Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 13
"Seng Lam!" katanya. "Apakah sampai waktu begini kau
masih tidak suka omong terus terang padaku" Bukankah dulu
kau pernah datang ke mari?"
Nona itu tertawa.
"Jikalau dulu pernah aku datang kemari, tak perlu aku
dengan kau sebagai pengantar!" sahutnya.
Sie Ie berdiam. Ia ingat keadaan si nona selama di atas
perahu. Dia memang seorang asing untuk pelayaran di laut.
Karena ini, herannya bukan main.
"Kau belum pernah datang ke mari, habis kenapa kau
ketahui tempat ini?" ia tanya pula. "Ini toh tempat rahasia!"
Seng Lam tertawa, dia tidak menjawab.
"Aku membahayakan jiwaku, aku menemani kau datang
kesini," kata Sie Ie, "kau sebaliknya membohongi aku! Kenapa
kau memandang aku sebagai orang luar" Baiklah, kitab
rahasia itu kau bakal segera dapatkan, aku sudah tidak perlu
lagi bagimu, karena kau tidak sudi omong terus terang, kitab
itu aku tidak menghendakinya pula! Disini saja kita
berpisahan! Kau boleh masuk seorang diri!"
Seng Lam menarik tangan orang. Ia tertawa pula.
"Kenapa kau marah?" katanya, manis. "Kau tahu, selama
beberapa hari yang lalu, aku juga masih belum tahu pasti aku
bakal dapat cari tempat ini atau tidak! Baik, mari aku omong
terus terang pada kau..." Ia hening sejenak, terus sikapnya
jadi sungguh-sungguh. Ia kata dengan suara dalam: "Kitab
ilmu silat itu tidak disimpan di dalam ini terowongan! Aku
sebenarnya mau pergi mencari si orang aneh itu!"
Sie Ie terkejut.
"Mencari si orang aneh?" ia tegaskan.
"Ya!" sahut si nona. "Di depan itu ada bahaya atau ada
keselamatan, aku masih belum tahu! Umpama kata kita kena
cari orang yang keliru, sudah pasti kita tidak dapat lolos lagi
dari bahaya! Aku tidak mau membikin susah pada kau, maka
jikalau kau hendak pergi, tidak dapat aku mencegah kau!"
Sie Ie bingung.
"Bagaimana sebenarnya ini?" ia tanya. "Asal kau omong
jelas, aku bukannya si manusia yang takut mati!"
"Baiklah kalau begitu!" kata si nona. "Jalanlah!"
Lantas dia bertindak, sembari jalan, dia bercerita, hingga
herannya Tokciu Hongkay bukan alang kepalang...
"Tentang lelakonnya Kiauw Pak Beng mungkin kau tahu,"
berkata Keng Lam. "Ketika dulu hari dia roboh di ujung pedangnya
Thio Tan Hong dan terluka parah karenanya, orang semua
menduga dia sudah terbinasa Siapa sangka dia sebenarnya
menyingkir ke pulau ini di mana dia menyembunyikan diri.
Bentang rahasianya ini cuma keluargaku yang mengetahui.
Maka juga keluargaku, turun temurun, menghendaki
mendapatkan pulaunya Kiauw Pak Beng, untuk mendapatkan
kitab ilmu silat yang Diwariskannya. Selama dua ratus tahun
turunanku, serombongan pengan serombongan, kami telah
pergi mencarinya, hanya hasilnya mirip dengan kerbau tanah
yang dimasuki ke dalam laut, begitu. Dengan begitu mereka
tidak ada Kabar ceritanya lagi. Sampai kemudian tidak ada lagi
anggauta keluargaku yang berani pergi mencari lebih jauh.
Akan tetapi pada enam puluh tahun yang lalu, maka dua
pemuda she Le telah mencoba pergi juga Mereka itu termasuk
paman tingkat kakek, siokcouw. Untuk beberapa tahun
mereka itu terumbang-ambing dalam pelayaran, akhirnya
mereka tiba di pulau ini dan berhasil menemukan gua tempat
kediamannya Kiauw Pak peng. Yang belum juga ditemukan
Ialah kitab warisannya Kiauw Pak Keng itu. Mereka lantas
berdiam di pulau ini dan terus mencari. Untuk dapat tinggal
dengan leluasa, mereka memperbaiki gua. Guna mencegah
gangguan binatang liar atau lain orang, mereka menutup
mulut gua asal, sebagai gantinya, mereka membuat mulut gua
lainnya. Mulut gua itu ialah terowongan pohon kayu yang
besar itu. Dan terowongan itu ialah yang sekarang kita lalui
ini." Sie Ie mendengari.
Seng Lam melanjuti penuturannya: "Tahun lewat tahun,
usaha telah dilanjuti mencari kitabnya Kiauw Pak Beng itu.
Boleh dibilang semua bagian dari gua telah digali atau
dibongkar, seluruh pulau ini telah dijelajah. Tetap kitab itu tak
terdapatkan. Selama itu sepuluh tahun lewat. Dua kakak
beradik itu, dari usia pertengahannya memasuki usia lanjut.
Setelah itu mereka berpikir bahwa cara mencari mereka itu
bukanlah cara yang sempurna. Lantas mereka berdamai.
Kesudahannya diambil putusan, sang kakak akan berdiam
terus di pulau, dan sang adik harus pulang, guna memberi
kabar, supaya keluarga mereka tingkat muda yang nanti pergi
melanjuti usaha mereka itu. Di dalam perjalanan pulang, sang
adik menderita sekali, selain dari gangguan badai hingga
perahunya karam, juga dia telah dibajak. Hampir sepuluh
tahun dia terlunta-lunta di laut, akhirnya dapat dia tiba di
rumah. Setelah merantau tiga puluh tahun lebih, dia telah
ubanan rambut dan kumis jenggotnya. Mengandal kepada
kekuatan otaknya, dia telah membuat gambar atau petanya
pulau dimana pun dia mencatat jelas tentang gua dan lainnya
yang terahasia itu. Ketika itu ayahku baru berusia dewasa.
Ayahku itu cerdas sekali, sedang ilmu silatnya mengatasi
semua kaum keluarga kami sebayanya. Maka itu, peta gambar
itu diserahkan padanya. Ayah lantas belajar ilmu berlayar,
supaya setelah pandai ia nanti berangkat. Sementara itu,
setahu bagaimana duduknya, rahasia bocor tentang pulangnya
siokcouw dengan hasil pengembaraannya mendapatkan
pulaunya Kiauw Pak Beng itu, bahkan kemudian ketahuan ada
dua orang yang senantiasa mengincar saja. Karena itu, ayah
tidak berani belajar berlayar secara berterang. Karena itu juga,
pelayarannya itu pun turut tertunda. Tanpa merasa, sang
waktu lewat pula hampir sepuluh tahun. Ayah pun menikah."
Mendadak Seng Lam menangis.
Sie Ie lantas menduga bahwa Seng Lam dan si orang luar
biasa itu mesti ada hubungannya satu dengan lain. Oleh
karena ia belum mendapat kepastian, terhadap orang aneh itu
ia memasang mata secara diam-diam. Ia kuatir nanti diserang
secara tiba-tiba. Lebih celaka kalau Seng Lam terbinasakan
sebelum dia menutur selesai.
"Yang lewat biarlah lewat," ia menghibur. "Apakah
kedukaanmu itu" Kau tuturkanlah padaku. Kau bicaralah
dengan perlahan." Seng Lam menepas air matanya.
"Di luar dugaan sekali, di tahun yang aku dilahirkan,
keluargaku menampak bencana besar," kata dia, mulai lagi.
"Keluargaku itu, tua dan muda, semua telah terbinasa di
tangannya Beng Sin Thong. Yang lolos cuma ibuku seorang,
yang membawa aku menyingkir. Maka juga tanggung jawab
pembalasan sakit hati dipercayakan padaku seorang.
Semenjak aku dapat membaca, aku, telah ditunjuki peta
gambar itu, aku diwajibkan melihatnya siang dan malam,
supaya aku ingat dan apal di luar kepala, supaya sekalipun
dengan meram, aku dapat mengingatnya. Habis itu, peta
gambar itu lantas dibakar. Kepadaku ibu berkata: "Sekarang
ini di dalam ini dunia cuma kau satu orang yang ketahui
rahasianya pulau itu. Dimana peta gambar sudah dibakar, asal
kau menutup rapat mulutmu, tak nanti ada lain orang yang
mengetahuinya. Kau harus pergi ke pulau itu untuk mencari
siokcouw-mu itu. Umpama kata dia telah meninggal dunia,
kau dapat memasuki guanya. Disana kau boleh berdiam,
untuk terus mencari kitabnya Kiauw Pak Beng itu, supaya
dengan mempelajarinya, nanti bisa mencari-balas sakit hati
keluarga kita. Tidak lama sejak pesannya itu, ibu menutup
mata. Ketika itu aku berumur tujuh belas. Pernah aku memikir
memasuki satu rombongan perampok, untuk belajar ilmu
berlayar. Kemudian aku membatalkan niat itu. Akulah seorang
wanita, tak leluasa aku bercampur gaul dengan bangsa
perompak. Karenanya terpaksa aku hidup merantau. Secara
demikian tiga tahun telah lewat. Syukur akhirnya aku bertemu
dengan kau. Lebih syukur lagi hari ini cita-citaku telah
terwujudkan. Aku telah sampai di pulau ini, di ini tempat
rahasia. Begitulah semua keteranganku. Apakah kau masih
mencurigai sesuatu?"
Di dalam hatinya, Sie Ie kata: "Pantaslah selagi dia belum
pernah sampai disini tetapi dia telah ketahui segala apa
dengan jelas..." Ia pun terharu karena si nona sangat
mempercayainya.
"Tak perduli ada bahaya apa di depan kita, Seng Lam, aku
akan turut kau maju terus!" ia kata.
Seng Lam menggenggam keras tangannya si anak muda.
"Engko Sie Ie, kau sungguh baik sekali!" katanya, perlahan,
tetapi dengan nada sangat bersyukur.
Hati Sie le guncang. Tiba-tiba ia tanya: "Menurut
keterangan kau ini, jadinya siokcouw-mu itu masih hidup..."
"Kalau benar, dia mestinya sudah berumur sembilan puluh
lebih!" kata si nona.
"Tetapi orang aneh itu, nampaknya dia baru berusia lima
puluh lebih..." kata Sie Ie.
"Benar. Itulah sebabnya aku tidak berani sembarang
mengakui dia..."
Kalau dia bukan siokcouw dari Seng Lam, habis siapakah
orang aneh itu" Kenapa dia ketahui gua rahasia ini"
Memikir begini, Sie Ie tetap heran dan curiga.
Mereka berjalan terus. Di depan mereka ada sebuah pintu
batu. "Mari kita jalan lebih jauh," kata Seng Lam. "Habis ini
mungkin kita memperoleh penjelasan."
Si nona mengajukan kedua tangannya, meraba daun pintu,
guna mencari pesawat rahasianya. Tiba-tiba terdengarlah
suara berkeresek atau berkelotek, lantas pintu batu itu
terbuka sendirinya. Tengah mereka tercengang, mendadak
terdengar suara angin menyambar keras, membarengi
menyambarnya selembar cambuk, yang ujungnya hendak
melilit tubuh! Sie Ie berlompat maju, ia menyambar ujung cambuk itu,
tetapi di luar dugaannya, tenaga penyerang besar luar biasa,
tangannya kena terlilit, sebelum ia sempat berdaya, tubuhnya
telah tertarik masuk ke dalam pintu itu!
Berbareng dengan itu terdengarlah suatu suara
menggabruk keras! Dan itu berarti daun pintu batu itu
tertutup sendirinya! Dengan begitu, Seng Lam menjadi
ketinggalan sendirian di sebelah luar!
Di dalam keadaan seperti itu, Sie Ie tidak menjadi takut
atau mati daya. Tanpa memperdulikan tenaga orang kuat
sekali, dengan tidak menghiraukan orang mungkin sangat
liehay, ia lantas memasang kuda-kuda, menancapnya dengan
tipu silat "Berat Seribu Kati", sedang tangannya diputar, guna
meloloskan lilitan cambuk.
"Kau siapa?" ia menegur nyaring. "Kau berada dimana?"
Di dalam gelap itu terdengarlah tertawa yang
menyeramkan. "Aku disini!" terdengar jawaban orang yang tertawa itu.
"Mustahilkah kau juga buta?"
Suara itu, Sie Ie rasa, suaranya seorang wanita tua. Apa
yang aneh, suara itu berlagu suara orang Siamsay. Melainkan,
nadanya yang beda dengan suara si orang aneh. Nada orang
ini menusuk telinga.
Sie Ie berdiam, ia memusatkan perhatian dan matanya.
Karena sudah sekian lama ia memasuki terowongan di dalam
gua itu, matanya telah menjadi biasa pula. Di dalam situ pun
ada sedikit cahaya terang. Maka ia lantas dapat melihat cukup
tegas keadaan ruang itu.
Itulah sebuah kamar batu dari beberapa tombak luas.
Wanita tua itu duduk bercokol di satu pojok, tubuhnya
menyender pada tembok. Dia mempunyai rambut panjang,
yang terurai turun ke pundaknya. Hidungnya pun tampak
nyata, mancung hidung itu, sedang kedua matanya bersinar
tajam, warnanya rada biru. Dia tak miripnya wanita Tionghoa.
Sie Ie menjadi bertambah heran. Disini keanehan ditindih
keanehan. "Kau mau melepaskan tanganmu atau tidak?" tiba-tiba si
wanita tua membentak.
Sie Ie memang belum melepaskan tangannya, maka itu,
berbareng dengan bentakan itu, ia merasakan tarikan yang
keras. Mungkin tenaga mereka tak berjauhan, cambuk itu
terlepas. Menyusul itu, angin menyambar pula, cambuk itu
kembali menyerang, cepatnya luar biasa.
Sie Ie berkelit seraya ia menghunus pedangnya.
"Locianpwce!" ia berkata, "kami datang kemari tak dengan
maksud jahat!" Ia memanggil loocianpwee walaupun ia belum
kenal siapa nyonya tua itu.
Si nyonya tak memperdulikan-nya, dia mengulangi
serangannya hingga beberapa kali
Dengan terpaksa Sie Ie membela diri dengan menggunai
pedangnya. Sembari bertempur itu, ia merasa heran. Si
nyonya tak bangun berdiri, dia tetap duduk bercokol, cuma
tangannya yang terus bekerja.
"Heran, kenapa dia berduduk saja?" pikirnya.
Walaupun cambuk si nyonya liehay, lantaran dia tak
berkisar dari tempatnya duduk, tak sulit untuk Sie Ie
melayaninya. Sie Ie pun segera mendapat akal. Dengan tibatiba
ia lompat berputaran, sangat gesit gerakannya, habis
mana, mendadak ia berdiri diam, napasnya pun ditahan.
Nyonya itu masih menyerang beberapa kali meski ia
merasa lawannya telah lenyap. Tidak pernah ia memperoleh
hasil. Maka ia lantas berdiam seraya memasang telinganya.
"Aku tahu sekarang!" kata Sie Ie di dalam hati sesudah ia
berdiam sekian lama seraya terus ia memasang mata terhadap
nyonya. "Kiranya dia buta! Pantas tadi dia mengatakan apakah
aku pun buta..."
Sie Ie pun lantas memikirkan Seng Lam. Nona itu tidak
turut masuk, dia pun tak terdengar suara panggilannya dari
luar. "Mungkinkah pintu batu ini ada rahasianya?" ia mendugaduga.
"Atau apakah Seng Lam pun menemui bahaya?"
Ia menjadi bingung dan berkuatir.
Justeru itu mendadak si nyonya menyerang pula ke
arahnya. Selagi matanya buta, telinganya si wanita tua celi luar
biasa. Sie Ie tidak terus menahan napas, maka sekali ia
bernapas, suara napasnya itu terdengar si nyonya, yang lantas
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyerang padanya.
"Aku tidak bermaksud jahat, mengapa kau keterlaluan?" Sie
Ie kata. "Habis apa perlunya kau datang kemari?" nyonya itu tanya,
suaranya dingin.
"Aku hendak mencari seorang sahabat," Sie Ie jawab.
"Hm!" nyonya itu mengejek. "Tahukah kau aku siapa?"
"Aku justeru mohon diberitahu!"
Nyonya itu tertawa pula dengan dingin.
"Sampaipun aku kau tidak kenal, kau toh berani datang
kemari?" katanya. "Mana mungkin kau hendak mencari
sahabat! Aku tahu kau datang kemari untuk kitab ilmu silatnya
Kiauw Pak Beng! Benar, bukan?"
"Tidak salah!" Sie Ie jawab. "Hanya yang menghendaki itu
bukannya aku, aku cuma menemani dia..."
Sie Ie mau menyebutkan namanya Seng Lam sekalian
menanyakan, nyonya tua ini ada apa sangkutnya dengan
keluarga Le, atau mendadak si nyonya menjadi sangat gusar,
dia berseru: "Memang aku telah duga kau bukannya makhluk
baik-baik! Kau telah masuk ke dalam pintu ini, tak nanti kau
dapat keluar dari sini dengan masih hidup!" Kata-kata itu
disusul dengan sabetan cambuk yang berulang-ulang, yang
datangnya bagaikan hujan lebat atau taufan!
Sie le berkelit, la telah lantas berpikir: "Urusan sulit
dijelaskan dengan satu-dua patah kata, baiklah aku membikin
dia tunduk lebih dulu..."
Nyonya itu benar gagah tetapi dengan mata buta dan
tubuh bercacad, hingga dia tidak dapat berkisar, dia tidak bisa
berbuat banyak terhadap si anak muda.
Sie le menggunai kegesitannya, akan berlompat ke pelbagai
arah, sembari berbuat begitu, ia mencoba merangsak, masuk
ke dalam kalangan cambuk, hingga ia mendekati si nyonya
sekira satu tombak.
Tiba-tiba si nyonya bersiul nyaring, suara mana lekas juga
disambut suaranya kimmosoan. Mendengar suara binatang itu,
Sie le terperanjat. Hebat kalau nyonya itu dibantu binatang liar
tersebut. Tak usah lama atau lantas terlihat berlompat masuknya
binatang itu. Terpaksa Sie Ie memutar tubuhnya, untuk
menyambut serangan. Tetapi segera ia menjadi heran.
Kimmosoan tidak lompat menerjang padanya, binatang itu
sebaliknya lantas diam mendekam, suaranya pun tak
terdengar lagi.
Sebenarnya binatang itu mengenali Sie Ie dan dia tahu
membalas budi. "Binatang, lekas gigit dia sampai mati!" si nyonya
membentak. Kimmosoan berbunyi dua kali, bukannya dia menyerang Sie
le, dia justeru memutar tubuh, untuk ngeloyor pergi, ekornya
digoyang-goyangi.
Sie Ie tertawa.
"Lihatlah!" katanya. "Kimmosoan yang begitu bengis masih
suka bersahabat denganku! Mengapa kau tidak mau bicara,
supaya kita pun dapat menjadi sahabat satu dengan lain?"
Nyonya itu mendengar suara orang, ia menyabet ke arah
suara itu. Sie Ie berlompat dengan mengapungi diri, ia bebas, ketika
ia turun pula, kakinya tidak memperdengarkan suara apa juga,
sebab ilmunya ringan tubuh sudah mahir sekali. Ia turun
dengan cepat, bukannya mundur, ke tempatnya tadi. Ia turun
justeru di depan si nyonya, untuk terus menyabet dengan
tangannya ke arah nadi nyonya itu, untuk membikin cambuk
orang terlepas. Ia hendak mengulangi serangannya, guna
menotok, ketika mendadak ada angin menyambar keras
sekali, sampai ia menggigil karena angin itu sangat dingin,
terpaksa ia berkelit sambil lompat berjumpalitan, sedang
telinganya segera mendengar suaranya si orang aneh: "Ibu,
bagaimana?"
"Hampir aku terhajar mati," sahut si nyonya yang dipanggil
ibu itu. "Orang ini menghina aku, kau bunuhlah dia!"
Kata-kata "bunuh" itu sangat menyeramkan: keras, dingin
dan bengis. Si orang aneh berseru, dengan mendadak dia menyerang.
Dia menggunai semacam senjata besar yang sinarnya kuning
berkilauan. Hebat serangannya itu, yang merupakan jurus
"Gunung Taysan menindih kepala".
Sie le terkejut. Dia melihat nyata, orang menggunai tokkak
tong-jin, yaitu gegaman yang berupa orang-orangan dari
kuningan.91 Itulah senjata berat, yang paling sukar
digunainya, terutama sebab orang mesti bertenaga raksasa,
Siapa liehay, dengan boneka itu dia pun dapat menotok jalan
darah. Untuknya, inilah yang pertama kali ia menghadapi
musuh bersenjatakan boneka kuningan itu.
Dengan sebat Sie Ie berkelit, ketika ia diserang pula, ia
berkelit pula. Tapi, kapan ia terus didesak, diserang berulangulang,
satu kali ia mencoba menangkis juga. Kesudahannya
hatinya bercekat. Bentrokan keras, nyaring suaranya, tetapi
yang hebat ialah tangannya dirasai sakit. Maka tahulah ia yang
orang bertenaga besar luar biasa. Tadinya ia cuma menduga
saja. Selanjutnya, ia tidak mau mengadu senjata lagi.
"Tahan!" kemudian Sie Ie berseru. "Kau kasih ketika untuk
aku bicara dulu! Habis itu baru kita bertempur pula!"
"Kau menyelundup masuk kemari, tak dapat kau diberi
ampun!" berteriak si orang aneh. Benar-benar, sembari bicara
itu, ia menyerang terus, dan semakin hebat pula. Ia pun
beberapa kali mencari jalan darah
Sie Ie terdesak mundur, repot ia berkelit, hingga tak ada
ketika untuknya berbicara pula, terpaksa ia mengeluarkan
antero kepandaiannya untuk dapat bertahan.
"Kiranya wanita asing ini ialah ibunya," ia berpikir sembari
berkelit. "Dengan begini teranglah dia bukannya siokcouw dari
Seng Lam. Hanya entahlah bagaimana duduknya maka
mereka ini, ibu dan anak, dapat tiba dan berdiam di pulau
ini..." Ada pula lainnya keanehan, ialah si anak terlebih liehay dari
si ibu. Di dalam keluarga persilatan, hal itu tak biasanya
terjadi. Dengan kepandaiannya, kalau Sie Ie melayani lawan ini
dengan tangan kosong, dapat ia berkelahi sampai seratus
jurus, tetapi sekarang, baru lima puluh jurus, ia sudah keteter
sangat. Pula segera terjadi hal di luar dugaan. Ialah ia merasai
pedangnya menjadi dingin seperti es. Tentu sekali ia tidak
tahu, Siulo Imsat Kang Beng Sin Thong beda dari Siulo Imsat
Kang orang aneh ini. Siulo Imsat Kang dia ini dapat disalurkan
di antara senjata mereka selama mereka bertempur, dia jauh
terlebih liehay daripada si orang she Beng.
Saking heran dan kaget, Sie Ie mengeluh dalam hatinya:
"Aku tidak sangka sekali bahwa aku bakal terbinasa kecewa
disini..."
Tetap Sie Ie melawan, la kedinginan tetapi ia bermandikan
keringat. Di saat anak muda ini menghadapi ancaman maut, tiba-tiba
terlihat molosnya sinar terang serta terdengar suara tindakan
kaki. Si orang aneh agaknya heran, dia lantas berhenti
menyerang, dia memutar tubuhnya untuk lari pergi.
Si nyonya pun lantas membentak: "Siapa kau" Mengapa
kau datang dari dalam?"
Sie Ie lantas melihat Seng Lam, yang menghalangi
menyingkirnya si orang aneh. la dapat menduga tentulah nona
itu, setelah ketinggalan di luar, sudah berdaya mencari jalan
masuk. Dugaan itu cocok.
Sia-sia belaka Seng Lam mencari pesawat rahasia dari pintu
yang terkunci sendirinya itu, ia pun berkuatir untuk Sie Ie.
Maka ia lantas mencari lebih jauh. Ketika ia pergi ke bagian
belakang, baru ia berhasil. Disana ia mendapatkan pintu
belakang yang gampang ia memasukinya. Setibanya di dalam
ia mendapatkan segala apa yang membuatnya merasa pasti-yang membikin ia tahu siapa adanya si orang aneh. Maka ia
masuk terus hingga ia menyaksikan pertempuran, sampai si
orang aneh mau menyingkir dari ianya.
"Mana aku punya siokcouw Tiong Cu?" ia tanya orang
aneh. "Kamu siapa" Kenapa kamu, menduduki guanya
siokcouw-ku itu?"
Si nyonya heran.
"Apa?" tanyanya. "Siapa itu siokcouw kau?"
"Akulah turunan ke sebelas dari Le Kong Thian!" sahut
Seng Lam. "Tiong Cu ialah siokcouw-ku!"
"Kalau begitu," kata si nyonya, heran, dan suaranya
berubah menjadi lunak, "kaulah sanakku yang terdekat. Tiong
Cu itu suamiku dan Poan Kwie ini anakku."
Si orang aneh lantas melepaskan boneka kuningannya, ia
nampak likat. "Paman, apakah kau tidak sudi mengakui aku?" Seng Lam
kata pada si orang aneh, yang bernama Poan Kwie itu.
"Baiklah kau periksa kimpay-ku ini!"
"Aku tidak tahu bahwa kaulah keponakanku," kata si orang
aneh akhirnya, ia tetap jengah. "Kemarin ini..."
"Aku pun tidak tahu yang siokcouw-ku meninggalkan
turunannya disini," kata Seng Lam cepat. "Karena, kita samasama
tidak kenal, sudahlah, kita jangan menyebut-nyebut pula
kejadian itu."
Pada lebih daripada lima puluh tahun dulu, anggauta
keluarga Le yang berangkat mencari pulaunya Kiauw Pak beng
ialah dua saudara, Pek Cu dan Tiong Cu. Pek Cu, si kakak,
ialah yang berlayar pulang. Tiong Cu, si adik, terus diam dan
terus mencari kitabnya Pak Beng itu. Tahun lewat tahun, tidak
ada kabar dari kakaknya, dan juga tak ada sanak keluarga
lainnya yang datang. Ia tetap berdiam, tak mau ia
meninggalkan pulau ini. Sampai pada suatu hari ada sebuah
perahu yang diterjang badai dan melanggar karang hingga
karam, di antara penumpangnya ada seorang wanita Arab
yang dapat ditolongi. Kejadianlah ia menikah dengan wanita
asing itu. Di tahun berikutnya, dari isterinya ini ia mendapat
satu anak laki-laki. Karena ia sangat mengharap-harap pulang,
maka ia beri nama Poan Kwie pada anaknya itu. Nama itu
berarti "mengharapi pulang". Wanita itu tidak mengerti ilmu
silat, sesudah menikah, baru Tiong Cu mengajarnya. Silat
perlu untuk wanita itu, yang mesti hidup bersendirian di pulau
kosong. Inilah sebabnya kenapa wanita itu, ialah si nyonya
tua, kalah gagah dari Poan Kwie, anaknya.
Baik Pek Cu maupun Tiong Cu mempunyai masing-masing
sebuah tanda mata, ialah itu kimpay atau medali emas,
dimana ada diukir romannya Le Kong Thian, leluhur mereka.
Dua saudara itu berjanji, medali itu dijadikan bukti kalau-kalau
ada anggauta keluarga yang terlebih muda datang ke pulau,
dengan begitu dapat dibuktikan andaikata ada orang yang
memalsu atau menipu. Dan ketika Pek Cu pulang, ia memesan
dan mewariskan medalinya itu kepada anggauta keluarganya
yang mana saja yang berniat berlayar ke pulau kosong itu.
Le Tiong Cu menutup mata setelah masuk umur delapan
puluh tahun. Sebelumnya ia menghembuskan napasnya yang
terakhir, ia telah menuturkan segala hal ikhwalnya kepada
puteranya itu, dan ia memesan untuk si anak berdiam dan
menjagai pulau ini, menanti sampai ada anggauta keluarganya
yang lainnya datang mencari.
Le Poan Kwie menantikan tahun ketemu tahun. Sudah
lewat belasan tahun semenjak ayahnya menutup mata, tak
pernah ia mendapatkan anggauta atau sanak pamilinya yang
datang menyusul dan mencari, bahkan tak pernah terlihat lain
perahu datang ke pulaunya itu. Lekas sekali ia telah berumur
empat puluh tahun lebih. Ia menjadi lebih bergelisah karena
tak mendapatkan isteri. Ia kualir, setelah ia menutup mata,
pasti tak ada turunannya. Dengan begitu sia-sia usahanya
mereka dua turunan-ayah dan anak-di pulau kosong ini. Itulah
sebabnya waktu itu hari ia menem-pur Kim Sie Ie,
mendapatkan Seng Lam seorang wanita, ia menjadi girang
luar biasa, lantas ia meninggalkan musuhnya, terus ia
menangkap Nona Le. Hanya ketika ia sudah berhasil
memegang si nona. tiba-tiba ia melihat medali di lehernya
nona itu, ia menjadi malu sendirinya, segera ia menyingkirkan
diri. Tapi sekarang ia telah mengenali Seng Lam sebagai
keponakannya, ia girang. Di akhirnya ia menemukan juga
sanak keluarganya. Di balik kegirangannya, ia berduka juga ia
terharu sendirinya.
Ia kata: "Siokcouw-mu telah lama menutup mata. Kuburan
di dalam rimba tadi ialah kuburannya.
Sie le telah dapat beristirahat, melihat kedua pihak sudah
saling mengenali, ia lantas bertindak menghampirkan. la
berniat memberi hormat pada Le Poan Kwie ketika mendadak
Poan Kwie mementang kedua matanya lebar-lebar dan bengis
dan dengan keras menanya Seng Lam: "Apakah dia ini pun
dari keluarga Le?"
"Bukan," sahut Seng Lam. "Dia... dia..."
Belum habis si nona berkata atau Poan Kwie sudah
membentak: "Kenapa kau ajak orang luar masuk kemari?" lalu
sambil berseru itu, dengan tangannya yang besar, ia
menyambar Sie Ie, untuk menjambak!
Seng Lam terkejut, dia lantas maju untuk menghalang,
meski begitu, sebab Poan Kwie sangat gesit dan sambarannya
secara sangat mendadak, baju Sie Ie kena juga tersambar
pecah. Syukur Sie Ie dapat berkelit, kalau tidak mungkin
dadanya tercengkeram dan ter-lukakan.
"Paman!" Seng Lam berteriak. "Dialah sahabat kekalku!"
"Meski begitu, masih tak dapat dia masuk kemari!" kata
Poan Kwie keras. "Apakah kau telah melupakan pesan
leluhurmu" Kitab ilmu silat Kiauw Pak Beng tidak dapat dikasih
lihat pada orang luar dan pulaunya ini dilarang diinjak orang
lain she! Dia bukannya sanak Keluarga Le, tidak dapat aku
membiarkan dia keluar dari sini dengan masih hidup!"
Seng Lam kaget dan bingung.
"Paman!" dia kata dalam bingungnya itu, "dialah suami
keponakanmu ini!"
Poan Kwie heran hingga ia tercengang.
"Ah, mengapa kau tak mengatakannya siang-siang?"
katanya kemudian. "Hampir aku membuat dia celaka..."
Mukanya Seng Lam menjadi merah, tetapi sudah terlanjur,
ia membawa sikap likat, sembari bersenyum ia kata:
"Bukankah tadi aku telah bilang bahwa dialah sahabat
kekalku" Siapa suruh paman berlaku tidak sabaran?"
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Poan Kwie mengawasi keponakan itu, hatinya bekerja. Ia
pikir ia tentu tidak bakal dapat isteri lagi, sedang kitab
warisannya Kiauw Pak Beng entah sampai kapan bakal
didapatkannya. Maka ia anggap baiklah ia membiarkan ini
suami isteri berdiam disini, kalau nanti sang keponakan
perempuan mendapat anak, anaknya itu toh cucu luar, hingga
bersama suami isteri itu, sang cucu boleh melanjuti mencari
kitabnya Kiauw Pak Beng. Maka akhirnya ia tertawa dan kata:
"Kalau begitu, dia pun bukan orang luar. Sunsay, Mari!
Barusan aku telah membikin kau kaget."
Sie Ie bingung, dia likat. Untuknya, mengakui salah, tidak
mengakui salah juga. Kalau dia menyangkal, dia bisa celaka.
Karena ini, dia berdiam saja.
Poan Kwie tertawa pula.
"Sudah berapa lama kamu menikah?" dia tanya.
"Sudah satu tahun tiga belas hari," sahut Seng Lam
terpaksa. Atas jawaban itu Sie Ie berpikir. Benarlah kata si nona,
semenjak ia berkenalan dengannya, ia telah mengenal nona
itu satu tahun lewat tiga belas hari.
"Hebat dia mengingat demikian tepat," pikirnya pula. "Aku
tadinya menyangka dia ngoceh saja. Rupanya perkenalan itu
dia menganggapnya sebagai hari nikah kita..."
Sie Ie memuji si nona sedang ia sendiri pun mengingat baik
tanggal perkenalan mereka itu, kalau tidak, tidak nanti ia
dapat mengingat atau menghitung sedemikian cepat.
"Satu tahun tiga belas hari!" kata pula Poan Kwie. "Hari itu
bukannya hari yang pendek! Mengapa kamu nampaknya
masih malu-malu?"
Sie Ie menjadi sangat serba salah. Terpaksa ia memberi
hormat sambil memanggil: "Cekkong!" lalu ia memberi hormat
juga pada si nyonya tua, si nenek.
Senang nyonya itu, dia tertawa girang. Dengan begitu
buyar juga sikap bermusuhnya terhadap anak muda itu.
"Taysiokpo," tanya Sie Ie kemudian pada nenek itu,
"bukankah di waktu melatih diri telah terjadi kekeliruan
menyalurkan napas maka juga taysiokpo menjadi tersesat?"
"Benar,"si nyonya tua mengakui. "Bagaimana kau ketahui
itu?" "Karena dulu hari cucumu pun hampir tersesat serupa," Sie
Ie menerangkan. "Syukur kemudian aku dapat petunjuknya
seorang berilmu yang sekalian mengajari aku ilmu dalam yang
lurus, hingga aku bebas dari ancaman malapetaka. Aku lihat,
taysiokpo, meskipun telah tersesat, kau belum kasip. Kalau
suka, marilah taysiokpo mencoba cara menyalurkan napasku
itu." Le Tiong Cu belum mendapatkan kitabnya Kiauw Pak Beng,
dia tidak mengerti pergabungan lurus dan sesat, maka itu Le
Poan Kwie, anaknya, cuma dapat meyakinkan Siulo Imsat
Kang sampai di tingkat ke tujuh. Isteri Tiong Cu dinikah di
tengah jalan, dapat dimengerti yang isterinya itu tidak
memperoleh kemajuan yang berarti, bahkan dia tersesat.
Sie Ie lantas memberikan pelajarannya. Si nyonya tua dan
anaknya menurut, mereka meyakinkannya. Belum lama,
keduanya menjadi girang sekali. Baru saja mulai, mereka
sudah merasakan kefaedahannya itu, yaitu napas mereka
dirasai tersalur lurus.
Poan Kwie pun lantas mengajari Sie Ie beberapa macam
ilmu silat Keluarga Le.
Ada maksud yang jauh dari Sie Ie mengapa ia mau
mengajari si nenek. Ia bukannya mau mengambil hati. Ia tahu
disana ada Beng Sin Thong yang liehay, maka perlu si nenek
disembuhkan agar mereka memperoleh bantuan yang
berharga. Ia percaya, selang tiga bulan, nenek itu bakal bisa
bangun dan berjalan seperti biasa.
Setelah itu, Poan Kwie tanya Seng Lam siapa itu
rombongannya Beng Sin Thong, apa mereka itu bukan
sahabatnya juga.
"Bukan," sahut Seng Lam, "bahkan yang tua ialah
musuhnya keluarga kita!" Ia lantas menangis, tetapi ia masih
dapat menguati hati untuk bicara terus: "Semua beberapa
puluh anggauta keluarga kita telah dibinasakan dia, yang
dapat meloloskan diri cuma aku satu orang..."
Poan Kwie gusar sekali, tetapi ia heran.
"Habis kenapa kau datang bersama mereka itu?" dia tanya.
"Mereka bukan datang bersama hanya mereka mengejar
kami, mereka pun mau mencari kitabnya Kiauw Pak Beng,"
sahut Seng Lam, yang terus menuturkan peristiwa di Coato,
Pulau Ular, bagaimana mereka berdua dipaksa mengantarkan
rombongan itu ke pulau ini, hingga mereka jadi sampai
berbareng. "Dia begitu jahat!" kata Poan Kwie gusar sekali. "Baiklah,
besok akan aku bunuh dia!"
"Beng Sin Thong seperti terkurung di pulau ini, tidak nanti
dia dapat menyingkirkan diri," kata Sie le. "Baiklah kita
menanti sampai taysiokpo sudah sembuh baru kita cari
padanya. Kita masih mempunyai waktu."
Poan Kwie cerdas, ia lantas dapat menangkap maksudnya
Sie Ie. Sin Thong musuh besar keluarga Le, sudah seharusnya
yang membalas terhadapnya ialah turunan sah dari keluarga
yang bersangkutan itu. Di dalam hal ini, turunan itu ialah Le
Seng Lam. Sie Ie sendiri suka membantu Seng Lam sebab ke
satu ia telah menerima budi dan kedua ia merasa kasihan si
nona sebatangkara. Sekarang Seng Lam sudah berkumpul
dengan sanaknya, pembalasannya itu bukan soal sukar lagi,
maka ingin ia tidak campur tangan. Jadi mereka tinggal
menanti sembuhnya si nenek.
Seng Lam dapat menerka pikiran Sie Ie, ia pun menyatakan
kesetujuannya. "Baiklah," katanya. "Biarlah kita tinggal disini dulu, biarlah
dia dapat hidup lagi sekian hari! Sekarang perlu kita bicarakan
soal mencari kitabnya Kiauw Pak Beng."
"Tapi aku hendak mengobati dulu kimmosoan," katanya,
"setelah sembuh, biarlah binatang itu yang lebih dulu
menyiksa mereka itu."
Akhirnya si nyonya tua tertawa dan kata: "Kau telah
membikin mereka ini berdua kaget, sekarang kau kasihlah
mereka beristirahat!"
Poan Kwie mengangguk. Ia lantas menyalakan lilin.
"Seng Lam," katanya, "keluarga Le tinggal kau satu orang,
maka itu rumah ini ialah rumahmu. Sekarang mari aku
menunjuki kau keadaan rumah ini!"
Seng Lam mengangguk.
Lilinnya Poan Kwie itu lilin besar, terbuatnya dari minyak
kerbau, maka itu terangnya luar biasa. Seng Lam dan Sie le
mengikuti paman itu, yang membawa lilin tersebut.
Jalan berliku-liku saling melintang, saban-saban ada
perangkapnya. Itulah persiagaannya Kiauw Pak Beng dulu
hari, yang kemudian ditambah oleh Pek Cu dan Le Tiong Cu
dua saudara, Sembari menyaksikan semua itu, Sie Ie kata dalam hatinya:
"Jikalau tidak bersama Le Seng Lam, jangan harap aku nanti
dapat datang kemari. Atau kalau toh aku bisa masuk, pasti
aku bakal mati terperangkap atau terkurung..."
Di bagian dalam, ruang luas, ada beberapa kamar batunya,
dan perabotannya pun lumayan. Semua itu, pembuatnya dua
keluarga Le ayah dan anak, antaranya ada barang tembikar
bakaran mereka sendiri.
Poan Kwie kemudian menunjuki kamarnya Kiauw Pak Beng.
"Kamu boleh tidur di dalam kamar ini," katanya. Bahkan ia
membantu mengaturnya. Tikar ialah kulit binatang liar.
Beberapa lilin kecil pun disediakan. Malah di dalam pot ada
ditaruhkan bunga hutan. Hingga kamar diumpamakan kamar
pengantin! Paling akhir Poan Kwie membawakan arak buatannya
sendiri serta abon.
"Inilah yang pertama kali kamu pulang, maka kamulah
mempelai!" katanya tertawa. "Sudah selayaknya aku memberi
selamat kepada kamu!"
Sie Ie mesti melawan rasa likat-nya. Ia bersandiwara untuk
melayani cekkong itu.
Seng Lam juga mesti turut membawa peranan.
Poan Kwie sudah minum banyak juga ketika ia kata sambil
tertawa: "Cukuplah sudah, tak mau aku mengganggu kamu
lebih lama! Aku mendoakan, semoga kamu lekas memperoleh
anak yang manis!"
Mirip dengan "orang hutan", paman ini polos sekali, apa
yang dia pikir, dia lantas mengatakannya, hingga dia
membikin mukanya Sie Ie dan Seng Lam menjadi merah.
Ketika Poan Kwie mengundurkan diri, ia sekalian menarik
pintu untuk dirapatkan.
Seng Lam, menyingkirkan lelatu lilin, kedua belah pipinya
merah. "Engko Sie Ie, apakah kau menyesali aku?" ia tanya
perlahan. Sie Ie menyeringai.
"Aku tidak tahu bahwa keluargamu mempunyai ini macam
aturan," ia menjawab. "Jikalau aku tahu, tidak nanti aku
datang ke pulau ini..."
Dari merah, parasnya Seng Lam menjadi pucat. Ia pun
lantas mengalirkan air mata. Ia jengah, menyesal dan
mendongkol. "Memang aku tahu aku tidak sembabat untukmu," katanya,
perlahan, nadanya nada penasaran. "Oh, oh, tentulah di
dalam hatimu kau mengatai aku tidak tahu malu!..."
Tak tega Sie Ie melihat nona itu bersusah hati demikian, ia
merasa kasihan, hampir ia mengulur kedua tangannya guna
merangkul. Syukur ia masih dapat menguasai diri.
"Seng Lam, jangan kau berkata begini!" ia kata, sungguhsungguh.
"Aku... aku sebelumnya aku bertemu dengan kau, di
dalam hatiku sudah berpeta seorang lain... Kau cantik
bagaikan bunga, kau pun sangat cerdas, pasti bakal ada orang
yang melebihkan aku sepuluh lipat ganda yang nanti
mendampingimu. Untukmu, cukup asal kau melirik. Buat apa
kau menaruh hatimu padaku?"
Air mata si nona mengembeng.
"Aku juga tahu, di hatimu telah ada lain orang," ia berkata.
"Aku pun terpaksa, mengatakan demikian kepada pamanku.
Sekarang bagaimana"..."
"Sebenarnya aku bersyukur untuk kebaikan hatimu," bilang
Sie le. "Maka itu umpama kata kau tidak mencela aku..."
Si nona segera mengangkat kepalanya, ia memandang
tajam. "Bagaimana?" tanyanya.
"Usiaku lebih tua daripada usiamu," kata Sie Ie, "umpama
kau tidak buat celaan, marilah kita saling memanggil kakak
dan adik... Bagaimana kau pikir?"
"Apakah begitu juga kita saling berbahasa di depan
pamanku?" si nona menegaskan.
"Sebelum kita meninggalkan pulau ini, biarlah untuk
sementara kita menjadi suami isteri palsu," kata Sie Ie. "Asal
di dalam hati, kita ialah kakak dan adik. Aku tahu, Seng Lam,
hal ini membuatmu sangat bersusah hati. Tapi ini daya satusatunya,
apa mau dikata" Harap kau memaafkan aku."
Seng Lam menahan keluarnya air matanya.
"Koko!" ia memanggil perlahan sambil ia memberi hormat.
Baru sekarang Sie Ie berani memegang tangan orang,
untuk dipimpin bangun. "Adik!" ia membalasi.
"Koko, kau baik sekali terhadapku," kata pula si nona.
"Baiklah, selanjutnya aku akan menjadi adikmu yang sejati.
Tentang lain pria, tak nanti aku meliriknya."
Sie Ie merasa tak enak di hatinya. Sungguh-sungguhkah si
nona di waktu dia mengucapkan demikian" Benar-benarkah
Seng Lam puas menjadi adik angkatnya" Ia pikir, itulah tak
mungkin... Malam itu Sie Ie minta si nona tidur di atas pembaringan, ia
sendiri tanpa membuka pakaian luar rebah di bawah, di tanah.
Sampai fajar ia tak pulas sekejab juga. Ia telah berpikir keras.
Memang semenjak pertama kali bertemu si nona, ia mendapat
perasaan nona itu telah menjadi seperti bayangannya, sulit
untuk menyingkir daripadanya. Sekarang sifatnya itu berubah
tetapi tak merubah tanggung jawabnya. Ia mau percaya,
setelah mendapatkan kitabnya Kiauw Pak Beng dan telah
pulang ke daratan, belum tentu ia dapat dengan sesukanya
memisahkan diri dari adik angkatnya ini. Siapakah dapat
memisahkan diri dari bayangannya"
Lantas, habis itu, Sie Ie memikirkan Kok Cie Hoa. Ia ingat si
nona dan lantas romannya nona itu berpeta. Seperti embun
pagi menimpa kelopak matanya, demikian ia disadarkan. Ia
merasa, kalau ia berkumpul dengan Cie Hoa, hatinya menjadi
bersih dan jernih, pikirannya menjadi terang, semangatnya
menjadi terbangun, bagaikan ia ingin naik menanjak, dan
terhadap penghidupan, terhadap dunia, ia makin menyayangi.
Tapi, berada dengan Seng Lam, jauh bedanya, hatinya terasa
berat, tubuhnya seperti tertarik bandulan tenggelam dalam,
tenggelam terus, dan mengenai hari depannya, ia merasakan
sesuatu yang tak menenangkan. Ia merasakan sesuatu yang
aneh... Seng Lam demikian menyinta ia. Mungkinkah kemudian si
nona mencelakainya" Toh ia jeri! Seng Lam itu aneh dan
bagaikan terahasiakan, tak dapat ia menebak atau
menerkanya. Ia tetap ber-sangsi...
Pula masih ada bayangannya seorang lain lagi, yang
menyeiak di antara mereka. Dialah Lie Kim Bwee! Nona ini
sangat lurus dan polos. Berdekatan dengan Kim Bwee, ia
dibuatnya menjadi riang gembira. Nona itu mendatangkan
rasa kasih sayangnya. Dibanding dengan Cie Hoa, Kim Bwee
tak beda seberapa... Cuma di matanya, Kim Bwee itu ialah
nona belum dewasa, ia ingin memandangnya sebagai adik
kandungnya... la mengharap sangat mempunyai adik seperti si
nona Lie, bukan adik seperti Seng Lam ini...
Sie Ie tidak dapat tidur, akan tetapi ia toh terperanjat di
waktu Seng Lam mengasih ia bangun. Ia kelelap dalam
lamunan. Ia heran wakta ia melihat matahari pagi telah
bersinar di sela-sela batu yang merupakan tembok.
"Kau tidur nyenyak sekali!" kata si nona tertawa. "Lihat,
cuaca telah menjadi terang sekali! Sebenarnya aku ingin
membiarkan kau tidur terus, tetapi hari ini ada hari pertama
yang kita 'pulang ke rumah', maka itu perlu kita bangun pagipagi
untuk menghormati orang tua-tua..."
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nona itu bicara dari hal "pulang ke rumah", tetapi Sie Ie
sendiri berpikir: "Mana kau ketahui bahwa aku tak tidur
semalam suntuk!"
Seng Lam mengawasi, mukanya merah ketika ia kata pula,
perlahan: "Kita telah menjadi engko dan adik, akan tetapi di
depan pamanku kau mesti bersikap lebih erat dengan aku,
supaya kita mirip suami isteri tulen, agar janganlah rahasia
kita terbuka..."
Dengan terpaksa, Sie Ie mengangguk.
Lantas berdua mereka pergi keluar. Mereka tidak
menemukan Poan Kwie. Ketika si nyonya tua ditanyakan, dia
membilangi bahwa anaknya itu telah pergi dari pagi-pagi
sekali mengajak kimmosoan.
Sampai tengah hari barulah Poan Kwie pulang bersama
binatang piaraannya itu, binatang mana sebenarnya masih
harus dirawat beberapa hari akibat serangan Siulo Imsat Kang
dari Sin Thong. Begitu tiba dia kata: "Bangsat tua she Beng itu
bersama dua kawannya entah bersembunyi dimana! Bukankah
kamu bilang kamu telah membangun tenda di tepi telaga di
dalam rimba" Aku telah pergi kesana, apapun aku tidak dapat
lihat, bahkan tidak ada tapak kaki juga!"
Beng Sin Thong itu sangat cerdas licik. Dia segera
bercuriga begitu dia melihat sikapnya si orang aneh terhadap
Seng Lam. Dia lantas menduga-duga mesti ada sesuatu
hubungannya berkenaan menyingkirkan Sie Ie dan Seng Lam
dari rombongannya. Dia cuma tak dapat menerka bahwa Seng
Lam ialah keponakannya si orang aneh. Saking curiga dia
pikir: "Mungkinkah Kim Sie Ie dan Seng Lam mau berserikat
dengan si orang aneh untuk menghadapi aku?" Mengingat ini,
dia menggigil sendirinya. Kalau benar, itulah ancaman bahaya
untuknya. "Mesti aku menjauhkan diri dari mereka!" akhirnya dia
mengambil keputusan. Maka tengah malam itu dia ajak Biat
Hoa Hwesio dan Kunlun Sanjin menyingkir dengan diam-diam.
Sebagai orang-orang Kangouw berpengalaman, mereka
tahu harus berbuat apa. Begitulah mereka meloloskan sepatu
mereka, sebagai gantinya, kaki mereka itu dibungkus. Juga
mereka jalan di tempat dimana ada rumput tebal. Dengan
ilmu ringan tubuh mereka yang mahir, sama sekali mereka
tidak meninggalkan tapak kaki.
"Sungguh liehay hantu tua itu!" kata Seng Lam. "Tentulah
selanjutnya dia semakin berhati-hati. Pulau ini luas ratusan lie
sekitarnya, kalau dia main menyembunyikan diri, mana dapat
dia dicari?"
"Meski mereka sangat liehay, tidak nanti mereka lolos dari
pulau ini!" kata Sie le tertawa. "Sekarang lebih perlu kita
mencari kitab, sesudah itu perlahan-lahan kita mencari mereka
untuk membereskannya."
Seng Lam mau percaya Sie Ie. Di antara tiga orang itu,
cuma Sin Thong yang dapat melayarkan perahu. Perahu pun
telah dirusak Biat Hoa, untuk memperbaiki itu dibutuhkan
waktu sedikitnya setengah bulan. Kalau mereka membikin
betul perahu itu, mesti mereka kepergok.
"Benar!" ia kata. "Memang paling perlu kita lantas mencari
kitab silat, supaya Sin Thong tidak mendahuluinya!"
Poan Kwie mengerutkan kening.
"Bersama-sama ayah aku mencarinya sudah puluhan
tahun, tetap kita tidak berhasil," ia kata. "Kau bicara gampang
saja..." Seng Lam tidak menjadi kecil hati karena kata-kata
pamannya itu. "Sie Ie," ia bilang, "coba kau keluarkan gambar kita itu.
Katanya dengan melihat gambar itu kita akan dapat
memecahkan rahasianya tempat menyimpannya. Cuma
sampai sebegitu jauh kita belum dapat menangkap artinya.
Paman telah tinggal puluhan tahun disini, pasti paman
mengenal seluruh tempat dengan baik, umpama kata
selembar rumputnya atau sebatang pohonnya, maka itu
mungkin paman dapat menangkap maksudnya."
Sie Ie menurut, ia mengeluarkan dan membeber
gambarnya. Poan Kwie melihat gambar itu, ia mengawasi sekian lama,
lalu ia menggeleng-geleng kepala dan romannya pun putus
asa. "Gambar apa ini?" katanya. "Aku juga tidak mengerti..."
Tapi ia mengawasi terus, romannya sungguh-sungguh,
agaknya ia berpikir keras.
"Paman, apakah kau telah melihat sesuatu?" Seng Lam
tanya. "Raksasa itu aneh!" kata Poan Kwie. "Aku tidak dapat
memikirnya. Baiklah aku ajak kamu melihat suatu tempat..."
Paman ini mengajak keponakan itu serta Sie le keluar dari
gua mereka, mereka memanjat gunung untuk tiba di atas
dimana pepohonan sedikit. Selang dua jam, dia berhenti di
mulut gunung, untuk memandang puncak gunung yang
gundul. "Coba kamu lihat, puncak ini mirip apa?" dia tanya.
Sie Ie tengah memikir atau Seng Lam berseru: "Mirip
manusia!" "Ah, jangan-jangan si raksasa di dalam gambar
dimaksudkan puncak ini!" kata ia, kata-katanya pun
keterlaluan. "Itu sebabnya kenapa aku ajak kamu melihat ini," kata
Poan Kwie. "Hanya puncak itu pernah aku mendakinya
beberapa kali, disana tidak ada guanya, cuma romannya mirip
patung batu. Mungkinkah kitabnya Kiauw Pak Beng disimpan
di dalam puncak itu" Pula masih ada halnya lukisan dalam
gambar, yaitu tentang kedua tangan si raksasa lagi menarik
busur. Memang bagian kiri dan kanan puncak ini mirip tangantangan.
Kalau begitu, mana busurnya" Juga tidak ada apa-apa
yang mirip jemparing..."
Seng Lam berdiam, juga Sie Ie. Tapi bertiga mereka terus
mengawasi gambar, otak mereka bekerja.
Poan Kwie telah mendapat tahu dari Sie Ie lelakon gambar
aneh itu. "Gambar ini dibuat oleh Kiauw Pak Beng sendiri," kata Poan
Kwie kemudian, "gambar ini dibuang ke laut untuk dibiarkan
didapati orang yang berjodoh dengannya, maka itu mesti ada
artinya. Sekarang kita telah mendapatkan si raksasa, tinggal
lain bagiannya lagi..."
"Paman bilang di puncak ini tidak ada guanya," kata Seng
Lam sesudah ia berpikir sekian lama, "akan tetapi mulutnya si
raksasa toh dipentang, bukan?"
"Itulah terjadi karena dua potong batu atas dan bawah,
tengahnya menjadi seperti renggangnya, sebesar kepalan
cuma," sahut Poan Kwie. "Itu bukannya liang atau gua..."
"Coba kita naik dan lihat," Seng Lam mengajak.
Puncak gundul dan tinggi, tak ada tempat untuk menaruh
kaki, tetapi Poan Kwie telah mempunyai dadung dan kapak
serta pahat, maka tak sulit untuk mereka manjat. Bersama
Kim Sie Ie ia menggunai ilmu "Pekhouw Kang" atau "Cecak"
untuk melapai naik, setelah mana mereka membuat sebuah
liang, untuk menancap sebatang besi dimana dadung
ditambat, dengan begitu di lain saat Seng Lam telah dapat
dikerek naik. Mereka manjat terus. Mendekati tengah hari, mereka tiba di
batu besar mirip raksasa itu, di bawahnya mulutnya. Mereka
mencari tempat untuk menaruh kaki, untuk memandanginya.
Yang disebut mulut itu cuma muat sebuah tangan. Juga
agaknya tenaga mereka tak cukup guna mementang mulut
itu... "Telah kita dapatkan mulutnya, sekarang bagaimana dapat
kita masuk ke dalamnya?" kata Poan Kwie menyeringai. Ia
kecele. Seng Lam mengawasi sekian lama.
"Lihat mulut itu!" katanya. "Bukankah ada beberapa bocah
giginya" Aku maksudkan batu-batu kecil panjang yang berdiri
itu, yang dinamakan rebung batu."
"Apakah artinya gigi-gigi semacam itu?" tanya sang paman.
Seng Lam membeber gambarnya.
"Kiauw Pak Beng memberi tanda disitu," katanya,
tangannya menunjuk.
Sie le melihat ke tempat yang ditunjuk itu. la mendapatkan,
dihitung dari sebelah kiri, jaraknya gigi kedua dan ketiga lebih
jarang daripada yang lain-lainnya. Itu artinya lebih lebar.
"Baik, nanti aku coba," kata Poan Kwie. Dan ia mengulur
kedua tangannya, dikasih masuk ke dalam mulut itu. Dengan
tangan kiri ia memegang gigi yang kedua dan dengan tangan
kanan mencekal gigi yang ketiga, terus ia memeng-kang. Ia
menggunai tenaganya. Tiba-tiba terdengar suara berkeresek.
Kedua gigi itu bergerak ke kiri dan kanan, batu hancurannya
pada meluruk. Apa yang luar biasa, mulut itu lantas terbuka
lebar, hingga tubuh seorang orang dapat merayap masuk ke
dalamnya! Ketiganya menjadi heran berbareng girang.
"Nanti aku coba," kata Seng Lam, yang tubuhnya paling
kecil. Dan ia lantas merayap masuk.
"Aku pun dapat masuk," kata Sie Ie di dalam hati.
"Pamannya ini bertubuh besar, dia tidak..."
Tengah ia berpikir itu, ia melihat Poan Kwie melempangkan
tubuhnya dan menyedot napas dalam-dalam, lalu terdengar
tulang-tulangnya pada berbunyi meretak, lalu lagi lantas
terlihat tubuhnya menjadi ciut ringkas, maka ketika dia pun
merayap, dia dapat merangkang masuk!
Bukan main herannya Tokciu Hongkay. Di luar dugaannya,
orang she Le ini pandai Siukut Kang, ialah ilmu menciutkan
tubuh. Ia mengetahui ilmu itu tapi baru sekarang melihat
untuk pertama kalinya.
"Benar-benar hebat!" ia berpikir. "Ilmu silat keluarga Le
didapat dari Kiauw Pak Beng dan itu selama Pak Beng belum
menyingkir ke pulau ini. Entah bagaimana sesudah dia
meyakinkannya lebih jauh seorang diri... Pasti Kong Thian
belum dapat mewariskan semua kepandaian guru atau
majikannya itu tetapi kepandaiannya Poan Kwie ini sudah
mengagumkan. Coba kita berhasil memperoleh kitab rahasia
dan berhasil juga memahamkan-nya, siapa nanti dapat
menandingi kita?"
Karena orang sudah masuk, Sie Ie pun menyusul. Karena
liang sempit dan batu tidak rata, ia mendapat beberapa luka
lecet. Poan Kwie tertawa melihat luka orang itu.
"Kalau tahu begini, lebih dulu aku mengajarkan kau Siukut
Kang!" katanya. "Kau berbakat dan cerdas, di dalam tempo
tiga hari, kau tentu dapat menguasainya."
Mulut gua itu kecil di depan, di dalamnya lebar sekali.
Dengan seikat cabang cemara, Poan Kwie membuat obor,
lalu bertiga, dengan berhati-hati, mereka memasukinya lebih
jauh. Mulanya mereka menyangka gua itu mestinya aneh,
kemudian ternyata, mereka dapat masuk tanpa rintangan apaapa.
Sekian lama mereka berjalan, mendadak mereka melihat
cahaya terang. "Itukah busur!" Poan Kwie berseru.
"Ah!" Seng Lam pun berseru. "Entah dari apa dibuatnya
busur ini! Sungguh luar biasa" Koko Sie Ie, pernahkah kau
melihat busur raksasa semacam ini?"
Sie Ie maju mendekati, untuk meneliti.
Di tembok batu ada menonjol sebuah rebung batu, pada itu
tergantung busur yang dimaksudkan Poan Kwie dan Seng
Lam. Busur itu besar luar biasa, sebelumnya belum pernah ia
melihatnya. Poan Kwie menyuluhi dengan obornya.
"Busur begini besar, mungkin kau tak kuat mengangkatnya,
Seng Lam," dia kata. "Cobalah kau angkat, Sie Ie!"
Sie Ie maju, ia mengulur kedua tangannya, untuk
memegang dan mengangkat. Dengan lantas ia menjadi
terperanjat saking heran. Ia memang sudah menduga, busur
mesti berat, tetapi ia tidak pernah menyangka, ia tak kuat
mengangkatnya. Ia baru berhasil sesudah ia mengerahkan
tenaga besar! Selain berat, busur pun dingin sekali.
"Inilah busur kemala putih!' ia berseru.
Poan Kwie meraba-raba.
"Memang kemala tetapi bukannya kemala putih yang
umum," ia bilang. "Inilah kemala yang didapatkan dari dasar
laut. Ketika dulu hari ayahku selulup di laut, ia telah
mendapatkan dua potong kemala semacam ini, kecil sekali,
tetapi berat timbangannya beda sepuluh lipat dari kemala
biasa. Talinya busur ini terbuat dari otot ular naga, juga
serupa benda yang sukar didapatkan. Inilah busur aneh,
jikalau kita bawa pulang ke daratan, pasti dunia Rimba
Persilatan bakal gempar karenanya!"
Sie Ie tertawa.
"Siapakah yang sanggup mementang busur ini?" ia kata.
"Kalau aku membawanya dengan menggendolnya di
punggungku, mungkin belum lewat sepuluh lie, punggungku
akan sudah bongkok melengkung!"
Pemuda ini mencoba menarik tali busur, ketika ia
menghabiskan tenaganya, ia cuma dapat menarik seperti
bulan sisir, tak sanggup seperti bulan purnama.
"Mari aku pun mencobanya!" kata Poan Kwie tertawa, la
menyerahkan obor pada Seng Lam, ia menyarnbuti busur dari
Sie Ie, lantas ia menarik. Dan ia dapat menarik, hingga busur
itu melengkung penuh!
Sie Ie kagum bukan main.
"Cekkong bertenaga besar luar biasa!" ia memuji.
Ketika Poan Kwie mencoba menarik hingga dua kali,
napasnya sengal-sengal juga.
Jemparingnya busur itu kedapatan di bawahnya rebung
batu yang menjadi tempat gantungan. Semuanya cuma tiga
batang. Ketika Poan Kwie jumput itu, ia mendapatkan anak
panah yang luar biasa juga, sebab yang satu ujungnya, yaitu
kepalanya, terpecah dua, dan yang dua lagi, pecahannya lebih
lebar. "Entah apa maksudnya ketika dulu hari Kiauw Couwsu
membuat panah ini," kata Poan Kwie kemudian. "Mungkin
benar banyak binatang liar disini tetapi dengan kepandaiannya
saja, bukankah sudah cukup untuk melayaninya" Jadi, buat
apakah panah semacam ini?"
"Lihat!" Seng Lam berseru tiba-tiba. "Ada lagi benda
mustika!"
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sie Ie lantas mengawasi ke arah si nona menunjuk.
Dari tanah terlihat sinar terang hijau. Benda itu mudah
terlihat, tetapi barusan orang dibikin heran dan kagum sang
panah, perhatian mereka tidak lantas tertarik.
Ketika ia bertindak menghampirkan, Sie Ie dapatkan itulah
sebuah pedang, yang nancap di tanah.
Barusan ia dapat pengalaman dari busur, maka untuk
mencabut pedang ini ia memasang kuda-kuda, ia
mengerahkan tenaganya. Tapinya, setelah mencabut, ia
kecele. Melesetlah perkiraannya. Bukannya berat atau sukar,
pedang itu justeru terlalu enteng, nancapnya tak keras dan
kuat, maka itu, ia telah terhuyung dua tindak.
"Eh, kenapakah?" tanya Seng Lam heran. Ia lompat
menghampirkan. "Tidak apa-apa," sahut Sie Ie. "Cuma pedang ini nancap
kendor sekali..." Sembari berkata begitu, ia cabut pedang itu.
Mendadak ruang itu, yang tadinya cuma diterangi obor,
lantas jadi terang luar biasa sekitar tiga tombak, sedang
cahayanya, yang hijau, berkilau-kilau.
Poan Kwie periksa pedang itu, tak dapat ia menerangkan
dari logam apa terbuatnya.
Bertiga mereka menjadi heran dan kagum tak terkirakan.
Ketiga-tiganya benda aneh, ketiga-tiganya mustika.
Sie Ie ingin menguji pedang itu. Ia membabat sebatang
rebung batu. Hanya sekali tabas, rebung itu putus. Ketika ia
menusuk ke tembok gunung, batunya hancur berjatuhan,
nancapnya dalam beberapa dim. Tempo ia memeriksa, ujung
dan tajamnya pedang tidak tertekuk atau gompal.
"Pedang mustika!" kata si anak muda, girang. "Pasti
pedang ini lebih tajam daripada pedang Yuliong Kiam
kepunyaannya Tong Keng Thian!"
"Tongkat dan pedangmu lenyap di dasar laut," kata Seng
Lam tertawa, "maka pedang ini tepat untukmu."
"Inilah pedang keluargamu," kata Sie Ie, "tak dapat aku
memakainya." Dan ia mengangsurkan pedang itu kepada Poan
Kwie. Si orang aneh mengawasi dengan mata terbuka lebar,
nampak ia tidak senang.
"Ingat, Sie Ie, kaulah sunsay kami," katanya, "kau telah
terhitung anggauta keluarga kami, maka apakah kau masih
hendak memisahkan diri" Aku mempunyai tok-kak tongjin
pengajaran leluhurku, aku tidak membutuhkan pedang, maka
kau ambillah ini!"
Tidak ingin Sie le menerima banyak budi dari keluarga Le,
akan tetapi kata-katanya Poan Kwie tidak dapat ditolak, atau
ia bakal membangunkan rasa curiga, maka terpaksa ia ambil
pedang itu. Puas hati Poan Kwie, ia pun girang. Bukankah benda
pusaka Kiauw Pak Beng telah didapatkan disitu. Maka mungkin
sekali, kitab ilmu silat pun disimpan bersama di dalam ruangan
ini juga. "Mari kita mencari lebih jauh!" ia mengajak.
Seng Lam dan Sie Ie menyambut ajakan itu dengan
gembira. Memang bukan main faedahnya akan mendapatkan
kitab warisan Pak Beng itu. Kitab pasti jauh lebih berharga
daripada panah dan pedang. Maka ruang itu lantas diperiksa
dengan teliti. Hanya hasilnya, tidak ada.
Sie Ie penasaran, ia pakai pedang mustikanya untuk
mencokel-cokel. Sudah beberapa puluh kali ia membuat liang,
masih ia tidak berhasil. Tidak ada tembok batu yang kosong.
"Cukup sudah!" kata Seng Lam. "Kalau Kiauw Couwsu
menyimpan kitabnya disini, mesti sudah kita dapatkan, tak
perlu ia membuatnya kita meraba-raba tak hentinya..."
"Benar," kata Poan Kwie. "Kiauw Couwsu telah membuat
gambar dia menunjuki kita datang kemari, kita berhasil
mendapatkan dua macam pusaka secara gampang sekali.
Kalau kitab disimpan disini, mestinya ia telah memberi
petunjuknya di dalam gambarnya."
Ia lantas ambil gambar itu, untuk diawasi dengan seksama.
Ia menjadi bingung. Ia tidak dapatkan tanda apa juga, juga
tak nampak bagian-bagian yang mencurigakan.
"Ketika dulu hari Kiauw Pak Beng bertemu dengan
saudagar yang perahunya terdampar ke pulaunya ini," kata
Sie le, "dia telah memberikan janji, siapa dapat membawa
pulang tulang-tulangnya ke daratan, orang itu bakal diambil
sebagai muridnya, murid dari lain dunia atau lain jaman.
Chong Leng Siangjin yang berhasil mendapatkan buku catatan
harian dari saudagar Persia itu, dia telah datang mencari aku,
mengajaki aku bekerja sama. Maka itu, kalau benar ada
kitabnya itu, mestinya kitab itu disimpan bersama jenazahnya.
Ia berada sendirian disini, kalau dia mati di dalam gua, terang
sudah tidak ada orang yang kedua yang dapat menolong
mengubur jenazahnya. Bukankah gua ini sukar didatangi dan
dimasukinya" Bukankah disini pun banyak ular berbisa dan
binatang liarnya" Siapakah dapat datang kemari" Memang
sudah lewat dua ratus tahun semenjak dia meninggal dunia,
walaupun begitu, mestinya ada sisa atau sisa-sisa tulang atau
benda peninggalannya. Tapi sekarang, ruang ini tak ada isinya
Yang lainnya, sepotong tulangpun tidak ada. Maka aku
percaya, jenazahnya tentulah bukan dikubur disini..."
Poan Kwie mulai menjadi putus asa. la telah mencari
puluhan tahun lamanya. Baru dapat panah dan pedang.
Sekarang jalan mereka buntu.
Seng Lam menghibur, katanya: "Meski kita tidak
mendapatkan kitab, diperolehnya panah dan pedang pun
berarti usaha kita tidak sia-sia belaka."
Oleh karena sang malam sudah lantas tiba, mereka
bermalam di dalam gua itu.
Tengah malam itu terdengar suaranya kimmosoan. Hati
Poan Kwie tak tenang. Ia kuatir binatang piaraannya itu
bertemu dengan Sin Thong. Karena itu ia tidak dapat tidur
pulas, baru terang tanah, ia sudah berbangkit bangun, untuk
melakukan perjalanan pulang.
Di lamping gunung tak jauh dari rumah kedapatan
bangkainya seekor harimau.
"Rupanya kimmosoan keluar mencari makanan sendiri,"
kata Seng Lam tertawa. "Lihat batok kepala binatang ini,
polonya telah dimakan habis..."
Poan Kwie menggeleng kepala. "Aneh suaranya kimmosoan
tadi malam," ia bilang. "Rupanya dia menemukan sesuatu
yang menakuti. Harimau ini pasti bukan terbinasa olehnya.
Pula tak mungkin dia takut kepada harimau..."
Jalan lebih jauh, mereka lantas menemukan bangkainya
seekor singa, yang kepalanya utuh tetapi lehernya patah dan
robek. Terang itu buah tangannya seorang yang liehay ilmu
silatnya. Karena di pulau itu tidak ada lain orang, pasti itulah
pekerjaannya Beng Sin Thong!
Bertiga mereka terkejut.
"Sungguh besar nyalinya bangsat tua she Beng itu!" kata
Poan Kwie gusar. "Bagaimana berani dia datang kemari!"
Seng Lam teliti, dia berpikir: "Mungkin bangsat tua itu telah
mendapat tahu tempat bernaung kita dan senantiasa
memasang mata, hingga dia ketahui yang kita telah
meninggalkan rumah. Kalau tidak, tidak nanti dia muncul
disini. Dia benar-benar berbahaya, satu hari dia belum
disingkirkan, satu hari ancaman bertambah!"
Pikiran ini diutarakan kepada Kim Sie Ie.
"Memang," kata Tokciu Hongkay, yang pun berkuatir. Ia
lega sedikit kalau ia ingat bahwa suasana sekarang telah
berubah. Biar bagaimana, pihaknya telah menjadi terlebih
unggul. Mereka jalan terus. Mereka manjat pohon, untuk turun dari
terowongan. Poan Kwie memeriksa dengan teliti. Ia tidak
melihat sesuatu yang mencurigakan, tak ada bekas orang
datang kesitu. Akhirnya ia tertawa dan kata: "Mungkin
kebetulan saja dia lewat disini. Jikalau dia berani berterang
datang kemari, itulah hal yang aku mengharap pun tidak
berani. Umpama kata aku tidak ada di rumah, pelbagai
pesawat rahasia juga dapat mengurung padanya!"
Lekas juga mereka tiba di dalam dan menemui nyonya
rumah, yang tidak kurang suatu apa.
Ibunya Poan Kwie menerangkan ketika ditanya bahwa ia
cuma mendengar suara kimmosoan mengejar binatang liar,
tak ia dengar ada orang menelusup masuk atau hanya datang
di sekitar pohon besar.
Poan Kwie memanggil kedua binatang piaraannya, untuk
diperiksa, ia tidak mendapatkan luka apa-apa di tubuhnya.
Maka ia mau menduga, ketika bertemu kedua binatang itu,
Beng Sin Thong semua telah lantas menjauhkan diri.
Besoknya mereka memeriksa pula gambar mereka, tetap
mereka tak memperoleh sesuatu.
Di hari ketiga, dengan membawa kimmosoan, Poan Kwie
pergi mencari Beng Sin Thong. Sie Ie berdiam di rumah, untuk
belajar Siukut Kang, yang cekkong-nya sudah lantas mengajari
padanya. Untuknya cukup berlatih dua hari, lantas ia sudah
mengerti, hingga tinggal memahirkannya saja. Ketika Poan
Kwie pulang, ia sudah paham.
"Apakah paman berhasil mendapatkan tempat sembunyinya
Beng Sin Thong?" Seng Lam tanya. Ia melihat roman gembira
dari pamannya itu.
"Bangsat tua itu benar liehay," sahut Poan Kwie. "Entah dia
pakai daya apa, dia dapat membikin kimmosoan tidak berhasil
mencium baunya. Cuma, meski demikian, aku berhasil
mendapatkan suatu yang berharga..."
"Apakah itu?" Seng Lam tanya, bernapsu.
"Sie Ie, mari gambarmu," kata Poan Kwie. "Mari kita
periksa pula."
Sie le menurut, ia membeber gambarnya.
"Menurut gambar ini, si raksasa memanah gunung dengan
panah raksasanya juga," kata orang aneh she Le itu, "maka
itu sekarang aku mau menduga, tempat simpannya kitab
wasiat ita mesti ada hubungannya dengan panah ini. Tadi aku
pergi ke gunung berapi di depannya manusia raksasa itu,
disana aku melihat samar-samar sebuah batu gunung yang
mirip dengan apa yang dilukiskan di dalam gambar ini. Inilah
dia. Aku melihatnya makin mirip."
Kabar itu benar menggirangkan, sampai malam itu mereka
tak dapat tidur nyenyak. Besoknya pagi semua orang tetap
bergembira, kecuali Seng Lam yang agaknya rada berduka.
"Thian tak mensia-siakan orang yang rajin dan tekun," kata
Sie Ie tertawa. "Kali ini tentulah kita bakal berhasil!"
"Aku pun mengharap demikian," kata si nona, yang
menarik napas dalam. "Semoga kali ini kita berhasil... Hanya
aku kuatir, aku kuatir sekali..."
"Kau kuatirkan apa?" tanya Sie Ie.
"Aku kuatir, setelah kitab didapatkan, kau dan aku bakal
berpisahan ..." berkata Seng Lam. "Apabila aku memikir itu,
sungguh, aku lebih suka tak usahlah kita mendapatkannya..."
Sie Ie berdiam. Inilah kekuatiran si nona yang tidak
disangka-sangka. Hatinya gentar. Tak ia kira ia dihargai si
nona melebihkan kitabnya Kiauw Pak Beng itu. Mau atau
tidak, ia merasa terharu juga.
"Jikalau begini lagak-lagaknya," pikirnya pula, "umpama
kata kitabnya Pak Beng telah diketemukan dan kita pulang ke
darat, tentu sekali tak mudah aku melepaskan diri dari
padanya..."
Tapi ia mesti bersandiwara, maka ia paksakan diri tertawa.
"Kau ngelamun!" katanya. "Keluargamu mencari kitab,
lamanya sudah dua ratus tahun, sekarang harapan baru
timbul, kenapa kau bukannya bergirang" Kenapa kau memikir
sebaliknya, yang tidak-tidak" Laginya masih belum ketahuan
kapan waktunya kita dapat berlayar pulang..."
Ketika itu Poan Kwie sudah siap sedia, maka syukur bagi
Sie Ie, sang paman atau cekkong itu lantas mendesak, hingga
Seng Lam mesti melupakan kekuatirannya itu.
Poan Kwie tidak mengajak kedua binatangnya, yang ia
tinggal untuk menjaga rumah. Ia memeriksa semua
perangkapnya, sedang ibunya diminta berdiam di tengahtengah
perangkap pusat, untuk sekalian berjaga-jaga. Ia mau
percaya, kalau toh rombongan Beng Sin Thong memaksa
masuk, mereka itu tak akan dapat berbuat banyak.
Gunung berapi di pulau ini ialah gunung mati, tak lagi ada
letusannya, dan laharpun kering dan menjadi karang yang
beraneka macamnya. Kesana Poan Kwie mengajak keponakan
dan sunsay-nya-cucu menantu itu. Dengan gampang mereka
menemukan batu karang yang disebutkannya, batu yang mirip
dengan lukisan dalam gambar. Disitu tidak ada tanda sesuatu.
Sie le menghunus pedangnya. "Coba aku besarkan
mulutnya," katanya.
"Jangan! Jangan!" Seng Lam mencegah.
"Kenapa?" tanya si suami teti-ron. "Apakah kau ada
dayamu yang lain?"
"Kau lihat renggangan ini," kata Seng Lam. "Tidakkah ini
mirip liang kunci" Siapa tahu kalau di dalam sini ada pesawat
rahasianya" Kalau dugaanku benar dan kuncinya dibikin rusak,
pastilah kita tidak dapat membukanya."
Poan Kwie dan Sie le mengawasi sekian lama.
"Ah!" seru si paman. "Aku lihat renggangan ini sama
besarnya dengan pecahan ujung panah. Tunggu, nanti aku
coba!" Dari tiga batang jemparing, yang satulah yang paling cocok
ke liang renggangan mirip liang kunci itu, akan tetapi ketika
diputar, liang itu tidak bergerak.
Poan Kwie heran dan masgul.
"Mungkin kita ngelamun..." katanya.
"Sabar," kata Sie Ie. "Kita jangan rusaki liang ini. Mari kita
memeriksa dulu bagian lain lagi." Ia lantas merayap naik,
sampai di atasannya batu itu. la coba menggoyang, ia gagal,
bahkan tangannya terasa sakit, ia sendiri hampir terpeleset
jatuh. Ia mencoba mencolek dengan pedangnya, masih ia
tidak berhasil.
"Mungkin Poan Kwie yang kuat juga tak dapat
menggempur batu ini," pikirnya.
Selagi Sie Ie berkutat, Seng Lam mengawasi gambar,
matanya bekerja, pikirannya bekerja juga. Tiba-tiba ia kata
nyaring: "Lihat, paman! Menurut gambar ini, si raksasa
menghadapi gunung berapi! Kenapa paman tidak mau
mencoba memanahnya?"
Kata-kata ini menyadarkan Poan Kwie.
"Benar!" katanya, yang lantas menjadi girang. "Dasar kau
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang pintar!"
Le Poan Kwie berjalan seratus tindak lebih, ia menyiapkan
panahnya dan mengincar, tangan kirinya ditekuk ke depan,
tangan kanannya menarik ke belakang. Maka melengkunglah
biang panahnya, bagaikan bulan purnama. Ketika ia
melepaskan cekalan tangan kanannya kepada anak panah,
melesatlah anak panah itu yang panjang, tepat mengenai
bagian yang renggang dari batu di depannya, yang diincar itu.
Menyusul meletiknya batu-batu hancur yang berapi, disana
terbukalah sebuah pintu batu yang berdaun dua.
Pintu yang berat itu harus dihajar dengan panah, dihajar
dengan keras dan kaget, barulah dapat terbuka. Tadi Poan
Kwie menusuknya dengan anak panah, ia menggunai tenaga
lengannya, tidak ada hasilnya, sebab tenaga lengannya itu tak
dapat melawan tenaga panah.
Poan Kwie dan Seng Lam girang bukan kepalang.
"Paman, pintu telah terbuka!" si nona, atau keponakan
wanita, berseru. "Hari ini pasti kita akan mendapatkan kitab
ilmu silat itu! Pasti dapatlah kita menghibur leluhur kita!"
Poan Kwie girang berbareng berduka. Ia terharu sekali.
Bersama-sama ayahnya ia mencari kitabnya Kiauw Pak Beng
itu, lalu ayahnya mati sengsara di pulau mencil ini. Ia sendiri,
ia mesti hidup puluhan tahun, terpisah dari dunia, sampai
sekarang ia telah berusia lanjut. Di atasan ia, beberapa
leluhurnya pun telah berkorban dalam usaha mereka mencari
kitab ilmu silat itu. Baru sekarang ia berhasil. Selagi terharu
dan bergirang itu, ia angkat kepalanya, berdongak, mendadak
ia tertawa lebar. Tapi, meski ketavva, ia mengucurkan air
mata! Setelah itu, Poan Kwie lantas merasa sangat letih,
napasnya memburu. Barusan, waktu memanah itu, ia telah
menggunai tenaga terlalu besar.
Sie Ie menolongi menggendol busur yang besar itu, di
dalam hatinya ia kata: "Syukur kita bertemu dengan Le Poan
Kwie ini. Tanpa pertolongan dia, percuma kita menemukan
panah ini, pintu batu itu tetap tidak bakal dapat dibuka..."
Bertiga mereka lantas bertindak memasuki pintu. Itulah
sebuah lorong yang panjang. Kapan mereka sampai di
ujungnya, mereka menghadapi sebuah pintu batu lainnya.
"Hebat!" Poan Kwie mengeluh. Ia letih sekali dan belum
pulih tenaganya. Mana dapat ia menarik pula busur raksasa
itu" Seng Lam menyuluhi dengan obornya.
"Paman, lihat!" dia berseru. "Lihat, disini ada peninggalan
tulisan tangannya Kiauw Couwsu!"
Poan Kwie melihat tempat yang ditunjuk keponakan itu.
Ada belasan huruf melesak di tembok. Pasti itulah hasilnya
tekanan jeriji tangan Kiauw Pak Beng yang menggunai Itcie
Siankang, ilmu Sebuah Jeriji. Ia lantas membaca. Untuk
girangnya, itulah teori atau ajaran melatih tenaga dalam yang
dinamakan "Tayciuthian Touwlap Liankhie." Siapa dapat
melatih dengan ilmu itu, sebentar saja keletihannya bakal
lenyap dan dia menjadi segar pula. Dalam Keluarga Le
memang ada ilmu semacam itu, hanyalah sudah tidak lengkap
lagi, cuma permulaannya saja, maka syukurlah disini bisa
didapatkan yang lengkap dan sempurna.
Tanpa ayal lagi, Poan Kwie lantas berlatih menurut ajaran
Kiauw Pak Beng ini Begitu ia selesai, begitu ia memperoleh
hasil. Bahkan sekarang ia merasa jauh terlebih segar!
"Sungguh Kiauw Couwsu seorang sakti!" seru Poan Kwie
saking girang. "Rupanya pada dua ratus tahun dulu Couwsu
telah menduga, aku bakal memasuki tempatnya ini dan bakal
tak kuat memanah untuk kedua kalinya, maka disini ia
meninggalkan ini ilmu Taycu-thian Touwlap Liankhie!"
Pintu itu sama dengan pintu yang pertama tadi, ada
garisnya yang menjadi sambungan kedua daun pintu, maka
pastilah anak panah dibutuhkan untuk membukanya.
"Kau berdiri di samping pintu dan menyuluhi dengan
obormu," Poan Kwie kata pada Seng Lam kemudian. Ia sendiri
mundur sedikit, untuk menyiapkan busurnya, yang ia minta
dari Sie Ie. Ia tidak menanti lama akan memanah.
Benar hebat cara memanah itu. Tepat kenanya. Kedua
daun pintu lantas terbuka seperti pintu di depan itu.
Pintu ini pun menjurus kepada sebuah lorong yang
panjang. Ketika Seng Lam bertiga memasukinya, kembali
mereka menghadapi pintu batu, yang sama segalanya.
Panjangnya lorong pun tak berjauhan. Pula di tembok ada
ukiran huruf-huruf oleh jari tangan Kiauw Pak Beng, ukiran
bagian kedua dari pelajaran Tayciuthian Touwlap Liankhie
tadi. Dengan kegirangan, Poan Kwie lantas melatih diri. Ia
sangat letih tetapi lantas keletihannya itu lenyap, diganti
dengan kesegaran. Maka ia pun dapat lantas bekerja pula.
Dengan anak panahnya berhasil ia membuka pintu rahasia ini.
Sekarang mereka menjadi kagum luar biasa. Begitu kedua
daun pintu terpentang, begitu mata mereka menjadi silau.
Disini terdapat cahaya terang dan yang berkilauan. Itulah
sebuah kamar dimana antaranya ada sebuah sinkam yang
memuat lengkap tulang belulang seorang yang lagi duduk
bersila, tangannya memegang sejilid kitab. Yang menyilaukan
ialah banyaknya pelbagai batu permata di dalam kamar itu.
Pastilah itu harta yang dulu hari dikumpul Kiauw Pak Beng,
yang sekarang menemani tulang-tulangnya di dalam kamar
rahasia ini. Poan Kwie berdiri tercengang. Kegirangannya meluap-luap
lantaran sekarang ia lagi menghadapi benda yang dicari itu,
yang setiap malam ia seperti buat impian.
Sie Ie pun heran dan kagum, tetapi matanya bekerja. Maka
di tembok samping ia menampak beberapa baris huruf, yang
begini bunyinya:
"Seumurku ada tiga hal yang membuat aku menyesal dan
penasaran. Yang pertama yaitu tidak dapat aku bertempur
pula secara memuaskan dengan Thio Tan Hong. Yang kedua
aku tidak mempunyai ahli waris ilmu silatku ini. Dan yang
ketiga aku tidak sanggup pulang ke daratan Tiongkok. Siapa
dapat mewakilkan aku memuasi ketiga keinginanku itu, dia
boleh mengambil dan memiliki harta berikut kitab warisanku
ini. Pesan Kiauw Pak Beng di saat meninggalnya."
Membaca surat wasiat itu, Kim Sie Ie berpikir: "Inilah
hebat! Sampai di saat ia bakal menutup mata ia masih tak
lupa niatnya menempur pula Thio Tan Hong. Ia tentu tidak
menyangka bahwa selewatnya dua ratus tahun barulah kami
yang menemui surat wasiatnya ini, hingga bukan saja Thio
Tan Hong sudah tidak ada di dalam dunia, bahkan turunannya
pun tak tahu dimana adanya! Tapi dua pesannya yang
terakhir, dapat Le Seng Lam mewujudkannya..."
Ketika itu Poan Kwie sudah sadar dari tergugunya dan ia
bertindak menghampirkan sinkam, tangannya diulur untuk
mengambil kitab di tangannya patung tengkorak. Justeru itu
Seng Lam menjerit tajam: "Paman, hati-hati!"
Belum berhenti jeritan nona itu atau tengkoraknya Kiauw
Pak Beng roboh dibarengi teriakannya Poan Kwie, yang roboh
ke lantai, sedang kitab di tangannya rerongkong turut jatuh
dengan pecah rusak menjadi sehelai dengan sehelai.
Poan Kwie bergulingan dua kali, dengan napas sengalsengal
ia kata: "Jangan pegang kitab itu! Lekas berlutut dan
mengangguk kepada couwsu untuk memohon maaf!"
Seng Lam maju mendekati lembaran-lembaran kitab itu,
yang kosong, tak ada hurufnya satu pun jua, sedang setelah
lewat dua ratus tahun, ke atasnya sudah tepok atau amoh. Ia
menjadi putus asa hingga ia bertanya: "Paman, bagaimana?"
Poan Kwie tapinya menyahuti: "Lekas berlutut dan
mengangguk! Lekas minta maaf!"
Dalam bingungnya, Seng Lam menurut. Ia lantas
menjalankan kehormatan terhadap couwsu itu, kemudian baru
ia mengangkat kepalanya. Lebih dulu daripada itu, meja batu
telah berkisar, maka di belakang sinkam terlihat sebuah kotak
kemala. Bersama-sama Sie Ie, si nona menghampirkan, untuk
mendekati. Pada tutup kotak ada huruf-huruf yang berbunyi
berikut: "Kau telah memberi hormat padaku, itu tandanya, kau telah
menjadi muridku di dunia lain. Kitab di tanganku ada
racunnya, jangan sekali disentuh. Isi kotak ini ialah kitab yang
tulen. Untuk membuka kotak kemala ini, pakailah pedang
mustika yang aku wariskan. Jikalau kau dapat memenuhi
keinginanku ini, maka terhiburlah hatiku. Semua barang
peninggalanku ini, aku wariskan kepada kau.
Kiauw Pak Beng, di lain dunia. "
Kiauw Pak Beng sangat cerdik dan memikir jauh, maka juga
di saat hari terakhirnya itu, ia telah mengatur semua dengan
sempurna, la tidak menghendaki orang datang cuma untuk
mengambil kitabnya, maka ia ingin orang itu menjadi
muridnya, untuk melakukan pesannya. Untuk orang yang
temaha akan kitabnya ia menyediakan kitab palsu itu yang
beracun. Untuk Seng Lam, upacara kehormatan itu
sebenarnya tak perlu lagi, sebab si nona turunan Le Kong
Thian dan Le Kong Thian itu berbareng menjadi kuasa rumah
dan muridnya. Habis mengambil kotak, Seng Lam tidak segera
membukanya, la lantas menghampirkan pamannya.
Poan Kwie sudah bangun dan duduk bersila, dari kepalanya
terlihat uap putih. Sekian lama ia memusatkan perhatiannya,
baru ia dapat menyeringai. Katanya: "Aku mungkin dapat
hidup untuk tiga bulan lagi, tetapi karena kita berhasil
mendapatkan kitabnya Kiauw Couwsu, mati pun aku puas.
"Jikalau aku telah menutup mata, aku minta kamu sukalah
bawa tulang-tulangku dan tulang-tulangnya Kiauw Couwsu
pulang ke rumah..."
Racun di kitab palsu Pak Beng racun sangat jahat, terkena
itu orang dapat mati seketika, hanya setelah berselang dua
ratus tahun, racun itu sudah berkurang liehaynya, maka itu,
Poan Kwie masih dapat bertahan, sedang Poan Kwie ialah
jejaka asli, dan semenjak kecil ia telah meyakinkan ilmu silat
Tongcu kang. la dapat mendesak racun menjadi berdiam di
kakinya, di jalan darah yongcoan.
Seng Lam mengerti hal racun, habis memeriksa pamannya,
ia kata: "Paman, jangan kuatir. Tenaga paman belum cukup
kuat maka racun itu baru dapat didesak ke ujung kaki. Kalau
nanti paman sudah meyakinkan isi kitab, dapat paman
mengusir habis, bahkan setelah itu, paman bakal jadi tambah
kuat luar biasa. Jangan paman takut!"
Sinar-matanya Poan Kwie memain, ia mendapat harapan.
Setelah berpikir sejenak, kembali matanya guram. Ia
menggeleng-geleng kepala.
"Kau cuma tahu satu, tidak tahu dua," katanya. "Meski
benar kitab ini memuat pelajaran istimewa tetapi untukku
sudah tidak ada faedahnya lagi..."
Racun itu liehay luar biasa, Poan Kwie mesti mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya, baru ia dapat menolak, mendesak
sampai di ujung kakinya, di dekat jalan darah yongcoan.
Karena mesti mengerahkan seluruh tenaganya, ia jadi tak
dapat memisahkan tenaga untuk berlatih lagi. Pula tenaga
dalamnya itu setiap hari akan berkurang, hingga dengan
sendirinya, racun akan bekerja semakin hebat. Mungkin paling
lama ia dapat bertahan tiga bulan, atau racun bakal
menyerang jantungnya. Dan itu berarti akan habis sudah
jiwanya..."
Seng Lam tunduk, ia berpikir. Tidak lama, ia mengangkat
kepalanya dan terlihat air mukanya terang. Bahkan ia tertawa
dan kata: "Paman, kau cuma tahu satu tidak tahu dua!"
Poan Kwie heran.
"Apa?" tanyanya.
"Kami berdua, dapat kami menggunai tenaga dalam kami
untuk membantu paman," kata sang keponakan.
Paman itu menggeleng kepala. Ia memandang Sie Ie, ia
membungkam. Seng Lam dapat menebak hati paman itu, ia tertawa pula.
"Sekarang ini memang tenaga dalam Sie Ie beda jauh bila
dipadu dengan tenaga dalam paman," katanya, "dan tenaga
dalamku juga tidak berarti. Akan tetapi kita masih mempunyai
waktu tiga bulan. Jikalau kita melatih diri menurut ajaran
kitabnya Kiauw Couwsu, siapa tahu kita tak akan peroleh
kemajuan pesat?"
Matanya Poan Kwie lantas menyorotkan sinar harapan.
Memang yang ia kuatirkan ialah tenaga dalam Sie Ie tak cukup
kuat guna membantu padanya. Beberapa kali ia pernah
menempur si anak muda, ia tahu habis tenaga orang. Kalau
Sie Ie membantui ia, ia bisa disambung umurnya sampai satu
tahun. Sebaliknya, Sie Ie sendiri akan berkurang tenaga
dalamnya itu. Disitu ada Beng Sin Thong, itu artinya mereka
terus terancam bahaya, kalau tenaga mereka lemah
semuanya, bukankah bahaya menjadi terlebih besar"
Sekarang ia mendengar pikiran Seng Lam itu, hatinya terbuka.
Sang keponakan benar. Ia boleh mengandalkan bantuan
kitabnya Kiauw Pak Beng.
"Mari kitab itu, kasih aku lihat," ia minta. "Mari aku periksa
apakah ada obat atau cara untuk membikin tambah tenaga
dalam dalam waktu yang singkat."
Seng Lam menyerahkan kotak kemala. Kotak itu kecil,
tetapi sama seperti busur kemala, beratnya luar biasa.
Sie le segera menggunai pedangnya guna mengorek kotak
itu. Mulanya ia menggores, terus ia menyongkel. Terbukalah
kotak itu. Kagum ia. Tanpa pedang itu, sulit untuk
membukanya. Heran Kiauw Pak Beng, bagaimana caranya
dulu hari dia menutupnya"
"Pasti bagus dan kuat sekali kalau kotak ini aku bawa
pulang ke daratan dan menyuruh tukang yang pandai
membuatkan aku tameng untuk melapis tubuhku," pikirnya.
Poan Kwie sendiri segera memeriksa kitab ilmu silat itu. la
menggunai waktu satu jam untuk membacanya. Akhirnya ia
menjadi girang sekali dan sangat memuji.
"Sungguh Kiauw Couwsu seorang manusia luar biasa!"
katanya. "Kitab ini, membuatnya orang mengerti jelas banyak
kesulitan ilmu silat!"
"Apakah ada di antaranya cara mempersingkat pelajaran?"
tanya Seng Lam. Inilah yang ia anggap paling penting.
"Ada," sahut Poan Kwie. "Itulah pelajaran gabungan lurus
dan sesat. Kalau Sie Ie memahamkan ini, mungkin dalam
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
waktu tiga bulan dia akan berhasil menambah tenaga
dalamnya berlipat ganda."
Seng Lam menjadi girang sekali.
"Benar, cukuplah itu!" katanya "Koko Sie Ie, besok kau
boleh mulai belajar!" Ia berkata sambil menoleh kepada si
anak muda, atau ia menjadi heran. Ia mendapatkan air muka
yang tak bergembira atau ragu-ragu.
Hanya sekejab, Sie Ie berkata: "Buat guna cekkong, aku
akan pelajarkan itu."
Ada keberatannya Sie Ie meyakinkan ilmu kepandaiannya
Kiauw Pak Beng. Bukankah Pak Beng seorang hantu pada tiga
ratus tahun yang lampau" Ia pun tak sudi menjadi murid Pak
Beng-murid dari lain jaman... Tapi di samping itu ia insyaf,
tanpa ia mempelajarinya, tidak ada lain jalan untuk menolongi
Poan Kwie. Menolongi Poan Kwie pun berarti menolongi
mereka sendiri. Terpaksa, bertentangan dengan suara hatinya,
ia menyerah, suka ia mengalah. Hanya di dalam hatinya ia
berjanji: "Kecuali untuk menolongi Poan Kwie, tidak nanti aku
menggunai kepandaiannya Pak Beng." Ia pun tidak
mengangkat guru pada Pak Beng.
Poan Kwie lantas bekerja, memasuki tulang-tulangnya Pak
Beng ke dalam kantung. Karena ia menguatirkan tenaganya
habis, ia tidak mau mengangkat pulang busur kemala raksasa
yang sangat berat itu. Maka busur itu terpaksa ditinggalkan di
dalam gua. Di dalam perjalanan pulang, sinar matahari nampak merah
bagaikan darah. Kiranya sang waktu ialah magrib. Poan Kwie
berjalan cepat. Ingin ia memberi kabar girang pada ibunya.
Mendekati tengah malam baru mereka tiba diluar rimba
"rumah" mereka. Langsung mereka memasuki rimba dan
manjat pohon. Disini Poan Kwie terperanjat, hingga hatinya
berdebaran. Ia melihat ada baret pada batang pohon yang
besar itu. Ia jadi bercuriga dan lantas menyangka:
"Mungkinkah Beng Sin Thong telah datang kemari?"
Sie Ie dan Seng Lam pun heran. Lekas-lekas mereka masuk
di terowongan pohon. Sie Ie jalan di muka dengan pedang di
tangan. Poan Kwie jalan di belakang. Seng Lam, yang
memegang obor, jalan di tengah.
Ketika baru tiba di ujung terowongan, Sie Ie berkata kaget:
"Ini toh Kunlun Sanjin!"
Imam itu rebah meringkuk di ujung tembok, jidatnya
bolong, tubuhnya tertancap beberapa batang jemparing Ia
sudah tidak bernyawa.
"Dia terkena perangkap," kata Poan Kwie. "Pasti di waktu
dia memegang pintu dia terpanah, lantas kimmosoan
melukainya. Entah si bangsat tua she Beng, dia turut terjebak
atau tidak..."
Di antara empat hantu yang datang dari Tibet, Kunlun
Sanjin yang paling lumayan, sekarang dia mati kecewa, Sie le
terharu juga. Hati mereka itu menjadi tidak tenang, semuanya
bergelisah. "Ibu! Ibu!" Poan Kwie memanggil-manggil.
"Ibu! Ibu!" demikian kumandang di dalam gua itu. Suara
sang ibu tak terdengar.
Sebisa-bisa orang aneh ini menenangkan diri, tetapi ketika
ia menolak pintu batu, ia bekerja sebat. Baru jalan sepuluh
tindak, atau ia menjadi kaget. Di depannya terlihat bangkainya
kimmosoan yang betina!
Kehebatan masih berlangsung. Di pintu kedua kedapatan
bangkainya binatang itu yang jantan!
Itulah hebat! Cuma Beng Sin Thong yang dapat
membinasakan kedua ekor binatang istimewa itu!
Bukan main gelisahnya Poan Kwie.
"Kenapa Beng Sin Thong bisa masuk begini jauh?" ia tanya
dalam hati. "Apa mungkin ibu tak berdaya mengerjakan
pesawat rahasianya" Benarkah dia tak dapat dipengaruhi?"
Justeru itu, hidung mereka menangkap bau harum, yang
membuat kepala mereka sedikit pusing.
Sie Ie lantas menahan napas, tapi ia kata perlahan: "Inilah
asap pelupa Keebeng Ngokouw Toanhun hio!"
Ialah "asap pulas pada saat jam lima pagi ayam berkokok".
Seng Lam segera mengeluarkan obat, ia mengasihkan
masing-masing sebutir pada Sie le dan pamannya, untuk
mereka lantas mamah dan telan. Ia sendiri turut makan juga
obatnya itu. Ia kata: "Asap hio ini sangat liehay, inilah bukan
hio kepunyaan sembarang orang Kangouw!"
Nona Le biasa merantau seorang diri, maka itu ia
menyimpan obat pemunah itu.
Poan Kwie kuat sekali, ia tak membutuhkan obat pemunah
itu, tetapi ia baru terkena racunnya
Kiauw Pak Beng-racun yang istimewa liehay-maka itu, ia
perlu makan juga obat itu, Sekarang ia pun lagi bingung.
"Ibu! Ibu!" ia memanggil-manggil pula.
Tetapi ia tetap tidak mendapat jawaban.
"Paman, apa kita tidak keliru jalan?" Seng Lam tanya.
"Kenapa kita belum juga sampai di pintu Soanmui?"
Poan Kwie berdiam, matanya mengawasi tajam. Akhirnya ia
menyeringai. "Ah, mataku kabur!" katanya. "Pergi kau jalan di depan!"
Seng Lam telah mengenal baik gua itu, dengan ia jalan di
depan, sebentar saja mereka telah sampai di pintu pusat. Tapi
sekarang ia berkuatir sangat. Pikirnya: "Paman terkena racun,
kalau benar Beng Sin Thong ada di dalam sini, siapa yang
nanti melayani dia?"
Tengah si nona berpikir, Poan Kwie sudah menolak pintu,
atau segera terdengar bentakan dari dalam: "Berhenti!"
Benarlah, itulah Beng Sin Thong di dalam gua. Bahkan dia
sekarang terlihat sangat bengis, sedang tangan kirinya
menjambak punggungnya si nyonya tua--Nyonya Le Tiong Cu,
ibunya Poan Kwie!
Di samping Sin Thong berdiri Biat Hoa Hwesio. Pendeta ini
juga beroman menakuti, sebab di samping tertawanya yang
dingin, mukanya pada baret berdarah! Beng Sin Thong
mengerti ilmu "Kiebun Patkwa", maka itu dapat ia masuk ke dalam gua
istimewa ini, sedang ia pun dibantu asap hio-nya yang luar
biasa itu. Tak beruntung Kunlun Sanjin, imam dari Tibet itu.
Toanhun hio dari Sin Thong ada obat kepunyaan muridnya,
Kie Siauw Hong, si Malaikat Copet. Asap hio itu mempunyai
kekuatan melupakan sejauh satu lie dan dapat bertahan
selama dua belas jam. Maka cuma orang yang sangat mahir
tenaga dalamnya tak kena terobohkan itu. Atau orang harus
mempunyakan kayyo, yaitu obat pemunahnya.
Kie Siauw Hong diangkat jadi murid, sebagai persembahan
ia memberikan obat pulasnya itu. Sin Thong tidak
membutuhkan itu, tapi ia menyimpannya sebab ia anggap
itulah "barang permainan" yang menarik hati, ia biasa
membekal-nya, tidak disangka disini ia telah
mempergunakannya.
Sebaliknya Poan Kwie semua tidak menyangka sekali
sebagai seorang guru besar, Sin Thong sudi menggunai asap
pulas itu. Sin Thong telah memasang mata, ia mendapat tahu Poan
Kwie bertiga pergi keluar, maka ia lantas mengajak Kunlun
Sanjin dan Biat Hoa Hwesio pergi menyate-roni gua orang,
Begitu ia memasuki terowongan, untuk menjaga diri, Sin
Thong lantas menyulut asap pulasnya itu.
Ibunya Poan Kwie telah lantas mendapat tahu ada orang
asing masuk ke guanya, ia mengerjakan perangkapnya, tetapi
berbareng dengan itu, ia kena mencium bau hio, hingga tak
ampun lagi ia roboh. Lacur Kunlun Sanjin, dia terpanah mati
dan Biat Hoa terluka. Kunlun Sanjin diserang kimmosoan,
tetapi kedua binatang itu bergantian dihajar mati Sin Thong
dan Biat Hoa. Semasuknya mereka ke dalam, tak susah-susah,
si nyonya tua kena ditawan si orang she Beng.
Sebagai seorang cerdik, Sin Thong merusak semua
perangkap, ia memeriksa seluruh gua, untuk melihat jalan
keluarnya, guna nanti ia mengundurkan diri, habis itu, ia terus
berdiam, menanti pulangnya Poan Kwie bertiga.
Melihat ibunya terjatuh di tangan musuh, Poan Kwie kaget,
gusar dan berkuatir.
Sin Thong tertawa dingin dan mengancam: "Jangan kau
maju lagi satu tindak atau aku nanti gempur ibumu hingga dia
binasa seketika!"
"Habis apa kau mau?" bentak Poan Kwie.
Sin Thong tertawa lebar.
"Tidak apa-apa!" sahutnya. "Apa perlunya aku datang
kemari, kau tentunya telah ketahui sendiri! Asal kau serahkan
kitab silatnya Kiauw Pak Beng, tidak nanti aku mencelakai
ibumu!" Mukanya Poan Kwie menjadi pucat.
"Kau kasih ketika untuk aku bicara sebentar dengan ibuku,"
ia bilang. Sin Thong tertawa pula.
"Ibumu masih hidup, kau jangan takut!" ia bilang. Ia lantas
menjejali sebutir obat ke dalam mulutnya si nyonya tua serta
membebaskan juga jalan darahnya yang ia telah totok,
berbareng mana ia kata keras pada nyonya itu: "Lekas kau
suruh anakmu menyerahkan kitabnya Kiauw Pak Beng
padaku!" Nyonya itu mendusin dengan cepat, dengan roman sangat
membenci ia awasi si orang she Beng, kemudian ia berpaling
pada anaknya, untuk menanya: "Apakah benar kau telah
dapatkan kitab itu?" Nada suara itu tercampur nada
kegirangan. Biar bagaimana, Poan Kwie kurang pengalaman, tak dapat
ia mendusta. "Ya, ibu,"sahutnya. "Syukur Sie le telah membawa peta
gambarnya, maka kitab itu telah dapat dicari!"
"Anak," berkata si ibu, "ayahmu terbinasa karena kitab itu
dan kau sendiri berkorban disini karenanya, maka itu jangan
kau serahkan kitab tersebut pada jahanam ini! Aku sudah tua,
kematianku tidak harus disayangi, maka kitab itu, kau mesti
simpan dan lindungi!"
Sin Thong menjadi sangat gusar, segera ia menotok si
nyonya. "Bagus!" serunya. "Ibumu mau mampus! Bagaimana
dengan kau?" Ia bersikap bengis sekali.
Poan Kwie sangat berbakti dan menyayangi ibunya, tidak
dapat ia membiarkan ibu itu dibinasakan secara demikian,
tetapi kitab itu demikian berharga, untuk itu ibunya bersedia
mengorbankan jiwa. Bagaimana sekarang" Bukankah kitab itu
pusaka keluarganya dan telah meminta banyak korban jiwa"
"Aku akan menghitung sampai sepuluh!" Sin Thong kata
melihat orang ragu-ragu. "Jikalau kau tetap tidak mau
menyerahkan kitab itu, aku bersedia mati bersama ibumu!"
Jago ini mengerti, kalau ia lantas membinasakan si nyonya
tua, sukar untuk ia lolos dari gua itu. Biar bagaimana, ia pun
jeri. Matanya Poan Kwie lantas mengucurkan air.
"Tak usah kau menghitung!" ia kata. "Aku nanti serahkan
kitab itu!"
Sin Thong tertawa bergelak. "Bagus!" serunya. "Kaulah
seorang hutan tetapi kebaktianmu harus dipuji! Nah, mari
serahkan kitab itu!"
Poan Kwie mengeluarkan kitabnya. Ia maju setindak. Ia
mengulurkan tangannya.
"Berhenti!" Sin Thong membentak. "Kau beber kitab itu,
kau taruh di ujung tongkat!"
Sembari berkata begitu, dengan tangan kiri ia mengancam
punggung si nyonya, dengan tangan kanan ia menyodorkan
tongkatnya Biat Hoa Hwesio. Ia berlaku hati-hati karena ia
bercuriga orang nanti menggunai siasat untuk menerjang
secara tiba-tiba. Berbahaya kalau Poan Kwie datang terlalu
dekat padanya. Sebaliknya Poan Kwie jujur dan terhormat, tak mau ia main
gila. Cuma, dengan hati sangat mendongkol, ia membeber
kitabnya, untuk diletaki di atas tongkat.
"Ambillah ini!" katanya nyaring. "Lekas lepaskan ibuku!"
Bukan main girangnya Sin Thong, hingga dia tertawa
terbahak-bahak, hanya belum lagi ia menutup mulut,
sekonyong-konyong terdengar si nyonya tua menjerit keras
dan tubuhnya roboh sebagai balok, roboh ngusruk ke depan,
dari mulutnya menyembur darah hidup!
Nyonya ini tak ingin anaknya menyerahkan kitab itu, ia
mengorbankan diri. Selagi anaknya itu bicara dengan Sin
Thong, diam-diam ia mengerahkan tenaganya, dengan ilmu
kaum sesat yang dinamakan "Thianmo Kaytee Hian-kang",
yaitu ilmu "Hantu Langit Memecah Tubuh", ia memutuskan
semua otot-ototnya yang utama hingga ia roboh dan mati
seketika. Sin Thong repot bicara, ia pun tidak menyangka
jelek, ia kena diselomoti, maka itu, ia pun kaget. Tapi ia
sempat menolak tubuh orang hingga jatuh. Cuma karena
tenaga dalam si nyonya telah tersalurkan ke tangannya yang
ditempel di punggung nyonya itu, tak merasa ia bahwa ia pun
telah terkena gempuran hingga ia memperoleh luka di dalam.
Beng Sin Thong kaget begitu juga Poan Kwie bertiga. Tapi
melainkan sebentar, Sin Thong sadar terlebih dulu, maka ia
lantas menarik tongkat di tangannya, guna menyambar
kitabnya Kiauw Pak Beng.
Poan Kwie pun segera tersadar, sambil berseru hebat, dia
lompat maju, untuk menerjang.
Sin Thong sangat sebat, ia membuang tongkatnya Biat
Hoa, diarahkan ke lehernya Kim Sie le, tangan kirinya
menyambar kitab. Justeru itu, serangan datang. Poan Kwie
menggunai dua-dua tangannya, tangan kanan menuju ke
batok kepala, tangan kiri ke pundak. Masih sempat Sin Thong
menggunai kedua tangannya, untuk menangkis, guna
menghindarkan diri dari serangan itu. Maka beradulah tangan
mereka, suaranya keras sekali, anggauta dalam tubuh mereka
turut berguncang, hanya berbareng dengan itu, Sin. Thong
mendapat kenyataan tangannya si orang hutan tak sekuat
semula, kalau tidak, ia bisa sedikitnya terpukul mundur. Tidak
ayal lagi, ia berontak, untuk melepaskan lengan kirinya, yang
kena tercekal Poan Kwie.
Karena kedua pihak sama-sama memegang kuat, ketika
tangan mereka terlepas satu dari lain, lengan mereka patah
sebatas sikut, dan kitab pun terbeset menjadi dua!
Ketika itu juga terdengar satu suara keras. Itulah suaranya
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tongkat Biat Hoa Hwesio, yang dipakai Sin Thong menyerang
Sie Ie. Si pengemis edan melihat serangan, dia berkelit, sambil
berkelit, dia menabas. Maka kutunglah tongkat itu menjadi
dua potong dan kuningannya jatuh ke tanah. Habis itu Sie Ie
berlompat kepada Sin Thong, untuk menikam!
Sin Thong berkelit sambil berseru, sambil juga menyerang
dengan pukulan Siulo Imsat Kang, maka itu serangannya Sie
Ie gagal dan Sie Ie kena tertahan.
Poan Kwie dengan sendirinya kena terserang Sin Thong,
dia lantas roboh.
Sie le menyerang pula. Sin Thong berkelit lagi, tapi
sekarang, sambil berkelit, ia mendorong tubuhnya Biat Hoa,
mendorong ke arah si pengemis edan. Ia tidak cuma
mendorong kawannya itu, berbareng ia menotok jalan darah
cengciok, maka robohlah Biat Hoa, tubuhnya memapaki
pedangnya Sie Ie!
Menggunai ketika itu, Sin Thong terus berlompat, untuk
menyingkir! Serangan jalan darah cengciok ialah totokan ilmu sesat,
siapa terkena itu, dia menjadi lupa ingatan, pikirannya kabur.
Demikian sudah terjadi dengan Biat Hoa. Hwesio ini menubruk
Sie Ie, benar ia kena ditikam, tetapi kedua tangannya masih
sempat merangkul. Karena ia kuat seimbang dengan Sie Ie,
tidak dapat Sie Ie lantas melepaskan diri.
Seng Lam tercengang menyaksikan semua itu, segala apa
berjalan dengan cepat sekali, ketika ia lihat Sie Ie terpukul, ia
kaget, tapi ia lantas sadar.
"Serahkan pedang padaku!" ia serukan Sie Ie.
Sie Ie melepaskan cekalannya, maka jatuhlah pedangnya.
Seng Lam pungut itu, untuk terus dipakai membabat ke arah
Biat Hoa, hingga kedua tangan si pendeta putus, dengan
begitu, bebaslah Sie Ie. Biat Hoa roboh dengan mengasih
dengar jeritan yang menyayatkan hati, tubuhnya mandi darah,
sedang darah yang menyembur membasahkan pakaian si
pengemis edan. Ketika Sie Ie sadar, baru ia tahu Sin Thong sudah kabur,
sedang Poan Kwie rebah di tanah, mukanya pucat pasi,
matanya merah, napasnya tinggal setarikan demi setarikan.
Maka tak sempat ia menyusul Sin Thong. Ia menghampirkan
cekkong itu. "Jangan perdulikan aku..." kata Poan Kwie perlahan. "Lekas
kejar Beng Sin Thong si bangsat tua, nanti dia keburu lolos..."
Seng Lam periksa pesawat terowongan, ia mendapatkan itu
telah dirusak Sin Thong. Itu berarti musuh tak dapat dicegah
pula. Dengan menyesal ia kembali ke sisi pamannya. Tapi
sang paman dengan gusar kata: "Kenapa kamu tidak mau
turut perkataanku?"
"Sabar, paman," kata si nona. "Baiklah paman merawat diri
dulu. Tak usah kita kuatirkan bangsat tua itu nanti dapat lolos
naik ke langit!"
Poan Kwie menghela napas.
"Aku tak dapat disembuhkan pula," katanya. "Justeru dia
terluka dan belum sembuh, pergi kamu susul dia, kamu dapat
mengalahkannya! Jikalau ditunggu sampai dia sembuh dan
sempat berlatih lebih jauh, di kolong langit ini tidak ada lagi
orang yang dapat mengekang dia, hingga dengan begitu
janganlah diharap sakit hati Keluarga Le dapat dilampiaskan!
Pergi, lekas pergi! Apakah kamu mau membikin aku mati tak
meram?" "Baik, cekkong, kami nanti pergi!" kata Sie le.
Pemuda ini masih mempunyai pengharapan, ia berkata
begitu ia bergerak hendak mengangkat tubuh orang, guna
memeriksa lukanya. Ketika ia meraba, ia terkejut. Lekas sekali
tubuh cekkong itu sudah kaku. Berbareng dengan itu,
separuhnya kitabnya Kiauw Pak Beng terlepas dari cekalan
dan jatuh. Seng Lam pun kaget, ia lantas memeriksa hidung
pamannya, akan mendapatkan napasnya sudah berhenti
berjalan. Maka kasihan paman ini, namanya berarti
"mengharapi pulang" tetapi nyatanya dia tak dapat pulang ke
daratan... Tak tahan dukanya Seng Lam, dia menangis menggerunggerung.
Sie Ie pun berduka bukan main. Ia terharu dan menyesal
untuk nasib malang dari Poan Kwie anak dan ibu. Ia pun
mengagumi kebaktiannya Poan Kwie terhadap ibunya itu.
Seng Lam menangis terus hingga matanya menjadi merah,
tak mau ia berhenti.
"Orang mati tak dapat hidup pula," akhirnya Sie Ie
menghibur. "Paling perlu marilah kita membalaskan sakit
hatinya. Benar pesan pamanmu ini. Bangsat tua itu masih ada
di pulau ini, jikalau dia tidak segera disingkirkan, pamanmu
mati tak meram! Kita yang hidup, kita juga tidak bakal berhati
tenteram!"
Seng Lam dapat dikasih mengerti, ia menepas air matanya.
Tetapi ia masih terisak.
"Sekarang ini benar-benar aku tidak punya lagi orang yang
terdekat..." katanya berduka, "maka selanjutnya, aku cuma
dapat mengandal pada kau..."
Sie Ie tunduk, tidak berani ia menyambut tatapan matanya
si nona. Untuk nasibnya nona ini, ia sangat terharu. Ia pun
membayangi bagaimana berat tanggung jawabnya...
Karena ia tunduk, Sie Ie dapat melihat kitabnya Pak Beng,
yang tadi jatuh dari tangannya Poan Kwie tanpa ada yang
sempat memperhatikan.
"Seng Lam, inilah kitab pusaka Keluarga Le kamu,"
katanya. "Benar kitab ini tinggal sebagian tetapi mesti masih
ada faedahnya. Kau simpanlah!"
"Jikalau bukan gara-gara kitab ini, tak nanti pamanku
terbinasa!" kata si nona, sengit.
Sie Ie pun mau percaya kitab itu kitab sial. Bukankah
karenanya turunan keluarga Le lenyap satu demi satu, hingga
tinggal Seng Lam seorang" Tidakkah kecewa kematiannya
Poan Kwie dan ibunya ini" Akan tetapi, meski ia memperoleh
kesan demikian, ia tidak sepaham dengan sikapnya Seng Lam.
Ketika ia menjemput kitab itu, ia lantas mengangsurkannya
pada si nona. "Karena kitab ini, pamanmu terbinasa," ia kata. "Untuk
pamanmu itu, kau mesti menuntut balas!
Maka itu, di belakang hari, kita harus mengandal pada kitab
ini. Golok dapat dipakai membunuh orang, golok juga dapat
dipakai menolong orang, tinggal terserah kepada caranya
orang yang menggunainya. Maka kau simpanlah ini. Semoga
sebentar kita dapat mencari Beng Sin Thong, agar tak usahlah
kita sampai menggunainya!"
Seng Lam dapat dikasih mengerti, dari itu mereka lantas
meninggalkan mayatnya Poan Kwie anak dan ibu, lantas
mereka lari menyusul Beng Sin Thong. Ketika mereka tiba di
luar, lenyap sudah tapak kakinya bangsat tua itu, hingga sulit
untuk mencarinya. Pulau luas dan rimbanya lebat, mana
diketahui Sin Thong bersembunyi dimana"
"Pernah dua kali paman mencari dia dengan membawabawa
kimmosoan, binatang itu pun tidak dapat mencari," kata
Seng Lam, "maka itu, kemana kita harus mencarinya?"
Sie le berpikir.
"Mari kita lihat dulu di tepi laut," ia kata. "Kita lihat juga,
apa perahu kita masih ada disana."
"Ya, kita jagai saja perahu itu," Seng Lam pun akur, "atau
kita merusaknya lebih hebat! Mustahil dia dapat lolos dari
pulau ini..."
Keduanya lantas lari ke tepi laut. Ketika mereka sampai,
keduanya mengeluh. Sama pikiran mereka dengan pikiran
Beng Sin Thong tetapi Beng Sin Thong dapat bekerja terlebih
cepat. Di tepian itu tidak ada Beng Sin Thong, perahu mereka
juga lenyap tanpa bekas-bekasnya. Sebaliknya di laut nampak
sebuah getek dengan penumpangnya, satu orang. Dialah
Beng Sin Thong!
Perahu mereka telah dirusak Biat Hoa, perahu itu tak dapat
dipakai lagi, kalau toh hendak dipakai juga, harus diperbaiki
terlebih dulu. Itu berarti waktu beberapa hari. Beng Sin Thong
tidak mempunyai waktu sekalipun beberapa jam. Tapi dia
tidak kurang akal. Atau dia nekad. Dia tahu rupanya, berdiam
lama di pulau itu berarti dia terancam bahaya. Maka dia
bongkar perahu itu, sedapatnya dia membuat semacam getek,
dengan itu dia lantas mendayung ke tengah, meninggalkan
tepian. Coba tadi Sie Ie dan Seng Lam segera mengejar,
mungkin mereka sempat menyandak selagi orang membuat
getek. "Beng Sin Thong!" Sie Ie berteriak. "Apa kau cari
mampusmu" Dengan naik getek, sang gelombang akan
membawamu ke istananya Hayliong Ong!"
"Hayliong Ong" ialah raja naga.
Disana terdengar tertawanya Sin Thong yang pun berkata:
"Terima kasih untuk kebaikan kamu! Tapi aku lebih suka
menghadap Hayliong Ong! Coba Hayliong Ong tak sudi
menerima aku dan aku berhasil kembali ke daratan, bukankah
aku bakal jadi si orang gagah tanpa lawan di kolong langit
ini?" Sin Thong tidak tahu Poan Kwie telah mati,
menduganyapun tidak, maka itu, ia jadi takut berdiam di pulau
itu. la tahu, celakalah ia kalau ia sampai dapat dicari musuh
tangguh itu. Dengan terpaksa ia menggunai getek. Dengan ini
sedikitnya ia masih mempunyai harapan ketolongan. Kalau ia
tahu Poan Kwie mati, itu berarti bahaya untuk Seng Lam dan
Sie Ie, sebab asal ada ketika beberapa hari untuk ia
bersembunyi dan merawat diri, sesudah sembuh, muda-mudi
itu pasti tak dapat melawan padanya, tak ada kesempatan
untuk Seng Lam dan Sie Ie melatih diri menurut ajaran kitab.
Lewat lagi sekian lama, sang angin pun membawa lenyap
tertawanya Sin Thong itu, yang bersama geteknya seperti
ditelan sang lautan...
"Ah..." mengeluh Seng Lam, "yang mati telah mati, yang
pergi telah pergi, tinggal kita berdua di pulau ini..."
Ia menatap si anak muda dengan sinar mata guram
Selama hidupnya Sie le kenyang menerima damparan hidup
tetapi kali inilah yang paling hebat. Perahu telah musnah,
tidak ada jalan lain untuk mencoba pulang ke daratan, kecuali
meniru Sin Thong, membuat dan memakai getek juga. Tapi
itulah bahaya, tak dapat ia membiarkan Seng Lam
menempuhnya! Dengan tetap menyingkir dari sinar mata si nona, anak
muda ini kemudian berkata: "Hari sudah gelap, mari kita
pulang!" Seng Lam menurut dengan mulut bungkam, tindakannya
perlahan. Sie Ie berpikir keras. Mungkinkah ia mesti hidup terus
berdua Seng Lam di pulau kosong ini, seperti hidupnya sang
paman dan ibunya" Apakah mereka mesti tinggal disini sampai
hari penghabisan mereka" Benarkah ia, untuk selamanya, tak
akan dapat melihat pula Cie Hoa dan Kim Bwee" Mau atau
tidak, ia mengalirkan air mata...
"Ah, hawa disini dingin, dingin sekali!" tiba-tiba terdengar
Seng Lam. "Engko Sie Ie, semua-semua akulah yang
mencelakai kau!..."
Sie le bagaikan disadarkan dari mimpinya.
"Kalau Thian menghendaki kita berdua hidup di pulau ini,
biarlah," katanya perlahan. "Tidak dapat kita membilang siapa
mencelakai siapa..."
Tanpa merasa keduanya saling menggenggam tangan
mereka. "Engko Sie Ie, tak tahu aku bagaimana aku harus
mengucapkan syukur kepada, kau," kata si nona. "Engko,
benar-benarkah kau berpikir seperti ini?"
"Janjiku terhadap kau belum pernah aku ubah," jawab Sie
Ie. "Kau rupanya lupa bahwa kita pun sudah mengangkat
saudara! Mengapa kau mesti berkata begini?"
Muka Seng Lam menjadi merah, ia tunduk.
Ketika itu matahari sudah turun ke laut, rimba menjadi
gelap dan dingin. Bayangan kedua orang itu sudah sirna, akan
tetapi di hati Sie Ie, bayangan si nona tetap tak mau lenyap,
tetap tak dapat di tedeng alingkan. Orang dari siapa ia ingin
menyingkir seperti terikat jadi satu dengannya, sebaliknya
orang yang ia ingin jumpai, orang itu dipisahkan daripadanya
dengan laut yang lebar dan jauh...
Hal yang sebenarnya bukan melainkan Kim Sie Ie seorang
yang lagi memikirkan keras orang yang ia ingin jumpai itu,
disana, di daratan yang jauh, ada seorang yang pun lagi
memikirkan ia hingga orang itu mengeluarkan air mata,
sedang di lain pihak lagi, dalam dunia Rimba Persilatan, telah
tersiar luas berita bahwa ia telah meninggal dunia...
Ketika itu hari Lie Kim Bwee melihat dari kaki gunung
Laosan lenyapnya perahunya Sie Ie di antara laut yang luas,
kedukaannya bukan main besarnya. Si nona lantas mengambil
keputusan, apa juga terjadi, ingin ia menyusul.
Sang ibu, Phang Lim, menjadi kewalahan. Tentu sekali ibu
ini tidak dapat membiarkan puterinya berlayar seorang diri.
Maka dengan menjanjikan sewaan besar, dia telah
mendapatkan sebuah perahu dengan apa mereka berlayar,
untuk menyusul Tokciu Hongkay, si pengemis edan yang
beracun, yang di matanya Nona Lie tak beracun sama sekali.
Ketika Phang Lim masih kecil, ia pernah diculik Satsie
Siangmo, hingga ia pernah tinggal sekian lama di Miauw-eng
To, pulau Kokok-beluk. Pulau ini mirip dengan Coato, Pulau
Ular, sedang di Coato pernah satu kali ia pergi, hingga
walaupun sudah banyak tahun, ia masih ingat dimana
letaknya. Ia menduga Kim Sie Ie berlayar bukan tanpa arah
tujuan, ia menerka Coato di pulau mana Sie Ie dibesarkan,
dari itu ia menitahkan anak-bocah perahu langsung menuju ke
pulau itu. Selang sepuluh hari, Coato tampak sudah tak jauh lagi.
Justeru orang tengah berlayar, tiba-tiba terdengar suara
menggelegar tak hentinya, mirip suara guntur. Itulah suara
meletusnya Coato.
Untuk menyingkir dari badai dan gelombang, perahu lantas
ditujukan ke tempat yang aman, selewat belasan hari, setelah
keadaan aman, baru mereka berlayar pula. Mereka pun
mengambil jalan mutar. Karena ini, mereka terlambat. Maka
ketika akhirnya mereka tiba di pulau, lewat sebulan sejak
meletusnya gunung berapi.
Setelah perledakan, Coato bagaikan menyalin rupa.
Pepohonan ludas. Pulau seperti mati. Seperti tak ada makhluk
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hidup di atasnya. Yang terlihat ialah batu-batu karang dengan
macamnya yang aneh-aneh.
Di pesisir kedapatan sisa bangkainya seekor ikan cucut
yang besar. Bangkai itu membikin orang kaget dan cemas. Di
perut ikan terdapat tongkatnya Kim Sie le. Lalu di sela-sela
rebung batu kedapatan beberapa barang yang dikenali
sebagai milik si pengemis edan, yang tak terusakkan lahar, di
antaranya ialah tusuk konde kemala kepunyaan Kim Bwee.
Tusuk konde itu, semasa Kim Bwee dikurung Beng Sin Thong,
telah diserahkan pada Cia In Cin, untuk dijadikan bukti guna
memohon bantuan pihak Thiansan Pay, belakangan lalu jatuh
di tangan Sie ie. Duduknya hal tidaklah Kim Bwee ketahui,
tetapi sekarang, menemui miliknya itu, hati si nona pepat. Tak
Pedang Dan Kitab Suci 18 Legenda Kematian Karya Gu Long Pendekar Latah 22
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama