Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti Suling Pualam 19

Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 19


mendengar tentang Kwee Teng An dari adik Giok Ceng,
karena itu aku langsung berangkat ke rumah menteri Ma."
"Engkau bertemu ayahku?" tanya Ma Giok Ceng terkejut.
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk
"Engkau...." Wajah gadis itu berubah pucat "Engkau...
engkau mencelakai ayahku?"
"Aku sudah tahu bahwa Menteri Ma adalah ayahmu,
bagaimana mungkin aku mencelakai nya?" Tio Bun Yang
tersenyum getir dan menambahkan. "Kwee Teng An tidak
kembali ke sana. Ayahmu dan aku pun sepakat untuk saling
membantu" "Saling membantu?" Ma Giok Ceng tertegun "Saling
membantu dalam hal apa?"
"Aku ke mari membujukmu pulang, sedangkan ayahmu
akan menahan Kwee Teng An, apbila dia kembali ke sana."
Tio Bun Yang membentahukan secara jujur.
"Kakak Bun Yang."tegas Ma Giok Ceng"Aku tidak mau
pulang, pokoknya aku tidak mau pulang"
"Adik Giok Ceng!" Tio Bun Yang menatapnya. "Ayahmu
sangat rindu kepadamu, maka engkau harus pulang."
"Tidak. Aku tidak mau pulang. Kalau aku bertemu pemuda
itu, ayahku pasti menjodohkan ku kepadanya." ujar Ma Giok
Ceng "Adik Giok Ceng...." Tio Bun Yang menghela nafas panjang.
"Yang mengatakan itu siapa?"
"Itu... itu...." Ma Giok Ceng tergagap. "Itu cuma dugaan
saja." "Nah, Itu berarti belum tentu ayahmu akan berbuat
begitukan?" ujar Tio Bun Yang "Sesungguhnya.. ayahmu
sangat menyayangimu. Kesalahannya hanya ingin memperalat
Kwee Teng An saja"
"Kakak Bun Yang.." Ma Giok cng menundukkan kepala
"Adik Giok Ceng..." ujar Ngo Tok Kauwcu tersenyum
,.Engkau arus menuruti perkataan Bun Yang, jangan
membuatnya kecewa!"
"Tapi..tapi..." sahut Ma Giok Ceng "Aku tidak mau bertemu
Kwee Ten An Aku merasa seram padanya sebab kadangkadang
sepasang matanya menyorotkan sinar aneh"
"Jangan khawatir" ujar Tio Bun Yang berjanji "Aku pasti
melindungimu percayalah!"
"Baiklah" Ma Giok Ceng mengangguk "Aku ikut engkau
pulang" "Terimakasih, Adik Giok Ceng!" ucap Tio Bun Yang girang
"Lho?" Ma Giok Ceng tertawa geli. "Kenapa engkau
mengucapkan terimakasih kepadaku?"
"Engkau bersedia ikut aku puIang berarti aku tidak
mengecewakan harapan ayahmu." Tio Bun Yang
memberitahukan.
"Kakak Bun Yang" Ma Giok Ceng menghela nafas panjang
"Padahal hatimu sedang resah masih bisa memikirkan
kepentingan orang lain"
"Itu pun karena ayahmu bersedia membantuku," sahut Tio
Bun Yang. "Ayohlah! Mari pulang sekarang!"
Ma Giok Ceng mengangguk. Mereka berdiri lalu berpamit
kepada Ngo Tok Kauwcu yang baik hati itu.
"Adik Bun Yang," ujar Ngo Tok Kauwcu "Apabila engkau
sempat, kunjungilah aku!"
"Ya." Tio Bun Yang manggut-manggut.
"Adik Giok Ceng," pesan Ngo Tok Kauwcu "Nasihatilah
ayahmu agar tidak melakukan kejahatan lagi"
"Ya. Kakak Ling Cu." Ma Giok Ceng menangguk. "Aku pasti
menasihati ayah...."
-oo0dw0oo- Betapa gembiranya menteri Ma ketika melihat Tio Bun Yang
datang bersama Ma Giok Ceng putrinya.
"Anakku...."
"Ayah...." Ma Giok Ceng mendekap di dada menteri Ma.
"Ayah...."
"Nak!" Menteri Ma membelainya. "Syukurlah engkau sudah
pulang, ayah... ayah rindu sekali kepadamu"
"Ayah...." Ma Giok Ceng terisak-isak.
"Jangan menangis, sayang!" ucap menteri Ma sambil
tersenyum. "Mulai sekarang, engkau tidak boleh meninggalkan
ayah lagi."
"Tapi ayah pun harus berjanji."
"Berjanji apa?"
"Tidak boleh melakukan kejahatan lagi dan tidak boleh
menjodohkanku kepada Kwee Teng An."
"Baik, Ayah berjanji!"
"Paman?" tanya Tio Bun Yang mendadak. "Apakah Kwee
Teng An sudah berada di sini?"
"Dia sama sekali belum ke mari," sahut Menteri Ma.
"Mungkin dia tidak kemari lagi."
"Aaaah...!" keluh Tio Bun Yang. "Kalau begitu, aku harus ke
mana mencarinya?"
"Kakak Bun Yang," ujar Ma Giok Ceng menahannya.
"Mungkin dia takut kepadamu, maka tidak begitu cepat ke
mari. Oleh karena itu. alangkah baiknya engkau tinggal di sini
dulu." "Tapi...." Tio Bun Yang mengerutkan kening.
"Bun Yang!" Menteri Ma tertawa gembira, "Apa yang
dikatakan putriku memang masuk akal, lebih baik engkau
tinggal di sini dulu. Siapa tahu Kwee Teng An akan muncul."
Menteri Ma berkata demikian, tidak lain hanya bermaksud
menahannya, karena ia memang, sangat menyukainya.
"Tapi... bukankah aku akan mengganggu Paman dan Adik
Giok Ceng?" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Kakak Bun Yang!" Ma Giok Ceng tersenyum "Kenapa
engkau menjadi sungkan?"
"Aku...." Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Aku
sangat mencemaskan Goat Nio, Kwee Teng An entah
menyekapnya di mana?"
"Jangan cemas, Kakak Bun Yang!" Ma Giok Ceng
menatapnya lembut. "Mudah-mudahan engkau akan
berkumpul kembali dengan Goat Nio"
"Terimakasih!" ucap Tio Bun Yang.
Tio Bun Yang tinggal di rumah menteri itu sungguh
menggembirakan Ma Giok Ceng sehingga wajah gadis itu
selalu tampak cerah ceria. Namun wajah Tio Bun Yang malah
semakin murung, karena Kwee Teng An belum muncul
"Kakak Bun Yang," ujar Ma Giok Ceng ketika mereka
berdua berada di taman bunga. "Bagai mana kalau engkau
mengajarku ilmu pedang tingkat tinggi, jadi aku bisa menjaga
diri?" "Adik Giok Ceng...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku sedang gelisah "
"Kakak Bun Yang...." Ma Giok Ceng memandangnya penuh
harap. Tio Bun Yang berpikir sejenak, kemudian Mengangguk.
"Baiklah. Mulai sekarang aku akan mengajarmu Lui Tian
Kiam Hoat (Ilmu Pedang Petir Kilat), yaitu ilmu pedang
andalan It Sim Sin Ni, nenekku."
"Terimakasih, Kakak Bun Yang!" ucap Ma Giok Ceng girang.
"Terimakasih...."
"Adik Giok Ceng!" Tio Bun Yang menatapnya sambil berkata
sungguh-sungguh. "Engkau harus belajar dengan giat, sebab
ilmu pedang Lui Tian kiam Hoat sangat lihay dan dahsyat.
Setelah menguasai ilmu pedang itu, engkau bisa melindungi
ayahmu, jadi ayahmu tidak usah mencari kepala pengawal
lagi." "Hi hi hi!" Ma Giok Ceng tertawa geli. "Aku yang akan
menjadi kepala pengawal!"
"Memang harus begitu." Tio Bun Yang manggut-manggut
dan mulai mengajar gadis itu ilmu pedang Lui Tian Kiam Hoat.
Setelah Ma Giok Ceng berhasil menguasai ilmu pedang
tersebut, Tio Bun Yang mengajarnya Lui Tian Kiam Hoat (Ilmu
Pedang Pusing Tujuh Keliling), ciptaan ayahnya.
"Waduuuh!" keluh Ma Giok Ceng. "Kenapa jadi pusing
menyaksikan engkau memainkan ilmu pedang itu?"
"Adik Giok Ceng," sahut Tio Bun Yang serius.
"Ini adalah ilmu pedang Cit Loan Kiam Hoat yang sangat
dahsyat. Engkau harus belajar dengan giat karena tidak
gampang mempelajari ilmu pedang ini"
"Ya!" Ma Giok Ceng memandangnya.
"Ya." Ma Giok Ceng mengangguk.
"Ilmu pedang ini ciptaan ayahku." Tio Bun Yang
memberitahukan sekaligus berpesan. "Kalau tidak dalam
bahaya, janganlah engkau mengeluarkan ilmu pedang ini."
"Ya." Ma Giok Ceng mengangguk.
Tio Bun Yang mulai mengajar gadis itu Loan Kiam Hoat dan
disaat itulah muncul Menteri Ma sambil tertawa-tawa.
"Ayah!"!" panggil Ma Giok Ceng.
"Paman!" panggil Tio Bun Yang sambil memberi hormat.
"Ha ha ha!" Menteri Ma terus tertawa, kelihatannya
gembira sekali. "Bagus! Bagus! ayah tidak usah mencari
kepala pengawal cukup engkau saja."
"Betul, Ayah!" Ma Giok Ceng mengangguk "Aku bisa
melindungi Ayah, percayalah!"
"Tentu Ayah percaya." Menteri Ma tersenyum. "Siapa yang
mengajarmu" Ya, kan?"
"Ayah...." Wajah Ma Giok Ceng memerah
"Ha ha ha!" Menteri Ma tertawa gelak. "Ayolah! Kalian
teruskan saja! Ayah mau ke dalam
Menteri Ma berjalan ke dalam rumah.
Tio Bun Yang memandang punggungnya sambil mengnafas
panjang."Sebetulnya tidak jahat, hanya saja...." Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala dan melannjutkan, "Terlampau
berambisi. Adik Giok ceng...."
"Engkau harus berusaha membujuk ayahmu agar mau
mengundurkan diri. Kalau tidak, aku khawatir...."
"Ayahku akan mati dibunuh kan?"
"Kira-kira begitulah."
"Baik. Aku akan berusaha membujuknya agar
mengundurkan diri dari jabatannya. Ayahku sudah mulai tua,
maka sudah waktunya hidup tenang."
Tak terasa sudah sebulan Tio Bun Yang tinggal di rumah
menteri Ma, namun Kwee Teng An masih belum muncul. Itu
membuat hati Tio Bun Yang makin kacau. Sedangkan Ma Giok
Ceng telah berhasil menguasai ilmu pedang Cit Loan Kiam
Hoat. Memang harus diakui, gadis itu sungguh cerdas sekali.
"Aaaah...!" keluh Tio Bun Yang ketika duduk dekat taman
bunga. "Kakak Bun Yang!" Ma Giok Ceng mendekatinya. "Kenapa
engkau melamun di sini?"
"Aku...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Sudah sebulan aku tinggal di sini, tapi Kwee Teng An masih
belum muncul. Mungkin dia tidak kembali ke sini."
"Kakak Bun Yang," ujar Ma Giok Ceng lembut. "Engkau
harus sabar, coba tunggu beberapa hari lagi!"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk Ia menunggu lagi
beberapa hari, namun Kwee Teng An, yang ditunggutunggunya
tetap tidak muncul, sehingga membuatnya yakin
bahwa Kwee Teng An tidak akan kembali ke rumah menteri
Ma, maka hari ini juga ia berpamit
"Paman, aku...."
"Bun Yang!" Menteri Ma menatapnya, kemudian menghela
nafas panjang. "Aku tahu, engkau mau pergi, bukan?"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Aku mang mau mohon
pamit." "Kakak Bun Yang...." Wajah Ma Giok Ce langsung berubah
murung. "Engkau... engkau sudah mau pergi?"
"Ya. Aku harus pergi mencari Kwee Te An," ujar Tio Bun
Yang. "Sudah sebulan lebih aku tinggal di sini, tapi dia tidak
muncul. berarti dia tidak akan ke mari lagi."
"Kakak Bun Yang...." Air mata Ma Giok Ceng mulai meleleh.
"Kapan engkau akan ke mari lagi"
"Apabila ada kesempatan, aku pasti ke mari menengokmu,"
sahut Tio Bun Yang sambil ter senyum. "Kini kepandaianmu
sudah tinggi, mampu menjaga diri dan melindungi ayahmu."
"Kakak Bun Yang...." Ma Giok Ceng menatapnya dengan
mata sayu. "Aku...."
"Adik Giok Ceng!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang.
"Aku tidak bisa terus tinggal di sini. Aku harus, pergi mencari
Kwee Teng An, sebab dia yang menculik Goat Nio."
"Kakak Bun Yang, engkau sungguh setia. Alangkah
senangnya kalau aku jadi Siang Koan Goat Nio."
"Adik Giok Ceng!" Tio Bun Yang menatapnya lembut. "Aku
telah menganggapmu sebagai adikku sendiri...."
"Tentu berbeda," potong Ma Giok Ceng. "Aaaah! Aku
adalah Ma Giok Ceng, bukan Siang Koan Goat Nio! Maka...
engkau pasti menganggap diriku sebagai bayangan lewat
saja!" "Adik Giok Ceng, engkau jangan berkata begitu!" Tio Bun
Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Baiklah. Aku... mohon
diri! Sampai jumpa"
Tio Bun Yang melangkah pergi. Begitu sampai di luar ia
langsung melesat pergi menggunakan ginkang.
"Kakak Bun Yang! Kakak Bun Yang...!" teriak Ma Giok Ceng
memanggilnya dengan air mata berderai-derai.
"Aaaah...!" Menteri Ma menghela nafas panjang, kemudian
mendekati putrinya seraya berkata. "Nak, dia pasti ke mari lagi
kelak." "Ayah...." Ma Giok Ceng mendekap di dada Menteri Ma.
"Dia... dia tidak akan ke mari lagi Dia... dia...."
"Nak!" Menteri Ma terus menghibur putrinya "Percayalah!
Dia pasti ke mari kelak."
"Aaah...!" keluh Ma Giok Ceng. "Kakak Bun Yang! Kakak
Bun Yang...!"
-oo0dw0ooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Di halaman rumah di pulau Hong Hoang tampak beberapa
orang sedang duduk-duduk sambil bercakap-cakap. Mereka
adalah Sie Keng Hauw, Lie Ai Ling, Kam Hay Thian dan Lu Hui
San. "Aaaah...!" Mendadak Kam Hay Thian menghela nafas
panjang. "Entah bagaimana Bun Yang apakah dia sudah
berjumpa dengan Goat Nio"
"Aku yakin dia belum berjumpa Goat Nio" sahut Lu Hui San
sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau dia sudah


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjumpa dengan Goat Nio, mereka berdua pasti pulang ke
mari." "Kita berada di pulau ini, sama sekali tidak tahu bagaimana
kabarnya," ujar Sie Keng Hauw dan menambahkan. "Kita pun
tidak tahu bagai mana keadaan Yo Kiam Heng dan Kwan Tian
Him, juga tidak tahu apakah Toan Beng Kiat dan lainnya
sudah tiba di Tayli atau belum."
"Toan Beng Kiat dan lainnya pasti sudah tiba di Tayli,"
sahut Lie Ai Ling, kemudian keningnya berkerut. "Yang
mencemaskan adalah Yo Kiam Heng dan Kwan Tiat Him.
Sebab mereka berdua kembali ke markas Kui Bin Pang,
apabila ketua Kui Bin Pang mencurigai mereka...."
"Mereka berdua pasti celaka," sambung Sie Keng Hauw.
"Aaah! Kita tidak bisa membantu apa-apa!"
"Yaah!" Lie Ai Ling tersenyum. "Entah kapan kita akan
diperbolehkan ke Tionggoan?"
"Kalau Bun Yang dan Goat Nio tidak pulang kemari, jangan
harap kita bisa ke Tionggoan," ujar Kam Hay Thian.
"Bagaimana kalau kita berunding dengan paman Cie Hiong
dan kedua orang tuaku?" usul Lie Ai Ling.
"Percuma." Sie Keng Hauw menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak mungkin kita diijinkan pergi ke Tionggoan."
"Lalu kita harus bagaimana?" tanya Lie Ai Ling kesal.
"Omitohud!" Terdengar suara sahutan halus, lebih baik
kalian jangan meninggalkan pulau "
"Siapa?" Lie Ai Ling menengok ke sana kemari.
"Omitohud...." Tampak sosok bayangan melayang turun di
hadapan mereka, yang ternyata Tayli Lo Ceng.
"Hah" Padri tua...." Mereka berempat segera bersujud di
hadapan Tayli Lo Ceng.
"Omitohud!" ucap padri tua itu sambil tersenyum.
"Bangunlah!"
Mereka berempat lalu bangun. Di saat bersamaan
muncullah Sam Gan Sin Kay, Kim Sia Suseng dan Kou Hun
Bijin. "Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa geli "Padri tua, angin
apa yang meniupmu kemari'''
"Tentunya bukan angin topan," sahut Tap Lo Ceng sambil
tersenyum. "Aku ke mari atas kemauanku sendiri, tidak tertiup
maupun terdorong oleh angin apa pun lho!"
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan "Kepala gundul!
Kepalamu makin mengkilap ajal'
"Omitohud!" sahut Tayli Lo Ceng. "Tentunya tidak akan
lebih mengkilap dibandingkan dengan wajahmu."
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa lagi. "Tumben, kepala
gundul mau bergurau hari ini. Jangan-jangan langit sudah
hampir runtuh!"
"Jangan khawatir!" Tayli Lo Ceng tersenyum "Selagi Kou
Hun Bijin masih hidup di kolong langit, langit tidak akan
runtuh." "Kalau begitu, engkau anggap diriku ini"Kepala gundul lah
tiang yang menahan langit, agar tidak runtuh ?" tanya Kou
Hun Bijin sambil melotot.
"Omitohud!" Tayli Lo Ceng tersenyum. "Kira-kira begitulah."
"Dasar kepala gundul!" caci Kou Hun Bijin. "Setiap kali
kemari pasti cari gara-gara."
"Omitohud!" ucap Tayli Lo Ceng. "Aku kemari tidak
bermaksud cari gara-gara, melainkan hanya mengunjungi
kalian." "Oh, ya?" Kou Hun Bijin tertawa nyaring. "Tayli Lo Ceng
mengunjungi kami" Sungguh luar biasa!"
"Padri tua," ujar Sam Gan Sin Kay. "Mari kita ke dalam
bercakap-cakap, jangan membuang-buang waktu di sini!"
"Omitohud!" Tayli Lo Ceng mengangguk. Mereka
melangkah ke dalam. Tio Tay Seng, Tio Cie Hiong dan lainnya
menyambut kedatangan Tayli Lo Ceng dengan penuh
kegembiraan. "Ha ha ha!" Tio Tay Seng tertawa gelak "Selamat datang,
Lo Ceng!" "Omitohud!" sahut Tayli Lo Ceng. "Terima kasih atas
penyambutan kalian, aku gembira sekali"
"Lo Ceng!" Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im memberi
hormat. "Ha ha ha!" Tayli Lo Ceng tertawa. "Kalian berdua semakin
mesra saja!"
"Idiiih!" seru Kou Hun Bijin. "Kepala gundul tahu mesra lho!
Sungguh luar biasa!"
"Omitohud!" Tayli Lo Ceng tersenyum.
"Lo Ceng!" Kim Siauw Suseng menatapnya "Kedatangan Lo
Ceng kali ini...."
"Sudah kukatakan tadi, aku ke mari hanya mengunjungi
kalian," ujar Tayli Lo Ceng. "Sama sekali tiada urusan lain."
"Lo Ceng, bagaimana kabarnya rimba persilatan?" tanya
Kim Siauw Suseng
"Biasa-biasa saja," jawab Tayli Lo Ceng. "Habis gelap pasti
terbit terang. Begitulah."
"Kalau begitu...." Kim Siauw Suseng menghela nafas
panjang. "Bun Yang masih belum berkumpul dengan putri
kami?" "Jangan khawatir!" ujar Tayli Lo Ceng. "Putri kalian pasti
akan berkumpul kembali dengan Bun Yang."
"Terimakasih, Lo Ceng!" ucap Kim Siauw Suseng.
"Omitohud!" ucap Tayli Lo Ceng dan bertanya. "Bagaimana
keadaan kalian selama ini baik-baik saja?"
"Baik-baik saja," jawab Tio Tay Seng. "Tapi..."
"Omitohud!" Tayli Lo Ceng menatapnya. "Telah terjadi
sesuatu di sini?"
"Ya." Tio Tay Seng menutur tentang kejadian penyerbuan
pihak Kui Bin Pang. Tayli Lo Ceng mendengarkan dengan
penuh perhatian.
"Omitohud!" ucapnya dan melanjutkan. "Syukurlah mereka
telah sembuh!"
"Kepala gundul!" Kou Hun Bijin menatapnya tajam.
"Setahuku engkau muncul pasti ada urusan penting, tidak
mungkin hanya mengunjungi kami. Itu tidak mungkin."
"Omitohud!" ucap Tayli Lo Ceng. "Entah apa sebabnya,
hatiku seakan menyuruhku ke mari. Namun... sungguh
mengherankan di sini tidak ada kejadian apa-apa."
"Lo Ceng...." Mendadak Lu Hui San bangkit dari tempat
duduknya. Gadis itu menghampiri Tayli Lo Ceng lalu
mengeluarkan suatu benda dan diserahkan kepada padri tua
itu. "Ada seorang Biarawati tua menitip tusuk konde ini untuk
Lo Ceng." "Haaaah...?" Tayli Lo Ceng terbelalak ketika pelihat tusuk
konde itu. "Giok Cha (Tusuk Konde Kumala)! Aaaaah...!" serunya.
Dengan tangan agak gemetar Tayli Lo Ceng menerima
tusuk konde itu, bahkan matanya pun ta berkaca-kaca.
"Omitohud! Inilah dosaku...."
Apa yang terjadi itu sungguh mencengangkan Tio Tay
Seng, Sam Gan Sin Kay, Kim Siauw Susng, Kou Hun Bijin dan
lainnya, "Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan memecahkan
keheningan. "Kepala gundul! Ternyata engkau punya
kenangan manis dan pahit Hi hi hi...!"
"Omitohud..." Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala,
kemudian memandang Lu Hui San seraya bertanya.
"Bagaimana keadaannya" Dia baik-baik saja?"
"Biarawati tua itu kelihatan baik-baik saja. Pada jawab Lu
Hui San dan menambahkan. "Tapi ketika menyerahkan tusuk
konde ini, biarawati tua itu tampak sedih sekali."
"Aaah...!" keluh Tayli Lo Ceng sambil mengeleng-gelengkan
kepala. "Aku telah berdosa terhadapnya! Aku...."
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa. "Kepala gundul, apakah
pemilik tusuk konde itu mantan kekasihmu?"
"Omitohud!" sahut Tayli Lo Ceng. "Memang tidak salah, dia
adalah kekasihku yang sangat setia. Dia... dia bahkan menjadi
biarawati."
"Lo Ceng," ujar Sam Gan Sin Kay. "Bolehkah dituturkan
mengenai kisah cinta itu?"
"Aaaah...!" Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang. "Semua
itu telah berlalu, tiada gunanya diceritakan."
"Kepala gundul," desak Kou Hun Bijin. "Ceritakanlah agar
engkau merasa ringan terhadap dosamu! Kalau tidak, engkau
harus terus memikirkan dosa itu lho!"
"Betul," sambung Sam Gan Kin Kay. "Kalau tidak
diceritakan, dosa itu harus dipikul sampai ke pintu sorga, dan
akhirnya engkau pasti di lempar ke dalam neraka."
"Omitohud...." Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan
kepala, kemudian menutur. "Ketika aku berusia sekitar dua
puluh, justru merupakan seorang hweeshio muda yang sangat
tampan. Suatu hari aku menyelamatkan seorang putri
hartawan. Putri itu pergi sembahyangan, di tengah jalan
dihadang para penjahat yang ingin memperkosanya. Putri
hartawan itu bernama Pek Sian Nio. Aku antar dia pulang,
tentunya membuat kedua orang tuanya terheran-heran. Pek
Sian Nio segera menceritakan tentang kejadian tersebut
membuat kedua orangnya sangat berterimakasih padaku, dan
kemudian aku tinggal di sana."
"Kemudian bagaimana?" tanya Kou Hun Bijin.
"Pek Sian Nio baik sekali terhadapku, dan 1 bulan kemudian
dia menyatakan cinta kepadaku. Aku tidak terkejut, karena
aku pun menyukainya secara diam-diam."
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa geli. "Hweesio muda jatuh
cinta, itu sungguh merupakan dosa berat!"
"Kalau itu adalah takdir, maka tidak berdosa." sahut Sam
Gan Sin Kay. "Aaah...!" Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang "Itu
memang merupakan suatu dosa berat, sebab aku tinggal di
sana. Kalau aku tidak tinggal disana, tentunya tidak akan
saling jatuh cinta, Beberapa hari setelah saling menyatakan
cinta, Aku menghadiahkan sebuah tusuk konde kumala
kepadanya."
"Tusuk konde itu?" tanya Kim Siauw Suseng
"Ya!" Tayli Lo Ceng mengangguk. "Memang tusuk konde
ini. Beberapa bulan kemudian, aku berpamit kepadanya
karena aku ingin pergi me nuntut ilmu. Aku berjanji
kepadanya pasti pulang dalam waktu dua tiga tahun, akan
tetapi, aku aku tidak pernah datang menemuinya lagi."
"Kenapa?" tanya Kou Hun Bijin heran.
"Setelah aku pergi menuntut ilmu lagi, aku tersadar dari
kekeliruan itu...." Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang.
"Maka aku tidak pergi menemuinya, itu agar dia bisa menikah
dengan pemuda lain. Dua puluh tahun kemudian, secara
diam-diam aku ke rumahnya. Aku harap dia sudah punya anak
dan hidup bahagia, namun tak sangka dia justru tidak ada di
rumah. Aku bertanya kepada para tetangga di sana, mereka
memberitahukan bahwa Pek Sian Nio sudah menjadi
biarawati, namun mereka tidak tahu dia berada dimana. Sejak
saat itulah aku tidak pernah bertemu dia lagi."
"Kepala gundul," tegur Kou Hun Bijin. "Engkau memang
kejam sekali. Setelah pergi menuntut ilmu lagi, barulah
tersadar. Otomatis membuat Pek Sian Nio hidup merana dan
menderita. Dosa mu bertambah berat."
"Omitohud! Dosaku memang berat sekali ucap Tayli Lo
Ceng sambil memandang Lu Hui San yang telah duduk. "Apa
gelarnya?"
"Khong Sim Ni Kouw," jawab Lu Hui San.
"Khong Sim (Hati Hampa). Khong Sim..." gumam Tayli Lo
Ceng dengan mata basah. "Aku sungguh berdosa
terhadapnya."
"Lo Ceng!" Lu Hui San memberitahukan. "Khong Sim Ni
Kouw kelihatan mengharap sekali kedatangan Lo Ceng."
"Omitohud...."
"Jangan menyebut 'Omitohud' dulu!" potong Kou Hun Bijin.
"Sebab akan menambah dosamu. Lebih baik engkau segera
pergi menemuinya. Kalau tidak, jangan harap engkau bisa
berjumpa dengan Sang Budha."
"Omitohud!" Tayli Lo Ceng manggut-manggut, kemudian
bertanya kepada Lu Hui San. "Di -mana tempat tinggalnya?"
"Di kuil Pek Yun Am...." Lu Hui San memberitahukan secara
jelas. "Omitohud! Terimakasih!" Mendadak Tayli Lo Ceng melesat
pergi tanpa pamit.
Sam Gan Sin Kay, Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin
saling memandang, kemudian Kou Hun Bijin menghela nafas
panjang seraya berkata, "Mudah-mudahan kepala gundul itu
bertemu khong Sim Ni Kouw! Aku..." Kou Hun Bijin terisakisak.
"Aku.bersimpati dan merasa kasihan kepada Khong Sim
Ni Kouw itu."
"Tidak disangka Tayli Lo Ceng punya kenangan itu!" Sam
Gan Sin Kay menggeleng-gelengkan kepala dan bergumam.
"Cinta...."
"He he he!" Kim Siauw Suseng tertawa terkekeh-kekeh.
"Pengemis bau! Teringat kepada mendiang isteri ya?"
"Sastrawan sialan!" sahut Sam Gan Sin Kay "Urusi isterimu
yang menangis itu! Jangan menggodaku!"
"Eh?" Kim Siauw Suseng segera memandang Kou Hun Bijin.
"Isteriku...."
"Aku menangis sedih, engkau malah tertawa terkekehkekeh."
tegur Kou Hun Bijin sambil melotot. "Nanti malam
engkau tidur di lantai tidak boleh seranjang denganku!"
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa tebahak-bahak.
"Rasakan! Sastrawan sialan pasti kedinginan malam ini! Ha ha
ha...!" -oo0dw0oo- Tayli Lo Ceng sudah sampai di kuil Pek Yu Am. Ia berdiri di
depan pintu kuil itu dengan kening berkerut-kerut lantaran
hatinya bimbang. Ia ingin mengetuk pintu kuil itu, namun
hatinya merasa enggan. Di saat itulah mendadak pintu kuil itu
terbuka dan tampak dua biarawati berdiri disitu
"Siancay! Siaricay!" ucap kedua biarawati itu."Guru kami
mempersilakan Lo Ceng masuk."
"Omitohud!.Terimakasih!" sahut Tayli Lo Ceng. "Mari ikut
kami ke dalam, Lo Ceng!" ucap kedua biarawati itu sambil
berjalan ke dalam. Tayli Lo Ceng mengikuti mereka dengan
hati tak tenang. Tak lama mereka sudah sampai di ruang
meditasi. "Lo Ceng, silakan masuk!" ucap kedua biarawati tu.
"Terimakasih!" Tayli Lo Ceng masuk ke dalam ruang itu dan


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilihatnya seorang biarawati tua duduk bersila.
"Kong Sun Hok," ujar biarawati tua itu. "Engkau sudah
datang, duduklah di hadapanku!"
"Pek Sian Nio," sahut Tayli Lo Ceng sambil duduk bersila
dihadapan biarawati tua. "Aku...aku...."
"Sudahlah!" Khong Sim Ni Kouw tersenyum lembut. "Aku
sama sekali tidak mempersalahkanmu. Sesungguhnya aku
yang bersalah, karena tidaik pantas aku jatuh cinta kepada
seorang Hweesio itu adalah dosaku...."
"Tidak, Sian Nio. Engkau tidak bersalah. Aku yang bersalah.
Sian Nio, ampunilah aku!" Tayli, Ceng terisak-isak.
"Kong Sun Hok!" Khong Sim Ni Kouw tersenyum lembut
lagi. "Engkau sudah tua, namun kenapa masih seperti anakanak?"
"Sian Nio...." Air mata Tayli Lo Ceng berderai derai. "Garagara
aku, engkau kehilangan masa remajamu. Aku... aku
berdosa terhadapmu."
"Itu sudah merupakan takdir." Khong Sim Ni Kouw
menatapnya dalam-dalam, kemudian wajah nya berseri seraya
berkata. "Malam itu engkat memelukku, dan aku mendekap di
dadamu. Bulan pun bersinar terang benderang, betapa
bahagianya aku disaat itu."
"Sian Nio...." Tayli Lo Ceng terisak-isak lagi "Tidak
seharusnya aku menelantarkanmu. Aku...aku.."
"Kong Sun Hok!" Khong Sim Ni Kouw mulai memandangnya
dengan mata redup, namun wajahnya tetap berseri. "Kini aku
pun bahagia sekali sebab engkau masih sempat ke mari."
"Sian Nio! Engkau...." Tayli Lo Ceng tersentak dan segera
memeriksa nadinya. Betapa terkejutnya padri tua itu, ternyata
denyut nadi dan detak jantung Khong Sim Ni Kouw sudah
lemah sekali, Cepat-cepatlah padri tua itu menyalurkan Hud
Bun Pan Yok Sin Kang ke dalam tubuh biarawati tua itu.
"Kong Sun Hok!" Khong Sim Ni Kouw menggelenggelengkan
kepala. "Jangan menyia-nyiakan hawa murnimu,
sebab sudah waktunya aku pergi.."
"Sian Nio...." Air mata Tayli Lo Ceng mulai meleleh lagi.
"Kita... kita baru berjumpa...."
"Aku... aku bahagia..." ujar Khong Sim Ni Kouw dengan
suara mulai lemah. "Kong Sun Hok, maukah... engkau
memelukku seperti malam itu?"
"Sian Nio....." Tayli Lo Ceng langsung memeluknya dengan
air mata berderai-derai. "Sian Nio, aku...."
"Kong Sun Hok!" Khong Sim Ni Kouw tersenyum bahagia.
"Engkau tidak berdosa dalam hal ini relakanlah aku pergi...."
"Sian Nio!" Tayli Lo Ceng membelainya. "Di dalam
penitisan, aku pasti memperisterimu. Aku... aku pasti
mencintai dan menyayangimu. Sian Nio, aku berjanji!"
"Terimakasih, Kong Sun Hok! Terimakasih...." Khong Sim Ni
Kouw tersenyum sambil berkata dengan suara yang semakin
lemah. "Kong Sun Hok... selamat... selamat tinggal...."
"Sian Nio! Sian Nio..." panggil Tayli Lo Ceng. Namun Khong
Sim Ni Kouw tidak menyahut lagi, ternyata nafasnya telah
putus. "Omitohud...."
"Guru! Guru...." Kedua biarawati yang berdiri diluar
ruangan itu langsung menjatuhkan diri berlutut sambil
menangis sedih. "Guru...."
-oo0dw0oo- Bagian ke tujuh puluh
Dua Dhalai Lhama mengunjungi Markas Kay Pang
Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong duduk diruang depan
dengan wajah serius, kelihatan mereka berdua sedang
membicarakan sesuatu
"Entah bagaimana Bun Yang?" Lim Peng Hang menghela
nafas panjang. "Mudah-mudahan tidak akan terjadi sesuatu
atas dirinya!"
"Yang kucemaskan adalah..." ujar Gouw Han Tiong dengan
kening berkerut-kerut. "Apabila Goat Nio terjadi sesuatu, Bun
Yang akan..."
"Tiada gairah hidup lagi?" tanya Lim Peng Hang.
"Kira-kira begitulah," sahut Gouw Han Tiong sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Sebab Bun Yang sangat
mencintai gadis itu."
"Aaah...!" keluh Lim Peng Hang. "Aku justru tidak habis
pikir, kenapa Bun Yang harus menghadapi percobaan itu"
Padahal... dia pemuda baik dan berhati bajik, tapi malah...."
"Dulu kedua orang tuanya juga selalu mnghadapi
percobaan-percobaan yang tak terduga akhirnya mereka
berdua toh hidup bahagia," seru Gouw Han Tiong dan
melanjutkan, "Maka Bun Yang harus tabah. Kalau tidak, dia
akan gila."
"Yaaah!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang. "Hidup
memang penuh cobaan, setiap orang pasti akan mengalami."
"Mudah-mudahan Bun Yang berhasil mencari Goat Nio, jadi
kita pun bisa berlega hati!" ucap Gouw Han Tiong.
"Aku justru masih tidak habis pikir, apa sebabnya ketua Kui
Bin Pang itu tidak mau melepaskan Goat Nio," ujar Lim Peng
Hang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Dan juga entah
disekap di mana gadis itu?"
"Mungkinkah...." Gouw Han Tiong mengerutkan kening.
"Ketua Kui Bin Pang itu punya maksud tertentu terhadap Goat
Nio?" -oo0dw0oo- Jilid : 15 "Aaah...." Lim Peng Hang menghembuskan nafas panjang.
"Sungguh pusing memikirkannya!"
"Oh ya! Belum lama ini di rimba persilatan telah muncul
Kim Coa Long Kun. Pendekar Pedang Ular Emas itu sadis
sekali," ujar Gouw Han Tiong mengalihkan pembicaraan
sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Dia masih muda,
namun berkepandaian tinggi sekali."
"Tidak memberi ampun kepada para penjahat, tapi...." Lim
Peng Hang mengerutkan kening dan melanjutkan. "Justru
sungguh membingungkan, kenapa dia juga membunuh para
murid Butong Pay, Kun Lun Pay dan Go Bie Pay" Kalau tidak
salah, ketua-ketua partai itu telah bergabung untuk
membasmi Kim Coa Long Kun itu."
"Rimba persilatan tidak pernah tenang, bahkan kini Dinasti
Beng, pun berada di ambang keruntuhan," ujar Gouw Han
Tiong sambil menggeleng-gelengkan kepala lagi.
"Kelihatannya kita pun sudah harus hidup tenang di Pulau
Hong Hoang To."
"Benar." Lim Peng Hang manggut-manggut, kemudian
memandang Gouw Han Tiong sambil tersenyum. "Engkau
tidak bisa tinggal di Pulau Hong Hoang To, harus tinggal di
Tayli, sebab Sian Eng berada di sana."
"Sian Eng..." gumam Gouw Han Tiong. "Karena engkau
menyinggung dirinya, aku pun menjadi rindu lho!"
"Engkau berniat ke Tayli menengok Sian Eng?" tanya Lim
Peng Hang. "Memang berniat, tapi bukan sekarang," sahut Gouw Han
Tiong dan menambahkan. "Setelah Bun Yang berkumpul
kembali dengan Goat Nio, barulah aku berangkat ke Tayli."
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Saudara Gouw,
engkau memang sangat setia kawan."
"Tentu." Gouw Han Tiong juga tertawa.
Dalam waktu bersamaan, muncullah Cian Chiu Lo Kay
dengan wajah serius. Ia memberi hormat kepada Lim Peng
Hang dan Gouw Han Tiong.
"Pangcu, ada dua Dhalai Lhama ingin bertemu Pangcu,"
lapor Cian Chiu Lo Kay.
"Apa?" Lim Peng Hang tertegun. "Maksudmu Dhalai Lhama
dari Tibet?"
"Ya." Cian Chiu Lo Kay mengangguk.
"Cepat undang mereka masuk!" ujar Lim Peng Hang.
"Ya, Pangcu." Cian Chiu Lo Kay segera keluar, sedangkan
Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong saling memandang
dengan kening berkerut-kerut.
"Heran?" gumam Lim Peng Hang. "Ada urusan apa kedua
Dhalai Lhama itu ke mari?"
"Kay Pang tidak punya hubungan dengan Dhalai Lhama
Tibet, memang mengherankan mereka ke mari." Gouw Han
Tiong tidak habis pikir.
"Hah?" Mendadak Lim Peng Hang tersentak. "Janganjangan
ada kaitannya dengan Cie Hiong, sebab Cie Hiong
pernah bertarung dengan ketua Dhalai Lhama?"
"Aku pernah mendengar tentang itu, tapi setelah itu
bukankah Cie Hiong malah bersahabat dengan ketua Dhalai
Lhama itu?"
"Benar." Lim Peng Hang manggut-manggut. "Kalau begitu,
kedatangan mereka...."
Ucapan ketua Kay Pang terhenti, karena Cian Chiu Lo Kay
telah muncul bersama kedua Dhalai Lhama itu.
Setelah berdiri di hadapan Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong, kedua Dhalai Lhama itu memberi hormat.
"Lim Pangcu, maaf!" ucap Dhalai Lhama berjubah merah.
"Kedatangan kami mengganggu ketenangan Pangcu."
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Tidak apa apa.
Silakan duduk!"
"Terimakasih!" Kedua Dhalai Lhama itu duduk. Yang
mengherankan adalah wajah kedua Dhalai Lhama itu, karena
tampak muram sekali.
"Kalian berdua jauh-jauh dari Tibet ke mari, tentunya ada
suatu urusan penting. Ya, kan?" tanya Gouw Han Tiong.
"Betul," sahut Dhalai Lhama berjubah kuning. "Telah terjadi
sesuatu di kuil kami...."
"Oh?" Lim Peng Hang tertegun. "Apa yang telah terjadi di
kuil kaliah?"
"Aaaah...!" Dhalai Lhama berjubah merah menghela nafas
panjang. "Belum lama ini telah muncul seorang pemuda Han
di Tibet. Kepandaiannya sungguh tinggi sekali, sehingga para
saudara seperguruanku tak mampu melawannya. Ternyata
pemuda Han itu pun memiliki ilmu sesat yang dapat
mengendalikan pikiran orang, maka semua saudara
seperguruan kami terpengaruh, bahkan kemudian pemuda
Han itu juga mengalahkan guru kami."
"Lalu bagaimana?" tanya Lim Peng Hang terkejut.
"Guru kami dikurung, sedangkan semua saudara
seperguruan kami sangat patuh kepada perintah pemuda Han
itu," jawab Dhalai Lhama berjubah merah memberitahukan
dengan wajah murung. "Sebab pikiran mereka di bawah
pengaruh ilmu sesat pemuda Han itu."
"Siapa pemuda Han itu?" tanya Gouw Han Tiong.
"Dia tidak menyebut namanya," jawab Dhalai Lhama
berjubah merah. "Kini pemuda Han itu berkuasa di kuil kami."
"Sungguh diluar dugaan!" Lim Peng Hang menggelenggelengkan
kepala, kemudian memandang mereka seraya
bertanya. "Kok kalian tidak terpengaruh sama sekali, bahkan
masih bisa kemari?"
"Kebetulan pada waktu itu kami tidak berada di kuil, karena
sedang ada tugas di daerah lain." Dhalai Lhama berjubah
kuning memberitahukan. "Setelah menyelesaikan tugas itu,
kami berdua pulang ke Tibet. Di tengah jalan muncul belasan
penduduk Tibet menghadang kami dan menceritakan tentang
kejadian itu. Kami ingin segera kembali ke kuil, tapi para
penduduk itu mencegah kami, sebab kami bukan lawan
pemuda Han itu."
"Lalu bagaimana kalian?" tanya Lim Peng Hang.
"Kami gugup dan panik, bahkan kebingungan sekali," jawab
Dhalai Lhama berjubah merah. "Kemudian kami teringat
kepada Pek Ih Sin Hiap-Tio Cie Hiong, maka kami segera
berangkat ke Tionggoan. Kami ke mari karena tahu Pek Ih Sin
Hiap .lilalah manlii I ini Pangcu."
"Oooh!" I mi Pen? 11iiii>t nittnggul manggut. "Jaili maksud
kalian ingin minta bantuan kepadanya?"
"Ya." Kedua Dhalai Lhanin ilu mengangguk. "Menurut kami,
hanya Pek Ih Sin Hiap yang dapat mengalahkannya."
"Tapi...." Lim Peng Hang menggelengkan kepala. "Cie
Hiong tidak berada di sini, dia tinggal di Pulau Hong Hang To."
"Oh?" Dhalai Lhama memandang Lim Peng Hang. "Di mana
pulau itu?"
"Jauh sekali." Lim Peng Hang memberitahukan. "Terletak di
Pak Hai (Laut Utara)."
"Tidak apa-apa," ujar Dhalai Lhama berjubah merah seakan
telah mengambil keputusan. "Kami akan berangkat ke sana."
"Percuma." Gouw Han Tiong menggelengkan kepala.
"Kenapa?" Dhalai Lhama berjubah merah heran.
"Sebab Cie Hiong sudah bersumpah tidak akan mencampuri
urusan rimba persilatan, maka percuma kalian ke sana." Gouw
Han Tiong menjelaskan. "Dia tidak akan membantu kalian."
"Aaaah...!" Dhalai Lhama jubah merah menghela nafas
panjang. "Kalau begitu kuil kami pasti terus dikuasai pemuda
Han itu." "Oh ya!" ujar Lim Peng Hang memberitahukan. "Ada
seorang yang bisa membantu kalian."
"Siapa?" tanya kedua Dhalai Lhama itu girang.
"Tio Bun Yang," jawab Lim Peng Hang sambil tersenyum.
"Putra satu-satunya Tio Cie Hiong."
"Juga cucu Lim Pangcu, kan?" Dhalai Lhama berjubah
kuning menatapnya.
"Ya." Lim Peng Hang mengangguk. "Aku yakin dia mampu
membantu kalian, tapi...."
"Kenapa, Lim Pangcu?" tanya Dhalai Lhama berjubah
merah. "Dia pun tidak berada di sini." Lim Peng Hang menghela
nafas panjang. "Apakah dia berada di Pulau Hong Hoang To?" tanya Dhalai
Lhama berjubah kuning sambil menatapnya.
"Dia tidak ada di pulau itu, melainkan sedang pergi mencari
seseorang," ujar Gouw Han Tiong.
"Kapan did pulang?" tanya Dhalai Lhama itu penuh harap.
"Entahlah." Lim Peng Hang menggelengkan kepala. "Kami
tidak tahu kapan dia akan pulang."
"Kalau begitu...." Kedua Dhalai Lhama itu saling
memandang, kemudian manggut-manggut seraya berkata,
"Lim Pangcu, perkenankanlah kami menunggunya!"
"Boleh." Lim Peng Hang mengangguk. "Namun kami tidak
berani memastikan kapan dia pulang."
"Tidak jadi masalah," ujar Dhalai Lhama berjubah merah
"Kami akan menunggunya dengan sabar."
"Kalau begilu..." ujar Lim Peng Hang sambil manggutmanggut.
"Kalian berdua boleh tinggal di sini."


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terimakasih!" ucap kedua Dhalai Lhama itu serentak.
"Lo Kay,' ujar Lim Peng Hang. "Antar kedua Dhalai Lhama
itu ke kamar untuk beristirahat!"
"Ya, Pangcu." Cian Chiu Lo Kay mengangguk, lalu berkata
kepada kedua Dhalai Lhama. "Mari ikut aku ke belakang!"
"Terimakasih!" Kedua Dhalai Lhama itu mengikuti Cian Chiu
Lo Kay ke belakang.
"Tambah satu urusan lagi," ujar Gouw Han Tiong sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Yaaah!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang. "Sebagai
orang gagah dalam rimba persilatan, kita memang harus
membantu Dhalai Lhama itu. Lagi pula pemuda Han "itu telah
mencemarkan nama baik bangsa Han, maka aku yakin Bun
Yang pasti bersedia membantu Dhalai Lhama itu."
"Tapi...." Gouw Han Tiong mengerutkan kening. "Entah
kapan dia pulang" Dia sedang mencemaskan Goat Nio, itu
akan mempengaruhi konsentrasinya. Jadi bagaimana mungkin
dia dapat mengalahkan pemuda Han itu?"
"Aku yakin dia tidak akan begitu," ujar Lim
Peng Hang dan menambahkan, "Mudah-mudahan dia akan
pulang dalam beberapa hari ini!"
"Mudah-mudahan!" Gouw Han Tiong mang-\gut-manggut.
"Dan semoga dia telah berkumpul dengan Goat Nio!"
-oo0dw0ooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Setelah meninggalkan rumah Menteri Ma, Tio Bun Yang
mulai mencari Kwee Teng An kemana-mana, bahkan juga
telah menjelajahi beberapa kota. Akan tetapi, tetap sia-sia
karena tiada jejak pemuda itu sama sekali.
Ketika hari mulai gelap, Tio Bun Yang duduk di bawah
pohon. Tak henti-hentinya ia menghela nafas panjang, lalu
mengeluarkan sulingnya.
Tak lama terdengarlah suara suling yang amat merdu
menggetarkan kalbu. Ia meniup suling sambil melamun.
Berselang beberapa saat kemudian, barulah ia berhenti
meniup sulingnya. Di saat bersamaan, muncullah seseorang
sambil tertawa.
"Ha ha ha! Adik Bun Yang! Ternyata engkau yang meniup
suling! Aku tak menyangka engkau begitu mahir meniup
suling!" "Hah?" Tio Bun Yang tersentak dan menoleh.
Dilihatnya seorang pemuda berdiri di belakangnya. "Kim
Coa Long Kun...."
"Engkau meniup suling sambil melamun, sehingga tidak
tahu akan kehadiranku di sini." ujar pemuda itu, yang tidak
lain Pendekar Pedang Ular Emas.
"Kim Coa Long Kun...." Tio Bun Yang tersenyum getir.
"Adik Bun Yang!" Kim Coa Long Kun duduk di sisinya.
"Engkau belum berhasil mencari Goat Nio?" "
"Belum." Tio Bun Yang menggelengkan kepala. "Aaaah...!"
"Jangan putus asa!" ujar Kim Coa Long Kun. "Engkau harus
mencarinya terus, aku yakin engkau pasti berkumpul dengan
dia." "Aaaah...!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang,
kemudian bertanya, "Bagaimana engkau" Apakah sudah
berhasil menyelidiki kelima perampok itu?"
Kim Coa Long Kun menggelengkan kepala dan menyahut.
"Tapi aku akan terus menyelidiki mereka." Wajah Kim Coa
Long Kun berubah dingin sekali. "Aku tidak akan melepaskan
mereka begitu saja."
"Kim Coa Long Kun!" Tio Bun Yang menatapnya. "Tak
disangka kita bertemu di sini."
"Kebetulan aku lewat, suara sulingmu menarik
perhatianku." Kim Coa Long Kun tersenyum.
"Maka aku ke mari, sungguh diluar dugaan ternyata engkau
yang meniup suling?"
"Kim Coa Long Kun...." Tio Bun Yang ingin mengucapkan
sesuatu, namun dibatalkannya.
"Adik Bun Yang!" Kim Coa Long Kun menatapnya sambil
tersenyum. "Aku tahu engkau khawatir kekasihmu itu akan
terjadi sesuatu. Ya, kan?"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Percayalah!" Kim Coa
Long Kun memegang bahunya seraya berkata. "Kekasihmu itu
tidak akan terjadi apa-apa."
"Mudah-mudahan!" ucap Tio Bun Yang.
"Oh ya, Adik Bun Yang!" Mendadak wajah Kim Coa Long
Kun tampak serius. "Aku memperoleh suatu informasi, bahwa
ada dua Dhalai Lhama berada di markas pusat Kay Pang.
Entah ada urusan apa, lebih baik engkau segera kembali ke
markas pusat Kay Pang!"
"Oh?" Tio Bun Yang tertegun. "Dhalai Lhama" Apakah ada
urusan dengan ayahku?"
"Entahlah!" Kim Coa Long Kun menggelengkan kepala.
"Adik Bun Yang, sebaiknya engkau segera ke sana."
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.
"Adik Bun Yang!" Kim Coa Long Kun bangkit berdiri. "Aku
mau pamit."
"Kim Coa Long Kun...." Tio Bun Yang memandangnya.
"Adik Bun Yang!" Kim Coa Long Kun melesat pergi. "Sampai
jumpa!" "Kim Coa Long Kun...!" seru Tio Bun Yang dengan wajah
murung. Setelah Kim Coa Long Kun melesat pergi, ia tampak
seakan kehilangan sesuatu.
Lama sekali barulah ia melesat pergi. Tujuannya kembali ke
markas pusat Kay Pang. Rasa herannya timbul, karena Kim
Coa Long Kun memberitahukan ada dua Dhalai Lhama berada
di sana. Ada urusan apa Dhalai Lhama itu berada di markas
pusat Kay Pang" Ia sungguh tak habis pikir.
-oo0dw0oo- Meskipun sudah beberapa hari menunggu dan Tio Bun
Yang masih belum datang, namun kedua Dhalai Lhama itu
tidak putus asa. Mereka tetap menunggu dengan sabar.
"Heran..." gumam Lim Peng Hang. "Kok Bun Yang belum
pulang?" "Aku khawatir...." Gouw Han Tiong mengerutkan kening.
"Dia tidak akan begitu cepat pu lang."
"Tidak apa-apa," ujar Dhalai Lhama berjubah merah. "Kami
akan tetap menunggu, sebab kami yakin dia pasti kembali."
"Aaah...!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang. "Aku
justru masih tidak habis pikir, sebetulnya siapa pemuda Han
yang mengacau di kuil kalian itu?"
"Pemuda itu cukup tampan dan sering tersenyum-senyum,
namun di balik senyumannya terdapat kelicikan." Dhalai
Lhama berjubah merah memberitahukan. "Bahkan dia pun
berhati kejam, karena dia telah membunuh beberapa orang."
"Setahuku..." ujar Gouw Han Tiong. "Ketua Dhalai Lhama
berkepandaian tinggi sekali, tapi... pemuda itu masih dapat
mengalahkannya. Pertanda pemuda itu berkepandaian jauh
lebih tinggi."
"Betul." Dhalai Lhama itu manggut-manggut dan
menambahkan, "Kami tahu Pek Ih Sin Hiap memiliki ilmu
Penakluk Iblis, apakah putranya juga memiliki ilmu tersebut?"
"Tentu." Lim Peng Hang mengangguk. "Maksud kalian ilmu
itu mampu membuyarkan ilmu sesat yang dimiliki pemuda Han
itu?" "Ya." Dhalai Lhama berjubah merah mengangguk. "Oh ya!
Bagaimana kepandaian Tio Bun Yang?"
"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Kepandaiannya
sudah tinggi sekali.'..."
Pada waktu bersamaan, berkelebat sosok bayangan ke
dalam dan terdengar suara seruan.
"Kakek! Kakek Gouw!"
Sosok bayangan itu ternyata Tio Bun Yang. Dapat
dibayangkan betapa girangnya Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong. "Bun Yang!" panggil mereka serentak.
Kedua Dhalai Lhama langsung memandang Tio Bun Yang.
Begitu lemah lembut pemuda itu, bagaimana mungkin
berkepandaian tinggi" Kedua Dhalai Lhama membatin, namun
ketika melihat sepasang matanya, tersentaklah mereka
berdua, karena sepasang matanya menyorotkan sinar yang
begitu tajam, pertanda memiliki lweekang yang amat tinggi.
Tio Bun Yang memberi hormat kepada kedua Dhalai
Lhama, dan kedua Dhalai Lhama segera bangkit berdiri
sekaligus balas memberi hormat.
"Tio siauhiap, selamat bertemu!" ucap Dhalai Lhama
berjubah merah.
"Selamat bertemu Dhalai Lhama!" sahut Tio Bun Yang.
"Ayoh! Duduklah!" ucap Lim Peng Hang
Mereka segera duduk. Lim Peng Hang memandang Tio Bun
Yang seraya bertanya dengan, penuh perhatian.
"Bun Yang, engkau sudah bertemu Goat Nio?"
"Belum." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Tiada kabar beritanya sama sekali?" tanya Gouw Han
Tiong. Tio Bun Yang mengangguk sambil menghela nafas panjang.
"Tapi aku sudah tahu siapa ketua Kui Bin Pang itu,"
ujarnya^ "Oh?" Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong terperanjat.
"Siapa ketua Kui Bin Pang itu?"
"Seorang pemuda bernama Kwee Teng An," sahut Tio Bun
Yang. "Kwee Teng An?" gumam Lim Peng Hang. "Tidak pernah
terdengar nama tersebut dalam rimba persilatan. Oh ya,
engkau kok tahu ketua Kui Bin Pang itu adalah Kwee Teng
An?" "Tanpa sengaja aku menyelamatkan putri Menteri Ma..."
tutur Tio Bun Yang tentang semua kejadian itu, kemudian
menambahkah, "Aku sedang mencari Kwee Teng An."
"Oh?" Lim Peng Hang terbelalak. "Engkau bertemu Yo Suan
Hiang, bagaimana kabarnya?"
"Bibi Suan Hiang baik-baik saja." Tio Bun Yang
memberitahukan. "Tapi... dia masih belum menikah."
"Kemungkinan besar dia tidak akan menikah," ujar Gouw
Han Tiong. "Sebab ia mencurahkan perhatiannya pada
perjuangan itu."
"Oh ya!" tanya Lim Peng Hang. "Betulkah Lie Tsu Seng
telah berhasil merebut beberapa kota?"
"Betul." Tio Bun Yang mengangguk.
"Aaah...!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang. "Rimba
persilatan bertambah kacau, sedangkan kerajaan pun timbul
berbagai pergolakan!"
"Bun Yang!" Gouw Han Tiong menatapnya. "Apakah barubaru
ini engkau mendengar tentang sepak terjang Kim Coa
Long Kun dalam rimba persilatan?"
"Kim Coa Long Kun?" Tio Bun Yang tertegun.
"Ya." Gouw Han Tiong mengangguk. "Dia baru muncul di
rimba persilatan, namun sadis sekali. Di mana dia berada,
pasti terjadi pertumpahan darah."
"Oh?" Tio Bun Yang mengerutkan kening.
"Kami justru tidak habis pikir, sebetulnya dia tergolong
lurus atau sesat?" Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan
kepala. "Dia memang sering membunuh para penjahat, tapi
juga pernah membunuh para murid partai Butong, Kun Lun
dan Go Bie. Maka para ketua ketiga partai itu bergabung
untuk menumpasnya."
"Kakek!" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku sudah bertemu Kim
Coa Long Kun itu."
"Hah" Apa?" Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong
tersentak. "Engkau dan dia bertarung?"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk dan menutur tentang
kejadian itu secara jelas, kemudian menambahkan. "Kedua
kalinya kami bertemu, dialah yang menyuruhku segera
kembali, karena ada Dhalai Lhama di markas pusat ini."
"Oh?" Lim Peng Hang terbelalak. "Jadi engkau sudah
bersahabat dengan dia?"
"Ya." Tio Bun Yang manggut-manggut. "Dia bukan orang
jahat. Kalau dia ingin membunuh ketiga ketua partai itu, boleh
dikatakan segampang membalik telapak tangannya."
"Kalau begitu..." ujar Gouw Han Tiong. "Yang bersalah
adalah para murid ketiga partai itu, karena mereka telah
melakukan perbuatan yang terkutuk itu."
"Yaah!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Kim Coa
Long Kun itu punya riwayat yang mengenaskan. Dia...."
Tio Bun Yang menutur tentang kejadian yang menimpa
keluarga Kim Coa Long Kun, Lim Peng Hang dan Gouw Han
Tiong mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Kalau begitu...." Lim Peng Hang menggeleng-gelangkan
kepala. "Kita tidak bisa mempersalahkannya. Mudah-mudahan
dia berhasil menyelidiki kelima perampok itu!"
"Kakek!" Tio Bun Yang menatapnya. "Sebetulnya ada
urusan apa kedua Dhalai Lhama itu ke mari?"
"Mereka ingin mohon bantuan ayahmu." Lim Peng Hang
memberitahukan. "Namun kakek sudah memberitahukan
bahwa ayahmu telah bersumpah tidak akan mencampuri
urusan rimba persilatan lagi."
"Oh?" Tio Bun Yang mengerutkan kening. "Kalau begitu,
kenapa mereka masih berada di sini?"
"Mereka menunggumu," sahut Lim Peng Hang.
"Menungguku?" Tio Bun Yang tertegun. "Kenapa
menungguku?"
"Mereka ingin mohon bantuanmu." Lim Peng Hang
memberitahukan. "Maka mereka tinggal di sini menunggumu."
"Oh?" Tio Bun Yang memandang kedua Dhalai Lhama
seraya bertanya. "Maaf! Ada urusan apa kalian berdua
menungguku?"
"Tio siauhiap, kami ingin mohon bantuanmu," jawab Dhalai
Lhama berjubah merah dan menambahkan. "Kami harap Tio
siauw hiap sudi membantu kami!"
"Apa yang dapat kubantu?" tanya Tio Bun Yang.
"Begini...." Dhalai Lhama berjubah merah menutur. "Belum
lama ini telah muncul seorang pemuda Han di Tibet. Dia
berkepandaian tinggi sekali, bahkan telah mengalahkan ketua
kami, kini dia berkuasa di kuil kami."
"Jadi...." Tio Bun Yang mengerutkan kening.
"Kami tahu ayahmu berkepandaian sangat tinggi, maka
kami ke mari mohon bantuannya," ujar Dhalai Lhama berjubah
merah. "Tapi.... Lim Pangcu memberitahukan bahwa ayahmu
telah bersumpah, tidak akan mencampuri urusan rimba
persilatan lagi. Tapi Lim Pangcu juga menceritakan tentang


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tio siauw hiap, karena itu kami menunggu di sini. Syukurlah,
Tio siauw hiap sudah kembali!"
"Kalian mohon bantuanku untuk menumpas pemuda Han
itu?" tanya Tio Bun Yang sambil menatap mereka.
"Ya." Kedua Dhalai Lhama itu mengangguk.
"Tapi... urusanku belum beres, bagaimana mungkin aku
bisa membantu kalian?" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Tio siauw hiap...." Wajah kedua Dhalai Lhama itu tampak
murung sekali. "Kalau Tio siauw hiap tidak sudi membantu
kami, rusaklah nama baik para Dhalai Lhama di Tibet."
"Maaf!" ucap Tio Bun Yang menolak. "Aku tidak bisa
membantu."
"Tio siauw hiap!" Mendadak kedua Dhalai Lhama itu
menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tio Bun Yang. "Kalau Tio
siauw hiap tidak sudi membantu kami, kami tidak akan
bangun." "Eeeh?" Tio Bun Yang kelabakan, dan buru-buru
membangunkan mereka.
Akan tetapi, secara diam-diam kedua Dhalai Lhama itu
mengerahkan ilmu pemberat badan. Maka, ketika Tio Bun
Yang membangunkan mereka, badan mereka tak bergeming
sama sekali. "Kita bicarakan lagi tentang itu, kalian bangunlah!" ujar Tio
Bun Yang. Tapi kedua Dhalai Lhama itu tetap berlutut di hadapan Tio
Bun Yang. Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepala,
kemudian mengerahkan Iweekangnya, dan mendadak
mengibaskan lengan bajunya.
Terjadinya pemandangan yang menakjubkan, tampak
badan kedua Dhalai Lhama itu melayang ke tempat duduk
mereka. "Haah?" Betapa terkejutnya kedua Dhalai Lhama itu.
Mereka memandang Tio Bun Yang dengan mata terbelalak.
Mereka tidak menyangka kalau pemuda itu memiliki lweekang
yang begitu tinggi. "Tio siauw hiap...."
"Maaf!" ucap Tio Bun Yang.
"Tio siauw hiap sungguh berkepandaian tinggi, kami kagum
sekali." ujar Dhalai Lhama berjubah merah. "Tio siauw hiap,
kami para Dhalai Lhama Tibet sangat membutuhkan
bantuanmu...."
"Kakek!" Tio Bun Yang memandang Lim Peng Hang.
"Bagaimana menurut Kakek?"
"Bun Yang!" Lim Peng Hang tersenyum. "Itu tergantung
pada kebijaksanaanmu. Pikirkanlah baik-baik!"
"Kakek, sebetulnya aku sedang mencemaskan Goat Nio,
bagaimana mungkin aku membantu mereka?" Tio Bun Yang
menggeleng-gelengkan kepala.
"Bun Yang!" Lim Peng Hang menatapnya seraya berkata.
"Menolong orang lain sama juga menolong diri sendiri, engkau
berbuat baik pada orang lain, tentunya akan menerima yang
baik pula. Ingat itu"
"Ya, Kakek," Tio Bun Yang mengangguk, kemudian
memandang kedua Dhalai Lhama itu seraya bertanya. "Kalian
tahu siapa pemuda Han itu?"
"Kami tidak tahu," sahut Dhalai Lhama berjubah merah.
"Sebab dia tidak pernah menyebut namanya."
"Bagaimana kepandaiannya?" tanya Tio Bun Yang lagi.
"Tinggi sekali." Dhalai Lhama berjubah kuning
memberitahukan. "Bahkan dia pun memiliki ilmu sesat yang
dapat mengendalikan pikiran orang lain."
"Apa?" Tio Bun Yang tersentak dan wajahnya pun tampak
berubah hebat. "Bagaimana ilmu pukulannya?"
"Sungguh ganas dan mengandung racun." Dhalai Lhama
berjubah merah memberitahukan. "Aku dengar beberapa
saudara seperguruan kami mati secara mengenaskan di
tangannya."
"Bagaimana cara kematian mereka?"
"Begitu terkena pukulan pemuda Han itu, badan mereka
mengeluarkan asap lalu mencair."
"Hah?" Tio Bun Yang meloncat bangun saking emosi.
"Dia... dia adalah Kwee Teng An, Ketua Kui Bin Pang yang
sedang kucari!"
"Bun Yang!" Lim Peng Hang terbelalak.
"Kakek!" Tio Bun Yang memberitahukan. "Pemuda Han itu
adalah Kwee Teng An atau Ketua Kui Bin Pang, hanya dia
yang memiliki ilmu pukulan Pek Kut Im Sat Ciang."
"Oh?" Lim Peng Hang tertegun. "Itu sungguh di luar
dugaan!" "Memang di luar dugaan." ujar Tio Bun Yang dan
menambahkan. "Aku tidak menyangka kalau dia kabur ke
Tibet." "Tio siauw hiap...." Kedua Dhalai Lhama tampak girang
sekali. "Engkau sudi membantu kami?"
"Sebetulnya aku pun sedang mencari pemuda itu, maka
sungguh kebetulan sekali!" sahut Tio Bun Yang.
"Terimakasih, Tio siauw hiap!" ucap kedua Dhalai Lhama
itu. "Bun Yang!" tanya Lim Peng Hang. "Kapan engkau akan
berangkat ke Tibet bersama kedua Dhalai Lhama itu?"
"Sekarang," sahut Tio Bun Yang singkat.
"Baiklah." Lim Peng Hang manggut-manggut, karena tahu
akan ketidak sabaran cucunya itu. "Tapi engkau harus berhatihati
menghadapi pemuda Han itu!"
"Ya, Kakek." Tio Bun Yang mengangguk, sekaligus
berpamit kepada Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong,
kemudian berkata kepada kedua Dhalai Lhama. "Mari kita
berangkat!"
"Ya." Kedua Dhalai Lhama mengangguk, kemudian mereka
pun berpamit kepada Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong.
Setelah mereka bertiga pergi, Lim Peng Hang dan Gouw
Han Tiong saling memandang.
"Mudah-mudahan kali ini Bun Yang tidak akan gagal
membekuk Kwee Teng An!" ujar Lim Peng Hang. "Jadi dia bisa
tahu Goat Nio disekap di mana."
"Tapi...." Gouw Han Tiong mengerutkan kening. "Kwee
Teng An adalah ketua Kui Bin Pang yang menculik Goat Nio,
kini dia berada di Tibet, lalu Goat Nio disembunyikan di mana"
Mungkinkan...."
"Haaah...?" Wajah Lim Peng Hang langsung berubah pucat.
"Itu...."
"Aku khawatir...." Wajah Gouw Han Tiong pun sudah
memucat. "Telah terjadi sesuatu atas diri Goat Nio."
"Aaaah...!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang,
mendadak wajahnya tampak agak berseri. "Mungkinkah Goat
Nio berhasil meloloskan diri?"
"Kalau Goat Nio berhasil meloloskan diri, tentunya dia
sudah ke mari," sahut Gouw Han Tiong tidak begitu optimis
akan itu. "Siapa tahu Goat Nio ditolong seseorang, dan kini masih
berada di tempat penolong itu," ujar Lim Peng Hang.
"Mudah-mudahan begini!" ucap Gouw Han Tiong karena
tahu Lim Peng Hang seiiang menghibur dirinya sendiri.
-oo0dw0oo- Bagian ke tujuh puluh satu
Pertarungan mati hidup di Kuil Dhalai Lhama
Tio Bun Yang dan kedua Dhalai Lhama melakukan
perjalanan siang malam. Enam tujuh hari kemudian, mereka
sudah memasuki daerah Tibet. Para penduduk di sana
semuanya tampak murung. Namun ketika melihat kemunculan
kedua Dhalai Lhama itu, segeralah para penduduk
mengerumuni mereka, kemudian terjadilah percakapan yang
tidak dimengerti Tio Bun Yang, sebab mereka menggunakan
bahasa Tibet. "Aaaah...!" Dhalai Lhama berjubah merah menghela nafas
panjang. "Pemuda Han itu berbuat maksiat di dalam kuil
kami." "Ayohlah!" desak Tio Bun Yang. "Kita cepat-cepat ke sana!"
Kedua Dhalai Lhama mengangguk, kemudian mereka
bertiga mengerahkan ginkang menuju kuil tersebut.
Ketika mendekati kuil itu, mereka mendengar suara
pertarungan. Segeralah Tio Bun Yang melesat ke sana,
tampak dua orang sedang bertarung dengan sengit sekali.
Terbelalaklah Tio Bun Yang, karena yang sedang bertarung
itu ternyata Kwee Teng An dan Bu Ceng Sianli - Tu Siao Cui.
Ia tidak habis pikir, bagaimana Bu Ceng Sianli itu bisa berada
di situ" Terlihat pula puluhan Dhalai Lhama berdiri mematung di
situ seperti kehilangan sukma.
"Tio siauw hiap!" Dhalai Lhama berjubah merah
memberitahukan. "Kalau tidak salah, pemuda itu...."
"Dia Kwee Teng An," sahut Tio Bun Yang. "Wanita muda
yang bertarung dengan dia adalah Bu Ceng Sianli, aku kenal
dia." "Oooh!" Kedua Dhalai Lhama itu manggut-manggul.
Sementara pertarungan itu semakin sengit dan seru, tibatiba
Kwee Teng An tertawa gelak.
"Nona Tu! Engkau sungguh setia kepadaku! Jauh-jauh dari
Tionggoan engkau ke mari menyusulku, itu pertanda engkau
sangat mencintaiku! Ha ha ha...!"
"Diam!" bentak Bu Ceng Sianli. "Hari ini aku harus
membunuhmu!"
"Oh. ya!" Kwee Teng An tertawa lagi. "Ha ha ha! Kalau
engkau membunuhku, siapa yang akan bersenang-senang
denganmu?"
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Ajalmu telah
tiba, bersiap-siaplah untuk mampus.
"Engkau ingin mengeluarkan ilmu andalanmu?"
"Ya!"
"Nona Tu!" Kwee Teng An tersenyum. "Engkau jangan
memaksaku mengeluarkan ilmu andalan juga, sebab ilmu
pukulan Pek Kut Im Sat Ciangku sangat ganas dan beracun,
akan membuat tubuhmu yang montok mulus itu mencair lho!"
"Hm!" dengus Bu Ceng Sianli sambil mengerahkan Hian
Goan Sin Kang. Kwee Teng An mengerutkan kening, kemudian
mengerahkan Pek Kut Im Sat Kangnya.
Mereka berdua sudah bersiap-siap untuk bertarung lagi,
namun di saat itulah terdengar suara alunan suling yang
sangat halus, tapi mengandung semacam kekuatan.
Begitu mendengar suara suling itu, berserilah wajah Bu
Ceng Sianli, sedangkan Kwee Teng An tampak tersentak.
Para Dhalai Lhama yang terkena ilmu sesat itu pun mulai
bergerak-gerak matanya, kemudian saling memandang,
kelihatannya mereka mulai sadar.
Betapa terkejutnya Kwee Teng An, lapi kemudian tertawa
gelak seraya berseru lantang. "Ha ha ha! Tio Bun Yang!
Sungguh tak disangka engkau sampai di sini juga!"
"Kwee Teng An!" Tio Bun Yang melesat ke sisi Bu Ceng
Sianli, sedangkan Dhalai Lhama berjubah merah, dan kuning
melesat ke arah para Dhalai Lhama yang sedang mulai sadar
itu. Mereka bercakap-cakap dengan bahasa Tibet, lalu
memandang ke arah Tio Bun Yang.
"Dia bernama Tio Bun Yang." Dhalai Lhama berjubah
merah memberitahukan. "Putra kesayangan Pek Ih Sin Hiap
Tio Cie Hiong."
"Oooh!" Para Dhalai Lhama manggut-manggut.
"Oh ya! Bagaimana keadaan guru?" tanya Dhalai Lhama
berjubah kuning.
"Entahlah," sahut Dhalai Lhama lain.
"Mari kita ke dalam menolong guru!" seru Dhalai Lhama
berjubah merah. Kemudian ia segera ke dalam dan diikuti
yang lainnya. "Ha ha ha!" Sementara Kwee Teng An terus tertawa.
"Kakakmu ini sangat mencintai aku. Dia jauh-jauh dari
Tionggoan ke mari mencariku!"
"Kwee Teng An!" Tio Bun Yang menatapnya dingin.
"Betulkah engkau adalah Ketua Kui Bin Pang?"
"Betul!" sahut Kwee Teng An sambil tertawa. "Kenapa"
Engkau merasa takut kepadaku?"
"Kwee Teng An!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang.
"Kita tidak bermusuhan, kenapa engkau menculik Siang Koan
Goat Nio?"
"Aku menculik Siang Koan Goat Nio?" Kwee Teng An
tertawa terkekeh-kekeh. "Dia ikut aku pergi, bukan aku
menculiknya!"
"Omong kosong!" bentak Tio Bun Yang.
"Aku tidak omong kosong!"
"Cepat katakan!" bentak Bu Ceng Sianli. "Goat Nio berada
di mana?" "Dia...." Kwee Teng An tertawa. "Kenapa aku harus
memberitahukan kalian" Dia senang dan bahagia ikut aku, jadi
kalian tidak usah mengkhawatirkannya!"
"Kwee Teng An!" Tio Bun Yang menatapnya. "Engkau yang
menitipkan sepucuk surat untukku?"
"Ha ha ha!" Kwee Teng An tertawa gelak. "Tidak salah!
Memang aku yang menitipkan surat itu untukmu! Bunyi surat
itu cukup menegangkan, bukan?"
"Kita tidak bermusuhan, kenapa engkau mendendam
kepadaku?" Tio Bun Yang menatapnya dengan kening
berkerut. "Jelaskanlah!"
"Ha ha!" Kwee Teng An tertawa. "Memang perlu
kujelaskan! Namaku Kwee Teng An! Cobalah engkau ingat,
pernahkah engkau mendengar namaku?"
"Rasanya tidak pernah!" Tio Bun Yang menggelengkan
kepala. "Aku tidak menyangka...." Kwee Teng An tersenyum dingin.
"Engkau begitu cepat lupa! Beberapa tahun lalu di sebuah
desa, bukankah engkau pernah memusnahkan kepandaian
seseorang?"
"Di sebuah desa...." Tio Bun Yang coba mengingat, lama
sekali mendadak ia berseru tak tertahan. "Kwee Teng An!
Ternyata engkau adalah Cat Hoa Cat (Penjahat Pemetik
Bunga) itu!"
"Betul!" Kwee Teng An tertawa terkekeh-kekeh. "Para
penduduk desa itu melempar diriku ke dalam jurang! Namun
aku tidak mati malah memperoleh kepandaian tinggi! He he
he...!" "Kwee Teng An!" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala. "Seharusnya engkau bersyukur karena tidak mati di
jurang itu dan harus bertobat! Tapi...."
"Tio Bun Yang!" bentak Kwee Teng An. "Aku dendam
kepadamu dan hari ini aku harus membunuhmu!"
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Akulah yang
akan membunuhmu!"
"Nona Tu!" Kwee Teng An tersenyum menyindir. "Aku tahu
engkau bukan kakaknya, jangan-jangan engkau sudah tidur
dengan dia! He he he...!"
"Engkau...." Bu Ceng Sianli ingin menyerangnya, tapi
keburu dicegah oleh Tio Bun Yang. "Kakak, biar aku yang
menyelesaikannya!"
'Tio Bun Yang!" Kwee Teng An menudingnya. "Aku sudah
bersenang-senang dengan Goat Nio, maka engkau akan
memperoleh ampas!"
"Engkau...." Wajah Tio Bun Yang berubah pucat pias.
"Sakit hati, kan?" Kwee Teng An tertawa. "Ha ha! Mari kita
bertarung, hari ini aku harus membalas dendam karena
engkau pernah memusnahkan kepandaianku!"
Kwee Teng An mulai menghimpun Pek Kut Im San Kang.
Menyaksikan itu berkata kepada Tio Bun Yang.
"Hati-hati!"
Tio Bun Yang mengangguk, kemudian mulai menghimpun
Pan Yok Hian Thian Sin Kang untuk melindungi diri, dan
mengerahkan Kan Kun Taylo Im Yang Sin Kang bersiap-siap
menangkis serangan Kwee Teng An.
Setelah menghimpun Pek Kut Im Sat Kang, sepasang
telapak tangan Kwee Teng An mengeluarkan uap beracun.
"Kakak, cepat menyingkir!" seru Tio Bun Yang.
Bu Ceng Sianli segera meloncat ke belakang, kemudian
mengerahkan Hian Goan Sin Kang. Kelihatannya ia bersiap
membantu Tio Bun Yang.
Mendadak Kwee Teng An memekik keras sambil menyerang
Tio Bun Yang menggunakan ilmu pukulan Pek Kut Im Sat
Ciang. Tio Bun Yang tidak berkelit, melainkan menangkis serangan
itu dengan jurus Kan Kun Taylo Bu Pien (Alam Semesta Tiada
Batas). Daaar! Terdengar seperti suara ledakan dahsyat. Ternyata
kedua macam Iweekang itu beradu dan menimbulkan suara
ledakan dahsyat sehingga menggoncangkan pepohonan yang
berada di sekitar tempat itu dan membuat daun-daun
beterbangan ke mana-mana.
Betapa terkejutnya Bu Ceng Sianli menyaksikan itu. Begitu
pula para Dhalai Lhama.
Kwee Teng An terhuyung-huyung ke belakang beberapa
langkah dengan wajah merah padam. Tio Bun Yang juga
terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah dengan
wajah memucat. "Ha ha ha!" Kwee Teng An tertawa gelak. "Aku tidak
menyangka, engkau mampu menangkis seranganku! Bahkan...
engkau pun kebal terhadap racun, tapi jurus kedua pasti
merenggut nyawamu!"
"Kwee Teng An!" Tio Bun Yang menatapnya tajam. "Asal
engkau memberitahukan kepadaku di mana Goat Nio, aku
pasti mengampunimu!"
"Tio Bun Yang!" sahut Kwee Teng An. "Asal engkau
berlutut di hadapanku, aku pun pasti mengampunimu!"
"Engkau...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"He he he!" Kwee Teng An tertawa terkekeh, lalu
mendadak menyerang Tio Bun Yang dengan dahsyat sekali.
Kali ini ia mengeluarkan jurus yang sangat lihay, karena
memang ingin membunuh Tio Bun Yang.
Tio Bun Yang mengerutkan kening. Ia terpaksa menangkis
serangan itu dengan jurus Kan Kun Taylo Hap It (Segalagalanya
Menyatu Di Alam Semesta).
Daaar...! Terdengar suara ledakan lagi.
Kwee Teng An termundur-mundur enam tujuh langkah dan
wajahnya bertambah merah. Ia terkejut bukan main, karena
merasa Pek Kut Im San Kang yang dikerahkannya balik
menyerang dirinya sendiri. Itu justru membuatnya makin
penasaran. Tiba-tiba ia memekik keras sambil mengerahkan
Pek Kut Im Sat Kang hingga puncaknya, dan seketika sekujur
badannya mengeluarkan uap yang amat beracun.
"Hati-hati, Adik Bun Yang!" seru Bu Ceng Sianli
memperingatinya.
Tio Bun Yang manggut-manggut. Ia mengerahkan Kan Kun
Taylo Im Yang Sin Kang hingga puncaknya pula, kemudian
tampak ubun-ubunnya mengeluarkan uap putih.
Sekonyong-konyong Kwee Teng An berteriak keras,
sekaligus menyerang Tio Bun Yang dengan jurus yang paling
ampuh dan lihay.
Tio Bun Yang tidak berkelit, melainkan menyambut
serangan itu dengan jurus Kan Kun Taylo Kwi Cong (Segalagalanya
Kembali Ke Alam Semesta).
Blam! Daaar...! Terdengar suara benturan dahsyat,
kemudian terdengar pula suara jeritan yang menyayat hati.
"Aaaakh...!". Ternyata suara jeritan Kwee Teng An, yang
tubuhnya terpental beberapa depa. Sedangkan Tio Bun Yang
terhuyung-huyung ke belakang belasan langkah, namun
cepat-cepat berdiri tegak dan menarik nafas dalam-dalam.
"Adik Bun yang!" Bu Ceng Sianli langsung melesat ke
hadapannya. "Engkau terluka?"
"Tidak." Tio Bun Yang menarik nafas panjang. "Kalau aku
tidak memiliki Pan Yok Hian Thian Sin Kang dan kebal
terhadap racun, mungkin saat ini aku sudah tergeletak
menjadi mayat!"
"Syukurlah engkau tidak apa-apa!" ucap Bu (eng Sianli
sambil menarik nafas lega.
Bagaimana keadaan Kwee Teng An" Ternyata ia terkena
serangan balik dari Iweekangnya sendiri, sehingga sekujur
badannya mengeluarkan asap.
"Kwee Teng An!" Tio Bun Yang melesat ke hadapannya.
"Katakan di mana Goat Nio! Cepat katakan!"
"He he he!" Kwee Teng An tertawa terkekeh-kekeh,
padahal badannya sudah mulai mencair. "Engkau jangan
harap bisa bertemu Goat Nio lagi, karena... karena aku... aku
telah membunuhnya! He he he...!"
Belum juga suara tawanya lenyap, badan Kwee Teng An
telah mencair semua, sehingga yang tampak tinggal tulangtulangnya.
"Goat Nio! Goat Nio..." gumam Tio Bun Yang seperti orang
kehilangan sukma, wajahnya pucat pias seperti kertas. "Goat
Nio! Goat Nio...."
"Adik Bun Yang!" Bu Ceng Sianli terkejut bukan main.
Sedangkan para Dhalai Lhama hanya saling memandang,
mereka sama sekali tidak tahu harus berbuat apa!
"Goat Nio...." Wajah Tio Bun Yang semakin pucat pias dan
mendadak.... "Uaaaakh! Uaaaakh...!"
Dari mulutnya menyembur darah segar, dan kemudian
tubuhnya terkulai. Bu Ceng Sianli bergerak cepat
merangkulnya agar tidak jatuh. Betapa terkejutnya wanita itu,
karena Tio Bun Yang dalam keadaan pingsan, bahkan nadinya
berdenyut lemah sekali.
"Adik Bun Yang! Adik Bun Yang!" teriak Bu Ceng Sianli
dengan air mata berderai-derai. Kemudian ditaruhnya Tio Bun
Yang ke bawah, sepasang telapak tangannya ditempelkan di
dada pemuda itu lalu mengerahkan Hian Goan Sin Kang,
sekaligus disalurkan ke dalam tubuhnya.
Berselang beberapa saat, barulah Tio Bun Yang membuka
matanya dan bergumam dengan suara lemah.
"Goat Nio! Goat Nio...."
Bu Ceng Sianli segera membangunkannya untuk duduk,
setelah itu ia pun berkata.
"Adik Bun Yang, cepat himpun lweekangmu, agar hawa
murnimu tidak akan buyar!" Bu Ceng Sianli cemas sekali.
"Kakak Siao Cui! Goat Nio.... Goat Nio sudah mati." sahut
Tio Bun Yang dengan air mata berderai-derai.
"Tenanglah, Adik Bun Yang!" Bu Ceng Sianli menghiburnya
sambil terisak-isak. "Mungkin Kwee lTeng An bohong, padahal
Goat Nio belum mati!"
"Oh?" Tio Bun Yang tersentak. "Benarkah itu?"
"Aku yakin dia berdusta," sahut Bu Ceng Sianli agar Tio Bun
Yang bisa tenang. "Adik Bun Yang, cepat himpun
lweekangmu!"
Tio Bun Yang menurut, la segera menghimpun Pan Yok
Hian Thian Sin Kang. Berselang beberapa saat, wajahnya
mulai segar kembali, membual Bu Ceng Sianli berlega hati,
begitu pula para Dhalai Lhama.
Lama sekali barulah Tio Bun Yang berhenti menghimpun
Pan Yok Hian Thian Kang. Per-lahan-lahan ia bangkit berdiri
sambil memandang tulang-tulang yang tergeletak di dekatnya,
lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela nafas
panjang. "Aaaah...!" Kemudian ia teringat sesuatu dan langsung
bergugam, "Goat Nio! Goat Nio...."
"Adik Bun Yang!" Bu Ceng Sianli segera memegang
tangannya seraya berkata dengan lembut sekali, "Tenanglah!
Aku yakin Goat Nio belum mati."
"Tapi Kwee Teng An bilang dia yang membunuh Goat
Nio...." "Dia pemuda licik," potong Bu Ceng Sianli. "Pasti
membohongimu telah membunuh Goat Nio, padahal
sesungguhnya Goat Nio masih hidup."
"Tapi...." Tio Bun Yang mengerutkan kening, wajahnya
tampak memucat. "Biasanya orang yang sekarat tidak akan
bohong." "Tenanglah Adik Bun Yang!" Bu Ceng Sianli terus
menghiburnya. "Dia begitu licik. Walaupun dia sudah sekarat
tapi tetap membohongimu, itu agar hatimu tersiksa dan
batinmu terus tertekan sehingga menderita sekali."
"Benarkah begitu?" tanya Tio Bun Yang.
"Tentu benar." Bu Ceng Sianli berusaha agar tersenyum.
"Aku pikir... kemungkinan besar Goat Nio telah ditolong orang,
maka Kwee Teng An tidak membawanya ke Tibet."
"Itu cuma mungkin." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan
kepala. "Yang jelas dia sudah tiada. Goat Nio! Goat Nio...."
"Adik Bun Yang!" Bu Ceng Sianli mulai cemas. "Tenanglah!"
"Ya, ya." Tio Bun Yang manggut-manggut. "Aku memang
harus tenang, aku harus cari Goat Nio."
Di saat itu, mendadak para Dhalai Lhama menjatuhkan diri
berlutut di hadapan mereka.
"Terimakasih Nona, terimakasih Tio siauhiap!" ucap mereka
serentak. "Kalian berdua telah menyelamatkan kami semua."
"Sudahlah!" sahut Bu Ceng Sianli. "Kalian bangunlah!"
Akan tetapi, para Dhalai Lhama itu masih letap berlutut. Tio
Bun Yang memandang mereka, kemudian berkata.
"Bangunlah!"
"Terimakasih, Tio siau hiap!" ucap para Dhalai Lhama itu,
kemudian bangkit berdiri.
"Bagaimana keadaan guru kalian?" tanya Tio Hun Yang.
Ternyata ia masih ingat akan guru para Dhalai Lhama itu.
"Guru kami baik-baik saja," sahut Dhalai Lhama berjubah
merah. "Beliau sedang beristirahat."
"Sukurlah!" ucap Tio Bun Yang. Ia mengeluarkan sebutir
pil, lalu diberikan kepada Dhalai Lhama berjubah merah
seraya berkata, "Kondisi badan guru kalian pasti lemah sekali,
pil itu dapat memulihkan kondisi badannya."
"Terimakasih, Tio siau hiap!" ucap Dhalai Lhama berjubah
merah sambil menerima pil itu dengan terharu sekali.
"Terimakasih!"
"Maaf!" ucap Tio Bun Yang. "Kami tidak ke dalam
menjenguk guru kalian, karena kami harus segera kembali ke
Tionggoan. "Aku... aku harus mencari Goat Nio."
"Kami mengerti." Dhalai Lhama berjubah merah manggutmanggut.
"Tio siau hiap, semoga engkau cepat berkumpul
kembali dengan Goat Nio!"
"Terimakasih!" sahut Tio Bun Yang. "Aku pasti berkumpul
kembali dengan Goat Nio. Sampai jumpa!"
Tio Bun Yang meleset pergi. Bu Ceng Sianli langsung
menyusulnya seraya berseru-seru.
"Adik Bun Yang! Adik Bun Yang! Tunggu! Tunggu aku!"
Tio Bun Yang berhenti. Bu Ceng Sianli melesat ke
hadapannya, lalu berkata lembut.
"Adik Bun Yang, mari kita bersama kembali ke Tionggoan!"
"Aku...," sahut Tio Bun Yang. "Aku ingin mencari Goat Nio."
"Ya!" Bu Ceng Sianli tersenyum. "Aku akan menemanimu
mencarinya!"
"Terimakasih, Kakak!" ucap Tio Bun Yang. "Kakak sungguh
baik terhadapku! Aku...."
"Adik Bun Yang!" Bu Ceng Sianli memegang bahunya. "Biar
bagaimanapun, engkau harus tenang."
"Tapi...." Tio Bun Yang memandang jauh ke depan.
"Apabila Goat Nio sudah mati, aku pun tidak bisa hidup lagi."
"Adik Bun Yang...." Bu Ceng Sianli terkejul liukan main dan
cepat-cepat menghiburnya. "Percayalah! Goat Nio masih
hidup!" "Dia masih hidup" Tapi... dia berada di mana?" gumam Tio
Bun Yang. "Goat Nio! Goat Nio...."
"Adik Bun Yang, tenanglah!" Bu Ceng Sianli terus
menghiburnya, sikapnya terhadap Bun Yang bagaikan seorang
ibu terhadap anak.
Dalam perjalanan kembali ke Tionggoan, Bu Ceng Sianli
terus-menerus menghiburnya, sekaligus mengusirnya pula,
karena Tio Bun Yang sudah berubah linglung, setiap hari
selalu bergumam memanggil Goat Nio. Itu sungguh
mencemaskan Hu Ceng Sianli, maka wanita itu mengambil keputusan
membawa Tio Bun Yang ke markas pusat Kay Pang.
-oo0dw0oo- Bagian ke tujuh puluh dua
Terjun ke Jurang
Kini Bu Ceng Sianli dan Tio Bun Yang sudah berada di
daerah Tionggoan, Bu Ceng Sianli mengajak pemuda itu
menuju ke markas pusat Kay Pang. Sepanjang jalan tak hentihentinya
Tio Hun Yang bergumam.
"Di mana Goat Nio" Kok belum kelihatan?"
"Tenang!" ujar Bu Ceng Sianli sambil memandangnya
dengan iba. "Kalau engkau sabar, dia pasti muncul
menemuimu."
"Dia kok begitu tega, membiarkan aku terus-menerus
memikirkannya" Aaah! Goat Nio! Goat Nio...."


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Adik Bun Yang...." Bu Ceng Sianli menangis terisak-isak.
"Kenapa engkau menjadi begini" Adik Bun Yang...."
"Eh?" Tio Bun Yang tersentak sadar. "Kenapa Kakak
menangis" Apakah aku telah menyakiti hati Kakak?"
"Adik Bun Yang!" Air mala Bu Ceng Sianli berderai-derai.
"Engkau harus tenang, jangan...."
"Kakak!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Aku...
aku... Aaah! Goat Nio! Goat Nio...."
"Tuh! Begitu lagi!"
"Kakak! Goat Nio...." Mendadak Tio Bun Yang menangis
gerung-gerungan. "Goat Nio...."
"Adik Bun Yang...." Bu Ceng Sianli memeluknya erat-erat, ia
pun menangis terisak-isak. "Jangan begini, aku... aku tak
tahan melihatmu jadi begini! Adik Bun Yang, tenanglah!"
"Goat Nio sudah mati dibunuh. Aku...." Tio Bun Yang terus
menangis gerung-gerungan. "Goat Nio, di mana engkau"
Aku... aku rindu sekali kepadamu."
"Adik Bun Yang!" Bu Ceng Sianli membela nya. "Jangan
menangis...."
Di saat bersamaan, mendadak muncul seorang tua pincang,
yang tidak lain guru Sie Keng Hauw.
"Eeeh?" orang tua pincang itu terbelalak. "Bun Yang" Kalian
berdua...."
Bu Ceng Sianli sama sekali tidak menghiraukan orang tua
pincang itu, melainkan terus membelai Tio Bun Yang sekaligus
menghiburnya. "Engkau harus tenang, Adik Bun Yang! Percayalah! Goat
Nio tidak mati."
"Ha ha ha." Orang tua pincang itu tertawa gelak. "Lucu
sekali! Kalian berdua sedang berpacaran atau sedang main
sandiwara?"
"Hei, orang tua tak tahu diri!" bentak Bu Ceng Sianli. "Kami
berdua sedang dirundung duka. engkau malah tertawa di
hadapan kami! Hm! Sekali lagi engkau tertawa, pipimu pasti
bengkak!" "Galak amat!" orang tua pincang itu melotot. "Bun Yang
kekasihmu ya" Kenapa engkau memeluknya?"
"Ini urusan kami, engkau tidak perlu campur!" sahut Bu
Ceng Sianli tidak senang.
"Aku justru perlu campur," ujar orang tua pincang. "Hei,
Nona galak, aku kenal baik Bun Yang lho!"
"Oh?" Bu Ceng Sianli tertegun. "Siapa engkau?"
"Bukankah engkau sudah lihat" Aku adalah... Si Pincang,"
sahut orang tua pincang dan bertanya, "Nona galak, siapa
engkau?" "Aku adalah Bu Ceng Sianli."
"Bu Ceng Sianli?" orang tua pincang itu terbelalak. "Engkau
terus-menerus memeluk dan membelai Bun Yang, kok masih
bilang Bu Ceng (Tanpa Perasaan)" Seharusnya Toh Ceng
(Kelebihan Perasaan) lho!"
"Diam!" bentak Bu Ceng Sianli kesal.
"Bun Yang!" panggil orang tua pincang sambil
mendekatinya, kemudian memandangnya dengan penuh
perhatian seraya bertanya, "Bun Yang, kenapa engkau?"
"Aku...." Tio Bun Yang menolehkan kepalanya, "Paman
tua...." "Syukurlah engkau masih kenal aku!" Orang tua pincang itu
menarik nafas lega lalu berkata, "Tadi engkau menangis
gerung-gerungan, apa yang telah terjadi atas dirimu?"
"Aku...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh ya!" Orang tua pincang menatapnya. "Bun Yang,
apakah engkau sudah tahu siapa ketua Kui Bin Pang itu?"
"Ketua Kui Bin Pang?" Tio Bun Yang terkejut. "Paman tua
pernah melihat ketua Kui Bin Pang itu?"
"Pernah." Orang tua pincang mengangguki "Oh ya! Gadis
ini memang cantik, tapi kelihatan galak sekali. Apakah dia
kekasihmu?"
"Bukan." Tio Bun Yang menggelengkan kepala, kemudian
berkata kepada Bu Ceng Sianli. "Kakak, dia adalah guru Sie
Keng Hauw. Juga adalah...."
"Ayahku adalah Tetua Kui Bin Pang," sambung orang tua
pincang memberitahukan. "Sudah cukup lama aku kenal Bun
Yang, tapi...."
"Kenapa?" tanya Bu Ceng Sianli ketus.
"Dulu Bun Yang tidak begini, kenapa sekarang jadi agak
linglung?" sahut orang tua pincang sambil mengerutkan
kening. "Heran" Kok bisa jadi begini?"
"Itu...." Bu Ceng Sianli tidak mau menceritakan tentang
kejadian itu, sebab khawatir akan menimbulkan kedukaan hati
Tio Bun Yang. Namun, Tio Bun Yang justru
memberitahukannya.
"Kekasihku mati dibunuh ketua Kui Bin Pang, sedangkan
ketua Kui Bin Pang itu mati di tanganku."
"Apa?" Orang tua pincang terbelalak. "Ketua Kui Bin Pang
mati di tanganmu?"
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Maksudmu...." Orang
tua pincang menatap lio Bun Yang dengan mata tak berkedip.
"Engkau mampu membunuhnya?"
"Ketua Kui Bin Pang memang mati di tanganku," sahut Tio
Bun Yang dan menambahkan, "Sebetulnya aku tidak ingin
membunuhnya."
"Ketua Kui Bin Pang itu memang harus mampus!" ujar
orang tua pincang dan kemudian bertanya, "Oh ya! Siapa
kekasihmu itu?"
"Siang Koan Goat Nio."
"Siang Koan Goat Nio?" gumam orang tua pincang.
"Apakah gadis yang cantik jelita itu?"
"Paman tua!" Tio Bun Yang tersentak. "Apakah Paman tua
pernah melihat Goat Nio?"
"Aku memergoki ketua Kui Bin Pang itu sedang merayu
seorang gadis, tapi gadis itu tidak menghiraukannya." Orang
tua pincang memberitahukan. "Di saat itulah aku muncul
menggodai mereka, karena aku kira mereka berdua sepasangl
kekasih. Akan tetapi, begitu aku muncul...."
"Lalu bagaimana?"
"Semula aku tidak tahu pemuda itu adalah ketua Kui Bin
Pang," jawab orang tua pincang melanjutkan. "Dia kurang ajar
sekali terhadapku, akhirnya dia bilang mau membunuhku
dengan ilmu Pek Kut Im Sal Kang. Barulah aku tahu di" adalah
ketua Kui Bin Pang, sebab hanya ketua Kui Bin Pang yang
memiliki ilmu itu."
"Setelah itu bagaimana?"
"Aku langsung kabur, tapi kemudian kembali lagi ke situ
dan bersembunyi di belakang pohon Aku melihat ketua Kui Bin
Pang itu menggunakan ilmu sesat untuk mempengaruhi gadis
itu. Namun sungguh mengherankan, gadis itu cuma
terpengaruh sedikit. Ketua Kui Bin Pang itu... kelihatan ingin
memperkosanya, tapi gadis itu terus melangkah mundur dan
tidak menyadari sama sekali, kalau di belakangnya terdapat
sebuah jurang."
"Bagaimana' gadis itu?"
"Mendadak ketua Kui Bin Pang ingin memeluknya, namun
gadis itu meloncat ke belakang, dan akhirnya jatuh ke jurang
itu." Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala.
"Setelah itu. aku mendengar suara teriakan ketua Kui Bin Pang
itu." "Dan teriakan apa?" Wajah Tio Bun Yang mulai pucat pias.
"Dia berteriak apa?"
"Dia berteriak memanggil nama seorang gadis, yakni Goat
Nio." Orang tua pincang memberitahukan.
"Paman tua!" Tio Bun Yang memegang tangannya. "Di
mana jurang itu?"
Wajah orang tua pincang meringis-ringis, ternyata Tio Bun
Yang memegang tangannya kencang sekali. "Aduuuh...!"
"Paman tua!" Tio Bun Yang segera melepaskan tangannya.
"Cepat katakan di mana jurang itu!"
"Di... di Tebing Selaksa Bunga."
"Tebing Selaksa Bunga" Berada di mana letung itu?" tanya
Tio Bun Yang. "Engkau ingin ke sana?" Orang tua pincang lialik bertanya
sambil menatapnya.
"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Paman tua, tolong antar
aku ke sana!"
"Tapi...." Orang tua pincang tampak ragu.
"Paman tua," desak Tio Bun Yang. "Tolong antar aku ke
Tebing itu!"
"Baiklah." Orang tua pincang mengangguk.
"Adik Bun Yang," sela Bu Ceng Sianli mendadak. "Jangan
mempercayai omongan Si Pincang itu! Mungkin dia
membohongimu!"
"Ei! Gadis sialan! Aku berkata sesungguhnya, lagi pula aku
tidak pernah membohongi siapa pun," sahut orang tua
pincang tidak senang.
"Kakak..." ujar Tio Bun Yang. "Paman tua ini tidak mungkin
membohongiku, dia pasti melihat Goat Nio."
"Betul." Orang tua pincang manggut-manggut. "Aku
memang melihat gadis itu, sama sekali tidak bohong."
"Engkau...." Bu Ceng Sianli melototi orang tua pincang itu.
Tadi ia mengatakan begitu hanya untuk mencegah agar Tio
Bun Yang tidak ke Tebing Selaksa Bunga, karena khawatir
akan terjadi sesuatu atas diri Tio Bun Yang, namun orang tua
pincang justru tidak tahu maksudnya. "Dasar pincang...!"
"Kok marah-marah kepadaku" Kalau aku ti dak memandang
Bun Yang, sudah kutampar mulutmu!"
Plaaak! Justru sebuah tamparan keras mendarat di pipi
orang tua pincang tersebut.
"Aduuuh!" Orang tua pincang itu menjerit kesakitan,
kemudian memandang Bu Ceng Sianli dengan gusar sekali.
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Rasakan!
Makanya jangan kurang ajar terhadapku?"
"Engkau...." Orang tua pincang menudingnya. "Engkau...
kok berani kurang ajar terhadapku?"
"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan, kemudian
berkata dengan nada dingin, "Kalau engkau bukan kawan Adik
Bun Yang, saat ini sudah tergeletak di sini!"
"Engkau...." Orang tua pincang kelihatan sudah bersiap
untuk bertarung dengan Bu Ceng Sianli.
"Sudahlah!" ujar Tio Bun Yang. "Aku sedang kacau, kalian
berdua malah terus ribut!"
"Gadis itu berani kurang ajar terhadapku."
'Paman tua...." Tio Bun Yang mengerutkan kening. "Paman
lebih muda daripada dia. maka tidak boleh kurang ajar
terhadapnya."
"Apa?" Orang tua pincang terbelalak, kemudian menatap
Tio Bun Yang dengan mata mendelik-delik. "Bun Yang,
betulkah engkau sudah begitu linglung, sehingga tidak bisa
membedakan siapa yang lebih muda dan siapa yang lebih
tua?" "Paman tua, Bu Ceng Sianli sudah berusia hampir sembilan
puluh." Tio Bun Yang memberitahukan.
"Ha ha ha!" Orang tua pincang tertawa gelak. "Kalau
begitu, usiaku tentunya sudah mencapai tiga ratus tahun."
"Paman tua, aku berkata sesunggunhya, sama sekali tidak
bergurau. Kalau Paman tua tidak percaya, terserah. Tapi
sekarang Paman tua harus mengantarku ke Tebing Selaksa
Bunga." "Baik." Orang tua pincang mengangguk. "Mari kita
berangkat sekarang!"
"Kakak mau ikut?" Tanya Tio Bun Yang kepada Bu Ceng
Sianli. "Tentu mau," sahut Bu Ceng Sianli. Mereka bertiga lalu
meleset ke arah Tebing Selaftsa Bunga menggunakan
ginkang. -oo0dw0oo- Tio Bun Yang berdiri di tepi jurang di Tebing Selaksa
Bunga. Ia terus memandang ke bawahi jurang sambil
bergumam dengan air mata berderai-derai.
"Goat Nio! Goat Nio...."
"Bun Yang!" Orang tua pincang memperingat kannya.
"Hati-hati, jangan sampai terpeleset ke dalam jurang!"
"Paman tua," tanya Tio Bun Yang. "Betulkah Goat Nio jatuh
di dalam jurang ini?"
"Betul." Orang tua pincang mengangguk.
"Aaakh!" keluh Tio Bun Yang. "Goat Nio, kenapa engkau
begitu tega meninggalkan aku" Goat Nio...."
"Adik Bun Yang, ayoh kita kembali ke markas pusat Kay
Pang!" seru Bu Ceng Sianli.
Tio Bun Yang tetap berdiri mematung di tepi pirang. Air
matanya terus berlinang-linang dan wajahnya pucat pias
seperti kertas.
"Goat Nio! Goat Nio! Aku tahu engkau sedang menungguku
engkau sangat kesepian di sana. Goat Nio! Tunggu aku!"
Mendadak Tio Bun Yang menerjunkan dirinya ke jurang itu.
Betapa terkejutnya Bu Ceng Sianli.
"Adik Bun Yang! Adik Bun Yang!" serunya sambil meleset
ke tepi jurang. Ia masih sempat melihat tubuh Tio Bun Yang
meluncur ke bawah, kemudian hilang di telan kabut. "Adik Bun
Yang! Aclik Bun Yang...!"
Bu Ceng Sianli juga ingin terjun ke jurang iiu. tapi
sekonyong-konyang orang tua pincang merangkulnya dari
belakang, sekaligus menariknya.
"Lepaskan!" Teriak Bu Ceng Sianli sambil meronta.
"Nona...." Orang tua pincang melepaskannya seraya
berkata, "Jangan kau lakukan itu!"
"Adik Bun Yang! Adik Bun Yang...!" teriak Bu Ceng Sianli,
lalu mendadak menatap orand tua pincang dengan penuh
kegusaran. "Engkau., gara-gara engkau! Aaaah...!"
"Tenanglah Nona!" Orang tua pincang meng gelenggelengkan
kepala. "Aku...."
"Engkau...." Bu Ceng Sianli menudingnya, ke mudian
dengan tiba-tiba tangannya bergerak dan seketika juga
terdengar suara tamparan keras.
Plak! Plok! Plaaak!
"Aduuuh!" jerit orang tua pincang kesakitan Kedua belah
pipinya telah bertanda bekas telapal tangan Bu Ceng Sianli.
"Adik Bun Yang terjun ke jurang gara-gara engkau, maka
secara tidak langsung engkau telah membunuhnya!" ujar Bu
Ceng Sianli sambil me natapnya dengan mata berapi-api.
"Aku...." Orang tua pincang menundukku kepala.
"Adik Bun Yang...." Bu Ceng Sianli duduk di pinggir jurang


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil menangis sedih dengan air mata berderai-derai. "Adik
Bun Yang...."
"Aaaah...!" Orang tua pincang menghela nafas panjang,
la'u duduk di sisi Bu Ceng Sianli. "Aku., aku yang bersalah
dalam hal ini, maafkanlah aku!
"Sesungguhnya engkau pun tidak bersalah dalam hal ini,"
sahut Bu Ceng Sianli, yang wajah nya tampak pucat pias.
"Engkau memberitahukan nya, tapi dia...."
"Kita harus tenang," ujar orang tua pincang. "Sebab... aku
pun harus bertanggung jawab mengenai kejadian ini."
"Aku tidak berani membayangkan, bagaimana kedua orang
tuanya dan kakeknya serta penghuni Hong Hoang To?"
"Ya." Bu Ceng Sianli mengangguk. "Lim Peng liang, ketua
Kay Pang adalah kakeknya."
"Celaka!" keluh orang tua pincang. "Aku... aku harus
bagaimana?"
"Kita harus segera ke markas pusat Kay Pang
memberitahukan tentang kejadian ini," sahut Bu Ceng Sianli.
"Ya." Orang tua pincang mengangguk. "Oh ya, engkau
kelihatan begitu sayang kepada Tio Hun Yang. Apakah...."
"Aku memang mencintainya, namun itu tidak mungkin,"
sahut Bu Ceng Sianli sambil menghela nafas panjang.
"Kenapa tidak mungkin?" Orang tua pincang heran.
"Engkau masih muda dan cantik sekali, kalian berdua
merupakan pasangan yang serasi lho!"
"Aaah...!" Bu Ceng Sianli tersenyum getir. "Adik Bun Yang
tidak bohong, usiaku memang hampit sembilan puluh."
"Engkau...." Orang tua pincang terbelalak. "Engkau awet
muda?" "Bukan awet muda, melainkan kembali muda seperti
berusia dua puluhan." Bu Ceng Sianli memberitahukan. "Sebab
aku mengalami suatu kemujizatan alam, lagi pula kebetulan
aku me-miliki Hian Goan Sin Kang."
"Oh?" Orang tua pincang menatap Bu Ceng Sianli dengan
mata tak berkedip, kemudian ujarnya sambil tersenyum.
"Kalau begitu, bersediakahl engkau mengantarku ke goa itu"
Sebab... aku pun ingin muda kembali...."
"Engkau...." Bu Ceng Sianli melotot. "Aku sedang sedih,
sebaliknya engkau malah bergurau" Hati-Hati! Aku bisa
mencabut nyawamu!"
"Maaf, maaf...!" ucap orang tua pincang cepat. "Ayolah!
Mari kita berangkat sekarang, jangan membuang waktu di
sini!" -oo0dw0oo- Kedatangan Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang tentunya
sangat mengherankan Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong,
sebab mereka tidak, kenal kedua orang tersebut.
"Maaf, kedatangn kami menganggu Lim Pangcu!" ujar Bu
Ceng Sianli tanpa memberi hormat.
"Tidak apa-apa," sahut Lim Peng Hang sambil! tersenyum.
"Silakan duduk!"
Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang duduk, kemudian
orang tua pincang memandang Lim Peng Hang seraya
berkata. "Lim Pangcu! Aku dan dia kenal Tio Bun Yang, dia
memanggil Bun Yang adik. Kami ke mari ingin menyampaikan
sesuatu...."
"Maaf!" ucap Lim Peng Hang dan bertanya, "Boleh kami
tahu siapa kalian berdua?"
"Aku adalah Si Pincang, guru Sie Keng Hauw." Orang tua
pincang memberitahukan. "Dia adalah Bu Ceng Sianli."
"Haah...?" Lim Peng Hang Gouw Han Tiong terbelalak.
"Nona... engkau adalah Bu Ceng Sianli?"
"Betul." Bu Ceng Sianli mengangguk.
"Lim Pangcu," tanya orang tua pincang. "Engkau sudah
tahu tentang Bu Ceng Sianli ini?"
"Bun Yang pernah menceritakan kepadaku, jadi aku sudah
tahu." Lim Peng Hang tersenyum. "Memang sungguh di luar
dugaan!" "Lim Pangcu, kita harus memanggilnya apa?" Tanya orang
tua pincang lagi.
"Panggil Sianli saja," sahut Gouw Han Tiong.
"Betul, betul." Orang tua pincang manggut-manggut.
"Memang lebih baik kita memanggilnya Sianli."
"Oh ya!" Lim Peng Hang menatap mereka seraya bertanya,
"Kalian ingin menyampaikan apa?"
"Bun Yang...."
"Biar aku yang memberitahukan," potong Bu Ceng Sianli,
lalu menutur. "Setelah aku berpisah dengan Adik Bun Yang di
markas Lie Tsu Seng, aku mulai menyelidiki ketua Kui Bin
Pang yang tidak lain adalah Kwee Teng An. Akhirnya aku
memperoleh informasi bahwa ketua Kui Bin Pang itu berada di
Tibet, maka aku segera ke Tibet."
"Bun Yang pun sudah berangkat ke Tibet bersama dua
Dhalai Lhama." Lim Peng Hang memberitahukan.
"Ngmm!" Bu Ceng Sianli manggut-manggut dan
melanjutkan, "Ternyata benar ketua Kui Bin Pang itu berada di
Tibet, bahkan telah menguasai kuil Dhalai Lhama. Aku
langsung ke kuil itu...."
"Sianli bertarung dengan ketua Kui Bin Pang itu?" tanya
Gouw Han Tiong.
"Ya." Bu Ceng Sianli mengangguk. "Di saat kami baru mau
mengerahkan ilmu andalan, mendadak terdengar suara
suling." "Pasti Bun Yang yang muncul," ujar Lim Peng Hang.
"Tidak salah." sahut Bu Ceng Sianli. "Suara suling itu
menyadai kan para Dhalai Lhama yang terkena ilmu sesat, dan
setelah itu barulah Adik Bun Yang mendekati ketua Kui Bin
Pang." "Mereka bertarung?" tanya Gouw Han Tiong.
"Adik Bun Yang menyuruhnya memberitahukan di mana
Goat Nio, namun ketua Kui Bin Pang bernama Kwee Teng An
itu malah tertawa, sama sekali tidak mau beritahukan."
"Lalu bagaimana?" tanya Lim Peng Hang.
"Kwee Teng An terus tertawa, kemudian memberitahukan
kepada Adik Bun Yang, bahwa Adik bun Yang pernah
memusnahkan kepandaiannya beberapa tahun lalu," jawab Bu
Ceng Sianli dan melanjutkan, "Ternyata Kwee Teng An adalah
mantan Penjahat Pemetik Bunga."
"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut. "Setelah itu
mereka bertarung?"
"Ya." Bu Ceng Sianli mengangguk dan menambahkan,
"Seandainya Kwee Teng An memberitahukan berada di mana
Goat Nio, Adik Bun Yang pasti melepaskannya."
"Jadi Bun Yang membunuh Kwee Teng An?" tanya Lim
Peng Hang. "Kwee Teng An mati oleh ilmu pukulannya sendiri." Bu
Ceng Sianli memberitahukan. "Aku sama sekali tidak menduga
Adik Bun Yang berkepandaian begitu tinggi."
"Setelah itu bagaimana?" tanya Gouw Han I iong.
"Sebelum tubuhnya berubah menjadi tulang, Kwee Teng An
sempat mengatakan kepada Adik Hun Yang, bahwa dia telah
membunuh Goat Nio." Bu Ceng Sianli menghela nafas
panjang. "Itu membuat Adik Bun Yang langsung muntah
darah lalu pingsan. Aku segera menyalurkan Hian Goan Sin
Kang ke dalam tubuhnya, dan tak lama dia pun tersadar
pingsannya. Namun...."
"Kenapa?" tanya Lim Peng Hang tegang dan cemas.
"Dia... dia berubah linglung," jawab Bu Ceng Sianli. "Aku
terus menghiburnya, bahkan juga mengatakan bahwa Goat
Nio belum mati."
"Betul." Lim Peng Hang manggut-manggut. "Sianli memang
harus mengatakan begitu agar dia tidak linglung. Terimakasih
Sianli!" "Tapi...." Bu Ceng Sianli menghela nafas panjang,
kemudian menuding orang tua pincang seraya berkata sengit,
"Gara-gara dia!"
"Yaah!" Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku lagi yang disalahkan! Padahal...."
"Beritahukanlah apa yang terjadi atas diri Bun Yang!" ujar
Lim Peng Hang dengan wajah pucat pias, sebab ia telah
berfirasat buruk.
"Mendadak muncul Si Pincang ini." Bu Ceng Sianli
memberitahukan. "Tak disangka dia pun kepal Bun Yang. Dia
pun mengatakan bahwa dia pernah melihat seorang pemuda
bersama scorangl gadis cantik, pemuda itu adalah ketua Kui
Bin Pang."
"Kalau begitu...." Lim Peng Hang mengerutkan kening.
"Gadis itu pasti Siang Koan Goatl Nio."
"Benar," sahut orang tua pincang. "Pemuda! itu ingin
memperkosa gadis itu namun gadis itu meloncat ke belakang."
"Pemuda itu. berhasil memperkosa Goat Nio?" tanya Gouw
Han Tiong. "Gadis itu meloncat ke belakang justru jatuh ke jurang
yang ribuan kaki dalamnya." Orang tua pincang
memberitahukan. "Di saat itulah pemuda tersebut berteriakteriak
memanggil nama gadis itu, barulah kuketahui gadis itu
bernama Goat Nio. Kemudian pemuda itu tertawa gelak lalu
melesat pergi, barulah aku keluar dari balik pohon. Aku
memandang ke bawah, tak tampak dasar jurang karena
tertutup oleh kabut. Jurang itu dalamnya ribuan kaki,
bagaimana mungkin gadis itu bisa hidup?"
"Sungguh kasihan Goat Nio!" Lim Peng Hang menghela
nafas panjang, kemudian bertanya kepada orang tua pincang.
"Engkau memberitahukan tentang itu kepada Bun Yang?"
"Ya." Orang tua pincang mengangguk.
"Bagaimana Bun Yang setelah mendengar itu?" tanya Lim
Peng Hang cemas.
'Dia terus mendesakku agar mengantarkannya ke tempat
itu, dan akhirnya kami berangkat ke Tebing Selaksa Bunga."
"Bun Yang...." Wajah Lim Peng Hang makin pucat. "Dia...
dia...." "Dia berdiri di pinggir jurang itu." Bu Ceng Sianli
memberitahukan dengan mata basah. "Dia lerus-menerus
memanggil Goat Nio, setelah itu mendadak...."
"Apa yang terjadi?" tanya Lim Peng Hang dengan suara
bergemetar. "Apa yang terjadi?"
"Mendadak...." Bu Ceng Sianli mulai menangis sedih. "Adik
Bun Yang terjun ke jurang itu."
"Haaah?" Lim Peng Hang langsung pingsan seketika.
"Lim Pangcu!" seru Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang
serentak, mereka berdua terkejut bukan main.
Begitu pula Gouw Han Tiong, ia segera mengurut urat di
leher Lim Peng Hang. Berselang! sesaat, barulah ketua Kay
Pang itu tersadar dari pingsannya.
"Bun Yang, cucuku...." gumam Lim Peng Hang dengan air
mata bercucuran. "Bun Yang...."
"Tenang, Saudara Lim!" hibur Gouw Hanl Tiong. "Bun Yang
berkepandaian begitu tinggi! tidak mungkin dia akan mati di
dasar jurang itu.
"Aaaah...!" Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalian berdua turun ke dasar jurang itu?"
"Tidak." Bu Ceng Sianli menggelengkan kepala. "Tebing
jurang itu sangat licin sekali, sulil untuk dituruni. Lagi pula
kami harus segera km mari."
"Kalau begitu," ujar Lim Peng Hang. "Kita harus segera
berangkat ke tempat itu, aku akan turun ke jurang itu mencari
mayat Bun Yang."
"Jurang itu dalamnya ribuan kaki, maka kita harus
membawa tali ke sana." Bu Ceng Sianli memberitahukan.
"Kalau tidak, sulit bagi kita turun kedasar jurang itu."
"Baik." Lim Peng Hang mengangguk dengan air mata
bercucuran. "Kita semua harus membawa tali secukupcukupnya."
-oo0dw0ooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Bu Ceng Sianli dan orang
tua pincang berdiri di pinggir pirang. Ketua Kay Pang terusmenerus
memandang ke bawah, kemudian bergumam dengan
air mata berderai-derai.
"Sedemikian dalam! Walau Bun Yang berkepandaian tinggi,
namun bagaimana mungkin hisa lolos dari kemataian?"
"Kita harus segera turun ke bawah," ujar Gouw Han Tiong.
"Kalau dia terluka di dasar pirang, kita masih sempat
menolongnya."
"Betul." Lim Peng Hang manggut-manggut.
Mereka berempat mulai menyambung tali-tali vang mereka
bawa itu, kemudian ujungnya di lempar ke dalam jurang.
Setelah tersambung semua, ujung tali yang satu lagi diikatkan
pada sebuah pohon.
"Siapa yang turun duluan?" tanya Lim Peng Hang.
"Biar aku yang turun duluan," sahut Bu Ceng Sianli.
Kemudian dipegangnya tali itu sekaligus meloncat ke bawah
menggunakan ginkang. Dalam waktu sekejap ia telah hilang di
telan kabut. Kemudian orang tua pincang, Lim Peng Hang dan Gouw
Han Tiong menyusulnya. Begitu sampai di dasar jurang,
mereka melongo karena melihat sebuah telaga yang cukup
besar, dan bukan main indahnya penorama di tempat itu.
"Tidak tampak mayat Tio Bun Yang." ujar Bui Ceng Sianli
sambil menggeleng-gelengkan kepala "Dasar jurang ini sangat
luas, maka tak mungkii kita mencarinya ke seluruh dasar
jurang." "Heran?" gumam Lim Peng Hang. "Kenapa tidak tampak
mayatnya" Mungkinkah... dia jatuh ke dalam telaga?"
"Kalau dia jatuh ke dalam telaga, mayatnya pasti akan
terapung," sahut Gouw Han Tiong "Tapi tidak kelihatan mayat
di permukaan ai: maka dia tidak mungkin jatuh ke telaga."
"Kalau begitu...." Lim Peng Hang mengerut kan kening,
namun sepasang matanya telah basah "Kemungkinan besar
mayatnya telah di bawa bi natang buas."
"Menurut aku..." sela orang tua pincang. "mungkin dia
tersangkut di pohon yang tumbuh di dinding jurang."
"Memang mungkin juga." Lim Peng Hang manggutmanggut
sambil mendongakkan kepala memandang ke atas.
"Begitu banyak pohon, tak mungkin kita memeriksanya."
"Mungkinkah binatang buas menyeret mayatnya ke dalam
salah sebuah goa yang ada di dasar jurang ini?" ujar Gouw
Han Tiong sambil menengok ke sana ke mari.
"Aaaah...!" keluh Lim Peng Hang. "Aku tidak menyangka,
Bun Yang akan mati tanpa kuburan."


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Adik Bun Yang! Adik Bun Yang...!" Mendadak Bu Ceng
Sianli berteriak-teriak memanggil Bun Yang, ia berharap ada
sahutan darinya.
"Bun Yang! Bun Yang...!" Yang lain juga ikut berteriakteriak
memanggil pemuda tersebut.
Akan tetapi sama sekali tiada suara sahutan lio Bun Yang,
hanya terdengar suara mereka yang berkumandang di dasar
jurang itu. "Aaah...!" keluh Lim Peng Hang. "Kita harus bagaimana?" '
"Kita naik ke atas lagi," sahut Gouw Han Tiong.
"Ng!" Lim Peng Hang mengangguk.
Lim Peng Hang naik duluan, kemudian Gouw Han Tiong
dan setelah itu orang, tua pincang, terakhir Bu Ceng Sianli,
yang kelihatan sangat penasaran karena tidak melihat mayat
Tio Bun Yang. "Sekarang apa langkah kita?" tanya Lim Peng Hang.
"Kita pulang ke markas dulu," Gouw Han Tiong
menambahkan, "Kita berunding di sana saja."
"Baik." Lim Peng Hang manggut-manggut, kemudian
memandang Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang seraya
bertanya, "Bagaimana kalian?"
"Bagaimana engkau, Sianli?" Orang tua pincang bertanya
kepada Bu Ceng Sianli.
"Tentunya harus ke markas pusat Kay Pang," sahut Bu
Ceng Sianli. "Kalau begitu," ujar Lim Peng Hang dan melanjutkan. "Mari
kita berangkat sekarang!"
-oo0dw0oo- Bagian ke tujuh puluh tiga
Suasana duka Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Bu Ceng Sianli dan orang
tua telah tiba di markas pusat Kay Pang. Tampak mereka
berempat di ruang depan markas itu dengan wajah murung
sekali. "Aaaah...!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang. "Aku
tidak habis pikir, apa jadinya kalau Cie Hiong dan Ceng Im
mengetahui kabar duka Ini" Aku khawatir mereka...."
"Cie Hiong masih bisa tabah, tapi Ceng Im...." Gouw Han
Tiong menggeleng-gelengkan kepala. "Aku mengkhawatirkan
putriku." "Lalu kita harus bagaimana?" Mata Lim Peng Hang mulai
basah lagi. "Aku yakin mayat Bun Yang telah digondol
binatang buas."
"Aaaah...!" keluh Bu Ceng Sianli. "Aku sama sekali tidak
menyangka, nasib Adik Bun Yang akan berakhir dengan begitu
mengenaskan! Padahal dia adalah pemuda baik dan berhati
bajik." "Bun Yang cucuku...." Air mata Lim Peng llang mulai
meleleh. "Bun Yang...."
"Saudara Lim!" Gouw Han Tiong menatapnya seraya
berkata, "Kita tidak boleh diam saja di sini.."
"Lalu kita harus bagaimana?" tanya Lim Peng Hang.
"Aku akan berangkat ke Tayli mengabarkan kepada mereka
tentang, kejadian ini, engkau berangkat ke Pulau Hong Hoan
To!" sahut Gouw Han Tiong. "Pihak Pulau Hong Hoang To
harus kita diberilahu."
"Tapi...." Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tak sampai hati memberitahukan kepada meraka."
"Tak sampai hati pun harus memberitahukan," hi.n Gouw
Han Tiong. "Besok pagi aku akan berangkat ke Tayli, engkau
berangkat ke Pulau Hong Hoang To!"
"Baiklah." Lim Peng Hang mengangguk, kemudian bertanya
kepada Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang. "Bagaimana
kalian" Mau ikut ke Pulau Hong Hoang To?"
"Kami yang menyaksikan kejadian itu, tentunya harus ikut
untuk memberitahukannya," sal hut Bu Ceng Sianli.
"Ya, ya." Orang tua pincang manggut-mang-gut. "Kami
memang harus ikut."
"Hm!" dengus Bu Ceng Sianli. "Semua itu gara-gara
engkau. Padahal waktu itu aku sudah memberi isyarat agar
engkau tidak melanjutkan penuturan. Namun... engkau masih
terus menyerocos. Akhirnya jadi begini. Seharusnya kubunuh
engkau!" "Yaah!" Orang tua pincang menghela nafas panjang. "Aku
menutur apa yang kusaksikan, lagi pula Bun Yang berhak
mengetahuinya. Dia adalah pemuda gagah, siapa sangka tidak
bisa tabah" Itu di luar dugaanku!"
"Sudahlah, Sianli." ujar Lim Peng Hang dengan wajah
murung. "Kita tidak bisa terus-menerus mempersalahkan Si
Pincang. Seandainya kita menjadi dia, tentunya juga akan
menceritakan tentang itu kepada Bun Yang."
"Adik Bun Yang...." gumam Bu Ceng Sianli berduka sekali.
"Apa yang terjadi itu, sungguh diluar dugaan!"
"Aku yang bersalah," ujar orang tua pincang sambil
menundukkan kepala. "Pada waktu itu Bu Ceng Sianli
mengerdipkan matanya, aku kira matanya kemasukan debu,
tidak tahunya memberi isyarat kepadaku, maka aku terus
menceritakan tentang gadis cantik itu, bahkan menyebutkan
namanya pula. Aaaah...!"
"Sudahlah!" tandas Lim Peng Hang. "Jangan diungkit-ungkit
lagi, membuat hati terasa pedih sekali."
"Besok pagi aku akan berangkat ke Tayli, kapan kalian akan
berangkat ke Pulau Hong Hoang To?" tanya Gouw Han Tiong.
"Juga besok pagi," sahut Lim Peng Hang. keesokan
harinya, pagi-pagi sekali Gouw Han Peng berangkat ke Tayli,
sedangkan Lim Peng Hang. Bu Ceng Sianli dan orang tua
pincang berangkat ke Pulau Hong Hoang To.
-oo0dw0oo- Seng Kie Hauw, Lie Ai Ling, Kan Hay Thian dan Lui Hui San
duduk di halaman sambil bercakap-cakap, kemudian Lie Ai
Ling menghela nafas panjang.
"Aaaah...!"
"Adik Ai Ling," tanya Sie Keng Hau. "Kenapa engkau
menghela nafas panjang barusan" Apakah ada sesuatu
terganjel dalam hatimu?"
"Mendadak aku teringat Kakak Bun Yang," sahut Lie Ai Ling
dengan wajah muram. "Entah bagaimana dia, sudah bertemu
dengan Goat Nio atau belum?"
"Kita semua berada di sini, bagaimana mungkin
mengetahuinya?" ujar Kam Hay Thian sambi menggelenggelengkan
kepala. "Kita pun tidak tahu bagaimana keadaan Yo Kiam Heng dan
Kwan Tiat Him," sambung Li Hui San. "Apakah mereka
berhasil menyelamat kan Goat Nio."
Di saat itulah melayang turun tiga orang, yaitu Lim Peng
Hang, Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang.
"Haaah?" Sie Keng Hauw dan lainnya terkejut girang
menyaksikan kemunculan mereka, Sie Ken Hauw langsung
bersujud di hadapan orang tua pincang, "Guru...."
"Guru setengah mati mencarimu ternyata enkau berpacaran
di pulau ini!" sahut orang tua pincang setengah mengomel.
"Dasar murid yang cuma mau senang sendiri!"
"Guru...."
"Bangunlah!" ujar orang tua pincang.
Sie Keng Hauw segera bangkit berdiri, kemudian berkata
kepada Lie Ai Ling.
"Adik Ai Ling, ini adalah guruku!"
"Paman tual" Lie Ai Ling memberi hormat dengan wajah
agak kemerah-merahan karena tersipu.
"Ha ha!" Orang tua pincang tertawa. "Bagus, bagus!"
"Diam!" bentak Bu Ceng Sianli. "Jangan terus tertawa!"
Orang tua pincang langsung diam, sedangkan Sie Keng
Hauw, Kam Hay Thian, Lie Ai Ling dan Lu Hui San cepat-cepat
memberi hormat kepada Lim Peng Hang dan Bu Ceng Sianli.
"Kakak Lim, Kakak Siao Cui...." Mereka berempat tampak
girang sekali, namun ketika menyaksikan wajah Lim Peng
Hang yang begitu murung, tersentaklah hati mereka.
"Di mana Tio Tocu dan lainnya?" tanya Lim Peng Hang.
"Kebetulan sekali mereka semua berada di ruang tengah."
jawab Lie Ai Ling. "Mari masuk!" ajaknya.
Mereka menuju ke dalam, tentunya sangat mencengangkan
Tio Tay Seng, Sam Gan Sin Kay, Kini Siauw Suseng, Kou Hun
Bijing, Tio Cie Hiong, Lim Ceng Im, Lie Man Chiu dan Tio Hong
llna. "Ayah!" seru Lim Ceng Im girang, tapi ketika menyaksikan
wajah Lim Peng Hang yang begitu muram, tersentaklah
hatinya. "Ayah...?"
"Ceng Im...." Lim Peng Hang menghela nafas panjang,
kemudian memperkenalkan. "Si Pincang ini adalah guru Sie
Keng Hauw. Ayahnya adalah Tetua Kui Bin Pang. Wanita yang
muda cantik jelita ini adalah Bu Ceng Sianli."
"Hah?" Seketika juga Kim Siauw Suseng, Kou Hun Bijin dan
lainnya terbelalak. Mereka memang pernah mendengar
penuturan Tio Bun Yang tentang wanita itu, tapi tidak
menyangka Bu Ceng Sianli begitu cantik mempesonakan.
"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa gelak. "Aku terkenal awet
muda, tapi engkau jauh lebih muda. Betulkah engkau sudah
berusia hampir sembilan puluh?"
"Betul," sahut Bu Ceng Sianli yang kemudian tertawa
cekikikan. "Hi hi hi! Aku bukan awet muda, melainkan kembali
muda!" "Engkau tampak seperti gadis berusia dua puluhan." Kou
Hun Bijin menatapnya dalam-dalam. "Bun Yang sering
menceritakan dirimu, kalian berdua sangat baik sekali?"
"Memang baik sekali," ujar Bu Ceng Sianli. "Sebelum
bertemu Adik Bun Yang, aku sudah bertemu Goat Nio. Tapi
dalam waktu itu aku tidak tahu bahwa dia adalah kekasih Adik
But Yang. Sesudah bertemu Adik Bun Yang. barulah aku tahu.
Aku pun menganggap Adik Bun Yang sebagai Adikku sendiri."
"Oh?" Kou Hun Bijin manggut-manggut. "Goat Nio adalah
putri kami, engkau sudah bertemu mereka?"
"Itu...." Bu Ceng Sianli memandang Lim Peng Hang.
"Kami ke mari justru ingin memberitahukan tentang Bun
Yang dan Goat Nio," ujar Lim Peng Hang dengan mata basah.
"Ayah! Apa yang telah terjadi atas diri Bun Yang?" tanya
Lim Ceng Im dengan wajah pucat pias.
"Itu harus dimulai dari Goat Nio," sahut Lim Peng Hang.
"Sianli!" Kou Hun Bijin segera memandang Bu Ceng Sianli.
"Beritahukanlah pada kami apa yang telah terjadi atas diri
Goat Nio?"
"Yang tahu jelas adalah Si Pincang ini," sahut Bu Ceng
Sianli. "Pincang!" hardik Kou Hun Bijin. "Cepat beritahukan!
Cepaaat!" "Aku melihat seorang pemuda dan seorang gadis cantik
jelita di Tebing Selaksa Bunga...." Orang tua pincang menutur
tentang kejadian itu.
"Hah" Apa?" Kou Hun Bijin langsung meloncat bangun.
"Goat Nio jatuh ke dalam jurang itu?"
"Ya." Orang tua pincang mengangguk,
"kenapa engkau tidak menolongnya?" tanya Kou Hun Bijin
Bara Naga 4 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 4

Cari Blog Ini