Ceritasilat Novel Online

Pendekar Jembel 10

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Bagian 10


sekarang dia mencari perkara lagi, menjadi kebetulan bagiku
untuk j membikin perhitungan padanya," kata Tiok-liu tertawa.
"Cuma kukira tuan muda Tjo itu tidak sebaik hati begini pada
kita. Sudahlah, malam nanti tentu segalanya akan menjadi
terang, kita I tak perlu memusingkan urusan ini sekarang."
Dalam pada itu meja perjamuan telah disiapkan dengan
hidangan yang terkenal di kota Tjelam. Selesai makan, hari
pun sudah maghrib. Kim Tiok-liu pergi ke markas Kay-pang
untuk menemui Ong Thay, hanya Kong-tjiau yang tinggal
menunggu di hotel.
Ong Thay mengetahui Kim Tiok-liu adalah Sute Kang Haythian
karena sudah kenal waktu hadir di rumah Kang Hay
thian tempo hari. la menjadi kegirangan mendapat kunjungan
Kim Tiok-liu sekarang, cepat ia menyilakan masuk ke dalam
dan bertanya maksud kedatangannya.
"Biasanya sumber berita Kay-pang sangat terpercaya, maka
kedatanganku ini juga mencari tahu sesuatu kabar
kepadamu," kata Tiok-liu.
"Ah, Kim-siauhiap terlalu memuji," sahut Ong Thay dengan
rendah hati. "Entah kabar apa yang dicari, asal tahu tentu
akan kujelaskan."
"Bagaimana dengan tuan muda keluarga Tjo itu" Apakah
kedua jago pengawalnya yang dulu masih tetap di
tempatnya?" tanya Tiok-liu.
Tentang Kim Tiok-liu pernah menghajar putera Tjo Tjinyong
di Tay-peng-oh dulu sudah lama diketahui oleh Ong
Thay, maka tuturnya dengan tertawa, "Tjo-toasiauya itu
rupanya menjadi kapok sesudah dihajar olehmu, selama
beberapa bulan dia jarang keluar rumah, tingkah lakunya juga
lebih baik. Lian Sing-hou terjungkal di tanganmu, dia merasa
malu dan meninggalkan keluarga Tjo, tinggal Peng Ki-yong
saja yang tetap di sana, tapi juga jarang berkeluyuran lagi
seperti dulu."
"Apakah akhir-akhir ini di kota ada orang kosen Kangouw
yang gerak-geriknya mencurigakan?" tanya Tiok-liu.
Ong Thay tercengang, lalu sahutnya, "Kedatangan kawan
Kangouw danmanapun besar kemungkinan akan diketahui
oleh anak-buahku, tapi tidak ada laporan bahwa di kota ini
ada orang kosen apa-apa. Apakah Kim-siauhiap mendengar
sesuatu atau engkau sendiri telah memergokinya?"
Tiok-liu pikir orang yang mengundang bertemu di danau
mungkin tidak ingin diketahui orang luar, maka jawabnya,
"Tidak, aku cuma ingin tahu saja, sebab di kota Tjelam yang
merupakan ibukota propinsi ini tentunya tidak sedikit orang
kosen yang berdatangan."
Sebagai seorang berpengalaman, Ong Thay tidak mau
bertanya lebih lanjut, Kim Tiok-liu juga tidak mau
menerangkan. Kemudian ia berkata, "Baiklah, aku akan memerintahkan
anak-buahku agar mengawasi gerak-gerik orang yang pergidatang
Selanjurnya KJm-siauhiap akan pergi kemana?"
"Tujuanku hendak ke Yangtjiu dan ada suatu urusan perlu
minta bantuanmu," kata Tiok-liu. Lalu ia pun menceritakan kepergian
Le Lam-sing memenuhi undangan Su Pek-to itu, maka
minta Ong Thay suka mengadakan kontak dengan cabang
Kay-pang di Yangtjiu agar ikut memperhatikan keselamatan Le
Lam-sing. Sudah tentu Ong Thay lantas menyanggupi.
Melihat cuaca sudah gelap, Kim Tiok-liu lantas mohon diri.
Ong Thay bermaksud menahannya bermalam dan
menjamunya, tapi Tiok-liu hanya mengucapkan terima kasih.
Ong Thay menjadi heran akan kelakuan Kim Tiok-liu, timbul
dugaannya tentu dia ada urusan yang tidak ingin diketahui
orang lain. Maka sesudah mengantar kepergian Kim Tiok-liu,
ia lantas memerintahkan anak buah Kay-pang menyelidiki
gerak-gerik Kim Tiok-liu, agar tidak sampai terjadi apa-apa di
wilayahnya supaya kelak dapat dipertanggung-jawabkan
kepada Kang Hay-thian.
Setiba kembali di hotel, Tiok-liu melihat Kong-tjiau masih
melamun dengan memegangi kartu undangan itu sambil
berjalan mondar-mandir, pikirannya melayang seperti sedang
merenungkan sesuatu, sampai Kim Tiok-liu sudah berada di
dalam kamar baru Kong-tjiau mengetahui.
"Sudahlah, tidak perlu pusing-pusing lagi, sekarang juga
kita pergi ke sana dan terjawablah teka-tekinya," ujar Tiok-liu
tertawa. Tiba-tiba Kong-tjiau menjawab, "Kim-heng, silakan kau
pergi sendiri saja, aku....."
"Ada apa" Kau tidak ikut pergi?" tanya Tiok-liu heran.
"Undangannya tidak menunjukkan kita harus pergi
bersama," ujar Kong-tjiau. "Bisa jadi pengundang itu adalah
temanmu dan tidak ingin bertemu dengan aku."
Diam-diam Tiok-liu merasa heran mengapa Kong-tjiau
seperti enggan ikut memenuhi undangan ini. Apakah dia
sudah mengetahui pengundangnya dan tidak ingin
menemuinya"
"Rahasia teka-teki ini belum menjawab, darimana diketahui
pengundang itu temanku atau mungkin juga temanmu," kata
Tiok-liu. "Kita telah dilayani dengan baik di hotel ini dan
dijamu hidangan segala, sebaiknya kita pergi bersama saja."
Karena tak bisa menolak, terpaksa Kong-tjiau ikut pergi.
Tay-beng-oh terletak di selatan kota, di bawah kaki Djian-hudsan,
gunung seribu Buddha. Pemandangan indah permai,
pada musim tertentu biasanya danau itu penuh dengan
perahu-perahu pesiar. Cuma sekarang musim semi baru mulai,
hawa masih rada dingin sehingga danau itu masih sepi dari
kaum pelancong.
Sampai di tepi danau, Tiok-liu berdua menyewa sebuah
perahu dan dikayuh ke Djian-hud-san di seberang. Sampai di
tengah danau, sepanjang mata memandang keadaan sunyi
senyap, seluruh danau itu hanya terdapat perahu yang
mereka tumpangi Ini.
"Sudah mengundang, mengapa tidak tampak menyambut
kedatangan kita" Jangan-jangan dia hanya berkelakar saja?"
kata ri?k-liu. "Ya, mungkin orang sengaja menggoda kita, sebaiknya kita
pulang saja," usul Kong-tjiau.
"Sudah telanjur datang, mau tak mau kita mesti menunggu
dulu, memangnya kita bermaksud pesiar ke sini, andaikan
tidak diundang juga kita akan datang," kata Tiok-liu. Waktu ia
menengadah, rembulan belum seberapa tinggi menghias di
langit, ?ambungnya. "Dia berjanji antara jam sepuluhan,
sekarang belum tiba waktunya."
Selagi Tiok-liu menikmati keindahan danau di waktu
malam, tiba-tiba terdengar suara tersiaknya air dan suara
berkeriut-nya dayung, ada sebuah perahu muncul dari sebelah
tepian sana. "Itu ada perahu, entah pengundang itu atau bukan?" kata I
iok-liu sembari melangkah ke haluan perahu dan
memerintahkan tukang perahu mendayung ke arah sana.
Cahaya bulan yang lembut itu sangat indah, waktu Tiok-liu
memandang ke depan, kiranya perahu pendatang adalah
sebuah perahu hias dengan bangunan di atasnya, di dalam
ruangan yang bertirai itu samar-samar tampak dua bayangan
tubuh wanita. Tiok-liu heran apakah mungkin yang mengundangnya itu
adalah kaum wanita" Waktu diperhatikan lebih lanjut, kedua
wanita itu masing-masing mengenakan baju merah dan hijau
dengan rambut dalam bentuk yang sama, yaitu dikuncir. Usia
sama-sama belasan tahun, rupanya adalah dua dayang kecil.
Karena mereka belum pernah kenal, tentu saja Tiok-liu
tambah heran. Mustahil kaum wanita mengundang kaum pria.
Belum lenyap rasa herannya, tiba-tiba terdengar suara
kecapi yang ditabuh salah seorang dayang cilik itu, dayang
yang lain lantas mengiringi dengan lagu merdu.
"Nyanyian yang baik dan kecapi yang bagus," puji Tiok-liu.
Ia pikir sayang kecapi pemberian Toako itu tidak dibawanya,
kalau tidak tentu akan mengiringi kecapi dayang itu.
Mendadak didengarnya ada orang menghela napas di
belakangnya, waktu menoleh kiranya adalah Kong-tjiau yang
sedang termangu-mangu memandang jauh ke depan,
tampaknya seperti masgul dan merasa girang pula, tapi juga
seperti rada cemas.
Pelahan Tiok-liu menepuk bahu Kong-tjiau, katanya dengan
tertawa, "Tan-toako kau seperti sudah kenal mereka"
Siapakah mereka itu?"
Kong-tjiau terkejut dari lamunannya, jawabnya lirih,
"Mereka adalah pelayan Hek-koh."
"Siapa lagi Hek-koh itu?" Tiok-liu menegas.
Muka Kong-tjiau menjadi merah, sahurnya, "Ialah si.....si
dia yang kukatakan kemarin dulu itu."
"O, kiranya adalah kekasihmu yang mengundang kau ke
pertemuan ini, tapi kau malah tidak mau datang lagi, haha,
Tan-heng, kau benar-benar telah mempermainkan aku!" kata
Tiok-liu dengan tertawa.
Perahu besar yang terhias mewah itu sudah semakin dekat,
salah seorang dayang cilik itu muncul di haluan perahu serta
menyapa lebih dulu, "Tan-kongtju sudah datang. Silakan
pindah kemari bersama kawanmu. "
Kong-tjiau tampak serba susah, katanya dengan tergagapgagap,
"Semula aku pun tidak tahu siapa pengundangnya,.
Memang gaya tulisan kartu itu seperti tulisan tangannya, tapi
aku tidak berani memastikannya. Sebab ia pernah menyatakan
tidak ingin menemui aku lagi. Perpisahan kami sudah ada tiga
tahun lamanya."
Dalam pada itu kedua kendaraan air sudah makin
mendekat, dari dalam perahu hias itu mengeluarkan bau
wangi-wangian yang sedap. Kedua dayang cilik itu kelihatan
muncul di haluan perahunya dan menyapa lebih dulu, "Tankongtju,
engkau sudah datang. Silakan pindah kemari
bersama kawanmu."
Untuk sejenak Kong-tjiau seperti bingung, lekas ia meneangkan
diri, lalu melompat ke haluan perahu sana.
Baru saja Tiok-liu hendak ikut melompat, mendadak si
tuang perahu menarik bajunya dan berseru, "Nanti dulu tuan!
Pe-ahuku masih terpakai tidak, kau harus ada suatu
penyelesaian."
Belum lagi Tiok-liu memberi jawaban, tahu-tahu dayang
cilik berbaju merah melemparkan sepotong uang perak
kepada si tukang perahu dan berkata, "Dayung kembali saja
perahumu. Uang perak itu tentunya sudah cukup untuk
membayar sewa perahumu!"
Tukang perahu itu kegirangan, sambil melepaskan baju Kim
Tiok-liu ia berseru, "Cukup, cukup! Terima kasih."
Dengan demikian barulah Kim Tiok-liu dapat melompat ke
atas perahu hias itu, katanya dengan tertawa, "Banyak terima
kasih atas pelayanan Siotjia kalian. Dengan membonceng Tantoako
aku menjadi ikut dapat makan-minum dan pesiar
dengan gratis. Hehe, sekali lagi banyak terima kasih."
Luas perahu hias ini lebih besar satu kali daripada perahu
sewaan mereka tadi. Kedua dayang cilik itu lantas menyingkap
tirai, menyilakan kedua tamunya masuk dan duduk di ruangan
dalam. Ternyata mang perahu itu dialingi dengan dua sayap
pintu angin, sedang di sebelah sana seperti sebuah kamar.
Kong-tjiau tahu jantung hatinya yang dirindukannya siang dan
malam itu tentu berada di balik pintu angin itu, ia bermaksud
bertanya, tapi tenggorokannya seperti terkancing dan sukar
bicara. Tidak lama kemudian, kedua dayang itu membawakan dua
cangkir teh panas, mereka menaruh teh itu di depan Kim Tiokliu
dan Tan Kong-tjiau, kata si dayang baju merah, "Kimsiangkong silakan minum."
"Aku hanya sebagai pengiring Tan-toako saja," sahut Tiokliu.
"Darimana kalian kenal namaku?"
Dayang itu tersenyum dan menjawab, "Nama Kim-tayhiap
terkenal di seluruh Kangouw, sudah lama kami mendengar
dari cerita Siaotjia. Kim-tayhiap jangan salah paham,
undangan Siotjia kami ini dilakukan dengan setulus hati tanpa
membedakan tamu pokok dan tamu pengiring segala."
Tiok-liu dan Kong-tjiau lantas minum teh masing-masing,
lalu Tiok-liu berkata pula dengan tertawa, "Haha, Tayhiap apa
segala, sesungguhnya aku ini hanya seorang pencuri cilik."
"Ah, Kim-tayhiap suka berkelakar," kata si dayang baju
merah. "Agaknya Tan-toako tidak enak untuk buka mulut, biarlah
aku yang mengatakan untuknya," ujar Tiok-liu tertawa.
"Siotjia kalian mengundang kami, sekarang kami sudah
datang, teh juga sudah kami minum, sudah waktunya bertemu
dengan tuan rumah bukan?"
"Siotjia memang sedikit masuk angin," tutur dayang baju
hijau. "Beliau baru saja bangun tidur. Silakan tunggu sebentar,
segera kami mengundang beliau keluar."
Pada saat itulah mendadak Kong-tjiau merasa perutnya
mules dan sakit seperti disayat-sayat. Ia terkejut dan
berteriak, "Hek-koh, tidak menjadi soal jika kau inginkan
jiwaku, tapi mengapa kau pun membikin celaka temanku!"
Tiba-tiba Kim Tiok-liu juga menjerit, "Aduh, lihai amat
racunnya!" Badannya lantas tergeliat, lalu jatuh kaku ke lantai.
Kong-tjiau menjadi kuatir dan gusar, teriaknya, "Hek-koh,
keluar kau, mati pun aku ingin minta penjelasan!"
Dalam keadaan kepala pusing dan mata berkunangkunang,
sedapat mungkin Kong-tjiau mengerahkan
semangatnya, "biang", ia tolak sekuatnya kedua sayap pintu
angin itu. Terdengar suara orang tertawa dingin, dari balik pintu angin
itu melompat keluar seorang. Seketika Kong-tjiau
menjadi tertegun kaget, ternyata yang muncul itu bukan Hekkoh,
tapi adalah seorang nenek yang bermuka keriput.
"Kiranya kau, mak inang!" seru Kong-tjiau kemudian.
"Hm, siapa sudi menjadi mak inangmu?" dengus nenek itu.
"Dasar bocah busuk yang tidak tahu diri, katak buduk ingin
merangkul rembulan?"
"Aku tahu tidak sesuai untuk Siotjiamu, tapi Hek-koh yang
mengundang aku ke sini, aku harus bertemu dengan dia dan
menanyai dia dulu," seru Kong-tjiau.
Si nenek melirik ke arah Kim Tiok-liu, ia kegirangan melihat
pemuda itu menggeletak tak berkutik lagi di situ, pikirnya,
"Kabarnya bocah ini sangat lihai, sampai-sampai Su Pek-to
dan Bun To-tjeng juga kecundang, kiranya juga cuma begini
saja."

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena mengira Kim Tiok-liu sudah mati keracunan, si
nenek menjadi lebih garang lagi, jarinya yang mirip cakar
burung terus mendesak ke arah Kong-tjiau, jengeknya, "Heh,
akulah yang mengundang kau ke sini, tahu" Jika aku tidak
memalsukan tulisan Siotjia, masakah kau mau masuk
perangkap" Sekarang kau sudah jelas bukan persoalannya,
biarlah kubereskan kau saja agar Siotjia tidak selalu tergoda
olehmu." Kong-tjiau bermaksud melawan, tapi kaki tangannya sudah
tidak mau diperintah lagi. Tampaknya cakaran si nenek sudah
akan mengenai kepalanya, sekonyong-konyong Kim Tiok-liu
meloncat bangun sembari berseru, "Hahaha! Betapapun
lihainya racunmu rasanya masih jauh untuk bisa mencelakai
aku. Ini, kubayar kembali!" Waktu jarinya menuding ke depan,
seketika satu jalur air mancur keluar melalui ujung jarinya.
Kiranya Kim Tiok-liu cuma pura-pura jatuh pingsan, tapi
diam-diam mengerahkan tenaga murni untuk mendesak air
racun kang diminumnya itu ke ujung jari sehingga air mancur
yang menyemprot keluar itu masih panas.
Keruan kejut si nenek tak terkatakan, ia kenal betapa
lihainya racun dalam teh itu, meski dia sendiri punya obat
penawar, tapi kalau mengenai mata tentu bisa buta. Pada
detik berbahaya itu ia masih sempat mendoyongkan tubuhnya
ke belakang, lalu menggeliat ke samping, dengan demikian air
beracun itu lantas menyambar lewat di atas badannya,
dengan demikian ia menjadi tidak sempat menyerang Kongtjiau
lebih lanjut. Segera Tiok-liu melompat maju dan menarik Kong-tjiau ke
samping dengan memberikan sebutir obat, katanya, "Lekas
minum Pik-ling-tan ini."
Nenek itupun sangat lihai, dengan cepat sekali ia sudah
berdiri kembali dan mengambil posisi yang kuat, bentaknya,
"Anak keparat, berani kau permainkan nenekmu!" Berbareng
sepuluh jarinya lantas menjulur seakan mendadak bertambah
panjang dengan kuku-kukunya yang tajam seperti pisau kecil,
terus menikam ke arah Kim Tiok-liu.
Kiranya yang diyakinkan si nenek adalah 'Niau-djiau-kang'
(Ilmu cakar burung), kuku-kuku jari tangan dapat dipakai
sebagai senjata, di waktu biasa kuku-kuku panjang itu dapat
di-lempit sehingga tidak kelihatan.
Dengan gesit Kim Tiok-liu lantas menggeser ke samping
Dengan Thian-lo-poh-hoat, cuma sayang ruangan perahu itu
ti-dak begitu luas sehingga langkah ajaib itu tidak dapat
dikeluarkan sepenuhnya, maka terdengarlah "bret" sekali,
bajunya terobek tersambar oleh kuku kawan.
Si nenek itu tidak lantas berhenti, bahkan kuku tangan
sebelah segera menggores lagi dari samping sehingga
tenggorokan Kim Tiok-liu hampir tersayat, untung dia sempat
mendongakkan kepala, diendusnya bau amis yang
memuakkan. Tiok-liu menjadi gusar, dampratnya, "Bagus, cakar setanmu
yang berbisa itu tentu sudah banyak mencelakai orang, biarlah
kupotong dulu cakarmu!"
Tanpa menghiraukan akan teriuka oleh cakar lawan,
dengan kepalan kiri dan telapak kanan, kedua tangannya
lantas menghantam sekaligus dengan amat dahsyat.
Baru sekarang si nenek menyadari kelihaian Kim Tiok-liu, ia
menjadi gugup. Di masa mudanya nenek ini mestinya juga
seorang iblis perempuan yang terkenal di Bu-Iim, tapi
sekarang usianya sudah lanjut, tenaganya sudah surut,
betapapun ia tidak berani main keras lawan keras dengan Kim
Tiok-liu. Di bawah pukulan Kim Tiok-liu yang dahsyat dan
gencar, sama sekali si nenek tidak mampu berkutik lagi.
Dalam pada itu, sesudah minum Pik-ling-tan pemberian
Tiok-liu, seketika rasa muak Kong-tjiau lantas hilang,
semangatnya terbangkit. Pik-ling-tan memang paling mujarab
untuk menawarkan segala macam racun.
Kong-tjiau lantas mendekati kedua dayang cilik tadi,
maksudnya hendak menanyakan Hek-koh, tapi dayang-dayang
itu menjadi ketakutan.
"Dimanakah Siotjia kalian?" tanya Kong-tjiau.
Namun sebelum dayang-dayang itu membuka mulut, si
nenek membentaknya, "Siapa berani banyak omong, awas
kurobek mulurmu!"
Di bawah ancaman itu, pula kuatir akan dipaksa oleh Tan
Kong-tjiau, kedua dayang itu menjadi serba salah, sesudah
mundur ke belakang, mendadak mereka bersama-sama terjun
ke dalam danau.
Dengan gusar Tiok-liu mendamprat si nenek, "Dirimu
sendiri saja tinggal mampusnya, masih berani main garang
terhadap orang lain?"
Sekali mendesak maju, "bret", sebelah tangannya sempat
merobek baju si nenek sehingga kutangnya ikut terobek.
Lekas si nenek menutupi dadanya dengan sebelah tangan
sambil menjerit, "Anak keparat, kurangajar benar kau!"
"Hehe, tua bangka seperti kau, memangnya kau kira aku
sudi menggoda kau?" jengek Tiok-liu tertawa. "Aku kan Cuma
membayar kembali atas perbuatanmu sendiri tadi. Apa tujuan
sebenarnya dengan undanganmu malam ini, lekas mengaku,
kalau tidak sebentar boleh kau rasakan lebih enak lagi."
Sembari bicara Kim Tiok-liu tetap melancarkan serangan
sehingga si nenek kelabakan setengah mati.
Kong-tjiau menjadi tidak tega, serunya, "Dia adalah mak
inang Hek-koh, boleh kau ampuni dia, Kim-heng!"
Belum lenyap suaranya tiba-tiba si nenek berdiri tegak
seperti patung dalam gaya hendak menubruk, tapi kedua
cakarnya terangkat tinggi dan tidak bisa bergerak lagi.
"Tunjukkan obat penawarnya, mengingat permintaan Tantoako
boleh kuampuni jiwamu," bentak Tiok-liu.
Karena badannya tertutuk sehingga kaku tak bisa berkutik,
namun si nenek masih bisa berbicara, maka jawabnya, "Tanpa
membuka Hiat-to yang tertutuk, cara bagaimana aku bisa
memberikan obat penawarnya?"
"Apa kau tuli," omel Tiok-liu dengan tertawa. "Aku kan
bilang tunjukkan obat penawarnya dan bukan menyuruh kau
menyerahkan. Segenap barang di tubuhmu sudah kuambil.
Ini!" Ketika kedua lengan bajunya dibebaskan, seperti main
sulap saja, terdengarlah suara gemerantang ramai, macammacam
barang, ada mata uang, ada botol-botol kecil, ada
beberapa kotak kecil dan benda-benda lain jatuh berserakan
di lantai. Kong-tjiau terbelalak bingung, Tiok-liu lantas berkata
dengan tertawa, "Terpaksa aku menjadi pencopet, jangan kau
ter-tawai aku, Tan-toako!"
Kiranya pada saat menjambret baju si nenek tadi, sekaligus
Kim Tiok-liu telah menggerayangi semua barang bekalnya
dengan ilmu 'rogoh saku' yang mahir.
Berjejer-jejer Kim Tiok-liu menaruh barang-barang itu di
depan si nenek, lalu berkata pula, "Nah, mana obat
penawarnya dan cara bagaimana memakainya" Lekas katakan
saja." "Barang-barang ini adalah racun semuanya," kata si nenek
dengan kerlingan mata yang licik.
Sekonyong-konyong si nenek tertawa iblis, Kim Tiok-liu
terkejut, serunya, "Celaka!" Berbareng ia mendorong Tan
Kong-tjiau terus menubruk ke arah si nenek itu.
"Dan obat penawarnya?" desak Tiok-liu.
"Tidak kubawa," jawab si nenek. "Lepaskan aku, segera
kupulang untuk mengambilnya!"
Untuk sejenak Tiok-liu melengak, tapi segera berkata pula,
"Aku tidak percaya, satu di antara barang-barang ini tentu
adalah obat penawarnya."
"Apa gunanya aku sembarangan omong, kan cuma akan
membikin susah Tan-siangkong saja," ujar si nenek.
"Baiklah, boleh kau bawa aku pergi menemui Hek-koh,"
kata Kong-tjiau.
"Perempuan iblis ini suka menipu orang, hendaklah Tantoako
jangan percaya omongannya," kata Tiok-liu. "Tunggu
sebentar, biar dia rasakan kelihaianku dulu."
Betapapun Kong-tjiau tidak sampai hati, ia mencegah pula
dan berkata, "Kau sudah menutuk Hiat-tonya, dia sudah tua,
rasanya tentu sudah cukup baginya."
Dengan rasa kasihan Kong-tjiau mencegah Kim Tiok-liu, tak
terduga nenek itu tertawa iblis. Kim Tiok-liu berseru, "Celaka!"
Berbareng itu ia terus mendorong Kong-tjiau ke samping.
Pada saat itulah dengan cepat luar biasa kaki si nenek
bekerja, sekali sapu macam-macam barang yang berserakan
di lantai itu kena disapu masuk ke dalam sungai semua.
Menyusul Orangnya lantas terjun pula ke dalam sungai.
Tadi Kim Tiok-liu memang sudah menutuk Hiat-to si nejnek
dengan kepandaian tunggalnya, tapi lantaran Kong-tjiau
memintakan ampun baginya, maka tutukannya tidak
menggunakan tenaga berat.
Tak tersangka olehnya bahwa meski si nenek tampaknya
ludah tua, namun Lwekangnya yang terlatih tinggi itu tidak di
bawah Kim Tiok-liu. Golongan Sia-pay juga mempunyai
semasam ilmu anti Tiam-hiat. Tadi si nenek sengaja mengulur
waktu, tujuannya justru hendak mengerahkan ilmu aneh itu.
Begitulah Kim Tiok-liu tidak sempat menyerang musuh lagi,
tapi hendak merebut obat penawar lebih dulu, segera ia pun
terjun ke dalam air untuk memburu barang-barang yang
disapu ke dalam sungai itu. Ia dibesarkan di kepulauan yang
dikitari la utan, dengan sendirinya sangat mahir berenang dan
menyelam. Sesudah menyelam ke dasar sungai, dengan susah payah
Tiok-liu dapat menemukan sebuah kotak kecil, tapi barang
barang lain entah sudah hanyut kemana. Waktu ia berganti
napaN ke permukaan air, tertampak nenek tadi sudah
berenang sampai di tepian seberang, kedua dayang cilik tadi
juga sudah berada di tepian sungai sana.
Kim Tiok-liu tidak tahu apakah isi kotak kecil itu obat
penawar atau bukan, jika bukan, ia pikir nanti harus mencari
perempuan iblis itu untuk membikin perhitungan.
Sementara itu perahu yang dibuat bertempur tadi sudah
rada rusak, sehingga mulai oleng di tengah danau. Kuatir akan
keselamatan Kong-tjiau, terpaksa Kim Tiok-liu tidak menyelam
lagi, segera ia naik ke atas perahu.
Melihat keadaan Tiok-liu yang basah kuyup, Kong-tjiau
merasa tidak enak, katanya, "Kim-heng, mati atau hidup
sudah ditakdirkan, jika obat penawar tidak diketemukan,
biarkan saja Tolong mintakan bantuan Kay-pang agar anak
buahnya sudi me ngantarkan aku pulang, mungkin ayahku
dapat menolong."
"Boleh kau duduk tenang dan jangan banyak bicara, aku
menemukan sebuah kotak, cuma entah berisi obat penawar
atau bukan?" ujar Tiok-liu.
Waktu kotak itu dibuka, tanpa terasa Tiok-liu bersuara
heran. "Apakah isinya?" tanya Kong-tjiau.
Tiok-liu lantas mengeluarkan sepasang mutiara sebesar biji
kelengkeng yang bercahaya gemilang.
"Boleh juga celengan pribadi mak inang Hek-koh itu," ujai
Kong-tjiau tertawa.
"Kedua mutiara ini tidak mengherankan, yang aneh adalah
mutiara-mutiara ini menindih! secarik kertas yang berisi Pekdji
(tanggal dan waktu lahir dengan ramalannya)"
"Siapa punya Pek-dji" Coba kulihat," pinta Kong-tjiau.
Tiok-liu menjadi ragu-ragu, sahurnya kemudian, "Yang jelas
bukan Pek-dji si dia, maka tak perlu kau membacanya."
"Darimana kau mengetahui bukan Hek-koh punya Pek-dji?"
tanya Kong-tjiau.
"Orang ini kelahiran tahun Pia-yan, jadi tahun ini sudah
berusia 35 tahun, mana mungkin Pek-dji ini punya Hek-kohmu
itu?" Kong-tjiau menjadi curiga juga, ia pikir apa sih halangannya
kulihat Pek-dji itu sekalipun bukan mengenai diri Hek-koh"
Rupanya Tiok-liu tahu perasaannya, dengan tertawa lantas
i berkata, "Kau jangan curiga, maksudku adalah supaya kau ke
sampingkan urusan lain dan melulu mencurahkan pikiran
untuk mengerahkan tenaga dalammu guna melawan racun
yang mung-, kin akan menjalar lagi. Isi kotak ini hakikatnya
adalah teka-teki. buat kita dan hanya perempuan iblis itu yang
dapat memberi jawaban tepat, buat apa kita pusing-pusing
memikirkannya?"
Betui juga pikir Kong-tjiau, kejadian malam ini memang
adalah teka-teki yang membingungkan, semoga aku dapat
berjumpa dengan Hek-koh sebelum ajalku, dengan demikian
aku akan mengetahui duduknya perkara yang sebenarnya.
Sebab apakah Kim Tiok-liu tak mau memperlihatkan Pek-dji
itu kepada Kong-tjiau, di dalam hal ini memang ada alasan
yang tepat. Sebab Pek-dji yang dikatakan adalah Pek-dji
seorang laki-laki yang biasa ditulis untuk diberikan kepada
pihak perempuan dalam urusan perjodohan. Dan pihak lakilaki
ini tak lain tak bukan adalah Pangtju Liok-hap-pang, Su
Pek-to. Su Pek-to punya Pek-dji diketemukan dalam saku si nenek
tadi, maka jelas nenek itu sedang menjadi comblang dalam
perjodohan Su Pek-to, pikir Tiok-liu, "Nenek iblis itu adalah
mak Inang nona Hek-koh, maka, ah, mungkin sekali pihak
perempuannya justru adalah Hek-koh sendiri. Jadi si nenek
hendak menjodohkan nona asuhannya kepada Su Pek-to,
pantas dia ingin membunuh Tan-toako. Hal ini untuk
sementara sebaiknya jangan sampai diketahui oleh Tantoako."
Segera Kim Tiok-liu mendayung perahu itu ke tepian,
dengan kemahirannya perahu itu meluncur dengan cepat
sekali, hanya sebentar saja perahu sudah menepi di seberang,
Kong-tjiau dipayangnya mendarat, pikirnya, "Perempuan iblis
itu sudah terluka, mungkin dia belum jauh melarikan diri."
Ia coba mendengarkan dengan cermat apakah ada suara
langkah orang atau tidak. Mendadak terdengar suara kresek
pe-lahan, pohon Yangliu di sebelahnya bergerak tanpa tiupan
angin. "Kemana lagi kau hendak sembunyi, lekas keluar!" bentak
Tiok-liu. Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong angin santer
menyambar, sebatang pentung besi yang besar tahu-tahu
mengemplang ke atas kepalanya. Cepat Tiok-liu melolos
pedang dan menangkis ke atas. Waktu diperhatikan, ternyata
penyergap ini bukanlah si nenek tadi, tapi adalah Peng Kiyong,


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jago pengawal keluarga Tjo.
Ketika Peng Ki-yong bersuit, dari semak-semak pohon sana
serentak muncul begundalnya yang sukar dihitung jumlahnya,
dengan terbahak Peng Ki-yong berseru, "Hahaha! Bocah shc
Kim, sekarang ingin kulihat kemana lagi kau bisa lari?"
"Hm, kau sudah keok di bawah tanganku masih berani
berlagak apa?" jengek Kim Tiok-liu. Berbareng pedangnya
menyerang tiga kali berturut-turut sehingga Peng Ki-yong
kerepotan mengelakkan diri.
Sebagai murid lepasan Siau-lim-pay, kekuatan Peng Kiyong
tidak di bawah Kim Tiok-liu, tapi dia kewalahan melayani
serangan kilat pedang Kim Tiok-liu.
Setelah mendesak mundur Peng Ki-yong, segera Tiok-liu
berseru kepada Tan Kong-tjiau, "Ikut di belakangku, Tantoako!"
Dengan kencang ia memutar pedangnya dan
membawa Kong-tjiau menerjang keluar kepungan.
Sekonyong-konyong dari samping menyerampang sebatang
toya dengan amat dahsyatnya, cepat Kim Tiok-liu memutar
pedang untuk menabas ke bawah, jika tebasannya kena, ia
yakin dapat mematahkan toya lawan.
Tapi orang itupun sangat licin, toyanya dari jenis rotan
puntir, mendadak memutar balik ke atas untuk menghantam
batang pedang Kim Tiok-liu malah. Toya lebih panjang
daripada pedang, jika keduanya beradu tentu Kim Tiok-liu
akan rugi. Syukur ilmu pedang Kim Tiok-liu sudah mencapai
tingkat yang cukup sempurna, sedikit bergerak saja, sebelum
tabasannya tadi diteruskan sampai titik penghabisan sudah
lantas ditarik kembali, bahkan pedangnya terus berputar
melengkung ke bawah, bukan saja serangan lawan
dipatahkan, malahan ia menabas pula dengkul musuh.
Pada saat itulah dari rombongan musuh melompat keluar
lagi seorang, dari jauh senjatanya yang berbentuk martil
berantai sudah disambitkan, maka terdengarlah suara "trang"
yang keras, pedang Kim Tiok-liu kena terbentur pergi dan
meletikkan lelatu api.
Meski tidak cidera apa-apa, namun terkesiap juga Kim Tiokliu
akan kelihaian musuh. Keluarga Tjo telah berkurang
seorang jagoan seperti Lian Sing-hou, tapi sekarang sudah
bertambah dua jago yang cukup lihai.
Dua orang baru ini memang hasil penemuan Peng Ki-yong
untuk menggantikan lowongan Lian Sing-hou. Orang yang
bersenjata toya rotan puntir itu bernama Dian Tjun dan yang
bersenjata martil berantai bernama Gui Ki. Keduanya adalah
bandit-bandit Kangouw terkenal. Tidak lama baru saja mereka
melakukan suatu kejahatan besar, untuk menghindarkan
pencarian lawan, pula atas bujukan Peng Ki-yong, akhirnya
mereka mau menjadi tukang pukul keluarga Tjo, sekalian
berlindung di dalam rumah Perdana Menteri itu.
Nenek tua yang hendak meracuni Kong-tjiau sebelumnya
sudah bersekongkol dengan keluarga Tjo. Si nenek
memancing kedatangan Kim Tiok-liu dan Tan Kong-tjiau di
tengah danau untuk diracun, kuatir kedua pemuda itu tidak
lantas mati diracun, maka orang-orang keluarga Tjo disiapkan
pula di tepi danau, andaikan Kim Tiok-liu dan Tan Kong-tjiau
mampu lari, dalam keadaan keracunan tentu juga mudah
dibekuk, demikian rencana mereka.
Tak terduga Kim Tiok-liu memiliki Lwekang leburan dari
Tjing-pay dan Sia-pay, teh beracun yang diminumnya telah
ditolak keluar melalui ujung jari, sehingga pada badannya
tidak keracunan dan begitu sampai di tepi danau, lebih dulu
Peng Ki-yong dikalahkan, menyusul Dian Tjun dan Gui Ki juga
hampir-hampir dimakan.
Gui Ki dan Dian Tjun adalah bandit terkenal, selamanya
jarang menemukan tandingan. Semula mereka menertawakan
Peng Ki-yong yang terlalu berlebihan mengerahkan tenaga
begitu banyak, tapi sesudah kecundang di tangan Kim Tiok-liu,
barulah mereka tahu rasa dan terkejut. Walaupun begitu,
dasar bandit, biarpun sudah kecundang mereka masih belum
kapok. Ketika pedang Kim Tiok-liu dibentur pergi oleh martil
berantai Gui Ki, segera Dian Tjun menubruk maju lagi.
Kim Tiok-liu menjadi gusar, baru saja dia bermaksud
mengeluarkan jurus-jurus maut untuk menghabisi lawan itu,
mendadak dari belakang angin keras menyambar tiba,
pentung baja Peng Ki-yong ternyata sedang menghantam ke
arahnya. Ho-mo-tiang-hoat, ilmu pentung penakluk iblis, yaitu ilmu
ajaran Siau-Iim-pay yang lihai luar biasa, mestinya Kim Tiokliu
dapat mengatasinya dengan ilmu pedangnya yang cepat.
Tapi sekarang ia sedang dikerubut Dian Tjun dan Gui Ki
berdua ditambah lagi Peng Ki-yong, mau tak mau ia menjadi
rada kerepotan.
Di tengah pergulatan sengit itu, tiba-tiba Dian Tjun
menggunakan jurus 'Tin-tjoa-djiau-djiu' atau ular melilit di
batang pohon, dari samping toyanya digunakan untuk
menyabet pinggang Kim Tiok-liu. Toya buatan dari rotan
puntir itu adalah senjata keras dan lemas pula, kalau sampai
kena tentu bisa celaka.
Di sinilah Kim Tiok-liu memperlihatkan kelihaiannya,
dengan badan miring ke samping untuk menghindarkan
sabetan toya lawan, berbareng pedangnya membalik ke
samping lain untuk menyampuk martil musuh, detik lain
terdengarlah "trang" yang nyaring, kembali pentung baja Peng
Ki-yong kena ditekan ke bawah. Dengan satu jurus Kim Tiokliu
memainkan tiga gerakan yang berbeda untuk mematahkan
serangan tiga senjata musuh yang menyerang dalam cara
yang berbeda. Akan tetapi dia tetap manusia yang cuma
bertangan dua saja, di kala dia melayani tiga musuh sekuat
tenaga, terpaksa dia tidak sempat menjaga Kong-tjiau.
Pada saat itu Kong-tjiau sedang mengeluarkan Peng-poksintan untuk menyerang tiga orang laki-laki yang menubruk
maju ke arahnya, kontan mereka disambut oleh peluru es
yang maha dingin itu, seketika mereka menggigil. Tatkala itu
Kim Tiok-liu lagi memutar tubuh, segera kakinya menyapu,
ketiga laki-laki itu ditendang terpental semua.
Namun Kong-tjiau sendiri dalam keadaan keracunan,
tenaganya sudah sangat lemah sehingga dia tidak tahan akan
peluru es sendiri, walau tidak sampai roboh, namun juga rada
sempoyongan. Melihat kesempatan baik, Dian Tjun lantas mencari lubang,
mendadak ia mengitar ke belakang dan membentak, "Anak
keparat, robohlah!" Berbareng itu toyanya lantas menyabet
bagian kaki Kong-tjiau.
Terpaksa Kong-tjiau melolos Peng-pok-han-kong-kiam
untuk menangkis, "trang", dalam keadaan lemah ia tidak
sanggup memegangi pedangnya lagi dan terlepas dari cekalan
karena benturan toya lawan, keruan Dian Tjun kegirangan,
segera toya-nya menghantam pula.
Jika hantaman toya Dian Tjun berhasil, andaikan tidak mati
tentu juga Kong-tjiau akan luka parah. Di luar dugaan
mendadak Dian Tjun menjadi menggigil, tangannya rada
gemetar sehingga hantaman toyanya menjadi melenceng.
Kiranya toyanya kebentur Peng-pok-han-kong-kiam tadi,
hawa maha dingin dari pedang inti es Kong-tjiau itu menyusup
ke tangannya dan baru sekarang hawa dingin itu mulai
bekerja. Di sebelah lain, Kim Tiok-liu sangat cekatan dan tajam
matanya, segera ia meloncat ke atas sehingga Han-kong-kiam
yang mencelat ke atas itu kena dipegangnya kembali, serunya,
"Tan-toako, kupinjam dulu pedangmu ini!"
Segera ia memutar sepasang pedang, dalam lingkaran
seluas dua-tiga meter terasa hawa dingin belaka. Sedikitpun
Peng Ki-yong bertiga tidak mampu mendekatinya lagi, bahkan
mereka merasa hawa dingin seakan-akan mencacah kulit
badan mereka, namun begitu mereka masih mengepung
sekuatnya. Centeng keluarga Tjo dengan sendirinya tidak mampu ikut
dalam pertempuran itu, mereka mengelilingi kalangan
pertempuran dari jauh.
"Lekas gunakan panah, bidik saja bocah she Tan itu!" teriak
Peng Ki-yong. Kong-Tjiau masih mengintil di belakang Kim Tiok-liu dengan
sempoyongan dan sedang bertahan sekuat tenaga agar
jangan sampai jatuh. Lambat laun langkahnya tambah lemas
dan tampaknya sukar mengikuti lagi tindakan Kim Tiok-liu,
centeng keluarga Tjo ada beberapa puluh jumlahnya, serentak
mereka membidikkan panah ke arah Kong-tjiau. Peng Ki-yong
bertiga beberapa meter jauhnya dari titik tengah kalangan
pertempuran sehingga mereka tidak takut terkena hujan
panah itu. "Pengecut!" bentak Tiok-liu murka.
Peng Ki-yong tertawa dingin, jengeknya, "Habis maunya
kalian minta dihajar adat. Jika kau takut mampus bolehlah
lekas melemparkan senjatamu. Jago panah kami tidak nanti
membidik lawan yang tak bersenjata." Nyata maksudnya
menyuruh Kim Tiok-liu menyerahkan diri saja.
Keruan Kim Tiok-liu tambah gusar, bentaknya, "Boleh juga
kulemparkan pedangku, tapi tukar dulu dengan kepalamu!"
Menyusul ia terus meloncat ke atas, lengan bajunya
mengecas dengan kuat sehingga anak panah yang
berhamburan itu terkena disampuk jatuh. Menyusul dari atas,
pedangnya terus menikam ke arah Peng Ki-yong.
Cepat Peng Ki-yong berjong-kok ke bawah, kedua tangan
memegang kedua ujung pentung baja terus ditangkiskan ke
atas. "Trang", suara nyaring disertai letikan api, kontan Peng
Ki-yong merasa kulit kepalanya seperti kesemutan. Untung
baginya, pada detik itu Dian Tjun dan Gui Ki menyerang
berbareng dengan dua macam senjata. Terpaksa Kim Tiok-liu
menarik kembali serangan susulannya untuk menjaga diri dan
lantas mundur pula t untuk melindungi Kong-tjiau.
Saking terkejutnya, Peng Ki-yong sampai mandi keringat
dingin, habis lolos dari lubang jarum, dengan gusar ia lantas
membentak, "Bangsat, coba kau maju lagi!"
Habis itu mereka bertiga lantas menerjang maju dengan
kerja sama yang rapat, lantaran harus menjaga keselamatan
Tan Kong-tjiau, yaitu menyampukkan anak panah yang
berhamburan bagai hujan, dengan sendirinya daya Han-kongkiam
yang dingin itu tidak dapat dikerahkan seluruhnya,
malahan lingkaran dinginnya makin lama makin menciut.
Dalam keadaan gawat itulah, tiba-tiba terdengar suara
bentakan seorang, "Hajar kawanan anjing! Pukul kawanan
anjing!" Hanya sekejap saja serombongan pengemis membanjir
datang dari bukit sana, sehingga centeng keluarga Tjo
berbalik terkepung rapat.
Peng Ki-yong menjadi gusar dan kuatir pula, bentaknya,
"Ong-totju, selamanya kita.....air sungai tidak menggenangi air
sumber (maksudnya tidak saling ganggu), untuk apa sekarang
kau datang kemari dengan anak-buahmu?"
Yang memberi komando tadi memang betul Ong Thay
adanya, dengan tertawa ia menjawab, "Bukankah kami sudah
menyatakan dengan tegas" Selamanya kaum pengemis adalah
tukang pukul anjing, terutama anjing-anjing galak. Kecuali
kalau anjing galak itu tidak menggigit manusia barulah kami
mau melepaskan dia pergi. Nah, Peng-taydjin, hehe, sekarang
kau sudah paham belum" Kau ingin dipukul kami atau tidak,
tinggal terserah kepadamu."
Begitulah Ong Thay bersuara, centeng keluarga Tjo itu
menjadi ketakutan dan lekas menyimpan kembali busur
mereka tanpa dikomando.
Rupanya kaki-tangan keluarga penguasa yang biasa
menindas rakyat itu paling takut kepada orang-orang Kaypang.
Soalnya Kay-pang adalah organisasi Kangouw terbesar,
kekuatan pemerintah juga tidak mampu mengatasi kaum
jembel seperti mereka. Biasanya petugas pemerintah
menganggap anak buah Kay-pang sebagai batu di dalam
kakus, keras lagi bau busuk, diperas bagaimanapun tidak
keluar minyak. Maka kalau kebentur orang Kay-pang,
dianggap mereka sendiri yang sial dan biasanya lantas cepat
ngacir. Dengan wajah merah padam, betapa gemas hati Peng Kiyong
namun tidak berani bertindak apa-apa lagi, pikirnya,
"Kawanan pengemis ini sukar dilayani, paling baik cari selamat
lebih dulu." Segera ia memberi tanda mundur kepada anak
buahnya, dalam sekejap saja mereka lantas kabur semua.
"Hahaha! Kawanan anjing sudah lari semua dengan mencawat
ekor!" sorak kaum pengemis dengan gembira.
Ketika melihat air muka Kong-tjiau pucat pasi, dengan kuatir
Ong Thay berkata, "He, kawan ini seperti keracunan?"
"Benar," kata Tiok-liu. "Kami tidak pulang ke hotel lagi.
Ong-totju, sekali ini terpaksa mesti membikin repot padamu."
"Aku justru datang untuk menyambut kalian, cuma sayang
terlambat sedikit," kata Ong Thay.
Jumlah kaum jembel itu sangat banyak, cara bekerjanya
juga cepat, hanya sebentar saja mereka sudah memotong
kayu dan membuatkan sebuah usungan untuk menggotong
Kong-tjiau yang sudah payah itu.
Ong Thay memberi tanda kepada Kim Tiok-liu agar
memperlambat langkahnya dan berjalan di belakang, lalu ia
tanya pemuda ini, "Kawanmu itu....."
"Dia bernama Tan Kong-tjiau, kau tentu kenal ayahnya
yaitu....."
Belum selesai Tiok-liu menutur, Ong Thay sudah menyela,
5 "Apakah putra Tan-tayhiap, Tan Thian-ih dari Sohtjiu?"
Agaknya dari Peng-pok-han-kong-kiam itu, Ong Thay lantas
dapat menerka asal-usul Kong-tjiau. Setelah dugaannya
dibe-I narkan, Ong Thay berkata pula dengan gegetun, "Wah
celaka!" "Celaka bagaimana?" tanya Tiok-liu. "Kawanmu kena
racun orang Thian-mo-kau, mungkin tak bisa hidup lebih dari
12 jam lagi," tutur Ong Thay. "Aku tidak tahu bahwa keluarga
Tjo juga menyembunyikan orang Thian-pno-kau, kalau tahu
tentu tadi takkan kulepaskan mereka."
"Jika demikian aku tidak sempat lagi mengirim dia pulang .
ke rumahnya untuk diobati ayahnya," ujar Tiok-liu.
"Tentu tidak sempat lagi, terpaksa harus diusahakan di sini
Juga." "Dengan Pik-ling-tan sedikitnya keselamatannya dapat di-I
pertahankan satu-dua hari dan dalam dua hari ini aku akan
berdaya menemukan obat penawarnya," kata Tiok-liu.
"Apakah kau sudah tahu siapa yang meracuni dia?" tanya
Ong Thay.

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seorang nenek, cuma asal-usulnya belum jelas," tutur
ITiok-liu. ia pikir perempuan iblis itu tentu bersembunyi di rufcnah
keluarga Tjo, paling tidak dari sana akan dapat diketahui
jejaknya. Sampai di markas cabang Kay-pang, Kim Tiok-liu minta Ong
Thay memberikan sebuah kamar untuk Kong-tjiau. Dengan
Lwekangnya, Kim Tiok-liu mencoba mengurut dan berusaha
melancarkan jalan darahnya. Cuma sayang kekuatan Kongtjiau
jendiri belum setingkat dengan Kim Tiok-liu sehingga tak
bisa .mengimbangi, hawa berbisa di dalam tubuh tak bisa
ditolak keluar. Namun begitu keadaannya juga sudah rada
kacek, lalu Kim Tio-liu memberi sebutir Pik-ling-tan lagi, air
muka Kong-tjiau ang pucat kemudian rada pulih kembali.
"Tan-toako," kata Tiok-liu kemudian. "Bukan maksudku
ingin tahu urusan pribadimu, tapi untuk mencari perempuan
tua bangka itu, tidak bisa tidak harus mengetahui asalTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
usulnya. Cara bagaimana kau berkenalan dengan nona Hekkoh
itu" Apakah kau tahu mak inangnya itu adalah orang
Thian-mo-kau?"
Kong-tjiau terkejut, "Apa" Mak inangnya adalah sisa dari
Thian-mo-kau?"
"Ong Thay melihat keadaanmu ini adalah akibat racun
buatan orang Thian-mo-kau," tutur Tiok-liu. "Dia sangat luas
pengalamannya, belasan tahun yang lalu juga pernah ikut
melabrak Thian-mo-kau, tentu pendapatnya tidak keliru."
"Yang kuketahui mak inang Hck- kch itu she Ho, biasanya
kami panggil dia Ho-toama. Sebelum ini malahan aku tidak
tahu bahwa dia mahir ilmu silat."
"Sekalipun Thian-mo-kau adalah agama sesat, tapi bukan
suatu aliran agama yang terlalu jahat," ujar Tiok-liu. "Seperti
ibu Le-toako dahulu pernah menjabat Kautju Thian-mo-kau,
tapi beliau sudah lama kembali ke jalan yang benar, sayang
kita tidak tahu apakah Le-toako sudah berada di Yangtjiu atau
belum. Jika kita dapat menemukan dia, tentu mudah untuk
mengobati kau. Orang Thian-mo-kau tidak seluruhnya jahat,
cuma cara nenek iblis itu benar-benar terlalu licik dan
pengecut."
"Sungguh tidak nyana Ho-toama adalah orang Thian-mokau,
pantas!" kata Kong-tjiau sambil menghela napas.
"Pantas apa?" tanya Tiok-liu.
"Pantas tiga tahun yang lalu Hek-koh sengaja memutuskan
hubungannya dengan aku, agaknya disebabkan mak inangnya
ini," kata Kong-tjiau, lalu ia pun menceritakan kisah
perkenalannya dengan Hek-koh.
Waktu itu Kong-tjiau baru saja mulai mencari pengalaman
di dunia Kangouw, pada suatu tempat yang sunyi dipergokinya
beberapa penjahat sedang menguntit seorang wanita muda
sembari mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh. Untuk
membela keadilan, Kong-tjiau mendamprat tingkah-laku
kawanan bangor itu, akibatnya tentu saja terjadi perkelahian.
Beberapa penjahat itu dihajar kabur oleh Kong-tjiau, tapi
Kong-tjiau sendiri juga terluka oleh sebuah pisau berbisa
musuh. Sesudah musuh kabur semua, wanita muda itu mendekati
Hong-tjiau dan berkata, "Jangan bergerak, akan kuobati
lukamu dan memunahkan racunnya."
Si nona lantas mengeluarkan sebatang jarum perak,
dengan lara yang mahir ia menusuk beberapa tempat Hiat-to
yang bersangkutan, lalu katanya pula dengan tertawa, "Hanya
sedikit rabun begini kukira tidak perlu makan obat juga akan
segera sem-luh."
Kong-tjiau tahu ada semacam pengobatan dengan tusuk
jarum dan baru sekarang ia mengalami sendiri, dengan heran
ia pantas bertanya, "Kau mahir memunahkan racun, tentu
ilmu sifatmu juga tidak sembarangan, tapi mengapa kau
terima dihina orang-orang tadi tanpa memberi hajaran
setimpal kepada merela?"
Nona itu menjawab, "Bukannya aku takut kepada kawanan
pbangsat tadi, soalnya mereka adalah orang Liok-hap-pang,
aku Ridak ingin bermusuhan dengan Liok-hap-pang. Tapi kau
sudah ikut campur, terpaksa aku tak bisa memikirkan hal itu
lagi. Sesungguhnya kalau tadi kau tidak campur tangan
menghajar mereka, sebentar kalau sudah malam tentu aku
akan menghajar me-freka dengan caraku sendiri." Meski tidak
tahu apa cara si nona, lapi dapat juga diduga tentu akan
digunakan racun atau sebang-sanya untuk membereskan
musuh. Selesai menuturkan kisahnya, lalu Kong-tjiau
menambahkan, "Sesungguhnya perangai Hek-koh sangat
lemah-lembut, se-dikitpun tidak mirip orang dari Sia-pay. Aku
sering merasa heran mengapa gadis baik-baik seperti dia
justru mahir menggunakan racun yang jahat, tapi sekarang
aku menjadi jelas, kiranya kepandaiannya itu adalah ajaran
mak inangnya."
"Apakah kau juga mengetahui asal-usul keluarganya?"
tanya Tiok-liu.
"Dia she Tjiok, sudah yatim piatu sejak kecil. Dia
dibesarkan oleh mak inangnya, dia mempunyai seorang
paman bernama Tjiok Kok-hong yang rada terkenal di
kalangan Hek-to, tapi jarang berhubungan sejak ayahbundanya
meninggal dunia. Kim-heng, bagaimana
pendapatmu tentang asal-usul keluarganya" Rada-rada luar
biasa bukan?"
"Ki-pepekku adalah seorang pencopet, aku tidak pernah
memandang hina orang berasal dari kalangan Liok-lim
(penjahat), sebab itulah aku tidak merasa asal-usul gadismu
itu rada luar biasa. Yang harus dikuatirkan adalah apa yang
dia katakan padamu tidak seluruhnya benar."
"Sayang pendapat ayahku rida* sa na dengan kau," kata
Kong-tjiau. "O, paman tidak mengizinkan kau bergaul dengan dia?"
tanya Tiok-liu.
"Ayah menganggap asal-usulnya tidak beres, pula bukan
keluarga baik-baik. Ayah menganggap seorang wanita muda
demikian justru mahir menggunakan racun, hal ini
mencerminkan asal-usulnya tentu bukan dari keluarga yang
baik, maka aku dianjurkan menjauhinya."
Maklumlah, Tan Thian-ih berasal dari keluarga bangsawan,
ayahnya pernah menjabat duta di Tibet, mesti Thian-ih sendiri
tidak pernah menjadi pembesar negeri dan sudah berubah
menjadi orang Bu-lim murni, tapi pandangannya masih kukuh
Dia mau bergaul dengan orang Liok-lim, tapi tidak sudi punya
menantu dari keluarga tidak genah.
"Asalkan kalian saling mencintai dengan tulus hati dan kau
yakin pula dia bukan orang jahat, maka aku bersedia
membantu kau untuk membujuk paman agar meluluskan
keinginanmu untuk menikah dengan dia," kata Tiok-liu.
"Sudah tentu aku yakin Hek-koh adalah nona yang baik,"
kata Kong-tjiau. "Aku pun pernah mengatakan kepada ayah
bahwa belum pernah kulihat Hek-koh mencelakai orang lain
meski dia mahir menggunakan racun. Racun juga seperti
golok, pedang dan senjata lain, semuanya bisa membikin
celaka orang lain. Asalkan dipakai pada saat yang tepat dan
tidak disalah-gunakan, maka kukira apa salahnya orang mahir
menggunakan racun?"
"Aku sependapat dengan kau," ujar Tiok-liu. "Dan
bagaimana dengan pendapat paman?"
"Ayah kewalahan atas bantahanku, maka beliau
menyanggupi akan menyelidiki dahulu asal-usul Hek-koh dan
kemudian akan mempertimbangkan perjodohanku. Aku tahu
ayah sangat sayang padaku, tapi terhadap urusanku dengan
Hek-koh sebenarnya dia tidak senang."
"Tapi paman sudah mau mengalah, kukira urusan akan
menjadi beres dan aku pun tidak perlu ikut omong lagi."
"Tapi tembus satu rintangan ternyata masih ada rintangan
yang lain, semula aku mengira ayah sudah setuju dan pihak
Hek-koh sana tentunya tidak menjadi soal lagi."
Bicara sampai di sini, muka Kong-tjiau menjadi merah
ketika melihat Kim Tiok-liu memandangnya dengan
tersenyum, dengan suara lirih ia melanjutkan lagi, "Bukannya
aku sok berpikir muluk-muluk, soalnya mesti Hek-koh tidak
bicara terus terang, namun perasaanku dapat mengetahui
bahwa dia benar-benar mencintai aku."
"Jika begitu, apa sebabnya kemudian dia menolak lamaranmu?"
tanya Tiok-liu.
"Apalagi kalau bukan mak inangnya yang menggagalkan
hubungan kami," tutur Kong-tjiau. "Ketika aku berkunjung ke
rumahnya dan hendak mengutarakan isi hatiku, ternyata
sambutannya sangat dingin, dia bahkan minta aku untuk
melupakan dia saja. Aku bertanya kepadanya apakah karena
dia sudah mempunyai pilihan lain" Tapi dia menyatakan
selama hidupnya takkan kawin, apa alasannya tidak dia
jelaskan padaku, hanya dia tidak mau bertemu lagi dengan
aku. Ketika aku mendesak lebih Jauh, dia lantas berlari masuk
ke kamarnya dan tidak keluar lagi. Terpaksa aku
meninggalkan rumahnya dan tidak punya keberanian untuk
menemuinya. Sampai saat ini aku masih belum tahu apa
sebabnya dia mendadak berubah menjadi begitu."
"Baiklah, sekarang juga aku akan pergi mencari
jawabannya bagimu," kata Kim Tiok-liu.
Ia sudah mencari tahu dimana letak rumah keluarga Tjo,
maka sekeluarnya dari markas Kay-pang, segera ia menuju ke
tempat tujuan. Rumah keluarga Tjo berada di barat kota Tjelam, jaraknya
kira-kira belasan li, gedungnya mentereng dan dibangun
membelakangi bukit. Dari jauh sudah tampak papan nama
yang tertulis dengan huruf besar dan bercat emas. Setiba di
situ, hari masih remang-remang, fajar belum lagi tib*.
Di depan pintu ada empat pengawal sedang meronda kian
kemari, Tiok-liu lantas menjemput sepotong batu kecil dan disambitkan
ke atas pohon dan mengejutkan burung-burung
yang bersarang di pohon itu, suara kresekan itu membikin
penjaga-penjaga itu terkejut dan sama menengadah.
Kesempatan itu segera digunakan oleh Kim Tiok-liu untuk
melintasi pagar tembok.
Sudah tentu para penjaga itu merasa curiga, tapi mereka
tidak berani melapor karena tidak jelas melihat jejak musuh,
pula tidak berani meninggalkan tempat penjagaan.
Di balik tembok ternyata adalah sebuah taman bunga yang
luas, gedung-gedung berjajar tak terhitung banyaknya,
sungguh suatu komplek perumahan yang megah. Tiok-liu pikir
tangkap penjahat harus tangkap benggolannya lebih dulu, jika
putera kesayangan Tjo Tjin-yong sudah kubekuk masakah
kuatir tidak mendapatkan obat penawarnya" Tapi dimanakah
bocah itu tinggal, sukar juga untuk mencarinya.
Selagi ia mencari akal cara bagaimana menemukan tempat
sasaran, tiba-tiba Tiok-liu mendengar di balik sebuah gununggunungan
sana ada suara kresekan. Semula disangkanya
penjaga malam yang sedang meronda, maka dengan hati-hati
ia mendekatinya. Ketika diintip, kiranya ada sepasang laki-laki
dan perempuan dalam keadaan pakaian tak teratur dan
rambut kusut, keduanya baru menerobos keluar dari gua
gunung-gunungan.
Terdengar yang perempuan berkata, "Hari hampir pagi,
lekas kau kembali saja!" Rupanya dua hamba laki-laki dan pe-I
rempuan keluarga Tjo bergendakan dan mengadakan
hubungan I gelap di situ.
Dengan rasa geli, mendadak Kim Tiok-liu melompat keluar,
laki-laki muda itu lantas dibekuknya. Keruan yang perempuan
ketakutan setengah mati, mulurnya terpentang lebar dan j
bermaksud menjerit.
Tapi Tiok-liu lantas mengancam dengan tertawa, "Boleh f
kau menjerit yang keras, biar semua orang datang
menyaksikan perbuatan kalian ini."
Karena itu si budak baru ingat bahwa pertemuan gelap
mereka memang sekali-kali tidak boleh diketahui orang, lekas
ia tu-I tup mulut lagi dengan badan gemetar.
Sebaliknya yang laki-laki itu lebih tenang, meski kena
dibekuk Kim Tiok-liu, tampaknya tidak begitu gugup. Ia
berkata, "Jangan bercanda, Lauko (saudara). Apa yang kau
perlukan, silahkan bicara saja."
Rupanya ia menyangka Kim Tiok-liu juga sama-sama ka-um
hamba dari bagian lain yang kebetulan memergoki perbuatan
mereka dan bermaksud memerasnya, maka dia bersedia
menyogoknya. Kim Tiok-liu lantas memutar tubuh orang itu, katanya
dengan tertawa, "Coba kau pandang siapakah aku ini" Siapa
sudi bercanda dengan kau!"
Baru sekarang bocah itu melihat jelas Kim Tiok-liu adalah
orang asing baginya, ia menjadi gugup, katanya cepat,
"Siapakah tuan, apa kehendakmu?"
"Aku adalah teman tuan-muda kalian. Aku hendak mencari
tuanmu, maka lekas kau bawa aku kepadanya. Jika tidak, hm,
akan kuikat kalian di sini supaya ditonton orang akan
perbuatan kalian yang baik ini."
Bocah itu cukup cerdik, sudah tentu ia tidak percaya Kim
pok-liu adalah teman sang majikan, tapi di bawah ancaman ia
pun tidak berani membangkang, segera ia menjawab, "Aku
tidak berani membawa kau ke tempat Toasiauya, hanya dapat
kutunjukkan tempatnya."
"Baik, tapi awas, jangan dusta, jika dusta akan kuhukum
juga kalian," kata Tiok-liu, lalu ia melepaskan baju orang itu,
kemudian ikat pinggang si budak perempuan juga diambilnya,
kedua barang itu ditindih dengan sepotong batu besar, lalu
katanya lagi, "Jika kau menipu aku segera akan kubongkar
perbuatan kalian yang tidak senonoh ini. Barang-barang di
bawah batu ini adalah bukti nyata. Tapi kalau kau tidak dusta,
maka aku pun akan tutup mulut, barang-barang ini lain hari
boleh kalian gali keluar."
Batu besar itu ada beberapa ratus kati beratnya, Kim Tiokliu
menaksir kedua orang itu takkan mampu menggesernya
sedi-kitpun. Orang itu menjadi ketakutan demi melihat tenaga Kim Tiokliu
sedemikian hebat, cepat ia menjawab, "Aku masih ingin
hidup, mana aku berani menipu padamu. Marilah ikut
padaku." Mengikuti petunjuk orang itu mengitar ke sana dan
membelok lagi beberapa kali, akhirnya sampai di depan
sebuah gedung bersusun cat merah. Dengan suara berbisik


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang itu berkata, "Siauya berada di atas loteng ini, di kamar
Sam-ih-thay (nyonya muda ketiga)."
Kiranya budak yang bergendakan dengan dia adalah
pelayan Sam-ih-thay. Semalam si budak selesai meladeni
tuannya masuk kamar, lalu mengeluyur keluar untuk
mengadakan pertemuan gelap.
"Baiklah, boleh kau kembali ke sana, lain kali hati-hati ya,"
ujar Tiok-liu tertawa. Dengan Ginkang yang tinggi segera ia
melayang ke atas loteng.
Kim Tiok-liu sudah mendapat ajaran macam-macam
kepintaran sebagai maling dari Copet Sakti Ki Hiau-hong.
Meski pintu kamar dipalang dari dalam, Tiok-liu tidak menemui
kesukaran untuk membukanya.
"Tjo-toasiauya, hari sudah pagi, bangunlah!" demikian ia
lantas menegur dengan tertawa, berbareng kelambu lantas
dita-I tiknya. Pada saat yang sama terdengar seorang wanita berkata,
"O, kau sudah kembali.....he, sia.....siapa kau....."
Tapi dengan cepat Kim Tiok-liu mendekap mulut wanita 1
itu dan mengancam, "Diam! Siapa yang kau nantikan?"
Kiranya di tempat tidur itu hanya terdapat Sam-ih-thay dan
tidak terdapat Tjo-toasiauya. Baru sekarang wanita itu
mengetahui orang yang berdiri di hadapannya adalah orang
yang tak dikenal, ia menjadi gemetar ketakutan.
Karena tidak tahu apa maksud tujuan Kim Tiok-liu, dengan
wajah merah dan takut ia berkata pula, "Mo.....mohon tuan
mengampuni aku, jika kau ingin harta bolehlah
di.....dirundingkan nanti."
"Kurangajar! Memangnya kau sangka aku ini siapa?"
damprat Tiok-liu. "Aku tidak mau apa-apa, cukup asal kau
mengaku terus terang saja. Kalau tidak, hehe, terpaksa jangan
menyalahkan aku."
Dengan muka merah dan takut-takut wanita itu
memanggul. "Dimanakah Toasiauya?" tanya Tiok-liu. "Subuh tadi dia
telah pergi dari sini." "Kemana?" desak Tiok-liu.
"Katanya pergi menemui seorang Ho-toanio yang ada
hubungannya dengan Liok-hap-pang apa, entahlah, aku
sendiri tidak jelas."
Kim Tiok-liu sangat girang, ia pikir nenek keparat itu
ternyata benar bersembunyi di sini. Menurut perkiraannya
sesudah ngacir dan lari ke rumah keluarga Tjo ini kira-kira
waktunya adalah menjelang subuh. Agaknya nenek itu terluka
dan ada urusan penting yang harus dibicarakan, kalau tidak
tentu Tjo-toasiauya takkan dipanggil keluar dari kolong
selimutnya yang hangat itu.
"Dan dimana lagi Ho-toanio yang kau katakan itu?" tanya
Tiok-liu kemudian.
"Entah, aku sendiri tidak tahu, Toasiauya juga tidak
mengatakan padaku."
"Paling tidak kau kan tahu tempat yang biasa digunakan dia
untuk menemui tamu" Hendaklah tahu bahwa Ho-toanio itulah
orang yang hendak kucari sekarang, jika kau tidak dapat
menerangkan terpaksa aku menyeret kau pergi mencarinya
bersama." Sudah tentu wanita itu tidak ingin malu, sesudah berpikir
sejenak lalu menjawab, "Ho-toanio itu tentunya berada di
ruang Tjui-bi-han di tengah taman bunga, letaknya di sebelah
timur taman, belakangnya ada dua buah gunung-gunungan
dan di depannya ada kolam bunga teratai, sangat mudah
untuk diketemu-kan."
"Baiklah, akan kucari sendiri, kau boleh tidur lagi," kata
Tiok-liu, segera ia menutuk Hiat-to tidur wanita itu sehingga
tidak sadarkan diri.
Selagi hendak ditinggal pergi, tiba-tiba Kim Tiok-liu
mendapat suatu akal, segera ia pulung sebutir daki dan
dijejalkan pula di mulut wanita itu. Dengan cara begini ia
pernah menakut-nakuti Bun To-tjeng, maka sekarang diulangi
lagi cara yang sama untuk mempermainkan musuh.
Begitulah, di tengah taman Kim Tiok-liu dapat menemukan
Tjui-bi-han yang dimaksud. Baru saja ia akan mendekati
rumah itu, tiba-tiba terdengar suara seorang yang sudah
dikenalnya sedang berkata, "Pangtju menyuruh aku
menyampaikan terima kasih kepada mak comblang, siapa tahu
mak comblangnya telah menjadi basah kuyup seperti ayam
kecemplung sumur. Namun begitu Pangtju pasti tidak lupa
atas bantuanmu sepenuh tenaga ini."
Tiok-liu terkesiap, pikirnya, "Datangnya perempuan keparat
ini tentu menambah kesukaranku jika nanti terpaksa memakai
kekerasan."
Kiranya yang bicara itu adalah Tang Tjap-sah-nio, tokoh
Liok-hap-pang yang lihai, di dalam Liok-hap-pang kepandaian
Tang Tjap-sah-nio hanya di bawah Su Pek-to dan boleh dikata
selisih tidak jauh dari Kim Tiok-liu.
Sementara itu fajar sudah hampir menyingsing, di luar
rumah sudah mulai remang-remang, tapi di dalam rumah
masih dinyalakan lilin. Dengan bersembunyi di balik gununggunungan,
Kim Tiok-liu mengintip ke dalam, ternyata di dalam
penuh orang. Ho-toanio kelihatan berbaring di tempat tidur, di
sebe-ahnya terdapat Tjo Thong, majikan muda keluarga Tjo,
lalu ada eng Ki-yong, ada Tang Tjap-sah-nio dan kedua jago
baru ke-rga Tjo, yaitu Dian Tjun dan Gui Ki. Terdengar Hotoanio
menyatakan rasa menyesalnya, katanya, "Bocah she
Kim itu benar-benar sangat lihai, semalam kami rjungkal
semua di tangannya."
"Kita sih sudah lumrah, malahan kabarnya Su-toapangtju
ndiri juga pernah kecundang di tangan bocah itu," ujar Peng lyong.
Dengan tertawa Tang Tjap-sah-nio menjawab, "Asalkan
rjodohan ini berlangsung dengan baik, tentu Su-Pangtju akan
embalaskan dendam kalian. Bocah she Kim itu memang hebat,
ipi dibandingkan Pangtju kami masih selisih terlalu jauh. Cuma
angtju masih banyak urusan penting yang lain sehingga
semenku belum sempat melabraknya."
"Ya, tentu, tentu!" lekas Tjo Thong menyanjung. "Liok-appang
adalah organisasi terbesar di Kangouw, banyak jago
tenaga pilihan, masakah ngeri terhadap seorang bocah ingusTidak perlu Pangtju kalian maju sendiri, cukup Tang Tjap-hnio
yang maju saja sudah lebih dari cukup untuk menghadapi
bocah itu. Hanya saja bocah itu memang suka mengacau,
betapapun perbuatannya sangat menjemukan, maka
sebaiknya lekas dibereskan agar kita bisa tenteram. Bocah itu
sekarang terada di markas cabang Kay-pang di Tjelam sini,
kita sudah dapat keterangan dengan jelas bahwa saat ini di
sana tiada orang kosen apa-apa, kawan Kim Tiok-Iiu itupun
sudah terluka, Ong Thay hanya jago kelas dua atau tiga. maka
saat inilah yang paling bagus jika ingin membereskan bocah
she Kim itu."
Rupanya sejak peristiwa di tepi Tay-beng-oh dahulu, Tjo
Thong menjadi sakit hati benar terhadap Kim Tiok-liu. Sebagai
keluarga berpangkat dan berharta, ia sendiri tidak berani
mengusik Kay-pang, maka sekarang sengaja mengadu-domba
agar Liok-hap-pang bermusuhan dengan Kay-pang.
Ia tidak tahu bahwa Tang Tjap-sah-nio juga pernah
menelan pil pahit dari Kim Tiok-liu, biarpun Tjap-sah-nio masih
suka membual, tapi sesungguhnya dia merasa ngeri terhadap
Tiok-liu dan Kay-pang. Sudah tentu ia tidak mau masuk
perangkap Tjo Thong.
Maka katanya dengan tertawa, "Tjo-kongtju jangan kuatir.
Pangtju kami sudah memperhitungkan kedatangan bocah she
Kim di Yangtjiu dalam waktu dekat ini, setiba di pangkalan
kami masakah kuatir dia mampu lolos dari telapak tangan
Pangtju kami" Maka kukira tidak perlu mengutiknya di sini.
Apalagi di sini ada Kay-pang yang melindungi dia, untuk
sementara ini Pangtju juga sedang sibuk mengatur urusan
pernikahan adik perempuannya dan mungkin tak bisa
mengirim bala bantuan ke sini."
Mestinya Tjo Thong hendak menggunakan kekuatan Liokhappang, maka ia menjadi kecewa mendengar jawaban Tjapsahnio itu. Tapi ia pun tak bisa memaksa, terpaksa berkata,
"O, kiranya adik perempuan Su-pangtju hampir kawin" Entah
keluarga manakah pihak mempelai laki-laki itu?"
"Mempelai laki-lakinya ialah Sedjiang Tjiangkun Swe Benghiong,"
jawab Tjap-sah-nio dengan bangga
Dengan sangsi Ho-toanio bertanya, "Maaf, mengapa
kudengar berita yang tersiar katanya Pangtju kalian hendak
menjodohkan adik perempuannya kepada seorang pemuda
she Le, pemuda yang menjadi Kautju baru Thian-mo-kau."
"Hahaha, Ho-toanio, agaknya kau sangat memperhatikan
Kautju baru kalian bukan?" jawab Tjap-sah-nio dengan
tertawa. "Cuma setahuku bocah she Le itu sedikitpun tidak
mempunyai minat buat membentuk kembali Thian-mo-kau.
Yang Go dan komplotannya juga tidak sungguh-sungguh
hendak mendukung dia sebagai Kautju baru."
Kuatir dicurigai orang, cepat Ho-toanio berkata, "Dua puluh
tahun yang lalu Le Hok-sing dan isterinya tidak mau menerima
nasihat kami dan membubarkan Thian-mo-kau yang sudah
begitu besar. Orang-orang bekas Thian-mo-kau benar-benar
sangat kecewa terhadap tindakannya itu, maka sekalipun dia
kembali juga kami tidak mau mendukung dia sebagai Kautju,
apalagi ' sekarang adalah anaknya. Lebih-lebih belum
diketahui dengan pasti apakah bocah she Le itu betul-betul
adalah putera mereka?"
"Benar," kata Tjap-sah-nio. "Ho-toanio, bukan aku sengaja
menjunjung engkau. Menurut pendapatku, seumpama Thianmokau hendak dibangun kembali. Calon Kautju baru yang
paling memenuhi syarat jelas adalah kau sendiri, mengapa
mesti diberikan kepada seorang bocah kemarin sore."
Alangkah senang Ho-toanio, sahurnya, "Bila Thian-mo-kau
berhasil dibentuk kembali, tentu kami akan menjadikan haluan
Pangtju kalian sebagai pedoman kerja kami. Jadi kembali
pertanyaanku tadi, berita yang kudengar tentang jodoh adik
pe-pempuan Pangtju kalian itu hanya kabar bohong saja?"
"Bohong seluruhnya sih tidak," ujar Tjap-sah-nio dengan
tertawa. "Soalnya cuma Pangtju kami sengaja membikin
senang Itati bocah she Le itu, dia masuk perangkap, sama
halnya seperti Icau menggarap bocah she Tan itu."
Ho-toanio tertawa senang, katanya, "Makanya kubilang
fcocah itu mana sesuai untuk memperistrikan adik perempuan
Pangtju kalian, kiranya demikian halnya."
Tjo Thong tidak paham urusan Kangouw, juga tidak tahu
[siapakah 'bocah' she Le yang dibicarakan, tetapi panglima
Sedjiang Swe Beng-hiong cukup dikenalnya, maka cepat ia
menyanjung, "Swe-tjiangkun adalah panglima terpercaya Sri
Baginda, perjodohan dengan adik perempuan Pangtju benarbenar
sangat cocok. Bilakah hari nikahnya, harap nanti
memberitahu aku, agar aku dapat mengirim sedikit oleh-oleh."
"Masih belum waktunya," kata Tjap-sah-nio pula. "Rupanya
Pangtju kami ingin pesta untuk dirinya sendiri lebih dulu dan
kemudian baru adik perempuannya. Cuma maksudnya dapat
terjadi atau tidak agaknya mesti terserah pada Ho-toanio."
"Jangan kuatir, tanggung beres," sahut Ho-toanio. "Siotjia
adalah aku yang membesarkan dia, jika aku sudah menerima,
masakah dia berani menolak."
Mendengar sampai di sini baru Kim Tiok-liu paham
duduknya perkara. Kiranya nenek keparat ini ingin
menjodohkan Hek-koh kepada Su Pek-to, pantas semalam dia
ingin membinasakan Kong-tjiau.
Dalam pada itu fajar sudah menyingsing, cuaca sudah
mulai terang. Dua budak cilik tampak datang dengan
tergopoh-gopoh, agaknya mereka telah menemukan Sam-ihthay
dalam keadaan payah, maka cepat datang memberi
laporan. Datangnya kedua budak itu mau tak mau membuat jejak
Kim Tiok-liu jadi terbongkar, la pikir harus mendahului turun
tangan sebelum musuh sempat bertindak.
Belum lenyap pikirannya, tiba-tiba terdengar Tang Tjapsahnio sudah membentak, "Siapa itu?"
Dari balik jendela, Tjo Thong mengenali pendatang itu
adalah pelayan selirnya, dengan tertawa ia berkata, "Ah,
pelayan Djun-lan dari kamarku."
Namun Tjap-sah-nio lantas berseru lagi, "Awas!" Pada saat
yang sama terdengarlah suara mendesingnya senjata rahasia,
sepotong batu kecil menyambar tiba.
Sekali dorong Tjap-sah-nio menolak Tjo Thong ke samping,
Peng Ki-yong berdiri di belakang Tjo Thong segera mengulur
tangan untuk menangkap batu itu. Tak terduga telapak
tangannya terasa sakit juga oleh timpukan batu itu, serunya
seketika, "Wah, tentu bocah she Kim itu!"
Cepat Tang Tjap-sah-nio menerjang keluar, dilihatnya Kim
Tiok-liu berdiri di atas gunung-gunungan dan sedang bergelak
tertawa. "Bagus, ternyata memang kau anak keparat ini!"
dampratnya gusar.
Dari atas Kim Tiok-liu menggunakan pedangnya menyampuk
cambuk yang disabetkan oleh Tjap-sah-nio sambil menja"wab, "Benar, bukankah kadatanganku akan menghemat
tenagamu daripada kau jauh-jauh pulang ke Yangtjiu?"
Peng Ki-yong juga sudah memegang pentungnya,
bentaknya, "Bocah kurangajar, semalam kau berhasil lolos,
sekarang jangan harap bisa lari lagi."
"Apa betul?" ejek Kim Tiok-liu. "Tapi aku memangnya tidak
ingin lari."
Segera Peng Ki-yong mengacungkan pentungnya
menyerang ke atas, tapi berturut-turut Kim Tiok-liu menusuk
dua-tiga kali dari atas, terpaksa Peng Ki-yong mundur dua
tindak, ketika Kim Tiok-liu memutar pedangnya lagi, kembali
cambuk Tang Tjap-sah-nio kena ditangkis pergi.
Mestinya gabungan Peng Ki-yong dan Tang Tjap-sah-nio
dengan mudah dapat mengalahkan Kim Tiok-liu, cuma Tiok-liu
berdiri di tempat tinggi yang lebih menguntungkan, maka
dalam waktu singkat mereka tidak mampu menyerang ke atas,
sebaliknya Kim Tiok-liu malah bisa menyerang secara gencar.
Dalam pada itu budak tadi sudah berlari ke dalam ruangan
,ian berseru dengan napas terengah-engah, "Celaka,
Kongtjuya, celaka!"
"Celaka apa?" tanya Tjo Thong bingung.
Lapor si budak, "Sam-ih-thay mulurnya berbusa dan tak
bisa bergerak lagi!"
Keruan kejut Tjo Thong tidak kepalang, dengan kuatir ia
penegas, "Apakah napasnya masih bekerja?"


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Napasnya sih masih ada, hanya saja tak bisa bicara," tutur
si budak. "Hehe, terus terang kukatakan, si cantik kesayanganmu itu
tadi telah kuberikan sebutir obat, seketika rasanya dia takkan
mampus, tapi lewat dua jam lagi tentunya aku tidak berani
menjamin lagi akan jiwanya," sela Tiok-liu dengan tertawa.
Tjo Thong menjadi gusar dan cemas, dampratnya dari
dalam, "Kurangajar, kau berani meracuni istri kesayanganku,
segera kucabut nyawamu!"
"Kalau ingin jiwanya selamat kukira kau harus mohon dulu
padaku," sahut Kim Tiok-liu. "Hanya ada satu jalan, boleh kau
suruh perempuan tua bangka itu menukar dengan obat
penawarnya."
Kim Tiok-liu mengira dengan caranya menggertak Bun Totjeng
dahulu akan dapat pula menipu Tjo Thong untuk
menerima syaratnya. Tak terduga Ho-toanio adalah seorang
ahli pemakai racun. Begitu mendengar laporan si budak
segera ia mengetahui selir kesayangan Tjo Thong itu hanya
kena tertutuk Hiat-to bagian tertentu dan bukan keracunan.
Dengan tertawa dingin Ho-toanio lantas berkata, "Jangan
kuatir Tjo-kongtju, Sam-ih-thay bukan keracunan, sekalipun
keracunan juga pasti dapat kusembuhkan."
Mendengar ucapan Ho-toanio yang meyakinkan itu barulah
Tjo Thong merasa lega, katanya, "Baik, sekarang aku
menginginkan jiwa bocah itu."
Mendengar ucapan majikannya, tanpa diperintah lagi
segera Dian Tjun dan Gui Ki melolos senjata terus menubruk
ke arah Kim Tiok-liu. Ho-toanio juga ikut maju dengan
tengkarnya, Je-ngeknya, "Anak bedebah, kau berani pamer
kepandaian memakai racun di hadapanku, itu berarti kau
banyak lagak dan tidak tahu diri."
Di bawah kerubutan dua jagoan kelas tinggi, kedudukan
Kim Tiok-liu menjadi rada berat, ia pikir untuk menang
harapan sangat tipis, paling perlu kabur lebih dulu kemudian
mencari jalan lain.
Mendadak ia melompat ke sana, di waktu bergerak sebelah
tangannya lantas memukul sehingga sepotong batu karang di
atas gunung-gunungan itu kena ditolak ke bawah. Segera
Peng fei-yong menyampuk dengan pentungnya, "biang", batu
itu pelati berantakan. Dalam pada itu dengan cepat luar biasa
Kim Tiok-liu sudah melompat turun ke sebelah sana dan
menyusup ke tengah semak-semak tanaman yang menjurus
ke pintu taman.
"Kalian berdua mencegat ke sebelah barat sana!" seru Hotoanio.
Saat itu Gui Ki dan Dian Tjun lagi memburu maju, segera
mereka menuruti perintah Ho-toanio itu.
Kim Tiok-liu menjadi gusar, bentaknya, "Aku justru ingin
tahu kemampuanmu!" Berbareng itu ia lantas menerjang balik
ke arah Ho-toanio malah. Tujuannya hendak membekuk Hotoanio
dengan cara kilat.
Namun jarak mereka ada belasan meter jauhnya, betapaIpun cepatnya Kim Tiok-liu seketika sukar mencapai
sasarannya. Kesempatan itu segera digunakan oleh Ho-toanio
untuk mengagunkan tangannya, "pluk", segulung kabut tebal
lantas menabur rfce muka Kim Tiok-liu dengan suara
mendenyit diseling gemer-Hepnya cahaya emas.
Senjata rahasia itu disebut 'granat asap berjarum emas',
Kim Tiok-liu pernah melihat Su Ang-ing memakai senjata rahaUia demikian, maka ia tahu akan kelihaian senjata ini. Cepat ia
melompat mundur untuk menghindar.
Berbondong-bondong Ho-toanio menyambitkan tiga buah
jjenjata rahasia itu sehingga semak-semak bunga itu tidak
dapat dibuat sembunyi lagi, di sebelah utara adalah pagar
tembok gedung induk, menyingkir ke sana akan berarti masuk
perangkap musuh, di sebelah selatan adalah kolam teratai.
Dalam keadaan tiada jalan lain terpaksa Tiok-liu mundur ke
sebelah barat. Kebetulan Gui Ki dan Dian Tjun sudah menunggu di situ,
segera mereka membentak dan dua macam senjata bekerja
sekaligus. Dalam pada itu Tang Tjap-sah-nio dan Peng Ki-yong
juga udah memburu tiba.
Supaya tidak terkepung, segera Kim Tiok-liu mendahului
menyerang dengan gencar, sekaligus ia melancarkan serangan
maut kepada kedua musuh yang mencegat itu. Tapi Dian Tjun
dan Gui Ki bukan jago keroco, sekalipun Kim Tiok-liu dengan
gampang dapat mengalahkan mereka, tapi juga tak bisa
terlaksana dalam dua-tiga gebrak saja.
Tampaknya Peng Ki-yong dan Tjap-sah-nio juga hampir
menyusul tiba, sekonyong-konyong Dian Tjun menjerit sekali
terus roboh, Gui Ki memaki, "Keparat, kau memakai.....'"
Belum sempat bicara lebih banyak, pedang Kim Tiok-liu sudah
mampir di tubuhnya, ia terhuyung dan akhirnya juga roboh
terkapar. Tiok-liu sangat heran, pikirnya, "Siapakah yang membantu
aku dengan senjata rahasia?"
Tapi keadaan tidak mengizinkan dia berpikir lebih banyak
lagi, Tang Tjap-sah-nio sudah tiba, segenggam jarum terus
ditaburkan ke arahnya, cambuknya juga menyabet ke
punggungnya. Cepat Kim Tiok-liu memutar pedang ke belakang, cambuk
musuh disampuk pergi. Dalam pada itu secepat kilat pentung
Peng Ki-yong juga sudah menghantam, tapi dengan
Ginkangnya yang lihai Kim Tiok-liu meloncat ke atas, ujung
kaki sempat menginjak batang pentung lawan, menyusul ia
lantas berjumpalitan ke belakang sejauh beberapa meter.
"Bagus, hendak lari kemana kau, anak keparat!" bentak
Tang Tjap-sah-nio, berbareng cambuknya lantas menyabet
pula. Ginkang Tjap-sah-nio tidak mampu memadai Kim Tiok-liu,
tapi cambuknya yang panjang itu menguntungkan dia, cukup
dia memburu maju beberapa tindak saja cambuknya sudah
dapat mencapai sasarannya lagi.
Karena sukar mengelak, terpaksa Kim Tiok-liu membalik
untuk menyambut serangannya, hanya sekejap saja Peng Kiyong
juga sudah menyusul datang pula dan mengurungnya
dari sebelah sini.
Tiok-liu menjadi gemas, ia menyerang beberapa kali
dengan gencar untuk mendesak mundur Peng Ki-yong, tapi
cambuk Tang Tjap-sah-nio yang lincah dan hidup bagai ular
masih terus menyambar.
"Bret", ujung cambuk menyerempet lewat, baju Kim Tiokliu
sobek bertebaran dalam potongan kecil-kecil. Syukur
dengan langkah Thian-lo-poh-hoat ia dapat menghindar tepat
pada waktunya sehingga kulit dagingnya tidak sampai terluka.
Dikerebut dari muka belakang, Kim Tiok-liu kurang leluasa
melayani mereka, ia pikir kalau nenek iblis itu datang lagi
membantu, tentu aku bisa celaka. Ia menjadi nekat dan
bermaksud melancarkan ilmu pedang yang lihai untuk hancur
bersama musuh. Tiba-tiba didengarnya Ho-toanio bersuara
heran, waktu Tiok-liu melirik, tampak nenek itu sedang
memeriksa keadaan Dian Tjun dan Gui Ki seakan-akan
menemukan sesuatu yang membuatnya heran dan ngeri.
"Apakah dia sudah tahu siapa penimpuk senjata rahasia
yang membantu aku itu dan dia rada segan kepada orang
itu?" demikian pikir Tiok-liu.
Dalam pada itu, tiba-tiba terdengar pula suara riuh ramai
orang berteriak, "Tolong! Kebakaran! Lekas padamkan api!"
Waktu memandang ke sana, Tiok-liu melihat tempat Samphthay yang didatanginya tadi sedang kebakaran, api tampak
menjilat-jilat ke atas.
Keruan Tjo Thong kelabakan, kualir kalau selir
kesayangannya itu binasa di tengah api, cepat ia berseru,
"Peng-siansing, lekas kembali, padamkan api paling perlu!"
Karena panggilan itu, Peng Ki-yong dan Tang Tjap-sah-mio
menjadi rada lengah, di tengah gelak tertawa Kim Tiok-liu,
secepat kilat ujung cambuk Tjap-sah-nio kena disambarnya
terus dilibatkan ke batang pentung Peng Ki-yong. Karena
tenaga Peng Ki-yong lebih kuat, tak tertahan lagi Tjap-sah-nio
terseret maju ke sana oleh temannya sendiri. Kesempatan itu
tidak disia-siakan jKim Tiok-liu, sekonyong-konyong ia
memutar balik, kakinya menendang ke pantat Tjap-sah-nio.
"Bluk", kontan Tjap-sah-nio jatuh tersungkur.
Di tengah gelak tertawa geli dan puas, Kim Tiok-liu sudah
melintasi pagar tembok dan menghilang. Tahu tidak mampu
mengejarnya, Tjap-sah-nio hanya mendelik saja saking
gemasnya. Sekeluamya dari rumah Tjo, suasana di pagi buta itu sunyi
sepi tiada bayangan seorang pun, meski Kim Tiok-liu
mengumandangkan suaranya untuk menyapa kawan
darimanakah yang telah memberi bantuan, silakan keluar
untuk bertemu, tapi keadaan tetap hening. Tiok-liu menduga
agaknya orang tidak suka menemuinya, terpaksa pulang saja
dahulu. Kembali mengenai Tan Kong-tjiau. Sesudah Kim Tiok-liu
pergi, ia merasa kebat-kebit tidak tenteram, kuatir kalau-kalau
Kim Tiok-liu sendirian akan terjeblos di tempat musuh. Ia
berbaring di tempat tidurnya tak bisa pulas.
Tiba-tiba angin berkesiur, hidungnya mengendus bau
harum semerbak, Kong-tjiau terkejut dan cepat bangun.
Dilihatnya sesosok bayangan berkelebat ke dalam kamar.
"Kau sudah pulang, Kim-heng!" seru Kong-tjiau girang
disangkanya Kim Tiok-liu.
Tak terduga suara seorang wanita menjawabnya dengan
tertawa, "Apakah kau sudah pangling padaku?"
Waktu Kong-tjiau membesarkan sumbu pelita, di bawah
cahaya, seorang nona cantik berdiri di depan tempat tidurnya.
Siapa lagi kalau bukan si dia yang senantiasa dirindukannya"
Sungguh girang Kong-tjiau tak terlukiskan, serunya, "Kau,
Hek-koh?" "Benar, kudatang untuk minta maaf padamu," sahut Hekkoh
tertawa. "Gara-garaku sehingga membikin susah
padamu." "Kau.....kau....." alangkah banyaknya isi hati Kong-tjiau
yang hendak dicurahkan, tapi entah bagaimana dia harus
mulai bicara. "Kau jangan bicara dulu, minumlah obat penawar ini," kata
Tjiok Hek-koh sembari mengeluarkan satu biji pil merah, dituangnya
secangkir air, lalu menyuruh Kong-tjiau minum.
Obat penawar itu benar-benar sangat mujarab, hanya
sebentar saja Kong-tjiau merasa urat nadinya berjalan lancar
dan badan terasa segar.
"Hek-koh. bagaimana duduknya perkara ini" Mak inangmu
itu....." Dengan menghela napas Hek-koh menjawab, "Sebenarnya
tidak ingin kukatakan padamu, tapi sekarang terpaksa
kujelaskan. Apakah kau masih marah padaku waktu aku
memutuskan hubungan padamu tiga tahun yang lalu?"
"Aku tidak menyalahkan kau, aku percaya kau tentu
mempunyai kesukaran yang tak dapat diterangkan padaku,
tentunya mak inangmu yang merintangi hubungan kita. Cuma
aku tidak paham, mengapa kau terima diperalat dan tunduk
padanya?" "Pada 20 tahun yang lalu ada sebuah agama Thian-mo-kau
dengan cikal-bakalnya bernama Le Seng-lam, tentunya kau
pernah mendengar bukan?" tanya Hek-koh.
"Pernah kudengar dari jauh," sahut Kong-tjiau. "Le Senglam
adalah istri teman ayah yang bernama Kim Si-ih, pada
masa hidupnya pernah diakui sebagai jago nomor satu dunia
persilatan. Sesudah mati dia diangkat sebagai cikal-bakal
Thian-mo-Ikau. Apa barangkali mak inangmu ada sangkut
paut dengan Le Seng-lam itu?"
"Ho-toama justru adalah salah seorang bekas dayang Le
*Seng-lam," tutur Hek-koh. "Le Seng-lam mempunyai empat
dayang kesayangan, tapi tinggal Ho-toanio saja yang masih
hidup." "Ibuku juga salah seorang bekas dayang Le Seng-lam itu,"
sambung Hek-koh lebih lanjut. "Hubungan ibu dengan Ho-toaIma paling karib. Sejak kecil aku sudah yatim piatu, maka Hogoama
menganggap aku sebagai anaknya sendiri. 20 Tahun
yang Balu Le Hok-sing membubarkan Thian-mo-kau atas
anjuran Kim-tayhiap, hal ini membikin Ho-toanio tidak senang.
Selama Uni Ho-toanio tak pernah lupa akan membangun
kembali Thian-po-kau. Untuk itu dia harus mempunyai cukong
yang kuat, yaitu lu Pek-to, sebab itulah di luar tahuku dia
hendak menjodohkan aku pada Su Pek-to."
"O, kiranya demikian, pantas semalam ia bermaksud
membunuh aku," kata Kong-tjiau.
"Tiga tahun yang lalu juga dia sudah berniat membunuh
kau, cuma waktu itu aku belum tahu persekongkolannya
dengan Su Pek-to. Waktu kau datang ke rumahku hendak
melamar, mestinya dia hendak membunuh kau, terpaksa aku
menerima syaratnya asalkan jiwamu tidak diganggu."
"Syarat apa yang kau terima dari dia?" tanya Kong-tjiau.
"Yaitu memutuskan hubungan denganmu, demi untuk me
nolong jiwamu terpaksa aku menyanggupi. Tatkala itu betapa
pedih hatiku, tapi aku tidak berani mengatakannya padamu."
"Hek-koh, akhirnya kita berada bersama juga. Kau punya
keberanian melepaskan diri dari cengkeramannya, sungguh
aku merasa gembira padamu. Urusan yang sudah lalu biarkan
saja, seterusnya kita takkan berpisah lagi."
"Pikiranmu sangat indah, cuma sayang aku tidak dapat,"
ujar Hek-koh sambil menghela napas.
"Sebab apa" Kau memberi obat penawar padaku, bukankah
ini sudah melanggar larangannya" Memangnya kau ingin
pulang lagi untuk dipaksa kawin dengan Su Pek-to."
"Kau jangan kuatir, matipun aku tidak sudi kawin dengan
Su Pek-to."
"Bagus! Tapi mengapa kau tidak dapat tinggal bersama aku
mulai sekarang?"
"Kau tidak tahu bahwa di samping menerima syaratnya da
hulu agar menyelamatkan jiwamu, di samping itu aku telah mi
num pula satu cangkir arak beracun yang dia berikan."
"Ha?" Kong-tjiau terkejut. "Racun apakah itu" Bagaimana
akibatnya" apakah kau sendiri tidak dapat menyembuhkan diri
sendiri seperti obat penawar yang kau berikan padaku tadi"
Dan mengapa kau mau minum racun pemberiannya."
"Demi untuk menyelamatkan kau, tatkala itu aku menyata
kan tekadku akan bunuh diri bila dia membunuh kau. Dia
menyatakan baik, tapi untuk menjamin ketaatanku akan


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

syarat yang kuterima, dia memberikan secangkir arak beracun
yang baru akan bekerja tiga bulan kemudian. Tiba waktunya
dia akan memberikan sebutir pil padaku untuk
memperpanjang bekerjanya racun selama tiga bulan lagi. Ia
menyatakan asalkan selanjutnya aku tidak berhubungan lagi
dengan kau, maka setiap tiga bulan satu kali aku akan diberi
obat penawar racun dan keadaanku akan sehat seperti biasa."
"Keji benar caranya itu," ujar Kong-tjiau dengan gemas.
"Tidak hanya begitu saja racun yang diberikan Ho-toanio itu
bernama 'Pay-hiat-san' (racun pembusuk darah) sehingga
darahku sudah keracunan, untuk memunahkan racun ini
masih ada suatu cara, yaitu dengan tusuk jarum. Cara
pengobatan ini tertera juga di dalam kitab pusaka 'Pek-toktjinkeng' tinggalan Le-tjo-su dahulu, aku tidak pernah
mempelajarinya. Karena itu, tentunya sekarang kau paham
apa sebabnya aku tak dapat tinggal bersama kau."
Sampai di sini, tiba-tiba suara seorang menimbrung dengan
tertawa "Tidak, nona Tjiok, kau tetap boleh tinggal di sini.
Bahkan tiada halangannya untuk menikah dengan Tan-toako."
Kong-tjiau sangat girang, cepat ia berseru, "Kim-heng, kau
sudah pulang?"
Bayangan berkelebat, tahu-tahu Kim Tiok-liu sudah berdiri
di depan mereka, katanya dengan tertawa "Nona Tjiok, orang
yang menyambitkan senjata rahasia di rumah Tjo tadi apakah
engkau" Belum kuhaturkan terima kasih untuk itu."
Tjiok Hek-koh terkejut dan bergirang, ia pikir Ginkang
orang ini benar-benar jauh lebih tinggi dariku, sampai
datangnya scdikitpun aku tidak mendengar apa-apa. Menurut
ucapannya tadi, apa barangkali dia dapat memunahkan Payhiatsan yang meracuni aku itu"
Dalam pada itu Kong-tjiau menegas dengan heran, "Hekkoh,
kiranya tadi kau sudah mendatangi rumah keluarga Tjo?"
"Justru ingin mencari tahu berita dirimu, makanya aku pergi
ke sana" sahut Hek-koh. "Dari percakapan mereka pula dapat
kudengar bahwa kau terluka dan berada di sini. Kalau tidak,
darimana aku bisa menemukan tempatmu ini" Mestinya aku
tidak ingin diketahui Ho-toanio, tapi sekarang senjata yang
kugunakan menimpuk kedua orang tadi tentu sudah
dikenalnya dan dia yakin akulah yang berbuat."
"Jika begitu jangan lagi kau kembali ke sana," kata Kongtjiau.
"Kembali ke sana atau tidak, paling-paling hanya mati
bagiku, cuma aku tidak boleh membikin susah pula padamu."
"Percakapan kalian tadi sudah kudengar semua," sela Kim
Tiok-liu dengan tertawa. "Oleh karena itu aku kira kalian tidak
perlu kuatir apa-apa lagi."
"Kim-heng, apakah engkau paham penyembuhan dengan
tusuk jarum?" tanya Kong-tjiau.
"Biarpun aku tidak tahu, tapi di dunia ini selain nenek iblis
itu tentunya masih ada orang lain yang mahir. Apakah kau
sudah melupakan Le Lam-sing, Le-toako" Dia adalah putera
bekas Thian-mo-kautju, segala racun yang tertera di dalam
Pek-tok-tjin-keng masakah dia tidak paham?"
"Benar," seru Kong-tjiau girang. "Marilah kita segera
berangkat keYangtjiu untuk membantu dia, kemudian mohon
dia memunahkan racun di dalam tubuh Hek-koh."
"Kau sendiri sudah sembuh sekarang?" tanya Tiok-liu.
"Obat pemberian Hek-koh sangat manjur, kukira besok
juga aku dapat berangkat bersama kau," sahut Kong-tjiau.
"Hek-koh, kau pun pergi bersama kami bukan?"
Sama halnya orang hampir mati tiba-tiba bisa hidup
kembali, sudah tentu Tjiok Hek-koh tidak menyia-nyiakan
harapan demikian. Tanpa pikir lagi ia lantas menerima baik
ajakan Kong-tjiau itu. Besok paginya mereka bertiga lantas
mohon diri kepada Ong Thay dan meninggalkan Tjelam
menuju ke Yangtjiu.
Kim Tiok-liu sudah tahu bahwa undangan Su Pek-to kepada
Le Lam-sing hanya perangkap belaka, kuatir kalau-kalau Le
Lam-sing akan terjebak, maka dia ingin segera sampai di
tempat tujuan. Ia pikir entah Le-toako mengetahui tidak akan
perangkap Su Pek-to itu" Mungkin sekali lantaran begitu besar
[cintanya kepada Su Ang-ing, biarpun tahu ada perangkap
juga dia bertekad akan datang ke sana. Sebaliknya entah
bagaimana hati Ang-ting terhadap Le-toako"
Berpikir sampai di sini tanpa terasa ia sendiri menjadi
bimbang, tapi segera ia mencela diri sendiri. "Aku sudah
bertekad akan menyempurnakan jodoh mereka, kenapa aku
berpikir yang tidak-tidak lagi. Kepergian ke Yangtjiu ini harus
kulakukan dengan segenap tenaga untuk membantu sepasang
kekasih itu terjalin lebih erat lagi."
Di saat Kim Tiok-liu menguatirkan Le Lam-sing, waktu itu
pula Le Lam-sing sedang bermimpi muluk-muluk di markas beLiok-hap-pang. Pada hari itu, Le Lam-sing sampai di Liok-happang
dan disambut dengan hormat oleh Su Pek-to seperti
tamu agung. Dengan ragu-ragu Lam-sing ikut Su Pek-to ke
dalam, selesai bicara Sekedarnya, lalu ia bertanya, "Undangan
Su-Pangtju adakah petunjuk-petunjuk berharga, mohon Su
Pangtju suka memberitahu pecara terus terang."
Su Pek-to bergelak tertawa, jawabnya, "Le-kongtju benarbenar
seorang cerdik, masakah perlu kujelaskan lagi"
Tentunya undanganku padamu ini menyangkut urusan penting
adik perempuanku."
Le Lam-sing adalah pemuda yang suka berterus terang,
segera ia berkata, "Karena Su-pangtju bicara secara blakblakan,
maka aku pun tidak perlu bicara panjang-lebar.
Sesungguhnya aku memang jatuh hati pada adik
perempuanmu dan rasanya aku tidak bertepuk sebelah
tangan. Maka sekarang hanya tergantung kepada pikiran Supangtju
saja." "Bicara terus terang, semula aku tidak dapat menyetujui,"
ujar Pek-to. "Tapi sekarang mau tak mau aku harus ganti
pikir-nn. Pertama aku sudah mengetahui kalian benar-benar
suka sama suka, aku hanya mempunyai seorang adik
perempuan, mana aku tega menghancurkan kehidupannya
dan membuatnya susah" Selain itu aku pun sudah tahu Lekongtju
adalah seorang ksatria muda yang berbudi luhur,
keberanianmu datang sendiri memenuhi undanganku hari ini
sudah cukup membuat aku kagum padamu. Sebagai kakak
sudah tentu aku ikut bergirang adik perempuanku
mendapatkan jodoh seorang ksatria sejati. Sebab itulah aku
memutuskan akan mengabulkan perjodohan kalian dan akan
menjadi wali pernikahan kalian."
Setiap orang tentunya senang kalau disanjung puji, maka
rasa benci Le Lam-sing kepada Su Pek-to menjadi banyak
berkurang setelah puji-pujian tadi. Tapi timbul juga rasa
sangsinya mengapa Su Pek-to menjodohkan adik
perempuannya secara begitu cepat dan tanpa syarat"
Terdengar Su Pek-to berkata lagi, "Adakah Le-kongtju
memikirkan sesuatu" Kenapa diam saja" Sekarang kita sudah
ber-besan, maafkan aku akan memanggil kau dengan sebutan
Laute (adik) saja. Jika kau ada sesuatu urusan, silakan bicara
terus terang padaku."
Lam-sing berpikir sejenak, lalu menjawab, "Banyak terima
kasih atas kebaikan hati Toako. Baiklah akan kukatakan terus
terang, tapi maaf sebelumnya, soalnya aku tidak ingin
besanan berubah menjadi permusuhan. Tentunya kau sudah
tahu orang macam apa aku ini. maka ingin kutegaskan bahwa
aku bertekad melawan kerajaan Boandjing, tekadku ini takkan
berubah. Maka kalau kau merasa tidak bisa menerima jiwaku
ini dan mau membatalkan perjodohan, rasanya belum
terlambat dilakukan sekarang juga."
"Aku mau meluluskan perjodohan kalian sudah tentu
sebelumnya aku sudah memikirkan hal-hal demikian," sahut
Pek-to. "Tapi setahuku tempo hari agaknya kau pernah bermaksud
menjodohkan adik perempuanmu pada Sedjiang Tjiangkun
Swe Beng-hiong, bukan?" tanya Lam-sing.
Wajah Pek-to menjadi merah, katanya, "Itu memang
salahku. Untunglah hal itu sudah batal, kalau tidak tentu aku
akan di tertawai segenap ksatria di dunia ini."
Diam-diam Lam-sing bersyukur dan senang karena Su Pekto
seperti merasa menyesal akan perbuatannya itu, segera ia i
menegas, "Mengapa batal?"
"Ya, sesungguhnya saja karena timbul angkara murkaku
yang tidak rela melulu menjadi seorang Pangtju saja," tutur
Pek-to. "Kepergianku ke kotanya untuk memberi selamat
kepada Sat IHok-ting sebenarnya bertujuan pula mengikat
persahabatan de-ngan ksatria sejagat dan dapat mengadakan
suatu pergerakan besar-besaran. Siapa duga.....ai....."
"Apa yang menyesalkan Su-toako?" tanya Lam-sing.
Mendadak Su Pek-to menepuk meja dan berkata, "Siapa
duga pembesar-pembesar kerajaan itu hakikatnya tidak
pandang [Sebelah mata kepada kaum kita. Dianggapnya kita
ini harus berkiblat kepada mereka dan terpaksa mengemis
kepada mereka."
Dalam hati Lam-sing menjengek, "Hm, di pandangan Sat
Hok-ting memangnya kau hanya seekor anjing belaka." Tapi
sengaja ia bertanya, "Kulihat Sat Hok-ting juga cukup
menghormati kau bukan?"
"Hormat apa" Baru sekarang aku tahu, dia hanya ingin
memperalat diriku saja. Di mulut dia mengatakan menghargai
aku, tapi sesungguhnya aku hanya akan diperalat sebagai
budak. Hm, jelek-jelek aku seorang Pangtju, mana sudi aku
menjadi budaknya?"
"Tapi pada hari pesta Sat Hok-ting, dimana Utti Keng dan
pstrinya mengobrak-abrik pestanya, bukankah kau banyak
membantu Sat Hok-ting?"
Muka Su Pek-to menjadi merah, sahutnya, "Pantas kalau
kau salah paham padaku, memang waktu itu aku berbuat
kesalahan, cuma kemudian bahkan aku sendiri dicurigai Sat
Hok-aing. Dia mengirim orang memberi isyarat kepadaku,
katanya kalau aku betul-betul mau mengabdi padanya, maka
adik perempuanku harus diserahkan kepadanya untuk
diperiksa. Keruan aku sangat marah, aku menghajar
utusannya itu, lalu pulang ke sini."
Diam-diam Le Lam-sing sangsi dan bersyukur juga jik*
ternyata Su Pek-to benar-benar telah mau insyaf.
Dalam pada itu Su Pek-to menambahkan lagi, "Kepergianku
ke kotanya kali ini malahan berhasil melihat sesuatu
kenyataan lagi."
"Kenyataan apa?" tanya Lam-sing.
"Kepergianku ke sana juga ingin kugunakan kesempatan
baik itu untuk mengikat persahabatan dengan para ksatria.
Kulihat yang datang memberi selamat kepada Sat Hok-ting
memang tidak sedikit, tapi yang betul-betul ksatria sejati dan
pahlawan tulen seorang pun tidak ada. Totju Ang-eng-hwe
Kongsun Hong terhitung tokoh nomor satu pada pesta itu, tapi
ternyata, kedatangan Kongsun Hong juga ada tujuan tertentu
dan bukan ingin menjilat Sat Hong-ting, apakah kau tahu soal
Kongsun Hong ini?"
Biarpun polos hati Le Lam-sing, tapi tidak berarti bodoh,
betapapun ia tetap waspada terhadap Su Pek-to, maka ia
pura-pura tidak tahu dan bertanya, "Apa betul begitu" Tempo
hari aku seperti melihat Kongsun Hong bertempur dengan Kim
Tiok-liu, bagaimana sih persoalannya?"
"O, kiranya kau belum tahu," kata Su Pek-to. "Si tua
Kongsun Hong itu memang rase yang licin, lahirnya saja ia
pura-pura mendukung Sat Hok-ting, tapi sebenarnya dia
bersekongkol dengan Utti Keng. Hari itu berhasilnya Utti Keng
masuk ke istana Sat Hok-ting justru adalah pura-pura
menyamar sebagai anak buah Ang-eng-hwe. Lolosnya Kim
Tiok-liu juga karena perbuatan Kongsun Hong. Eh, apakah
hal-hal demikian Kim Tiok-liu tidak memberitahukan padamu?"
"Tidak," sahut Le Lam-sing. "Jika betul demikian si tua
Kongsun Hong pantas dihormati juga."
"Benar, makanya sejak itu aku melihat jelas suatu
kenyataan bahwa seorang ksatria, seorang pahlawan sejati
pasti takkan mengekor kepada pihak kerajaan. Aku, Su Pek-to
biarpun tak terhitung sebagai ksatria atau pahlawan, tapi
kalau tidak berpaling haluan sekarang apakah takkan
ditertawai oleh ksatria seluruhjagad?"
"Tepat sekali. Bicara sesungguhnya, mestinya aku ingin
menasihati kau dalam hal ini, tak terduga kau sendiri sudah
bicara lebih gamblang."
"Hahaha! Dan sekarang kita sudah besanan dan bukan
musuh lagi!" Su Pek-to bergelak tertawa.
"Su-toako, kau tidak mau mengekor lagi kepada pihak
kerajaan, ini adalah hal yang baik. Tapi untuk mendapat
penghormatan dari para ksatria rasanya masih belum cukup
hanya dengan tindakanmu ini."
"Aku paham maksud Laute, aku justru hendak minta
bantuan Laute untuk menghubungkan diriku dengan pihak
pasukan pergerakan. Mereka belum tentu mau percaya
padaku, makanya harus minta bantuan Laute untuk
menyampaikan isi hatiku kepada mereka."
"Tekad Su-toako ini kelak pasti akan mendapatkan jalan
yang baik, aku pun tiada hubungan dengan pimpinan pasukan
pergerakan, maka soal ini boleh dibicarakan lagi kelak."
"Aku masih ada suatu pikiran lain, entah bagaimana penik
patmu" Thian-mo-kau didirikan oleh nenekmu, sampai di
tangan ibumu, lantaran anjuran Kim Si-ih, tanpa
dipertimbangkan lebih masak ibumu lantas membubarkan
agama yang demikian besar itu, sungguh harus disayangkan.
Padahal biarpun Thian-mo-kau dianggap sebagai agama sesat,
tapi kalau dipakai pada jalan yang benar juga sama saja bisa
digunakan untuk melawan kerajaan. Laute, kalau sekarang
kau membentuk kembali Thian-mo-kau tentu aku dapat
membantu kau sepenuh tenaga."
Lam-sing tertawa, jawabnya, "Yang Go dan temantemannya
ingin mendukung aku sebagai Kautju tapi aku tidak
mau, bahkan lantaran soal ini aku sampai bertempur dengan
mereka." "Yang Go hanya ingin mendalangi kau dan dia sendiri ingin
menjadi maharaja dari Thian-mo-kau, jadi maksudnya sa-ma
sekali berlainan dengan usulku tadi, setahuku ada beberapa
tokoh Thian-mo-kau memang sangat bernapsu hendak
membeii tuk kembali agama kalian ini. Tapi kalau kau sendiri
tampil kc muka, tiada seorang pun yang mampu berebut
dengan kau. Kukira kau jangan membuang kesempatan baik
ini." "Aku cukup tahu diri, aku tidak sanggup menjadi Kautju.


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga tidak ingin menjadi Kautju segala," sahut Lam-sing
dengan tertawa.
"Tapi kalau Thian-mo-kau bisa dibentuk kembali, kan besar
manfaatnya bagi pergerakan kalian" Tentang kesanggupan?
mu, kalau perlu boleh kukerahkan orang-orangku untuk
membantu kau."
Lam-sing pikir apa yang dikatakan Su Pek-to ada betulnya
juga, tapi mengapa dia begitu baik hati, begitu simpatik
menganjurkan dibentuknya kembali Thian-mo-kau" Mau tak
mau timbul juga rasa curiganya jawabnya kemudian, "Untuk
sementara Siaute tiada sesuatu hasrat, soal ini boleh
dibicarakan lagi kelak."
Kuatir dicurigai, terpaksa Su Pek-to berkata dengan tertawa
"Baiklah, boleh kita bicarakan lagi kalau kalian sudah
menikah." Muka Lam-sing menjadi merah, katanya "Aku ingin bertemu
dengan Ang-ing, entah boleh tidak?"
"Calon pengantin tentunya rada-rada malu, silakan kau
tunggu satu hari lagi, besok malam kalian boleh bertemu di
kamar pengantin saja."
Kejut dan girang hati Le Lam-sing, tanyanya, "Maksud
Toako....."
"Daripada menunggu lebih baik sekarang juga. Cuma hari
ini sudah tidak keburu lagi, maka maksudku besok juga akan
kulangsungkan pernikahan kalian."
"Tidakkah terasa terlalu cepat?" tanya Lam-sing ragu-ragu.
"Pemuda-pemudi sudah besar adalah layak kalau menikah.
Kalian sudah suka sama suka mengapa mesti ditunda-tunda
lagi?" Berdebar hati Lam-sing, mimpi pun dia tidak pernah
memikirkan persoalan akan selancar ini.
Dalam pada itu Su Pek-to berkata pula dengan tertawa
"Silakan kau mengaso saja dan besok siap-siap untuk menjadi
pengantin baru. Untuk ini akan segera kuberitahukan pada
adik perempuanku."
Segera Pek-to menyuruh orang membawa Le Lam-sing ke
kamar tamu, ia sendiri lantas ke ruang belakang untuk
menemui adik perempuannya.
Sudah beberapa hari Su Ang-ing dikurung oleh Pek-to, i
yang dia harapkan adalah kedatangan Kim Tiok-liu untuk
menolongnya. Tapi sudah setengah bulan masih belum
nampak se-; Suatu apa-apa hatinya menjadi masgul, maka
waktu Pek-to datang sama sekali ia tidak menggubris.
"Kawan baikmu sudah datang, tentunya kau sangat girang
bukan?" kata Pek-to dengan tertawa.
Ang-ing terkejut, disangkanya Kim Tiok-liu sudah datang
dan tertangkap, cepat ia bertanya, "Siapa yang kau
maksudkan?"
"Orang yang pernah kau selamatkan dengan
mempertaruhkan jiwamu sendiri, apakah dia bukan kawan
baikmu?" "O, yang kaumaksudkan adalah Li Lam-sing" Apa yang f
kau lakukan terhadapnya?" diam-diam ia bersyukur juga akan
datangnya Lam-sing, paling tidak dari dia akan diperoleh
kabar Kim Tiok-liu.
Maka Su Pek-to menjawab, "Dia bukan she Li, tapi Le, dia
adalah cucu-keponakan Le Seng-lam, putera Le Hok-sing. Ibu
dan ayahnya adalah bekas Kautju dan wakil Kautju Thian-mokau."
Rada di luar dugaan Su Ang-ing tentang asal-usul Le Lamsing
ini, katanya kemudian, "Aku tidak mengurus asal-usulnya.
Aku cuma ingin tahu apa yang kau lakukan terhadapnya?"
"Hahaha terhadap orang kesukaanmu masakah aku tidak
melayani dia secara baik-baik!"
Ang-ing melonjak kaget, serunya, "Kau bercanda apa
dengan aku?"
"Hm, siapa yang bercanda dengan kau?" jengek Su Pek-to
dengan menarik muka. "Ayah-bunda sudah meninggal dunia,
urusan perjodohanmu tentunya akulah yang berkuasa
memberi keputusan."
"Aku tidak mau diperlakukan sesukamu, aku tidak mau;
kawin dengan Le Lam-sing!" kata Ang-ing dengan gusar.
"Tidak kawin dengan Le Lam-sing juga boleh, maka
kawinlah dengan Swe Beng-hiong," jengek Su Pek-to.
"Memang menjadi nyonya Tjiangkun jauh lebih agung
daripada istri seorang Kautju segala."
Saking gusarnya, Su Ang-ing menjadi tenang malah,
katanya, "Koko, apakah kau sengaja memaksa aku menuju
kema-tian?"
"Justru aku tahu kau benci kepada Swe Beng-hiong, maka*
nya membiarkan kau kawin dengan Le Lam-sing yang kau
sukai. Bukankah kau pernah membela dia tanpa
menghiraukan jiwamu sendiri?"
"Huh, kau mengukur diri orang lain dengan dirimu sendiri,"
dengus Ang-ing. "Dalam pandanganmu mungkin hubung* an
antara laki-laki dan perempuan hanya pada suami-istri dan
tidak boleh menjadi sahabat?"
"Aku tidak peduli kau suka pada Le Lam-sing atau tidak,
pendek kata hanya ada dua jalan kau boleh pilih. Kawin
dengan Le Lam-sing atau Swe Beng-hiong, lain tidak!"
"Hm, aku tahu apa tujuanmu," jengek Ang-ing. "Kau
mengetahui Le Lam-sing adalah putra bekas Thian-mo-kautju,
maka sekarang kau bermaksud menggunakan aku sebagai
umpan untuk menipu dia punya Pek-tok-tjin-keng."
Dalam batin Pek-to menertawai adik perempuannya yang
hanya menduga Pek-tok-tjin-keng yang diincar, padahal masih
ada tujuan yang lebih hebat lagi, namun lahirnya Pek-to purapura
isi hatinya kena dikatakan oleh Ang-ing, sahutnya dengan
tertawa, "Aku yang membesarkan kau maka adalah wajar jika
aku menjodohkan kepada orang yang bisa memberi sedikit
manfaat kepadaku. Sesungguhnya Le Lam-sing juga tidak
jelek, usianya sebaya dengan kau, jauh lebih muda dan lebih
tampan daripada Swe Beng-hiong. Ilmu silatnya juga lumayan,
kelak aku masih dapat mendukung dia menjadi Thian-mokautju
yang baru."
"Hm, memangnya kau anggap diriku ini barang dagangan
[yang dapat ditukar-tambahkan?" damprat Ang-ing dengan
muka merah padam.
"Itu kan demi kebaikanmu," ujar Su Pek-to. Diam-diam Su
Ang-ing memperhitungkan keadaan di depan mata, jika dia
tidak menuruti kemauan sang kakak tentu terpaksa memakai
kekerasan. Bagaimana pikiran Le Lam-sing tidak diketahuinya,
namun betapapun juga dia adalah saudara angkat Kim Tiokliu,
dalam keadaan terpojok apa jeleknya jika aku
mendapatkan seorang teman yang bisa diajak berunding.
Paling tidak Le Lam-sing tentu tidak mau menang sendiri
seperti kakak, demikian pikir Ang-ing.
Melihat adik perempuannya termenung diam, Pek-to meIngira Ang-ing sudah berubah pikiran, segera ia berkata,
"Sudah Fpaham belum kau" Yang kulakukan adalah demi
kebaikanmu, maka hendaknya kau menyetujui saja."
Tapi Su Ang-ing masih pura-pura enggan, omelnya, "Baik,
sejak kini anggaplah pernikahanku yang kau paksakan ini
sebagai balas budiku atas jasamu yang telah mendidik diriku
sedari kecil, untuk selanjutnya jangan kau harap aku akan
memandang kau sebagai kakak lagi."
"Hahaha! Janganlah adik bicara seketus ini, kita tetap
kakak dan adik. Kuyakin perjodohan ini pasti bermanfaat bagi
kedua pihak. Le Lam-sing jelas jatuh cinta padamu, pasti dia
takkan membikin merana padamu. Kelak kalau kau hidup
bahagia barulah kau akan berterima kasih padaku."
Begitulah karena bujukannya 'berhasil', segera Su Pek-to
|ergi berunding dengan ketiga Hiangtju kepercayaannya,
karena waktu itu Tang Tjap-sah-nio belum lagi pulang.
"Yang harus dijaga adalah kemungkinan keparat Tiok-liu itu
akan datang mengacau di sini," kata Djing-hu Todjin.
"Aku justru kuatir dia tidak datang," ujar Pek-to. "Jika dia
mau datang masuk jaring sendiri kan tambah bagus buat
kita?" "Tapi bocah itu seperti setan saja, tak tentu rimbanya,
jangan-jangan sukar membekuk dia, maka lebih baik kita
berhati-hati sedikit," usul Wan-hay Hwesio.
"Sukar dibekuk juga ada baiknya buat kita, apakah kalian
berpikir sampai di sini?" tanya Pek-to dengan tertawa.
Wan-hay garuk-garuk kepalanya yang gundul itu, sahutnya,
"Ini aku tidak paham, harap Pangtju memberi penjelasan."
"Bilamana Kim Tiok-liu melihat Ang-ing menjadi pengantin
wanita dengan teman baiknya, coba bayangkan bagaimana
perasaannya?" tanya Pek-to.
"Aha, benar!" seru Djiau Sik. "Dengan demikian antara
mereka dari kawan akan berubah menjadi lawan."
Baru sekarang Wan-hay paham, lalu katanya, "O, kiranya
menggunakan tipu memecah-belah mereka. Perhitungan
Pangtju yang lihai sungguh hebat"
"Tapi kita juga mesti berjaga-jaga, jangan biarkan dia
mengetahui urusan perkawinan ini. Namun juga tidak boleh
memberi kesempatan padanya untuk bertemu dengan Anging."
"Benar," kata ketiga Hiangtju itu serentak. "Bagaimana
Pangtju akan mengatur perangkap ini, kita tinggal menunggu
tugas saja."
"Sayang Tjap-sah-nio belum pulang, entah lamaran Pangtju
yang dia kerjakan itu bagaimana hasilnya?" Wan-hay
menambahkan. "Kuyakin pasti jadi," ujar Djiau Sik tertawa. "Tidak lama kita
akan pesta bagi perkawinan Pangtju, kita harus mengucapkan
selamat kepada Pangtju."
"Hahaha, semoga segala sesuatu berlangsung dengan
lancar," Su Pek-to tertawa senang. "Menurut perhitunganku,
paling lambat besok juga Tang Tjap-sah-nio sudah akan
pulang. Paling penting sekarang adalah cara bagaimana kita
akan menghadapi Kim Tiok-liu. Tentang urusanku sih tidak
perlu kalian pikirkan."
Begitulah Djing-hu Todjin bertiga lantas mengundurkan diri
untuk melaksanakan segala perintah yang telah diatur oleh
Lsu Pek-to. Mereka tidak tahu, pada saat itu pula Kim Tiok-liu, Tan
hKong-tjiau dan Tjiok Hek-koh bertiga sudah sampai di
Yangtjiu, yaitu tepat pada hari perkawinan Su Ang-ing dan Le
Lam-sing yang sengaja diatur oleh Su Pek-to.
Menurut rencana semula, lebih dulu Kim Tiok-liu
berkunjung ke markas cabang Kay-pang setempat. Pemimpin
cabang Kay-pang di Yangtjiu bernama Li Mo yang juga telah
mengenal Kim Tiok-liu ketika berada di rumah Kang Hay-thian
dahulu. Melihat kedatangan Kim Tiok-liu, segera Li Mo berkata,
|"Kim-siauhiap, kebetulan sekali kedatanganmu ini, kawanmu
khe Le itu justru pada hari ini akan menjadi tamu sanjungan
[keluarga Liok-hap-pang."
Tiok-liu terkejut dan menegas, "Apa" Maksudmu hari ini
Ljuga Le Lam-sing akan kawin dengan adik perempuan Su
Pek-to?" "Orang kita yang berada di Liok-hap-pang mengabarkan
bahwa kawanmu itu baru tiba di sana semalam dan Su Pek-to
lantas menyanggupi perkawinannya," tutur Li Mo. "Biarpun
mendadak, namun Liok-hap-pang yang punya tenaga cukup
menyiapkan pesta perkawinan secara besar-besaran.
Tampaknya hal ini tidak pura-pura."
Hati Kim Tiok-liu menjadi berdebar tidak tenteram, pikirliya.
"Ini pasti suatu perangkap, suatu jebakan. Cuma, kalau
hal Ini benar, tentu aku akan membikin runyam hari bahagia
Le-loako jika aku menyerbu ke sana bersama orang banyak,
maka lebih baik aku pergi sendiri dan bertindak menurut
keadaan." Begitulah Kim Tiok-liu lantas mengutarakan pendiriannya
kepada Kong-tjiau, Hek-koh dan lain-lainnya. Semua
menyetujui usulnya, yaitu Kim Tiok-liu akan pergi menyelidiki
dulu keadaan yang sebenarnya dan orang-orang Kay-pang
menyiapkan bala bantuan yang diperlukan.
Kembali bercerita tentang Le Lam-sing. Karena cita-citanya
terkabul pada hari bahagia ini, dia benar-benar sangat riang
gembira, tapi ada saat upacara, tiba-tiba diketahuinya sesuatu
yang tak terduga. Muka pengantin perempuan terkerudung
oleh kain merah, maka tidak jelas. Tapi dari perawakannya
jelas bukanlah Su Ang-ing.
Menurut adat istiadat, sesudah masuk kamar pengantin
barulah kerudung kepala pengantin perempuan boleh dibuka.
Sebab itulah meski Lam-sing merasa curiga juga tidak berani
seni-barangan bertindak.
Dengan perasaan tidak enak, dengan susah payah
menunggu, akhirnya hari sudah gelap dan barulah mempelai
laki-laki dipersilakan masuk kamar pengantin. Di tengah kamar
yang terang benderang dengan api lilin besar-besar, pengantin
perempuan tampak duduk di tepi ranjang dan jelas adalah Su
Ang-ing. Menurut adat, pengantin laki-laki harus membuka kerudung
kepala pengantin perempuan, tapi 'pengantin perempuan'
yang duduk di tepi ranjang alias Su Ang-ing ini sama sekali
tidak memakai kerudung, bahkan pakaiannya juga tidak
memper sebagai pengantin perempuan.
Kalau orang lagi dirundung cinta, begitu melihat Su Ang-ing
berada di kamar pengantin, Le Lam-sing sudah luar biasa
girangnya. Ia merasa lega karena tadi menyangka ada hal-hal
yang tidak beres, ternyata bukan begitu kenyataannya.
Dengan senang ia lantas memberi hormat dan menyapa,
"Ang-ing, sungguh tidak nyana kita akan menghadapi hari
seperti ini. Tempo hari kau telah menyelamatkan jiwaku,
untuk mana belum lagi aku mengucapkan terima kasih
padamu." "Kau adalah kawan Kim Tiok-liu, adalah seharusnya aku
menolong kau," sahut Su Ang-ing.
Le Lam-sing masih belum paham di balik ucapan itu adaarti
lain, katanya pula, "Benar, Tiok-liu adalah kawan kita
bersama. Cuma sayang hari ini dia tidak ikut hadir pada
upacara perkawinan kita. Ang-ing, apakah kau tahu betapa
aku cinta padamu" Belum pernah aku mengutarakan isi hatiku
kepadamu selama ini. Tapi sekarang aku pun tidak perlu
banyak omong lagi, aku teramat girang, kupikir semua
kawanku juga akan ikut bergirang bagiku!"
"Ssst, coba kau periksa di luar ada orang tidak?" tiba-tiba
Ang-ing mendesis padanya.
Lam-sing melengak, katanya, "Masakah mereka berani


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

main gila?" Disangkanya, Ang-ing kuatir ada orang mengintip.
Dengan sungguh-sungguh Ang-ing lantas berkata, "Ini
bukan urusan main gila, lekas periksa keluar, yang teliti!"
Waktu Lam-sing keluar, suasana tenang-tenang saja, sa'yup-sayup suara musik di ruang depan masih terdengar, tapi
tiada bayangan seorang pun, juga tiada sesuatu suara yang
mencurigakan. Ruang belakang itu terhalang oleh suatu
pekarangan dalam, I^m-sing pikir peraturan Liok-hap-pang
sangat keras, orang luar mana berani sembarangan menyusup
ke ruang dalam"
Sesudah masuk kamar kembali dan merapatkan pintu,
dengan tertawa Lam-sing berkata, "Tak perlu kuatir lagi, tidak
ada pseorang pun di luar. Tentunya kau sudah lelah,
sebaiknya kita Maksud Le Lam-sing hendak minta Ang-ing 'mengaso', tapi
mendadak Ang-ing mengibaskan lengan bajunya dan berkata,
"Aku tidak kuatir orang mengintip, malam ini juga bukan
malam pengantin. Silakan duduk dulu, aku ingin bicara padamu.
Baru sekarang Lam-sing terperanjat ketika melihat sikap
Ang-ing yang kereng dan sekali-kali tidak bergurau padanya
itu. Dengan penuh curiga terpaksa ia berduduk dan bertanya,
"Apa ... apa artinya ini" Bukankah kita sudah melakukan
upacara nikah?"
"Yang melakukan upacara bersama kau itu adalah pelayanku,"
sahut Ang-ing. Lam-sing tambah kaget, katanya, "Apa sebabnya" Kau kau
tidak sudi mengawini diriku?"
"Aku ingin bertanya dulu padamu, apakah kau menyangka
yang terjadi hari ini adalah urusan bahagia?"
"Memangnya urusan bencana?" Lam-sing balas bertanya.
"Benar, kecuali kau rela menjadi begundal kakakku, kalau
tidak, bagimu adalah bencana kematian."
"Kiranya kau menguatirkan urusan ini, padahal kakakmu
sudah menyanggupi padaku akan kembali ke jalan yang
benar, bahkan ingin ikut dalam pasukan pergerakan dan minta
aku menjadi penghubungnya. Jika tidak demikian, tentu aku
pun tidak berani menikah dengan kau di tengah markas Liokhappang. Nah, sekarang kau menjadi jelas bukan" Bukan aku
menjadi begundal kakakmu, tapi kakakmu yang sudah sadar
dari jalan yang sesat dan ingin menjadi begundalku."
Ang-ing menghela napas, katanya, "Agaknya urusan ini
lebih buruk dari dugaanku. Rupanya kakak tidak hanya ingin
menipu kau punya Pek-tok-tjin-keng, bahkan masih ada tipu
Rahasia Mo-kau Kaucu 4 Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Pendekar Cacad 11

Cari Blog Ini