Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long Bagian 7
belum berubah jadi kota mati, waktu itulah pertama kali dia
bertemu dengan Yan Lam-hwi.
"Dalam pertarungan itu kau mengalahkan Yan Lam-hwi,"
kata Kongcu Gi.
Pada gambar kedua Hong-hong-kip sudah menjadi kota
mati, di tengah kepulan asap tebal, dua orang tampak berlutut
di depan Pho Ang-soat.
"Dalam pertarungan itu, kau mengalahkan Ngo-heng-siangsat,"
ucap Kongcu Gi pula.
Maka beruntun adalah kejadian ular beracun di bawah
pelana, roti kering beracun dari Kwi-gwa-po, arak beracun dari
Bing-gwat-lou. Di dalam kebun keluarga Ni yang sudah
belukar, seorang pemuda bertelanjang kaki pelan-pelan roboh
di bawah goloknya.
"Sebetulnya Toa Lui adalah jagoan lihai yang jarang
didapat di Kangouw, ilmu goloknya diyakinkan dari hidupnya
yang menderita, walau perbuatannya belakangan agak
congkak dan berlebihan, aku tetap tak habis pikir sekali tabas
kau membunuhnya."
"Ilmu golok untuk membunuh orang memang hanya sekali
tabas belaka."
"Betul, otak bergerak secara reflek, tangan pun bergerak
belakangan mengenai sasaran lebih dulu, dengan tidak
berubah untuk menghadapi laksaan perubahan, maka sejurus
serangan golok memang sudah lebih dari cukup."
Bukan saja jurus golok itu sudah melampaui segala gerak
persoalan dari tipu dan jurus yang ada, dia pun sudah
melampaui bentuk, gaya dan batas kecepatan.
Coh-hujin berkata, "Yang membuatku lebih tidak menduga
adalah, ternyata kau masih mampu melarikan diri dari kamar
batu bawah tanah di perkampungan merak itu."
Khong-jiok-san-ceng sudah berubah menjadi puing-puing,
kini Coh Giok-cin muncul dalam lukisan.
Thian-ong-cam-kui-to membelah kuda yang sedang berlari
kencang, sang koki gendut yang sedang mengiris daging
kuda. Bing-gwat-sim dan Coh Giok-cin diantar masuk ke
kamar batu di bawah tanah dalam Khong-jiok-sang-ceng.
Kongsun To muncul, Coh Giok-cin melahirkan putra-putrinya
di dalam kamar bawah tanah itu .... Melihat sampai di sini, kaki
tangan Pho Ang-soat menjadi berkeringat dingin.
Coh-hujin berkata, "Dia merupakan seutas tali, sebetulnya
kami ingin memakainya untuk mengikat kau, jika dalam hatimu
selalu merindukan dia dan kedua orok itu, maka tanganmu
berarti sudah kami belenggu."
Seorang yang kedua tangannya terbelenggu, sudah tentu
tidak setimpal Kongcu Gi turun tangan sendiri.
Coh-hujin menghela napas, katanya, "Tapi kami kembali
merasa di luar dugaan, dalam keadaan seperti itu, kau masih
mampu membunuh Thian-ong-cam-kui-to."
Jari-jari Pho Ang-soat menggenggam kencang, desisnya,
"Waktu itu kalian sudah siap membiarkan dia memperlihatkan
kedok aslinya, kenapa masih membiarkannya membunuh Toh
Cap-jit?" "Karena kami masih ingin memperalat dia melakukan tugas
terakhir."
"Kalian ingin menggunakan kedua anaknya itu untuk
memaksa aku menyerahkan Thian-te-kiau-ceng Im-yang-toapibu?" Coh-hujin manggut-manggut, katanya, "Sampai saat itu
baru kami percaya Im-yang-toa-pi-bu hakikatnya tidak terjatuh
di tanganmu, karena kami tahu untuk mempertahankan hidup
kedua bocah itu, kau rela mengorbankan segala milikmu."
Setelah menghela napas, dia berkata pula, "Hanya
sayangnya walau kau sudah berhasil meyakinkan Tay-ih-hiathoat,
ternyata kau tidak mati di tangannya, lebih disayangkan
lagi, kau tidak tega membunuhnya."
ooooOOoooo Maka di atas gambar muncullah gadis yang mengenakan
kembang melati itu, dengan sendok dia tengah memasukkan
kuah ayam ke dalam mulut Pho Ang-soat. Nenek bungkuk di
sebelahnya sedang menyembelih ayam, Siau Thing gadis
yang berkalung kembang melati sedang membeli arak di
warung kecil di pojok jalan, pemilik warung yang gendut
dengan perutnya yang buncit sedang menyeringai tawa penuh
nafsu sambil mengawasi dadanya. Tapi dirinya sedang mabuk
dan telentang di dalam kamar yang biasa dipakai berbuat
mesum itu, seolah-olah sudah terbiasa dengan kehidupan
yang serba kotor dan rendah itu.
Coh-hujin berkata, "Waktu itu kami mengira kau sudah
tamat, umpama kau masih bisa membunuh orang, paling kau
hanyalah algojo yang sudah edan, tak perlu dan tidak setimpal
Kongcu menghadapimu."
Yang akan dihadapi Kongcu Gi adalah jago kuat nomor
satu di Bu-lim.
"Jika kau bukan orang terkuat nomor satu dalam Bu-lim,
umpama kau mampus di selokan, kami juga tidak akan peduli,
oleh karena itu kami sudah siap mencari orang untuk
membunuhmu."
"Sayang sekali orang yang dapat membunuhku tidak
banyak," ucap Pho Ang-soat.
"Paling tidak kami tahu ada satu."
"Siapa?"
"Kau sendiri."
Segera terbayang oleh Pho Ang-soat akan suara jerit
keputus-asaan, suara yang mampu meruntuhkan semangat
juang kehidupan yang menyeluruh. Siapa pun takkan
menyangka dalam keadaan seperti itu, ternyata dia masih
punya keberanian untuk bertahan hidup. Mungkin lantaran
bekal keberanian itulah maka dia tetap hidup sampai
sekarang. Jika dia sendiri dapat mengalahkan dirinya, kenapa
Kongcu Gi harus turun tangan"
Kongcu Gi berkata, "Karena itu sekarang pasti kau sudah
mengerti, kau bisa hidup dan berada di sini, pasti bukan
bernasib mujur."
Pho Ang-soat bertanya lagi, "Kau berbuat demikian, hanya
karena kau harus membuktikan bahwa kau lebih kuat dari
aku?" "Betul," ucap Kongcu Gi, rona matanya mendadak
menampilkan rasa sedih, tapi juga mengandung cemoohan,
"Karena hanya orang yang terkuat saja dapat menikmati
semua itu, jika kau dapat mengalahkan aku, segala itu akan
menjadi milikmu."
"Segalanya?" Pho Ang-soat menegas.
"Segalanya, maksudnya adalah seluruh yang ada, di
antaranya bukan saja termasuk harta benda atau kekayaan,
kebesaran nama dan kekuasaan, malah termasuk pula diriku."
Lalu dia tertawa, tawa yang manis lembut, "Asal kau dapat
mengalahkan dia, aku pun akan menjadi milikmu."
Ketika daun pintu itu didorong terbuka, di luar adalah
sebuah lorong panjang, bagai lorong yang tak berujung
pangkal. Kongcu Gi mendorong pintu, lalu melangkah keluar, di
ambang pintu dia membalik badan, "Silakan ikut aku."
Ternyata Coh-hujin tidak ikut keluar bersama Pho Ang-soat,
sekarang mereka sudah tiba di ujung lorong. Di sana mereka
dihadang sebuah pintu terbuat dari kayu yang berukir indah
dan berat, di balik pintu adalah sebuah ruangan besar dan
luas, ada sebuah panggung batu besar dan luas, di empat
sudut panggung batu berdiri sebuah obor besar.
Pelan-pelan Kongcu Gi melangkah ke atas, berdiri di
tengah panggung, "Di sinilah tempat kita berduel."
"Bagus sekali," ucap Pho Ang-soat.
Panggung yang rata dan mengkilap, cahaya obor yang
benderang, dimana pun berdiri, ke arah mana pun menghadap
sama saja. Keadaan lengang dalam ruang besar ini, angin pun
tiada, persiapan untuk turun tangan dan kecepatan serangan,
pasti takkan terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya. Agaknya
Kongcu Gi tidak ingin memungut sedikitpun keuntungan dalam
duel ini, entah itu tempat, waktu, situasi dan kondisi. Memang
tidak mudah untuk mempersiapkan gelanggang pertarungan
yang serba komplit.
Tiga buah kursi besar dan lebar yang empuk menyegarkan
masing-masing berada di kedua sisi panggung, jaraknya
dengan pinggir panggung batu ada tujuh kaki.
"Waktu kita bertanding, hanya boleh enam orang
menonton, mereka adalah saksi atau wasit pertandingan ini,
maka kau boleh bebas memilih tiga di antaranya."
"Tidak usah," seru Pho Ang-soat segera.
"Duel dua orang jago silat, kalah menang sering terletak
pada suatu kejadian yang tak berarti, kalau ada teman sendiri
ikut menyaksikan dan memperhatikan dari samping betapapun
akan melegakan perasaan, hati lebih mantap, kenapa kau
mengabaikan hakmu ini?"
"Karena aku tidak punya teman."
Kongcu Gi menatapnya, katanya, "Lebih baik kau tetap
menggunakan hakmu ini di antara orang-orang yang
kuundang, kalau ada yang membuatmu merasa tidak
tenteram, kau bebas menolak kehadirannya."
"Bagus sekali," ujar Pho Ang-soat.
"Kau sudah bercapai lelah sekian hari, semangat dan
kondisi badanmu pasti teramat lelah, tidak jadi soal kau
beristirahat secukupnya di tempat ini, karena itu kapan duel ini
akan dilakukan juga kuserahkan kepadamu untuk
menentukan."
Pho Ang-soat ragu-ragu, katanya, "Besok, saat seperti
sekarang bagaimana?"
"Boleh saja."
"Baik besok aku kemari lagi."
"Kau tak usah pergi, di sini aku sudah menyiapkan tempat
tinggal dan pakaianmu, kau boleh tinggal dengan tenteram
dan memulihkan kondisimu, pasti tiada orang berani
mengganggumu, jika kau memerlukan apa-apa, kami pun siap
melakukan kepadamu, tanggung beres."
"Kelihatannya duel kali ini seperti amat adil," ucap Pho Angsoat.
"Pasti adil."
"Peti matiku tentu sudah kau siapkan juga."
Ternyata Kongcu Gi tidak menyangkal, "Peti mati itu terbuat
dari kayu yang paling baik, sengaja kubeli dari Liu-ciu, kalau
kau ingin memeriksanya, aku akan mengantarmu."
"Kau sudah memeriksanya?"
"Ya, sudah kuperiksa."
"Kau amat puas?"
"Puas sekali."
"Cukuplah."
Reaksi Kongcu Gi amat tawar, katanya, "Sekarang mungkin
kau hanya ingin melihat ranjangmu."
"Ya, benar."
Kain korden dari kain sari yang tersulam indah dengan
warna yang serasi menutupi cahaya matahari sehingga kamar
itu terasa remang-remang temaram seperti di waktu magrib.
Di luar kembali terdengar suara sumbang, pendek dan
kerap dari pedang yang tercabut dari sarungnya, sekarang
Pho Ang-soat sudah sadar sesadar-sadarnya.
Tadi dia pulas, tidur nyenyak. Dia terjaga bukan karena
suara pedang tercabut, tapi dia mendadak terjaga karena di
dalam kamarnya mendadak sudah bertambah satu orang.
ooooOOoooo Bayangan seorang yang bertubuh semampai, berdiri
setengah melintang di pinggir jendela, membelakangi dirinya,
dibungkus jubah sutranya yang lembut ketat, lapat-lapat
kelihatan pinggangnya yang ramping, pinggulnya padat, kedua
pahanya yang jenjang lurus.
Dia tahu Pho Ang-soat sudah bangun, namun tidak
menoleh, perlahan dia menghela napas, lalu bersuara dengan
sendu, "Sehari telah berlalu pula, dari hari ke hari, tanpa
terasa setahun telah lampau, kehidupan seperti ini entah
sampai kapan baru akan berakhir." Suaranya yang merdu
dengan perawakan tubuh yang menggiurkan, namun justru
mendatangkan perasaan sebal.
Pho Ang-soat tidak memberi reaksi.
Coh-hujin berkata pula perlahan, "Mungkin kau
beranggapan aku tidak pantas kemari, apa pun aku adalah
isterinya, tapi kehidupan seperti ini sungguh sudah bosan,
amat kesal, maka ..."
"Maka kau mengharap aku dapat mengalahkan dia?", tanya
Pho Ang-soat. "Betul. Aku memang berdoa semoga kau dapat
mengalahkan dia, sekian tahun ini hanya kau saja yang punya
kesempatan dan kemampuan untuk mengalahkan dia, setelah
kau mengalahkan dia, maka kehidupanku pasti akan
berubah." "Bagi yang menang akan mendapatkan segalanya?"
"Ya, segala yang dimilikinya."
"Isterinya pun tidak terkecuali?"
"Betul."
Mendadak Pho Ang-soat tertawa dingin, katanya,
"Walaupun kau bukan isteri yang baik, sebetulnya tak perlu ia
menyerempet bahaya."
"Tapi dia ingin membuktikan bahwa dia lebih kuat dari kau."
"Dibuktikan untuk siapa" Memangnya di sini masih ada
seorang lain yang memegang nasib hidupnya" Maka dia
berbuat demikian, karena tiada jalan lain yang bisa dia
tempuh?" Coh-hujin mendadak membalik, menatapnya lekat-lekat,
sorot matanya yang bundar cemerlang seindah zamrud
menampilkan rasa kaget dan heran, agak lama baru dia
menghela napas, katanya, "Bagaimana kau punya pikiran
demikian?"
"Kalau kau menjadi aku, bagaimana kau akan berpikir?"
"Yang pasti aku tidak akan ngawur seperti apa yang kau
duga, akan kutumplekkan seluruh perhatian untuk berusaha
mengalahkan dia," dengan langkah lembut dia menghampiri,
pinggangnya meliuk-liuk, kerlingan matanya seperti air bening
mengalir, "Walau aku tidak terhitung isteri yang baik, tapi aku
ini perempuan baik, yakin kau pun bisa menilai."
"Aku tidak bisa menilaimu," ujar Pho Ang-soat.
Perlahan Coh-hujin menghela napas, katanya, "Sekarang
boleh kau saksikan lebih teliti." Sehabis perkataannya, maka
jubah sutra panjang yang menutupi tubuhnya sudah melorot
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jatuh. Napas Pho Ang-soat terhenti, tidak bisa tidak harus
mengakui bahwa tubuh bugil yang polos ini amat mulus dan
sempurna, selama hidup belum pernah dia menyaksikan
tubuh perempuan seelok ini.
Isteri seorang kaya raya, punya kekuasaan besar, cantik
molek dan anggun, mendadak telanjang bulat di hadapannya,
daya tarik dan rangsangannya sungguh sukar dilawan.
Dia berdiri tenang sambil pasang gaya di depan ranjang,
menatapnya lekat-lekat, "Asal kau dapat mengalahkan dia,
semua ini akan menjadi milikmu, tapi sekarang belum." Kedua
tangannya mengelus paha terus merambat naik ke perut serta
meremas payudara sendiri!
Wajah Pho Ang-soat yang pucat kelihatan merah. Dia tahu
perubahan telah terjadi di atas tubuhnya, dia tahu Coh-hujin
tentu sudah memperhatikan perubahan dirinya.
Suasana tenang di magrib nan indah ini, di kamar serba
mewah ini seperti diliputi bau wangi yang teruar dari badannya
yang polos memabukkan. Betapapun Pho Ang-soat adalah
laki-laki, laki-laki jantan, laki-laki normal.
Coh-hujin sudah memungut bajunya, beranjak keluar
selincah burung walet, tiba-tiba dia membalik di luar pintu
sembari tertawa, katanya, "Sekarang aku belum menjadi
milikmu, tapi kalau kau perlu, aku bisa mencarikan orang lain
untuk menemani kau."
Pho Ang-soat mengepal kedua tinjunya, mendadak dia
bertanya, "Apakah Coh Giok-cin ada di sini?"
Coh-hujin mengangguk.
"Suruhlah dia kemari sekarang juga."
Coh-hujin menatapnya dengan terbelalak kaget, seperti
mimpi pun tak menduga bahwa dia akan mengajukan
permintaan ini.
"Tadi kau bilang, setiap permintaanku kalian pasti akan
menyiapkan."
Coh-hujin tertawa pula, tawa yang mengandung makna
misterius, katanya, "Kenapa kau memilih dia" Kenapa kau
tidak memilih Bing-gwat-sim?"
Badan Pho Ang-soat mengejang mendadak.
"Kau tidak menduga bahwa dia belum mati?"
"Aku ..."
"Dia pun di sini, apakah aku perlu membawanya kemari?"
mendadak Coh-hujin menarik muka, suaranya menjadi dingin,
"Aku tahu kau tidak mau menerimanya, yang kau inginkan
adalah Coh Giok-cin, biasanya yang kau sukai adalah
perempuan galak, bejat dan rendah."
"Biang", daun pintu ditutup dengan sentakan keras. Kali ini
waktu dia pergi kepalanya tidak menoleh lagi. Kenapa
mendadak dia berubah begitu emosi" Hanya karena Pho Angsoat
ingin mencari Coh Giok-cin"
Seorang perempuan cantik yang licin dan dingin umumnya
takkan marah hanya karena urusan sekecil ini.
ooooOOoooo Pho Ang-soat masih rebah diam di atas ranjang, suara
sumbang, pendek dan kerap dari pedang yang tercabut itu
masih terus terdengar. Untuk duel kali ini orang lain sudah
mempertaruhkan imbalan sebesar ini, jika dirinya risau dan
gundah hanya karena perempuan, bukankah dia ini terlalu
goblok" Tapi tidak bisa tidak dia tetap harus memikirkan Binggwatsim, kalau betul dia belum mati dan jatuh di tangan
orang-orang seperti ini, jelas nasibnya teramat mengenaskan.
Teringat akan hal ini, baru dia sadar kenapa sudah sekian
lama dirinya tidak pernah memikirkan dia.
Seseorang memang selalu akan berusaha menyingkir dari
kenyataan hidup ini bila menghadapi penyesalan yang terukir
dalam relung hatinya.
Tanpa terasa malam makin larut, dalam rumah menjadi
gelap, di luar terdengar suara ketukan pintu. "Siapa di luar?"
"Inilah nona Coh, nona Coh Giok-cin," itulah suara seorang
dayang cilik, ketika daun pintu terbuka, muncul dua dayang
cilik yang masing-masing memegang sebuah lampion hijau
dan merah sambil membimbing Coh Giok-cin masuk.
Dia berdandan dan bersolek secantik bidadari, gelung
rambutnya yang hitam mengkilap dihiasi bunga mutiara, baju
luarnya yang bermodel pakaian ratu terurai panjang
menyentuh lantai terseret di belakang, selintas pandang
keadaannya agak mirip si cantik Ong Cau-kun yang berangkat
menunaikan tugas keluar perbatasan sebagai juri damai
negaranya. Sekarang jelas dia tidak perlu berpura-pura lemah dan
bersikap harus dikasihani, dengan tatapan dingin dia
mengawasi Pho Ang-soat, wajahnya tidak menampilkan
perasaan apa-apa.
Kedua dayang cilik itu menaruh lampion di tempat
gantungan, sambil tertawa cekikikan, mereka mengundurkan
diri sambil menutup mulut.
Mendadak Coh Giok-cin berkata dingin, "Kaukah yang
mencari aku?"
Pho Ang-soat mengangguk. "Ingin menuntut balas?"
"Aku mengundangmu kemari, karena ada beberapa
persoalan ingin kutanya kepadamu."
"Dan sekarang?"
"Sekarang aku sudah tidak ingin bertanya, boleh kau
silakan pergi."
"Kau tidak ingin membalas?"
"Tidak."
"Kau juga tidak ingin aku naik ranjang?"
Pho Ang-soat menutup mulut, dia tidak menyalahkan,
bahwa Coh Giok-cin mengeluarkan perkataan begitu, memang
bukan persoalan yang patut dibuat kaget.
Seorang perempuan seperti dirinya, jika insaf dengan
aksinya, sudah tak mampu melukai atau merugikan orang lain,
maka dia akan mengucapkan kata-kata yang menyinggung
untuk melukai hatinya. Kalau dia harus mencelakai orang lain,
mungkin lantaran dia harus melindungi diri sendiri,
mempertahankan hidup.
Maka Pho Ang-soat tidak menyalahkan dia, hanya
mendadak dia merasa amat penat, mengharap supaya dia
lekas pergi, selamanya tidak berjumpa lagi. Mendadak
disadarinya bahwa segala urusan tetek-bengek tiada artinya,
tidak penting, yang paling penting adalah duel besok pagi itu.
Pemenang akan memiliki segalanya, dia harus
mengalahkan orang yang sampai sekarang masih berlatih
mencabut pedang, hanya mengalahkan orang yang satu ini,
baru dia akan berhasil membongkar seluruh rahasia yang
terselubung di sini, baru dia akan berjumpa pula dengan Binggwatsim. Tapi Coh Giok-cin justru tetap berdiri di sana, menatapnya,
sorot matanya mengandung keperihan dan kebencian,
katanya, "Kalau kau tidak ambil peduli dan tidak
memperhatikan diriku lagi, kenapa kau mengundangku
kemari?" "Anggaplah aku tidak patut mengundangmu kemari,
sekarang kau tetap boleh pergi."
"Sekarang aku sudah tidak utuh lagi."
"Dalam hal apa kau tidak utuh?"
"Tidak utuh, tidak utuh lagi seolah-olah dia tidak mendengar
pertanyaan Pho Ang-soat, mulutnya masih mengigaukan
perkataan itu, entah berapa kali dia mengulangnya, jelas air
mata sudah meleleh di pipinya.
Di saat air mata menyentuh hidung, Coh Giok-cin pun
tersungkur roboh. Pakaiannya yang serba merah tersingkap
lebar, hingga tertampaklah warna darah yang segar. Itulah
warna darah yang sesungguhnya.
Darah segar berlepotan di sekujur badannya yang bugil,
dari leher hingga di ujung kaki boleh dikata tiada tempat yang
utuh, kulit dagingnya seperti disayat-sayat.
Kontan Pho Ang-soat mencelat bangun, hatinya seketika
tenggelam. Coh Giok-cin mengertak gigi, desisnya penuh iba,
"Sekarang tentu kau mengerti, kenapa keadaanku tidak utuh
lagi..." "Karena aku mengundangmu kemari, maka dia
menyiksamu begini rupa?"
Coh Giok-cin tertawa meringis, "Sebetulnya kau sudah
harus tahu, walau dia tidak memberi kesempatan kepadamu
untuk menyentuhnya, tapi dia tidak rela membiarkan
perempuan lain kau sentuh, karena Tawanya lebih
menyedihkan dari isak tangis, dia masih ingin bicara, namun
suaranya sudah tidak mampu dilontarkan.
"Kenapa" Kenapa?" Pho Ang-soat masih bertanya sambil
menggoncang badannya.
Coh Giok-cin hanya tersenyum, pelan-pelan pelupuk
matanya terpejam. Mendadak serangkum bau obat yang tebal
menyampuk hidung dari pakaiannya yang tersingkap. Coh
Giok-cin memang mati tenang, dia tidak menderita atau
kesakitan, karena sekujur badannya sudah dipolesi obat bius
sehingga pati rasa oleh Coh-hujin.
Kenapa Coh-hujin berbuat demikian" Apa betul hanya
karena tidak ingin Pho Ang-soat menyentuh perempuan lain"
Padahal belum ada setengah hari dia bertemu dengan Pho
Ang-soat, kenapa sudah timbul rasa cemburu yang menggila
dan sadis"
Orang yang tidak punya cinta, kenapa bisa jelus" Orang
yang baru bertemu setengah hari, mungkinkah jatuh cinta"
Pelan-pelan Pho Ang-soat berdiri, beranjak pula pelanpelan,
perlahan mendorong pintu. Jika pintu sudah digembok
dari luar, bila daun pintu terbuat dari papan besi, dia pun
takkan merasa kaget atau di luar dugaan. Untuk menghadapi
segala kemungkinan, hatinya sudah mempersiapkan diri.
Peduli dalam situasi dan kondisi apa pun, peduli terjadi
peristiwa apa, dia sudah berani menghadapinya, siap
melawannya. Tak nyana sedikit dorong, daun pintu lantas terpentang. Di
luar tiada orang, dalam lorong yang panjang itupun tiada
bayangan manusia, hanya suara pedang tercabut itu masih
terus berlangsung.
Dia menyusuri lorong panjang menuju ke arah datangnya
suara, lorong ini berbelok-belok, antara rumah yang satu
dengan rumah yang lain jaraknya amat jauh, entah berapa kali
dia putar sana balik sini, baru dia melihat sebuah pintu.
Suasana hening di belakang pintu, tiada suara manusia,
juga tiada suara pedang dicabut, dia mendorong pintu lalu
melangkah masuk. Ternyata dia kembali ke kamarnya tadi,
dari sini dia keluar. Coh Giok-cin yang terluka dalam
genangan darah sudah tidak kelihatan lagi.
Dalam kamar masih tetap hening dan sepi, walau
seseorang telah tiada, namun meja penuh hidangan.
Sekarang memang tiba saatnya makan malam, ada enam
macam hidangan, semua masih panas mengepulkan asap
sedap, sepiring bakpau dan sebakul nasi putih, seguci arak
yang belum terbuka segelnya.
Sekarang sebetulnya dia memerlukan minum seteguk arak,
tapi dia malah beranjak keluar. Lorong yang sama, dalam
suasana yang sepi pula. Tapi gaya langkahnya sudah
berbeda. Semula dia berjalan lambat, sekarang beranjak lebih
cepat, kalau tadi dia selalu membelok ke kiri, sekarang dia
membelok ke kanan.
Suara pedang tercabut tak pernah berhenti, entah berapa
kali pula dia membelok akhirnya dia dihadang sebuah pintu, di
balik pintu tenang dan sunyi tanpa sedikit suara.
Daun pintu yang ada di sini, bentuk ukirannya ternyata
serba mirip, padahal waktu dia keluar daun pintu tidak
dirapatkan. Sekarang pintu ini ternyata tertutup rapat.
Dia mendorong pintu serta melangkah masuk, dia sudah
berulang kali memperingatkan diri sendiri harus tabah dan
berani, harus tenang dan kepala dingin.
Tapi begitu dia memasuki pintu, betapapun hatinya masih
mendelu, karena dia melihat hidangan yang penuh di atas
meja. Ternyata dia kembali ke kamar darimana tadi dia keluar,
masakan masih panas dan mengepul, malah kelihatannya
lebih panas dari tadi.
Di bawah guci tertindih secarik kertas, gaya tulisannya
amat indah, jelas adalah tulisan tangan perempuan.
"Sebetulnya Bing-gwat (bulan terang) tiada maksud,
kenapa harus mencari rembulan" Sekedar minum dapat
menyenyakkan tidur, boleh silakan makan minum
sekedarnya."
Pho Ang-soat duduk.
Dia harus memaksa dirinya duduk, karena dia sudah
menyadari, kemana dan bagaimana pun dia berjalan, akhirnya
sama saja. Dia akan tetap balik ke tempat ini, tetap akan
melihat hidangan panas yang memenuhi meja ini.
Dia ingin memaksa dirinya untuk makan meski sedikit, tapi
begitu dia menjamah sumpit, seketika dia merasakan adanya
sesuatu yang ganjil, sesuatu yang berbeda.
Tadi hidangan enam macam masakan yang tersedia di atas
meja sudah dikenalnya baik, sepiring daging tupai masak ikan
pedas, sepiring lagi tulang babi saos tomat. Walau hanya
sekilas dia melihatnya, tapi masih segar dalam ingatannya,
karena terhadap hidangan serba kecut adalah paling
digemarinya. Di atas meja ini terdapat enam macam hidangan, tapi
semuanya masakan vegetaris, masakan yang pantang daging,
kalau tadi sebakul nasi, sekarang adalah sepanci bubur
merah. Baru sekarang disadarinya bahwa kamar ini bukan kamar
yang di tempatinya tadi. Tapi bentuk setiap kamar di sini satu
dengan yang lain ternyata amat mirip, demikian pula perabot
dan pajangannya juga sama. Pho Ang-soat sendiri sampai
tidak bisa membedakan, lalu timbul pertanyaan, kamar tempat
tinggalnya tadi yang satu ini atau kamar yang lain tadi"
Bantal guling dan selimut serta sprei ranjang tampak kalut,
jelas tadi pernah ditiduri orang, lalu siapakah yang barusan
tidur di atas ranjang ini, dirinya atau orang lain" Kalau bukan
dirinya, lalu siapa"
Di tempat yang aneh serta misterius ini sebetulnya dihuni
orang-orang macam apa saja"
ooooOOoooo Bab 23. Kakek Misterius
Di belakang kamar, di ujung sana terdapat sebuah kamar
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pula, di dalam terdengar suara air gemericik. Tak tahan Pho
Ang-soat ingin menengoknya ke sana. Pintunya setengah
tertutup, hanya sekilas dia melongok, darah panas sekujur
badannya seketika mendidih ke pucuk kepalanya.
Kamar belakang itu ternyata adalah sebuah kamar mandi
yang dibangun dalam bentuk mewah, juga air dalam bak
mandi ternyata masih mengepul panas, di sekitar bak mandi
didirikan pagar berukir, di atas pagar itulah bergantung
seperangkat jubah putih yang lebar.
Seorang berdiri membelakangi dirinya, berdiri di dalam bak
mandi, kulit badannya yang putih halus dan mulus laksana
sutra, pinggangnya ramping kecil, pinggulnya padat besar dan
buah dadanya kelihatan montok membukit, pahanya nan
jenjang lurus dengan tumit yang menggiurkan, laksana patung
pualam yang diukir amat sempurna.
Pho Ang-soat tak melihat wajahnya, bagian dadanya pun
hanya terlihat sedikit, tapi tampak jelas rambut kepalanya
yang biasa terurai panjang itu ternyata tak ketinggalan barang
selembar pun, kepalanya sudah gundul plontos, bekas
selomotan dupa yang menghitam di atas kepalanya kelihatan
jelas. Perempuan cantik yang sedang mandi ini ternyata
adalah seorang Nikoh.
Bukan Pho Ang-soat tidak pernah melihat perempuan,
bukan tak pernah dia melihat perempuan bugil. Tapi Nikoh
yang telanjang bulat, ternyata jauh berbeda. Betapa indah
perawakan perempuan cantik ini, walau membuatnya
terpesona, namun dia tidak berani melihatnya dua kali.
Segera dia berlari keluar, cukup lama jantungnya masih
berdebar-debar, setelah jauh dia beranjak baru perasaannya
tenang kembali. Dalam hati lantas timbul suatu gejolak pikiran
yang aneh. "Apakah tidak mungkin Nikoh tadi adalah Bing-gwat-sim?"
hal ini memang bukan mustahil.
Setelah mengalami berbagai pukulan lahir batin,
merasakan kegetiran hidup, bukan mustahil Bing-gwat-sim
mencukur rambut menjadi Nikoh.
Tapi Pho Ang-soat tidak berani kembali menyelidiki hal ini.
Pada saat itulah, dia melihat sebuah pintu lagi, pintu yang
mirip dengan ukiran, juga kelihatannya hanya dirapatkan saja.
Apakah kamar ini tempat tinggalnya semula, susah dia
memastikan. Bukan mustahil dalam kamar inilah Bing-gwat-sim tinggal
atau bukan mustahil pula tempat tinggal Coh-hujin yang
berhati kejam sejahat ular.
Setelah berada di sini, sudah tentu harus masuk
melihatnya. Dia mengetuk pintu, tiada reaksi, perlahan dia
mendorong sedikit serta mengintip ke dalam, di dalam
ternyata juga terdapat hidangan sepenuh meja.
Saat itu memang waktu makan malam, manusia macam
apa pun tiba saatnya memang harus makan. Bau kecut manis
dari hidangan di atas meja tercium hidungnya, enam masakan
di atas meja dua di antaranya adalah kegemarannya. Setelah
berputar-kayun kian kemari, akhirnya kembali ke tempat
semula. Baru saja dia merasa lega, di saat tangannya siap
mendorong pintu melangkah masuk, "Biang" daun pintu
mendadak tertutup rapat.
Suara perempuan yang dingin berkumandang dari dalam
pintu, "Siapa yang berdiri di luar pintu sambil longak-longok
seperti panca-longok" Lekas enyah."
Melonjak jantung Pho Ang-soat, dia kenal suara itu adalah
suara Bing-gwat-sim, tak tahan dia bertanya, "Bing-gwat-sim,
kaukah?" Sesaat kemudian, setelah dia menyebut nama sendiri, dia
mengira Bing-gwat-sim akan membuka pintu. Tak nyana
jawabannya ternyata bernada dingin, "Aku tidak kenal siapa
kau, lekas enyah!"
Apakah dia sedang takut dan bingung" Ataukah dibelenggu
orang, maka tak berani menerima kedatangannya" Mendadak
Pho Ang-soat menggedor pintu, daun pintu yang berukir itu
ternyata diterjangnya jebol. Langsung dia menerjang ke
dalam, seorang berdiri di depan ranjang sedang
mengawasinya dingin, tapi dia bukan Bing-gwat-sim,
melainkan Coh-hujin.
ooooOOoooo Kelihatannya dia baru keluar dari kamar mandi, badannya
yang bugil kelihatan basah dan hanya dibalut secarik handuk,
hingga sebagian besar tubuhnya yang menggiurkan amat
mempesona terpampang jelas.
Pho Ang-soat menjublek.
Coh-hujin berkata dingin, "Tidak pantas kau main terjang
sekasar ini" Kau harus tahu sekarang aku adalah bini orang."
Suaranya kedengarannya mirip dengan suara Bing-gwat-sim.
Pho Ang-soat menatapnya tajam, seolah-olah dia ingin
menemukan sesuatu rahasia pada wajahnya.
"Aku sudah mengirim Coh Giok-cin ke tempatmu, kenapa
kau masih mencariku kemari?"
"Karena kau adalah orang yang kucari, kau adalah Binggwatsim." Dalam kamar tiada suara, rona muka Coh-hujin juga tidak
berubah, seperti dia mengenakan kedok. Mungkin yang
terlihat sekarang adalah wajahnya yang asli tapi mungkin juga
bukan, tapi semua ini sudah tidak penting.
Karena Pho Ang-soat sekarang sudah mengerti,
bagaimanapun tampangnya sudah tidak penting, yang penting
adalah dirinya tahu bahwa dia adalah Bing-gwat-sim, hal itulah
yang dianggapnya cukup penting. Dia berdiri tak bergerak di
depan ranjang, entah berapa lama kemudian dia menarik
napas panjang, katanya, "Kau keliru."
"Kenapa keliru?"
"Di dunia ini hakikatnya tiada seorang yang bernama Binggwatsim, bahwasanya Bing-gwat memang tidak punya hati."
"Betul," Pho Ang-soat sependapat. Bing-gwat yang punya
hati, memang mirip mawar yang tak berduri, hal itu hanya
akan muncul di dalam dongeng belaka.
Coh-hujin berkata, "Mungkin dulu kau pernah melihat Binggwatsim di suatu tempat lain, tapi orang itu seperti juga
kekasihmu dahulu yang bernama Jwe Long, sekarang sudah
tiada lagi."
Cinta abadi yang tak terlupakan, luka derita yang abadi
pula, mungkin dia tahu bahwa dirinya tak berani menghadapi
wajah itu, maka sengaja dia menyamar sedemikian rupa,
supaya dirinya tak dapat membongkar kedoknya lagi. Bila
berada di tempat terbuka, dimana ada sinar matahari, sengaja
dia mengenakan topeng dengan wajah tertawa lebar itu, lalu
mendadak dia menghilang, demikian pula Bing-gwat-sim pun
lenyap tak keruan parannya, seolah-olah dia tak pernah hidup
di dunia ini. "Sayang sekali kau melakukan satu kesalahan."
"Kesalahan apa?"
"Kau tidak pantas membunuh Coh Giok-cin."
Orang yang tidak punya cinta, bagaimana bisa punya rasa
jelus" Orang yang baru bertemu setengah hari, mana mungkin
bisa jatuh cinta"
Wajah Pho Ang-soat yang pucat mulai bersemu merah,
katanya, "Kau membunuhnya karena kau amat membenci
aku." Sikapnya yang semula anggun dan berwibawa itupun
mendadak sirna, sorot matanya menampilkan cahaya
kebencian dan dendam Seorang yang tidak punya cinta, mana
mungkin bisa membenci"
"Bing-gwat-sim ajal lantaran kau, kau justru tidak pernah
menyinggungnya. Coh Giok-cin berulang kali berusaha
mencelakaimu, kau justru selalu merindukan dia." Perkataan
ini tidak terucapkan olehnya, sekarang memang tidak perlu
diucapkan. Mendadak dia berseru lantang, "Betul, aku membencimu,
maka aku ingin kau mampus." Lalu dia membalik tubuh
menerjang ke kamar belakang, "Byur", air muncrat, seseorang
seperti terjun ke dalam air.
Ketika Pho Ang-soat masuk ke sana untuk memeriksa, di
bak mandi tiada orang, kamar itupun kosong melompong.
Suara "Srak-srek" pedang tercabut itu masih
berkumandang, kedengarannya berada di luar jendela, tapi
bila kain korden tersingkap, daun jendela dibuka, bagian
luarnya ternyata dihadang tembok tinggi, hanya ada beberapa
lubang angin saja. Mengintip keluar dari lubang lubang kecil
ini, di luar nampak gelap, entah tempat apa.
Kemana dia" Darimana dia" Jelas dalam kamar kecil ini
ada jalan rahasia, namun Pho Ang-soat sudah malas
mencarinya. Dia sudah menemukan orang yang ingin
dicarinya, juga sudah tahu kenapa dia membunuh Coh Giokcin.
Maka yang dapat dia lakukan sekarang hanyalah
menunggu, menunggu duel yang akan terjadi besok pagi.
Menunggu di sini memang tiada bedanya, tapi dia tidak
mau menetap di sini, dia mendorong pintu dan beranjak
keluar, suara mencabut pedang itu kedengarannya lebih dekat
di lorong panjang ini.
Kenapa harus menunggu sampai besok" Kalau cepat atau
lambat duel itu akan diadakan, urusan harus dibereskan,
bukankah lebih cepat beres lebih baik, lebih melegakan.
Coh-hujin pasti melakukan aksi untuk mengacau
pikirannya, supaya hatinya risau, gundah dan gelisah, pikiran
tidak tenang. Padahal dirinya tak pernah berbuat salah, walau
dia sendiri yang melenyapkan jejak, walau di antara mereka
tiada pernah melakukan perjalanan bersama, tapi dia tak
pernah mau peduli segala alasan itu.
Seorang perempuan bila dia ingin membenci seorang
lelaki, kapan saja dia bisa mencari ratusan alasan. Di antara
persoalan itu, walau banyak yang tak bisa dijelaskan, susah
diperoleh jawabannya, kenapa sekarang harus dipikirkan lagi"
Jika dikalahkan oleh Kongcu Gi, sudah tentu persoalan itu
dia boleh tidak usah ambil perhatian, terhadap persoalan apa
pun, mati adalah jawaban yang paling tepat.
Pada saat itulah dia menemukan pintu lagi, suara pedang
tercabut terdengar di belakang pintu.
Kali ini dia benar-benar yakin, suara pedang tercabut pasti
berada di dalam pintu. Waktu dia mengulur tangan mendorong
pintu, begitu menyentuh daun pintu, seketika dia tahu daun
pintu di sini terbuat dari papan besi.
Pintu terpalang dari dalam, didorong tak terbuka, diterjang
juga tidak jebol, diketuk juga tidak dibuka.
Di saat dia sudah putus asa dan hendak tinggal pergi,
mendadak dilihatnya gelang tembaga yang tergantung di atas
pintu ternyata mengkilap terang, jelas gelang ini sering
dipegang tangan manusia sehingga mengkilap bercahaya.
Gelang tembaga bukan payudara perempuan, juga bukan
barang mainan. Jika tanpa sebab atau alasan, siapa pun
takkan sering memegang, apalagi bermain gelang pintu.
Tak lama kemudian Pho Ang-soat sudah menemukan
jawabannya. Gelang tembaga ini ternyata bisa diputar ke
kanan dan kiri, belasan kali dia mencobanya, maka
jawabannya ketemu, pintu besi itu segera terbuka.
Suara pedang tercabut seketika berhenti.
Ketika dia masuk ke dalam pintu, dia tidak menemukan
orang yang mencabut pedang, namun dia menghadapi
simpanan barang harta besar yang belum pernah dilihatnya
selama hidup. ooooOOoooo Mutiara, zamrud, mata kucing, mutu manikam, kristal air
dan berbagai batu permata termasuk berlian, bertumpuk dan
bersusun menggunung di dalam kamar ini. Harta dalam
ruangan yang besar dan luasnya sukar dibayangkan oleh
siapa pun. Mutu manikam sebanyak ini, ternyata seperti tak berharga
sepeser pun oleh pemiliknya. Maka satu peti wadah perhiasan
pun tiada di dalam kamar ini, harta benda serba antik dan tak
ternilai harganya itu berserakan di lantai, seperti tumpukan
sampah yang berkilauan, bertumpuk berkelompok dimanamana.
Di ujung kamar terdapat sebuah almari besi, daun pintunya
digembok dengan gembok besar, entah apa yang tersimpan di
dalamnya" Mungkinkah jauh lebih berharga dari mutu
manikam yang berserakan itu"
Untuk membuka almari harus membuka gemboknya, untuk
membuka gembok harus ada kunci. Tapi ada sementara
orang di dunia ini tanpa pakai kunci juga bisa membuka
gembok. Memang tidak banyak ahli kunci demikian, tapi juga tidak
sedikit. Tapi gembok yang satu ini ternyata dibuat sedemikian
bagus, jelas dibuat oleh tangan yang betul-betul ahli, pencipta
kunci gembok ini pernah mengagulkan diri, orang yang
mampu membuka gemboknya itu tanpa menggunakan kunci,
di dunia ini tidak akan lebih dari tiga orang.
Karena dia hanya tahu ada tiga Biau-jiu-sin-tho (maling
sakti) di dunia ini yang terkenal di luar tahunya, di dunia ini
masih ada orang keempat lagi. Dan orang keempat ini adalah
Pho Ang-soat. Tanpa banyak susah-payah, cepat sekali dia sudah
berhasil membuka almari besi ini. Di dalam almari tersimpan
sebilah pedang dan sejilid buku catatan.
Sebatang pedang merah segar, semerah darah segar.
Mata Pho Ang-soat memicing, sudah tentu dia kenal baik
bahwa itulah pedang mawar Yan Lam-hwi. "Pedang utuh
manusia hidup, pedang hancur pemiliknya mampus", pedang
berada di sini, dikemanakan orangnya"
Buku catatan itu sudah rusak dan terlalu lama, jelas
seseorang sering membuka lembaran buku ini, buku catatan
yang sudah butut dan luntur warnanya, kenapa sedemikian
berharga sampai harus disimpan di dalam almari besi.
Sekenanya dia membuka selembar, maka jawaban pun
terpampang di depan mata. Dalam lembar ini tertulis:
- Tanggal delapan besar bulan dua, Ong Hong Congpiauthau
Seng-to Piaukiok mohon bertemu, melalaikan tugas
upeti terputus, Kongcu kurang senang. Tanggal dua puluh
sembilan bulan dua, Ong Hong mati di bawah kuda.
- Tanggal sembilan belas bulan dua jikongcu Lamkiong Ou
dari keluarga besar Lamkiong yang sudah turun temurun
mohon bertemu, melalaikan tata tertib, tutur katanya tidak
sopan. Tanggal dua puluh sembilan bulan dua, Lamkiong Ou
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendadak mati setelah minum arak.
- Peng Kui ahli waris Ngo-hou-toan-bun-to menghadap
tanggal dua puluh satu bulan dua, tidak becus menunaikan
tugas, membocorkan rahasia. Tanggal dua puluh dua bulan
dua, Peng Kui bunuh diri.
Hanya melihat beberapa baris tulisan itu, tangan Pho Angsoat
sudah dingin. Di hadapan Kongcu Gi, peduli kesalahan apa pun yang kau
lakukan, ringan atau berat putusan hukumnya sama, yaitu
mati. Hanya mati secara menyeluruh dapat membereskan segala
persoalan. Kongcu Gi tidak memberi peluang kepada siapa
saja untuk melakukan kesalahan kedua, sudah pasti orang
itupun tak diberi kesempatan untuk menuntut balas.
Buku catatan ini merupakan lambang kekuasaannya,
lambang kekuatan yang berkuasa untuk menentukan mati
hidup seseorang. Kekuasaan seperti ini sudah tentu jauh lebih
menyentuh hati siapa saja dibanding harta benda yang tak
bernilai itu. Asal kau bisa menang dalam duel ini, segalanya akan
menjadi milikmu, termasuk seluruh kekayaan, kebesaran dan
nama, demikian pula kekuasaan. Orang-orang gagah, para
enghiong betapa jerih payah mereka bertempur di medan
laga, meski tulang-tulang menggunung, mereka tidak pernah
gentar, darah mengalir bagai sungai, lalu apa tujuan mereka"
Memangnya siapa kuat melawan daya tarik seperti ini"
Pho Ang-soat menghela napas panjang, waktu dia
mengangkat kepala, mendadak dilihatnya sepasang mata
tengah mengawasi dirinya dari dalam almari. Semula dalam
almari ini hanya tersimpan sebatang pedang dan sejilid buku,
tapi sekarang tahu-tahu muncul lagi sepasang mata yang lebih
tajam dari pisau.
Almari besi berbentuk kotak persegi, tinggi empat kaki,
mendadak berubah gelap dan dalam, begitu dalamnya hingga
tak terlihat dasarnya. Sepasang mata ini tengah
mengawasinya dari tempat yang gelap itu.
Tanpa sadar Pho Ang-soat menyurut dua langkah, telapak
tangannya sudah basah oleh keringat dingin. Sudah tentu dia
tahu, di balik almari besi sebelah sana tentu juga terdapat
sebuah pintu, di luar pintu ada seseorang. Ketika daun pintu di
balik sana terbuka, maka orang inipun muncul.
Tapi secara mendadak dia melihat sepasang mata di
tempat gelap ini, betapapun dia terkejut dibuatnya. Maka dia
pun melihat raut muka orang itu, wajah yang penuh diliputi
kerut-merut, rambut dan jenggotnya sudah putih, seorang tua
yang sudah kenyang menelan pengalaman hidup. Tapi
sepasang matanya itu tampak masih muda, sorot matanya
mengandung kecerdikan yang luar biasa serta daya hidup
yang amat kuat.
Orang tua itu sedang tersenyum, katanya, "Aku tahu kau
punya mata malam (dapat melihat di tengah gelap), tentu kau
sudah melihat aku adalah orang tua."
Pho Ang-soat mengangguk, tanpa bersuara.
"Pertama kali ini kau melihatku, pertama kali pula aku
melihatmu," kata orang tua. Tawanya terasa ganjil, perlahan
dia berkata pula, "Aku hanya mengharap inilah yang terakhir
pula." "Kau pun mengharap aku mengalahkan Kongcu Gi?"
"Paling tidak aku tidak mengharap kau mati."
"Kalau aku hidup apa faedahnya untuk dirimu?"
"Tiada faedahnya, aku hanya mengharap duel ini dapat
dilangsungkan secara adil."
"Secara adil?"
"Hanya seorang yang betul-betul kuat mencapai
kemenangan, baru duel ini boleh dianggap adil,"
senyumannya sirna, mukanya yang sudah tua penuh keriput
mendadak berubah serius berwibawa, hanya seorang yang
biasa suka menggunakan pengaruh dan kekuasaannya saja
yang bisa menunjukkan mimik dan sikap demikian. Perlahan
dia melanjutkan, "Bagi yang kuat akan memiliki segalanya, hal
ini sudah menjadi hukum alam, kejadian jamak, hanya
seorang yang betul-betul kuat baru setimpal dia memiliki
segalanya itu."
Dengan pandangan kaget Pho Ang-soat mengawasi
perubahan mimik orang, tak tahan dia bertanya, "Kau
beranggapan aku lebih kuat dari dia?"
"Paling tidak kau adalah calon satu-satunya yang dapat
mengalahkan dia, tapi sekarang kau terlalu tegang, terlalu
lemah." Pho Ang-soat membenarkan pendapat orang, sebetulnya
dia memang berusaha supaya dirinya tenang dan tenteram,
tapi dia tidak mampu melakukannya.
"Sekarang masih ada delapan jam menjelang duelmu itu,
kalau selama ini kau tidak bisa membuat dirimu longgar,
bebas dan mengendorkan urat syaraf, maka besok mayatmu
akan menggeletak dingin."
Sebelum Pho Ang-soat berbicara dia sudah melanjutkan,
"Keluar dari sini, ke kanan membelok tiga kali, di kamar
sebelah kiri ada seorang perempuan rebah di atas ranjang
sedang menunggumu."
"Siapa dia?" tanya Pho Ang-soat.
"Tak perlu kau tanya siapa dia, tak usah kau tahu kenapa
dia menunggumu," sampai di sini suaranya berubah kaku
dingin dan tajam, "laki-laki seperti dirimu adalah pantas kalau
menganggap perempuan di seluruh dunia ini sebagai alat
pelampias belaka."
"Alat pelampias?" Pho Ang-soat bingung.
"Dia itulah alat pelampias nafsu untuk melonggarkan urat
syaraf dan mengendorkan pikiran tegangmu." Pho Ang-soat
diam. "Kalau kau tidak mau berbuat demikian, setelah keluar
pintu kau boleh belok kiri tiga kali, di sana kau akan
menemukan sebuah rumah."
"Ada apa di dalam rumah itu?"
"Peti mati."
Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya, katanya,
"Siapa kau sebetulnya, berdasar apa kau memerintah aku?"
Orang tua itu tertawa lagi, tawa yang ganjil dan misterius.
Bila senyuman itu tersimpul di wajahnya, maka wajah itupun
lenyap ditelan kegelapan, seperti tak pernah muncul.
Menginjak tumpukan perhiasan mutu manikam yang
berserakan dan menggunung itu, Pho Ang-soat beranjak
keluar pintu tanpa menoleh lagi. Tumpukan harta yang tak
ternilai itu dalam pandangannya seperti sampah busuk belaka.
Begitu berada di luar pintu, dia lantas membelok ke kiri tiga
kali, setelah dia membelok dia menemukan sebuah pintu.
Sebuah kamar kosong, di dalamnya hanya ada sebuah peti
mati, peti mati yang terbuat dari kayu yang berkwalitas tinggi,
panjang lebar dan tingginya seperti sudah diukur persis untuk
perawakan Pho Ang-soat.
Di atas peti menggeletak seperangkat pakaian hitam,
ukurannya ternyata cocok dengan potongan badannya.
Ternyata peti dan pakaian ini memang disediakan untuk
dirinya, setiap urusan sudah disediakan dan disiapkan dengan
rapi. Jelas bukan pertama kali mereka melakukan tugas ini,
malah dia bisa membayangkan setelah dia mati, di dalam
buku catatan itu juga akan ditambah tulisan baru ....
Tanggal berapa bulan berapa Pho Ang-soat datang
menghadap, terlalu tegang dan kelelahan, pongah dan goblok.
Kongcu Gi kegirangan. Tanggal sekian bulan sekian, Pho
Ang-soat mati di bawah pedangnya.
Sudah tentu catatan di dalam buku itu tidak bisa
melihatnya, bagi yang bisa membacanya tentu hatinya girang.
Peti mati itu terasa dingin dan keras, catnya yang masih
baru mengkilap di kegelapan. Mendadak dia membalik tubuh
terus berlari keluar, kembali ke dalam gudang harta itu, di
dalam berkumandang pula "Srak, srek" dari pedang dicabut
dari sarungnya. Tapi dia tidak berhenti, langsung dia
membelok ke kanan tiga kali, langsung dia mendorong daun
pintu di sebelah kiri.
Di balik pintu gelap-gulita, tiada yang bisa terlihat, namun
hidungnya mengendus bau harum. Dia melangkah masuk, lalu
menutup pintu. Dia tahu dimana letak ranjang, sekarang dia
sudah mendengar detak jantungnya sendiri.
Apa betul di atas ranjang ada orang" Siapa dia" Seorang
yang hidup dan segar bugar mana boleh dijadikan alat, tapi
dia insyaf perkataan orang tua itu memang benar dan dia
memang amat membutuhkan. Bila seseorang ingin
mengendorkan urat syaraf yang terlalu tegang, memang cara
itulah yang paling manjur.
Kamar ini sunyi senyap, akhirnya dia mendengar suara
napas seorang lain. Suara napas yang perlahan teratur,
selembut hembusan angin lalu di musim semi.
Tak tahan dia bertanya, "Siapa kau" Kenapa kau
menungguku?"
Tiada jawaban. Terpaksa dia maju menghampiri, ranjang berkasur empuk
dan hangat, dia mengulur tangan, terasa badan yang halus
dan mulus, selembut sutra nan hangat menggairahkan.
Ternyata dia sudah telanjang bulat. Di kala tangannya
menyentuh perutnya yang datar dan lembut, jantungnya
berdetak keras, napas pun mulai memburu. Dia bertanya pula,
"Kau tahu siapa aku?"
Tetap tiada jawaban, tapi sebuah tangan telah
menggenggamnya.
Terlalu lama lepas dari pergaulan ranjang, nafsu yang
sudah lama terkekang dan belum pernah terlampias
menjadikan perasaannya terlalu
sensitif, betapapun dia adalah lelaki normal yang baru
menanjak setengah umur.
Perubahan terjadi pada tubuhnya, napas yang tersengal
sudah mulai berubah menjadi rintihan lembut, rintihan yang
merangsang birahinya. Mendadak Pho Ang-soat seperti
tenggelam di dalam hiburan yang menyenangkan, kenikmatan
yang hangat. Badannya yang empuk, dadanya yang kenyal
sehangat sinar mentari pagi di tengah padang rumput yang
menyinari embun yang menguap, bukan saja menerima juga
memberi, saling isi.
Tenggelam dalam kenikmatan, seolah-olah dia terbayang
saat pertama kali menikmati surga dunia seperti ini dulu.
Waktu itu juga dalam kamar yang gelap, perempuan lawan
mainnya juga sudah matang dan berpengalaman, juga
mendambakan kesenangan yang tiada taranya.
Tapi dia memberikan kenikmatan ini bukan lantaran cinta,
tapi adalah untuk membuatnya menjadi seorang laki-laki.
Karena saat itu adalah menjelang dia menuntut balas.
Hari kedua waktu dia bangun, ternyata memang terasa
kondisinya jauh lebih fit, lebih bergairah dari sebelumnya,
daya tahannya lebih tebal dan kuat. Manusia memang serba
aneh, setelah terlampias, ada kalanya malah membuat orang
lebih padat, lebih kuat.
Padang rumput yang lembab basah sedang bergerak,
bergesek dan menggelinjang lembut. Pho Ang-soat mengulur
tangan, mendadak dirasakan perempuan telanjang bulat ini
membungkus kepalanya dengan secarik kain halus. Kenapa
dia membalut kepalanya"
Mungkin dia tidak boleh menjambak rambutnya, atau
mungkin kuatir rambutnya yang panjang mengganggu
jalannya adegan yang merangsang ini" Atau hakikatnya dia
memang tidak punya rambut"
Terbayang tubuh mulus di dalam bak mandi itu, terbayang
rasa dosa dalam benaknya. Tapi rasa dosa itu sekarang justru
menimbulkan kejutan pada gerakannya yang makin keras.
Maka dia tenggelam dalam kenikmatan lahiriah yang sudah
lama belum pernah dirasakan, nafsu birahi yang terlampias.
Akhirnya sekujur badannya lunglai, perasaan longgar, tiada
ketegangan lagi.
ooooOOoooo Akhirnya dia bangun.
Sekian tahun belum pernah dia tidur sepulas dan sesegar
ini, begitu bangun, di sampingnya sudah tiada orang. Bantal di
sebelahnya masih terasa harum, kenikmatan yang dirasakan
semalam sekarang sudah tak bisa ditemukan lagi laksana
sebuah impian di musim semi.
Dalam kamar ternyata sudah ada pelita, di atas meja sudah
disediakan sarapan. Di atas pagar di pinggir bak mandi masih
tergantung jubah putih yang longgar dan besar. Mungkinkah
perempuan yang semalam ... dia melarang dirinya memikirkan
lebih lanjut, setengah jam lamanya dia berendam di dalam bak
mandi yang hangat airnya, setelah gegares hidangan yang
tersedia, maka kondisinya sekarang sudah amat fit, kesegaran
yang tercapai dari kenikmatan, sekarang dia sudah
mempunyai segala kekuatan untuk menghadapi segala
tantangan. Pada saat itulah, pintu terbuka, Coh-hujin berdiri di depan
pintu, dingin tatapan matanya, sorot matanya yang jeli bening
mengandung cemoohan, katanya dingin, "Kau sudah siap?"
Pho Ang-soat manggut-manggut.
"Baik," ujar Coh-hujin. "Ikut aku."
Suara mencabut pedang sudah berhenti, lorong panjang ini
dicekam keheningan laksana di sebuah pekuburan.
Coh-hujin berjalan di depan, pinggangnya begitu lemas,
pinggulnya seperti menggoda birahinya, gayanya yang
mempesona memang cukup memabukkan.
Tapi dalam pandangan Pho Ang-soat sekarang, dia tidak
lebih cuma seorang perempuan biasa, tiada perbedaan
dengan perempuan kebanyakan di dunia ini. Karena sekarang
dia sudah tenang dan mantap, setenang pisau, sekokoh batu
gunung. Dia memang perlu ketenangan.
Kongcu Gi menunggu dirinya di balik sebuah pintu di
depan, mungkin pintu inilah yang terakhir dapat dia masuki
selama hidup ini.
Coh-hujin berhenti, lalu membalik badan mengawasinya,
mendadak tertawa dan berkata, "Sekarang kalau kau ingin
melarikan diri, aku bisa memberikan petunjuk lewat jalan
mana kau akan bisa lolos." Tawanya agung dan anggun,
suaranya merdu nyaring dan lembut.
Tapi Pho Ang-soat sudah tidak melihat dan mendengarnya,
dia mendorong pintu lalu melangkah lurus ke dalam, gaya
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jalannya masih tetap kaku dan jelek. Tapi tiada suatu kejadian
apa pun di dunia ini yang mampu menghentikan langkahnya.
Sudah tentu dia masih memegang goloknya. Tangan yang
memucat karena menggenggam terlalu keras, golok yang
hitam legam. Tangan Kongcu Gi tidak memegang pedang, pedang di
atas panggung tak jauh di pinggirnya. Pedang yang merah
segar, merah darah. Dia berdiri miring menggelendot di
panggung batu, mukanya masih mengenakan topeng hijau,
sorot matanya yang dingin, jauh lebih menakutkan.
Pho Ang-soat justru seperti tidak melihat, bukan saja tidak
melihat orangnya, juga tidak melihat pedangnya. Mereka
sudah mencapai lupa segalanya.
Itulah tuntutan paling rendah terhadap diri sendiri, tiada
mati hidup, tiada menang kalah, tiada orang, tiada aku. Ini
bukan saja taraf tertinggi bagi seseorang menjadi manusia,
juga taraf tertinggi yang harus dicapai oleh setiap insan
persilatan. Hanya di waktu lahir batin bersih dan suci, seseorang baru
bisa menggunakan ilmu golok yang melampaui segalanya.
Bukan saja harus melampaui bentuk, juga harus dapat
melampaui batas waktu. Apakah benar dia dapat melakukan
hal ini?" Obor menyala besar dan benderang.
Topeng tembaga hijau yang dipakai Kongcu Gi kelihatan
mengkilap ditimpa cahaya obor, seolah-olah juga punya
nyawa, karena mimik dan sikap mukanya kelihatan selalu
berubah. Tapi sorot matanya justru teramat dingin, mendadak
dia bertanya, "Apakah kau sudah berkeputusan untuk
mengabaikannya?"
"Mengabaikan apa?" tanya Pho Ang-soat.
"Mengabaikan hakmu memilih saksi," ucap Kongcu Gi.
Pho Ang-soat diam sekian lamanya, akhirnya berkata
perlahan, "Aku hanya ingin mencari seorang."
"Siapa?"
"Seorang tua di dalam almari besi."
Sorot mata Kongcu Gi seketika menampilkan perubahan
yang ganjil, namun cepat sekali sudah pulih dingin dan kaku,
katanya, "Aku tidak tahu siapa yang kau maksud?"
Sebetulnya jelas dia tahu, tapi Pho Ang-soat tidak ingin
mencari keributan, katanya tandas, "Baiklah, kalau begitu
kuabaikan."
Kongcu Gi seperti merasa lega, katanya, "Kalau demikian,
terpaksa keenam saksi ini akulah yang memilih."
"Boleh saja."
"Orang pertama adalah aku, kau menentang tidak?" kata
Coh-hujin. Pho Ang-soat geleng kepala.
"Orang kedua adalah Tan-toalopan," ujar Kongcu Gi.
Di luar pintu seorang segera berteriak, "Silakan Tantoalopan."
Dapat menjadi saksi dalam duel ini, sudah tentu harus
seorang yang betul-betul mempunyai asal-usul dan
kedudukan, padahal orang yang setimpal untuk jadi saksi tidak
banyak. Tapi Tan-toalopan yang satu ini justru kelihatan
awam, seorang laki-laki yang lamban dan kelihatan bodoh,
raut mukanya yang bundar gemuk walau selalu mengulum
senyum ramah, namun senyumannya tak urung menampilkan
rasa takut hatinya.
Kongcu Gi berkata, "Tentunya kau kenal baik dengan Tantoalopan
ini." "O, ya," pendek suara Pho Ang-soat.
"Tan-toalopan yang satu ini juga kenal kau."
Tan-toalopan segera mengunjuk seri tawanya, katanya,
"Aku kenal, setahun yang lalu kami sudah bertemu di Honghongkip." Kota mati yang sudah usang dan serba kotor serta bobrok,
merek warung yang sudah luntur warnanya masih melambai
ditiup angin. Arak tua simpanan bertahun-tahun khusus bikinan warung
arak Tan yang terkenal.
Sudah tentu Pho Ang-soat kenal orang gendut ini, tapi dia
seperti tidak mendengar dan tidak melihatnya.
Ternyata Kongcu Gi juga tak acuh, tanyanya tawar kepada
Tan-toalopan, "Kalian kenal baik?"
"Kenal baik sih tidak, hanya pernah bertemu sekali saja,"
sahut Tan-toalopan.
"Hanya pernah melihat sekali, tapi kau sudah
mengingatnya."
Tan-toalopan tampak bimbang, katanya, "Karena sejak
tuan ini berkunjung ke warungku, perusahaan lantas bangkrut,
Hong-hong-kip juga hancur lebur, aku ... aku Seolah-olah
tenggorokannya mendadak menjadi kering dan gatal, maka
dia terbatuk-batuk, makin lama batuknya makin keras dan
sesak hingga otot hijau merongkol di jidatnya, air mata pun
meleleh dari ujung matanya.
Untung Kongcu Gi sudah mengulap tangan, katanya,
"Silakan duduk."
Coh-hujin segera maju membimbingnya, katanya lembut,
"Mari duduk di sana, selama gunung tetap menghijau, jangan
kuatir kehabisan kayu bakar, kejadian yang sudah lampau, tak
usah kau taruh dalam hati."
"Aku tidak ... tidak akan ..." sebelum habis dia bicara,
mendadak Tan-toalopan sudah menangis tergerung-gerung.
Dua jago paling top yang tiada tandingan di dunia masa itu
akan berduel, yang menjadi saksi malah menangis tergerunggerung,
jarang ada kejadian seperti ini.
Kongcu Gi tidak memperlihatkan perubahan sikap, katanya,
"Bukan saja Tan-toalopan berwatak jujur, sederhana dan
dermawan, dia pun banyak pengalaman dan luas
pengetahuan, sebagai saksi dia Cukup setimpal dan jarang
ditemukan orang seperti dia."
"Ya," Pho Ang-soat mengiakan. Suaranya tenang dan
datar, seperti hal ini memang sudah jamak.
Ternyata Kongcu Gi juga tidak menampilkan rasa kecewa,
katanya, "Saksi ketiga adalah majikan Cong-tin-kek Ni Pohong,
Ni-losiansing."
Seorang petugas di luar pintu segera tarik suara lagi, "Nilosiansing,
persilakan."
Seorang tua berjubah sutra dengan corak warna yang
mewah beranjak masuk sambil membusung dada, sorot
matanya penuh diliputi kebencian dan dendam.
Memang siapa saja bila melihat pembunuh putra dan
putrinya berdiri di depan mata, tapi tanpa bersuara atau
komentar lantas duduk, memang kejadian yang sukar
dilakukan orang lain.
Ni Po-hong sudah duduk di kursinya, duduk di sebelah Tantoalopan
yang masih bercucuran air mata, masih mendelik ke
arah Pho Ang-soat.
Kongcu Gi berkata, "Ni-losiansing adalah Bu-lim Cianpwe,
bukan saja pandai menilai pusaka, dia pun pandai menilai
orang." "Aku tahu," ujar Pho Ang-soat.
"Bisa menarik Ni-losiansing untuk menjadi saksi duel kami
sungguh merupakan kehormatan dan kebanggaan bagi kami."
"Betul."
"Tiga orang saksi yang kuundang ini, tiada yang kau
tentang?" Pho Ang-soat geleng kepala.
"Duel antara dua jago kosen, sedikit kesalahan berakibat
fatal, oleh karena itu perasaan hati pun tidak boleh
terpengaruh sedikitpun."
"Aku tahu," ucap Pho Ang-soat. "Mereka tidak akan
mempengaruhi dirimu?"
"Tidak."
Kongcu Gi menatapnya, sorot matanya tidak menampilkan
rasa kecewa. Demikian pula rona muka Pho Ang-soat tidak
memperlihatkan perubahan. Peduli ketiga orang itu adalah
musuh besarnya atau kekasihnya, mereka menangis atau
tertawa, persetan, tiada sangkut-pautnya dengan dirinya,
karena dia tidak ambil peduli, tidak mendengar juga tidak
melihat. Apakah duel kali ini adil atau tidak, dia juga tidak
peduli, dia tidak ambil perhatian.
Dari kejauhan Coh-hujin mengawasinya, demikian juga Ni
Po-hong dan Tan-toalopan juga sedang menatapnya, sikap
dan mimik mereka tampak aneh dan lucu, entah kaget dan
heran, atau karena takut dan ngeri" Atau mungkin juga
kagum" Kongcu Gi ternyata masih bersikap wajar, katanya, "Orang
keempat adalah Ji-gi Taysu dari Kui-hoa-san."
Maka petugas di luar pintu kembali tarik suara, "Ji-gi Taysu
persilakan."
Melihat orang ini beranjak masuk pelan-pelan, rona muka
Pho Ang-soat berubah seketika, seumpama sebuah tanggul
besar yang kokoh mendadak jebol diterjang air bah.
ooooOOoooo Bab 24. Pertarungan Terakhir
Kiu-hoa-san terletak empat puluh li di sebelah barat daya
kota Ceng-yang di wilayah propinsi An-hwi.
Ke arah selatan dari Kui-hoa-san dapat memandang Lingyang,
ke barat menghadap ke Jiu-poh, di utara bersambung
dengan jalan raya Ngo-hi, ke timur bertaut dengan dua puncak
Ling-gou dan Kui-hoa-san.
Kiu-hoa-kiam-pay bukan saja memiliki ilmu pedang yang
luar biasa hebatnya, di puncak gunung itu penuh diliputi
romantika para penyair dan kaum Buddhis yang serba
rahasia. Dalam Bu-lim ada Jit-toa-kiam-pay (tujuh aliran besar ilmu
pedang), Kiu-hoa-san tidak termasuk di antaranya, karena
murid didik Kiu-hoa-san memang teramat jarang, jejak mereka
pun tidak sembarangan berkecimpung di Kangouw.
Beberapa tahun yang lampau, sudah tersiar luas berita
bahwa Kiu-hoa-san sudah menggabungkan diri ke pihak Yubingkau, sekaligus mereka menjunjung dua Cosu sebagai
cikal-bakal mereka. Seorang adalah Te-cong-ong Posat,
seorang lagi adalah penyair terkenal sejak zaman dinasti Tong
waktu Li Si-bin bertahta, yaitu penyair romantis Li Pek.
Konon Li Pek yang bergelar Ceng-lian Kisu bukan saja
dewanya penyair, dia pun seorang dewa pedang, ilmu pedang
Kiu-hoa-pay merupakan warisan langsung dari ilmu
ciptaannya. Setelah ratusan dan ribuan tahun kemudian, dalam
kalangan Kangouw muncul pula seorang pendekar aneh Li
Mo-pek, dia pun keturunan langsung dari Kiu-hoa-pay. Berita
yang tersiar luas di kalangan Kangouw, menjadikan
pandangan kaum persilatan bertambah misterius terhadap
aliran Kiu-hoa-pay.
Maka jejak murid-murid Kiu-hoa-pay serba tersembunyi dan
rahasia, beberapa tahun belakangan ini boleh dikata mereka
sudah tidak terjun ke dalam percaturan dunia persilatan.
Tapi semua ini bukan penyebab kagetnya Pho Ang-soat,
yang membuatnya terkejut adalah ji-gi Taysu sendiri.
Ji-gi Taysu mengenakan jubah keimanan warna putih,
berkaos kaki putih, kepala gundul klimis, sikapnya serius dan
agung, sorot matanya bersinar, selintas pandang jelas adalah
seorang beribadat yang sudah amat mendalam ajaran
agamanya, seorang perempuan yang menjadi pendeta dalam
ajaran agamanya.
Ji-gi Taysu ternyata adalah seorang Nikoh.
Kelihatan usianya sudah mendekati setengah baya,
perawakannya sedang, wajahnya ayu jelita tapi bersih dan
kereng, gerak-geriknya sopan dan sikapnya ramah, wajahnya
yang kelihatan serius, tidak menampilkan sesuatu yang
menarik perhatian orang. Sudah tentu tidak pula menunjukkan
sesuatu yang patut dibuat kaget.
Dalam padangan siapa pun, dia tidak lebih hanya seorang
Nikoh setengah baya yang patuh pada ajaran agama dan
tekun menjalankan ibadah, tiada bedanya dengan para Nikoh
lain yang tekun dan patuh akan tata tertib ajaran agamanya.
Tapi dalam pandangan Pho Ang-soat ternyata jauh
berbeda, walau wajahnya kelihatan cantik dan suci, sepasang
tangannya pun seelok batu jade yang mulus dan lembut serta
lemas seperti tak bertulang. Kakinya yang telanjang juga
kelihatan putih mulus mempesona pandangan. Jubah
keimanan yang putih dan gombrong lemas, bersih tak
berdebu, menutupi perawakannya yang ramping dan
menggiurkan. Tiada seorang pun pernah membayangkan
bagaimana bentuk tubuh seorang Nikoh setengah baya yang
kelihatan alim ini di balik jubah gombrongnya.
Tapi lain bagi Pho Ang-soat, dia dipaksa untuk
membayangkan. Jubah putih yang terlampir di atas pagar,
perawakan ramping molek di dalam bak mandi, rintihan di
tengah gelap dengan napas yang memburu, pelukan yang
hangat dan halus licin, sepasang payudara yang gempal, serta
kedua tangan yang memancing birahi hingga dia tenggelam
dalam mimpi kenikmatan.
Ternyata tidak bisa tidak dia harus membandingkan
perempuan yang semalam mahir bermain adegan ranjang
dengan Nikoh setengah baya yang kelihatan suci dan agung
ini. Walau dia berusaha mencegah hatinya berpikir, namun
apa lacur, dia tidak bisa tidak memikirkannya.
Padahal dia sudah tidak peduli dan tak mau campur akan
segala persoalan di sekelilingnya, namun Nikoh setengah
baya yang patuh akan ajaran agamanya ini justru
membuatnya kacau dan berantakan. Terasa bibirnya kering
tenggorokan gatal, jantung berdetak lebih keras, hampir tak
kuat dia menguasai emosinya.
Ji-gi Taysu sebaliknya hanya memandangnya sekilas,
wajahnya yang agung kelihatan suci sedikitpun tidak
menampilkan perasaan hatinya.
Pho Ang-soat sudah hampir tak tahan, ingin memburu ke
bawah menjambret jubahnya serta menelanjanginya, ingin dia
memeriksa apakah Nikoh ini adalah perempuan yang
semalam temannya bermain.
Tapi terpaksa dia harus menekan emosi dan bersabar,
seolah-olah dia mendengar orang bertanya, "Apakah Sicu ini
adalah Pho Ang-soat yang terkenal di seluruh dunia itu?"
Seolah-olah dia pun mendengar jawabannya, "Ya, aku adalah
Pho Ang-soat."
Coh-hujin mengawasi mereka, sorot matanya
membayangkan rona kelicikan, mencemooh dan penuh
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muslihat. Apakah dia sudah tahu akan kejadian mereka
semalam" Mendadak Coh-hujin tertawa, katanya, "Taysu sudah lama
mengasingkan diri di Kiu-hoa, tak nyana juga sudah tahu
nama besar Pho-tayhiap."
Ji-gi Taysu berkata, "Walau Pinni hidup di luar duniawi,
namun segala kejadian di dunia Kangouw, sedikitpun tak
pernah ketinggalan."
Coh-hujin bertanya pula, "Sebelum ini apakah Taysu
pernah melihatnya?"
Ji-gi Taysu menepekur, ternyata dia mengangguk, katanya,
"Agaknya pernah melihatnya sekali, sayang waktu itu cuaca
amat gelap, hingga tak sempat melihat jelas."
Coh-hujin tertawa, katanya, "Walau Taysu tak melihat jelas,
dia pasti melihat Taysu dengan jelas."
"Ah, masa?"
Senyum Coh-hujin penuh mengandung arti, katanya,
"Karena Pho-tayhiap kita ini punya mata malam, di dalam
gelap dapat melihat benda seterang kita melihat benda di
tempat terang."
Wajah Ji-gi Taysu seperti menunjukkan sedikit perubahan
aneh. Perasaan Pho Ang-soat pun semakin berat, seperti
tenggelam dalam lautan.
Dalam kegelapan semalam, hakikatnya dia tidak
memperhatikan, cuma lapat-lapat dia hanya melihat bentuk
tubuhnya yang mulus menggiurkan. Selama ini tak pernah
terpikir olehnya akan hal ini, baru sekarang dia menyadari
bahwa ketajaman matanya mulai terpengaruh dan kurang
beres. Kejadian pasti berlangsung setelah dia bertemu dengan
orangtua dalam almari besi itu. Apakah sorot mata orangtua
itu, memiliki kekuatan iblis yang dapat menyebabkan
seseorang berubah menjadi pikun dan tumpul pikirannya"
Kenapa dia mencegah Pho Ang-soat melihat jelas perempuan
yang diajaknya bermain di atas ranjang" Kenapa pula
perempuan itu harus menunggunya di tempat gelap"
Dua orang saksi terakhir juga ditunjuk oleh Kongcu Gi dan
dipanggil masuk, ternyata Pho Ang-soat tidak memperhatikan
lagi siapa kedua saksi ini.
Hatinya kalut lagi, perasaannya tidak tenteram.
Apa pun dia tak bisa melupakan adegan 'syuur' semalam,
dia merasa berdosa karena seorang segar bugar dia peralat
untuk melampiaskan nafsu binatangnya.
Isak tangis Tan-toalopan, tatapan benci Ni Po-hong yang
penuh dendam, mendadak berubah menjadi tekanan yang tak
mungkin bisa dia bendung. Demikian pula pedang merah
darah itu. Kenapa pedang merah darah itu bisa terjatuh ke tangan
Kongcu Gi" Kalau pedang di tangannya, lalu dimana Yan
Lam-hwi sekarang" Ada hubungan misterius apakah di antara
kedua orang ini, kenapa sampai sejauh ini Kongcu Gi tetap
tidak mau memperlihatkan wajah aslinya"
ooooOOoooo Cahaya obor menyala benderang sehingga panggung batu
itu seterang siang hari.
Akhirnya Pho Ang-soat naik ke atas panggung batu, jarinya
menggenggam kencang gagang goloknya, lebih kencang dari
pegangan biasanya.
Di kala dia sedang sedih, pilu dan risau, menderita tanpa
bantuan, hanya golok itu yang selalu menjadi pendamping,
memberikan kekuatan yang menenteramkan perasaannya.
Terhadap dirinya, golok ini lebih berguna dari sebatang
tongkat yang biasa digunakan si tuna netra, antara jiwa raga
dan goloknya itu, seperti sudah terjalin suatu ikatan lahir batin.
Semacam perasaan atau ikatan yang tak bisa diselami oleh
orang lain, malah satu sama lain saling mempercayai.
Kongcu Gi menatapnya lekat-lekat, katanya pelan sepatah
demi sepatah, "Sekarang setiap saat kau sudah boleh
mencabut golokmu." Sekarang pedang pun sudah berada di
tangannya. Hadirin maklum dalam kondisi seperti ini, orang percaya dia
jauh lebih yakin dan mantap dibanding Pho Ang-soat.
Mendadak Pho Ang-soat bertanya, "Maukah kau menunggu
sebentar?"
Sorot mata Kongcu Gi menampilkan cemoohan, katanya,
"Kau boleh menunggu, namun harus kau sadari, betapapun
lama aku menunggu, kalah menang tetap takkan bisa
berubah." Pho Ang-soat seperti tidak mendengar, habis dia bicara,
mendadak dia putar tubuh beranjak pergi, langsung mendekati
Ji-gi Taysu. Ji-gi Taysu mengangkat kepala memandangnya dengan
rasa kejut dan curiga.
Pho Ang-soat bertanya, "Taysu datang darimana?"
"Datang dari Kiu-hoa," jawab Ji-gi Taysu.
"Sang raja datang darimana?"
"Datang dari Sin-kiang."
"Dia membuang kedudukan dan keagungan, apa
tujuannya?"
"Membina diri memperdalam agama Buddha."
"Kalau sudah membina diri belajar agama Buddha, kenapa
bersumpah pun dia tidak bisa menjadi dewa?"
"Karena dia harus menolong sesama manusia," sikap Ji-gi
Taysu makin tenang, sikapnya pun kelihatan agung dan
angker, orang lain hakikatnya tiada yang paham apa yang
mereka perbincangkan.
Pho Ang-soat bertanya pula, "Ongcu sekarang dimana?"
"Tetap di Kiu-hoa."
"Kalau Ongcu menolong sesama umat manusia, lalu
Taysu?" "Pinni juga punya cita-cita yang sama."
"Kalau demikian, semoga Taysu sudi memberi berkah
kepadaku, supaya hatiku tenteram pikiran tenang."
Ji-gi Taysu merangkap kedua tangan, katanya, "Ya." Dari
dalam kantung bajunya dia mengeluarkan sebuah botol kecil
serta menuangkannya beberapa tetes minyak suci, minyak
suci ini dia poleskan di muka dan punggung tangan Pho Angsoat,
mulutnya komat-kamit membaca mantra entah apa
artinya, lalu dia bertanya, "Apa keinginanmu?"
Seperti bersenandung Pho Ang-soat tarik suara, "Selamat
tenteram, tak bergerak laksana bumi, tenang mendalam,
laksana madu seperti sang dewa."
Dengan telapak tangannya perlahan Ji-gi Taysu menepuk
batok kepala Pho Ang-soat, katanya, "Baiklah, kau boleh
pergi." "Baik, aku segera pergi," sahut Pho Ang-soat.
Waktu dia mengangkat kepala, wajahnya yang pucat dan
kurus kelihatan memancarkan cahaya, bukan cahaya dari
minyak. Tapi cahaya terang laksana sinar pusaka yang
membawa ketenteraman dan ketenangan.
Lalu dia putar tubuh langsung beranjak ke atas panggung.
Waktu lewat di depan Coh-hujin, mendadak dia berkata,
"Sekarang aku sudah tahu."
"Tahu apa?" tanya Coh-hujin.
"Tahu kau inilah, "sahut Pho Ang-soat.
Berubah rona muka Coh-hujin, serunya, "Apalagi yang kau
ketahui?" "Yang patut kuketahui sudah kuketahui."
"Kau ... darimana kau bisa tahu?"
"Tenang mendalam laksana dewa."
Di waktu dia naik pula ke atas panggung berhadapan
dengan Kongcu Gi, bukan saja sikapnya tenang wajar, seolaholah
dia betul-betul setenang bumi yang tak tergoyahkan.
Punggung tangan Kongcu Gi yang menggenggam pedang
ternyata mengencang hijau karena otot-otot tangannya
merongkol keluar.
Pho Ang-soat menatapnya sinis, katanya tiba-tiba, "Kau
sudah pernah kalah sekali, kenapa mengejar kekalahan lagi?"
Badan Kongcu Gi bergetar, sorot matanya memicing
beringas, mendadak dia menghardik laksana guntur, pedang
sudah tercabut, sinar pedang yang merah darah berkelebat
laksana bianglala. Hanya pandangan seorang yang betul-betul
tajam mungkin dapat mengikuti sambaran sinar perak yang
berkelebat sekali di tengah sambaran cahaya merah bianglala
tadi. "Ting" hanya sekali berdenting, maka seluruh gerakan
seketika berhenti, seperti beku dan kaku, seluruh kehidupan di
mayapada ini, seperti mati seketika dalam detik itu pula. Golok
Pho Ang-soat sudah berada dalam sarungnya, ujung pedang
Kongcu Gi masih mengincar tenggorokannya, tapi dia tidak
berani menusukkan. Sekujur badannya seperti mendadak
menjadi kaku dan beku.
Perlahan tapi pasti topeng tembaga hijau di mukanya
merekah menjadi dua hingga kelihatan wajah asli di balik
topeng. Itulah seraut wajah yang putih bersih, wajah nan
cakap dan ganteng, namun wajah ini diliputi rasa ngeri dan
takut. "Trang", waktu topeng tembaga yang terbelah itu jatuh
mengeluarkan suara berisik, pedang pun terlepas
berkerontang. Orang di balik kedok ini ternyata adalah Yan Lam-hwi.
Cahaya obor gemerlapan, ruang sebesar itu dalam
keadaan hening lelap tanpa sedikit suara pun.
Akhirnya Yan Lam-hwi buka suara, "Sejak kapan kau
tahu?" "Belum lama," sahut Pho Ang-soat.
"Waktu kau mencabut golok sudah tahu akan diriku?"
"Betul."
"Maka kau punya keyakinan pasti menang."
"Karena dalam hatiku sudah tidak kalut tidak tergerak."
Yan Lam-hwi menarik napas panjang, katanya muram,
"Sudah tentu kau harus punya keyakinan, karena aku
sebetulnya memang sudah mati di tanganmu."
Lalu dia memungut pedang panjangnya dengan kedua
tangan, dia angsurkan ke depan, katanya pula, "Silakan,
silakan turun tangan."
Pho Ang-soat menatapnya bulat, katanya, "Sekarang citacitamu
sudah terkabul?"
"Ya, sudah," ujar Yan lam-hwi.
Tawar suara Pho Ang-soat, "Maka sekarang kau sudah
menjadi seorang mati, kenapa aku harus turun tangan pula?"
Dia membalik badan, tidak memandang lagi ke arah Yan Lamhwi.
Memang dia tidak perlu melihat atau menjumpainya lagi. Di
belakang didengarnya helaan napas panjang, darah muncrat
bercecer di sekitar kakinya. Dia tetap tidak menoleh, wajahnya
yang pucat menampilkan kepedihan dan kerawanan.
Dia tahu akhir dari persoalan ini. Ada kalanya akhir dari
sesuatu persoalan memang tak bisa diubah oleh siapa pun,
demikian pula nasib manusia.
Lalu bagaimana dengan nasibnya sendiri"
Orang pertama yang menyongsong dirinya adalah Ji-gi
Taysu, dengan tersenyum dia menyapa, "Sicu sudah
menang." "Apa betul Taysu pasti Ji-gi (terkabul)?" Ji-gi Taysu
bungkam. "Kalau Taysu juga belum tentu Ji-gi, lalu darimana tahu aku
betul-betul sudah menang?"
Perlahan Ji-gi Taysu menghela napas, katanya, "Betul,
entah menang entah kalah" Terkabul atau tidak terkabul" Lalu
siapa yang tahu?" Kedua tangan terangkap di depan dada,
lalu bersabda pula, perlahan dia beranjak minggir.
ooooOOoooo Waktu Pho Ang-soat mengangkat kepalanya, dalam ruang
besar ini hanya tertinggal Coh-hujin seorang saja. Orang
sedang mengawasi dirinya, bila dia menoleh baru dia berkata
kalem, "Aku tahu."
"Kau tahu?" Pho Ang-soat menegas.
"Menang adalah menang, yang menang memiliki
segalanya, yang kalah harus mati, hal ini jelas tak boleh
dipalsukan." Setelah menghela napas dia menyambung, "Yan
Lam-hwi sudah mati, maka sudah pasti kau adalah....."
Pho Ang-soat menukas perkataannya, "Yan Lam-hwi
memang sudah mati, lalu Kongcu Gi?"
"Bukankah kau sudah saksikan sendiri?"
"Saksikan apa?"
"Yan Lam-hwi adalah Kongcu Gi."
"Apa betul dia?"
"Memangnya bukan?"
"Pasti bukan."
Coh-hujin tertawa, mendadak dia menuding ke
belakangnya, katanya, "Coba kau lihat pula apakah itu?"
Di belakangnya adalah panggung batu. Panggung batu
yang datar mengkilap mendadak merekah ke pinggir, sebuah
kaca tembaga raksasa tengah mumbul dari bawah panggung.
"Apakah itu?" tanya Coh-hujin.
"Kaca tembaga."
"Ada apa di dalam kaca?"
Di dalam kaca masih ada orang.
Pho Ang-soat tepat berdiri di depan kaca tembaga, maka
bayangannya terlihat di dalam kaca. "Sekarang apa yang kau
lihat?" "Melihat diriku sendiri."
"Maka kau sudah melihat Kongcu Gi, karena sekarang kau
adalah Kongcu Gi."
Pho Ang-soat diam.
Dia bilang dirinya adalah Kongcu Gi. Ternyata dia diam.
Kadang kala diam merupakan tantangan tanpa suara, tapi
lebih sering bukan demikian.
"Kau serba pintar dan teliti, dari tangan Ji-gi Taysu yang
memoles minyak di muka dan di tanganmu, kau lantas tahu
perempuan yang semalam tidur dengan kau bukan dia, tapi
adalah aku."
Pho Ang-soat tetap bungkam.
"Oleh karena itu sekarang kau pasti sudah tahu, kenapa
kau adalah Kongcu Gi."
Mendadak Pho Ang-soat bertanya, "Apa betul sekarang
aku adalah Kongcu Gi?"
"Paling tidak sekarang memang demikian kenyataannya."
"Lalu sampai kapan baru aku bukan Kongcu Gi?"
"Sampai muncul pula seorang jago yang lebih kuat dari kau
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di Bu lim, waktu itu
"Waktu itu nasibku akan seperti Yan Lam-hwi sekarang."
"Betul, waktu itu bukan saja kau bukan lagi Kongcu Gi, kau
pun bukan Pho Ang-soat. Waktu itu kau sudah menjadi orang
mati," dia tersenyum manis dan genit. "Tapi aku percaya
dalam jangka sepuluh tahun pasti takkan muncul seorang
yang lebih kuat dari kau, maka semua yang ada di sini
menjadi milikmu, kau bisa memiliki, menikmati seluruh
kekayaan, kebesaran nama dan kewibawaan, kau pun bisa
menikmati kehangatan tubuhku."
Jari Pho Ang-soat yang menggenggam golok mengencang
katanya, "Jadi selamanya kau adalah milik Kongcu Gi?"
"Ya, selamanya, meski Kongcu Gi berganti sepuluh orang."
Pho Ang-soat menatapnya nanar, genggaman tangan
semakin erat, menggenggam goloknya. Mendadak dia
mencabut golok, hanya sekali golok berkelebat. Kaca tembaga
itupun terbelah, mirip topeng tembaga di muka Yan Lam-hwi
tadi, terbelah dua dan ambruk.
Begitu kaca tembaga ambruk, maka muncullah satu orang.
ooooOOoooo Satu orang tua.
Di belakang kaca adalah sebuah kamar yang terpajang
serba mewah dan antik, di pojok sana terdapat sebuah
ranjang pendek yang serba baru dan menyolok warnanya.
Orang tua itu rebah miring di atas ranjang.
Dia sudah tua, sudah reyot, namun sepasang matanya
masih kelihatan cemerlang seperti mata setan dan iblis,
hingga kelihatan masih muda dan bercahaya.
Sepasang mata inilah yang dilihat Pho Ang-soat di dalam
almari besi yang gelap itu.
Mata bercahaya muda ini kini sedang menatapnya.
Golok Pho Ang-soat sudah kembali ke sarungnya, tajam
goloknya seperti berganti di kedua matanya, katanya menatap
tajam, "Di dunia ini hanya ada satu orang tahu siapa
sebenarnya Kongcu Gi itu."
"Siapa tahu?" tanya orangtua.
"Kau sendiri," sahut Pho Ang-soat tegas.
"Kenapa aku yang tahu?" tanya orangtua.
"Karena kaulah Kongcu Gi yang tulen."
Orang tua itu tertawa, tertawa bukan menyangkal, apalagi
tawa seperti yang satu ini.
Pho Ang-soat berkata pula, "Kekuasaan dan kekayaan
yang dimiliki Kongcu Gi pasti bukan diperoleh dengan mudah."
Memang tiada hasil yang diperoleh tanpa kerja di dunia ini,
terutama nama besar, kekayaan dan kekuasaan.
"Seseorang pasti merasa berat kehilangan segala yang
dimiliki," demikian kata Pho Ang-soat.
Siapa pun demikian.
"Sayang sekali kau sudah tua, kondisi badanmu semakin
susut dan kesehatan pun menurun, kau ingin
mempertahankan segala milikmu, terpaksa kau harus mencari
seorang duplikat, seorang yang dapat mewakili dirimu, atau
jelasnya menjadi antekmu."
Kongcu Gi bungkam. Bungkam berarti mengakui apa yang
dikatakan itu memang benar.
"Maka wakil atau duplikatmu sudah tentu harus seorang
yang paling kuat, maka kau menemukan Yan Lam-hwi."
Kongcu Gi tersenyum, katanya, "Dia memang amat kuat,
apalagi masih muda."
"Dia tidak kuat menahan hasutan dan bujukanmu, lalu
menjadi duplikatmu."
"Sebetulnya selama ini dia bekerja dengan baik sekali."
"Sayang sekali dia kalah. Kalah oleh golokku di Hong-hongkip."
"Bagi dirinya, memang satu hal yang harus dibuat sayang."
"Bagi dirimu?" tanya Pho Ang-soat.
"Bagi diriku sama saja," sahut Kongcu Gi.
"Sama saja?"
"Kalau ada seorang lain yang lebih kuat untuk
menggantikan dia, kenapa aku masih harus memakainya?"
Pho Ang-soat menyeringai dingin.
"Tapi aku memberi kesempatan kepadanya, dalam setahun
asal dia dapat mengalahkan kau, dia akan tetap memiliki
segalanya," suaranya lebih kereng, "maksudku dia harus
mengalahkan kau, bukan untuk membunuhmu."
"Karena kau ingin seorang yang paling kuat."
"Betul."
"Dia berpendapat permainan golokku yang paling
menakutkan adalah mencabut golok."
"Maka dia giat berlatih mencabut pedang, sayang sekali
setahun kemudian dia tetap tak yakin dapat mengalahkan
kau." "Maka lebih besar hasratnya untuk memiliki Toa-pi-bu dan
Khong-jiok-ling?"
"Maka dia keliru?"
"Dia pula yang keliru?"
"Memangnya aku yang salah?"
"Kenapa dia keliru?"
"Karena dia tidak tahu kedua benda itu sudah berada di
tanganku."
Pho Ang-soat mengancing mulut.
"Dia pun tidak tahu, bahwa kedua benda itu hakikatnya
tidak menakutkan seperti yang tersiar di Bu-lim. Umpama dia
memperoleh kedua benda itu, juga belum tentu pasti dapat
mengalahkan kau."
Berita di luar, kabar yang tersiar dari mulut ke mulut
biasanya memang lebih indah, lebih muluk dari kenyataannya.
Pho Ang-soat cukup tahu akan hal ini.
Kongcu Gi berkata, "Sejak mula aku sudah menilaimu lebih
kuat dari dia, karena kau memiliki kekuatan atau daya tahan
yang aneh dan luar biasa." Lalu dia menjelaskan, "Kau dapat
menahan derita yang tak mungkin ditahan oleh orang lain,
dapat pula menerima pukulan lahir batin yang tak mungkin
diterima orang lain."
"Maka dalam duel ini kau memang sudah mengharap aku
yang menang."
"Karena itu aku suruh Meja (Coh-hujin) menemani kau,
tidak ingin kau terlalu tegang menjelang duelmu dengan dia."
Kembali terkatup mulut Pho Ang-soat. Sekarang baru dia
mengerti akan segala kejadian, semua persoalan yang tak
terjawab, dalam sekejap ini mendadak menjadi mudah
dimengerti. Kongcu Gi menatapnya, katanya, "Karena itu sekarang kau
sudah menjadi Kongcu Gi."
"Bukan. Aku bukan Kongcu Gi, aku tetap aku, aku adalah
Pho Ang-soat."
"Kenapa bukan?"
"Aku hanya duplikat Kongcu Gi saja. Begitu?"
"Tapi kau memiliki segalanya."
"Tiada seorang pun yang bisa memiliki segala itu, tetap
menjadi milikmu."
"Maka....."
"Maka sekarang aku tetap adalah Pho Ang-soat."
Berdenyut pelupuk mata Kongcu Gi, matanya makin
memicing, katanya, "Jadi kau tidak mau menerima segala itu?"
"Ya, tidak mau."
Pelupuk mata mengkeret dan setengah terpejam, jari-jari
tangan juga mengencang. Tangan yang memegang golok.
Agak lama kemudian, mendadak Kongcu Gi tertawa,
katanya, "Kau tahu bahwa aku ini sudah tua renta."
Pho Ang-soat tidak memberi komentar.
"Tahun ini usiamu ada tiga puluh lima atau enam?" tanya
Kongcu Gi. "Tiga puluh tujuh, " sahut Pho Ang-soat. "Kau tahu berapa
usiaku?" "Enam puluh?"
Kongcu Gi tertawa, tawa yang aneh, namun membawa
mimik yang sedih dan mencemooh.
"Kau belum ada enam puluh?"
"Tahun ini usiaku juga genap tiga puluh tujuh."
Pho Ang-soat terbelalak kaget, menatap tajam kerut keriput
di wajahnya yang pucat.
Dia tak bisa percaya, tapi dia tahu, seseorang menjadi tua
dan renta, ada kalanya bukan lantaran tersiksa oleh jalannya
sang waktu. Banyak persoalan, peristiwa dapat menjadikan
seseorang menjadi cepat tua.
Rindu dapat membuat orang menjadi tua, demikian pula
sedih dan risau serta penderitaan dapat menjadikan orang
beruban. Kongcu Gi berkata, "Tahukah kau kenapa aku menjadi tua
begini?" Pho Ang-soat tahu.
Bila seseorang memiliki banyak keinginan, entah itu anganangan
atau cita-cita, terlalu besar ambisi, maka dia pasti dapat
menjadi lekas tua. Pho Ang-soat tahu akan hal ini, tapi dia
tidak melontarkan isi hatinya dengan kata-kata, kalau sudah
tahu kenapa harus dikatakan.
Ternyata Kongcu Gi tidak memberi penjelasan lebih lanjut,
karena dia maklum Pho Ang-soat pasti sudah tahu apa
maksudnya. "Karena terlalu banyak yang kupikirkan, maka aku cepat
tua, karena aku tua, maka aku tetap lebih kuat dari kau,"
uraiannya serba diplomasi, "jika kau bukan Kongcu Gi, maka
kau tidak akan menjadi Pho Ang-soat."
"Aku orang mati?"
"Betul."
Pho Ang-soat duduk, duduk di meja pendek di seberang
ranjang. Dia amat lelah. Mengalami duel tadi, asal dia seorang
manusia, maka dia pasti akan merasa lelah.
Namun relung hatinya justru amat bergairah, semangatnya
menyala. Dia tahu akan datang satu pertempuran lagi,
pertempuran yang jauh lebih sengit dan tegang dari duel yang
terdahulu tadi.
"Kau masih kuberi kesempatan untuk mempertimbangkan,"
desak Kongcu Gi.
"Kurasa tidak perlu," ujar Pho Ang-soat.
Kongcu Gi menghela napas, katanya, "Kau pasti tahu aku
tidak ingin kau mati."
Pho Ang-soat tahu, untuk mencari seorang duplikat seperti
dirinya, pasti bukan suatu hal mudah.
"Sayang sekali, aku sudah terpojok, tiada pilihanku yang
lain." "Aku pun tiada pilihan lain."
"Memangnya apa pun kau tidak punya." Pho Ang-soat tidak
menyangkal. "Kau tidak punya kekayaan, tiada kekuasaan, tiada teman,
tiada sanak-kadang."
"Aku hanya punya satu jiwa dan raga."
"Kau masih punya satu lagi."
"Punya apa pula?"
"Nama besar."
"Kalau kau menolak tawaranku, bukan saja aku akan
menuntut jiwa ragamu, aku pun akan merusak dan
meruntuhkan nama besarmu, aku punya banyak cara."
"Kurasa apa pun kau tidak punya," jengek Pho Ang-soat.
Kongcu Gi juga tidak menyangkal.
"Kau punya kekayaan, kau punya kekuasaan, anak
buahmu adalah jago-jago kosen."
"Untuk membunuhmu, kukira aku perlu menggunakan
mereka." "Kau memiliki apa saja, tapi masih kurang satu."
"Kurang apa?"
"Kau tidak punya daya hidup, gairah hidupmu sudah
pudar." Kongcu Gi masih tertawa.
"Umpama betul nama besar dan kebesaran Kongcu Gi bisa
bertahan lama dan abadi, akhirnya kau pun sudah mati."
Tangan Kongcu Gi juga mengepal kencang.
"Tanpa gairah hidup, berarti tidak punya semangat juang,
maka bila kau berani berduel dengan aku, maka kau pasti
kalah." Kongcu Gi masih tertawa, tapi tawanya makin kaku dan
menjadi seringai lucu.
"Jika kau berani berdiri dan berduel dengan aku, kalau kau
dapat mengalahkan aku, aku akan menjual hidupku
kepadamu, pasti takkan menyesal atau mengomel di
kemudian hari," lalu dia tertawa dingin, katanya pula, "Tapi kau
tidak berani."
Matanya mencorong terang laksana bintang kejora, Kongcu
Gi ditatapnya tanpa berkedip. Tangannya memegang golok,
matanya seakan berpisau, ucapannya pun seperti pisau tajam.
Ternyata Kongcu Gi tidak berdiri. Apakah karena dia tidak
mampu berdiri, atau karena tangan Coh-hujin. Tangan Cohhujin
menekan kedua pundaknya.
Pho Ang-soat sudah membalik badan, pelan-pelan dia
beranjak pergi.
Kongcu Gi hanya mengawasi punggungnya, gaya jalannya
masih kelihatan kaku dan lucu, gerakannya lamban dan
malas, namun siapa pun bila mengawasinya pandangannya
pasti memancarkan rasa hormat dan kagum.
Siapa pun tak terkecuali. Tangannya terus menggenggam
golok, tapi tidak dia cabut. Aku tidak membunuhmu, karena
kau sudah seperti orang mati.
Bila hati seseorang sudah beku, sudah mati, seumpama
raga atau jazad kasarnya masih utuh juga sudah tak berguna
lagi. Pho Ang-soat tahu kenapa Coh-hujin menekan pundak
Kongcu Gi, karena dia tidak ingin hidup dalam suasana dan
kondisi seperti itu pula. Selama hayat masih di kandung badan
dia tetap milik Kongcu Gi, dalam sanubarinya, Kongcu Gi yang
tulen hanya ada satu, selamanya tiada orang lain yang dapat
menggantikan dia. Peduli dia sudah tua atau sudah loyo, mati
atau hidup, selamanya takkan ada orang lain yang dapat
mewakilinya. Karena itu Coh-hujin rela melakukan apa pun
demi sang suami.
Apakah dalam hal ini dia bisa maklum" Sampai kapan dia
baru mau mengerti" Kenapa ulat sutra baru berhenti
memproduksi benang sutra setelah dia mati"
Sang surya sudah hampir terbenam.
Pho Ang-soat berdiri di bawah pancaran sinar surya
terakhir yang menguning emas, berdiri di tengah puing-puing
perkampungan merak yang sudah mulai belukar, petang mulai
Peristiwa Bulu Merak Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba, suasana terasa hening beku, selayang pandang keadaan
yang serba mengenaskan melulu.
Pho Ang-soat mengeluarkan segebung kertas, menata di
depan pusara para kawannya. Kertas putih bak salju, dengan
tulisan tinta hitam yang melambangkan kematian.
Itulah berita duka kematian Kongcu Gi, berita duka yang
disiarkan ke seluruh pelosok dunia, jelas berita ini amat
menggetarkan seluruh jagat. Debu akhirnya melayang turun
ke bumi, manusia akhirnya pasti akan mati.
Pho Ang-soat menarik napas panjang lalu menghembuskan
pelan-pelan, dia mendongak melihat cuaca, keremangan
senja mulai diliputi kabut, tabir malam sudah menjelang.
Hatinya mendadak merasa aman tenteram dan sentosa,
damai dalam hati, damailah dunia fana ini, karena dia tahu bila
tabir malam menjelang, maka rembulan (bing-gwat) akan
segera terbit. Arak dalam cangkir, cangkir di tangan.
Kongcu Gi duduk menghadap jendela sambil menikmati
arak dalam cangkir di tangannya, gunung-gemunung
menghijau permai di luar jendela, air mengalir gemerisik di
bawah jembatan kecil berliku di pinggir kanan.
Sebelah tangan yang menekan pundaknya begitu indah,
begitu lembut dan mesra. Dengan suara perlahan dia sedang
bertanya, "Sejak kapan kau mengambil keputusan untuk
melakukan hal itu?"
"Setelah pikiranku benar-benar terbuka."
"Pikiran terbuka bagaimana?"
"Seseorang hidup untuk apa?" tangannya juga menekan
lembut di punggung tangannya. "Orang hidup hanya untuk
mengejar ketenangan dan kesenangan, jika gairah hidup pun
tidak dimiliki, maka umpama dia mempunyai nama besar,
kaya raya dan besar kekuasaannya dapat bertahan
selamanya, apa pula gunanya?"
Dia tertawa riang, tawa yang manis, tawa mesra nan
lembut dan menggiurkan. Dia tahu sekarang pikirannya
memang benar-benar terbuka.
Sekarang sudah tersiar luas, meski orang banyak
menganggap dia sudah mati, tapi kenyataan dia masih hidup,
benar-benar hidup, hidup segar bugar, karena sekarang dia
sudah tahu mengecap kesenangan hidup.
Seorang bila sudah benar-benar tahu menikmati
kesenangan hidup, maka umpama dia hanya hidup sehari saja
juga cukup puas.
"Aku tahu Kongsun To dan kawan-kawannya pasti takkan
berumur panjang," ujar Kongcu Gi.
"Kenapa?" tanya Coh-hujin.
"Karena aku sudah menanam bibit racun dalam hati
mereka." "Bibit racun apa?"
"Yaitu kekayaan dan kekuasaanku."
"Kau kira mereka akan saling rebut dan cakar-cakaran
sampai mati?"
"Ya, pasti."
Coh-hujin tertawa pula. Tawanya lebih manis, lebih lembut.
Coh-hujin tahu kenapa Kongcu Gi berbuat demikian,
karena dia harus menebus dosanya, juga harus menebus
dosanya sendiri. Sekarang yang dikejar hanyalah ketenangan
dan kesenangan hidup.
Sekarang semuanya sudah berlalu. Dia meneguk araknya,
menikmati sejuknya hawa gunung, langit nan biru hijau,
namun tak pernah dia bertanya lagi dimana sekarang Binggwat
berada. Karena dia tahu dimana Bing-gwat sekarang
berada. Dalam sebuah rumah kecil yang sepi dihuni seorang
perempuan kesepian.
Hidupnya serba kesepian, serba sulit dan menderita.
Tapi dia tidak pernah berkeluh-kesah terhadap Yang maha
Kuasa, karena dia merasa tenteram, sekarang dia sudah bisa
hidup dari imbalan jerih-payahnya sendiri, dengan tenaga dan
cucuran keringat dia bekerja memperoleh ongkos kehidupan,
tak perlu menjual diri, menjual tampang dan senyum.
Mungkin dia belum merasa gembira, namun dia sudah
terbiasa untuk menahan diri. Dalam kehidupan di dunia fana
ini memang banyak persoalan yang tak bisa terkabulkan,
maka siapa pun asal dia manusia, dia harus berani
menghadapi kenyataan, belajar menahan diri, menahan
perasaan dan emosi.
Sehari ini akan berlalu, suatu hari yang bersahaja, hari-hari
berlalu seperti biasa.
Dia menjinjing keranjang berisi pakaian, melangkah di
pinggir sungai lalu turun ke dalam air. Dia harus mencuci
bersih seluruh pakaian dalam keranjang itu, baru bisa
beristirahat. Di atas bajunya tergantung serenceng kecil kembang
melati, hanya kembang melati inilah kesenangannya, miliknya
yang paling disenangi.
Air sungai jernih bening laksana kaca. Waktu dia menunduk
memandang ke air, mendadak di permukaan air nan bening
terbayang terbalik seraut wajah seorang.
Seorang yang sebatangkara, seorang yang kesepian,
sebatang golok yang tunggal.
Jantungnya mendadak berdetak, ketika dia mengangkat
kepala, dilihatnya seraut muka yang pucat. Hatinya hampir
saja berhenti berdenyut, sudah lama tak kunjung harapan
dalam benaknya bahwa hidupnya ini masih ada harapan. Tapi
sekarang bahagia seperti mendadak muncul di depan
matanya. Mereka berdiri diam saling berpandangan, saling selidik,
bahagia laksana sekuntum kembang yang mekar segar
terbetik di dalam sanubari mereka, berkembang biak dalam
adu pandang yang lekat dan penuh kasih mesra ini.
Lama mereka tidak bersuara. Dalam keadaan seperti ini,
dengan rangkaian kata-kata muluk apakah untuk
mengisahkan atau melimpahkan rasa senang dan bahagia
mereka" Pada saat itu, Bing-gwat sudah mulai terbit.
Dimana ada Bing-gwat" Asal hatimu belum loyo, bila
semangatmu masih menyala, maka Bing-gwat akan menyala
di dalam hatimu.
Hikmah Pedang Hijau 15 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bayangan Setan 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama