Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti Suling Pualam 18

Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 18


nafas panjang. "Aku ingin hidup tenang di kampung halaman,
namun engkau harus ingat satu hal "
"Hal apa?" tanya Ma Giok Ceng heran. "Kwee Teng An
memang tampan, tapi engkau tidak boleh tertarik kepadanya,
sebab dia berhati licik dan jahat."
"Oh?" Ma Giok Ceng tersentak. "Darimana guru bisa tahu
itu?" "Aku melihat pancaran sinar matanya, maka engkau harus
berhati-hati!" pesan Liok Lam Sun. baiklah, aku mau mohon
diri, selamat tinggal!"
-oo0dw0oo- Jilid : 14 "Guru...." Ma Giok Ceng mulai terisak-isak. Ia mengantar
gurunya ke depan, justru bertemu dengan Kwee Teng An.
Pemuda mata keranjang ini langsung tertarik kepada Ma Giok
Ceng. "Menteri Ma!" Liok Lam Sun berpamit. "Selamat tinggal!"
"Lam Sun!" Menteri Ma menatapnya. "Engkau telah
mengambil uang?"
"Sudah, terimakasih!" ucap Liok Lam Sun, kemudian
tersenyum kepada Kwee Teng An seraya berkata, "Anak
muda, sampai jumpa!"
"Selamat jalan, cianpwce!" sahut Kwee Teng An sambil
tersenyum. "Jangan sakit hati ya!"
"Ha ha ha!" Liok Lam Sun tertawa gelak. seharusnya aku
berterimakasih kepadamu, karena aku bisa pulang ke
kampung halaman."
"Guru...!" panggil Ma Giok Ceng dengan air mata berlinanglinang.
"Kapan Guru akan kembali menengokku?"
"Giok Ceng!" Liok Lam Sun menggeleng gelengkan kepala.
"Aku tidak akan kembali lagi baik-baiklah engkau menjaga diri!
Selamat tinggal!"
"Guru...."
"Liok Lam Sun tersenyum, lalu berjalan pergi tanpa
menoleh lagi. Sedangkan Ma Giok Cen terus menangis terisakisak.
"Nak!" panggil menteri Ma. "Jangan menangii mari ayah
perkenalkan, dia adalah Kwee Teng An, kepala pengawal baru
di sini!" "Ng!" Ma Giok Ceng manggut-manggut.
"Nona Ma," ucap Kwee Teng An sopan sambil memberi
hormat. "Terimalah hormatku!"
"Maaf!" sahut Ma Giok Ceng sambil berjalan masuk, sama
sekali tidak meladeninya.
Kwee Teng An tidak tersinggung, malah tersenyum-senym.
Sedangan Menteri Ma menggeleng-gelengkan kepala.
"Teng An, jangan tersinggung! Mungkin dia sedih berpisah
dengan gurunya, lagi pula... dia memang manja." katanya.
"Tidak apa-apa." Kwee Teng An mengangguk mengerti.
"Aku tidak tersinggung, sungguh!"
"Bagus! Bagus! Engkau memang pemuda sabar! Ha ha ha!"
Menteri Ma tertawa gembira Kemudian ia bertepuk tangan tiga
kali dan munculah seorang pembantu wanita.
"Tuan Besar memanggil hamba?"
"Antar kepala pengawal ini ke kamar Liok Lam Sun. Mulai
sekarang ia tinggal di kamar itu."
"Ya." Pembantu wanita itu mengangguk, lalu berkata
kepada Kwee Teng An. "Tuan, mari ikut aku ke dalam!"
"Ng!" Kwee Teng An manggut-manggut, kemudian
memberi hormat kepada menteri Ma. "Hamba mohon diri!"
"Silakan, silakan!" sahut menteri Ma dan berpesan, "Apabila
engkau membutuhkan apa-apa mruh saja para pembantu!"
"Terimakasih, Tuan Besar!" Kwee Teng An memberi hormat
lagi, dan setelah itu barulah mengikuti pembantu wanita itu ke
dalam. Berselang sesaat, pembantu wanita itu ber-henti di depan
sebuah kamar. "Tuan, ini kamar Tuan." katanya, kemudian mendorong
pintu kamar tesebut. "Silahkan masuk!"
"Terimakasih!" ucap Kwee Teng An sekaligus melangkah ke
dalam. Ia menengok ke sana ke mari dan manggut-manggut
puas. "Tuan!" Pembantu wanita itu memberitahukan, "Aku adalah
kepala pembantu wanita di sini. Kalau Tuan membutuhkan
apa-apa, beritahukan saja!'
"Baik." Kwee Teng An manggut-manggut.
"Tuan masih muda, tapi kepandaian Tuan tinggi sekali,"
ujar kepala pembantu wanita kagum.
"Oh?" Kwee Teng An tersenyum.
"Tuan...." Kepala pembantu wanita itu tampak serius.
"Selain aku sudah berusia empat puluhan para pembantu
wanita lain muda-muda semua. Bahkan... cantik-cantik pula."
"Oh, ya?" Wajah Kwee Teng An langsung berseri.
"Pokoknya aku akan menyuruh pembantu yang cantik ke
mari melayani Tuan," ujar kepala pembantu wanita itu sambil
tertawa kecil. "Tuan pesan minuman apa buah-buahan?"
"Tolong ambilkan buah-buahan dan arak wangi!" sahut
Kwee Teng An. "Baik." Kepala pembantu wanita itu mengangguk, lalu
segera meninggalkan kamar itu.
Kwee Teng An menutup pintu kamar, duduk dengan wajah
berseri-seri penuh kegembiraaan. Ia sama sekali tidak
menyangka kalau dirinya akan menjadi kepala pengawal di
rumah menteri Ma. Ia merasa beruntung dan akan hidup
senang, bahkan diam-diam telah mempunyai suatu rencana.
Tiba-tiba dia tersentak, ternyata mendengar suara ketukan
pintu. "Siapa?" sahutnya.
"Pembantu wanita yang mengantar minum dan buahbuahan."
Terdengar suara sahutan merdu di luar.
"Masuklah, pintu tidak dikunci," ujar Kwee Teng An.
Pintu kamar terbuka. Tampak dua orang gadis cantik
melangkah masuk dengan membawa arak wangi dan buahbuahan.
"Tuan, kami bawakan arak wangi dan buah-buahan," ujar
salah seorang dari mereka sambil insenyum manis.
"Ha ha ha!" Kwee Teng An tertawa gembira. "Taruh saja di
atas meja!"
Kedua gadis itu mengangguk, lalu menaruh arak wangi dan
buah-buahan itu di atas meja. "Tuan mau pesan apa lagi?"
tanya gadis itu.
"Bolehkah aku tahu nama kalian?" Kwee Teng An
memandang sambil tersenyum-senyum.
"Namaku Lan Lan, dia bernama Ling Ling."
"Ha ha ha!" Kwee Teng An tertawa geli. "kalau disatukan
menjadi Lan Ling!"
"Apabila Tuan memanggil Lan Ling, kami berdua pasti
segera ke mari," sahut Lan Lan sambil tertawa cekikikan.
"Bagus! Bagus!" Kwee Teng An manggut-manggut.
"Tuan sudah mau minum?" tanya Ling Ling lembut. "Aku
tuangkan arak wangi itu ya?"
"Baik." Kwee Teng An mengangguk. Ling Ling segera
menuang arak wangi itu kedalam cangkir, lalu diberikan
kepada Kwee T An.
"Silakan minum, Tuan!"
"Terimakasih!" ucap Kwee Teng An mengambil cangkir itu,
kemudian meneguknya.
"Mau ditambah?" tanya Ling Ling sambil tersenyum manis.
"Tidak usah." Kwee Teng An menaruh cangkir itu di atas
meja. "Tuan...." Lan Lan cepat menyodorkan bu anggur ke mulut
Kwee Teng An. "Ciciplah buah anggur ini!"
"Terimakasih!" ucap Kwee Teng An sambil membuka
mulutnya. Sambil tertawa gembira Lan Lan memasukk buah anggur
itu ke mulut Kwee Teng An, dan pemuda itu langsung
mencaploknya. "Tuan mau dipijit?" tanya Ling Ling mendadak.
"Kalian bisa memijit juga?" Kwee Teng An memandang
mereka. "Tentu bisa," sahut Ling Ling dan Lan Lan serentak.
"Bagus!" Kwee Teng An manggut-manggut "Aku memang
merasa pegal, kalian berdua boleh memijitku."
"Ya." Kedua gadis itu mengangguk.
Kwee Teng An membaringkan tubuhnya ke tempat tidur,
sedangkan Ling Ling menutup pintu kamar.
"Tuan...." Lan Lan tertawa kecil. "Silakan uka pakaian, agar
kami lebih leluasa memijit Tuan."
"Oh?" Kwee Teng An memandang mereka dengan penuh
gairah. "Kalau begitu, kalian pun harus buka pakaian!"
"Idih! Jangan ah!" sahut Lan Lan dengan wajah kemerahmerahan.
"Tuan...." Ling Ling tersenyum. "Itu... harus nanti malam
lho! Tidak baik sekarang, kami takut sewaktu-waktu nona
akan ke mari."
"Maksudmu Nona Ma?" tanya Kwee Teng An Jnigan mata
berbinar. "Ya." Ling Ling mengangguk. "Tuan tertarik kepada Nona
Ma?" "Dia begitu cantik, tentu aku tertarik," sahut Kwee Teng An
jujur. "Oh ya, dia sudah punya kekasih apa belum?"
"Belum." Lan Lan menggelengkan kepala, kemudian
tertawa cekikikan. "Kalau Tuan sudah tertarik kepada Nona
Ma, habislah kami berdua."
"Lho?" Kwee Teng An heran. "Memangnya kenapa?"
"Bagaimana mungkin Tuan akan tertarik pada kami yang
cuma merupakan pembantu" Ya, kan?" saht Lan Lan dengan
cemberut. "Ha ha ha!" Kwee Teng An tertawa. "Poloknya aku akan
bersenang-senang dengan kalian berdua, sekarang kalian pijit
aku!" "Baik, Tuan." Lan Lan dan Ling Ling mulai memijit Kwee
Teng An. Sungguh nikmat pijitan kedua gadis itu, bahkan
menimbulkan gairah nafsu birahi, maka mendadak Kwee Teng
An memeluk kedua gadis erat-erat.
"Idih! Jangan begini ah! Kami takut kelihatan orang lain."
bisik Lan Lan. "Pintu kamar tertutup rapat, bagaimai mungkin terlihat
orang?" sahut Kwee Teng sambil tertawa, lalu tangannya
mulai beraksi menggerayangi tubuh kedua gadis itu. Mata
kedua gadis itu merem melek, sekali-kali mulut mereka
mengeluarkan suara mendesis-desis.
"Aauuuh...!"
"Ooooh...!"
"Bagaimana?" tanya Kwee Teng An. "Kita mulai sekarang
saja!" "Kami tidak bisa tenang, lebih baik nanti malam saja.
Tapi... kami pun sudah tidak tahan."
"Baiklah." Kwee Teng An manggut-manggij "Nanti malam
kalian berdua kemarilah, kita akan main sampai sepuaspuasnya!"
"Kuatkah Tuan melayani kami berdua?" tanya Ling Ling.
"Jangankan cuma berdua, sepuluh pun aku sanggup,"
sahut Kwee Teng An sungguh-sungguh Maklum, pemuda itu
mantan pemerkosa wanita
Pada malam harinya Lan Lan dan Ling Ling mengendapendap
ke kamar Kwee Teng An. Namun ketika mereka baru
mau mengetuk pintu kamar n mendadak pintu kamar itu
terbuka. Kwee Teng An berdiri di situ sambil tersenyumsenyum,
kemudian secepat kilat menarik kedua gadis itu ke
dalam, sekaligus menutup pintu kamar itu.
"Nah!" Kwee Teng An memandang mereka, sesuai dengan
janji, kalian harus membuka baju!"
"Idiih!" sahut Ling Ling sambil tertawa genit. "seharusnya
lelaki yang lebih dulu membuka pakaian."
"Baik." Kwee Teng An tersenyum sambil melepaskan
pakaiannya. Kedua gadis itu memandang dengan mata terbelalak,
karena tubuh pemuda itu memang berotot.
"Wuaaah!" seru Ling Ling tak tertahan. "Bukan main!"
"Ha ha ha!" Kwee Teng An tertawa. "Pokoknya malam ini
kalian berdua pasti merasa puas. namun aku khawatir kalian
cuma kuat satu kali"
"Oh, ya?" Lan Lan tertawa cekikikan. "Kalau begitu, mari
kita coba!"
"Itu sudah pasti!" Kwee Teng An tersenyum. "Aku sudah
melepaskan pakaianku, kini giliran kalian!"
"Wuaduuuh!" seru Lan Lan dan Ling Ling ketika melihat ke
arah tengah kedua belah paha Kwee Teng An. "Wuaduuuh...!"
"Kalian belum kuapa-apakan, tapi kalian berdua sudah
aduh-aduhan. "Apalagi nanti, kalian berdua sudah merintihrintih
nikmat." "Hi hi hi!" Kedua gadis itu tertawa, lalu mulai melepaskan
pakaian masing-masing.
Tubuh kedua gadis itu memang montok, makin membuat
Kwee Teng An semakin bernafsu. Begitu pakaian mereka
dilepaskan, pemuda itu langsung memeluk mereka. Tak lama
kemudian, terdengarlah suara desah dan rintihan kedua gadis
itu. Keesokan harinya, Kwee Teng An pagi pagi sekali sudah
bangun. Walaupun semalam melawan dua gadis
menghabiskan beberapa ronde, tapi pemuda itu tetap tampak
bersemangat. Ia berjalan ke luar menuju halaman depan Ketika sampai di
halaman itu matanya terbelalak karena melihat Ma Giok Ceng
sedang duduk di taman bunga ditemani dua gadis berusia
belasan tahun. "Nona Ma!" Kwee Teng An mendekatinya dengan wajah
ceria sambil memberi hormat. "Selamat pagi!"
"Pagi!" sahut Ma Giok Ceng sambil memandangnya. Walau
pemuda itu cukup tampan, namun Ma Giok Ceng tidak merasa
tertarik, bahkan sebaliknya malah merasa sebal kepadanya.
"Masih Pagi kok Nona Ma sudah bangun?" ianya Kwee Teng
An lembut. "Memangnya aku harus bangun siang?" sahut Ma Giok
Ceng ketus. "Nona Ma!" Kwee Teng An tidak tersinggung bahkan
keketusan Ma Giok Ceng, namun malah tersenyum. "Maafkan
apabila aku salah omong!"
"Tuan," ujar Ma Giok Ceng. "Aku sedang menghirup udara
pagi di sini, jangan diganggu!"
"Nona Ma...." Kwee Teng An menatapnya. 'Aku tidak


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengganggu Nona."
Tatatapan pemuda itu membuat sekujur badan Ma Giok
Ceng tergetar, dan gadis itu cepat-u'pat menundukkan kepala.
"Aku...."
"Ha ha ha!" Kwee Teng An tertawa. "Nona, aku sangat
tertarik kepadamu. Apakah engkau jugu tertarik kepadaku?"
"Aku...." Wajah Ma Giok Ceng kemerah-me-ahan. "Aku...."
"Ha ha ha!" Mendadak terdengar suara tawa serak,
muncullah Menteri Ma menghampiri mereka. "Teng An,
engkau sudah bangun?"
"Ya, Tuan Besar," sahut Kwee Teng An sambil memberi
hormat. "Selamat pagi, Tuan Besar!"
"Pagi!" ucap Menteri Ma sambil menatap padanya. "Nak,
engkau sedang bercakap-cakap dengan Teng An?"
"Ayah...." Wajah gadis itu langsung memerah, Ternyata
tadi Kwee Teng An mengerahkan Tang Hun Tay Hoat
terhadapnya, maka gadis itu tampak menurut kepadanya.
"Ha ha ha!" Menteri Ma tertawa. "Nak, engkau harus minta
petunjuk kepada Teng An, kepandaiannya tinggi sekali lho!"
"Ayah...," ujar Ma Giok Ceng perlahan. "Aku mau masuk."
"Baiklah." Menteri Ma manggut-manggut.
Ma Giok Ceng melangkah ke dalam rumah diikuti kedua
pembantunya, sedangkan menteri Ma masih tertawa,
kemudian memandang Kwee Teng An seraya berkata.
"Putriku memang begitu, masih malu-malu."
"Dia putri kesayangan Tuan besar, tentunya agak malumalu
dan manja," sahut Kwee Teng An sambil tersenyum.
"Namun dia gadis yang lemah lembut."
"Benar." Menteri Ma manggut-manggut. "Teng An, engkau
tertarik kepada putriku?"
"Ya, Tuan Besar." Kwee Teng An mengangguk.
"Bagus!" Menteri Ma tertawa. "Ha ha ha! Tapi sebelumnya
engkau harus berbuat suatu jasa dulu."
"Jasa apa?"
"Akan dibicarakan lain kali," sahut Mental Ma. "Oh ya,
sebagai kepala pengawal di sini engkau harus melatih para
anak buahmu."
"Ya, Tuan Besar," ujar Kwee Teng An. "Itu memang
tugasku." "Bagus! Ha ha ha!" Menteri Ma tertawa gelak, ngkau harus
mempertunjukkan kepandaian agar para anak buahmu kagum
dan salut padamu!"
"Baik, Tuan Besar." Kwee Teng An mengangguk.
"Kalau begitu, engkau harus berseru memang-mereka
berkumpul di sini!" ujar Menteri Ma.
"Ya, Tuan Besar." Mendadak Kwee Teng An berseru
lantang menggunakan lweekang. "Kalian para pengawal, cepat
berkumpul di sini! Ini perintahku, siapa berani membangkang
pasti kuhukum!"
Seketika bermunculan para pengawal. Mereka memang
sudah tahu Kwee Teng An mengalahkan Liok Lam Sun cuma
dalam sepuluh jurus. Itu sungguh mengejutkan, namun di
antaranya masih ada yang kurang percaya, mengira Liok Lam
Sun sengaja mengalah terhadap pemuda itu.
Setelah para pengawal itu berbaris rapi di situ, barulah
Kwee Teng An melangkah maju sambil memperhatikan
mereka satu persatu. Para pengawal itu berjumlah sekitar lima
puluh orang, namun tiada satu pun yang berkepandaian
tinggi, itu membuat Kwee Teng An menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku menggantikan Liok Lam Sun, kini aku sebagai kepala
pengawal di sini. Oleh karena itu mulai hari ini aku akan
melatih kalian!" Ujar Kwee Teng An memberitauhkan.
"Mungkin di antara kalian ada yang merasa keberatan, karena
aku menggantikan Liok Lam Sun."
"Betul!" sahut salah seorang pengawal. "Kami ingin
menyaksikan kepandaian Tuan."
"Ngmm!" Kwee Teng An manggut-manggut kemudian
bertanya mendadak. "Oh ya! Di antara kalian siapa yang
punya anjing?"
"Kebetulan sekali," sahut salah seorang pengawal.
"Semalam kami menangkap seekor anjing."
"Bawa ke mari sekarang!" perintah Kwee Teng An.
"Ya." Pengawal itu segera pergi, dan tak lama kemudian
sudah kembali dengan membawa seekor anjing.
Sementara Menteri Ma berdiri terheran-heran di tempat. Ia
sama sekali tidak tahu untuk apa anjing itu, maka menatap
Kwee Teng dengan mata terbelalak.
"Tuan Besar!" Kwee Teng An memberitahukan. "Kemarin
ketika bertanding dengan Liok Lam sun, aku belum
mengeluarkan ilmu andalanku. Nah, pagi ini akan
kuperlihatkan."
"Oh?" Menteri Ma tercengang. "Jadi engkau masih punya
ilmu andalan?""
"Ya, Tuan Besar." Kwee Teng An lalu memandang para
pengawal seraya berkata. "Kalian liat baik-baik, akan
kupertunjukkan ilmu andalanku!"
Para pengawal saling memandang. Sedangkan anjing itu
berdiri di tengah-tengah halaman. Kwee Teng An menatap
anjing itu, sekaligus mengerahkan Pek Kut Im Sat Kang.
Mendadak ia membentak keras, lalu memukul anjing itu
dengan Pek kut Im Sat Ciang.
Tanpa mengeluarkan suara sedikit pun anjing lalu langsung
terkapar, kemudian sekujur badannya mengeluarkan asap,
setelah itu mulai mencair.
"Haaah...?" Betapa terkejutnya para pengawal menyaksikan
kejadian itu, dan wajah mereka pun pucat pias.
Begitu pula Menteri Ma, keningnya berkerut-kerut. Tak
lama kemudian tubuh anjing itu hanya tinggal tulangnya dan
suasana pun menjadi hening.
"Ha ha ha!" Mendadak Menteri Ma tertawa terbahak-bahak.
"Teng An, aku tidak menyangka engkau masih memiliki ilmu
andalan itu. Kalau kemarin engkau menggunakan ilmu itu
untuk bertanding dengan Liok Lam Sun, aku yakin dia pasti
mati." "Betul, Tuan Besar," sahut Kwee Teng An. "Oleh karena itu,
hamba tidak menggunakan ilmu itu untuk melawannya."
"Ngmm!" Menteri Ma manggut-manggut, kemudian
berseru. "Kalian dengar semua! Mulai hari ini kalian harus
memanggil 'Tuan Muda" kepada Teng An!"
"Ya, Tuan Besar!" sahut para pengawal.
"Ha ha ha!" Menteri Ma tertawa gelak. "Ten An, engkau
boleh mulai melatih mereka. Aku mau ke dalam."
"Ya, Tuan Besar," Kwee Teng An memberi hormat.
Menteri Ma berjalan masuk ke rumah. Kwee Teng An
memandang para pengawal seraya berkata.
"Mulai sekarang kalian semua harus giat berlatih. Aku akan
menggembleng kalian."
"Terimakasih, Tuan Muda!" ucap mereka serentak.
"Siapa yang berani membangkang perintahku pasti
kuhukum seperti anjing itu," ujar Kwee Teng An dingin.
Seketika para pengawal menundukkan kepala dengan hati
tercekam, Kwee Teng An tersenyum
"Kalian tidak usah khawatir! Aku tidak akan sembarangan
menghukum kalian, bahkan mulai bulan ini, gaji kalian semua
akan kunaikkan" Kwee Teng An memberitahukan.
"Terimakasih, Tuan Muda!" Betapa girangnya para
pengawal itu. Mereka bersorak sorai dengan wajah berseriseri.
"Tenang!" seru Kwee Teng An. "Mulai searang aku akan
mengajar kalian ilmu silat tingkat tinggi, kuharap kalian harus
belajar dengan giat!"
"Ya, Tuan Muda!" sahut para pengawal itu serentak.
Mulailah Kwee Teng An mengajar mereka ilmu silat tingkat
tinggi. Para pengawal itu pun belajar dengan giat sekali, sebab
mereka sangat segan terhadap Kwee Teng An.
Tampak Ma Giok Ceng duduk termenung di dalam kamar.
Kedua pembantu berdiri di sisinya dengan kening berkerutkerut.
Walau kedua gadis itu baru berusia belasan, namun
sangat cerdas dan berpikiran panjang.
"Nona," bisik salah seorang gadis itu. "Menurutku, pemuda
itu bukan pemuda baik."
"Betul," sambung yang lain. "Ketika dia memandang Nona,
matanya mendadak bersinar aneh."
"Haaah?" Ma Giok Ceng tampak tersentak. Betul. Pada
waktu itu sekujur badanku tergetar, sehingga aku mau
menuruti perkataannya."
"Nona!" Salah seorang gadis itu memberitahukan. "Aku
pernah membaca sebuah buku cerita tentang seorang gadis
terkena ilmu sesat"
"Celaka!" Air muka Ma Giok Ceng berubah hebat. "Janganjangan
pemuda itu memiliki ilmu sesat."
"Mungkin. Oleh karena itu Nona harus berhati-hati!
Kelihatannya ayah Nona sangat menyukainya, maka kami
khawatir ayah Nona akan menjodohkan Nona kepadanya."
"Haaah...?" Wajah Ma Giok Ceng berubah pucat. "Kalau
begitu, aku harus bagaimana?"
"Nona, hanya ada satu jalan..." bisik gadis itu di telinga Ma
Giok Ceng dan menambahkan "Lagipula ayah Nona begitu
jahat. Kalau Nona tidak kabur sekarang, tiada kesempatan lagi
kelak" "Aaaah...!" Ma Giok Ceng menghela nafas panjang. "Kalau
aku pergi, bagaimana ayahku"!"
"Sementara ini Nona harus memikirkan diri Nona."
"Lalu bagaimana kalian berdua?"
"Setelah Nona pergi, kami berdua pun aku berhenti bekerja
di sini. Kami ingin pulang ke kampung halaman."
"Ngmm!" Ma Giok Ceng manggut-manggl "Kalau begitu,
aku harus berkemas sekarang."
"Nona harus melalui pintu belakang. Sekarang kami pergi
menyapu, Nona harus segera pergi"
"Baik." Ma Giok Ceng mengangguk.
Kedua gadis itu segera meninggalkannya. Ma Kiiok Ceng
berkemas dan tak lupa membawa uang serta semua
perhiasannya. Setelah itu, ia berendap-endap menuju pintu
belakang. Berselang sesaat, muncullah kedua gadis tadi di kamar Ma
Giok Ceng. Mereka melihat pintu lemari terbuka, dan semua
pakaian Ma Giok Ceng tidak ada di dalamnya. Segeralah
mereka berlari ke kamar Menteri Ma.
"Tuan Besar! Tuan Besar!" panggil mereka sambil
mengetuk pintu kamar Menteri Ma. "Tuan besar!"
Pintu kamar itu terbuka. Menteri Ma berdiri disitu sambil
menatap kedua gadis itu dengan kening berkerut-kerut.
"Ada apa?" tanyanya.
"Tuan besar! Nona... Nona...."
"Kenapa Nona?"
"Nona... Nona telah pergi!"
"Apa?" Menteri Ma tersentak. "Nona telah pergi" Dia pergi
ke mana" Kenapa kalian tidak menemaninya?"
"Kami pergi menyapu di halaman samping, lalu ke kamar
Nona, tapi lemari di kamar Nona terbuka dan kosong."
"Aaaah!" Menteri Ma menghela nafas panjang. "Kalian
berdua harus ingat, tidak boleh menceritakan hal ini pada
siapa pun! Dua tiga hari kemudian, kalian berdua boleh pulang
ke kampung halaman."
"Ya! Tuan Besar."
"Sekarang kalian pergi panggil kepala pembantu ke mari!"
"Ya, Tuan Besar." Kedua gadis itu segera pergi memanggil
kepala pembantu wanita. Mereka pun bergirang dalam hati,
karena Menteri Ma tidak membesar-besarkan urusan itu.
Berselang beberapa saat kemudian, munculah kepala
pembantu wanita itu menghadap Menteri Ma.
"Tuan Besar...."
"Cepat panggil Kwee Teng An, aku menunggunya di ruang
tengah!" "Ya, Tuan Besar." Kepala pembantu wanita segera pergi
memanggil Kwee Teng An, sedangkan Menteri Ma pergi ke
ruang tengah. Berselang beberapa saat kemudian, tamp Kwee Teng An
memasuki ruang itu dengan tergesa-gesa.
"Tuan Besar memanggilku?" tanyanya sambil memberi
hormat. "Ada suatu tugas untukku?"
"Duduklah Teng An!" sahut Menteri Ma dengan ramah.
"Tapi...." Kwee Teng An ragu untuk duduk "Tuan Besar...."
"Duduklah!" desak Menteri Ma.
"Terimakasih, Tuan Besar!" ucap Kwee Teng An sambil
duduk. "Teng An...." Menteri Ma menatapnya. "Tadi putriku pergi
ke rumah familinya. Tentunya engkau tahu, aku cuma
mempunyai seorang anak perempuan."
Kwee Teng An mendengarkan dengan penuh perhatian,
dan Menteri Ma melanjutkan dengan perlahan.
"Terus terang, sejak melihatmu, entah apa sebabnya aku
merasa suka kepadamu." Menteri Ma tersenyum. "Oleh karena
itu, aku berniat mengangkatmu sebagai anak angkat. Entah
engkau setuju atau tidak?"
"Tuan Besar...." Kwee Teng An tertegun. Ia mengira
telinganya salah dengar tentang itu.
"Teng An!" Menteri Ma menatapnya dalam-dalam.
"Bersediakah engkau menjadi anak angkatku?"
"Terimakasih, Tuan Besar!" Kwee Teng An langsung
menjatuhkan diri berlutut di hadapan Menteri Ma.
"Ha ha ha!" Menteri Ma tertawa terbahak-bahak. "Teng An,
engkau harus memanggilku ayah angkat!"
"Ayah angkat!" panggil Kwee Teng An cepat, betapa
girangnya pemuda itu, karena kini Menteri Ma telah
mengangkatnya sebagai anak, dan tentunya ia akan hidup
senang dan mewah, bahkan ia akan dikelilingi oleh gadis-gadis
cantik. "Teng An, bangunlah!" ujar Menteri Ma deHalaman 24-25 ga ada
melatih mereka dengan sungguh-sungguh, pokoknya tidak
akan mengecewakan Ayah."
"Bagus! Ha ha ha...!" Menteri Ma tertawa gembira. "Besok
aku akan menghadap kaisar untuk menceritakan tentang
dirimu, agar dirimu bisa diterima sebagai pemimpin pengawal
istana." "Terimakasih, Ayah!" ucap Kwee Teng An girang.
"Terimakasih!"
-oo0dw0oo-

Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagian ke enam puluh enam
Menyelamatkan seorang gadis
Tio Bun Yang betul-betul cemas, dan mulai tidak betah
tinggal di markas pusat Kay Pang, bahkan sering melamun.
Semua itu tentunya tidak terlepas dari mata Lim Peng Hang
dan Gouw Han Tiong.
"Bun Yang," ujar Lim Peng Hang ketika mereka bertiga
duduk di ruang depan. "Kelihatannya engkau sedang
memikirkan Goat Nio. Ya, kan?"
"Ya, Kakek." Tio Bun Yang mengangguk,
"Engkau punya suatu rencana?" tanya Lim Peng Hang
lembut. "Aku...." Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Aku ingin
ke markas Ngo Tok Kauw menemui kakak Ling Cu. Siapa tahu
dia punya informasi mengenai ketua Kui Bin Pang."
"Baiklah." Lim Peng Hang manggut-manggut. "Kapan
engkau akan berangkat?"
"Sekarang."
"Kakek tidak akan melarangmu, tapi engkau harus berhatihati!"
pesan Lim Peng Hang. "Sebab kepandaian ketua Kui Bin
Pang itu tinggi sekali."
"Ya, Kakek."
"Bun Yang!" Gouw Han Tiong memandangnya seraya
berkata. "Seandainya terjadi sesuatu atas diri Goat Nio,
engkau harus tetap tabah!"
"Ya, Kakek Gouw." Tio Bun Yang meng-npguk dengan
wajah murung, kemudian menghela nafas panjang. "Aaah...."
"Bun Yang...." Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan
kepala. "Engkau boleh berangkat sekarang, mudah-mudahan
berhasil mencari Goat Nio"
"Terimakasih, kakek!" ucap Tio Bun Yang, lalu berpamit.
Pemuda itu langsung berangkat ke markas Ngo Tok Kuaw
yang di kota Kang Shi. Ia berharap Phang Ling Cu, ketua Ngo
Tok Kauw itu mempunyai informasi tentang jejak ketua Kui Bin
Pang Beberapa hari kemudian sampailah dia disuatu tempat sepi.
Tiba-tiba keningnya berkerut ternyata telinganya mendengar
suara pertarungan. Secepat kilat ia melesat ke arah suara itu
tibanya di tempat tersebut, dilihatnya seorang gadis cantik
sedang bertarung dengan seorang lelaki bertampang seram
dan belasan orang ngerumuni mereka sambil bersorak-sorak.
"Ha ha ha!" Lelaki bertampang seram tertawa gelak. "Gadis
cantik, lebih baik engkau menyerah! Mari kita bersenangsenang,
pokoknyi aku pasti memuaskanmu!"
"Diam!" bentak gadis itu sambil menyerang. Namun lelaki
bertampang seram itu dengan gampang sekali berkelit.
Puluhan jurus kemudian, gadis itu makin terdesak, akhirnya
pedangnya terlepas dari tanga nya.
"He he he!" Lelaki bertampang seram itu tertawa terkekehkekeh.
"He he he! Gadis cantik alangkah baiknya engkau
menjadi isteriku! He he he...!"
"Binatang!" caci gadis itu sekaligus menyerangnya dengan
tangan kosong. Akan tetapi, sambil tertawa lelaki bertampang seram itu
menangkap tangannya, bahkan sekaligus memeluknya.
"Jangan kurang ajar! Lepaskan!" teriak gadis itu sambil
meronta-ronta. "He he he!" Lelaki bertampang seram itu jertawa terkekehkekeh.
"Pokoknya engkau harus melayaniku bersenangsenang!"
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" Gadis itu terus berteriak..
Kakinya menendang, namun menindak tubuhnya terkulai.
Ternyata lelaki bertampang seram itu telah menotok jalan
darahnya, sehingga membuatnya tak bisa bergerak.
"He he he!" Lelaki bertampang seram itu tertawa,
kemudian mulai meraba-raba sepasang payudara gadis itu.
"Jangan! Jangan!" teriak gadis itu lemah.
"He he he..." Lelaki bertampang seram itu tertawa lagi,
namun mendadak tersentak karena mendengar suara
bentakan yang mengguntur.
"Jangan kurang ajar terhadap gadis itu!" Berkelebat sosok
bayangan ke hadapan lelaki bertampang seram itu. Semula
lelaki tersebut tampak terkejut, namun begitu melihat yang
ber-diri di hadapannya adalah seorang pemuda, seketika juga
ia tertawa gelak.
"Ha ha ha! Anak muda! Engkau ingin cari mati ya?"
ujarnya. "Mm!" dengus pemuda itu, yang tidak lain ?Ialah Tio Bun
Yang. "Cepatlah kalian enyah! Kalau tidak...."
"Anak muda!" bentak lelaki bertampang seram itu. "Aku
adalah perampok sadis. Kalau berani menggangguku, engkau
pasti mampus! Serang dia!"
Belasan anak buah perampok itu langsung menyerang Tio
Bun Yang dengan berbagai macam senjata.
"Hati-hati!" seru gadis itu cemas.
Tio Bun Yang tersenyum, kemudian mendadak
mengibaskan lengan bajunya dan seketika terdengar suara
hiruk-pikuk. Trang! Ting! Biang!
Semua senjata mereka terpental entah kemana. Kemudian
badan Tio Bun Yang berputar bagaikan angin puyuh dan
terdengarlah suara jeritan.
"Aaakh! Aaaakh...!"
Belasan orang itu terpental beberapa depa dan jatuh
gedebuk dengan mulut mengeluarkan darah segar.
"Haah...?" Mulut laki-laki berwajah seram itu ternganga
lebar, begitu pula gadis tersebut.
Setelah merobohkan perampok-perampok itu. Tio Bun Yang
segera mendekati kepala perampok itu.
"Anak muda!" bentak kepala perampok gusar "Engkau
harus mampus di tanganku!"
Kepala perampok itu menyerangnya dengan golok. Tio Bun
Yang tersenyum dan badannya bergerak. Seketika juga ia
menghilang dari hadapan kepala perampok itu.
"Haaah?" kepala perampok itu terbelalak. Ia menengok ke
sana ke mari, namun tidak melihat Tio Bun Yang.
"Aku berada di belakangmu!" Terdengar suara di
belakangnya. Kepala perampok itu cepat-cepat mengayunkan goloknya
ke belakang, tapi cuma mengenai tempat kosong, sebab Tio
Bun Yang sudah tidak berada di situ.
"Hah?" Kepala perampok itu terkejut bukan main.
Dalam waktu bersamaan mendadak muncul Tio Bun Yang
di hadapannya sambil tersenyum-senyum.
"Engkau sering merampok dan memperkosa kan?" tanya
Tio Bun Yang perlahan sambil menatapnya tajam.
"Aku...." Kepala perampok itu betul-betul ciut nyalinya
menghadapi Tio Bun Yang. "Aku...."
"Terus terang aku tidak pernah membunuh, namun aku
tetap akan menghukummu."
"Apa?" Kepala perampok itu melotot. "Engkau berani
menghukumku?"
"Kenapa tidak?" sahut Tio Bun Yang dengan tersenyum.
"Aku... aku harus membunuhmu!" teriak kepala perampok
itu sambil menyerang Tio Bun Yang dengan goloknya.
Tio Bun Yang tetap berdiri diam di tempat, etlika golok itu
mengarah kepadanya, barulah ia mengibaskan lengan
bajunya. Trang! Golok itu terpental.
"Hah?" Betapa terkejutnya kepala perampok itu. Ia
memandang Tio Bun Yang dengan wajah pucat pias.
"Aku tidak akan membunuhmu," ujar Tio Bj Yang. "Tapi aku
akan memusnahkan kepandaian mu."
"Ampun, Siauhiap! Ampun!" Kepala perampok itu langsung
berlutut di hadapan Tio Bun Yang.
"Aku telah mengampuni, maka tidak membunuhmu. Hanya
akan memusnahkan kepandaianmu."
"Siauhiap, jangan engkau musnahkan kepandaianku, aku
bersumpah tidak akan melakukan kejahatan lagi!"
"Bersumpah?" Tio Bun Yang menggeleng gelengkan kepala.
"Itu percuma."
"Siauhiap...."
Akan tetapi, mendadak tangan Tio Bun Yang bergerak dan
seketika kepala perampok itu menjerit.
"Aaaakh...!" Mulutnya mengeluarkan darah Ternyata Tio
Bun Yang telah memusnahkan kepandaiannya.
"Ayoh, cepat pergi!" bentak Tio Bun Yan Kepala perampok
itu berjalan pergi dengan sempoyongan. Para anak buahnya
mengikuti dengan langkah tertatih-tatih, membuat gadis itu
tertawa geli. Di saat itulah mendadak Tio Bun Yang menepuk punggung
gadis itu untuk membebaskan jalan darahnya yang tertotok
oleh kepala perampok. Begitu jalan darahnya terbuka, gadis
itu Iangsung meloncat bangun, kemudian menatap lio Bun
Yang dengan kagum.
"Nona," ujar Tio Bun Yang. "Kini engkau sudah aman, boleh
meninggalkan tempat ini."
"Aku..." Gadis itu menundukkan kepala.
"Kenapa engkau?" Tio Bun Yang heran.
"Aku... aku tidak tahu harus ke mana," sahut padis itu
sambil menghela nafas panjang.
"Apa?" Tio Bun Yang terbelalak. "Nona...."
"Aku... aku minggat dari rumah," Gadis itu memberitahukan
dengan jujur. "Jadi aku tidak tahu harus ke mana."
"Nona!" Tio Bun Yang menatapnya. "Kenapa engkau
minggat dari rumah" Bagaimana kalau aku mengantarmu
pulang?" "Tidak." Gadis itu menggelengkan kepala. "Aku tidak mau
pulang, karena aku benci kepada ayah-ku."
"Nona!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Tidak baik
engkau membenci ayahmu sendiri, engkau akan jadi anak
durhaka lho!"
"Tapi ayahku sangat jahat." Gadis itu menundukkan kepala.
"Ayahmu tidak jahat terhadapmu kan?" Tio Bun Yang
tersenyum. "Ayo kuantar pulang! Mungkin ayahmu sangat
mencemaskan."
"Ayahku tidak akan mencemaskanku." sahut gadis
itu."Dia... dia cuma mementingkan diri sendiri."
"Nona!" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau engkau tidak mau pulang, lalu mau ke mana?"
"Aku..." Gadis itu menatap Tio Bun Yang dengan mata
berbinar-binar. "Aku ikut engkau saja."
"Mana boleh." Tio Bun Yang menggelengkan kepala. "Itu
tidak baik"
"Kalau begitu..." Gadis itu membanting-bantingkan kakinya.
"Lebih baik aku dibunuh kepa perampok itu saja."
"Dia tidak bermaksud membunuhmu, melainkan ingin
memperkosamu lho!" ujar Tio Bun Yang. "Kepandaianmu
masih rendah, tidak baik berkecimpung di rimba persilatan."
"Siapa bilang aku berkecimpung di rimba pel* silatan?"
"Lho" Bukankah kini engkau telah mulai berkecimpung di
rimba persilatan?"
"Aku... aku cuma ingin berkelana."
"Nona...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku masih ada urusan lain, tidak bisa terus-menerus
menemanimu di sini."
"Engkau...." Gadis itu terisak-isak. "Engkau kejam!"
"Apa?" Tio Bun Yang terbelalak. "Aku kejam" Padahal aku
telah menyelamatkanmu barusan, kenapa engkau masih
bilang aku kejam?"
"Karena... karena engkau tidak mau mengajakku pergi."
ujar gadis itu dengan suara rendah.
"Nona...." Tio Bun Yang menghela nafas panjang.
"Hei!" Mendadak wajah gadis itu berseri. "Kita jangan
bercakap-cakap dengan cara berdiri begini, mari kita duduk di
bawah pohon!"
"Nona...."
"Ayolah!" desak gadis itu. Tio Bun Yang menarik nafas
dalam-dalam, lalu duduk di bawah pohon dan gadis itu segera
duduk di sisinya.
"Nona, aku tidak bisa lama-lama di sini."
"Lho?" Gadis itu menatapnya. "Aku tidak menyuruhmu
lama-lama di sini, melainkan Cuma ingin bercakap-cakap
denganmu."
"Nona ingin mengatakan apa?"
"Hei!" Gadis itu menatapnya dalam-dalam, "Bolehkah aku
tahu namamu?"
"Namaku Tio Bun Yang."
"Tio Bun Yang..." Gadis itu manggut-manggut, lalu
memandangnya seakan sedang menunggu sesuatu, namun
Tio Bun Yang diam saja. "Hei! kenapa engkau tidak
menanyakan namaku?"
"Aku..." Tio Bun Yang memandang jauh ke depan.
"Namaku Ma Giok Ceng." Ternyata gadis itu adalah puteri
kesayangan Menteri Ma, yang minggat dari rumah. Ia terus
memandang Tio Bun Yang. "Oh ya, bolehkah aku
memanggilmu kak Bun Yang?"
"Boleh." Tio Bun Yang mengangguk.
"Kalau begitu..." Wajah Ma Giok Ceng berseri. "Engkau
harus memanggilku adik lho!"
"Ya." Tio Bun Yang manggut-manggut.
"Kakak Bun Yang, kepandaianmu tinggi sekali. Bolehkah
engkau mengajar aku ilmu silat?" tanya Ma Giok Ceng
mendadak. "Apa?" Tio Bun Yang terbelalak. "Aku tidak punya waktu."
"Kakak Bun Yang!" Ma Giok Ceng cemberutl "Kenapa sih
engkau" Kok kelihatannya tidak begitu senang kepadaku"
Apakah engkau merasa sebal kepadaku?"
"Aku tidak merasa sebal kepadamu, melainkankan hatiku
sedang resah" Tio Bun Yang menghela nafas
"Resah kenapa" Ditinggal kekasih ya?" tanya Ma Giok Ceng
sambil tertawa.
"Aaaah..." Tio Bun Yang menghela nafas lagi. kemudian
memandangnya seraya berkata. "Engkau gadis periang, tidak
seharusnya minggat dari rumah. Aku yakin ayahmu sangat
memanjakanmu."
"Yaah!" Ma Giok Ceng menggeleng-gelengkan kepala. "Itu
memang benar, tapi...."
"Adik Giok Ceng, beritahukanlah kepadaku siapa ayahmu
dan kenapa engkau pergi meninggikan rumah?"
"Aku akan memberitahukanmu, namun engkau tidak boleh


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberitahukan kepada orang lain! Karena akan mencelakai
diriku!" pesan Ma Giok Ceng sungguh-sungguh.
"Baik." Tio Bun Yang mengangguk. "Aku berjanji! Nah,
beritahukanlah!"
"Sebetulnya aku adalah putri menteri Ma di ibu kota." Ma
Giok Ceng memberitahukan. "Belum lama ini, muncul seorang
pemuda di rumahku, Dia mampu mengalahkan guruku, maka
ayahku mengangkatnya sebagai kepala pengawal."
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut dan bertanya.
"Siapa pemuda itu?"
"Kalau tidak salah, dia bernama Kwee Teng An." Ma Giok
Ceng memberitahukan lagi. "Kepandaiannya tinggi sekali dia
mampu mengalahkan guruku dalam sepuluh jurus."
"Oh?" Kening Tio Bun Yang berkerut. "Kwee Teng An...."
"Engkau kenal dia?"
"Rasanya aku pernah mendengar nama tersebut, tapi...
sudah lupa." Tio Bun Yang mengelengkan kepala dan
bertanya. "Lalu kenapa engkau minggat dari rumah?"
"Sebab.... kelihatan dia bukan pemuda baik. Aku khawatir
ayahku akan menjodohkanku padanya, maka aku minggat."
"Sebetulnya engkau tidak usah minggat, kankah engkau
bisa menolak apabila ayahmu mej jodohkanmu dengan
pemuda itu" Ya, kan?"
"Itu tidak bisa, sebab ayahku pasti terus menerus
mendesakku. Lagi pula... kepandaian pemuda itu sangat
tinggi, dia pasti bisa memaksaku."
"Adik Giok Ceng," ujar Tio Bun Yang. "Lebih baik kuantar
engkau pulang, biar aku yang bicara dengan ayahmu."
"Tiada gunanya." Ma Giok Ceng menggeleng gelengkan
kepala. "Engkau tidak pernah mendengar tentang ayahku?"
"Memang tidak."
"Ayahku sangat berpengaruh di sana. Entah sudah berapa
banyak menteri dan jenderal yang mati di tangan ayahku."
"Ayahmu juga berkepandaian tinggi?"
"Ayahku tidak mengerti ilmu silat, namun kaisar sangat
mempercayainya."
"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut "Jadi ayahmu
memfitnah mereka di hadapan kaisar, maka kaisar
menurunkan perintah menghukum mati mereka. Begitu kan?"
"Ya." Ma Giok Ceng mengangguk dengan wajah murung.
"Dulu yang berpengaruh di istana adalah Lu Thay Kam,
namun sudah mati. Kini malah muncul ayahmu." Tio Bun Yang
menghela nafas panjang.
"Engkau kenal Lu Thay Kam?" tanya Ma Giok Ceng dengan
heran. "Kenal." Tio Bun Yang mengangguk, kemudian menutur
tentang itu. "Oooh!" Ma Giok Ceng manggut-manggut. "Aku tidak
menyangka engkau mencintai putri angkatnya itu."
"Engkau jangan salah paham. Yang mencintai Lui Hui San
adalah Kam Hay Thian, bukan aku." Tio Bun Yang
memberitahukan. "Kini mereka berdua sudah saling
mencinta."
"Karena itu...." Ma Giok Ceng tersenyum. "Engkau pun
menjadi patah hati. Ya kan?"
"Tentu tidak," sahut Tio Bun Yang. "Aku menganggap Lu
Hui San sebagai adik. Masih ada Lie Ai Ling dan Lam Kiong
Soat Lan, namun mereka semua sudah punya kekasih."
"Bagaimana engkau" Sudah punya kekasih?"
"Aku...." Tio Bun Yang menghela nafas.
"Aku."
"Kalau engkau belum punya kekasih, aku... bersedia
menjadi kekasihmu." ujar Ma Giok Ceng dengan suara rendah
dan wajah kemerah-merahan.
"Eh" Engkau...." Tio Bun Yang terbelalak.
"Kakak Bun Yang!" Ma Giok Ceng tersenyum lembut.
'Begitu melihatmu, aku pun sangat tertarik kepadamu. Aku...."
"Adik Giok Ceng...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku hanya bisa menerimamu sebagai adik bukan
sebagai kekasih
"Kenapa?" Ma Giok Ceng tampak kecewa
"Sebab aku sudah punya kekasih, namanya Sian Koan Goat
Nio." Tio Bun Yang memberitahukan. "Tapi...."
"Kenapa?"
"Dia diculik oleh ketua Kui Bin Pang, aku sedang
mencarinya."
"Oooh!" Ma Giok Ceng manggut-manggut "Pantas engkau
bilang tidak punya waktu untuk mengajarku ilmu silat,
ternyata karena itu!"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Kakak Bun Yang...." Ma Giok Ceng menatapnya seraya
berkata. "Perkenankanlah aku ikut engkau! Kalau tidak, aku
tidak tahu harus ke mana."
"Tapi...."
"Engkau tega membiarkan aku berkeliaran ke sana ke mari"
Bagaimana kalau aku bertemu penjahat lagi?"
"Itu... itu...." Tio Bun Yang mengerutkan kening.
"Kakak Bun Yang...." Ma Giok Ceng memandangnya
dengan penuh harap. "Apakah engkau tega meninggalkanku
seorang diri di sini?"
"Aku...." Mendadak wajah Tio Bun Yang berseri. "Kebetulan
aku akan ke markas Ngo Tok kauw di kota Kang Shi, engkau
boleh ikut aku kesana."
"Terimakasih, kakak Bun Yang!" ucap Ma Giok Ceng
dengan wajah berseri. "Terimakasih."
"Ketua Ngo Tok Kauw bernama Phang Ling Cu, dia kakak
angkatku." Tio Bun Yang memberitahukan. "Engkau akan
aman tinggal di sana."
"Ya." Ma Giok Ceng mengangguk. "Terima-kasih!"
"Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang!" Tio Bun Yang
bangkit berdiri. Ma Giok Ceng juga ikut berdiri, kemudian
mereka berdua berangkat ke kota Kang Shi.
Dalam perjalanan menuju markas Ngo Tok Kauw, Tio Bun
Yang mengajar Ma Giok Ceng ilmu silat tingkat tinggi,
tentunya sangat menggembirakan gadis itu. Ia terus belajar
dengan giat sekali, maka tidak heran kalau kepandaiannya
mengalami kemajuan pesat.
Hari ini mereka beristirahat di sebuah lembah. Ma Giok
Ceng memanfaatkan kesempatan ini untuk berlatih.
Sedangkan Tio Bun Yang duduk termenung di bawah pohon,
ternyata sedang mjemikirkan Siang Koan Goat Nio. Kemudian
menghela nafas panjang sambil mengeluarkan sulingnya
Terdengarlah suara suling yang sangat menggetarkan
kalbu. Ma Giok Ceng berhenti berlatih dan segera mendekati
Tio Bun Yang, lalu duduk di sisinya sambil mendengar suara
suling itu. Berselang beberapa saat kemudian, barulah Tio Bun Yang
berhenti meniup sulingnya dan wajahnya tampak murung
sekali. "Kakak Bun Yang!" Ma Giok Ceng memandangnya kagum.
"Engkau pandai sekali meniup suling."
"Ya." Tio Bun Yang manggut-manggut.
"Kakak Bun Yang...." Ma Giok Ceng menghela nafas
panjang. "Engkau teringat kepada Goat Nio?"
"Ng!" Tio Bun Yang mengangguk. "Aku rindu sekali
kepadanya. Aaah...!"
"Kakak Bun Yang...." Mendadak Ma Giok teng terisak-isak.
"Aku tidak pernah jatuh hati kepada pemuda mana pun,
namun setelah bertemu denganmu, aku justru jatuh hati tapi
engkau sudah punya kekasih."
"Adik Giok Ceng, aku menganggapmu sebagai adik, maka
aku pun akan menyayangimu."
"Aaah...!" keluh Ma Giok Ceng. "Aku akan lebih bahagia
apabila menjadi isterimu. Namun itu cuma merupakan suatu
mimpi di siang hari lolong."
"Adik Giok Ceng...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku...."
"Kakak Bun Yang!" Ma Giok Ceng tersenyum." Aku kagum
kepadamu, karena walau kita berduaan, engkau tidak pernah
kurang ajar terhadapku."
"Adik Giok Ceng...." Tio Bun Yang tersenyum. "Aku yakin
kelak engkau pasti ketemu pemuda tampan dan baik
percayalah!"
"Kakak Bun Yang?" tanya Ma Giok Ceng mendadak.
"Bagaimana engkau seandainya terjadi sesuatu atas dirinya?"
"Aku tidak bisa hidup lagi." "Kalau engkau tidak bisa hidup,
aku pun akan... mati," ujar Ma Giok Ceng dengan suara
rendah. "Apa?" Tio Bun Yang tertegun, kemudia menghela nafas
panjang. "Adik Giok Ceng, engkau tidak boleh begitu"
"Yaaah!" Ma Giok Ceng menghela nafas panjang "Siapa
tahu kelak aku maIah akan menjadi biarawati."
-oo0dw0oo- Beberapa hari kemudian, Tio Bun Yang dan Ma Giok Ceng
sudah tiba di kota Kang Shi. Tio Bun Yang langsung
mengajaknya ke markas Nno Tok Kauw. Kedatangan Tio Bun
Yang bersama gadis itu sungguh mencengangkan Phang Ling
Cu ketua Ngo Tok Kauw.
"Adik Bun Yang...."
"Kakak Ling Cu!" Tio Bun Yang tersenyum "Mari
kuperkenalkan, gadis ini bernama Ma Giok Ceng."
"Oooh!" Ngo Tok Kauwcu manggut-manggui
"Kakak Ling Cu!" Ma Giok Ceng segera memberi hormat.
"Terimalah hormatku!"
Ngo Tok Kauwcu balas memberi hormat, la mempersilakan
mereka duduk. "Adik Bun Yang ke mari ada urusan penting?" tanyanya
kemudian "Aaah...!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Aku..."
"Adik Bun Yang!" Ngo Tok Kauwcu menatapnya. "Engkau
belum berhasil mencari Goat Nio ?"
"Belum." Tio Bun Yang menggelengkan ke pala kemudian
menutur tentang semua kejadian itu dan menambahkan,
"Entah dibawa ke mana Goat Nio?"
"Biar bagaimanapun engkau harus tabah," ujar Ngo Tok
Kauwcu. "Aku pun akan membantu mencari jejak Ketua Kui
Bin Pang itu."
"Terimakasih, Kakak Ling Cu!"
"Adik Bun Yang!" Ngo Tok Kauwcu menatapnya seraya
bertanya. "Bagaimana cara engkau berkenalan dengan Giok
Ceng?" "...." Tio Bun Yang memberitahuan. ".... maka aku
menyelamatkannya."
"Oooh!" Ngo Tok Kauwcu manggut-manggut, kemudian
memandang Ma Giok Ceng seraya bertanya. "Bolehkah aku
tahu identitasmu?"
"Boleh." Ma Giok Ceng mengangguk. "Tapi Kakak Ling Cu
tidak boleh memberitahukan kepada orang lain, sebab akan
mencelakai diriku."
"Baik." Ngo Tok Kauwcu tersenyum. "Aku berjanji!"
"Aku adalah putri menteri Ma...." Ma Giok Ceng
memberitahukan tentang semua itu. "Maka aku minggat dari
rumah." "Sungguh tak disangka!" Ngo tok kauwcu menggelenggelengkan
kepala. "Ternyata engkau adalah putri menteri Ma
yang sangat berpengaruh istana!"
"Aaah...!" Ma Giok Ceng menghela nafas panjang. "Ayahku
adalah menteri jahat, aku... aku mengkhawatirkannya."
"Oh ya!" tanya Ngo Tok Kauwcu. "Engkau tahu Pemuda itu
berasal dari penguruan mana?"
"Tidak tahu." Ma Giok Ceng menggelengkan kepala.
"Guruku telah berpesan kepadaku harus berhati-hati
terhadapnya. Kata guruku, dia pemuda yang sangat licik."
"Ngmm!" Ngo Tok Kauwcu manggut-manggut "Lalu apa
rencanamu sekarang?"
Ma Giok Ceng segera memandang Tio Bun Yang, dan
pemuda itu langsung berkata,
"Kakak Ling Cu, sementara ini biar dia tinggal di sini agar
dirinya aman."
"Baiklah." Ngo Tok Kauwcu tersenyum. "Dia boleh tinggal di
sini. Tapi... markasku ini tentunya tidak bisa menyamai rumah
menteri Ma lho!"
"Tidak apa-apa," sahut Ma Giok Ceng cepat "Aku lebih
senang tinggal di sini, sungguh!"
"Kini urusan ini telah beres, maka aku harus segera pergi
mencari Goat Nio," ujar Tio Bun Yang.
"Kakak Bun Yang...." Wajah Ma Giok Ceng langsung
berubah murung. "Kok sudah mau pergi?"
"Aku...."
"Adik Bun Yang!" Ngo Tok Kauwcu senyum. "Lebih baik
engkau bermalam di sini besok pagi baru berangkat."
"Tapi"!" Tio Bun Yang mengerutkan kening
"Kakak Bun Yang!" Ma Giok Ceng memandang dengan
penuh harap, membuat Tio Bun Yang merasa tidak tega
berangkat sekarang.
"Adik Bun Yang," desak Ngo Tok Kauwu "Bermalam di sini
saja, besok pagi baru berangkat."
"Baiklah." Tio Bun Yang mengangguk.
"Terimakasih, Kakak Bun Yang!" Wajah Ma Giok Ceng
langsung ceria. "Terimakasih!"
"Eh?" Ngo Tok Kauwcu tertawa geli. "Giok Ceng, kenapa
engkau mengucapkan terimakasih padanya?"
"Aku...." Wajah gadis itu kemerah-merahan. "Aku...."
"Yaaah...!" Ngo Tok Kauwcu menghela nafas panjang.
"Kalau Adik Bun Yang belum punya kekasih, kalian berdua
memang serasi."
"Kakak Ling Cu," tanya Ma Giok Ceng mendadak.
"Bukankah lelaki boleh punya isteri lebih dari satu?"
"Itu memang kemauan kaum lelaki," sahut Ngo Tok
Kauwcu sambil tertawa. "Seandainya engkau sudah punya
suami, apakah memperbolehkan suamimu punya isteri muda?"
"Itu...." Ma Giok Ceng menggelengkan kepala. "Tentu aku
tidak memperbolehkannya."
"Nah! Itulah...." Ngo Tok Kauwcu menghela nafas panjang.
"Maka tidak mungkin Adik Bun Yang akan punya isteri lebih
dari satu."
"Aaaah...!" keluh Ma Giok Ceng.
"Giok Ceng!" Ngo Tok Kauwcu tersenyum. "Ketika pertama
kali bertemu Adik Bun Yang. Aku pun sangat tertarik
kepadanya. Pada waktu itu aku memakai cadar di muka."


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh?" Ma Giok Ceng tertegun. "Kenapa Kakak memakai
cadar di muka?"
"Karena wajahku rusak karena racun." Ngo Tok Kauwcu
memberitahukan. "Yang menyembuhkan mukaku adalah Adik
Bun Yang."
"Oh?" Ma Giok Ceng terkejut. "Kakak Yang juga mahir ilmu
pengobatan?"
"Ya." Ngo Tok Kauwcu mengangguk. "Tentu nya engkau
tahu, kepandaiannya tinggi sekali."
"Betul. Aku telah menyaksikan kepandaianya. Bahkan dia
pun mengajarku ilmu silat tinggi tinggi." Ma Giok Ceng
memberitahukan.
"Bagus!" Ngo Tok Kauwcu manggut-manggut kemudian
menghela nafas panjang. "Adik Bun Yang memang tampan,
baik hati, lemah lembut berpengertian dan berperasaan."
"Wuah!" Ma Giok Ceng tertawa kecil. "Di borong semua!"
"Memang begitulah." Ngo Tok Kauwcu mengangguk.
"Kakak Ling Cu!" Tio Bun Yang menggeleng gelengkan
kepala. "Jangan terlampau memuji diri ku, karena
sesungguhnya aku juga punya kekurangan."
"Kekuranganmu justru merupakan kelebihan bagi orang
lain," sahut Ngo Tok Kauwcu.
"Kakak Ling Cu...." Tio Bun Yang menghela nafas panjang.
Keesokan harinya, berangkatlah Tio Bun Yang pergi
mencari Siang Koan Goat Nio. Keberangkatannya justru
membuat Ma Giok Ceng bermuram durja. Ngo Tok Kauwcu
terus menghibur gadis itu, namun malah meledakkan
tangisnya yang ditahan-tahan.
Diam-diam Ngo Tok Kauwcu menghela nafas, gadis mana
yang tidak akan jatuh cinta pada Tio Inn Yang" Sebab Tio Bun
Yang betul-betul pemuda baik dan sangat tampan.
-oo0dw0oo- Tio Bun Yang terus melanjutkan perjalanan tanpa tujuan.
Sore ini ketika ia tiba disuatu tempat, mendadak terdengar
suara pertempuran yang hiruk pikuk.
Tio Bun Yang mengerutkan kening, lalu meliat ke arah
suara pertempuran itu. Tampak pasukan kerajaan sedang
menyerang para pembrontak.seorang wanita muda bertarung
mati-matian. Begitu melihat wanita itu, tersentaklah hatinya,
karena wanita itu ternyata Tan Giok Lan yang ikut Yo Suan
Hiang, Ketua Tiong Ngie Pay, kemudian Tiong Ngie Pay
bergabung dengan Lie Hu Seng.
Betapa gembiranya Tio Bun Yang. Ia segera melesat ke
arah Tan Giok Lan.
Pasukan kerajaan yang sedang bertempur itu terkejut
bukan main, karena melihat sosok bayangan laksana kilat di
atas kepala mereka.
"Kakak Giok Lan!" panggil Tio Bun Yang setelah melayang
turun di hadapan Tan Giok Lan
"Haaah...?" Tan Giok Lan terbelalak. "Engkau... engkau
Adik Bun Yang?"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk sambil tersenyum,
kemudian memandang pemimpin pasukan kerajaan itu seraya
berkata, "Paman, lebih baik pertempuran yang tak berarti ini
dihentikan saja!"
"Anak muda!" Pemimpin itu menatap Tio Bun Yang dan
bertanya, "Siapa engkau?"
"Namaku Tio Bun Yang."
"Apa?" pemimpin itu terbelalak. "Engkau Giok Siauw Sin
Hiap?" "Ya." Tio Bun Yang mengangguk sambil tci senyum.
"Paman, untuk apa mengorbankan begil banyak nyawa, dalam
pertempuran yang tiada artinya ini?"
"Giok Siauw Sin Hiap," sahut pemimpin itu "Aku ditugaskan
untuk membasmi para pemberontak, bagaimana mungkin aku
menghentikan pertempuran ini" Cobalah pikir!"
"Sebetulnya aku tidak mau mencampuri urusan kerajaan.
namun wanita ini adalah kakak angkatku"
"Giok Siauw Sin Hiap!" Pemimpin itu menggelenggelengkan
kepala. "Sesungguhnya aku pun tidak menghendaki
terjadinya pertempuran ini, tapi... apabila kuhentikan, sampai
di markas aku pasti dihukum mati."
"Kalau begitu...." Tio Bun Yang tersenyum. "Lebih baik
Paman, tidak usah pulang."
"Tapi aku punya anak isteri."
"Bawa serta anak isteri Paman," ujar Tio Bun Ihing. "Kini
situasi semakin gawat, terjadi pertempuran di mana-mana.
Lebih baik Paman hidup tenang di suatu tempat, jangan
bergelut lagi dengan situasi yang begini macam."
Pemimpin itu berpikir lama sekali, akhirnya Mengangguk
seraya berkata sungguh-sungguh.
"Baiklah, aku menuruti nasehatmu."
"Terimakasih!" ujar Tio Bun Yang.
Pemimpin itu memandang para anak buahnya yangg
berjumlah ratusan, kemudian berseru lantang
"Kalian semua dengar baik-baik! Pertempuran ini tidak
perlu dilanjutkan lagi!" sambil menghela nafas panjang.
"Horee!" Para prajurit itu bersorak girang,
"Siapa yang masih ingin pulang ke markas, silahkan!" lanjut
pemimpin itu. "Bagi siapa yang tidak mau pulang ke markas,
diperbolehkan pulang! Setelah itu, terserah mau ke mana!"
Para prajurit itu saling memandang, lama sekali barulah
mereka berseru serentak.
"kami mau pulang!"
"Baik!" Pemimpin itu manggut-manggut. "Sekarang kalian
boleh pulang, tapi lebih baik lepaskan seragam kalian agar
tidak menimbul kecurigaan pasukan lain!"
"Ya!" Para prajurit itu mulai melepaskan seragam masingmasing,
setelah itu barulah mereka meninggalkan tempat
tersebut. "Giok Siauw Sin Hiap," ujar pemimpin sambil tersenyum.
"Aku akan pulang ke rumah selanjutnya kami akan hidup
tenang di suatu tempat. Sampai jumpa!"
Pemimpin itu melesat pergi, Tio Bun Yang manggutmanggut,
lalu memandang Tan Giok Lan seraya berkata,
"Kakak Giok Lan, kini sudah aman...."
"Adik Bun Yang...." Tan Giok Lan menatapnya dengan mata
basah. "Sudah sekian lama kita tak bertemu, aku... aku rindu
sekali kepadamu,'
"Aku pun rindu sekali kepada Kakak," sahut Tio Bun Yang
sambil tersenyum. "Oh ya, bagaimana keadaan Bibi Suan
Hiang" Dia baik-baik saja?"
"Bibi Suan Hiang baik-baik saja. Dia pun rindu sekali
kepadamu. Adik Bun Yang" Tan Giok Lan menatapnya. "Mari
ikut kami pergi menemui Bibi Suan Hiang dan Paman Lie Tsu
Seng, beliau pun sering teringat kepadamu!"
"Kakak Giok Lan...." Tio Bun Yang tampak ragu "Aku masih
ada urusan lain, tidak bisa...."
"Ayohlah!" desak Tan Giok Lan. "Bibi Suan Hiang sangat
merindukanmu, temuilah dia!"
"Kakak Giok Lan...." Tio Bun Yang berpikir lama sekali,
setelah itu barulah mengangguk. "Baiklah!"
"Adik Bun Yang...." Wajah Tan Giok Lan langsung berseri,
kemudian berseru lantang. "Mari kita kembali ke markas...!"
-oo0dw0oo- Bagian ke enam puluh tujuh
Pertarungan di Markas Lie Tsu Seng
Di ruang tengah, tampak Menteri Ma dan Kwee Ceng An
duduk dengan wajah serius, rupanya mereka berdua sedang
membahas suatu masalah penting.
"Teng An," ujar Menteri Ma. "Aku telah mengajukan
permohonan kepada kaisar, agar engkau diterima sebagai
pemimpin pengawal di istana- Tapi...."
"Kenapa?" tanya Kwee Teng An dengan kening agak
berkerut. "Apakah kaisar tidak sudi menerima permohonan
Ayah?" "Kaisar akan menerima permohonanku, tapi aku harus
memenuhi sebuah syaratnya."
"Apa syarat kaisar?"
"Aku harus mempersembahkan kepala Lie Tsu Seng."
"Maksud kaisar aku harus memenggal kepala pemimpin
pemberontak itu?"
"Ya." Menteri Ma mengangguk, lalu mengb nafas panjang.
"Itu... itu bagaimana mungkin."
"Ayah," ujar Kwee Teng An dengan tersenyum. "Aku akan
pergi memenggal kepala Tsu Seng."
"Oh?" Wajah Menteri Ma berseri. Sesungguhnya ia tidak
mengajukan permohonan tersebut kepada kaisar, hanya
berbohong guna memperalat Kwee Teng An agar membunuh
Lie Tsu Seng Sebetulnya Kwee Teng An sangat licik, namun
masih kalah licik dibandingkan dengan Menteri Ma.
"Ayah," ujar Kwee Teng An sungguh-sungguh "Kalau aku
t,dak berhasil memenggal kepala Lie Tsu Seng, aku tidak akan
kembali kesini "
"Bagus! Bagus! Menteri Ma tertawa gembira. "Apabila
engkau berhasil memenggal kepala Lie Tsu Seng, kaisar pasti
mengangkatmu sebagai pemimpin pengawal istana."
"Tapi...." Mendadak Kwee Teng An mengerutkan kening.
"Ada apa?" Menteri Ma menatapnya.
"Aku tidak tahu pemimpin pemberontak itu ada di mana
Ayah tahu?"
"Tentu tahu" Menteri Ma tersenyum dan memberitahukan
"Kini markas Lie Tsu Seng berada di pinggir Kota Lam An."
"Kalau begitu...." Kwee Teng An bangkit dari duduknya.
"Aku akan berangkat sekarang."
"Nak...." Menteri Ma juga berdiri, lalu memegang bahunya
seraya berkata, "Semoga engkau berhasil memenggal kepala
Lie Tsu Seng!"
"Percayalah kepadaku, Ayah!" sahut Kwee Ceng An sambil
tersenyum. "Aku pasti berhasil memenggal pemimpin
pemberontak itu."
"Bagus! Bagus! Ha ha ha!" Menteri Ma tertawa gembira.
"Engkau berkepandaian begitu tinggi, tentunya mampu
memenggal kepala Lie Tsu Seng! Ha ha ha...!"
"Ayah, aku berangkat." ujar Kwee Ceng An dan berjalan
pergi. Menteri Ma memandang punggungnya. Setelah Kwee Ceng
An lenyap dari pandangannya ia tertawa gembira lagi. Namun
berselang beberapa saat kemudian wajahnya tampak berubah
ternyata ia teringat akan putrinya.
"Giok Ceng! Giok Ceng! Engkau berada di mana" Pulanglah,
ayah rindu sekali kepadamu!"
-oo0dw0ooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Kwee Teng An terus melakukan perjalan siang dan malam,
fa bernafsu sekali memeng kepala Lie Tsu Seng, karena ingin
menjadi pj mimpin pengawal istana. Apabila berhasil, ma ia
pun tidak perlu bergantung pada Menteri lagi. Berpikir sampai
di situ, mendadak K Teng An tertawa terbahak-bahak.
Beberapa hari kemudian, ia sudah memasul daerah Lam
An. Tampak puluhan tenda di depan sana. Kwee Teng melesat
ke sana tersenyum senyum. Ia kelihatannya yakin berhasil
memenggal kepala Lie Tsu Seng. Tiba-tiba muncul puluhan
pemberontak memandangnya seraya bertanya,
"Siapa engkau" Mau apa engkau ke mari"!
"Ha ha ha!" Kwee Teng An tertawa gelak dan menyahut,
"Kalian tidak usah tahu siapa aku. Aku. ke mari untuk
memenggal kepala Lie Tsu Sen. Ha ha ha...!"
"Apa?" Para pemberontak itu terbelalak. "Kawan, engkau
jangan bergurau dengan kami! Kami semua adalah
pejuang...."
"Hm!" dengus Kwee Teng An dingin, kemudian mendadak
bergerak. "Aaakh! Aaaakh...!" Terdengar suara jeritan yang menyayat
hati. Tampak beberapa orang terpental dengan mulut
menyemburkan darah segar dan kemudian nyawa mereka pun
melayang. "Ha ha ha!" Kwee Teng An terus tertawa gelak. Kemudian
badannya berkelebatan ke sana ke mari, dan seketika
terdengar lagi suara jeritan
Sangat menyayat hati. Betapa terkejutnya para
pemberontak itu, karena sudah belasan orang mati di tangan
Kwee Teng An. Salah seorang di antara mereka segera berlari
ke tenda Lie Tsu Seng, dan melapor. "Celaka! Di luar ada
pembunuh."
"Pembunuh?" Lie Tsu Seng mengerutkan kening. "Siapa
pembunuh itu?"
"Entahlah."
"Dia mau membunuh siapa?"
"Dia mau membunuh...."
"Dia mau membunuhku, kan?"
"Betul."
Sementara Yo Suan Hiang, Tan Ju Liang, Lim Cin An dan
Cu Tiang Him saling memandang, kemudian semuanya
memberi hormat kepada Lie Tsu Seng seraya berkata,
"Kami akan menghadapi mereka!"
"Hati-hati!" pesan Lie Tsu Seng.
Yo Suan Hiang dan lainnya segera meleset keluar ke
tempat itu. Mereka melihat Kwee Teng An sedang membantai
para penjaga di sana. Di saat mereka baru mau meleset ke
hadapan pemuda itu, mendadak terdengar suara tawa
cekikikan. "Hi hi hi! Anak muda, ternyata engkau ke sini membantai
para pejuang!" Terdengar pula suara seruan merdu, lalu
melayang turun seorang wanita muda yang sangat cantik,
sepasang matanya mengerling mempesonakan.
Begitu melihat kecantikan wanita muda itu Kwee Teng An
terpukau sehingga matanya terbelalak lebar.
"Nona cantik! Siapa engkau?" tanyanya dengan tersenyum
lembut. "Kenapa engkau mencampuri urusanku?"
"Wuah, bukan main lembutnya senyumanmu" Wanita muda
itu tertawa nyaring sambil menatapnya. "Tapi... penuh
kelicikan!"
"Nona manis!" Kwee Teng An tertawa. "Bolehkah aku tahu
siapa engkau?"
"Namaku Tu Siao Cui, juiukanku adalah Bu Ceng Sianli!"
Sungguh di luar dugaan, wanita muda itu ternyata Bu Ceng
Sianli-Tu Siao Cui..
"Oooh!" Kwee Teng An tersenyum. "Nona Tu, engkau
memang secantik bidadari, aku senang sekali bertemu


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

denganmu."
"Oh, ya?" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan "Tapi sebaliknya
aku malah tidak senang melihat mu."
"Lho" Kenapa?"
"Aku mengikutimu dari ibu kota, tak kusangka engkau ke
mari membantai para pejuang!"
"Terimakasih atas kesediaanmu mengikuti aku dari ibu
kota!" ujar Kwee Teng An sambil tertawa tawa. "Itu pertanda
engkau suka padaku! Ya. kan?"
"Hi hi hi! Kira-kira begitulah," sahut Bu Ceng Sianli.
"Bolehkah aku tahu asal-usulmu?" tanyanya.
"Namaku Kwee Teng An. Mengenai asal usulku...." Pemuda
itu menatapnya dengan penuh gairah nafsu birahi. "Kelak aku
akan memberi-lahukan kepadamu!"
"Oh?" Bu Ceng Sianli tersenyum. "Sudah tiada kelak lagi
bagimu!" Ketika menyaksikan senyuman itu, Kwee Teng An nyaris
menerjang untuk memeluknya.
"Nona Tu! Terus terang, aku sangat tertarik kepadamu!
Rasanya ingin sekali menemani tidur. aku yakin engkau tidak
berkeberatan, bukan?"
"Hi hi hi!" Bu Ceng Suanli hanya tertawa cekikikan, tidak
menyahut. Sementara Yo Suan Hiang dan lainnya me-mandang
mereka dengan mata terbelalak. Mereka tuntu sekali tidak
kenal Kwee Teng An dan Bu Ceng Sianli, namun mereka
berlega hati, karena Bu Ceng Sianli kelihatan berada di pihak
mereka. "Nona Tu, Setelah aku memenggal kepala Lie Tsu Seng,
bagaimana kalau kita pergi bersenang-senang?"
"Idiih! Engkau kok begitu genit?"
"Engkau bersedia menemaniku bersenang-senang, kan?"
"Akan kupertimbangkan! Tapi...." Mendadak Bu Ceng Sianli
menatapnya tajam. "Aku tidak mengizinkan engkau
memenggal kepala Lie Tsu Seng!"
"Kenapa?" Kwee Teng An mengerutkan kening. "Engkau
punya hubungan dengan pemimpin pemberontak itu?"
"Tidak ada hubungan apa-apa!"
"Kalau begitu, kenapa engkau ingin menghalangiku
memenggal kepalanya" Apa alasanmu"
"Lie Tsu Seng adalah pejuang demi rakyat maka aku harus
melindunginya."
"Oh?" Kwee Teng An tersenyum, kemudian mendadak
menatap Bu Ceng Sianli dengan tajam sekali sambil
mengerahkan Toh Hun Tay Hoat untuk mempengaruhinya.
"Tu Siao Cui, engkau harus menuruti perintahku!"
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli malah tertawa cekikikan. "Anak
muda, percuma engkau mengerahkan ilmu sesatmu, karena
aku tidak akan terpengaruh."
"Hah?" Bukan main terkejutnya Kwee Tcn An. "Nona Tu...."
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan lagi. "Engkau
perlu tahu sebelum engkau di lahirkan, aku sudah belajar ilmu
sesat!" "Ha ha ha!" Kwee Teng An tertawa. "Nona Tu, engkau
bergurau...."
"Diam!" bentak Bu Ceng Sianli mendadak "Cepatlah engkau
enyah dari sini! Kalau tidak aku pasti turun tangan
membunuhmu!"
"Oh?" Kwee Teng An tertawa lagi. "Ha ha ha! Engkau kok
galak amat" Sungguh kebetulan, aku memang suka gadis
galak! Ha ha ha...!"
"Anak muda!" Bu Ceng Sianli mengerutkan kening.
"Betulkah engkau tidak mau enyah?"
"Aku sudah jatuh cinta kepadamu, bagaimana mungkin aku
akan enyah dari sini?"
"Engkau memang ingin cari mampus!"
"Nona Tu!" Kwee Teng An tersenyum. "Berhubung aku
sudah jatuh cinta kepadamu, maka aku tidak mau bertarung
denganmu! Tapi... aku kan membunyikan sesuatu untuk
engkau dengar!"
Bu Ceng Sianli tercengang, Kwee Teng An mengeluarkan
sebuah benda. Ketika melihat benda itu, air muka Bu Ceng
Sianli langsung berubah ia segera berseru.
"Cepatlah kalian semua menyingkir! Kalau tidak kalian
semua pasti mati!"
Yo Suan Hiang dan lainnya saling memandang, lama sekali
barulah Yo Suan Hiang berseru.
"Mari kita menyingkir!"
Mereka semua langsung menyingkir, membuat Bu Ceng
Sianli menarik nafas lega.
"Nona Tu!" Kwee Teng An menatapnya "Engkau kenal
benda ini?"
"Tidak, tapi pernah mendengar," sahut Bu Ceng Sianli.
"Benda itu adalah Genta Maut! Ya, kan?"
"Tidak salah!" Kwee Teng An manggut-manggut. "Engkau
tahu Genta Maut ini, berarti l juga akan kelihayannya! Oleh
karena itu, baik engkau menyerah."
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa nyari "Engkau tidak tahu
jelas tentang asal-usulku maka engkau berani omong besar di
hadapanku"
"Nona Tu," Ujar Kwee Teng An sun sungguh. "Lebih baik
kita damai. Sebab aku sudah jatuh cinta kepadamu."
"Kita boleh damai, tapi engkau harus lepaskan Lie Tsu
Seng!" "Tidak bisa! Aku kemari justru ingin memenggal kepalanya.
Kalau aku berhasil memenggal kepalanya, maka aku akan
hidup senang mewah. Tentunya engkau boleh ikut mencicip
nya! Ha ha ha...!"
"Kalau begitu...." Wajah Bu Ceng Sianli berubah dingin.
"Aku terpaksa harus menghajarmu!"
"Baik! Aku akan melumpuhkanmu dengan Genta Maut ini!"
sahut Kwee Teng An dan ia membunyikan Genta Maut
tersebut. Seketika sekujur badan Bu Ceng Sianli getar keras,
sedangkan Yo Suan Hiang dan lain cepat-cepat menutup
telinga. Wajah mereka pucat pias, lalu menyingkir lebih jauh.
Di saat itu terdengar suara siulan panjang. Ternyata Bu Ceng
Sianli mengeluarkan suara siulan untuk menekan Genta Maut
itu. Maka terdengarlah suara siulan dan bunyi Genta Maut yang
saling menyusul. Kwee Teng terus membunyikan Genta Maut
itu, bukan bermaksud membunuh Bu Ceng Sianli, melainkan
iya ingin melumpuhkannya. Sedangkan Bu Ceng sianli terus
mengerahkan Lwee Kangnya bersiul untuk menekan bunyi
Genta Maut itu.
Di saat bersamaan, Tio Bun Yang, Tan Giok Lan dan lainnya
telah tiba di tempat itu. Ketika mendengar suara-suara
tersebut kening Tio Bun Yang langsung berkerut.
"Kakak Giok Lan, kalian semua harus menunggu di sini!"
Pesan Tio Bun Yang dan membertahukan, "Sebab kalau kalian
mendekati tempat itu, bunyi genta itu pasti mencelakai kalian!
aku kenal wanita itu. Kelihatannya ia agak kewalahan
menghadapi bunyi genta itu, maka aku harus ke sana
membantunya!"
"Hati-hati, Adik Bun Yang!" Ujar Tan Giok Lan.
"Ya!" Tio Bun Yang mengangguk sambil mengeluarkan
suling pusakanya. Kemudian ia mencari ke tempat itu dan
mulai meniupnya.
Terdengarlah alunan suling yang amat lembut
menyamankan. Begitu mendengar suara suling itu, wajah Bu
Ceng Sianli langsung berseri, karena ia sudah tahu siapa
peniupnya. Sebaliknya Kwee Teng An malah terkejut. Ia terus
membunyikan Genta Mautnya sambil paling. Ketika melihat
siapa yang muncul, mukanya langsung berubah hebat, karena
tidak menyangka kalau Tio Bun Yang akan muncul tempat itu.
Oleh karena itu, timbullah nafsu membunuhnya.
Kwee Teng An memperkeras bunyi Genta Mautnya. Betapa
terkejutnya Bu Ceng Sianli Namun di saat bersamaan, ia pun
mendengar suara suling yang makin lembut tapi bernada
tinggi dan terus meninggi.
Bu Ceng Sianli berhenti bersiul, lalu dia bersila di bawah
sambil mengerahkan lweekang nya.
Sementara Kwee Teng An terus memperkuat bunyi Genta
Mautnya, sedangkan suara suling Bun Yang semakin lembut
dan bernada semakin tinggi.
Daaar! Mendadak suara ledakan. Ternyata Genta Maut itu
meledak, sehingga membuat Kwee Teng An terpental
beberapa depa. Setelah berdiri ia menatap Tio Bun Yang
dengan mata berapi
"Adik! Adik...!" seru Bu Ceng Sianli saambil bangkit berdiri.
"Kakak Siao Cui!" sahut Tio Bun Yang den girang. "Kakak
Siao Cui...."
"Ha ha ha!" Kwee Teng An tertawa gelak "Tio Bun Yang,
engkau memang hebat karena suara sulingmu mampu
meledakkan Genta Maut! Tapi engkau akan menderita sekali!"
"Oh?" Tio Bun Yang mengerutkan kening, ketika ia baru
mau maju justru Bu Ceng Sianli mencegahnya.
"Adik, biarlah aku yang menghadapinya! Dia berani
menghinaku, maka aku harus mengajarnya!"
"Sungguh tak disangka!" Kwee Teng An memandang Tio
Bun Yang. "Engkau punya seorang kakak perempuan yang
begitu cantik! Ha ha ha! aku sudah jatuh cinta kepadanya!"
"Diam!" bentak Bu Ceng Sianli. "Bersiap-siplah! Aku akan
menyerangmu!"
"Yaah!" Kwee Teng An menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa kita harus bertarung" Bukankah lebih baik kita
bersenang-senang di tempat tidur?"
"Binataang!" bentak Bu Ceng Sianli gusar, lalu
menyerangnya dengan sengit.
"Ha ha ha!" Kwee Teng An tertawa gelak sambil berkelit,
kemudian balas menyerang.
Bu Ceng Sianli terkejut karena tidak menyangka pemuda itu
berkepandaian begitu tinggi. Demikian pula Kwee Teng An, ia
pun tidak penyangka wanita cantik itu berkepandaian tinggi
"Berisi juga engkau!" ujar Bu Ceng Sianli.
"Tentu," sahut Kwee Teng An. "Engkau pun berisi,
terutama badanmu dan...."
Kwee Teng An tidak melanjutkan ucapannya. Kwee Teng
An terpental ke belakang berapa langkah, begitu pula Bu Ceng
Sianli, namun tiada seorang pun yang terluka.
Kira-kira dua puluh jurus kemudian, mendadak Bu ceng
Sianli menghentikan serangannya
"Ha ha ha!" Kwee Teng An tertawa. "Nona sungguh hebat
Ilmu Jari Saktimu! Dadaku nyaris berlubang."
"Sambut lagi seranganku!" bentak Bu Ceng sianli dan
menyerangnya. Kali ini ia mengeluarkan jurus Cian Ci Keng
Thian (Ribuan Jari Mengejutkan Langit). Tampak bayanganbayangan
jarinya berkelebatan mengarah kepada Kwee Ceng
An. Pemuda itu tertawa panjang dan tiba-tiba badannya
berputar-putar sekaligus sepasang lengannya, Ia menangkis
dengan salah satu jurus Pek Kut Im Sat Ciang.
Blaaaam...!! Terdengar suara lagi suara benturan yang
memekakkan telinga.
Kwee Teng An terpental beberapa depa, Bu Ceng Sianli pun
terpental dengan wajah pucat pasi.
"Kakak Siao Cui!" seru Tio Bun Yang sambil melesat ke
arahnya. "Bagaimana" Engkau terluka?"
Bu Ceng Sianli menggelengkan kepala, dan segera
mengatur pernafasannya. Sedangkan Kwee Ceng An terus
memandang mereka, kemudian tertawa gelak seraya berkata
lantang. "Ha ha ha! Nona Tu, engkau memang hebat! Ilmu jarimu
mampu melubangi pakaianku! Tapi aku belum mengerahkan
seluruh lweekang karena aku tidak berniat melukaimu! Ha ha
Kelak kita akan berjumpa lagi!" Mendadak Kwee Teng An
melesat pergi seraya berseru, "Tio Yang, kini engkau pasti
tersiksa sekali hati Ha ha ha...!"
Tio Bun Yang mengerutkan kening, Ia ti mengejar pemuda
itu, karena khawatir Bu G Sianli terluka. Oleh karena itu, ia
cepat-cepat memeriksa Bu Ceng Sianli dan seusai memeriksa
wanita itu, ia menarik nafas lega.
"Untung kakak tidak luka! Ilmu pukulan sungguh beracun!
Kalau kakak tidak memiliki lweekang tinggi, tentu sudah
celaka oleh beracun itu!"
"Aaah...!" Bu Ceng Sianli menghela nafas panjang. "Aku tak
menyangka sama sekali. Kalau pemuda itu berkepandaian
begitu tinggi! Kalau aku tidak memiliki Hian Goang Sin Kang,
aku pasti sudah celaka di tangannya!"
Di saat mereka bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar suara
seruan yang penuh kegembiraan
"Bun Yang! Bun Yang...!" Ternyata Yo Suan Hiang yang
berseru sambil menghampirinya.
"Bibi! Bibi!" sahut Tio Bun Yang girang.
"Bun Yang!" Yo Suan Hiang menatapnya kemudian
membelainya. "Engkau sudah bertambah besar dan ganteng,
tapi... kenapa agak kurus ?"
"Bibi...." Tio Bun Yang tersenyum getir.
"Oh ya!" Yo Suan Hiang memberi hormat kepada Bu Ceng
Sianli. "Terimakasih atas tertolong Adik! Kalau Adik tidak
muncul, kami semua pasti sudah mati di tangan orang itu!"
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan.
"Kakak!" Tio Bun Yang memperkenalkan mereka. "Ini
bibiku." "Adik!" Bu Ceng Sianli tertawa lagi. "Dia bibi asli atau cuma
bibi-bibian?"
"Ayahnya adalah kakak angkatku, maka Bun Yang harus
memanggilku bibi," sahut Yo Suan Hiang dan menambahkan,
"Engkau pun harus memanggilku bibi!" .
"Oh ya?" Bu Ceng Sianli tertawa nyaring, namamu?"
"Yo Suan Hiang!"
"Aku akan memanggil namamu saja."
"Apa?" Yo Suan Hiang terbelalak dan membatin. "Sungguh
kurang ajar wanita muda ini!"
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli menatapnya. "Engkau mencaciku
kurang ajar dalam hati! Ya, kan?" katanya.
"Itu...." Yo Suang Hiang tersentak.
"Bibi, Kakak Siao Cui...." Tio Bun Yang ingin
memberitahukan tentang Bu Ceng Sianli, namun Yo Suan
Hiang sudah memotongnya.


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak apa-apa! Tidak apa-apa." Yo Suan Hiang tersenyum.
"Mari kita pergi menemui Lie Tsu Seng!"
"Baik." Tio Bun Yang mengangguk Mereka semua menuju
tenda di mana Lie Tsu Seng berdiri di situ. Ia pun sudah
melihat kejadian tadi
"Paman! Paman!" Panggil Tio Bun Yang girang.
"Bun Yang!" Lie Tsu Seng memegang bahunya. "Sudah
lama kita tidak bertemu. Bagaimana Engkau baik-baik saja
selama ini?"
"Aku baik-baik saja, Paman." sahut Tio Bun Yang.
"Syukurlah!" ucap Lie Tsu Seng, kemudian memandang Bu
Ceng Sianli sambil memberi hormat. "Lihiap (Pendekar
Wanita), terimakasih atas pertolonganmu!"
"Ngmmm!" Bu Ceng Sianli manggut-manggui dengan
penuh perhatian lalu menatapnya dengan penuh perhatian
"Engkau memang gagah dan berwibawa, namun kalau engkau
berhasil menjadi kaisar kelak, janganlah cuma tahu
bersenang-senang dengan wanita cantik, harus
memperhatikan nasib rakyat, jangan hanya mementingkan diri
sendiri!" "Tentu, tentu." Lie Tsu Seng tertawa gelak
Sikap Bu Ceng Sianli yang agak kurang ajar itu tidak
membuatnya gusar maupun tersinggung, na mun membuat
Yo Suan Hiang mengerutkan kening. Kemudian Lie Tsu Seng
mempersilakan duduk. "Silakan duduk!"
"Terimakasih!" ucap Tio Bun Yang sambil duduk. Bu Ceng
Sianli juga duduk dan kemudian berkata kepada Tio Bun Yang.
"Adik, tak disangka kita bertemu di markas Lie Tsu Seng
ini!" "Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Memang sungguh di luar
dugaan!" "Bun Yang !" Yo Suan Hiang memandangnya. "Kok engkau
kemari bersama Giok Lan?"
"Bibi!" Tan Giok Lan segera menutur tentang kejadian itu.
"Oooh!" Yo Suan Hiang manggut-manggut. "kalau Bun
Yang tidak muncul, kalian semua pasti celaka!"
"Ya!" Tan Giok Lan mengangguk.
"Bun Yang!" Lie Tsu Seng memandangnya "Engkau
bertambah ganteng tapi kenapa badanmu agak kurus?"
"Paman aku ..." Tio Bun Yang mengelengkan kepala
"Bun Yang,.." Yo Suan Hiang tersentak "Apa yang telah
terjadi tuturkanlah pada kami,.."
"Aku...." Tio Bun Yang menutur semua kejadian itu
Yo Suan Hiang dan Lie Tsu Seng mendengarkan dengan
penuh perhatian kemudian mereka. menggeleng-gelengkan
kepala "Jadi hingga saat ini engkau belum bertemu Goat Nio?"
tanya Yo Suan Hiang dengan kening berkerut-kerut.
"Belum," sahut Tio Bun Yang sambil menghela nafas
panjang. "Aaaah...." Lie Tsu Seng menggeleng-gelengkan kepala.
"Dinasti Beng makin bobrok, sedangkan rimba persilatan
justru makin kacau-balau!"
"Lie Tsu Seng," tanya Bu Ceng Sianli mendadak. "Betulkah
kalian telah berhasil merebut beberapa kota penting?"
"Betul." Lie Tsu Seng mengangguk. Air mukanya tampak
agak berubah, karena Bu Ceng Sianli memanggil namanya
langsung. "Bu Ceng Sianli!" Yo Suan Hiang memandangnya dengan
kening berkerut. Ia ingin menegurnya tapi merasa tidak enak,
sebab wanita muda itu telah menyelamatkan mereka semua
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan "Suan Hiang,
engkau ingin menegur aku karena menurutmu aku sangat
kurang ajar, bukan" Nah, perlukah aku minta maaf?"
"Itu...." Apa yang diucapkan Bu Ceng Sianli sungguh
membuat Yo Suan Hiang serba salah, namun bersamaan
dengan itu Lie Tsu Seng tertawa gelak.
"Ha ha ha! Itu tidak perlu. Aku sama sekati tidak
mempermasalahkan itu," ujar Lie Tsu Seng sungguh-sungguh.
"Bagus! Bagus! Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli terawa nyaring.
"Lie Tsu Seng, engkau betul-betul berjiwa besar. Tidak sia-sia
aku menyelamatkanmu. Hi hi hi!"
"Terimakasih,.terimakasih!" ucap Lie Tsu Seng.
Sementara Yo Suan Hiang terus memandang Tio Bun Yang,
kelihatannya menghendakinya menutur tentang Bu Ceng
Sianli. "Bibi...." Tio Bun Yang tersenyum. "Kenapa kau terus
memandangku?"
"Bun Yang, bibi justru merasa heran," sahut Yo Suan
Hiang. "Nona Tu baru berusia dua puluhan, tapi kenapa
engkau memanggilnya kakak?"
"Maksud bibi aku harus memanggilnya adik?" tanya Tio Bun
Yang sambil tertawa geli.
"Seharusnya begitu." Yo Suan Hiang manggut-manggut.
"Bibi, sebetulnya aku malah harus memanggilnya nenek
tua." ujar Tio Bun Yang.
"Eh?" Yo Suan Hiang terbelalak. "Sekian lama tidak
bertemu, bibi tidak menyangka engkau suka bergurau."
"Aku tidak bergurau, Bibi," sahut Tio Bun Yang. "Kalau
menurut usia dan aturan, aku memang harus memanggilnya
nenek tua. Mungkin Bibi dan Paman Lie pun harus
memanggilnya nenek."
"Apa?" Yo Suan Hiang melotot. "Bun Yang, kau...."
"Bun Yang!" Lie Tsu Seng menatapnya heran
"Aku yakin engkau tidak bergurau, tapi... jelaskanlah'"
"Sesungguhnya kakak Siao Cui sudah berusia hampir
sembilan puluh." Tio Bun Yang memberitahukan. "Maka dia
tidak salah memanggil nama Bibi dan nama Paman."
"Haaah...?" Mulut Lie Tsu Seng terngangalebar, kemudian
menatap Tio Bun Yang sambil mengerutkan kening. "Engkau...
engkau sudah tidak waras ya?"
"Paman!" Tio Bun Yang tersenyum. "Kita melihat kakak
Siao Cui berusia dua puluhan, tapi usianya memang sudah
hampir sembilan puluh Itu karena kakak Siao Cui mengalami
suatu kemujizatan alam."
"Oh?" Yo Suan Hiang masih kurang percaya
"Bibi!" Tio Bun Yang tersenyum lagi. "Semula aku pun
seperti Bibi, sama sekali tidak percaya Tapi kemudian barulah
aku percaya, karena ada buktinya "
"Bukan main!" Lie Tsu Seng menggeleng-gelengkan kepala.
"Tu lihiap, bolehkah engkau menceritakan tentang
kemujizatan itu?"
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan kemudian
barulah menutur tentang apa yang dialaminya
Yo Suan Hiang dan Lie Tsu Seng mendengarkan dengan
mulut ternganga lebar saking takjubnya. Apa yang dituturkan
Bu Ceng Sianli mirip suatu dongeng, namun justru nyata, "Itu
sungguh merupakan kemujizatan alam!" ujar Yo Suan Hiang
sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau begitu, aku yang
harus mohon maaf kepada lo cianpwee."
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa geli. "Jangan
Memanggilku lo cianpwee, sebab akan membuat sekujur
badanku jadi merinding. Engkau cukup memanggilku kakak
saja." "Kakak!" panggil Yo Suan Hiang girang. "Ohya, kepandaian
kakak tinggi sekali. Kami semua berhutang budi kepada
kakak." "Jangan berkata begitu!" Bu Ceng Sianli tersenyum. "Itu
memang kebetulan sekali. Aku sedang menyelidiki seseorang,
tanpa sengaja aku tiba di ibu kota dan melihat seseorang
melakukan perjalanan tergesa-gesa. Itu menimbulkan
kecurigaanku, maka aku terus menguntitnya. Akhirnya di
tempat ini, aku melihat dia membunuh para pejuang yang
menjaga di luar. Segeralah aku memunculkan diri dan
melawannya, tapi tak di sangka kepandainnya begitu tinggi."
"Kalau aku tidak memiliki suling pusaka, tentu tidak bisa
membuat genta itu pecah," ujar Tio Bun Yang. "Entah genta
apa itu" Begitu hebat!".
"Itu adalah Genta Maut." Bu Ceng Sianli memberitahukan.
"Guruku pernah menceritakan Genta Maut itu, justru tidak
disangka pemuda itu memiliki benda tersebut."
"Ilmu pukulannya sungguh ganas dan beracun!" Tio Bun
Yang memberitahukan. "Kelihatannya dia masih belum
mengerahkan seluruh lwekangnya. Aku sangat heran kenapa
dia tidak mengerahkan seluruh Iweekangnya untuk melukai
kakak?" "Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikik; "Itu karena dia
telah jatuh cinta kepadaku. Apabila dia mengerahkan seluruh
Iweekangnya, akupun akan mengerahkan Hian Goang Sin
Kang sampai pada puncaknya."
"Oooh!" Tio Bun Yang mengangguk. "Kakak tahu ilmu
pukulan apa itu?" tanyanya.
"Sepasang telapak tangannya mengeluarkan uap, mirip...."
Bu Ceng Sianli terus berpikir, kemudian baru melanjutkan
ucapannya. "Itu mirip pukulan Pek Kut Im Sat Ciang."
"Apa?" Tio Bun Yang nyaris meloncat bangun saking
terkejut. "Itu adalah ilmu pukulan Pek Im Sat Ciang?"
"Kalau tidak salah, sebab aku pernah mendengar tentang
ilmu pukulan itu dari guruku Mendadak wajah Bu Ceng Sianli
berubah hebat "Pemuda itu...."
"Dia ketua Kui Bin Pang!" seru Tio Bun Yang tak tertahan.
"Tidak salah." sahut Bu Ceng Sianli. "Hanya ketua Kui Bin
Pang yang mahir ilmu pukulan tersebut."
"Kakak tahu nama pemuda itu?" tanya Tio u n Yang.
"Dia bernama Kwee Teng An." Bu Ceng Sianli
Memberitahukan.. "Aku mendengar namanya dipanggil
seseorang."
"Kwee Teng An! Kwee Teng An...." gumam Tio Bun Yang
"Dia...."
Mendadak Tio Bun Yang melesat pergi tanpa pamit lagi. Itu
sungguh mengejutkan semua orang.
"Bun Yang!" teriak Yo Suan Hiang memangnya.
"Adik!" seru Bu Ceng Sianli. "Adik...!" Namun pemuda itu
sudah tidak kelihatan, ternyata ia melesat pergi menggunakan
ginkang. "Heran?" gumam Yo Suan Hiang tidak mengerti. "Kenapa
mendadak dia melesat pergi?"
"Aku yakin dia pasti pergi mencari pemuda tadi" sahut Bu
Ceng Sianli. "Sebab Goat Nio berada di tangan Ketua Kui Bin
Pang itu."
"Apa?" Yo Suan Hiang terkejut bukan main. "Pemuda itu
adalah ketua Kui Bin Pang?"
"Menurutku memang tidak salah," sahut Bu rng Sianli.
"Sebab dia tadi menangkis seranganku dengan ilmu Pek Kut
Im Sat Ciang."
"Kalau begitu...." Kening Yo Suan Hiang berkerut. "Goat Nio
masih berada di tangannya."
"Maka Bun Yang segera melesat pergi. Dia pasti pergi
mencari pemuda itu." ujar Bu Ceng Sianli dan berpamit. "Maaf,
aku harus segera pergi menyusul Bun Yang."
Bu Ceng Sianli melesat pergi. Lie Tsu Sen dan Yo Suan
Hiang dan lainnya hanya duduk mematung di tempat,
kemudian mereka saling memandang dan menghela nafas
panjang. "Aaah...," ujar Lie Tsu Seng. "Aku telah berhutang budi
kepada Tu lihiap! Dia menyelamatkan nyawaku!"
-oo0dw0oo- Bagian ke enam puluh delapan
Kim Coa Long Kun (Pendekar Pedang Ular Emas)
Tio Bun Yang melakukan perjalanan siang malam ke ibu
kota. Ternyata ia mengetahui tentang Kwi Teng An dari Ma
Giok Ceng. Ketika mendengi nama pemuda itu, maka ia
langsung meleset pergi sebab Bu Ceng Sianli juga mengatakan
bahwa Kwee Teng An adalah ketua Kui Bin Pang.
Sesampainya di ibu kota, tidak sulit mencari rumah Menteri
Ma, Ia langsung ke rumah tersebut, tetapi para pengawal di
situ jelas menghadangnya.
"Aku ingin menemui Menteri Ma," ujar Tio m Yang. "Siapa
engkau dan ada urusan apa mau menemui Menteri .Ma?"
tanya salah seorang pengawal.
"Engkau tidak usah tahu!" bentak Tio Bun Yang.
"Eh?" Pengawal itu melotot. "Engkau berani mengacau di
rumah Menteri Ma?"
"Cepat antar aku ke dalam!" Tio Bun Yang menatap para
pengawal itu. "Aku mau menemui menteri Ma!"
"Tidak bisa!" Pengawal itu menggelengkan kepala. "Kepala
pengawal tidak ada, maka engkau tidak boleh sembarangan
masuk!" "Maksudmu Kwee Teng An?" tanya Tio Bun Yang.
"Engkau kenal dia?" Pengawal itu balik bertanya dengan
heran. "Aku memang kenal dia!" sahut Tio Bun Yang berdusta,
pada hal ia tidak mengenalnya.
"Itu...." Pengawal itu tampak ragu mempersilahkan Tio Bun
Yang masuk. "Kami...."
Di saat itulah Tio Bun Yang menerobos masuk
menggunakan Kiu Kiong San Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat)
dan seketika juga ia menghilang dari pandangan para
pengawal. "Hah?" para pengawal terbelalak.. "Ke mana pemuda itu"
Kenapa bisa menghilang mendadak?"
"Dia... dia...." Salah seorang pengawal menengok ke sana
ke mari. "Hah" Itu...."
Pengawal itu melihat sosok bayangan berkelebat memasuki
rumah Menteri Ma, begitu juga yang lainnya.
"Mari kita kejar dia!" Terdengar suara seruan
"Celaka!" keluh seorang pengawal dengan wajah pucat
pias. "Pemuda itu telah menerobos ke dalam, kita semua pasti
dihukum!" "Ayoh, mari kita ke dalam!" seru seorang pengawal.
Mereka segera berlari-lari ke dalam, sementara Tio Bun
Yang sudah berada di dalam rumah itu.
"Menteri Ma" Menteri Ma...!" teriaknya.
"Ada apa?" Menteri Ma muncul dari kamarnya. Ketika
melihat Tio Bun Yang, tertegunlah menteri itu. "Siapa engkau"
Sungguh berani engkau memasuki rumahku!"
"Menteri Ma!" Tio Bun Yang menatapnya "Di mana Kwee
Teng An" Di mana Kwee Teng An?" tanyanya.
"Kwee Teng An?" Menteri Ma mengerutkan kening. "Anak
muda, engkau punya hubungan apa dengannya?"


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan bertanya! Cepat katakan di mana dia!" bentak Tio
Bun Yang sambil melangkah maju.
"Engkau..., engkau mau apa?" Menteri Ma ketakutan dan
langsung berteriak-teriak. "Pengawal...Pengawal...!"
Seketika muncullah para pengawal, yang langsung
menyerang Tio Bun Yang dengan berbagai macam senjata.
Tio Bun Yang cuma mengibaskan lengan bajunya, seketika
beberapa pengawal terpental, lalu jatuh terbanting tak bangun
lagi. "Bunuh dia!" teriak menteri Ma. "Cepat bunuh dia"
Para pengawal saling memandang, kemudian mereka mulai
menyerang Tio Bun Yang lagi. serperti barusan, Tio Bun Yang
tetap mengibaskan lengan bajunya terus, sehingga membuat
para pengawal itu terpental ke sana ke mari. Setelah itu Tio
Bun Yang mengarah memandang Menteri
"Cepat katakan, di mana Kwee Teng An?"
"Dia..., dia tidak ada di sini," sahut Menteri Ma dengan
tubuh menggigil. "Dia... pergi."
"Dia pergi ke mana?"
"Dia..., dia...."
"Kapan dia pergi?"
"Beberapa hari yang lalu." Menteri Ma memberitahukan.
"Hingga kini dia masih belum pulang."
"Betulkah dia belum pulang?"
"Betul." Menteri Ma mengangguk. "Aku tidak bohong...."
"Hm!" dengus Tio Bun Yang dingin. "Menteri Ma
mengutusnya pergi memenggal kepala Lie Tsu Seng, kan?"
"Itu..., itu...." Wajah menteri Ma berubah pucat. "Aku...."
"Dia tidak berhasil memenggal kepala Lie Tsu Seng, sebab
di saat itu muncul seorang pendekar wanita, kemudian aku
pun tiba di sana," ujar Bun Yang melanjutkan. "Maka dia tidak
berhasil memenggal kepala Lie Tsu Seng, sebaliknya malah
kabur." "Oh?" Menteri Ma tampak kecewa sekali "Tahukah siauhiap
dia ke mana?" tanyanya
"Aku justru ke mari mencarinya."
"Kenapa engkau menduganya kabur mari?"
"Dia kepala pengawal di sini, tentunya kembali ke sini."
"Engkau...." Menteri Ma menatapnya heran "Dari mana
engkau bisa tahu dia kepala pengawal di sini?"
"Aku mendengar dari Giok Ceng." Tio Bun Yang
memberitahukan sambil memandangnya "Ma Giok Ceng
adalah putrimu, kan?"
"Be..., betul." Menteri Ma mengangguk tampak terkejut.
"Engkau kok tahu itu?"
"Aku bertemu Giok Ceng."
"Siauhiap," bisik Menteri Ma. "Mari ikut aku ke ruang
tengah, kita bicara di sana saja!"
Menteri Ma melangkah ke ruang tengah. Tio Bun Yang
terpaksa mengikutinya karena masih ingin bertanya tentang
Kwee Teng An. "Silakan duduk!" ucap Menteri Ma setelah duduk.
"Terimakasih!" Tio Bun Yang duduk.
"Siauhiap!" Menteri Ma menatapnya dalam-dalam. Entah
apa sebabnya ia terkesan baik terhadap Tio Bun Yang. "Di
mana engkau bertemu anakku?"
Tio Bun Yang memberitahukan, dan Menterii Ma manggutmanggut
sambil menarik nafas panjang
"Terimakasih, siauhiap!" ucap Menteri Ma. "Engkau telah
menyelamatkan putriku. Oh ya, bolehkah aku tahu siapa
engkau?" "Namaku Tio Bun Yang."
"Ngmm!" Menteri Ma manggut-manggut. "Tio siauhiap,
bolehkah aku tahu di mana putriku sekarang."
"Maaf! Aku tidak bisa memberitahukan. Yang jelas dia
berada di tempat yang aman."
"Siauw hiap...." Menteri Ma menghela nafas panjang.
"Hingga kini aku justru masih bingung, kenapa putriku pergi
meninggalkan rumah."
"Ada dua sebab yang membuatnya minggat," seru Tio Bun
Yang. "Dia telah memberitahukan padaku."
"Dua sebab?" Menteri Ma mengerutkan kening. "Siauhiap,
beritahukanlah kepadaku aku mengetahuinya!"
"Pertama...." Tio Bun Yang memberitahukan "Menteri Ma
sering memfitnah menteri lain jenderal yang setia, sehingga
mereka dihukum mati oleh kaisar. Kedua dikarenakan menteri
ingin menjodohkannya kepada Kwee Teng An maka dia
langsung minggat."
"Aaaah...!" Menteri Ma menghela nafas panjang. "Padahal
aku tidak bermaksud menjodohkannya kepada Kwee Teng An.
Dia..., dia telah salah paham."
"Giok Ceng bilang ayahnya sangat menyukai Kwee Teng
An...." "Dia betul-betul telah salah paham," potong menteri Ma.
"Sesungguhnya aku Cuma...."
"Memperalat Kwee Teng An, bukan?"
"Yaah!" Menteri Ma menggeleng-gelengkan kepala. "Aku
tahu pemuda itu berhati licik, bahkan sangat berambisi pula.
Kalau aku kurang berhati-hati, nyawaku pasti melayang di
tangannya."
"Kalau sudah tahu itu, kenapa menteri Ma masih mau
mengangkatnya sebagai kepala pengawal di sini?"
"Siauhiap...." Menteri Ma menghela nafas panjang. "Kepala
pengawal lama ingin pulang ke kampung halamannya, maka
aku terpaksa mencari penggantinya."
"Maksud Menteri Ma adalah guru Giok Ceng?"
"Ya." Menteri Ma mengangguk, kemudian tersenyum seraya
berkata, "Bun Yang, aku harap engkau jangan memanggilku
Menteri Ma, lebih baik engkau memanggilku paman, sebab
engkau adalah teman putriku."
"Baik, Paman." Tio Bun Yang mengangguk.
"Oh ya!" Menteri Ma menatapnya seraya bertanya, "Kenapa
engkau ingin menemui Kwee Teng An?"
"Ingin menanyakan sesuatu kepadanya," sahut Tio Bun
Yang dan menambahkan, "Dia adalah penjahat besar, maka
Paman harus berhati-hati terhadapnya."
"Ya." Menteri Ma manggut-manggut. "Bun Yang...."
"Ada apa, Paman?" tanya Tio Bun yang.
"Terus terang, aku..., aku rindu sekali kepada Giok Ceng,"
jawab Menteri Ma sungguh sungguh. "Maka aku mohon
engkau sudi membujuknya pulang! Dia... adalah putriku
satunya." "Kalau Kwee Teng An masih berada di sini, aku yakin Giok
Ceng tidak akan pulang."
"Bun Yang, Kwee Teng An tidak akan ke mari lagi," ujar
Menteri Ma memberitahukan.
"Lho" Kenapa?" Air muka Tio Bun yang berubah. "Kenapa
dia tidak akan ke mari lagi?"
"Dia telah berjanji, apabila tidak berhasil memenggal kepala
Lie Tsu Seng, dia tidak akan kemari lagi."
"Aaakh...!" keluh Tio Bun Yang dengan wajah murung.
"Kalau begitu, aku harus ke mana men carinya?"
"Bun Yang!" Wajah Menteri Ma tampak serius. "Bagaimana
kalau kita saling membantu?"
"Saling membantu?" Tio Bun Yang tertegun "Bagaimana
caranya saling membantu?"
"Engkau pergi membujuk putriku pulang, sedangkan aku
akan menahan Kwee Teng An disini jika dia ke mari.
Bagaimana?"
"Itu...." Tio Bun Yang berpikir lama sekali dan akhirnya
mengangguk. "Baik, aku setuju."
"Kapan engkau berangkat?" tanya Menteri Ma dengan
wajah berseri. "Sekarang," sahut Tio Bun Yang singkat
"Bagus! Bagus! Ha ha ha!" Menteri Ma tertawa gembira.
"Bun Yang, mudah-mudahan engkau membujuk Giok Ceng
pulang!" "Mudah-mudahan, Paman!" Tio Bun Yang manggutmanggut,
lalu berpamit. Menteri Ma mengantarnya sampai di halaman. Begitu
sampai di halaman, mendadak Tio Bun Yang melesat pergi
menggunakan ginkang. Dalam waktu sekejap, pemuda itu
sudah hilang dari pandangan Menteri Ma.
"Sungguh hebat kepandaiannya!" gumamnya "Dia adalah
pemuda baik. Seandainya dia mecintai Giok Ceng, aku pasti
merestuinya. Mudah-mudahan dia berhasil membujuk Giok
Ceng pulang"
-oo0dw0oo- Tio Bun Yang terus melakukan perjalanan ke markas Ngo
Tok Kauw di Kota Kang Shi. Dua hari kemudian, ketika ia
memasuki sebuah lembah, mendadak terdengar suara
pertarungan. Sebetulnya Tio Bun Yang memburu waktu kemarkas Ngo
Tok Kauw, namun karena ingin tahu apa yang terjadi, maka ia
melesat ke tempat pertarungan itu.
Tampak seorang pemuda berusia dua puluh limaan sedang
bertarung melawan beberapa orang, belasan orang lainnya
sudah tergeletak tak bernyawa. Ketika melihat beberapa orang
itu, tersentaklah hati Tio Bun Yang, ternyata mereka adalah It
Hian Tojin ketua partai Butong, Wie Thian Cinjin ketua partai
Kun Lun dan Ceng Sim suthay ketua partai Go Bie.
Itu sungguh membuat Tio Bun Yang tidak habis pikir,
kenapa ketua-ketua partai itu mengeroyok pemuda itu"
Karena itu Tio Bun Yang memandang pemuda itu dengan
penuh perhatian.
Sebuah pedang berkelebatan di tangan pemud itu, bahkan
memancarkan cahaya keemas-emas Tio Bun Yang terbelalak
menyaksikan pedang itu, karena pedang itu berbentuk seperti
ular. Tiba-tiba Tio Bun Yang mengerutkan kening karena
ketiga ketua partai itu mulai terdesak Bun Yang yakin,
beberapa jurus lagi ketiga ketua partai itu pasti akan dilukai
pemuda tersebut. Justru karena itu, ia berteriak sambil
melesat arah mereka yang sedang bertarung. "Berhenti!"
Betapa terkejutnya ketiga ketua partai itu begitu pula pemuda
tersebut. Mereka segera berhenti bertarung sekaligus
memandang. Di saat bersamaan, Tio Bun Yang melayang
turun ditengah-tengah mereka.
"Hah?" ketiga ketua partai itu terbelalak namun kemudian
wajah mereka tampak berseri "Bun Yang!"
"Para ketua, apa kabar?" tanya Tio Bun Yang "Baik-baik
saja?" "Bun Yang!" It Hian Tojin tertawa gembira "Kami baik-baik
saja!" "Bun Yang!" Wie Hian Cinjin memandangnya seraya
berkata, "Kami berhutang budi lagi kepadamu. Kalau tiada
rumput Tanduk Naga itu kami masih gila."
"Yang berjasa adalah Hui Khong Taysu," ujar Tio Bun Yang
merendah. "Sebab Hui Khong taysu yang mengantar rumput
Tanduk Naga itu."
"Hmm!" Pemuda itu mendadak mendengus kngin. "Kalian
sudah usai berbasa-basi" Kalau sudah, mari lanjutkan
pertarungan ini!"
"Maaf Saudara!" sahut Tio Bun Yang. "Kenapa kalian
bertarung" Sudahlah! Jangan dilanjutkan lagi!"
"Hm!" dengus pemuda itu lagi sambil menatap Tio Bun
Yang dengan dingin.
"Ketua Butong!" tanya Tio Bun Yang. "Kenapa ketua
bertarung dengan orang itu?"
"Dia telah membunuh para murid kami, maka kami turun
tangan terhadapnya," jawab It Hian cijin dan menambahkan.
"Dia adalah penjahat yang harus dibasmi."
"Maaf!" ucap Tio Bun Yang dan bertanya, "apakah ketua
tahu sebab musababnya, kenapa orang itu membunuh para
murid kalian?"
"Kami..." It Hian Tojin tergagap-gagap. "Kami baru
bertanya kepadanya, namun dia tidak mau memberitahukan,
sehingga terjadilah pertarungan ini"
"Para ketua..." ujar Tio Bun Yang. "Urusan ini serahkan
padaku saja, biar aku menyelesaikannya! Bagaimana?"
Ketiga ketua partai itu saling memandang, mereka bertiga
tahu bahwa bila pertarungan itu lanjutkan, mereka bertigalah
yang akan celaka.
"Baiklah." It Hian Tojin manggut-manggut.
"Kami serahkan urusan ini kepadamu, terimakasih Bun
Yang!" Tio Bun Yang tersenyum, sedangkan ketiga ketua partai itu
segera menyuruh murid-murid menggotong mayat-mayat
yang tergeletak itu, dan meninggalkan tempat tersebut.
"Engkau memang cerdik," ujar pemuda itu dingin. "Engkau
tahu mereka tidak sanggup melawanku, maka menyuruh
mereka pergi secara halus."
"Saudara!" Tio Bun Yang tersenyum. "Sudahlah! Kenapa
harus memperpanjang urusan ini " Aku lihat kepandaianmu
sangat tinggi, boleh aku tahu siapa engkau?"
"Terus terang," sahut pemuda itu. "Kalau tidak merasa
suka kepadamu, bagaimana mungkin aku membiarkan mereka
pergi begitu saja?"
"Oh?" Tio Bun Yang menatapnya. "Terima kasih!"
"Mereka bertiga merupakan ketua partai besar, tapi justru
tiada kewibawaannya."
"Maksudmu?"
"Aku tidak mau mengatakan, itu demi nama baik perguruan
mereka. Tapi mereka malah menyerangku."
"Saudara?" tanya Tio Bun Yang. "Betulkah sebelumnya
engkau telah membunuh murid-mu mereka?"
"Betul."
"Kenapa engkau membunuh murid-murid mereka ?"
Pemuda itu diam, tak menyahut.
"Saudara," desak Tio Bun Yang. "Beritahukanlah! Sebab
aku akan menjernihkan urusan ini kepada ketua-ketua itu."
"Sebulan lalu, aku memergoki murid-murid partai Butong,
Kun Lun dan Go Bie melakukan perbuatan terkutuk."
"Mereka melakukan perbuatan apa?"
"Memperkosa di sebuah desa."
"Haaah?" Betapa terkejutnya Tio Bun Yang. "Me... mereka
memperkosa di sebuah desa?"
"Ya." Pemuda itu mengangguk. "Karena itu, aku
membunuh mereka semua. Aku paling benci lelaki yang
melakukan perbuatan itu."
"Kalau begitu, kenapa engkau tidak mau menjelaskan


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada ketua-ketua itu?" tanya Tio Bun Yang sambil
memandangnya. "Percuma." Pemuda itu menggelengkan kepala. "Sebab
ketiga ketua itu tidak akan percaya."
"Engkau bisa membuktikan itu?"
"Tentu."
"Kenapa engkau tidak mau membuktikan kepada ketiga
ketua itu, agar tidak terjadi pertumpahan darah ini?"
"Ketiga ketua itu pasti tidak akan percaya, lagi pula aku...
demi nama baik ketiga ketua itu. Tapi sebaliknya mereka
bertiga malah salam paham kepadaku, itu sungguh
mengesalkan."
"Baiklah." Tio Bun Yang manggut-manggut "Apabila aku
sempat, aku pasti pergi menemui ketiga ketua itu untuk
menjernihkan urusan ini"
"Saudara...." Pemuda itu menatapnya tajam "Sebetulnya
tidak perlu, itu cuma akan menyita waktumu saja."
"Tidak apa-apa." Tio Bun Yang tersenyum getir. "Itu agar
tidak terjadi pertarungan lagi."
"Saudara!" Pemuda itu menatapnya sabil tersenyum.
"Engkau bernama Bun Yang, apa julukanmu adalah Giok
Siauw Sin Hiap?"
"Betul." Tio Bun Yang mengangguk dan bertanya.
"Bolehkah aku tahu nama dan julukan mu?"
"Aku adalah Kim Coa Long Kun (Pendekar Pedang Ular
Mas)." Pemuda itu memberitahukan
"Kim Coa Long Kun..." gumam Tio Bun Yang. Ia tidak
pernah mendengarnya. "Apakah engkau baru berkecimpung di
rimba persilatan?"
"Ya." Kim Coa Long Kun mengangguk. "Oh, Mari kita duduk
di bawah pohon, aku merasa cocok denganmu. Kita...
mengobrol sebentar,"
"Baik." Tio Bun Yang tersenyum.
Mereka berdua duduk di bawah pohon, kemudian Kim Coa
Long Kun menghela nafas panjang.
"Dalam rimba persilatan memang penuh dengan berbagai
kelicikan, kejahatan dan kekejaman," ujarnya sambil
menggeleng-gelengkaan kepala. "Bahkan sering terjadi
pertumpahan darah, seperti halnya tadi. Aaaaaah...!"
"Saudara..." Tio Bun Yang menatapnya tajam, Wajahmu
penuh diliputi hawa membunuh, sebetulnya apa gerangan
yang telah terjadi atas dirimu?"
"Hmm!" Mendadak Kim Coa Long Kun mendengus dingin.
"Itu dikarenakan perbuatan kaum Rimba persilatan."
"Oh" Bolehkah engkau menceritakannya?"
"Aku berasal dari keluarga baik-baik..." tutur Kim Coa Long
Kun sambil memandang jauh ke lipan. "Punya orang tua dan
kakak perempuan, aku sangat disayang dan dimanja. Akan
tetapi, pada suatu malam...."
"Apa yang terjadi?"
"Malam itu...." Lanjut Kim Coa Long Kun sambil berkertak
gigi. Wajahnya pun berubah kehijau-hijauan. "Malam itu
terjadi hujan gerimis. aku sedang belajar menulis di dalam
kamar, mendadak muncul lima orang bertopeng, yang
ternyata perampok. Kedua orang tuaku dan kakak
perempuanku keluar dari kamar...."
"Kemudian bagaimana?"
"Kelima bertopeng itu langsung membunuh kedua orang
tuaku." Kim Coa Long Kun memberiahukan sambil mengepal
tinju. "Setelah memebunuh kedua orang tuaku, mereka
berlima memperkosa kakak perempuanku itu."
"Haaah...!" Mulut Tio Bun Yang ternganga lebar saking
terkejut. "Sungguh biadab mereka"
"Aku menyaksikan semua itu dengan mata kepala sendiri,
karena aku mengintip dari kamar" ujar Kim Coa Long Kun
dengan wajah dingin sekali. "Untung kelima perampok itu
tidak memasuki kamarku, maka aku lolos dari kematian"
"Saudara...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku belajar ilmu silat selama belasan tahun tujuanku untuk
membalas dendam." ujar Kim Long Koan, yang wajahnya
makin dingin. "Aku harus membunuh kelima perampok itu.
Aku harus bunuh mereka...."
"Apakah engkau berhasil membunuh mereka?"
"Aku tidak mengenali wajah mereka karena mereka
memakai topeng. Namun aku akan terus menyelidiki mereka.
Aku... aku harus membunuh mereka!"
"Saudara...." Tio Bun Yang memegang tangan nya sambil
menatapnya dengan penuh rasa simpati. "Engkau harus
tenang!" "Setelah berhasil menguasai ilmu silat tingkat tinggi, aku
akan berkecimpung dalam rimba persilatan dan mulai
membunuh para penjahat."
"Oooh!" Tio Bun Yang menganguk.
"Aku tidak punya sanak famili maupun teman aku hidup
seorang diri ditemani Pedang Emasku ini." Kim Coa Long Kun
memberitahukan. "Apabila Pedang Ular Emasku keluar dari
sarungnya, maka aku harus membunuh orang."
"Oh?" terbelalak Tio Bun Yang. "Tadi...."
"Engkau lihat kan tadi" Pedang Ular Emasku ini belum
keluar dari sarungnya, ketiga ketua itu masih bernasib mujur."
"Oh?" Tio Bun Yang tertegun. "Pedang Ular Emas itu
tergolong pedang yang haus darah?"
"Ya." Kim Coa Long Kun mengangguk, kemudian
menatapnya tajam seraya berkata. "Kudengar engkau
berkepandaian tinggi sekali, oleh karena itu aku ingin
bertanding denganmu."
"Saudara...."
"Engkau jangan menolak!"
"Tapi...."
"Ayolah!" desak Kim Coa Long Kun. "Mari lah bertarung
sebentar, jangan mengecewakan aku"
"Saudara...." Tio Bun Yang mengerutkan keningnya. "Untuk
apa kita bertanding ?"
Kim Coa Long Kun tidak menyahut. Ia langsung bangkit
berdiri, lalu menatap Tio Bun Yang higan dingin sekali.
"Kalau engkau tidak mau bertanding denganku maka aku
akan pergi membunuh ketiga ketua itu"
"Saudara...." Tio Bun Yang menghela nafas panjang dan
bangkit berdiri seraya berkata. "Baik. Kita akan bertanding
dengan tangan kosong atau dengan senjata?"
"Aku akan menggunakan pedangku," sahut Kim Coa Long
Kun. "Engkau pun harus menggunakan senjata!"
"Ya." Tio Bun Yang mengeluarkan suling "Inilah senjataku."
"Giok Siauw!" Kim Coa Long Kun manggut manggut.
"Pantaslah engkau memperoleh julukan Giok Siauw Sin Hiap!"
"Saudara!" Tio Bun Yang menatapnya"kita sudah
berkenalan, lagi pula tiada permusuhan antara kita, jadi... kita
tidak perlu saling melukai"
"Ha ha ha!" Kim Coa Long Kun tertawa, "Kita bertanding
cuma ingin mencoba kepandaian. Tentunya tidak perlu saling
melukai" "Oooh!" Tio Bun Yang menarik nafas lega.
"Saudara!" Kim Coa Long Kun menatapnya "Bersiapsiaplah,
aku akan mulai menyerangmu"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Hati-hati!" seru Kim Coa Long Kun sambil menyerang.
Tio Bun Yang segera berkelit. Kim Coa Kun menyerangnya
lagi, sedangkan Tio Bun Yang tetap berkelit menggunakan Kiu
Kiong San Pou (Ilmu Langkah Kilat).
Itu membuat Kim Coa Long Kun selalu menyerang tempat
kosong, sehingga ia tampak panasaran dan mendadak
menghentikan serangannya.
Kim Coa Long Kun berdiri tegak, pedangnya diluruskan ke
samping dan keningnya berkerut-kerut. Ternyata ia mulai
mengerahkan lweekangnya, karena ingin menyerang Tio Bun
Yang dengan Kim Coa Kiam Hoat (Ilmu Pedang Ular Emas).
Tio Bun Yang tidak berani main-main. Ia pun segera
mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sinkang. Berselang sesaat,
tiba-tiba Kim Coa Long Kun memekik keras sambil menyerang
Tio Bun Yang. Pedang Ular Emasnya berkelebatan dan
memancarkan cahaya keemas-emasan mengarah kepada Tio
Bun Yang. Tio Bun Yang bersiul panjang laIu mendadak badannya
berputar-putar ke atas dan sulingnya itu bergerak-gerak
Tranng! Terdengar suara benturan, kim Coa Long Kun
termundur-mundur berapa langkah, begitu pula Tio Bun Yang.
Mereka saling memandang, sejurus kemudian barulah Kim Coa
Long Kun menyerang lagi.
Tio Bun Yang mengayunkan sulingnya, makin lama makin
cepat, sehingga hanya tampak bayangan bayangan sulingnya.
Ternyata Tio Bun Yang mengeluarkan Cit Loan Kiam Hoat,
menggunakan jurus Kiam In Ap San (Bayangan Pedang
menekan Gunung) menangkis serangan Kim Coa kun.
Trangggg!! Terdengar suara benturan yang memekakkan
telinga Kim Coa Long Kun terhuyung-huyung ke belakang
beberapa langkah, sedangkan Tio Bun Yang berdiri tak
bergeming dari tempat.
Setelah berdiri tegak, barulah Kim Coa Lo Kun menatapnya
dengan dingin sekali, kemudian mengangkat pedangnya
sekaligus menghunusnya perlahan-lahan. Akan tetapi, tiba-tiba
ia menghela nafas panjang seraya berkata, "Sudahlah!
Kalaupun aku mencabut pedangku, belum tentu dapat
mengalahkanmu. Lagi pula kita sudah menjadi kawan, kenapa
harus bertanding hingga saling melukai?"
"Saudara!" Tio Bun Yang berlega hati. "Kau memang sudah
menjadi kawan, aku..aku girang...sekali."
"Sama." Kim Coa Long Kun tersenyum "Akupun senang
sekali berkawan denganmu, usiaku lebih besar, maka engkau
harus memanggilku kakak!"
"Kakak!" panggil Tio Bun Yang.
"Adik!" sahut Kim Coa Long Kun.
Mereka saling memandang, kemudian tertawa gembira.
"Kakak....
"Ha ha ha!" Kim Coa Long Kun masih tertawa "Sungguh
menyenangkan, tak disangka kita bertemu di sini dan menjadi
kawan baik! Ha ha ha"
"Kakak," ujar Tio Bun Yang berjanji. "Aku membantu kakak
menyelidiki kelima perampok itu."
"Terimakasih, Adik!" ucap Kim Coa Long Kun "oh ya
bolehkah aku tahu asal usulmu?"
"Tentu boleh." Tio Bun Yang segera menutur tentang asalusulnya
dan lain sebagainya.
"Ooh!" Kim Coa Long Kun manggut-manggut, kemudian
nafas panjang seraya berkata : "Jadi hingga saat ini engkau
belum bertemu Goat Nio ?"
"Belum." Tio Bun Yang menggelengkan kepala dengan
wajah murung. "Hmm!" dengus Kim Coa Long Kun. "Kalau aku bertemu
pemuda bernama Kwee Teng An aku pasti membunuhnya!"
"Kakak...."
"Jangan khawatir! Sebelum membunuhnya, pasti bertanya
kepadanya tentang Goat Nio."
"Terimakasih, Kakak!"
"Adik!" Kim Coa Long Kun menatapnya. "Kita paksa
berpisah di sini, sebab aku harus menyelidiki kelima perampok
itu, sedangkan engkau harus pergi ke markas Ngo Tok Kauw."
"Kakak...." Tio Bun Yang merasa berat berpisah dengan
Kim Coa Long Kun.
"Adik!" Kim Coa Long Kun tersenyum. "Sampai jumpa!"
"Kakak...!" teriak Tio Bun Yang memanggilnya.
Namun Kim Coa Long Kun telah melesat pergi. Tio Bun
Yang termangu-mangu di tempat, lama sekali barulah ia
meninggalkan tempat itu.
-oo0w0oo- Bagian ke enam puluh sembilan
Kenangan masa lalu
Tio Bun Yang telah tiba di kota Kang Shi, langsung ke
markas Ngo Tok Kauw. Kedatangan sangat mencengangkan
Ngo Tok Kauwcu dan Giok Ceng, namun juga membuat
mereka gembira "Adik Bun Yang..." panggil Ngo Tok Kauwcu
"Kakak Bun Yang...." Wajah Ma Giok Ceng berseri-seri.
"Kakak Ling Cu!" sahut Tio Bun Yang sambil memandang
mereka. "Adik Giok Ceng..."
"Adik Bun Yang, duduklah!" ucap Ngo Tok Kauwcu sambil
tersenyum. Tio Bun Yang duduk, Ngo Tok Kauwcu menatapnya seraya
bertanya. "Bagaimana" Engkau sudah berhasil mencari Goat Nio?"
Tio Bun Yang menggelengkan kepala. "Belum," sahutnya
sambil menatap Ma Giok Ceng. "Aku ke mari karena ada
sedikit urusan dengan Adik Giok Ceng."
"Ada urusan apa?" gadis itu tertegun.
"Kwee Teng An ternyata ketua Kui Bin Pang." Tio Bun Yang
memberitahukan. "Ayahmu mengutuskannya untuk
membunuh Lie Tsu Seng, namun muncul Bu Ceng Sianli, maka
Lie Tsu Seng dan lainnya selamat. Kemudian aku pun muncul
sana. Aku menyaksikan pertarungan Kwee Teng An dengan Bu
Ceng Sianli, akhirnya pemuda itu kabur."
"Oh?" Ma Giok Ceng terbelalak. "Dia pasti ke rumah."
"Setelah dia kabur, Bu Ceng Sianli mengatakan bahwa dia
adalah ketua Kui Bin Pang," ujar Tio Bun Yang.
"Kenapa Bu Ceng Sianli mengatakan begitu?" tanya Ngo
Tok Kauwcu heran.
"Itu berdasarkan ilmu pukulannya." Tio Bun Yang
memberitahukan. "Bu Ceng Sianli menduga ilmu pukulan itu
adalah Pek Kut Im Sat Ciang, yang hanya dimiliki oleh ketua
Kui Bin Pang."
"Oooh!" Ngo Tok Kauwcu manggut-manggut. "Maka
engkau segera mengejarnya?"
"Ya." sahut Tio Bun Yang melanjutkan. "Aku pernah
Petualang Asmara 19 Lambang Naga Panji Naga Sakti Karya Wo Lung Shen Petualang Asmara 8

Cari Blog Ini