Ceritasilat Novel Online

Perjodohan Busur Kumala 10

Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 10


"Kami berdua dari Hotel Siang Tay," berkata satu di antara
kedua orang itu. "Di dalam kota ini, hotel kami ialah yang
terbaik segala-galanya, sudah kamarnya banyak, pula. ada
tempat istimewa untuk tetamu-tetamu wanita. Untuk nona,
kami sudah menyediakan sebuah kamar. Kami tinggal
menantikan tibanya nona!"
"Tunggu dulu!" kata si nona, heran. "Kenapa kamu ketahui
she-ku dan kenapa juga kamu ketahui hari ini aku bakal tiba
disini?" "Tadi tengah hari telah ada orang datang memesankan
tempat untuk nona, dan katanya di waktu begini pastilah nona
bakal sampai disini. Kami sudah menantikan nona setengah
jam lebih."
"Siapakah orang itu?" Cie Hoa tanya. "Bagaimana
romannya dia?"
"Dialah kakak nona," sahut orang yang ditanya sembari
bersenyum. "Syukur kami tidak keliru menyambut."
Kembali Cie Hoa melengak. "Apa, kakakku?" ia tanya.
"Benar, nona. Katanya kakakmu itu, dia menantikan nona
di tempat persinggahan sebelah depan. Bukankah nona
datang dari Binsan dan mau pergi ke kuil Siangceng Kiong di
Laosan untuk berjiarah" Kakakmu itu, nona, telah
menerangkan jelas sekali, bahkan uang sewa kamar dan uang
makannya ia sudah bayar sekalian."
Cie Hoa heran bukan main.
"Ah, kecuali Kim Sie Ie dan Le Seng Lam, tidak ada lain
orang yang ketahui aku hendak pergi ke Laosan," pikirnya.
"Adakah Kim Sie Ie yang lagi bergurau atau Seng Lam?"
Pesuruh ini menyebut orang itu sebagai kakaknya, ia malu
untuk menanya tegas bagaimana romannya sang kakak. Kalau
tidak menanya, ia pun penasaran...
"Ah, sudahlah," pikirnya kemudian. "Karena aku mesti
menyewa kamar dan bersantap, biarlah, aku terima baik apa
yang adanya. Nanti aku mencari tahu dengan perlahanlahan..."
Benar saja, di Hotel Siang Tay itu, perlayanan sempurna
sekali. Hotelnya sendiri besar dan terawat baik dan barang
daharannya lezad apapula masakan ayamnya. Maka Cie Hoa
bisa menduga, bukan sedikit uang yang dikeluarkan untuk
keperluan bermalamnya itu.
Malam itu Cie Hoa tidur dengan berjaga-jaga, ia mau
berlaku teliti meskipun ia menduga Kim Sie Ie atau Seng Lam
dan mereka itu tentulah tidak bermaksud buruk terhadapnya.
Dan sang malam lewat dengan aman tanpa terjadi sesuatu.
Besoknya Cie Hoa berangkat pagi-pagi, ia terus melakukan
perjalanan satu hari. Mendekati magrib ia tiba di sebuah
dusun yang dipanggil Cheeliong cip. Mestinya ia singgah
disitu, untuk bermalam, tetapi ia mempunyai pikirannya
sendiri. Ia tidak singgah, ia melakukan perjalanan terus,
hingga belasan lie. Di waktu orang mulai menyalakan api, ia
tiba di sebuah dusun kecil yang ia tidak tahu apa namanya.
Katanya dalam hati: "Aku mau lihat, dapatkah kau bergurau
terus padaku atau tidak"..."
Selagi memasuki dusun itu, tiba-tiba ia dihampirkan oleh
seorang dengan pakaian sebagai pesuruh, dengan hormat
orang itu menjura dan menyapa: "Apakah aku yang rendah
bicara sama Nona Kok" Rumah penginapanku sudah
menyediakan kamar untuk nona, maka itu silahkan nona turut
aku kesana."
Kembali Cie Hoa menjadi heran. Ia menduga orang
menyediakan kamar di Cheeliong cip, sengaja ia melewatinya
dan mampir disini. Siapa tahu, orang itu dapat menerka tepat.
"Apakah kakakku yang menyediakan tempat untukku?" ia
tanya. Ia tertawa untuk menutupi herannya.
Sebaliknya, si pesuruhlah yang melengak.
"Kami tidak melihat kakakmu nona," katanya. "Kami hanya
bertemu sama ayah nona dan ialah yang memesan kamar,
uang sewa kamar serta uang makannya semua sudah
dibayarkan terlebih dulu."
Mau atau tidak, Cie Hoa tercengang.
Ayahnya" Inilah di luar dugaannya.
"Ah, dia menjemukan sekali! Sudah dia menggunai nama
kakakku, sekarang dia memakai nama ayahku! Tapi, hm!
Ayahku ialah si busuk paling besar, maka jikalau kau mau
pakai namanya, pakailah!"
Segera juga ia memikir lain.
"Agaknya ini aneh," pikirnya lebih jauh. "Bukankah
penggoda itu terdiri dari dua orang yang berlainan" Dia
menyebut dirinya ayahku, dia mesti telah berusia lanjut. Tidak
terlalu gampang untuk menyamar menjadi orang tua..."
Oleh karena ia menyangsikan Kim Sie Ie atau Le Seng Lam,
dari heran, Nona Kok menjadi sedikit berkuatir. Siapa ini orang
yang memakai nama ayahnya" Ia pula tidak dapat
menanyakan pesuruh itu perihal potongan tubuh atau roman
muka ayahnya itu...
"Kau she Kok, nona, romanmu ada miripnya dengan orang
tua itu," berkata si pesuruh, yang melihat si nona heran.
"Mungkinkah telah terbit kekeliruan" Bukankah ayahmu itu
berkumis putih dan tubuhnya sedikit bongkok?"
Pesuruh itu mengatakan demikian karena adalah kebiasaan
di kampungnya itu untuk meneliti setiap tetamunya, untuk
mencegah terjadinya kekeliruan.
Cie Hoa terkejut di dalam hatinya. Orang yang dilukiskan si
pelayan hotel ialah Beng Sin Thong, ayahnya sendiri.
"Adakah ini bukan penggunaan nama belaka?" ia jadi
berpikir. "Jadi benarlah dia... dia yang datang kemari" Kenapa
dia mendapat tahu aku mau pergi ke Laosan" Tapi, kalau dia
yang menyusul aku, mungkin untuk mengajak aku pulang,
mengapa dia bersandiwara begini rupa" Tidak ada perlunya,
bukan" Dialah benar seorang busuk tetapi tidak layaknya dia
bersikap begini rupa terhadap anaknya..."
"Ayahmu itu, nona, kelihatannya gagah," berkata pula si
pesuruh. "Dia memesan kata-kata untuk nona, katanya
umpama kata di sebelah depan ada orang jahat, tidak usah
nona buat kuatir, ayahmu sendiri dapat melayani mereka itu.
Nona, bukankah kamu dari keluarga piauwsu?"
Pesuruh itu mengatakan demikian karena ia tahu hal
adanya piauwsu -yaitu orang, atau orang-orang, yang
melindungi pengangkutan barang berharga-yang suka bekerja
secara berterang atau secara rahasia, dan sekarang ia melihat
nona itu membawa-bawa pedang, hingga mau ia menduga Cie
Hoa ialah piauwsu wanita.
Cie Hoa heran bukan main tetapi di depan pelayan hotel itu
ia tidak mau mengutarakannya.
"Jikalau benar dia yang datang, percuma aku
menyembunyikan diri," pikirnya kemudian. "Jikalau orang itu
bukannya dia, maka ingin aku menemuinya, ingin aku melihat
dia sebetulnya orang macam apa! Biar bagaimana, satu hari
dia pasti bakal memperlihatkan dirinya!"
"Benar, dialah ayahku," sahutnya kemudian. "Apakah dia
ada pesan lainnya lagi?"
"Ayahmu itu berkata, nona," menjawab si pesuruh, "hari ini
kau berjalan lebih jauh daripada biasanya, kau mestinya letih
sekali, maka ia memesan untuk aku menyampaikan kepada
nona untuk nona beristirahat, agar besok nona mengurangkan
perjalanan nona."
Cie Hoa bersenyum.
"Memang, aku memang harus beristirahat," ia kata.
Lantas ia turut pesuruh itu pergi ke hotelnya.
"Entah siapa orang itu, tetapi dia benar cerdik," pikir Cie
Hoa pula. "Luar biasa yang dia dapat menduga aku tidak bakal
singgah di Cheeliong cip hanya di dusun ini. Aku hendak
menggagalkan dia, tetapi aku justeru terkena perangkapnya!
Biarlah besok aku jalan pula lebih jauh lagi, hendak aku lihat,
bagaimana sepak terjangnya!"
Di hotel ini, seperti hotel yang terdahulu, Cie Hoa mendapat
perlayanan sempurna. Begitu ia berada di dalam kamar, ia
lantas disuguhkan barang hidangan, antaranya seekor ayam
panggang yang membangunkan napsu dahar, juga sepoci
anggur. Ia tidak kuat minum arak, maka itu ia sangat
menyukai anggur yang tak keras sifatnya. Teman nasi lainnya
pun cocok dengan seleranya. Tapi karena ia lagi membuat
perjalanan, tidak berani ia minum banyak, ia cuma
menenggak setengah pui.
Malam itu Cie Hoa tidur nyenyak sekali, ketika besoknya ia
mendusin, langit sudah terang sekali, bayangan matahari
sudah doyong ke Barat. Ia terkejut. Itu tandanya sudah lewat
tengah hari. Segera ia memeriksa barang-barangnya.
Pedangnya tidak lenyap, uang bekalannya dan kitab
pedangnya pun tidak hilang. Ia lantas menjalankan
pernapasannya, ia merasa tubuhnya sehat. Hatinya lantas
menjadi lega. Tapi ia heran. Kenapa ia tidur demikian
nyenyak" Jangan kata ia, yang pandai silat, umpama kata lain
orang, apabila dia berniat melakukan perjalanan, tidak nanti
dia tidur kelelap seperti itu. Ia tidak menduga anggurnya
dicampuri obat tidur. Tadi malam ia telah menciumnya dan
tidak merasai bau apa-apa yang aneh pada minuman itu.
Juga, jikalau orang menggunakan obat tidur terhadapnya,
orang itu mesti mengandung sesuatu maksud, tetapi sekarang
ia tidak kehilangan barang apa juga. Ia cerdas tetapi tidak
dapat ia menerka.
"Lihat, sudah begini siang!" kata ia pada si pelayan yang ia
panggil, untuk ditegur. "Mengapa kau tidak mengasih bangun
padaku?" Pelayan itu tertawa.
"Ayahmu telah memesan, nona, supaya kau beristirahat," ia
menjawab, "oleh karena itu, aku tidak berani mengganggu
tidur nona."
Cie Hoa mendongkol tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Ia tidak bisa menyalahkan pelayan itu sebab memang ia tidak
memesan untuk dikasih bangun. Bahkan kemarinnya si
pelayan telah menyampaikan pesan "ayahnya" untuk ia
beristirahat. "Untuk bersantap tengah hari, nona, kau ingin dahar apa?"
pelayan itu tanya. "Anggurmu masih ada separuh lagi.
Bolehkah aku bawakan itu sekarang?"
"Jangan!" kata Cie Hoa, separuh mendongkol. "Justeru
anggurmu itu yang membikin gagal!"
"Oh, nona, kau keliru menyalahkan aku!" berkata si
pelayan, agaknya dia terperanjat. "Anggur itu ialah anggur
yang ditinggalkan oleh ayahmu sendiri, untuk nona."
"Dasar kau!" si nona tetap mempersalahkan. "Kalau itu ada
arak yang ditinggalkan dia untukku, mengapa kau tadinya
tidak memberitahukan aku?"
Pelayan itu melongo.
"Hebat tabiatnya piauwsu wanita ini!" katanya dalam hati.
"Terhadap ayahmu sendiri, mengapa kau menyebutnya dia"
Itulah tidak hormat!" Kemudian ia menyahuti: "Anggur itu
anggur yang ditinggalkan ayah nona sendiri, mungkinkah itu
ada racunnya" Juga masakan ayam dan sayur lainnya semua,
ada pesanan ayah nona itu. Sekarang, nona, aku telah
menjelaskan semua, maka andaikata kau ingin dahar semua
barang hidangan seperti itu, kami tidak sanggup segera
menyediakannya."
"Aku tidak mau dahar lagi sekarang juga aku mau
berangkat," si nona bilang.
Pelayan itu tidak menanyakan kenapa orang mau
berangkat demikian cepat, bahkan di dalam hatinya ia
menganjurkan orang berangkat dengan segera. Tapi ia
berkata: "Semua sewaan kamar dan harga barang makanan
sudah dibayar oleh ayah nona dan binatang tunggangan nona
juga sudah dipiara kenyang. Jikalau nanti nona kembali
bersama ayah nona itu, aku harap sukalah kamu mampir pula
pada kami disini."
Cie Hoa sudah bersiap, maka ia lantas berangkat.
Setelah mengantar tetamunya pergi, di dalam hatinya,
pelayan itu kata: "Harga makanan pagi ini sudah dibayar oleh
ayahmu, kau tidak sudi dahar, itulah untungku!"
Kok Cie Hoa sendiri sudah berjalan terus, dia mampir di
kedai teh di tengah jalan, untuk menangsal perutnya
sekedarnya, lalu dia berangkat lebih jauh. Kira-kira magrib, dia
masih belum menemui dusun. Menurut keterangan, dia mesti
berjalan lagi tujuh atau delapan lie. Lantas dia sengaja, dia
tidak mampir di dusun itu. Dia berjalan hingga langit sudah
gelap, lantas dia meninggalkan kudanya, untuk sebaliknya,
berlari-lari dengan ilmu enteng tubuh, untuk melanjuti
perjalanan malam-malam. Sembari jalan, dia kata di dalam
hati: "Kau hendak menggagalkan perjalananku, baiklah, aku
justeru hendak membikin tiba dua hari terlebih dulu di
Laosan!" Di depan itu jalan pegunungan. Di atas langit, rembulan
sisir, sinarnya tidak terlalu gemilang. Batu-batu gunung
banyak yang aneh-aneh macamnya. Pula disitu kadangkadang
terdengar suaranya binatang-binatang liar.
Di tempat seperti itu dan di dalam suasana demikian, Cie
Hoa merasa jeri juga. Ia boleh gagah perkasa akan tetapi
dalam dua hari ini, terlalu sering ia dipermainkan orang hingga
hatinya menjadi goncang, gempur ketenangannya. Ia lagi
berjalan terus ketika mendadak telinganya menangkap suara
tertawa dingin, yang datangnya dari lereng bukit. Dengan
lantas ia menghunus pedangnya.
"Bilang! Kamu manusia atau iblis!..." ia membentak.
Belum berhenti suaranya mendengung, atau mendadak...
dung! dung! dung! Sebuah batu besar jatuh bergelindingan
dari atas bukit, jatuh ke arahnya! Dengan satu loncatan "Ithoo
ciongthian", atau "Burung hoo nyerbu ke langit", ia
mengapungi tubuhnya, akan menjauhkan diri setombak lebih.
Tepat ia berlompat, tepat batu lewat di bawahan kakinya...
"Siapa kau?" Cie Hoa menegur pula, gusarnya bukan
kepalang. "Kenapa kau main curang" Jikalau kau mempunyai
nyali, mari turun menempur aku!"
Dari atas gunung terdengar penyahutan yang tidak sedap:
"Jikalau kau bernyali, kau naiklah! Sekarang silahkan kau
gegares dulu dua bocah batu!"
Pula ada satu suara lain, yang menyusul, katanya: "Kemana
perginya Kim Sie le" Sekarang ini kau tidak mempunyai tulang
punggungmu! Baiklah kau tahu diri sedikit, kau letaki
pedangmu!"
Rasanya Cie Hoa kenal suaranya dua orang itu, terutama
suara tertawa dari si orang perempuan tua, yang tajam


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menusuk telinga. Ia tidak usah memikir atau mengingat-ingat
lama untuk segera mengenali mereka itu. Merekalah orangorang
yang ia pernah tempur di dekat dusun Liu keechung.
Merekalah kedua hantu: Kunlun Sanjin dan Siang Bok Loo.
Maka ia terkesiap juga hatinya.
"Kedua hantu itu memang liehay," demikian ia berpikir.
"Syukur tidak sekalian muncul Kim Jit Sian yang paling liehay!
Jikalau mereka bertiga berada disini, sukar untukku lolos dari
tangan mereka..."
Karena ini, hatinya menjadi tetap. Ia mau percaya,
andaikata ia tidak sanggup mengalahkan mereka, sedikitnya
tak usah ia terkalahkan mereka. Lalu tanpa ragu-ragu lagi, ia
menjejak tanah, untuk berlompat naik setombak lebih sembari
ia terus berkata dengan dingin: "Aku kira siapa, tidak tahunya
kamu berdua! Kunlun Sanjin, guruku pernah memberi ampun
satu kali pada jiwamu, dan Kim Sie Ie baru ini tidak berniat
membinasakan kamu, maka jikalau kamu berbudi sedikit saja,
seharusnya kamu pergi menyembunyikan diri, untuk kamu
merubah kelakuan kamu! Kenapa sekarang, sebaliknya kamu
hendak menggangguku" Sungguh kamu tidak dapat diterima
Thian!" Kunlun Sanjin pernah dikalahkan Lu Su Nio lalu dikalahkan
Kim Sie Ie juga, sebaliknya daripada mengingat budi orang,
yang tidak niat membinasakannya, dia menganggap itulah
kekalahan yang membuatnya sangat malu, hingga dia jadi
bersakit hati. Karenanya, mendengar perkataannya Kok Cie
Hoa, dia justeru menjadi sangat gusar. Dia menyangka bahwa
dia diperhina. "Lihatlah malam ini, siapa yang bakal meminta ampun!"
bentaknya. "Jikalau kau hendak memohon pengampunanku,
itulah mudah! Kau berlutut di depanku, kau mengangguk tiga
kali!" Cie Hoa tidak menggubris kata-kata orang, selagi lawan itu
berkata-kata, ia justeru berlompat naik pula, untuk
menghampirkan, sembari berlompat, sebelah tangannya
diayun. Ia menimpuk dengan sebutir batu, menimpuk dengan
ilmu timpukan batu huihong sek ke arah jalan darah! "Budak
liar! Kematianmu lagi mendatangi, kau masih berani banyak
lagak! Sekarang ini, walaupun kau berlutut di depanku dan
mengangguk-angguk, tidak nanti aku memberi ampun
kepadamu!"
Lantas, bersama-sama Siang Bok Loo, dia menggeser
sebuah batu besar, untuk digulingkan jatuh, guna menimpa
nona itu. Hingga batu itu menggelinding turun dengan
mengasih dengar suara gelon-congannya yang berisik.
Cie Hoa masih berada di bawah, ia mengalami kesulitan,
apapula ketika ternyata, musuh tidak melainkan menjatuhkan
satu batu itu hanya yang lainnya lagi, yang digulingkan saling
susul. Di antaranya pun ada batu besar seperti batu
penggilingan. "Celaka! Sebelum aku tiba di atas, aku bisa mati terhajar
batu!" pikirnya. Di lain pihak ia mengerti, kalau ia lari turun,
makin gampang ia terhajar batu itu. Maka, tidak bisa lain, ia
berlompatan ke kiri dan kanan, untuk menghindarkan diri dari
ancaman malapetaka itu.
Selagi nona itu bingung dan berkuatir itu, mendadak ia
mendengar jeritannya Siang Bok Loo, habis itu, berhentilah
batu-batu menggelinding menyerang ianya. Ia lantas
mengangkat kepalanya, memandang ke atas. Ia masih sempat
melihat Kunlun Sanjin dan kawannya itu tengah berlari turun
di lain bagian dari bukit itu, hingga sejenak kemudian terlihat
saja benda merah, ialah jubahnya Kunlun Sanjin, yang
bergerak-gerak bagaikan bayangan, serta anting-antingnya
Siang Bok Loo, yang bergoyang-goyang dengan bersuara
perlahan. Teranglah, mereka itu kabur dengan ketakutan.
Tentu sekali, ia menjadi heran. Ia tidak mengerti, kenapa
kedua hantu itu kabur secara demikian! Apakah yang
membuat mereka takut itu"
Nona ini berlari-lari mendaki seraya ia menanya nyaring:
"Cian-pwee siapa yang telah membantu aku secara diamdiam"
Dengan ini jalan aku menghunjuk hormatku!"
Tidak ada suara jawaban, tidak ada orang nampak. Cuma
terlihat pohon bergoyang-goyang bagaikan bayangan atau
bayangannya bunga. Bukit itu sunyi senyap.
Dalam herannya itu, Cie Hoa berpikir: "Jikalau tidak ada
orang yang membantu aku, kenapa kedua hantu itu menjadi
ketakutan dan mengangkat kaki" Jikalau ada orang, kemana
perginya orang itu?"
Cie Hoa berlari-lari naik keras sekali, ia mahir ilmunya
enteng tubuh, tetapi ia tiba di atas tanpa melihat orang atau
bayangannya. Atau, mungkinkah benar ada orang yang
membantu ia secara diam-diam tetapi orang itu liehay luar
biasa hingga dia dapat berlalu dengan cepat sekali"
"Mungkinkah dia Kim Sie le?" ia menduga pula. Baru ia
menerka demikian, atau ia lantas menyangkal sendirinya. Ia
tidak percaya Kim Sie Ie demikian liehay. Ia berpikir pula:
"Jangan-jangan dialah yang selama ini mengganggu atau
menggoda aku, hanya kalau orang itu agaknya hendak
mencegah perjalananku, kali ini ia justeru membantu aku
mengundurkan musuh, ia seperti membiarkan aku maju terus.
Mungkin mereka bukannya satu orang..."
Demikian Nona ini kena diumbang-ambing kesangsiannya.
Cie Hoa berhenti sebentar, lantas ia melanjuti
perjalanannya. Berselang sekian lama, cuaca telah menjadi
terang. Karena ia dapat berjalan cepat, ia sudah melalui dua
ratus lie lebih. Dengan datangnya sang pagi, tidak dapat ia
meneruskan berjalan dengan cepat. Tapi ia ingin tidak mensiasiakan
waktu. Maka ia mencari tempat dimana ia dapat
membeli seekor keledai. Binatang itu, walaupun tak dapat
melawan larinya kuda, lumayan juga, lebih menang daripada
ia berjalan kaki perlahan-lahan.
Demikian hari itu ia dapat melintasi perjalanan seratus lie
lebih, di waktu magrib, tibalah ia di Laybu, tempat yang
termasuk wilayah propinsi Shoatang. Itulah sebuah
kecamatan. Ia lekas-lekas masuk ke dalam kota guna mencari
rumah penginapan. Kata ia dalam hatinya: "Sekarang aku mau
lihat, apakah kau masih juga mendapat tahu terlebih dulu
tentang tibaku disini?"
Setibanya di tempat penginapan, Cie Hoa tidak
mendapatkan pelayan hotel yang menyambut ia.
Hatinya lega tetapi ia berlaku teliti. Terhadap barang
makanan, ia berlaku berhati-hati. Terutama arak, ia tidak
berani minum sama sekali. Sayur pun ia celup dulu dengan
tusuk kondenya sebelum ia men-daharnya.
Dua malam satu hari Cie Hoa telah membuat
perjalanannya, ia merasa letih, walaupun demikian, ia tidak
berani berlaku alpa. Ia duduk bersila di atas pembaringan,
untuk bersamedhi. la mendapat pelajaran sejati, maka itu,
bersamedhi belum lama, ia berhasil memulihkan kesegaran
tubuhnya, lenyap keletihannya. Karena ini, ia tidak usah tidur
lagi. Tepat tengah malam, Nona Kok mendengar suara ketukan
pada pintu kamarnya.
"Siapa?" ia tanya, hatinya diliputi keheranan.
"Ada beberapa sahabat datang menjenguk kau!" begitu ia
memperoleh jawaban.
Itulah di luar dugaan. Bukankah ia seorang diri saja" Taruh
kata benar ada sahabat, kenapa mereka datang tengah malam
buta rata" Pula, tidak selayaknya pegawai hotel lantas
memberi ijin orang mendatangi kamarnya itu.
Tadinya Nona Kok hendak mengeluarkan kata-kata keras
untuk menegur, atau mendadak ia ingat pula: "Bukankah
dialah orang yang selalu menggodai aku" Baiklah, karena dia
telah datang, tidak selayaknya aku tidak menemuinya!"
Maka ia mencekal pedangnya, untuk membukai pintu.
Segera juga ia menjadi heran dan terkejut.
Di depan kamar berdiri tiga orang dengan dandanan seperti
opsir tentera, bahkan yang dua ia lantas kenali sebagai dua
muridnya Biat Hoa Hwesio yaitu Cin Tay dan Kheng Sun,
keduanya tongnia atau komandan dari pasukan Gie-limkun.
Orang yang ketiga, yang usianya lebih tinggi, ia tidak kenal.
"Ha, benar saja si budak perempuan she Kok!" terdengar
suaranya Cin Tay, yang agaknya keheran-heranan. Suaranya
ini menyatakan terang sekali bahwa dia tidak berani
menentukan sejak di muka bahwa penghuni kamar itu Nona
Kok adanya. Hati Cie Hoa tenteram juga melihat tidak ada Biat Hoa
Hwesio di antara mereka itu bertiga.
"Oh kiranya Cin Tayjin dan Kheng Tayjin!" ia lantas berkata
sambil tertawa. "Apakah keangkaran kamu di atas gunung
Binsan masih belum cukup maka sekarang kedua tayjin
datang pula kemari untuk melakukan penangkapan" Sayang
bukannya guru kamu yang datang kemari! Sayang orang tak
sedemikian sabar seperti guru kamu yang sanggup mendapat
umpat caci orang!
Di gunung Binsan, kedua tong-nia ini telah diperhina Kim
Sie Ie. Mereka telah disiksa, diperintah memaki habis-habisan
guru mereka. Itulah peristiwa sangat memalukan mereka. Di
dalam dunia Kangouw peristiwa demikian belum pernah
terjadi. Sekarang Cie Hoa mengejek mereka, bukan main
mendongkol mereka, hingga mereka menjadi sangat gusar.
Kheng Sun berjingkrak.
"Budak bangsat!"dampratnya. "Kematian lagi mendekati
kau, kau masih berani mencaci orang!"
Cie Hoa tidak gusar. Sebaliknya, ia tertawa.
"Mencaci orang ialah kepandaian istimewa dari kamu!"
katanya. "Aku toh tidak mencaci kamu" Aku hanya hendak
menanyakan kamu, apakah salahku, apakah dosaku tak
berampun, maka sekarang kamu datang kemari berniat
menangkap aku" Aku tidak membunuh orang atau membakar
rumah, aku juga tidak menghina dan mencaci guru kamu!
Kenapa kau bilang kematianku lagi mendatangi...?"
Belum berhenti suaranya Cie Hoa atau Cin Tay telah
membacok padanya. Sebat sekali komandan Gielimkun itu
menghunus senjata yang tergantung di pinggangnya.
Cie Hoa masih tidak gusar. Ia tetap tertawa. Ia cuma
berkelit mundur.
"Jikalau kamu mementang ba-cot kamu dan memaki, aku
jeri juga sedikit terhadap kamu!" katanya dingin. "Tetapi
sekarang kamu menghunus golok dan kamu menyerang, itu
artinya kamu mencari penyakitmu sendiri!"
Dengan melintangkan pedangnya, nona ini menangkis
bacokan yang kedua kali. Senjata mereka beradu keras,
memperdengarkan suara yang nyaring.
Cin Tay penasaran, maka ia menyerang pula, bahkan
beruntun ia menyerang hingga enam kali.
Si nona berlaku tenang, ia mengganda mundur dan
menangkis, dengan begitu, enam kali senjata mereka bentrok
satu pada lain. Kesudahannya golok kalah dengan pedang,
golok itu sempoak disana-sini, tidak perduli Cin Tay
menggunai golok yang terbikin dari baja pilihan.
Cie Hoa melayani dengan tenang, meski sebenarnya ia
benci ini dua komandan sebab itu hari merekalah yang hendak
membongkar kuburan gurunya. Ia memikir, setelah membikin
terpental goloknya Cin Tay, hendak ia menggaplok Kheng Sun,
guna memberi hajaran pada dua orang itu.
Selama itu, selainnya Kheng Sun, juga opsir yang tuaan
berdiri menonton saja, baru kemudian, mendadak ia mengasih
dengar seruannya, disusul sama melesatnya tubuhnya ke arah
si nona, tangannya terus menyambar nona itu. Nyata dia telah
menggunai "Taylek Mojiauw Kang", ialah Cengkeraman Iblis.
Cie Hoa terperanjat. Syukur ia waspada. Dengan sebat ia
menangkis, hingga tangan mereka beradu. Kesudahannya itu,
dua-dua mereka terkejut. Sebab mereka merasai telapakan
tangan mereka sesemut-an. Si opsir sudah lantas memeriksa
tangannya. Kalau si nona cuma sesemutan, dia kena tertotok
jalan darahnya, hingga dia menjadi penasaran.
Di luar kamar Cie Hoa itu ada satu pekarangan yang cukup
lebar, dimana pun ada dua bocah pohon gouwtong. Di tengah
malam seperti itu, pekarangan itu sunyi sekali. Tidak ada lagi
tetamu lainnya, yang berangin disitu. Tapi si opsir pergi ke
pekarangan itu dimana dari pinggangnya ia meloloskan sehelai
joanpian atau cambuk. Ia lantas berkata: "Nona Kok, gerakan
Hud-in Ciu kau ini tidak dapat dicela! Telah lama aku
mendengar ilmu pedang Hian Lie Kiamhoat dari Lu Su Nio,
katanya itu luar biasa sekali, maka itu, sekarang kau
keluarkanlah itu, untuk aku membuka mataku!"
Cie Hoa heran juga orang mengenal tangkisannya itu,
tangkisan Hud-in Ciu. Tapi ia tidak merasa aneh orang
mengetahui ilmu pedang gurunya. Karena orang berlaku
sungkan, ia tidak mau membawa sikap seperti terhadap Cin
Tay dan Kheng Sun. Maka ia memberi hormat seraya
memegang pedangnya.
"Aku belajar ilmu pedang pada guruku cuma buat beberapa
tahun," katanya, "apa yang aku dapatkan cuma kulit dan
bulunya. Kepandaian itu cuma cukup buat dipakai melayani
maling-maling cilik, dari itu mana bisa itu dipakai untuk
membuka mata tayjin?"
Sabar suara si nona tetapi dengan begitu sekalian ia
mengejek Cin Tay dan Kheng Sun, maka juga si komandan
she Kheng mengasih dengar suaranya: "Hm! Pasti kau tidak
bakal dapat melayani Pek Tayjin! Sebentar kau mesti meletaki
pedangmu untuk kau mendengar keputusannya!"
Mendengar demikian, tahulah si nona bahwa orang itu she
Pek. "Oh, kiranya Pek Tayjin?" ia berkata. "Tayjin, aku
menumpang bertanya kepada kau, apakah maksud kau ini"
Kau sebenarnya hendak mencoba-coba ilmu pedangku atau
sengaja hendak menawan aku" Aku minta tanya, sebetulnya
aku melanggar undang-undang fatsal apa?"
Opsir usia pertengahan itu tertawa.
"Nona Kok, baiklah kau jangan banyak pikir-pikir!" katanya,
sabar. "Pasti sekali aku cuma ingin menyaksikan ilmu pedangmu
maka aku hendak mencobanya. Tentang urusanmu dengan
kedua tuan ini aku tidak mencampur tahu! Jangan sungkan,
nona, kau boleh menyerang terlebih dahulu!"
Cie Hoa menganggap jawaban itu lucu, maka ia
memikirkannya. "Pek Tayjin," katanya, "kalau benar tayjin suka memberi


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengajaran padaku, baiklah, dengan menunjuki keburukanku,
suka aku menemani kau. Tapi silahkan tayjin yang mulai
memberikan pengajaran!"
Inilah kebiasaan kaum Kangouw, untuk saling merendah
atau saling menghormat. Karena orang berlaku sungkan, Cie
Hoa tidak mau mendahului menyerang. Ia menyangka opsir
itu tentu bakal mengalah terlebih jauh. Nyata ia menduga
keliru. "Jikalau demikian, baiklah, aku tidak berlaku sungkan pula!"
berkata si opsir yang mendadak saja maju menyerang. Hebat
serangannya itu, yang terus disaling susulkan hingga tiga kali
sebab pertama si nona berkelit, lalu berkelit pula.
Serangan cambuk itu dengan menggunai tipu silat "Angin
puyuh menyapu yangliu". Dan untuk melawannya, dalam
repotnya, Nona Kok menggunai tipu silat "Angin meruntuhkan
bunga", mengikuti ujung cambuk, ia berkelit dengan lincah,
tubuhnya terus berputaran.
Opsir itu tidak berhenti dengan desakannya itu. Setelah tiga
kali menyerang gagal, ia melanjuti dengan serangan lainnya.
Ia memaksa si nona dari kiri berkelit ke depan dua tindak.
"Nona Kok, tak usah kau sungkan!" dia berkata tertawa.
Sambil berkata itu, tangan kirinya diluncurkan, lima jari
tangannya dibuka, untuk dipakai menyambar menyengkeram!
Cie Hoa berkelit pula, ia berlaku sebat, tidak urung dengan
satu suara memberebet, ujung bajunya kena juga tersambar
robek! Itulah bukannya bersilat untuk mencoba-coba. Itulah
serangan yang meminta jiwa. Cie Hoa lantas sadar. Teranglah
dengan alasan palsu itu, Pek Tayjin ini hendak
merobohkannya. Atau sedikitnya, ia hendak dibikin menjadi
letih dan tidak berdaya, supaya leluasalah Cin Tay dan Kheng
Sun membekuk padanya. Dengan begitu dia tidak bisa
dikatakan mencampur tahu tugasnya dua komandan itu.
Mulanya Cie Hoa masih berkesan baik pada tayjin ini, tapi
sekarang, ia menjadi mendongkol, ia menjadi gusar sekali.
"Kau benar, Pek Tayjin," katanya dingin. "Untuk bertempur,
orang tidak harus main kasihan-kasihan lagi. Aku bersedia
untuk menuruti perintah kau!"
Kata-kata ini ditutup dengan serangan pedang. Benarbenar
si nona tidak berlaku sungkan lagi. la telah menggunai
tipu-tipu dari Hian Lie Kiamhoat. Hanya sayang untuknya,
walaupun ia paham, ia kurang latihan, tenaga dalamnya
belum cukup untuk mengimbangi ilmunya itu, untuk dapat
digunai secara mahir sekali. Meski demikian, ia dapat melayani
Pek Tayjin itu.
Opsir Gielimkun itu liehay ilmu cambuknya, sudah begitu,
dia dibantu banyak oleh sambar-sambaran tangan kirinya,
maka itu, berselang tiga puluh jurus, mereka berdua masih
sama unggulnya.
"Hebat," pikir Pek Taydiin itu. Ia menjadi bergelisah
sendirinya, bukan disebabkan ia keteter, hanya ia merasa
malu sampai sebegitu jauh ia masih belum menang di atas
angin. Ia merasa muka terangnya menjadi guram.
Cie Hoa pun berkelahi dengan pikirannya diganggu oleh
pertanyaan dalam hatinya sendiri: "Heran! Mengapa mereka,
ketahui aku berada disini?"
Sebenarnya Pek Tayjin itu bernama Liang Kie. Ialah huciehui,
atau komandan muda, dari Gielimkun, pasukan pengiring
raja. Ia tengah mendapat tugas untuk pergi membantu sunbu
dari Shoatang, untuk membekuk satu perompak yang kesohor.
Ia menjadi sahabatnya Cin Tay dan Kheng Sun itu. Kebetulan
sekali ia bertemu dua sahabat itu di saat si sahabat malu
pulang lantaran mereka kena diperhina Kim Sie Ie dan mereka
itu lantas memohon bantuannya. Ia suka menolong. Ia lantas
mengajukan permohonan kepada raja, sampai kejadian dua
orang itu diangkat menjadi pembantunya. Demikianlah
bersama-sama mereka menuju ke Shoatang. Itu hari mereka
tiba di Laybu dan menginap di kantor pembesar negeri. Kirakira
jam dua tengah malam itu, mereka didatangi seorang
yahengjin, yang telah menceploskan sepucuk surat dari
jendela. Liang Kie liehay tetapi ia tidak tahu apa-apa, sampai
orang telah pergi, hingga yahengjin itu, tidak dapat
diketemukan. Ketika ia memeriksa suratnya, bunyinya ringkas
saja, ialah: "Kok Cie Hoa dari Binsan Pay menginap di dalam Hotel Jie
Ie." Dari Cin Tay dan Kheng Sun, Pek Liang Kie telah ketahui
siapa itu Kok Cie Hoa, sudah begitu, dua sahabat itu sudah
lantas minta bantuannya guna membekuk nona dari Binsan
Pay itu. Sebenarnya ia tidak memikir mencampur tahu urusan
itu, ia sendiri lagi bertugas, akan tetapi kapan ia ingat Lu Su
Nio ialah musuh besar dari Kerajaan Ceng, ia menganggap
baiklah ia memberikan bantuannya. Lu Su Nio itu ialah yang
pada empat puluh tahun dulu sudah membunuh Kaisar Yong
Ceng, dan ia dicari secara diam-diam oleh pemerintah. Benar
Lu Su Nio sudah mati tetapi Kok Cie Hoa ini murid tunggalnya,
jadi sama saja kalau murid ini dibekuk. Demikian mereka pergi
bersama ke Hotel Jie Ie.
Pek Liang Kie seorang cerdik, karena pemerintah sendiri
bekerja dengan diam-diam, ia menyontoh sikap pemerintah
itu. Tidak sudi ia secara berterang memusuhkan Binsan Pay.
Maka ia bawa cara kaum Kangouw untuk menghadapi si nona.
Hingga Cie Hoa menjadi semakin heran menghadapi musuhmusuhnya
itu. Tidak heran kalau Pek Liang Kie liehay. Inilah murid
disayang dari Sinpian In Loopiauwsu, ialah piauwsu tua she In
gelar Cambuk Sakti dari kota Taytong. Di samping itu, ia
berhasil mewariskan ilmu silat Engjiauw Kang dari See Thian
Cun, ketua yang menjadi ahli waris dari partai Engjiauw Bun.
Karena menganggap dirinya liehay, ia tidak memandang mata
pada Cie Hoa walaupun si nona murid Lu Su Nio. Baru setelah
bertempur, ia insyaf akan liehaynya nona muda itu.
Pertempuran berlangsung terus, sampai kira-kira lima puluh
jurus. Tempat bertempur itu terus dalam kesunyian kecuali
angin dari gerak-gerik mereka, dari sambar menyambarnya
pedang dan cambuk. Justeru begitu, sekonyong-konyong
mereka mendengar satu seruan kecil tetapi tajam: "Kurang
ajar! Jam tiga malam buta rata ini kamu membikin banyak
berisik dengan bertarung disini! Kamu tidak mau tidur, apakah
lain orang juga tidak mau tidur seperti kamu" Lain orang
justeru ingin beristirahat! Jikalau kamu mau berkelahi,
pergilah keluar!"
Suara itu terang datang dari salah sebuah kamar hotel itu.
Pek Liang Kie heran, hatinya sampai terkesiap. Biasanya di
hotel kecil penghuni-penghuninya paling takut perkara,
sedang sekarang ini, orang hotel sudah mengetahui ia beserta
kedua kawannya ialah opsir-opsir Gielimkun. Tuan rumah
sudah mengunci pintu, dia tidak berani muncul, dari itu,
kenapa ada ini seorang tetamu yang menyatakan tidak
senangnya, bahkan mereka diusir secara tak sungkan-sungkan
lagi" "Ah, aku sembrono..." pikir Liang Kie. "Bukankah aku masih
belum tahu siapa si pengirim surat itu" Kenapa aku lancang
melakukan penangkapan" Bukankah aku telah kena terjebak
akal muslihat mereka?" Karena ini, ia menjadi mau menduga
Cie Hoa mempunyai kawan. Atau si pengirim surat sengaja
memancing lain orang lagi datang kesitu, untuk membikin
bertambah kacaunya keadaan.
Selagi Pek Liang Kie itu ber-sangsi, Kheng Sun sudah habis
sabar. "Siapa berani usilan?" dia menegur. "Kau keluarlah, mari
kau menemui toaya kamu!"
Orang tadi mengasih dengar suara "Hm!"Kali ini suara itu
agak menusuk telinga.
Pek Liang Kie terkejut, lekas-lekas ia berkata: "Kita disini
sedang mengurus perselisihan di antara kami kaum Kangouw,
kami harap sukalah kami diberi maaf! Sebentar kami akan
datang untuk menghaturkan maaf!"
Kembali orang itu mengasih dengar "Hm!"Hanya sekarang
ditambah dengan kata-kata yang dingin: "Siapa perdulikan
perselisihan kamu! Jikalau kamu tahu diri, lekas kamu
mengangkat kaki, pergi dari sini!"
Tidak keras suara itu tetapi terdengarnya seperti di dekat
telinga. Cin Tay dan Kheng Sun hendak menahan sabar akan tetapi
tidak dapat. "Pembesar Gielimkun berada disini tengah menangkap
orang jahat!" mereka berteriak. "Jikalau kau tahu diri, lekas
pergi bersembunyi!"
Mendengar teriakan itu, Pek Liang Kie mengeluh di dalam
hatinya: "Celaka! Ini artinya rahasia terbuka! Kenapa Cin Tay
dan Kheng Sun kurang pengalaman" Mana dapat orang
Kangouw seperti orang ini digertak dengan nama Gielimkun?"
Belum habis komandan ini berkata di dalam hatinya itu, ia
sudah mendengar tertawa dingin dari orang tidak dikenal,
yang berkata nyaring: "Sungguh angkar! Dengan berkerebong
hanya sehelai kulit harimau, apakah kamu kira dapat kamu
berbuat seperti raja-rajaan?"
Suara itu disusul suara orang turun dari pembaringan, lalu
terdengar orang seperti meraba-raba mencari sesuatu, hingga
terdengar pula suara membenturnya semacam senjata tajam.
Cin Tay dan Kheng Sun tidak takut, bahkan di dalam hati,
mereka berkata: "Apakah itu bukan melainkan suara guntur
dan hujan besar" Jikalau dia benar hendak menerjang, perlu
apa dia main ayal-ayalan?"
Sebaliknya Pek Liang Kie semakin berkuatir. Makin orang
itu lambat-lambatan, makin ia bergelisah.
Di dalam satu pertempuran jago lawan jago, tidak dapat
lengah atau berayal. Ini telah terjadi terhadap Pek Liang Kie,
yang perhatiannya terpecah dua. Maka kagetlah ia ketika
pedangnya Cie Hoa menyambar ke pundaknya lalu menyontek
robek baju lapis besi yang lunak yang melindungi tubuhnya.
Di saat itu maka terdengarlah suara orang membuka pintu.
Ketika itu, Cin Tay dan Kheng Sun meluruk berbareng,
untuk menyerang Cie Hoa. Mereka kaget sebab mereka
menyangka Pek Liang Kie terluka parah, mereka pikir, mesti
lekas-lekas mereka merobohkan si nona, agar mereka tidak
menanti keluarnya orang tidak dikenal itu yang gerak-geriknya
aneh. Mereka menyerang dari kiri dan kanan, dengan masingmasing
goloknya, untuk mencoba membikin kutung kedua
lengan si nona.
Dua opsir ini menggunai tipu golok Binsan Pay yang
dinamakan "Koaytoo ciat", atau "Golok sebat". Dulu hari, di
antara Kanglam Pathiap, Delapan Jago Kanglam, Pek Tay
Koan adalah yang terliehay dengan ilmu golok itu. Tentu
sekali, Kok Cie Hoa kenal baik ilmu itu. Coba ia cuma melawan
dua orang, dengan gampang ia dapat menghindarkan diri.
Tapi sekarang ia dikepung oleh Liang Kie yang liehay itu.
Tengah ia terancam itu, mendadak ia mendengar seruan yang
ia kenal: "Enci Kok, jangan berkuatir! Akan aku bantu kau!"
Itulah suara Le Seng Lam. Maka heran Cie Hoa. Suara itu
beda daripada suara yang tadi keluar dari dalam hotel. Tapi ia
tidak bisa berpikir lagi. Untuk membebaskan diri, ia mendekam
sedikit, tubuhnya mencelat ke depan. Ia merasakan seperti
golok-golok musuh lewat di punggungnya. Justeru ia tiba di
depan, justeru angin menyambar. Itulah Pek Liang Kie dengan
tangannya yang menyengkeram bagaikan kuku burung
garuda! "Celaka?" ia mengeluh seraya ia mencoba berkelit.
Tapi ketika itu, serangannya Pek Liang Kie sudah tidak
diteruskan. Opsir itu berdiri tegak, sebelah tangannya diulur,
lima jarinya mengancam. Cuma sebegitu gerakannya itu. Di
lain pihak lantas terdengar suara jatuh bergedebuk dua kali,
lalu terlihat robohnya Cin Tay dan Kheng Sun ini, agaknya
mereka seperti terobohkan oleh totokan pada jalan darah
mereka. Cie Hoa terperanjat, la tahu kegagahannya Pek Liang Kie,
ia ketahui juga Iiehaynya Le Seng Lam, maka heran nona Le
itu dapat mengalahkan si orang she Pek. Si nona mestinya
berada di bawahan Liang Kie. Benar Seng Lam sangat cerdik,
tetapi untuk menggunai ilmu totok, kecerdikan saja sukar
menolong. Pula, walaupun dengan jarum Bweehoa ciam,
masih sulit untuk merobohkan Liang Kie. Di sebelah itu Cin
Tay dan Kheng Sun bukan sembarang orang, yang dapat
dirobohkan dengan mudah. Maka ia menjadi tercengang.
"Enci Le, kaukah di sana?" kemudian ia tanya setelah ia
mendusin. Tidak ada jawaban!
Hal ini kembali membikin Cie Hoa heran. Bukankah barusan
ia mendengar suaranya nona itu" Kemana perginya dia
sekarang" Kenapa dia berdiam saja dan tidak muncul juga"
Berpikir terlebih jauh, herannya Nona Kok bertambah.
Dalam hal ilmu ringan tubuh, ia menang dari Seng Lam. Maka,
kenapa nona itu dapat menghilang dari hadapannya" Habis,
siapakah yang mempermainkan Liang Kie ini" Adakah dia Seng
Lam, atau lain orang" Ataukah dialah si orang aneh yang
menggoda ia berulang-ulang"
Belum lenyap keheranan Cie Hoa, lain peristiwa sudah
menyusul. Di antara tiga orang itu, Pek Liang Kie yang paling liehay.
Dia rupanya dapat mengempos tenaga dalamnya, untuk
membebaskan totokan atas dirinya. Mendadak dia dapat
menggeraki tubuhnya, terus kedua tangannya turut bergerak
juga. "Main bokong, apakah itu perbuatan seorang gagah
perkasa?" demikian orang she Pek itu berkata, mengejek.
"Jikalau kau mempunyai nyali, mari perlihatkan diri melayani
aku!" Perkataan ini dibarengi ayunan cambuk, yang menjeter di
udara kosong. Tapi, belum sempat dia menghentikan katakatanya
itu, atau dia menjerit "Aduh!" dan terus dia
membungkam pula. Berbareng dengan itu disana terdengar
suara tertawa dingin dan ejekan ini: "Apakah binatang
sebagaimu sepadan untuk bertanding denganku"..."
Aneh suara itu, mulanya terdengar dekat, habisnya lantas
terdengar jauh, seperti dari jarak satu lie. Lantas sunyilah
suasana di sekitar mereka.
Cie Hoa heran hingga ia menjadi bingung. Orang itu liehay
luar biasa, la sampai sukar mempercayainya.
Kapan si nona memandang Pek Liang Kie, ia mendapatkan


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain hal yang menambah keheranannya itu. Di pempilingan
Liang Kie nempel selembar daun. Lantas ia mendengar Liang
Kie menjerit kaget, sebab waktu orang mengangkat
tangannya, akan menyingkirkan daun itu, di pempilingan itu
ada tanda bekas daun itu!
Komandan Gielimkun itu takut tidak terkirakan, dia seperti
juga bertemu hantu, mukanya menjadi pucat dan biru, dengan
masing-masing sebelah tangannya menyambar Cin Tay dan
Kheng Sun, dia berlompat untuk mengangkat kaki...
Gesit sekali gerakan Liang Kie itu, Cie Hoa tidak sempat
mengejarnya. Si nona pun memang tidak niat mengejar
padanya. Karena ketika Cin Tay dan Kheng Sun itu dibawa
pergi, ia masih melihat dari pempilingan mereka itu juga
terjatuh dua lembar daun seperti yang terjatuh dari
pempilingannya Liang Kie, dan barusan itu, kedua orang itu
pun mengasih dengar keluhan...
Sekarang tinggal Cie Hoa di paseban itu. Ia mengangkat
kepalanya mengawasi ke atas kedua pohon gouwtong. Lagi
sekali ia menjadi heran. Kedua pohon itu, yang tadinya
berdaun lebat, sekarang daunnya ia tidak dapat melihatnya"
Pula ia heran atas kepandaian orang itu menggunai daun
sebagai senjata rahasia, untuk merobohkan Pek Liang Kie
bertiga. Jangan kata Seng Lam, Kim Sie Ie pun tidak dapat
melakukan itu! Maka, siapakah orang aneh itu" Adakah ia yang dua hari
yang lalu pun mempermainkan padanya" Ia menduga kepada
Le Seng Lam, Kim Sie Ie dan Beng Sin Thong, tetapi
kesudahannya, ia menyangsikan mereka itu. Kalau dialah si
orang aneh, yang ia tidak kenal, kenapa dia mencoba
memperlambat perjalanannya dan sekarang menolong
padanya" Apakah maksudnya dia itu"
Masih ada lagi! Mengapa Le Seng Lam tidak sudi
memperlihatkan diri" Bukankah tadi nona itu telah mengasih
dengar suaranya" Suara itu bukannya suara palsu! Dia
mengatakan hendak membantui ia tetapi dia tidak muncul"
terus tidak sampai sekarang ini. Kenapa-kah" Apakah dia mau
menyingkir dari ia" Kalau benar, apakah sebabnya.
Pusing Nona Kok kapan ia memikirkannya lebih jauh. Ia
pun tidak dapat menduga-duga. Maka kemudian ia masuk ke
dalam hotel. Semua pintu kamar dikunci. Tidak ada seorang
tetamu juga yang memperlihatkan dirinya. Mereka hati kecil,
mereka takut keluar. Karena ini sukar untuk mencari si orang
aneh andaikata dialah salah satu penghuni hotel itu.
Sia-sia belaka Cie Hoa memeriksa seluruh hotel. Oleh
karena itu, ada kemungkinan, habis keluar dengan menutup
pintu, si orang aneh terus tidak kembali. Atau dia mungkin
sengaja mengasih dengar suara di pintu tetapi kenyataannya
dia keluar dari jendela.
Sebagai seorang nona, dan bersendirian saja, malu Cie Hoa
untuk menggedor setiap kamar, untuk berbicara pada mereka
itu masing-masing. Maka kesudahannya, ia pergi ke kamar
pemilik hotel. Bukan main hormatnya si pemilik. Dia telah mengetahui si
nona sudah mengalahkan dan membikin kabur ketiga
komandan Gielimkun, dia takut, dia menaruh hormat. Lalu,
dengan menjura berulang-ulang, dengan kata-kata yang
merendah, dia meminta sangat untuk si nona lekas-lekas
meninggalkan hotelnya itu. Dia kata dia takut nanti kena
kerembet-rembet.
"Aku hendak menanyakan halnya dua orang," Cie Hoa
bilang. "Asal kau sudah memberikan keteranganmu, aku akan
lantas berlalu dari sini!"
Pemilik itu menjanjikan bantuannya, tetapi ketika ia
ditanyakan, ia tidak sanggup memberikan keterangannya. Ia
kata ia tidak tahu halnya si orang aneh. Kemudian ia cuma
dapat menjelaskan sedikit tentang Le Seng Lam. Katanya:
"Nona itu datang tak lama sedalangmu nona. Dia tanya aku
apa ada datang wanita muda, yang romannya ia lukiskan mirip
dengan kau. Setelah mendengar nona menginap disini, dia
lantas pergi pula."
Cie Hoa mendongkol.
"Kenapa kau tidak memberitahukan aku tentang
kedatangan dia itu?" ia tanya.
"Aku takut, nona, aku takut nanti terbit onar..." katanya,
tubuhnya menggigil, saking takutnya.
Sebenarnya pemilik hotel ini bicara separuh benar dan
separuh-nya dusta. Ketika Seng Lam datang dan menanyakan
keterangannya, nona itu memberikan ia banyak uang dengan
dia diancam jangan banyak omong. Sekarang ia didesak Cie
Hoa, saking takut, ia memberikan keterangannya yang tidak
jelas itu. Cie Hoa merasa tidak enak sendirinya mengancam si
pemilik hotel, maka ia memberikan sepotong perak, katanya
sebagai penggantian kerugian, setelah mana, ia lantas pergi
tanpa memperdulikan hari masih malam dan gelap. Bahkan ia
pergi tanpa membawa keledainya, hingga binatang itu pun
menjadi barang presenan untuk tuan rumah.
Sebelum meninggalkan hotel, Cie Hoa masih mencari Seng
Lam di sekitar itu, setelah usahanya tidak berhasil, baru ia
pergi. Ia berjalan terus sampai sang fajar tiba. Kebetulan ia
sampai di sebuah dusun kecil. Maka sembari singgah, ia
membeli seekor binatang tunggang, untuk dengan itu
melanjuti perjalanannya. Kali ini ia berjalan cepat selama tiga
hari. Di tengah jalan, ia tidak memperoleh gangguan apa juga.
Seng Lam tetap tidak dikete-mukan, dan ketiga opsir
Gielimkun tidak datang pula untuk merintanginya. Kejadian itu
sebaliknya membuatnya heran.
"Heran, mengapa Seng Lam mengikuti aku?" demikian ia
berpikir. "Kenapa dia tidak mau memperlihatkan diri?"
Di hari ke empat, di waktu matahari selam, Nona Kok tiba
di Kie-bek. Inilah sebuah kota tua dan terkenal. Di Jaman
Peperangan, Cian Kok, Tian Tan telah menggunai pasukan
Kerbau Api untuk menggempur tentara negeri Yan. Kota itu
membelakangi gunung dan menghadapi laut, tembok kotanya
tinggi dan tebal. Dari sini, ke timur orang dapat pergi ke
Laosan, ke selatan ke Cengto. Dengan kuda yang dilarikan
keras, perjalanan hanya seharian. Disini Cie Hoa singgah
untuk beristirahat. Setelah berjalan selama beberapa hari, ia
ingin beristirahat. Ia pun percaya, besok malam ia akan sudah
dapat menemui Kim Sie Ie. Maka itu, di samping berlega hati,
ia pun bergembira...
Hotel yang disinggahi Cie Hoa ialah sebuah hotel di dalam
kota. Habis bersantap malam, ia ingin merebahkan diri. Tibatiba
ia mendengar satu suara parau: "Kasihkan aku sebuah
kamar untuk wanita. Ini uang sepuluh tail perak, untuk
sewaan kamar dan barang makanannya satu hari, uang
kelebihannya untuk kau sendiri."
Pengurus hotel girang sekali. Untuk kamar dan makanan,
uang tiga tail pun sudah lebih daripada cukup. Maka ia
mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Kemudian ia
tanya: "Siapa tetamu wanita itu" Bagaimana romannya dia"
Kapannya dia akan tiba disini" Nanti aku mengirim pelayan
untuk memapaknya."
"Dialah anakku," berkata orang dengan suara parau itu. "Ia
bermuka potongan kwacie, rambutnya dijalin menjadi dua
bocah kuncir. Ia pun membawa pedang di pinggangnya. Ada
sangat gampang untuk mengenali ianya. Aku she Kok. Kami
melindungi apa yang disebut pengangkutan piauw gelap.
Kalau dia datang, kau bilangi dia supaya besok dia menantikan
aku di kuil Siangceng Kiong di Laosan. Mungkin dia tiba disini
sesudah sore."
Cie Hoa terkejut mendengar kata-kata orang itu, belum
sempat ia berpikir apa-apa, ia lantas mendengar suaranya
pengurus hotel: "Kok Loopiauwsu, puterimu itu sudah tiba
disini..."
Agaknya si suara parau itu heran.
"Apa" Dia sudah sampai" Dan dia tinggal sama kau disini?"
katanya saling susul.
"Dia bukannya Beng... Beng Sin Thong?" kata Cie Hoa
dalam hati. la lantas saja bekerja Dengan hati-hati ia keluar
dari jendela, untuk terus naik ke atas genteng, untuk pergi ke
depan, ke ruangan yang menjadi kantoran si pemilik hotel.
Disini ia menyantel kaki di payon rumah, untuk membikin
tubuhnya meroyot turun. Dengan begitu ia bisa mengintai ke
dalam kantoran.
Segera setelah melihat ke dalam, Cie Hoa menjadi kaget
sekali. Orang yang bicara dengan pengurus hotel benar Beng
Sin Thong. Tidak ayal lagi, ia memikir untuk mengangkat kaki
buat menyingkir dari hotel itu. Belum ia mengangkat
tubuhnya, ia mendengar orang itu berkata: "Kalau begitu, dia
telah tiba terlebih dulu! Baiklah, sekarang aku mau pergi
untuk membelikan dia barang makanan, sebentar aku nanti
menemukan dia."
Tuan rumah heran, pikirnya: "Biasanya seorang piauwsu
dapat menghitung tepat waktu perjalanannya, kenapa dia ini
terlambat" Kenapa dia tidak tahu anaknya sudah sampai
terlebih dulu" Pula, sesudah sama-sama berada disini, kenapa
dia tidak mau menemui lebih dulu pada anaknya ini" Toh
masih ada waktu" Kenapa dia terburu-buru begini rupa?"
Meski begitu, karena uang sudah ada di tangannya, ia tidak
menanyakan itu. Hanya ia kata: "Loopiauwsu aku perlu
menyediakan kamar untuk kau sendiri?" Sementara itu, Cie
Hoa masih mengawasi dengan tajam. Kalau si tuan rumah
heran ia lantas jadi bercuriga. Ia mendapat perasaan bahwa
orang ini lebih kate daripada Beng Sin Thong yang menjadi
ayahnya itu. Begitu ia merasa pasti, ia menjadi gusar.
Katanya dalam hatinya: "Kurang ajar kau! Meskipun ayahku
manusia busuk, kau tidak harusnya menyamar menjadi
dianya!" Ketika itu, ia mendengar Beng Sin Thong itu kata, raguragu:
"Baiklah, kau boleh menyediakan sebuah kamar
untukku..."
Sembari berbicara, dia berjalan menuju ke pintu.
Tepat di itu waktu, di luar pintu muncul tiga orang, maka
mereka menjadi berpapasan. Dari antara tiga orang di luar itu,
yang satu sudah lantas mengasih dengar suaranya yang
nyaring dan keras: "Manusia kurang ajar, siapakah kau"
Mengapa kau berani menyamar menjadi aku si Beng tua?"
Kembali Cie Hoa terperanjat. Ia melihat nyata, orang itu
ialah Beng Sin Thong yang sejati, sedang dua yang lain yaitu
Biat Hoa Hwesio serta Cianciu Sintouw Kie Siauw Hong, murid
yang baru dari Beng Laokoay.
Cie Hoa heran kenapa ayahnya itu dapat menyusul ia. Ia
tidak ketahui duduknya kejadian.
Ketika malam itu rombongan Tan Thian Oe dapat
menolongi Lie Kim Bwee, murid-muridnya Beng Sin Thong
mencari berpencaran. Setelah dirobohkannya Hang Hong dan
lainnya orang berhenti mencari atau mengejar. Tidak demikian
dengan Kie Siauw Hong, sebab dialah seorang Kangouw
ulung, ilmu ringan tubuhnya sempurna dan orangnya pun
cerdik. Dia mencari dengan mengikuti lain-lain orang,
kemudian ia memisahkan diri. Saking pesat larinya, ia berhasil
menyandak rombongan Thian Oe. Diam-diam ia menguntit
mereka. Sekalipun Kok Cie Hoa dan Lee Seng Lam pun tidak
ketahui ada yang menguntitnya. Maka itu, Siauw Hong
berhasil mencuri dengar pembicaraan mereka. Baru setelah
itu, dia lari pulang, guna mengasih kabar pada Beng Sin
Thong. Beng Laokoay cerdas sekali, ia lantas dapat berpikir dan
menduga. Ia percaya: Kim Sie Ie benar bersiap di Laosan
untuk pergi berlayar, bahwa dusta Kim Sie Ie mau pergi
mencari Tan Thian Oe di Souwciu. Ia duga mestinya Kok Cie
Hoa bakal mencari Kim Sie Ie. Maka, dengan mengajak Biat
Hoa dan Siauw Hong, ia lantas berangkat menyusul. Dalam
perjalanan ini ia terlambat setengah hari. Di hari ketiga ia
sampai di hotel yang disinggahi Cie Hoa. Pengurus hotel heran
melihat padanya. Pengurus itu memegang tangannya dan
menanya: "Kok Looyacu, mengapa kau kembali kesini"
Puterimu telah bermalam disini, dia telah minum anggur yang
kau tinggalkan untuknya. Besoknya dia bangun terlambat,
lantas dia menggusari kami..."
Beng Sin Thong heran. Ia lantas minta keterangan. Setelah
itu ia menarik kesimpulan bahwa orang telah menyamar
sebagai dia, untuk mengganggu atau mencelakai puterinya
itu. Ia menjadi gusar sekali. Tidak ayal lagi, ia berangkat
menyusul. Di sepanjang jalan, ia membuat penyelidikan.
Akhirnya ia, bersama dua kawannya itu, sampai di hotel ini
dimana ia memergoki Beng Sin Thong palsu itu!
Beng Sin Thong palsu kaget, agaknya dia ketakutan. Tapi
juga Cie Hoa berkuatir sekali, sebab ia tahu ayah itu tentunya
lagi mencari ia. Ia tidak berani berdiam lebih lama pula meski
sebenarnya ia ingin menyaksikan si palsu dibuka rahasianya
oleh si tulen. Ia menganggap baiklah tengah mereka itu rewel,
ia mengangkat kaki. Demikian dari belakang hotel ia
menyingkir dengan diam-diam.
Di dalam, Beng Sin Thong telah mengasih dengar
bentakannya: "Eh, manusia busuk, apakah kau masih tidak
mau memperlihatkan ceeongormu?" Sembari membentak itu,
sebelah tangannya menyambar bagaikan angin menderu.
Beng Sin Thong palsu itu gesit. Dia berkelit sambil terus
melompati dua bocah meja. Akan tetapi celaka, kumis jenggot
palsunya kena tersambar copot!
Beng Sin Thong tidak mau mengejar dengan turut
melompati meja. Ia anggap perbuatan itu menurunkan
martabatnya. Maka ia Lintas menyerang dengan Pekkhong
Ciang, Pukulan Udara Kosong.
Untuk membela diri, si palsu mengangkat sebuah bangku
pan-ping dengan apa ia menangkis. Maka, "Braak!" hancurlah
bangku itu terhajar pukulan yang dahsyat. Si palsu kena
tertolak keras hingga dia terpelanting, hampir dia terjungkal.
Beng Sin Thong menyambar sebuah mangkok, yang dia
remas hingga remuk, dengan itu dia menimpuk. Sangat cepat
gerakannya ini, timpukannya itu memberi hasil. Mukanya si
palsu kena terhajar, ltaapi nyata si palsu memakai kedok, ia
tidak terluka karenanya, cuma sebab serangan keras,
kedoknya itu pecah dengan berbunyi nyaring dan jatuh,
hingga terlihatlah wajahnya yang sejati. Ia hanya seorang
nona! Beng Sin Thong tercengang saking herannya, tapi sekejab,
iegcra dia tertawa bergelak-gelak.


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kiranya kau, budak setan!" katanya. "Kau berani
memalsukan diriku! Kau lihat, hari ini kau dapat lolos dari
tanganku atau tidak!"
Beng Sin Thong palsu itu, ialah si nona, Le Seng Lam
adanya. Ia tidak menghendaki Kok Cie Hoa berhasil menemui
Kim Sie le, maka sambil mengikuti, di sepanjang jalan ia
menggoda nona itu, untuk merintanginya. Di hari pertama ia
menyamar menjadi kakak Cie Hoa, ia mendahului memesan
kamar untuk si nona. Di hari kedua, setelah memikir, ia
anggap lebih sempurna kalau ia menyamar menjadi Beng
Laokoay. Ia tahu Cie Hoa jeri terhadap si siluman tua she
Beng itu, dengan ia menyamar jadi si siluman, mungkin Cie
Hoa lari kabur saking takutnya. Ia tidak menyangka, meski
benar Cie Hoa takut, Cie Hoa melanjuti terus perjalanannya
mencari Kim Sie Ie, bahkan Cie Hoa berangkat malam-malam,
tanpa singgah lagi di tempat dimana diduga dia bakal
bermalam. Karena kegagalan ini, ia menjadi ketinggalan oleh
Cie Hoa, baru setibanya di Laybu, dapat ia menyusul.
Orang yang mengirim surat dengan kisikan kepada Pek
Liang Kie, Kheng Sun dan Cin Tay ialah Seng Lam juga.
Maksudnya nona ini ialah dengan meminjam tenaga Liang Kie
agar Cie Hoa dapat diperlambat, sedikitnya agar dia mendapat
pusing kepala, supaya dia tiba di Laosan bukan pada waktu
yang dijanjikan dengan Kim Sie Ie. Habis mengirim suratnya
itu, ia bersembunyi untuk menyaksikan perkembangannya.
Nyatanya ia menampak Cie Hoa terancam bahaya jiwa. Inilah
ia tidak kehendaki.
Maka di saat itu juga, ia mengubah pikirannya, mau ia
menolongi nona itu; habis menolongi, ia pikir untuk
menggunai lain macam akal muslihat, buat melanjuti usaha
rintangannya. Di luar dugaannya, belum lagi ia turun tangan,
untuk memberi pertolongan, muncullah si orang aneh yang
tidak terkenal, yang membuatnya lari. Tidak dapat ia menerka,
siapa orang aneh itu.
Seng Lam percaya, karena gangguannya Pek Liang Kie, Cie
Hoa bakal terlambat, hingga dia bakal dapat ditinggalkan di
sebelah belakangnya. Maka itu, setibanya di Ciebek, ia lantas
menyamar menjadi Beng Sin Thong, untak menakut-nakuti,
guna membikin nona itu kabur pula. Ia tidak menyangka sama
sekali bahwa ialah yang ketinggalan, Cie Hoa sudah sampai
terlebih dulu. Pula lacur untuknya, disini ia justeru kepergok
Beng Sin Thong, hingga ia menjadi bingung.
Sambil tertawa terbahak, Sin Thong maju satu tindak demi
satu tindak, untuk menghampirkan nona yang bernyali besar
itu, yang berani mempermainkan padanya.
"Beng Laokoay!" Seng Lam berteriak saking berkuatirnya.
"Anak gadismu berada di dalam hotel ini, tahukah kau" Jikalau
tidak lekas kau pergi kepadanya, nanti dia lolos pula!"
Mendengar itu, Sin Thong melengak.
"Suhu!" Kie Siauw Hong pun lantas berkata, "barusan aku
melihat seorang lari di atas genteng! Entah siapakah dia..."
Sejenak itu, mengertilah Sin Thong.
"Lekas kejar dia!" perintahnya.
Justeru orang lagi melengak dan berbicara itu, Le Seng
Lam menggunai ketikanya yang baik. Ia menyerang dengan
semacam senjata rahasianya yang istimewa! Ia menimpuk.
Timpukannya itu mengasih dengar satu suara, setelah mana
terlihatlah menyambarnya segumpal asap atau kabut, di
dalam mana tertimpuk juga sinar berkeredepan yang pula
mengeluarkan suara sar-ser!
Itulah senjata rahasia jahat dari Keluarga Le, namanya
Tokbu Kimciam Hweeyam Tan, atau peluru Jarum Kabut
Berapi. Dulu hari pernah Le Seng Lam menggunai peluru api
dan jarumnya yang liehay ini untuk lolos dari tangan Beng Sin
Thong dan sekarang ia mengulangi menggunakannya.
Beng Sin Thong ketahui baik liehaynya jarum jahat itu,
dengan lantas ia menyerang dengan Pekkhong Ciang, maka
dengan cepat, asap berikut peluru jarumnya itu, kena terpukul
balik. Seng Lam melihat bahaya, ia berkelit. Pelurunya itu jatuh di
meja kuasa hotel, terus meledak, maka berkobarlah apinya.
Berbareng dengan itu terdengar suara sar-ser tak hentinya, di
dalam asap terlihat segumpal jarum menyambar meja dan
nancap! Pengurus hotel, yang ketakutan, sudah menyembunyikan
diri di kolong meja, mukanya pucat pias saking takutnya,
dengan banyak berisik dia berteriak-teriak: "Celaka! Celaka!
Orang bunuh orang! Kebakaran! Tolong! Tolong! Lekas
lolong!" Kie Siauw Hong takut terluka-kan, dengan satu lompatan
pesat, ia menyingkir keluar jendela. Itulah lompatan "Si tikus
tua menoblos h.ing". Setibanya di luar, segera ia bergerak
terus. Ialah ia berlompat rtaik ke atas genteng. Hanya, belum
lagi ia menaruh kakinya tetap di ulas genteng itu, telinganya
dapat menangkap suara dingin ini di sumpingnya: "Eh,
bangsat kecil, kau menggelindinglah turun!"
Siauw Hong ialah maling liehay nomor satu, gerakannya
gesit, telinganya tajam, ia bisa menang berlipat kali daripada
lain orang, tetapi kali ini ia kaget bukan kepalang, sebab tak
tahu ia ada orang di dekatnya itu. Dalam kagetnya, ia lantas
memikir untuk menyelamatkan diri, akan tetapi belum lagi ia
dapat menyingkir, kakinya sudah terasakan sesemutan dan
baal, hingga sejenak itu juga, ia roboh, terguling, jatuh dari
atas genteng! Biat Hoa Hwesio, yang semenjak tadi berdiam saja,
mendengar suara di luar itu, ia lompat melewati jendela, untuk
melihat. Segera ia menampak satu bayangan berkelebat ke
hadapannya, serta telinganya mendengar satu suara halus
tetapi dingin: "Kepala gundul bangsat yang tidak mentaati
agama, kau juga merasakan gaplokanku!" Atas itu segera ia
mengajukan kedua tangannya, untuk menangkis sambil
menyerang. Aneh bayangan di depannya itu, yang segera ternyata
adalah seorang nyonya, sebab lantas dia lenyap. Ia menjadi
kaget, lantas ia mengerti bahwa dirinya terancam. Tengah ia
kaget itu, ia merasakan angin berkesiur di belakang
kepalanya. Dengan sebat luar biasa, ia memutar tubuh,
tangannya turut diajukan untuk menangkis serangan, la telah
berlaku sangat cepat, lain orang masih lebih cepat pula!
"Plok!" demikian terdengar satu suara, lantas ia merasakan
sakit pada mukanya.
Itulah sebuah gaplokan, yang sudah mampir ke mukanya
itu " mampirnya tanpa ia melihatnya!
Beng Sin Thong telah mendesak Seng Lam, ia lagi
menghadapi saatnya untuk membekuk nona itu ketika ia
mendapatkan robohnya Kie Siauw Hong serta kejadian atas
dirinya Biat Hoa itu, hingga ia jadi melengak. Ia terkejut sebab
Biat Hoa menjerit tanpa merasa.
"Mungkinkah disini ada bersembunyi musuh liehay?" ia
menduga. Tapi ia tidak usah menduga-duga lama, sebab
segera ia melihat masuknya si nyonya tidak dikenal itu. Tanpa
bersangsi pula, ia berseru, tangannya menyerang dengan
tolakan tenaga dalam yang terkerahkan.
Berisik sekali kesudahannya serangan jago she Beng ini.
Tembok hotel itu berlubang ambruk karenanya. Sebab
serangan tidak mengenai si nyonya. Ambruknya tembok
menyebabkan kapurnya melulahan seperti asap. Ketika
kemudian ia melihat tegas, Seng Lam pun lenyap, yang ada
ialah si nyonya, yang tertawa dingin di luar tembok.
"Sungguh suatu tangan yang kuat!" berkata nyonya itu,
mengejek. "Orang begini gagah menghina seorang wanita
muda, apakah tidak malu?"
Nyonya itu, selagi tembok terbolongkan, telah menarik
tangan Seng Lam, untuk dibawa keluar.
Kembali Sin Thong melengak. Hebat serangannya itu tetapi
si nyonya dapat berkelit dari itu, dan dia bisa menolongi juga
Seng Lam. Maka mengertilah ia yang ia lagi menghadapi
seorang perempuan yang liehay. Seumurnya, inilah yang
pertama kali ia mendapatkan orang yang bisa melayani ia
demikian tangguh. Tapi ia tidak menjadi kecil hati, bahkan
terbangun semangatnya, maka juga, segera ia mengulangi
serangannya tanpa ia membalas ejekan nyonya itu. Kali ini ia
membuatnya tembok gempur lebih jauh, ia sendiri menyusul
berlompat keluar.
"Nyonya tua, tunggu!" ia memanggil. "Aku Beng Sin Thong,
aku ingin belajar kenal denganmu!"
Nyonya itu berjalan pergi, dia menoleh.
"Kurang ajar! Apa kau bilang?" dia menegur, bengis.
Kalau tadi ia tidak melihat wajah orang, sekarang Sin
Thong dapat melihatnya dengan jelas. Tadi ia menduga,
karena orang liehay, orang mestinya seorang tua, maka ia
memanggil "nyonya tua", kesudahannya, ia lagi menghadapi
seorang wanita usia pertengahan yang cantik, yang
rambutnya diikatkan dua pita kupu-kupu, matanya mengawasi
tajam kepadanya, sinar mata itu agaknya Jenaka. Ia heran, ia
merasa lucu juga. Maka sambil mengawasi, ia kata dalam
hatinya: "Benar panggilanku keliru, aku menyebut kau terlalu
tua, tetapi cara dandanmu ini, tidakkah ini lucu" Kenapa kau
dandan mirip nona?"
Tidak heran Beng Sin Thong merasa aneh dan lucu itu. Ia
telah menduga, atau melihat keliru, Memang nyonya itu
bukannya muda lagi, kecantikannyalah yang mengacaukan
pandangan mata orang, sedang di samping itu, dia paling
tidak suka orang mengatakan dia lua! Dia mempunyai tabiat,
yang selama beberapa puluh tahun tidak pernah lenyap atau
berubah! Dia lelah menjadi ibu orang tetapi tingkah lakunya
mirip dengan lingkah laku bocah cilik!
"Baik!" kata Sin Thong, melengak. "Sekarang aku panggil
nona padamu! Nona, barusan ilmumu berkelit mengagumkan
aku si Beng Tua, maka sekarang aku mau mohon pengajaran
dari kau!"
Kata-kata ini mengandung ejekan berbareng tantangan,
sedang disebutnya namanya itu hingga dua kali mengandung
kejumawaan, bersifat kepala besar dan ancaman. Akan tetapi
gagallah semua maksudnya itu.
Nyonya cantik usia pertengahan u agaknya tidak tahu siapa
Beng Sin Thong, dengan wajar dia mengangguk, dengan
manis dan lucu, dia tertawa geli.
"Oh, kau mengagumi aku?" katanya, mengimplang. "Jikalau
kau ingin mencobanya pula, untuk belajar kenal, itulah
mudah! Sekarang kau lihatlah biar terang "begini!"
Beng Sin Thong memasang mala, dia bersiap untuk
menyambut, p.una bertempur. Ia kecele! Si nyonya bukan
menyerang, hanya gesit bagaikan bayangan, dia berlompat
mundur dalam sekelebatan!
Dengan begitu, mereka terpisah jauhnya setombak lebih.
"Apa, kau hendak kabur?" ia tanya.
"Eh?" si nyonya balik menanya. "Bagaimana ini" Bukankah
kau hendak melihat kepandaianku" Oh, kalau begitu, bukan
begitu maksudmu" Jadi kau hendak berkelahi, bukankah?"
Beng Sin Thong melongo. Dia tidak bisa tertawa, dia tidak
bisa menangis! Hebat si nyonya.
"Benar, aku ingin mencoba ilmu silat kau!" katanya
kemudian, terpaksa.
Nyonya itu. kembali tertawa.
"Ah, kau omong tidak terus terang!" katanya. "Aku tadinya
menyangka, karena kau mengagumi aku, kau hendak belajar,
supaya nanti kau pakai kepandaianku ini untuk lari kabur! Hm,
kiranya kau bicara dengan memutar" Kenapa tidak terus
terang saja bilang kau hendak menempur aku?"
Tahulah Beng Sin Thong bahwa mulut si nyonya liehay,
maka ia tidak mau mengadu bicara, ia kena terejek, maka, ia
menyahut langsung: "Sekarang kau telah mengerti maksudku!
Bagaimana kalau kita main-main disini saja?"
Tetapi si nyonya mengerutkan alisnya.
"Tidak, tidak bisa!" sahutnya.
"Hari ini aku mempunyai sedikit urusan, tidak ada
keinginanku untuk berkelahi."
Beng Sin Thong tidak mau mengerti.
"Jikalau kau tidak mau berkelahi, boleh," katanya, "asal kau
serahkan si nona tadi! Kau telah melepaskan dia, sekarang
kau mesti menangkapnya kembali!"
"Angin busuk!" mendadak nyonya itu mencaci. "Kau ini
makhluk apa" Cara bagaimana kau dapat menyuruh aku
menjadi koncomu yang membantu kejahatanmu" Baiklah,
jikalau kau benar-benar mau berkelahi, coba kau keluarkan
kepandaianmu untuk aku melihatnya, nanti aku putuskan kau
setimpal atau tidak untuk menjadi lawanku!"
Belum pernah Beng Sin Thong dipermainkan atau diperhina
orang secara hebat begitu, maka bisalah dimengerti yang dia
menjadi sangat gusar. Tanpa bersangsi lagi, dia mengerahkan
tenaga Siulo Imsat Kang. Tapi dia menganggap dirinya
seorang guru besar, dia masih ingin mempertahankan
martabatnya. Maka dia lantas berseru: "Kau sambutlah baikbaik!"
Baru setelah itu, dia mengirim pukulannya.
Nyonya itu berkelit, ia lompat jauhnya setombak. Segera ia
merasa aneh. Ia menggigil kedinginan.
"Eh, kepandaianmu kepandaian apakah?" ia tanya. "Kau
rada sesat!"
Sin Thong heran mendapatkan orang tidak roboh atau
terlukakan, dia penasaran, maka dia ingin mengulangi
serangannya, justeru itu--belum sempat dia menyerang- dia
mendengar bentakan nyonya di hadapannya itu: "Hari ini aku
tidak sempat berkelahi tetapi kau sangat mendesak, baiklah,
mari aku bekuk dulu kau, anjing, untuk meringkus padamu!"
Sembari berkata, si nyonya meraba kepada kedua pita
kupu-kupu di rambutnya, untuk dilepaskan, menyusul mana,
ia mengibaskan. Maka bagaikan ular, melesatlah benangnya,
menyambar ke hidungnya jago tua itu-seperti ular nelusup
masuk! Sin Thong heran dan kaget, meskipun ia seorang jago,
belum pernah ia melihat serangan semacam itu. Tentu sekali
ia akan malu sendirinya kalau ia membiarkan hidungnya kena
diserang itu, maka dengan satu kelitan "Poanliong jiauwpou",
atau "Naga Meringkuk Menindak", ia membebaskan diri.
Tapi serangan itu tidak berhenti sampai disitu, ujung
benang menyambar pula, ke lain arah. Kali ini telinga yang
menjadi sasarannya!
Sin Thong menjadi bertambah gusar, tapi terpaksa, ia
berkelit pula dengan gerakannya "Pekho liang-cie", atau


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Burung Jenjang Membuka Sayap". Ia meluncurkan jari
tangannya yang seperti besi, untuk menjepit ujung benang
itu! Tenaga dalam Beng Sin Thong terlatih hampir
menyampaikan puncaknya kemahiran, maka itu walaupun
musuh menggunai senjata tajam, mestinya ia dapat
menjepitnya, akan tetapi benang si nyonya luar biasa, benang
itu dapat bergerak sangat cepat, lincah dan berbahaya, bebas
dari jepitan lalu melibat ke lengan, hingga jago tua itu merasa
tangannya sesemutan!
Biat Hoa panas hatinya sebab telah dipresen gaplokan oleh
nyonya itu, untuk membalas, tanpa pikir lagi bahwa mereka
akan main keroyok, dia maju dengan sianthung, tongkatnya,
di tangan, akan tetapi setelah dia melihat perkutatan Sin
Thong dengan si nyonya itu, dia melengak, sampai dia
mengeluarkan seruan tertahan "Oh!..."
Justeru itu Beng Sin Thong berseru, tangannya yang dilibat
benang itu digeraki. Hampir berbareng dengan itu, kedua
benang lelah terbakar, lalu menjadi hangus.
Si nyonya terkejut, dia berteriak: "Oh, celaka! Anjing yang
sudah terkalak, terlepas! Ah, aku tidak mempunyai waktu lagi
untuk melayani anjing galak!"
Habis berkata, dia memutar tubuhnya dan terus lari.
Kembali Beng Sin Thong berseni, disusuli dengan
serangannya, maka sebuah pohon besar di sebelah depan si
nyonya, lantas terhajar patah, akan tetapi si nyonya sendiri,
yang dihajar itu, lenyap dalam sekejap!
Sekarang Sin Thong sempat memeriksa lengannya dimana
ia melihat tapak merah bekas libatan-nya benang liehay dari
nyonya yang tidak dikenal itu. Itulah akibat ia membuatnya
panas kedua lengannya, yang digosok satu dengan lain,
hingga timbullah api. Tanpa itu, tidak bisa ia melepaskan diri
dari libatan itu. Dengan begini insyaflah ia bahwa si nyonya
berkepandaian berimbang dengannya.
Baru sekarang Biat Hoa menghela napas lega.
"Saudara Beng, syukurlah kau yang melayani dia," katanya.
"Meski kau telah dilibat, kau masih dapat membebaskan
dirimu. Perempuan itu sudah sangat sukar dilayaninya, jikalau
telah datang saudaranya, yaitu kakaknya, kesulitan pasti akan
bertambah. Maka itu baiklah kita bersabar menerima semua
ini..." Mata Sin Thong mendelik menatap kawannya itu.
"Kau bicara hebat sekali tentang dia itu! Siapakah dia?" ia
tanya. "Dialah iparnya Tong Siauw Lan, ciangbunjin dari Thiansan
Pay," sahut pendeta itu. "Dia ibunya Lie Kim Bwee. Dulu hari,
nama dia sama terkenalnya dengan nama-nama Lu Su Nio dan
Phang Eng, kakaknya itu, hingga mereka disebut Sam
Liehiap"Tiga Pendekar Wanita. Dialah Phang Lim. Pada tiga
puluh tahun dulu pernah aku membawa surat guruku untuk
Jenderal Nie Keng Giauw dan di rumah Keluarga Nie itu aku
telah melihatnya. Ketika itu ia baru berumur tujuh-atau
delapan belas tahun. Sekarang, setelah lewat tiga puluh
tahun, dia masih tetap nakal dan jenaka seperti semasa
gadisnya itu, lagaknya tetap kekanak-kanakan. Pula wajahnya,
dia seperti tidak pernah tua. Itulah sebabnya kenapa aku
mengenali dia."
Sin Thong terperanjat.
"Jadi dialah Phang Lim?" katanya. "Ah, mungkinkah dia
telah mengetahui yang aku sudah mengurung anaknya itu?"
Beng Sin Thong "tidak takuti langit tidak menjerikan bumi"
tetapi terhadap Thiansan Pay, ia ngeri. Ia telah berkata di
dalam hatinya: "Telah aku dengar perihal tiga pendekar
wanita itu, di antaranya Lu Su Nio yang paling liehay, Phang
Eng yang kedua, Phang Lim yang ketiga, sedang suami Phang
Eng, Tong Siauw Lan, berimbang kepandaiannya dengan
isterinya itu. Sekarang ini aku berimbang dengan Phang Lim,
jikalau dia mengajak kakak dan iparnya itu datang menentang
aku, bagaimana dapat aku melawan mereka?"
Tanpa merasa, hati Beng Laokoay menjadi gentar juga.
"Aku percaya dia masih belum mengetahui yang kita sudah
mengganggu anaknya itu," berkata Biat Hoa setelah
menenangkan hati.
Sin Thong berpikir sejenak, ia mengangguk.
"Kau benar," bilangnya, "apabila dia sudah mendapat tahu,
mana dia mau sudah dengan begini saja" Aku tidak takuti dia
tetapi sekarang ini aku belum berhasil sepenuhnya
meyakinkan Siulo Imsat Kang, maka itu aku tidak memikir
untuk menyaterukan Thiansan Pay..."
"Kelihatan dia datang seorang diri," Biat Hoa berkata pula.
"Tong Siauw Lan menjadi ketua partai, tidak nanti ia
sembarang turun gunung. Lagi, jikalau ia dan isterinya datang
bersama, tidak nanti mereka mengijinkan dia main gila. Siauw
Lan dan isterinya itu bangsa tidak suka bergurau, senantiasa
mereka menunjuki diri sebagai orang-orang agung, tabiatnya
itu diketahui baik oleh kaum Rimba Persilatan."
Ketika itu Kie Siauw Hong muncul dengan dingklukdingkluk.
Sin Thong segera memeriksa kaki muridnya itu. Ia
mendapatkan nempelnya selembar daun. Maka terkejutlah ia.
Ia tahu apa artinya daun itu. Itulah hasilnya serangan ilmu
"Tekyap huihoa" atau "Memetik daun, menerbangkan buliga".
Siapa pandai ilmu itu, dia dapat menggunai daun sebagai
senjata rahasia. Ia sendiri tidak mengerti ilmu senjata rahasia
semacam itu. Kaki Siauw Hong itu lantas diurut dan dipakaikan obat,
kemudian dia disuruh beristirahat. Dengan begitu tak usahlah
raja pencuri itu musnah ilmu silatnya.
"Murid tidak punya guna," kata Siauw Hong, mukanya
merah. "Di luar dugaanku, baru aku lompat naik ke genteng,
lantas aku kena dirobohkan. Entah siapa nona yang kabur itu,
belum sempat aku mengetahui dia. Menurut penglihatan
sekelebatan, dia mungkin muridnya Lu Su Nio..." Dia berduka
sekali. "Orang pandai banyak jumlahnya, aku tidak sesalkan kau
yang gagal," kata Sin Thong menghibur. "Sekarang kau
beristirahat, sebentar kita mesti melanjuti perjalanan kita ini."
Setelah ia berpikir-pikir, asal dia tidak berada sendirian,
Beng Sin Thong merasa tidak jeri terhadap Phang Lim.
Bukankah ia ada beserta Biat Hoa Hwesio" Mustahil mereka
berdua tidak dapat melawan nyonya itu"
"Tentang anakku, tentulah dia pergi ke Laosan mencari Kim
Sie le," pikirnya Sin Thong lebih jauh. "Dia telah tiba disini, itu
artinya, perjalanannya ke gunung itu tinggal perjalanan satu
hari, tidak nanti dia singgah di tengah jalan. Baiklah, setelah
kaki Siauw Hong sembuh, aku segera berangkat menyusul
dia." Oleh karena ini, dengan munculnya Phang Lim, Sin Thong
tidak lagi jumawa atau congkak, dengan sendirinya dapat dia
membataskan lagaknya, dia berlaku waspada.
Terkaannya Biat Hoa Hwesio tidak salah. Phang Lim
memang bersendirian. Ia turun gunung untuk menyusul Kim
Bwee, anaknya itu. Inilah disebabkan Ciong Tian dan Bu Teng
Kiu, yang dikirim untuk mencari sang anak sampai sekian lama
masih belum kembali serta mereka tidak ada kabar ceritanya.
Kebetulan sekali perjalanan Phang Lim ini, ia tiba di hotel
justru Beng Sin Thong palsu, yaitu Le Seng Lam, tengah
memesan kamar untuk Cie Hoa. Ia memergokinya. Dengan
matanya yang tajam, dengan lantas ia mengetahui
penyamarannya nona itu. Karena gemar bergurau, ia lantas
memasang mata. Ia heran mendengar Beng Sin Thong palsu
menyebut-nyebut seorang nona, ia menjadi curiga. Dalam
mencari anaknya, ia memang biasa memperhatikan dan
mencurigai setiap nona, yang ia mau menyangkanya
mengetahui hal ihwal puterinya. Demikian ia singgah, untuk
mencari tahu nona siapa itu yang dipesankan tempat, yang
hendak dipermainkan,
Phang Lim dengan Lu Su Nio bersahabat sangat erat, tidak
lama dari datangnya Kok Cie Hoa ke Binsan, pernah ia
menjenguk Lu Su Nio di gunungnya itu, maka pernah ia
melihat Cie Hoa, hanya waktu itu, si nona masih kecil sekali,
usianya belum sepuluh tahun, akan tetapi, ia masih ingat
roman orang. Demikian di malam kedua, tatkala Cie Hoa tiba
di hotel di mana dia masuk dalam perangkap Seng Lam, ia
lantas mengenalinya. Ia heran kenapa Cie Hoa digodai itu.
Mulanya ia hendak mengisiki Cie Hoa, atau di lain saat, ia
mengubah pikirannya. Ia ingin mengetahui lebih dulu, Seng
Lam itu siapa dan orang macam apa dan apa sebabnya Cie
Hoa dibuat guyon. Di samping merasa heran dan ingin tahu, ia
pun menganggap permainan orang jenaka. la ingin
menyaksikan, Cie Hoa mendusin atau tidak.
Ilmu ringan tubuh Phang Lim mahir sekali, maka itu,
selama ia menguntit mereka itu, baik Seng Lam maupun Cie
Hoa, tidak ada satu yang memergokinya. Ia senang melihat
caranya Seng Lam bergurau, dari itu, ia tidak mau datang
sama tengah atau mencegah secara diam-diam. Ia sudah
pikir, jikalau perlu baru ia hendak melindungi murid
sahabatnya itu. Demikian ketika malam itu di atas gunung Cie
Hoa menghadap bahaya, ialah yang menolong secara rahasia
hingga Kunlun Sanjin dan Siang Bok Loo kena diundurkan. Ia
juga yang itu malam di Lay-bu sudah melukai Kheng Sun dan
Cin Tay serta membikin jeri Pek Liang Kie. Dan Le Seng Lam,
dialah yang menarik rambutnya ketika nona she Le itu
melompati tembok.
Mulanya Phang Lim merasa permainan Seng Lam terhadap
Cie Hoa "terlalu kejam", hingga timbul niatnya memberi ajaran
kepada Nona Le itu, tetapi setelah menyaksikan Seng Lam
menolongi nona yang ia lindungi itu, ia menganggap Seng
Lam tidak terlalu buruk, maka ia cuma menarik rambutnya
saja. Ialah yang menolongi Seng Lam lolos dari tangan Sin
Thong di Cie-bek, selagi ia bentrok dengan jago she Beng itu.
Sebenarnya Phang Lim niat menyusul Seng Lam. Untuk ia
itulah perbuatan gampang sekali. Tapi di sana ada Cie Hoa,
yang perlu dilindungi, maka selanjutnya ia membayangi Nona
Kok tanpa si nona mendusin.
Cie Hoa sangat ingin menemui Kim Sie Ie, ia membuat
perjalanan cepat--malam-malam--maka besoknya lewat
tengah hari, ia sudah berada di kaki bukit Laosan. Seng Lam
ketinggalan oleh karena nona itu, yang kuatir disusul Sin
Thong, sudah mengambil jalan mengitar, sedang ilmunya
ringan lubuh, kalah dari Cie Hoa.
Setibanya, Cie Hoa bersantap dulu di sebuah rumah makan
di mana sekalian ia menanyakan jalanan untuk ke kuil
Siangceng Koan, habis itu, terus ia mendaki gunung itu. Ia
tiba di atas setelah cuaca mulai gelap. Dari puncak ia masih
dapat memandang laut yang luas, di tengah mana, jauh,
tertampak sebuah pulau di atas mana ada puncak gunung.
Pelitanya nelayan-nelayan pun terlihat kelak-kelik. Hingga
hatinya menjadi terbuka.
"Sebentar aku akan bertemu Kim Sie Ie," pikirnya. Inilah
yang membuatnya lega, lalu bersemangat, lenyap semua
keletihannya selama perjalanannya itu.
Jalan tidak jauh, Cie Hoa mendapatkan sebuah kuil yang
berdiri di antara banyak pepohonan. Ia menghampirkan
dengan tindakan perlahan-lahan. Sekarang hatinya memukul,
berdebaran. Ia memikirkan, kalau sebentar ia bertemu Sie Ie,
apa ia mesti perkatakan" Kejadian-kejadian terakhir ini sangat
hebat untuknya.
Tiba-tiba ia merandak. Ia mendengar helahan napas
panjang. Hatinya memukul lebih keras. Ia memandang tajam
ke depan. Ada seorang tengah menyenderkan tubuh kepada
sebuah pohon cemara. Siapa dia kalau bukannya Kim Sie Ie"
Dia itu memandang rembulan dan mengeluarkan napasnya.
Dia seperti lagi berpikir keras hingga dia tidak ketahui
datangnya itu. "Lucu," pikir si nona, yang bersenyum. Ia lantas jalan
mutar. Setelah datang dekat sekonyong-konyong ia
memanggil, perlahan: "Sie Ie!" Ingin ia membuatnya orang
terperanjat, lalu menjadi kegirangan.
Benar juga Kim Sie Ie kaget, akan tetapi dia tidak lantas
menoleh, cuma dia berkata: "Nona Le, waktunya belum tiba,
mengapa kau sudah datang?" Baru setelah itu dia berpaling,
lantas dia menjadi terkejut. "Oh, kiranya kau!" katanya,
menambahkan. "Oh, kau, enci Kok!" Dia lantas nampak likat.
Cie Hoa merasakan jantungnya jatuh.
"Maafkan aku," katanya. "Aku tidak tahu bahwa kau telah
menjanjikan Nona Le Seng Lam. Maaf, aku telah mengganggu
kau." Kim Sie Ie lekas mendusin.
"Enci Kok, jangan salah mengerti," katanya. "Bertemu
dengan kau, aku girang bukan main! Sebenarnya ada urusan
apa kau datang kemari?"
Di dalam hatinya, Sie Ie heran kenapa Cie Hoa ketahui
nama Seng Lam. Di saat itu, tiba-tiba Cie Hoa merasa pedih sendirinya. Tak
tahu ia, itu disebabkan urusannya sendiri atau karena halnya
Lie Kim Bwee. Halnya Kim Bwee, Sie Ie sendiri yang
menuturkannya kepadanya. Halnya Seng Lam" Nyatanya Sie
Ie menyembunyikannya. Mendadak berubah kesannya
terhadap Sie Ie ini. Ia merasa sikap manis Sie Ie terhadapnya
kedustaan belaka...
Melihat orang tidak bicara dan bengong saja, Sie Ie
menyambar kedua tangannya.
"Enci Kok, apakah kau menyesalkan aku?" tanya ia. "Kau
bilang, di dalam urusan apakah?"
Cie Hoa melepaskan tangannya itu.
"Lucu, mana aku menyesalkan kau?" sahutnya, tawar.
"Yang menyesalkan kau ialah orang lain, bukannya aku!"
Sie Ie menjadi lebih heran. Aneh kata-kata itu.
"Apakah kau telah ketahui halnya Lie Kim Bwee?" ia
menanya. Ia menduga urusan nona she Lie itu.
"Benar! Ya, aku sebenarnya datang untuk menyampaikan
kabar girang padamu. Tapi sekarang, kau tak dapat
menemukan dia..."
Sie Ie berjingkrak.
"Dimana Lie Kim Bwee?" ia tanya, bernapsu. "Kasihlah aku
tahu lebih dulu! Tentang Le Seng Lam, aku akan
memberitahukannya belakangan..." Ia pun menatap si nona.
Cie Hoa menyingkir dari tatapan itu.
"Kau ingin aku menerangkan apa?" ia kata, tetap tawar.
"Kasihan adik Kim Bwee itu, dengan ber-sengsara hati dia


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari kau untuk banyak tahun tetapi sekarang kau tidak
dapat menemukannya..."
"Bagaimana?" Sie Ie tanya pula, mendesak. "Bagaimana
sebenarnya" Apakah kau telah bertemu dengannya" Apakah
kau tidak memberitahukan dia bahwa aku ada disini?"
"Bukannya aku tidak memberitahukan dia tetapi dialah
yang tidak percaya perkataanku. Dia lebih percaya Nona Le."
"Apa?" teriak Sie Ie. "Dia bertemu dengan Seng Lam" Oh,
Nona Le itu, dia paling pandai memperdayakan orang, dia
gemar sekali mendusta! Kamu hati-hatilah terhadapnya!"
Cie Hoa melengak. Ia heran. Ia berpikir: "Kalau Seng Lam
ialah si nona yang ia sukai, kenapa dia bicara jelek begini
tentangnya" Kenapa dia menyebutkannya di depanku?" Tetap
ia bersikap dingin. Ia kata: "Dia suka mendustai orang atau
tidak, aku tidak tahu. Apa yang aku ketahui ialah: "Dia
membilangi adik Kim Bwee bahwa kau sudah pergi ke Souwciu
untuk menjenguk Tan Thian Oe suami isteri. Adik Kim Bwee
percaya dia, sekarang ia telah pergi ke kota Souwciu!"
"Celaka betul!" Sie Ie berjingkrak pula. "Sudah satu kali dia
memperdayakan Kim Bwee, seka-lang dia memperdayakannya
pula! Baiklah, mari aku beritahukan kau caranya bagaimana
aku bertemu Seng Lam itu hingga kita jadi berkenalan. Aku
bertemu dia ketika aku mengacau di Beng keechung.
Terhadapku dia melepas sedikit budi... Dia... dia..." Mendadak
ia berhenti. Ia ingat janjinya kepada Seng Lam untuk tidak
membocorkan rahasianya nona itu, terutama tidak membuka
rahasia hal dia mengajaknya berlayar mencari kitab
warisannya Kiauw Pak Beng. la telah panas hatinya tetapi,
mengingat janji itu, ia mesti menahan hati sendiri, tidak bisa ia
merusak janjinya. Maka ia merandak setengah jalan.
"Kenapa kau tidak bicara terus?" tanya Cie Hoa.
"Dia denganku telah berjanji membuat pertemuan disini,"
kata Sie Ie. "Ah, maafkan aku, tidak dapat aku menerangkan
kepada kau. Asal kau percaya aku... Barusan aku hendak
menjelaskan, tetapi aku rasa, sukar untuk menjelaskannya.
Maka, aku cuma bisa mengatakan, cuma... asal kau percaya
aku!" Panas hati Cie Hoa.
"Aku ini pernah apa dengan kau!" katanya, keras. "Dan
kau, kau pernah apa dengan aku" Kita memang tidak ada
sangkutannya satu dengan lain, apakah yang aku ingin kau
jelaskan padaku" Dan kau, perlu apa kau menghendaki aku
percaya padamu?"
Sie Ie tercengang, tertusuk ia merasa akan kata-kata si
nona. Biar bagaimana, ialah seorang dengan perasaan halus.
Dengan tiba-tiba ia mengucurkan air mata.
"Enci Kok, kau masih belum mengetahui hatiku?" ia
menanya. "Memang perkenalan kita belum lama akan tetapi
aku telah memandangnya kau sebagai orang sendiri. Aku ialah
seorang tanpa ayah dan tanpa ibu, aku juga anak yatim piatu
yang tidak mengetahui asal-usulku. Dan kau, kau mempunyai
ayah tetapi sama juga tidak! Maka itu nasib kita sama saja,
sedangkan guru kita bersahabat erat satu dengan lain.
Gurumu itu ialah orang yang paling aku kagumi. Dan kau
sendiri, kau telah ketahui tentang diriku. Dari itu, begitu kita
bertemu, kita seperti orang-orang yang sudah bertemu lama
satu dengan lain. Karenanya, kenapa kita tidak harus saling
mengasihani" Kenapa sebaliknya kita mesti mencurigai" Aku
memandang Kim Bwee seperti adik kandungku sendiri.
Terhadap kau... Ah!... Mustahilkah kau tidak mengetahui
hatiku" Apa aku mesti menjelaskannya pula" Hatiku telah
kuberikan kepada kau! Tentang Nona Le itu" Untuknya aku
cuma hendak membalas budinya. Setelah urusan selesai,
habis sudah kewajibanku, selanjutnya kita ambil jalan masingmasing,
satu ke timur, yang lain ke barat, keduanya tidak ada
hubungannya lagi. Kau percaya aku atau tidak" Apakah kau
tetap tidak percaya aku" Baiklah, nanti aku keluarkan hatiku
untuk kau lihat!..."
Mendadak Sie Ie menarik gagang tongkatnya,
mengeluarkan pedangnya, untuk pedang itu ditikamkan ke
dadanya! Cie Hoa kaget sekali. Syukur ia berdiri dekat sekali si anak
muda, maka ia lantas menyambar tangan orang, pedangnya
diangkat. "Jangan! Jangan!" teriaknya. "Apakah artinya mencari
mati?" "Siapa suruh kau tidak percaya aku" Aku hendak
mengeluarkan hatiku supaya kau lihat!"
Cie Hoa masuki pedang ke dalam sarungnya.
"Tidak pernah aku mengatakan bahwa aku tidak percaya
kau!" katanya. Mendadak ia tertawa. "Hatimu pasti akan
berlumuran darah dan menakuti dilihatnya" Buat apa aku
hingga aku menghendaki kau mengeluarkannya"..."
Belum berhenti suara si nona atau Sie Ie sudah
menggenggam kedua tangan orang.
"Oh, enci Kok, mengapa kau tidak mengatakannya siangsiang?"
katanya. Ia menjadi girang luar biasa. "Hampir aku
menjadi si setan dungu!"
Cie Hoa tertawa pula.
"Ya, tabiatmu tabiat kerbau dungkul," bilangnya. "Kalau
kau menjadi setan dungu, itulah pantas! Ah, sudah, kita
jangan bergurau! Mari aku omong dari hal yang benar."
"Baiklah, aku menunggu kau bicara dari hal yang benar!"
sahut Sie Ie. Ia lantas berdiam, matanya menatap.
"Enci Le kau itu akan lantas datang kemari..."
"Biarnya dia datang, kita bicara urusan kita sendiri, mana
dapat dia mencampur tahu!" Sie Ie memotong, suaranya
sungguh-sungguh.
"Bukan begitu," berkata si nona. "Kau telah menjanjikan
dia, bagaimana dia dapat tidak mencampur-tahu" Kau tidak
tahu... Beng... Beng... Sin Thong... telah menguber-ubernya!
Baru tadi malam terjadi peristiwa, di dalam rumah penginapan
di Ciebek. Aku telah kabur sekeras-kerasnya dari mereka.
Entahlah Nona Le itu, dia kena ditawan atau tidak... Beng...
Beng Sin Thong... Aku tahu, dia tidak bakai melepaskan aku,
maka itu, aku takut nanti kena dicandak dia... Maka sekarang,
coba kau memberikan pikiran padaku, lebih baik aku
menyingkir atau aku menemui saja padanya" Sebenarnya aku
berniat menyingkir daripadanya, hanyalah, jikalau aku
bersembunyi, mana bisa aku menolongi Nona Le"..."
"Jangan kuatir," kata Sie Ie, menyahuti. "Aku memang
hendak membalas sakit hati terhadapnya, untuk satu
serangannya!"
"Tetapi dia ada bersama satu pendeta yang bernama Biat
Hoa!" Cie Hoa memperingati.
"Ya, ini soal sulit juga," Sie Ie berpikir. "Beng Sin Thong
sendiri sudah sukar untuk dilayani, kalau dia dibantu lagi Biat
Hoa, sudah pasti aku bakal kena dikalahkan... Pula,
mendengar lagu suara Cie I loa, dia sangat tidak sudi
menemui Beng Sin Thong itu, sedang, biar bagaimana, Beng
Sin Thong itu ialah ayahnya dan aku tidak leluasa untuk aku
minta dia membantui menempur ayahnya itu..."
Maka itu, ia menjadi berdiam. Tengah ia ragu-ragu itu,
mendadak ia merasakan sambaran di belakang kepalanya. Ia
tahu datangnya serangan. Maka ia menyambar ke belakang
sambil membentak: "Bangsat tua she Beng, kau majulah!"
Tapi aneh, serangannya itu, yang berupa tangkisan, tidak
mengenakan sasarannya. Ia terkejut, hatinya bercekat.
Justeru itu ia melihat berkelebatnya satu bayangan orang,
yang muncul dari pohon-pohon lebat, yang gerakannya
bagaikan terbang melayang. Dengan cepat ia menyambut
dengan tongkatnya.
Bayangan itu berjumpalitan tanpa menanti kakinya
menginjak tanah, maka itu, serangan Sie Ie mengenai tempat
kosong. Di lain pihak, lantas terdengar suara "Plak!" pada pipi.
Karena tanpa ia mengetahui, tanpa merasa, muka Sie Ie kena
tergaplok! Itulah serangan dengan secabang pohon, tetapi
rasanya lebih hebat daripada joan-pian. Maka muka Tokciu
Hongkay lantas mengeluarkan darah, rasanya sakit sekali.
Sie Ie gusar berbareng kaget. Itulah hajaran hebat
untuknya. Ketika itu, bayangan itu berhenti di depannya seraya terus
membentak: "Kim Sie Ie, binatang cilik, kau benar bukannya
satu makhluk!"
Mendengar suara itu, Sie Ie berdiri menjublak. la kaget
seperti ditimpa guntur. Ia sebenarnya hendak menyerang pula
dengan tongkatnya, atau lantas ia seperti kehabisan tenaga.
Kedua tangannya dikasih turun. Bayangan yang sekarang
berdiri di depannya itu ialah Phang Lim!
Semenjak tadi nyonya itu bersembunyi di belakang pohon,
dia telah mendengar nyata pembicaraan di antara Sie Ie dan
Cie Hoa, maka itu, ia gemas bukan main. Begitulah bermula ia
menyerang dengan dua lembar daun. Karena hatinya panas,
ia terus muncul dan menghajar dengan cabang pohon.
Sie Ie tadinya menduga ialah Beng Sin Thong maka ia
didamprat sebagai Beng Laokoay, si "siluman tua" she Beng!
"Hm, hm! Kim Sie Ie!" berkata Phang Lim, dingin. "Kau
baik, kau baik sekali! Bagaimana kami ibu dan anak telah
memperlakukanmu, tetapi kau kiranya seorang tidak berbudi!
Apakah tepat perbuatanmu terhadap anakku?"
Dalam gusarnya nyonya itu menyerang pula.
Sie Ie bingung dan repot, terpaksa ia menangkis dengan
tangannya, maka tangannya itu balan.
"Peebo," kata ia lekas, "tentang budimu yang besar, aku
sangat bersyukur, tetapi urusan di antara pria dan wanita,
itulah bukan urusan yang sederhana. Terhadap Kim Bwee, aku
memandangnya sebagai adik sendiri... Peebo, kau... kau...
suka dengar aku bicara"..."
Belum habis kata-kata itu, kembali si nyonya sudah
menyabat. "Apa lagi yang kau hendak bilang?" tanyanya, membentak.
"Aku telah dengar semua! Aku menyesal yang aku tidak dapat
membunuh kau! Apakah kau sangka anakku tidak ada yang
menghendaki" Apakah kau menyangka aku hendak memaksa
kepada kau" Hm! Hm! Ah, benar-benar hendak aku
membunuh kau!"
Sie Ie malu berbareng mendongkol. Ia sangat terdesak.
Tapi ia mengasih turun kedua tangannya.
"Baiklah!" katanya. "Jikalau peebo tidak dapat mengasih
maaf, kau bunuhlah aku! Memang lebih baik aku mati!"
Cie Hoa menyaksikan itu, ia jengah sendirinya.
"Peebo!" ia berkata, "apakah peebo masih mengenali aku?"
Phang Lim menoleh pada nona itu.
"Ya, aku kenali kau," sahutnya. "Tetapi urusan ini tidak
mengenai kau! Kim Sie Ie yang busuk! Kau minggir! Kau tahu
dialah seorang tidak berbudi, apakah kau masih hendak
omong untuknya?"
Diperlakukan begitu, sakit hatinya Cie Hoa, tanpa merasa,
ia lantas menangis. Dengan menutupi mukanya, ia berjalan
pergi. Phang Lim masih gusar, ia menghajar Sie Ie hingga belasan
kali, hingga si pengemis edan balan tangannya, mukanya dan
juga kakinya. Sie Ie menahan sakit, ia berdiam saja. Di dalam
hatinya ia kata: "Paling kau hajar aku hingga mati, supaya aku
tidak usah sulit-sulit lagi!"
Tapi Phang Lim itu, habis menghajar, hatinya mulai reda,
dan di akhirnya ia menghela napas dan mengeluh: "Oh,
anakku yang bernasib buruk... Ya, percuma sekalipun aku
menghajar mati pada kau..." Ia mendelik pada Sie Ie, terus ia
memutar tubuh, untuk berlalu tanpa menoleh pula.
Kedua kaki Sie Ie menjadi lemas, tubuhnya pun dirasai
sakit, tetapi lebih sakit ialah hatinya. Bukankah Phang Lim
sudah pergi" Bukankah Kok Cie Hoa telah meninggalkannya"
Maka ia berdiri bengong di depan Siangceng Kiong.
Ketika itu di lain pihak, habis berpisah dari Tan Thian Oe
suami isteri, Lie Kim Bwee pun berangkat cepat-cepat menuju
ke Laosan. Ia lelah mengaburkan kudanya, kuda jempolan
pemberian Tan Thian Oe. Itulah kuda asal Ferghana. Selama
dia di Tibet, Thian Oe biasa menunggang kuda itu untuk
menyampaikan berita-berita peperangan yang penting kepada
ayahnya. Thian Oe sangat menyayangi kuda itu tetapi untuk
menolong Kim Bwee, supaya si nona lekas sampai di Laosan,
ia menyerahkannya. Maka itu, walaupun Kim Bwee kena
dipermainkan Le Seng Lam, hingga ia mesti mundar-mandir
tidak keruan enam hari, toh ia tiba di Laosan satu hari
berbareng dengan tibanya Cie Hoa dan Seng Lam, melainkan
beda waktunya. Ketika Nona Lie sampai di kaki gunung Laosan, ia mengirim
kudanya pada pemilik hotel dimana ia singgah, dengan
bersemangat ia mendaki gunung. Di saat Phang Lim memukuli
Kim Sie Ie, ia tiba di lembah dari mana, jauh-jauh, ia dapat
memandang kuil Siangceng Kiong.
Tengah Kim Bwee memandang ke arah kuil itu, tiba-tiba ia
mendengar tindakan kaki di sebelah belakangnya. Ia tidak
memperhatikannya, ia menduga suara itu tentulah diterbitkan
oleh lain orang, yang mau mendaki juga gunung itu. Ia baru
merasa heran kapan ia mendapatkan orang berjalan cepat
sekali, bukan seperti tindakan sembarang orang. Ia pun
segera mendengar satu suara yang keras dan dalam-suaranya
seorang tua: "Kuil di atas itu ialah Siangceng Kiong! Oh, di
atas itu nampaknya seperti orang berkelahi! Entah dia Kim Sie
le atau bukan..."
Bukan main kagetnya nona ini ketika ia mengenali suara
itu-suaranya Beng Sin Thong. Menyusul itu, ia mendengar
suaranya Biat Hoa Hwesio: "Bagus! Mari kita lekas pergi ke
atas! Kim Sie Ie tidak boleh dikasih lolos!"
Biat Hoa benci betul Kim Sie Ie, maka juga, turutnya ia
kepada Beng Sin Thong ini, sebabnya yang terutama yaitu
untuk menuntut balas, la kalah pendengaran dari Sin Thong,
dari itu ia tidak mendengar suaranya Phang Lim mendamprat
Sie Ie, yang dipukuli itu. Sebaliknya Sin Thong juga, karena
jaraknya masih jauh, dia belum keburu mengenali suaranya
Phang Lim. Lie Kim Bwee jadi takut sekali, tanpa ayal lagi, ia lantas lari.
Baik Beng Sin Thong maupun Biat Hoa tidak dapat melihat
Nona Lie, umpama Kim Bwee bisa menenteramkan diri dan
lekas bersembunyi, ia tidak nanti kepergok, justeru ia lari,
hingga terdengar suaranya dan terlihat bergeraknya, ia segera
dapat dilihat Kie Siauw Hong si pencuri liehay.
"Suhu, di depan ada orang!" berkata si Malaikat Pencuri.


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beng Sin Thong lantas berlompat ke depan, segera
terdengar dia tertawa lebar.
"Ha, kiranya kau!" dia berkata nyaring. Dia lantas
mengenali si nona. "Tidak, kau tidak dapat lari!"
Baru beberapa hari saja Sin Thong bertemu Phang Lim,
sekarang ia menemui pula Kim Bwee, ia menjadi berkuatir. Ia
takut itu ibu dan anak bertemu satu dengan lain, dengan
begitu si anak bisa mengadu kepada ibunya, membeber
kejahatannya. Inilah ia tidak kehendaki. Maka sekarang timbul
ingatannya akan membinasakan nona itu.
Tengah Kim Bwee lari itu, di sebelah depan ia, Phang Lim
lagi mendatangi. Sang ibu, yang habis menganiaya Sie Ie,
mendongkol dan masgul sekali, pikirannya tidak keruan. Tapi
ia segera melihat si nona. Ketika ia mengenali puterinya, ia
girang bukan main.
"Anak Kim!" ia memanggil sambil ia berlari menghampirkan.
Kim Bwee lari keras kepada ibunya, ketika mereka sudah
datang dekat satu pada lain, ia berlompat menubruk ibunya
itu. Ia bernapas sengal-sengal hingga untuk sejenak ia tidak
bisa membuka mulutnya. Memangnya ia sangat berkuatir,
hatinya bergelisah.
"Anak, mari kita pulang!" berkata si ibu, yang menghela
napas. "Tidak usah kau pergi ke Siang-ceng Kiong!"
Kim Bwee heran hingga ia melengak. Tapi ia masih
bernapas memburu, hingga ia cuma berpikir, belum dapat ia
menanya jelas. Ketika akhirnya ia bisa membuka mulutnya, ia
kata: "Mama, ada orang mengejar aku!..."
Segera ibu itu menjadi gusar.
"Siapa begitu bernyali besar berani menghina anakku?"
katanya nyaring.
Belum berhenti suara nyonya ini atau ia melihat Beng Sin
Thong lari mendatangi, di belakang jago tua itu mengintil Biat
Hoa Hwesio serta Kie Siauw Hong.
"Mama, itulah dia!" kata Kim Bwee sambil menuding Beng
Sin Thong. "Dia sangat jahat! Dia telah menghina anakmu, dia
juga menghina enci Kok Cie Hoa!"
"Baik!" menjawab si ibu, sengit. "Kau tunggu, nanti aku
bunuh padanya! Ingat anak, kau dengar kataku, jangan kau
pergi!" Beng Sin Thong terkejut kapan ia melihat Kim Bwee
bertemu ibunya, tapi sekarang tak sempat ia berkata apa-apa,
Phang Lim sudah berlompat maju, dengan cabang pohon,
nyonya itu menikam padanya. Karena ia lagi sangat
mendongkol, nyonya itu mengerahkan tenaganya.
Beng Sin Thong mengandalkan sangat tubuhnya yang
kedot, ia berkelit terlambat, maka pundaknya kena terhajar,
hingga ia menjadi terkejut.
Ketika itu Biat Hoa berlompat maju, ia menyerang pada
Phang Lim. Tanpa pikir lagi, ia hendak membantu kawannya.
Phang Lim menangkis serangan itu. Hebat caranya. Ia
bukan membikin tongkat si pendeta terpental, sebaliknya ia
menekan, hingga dengan meminjam tenaga penyerang itu,
berbareng ia dapat berkelit dari serangan pembalasan dari Sin
Thong yang penasaran sekali. Hebat kesudahannya serangan
Sin Thong itu. Biat Hoa seperti menghadang di depannya,
maka Biat Hoa kena tertolak. Syukur untuknya, ia masih
sempat berkelit. Maka serangan Sin Thong itu mengenakan
telak sebuah batu besar, hingga batu itu bergerak.
Segera setelah itu, Sin Thong berseru: "Saudara Biat Hoa,
marilah bereskan dulu si tua! Jangan takut si muda nanti bisa
lolos!" Dengan teriakannya itu, Sin Thong bukan melulu
mengharapi bantuannya si pendeta, ia juga ingin pegang
nama. Ia kuatir Biat Hoa nanti pergi menyerang Kim Bwee.
Cara itu, ia anggap, akan menurunkan derajatnya. Ialah
seorang guru besar. Sebaliknya tadi, tanpa banyak pikir, ia
mengejar si nona...
Mukanya Biat Hoa merah. Ia jengah karena hatinya dapat
dibade. Ia memang berniat membekuk Nona Lie. Tapi ia
paksakan diri tertawa.
"Benar!" sahutnya. "Marilah kita binasakan dulu siluman
wanita ini!"
Ia maju dengan waspada. Ia ketahui liehaynya nyonya itu.
Ia merasa, memang dengan mengepung berdua baru ada
harapan untuk merebut kemenangan.
Phang Lim lantas dikepung berdua.
Sin Thong bekerja sama Biat Hoa, tidak lama, mereka
dapat menang di atas angin. Meski begitu, tidak dapat mereka
lekas-lekas menghalangkan si nyonya, yang ilmu silatnya
beraneka ragam.
Ketika itu di depan kuil Siangceng Kiong, Sie Ie tidak
ketahui adanya pertempuran di lereng gunung itu. Ia merasa
sangat bersusah hati karena perbuatannya Phang Lim itu,
yang membuatnya gusar tidak bisa.
"Sungguh sukar hidupnya manusia..." ia mengeluh.
Ketika itu, sang rembulan seperti lagi memanjat pohon,
angin bertiup mendatangkan hawa dingin. Dalam
kedukaannya, kemudian ia memikir untuk bertindak turun.
Tiba-tiba ia merandak.
Seorang imam dari kuil Siangceng Kiong itu, keluar dari
kuilnya. Dia bersenandung: "Keruwetan pikiran itu disebabkan
hati kosong... Kenapa mesti melupakan kenyataan?"
Mendadak Sie Ie menoleh.
"Imam hidung kerbau!" serunya. "Imam busuk! Kau benar!
Tapi tidak dapat aku turut kau menjadi imam!-Ah, sudahlah,
paling benar aku pergi!"
Imam itu menghampirkan, untuk memegang tangan orang.
Dia tertawa. "Apakah kau sangka keruwetan dapat dilenyapkan dengan
kau berjalan pergi?" kata dia. "Mari, aku tanya kau. Wanita
tadi itu, bukankah dia Phang Lim dari Thiansan Pay?"
"Tidak salah!" sahut Sie Ie. "Kau kenal dia?"
Imam itu tertawa.
"Budak itu sudah hidup beberapa puluh tahun lamanya,
tabiatnya tetap dia tidak dapat rubah! Baiklah, nanti aku
bicara dengannya..."
"Eh, eh, jangan!" Sie Ie mencegah. "Urusanku tak dapat
kau mencampurinya tahu!" Ia menyambar, untuk memegang
tangan si imam, tetapi ia menangkap angin. Maka ia heran.
Hanya sekejab, imam itu sudah memisahkan diri beberapa
tombak, terus dia pergi ke lereng, ke lembah.
"Ah!..." Sie Ie berseru sendiri. Ia merasa imam itu hebat.
Tokciu Hongkay heran, inilah bisa dimengerti. Ia tidak kenal
imam itu, yang sebenarnya seorang kenamaan pada lima
puluh tahun dulu, sebab dialah yang utama di antara
Kwantong Suhiap," Empat Jago dari Kwantong. Dialah Hian
Hong Toojin, yang masuk segolongan dengan Kanglam
Cithiap, Tujuh Pendekar dari Kanglam. Dibanding dengan Lu
Su Nio, dia berusia lebih tinggi. Sekarang ini umurnya sudah di
atas delapan puluh tahun. Pula tiga kawannya " " ialah Long
Goat Hwesio, Liu Sian Kay dan Tan Goan Pa-semua menutup
mata, tinggal ia sendiri yang sekarang berdiam di Siangceng
Kiong ini bersama dua muridnya. Disini ia sudah tinggal lebih
daripada dua puluh tahun. Berkat mahirnya tenaga dalamnya,
ia nampak seperti baru berusia enam puluh lebih.
Gunung Laosan terpernah di tepi laut, ketika pertama kali
Kim Sie Ie mendarat maka di kuil Siangceng Kiong ini ia
menumpang satu malam, dengan begitu ia jadi kenal imam
itu, melainkan ia belum tahu bahwa orang asalnya seorang
jago. Sie Ie mau pergi berlayar, orang yang pertama ia ingat
ialah Hian Hong. Ia tahu imam ini beribadat, tidak ada
campurannya dengan orang Kangouw, maka ia percaya, si
imam tidak bakal membuka rahasianya. Begitulah ia
menumpang di Siangceng Kiong, untuk membuat persiapan.
Ia sudah selesai, tapi Seng Lam belum muncul, sebaliknya
yang datang ialah Cie Hoa dan Phang Lim. Dan baru sekarang
ia ketahui si imam juga bukan sembarang orang!
Setelah tidak melihat lagi punggung si imam, Tokciu
Hongkay berpikir. "Imam tua ini nyata usilan, biarlah dia pergi!
Aku juga bakal berlalu dari sini..." Pengalamannya barusan
membuat hati Sie Ie tawar.
Belum lagi si pengemis edan ini berlalu, ia melihat satu
bayangan berkelebat. Ia segera mengawasi. Lantas ia
terkejut, ia merasa tidak enak hati. Dengan tiba-tiba ia kata:
"Seng Lam, bagus ya, bagus perbuatanmu!"
Bayangan itu benar si Nona Le. Dia tertawa lebar.
"Apakah perbuatanku yang tidak bagus?" dia tanya. "Kau
lihat, batas waktu belum tiba tetapi aku sudah datang!
Bukankah dengan begini hatimu menjadi lega?"
"Hm!" Sie Ie mengejek.
"Mengapa kau mengakali Lie Kim Bwee?"
Seng Lam melengak. Ia pikir: "Mustahilkah dia telah
bertemu dengan Kim Bwee?"
Sie Ie mengawasi dengan tajam.
Hanya sebentar, Seng Lam telah mendapat pulang
ketenangan hatinya. Ia lantas tertawa.
"Kim Sie Ie, ingatanmu kurang baik!" katanya. "Apakah kau
telah lupa janjimu padaku, tentang kalah bertaruhmu" Kau
telah menerima baik aku bergurau kepadamu hingga tiga kali,
kau berjanji tidak bakal gusar! Sekarang ini baru yang kedua
dan masih ada yang ketiga! Maka selanjutnya kau berhatihatilah!"
Sie Ie berdiam. Sungguh hebat nona ini.
"Kau jangan gusar," kata pula nona itu, tertawa. "Siapa
suruh kau menerima baik perjanjian kita" Bagaimana dengan
perahumu untuk pelayaran kita, sudah siap atau belum" Kita
berangkat sekarang atau lagi dua hari" Beng Sin Thong
bersama Biat Hoa Hwesio lagi mengejar aku, umpama kata
kau tak menghendaki kesulitan, lebih baik kita berangkat
sekarang!"
Kim Sie Ie menghela napas.
"Kau benar-benar penghalang dan penggodaku!" katanya,
kewalahan. "Kau juga sama!" Seng Lam tertawa. "Jikalau tidak,
mengapa ku tidak pilih lain orang hanya kau" Eh, kau ingatlah,
kata-katanya seorang kuncu sama dengan dipecutnya satu kali
kuda yang keras larinya! Apakah kau menyesali perjanjian kita
pergi berlayar?"
Kim Sie le mengertak gigi.
"Baiklah!" katanya keras. "Sekarang juga kita berangkat!
Biarlah lekas-lekas aku membalas budimu!"
"Habis itu lantas kau boleh tak usah memperdulikan aku
lagi, bukankah?" tanya si nona, lagaknya menantang.
Kim Sie Ie berdiam. Ia kalah bicara. Di dalam hatinya, ia
kata: "Seumurku aku tukang permainkan orang, tidak
ku'sangka kali ini aku menemui tandinganku! Ya, ini rupanya
pembalasan..."
"Jikalau kita mau berangkat sekarang, marilah kita
berangkat," kata Seng Lam, sekarang suaranya lembut. "Kau
memikirkan apa lagi" Apakah kau ingin menantikan enci Kok
kau itu atau adik Lie?"
Kim Sie le merasa seperti tertusuk hebat. Ia menjemput
tongkatnya seraya terus berjingkrak.
"Baik! Baik! Baik!" katanya berulang-ulang. "Mari kita pergi!
Kita pergi! Kita pergi!" Lalu ia mengasih dengar seruan yang
panjang, yang disusul dengan senandungnya:
"Di dalam dunia sudah biasa mendapat ejekan, untuk
apakah hidup dengan sisanya hidup"... "
Le Seng Lam tertawa, dia menyambungi:
"Di luar laut, kalau pulau dewata dapat disampaikan, nanti
hati tak dapat dibuatnya berduka... "
Heran Sie le mendengar demikian rupa sambutannya Seng
Lam, hatinya gentar. Ia berpikir pula: "Jikalau di luar laut ada
pulau dewata, mungkin sulit aku membebaskan diri dari dia
ini..." Tetapi sekarang sudah tidak ada waktu buat beragu-ragu,
biar bagaimana juga, ia mesti turut si nona!
Beng Sin Thong bersama Biat Hoa Hwesio tengah
mengepung Phang Lim tatkala kupingnya mendapat dengar
suara tindakan kaki yang cepat, benar suara itu masih jauh
tetapi ia sudah mendengarnya karena telinganya sangat celi,
dan ketika ia melirik, ia melihat mendatanginya satu bayangan
orang. Hatinya menjadi bercekat.
"Bukankah itu Kim Sie le?" ia tanya dirinya sendiri.
Karena ini, tanpa menyayangi diri lagi, ia perhebat
serangannya terhadap Phang Lim. Ia menggunai Siulo Imsat
Kang tingkat ke tujuh. Ia menyerang beruntun tiga kali,
hingga serangannya itu bagaikan gelombang saling sambar.
Jodoh Rajawali 29 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Kisah Pedang Di Sungai Es 5

Cari Blog Ini