Cin Hai memang belum tahu mengapa tokoh-tokoh kangouw itu berturut-turut menyerbu ke Gua Tengkorak, akan tetapi ia dapat menduga bahwa mereka tentu sedang menghendaki dan memperebutkan sesuatu yang amat penting dan berharga. Akan tetapi, mana kedua iblis itu mau mendengarkan nasihat-nasihat yang keluar dari mulut seorang pemuda" Mereka bahkan memperhebat serangan mereka karena merasa malu dan gemas.
Cin Hai menjadi bingung. Ia melihat bahwa biarpun Bu Pun Su masih dapat membela diri dengan baik, namun kulit muka gurunya itu mulai memerah, tanda bahwa kakek itu telah mempergunakan tenaga untuk melayani serangan-serangan berbahaya dari kedua lawannya yang tangguh. Maka pemuda ini lalu berteriak kembali, kini lebih keras daripada tadi,
"Nabi yang agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dilawan dengan keadilan. Orang menyerang secara jahat dan tak kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa memberi hajaran kepada penyerang itu, apakah adil namanya?"
Biarpun Cin Hai berteriak dengan keras, namun Bu Pun Su tidak terpengaruh oleh kata-katanya. Cin Hai tidak putus asa, ia mengulangi lagi kata-katanya dengan suara makin keras sehingga lehernya menjadi kering dan sesak. Akan tetapi pada saat itu Bu Pun Su harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi serangan kedua lawannya. Kalau ia membagi perhatiannya sedikit saja kepada hal lain, maka kedudukannya akan berbahaya sekali dan pertahanannya akan menjadi lemah. Oleh karena itu, maka teriakan-teriakan Cin Hai hanya merupakan kegaduhan yang hanya terdengar sayup-sayup olehnya dan tidak menarik perhatiannya.
Cin Hai menjadi makin panik dan bingung. Juga Ang I Niocu mulai mendapat kenyataan bahwa keadaan suciok-couwnya berbahaya sekali dan gerakan-gerakan orang tua itu makin lemah, sebaliknya kedua iblis itu makin ganas dan mendesak makin hebat! Dara Baju Merah ini telah melolos pedangnya dan bersiap sedia membantu Bu Pun Su. Kalau nanti kakek itu benar-benar berada dalam bahaya, maka ia akan berlaku nekad dan membelanya, biarpun untuk itu ia akan mendapat marah sekalipun!
Cin Hai lalu berjalan ke arah tumpukan tulang-tulang yang berserakan di sudut. Ia memilih-milih dan akhirnya mendapatkan sepotong tulang yang tipis berlubang, agaknya tulang paha yang sudah lapuk. Setelah memeriksa baik-baik, ia lalu lari ke arah Ang I Niocu dan berbisik.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
114 "Niocu, lekas buatkan suling dari tulang ini untukku!"
Biarpun merasa heran, akan tetapi Ang I Niocu tidak banyak bertanya, karena percaya penuh bahwa dalam saat yang tegang itu tentu Cin Hai mempunyai alasan kuat untuk mendapat sebatang suling. Dengan ujung pedang ia menggunakan lweekangnya untuk melubangi tulang itu dan sebentar saja jadilah-sebatang suling terbuat dari pada tulang itu. Sungguh merupakan sebuah suling yang istimewa dan bentuknya sangat sederhana.
Cin Hai merasa girang sekali dan melihat betapa keadaan Bu Pun Su pada saat itu telah sangat terdesak, ia segera meniup sulingnya. Alangkah heran dan bingungnya ketika suling istimewa itu mengeluarkan suara yang ganjil dan sukar sekali diikuti nadanya! Akan tetapi Cin Hai mengerahkan kepandaiannya dan mencurahkan seluruh perhatiannya hingga bunyi ganjil itu dapat juga berlagu! Maksudnya ialah hendak menarik perhatian Bu Pun Su agar orang tua itu dapat mendengar kata-katanya.
Maksudnya ternyata berhasil baik! Mendengar suara yang aneh sekali ini, Bu Pun Su tak dapat bertahan lagi untuk memusatkan perhatiannya dan mau tidak mau ia terpaksa
menggunakan sedikit perhatian untuk mendengar dan memperhatikan suara suling yang nyaring ini! Dan sangat untung baginya karena tidak saja dia, bahkan juga kedua orang lawannya tertarik oleh bunyi suling dan bahkan perhatian Hek Pek Moko setengah bagian terpengaruh oleh bunyi suling. Kalau tidak demikian halnya, maka akan celakalah Bu Pun Su yang sudah berkurang daya tahannya karena perhatiannya terbagi. Akan tetapi, karena kedua iblis itu pun terpecah perhatiannya, maka biarpun pertahanan Bu Pun Su mengendur semua ternyata daya serang kedua itu pun banyak mengendur pula!
Melihat betapa ketiga orang itu kadang-kadang melirik ke arahnya tahulah Cin Hai bahwa usahanya berhasil baik, maka cepat ia menunda sulingnya dan mengulangi kata-katanya tadi dengan suara nyaring dan keras sekali,
"Nabi yang agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan tetapi kejahatan harus dilawan dengan keadilan! Orang menyerang secara jahat dan tidak kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa memberi hajaran kepada penyerang itu, apakah ini dapat dinamakan adil?"
Suara suling tadi memang nyaring dan ganjil hingga ketika tiupannya ditunda, maka keadaan menjadi hening dan sunyi, maka suara ucapan Cin Hai terdengar terang dan keras sekali hingga Bu Pun Su dapat mendengarnya dengan baik. Tiba-tiba kakek jembel ini tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Hek Pek Moko," katanya dengan suaranya yang halus sabar, "bicara tentang kebijaksanaan, kau masih belum ada sepersepuluhnya juga daripada muridku yang bodoh! Sekarang apakah kalian tidak mau lekas pergi dan menunggu aku seorang tua turun tangan?"
Akan tetapi Hek Pek Moko yang tadi telah melihat betapa usaha mereka hampir berhasil, maka mana mereka mau mengundurkan diri. Mereka bahkan menyerang lebih hebat lagi!
"Siancai, siancai!" Bu Pun menyebut dan orang tua itu kini menggerakkan tangan kirinya yang sejak tadi hanya terletak di atas pangkuannya saja. Sekali tangan kirinya bergerak, maka Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
115 ia berhasil menangkap tasbeh Pek Moko yang menyambar ke arah lehernya. Ia menggunakan tenaganya membetot dan putuslah tasbeh itu hingga biji-biji batu hitam itu terlepas dari untaiannya dan jatuh berserakan! Bu Pun Su lalu memunguti batu-batu kecil itu dan tangan kirinya bergerak pula menyambit. Terdengar jeritan-jeritan karena dengan tepat sekali batu-batu itu mengenai pergelangan tangan Hek Pek Moko yang memegang senjata hingga pedang di tangan kanan Pek Moko, serta kedua senjata di tangan kanan kiri Hek Moko terlepas dari pegangan mereka dan jatuh berdering-dering ke atas lantai!
Bukan main terkejutnya Hek Pek Moko menyaksikan kelihaian Bu Pun Su yang masih duduk bersila sambil tersenyum. Kedua iblis ini lalu menjura dan berkatalah Hek Moko dengan suara parau dan hampir menangis karena kecewa dan gemasnya,
"Orang tua, kepandaianmu memang hebat dan kami sekali lagi mengaku kalah!"
Bu Pun Su hanya tersenyum dan membiarkan kedua iblis itu mengambil senjata mereka kembali dan kemudian tanpa banyak cakap lagi kedua iblis itu melompat keluar dari Gua Tengkorak dan melarikan diri.
Ang I Niocu kagum dan girang sekali melihat akal Cin Hai yang telah berhasil menolong orang tua, maka ia lalu maju dan berlutut sambil menyebut,
"Suhu..."
"Susiok-couw, ampunkan teecu yang telah lancang keluar dari tempat persembunyian."
"Sudahlah, sudahlah..." Bu Pun Su menghela napas. "Kalian orang-orang muda memang paling doyan berkelahi!" Kemudian kakek ini memandang kepada Ang I Niocu dan berkata dengan suara yang halus akan tetapi terdengar jelas penyesalannya. "Kiang Im Giok, sekarang kaupergilah ke timur dan mencari Sucimu di daerah itu. Kalau sudah bertemu sampaikan teguranku karena kesembronoan dan keganasannya itu membikin malu saja. Beri peringatan kepadanya atau kalau ia masih belum insyaf, bawa ia ke mari. Dan kau sendiri, anak baik, berhati-hatilah terhadap kelemahanmu sendiri!"
Ang I Niocu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata perlahan, "Baik, Susiok-couw!"
Kemudian Dara Baju Merah itu mengerling ke arah Cin Hai dan berkata lagi, "Apakah teecu harus berangkat sekarang juga?"
"Ya, pergilah sekarang juga. Mau tunggu apa lagi?"
Ang I Niocu memberi hormat lagi lalu berdiri dan hendak bertidak pergi, tetapi Cin Hai tiba-tiba berkata,
"Niocu, kau pergi, dan bilakah kita akan bertemu kembali?" suaranya terdengar pilu dan terharu, hingga Ang I Niocu menahan kakinya dan berpaling. Ternyata wajah Dara Baju Merah itu pucat sekali!
"Niocu!" Cin Hai berdiri dan memburu kepadanya tanpa mempedulikan suhunya!
"Anak tolol, kau ternyata masih belum dewasa!" Bu Pun Su menegur Cin Hai. Kemudian kakek ini berdiri lalu berkata kepada Ang I Niocu yang hendak melanjutkan tindakan kakinya.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
116 "Im Giok, tunggu dulu. Aku masih ragu-ragu, apakah kalau Sucimu membangkang, kau cukup kuat untuk menundukkannya. Coba kauperlihatkan kepandaianmu, hendak kulihat sampai di mana kekuatan Sianli Kiam-hwat!"
Ang I Niocu tidak berani membantah, lalu melolos pedangnya. Kemudian ia mulai
menjalankan ilmu silat pedangnya yang lihai. Cin Hai merasa kecewa sekali bahwa pada saat itu ia tidak mempunyai suling bambu yang baik untuk mengiring tarian pedang Ang I Niocu!
Sementara itu, setelah gerakan Ang I Niocu menjadi cepat hingga tubuhnya lenyap tertutup sinar pedang, Bu Pun Su tiba-tiba berkata,
"Tahan! Coba ulangi gerakan-gerakanmu yang ke tiga puluh sampai ke lima puluh, tetapi lambat saja. Kau mempunyai kelemahan-kelemahan di bagian itu!"
Ang I Niocu merasa heran sekali dan ia mengulangi gerakannya, akan tetapi kini dengan lambat hingga ia seperti benar-benar sedang menari. Dan heranlah Cin Hai ketika melihat betapa Bu Pun Su juga menari bersama-sama Ang I Niocu sambil berkata,
"Coba kauserang aku dengan betul-betul, akan kuperlihatkan kelemahanmu!"
Sungguh pemandangan yang indah ketika kakek itu pun mulai menari di dekat Ang I Niocu, karena tarian kakek itu ternyata sesuai dan cocok sekali dengan tarian Ang I Niocu hingga mereka merupakan sepasang penari ulung yang mendemonstrasikan kepandaiannya! Sayang sekali bahwa penari prianya sudah kakek-kakek. Coba kalau yang menari seperti Bu Pun Su itu seorang pria muda, tentu akan indah dan cocok sekali!
Cin Hai tak melihat kelemahan-kelemahan yang disebutkan oleh Bu Pun Su tadi, akan tetapi, setelah Bu Pun Su bersama-sama menari, terkejutlah Ang I Niocu. Benar saja, pada tiap gerakan, ternyata kakek yang lihai itu telah dapat mencari dan dengan gerakan tangannya yang bagaikan menari-nari itu menyerang melalui lubang-lubang dan kelemahan-kelemahan yang terbuka pada saat ia bersilat! Ia maklum bahwa dalam pertandingan sungguh-sungguh, maka tangan kakek itu tentu sudah berhasil merobohkannya dengan mudah!
Tiba-tiba kakek itu berhenti menari. "Nah, kau sudah tahu kelemahan dari gerakan-gerakanmu tadi" Ingat, kau terlalu menitik-beratkan kepada keindahan gerakanmu hingga kau lupa bahwa dalam setiap keindahan itu tentu terdapat kelemahan karena perhatianmu terganggu oleh rasa bangga dan keinginan memperlihatkan kepandaian atau keindahan tarianmu! Kalau lawanmu terpesona oleh keindahan gerak tarianmu tentu ia takkan dapat melihat kelemahan-kelemahan itu, akan tetapi kalau waspada, maka kau tentu akan celaka.
Nah, kau perhatikanlah dan pada waktu kau bersilat dengan jurus ke tiga puluh sampai ke lima puluh, kau harus mengurangi gerakan menyerang dengan pedang dan siku tangan yang memegang pedang jangan terlampau lebar terbuka, sedangkan tangan kirimu harus membuat gerakan Bunga Sembunyi di Bawah Daun atau Ikan Berenang di Bawah Permukaan Air untuk menjaga agar jangan sampai kau dapat terserang pada tempat-tempat terbuka yang diadakan oleh gerakan serangan pedangmu. Mengertikah kau?"
Ang I Niocu mengangguk-angguk dan menghaturkan terima kasihnya. Kemudian kakek itu menyuruhnya berangkat dengan segera.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
117 "Kalau tidak salah, Sucimu itu kini berada di kota Lok-bin-si. Pergilah kau ke sana. Cin Hai mulai saat ini akan tinggal di sini dengan aku!"
Mendengar disebutnya nama pemuda itu, tiba-tiba wajah Ang I Niocu berubah merah.
Agaknya kakek yang luar biasa ini telah dapat menduga akan isi hati dan perasaannya terhadap pemuda itu! Maka tanpa berani memandang kepada Cin Hai lagi, Dara Baju Merah itu lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu, dilihat oleh Cin Hai dengan pandangan mata sedih.
"Nah, anak bodoh! Mulai sekarang kau harus berlatih dan belajar silat dengan rajin.
Ketahuilah, aku orang tua selamanya belum pernah mempunyai murid, dan sekali aku mengambil murid maka ia harus belajar dengan baik-baik agar tidak akan memalukan yang mengajarnya. Dan kau dulu sudah berjanji hendak menurut segala perintahku, bukan?"
Cin Hai lalu berlutut di depan suhunya untuk memberi hormat. "Teecu akan menurut segala perintah Suhu."
"Bagus, sekarang pertama-tama kau harus menceritakan semua pengalamanmu semenjak kau meninggalkan rumah keluarga Kwee. Jangan ada yang kau sembunyikan!"
Cin Hai dengan jelas lalu menuturkan semua pengalamannya tanpa mengurangi sedikit pun, akan tetapi setelah ia selesai bercerita, Bu Pun Su berkata,
"Hanya satu hal yang kusayangkan, yaitu pertemuan dan perkenalanmu dengan Kiang Im Giok!"
Cin Hai tertegun lalu memandang kepada suhunya dengan penasaran dan heran. "Suhu, apakah sebabnya maka hal itu harus disayangkan" Bukankah Ang I Niocu seorang yang berhati mulia dan berwatak gagah berani?"
Bu Pun Su menghela napas. "Itulah sebabnya mengapa aku merasa sayang. Perhubungan itu dapat meracuni hati kalian berdua!"
Cin Hai memang mempunyali sifat pemberani dan pantang mundur menghadapi siapa juga apabila ia merasa bahwa pihaknya benar, maka ia lalu berkata lagi,
"Suhu, apakah yang Suhu maksudkan dengan racun itu" Menurut teecu, perhubungan teecu dengan An I Niocu itu, hanya mendatangkan perasaan kasih sayang suci. Mengapa tidak"
Teecu yang sebatang kara dan hampir semua orang telah memperlakukan teecu dengan buruk dan jahat dan hanya Ang I Niocu seorang yang telah berlaku baik sekali terhadap teecu!
Salahkah kalau teecu mempunyai rasa kasih sayang yang besar kepadanya yang timbul karena perasaan terima kasih" Ujar-ujar pernah menyatakan kasih sayang yang timbul karena hutang budi adalah suci murni!"
Melihat betapa pemuda itu bicara dengan bernafsu, kakek itu menggeleng-geleng kepala dan tersenyum, lalu berkata tenang, "Cin Hai, kau terlalu banyak menghafal ujar-ujar kuno hingga kepalamu yang besar itu penuh dijejali segala macam ujar-ujar. Ketahuilah, kenyataan hidup ini jauh sekali bedanya dengan keindahan kata-kata yang disebut ujar-ujar itu, dan bahkan segala macam ujar-ujar yang indah itu ternyata tak dapat memperbaiki sifat manusia, bahkan Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
118 lebih rusak! Pernahkah kau melihat orang-orang yang mempergunakan segala keindahan ujar-ujar untuk menutupi kesalahan dan kejahatannya?"
Cin Hai tertegun dan teringatlah ia kepada gurunya yang dulu mengajarnya kesusastraan.
Memang, sifat gurunya itu ganjil sekali, dan apa yang keluar dari mulutnya sama sekali tidak cocok dengan perbuatannya
"Cin Hai, kau masih terlalu muda untuk mengerti semua. Memang bagimu aku tidak merasa kuatir, akan tetapi aku lebih kuatir akan Kiang Im Giok. Kasihan sekali kalau anak itu menjadi korban daripada kelemahan hatinya sendiri..."
Cin Hai mengerutkan keningnya akan tetapi karena memang tubuhnya saja yang telah nampak dewasa dan tinggi tegap akan tetapi sebenarnya batinnya masih lebih bersifat kanak-kanak, maka ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh suhunya. Pada waktu itu usianya telah lima belas tahun lebih akan tetapi dalam hal pengertian pergaulan pria wanita ia masih bodoh dan hijau.
"Sekarang kau harus memperhatikan pelajaran silat dan jangan pikirkan hal lain lagi.
Ketahuilah, bahwa pikiran yang bercabang takkan dapat menghasilkan ilmu yang baik. Dan kulihat kau telah mempelajari Liong-san Kun-hwat dan Sianli-kun-hwat. Juga Ngo-lian-hwa Kiam-hwat telah kau pelajari dari Im Giok. Ketahuilah bahwa segala macam ilmu silat yang ada di dunia ini, pada dasarnya sama dan berpokok satu, yaitu menyerang dan membela diri.
Betapapun tinggi ilmu silat seseorang, namun apabila pokok dasarnya tidak kuat, ilmu silatnya itu akan sia-sia belaka. Segala macam ilmu silat yang dipelajari oleh orang hanya ada tiga ratus enam puluh gerakan yang dasarnya sama, hanya gaya dan kembangnya saja yang berbeda, sedangkan kaki hanya ada seratus delapan puluh. Jika engkau dapat mempelajari dasar dan pokok semua gerakan tangan dan kaki ini, maka menghadapi ilmu silat dari cabang mana pun juga, kau akan dapat melawannya dengan mudah."
Demikianlah, semenjak hari itu, Cin Hai digembleng oleh Bu Pun Su dan mempelajari sari dan pokok gerakan silat. Dengan menerima pelajaran yang hebat dan merupakan rahasia khusus dari pada semua ilmu silat, maka boleh dikata sama halnya bagi Cin Hai dengan mempelajari semua ilmu silat yang ada di dunia ini! Kini ia mengerti dan terbukalah matanya bahwa Bu Pun Su boleh disebut tokoh persilatan tertinggi yang mempunyai kepandaian maha hebat! Dengan kepandaiannya yang telah dapat memecahkan semua rahasia pergerakan tangan dan kaki, maka menghadapi seorang lawan yang bersilat bagaimanapun juga, Bu Pun Su dapat meniru semua gerakan itu dengan sama baiknya, biarpun ia belum pernah
mempelajari ilmu silat ini, oleh karena ia telah tahu akan pokok-pokok gerakannya!
Tentu saja, setelah dapat mengetahui silat dan pokok gerakan lawan, mudah saja untuk menghadapinya. Akan tetapi, pengertian saja masih belum merupakan syarat untuk
mengalahkan lawan itu, masih ada dua hal yang terpenting yang harus dimilikinya, yaitu kecepatan dan tenaga! Oleh karena ini, di samping mempelajari pokok-pokok rahasia gerakan silat Cin Hai juga mendapat latihan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang membuatnya dapat bergerak gesit bagaikan seekor burung walet dan latihan lweekang dan khikang yang membuatnya memiliki tenaga dalam yang hebat dan dapat menghadapi kekuatan lawan yang kasar maupun halus. Juga untuk latihan ginkang, lweekang ataupun khikang, Bu Pun Su mempunyai cara yang khusus dan istimewa, karena ia memberi pelajaran dasar dan pokoknya.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
119 Menurut kakek jembel yang luar biasa dan aneh ini, tenaga-tenaga ginkang, lweekang maupun khikang berpusat pada pusar di mana menjadi tempat tiantan yang mengatur semua tenaga gaib yang tersembunyi dalam diri manusia. Oleh karena ini, maka latihan-latihan yang diberikan kepada muridnya itu hanya ditujukan untuk memperkuat daya tiantan ini dengan jalan bersamadhi dan mempertebal iman. Jika iman manusia kuat dan tebal, dan batin yang disebutnya "bunga api dari Tuhan" menjadi bersih, seimbang dan tidak mudah goyah, maka tenaga dalam akan menjadi kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh segala macam nafsu yang hanya akan melemahkan tubuh dan batin.
Cin Hai mempunyai dasar-dasar dan bakat yang baik, maka tanpa banyak mengalami
kesukaran ia dapat menangkap pelajaran yang diberikan oleh suhunya hingga Bu Pun Su merasa girang sekali.
Waktu berjalan cepat sekali dan tanpa terasa lagi Cin Hai telah menerima gemblengan dan latihan selama tiga tahun! Usianya telah delapan belas tahun dan ia telah menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh tinggi dan tegap dengan wajah tampan dan gagah. Akan tetapi sinar matanya yang jujur itu masih saja nampak bodoh dan mukanya yang lebar tidak mengurangi "tampang bodohnya"!
"Cin Hai," kata gurunya pada suatu hari, "kini kau telah dapat menangkap intisari daripada ilmu silat dan agaknya kau tentu akan dapat menghadapi ilmu silat yang bagaimanapun juga.
Akan tetapi, kau juga maklum bahwa ilmu ini hanya dapat digunakan pada waktu menghadapi seorang lawan dan sama sekali tidak dapat digunakan untuk memamerkan kepandaian. Kau hanya bisa menjatuhkan seorang lawan apabila diserang. Karena kau tidak belajar cara melakukan serangan. Ini baik sekali, muridku, dan ketahuilah bahwa aku sendiri pun selama hidup belum pernah menyerang orang. Aku hanya bergerak apabila diserang. Tahukah kau"
Kau mengerti dan hafal akan ujar-ujar yang baik, maka pakailah ujar-ujar itu sebagai pedoman dan jangan kau menyombongkan kepandaianmu! Maka, julukan "Pendekar Bodoh"
harap kaupakai untuk selamanya. Bukankah ada ujar-ujar yang berkata bahwa orang-orang yang sesungguhnya pintar adalah dia yang insyaf akan kebodohan sendiri?"
Cin Hai mengerti dengan baik akan maksud suhunya ini dan semenjak berlatih ilmu di dalam Gua Tengkorak itu makin terbukalah matanya akan rahasia-rahasia hidup. Kini ia tahu akan maksud suhunya yang dulu memperingatkan bahaya yang akan ada dalam perhubungannya dengan Ang I Niocu. Ia maklum bahwa bahaya itu adalah "cinta" yaitu cinta dari pihak Ang I Niocu yang usianya jauh lebih tua dari padanya. Kalau dara itu sampai tergoda cinta kepadanya sedangkan perjodohan di antara mereka tidak dapat dilangsungkan, bukankah hal ini akan merupakan siksa dan derita bagi Ang I Niocu"
Ia sendiri masih merasa suka dan rindu kepada Ang I Niocu akan tetapi perasaannya ini hanyalah perasaan kasih seorang adik kepada kakaknya, atau kalau mau disebut lebih lagi, seperti kasih seorang anak kepada ibunya. Akan tetapi, siapa tahu isi hati Dara Baju Merah itu" Ia diam-diam bergidik dan menaruh hati iba terhadap Ang I Niocu.
Pernah ia bertanya kepada suhunya akan segala peristiwa yang terjadi di Gua Tengkorak itu dan mengapa banyak tokoh persilatan menyerbu ke situ. Bu Pun Su tersenyum dan
menceritakan seperti berikut,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
120 "Gua ini dulu dibuat oleh seorang menteri Kerajaan Tang yang bernama Lu Pin. Ketika Raja Hian Tiong mengangkat seorang Tartar bernama An Lu San menjadi panglima, hal ini tidak disetujui oleh Menteri Lu Pin karena menteri yang waspada ini maklum akan bahayanya mengangkat seorang asing menjadi panglima yang menguasai tentara. Akan tetapi nasihatnya tidak dipedulikan oleh kaisar. Akhirnya, setelah Panglima Tartar ini menjadi panglima di tiga kota timur laut dan berkedudukan di Hopei, lalu memberontak dengan sejumlah tentara lima belas laksa orang dan memukul ke selatan! Kaisar yang tidak becus mengurus pemerintahan ini tak berdaya karena semua pejabat dan panglimanya hanya mengutamakan kesenangan dan pelesiran saja, hingga dengan mudah barisan kerajaan dapat dimusnahkan oleh An Lu San dan kaisar sendiri lalu mengungsi ke Secuan. Ibu kota lalu diduduki oleh An Lu San semenjak itu.
Di mana-mana seluruh rakyat bangkit melakukan perlawanan secara bergerilya.
Lu Pin sendiri yang merasa sangat menyesal dan kecewa lalu melarikan diri karena ia dicari-cari oleh An Lu San untuk dibunuh. Seluruh keluarganya terbunuh dan hanya ia sendiri yang dapat melarikan diri ke daerah ini.
Lu Pin adalah seorang terpelajar yang memiliki kepandaian seni ukir yang tinggi. Setelah menemukan gua ini dan memperbaikinya hingga menjadi sebuah tempat tinggal yang besar dan aman, ia lalu mengumpulkan tulang-tulang binatang besar yang banyak terdapat di gua ini, peninggalan dari jaman purba, lalu dengan kepandaiannya ia membuat tulang-tulang binatang yang besar itu menjadi tengkorak-tengkorak seperti yang berdiri berderet-deret itu!
Jangan dikira bahwa itu benar-benar tengkorak-tengkorak manusia, semua itu hanyalah tulang-tulang binatang yang diukir dan dibentuk sebagai kerangka manusia! Dari sini dapat dibayangkan betapa hebatnya keahlian seni ukir menteri she Lu itu!
Dalam pelariannya, Lu Pin berhasil membawa banyak barang-barang berharga dari dalam istana, karena ia khawatir kalau-kalau barang-barang itu terjatuh ke dalam tangan musuh. Dan karena ini pulalah maka An Lu San mencari-cari menteri yang setia itu. Akan tetapi ternyata, berkat pertolongan tengkorak-tengkorak ini yang dipasang di depan dan di dalam gua, tidak ada tentara pemberontak yang berani memasuki gua dan Lu Pin selamat dan tinggal di sini sampai datang hari ajalnya dan oleh kawan-kawan senasib ia dikubur dibawah hiolouw itu.
Kemudian, hal ini akhirnya dapat diketahui oleh tokoh kang-ouw dan mereka menyerbu ke sini. Akan tetapi mereka tidak menyangka bahwa di dalam gua ini terlebih dahulu telah tinggal seorang yang tidak mereka sangka-sangka, yaitu keturunan dari Lu Pin hingga usaha mereka gagal!"
Cin Hai mendengarkan cerita ini dengan heran. "Suhu, siapakah keturunan dari Lu Pin yang bernasib malang itu?"
Bu Pun Su tersenyum. "Masih belum dapat mendugakah kau, anak bodoh" Siapa lagi kalau bukan Suhumu sendiri?"
Dengan terharu Cin Hai lalu berlutut di depan suhunya. Tidak tahunya bahwa kakek jembel ini adalah keturunan seorang menteri di jaman ahala Tang yang bershe Lu"
"Tetapi sebenarnya usaha para tokoh kang-ouw itu sia-sia belaka. Harta benda itu telah lama tidak berada di sini pula dan digunakan oleh Lu Pin untuk membiayai usaha perjuangan para patriot yang melakukan perlawanan gigih terhadap pemberontakan An Lu San. Yang
tertinggal hanyalah sebatang pedang kuno dan inilah barang itu!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
121 Bu Pun Su lalu memberikan pedang kuno itu kepada Cin Hai. Pedang itu biarpun buruk rupanya dan sudah tua sekali, akan tetapi masih berkilau dan sangat tajam. Di dekat gagangnya terukir dua huruf, yaitu Liong Coan. Inilah Liong-coan-kiam yang termasyur dan yang dulu pernah menjadi pedang pusaka Kerajaan Tang itu.
"Pedang ini kuberikan kepadamu, muridku."
"Akan tetapi, Suhu. Untuk apakah teecu diberi pedang ini" Bukankah pedang ini hanya menjadi alat pembunuh dan melukai sesama manusia belaka" Bukankah dulu Suhu pernah berkata bahwa pedang tak pantas berada di tangan seorang pendekar gagah dan hanya pantas dibawa-bawa oleh seorang algojo atau pembunuh?"
Bu Pun Su tersenyum. "Bagus, Cin Hai, kau ternyata masih ingat akan semua nasihatku.
Akan tetapi, sebenarnya bukan pedanglah yang harus dipersalahkan dalam soal pembunuhan, akan tetapi orang yang memegangnya. Segala benda di dunia ini mempunyai sifat sama, dan semuanya sempurna. Buruk atau baik hanyalah terjadi karena akibat daripada perbuatan orang dan hanyalah merupakan pandangan seseorang terhadap benda itu. Kalau pedang ini
dipergunakan untuk maksud baik, maka ia menjadi pusaka keramat, akan tetapi kalau dipergunakan untuk maksud buruk, ia berubah menjadi senjata laknat!" Setelah Cin Hai menerima pedang Liong-coan-kiam itu, Bu Pun Su lalu berkata kembali, "Sekarang sudah waktunya kau pergi meninggalkan gua ini, Cin Hai. Ingat baik-baik semua pelajaranmu di sini dan pesanku terakhir : Jangan sembarangan menjatuhkan tangan kejam kepada sesama manusia. Kalau terpaksa kau harus membinasakan seorang lawan, maka lawanmu itu haruslah seorang yang telah melanggar tiga pantangan besar, pertama membunuh orang tak berdosa, ke dua melanggar kesusilaan dan mengganggu anak bini orang, dan ke tiga pengkhianat-pengkhianat yang telah mengkhianati bangsa sendiri. Terhadap mereka ini pun kalau kiranya masih ada jalan lain, jangan kau sembarangan membunuh karena mengambil nyawa bukanlah pekerjaan orang!"
Cin Hai lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih lalu pergi meninggalkan gua di mana telah tiga tahun ia tinggal dan mempelajari ilmu dari Bu Pun Su, kakek jembel yang lihai itu.
Ketika meninggalkan Gua Tengkorak, suhunya telah memberinya sekantung emas murni hingga Cin Hai tidak kuatir tentang biaya perjalanannya. Tujuan perjalanannya hanya dua macam, pertama mencari Ang I Niocu, dan ke dua hendak kembali ke Tiang-an menemui ie-ienya. Biarpun ia sama sekali tidak mempunyai niat hendak bertemu muka kembali dengan ie-thionya, yaitu Kwee-ciangkun, namun ia tidak dapat melupakan ie-ienya dan ingin sekali ia menengok bibinya itu. Di dalam dunia ini, selain suhunya, hanya ada Ang I Niocu dan bibinya yang menempati hatinya dan merupakan orang-orang yang dikasihinya.
Beberapa pekan kemudian tibalah ia di daerah utara Sungai Huang-ho dan pada suatu hari ketika ia sedang berjalan dalam sebuah hutan pohon pek yang indah, tiba-tiba ia mendengar suara orang bertempur. Cin Hai mempercepat tindakan kakinya dan di suatu tempat terbuka ia melihat empat orang sedang bertempur hebat sekali.
Cin Hai bersembunyi di balik sebatang pohon besar sambil mengintai dan ketika ia memandang dengan penuh perhatian, terkejutlah ia karena ia dapat mengenal muka seorang Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
122 diantara mereka. Orang ini tak salah lagi tentu pamannya, Kwee-ciangkun atau Kwee In Liang! Biarpun muka pamannya telah berubah kurus dan rambutnya telah banyak uban, namun Cin Hai tidak pangling melihat wajahnya. Ia heran sekali mengapa pamannya
mengenakan pakaian petani biasa!
Kitab Pusaka 17 Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Laron Pengisap Darah 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama