Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
"Aku tak merasa enak hati meninggalkan kau dalam keadaan begini." kata pemuda itu sambil mengerutkan kening seakan-akan tidak puas akan kelemahannya sendiri. "Kalau sampai terjadi sesuatu dengan kau, maka akan sia-sialah usahaku membebaskan kau dari
cengkeraman orang jahat, dan berarti aku telah melanggar janji kepada ayahmu."
"Tai-hiap... Thian Yang Agung telah mengirimmu kembali padaku..." kata Lilani dengan bisikan terharu.
"Akan tetapi aku masih tidak tahu harus membawa kau ke mana, Lilani. Sekarang kaucarilah tujuan tertentu agar aku dapat mengantarkan kau ke tempat yang aman, baru kemudian akan melanjutkan perantauanku."
"Tai-hiap, aku sudah mendapat pikiran ketika kau pergi tadi. Aku teringat akan Kwee-lo-enghiong dan Pendekar Bodoh. Kalau saja kau sudi mengantarkan aku sampai ke tempat tinggal Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
132 mereka, aku akan mendapat perlindungan yang sentausa. Budimu takkan kulupakan selama hidupku, Tai-hiap."
"Sudahlah, jangan bicara tentang budi," kata Lie Siong yang segera masuk ke dalam perahu.
"Aku pernah mendengar bahwa Kwee Lo-eng-hiong tinggal di kota Tiang-an. Baiknya kita mengambil jalan sungai ini sampai ke kota raja, kemudian kita menuju ke Tiang-an dengan jalan darat."
Saking girangnya, Lilani tak menjawab, hanya mengangguk-angguk sambil menatap pemuda itu dengan mata berseri. Lenyaplah segala kesedihannya, segala keraguannya. Dengan pemuda ini di sampingnya, dunia seakan-akan menjadi lebih lebar dan terang, air Sungai Yang-ting seakan-akan merupakan sutera kehijauan yang dibentangkan di depannya, bunyi riak air berdendang merdu dan ia mendengar hatinya bernyanyi gembira!
Lie Siong tidak banyak bicara, hanya mendayung perahu itu dengan cepat ke tengah dan lajulah perahu itu terbawa aliran air sungai ditambah dengan tenaga dayung di tangan Lie Siong yang kuat.
*** Kita tinggalkan dulu Lie Siong dan Lilani yang melakukan pelayaran dalam usaha mereka mencari tempat tinggal Kwee An atau Pendekar Bodoh untuk mendapatkan tempat tinggal dan tempat menumpang bagi gadis itu. Marilah kita menengok keadaan Pendekar Bodoh Sie Cin Hai dan isterinya, Lin Lin, yang melakukan perjalanan ke perbatasan utara, bahkan memasuki daerah Mongol untuk mencari Ang I Niocu!
Dengan hati penuh keharuan dan kegelisahan Cin Hai dan Lin Lin hendak kembali ke selatan perbatasan Mongol di mana dulu Ang I Niocu dan Lin Lin pernah mengadakan perantauan.
Mereka mencari keterangan di sana-sini, mengadakan kunjungan ke berbagai tempat dan pegunungan, akan tetapi hasilnya sia-sia belaka.
Pada suatu hari, ketika dengan putus harapan Cin Hai dan Lin Lin hendak kembali ke selatan dan tiba di dalam sebuah hutan, mereka mendengar orang bernyanyi dengan suara nyaring.
"Ah kipas sial, kipas butut!
Apakah jasamu terhadapku"
Hanya mendatangkan nama besar yang kosong.
Menambah musuh menjauhkan sahabat.
Kau tidak mampu merenggut nyawaku.
Yang jemu dan telah lama terkurung.
Kau tetap hanya menghibur badan.
Mengusir hawa panas mendatangkan angin.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
133 Ah, kipas butut, kipas sial!"
Hutan itu liar dan sunyi, maka tentu saja Cin Hai dan Lin Lin terheran-heran mendengar nyanyian ini, karena selain kata-katanya amat aneh, juga suara itu nyaring sekali sehingga menggema di seluruh hutan!
Suami isteri ini saling pandang dan cepat menghampiri arah datangnya suara. Mereka tertegun melihat seorang kakek tua sekali tengah duduk di bawah sebatang pohon besar sambil menggunakan sebuah kipas yang benar-benar sudah butut untuk mengipasi tubuhnya yang gemuk. Pakaian kakek ini hampir telanjang tidak terurus dan tubuhnya sudah kotor penuh debu dan lumpur. Kalau saja tidak melihat kipas yang terbuat daripada kulit harimau itu tentu suami isteri pendekar ini tidak mengenal orangnya. Cin Hai yang lebih dulu mengenalnya dan segera berseru keras,
"Swie Kiat Siansu! Locianpwe, mengapa kau berada di sini?" Ia lalu menghampiri bersama isterinya, dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
Kakek tua renta yang gemuk itu memandang dengan bermalas-malasan, kemudian ia tertawa bergelak dan memukul-mukul kepalanya dengan kipasnya.
"Ha-ha-ha-ha! Pendekar Bodoh...! Agaknya Thian masih menaruh kasihan kepadaku
sehingga di saat terakhir masih dapat bertemu dengan engkau! Alangkah sempitnya dunia ini"
Dan alangkah cepatnya sang waktu berlari." Ia memandang kepada Lin Lin dan berkata pula,
"Agaknya kalian sedang menderita, akan tetapi jangan ceritakan hal itu kepadaku, aku sudah cukup kenyang mendengar penderitaan manusia sehingga menjadi bosan. Eh, Nyonya muda, coba kaubuatkan masakan yang cocok untukku, nanti kuberikan kipasku yang butut ini kepadamu."
Lin Lin diam-diam merasa mendongkol. Untuk apakah kipas butut itu baginya" Akan tetapi dengan muka girang Cin Hai berkata kepadanya,
"Kautangkaplah seekor kelinci dan panggang itu untuk Locianpwe." Lin Lin memandang kepada suaminya, akan tetapi karena ia telah percaya kepada suaminya yang sesungguhnya tidak bodoh itu, ia lalu bangkit berdiri dan berlari memasuki hutan.
"Ha-ha, Pendekar Bodoh, kau baik sekali. Berapa orangkah anakmu sekarang?"
"Dua orang, Locianpwe, seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Putera teecu itu kini sedang belajar di bawah asuhan Pok Pok Sianjin."
Kembali kakek gemuk itu tertawa bergelak. "Bagus, bagus! Setan tua dari barat itu agaknya tidak mau mampus sambil membawa kepandaiannya yang akan membikin pusing saja di neraka! Baikiah, kalau begitu, aku pun akan meninggalkan kipas ini kepada anakmu yang perempuan itu. Akan tetapi aku harus makan dulu, telah dua pekan lebih aku tidak makan sama sekali!" Sambil berkata demikian, kakek ini lalu menggunakan tangan kanannya untuk menekan tanah dan berpindah tempat duduk.
Terkejutlah Cin Hai ketika melihat bahwa kakek ini menderita penyakit hebat sekali, agaknya tangan dan kaki kirinya telah lumpuh tak dapat digerakkan lagi! Sungguh mengherankan, Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
134 dalam keadaan demikian dan dua pekan tidak makan, kakek ini masih saja nampak gemuk dan sehat!
"Maafkan, Locianpe. Apakah Locianpwe menderita sakit?"
Swie Kiat Siansu mengangguk-angguk dan menghela napas. "Agaknya dosaku terlalu besar sehingga sebelum mampus harus menderita dulu. Setelah tua, darahku jalan terlampau cepat dan memecahkan urat-urat syaraf, membuat semua urat-urat di setengah tubuhku pecah-pecah. Akan tetapi tidak apa, dalam keadaan sakit atau tidak, kematian akan datang juga akhirnya!"
Cin Hai teringat akan keadaan orang tua ini pada belasan tahun yang lalu. Swie Kiat Siansu adalah seorang di antara "empat besar" yang menjagoi di seluruh daratan Tiongkok. Pada masa itu, Bu Pun Su (guru Cin Hai dan Lin Lin) dan Hok Peng Taisu (guru Ma Hoa) merupakan tokoh besar dari selatan dan timur, adapun Pok Pok Sianjin adalah tokoh dari barat. Tokoh dari utara yang paling terkenal adalah Swie Kiat Siansu inilah! Empat orang ini, yaitu Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swie Kiat Siansu terkenal sebagai empat besar dan kepandaian mereka telah mencapai tingkat tertinggi hingga jarang bertemu tandingan! Hanya sayang sekali bahwa Swie Kiat Siansu telah salah dalam memilih murid.
Dua orang muridnya yang bernama Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu menjadi perwira-perwira Mongol dan berwatak jahat sekali. Swie Kiat Siansu ini bersama Pok Pok Sianjin pernah mengadakan pibu (adu kepandaian silat) menghadapi Hok Peng Taisu dan Bu Pun yang diwakili Pendekar Bodoh (bacalah cerita Pendekar Bodoh).
Kini melihat keadaan orang tua ini, diam-diam Cin Hai menghela napas dan teringatlah ia bahwa ia sendiri kelak takkan terlepas daripada pengaruh usia tua dan kematian. Akan tetapi, mendengar bahwa kakek ini hendak menyerahkan kipasnya kepada puterinya, ia menjadi girang sekali. Menyerahkan senjata berarti menyerahkan atau menurunkan ilmu silat, dan kipas kakek ini memang merupakan senjatanya yang paling lihai dan yang telah membuat namanya menjadi terkenal sekali.
Tak lama kemudian, Lin Lin datang sambil membawa dua ekor kelinci putih yang gemuk. Ia tertawa manis sekali dan berkata,
"Aku sengaja menangkap keduanya agar pasangan ini tidak terpisah, biarpun sudah berpindah tempat ke dalam perut!"
Swie Kiat Siansu tertawa bergelak, "Ha-ha-ha! Pantas saja kau dan suamimu Pendekar Bodoh ini dapat hidup rukun dan damai, tidak tahunya kau dapat menghargai kesetiaan dan kecintaan! Lekas masak... lekas masak... aku tidak tahan lagi menghadapi cacing-cacing perutku!"
Cin Hai lalu membuat api dan setelah kedua kelinci itu disembelih dan dibersihkan, dagingnya lalu dipanggang. Tak lama kemudian terciumlah bau yang sedap dan menimbulkan selera, Swie Kiat Siansu menahan air liurnya ketika tercium bau sedap ini olehnya.
"Aduh, cacing perutku makin menggeliat-geliat. Lekas bawa ke sini!"
Lin Lin tersenyum senang, karena ucapan ini secara tidak langsung menyatakan pujian atas pekerjaannya. Wanita manapun juga di dunia ini mempunyai dua macam kesenangan yang Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
135 sama, yaitu mendapat pujian tentang kepandaiannya atau kelezatan masakannya. Ia lalu membawa daging yang sudah merah dan mengebulkan uap dan kesedapan itu kepada Swie Kiat Siansu. Kakek tua yang hanya dapat menggerakkan tangan kanannya itu lalu menerima daging itu dan makan dengan amat lahapnya. Cin Hai dan Lin Lin memandang kagum karena biarpun daging itu baru saja keluar dari api dan amat panas, akan tetapi kakek itu dapat memakannya demikian enak dan sekali-kali tidak kelihatan kepanasan! Tanpa
menawarkannya kepada Cin Hai dan Lin Lin yang terpaksa memandang sambil menelan ludah, kakek itu makan terus dengan enak dan lahapnya sampai lenyaplah daging dua ekor kelinci itu berpindah ke dalam perutnya!
Swie Kiat Siansu menggunakan tangan kanannya yang masih berminyak untuk mengelus-elus perutnya yang gendut, lalu ia tertawa dan berkata,
"Aah, yang senang saja kalian sepasang ketinci tinggal di perutku!" ia tertawa lagi, kemudian berkata. "Sayang tidak ada arak..."
"Jangan khawatir, Locianpwe, teecu membawa bekal arak," kata Cin Hai yang cepat mengeluarkan seguci arak dari buntalannya.
Berserilah wajah kakek itu. "Bagus, bagus! Kau baik sekali! Ah, benar-benar Thian telah memimpin kalian suami isteri ke tempat ini untuk menyenangkan hatiku di saat terakhir ini dan untuk menerima warisan dariku!" Ia lalu minum arak itu dan nampak senang sekali. Tiap kali habis menenggak arak, ia menjulurkan lidah dari mulut dan diputarnya lidah itu menghapus kedua bibirnya dengan puas sekali.
Lin Lin juga merasa girang ketika mendengar bahwa kakek itu hendak menurunkan ilmu silat dan kepandaian mainkan senjata kipas itu kepada puterinya, maka ia pun bersiap sedia untuk memasak apa saja yang dibutuhkan kakek ini.
Dua pekan lebih Cin Hai dengan tekun mempelajari ilmu silat tinggi dari Swie Kiat Siansu untuk kemudian dipelajarkan kepada puterinya. Karena Cin Hai telah memiliki dasar ilmu silat tinggi dan memiliki pengertian dasar dan pokok segala macam ilmu silat, maka setelah memperhatikan dan mempelajari selama dua pekan, ia telah dapat menerima semua
kepandaian itu.
Pada malam ke lima belas, setelah memberikan keterangan-keterangan terakhir dan memberikan kipas itu kepada Cin Hai, Swie Kiat Siansu berkata puas, "Nah, bebaslah aku dari kipas sial dan butut itu! Eh, Nyonya muda, tolong kaupanggangkan sepasang kelinci lagi untukku!"
"Baik, Locianpwe," jawab Lin Lin yang selama itu selalu mengurus keperluan Swie Kiat Siansu yang membawa mereka tinggal di sebuah gua di hutan itu.
Setelah sepasang kelinci didapatkan dan dagingnya dimasak, kembali kakek itu makan dengan enaknya dan menghabiskan persediaan arak yang tinggal seguci lagi dari Cin Hai.
Setelah makan kenyang, ia lalu menjatuhkan tubuhnya terlentang di atas tanah, berkata,
"Besok kalian boleh pergi!" dan sebentar kernuthan ia tidur mendengkur!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
136 Cin Hai dan Lin Lin teringat akan Bu Pun Su, guru mereka yang juga memiliki adat yang amat aneh seperti kakek ini pula. Dengan perlahan mereka lalu keluar dari gua itu dan makan buah-buahan yang dikumpulkan oleh Lin Lin.
"Besok kita disuruh pergi," kata Cin Hai. "Karena Ang I Niocu tidak ada kabarnya, lebih baik kita kembali mencari anak kita dan mampir di Beng-san menengok putera kita."
Teringat akan puteri mereka, Sie Hong Li atau Lili yang terculik oleh Bouw Hun Ti, Lin Lin tiba-tiba merasa berduka sekali dan menunda makannya, memandang dengan mata melamun ke tempat jauh. Perlahan-lahan dua titik air mata mengalir turun membasahi pipinya.
"Isteriku, jangan kau berduka. Percayalah bahwa Thian pasti akan melindungi Lili," Cin Hai menghibur sambil menepuk-nepuk pundak isterinya. Mendengar hiburan ini, Lin Lin makin terharu dan sedih sehingga ia lalu menangis terisak sambil menjatuhkan kepalanya di atas pundak suaminya.
Cin Hai membiarkan saja karena untuk melepaskan kedukaan, memang tidak ada yang lebih baik daripada tangis dan air mata. Karena besok pagi mereka harus pergi, maka sekali lagi Cin Hai menghafal dan melatih ilmu silat yang diturunkan oleh Swie Kiat Siansu sehingga malam itu mereka berada di luar gua dan melatih ilmu silat dengan amat rajinnya. Dasar suami isteri ini memang gemar sekali akan ilmu silat maka berlatih semalam penuh di bawah sinar bulan itu merupakan hiburan yang amat baik bagi kedukaan hati mereka karena lenyapnya puteri mereka.
Akan tetapi, alangkah kagetnya sepasang suami isteri ini ketika pada keesokan harinya mereka memasuki gua tempat tinggal Swie Kiat Siansu, mereka mendapatkan kakek itu telah menggeletak tak bergerak dan tak bernapas lagi! Ternyata setelah makan kenyang dan tidur, kakek yang usianya sudah seratus lebih ini dan yang terserang penyakit berat telah menghembuskan napas terakhir, hal yang sudah lama dinanti-nantinya!
Dengan penuh penghormatan, Cin Hai dan isterinya lalu mengurus jenazah itu, menggali tanah dan mengubur jenazah itu sebagaimana mestinya. Mereka bersembahyang dengan sederhana, menunda keberangkatan mereka sampai pada keesokan harinya lagi untuk memberi penghormatan terakhir. Kalau kiranya manusia mati masih mempunyai roh, dan kalau rohnya ini pandai melihat dan berpikir, maka roh Swie Kiat Siansu tentu akan merasa berterima kasih sekali melihat sepasang suami isteri ini.
Baru pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Hai dan isterinya meninggalkan tempat itu dan terus menuju ke selatan. Di sepanjang jalan tiada hentinya mereka berdua mencari keterangan dan menyelidiki tentang Ang I Niocu dan juga tentang Bouw Hun Ti.
Tanpa mendengar keterangan sesuatu tentang kedua orang yang dicari-carinya itu, akhirnya mereka sampai di Beng-san dan mendaki gunung itu dengan cepat.
Baru saja mereka tiba di lereng gunung, tiba-tiba terdengar suara yang nyaring memanggil mereka. "Ayah... lbu...!!"
Cin Hai dan Lin Lin cepat menengok dengan wajah berubah, dan alangkah kaget, heran dan girang hati mereka ketika melihat di atas sebuah puncak berdiri Lili bersama Hong Beng dan seorang anak laki-laki lain lagi!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
137 Lin Lin berlari seperti terbang cepatnya ke arah anaknya itu sambil menangis. Cin Hai juga berlari mengejar isterinya, akan tetapi kali ini ia kalah cepat! Kegirangan agaknya telah membuat nyonya muda itu seakan-akan terbang saja dan ilmu berlari cepatnya makin hebat.
Juga Lili dan Hong Beng berlari turun dari puncak. Setelah berhadapan, Lin Lin lalu menubruk Lili sambil mencium anaknya itu dan menangis tersedu-sedu.
"Lili... Lili... anak nakal... kau selamat, Nak?" dengan megap-megap Lin Lin bertanya.
Lili juga menangis saking girangnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia menengok kepada ayahnya yang juga sudah datang ke situ lalu tersenyum!
"Ayah dan Ibu tidak marah...?" tanyanya.
"Mengapa marah" Tidak, anakku, tidak!" jawab Cin Hai.
"Kenapa Kong-kong tidak ikut datang?" tanya lagi Lili dan mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba Lin Lin menangis lagi.
Hong Beng maju mendekati ibunya dan melihat ibunya menangis sedih kali ini, ia lalu menyentuh pundak ibunya yang masih berlutut memeluk Lili. "Ibu, apakah yang terjadi dengan Kong-kong?"
Karena Lin Lin tidak dapat menjawab, Cin Hai yang maju dan berkata tenang, "Kong-kongmu telah ditewaskan oleh orang-orang yang menculik Lili. Maka kalian belajarlah baik-baik agar kelak dapat mencari musuh besar ini."
Lili yang amat sayang kepada engkongnya, menjerit ketika mendengar berita ini. "Apa...?" Ia memandang kepada ayahnya dengan mata bernyala. "Engkong di... dibunuh oleh bangsat itu...?"
Ketika Cin Hai menganggukkan kepalanya, Lili merangkul ibunya dan menangis keras.
Adapun Hong Beng yang juga amat sayang kepada kong-kongnya itu, berdiri dengan muka muram dan pemuda cilik ini mengepal tinju dan membanting-banting kakinya sambil berkata perlahan,
"Jahanam...! Jahanam...!" Akan tetapi ia tidak mengeluarkan air mata.
Diam-diam Cin Hai menjadi bangga melihat ketenangan dan kekuatan hati puteranya ini, maka ia lalu menarik tangan Lili, mendekapnya dan berkata halus,
"Lili, lihat kakakmu itu. Kau tidak boleh berhati lemah dan menangis seperti seorang anak cengeng! Kewajibanmulah untuk kelak membalas sakit hati kong-kongmu."
Mendengar ucapan ayahnya, bangkit semangat Lili dan dengan muka masih basah air mata ia berkata, "Ayah, aku bersumpah untuk mencari keparat Bouw Hun Ti dan menghancurkan kepalanya!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
138 Lin Lin juga sudah dapat menguasai keharuan hatinya dan nyonya muda ini teringat kepada pemuda cilik yang tadi bersama kedua anaknya. Ternyata pemuda itu masih berdiri tak jauh dari mereka dan hanya diam saja sambil memandang dengan mata berduka. Anak ini adalah Thio Kam Seng, anak yatim piatu yang menjadi murid Sin-kai Lo-sian atau kini menjadi suheng dari Lili. Melihat betapa Lili dan Hong Beng bertemu kembali dengan kedua orang tua mereka, hatinya menjadi perih dan teringatlah ia akan nasibnya sendiri yang sudah ditinggal mati oleh ayah ibunya.
"Eh, anak itu siapakah?" tanya Lin Lin kepada Lili.
Baru Lili teringat kepada suhengnya ini dan ia lalu melambaikan tangan kepadanya.
"Lili, siapakah kedua orang gagah ini?"
"Kam Seng, kau kesinilah bertemu dengan ayah bundaku!"
Dengan malu-malu Kam Seng lalu bertindak maju dan memberi hormat sambil menjura kepada Cin Hai dan Lin Lin.
"Dia bernama Thio Kam Seng, murid dari Suhu," kata Lili.
"Suhu" Siapakah Suhumu?" tanya Cin Hai terheran.
Lili lalu menceritakan pengalamannya semenjak ia diculik oleh Bouw Hun Ti, lalu tertolong oleh Sin-kai Lo sian dan dibawa ke atas Gunung Beng-san ini dan kemudian dilatih oleh Mo-kai Nyo Tiang Le, suheng dari Lo Sian atau supek mereka.
Cin Hai dan Lin Lin merasa girang sekali mendengar penuturan iin dan mereka amat berterima kasih kepada Sin-kai Lo Sian, pengemis sakti yang sudah mereka dengar namanya itu.
"Di mana dia, penolong dan suhumu itu" Kami harus bertemu dengan dia untuk
menghaturkan terima kasih," kata Lin Lin.
"Dia sudah turun gunung, Ibu. Katanya hendak pergi ke Shaning untuk mencari Ayah dan Ibu, melaporkan keadaanku yang sudah tertolong."
Pada saat itu, dari puncak gunung nampak bayangan orang yang cepat sekali berlari mendatangi.
"Nah, itu dia Supek datang!" kata Kam Seng ketika melihat bayangan itu. Cin Hai dan Lin Lin cepat menengok dan mereka melihat seorang yang berpakaian pengemis datang berlari cepat sekali dari atas.
Mo-kai Nyo Tiang Le biarpun sudah seringkali mendengar nama Pendekar Bodoh akan tetapi belum pernah bertemu muka, maka ia tidak mengenal siapa adanya dua orang itu. Dari atas ia tadi melihat seorang laki-laki dan seorang wanita bercakap-cakap dengan tiga orang anak itu, maka cepat ia menghampiri karena ia berkhawatir kalau-kalau kedua orang itu adalah orang-orang jahat. Ketika melihat dua orang itu bersikap gagah dan berwajah elok, ia lalu bertanya kepada Lili,
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
139 "Lili, siapakah kedua orang gagah ini?"
"Supek, mereka ini adalah ayah bundaku!" kata Lili dengan girang dan tersenyum, sama sekali lenyap rasa dukanya yang tadi! Memang watak gadis cilik ini benar-benar sama dengan ibunya.
Mo-kai Nyo Tiang Le terkejut sekali mendengar pengakuan ini. Ia memandang dengan penuh perhatian kepada Cin Hai yang sementara itu bersama isterinya telah menjura kepadanya untuk memberi hormat.
"Ah, jadi kau ini adalah Pendekar Bodoh yang bernama Sie Cin Hai" Maaf, maaf! Aku tidak mengenal orang pandai!" Nyo Tiang Le cepat menjura dan membalas penghormatan itu.
"Nyo Loheng (Saudara Tua Nyo) terlalu sungkan!" jawab Cin Hai merendah. "Sesungguhnya kami berdua yang harus menghaturkan banyak terima kasih atas kebaikan hatimu, terutama sekali kepada adikmu yang telah menolong nyawa puteri kami. Mudah-mudahan saja budi ini akan terbalas oleh Thian apabila kami tiada kesempatan untuk membalasnya."
Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa terbahak-bahak dengan gembira sekali, sehingga Lili dan Kam Seng memandang karena jarang mereka menyaksikan supek mereka ini sedemikian
gembiranya. "Pendekar Bodoh, kau seperti anak kecil saja!" kata Pengemis Iblis Mo-kai Nyo Tiang Le setelah tertawa bergelak. "Di antara kita masih perlukah bicara tentang budi" Sekarang Lili telah bertemu dengan kalian, suami isteri pendekar yang kepandaiannya tinggi sekali, maka sudah cukup lama kiranya aku tinggal di tempat ini mengganggu Pok Pok Sianjin! Lili, yang baik-baiklah kau belajar ilmu kepandaian agar kelak jangan sampai terculik orang lagi. Ha-ha-ha! Kam Seng, kauikutlah padaku turun gunung!" Setelah berkata demikian, Mo-kai menyambar lengan tangan Kam Seng dan berlari pergi dari situ dengan cepat.
Lili tertegun menyaksikan sikap ini, akan tetapi Cin Hai hanya tersenyum saja dan berkata,
"Memang orang-orang kang-ouw selalu mempunyai watak yang aneh sekali. Kita harus catat nama Mo-kai Nyo Tiang Le itu sebagai seorang sahabat baik. Marilah kita naik ke puncak untuk menghadap Pok Pok Sianjin!"
Mereka beramai-ramai lalu pergi ke atas puncak dan menghadap Pok Pok Sianjin yang menerima kedatangan mereka dengan girang.
"Pendekar Bodoh, kebetulan sekali kau dan isterimu datang! Apakah kalian sudah bertemu dengan Sin-kai Lo Sian?"
Setelah memberi hormat, Cin Hai menjawab, "Belum, Locianpwe." Ia lalu menceritakan perjalanannya mencari Lili, dan betapa mereka bertemu pula dengan Swie Kiat Siansu yang meninggal dunia karena penyakit dan usia tua. Pok Pok Sianjin menarik napas panjang. "Aah, semua kawan-kawan telah meninggalkan aku! Mereka sudah bebas dan senang! Tinggal aku seorang tua bangka yang harus mengalami penderitaan entah beberapa tahun lagi."
Cin Hai dan Lin Lin tidak lama tinggal di tempat itu, hanya tiga hari, ini pun karena Hong Beng selalu menahan mereka. Akhirnya mereka turun gunung bersama Lili, setelah memesan Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
140 kepada Hong Beng untuk belajar ilmu dari Pok Pok Sianjin dengan giat dan rajin. Pemuda cilik ini diam-diam merasa amat kesepian setelah adik perempuannya turun gunung mengikuti ayah ibunya, akan tetapi Hong Beng memang seorang pemuda pendiam dan selain tenang, juga ia memiliki kekuatan batin yang cukup tabah. Kesunyiannya ini ia tutup dengan ketekunannya belajar ilmu silat sehingga Pok Pok Sianjin merasa makin gembira menurunkan ilmu-ilmunya kepada pemuda yang berbakat ini.
Demikianlah, kalau Sie Hong Beng dengan rajin mempelajari ilmu silat dari Pok Pok Sianjin, Lili juga menerima latihan ilmu silat tinggi dari ayahnya, bahkan ia menerima pula Ilmu Silat Kipas Maut yang diwariskan oleh Swie Kiat Siansu untuknya. Biarpun Lili mempunyai watak yang lincah dan tidak dapat tekun belajar, akan tetapi apabila ia teringat akan kematian kakeknya, ia lalu mengerahkan semangatnya dan mempelajari ilmu silat dengan giatnya sehingga ayah bundanya merasa girang juga melihat perubahan ini.
*** Seperti telah dikatakan oleh Swie Kiat Siansu, waktu memang berlari amat pesatnya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun terbang lalu dengan cepatnya sehingga kita sendiri tidak merasakan sesuatu, tahu-tahu usia selalu bertambah tua! Memang aneh kalau direnungkan, apabila kita memperhatikan jalannya waktu, jangan kata setahun, sebulan maupun sehari, baru satu jam saja kalau kita menanti datangnya sesuatu, nampaknya amat lama. Akan tetapi siapakah orangnya yang setiap saat memperhatikan jalannya waktu" Kita semua tidak merasa dan sungguhpun masa kanak-kanak kadangkala masih suka di depan mata, peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu masih terbayang nyata, namun kalau dihitung-hitung kita telah menjadi makin tua. Belasan tahun itu kalau tidak kita rasakan, tahu-tahu telah lewat bagaikan baru kemarin saja! Siapa bilang kalau hidup ini lama" Benarkah kata para pujangga bahwa hidup yang singkat ini harus kita isi dengan perbuatan-perbuatan yang berguna agar kita tidak menyesal kalau sudah terlambat!
Tak terasa lagi, sepuluh tahun telah berlalu cepat semenjak terjadinya peristiwa di atas. Telah sepuluh tahun anak-anak itu belajar ilmu silat dengan rajinnya. Lili telah berusia delapan belas tahun dan ia kini menjadi seorang gadis yang amat cantik jelita berwatak gembira suka tertawa, bermata kocak dan selalu berseri, bibirnya selalu tersenyum manis, gerakannya lincah sekali dan pendek kata, ia sama benar dengan ibunya, Lin Lin, di waktu muda!
"Kalau aku melihat anak kita, aku teringat kepada dara yang bernama Lin Lin!" kata Cin Hai sambil menengok kepada isterinya yang duduk di dekatnya.
Lin Lin yang biarpun sudah berusia hampir empat puluh tahun masih nampak cantik itu, mengerling sambil cemberut manja.
"Ah, kau ini memang tukang memuji! Lili memang hampir sama dengan aku, akan tetapi, siapa bilang dia cantik" Ibunya buruk rupa, bagaimana anaknya bisa cantik?"
Cin Hai tertawa karena ia sudah maklum bahwa isterinya ini biarpun di mulutnya mengomel namun di dalam hatinya merasa girang sekali. Mereka duduk di kebun belakang memandang Lili yang sedang berlatih ilmu silat.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
141 Lin Lin memandang kagum lalu menghela napas. "Betapapun juga, ada satu hal yang menyusahkan hatiku. Dia sudah berusia delapan belas tahun, akan tetapi bertunangan pun belum! Sampai usia berapakah ia kelak menikah?"
"Hal itu tak perlu tergesa-gesa," jawab suaminya dengan tenang, "ia cantik jelita dan ilmu silatnya tinggi, harus mendapat jodoh yang sesuai!"
Lin Lin mengangguk-anggukkan kepalanya. "Memang, satu hal sudah pasti bahwa ketika aku masih gadis, ilmu silatku tidak setinggi tingkat kepandaiannya. Lihat alangkah indahnya gerakan Sian-li-san-hwa (Bidadari Menyebar Bunga) yang ia mainkan itu!"
Cin Hai memandang lagi ke arah Lili yang masih bersilat. Memang, gadis itu sedang melatih Ilmu Silat Sianli Utauw (Ilmu Silat Bidadari) yang amat indah dan cepat dan gerakan Sianli-san-hwa adalah sebuah di antara tipu-tipu ilmu silat ini. Melihat gerakan puterinya itu, Cin Hai menjadi kagum dan diam-diam ia membandingkan puterinya ini dengan Ang I Niocu dan Lin Lin. Anak gadisnya ini benar-benar mengagumkan dan pikiran Cin Hai mulai mencari-cari pemuda manakah gerangan yang patut menjadi mantunya. Ia merasa puas dengan ikatan jodoh antara puteranya, Hong Beng, dengan Goat Lan, puteri dari Kwee An. Akan tetapi untuk Lili, ia belum dapat memilih seorang calon mantu yang cukup sesuai dan cocok.
Sementara itu, Lili sudah menghentikan permainannya dan seperti merasa bahwa kedua orang tuanya sedang memandangnya dan membicarakannya, ia lalu menengok dan berlari-lari menghampiri ayah ibunya. Dengan sikap manja ia duduk di dekat ibunya sambil memeluk pundak Lin Lin yang menggunakan saputangannya untuk menghapus peluh yang membasahi jidat dan leher puterinya dengan penuh kasih sayang.
"Ibu, sekarang kau dan Ayah harus memberi perkenan kepadaku untuk pergi mengunjungi Enci Goat Lan, dan aku ingin sekali melakukan perjalanan seorang diri."
"Tak baik bagi seorang gadis muda untuk melakukan perjalanan seorang diri," kata Cin Hai.
Lili merengut. "Aah, Ayah selalu berkata demikian untuk mencegah keinginan hatiku.
Bukankah Ayah dan lbu sering bercerita betapa Ibu dulu juga seringkali merantau menambah pengalaman" Lagi pula, aku bukan seorang anak kecil lagi, bukan seorang gadis muda yang masih bodoh, usiaku sudah delapan belas tahun, Ayah!"
Cin Hai memandang dengan muka bersungguh-sungguh. "Lili, dulu lain lagi, karena keadaan negara tidak sekacau ini. Orang jahat dahulu tidak sebanyak sekarang. Pula, ayah dan ibumu dahulu telah banyak membasmi penjahat sehingga banyak orang-orang jahat memusuhi kita.
Kalau mereka tahu bahwa kau adalah anakku, mereka pasti akan turun tangan dan
mengganggumu."
Lili berdiri dan dengan sikap menantang berkata keras, "Aku tidak takut! Aku bukan puteri ayah dan ibu, bukan anak Pendekar Bodoh dan cucu murid Pendekar Sakti Bu Pun Su kalau aku takut! Ayah, apa perlunya aku semenjak kecil mempelajari segala macam ilmu silat itu tanpa mengenal lelah kalau sekarang aku takut mendengar tentang orang-orang jahat"
Bukankah ayah sendiri sering berkata bahwa kepandaian yang dipelajari dengan susah payah tak akan ada artinya kalau tidak dipergunakan demi kepentingan orang banyak" Seorang ahli silat yang tidak mengulurkan tangan mempergunakan kepandaiannya menolong orang
tertindas, bukanlah pendekar namanya!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
142 Cin Hai tersenyum. Ia merasa betapa puterinya yang cerdik ini seringkali menggunakan ujar-ujar dan pelajaran yang ia berikan untuk melawan dia sendiri!
"Sudah, bicara dengan kau takkan ada orang bisa menang! Kalau kau hanya rindu kepada calon Sosomu (Kakak Iparmu) Goat Lan, tunggulah beberapa hari lagi, nanti kita bertiga dapat melakukan perjalanan ke sana."
Lili makin cemberut. "Tidak, aku ingin pergi seorang diri, bebas seperti burung di udara. Aku ingin merantau menambah pengalaman, ingin mempergunakan kepandaian yang kupelajari untuk menolong orang-orang lemah yang tertindas. Di samping itu, aku ingin mencari si jahanam Bouw Hun Ti untuk membalas perhitungan lama! Kalau Ayah tidak boleh, aku... aku akan minggat!"
Cin Hai melongo dan Lin Lin segera memegang tangan puterinya.
"Hush, Lili! Jangan kau berkata begitu!"
Lili memandang kepada ibunya dan matanya berseri nakal ketika ia berkata memperingatkan,
"Ibu, lupakah kau bahwa kau dulu pernah minggat pada malam hari bersama Ang I Niocu"
Ibu sendiri yang menceritakan hal itu kepadaku!"
Lin Lin tak dapat menjawab, hanya memandang kepada suaminya dengan bohwat (tak
berdaya). "Lili," kata Cin Hai menolong isterinya, "Ibumu lain lagi. Ketika itu ibumu bercita-cita untuk menyusulku dalam usaha membalas dendam kepada musuh-musuh yang telah membasmi keluarga ibumu."
"Apa bedanya" Sekarang pun aku hendak pergi untuk membalas dendam kepada keparat Bouw Hun Ti!" Kemudian, dara yang manja ini lalu membanting kaki dengan muka merah dan berkata, "Ah, sudahlah! Ibu dan Ayah tidak sayang kepadaku! Tidak ingin melihat aku senang, Kalau Beng-ko lain lagi. Dia anak laki-laki, dicinta dan dimanja, semenjak kecil ikut berguru di Beng-san dan boleh merantau sesuka hatinya! Ah, aku ingin menjadi seorang anak laki-laki!"
Cin Hai dan Lin Lin saling pandang dengan bengong. Celaka dua belas, pikir Cin Hai di dalam hatinya. Anak ini lebih keras kepala daripada ibunya! Akan tetapi Lin Lin berpikir lain.
Hebat bisik hatinya, anak ini malah lebih gagah dan bersemangat daripada ayahnya!
"Sudahlah, Lili jangan marah-marah seperti kucing terinjak buntutnya!" kata Cin Hai.
"Baiklah, kami akan merundingkan hal ini."
Setelah Lili kembali ke dalam kamarnya, suami isteri ini masih duduk di tempat itu.
"Bagaimana baiknya?" tanya Lin Lin dengan gelisah "Kalau ia memaksa dan pergi, apakah kiranya tidak berbahaya?"
"Berbahaya sih tidak," jawab suaminya setelah berpikir keras. "Kepandaian Lili sudah lebih dari cukup, bahkan kiranya tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Ang I Niocu ketika dia merantau dahulu. Tak mudah anak kita itu dirobohkan lawan. Akan tetapi, kau tahu sendiri akan bahayanya perantauan di dunia kang-ouw. Tidak hanya kepandaian silat tinggi saja yang Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
143 dapat menjaga keselamatan tubuh. Banyak akal-akal busuk yang jauh lebih berbahaya daripada kepandaian silat lawan."
"Kalau begitu, kita harus melarangnya pergi!" kata Lin Lin cepat dan penuh kekuatiran.
Pendekar Bodoh menggelengkan kepalanya. "Melarang pun tidak benar. Anak itu lebih keras kepala daripada engkau!"
"Hm, jadi aku keras kepala, ya" Mengapa kau dulu suka padaku yang keras kepala ini?"
Cin Hai tertawa. "Justeru kekerasan kepalamu itulah yang membuat aku suka kepadamu.
Sudahlah, jangan kita bercekcok karena urusan ini, kita sudah cukup tua bukan anak-anak lagi."
"Kau yang mulai!"
"Begini saja baiknya. Mulai sekarang kita memberi pelajaran baru kepada Lili, membeberkan semua rahasia penjahat-penjahat di dunia kang-ouw agar terbuka matanya terhadap tipu-tipu muslihat yang keji. Kalau ia sudah tahu akan segala hal itu, barulah kita memberi perkenan kepadanya untuk merantau dengan dibatasi waktunya. Pergi ke Tiang-an takkan lebih dari dua bulan pulang pergi, dan kalau memberi waktu tiga atau empat bulan saja, ia takkan berani pergi terlalu jauh."
Karena tidak dapat mencari jalan lain yang lebih baik terpaksa Lin Lin menyatakan persetujuannya. Lili merasa girang sekali ketika mendengar keputusan orang tuanya ini. Ia segera menyatakan kesanggupannya untuk mempelajari semua tipu-tipu busuk dari orang-orang golongan hek-to (jalan hitam, yaitu para penjahat). Sampai hampir dua pekan ia menerima wejangan dan nasihat, memperhatikan semua cerita dari ayah bundanya tentang kekejaman orang-orang jahat. Kemudian ia mempelajari pula peta perjalanannya, yaitu dari Shaning di Propinsi An-hui tempat tinggal mereka, melalui Propinsi Ho-nan dan memasuki Propinsi Hopei menuju ke Tiang-an yang terletak di sebelah utara Sungai Huang-ho.
Lin Lin yang amat sayang kepada puterinya itu memberi bekal yang cukup banyak, sambil tiada hentinya memberi nasihat-nasihat agar dara itu berlaku hati-hati. Seekor kuda yang amat kuat dan baik menjadi tunggangan Lili, dan gadis itu membawa bungkusan besar berisi pakaian, uang, bahkan obat-obat untuk menjaga diri. Pedangnya Liong-coan-kiam, pemberian ayahnya tergantung di pinggangnya. Bajunya berkembang merah dengan pinggiran biru, celananya putih bersih dari sutera mahal. Sepatunya berkembang dan ia nampak cantik jelita dan gagah sekali. Kedua orang tuanya memandang dengan bangga ketika mereka melihat puteri mereka duduk di atas kuda bulu putih dengan sikap demikian gagahnya.
"Ayah, Ibu, aku berangkat!" katanya sekali lagi setelah duduk di atas kudanya.
"Hati-hatilah di perjalananmu," kata Cin Hai.
"Sampaikan salam kami kepada Kwee pekhu sekeluarga," pesan Lin Lin.
Kemudian berangkatlah Lili. Ia membalapkan kudanya yang kuat itu keluar dari Shaning lalu langsung menuju ke utara. Ia merasa gembira sekali, wajahnya yang manis berseri-seri, Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
144 sepasang matanya bersinar gemilang. Ia benar-benar merasa seperti seekor burung yang terbang bebas merdeka di angkasa raya.
Apakah ia akan langsung menuju ke Tiang-an sebagaimana yang berkali-kali dipesankan oleh ayah ibunya" Ah, tidak! Dia bukan Lili yang nakal kalau ia menurut nasihat orang tuanya dan langsung menuju ke tempat tinggal pekhunya (uwaknya) di Tiang-an. Tidak, maksud tujuannya dengan perantauannya ini sesungguhnya adalah untuk mencari musuh besarnya, Bouw Hun Ti! Pergi mengunjungi Goat Lan di Tiang-an hanya menjadi alasan saja yang dipergunakan di hadapan orang tuanya agar ia diperbolehkan pergi!
Oleh karena inilah maka ia lalu membelok ke barat setelah keluar dari kota Shaning! Bukan Tiang-an yang ditujunya, melainkan Tong-sin-bun, dusun tempat tinggal Ban Sai Cinjin! Ia hendak mencari Bouw Hun Ti di dalam kelenteng besar dalam hutang kelenteng milik Ban Sai Cinjin di mana dulu ia dan Sin-kai Lo Sian menolong Thio Kam Seng! Dulu ia suka menggigil ngeri kalau teringat akan Ban Sai Cinjin, orang tua yang aneh dan lihai itu, akan tetapi sekarang, jangankan baru Ban Sai Cinjin biarpun raja iblis sendiri muncul di depannya, belum tentu Lili akan merasa takut!
Keadaan Lili yang demikian mewah pakaiannya, cantik jelita, gadis muda yang melakukan perjalanan seorang diri, tentu saja menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi melihat cara ia naik kuda dan melihat gagang pedangnya yang tergantung pada pinggangnya, membuat orang-orang maklum bahwa nona cantik ini tentulah seorang perantau yang pandai ilmu silat dan tak seorang pun berani mencoba-coba untuk mengganggunya.
Hanya satu kali terjadi gangguan ketika ia masuk ke kota Lok-yang. Di kota ini terdapat seorang jagoan muda bermuka kuning yang berjuluk Oei-bin-liong (Naga Muka Kuning) bernama Lok Ceng. Ia adalah seorang ahli silat dari cabang Bu-tong-pai, berwatak sombong dan berlagak tinggi. Kebetulan sekali Lok Ceng sedang duduk di depan restoran terbesar di Lok-yang, ketika Lili menghentikan kudanya di depan restoran itu, melompat turun dan memanggil seorang pelayan.
Seorang pelayan berlari menghampiri. Lili menyerahkan kendali kudanya sambil berkata,
"Kau urus baik-baik kudaku sewaktu aku makan. Berilah dia makan dan sikat bulunya sampai bersih. Hati-hati jangan sampai ada orang jahat mengganggu buntalanku di atas kuda itu dan jangan khawatir, hadiahnya akan besar!"
Pelayan itu tersenyum dan mengangguk dengan hormat. "Tentu saja, Siocia. Akan kulakukan pesanmu baik-baik." Ia lalu menuntun kuda itu ke pinggir restoran.
"Kuda yang bagus!" tiba-tiba terdengar suara parau dan keras sehingga Lili menengok ke arah orang yang memuji kudanya. Orang ini bukan lain adalah Lok Ceng sendiri. Melihat seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar, bermuka kuning dan bermata kurang ajar itu, Lili berlaku hati-hati dan segera membuang pandangan matanya. Tanpa mempedulikan orang itu, Lili terus saja memasuki restoran itu dan memesan makanan kepada pelayan yang cepat datang menghampirinya. Restoran itu besar sekali dan para tamu yang makan di situ tidak kurang dari duapuluh orang banyaknya. Mereka makan sambil bercakap-cakap gembira.
Ketika Lili memasuki restoran itu, hampir semua mata menengok memandang kagum. Akan tetapi Lili tidak mempedulikan semua ini karena semenjak keluar dari rumah, ia telah menjadi Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
145 biasa dengan pandangan kagum dari mata laki-laki. Ia telah menganggap hal ini biasa saja.
Ibunya telah menasihatinya untuk bersikap dingin dan jangan mempedulikan hal ini.
"Lili, kau seorang gadis muda yang cantik manis," kata ibunya memberi nasihat, "akan banyak sekali gangguan kauhadapi di perjalanan. Laki-laki memang bermata minyak, selalu tidak dapat menjaga mata mereka kalau melihat seorang gadis cantik. Akan tetapi, kalau mereka itu memandangmu dengan mata kagum dan kurang ajar, janganlah kauhiraukan mereka. Asal mereka tidak mengganggumu dengan ucapan atau perbuatan kurang ajar, anggap saja mereka itu sebagai patung-patung hidup yang tak perlu dilayani."
Oleh karena itu, maka Lili selalu menganggap sepi mata laki-laki yang memandangnya dengan kagum bahkan orang-orang yang tersenyum-senyum dengan penuh arti kepadanya, dianggapnya sebagai lalat saja!
Akan tetapi, pada saat ia sedang menikmati hidangan yang telah dikeluarkan oleh pelayan, tiba-tiba telinganya yang tajam dapat menangkap perubahan yang terjadi di dalam warung itu.
Suara yang tadinya riuh gembira, tiba-tiba terhenti dan ketika ia mengerling, ternyata orang muda bermuka kuning yang tadi memuji kudanya, telah memasuki ruang itu dengan langkah dibuat-buat dan dada diangkat!
Diam-diam Lili merasa heran mengapa semua orang agaknya takut kepada pemuda ini, apalagi ketika ia mendengar betapa setiap meja yang dilalui oleh pemuda itu, selalu ada orang yang menawarkan makan dengan sikap menghormat sekali. Akan tetapi pemuda tinggi besar muka kuning itu menolak semua penawaran dengan gerakan tangan, lalu ia tersenyum-senyum menghampiri meja dekat meja di mana Lili sedang makan! Ia lalu mengambil tempat duduk dan memandang kepada Lili dengan cara yang amat menjemukan. Mulutnya
menyeringai bagaikan seekor kuda kelaparan dan terdengarlah ia berkata keras,
"Kudanya besar dan bagus, pemiliknya lebih bagus lagi!"
Semua orang yang duduk di situ maklum siapakah yang dimaksudkan oleh Lok Ceng ini. Lili juga maklum bahwa pemuda itu sedang berusaha mengganggunya, akan tetapi oleh karena ucapannya itu masih belum bersifat kurang ajar, ia pura-pura tidak mengerti dan melanjutkan makannya. Melihat betapa gadis manis itu tidak menengok dan tidak mempedulikan
pujiannya, Lok Ceng menjadi makin berani. Dengan sikap kurang ajar sekali dan tertawa haha-hihi ia lalu menggeser kursinya dan duduk di dekat meja Lili, menghadapi gadis itu dan memandang dengan mata kurang ajar dan mulut menyeringai. Semua orang diam-diam
tersenyum, ada yang merasa geli, ada yang merasa gembira, akan tetapi ada pula yang diam-diam merasa kuatir akan nasib gadis cantik jelita itu.
Semenjak tadi Lili menahan sabarnya, karena ia selalu masih teringat akan nasihat ibunya agar menjauhkan diri dari setiap permusuhan. Akan tetapi karena orang itu kini duduk dekat di depannya tentu saja ia merasa amat terganggu dan masakan yang tadinya nikmat itu, kini tidak enak lagi rasanya.
"Lalat kuning sungguh menjemukan!" Ia lalu menunda makanannya dan dengan perlahan Lili menggebrak mejanya sambil mengerahkan tenaga khi-kang ke arah mangkok masakan yang banyak kuahnya. Air kuah di dalam mangkok itu tiba-tiba memercik ke arah Lok Ceng dan tak dapat terelakkan lagi mengenai bajunya!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
146 Semua orang terkejut mendengar gadis itu berkata demikian, karena siapa pun tentu akan maklum bahwa dengan sebutan lalat kuning, gadis itu telah memaki Lok Ceng! Mana ada lalat yang berwarna kuning" Yang kuning ialah muka dari Lok Ceng!
Akan tetapi, tidak seorang pun tahu bahwa air kuah yang memercik ke atas dan membasahi baju Lok Ceng itu adalah perbuatan yang disengaja oleh Lili. Mereka mengira bahwa hal itu kebetulan saja. Bahkan Lok Ceng sendiri pun tidak menyangka bahwa gadis itu memiliki kepandaian tinggi sehingga dapat menggerakkan tenaga khi-kang untuk membuat air kuah itu muncrat ke arahnya. Oleh karena itu, pemuda ini hanya tersenyum-senyum saja dan biarpun ia tahu bahwa dirinya dimaki "lalat kuning", ia tidak menjadi marah. Ia lebih suka melihat seorang gadis yang melawan apabila diganggunya, daripada seorang gadis yang akan tersenyum-senyum melayani gangguannya.
"Aku ingin sekali menjadi potongan-potongan daging itu, untuk berkenalan dengan bibir dan mulut yang manis!" katanya lagi tak kenal malu dan orang-orang yang mendengar ucapannya ini lalu tertawa untuk mengambil hati jagoan muda yang disegani ini.
Mendengar ucapan dan melihat sikap orang muka kuning itu, Lili maklum bahwa kegagahan orang itu hanya pada lagaknya saja, akan tetapi sebetulnya tidak memiliki kepandaian tinggi.
Hal ini mudah saja diduga. Seorang yang berkepandaian tinggi, tentu akan tahu akan demonstrasi tenaga khikang yang diperlihatkannya tadi. Akan tetapi, Si Muka Kuning ini agaknya tidak tahu akan hal ini, bahkan mengeluarkan ucapan yang demikian kurang ajar.
Lili sudah kehabisan kesabarannya.
"Lalat kuning, kau lapar dan ingin makan daging" Nah, ini makanlah!" Secepat kilat tangannya menyambar mangkok yang berisi masakan penuh kuah dan sebelum Si Muka
Kuning sempat mengelak, isi mangkok itu telah menyiram mukanya, bahkan sepotong daging mengenai mulutnya demikian keras sehingga ia merasa sakit!
Suara tertawa dari para tamu tadi tiba-tiba tak terdengar lagi dan mereka kini memandang dengan muka pucat. Belum pernah ada orang yang berani menghina Oei-bin-liong Lok Ceng sedemikian hebatnya! Sementara itu, untuk sesaat Lok Ceng merasa kedua matanya pedas dan tak dapat dibuka sehingga ia menjadi gelagapan dan mempergunakan kedua tangannya untuk membersihkan mukanya. Keadaannya amat lucu dan para penonton menahan suara ketawa mereka karena sungguhpun mereka merasa geli melihat orang yang ditakuti itu berada dalam keadaan demikian lucunya, akan tetapi mereka tidak berani memperdengarkan suara ketawa.
Kini kegembiraan Lok Ceng lenyap sama sekali. Mukanya yang berwarna kuning menjadi kemerah-merahan karena marah dan berminyak karena siraman kuah tadi. Matanya yang sudah bebas dari kepedasan kuah kini memandang dengan melotot.
"Gadis liar, apakah kau sudah bosan hidup berani menghina Oei-bin-liong Lok Ceng?" Ia membentak dan melangkah maju.
"Eh, eh, cacing muka kuning!" Lili mengejek dan sengaja mengganti sebutan naga menjadi cacing. "Apakah kau masih belum kenyang?" Sambil berkata demikian, kembali tangannya bergerak dan kini lain masakan penuh kecap berwarna merah yang masih ada setengah mangkok melayang cepat ke arah muka Lok Ceng. Si Naga Muka Kuning cepat mengelak akan tetapi kurang cepat dan tahu-tahu mukanya telah tersiram oleh masakan kecap ini!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
147 Untung baginya ia cepat-cepat meramkan kedua matanya yang tadi melotot sehingga kecap itu tidak memasuki kedua matanya. Akan tetapi celaka sekali, ia tidak dapat menutup kedua lubang hidungnya sehingga kedua lubang hidungnya yang lebar itu diserbu oleh kecap membuat ia tersedak dan berbangkis-bangkis beberapa kali seakan-akan hendak copot!
Kini para tamu di restoran itu terpakga mendekap mulut masing-masing untuk menahan ketawa, karena melihat Lok Ceng berbangkis-bangkis, sambil mencak-mencak sungguh merupakan pemandangan yang amat lucu dan menggelikan. Lok Ceng memaki-maki dan
kemarahannya memuncak. Ia mencabut golok yang terselip pada pinggangnya dan kini mengamuk hebat. Beberapa kali ia membacok ke kanan kiri dan meja kursi yang terkena bacokan golok itu menjadi terbelah. Ia masih menggerakkan kedua kakinya menendang ke sana ke mari sehingga meja kursi beterbangan ke mana-mana.
Para tamu yang tadinya menahan ketawa, menjadi ketakutan dan segera mereka
menyingkirkan diri ke tempat jauh, mepet pada dinding, berjajar merupakan pagar. Muka mereka menjadi pucat karena sekarang keadaan bukan main-main lagi. Gadis itu pasti akan menjadi korban golok Lok Ceng yang amat tajam.
Akan tetapi, Lili tidak mau membu ang banyak waktu untuk melayani Si Muka Kuning yang sombong itu. Biarpun Lok Ceng mengobat-abitkan golok dengan ganas sekali, ia tidak menjadi gentar dan dengan senyum mengejek tubuhnya bergerak dan tahu-tahu ia telah berada di depan si pengamuk itu.
"Gadis liar, kupenggal lehermu!" teriak Lok Ceng.
"Manusia tak tahu diri, kau harus diberi rasa sedikit!" Lili balas membentak dan dengan gerak tipu Sianli-jip-pek-to (Bidadari Memasuki Ratusan Golok) sebuah gerakan dari Ilmu Silat Sianli-utauw, ia melompat maju dan dengan tubuh lincah sekali ia dapat masuk diantara gotok itu dan langsung menggerakkan tangan kanan ke arah iga lawannya.
"Duk!" dengan tepat sekali jari tangannya mengirim tiam-hwat (totokan) yang mengenai jalan darah hong-twi-hiat dengan jitu sekali. Terdengar Lok Ceng memekik kerasa dan aneh...! Orang muka kuning yang tinggi besar ini tak dapat bergerak lagi. Tubuhnya menjadi kaku dan dalam keadaan masih berdiri dengan golok terpegang erat-erat di tangan kanannya!
Semua orang memandang dengan mata terbelalak. Mereka masih tidak mengerti mengapa Lok Ceng berdiri kaku seperti patung. Lili yang semenjak kecil memang telah mempunyai kesukaan berkelahi dan memang wataknya nakal dan jenaka itu, tersenyum-senyum dan dengan mata berseri-seri ia lalu mengambil semua mangkok di atas meja yang masih terisi masakan, lalu ia membalikkan mangkok itu ke atas kepala Lok Ceng, sehingga Lok Ceng kini memakai topi mangkok yang isinya tumpah dan mengalir di sepanjang hidungnya!
Semua orang yang merasa lebih heran daripada lucu itu, tak dapat tertawa dan masih memandang dengan bengong, bahkan pelayan yang dipanggil oleh Lili seakan-akan tak mendengar panggilan gadis itu dan masih berdiri bengong sambil memandang ke arah Lok Ceng.
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"He, aku mau membayar! Mana pelayan?" teriak Lili.
Barulah pelayan itu berlari menghampiri sambil membungkuk-bungkuk.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
148 "Nah, ini untuk membayar masakan yang telah kumakan. Lebihnya untuk mengganti
kerugian rumah makan ini karena barang-barang yang dirusak oleh lalat kuning ini!" Ia melemparkan sepotong uang perak yang berat ke atas meja, lalu keluar dari restoran itu, sama sekali tidak mempedulikan Lok Ceng yang masih berdiri seperti patung batu.
Pelayan yang mengurus kudanya mendapat hadiah yang lumayan pula.
"Eh, Siocia..." kata pelayan ini, "bagaimana dengan Oei-bin-liong" Tubuhnya kaku dan ia tidak dapat menggerakkan kaki pergi dari rumah makan kami."
Lili tertawa geli. "Biarlah, bukankah ia menjadi sebuah patung yang baik sekali untuk menarik perhatian langganan sehingga restoran selalu akan penuh dengan tamu?"
"Akan tetapi... tentu ia akan marah dan... bagaimana kalau ia mati?"
Lili berkata dengan sungguh-sungguh, "Jangan kuatir. Aku sengaja memberi hukuman kepadanya. Dalam waktu pendek ia akan dalam keadaan demikian, nanti kesehatannya akan pulih kembali." Setelah berkata demikian, Lili lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kudanya itu cepat-cepat meninggalkan Lok-yang.
*** Setelah melakukan perjalanan dengan cepat selama dua pekan akhirnya sampailah Lili di tempat yang menjadi tujuan utamanya, yaitu dusun Tong-sin-bun. Ia lalu memilih rumah penginapan dan menyewa sebuah kamar. Kudanya ia serahkan kepada pelayan untuk dirawat baik-baik.
Tanpa bertanya kepada orang lain, Lili dapat mencari rumah Ban Sai Cinjin dengan mudah, oleh karena di dalam dusun yang tak berapa besar itu, hanya satu-satunya gedung yang besar dan mewah yang menjadi tempat tinggal Ban Sai Cinjin. Bahkan ketika ia bertanya kepada pelayan, hotel di mana ia bermalam juga milik dari Ban Sai Cinjin yang kayaraya dan berpengaruh besar.
"Nona datang dari mana dan apakah hendak bertemu dengan Ban Sai Cinjin Loya?"
Lili tersenyum dan maklum bahwa semua pekerja di dalam hotel ini adalah anak buah Ban Sai Cinjin, maka ia menjawab, "Ah, tidak. Aku hanya seorang pelancong yang tertarik melihat keadaan di dusun ini yang amat ramai."
Pada senja hari itu diam-diam tanpa diketahui oleh seorang pun, Lili mengenakan pakaian yang ringkas, menggantungkan pedangnya di pinggang, lalu keluar dari penginapan itu untuk mencari musuh besarnya, Bouw Hun Ti. Ia menduga bahwa musuh besarnya itu tentu berada di kelenteng yang dulu pernah dilihatnya dengan Sin-kai Lo Sian, yaitu dalam sebuah hutan tak jauh dari dusun Tong-sin-bun itu.
Akan tetapi sebelum menuju ke hutan itu, ia sengaja menyelidiki dulu gedung besar tempat tinggal Ban Sai Cinjin yang nampak sunyi dari luar. Ketika ia hendak melompat ke atas pagar tembok yang tinggi dan yang mengelilingi gedung itu, tiba-tiba ia melihat seorang pemuda yang tampan bersama seorang setengah tua berjalan keluar dari gedung itu dengan tindakan Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
149 cepat. Lili cepat bersembunyi di tempat gelap dan memandang tajam. Bukan main heran dan terkejutnya ketika ia melihat pemuda itu. Tak salah lagi, pemuda itu tentulah Thio Kam Seng, anak laki-laki yang dulu pernah ditolong oleh suhunya, Sin-kai Lo Sian, atau yang boleh juga disebut suhengnya, karena mereka keduanya pernah menjadi murid Sin-kai Lo Sian.
Lili menjadi girang sekali dan hampir saja ia memanggil pemuda itu. Akan tetapi ia dapat menahan keinginannya ini karena teringat bahwa pemuda ini baru saja keluar dari gedung Ban Sai Cinjin. Hal ini benar-benar aneh sekali. Kam Seng pernah hampir dibunuh oleh seorang murid Ban Sai Cinjin, bagaimana sekarang ia bisa keluar masuk demikian leluasa di gedung Ban Sai Cinjin itu" Hal ini menimbulkan kecurigaannya dan ia tidak memanggil pemuda itu, bahkan lalu diam-diam mengikuti perjalanan Kam Seng dan orang tua itu yang berjalan cepat menuju ke hutan di mana terdapat kelenteng besar kepunyaan Ban Sai Cinjin.
Bagaimanakah Kam Seng dapat berada di tempat itu dan keluar dari gedung Ban Sai Cinjin dengan enaknya" Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ketika Pendekar Bodoh dan isterinya naik ke Gunung Beng-san dan bertemu kembali dengan Lili, pemuda ini dibawa pergi oleh Mo-kai Nyo Tiang Le.
Sesungguhnya, Thio Kam Seng tidak mempunyai riwayat hidup yang baik. Dulu ketika ditolong oleh Sin-kai Lo Sian, ia memang menceritakan riwayatnya bahwa kedua orang tuanya telah meninggal dunia karena kemiskinan dan kelaparan, akan tetapi sesungguhnya tidak demikian halnya. Thio Kam Seng ini adalah anak tunggal dari seorang tokoh persilatan tinggi yang bernama Song Kun. Para pembaca dari cerita Pendekar Bodoh tentu masih ingat bahwa Song Kun adalah sute (adik seperguruan) dari Lie Kong Sian, dan bahwa karena kejahatannya hendak mengganggu Lin Lin akhirnya Song Kun tewas dalam tangan Cin Hai, Si Pendekar Bodoh. Pada waktu hal ini terjadi, Cin Hai belum menikah dengan Lin Lin, akan tetapi Song Kun telah meninggalkan seorang gadis yang dipeliharanya sebagai isteri tidak sah, dan isterinya ini telah mengandung tiga bulan. Karena Song Kun terkenal sebagai seorang pemuda mata keranjang yang jahat sekali, maka ia mempunyai banyak bini peliharaan di mana-mana, baik yang ia dapatkan karena ketampanannya maupun yang ia ambil secara paksa, bahkan yang diculiknya dari rumah orang tua gadis itu!
Setelah Song Kun tewas dalam tangan Pendekar Bodoh, Thio Kui Lin hidup terlunta-lunta.
Untuk kembali ke rumah orang tuanya ia merasa malu, dan hanya untuk kepentingan anak dalam kandungannya belaka ia masih mempertahankan hidupnya. Beberapa bulan kemudian, dalam keadaan yang amat sengsara, terlahirlah seorang anak laki-laki yang ia beri nama Kam Seng. Karena Thio Kui Lin sesungguhnya amat benci kepada suaminya yang mengambilnya secara paksa maka ia memberi nama keturunan Thio kepada puteranya ini.
Betapapun juga, setelah Kam Seng berusia lima tahun dan sudah pandai berpikir, ketika Kam Seng bertanyakan ayahnya, Kui Lin lalu menceritakan bahwa ayahnya telah tewas dalam tangan seorang pendekar besar bernama Pendekar Bodoh!
Dalam keadaan yang amat miskin, Kui Lin hidup berdua dengan puteranya. Mereka terlunta-lunta dan hidup serba kekurangan, dan akhirnya Kui Lin jatuh sakit yang membawanya kembali ke alam baka. Semenjak itu Kam Seng menjadi yatim piatu, hidup merantau terlunta-lunta sebagai seorang pengemis cilik. Ternyata ia mempunyai otak yang cerdik sekali, dan agaknya kecerdikan ayahnya menurun kepadanya. Ia dapat berpura-pura bodoh dan jarang bicara, padahal segala sesuatu ia perhatikan betul-betul. Cerita ibunya tentang ayahnya yang Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
150 terbunuh oleh Pendekar Bodoh, berkesan di dalam lubuk hatinya, dan ia tak dapat melupakan nama Pendekar Bodoh ini dari ingatannya.
Demikianlah, sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ia tertolong oleh Sin-kai Lo Sian, diangkat menjadi muridnya dan akhirnya ia diajak pergi oleh Mo-kai Nyo Tiang Le Si Pengemis Iblis yang lihai.
"Kita harus mencari suhumu," kata Mo-kai Nyo Tiang Le. "Sebelum kita bertemu dengan gurumu, kau harus melatih diri baik-baik, akan kuajarkan ilmu silat-ilmu silat tinggi kepadamu agar kelak kau tak usah kalah oleh murid Pok Pok Sianjin atau puteri Pendekar Bodoh sekalipun!"
Diam-diam Kam Seng merasa girang sekali, telah lama ia menahan-nahan dendamnya ketika ia mengetahui bahwa musuh besarnya, yaitu pembunuh ayahnya, adalah ayah Lili yang menjadi sumoinya. Dapat dibayangkan betapa menggeloranya hatinya ketika dulu ia melihat Pendekar Bodoh di puncak Gunung Beng-san. Saking terharu dan sedihnya tak berdaya membalas dendam, dulu ia telah menangis sedih. Tak seorang pun mengetahui apa yang menyebabkannya menangis. Kini mendengar ucapan Mo-kai Nyo Tiang Le supeknya, ia menjadi girang sekali dan mulai hari itu ia belajar dengan tekun dan rajinnya, membuat girang hati Mo-kai Nyo Tiang Le.
Bertahun-tahun Kam Seng pergi merantau dengan Mo-kai Nyo Tiang Le, menjelajah seluruh propinsi di daerah Tiongkok, akan tetapi mereka tak bertemu dengan Sin-kai Lo Sian, bahkan mendengar beritanya pun tidak. Orang-orang kang-ouw yang mereka tanyai, tak seorang pun pernah bertemu dengan Sinkai Lo Sian yang telah menghilang untuk bertahun-tahun lamanya.
Terpaksa Mo-kai Nyo Tiang Le mewakili sutenya mendidik Kam Seng yang sesungguhnya menguntungkan pemuda itu, karena kepandaian Pengemis Iblis ini jauh lebih tinggi daripada kepandaian Pengemis Sakti. Sembilan tahun lamanya Mo-kai Nyo Tiang Le mengajak Kam Seng merantau, berpindah-pindah dari barat ke timur, dari utara ke selatan dan sementara itu, kepandaian Kam Seng telah maju dengan cepat sekali. Ia telah mewarisi kepandaian Mo-kai Nyo Tiang Le, terutama sekali permainan Ilmu Silat Soan-hong-kun-hwat (Ilmu Silat Kitiran Angin) dan ilmu melepas senjata rahasia yang disebut Thio-tho-ci (biji buah Tho besi). Ilmu permainan tongkat dari Pengemis Iblis ini pun telah ia warisi dengan baik sekali.
"Supek," kata Kam Seng pada suatu hari setelah supeknya itu menyatakan kekesalan hatinya karena belum juga dapat bertemu dengan Sin-kai Lo Sian, "apakah tidak bisa jadi Suhu terkena celaka di tangan Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin" Bagaimana kalau kita mencari di sana?"
Supeknya mengangguk-angguk. "Mungkin dugaanmu ini benar juga. Aku pun telah
mempunyai dugaan demikian." Ia menghela napas. "Memang Ban Sai Cinjin jahat dan kejam, akan tetapi ilmu kepandaiannya amat tinggi. Jangankan Sute, aku sendiri belum tentu dapat melawannya. Akan tetapi, kita harus dapat mengetahui bagaimana dengan nasib Sute. Kita berangkat ke dusun Tong-sin-bun."
Mereka lalu menuju kembali ke barat dan tiba di dusun itu di waktu malam.
"Supek, biarlah teecu menyelidiki ke kuil itu."
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
151 "Kau hati-hatilah, Kam Seng. Di sana terdapat banyak orang pandai," kata Mo-kai Nyo Tiang Le yang duduk di bawah pohon sambil minum arak yang dibelinya di warung arak.
"Jangan kuatir, Supek. Tak percuma selama ini teecu mempelajari ilmu kepandaian dari Supek."
Pemuda ini lalu mempergunakan ilmunya berlari cepat menuju ke hutan itu. Ia melihat kelenteng itu terang sekali, penuh dengan lampu-lampu penerangan yang besar dan mewah.
Melihat keadaan kelenteng itu dan melihat betapa kain-kain sutera yang halus tergantung dijadikan tirai penutup pintu, ia menghela napas dan melirik ke arah pakaiannya sendiri.
Semenjak ia pergi ikut dengan supeknya belum pernah ia berpakaian baik. Pakaiannya tambal-tambalan dan kotor sekali. Sesungguhnya tidak sukar baginya kalau ia mau mengambil pakaian dari para hartawan, akan tetapi supeknya tentu melarangnya, dan ia merasa malu untuk berpakaian bagus sedangkan supeknya berpakaian kotor penuh tambalan.
Keadaannya sama seperti seorang pengemis muda!
Kam Seng menanti sampai beberapa lama, akan tetapi oleh karena ia tidak melihat seorang pun keluar dari kelenteng itu, ia lalu memberanikan diri dan menghampiri kelenteng itu.
Dengan ginkangnya yang sudah terlatih baik dengan mudah ia lalu melompat ke atas genteng.
Dari atas genteng ia melihat bahwa penerangan yang paling besar keluar dari ruangan belakang, maka dengan amat hati-hati ia lalu menuju ke ruang itu, mengerahkan gin-kangnya agar genteng yang diinjaknya tidak menerbitkan suara berisik.
Ketika ia mengintai ke bawah, ia melihat tiga orang sedang bercakap-cakap di dalam ruangan itu. Ia mengenal dua orang diantara mereka yaitu Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin. Yang seorang lagi adalah seorang tosu tua yang rambutnya masih nampak hitam, demikianpun jenggotnya. Kam Seng merasa heran mendengar bahwa Ban Sai Cinjin yang berambut putih dan tua itu menyebut suheng (kakak seperguruan) kepada tosu ini. Sungguh mengherankan bahwa seorang yang usianya lebih tua daripada Ban Sai Cinjin masih nampak segar dan rambutnya masih hitam. Akan tetapi pada saat itu, percakapan mereka lebih menarik hati Kam Seng, karena ia mendengar nama Pendekar Bodoh' disebut-sebut.
"Memang Pendekar Bodoh lihai sekali," ia mendengar tosu itu berkata sambil
menganggukkan kepalanya. "Ia telah mewarisi kepandaian Bu Pun Su. Akan tetapi pinto (aku) tahu bagaimana harus menghadapi dan melawannya. Ia mengandalkan pengertiannya tentang pokok dan dasar gerakan ilmu silat sehingga kalau ia dilawan dengan ilmu silat biasa, ia akan menang di atas angin. Akan tetapi pinto telah mempelajari ilmu silat dunia barat yang mempunyai gerakan berlainan dan dasarnya pun berbeda sehingga kalau menghadapi
Pendekar Bodoh, belum tentu pinto takkan dapat merobohkannya!"
"Supek berkata benar," Bouw Hun Ti tiba-tiba berkata, "bagaimanapun juga, Pendekar Bodoh bukan tidak dapat dilawan! Pernah teecu mendengar bahwa Pendekar Bodoh masih belum selihai Hek Pek Mo-ko (Iblis Hitam dan Iblis Putih, tokoh kang-ouw yang muncul dalam cerita Pendekar Bodoh). Pernah dia terluka oleh kedua saudara itu. Kalau kepandaian Suhu saja sudah setingkat dengan kepandaian Hek Pek Mo-ko karena dari satu cabang persilatan, mustahil kalau Supek tidak dapat menundukkan Pendekar Bodoh!"
Ketika Ban Sai Cinjin menyedot huncwenya dan hendak menjawab tiba-tiba tosu itu menengok ke arah genteng di mana Kam Seng mengadakan pengintaian dan berkata halus,
"Sahabat muda yang mengintai di atas genteng, kauturunlah saja!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
152 Bukan main kagetnya Kam Seng mendengar ucapan ini. Semenjak tadi ia mendengarkan dengan penuh perhatian dan hatinya tertarik sekali. Kalau orang-orang di bawah ini yang demikian lihai ternyata memusuhi Pendekar Bodoh, maka ia tidak sekali-kali boleh memusuhi mereka. Alangkah baiknya kalau ia bisa berkawan dengan mereka untuk membalas
dendamnya kepada Pendekar Bodoh! Telah berkali-kali supeknya, Mo-kai Nyo Tiang Le menyatakan bahwa kepandaian Pendekar Bodoh amat tinggi, masih lebih tinggi daripada kepandaian Pengemis Iblis itu, maka sudah menipislah harapan di dalam hati Kam Seng mendengar pernyataan ini. Kini mendengar betapa ilmu kepandaian Ban Sai Cinjin dan tosu yang menjadi suheng kakek berhuncwe itu demikian tingginya, ia mendapat sebuah pikiran baik sekali.
Mendengar ucapan tosu itu, makin yakinlah ia bahwa tosu itu benar-benar lihai sekali, maka ia lalu menjawab,
"Maafkan teecu yang muda berlaku lancang!" Setelah berkata demikian, ia lalu meloncat ke bawah, melayang sambil menggunakan gerakan In-liong-san-hian (Naga Awan Perlihatkan Diri). Gerakan ini cukup indah dan ilmu lompatnya cukup hebat sehingga tiga orang yang berada di ruang itu memandang dengan kagum. Melihat seorang pemuda cakap berbaju tambal-tambalan dan kotor sekali, Ban Sai Cinjin lalu melangkah maju, dan bertanya,
"Orang muda, siapakah kau dan mengapa kau melakukan pengintaian di kelentengku?"
Kam Seng menjura memberi hormat dan otaknya yang cerdik diputar-putar, kemudian ia berkata dengan sikap gagah dan suara tenang,
"Tadi teecu mendengar tentang totiang ini yang hendak melawan Pendekar Bodoh. Oleh karena ada permusuhan pribadi antara teecu dan Pendekar Bodoh, maka hati teecu tertarik sekali dan ingin teecu mencoba kepandaian Totiang yang lihai. Teecu maklum bahwa teecu bukanlah lawan Totiang ini, akan tetapi kalau Totiang dapat mengalahkan teecu dalam sepuluh jurus, teecu akan menghambakan diri menjadi murid dan akan menceritakan sesuatu bahaya yang mengancam ketenteraman di sini. Kalau Totiang tidak dapat mengalahkan teecu dalam sepuluh jurus, jangah harapkan akan dapat menangkan Pendekar Bodoh!"
Kata-kata ini membuat Bouw Hun Ti menjadi marah sekali dan ia melompat ke depan, cepat mengirim pukulan keras ke arah kepala Kam Seng sambil berseru,
"Macammu hendak menantang Supek?"
Pukulan tangan kanan Bouw Hun Ti ini keras sekali dan tenaga yang terkandung dalam pukulan itu cukup untuk menghancurkan batu karang. Sudah diketahui bahwa ilmu
kepandaian Bouw Hun Ti sudah mencapai tingkat tinggi, lebih tinggi dari Sin-kai Lo Sian maka dapat diduga betapa lihai dan berbahayanya pukulan ini.
Akan tetapi, Kam Seng bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Ia telah mewarisi kepandaian Mo-kai Nyo Tiang Le dan kepandaiannya sekarang mungkin sudah lebih tinggi daripada Sinkai Lo Sian! Ia maklum bahwa dalam hal tenaga lwee-kang tak mungkin ia dapat melawan orang kuat ini, maka ia lalu mempergunakan kecerdikannya. Dengan lengan kanan, ia mengerahkan tenaga halus untuk menangkis pukulan lawan, sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, akan tetapi digerakkan memukul ke depan dengan ilmu silat Soan-hong-jiu Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
153 (Kepalan Kitiran Angin). Bouw Hun Ti merasa terkejut sekali karena sebelum pukulannya mengenai sasaran, lebih dulu pukulan lawan itu mendatangkan angin yang hebat dan berbahaya sehingga terpaksa ia miringkan tubuhnya dan pukulannya tidak keras lagi. Ketika pukulannya tertangkis oleh lengan kiri Kam Seng, keduanya terpental ke belakang!
"Bagus...!" kata tosu itu yang sesungguhnya adalah suheng dari Ban Sai Cinjin yang bernama Wi Kong Siansu. Wi Kong Siansu ini sebagaimana pernah dituturkan di bagian depan adalah seorang pertapa di Hek-kwi-san dan dijuluki Toat-beng Lo-mo (Iblis Tua Pencabut Nyawa).
Oleh karena merasa kuatir menghadapi musuh-musuh yang tangguh, Ban Sai Cinjin
menyuruh Bouw Hun Ti untuk mengundang dan membujuk suhengnya itu yang kemudian
ternyata berhasil baik.
Melihat pukulan Soan-hon-jiu yang digerakkan oleh Kam Seng, Wi Kong Siansu menjadi tertarik dan ia lalu berdiri dari bangkunya.
"Bouw Hun Ti, biarkan anak muda ini memenuhi keinginannya." Ia melangkah maju
menghadapi Kam Seng. "Anak muda, sebelum pinto menuruti permintaanmu yang kurang ajar tadi, lebih dulu katakanlah kau siapa, anak siapa dan mengapa kau bermusuhan dengan Pendekar Bodoh?"
Semenjak dulu, Kam Seng tak pernah menyebut-nyebut nama ayahnya di depan siapapun juga. Sekarang karena maklum sepenuhnya bahwa ia berada diantara orang-orang yang menjadi musuh Pendekar Bodoh pula, ia tidak merasa ragu-ragu untuk memberitahukan nama ayahnya, bahkan ia pun merubah pula shenya yang biasanya Thio itu menjadi Song.
"Teecu bernama Kam Seng, she Song, Ayah teecu telah tewas di tangan Pendekar Bodoh, dan ayah teecu itu bernama Song Kun."
Mendengar disebutnya nama ini, Wi Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin saling pandang dengan terkejut sekali. "Apa" Ayahmu adalah Song Kun Si Tubuh Baja yang berjuluk Ang-ho-sian-kiam?" tanya Wi Kong Siansu dengan heran.
"Entahlah, karena ayah telah tewas sebelum teecu terlahir. Teecu hanya mendengar dari ibuku yang sekarang telah meninggal dunia pula. Hanya satu hal yang teecu ketahui, yaitu bahwa ayah teecu yang bernama Song Kun itu terbunuh oleh Pendekar Bodoh!"
"Benar, benar!" Wi Kong Siansu mengangguk-angguk. "Memang terbunuh oleh Pendekar Bodoh. Marilah, kau maju dan hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu, anak muda!"
Kam Seng memang sengaja menantang untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus karena ia mempunyai maksud tertentu. Ia telah maklum sampai di mana tingkat kepandaiannya, apabila diukur dengan kepandaian supeknya Nyo Tiang Le. Sungguhpun ia belum dapat menyamai ilmu kepandaian supeknya itu, namun dari latihan-latihan dengan supeknya ia dapat menaksir bahwa supeknya itu tak mungkin akan dapat merobohkan dan mengalahkannya dalam tiga puluh jurus! Maka ia sengaja menantang untuk dirobohkan dalam sepuluh jurus oleh tosu itu, karena kalau hal ini memang dapat terjadi, ia tidak ragu-ragu lagi akan kepandaian tosu ini dan tidak ragu-ragu untuk mengkhianati supeknya!
Setelah tosu itu melangkah maju menghadapinya, tanpa seji (sungkan) lagi Kam Seng lalu menyerang dengan Ilmu Silat Soan-hong-kun-hwat yang paling lihai. Ia hendak mendahului Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
154 menyerang agar supaya kakek itu tidak mempunyai kesempatan untuk menyerangnya. Kalau saja ia dapat menyerang bertubi-tubi sampai sepuluh jurus, biarpun tidak dapak merobohkan tosu itu, berarti ia telah menang karena dalam sepuluh jurus kakek itu tak dapat mengalahkannya!
Wi Kong Siansu agaknya maklum akai isi pikirannya ini, maka sambil tersenyun kakek yang amat lihai ini tidak memberi kesempatan kepada Kam Seng untuk menyerang dengan susulan lain. Begitu pukulan Kam Seng mendatang dan telah dekat dengan dadanya yang sama sekali tidak terpengaruh oleh angin pukulan itu ia mengebutkan ujung lengan bajunya menangkis dan tangan kanannya lalu meluncur keluar membarengi pukulan itu menotok ke arah pundak Kam Seng.
Pemuda ini terkejut sekali karena tangkisan ujung lengan baju itu ketika menimpa lengannya, tulang lengannya terasa sakit sekali bagaikan beradu dengan baja keras sedangkan totokan itu pun cepat sekali datangnya sehingga hampir saja ia menjadi korban dalam segebrakan saja! Ia cepat menjatuhkan diri ke belakang, berjumpalitan ke belakang dua kali, kemudian setelah berdiri ia lalu menyerang lagi. Serangan dalam jurus ke dua ini dilakukan dengan gerak tipu yang amat lihai. Ia melakukan serangan dari tiga jurusan, tangan kanan diputar merupakan kepalan yang mengarah kepala, tangan kiri dengan jari tangan terbuka menyabet lambung sedangkan kaki kanan menyusul dengan tendangan maut ke arah pusar! Inilah gerak tipu yang disebut Sam-in-koan-goat (Tiga Awan Menutup Bulan). Gerakan tiga macam pukulan ini dilakukan susul menyusul sehingga hampir boleh dibilang berbareng datangnya, dan karena yang diarah oleh ketiga pukulan ini adalah anggota-anggota tubuh yang berbahaya, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya serangan Sam-in-koan goat ini. Satu saja di antara ketiga pukulan itu mengenai sasaran, cukup untuk mengantar nyawa orang ke tempat asal!
"Bagus...!" seru Wi Kong Siansu melihat kehebatan serangan ini. Dengan amat tenang kakek ini melangkahkan kakinya dalam bentuk segitiga. Pertama- tama ia melangkah ke kanan sambil menundukkan kepala menghindarkan diri dari pukulan ke arah kepalanya, lalu melangkah lagi menyerong ke muka sambil menangkis pukulan ke arah lambungnya,
sedangkan tendangan yang mengarah pusarnya itu tidak dielakkan, bahkan ia lalu mengangkat kakinya menyambut tendangan itu dengan tendangan pula.
Sungguh mengherankan. Kalau dilihat tendangan Kim Seng amat keras dan cepat datangnya sedangkan kakek itu hanya mengangkat sedikit saja kakinya untuk menyambut tendangan pemuda itu akan tetapi begitu sepatu mereka bertemu, Kam Seng berseru kaget dan tubuhnya terlempar ke belakang tiga tombak lebih! Masih baik bahwa ia mempunyai gin-kang yang sempurna sehingga ia dapat berjungkir balik dan mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga ia dapat turun dengan kaki terlebih dulu!
Bukan main kagumnya hati Kam Seng. Ia maklum bahwa tosu ini benar-benar jauh lebih lihai daripada supeknya, maka tanpa banyak ragu-ragu lagi, ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tosu itu. "Kalau Totiang sudi menerima teecu sebagai murid, teecu akan merasa bahagia sekali."
Wi Kong Siansu tertawa bergelak. "Sayang kau ditinggal ayahmu dan tidak bertemu dengan guru yang baik. Kalau ada ayahmu, tentu kepandaianmu sudah sepuluh kali lipat lebih pandai daripada sekarang."
Ban Sai Cinjin lalu maju dan mengebulkan huncwenya.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
155 "Song Kam Seng, kau tadi bilang bahwa kau mempunyai rahasia yang hendak dituturkan.
Apakah rahasia itu" Hayo kau berkata terus terang, karena kalau memang betul kau putera Song Kun, kita adalah orang-orang sendiri. Ketahuilah bahwa antara kami dengan ayahmu dahulu terdapat perhubungan yang baik sekali."
"Sesungguhnya amat malu untuk menuturkan keadaan teecu," kata Kam Seng sambil
menundukkan kepalanya dan masih berlutut di depan Wi Kong Siansu. "Semenjak kecil teecu telah ditinggal mati ibu, dan ayah bahkan telah meninggalkan teecu sebelum teecu terlahir.
Teecu berkelana dan bersengsara seorang diri dengan hati mengandung dendam kepada Pendekar Bodoh, akan tetapi apa daya" Kemudian, teecu bertemu dengan Mo-kai Nyo Tiang Le yang memberi pelajaran ilmu silat kepada teecu. Sungguhpun kemudian teecu ketahui bahwa Mo-kai Nyo Tiang Le dan juga Sin-kai Lo Sian adalah kawan-kawan segolongan dengar Pendekar Bodoh sehingga hati teecu merasa segan sekali untuk belajar ilmu silat darinya, akan tetapi terpaksa teecu pertahankan juga. Karena, lebih baik menerima pelajaran ilmu silat dari siapapun juga daripada tidak berkepandaian sama sekali. Nah, kebetulan sekali hari ini teecu dibawa oleh Mo-kai Nyo Tiang Le yang sedang berusaha mencari Sin-kai Lo Sian. Dia menyangka bahwa sutenya itu tentu telah mendapat celaka dari Ban Sai Cinjin, maka ia lalu menyuruh teecu mengadakan penyelidikan ke sini!"
Ban Sai Cinjin tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Mo-kai Nyo Tiang Le pengemis kelaparan! Apa yang kutakuti terhadap orang seperti dia itu?"
"Teecu juga maklum akan hal ini, dan mulai saat ini juga, kalau kiranya Cu-wi Locianpwe sudi menerima, teecu ingin tinggal di sini mempelajari ilmu silat dan kemudian bersama Cu-wi ikut menyerbu dan membalas hukum kepada Pendekar Bodoh."
Ban Sai Cinjin agaknya masih ragu-ragu dan menaruh hati curiga. Akan tetapi Wi Kong Siansu sambil berkedip sutenya itu, berkata kepada Kam Seng, "Anak muda, kami percaya bahwa kau memang putera Song Kun. Akan tetapi, siapa mengetahui keadaan seseorang" Mo-kai Nyo Tiang Le yang menjadi gurumu itu ternyata hendak memusuhi sute dan menyuruh kau mengadakan penyelidikan ke sini. Bagaimanakah kalau sikapmu ini hanya sandiwara belaka agar kau dapat menyelamatkan diri dari kami" Kalau kau sekarang bisa memancing Mo-kai Nyo Tiang Le datang ke sini, tanpa mengatakan bahwa pinto dan Ban Sai Cinjin berada di tempat ini, dan kemudian di depan kami kau memperlihatkan sikapmu bermusuh dengan dia, barulah kami akan percaya. Menerima murid bukanlah hal yang amat mudah, dan sebelum mengetahui betul kesetiaanmu, pinto tidak dapat menerimamu sebagai murid."
"Baiklah, harap Cu-wi suka menanti sebentar. Malam ini juga teecu akan membawa Mo-kai Nyo Tiang Le datang ke tempat ini!" Setelah berkata demikian, Kam Seng memberi hormat dan melompat keluar dari ruangan itu. Ban Sai Cinjin hendak menggerakkan tangan mencegah, akan tetapi suhengnya berkata,
"Anak itu memang betul keturunan Song Kun. Tidak lihatkah kau akan gerak matanya dan bentuk bibirnya" Sama benar dengan Song Kun. Dan andaikata sikapnya tadi hanya untuk menyelamatkan diri untuk seorang pemuda macam dia, kita takut apakah?"
Sementara itu, Kam Seng cepat kembali ke tempat supeknya yang masih menantinya.
Hatinya girang sekali. Tadinya ia telah merasa putus harapan untuk dapat membalas dendamnya kepada Pendekar Bodoh, karena kalau Mo-kai Nyo Tiang Le yang menjadi
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
156 gurunya masih mengatakan kalah jauh oleh Pendekar Bodoh, apalagi dia" Pendekar Bodoh menurut supeknya ini mempunyai banyak orang-orang pandai. Isteri Pendekar Bodoh sendiri adalah murid Bu Pun Su dan memiliki kepandaian yang amat tinggi. Masih ada lagi Ang I Niocu dan suaminya Lie Kong Sian yang terhitung kakak seperguruan dari Pendekar Bodoh, ada lagi Kwee An yang menjadi iparnya dan isteri Kwee An yang bernama Ma Hoa dan yang memiliki kepandaian tinggi karena nyonya muda ini adalah murid terkasih dari Hok Peng Taisu yang lihai! Bagaimana ia dapat menghadapi Pendekar Bodoh seorang diri saja" Bahkan supeknya amat menghormat Pendekar Bodoh maka tak mungkin supek atau suhunya
memperkenankan ia berlaku kurang ajar terhadap Pendekar Bodoh.
Kini, pertemuan dengan Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu yang amat tinggi
kepandaiannya, menimbulkan pengharapan baru di dalam hatinya. Ia tadi tidak melihat Hok Ti Hwesio, hwesio kecil jahat murid Ban Sai Cinjin yang dulu hendak membelek perutnya, akan tetapi ia pun tidak takut. Andaikata Hok Ti Hwesic mengenalnya, ia rasa masih dapat melayani hwesio itu, dan apalagi kalau ia sudah menjadi murid Wi Kong Siansu, tentu Hek Ti Hwesio tidak berani mengganggunya.
"Bagaimana, Kam Seng" Apakah kau melihat suhumu di sana" Dan apakah Ban Sai Cinjin berada di sana pula?"
"Teecu rasa Suhu berada di sana, Supek. Mungkin dikurung dalam sebuah kamar. Akan tetapi teecu tidak berani turun dan berlaku sembrono, karena di sana teecu melihat ada murid-murid Ban Sai Cinjin. Teecu rasa sekarang lebih baik kalau kita berdua menyerbu ke sana, karena tidak terlihat Ban Sai Cinjin, yang ada hanya Bouw Hun Ti!"
Girang sekali hati Mo-kai Nyo Tiang Le mendengar kesempatan yang amat baik ini, maka ia cepat berdiri dan mengajak pemuda itu cepat berlari kembali ke hutan itu.
Kam Seng mengajak supeknya melompat ke atas genteng dan mengintai di atas ruang tadi, akan tetapi baru saja Nyo-kai Tiang Le menginjak genteng ia mendengar suara Bouw Hun Ti tertawa di bawah genteng.
"Pengemis kelaparan Nyo Tiang Le! Perlu apa mengintai seperti seorang maling" Kalau kau kelaparan tak perlu kau mencuri makanan di sini, turunlah ada makanan anjing tersedia untukmu!"
Bukan main marahnya Mo-kai Nyo Tiang Le mendengar ucapan yang sangat menghina ini.
Ia memang seorang pemarah yang keras hati, maka tanpa mempedulikan sesuatu lagi, ia lalu melayang turun, diikuti oleh Kam Seng. Akan tetapi, begitu kakinya menginjak lantai ruangan itu, Mo-kai Nyo Tiang Le terkejut sekali melihat Ban Sai Cinjin dan seorang tosu tua muncul dari balik pintu. Ban Sai Cinjin mengebulkan asap huncwenya dan melihat asap itu berwarna hitam, tahulah Mo-kai Nyo Tiang Le bahwa ia harus melawan mati-matian.
Terdengar tosu yang tak dikenalnya itu tertawa girang dan berkata kepada Kam Seng,
"Bagus, bagus, Kam Seng! Kau memang boleh dipercaya dan pinto suka menjadi suhumu.
Tentu saja Mo-kai Nyo Tiang Le menjadi melongo melihat dan mendengar ucapan ini.
"Kam Seng! Apakah artinya ini?"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
157 Akan tetapi sebelum pemuda itu menjawab, Ban Sai Cinjin sudah menegur Pengemis Iblis itu, "Orang she Nyo! Kau datang sebagai tamu tak diundang, mengapa lagakmu demikian kasar" Sebetulnya, apakah keperluanmu datang ke tempatku ini?"
"Ban Sai Cinjin, semenjak dulu kita belum pernah bermusuhan, maka harap kau suka memberi keterangan tentang suteku Lo Sian. Di manakah dia?"
Ban Sai Cinjin mengeluarkan suara menghina. "Apa kaukira aku menjadi bujang pengasuh dari Lo Sian" Kaucarilah sendiri, di sini tidak ada sutemu yang gila itu!"
"Gila..." Suteku tidak gila..." kata Mo-kai Nyo Tiang Le sambil memandang tajam.
Merahlah wajah Ban Sai Cinjin karena tanpa disengaja ia hampir saja membuka rahasianya.
Memang Lo Sian telah menjadi gila karena ia paksa minum obat beracun.
"Kau dan Sutemu memang orang-orang tidak waras, kalau sehat bagaimana malam-malam datang ke tempat tinggal orang lain mencari Sutemu?"
Mo-kai Nyo Tiang Le merasa segan untuk bermusuh melawan Ban Sai Cinjin yang lihai dan di situ masih ada tosu tua yang nampaknya berkepandaian tinggi itu. Juga ia masih merasa heran mendengar percakapan antara tosu itu dengan Kam Seng, maka ia pikir lebih baik mengajak pemuda itu pergi dari tempat berbahaya ini.
"Sudahlah, aku tak mau mengganggu terlebih jauh. Hayo, Kam Seng, kita pergi dari sini!"
katanya mengajak pemuda itu.
Akan tetapi, sungguh di luar dugaan sama sekali jawaban yang ia dengar dari mulut pemuda itu, "Tidak, aku tidak pergi dari sini. Di sinilah tempatku bersama suhuku yang baru Wi Kong Siansu!"
Barulah Mo-kai Nyo Tiang Le tahu bahwa tosu itu adalah Toat-beng Lomo yang amat terkenal. Ia terkejut sekali, akan tetapi keheranannya lebih besar lagi.
"Apa katamu" Kam Seng, apa artinya ini" Apakah kau sudah gila?"
Pemuda itu memandangnya tajam. "Tidak, Mo-kai Nyo Tiang Le, kaulah yang gila kalau kaukira akan dapat memaksaku untuk menjadi pengemis, hidup berkeliaran, pakaian tidak karuan, makan tak tentu. Aku tidak mau mengikuti kau terus. Kau, pergilah dari sini!"
Marahlah Mo-kai Nyo Tiang Le mendengar ucapan ini. Tak pernah disangkanya bahwa pemuda yang biasanya pendiam dan penurut itu kini berubah menjadi sedemikian kurang ajar.
"Kam Seng...! Kau murid durhaka! Kalau kau tidak mau pergi, terpaksa aku harus binasakan kau lebih dulu agar kelak tidak mencemarkan namaku!"
Tiba-tiba Kam Seng tersenyum. "Hm, Mo-kai Nyo Tiang Le! Ketahuilah siapa sebenarnya aku. Aku adalah putera dari Ang-ho Sian-kiam Song Kun, dan aku telah bersumpah untuk membalas kematian ayahku kepada Pendekar Bodoh! Nah, apakah kau tidak mau lekas pergi dari sini" Aku masih mengingat akan sedikit kebaikanmu yang telah menurunkan sedikit ilmu Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
158 silat tak berarti kepadaku. Kalau kau tidak lekas pergi, jangan menganggap aku keterlaluan kalau terpaksa turun tangan melawan dan mengusirmu!"
Serasa meledak dada Mo-kai Nyo Tiang Le. Sepasang matanya menjadi merah bagaikan terbakar dan rambutnya yang tidak karuan itu menjadi kaku berdiri.
"Murid durhaka! Manusia berhati rendah!"
Akan tetapi, Kam Seng dengan marah sekali telah mengeluarkan beberapa butir Thi-tho-ci dan mengayun senjata-senjata rahasia itu ke arah Mo-kai Nyo Tiang Le sambil berseru, "Kau pergilah!"
Dengan amarah yang meluap-luap Mo-kai Nyo Tiang Le menyambut datangnya senjatasenjata rahasia itu dengan gerakan tangan kirinya yang menangkis dan memukul runtuh beberapa senjata-senjata rahasia itu, kemudian sambil berseru keras ia lalu melancarkan serangannya yang hebat yaitu pukulan Soan-hong-jiu yang dilakukan dengan tenaga penuh ke arah bekas muridnya itu! Kam Seng maklum akan kelihaian pukulan ini, akan tetapi karena ia tahu pula bahwa mengelak dari pukulan ini selain sia-sia juga amat berbahaya, terpaksa ia pun mengerahkan tenaganya dan melakukan gerakah pukulan yang sama. Biarpun jarak di antara mereka ada dua tombak lebih jauhnya, namun angin pukulan Soan-hong-jiu dari Mo-kai Nyo Tiang Le ini menyambar hebat sekali ke arah Kam Seng. Pemuda ini juga melakukan pukulan Soan-hong-jiu dengan tenaga khi-kang sepenuhnya untuk menangkis. Dua angin pukulan bertemu dan akibatnya Kam Seng terlempar ke belakang sampai tubuhnya menimpa dinding di belakangnya! Namun tangkisannya itu menyelamatkan jiwanya, karena sedikitnya telah membentur tenaga pukulan bekas supeknya dan ia hanya terlempar saja tanpa menderita luka.
"Kau harus mampus!" Mo-kai Nyo Tiang Le berseru sambil melompat ke arah bekas
muridnya untuk memberi pukulan maut. Akan tetapi, tiba-tiba dari sebelah kiri berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Wi Kong Siansu telah berada di depannya dan tersenyum mengejek.
"Wi Kong Siansu! Jangan kau ikut-ikut! Tidak ada orang kang-ouw yang begitu tidak tahu malu untuk mencampuri urusan antara guru dan muridnya sendiri!" teriak Mo-kai Nyo Tiang Le marah sekali.
Wi Kong Siansu tertawa bergelak. "Mo-kai, kau lupa bahwa pemuda ini bukan muridmu lagi! Ia telah menyatakan tidak sudi menjadi muridmu dan kau harus ingat lagi bahwa dia kini telah menjadi murid pinto! Apakah kaukira pinto dapat berpeluk tangan saja melihat murid pinto hendak dibinasakan olehmu?"
Saking marahnya Mo-kai Nyo Tiang Le menjadi nekat. "Bagus!" teriaknya "Hendak kulihat sampai di mana kehebatan Toat-beng Lo-mo!"
"Ha-ha! Majulah, mari kita main-main sebentar!" jawab tosu itu.
Nyo Tiang Le menyerang dengan cepat dan bertubi-tubi. Akan tetapi, tosu yang berilmu tinggi itu dengan tenangnya dapat mengelak dan membalas dengan serangannya. Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu ini melayani Pengemis Iblis dengan kedua ujung lengan bajunya yang panjang yang menyambar-nyambar dengan totokan-totokan ke arah jalan darah. Setiap sambaran ujung lengan baju membawa angin keras dan berat sekali. Mo-kai Nyo Tiang Le Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
159 terkejut ketika menyaksikan betapa angin pukulan Soan-hong-jiu yang dipergunakannya selain terpental kembali tiap kali terbentur oleh ujung lengan baju itu dan maklumlah ia bahwa dalam hal tenaga lwee-kang dan khi-kang, ia masih kalah setingkat!
Oleh karena merasa percuma saja melawan tosu lihai ini, Mo-kai Nyo Tiang Le membuat gerakan mengalah, yaitu melompat mundur beberapa tindak sambil berkata, "Toat-beng Lo-mo, kepandaianmu benar-benar mengagumkan! Perkenankan aku pergi membawa muridku yang murtad!" Sambil berkata demikian, ia melompat hendak menyambar tubuh Kam Seng yang berdiri di sudut akan tetapi Wi Kong Siansu telah mendahuluinya dan kembali menghadang di depannya.
"Mo-kai! Jangan kaulanjutkan kehendakmu yang salah ini. Kau pergilah dengan aman, dan pinto takkan mengganggumu. Akan tetapi kalau kau berkeras hendak mencelakakan muridku, terpaksa pinto harus turun tangan!"
Mo-kai Nyo Tiang Le menjadi makin marah. Ia maklum bahwa ia akan sukar sekali dapat menangkan tosu ini, akan tetapi kalau ia mundur, berarti bahwa ia telah menurunkan kehormatannya dengan rendah sekali. Bagi seorang gagah, soal kehormatan lebih penting dan lebih mahal daripada nyawa. Muridnya berlaku khianat dan durhaka, sudah menjadi haknya untuk menghukum murid itu. Kalau ada orang lain yang menghalanginya, itu berarti penghinaan yang amat besar.
Sambil berseru keras, Mo-kai Nyo Tiang Le lalu mencabut tongkatnya yang tadi diselipkan di ikat pinggang depan. Kemudian ia lalu menotok ke arah leher tosu itu dengan gerak tipu Sian-jin-tit-lou (Dewa Menunjukkan Jalan).
"Bagus!" seru Wi Kong Siansu yang segera mengebut dengan ujung lengan bajunya sebelah kiri, kemudian ia lalu mengibaskan lengan baju kanan ke arah kepala lawannya dengan gerak tipu Burung Elang Menyambar Ayam. Nyo Tiang Le cepat mengelak dan ia lalu memutar tongkatnya dengan hebat sekali. Tongkat pendek itu terputar-putar bagaikan kitiran, berubah menjadi gulungan sinar yang amat kuat dan dapat berkelebatan ujungnya menotok ke arah jalan darah di tubuh lawan. Inilah ilmu tongkat dari Hoa-san-pai yang lihai sekali, karena setiap serangan dapat mendatangkan maut!
Akan, tetapi Wi Kong Siansu adalah tokoh persilatan yang sudah banyak pengalaman dan kepandaiannya tinggi sekali. Ia telah tahu akan ilmu tongkat Hoa-san-pai ini, maka biarpun ia tidak menggunakan senjata, kedua ujung lengan bajunya sudah cukup untuk memunahkan semua serangan Nyo Tiang Le. Nampaknya ia hanya menggerakkan kedua ujung lengan baju itu perlahan dan lambat saja, akan tetapi angin gerakannya demikian kuat sehingga tiap kali ujung tongkat Mo-kai menyerang, selalu kena ditolak oleh ujung lengan baju itu.
Setelah menyerang selama tiga puluh jurus lebih belum juga dapat mendesak lawannya yang tangguh, bahkan gulungan sinar tongkatnya makin lemah, tiba-tiba Mo-kai Nyo Tiang Le berseru keras dan tubuhnya bergulingan ke atas lantai sambil melakukan penyerangan hebat dan bertubi-tubi dari bawah! Inilah ilmu tongkat Hoa-san-pai yang paling lihai dan disebut gerak tipu Naga Sakti Mempermainkan Mustika!
Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu terkejut juga melihat cara penyerangan yang hebat dan berbahaya ini. Ujung tongkat lawannya menyambar-nyambar dari bawah dibarengi dengan tubuh lawannya yang bergulung-gulung dan mengejarnya ke mana juga ia melompat. Ia telah Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
160 mengenal ilmu silat ini, akan tetapi oleh karena ilmu meringankan tubuh dari Mo-kai Nyo Tiang Le memang hebat, maka kelihaian penyerangan ini sungguh mengatasi dugaannya!
Ketika ia melompat untuk mengelak dari tusukan yang diarahkan kepada pusarnya, tiba-tiba Mo-kai Nyo Tiang Le berseru keras dan melompat pula, dengan cara yang amat tak terduga merubah serangannya dengan gerak tipu Monyet Tua Menyambar Bunga, langsung
menusukkan tongkatnya ke arah ulu hati tosu itu! Serangan ini amat cepat dan tak terduga sehingga sukar untuk dielakkan lagi. Akan tetapi Wi Kong Siansu benar-benar mengagumkan.
Ia amat tenang dan tidak menjadi gugup. Dengan ujung lengan baju sebelah kiri ia menyabet ujung tongkat itu dan lengan baju sebelah kanan untuk menyabet pula sehingga kain ini kini melibat tongkat lawannya. Sekarang dua ujung lengan baju itu telah membelit tongkat, tak dapat dilepaskan lagi. Melihat kesempatan baik ini, dengan girang Nyo Tiang Le lalu menggerakkan tangan kirinya, dengan jari tangan terbuka ia memukul kepala tosu itu dengan pukulan Soan-hong-jiu yang hebat!
Kalau pukulan ini mengenai kepala tosu itu biarpun ia amat kuat dan lihai, agaknya ia akan mendapat luka di dalam kepala dan nyawanya takkan dapat diselamatkan lagi. Akan tetapi, dengan gerakan yang amat cepatnya, tosu itu menarik kepalanya ke bawah lalu melakukan serangan dengan kepalanya itu, diserudukkan ke arah dada Nyo Tiang Le, di bawah lengan kiri yang memukulnya! Nyo Tiang, Le terkejut sekali, menahan napas dan mengumpulkan lwee-kangnya pada dada untuk menyambut benturan kepala yang tak dapat dielakkan ataupun ditangkis lagi itu.
"Duk...!!" Tubuh Nyo Tiang Le terpental sampal dua tombak lebih, sedangkan Wi Kong Siansu nampak pucat dan terhuyung-huyung. Akan tetapi pada saat itu dapat mengatur napasnya kembali sedangkan Nyo Tiang Le setelah terguling sambil muntah darah merah dari mulut, ternyata juga dapat melompat berdiri lagi! Akan tetapi pada saat itu, dari sebelah kanannya menyambar benda hitam kekuningan ke arah kepalanya. Ia terkejut dan mengelak cepat, akan tetapi terlambat! Terdengar suara "tak!" ketika kepala huncwe di tangan Ban Sai Cinjin mengenai batok kepalanya. Seketika itu juga Nyo Tiang Le merasa kepalanya pening dan matanya gelap. Tiba-tiba ia berbangkis beberapa kali, lalu tertawa bergelak dan ia lalu melompat keluar di dalam gelap, terus melarikan diri!
Ban Sai Cinjin tertawa terbahak-bahak. "Ia telah terluka di dalam otaknya, sekarang ia hanya kehilangan ingatannya saja, akan tetapi tak lama lagi ia akan roboh dan mampus!"
Kam Seng terkejut sekali mendengar ucapan ini dan hatinya merasa ngeri. Sesungguhnya ia tidak mengira bahwa supeknya akan mengalami nasib sehebat itu. Tadinya ia hanya bermaksud untuk melepaskan diri dari Mo-kai Nyo Tiang Le untuk berguru kepada tosu itu dan untuk mendapatkan harapan baru dalam cita-citanya membalas dendam.
Juga Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu menghela napas panjang dengan menyesal. "Sute, mengapa kau menewaskannya" Permusuhan akan menjadi makin hebat."
Ban Sai Cinjin tersenyum. "Suheng, pengemis itu terlalu menghina kita, dan orang jahat dan berbahaya seperti dia sudah sepatutnya dilenyapkan agar kelak tidak menimbulkan kepusingan."
Kam Seng lalu berlutut di depan Wi Kong Siansu dan berkata, "Suhu, betapapun juga, Mo-kai Nyo Tiang Le pernah melepas budi kepada teecu, apakah teecu boleh mengubur
jenazahnya?"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
161 Tosu itu nampak girang. "Bagus, Kam Seng. Sikapmu menyenangkan hatiku, karena boleh kuharapkan kesetiaanmu kepadaku kelak. Kaususullah dia, kurasa takkan jauh dari sini kau akan dapat menemukannya."
Kam Seng lalu melompat keluar dan mengejar ke arah Nyo Tiang Le tadi melompat pergi.
Benar saja, di tempat yang tak jauh dari kelenteng itu ia mendapatkan tubuh supeknya itu telah tak bernyawa lagi, rebah di atas tanah dalam keadaan terlentang! Kedua mata pengemis iblis itu terbuka dan di bawah sinar buIan, mata itu seakan-akan memandangnya dengan penuh penyesalan, mulut yang telah biru itu seakan-akan berbisik, "Murid durhaka!" Ia bergidik dan cepat mempergunakan saputangan untuk menutupi muka itu, lalu ia menggali lubang di tanah dekat tempat itu untuk mengubur jenazah supeknya.
Demikianlah, semenjak saat itu, Kam Seng menjadi murid Wi Kong Siansu dan menerima latihan ilmu silat yang tinggi sehingga kepandaiannya maju pesat sekali. Ketika Hok Ti Hwesio, murid Ban Sai Cinjin yang kini telah menjadi seorang hwesio muda yang cakap tiba di kelenteng itu, hwesio muda ini memandang kepada Kam Seng dan berkata,
"Sute, agaknya aku pernah melihat mukamu, entah di mana."
Kam Seng tersenyum dan menekan debar jantungnya. "Tak bisa jadi, Suheng. Selama hidupku baru sekali ini aku bertemu dengan kau."
Karena Kam Seng pandai membawa diri dan amat menghormat kepada semua orang sebagai orang baru, ia amat disuka. Selain Bouw Hun Ti dan Hok Ti Hwesio, Ban Sai Cinjin masih memptinyai seorang murid lain yang usianya baru empat belas tahun, yaitu putera seorang pangeran dari kota raja. Pangeran itu maklum akan kelihaian Ban Sai Cinjin, maka ia lalu memberikan puteranya untuk dididik oleh kakek lihai ini. Anak muda ini datang dua bulan setelah Kam Seng berada di kelenteng itu dan namanya adalah Ong Tek. Sebelum berguru kepada Ban Sai Cinjin, Ong Tek pernah mempelajari ilmu silat dari panglima kerajaan, sehingga ilmu silatnya pun sudah lumayang juga. Kam Seng memberi banyak petunjuk kepada sutenya yang dikasihinya ini, sebaliknya Ong Tek juga memberi pelajaran ilmu surat kepada suhengnya ini. Hubungan mereka amat erat karena dengan lain-lain orang yang berada di situ, terutama dengan Hok Ti Hwesio, kedua anak muda ini kurang merasa cocok.
Dengan amat tekun dan rajin, Kam Seng berlatih ilmu silat dari Suhunya yang baru dan tanpa terasa lagi, setahun telah lewat dengan amat cepatnya.
*** Demikianlah riwayat Kam Seng yang terlihat oleh Lili. Tentu saja Lili merasa terheran-beran melihat betapa Kam Seng dan orang tua yang berjenggot pendek itu ternyata menuju ke kelenteng di mana dulu Kam Seng akan dibelek perutnya oleh hwesio cilik murid Ban Sai Cinjin!
Sebetulnya, Kam Seng baru saja datang dari dusun Tong-sin-bun, ke rumah Ban Sai Cinjin untuk menjemput orang setengah tua yang menjadi utusan dari Parigeren Ong. Utusan ini adalah seorang guru silat yang dulu pernah pula mengajar Ong Tek di kota raja dan kini ia menerima tugas dari Pangeran Ong untuk menengok puteranya serta membawa segala macam barang kiriman berupa pakaian, uang dan lain-lain.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
162 Kedatangan Kam Seng dan guru silat disambut oleh Ong Tek dengan girang sekali. Anak muda ini berlari menghampiri guru silat itu dan sambil memegang tangannya, ia bertanya,
"Tan-kauwsu, apakah Ayah dan Ibu baik-baik saja?"
"Baik, Kongcu, semua baik. Taijin dan Hujin hanya berpesan agar supaya Kong-cu belajar dengan rajin di sini."
Mereka bertiga lalu masuk ke ruang dalam, di mana terdapat Wi Kong Siansu dan Hok Ti Hwesio. Ban Sai Cinjin tidak berada di situ, karena kakek mewah ini lebih banyak bermalam di dusun Tong-sin-bun. Semenjak Wi Kong Siansu tinggal di kelentengnya itu, Ban Sai Cinjin tidak merasa leluasa kalau tinggal bermalam di situ pula. Ia merasa malu kepada suhengnya karena ia memiliki kesukaan yang meniadi pantangan bagi kakak seperguruannya, yaitu misalnya berminum minuman keras, main judi dengan kawan-kawannya, atau bergurau dengan perempuan-perempuan penyanyi.
Mata Lili yang tajam masih dapat mengenal Hok Ti Hwesio sebagai hwesio kecil yang dulu hampir membelek perut Kam Seng, maka makin heranlah ia melihat betapa kini Kam Seng dapat bersahabat dengan hwesio itu! Juga ia heran sekali ketika mendengar Kam Seng menyebut "Suhu" kepada tosu tua yang duduk di situ! Di manakah adanya suhu Sin-kai Lo Sian dan supek Mo-kai Nyo Tiang Le" Demikian dara perkasa ini bertanya seorang diri dengan penuh rasa bingung.
Lili mendengarkan guru silat she Tan itu bercerita tentang keadaan di kota raja dan hatinya berdebar keras ketika guru silat itu berkata,
"Agaknya keturunan Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya telah mulai datang dan
mengacau pula di sekitar kota raja."
Tidak hanya Lili yang mengintai dari atas genteng yang tertarik oleh penuturan ini, bahkan semua orang di bawah genteng juga tertarik sekali.
"Seorang pemuda keturunan Pendekar Bodoh atau entah kawan-kawannya karena menurut cerita Kam Thai-ciangkun, penjahat itu pandai ilmu-ilmu silat Pendekar Bodoh, telah mengacau di kota Tatung dan membunuh putera Kepala Daerah Tatung, yaitu Gui Kongcu.
Bahkan pemuda jahat itu telah melarikan seorang gadis bangsa Haimi yang tadinya hendak menjadi bini muda Gui Kongcu!"
Kam Seng amat tertarik dan bertanya,
"Tan-kauwsu, siapakah namanya" Dan apakah ia benar-benar putera Pendekar Bodoh"
Apakah namanya Hong Beng, Sie Hong Beng?"
Guru silat itu menggeleng kepalanya. "Entahlah, tentang namanya aku tidak tahu. Hanya, menurut penuturan Kam-ciangkun, pemuda jahat itu lihai sekali. Kam-ciangkun sudah terkenal memiliki kepandaian tinggi sekali, akan tetapi ia mengaku bahwa pemuda pengacau itu ilmu silatnya benar-benar tinggi, hampir sama dengan Pendekar Bodoh!"
Tentu saja Lili merasa heran dan juga tertegun mendengar cerita ini. Siapakah pemuda itu"
Benarkah Hong Beng kakaknya" Boleh jadi, karena ia mendengar dari ayah ibunya bahwa Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
163 kakaknya itu pun telah meninggalkan perguruan dan kini menuju pulang setelah merantau dulu untuk meluaskan pengalaman.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa dan ketika Lili memandang ke bawah, ia melihat bahwa yang tertawa itu adalah Hok Ti Hwesio, kepala gundul muda itu. Hok Ti Hwesio tertawa menyeringai dengan sikap menghina dan berkata, "Ha-ha-ha, mengapa orang selalu
menyebut-nyebut nama Pendekar Bodoh dan menganggapnya seakan-akan seorang dewata"
Mengapa orang agaknya memuji-muji musuh dan memperkecil semangat sendiri" Urusan Pendekar Bodoh, serahkan saja kepadaku, siapa yang takut kepadanya" Tunggulah sampai aku bertemu dengan dia!"
Semua orang tahu bahwa Hok Ti Hwesio ini selain sombong seperti gurunya juga amat lihai.
Ia telah mempelajari, tidak saja ilmu silat tinggi, akan tetapi juga ilmu sihir dan ilmu-ilmu yang aneh dan mujijat. Ia memiliki ilmu kebal yang luar biasa, bukan ilmu kebal yang timbul karena tenaga lwee-kang, akan tetapi ilmu kebal yang dipelajari oleh pengaruh sihir.
Sebagaimana pernah dituturkan di bagian depan, untuk memperoleh ilmu ini, ia tidak segan-segan untuk makan jantung manusia. Selain itu, ia amat terkenal dengan kepandaiannya melempar dan mainkan pedang kecil atau pisau belati yang disebutnya sendiri "hui-kiam"
(pedang terbang). Pedang kecil ini dapat ia lontarkan dengan cepat dan yang aneh, pedang ini dapat mengejar sasarannya dan dapat terbang kembali seakan-akan bersayap. Tentu saja pedang itu tidak dapat terbang sebagaimana nampaknya, melainkan karena kepandaiannya melempar yang terlatih baik dan karena bentuk pedang itu agak bengkok, ditambah dengan pengerahan tenaga yang tepat maka pedang itu seakan-akan dapat terbang kembali.
Ketika Lili mendengar ucapan hwesio muda ini, timbul kemarahannya. Hampir saja ia melompat turun untuk mengamuk dan menampar mulut hwesio yang menantang-nantang
ayahnya itu, akan tetapi ia teringat akan nasihat ayahnya yang berkata, "Lili, kelemahan yang paling membahayakan diri kita sendiri, adalah rasa takut dan nafsu marah. Kalau kau takut dan marah, maka kau takkan dapat berlaku tenang dan mutu permainan silat akan menjadi turun serta keadaan menjadi lemah sekali. Oleh karena itu, baik dalam keadaan bagaimana juga kau harus dapat menguasai hatimu, dan dapat membebaskan diri dari rasa takut dan nafsu marah."
Aku tidak boleh marah, pikirnya dan setelah dengan susah ia dapat menekan hawa amarah yang mengalun di dalam dadanya, Lili lalu memandang kembali ke bawah. Ia mendengar Tan-kauwsu masih banyak menceritakan keadaan kota raja dan melihat kepala Hok Ti Hwesio yang gundul plontos dan mengkilap tertimpa sinar tujuh batang lilin yang dipasang di atas meja, timbullah keinginan di hati Lili untuk mempermainkannya. Memang gadis ini mempunyai watak seperti ibunya, jenaka, nakal dan suka mempermainkan orang yang dibencinya.
Di atas genteng itu terdapat banyak tanah lumpur yang terjadi dari debu dan air hujan. Ia lalu menggaruk lumpur ini dari celah-celah genteng dan membuat beberapa butir pel lumpur sebesar kacang.
Lili bekerja dengan hati-hati sekali sehingga tidak menimbulkan suara sama sekali, kemudian ia meletakkan sebutir pel lumpur atau tanah liat itu di atas telapak tangan kiri, lalu menggerakkan jari tengah dan ibu jari kanan untuk menendang atau menyelentik pel itu ke bawah. Ia tidak berani menggunakan tangan menyambit karena kalau ia lakukan hal ini, tentu angin tenaga sambitannya akan terdengar dari bawah oleh telinga orang-orang yang Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
164 berkepandaian tinggi itu. Ketika pel tanah liat itu terkena tendangan jari tengah, benda kecil ini meluncur turun dengan amat cepat menuju ke arah kepala Hok Ti Hwesio yang gundul licin dan mengkilap.
"Plok!" Pel tanah liat itu dengan tepat sekali mengenai kepala Hok Ti Hwesio dan menjadi gepeng serta melengket di kulit kepalanya! Akan tetapi tubuh hwesio muda itu tidak bergerak sedikit pun juga, seakan-akan serangan ini tidak terasa olehnya. Hal ini amat mengejutkan hati Lili, oleh karena ia maklum bahwa tenaga selentikannya ini cukup untuk membuat tanah liat itu melubangi batang pohon! Demikian keraskah batok kepala hwesio itu"
Sebaliknya, Hok Ti Hwesio juga terkejut sekali. Ia tidak merasa terlalu sakit, akan tetapi cukup merasa pedas kulit kepalanya. Yang membuat ia amat terkejut adalah kelihaian serangan ini. Mengapa ia tidak mendengarnya sama sekali" Bagaimana orang dapat
menyambit sesuatu tanpa mengeluarkan suara" Dan lagi, kalau memang betul yang
menyambitnya seorang manusia yang berada di atas genteng, mengapa ia dan yang lain-lain tidak mendengarnya" Mungkin pendengaran telinganya kurang tajam, akan tetapi Wi Kong Siansu tentu akan mendengarnya!
Maka ia lalu meraba kepalanya dan mengira bahwa yang jatuh di atas kepalanya itu hanya tai cecak yang kebetulan jatuh di atas kepalanya. Juga Kam Seng dan Wi Kong Siansu
Kisah Pedang Di Sungai Es 23 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Senyuman Dewa Pedang 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama