Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Yang Bagian 1
"PPeennddeekkaar rr PPeeddaanngg KKaai iill EEmmaass
Karya : Liu Can Yang
Penterjemah/editor : Liang JZ/Adhi
Persembahan : SEE YAN TJIN DJIN
JILID KE SATU BABI Menangis air mata bayangan
Angin dingin bertiup sangat kencang salju yang seperti bulu
angsa melayang-layang di angkasa.
" Tampaknya hujan salju kali ini .adalah hujan salju yang sangat
besar dan jarang terjadi, hujan ini sudah turun selama beberapa
hari, di angkasa sekarang pun masih tetap gelap, seperti akan jatuh
saja, seluruh permukaan bumi telah diselimuti salju.
Disini adalah tanah liar yang sangat luas, bukit-bukit berbaris
terlihat dari kejauhan, saat ini dan di tempat inipun sedang dilanda
tiupan angin kencang dan hujan salju besar, pada malam hujan
salju dengan angin bertiup kencang ini, terdengar suara "Kraak
kraak!" yang amat keras terdengar dari dalam bukit.
Suara ini terdengar sambung menyambung tidak beratur, melihat
ke arah sana, terlihat di kaki bukit ada dua tiga puluh orang yang
sedang bekerja keras dengan keringat bercucuran, suara "Kraak
kraak!" tadi, adalah suara kapak besar yang sedang membelah
pohon hutan. Di antara orang-orang yang bekerja ini, ada orang tua yang
sudah beruban, juga ada anak muda yang bertubuh tegap, yang
lebih mengherankan adalah, ada juga seorang anak kecil yang
masih berusia tujuh delapan tahun!
Sedang apa mereka" Mungkin tidak ada seorang pun yang tahu,
di pinggir orang-orang ini, berdiri seorang laki-laki besar setengah
baya bertubuh tegap, di tangannya memegang sebuah cambuk'
kulit, tidak henti-hentinya berjalan mondar-mandir, asalkan melihat
ada orang yang bermalas-malasan, maka tanpa ampun akan
dicambuknya, sehingga walaupun salju sangat lebat dan angin
sangat deras, tidak ada seorang pun yang berani bermalas-malasan.
Anak kecil yang berusia tujuh delapan tahun itupun diam seribu
bahasa, dia membelah pohon dengan kapaknya, sepasang
tangannya sudah menge-luarkan darah, tapi dia sekali pun tidak
mengeluh kesakitan, kadang-kadang dia melihat ke langit yang
kelabu, berharap malam segera tiba, dan dia dapat pulang ke rumah
untuk beristirahat.
Waktu pelan-pelan berjalan, raja langit tidak mengecewakan
orang yang menghadapkannya, langit akhirnya menjadi gelap.
Laki-laki besar yang memegang cambuk kulit itu melirik sekali,
dengan keras berkata:
"Sudah, sudah cukup, sekarang boleh istirahat."
Mendengar kata-kata ini, wajah anak kecil tampak rasa gembira,
tapi ketika dia akan menaruh kapak besar di tangannya/ kembali
terdengar laki-laki besar itu berkata dingin:
"Bagi siapa yang hari ini belum menyelesaikan pekerjaannya,
tetap tidak boleh meninggalkan tempat ini, besok aku pasti akan
memeriksanya kembali."
Habis berkata dengan sombongnya dia melihat pada para
pekerja, lalu dengan langkah besar melangkah turun ke bawah
gunung. Sekarang orang yang telah menyelesaikan pekerjaannya dengan
senang pergi meninggalkan tempat itu, akhirnya di atas gunung
kosong ini hanya tinggal tiga orang, anak kecil itu salah satu di
antaranya. Dua orang lainnya berusia lebih tua dari pada dia,
pengetahuannya juga lebih banyak, dua orang itu saling pandang
sekali, lalu salah satunya berkata:
"Kalau kita melanjutkan pekerjaan, meskipun sampai tengah
malam tidak akan bisa selesai, udara begini dingin, lebih baik kita
pulang beristirahat dulu satu malam."
Orang yang satunya lagi tentu saja setuju, dia lalu menunjuk
pada anak kecil itu, tanyanya:
"Bocah, bagaimana dengan kau?"
Hati anak kecil itu bergetar, dia tidak tahu bagaimana
menjawabnya, dua orang itu tidak menunggu dia lagi, dengan
langkah besar mereka turun ke bawah gunung.
Demikian, sekarang di atas gunung tinggal dia soorang diri, dia
ingin melanjutkan pekerjaannya, tapi Lingannya terasa sakit sekali,
ditambah tertiup angin utara, tangannya segera mengucurkan darah
segar, dia merasakan sakitnya sulit ditahan, sambil mengadukan
gigi, diapun melemparkan kapaknya melangkah pulang.
Saat itu sudah petang hari, di atas tanah liar, selain suara angin
salju yang menyapu permukaan tanah, tidak terdengar suara
lainnya, anak kecil ini berjalan sendirian, tubuhnya hanya memakai
pakaian tipis, malah ada dua lubang sobekan besar, angin dingin
yang menusuk tulang itu menembus ke dalam lubang bajunya,
memaksa dia memeluk tubuhnya sendiri, walaupun ada sedikit lebih
hangat, tapi di wajah kecilnya, dia menjadi sakit kedinginan.
0odwo0 Pelan-pelan dia berjalan ke depan, mengangkat kepala melihat
langit, salju melayang melewati wajahnya, di matanya terlihat ada
air mata berlinang, ketika air matanya akan menetes, dia memaksa
menahannya supaya tidak menetes, dia berguman pada dirinya:
'Sen Sin-hiong, Sen Sin-hiong! Kenapa kau menangis lagi"
Bukankah ibu sudah bilang, anak baik tidak akan mencucurkan air
mata"' Sesaat setelah dia berkata demikian, dia segera menegakan
tubuhnya, melangkah teg^ap maju ke depan.
Dia berjalan pelan-pelan, angin salju semakin kencang, tidak jauh
dari perbukitan ada sebuah kota kecil, Sen Sin-hiong sedang
berjalan menuju ke kota itu.
Baru saja dia menginjakan kakinya di mulut kota, seorang tua
setengah baya kebetulan keluar menutup pintu, melihat Sin-hiong
lewat, dengan menghela nafas dia berkata:
"Haay! Anak yatim piatu yang patut dikasihani."
Tadinya Sin-hiong sudah lebih tabah sedikit, ketika suara orang
tua itu terdengar di telinganya, dia tidak bisa bertahan lagi, air mata
akhirnya menetes juga.
Angin utara semakin kencang, salju turun pun semakin lebat,
kemungkinan tidak akan reda dalam waktu lima-enam hari.
Sin-hiong berjalan di jalan raya, kepalanya menunduk, kadangkadang
dia pun melihat-lihat ke dua sisi jalan, waktu walaupun tidak
terlalu malam, tapi orang-orang kota sudah menutup pintunya
supaya lebih hangat, hanya dia seorang diri yang berjalan di
jalanan. Dia berjalan dari ujung kota ke ujung kota, di sana ada satu
rumah yang,sangat sederhana, tiba di depan pintu, pelan-pelan dia
membuka pintu yang tidak di kunci itu, setelah masuk, tanpa
menyalakan lampu, dia langsung berkata pelan:
"Ibu, A-Hiong pulang!"
Walaupun sudah berkata demikian, di dalam tidak ada orang
yang menyahutnya, ternyata ibunya sudah meninggal sebulan yang
lalu, setiap kali dia pulang ke rumah dia selalu berkata demikian,
seperti ibunya masih hidup saja.
Dia maju dua langkah, bersujud di sisi ranjang yang dulu menjadi
tempat ibunya tidur, kembali dengan pelan berkata:
"Ibu, kenapa kau tidak menjawab A-Hiong?"
Dia menjulurkan kedua tangan kecilnya yang terluka dan
kedinginan, pelan-pelan mengusap-usap sisi ranjang, air matanya
bercucuran... tapi dia tidak mengusap mengeringkannya, hingga
terasa pandang-an matanya menjadi tidak jelas, dia menangis, tapi
tidak mengeluarkan suara tangisan.
Setelah ibunya meninggal dunia, selama satu bulan lebih, dia
hanya hidup seorang diri, karena tidak ada uang untuk
memakamkan ibunya, Sin-hiong meminjam uang lima liang pada
keluarga Sun, dengan syarat dia harusberkerja untuk keluarga Sun
selama satu tahun.
Malam ini, dia baru pulang dari tempat kerja-nya.
Kepala keluarga Sun yang bernama Sun Bu-pin, perangainya
sangat kejam, meskipun usia Sin-hiong masih kecil, tapi
pekerjaannya hampir sama dengan pekerjaan orang dewasa, jika
pekerjaannya belum selesai maka dia tidak boleh pulang, karena
Sin-hiong adalah anak tabah, dia tidak pernah mengeluh, hanya
ketika sudah pulang ke rumah baru diam-diam dia menangis.
Hari ini, salju turun sangat lebat, sehingga dia merasa
kepayahan, maka setelah d^a pun pulang ke rumah, dia menangis
dengan sedihnya.
Menangis sebentar, air matanya pun sudah hampir kering, baru
saja dia akan bangkit berdiri untuk pergi tidur, mendadak di pintu
rumahnya terdengar suara keras "Paak!" seorang laki-laki yang
tinggi besar telah menerobos masuk.
Sin-hiong terkejut, suaranya terasa gemetar:
"Paman Sun,......"
Belum selesai dia berkata, orang yang dipanggil paman Sun
sudah tertawa dingin:
"Apakah pekerjaanmu sudah selesai" Kenapa pohon besar itu
belum tumbang?"
Mendengar ini, hati Sin-hiong menjadi kecut, dengan gagap dia
berkata: "Paman Sun, pohon itu paman menyuruh kami bertiga supaya
menumbangkannya, setelah mereka berdua pergi, aku baru
pulang." Ternyata orang ini adalah Sun Bu-pin yang meminjamkan uang
lima liang pada Sin-hiong, dulu dia pernah mendapat perlakuan
tidak baik dari ibu Sin-hiong, jadi terhadap orang lain dia masih bisa
baik-baik, hanya terhadap Sin-hiong saja, dia sangat keras.
Sun Bu-pin maju selangkah, katanya marah:
"Kau belum menyelesaikan pekerjaan, kenapa pulang ke rumah?"
Sin-hiong tidak bisa menjawab, Sun Bu-pin tertawa dingin, lalu
dia membentak lagi:
"Cepat pergi, pergi, hari ini jika kau tidak nienijrnbangkan pohon
besar itu. maka aku akan menggali kembali kuburan ibumu yang
TBC itu." Mendengar Sun Bu-pin memaki ibunya, entah datang dari mana
keberaniannya, tiba-tiba Sin-hiong" berteriak:
"Ibumu baru setan TBC, besok aku akan Kembalikan uangmu!
Aku tidak akan bekerja lagi!"
Usianya terlalu kecil, dia hanya tahu kalau orang memaki ibunya
maka dia akan membalas dengan kata yang sama.
Melihat Sin-hiong berani membantah, Sun Bu-pin langsung
melayangkan tangannya "Plaak!" lalu memaki lagi:
"He he he, berani juga kau, dalam satu tahun ini, kalau aku
menyuruh kau apa, maka kau kerjakan apa, jika berani tidak
mendengarnya, aku akan melemparkanmu ke dalam gunung untuk
makanan serigala liar."
Dalam satu bulan lebih ini, Sin-hiong sudah mengalami tidak
sedikit makian dan pukulan, tapi tidak seberat malam ini, tamparan
tadi hampir saja membuat dia tidak sadarkan diri, dia terhuyunghuyung
sebentar lalu berdiri lagi, balas berkata:
"Aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak mau,......"
Sun Bu-pin tertegun, ternyata watak Sin-hiong yang amat keras
ini, baru pertama kali dia melihatnya, telapak tangannya diangkat,
kembali dia akan menempelengnya lagi, pada saat ini, mendadak
dari tempat yang tidak jauh ada orang memanggil-manggil:
"Sen Sin-hiong, Sen Sin-hiong!"
Suara orang ini sangat pelan, sambil memanggil sambil berlari
mendekat, tadinya Sin-Rjong sudah tidak bisa menahan amarahnya,
tapi setelah mendengar suara panggilan ini, hatinya tidak tahan
meloncat-loncat, wajahnya pun ikut berubah.
Sun Bu-pin melototkan matanya pada Sen Sin-hiong, dengan
dingin berkata:
"Ternyata kau memikat putriku?"
Dia tidak berpikir berapa usia Sin-hiong, mana mungkin bisa
memikat putrinya" setelah berkata begitu dia lalu bersembunyi di
sudut gelap, maksud-nya ingin melihat mereka berdua sebenarnya
mau berbuat apa"
Sin-hiong yang sudah ketakutan jadi tertegun, dia sampai lupa
mencegahnya, di luar pintu sudah muncul seorang gadis cilik yang
rambutnya dikepang dua.
Gadis kecil itu menggoyangkan rambut kepang nya yang
panjang, sambil melihat ke dalam dia berkata:
"Heey, Sen Sin-hiong, aku membawakan baju untukmu!"
Sin-hiong mana berani bicara, gadis yang baru datang dari tanah
salju yang bersinar terang, ketika masuk ke dalam ruangan yang
gelap, tentu saja masih belum bisa melihat keadaan dengan jelas,
setelah memanggil, merasa tidak ada orang yang menjawab,
kembali dengan pelan dia berkata:
"Sen Sin-hiong, kau ada di rumah tidak?"
Dia sangat berani, setelah memanggil, tidak peduli di dalam
rumah ada orang atau tidak, dia melemparkan baju yang ada di
tangannya ke dalam rumah, berkata pada diri sendiri:
'Tidak peduli kau ada dirumah atau tidak, jika aku terlalu lama,
dan ketahuan oleh ayahku, aku pun akan dipukulnya lho?"
Habis berkata, dia membalikan tubuh langsung meninggalkan
tempat itu, tapi...mendadak krah bajunya seperti ada yang menarik,
tahu-tahu dia sudah diangkat ke atas oleh Sun Bu-pin sambil
membentak: "Cui-giok, dia yang menyuruh kau mengantarkan" Atau kau
sendiri yang datang mengantarkan"'
Gadis kecil yang dipanggil Cui-giok itu sudah mengenal suara
yang berkata itu, wajahnya menjadi pucat, dengan ketakutan dia
hanya berteriak "Ayah!", lalu tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Sekarang Sin-hiong malah menjadi sadar, melihat keadaannya
dia segera berteriak:
"Paman Sun, aku yang menyuruh dia datang mengantarkan."
Sun Bu-pin membalikkan tubuh, memakinya:
"Aku sudah tahu, tentu kau anak haram ini yang menyuruhnya,
bagaimana mungkin putriku bisa berbuat begitu"
Setelah berkata, dia lalu meloncat ke depan, kembali
menempelengnya tiga kali.
Sin-hiong masih anak kecil, bagaimana bisa tahan ditempeleng
berturut-turut tiga kali, mulutnya segera mengeluarkan darah, tapi
wataknya yang keras, tetap tidak mengeluarkan jerit kesakitan.
Sun Cui-giok yang diangkat oleh ayahnya, tidak bisa melihat
bagaimana wajah ayahnya, dia hanya bisa melihat wajah Sin-hiong
yang berdarah, dia terkejut, teriaknya:
"Ayah, ayah, aku sendiri yemg datang mengantarkannya."
Sun Bu-pin hanya tertawa dingin, sepasang matanya melototi
Sin-hiong, bentaknya:
"Kau lihat apa" Cepat tebang pohon besar itu!"
Malam sudah larut, hujan salju di luar begitu besar, tangan dan
kaki Sin-hiong sudah kesakitan karena dingin, jangan kata disuruh
bekerja, berjalan ke tempat kerja saja, mungkin jatuh di tengah
perjalanan. Rupanya selama satu bulan lebih, Sin-hiong sudah sering kali
Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Yang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dipersalahkan, hari ini setelah kedinginan lalu menerima pukulan, di
dalam hati kecilnya, bagaimana pun tidak bisa menerima.
Dia harus meninggalkan tempat tinggalnya, benar, bagaimana
pun dia harus meninggalkan tempat ini!
Setelah berpikir begitu, satu patah kala pun dia tidak berucap,
dia membalikkan tubuh langsung masuk ke dalam kamar.
Siapa tahu, baru saja dia bergerak masuk, Sun Bu-pin melangkah
maju, dengan marah membentak:
"Kau mau apa?"
Sin-hiong menegakan tubuhnya, berkata keras: "Aku tidak
bekerja lagi, aku mau meninggal-kan tempat ini?"
Sun Bu-pin marah sekali "Paak paak!" kembali menempeleng dua
kali, lalu memakinya:
"Selesaikan dulu pekerjaanmu satu tahun ini, kau anak haram
mau berontak?"
Kali ini Sin-hiong dipukul lebih keras lagi, dia merasa mata
berkunang-kunang, hampir saja jatuh pingsan, sesaat dia menjadi
hilang kendali, mendadak dia mengepalkan tinju, balas memukul
Sun Bu-pin. Walaupun Sun Bu-pin sedang mengangkat seseorang, tapi
menghadapi Sin-hiong yang masih ingusan ini, bisa dikatakan
semudah membalikan telapak tangan, tinju Sin-hiong belum
mendarat, wajahnya sudah ditempeleng beberapa kali dengan
keras. Kali ini Sun Bu-pin menempelengnya dalam keadaan sangat
marah, berapa besar tenaganya" Mungkin dia sendiri pun tidak
tahu, bagaimana Sin-hiong bisa bertahan, "Waaa!" dia berteriak
keras, lalu jatuh pingsan.
Sun Bu-pin tertegun, dalam hatinya berpikir, 'lebih baik sekalian
saja kubuang ke dalam gunung supaya dimakan serigala liar, anak
kecil seperti ini, tidak ada orang yang memeliharanya, walau
matipun tidak akan menjadi perhatian orang.'
Begitu hati kejamnya timbul, dia lalu meng-angkat tubuh Sen
Sin-hiong, berlari ke dalam gunung.
Kejadian ini, hampir saja membuat Sun Cui-giok yang sedang
ketakutan menjadi pingsan, ketika dia sudah sadar, dia melihat
ayahnya mengangkat Sin-hiong lari ke dalam gunung, wajahnya
terlihat merah padam dan menakutkan orang, dia berteriak:
"Ayah, ini bukan salahnya Sin-hiong, kau maafkan dia!"
Sun Bu-pin malah memegang lebih erat lagi memakinya:
"Jangan berteriak, jika tidak diam, aku juga akan melemparmu ke
dalam gunung supaya dimakan serigala liar."
Mendengar akan diumpan pada serigala liar, benar saja Cu-giok
menjadi diam, ketakutan, dia memandang ayahnya yang keji, diam
tidak berani bicara lagi.
Saat ini salju dan angin sedang turun lebih lebat lagi, di dalam
gunung tidak terlihat seorang pun, setelah Sun Bu-pin tiba di dalam
gunung, lalu memilih satu tempat dan melemparkan Sin-hiong ke
atas tanah, dengan kejinya berkata:
"Anak haram, sekarang kau boleh ikuti setan TBC ibumu itu."
Habis bicara, dia berjalan balik dan melihat-lihat ke sekeliling,
baru mengangkat Sun Cui-giok berlari pulang ke rumah.
Sun Cui-giok melihat ayahnya melemparkan Sen Sin-hiong ke
dalam gunung, tanpa peduli lagi berlari pulang ke rumah, dia
menjadi sedih dan menjerit-jerit menangis, tapi, suaranya sangat
lemah, di dalam gunung ini selain dia dan ayahnya, siapa lagi yang
bisa mendengarnya"
Tapi, kejadian di dunia, yang diluar dugaan bisa saja terjadi,
malam ini justru terjadi satu kejadian aneh.
Ketika tubuh Sun Bu-pin pelan-pelan meng-hilang di gunung ini,
dari atas sebuah pohon cemara yang rimbun, secepat kilat turun
satu bayangan hitam.
Bayangan hitam ini bukanlah serigala, tapi seorang manusia!
Orang ini godeknya sudah beruban, wajahnya bersih, jalannya
tertatih-tatih, di udara yang amat dingin ini, dia sama dengan Sinhiong,
hanya memakai baju yang tipis, dia meloncat turun dari
pohon cemara yang tinggi, di atas permukaan salju malah sedikit
pun tidak meninggalkan jejak kaki.
Dengan cepat dan ringan dia berlari ke tempat jatuhnya Sinhiong,
lalu mengangkat tubuh Sin-hiong, dia mengangkat kepalanya
ke atas langit dan menghela nafas:
"Haay...! Sungguh anak baik yang sulit dicari, tidak sia-sia aku
memperhatikanmu selama setengah tahun!"
Kata-kata ini entah berkata pada dirinya atau bukan" Hanya saja
setelah berkata begitu, suaranya jelas tampak sedikit gemetar, dia
memandang Sen Sin-hiong berkali-kali, wajahnya tampak senang
sekali. Angin utara bertiup semakin kencang, salju pun turunnya
semakin lebat! Tampak orang tua yang rambutnya sudah beruban, usianya
sudah lebih dari tujuh puluh tahun, meskipun begitu dia tidak bisa
menahan kegembiraan dalam hatinya, mendadak dia mengangkat
kepalanya ke atas langit lalu bersiul panjang, suaranya terdengar
jauh sekali, laksana auman harimau, siulan naga, dan juga laksana
seorang dewa yang menguasai bumi dan langit, dalam lautan salju
ini, ada semacam perasaan bangga dirinya telah berhasil.
Malam, semakin lama semakin larut.
Esok hari keadaannya akan bagaimana" Tidak ada orang yang
berani meramalkan.
Esok lusa keadaannya akan bagaimana" Juga tidak ada orang
yang berani meramalkan.
Kalau begitu, satu tahun dua tahun tiga tahun empat tahun,
malah sepuluh tahtm kemudian akan bagaimana" Itupun tidak ada
orang yang berani meramalkan.
OooodwoooO Di saat petang hari, seekor kuda berwarna merah lari melewati
lapangan liar. Orang yang duduk di atas kuda, tangannya memeluk sebuah
kecapi kuno dengan lima senar, memakai baju warna kuning muda,
hanya saja wajahnya kuning kering, seperti orang yang baru
sembuh dari sakit keras.
Usia dia tidak besar, kelihatannya hanya tujuh delapan belas
tahun, dia sedang melarikan kudanya ke ujung lapangan liar.
Sambil berjalan dia memetik senar kecapi di tangannya, suara
kecapi yang sangat merdu terdengar ke sekeliling dia, membuat
orang yang mendengarnya timbul perasaan dan semacam pikiran
yang amat jauh.
Di ujung lapangan liar adalah sederet perbukitan, di bawah
perbukitan bertebaran beberapa bangunan rumah, sepasang sorot
mata yang tajam orang ini dengan kaku melihat-lihat, dengan suara
mengandung perasaan iba dia berguman sendiri:
'Sepuluh tahun telah berlalu, pemandangannya masih sama, tapi
orang-orangnya sudah berubah, apakah aku masih bisa menemukan
mereka atau tidak, entahlah"'
Pelan-pelan dia melarikan kudanya, berlari menuju salah satu
rumah yang lebih besar di sisi gunung.
Malam telah tiba, bumi menjadi semakin samar samar, hanya
suara kecapi yang dihantar angin itu, laksana datang dari langit,
membuat bumi yang gelap ini menambah sedikit kehidupan.
Ketika suara kecapi semakin mendekati rumah itu, mendadak
dari dalam rumah berkelebat satu bayangan orang yang amat gesit.
Bayangan orang ini sesaat melihat-lihat ke sekeliling, lalu
bersembunyi di sudut yang gelap.
Saat ini, tamu aneh yang berjalan sendirian sudah melewati parit,
dia berjalan menuju rumah itu, ketika hampir tiba di depan pintu
rumah, mendadak dia menarik tali kekang menghentikan kudanya,
melihat di dalam rumah tampak gelap sekali, sesaat dia tertegun,
lalu dengan pelan-pelan turun dari atas kudanya.
Orang yang tadi berkelebat keluar dari dalam rumah, ternyata
telah melihat orang ini berhenti di depan pintu rumah, tidak tahan
dia berpikir dalam hatinya:
'Heh, dia benar-benar tidak akan pergi lagi!'
Belum selesai dia berpikir, tamu aneh yang memetik kecapi
sudah membalikkan tubuhnya dan bertanya:
"Mohon tanya saudara, apakah di dalam rumah masih ada
orang?" Ketika dia berkata-kata, tampak wajahnya tersenyum ramah,
setelah selesai berkata, malah melepaskan pelana dari atas
kudanya, rupanya walau di dalam rumah tidak ada orang, dia
seperti sudah memastikan akan menginap.
Begitu dia berkata, orang yang bersembunyi di sudut yang gelap
tidak terasa menjadi terkejut, dalam hatinya berpikir:
'Saat dirinya bersembunyi, orang yang datang ini masih berjarak
dua puluh tombak lebih, apa lagi hari sudah gelap, tapi dia malah
bisa melihatnya dengan jelas, ketajaman mata orang ini sungguhsungguh
sangat jarang ada di dunia persilatan"'
Ternyata malam ini, di tempat ini akan terjadi sesuatu" Di dalam
rumah tampak sudah berjaga-jaga dengan ketatnya, setelah tamu
aneh yang memetik kecapi ini muncul, keadaan di dalam rumah pun
mendadak menjadi tegang.
Sesaat orang yang bersembunyi itu masih tidak bisa memutuskan
apakah harus menjawab atau tidak, dari dalam rumah berkelebat
lagi satu bayangan orang, dalam sekejap sebilah pedang panjang
yang berkilauan telah menempel di leher tamu aneh ini, lalu
bentaknya: "Hemm.. hmm.., kau mau apa?"
Di bawah sinar bulan bisa dilihat dengan jelas, wajah orang yang
memegang pedang ini tampan sekali, di antara alisnya lebih-lebih
memancarkan sikap gagah perkasa, apalagi saat tadi dia keluar dan
menempelkan pedangnya, kecepatan gerakannya sungguh jarang
terlihat di dunia persilatan!
Orang yang bersembunyi di kegelapan diam-diam memujinya, di
dalam hati berpikir:
'Tidak percuma Ho Koan-beng menjadi seorang murid hebat
diantara murid-murid Hoa-san, mengandalkan gerakan ini saja, tidak
usah malu disejajarkan dengan pesilat tinggi dunia persilatan.
Orang yang memetik kecapi tadi dengan tenang masih terus
melepaskan tali kekang kudanya, lalu berkata:
"Apakah perbuatan anda ini cukup sopan untuk menyambut
tamu?" Begitu kata-katanya keluar, orang yang memegang pedang jadi
merasa keheranan, sambil menekan-kan pedang di tangannya, dia
berkata: "Siapa sebenarnya dirimu" cepat katakan, jika tidak, jangan
salahkan aku membunuhmu!"
Sekarang orang yang memetik kecapi sudah selesai melepaskan
tali kekang kudanya, dengan tawar dia berkata:
"Nama hanyalah tanda bagi seseorang, seperti kau Sin-kiam-jiu
(Malaikat pedang) Ho Koan-beng, Ho-tayhiap yang julukannya
sudah menggemparkan dunia persilatan, nama besar ini tentu saja
perlu dirindukan, aku hanyalah Bu-beng-siauw-cut (orang kecil yang
tidak bernama), tidak penting menyebutkan nama pada orang lain?"
Dia selalu menunjukan penampilan yang tenang, tidak terburuburu,
terhadap ujung pedang Ho Koan-beng yang menempel di
lehernya, seperti tidak peduli.
Hati Ho Koan-beng menjadi tegang, orang sekali berkata bisa
menyebutkan julukannya, sebenar-nya dia dari mana, dia sendiri
malah tidak tahu, bagaimana tidak membuat dia jadi meningkatkan
kewaspadaannya"
Setelah berkata orang yang memetik kecapi itu menepak-nepak
tubuh kudanya, berkata:
"Merah, kau pun boleh istirahat satu malam!"
Kuda itu seperti mengerti perkataannya, sekali meringkik, lalu lari
menuju kegelapan malam.
Perbuatannya yang aneh ini, seperti tidak ada orang saja di
sisinya, Ho Koan-beng pun jadi serba salah, pedang pusaka yang
dipegang, ditusukan salah, tidak ditusukan juga salah, keadaannya
menjadi sangat tidak nyaman.
Keadaan yang terjadi sulit dibayangkan, Ho Koan-beng adalah
pesilat tinggi muda yang belum lama muncul di dunia persilatan,
orangnya sangat pintar, apa lagi jurus pedangnya Tui-hong-kiamhoat
(Ilmu pedang pengejar angin), dalam satu malam dia pernah
berturut-turut mengalahkan dua belas orang jago silat dari Ho-pak
(utara). Tapi tidak disangka, malam ini dia malah mengalami
keadaan yang tidak nyaman.
Orang yang bersembunyi di kegelapan sudah berjalan keluar,
berkata: "Ho-tayhiap, asal usul orang ini sedikit aneh!" Kata-kata dia
sebenarnya tidak berguna, jika Ho Koan-beng tidak merasa orang ini
sedikit aneh, mungkin dari tadi dia sudah membunuhnya.
Sepasang mata Ho Koan-beng menyorot dua kilatan aneh,
seperti ingin menembus hati orang yang memetik kecapi itu, tapi
orang itu tidak mempeduli-kannya, sepasang matanya selalu
menatap pada pintu besar di depan yang cat merahnya sudah
luntur, entah ada perasaan apa di dalam hatinya"
Pada saat ini, tiba-tiba pintu besar terbuka, mata orang yang
memetik kecapi itu menjadi terang, seorang wanita sudah berjalan
keluar. Wanita ini memakai baju ringkas, wajahnya sangat cantik, di
punggungnya terselip sebatang pedang panjang, wajahnya ada rasa
khawatir yang tidak bisa ditutupi, setelah dia keluar, melihat sekali
pada orang yang memetik kecapi, tanyanya:
"Ada maksud apa Tuan datang kemari, apakah bisa
menjelaskannya?"
Tubuh anak muda yang memetik kecapi jadi bergetar, diam-diam
menghela nafas panjang, di dalam hati berpikir:
'Dia tetap tidak berubah, akhirnya aku bisa bertemu juga dengan
dia, haay, dimana ayahnya"'
Pikiran ini hanya sekelebat lewat di otaknya, sekarang dia harus
menjawab pertanyaan wanita itu, pelan-pelan dia mengangkat
kepalanya, berkata:
"Karena mengejar waktu, aku jadi terlewatkan tempat
beristirahat, apakah boleh aku menginap semalam di rumah anda?"
Ho Koan-beng yang ada di belakang segera berteriak:
"Cui-giok, jangan dengarkan dia, orang ini asal usulnya
mencurigakan."
Tubuh Cui-giok tergetar, berkata:
"Koan-beng, kau tarik kembali pedangmu, dia bukan kelompok
setan itu!"
Setelah berkata, pada anak muda yang memetik kecapi, berkata
lagi: "Malam ini di tempat kami ada masalah, jika Tuan tidak takut
urusan, silahkan masuk minum teh!"
Wajah anak muda pemetik kecapi itu tampak sinar terima kasih,
tapi dia tidak berkata apa-apa lagi, dia hanya menganggukkan
kepala, lalu mengangkat pelana kudanya dan berjalan masuk ke
dalam rumah. Ho Koan-beng dan seorang lainnya tidak tahan jadi khawatir, Ho
Koan-beng buru-buru berkata:
"Cui-giok, kita hanya punya waktu tiga hari, kenapa kau masih
Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Yang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengundang kerepotan?"
Cui-giok menghela nafas, matanya yang besar memandang ke
arah lapangan liar yang luas, dia seperti sedang mengharapkan
sesuatu. Tapi, dia sudah mengharapkan-nya selama sepuluh tahun.
Selama sepuluh tahun, dia sering bermimpi, malah mimpi yang
aneh-aneh. Ternyata anak muda pemetik kecapi yang datang malam ini,
tindak-tanduknya yang aneh itu telah menyentuh hati Cui-giok,
sehingga ingatannya terbuka kembali pada kejadian sepuluh tahun
yang lalu, kejadian yang menakutkan itu, malah membuat dia lama
tidak bisa melupakannya.
Melihat Cui-giok tampak bengong menatap ke arah jauh, di
dalam hati Ho Koan-beng berpikiran lain, dia cepat-cepat berjalan
maju ke depan, memegang tangannya yang halus, pelan berkata:
"Adik Giok, kau tidak perlu khawatir, guruku pasti datang."
Cui-giok hanya bersuara "Mmm!", saat ini di sekeliling tempat itu
semuanya hanya salju putih, deruan angin dinginnya membuat dia
gemetar, dia berkata seperti bukan dari isi harinya:
"Sangat mengerikan sekali!"
Ho Koan-beng mengira dia merasa takut terhadap masalah yang
akan datang malam ini, padahal bagaimana pun hal ini akan terjadi,
saat itu dia maju selangkah merapatnya, dengan penuh kasih
sayang berkata:
"Takut apa" Aku ada di sisimu!"
Sikap dua orang yang mesra ini, dilihat oleh seseorang, orang ini
adalah anak muda yang memetik kecapi itu, dia jadi berpikir
sejenak: 'Mengandalkan apa aku ini" dulu aku hanya seorang pegawai
kecil di rumahnya."
Malam sangat tenang, Ho Koan-beng dan Cui-giok berdiri di luar
sesaat, setelah merasa sedikit kedinginan, Ho-Koan-beng
mendorong pelan Cui-giok, berkata:
"Di luar dingin sekali, lebih baik masuk ke dalam."
Baru saja dia selesai berkata, mendadak dari kejauhan terdengar
suara keliningan kuda, wajah Cui-giok berubah hebat, dengan suara
gemetar berkata:
"Koan-beng, Sang-toh sudah datang!"
Wajah Ho Koan-beng ikut berubah, katanya:
"Entah dia datang sendiri, atau bersama gurunya?"
Ternyata orang yang datang ini adalah, penjahat besar yang
membuat orang dunia persilatan ketakutan hanya mendengar
namanya saja, dengan kedudukan Ho Koan-beng, saat dia
mengatakan ini, suaranya pun terasa sedikit gemetar!
Seorang lainnya sudah meloncat turun, berkata:
"Ho-tayhiap, apakah kita bertiga tidak bisa bersatu
melawannya?"
Ho Koan-beng membelalakan matanya, lalu berkata dingin:
"Saudara Gouw, kami dari Hoa-san-pai ber-beda dengan kalian
dari Bu-tong-pai, kami selamanya tidak pernah memenangkan
pertarungan dengan keroyokan, jika kau menilai aku ingin
mengandalkan orang lain untuk membantu, kau salah melihat
orang." Habis berkata begitu, bersama dengan Cui-giok berlalu tidak
mempedulikannya lagi!
Hati orang bermarga Gouw merasa tidak enak, pikirnya:
'Jika aku seorang diri mampu melawannya, akupun tidak akan
lari kemari" Hemm.. hemm... bagaimana aku bisa menerima
ejekanmu?"
Saat ini suara keliningan kuda terus mendekat, orang yang di
panggil Gouw tidak sempat berpikir lagi, tubuhnya berkelebat,
kembali bersembunyi di semak belukar tadi.
Setelah suara keliningan itu semakin dekat, samar-samar terselip
suara seruling, dalam campuran dua suara itu, sekejap sudah tiba di
depan pintu, terdengar sebuah tawa keras yang menembus langit,
satu bayangan orang yang sangat gesit sudah meloncat ke atap
rumah, teriaknya:
"Ho Koan-beng, Sun Cui-giok, kalian suami istri cepat keluar!"
Di bawah sinar bulan, orang yang datang ini pun seorang anak
muda yang gagah, setelah dia naik ke atap rumah, dia kembali
meniup serulingnya, sambil meniup seruling dia berkeliling satu kali
ke seluruh rumah, setelah bersuara "Iiih!" sekali, dia tertawa dan
berkata: "Ternyata telah mengundang orang membantunya, aku Sang-toh
malah tidak enak bertarung di dalam rumah, silahkan semuanya
keluar saja."
Maka bayangan-bayangan orang berkelebat laksana kapas
melayang keluar pintu.
Ternyata saat Sang-toh tiba di pekarangan terbuka, anak muda
pemetik kecapi itu sedang membawa pelananya berjalan masuk ke
belakang pekarangan, Sin-kiam-jiu Ho Koan-beng dan Sun Cui-giok
berdua, semuanya sudah bersembunyi di dalam kegelapan.
Begitu Sang-toh keluar, Sin-kiam-jiu Ho Koan-beng mengikutinya
berkelebat keluar, teriaknya:
"Sobat, marga Ho tidak berniat melibatkanmu ke dalam masalah
ini. Orang ini adalah Giok-siau-long-kun (Laki-laki bersuling giok)
Sang-toh, dialah orang yang ternama akan kekejamannya, setelah
dia tiba, gurunya pun tidak lama lagi akan tiba."
Dia berkata, kata-katanya seperti tidak jujur, tapi setelah anak
muda pemetik kecapi mendengar, dia mengangkat kepala menguap
sekali, dengan tawar berkata:
"Ho-tayhiap bicara apa" Aku datang hanya untuk menumpang
menginap, apa itu Giok-siau-long-kun atau bukan, apa hubungannya
dengan aku?"
Dia lalu mengangkat pelana kudanya, berjalan menuju ke ruang
penyimpanan kayu bakar.
Terhadap keadaan di tempat ini dia seperti sangat hafal, sayang
Ho Koan-beng dan Sun Cui-giok sedang gelisah, siapa pun tidak
memperhatikannya.
Dikatakan demikian, di dalam hati Ho Koan-beng menjadi marah,
diam-diam dia mendengus, di dalam hati dia berkata:
'Jika saatnya tiba, kau baru tahu ada atau tidak hubungannya
denganmu.' Di luar pintu terdengar lagi suara dingin:
"Ho Koan-beng, jika kalian tidak mau keluar, aku akan bakar
rumah ini!"
Ho Koan-beng jadi tergetar, pikirnya:
'Mengandalkan dirinya dan Cui-giok malah ditambah Gouw-in,
murid dari Bu-tong, dia tidak tahu apakah bisa menghadapi dia atau
tidak, dari pada mengorbankan tiga nyawa, lebih baik aku sendiri
saja yang menghadapinya"
Maka dia berkata pada Cui-giok yang sedang bersembunyi:
"Adik Giok, kau cepat melarikan diri, di jalan jika tidak bertemu
dengan guruku, selamatkan dirimu ke tempat lain saja!"
Siapa sangka setelah dia berkata, di sekeliling-nya terasa hening,
tidak ada suara, begitu melihat ini Ho Koan-beng tidak tahan jadi
tergetar! Dia tidak berpikir apa-apa lagi, langsung lari ke tempat
persembunyiannya Cui-giok, terlihat dia sedang tertidur lelap disana,
malah kelihatan tidurnya nyenyak sekali, dia kembali jadi tertegun!
Dari pengamatannya, sekali melihat dia sudah tahu Cui-giok telah
di totok jalan darah tidurnya, hanya saja orang yang menotok itu
menggunakan cara khusus, bolak balik memeriksanya, dia masih
belum tahu jalan darah mana yang telah ditotoknya"
Ho Koan-beng terkejut sekali, pikirnya: 'Jika orang yang
menotoknya berniat buruk, sebelum menotok Cui-giok mungkin
sudah dilukainya terlebih dulu, jika orang yang menotoknya berniat
baik, lalu kenapa dia tidak terang-terangan saja menampakkan diri
menolongnya"
Dalam waktu sekejap ini, dia hanya terpikir dua orang.
Satu adalah gurunya, tapi apakah ini mungkin, dia hafal sekali
sifat gurunya, jika dia sudah tiba, tidak mungkin tidak menampakan
dirinya" Yang satunya lagi, dia terpikir anak muda pemetik kecapi itu,
namun kemungkinan ini tampaknya sangat kecil, orang itu wajahnya
kuning kering, sekelebat melihatnya persis dengan orang yang baru
sembuh dari sakit keras, selain sifatnya sedikit aneh, apa yang
disebut ilmu silat, mungkin dia pun tidak tahu:
Ho Koan-beng berpikir keras tapi tidak mendapatkan jawaban,
sesaat dia jadi terbengong, teriakan dan makian di luar, dia seperti
tidak peduli, seperti tidak mendengarnya.
Ketika dia sedang bengong, mendadak di atas kepalanya
terdengar suara "Ssst!", ternyata Giok-siau-long-kun sudah tidak
sabar lagi, dia langsung berkelebat masuk ke dalam ruangan, sambil
tertawa seruling di tangannya sudah datang menyerang!
Tidak percuma Ko Koan-beng menjadi orang ternama, walau
dalam keadaan bengong, mendengar di atas kepala ada gerakan,
pedang pusaka yang sudah berada di tangannya, dengan jurus
Heng-kang-cai-Iong (Sungai melintang memotong ombak),
menyabet ke depan tubuhnya, memotong ke sepasang kaki Sangtoh.
Sang-toh tertawa dingin:
"Jurus ini boleh juga, tapi tidak terhitung jurus istimewa!"
Seruling di putar membuat tabir bayangan hijau, bukan saja telah
mementahkan jurus Ho Koan-beng, arah kepala serulingnya tepat
mengarah ke jalan darah Cian-keng, Hong-hu, dua jalan darah
besar di depan rubuh Ho Koan-beng.
Ho Koan-beng memiringkan rubuh, tapi seruling Giok-siau-longkun
mengikuti gerakannya, tepat memotong gerakan
menghindarnya, memaksa jurus kedua Ho Koan-beng tidak bisa
dikeluarkan. Ho Koan-beng terkejut, di saat yang berbahaya ini, mendadak
sebuah suara kuat membelah angin melesat menuju ke jalan darah
Meh-ken di pergelang-an tangan Sang-toh!
Pengalaman Sang-toh dalam pertarungan besar maupun kecil
sudah tidak terhitung banyaknya" Ketajaman mata dan telinganya
sudah sampai tingkat teratas, tahu ada orang yang diam-diam
menyerang, serulingnya segera dihentakan, senjata gelap itu
berhasil ditahan terpental ke udara.
Mengambil kesempatan saat Giok-siau-long-kun terhalang, tubuh
Ho Koan-beng sudah meloncat mundur ke belakang sejauh dua
tombak, rasa terkejut-nya belum habis, dengan suara gemetar dia
berteriak: "Entah orang hebat dari mana yang datang membantu, Ho Koanbeng
sangat berterima kasih atas bantuannya!"
Setelah berkata, dia melihat ke sekeliling, keadaan tetap hening
tidak ada suara, tidak tahan dia kembali terbengong!
Wajah Giok-siau-long-kun yang tampan pun ikut berubah,
ternyata saat dia tadi menangkis senjata gelap itu, hampir saja
serulingnya terlepas, dia tidak bisa membayangkan, di dunia
persilatan masa kini siapa yang memiliki ilmu silat setinggi ini"
Tapi dia sudah sudah berpengalaman menghadapi musuh,
setelah berpikir sejenak dengan teliti, mendadak dia memutar
serulingnya di depan tubuh, sambil tertawa berkata:
"Bagus, apakah kau masih tidak mau mengundang orang yang
membantu kau itu keluar?"
Mendengar ini, Ho Koan-beng terpikir lagi anak muda yang
memetik kecapi, hanya saja bagaimana pun dia tidak bisa percaya,
orang pesakitan seperti dia, dengan senjata gelap yang sekecil itu,
bisa memukul mundur Giok-siau-long-kun yang sangat ternama di
dunia persilatan.
Tapi, di sekitar tempat ini, selain tamu aneh yang memetik
kecapi, hanya ada Gouw-in saja, bagaimana kemampuan Gouw-in"
Ho Koan-beng tahu sekali, hal ini sangat tidak mungkin"
Dengan sorot mata yang curiga dia menyapu, angin malam
bertiup, bayangan pohon di pinggir gunung melambai, di sekeliling
lapangan liar terlihat hening, sekarang selain dia dan Sang-toh
berdua, Ho Koan-beng tidak melihat bayangan orang ketiga"
Sang-toh dan Ho Koan-beng, hampir berpikiran sama, sorot
matanya menyapu ke sekeliling tempat itu, tapi tidak menemukan
ada sesuatu yang aneh, dia adalah orang pintar yang ternama,
saatMnipun merasa tidak mengerti.
Malam, semakin lama semakin larut.
Ho Koan-beng menghela nafas, berkata:
"Sang-tayhiap, terhadap masalah nona Sun aku benar-benar sulit
menjelaskannya."
Tiba-tiba Giok-siau-long-kun sadar kembali, dalam hati berpikir:
'Dirinya dengan Sun Cui-giok tadinya adalah sepasang sejoli yang
ideal, tidak diduga di tengah jalan muncul seorang Ho Koan-beng,
sehingga Sun Cui-giok pelan-pelan menjauhi dirinya, malah akhirnya
bertolak belakang dengan dirinya, kekesalan ini bagaimana bisa
setiap orang menerimanya"'
Dia berpikir bolak balik, dalam hatinya berpikir lagi:
"Kau sudah mendapatkan dia, sudah tidak usah di katakan lagi,
tapi tidak seharusnya diam-diam masih memaki aku sebagai orang
sesat, juga melibatkan guruku, hemm hemm, jika aku tidak
membunuh kalian berdua, sungguh aku tidak bisa meredakan
kebencian di dalam hatiku.'
Berpikir sampai disini, timbul hati kejamnya, tanpa mempedulikan
lagi siapa yang bersembunyi di kegelapan malam" Dia lalu
mengangkat serulingnya, kembali menotok dada Ho Koan-beng! Siapa sangka, baru saja dia mengangkat tangan nya, kembali
satu suara membelah angin menyerang-nya!
Serangan Giok-siau-long-kun ini sebenarnya hanya pura-pura,
serangannya belum dilancarkan, di dalam hati dia sudah waspada,
dia segera membalikan seruling, siap memukul jatuh senjata gelap
itu, tapi serangan senjata gelap itu ternyata sangat cepat, gerakan
dia masih terlambat selangkah, dia hanya merasakan sikunya lemas,
lengan yang sudah diangkat kembali jatuh ke bawah.
Sang-toh sudah banyak pengalaman menghadapi lawan, dia
sudah tahu di dalam kegelapan bersembunyi seorang pesilat tinggi,
dengan jurus Pathong-hong-ie (Hujan angin di delapan penjuru),
dia menggerakan serulingnya sampai angin dan hujan pun tidak bisa
menembus, dengan benci dia berkata:
"Ho Koan-beng sampai jumpa, kita masih ada waktu dua hari!"
Selesai berkata, orangnya sudah meloncat ke atas, suara seruling
yang pilu bercampur dengan suara keliningan kuda yang
memekakan telinga, terdengar dari dekat lalu menjauh, dalam
sekejap sudah pergi entah kemana!
Tindakannya terlalu mendadak, sampai Ho Koan-beng yang
melihatnya jadi terbengong, ketika dia terkejut, mendadak di
belakang tubuhnya ada angin berkesiur, tanpa berpikir lagi dia
membalikan tangan menusukan pedangnya ke belakang!
Baru saja dia menusukan pedang, terdengar seorang berteriak:
"Koan-beng, kenapa dirimu" Ini aku!"
Orang yang bicara itu adalah Sun Cui-giok, Ho Koan-beng yang
dua kali hampir menjadi orang mati, menyaksikan ini tanpa terasa
mengeluh: "Adik Giok, kita sungguh-sungguh buta, cepat ikut aku
mengucapkan terima kasih pada orang yang telah menolong!"
Cui-giok tertegun, tanyanya terkejut:
"Siapa yang menolong kita"*'
Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Yang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ho Koan-beng yang sudah lolos dari maut, saat ini tidak ada
semangat menjelaskannya, dia sendiri pertama tama lari menuju ke
pekarangan belakang.
Baru saja melangkah masuk ke pekarangan, belakang, sudah
terdengar dengkuran tidur dari dalam ruang penyimpanan kayu
bakar, tidak tahan dia kembali jadi tertegun, di dalam hati berkata:
'Orang ini pasti bukan penolongku, melihat rupa dia yang
penyakitan, bagaimana mungkin memiliki kemampuan setinggi ini,
dapat mengusir pergi Giok-siau-long-kun yang namanya
menggempar-kan dunia"'
Dengan pandangannya, ditambah belum berjalan sampai ruang
penyimpanan kayu bakar sudah terdengar suara dengkuran, di
dalam hati Koan-beng berpikir:
'Tidak usah dikatakan lagi, dia pasti bukan lawan Sang-toh,
menyuruh dia menangkis tiga jurus dari Sang-toh, mungkin juga
tidak bisa menahannya"'
Saat ini Cui-giok sudah berlari masuk, tanya-nya:
"Beng-ko, apa yang sedang kau pikirkan?"
Ho Koan-beng kembali menghela nafas dengan beratberkata:
"Adik Giok, apakah kau tahu kita sudah hidup untuk kedua
kalinya?" Cui-giok membelalakan sepasang matanya yang besar:
"Sebenarnya apa yang sedang kau katakan?"
Ho Koan-beng menghela nafas panjang, lalu secara ringkas
menceritakan kejadian tadi, mendengar itu, sepasang mata Cui-giok
membelalak lebih besar lagi.
Sebenarnya dia tadi bersembunyi di sudut gelap, ketika dia
merasa ada angin meniup lembut, dia langsung tidak sadarkan diri,
siapa tahu setelah dia sadar kembali, bukan saja Giok-siau-long-kun
sudah lari ketakutan, juga orang ini telah menyelamatkan nyawanya
Ho Koan-beng. Ho Koan-beng bengong sebentar, kembali berjalan ke pintu
ruangan penyimpanan kayu bakar, terlihat pintu kamarnya terbuka
lebar, anak muda pemetik kecapi itu sedang berbaring diatas
ranjang yang dibuat sementara dari papan, tidur dengan nyenyak
sekali. Sun Cui-giok pun ikut masuk ke dalam, tapi ketika dia melihat
tempat dan bentuk tidurnya orang ini, hatinya segera tergetar!
Ingatan ini tertera sangat dalam di otaknya, sepuluh tahun yang
lalu, anak yatim piatu yang kasihan itu kadang-kadang di saat tidak
bisa pulang, sering tidur seperti ini, dan juga cara tidurnya, hampir
sama persis dengan Orang ini!
Tanpa sadar Sun Cui-giok jadi tertegun, di dalam hati diam-diam
berkata: "Sepuluh tahun, sepuluh tahun, apakah kejadian ajaib bisa
benar-benar terjadi?"
Melihat Cui-giok memandang cara tidur tamu anehnya sampai
bengong, di dalam hati Koan-beng merasa tidak enak, pelan
berkata: "Adik Giok, mari kau pulang dan istirahat!"
Hati Sun Cui-giok tergerak, diam-diam berpikir:
'Di tempat ini dia menunjukan perbuatan begini, tidak heran jadi
menimbulkan rasa curiga Ho Koan-beng, mengenai apakah orang ini
adalah Sen Sin-hiong atau bukan, dia harus pelan-pelan menyelidikinya.'
Maka dia menyahut sekali, diam seribu bahasa lalu berjalan
kembali ke kamarnya.
Perasaan Ho Koan-beng pun terasa bertumpuk tumpuk, dia
berpikir-pikir lagi, di dalam hatinya, meneguhkan sebuah pikiran,
yaitu malam ini orang yang diam-diam menolongnya, pasti bukan
anak muda pemetik kecapi ini.
Ho Koan-beng pun kembali lagi ke kamarnya, kejadian yang
terjadi malam ini, sungguh terlalu ajaib, otaknya berputar-putar,
membuat dia lama tidak bisa tidur, ketika di ufuk timur mulai
memutih, dia baru bisa tidur.
Dia tidur tidak lama, seperti terbangunkan oleh suara tebangan
pohon, di dalam hati dia merasa heran, buru-buru dia memakai baju
bangkit berdiri, berjalan keluar pintu melihat, tampak anak muda
pemetik kecapi yang kemarin malam menginap, sepasang
tangannya sedang memegang kapak, di sisi gunung sedang
menebang satu pohon yang besarnya sampai pelukan tiga orang
dewasa. Ho Koan-beng tertegun, di dalam hati berpikir, sedang apa dia"
Anak muda pemetik kecapi itu tanpa bersuara menebang pohon
besar itu, "Kraak kraak!" suaranya terdengar sampai jauh sekali, dan
akhirnya membangunkan Cui-giok juga. Dia keluar pintu, begitu
melihat hatinya terasa jatuh ke bawah, hampir saja dia berteriak!
Dia ingat dengan jelas, suatu malam ketika hujan salju, ayahnya
menyuruh Sin-hiong menebang pohon besar ini, tidak diduga
setelah lewat sepuluh tahun dia masih tidak melupakan hal ini, dan
sengaja datang kemari menyelesaikan keinginannya.
Tapi, ketika dia melihat dan melihat lagi, dia merasa penampilan
orang ini sedikitpun tidak mirip, jangan kata bayangan belakang dan
bentuk tubuhnya, wajahnya Sen Sin-hiong bagaimana pun tidak
akan kuning kering seperti ini"
Tapi tidak peduli dia mirip atau tidak, di dalam hati Sun Cui-giok
pun sangat emosi, tidak tahan berkata:
"Haai..., sudah sepuluh tahun, pohon besar ini sudah tumbuh
lebih besar lagi!"
Anak muda pemetik kecapi itu menebang pohon sambil
menundukan kepala, kapak naik ke atas dan turun ke bawah,
gerakannya sangat mahir, siapa-pun yang melihat langsung tahu dia
adalah ahlinya.
Mendadak Ho Koan-beng teringat satu hal, tidak tahan bersuara
"Iiih!" lalu bertanya:
"Adik Giok, dimana Gouw-in?"
"Bukankah kemarin malam dia masih ada" Jika dia meninggalkan
tempat ini, mungkin nyawanya tidak terlindung?"
Ho Koan-beng memandang sekali: "Kita tidak perlu pedulikan dia
lagi, walaupun dia akan mati, itu pun urusannya!"
Memang dalam dunia persilatan sekarang, persaingan di antara
berbagai perguruan sangat keras, masing-masing perguruan
menyebut dirinya aliran lurus, Siau-lim tidak tunduk pada Bu-tong,
Bu-tong pun tidak tunduk pada Siau-lim, Hoa-san, Go-bi, Kun-lun
dan Tiang-pek pun sama saja, maka ketika kemarin malam Gouw-in
berkata ingin bersama-sama melawan
Giok-siau-long-kun, wajah Ho Koan-beng segera tampak sinis.
Ketika kedua orang itu berbicara, mendadak kapak anak muda
pemetik kecapi itu sudah berhenti menebang, sambil
menggelengkan kepala berkata:
"Pohon ini besar sekali, mungkin memerlukan dua hari baru
dapat menumbangkannya!"
Setelah berkata, dia bersiul nyaring melesat ke langit, siulannya
belum berhenti, dari kejauhan sudah tampak satu bayangan merah
melesat datang dengan cepatnya.
Begitu dia menaruh kapaknya, bayangan merah itu sudah
mendekat, ternyata itu adalah kuda merah yang ditungganginya
kemarin malam, terlihat dia dengan pelan meloncat naik, dan
tubuhnya sudah berada di atas kuda.
Ho Koan-beng jadi tergetar, sekarang dia sudah sadar, dari siulan
panjangnya anak muda pemetik kecapi tadi, nadanya sangat
nyaring, jika tidak memiliki tenaga dalam latihan puluhan tahun,
mana mungkin dia bisa melakukannya"
Dia berpikir-pikir, saat ini sepertinya samar-samar dia tahu, orang
ini mungkin ada hubungannya dengan orang yang diam-diam
menolongnya kemarin malam, ketika melihat dia naik ke atas kuda,
dia mengira akan pergi, maka buru-buru dia berlari ke depan, sambil
berteriak: "Saudara tunggu sebentar, aku ingin bicara!"
Anak muda pemetik kecapi memandang dia sekali, tanyanya:
"Tidak tahu Ho-tayhiap ada perlu apa?"
Wajah Ho Koan-beng tampak sinar berterima kasih, berkata:
"Aku ada mata tapi tidak bisa melihat, kemarin malam telah
berlaku kurang sopan, mohon anda tinggal lagi beberapa hari disini,
bagaimana?"
Nada bicaranya, laksana seorang tuan rumah saja, di atas wajah
anak muda pemetik kecapi yang kuning itu, mendadak terkilas satu
sinar aneh, berkata:
"Walaupun aku tidak berkata pada Ho-tayhiap, tapi aku hanya
bisa tinggal satu malam di rumah ini."
Berkata sampai disini, mendadak dia merubah nada bicaranya,
dengan pelan dan dalam berkata:
"Mengenai pohon besar itu" Aku sangat membencinya, maka aku
harus menebangnya, jika anda suami istri tidak keberatan, setengah
bulan kemudian aku pasti kembali menyelesaikannya."
Perkataannya sedikit tidak menyambung, tapi sebenarnya ada
maksud tertentu, dia memandang mereka berdua suami istri,
apakah karena terpengaruh oleh Giok-siau-long-kun, itu tidak jelas.
Ho Koan-beng merasa kesulitan, berkata:
"Apakah saudara benar-benar tidak bisa tinggal disini satu dua
hari saja?"
Anak muda pemetik kecapi mengangkat kepala melihat langit,
matahari pagi baru saja terbit, dalam hati berpikir:
'Sepuluh tahun lalu, di tempat ini, di waktu ini, saatnya aku
bekerja,' sorot matanya melihat ke sisi gunung dengan sorot penuh
kerinduan, tapi tidak menjawab apa yang ditanyakan Ho Koan-beng
tadi. Perilakunya yang sedikit aneh ini, tidak bisa mengelabui mata
Sun Cui-giok, setelah mendengar kata-katanya, tidak tahan dia
menjadi sedih sekali, dia menundukkan kepalanya,, kejadian masa
lalu laksana lampu berputar-putar di depan matanya, jika benar
orang yang di depan mata ini adalah Sen Sin-hiong, kata-kata ini
pasti ada maksud tertentu.
Anak muda pemetik kecapi pelan-pelan menggerakkan kudanya,
berjalan lewat di depan Cui-giok dan Ho Koan-beng, Ho Koan-beng
jadi tambah gelisah, katanya lagi:
"Walaupun saudara harus pergi, juga harus makan dulu."
Habis berkata, dia memegang rambut kuda (kudanya belum
memakai pelana), kegelisahannya tampak jelas sekali.
Kenapa Ho Koan-beng memaksa dia untuk tinggal terus, masalah
ini hanya dia sendiri yang tahu.
Memang, Giok-siau-long-kun kemarin malam sudah datang, dan
tidak beruntung mengalami kegagalan hingga pulang kembali, Ho
Koan-beng tahu dia pasti akan kembali lagi dengan membawa
gurunya Ang-hoa-kui-bo (Iblis bunga merah) yang julukannya
sangat menakutkan di dunia persilatan, Ho Koan-beng bukan lawan
Sang-toh, gurunya walaupun dapat menghadapi Ang-hoa-kui-bo,
tapi siapa yang bisa menghadapi Sang-toh" Hal inilah yang
membuat dia sangat gelisah.
Anak muda pemetik kecapi menggelengkan kepala dengan suara
mengeluh berkata: "Haay..., aku harus pergi!"
Sun Cui-giok melihat dia bersikeras mau pergi, dengan gelisah
sekali, teriaknya:
"Bagaimana kau boleh pergi! Kau tidak boleh pergi!"
Suaranya penuh dengan nada memohon, membuat wajah anak
muda pemetik kecapi menjadi serius, dia menatapnya dengan sorot
mata bengong, dalam hatinya timbul sebuah pikiran yang sulit
dikatakan, mendadak membalikan kudanya, berjalan kembali ke sisi
gunung. Setelah tiba di sisi gunung, terlihat dia menepak kudanya, pelan
berkata: "Merah, kita tinggal beberapa hari lagi." Habis berkata, dia
meloncat turun dari atas kuda, mengambil kapak yang ada di sisi
pohon besar, kembali menebang pohon itu.
Tindakan dia walaupun aneh, tapi Ho Koan-beng tahu dia telah
meluluskan untuk tinggal, tentu saja dalam hatinya sangat gembira.
Pikiran Cui-giok lain lagi, dia tahu setiap tindakannya
mengandung makna, mungkin semua ini mengandung kekesalan,
tapi setelah dipikir, dia merasa ada sedikit tidak benar, jika dia
datang dengan hati benci, kemarin malam dia tidak akan menolong.
Dua orang ini sekarang sudah berani memastikan kemarin malam
yang menolong mereka adalah dia, walau mereka tidak ada bukti,
juga tidak melihat dengan mata kepala sendiri, tapi selain dia ada
siapa lagi"
Ho Koan-beng seperti terlepas dari beban berat, pelan-pelan
membalikan tubuh, berkata:
"Adik Giok, sifatnya aneh, mungkin sejak kecil sudah
mendapatkan pukulan, sekarang siapkanlah makan siang."
Pikiran Sun Cui-giok pun tidak menentu, tapi dia tidak enak
memperlihatkan di hadapan Ho Koan-beng, terpaksa menyahut
sekali, lalu berjalan kembali ke dalam rumah.
Ho Koan-beng memandang bayangan belakangnya, di dalam hati
timbul banyak pikiran, pada saat ini, dari kejauhan terdengar suara
panjang ringkikan kuda, di dalam gumpalan debu, samar-samar
terlihat seekor kuda berlari.
Ho Koan-beng sangat gembira, buru-buru dia menyambutnya,
teriaknya: "Guru, guru, anda sudah datang!"
Kuda yang datang larinya cepat sekali, tidak lama kemudian
sudah bisa dilihat dengan jelas penunggangnya.
Orang ini adalah seorang tua, dengan janggut perak melayanglayang
di depan dadanya, wajahnya merah memakai baju warna
biru ungu, dialah ketua Hoa-san-pai Tui-hong-tayhiap, Cia Thian-cu.
Cia Thian-cu turun dari kudanya, begitu melihat ke atas, belum
sempat bertanya, mendadak dia bersuara keheranan:
"Apa itu?"
Baru saja Ho Koan-beng akan membungkuk menghormat,
mendengar perkataan gurunya, dia ikut melihat ke arah yang yang
dilihat gurunya, terlihat di atas sebelah kanan pintu, entah ditulis
oleh siapa, ada empat huruf di tulis menggunakan darah segar
"bunuh semua", di kedua sisi empat huruf itu, digambar sebatang
seruling dan sebuah tongkat besi, menakutkan siapa pun yang
melihatnya. Ho Koan-beng tidak tahan lagi dengan terkejut berkata:
"Kenapa kami tadi tidak melihatnya?"
Pintu itu tidak tinggi, tadinya dia ingin meloncat ke atas
menghapusnya, tapi tidak ada tempat untuk bisa menahan tubuh,
maka dia cuma melihat-lihat, lalu diam tidak bicara lagi.
Mata Tui-hong-tayhiap Cia Thian-cu menyapu, mendadak terlihat
anak muda pemetik kecapi sedang menebang pohon besar,
tanyanya: "Anak Beng, siapa dia?"
Tidak percuma Cia Thian-cu menjabat sebagai seorang ketua
perguruan besar, penglihatannya sangat teliti, malah seorang yang
tidak mencolok mata pun bisa menjadi perhatiannya.
Ho Koan-beng berkata:
"Orang ini kemarin malam datang kesini untuk menumpang
menginap, sifat dia sedikit aneh."
Perkataannya pelan sekali, habis berkata, dia lalu menceritakan
kejadian yang terjadi kemarin malam.
Ciang-bun-jin Hoa-san-pai berpikir sejenak, berkata:
Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Yang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Koan-beng, cepat lihat ke dalam rumah."
Baru saja dia berkata, mendadak terlihat Cui-giok dengan tergesa
gesa berlari keluar berteriak:
"Koan-beng, cepat kemari dan lihat."
Begitu melihat Cia Thian-cu sedang berdiri di sisi Ho Koan-beng
wajahnya berubah menjadi serius:
"Cia Lo-cianpwee, anda datang tepat sekali, di belakang terjadi
kekacauan lagi."
Ciang-bun-jin Hoa-san-pai tidak menjawab, sambil mengambil
nafas, langsung masuk ke dalam rumah.
Ho Koan-beng melihat wajah Sun Cui-giok yang tergesa-gesa,
tidak tahan bertanya:
"Adik Giok, sebenarnya apa yang terjadi?"
Cui-giok meredakan nafasnya sejenak, baru berkata:
"Di pekarangan belakang kita, dilempari beberapa ekor mayat
anjing dan babi, di atasnya juga ada empat huruf "Bunuh semua",
kau pikir ini serem tidak?"
Ho Koan-beng diam-diam menarik nafas, di dalam hati berkata:
Disini selain kemarin malam pernah di datangi Sang-toh, hanya
ada anak muda pemetik kecapi itu. Tapi Sang-toh tidak lama berada
disini, apakah hal inipun dilakukan oleh tamu aneh itu?"
Berpikir sampai disini, matanya memandang ke arah sana,
terlihat anak muda pemetik kecapi masih menebang pohon besar
itu, saat kapaknya membacok, terdengar suara nyaring "Kraak!",
tadinya suara ini tidak dirasakan apa-apa, sekarang begitu
mendengar, malah perasaannya seperti ada yang menusuk.
Sin-kiam-jiu Ho Koan-beng tertegun sejenak, lalu berkata pada
Sun Cui-giok: "Kau awasi orang yang menebang pohon itu, biar aku masuk ke
dalam melihatnya."
Dia langsung berlari masuk.
Siapa sangka, baru saja dia melangkah masuk ke dalam pintu, di
depan ada orang berlari keluar, dalam keadaan terkejut hampir saja
Ho Koan-beng menabraknya, orang itu berkata:
"Anak Beng, kenapa kau tergesa-gesa seperti ini?"
Wajah Ho Koan-beng menjadi merah, dengan gagap berkata:
"Guru, menurut pandanganku, hal ini pasti ada apa-apanya."
Tui-hong-tayhiap Cia Thian-cu melihat Ho Koan-beng yang
tergesa gesa, di dalam hatinya merasa tidak senang, sambil tertawa
dingin dia berkata:
"Walaupun ada masalah sebesar langit, masih ada guru disini
yang akan mengatasinya!"
Ho Koan-beng tahu dirinya salah bicara, dia bum-buru mundur ke
samping, menyahut "Ya!" lalu menahan nafas tidak berani bicara
lagi. Ciang-bun-jin Hoa-san-pai melangkah keluar pintu, melihat anak
muda penebang pohon itu masih terus bekerja, tidak terasa dia
mengerutkan alisnya, walaupun pengalaman dunia persilatannya
sudah banyak, diapun diam-diam merasa keheranan.
Ho Koan-beng mengikutinya melangkah keluar, melihat Cui-giok
bengong berdiri disana, dia berkata:
"Adik Giok, hari sudah siang, kau siapkan saja makanan, urusan
disini biar guruku yang mengurus-nya."
Sun Cui-giok seperti terkena hipnotis, dia menyahut, tapi
tubuhnya tidak bergerak sedikitpun.
Ho Koan-beng merasa heran, di dalam hatinya berpikir, entah
kenapa dia hari ini, saat itu dia berkata lagi:
"Adik Giok, kau kenapa?"
Sun Cui-giok kembali menyahut, tapi tubuh-nya tetap tidak
bergerak. Hati Sin-kiam-jiu semakin tidak enak!
Buru-buru Ho Koan-beng berlari kesisi Sun Cui-giok, melihat dia
bengong mengawasi anak muda pemetik kecapi itu, dalam hatinya
kembali timbul perasaan lain, dia memaksa menelan kembali katakata
yang mau diucapkannya.
Sun Cui-giok terus menatapnya, sekarang, dia seperti sudah tidak
curiga lagi. Dia sudah memastikan orang ini pasti Sen Sin-hiong, sebab
ketika Sin-hiong masih kecil, dia menebang pohon, biasa
menggunakan tangan kiri, sekarang dia bisa melihat anak muda
pemetik kecapi inipun menggunakan tangan kiri, sehingga dia jadi
terbengong, lupa akan hal lainnya.
Situasi yang ada di depan mata sekarang walaupun sangat
tegang, tapi melihat keadaannya, mendadak di hati Ho Koan-beng
timbul perasaan kesepian, dia diam seribu bahasa lalu bergeser ke
samping guninya.
Ciang-bun-jin Hoa-san-pai melihat sejenak, lalu berkata seram:
"Orang yang melakukan ini sungguh kejam sekali, Hmm...
mereka harus dibasmi semua!"
Perkataannya jika dikatakan oleh orang lain, masih tidak apa-apa,
tapi justru dikatakan oleh seorang jago silat kelas wahid dunia
persilatan, Ho Koan-beng yang mendengar merasa alas kakinya
menjadi dingin, terus merambat sampai ke atas punggung,
kejadian yang begitu tiba-tiba, sampai etika antara guru dan murid
pun tidak dipedulikan.
Pada saat ini, mendadak anak muda pemetik kecapi mengelap
keringat di keningnya, lalu berkata sendiri:
"Haai, masih setengah lebih, mungkin hari ini tidak bisa selesai."
Setelah berkata, dia mengangkat kepala melihat ke langit,
matahari sudah tinggi sekali, pelan-pelan dia berjalan mendatangi.
Tiga orang yang berdiri disana, masing-masing mempunyai
pikiran yang berbeda, tapi berpikir keras dalam waktu yang
bersamaan. Walaupun Ciang-bun-jin Hoa-san-pai seorang tetua yang sangat
dihormati, tapi melihat kejadian yang terjadi di depan matanya,
begitu sadis juga misterius, saat dia berdiri di luar pintu,
keadaannya seperti berbeda sekali.
Dalam harinya diam-diam dia merasa heran, tapi tidak tahu apa
sebabnya. Sun Cui-giok melihat anak muda pemetik kecapi pelan-pelan
berjalan mendatangi, rupanya persis seperti Sin-hiong yang sepuluh
tahun lalu, tanpa sadar dia berteriak:
"Sin-hiong, sudah waktunya makan!"
Wajah anak muda pemetik kecapi tampak terkejut, dia melihat
sekali pada Sun Cui-giok, lalu menundukan kepala meneruskan
jalannya. Sikap kedua orang yang penuh rahasia ini, terlihat oleh mata Ho
Koan-beng, hatinya merasa tidak enak, dia berpikir:
'Gurunya ada disini, tapi dia sekali pun tidak menyapanya,
terhadap orang yang penuh misterius ini dia malah berkata begitu
mesranya, sebenarnya apa penyebabnya"'
Ho Koan-beng menarik Sun Cui-giok, tanyanya:
"Adik Giok, apakah nasinya sudah siap?"
Tiba-tiba Sun Cui-giok tergetar, dia seperti terbangun dari mimpi,
wajahnya menjadi merah: "Hampir siap!"
Setelah berkata begitu, dia baru membalikan tubuhnya berjalan
ke dalam rumah.
Ho Koan-beng mendengus, hatinya merasa tidak enak, sikapnya
semakin nyata di wajahnya.
Entah Ciang-bun-jin Hoa-san-pai sedang memikirkan apa"
Terhadap sikap muridnya dia pun seperti tidak menaruh perhatian,
setelah berjalan-jalan di luar pintu sejenak, dia berkata:
"Anak Beng, kita bicara di dalam."
Dia lalu menarik tangan Ho Koan-beng, berjalan masuk ke dalam
rumah. Ketika tiga orang itu sudah masuk ke dalam rumah, anak muda
pemetik kecapi itu baru melangkah ke depan pintu, dia mengangkat
kepalanya melihat ke atas, terlihat di atas pintu ditulis beberapa
huruf "Bunuh semua", wajahnya tampak tersenyum sinis. Sesudah
itu baru melangkah masuk.
Tiba di dalam ruangan, Ciang-bun-jin Hoa-san-pai sedang
berbincang-bincang dengan Ho Koan-beng dia malah berjalan
mengelilingi ruangan, memegang-megang ini, melihat-lihat itu,
terhadap segala sesuatu yang ada disana, seperti sangat hafal
sekali, tapi pun seperti sangat asing.
Tidak lama kemudian, Cui-giok sudah menyiapkan makanan di
atas meja, anak muda pemetik kecapi malah tanpa sungkan lagi
langsung duduk di atas kursi besar di tengah, tampil sebagai tamu
agung. Ho Loan-beng dan Cui-giok menjadi tertegun. Seharusnya dia
sadar di antara empat orang di dalam ruangan ini, tidak peduli usia
atau kedudukannya, seharusnya Ciang-bun-jin Hoa-san-pai, Cia
Thian-cu yang duduk di kursi itu, tidak diduga dia malah duduk
disana, bagaimana kejadian ini tidak membuat mereka terkejut.
Sun Cui-giok dengan keheranan melihat dia sekali, tapi dia malah
berlagak seperti seorang angkatan saja, sekali pun tidak
memandang kepada ke tiga orang itu.
Walaupun kesabaran Ciang-bun-jin Hoa-san-pai sudah sangat
terlatih, tapi melihat keadaan yang terjadi, wajahnya terlihat
menjadi sedikit marah.
Tapi aneh, walaupun nasi dan masakan sudah tersedia, dia
sedikit pun tidak bergerak, menunggu setelah Tui-hong-tayhiap Cia
Thian-cu dan Sin-kiam-jiu Ho Koan-beng duduk dan mengambil
sumpit, dia baru mengikutinya mengambil sumpit.
Ketika tiga orang itu tidak mengambil masakan atau nasi, diapun
tidak bergerak, Ho Koan-beng yang melihat, kembali hatinya merasa
keheranan. Jika dikatakan dia tidak tahu sopan santun! Kelihatannya tidak
begitu" Jika dikatakan dia mengerti sopan santun, kenyataannya dia
tidak tahu sopan, sebabnya dia duduk dikursi itu, karena Ho Koanbeng
dan Sun Cui-giok berdua bersikeras menahannya, kedua orang
itu jadi tidak enak menyuruh dia berganti tempat, karena mereka
berdua tidak mengatakannya, Tui-hong-tayhiap pun dengan
kedudukan sebagai ketua satu perguruan besar, lebih tidak enak
meribut-kan masalah kecil seperti ini.
Keadaan menjadi canggung sekali, hanya dia seorang diri yang
tidak mempedulikannya, Tui-hong-tayhiap melihat dipihaknya sudah
memegang sumpit, saling pandang dan tidak bergerak, tidak tahan
dia bersuara "Hemm!" lalu bertanya:
"Anak Beng, apa masih ada tamu lagi?"
Hati Ho Koan-beng menjadi gelisah, dia mengira gurunya
menyalahkan dia tidak seharusnya mengundang tamu yang tidak
tahu sopan santun ini, saat itu dengan cemas dia menjawab:
"Benar, aku tidak akan mengundang tamu lagi!"
Dengan sorot mata dingin Ciang-bun-jin Hoa-san-pai melihatnya,
dalam hatinya berpikir:
'Koan-beng biasanya pintar, kenapa hari ini bicaranya selalu tidak
nyambung.' Hatinya merasa kesal lalu berkata:
"Aku tanya apa masih ada orang tidak, jika tidak ada kita boleh
mulai makan."
Ho Koan-beng melihat mereka berempat hanya memegang
sumpit tapi tidak bergerak, baru dia sadar, dengan gagap berkata:
"Tidak ada, tidak ada!"
Ciang-bun-jin Hoa-san-pai melihat muka muridnya yang seperti
kebingungan, kembali dia bersuara "Hemm!" baru menggerakan
sumpit mulai makan nasi.
Sarapan ini, sungguh terasa sangat canggung, terlihat Ho Koanbeng
banyak pikiran, di dalam hati dia berpikir:
"Tadi aku mengundang orang ini tinggal disini, berharap dia
malam hari nanti bisa menghadapi Sang-toh, siapa tahu di hadapan
guruku, dia malah membuat kelakar yang begitu besarnya."
Dia berpikir lagi:
'Jika orang ini saat ini ingin pergi, aku malah akan memberi dia
ongkos perjalanan, jika nanti makan malam masih begini,
kesalahanku akan semakin besar.'
Ketika sedang berpikir, mendadak dari kejauhan terdengar derap
kuda berlari, Ho Koan-beng terkejut, cepat-cepat berkata:
"Guru, silahkan duduk sebentar, biar murid keluar melihat siapa
yang datang!"
Habis bicara, dia bangkit berdiri, berlari keluar.
Begitu Ho Koan-beng keluar pintu. Kuda yang datang itu sudah
tiba di depan ramah, begitu melihat, dia merasa orang yang datang
terasa asing sekali, tapi orang itu sudah meloncat turun dari
kudanya, dengan wajah tegang bertanya:
"Aku Ci-hoat-kui (Setan rambut merah) Cin Kao, mohon tanya
apakah disini ada Ho-tayhiap?"
Ho Koan-beng jadi tergetar, nama besar Ci-hoat-kui dia
sepertinya hafal, saat itu dia berkata:
"Aku Ho Koan-beng, anda menanyakan diriku entah ada
keperluan apa?"
Mendengar ini mendadak Ci-hoat-kui Cin Kao bersujud di atas
tanah, dengan suara gemetar berkata:
"Ho-tayhiap tolong nyawaku!"
Ho Koan-beng icx kejut, teriaknya:
"Anda ada masalah apa" Silahkan berdiri dan bicara."
Wajah Ci-hoat-kui penuh dengan kesusahan dan kesedihan, dia
tetap bersujud, tidak mau berdiri:
"Tayhiap, terimalah permohonan jiwa anjingku, baru hamba
berani berdiri dan menceritakannya."
Dia malah sampai merubah sebutan dirinya, Ho Koan-beng yang
mendengar, jadi semakin terkejut, semua orang tahu Cin Kao bukan
orang biasa, dalam hati Ho Koan-beng pun tahu benar, di daerah
Ho-pak di kelompok aliran hitam, Ci-hoat-kui adalah penjahat yang
sangat ternama, hari ini tanpa sebab yang jelas dia datang kemari
mencari dirinya, entah ada masalah besar apa"
Tapi jika sekarang dia tidak menyanggupinya, kelihatannya Cihoatkui akan terus berlutut di tanah, dan tidak mau berdiri, maka
dengan menghela nafas panjang dan tidak bisa berbuat apa-apa dia
berkata: "Baiklah, aku menyanggupi."
Ci-hoat-kui bersujud lagi beberapa kali, baru bangkit berdiri
katanya: "Beberapa hari yang lalu, di jalan raya Koan-lok hamba bertemu
dengan Ang-hoa-kui-bo dan murid nya, hamba di siksa oleh mereka,
ingin melawan tidak mampu melawannya, tadinya ingin bunuh diri
saja, siapa sangka dua iblis ini tidak membiarkan hamba mati."
Mendengar ini Sin-kiam-jiu Ho Koan-beng menghela nafas dingin:
'Ingin mati pun tidak bisa, mereka berdua sekarang ini malah
akan menyerangku, apa gunanya kau minta tolong padaku/
Tapi Ho Koan-beng tetap bertanya:
"Kenapa dia tidak membiarkan kau mati?"
Cin Kao batuk sekali, melanjutkan:
"Dia berkata, kau bisa tidak mati, hanya ada satu orang yang
bisa menyanggupi menolongmu."
Ho Koan-beng semakin mendengar semakin heran, tanyanya:
"Tapi siapa orang itu?"
Di dalam hatinya sekarang, asalkan ada orang bisa dimintai
pertolongan, dia sendiri malah ingin pergi meminta pertolongannya.
Ci-hoat-kui dengan wajah sedih berkata: "Orang ini adalah kau
Ho-tayhiap, semut saja ingin hidup, makanya hamba jauh-jauh
Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Yang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
datang kemari, minta pertolongan Ho-tayhiap, menyelamatkan
nyawa hamba."
Begitu mengucapkan ini, hati Ho Koan-beng terasa seperti
hancur, matanya menjadi bingung, dalam hati berpikir:
'Mereka melakukan ini, supaya dia melepaskan Cui-giok?"
Ketika Ho Koan-beng tidak tahu harus berbuat bagaimana, Ciangbunjin
Hoa-san-pai dan Sun Cui-giok sudah berjalan keluar.
Ci-hoat-kui mengenal Tui-hong-tayhiap Cia Thian-cu, begitu
melihatnya buru-buru dia bersujud kembali:
"Baik sekali, ternyata Cia-cianpwee ada disini, tolonglah nyawa
anjing hamba ini."
Ciang-bun-jin Hoa-san-pai mengerutkan alisnya: "Koan-beng, apa
sebenarnya yang terjadi?"
Ho Koan-beng tidak mempedulikan gurunya yang ada di
samping, setelah mengeluh panjang, lalu menceritakan maksud
kedatangannya Ci-hoat-kui.
Setelah mendengar ini, Ciang-bun-jin Hoa-san-pai dengan kesal
berkata: "Iblis itu sungguh keterlaluan."
Walaupun berkata begitu, dia tetap khawatir, jika Ang-hoa-kui-bo
dengan muridnya, malam ini benar benar datang kemari, melihat
kekuatan mereka sekarang, yang benar-benar mampu melawannya,
mungkin tidak sampai setengahnya.
Dia melihat cuaca, sekarang sudah tengah hari, dalam hati
berpikir: 'Sekarang waktunya masih lama, kenapa aku tidak pergi ke
sekitar ini untuk menyelidikinya"
Berpikir sampai disini, maka dia berkata pada Ho Koan-beng:
"Anak Beng, bawa dia masuk ke dalam, aku ingin berkeliling dulu
untuk menyelidikinya!"
Habis berkata, dia langsung pergi.
Ho Koan-beng terpaksa menarik bangun Ci-hoat-kui, bersamasama
Cui-giok membawanya masuk ke dalam.
Kembali ke dalam ruangan besar, anak muda pemetik kecapi itu
sudah tidak ada di tempatnya, entah pergi kemana, Ho Koan-beng
bertanya: "Adik Giok, kemana orang itu?"
Sun Cui-giok mengerutkan alisnya:
"Dari tadi dia sudah kembali ke mang penyimpanan kayu bakar
untuk istirahat."
Ho Koan-beng tidak melanjutkan pertanyaan-nya, dalam hati
terpikir masalahnya yang semakin tegang, kelihatan, demi masalah
ini Ang-hoa-kui-bo tidak akan segan-segannya mengerahkan seluruh
kekuatannya, dia sendiri walaupun di bantu gurunya mungkin akan
kalah juga. Tiga orang yang duduk di ruangan besar tidak bisa berbuat apaapa,
dalam keadaan tidak ada pekerjaan, seorang diri Ho Koan-beng
berjalan menuju ke gerbang.
Bolak-balik berjalan, dia tidak tahu malam ini harus bagaimana
mengatasinya. Pikir punya pikir, sorot matanya tidak sengaja melihat ke atas,
mendadak dia melihat empat huruf merah darah itu entah sejak
kapan sudah dihapus seseorang, di sisi gambar seruling dan tongkat
besi, sudah ditambah sebuah gambar yang mirip kail tapi bukan kail,
seperti pedang tapi juga bukan pedang, melihat ini Ho Koan-beng
jadi terkejut sekali.
Dia selangkah pun tidak pernah keluar dari ruangan ini, beberapa
huruf yang tidak enak dipandang di atas pintu itu, dengan
tenangnya telah dihapus dan ditambah gambar senjata aneh itu
oleh seseorang, tapi dia malah sedikit pun tidak tahu, kalau begitu,
ilmu silat orang ini sungguh sudah sampai tingkat yang
mengejutkan. Waktu pelan-pelan berlalu, Ho Koan-beng tidak sadar sudah
berdiri bengong di depan pintu itu entah sudah berapa lama,
mendadak ada orang menyentuh dirinya, dia jadi terkejut,
tangannya langsung dibalikkan menghantam ke belakang.
Orang yang ada di belakang tubuhnya menghela nafas panjang
berkata: "Koan-beng, dalam waktu semalam kenapa kau bisa berubah jadi
seperti ini?"
Ternyata suara ini adalah suara gurunya Tui-hong-tayhiap Cia
Thian-cu, wajah Ho Koan-beng menjadi merah, dia menggelengkan
kepala: "Guru kau lihat di atas sana!"
Ciang-bun-jin Hoa-san-pai melihat ke atas, dengan terkejut
berkata: "Kenapa bisa dia?"
Melihat wajah gurunya mendadak berubah hebat, di dalam hati
Ho Koan-beng semakin tegang, buru-buru dia bertanya:
"Guru, siapa yang anda katakan itu?"
Tui-hong-tayhiap menundukan kepala, berguman:
"Kim-kau-kiam (Pedang kail emas), Kim-kau-kiam, haay! Apakah
setan tua yang ganas dan tidak tahu aturan ini masih belum mati?"
Di dalam otaknya sekilas teibayang bayangan seseorang, saat itu
sembilan ketua perguruan besar di dunia persilatan bersama-sama
menyerang dia seorang diri, walaupun telah menbuat cacat satu
kaki kanannya, tapi sembilan ketua perguruan pun terluka hampir
dua pertiganya, jika orang ini benar-benar datang kemari, masalah
malam ini akan menjadi lebih sulit lagi.
Ho Koan-beng tidak berani bertanya lagi, hatinya terasa
meloncat-loncat. Matahari semakin terbenam ke barat, hati dia pun
ikut terbenam, malam ini apakah akan selamat atau tidak, dia tidak
lagi berani memikirkannya.
Ciang-bun-jin Hoa-san-pai menghela nafas:
"Masalah sudah di depan mata, gelisah pun tidak ada gunanya,
apa yang dikatakan 'perahu sampai di jembatan akan lurus dengan
sendirinya," kita hanya bisa serahkan nasib pada langit saja."
Ho Koan-beng tidak bisa berkata apa lagi, Dia hanya bisa
bengong memandang gurunya.
Matahari terbenam diufuk barat, angin malam meniup sepoisepoi,
mengikuti hembusan angin terdengar suara "Kraak kraak!",
Ho Koan-beng melihat, terlihat anak muda pemetik kecapi itu
dengan kapaknya sedang mengampak pohon itu lagi, tidak tahan
hatinya tergerak, dalam hati berkata:
'Asal usul orang ini aneh sekali, apakah semua ini dia yang
melakukannya"'
Anak muda pemetik kecapi itu mengampak sebentar, melihat hari
sudah gelap, sambil menenteng kapak terbalik berjalan menuju ke
dalam rumah. Dia berjalan lewat di depan Ho Koan-beng dan gurunya, tanpa
melirik sedikitpun, langsung berjalan menuju kamarnya.
Melihat bayangan punggung orang ini, Ciang-bun-jin Hoa-san-pai
bertanya: "Anak Beng, apa marganya?"
Ho Koan-beng menggelengkan kepala, dia lalu menceritakan
kembali kejadian kemarin malam, ketika dia minta menumpang
menginap di rumah, dalam hati Ciang-bun-jin Hoa-san-pai pun
timbul curiga, tapi karena dia tidak melihat dengan mata kepala
sendiri, maka walaupun di dalam hatinya ada beberapa perkiraan,
tapi tetap saja tidak bisa percaya penuh.
Malam kembali menyelimuti bumi, di lapangan liar hening tidak
ada suara, Sun Cui-giok keluar dari dalam rumah, berteriak:
"Makan!"
Hati Guru dan murid terasa sangat berat, terhadap makan malam
ini, sedikit pun tidak ada selera, Ho Koan-beng dengan tawar
menjawab: "Kalian makanlah dulu!"
Sun Cui-giok dengan terkejut sekali melihatnya, seperti sudah
tahu, mereka berdua guru dan murid sedang memikirkan cara
menghadapi masalah malam ini, saat itu dia tidak banyak bertanya
lagi kembali masuk lagi ke dalam.
Dalam hati Ciang-bun-jin Hoa-san-pai timbul banyak kecurigaan,
begitu juga dalam hati Ho Koan-beng banyak persoalan yang
mengganggu, kedua orang ini terus berpikir-pikir, keduanya tidak
tahu bagaimana bisa timbul masalah-masalah yang aneh ini,
terpaksa dengan pikiran kosong kembali masuk ke dalam rumah.
Di dalam ruangan besar, termasuk Ci-hoat-kui, semua ada empat
orang, Tui-hong-tayhiap sudah mengatur, menjadikan Sun Cui-giok
dan Ho Koan-beng satu kelompok dan menyurah Ci-hoat-kui
sembunyi di dalam sudut gelap di pekarangan, dia sendiri berjalan
kesana-kemari, jika mereka menemukan hal yang mencurigakan,
maka harus bersiul sebagai isyarat, selesai mengatur demikian, Ho
Koan-beng mendadak teringat satu hal, tanyanya:
"Guru, bagaimana dengan orang itu?"
Yang dia tanyakan tentu saja anak muda pemetik kecapi, Ciangbunjin Hoa-san-pai membuka sepasang telapak tangannya,
berkata: "Biarkan saja!"
Baru saja dia berkata, tiba-tiba di luar terdengar suara ketukan
pintu yang bernada gelisah.
Empat orang yang ada di dalam rumah menjadi terkejut, dalam
hatinya berpikir, saat ini walaupun sudah malam, tapi masih terlalu
dini bagi orang yang bergerak di malam hari, bagaimana bisa ada
suara ketukan pintu"
Di saat keempat orang itu tertegun, orang di luar dengan
terburu-buru berteriak:
"Mohon tanya, apakah ini rumahnya suami istri Ho-tayhiap?"
Ho Koan-beng mendengar, suara orang ini terasa asing sekali,
saat itu tanpa berpikir panjang, dia berbisik-bisik sebentar dengan
Cui-giok, kedua orang membagi diri dari kiri dan kanan lalu
menerjang keluar.
Dua orang itu berturut-turut tiba di luar pintu, terlihat di depan
pintu berdiri satu orang, wajah orang ini terlihat sangat gelisah dan
tidak henti-hentinya melihat ke arah jauh, sepertinya takut ada yang
meng-ikutinya dari belakang.
Begitu Ho Koan-beng muncul, dia bertanya:
"Sobat, malam-malam berkunjung kemari entah ada keperluan
apa?" - Melihat ada orang keluar dari dalam rumah, dengan terburu-buru
orang itu bertanya:
"Apakah anda Ho-tayhiap?"
"Betul, akulah Ho Koan-beng."
Orang itu menjadi gembira "Bluuk!" dia ber-sujud ke atas tanah,
berteriak: "Ho-tayhiap selamatkan diriku!"
Hati Sin-kiam-jiu tergetar, tidak perlu ditanya lagi, dia sudah tahu
masalahnya, buru-buru dia ber-kata:
"Apakah Ang-hoa-kui-bo yang menyuruh kau datang kemari?"
Kali ini orang itu yang terkejut, sambil terkejut berkata:
"Betul, Ho-tayhiap bisa tahu kejadian sebelumnya, nyawa hamba
akhirnya bisa diselamatkan juga."
Ho Koan-beng tertawa pahit, lalu berkata ke belakang:
"Adik Giok, ada seorang lagi datang kemari!"
Sun Cui-giok berkelebat keluar, mendadak menusukan
pedangnya pada orang itu!
Ho Koan-beng terkejut, teriaknya: "Cui-giok, kau mau apa?"
Dia menjulurkan pedangnya, ingin menangkis, siapa tahu Cuigiok
membalikan pergelangan tangan, ujung pedangnya
ditempelkan di jalan darah Beng-bun orang itu, berkata dingin:
"Cepat katakan dengan jujur, jika ingin menipu, pedang
pusakaku tidak akan memberi ampun!"
Ho Koan-beng mendadak jadi sadar, di dalam hati berpikir saat
orang ini datang sedikit pun tidak menimbulkan suara, tiba-tiba
mengetuk pintu, hal ini sungguh mencurigakan.
Orang itu membelalakan sepasang matanya, dengan keras
berkata: "Kau ini Ho-tayhiap bukan?"
Ho Koan-beng mengangkat kepalanya:
"Siapa bilang bukan, hemm... hemm, jika kau ingin menipu, tidak
akan berhasil!"
Mendengar ini, ketegangan di wajah orang itu baru mengendur,
keluhnya: "Betullah kalau begitu, aku pun tahu Tayhiap akan curiga
padaku, haay! Kalian lihat apa ini?"
Sesudah berkata dia mengangkat kedua kaki-nya, Ho Koan-beng
dan Sun Cui-giok melihat, terlihat di telapak kakinya darah segar
menetes, ternyata dia telah menempuh jalan yang amat jauh, baru
bisa tiba disini.
Melihat ini Ho Koan-beng dan Cui-giok jadi tertegun, tanyanya:
"Anda dilukai oleh siapa?"
Buru-buru orang itu melanjutkan:
"Aku dilukai oleh Ang-hoa-kui-bo, lalu aku disuruh mencari Hotayhiap,
untuk menyelamatkan nyawaku, jika tidak......"
Ho Koan-beng setengah percaya setengah curiga dia
memandang Sun Cui-giok, lalu tanyanya:
"Mohon tanya siapa nama anda?"
"Aku adalah murid dari perguruan Tiang-pek, Sie Yong-ki, mohon
Tayhiap bisa menolongku."
Tidak lama setelah mengatakan ini, Ciang-bun-jin Hoa-san-pai
Cia Thian-cu sudah iberjalan keluar, melihat sekali pada Sie Yong-ki,
lalu berkata pada Ho Koan-beng:
"Anak Beng, bawalah dia masuk ke dalam untuk dirawat
lukanya!" Ho Koan-beng menyahut, lalu dengan Cui-giok membopong dia
masuk ke dalam, kemudian menutup pintu.
Kata Sun Cui-giok:
"Lo-cianpwee, Beng-toako, aku masuk ke dalam mengambil obat,
untuk mengobati luka orang ini."
Setelah berkata, dia lalu membalikan tubuh dengan langkah
ringan masuk ke dalam.
Di luar selain Cia Thian-cu dan muridnya, masih ada Ci-hoat-kui
Cin Kao yang bersembunyi di kegelapan dan Sie Yong-ki yang
terluka. Cia Thian-cu melihat-lihat ke sekeliling, lalu berkata:
"Anak Beng, kau dan aku berpisah mengawasi ke sekeliling, jika
ada apa-apa, segera bersiul memberi kabar."
Ho Koan-beng menyahut, lalu berjalan ke sebelah kanan,
sedangkan Ciang-bun-jin Hoa-san-pai berjalan ke sebelah kiri.
Saat itu di dalam ruangan belakang sudah ada Giok-siau-longkun
Sang-toh yang entah kapan masuk kesana, dia sedang
menunggu di dalam ruangan.
Anak muda pemetik kecapi yang berada di sudut mengawasinya,
menunggu apa yang akan dilakukannya.
Pada saat ini terdengar langkah Cui-giok yang berjalan masuk,
Giok-siau-long-kun mendengar suara itu, dia melihat pada Cui-giok
lalu mengeluarkan suara "Hemm hemm hemm.'", Sun Cui-giok
adalah seorang yang sangat teliti, mendengar di dalam ruangan ada
suara asing, dia menghentikan langkah-nya, mendadak mendengar
ada orang berkata:
"Ho-hujin, ada masalah apa hingga kau begitu gelisah! berjalan
begitu cepat, apa tidak takut terjatuh" Lebih baik pikirkan dulu
Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Yang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dirimu!" Sun Cui-giok terkejut, mendengar suara orang ini, dia mengenal
sekali itu adalah suara Giok-siau-long-kun Sang-toh, nada bicaranya
terdengar penuh dengan rasa cemburu, saat ini dia seperti binatang
yang terperangkap, tidak tahan dia membentak:
"Kau mau apa!"
Setelah berteriak, dia sadar Sang-toh masih ingin
mempermainkan dia sebelum membunuhnya, siapa sangka pada
saat ini, mendadak di belakang tubuhnya ada angin bertiup,
seseorang berkata dingin:
"Jangan melukai dia!"
Orang ini suaranya sangat pelan, Cui-giok jadi bersemangat lagi,
dia membelalakan mata melihatnya, terlihat di sisinya berdiri
seorang yang bercadar hitam, walaupun wajahnya di tutup cadar,
tapi sekali melihat Cui-giok sudah tahu dia adalah anak muda
pemetik kecapi itu.
Sepasang tangannya kosong tidak memegang apa-apa, hanya
tampak sepasang matanya yang menyorot tajam, Cui-giok merasa
kelopak matanya menjadi panas, teriaknya:
"Sin-hiong, aku tahu ini adalah kau!"
Orang yang bercadar itu tidak mempedulikan dia, dua jarinya
sudah bergerak menjepit.
Sang-toh tertawa dingin:
"Ingin bertarungi" Kenapa bercadar takut, di lihat orang!"
Seruling di tangannya segera menotok jalan darah kaku Cui-giok,
sambil membalikkan tangan menotok ke arah orang itu!
Dalam satu junis dia melakukan dua gerakan, selain menotok
jalan darah Cui-giok, masih dapat membalas serangan orang
bercadar itu, mengandalkan ilmu silat ini cukup membuat ketakutan
para pesilat tinggi dunia persilatan.
Siapa sangka orang itu tidak menghindar dan tidak bergerak,
sambil tertawa dingin malah berkata:
"Gurumu tidak datang, kau seorang diri masih kurang kuat!"
Kedua jarinya mendadak disentilkan, itulah Tan-ci-sin-tong
(Jentikan jari dewa) yang sangat terkenal di dunia persilatan, Gioksiaulong-kun hanya merasa pergelangan tangannya sedikit
tergetar, seruling di tangannya hampir saja direbut oleh lawan-nya.
Sang-toh jadi terkejut, dia sadar telah bertemu dengan lawan
tangguh, dia tertawa panjang, lalu meloncat ke atas, sekejap mata
sudah menghilang di kegelapan malam.
Ho Koan-beng yang ada diluar, melihat Cui-giok sudah pergi
cukup lama, tapi sedikit pun tidak ada kabarnya, buru-buru berjalan
keluar menengoknya, begitu melihat dia tergeletak di atas lantai,
buru-buru dia membopongnya, berteriak:
"Guru, guru......!"
Berteriak beberapa saat, baru melihat gurunya berlari masuk ke
dalam, Ho Koan-beng berkata lagi:
"Coba guru lihat, kira-kira dia terluka tidak?" Cia Thian-cu
melihatnya: "Tidak apa-apa, dia hanya ditotok jalan darah kakunya!"
segera dia menepuk, dan Cui-giok kembali menjadi sadar,
tanyanya: "Dimana orangnya?"
Ho Koan-beng diam-diam menghela nafas:
"Entah siapa yang datang" Baru saja berada di atas atap rumah,
entah bagaimana tahu-tahu sudah meloncat ke bawah, haay, kapan
adik Giok ditotok?"
Dia berturut-turut dua kali berkata 'entah', malah membuat Tuihongtayhiap bingung!
Harus diketahui saat peristiwa tadi terjadi, Ciang-bun-jin Hoasanpai sedang berada di paling belakang rumah, kejadian di depan
dia sedikit pun tidak tahu, saat itu dia bertanya:
"Hanya satu orang yang datang?"
"Murid hanya melihat satu orang!"
Lalu dia menggerakan matanya, melihat Cui-giok sudah sadar
kembali, baru merasa sedikit tenang, mendadak teringat di luar
masih ada Sie Yong-ki berdua, meskipun dia tidak peduli Sie Yongki,
berdua" Tapi sudah seharusnya dia pergi melihatnya, berkata
lagi: "Guru, kita pergi keluar rftelihat-lihat."
Tiga orang lari keluar, terlihat Sie Yong-ki seorang diri sedang
berjongkok membungkus lukanya, Giok-siau-long-kun sudah tidak
ada. Ho Koan-beng sangat kebingungan, keadaan di tempat ini dia
sangat hafal, jika Giok-siau-long-kun dalam sekejap mata bisa
menghilang, bagaimana pun dia tidak bisa percaya.
Wajah Sun Cui-giok terlihat seperti kehilangan, dia teringat
kejadian yang baru berlangsung, orang yang bercadar tadi jika
bukan Sin-hiong lalu siapa"
Dia tidak bisa mengerti kenapa dia harus bersikap begitu
misterius, tapi masalah ini kelihatannya hanya dia seorang diri saja
yang tahu, dia harus mencari kesempatan menjelaskan padanya,
sebab dia sendiri tahun demi tahun mengharapkan dia pulang,
sampai sekarang sudah sepuluh tahun!
Hati Ho Koan-beng pun terasa kacau sekali, tanyanya:
"Saudara Sie, bagaimana luka di kakimu?" Sie Yong-ki tetap
masih tidak bisa berjalan, berkata:
"Tidak apa-apa, tapi Tayhiap harus melihat siapa kedua orang
itu?" Ho Koan-beng berlari ke sebelah kanan, begitu meneliti, tidak
tahan berteriak:
"Heh, dia Ci-hoat-kui Cin Kao, kenapa dia pun dibunuh?"
Kata-kata ini begitu keluar, hati Ciang-bun-jin Hoa-san-pai pun
terasa berat. Ci-hoat-kui Cin Kao tadi disuruh bersembunyi di dalam
pekarangan, kapan dibunuh, mereka semua tidak tahu, orang-orang
di pihaknya, bukankah seperti orang yang tidak berguna saja"
Ciang-bun-jin Hoa-san-pai berkata:
"Koan-beng, kau lihat lagi kepala siapa yang ada disana?"
Ho Koan-beng menurut, lari kesana, begitu melihat, terasa
hatinya menjadi berat, teriaknya: "Murid Bu-tong, Gouw-in!"
Dia terpikir Gouw-in kemarin malam dia masih hidup, kemudian
mendadak dia menghilang, dia mengira Gouw-in sudah pergi tanpa
pamit, siapa duga ternyata dia telah dibunuh seseorang
Dalam sekejap, di sisi gunung yang sepi ini, suasana menjadi
seram dan menyedihkan menutupi hati setiap orang, semua orang
tidak tahan merinding.
Ciang-bun-jin Hoa-san-pai berpikir sebentar, mendadak berteriak:
"Anak Beng, kau urus baik-baik, orang itu pasti masih ada di
sekitar ini!"
Habis berkata, dia sudah berlari ke dalam lapangan liar yang
gelap. Ho Koan-beng melihat bayangan punggung gurunya, tidak tahan
diam-diam dia mengeluh, menurut yang dia tahu, sejak gurunya
turun gunung, dia selalu bertindak lebih dulu, tidak diduga disini
malah selalu didahului orang, kelihatannya kejadian ini bukan
dilakukan sendiri oleh Sang-toh, mungkin saja guru setannya itu
sudah datang. Berpikir sampai disini, tidak tahan dia jadi mengkhawatirkan
gurunya, dia berjalan ke arah kedua mayat, tangan di angkat
memrjawa mayat itu, lalu di sekitarnya menggali lubang untuk
menguburkannya.
Tiga orang itu kembali lagi ke dalam ruangan besar, Ho Koanbeng
menaruh Sie Yong-ki di atas kursi yang ada sanderannya, tidak
henti-hentinya berjalan bolak-balik di dalam ruangan, suasananya
sangat berat. Mendadak, di luar pintu terdengar alunan suara kecapi, entah
siapa orang yang memetik kecapi, sebuah lagu sedang dilantunkan,
suaranya sangat memilukan, jika dihubungkan dengan keadaan di
dalam ruangan yang berat itu, membuat orang yang mendengarnya
tidak tahan ingin meneteskan air mata.
Sun Cui-giok pun mendengar, hatinya tergetar, dia tidak tahan
lagi, lalu bangkit berdiri berjalan keluar.
Ho Koan-beng terkejut berkata:
"Adik Giok, kau jangan keluar seorang diri!"
Sun Cui-giok tidak mempedulikannya, dia tetap terus jalan
keluar. Di lapangan liar sepi sekali, di bawah sinar bulan dan bintang,
terlihat anak muda pemetik kecapi sambil memeluk kecapinya duduk
diatas batu hijau, matanya terpejam, dua jarinya dengan pelan
memetik kecapi, alunan yang memilukan, keluar dari jari-jarinya itu.
Sun Cui-giok berjalan ke sisinya, tapi anak muda pemetik kecapi
tidak mempedulikannya, dia sudah tenggelam ke dalam suara
kecapinya. Saat ini Ho Koan-beng pun sudah berjalan keluar, dari kejauhan
dia melihat di sisi gunung ada satu bayangan orang yang bergerakgerak,
mula-mula dia terkejut, menunggu dia bisa melihat dengan
jelas, ternyata orang itu adalah gurunya yang dengan lesu sedang
berjalan kembali. Ho Koan-beng tidak perlu bertanya, dia tahu
gurunya kembali dengan sia-sia.
Tiga orang itu tanpa disengaja berjalan ke sisinya anak muda
pemetik kecapi, Cui-giok bertanya: "Kecapi ini apa ada namanya?"
Anak muda pemetik kecapi itu sedikit mem-buka matanya lalu
menggelengkan kepala: "Tidak ada."
"Seharusnya ada sajaknya bukan?"
Dalam hati Ho Koan-beng merasa terkejut, pikirnya, bagaimana
dalam keadaan begini masih sempat menanyakan hal yang tidak
ada sangkut pau tnya.
Anak muda pemetik kecapi itu berkata tawar:
"Ada sih ada, hanya takut merusak pendengaranmu!"
Cui-giok dengan emosi berkata:
"Kalau begitu coba kau nyanyikan, aku tahu seseorang setelah
mati, pasti harus disembahyangi, jika sebelum mati bisa mendengar
satu lagu yang melega-kan hati, mati pun bisa memejamkan mata."
Setelah dia mengatakan ini, di sudut matanya sudah berlinang
dua tetes air mata, Ho Koan-beng melihat keadaan ini, masih
mengira setelah mendengar lantunan kecapi ini, dia jadi terlalu
sedih, sehingga berkata yang bukan-bukan, pelan dia
menghampirinya, berkata:
"Adik Giok, kita tidak akan mati."
Ciang-bun-jin Hoa-san-pai seperti teringat sesuatu, dalam hatinya
berkata: "Betul, ternyata keduanya datang demi wanita ini, haay, jika
hanya demi asmara perempuan dan laki-laki, lalu menimbulkan
kerusuhan besar di dunia persilatan, bukankah itu sangat tidak
pantas sekali"'
Anak muda pemetik kecapi melihat situasi yang mesra ini,
mendadak bangkit berdiri, mengeluh berkata:
"Haay, lewat malam ini, aku pun sudah harus pergi!"
Di dalam suaranya samar-samar ada perasaan kesepian, setelah
bicara, pelan-pelan berjalan kesisi gunung, kembali mengangkat
kapak, mulai lagi bekerja menebang pohon besar itu.
Dengan perasaan tidak mengerti Ho Koan-beng mengikutinya:
"Saudara, buat apa ini?"
Wajah kuning kering anak muda pemetik kecapi tergerak,
berkata: "Musim dingin hampir tiba, di saat hujan salju memerlukan
banyak kayu bakar, aku telah menumpang makan di rumahmu, jadi
harus mengerjakan sesuatu untuk kalian?"
Mendengar ini wajah Sun Cui-giok berkelebat bayangan gelap,
sejenak tidak bisa menahan diri, teriak berkata:
"Sin-hiong, kenapa kau masih berkata begitu, ayahku sudah lama
meninggal dunia!"
Begitu kata-kata ini keluar, Ho Koan-beng langsung mundur
selangkah ke belakang, sambil terkejut berkata:
"Ternyata kalian sudah saling kenal?"
Rasa terkejut di wajahnya, kepedihan di hati-nya, dalam sekejap
terpampang jelas, dia bengong memandang tamu aneh pemetik
kecapi yang dipanggil Sin-hiong, sesaat dia jadi tidak bisa bicara.
Seperti sudah disepakati, dia dengan Cui-giok tadinya sudah
berjanji tiga hari kemudian akan menikah, tidak diduga lima hari
yang lalu didatangi oleh Giok-siau-long-kun, sehingga
pernikahannya terganggu, jika diganggu lagi oleh orang yang
dipanggil Sin-hiong, maka, pernikahan dia dengan Cui-giok akan
gagal sudah. Dia sangat mencintai Sun Cui-giok, sehingga tidak mempedulikan
segala akibatnya, demi masalah ini, dia sekarang bermusuhan
dengan Sang-toh, Sang-toh malah memanggil gurunya, masalah ini
semakin menjadi besar, jika mengatakan Ci-hoat-kui dan murid Butong
Gouw-in adalah korban dari perkembangan masalah ini, itupun
tidak dianggap keterlaluan.
Ciang-bun-jin Hoa-san-pai memperhatikan dari samping, dalam
hati segera jadi mengerti, dia tahu anak muda yang dipanggil Sinhiong
ini, pasti bukan seorang yang biasa, tapi dia punya sahabat di
seluruh negeri, tidak ada satu pun yang dia tidak kenal di berbagai
perguruan, tapi dia justru tidak tahu asal-usul anak muda ini.
Anak muda pemetik kecapi itu memandang dengan sorot mata
kaku, memandang sekali pada Ho Koan-beng dan Sun Cui-giok yang
ada di sampingnya, dengan suara yang dalam berkata:
"Hujin bicara apa" Aku tidak mengerti!"
Sun Cui-giok melihat dia tidak mau mengaku, hatinya jadi
gelisah, air mata sudah bercucuran, dia berdiri di sisi menangis, Ho
Koan-beng melihat, di dalam hati merasa tidak enak sekali, pikirnya
buat apa aku masih tinggal disini"
Dia sedang memikirkan apakah dirinya masih perlu tinggal disini,
dia jadi sangat menyesal kemarin malam memaksa musuh cintanya
ini tinggal disini, sehingga membuat Cui-giok jadi sedih, dia sendiri
pun sangat sedih.
Dulu ketika menebang pohon besar ini, gerakan anak muda
pemetik kecapi sangat lincah sekali, setelah melihat Sun Cui-giok
menangis, walau masih meneruskan menebang pohon, tapi yang dia
rasakan saat ini, yang dia tebang itu bukanlah pohon besar, tapi
adalah sebuah besi baja yang amat keras dan kuat.
Di dalam hatinya masih ada perasaan pedih.
Tiga orang itu berdiri diam, selain anak muda pemetik kecapi
masih terus menebang pohon, di tempat ini, sangat hening seperti
kematian. Anak muda pemetik kecapi itu hanya menebang beberapa saat,
lalu berjongkok melihatnya, pohon besar ini sudah ditebangnya
sekitar tujuh delapan puluh persen, di dalam hati berpikir:
"Besok pagi satu hari lagi, aku sudah bisa menyelesaikan
harapanku ini."
Dalam hatinya berpikir begitu, lalu menaruh kapaknya,
mengangkat kecapi klasiknya, tidak mempedulikan Ho Koan-beng
dan Sun Cui-giok berdua, bagaimana perobahan wajah mereka, dia
sendirian berjalan meninggalkan tempat itu.
Dengan demikian, mereka berdua jadi semakin canggung saja.
Mendadak Cui-giok menghentikan tangisnya dengan bencinya
berkata: "Bagus, jika kau tidak mau mengakuinya, bunuh saja aku!"
Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Yang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anak muda pemetik kecapi itu merasa hatinya tergetar, di dalam
hati berkata: 'Kau salah mengerti, kenapa kau memaksa aku mengakuinya?"
Sebenarnya tadi dia ingin mengakuinya, hanya karena Cui-giok
sekarang atau di kemudian hari akan menjadi orangnya keluarga
Ho, jika dia mengakuinya, bagaimana dia menyelesaikan keadaan
ini" Maka dia hanya bisa mengeraskan hati, tapi di dalam hatinya,
dia sangat pedih sekali"
Begitulah sifat dia, lebih baik dirinya yang sedih, tapi tidak ingin
membangun kegembiraan diri sendiri di atas kepedihan orang lain.
Tapi, sekarang bukan hanya dia sendiri yang pedih, Sun Cui-giok
sedang pedih, Ho Koan-beng juga pedih, malah Giok-siau-long-kun
Sang-toh pun sedang pedih"
Semua ini, dia tahu betul, berjalan dua langkah, tidak tahan
mengeluh panjang:
"Sen Sin-hiong, buat apa kau membuat begitu banyak orang
menjadi sedih?"
Ketika mengangkat kepala, bulan sudah terbenam di barat, tapi
tepat di saat ini, dari kejauhan kembali terdengar derap kaki kuda
yang cepat menuju ke tempat itu.
0oooodeooo0 Bab 2 Pendekar Kail Emas
Derap telapak kuda itu menyadarkan pikiran semua orang
kembali ke kenyataan, mendadak Ciang-bun-jin Hoa-san-pai
bersuara "Eh!" berkata:
"Ada apa ini" Bu-tong-sam-kiam pun bisa datang kemari!"
Ho Koan-beng ikut terkejut mendengarnya, di dalam hatinya
berpikir: 'Nama Coan-hong Totiang, Coan-kong Totiang dan Coan-soan
Totiang dari Bu-tong-sam-kiam menggemparkan dunia persilatan,
ketiga orang ini adalah sute dari ketua Bu-tong sekarang Coan-cin
Cinjin, jika tiga orang ini bersatu bertarung melawan musuh, di
dalam dunia persilatan belum ada orang yang bisa bertahan lebih
dari lima puluh jurus, kenapa sekarang bisa bersama-sama datang
kemari"' Dia teringat Gouw-in yang tanpa diketahui tewasnya, jika ketiga
orang ini datang kemari dengan tujuan membalas dendam,
masalahnya tentu akan semakin rumit. Ketika sedang berpikir,
ketiga ekor kuda itu sudah tiba di depannya, Ciang-bun-jin Hoa-sanpai
berteriak: "Yang datang ini apakah Coan-hong Totiang" Cia Thian-cu
menyambut anda disini!"
Salah satu diantara ketiga orang itu tertawa keras katanya:
"Bagus sekali, benar saja Cia-tayhiap ada disini!"
Ketika berkata, ketiga orang itu sudah turun dari atas kuda.
Wajah ketiga orang itu hampir sama, berwajah persegi dengan
janggut panjang melayang-layang di depan dada, dipunggung
masing-masing terselip sebilah pedang panjang, tiga pasang sorot
mata yang berkilat-kilat, auranya membuat orang menghormati-nya.
Saat ini Ho Koan-beng dan Sun Cui-giok pun sudah keluar
menyambut, Coan-hong Totiang mendengus sekali, bertanya:
"Cia-tayhiap apakah dia ini murid anda?"
Ciang-bun-jin Hoa-san-pai melirik sekali pada Ho Koan-beng,
teriak: "Koan-beng, cepat perkenalkan diri pada ketiga Cianpwee dari
Bu-tong ini!"
Baru saja Ho Koan-beng akan maju ke depan, Coan-hong Totiang
mendadak mencegahnya:
"Kami bersaudara tidak berani menerimanya, hem... hemmm,
lebih baik tunggu saja sampai Ang-hoa-kui-bo datang!"
Di dalam kata-katanya seperti ada sesuatu, Ciang-bun-jin Hoasanpai tertegun, didalam hati berpikir:
'Tidak memperkenalkan diri ya sudah, apakah muridku begitu
tidak berharga"'
Kedua orang ini beramah tamah tapi didalam hati bertentangan,
Tui-hong Tayhiap menahan diri dan bertanya:
"Mohon tanya anda bertiga datang kemari, ada keperluan apa?"
Coan-hong Totiang berkata dingin:
"Di dalam perguruan kami ada seorang murid yang tidak
berguna, aku dengar kemarin malam dia menginap disini, entah
sekarang ada dimana?"
Saat dia bicara, tampangnya angkuh sekali, mendengar ini Ciangbunjin Hoa-san-pai teringat kedua kepala orang itu, tapi dia tidak
mau mengata-kannya, sambil memiringkan kepala berkata:
"Koan-beng, apa kau tahu masalah ini?" Ho Koan-beng jadi
merasa resah, jawabnya: "Saudara Gouw kemarin malam masih ada
disini, tapi saat Giok-siau-long-kun datang kesini, dia tidak tahu
sudah pergi kemana, setelah malam ini......"
Ho Koan-beng takut dengan nama besar Bu-tong-sam-kiam,
sesaat gagap tidak meneruskan per-kataannya, Coan-hong Totiang
mendengus lagi: "Apakah sudah mati, betul tidak?"
Ho Koan-beng menganggukan kepala: "Mati bersama dengan Cihoatkui Cin Kao, aku sudah menguburkan mereka."
Wajah Coan-hong Totiang berubah dan berkata: "Cia-tayhiap,
Ang-hoa-kui-bo sebentar lagi akan datang, saat itu kita harus
bertarung jika kami bersaudara menang, maka aku akan membawa
murid kesayangan anda, jika kalah, murid perguruan kami yang
mati tanpa sebab, kami jadi tidak akan memper-soalkannya lagi?"
Ciang-bun-jin Hoa-san-pai melototkan mata, bertanya:
"Apa maksudnya?"
Coan-hong Totiang tertawa dingin:
"Mudah sekali, murid perguruan kami dengan murid anda
bersama-sama menghadapi musuh, tapi hanya dia yang tewas, itu
tidak bisa tidak membuat orang timbul curiga!"
Ciang-bun-jin Hoa-san-pai tidak bisa menahan diri lagi, dengan
marah berkata: "Kau mencurigai Koan-beng?"
Coan-hong Totiang tidak bicara, hanya meng-anggukan kepala.
Mendadak Ciang-bun-jin Hoa-san-pai tertawa keras, lalu berkata:
"Perguruan Hoa-san adalah perguruan luras, muridnya tidak
mungkin seperti itu?"
Warna wajah Coan-hong Totiang berubah, juga dengan marah
berkata: "Apakah Bu-tong-pai pun beraliran sesat?"
Setelah dia berkata ini, jarinya sudah hampir menyentuh
pegangan pedang, Coan-soan dan Coan-kong yang di belakang,
melihat suhengnya ada gejala mau menyerang, kedua orang itupun
mempersiapkan dirinya.
Maka situasi berubah jadi sangat menegangkan!
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara "Ting tang!", Coan-hong
Totiang membalikan kepala melihat, lalu berkata:
"He he he, ternyata masih ada orang yang mau membantu!"
Suara kecapi itu seperti sengaja bertentangan dengan Coan-hong
Totiang, suara yang dialunkannya sangat merdu sekali, hingga
orang yang mendengar-nya merasa tenang dan nyaman.
Hati Coan-hong Totiang tergerak, tanyanya:
"Cia-tayhiap, apakah orang ini dari perguruan Hoa-san?"
Ilmu silat Coan-hong Totiang tidak lemah, tapi setelah dia
mendengar suara kecapi ini, dia merasa amarahnya jadi mereda.
Harus diketahui, orang yang tinggi ilmu silatnya di dunia persilatan,
sering tanpa perlu menggunakan senjata, sudah dapat menaklukan
lawannya, suara kecapi ini datangnya tiba-tiba, maka-nya Coanhong
Totiang menanyakannya.
Dengan pandangan tidak mengerti ketua Hoa-sanpai melihat
pada anak muda pemetik kecapi itu, berkata:
"Entah!"
Begitu kata-kata ini terdengar, warna wajah Coan-hong Totiang
kembali berubah, dia melihat anak muda pemetik kecapi itu sedang
memeramkan sepasang matanya, kedua jarinya tidak henti-hentinya
memetik snar kecapi, seperti yang sedang hidup di alam yang
berbeda. Dalam sekejap, keadaannya kembali menjadi tenang, selain
suara "Ting tang!" dari kecapi itu, udara di sekeliling masih sangat
menegangkan. Coan-hong Totiang menghela nafas, pelan berkata:
"Urusan ini, kita tangguhkan dulu, sekarang lebih baik masuk ke
dalam ruangan dulu."
Setelah berkata begitu, dia langsung masuk ke dalam rumah
terlebih dulu. Dalam hati Ciang-bun-jin Hoa-san-pai menjadi tidak mengerti,
melihat Coan-hong Totiang begitu, terpaksa dia memanggil Ho
Koan-beng dan Sun Cui-giok ikut masuk ke dalam.
Setelah semuanya duduk didalam ruangan, Coan-hong Totiang
berkata pada Coan-kong yang ada di sampingnya:
"Sute, kau menemukan apa pada orang itu?"
Dalam Bu-tong-sam-kiam, Coan-hong Totiang dipandang sebagai
orang yang paling teliti, setelah berpikir sejenak, dia berkata:
"Sebenarnya, aku pun tidak menemukan apa-apa, aku malah
merasa kecapinya ada keanehan!"
Mendengar kata-kata ini, tiba-tiba Ciang-bun-jin Hoa-san-pai
tergetar, ingatannya kembali menerawang, tidak tahan dia jadi
berguman: "Kim-kau-kiam, Kim-kau-kiam......"
Mendengar ini Bu-tong-sam-kiam jadi tergetar, Coan-kong
Totiang kembali berkata:
"Cia-tayhiap apa kau menemukan sesuatu?"
Di tanya begitu, Ciang-bun-jin Hoa-san-pai segera menceritakan
kejadian huruf di atas pintu itu, lalu sambil mengeluh dia berkata:
"Orang ini asal usulnya sangat aneh, apakah dia ada hubungan
atau tidak dengan Khu Ceng-hong yang berjuluk Liong-koan-hong
(Naga menggulung angin) yang dulu seorang diri bertarung dengan
sembilan perguruan besar di dunia persilatan?"
Coan-hong Totiang berpikir sejenak, lalu meng gelengkan kepala:
"Ini sulit dikatakan."
Ho Koan-beng yang di pinggir mendengarkan, hatinya menjadi
lebih risau, bukankah kedudukan Bu-tong-sam-kiam tidak rendah"
Setelah mereka masuk ke dalam ruangan, tidak membicarakan
masalah Anghoa-kui-bo, malah membicarakan anak muda pemetik
kecapi itu, apa orang itu begitu penting"
Tadinya dia ingin tampil menanyakan, tapi entah kenapa" malah
tidak ada keberanian. Pada saat ini, mendadak terdengar suara
kecapi "Tang!" lalu berhenti, seluruh orang didalam ruangan
tergetar, tubuh Coan-hong Totiang sedikit bergerak, lalu melayang
keluar. Begitu Coan-hong Totiang bergerak, orang-orang yang ada di
dalam ruangan juga bergerak mengikutinya, siapa tahu setelah
keluar melihat, pada malam yang gelap gulita, di lapangan liar itu
tidak terlihat sesosok bayangan apapun!
Ho Koan-beng berpikir-pikir, tidak tahan sambil menghela nafas
berkata: "Haay, dia sudah pergi!"
Sun Cui-giok melihat keadaan begini, sejenak dia jadi emosi,
teriaknya: "Sin-hiong, Sin-hiong......"
Teriakannya terdengar sampai jauh sekali, tapi hanya ada gema
suaranya saja yang menyahut, tapi siapa tahu gemanya belum
berhenti, di kejauhan terdengar lagi suara keliningan kuda, dua ekor
kuda dengan cepat berlari mendekat.
Wajah semua orang jadi berubah, tidak tahu siapa yang
berteriak: "Ang-hoa-kui-bo sudah datang!"
Tadinya semua orang pun sudah membayangkan Ang-hoa-kui-bo
sudah datang bersama muridnya, hanya saja setelah di teriaki, di
dalam kegelapan malam, hati semua orang menjadi tegang,
begitu memperhatikan, benar saja di depan terlihat ada dua
bayangan kuda. Bu-tong-sam-kiam meloncat kedepan, bersama sama berteriak:
"Kami Bu-tong-sam-kiam sudah lama menunggu anda!"
Baru saja ketiga orang itu selesai bicara, terdengar seorang
dengan dingin berkata:
"Apakah Ciang-bun-jin Hoa-san-pai ada?"
Tui-hong Tayhiap tidak mau diremehkan, dia meloncat ke depan
dan berteriak: "Cia Thian-cu ada disini!"
Orang yang bicara itu sambil tertawa berkata:
"Bagus, bagus, kalian semua tidak perlu sungkan lagi!"
Selesai bicara wajah orangnya sudah terlihat jelas, seorang
nyonya setengah baya yang tinggi besar sudah tiba di depan
mereka. Di belakangnya ada satu orang sedang berlari dengan
cepat menghampiri.
Orang ini kelihatan usianya ada lima puluh tahun lebih, diatas
gelung rambutnya disisipi setang-kai bunga merah yang mencolok,
Pendekar Pemetik Harpa 21 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Cinta Bernoda Darah 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama