Ceritasilat Novel Online

Peristiwa Merah Salju 5

Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Bagian 5


tertawa, katanya, "Karena hanya di tempat yang tersorot sinar matahari saja baru kau dapat
melihat debu, soalnya bila kau tidak melihat debu itu sendiri, maka sering orang menyangka
bahwa debu itu bahwasanya tidak pernah ada." Pelan-pelan dia melanjutkan, "Sebetulnya peduli
kau melihat atau tidak, debu itu selamanya pasti ada."
Pertanyaan bodoh, jawaban yang pintar. Namun tiada orang yang mengerti kenapa mendadak
dia mengajukan persoalan ini, maka tiada satu pun di antara mereka yang memberi tanggapan.
Maka Ban-be-tong-cu lantas meneruskan pula, "Demikian pula banyak persoalan di dunia ini
yang mirip dengan debu ini, mungkin dia selalu sudah melibatkan dirimu, namun kau sendiri tidak
pernah melibatkannya, maka kau selalu mengira persoalan itu hakikatnya tidak pernah ada."
Ditatapnya Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian lekat-lekat, sambungnya pula, "Untunglah sorot
sinar matahari selalu bersinar ke dalam, cepat atau lambat pasti akan menyorot masuk ...."
Dengan kepala tertunduk Hoa Boan-thian dengan mendelong mengawasi setengah mangkuk
sisa buburnya, tanpa bersuara tidak menunjukkan perubahan mimik mukanya. Tapi tanpa
menunjukkan perubahan mimik justru merupakan suatu sikap yang aneh juga dalam pandangan
orang lain. Mendadak dia berdiri, katanya, "Rombongan pertama yang ditugaskan meronda di luar,
sebagian besar adalah anak buahku, aku harus segera membereskan penguburan mereka "
"Tunggu sebentar," seru Ban-be-tong-cu.
"Tongcu masih ada pesan apa?"
"Tidak ada."
"Memangnya harus menunggu apa?"
"Menunggu kedatangan seseorang."
"Menunggu siapa?"
"Seorang yang cepat atau lambat pasti akan datang."
Akhirnya Hoa Boan-thian duduk kembali dengan gerakan kalem, namun dia bertanya juga, "Jika
dia tidak datang?"
"Kita akan menunggunya terus," ujar Ban-be-tong-cu menarik muka. Waktu itu sikapnya
menjadi kereng, berarti persoalan yang menyangkut pembicaraan sudah berakhir. Perdebatan
sudah tidak boleh terjadi pula
Oleh karena itu semua yang hadir duduk pula, diam dan menunggu. Menunggu siapa" Untung
tidak Lama kemudian mereka sudah mendengar suara lari kuda yang mendatangi dengan cepat.
Tak lama kemudian seorang laki-laki berseragam putih sudah berlari masuk memberi lapor
dengan membungkuk badan, "Di luar ada orang mohon bertemu."
"Siapa?" tanya Ban-be-tong-cu.
"Yap Kay," sahut laki-laki itu.
"Hanya dia seorang diri?"
"Ya, hanya seorang diri."
Tiba-tiba tersimpul suatu senyuman aneh menghias muka Ban-be-tong-cu, mulutnya
menggumam, "Ternyata dia betul-betul kemari, cepat benar kedatangannya." Bergegas dia berdiri,
terus melangkah keluar.
Tak tahan Hoa Boan-thian bertanya, "Apakah dia yang Tongcu tunggu?"
Tidak mengakui juga tidak menyangkal, Ban-be-tong-cu malah berkata kereng, "Lebih baik
kalian tetap tinggal di sini saja menunggu aku kembali Kali ini kalian tidak akan lama menunggu,
karena lekas sekali aku sudah akan kembali."
Kalau Ban-be-tong-cu sudah berkata lebih baik kalian menunggu di sini, itu berarti kalian harus
menunggunya sampai dia kembali. Semua orang sudah tahu dan mengerti akan maksud katakatanya.
Mengawasi sinar matahari yang menyorot masuk dari luar jendela, Hun Cay-thian seperti
sedang memikirkan persoalan sulit yang mengganjal hatinya, seolah-olah dia sedang mengunyah
dan menganalisa ucapan Ban-be-tong-cu tadi.
Sementara jari-jari tangan Kongsun Toan terkepal kencang, sorot matanya merah membara
mengandung darah. Hari ini melirik pun Ban-be-tong-cu tidak dan tak mau mengajak bicara
dengan dirinya, kenapa sikapnya berubah sedemikian dingin" Apa sebabnya"
Hoa Boan-thian sebaliknya diam-diam sedang bertanya dalam hati, "Cara bagaimana Yap Kay
bisa mendadak datang ke sini" Untuk apa kedatangannya" Darimana Ban-be-tong-cu bisa tahu
bila pemuda ini bakal datang"
Benak masing-masing dirundung pikiran sendiri-sendiri, tiada seorang pun yang berhasil
memecahkan pertanyaan yang berkecamuk dalam benak masing-masing. Hanya satu orang saja
yang bisa memberi berbagai pertanyaan ini. Sudah tentu orang yang dimaksud bukan mereka
sendiri. Cahaya matahari cerlang-cemerlang. Yap Kay berdiri di bawah pancaran sinar matahari. Asal
setiap waktu ada sinar matahari, seolah-olah dia selalu berdiri di bawah sinar matahari ini. Sekalikali
dia tidak akan pernah berdiri di tempat yang gelap teraling dari sinar matahari.
Saat itu dia sedang mendongak, mengawasi bendera besar yang melambai-lambai tertiup
hembusan angin padang rumput. Begitu asyiknya dia mengawasi bendera putih ini, seolah-olah
tidak menyadari bahwa Ban-be-tong-cu sudah keluar. Ban-be-tong-cu langsung mendekati, berdiri
di sampingnya. Dia pun menengadah ikut mengawasi bendera putih besar itu. Di tengah bendera
putih besar ini bertuliskan lima huruf besar warna merah segar berbunyi: "Kwan-tang-ban-betong".
Tiba-tiba Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Bendera besar yang megah, entah apakah setiap
hari kalian mengereknya ke atas tiang?"
"Ya, selalu berkibar," sahut Ban-be-tong-cu. Kini perhatiannya dia tumplekkan kepada Yap Kay,
matanya mengawasi setiap perubahan gerak-gerik Yap Kay, begitu cermat dan seksama
pengamatannya. Akhirnya Yap Kay pun berpaling, balas mengawasinya, katanya pelan, "Untuk mengibarkan
bendera seperti ini di tengah angkasa, tentunya bukan suatu hal yang gampang."
Lama Ban-be-tong-cu berdiam diri, katanya setelah menghirup napas panjang, "Ya, memang
tidak gampang."
"Entah adakah persoalan yang gampang di dunia ini?"
"Hanya satu."
"Membohongi diri sendiri."
Yap Kay tertawa.
Ban-be-tong-cu justru tidak tertawa, katanya tawar lebih lanjut, "Untuk menipu orang
memangnya suatu hal yang sulit dilaksanakan, namun untuk membohongi diri sendiri justru amat
gampang." "Akan tetapi apa hakikat dari seseorang yang harus membohongi dirinya sendiri?"
"Karena bila seseorang bisa menipu dirinya sendiri, maka hidupnya sehari-hari akan tetap riang
gembira." "Dan kau" Kau bisa tidak menipu dirimu sendiri?"
"Aku tidak bisa."
"Maka hidupmu selalu tidak pernah senang."
Ban-be-tong-cu tidak menjawab, memang tidak perlu menjawab.
Mengawasi keriput kulit muka orang, sorot mata Yap Kay menampilkan belas kasihan dan
simpati akan penderitaannya.
Keriput itu hasil karya lecutan cambuk yang bertubi-tubi, cambuk yang tercekam dalam
sanubarinya sendiri.
0oo0 Pekarangan di dalam pagar tidak begitu luas, padang rumput di luar justru tak berujung
pangkal luasnya. Kenapa manusia suka hidup mengurung diri di dalam pagar"
Tanpa berjanji secara serempak mereka bergerak memutar badan, pelan-pelan beranjak ke
pintu gerbang. Langit membiru laksana baru dicuci, cuaca cerah, hawa segar, rumput panjang melambai
menari ditiup angin bergelombang, alam semesta seolah membawa suasana yang serba rawan
dan memilukan. Selepas mata memandang, Ban-be-tong-cu menghirup napas, katanya mendelu, "Sudah terlalu
banyak orang-orang mati di sini."
"Mereka yang mati adalah orang-orang yang tidak patut menjadi korban."
Ban-be-tong-cu sigap berpaling, sorot matanya setajam aliran listrik, katanya, "Memangnya
siapa yang patut mampus?"
"Ada orang bilang yang harus mampus adalah aku, ada pula yang beranggapan kau, maka ...."
"Maka bagaimana?"
"Maka ada orang menyuruhku kemari membunuhmu."
Ban-be-tong-cu menghentikan langkahnya, mengawasinya lekat-lekat, mimik mukanya tidak
menunjukkan rasa kejut atau keheranan. Seolah-olah hal ini sudah dalam dugaannya.
Beberapa ekor kuda yang terpencar dari rombongannya entah mendatangi darimana, Ban-betongcu mendadak mencelat tinggi mencemplak ke punggung kuda, tangannya melambai kepada
Yap Kay, kuda terus dikeprak dengan kencang.
Agaknya dia sudah memperhitungkan Yap Kay pasti akan mengikuti jejaknya. Ternyata Yap Kay
memang mengikutinya.
Tempat itu sudah dekat di ujung langit lereng bukit itu seolah-olah sudah merupakan suatu
alam yang lain dari yang lain. Yap Kay pernah datang ke tempat ini.
Setiap kali hendak membicarakan sesuatu urusan rahasia, Ban-be-tong-cu senang membawa
orang ke tempat ini. Seolah-olah hanya di tempat ini saja baru dia bisa membuka belenggu pagar
yang mengelilinginya.
Bekas bacokan golok Kongsun Toan masih membekas di atas batu nisan. Pelan-pelan Ban-betongcu mengelus bekas-bekas bacokan ini, seperti orang yang sedang mengelus bekas bacokan
golok di atas badan sendiri. Entah karena apa setiap kali dia berhadapan dengan batu nisan ini
lantas menimbulkan kenangan peristiwa tragis yang dulu itu"
Lama dan lama sekali, baru dia membalik badan. Hembusan angin sampai di sini, terasa
menjadi seram. Rambut kepala di ujung pelipisnya yang memutih uban terhembus angin
melambai, seolah-olah kelihatan menjadi lebih tua dari usianya. Tapi kedua matanya masih begitu
tajam, Yap Kay ditatapnya lekat-lekat, katanya, "Ada orang menyuruhmu membunuh aku?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Tapi kau tidak ingin membunuhku?"
"Darimana kau tahu?"
"Karena bila kau ingin membunuhku, kau tak akan memberitahu hal ini kepadaku."
Yap Kay mandah tertawa, tidak mengakui dia pun menyangkal.
"Tentunya kau pun sudah tahu," ujar Ban-be-tong-cu lebih lanjut. "Untuk membunuhku bukan
suatu tugas yang gampang dilaksanakan."
Yap Kay menepekur, katanya kemudian, "Kenapa tidak kau tanya kepadaku, siapakah yang
menyuruh aku membunuhmu?"
"Aku tidak perlu bertanya."
"Kenapa?"
"Hakikatnya selama ini aku tidak pernah memandang orang-orang itu dengan sebelah mataku,"
lalu dia menambahkan dengan suara lebih kalem, "banyak orang yang ingin membunuhku, tapi
yang patut kuperhatikan hanya satu orang saja."
"Siapa?"
"Sebenarnya aku sendiri juga belum berkepastian orang itu sebetulnya kau" Atau Pho Angsoat."
"Sekarang kau belum berkeputusan?"
Ban-be-tong-cu manggut-manggut, kelopak matanya mengkeret, katanya pelan-pelan,
"Sebetulnya sejak permulaan aku sudah harus dapat memastikan."
"Jadi kau berpendapat kematian orang-orang itu adalah Pho Ang-soat yang membunuhnya?"
"Bukan."
"Memangnya siapa kalau bukan dia?"
Terpancar derita dari sorot mata Ban-be-tong-cu, pelan-pelan dia bergerak membalik,
memandang lepas ke padang rumput luas nan jauh di sana. Sampai lama dia tidak menjawab
pertanyaan Yap Kay, katanya kemudian dengan suara kereng, "Aku pernah berkata, tempat ini
kuperoleh dari hasil jerih payah memeras keringat dan bercucuran tumpah darah, takkan ada
seorang pun yang bisa merebutnya dari tanganku." Kata-kata ini bukan jawaban.
Yap Kay justru seperti sudah dapat menyimpulkan suatu makna berarti di dalam beberapa
patah katanya itu, maka dia pun tak bertanya lagi.
Langit membiru, di antara warna kebiruan itu seolah-olah membawakan selingan warna abuabu
perak yang sulit dipandang, mirip benar dengan samudra.
Bendera besar yang berkibar di angkasa, dari sini kelihatannya begitu kecil dan terpencil
menyendiri di angkasa sana, huruf yang terpancang di atas bendera sudah tak bisa terbaca lagi.
Memang banyak urusan di dunia ini seperti itu. Jika kau merasakan sesuatu persoalan yang
genting dan berat .1 kibarnya, bila kau menerawang dan menganalisanya dari sudut lain, maka
kau akan mendapatkan serta menyadarinya bahwa urusan itu hakikatnya bukan suatu persoalan
yang harus dipandang serius.
Lama juga tiba-tiba Ban-be-tong-cu berkata pula, "Kau tahu aku punya seorang putri."
Tak tahan hampir saja Yap Kay tertawa geli. Sudah tentu dia tahu llan-be-tong-cu punya
seorang putri. "Kau pun mengenalnya?" tanya Ban-be-tong-cu.
Yap Kay manggut-manggut, sahutnya, "Aku kenal!"
"Menurut pendapatmu bagaimana putriku itu?"
"Dia baik sekali," sahut Yap Kay, memangnya dia mengenalnya dengan baik sekali. Adakalanya
memang dia mirip putri pingitan yang Iri lalu dimanjakan, namun nuraninya sebetulnya lembut,
bijaksana dan kijik.
Lama pula Ban-be-tong-cu berdiam diri, tiba-tiba dia membalik
menatap Yap Kay pula, katanya, "Apa benar kau menyukainya?"
Seketika Yap Kay menyadari dirinya tertegun melongo oleh pertanyaan ini, sungguh belum
pernah terbayang olehnya Ban-be-tong-cu bakal mengajukan pertanyaan ini.
"Tentu kau merasa heran," kata Ban-be-tong-cu lebih lanjut, "kenapa aku tanyakan hal ini
kepadamu?"
"Memang aku merasa sedikit heran."
"Kutanya kau, karena kuharap kau suka membawanya pergi."
Yap kay melengak, tanyanya menegas, "Membawanya pergi" Membawa kemana?"
"Terserah kemana kau hendak membawanya, ke tempat yang kau sukai, kau boleh
membawanya, apa pun yang ada di sini, bila kau suka boleh membawanya."
Tak tahan Yap Kay bertanya, "Kenapa kau suruh aku membawanya pergi?"
"Karena ... karena dia amat menyukai kau."
Berkilat biji mata Yap Kay, katanya, "Dia menyukai aku, memangnya kami tidak boleh tetap
tinggal di sini?"
Berselimut bayangan gelap pada muka Ban-be-tong-cu, katanya pelan-pelan, "Segera akan
terjadi banyak peristiwa di sini, aku tidak ingin dia terlibat dalam peristiwa ini, karena pada
hakikatnya dia sendiri tiada sangkut-pautnya dengan persoalan ini."
Yap Kay menatapnya bulat-bulat, tiba-tiba menghela napas, ujarnya, "Kau memang seorang
ayah yang baik hati."
"Kau tidak terima anjuranku?"
Tiba-tiba terunjuk mimik aneh pada sorot mata Yap Kay, pelan-pelan dia pun membalik badan
memandang jauh ke padang rumput yang terbentang luas. Dia tidak langsung menjawab
pertanyaan Ban-be-tong-cu, lama kemudian baru bersuara pelan, "Aku pernah bilang, di sinilah
rumahku, jika aku sudah kembali, maka aku tak mau pergi pula."
"Kau tidak terima?" berubah muka Ban-be-tong-cu.
"Aku tidak bisa membawanya pergi, tapi aku juga boleh berjanji kepadamu, peduli peristiwa
apa pun yang terjadi di sini, dia pasti tidak akan terlibat di dalamnya," terpancar sinar terang dari
matanya, dengan kalem dia melanjutkan, "Karena persoalan itu memang tidak bersangkut-paut
dengan dia "
Mengawasi pemuda di hadapannya, mata Ban-be-tong-cu pun memancarkan sinar terang,
tiba-tiba dia tepuk pundak orang, katanya, "Marilah kutraktir kau minum arak "
Arak tergeletak di atas meja. Arak tidak bisa menyelesaikan tekanan batin seseorang, namun
arak justru bisa membantu kau menipu diri sendiri.
Kongsun Toan menggenggam cangkir emasnya, dia sendiri bingung kenapa dia harus minum
arak, sekarang bahwasanya bukan saatnya bagi dia minum arak. Tapi arak ini merupakan cangkir
kelima sejak tadi pagi
Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian tengah menatap kepadanya, bukan saja tidak membujuknya
untuk tidak minum lagi, mereka pun tidak mengiringi dia minum. Bahwasanya mereka dengan
Kongsun Toan memangnya mempunyai suatu jarak tertentu, arak yang membatasi hubungan
mereka, kini jarak itu rasanya semakin jauh.
Mengawasi arak dalam cangkir emasnya, tiba-tiba terketuk sanubari Kongsun Toan, mendadak
terasa olehnya betapa dirinya harus dikasihani, kini dirinya sebatangkara dan kesepian. Dia
mengalirkan darah, mengucurkan keringat, berjuang selama hidup, lalu apa yang dia peroleh
sekarang" Segala hasil jerih payahnya kini menjadi milik orang.
Menipu diri sendiri memangnya terdapat dua cara yang berlainan, pertama adalah menganggap
diri sendiri besar, angkuh dan pongah, cara yang lain adalah diri sendiri harus dikasihani,
bersimpati akan nasibnya sendiri.
Seorang anak laki-laki merunduk masuk secara diam-diam, pakaiannya yang merah menyala,
kucir rambut yang hitam di tengah kepalanya, meski anak inipun putra orang lain, tapi dia amat
menyukainya. Karena bocah inipun amat menyukai dirinya, mungkin hanya bocah ini yang benarbenar
menyukai dirinya di seluruh dunia ini. Diulurkan tangannya memegang pundak si bocah,
katanya dengan tersenyum, "Setan kecil, apakah kau hendak mencuri arak lagi?"
Bocah itu geleng-geleng kepala, tiba-tiba dia bertanya lirih, "Kau ... kenapa kau memukul Samik?"
"Siapa yang bilang?" Kongsun Toan tersentak bangun.
"Sam-ik sendiri yang bilang," sahut bocah itu. "Agaknya dia pun mengadu pada ayahnya, lebih
baik kau hati-hati sedikit."
Membeku muka Kongsun Toan, hatinya pun terasa dingin. Baru sekarang dia mengerti, kenapa
pagi ini sikap Ban-be-tong-cu jauh berlainan terhadap dirinya, tidak seperti biasanya. Sudah tentu
bukan mengerti keseluruhannya, cuma dia merasa dirinya sudah sedikit menyadari. Namun suatu
pengertian yang jauh lebih celaka daripada tidak mengerti sama sekali.
Dia dorong bocah itu serta bertanya, "Dimana Sam-ik?"
"Sudah keluar," sahut si bocah
Tanpa banyak bertanya lagi Kongsun Toan sudah berjingkrak terus menerjang keluar. Gerakgeriknya
mirip benar dengan seekor binatang liar yang terluka.
Hun Cay-thian dan Hoa Boan-thian tetap duduk di tempatnya tanpa bergerak. Karena Ban-betongcu menyuruh mereka tinggal dan menunggu di sini. Maka mereka tetap akan menunggu
sampai dia kembali.
Rumput padang ilalang tumbuh subur dan tinggi, bendera besar Ban-be-tong masih berkibar di
kejauhan. Pasir terasa hangat. Pho Ang-soat membungkuk mencomot segenggam pasir kuning ini.
Salju kadang-kadang juga bisa terasa hangat seperti ini bila salju itu berlepotan darah, dia
genggam pasir itu erat-erat, butiran pasir seakan-akan sudah melesak masuk ke kulit dagingnya.
Maka dia pun melihat Sim Sam-nio, bahwasanya dia hanya melihat dua perempuan cantik yang
masih asing baginya.


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka menunggang kuda, kuda dilarikan tergesa-gesa, demikian pula sikap mereka kelihatan
gugup dan terburu-buru.
Pho Ang-soat menundukkan kepala. Selamanya dia belum biasa menatap perempuan secara
lekat, hakikatnya dia belum pernah melihat Sim Sam-nio.
Tahu-tahu kedua kuda tunggangan justru berhenti di depannya. Tapi langkahnya tidak berhenti
karenanya, kaki kirinya melangkah ke depan, kaki kanan dengan kaku lalu diseret maju
meninggalkan jalur memanjang di atas pasir. Mukanya ditimpa sinar matahari, namun kulit
mukanya kelihatan mirip ukiran dinding salju di puncak gunung es. Salju yang selamanya tidak
pernah cair meski disinari cahaya matahari.
Tak nyana perempuan di punggung kuda tahu-tahu sudah melompat turun, mencegat di
depannya, Pho Ang-soat tetap tidak berpaling. Dia boleh tidak usah berpaling melihat muka orang.
Tapi kupingnya mau tidak mau harus mendengar ucapan orang. Tiba-tiba didengarnya perempuan
di depannya berkata, "Bukankah kau begitu getol ingin melihatku?"
Seketika sekujur badan Pho Ang-soat mengejang kaku, mengejang kaku karena sekujur
badannya tiba-tiba panas membara seperti dibakar. Dia memang belum pernah melihat muka Sim
Sam-nio, namun sudah sering dan hapal benar dengan suaranya. Di bawah pancaran sinar
matahari, suara ini ternyata masih sedemikian lembut dan hangat seperti di tempat gelap. Jari-jari
tangan yang lembut dan hangat itu, bibir yang basah dan hangat itu, suatu perasaan aneh atau
nafsu yang semanis madu ... semula terasa seperti berada di tempat nan jauh laksana khayalan
belaka. Tapi dalam sedetik ini, segala khayalan dan segala yang diimpi-impikan mendadak
berubah menjadi kenyataan.
Pho Ang-soat menggenggam kencang jari-jarinya, sekujur badannya bergetar lantaran tegang
dan emosi, hampir kepala pun tak berani diangkatnya. Akan tetapi betapa besar hasrat dan
keinginannya untuk melihat wajah perempuan pujaannya ini. Akhirnya dia mengangkat kepala
juga, akhirnya dilihatnya kerlingan mata yang manis dan mempesona, senyuman yang menyedot
sukma. Yang dilihatnya adalah Cui-long.
Orang yang berdiri di hadapannya adalah Cui-long. Dengan senyuman mekar bak bidadari
orang tengah menatap dirinya. Sim Sam-nio sebaliknya seperti orang yang masih asing berdiri di
kejauhan. "Sekarang kau sudah melihatku!" ujar Cui-long lembut.
Sorot mata Pho Ang-soat yang semula dingin membeku, seketika seperti memancar cahaya
cemerlang yang dipenuhi gairah yang menyala-nyala. Dalam sekejap ini, dia sudah mencurahkan
seluruh perasaan hatinya, terhadap perempuan yang berdiri di hadapannya ini.
Inilah perempuan pertama yang pernah bergaul dengan dia.
Sim Sam-nio masih tetap berdiri di kejauhan tanpa beringsut dari tempatnya, matanya tidak
menampilkan mimik perasaannya Karena relung hatinya hakikatnya tidak dihayati perasaan seperti
dia. Tidak lebih dia hanya melakukan sesuatu yang harus dia lakukan, demi menuntut balas, apa
pun yang harus dan sudah dia lakukan adalah jamak dan pantas dia lakukan. Akan tetapi segala
persoalan sudah berubah sama sekali, kini dia tidak perlu meneruskan peranannya lagi. Dia pun
pantang diketahui hubungan rahasia dirinya dengan Pho Ang-soat, demikian pula Pho Ang-soat
sendiri harus dicegah untuk mengetahui. Mendadak dia merasa perutnya mual seperti hendak
tumpah-tumpah. Pho Ang-soat masih menatap Cui-long, dengan seluruh perhatian mengawasinya, kulit mukanya
yang pucat sudah bersemu merah.
"Belum puas kau melihatku?" tanya Cui-long tertawa lebar.
Pho Ang-soat tidak menjawab, dia tidak tahu cara bagaimana harus menjawab.
"Baiklah," ujar Cui-long pula, "biarlah kau pandang aku sepuas hatimu."
Perempuan yang pernah berkecimpung di dalam sarang pelacuran, memangnya mempunyai
suatu cara khusus di saat dia bicara berhadapan dengan laki-laki. Gumpalan salju di puncak
gunung pun bisa dibikin cair karenanya.
Tak tertahan akhirnya Sim Sam-nio bersuara, "Jangan lupa saja yang pernah kuberitahukan
kepadamu tadi."
Cui-long manggut-manggut, tiba-tiba menghela napas pelan-pelan, ujarnya, "Sekarang
kubiarkan kau melihatku sepuas hatimu, karena situasi sudah berubah."
"Situasi apa yang berubah?" tanya Pho Ang-soat.
"Ban-be-tong sudah ...." belum habis kata-kata Cui-long, sekonyong-konyong terdengar derap
lari kuda mendatangi.
Seekor kuda menerjang tiba, penunggangnya bertubuh kekar gagah laksana menara, namun
gerak-geriknya selincah kelinci. Waktu kuda meringkik dengan kaki depannya terangkat tinggi,
penunggangnya dengan tangkas sudah melompat turun.
Berubah hebat air muka Sim Sam-nio, dia memburu maju bersembunyi di belakang Cui-long.
Kongsun Toan ikut mengudak datang, tangannya kontan menampar muka Cui-long sambil
membentak bengis, "Minggir!" Namun bentakannya tiba-tiba terputus. Telapak tangannya pun
tidak berhasil menampar muka Cui-long. Sebatang golok mendadak terjulur keluar dari samping
menahan tangannya yang melayang, sarung pedang hitam legam, gagang pedang pun hitam
pekat. Namun jari-jari tangan yang memegangnya justru putih memucat.
Merongkol keluar otot-otot hijau di atas jidat Kongsun Toan, berpaling muka dia melotot
kepada Pho Ang-soat, bentaknya beringas, "Lagi-lagi kau."
"Ya, inilah aku."
"Hari ini aku tidak ingin membunuhmu."
"Hari ini aku pun tidak ingin membunuh kau."
"Kalau begitu lebih baik kalau kau menyingkir."
"Aku justru senang berdiri di sini."
Kongsun Toan mengawasinya, lalu mengawasi Cui-long pula, mimiknya seperti heran,
katanya, "Apakah dia ini binimu?"
"Ya," sahut Pho Ang-soat pendek.
Kongsun Toan mendadak terloroh-loroh, serunya, "Apakah kau tidak tahu bila dia ini seorang
pelacur?" Mengejang kaku sekujur badan Pho Ang-soat. Pelan-pelan dia mundur dua langkah menatap
Kongsun Toan, kulit mukanya yang pucat seolah-olah mengkilap terang tembus cahaya.
Kongsun Toan masih terkial-kial, seolah-olah selama hidupnya belum pernah dia menghadapi
sesuatu yang paling menggelikan.
Pho Ang-soat sedang menunggu. Jari-jari tangannya yang mencekal pedang pun seolah-olah
sudah mengkilap tembus cahaya. Jalur urat nadi dan jalan darah pada otot tangannya bisa terlihat
dengan jelas. Setelah loroh tawa Kongsun Toan berhenti, sepatah demi sepatah segera dia
menantang, "Cabut golokmu!"
Dua patah kata saja, suaranya enteng, seenteng deru napasnya. Kata-katanya pelan, sepelan
kutukan dari neraka.
Kongsun Toan seketika mengejang pula sekujur badannya, tapi biji matanya justru
memancarkan sinar membara. Katanya sambil menatap Pho Ang-soat, "Apa katamu?"
"Cabut golokmu!" Pho Ang-soat mengulangi tantangannya.
Matahari sudah terik. Pasir bergulung-gulung dihembus angin di bawah terik matahari, udara
cerah dan cahaya matahari nan cemerlang
kelihatan semarak, namun suasana membawa nafsu membunuh yang kejam d m sadis. Di sini,
meski jiwa terus tumbuh dengan subur, namun sembarang w.iktu kemungkinan gugur pula.
Seolah-olah di alam semesta ini segala makhluk di dalamnya seolah-olah saling membunuh secara
kejam, di sini tiada cinta kasih, tiada peri-kemanusiaan.
Jari-jari Kongsun Toan sudah menggenggam gagang goloknya. Golok sabit, gagang perak.
Batang golok yang mengkilap dingin, kini seperti sudah btrubah membara terpanggang di atas
tungku. Telapak tangannya sudah bei keringat, jidatnya pun sudah basah, sekujur badannya
seolah-olah sudah menyala di bawah pancaran terik matahari.
"Cabut golokmu!"
Arak dalam darahnya seakan-akan sedang mengalir di seluruh tubuhnya. Sungguh panas sekali,
serasa sukar ditahan lagi.
Pho Ang-soat tak bergeming di hadapannya, laksana gunung salju yang kokoh dan tak pernah
cair sepanjang tahun. Sebongkah es yang mengkilap tembus cahaya. Terik matahari sepanas ini,
sedikit pun tidak mempengaruhi dirinya. Peduli dimana pun dia berada, selalu seperti berdiri di
puncak salju yang tinggi dan jauh di sana.
Deru napas Kongsun Toan seperti kurang tenteram, sampai dia sendiri pun sudah mendengar
deru napas sendiri.
Seekor kadal pelan-pelan menongol keluar dari balik tumpukan pasir, pelan pelan pula
merambat ke dekat kakinya.
"Cabut golokmu!"
Bendera besar berkibar di kejauhan sana, hembusan angin lalu membawa suara ringkik kuda.
"Cabut golokmu!"
Butiran keringat mengalir turun lewat ujung matanya, terus melesak kedalam jambang-bauknya
yang kaku sekeras jarum, akhirnya membasahi bahu dan punggungnya.
Apakah Pho Ang-soat selamanya tidak pernah berkeringat" Tangannya masih tetap dengan
gayanya memegangi golok.
Sekonyong-konyong Kongsun Toan menggerung laksana singa mengamuk, golok tercabut,
tangan terayun! Sinar golok sabitnya mirip bianglala cepat laksana kilat menyambar, sinar
goloknya membundar. Tahu-tahumenukik balik membacok Hiat-to besar yang terletak di belakang
leher Pho Ang-soat sebelah kiri.
Pho Ang-soat seperti tidak berkelit, juga tidak melawan. Mendadak dia malah menerjang maju.
Sarung golok di tangan kirinya mendadak menahan tajam golok melengkung yang membacok
turun itu. Sementara goloknya sendiri pun sudah tercabut. "Clep!", tiada orang yang dapat
melukiskan suara apakah itu, sampai pun Kongsun Toan sendiri pun tidak tahu suara apa yang
didengarnya itu, sedikit pun dia tidak merasa sakit dan menderita, cuma tahu-tahu terasa isi
perutnya mendadak seperti dipuntir dan mengkeret, serasa hampir muntah. Waktu dia menunduk,
maka dilihatnya ada gagang pedang hitam yang menghiasi perutnya, gagang golok yang
mengkilap. Seluruh batang golok amblas ke dalam perutnya, ketinggalan gagangnya saja.
Selanjutnya dia lantas merasa seluruh kekuatan badannya sirna secara aneh dan ajaib, kedua
kakinya tak kuat lagi menopang berat badannya. Dengan mengawasi gagang golok ini, pelanpelan
dia roboh terjungkal, hanya gagang golok itu saja yang dia awasi, sampai mati pun dia
belum pernah melihat macam apa sebenarnya golok Pho Ang-soat kecuali gagangnya yang hitam
itu. Pasir kuning dibasahi darah hangat, Kongsun Toan rebah di genangan ceceran darahnya
sendiri. Jiwanya sudah berakhir, kesulitan, penderitaan dan kesengsaraan hidup serta utangpiutangnya
pun sudah berakhir seluruhnya. Tapi bencana yang bakal menimpa orang lain justru
baru saja akan dimulai.
Lohor, matahari semakin terik. Di dalam cuaca seterik ini, begitu darah mengalir, lekas sekali
sudah menjadi kering. Tapi keringat selamanya tidak pernah membeku.
Hun Cay-thian sedang sibuk menyeka keringatnya, sambil menyeka keringat, mulut menenggak
air, agaknya dia seorang yang tidak tahan menderita.
Tidak demikian halnya dengan Hoa Boan-thian, dia justru jauh lebih bisa menahan diri.
Seekor kuda pelan-pelan berlari masuk ke dalam pekarangan besar itu. Seseorang tengkurap di
punggung kuda. Seekor kadal tengah menjilati darah yang membasahi badan orang. Sebatang
golok sabit yang besar terselip miring di pinggangnya, matahari menyinari rambut kepalanya yang
awut-awutan. Kini dia takkan bisa berkeringat lagi.
Sekonyong-konyong, kilat menyambar, guntur pun menggelegar, hujan lebat laksana
ditumpahkan dari langit.
Pendopo besar itu sudah mulai guram, air hujan masih deras bercucuran di luar emperan
seperti kerai mutiara.
Air muka Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian seperti perubahan cuaca yang mendung, dingin
dan gelap. Dua laki-laki yang basah kuyup menggotong jenazah Kongsun Toan masuk ke dalam pendopo,
lalu membaringkan di atas meja. Tanpa bicara apa-apa diam-diam mereka mengundurkan diri
pula. Melirik pun mereka tidak berani berpaling ke arah Ban-be-tong-cu.
Ban-be-tong-cu berdiri di tempat gelap di belakang pintu angin, bila kilat menyambar baru
terlihat mukanya. Tapi tiada orang yang berani melihat ke arahnya. Pelan-pelan dia duduk di
depan meja, dengan kencang dia pegang tangan Kongsun Toan. Tangan yang kasar, dingin dan
kaku Dia tidak mengucurkan air mata, namun mimik wajahnya lebih pilu sedih daripada gerung
tangisnya. Biji mata Kongsun Toan melotot keluar, seolah-olah sorot matanya menunjukkan rasa
derita dan ketakutan sebelum ajal. Memang selama hidupnya berkecimpung di dalam suasana
ketakutan, dalam kehidupan yang serba derita dan tertekan, maka selamanya wataknya menjadi
berangasan dan suka marah-marah. Sayang sekali orang-orang hanya melihat lahiriahnya yang
kasar dan suka marah-marah itu, tidak pernah mau menyelami lubuk hatinya yang paling dalam.
Hujan rada mereda, namun cuaca semakin gelap.
Tiba-tiba Ban-be-tong-cu berkata, "Orang ini adalah saudaraku, hanya dia inilah saudaraku
yang sejati."
Entah sedang mengigau atau sedang bicara dengan Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian, namun
dia melanjutkan, "Jika tiada dia, mungkin aku takkan bisa hidup sampai sekarang."
Akhirnya Hun Cay-thian menarik napas panjang, katanya berduka, "Kami tahu dia seorang yang
baik." "Memang dia seorang baik, tiada orang yang lebih setia seperti dia, tiada orang yang lebih
berani seperti dia, namun selama hayatnya, belum pernah dia mengalami hidup tenteram dan
bahagia." Hun Cay-thian dan Hoa Boan-thian hanya mendengar saja, kadang-kadang ikut menghela
napas. Suara Ban-be-tong-cu sudah tersendat pilu, "Dia tidak seharusnya mati, namun sekarang dia
sudah mati."
"Pasti Pho Ang-soat yang membunuhnya," ujar Hun Cay-thian sengit.
Dengan mengertak gigi Ban-be-tong-cu manggut-manggut, lalu ujarnya, "Memang akulah yang
salah terhadapnya, seharusnya aku menerima usulnya, membunuh orang itu lebih dulu."
"Sekarang...."
"Sekarang sudah terlambat, terlambat...."
"Tapi kita lebih tak bisa melepas Pho Ang-soat pergi, kita harus menuntut balas bagi
kematiannya," kata Hun Cay-thian beringas.
"Sudah tentu harus menuntut balas, cuma ...." mendadak Ban-be-tong-ai berseru, sambungnya
dengan bengis, "Cuma sebelum menuntut balas, masih ada urusan yang harus kuselesaikan."
Berkilat sorot mata Hun Cay-thian, tanyanya ingin tahu, "Urusan apa?"
"Kau kemari, biar kujelaskan kepadamu."
Hun Cay-thian segera maju mendekat.
"Aku ingin supaya kau melakukan sesuatu bagiku."
"Silakan Tongcu katakan!"
"Aku ingin kau mampus!" tiba-tiba tangannya terbalik, tahu-tahu golok sabit Kongsun Toan
sudah disambarnya, dimana sinar golok berkelebat, secepat kilat tahu-tahu sudah menyambar ke
arah Hun Cay-thian.
Tiada orang yang dapat menggambarkan kecepatan dari sambaran golok ini, tiada orang akan
menduga secara tiba-tiba dia turun tangan terhadap Hun Cay-thian. Dan anehnya, Hun Cay-thian
sendiri justru seperti sudah berjaga-jaga akan serangan ini.
Dimana sinar golok berkelebat, badan Hun Cay-thian serempak
melejit naik, dengan gaya mendorong jendela memandang rembulan mega terbang, badannya
bersalto ke belakang. Maka darah pun seketika beterbangan muncrat kemana-mana. Meski tinggi
Ginkangnya dan cepat pula reaksinya menghadapi perubahan yang mendadak ini, sayang dia
masih kalah cepat dari sambaran golok Ban-be-tong-cu. Ternyata pergelangan tangan kanannya
sudah tertabas kutung oleh tabasan golok. Kutungan tangannya dengan darah berceceran jatuh
ke atas lantai.
Namun Hun Cay-thian sendiri ternyata tidak terjungkal roboh. Seorang tokoh kosen dari Bu-lim
yang sudah berpengalaman tempur ratusan kali sekali-kali takkan gampang dibikin roboh secara
gampang. Punggungnya membelakangi dinding, mukanya sudah pucat-pias, sorot matanya penuh diliputi
rasa heran dan ketakutan. Ban-be-tong-cu tidak menyerangnya lebih lanjut, dia tetap duduk
tenang di tempatnya, dengan nanar dia mengawasi ujung golok di tangannya yang berlepotan
darah. Hoa Boan-thian ternyata tetap berada di tempatnya mengawasi kejadian ini dengan sikap
dingin acuh tak acuh, tak kelihatan perubahan mimik mukanya. Asal golok itu bukan membacok
kutung tangannya, dia tidak perlu banyak peduli.
Lama juga baru Hun Cay-thian bisa buka suara, katanya dengan mengertak gigi, "Aku tidak
mengerti, aku ... sungguh aku tak mengerti."
"Kau harus tahu," dingin suara Ban-be-tong-cu. Kepalanya terangkat mengawasi lukisan
rombongan kuda yang berlari di atas dinding, katanya lebih lanjut, "Tempat ini memangnya
milikku, siapa pun yang ingin merebutnya dari tanganku, maka dia harus mampus!"
Lama Hun Cay-thian berdiam diri, tiba-tiba menghela napas, katanya, "Kiranya kau sudah tahu
seluruhnya."
"Sudah lama aku tahu."
"Agaknya terlalu rendah penilaianku terhadap kau," Hun Cay-thian tertawa getir.
"Aku toh sudah pernah bilang, banyak urusan di dunia ini mirip dengan debu, meski sudah
berada di sampingmu, namun selamanya tidak pernah kau melihatnya, demikian pula aku tidak
pernah jelas mengenal dirimu."
Berkerut-kerut kulit muka Hun Cay-thian, keringat dingin bercucuran, katanya setelah tertawa
getir, "Akan tetapi sinar matahari cepat Uiu lambat toh pasti menyorot masuk." Meski muka
tertawa, namun mimiknya lebih jelek, lebih tersiksa dari orang yang sedang menangis.
"Sekarang kau sudah mengerti bukan?" tanya Ban-be-tong-cu.
"Aku sudah mengerti," sahut Hun Cay-thian.
Sambil mengawasi orang, tiba-tiba Ban-be-tong-cu menghela napas, ujarnya, "Tidak
semestinya kau mengkhianati aku, seharusnya kau sudah mengerti akan martabatku."
Tiba-tiba tersimbul senyuman aneh di muka Hun Cay-thian, katanya, "Meski aku mengkhianati
kau, akan tetapi ...." Dia tidak menyelesaikan kata-katanya ini. Baru saja sorot matanya beralih
kepada Hoa Boan-thian, pedang Hoa Boan-thian tahu-tahu sudah menembus dadanya,
memanteknya di atas dinding.
Selamanya dia takkan punya kesempatan mengeluarkan isi hati yang ingin diutarakan. Pelanpelan
Hoa Boan-thian mencabut pedangnya. Pelan-pelan Hun Cay-thian melorot jatuh.
Setiap orang cepat atau lambat pasti akan roboh juga. Meski betapapun jaya, gagah dan
menyolok waktu dirinya hidup, di saat dia roboh kelihatannya tiada bedanya dengan manusia
umumnya. 0oo0 BAB 15. BUNGA BETERBANGAN DI ANGKASA
Darah yang bertetesan di ujung pedang sudah membeku kering. Pelan-pelan Hoa Boan-thian


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membalik badan mengawasi Ban-be-tong-cu, Ban-be-tong-cu pun sedang mengawasi dia, katanya
tawar, "Kau membunuhnya!"
"Karena dia mengkhianati kau."
"Sekarang kau pun sudah mengerti?"
"Aku tidak mengerti, aku hanya tahu orang yang mengkhianati kau harus mati!"
"Apa kau tahu cara bagaimana dia mengkhianati aku?"
"Aku ingin bisa tahu."
"Buyung Bing-cu, Loh Loh-san, mereka adalah dia yang mengundangnya.''
Muka Hoa Boan-thian menampilkan rasa kaget, teriaknya tertahan, "Bagaimana bisa dia yang
mengundangnya" Memangnya apa hubungan kedua orang ini dengan dia?"
"Tidak punya hubungan apa-apa."
"Kalau tidak punya hubungan, kenapa mengundang mereka kemari" Aku tidak paham." Dua
buah pertanyaan yang bodoh sekali. Biasanya Hoa Boan-thian bukan orang yang bodoh.
Tapi Ban-be-tong-cu seperti tidak memperhatikan, memangnya dia tidak biasa menjawab
pertanyaan bodoh orang lain. Tapi kali ini dia justru menjawabnya.
"Justru karena mereka memang tidak punya hubungan dengan dia, maka dia mengundangnya
kemari." "Untuk apa mengundang mereka kemari?"
"Untuk membunuh orang."
"Membunuh orang" Membunuh siapa?"
Ban-be-tong-cu menggenggam golok sabit katanya kalem, "Para saudara yang terbunuh dalam
dua hari belakangan ini, adalah buah karya mereka."
Hoa Boan-thian berjingkat kaget, serunya, "Mereka yang membunuh" Bukan Pho Ang-soat?"
Ban-be-tong-cu geleng-geleng, sahutnya dingin, "Pho Ang-soat hanya ingin membunuh satu
orang saja."
Umpama Hoa Boan-thian memang seorang bodoh, dia takkan bertanya lebih lanjut, sudah
tentu dia sudah tahu siapa yang hendak dibunuh oleh Pho Ang-soat.
"Akan tetapi, mengapa Hun Cay-thian mengundang orang-orang itu untuk membunuh para
saudara itu?"
"Karena dia hendak memaksa atau mendesakku meninggalkan tempat
ini." Berkerut alis Hoa Boan-thian, "Memaksamu pergi?"
"Jika aku pergi, bukankah tempat ini menjadi miliknya?"
Hoa Boan-thian menghela napas, katanya, "Seharusnya dia menyadari kau bukan orang yang
bisa digertak pergi begitu saja."
"Tapi dia pun tahu bahwa aku mempunyai seorang musuh lihai yang tangguh, apa yang dia
lakukan tidak lain hanya supaya aku menyangka musuh besarku itu sudah meluruk datang."
Terunjuk senyuman sinis di ujung bibirnya, lalu menyambung, "Memang hampir saja aku percaya
waktu peristiwa itu terjadi."
"Kejadian apa pula yang membuat kau mulai curiga?"
"Meski rencananya matang dan teliti, toh dia salah memperhitungkan suatu hal."
"O, hal apa?"
"Sudah tentu dia takkan menduga musuh besarku yang tulen itu meluruk datang juga
bertepatan dengan kejadian malam itu."
"Memangnya suatu kejadian yang amat kebetulan."
"Kedatangan Pho Ang-soat memang bukan secara kebetulan."
"Bukan dia?"
"Dan lantaran dia tahu Hun Cay-thian mempunyai rencananya ini, maka dia lantas kemari
hanya bila Ban-be-tong terjadi sesuatu peristiwa yang merubah susana saja, baru dia mempunyai
kesempatan yang betul-betul baik "
"Cara bagaimana pula dia bisa tahu akan rencana Hun Cay-thian?"
Terpancar rasa tersiksa pada sorot mata Ban-be-tong-cu, lama juga baru dia berkata, "Karena
Sim Sam-nio sebenarnya adalah komplotan mereka."
Kelihatannya Hoa Boan-thian amat tercengang, katanya, "Tapi bagaimana pula Sim Sam-nio
bisa tahu akan hal ini?"
"Karena Cui-long pun orang kepercayaan mereka."
"Cui-long?"
"Cui-long berhasil dipelet, melalui Cui-long sebagai kusir untuk menyambung berita pulang
pergi, di luar tahunya bahwa Cui-long sekaligus juga membocorkan berita itu kepada Sim Samnio."
Hoa Boan-thian menarik napas panjang, katanya, "Agaknya bila laki-laki terlalu mempercayai
perempuan, usaha besar apa pun yang tengah dirintisnya pasti akan gagal total."
"Dia salah menilai Cui-long, dia pun salah menilai Hwi-thian-ci-cu."
"Waktu itu siapa pun takkan menduga bahwa Hwi-thian-ci-cu adalah orang yang kau undang."
"Oleh karena itu maka rahasia mereka seluruhnya ketahuan oleh Hwi-thian-ci-cu."
"Oleh karena itu pula maka Hwi-thian-ci-cu harus mati."
"Benar, tentunya dia terbunuh oleh Buyung Bing-cu untuk menyumbat mulutnya."
"Tapi kenapa Buyung Bing-cu sendiri akhirnya pun jadi korban?"
"Sebelum menemui ajalnya tentu Hwi-thian-ci-cu berhasil memegang suatu bukti, dan bukti itu
pasti dia dapat dari badan Buyung Bing-cu."
Hoa Boan-thian manggut-manggut, dia pun teringat jari-jari Hwi-thian-ci-cu waktu itu
tergenggam dengan kencang dan kaku.
"Sudah tentu Hun Cay-thian tidak pernah memperhatikan jari-jari Hwi-thian-ci-cu, karena hanya
dia yang tahu siapa yang membunuh Hwi-thian-ci-cu."
"Tapi tidak pernah terpikir olehnya bahwa ada orang lain yang memperhatikan jari itu, malah
bukti penting yang tergenggam oleh jari tangan itu diambilnya."
"Dia kuatir orang berhasil menyelidiki hubungan antara mereka, maka Buyung Bing-cu harus
dibunuhnya untuk menutup mulutnya."
"Sungguh tak terkira ternyata dia seorang yang kejam dan culas."
"Sekarang kau sudah paham seluruhnya."
"Masih ada dua hal aku kurang mengerti."
"Kau boleh bertanya."
"Loh Loh-san adalah angkatan tua dari Bu-lim yang kenamaan, Buyung Bing-cu adalah putra
hartawan kaya raya turun temurun, dengan kedudukan dan tingkat mereka, masakah begitu
gampang terima diundang untuk diperalat orang lain?"
"Sudah lama Buyung Bing-cu mengiler dan mengimpikan dapat mengangkangi usaha besar
Ban-be-tong, dengan berbagai daya-upaya dia ingin merebutnya, seseorang bila timbul rasa tamak
dan loba, maka dengan
mudah dia diperalat orang lain tanpa dia sendiri sadar bila dirinya sudah menjadi budak."
Hoa Boan-thian menggut-manggut, ujarnya, "Orang yang semakin kaya semakin kikir dan
tamak, hal ini aku cukup tahu, namun ... Loh Loh-san cara bagaimana pula bisa tertarik oleh
pancingan mereka?"
Sebentar Ban-be-tong-cu menepekur, katanya kemudian pelan-pelan, "Bukan dia yang
mengundang Loh Loh-san kemari."
"Bukan dia, memangnya siapa?"
"Memangnya Hun Cay-thian bukan biang keladi dalam rencana jangka panjang ini."
"O, lalu siapa?"
"Kemarin malam, Loh Loh-san, Buyung Bing-cu, Pho Ang-soat dan Hwi-thian-ci-cu, semua
menyekap diri di dalam kamar masing-masing, tapi tiga belas saudara dari istal bagian kuasamu
menjadi korban."
"Waktu itu aku mengira Yap Kaylah yang turun tangan menangani mereka."
"Memangnya pembunuh itu sengaja hendak menimpakan bencana ini kepada Yap Kay, tak
nyana ada orang yang membuktikan alibi Yap Kay waktu itu."
"Kau kira Hun Cay-thian pembunuhnya?"
"Bukan dia."
"Kenapa bukan?"
Ban-be-tong-cu menarik muka, katanya, "Aku cukup mengenal baik ilmu silatnya, demikian pula
sampai dimana taraf kepandaian tiga belas saudaranya yang menjadi korban itu, mengandal
tenaganya seorang tidak begitu gampang dalam waktu sesingkat itu membereskan mereka."
Sikap Hoa Boan-thian ikut prihatin, katanya, "Maka kau mengira di belakang tabir peristiwa ini
pasti ada seorang lain pula yang menjadi biang keladinya."
"Dugaanku tidak akan salah."
"Kau kira orang itulah biang keladi yang sesungguhnya?"
"Benar."
"Kau tahu siapa dia?"
Ban-be-tong-cu tidak menjawab secara langsung, katanya pelan-pelan, Pertama, hubungan
orang ini dengan Loh Loh-san pasti amat mendalam dan intim sekali, maka Loh Loh-san baru bisa
terbujuk olehnya untuk melakukan persekongkolan ini."
Hoa Boan-thian manggut-manggut, ujarnya, "Ya, masuk akal."
"Kedua, kedudukan orang ini pasti cukup tinggi di Ban-be-tong."
"Darimana kau bisa menyimpulkan hal ini?"
"Karena dia mempunyai kedudukan yang tinggi, setelah berhasil memaksaku lari, baru dia bisa
memegang tampuk pimpinan di Ban-be-tong."
Kembali Hoa Boan-thian tenggelam dalam alam pikirannya, akhirnya dia manggut-manggut,
katanya, "Ya, masuk akal juga."
"Tentunya dia pula seorang yang biasanya amat dipatuhi oleh Hun Cay-thian, maka Hun Caythian
baru mau diperintah olehnya."
"Masuk akal pula."
Semakin kereng sikap Ban-be-tong-cu, "Keempat sudah tentu dia pula orang yang amat
dipercaya dan dijunjung sebagai pimpinannya oleh ketiga belas orang korban itu, justru karena
mereka tidak bersiaga dan berjaga-jaga, maka dengan mudah jiwa mereka dihabisi tanpa mereka
menyadari elmaut sedang mengintip jiwa mereka."
Tiba-tiba Hoa Boan-thian tertawa, tawa yang aneh sekali, katanya pelan-pelan, "Justru karena
hubungannya intim dengan Loh Loh-san, maka di hadapan orang dia sengaja berpura-pura saling
membenci dan sebal, supaya orang lain tidak pernah menduga adanya ikatan erat di antara
mereka." "Ya, begitulah."
"Kini tinggal sebuah hal masih belum sempat mengerti."
"Kau masih boleh bertanya."
Hoa Boan-thian menatapnya bulat-bulat, tanyanya, "Semua kenyataan ini apakah hasil dari
kesimpulan sendiri?"
"Bukan seluruhnya."
"Jadi ada orang yang membocorkan rahasia kepadamu?"
"Benar!"
"Siapa orang itu?"
"Cui-long."
"Lagi-lagi dia?" Hoa Boan-thian mengerut kening.
Tiba-tiba Ban-be-tong-cu tertawa, katanya tawar, "Hun Cay-thian mengira Cui-long sudah
patuh dan bertekuk lutut kepadanya, demikian pula Sim Sam-nio mengira Cui-long amat setia
kepadanya, di luar tahu mereka
Tak tertahan Hoa Boan-thian menukas, katanya, "Mereka semuanya salah hitung."
"Mereka sama-sama salah, kesalahan itu amat menggelikan "
"Bahwasanya Cui-long adalah orangmu?"
"Juga bukan."
"Lalu siapakah dia sebenarnya ...."
Ban-be-tong-cu balas menukas, katanya, "Kau kan tahu api profesinya?"
Terujuk rasa benci dan muak pada air muka Hoa Boan-thian, katanya dingin, "Sudah tentu aku
tahu, dia adalah pelacur."
"Kapan kau pernah mendengar seorang pelacur pernah setia terhadap seseorang?"
"Benar seseorang bila dia toh rela menjual dirinya sendiri, sudah tentu tidak akan segan-segan
menjual diri orang lain."
"Cuma kelihatannya dia sih bukan manusia seperti yang kau kira."
Tiba-tiba Hoa Boan-thian tertawa, ujarnya, "Soal ini jadi memben suatu pengajaran kepadaku."
"Pengajaran apa?"
"Pelacur tetap pelacur, meski dia cantik rupawan laksana bidadari dia tetap adalah pelacur."
"Agaknya kau jarang mengeluarkan omongan sekasar ini."
"Bukan saja hari ini terlalu banyak omong kasar, aku pun terlalu bodoh dalam bicara."
"Tentunya kau sudah paham seluruh persoalannya?"
"Apakah sekarang sudah terlambat "
"Agaknya memang sudah terlambat."
Hoa Boan-thian tertindak, katanya setelah menepekur beberapa saat lamanya, "Musuhmu yang
sesungguhnya apa benar Pho Ang-soat?"
"Tidak akan salah!"
"Aku bisa mewakilkan kau membunuhnya."
"Kau tidak akan mampu membunuhnya."
"Paling tidak aku bisa menyumbangkan sedikit tenagaku kepada kau '
"Tidak perlu."
"Sekarang Kongsun Toan dan Hun Cay-thian sudah mati, kalau kau pun membunuh aku,
bukankah kedudukanmu bakal terpencil?"
"Itu urusanku sendiri."
Kembali Hoa Boan-thian menepekur agak lama, katanya kemudian dengan menghela napas,
"Terhitung sudah puluhan tahun aku berkerja kepadamu."
"Enam belas tahun."
"Dalam enam belas tahun ini, aku pun pernah mengucurkan darahku bagi tempat ini,
mengalirkan keringat bagi kepentinganmu."
"Daerah ini bisa sesubur, sejaya dan semakmur sekarang, memangnya bukan hasil tenaga satu
orang untuk membangunnya."
"Kali ini paling-paling aku hanya ingin memaksamu menyingkir ke tempat jauh, hakikatnya tiada
maksud jahat hendak membunuhmu."
"Pohon besar di tengah pekarangan itu, tentunya kau masih pernah melihatnya."
Hoa Boan-thian manggut-manggut.
"Beberapa tahun belakangan ini, dia tumbuh dengan cepat dan subur, tumbuh dengan baik."
Terunjuk rasa rawan pada sorot mata Hoa Boan-thian, katanya kalem, "Waktu aku datang,
pohon itu belum lagi setinggi pagar, sekarang dua orang pun takkan bisa memeluknya!"
"Tapi bila kau hendak memindahkan ke tempat lain, dia pasti akan lekas menjadi kering dan
layu." Hoa Boan-thian hanya diam sebagai jawaban.
"Demikian pula diriku, mirip dengan pohon tua itu, akarku sudah tumbuh dengan kokoh kuat di
daerah ini, kalau ada orang ingin aku pergi dari sini, aku pun akan mati kering dan layu."
Terkepal kedua jari-jari Hoa Boan-thian, "Karena itu ... karena itu kau ingin aku mati."
Ban-be-tong-cu berkata sambil mengawasinya, "Kau sendiri yang bilang, siapa pun yang
berkhianat terhadapku, maka dia harus mampus."
Mengawasi jari-jari tangannya yang mencekal pedang, Hoa Boan-thian menghela napas
panjang, ujarnya, "Ya, memang aku pernah bilang begitu."
"Sebetulnya aku bisa memaksa kau untuk berduel dengan Pho Ang-soat."
"Aku pun pasti akan menerima perintahmu."
"Tapi aku lebih senang turun tangan sendiri, sekali-kali aku tidak akan rela membiarkan orang
lain membunuhmu," kata Ban-be-tong-cu tandas, "karena kau adalah kerabat Ban-be-tong, karena
kau pun adalah sahabat baikku."
"Aku... aku mengerti."
"Baik sekali kalau kau mengerti."
"Sekarang aku hanya ingin bertanya sepatah kata pula."
"Silakan berkata."
Mendadak Hoa Boan-thian mengangkat kepala mengawasinya, katanya bengis, "Puluhan tahun
aku berjuang banting tulang, sampai sekarang apa yang berhasil kuperoleh, tidak lebih seperti
budak yang harus tunduk dan kau perintah seenakmu sendiri, jika kau menjadi aku, mungkinkah
kau pun akan berbuat seperti apa yang kulakukan sekarang?"
Tanpa berpikir Ban-be-tong-cu segera menjawab, "Pasti akan kulakukan, cuma ...." Terpancar
sinar terang setajam pisau dari biji mata Ban-be-tong-cu, "Jika perbuatanku kurang hati-hati,
rahasiaku ketahuan oleh orang, kau pun akan mati dengan meram tanpa menyesal."
Hoa Boan-thian balas mengawasinya, mendadak dia mendongak dan bergelak tertawa,
katanya, "Bagus, mati dengan meram tanpa menyesal apa segala, sayang sekali aku belum tentu
pasti akan mati di tanganmu." Pedang panjang di tangannya segera terayun, kembang pedangnya
laksana kuntum kembang beterbangan menari-nari di tengah udara, bentaknya beringas, "Asal
kau dapat membunuhku, aku pun akan mati dengan tenteram."
"Baik sekali, memang itulah ucapan seorang laki-laki sejati."
"Kenapa tidak segera kau bangkit dari tempat dudukmu."
"Duduk di sini aku pun tetap bisa membunuhmu."
Gelak tawa Hoa Boan-thian sudah terhenti, otot-otot hijau di punggung tangannya yang
mencekal pedang sudah merongkol keluar saking kencang dan tegangnya. Ban-be-tong-cu
sebaliknya masih tetap duduk di tempatnya dengan adem-ayem, tenang-tenang mengawasi golok
di tangannya. Melirik pun tidak kepada Hoa Boan-thian. Seluruh darah daging sekujur badannya tiba-tiba
berubah melengkung laksana besi baja.
Hoa Boan-thian menatapnya, selangkah demi selangkah mendesak maju, ujung pedangnya
bergertar keras, jari-jari tangannya yang mencekal pedang mulai goyah dan lengan pun ikut
gemetar. Sekonyong-konyong mulutnya menghardik, sinar pedangnya berubah laksana pelangi,
seketika badannya mencelat terbang. Badan bersama pedangnya laksana kilat menerjang... keluar
jendela. Ban-be-tong-cu menghela napas panjang, katanya, "Sayang ...." Baru dua patah katanya, tibatiba
badannya pun sudah mencelat terbang. Golok melengkung berubah laksana bianglala perak,
"Ting", golok dan pedang beradu. Sinar golok tiba-tiba membundar miring terus bergerak menyisir
batang pedang mengiris ke depan.
Hoa Boan-thian adalah seorang ahli pedang, betapa cepat gerak perubahan ilmu pedangnya, di
jagat ini jarang ada tandingannya Tapi kali ini baru dia betul-betul menyadari segala gerak
perubahannya ternyata sudah terkunci buntu dan mati kutu oleh gerakan lawan lebih dulu. Apalagi
badannya sedang terapung di tengah udara, di saat tenaganya menjelang habis dan tenaga baru
yang dia kerahkan belum lagi bekerja. Dalam waktu sesingkat itu, sinar golok yang menyilaukan
mata tahu-tahu sudah menutup mukanya, menyumbat pernapasannya.
Tiba-tiba dia merasa dingin, dingin menakutkan. "Jika kau berani berduel dengan aku, sungguh
aku bisa mengampuni jiwamu", itulah kata-kata terakhir Ban-be-tong-cu yang masih sempat dia


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengar. Kilat dan guntur sudah berhenti, namun cuaca semakin gelap.
Kembali Ban-be-tong-cu duduk tenang-tenang di tempatnya semula, kelihatannya seolah-olah
amat letih, juga sedih dan risau. Di hadapannya terbaring jenazah Kongsun Toan, Hun Cay-thian
dan Hoa Boan-thian.
Sebetulnya mereka bertiga adalah teman-teman karibnya yang terdekat, pembantu yang paling
boleh diandalkan tenaganya, kini sudah menjadi mayat yang tak berjiwa dan tak berperasaan lagi,
tak ubahnya seperti mayat-mayat orang lain yang tidak dia kenal sebelumnya.
Tapi orang yang masih hidup tidak mungkin tidak mempunyai perasaan. Memangnya siapa
yang bisa mengerti perasaannya, perasaan hati orang tua yang sudah kenyang berkecimpung
dalam perjuangan hidup. Sebetulnya apa saja yang pernah dia miliki" Sekarang apa pula yang
masih tersisa"
Darah yang berlepotan di atas dinding pun sudah kering, tetesan darah baris demi baris seperti
sebuah gambar berwarna yang sengaja dibubuhkan di atas dinding.
Dua orang dengan langkah merunduk melongok ke dalam, melihat keadaan dalam pendopo
besar, seketika mereka menahan napas. Ban-be-tong-cu tidak bergeming, lama kemudian baru dia
berseru, "Perintahkan ke seluruh Ban-be-tong, semua saudara diharuskan berkabung dan tidak
boleh makan barang berjiwa tiga hari, siapkan pula segala keperluan untuk membereskan jenazah
Hoa-siangcu dan Hun-siangcu beserta Kongsun Toan.
* * * BAB 16. SEKALI MASUK JARANG HARAP PULANG
Di tengah-tengah padang rumput terdapat sebuah kapel peristirahatan minum teh. Para
pengembala kuda suka menamakan tempat ini sebagai sarang tenteram, bahwasanya tempat ini
tidak lebih dibangun dari rumput alang-alang yang sederhana sekali.
Tapi di sekeliling padang rumput ini, hanya tempat ini saja satu-satunya tempat yang bisa
untuk berteduh dari teriknya matahari dan hujan bayu.
Begitu hujan mulai turun, Yap Kay dan Be Hong-ling sudah berlari masuk ke sarang tenteram
ini untuk berteduh dari curahan air yang tumpah dari langit
Hujan deras. Titik air selebat butiran mutiara yang berderet-deret berhamburan dari langit.
Padang ilalang nan luas tak berujung pangkal, kelihatannya seperti dunia impian belaka.
Be Hong-ling duduk di bangku panjang di samping teko air teh, kedua tangannya memeluk
lutut, dengan mendelong mengawasi padang rumput yang diterpa hujan.
Sudah lama dia tidak bicara. Bila perempuan tidak bicara, biasanya Yap Kay juga tidak
mengusiknya supaya dia buka suara. Selamanya dia berpendapat bila perempuan jarang
berbicara, maka laki-laki pasti berumur sedikit lebih panjang umur.
Sinar kilat menyinari wajah Be Hong-ling. Air mukanya jelek sekali, terang lantaran kurang
tidur, dan dilihat gelagatnya seperti dirundung banyak persoalan yang mengganjal sanubarinya.
Tapi air muka seperti ini kelihatannya malah berubah lebih matang, lebih tahu banyak urusan.
Yap Kay menuang secawan teh, sekaligus dia tenggak habis, dia harap yang terisi di dalam teko
air teh ini adalah air kata-kata. Sebetulnya dia bukan setan arak, hanya di kala hatinya riang atau
di saat hatinya bebal dan nsau baru dia ada hasrat minum arak. Sekarang hatinya sedang
mendelu, pikiran sedang pepat. Sekarang tiba-tiba dia ingin minum arak.
Be Hong-ling mengangkat kepala memandangnya sekejap, katanya tiba-tiba, "Biasanya ayahku
menentang kita berhubungan."
"O, lantas?"
"Tetapi hari ini dia justru menyuruh aku mengajakmu keluar bertamasya."
Yap Kay tertawa, ujarnya, "Memang orang giliran yang tepat, sayang waktunya yang tidak
benar." Be Hong-ling menggigit bibir, katanya, "Apa kau tahu kenapa mendadak dia berubah haluan?"
"Tidak tahu."
"Pagi hari ini," kata Be Hong-ling pula menatapnya, "tentu kau sudah banyak bicara dengan
dia." Yap Kay tertawa tawar, ujarnya pula, "Tentunya kau sudah tahu dia bukan laki-laki yang suka
cerewet, demikian pula aku."
Be Hong-ling tiba-tiba berjingkrak bangun, katanya keras, "Kalian pasti banyak membicarakan
apa-apa yang tidak ingin kuketahui, kalau tidak, kenapa kau tidak mau memberitahu kepadaku."
Yap Kay menepekur sebentar, katanya kalem, "Betulkah kau ingin supaya aku memberitahu
kepadamu?"
"Sudah tentu betul."
"Kalau aku bilang dia ingin kau kawin dengan aku, kau percaya tidak?"
"Sudah tentu tidak percaya."
"Kenapa tidak percaya?"
'Aku ...." mendadak Be Hong-ling membanting kaki, membalik badan, serunya, "Hatiku sedang
kusut, kau masih menggodaku."
"Kenapa hatimu kusut?"
"Aku pun tidak tahu, kalau aku tahu, hatiku takkan bingung seperti ini."
"Kedengarannya ucapanmu ini amat janggal dan lucu, namun masuk akal juga "
"Memang kenyataan demikian," seru Be Hong-ling uring-uringan, tiba-tiba dia berputar
menghadap Yap Kay pula, katanya, "Apa selamanya kau tidak pernah bingung?"
"Jarang sekali."
"Masakah selamanya kau tidak pernah tergerak hatimu?"
"Jarang sekali."
"Kau ... terhadapku kau pun tidak tergerak hatimu?"
"Pernah tergerak," jawaban yang gamblang dan terus terang.
Be Hong-ling justru seperti amat kaget, mukanya merah terus
menunduk, dengan keras dia kucek-kucek ujung bajunya, lama juga baru dia menghela napas,
katanya, "Saat seperti ini, di tempat seperti ini pula, jika benar kau menyukai aku, sejak tadi kau
seharusnya sudah memelukku, mencium aku."
Yap Kay tidak memberi reaksi, kembali dia menuang secawan the panas.
Setelah menunggu sekian lamanya, tak tahan Be Hong-ling merengek lagi, "Ehm, apa yang
kukatakan sudah kau dengar tidak?"
"Tidak"
"Memangnya kau tuli?"
"Bukan."
"Tidak tuli kenapa tidak mendengar?"
Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Karena meski aku ini bukan tuli, namun aku seorang
bodoh, laki-laki linglung."
Be Hong-ling mengangkat kepala melotot kepadanya, mendadak dia menubruk maju serta
memeluknya dengan kencang. Begitu kencang pelukannya sampai terasa deru napasnya memburu
sesak. Hujan bayu masih deras di luar, hawa semakin dingin, namun badan Be Hong-ling justru
semakin hangat, lemas-lunglai tapi serba kekeringan. Demikian pula bibirnya kering dan panas.
Jantungnya justru berdebar keras sekeras hujan bayu yang tumpah di padang rumput.
Pelan-pelan Yap Kay justru mendorongnya. Di saat-saat seperti ini, Yap Kay justru
mendorongnya. Be Hong-ling melotot, mendelik dengan amarah menyala, sekujur badannya seolah-olah
berubah kejang. Dengan kencang dia menggigit bibir, seperti hendak menangis, katanya, "Kau ...
kau sudah berubah."
"Aku tidak akan bisa berubah," sahut Yap Kay lembut.
"Terhadapku dulu kau tidak seperti ini."
Yap Kay tenggelam dalam alam pikirannya, lama juga baru dia menghela napas, ujarnya,
"Mungkin karena sekarang aku lebih memahami dirimu daripada sebelum ini."
"Apaku yang kau pahami!"
"Bahwasanya kau tidak menyukaiku sepenuh hati."
"Aku tidak menyukaimu sepenuh hati" Aku ... memangnya aku sudah
gila?" "Apa yang kau lakukan terhadapku, tidak lebih karena kau takut "
"Takut apa?"
"Takut kesepian, takut sebatangkara, sejak mula kau sudah dibayangi perasaan minder, kau
kira tiada seorang pun di dunia ini yang betul-betul memperhatikan dirimu."
Mendadak merah membara biji mata Be Hong-ling, kepala tertunduk, katanya pelan-pelan,
"Umpama kata keadaanku benar seperti yang kau katakan, maka kau harus lebih baik
terhadapku."
"Cara bagaimana aku harus bertindak baru kau anggap sikapku baik terhadap kau" Memelukmu
dan menciumimu di saat-saat tiada orang lain seperti saat ini" Melakukan ...." belum selesai katakatanya,
mendadak Be Hong-ling melayangkan telapak tangannya menampar pipinya sekuatkuatnya.
Begitu keras tamparan ini sampai telapak tangannya sendiri terasa panas dan
kesemutan. Tapi Yap Kay justru seperti tidak merasakan apa-apa, dengan tawar dia
mengawasinya, mengawasi air matanya bercucuran.
Dengan air mata bercucuran Be Hong-ling mengumpat sengit, "Kau bukan manusia, baru
sekarang aku tahu hakikatnya kau ini bukan manusia, aku benci kepadamu, membencimu sampai
kau mampus ...." Sembari berteriak-teriak dia berlari lintang-pukang keluar, lari ke dalam hujan
lebat. Sekejap saja bayangannya sudah hilang ditelan derasnya air hujan yang semakin tercurah
dari langit. Yap Kay tidak mengejarnya keluar, malah bergeming pun tidak, tapi entah kenapa, tampak
mimik mukanya justru berubah teramat menderita seperti tersiksa batinnya.
Karena dalam sanubarinya pun mempunyai hawa nafsu yang keras, keinginan yang besar,
hampir saja dia tidak tahan hendak lari mengejar, menyandaknya serta memeluknya, tergulingguling
di padang rumput di saat hujan selebat ini.
Akan tetapi keinginannya itu tidak dia laksanakan. Apa pun tidak dia lakukan, hanya berdiri
kaku seperti patung batu, dia menunggu hujan ini reda ....
Akhirnya hujan ini reda.
Yap Kay menyusuri jalan raya yang masih tergenang air, langsung masuk ke pintu sempit yang
satu ini. Dalam rumah tenang dan sunyi, hanya kedengaran satu suara saja, suara kartu dikocok.
Siau Piat-li tidak berpaling untuk menyambut kedatangannya, agaknya seluruh perhatian dia
tumplekkan kepada permainan kartunya itu untuk meramalkan sesuatu.
Yap Kay langsung menghampiri, lalu duduk.
Mengawasi kartu-kartu yang terbentang di hadapannya, mimik wajah Siau Piat-li kelihatan
masgul serta menguatirkan sesuatu.
"Hari ini apa yang berhasil kau ramal?" tanya Yap Kay.
Siau Piat-li menghirup napas panjang, sahutnya, "Hari ini apa pun tidak berhasil kuramalkan."
"Kalau tak berhasil kau ramal, kenapa harus menghela napas."
"Justru aku tidak berhasil maka aku menghela napas," akhirnya kepalanya terangkat menatap
Yap Kay, katanya lebih lanjut, "Hanya peristiwa yang paling berbahaya, paling menakutkan saja
selalu tak berhasil kuramalkan."
Lama Yap Kay berdiam diri, tiba-tiba tertawa, katanya, "Tapi aku justru merasakan adanya
hal...." "O, hal apa?"
"Paling tidak hari ini kau tidak akan bangkrut."
Siau Piat-li sedang menunggu kata-katanya lebih lanjut. Tapi Yap Kay tidak bicara banyak,
cuma dari dalam kantongnya dia rogoh keluar setumpukan uang kertas yang masih baru, pelanpelan
dia letakkan di atas meja, pelan-pelan pula dia dorong ke hadapan Siau Piat-li.
Mengawasi tumpukan uang ini, ternyata Siau Piat-li diam saja, tidak mengajukan pertanyaan.
Soal ini hakikatnya memang tidak perlu dibicarakan, juga tidak perlu ditanyakan.
Berselang agak lama, Yap Kay baru tersenyum, katanya, "Sebetulnya tidak perlu aku
kembalikan uang sebanyak ini kepadamu."
"O, kenapa kau kembalikan?"
"Karena hakikatnya kau sendiri pun tidak ingin betul-betul supaya aku membunuhnya, betul
tidak?" "O!" "Kalian hanya ingin menjajal aku, apa benar aku ingin membunuhnya."
Tiba-tiba Siau Piat-li tertawa, ujarnya, "Terlalu banyak yang kau pikirkan, banyak pikiran bukan
suatu hal yang baik."
"Bagaimana pun juga, sekarang tentunya kau sudah tahu, aku bukan orang yang ingin
membunuhnya."
"Sekarang penduduk kota ini siapa pun memang sudah tahu."
"Kenapa?"
"Karena Kongsun Toan sudah mati, menemui ajalnya di bawah golok Pho Ang-soat."
Senyuman yang menghias muka Yap Kay tiba-tiba menjadi kaku membeku. Selamanya belum
pernah terunjuk mimik seburuk itu menghiasi mukanya.
Pelan-pelan Siau Piat-li melanjutkan, "Bukan saja Kongun Toan sudah mati, Hun Cay-thian dan
Hoa Boan-thian pun sudah mampus."
"Apa mereka juga mati di tangan Pho Ang-soat?" teriak Yap Kay. Siau Piat-li geleng-geleng
kepala. "Siapakah yang membunuh mereka?"
"Be Khong-cun!"
Kembali Yap Kay tertegun. Lama juga baru dia menarik napas panjang, mulutnya menggumam,
"Tak habis mengerti, sungguh tidak habis mengerti."
"Ada apa yang tidak bisa kau mengerti?"
"Bahwasanya kini dia sudah tahu bila ada seorang musuh tangguh yang akan membunuhnya
sembarang waktu, kenapa dua pembantunya yang terpercaya justru dia bunuh pada saat seperti
ini?" Sikap Siau Piat-li amat tawar, katanya, "Mungkin karena dia sendiri memang manusia yang
paling aneh di dunia ini, maka selalu melakukan sesuatu yang di luar dugaan orang lain." Jawaban
yang tidak boleh dianggap jawaban, tapi Yap Kay seolah-olah sudah dapat menerima arti dari
jawaban yang bukan jawaban ini. Mendadak dia mengubah pokok pembicaraan, "Dimana tamu
agungmu yang berada di atas loteng kemarin malam itu?"
"Tamu agung?"
"Kim-pwe-tho-liong Ting Kiu."
Seperti baru sekarang Siau Piat-li ingat akan diri Ting Kiu, katanya tersenyum, "Dia pun seorang
yang aneh, sering dia pun melakukan hal-hal yang tidak dimengerti orang lain."
"O." "Belum pernah terpikir dalam benakku bahwa dia pun bakal berada di tempat seperti ini."
"Bukankah dia mencari kau?"
"Memangnya siapa yang sudi mencari orang sepertiku yang cacad ini."
"Dia masih di atas loteng?"
"Sudah lama pergi."
"Kemana?"
"Mencari orang."
"Mencari orang" Mencari orang siapa?"
"Loh Loh-san."
"Mereka sahabat karib?"
"Bukan sahabat, malah musuh besar, musuh besar sejak beberapa puluhan tahun yang lalu."
"Jadi kedatangan Ting Kiu kali ini hanya untuk membikin perhitungan kepada Loh Loh-san?"
"Mungkin."
"Sebetulnya mereka punya permusuhan apa?"
"Siapa tahu" Memangnya dendam sakit hati orang-orang Kangouw sering berlarut-larut."
Lama Yap Kay termenung, tiba-tiba bertanya pula, "Di kalangan Kangouw pada puluhan tahun
yang lalu, katanya ada seorang tokoh ahli menggunakan senjata rahasia yang ganas dan culas,
kabarnya dia adalah murid tunggal Ang-hoa Popo."
"Yang kau maksud adalah Toan-yang ciam Toh-popo?"
"Benar."
"Namanya memang pernah kudengar."
"Pernah melihatnya belum?"
"Lebih baik selama hidupku ini aku tidak pernah melihatnya."
"Empat murid besar dari perguruan Jian-bin-jin-mo (manusia iblis seribu muka), belakangan
hanya tinggal seorang saja yang bernama Bu-kut-coa (ular tak bertulang) Sebun Jun, tentunya
kau pun pernah mendengar nama orang ini."
"Lebih baik berhadapan dengan Toh-popo daripada berhadapan dengan orang ini."
"Namun menurut apa yang kuketahui, kabarnya kedua orang ini sekarang sudah berada di
sini." "Kapan mereka datang?"
"Sudah lama mereka di sini."
Kini Siau Piat-li yang termenung, tiba-tiba dia menggeleng-geleng kepala, katanya, "Tidak
mungkin, pasti tidak mungkin, kalau mereka sudah berada di sini, aku pasti tahu."
Yap Kay menatapnya, katanya, "Mungkin mereka sudah berada di Ban-be-tong, bukankah Banbetong merupakan sarang naga dan gua harimau?"
Siau Piat-li sudah manggut-manggut, namun segera geleng-geleng pula.
"Mungkin karena Ban-be-tong sekarang sudah punya bantuan mereka, maka dia tidak perlu
gentar menghadapi musuh besarnya yang tangguh."
Tiba-tiba Siau Piat-li tertawa, ujarnya, "Itulah urusan Ban-be-tong, tiada sangkut-pautnya
dengan kami."
"Hari ini omonganku sungguh terlalu banyak." Agaknya dia sudah ingin pamitan, tapi pada saat
itu pula dari luar tahu-tahu sudah melangkah masuk seseorang.
Seorang laki-laki serba putih, pinggangnya terikat tali rami, tangannya membawa setumpukan
kertas mirip kartu undangan, seperti sampul surat pula.
Ternyata itu bukan sampul surat, juga bukan kartu undangan. Tetapi adalah berita duka cita.
Berita duka cita Koangsun Toan, Hun Cay-thian dan Hoa Boan-thian, atas nama Be Khong-cun.
Hari penguburan adalah besok lusa.
Pagi-pagi jenazah diberangkatkan, tepat tengah hari peti mati dimasukkan ke liang lahat,
selanjutnya dengan makanan tanpa daging menjamu para pelayat.
Ternyata Yap Kay pun menerima bagiannya. Setelah menyampaikan berita duka cita itu, lakilaki
berkabung ini lantas menjura, katanya, "Sam-lopan ada pesan pula, pada waktunya diharap
Siau-siansing dan Yap-kongcu hadir dalam upacara penghabisan."
Siau Piat-li menarik napas panjang, katanya prihatin, "Sahabat lama, setelah berpisah untuk
selamanya, kenapa aku tidak akan hadir?"
"Aku pun akan datang," ujar Yap Kay.
Laki-laki baju putih kembali menjura serta mengucapkan terima kasih.
Tiba-tiba Yap Kay berkata pula, "Agaknya tidak sedikit berita duka cita ini disebar "
"Sam-lopan adalah teman karib Kongsun-siansing selama puluhan tahun, beliau mengharap


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

upacara terakhir ini dapat dilaksanakan sebaik mungkin."
"Jadi setiap penduduk kota sudah memperoleh berita duka ini?"
"Boleh dikata seluruhnya sudah menerima." "
Bagaimana dengan Pho Ang-soat?"
Seketika tersorot rasa kebencian pada mata laki-laki baju putih, katanya dingin, "Dia pun
memperoleh selembar, cuma aku kuatir dia tidak berani hadir pada saat itu."
Yap Kay berpikir sebentar, katanya pelan, "Kupikir dia pasti akan datang."
"Semoga seperti harapan tuan," ujar laki-laki baju putih. "Kau sudah menemukan dia belum?"
"Belum lagi ketemu."
"Kalau kau percaya, aku mau mewakilkan kau menyampaikan kepadanya."
Sebentar bimbang, akhirnya laki-laki baju putih manggut-manggut, katanya, "Kalau begitu
membikin susah Yap-kongcu saja, terus terang Cayhe sebetulnya juga tidak sudi berhadapan
dengan orang seperti dia, lebih baik bila dia tidak sampai terlihat orang lain."
Siau Piat-li sedang menatap berita duka cita yang berada di tangannya, setelah laki-laki baju
putih pergi, baru dia menghela napas ringan, katanya, "Sungguh tak nyana Ban-be-tong pun
mengirim berita duka cita ini kepada Pho Ang-soat."
"Kau pernah bilang, dia kan orang aneh."
"Kau pikir Pho Ang-soat akan datang?"
"Pasti datang."
"Kenapa?"
"Karena aku tahu dia bukanlah laki-laki yang suka menyingkir dari kenyataan."
"Kalau kau anggap dia temanmu, lebih baik kau bujuk dia supaya jangan datang." "Kenapa?"
"Memangnya kau tidak merasakan bila berita duka cita ini merupakan jebakan?"
"Jebakan?" Yap Kay mengerut kening.
Sikap Siau Piat-li amat serius, katanya, "Kalau kali ini Pho Ang-soat sampai masuk ke Ban-betong,
mungkin selama hidupnya ini jangan harap bisa kembali ke kampung halamannya pula."
"Langit bergoncang, bumi bergetar, mata 'mengalirkan air darah, rembulan guram. Sekali
masuk ke Ban-be-tong. jangan harap pulang ke kampung halaman."
Setelah lohor, sesudah hujan reda cuaca cerah, langit membiru.
Yap Kay sedang mengetuk pintu tempat tinggal Pho Ang-soat.
Sejak pagi hari ini, sudah tiada seorang pun yang pernah melihat bayangan Pho Ang-soat lagi,
setiap orang yang menyinggung tentang si timpang yang bermuka pucat ini, pasti menunjukkan
mimik yang aneh, seolah-olah dia melihat seekor ular berbisa.
Peristiwa Pho Ang-soat membunuh Kongsun Toan, tentunya sudah tersiar luas di seluruh
pelosok kota. Tidak ada reaksi dari dalam pintu sempit itu, tapi dari pintu sebelah yang sama sempitnya, tibatiba
menongol keluar kepala seorang nenek, dengan sorot mata curiga dan takut-takut mengawasi
Yap Kay. Kulit mukanya penuh dihiasi keriput, kulitnya sudah kering-kerontang.
Yap Kay tahu nenek ini adalah pemilik rumah yang disewakan ini, dengan senyum di kulum
segera dia bertanya, "Dimana Pho-kongcu?"
Nenek itu tertawa pula. Agaknya dia memang jarang marah.
Tiba-tiba berkata pula nenek itu, "Jika kau mencari si timpang yang pucat itu, dia sudah
pindah." "Sudah pindah" Kapan dia pindah?"
"Selekasnya dia akan pindah."
"Darimana kau tahu dia akan pindah."
"Karena rumahku sekali-kali tidak akan kusewakan pada seorang pembunuh."
Yap Kay akhirnya mengerti. Bagi setiap insan yang berbuat salah terhadap Ban-be-tong, maka
dia sulit untuk menetap di kota kecil di pegunungan ini. Tanpa bicara lagi Yap Kay segera berlalu
meninggalkan gang sempit ini.
Tak nyana nenek itu ternyata membuntutinya, katanya, "Tapi kalau kau tidak punya tempat
tinggal, aku boleh menyewakan kamar itu kepadamu."
Yap Kay tertawa, katanya, "Darimana kau tahu bila aku ini bukan seorang pembunuh?"
"Kau tidak mirip pembunuh."
Tiba-tiba Yap Kay menarik muka, katanya, "Kau keliru, bukan saja aku pernah membunuh
orang, malah sudah tujuh delapan puluh orang yang menjadi korban."
Nenek itu gelagapan dan menyurut mundur dengan muka ketakutan.
Lekas sekali Yap Kay sudah keluar dari gang sempit itu, dia mengharap selekasnya bisa
menemukan Pho Ang-soat. Tapi sebelum dia berhasil menemukan Pho Ang-soat, dia malah
melihat Ting Kiu.
Ternyata Ting Kiu sedang duduk di bawah emperan rumah di seberang sana, tangannya
menyungging cawan sedang minum teh panas. Pakaian perlentenya itu terbungkus oleh
seperangkat jubah hijau yang baru pula, sikapnya kelihatannya acuh tak acuh dan kurang
bersemangat. Pada saat itu dari ujung jalan raya sana tengah mendatangi seorang penggembala yang
menggiring empat-lima ekor kambing dengan pelan-pelan.
Penggembala kambing ini mengenakan baju pendek yang terbuat dari kapuk, kepalanya
mengenakan sebuah topi rumput. Topi rumput yang lebar ini dia tarik ke bawah sampai amblas,
karena batok kepalanya memang lebih kecil dari topi rumput itu.
Dengan menundukkan kepala, tangannya menenteng sebatang galah kecil, sementara
mulutnya sedang berdendang dengan lagu-lagu gembala yang lincah dan gembira.
Di tanah pegunungan yang serba belukar dan serba kekurangan dari segala kebutuhan hidup
ini, setiap laki-laki mengutamakan berburu binatang liar dengan memelihara burung elang atau
menggembala sapi, hanya laki-laki yang tidak punya harga diri saja suka mengembala kambing,
oleh karena itu bukan saja penggembala kambing selalu miskin, dia pun selalu menjadi cemoohan
dan olok-olok orang lain.
Hakikatnya tiada seorang pun di tengah jalan raya itu yang sudi melirik atau menyapanya,
agaknya penggembala kambing ini juga tahu diri, dia tidak berani berjalan di tengah jalan raya,
hanya satu harapannya dalam mengerjakan tugasnya sehari-hari, yaitu selekasnya membawa
kambing-kambingnya ini ke kandang.
Tak nyana di antara sekian banyak orang yang berada di sepanjang jalan raya ini, justru ada
seseorang yang tengah mengawasi gerak-geriknya. Begitu Ting Kiu melihat penggembala kambing
ini mendatangi, sorot matanya seketika bersinar terang, seolah-olah duduk sejak tadi di warung
minuman ini memang khusus sedang menunggu kedatangan orang.
Yap Kay pun sudah menghentikan langkahnya, dengan nanar dia mengawasi penggembala
kambing ini, lalu beralih pandang ke arah Ting Kiu pula. Ternyata biji matanya pun bersinar
terang. Jalan raya masih basah oleh genangan air. Baru saja penggembala kambing ini berkisar
melewati genangan air, dia lantas melihat Ting Kiu dengan langkah lebar memapak ke
hadapannya dan menghadang jalan. Tanpa mengangkat kepala segera dia berkisar hendak lewat
dari samping Ting Kiu. Penggembala kambing biasanya penakut.
Siapa tahu Ting Kiu agaknya memang sengaja hendak cari perkara padanya, katanya tiba-tiba,
"Sejak kapan kau belajar jadi penggembala?"
Penggembala itu melengak, sahutnya gemetar, "Sejak kecil aku sudah mempelajarinya."
"Memangnya waktu di Bu-tong-san kau hanya belajar menggembala kambing?"
Kembali penggembala itu melengak, akhirnya dia mengangkat kepala pelan, dua kali dia melirik
kepada Ting Kiu, katanya, "Aku tidak kenal dengan kau."
"Aku sebaliknya mengenalmu."
"Agaknya kau salah mengenali orang."
"Orang she Loh, Loh Loh-san, umpama kau sudah berubah jadi abu, aku tetap mengenalmu.
Kali ini kemana pula kau hendak melarikan diri?"
Apa benar penggembala kambing ini Loh Loh-san" Sekian lamanya dia mcnepekur, lalu katanya
menghela napas, "Umpama kau mengenalku, aku tetap tidak mengenalmu."
Ternyata dia memang Loh Loh-san.
Ting Kiu tertawa dingin, tiba-tiba dia merenggut jubah hijau yang menutupi pakaian aslinya
yang mewah menyala itu, serta punuk di punggungnya, gamblang sekali punggungnya itu
bergambar naga emas dengan kelima jari kakinya.
"Kim-pwe-tho-liong?" Loh Loh-san berteriak terkejut.
"Ternyata kau masih mengenalku."
"Untuk apa kau mencariku?"
"Untuk membuat perhitungan."
"Membuat perhitungan apa?"
"Perhitungan lama, sepuluh tahun yang lalu, memangnya kau sudah lupa?"
"Melihatmu pun aku belum pernah, perhitungan lama darimana?"
"Hutang darah tujuh belas jiwa, jangan harap kau bisa mungkir, serahkan jiwamu!"
"Orang ini gila, aku ...."
Ting Kiu tidak memberi kesempatan Loh Loh-san banyak bicara lagi, serempak kedua
tangannya terkembang, tahu-tahu dia sudah mengeluarkan seutas cambuk emas lima kaki
panjangnya. Sinar emas bertaburan laksana naga emas sedang menari-nari dengan lincahnya, dengan deru
angin yang kencang menyapu ke arah pinggang Loh Loh-san.
Sambil berkelit memiringkan badan, Loh Loh-san merenggut baju pendek yang terbuat dari
kulit domba itu, bagai segumpal awan terus ditebarkan ke depan, bentaknya, "Tunggu dulu!"
Ting Kiu tak menghiraukan seruannya, cambuk emasnya beruntun sudah berubah empat jurus
serangan. Loh Loh-san membanting kaki, kedua tangannya cepat memelintir baju kulit
kambingnya, ternyata dia gunakan senjata lemas pula. Inilah kepandaian sejati dari aliran dalam
Bu-tong-pay yang bisa mengkhususkan sesuatu benda lemas yang dipelintir atau dibasahi untuk
menjadi tongkat lemas. Bagi orang yang sudah melatih sempurna kepandaian ini, benda apa pun
bila berada di tangannya, bisa dia gunakan sebagai gaman untuk membela diri
Dalam sekejap kedua pihak sudah bergebrak belasan jurus di jalan raya yang becek tergenang
air itu. Yap Kay menonton dari kejauhan, tiba-tiba dia menemukan dua hal. Seorang setan arak yang
tulen tidak mungkin bisa menjadi tokoh silat kosen dari Bu-lim, Loh Loh-san, hanya meminjam
arak untuk pura-pura gila, ternyata orang memang sengaja berpura-pura untuk mengelabui
pandangan orang, yang terang dia sebenarnya jauh lebih sadar dari siapa pun.
Akan tetapi naga-naganya dia memang betul-betul tidak kenal atau salah mengenali orang,
memangnya apakah sebetulnya yang telah terjadi" Yap Kau menerawang sebentar, kejap lain
ujung mulutnya sudah menyungging senyum, mendadak dia merasa kejadian ini amat
menggelikan. Akan tetapi sesungguhnya hal ini tidak perlu dibuat geli. Mati sekali-kali bukan kejadian yang
menggelikan. Kepandaian silat Loh Loh-san amat mahir dan matang, lucu Jenaka, ahli, meski serangannya
tidak gencar dan ganas, terang tidak menunjukkan lubang kelemahan. Tapi entah lantaran apa
tiba-tiba dia toh menunjukkan suatu gerakan aneh yang menunjukkan lubang kelemahannya.
Suatu lubang kelemahan yang fatal dan menamatkan riwayatnya.
Orang semacam dia hakikatnya tidak pantas menunjukkan lubang kelemahan seperti itu,
tangannya seolah-olah mendadak menjadi kaku dan kejang. Dalam selikas itulah. Yap Kay sudah
melihat sorot matanya Mendadak sorot matanya menampilkan rasa gusar dan ketakutan yang luar
biasa, lalu melototlah kedua biji matanya seperti biji mata ikan emas.
Cambuk emas Ting Kiu ternyata sudah membelit lehernya seperti naga berbisa yang ganas.
"Krak", tulang lehernya patah terjirat cambuk dengan kerasnya.
Ting Kiu mendongak sambil terloroh-loroh, serunya, "Hutang darah bayar darah, akhirnya aku
berhasil menuntut balas perhitungan lama ini." Di tengah gelak tawanya, tiba-tiba badannya
melejit mundur terus bersalto ke belakang di tengah udara, tiba-tiba bayangannya sudah
menghilang di balik wuwungan rumah penduduk. Tinggal Loh Loh-san yang rebah di dalam
genangan air dengan kepala tertekuk lemas ke belakang, biji matanya melotot besar dan kaku.
Kelihatannya sekarang berubah pula seperti laki-laki setan arak yang tengah mabuk dan pulas di
tengah jalan raya.
Tiada orang yang mendekati, tiada orang yang bersuara. Siapa pun bila melihat seseorang yang
semula segar-bugar mendadak menggeletak mampus begitu saja, persaan hatinya tentu tidak
tenteram. Tauke toko kelontong berdiri di depan tokonya, kedua tangan memeluk perut, seakan-akan
merasa mual hendak muntah-muntah.
Matahari kembali terbit. Cahayanya yang segar menyinari mayat Loh Loh-san, menyoroti
noktah-noktah darah yang baru saja mengalir dari hidung, kuping dan matanya. Lekas sekali
darah itu sudah kering.
Pelan-pelan Yap Kay maju menghampiri, berjongkok, mengawasi mimik mukanya yang berubah
sedemikian seram menakutkan, katanya seperti berdoa, "Betapapun kami pernah berkenalan,
masih ada pesan apa pula yang ingin kau sampaikan kepadaku?"
Sudah tentu tiada. Orang yang sudah mati masakah bisa bicara memberi pesan apa-apa" Yap
Kay justru mengulurkan tangan menepuk pundaknya, katanya, "Kau tak usah kuatir, ada orang
yang akan membereskan jenazahmu, aku pun akan mengumpulkan beberapa cangkir arak untuk
menyirami pusaramu." Dengan menghela napas, pelan-pelan dia berdiri
Maka dia pun melihat Siau Piat li.
Ternyata Siau Piat-li juga berjalan-jalan di luar, dengan kedua tangan dia memegangi
tongkatnya untuk jalan, berdiri tenang di bawah emperan sana.
Kelihatannya raut mukanya jauh lebih pucat dari Pho Ang-soat di bawah sinar matahari.
Memangnya sepanjang tahun dia jarang terjemur sinar surya.
Yap Kay langsung menghampirinya, katanya setelah menghela napas, "Aku tidak suka melihat
orang membunuh orang, namun justru sering aku melihatnya."
Siau Piat-li diam saja, sikapnya seperti ikut berduka, lama juga baru dia bersuara, "Aku justru
sudah tahu bila dia akan berbuat demikian, sayang sekali aku tidak sempat menasehatinya."
Yap Kay manggut-manggut, katanya, "Loh-toasiansing memang mati terlalu cepat." Tiba-tiba
terangkat kepalanya, tanyanya, "Kau baru saja keluar."
"Seharusnya sejak tadi aku sudah keluar."
"Barusan aku sedang bicara dengan dia, ternyata tidak kulihat kau keluar "
"Dengan siapa kau bicara?" "Loh-toasiansing "
Siau Piat-li menatapnya lekat-lekat, lama juga baru dia berkata pelan-pelan, "Orang mati tidak
bisa bicara." "Bisa saja."
Mimik muka Siau Piat-li berubah amat aneh, serunya, "Orang mati juga bisa berbicara?"
"Cuma apa yang dikatakan orang mati, jarang ada orang bisa mendengarkan."
"Kau bisa mendengarkan?"
"Bisa."
"Apa saja yang dia katakan?"
"Katanya kematiannya terlalu penasaran."
"Dimana letak penasarannya?"
"Katanya Ting Kiu sebetulnya takkan mampu membunuhnya."
"Tapi kenyataan dia mampus di bawah cambuk emas Ting Kiu."
"Karena ada orang dari samping yang membokongnya secara gelap."
"Ada orang membokong dia" Siapa?"
Yap Kay menghela napas, tiba-tiba dia ulurkan telapak tangannya yang terbuka di hadapan
Siau Piat-li. Tepat di telapak tangannya ternyata terdapat sebatang jarum. Jarum yang berwarna
hijau keputihan ujung jarum masih berlepotan darah.
"Toan-yang-ciam?" teriak Siau Piat-li tertahan.
"Ya, inilah Toan-yang-ciam (jarum pemutus usus)"
"Kalau begitu Toh-popo memang sudah berada di sini "
"Malah sudah lama dia berada di sini."
"Kau sudah melihatnya?"
"Bila Toan-yang-ciam Toh-popo disambitkan. kalau ada orang dapat melihatnya, sia-sialah dia
dipanggil Toh-popo." Siau Piat-li mandah menghela napas saja.
"Tapi aku tahu bila dia tidak menyembunyikan diri di dalam Ban-be-tong."
"Darimana kesimpulanmu ini?"
"Karena dia menetap di dalam kota ini, bukan mustahil nenek yang sedang menggendong orok
itulah " Berubah air muka Siau Piat-li, dia sudah melihat seorang nenek sedang menyeberang jalan
sambil menggendong seorang bocah.
"Kalau Toan-yang ciam sudah berada di sini, Bu-kut-coa pasti juga tidak jauh."
"Memangnya selama ini dia menyembunyikan diri di dalam kota ini?"
"Amat mungkin."
"Masakah belum pernah kudapati dalam kota ini adanya tokoh Bu-lim yang begitu kosen?"
"Memangnya tokoh silat sejati tidak gampang memperlihatkan wujudnya, bukan mustahil Tauke
toko kelontong itulah orangnya " Sambil mengawasi Siau Piat-li tiba-tiba dia tertawa pula,
sambungnya dengan kalem, "Kemungkinan pula kau adanya."
Siau Piat-li ikut tertawa. Di bawah sinar matahari, senyum tawanya kelihatan seperti menghina
dan merendahkan. Maka pelan-pelan dia membalik badan, pelan-pelan kembali ke dalam.
Bila melihat senyuman orang, Yap Kay bisa lupa bahwa laki-laki cacad yang satu ini kesepian,
sebatangkara. Tapi yang terlihat oleh Yap Kay sekarang adalah bayangan punggungnya. Bayangan
seorang yang kurus, cacad dan terasing dari pergaulan umum.
Tiba-tiba Yap Kay memburu maju menarik lengannya, katanya, "Kapan kau pernah keluar,
hayolah aku ingin mentraktir kau minum."
Agaknya Siau Piat-li amat heran dan kaget, tanyanya, "Kau hendak mentraktir aku minum?"
"Memangnya kapan aku pernah mentraktir orang minum."
"Mau minum dimana?"
"Kemana saja bolehlah, asal tidak di dalam rumahmu."
"Kenapa?"
"Arak dalam rumahmu terlalu mahal."
"Tapi di rumahku kau boleh teken bon."
Yap Kay terbahak-bahak, serunya, "Kau sedang memancing dan memincut aku?" Boleh teken
bon, istilah ini memang suatu pancingan yang tak terlawankan oleh setiap orang yang sedang
kantong kosong.
Siau Piat-li tersenyum, katanya, "Aku hanya sedang mencari langganan saja."
"Kadang kala kau memang mirip seorang pedagang."
"Memangnya aku ini seorang pedagang." Dengan tersenyum Siau Piat-li memandang Yap Kay,
katanya lebih lanjut, "Sekarang kau mau mengajak aku minum dimana" Menurut pendapatku
tempat dimana kau boleh teken bon terhitung tempat paling murah menjual barang-barangnya,
tempat minum arak adalah tempat yang paling kusenangi."
"Lalu bagaimana bila tiba saatnya kau melunasi bon itu?" tanya Siau Piat-li.
"Meski cukup menyebalkan dan menjengkelkan bila tiba saatnya harus membayar, tepi itu
urusan kelak, apakah aku masih hidup masih merupakan pertanyaan bagiku sendiri." Sambil
tersenyum segera Yap Kay membuka pintu, membiarkan Siau Piat-li masuk lebih dulu. Tapi dia


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri tetap berdiri di tempatnya tidak ikut masuk.
Karena pada saat itu pula, dia melihat Cui-long. Dengan kepala tertunduk Cui-long sedang
beranjak di bawah emperan rumah ke arah dirinya. Kenapa semalam dia menghilang" Kemana
saja selama ini" Darimana pula dia sekarang"
Sudah tentu tak tertahan lagi Yap Kay hendak menghujani pertanyaan ini, seolah-olah dia
pernah melihat kehadiran Yap Kay di depannya. Sebaliknya seorang yang lain sedang mengawasi
Yap Kay. Pho Ang-soat. 0oo0 Akhirnya Pho Ang-soat muncul kembali.
Baru saja jari-jari tangan Yap Kay terulur hendak menarik Cui-long, matanya kebetulan melihat
Pho Ang-soat. Orang mengawasi jari tangan Yap Kay, sinar matanya yang dingin diliputi
kemarahan, kulit mukanya yang pucat sudah merah membara.
Pelan-pelan Yap Kay menarik tangannya, kembali dia mendorong daun pintu, sehingga Cui-long
berkesempatan masuk ke dalam. Setelah berada di dalam baru Cui-long berpaling sambil
mengunjuk senyuman manis kepadanya, seakan baru sekarang baru dia melihat dirinya di sini.
Yap Kay justru rada sukar tertawa, karena Pho Ang-soat masih menatapnya, warna matanya
mirip benar dengan suami yang sedang mengawasi gendak istrinya.
Yap Kay mengawasinya, lalu berpaling mengawasi Cui-long, sungguh dia tidak habis mengerti
apa yang telah terjadi. Tapi bukankah banyak kejadian aneh yang mengherankan di dunia ini"
Bukankah setiap malam mungkin saja terjadi hal-hal seperti ini"
Yap Kay tertawa, katanya, "Aku sedang mencarimu."
Lama juga Pho Ang-soat menatapnya, baru sahutnya dingin, "Kau punya urusan?"
"Ada sebuah barang yang ditinggalkan untuk kau."
"O!" "Kau sudah membunuh Kongsun Toan?"
"Sejak mula aku memang sudah harus membunuhnya."
"Inilah berita undangan duka citanya."
"Berita duka cita?"
"Kau membunuhnya, pada hari upacara penguburannya, Ban-be-tong-cu justru
mengundangmu untuk minum arak, coba katakan bukankah amat aneh kejadiannya."
Pho Ang-soat mengawasi secarik kertas yang diangsurkan kepadanya, sorot matanya seperti
memancarkan perasaan yang aneh, katanya kemudian, "haik sekali, memang amat aneh dan
lucu." Yap Kay mengawasi mata orang, katanya kalem, "Tentunya kau pasti akan hadir."
"Kenapa?"
"Karena hari itu pasti amat ramai."
Tiba-tiba Pho Ang-soat mengangkat kepala, katanya menatapnya, "Agaknya kau amat prihatin
terhadap urusanku."
"Mungkin karena aku ini memang orang yang suka usil."
" Tahukah kau kenapa Loh Loh-san menjadi korban pula?"
"Tidak tahu."
"Lantaran dia terlalu usil dan suka turut campur urusan orang lain."
Tanpa melirik pula kepada Yap Kay, pelan-pelan dengan berjalan dari samping Yap Kay,
langsung menuju ke tengah jalan.
Jalan masih tergenang air.
Kaki kiri Pho Ang-soat melangkah dulu setindak, kaki kanan baru ikut terseret maju ke depan.
Gaya jalannya aneh dan menggelikan.
Hari ini di saat dia menyeberang jalan, banyak orang mengawasi kakinya. Tapi sekarang
keadaan jauh berbeda, biasanya orang-orang di jalan mengawasi tangannya, tangan yang
mencekal golok. Golok yang sudah membunuh Kongsun Toan. Setiap sorot mata orang yang
memandangnya menampilkan rasa permusuhan.
"Sekarang seluruh penduduk kota tahu bila kaulah musuh umum Ban-be-tong, pasti takkan ada
seorang pun yang menganggapmu sebagai teman."
"Kenapa?"
"Karena penduduk kota ini paling tidak separo di antaranya hidup mengandalkan Ban-be-tong.
Maka sejak kini kau harus hati-hati, sampai pun minum secangkir air pun kau harus hati-hati",
itulah kata-kata Sim Sam-nio yang ditujukan kepada dirinya.
Sungguh dia tak habis mengerti, kenapa perempuan ini begitu besar perhatiannya terhadap
dirinya. Hakikatnya dia tidak kenal siapa perempuan ini, dia hanya tahu orang adalah teman karib
Cui-long, dia adalah bini atau peliharaan Ban-be-tong-cu.
Bagaimana mungkin Cui-long bersahabat dengan perempuan seperti itu" Dia tidak mengerti.
Entah lantaran apa setiap berhadapan dengan perempuan ini dia seperti merasa sebal dan
membencinya, besar harapannya supaya orang lekas menyingkir saja. Akan tetapi orang justru
tidak bisa menyelami perasaan hatinya.
Lama juga mereka berputar-putar di tengah padang rumput, besar harapan di sana mereka
menemukan suatu tempat yang tenteram dan tenang, duduk berhadapan dengan Cui-long.
Siapa pun sukar diberi pengertian bahwa untuk pertama kali inilah dia membunuh orang selama
hidupnya, mungkin Kongsun Toan sendiri pun takkan mau percaya. Tapi memang kenyataan baru
pertama kali ini dia membunuh orang.
Waktu dia mencabut pedangnya dari perut Kongsun Toan, tak tertahan dia sampai muntahmuntah,
memang siapa pun sukar memahami perasaan hatinya, sampai pun dia sendiri pun sulit
memahami sepak terjang dirinya sendiri. Melihat seseorang yang semula segar-bugar tiba-tiba
roboh menjadi mayat di depanmu, bukanlah suatu kejadian yang menggembirakan.
Sebetulnya dia tidak ingin membunuh orang, namun dia dipaksa untuk membunuhnya.
Tiada salju, hanya ada pasir. Merah Salju.
Darah segar ikut menyembur keluar waktu goloknya dicabut, membasahi pasir kuning.
Lama juga dia berlutut di atas pasir sambil tumpah-tumpah, sampai darah sudah kering, baru
dia bisa berdiri pula.
Waktu dia berdiri baru dia sadar bahwa Sim Sam-nio tengah mengawasinya, mengawasinya
dengan pandangan yang aneh sekali, entah karena simpatik" Menghina" Memandang rendah atau
merasa kasihan"
Peduli apa pun, yang terang dia tidak bisa menerimanya! Tapi dia justru bisa menahan diri
karena caci-maki, penghinaan dan kemarahan orang lain. Dia sudah biasa.
0oo0 Pho Ang-soat menegakkan badan, pelan-pelan dia menyeberang jalan.
Kini yang terpikir hanya ingin tidur, tidur menunggu kedatangan Cui-long. Setelah tiba di luar
kota, Sim Sam-nio baru berpisah dengan mereka. Dia tidak bertanya orang mau pergi kemana,
hakikatnya dia memang tidak ingin melihatnya lagi. Tapi dia justru menarik Cui-long, kembali
mereka kasak-kusuk. Tak lama kemudian Cui-long pun kembali.
"Biar aku pulang membereskan barang-barangku, lalu mencarimu, aku tahu. Sudah tentu Pho
Ang-soat tidak pernah menduga si 'dia' sebenarnya bukan Cui-long, tapi adalah Sim Sam-nio yang
dibencinya ini. Mungkin takkan ada orang tahu akan rahasia ini.
BAB 17. NENEK MISTERIUS
Kertas merah pengumuman itu masih merekat di dinding di ujung gang.
Waktu Pho Ang-soat menuju ke sana, maka dia pun melihat nenek yang ubanan itu tengah
berdiri menghadang di tengah gang sempit itu, sepasang matanya selincah kelinci sedang
menatap dirinya dengan diliputi rasa benci. Agaknya nenek ini juga bukan teman karibnya.
"Maaf, sukalah memberi jalan," pinta Pho Ang-soat.
"Kenapa aku harus memberi jalan?"
"Aku hendak pulang."
"Kabarnya kau mencela tempatku ini tidak baik, sekarang sudah pindah, kenapa kembali lagi?"
"Siapa bilang aku sudah pindah?"
"Aku yang bilang."
"Siapa yang bilang aku mencela tempat ini terlalu kotor?"
"Bukan kau mencela tempat ini kotor, tempat inilah yang mencelamu kurang baik."
Akhirnya Pho Ang-soat tahu dan dapat meraba juntrungan kata-kata si nenek, maka sepatah
kata pun dia tidak bersuara lagi, memangnya tidak perlu dibicarakan lagi.
"Buntalanmu sudah kukirim ke toko kelontong di sebelah, sembarang waktu kau boleh pergi
mengambilnya."
Pho Ang-soat manggut-manggut.
"Dan uang ini, boleh kau simpan untuk membeli peti matimu sendiri." Memangnya dia sudah
menggenggam sekeping uang perak, kini tiba-tiba dia timpukkan dengan sekuat tenaganya.
Terpaksa Pho Ang-soat harus mengulur tangan menyambuti. Tapi dia batal menangkap uang
itu. Karena begitu uang itu melesat terbang dari telapak tangan si nenek, mendadak terpukul balik
pula oleh sesuatu benda. Soalnya uang perak itu mendadak melayang turun, sebuah benda
memukulnya balik, kalau tidak, umpama jiwa Pho Ang-soat tidak ajal, maka lengannya itu yang
harus dipotong menjadi cacad buntung pula.
Kini puluhan jarum itu tiba-tiba terpukul balik mengarah ke nenek yang menyambitnya malah.
Tak terkira nenek tua renta yang jalannya harus merambat tembok ini, tiba-tiba badannya
melenting tinggi ke tengah udara terus bersalto dan lenyap di balik wuwungan.
Jejak penyamaran sudah ketahuan, maka dia sudah siap melarikan diri. Siapa tahu seseorang
justru sudah menunggunya di atas wuwungan.
Entah sejak kapan tahu-tahu Yap Kay sudah melejit naik ke atas wuwungan rumah pula, dia
sedang berdiri menggedong kedua tangannya, tersenyum mengawasi si nenek yang coba
melarikan diri ini.
Seketika berubah air muka si nenek, sepasang biji matanya yang jelilatan licin menampilkan
rasa ketakutan. Matanya tidak buta, sudah tentu dia cukup tahu bila Yap Kay bukan seorang yang
gampang diingusi dan dihadapi.
"Nenek," sapa Yap Kay tertawa, "bagaimana kau berubah menjadi begini muda?"
Nenek itu tertawa kering dua kali, katanya, "Bukan menjadi muda, yang benar tulangku jadi
ringan, begitu melihat kau si ganteng ini tulangku lantas berubah menjadi ringan sekali."
"Kabarnya bila orang tua menghirup darah orang, usianya bisa menjadi muda kembali."
"Kau ingin supaya aku menghirup darahmu?"
"Bukankah tadi kau sudah menghirup darah Loh Loh-san?"
Nenek itu menyeringai iblis, katanya, "Kakek tua bangka itu darahnya terlalu banyak
mengandung alkohol, lebih baik kalau minum darahmu saja." Di mana tangannya terayun, dari
dalam lengan bajunya tiba-tiba terbang keluar dua utas benang perak, bagai ular beracun yang
ganas tahu-tahu menjerat leher Yap Kay Senjata yang digunakan amat aneh dan jarang terlihat,
keji dan jahat lagi. Tapi seakan-akan Yap Kay justru seorang ahli dalam menghadapi berbagai alat
senjata yang serba keji dan jahat ini.
Entah bagaimana dia bergerak, tiba-tiba badannya berkisar, seperti merogoh keluar sesuatu
benda kehitam-hitaman dari lengan bajunya. "Ting", seketika dua utas benang perak itu lenyap
tak berbekas. Jari-jari tangan si nenek yang kaku dan runcing laksana cakar burung itu seketika kaku
mengejang. Yap Kay kembali menggendong kedua tangannya, berdiri di tempat semula dengan tersenyum
simpul, katanya, "Kau masih punya mainan apalagi, kenapa tidak kau keluarkan seluruhnya, biar
aku berkenalan dengan kelihaianmu."
Menatapnya lekat-lekat nenek itu berkata dengan suara serak, "Kau ... siapakah kau
sebenarnya?"
"Aku she Yap, bernama Yap Kay," sahutnya tertawa, "Yap berarti daun pohon, Kay atau Kaysim
berarti riang gembira. Sayang sekali bila hatiku riang, maka kau pasti takkan bisa gembira."
Tanpa bicara lagi, tiba-tiba nenek ini mengenjot kaki, badannya melejit ke tengah angkasa
terus bersalto ke belakang sejauh tiga empat tombak. Siapa tahu baru saja badannya meluncur
turun dan tancap kaki, tahu-tahu dilihatnya Yap Kay sudah berdiri di depannya dengan tersenyum
sambil menggendong tangan, senyum tawanya itu laksana seekor rase kecil.
Nenek ini menghela napas, serunya, "Bagus, Ginkang yang hebat!"
"Bukan Ginkang yang bagus, cuma tulangku yang lebih ringan."
Si nenek tertawa getir, katanya, "Agaknya tulangmu memang jauh lebih ringan dari punyaku."
Belum lagi ucapannya ini selesai dikatakan, jari-jari tangannya yang bagai cakar burung itu tibatiba
merangsek empat jurus ke arah Yap Kay.
Jurus permainannya ini juga teramat aneh, ganas dan culas. Tapi Yap Kay justru seorang ahli
dalam menghadapi berbagai serangan keji dan culas. Bukan saja gerak permainannya tidak aneh
dan luar biasa, juga tidak seperti orang mau sulapan. Cuma amat cepat, begitu cepatnya sehingga
orang sulit membayangkan gerakannya.
Baru saja kedua tangan si nenek bergerak, seketika dia merasakan sesuatu benda tahu-tahu
menggaris pada urat nadinya, selanjutnya kedua tangannya itu lantas menjuntai turun lemaslunglai,
tak mampu bergerak lagi.
Yap Kay tetap berdiri di tempatnya dengan menggendong tangan, seolah-olah tidak pernah
bergerak dan tidak terjadi apa-apa, senyum tawanya lebih riang dari tadi. Namun harus
disayangkan bila hatinya sedang riang, maka orang lain justru tak bisa bergembira.
Si nenek menarik napas panjang, katanya, "Aku pun tidak kenal kau, kenapa kau harus
bermusuhan dengan aku?"
"Siapa bilang aku hendak bermusuhan dengan kau?"
"Memangnya apa kehendakmu?"
"Tidak lain hanya ingin mentraktir kau minum arak saja."
Nenek ini melengak, "Mentraktir minum arak?"
"Biasanya jarang aku sudi mentraktir orang minum arak, jangan kau sia-siakan kesempatan
baik ini."
Si nenek mengertak gigi, katanya, "Kemana minumnya?"
"Sudah tentu di warung Siau Piat-li, di sana aku boleh teken bon"
Tangan Pho Ang-soat masih menggenggam goloknya dengan kencang. Dia tetap berdiri di
tempatnya semula dengan gaya tetap tak berubah, bergeming pun tidak. Tapi kulit mukanya yang
pucat kini sudah membara saking bergejolak sanubarinya.
Si nenek melompat turun dari wuwungan rumah, menundukkan kepala, pelan-pelan lewat di
samping orang. Melirik pun Pho Ang-soat tidak kepadanya, tiba-tiba dia berseru, "Tunggu!"
Maka nenek itu lantas berhenti menunggu,, agaknya dia berubah begitu mendengar katakatanya.
"Aku sudah pernah membunuh orang," kata Pho Ang-soat.
Si nenek mendengarkan.
"Tak jadi soal bagiku untuk membunuh lebih banyak satu jiwa."
Tangan si nenek sudah gemetar.
Yap Kay sudah beranjak mendatangi, katanya dengan tersenyum, "Membunuh orang seperti
orang minum arak, hanya tegukan pertama yang sulit tertelan, kalau kau sudah menghabiskan
cangkir pertama, berapa cangkir pula akan kau habiskan sudah tidak menjadi halangan, cuma...."
"Cuma bagaimana?" tanya Pho Ang-soat.
"Membunuh orang seperti orang minum arak, kalau terlalu banyak kau minum, kau akan
ketagihan dan jadi tuman." Sambil mengawasi Pho Ang-soat dia tertawa, katanya lebih lanjut,
"Lebih baik jangan kau tuman melakukan hal-hal seperti itu."
"Aku tidak ingin membunuhmu."
"Kau hendak membunuh dia?"
"Semula aku hanya membunuh dua macam orang, sekarang terpaksa bertambah semacam
lagi." "Macam bagaimana?"
"Orang yang ingin membunuhku."
Yap Kay manggut-manggut, "Tadi dia ingin membunuhmu, sekarang kau hendak
membunuhnya, memangnya suatu hal yang adil."
"Kau minggir."
"Aku boleh minggir, tapi kau tak boleh membunuhnya. Tahu tidak?"
"Kenapa?"
"Karena dia toh tidak betul-betul ingin membunuhmu."
Pho Ang-soat mendelik kepadanya, kulit mukanya yang pucat seolah-olah menjadi bening, lama
juga baru dia berkata dengan tegas, "Sebetulnya kau ini siapa?"
"Yang terang kau sendiri tahu aku ini orang apa, kenapa justru kau tanyakan hal ini kepadaku?"
"Aku ingin tahu lebih jelas, karena aku masih berhutang sesuatu kepadamu."
"Kau hutang apa kepadaku?"
"Hutang jiwa kepadamu," mendadak Pho Ang-soat putar tubuh, katanya lebih lanjut dengan
kalem, "Cepat atau lambat aku harus membuat perhitungan kepadamu, sembarang waktu kau pun
boleh minta kepadaku." Kemudian kaki kirinya melangkah, kaki kanan lantas diseret ke depan.
Langkah kakinya sekarang kelihatan jauh lebih berat.
Tiba-tiba Yap Kay merasa bayangan punggung orang mirip benar dengan Siau Piat-li, kelihatan
sama-sama kesepian, sebatangkara pula. Malah kemungkinan keadaannya jauh lebih
mengenaskan, karena dia hanya punya satu pilihan untuk menempuh arahnya. Arah yang
selamanya takkan berpaling kembali.
Ada arak di atas meja.
Yap Kay menuang secangkir penuh untuk Siau Piat-li, lalu menuang pula secangkir yang lain
untuk si nenek, katanya tertawa, "Bagaimana tempat ini?"
"Lumayan."
"Araknya?"
"Baik juga."
"Kalau begitu kau harus berterima kasih kepadaku."
"Berterima kasih kepadamu?"
"Kalau bukan aku, masakah kau bisa berada di sini minum arak."
"Kenapa tidak bisa?"
Yap Kay tertawa, katanya, "Tempat ini adalah dunia laki-laki, Toan-yang-ciam Toh-popo meski
seorang tokoh kosen Bu-lim yang menggetarkan dunia, tapi dia adalah seorang perempuan."
Nenek itu berkedip-kedip mata, katanya menegas, "Aku ini Toh-popo?"
"Begitu melihat Loh Loh-san tersambit Toan yang ciam, aku lantas teringat kepadamu."
"Pandangan yang tajam," puji si nenek sambil menghela napas. "Tapi aku tiada maksud untuk
menuntut balas kematiannya."
"Kau tidak bermaksud?"
"Karena orang yang benar-benar ingin membunuh Loh Loh-san bukan kau! Kalau tidak...,"
"Oh, kenapa?"
"Aku hanya ingin bertanya kepadamu, kenapa kau membunuh orang demi kepentingan Ban be
tong?" "Jadi orang yang betul-betul mau membunuh Loh Loh-san adalah Ban be tongcu?"
"Tentunya rekaanku tidak akan meleset."
"Jadi kau berpendapat bahwa aku membunuhnya untuk Ban be tongcu?"
Yap Kay manggut-manggut.
Kata si nenek, "Karena pada waktu itu aku pun berada di sana, dan lagi aku ini seorang nenek,


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka aku ini pasti adalah Toh-popo (nenek she Toh)."
"Memangnya pengertian ini gampang diselami." "Tentunya Toh-popo tidak mungkin seorang
laki-laki."
"Sudah tentu bukan."
Mendadak nenek ini tertawa, tawanya amat aneh.
"Kau kira hal ini amat menggelikan"
"Hanya satu saja yang menggelikan."
"Satu yang mana?"
"Aku ini bukan Toh-popo."
"Kau bukan?"
"Menjadi Toh-popo memang tiada jeleknya, sayang sekali aku ini adalah seorang laki-laki
tulen." Keruan Yap Kay melenggong.
Si nenek yang disangkanya Toh-popo ini ternyata memang benar seorang laki-laki. Dari
mukanya dia mencopot sebuah kedok muka yang amat hidup dan bagus sekali buatannya, lalu
pelan-pelan dia menanggalkan pakaian luarnya dan berdiri tegak. Nenek yang semula sudah renta
dan terbungkuk-bungkuk kini berubah jadi laki-laki pertengahan umur yang bertubuh kurus kering,
siapa pun akan tahu bila orang ini adalah laki-laki tulen.
Baru sekarang Yap Kay tiba-tiba sadar bahwa pandangan matanya hakikatnya tidak setajam
dan seahli seperti yang pernah dia bayangkan sendiri.
Kata orang itu dengan tersenyum, "Apa perlu kau memeriksaku lagi, apa benar aku ini
sebetulnya laki-laki atau perempuan?"
Yap Kay geleng-geleng kepala, katanya dengan apa boleh buat, "Tak usahlah."
Petualang Asmara 17 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Hikmah Pedang Hijau 12

Cari Blog Ini