Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti 7

Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


"Muridku ini memang panjang lidah." kata Ang-bin Sin-kai kepada semua orang.
"Tuduhannya tadi hanya kira-kira saja, karena memang muridku sudah pernah melihat Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang berkepala gundul dan bertubuh gendut. Betapapun juga, aku akan pergi ke kota raja untuk menyelidiki apakah benar-benar Jeng-kin-jiu yang menculik Tu-siucai."
"Syukurlah, memang sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk menyelidiki dan menolong Tu-siucai," kata Kwa Ok Sin, kemudian dia berpaling kepada Pouw Hong Taisu ketua Thian-san-pai sambil berkata, "Karena persoalan pertama telah dibicarakan, maka lebih baik sekarang taisu menuturkan kembali persoalan kedua yang Taisu bawa jauh-jauh dari Thian-san!" Sambil berkata demikian, Kwa Ok Sin lalu duduk kembali dan kini semua mata memandang kepada Pouw Hong Taisu yang sudah bangkit berdiri dengan muka merah.
Pouw Hong Taisu bertubuh jangkung, mukanya lonjong dan rambutnya yang digelung di atas kepala itu masih hitam sekali sungguhpun usianya tidak kurang dari lima puluh tahun. Di punggungnya kelihatan gagang sepasang golok, karena memang tokoh Thian-san-pai in terkenal sekali sebagai seorang ahli ilmu silat siang-to (golok sepasang).
"Cu-wi sekalian, sesungguhnya bukan hanya pinto (aku) seorang saja yang membawa persoalan in seperti telah kuceritakan tadi. Soal yang kubawa juga persoalan dari sahabatku Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai. Kami mempunyai persoalan yang sama, karena muridnya dan murid pinto telah terbunuh mati oleh seorang saja." Sampai di sini Pouw Hong Taisu memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata bernyala, dan agaknya orang tua ini sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Pouw Hong Taisu menggebrak meja dan aneh sekali. Cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada Ang-bin Sin-kai dan berada di depan Pengemis Sakti ini, tiba-tiba mencelat ke atas Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
185 tinggi sekali. Benar-benar hebat demonstrasi tenaga lweekang dari tokoh Thian-san-pai ini, karena begitu banyak cawan arak di atas meja, namun begitu dia menggebrak meja yang mencelat hanya cawan arak dari Ang-bin Sin-kai saja, tepat seperti dikehendakinya!
Melihat ini, terkejutlah Ang-bin Sin-kai karena dia maklum bahwa orang sedang marah kepadanya. Namun dengan tenang sekali dia mengulur tangan menerima kembali cawannya kembali di hadapannya.
"Tenang, Pouw Hong Taisu, ceritakanlah dengan jelas persoalannya, jangan marah-marah seperti anak kecil!" kata Ang-bin Sin-kai untuk melampiaskan kedongkolannya.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari Bin Kong Siansu yang juga sekarang telah berdiri di dekat Pouw Hong Taisu. Tokoh Kim-san-pai ini lalu berkata mengejek.
"Pinto merasa heran sekali melihat ketenanganmu, Ang-bin Sni-kai! Kau bahkan masih dapat memberi nasihat kepada Pouw Hong Taisu untuk berlaku tenang. Benar-benar berani mati dan tak tahu malu!" Sambil melontarkan kata-kata ini, Bin Kong Siansu mengerakkan tangan kanannya ke arah cawan arak di depan Ang-bin Sin-kai dan?" "praaaaaakk!" cawan itu pecah berkeping-keping seperti dipukul dengan palu besi! Padahal yang menyerang cawan arak itu hanya angin pukulan tangan saja dari Bin Kong Siansu. Dari sini saja sudah dapat diukur sampai bagaimana hebatnya kepandaian dari tokoh Kim-san-pai ini.
Kwan Cu tertawa geli mendengar ucapan suhunya. Ia tadi sudah menyaksikan sikap kedua orang tosu itu, dan sudah mendengar pula kata-kata mereka, maka karena selama ini dia berada dengan suhunya dan merasa yakin bahwa suhunya tidak pernah melakukan hal yang tidak patut, dia dapat menduga bahwa tentu terjadi kesalahfahaman dari fihak mereka. Olah karena ini, anak ini pun merasa tenang-tenang saja, bahkan ada kegembiraan dalam hatinya.
Ia bahkan mengharapkan agar suhunya dapat bertanding melawan dua orang jago tua dari Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu agar di dalam pertempuran yang hebat, dia mendapat pemandangan yang bagus dan penambahan pengalaman!
"Bin Kong dan Pouw Hong dua tua bangka yang sudah pikun. Apa sih harganya main-main seperti ini" Lebih baik kau bicara terus terang, sebetulnya ada urusan apakah maka kalian seperti kemasukan setan dan marah kepadaku?" kata Ang-bin Sin-kai sambil memandang kepada dua orang tosu itu.
"Pengemis busuk, kau masih berpura-pura tidak tahu" Kau telah membunuh mati Ong Kiat, murid yang pinto tahu belum pernah melakukan pelanggaran dan yang selalu bersikap sebagai seorang pendekar yang patut menjadi kebanggan Thian-san-pai. Akan tetapi, mengapa kau seorang tua yang sudah mendapat nama baik telah menurunkan tangan kejam dan
membunuhnya" Tak perlu banyak cakap lagi, sekarang kebetulan kau datang sehingga memudahkan pinto untuk membalas dendam dan menagih hutang. Bersiaplah, mari kita mengadu nyawa, tua sama tua, jangan kau hanya berani mengganggu orang-orang muda!"
Sambil berkata demikian, tokoh Thian-san-pai ini mencabut sepasang goloknya yang ternyata berwarna kebiruan menyilaukan mata.
Inilah sebuah tantangan terbuka dan kini semua memandang ke arah Ang-bin Sin-kai untuk melihat bagaimana sikap dari tokoh besar timur itu. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai masih bersikap tenang dan kini kakek pengemis ini memandang kepada Bin Kong Siansu sambil berkata, "Bin Kong Siansu, baru saja Pouw Hong Taisu dari Thian-san-pai telah melontarkan tuduhannya. Agar dapat sekaligus membereskan persoalan ini, cobalah kau menuturkan pula tentang muridmu yang katanya kubunuh itu."
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
186 Melihat sikap Ang-bin Sin-kai, Bin Kong Siansu merasa ragu-ragu, akan tetapi dia menjawab juga.
"Benar-benarkah kau tidak tahu atau hanya berpura-pura, Ang-bin Sin-kai" Seperti juga murid Pouw Hong Taisu, muridku, atau lebih tepat cucu muridku yang bernama Pek-cilan Thio Loan Eng yang menjadi isteri dari Ong Kiat anak murid Thian-san-pai, terbunuh olehmu secara sewenang-wenang" Karena itu, sekarang kau pun harus menghadapi sebatang pedangku untuk menentukan siapa yang harus membayar nyawa!" Bin Kong Siansu
menggerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kuning emas telah berada di tangannya.
Tiba-tiba terdengar orang menjerit dan Kwan Cu sudah melompat maju menghadapi Bin Kong Siansu.
"Siapa bilang Thio-toanio mati" Bohong! Bohong semua! Thio-toanio tidak mati"..!"
"Hm, anak gundul, otakmu agak miring rupanya. Kami sendiri sudah menyaksikan kuburan dari Thio Loan Eng. Dia dibunuh oleh gurumu, kau masih mau main sandiwara untuk menutupi kedosaan gurumu?" Bin Kong Siansu membentak dan tangan kirinya menyambar menempiling kepala Kwan Cu yang gundul.
Gerakan itu cepat sekali sehingga biarpun Kwan Cu mengelak, tetap saja dia terkena kemplangan tangan kiri tosu itu. Tubuh Kwan Cu mencelat dan bergulingan menabrak meja kursi, akan tetapi anak ini tidak apa-apa, lalu bangkit berdiri lagi.
"Thio-toanio mati?"." Terbunuh?"?" Ah, Suhu, kita harus membalaskan sakit
hatinya"." katanya setengah menangis sambil menghampiri suhunya.
"Bocah lancang, kau diamlah saja, jangan turut campur." kata Ang-bin Sin-kai menghibur.
Kakek ini maklum bahwa kesedihan muridnya mendengar tentang kematian Pek-cilan, mungkin lebih besar daripada kesedihan dan kemarahan Bin Kong Siansu, tokoh Kim-pan-sai itu.
"Bin Kong dan Pouw Hong, apakah kalian menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa aku membunuh murid-murid kalian?" tanya Ang-bin Sin-kai.
"Kalau kami melihat dengan mata kepala sendiri, apakah kau kira masih dapat hidup sampai sekarang?" bentak Pouw Hong Taisu marah. Kedua Thian-san-pai ini memang agak sombong wataknya dan berbeda dengan Bin Kong Siansu yang agak jerih menghadapi Ang-bin Sin-kai, ketua Thian-san-pai ini menganggap kepandaian sendiri akan dapat mengatasi kepandaian Pengemis Sakti Muka Merah.
"Kalau begitu, siapa yang memberi tahu kepada kalian bahwa aku telah membunuh murid kalian?"
Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu saling pandang, kemudian Bin Kong Siansu yang menjawab,
"Ang-bin Sin-kai, kami mendengar dari seorang yang boleh dipercaya benar-benar, dan kami sudah bersumpah takkan memberitahukan namanya kepada siapapun juga."
"Hm, hm, hm, jadi kalian percaya penuh kepadanya?"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
187 "Tentu saja kami percaya! Dia seorang terhormat, tidak seperti engkau!" Pouw Hong Taisu membentak sambil melangkah maju dengan sepasang goloknya siap untuk menyerang.
Bersinar sepasang mata Ang-bin Sin-kai. "Kalau aku bilang bahwa aku tidak membunuh murid-muridmu, apakah kalian tidak percaya padaku?"
Bin Kong Siansu ragu-ragu, akan tetapi Pouw Hong Taisu membentak,
"Siapa bisa percaya kepada seorang yang telah membunuh mati muridku?"
Akan tetapi Bin Kong Siansu lalu cepat berkata, "Ang-bin Sin-kai! Orang yang telah memberitahukan tentang pembunuhan itu adalah seorang ternama dan dia telah bersumpah.
Maka kalau kau juga mau bersumpah bahwa kau tidak membunuh anak muridku, aku Bin Kong Siansu berjanji hendak menyelidiki lebih lanjut urusan ini."
Ang-bin Sin-kai makin marah. Ia menggebrak meja di depannya dan empat kaki meja itu melesak ke dalam sampai setengahnya, akan tetapi semua cawan arak yang berada di atas meja tidak ada satupun yang terguling!
"Kalian percaya omonganku atau tidak habis perkara! Orang macam apakah kaukira aku ini!
Kalian percaya, baik. Tidak percaya pun boleh, siapa pusing" Hayo Kwan Cu, kita pergi!"
Ang-bin Sin-kai menggandeng tangan muridnya dan meninggalkan bangkunya. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba menyambar tubuh dua orang dan tahu-tahu Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu telah berdiri menghadang di depannya.
"Jembel pembunuh! Enak saja kau mau minggat dari hukuman mati!" bentak Pouw Hong Taisu yang langsung menyerang dengan sabetan sepasang goloknya yang kebiruan.
"Kwan Cu, menyingkir ke sana!" kata Ang-bin Sin-kai dan secepat kilat kaki kanannya menendang pantat muridnya sehingga tubuh Kwan Cu mencelat seperti bal karet ke pojok ruangan di mana terdapat tumpukan meja yang agaknya memang kelebihan dan di tumpuk di situ agar tidak memenuhi ruangan. Sambil berpoksai, berjumpalitan dengan gerakan Koai-liong-hoan-sin (Naga Siluman Balikkan Badan), bocah gundul itu lalu mengatur
keseimbangan tubuhnya sehingga dia dapat turun ke atas meja itu dengan baik, lalu menonton dengan enaknya!
Adapun Ang-bin Sin-kai yang menghadapi sabetan sepasang golok dari kanan kiri, berlaku tenang akan tetapi cepat sekali. Ia maklum akan kelihaian ilmu golok dari ketua Thian-san-pai ini, maka melihat dua sinar kebiruan menyambar dari kanan kiri mengarah leher dan perut, dia lalu menggenjot tubuhnya mencelat mundur menghindarkan diri.
"Ang-bin Sin-kai, makanlah golokku!" Pouw Hong Taisu mengejar sambil menghujankan serangan bertubi-tubi yang kesemuanya amat berbahaya. Permainan golok dari kakek Thian-san-pai ini memang hebat sekali dan tingkat kepandaiannya sudah mencapai puncak, maka sepasang goloknya itu menyambar-nyambar merupakan sepasang tangan maut. Nampak dua gulungan sinar biru yang terang sekali bergulung-gulung mengepung tubuh Ang-bin Sin-kai!
Melihat permainan golok ini, Kwan Cu menjadi kagum sekali dan dia memuji dari tempat duduknya yang tinggi.
"Bagus, bagus! Sinar golok yang bagus sekali!"
Anak ini terlalu percaya kepada suhunya sehingga seruannya itu sama sekali tidak tercampur Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
188 rasa kekhawatiran terhadap keselamatan gurunya. Dalam hal ini dia memang benar, karena betapapun hebat ilmu golok dari tokoh Thian-san-pai itu, namun gerakan Ang-bin Sin-kai lebih hebat dan cepat lagi. Kakek ini nampaknya seperti tengah menari-nari di antara gulungan sinar biru itu. Yang membuat Kwan Cu menjadi bengong dan kagum adalah ketika dia mendapat kenyataan bahwa suhunya dalam menghadapi sepasang golok tokoh Thian-san-pai itu hanya mempergunakan Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to (Atur Pintu Tahan Ratusan Golok) yang telah dia pelajari! Ah, betapa tadinya dia memandang rendah ilmu silat tangan kosong ini! Betapa buta matanya yang menganggap gurunya berat sebelah karena telah memberi pelajaran Ilmu Silat Kong-jiu-toat-beng (Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa) kepada Lu Thong. Dan sekarang dia menyaksikan dengan matanya sendiri betapa ilmu silat yang telah dia pelajari dengan baik itu, yakni Pai-bun-tui-pek-to, ternyata oleh gurunya telah dimainkan dan dapat dipergunakan untuk menghadapi amukan Pouw Hong Taisu dengan sepasang goloknya!
Ketika dia memperhatikan permainan kedua tangan dan kaki suhunya, dia menjadi makin heran, Pai-bun-tui-pek-to yang dimainkan oleh suhunya itu sama sekali tidak ada bedanya dengan permainannya sendiri, bahkan gerakan suhunya itu terlalu lambat nampaknya.
Bagaimana dapat dipergunakan untuk menghadapi lawan yang begitu tangguh" Ketika dia mencurahkan perhatiannya, barulah dia tahu. Setiap kali senjata golok Pouw Hong Taisu menyambar, kalau suhunya tidak sempat lagi mengelak, suhunya lalu mempergunakan tangan untuk dipukulkan ke arah golok itu dan benar-benar heran sekali, golok itu selalu terpukul oleh angin keras sehingga menjadi mencong dan menyeleweng arahnya! Ia maklum bahwa dalam mainkan Pai-bun-tui-pek-to, perbedaan antara dia dan gurunya ialah bahwa gurunya hanya bergerak dengan perhitungan yang tepat sekali menanti perkembangan serangan lawan.
Setiap gerakan suhunya bukan hanya gerakan percuma, melainkan gerakan yang penuh isi, tidak mau bergerak dengan sia-sia atau untuk selingan belaka. Maka bocah gundul ini mengangguk-anggukkan kepalanya dan tahulah dia kini akan arti kata-kata suhunya yang sering menyatakan bahwa semua ilmu silat itu lihai, tergantung orang yang menggerakkan atau memainkannya!
Setelah "mengukur" tingkat ilmu golok dari Thian-san-pai, Ang-bin Sin-kai telah dapat menguras semua gerakan ilmu golok ini dan diam-diam Pengemis Sakti ini mencatat di dalam hatinya beberapa gerakan golok yang dianggapnya luar biasa dan baik sekali untuk dijadikan penambah pengetahuan ilmu silatnya. Beginilah sikap seorang jagoan besar. Di dalam setiap pertempuran menghadapi lawan tangguh dia selalu membuka matanya untuk memetik
beberapa gerakan yang baik dari lawannya. Dengan sikap seperrti inilah maka tokoh-tokoh besar dunia persilatan selalu makin tinggi saja kepandaiannya dan makin tenar namanya.
Ang-bin Sin-kai sebetulnya kalau mau dengan mudah saja dia akan dapat merobohkan Pouw Hong Taisu, akan tetapi betapa pun juga, tokoh besar dari timur ini dahulunya adalah seorang sastrawan. Maka masih ada sifat-sifat sopan dan halus di dalam dirinya dan dia merasa tidak seharusnya dia merobohkan tokoh pertama dari Thian-san-pai di hadapan orang banyak.
Selain hal ini akan menjatuhkan nama Pouw Hong Taisu, juga akan menimbulkan sifat dendam dan bibit permusuhan dengan partai Thian-san-pai yang besar. Pula, ketua Thian-san-pai ini menyerangnya karena menduga bahwa dia membunuh anak murid Thian-san, maka tidak seharusnya ketua in dirobohkan. Ia hanya mau merobohkan seorang yang memang jahat dan ketua Thian-san-pai ini biarpun agak keras kepala dan sombong, namun sekali-kali bukan orang jahat!
"Pouw Hong Taisu, biarlah pinto menggantikanmu menghadapi Ang-bin Sin-kai!" tiba-tiba Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
189 Bin Kong Siansu berkata keras dan pedangnya berubah menjadi sinar yang panjang dan gemerlapan, mengalahkan cahaya sepasang golok ketua Thian-san-pai itu. Ternyata bahwa tokoh Kim-san-pai itu telah turun tangan menyerang Ang-bin Sin-kai dengan hebatnya. Tadi dia telah menyaksikan kehebatan Ang-bin Sin-kai dan tahu bahwa kawannya itu takkan dapat menangkan Pengemis Sakti yang benar-benar amat luar biasa itu. Ia sendiri pun masih sangsi apakah dia akan dapat mengalahkan Ang-bin Sin-kai, akan tetapi karena dia tidak boleh memperlihatkan kelemahannya, dia sengaja maju sebelum Pouw Hong Taisu dirobohkan untuk menolong kawan ini.
Akan tetapi Pouw Hong Taisu benar-benar berhati keras. Biarpun dia maklum bahwa lawannya ini lihai sekali dan sukarlah baginya untuk menang, akan tetapi kalau mundur, berati dia mengalah atau kalah.
"Tidak, Bin Kong Siansu. Aku harus menjatuhkan pengemis ini!" jawabnya dan sepasang goloknya diputar makin hebat dalam gerakan-gerakan terlihai dari ilmu golok Thian-san-pai.
"Ha, ha, ha, tua bangka pikun. Majulah kalian berdua, mari kita tua sama tua main-main sebentar!" Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak dan tiba-tiba tubuhnya lenyap dan berubah menjadi bayangan yang cepat sekali gerakannya menyambar-nyambar di antara sinar golok dan pedang!
Baru sekarang kakek ini memperlihatkan kelihaiannya dan tidak saja dua orang
pengeroyoknya yang amat terkejut karena seakan-akan mereka berdua mengeroyok sesosok bayangan setan, akan tetapi juga Kwan Cu duduk dengan bengong karena matanya yang terlatih masih tak mampu mengikuti gerakan suhunya yang demikian cepatnya! Kini dia benar-benar melihat suhunya dengan kepandaian yang sesungguhnya, yang membuat hatinya berdebar bangga dan kagum. Tiba-tiba Kwan Cu merasa tubuhnya terikat oleh sesuatu yang kuat sekali dan sebelum dia sempat memberontak, tubuhnya telah terlempar naik ke atas melalui genteng yang sudah dilobangi dan nyeplos terus ke atas genteng! Ketika dia membuka matanya yang terheran-heran, ternyata dia telah berdiri di depan Kiu-bwe Coa-li dan Bun Sui Ceng! "Eh?"?", apa artinya ini?"?" tanyanya sambil memandang muka Sui Ceng
yang manis dan kini bersinar seperti sepasang bintang pagi.
"Artinya, kalau aku tidak membutuhkanmu, pada saat ini juga aku tentu sudah
menghancurkan batok kepalamu yang gundul ini karena kau ternyata adalah seorang penipu cilik, pembohong pandai yang kurang ajar sekali!" Kwan Cu memandang kepada nenek sakti itu dengan kedua matanya dibuka lebar-lebar.
Eh, eh, eh, Suthai kenapakah datang-datang marah besar kepada teecu" Apa kesalahanku?"
"Kau tahu tempat kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang aseli, mengapa dahulu tidak mau memberi tahu kepadaku?"
"Itulah rahasiaku sendiri, Suthai. Mengapa harus dibuka kepada orang lain" Dan aku yang menutup rahasiaku sendiri, Suthai anggap pembohong dan penipu" Dalam hal apakah teecu membohong dan perbuatan mana pula merupakan penipuan?" Dilawan dengan tabah oleh bocah gundul ini, Kiu-bwe Coa-li tertegun dan tak dapat menjawab!
"Sudahlah tak perlu banyak cakap. Sekarang kau harus ikut pinni dan membawa pinni ke tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kalau kau masih ingin hidup lebih lama lagi di dunia ini. Kalau kau menolak, sekarang juga kuhancurkan batok kepalamu."
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
190 "Teecu masih mau hidup karena di dalam hidup teecu masih ada dua hal yang harus teecu penuhi, yakni pertama mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kedua kalinya,
membalaskan sakit Thio-toanio yang terbunuh orang!" Sambil berkata demikian, dia memandang kepada Sui Ceng.
Anak perempuan ini tiba-tiba mengucurkan air matanya dan membalas pandangan Kwan Cu dengan penuh arti. "Terima kasih, Kwan Cu, akan tetapi aku sendiri yang kelak akan menghancurkan kepala si keparat Toat-beng Hui-Houw!" kata Sui Ceng.
"Apa ?"." Pembunuh ibumu Toat-beng Hui-houw?"" muka Kwan Cu menjadi girang
sekali. "Dan suhu di bawah dikeroyok orang karena disangka suhu yang membunuh ibumu!"
Mendengar ini, Kiu-bwe Coa-li cepat menotok pundak Kwan Cu yang segera menjadi lemas tak berdaya lagi! "Sui Ceng, cepat bawa bocah gundul ini ke luar kota dan tunggulah aku di pingggir hutan sebelah utara. Biar aku membereskan dulu Ang-bin Sin-kai si manusia pelanggar sumpah!"
Sui Ceng mengangguk dan ia segera memondong Kwan Cu dan meloncat pergi! Biarpun seluruh tubuhnya lumpuh, namun panca indera Kwan Cu masih bekerja baik, maka kagumlah dia melihat kemajuan ilmu lari Sui Ceng yang biarpun menggendongnya, masih dapat berlari dengan ringan dan cepat sekali. Adapun Kiu-bwe Coa-li setelah melihat Sui Ceng membawa Kwan Cu pergi jauh, lalu menyambar turun ke dalam ruang di mana Ang-bin Sin-kai masih dikeroyok dengan hebat oleh dua orang kakek tua Kim-san-pai dan Thian-san-pai.
Menghadapi ilmu pedang Kim-san-pai yang benar-benar ganas dan gerakannya amat kuat, Ang-bin Sin-kai menjadi kagum dan gembira. Tak mungkin lagi baginya untuk main-main seperti tadi ketika menghadapi Pouw Hong Taisu seorang, karena kini keroyokan dua orang tokoh besar itu benar-benar tidak boleh dipandang ringan begitu saja. Maka begitu tubuhnya berkelebatan untuk menghindari serangan lawan, dia mulai membalas dengan pukulan-pukulannya yang lihai. Beberapa kali dia hampir berhasil memukul runtuh senjata lawan, namun kedua orang kakek yang cukup mengenal kelihaiannya, bertempur dengan hati-hati dan saling membantu.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar bunyi "tar! tar! tar!" nyaring sekali dan tahu-tahu sembilan sinar menyambar ke arah medan pertempuran! Inilah cambuk ekor sembilan dari Kiu-bwe Coa-li yang telah turun tangan. Bagaikan sembilan ekor ular sakti, bulu-bulu cambuk itu melayang-layang dan setiap helai merupakan senjata maut yang luar biasa lihainya. Pada saat itu, karena kini Ang-bin Sin-kai membalas serangan kedua orang lawannya, Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu mencurahkan seluruh perhatiannya kepada serangan Ang-bin Sinkai dan tidak dapat menjaga datangnya "ular-ular hidup" ini. Maka tanpa dapat dicegah pula, sepasang golok di tangan Pouw Hong Taisu dan pedang di tangan Bin Kong Siansu, gagangnya terkena libatan bulu-bulu cambuk dan ditarik oleh Kiu-bwe Coa-li, senjata-senjata itu terlepas dari pegangan! Adapun Ang-bin Sin-kai, biarpun dia menghadapi keroyokan dua orang lihai, namun memang tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi, maka kedatangan Kiu-bwe Coa-li ini dia ketahui baik-baik. Apalagi ketika terdengar bunyi "tar-tar-tar!" tadi, tahulah dia bahwa senjata istimewa dari Kiu-bwe Coa-li telah beraksi. Ia tidak berani lengah dan ketika tiga helai bulu cambuk menyambar ke arahnya, dia cepat menggulingkan tubuhnya sambil menghantamkan kedua tangannya ke arah tubuh Kiu-bwe Coa-li! Ang-bin Sin-kai sengaja mengerahkan tenaga membalas dengan pukulan maut, karena tiga helai bulu cambuk tadi pun menyerangnya dengan maksud membunuh. Ia merasa heran dan juga marah mengapa datang-datang Kiu-bwe Coa-li hendak membunuhnya, sedangkan terhadap dua orang tokoh Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
191 Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu, iblis wanita ini hanya merampas senjata mereka saja.
Pukulan yang dilancarkan Ang-bin Sin-kai mengandung hawa yang dahsyat sekali dan biarpun jarak antara Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li ada tiga tombak, namun nenek sakti itu merasa datangnya hawa pukulan yang menyambar ke arah lambung dan ulu hatinya!
Terpaksa ia menarik cambuknya sambil melompat ke kanan menghindarkan diri dan dengan demikian, ia gagal menyerang Ang-bin Sin-kai, namun berhasil merampas senjata-senjata Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu! Ketua Kim-pan-sai dan ketua Thian-san-pai menjadi marah sekali. Akan tetapi mereka juga amat terkejut menyaksikan kelihaian nenek sakti yang dikenal baik namanya namun belum pernah disaksikan kepandaiannya itu.
"Suthai, apakah maksud kedatanganmu ini dan mengapa kau mencampuri urusan kami?" kata Pouw Hong Taisu dengan mata bernyala merah.
Kiu-bwe Coa-li menjebikan bibirnya dengan mengejek, "Hm, tua bangka tak tahu diri! Kalau aku tidak datang turun tangan, apakah kau kira akan dapat mengalahkan Ang-bin Sin-kai"
Ada dua hal yang mengharuskan aku turun tangan. Pertama, karena kalian menyerang orang yang tak berdosa, ke dua, karena aku sendiri yang akan memberi hajaran pada Ang-bin Sinkai, si manusia pelanggar sumpah!"
"Kiu-bwe Coa-li!" bentak Pouw Hong Taisu marah, "Kau tidak tahu, pengemis jahat ini telah membunuh murid-murid kami!"
"Bodoh, kalian tua bangka-tua bangka bodoh! Pembunuh Pek-cilan Thio Loan Eng dan Ong Kiat bukan Ang-bin Sin-kai, melainkan Toat-beng Hui-houw dan hal ini pinni (aku) telah menyaksikan sendiri!"
Mendengar kata-kata ini, tentu saja dua orang tokoh persilatan itu terkejut sekali dan muka mereka menjadi pucat. Mereka telah melakukan kesalahan luar biasa besarnya terhadap Ang-bin Sin-kai dan hal itu bukan hal yang kecil saja. Akan tetapi ketika mereka menengok kepada Ang-bin Sin-kai, orang tua ini hanya tersenyum-senyum saja. "Nah, terimalah senjata-senjatamu kembali, kalau kalian tidak bisa menerima dan binasa karenanya, jangan salahkan aku, anggap saja sebagai hukumanmu!" kata Kiu-bwe Coa-li dan begitu ia menggerakkan cambuknya, sepasang golok itu terlepas dan meluncur ke arah Pouw Hong Taisu sedangkan pedang itu meluncur ke arah Bin Kong Siansu! Luncuran ini hebat sekali, cepatnya melebihi anak panah dan tenaganya melebihi tusukan seorang ahli silat! Kedua ketua Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu terkejut sekali. Dengan gerakan Monyet Sakti Memetik Bunga, Bin Kong Siansu dapat mengelak ke kiri dan tangannya menyambut pedangnya sendiri pada gagangnya.
Ia berhasil menerima pedangnya itu akan tetapi dia merasa telapak tangannya pedas sekali.
Yang lebih hebat adalah Pouw Hong Taisu karena tosu ini menghadapi serangan dari sepasang goloknya yang meluncur ke arah tenggorokan, akan tetapi tangan kirinya terlambat menyambar yang meluncur ke lambung. Terpaksa dia melemparkan tubuh ke kiri sehingga golok itu meluncur terus mengancam seorang tamu muda yang duduk di belakangnya!
Keadaan amat berbahaya bagi tamu muda itu, akan tetapi tiba-tiba tubuh Ang-bin Sin-kai berkelebat dan sekali tendang saja, golok itu terlempar ke atas dan menancap pada tiang melintang di atas sampai setengahnya. Gagang golok itu bergoyang-goyang, tanda bahwa luncuran tadi amat kuatnya! Pouw Hong Taisu menjadi pucat, demikianpun semua tamu.
Ternyata bahwa gedung Bun-bu-pang telah kedatangan dua orang tamu yang memiliki kepandaian luar biasa sekali. Biarpun mereka telah mendengar dan mengenal Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li sebagai tokoh-tokoh besar yang tiada taranya, namun baru hari ini mereka kebetulan dapat menyaksikan kepandaian mereka yang benar-benar hebat. Keringat Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
192 dingin mengucur di jidat mereka, terutama sekali Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu yang sudah merasa bersalah terhadap Ang-bin Sin-kai yang mereka tuduh secara keji sekali.
Kini Kiu-bwe Coa-li menghadapi Ang-bin Sin-kai dan sepasang matanya menyatakan bahwa nenek sakti ini sedang marah bukan main. "Ang-bin Sin-kai, pengemis hina-dina. Kau benar-benar berjiwa pengemis rendah dan tidak merasa jijik untuk menelan ludah sendiri yang sudah kau keluarkan di atas lumpur busuk! Orang lain boleh kaubodohi begitu saja, akan tetapi pinni tidak sudi kau tipu!" sambil berkata demikian Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya dan sembilan helai bulu cambuk itu mengancam sembilan jalan darah di tubuh Ang-bin Sin-kai!
Menghadapi serangan yang hebat ini Ang-bin Sin-kai terkejut sekali. Ia sebenarnya terkejut bukan karena jerih melainkan heran mengapa iblis wanita ini benar-benar menyerang dengan niat membunuh. Kesalahan apakah yang telah diperbuatnya" Agaknya dia hari ini sial benar-benar, semua orang menuduhnya yang bukan-bukan dan menghendaki nyawanya!
Menghadapi Kiu-bwe Coa-li jauh sekali bedanya dengan menghadapi keroyokan Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu, karena dia maklum bahwa nenek ini benar-benar lihai dan berbahaya. Cepat Ang-bin Sin-kai mempergunakan ginkangnya untuk mencelat mundur sehingga bulu-bulu cambuk yang panjang itu tidak sampai mengenai tubuhnya. Ia
mengangkat kedua tangan sambil berkata keras, "Eh, eh, eh, nanti dulu, Kiu-bwe Coa-li! Kau agaknya tidak lebih waras dari dua orang yang menyerang aku tadi. Katakan lebih dulu mengapa kau menganggap aku si tua bangka ini sebagai si pelanggar sumpah?"
"Bagus, jembel siluman masih hendak berputar lidah! Mengakulah bahwa kau dahulu pernah bersumpah takkan mempergunakan Lu Kwan Cu untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Betul tidak?"
"Betul," jawab Ang-bin Sin-kai dengan suara tenang.
Kiu-bwe Coa-li tersenyum mengejek. "Dan kalau kau melanggar sumpahmu itu, kau
bersumpah akan mampus seperti anjing, betulkah?"
"Memang begitulah kira-kira bunyi sumpahku."
Mata kiu-bwe Coa-li mendelik. "Jahanam! Dan sekerang kau ternyata bersama Kwan Cu mencari kitab peninggalan Gui Tin untuk mencari tahu di mana disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Karena itu, kau harus mampus seperti anjing di bawah cambukku."
Terbelalak mata Ang-bin Sin-kai memandang nenek sakti itu. "Eh, eh, eh, nanti dulu. Dari manakah kau bisa mengetahui semua ini?"
"Semua orang sudah tahu. Empat tokoh besar di seluruh penjuru sudah tahu, mengapa aku tidak?"
"Kiu-bwe Coa-li, siluman perempuan yang galak. Memang betul Kwan Cu mencari
peninggalan itu atas pesanan mendiang Gui-siucai, apakah hubungannya dengan aku" Ingat, sumpahku ialah kalau aku mempergunakan dia mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kini soalnya lain lagi, bukan aku yang mencari, melainkan anak itu. Dia berhak mendapatkannya, karena bukankah dia hanya memenuhi pesanan terakhir dari gurunya yakni Gui-suicai?"
"Bohong! Kau sengaja memutarbalikkan kenyataan untuk menutupi kesalahanmu. Apa kau takut mampus?"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
193 Ang-bin Sin-kai mulai marah. "Kiu-bwe Coa-li, alangkah sombongmu. Kaukira aku takut kepadamu" Kau boleh menuduh apa pun juga, aku tidak takut dan kau mau apa?"
"Bangsat tua, mampuslah!" Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya yang berbunyi "tar!
tar! tar!" keras sekali sehingga semua orang yang berkumpul di situ menjadi jerih dan tak terasa pula segera mindur mepet ke tembok, takut kalau-kalau terkena ujung cambuk yang lihai itu. Kiu-bwe Coa-li mengamuk seperti iblis, ujung cambuknya kalau mengenai bangku, pecahlah bangku itu seperti dibacok kapak tajam. Sengaja dia mempergunakan cambuknya menangkap meja dan bangku dan dilontarkannya meja bangku itu ke pinggir sehingga sibuklah orang-orang yang berada di situ untuk mengelak dari hujan bangku yang tadi mereka duduki. Yang celaka adalah kaum sastrawan, karena berbeda dengan kaum persilatan yang dapat menangkis dan mengelak, mereka ini tertimpa meja dan bangku sehingga menderita benjol! Ruangan yang luas itu kini bersih dari meja dan bangku, dan tanpa membuang waktu lagi, Kiu-bwe Coa-li serentak menyerang dengan cambuknya. Ang-bin Sin-kai yang tahu kelihaian lawan tidak mau berlaku sembrono menghadapinya dengan tangan kosong.
Memang biasanya kakek ini tak pernah mempergunakan senjata dalam pertempuran
menghadapi siapapun juga, akan tetapi karena dia tahu bahwa cambuk dari Kiu-bwe Coa-li amat berbahaya, kini dia mencabut suling pemberian dari Hang-houw-siauw Yok-ong untuk menangkis. Pertempuran antara kedua orang tokoh besar ini berlangsung amat hebatnya.
Biarpun orang-orang yang berkumpul di situ telah berdiri mepet pada tembok namun sambaran angin yang keluar dari cambuk dan kedua tangan Ang-bin Sin-kai, masih terasa oleh mereka yang membuat rambut dan pakaian mereka berkibar dan kulit terasa dingin!
Suara yang mengiringi pertempuran ini pun mengerikan sekali. Tidak saja suara bersiutnya bulu-bulu cambuk yang sembilan helai banyaknya itu diseling oleh suara menjetar yang menulikan telinga, juga suara dari suling yang dimainkan oleh Ang-bin Sin-kai menimbulkan suara angin yang mengerikan. Karena suling ini digerakkan secara cepat sekali, angin yang memasuki lubang-lubang suling menimbulkan suara seperti seekor binatang buas menangis.
Bergidiklah semua orang mendengar suar-suara ini dan kaburlah pandangan mata mereka melihat betapa bayangan dua orang tokoh besar itu lenyap sama sekali.
Di ruangan itu kini hanya terlihat gulungan sinar yang tak tentu ujudnya, yang bergerak-gerak ke sana ke mari sehingga sukar untuk diduga siapa yang menang siapa yang kalah. Melihat cara Kiu-bwe Coa-li mainkan cambuknya, Ang-bin Sin-kai terkejut bukan main. Pernah dia menyaksikan permainan cambuk lawannya ini, yaitu dulu ketika mereka berebutan kitab palsu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan biar pun dia sendiri belum pernah menghadapi Kiu-bwe Coa-li, namun dia sudah dapat mengukur kelihaian lawan ini. Akan tetapi sekarang permainan cambuk itu sudah maju dengan pesat sekali. Berat dan aneh. Tiba-tiba dia teringat akan tenaga lweekang yang didapat bocah gundul itu dalam mempelajari lweekang dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu. Maka mengertilah dia bahwa entah dengan cara bagaimana, iblis wanita ini telah pula mempelajari ilmu lweekang dari kitab palsu itu! Menduga tentang ini, otomatis Ang-bin Sin-kai menoleh ke arah tumpukan meja di mana tadi dia melemparkan Kwan Cu agar terhindar daripada gangguan lawan. Alangkah kagetnya ketika dia tidak melihat muridnya berada disitu. Ia sudah tahu akan ketaatan muridnya ini dan tak mungkin Kwan Cu berani pergi dari situ tanpa perkenannya. Tentu telah terjadi sesuatu dengan anak itu. Pikiran ini membuat Ang-bin Sin-kai marah sekali dan tiba-tiba dia berseru keras sekali.
Begitu kedua tangannya bergerak dia telah dapat memegang tiga helai bulu pecut dan direnggutnya sekuat tenaga! Kiu-bwe Coa-li terkejut dan cepat ia mempergunakan bulu pecut yang lain untuk dipukulkan ke arah kepala Ang-bin Sin-kai. Ia maklum bahwa untuk lain Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
194 orang, sekali pukulan dengan ujung sehelai bulu pecut saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Akan tetapi menghadapi Ang-bin Sin-kai, belum tentu ia dapat merobohkan kakek ini dengan semua bulu pecutnya dirangkap menjadi satu kalau tidak mengenai bagian yang penting seperti ubun-ubun kepala!
Ang-bin Sin-kai marah sekali dan begitu dia menarik, tiga helai bulu pecut itu copot! Akan tetapi serangan enam helai bulu pecut telah menyaambar ubun-ubun kepalanya, maka cepat dia mengelak sambil miringkan tubuhnya. Betapapun cepat gerakannya, dia terlambat dan beberapa helai bulu pecut masih mengenai pundaknya yang menimbulkan rasa sakit dan ngilu. Ia mengerahkan tenaga lweekang untuk melawan pecutan ini dan tubuhnya tiba-tiba menubruk maju dengan kedua tangan dipentang. Ternyata dalam marahnya Ang-bin Sin-kai telah mengeluarkan tipu serangan yang berbahaya sekali, yakni pukulan yang disebut Pukulan Ombak Mengamuk! Kakek muka merah ini telah dapat meniru dan menangkap inti pukulan serangan ombak pada batu karang ketika dia masih suka bermain-main dengan ombak di pinggir Laut Po-hai! Kiu-bwe Coa-li berseru kaget ketika hawa pukulan lawannya membuat semua bulu pecutnya terpental kembali dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang! Ia berseru lagi dan tiba-tiba tubuhnya melayang naik untuk menghindari serangan lawan.
Kesempatan itu di pergunakan oleh Ang-bin Sin-kai untuk melompat naik dan nyeplos dari genteng yang sudah berlubang, di atas meja di mana tadi Kwan Cu berada. Ia maklum bahwa muridnya keluar dari tempat ini.
"Kwan Cu"..!" Ia berteriak di atas genteng sambil memandang ke kanan kiri. Namun keadaan di situ sunyi saja, tak nampak bayangan seorang pun manusia.
"Kwan Cu"..! Hai,?". Kwan Cu bocah gundul, kau di mana?" kembali kakek ini berseru memanggil sambil mengerahkan tenaga lweekangnya sehingga seruan ini tentu akan terdengar oleh Kwan Cu seandainya anak itu berada dalam jarak beberapa lie saja dari tempat itu. Dan memang betul, Kwan Cu dapat mendengar suara gurunya yang memanggil ini, akan tetapi dia tidak berdaya karena dia telah lumpuh dan pada saat itu dia rebah di bawah pohon ditunggu Bun Sui Ceng yang mendongeng kepadanya tentang Pek-cilan Thio Loan Eng yang terbunuh oleh Toat-beng Hui-houw!
"Jangan kau khawatir, Kwan Cu. Biarpun kelihatan galak, guruku berhati mulia dan kau pasti takkan diganggunya, asal saja kau mau memberi petunjuk kepadanya bagaimana untuk mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng." Kata Sui Ceng kepada bocah gundul itu.
Adapun Ang-bin Sin-kai ketika memanggil beberapakali tidak mendapat jawaban, menjadi makin gelisah dan bingung. Ia berpikir sejenak dan timbul dugaannya bahwa Kwan Cu tentu telah diculik oleh Kiu-bwe Coa-li pada saat dia masih dikeroyok oleh dua Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu! Akan tetapi, siapa tahu kalau-kalau anak itu bersembunyi di dalam rumah" Ia lalu melompat kembali turun ke tengah ruangan itu dan dia tidak melihat lagi bayangan Kiu-bwe Coa-li. Orang-orang yang berada di situ tadi melihat Ang-bin Sin-kai melayang naik melalui atap yang bolong, dan Kiu-bwe Coa-li setelah mengeluarkan suara tertawa yang nyaring dan mendirikan bulu tengkuk, lalu berkelebat pergi dari pintu. Semua orang menahan napas dan kini melihat Ang-bin Sin-kai melayang turun kembali, mereka memandang penuh perhatian.
"Di mana adanya muridku?" tanya Ang-bin Sin-kai kepada mereka. Tak seorang pun menjawab. "Hai".! Tulikah kalian" Di mana adanya Kwan Cu muridku yang tadi duduk di atas tumpukan meja itu?" Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu melangkah maju. Dua Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
195 orang kakek ini merangkap kedua tangan dan memberi hormat dengan muka nampak malu dan menyesal.
"Muridmu telah di ambil oleh Kiu-bwe Coa-li ketika kau tadi bertempur melawan kami," kata Pouw Hong Taisu dengan suara menyesal. "Semua adalah kesalahan kami, Ang-bin Sin-kai dan kami mohon maaf sebanyaknya. Benar-benar tadi kami semua berlaku amat buruk terhadapmu. Maaf, maaf"." Kata Bin Kong Siansu dengan hati tidak enak sekali.
"Marah, menyesal! Ah, orang-orang seperti kalian masih diombang-ambingkan oleh perasaan dan nafsu, sungguh lucu dan menggelikan sekali!" kata Ang-bin Sinkai gemas. "Eh, orang she Kwa, apakah kau tidak malu menjadi ketua Bun-bu-pang?" Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai lalu melompat pergi meninggalkan rumah perkumpulan Bun-bu-pang itu. Semua orang saling pandang dan menghela napas.
"Biarlah hal ini merupakan pelajaran bagi kita sekalian," kata Kwa Ok Sin sambil menarik napas panjang. "Lain kali kita harus berlaku hati-hati sekali dalam memutuskan sesuatu hal, harus melakukan penyelidikan sedalam-dalamnya dan tidak percaya begitu saja kata-kata orang lain." Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu menjadi merah mukanya. Diam-diam mereka mengutuk Hek-i Hui-mo, karena sesungguhnya Hek-i Hui-mo yang membakar hati mereka dan Hek-i Hui-mo yang memberi tahu mereka bahwa Ang-bin Sin-kai yang
membunuh murid-murid mereka.
*** "Kiu-bwe Coa-li, hati-hati kau! Kalau sampai kau ganggu muridku, aku Ang-bin Sin-kai belum mau mati sebelum mencabuti sembilan ekormu," sepanjang jalan Ang-bin Sin-kai berkata begini sungguhpun hatinya tidak begitu mengkhawatirkan tentang keadaan muridnya.
Ia tahu bahwa Kiu-bwe Coa-li menculik Kwan Cu ada maksudnya, yakni hendak mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi oleh karena kitab sejarah peninggalan Gui Tin yang dapat memberi petunjuk di mana adanya kitab sakti itu telah dicuri orang, tentu Kwan Cu akan berkata terus terang dan Kiu-bwe Coa-li tentu akan berusaha merampas kembali kitab sejarah yang tercuri.
"Betulkah Jeng-kin-jiu yang mencurinya" Tak salah lagi, karena Kwan Cu menduga Jeng-kin-jiu, tentu Kiu-bwe Coa-li akan menyusul pendeta gundul gendut itu ke kota raja. Hm, tiada jalan lain, akupun harus menyusul ke sana. Betapapun juga, kitab sejarah itu tidak boleh terjatuh ke dalam tangan orang lain, harus menjadi milik Kwan Cu yang memang berhak."
Setelah mengambil keputusan begini, Ang-bin Sin-kai lalu berlari cepat menuju ke kota raja.
Pada masa itu, yang menjadi kaisar kerajaan dari Kerjaan Tang adalah Kaisar Hian Tiong yang terkenal sebagai seorang yang doyan pelesir. Kaisar ini selalu tenggelam dalam kesenangan, memelihara banyak sekali selir yang cantik-cantik, setiap hari menghibur diri di tengah-tengah selir-selirnya sambil melihat tari-tarian dan nyanyian merdu, sama sekali tidak mau peduli akan pemerintahannya dan juga tidak mau peduli akan keadaan rakyat jelata yang banyak menderita. Istana-istana indah dan megah dibangun di mana-mana, menghamburkan uang yang mengalir masuk dari keringat rakyat petani. Istana-istana indah di mana selalu dihias oleh perabot-perabot mahal dan juga "perabot-perabot hidup" berupa dara-dara jelita yang dikumpulkan dari berbagai daerah! Tidak mengherankan jika pujangga besar Tu Fu menjadi naik darah dan sedih juga ketika pada suatu hari di musim dingin dia pulang dari perjalanannya dari Tiang-san dan melewati Bukit Li-shan. Di situ, yaitu di puncak Bukit Li-shan di mana terdapat sebuah di antara istana-istana kaisar yang disebut Istana Hwa Ceng. Tu Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
196 Fu mendengar bahwa kaisar Hian Tiong tengah berpesta pora, berpelesir mendengarkan musik dan nyanyian, menonton tari-tarian dan bersenang-senang dengan para selirnya.
Teringatlah Tu Fu akan keadaan rakyat jelata yang amat sengsara dan menderita di dalam angin dingin dan kelaparan rakyat yang menggeletak kelaparan dan kedinginan di atas jalan-jalan raya di Tiang-san. Maka menulislah pujangga patriot ini kata-kata yang sampai kini masih di hargai oleh seluruh rakyat:
"Di belakang pintu gerbang
merah indah cemerlang
anggur dan daging berlebih-lebihan
hingga masak membusuk!
Di luar pintu gerbang
Kotor sunyi melengang
Berserakan tulang rangka
Sisa korban dingin dan lapar"
Memang, Kaisar Hian Tiong terlalu mengumbar kesenangan jasmani atau boleh juga di sebut terlalu menurutkan nafsu hewan. Di dalam istana di kota raja, selirnya tak terhitung banyaknya, terdiri dari gadis cantik jelita yang didatangkan dari berbagai daerah. Ada yang memang diserahkan oleh orang tuanya dengan hati bangga, akan tetapi tidak kurang pula yang didapatkan oleh kaisar dengan jalan keras, yaitu dengan paksaan dan sebagian besar adalah
"hadiah" yang diberikan oleh para pembesar untuk mengambil hati sang junjungan. Yang paling hebat, di antara sekian banyak selir itu, adapula yang tadinya menjadi isteri orang, yang direnggut dari suaminya untuk dipaksa melayani kaisar, orang terbesar di dalam negeri, orang yang dianggap sebagai "Pilihan Tuhan"! Di antara para selirnya ini, terdapat seorang wanita muda yang amat cantik jelita. Kaisar pernah tergila-gila kepada selirnya ini dan diberinya nama Bi Lian atau Teratai Jelita kepada selirnya ini. Untuk menggambarkan betapa cantiknya Bi Lian, seorang ahli sajak di dalam istana atas perintah kaisar telah membuatkan sajak pujian kepada Bi Lian yang ditempel di kamar selir cantik ini. Beginilah sajak itu:
Rambut panjang hitam dan halus.
Melebihi kehalusan benang sutera.
Diikal menjadi mahkota hidup.
Terhias bunga cilan dengan dua kuncup Sisir emas jadi penahan, Sedap, wangi, semerbak harum!
Wajah indah jelita berbentuk telur Berkulit halus dan betapa putihnya, Putih kuning seperti susu.
Dua alis melengkung hitam Menghias sepasang mata burung hong.
Kering tajam lunak menikam kalbu Hidung kecil mancung berbentuk sempurna Bagaikan ukiran batu kemala.
Mulut kecil mungil, merah membasah Di balik bibir manis Tersembunyi gigi mutiara!
Tubuh ramping Mengalahkan batang yang-liu (cemara) Tertiup angin
Melenggak-lenggok mempesona Tangan kaki kecil mungil Seperti kuncup bunga, Setiap gerakan Menyedapkan pandangan mata
Di dalam dunia memang banyak wanita jelita
Namun siapakah dapat menyamai bunga istana Teratai Jelita (Bi Lian) kekasih raja"
Namun, cinta kasih seorang laki-laki seperti Kaisar Hian Tiong tidak bertahan lama, tidak Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
197 tahan uji. Hanya dicinta dan dipuja kala masih baru. Setiap kali berganti kekasih, datang yang baru lupa yang lama. Demikianpun halnya dengan Bi Lian. Belum cukup setahun menjadi kekasih kaisar yang paling dicinta, kaisar mulai bosan dan kini jarang lagi datang ke kamarnya.
Semenjak dibawa dengan paksa ke kota raja dan menjadi penghuni harem kaisar, remuk redamlah hati Bi Lian. Dia telah mempunyai seorang tunangan, seorang pemuda terpelajar yang sedianya menjadi suaminya. Akan tetapi nasib buruk menimpa dirinya dan dari kota Hang-ciu ia dibawa dengan paksa, seperti seekor domba muda dibawa ke penjagalan , untuk di sembelih! Dengan hati hancur ia harus melayani segala kehendak kaisar yang buas dalam pandangannya itu. Memang tadinya ia agak terhibur ketika dirinya dihujani benda-benda mahal dan indah, ketika ia hidup dalam kemewahan, selalu dilayani oleh para pelayan. Akan tetapi, setelah kaisar mulai bosan dengan dia, ia teringat kembali kepada Can Kwan tunangannya. Ia rindu bukan main, dan setiap hari ia menangis di dalam kamarnya.
Pada malam hari itu, seperti biasa Bi Lian duduk di dalam kamarnya seorang diri. Sore tadi, pelayannya datang dan hendak memandikannya dan membereskan pakaian serta rambutnya seperti biasa. Namun Bi Lian menolak dan menyuruh pelayan itu mundur. Ia duduk termenung di dalam kamarnya, mendengarkan tetabuhan yang dibunyikan orang di bagian lain dari istana yang luas itu. Bunyi suling dan yang kini membuat hatinya makin hancur dan berduka. Ia memandang ke arah sajak pujian untuk dirinya yang tergantung di dekat pembaringannya. Bunyi sajak itu bahkan membuat Bi Lian terharu dan sedih, mengingatkan dia akan sajak yang pernah dibacanya
dahulu: "Aduh sayang, setangkai mawar indah terbawa hanyut oleh air bah!
Air buas mengalir terus tanpa peduli mawar yang malang tertinggal di atas lumpur!"
Teringat akan bunyi sajak ini, tak terasa pula dua titik air mata bagaikan dua butir mutiara menitik turun di atas sepasang pipinya yang putih halus kemerahan.
"Can Kwan".." keluh-kesah yang berkali-kali dibisikkan oleh hati wanita muda itu, kini keluar dari bibirnya, merupakan keluh kesah yang amat menyayat hatinya, dan berderailah air matanya tak dapat ditahan lagi.
"Cui Hwa"." tiba-tiba terdengar suara panggilan perlahan dari luar jendelanya yang menembus ke dalam taman bunga yang sengaja dibuat oleh kaisar di luar kamarnya atas permintaannya beberapa bulan yang lalu.
Bi Lian terkejut bukan main. Nama Cui Hwa adalah nama aslinya sebelum ia dibawa ke istana kaisar dan nama ini hampir setahun tidak pernah disebut orang. Namanya telah berganti menjadi Bi Lian. Maka dapat dibayangkan betapa heran dan terkejutnya ketika ia mendengar nama lama itu disebut orang. Terutama sekali yang membuatnya terkejut adalah suara itu!
Suara orang yang tak pernah dapat dilupakannya, bahkan suara orang yang pada saat itu sedang memenuhi pikiran dan hatinya".. Can Kwan!
Bagaikan dalam mimpi, Bi Lian atau Cui Hwa berjalan menghampiri jendela dan
membukanya. Sesosok bayangan orang melompat masuk dan dengan cepat telah berada di dalam kamar Bi Lian. Wanita ini memandang dan?".
"Can Kwan?"!" serunya sambil berdiri memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
198 Adapun orang yang masuk itu, seorang pemuda yang tampan dan berpakaian seperti seorang pelajar, juga berdiri dengan pandangan mata kagum menyaksikan kecantikan wanita yang berdiri di hadapannya.
"Cui Hwa"."
Biarpun dahulu mereka belum pernah bersentuh tangan, hanya bicara secara sopan sebagaimana lazimnya orang bertunangan, namun pada saat itu suara hati mereka yang bicara dan perasaan rindu dendam yang hebat mempengaruhi jiwa raga, tanpa dapat dicegah lagi oleh akal sadar, keduanya saling menubruk dan berangkulan.
"Cui Hwa?".kekasihku"."
"Can Kwan, alangkah senangnya bertemu denganmu walau hanya dalam mimpi".."
"Cui Hwa, siapa bilang dalam mimpi?" Can Kwan melepaskan rangkulannya dan memegang kedua pundak wanita muda itu, memandang dengan mata penuh cinta kasih mesra. "Lihatlah baik-baik, bukankah aku Can Kwan tunanganmu" Aku benar-benar datang kekasihku."
Namun Cui Hwa menggeleng-geleng kepalanya yang cantik.
"Tak mungkin! Sungguh tak mungkin! Bagaimana kau bisa masuk ke sini" Istana di kurung pagar tembok yang tinggi, terjaga kuat oleh pasukan! Sedangkan kau adalah seorang pelajar yang lemah, yang hanya kuat menggerakkan tangkai pena dan membalik lembaran buku. Kau tak mungkin dapat datang kesini, kecuali kalau?"kalau?"." Tiba-tiba pucatlah muka Cui Hwa atau Bi Lian. Ia hampir menjerit ngeri, tetapi buru-buru menutupkan mulutnya dengan tangan, lalu bertindak mundur sampai tiga langkah.
"Cui Hwa, mengapa kau?"
"Can Kwan".tak salah lagi".. kau tentu sudah mati"..! Rohmu yang datang
mengunjungiku"..ah, Can Kwan. Kalau kau sudah mati, tenanglah, aku pasti akan
menyusulmu. Sudah tidak tahan lagi aku berada di sini, terpisah darimu!" Bi Lian lalu menangis tersedu-sedu.
Can Kwan melangkah maju dan merangkulnya kembali. Ia tertawa perlahan dan membelai rambut kepala Bi Lian.
"Cui Hwa, pernahkah kau mendengar roh dapat memelukmu seperti yang yang kulakukan sekarang ini" Lihatlah aku baik-baik, aku belum mati. Aku adalah Can Kwan yang masih hidup, masih berdarah masih berdaging. Ketahuilah, semenjak kau dibawa ke sini, aku melepaskan pena dan berlatih giat sekali mempelajari ilmu silat dari seorang gagah. Akhirnya, malam ini aku berhasil melampaui penjaga-penjaga itu dan naik melalui pagar,walaupun dengan susah payah namun aku berhasil sampai ke kamarmu."
"Can Kwan".!" Bukan main girang dan terharunya hati Bi Lian mendengar ucapan
kekasihnya ini. "Akan tetapi, apa gunanya".." kau bisa masuk akan tetapi bagaimana keluarnya" Bagaimana kalau nanti kau ketahuan oleh penjaga" Ssst?" bersembunyilah, pelayanku datang"."
Akan tetapi, Can Kwan tidak bersembunyi, sebaliknya dengan sekali lompatan dia telah berada di depan pelayan wanita itu dan menotok pundak wanita itu, pelayan itu roboh tak sadarkan diri lagi.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
199 "Can Kwan, kau".mem"..membunuhnya?" tanya Cui Hwa dengan kaget dan ngeri.
Can Kwan tersenyum dan bukan main tampannya wajah pemuda itu dalam pandangan Cui Hwa. "Tidak, Cui Hwa, aku hanya membikin dia tak berdaya untuk beberapa jam saja. Ia tidak apa-apa."
"Can Kwan, setelah kau datang kesini".apa kehendakmu?"
Can Kwan memegang kedua tangan kekasihnya. "Cui Hwa, mari kita pergi dari sini, mari kita mulai hidup baru sebagai suami istri, jauh dari sorga dunia yang merupakan neraka bagi batin kita ini."
"Can Kwan! Bagaimana mungkin" Kau"kau akan tertangkap dan mereka akan
membunuhmu! Ah, Can Kwan".. biarlah aku seorang yang menderita, aku tidak tahan melihat kau mereka bunuh! Pergilah, carilah seorang isteri lain yang bijaksana, biarlah, aku
". aku tak berharga lagi menjadi".isterimu. Tak boleh kau mendapat bencana karena aku".. tinggalkanlah aku, Can Kwan. Kedatanganmu ini sudah merupakan bahagia
sebesarnya bagiku, akan menghiburku sampai aku mati. Akan kuingat sebagai tanda cintamu".."
"Hush, Cui Hwa, jangan mengeluarkan omongan bodoh! Aku datang sengaja untuk
membawamu keluar dari sini."
"Bagaimana caranya?"
"Akan kubawa kau melompati pagar tembok, keluar dari istana."
"Kalau kau diketahui oleh penjaga?"
"Akan kubuka jalan darah, biar mati bersamamu!"
"Tidak, Can Kwan".." Cui Hwa menangis dan memandang dengan muka ngeri. "Kau tidak boleh mati karena aku".! Apa dayamu menghadapi para pengawal yang banyak jumlahnya"
Biar aku sengsara, biar aku mati asal kau bahagia, asal kau hidup?""
"Cui Hwa"..!"
Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dari luar, "Penjahat! Pencuri! Tangkap, tangkaaaap!"
Cui Hwa menjadi pucat. "Celaka, Can Kwan, mereka sudah datang!"
Wajah Can Kwan yang tampan menjadi beringas dan pemuda ini mencabut pedangnya, lalu melompat keluar. Ia disambut oleh belasan orang pengawal yang segera mengepungnya.
Can Kwan memang telah mempelajari ilmu silat dengan tekunnya dari seorang pandai, dan pedangnya bergerak laksana naga mengamuk. Beberapa orang pengawal sebentar saja roboh mandi darah di bawah sabetan pedangnya. Akan tetapi makin banyak pengawal datang mengeroyok sambil berteriak-teriak, dan biarpun Can Kwan pernah belajar silat dengan amat tekun, namun sampai di manakah tingkat kepandaian seorang yang baru belajar ilmu silat selama setahun" Ia mulai lelah dan telah mendapat beberapa luka ringan.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
200 "Can Kwan?".!" Terdengar seruan Cui Hwa menyayat kalbu.
Permuda itu menengok dan alangkah kagetnya melihat tubuh kekasihnya itu terhuyng-huyung mandi darah! Sebuah pisau menancap di ulu hati Bi Lian atau Cui Hwa. Ternyata bahwa wanita muda itu ketika melihat betapa kekasihnya dikeroyok dan tidak melihat jalan lain untuk melarikan diri, dan tahu pula bahwa pertemuannya dengan Can Kwan itu tentu mengakibatkan bencana hebat bagi dirinya dan pemuda itu, telah mengambil keputusan pendek membunuh diri.
"Cui Hwa"..!" Can Kwan tidak mempedulikan keroyokan para pengawal dan menubruk tubuh kekasihnya yang segera dipeluknya. Akan tetapi tubuh Cui Hwa sudah lemas dan manita muda ini hanya dapat membuka mata sebentar memandang kepada Can Kwan sambil berbisik lemah,
"Aku"..menunggumu?"." dan tewaslah dia.
"Cui Hwa?".!"
Para pengeroyok meloncat maju, beberapa belas batang tombak dan golok datang bagaikan hujan ke arah tubuh pemuda itu. Sudah jelas nasib Can Kwan, karena biarpun dia memiliki kepandaian sepuluh kali lipat daripada kepandaiannya yang sekarang, belum tentu dia akan dapat menyelamatkan diri dari serangan hebat itu.
Tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali, menyambar ke arah para penyerang yang hendak membunuh pemuda itu. Terdengar suara keras, senjata beterbangan dibarengi pekik kesakitan dan tidak kurang dari tujuh orang pengeroyok terguling roboh! Seorang kakek berpakaian tambal-tambalan telah berdiri di depan Can Kwan dan dialah yang menolong pemuda ini.


Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Can Kwan telah berdiri dan kini dengan muka pucat dan menyinarkan sakit hati yang hebat, dia menerjang kepada para pengeroyok. Akan tetapi, kakek itu menggerakkan tangannya dan sekali rampas saja pedang Can Kwan telah berpindah tangan!
"Tak perlu melawan lagi, kau takkan menang!" kata kakek ini.
"Kalau tidak bisa menang, biar aku mati bersama Cui Hwa kekasihku!" jawab pemuda yang sudah nekat itu.
"Bodoh!" kakek itu mencela dan tubuhnya berkelebat ke arah Can Kwan. Pemuda ini hendak mengelak, akan tetapi gerakan kakek itu amat cepatnya sehingga tahu-tahu dia telah dikempit dan dibawa meloncat tinggi ke atas genteng. Para pengawal istana berteriak mengejar, akan tetapi sebentar saja kakek itu menghilang bersama pemuda yang dikempitnya.
Can Kwan hanya merasa sambaran angin dingin meniup mukanya sehingga dia terpaksa meramkan kedua matanya. Tak lama kemudian, kakek itu membawanya meloncat turun dan ketika Can Kwan membuka matanya, tahu-tahu dia telah berada di atas tanah, jauh di luar istana!
"Locianpwe, mengapa kau menghalangi kehendakku mengamuk" Aku ingin mati bersama Cui Hwa!" kata Can Kwan penasaran, karena dia tidak menghendaki pertolongan kakek ini.
Kakek ini tertawa bergelak. "Pikiran muda mendekati kegilaan, karena selalu dikendalikan nafsu! Orang muda, kau benar-benar sudah gila. Aku yang sudah tua bangka, masih tidak begitu gila untuk mengakhiri hidup yang membosankan ini, apalagi kau yang masih begini Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
201 muda. Nyawa adalah kurnia Thian, mengapa hendak di permainkan" Kau mengacau di istana kaisar, bukankah itu termasuk pelanggaran dan pemberontakan?"
"Siapa yang mau menghargai kaisar lalim" Dia telah merampas tunanganku dan aku memang sudah setahun mengandung maksud merampas kembali Cui Hwa!"
"Kau keliru! Kalau memang bermaksud melawan kehendak kaisar, mengapa tidak dari dulu sebelum tunanganmu menjadi selir kaisar" Sekarang tunanganmu telah menjadi selir terkasih, telah hidup bahagia dan kau datang-datang mendatangkan bencana kepadanya. Kalau kau tidak datang, apa kau kira tunanganmu itu akan mati" Kau bertindak menurutkan nafsu hati tidak menggunakan akal budi dan pikiran sehat. Andaikata kau tadi berhasil membawa lari bekas kekasihmu itu, apa kau kira akan dapat bersembunyi dari para petugas kaisar" Kemana pun kau pergi, kau tentu akan bertemu dengan kaki tangan pemerintah dan akhirnya kau akan dibekuk juga! Kalau kau yang menderita dan kena bencana, itu tidak mengapa karena memang kau sengaja, akan tetapi kau menyeret wanita itu ke jurang kecelakaan! Bahkan, kalau kau masih mempunyai keluarga, seluruh keluargamu akan terseret juga."
Mendengar ucapan terakhir ini Can Kwan nampak lemas dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil menangis. "Teecu memang mengaku seorang anak puthauw (tidak berbakti), mohon petunjuk dari Locianpwe."
"Hm, bagus! Lebih baik menghadapi seorang yang menyesali perbuatannya yang salah daripada menghadapi seorang yang menyombongkan perbuatannya yang baik! Anak muda, jangan kau kira bahwa seandainya kau berhasil membawa lari wanita itu, hidupnya akan bahagia. Ah, orang muda seperti kau selalu tertipu oleh nafsu hati. Sekarang wanita itu telah tewas, sudahlah. Dia sudah terbebas daripada penderitaan hidup, yaitu kalau memang ia menderita di dalam istana itu. Kau lebih baik pulang dan rawat orang tuamu baik-baik, menikah atas pilihan orang tuamu sebagai seorang anak berbakti. Jika kau berjalan di atas kebenaran, pasti kelak kau akan berbahagia."
"Terima kasih, Locianpwe. Mohon tanya siapakah adanya Locianpwe yang telah menolong teecu?"
"Aku" Aku adalah pengemis miskin dan orang menyebutku Ang-bin sin-kai!"
Can Kwan terkejut sekali. Ia sudah tentu pernah mendengar nama tokoh besar ini, maka dengan girang dia berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kalau Locianpwe sudi, teecu mohon diterima menjadi murid." Akan tetapi karena tidak ada jawaban, Can Kwan mengangkat mukanya dan alangkah herannya ketika melihat bahwa kakek itu sudah lenyap dari situ! Dengan hati kecewa dia lalu berdiri dan berjalan pulang, kedukaan hatinya banyak terobati oleh nasihat-nasihat dari Ang-bin Sin-kai.
Memang, kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Ang-bin Sin-kai menuju ke kota raja hendak mencari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Setibanya di kota raja, diam-diam dia pergi ke rumah keponakannya, yaitu Lu Seng Hok, karena dia tahu bahwa Jeng-kin-jiu tinggal di rumah muridnya, Lu Thong atau putera dari Lu Seng Hok.
Akan tetapi dia merasa kecewa sekali karena Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Lu Thong belum pulang dari perantauannya. Ang-bin Sin-kai lalu menyelidiki di kota raja untuk melihat kalau-kalau Kiu-bwe Coa-li yang menculik Lu Kwan Cu telah berada di sana, akan tetapi ternyata iblis wanita itupun belum nampak berada di kota raja.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
202 Untuk menghilangkan kekesalan hatinya, sambil menanti munculnya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu atau Kiu-bwe Coa-li, timbul seleranya untuk makan hidangan istana dan melihat-lihat kebun bunga di istana yang luar biasa indahnya itu. Dahulu memang sering kali ia melancong dan bersuka-suka di istana kaisar, tanpa ada seorang pun yang melihatnya. Ia bermain-main di taman bunga, tidur di kamar-kamar besar yang indah setelah mengunci dan mengganjal pintu kamar dari dalam sehingga tidak ada orang dapat membukanya, atau memasuki dapur istana dan menyikat habis hidangan-hidangan untuk raja yang paling lezat. Ada kalanya ia menikmati bacaan buku-buku di perpustakaan istana atau minum anggur terbaik di gudang minuman.
Kebetulan sekali pada malam hari itu, ketika memasuki istana, dia melihat Can Kwan di keroyok, maka dia menolong pemuda itu setelah mengetahui sebab-sebab pertempuran.
Diam-diam dia menaruh hati kasihan kepada pemuda itu, dan makin besar rasa jemunya terhadap kaisar yang merampas tunangan orang lain, akan tetapi kalau dia tidak berlaku keras dan mengeluarkan nasihat-nasihat seperti yang telah diucapkan di depan pemuda itu, dia takkan dapat menimbulkan semangat hidup baru di dalam hati Can Kwan.
Maka setelah meninggalkan Can Kwan, kembalilah Ang-bin Sin-kai ke istana lagi. Keadaan di istana untuk sesaat gempar dengan peristiwa tadi dan kini jenazah Bi Lian atau Cui Hwa itu telah dirawat sebagaimana mestinya dan kaisar yang diberi tahu tentang hal itu, hanya mengeluarkan perintah untuk menangkap pemuda yang tidak dikenal siapa adanya.
Ang-bin Sin-kai langsung menuju ke dapur istana. Di depan pintu-pintu dapur itu terjaga kuat-kuat, namun dengan menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, Ang-bin Sin-kai melompat ke atas genteng dan membuka beberapa buah genteng, dan mengintai ke dalam. Ia melihat tukang-tukang masak sedang sibuk mempersiapkan hidangan malam untuk kaisar. Di atas sebuah meja yang besar telah berjajar hidangan yang lengkap, masakan-masakan istimewa dan yang masih mengebulkan asap.
Ang-bin Sin-kai beberapa kali menelan ludahnya. Uap masakan yang sedap menyerang hidungnya, membuat perutnya yang hampir kempis itu berkeruyukan. Di antara semua masakan yang terdapat di atas meja, yang paling menimbulkan air liurnya adalah masakan daging burung dara kebiri dan daging ikan emas. Ingin sekali dia cepat menyerbu ke bawah dan menghabiskan masakan-masakan itu, akan tetapi dia tidak mau menimbulkan keributan, karena kalau terjadi hal demikian, tentu para pengawal akan datang mengeroyok dan akan mengganggu makannya.
Tukang-tukang masak dan pelayan yang bekerja di dalam dapur itu ada lima orang. Semuanya gemuk-gemuk, karena mereka ini adalah orang-ornag yang setiap hari galang-gulung dengan masakan enak, sehingga banyak juga gajih dan daging memasuki mulut mereka sehingga tubuh mereka menjadi gendut dan gemuk. Mereka bekerja sambil bercakap-cakap gembira, diseling oleh percakapan mengenai Bi Lian. Siapa orangnya yang takkan merasa sayang melihat selir yang demikian cantik jelita membunuh diri"
Tiba-tiba, lima potong benda hitam melayang cepat dari atas tanpa menimbulkan suara dan sungguh aneh sekali. Lima orang tukang masak itu mendadak menjadi kaku seperti mereka telah menjadi patung! Yang memegang mangkok masih tetap berdiri dengan mangkok di tangan, yang memasak masih tetap berdiri di depan api. Bahkan seorang pelayan yang diam-diam mencuri sepotong daging, masih berdiri dengan daging di tangan mendekati mulutnya yang sudah ternganga siap mencaplok daging itu!
Apakah yang terjadi" Ternyata bahwa Ang-bin Sin-kai telah mempergunakan kepandaiannya Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
203 yang luar biasa. Dengan pecahan genteng, dia menyabit lima orang itu dan dengan tepat sekali menotok jalan darah tai-twi-hiat mereka sehingga lima orang itu menjadi kaku dan tak dapat bergerak sama sekali.
Pada saat itu, Ang-bin Sin-kai melayang turun dengan kecepatan seperti seekor burung walet.
Gerakannya sukar diikuti dengan mata dan lima orang itu di dalam kekakuan mereka hanya melihat bayangan besar menyambar turun dan lenyap lagi. Kemudian, kembali lima potong benda hitam menyambar dari atas dan berbareng lima orang itu dapat bergerak kembali!
Mereka saling pandang dengan mata terbelalak.
"Apa yang terjadi?"
"Kenapa tadi semua badanku menjadi kaku?"
"Apakah kau melihat bayangan menyeramkan tadi?"
"Setan! Tentu ada setan yang mengganggu kita"."
Lima orang itu menjadi kacau balau, akan tetapi karena tidak melihat sesuatu, mereka tidak berani membikin ribut, takut kalau mendapat teguran dari atasannya. Sebaliknya, mereka mempercepat pekerjaan mereka agar dapat segera meninggalkan dapur yang luas dan yang kini kelihatan menyeramkan itu. Tak lama kemudian, masakan-masakan pun sudah selesailah.
Pelayan-pelayan dipanggil untuk mengangkut hidangan ke kamar makan kaisar.
"He, mana masakan burung dara?"
"Ah, juga masakan ikan emas telah lenyap!"
"Celaka?" tentu iblis tadi yang mengambilnya"."
"Ssttt, jangan keras-keras! Masih baik dia hanya mengambil masakan, tidak mengambil nyawa kita!"
Dengan cepat, masakan-masakan itu lalu dibawa keluar dan lima orang tukang masak itu bekerja cepat-cepat dengan bulu tengkuk berdiri. Ingin mereka segera pergi dari tempat itu.
Setelah semua orang pergi dan pintu dapur ditutup kembali, dari atas melayang turun tubuh Ang-bin Sin-kai sambil tertawa-tawa. Di kedua tangannya melihat dua mangkok masakan daging burung dara dan daging ikan emas yang lenyap tadi.
"Ha, ha, ha, sekarang aku bisa berpesta. Sayang masakan-masakan ini agak dingin karena dibawa ke atas. Harus dipanaskan dulu!"
Dengan enaknya, dia lalu menyalakan api dan memanaskan dua macam masakan itu.
Kemudian tubuhnya berkelebat keluar dari atas genteng dan sebentar kemudian dia telah datang kembali membawa tiga guci arak wangi yang diambilnya dari gudang minuman! Tak lama kemudian, Ang-bin Sin-kai berpesta-pora, makan minum di dapur itu dengan senang-senangnya.
Ia sama sekali tidak tahu bahwa seorang diantara para tukang masak tadi, yang agak besar nyalinya, menyelinap di balik pintu dan mengintai ke dalam. Ketika dia melihat seorang kakek sedang makan minum, diam-diam dia lalu pergi dari situ dan membuat laporan kepada kepala penjaga.
"Di dalam dapur ada seorang maling".." kata tukang masak itu dengan tubuh gemetar dan mukanya pucat.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
204 "Apa" Mengapa tidak kau tangkap?"
Tukang juru masak yang gemuk itu terbelalak matanya. "Ditangkap" Bagaimana aku bisa menangkapnya" Ia sakti sekali!" Lalu diceritakannya bagaimana dia dan kawan-kawannya telah mengalami hal yang aneh terjadi.
Kepala penjaga ini adalah seorang tua bernama Song Cin atau yang biasa disebut Song-ciangkun. Sesungguhnya dia memang seorang perwira yang sudah banyak berjasa sehingga setelah dia tua, dia ditarik oleh kaisar menjadi kepala pengawal atau penjaga istana. Song Cin memiliki kepandaian silat dan ilmu pedang yang tinggi dan di kalangan kang-ouw, namanya sudah terkenal sekali. Ketika mendengar penuturan tukang masak ini, dia mengerutkan keningnya.
"Apakah dia sudah tua, tingkahnya seperti orang gila dan pakaiannya penuh tambalan?"
tanyanya menegas.
"Betul, betul, Song-ciangkun. Pakaiannya seperti pengemis!"
Song Cin mengangguk-angguk. "Sudahlah, jangan ribut-ribut, kau mengasolah, biar aku membereskan orang itu."
"Song-ciangkun"..apakah"..apakah dia setan penjaga dapur?" Tukang masak itu bertanya.
Song Cin mengangguk. "Betul, dan kau tidak boleh mengganggunya kalau kau sayang nyawamu."
Mendengar ini, tukang masak itu cepat-cepat pergi dan tanpa mencuci tangan lagi, ia lalu merayap ke bawah selimut di dalam kamarnya!
Adapun Song Cin sudah merasa yakin bahwa orang yang mengganggu dapur tentulah Ang-bin Sin-kai. Sudah beberapa kali kakek aneh itu menyerbu dapur dan dia tahu bahwa dia sendiri beserta semua anak buahnya bukanlah lawan bagi Ang-bin Sin-kai. Oleh karena itu, dia langsung menuju ke kamar makan kaisar.
Kaisar tengah duduk makan minum dengan beberapa selirnya dan tidak seperti biasanya, pada waktu itu kaisar tengah menjamu dua orang yang berpakaian seperti panglima perang besar.
Dua orang ini berpakaian seperti panglima perang suku Tajik, sebuah kerajaan yang pada masa itu menjadi besar dan kuat di samping Kerajaan Tibet. Song Cin tahu siapa adanya dua orang panglima ini, karena sore tadi dia sendiri yang menerima mereka dan menghadapkan mereka kepada kaisar. Dua orang panglima-panglima besar dari Kerajaan Tajik yang datang membawa surat dari Panglima An Lu Shan.
Sudah lama bangsa Tajik mengadakan penyerbuan- penyerbuan ke selatan dan kekuatan mereka memang besar sekali. Akan tetapi tiba-tiba setelah An Lu Shan diangkat menjadi panglima di utara oleh kaisar, serbuan-serbuan ini mengecil dan akhirnya, pada hari itu, dua orang panglima bangsa Tajik datang menghadap kaisar membawa surat dari An Lu Shan yang memberi laporan kepada kaisar bahwa bangsa Tajik kini telah menyatakan damai! Dua orang panglima Tajik itu merupakan utusan dari bangsa Tajik untuk memberi penghormatan kepada kaisar.
Tentu saja kabar girang ini diterima oleh Kaisar Hian Tiong dengan gembira sekali. Ia menganggap ini sebagai jasa besar dari An Lu Shan dan untuk menyatakan kegembiraannya, Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
205 dia mengundang makan malam dua orang panglima besar Tajik ini. Oleh karena sedang berpesta gembira tentu saja kaisar mengerutkan kening tanda tidak senang ketika Song Cin datang mengganggunya tanpa dipanggil.
"Song-ciangkun," kata kaisar dengan suara tak senang, "apa keperluanmu menghadap tanpa dipanggil?"
"Mohon beribu ampun kalau hamba mengganggu kesenangan Baginda dan tamu agung," kata Song-ciangkun dengan sikap merendah, "akan tetapi hamba terpaksa melaporkan karena pada saat ini, kembali dapur istana didatangi Ang-bin Sin-kai. Menunggu keputusan Baginda!"
Berubah air muka baginda kaisar mendengar laporan ini. Sungguh aneh, biarpun Song Cin dan kaisar tidak melihatnya, namun muka kedua orang tamu agung Panglima Tajik itu juga berubah dan nampak saling menukar pandang, nampaknya terkejut sekali. Namun kaisar dapat menentramkan hatinya lagi dan tiba-tiba tertawa.
"Bagus! Orang aneh itu menambahkan kegembiraan kami! Song-ciangkun, undang dia baik-baik untuk menemani kami minum arak!"
Song Cin tidak heran mendengar ini, karena memang kaisar mengagumi Ang-bin Sin-kai yang sebetulnya masih kakak dari menteri setia Lu Pin. Akan tetapi dua orang tamu Tajik itu benar-benar nampak terkejut sekali. Setelah memberi hormat, Song-ciangkun lalu mengundurkan diri dan berlari menuju ke dapur istana.
Song Cin mengetuk pintu dapur dan berkata keras,
"Ang-bin Sin-kai Locianpwe, siauwte Song Cin mohon bertemu, membawa perintah hong-siang (raja)!"
"masuklah, Song-ciangkun."
Song Cin masuk dan dia melihat kakek aneh itu masih duduk menghadapi meja sambil minum arak. Cepat dia memberi hormat dan berkata,
"Siauwte membawa titah hong-siang mengundang Locianpwe untuk menemui baginda
minum arak."
Ang-bin Sin-kai tertegun, kemudian tertawa bergelak.
"Bagus, memang masakan di sini kurang lengkap. Baik aku pergi menghadap baginda!"
Sehabis berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan Song Cin hanya merasa angin menyambar dan bayangan berkelebat di sisinya, dan kakek itu telah lenyap! Ia menghela napas dan mengagumi kelihaian kakek itu, kemudian melakukan penjagaan seperti biasa.
Ketika melihat Ang-bin Sin-kai muncul di ambang pintu, baginda kaisar melambaikan tangan sambil tersenyum.
"Mari, mari, Lu-koai-hiap (pendekar aneh she Lu), kau duduklah di sini bersama kami."
Ang-bin Sin-kai menjura tanda menghormat. "Terima kasih, sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa Baginda yang mulia sudi mengundang hamba." Ia tanpa ragu-ragu lagi lalu bertindak maju dan menduduki sebuah bangku kosong, berhadapan dengan dua orang tamu itu. Sepasang matanya memandang tajam sekali sehingga dua orang Tajik itu merasa tidak enak sekali.
"Ha-ha-ha, Jiwi Ciangkun. Perkenalkanlah, ini adalah orang aneh dari timur, di sebut Ang-bin Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
206 Sin-kai. Dan Lu-koai-hiap, dua orang tamu ini adalah panglima-panglima Tajik yang mewakili pemerintahannya menyatakan perdamaian dengan negeri kita."
Ang-bin Sin-kai menerima perkenalan ini dengan sikap dingin saja, kemudian tanpa sungkan-sungkan lagi dia mempergunakan sumpitnya yang panjang untuk menjangkau mangkok-mangkok masakan yang paling enak. Baginda Kaisar tertawa melihat ini dan memberi isyarat kepada pelayan untuk menambah arak.
Biarpun nampaknya bersikap acuh tak acuh, namun diam-diam Ang-bin Sin-kai
memperhatikan gerak-gerik dua orang tamu, panglima-panglima yang bertubuh tinggi besar itu. Tiba-tiba mukanya berubah pucat dan perhatiannya tercurah kepada tangan-tangan kedua orang tamu itu yang memegang sumpit.
Pada saat mereka telah minum kosong cawan arak dan baginda nampak gembira sekali, seorang di antara dua tamu itu mengambil guci arak dengan tangan kanan dan mengisi cawan kosong baginda kaisar. Kemudian dia pun memenuhi cawan Ang-bin Sin-kai dan cawannya sendiri dengan kawannya.
Hamba menyuguhkan secawan arak untuk keselamatan kaisar. Hidup Baginda Kaisar, semoga panjang usianya!" katanya sambil mengangkat cawan araknya. Kaisar Hian Tiong tertawa dan mengangkat cawan araknya, akan tetapi sebelum dia meneguk araknya, tiba-tiba tangan Ang-bin Sin-kai bergerak dan cawan itu terlempar dari tangan baginda!
"Lu-koai-hiap"..!" kaisar menegur marah akan tetapi Ang-bin Sin-kai memandang kepada penyuguh arak itu dengan marah sekali.
"Kalian bukan orang Tajik! Kalian jahanam-jahanam pembunuh, hayo mengaku siapa kalian!" Ang-bin Sin-kai berdiri dan sikapnya mengancam sekali.
Kaisar Hian Tiong pucat dan mengira bahwa pengemis sakti itu sudah menjadi mabuk. Selagi dia hendak menegur, tiba-tiba dua orang tamunya itu menggerakkan tangan dan berkeredepan benda-benda menyambar ke arah kaisar dan Ang-bin Sin-kai. Benda-benda ini adalah pisau-pisau mengkilat, semacam senjata rahasia yang tajam, runcing dan dilemparkan dengan tenaga kuat sekali.
Kaisar memekik kaget dan hendak membuang diri ke belakang untuk mengelak, akan tetapi Ang-bin Sin-kai sudah mendahuluinya, menggerakkan sepasang sumpitnya mengibas, maka runtuhlah empat buah pisau yang menyambar baginda. Adapun empat buah lagi yang menyambar ke arah Ang-bin Sin-kai, dipukul runtuh dengan tangan kirinya!
"Celaka"..!" Seorang di antara dua orang Tajik itu mengeluh, akan tetapi pada saat itu Ang-bin Sin-kai telah melompat dan tubuhnya menyambar ke arah penyuguh arak dengan sepasang sumpit menusuk matanya!
Panglima Tajik itu cepat mengelak, akan tetapi sumpit di tangan Ang-bin Sin-kai seakan-akan bermata, karena sumpit itu mengejar terus dan akhirnya terdengar jerit mengerikan ketika sepasang sumpit daging itu menancap pada mata panglima yang tadi menyuguhkan arak kepada kaisar! Tubuhnya terguling dan dia berkelojotan. Tiba-tiba menyambar pisau-pisau terbang dan kali ini pisau-pisau itu mengenai tubuh orang yang sudah terluka matanya ini, menancap di ulu hati dan leher sehingga orang itu seketika tewas tanpa dapat bersambat lagi.
Orang Tajik ke dua itulah yang melepas pisau membunuh kawannya sendiri dan kini tubuhnya berkelebat lari ke arah pintu.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
207 "Bangsat hina, hendak lari ke mana?" Ang-bin Sin-kai melompat mengejar akan tetapi penjahat itu gerakannya benar-benar cepat sekali sehingga sebentar saja dia telah melompat ke atas genteng. Namun, mana Ang-bin Sin-kai mau memberi hati kepadanya" Kakek sakti ini pun melompat dan mengejar terus dengan kecepatan melebihi anak panah.
Kaisar Hian Tiong menepuk tangan memberi tanda kepada para penjaga dan ramailah keadaan di situ tak lama kemudian, ruangan itu penuh dengan para penjaga dan pengawal kaisar. Song Cin mengepalai para penjaga untuk melakukan pengejaran pula dan dia sendiri lalu melompat ke atas genteng mengejar Ang-bin Sin-kai yang masih berlari-lari menyusul tamu Tajik tadi.
"Bangsat pengkhianat, kau hendak lari kemana?" Ang-bin Sin-kai berseru keras, tangan kanannya menjangkau ke depan hendak mencekik tengkuk penjahat. Karena merasa tiada gunanya melarikan diri dari kakek sakti itu, penjahat ini tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan kedua tangannya terayun, delapan buah pisau terbang menyambar kepada Ang-bin Sin-kai.
Boleh jadi kepandaiannya melempar pisau terbang itu untuk orang lain amat berbahaya, akan tetapi terhadap Ang-bin Sin-kai, serangan ini tiada bedanya dengan permainan kanak-kanak belaka. Dengan menggerakkan kedua tangannya, delapan pisau itu telah tertangkap semua oleh Ang-bin Sin-kai!
Penjahat itu terbelalak memandang kehebatan lawannya ini dan dia lalu berlaku nekat. Ketika Ang-bin Sin-kai menubruk, tubuh penjahat itu tanpa sebab telah terpelanting jatuh dan menggelundung di atas genteng. Ang-bin Sin-kai merasa heran dan cepat menyambar tubuh orang yang akan jatuh ke bawah itu, karena dia ingin menangkapnya hidup-hidup untuk ditanyai keterangan. Akan tetapi ternyata bahwa orang itu telah mati dengan sebatang pisau menancap di ulu hatinya!
Melihat kedatangan Song Cin, Ang-bin Sin-kai lalu melemparkan tubuh penjahat yang sudah menjadi mayat itu kepada kepala penjaga ini, kemudian dia berlari kembali ke ruang makan.
Ternyata bahwa penjahat yang pertama juga sudah mati.
"Lu-koai-siap, bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka bukan orang Tajik dan mereka mengandung maksud tidak baik kepada kami?" tanya kaisar kepada Ang-bin Sin-kai.
Kakek ini tersenyum. "Mudah saja. Ketika tadi hamba makan bersama mereka, hamba melihat cara mereka memegang sumpit tidak seperti kebiasaan orang-orang Tajik yang hamba ketahui baik-baik. Sumpit ke dua mereka pegang antara ibu jari dan telunjuk seperti cara kita, sedangkan kebiasaan orang-orang Tajik memegang sumpit ke dua di antara telunjuk dan jari tengah. Kemudian, ketika penyuguh arak tadi menuangkan arak dari guci ke cawan Paduka, hamba ada melihat dia melepaskan bubuk putih secara pandai dan tidak kentara, maka tahulah hamba bahwa dia mencampuri racun ke dalam arak itu dan hamba segera bertindak mencegah Paduka meminumnya."
Kaisar mengangguk-angguk. "Sungguh heran sekali mengapa mereka bisa membawa surat dari An-ciangkun!"
"Hm, kalau hamba yang mengurus perkara ini, akan hamba selidiki keadaan An Lu Shan itu!
Paduka terlampau banyak mencari hiburan dan kesenangan sehingga lalai memperhatikan keadaan para petugas. Juga kematian selir Paduka belum lama ini, adalah akibat dari kelalaian Paduka sendiri. Maafkan kelancangan hamba ini, akan tetapi hamba hanya mau membuka mulut bukan semata untuk mencela, melainkan demi kebaikan Paduka dan negara! Sekarang ijinkanlah hamba pergi!" Tanpa menanti ijin dari kaisar, Ang-bin Sin-kai berkelebat dan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
208 lenyap dari situ.
Akan tetapi pada keesokan harinya, datang serombongan perwira utusan An Lu Shan yang menyatakan bahwa cap kebesaran An Lu Shan telah tercuri orang dan bahwa kini panglima itu minta cap baru dari kaisar. Pemberitahuan ini dilakukan karena khawatir kalau-kalau cap yang lenyap itu disalahgunakan oleh orang lain! Dengan adanya pemberitahuan ini, lenyaplah semua kecurigaan kaisar terhadap diri An Lu Shan dan inilah kesalahan kaisar. Kalau saja dia menyuruh orang menyelidiki lebih teliti, tentu akan diketahuinya bahwa memang diam-diam An Lu Shan mempunyai cita-cita memberontak dan dua orang yang mengaku sebagai
perwira-perwira Tajik itu sebenarnya adalah kaki tangannya yang diberi tugas untuk membunuh kaisar!
*** Kita ikuti perjalanan Lu Kwan Cu, bocah gundul yang diculik Kiu-bwe Coa-li. Biarpun dia merasa dongkol sekali atas perbuatan Kiu-bwe Coa-li terhadap dirinya namun berada di dekat Sui Ceng yang bicara dengan lucu dan menghibur dengan kata-kata membesarkan hati, Kwan Cu berlaku tenang dan mulai memutar otaknya. Ia dapat menduga apa maksud wanita sakti itu menculiknya. Tentu ada hubungannya dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pikirnya.
Kalau tidak untuk kitab itu, apa perlunya Kiu-bwe Coa-li menculiknya.
Tak lama kemudian setelah Bun Sui Ceng menggendong dan meletakkannya di pinggir hutan, datanglah Kiu-bwe Coa-li dan sekali menepukkan tangannya ke pundak Kwan Cu, bocah gundul ini terbebas dari totokannya. Diam-diam Kiu-bwe Coa-li memuji anak ini, karena begitu terbebas, Kwan Cu sudah lantas melompat berdiri, seakan-akan tak terpengaruh sama sekali oleh bekas totokannya itu. Padahal, untuk orang biasa, kalau habis mengalami pengaruh totokannya, tentu sampai beberapa lama akan menjadi kaku tubuhnya dan setelah digerak-gerakkan beberapa kali baru dapat bergerak seperti biasa. Akan tetapi anak ini begitu terbebas, lantas saja melompat berdiri.
"Suthai, kau benar-benar keterlaluan sekali!" Dengan mata bersinar marah Kwan Cu menegur Kiu-bwe Coa-li! "Kalau ada keperluan dengan aku, mengapa tidak bertanya dengan baik-baik saja" Akan tetapi kau tiba-tiba menyerang dan menculik, apakah perbuatan ini boleh dibuat bangga?"
Untuk sejenak Kiu-bwe Coa-li memandang bengong. Belum pernah ada orang berani
menegurnya seperti itu! Kemudian timbul marahnya.
"Anak setan, kau berani menegurku?" Tangan kirinya bergerak dan ujung lengan bajunya yang panjang menyambar ke arah pipi Kwan Cu.
"Plak!" Kwan Cu merasa seakan-akan kepalanya disambar petir dan dia roboh berguling-guling, kemudian dia melompat dengan berdiri pula dengan tegak, sedikit pun tidak takut.
Juga rasa sakit tadi hanya di pipi saja dan sekarang tidak terasa lagi.
"Kiu-bwe Coa-li, nama besar yang sering kali kudengar dipuji-puji oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, belum pernah aku mendengar bahwa tokoh besar ini hanya mempunyai kesukaan memukul anak kecil yang tak mampu melawan!"
Mendengar ucapan ini, Kiu-bwe Coa-li menjadi merah dan sepasang matanya memancar sinar yang aneh sekali. Memang benar-benar hebat sekali keberanian Kwan Cu, tidak saja menegur, bahkan kini dia mencela tokoh besar yang ditakuti oleh semua orang gagah di dunia kang-Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
209 ouw ini! "Bocah setan penipu busuk!" Kiu-bwe Coa-li memaki sambil melompat maju, kedua
tangannya menggigil dalam nafsunya hendak menghancurkan mulut kecil yang berani mencelanya itu. "Tidak kuhancurkan kepalamujuga sudah untung kau! Kau telah berani menipuku kemudian menegur, dan sekarang mencela! Berapa banyak sih cadangan nyawamu maka berani main gila memutar lidah?"
Pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li menggigil dan Sui Ceng memandang dengan khawatir sekali.
Gurunya ini memang baik, akan tetapi kalau sudah marah agaknya tidak ada iblis yang dapat melebihi keganasannya! Maka ia tahu bahwa kali ini nyawa Kwan Cu takkan tertolong lagi.
Cepat ia melompat maju ke depan gurunya dan berkata,
"Suthai, harap jangan bunuh Kwan Cu. Teecu kasihan kepadanya, lagi pula, kalau dia mati, siapa yang akan dapat menunjukkan di mana adanya Im-yang Bu-tek Cin-keng?"
Mendengar ini, cambuk yang sudah diangkat tadi turun kembali dan Sui Ceng bernapas lega.
Akan tetapi, alangkah kagetnya anak perempuan ini ketika tiba-tiba dia mendengar isak tangis dan ternyata bahwa Kwan Cu telah duduk di atas tanah sambil menutup mukanya, menangis!
Tentu saja Kiu-bwe Coa-li menjadi terheran, bahkan Sui Ceng sendiri pun merasa heran sekali atas sikap Kwan Cu. Dipukul, dimaki, dihina tidak pernah meruntuhkan air mata, sekarang tiada hujan tiada angin menangis sedih! Memang hal ini aneh sekali, karena tidak biasanya Kwan Cu menangis. Anak ini berhati keras dan berani, bersemangat baja sehingga baginya merupakan pantangan untuk mengeluarkan air mata apalagi air mata karena takut atau bingung. Akan tetapi, pada saat itu, hatinya merasa amat terharu dan berduka.
Kwan Cu masih merasakan kasih sayang yang diberikan oleh Loan Eng kepadanya, dan kepada nyonya itu dia sudah menganggap seperti ibunya sendiri. Tadinya dia pun sudah merasa hancur hatinya mendengar betapa Pek-cilan Thio Loan Eng dan suaminya terbunuh orang, akan tetapi dia masih dapat menahan kedukaan hatinya. Kini, tiba-tiba dia melihat Sui Ceng bersikap membela dan berkasihan kepadanya, maka tak dapat ditahan lagi Kwan Cu teringat akan kebaikan dan cinta kasih ibu anak ini terhadap dia dan keharuan besar karena sikap manis Sui Ceng membuat dia terisak-isak!
Sui Ceng menjadi gelisah sekali dan bingung melihat bocah gundul itu menangis begitu sedihnya. Ia khawatir kalau-kalau pukulan tangan gurunya tadi telah membuat otak Kwan Cu menjadi rusak dan atau miring! Ia cukup maklum akan keganasan dan kehebatan tangan gurunya kalau memukul. Sui Cneg maju mendekat dan mengulurkan tangan untuk meraba kepala Kwan Cu yang gundul, untuk melihat apakah kepala itu panas. Ternyata tidak terasa panas dan tidak apa-apa!
"Sui Ceng, apa kau mengira bocah ini gila?" Kiu-be Coa-li berkata dan hampir tak dapat menahan senyumnya saking geli melihat perbuatan Sui Ceng. Akan tetapi Sui Ceng seperti tidak mendengar ucapan gurunya, bahkan lalu bertanya kepada Kwan Cu dengan suara halus,
"Kwan Cu, apamukah yang sakit" Mengapa kau menangis begitu sedih" Sudahlah, Kwan Cu, untuk apa menangis terus" Hidup sesungguhnya dipikir-pikir tidak begitu menyedihkan!"
anak perempuan yang masih kecil ini dalam usahanya menghibur Kwan Cu, mengeluarkan kata-kata yang lucu.
Mendengar ini, Kwan Cu mengangkat mukanya. Dengan kekerasan hatinya dia telah dapat menahan air matanya dan kini dia berkata perlahan,
"Sui Ceng, aku tidak menyedihkan sesuatu, hanya merasa sakit hatiku kalau teringat akan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
210 kematian ibumu. Aku harus membalas dendamnya, biar aku akan berkorban nyawaku yang tak berharga!"
Ketika mendengar ucapan Kwan Cu ini, tiba-tiba Sui Ceng mengeluh dan anak perempuan inilah yang sekarang menangis sedih, tersedu-sedu menutupi muka dengan kedua tangannya!
Sekarang Kwan Cu yang memegang pundaknya dan menghibur, seperti seorang kakak kepada adiknya.
"Siauw-pangcu, jangan menangis. Tak pantas seorang ketua perkumpulan besar seperti engkau meruntuhkan air mata!" kata Kwan Cu.
Seketika keringlah air mata di mata Sui Ceng yang bening. Ia memandang Kwan Cu dan kini wajahnya berseri.
"Kau benar! Aku harus seperti mendiang ayahku. Aku akan menahan derita ini dengan tabah dan sebagai seorang Siauw-pangcu (ketua cilik), aku tak boleh menangis. Akan tetapi, bukan kau yang berhak membalaskan sakit hati ibuku, Kwan Cu. Kedua tanganku sendiri yang akan menghancurkan kepala Toat-beng Hui-houw!" Setelah berkata demikian, Sui Ceng bangkit berdiri sambil mengepalkan kedua tangannya yang kecil.
"Cukup semua itu, Sui Ceng! Apa sih sukarnya mencari dan membunuh Toat-beng Hui-houw" Jangan bersikap lemah seperti bukan muridku saja! Hayo lekas kauceritakan, Kwan Cu. Di mana adanya kitab aseli Im-yang Bu-tek Cin-keng" Awas, jangan kau membohong, karena sekali kau membohong, kepalamu akan hancur oleh cambukku dan pinni tak mau mengampunimu lagi, biarpun Sui Ceng sayang kepadamu."
Mendengar disebutnya tentang Sui Ceng sayang kepadanya, Kwan Cu menoleh kepada anak perempuan itu dan berkata mesra dan wajah berseri lalu mengangguk-anggukkan kepala yang gundul,
"Sui Ceng memang manis dan baik sekali, seperti ibunya".."
"Bocah gundul jangan nyeleweng. Jawab pertanyaanku!" bentak Kiu-bwe Coa-li tidak sabar.
Kwan Cu memandang kepada wanita sakti itu, sama sekali tidak nampak takut.
Sambil menahan kegemasannya, Kiu-bwe Coa-li berkata, "Di mana adanya kitab aseli Im-yang Bu-tek Cin-keng?"
"Kalau begitu pertanyaan Suthai, teecu tidak bisa menjawab karena memang teecu sendiri tidak tahu di mana adanya kitab aseli Im-yang Bu-tek Cin-keng." Suara anak ini terdengar tegas, sepasang matanya memandang jujur dan tabah, maka kecillah hati Kiu-bwe Coa-li.
Tadinya dia mengharapkan akan mendengar petunjuk anak gundul itu untuk mendapatkan kitab pelajaran ilmu silat yang diidam-idamkannya semenjak lama sekali. Akan tetapi mendengar jawaban Kwan Cu, ia tahu bahwa anak ini tidak membohong dan kecewalah hatinya.
Setalah menentang pandang mata anak gundul itu seketika lamanya, Kiu-bwe Coa-li berkata,
"Aku mau percaya omonganmu. Akan tetapi, kau dan gurumu mencari apakah di Bukit Liang-san?"
Tertegunlah Kwan Cu mendengar pertanyaan ini.
"Eh, eh, eh, bagaimana Suthai dapat saja mengerti dan tahu akan segala gerakan teecu dan suhu" Apakah Suthai selama ini mengikuti kami dan diam-diam menyelidiki segala kelakuan kami?"
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
211 Sepasang mata Kiu-bwe Coa-li bernyala lagi dan tangannya sudah gatal-gatal untuk menampar kepala gundul yang bicaranya selalu menusuk dan mengganggu hatinya itu.
"Kwan Cu, jawablah sebenarnya saja kepada Suthai," Sui Ceng memberi nasihat karena gadis cilik ini merasa khawatir kalau-kalau gurunya akan marah dan menyiksa Kwan Cu lagi.
Senang hati Kwan Cu mendengar kata-kata Sui Ceng ini. Betapapun juga di dunia ini masih ada orang-orang yang menaruh hati kasihan kepadanya. Ia lalu memandang sepasang matanya yang
lebar kepada Kiu-bwe Coa-li dan berkata.
"Suthai, agaknya tak perlu pula kusembunyikan lebih lama lagi. Pertama-tama karena Suthai amat bernafsu untuk mendapatkan tempat di mana disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dan kedua karena agaknya teecu memang tidak bernasib baik untuk mendapatkan kitab itu. Ketahuilah bahwa teecu mengajak suhu ke Liang-san, karena teecu hendak mencari kitab sejarah peninggalan guru teecu mendiang Gui-siucai. Kitab sejarah itu ternyata telah dicuri orang!"
"Hm, jangan bicara kacau-balau! Apa perlunya kau menceritakan tentang kitab sejarah" Apa hubungannya dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?"
"Sesungguhnya, kalau orang hendak mencari di mana adanya kitab rahasia yang diperebutkan itu, orang harus membaca kitab sejarah peninggalan Gui-siucai, karena di situ terdapat petunjuk-petunjuk tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng."
Kiu-bwe Coa-li nampak bernafsu lagi. "Begitukah" Siapa yang telah mencuri kitab sejarah itu" Hayo katakan cepat!"
"Hal ini teecu dan suhu sedang menyelidiki pula. Menurut penuturan orang dusun di lereng Liang-san, yang datang adalah hwesio gundul gemuk sekali bersama muridnya, dan teecu sendiri ketika berada di lereng, juga melihat bayangan mereka. Agaknya, tidak salah lagi yang mencuri itu tentulah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu bersama muridnya. Kalau bukan mereka, siapa lagi?"
Kiu-bwe Coa-li menyumpah-nyumpah. "Keparat gundul!"
"Eh, mengapa Suthai memaki teecu" Apa salahku?"
"Tolol! Bukan kau yang kumaki. Melainkan Jeng-kin-jiu!"
Sui Ceng tertawa. "Kwan Cu, kau kira di dunia ini hanya kau sendiri yang gundul?" Memang Sui Ceng mempunyai watak jenaka, di mana saja ada kesempatan, dia selalu memperlihatkan wataknya ini. Kwan Cu juga tersenyum mendengar godaan ini.
"Kwan Cu, sekali lagi jelaskan, benar-benarkah di dalam kitab sejarah itu adanya petunjuk-petunjuk tentang tempat tersimpannya Im-yang Bu-tek Cin-keng" Kau tidak bohong?" tanya Kiu-bwe Coa-li, sekarang suaranya tidak begitu galak lagi.
"Teecu bersumpah bahwa demikianlah yang teecu dengar dari mendiang Gui-sianseng. Betul tidaknya, bagaimana teecu bisa memastikannya kalau teecu sendiri belum pernah melihat Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
212 kitab sejarah itu" Sebelum Gui-sianseng meninggal dunia, dia pernah meninggalkan pesan kepada teecu untuk mencari kitab itu dan kemudian menurut petunjuk ini mencari tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi, sekarang teecu tidak bernafsu lagi untuk mendapatkan kitab aneh itu."
"Mengapa?" Kiu-bwe Coa-li memandang tajam.
"Karena menurut mendiang Gui-sianseng, Im-yang Bu-tek Cin-keng disimpan di sebuah pulau kosong yang sukar sekali didatangi orang. Sekarang orang-orang gagah di seluruh dunia yang berkepandaian tinggi seperti Suthai sendiri dan yang lain-lain, sudah turun tangan memperebutkan kitab itu. Bagaimana seorang bodoh seperti teecu ada harapan" Tidak, teecu tidak begitu bodoh untuk membuang waktu memperebutkan kitab yang belum tentu berguna bagi teecu sendiri."
"Bagus, memang sebaiknya kau jangan membuang nyawamu untuk mencarinya. Lebih baik kau membantu aku mencarinya. Hayo kita menyusul si gundul Jeng-kin-jiu ke kota raja!"
Demikianlah Kiu-bwe Coa-li membawa Kwan Cu dan Sui Ceng menuju ke kota raja. Akan tetapi karena wanita sakti ini maklum bahwa Ang-bin Sin-kai tentu takkan tinggal diam dan tentu berusaha mencari muridnya, maka ia mengambil jalan memutar melalui hutan-hutan besar agar jangan sampai bertemu dengan Ang-bin Sin-kai. Bukan sekali-kali Kiu-bwe Coa-li takut menghadapi pengemis sakti itu, melainkan ia tidak ingin usahanya mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng terganggu. Kalau ia sudah mendapatkan kitab itu, ia takkan peduli siapapun juga akan mengganggunya. Ia sedang mencari kitab sejarah yang menurut Kwan Cu dicuri oleh Jeng-kin-jiu. Sedangkan menghadapi Jeng-kin-jiu seorang pun sudah merupakan hal yang tidak boleh dipandang ringan, apalagi kalau harus ditambah gangguan dari Ang-bin Sin-kai!
Karena itulah maka biarpun Ang-bin Sin-kai melakukan perjalanan cepat, pengemis sakti ini tidak bertemu dengan muridnya yang diculik oleh Kiu-bwe Coa-li.
Pada suatu hari, Kiu-bwe Coa-li mengajak dua orang anak itu berhenti di sebuah hutan yang luas. Kiu-bwe Coa-li adalah seorang wanita sakti yang memiliki kesenangan aneh sekali, yakni mancing ikan! Dan di dalam hutan itu terdapat sebuah telaga, terdengar suara air bercipakan dan nampak perut-perut ikan mengkilap ketika ikan-ikan itu bercanda dan timbul di permukaan air. Melihat ini, tak dapat ditahan lagi keinginan Kiu-bwe Coa-li untuk memancing! Kesenangan ini bukan karena Kiu-bwe Coa-li terlalu doyan makan daging ikan, sama sekali bukan. Ia senang memancing karena kesenangan atau kenikmatan yang hanya dapat dirasa oleh para pemancing ikan, yakni kesenangan yang dirasa pada saat pancing atau kail digondol ikan. Ketegangan, harapan dan kepuasan terasa di dalam hati apabila ujung kail disambar ikan.
Kiu-bwe Coa-li membuat gagang pancing dari ranting bambu dan tak lama kemudian kaki wanita sakti ini duduk di atas sebuah batu besar di pinggir telaga, memegang gagang pancing, diam tak bergerak dan sama sekali lupa akan keadaan sekelilingnya, tidak mempedulikan pula kepada Sui Ceng dan Kwan Cu.
Dua orang anak itu menjadi bosan juga menunggui wanita itu memancing ikan, maka keduanya lalu pergi berjalan-jalan di dalam hutan. Sui Ceng paling suka akan kembang-kembang indah, maka ia mengajak Kwan Cu mencari bunga-bunga yang banyak tumbuh di dalam hutan. Mereka berjalan-jalan sambil bercakap-cakap.
Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
213 "Lihat, Sui Ceng?". Di sana ada bunga cilan!" tiba-tiba Kan Cu berseru girang sambil menudingkan telunjuknya ke arah serumpun pohon bunga cilan. Akan tetapi kegembiraan hati Kwan Cu segera lenyap dan mukanya menjadi menyesal sekali ketika dia melihat wajah Sui Ceng. Gadis cilik ini menjadi pucat sekali dan berdiri seperti patung, sedangkan sekelompok bunga yang tadi dipetik dan dipegangnya, tak terasa pula jatuh ke atas tanah.
"Aduh, maaf?"Sui Ceng".. maafkan aku. Aku tidak sengaja mengingatkan kau".." kata Kwan Cu sambil memegang tangan Sui Ceng dan seperti seorang kakak yang menghibur adiknya, Kwan Cu menggunakan tangan untuk menghapus air mata yang mengalir di pipi Sui Ceng!
"Sudahlah, Sui Ceng, tak perlu disedihkan selalu kematian ibumu. Aku bersumpah akan mencari dan memecahkan kepala Toat-beng Hui-houw manusia jahanam itu untuk membalas sakit hati ibumu!" Kwan Cu tahu bahwa tentu Sui Ceng teringat kepada ibunya ketika melihat bunga cilan, karena ibunya sangat suka akan bunga ini, bahkan ibunya mendapat julukan Pek-cilan (Bunga Cilan Putih) karena seringkali memakai bunga cilan sebagai penghias rambutnya.
"Apa yang kau katakan?" Sui Ceng membelalakkan kedua matanya memandang kepada
Kwan Cu seperti orang marah. "Keparat jahanam Toat-beng Hui-houw tidak boleh dibikin mampus oleh orang lain. Aku sendiri yang akan membelek dadanya, mengeluarkan
jantungnya dan memenggal kepalanya untuk kupergunakan sembahyang kepada ibu!"
"Ha, ha, ha, ha, ha! Dua ekor anak domba berdaging empuk bersombong hendak membunuh seekor harimau jantan. Ha, ha, ha!" tiba-tiba terdengar suara ketawa. Suara ini demikian menyeramkan, besar dan serak sehingga Kwan Cu dan Sui Ceng terkejut bukan main. Kedua orang anak ini cepat menengok dan alangkah terkejut hati mereka ketika di hadapan mereka telah berdiri seorang kakek yang bentuk tubuh dan wajahnya aneh sekali. Apalagi Sui Ceng yang mengenal kakek ini, wajahnya menjadi pucat seketika. Kakek ini tubuhnya agak bongkok, kepala penuh cambang bauk berwarna putih danyang mengerikan adalah kedua tangannya karena sepuluh jari tangannya berkuku panjang melengkung seperti cakar harimau.
Adapun kedua kakinya telanjang sama sekali.
"Toat-beng Hui-houw"..!" seru Sui Ceng yang pernah bertemu dengan siluman ini.
Mendengar disebutnya nama ini, serentak Kwan Cu mengepal tinju dan memandang dengan mata marah. Sama sekali dia tidak menjadi takut lagi melihat wajah yang menyeramkan itu.
Jadi inikah pembunuh dari Pek-cilan Thio Loan Eng"
Kembali Toat-beng Hui-houw tertawa bergelak.
"Bocah gundul jelek! Kau tadi bilang mau memecahkan kepala Toat-beng Hui-houw" Ha, ha, ha! Akulah yang akan memecahkan kepalamu dan kumakan otakmu yang kental membeku!
Dan kau?". kuncup bunga yang cantik, jantungmu tentu empuk dan darahmu hangat manis, lebih hangat dan lebih manis daripada darah ibumu. Ha, ha, ha!"
Sui Ceng dan Kwan Cu yang sudah tak dapat menahan kemarahannya pula, telah maju berbareng dan menyerang dengan pukulan mereka yang biarpun dilakukan oleh lengan tangan kecil, namun mendatangkan angin pukulan yang hebat juga. Melihat gerakan ini, Toat-beng Hui-houw menjadi gembira sekali.
"Anak-anak baik".. bertulang bersih"..ha, ha, ha!" Ia lalu mainkan ilmu silatnya dengan Pendekar Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
214 cepat, mempergunakan sepasang tangannya yang berkuku panjang untuk menangkap tangan kedua anak itu yang menyerang.
Akan tetapi, baik Sui Ceng maupun Kwan Cu adalah murid-murid orang pandai, maka mereka tidak main seruduk saja dan dalam ilmu silat mereka telah mendapat latihan dasar yang tinggi. Melihat bentuk kuku dan gerakan tangan manusia yang seperti iblis itu, mereka tidak membiarkan tangan mereka terpegang dan keduanya mempergunakan ginkang untuk bergerak ke sana ke mari menjauhi jangkauan tangan lawan sambil menyerang ke arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan lemah.
Namun kedua orang anak ini masih terlalu muda dan tenaga mereka kurang kuat. Biarpun sudah dua kali Kwan Cu berhasil mempergunakan ilmu pukulan dari Ilmu Silat Pai-bun-tui-pek-to dan menghantam lambung Toat-beng Hui-houw, namun pukulannya yang keras dan mengandung tenaga lweekang itu seakan-akan mengenai benda dari karet saja dan terpental kembali membuat tubuhnya sendiri terhuyung-huyung! Juga Toat-beng Hui-houw terkejut sekali karena pukulan anak ini antep sekali. Baiknya dia telah menduga bahwa mereka ini adalah murid-murid orang pandai, maka siang-siang dia telah mengerahkan lweekang di tubuhnya ketika menerima pukulan-pukulan yang cepat itu sehingga dia dapat menolak pukulan itu dan tidak menderita luka.
Juga Sui Ceng memperlihatkan kecepatannya. Pernah dua jarinya menotok jalan darah di punggung kakek ini, namun ternyata bahwa jarinya mengenai kulit lemas dan daging yang tak berurat. Ia kaget dan maklum bahwa kakek seperti iblis ini telah mempergunakan Ilmu Pi-ki-hu-hiat (Menutup Hawa Melindung Jalan Darah) sehingga totokannya itu gagal sama sekali.
Namun Sui Ceng benar-benar memiliki gerakan seperti burung walet cepatnya. Tangannya yang kecil itu meluncur laksana seekor ular dan tahu-tahu dua jarinya dipentang dan menusuk sepasang mata Toat-beng Hui-houw!
Harimau Terbang Pencabut Nyawa ini mengeluakan seruan tertahan. Hebat sekali serangan anak perempuan ini, karena apabila matanya terkena tusukan jari tangan, tentu dia akan menjadi buta. Maka dia cepat melompat ke atas untuk menghindarkan tusukan ke arah matanya. Tidak tahunya Sui Ceng benar-benar cerdik sekali. Ketika tangannya tidak berhasil menusuk mata lawan yang melompat tinggi, cepat ia menjambret jenggot dan membetot dengan gentakan keras.
Anak Berandalan 4 Bara Naga Karya Yin Yong Peristiwa Burung Kenari 9

Cari Blog Ini