Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
Kwan Cu mengangguk. Memang, melihat keadaan. lawan yang demikian banyaknya dan rata-rata terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi, Yok-ong merasa gelisah dan putus asa. Biar pun difihaknya ada Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian dan Seng Thian Siansu, akan tetapi menghadapi sekian banyaknya orang dan di sana ada pula orang-orang sakti seperti Hek-i Hui-mo, Kiam Ki Sianjin, Toat-beng Hui-houw dan lain-lain, sudah dapat diperhitungkan bahwa fihak pembantu pejuang rakyat pasti akan kalah.
Setelah memberi petunjuk kepada Kwan Cu, mereka kembali ke puncak akan tetapi kini menonton ke tempat itu dari balik batu karang.
"Locianpwe, kita tidak dikenal, lebih baik nonton dari dekat," kata Kwan Cu.
"Begitupun baik. Akhirnya kita harus turun tangan pula," jawab Raja Tabib itu dan keduanya lalu duduk di tempatnya yang tadi. Semua orang memandang dan tertawa.
"Eh, kalian berani datang lagi?" Kwa Ok Sin tidak dapat menahan keheranannya.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
541 "Cucuku ini yang memaksa, katanya ingin melihat orang bermain senjata untuk menambah kegembiraan," jawab Yok-ong ketolol-tololan.
"Hem, jangan terlalu dekat, jangan-jangan ada senjata yang mampir di lehermu," kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Yok-ong dan Kwan Cu memperlihatkan muka takut akan tetapi tetap saja duduk di tempat yang tadi.
Kalau di fihak Kiam Ki Sianjin semua orang sudah bersiap-siap adalah orang-orang dari Bu-tong-pai dan Kim-san-pai saja yang masih kelihatan dingin saja. Bian Kim Hosiang dari Bu-tong-pai dan Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai, bukanlah penjilat-penjilat kaisar. Mereka adalah orang-orang gagah yang tidak mau peduli tentang urusan kerajaan. Mereka berdua datang hanya karena marah terhadap Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian Siangkoan Hai, karena dua orang tokoh itu telah membunuh dua orang sute mereka. Kedatangan mereka untuk membalas dendam, atau untuk membuat perhitungan dengan Ku-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, bukan untuk mengurus soal kerajaan. Maka melihat bahwa pertandingan yang akan diadakan adalah urusan kerajaan, kedua orang tua ini dan murid-muridnya tidak mau turun tangan dan diam menonton saja.
Adapun tokoh-tokoh kawan-kawan Kiam Ki Sianjin, memberi kesempatan kepada murid-murid mereka untuk maju lebih dulu, hitung-hitung mengukur kepandaian lawan. Akan tetapi, murid-murid yang masih rendah kepandaiannya tentu saja tidak boleh maju, Kiam Ki Sianjin memberi tanda kepada Bu-eng Siang-hiap, dua hwesio bersaudara yang kini menjadi pembantu-pembantunya. Dengan bangga Mo Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang melompat maju ke tengah lapangan, lalu Mo Beng Hosiang berkata,
"Pinceng berdua saudara selalu maju berbareng, karena itu harap Siangkoan-lo-enghiong mengeluarkan jago-jagonya!"
Berkata demikian, dua saudara ini menjura kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Melihat bahwa yang maju adalah dua orang hwesio setengah tua, dua orang murid Kun-Jun-pai yang bernama Tiong Ek Tosu dan Tong Seng Tosu minta ijin dari guru besar mereka, yakni Seng Thian Siansu sesungguhnya datang untuk menuntut balas atas gugurnya tiga orang muridnya, maka dia mengangguk menyetujui. Demikian pula Pak-lo-sian Siangkoan Hai menyetujui.
Majulah dua orang murid Kun-lun-pai ini menghadapi Bu-eng Siang-hiap. Setelah saling memperkenalkan nama, empat orang pendeta ini mulai saling serang dengan hebatnya.
Ilmu silat dari Kun-lun-pai memang sudah amat terkenal, maka kepandaian dari dua orang muridnya ini juga amat lihai. Mereka mempergunakan pedang yang diputar dengan cepat dan tangguh, sesuai dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-hoat. Adapun Mo Beng Hosiang berjuluk San-tian-jiu (Si Tangan Kilat) maka dalam pertempuran ini dia bertangan kosong, sedangkan adiknya, Mo Keng Hosiang berjuluk Hun-san-pian (Pian Pemecah Gunung). Sengaja mereka maju berdua karena dengan maju berdua, mereka merupakan pasangan yang benar-benar amat tangguh. Mo Keng Hosiang bertugas menghadapi dan melindungi kakaknya dari serangan senjata lawan. Piannya amat kuat, dan setiap tangkisannya selalu membuat tangan lawan tergetar sehingga penyerangan kedua lawan nya itu menjadi lambat. Di lain fihak, Mo Beng Hosiang mulai menjalankan serangan maut dengan tangan kosong!
"Celaka, dua totiang dari Kun-Iun-pai itu pasti roboh..... " kata Kwan Cu perlahan kepada Yok-ong. Diam-diam raja tabib ini memuji ketajaman mata Kwan Cu dan dia melihat pemuda Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
542 itu diam-diam meraih dua butir batu kecil.
"Jangan, Kwan Cu. Dalam pertandingan adil, tidak selayaknya kita turun tangan membantu, biarpun yang kita bantu adalah orang-orang yang berada di fihak benar. Ini sudah menjadi aturan kang-ouw yang tak boleh dilanggar oleh siapapun yang tidak menghendaki namanya terbenam di dalam lumpur."
Kwan Cu tertegun dan terpaksa melepaskan kembali dua butir batu kecil tadi. Hatinya penasaran dan tak senang sekali melihat fihak Pak-lo-sian dikalahkan. Dugaannya tepat karena dalam lima puluh jurus saja, terdengar suara keras disusul pekik dan robohlah Tiong Ek Tosu dengan kepala pecah terpukul oleh tangan Mo Beng Hosiang! Murid ke dua dari Kun-lun-pai tidak menjadi gentar. Baginya adalah menang atau mati, maka dia cepat memutar pedangnya melakukan serangan nekat. Ia berhasil menusuk pangkal lengan Mo Keng Hosiang, namun hwesio ini dapat miringkan tubuh sehingga kulit lengannya saja yang tergurat pedang dan pada saat itu, Mo Beng Ho siang sudah turun tangan memukul dada Tiong Seng Tosu. Tosu ini menjerit, pedangnya terlepas dari pegangan dan dadanya pecah! Ia roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi.
Fihak kaki tangan kaisar berseri wajahnya, bahkan ada orang-orang muda yang bersorak girang. Pak-lo-sian tersenyum pahit dan Seng Thian Siansu menjadi pucat. Sebelum Kiu-bwe Coa-li dan yang lain-lain sempat mencegahnya, tahu-tahu bayangan Bun Sui Ceng sudah berkelebat dan nona ini telah berdiri dengan pedang di tangan, menghadapi sepasang hwesio yang berdiri dengan lagak sombong dan bangga.
Pak-lo-sian tidak dapat berbuat lain kecuali melompat dan mernyambar dua jenazah murid Kun-lun-pai itu untuk diletakkan di atas tanah di dekat batu karang. Mereka tak dapat ditolong lagi karena sudah tewas.
"Bu-eng Siang-hiap, aku Bun Sui Ceng maju sebagai jago dari fihak kami, kalian berdua boleh maju bersama!" tantang Sui Ceng sambil melintangkan pedang di depan dadanya.
Melihat bahwa penantangnya hanyalah seorang gadis muda yang cantik sekali, dua orang hwesio itu saling pandang dan tertawa lebar.
"Nona, pinceng berdua tidak mau berlaku licik. Biarlah kau memilih seorang di antara kami sebagai lawanmu!" kata Mo Beng Hosiang sambil tertawa menyeringai.
"Gundul sombong, kalian berdua majulah bersama, boleh ditambah lagi satu dua orang agar lebih ramai!"
Mendengar ucapan gadis ini, Bu-eng Siang-hiap menjadi naik darah.
"Semua orang yang berada di sini mendengar bahwa kau yang minta kami maju bersama, kalau nanti kalah jangan bilang kami licik," kata Mo Beng Hosiang dengan mata merah.
"Tutup mulut dan majulah!" seru Sui Ceng yang sudah mulai menggerakkan pedangnya.
Mo Keng Hosiang masih merasa sayang untuk membunuh atau melukai gadis yang begini cantik dan muda, maka dia lalu mengeluarkan seruan keras dan pian di tangannya menyambar ke arah pedang Sui Ceng, dengan maksud membikin pedang itu terlempar dalam segebrakan saja.
Melihat datangnya gempuran pian ini yang memang bertenaga amat kuat, Sui Ceng tersenyum dan sengaja tidak mau mengelakkan pedangnya. Alangkah kagetnya hati Mo Keng Hosiang ketika piannya membentur pedang gadis itu, karena dia merasa seakan-akan piannya yang Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
543 berat itu membentur sehelai bulu saja dan tenaganya lenyap dengan sendirinya. Kekagetannya bertambah ketika terdengar suara "tar!" dan pipinya terasa amat pedas dan perih. Ia hanya melihat bayangan merah berkelebat di depan mukanya, itu adalah ujung sehelai ikat pinggang sutera berwarna merah! Sui Ceng telah mencabut senjatanya yang istimewa ini, yaitu sabuk merahnya.
Bukan main marahnya Mo Keng Ho-siang, ketika mendengar suara ketawa gadis itu. Dengan membuta dia lalu mengayun piannya dan menyerang bagaikan badai mengamuk. Juga Mo Beng Ho-siang yang kini mengerti menghadapi seorang lawan tangguh, cepat maju dan melakukan pukulan-pukulan dengan kedua tangannya yang lihai.
"Ji-wi Beng-yu, hati-hati, kalian menghadapi murid dari Kiu-bwe Coa-li!" kata Kiam Ki Sianjin yang mengenal sabuk merah ini sebagai ilmu cambuk yang biasa dimainkan oleh Kiubwe Coa-li.
Bu-eng Siang-hiap terkejut dan kini mereka tidak berani memandang ringan. Dengan hati-hati mereka lalu bergerak seperti ketika menghadapi dua orang lawan dari Kun-lun-pai tadi, yakni Mo Keng Hosiang mempergunakan pian untuk mempertahankan diri mereka berdua.
Sedangkan Mo Beng Hosiang melakukan serangan-serangan dengan tangan kilatnya.
Namun ilmu silat yang dimiliki oleh Sui Ceng adalah ilmu silat yang diturunkan oleh seorang ahli. Bukan main hebatnya pedang yang bergerak bagaikan hidup di tangannya, sedangkan sabuk merah di tangan kirinya lebih lihai lagi. Dia pun mempergunakan siasat untuk mengimbangi kedua orang itu. Sabuknya yang lemas menghadapi pian, berusaha untuk menangkap dan merampas senjata, sedangkan pedangnya menghadapi pukulan-pukulan Mo Beng Hosiang. Sebentar saja kedua orang hwesio itu terdesak hebat oleh dara perkasa ini.
"Dia hebat..... dia hebat sekali......" tak terasa pula mulut Kwan Cu berbisik-bisik dan sepasang matanya memandang kagum.
Melihat lagak pemuda ini, Yok-ong tersenyum. "Bagus, Kiam Ki sianjin akan mengalami hajaran pertama!"
Belum habis kata-kata ini diucapkan, keadaan pertempuran sudah berubah sama sekali.
Dengan ujung sabuknya, Sui Ceng tiba-tiba mengubah gerakan dan kini sabuk itu
meninggalkan pian dan menyerang atau lebih tepat menangkis pukulan Mo Beng Hosiang.
Ujung sabuk merah ini membelit pergelangan tangan hwesio ini dan sekali disentakkan, tubuh Mo Beng Hosiang terpental ke atas. Sebelum hwesio itu sempat mengerahkan ginkangnya, sabuk disentakkan kembali ke bawah sehingga tubuhnya terbanting ke atas lantai batu karang.
"Ngekkk!!" Tubuh Mo Beng Hosiang tak dapat berkutik lagi! Pedang di tangan Sui Ceng sementara itu tidak tinggal diam. Ia melihat pian menyerang ke arah kepalanya, cepat ia mengerakkan tubuhnya, miring dan dari samping pedangnya menyambar. Mo Keng Hosiang menjerit kesakitan, piannya terlepas berikut tangan kanannya sebatas siku terbabat putus oleh pedang Sui Ceng!
Gadis ini tidak tega melihat penderitaan kedua lawannya. Pedangnya bergerak dua kali dan putuslah urat besar di dekat leher dua orang hwesio itu yang seketika itu juga menghembuskan napas terakhir tanpa menderita lagi.
Lima orang-orang muda dari fihak Kiam Ki Sianjin melompat maju dan mengeroyok Sui Ceng. Mereka ini adalah perwira-perwira yang menjadi kaki tangan Kam Cun Hong, panglima dari Si Su Beng.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
544 "Curang..... !" Dua orang murid Kun-lun-pai yang belum maju mencela dan cepat mereka melompat untuk membantu Sui Ceng.
Akan tetapi sebetulnya hal ini tidak perlu, karena dengan pedangnya, Sui Ceng menahan serangan lima orang perwira itu dan dalam beberapa jurus saja kembali dua orang lawan roboh mandi darah!
"Mundur!" teriak Kiam Ki Sianjin. Tiga orang perwira melompat mundur dengan muka merah. Kiam Ki Sianjin menggerakkan tangan memberi tanda kepada orang-orangnya dan empat orang mayat kawannya itu ditarik ke belakang. Kemudian Kiam Ki Sianjin bertanya,
"Siapa di antara sahabat-sahabat yang berani menghadapi gadis liar itu?"
Terdengar suara ketawa seperti kuda meringkik dan tubuh Toat-beng Hui-houw yang berwajah menyeramkan itu melompat keluar. "Kiam Ki Sianjin, biarlah aku menghadapinya.
Aku sudah mengenal kuda betina liar ini!"
Melihat majunya Toat-beng Hui-houw, seketika muka Sui Ceng menjadi merah sekali, sepasang matanya berapi-api dan bibirnya digigit untuk menahan hawa kemarahan yang naik dari dadanya.
"Toat-beng Hui-houw, siluman jahanam! Andaikata kau tidak muncul, aku pun pasti akan mencarimu untuk memenggal lehermu agar ibuku di alam baka dapat mengaso dengan tenteram!" Kedua tangan gadis ini gemetar saking hebatnya kemarahan yang menyerang dirinya.
"Sui Ceng, mundurlah, biarkan pinni menghadapi siluman ini!" Kiu-bwe Coa-li, akan tetapi mana Sui Ceng mau mendengar kata-kata guru ini" Dengan pura-pura tidak mendengar kata-kata gurunya, sambil berseru keras dan nyaring gadis ini menyerang Toat-beng Hui-houw dengan pedangnya. Gerakannya bagaikan seekor burung walet menyambar dan tubuhnya diikuti oleh berkelebatnya sinar merah dari sabuknya.
Selama dikalahkan oleh Ang-bin Sin-kai dahulu dan bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li, kakek yang seperti siluman ini merasa gentar dan dia melatih diri sehingga memperoleh kemajuan pesat. Kalau dibandingkan dengan dahulu ketika dia menewaskan Pek-cilan Thio Loan Eng ibu dari Sui Ceng, kepandaiannya sekarang sudah maju pesat dan jauh sekali. Namun dia tidak berani memandang rendah kepada gadis ini, karena tahu bahwa gadis ini adalah murid terkasih dari Kiu-bwe Coa-li. Kalau saja dia tidak berada di fihak Kiam Ki Sianjin dan tidak mengandalkan bantuan banyak kawan, sampai sekarang pun dia tidak berani mengganggu Sui Ceng. Akan tetapi sekarang keadaannya lain lagi. Dalam pertempuran seperti ini, kalah menang atau kematian tidak boleh diurus panjang dan andaikata guru gadis ini akan membela, kawan-kawannya masih banyak yang gagah dan tangguh, maka hati Toat-beng Hui-houw menjadi besar.
Serangan pedang dari Sui Ceng dielakkannya, dan ketika pedang itu bagaikan bermata terus mengejar dan menyerangnya, dia lalu menggereng seperti harimau sambil menggerakkan kedua tangannya. Tiba-tiba sepuluh jari tangannya mengeluarkan kuku yang panjang-panjang seperti pisau. Tadi kuku-kuku jari ini tergulung dan dengan gerakan lweekang yang amat dahsyat, kuku ini menjadi kaku dan dapat dipergunakan sebagai senjata.
Pedang Sui Ceng menyambar lagi. Toat-beng Hui-houw menangkis dengan kukunya dan Sui Ceng merasa telapak tangannya tergetar hebat. Ia kaget dan tahu bahwa lawannya ini benar-benar tangguh. Akan tetapi ia tidak gentar. Nafsunya untuk membunuh musuh besar ini Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
545 demikian memuncak sehingga ia menjadi nekat. Ujung sabuk merahnya menyusul pedangnya, menyambar dengan totokan ke arah leher Toat-beng Hui-houw.
"Pergilah!" Toat-beng Hui-houw membentak sambil menyambar ujung sabuk merah itu.
"Brettt!" sabuk itu putus menjadi dua!
"Ceng-moi, hati-hatilah....... !" Kun Beng berseru dengan hati ngeri melihat betapa senjata sabuk dari tunangannya yang amat lihai itu telah dapat diputuskan.
Namun Sui Ceng masih menyerang dengan hebatnya. Kini dia mempergunakan pedangnya dan telah melemparkan sabuknya yang sudah tiada gunanya itu. Pedangnya dimainkan secara hebat, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk mengalahkan musuh besarnya ini. Tubuh gadis itu lenyap terbungkus sinar pedang yang bergulung-gulung dan diam-diam Toat-beng Hui-houw harus memuji kepandaian gadis muda ini. Kalau sekiranya akhir-akhir ini dia tidak memperdalam ilmu kepandaiannya, agaknyaakan sukar dan lamalah baginya untuk mengalahkan gadis ini.
Kemarahan dan kenekatan Sui Ceng melihat musuh besar yang telah membunuh ibunya, membuat tenaganya berlipat ganda besarnya dan membuat gaya ilmu pedangnya amat ganas dan berbahaya. Karena kurang hati-hati, sebuah kuku jari kelingking dari tangan kiri Toat-beng Hui-houw kena terbabat putus ujungnya oleh pedang Sui Ceng.
Toat-beng Hui-houw marah sekali. Berkali-kali dia mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan tanah dan kini tubuhnya bergerak maju dengan serangan dahsyat, menubruk ke sana ke mari tanpa mempedulikan pedang lawannya. Memang mudah saja baginya, dengan sebuah kuku saja dia berhasil menyampok pedang lawannya, dan dengan cepat kuku-kuku jarinya menyerang tubuh gadis itu. Mau tidak mau Sui Ceng menjadi ngeri dan mulailah dia main mundur saja.
"Sui Ceng, mundurlah dan mengaku kalah!" kata Kiu-bwe Coa-li karena ia merasa ngeri dan gelisah melihat nyawa muridnya yang terkasih itu terancam.
"Biarkan teecu maju membantunya!" kata Kun Beng. Akan tetapi Pak-lo-sian melarangnya.
"Tidak boleh berlaku curang, biarpun nyawa kita akan habis semua di sini, kita harus mati sebagai orang-orang gagah!"
Terpaksa Kun Beng hanya memandang dengan hati seperti disayat-sayat melihat betapa tunangannya didesak terus.
Juga Kwan Cu yang mengerti bahwa tak lama lagi Sui Ceng pasti akan roboh di bawah tangan Toat-beng Hui-houw yang lihai itu, berbisik kepada Yok-ong dengan hati gelisah.
"Locianpwe, andaikata nona itu terluka oleh kuku tangan Toat-beng Hui-houw yang mengandung bisa berbahaya masih dapatkah dia tertolong?"
Yok-ong mengangguk. "Memang racun di tiap kuku jari Toat-beng Hui-houw bisa mematikan dan sukar diobati. Akan tetapi aku telah mempunyai semacam obat penolak bisa yang luar biasa dan yang pasti akan dapat melawan bisa itu. Asal saja lukanya tidak amat berat."
Kwan Cu segera berdiri dari tempat duduknya dan dengan tindakan perlahan dia mendekati tempat pertempuran, agaknya tertarik sekali. Yok-ong hendak mencegah namun tidak keburu.
Orang-orang di kedua fihak juga melihat ini, akan tetapi oleh karena pemuda muka merah Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
546 yang mengaku petani Gunung Tai-hang-san itu bukan orang dari salah satu fihak dan dianggap sebagai petani biasa saja yang menonton, tak seorang pun memperhatikannya.
Apalagi keadaan amat tegang dan semua mata memandang ke arah pertempuran yang hebat luar biasa itu.
Sui Ceng benar-benar terdesak hebat. Ia memang nekat dan biarpun dia mendengar perintah gurunya supaya mundur, namun mana bisa seorang gadis seperti Sui Ceng sudi mundur dan mengaku kalah" Apa lagi terhadap musuh besar yang sudah membunuh ibunya.
"Kalau aku tak berhasil membalaskan dendam ibu, biarlah aku mampus di sini!"pikir gadis ini sambil memutar pedangnya yang makin kacau gerakannya.
Tiba-tiba Toat-beng Hui-houw tertawa seperti ringkik kuda, disusul oleh gerengan seperti harimau dan tangan kirinya yang penuh kuku panjang itu berhasil merampas pedang Sui Ceng. Sekali kuku-kukunya bergerak, terdengar suara"krak!" dan pedang itu patah-patah menjadi tiga! Sui Ceng masih tidak mau melompat atau mengaku kalah, bahkan dia lalu menghantam dengan tangan kiri ke dada lawan!
Toat-beng Hui-houw tertawa besar dan sekali dia menangkis dengan tenaga sepenuhnya, Sui Ceng terhuyung ke kiri dan kesempatan ini dipergunakan oleh Toat-beng Hui-houw untuk menggunakan kuku-kukunya yang berbisa mencakar kearah dada Sui Ceng! Nona ini maklum akan datangnya serangan maut. Cepat dia miringkan tubuhnya, akan tetapi kalah cepat.
Terdengar baju robek dan pundaknya terkena cengkeraman itu. Sui Ceng mengerahkah lweekang dan meronta sehingga cengkeraman itu dapat terlepas, namun ia lalu terhuyung-huyung dan roboh. Pundaknya terasa panas sekali sampai menembus ke jantungnya. Racun-racun berbahaya dari kuku telah memasuki luka di pundaknya.
"Ha, ha, ha, kau boleh menyusul ibumu!" seru Toat-beng Hui-houw sambil menghampiri tubuh nona yang telentang pingsan itu, siap untuk mengirim pukulan terakhir. Kiu-bwe Coa-li meramkan mata, dan Kun Beng sudah siap melompat menolong tunangannya.
Tiba-tiba kelihatan pemuda dusun bermuka merah itu berlari-lari dan berteriak-teriak,
"Tidak adil......! Tidak adil.......!" Ia berlari terus dengan kacau, menyeruduk Toat-beng Hui-houw yang hendak membunuh Sui Ceng. Melihat datangnya pemuda dusun ini, Toat-beng Hui-houw menjadi heran dan juga marah.
"Mau apa kau?"" bentaknya sambil mendorong pundak Kwan Cu. Pemuda ini tahu bahwa dorongan itu akan melukainya, akan tetapi karena dia mengandalkan kepandaian Yok-ong, dan pula dia ingin menolong nyawa Sui Ceng, dia pura-pura tidak tahu. "Reeettt!" Robeklah baju pundaknya dan kulit pundaknya tergores oleh kuku tangan Toat-beng Hui-houw.
"Toat-beng Hui-houw, kau terlalu sekali! Pemuda itu adalah orang luar, mengapa kau melukainya?" bentak Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Sebetulnya bukan Pak-lo-sian terlalu sayang kepada pemuda yang aneh mukanya itu, melainkan karena pemuda itulah yang telah menolong nyawa Sui Ceng, maka dia membelanya. Toat-beng Hui-houw tertawa bergelak dan mundur, lalu menudingkan telunjuknya yang berkuku panjang kepada Kwan Cu sambil membentak,
"Eh, kepiting rebus! Apa-apaan kau datang mencari kematian?" Biarpun bertanya begini, di dalam hatinya Toat-beng Hui-houw merasa heran sekali. Bisa dikukunya amat hebat, sekali gurat saja orang tentu akan roboh dan pingsan atau sekaligus mampus. Akan tetapi mengapa pemuda yang terang-terangan sudah terluka pundaknya ini tidak lekas-lekas roboh pingsan" la tidak tahu bahwa Kwan Cu telah mengerahkan tenaga dan seluruh hawa murni yang dia dapat Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
547 dari latihan menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, sehingga bisa itu untuk sementara tertahan oleh hawa yang mengepul naik dari pusarnya menuju kepundak yang tergurat kuku berbisa tadi.
Kwan Cu dengan kedua tangan tuding sana tuding sini, mengeluarkan suara mengomel panjang pendek dan berteriak-teriak, "Mana ada pertandingan macam ini" Masa seorang kakek-kakek tua melawan seorang gadis muda yang lemah" Tidak adil sekali. Seharusnya, gadis melawan gadis, kakek melawan kakek, pemuda melawan pemuda dan bocah melawan bocah. Ini baru senang ditonton. Masa kakek yang kukunya panjang mengerikan ini harus bertanding dengan gadis yang begini halus?" Kwan Cu menggeleng-geleng kepalanya, lalu mengangkat tubuh Sui Ceng dan dengan lagak seperti orang merasa berat menggendong tubuh itu, dia berlari-lari ke arah Yok-ong.
"He, kau mau bawa dia ke mana?" teriak Kun Beng yang segera mengejar.
"Dia mati, harus dikubur baik-baik," jawab Kwan Cu tanpa menoleh.
Yok-ong menyambut Kwan Cu dan tanpa dilihat orang lain, raja tabib ini menotok tiga jalan darah di tubuh Sui Ceng lalu menyuruh Kwan Cu memberikan tubuh gadis itu kepada Kun Beng yang datang berlari-lari.
"Berikan dia padaku!" kata Kun Beng.
"Eh, eh, eh, kau ini pemuda mau apakah" Kalau dia harus dibawa ke sana biarlah aku menggendongnya ke sana. Mengapa menggendong tubuhnya saja orang harus berebut" Kau agaknya ingin sekali menggendongnya!" Kwan Cu lalu membawa gadis itu berlari-larian kembali menuju ke tempat Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Semua orang memandang kepada pemuda muka merah ini dan merasa lucu juga kasihan. Bahkan Kiu-bwe Coa-li sendiri merasa terharu melihat seorang petani bodoh masih memiliki perikemanusiaan begitu besar .
Kwan Cu tadi ketika membawa Sui Ceng kepada Yok-ong, memang sengaja memberi
kesempatan kepada Yok-ong untuk mengobati gadis itu, kemudian tanpa diketahui oleh siapapun juga, dia menerima sebuah pil besar berwarna putih dan mendapat bisikan dari Yok-ong. Kini pil besar itu telah dimasukkan ke dalam mulutnya. Ia menurunkan gadis itu di atas tanah.
"Kau baik sekali, orang muda," kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
"Sayang dia takkan dapat tertolong lagi," kata Kiu-bwe Coa-li. Suaranya tenang-tenang saja akan tetapi kalau orang melihat matanya ia akan bergidik. Mata itu membayangkan nafsu amarah dan bayangan-bayangan maut terbayang di situ.
Akan tetapi Kwan Cu tidak mempedulikan mereka semua, kini dia lalu mendekatkan mukanya pada leher Sui Ceng.
"Petani busuk, kau mau apa?" Kun Beng membentak marah dan mengangkat tangan hendak memukul.
"Diamlah kau! Mengapa begitu ribut?" bentak Pak-lo-sian sambil memandang kepada muridnya dengan alis dikerutkan. Kun Beng merundukkan mukanya yang menjadi sedih luar biasa. Pak-lo-sian maklum akan kedukaan hati muridnya ini maka dia menghibur, "Lihat, Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
548 petani muda ini agaknya hendak berusaha mengobatinya."
Memang benar, Kwan Cu telah menempelkan bibirnya pada luka di pundak Sui Ceng. la membuka mulutnya dan menggunakan giginya menggigit kulit di sekitar luka! la menggigit keras-keras, lalu mengumpulkan pil putih yang sudah dihancurkannya dengan ludah dikumpulkan di ujung lidah dan sambil mengerahkan lweekangnya, dia meniupkan hancuran obat itu ke dalam luka! Hal ini tentu saja tidak terlihat oleh siapapun juga, bahkan Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian
Siangkoan Hai saling pandang lalu mengangkat pundak. Dalam pandangan mereka, pemuda petani yang aneh ini hanya menggigit pundak itu saja!
"Eh, apa yang kaulakukan itu?" Kembali Kun Beng bertanya karena pemuda itu tidak kuat melihat si muka merah seakan-akan mencumbu kekasihnya dan menciumi pundaknya!
Kwan Cu mengangkat mukanya dan dengan mukanya yang merah ketololan itu dia tersenyum menyeringai. Orang-orang melihat betapa gigi dan bibir pemuda ini berlepotan darah! "Aku sudah usir setannya, sudah usir setannya!"
Kun Beng tak dapat menahan sabarnya lagi. Ia mengira bahwa pemuda muka merah ini gila dan dalam gilanya telah menggigit dan bahkan minum darah dari Sui Ceng. Dengan pengerahan tenaga sekuatnya dia lalu menendang pantat Kwan Cu yang masih berjongkok.
Tubuh Kwan Cu bagaikan sebuah bal karet melayang kembali ke tengah lapangan di mana Toat-beng Hui-houw masih berdiri memandang semua itu.
Tubuh Kwan Cu yang melayang-layang tadi kini turun dan seperti yang tidak disengaja, tubuh pemuda muka merah ini melayang turun tepat di atas kepala Toat-beng Hui-houw. Sebetulnya kakek bermuka harimau ini mendongkol sekali dan kalau menurutkan hatinya, sekali pukul saja dia dapat menghancurkan tubuh pemuda yang dianggapnya tolol itu. Akan tetapi tadi dia telah mendengar celaan dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ketika dia melukai pemuda muka merah itu, maka kini dia tidak mau melanjutkan perbuatannya. Pula dia memang melihat sendiri betapa pemuda tani ini terlempar kepadanya bukan karena kehendak sendiri, melainkan karena ditendang oleh pemuda murid Pak-lo-sian itu. Maka dia lalu mengulur tangan dan sekali sambar dia sudah memegang leher baju Kwan Cu dan melontarkan tubuh pemuda itu ke tempatnya yang tadi, yakni didekat Yok-ong, juga dekat Kwa Ok Sin, Jeng-kin-jiu, dan Liok-te Mo-li.
Sambil berteriak-teriak ketakutan tubuh Kwan Cu terputar-putar di udara dan meluncur ke dekat Liok-te Mo-li. Nenek ini mengulur tangan dan menangkapnya, lalu melepaskannya di dekat Yok-ong sambil berkata,
"Orang muda, kau bersemangat besar. Aku kagum sekali!"
Kwan Cu tidak banyak cakap, lalu duduk di dekat Yok-ong, diam-diam menerima obat pemunah bisa dan menelannya menurut petunjuk Yok-ong.
"Kau lancang sekali, hampir-hampir terbuka rahasia kita," kata Yok-ong.
"Teecu tidak bisa membiarkan Sui Ceng tewas," jawab Kwan Cu.
Sementara itu, Pak-lo-sian menegur muridnya.
"Kun Beng kau benar-benar tidak tahu budi. Lihat, nona Bun tertolong nyawanya karena perbuatan pemuda muka merah tadi, dan kau bahkan menendangnya. Sungguh memalukan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
549 aku yang menjadi gurunya!"
Kun Beng terkejut dan ketika dia melihat, benar saja, Sui Ceng telah siuman kembali dan warna biru hitam pada pundaknya telah lenyap! Kiu-bwe Coa-li sedang memeriksa jalan darah muridnya dan ia mengangguk puas.
"Aneh sekali, nyawamu tertolong oleh suatu keajaiban, Sui Ceng." kata nenek ini sambil memandang ke arah Kwan Cu yang masih duduk merengut.
Kun Beng menjadi girang dan juga malu. Ia lalu melompat ke tengah lapangan dan menghadapi Toat-beng Hui-houw.
"Sahabatku kalah olehmu, marilah kaucoba mengalahkan aku!"
Pak-lo-sian mengomel, "Kun Beng benar-benar berani mati dan gegabah sekali. Mana dia bisa menangkan siluman itu" Swi Kiat, suruh dia kembali!" Gouw Swi Kiat mentaati perintah suhunya dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat di sebelah Kun Beng. Akan tetapi sebelum dia dapat menyampaikan pesan suhunya, Toat-beng Hui-houw yang mengira bahwa dia hendak dikeroyok dua, sudah tertawa bergelak dan siap untuk menyerang. Ia tidak gentar menghadapi dua orang pemuda ini dan dia dapat menduga bahwa mereka ini adalah murid-murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
"Toat-beng Hui-houw, kau mundurlah. Jasamu sudah cukup. Karena sekarang yang maju adalah murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai, biarkan pinceng yang menghadapinya." Yang berkata demikian ini adalah Bian Kim Hosiang, ketua Bu-tong-pai. Kata-kata ini amat mengherankan oleh karena biasanya, seorang ciangbunjin (ketua partai) tidak mau turun tangan dengan begitu mudahnya, apalagi menghadapi seorang anak murid partai lain, kecuali kalau menghadapi ketua lain partai. Akan tetapi dalam hal ini, tindakan Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong pai ini dapat dimengerti. Ia merasa sakit hati sekali terhadap Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Kiu-bwe Coa-li yang disangka membunuh sutenya secara pengecut sekali.
Maka kini dia hendak membalas dendam, hendak mengalahkan murid Pak-lo-sian dan kemudian setelah itu, kalau Pak-lo-sian merasa sakit hati baru dia akan melayani Dewa Utara itu.
"Benar, pinto juga ingin merasai kelihaian murid Pak-lo-sian!" kata Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai. Seperti halnya Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai, juga ketua Kim-san-pai ini berpikiran sama. Melihat bahwa yang maju adalah dua orang murid Pak-lo-sian, maka dia juga ikut maju untuk memberi hajaran sebagai pembalasan.
Swi Kiat menjadi bingung ketika tiba-tiba dua orang pendeta dari fihak lawan itu melayang dan menghadapi dia dan sutenya. Ia tidak keburu menyampaikan pesanan suhunya, karena kalau fihak lawan sudah keluar dan dia bersama sutenya kembali, hal itu akan mendatangkan rasa malu yang luar biasa sekali. Tentu dia dan sutenya dianggap takut dan melarikan diri dari dua orang pendeta ini. Swi Kiat yang menjadi bingung itu melirik ke arah suhunya dan Pak-lo-sian mengerti akan kebingungan hati muridnya. Kakek ini belum tahu duduknya perkara.
Biarpun tadi beberapa kali dua orang ketua dari Bu-tong dan Kim-san itu menyindir dan memakinya, namun dia tidak sekali-kali mengira bahwa dia disangka membunuh murid-murid mereka secara curang. Ia sudah kenal kepada dua orang ketua ini dan tahu bahwa mereka bukanlah orang-orang jahat dan kejam. Maka dia lalu berkata sambil tersenyum.
"Anak-anak bodoh! Ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai hendak memberi pelajaran, mengapa tidak lekas-lekas menerimanya?"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
550 Mendengai ini, Swi Kiat lenyap keraguannya dan dia lalu siap sedia dengan senjatanya yang lihai, yakni sepasang kipas yang disebut Im-yang-siang-san. Murid pertama dari Pak-lo-sian ini memang sudah mewarisi keahlian bersilat kipas dengan Ilmu Silat Im-yang San-hoat yang amat lihai. Adapun Kun Beng memang sejak tadi sudah mengeluarkan tombaknya.
Bian Kim Hosiang tertawa mengejek. "Biarpun murid-murid kami terbunuh secara curang mempergunakan ilmu kotor atau ilmu siluman, akan tetapi kami tidak serendah itu dan kami akan merobohkan kalian secara jujur." Sambil berkata demikian, ketua Bu-tong-pai ini mengeluarkan sehelai saputangan panjang. Ia menggulung-gulung saputangan itu, menjadi gulungan kain, kemudian sekali dia menggerakkan tangan, gulungan kain itu menjadi kaku seperti sebatang toya! Benar-benar seperti Kauw-ce-thian (raja monyet dalam dongeng kuno yang mempunyai wasiat tongkat kim-kauw-pang) mainkan tongkat wasiatnya! Dengan senjata buatan sendiri ini, ternyata bahwa Bian Kim Hosiang tidak saja memandang ringan pada lawannya, juga dia telah memperlihatkan bahwa tenaga lweekangnya bukan main besarnya.
Sambil memutar toya kain ini Bian Kim Hosiang menghadapi Kun Beng yang bersenjata tombak.
Adapun Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai, orangnya lebih sabar daripada ketua Bu-tong-pai, juga kepandaiannya tidak kalah. Bin Kong Siansu terkenal sebagai tokoh besar yang telah memperkembangkan dan memperbaiki Ilmu Pedang Kim-san Kiam-hoat yang sudah tersohor lihai itu sehingga Ilmu Pedang Kim-san Kiam-hoat boleh direndengkan dengan ilmu-ilmu pedang dari partai-partai besar, bahkan ada yang menyatakan bahwa ilmu pedang ini sesumber dengan ilmu pedang dari Thian-san-pai yang banyak dikagumi orang. Tosu ini menghadapi Swi Kiat dan mengulur tangan mencabut keluar sebatang pedang tipis.
"Orang muda, majulah untuk menerima hukuman dari dosa yang diperbuat oleh gurumu,"
katanya perlahan.
Swi Kiat tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan kata-kata ini, akan tetapi melihat betapa Kun Beng sudah mulai bertanding melawan Bian Kim Hosiang, dia pun menjura kepada ketua Kim-san-pai itu, lalu dengan sepasang kipasnya, dia melakukan penyerangan hebat. Bin Kong Siansu menggerakkan pedangnya dan sekali saja pedangnya bergerak, dua sinar berkelebat ke arah sepasang kipas di tangan Swi Kiat. Tentu saja pemuda ini terkejut dan tidak membiarkan kipasnya rusak dalam segebrakan saja. Sebagai seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya, dia sudah dapat melihat bahwa pedang lawannya tadi melakukan semacam gerak tipu seperti Goat-kan-ji-jit (Bulan Mengejar Dua Matahari) dan hendak menusuk bolong sepasang kipasnya. Maka cepat dia mengelak dan kini sepasang kipasnya mulai digerakkan dalam permaiann silat kipas yang amat lihai dari suhunya, yakni Im-yang San-hoat. Sepasang kipas ini dimainkan dengan gerakan yang saling bertentangan, misalnya kalau kipas kanan menyambar dari kanan, kipas kiri menyambar dari kiri, atau kalau yang pertama menyambar dari atas, yang ke dua menyusul dengan serangan dari bawah dan sebagainya. Yang amat sukar adalah betapa lawan tidak dapat menduganya, yang kanan ataukah yang kiri yang menjadi penyerang sesungguhnya dan mana pula yang hanya pancingan belaka.
Namun Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Tingkatnya masih melebihi Swi Kiat, demikian pula ilmu ginkang dan lweekangnya, maka dengan pedangnya yang digerakkan secara cepat dan kuat, dia dapat menggagalkan semua serangan balasan dari pemuda itu, sebaliknya dia terus menggencet lawannya.
Bagaimana dengan Kun Beng" Sama saja keadaannya dengan suhengnya. Kepandaian ketua Bu-tong-pai sudah sejajar dengan kepandaian tokoh-tokoh besar lainnya. Biarpun Bian Kim Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
551 Hosiang hanya mempergunakan toya terbuat daripada kain, namun setiap kali tombak di tangan pemuda itu terpukul senjata aneh ini, Kun Beng merasa telapak tangannya sakit-sakit.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai tahu benar bahwa kedua orang muridnya takkan dapat mencapai kemenangan. Hal ini pun tidak dianggap memalukan, karena dia sudah tahu bahwa dia sendiri kiranya takkan mudah mengalahkan ketua-ketua dari Kiam-san-pai dan Bu-tong-pai itu, apalagi kedua muridnya itu boleh di bilang sudah patut dipuji, karena menghadapi dua orang ciangbunjin itu masih dapat mempertahankan diri sampai lima puluh jurus! Pula, semenjak tadi sebagai guru, Pak-lo-sian memperhatikan semua gerakan ilmu silat muridnya dan dia tidak melihat adanya kesalahan-kesalahan. Mereka terdesak bukan karena kalah lihai ilmu silat yang mereka pelajari, hanya karena tingkat mereka masih kalah tinggi, baik dalam hal tenaga dalam mau pun kecepatan atau pengalaman bertempur. Ia pun tidak gelisah ketika pada saat hampir bersamaan Swi Kiat tersabet pedang pundaknya sehingga pemuda ini terhuyung-huyung lalu roboh mandi darah dan Kun Beng mengeluh kesakitan ketika pangkal pahanya terpukul oleh toya kain yang kadang-kadang keras seperti baja itu sehingga pemuda ini pun roboh. Pak-lo-sian dapat melihat bahwa luka-luka yang diderita oleh dua orang muridnya itu tidak berbahaya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat dua orang pendeta itu memburu maju dan mengangkat senjata untuk membinasakan dua orang
muridnya. Pucatlah wajah Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Dia adalah seorang tokoh besar yang tidak mau berlaku curang atau menyalahi peraturan biarpun kedua orang muridnya terancam bahaya maut, namun baginya lebih baik kematian dua muridnya atau biarpun dia sendiri akan mati, dia tidak nanti akan melanggar peraturan yang jujur.
Kwan Cu melihat dua orang pemuda itu menghadapi bahaya maut, otomatis hendak bergerak, akan tetapi dia kalah dulu oleh Liok-te Mo-li, wanita seperti setan yang pernah dijumpainya, yakni ibu dari Kong Hoat, nelayan muda yang "cengeng" itu. Nenek ini melompat dan ginkangnya memang amat hebat sehingga sekali melompat ia telah berada di tengah lapangan.
"Traaang!" Pedang di tangan Bin Kong Siansu sampai mengeluarkan bunga api ketika terbentur dengan tongkat hitam yang dipegang oleh Liok-te Mo-li ketika nenek ini menangkis tusukan pedang ketua Kim-san-pai yang diarahkan ke tenggorokan Swi Kiat, sedangkan tongkat itu bergerak lagi amat cepatnya menangkis toya kain di tangan Bian Kim Hosiang!
Ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai terkejut sekali. Tenaga nenek ini ternyata bukan main hebatnya dan melihat wajah nenek ini, mereka merasa bulu tengkuk mereka berdiri. Memang Liok-te Mo-li berwajah menyeramkan, apalagi pada saat itu ia sedang marah, maka wajahnya menjadi lebih hebat lagi. Kedua orang tokoh besar dunia kang-ouw itu terheran-heran karena selamanya mereka belum pernah melihat nenek aneh ini.
"Siapakah kau dan mengapa kau mencampuri urusan pertandingan yang dilakukan dengan jujur?" membentak Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai dengan marah.
Liok-te Mo-li tertawa, suara ketawanya juga amat menyeramkan, karena biarpun perlahan saja namun amat menusuk anak telinga.
"Hi-hi-hi! Aku mendengar bahwa kalian adalah ketua-ketua partai besar Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, mengapa seganas itu hatimu" Aku tidak peduli tentang pertempuran antara kedua fihak dan kedatanganku ini adalah karena undangan dari Kiam Ki Sianjin. Akan tetapi, biarpun di dalam undangan disebutkan akan diadakan musyawarah besar, kenyataannya apa yang kulihat" Pertandingan-pertandingan yang berat sebelah! Tadi kulihat kakek seperti siluman yang kukunya panjang itu menghina seorang nona muda, sekarang kulihat pula dua Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
552 ekor monyet tua menghina dua orang muda dan hendak membunuhnya! Aku tidak memihak siapa-siapa, akan tetapi melihat orang-orang muda dihina orang-orang tua bangka, aku Liok-te Mo-li tidak nanti tinggal diam saja!"
Terkejutlah dua orang ketua partai ini mendengar nama ini. Nama ini sudah amat terkenal sebagai nama yang amat menakutkan karena sepak terjang Liok-te Mo-li memang aneh dan kadang-kadang mendirikan bulu roma saking hebatnya. Sebelum mereka sempat membuka mulut, tiba-tiba dari rombongan Kiam Ki Sian-jin melompat dua orang, yakni Hek-i Hui-mo dan Coa-tok Lo-ong. Dua kakak beradik seperguruan dari Tibet ini memandang dengan marah. Terdengar suara Kiam Ki Sianjin yang memang menyuruh dua orang kawannya ini maju.
"Ji-wi Bengcu (dua ketua) dari Bu-tong-pai dan Kim-san-pai harap mengundurkan diri dan biarkan Hek-i Hui-mo dan sutenya menghadapi nenek yang usil tangan dan gatal mulut ini!"
Karena kedatangan ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai ke tempat itu memang hanya bertujuan membalaskan sakit hati mereka atas kematian murid mereka dan mereka tidak ingin melibatkan diri dalam permusuhan dengan golongan atau orang-orang lain, keduanya lalu mengangkat pundak dan mengundurkan diri. Adapun Pak-lo-sian Siangkoan Hai
mempergunakan kesempatan itu untuk melompat ke depan dan menyambar tubuh dua orang muridnya yang terluka untuk dirawat.
Hek-i Hui-mo sudah pernah bertemu dengan Liok-te Mo-li, bahkan dulu pernah dia bertempur dengan nenek ini ketika Liok-te Mo-li membasmi gerombolan perampok di daerah Tibet dan karena kepala perampok itu terhitung "anak buah" dari Hek-i Hui-mo maka terjadi bentrok di antara mereka. Namun pertempuran itu masih belum diketahui mana yang kalah dan mana yang menang karena Liok-te Mo-li keburu melarikan diri setelah melihat fihak Hek-i Hui-mo mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mengeroyoknya.
"Hm, Hek-i Hui-mo, siluman jahat! Dengan adanya kau di sini, mudah di ambil kesimpulan fihak mana yang tidak benar! Manusia macam kau tentu selalu membantu yang jahat," kata Liok-te Mo-li. "Kau hendak mengeroyokku seperti dulu" Kau sekarang sudah mengekor kepada bala tentara kerajaan" Nah, terimalah hadiahku ini!" Sambil berkata demikian, Liok-te Mo-li yang tiba-tiba naik darahnya melihat Hek-iHui-mo, menggerakkan kedua tangannya sambil mengempit tongkatnya. Sinar lembut melayang dari kedua tangannya, langsung menyerang Hek-i Hui-mo, Coa-tok Lo-ong dan para kawan mereka yang berdiri di
rombongan Kiam Ki Sianjin.
Hek-i Hui-mo, Coa-tok Lo-ong, dan tokoh-tokoh besar seperti Kiam Ki Sian-jin dan lain-lain cepat mengebutkan ujung lengan baju dan ada yang mengelak ketika jarum-jarum halus itu menyambar, akan tetapi beberapa orang yang kurang tinggi kepandaiannya tidak sempat lagi menghindarkan diri. Tiga orang perwira pengikut Kiam Ki Sianjin menjerit dan roboh dengan muka berubah pucat. Nyawa mereka sukar ditolong karena jarum-jarum ini telah memasuki tubuh dan bergerak melalui jalan darah, langsung menyerang urat-urat nadi yang berbahaya!
"Aduh celaka, Liok-te Mo-li tidak dapat menahan nafsu dan membuat gara-gara!" kata Kwa Ok Sin sambil berdiri dan membanting-banting kakinya. Jeng-kin-jiu juga menggeleng-geleng kepala, akan tetapi tidak bisa berbuat sesuatu karena hal itu sudah terjadi tanpa dapat dicegah lagi.
"Tiga orang itu takkan dapat diselamatkan lagi," kata Yok-ong perlahan kepada Kwan Cu.
Pemuda ini sudah hendak bangun dan membantu Liok-te Mo-li ketika melihat nenek ini Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
553 dikeroyok oleh Hek-i Hui-mo dan Coa-tok Lo-ong, akan tetapi tiba-tiba pundaknya dipegang oleh Yok-ong yang berbisik,
"Jangan bergerak. Mereka terlalu lihai, aku sendiri pun tidak berani sembarangan bergerak.
Liok-te Mo-li mencari penyakit sendiri dan memperbesar permusuhan. Kita lihat saja bagaimana perkembangannya nanti."
Biarpun Kwan Cu tidak takut sedikitpun juga menghadapi tokoh-tokoh besar di fihak Kiam Ki Sianjin, akan tetapi dia pikir bahwa omongan Yok-ong ini betul juga, maka dia berdiam diri. Betapapun juga, sepak terjang Liok-te Mo-li tidak dia setujui, biarpun nenek ini membela keadilan, akan tetapi dia terlalu ganas sehingga sekali turun tangan ia telah menewaskan tiga orang perwira yang sebetulnya tidak tahu apa-apa.
Sementara itu, Hek-i Hui-mo dan Coa-tok Lo-ong telah maju dan mengeroyok Liok-te Mo-li.
Tentu saja nenek ini menjadi sibuk sekali. Memang kepandaiannya sudah tinggi, namun kepandaian Hek-i Hui-mo juga tidak boleh dibuat main-main. Apalagi selama beberapa tahun ini kepandaian Hek-i Hui-mo meningkat tinggi sekali, setelah dia mempelajari ilmu silat aneh dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu seperti yang dia dengar dibacakan oleh pujangga Tu Fu. Selain itu, dia dibantu oleh Coa-tok Lo-ong yang tingkat kepandaiannya juga tidak lebih rendah daripada suhengnya dan Liok-te Mo-li. Kalau hanya menghadapi seorang di antara dua tokoh Tibet ini, agaknya pertandingan akan berjalan lebih ramai dan seimbang, akan tetapi dikeroyok dua seperti itu, Liok-te Mo-li benar-benar amat terjepit dan terdesak.
Sepasang senjata Hek-i Hui-mo amat berbahaya, yakni seuntai tasbih di tangan kiri dan sebatang Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga) di tangan kanan. Ia melakukan serangan bertubi-tubi dengan kedua senjatanya, setiap serangan cukup keras untuk menghancurkan batu karang. Adapun Coa-tok Lo-ong mainkan senjatanya yang mengerikan, yakni sebatang tongkat yang sebetulnya adalah seekor ular berbisa yang masih hidup! Ular hidup ini tadinya dia simpan di dalam saku bajunya yang lebar dan ular itu tidak dapat bergerak karena memang sudah ditekan pusat tulang belakangnya sebelum digulung dan dikantongi. Sekarang dia buka totokan pada tubuh ular itu dan dengan memegangi ekornya dia mainkan ular itu dengan hebatnya! Dapat dibayangkan sendiri betapa berbahayanya senjata seperti ini karena selain dikerahkan dengan penyaluran tenaga lweekang sehingga dapat dipakai memukul dan menotok, juga ular itu sendiri bergerak-gerak sambil mengeluarkan semburan bisa sehingga sukar sekali dihadapi.
Baiknya Liok-te Mo-li amat besar tenaganya sehingga ketika dia memutar tongkatnya, angin menderu dan debu beterbangan, tubuhnya terbungkus oleh sinar tongkat dan debu. Namun dia sudah tua, keuletan tenaganya terbatas dan sebentar saja setelah dapat mempertahankan selama delapan puluh jurus, ia mulai terengah-engah. Liok-te Mo-li terkejut menghadapi kenyataan betapa majunya kepandaian Hek-i Hui-mo dan bahwa sute dari pendeta Tibet ini pun lihai sekali. Ia maklum bahwa akhirnya ia akan kalah dan roboh juga, maka diam-diam ia mengeluarkan sesuatu dari saku jubahnya.
Tak terasa lagi Kwan Cu memegangi tangan Yok-ong yang dekat dengan lengannya. Kwan Cu memandang ke arah Liok-te Mo-li dengan wajah ngeri, sebaliknya Yok-ong terkejut bukan kepalang ketika merasa betapa tangannya diremas oleh tangan Kwan Cu. Ia merasa betapa tulang-tulang tangannya seperti akan remuk. Dari tangan pemuda itu keluar hawa yang luar biasa sekali sehingga raja tabib ini merasa seluruh lengannya lumpuh, sebentar panas sekali dan sebentar pula dingin bukan main. Ia melongo dan memandang kepada Kwan Cu, lalu dia mencoba mengerahkan seluruh hawa murni dan tenaga lweekang dari tubuhnya untuk melawan tenaga yang keluar dari tangan Kwan Cu. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
554 ketika lweekangnya tidak kuat menghadapi tekanan itu!
Akan tetapi perlawanannya menginsyafkan Kwan Cu bahwa tanpa disengaja dia telah memijit tangan Yok-ong dengan pengerahan tenaga sakti Im-yang Bu-tek Sin-kang yang dia pelajari dari kitab rahasia itu, maka cepat-cepat dia melepaskan pegangannya. Untuk mengalihkan perhatian Yok-ong, dia segera berbisik,
"Locianpwe, apakah yang dikeluarkan oleh Liok-te Mo-li itu?" Sebenarnya dia sudah melihat nyata bahwa nenek itu mengeluarkan daun Liong-cu-hio, daun aneh yang amat mengerikan itu, daun yang mengandung bisa luar biasa sekali dan boleh disebut raja dari sekalian bisa!
Benar saja, perhatian Yok-ong tertuju kepada nenek itu dan sekali pandang saja muka Yok-ong menjadi pucat. "Ahhh, mungkinkah ia memegang Liong-cu-hio" Celaka sekali....... !" Ia hendak melompat dan mencegah nenek itu mempergunukan daun itu, namun terlambat.
Sambil tertawa-tawa aneh Liok-te Mo-li tiba-tiba melontarkan belasan helai daun itu kearah lawannya dan orang-orang yang berdiri di rombongan Kiam Ki Sianjin!
Coa-tok Lo-ong dan Hek-i Hui-mo adalah tokoh-tokoh kenamaan yang sudah tidak asing lagi dengan segala macam bisa, maka mencium bau aneh dari daun-daun itu, mereka cepat melompat tinggi untuk menghindarkan diri. Kemudian, dengan tongkatnya, Hek-i Hui-mo mengemplang dari atas, tepat mengenai pergelangan tangan kiri nenek itu.
"Krak!" remuklah pergelangan lengan itu sedangkan ular di tangan Coa-tok Lo-ong juga berhasil memagut leher nenek itu. Liok-te Mo-li menjerit dan terhuyung mundur, akan tetapi jeritnya disusul oleh suara ketawanya yang mendirikan bulu roma dan tiba-tiba tangan kanannya menyebarkan beberapa helai daun lagi sambil menggigit tongkatnya! Kemudian, secepat kilat, dibarengi suara ketawanya yang menyayat hati, sebelum dua orang lawannya sempat menyerang, ia mengemplang kepalanya sendiri dengan tongkat yang dipegangnya. Ia roboh dengan kepala pecah dan tidak bernyawa lagi.
Akan tetapi, akibat dari penyebaran daun-daun itu hebat bukan main. Teriakan-teriakan ngeri terdengar ramai sekali di rombongan Kiam Ki Sianjin dan belasan orang perwira dan anak murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai roboh dengan tubuh hangus! Sekali saja terkena sambitan daun itu, hanguslah bagian tubuh yang terkena dan sebentar lagi seluruh tubuh menjadi hangus seperti terbakar! Yang hebat lagi, orang lain yang hendak menolong, baru saja menjamah tubuh kawan yang hangus itu, menjerit dan tangannya menjadi hangus pula!
Tentu saja para tokoh yang berkepandaian tinggi, dapat menyelamatkan diri dan dapat mengelak dari sambaran daun-daun itu, akan tetapi kali ini kerugian mereka benar-benar hebat sekali sehingga di fihak Kiam Ki Sianjin menjadi gempar. Kiam Ki Sianjin sendiri marah bukan main. Ia menantang pihak Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
"Pak-lo-sian jangan enak-enakan mengandalkan campur tangan dari luar! Hayo keluarkan lagi jago-jagomu!"
Coa-tok Lo-ong lalu mempergunakan sebatang pisau kecil untuk menusuk-nusuk daun-daun Liong-cu-hio itu, lalu dibungkuslah daun-daun itu dengan hati-hati dan disimpannya di saku baju. Ia kelihatan girang sekali mendapatkan daun-daun yang berbahaya ini.
"Lebih celaka lagi kalau daun-daun itu disimpan oleh manusia seperti itu." kata Yok-ong perlahan. Wajah orang tua ini kelihatan gelisah sekali melihat akibat pertempuran yang Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
555 demikian mengerikan.
Pak-lo-sian telah menanggalkan baju luarnya. Ia melihat betapa dua orang muridnya telah terluka. Sui Ceng telah terluka pula. Dua orang murid Kun-lun-pai yang masih ada tidak boleh diandalkan, maka dia hendak maju sendiri.
"Nanti dulu, Pak-lo-sian. Ingat bahwa kau adalah wakil kami, maka kau harus maju terakhir.
Biarkan pinto maju lebih dulu untuk membalas kematian murid-murid pinto," kata Seng Thian Siansu.
Pak-lo-sian menggeleng kepalanya. "Tidak bisa, Siansu. Kau adalah orang tertua maka berilah kesempatan kepadaku yang lebih muda."
"Omongan apa yang kalian keluarkan ini" Akulah yang akan maju lebih dulu." kata Kiu-bwe Coa-li.
"Tidak bisa!" bantah Pak-lo-sian.
"Tar! Tar! Tarrr!" Cambuk Kiu-bwe Coa-li berbunyi. "Aku maju lebih dulu dan habis perkara!" Kata-katanya ini disusul oleh gerakannya yang amat cepat dan tahu-tahu ia telah berada di tengah lapanganan.
Melihat majunya Kiu-bwe Coa-li yang dianggap sebagai pembunuh murid mereka. Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu naik darahnya dan serentak mereka maju lagi sebelum didahului oleh orang lain. Hal ini menggirangkan hati Kiam Ki Sianjin sehingga dia memberi isyarat mencegah Hek-i Hui-mo yang hendak maju. Memang inilah maksud dari Kiam Ki Sianjin, yakni hendak mengadukan mereka. Ia tahu betul akan kelihaian Kiu-bwe Coa-li.
"Bagus, sekarang kami mendapat kesempatan membalas kematian murid-murid kami!" seru Bian Kim Hosiang yang cepat menyerang. Kini Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai ini tidak lagi mempergunakan toya yang dibuatnya dari kain, melainkan dia menyambar sebuah toya kuningan yang aseli, yakni senjatanya yang sejak tadi dibawa-bawa oleh seorang muridnya. Serangan toyanya amat hebat dan sambaran senjatanya ini mendatangkan angin yang berbunyi mengaung. Namun Kiu-bwe Coa-li tidak menjadi gentar, bahkan sambil mengeluarkan suara ejekan dari hidungnya, dia mengelak dan membalas. Sembilan ekor cambuknya menari-nari di udara, masing-masing mengeluarkan bunyi yang nyaring dan mengurung tubuh ketua Bu-tong-pai itu dari segala jurusan dengan totokan-totokan mautnya!
Sebentar saja kedua orang tokoh besar itu telah saling serang sambil mengerahkan seluruh tenaga dan mempergunakan seluruh kepandaian mereka yang amat tinggi.
Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai juga amat benci kepada Kiu-bwe Coa-li yang dianggap membunuh sutenya secara curang, maka dia pun lalu menggerakkan pedangnya mengeroyok.
Perlu diketahui bahwa dua orang pendeta yang tewas secara aneh, yaitu Bin Hong Siansu adalah sute dari Bin Kong Siansu, sedangkan yang keduanya, yakni Bian Ti Hosiang adalah murid kepala dari Bian Kim Hosiang. Mereka adalah orang-orang penting dari kedua partai persilatan itu, maka kematian mereka mendatangkan kegemparan dan dendam yang hebat.
Sejak tadi, Pak-lo-sian sudah beberapa kali mendengar ucapan kedua orang ketua partai persilatan itu, maka diam-diam dia merasa amat heran dan tidak mengerti mengapa mereka menyebut dia dan Kiu-bwe Coa-li sebagai pernbunuh-pembunuh curang. Kini melihat Kiubwe Coa-li dikeroyok dua orang, dia menjadi penasaran dan cepat dia melompat ke dalam Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
556 gelanggang pertempuran, mempergunakan kipasnya menangkis pedang di tangan Bin Kong Siansu sambil berseru.
"Bin Kong Siansu, tahan dulu!"
Bin Kong Siansu menjadi makin marah melihat majunya Pak-lo-sian. Memang Kiu-bwe Coali dan Pak-lo-sian yang dicarinya maka dia bersama ketua Bu-tong-pai datang di situ.
"Kebetulan sekali, kau harus mampus bersama siluman wanita itu!" bentaknya sambil menyerang.
"Nanti dulu, Siansu. Kau dan Bian Kim Hosiang agaknya amat membenci kami berdua, ada apakah?"
"Masih berpura-pura" Benar-benar tua bangka jahanam tak tahu malu. Kau dan Kiu-bwe Coali secara curang dan tak bermalu telah membunuh suteku dan murid kepala dari Bu-tong-pai, sekarang masih berpura-pura tanya lagi?" jawab ketua Kim-san-pai sambil menyerang terus.
"Eh, eh, eh, omongan kosong apa yang kaukeluarkan ini?" tanya Pak-lo-sian dan lagi-lagi dia menangkis.
"Kami ada bukti dan saksi, tak perlu banyak mulut lagi. Kalau kau berani, terimalah ini!" Bin Kong Siansu menyerang untuk ketiga kalinya dan kali ini serangannya amat hebat sehingga terpaksa Pak-lo-sian melayaninya.
"Kalau kau menyerangku sebagai seorang yang berfihak kepada penjilat kaisar, aku akan mengadu nyawa denganmu. Akan tetapi kau menyerangku karena salah sangka, aku tidak mau melayanimu." Sambil berkata demikian, Pak-lo-sian hendak meninggalkan lawannya.
"Pengecut tua bangka, kau hendak mempermainkan orang dengan siasatmu! Bin Kong Siansu, jangan percaya mulut tua bangka yang memang ahli siasat dan akal bulus ini!" tiba-tiba terdengar suara yang amat tinggi dan tahu-tahu seekor ular melayang dan menyerang ke arah kepala Pak-lo-sian. Tokoh utara ini cepat mengebut dengan kipasnya sehingga kepala ular itu terdorong angin kipas dan dia melanjutkan dengan menotokkan ujung gagang kipas ke arah penyerangannya. Coa-tok Lo-ong, penyerang itu, cepat mengelak karena dia maklum akan kelihaian lawannya.
Bin Kong Siansu tadinya juga merasa heran melihat penyangkalan Pak-lo-sian, akan tetapi ucapan dari Coa-tok Lo-ong ini membuat dia tidak ragu-ragu lagi dan cepat dia membantu Coa-tok Lo-ong, memutar pedang dan menyerang Pak-lo-sian. Dengan demikian, Siangkoan Hai dikeroyok dua! Bagaimana Bin Kong Siansu bisa ragu-ragu lagi" Surat peninggalan yang ditandatangani oleh sutenya dan murid kepala Bu-tong-pai sudah menjadi bukti yang nyata, apalagi masih ada saksi hidup yang kini pun berada dan hadir di tempat itu, yakni Siok Tek To-jin. Maka dia percaya penuh akan kata-kata Coa-tok Lo-ong dan menganggap bahwa seorang yang begitu curang membunuh sutenya, tentu takkan segan-segan untuk
mempergunakan siasat untuk mencoba menyangkal perbuatannya itu.
Melihat Pak-lo-sian sudah dikeroyok dua oleh Bin Kong Siansu dan Coa-tok Lo-ong, Hek-i Hui-mo lalu melompat pula dan membantu Bian Kim Hosiang mengeroyok Kiu-bwe Coa-li.
Pertempuran menjadi makin ramai dan hebat dengan masuknya Hek-i Hui-mo ini.
"Tidak adil....! Sungguh tidak adil........!" bentak Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
557 "menggelundung" naik dan menyerbu di tempat pertempuran. "Adu kepandaian macam apa ini" Sungguh tak tahu malu, kiranya hanya main keroyokan saja."
"Eh, Jeng-kin-jiu, kau mau apakah?" tiba-tiba berkelebat bayangan dan di depannya sudah menghadang Kiam Ki Sianjin dan Toat-beng Hui-houw. "Apakah kau mau membantu fihak pemberontak yang mengacaukan negara?"
"Aku tidak membantu mana-mana! Aku hanya menghendaki agar pertempuran-pertempuran yang berat sebelah ini dihentikan! Aku sudah menyesal sekali dahulu dapat diperkuda oleh An Lu Shan sehingga aku kesalahan tangan membunuh Ang-bin Sin-kai sahabat baikku.
Sekarang ini, kalian tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, yang mewakili semua orang gagah di dunia, yang katanya memiliki kedudukan batin lebih tinggi daripada orang biasa, apakah hanya untuk seorang raja saja kalian sampai mengadu nyawa mati-matian?"
"Habis apa kehendakmu?" tanya Kiam Ki Sianjin sambil tersenyum mengejek.
"Kiam Ki Sianjin, ketika kau masih mengeram di dalam goa di gunungmu, aku sudah berada di istana, akan tetapi kau sekarang bersikap seakan-akan kau sudah menjadi seorang jenderal!
Alangkah sombongmu. Dengarlah baik-baik kalau memang kau seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Kalau pibu (adu kepandaian) ini memang akan diteruskan, berlakulah jujur dan tidak secara pengecut. Biarkan seorang melawan seorang, jangan main keroyokan. Aku sudah ribuan kali bertempur dan ratusan kali menghadapi pibu, akan tetapi selama hidupku baru kali ini menyaksikan pibu yang demikian tidak tahu malu!"
"Jeng-kin-jiu, kau adalah orang luar. Biarpun aku sudah memanggilmu ke sini, akan tetapi ternyata kau menarik diri sendiri dan menjadi penonton dan orang luar. Kau peduli apa" Kau lihat sendiri, mereka bertempur atas kehendak mereka, tidak ada yang memaksa. Kalau mereka memang suka berdamai, mengapa mereka memaksa hendak mengadakan adu
kepandaian" Sudahlah, kami tak hendak menyeret kau dalam pertandingan ini, lebih baik kau keluar dan turun dari gunung ini."
"Tak mungkin! Aku bisa membiarkan kalian bertanding kalau memang adil, akan tetapi aku paling benci kecurangan dan ketidakadilan. Tak boleh aku berpeluk tangan saja melihat hal ini terjadi di depan mataku!" Sambil berkata demikian, Jeng-kin-jiu siap untuk menyerang dan membantu Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian yang dikeroyok dan didesak hebat oleh para pengeroyoknya.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar ledakan dua kali dan asap tebal sekali berwarna hitam campur putih, memenuhi tempat itu. Jeng-kin-jiu yang berada agak jauh dari ledakan ini, kaget dan cepat melompat mundur ke dekat Kwa Ok Sin kembali karena mencium bau yang amat keras. Akan tetapi semua orang yang berada di gelanggang pertempuran, kecuali Coa-tok Lo-ong dan Hek-i Hui-mo, menjadi terhuyung-huyung dan bernapas terengah-engah lalu roboh terguling! Mereka yang roboh ini adalah Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Kiam Ki Sianjin, Toat-beng Hui-houw, Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu!
Apakah yang terjadi" Tak seorang pun mengetahuinya bahkan Yok-ong hanya berseru perlahan kepada Kwan Cu "Itulah asap berbisa obat pembius yang sering dipergunakan oleh penjahat dari See-than (negeri barat)! Heran dari mana datangnya asap itu?"
Akan tetapi biarpun Kwan Cu juga tidak melihat siapa yang mempergunakannya dia telah tahu dengan baik bahwa yang mengeluarkan obat bius itu tentulah Coa-tok Lo-ong sute dari Hek-i Hui-mo karena dahulu di kuil tempat tinggal Siok Tek Tojin, dia pernah mencium bau Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
558 asap itu. Hek-i Hui-mo tertawa bergelak sedangkan Coa-tok Lo-ong cepat menciumkan obat penawar di depan hidung Kiam Ki Sianjin, Toat-beng Hui-houw, Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu. Dalam beberapa detik saja mereka ini telah siuman kembali dan menjadi terheran-heran. Akan tetapi, Hek-i Hui-mo cepat menghampiri tubuh Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li, lalu menotok mereka sehingga sebelum orang lain dapat mencegahnya, kedua tulang pundak Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li telah terlepas sambungannya! Mereka untuk beberapa lama takkan dapat bersilat sebelum tulang itu disambung kembali!
"Ji-wi Pai-cu dari Bu-tong dan Kim-san, sekarang musuh-musuh besar Ji-wi sudah roboh.
Tidak membalas dendam sekarang, mau tunggu kapan lagi?" kata Kiam Ki Sianjin kepada ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Akan tetapi kedua orang ini yang mempunyai kedudukan tinggi dalam partai mereka, tentu saja merasa malu untuk membinasakan lawan yang roboh karena pengaruh obat bius. Melakukan hal itu dianggap amat rendah. Akan tetapi kalau tidak membunuh mereka sekarang, bukanlah hal yang mudah untuk merobohkan kedua orang tokoh besar itu selagi mereka sadar. Karenanya, dua orang ketua partai ini menjadi ragu-ragu dan bersangsi.
"Kalau Ji-wi tidak tega, biarlah aku yang membunuh mereka!" kata Coa-tok Lo-tong sambil melompat maju ke arah Kiu-bwe Coa-li dan serentak dia menggerakkan ularnya ke arah tenggorokan Kiu-bwe Coa-li!
"Bangsat rendah, pergilah kau!" tiba-tiba dari samping, Coa-tok Lo-ong merasa ada sambaran angin yang dahsyat sekali, karena dia tidak dapat mengelak lagi, dia membatalkan serangannya terhadap Kiu-bwe Coa-li dan mempergunakan tangan kirinya untuk menangkis.
"Duk!" dua tangan beradu dan Coa-tok Lo-ong terlempar sampai dua tombak lebih, akan tetapi Jeng-kin-jiu yang menyerangnya juga terpental ke belakang sampai empat kaki!
Ternyata bahwa dua orang tokoh ini hampir sama kehebatan tenaga mereka, akan tetapi ternyata bahwa tenaga raksasa dari Jeng-kin-jiu masih unggul. Berkat tingginya lweekang mereka, adu tenaga tadi tidak mendatangkan luka di dalam tubuh.
"Jeng-kin-jiu, kau bukan orang luar lagi sekarang, akan tetapi pembantu pemberontak!"
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bentak Hek-i Hui-mo yang cepat mengayun tongkat kepala naga menyerang kepala Jeng-kin-jiu.
"Bangsat Hek-i Hui-mo, lupakah kau akan perundingan kita dulu?" seru Jeng-kin-jiu sambil menangkis ayunan tongkat itu dengan toyanya. Pertemuan tongkat dan toya yang digerakkan dengan tenaga raksasa ini menimbulkan suara keras dan orang-orang yang berada di dekat situ merasai getaran yang hebat. Sebagaimana diketahui dahulu memang Hek-i Hui-mo dan Jeng-kin-jiu keduanya membantu An Lu Shan, bahkan ketika tokoh-tokoh besar berjiwa patriot seperti Ang-bin Sin-kai, Pak-lo-sian dan yang lain-lain datang menyerbu istana, mereka inilah yang melindungi An Lu Shan dan menyelamatkan nyawa kepala pemberontak itu. Akan tetapi kemudian, melihat betapa rakyat Han berjuang terus, bahkan dipimpin oleh orang-orang pandai, Jeng-kin-jiu baru terbuka matanya bahwa hal yang dia kerjakan bukanlah main-main belaka. Ia boleh disuruh menghadapi tokoh-tokoh kang-ouw yang bagaimana pandai pun, akan tetapi menghadapi gelombang perjuangan rakyat bangsanya sendiri, dia bergidik dan merasa ngeri. Oleh karena ini dia lalu mengajak berunding dengan kawan-kawannya, yakni Hek-i Hui-mo, Toat-beng Hui-houw dan yang lain-lain, menyatakan kekhawatirannya karena Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
559 ternyata bahwa yang mereka lindungi adalah musuh rakyat jelata, bukan musuh Kaisar Tang sebagaimana yang tadinya mereka kira. Jeng-kin-jiu semenjak itu lalu mengasingkan diri di atas gunung, menyesali perbuatannya yang telah membikin banyak orang gagah gugur termasuk Ang bin Sin-kai. Sebaliknya, Hek-i Hui-mo, Toat-beng Hui-houw dan yang lain-lain kena dibujuk lagi oleh Kiam Ki Sianjin sehingga mereka kini kembali membantu kaisar asing.
Hal ini adalah karena Hek-i Hui-mo memang berdarah Tibet maka dia tidak peduli akan perjuangan bangsa Han.
Kini dua orang tokoh besar yang sama gemuknya dan sama pula lihainya itu bertanding.
Kalau tadinya Kwan Cu sudah mau melompat maju melihat Coa-tok Lo-ong mempergunakan asap obat bius, kini dia mengurungkan niatnya lagi. Kejadian itu semua terjadi demikian cepat dan kini Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian telah tertotok pundak mereka, menggeletak dalam keadaan masih pingsan. Melihat betapa fihak Pak-lo-sian kini tinggal Seng Thian Siansu ketua Kun-lun-pai yang amat tua itu, Kwan Cu sudah ingin sekali membantu mereka, akan tetapi kembali niatnya ini terpaksa dia tunda karena kini dia asyik menyaksikan pertarungan antara Jeng-kin-jiu dan Hek-i Hui-mo. Hatinya berdebar tegang. Kedua orang ini termasuk pengeroyok-pengeroyok dan pembunuh-pembunuh Ang-bin Sin-kai, juga dia masih ingat betul bagaimana ketika dia masih kecil, dua orang tokoh besar ini pun pernah menawan dan ikut menyiksanya untuk memperebutkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Akan tetapi tiba-tiba semacam perasaan yang aneh terasa olehnya. Biarpun dia akui bahwa dua orang yang bertempur itu adalah musuh-musuh dan pembunuh gurunya, jadi keduanya juga musuh yang harus dia balas, namun melihat mereka berdua saling serang itu hati Kwan Cu condong Kepada Jeng-kin-jiu dan dia mengharapkan kemenangan bagi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu! Hal ini sebetulnya tidak mengherankan bagi kita, karena memang anak ini ketika pertama kali muncul di dunia ramai, ditemukan oleh Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai sebagai orang satu-satunya yang selamat dari kapal yang tenggelam oleh badai dan ombak.
Kemudian, bahkan Jeng-kin-jiu yang memberi nama Kwan Cu kepadanya sedangkan Ang-bin Sin-kai yang memberi nama keturunan Lu. Biarpun tokoh-tokoh aneh itu tidak menyatakan, akan tetapi setidaknya Jeng-kin-jiu dan Ang-bin Sin-kai adalah seperti "ayah-ayah angkat"
bagi Kwan Cu. Tentu saja dia lebih sayang kepada Ang-bin Sin-kai karena pengemis sakti ini selain menjadi gurunya, juga sikapnya lebih baik terhadapnya.
Ketika Kwan Cu memperhatikan jalannya pertempuran, ternyata bahwa betapapun lihainya Jeng-kin-jiu dengan toyanya, namun tongkat dan tasbih Hek-i Hui-mo masih lebih lihai lagi.
Memang, dahulu ketika mereka masih memperebutkan Kwan Cu dan rahasia kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, tingkat atau ketangguhan ilmu silat mereka seimbang. Akan tetapi, semenjak dia mendengar isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng salinan yang dibaca oleh pujangga Tu Fu, dia lalu mendapat kemajuan yang hebat dan juga aneh, seperti halnya Kiubwe Coa-li yang juga ikut mendengarkan. Tadi ketika dikeroyok kalau saja tidak keburu Coa-tok Lo-ong melepaskan asap berbisa yang amat ampuh, agaknya takkan ada yang sanggup mengalahkan atau meroboh kan Kiu-bwe Coa-li.
Kwan Cu melihat betapa Jeng-kin-jiu ternyata masih kalah setingkat, menjadi ikut penasaran.
Dalam hal tenaga, agaknya Jeng-kin-jiu tidak kalah, akan tetapi ilmu tongkat dari Hek-i Hui-mo benar-benar aneh dan ditambah pula dengan tasbihnya yang merupakan tangan maut menyambar-nyambar, keadaan Jeng-kin-jiu amat terdesak. Tiba-tiba Kwan Cu mengeluarkan seruan tertahan, seruan yang mengandung kemarahan besar, akan tetapi dia tidak berbuat sesuatu, karena kesadarannya mengingatkan bahwa yang bertempur adalah musuh-musuh besar gurunya. Ia mengeluarkan seruan ketika melihat kecurangan yang terjadi dalam Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
560 pertempuran itu. Tanpa disangka-sangka, Coa-tok Lo-ong menyerang Jeng-kin-jiu dengan senjata rahasia yang amat halus dan tidak dapat dilihat oleh mata.
"Itu jarum-jarum Coa-tok-ciam........ " Yok-ong juga berseru perlahan.
Jeng-kin-jiu bukanlah seorang yang disebut tokoh nomor satu di selatan kalau dia tidak tahu akan serangan gelap ini. Biarpun jarum-jarum itu amat halus dan tidak kelihatan oleh mata, namun dia masih dapat mendengar suara angin senjata rahasia ini dan cepat-cepat dia mengebutkan tangan baju sebelah kiri. Ia tidak dapat berbuat lain karena pada saat itu, Hek-i Hui-mo sedang melakukan serangan yang hebat dan mendesaknya, tidak memberi
kesempatan kepadanya untuk menyingkirkan diri. Oleh karena ini, biarpun dia dapat mempergunakan ujung lengan baju menyampok jatuh banyak jarum-jarum Coa-tok-ciam (Jarum Racun Ular) namun dia tidak dapat sama sekali membebaskan diri dari ancaman jarum-jarum yang dilontarkan dalam gelombang ke dua. Tiga batang jarum hitam yang amat halus telah mengenai tubuhnya, sebatang di paha, sebatang di pundak dan sebatang lagi merasuki punggungnya.
Kalau orang lain yang terkena jarum-jarum ini, tentu akan roboh pada saat itu juga. Akan tetapi Jeng-kin-jiu adalah seorang yang tubuhnya sudah penuh oleh hawa murni dan tenaga lweekangnya sudah dapat dia salurkan sampai ke ujung-ujung kuku. Maka begitu merasa tiga bagian tubuhnya itu gatal-gatal dan sakit, dia cepat mempergunakan Ilmu Pi-khi-koan-hiat (Menutup Hawa Menghentikan Jalan Darah) sehingga racun dari Coa-tok-ciam yang
memasuki tubuhnya tidak dapat menjalar dan hanya mengeram di sekitar jarum itu saja.
Sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa terkurung, Jeng-kin-jiu lalu memutar toyanya dengan tenaga raksasa, dia maju dan menyerang membabi-buta. Terutama sekali dia mengejar Coa-tok Lo-ong yang sudah melukainya dengan cara amat curang itu.
Coa-tok Lo-ong terkejut sekali karena tahu-tahu hwesio gemuk bundar itu sudah tiba di depannya dan memukul dengan kerasnya. Ia mengelak dan berbareng dari samping
menyabetkan ularnya ke arah dada Jeng-kin-jiu. Akan tetapi, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu mengulur tangan kiri, menangkap kepala ular itu dan sekali remas saja, hancurlah kepala ular itu! Berbareng dengan itu, kembali dia mengirim serangan dengan toyanya. Coa-tok Lo-ong cepat menyingkir dan sebentar saja Jeng-kin-jiu yang mengamuk seperti singa gila itu telah dikurung oleh Hek-i Hui-mo dan lain-lain. Bahkan kini para perwira juga ikut mengepungnya.
Akan tetapi mereka ini hanya mengantar nyawa dengan sia-sia saja karena sebentar saja di tangan Jeng-kin-jiu telah menghancurkan kepala beberapa orang pengeroyok.
"Mundur semua......!" seru Kiam Ki Sianjin yang kini ikut mengepung pula.
"Biarkan para cianpwe yang membunuh anjing gila ini!"
Akan tetapi keributan semua ini sebetulnya tidak ada gunanya. Pada saat dia mengamuk, terpaksa untuk menyalurkan tenaga lweekang pada gerakan-gerakannya, kadang-kadang Jeng-kin-jiu harus melepaskan Ilmu Pi-khi-koan-hiat sehingga racun-racun itu mulai menjalar di tubuhnya. Maka tiba-tiba dia merasa kedua matanya gelap. Sambil meramkan mata, hwesio yang kosen ini masih saja mengamuk terus, dan dia hanya melindungi tubuh dan melakukan serangan semata-mata menurutkan pendengaran telinganya saja.
Namun hal ini tidak berlangsung lama. Racun telah sampai di jantungnya dan tanpa mengeluarkan keluhan sedikit pun, Jeng-kin-jiu roboh dan tewas dengan toya masih berada dalam genggaman tangannya! Melihat hal ini, semua orang tertegun dan untuk beberapa lama Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
561 keadaan menjadi sunyi.
"Inilah seorang yang gagah perkasa benar-benar, patut ditiru oleh kita semua. Demikianlah hendaknya sikap seorang gagah dan namanya takkan terlupa oleh keturunan kita!" kata Kwa Ok Sin sambil menarik napas panjang berulang-ulang.
Pada saat pertempuran terjadi, Sui Ceng telah menghampiri gurunya dan berlutut di depan tubuh gurunya dengan muka sedih. Demikian pula Kun Beng dan Swi Kiat telah berlutut di depan Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Dua tokoh besar ini telah siuman dari pingsannya dan kini mereka hanya memandang murid-murid mereka dengan senyum tawar. Mereka tak berdaya, dan biarpun mereka dengan bantuan murid-murid mereka dapat duduk, namun kedua pundak mereka tak dapat digerakkan lagi sehingga tak mungkin mereka menghadapi lawan dalam pertempuran.
"Sekarang boleh dilakukan hukuman terhadap Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian yang membunuh murid-murid Bu-tong-pai dan Kim-san-pai!" kata Coa-tok Lo-ong tanpa mengenal malu sambil memandang kepada dua orang ketua partai Bu-tong-pai dah Kim-san-pai.
"Asal mereka sudah mengaku dan memberi tahu mengapa mereka melakukan pembunuhan secara curang terhadap muridku, pinto sudah puas dan bersedia memaafkan mereka," kata Bin Kong Sian-su ketua Kim-san-pai. Mendengar ini, Bian Kim Hosiang juga mengangguk-anggukkan kepalanya.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai mendengar omongan itu lalu tertawa bergelak. Biarpun kedua pundak dan lengannya tidak dapat digerakkan lagi, namun tubuhnya masih kuat dan sekali menggerakkan kaki, dia telah melompat berdiri, kedua muridnya berdiri di kanan-kirihya.
Sikapnya masih gagah, hanya kedua lengannya saja yang tergantung tak berdaya.
"Dua orang Ciangbunjin dari Bu-tong dan Kim-san agaknya sudah gila, buta atau memang sudah kembali menjadi anak-anak kecil. Aku Siangkoan Hai, selama hidup tidak pernah berbuat curang, sungguhpun sudah berkali-kali dicurangi orang seperti yang baru saja kualami ini. Maka dua orang Ciangbunjin harap membuka mata lebar-lebar dan mempergunakan pula otaknya!"
"Benar, kalian ditipu oleh jahanam-jahanam tak tahu malu seperti Coa-tok Lo-ong, masih keenakan saja, mana orang-orang macam kalian ini pantas menjadi ketua dari partai-partai besar?" kata Kiu-bwe Coa-li yang juga sudah berdiri, Sui Ceng berdiri di sebelahnya dan kini cambuk berekor sembilan itu dipegang oleh Sui Ceng. Biarpun gadis ini masih agak lemah dan pundaknya masih terasa sakit, ia dengan gagah berdiri di samping gurunya, siap membelanya mati-matian.
Mendengar kata-kata Kiu-bwe Coa-li yang tidak disengaja mendakwa kepada Coa-tok Lo-tong, sute dari Hek-i Hui-mo ini berubah mukanya. Akan tetapi Kiam Ki sianjin yang mendalangi semua itu, menjadi khawatir sekali. Tokoh-tokoh besar yang pro rakyat kini sudah tak berdaya, tidak membasmi mereka sekarang mau tunggu kapan lagi" Kalau mereka ini sudah tewas, berapa besar kekuatan pemberontak"
"Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li, biarpun kalian sekarang sudah dikalahkan, aku masih membuka kesempatan bagimu. Kalau kalian suka tunduk dan berjanji akan membantu kami atau akan membujuk agar supaya para pemimpin pemberontak mengundurkan diri, kami akan memberi ampun kepada kalian dan murid-murid serta kawan-kawanmu."
"Bangsat tua, siapa sudi mendengar omongan-omonganmu" Mau bunuh lekas bunuh, habis Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
562 perkara!" kata Kiu-bwe Coa-li dan biarpun kedua lengannya sudah lumpuh tak dapat digerakkan lagi, namun sepasang matanya mengeluarkan cahaya berkilat dan sepasang kakinya siap untuk mengirim tendangan maut.
"Kiam Ki Sianjin, anjing penjilat belang! Apa sih sayangnya kalau tulang-tulangku yang keropos ini dihancurkan" Aku akan mati sebagai seorang gagah, bukan seperti kau yang kelak mampus seperti anjing penjilat kelaparan yang tidak dipakai lagi oleh majikanmu, penjajah asing!" Pak-lo-sian Siangkoan Hai mencaci.
Naik darah Kiam Ki Sianjin mendengar ini dan dia lalu mencabut pedangnya. Ia adalah seorang tokoh besar yang dijuluki Pak-kek-sian-ong, bagaimana dia bisa menelan mentah-mentah hinaan ini"
"Kalau begitu mampuslah kalian!" bentaknya.
Akan tetapi tiba-tiba Seng Thian Siansu melompat dan pedangnya menangkis pedang di tangan Kiam Ki Sianjin.
"Nanti dulu, Kiam Ki Sianjin. Biarpun kawan-kawanku telah kalah oleh akal busuk, akan tetapi di fihakku masih ada aku orang tua. Kalau aku sudah kalah, boleh kalian berbuat sesuka hatimu terhadap kami. Hayo, majulah, aku menyediakan selembar nyawaku yang tidak berharga!" Biarpun sudah amat tua dan lemah, ketua Kun-lun-pai ini berdiri dengan gagahnya, pedangnya siap di tangan melakukan gerak Sian-jin-tit-louw (Dewa Menunjuk Jalan), membuka kuda-kudanya dengan tenang sekali.
Seng Thian Siansu adalah ketua Kun-lun-pai, seorang tua yang banyak dikenal dan disegani orang. Sebagai seorang ciangbunjin dari partai yang amat besar, dia dihormati sekali dan karenanya kali ini setelah dia yang maju, dari fihak Kiam Ki Sianjin tidak ada yang berani mengeroyok. Akan tetapi mereka ini tidak menjadi gentar, karena para tokoh ini maklum bahwa Seng Thian Siansu sekarang berbeda dengan Seng Thian Siansu sepuluh dua puluh tahun yang lalu. Kakek ini sudah terlalu tua dan kabarnya sudah beberapa kali menderita sakit tua sehingga amat lemah dan tidak memiliki lagi tenaga besar .
Toat-beng Hui-houw hendak mencari jasa, maka sambil tertawa-tawa dia melompat maju menghadapi Seng Thian Siansu.
"Aku mohon pengajaran dari Siansu yang namanya tersohor di kolong langit," katanya sambil menyeringai dan menggerakkan kedua tangan sehingga sepuluh kukunya terulur panjang.
Kemudian dengan gerakan cepat sekali dia maju menyerang dengan sepasang tangannya yang digerakkan seperti seekor harimau mencakar. Tidak ketinggalan kedua kakinya mengirim tendangan bertubi-tubi sehingga dia benar-benar kelihatan seperti seekor harimau menyerang.
Seng Thian Siansu adalah seorang ketua dari partai besar, tentu saja ilmu kepandaiannya amat tinggi. Ia adalah ahli waris dari ilmu silat Kun-lun-pai dan tentang kepandaian, dia jauh lebih menang daripada Toat-beng Hui-houw. Akan tetapi sayang sekali, sudah ada belasan tahun dia termakan oleh usia tua sehingga tenaganya sebagian lenyap dan juga kegesitannya berkurang banyak. Bagaikan sebatang pedang pusaka yang ampuh, apa dayanya kalau sudah dimakan karat" Maka begitu pedangnya yang menangkis serangan Toat-beng Hui-houw terbentur oleh kuku tangan kakek seperti siluman ini, dia merasa telapak tangannya tergetar dan pedangnya terpental. Dengan cepat Seng Thian Siansu terkurung dan terdesak hebat oleh Toat-beng Hui-houw yang menyerang sambil tertawa-tawa mengejek. Akan tetapi dia salah kira kalau dapat dengan mudah mengalahkan kakek yang usianya sudah tinggi sekali itu. Ilmu pedang dari Seng Thian Siansu sudah mencapai tingkat mendekati kesempurnaan, maka daya tahannya juga amat luar biasa. Sayang sekali, seperti sudah dituturkan di atas, tenaga kakek Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
563 ini sudah amat terbatas, demikian pula kecepatannya. Ia sudah mulai terengah-engah, akan tetapi dengan semangat penuh dia masih terus mempertahankan diri.
Kwan Cu sudah bergerak hendak melompat, akan tetapi kembali Yok-ong mencegahnya.
"Bagaimana kita bisa membantu kalau mereka bertempur satu lawan satu?" katanya.
Kwan Cu menjadi bingung. Sejak tadi dia hendak membantu fihak Pak-lo-sian, akan tetapi kesempatan baik belum ada. Tentu saja dia pun harus tunduk pada Yok-ong yang
mengemukakan alasan-alasan kuat. Sebagai orang gagah dia harus bisa memegang aturan.
Seng Thian Siansu kini benar-benar terdesak hebat. Pada suatu saat, Toat-beng Hui-houw yang merasa penasaran sekali mengapa sebegitu lama belum juga dia bisa mengalahkan kakek tua renta itu, membentak keras dan kedua tangannya dapat menangkap tangan ketua Kun-lun-pai itu yang memegang pedang. Seng Thian Siansu merasa tangan kanannya sakit sekali bagaikan terjepit oleh jepitan baja. Kuku-kuku kedua tangan Toat-beng Hui-houw amblas ke dalam tangannya dan menghancurkan tangan itu. Akan tetapi, sambil menahan sakit, ketua Kun-lun-pai ini menggunakan tangan kirinya untuk memukul sambil mengerahkan seluruh tenaga terakhir ke arah dada Toat-beng Hui-houw.
"Blek!" Toat-beng Hui-houw mengeluarkan gerengan seperti seekor macan terpukul.
Tubuhnya terhuyung dan dia muntahkan darah segar. Biarpun tenaga kakek Kun-lun-pai itu tidak begitu besar, akan tetapi karena rasa sakit pada tangan kanannya, tenaganya bertambah dan pukulan itu hebat sekali. Akan tetapi, dia sendiri terpaksa harus melepaskan pedangnya dan tangan kanannya sudah bukan berupa tangan lagi. Jari-jarinya putus dan tangan itu hancur! Seng Thian Siansu maklum bahwa selain tangan kanannya hancur juga darahnya telah kemasukan racun yang keluar dari kuku-kuku tangan Toat-beng Hui-houw, maka dia lalu duduk bersila meramkan mata, menanti datangnya maut dengan tenang.
Sebaliknya, Toat-beng Hui-houw akhirnya roboh pingsan. Pada saat semua orang masih bengong melihat pertempuran yang berakibat hebat itu, tiba-tiba Sui Ceng melompat, menyambar pedang Seng Thian Siansu yang jatuh di atas tanah dan sebelum ada orang yang dapat mencegahnya, gadis ini mengayun pedang dan putuslah leher Toat-beng Hui-houw!
Sesaat semua orang terkesima, akan tetapi segera gegerlah orang-orang yang berada di fihak Kiam Ki Sianjin. Beberapa orang melompat maju dan Kiam Ki Sianjin sendiri berseru,
"Curang sekali......!"
Bun Sui Ceng setelah memenggal kepala Toat-beng Hui-houw, lalu tertawa nyaring dan berkata, "Ibu, terbalaslah sudah dendam hatimu terhadap siluman ini!" Kemudian dengan air mata mengucur gadis ini berdiri dengan gagahnya menghadapi Kiam Ki Sianjin dan kawan-kawannya.
"Bukan Seng Thian Siansu yang curang, akan tetapi aku sendiri Bun Sui Ceng yang sengaja memenggal kepala siluman ini, untuk membalas sakit hati ibuku yang tewas di tangannya.
Siapa tidak terima" Boleh maju! Untuk perbuatanku tadi, aku sanggup menghadapi segala akibatnya!"
"Tangkap dia!"
"Bunuh dia!"
"Basmi semua pemberontak!"
Teriakan-teriakan ini terdengar saling susul dan semua orang yang berada di fihak Kiam Ki Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
564 Sianjin, kecuali orang-orang Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, serentak maju hendak menggempur Sui Ceng dan yang lain-lain.
"Tahan dulu.......!!" Tiba-tiba bayangan yang amat cepatnya melayang dan menyambar-nyambar, diikuti bayangan lain yang juga amat gesitnya. Bayangan pertama adalah Kwan Cu yang tak dapat menahan hatinya lagi, apalagi ketika melihat betapa Sui Ceng berada dalam bahaya hendak dikeroyok. Begitu tiba ditempat itu, Kwan Cu menggerakkan kedua tangannya ke arah para pengeroyok. Dengan amat cepat, tanpa dapat terlihat oleh lain orang, dia telah memukul mundur semua orang dengan pukulan-pukulan Pek-in-hoat-sut. Kiam Ki Sianjin dan kawan-kawannya hanya merasa adanya angin yang kuat sekali mendorong mereka mundur beberapa tindak dan ternyata tahu-tahu pemuda dusun yang tadi dianggap tolol telah berdiri menghadapi mereka sambil bertolak pinggang.
Adapun bayangan ke dua adalah Hang-houw-siauw Yok-ong. Berbeda dengan Kwan Cu raja tabib ini dengan cepat sekali seperti burung menyambar-nyambar, telah dapat menyambar tubuh Thian Seng Siansu, kemudian berturut-turut dia menyambar tubuh Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Kiu-bwe Coa-li, dibawa ke belakang, kemudian tanpa mempedulikan Sesuatu dia mengobati tokoh-tokoh yang terluka ini. Pertama-tama dia mempergunakan obat untuk mengobati luka di tangan Seng Thian Siansu karena keadaan kakek ini yang paling hebat. Setelah menotok beberapa jalan darah, Yok-ong lalu memberi obat pada tangan yang rusak dan memberi pil ke dalam mulut kakek ini yang memandangnya dengan penuh
keheranan dan kekaguman.
Setelah itu, barulah Yok-ong memeriksa di pundak Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li. Karena dia amat lihai dalam ilmu mengobatan, tulang pundak yang sudah terlepas dan kalau menurut ahli pengobatan lainnya baru akan sembuh sedikitnya dua pekan, sebentar saja Yok- ong sudah dapat menyambungnya dengan baik!
"Sayang tak boleh mengerahkan tenaga lweekang di kedua lengan pada hari ini, harus menanti sampai dua hari." kata Yok-ong kepada dua orang tokoh itu.
"Eh, muka hitam! siapakah kau yang sudah berpura-pura dungu dan bodoh, menyamar sebagai petani ini?" tanya Kiu-bwe Coa-li dengan heran sekali.
Pak-lo-sian tertawa. "Ha-ha-ha, didunia ini yang dapat mengobati orang seperti ini hanyalah Hang-houw-siauw Yok-ong. Bukankah kau Yok-ong?"
Akan tetapi Yok-ong tidak menjawab, hanya menudingkan telunjuk ke depan dan mukanya berubah terheran-heran Sehingga dia menjadi bengong. Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li juga memandang ke depan. Mereka melihat betapa Sui Ceng sudah mundur, juga kini Sui Ceng, Kun Beng, swi Kiat dan dua orang anak murid Kun-lun-pai, memandang dengan bengong ke tengah lapangan adu silat tadi. Memang apa yang mereka lihat amat mengherankan hati mereka.
Kwan Cu dengan tangan bertolak pinggang menghadapi Kiam Ki Sianjin dan kawankawannya. Pemuda ini kelihatan marah sekali, akan tetapi mukanya kelihatan amat lucu karena muka yang berwarna merah seperti udang direbus itu tidak dapat digerakkan sehingga seperti topeng saja.
"Kalian ini pengkhianat-pengkhianat bangsa dan anjing-anjing penjilat selalu memutarbalikkan duduknya perkara. Diri sendiri pengecut dan curang mengatakan orang lain Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
565 curang. Sungguh tak tahu malu!"
Karena Kwan Cu sengaja mengubah suaranya, Kiam Ki Sianjin tidak mengenalnya. Akan tetapi karena melihat betapa pukulan anak muda ini benar-benar lihai, dia berlaku hati-hati dan menjawab,
"Bocah dusun! Bagaimana kau bisa bilang begitu" Memang fihak Pak-lo-sian amat curang, kalau tidak curang, mengapa gadis itu membunuh Toat-beng Hui-houw yang sedang tak berdaya?"
"Nona itu membunuh siluman Toat-beng Hui-houw bukan untuk mengeroyok dan bukan untuk berlaku curang. Kalian sudah mendengar sendiri bahwa ibunya terbunuh oleh Toat-beng Hui-houw! Pembalasan dendam tidak boleh dicampur-adukkan dengan perbuatan curang. Andaikata kalian menganggapnya mengeroyok, biarlah itu dianggap pula sebagai pembalasan karena bukankah kalian tadi juga mengeroyok ketika kedua locianpwe Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian maju?"
"Setan kecil! Kalau kau memang murid seorang pandai dan mengaku sebagai orang gagah atau pendamai, ternyata kau berat sebelah! Mungkin sekali Toat-beng Hui-houw membunuh ibu gadis itu, akan tetapi siapa tahu kalau memang ibu gadis itu penjahat besar?"
Kwan Cu tertawa dan dia menjura kepada Kiam Ki Sianjin dengan penghormatan yang sifatnya mengejek.
"Harap Locianpwe suka mendengarkan dongenganku sebentar. Toat-beng Hui-houw, adalah suheng dari Tauw-cai-houw, saikong yang berwatak keji dan suka makan daging anak-anak kecil. Pada suatu hari pendekar wanita Pek-cilan Thio Loan Eng yang namanya sudah tersohor di seluruh penjuru dunia, menewaskan bangsat keji itu dengan pedangnya. Bukankah itu sudah adil" Lalu siluman tua ini, Toat-beng Hui-houw, melakukan pembalasan terhadap Pek-cilan Lihiap. Inipun boleh-boleh saja karena memang dia suheng dari Tauw-cai-houw.
Akan tetapi tahukah Locianpwe bagaimana cara Toat-beng Hui-houw membalas dendam" la menawan Pek-cilan Lihiap, kemudian selagi pendekar wanita itu masih hidup, dia menggigit lehernya dan mengisap darahnya sampai habis!"
Terdengar seruan-seruan kaget, dua orang ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai beserta anak murid mereka bergidik mendengar perbuatan yang amat keji dan di luar perikemanusiaan ini!
Bun Sui Ceng menjadi pucat dan ia mengeluarkan pertanyaan tanpa disadarinya.
"Siapa dia yang mengerti semua peristiwa itu?"
Pertanyaan ini terdengar pula oleh Kiam Ki Sianjin yang juga menjadi penasaran, maka tanyanya.
"Orang muda, siapakah namamu dan apa kehendakmu sekarang?"
"Namaku" Aku adalah Ang-bin Siauw-bu-beng (Si Kecil Tak Bernama Yang Bermuka Merah). Dan kehendakku" Tak lain kedatanganku ini untuk mendongeng!"
Semua orang, baik dari fihak Kiam Ki Sianjin maupun di fihak Pak-lo-sian Siang-koan Hai, tak seorang pun yang pernah mendengar nama julukan Ang-bin Siauw-bu-beng, maka mereka memandang heran. Apalagi ketika Kwan Cu menyatakan bahwa kedatangannya untuk
mendongeng! Sui Ceng hampir tak dapat menahan ketawanya karena ia merasa amat lucu.
Bagaimana di tengah-tengah medan pertandingan mati-matian yang telah mengorbankan begitu banyak nyawa orang, pemuda muka merah yang buruk rupa ini datang hendak Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
566 mendongeng" Sungguh menggelikan.
Akan tetapi Kiam Ki Sianjin marah bukan main. Ia adalah seorang ahli silat kelas satu, masa sekarang dia boleh di permainkan begitu saja oleh seorang badut muda "
"Jangan kau main-main, lekas pergi kalau kau tidak ingin remuk tulang-tulangmu. Siapa sudi mendengar ocehan dan dongenganmu?" Sambil berkata demikian, dia mendorong dengan kedua tangannya dengan sikap seperti orang mau mengusir. Akan tetapi sebenarnya dalam dorongannya ini, dia mengerahkan tenaga Jian-mo-kang yang luar biasa dahsyatnya.
Kwan Cu hanya merendahkan sedikit tubuhnya dan dari bawah kedua tangannya diangkat seperti orang yang mencegah orang yang hendak memukulnya. Kiam Ki Sianjin terkejut bukan main. Tadi dia mengerahkan tenaga Jian-mo-kang dan dia tahu bahwa jangankan pemuda aneh ini, biarpun batu yang beratnya beribu kati akan terguling terkena dorongannya ini. Baru angin dorongannya saja sudah bertenaga sedikitnya tiga ratus kati. Akan tetapi, pemuda itu dengan merendahkan tubuh dan mengangkat kedua tangan, ternyata dari angkatan tangan ini keluar sebuah tenaga tersembunyi yang dari bawah mendorong tangan Kiam Ki Sianjin ke atas sehingga dorongan tenaga Jian-mo-kang lewat di atas kepala Kwan Cu mengenai angin kosong! Daun-daun pohon yang berada di sebelah belakang Kwan Cu, seperti tertiup angin ketika terkena sambaran tenaga Jian-mo-kang yang menyeleweng ke atas ini dan rontoklah banyak daun pohon itu!
"Locianpwe, ampunkan selembar nyawaku dan jangan bunuh aku dulu sebelum boanpwe (aku yang rendah) mendongeng,". kata Kwan Cu sambil tersenyum. "Tadi sudah kuceritakan dongeng tentang Toat-beng Hui-houw sehingga kita semua kini tahu akan macam orang itu dan kiranya sudah sepatutnya kalau nona yang lihai itu membunuhnya. Sebelum mendongeng tentang para locianpwe yang masih hidup, aku akan mulai dengan yang sudah tewas, yakni Jeng-kin-jiu Locianpwe. Dia itu memang sekarang tewas sebagai seorang gagah, akan tetapi harus disayangkan bahwa kematiannya itu merupakan penebusan dosa dari penyelewengan hidupnya. Benar-benar sayang. Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu adalah seorang tokoh besar dari selatan yang biarpun amat aneh namun belum pernah berlaku curang dan jahat. Akan tetapi, seperti yang dikatakan oleh guru besar Khong Cu, musuh manusia yang paling berbahaya adalah dirinya sendiri! Melihat kehidupan mulia dan enak, Jeng-kin-jiu telah kena dibujuk dan menjadi kaki tangan An Lu Shan, bahkan mengajar para pangeran, sama sekali tidak peduli bahwa majikannya itu adalah penindas bangsanya. Kemudian, lebih celaka lagi, dengan kawan-kawannya yang sama-sama menyeleweng batinnya, dia melakukan pengeroyokan dan membunuh seorang pendekar besar yang namanya akan tetap wangi selama dunia
berkembang, yaitu Ang-bin Sin-kai Lu Sin! Adapun Liok-te Mo-li nenek yang aneh itu, memang ia gagah perkasa dan lihai sekali, juga selalu di waktu dahulu ia membasmi orang-orang jahat. Sayang dia terlalu ganas dan kejam, menyebar maut seenaknya saja maka akhirnya ia pun tewas karena curangnya orang-orang jahat pula!"
Mendengar ucapan-ucapan Kwan Cu makin mengacau, apalagi melihat betapa musuh-musuh besarnya, yakni Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian telah tertolong dan telah diobati oleh seorang kakek muka hitam yang aneh, Bian Kim Ho siang dan Bin Kong Siansu menjadi marah dan keduanya melompat maju.
"Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, dua manusia durhaka! Jangan kalian bersembunyi dibalik kegilaan badut kecil ini. Kalian sudah sembuh" Hayo kita bertanding lagi sampai salah seorang di antara kita mampus!" bentak Bian Kim Hosiang.
"Fihak Pak-lo-sian sudah kalah semua, di sana tidak ada jagonya lagi. Menurut perjanjian Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
567 mereka harus mengaku kalah dan mentaati perintah kehendak kami!" Kiam Ki Sianjin berkata keras, tanpa mempedulikan lagi kepada pemuda muka merah itu.
Pak-lo-sian dan Seng Thian Siansu saling pandang, lalu tersenyum pahit.
"Kiam Ki Sianjin, kami adalah orang-orang gagah yang sekali mengeluarkan ludah takkan dijilat lagi!" Seng Thian Siansu mengangguk-anggukkan kepalanya yang rambutnya sudah putih semua. Mereka memang sudah tidak berdaya. Kiu-bwe Coa-li sudah tak dapat menggerakkan kedua lengannya, demikian pula Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Seng Thian Siansu sendiri tangannya sudah remuk, tak mungkin berkelahi lagi. Murid-murid Pak-lo-sian juga terluka, demikian pula Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li. Adapun dua orang murid Kun-lun-pai kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat lawan. Mereka terpaksa harus mengaku kalah.
"Jadi kau sudah mengaku bahwa fihakmu kalah, Pak-lo-sian?" tanya Kiam Ki Sianjin dengan muka kegirangan.
"Memang..... kami......"
Tiba-tiba Kwan Cu melanjutkan kata-kata Pak-lo-sian ini dengan cepat.
"Kami belum kalah! Aku Ang-bin Siauw-bu-beng mewakili fihak Pak-lo-sian Cianpwe menjadi jagonya!"
Tiba-tiba Yok-ong melompat di dekat Kwan Cu. Semua orang lagi-lagi tertegun karena gerakan kakek muka hitam itu demikian cepatnya sehingga sekali lihat saja tahulah semua orang bahwa kakek ini memiliki kepandaian yang amat tinggi.
"Siauw-bu-beng, tak boleh kau meninggalkan Lohu! Kalau kau yang muda berani maju, mengapa aku tidak?" Yok-ong adalah seorang ahli silat yang kepandaiannya sudah hampir sempurna, maka tentu saja dia pun dihinggapi penyakit "gatal tangan" seperti ahli-ahli silat lain apabila melihat adu kepandaian, apalagi menghadapi begitu banyak jago-jago silat. Maka dia tidak dapat menahan hatinya untuk "main-main" sebentar, dan di samping ini dia juga merasa khawatir melihat Kwan Cu menghadapi para tokoh besar itu. Ia tahu bahwa Kwan Cu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi berapa tinggikah kepandaian seorang bocah yang masih belum matang"
Yok-ong lalu menjura kepada Kiam Ki Sianjin setelah mengejapkan mata kepada Kwan Cu.
"Kiam Ki Sianjin, sudah lama sekali aku mendengar namamu yang menjulang setinggi awan.
Sekarang, bertemu dengan kau sebagai kaki tangan kaisar, sungguh menyenangkan sekali.
Aku tidak akan menyia-nyiakan waktu dan kesempatan ini, dan mohon petunjukmu dalam ilmu pukulan."
Kwan Cu maklum akan "penyakit" ahli silat yang menghinggapi Yok-ong, maka sambil memainkan mata kepada dua orang ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, dia berkata, "Ji-wi Locianpwe harap mundur dulu, nanti saja kalau tiba giliran kita, Ji-wi maju lagi!"
Kata-kata ini memanaskan perut Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai, dan kalau saja yang mengeluarkan kata-kata main-main ini bukan seorang bocah, tentu dia sudah mengirim serangan. Akan tetapi Bin Kong Siansu sudah menarik tangannya diajak mundur. Kwan Cu juga mundur, akan tetapi dia berdiri tidak jauh di belakang Yok-ong, karena dia merasa curiga dan khawatir kalau-kalau Yok-ong akan dicurangi pula.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
568 Biarpun Kiam Ki Sianjin dapat menduga bahwa kakek muka hitam ini lihai, namun sebagai seorang tokoh besar dia tidak sudi bertanding melawan orang yang tidak terkenal, maka dia lalu menjura dan berkata,
"Sahabat telah mengetahui namaku yang rendah, sebaliknya aku belum tahu dengan siapa aku berhadapan. Ini tidak adil sekali."
Yok-ong tertawa, suara ketawanya halus dan merdu seperti ketawa seorang yang amat sopan.
"Kiam Ki Sianjin, yang akan bergerak adalah tangan kaki kita, perlu apa memperkenalkan nama" Akan tetapi karena kau mendesak, baiklah. Namaku adalah Hek-bin Lo-bu-beng (Si Tua Tak Bernama Yang Bermuka Hitam)!"
Kwan Cu tertawa geli. Kiranya kakek Raja Tabib ini meniru dia, menambah kata-kata Muka Hitam di depan nama julukan baru, yakni Lo-bu-beng.
Kiam Ki Sianjin menjadi merah mukanya. "Hm, kau dan bocah itu sengaja tidak mau memperkenalkan nama. Akan tetapi tidak apalah. Apakah kau maju sebagai jago dari fihak pemberontak?"
"Sesukamu, boleh saja kau menganggap begitu. Akan tetapi sebetulnya lebih tepat kalau dikatakan bahwa aku maju sebagai wakil dari mereka yang tertindas. Kiam Ki Sianjin, keluarkanlah pedangmu, aku sudah lama mendengar bahwa kau adalah seorang ahli pedang yang jempolan!"
Kiam Ki Sianjin diam-diam berpikir dan mencari akal. Kalau orang ini sudah tahu bahwa dia pandai main pedang, tentulah orang ini sudah bersedia lebih dulu menghadapi pedangnya, dan boleh dipastikan bahwa kakek muka hitam ini tentulah seorang ahli dalam penggunaan senjata pula.
"Tak perlu menggunakan senjata," katanya, "mari kita mengadu tenaga lweekang saja.
Apakah kau berani menerima?" Kiam Ki Sianjin adalah seorang yang semenjak muda meyakinkan ilmu lweekang sampai tingkat tinggi dan dalam hal kepandaian ini, kiranya dia tidak usah kalah oleh lima tokoh besar, yakni Pak-lo-sian, Jeng-kin-jiu, Ang-bin Sin-kai, Hek-i Hui-mo, dan Kiu-bwe Coa-li. Maka, mengira bahwa Si muka hitam ini ahli senjata, dia lalu memilih adu tenaga lweekang supaya mendapat kemenangan dengan mudah.
Yok-ong pura-pura terkejut dan menggeleng-geleng kepalanya. "Ayaaa... mengapa kau mengajak yang aneh-aneh?"
"Berani tidak?" tanya Kiam Ki Sianjin mendesak, girang karena melihat si muka hitam kelihatannya ragu-ragu dan terkejut.
Kalau si muka hitam menolak, berarti orang itu mengaku kalah dan boleh dihukum menurut sesuka hati yang menang.
"Apa boleh buat, kau tuan rumah dan aku tamu yang harus menghormati kehendak tuan rumah. Dengan cara bagaimana kau hendak mengajakku mengadu kekuatan itu?" tanya Yok-ong.
"Tidak berbahaya, sama sekali tidak berbahaya! Kita mengadu telapak tangan dan mendorong, siapa yang jatuh di atas tanah dia yang kalah!" kata Kiam Ki Sianjin sambil tertawa-tawa. Semua orang terkejut. Memang ada banyak cara meng adu lweekang, akan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
569 tetapi yang paling berbahaya adalah adu lweekang dengan menempelkan telapak tangan dan saling mendorong. Dalam adu lweekang macam ini, sembilan bagian orang yang kalah akan tewas atau setidaknya menderita luka dalam yang hebat sekali.
Akan tetapi anehnya, si muka hitam agaknya tidak mengerti akan bahaya itu dan dengan tertawa-tawa dia berkata,
"Aha, tidak tahunya kau akan mengajak aku main-main seperti anak kecil saja. Baiklah, memang aku pun tidak mempunyai niat buruk di dalam hatiku. Kalau menang baik, kalau kalah paling-paling hanya terdorong jatuh, apa susahnya?"
"Sahabat Lo-bu-beng, hati-hatilah! Dia punya tenaga Jian-mo-kang!" kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang juga merasa khawatir kalau-kalau si muka hitam yang pandai mengobati itu akan binasa di bawah tangan Kiam Ki Sianjin yang lihai.
Yok-ong menoleh dan tersenyum kepada jago tua dari utara itu.
"Biarlah, kami hanya main-main dan saling dorong, bukan saling pukul. Apa sih bahayanya?"
Akan tetapi pada saat dia menoleh, Kiam Ki Sianjin sudah mengerahkan tenaga dan meluruskan kedua lengan ke depan, lalu membentak,
"Lo-bu-beng, bersiaplah!"
Yok-ong memutar tubuhnya dan bukan saja dia, juga tokoh-tokoh 1ain yang hadir di situ maklum bahwa kembali Kiam Ki Sianjin mempergunakan kesempatan untuk mencari
kedudukan yang lebih menguntungkan. Dalam adu tenaga seperti ini, siapa yang
mengerahkan tenaga dan meluruskan lengan lebih dulu, dia berada dalam kedudukan menyerang, sedangkan yang menempelkan tangan dan meluruskan lengan terakhir berada dalam kedudukan menahan. Akan tetapi agaknya si muka hitam ini tidak tahu akan hal ini bahkan tanpa menarik napas panjang seperti orang yang hendak mengumpulkan tenaga lweekang, akan tetapi dengan tertawa-tawa dia lalu memasang kuda-kuda dengan tumit diangkat, lalu meluruskan tangan menempelkan telapak tangan ke telapak tangan Kiam Ki Sianjin.
Begitu kedua telapak tangan menempel, Kiam Ki Sianjin lalu mengempos semangat dan napasnya, dan mendorong sambil mengerahkan tenaga Jian-mo-kang yang dahsyat. Tadi sudah dituturkan tentang kehebatan tenaga Jian-mo-kang ini, yang hanya pukulannya saja sudah cukup untuk menggulingkan batu seberat tiga ratus kati dan kalau tangan itu menempel pada batu yang beratnya seribu kati, batu itu akan terdorong roboh. Akan tetapi ketika tangannya menempel pada telapak tangan Yok-ong, dia merasa betapa telapak tangan si muka hitam itu lunak dan halus sekali seperti kapas! Ia terkejut dan tahu bahwa lawannya mempergunakan Bian-ciang-kang (Telapak Tangan Kapas) yang menggunakan tenaga
"lemas" untuk menghadapi tenaga "keras" Menghadapi tenaga ini, Kiam Ki Sianjin kehilangan kekuasaan tenaganya, seakan-akan semua tenaga Jian-mo-kang yang dikerahkan itu "amblas" ke dalam telapak tangan lawan, atau seperti sepotong besi yang berat masuk ke dalam air! Cepat dia hendak menarik kembali telapak tangannya untuk mengubah gencetan dari arah lain, akan tetapi alangkah kagetnya ketika telapak tangannya itu telah "menempel"
Bentrok Rimba Persilatan 11 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Sepasang Pedang Iblis 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama