Ceritasilat Novel Online

Pendekar Jembel 5

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Bagian 5


menusuk ke muka orang berkedok itu. "Srer", tahu-tahu kedok
kain sutra tipis itu kena digores robek oleh pedangnya, tapi
sedikitpun tidak melukai sasarannya.
Saking senangnya ketika kain penutup muka itu robek,
Kiong Peng-hoan lantas bergelak tertawa dan berkata,
"Seorang laki-laki sejati kenapa mesti main sembunyi kepala
dan tutup muka segala" Apa halangannya kami melihat
wajahmu yang sebenarnya?"
Kiranya Kiong Peng-hoan rada tinggi hati, ia merasa tidak
berharga memperoleh kemenangan dengan cara mengeroyok,
maka dia hanya merobek kedok orang tanpa melukai. Tapi
sesudah kain kedok itu terobek, seketika Kiong Peng-hoan
tidak dapat tertawa lagi.
Begitulah ketika Kiong Peng-hoan menusukkan pedangnya,
berbareng Toh Tay-giap juga menyerang, hampir pada detik
yang sama gaetannya juga telah merobek baju lawan sebelah
pinggang. Seperti juga Kiong Peng-hoan, meski berhasil
serangannya, tapi berbalik terkejut malah.
Kiranya muka asli orang berkedok itu bukanlah 'laki-laki
sejati' sebagaimana dugaan Kiong Peng-hoan, tetapi adalah
wa-. ah. cantik seorang wanita muda.
Dengan jelas Kim Tiok-Liu dapat mengikuti hal itu dari
tempat persembunyiannya di atas pohon, baru sekarang ia
sadar. Pantas orang itu memakai kedok dan berbaju longgar
serta panjang sehingga kakinya yang kecil tidak kelihatan,
rupanya maksudnya untuk menutupi penyamarannya.
Setelah mengenali siapa lawannya, Kiong Peng-hoan dan
kawan-kawannya menjadi tertegun dan berseru, "He, kau
adalah nona Su! Maaf, jika kami berlaku kasar padamu!"
Terdengar nona itu menjengek, "Hm, kalian empat laki-laki
mengeroyok aku seorang perempuan, kalian malu tidak."
Mendadak Toh Tay-giap berkata dengan suara berat, "Toako,
urusan sudah telanjur, sekalian kita....."
"Kau mau apa?" jengek nona cantik itu. "Baiklah, jika be
rani boleh coba bunuh saja diriku. Sudah tahu siapa aku, kau
masih berani kurang ajar, mustahil kakak takkan menghajar
adai padamu."
Kiranya nona itu tak lain tak bukan adalah Su Ang-ing, adik
perempuan Su Pek-to, Pangtju Liok-hap-pang yang
berpengaruh dan tersohor itu.
Walaupun keempat orang itu bermaksud merebut hadiali
ulang tahun yang dikirim oleh Liok-hap-pang kepada
komandan pasukan bayangkara, tapi mereka sama sekali tidak
menduga akan kebentur adik perempuan Su Pek-to sendiri.
Soal merebut Hian-tiat dan mesti bermusuhan dengan Liokhappang masih belum terlalu gawat, sebab di kalangan Hekto
adalah soal biasa hitam makan hitam, tapi kalau Su Ang-ing
dilukai, hal ini berarti mereka akan mengikat permusuhan
selamanya yang tak terhapuskan dengan Su Pek-to.
The Hiong-to lantas berkata, "Permusuhan ini betapapun
sudah terjadi, aku sih tidak ada artinya, tapi kalian bertiga
adalah Pangtju dan Hiangtju, jika bocah ini dilepaskan, apakah
orang Kangouw tidak akan mengatakan Djing-liong-pang, PekLiong pang, Pek-hou-pang dan Ang-eng-hwe kalian takut
semua kepada Su Pek-to dengan Liok-hap-pangnya?"
Dasar bandit, kedatangan The Hiong-to ke daerah Tiong
goan memangnya bermaksud mengacau kalangan Hek-to,
dengan demikian ia dapat menangkap ikan di air keruh.
Apalagi dia tadi kena dicambuk sekali oleh Su Ang-ing, rasa
dongkol ini masih belum terlampiaskan. Sebab itulah ia
sengaja mengeluarkan kata-kata yang bersifat menghasut.
"Benar, sekali berbuat jangan kepalang tanggung," kata Ku
Tay-sing dengan menggertak gigi. "Yang kita tuju adalah Liok
hap-pang, maka peduli apa dia ini siapa. Bekuk dulu dara ini
baru merebut lagi Hian-tiat itu. Dengan kedua saudara ini
masakah Su Pek-to berani main gila pada kita?"
"Betul, jalan inilah yang paling baik," seru Toh Tay-giap
tertawa. "Terpaksa Su Pek-to harus berdamai dengan kita,
malahan jika dia minta damai belum tentu kita mau
meluluskan permintaannya secara mudah. Bisa jadi kita dapat
menelan sekalian Liok-hap-pangnya ke pihak kita. Nah, Kionghiangtju,
sekarang soalnya hanya tergantung kau."
Ucapan The Hiong-to yang menghasut tadi rupanya
menusuk perasaan Kiong Peng-hoan, sebab Ang-eng-hwa dan
Liok-hap-pang tergolong dua organisasi besar yang sama
kuatnya di dunia Kangouw. Jika sekarang Su Ang-ing
dilepaskan begitu saja, tentu orang-orang Kangouw akan
menganggap Ang-eng-hwa takut kepada Liok-hap-pang dan
ini berarti merendahkan derajat Ang-eng-hwa sendiri. Apalagi
ketiga kawannya sudah tegas menyatakan siap mengikat
permusuhan dengan Liok-hap-pang, ia sendiri terang kalah
suara. Setelah mempertimbangkan untung ruginya, pada akhirnya
Kiong Peng-hoan berkata, "Nona Su, kau menggertak aku
dengan nama kakakmu, sekarang aku terpaksa harus
membikin susah padamu."
Ko Tay-sing menjadi girang, serunya, "Bagus, kita
berempat sudah jelas ada rejeki sama dibagi, ada susah sama
dipikul. Marilah kita maju beramai-ramai, mungkin Liok-happang
akan mendatangkan bala bantuan, kita lekas bekuk dia!"
Karena sudah nekat dan siap akan mengikat permusuhan
dengan Su Pek-to, maka sekaligus mereka lantas menerjang
maju, serangan mereka bertambah ganas. Di bawah
kerubutan sengit itu Su Ang-ing menjadi kerepotan, meski ia
sudah mengeluarkan segenap kepandaiannya
Mendadak pedang Kiong Peng-hoan menusuk dari depan,
"serr", cambuk Su Ang-ing cepat menyampuk, meski serangan
maut Kiong Peng-hoan itu dapat ditangkis, tapi bagian bawah
iganya menjadi luang. Rupanya sebelumnya Kiong Peng-hoan
sudah memperhitungkan kemungkinan ini, maka tanpa pikir
lagi ujung pedangnya lantas berputar ke bawah untuk
menusuk Ih-gi-hiat di bagian iga Su Ang-ing.
Tampaknya sukar bagi Su Ang-ing untuk menghindarkan
sukan Kiong Peng-hoan. pada detik terakhir itulah sekonyongorryong
Kiong Peng-hoan mendengar suara angin
menyambar, bias ada senjata rahasia yang menyambar ke
arah iganya juga.
Ilmu pedang Kiong Peng-hoan sudah sampai tingkatan ternggi
dan dapat dimainkan sesuka hati, maka sedikit
menggeser angkah, berbareng pedangnya menebas ke
belakang sehingga mata rahasia yang menyambar tiba itu
terbelah menjadi dua. Kiranya adalah sebiji buah cemara.
Keruan Kiong Peng-hoan terkejut. "Orang kosen darmaakah,
silakan tampil ke muka!" bentaknya.
Belum lenyap suaranya, Kim Tiok-Liu sudah bersuit pan-g
dan melompat turun ke tengah kalangan, serunya tertawa,
awanan bandit yang sudah buta, sudah lama aku berada di
sini, kenapa kalian tidak tahu" Kalian berempat mengeroyok
se-g perempuan, sudah sejak tadi aku merasa muak!" "Bagus,
jadi kau mau menangguk air keruh ini" Lekas beritahukan
namamu?" teriak Ko Tay-sing.
"He, Toako, lihatlah apa yang dia bawa itu!" tiba Toh Taygiap
berseru. Kim Tiok-Liu lantas mengangkat kotak merah yang
dibawanya itu, katanya dengan dingin, "Kau peduli siapa aku
ini" Yang kalian inginkan adalah Hian-tiat ini bukan" Nah
barangnya berada di sini, tergantung kalian mampu
mengambilnya atau tidak?"
Sekali kotak merah itu diperlihatkan, seketika perhatian
keempat orang itu berpindah, sasaran yang hendak mereka
gempur pun segera berganti. Sekali menggerung segera Ko
Tay-sing mendahului menerjang maju.
"Baik, terimalah mestika ini!" seru Tiok-liu dengan tertawa
sambil mengangsurkan kotak merah itu ke depan.
Bobot besi murni itu ratusan kati beratnya, toya bergigi
serigala yang dipakai Ko Tay-sing sebenarnya juga senjata
berat, lapi dibandingkan Hian-tiat itu menjadi tiada artinya
lagi. Maka begitu terbentur, kontan Long-ge-pang terlepas dari
tangan Ko Tay-sing dan patah menjadi dua di atas udara.
Tangan Ko Tay-sing sampai lecet berdarah, keruan kagetnya
bukan buatan. Tanpa senjata dengan sendirinya ia tidak
berani bertempur lagi, lekas ia mundur teratur.
Toh Tay-giap tidak tinggal diam, sepasang gaetnya berge
rak. cepat ia maju menolong sang Suheng.
Namun Su Ang-ing juga tidak mu menganggur. "Roboh saja
kau!" bentaknya.
Saat itu Toh Tay-giap sedang berlari lewat di samping Su
Ang-ing, tapi dengan cambuknya yang panjang, "tarrr",
dengan tepat Toh Tay-giap kena dipecut olehnya. Sekuatnya
Toh Tay-giap melompat ke samping untuk menjauhi jarak
capai cambuk lawan. Segera terasa dengkulnya panas sakit,
kiranya tulangnya retak tersabet cambuk Su Ang-ing. Untung
Toh Tay-giap me yakinkan Gwakang yang kuat, ia terhuyunghuyung
dan tidak sampai jatuh. Namun begitu sebelah kakinya
sudah cidera, terang tidak sanggup bertempur lagi. Ko Taysing
yang juga kehilangan senjata menjadi malu, kedua
saudara seperguruan itu lantas berjalan pergi dengan saling
memayang. Dalam pada itu Kiong Peng-hoan menyambuti cambuk Su
Ang-ing. Di sebelah sana Kim Tiok-liu juga memperoleh lawan
lain, yaitu The Hiong-to, kontan kotak merahnya disodokkan
ke depan. Tapi sedikit berjongkok, dapatlah The Hiong-to
mengelakkan diri, berbareng pukulan pasir besi yang kuat
lantas menghantam.
Begitu dilihatnya telapak tangan lawan kehitam-hitaman,
dengan tertawa Tiok-liu berkata, "Eh, kiranya kau punya Tiatsahtjiang berbisa pula. Jika aku tidak kena kau pukul tentu
kau akan mengira aku jeri kepada pukulanmu."
Secepat itu pula Kim Tiok-liu lantas menarik kembali kotak
merah berisi Hian-tiat itu. berbareng telapak tangan kiri juga
memukul ke depan. "Plak", kedua tangan saling beradu. The
Hiong-to merasa telapak tangannya seperti disayat-sayat,
sakitnya tidak kepalang.
Sambil mengerang The Hiong-to melompat mundur. Waktu
telapak tangan sendiri diperiksa, ternyata sudah berlubang
dan mengucurkan darah hitam.
Kiranya pada waktu mengadu tangan, selain memunahkan
I tenaga pukulan lawan, berbareng Kim Tiok-Liu
menggunakan jari untuk menjentik telapak tangan lawan
dengan 'It-tji-sian-tkang' (ilmu tenaga jari sakti), sehingga
pukulan The Hiong-to yang berbisa itu juga dipunahkan.
Walaupun tidak sampai cacad, tetapi untuk bisa memulihkan
ilmu pukulannya yang berbisa itu sedikitnya The Hiong-to
harus berlatih sepuluh tahun lebih.
Di antara keempat jagoan Hek-to itu sekarang hanya
tertinggal Kiong Peng-hoan saja. Dengan tertawa Kim Tiok-Liu
berkata, "Seorang tamu tidak perlu merepotkan dua orang
tuan rumah. Nona Su, biarlah aku membereskan dia sekalian."
Segera Su Ang-ing menarik cambuknya, sedangkan Kiong
eng-hoan lantas membentak, "Lihat serangan!"
Segera serangannya ganti sasaran ke arah Kim Tiok-Liu.
"Sebelum merasakan ilmu pedangku, sesudah kalah kau tentu
akan penasaran," kata Tiok-liu tertawa.
"Sret", Kim Tiok-Liu mencabut pedangnya, lalu menangkis
dan balas menyerang secepat kilat.
"Bagus!" seru Kiong Peng-hoan dengan rada terkejut.
Segera tipu serangannya berubah, pedangnya melingkarlingkar,
sinar pedangnya bergelombang susul menyusul
menyambar ke pdepan.
"Tidak jelek juga kau punya ilmu pedang ini!" Tiok-liu balas
memuji dengan tertawa. Secepat itu pula pedangnya menusuk
lurus ke depan, terlihatlah satu jalur sinar perak menembus ke
tengah lingkaran sinar pedang lawan. Jurus 'Liong-bun-samtiaplang' atau ombak tiga gelombang di pintu naga, yang
dilontarkan Kiong Peng-hoan seketika dipatahkan pula oleh
Kim Tiok-Liu. "Ada ubi ada talas, sudah diberi harus dibalas. Sekarang
kau pun lihat aku punya," bentak Kim Tiok-liu. "Sret-sret-sret",
sekaligus ia pun melancarkan serangan kilat susul-menyusul.
Terpaksa Kiong Peng-hoan mengeluarkan segenap
kemahirannya untuk melayani, namun setiap serangannya
selalu didahului oleh Kim Tiok-Liu sehingga dia hanya mampu
menangkis saja tanpa bisa menyerang lagi. Padahal sebelah
tangan Kim Tiok-liu membawa kotak yang berisi benda berat,
maka mau tak mau Kiong Peng-hoan merasa kagum juga atas
ilmu pedang Kim Tiok-liu yang lihai itu.
"Awas!" mendadak Tiok-liu membentak. Sinar pedang
berkelebat, tahu-tahu kopiah Kiong Peng-hoan terbelah
menjadi dua. "Kau pintar merobek kerudung muka orang,
sekarang aku pun menabas kopiahmu!" demikian Tiok-liu
menambahkan dengan tertawa.
Selama hidupnya Kiong Peng-hoan paling membanggakan
ilmu pedangnya, sekarang kopiahnya kena ditabas menjadi
dua oleh Kim Tiok-liu, kepalanya terasa silir-silu dingin, cepat
ia melompat mundur dan berkata dengan menghela napas,
"Sudahlah, ilmu pedangmu memang bagus, orang she Kiong
terima mengaku kalah. Numpang tanya siapakah nama tuan
yang mulia?"
"Aku cuma seorang Bu-beng-siau-tjut (prajurit tak
bernama, keroco) saja, jika kau ingin menuntut balas, kelak
kalau bertemu lagi setiap saat kau boleh memberi petunjuk
dan pasti akan kuterima dengan senang hati," sahut Tiok-liu
tertawa. "Baiklah, rupanya tuan tidak sudi berkenalan dengan aku,
maka sejak hari ini nama orang she Kiong juga akan terhapus
di dunia Kangouw," kata Kiong Peng-hoan. "Tiga tahun lagi
bilamana orang she Kiong ada kemajuan tentu akan coba
mencari tuan pula."
Dengan ucapan Kiong Peng-hoan ini, maksudnya selama
tiga tahun dia akan tirakat meyakinkan ilmu pedang lebih
dalam lagi, a&ar tiga tahun kemudian dapat mengukur tenaga
lagi dengan Kim Tiok-liu.
Seperginya Kiong Peng-hoan, kini di tengah hutan hanya
tertinggal Kim Tiok-liu dan Su Ang-ing berdua. Setelah
mengalami pertempuran sengit, Su Ang-ing sudah lelah
sehingga untuk berlari lagi terang tidak sanggup. Sekarang
wajah aslinya sudah kelihatan, di bawah sorot mala Kim Tiokliu
yang tajam itu ia menjadi kikuk.
"Bagaimana, sekarang kau percaya tidak kesungguhanku


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hendak mengembalikan Mian-tiat ini?" kata Tiok-liu dengan
tertawa. "Banyak terima kasih atas bantuanmu," ujar Su Ang-ing.
"Sebenarnya kau ini siapa?"
"Meski kita tidak saling kenal, tapi kita mempunyai seorang
teman yang sama," kata Tiok-liu. "Jika kusebut nama teman
itu, mungkin kau takkan mencurigai aku lagi."
Su Ang-ing tampak melengak, "O, aku menjadi ingin tahu
siapa teman yang kau maksudkan itu."
"Juru tulis Liok-hap-pang yang bernama Li Tun," kata Kim
Tiok-liu sambil memperhatikan gerak gerik Su Ang-ing.
Dilihatnya Su Ang-ing seperti kaget bercampur girang, tapi
tiada tanda kemalu-maluan seorang gadis yang mendadak
mendengar nama kekasihnya disebut, sebaliknya dengan sikap
wajar antas berkata, "O, pahamlah aku. Jangan-jangan kau
adalah si enbel cilik yang menolong Li Tun di puncak Tji-laysan
itu?" "Eh, kau juga mengetahui kejadian itu?" tanya Tiok-liu. Ya,
memang akulah si jembel itu. Tapi tatkala itu aku tidak se-gaja
menolong Li Tun, maka aku tidak berani menerima pujian
"Hal itu adalah urusan antara kau dan Li Tun, kau terima
ujian itu atau tidak bukan urusanku," kata Su Ang-ing. "Tapi
tadi kau membantu aku, untuk ini aku mesti berterima kasih
padamu." Diam-diam ia merasa heran oleh kata-kata Kim Tiok-liu p.
ia tidak mengerti mengapa Kim Tiok-liu menyebut nama Li
Tun kepadanya, bahkan memberi penjelasan tentang apa
yang dilakukannya.
Dalam pada itu Kim Tiok-liu berkata pula dengan tertawa,
"Kau sudah berterima kasih tadi, maka tidak perlu banyak
berterima kasih pula Tapi berita mengenai Li Tun, kau malah
belum bertanya padaku."
Kembali Su Ang-ing melengak pula sejenak baru berkata,
"Baiklah, aku mau bertanya Bagaimana keadaan dia sekarang"
Dia bersembunyi dimana?"
"Maaf," jawab Tiok-liu sambil mengangkat bahu. "Aku cuma
tahu dia tidak kurang suatu apapun ketika berpisah. Mengenai
beritanya lebih lanjut aku tidak tahu."
Su Ang-ing mengerut kening, pikirannya, "Orang ini bicara
dengan plintat-plintut, jangan-jangan rada sinting?"
Lalu ia berkata "Jika kau tidak tahu beritanya mengapa kau
ingin aku bertanya padamu?"
"Memangnya apa kau tidak memikirkan Li Tun" Menurut
akal sehat sepantasnya kau bertanya padaku bukan?" sahut
Tiok-liu tertawa. "Mengenai aku tahu atau tidak keadaannya
adalah soal lain. Jika kau tidak bertanya padaku, darimana kau
akan mengetahui aku tahu atau tidak keadaan Li Tun?"
"Ya beralasan juga ucapanmu," ujar Su ?Ang-ing tertawa.
Walaupun begitu diam-diam ia merasa Kim Tiok-liu ini terlalu
ceriwis. "Nah, kau pun percaya omonganku beralasan bukan"
Mengenai Li Tun.....Eeh, masih ada yang hendak kukatakan,
kenapa kau lantas mau pergi" Apa kau tidak memikirkan
keselamatan Li Tun?"
"Ya aku memang memikirkan keselamatannya. Tadi aku
sudah bertanya dan kau tidak tahu. Maka boleh silakan saja
maaf, aku tidak dapat tinggal lebih lama di sini."
"Tidak, tidak, masih ada yang akan kukatakan. Meski aku
tidak tahu dimana beradanya Li Tun, tapi kawan-kawanku di
dunia Kangouw sangat banyak, aku dapat bantu mencarikan
kabarnya."
"Tidak perlu lagi, aku sendiri dapat mencari kabarnya"
habis berkata segera Su Ang-ing hendak melangkah pergi
pula. "He, nanti dulu!" seru Tiok-liu.
"Apalagi" Tapi aku tidak mau bicara pula tentang Li Tun,
aku bosan dengan hal yang bertele-tele!" kata Su Ang-ing.
Kim Tiok-liu tertegun, katanya kemudian, "Baiklah, aku
takkan menyebut Li Tun lagi. Tapi kau telah melupakan
sesuatu." "Sesuatu apa?" tanya Ang-ing sambil mengerut kening.
"Hian-tiat ini, kau sudah lupa membawanya serta" seru Tiokliu.
"Aku tidak mau lagi Hian-tiat itu, kau ambil saja."
"Ini kan aneh. Dengan segala daya upaya kau mengambil
Hian-tiat ini, memangnya benda ini adalah milik keluargamu
pula mengapa sekarang kau tidak mau menerimanya" Apa kau
menyangsikan kesungguhanku hendak mengembalikan benda
ini?" "Aku tidak sangsi, aku percaya penuh. Tapi aku pun
dengan sungguh hati memberikannya padamu."
"Aneh, mengapa bisa jadi demikian?"
"Ah, kau ini memang suka bicara tak keruan. Apa aku perlu
bicara lebih jelas padamu?"
"Lantaran Hian-tiat ini aku sendiri telah berkelahi satu kali,
ketika membantu kau kembali aku berkelahi lagi. Demi
tenagaku yang terbuang itu kukira tidak berlebihan jika aku
minta kau memberi penjelasan padaku bukan?"
"Baiklah, jika demikian akan kuterangkan," sahut Ang-ing.
"Hian-tiat ini adalah hadiah ulang tahun yang dikirim kakakku
kepada Sat-tjongkoan di kotaraja hal ini kau sudah tahu. Tapi
aku tidak ingin kakakku memelet hati Sat-tjongkoan, aku telah
memberi nasihat dan kakakku tetap tidak mau menggubris.
Terpaksa secara diam-diam aku mencegat barang antarannya
ini, sekarang kau paham tidak?"
"O, kiranya maksudmu serupa dengan Li Tun. Eh, maaf,
kembali aku menyebut dia lagi."
Su Ang-ing hanya manggut-manggut seperti tiada menjadi
soal tentang Li Tun itu, lalu menyambung pula, "Ya, kalung
mutiara mestika itu memangnya juga aku yang mencuri dan
memberikan kepada Li Tun."
"O, jika demikian, jadi dalam urusan ini kau adalah
dalangnya. Apa kau tidak takut diketahui oleh kakakmu?"
"Aku tahu kakak tentu akan marah sekali, tapi apa yang
kulakukan ini adalah demi kebaikannya, kukira lambat-laun dia
tentu akan paham maksudku ini. Sebenarnya aku hendak
sembunyi untuk sementara waktu sesudah aku merampas
Hian-tiat ini, setelah amarahnya reda barulah aku akan pulang
menemui kakak."
Sampai di sini mendadak terpikir olehnya, Kim Tiok-liu itu
baru saja dikenalnya, mengapa dirinya lantas memberitahukan
segala isi hatinya kepada pemuda itu"
"Tujuan nona yang luhur ini sungguh harus dipuji," ujar
Kim Tiok-liu. "Cuma Hian-tiat ini adalah mestika yang sukar
dicari, jika diberikan padaku apa tidak terlalu sayang?"
"Meski benda mestika, tapi bagiku tiada gunanya. Aku
sendiri tidak memakai pedang, buat apa aku memilikinya" Kau
ambil saja, kelak kau boleh mencari seorang ahli membuat
pedang untuk menggemblengnya menjadi sebatang pedang
wasiat yang tiada bandingannya di dunia."
"Banyak terima kasih," kata Tiok-liu. "Tapi cara bagaimana
kau akan menjawab kakakmu jika kehilangan Hian-tiat ini, toh
kau pasti akan pulang menemuinya?"
"Ya, ini adalah urusanku, kau tidak perlu kuatir bagiku,"
sahut Ang-ing. Akhirnya Kim Tiok-liu merasa tidak enak had untuk
bertanya lebih banyak lagi. Dengan rikuh ia membawa kotak
merah itu dan berkata, "Baiklah, karena dengan sungguh hati
kau memberikannya padaku, kalau menolak akan terasa
kurang hormat, terpaksa aku menerimanya dengan terima
kasih. Eh, nona Su, kau hendak kemana?"
Walaupun merasa dirinya sudah bertanya terlalu banyak,
tapi pada saat hendak berpisah tidak urung ia mengajukan
satu pertanyaan lagi.
Sambil bertindak pergi Su Ang-ing menjawab, "Kita cuma
bertemu secara kebetulan, budi kebaikan bantuanmu juga
telah kubalas. Sekarang kita menuju ke arah masing-masing,
aku tidak perlu mengetahui tempat tujuanmu, buat apa pula
kau tanya ke arah mana kepergianku?"
Jawaban ketus ini membikin kikuk Kim Tiok-liu, seketika
tiada yang bisa dikatakan, terpaksa ia bergelak dan berkata,
"O, kiranya pemberian Hian-tiat ini dimaksudkan sebagai balas
budimu?" "Benar," sahut Ang-ing dengan angkuh. "Selamanya aku
tidak sudi menerima budi kebaikan orang dengan percuma."
"Tapi sayang kau telah melupakan sesuatu," kata Tiok-liu.
"Sesuatu apa lagi?" Ang-ing menegas. "Kau lupa bahwa Hiantiat
ini memangnya sudah berada di tanganku. Jika aku
mengincarnya rasanya tidak perlu kau memberikannya
padaku." Seketika berubah air muka Su Ang-ing, katanya, "O,
baiklah, jika demikian budi kebaikan tuan akan kubalas saja
kelak. Nah, sekarang boleh aku berangkat toh?" lekas Tiok-Liu
menukas, "Bu.....bukan begitu maksudku, bukan begitu....."
Tapi Ang-ing tidak menggubris lagi padanya, ia terus
melangkah pergi dengan cepat. Dalam keadaan demikian jika
Kim iTiok-liu mengubernya lagi terang akan menyerupai
pemuda ba-pgor. Apalagi Ginkang Su Ang-ing selisih tidak
jauh dengan dia, Bengan membawa Hian-tiat yang ratusan
kati beratnya mungkin juga sukar untuk menyusulnya,
terpaksa Tiok-liu mengurungkan maksudnya dan
mengantarkan kepergian nona Su itu dengan pandangan yang
sayu seakan-akan kehilangan sesuatu.
Sampai akhirnya bayangan Su Ang-ing sudah lenyap dari
pandangannya, diam-diam Tiok-liu membatin, "Entah dia
hendak pergi kemana" Mungkin sekali dia pergi mencari Li
Tun?" Tiba-tiba teringat olehnya ucapan Su Ang-ing tadi yang
berbunyi "Kita cuma bertemu secara kebetulan, aku tidak
perlu tahu kemana kau hendak pergi, kau pun tidak perlu
tanya kemana aku hendak pergi". Tanpa terasa ia tersenyum
sendiri, pikirnya, "Ya, memang tidak salah. Perkenalan yang
cuma kebetulan ini buat apa mesti dirisaukan?"
Akan tetapi sungguh aneh, bayangan Su Ang-ing ternyata
masih terus muncul di dalam benaknya, susah dihapus dan
sukar dilupa. Kecantikan si nona yang cemerlang,
kepandaiannya yang
luar biasa serta sikapnya yang menambat hati.....
kesemuanya itu memberi kesan amat mendalam bagi Kim
Tiok-liu. Begitulah sesudah menertawai diri sendiri, kemudian ia
menjadi heran sendiri pula. Mendadak ia menyadari rahasia
lubuk hatinya, tanpa terasa hatinya bergetar, "Aneh, mengapa
berulang kali aku menyebut Li Tun di depannya" Ai, bukanlah
aku hendak menjajaki perasaannya" Wahai Kim Tiok-liu, jelas
kau mengiri kepada Li Tun!"
Setelah menyadari rahasia lubuk hatinya sendiri, Tiok-liu
terus berjalan ke depan dengan perasaan linglung. Akhirnya ia
mencela dirinya sendiri, "Istri kawan tidak boleh diganggu,
demikian kata peribahasa. Jelek-jelek Li Tun juga seorang
kawan, mengapa kau selalu memikirkan kekasihnya" Kim Tiokliu,
wahai Kim Tiok-liu, kau harus menjadi seorang laki-laki
sejati dengan segala perbuatan yang luhur, mana boleh timbul
pikiranmu yang tidak senonoh terhadap kawan" Ai, kau tahu
malu atau tidak?"
Berpikir sampai di sini tanpa terasa wajah Kim Tiok-liu
menjadi merah sendiri.
Setelah berjalan sebentar lagi. tertiup oleh angin dingin,
pikiran Tiok-liu menjadi rada jernih. Pikirnya, "Jika nona Su ini
benar-benar adalah istri Li Tun, dengan sendirinya aku tidak
boleh punya pikiran yang tidak pantas. Biarpun bukan istrinya,
umpama baru kekasihnya juga aku tidak pantas menyela di
antara mereka. Tapi melihat sikapnya tadi agaknya
perhatiannya terhadap Li Tun hanya perhatian seorang kawan
biasa saja."
Begitulah Kim Tiok-liu berpikir dan dibantahnya sendiri,
terhadap 'kesimpulan' yang ditariknya sendiri itu sekali-kali ia
pun belum berani yakin akan benar atau salahnya. Pikirnya
pula, "Tapi jelas Tang Tjap-sah-nio mengatakan kepada Wanhay
tentang permainan asmara antara nona Su itu dengan Li
Tun. Sebagai gendak kakaknya sudah tentu Tang Gapsah-nio
mengetahui rahasia mereka, apakah mungkin bisa salah"
Apalagi dia sengaja mencuri kalung mutiara mestika yang
sedianya akan disumbangkan kepada Sat Hok-ting, seumpama
hanya teman biasa saja juga jelas hubungan persahabatan
mereka ini lain daripada yang lain. Wahai Kim Tiok-liu,
janganlah sekali-kali kau menaruh pikiran yang tidak keruan."
Sedapat mungkin Kim Tiok-liu menekan perasaannya
sendiri yang bergolak itu dan melanjutkan perjalanan. Tapi
mesti dia menahan perasaan sebisanya agar tidak memikirkan
Su Ang-ing, namun persoalan Liok-hap-pang toh tetap
dipikirkan olehnya.
Su Pek-to, Pangtju Liok-hap-pang hendak menyampaikan
selamat ulang tahun kepada Taylwe-tjongkoan Sat Hok-ting,
hari ulang tahun itu akan berlangsung pada bulan depan,
waktunya tinggal satu bulan saja. Kim Tiok-liu menjadi ingin
tahu [sesudah hadiah ulang tahun kiriman Liok-hap-pang itu
dirampasnya, entah Su Pek-to tetap berangkat ke kotaraja
atau tidak, pial inilah yang ingin diketahuinya. Ia pikir pada hari
perayaan itu tentu banyak sampah masyarakat Kangouw akan
hadir juga di tempat Sat Hok-ting itu, pada kesempatan mana
ada baiknya juga dirinya mengetahui siapa-siapa saja kaum sampah
Kang-ouw itu. Sebenarnya Kim Tiok-liu bermaksud menuju ke kotaraja,
Bilamana dia sudah kenyang pesiar di daerah Kanglam yang
indah itu. Tapi kini waktunya tinggal sebulan saja, sudah tentu
ia tidak dapat melaksanakan menurut rencana semula. Maka
dari Sohtjiu ia lantas menuju ke utara sekalian pesiar ke Kimsansi, yaitu kuil yang termashur di kota Tin-kang. Dari situ ia
memutar ke arah barat dan menyeberangi Tiangkang di
lembah tambangan Tjay-tjiok-ki.
Tjay-tjiok-ki adalah tempat yang terkenal, karena di sinilah
panglima Song, Lu In-bun mengalahkan tentara Kiin secara
besar-besaran. Untuk peitama kalinya Kim Tiok-liu berada di
lembah Sungai Panjang (Tiangkang, Changchiang), sejauh
mata memandang hanya tertampak ombak bergelombang
melulu. Diam-diam ia mengenangkan syair yang digubah Soh
Tong-po tentang kemegahan Tiangkang dalam sejarah,
perasaannya menjadi lapang dan semangat segar.


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sampai sekian lama Kim Tiok-liu menyusuri lembah sungai
itu dan masih belum ada kapal tambangan. Ia menjadi heran
kemana perginya kapal tambangan, padahal suasana toh
aman tenteram. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara dayung menyibak
air, sebuah perahu kecil muncul dari balik alang-alang sana.
Tukang perahunya lantas menegur Kim Tiok-liu, "Apakah tuan
tamu hendak menyeberang?"
Sambil membenarkan, tanpa menunggu lagi Kim Tiok-liu
terus melompat ke dalam perahu sebelum perahu itu menepi.
Kim Tiok-liu membawa kotak merah yang berisi Hian-tiat
dengan bobot ratusan kati. Waktu hinggap di atas perahu,
dengan sendirinya perahu kecil itu lantas berguncang, haluan
perahu sampai mendelong ke bawah hampir kemasukan air.
Rupanya tukang perahu itu adalah seorang yang
berpengalaman, terdengar ia bersuara heran dan memandang
sekejap kepada Kim Tiok-liu, lalu katanya "Eh, tuan tamu,
barang apakah yang kau bawa kok begitu berat?"
"Yang terang bukan emas intan," sahut Tiok-liu tertawa.
"Kau bilang barang bawaanku terlalu berat, nanti kuberikan
uang tambangan lipat dua."
Tukang perahu tertawa katanya, "Ini sih tidak perlu, anggaplah
penumpangku bertambah satu orang saja. Sekali
menye-Iberang ongkos perahunya satu tail perak, seorang
atau dua orang (sama saja. Yang kukuatirkan adalah barang
berharga yang kau bawa itu bila sampai hilang, maka sukar
bagiku untuk menanggungnya"
"Cuaca hari ini aman dan tenang, kukira takkan terjadi apaapa"
ujar Tiok-liu. "Agaknya tuan tidak tahu bahwa baru-baru ini Tiangkang
telah kedatangan sekawanan bajak yang seringkah
mengganggu kaum nelayan dan kapal penumpang. Untuk
keselamatan bersama, apakan tuan dapat memberitahukan
barang apa yang tuan fcawa itu?"
Kuatir kalau si tukang perahu menjadi rewel dan tak mau
menyeberangkan dia, terpaksa Kim Tiok-liu menjawab dengan
ftertawa "Kau jangan kuatir, jika terjadi apa-apa aku takkan
menyalahkan kau. Barang yang kubawa ini tiada berguna bagi
orang lain, biarpun kawanan bandit merampasnya juga
percuma Kukatakan apa barangnya juga kau tidak tahu."
Walaupun merasa si tukang perahu terlalu banyak urusan,
lapi Tiok-liu juga tidak menaruh curiga apa-apa. Ia tidak tahu
tahwa si tukang perahu justru sengaja dibuat-buat agar Kim
Tiok-liu tidak sangsi untuk menumpang perahunya.
Ketika perahu itu sudah sampai di tengah sungai, saking
gembiranya Kim Tiok-liu mulai bersenandung. Habis bersenanpung,
sejenak kemudian baru Tiok-liu merasa perahu itu
seperti memperlambat lajunya. Waktu ia berpaling, dilihatnya
si tukang perahu sedang menoleh ke arahnya sambil
memasang kuping se-akan-akan sedang mendengarkan
nyayiannya tadi.
"Pak tukang perahu, apakah kau juga paham laguku tadi?"
tanya Tiok-liu dengan tertawa.
"Aku cuma paham mendayung perahu, darimana aku tahu
(bolu atau lagu segala?" jawab si tukang perahu. "Tuan tamu
tampaknya riang betul, kukuatir jangan-jangan akan
memancing datang kaum penjahat."
"Takut apa?" ujar Tiok-liu sembari mengangkat teko di atas
meja kecil, tapi tidak diketemukan cangkirnya.
"Teh itu baru saja diseduh, tentunya masih panas. Jika tuan
haus boleh silakan menuang sendiri. Cuma tidak ada cangkir,
jika sudi silakan pakai mangkukku itu," demikian kata si
tukang perahu yang biasanya menggunakan mangkuk sebagai
pengganti cangkir.
Memangnya Tiok-liu sudah merasa haus, maka tanpa pikir
ia terus mengambil mangkuk si tukang perahu yang kelihatan
rada kotor itu, teh dituang terus diminumnya.
Pada waktu dia minum teh, tiba-tiba angin meniup
kencang, terdengar si tukang perahu berseru, "Wah, cuaca
berubah!" Tiok-liu melihat tukang perahu itu menatap ke arahnya, di
waktu berseru sorot matanya nampak aneh, suaranya juga
rada gemetar, suatu perasaan yang girang-girang kuatir
segera dapat dirasakan oleh pendengarnya.
Baru saja pikiran Tiok-liu tergugah, terdengar tukang
perahu itu sudah bertepuk tangan dan berseru, "Rebahlah,
rebah!" Namun Kim Tiok-liu tidaklah roboh, sebaliknya ia berkata
dengan tertawa dingin, "Hrn, kiranya penjahatnya adalah kau!
Teh beracunmu ini masakah dapat mencelakai aku?"
Menyusul itu, sekali jari telunjuknya menuding, satu arus
air panas terus memancur dari ujung jarinya.
Kiranya Kim Tiok-liu keburu mengetahui maksud jahat si
tukang perahu, sebelum racun mulai bekerja ia lantas
menggunakan Lwekang yang tinggi untuk mendesak teh
berbisa itu ke ujung jari dan dipancurkan.
Si tukang perahu cepat mengegos untuk menghindar, tapi
tidak urung lengan dan kakinya sudah tersiram air teh itu
sehingga panas pedas, untung tidak sampai melepuh dan
keracunan. Segera tukang perahu itu berbangkit, dayung besi
diangkat terus dikemplangkan ke atas kepala Kim Tiok-liu
sambil berseru tertawa, "Haha, memang benar aku inilah
penjahatnya Sekarang kau baru tahu pun sudah kasip!"
"Huh, hanya sedikit kepandaianmu ini juga ingin
mencelakai aku" Masih terlalu jauh!" jengek Tiok-liu sambil
mengangkat kotak merahnya untuk menangkis.
Isi kotak itu adalah Hian-tiat yang ratusan kati beratnya,
payung si tukang perahu mana sanggup menahannya" "Krak",
payung yang berlapis besi itu seketika patah.
Tapi kepandaian si tukang perahu juga tidak serendah
dugaan Kim Tiok-liu, dayungnya sudah patah, namun
orangnya tidak sampai tergetar jatuh. Walaupun begitu tentu
juga ia insyaf sekali-kali bukan tandingan Kim Tiok-liu.
Mendadak si tukang perahu meloncat ke atas, selagi
tubuhnya terapung di udara ia terus menyambitkan tiga buah
pisau. Lekas Tiok-liu memutar kotak merah itu siap untuk
menangkis. Tak terduga pisau terbang itu ternyata tidak diarahkan
kepadanya, tapi lantas terdengar suara "krak-krak", tiang
perahu itu tertabas patah menjadi beberapa potong. Rupanya
tukang perahu itupun tahu senjata rahasianya tak bisa melukai
Kim Tiok-liu, maka dia menggunakan muslihat lain dengan
mematahkan tiang layar perahu agar perahu itu tidak dapat
melaju lagi. Dari cara menyambit pisau itu serta mematahkan tiang
layar, nyata kepandaian menggunakan senjata rahasia si
tukang perahu juga cukup lihai. Ketika Kim Tiok-liu menyadari
apa yang terjadi dan bermaksud membekuk si tukang perahu,
namun Riang layar sudah patah dan tukang perahu itupun
sudah terjun ke dalam sungai.
Ketika angin meniup, air sungai yang semula tenang itu
lantas berombak. Tiang perahu itu sudah patah, layarnya
sudah jatuh ke sungai, perahu kecil itu menjadi oleng dan
berputar-putar di tengah sungai yang berarus kencang itu.
Kim Tiok-liu dibesarkan di atas pulau dan sudah biasa
bermain di lautan, dengan sendirinya ia pun paham
mengemudikan perahu. Tapi dayungnya juga sudah patah,
bahkan dayung patah Itupun sudah dilemparkan ke dalam
sungai oleh si tukang pe-rahu, alat pengemudi lain tidak
diketemukan lagi di dalam perahu.
Mendadak Tiok-liu mendapat akal, segera ia menggunakan
'Djian-kin-tuF (ilmu memberatkan badan) untuk menahan goncangan
perahu kecil itu, tangan digunakan sebagai dayung
sehingga perahu itu mulai meluncur.
Perahunya sekarang meluncur melawan arus, yang
digunakan sebagai dayung adalah telapak tangannya, sudah
tentu sangat berat, tapi pelahan perahu itu dapat melaju ke
depan. Tiba-tiba di tengah deru angin dan gedebur ombak
terdengar pula suara "krek-krek", suara pecahnya kayu.
Keruan Tiok-liu terkejut, pikirnya, "Jangan-jangan tukang
perahu itu sedang main gila?"
Benar juga, segera dilihatnya dasar perahu itu retak dan
membentuk satu lubang, air sungai terus merembes masuk.
Kiranya tukang perahu itu terkenal sebagai setan air di sungai
itu, diam-diam dia menyelam ke bawah dan membobolnya
hingga berlubang.
Kim Tiok-liu tidak tinggal diam, sesaat kemudian mendadak
kedua kakinya ditekan terus diputar sehingga badan perahu
itu ikut oleng, berbareng itu ia membentak sambil memukul ke
permukaan sungai.
Karena badan perahu itu mendadak oleng dan berputar,
tukang perahu yang bersembunyi di bawah perahu itu
seketika tidak sempat ikut berputar sehingga kehilangan
pengaling, dengan tepat dia kena dihantam oleh tenaga
pukulan Kim Tiok-liu, kontan ia mengambang ke permukaan
air dan telentang, matanya mendelik seperti kakap mampus.
Untung dia terpukul di bawah air sehingga isi perutnya tidak
sampai tergetar hancur. Walaupun begitu keadaannya juga
sudah payah, dengan telentang di atas air, kalau tidak
tertolong dengan segera akhirnya tentu akan mati kelelap.
"Hehe, ini namanya senjata makan tuan, boleh kau segera
menghadap kepada Hay-liong-ong (raja naga laut) saja!"
jengek Kim Tiok-liu.
Namun di tengah damparan ombak, perahu Kim Tiok-liu
yang sudah kemasukan air itu mulai membesar lubangnya,
tambaknya tak bisa bertahan terlalu lama dan pasti akan
tenggelam. iTiok-liu sebenarnya dapat menyelamatkan diri
dengan berenang, napi sukar ditentukan dapat menyeberangi
sungai yang luas itu atau tidak, pula ia tidak rela kehilangan
besi mestika itu.
Selagi ragu-ragu dan gelisah, tiba-tiba Tiok-liu melihat
sebuah kapal layar meluncur ke hilir dengan cepat. Inilah
kesempatan bagus pikir Tiok-liu, maka cepat ia melompat ke
haluan perahu sambil berteriak dan memberi tanda, "Tolong!
Tolong!" Pada saat itu pula, tukang perahu yang mengambang di
permukaan air sungai itupun mengeluarkan suara teriakan
yang serak-serak lemah.
Laju kapal itu lantas dilambatkan, di atas haluan kapal
berdiri seorang laki-laki kekar, katanya dengan tertawa, "Ya,
aku memang hendak menolong orang."
Segera seutas tambang dilemparkan, panjang tambang itu
kira-kira beberapa meter dan tepat jatuh di samping si tukang
perahu. Begitu tukang perahu itu memegang tambangnya,
laki-laki kekar itu lantas menggertak, "Naik!"
Sekali ditarik tukang perahu itu lantas terseret ke atas
kapal. Tiok-liu tercengang, serunya, "Dia adalah penjahat, aku
hampir dicelakai dia, lekas tolong aku!"
Sesudah menaruh tukang perahu, laki-laki kekar tadi
kembali tertawa dan berkata, "Sabarlah sedikit, segera aku
akan menolong kau. Haha, mengingat Hian-tiat yang kau
bawa itu masakah aku tidak menyelamatkan kau?"
Benar juga laki-laki kekar itu lantas mengayun pula
tangannya, tapi bukan tambang yang dia lontarkan, sebaliknya
lantas terdengar suara peletak-peletok berulang-ulang disertai
nyala api, dari atas kapal dibidikkan panah berapi, semuanya
ditujukan ke perahu Kim Tiok-liu itu.
Keruan Tiok-liu terkejut, baru sekarang ia tahu bahwa
orang-orang di atas kapal itu adalah sekomplotan dengan si
tukang perahu. Sudah tentu dirinya bukan ditolong, sebaliknya
malah hendak ditenggelamkan.
Berturut-turut Tiok-liu menghantam jatuh beberapa panah
berapi yang menyambar ke arahnya, tapi sukar untuk
menghadapi hujan panah ini. Ada beberapa buah panah
berapi itu menancap di atas geladak perahu serta layar yang
tak bertiang itu sehingga api mulai berkobar dalam sekejap
saja. Malahan lubang di dasar perahu juga semakin
membesar, lantaran sibuk memadamkan api sehingga lupa
menyumbat lubang yang bocor itu, hanya dalam waktu
singkat saja air sudah merembes masuk sebatas dengkul. Di
bawah serangan air dan api itu, selain meninggalkan perahu
itu untuk menyelamatkan diri, rasanya tiada jalan lain bagi
Kim Tiok-liu. Jarak kapal besar itu dengan perahu Kim Tiok-liu ada
belasan meter jauhnya. Jika Kim Tiok-liu berenang ke sana,
mungkin sampai di tengah jalan dia sudah dihujani anak
panah. Kembali Kim Tiok-liu memperlihatkan ketangkasan dan
ketabahannya, pada detik antara mati dan hidup itu,
mendadak terpikir olehnya suatu akal yang baik meski sangat
berbahaya pula. Ia hendak menggunakan Ginkangnya yang
tinggi itu untuk merampas kapal yang besar itu.
Segera ia mengangkat kotak merah yang dibawanya itu
dan berseru nyaring, "Yang kau incar adalah Hian-tiat ini, soal
ini kan mudah, akan kuberikan padamu!"
Habis berkata sekuatnya ia terus melemparkan kotak itu ke
arah laki-laki kekar yang berdiri di haluan kapal. Sebelah
tangan melemparkan kotak, tangan Kim Tiok-liu yang lain
segera menyempal sepotong papan geladak perahu, terus
dilemparkan pula ke tengah sungai.
Kiranya Kim Tiok-liu hendak menggunakan papan itu
sebagai tempat berpijak dan sebagai batu loncatan untuk
mencapai kapal musuh. Soalnya jarak kedua kendaraan air itu
rada jauh, betapapun hebat Ginkang Kim Tiok-liu juga
diperlukan dua kali
loncatan baru dapat mencapai kapal itu.
Laki-laki kekar di atas kapal itu dapat menangkap kotak
yang dilemparkan Kim Tiok-liu, katanya dengan tertawa, "Baiklah,
terima kasih!"
Tapi mendadak ia terhuyung-huyung mundur beberapa
tindak. Pada saat itulah dari kabin kapal itu muncul seorang
dan sempat menahan punggung laki-laki itu sehingga tidak
sampai terjatuh. Jadi laki-laki itu tetap dapat menangkap Hiantiat
itu tanpa terluka apa-apa, hal ini membuktikan
kekuatannya yang hebat dan agaknya selisih tidak jauh
dibanding Kim Tiok-liu.
Pada saat yang sama itulah Kim Tiok-liu juga meloncat dari


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perahunya, bagai burung melayang, lebih dulu ia hinggap di
atas papan yang dilemparkannya tadi di permukaan air, lalu
dengan sekali loncatan pula bagai bola ia membal ke atas
terus menubruk ke atas kapal besar itu.
Mendadak orang yang keluar dari kabin kapal dan menahan
punggung laki-laki kekar tadi memburu maju sambil
membentak, "Kurang ajar, kiranya kau! Turunlah sana!"
Kiranya orang ini bukan lain daripada Bun To-tjeng yang
pernah dikalahkan Kim Tiok-liu di tengah pesta perkawinan
pu-|tii Kang Hay-thian tempo hari. Kekalahan Bun To-tjeng itu
lantaran tipu serangannya kalah lihai, tapi kalau bicara tenaga
dalam dia masih lebih tinggi daripada Tiok-liu. Sekarang tubuh
Kim Tiok-liu terapung di udara dan kakinya belum lagi sempat
menempel di geladak kapal, saat itulah Bun To-tjeng menyodokkan
kedua tangannya dengan tenaga sakti Sam-siang-sinTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kang dengan tujuan menceburkan Kim Tiok-liu ke dalam
sungai. Tapi Kim Tiok-liu sempat berjumpalitan di atas udara,
kedua tangannya terpentang bagaikan sayap burung,
menyusul jari tangan kanan seperti belati saja terus menusuk
ke Thay-yang-hiat di pelipis Bun To-tjeng, sedangkan tehlpak
tangan kiri mirip golok lantas membacok ke pundak lawan
pula. Sekali gerakan dua serangan ini memaksa musuh mau tak
mau harus menyelamatkan diri lebih dulu, suatu serangan
yang nekat dan bila perlu boleh gugur bersama musuh.
Jika bertempur di tempat lapang, seorang lawan seorang
mungkin Bun To-tjeng akan jeri mengadu jiwa dengan dia dan
terpaksa harus menghindar, tapi sekarang tubuh Kim Tiok-Iiu
terapung di atas, hal ini tentu lebih menguntungkan Bun Totjeng,
asalkan dia mampu menangkis serangan Kim Tiok-Iiu
sehingga pemuda ini tidak sampai menancapkan kakinya di
atas geladak kapal, maka pasti Kim Tiok-Iiu akan didesak
tercebur ke dalam sungai. Pula keadaan sekarang bukan satu
lawan satu, sebab Bun To-tjeng masih mempunyai bala
bantuan, yaitu laki-laki kekar tadi. Karena yakin kemenangan
pasti di pihaknya, maka selangkah pun Bun To-tjeng tidak
mau mengalah lagi.
Setelah menangkap kotak merah yang dilemparkan Kim
Tiok-Iiu tadi dan terhuyung-huyung mundur, sesudah
menenangkan diri, segera laki-laki kekar itu memapak maju
lagi sehingga sempat ikut menghadapi Kim Tiok-Iiu yang
sedang melompat ke atas kapal itu. Bahkan dengan kotak
merah itu sebagai senjata, segera laki-laki kekar itu balas
menghantam ke arah Kim Tiok-Iiu.
Dalam keadaan begitu Kim Tiok-Iiu menjadi tidak dapat
melayani Bun To-tjeng dengan kedua tangannya, dalam detik
terakhir terpaksa ia berganti serangan, kedua tangan terbagi
untuk melayani dua musuh.
Memangnya tenaga Bun To-tjeng masih lebih kuat sedikit di
atas Kim Tiok-Iiu, dengan sebelah tangan melawan dua
tangan sudah tentu Kim Tiok-Iiu bukan tandingannya, apalagi
ditambah laki-laki kekar yang tenaganya juga selisih tidak jauh
dari Tiok-Iiu, malahan kotak yang digunakan sebagai senjata
untuk menghantam Tiok-Iiu itu sangat berat. Maka
terdengarlah suara "bruk", bagai bunyi guntur, di bawah
kerubutan dua jago itu, Kim Tiok-Iiu mirip layang-layang putus
benangnya terjungkal ke belakang dan tercebur ke dalam
sungai. Walaupun Kim Tiok-Iiu mahir berenang, namun sekaligus ia
kena dihantam oleh tenaga pukulan dua jagoan, di dalam
sungai kena damparan ombak yang keras pula, sekalipun Lwekangnya
cukup kuat hingga tidak sampai terluka dalam, tapi
keadaannya juga rada payah dan hampir kehilangan ingatan.
Dalam keadaan samar-samar Kim Tiok-Iiu masih dapat
mendengar suara "plang-plung", suara orang terjun ke dalam
air. Mungkin orang-orang di atas kapal itu menyelam untuk
menangkapnya. Sekuatnya Kim Tiok-Iiu menahan napas dan
melolos pedang sambil diobat-abitkan di dalam air.
Terdengar pemimpin bajak di atas kapal tadi membentak,
"Biarkan bocah itu kenyang minum air dulu, baru nanti kita
bereskan dia!"
Akhirnya Kim Tiok-Iiu menjadi lemas, meski bertahan
sekuatnya, mau tak mau ia mesti membuka mulut untuk
mengganti napas, sekali membuka mulut air sungai lantas
membanjir ke dalam kerongkongannya, jalan napasnya
tertutup dan akhirnya ia tak sadarkan diri lagi.
Entah sudah berapa lama, ketika pelahan-lahan Kim TiokIiu siuman kembali dan membuka mata, ternyata keadaan
gelap gulita. Waktu tangannya meraba-raba, yang terasa
adalah dinding batu yang dingin. Baru sekarang ia mengetahui
dirinya terkurung di dalam sebuah kamar batu.
Ia coba menenangkan diri dan berpikir, "Aneh, mengapa
mereka tidak memborgol aku?"
Ia coba mendengarkan dengan menempelkan telinganya ke
dinding, sayup-sayup terdengar di luar sana suara orang
berjalan mondar-mandir, ia menduga itu pasti penjaga.
Tiba-tiba ia merasa tangan-kakinya tak bertenaga,
disangkanya kelelahannya belum pulih, ia bermaksud
menghimpun tenaga lebih dulu. Tak terduga, begitu ia
berduduk dan coba mengerahkan tenaga dalam, terasalah
pusatnya kosong blong, hawa murni di dalam perut sama
sekali tak bisa digerakkan.
Sungguh kejut Kim Tiok-Iiu bukan buatan, mestinya ia
bermaksud membobol pintu kamar batu itu dengan tenaga
dalamnya yang sakti, apabila tenaga itu sudah dihimpun
kembali. Tapi sekarang tenaga itu telah punah semua, keadaan
dirinya sudah mirip orang cacat, sekalipun ilmu silatnya
setinggi langit juga percuma.
Sekonyong-konyong terdengar suara dua orang mendekati
pintu kamar batu itu. Terdengar seorang di antaranya sedang
berkata, "Di dalam seperti ada suara apa-apa, jangan-jangan
bocah itu sudah siuman. Mari kita coba memeriksanya."
"Kukira tak secepat itu dia dapat siuman," ujar seorang
lagi. "Rupanya kau tidak tahu kelihaian bocah itu," ujar orang
pertama tadi. "Memang seharusnya dia tak bisa siuman
secepat itu, cuma bagi bocah ini adalah bukan hal yang
mustahil. Totju telah berpesan pada kita agar segera
menggiringnya ke sana untuk diperiksa begitu dia siuman
kembali." "Baiklah, mari kita coba melihatnya," sahut kawannya.
Kim Tiok-liu lantas memejamkan mata pura-pura belum
sadar. Kedua penjaga itu lantas mendekati, seorang
mengangkat pelita untuk menerangi mukanya, seorang lagi
masih kurang percaya dan mendepak sekali di pantat Kim
Tiok-liu. Namun Tiok-liu sedapat mungkin menahan diri dan tetap
diam saja, pikirnya, "Nanti kalau kepandaianku sudah pulih
baru kalian tahu akan kelihaianku."
Tapi ia sendiri pun bingung dan tidak habis mengerti
mengapa tenaga murninya mendadak bisa punah sama sekali,
apakah kepandaiannya akan dapat pulih kembali
sesungguhnya ia sendiri pun ragu-ragu.
Sejenak kemudian kedua penjaga itu mengundurkan diri,
pintu kamar tahanan itu digembok pula, mereka lantas pasang
omong lagi di luar.
"Siapakah bocah ini" Mengapa Totju sedemikian
memperhatikan dia, sehingga kita dipesan harus melayani dia
sepanjang malam?" demikian tanya seorang di antaranya.
"Hah, jadi kau masih belum mengetahui siapakah bocah
ini?" kawannya menegas.
"Ya, katanya To-lotoa kecundang olehnya, bilamana Totju
kita tidak keburu datang pada saat yang tepat, hampir saja
jiwanya melayang di dalam sungai."
Rupanya To-lotoa yang mereka maksudkan adalah si
tukang perahu yang hendak meracun Kim Tiok-liu itu.
Maka kawannya tadi menjadi terkejut dan berkata, "Wah,
begitu lihai dia" Siapakah dia sebenarnya?"
"Nama Kim Si-ih pernah kau dengar belum?"
"Memangnya kau anggap aku ini anak kemarin" Masakah
nama Kim Si-ih yang maha termashur itu aku tidak tahu" Dua
puluh tahun yang lalu tiada seorang jagoan di jagat ini yang
mampu menandingi dia. Sekarang bahkan muridnya yang
bernama Kang Hay-thian itu juga diakui sebagai jago nomor
satu loleh segenap orang Bu-lim. Cuma kudengar Kim Si-ih
sudah lama menghilang, memangnya apa ada hubungannya
dengan bo-I cah ini?"
"Kim Si-ih bukan lain adalah ayah si bocah ini!"
"Hah, kiranya demikian! Pantas dia begini lihai. Aku menjadi
tidak paham mengapa Totju kita tidak membunuhnya
saja, apakah Totju tidak kuatir bocah ini sampai lolos dan
kelak akan menuntut balas padanya?"
"Untuk ini boleh jangan kuatir. Biarpun bocah ini memiliki
kesaktian setinggi langit sekarang juga sukar kabur sekalipun
[tumbuh sayap. Justru mengingat Liok-hap-pang, maka Totju
kita tidak mau membunuhnya."
"Lho aneh, bukanlah dia adalah musuh yang sedang dicari
[orang Liok-hap-pang?"
"Kau cuma tahu satu tapi tidak tahu dua," ujar kawannya, r
Adik pemimpin Liok-hap-pang itu minggat dari rumahnya, kau
Bahu tidak kejadian ini?"
"Ada sangkut-paut apa dengan soal ini?" balas tanya
temannya. "Kabarnya minggatnya anak dara itu justru digondol oleh
bocah ini, Su Pek-to ingin minta pertanggungan jawab bocah
ini untuk menemukan adik perempuannya Dia sudah
memberitahukan kepada semua perkumpulan dan gerombolan
Kangouw agar bantu menyelidiki urusan ini. Totju kita
mempunyai persahabatan yang baik dengan Su Pek-to,
sekarang bocah ini dapat ditangkap olehnya sudah tentu akan
dikirim kepada Liok-hap-pang dan tak dapat membunuhnya
begini saja."
Mendengar sampai di sini, diam-diam Kim Tiok-liu
menggerutu obrolan penjaga yang ngaco-belo itu, pikirnya
"Tidaklah menjadi soal bila aku difitnah. Tapi kalau berita
kotor ini sampai didengar oleh Li Tun tentunya akan tidak
enak rasanya. Su Pek-to itu benar-benar tolol, siapa yang
disukai adik perempuannya masa tidak tahu?"
"O, baru sekarang aku paham," demikian kata penjaga
kedua tadi. "Cuma apa sebabnya kau bilang bocah she Kim ini,
biarpun sekarang tumbuh sayap dan punya kepandaian
setinggi langit juga tak bisa kabur, hal ini aku masih tidak
jelas." "Begini, Bun-totju mempunyai sejenis obat pusaka dari
leluhurnya yang disebut 'Soh-kut-san' (puyer pelembek tulang)
dan dapat memunahkan kekuatan murni orang, jika
diminumkan satu sendok teh saja betapapun lihai Lwekangnya
juga akan punah. Waktu bocah she Kim itu ditangkap, Buntotju
mencekoki dia dengan secangkir air teh yang dicampur
satu sendok obat bubuk itu. Tatkala mana kau tidak di tempat,
pantas saja kau tidak tahu. Coba pikir, jika dia tidak dicekoki
obat itu, masakah Totju kita berani mengurung dia tanpa
diborgol dan cuma memberi penjaga seperti kita berdua?"
Kini Kim Tiok-liu baru sadar duduknya perkara, kiranya dia
telah diperlakukan secara licik oleh Bun To-tjeng. Namun
begitu segera timbul juga suatu titik sinar harapan di dalam
benaknya, sesudah diketahui sekarang bahwa yang
diminumnya adalah Soh-kut-san.
Dahulu ayah Tiok-liu, yaitu Kim Si-ih, juga pernah terjebak
oleh kelicinan Bun Ting-bik pada waktu baru saja kenal paman
Bun To-tjeng itu. Bun Ting-bik menipu Kim Si-ih minum seohkutsan, habis itu baru menantang bertanding padanya
sehingga Kim Sih-ih cukup menderita pada peristiwa itu.
(Dalam cerita Kisah Pedang di Sungai Es ).
Setelah mengalami kejadian itu, kemudian dengan tekun
Kim Si-ih menciptakan semacam ilmu pernapasan khusus
untuk memunahkan Soh-kut-san yang melumpuhkan itu.
Begitulah Tiok-liu lantas menjalankan ilmu ajaran ayahnya
Itu, ia duduk bersila memusatkan pikiran dan melambatkan
pernapasan, ia menghimpun hawa murninya sedikit demi
sedikit. Agak lama juga, lambat laun Kim Tiok-liu merasa hawa
murni itu dapat berjalan lancar tanpa halangan. Cuma Sohkutsan yang diminumnya mungkin kadarnya terlalu banyak,
sehingga hawa murni hanya bisa dihimpun sedikit-sedikit dan
tidak boleh terburu-buru. Oleh karena itu, meski sekarang
hawa murninya dapat dijalankan, tapi tenaga yang pulih baru
satu dua bagian saja.
Kim Tiok-liu merasa girang dan kuatir pula, pikirnya
"Semoga di dalam dua jam ini jangan sampai diketahui oleh
mereka soal pulihnya tenagaku ini."
Ia menaksir untuk mengembalikan tenaganya seperti
semula, kira-kira diperlukan waktu dua jam.
Selagi Kim Tiok-liu asyik memulihkan tenaga, tiba-tiba diKengarnya ada seorang datang lagi ke situ, terdengar
suaranya Tji Toa Totju memanggil kau, biar aku menggantikan
kau sebentar."
Tiok-liu sudah kenal benar suara itu, rupanya adalah Bun
Keng-tiong, putra Bun To-tjeng. Kim Tiok-liu terkesiap, pikirnya,
"Sebagai seorang tamu, buat apa dia ikut-ikutan menjaga
ke tempat tahanan segala?"
Tji Toa adalah penjaga yang bercerita tentang asal usul kim
Tiok-liu tadi, dia adalah seorang kepercayaan sang Totju,
arangnya juga cukup cerdik. Apa yang diragukan Kim Tiok-liu
Bu juga terpikir olehnya, maka ia lantas menjawab, "Bunkongtju, engkau adalah tamu kami yang terhormat, mana aku
berani membikin susah engkau berjaga di sini."
"Aku sendirilah yang suka melakukannya dengan suka rela
dan bukan salahmu, jangan kuatir," kata Bun Seng-tiong
dengan tertawa. "Kabarnya bocah she Kim ini banyak
mengalahkan jago-jago Bu-lim yang ternama. Aku ingin
melihat bagaimana coraknya, apakah dia punya tiga kepala
atau punya enam tangan?"
"Ah, dia juga cuma seorang anak manusia biasa saja,"
jawab Tji Toa dengan tertawa. Dia sangka Bun Seng-tiong
hanya terdorong oleh rasa ingin tahu saja. la pikir Bun-totju
adalah tamu agung sang Totju, tertangkapnya bocah she Kim


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini juga berkat bantuan Bun-totju. Jika sekarang putranya
datang ke sini bantu menjaga tentunya tidak sampai terjadi
apa-apa. Karena itu, sesudah mengucapkan terima kasih
kepada Bun Seng-tiong, lalu ia pun tinggal pergi tanpa kuatir.
Yang dikuatirkan Tji Toa hanya kaburnya Kim Tiok-liu saja,
tapi ia tahu Kim Tiok-liu sudah minum Soh-kut-san, untuk bisa
kabur kecuali penjaga-penjaga itu sendiri yang melepaskan
dia. Dan Bun Seng-tiong jelas tidak mungkin membebaskan
seterunya itu. Sebab itulah Tji Toa tidak kuatir apa-apa. Ia
tidak tahu bahwa Bun Seng-tiong memang tidak mungkin
membebaskan Kim Tiok-liu, tapi justru datang untuk
membunuhnya. Kiranya Bun Seng-tiong masih dendam dan ingin membalas
sakit hatinya kepada Kim Tiok-liu, ia anggap sekarang ini
adalah kesempatan yang sukar dicari. Cuma Pangtju dari Haysoapang di sini sudah memutuskan akan mengirim Kim Tiokliu
kepada Liok-hap-pang, maka Bun Seng-tiong tidak berani
mencelakai Kim Tiok-liu secara terang-terangan, maka ia
hendak membunuhnya secara licik. Apabila kematian Kim
Tiok-liu sudah menjadi kenyataan tentu pemimpin Hay-Soapan
tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dan langkah pertama
adalah Bun Seng-tiong menyingkirkan Tji Toa yang merupakan
orang kepercayaan Pangtju Hay-soa-pang itu.
Seperginya Tji Toa, Bun Seng-tiong lantas berkata kepada
penjaga yang satunya lagi, "Coba bukakan pintu, aku ingin
melihat bocah itu."
Penjaga yang tertinggal ini cuma kaum keroco saja, ia tidak
berani membangkang, setelah mengiakan segera ia membu-,
ka pintu penjara dan mengiringi Bun Seng-tiong masuk ke
dalam. Tindak-tanduk Bun Seng-tiong cukup hati-hati juga, sudah
jelas diketahuinya bahwa Kim Tiok-liu telah dicekoki Soh-kutsan,
tapi ia pun tidak berani sembrono, begitu masuk ke
dalam penjara batu itu segera ia menyalakan api dan melolos
pedang untuk menjaga diri.
Di bawah sinar api itu kelihatan Kim Tiok-liu duduk
bersandar di pojok dinding sana, kepala tertunduk dan mata
terpejam, agaknya sedang menggeros tidur.
Dengan tertawa penjaga itu berkata, "Ayah tuan benarbenar
hebat, Soh-kut-san itu membuatnya tidur pulas 12 jam
dan sampai sekarang masih belum juga mendusin."
Bun Seng-tiong hanya mendengus saja, lalu katanya
dengan tertawa dingin terhadap Kim Tiok-liu, "Bocah she Kim,
sekali ini ingin kulihat apakah kau dapat lolos dari telapak
tanganku!"
"Sret", segera pedangnya menusuk ke depan. Penjaga itu
kaget dan berteriak, "He, Bun-siangkong, ja .....jangan!"
"Kau jangan ribut, aku tidak bermaksud mencabut
jiwanya," kata Seng-tiong dengan tertawa. Dalam pada itu
ujung pedangnya sudah menusuk sampai di tubuh Kim Tiokliu.
Terdengar suara "tring" sekali. Sungguh aneh, sudah jelas i
tubuh Kim Tiok-liu tertusuk, tapi rasanya seperti mengenai
batu saja. Kiranya Kim Tiok-liu sudah memperhitungkan dengan tepat
bahwa Bun Seng-tiong tidak berani membunuhnya, jika
menyerang tentu akan mematahkan tulang pundaknya lebih
dulu. Betul juga, begitu datang ke tempat itu, Bun Seng-tiong
lantas menusuk dengan pedangnya. Namun Kim Tiok-liu
sudah siap sedia, sedikit mengkerutkan pundaknya dan
menonjolkan baju di atas bahunya ke atas, segera tusukan
Bun Seng-tiong itu menembus bajunya dan mengenai dinding
batu. Karena pedangnya menancap dinding, mau tak mau badan
Bun Seng-tiong menjadi rada mendoyong ke depan. Dengan
cepat sekali Kim Tiok-liu lantas meloncat bangun dan secepat
itu pula ia menutuk Hiat-to kedua orang.
Kontan penjaga itu terhiruk roboh, tapi Bun Seng-tiong
hanya terhuyung-huyung saja tidak sampai jatuh. Rupanya
tenaga Kim Tiok-liu baru pulih sebagian kecil, untuk menutuk
penjaga itu tidaklah sukar, tapi untuk merobohkan Bun Sengtiong
belumlah cukup kuat.
Ketika Bun Seng-tiong tertutuk, ia hanya menjengek
tertahan dan pedang terlepas dari cekalan, tapi menyusul ia
sempat melancarkan pukulan. Tak terduga, ketika kedua
tangan beradu, tetap ia tidak dapat melawan tenaga pukulan
Kim Tiok-liu, kontan Tiok-liu menghantam pingsan dia, bahkan
ditambahi tutukan pada beberapa Hiat-to yang penting.
"Huh, bocah tak berguna, sekarang kau yang tidak lolos
lagi dari telapak tanganku!" jengek Kim Tiok-liu. Baru ia
merasa senang, sekonyong-konyong hatinya tergetar, terasa
tangan dan kaki tak bertenaga lagi.
Kiranya sesudah mengadu pukulan dengan Bun Seng-tiong
tadi, tenaga yang dikeluarkan Kim Tiok-liu sudah melampaui
batas tenaga yang baru dihimpun kembali itu, menyusul ia
mesti menggunakan tutukan berat untuk menutuk beberapa
Hiat-to di tubuh Bun Seng-tiong sehingga makin
menghabiskan kekuatannya, sesaat itu ia belum merasa,
sesudah musuh roboh barulah kelihatan akibatnya.
Diam-diam Kim Tiok-liu mengeluh, ia menduga apa yang
terjadi dalam waktu singkat tentu akan diketahui, sebab Tji
Toa sebentar lagi pasti akan kembali. Sebaliknya untuk
mengumpulkan tenaga lagi diperlukan satu dua jam pula.
Padahal temponya sudah sangat mendesak.
Selagi gelisah, tiba-tiba dilihatnya ada bayangan orang
berkelebat di luar pintu, sebelum Kim Tiok-liu melihat jelas,
orang itu sudah melemparkan sesuatu ke dalam. "Bluk,"
barang itu I tepat jatuh di samping kaki Kim Tiok-liu.
Cepat Tiok-liu menjemputnya, kiranya adalah sebuah kotak
kayu sebesar cangkir, di atas kotak itu terlihat dua huruf
merah, "obat penawar". Kotak kayu itu mengeluarkan bau
harum I pupur kaum wanita.
Tiok-liu menjadi ragu-ragu. Ia coba memeriksa kotak itu ke
tempat yang agak terang, ketika dibuka, kiranya isi kotak itu
ladalah sebutir obar warna hijau. Waktu kedua huruf tadi tergosok
jarinya, segera jarinya berwarna merah. Ia coba
memeriksa lagi, rupanya huruf-huruf itu ditulis dengan gincu.
Baru sekarang Tiok-liu paham, jelas kotak kecil ini adalah
kotak pupur kaum wanita, bisa jadi dalam keadaan terburuburu,
maka orang itu menulis dengan menggunakan gincu
merah itu. "Apakah ini obat penawar Soh-kut-san" Tapi mengapa
ditaruh di dalam kotak pupur begini?" demikian kejadian yang
laneh ini membikin Kim Tiok-liu tidak habis mengerti. Orang
yang melemparkan kotak ini kaum pria atau wanita juga tidak
[jelas. Menurut akal sehat, obat penawar Soh-kut-san mestinya
disimpan sendiri oleh Bun To-tjeng, sudah tentu Bun To-tjeng
tidak nanti melemparkan obat penawar kepadanya. Jika
demikian orang itu telah mencuri obat penawar ini tentunya"
Tapi kalau dia bermaksud memberikan obat penawar,
mengapa main sembunyi-sembunyi dan terus pergi lagi"
Begitulah benak Kim Tiok-liu penuh tanda tanya. Bahkan
[ada lagi pertanyaan yang paling penting, obat penawar ini
tulen atau palsu"
"Seumpama obat ini beracun, paling-paling juga mati saja
bagiku. Memangnya aku sudah tak bertenaga dan sukar lolos
Mari sarang iblis ini, apalagi kalau orang itu mau membunuh
aku iuga tidak perlu memakai racun segala?" demikian KimTiok-liu tidak dapat banyak berpikir lagi karena waktunya
sudah mendesak, dengan nekat ia terus menelan saja obat itu.
Tidak lama, terasalah arus hawa hangat timbul dari dalam
perut. Alangkah girangnya Tiok-liu, sekarang ia yakin bahwa
obat itu memang benar-benar obat panawar adanya.
Segera Kim Tiok-liu menjalankan pula cara mengatur
pernapasan ajaran ayahnya itu, sejenak kemudian, ketika ia
coba mengerahkan tenaga, meski belum bisa pulih
seluruhnya, tapi dirasakan sedikitnya sudah pulih tujuh atau
delapan bagian.
Pintu terali besi kamar penjara itu memangnya sudah
dibuka oleh penjaga itu, sekarang tenaga Kim Tiok-liu juga
sudah pulih, mestinya dia bisa melarikan diri dengan leluasa,
tapi dia justru tidak mau kabur begitu saja. Ia ingin membalas
dendam pukulan Bun To-tjeng serta ingin merebut kembali
besi murni wasiat itu.
Kim Tiok-liu bukanlah seorang yang bodoh, sudah tentu ia
sadar keadaannya sekarang masih diliputi bahaya maut dan
seorang diri sukar melawan musuh yang banyak. Tapi ia pun
sudah mendapatkan akal bagus untuk melayani musuh.
Bun Seng-tiong sudah tertutuk olehnya dan dapat
diperbuat sesukanya, hanya bukan maksudnya hendak
menggunakan tawanan itu sebagai sandera, cara ini dia
anggap bodoh. Tipu yang dia rencanakan justru sangat masuk
akal dan Jenaka pula.
Begitulah Tiok-liu lantas memutar tubuh Bun Seng-tiong
agar rebah telentang, katanya dengan tertawa, "Banyak
terima kasih kau sudi menjenguk aku, tentu aku akan
melayani kau dengan baik."
Habis berkata ia lantas menanggalkan sepatunya sendiri, ia
gosok-gosok daki telapak kaki sehingga terkumpul menjadi
beberapa budr kecil seperti pil, lalu ia pencet dagu Bun Sengtiong,
tanpa kuasa mulut pemuda itu lantas menganga, Tiokliu
lantas menjejalkan beberapa butir pil 'istimewa' itu ke
mulutnya. Bun Seng-tiong tertutuk dan tak bisa berkutik, tapi indera
penciumannya masih bekerja normal. Keruan bau daki telapak
kaki memuakkan itu membuat isi perutnya seakan-akan
dikocok, tenggorokannya bersuara "krak-krok", namun sukar
untuk menumpahkan keluar.
"Bagaimana rasanya" Jauh lebih enak daripada daharan di
rumah keluarga Hong bukan?" ejek Kim Tiok-liu dengan
tertawa. Sembari berkata ia terus membelejeti pakaian Bun
Seng-tiong dan ditukar pakaiannya sendiri, lalu sambungnya
pula, "Ini adalah kemahiranmu, aku ingat kau pun pernah
mempermainkan Tjin Goan-ko dengan cara begini. Sekarang
aku cuma menggunakan resepmu sendiri untuk kau rasakan
sendiri, kau jangan marah ya."
Setelah memberesi Bun Seng-tiong, lalu giliran si penjaga
tadi. Kim Tiok-liu menendang sekali di pantat penjaga itu
sehingga dia menjerit. Seketika juga Hiat-to yang tertutuk tadi
dipunahkan, menyusul penjaga itu diseret bangun sambil
membentak dengan suara tertahan, "Jangan berteriak, turuti
perintahku I dengan baik, kalau tidak segera kucabut
nyawamu." Penjaga itu menjadi ketakutan, pikirnya, "Iblis cilik ini entah
cara bagaimana akan menyiksa aku. Daripada disiksa, lebih I
baik aku menurut segala perintahnya."
Maka tanpa bersuara ia terus manggut-manggut.
"Tunjukkan jalan di depan," kata Tiok-liu sambil menggandeng
tangan penjaga itu.
Penjaga itu terperanjat, tanyanya dengan suara pelahan
rada gemetar, "Kau.....kau ingin aku membawa kabur" Wah,
ja.....jangan, di sana masih banyak pos-pos penjagaan, di luar
penjara bahkan ada lubang jebakan yang tidak kuketahui
malah." "Siapa bilang aku menyuruh kau lari bersama aku,
justru laku hendak mencari pemimpinmu untuk bikin
perhitungan padanya!" kata Tiok-liu Kembali penjaga itu
terkejut, serunya, "Wah, kakak cilik, jangan kau bikin susah
aku, biarlah aku menyembah padamu."
"Kau jangan takut, asal kau membawa aku ke tempat
tinggalnya, kau tidak perlu ikut masuk ke sana," kata Tiok-liu.
Tetapi si penjaga masih ragu-ragu, dengan tertawa dingin
Kim Tiok-liu berkata pula, "Jadi kau cuma takut kepada pemim
pinmu dan tidak takut padaku" Apakah kau minta mampus?"
Si penjaga meringis dan terpaksa berkata, "Baiklah, kakafe
cilik, aku akan menurut segala perintahmu."
"Hahaha, atas panggilanmu ini jiwamu tentu akan
kuampuni," ujar Tiok-liu dengan tertawa, lalu penjaga itu
digusur keluar penjara.
Sementara itu sudah lewat tengah malam, bulan sabit di
tengah langit tidak begitu terang.
Hay-soa-pang adalah suatu gerombolan yang terkaya di
antara gerombolan lain, usahanya adalah berdagang garam
gelap. Tempat kediaman Totju (pemimpin) mereka terdapat
sebuah taman bunga yang luas dengan pemandangan yang
indah. Kamar batu tempat Kim Tiok-liu ditahan itu terletak di
sudut taman itu. Si penjaga cukup hapal jalanan di dalam
taman, ia membawa Kim Tiok-liu menyusur kian kemari
melalui tempat-tempat yang sepi dan menghindari regu
peronda. Di bawah sinar bulan yang remang-remang, pakaian yang
digunakan Kim Tiok-liu adalah pakaian Bun Seng-tiong pula,
ditambah lagi dikawal oleh penjaga itu, andaikan kepergok
satu dua orang peronda juga mereka tidak mengenali Tiok-liu.
Di tengah jalan, secara ringkas Kim Tiok-liu bertanya
beberapa soal kepada penjaga itu dan baru diketahui bahwa
Pangti u Hay-soa-pang itu berama Soa Djian-hong, adalah
saudara angkat Su Pek-to, Pangtju Liok-hap-pang.
Diketahui pula bahwa baru beberapa hari Bun To-tjeng dan
anaknya datang ke situ. Konon Soa Djian-hong hendak diajak
berangkat ke kotaraja bersama untuk menyampaikan selamat
ulang tahun kepada Sat Hok-ting.
"Kiranya adalah manusia rendah semua yang suka
menyembah ke atas dan menindas ke bawah," demikian diamdiam
Tiok-liu membatin. "Bagus, aku justru akan mengacau
supaya angan-angan mereka gagal total. Hian-tiat kurebut
kembali, bahkan keparat Bun To-tjeng itu akan kugoda sampai
sepuas hatiku."
Lantaran sudah mempunyai rencana tertentu cara
bagaimana dia akan mempermainkan Bun To-tjeng, saking
senangnya ia perenung sampai tanpa terasa ia tertawa sendiri.
Si penjaga menjadi kuatir, ia mendesis, "Ssst, he, kakak
cilik, janganlah bersuara!"
Belum habis ucapannya, tiba-tiba ada penerangan sinar api,
seorang mendatangi dengan membawa tenglong (lampu
berkerudung) dan menegur, "He, Thio-siausam, kiranya kau,
aku sampai terkejut. Apa yang kalian bicarakan, begitu
gembira?" Kiranya pendatang ini adalah koki Hay-soa-pang,
tangannya menjinjing sebuah keranjang bertutup yang
mengeluarkan bau sedap sebangsa ayam panggang.


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rupanya Soa Djian-hong dan Bun To-tjeng tengah malam
merasa lapar dan menyuruh koki membuatkan seekor 'Kiauhoakeh' (ayam pengemis) serta beberapa macam sayur.
Mula-mula koki itu cuma mengenal si penjaga tadi,
menyusul barulah ia mengenali Kim Tiok-liu yang dirasakan
masih nsing, maka ia lantas menegur, "Eh, apakah saudara ini
orang laru?"
"Benar," sahut Tiok-liu tertawa. "Aku masih belum pernah
merasakan kepandaianmu memasak, coba berikan
makananmu itu."
Habis itu dengan cepat sekali ia lantas menutuk Hiat-to koki
itu, lampu dipadamkan, keranjang makanan direbut, koki itu
lantas diseret masuk ke dalam sebuah goa buatan di balik
gunung-gunungan di situ.
Dengan lahap Tiok-liu menyikat ayam panggang itu,
gumamnya dengan tertawa, "Sudah beberapa bulan aku
menjadi pengemis cilik, baru sekarang aku merasakan ayam
asli kaum pengemis."
Memangnya sudah seharian dia tidak makan minum, maka
makanan lezat ini benar-benar membuatnya kenyang,
semangat lantas penuh, tenaga juga lantas pulih kembali
seluruhnya. Walaupun sudah menghabiskan seekor ayam panggang itu,
sambil masih menggeragoti paha ayam yang tinggal tulang
itu, Tiok-liu berkata dengan tertawa, "Ehm, lezat benar,
sampai tulang ayam saja juga masih terasa lezat."
Si penjaga merasa kuatir kepergok peronda, tapi ia pun
merasa geli melihat kerakusan Kim Tiok-liu. Dalam pada itu
mereka telah mengitari gunung-gunungan itu, di depan sana
samar-samar sudah kelihatan loteng sebuah bangunan
megah, sinar lampu tampak berkelap-kelip menembus keluar
jendela. Si penjaga seperti terbebas dari beban yang berat, sambil
menghela napas lega ia lantas berhenti dan berkata dengan
suara tertahan, "Itu tempatnya, kita sudah sampai tempat
tujuan, Soa-totju dan Bun-totju berada di atas gedung
berloteng itu."
"Baiklah, banyak terima kasih, "kata Tiok-liu. "Paha ayam
ini sangat enak, silakan kau juga mencicipinya."
Habis berkata tangannya lantas membalik, dengan tulang
ayam itulah ia menutuk Hiat-to si penjaga. Ia menutuk secara
enteng saja, diduga tiga jam kemudian penjaga itu akan dapat
bergerak dengan sendirinya.
Di bawah sinar bulan remang-remang dan bau harum
bunga, loteng merah di balik pohon bambu itu tampaknya
sangat megah. Diam-diam Tiok-liu membatin, "Pintar juga Soa
Djian-hong itu menikmati hidupnya, cuma sayang tempat
indah ini dinodai oleh perbuatannya. Untung juga ada hutan
bambu ini sehingga aku bisa banyak menghemat tenaga."
Berkat perlindungan pohon-pohon bambu yang cukup
rindang, tanpa diketahui setan sekalipun, Kim Tiok-liu dapat
merunduk sampai di depan loteng.
Waktu itu kebetulan terdengar Soa Djian-hong sedang
mendamprat Tji Toa yang meninggalkan pos jaganya itu,
"Siapa yang menyuruh kau datang ke sini" Sudah sekian
lamanya kau berada di dalam Pang kita, mengapa kau lupa
pada tugasmu" Tanpa perintah, kau berani sembarangan
meninggalkan tempat tugasmu?"
Tji Toa terkejut, jawabnya dengan gelagapan, "Bun-kongtju
yang menyampaikan perintah Pangtju, katanya Pangtju
memanggil hamba. Saat ini Bun-kongtju sedang menggantikan
hamba berjaga di sana."
Soa Djian-hong terkesiap, ia menegas, "Apa katamu" Bunkongtju
yang menyuruh kau datang ke sini?"
"O, tahulah aku," cepat Bun To-tjeng menyala, "Mungkin
anak Tiong salah paham, engkau menyuruh dia minta
keterangan nada Tji Toa disangkanya kau menyuruh dia pergi
memanggil Tji Toa ke sini. Baiklah, biar kupergi memanggilnya
kembali." Yang tahu jelas watak anaknya tidak lebih daripada sang
Layah, sudah tentu Bun To-tjeng dapat menyelami maksud
hati Bun Seng-tiong yang hendak membikin celaka Kim Tiokliu
untuk membalas dendam, maka lekas ia menutupi maksud
tujuan putranya itu.
Ketika Kim Tiok-liu tertawan, saat itu Bun Seng-tiong tidak
tahu, baru tadi ia bertanya keadaan Kim Tiok-liu kepada Soa
Djian-hong, tapi Soa Djian-hong menyilakan dia bertanya
kepada Tji Toa yang ditugaskan menjaga Kim Tiok-liu itu.
Sudah tentu Soa Djian-hong rada curiga, cuma di depan
[Bui To-tjeng terpaksa ia berkata, "Tji Toa, lekas kau kembali
ke tempatmu dan silakan Bun-kongtju kembali ke sini, mana
boleh kita merendahkan Bun-kongtju menggantikan tugasmu
itu." Tji Toa mengiakan dan segera hendak turun ke bawah
loteng. Bun To-tjeng berkata pula, "Biar aku pergi bersamanya,
bodoh benar anak Tiong, dia harus diberi hajaran."
"Ah, urusan kecil begini mengapa Bun-totju
merisaukannya," ujar Soa Djian-hong. Ia tidak tahu bahwa
sebenarnya Bun |To-tjeng ada maksud tujuan lain.
Diam-diam Kim Tiok-liu menertawakan, pikirnya, sebentar
barulah kalian tahu rasa. Ia menggunakan kesempatan baik
sewaktu Tji Toa turun dari loteng itu, cepat ia lantas melayang
ke atas loteng. Dengan Ginkangnya yang sangat tinggi, ia
dapat meloncat ke pojok loteng sana, Tji Toa sedang turun ke
bawah sehingga tidak mengetahui sama sekali, sebaliknya
suara langkah Tji Toa menjadi aling-aling bagi Kim Tiok-liu,
kalau tidak, sedikit suara keresekan saja mungkin sudah
diketahui oleh Bun To-tjeng.
Padahal saat itu Bun To-tjeng sedang tenggelam dalam
lamunannya sendiri, ia kualir jangan-jangan putranya secara
sembrono membunuh Kim Tiok-liu, hal ini tentu akan
membuatnya serba sulit untuk menghadapi Su Pek-to dan
akan membikin susah pula kepada Soa Djian-hong.
Dalam pada itu terdengar Soa Djian-hong berkata pula
kepadanya, "Bun-totju jangan kuatir terjadi apa-apa,
bukankah bocah she Kim itu sudah kau cekoki dengan Sohkutsan?" Rupanya ia mengira Bun To-tjeng menguatirkan
keselamatan putranya.
"Ya, sudah tentu bocah itu tumbuh sayap sekalipun tak bisa
terbang lagi," sahut Bun To-tjeng dengan tertawa. "Cuma aku
merasa tidak enak hati."
"Aneh, jika bocah itu tidak bisa terbang lagi sekalipun
tumbuh sayap, lalu apa yang dirisaukan Bun-totju?" tanya Soa
Djian-hong. Diam-diam Kim Tiok-liu merasa geli, kau bilang aku tak bisa
terbang biarpun tumbuh sayap, tapi saat ini aku justru sudah
'terbang' sampai di samping kalian, demikian pikirnya.
Maka Bun To-tjeng menjawab, "Aku tidak kuatir dia akan
kabur, aku cuma kuatir bilamana dia diserahkan kepada Liokhappeng, maka kita takkan bisa mengurus dia lagi."
"O, barangkali kau kuatir adik perempuan Su Pek-to akan
memintakan ampun baginya, lalu Su Pek-to membebaskan
dia?" tanya Soa Djian-hong dengan tertawa.
Bun To-tjeng tampak memanggutkan kepala, katanya, "Ya,
inilah yang kupikirkan."
"Untuk ini tak perlu kuatir," kata Djian-hong tertawa.
"Perempuan adalah penyakit, kata orang kuno. Dan adik
perempuan Su Pek-to inipun penyakit, setiap laki-laki yang
berhubungan dengan dia tentu akan celaka. Ya, kecuali
seorang saja."
"Mengapa begitu" Kecuali siapa?" tanya Bun To-tjeng.
"Kau tidak tahu bahwa Su Pek-to bermaksud menjodohkan
adik perempuannya kepada Swe Beng-hiong, kedua pihak
sudah ada surat menyurat, cuma perjodohan belum
ditetapkan. Oleh karena itu, selain Swe Beng-hiong sendiri,
siapa saja yang mengimpikan sang bidadari tentu akan
celaka." Nama Swe Beng-hiong seperti sudah kukenal, demikian
pikir Kim Tiok-liu. Belum lagi teringat olehnya, terdengar Bun i
To-tjeng sedang menegas, "Kau bilang Swe Beng-hiong" Apa-i
kah orang yang melukai Tiok Siang-hu itu?"
"Benar," sahut Soa Djian-hong. "Sesudah melukai Tiok
Siang-hu, Swe Beng-hiong berhasil merebut kembali kota Sedjiang
bagi kerajaan, rupanya dia punya bintang sedang
terang. Oleh sebab itulah Su Pek-to ingin memikat hatinya.
Maha, coba kaupikir, Tiok Siang-hu terkenal sebagai jago
nomor dua di dunia ini, tapi dia toh kena dilukai Swe Benghiong,
kalau ditambah lagi Su Pek-to, lalu siapa yang berani
kepada mereka" Maksud Su Pek-to hanya ingin mencari tahu
jejak adik perempuannya dari pengakuan bocah she Kim itu,
maka kita diminta jangan membunuhnya. Nanti kalau dia
sudah memberi keterangan yang diperlukan, Su Pek-to sendiri
tentu akan membunuhnya. Agar adik perempuannya bisa
kawin dengan Swe Beng-hiong, mana bisa Su Pek-to
membiarkan kekasih adiknya hidup di dunia ini?"
Diam-diam Kim Tiok-liu merasa sial dan penasaran, ia
merasa belum makan nangkanya sudah kena getahnya.
Padahal dia hanya pernah bertemu satu kali dengan Su Anging,
tapi mereka sudah menganggap dia sebagai kekasih nona
itu. Ia pikir Su Pek-to juga terlalu rendah martabatnya,
masakah demi untuk memikat hati Sat Hok-ting, tidak seganTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
segannya ia menggunakan adik perempuannya sebagai kado
dan dihadiahkan kepada orang.
"Wah, entah Su Ang-ing sudah tahu belum hal ini?"
demikian Tiok-liu membatin. "Huh, toh mereka sudah salah
sang ka padaku, maka aku pun tidak takut dibuat cerita iseng
orang lagi, aku justru akan merecoki Su Pek-to dan Swe Benghiong,
ingin kulihat bencana apa yang akan dijatuhkan
padaku." Dalam pada itu Bun To-tjeng sedang tertawa, katanya, "Ji4
ka begitu, jadi nasib bocah she Kim itu sudah pasti mati?"
"Tentu," kata Soa Djian-hong. "Besok juga aku akan me-j
ngirim dia ke Liok hap-pang agar tidak perlu menjaga dia
lagi." "Apakah kau cuma mengirim bocah she Kim itu tanpa
disertai Hian-tiat?" tanya Bun To-tjeng seperti tidak sengaja.
Soa Djian-hong tepekur sejenak, katanya kemudian,
"Seharusnya aku mesti mengembalikan juga benda itu kepada
Liok-hap-pang. Tapi bicara terus terang, sesungguhnya aku
pun merasa sayang atas benda itu."
"Habis bagaimana keputusanmu?"
"Aku dapat memakai alasan Hian-tiat sudah dilempar ke
dalam sungai oleh bocah she Kim. Kukira anak buahku takkan
membocorkan rahasia ini."
"Tapi orang banyak mulut banyak, sukar juga untuk
menutupi hal ini," ujar Bun To-tjeng dengan tersenyum ejek.
Mendadak Soa Djian-hong menyadari sesuatu, katanya
pula, "Ya, untuk ini perlu juga bantuan Bun-toako, Hian-tiat itu
biarlah kita bagi menjadi dua saja, besi murni seberat itu
rasanya cukup untuk digembleng menjadi dua batang
pedang." "Soa-heng jangan salah paham, bukan maksudku hendak
membagi rejeki dengan kau. Aku kuatir jika dikerjakan seperti
saranmu, mungkin.....mungkin ingin untung malah bisa
menjadi buntung."
"Mengapa bisa menjadi buntung malah" Mohon Bun-toako
memberi petunjuk," tanya Soa Djian-hong.
"Jika Hian-tiat itu kau jadikan pedang, betapapun
rahasiamu akan terbongkar juga kelak dan tentu Su Pek-to
akan mencari perkara padamu, bahkan bukan mustahil Sattjongkoan
yang mestinya akan menerima besi wasiat ini juga
akan minta pertanggung-jawabanmu."
"Habis bagaimana.....bagaimana menurut pendapatmu?"
"Aku ada usul yang baik, Hian-tiat ini kita tetap antar ke
kota, cuma bukan Liok-hap-pang yang mengirimkan ke sana,
tapi kitalah yang mengantar."
"Wah, lalu bagaimana kita harus bicara kepada Su Pek-to"
Pula apa manfaatnya jika cara demikian kita laksanakan?"
"Banyak sekali manfaatnya, Su Pek-to juga takkan
menyalahkan kau," kata Bun To-tjeng. "Coba kau dengarkan
dulu. hari ulang tahun Sat-tjongkoan adalah tanggal 18 bulan
depan, kira-kira kurang dari sebulan lagi. Jika kita
menyerahkan kembali Hian-tiat ini kepada Liok-hap-pang dan
kemudian Liok-hap-pang mengirimkannya lagi ke kotaraja,
maka tentu tidak keburu lagi mencapai hari ulang tahun. Tapi
kalau sekarang kita mengantarkan baginya, jasa ini tetap milik
Liok-hap-pang dan Su Pek-to tentu akan sangat berterima
kasih padamu, mana bisa dia menyalahkan kau malah?"
Manggut-manggut juga Soa Djian-hong atas uraian Bun Totjeng
ini, katanya kemudian, "Ya, benar juga, tapi apa
manfaatnya bagi kita?"
"Besar sekali manfaatnya," ujar Bun To-tjeng dengan
tertawa. "Bahwasanya Hay-soa-pang yang mengantarkan
barang Liok-hap-pang, apakah Sat-tjongkoan takkan bertanya
apa sebabnya" Nah, asalkan beliau tanya, maka kita lantas
menceritakan semua kejadian. Bila Sat-tjongkoan mengetahui
Hian-tiat ini telah dihilangkan oleh jago-jago Liok-hap-pang,
dan kemudian diketahui engkaulah yang telah merebutnya
kembali, coba, apakah beliau takkan menilai kau dengan kaca
mata lain" Kedudukanmu dalam pandangan Sat-tjongkoan
bisa jadi seketika lebih tinggi daripada Su Pek-to."
Alangkah senangnya Soa Djian-hong menerima umpakan
Bun To-tjeng itu, serunya, "Benar, benar! Cuma aku belum
kenal Sat-tjongkoan, sedikitnya harus ada orang yang
menghadapkan aku kepada beliau."
"Untuk itu Soa-heng jangan kuatir, ini aku yang tanggung,"
kata Bun To-tjeng sambil menepuk dada. "Besok juga kita
boleh lantas berangkat ke kotaraja, setibanya di sana akan
segera kuatur dulu penyerahan Hian-tiat. Sebagai kenalan
lama Sat-tjongkoan, apa yang tidak kau berani ucapkan tentu
akan ku-wakilkan kau untuk bicara kepada beliau. Lalu akan
kubicarakan hari yang tepat untuk memperkenalkan kau
kepadanya, bagaimana pendapatmu atas rencana ini?"
Di mulut saja Bun To-tjeng bicara seperti demi kepentingan
Soa Djian-hong, tapi sesungguhnya adalah untuk kepentingan
dia sendiri. Ia tahu kalau Hian-tiat itu digembleng menjadi
pedang wasiat, maka pasti tiada tandingannya di dunia ini.
Tapi kalau Hian-tiat itu diparoh menjadi dua, maka kesaktian


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang wasiat itu tentu akan susut karena bobotnya hanya
tinggal sepa-roh, sebab Bun To-tjeng bermaksud
mengangkangi sendiri Hian-tiat itu. Asalkan besi mestika itu
sudah berada di tangannya, maka tidak sukar baginya untuk
mengangkangi. Soa Djian-hong tidak tahu muslihat Bun To-tjeng, ia malah
mengucapkan terima kasih atas kesediaan bantuan yang
dijanjikan itu.
Dengan tertawa Bun To-tjeng berkata pula, "Cuma bentuk
Hian-tiat itu belum pernah kulihat, jika tidak keberatan,
bolehkah Soa-heng memperlihatkannya sebentar agar kelak
aku pun bisa bercerita di hadapan Sat-tjongkoan."
"Memang aku pun bermaksud melihatnya bersama sesudah
makan, tapi entah mengapa sampai saat ini si koki belum
datang mengantar makanan," kata Soa Djian-hong. "Tapi kita
tidak perlu membuang waktu lagi, silakan tunggu sebentar,
segera kuper-gi mengambil Hian-tiat itu."
Kotak merah yang berisi Hian-tiat itu disimpan di kamar
tidur Soa Djian-hong yang sebelah menyebelah dengan ruang
tamu. Kim Tiok-liu hanya memutar tubuh saja, dengan
menggantungkan tubuhnya di emperan, dapatlah ia melongok
ke dalam kamar melalui jendela belakang.
Waktu itu Soa Djian-hong sedang menyalakan pelita di
Halam kamar, apa yang dilakukannya dapat dilihat Kim Tiokliu
| dengan jelas. Tiok-liu justru ingin tahu dimana tempat
penyim-pangan Hian-tiat itu, maka ia menjadi girang ketika
Soa Djian-hong mau pergi mengambil sendiri besi mestika itu.
Ia pikir inilah saatnya mengembangkan ilmu tangan
panjangnya yang dipelajarinya dari Ki Hiau-hong itu.
Dilihatnya Soa Djian-hong menekan dua kali di atas
dinding, sebuah pintu rahasia lantas terbuka, dari dinding lapis
dalam itu ditariknya sebuah peti besi. Kotak merah itu
kemudian dikeluarkannya dari dalam peti besi.
"Rapat benar tempat penyimpanannya, jika bukan kau
sendiri yang mengeluarkannya sukar juga bagiku untuk
mencarinya," demikian Tiok-liu membatin.
Baru saja ia hendak turun tangan, sekonyong-konyong
terdengar Soa Djian-hong bersuara heran sekali, kotak merah
itu terus dilemparkannya ke atas, air mukanya menampilkan
rasa bingung dan seperti tidak percaya terhadap sesuatu
kejadian. Tiok-liu mengira jejaknya telah ketahuan, sambil tertawa ia
lantas mengayun tangannya, tulang paha ayam tadi
digunakannya sebagai senjata rahasia dan disambitkan seraya
berseru, rBinyak terima kasih atas ayam panggangmu yang
lezat ini, silakan kau juga mencicipi tulangnya!"
Mestinya Tiok-liu bermaksud menimpuk Hiat-to di bawah
hidung Soa Djian-hong, tapi mendadak sasarannya
mendongak sambil bersuara heran dengan mulut melongo,
maka dengan tepat tulang ayam itu lantas menyelonong ke
dalam mulurnya. PHauppp!" meski Hiat-to Soa Djian-hong
tidak sampai tertimpuk, tapi meringis juga karena mulutnya
dijejal oleh sebatang tulang ayam, bahkan giginya rontok dua
biji. Serangan mendadak ini membuat Soa Djian-hong kaget
setengah mati, segera ia menggerung dan memuntahkan
tulang ayam itu. Pada saat itulah dengan cepat luar biasa Kim
Tiok-liu ludah membobol jendela dan menerjang masuk. Kotak
merah yang dilempar ke atas tadi masih belum jatuh ke lantai
dan masih keburu disambar oleh Kim Tiok-liu.
Tapi ketika kotak itu sudah terpegang, Kim Tiok-liu juga
lantas berseru kaget, ternyata kotak itu rasanya sangat
enteng, paling-paling cuma dua tiga kati beratnya, jelas di
dalamnya sudah tiada Hian-tiat yang amat berat itu.
Soa Djian-hong menggerung kalap terus menghantam Kim
Tiok-liu yang kecelik karena Hian-tiat yang diincar itu tidak
berhasil diperoleh kembali. Ia pikir entah orang kosen mana
yang telah mendahuluinya satu langkah. Ia menjadi
kehilangan semangat tempur, ia tangkis pukulan Soa Djianhong,
lalu menerobos keluar jendela pula sambil masih
menggondol kotak merah yang indah itu.
Namun sebelum Kim Tiok-liu menancapkan kakinya di luar,
Bun To-tjeng sudah mendengar suara ramai-ramai itu dan
memburu tiba Ia menjadi terkejut ketika mengenali Kim Tiokliu,
tanpa bicara lagi ia lantas mencengkeram Soan-ki-hiat di
dada Kim Tiok-liu dengan ganas, bahkan ia menggunakan
tenaga sakti Sam-siang-sin-kang.
Jika Kim Tiok-liu menunggu sampai kakinya menyentuh
tanah, maka dadanya pasti akan tertusuk dengan tepat.
Sungguh Kim Tiok-liu yang lihai, pada saat terancam itulah
kakinya terus mendepak dinding sehingga badannya berganti
arah terus melesat melintasi serambi rumah dan turun ke
dalam taman. "Mau lari kemana kau!" bentak Bun To-tjeng, bagai
bayangan saja ia terus ikut meloncat ke bawah.
"Kau juga ingin Hian-tiat ini bukan" Nih, buat kau saja?"
seru Tiok-liu tertawa sambil menyodorkan kotak merah itu
kepada lawan. Bun To-tjeng tahu Hian-tiat amat berat, ia tidak berani
menyambut! begitu saja. Ia memutar ke samping terus
menghantam, namun Kim Tiok-liu terlebih cepat, jarinya
lantas mengebas ke belakang, "Cret", telapak tangan Bun Totjeng
terasa panas pedas terserempet, tapi Kim Tiok-liu juga
tergetar mundur dua
284 tindak. Bicara tentang keuletan memang Bun To-tjeng lebih
kuat, tapi dalam hal tipu serangan ia kalah lihai, Hiat-to di
tengah telapak tangannya kena kebasan jari Kim Tiok-liu
sehingga peredaran darah terasa kurang lancar.
Keruan Bun To-tjeng terkejut dan lekas mengerahkan
tenaga dalam untuk melancarkan peredaran darahnya.
"Siapa yang memberikan obat penawar padamu?"
bentaknya, rupanya ia menyadari tenaga Kim Tiok-liu itu
sudah pulih kembali, padahal obat penawar Soh-kut-san dia
sendiri yang menyimpan, jika pemuda itu dapat bebas dan
segar kembali pasti ada orang yang telah mencuri obat
penawar dan diberikan padanya.
Kim Tiok-liu lantas tertawa jawabnya "Kau punya Soh-kutsan
itu tidak manjur, lebih baik kau pulang saja dan membikin
obat yang baru."
Padahal Tiok-liu sendiri pun tidak tahu siapa yang
memberikan obat penawar tadi, ia cuma sengaja menggoda
Bun To-tjeng. Bun To-tjeng menjadi murka Sam-siang-sin-kang
dikerahkan lagi, kedua tangan menghantam sekaligus. Tatkala
itu dengan terburu-buru Soa Djian-hong juga telah menyusul
tiba Daripada nanti dikerubut, segera Tiok-liu mendahului,
tangan kiri mematahkan Sam-siang-sin-kang lawan, tangan
kanan yang memegang kotak merah itu terus dihantamkan ke
arah musuh. Bun To-tjeng tidak berani menyambut kotak
merah secara keras lawan keras, lekas ia melompat mundur.
Diam-diam Tiok-liu merasa geli karena lawan kena digertak,
dalam pada itu Soa Djian-hong pun sudah lantas berteriak,
"Hian-tiat itu sudah.....sudah dicuri orang!"
Karena gigi depannya rontok dua biji, sehingga suaranya
menjadi rada lucu kedengarannya.
Bun To-tjeng merasa mendongkol, sudah jelas kotak berisi
Hian-tiat itu berada di tangan Kim Tiok-liu masakah Soa Djianhong
perlu gembar-gembor segala" Maka ia hanya
menanggapi sekenanya, "Dia tak bisa lari lagi, lekas bekuk dia
saja!" "Tidak, tidak, Hian-tiat tidak dicuri bocah ini, tapi.....tapi
ada pencuri yang lain!" seru Soa Djian-hong.
Baru sekarang Bun To-tjeng terperanjat. "Darimana kau
mengetahui?" tanyanya.
Soa Djian-hong malas menjawab, kontan ia terus
menghantam kepala Kim Tiok-liu. Ia sudah amat benci kepada
Tiok-liu, pukulan ini menggunakan kepandaian yang paling dia
banggakan, yaitu Tay-Iik-eng-djiau-kang (cakar elang
bertenaga raksasa) yang mematikan.
Di bawah keroyokan dua jago kelas tinggi, mau tak mau
Kim Tiok-liu harus menangkis dengan kotak merah itu. "Prak",
kotak itu terhantam remuk oleh tenaga pukulan Soa Djianhong
yang hebat itu.
"Wah, sayang, sayang!" seru Tiok-liu.
"Sayang apa?" teriak Soa Djian-hong dengan murka
menyusul ia memukul dan mencengkeram pula.
Sesudah kotak itu hancur, baru Bun To-tjeng tahu bahwa
Hian-tiat benar-benar telah dicuri oleh orang lain. Ia terkejut
dan gusar pula serunya "Soa-toako, yang berbuat tentu
komplotan bocah ini. Kita harus membekuk bocah ini lebih
dulu!" "Benar, tidak bisa menangkap hidup-hidup, boleh juga
binasakan dia" sahut Soa Djian-hong.
Mereka berdua sudah sangat dendam kepada Kim Tiok-liu,
mereka lantas menyerang sengit dengan segenap kepandaian
masing-masing. Kim Tiok-liu menjadi kerepotan juga menghadapi kerubutan
dua jago lihai, kepandaian Bun To-tjeng lebih tinggi, maka
perhatiannya lebih banyak dicurahkan untuk melayani dia.
Tapi Soa Djian-hong juga tidak lemah, sedikit meleng saja
baju Kim Tiok-liu telah kena dirobek oleh jari Soa Djian-hong.
"Wah, pakaian Bun Seng-tiong telah kau robek, aku sih
tidak sayang, tapi, hehe, Bun-totju, baju baru putramu telah
dirobek oleh temanmu yang baik hati ini, apa kau tidak
merasa sayang?" demikian Kim Tiok-liu mengolok-olok.
Dari tadi Bun To-tjeng memang tidak memperhatikan baju
[yang dipakai Kim Tiok-liu, sesudah mendengar ucapan Kim
'Tiok-liu itu barulah ia memperhatikan dan mengenali pakaian
itu pnemang milik putranya. Keruan kejut Bun To-tjeng tidak
kepalang, bentaknya segera, "Ca.....cara bagaimana kau
memperoleh baju itu?"
"Jangan kuatir, putra mestikamu itu tidak sampai mamrpus,"
demikian Kim Tiok-liu mengolok-olok pula dengan tertarwa.
"Dia sudah biasa mencuri dan menukar pakaian orang
lain, aku kan cuma menirukan kebiasaannya itu."
Kuatir dan ragu-ragu pula Bun To-tjeng, ia menyerang
sebaiatnya, kalau bisa ingin sekali hantam Kim Tiok-liu
ditangkapnya untuk ditanyai.
Kepayahan juga Kim Tiok-liu melayani serangan-serangan
'kalap itu, diam-diam ia pun mengeluh, tapi lahirnya ia masih
te-llap tertawa dan mengolok-olok, "Bun To-tjeng, jelek-jelek
kau 'pun terhitung seorang guru besar suatu cabang persilatan
tersendiri, tapi sekarang kau main keroyok, kau tahu malu
tidak" Hehe, jika satu lawan satu pasti kau akan keok."
"Hm, bangsat cilik yang licin, aku ingin mencincang
tubuhmu, siapa sudi bicara tentang peraturan Kangouw
dengan kau?" jawab Bun To-tjeng dengan gusar.
"Pujianmu itu harus kukembalikan lengkap padamu," kata
ITiok-liu tertawa. "Kau tidak mau mentaati peraturan Kangouw
[juga tidak menjadi soal. Nah, itu dia putramu sudah datang,
boleh kau suruh dia maju sekalian, aku tidak gentar."
Waktu Bun To-tjeng menoleh, benar juga terlihat Tji Toa
rdan seorang kawannya sedang mendatangi dengan
memayang Bun Seng-tiong. Putranya itu tampak seperti orang
linglung, mapnya terbelalak kaku, kaki dan tangannya sukar
bergerak, datangnya itu boleh dikata diseret oleh Tji Toa
berdua. Keruan Bun To-tjeng terkejut, cepat ia memapak maju dan
Berteriak, "Anak Tiong, mengapa kau?"
Ia hanya punya anak satu-satunya itu, melihat keadaannya
yang menguatirkan itu, dengan sendirinya ia tidak
menghiraukan pertarungannya dengan Kim Tiok-liu.
Bun Seng-tiong tak mampu bicara, kerongkongannya
mengeluarkan suara "krok-krok" seperti ayam sakit ayan,
mukanya meringis pucat.
Bun To-tjeng bertambah kuatir, lebih dulu dia coba
mengerahkan Sam-siang-sin-kang untuk membuka Hiat-to
yang terhiruk. Biasanya Sam-siang-sin-kang ini dapat
memunahkan segala macam tutukan dan dapat melancarkan
peredaran darah, tapi sekali ini ternyata tidak manjur lagi.
Ilmu Tiam-hiat Kim Tiok-liu yang istimewa hanya bisa
dipunahkan oleh orang luar apabila Lwekang orang itu berlipat
ganda lebih kuat atau sesudah lewat beberapa jam kemudian
serta mengetahui deigan tepat Hiat-to mana yang tertutuk,
baru kemudian orang yaag bertenaga seimbang dengan Kim
Tiok-liu mampu membuka Hiat-to yang tertutuk itu.
Begitulah karena Bun To-tjeng ddak bisa membuka Hiat-to
putranya, ia menjadi cemas dan bingung.
Dengan tertawa Kim Tiok-liu lantas mengolok-olok lagi,
"Kau jangan membuang tenaga percuma lagi, tahan sedikit
tenagamu untuk berkelahi pula dengan aku."
"Bangsat, jika kau membikin celaka anakku, segera aku pun
akan mencabut nyawamu!" bentak Bun To-tjeng.
"Hehe, kau hendak mencabut nyawaku" Ah, kukira tidaklah
mudah," jawab Kim Tiok-liu sambil tertawa. "Tapi, kau jangan
gugup, aku pun tidak mau mencabut nyawa anakmu. Soalnya
cuma ada ubi ada talas saja."
"Apa maksudmu ada ubi ada talas?" tanya Bun To-tjeng.
"Ya, kalau aku diberi harus kubalas," jawab Kim Tiok-liu.
"Kau punya Soh-kut-san, aku juga punya racun tersendiri. Kau
punya Sot-kut-san tidak mampu membikin celaka aku, tapi
racunku dapat membinasakan anakmu. Namun aku toh ddak
ingin jiwanya melayang, sebab itulah kita boleh kompromi,
marilah berunding."
"Bocah ini pasti tidak mampu kabur, kita bekuk dia saja dan
paksa dia menyerahkan obat penawarnya," ujar Soa Djian-|
hong. "Hahaha," Tiok-liu tertawa. "Pertama, belum tentu kalian
mampu menangkap diriku. Kedua, bilamana kalian hendak
me-nangkap aku, maka aku pasti akan melawan mati-matian.
Seum-Ipama aku tidak sanggup melawan keroyokan kalian
juga kalian pasti tidak terluput dari luka atau mati. Ketiga, di
dalam bajuku ini ada puluhan macam obat, ada racun, ada
obat penawarnya, ada obat lain lagi. Jika aku tertangkap
segera aku akan membunuh diri dengan memutuskan urat
nadi sendiri. Lalu kalian boleh Imenyuruh putramu itu
mencoba setiap macam obatku ini, bila jiwa putramu itu mau
lekas melayang.


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ucapan Kim Tiok-liu yang disertai tertawa itu memang
bukan-nya gertak sambal belaka, sebab apa yang dikatakan
memang masuk diakal, keruan Bun To-tjeng bertambah
gelisah. Pil daki yang dijejalkan Kim Tiok-liu ke dalam mulut Bun
ISeng-tiong sudah cair, tapi bau busuknya masih belum
lenyap. Sambil merangkul anaknya, sayup-sayup Bun To-tjeng
mengen-[dus juga bau yang tidak enak itu sehingga dia
percaya saja racun yang dikatakan itu, saking kuatirnya ia
lantas berkata, "Baiklah, [anggap aku terjungkal di bawah
tangan bocah macam kau ini. Apa yang kau hendaki, katakan
saja." Dengan santai Kim Tiok-liu lantas menguraikan syaratnya,
rLebih dulu kau harus mengantar aku keluar dari sini, kira-kira
ludah 30 li jauhnya baru aku akan memberikan obat penawar
papamu, dengan demikian jiwa anakmu dan jiwaku dapat
dijamin. Adil bukan?"
"Cara bagaimana aku mempercayai obat penawarmu itu
klen atau palsu?" ujar Bun To-ceng. "Kau boleh menyerahkan
ibat penawar dulu, jika betul manjur barulah aku mengantar
kau keluar dari sini."
"Kau tidak percaya padaku, cara bagaimana aku mesti
percaya padamu?" jawab Tiok-liu. "Kalian berjumlah lebih
banyak, keadaan jelas kalian lebih untung. Pihakmu yang
sepantasnya memberi kelonggaran padaku."
Selagi Bun To-tjeng merenung dengan ragu, Kim Tiok-liu
lantas menambahi lagi, "Sudahlah, jika kau tidak suka
kompromi juga tidak menjadi soal. Hm, orang she Bun, kau
terlalu memandang hina orang lain, berdasarkan nama ayah
dan Suhengku apakah sudi aku mengapusi kau?"
Pertama, Bun To-tjeng memang menguatirkan keselamatan
putranya, kedua, ia merasa apa yang dikatakan Kim Tiok-liu
memang cukup beralasan, rasanya tidak nanti Kim Tiok-liu
merusak nama baik ayah dan Suhengnya dengan cara licik,
maka akhirnya ia menjawab, "Baiklah, sementara ini biar aku
mempercayai kau."
"Mengapa serba pakai sementara segala," Tiok-liu bergelak
tertawa. "Transaksi ditutup, perdagangan sudah jadi. Marilah
berangkat!"
Yang serba susah adalah Soa Djian-hong, sudah kehilangan
Hian-tiat, sekarang bocah tawanannya akan kabur pula, lalu
cara bagaimana dia harus menjawab kepada Su Pek-to.
Namun begitu karena dia masih mengharapkan bantuan Bun
To-tjeng, mau tidak mau ia menurut juga dan tinggal masa
bodoh. Dengan Ginkang masing-masing yang tinggi, jarak 30-an li
tidak sampai setengah jam sudah dicapai oleh Bun To-tjeng
dan Kim Tiok-liu. Di tempat sejauh itu sudah bukan termasuk
wilayah kekuasaan Hay-soa-pang lagi.
Bun To-tjeng lantas berkata, "Nah, aku tidak mengantar
lagi, mana obat penawarnya?"
"Jauh di mata dekat di hati, selamat tinggal kekasih! Ah,
salah, salah! Ucapan demikian tidak cocok untuk kita. Namun
kau sudi mengantar sejauh ini, betapapun aku berterima kasih
atas kebaikan hatimu," demikian Kim Tiok-liu berolok-olok.
"Tidak perlu banyak omong, berikan obat penawarmu!"
bentak Bun To-tjeng aseran.
Ia tidak tahu sebabnya Kim Tiok-liu mengoceh tidak
keruan, tujuannya adalah untuk mengulur waktu, karena
sampai saat itu Tiok-liu belum tahu cara bagaimana harus
menyerahkan | 'obat penawar' yang dijanjikan itu.
Tiba-tiba Tiok-liu mendapat akal, pikirnya dengan geli I
sendiri, "Ah, ada sudah. Racun itu obat penawarnya tentu juga
itu." Maka ia pura-pura meraba dalam baju sampai sekian
Mamanya, ia gosok-gosok bagian iga dan bawah ketiak
sehingga dapat mengumpulkan sebutir daki lagi, lalu
dikeluarkan, katanya, "Ini obat penawarnya, sekali diminum
tanggung cespleng, seketika anakmu akan segar kembali."
Daki melulu saja sudah berbau, apalagi daki bawah ketiak,
jangan ditanya lagi baunya.
Ketika Bun To-tjeng menerima pil itu, ia sendiri sampai
hampir muntah oleh bau bacin bercampur kecut itu. "Mengapa
begini busuk bau obat ini?" tanyanya sambil meringis.
"Mana ada obat mustajab yang berbau wangi, makin busuk
makin manjur, masakah kau tidah tahu?" ujar Tiok-liu dengan
menahan rasa gelinya.
Bun To-tjeng masih setengah percaya setengah tidak, tapi
dibungkusnya juga 'obat penawar' itu dengan sapu tangan,
kata-.nya, "Baiklah, jika obat ini tidak manjur, tentu aku akan
membikin perhitungan lagi padamu."
Dan baru saja ia hendak melangkah pergi, tiba-tiba Kim
Tiok-liu berseru, "Nanti dulu!"
"Mau apa lagi?" gerutu Bun To-tjeng. "Apakah obat ini
keliru?" "Jangan kuatir, tanggung cespleng obat ini, cuma bicaraku
?adi masih belum selesai," kata Tiok-liu. "Putra mestikamu itu
kecuali telah kucekoki racun juga kututuk Hiat-to tertentunya."
"Keji benar kau!" omel Bun To-tjeng, tapi dalam hati me[rasa ragu-ragu, sebab tadi dia sudah mencoba membuka
Hiat-to putranya itu dan tidak berhasil.
"Hahaha!" Tiok-liu tertawa. "Bicara kekejian, aku harus
mengaku bukan tandinganmu. Bukankah kau sendiri pernah
mengatakan tidak keji bukanlah laki-laki."
Dari malu Bun To-tjeng menjadi gusar, dampratnya, "Kim
Tiok-liu, apa maksudmu" Apakah kau memancing aku ke sini
untuk dipermainkan begini?"
"Ah, masakah aku serupa kau" Biarpun kau keji, tidak nanti
aku tidak pegang janji," sahut Tiok-liu dengan sungguhsungguh.
"Aku sudah menyatakan takkan membikin jiwa
anakmu melayang, maka aku harus mengajarkan cara
membuka Hiat-to-nya. Nah, silakan kau pasang kuping buat
mendengarkan."
Demi keselamatan anaknya, terpaksa Bun To-tjeng
menahan perasaannya, jawabnya, "Baiklah, coba katakan."
"Yang kututuk adalah Soan-ki-hiat, asalkan kau mengurut
dan melancarkan aliran darah di sekitarnya, tentu Hiat-to yang
tertutuk itu akan punah."
"Kembali kau hendak menipu lagi" Aku....." Tapi ia urung
melanjutkan, sebab itu berarti dia mengaku pernah
mencoba membuka Hiat-to putranya tapi tidak berhasil.
"Kau sudah pernah mencoba bukan?" sambung Tiok-liu
dengan tertawa. "Tapi sekali ini sudah berbeda, boleh kau
minumkan dulu obat penawarnya, habis itu boleh dicoba lagi
dan tentu berhasil."
Rupanya Kim Tiok-liu sudah memperhitungkan waktunya,
sesudah lewat sekian lamanya seumpama tidak menggunakan
Sam-siang-sin-kang juga Hiat-to yang tertutuk di tubuh Bun
Seng-tiong akan gampang dibuka kembali.
Meski masih sangsi, tapi ucapan Kim Tiok-liu tampaknya
sungguh-sungguh, mau tak mau Bun To-tjeng mengucapkan
terima kasih, lalu melangkah pergi.
Sesudah Bun To-tjeng pergi jauh, Tiok-liu tidak tahan lagi
akan rasa gelinya, ia tertawa terpingkal-pingkal sambil
memegangi perut yang terasa mulas. Terbayang olehnya
betapa lucu keadaan Bun Seng-tiong bila sudah minum 'obat
penawar' itu. Sesudah puas tertawa, teringatlah bahwa Hian-dat itu gagal
direbutnya kembali, seketika ia menjadi murung, ia
menggumam sendiri, "Entah siapakah gerangan yang mencuri
Hian-tiat itu" Tidak nyana bahwa gunung yang tinggi masih
ada yang lebih [tinggi. Sekali ini aku pun ikut terkejut."
Selagi berjalan sambil menggumam itulah tiba-tiba
didengarnya di dalam hutan tepi jalan, ada suara orang
mengikik tawa dan berkata, "Apakah kau ingin tahu siapa
yang mencuri [Hian-tiat itu?"
Kim Tiok-liu merasa suara itu sudah sangat dikenalnya,
seketika ia tertegun.
Maka tertampaklah Su Ang-ing melangkah keluar dari da[lam hutan dengan senyum gembira, sebelah tangannya
menjinjing pedang dan tangan yang lain memegang sebuah
kotak merah. "Kiranya kau!" sapa Tiok-liu setelah terkesima sejenak.
"Benar," sahut Su Ang-ing. "Ini, terimalah!"
Habis itu kotak merah lantas dilemparkan ke depan, waktu
Tiok-liu menyambut kotak itu, terasa sangat berat. Tak usah
di-1 buka juga segera ia mengetahui isinya pasti Hian-tiat itu.
"Bukan maksudku hendak membikin kau kecelik, tapi dengi\
n tulus hati aku mencurinya untukmu," kata Su Ang-ing
pula. "Eh, bagaimana, kau tidak berterima kasih padaku?"
Tiok-liu tahu si nona telah mendengar gumamannya tadi,
mukanya menjadi merah dan terpaksa menjawab, "Ya, terima
kasih. Kau mencurinya untukku, tapi aku tidak mau barangmu
ini." "Dahulu kau yang mencurinya dan aku memberikan
padamu, ini tak dapat dianggap sebagai hadiah. Tapi sekali ini
aku sendiri yang mencurinya dan kuberikan pula padamu,
dengan demikian utang budiku padamu dapatkah dianggap
lunas?" kata Su Ang-ing.
Tiok-liu menjadi serba kikuk, sahutnya, "Tempo hari aku
sembarangan omong, hendaklah kau jangan
menghiraukannya."
"Memangnya kau kira aku berjiwa sempit" Sifatku justru
tidak mau menerima kebaikan orang, utang budi harus
kubalas," kata Ang-ing. "Apalagi Hian-tiat ini juga tiada
berguna bagiku, sebabnya kan sudah kukatakan padamu.
Cuma sayang kotaknya sudah tidak asli lagi, kukembalikan
Hian-tiat ini hanya untuk membayar kembali modal dan belum
memberi bunganya. Juga pedangmu ini harap kau terima
kembali sekalian."
Pedang yang dimaksudkan itu adalah pedang Kim Tiok-liu
yang dirampas orang Hay-soa-pang ketika dia tertangkap.
Sekarang Su Ang-ing menggunakannya sebagai bunga
pembayaran kepada Tiok-liu.
Supaya tidak dianggap berpikiran sempit, tanpa sungkan
lagi Tiok-liu lantas menerima kembali pedangnya dan
mengucapkan terima kasih, lalu tanyanya pula, "Darimana kau
mengetahui Hian-dat ini jatuh di tangan orang Hay-soa-pang?"
"Tentang kau tenggelam di sungai dan kena ditangkap Soa
Djian-hong, peristiwa besar demikian masakah aku tidak boleh
tahu" Malahan kuanggap inilah kesempatan bagiku untuk
membalas budimu."
Muka Kim Tiok-liu merah lagi karena orang menyinggung
tentang tertangkapnya dia oleh Hay-soa-pang. Tapi diam-diam
ia pun merasa senang, pikirnya, "Biarpun dia cuma ingin
menjaga gengsi karena dulu aku membantu dia. Tapi tanpa
menghiraukan bahaya dia telah masuk ke sarang Hay-soapang
untuk menolong aku, hal ini cukup melukiskan
perhatiannya kepada diriku."
Maka ia lantas bertanya sekalian, "Jadi orang yang
melemparkan obat penawar padaku tentunya juga kau
bukan?" "Soal kecil saja buat apa diungkit lagi, bukankah kau pun
pernah menolong aku?" sahut Ang-ing.
Rasa kikuk Kim Tiok-liu tadi kini berubah menjadi rasa
manis, pikirnya, "Sifat anak perempuan memang sukar diraba,
sebentar begini sebentar begitu. Tempo hari ia acuh padaku,
tapi sekarang dia ada omong dan tertawa kepadaku."
Lantaran hatinya senang, Kim Tiok-liu lantas menambahi
puji-pujian pula kepada si nona, katanya, "Wah, nona Su,
kepan-daianmu sungguh hebat, seorang diri kau mengobrakabrik
sarang Hay-soa-pang, mencuri Hian-tiat ini, dapat
mencuri pula obat penawar Bun Tc-tjeng tanpa diketahui
pemiliknya. Bicara terus terang, selamanya aku tidak pernah
kagum terhadap siapa pun, tapi sekarang aku benar-benar
tunduk kepadamu."
Meski pujian itu rada berlebihan, tapi timbul juga dari hati
Kim Tiok-liu yang tulus.
"Mana bisa dianggap kepandaianku, kalau kuceritakan
sebenarnya tiada berharga sama sekali. Aku hanya
membonceng keadaan yang sudah menguntungkan bagiku
saja." "Bagaimana kejadiannya, dapatkah kau ceritakan?"
"Begini, di antara anak buah Soa Djian-hong itu ada dua
orang adalah mata-mata yang dikirim oleh kakakku ke sana"
"Kan aneh," ujar Tiok-liu. "Bukankah kakakmu dan Soa
Djian-hong adalah saudara angkat, mengapa perlu pakai
mata-mata segala?"
"Ya, pendek kata secara tidak langsung kakakku telah
menyelundupkan dua orang kepercayaannya ke Hay-soa-pang
dan Soa Djian-hong sama sekali tidak tahu hal ini. Maklumlah
kakakku ada maksud mencaplok Hay-soa-pang, maka diamdiam
dia menanam orangnya di samping Soa Djian-hong, agar
segala sesuatu kejadian di Hay-soa-pang setiap saat dapat
diketahui."
"Kakakmu benar-benar sangat licin, sampai-sampai saudara
angkat sendiri juga dijegal dari belakang," kata Tiok-liu. "Tapi
aku masih tidak paham, agaknya tindakanmu bisa berlangsung
dengan lancar tentunya mendapat bantuan dari kedua orang
yang kau maksudkan itu bukan?"
"Benar," sahut Ang-ing.
"Jika demikian aku menjadi lebih tidak paham, bukankah
kakakmu hendak menangkap kau karena perbuatanmu barubaru
ini, lalu anak buah kakakmu masakah masih mau
membantu mencurikan Hian-tiat itu?"
"Rahasia ini sampai kakakku sendiri pun tidak tahu," sahut
"Kakak tidak pernah bercerita padaku tentang pasukan
pergerakan melawan kerajaan Boan. Yang kuketahui hanya
sedikit urusan Kangouw, bahkan di mana letak Sedjiang juga
aku tidak tahu. Tapi apa sangkut-pautnya peristiwa itu dengan
diriku?" "Peristiwa itu tiada sangkut pautnya dengan kau, tapi Swe
Beng-hiong pribadi ada sangkut-pautnya dengan dirimu."
Alis Ang-ing menegak, tanyanya, "Ada sangkut paut apa"
Sejak dulu aku hanya pernah bertemu dengan dia satu kali."
"Apa kau tidak tahu bahwa kakakmu hendak mengawinkan
kau padanya?" tanya Kim Tiok-liu.
"Ngaco-belo! Mana bisa jadi!" omel Su Ang-ing.
"Bukan aku yang ngaco-belo, tapi berita ini diperoleh Soa
Djian-hong dari kakakmu sendiri. Kurasa tidaklah palsu."


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kakak juga terlalu sembrono, masakah dia tidak berpikir
dulu apakah aku sudi kawin dengan manusia begitu?"
"Kakakmu kemaruk pada kedudukan, segala apa dapat
diperbuatnya, maka kukira kau lebih baik jangan pulang."
Su Ang-ing termenung seperti sedang menimang cara
bagaimana harus menghadapi persoalan ini.
"Sembunyi juga bukan cara yang baik, kakakmu banyak
memasang mata-mata, jika kau diketemukan, lalu kau mau
apa?" demikian kata Tiok-liu.
"Habis, apa yang dapat kuperbuat?" kata Ang-ing.
"Kukira ini.....ini....." mestinya Tiok-liu hendak menyatakan
sebaiknya kau berada bersama aku saja, jika kita bergabung
tentu tidak takut kepada siapa pun juga, tapi ia merasa rikuh
untuk menyatakan isi hatinya mengingat baru saja kenal si
nona. "Sudahlah, jangan ini itu segala, katakan terus terang saja,"
ujar Ang-ing. "Jika kau tidak mau dikawinkan dengan Swe Beng-hiong,
maka sebaiknya kau pergi mencari Li Tun saja," kata Tiok-liu.
"Apa gunanya mencari dia?"
"Kau.....kau dan Li Tun....." kata Tiok-liu pula dengan
tergagap-gagap.
"Apa-apaan kau ini, bicara setengah-setengah. Bagaimana
aku dengan Li Tun?"
"Sebab kalau.....kalau beras sudah menjadi nasi, maka.....
maka kakakmu terpaksa tak dapat memaksa kau menikah
dengan orang lain lagi," begitulah akhirnya Kim Tiok-liu
mengeluarkan apa yang hendak dikatakannya.
Tak terduga air muka Su Ang-ing seketika berubah,
katanya dengan ketus, "Baik, kau menyakiti hatiku, aku tidak
mau menggubris lagi padamu."
"Aku, aku hanya berpikir untuk kepentinganmu, mengapa
bilang aku menyakiti hatimu?" sahut Tiok-liu bingung.
"Memangnya kau anggap aku ini perempuan apa" Kau
berani bicara sembarangan padaku. Lekas kau enyah saja!"
sem-rot Su Ang-ing.
Karena didamprat, sesudah melengak Kim Tiok-liu berba-ik
girang tak terlukiskan. Cepat ia berkata pula, "O, maaf jika
Pendekar Laknat 4 Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Harpa Iblis Jari Sakti 9

Cari Blog Ini