Ceritasilat Novel Online

Perjodohan Busur Kumala 14

Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 14


berani ia memikir pula bahwa Kim Sie Ie masih ada di dalam
dunia... Sambil memegangi tusuk kondenya itu, Kim Bwee roboh
pingsan. Tatkala ia sadar, ia berada dalam pelayaran pulang.
Syukur ia beserta ibunya, maka ibunya itu dapat membujuki
hingga ia tidak menjadi nekad, hingga ia dapat
mempertahankan kegagahannya untuk hidup terus.
Phang Lim membawa puterinya pulang ke Thiansan. Disini
musim-musim dilewati. Sang bunga mekar dan rontok. Tahun
lewat tahun, sampai tahun yang ketiga.
Sang waktu dapat juga membikin luka di hatinya Kim Bwee
menjadi sembuh sedikit. Tapi ia masih saban-saban mencekal
dan mengawasi tusuk kondenya, bersendirian saja ia suka
menepas air matanya...
Demikian pada suatu hari, di dalam kamarnya sendiri, Kim
Bwee mengeluarkan tusuk kondenya itu. Ia mengawasinya
dengan otaknya bekerja. Berpetalah di benak pikirannya saatsaat
mereka masih kecil, di waktu mereka memain bersamasama
seperti bocah-bocah. Kim Sie le bengal, gemar dia
menjadi lain orang, tetapi terhadap Kim Bwee dialah si
pelindung. Ia menyukai kenakalan Sie le, meskipun benar ada
kalanya mereka berselisih. Sekarang semua itu telah berlalu.
Kapan si nona membayangi hebatnya perletusan Pulau
Ular, ia merasa seperti lagi bermimpi. Ia tidak ingin
memikirkan itu tetapi ia toh memikirkannya. Ia telah menutup
rapat kedua matanya. Justeru itu, ia seperti melihat sang
cucut yang ganas mementang bacotnya yang lebar menelan
tubuhnya Sie Ie...
Selama tiga tahun itu Kim Bwee telah mendengar pelbagai
hal penghidupannya Kim Sie Ie, antaranya orang membilang
Sie Ie berlayar bersama Seng Lam, sedang ibunya
memberitahukan paling belakang Sie Ie ada bersama Kok Cie
Hoa. Mengenai Seng Lam dan Cie Hoa, kabar-beritanya tak
ada sama sekali, seperti juga kedua nona itu turut lenyap
bersama Sie Ie sendiri.
Warta kematiannya Sie Ie tersiar mulai dari mulutnya
murid-murid Thiansan Pay, lalu menjalar luas,
menggemparkan Rimba Persilatan. Disini penyambutan
terpecah dua: ada yang senang, ada yang menyesalkan.
Tong Siauw Lan pernah membaca buku catatan hari-hari
dari Tokliong Cuncia, gurunya Kim Sie Ie, maka itu ia
menduga kepergian Sie le ke Coato pasti untuk mencegah
perledakan gunung berapi di pulau itu. Karena ini pernah ia
kata pada Lie Kim Bwee: "Tak perduli sifatnya Sie Ie itu,
hingga dia dibenci sejumlah orang, hingga dia dijuluki Tokciu
Hongkay, tetapi kematiannya ini menunjuki dialah seorang
berhati mulia." Sie Ie mau mematikan gunung berapi guna
mencegah bahaya untuk manusia."
Mendengar kata-kata paman ini ---ie-thio- lega juga hati
Kim Bwee. Ia terhibur untuk pujian buat kemuliaan dan
kegagahannya Sie Ie, yang berkorban untuk peri
kemanusiaan... Dengan Sie Ie meninggal dunia, Kim Bwee jadi lebih
mengerti pemuda itu, lebih menghargainya.
Tengah si nona kelelap dengan lamunannya itu, tiba-tiba ia
mendengar tindakan kaki mendatangi, terus ada suara
ketukan perlahan pada pintu kamarnya, ia terperanjat.
"Masuk!" ia menjawab. Kapan ia mengangkat kepalanya ia
mendapati yang datang itu sang suheng, kakak seperguruan:
Ciong Tian. Selama tiga tahun ini, tak pernah setengah tindak juga
Ciong Tian memisahkan diri dari Nona Lie, tetapi juga selama
itu, tak pernah ia menimbulkan soal perjodohan mereka
berdua. Itulah kehendaknya Phang Lim.
Ciong Tian murid satu-satunya dari Tong Siauw Lan,
setelah kematiannya Kim Sie Ie, Siauw Lan dan Phang Lim
mengharap sangat Ciong Tian dan Kim Bwee, terangkap
jodohnya. Tapi Phang Lim kenal hati anaknya itu, ia tidak mau
berlaku sembrono, ia pasrah kepada sang waktu.
Kim Bwee itu polos, lama-lama-selang tiga tahun itu-karena
setiap hari bergaul erat dengan Ciong Tian, ia merasa orang
sebagai kakaknya saja. Maka sukalah ia bicara dengannya,
keduanya bergaul erat.
Begitulah Ciong Tian merdeka memasuki kamar si anak
dara. Tapi ketika ia melihat tusuk konde di tangan Kim Bwee
dan mata Kim Bwee merah, masih ada bekas air matanya, ia
berduka sendirinya. Ia kata di dalam hati: "Sudah tiga tahun
Kim Sie Ie mati tetapi ia masih tak melupakannya..."
Walaupun demikian, ia berpura pilon. Ia bersenyum dan kata:
"Di atas puncak salju ada kedapatan beberapa tangkai
soatlian, sumoay, mengapa kau menyekap dirimu didalam
kamar saja" Apakah kau tidak ada niat keluar untuk jalanjalan?"
"Entah kenapa, aku malas jalan-jalan," sahut si nona.
"Apakah sumoay suka mendengar aku menutur sesuatu?"
"Apakah itu?"
"Suhu telah kedatangan tiga orang tetamu. Apakah sumoay
tahu?" "Tidak. Siapakah mereka bertiga?"
"Yang satu ialah Cia In Cin dari Ngobie Pay," Ciong Tian
menerangkan. "Hanya dia sekarang lagi mewakilkan Kaypang.
Yang satu lagi yaitu Thia Ho dari Binsan Pay. Yang ketiga ialah
Siauw Ceng Hong dari Cengshia Pay."
"Mereka datang bersama, mungkinkah dalam Rimba
Persilatan telah terjadi sesuatu yang hebat?" si nona tanya.
"Memang! Kita disini mirip Taman Bunga Tho yang
tersembunyi, hingga kita tidak ketahui dunia Kangouw
sebenarnya sudah seperti langit ambruk bumi gempa!"
"Sebenarnya telah terjadi apakah?"
"Duduknya hal hebat. Empat hiocu dari Kaypang telah
terbinasakan orang. Pangcu dari Kaypang, yaitu Ek Tiong
Bouw, dan ciangbunjin dari Cengshia Pay, yakni Han In Ciauw,
telah terluka-kan. Dan dua saudara Tio Eng Hoa dan Tio Eng
Bin dari Binsan Pay, dua-duanya telah orang culik. Sedang
ciangbunjin dari Binsan Pay, Co Kim Jie, sudah diancam
supaya lain tahun, di harian hari ulang matinya Tokpie Sinnie,
ia membunuh diri di gunung Binsan, untuk mana ia diharuskan
mengumpulkan dulu semua anggauta Binsan Pay, supaya
mereka itu menyaksikan, jikalau tidak, Binsan Pay bakal
ditumpas musnah."
Kim Bwee terkejut. Ia heran bukan main. Benar-benar
hebat. "Begitu?" dia tanya berjingkrak. "Siapakah orang yang
mengancam itu yang nyalinya demikian besar?"
"Dialah seorang yang mengenakan pakaian berkabung dan
bertopeng muka," Ciong Tian memberi keterangan terlebih
jauh. "Pada tanggal tiga bulan delapan, Kaypang membikin
upacara seperti biasanya setiap tahun. Orang itu muncul
dengan tiba-tiba dan lantas menangis menggerung-gerung.
Bukankah sengaja dia mengacau?"
"Habis?"
"Dia lantas dikurung keempat hiocu, yang menegur dia. Dia
jawab: 'Kenapa aku berbelasungkawa ini, sebentar kamu
semua kaum Kaypang akan mendapat tahu! Cuma kamu
berempat yang sudah tidak keburu mengetahuinya!' Habis
mengatakan begitu, dia lantas turun tangan. Secara sangat
cepat dan luar biasa sekali dia menyerang dan membinasakan
ke empat hiocu itu!"
"Bagaimana itu bisa terjadi?" tanya si nona, kaget dan
heran, hingga ia menanya dengan suara keras. "Keempat
hiocu itu liehay dan mempunyai masing-masing
kepandaiannya sendiri, mereka tergolong kelas satu.
Bagaimana mereka terbinasa hanya dalam segebrakan saja?"
"Memang itu aneh! Tapi masih ada lain keanehan lagi!
Disitu hadir Han In Ciauw dari Cengshia Pay. Dialah sahabat
kekal dari Ek Tiong Bouw, Pangcu dari Kaypang, dan Ek
Pangcu sendiri hadir bersama. Keduanya lantas maju
menyerang si pengacau bertopeng. Cuma sebentaran, keduaduanya
telah kena dirobohkan, bahkan tubuh Han In Ciauw
menjadi bercacad, katanya dia sampai tak dapat berkutik!"
Kim Bwee tercengang. Han In Ciauw, ketua dari Cengshia
Pay itu, tergolong satu kelas dengan Tong Siauw Lan, ie-thionya
itu, dia pandai ilmu dalam dan luar, terutama dengan
tindakan Thianlopou, pukulan Thiankong ciang dan pedang
Thiantun kiam, dan dia ada bersama Ek Tiong Bouw, ketua
Partai Pengemis, tetapi mereka masih dapat dirobohkan dalam
waktu pendek, benar-benar hebat si orang bertopeng itu!
Siapakah dia"
"Habis si orang bertopeng merobohkan ketua-ketua dari
Cengshia Pay dan Kaypang itu, dia tertawa sambil berlenggak
dan berkata," Ciong Tian melanjuti. "Dia kata: 'Ek Tiong Bouw,
bukankah sekarang kau kenal keliehayan aku si orang tua"
Jikalau kau memikir untuk mencari balas, kau datanglah lain
tahun bulan tiga tanggal lima belas ke gunung Binsan!' Habis
itu dia tertawa pula, atau tahu-tahu dia sudah pergi jauh satu
lie, hingga orang-orang Kaypang tak dapat mengejar pula.
Dengan terpaksa mereka mesti menolongi orang-orang yang
terluka dan mengurus yang terbinasa. Tubuh keempat hiocu
lantas menjadi beku dan mukanya merah biru. Ek Tiong Bouw,
yang mukanya muram, lantas menitahkan membubarkan
pertemuan serta mengirim orang untuk memberi kabar
kepada ketuanya, katanya: 'Lekas menghentikan upacara!
Lekas mengabarkan pada Ciangbun Suci, bilang... bilang...
Beng...' "
"Oh, Beng Sin Thong!" Kim Bwee berseru.
"Benar!" sahut Ciong Tian. "Benar Beng Sin Thong!
Teranglah dia sengaja datang mengacau upacara untuk
menantang, cuma karena dia kuatir ada yang mengenali,
maka dia memakai topeng."
Kim Bwee terbengong.
"Sungguh tidak disangka hantu tua itu muncul pula..."
katanya. Semenjak bertempur dengan Phang Lim di gunung Laosan,
sudah tiga tahun Beng Sin Thong tidak pernah muncul dalam
dunia Kangouw, hingga Kim Bwee menyangka dia sudah
hilang di luar negeri. Sekarang dia muncul pula dengan sepak
terjangnya yang luar biasa itu, munculnya itu berbareng
membikin si nona teringat pula akan Kim Sie Ie. Sin Thong
dan Sie Ie berlayar di saat yang sama, Sie le menjadi
makanan ikan cucut, si hantu sebaliknya masih hidup!
Kesedihan dan kegusaran berkumpul menjadi satu dalam
hati si nona, ia mau menangis tetapi air matanya tidak keluar,
la jadi terus berdiam saja.
"Sumoay, kau kenapakah?" tanya Ciong Tian.
"Kejadian itu membikin hatiku pepat," sahut Kim Bwee.
"Sekarang aku sudah merasa lega. Coba lanjuti ceritamu.
Bagaimana kemudian?"
Ciong Tian heran melihat sikapnya adik seperguruan ini, ia
tidak menyangka bahwa si nona ingat Sie Ie. Ia lantas
meneruskan penuturannya: "Ek Tiong Bouw menitahkan orang
untuk memberi kabar kepada ketuanya, tetapi di luar dugaan,
Beng Sin Thong telah mendahului setindak. Ketika pesuruh
Kaypang itu sampai di Tokkoan, di rumah Keluarga Tio, Beng
Sin Thong sudah menculik kedua cucunya Co Kim Jie..."
"Jadi cucunya Co Kim Jie yang diculik itu?"
"Ya. Co Kim Jie menikah dengan Keluarga Tio di Tokkoan
itu. Tio Eng Hoa dan Tio Eng Bin ialah cucu-cucunya. Beng Sin
Thong tidak melainkan menculik, dia pun memberi batas
waktu, memastikan Co Kim Jie membunuh diri di harian ulang
tahun matinya Tokpie Sinnie, seperti tadi aku bilang. Aku lihat,
Beng Sin Thong muncul pula dengan maksud menumpas
Binsan Pay. Sebab Ek Tiong Bouw murid Binsan Pay yang
menjadi ketua Kaypang, dari itu Kaypang turut menjadi
korban." "Memang erat hubungan di antara Binsan Pay dan
Kaypang," kata Kim Bwee, "hanya kurang tepat untuk
membilang Kaypang turut menjadi korbannya Binsan Pay.
Rupanya ibuku masih belum memberitahukan kau, pangcu
turunan ke tujuh belas dari Kaypang, yaitu Ciu Kie, telah
terbinasa di tangan Beng Sin Thong juga, jadi Kaypang itu
dengan Beng Sin Thong bermusuh besar."
"Kalau begitu pantaslah sekarang iparnya Ciu Kie, yaitu Cia
In Cin, yang menjadi isterinya Tiat-koay Sian Lu Ceng, telah
turut datang kesini," kata Ciong Tian.
Lu Ceng itu bersama-sama Ciu Kie dan Ek Tiong Bouw
menjadi murid-muridnya Kam Hong Tie dan Kam Hong Tie
sahabat erat dari Leng Pek To, ketua turunan ke enam belas
dari Kaypang. Semasa hidupnya Leng Pek To, dia melihat
kemerosotan partainya, dia kuatir nanti tidak ada orang yang
me-nyambungi kedudukannya, dari itu dia minta Ciu Kie murid
Kam Hong Tie itu menggantikan dia menjadi ketua. Hal itu
terjadi begitu dia menutup mata. Ketika kemudian Ciu Kie
terbinasa di tangan Beng Sin Thong, Lu Ceng yang
menggantikan kedudukannya itu menjadi ketua turunan ke
delapan belas. Kemudian lagi, dengan meninggalnya Lu Ceng,
kedudukan diwariskan pada Ek Tiong Bouw.
"Dengan sepak terjangnya ini, Beng Sin Thong seperti
menantang Rimba Persilatan," kata Ciong Tian kemudian.
"Cia In Cin datang bersama Thia Ho dan Siauw Ceng Hong,
apakah mereka mau minta bantuan ie-thio-ku?" Kim Bwee
tanya. "Benar. Bahkan katanya, lain-lain partai juga hendak
mengirim utusan dengan permintaan yang serupa. Datangnya
mereka ini bertiga membuktikan mereka sangat menghargai
Thiansan Pay."
"Apakah ie-thio telah memberikan jawabannya?"
"Sekarang mereka justeru lagi berbicara."
"Baiklah, aku pun mau turut mendengari pembicaraan
mereka!" kata si nona.
Melihat orang ketarik hatinya, Ciong Tian bergirang dan
berduka. Girang sebab sejak habis berlayar, adik seperguruan
ini tak menghiraukan segala urusan lainnya, dan berduka
lantaran urusan Kaypang ini membuat si nona sangat tertarik
hati. Ia kuatir urusan itu membikin Kim Bwee ingat pula Sie Ie.
Ia tidak tahu, si nona siang-siang telah ingat Tokciu
Hongkay... Phang Lim bersama Phang Eng, kedua saudara itu, tinggal
bertetangga, maka itu dengan cepat Kim Bwee telah sampai di
rumah bibi atau ie-thio-nya itu. Disana ia mendapatkan sang
ie-thio, Tong Siauw Lan, dan sang bibi, Phang Eng, bersama


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ibunya, lagi menemani ketiga tetamunya di ruang besar, dan
romannya Tong Siauw Lan muram. Siauw Lan tengah memikir
siapa yang dapat dikirim untuk memberikan bantuannya. Ia
berniat pergi sendiri, ia bersangsi. Ia akan hilang derajatnya
kalau ia pergi membantu mengepung Beng Sin Thong
seorang. Kalau ia tidak pergi sendiri, siapa dapat mewakilinya"
Phang Eng pun tengah bertanya, siapa harus dikirim. Dia
menanya suaminya.
"Ie-thio, aku yang pergi!" Kim Bwee menyeletuk.
Siauw Lan berpikir.
"Kau yang pergi?" katanya, balik bertanya. "Baik! Tapi kau
mesti tanya dulu ibumu. Jikalau ibumu setuju, aku tidak akan
menentang."
Kim Bwee menarik ujung baju ibunya.
"Ibu, kita pergi bersama, dapat bukan?" ia tanya, manja.
Phang Lim mengawasi anaknya, ia tertawa.
"Syukur kau bergembira!" katanya. "Baik, ibumu akan
menemani kau! Supaya kau nanti dapat membuka matamu!"
Siauw Lan dan Phang Eng terpaksa menyetujui, tetapi
Phang Eng memesan: "Adikku, kamu bakal menghadapi
musuh berbahaya, aku harap kau suka berlaku hati-hati."
Phang Lim tertawa.
"Musuh berbahaya apa!" katanya. "Sudah dua kali aku
menempur Beng Sin Thong, aku lihat dia tak lebih tangguh
seberapa!"
"Tetapi itulah kejadian tiga tahun yang sudah lewat," Siauw
Lan memberi ingat. "Han In Ciauw roboh di tangan Beng Sin
Thong, itu berarti dulu hari dia telah tidak mengeluarkan
seantero kepandaiannya atau sekarang dia telah memperoleh
kemajuan pesat. Singkatnya janganlah kita memandang
enteng kepada lawan."
"Baik," kata Phang Lim, yang melihat ciehu itu demikian
berhati-hati. Sebenarnya ia tetap kurang percaya. Ia mau
percaya Sin Thong memperoleh kemajuan tetapi ia sendiri
juga tidak mundur, maka itu, mungkin mereka berimbang. Ia
tidak tahu Beng Sin Thong sudah mendapatkan separuh
kitabnya Kiauw Pak Beng dan sudah mema-hamkan dan
melatihnya hingga si hantu menganggap dirinya tak ada
lawannya lagi! Kalau tidak, mustahil dia berani menantang
demikian rupa"
Kemudian Tong Siauw Lan tanya Cia In Cin apa nyonya ini
ketahui partai-partai lainnya telah mengutus siapa-siapa.
"Sebelumnya aku berangkat aku mendapat tahu Butong
Pay telah menetapkan Lui Cin Cu, ketuanya, dan Ngobie Pay
memilih Kim Kong Taysu, juga ketuanya," sahut Cia In Cin.
"Yang lainnya yaitu Siauwlim Pay mengutus Kam-sie Pun Bit
Taysu dan Khongtong Pay, Tiangloo Ouw Thian Long.
Han In Ciauw lagi merawat lukanya, kedudukannya
diwakilkan pada adik seperguruannya, Sien In Long. Ia telah
menetapkan akan mengirim murid-muridnya sampai tingkat
ketiga." Phang Lim heran. Untuk melawan satu Beng Sin Thong,
perlu apa demikian banyak orang"
Sebaliknya Tong Siauw Lan berkata: "Aku juga harus
menambah mengirim dua orang lagi. Adik Lim, kalau nanti kau
lewat di gunung Nyenchin Dangla, tolong kau sampaikan
pesanku supaya Keng Thian suami isteri turut pergi bersama."
Tong Keng Thian, puteranya Siauw Lan, tinggal di gunung
Nyenchin Dangla bersama isterinya, Pengcoan Thianlie, si
Bidadari dari Sungai Es"tinggal menetap di Istana Es. Selama
belasan tahun, rriereka berdua sudah berdiri sendiri. Mereka
telah berhasil menggabung ilmu pedang Pengcoan Kiamhoat
dengan ilmu pedang Thiansan Kiamhoat, hingga mereka dapat
menyamai ayah atau mertua mereka. Maka itu, mendengar
Siauw Lan menyebut pasangan dari Nyenchin Dangla itu, Cia
In Cin bertiga menjadi girang sekali.
"Adik Lim," Siauw Lan memesan pula iparnya itu,
"andaikata kau seri melayani Beng Sin Thong, kau jangan
melayani terlebih jauh, kau janjikan saja dia untuk menempur
aku satu sama satu, tentang tempat dan tanggalnya, terserah
kepadanya!"
Kata-kata itu, yang ditujukan kepada Phang Lim,
menimbulkan juga kesan di hatinya Cia In Cin, Thia Ho dan
Siauw Ceng Hong. Mereka merasa tuan rumah itu terlalu
berhati-hati. Phang Lim sendiri terang tidak puas. Maka
setelah bersenyum, ia kata: "Siauw Lan, apakah tak baik
untuk menambah mengirim satu orang lagi?"
"Siapakah yang kau pikir ingin mengirimnya itu?" Siauw Lan
tanya. "Bagaimana kalau Ciong Tian?"
Siauw Lan dapat menduga hati iparnya itu, yang ingin ada
terlebih banyak ketika untuk Kim Bwee bergaul dengan
muridnya itu. "Baik!" sahutnya, cepat. "Memang sudah seharusnya Ciong
Tian pun mencari pengalaman." Lantas ia memberi titah pada
muridnya itu. Disitu lantas ditetapkan hari keberangkatan. Cia In Cin
bertiga diminta berdiam lagi dua hari, selama mana Kim Bwee
dan Ciong Tian dititahkan melatih diri sungguh-sungguh.
Menggunai ketika sedang senggang, Kim Bwee mencari Cia
In Cin untuk memasang omong. Sudah beberapa kali In Cin
datang ke Thiansan, maka itu Kim Bwee kenal baik padanya. Ia
menanyakan hal Cie Hoa. Sejak pengalamannya dikurung
Beng Sin Thong, Kim Bwee menganggapnya Cie Hoa seperti
saudara sendiri. Demikian dengan pergi ke Binsan ini, ia ingin
sekalian mencari sahabatnya itu.
Ditanyakan halnya Cie Hoa, In Cin agak jengah.
"Selama tiga tahun ini aku juga tidak mendengar hal dia,"
sahutnya sesaat kemudian.
Kok Cie Hoa telah diusir Co Kim Jie dari Binsan Pay, dengan
begitu Cie Hoa telah menjadi murid yang murtad. Putusan itu
tak dapat ditentang oleh In Cin dan Tiong Bouw dan lainnya
walaupun mereka tak menyetujui. Karena pengusiran itu, Cie
Hoa tak dapat diajak bergaul pula sekalipun secara pribadi.
Hal ini tidak dapat In Cin memberitahukan Kim Bwee, maka
itu, ia jengah sendiri.
Nona Lie kecewa, ia menyesal sekali tetapi ia menghibur
diri, ia kata di dalam hati: "Peristiwa Binsan Pay ini hebat
sekali dan sangat menggemparkan, semua pihak yang
bersangkutan pada mengirim wakilnya, dari itu tak mungkin
Cie Hoa tidak mendengarnya juga. Dialah murid satu-satunya
dari Lu Su Nio, meski dia telah diusir Kim Jie, dia tetap orang
Binsan Pay, dia tentu tak dapat berpeluk dagu saja.
Setibanya di Binsan, mungkin aku akan dapat bertemu
dengannya..."
Selagi si nona berdiam, Cia In Cin dapat melihat tusuk
kondenya. Ia heran.
Kim Bwee pun ingin menanyakan hal itu, ia tertawa dan
menanya: "Cia Liehiap, masih kenalkah kau tusuk konde ini"
Inilah barang yang ketika aku dikurung di rumah Beng Sin
Thong telah aku serahkan pada kau. Aku menyerahkannya
dengan perantaraan anggauta Kaypang yang berdiam di Beng
keechung." In Cin mengangguk. "Tak dapat aku melupakan
ini," ia menyahut. "Aku hanya tidak mengerti, kenapa tusuk
konde ini kembali ke tanganmu."
"Coba Liehiap memberitahukan lebih dulu kepada siapa
liehiap telah serahkan ini'?" kata si nona.
"Hari itu di dusun Sin-an aku telah bertemu Kim Sie Ie serta
suheng-mu, Ciong Tian," sahut ln Cin. "Sebenarnya aku
hendak menyerahkan itu pada Ciong Tian tetapi kejadiannya
aku meletakkannya di kamarnya Sie Ie."
Disini Cia In Cin menjusta. Sebenarnya memang sengaja ia
menaruh di kamar Sie Ie. Sin Thong sukar dilayani, ia
berkesan tak manis terhadap Sie Ie, di sebelah itu ia ingin Sie
Ie membantunya secara diam-diam. Hanya maksudnya itu
tidak kesampaian. Ketika Sie Ie tiba di rumah Sin Thong, Kim
Bwee sudah lebih dulu ditolongi Seng Lam. Tapi keterangan
itu cukup jelas bagi Kim Bwee halnya Sie Ie sangat
memperhatikan ia. Maka ia berduka sekali, hingga ia menepas
air mata. Ia menyesal tak dapat bertemu dengan Tokciu
Hongkay. "Inilah barang peninggalannya Sie le yang aku ketemukan
di Coato..." katanya terisak.
"Orang yang sudah menutup mata tak dapat hidup pula,"
In Cin menghibur, "maka itu baik tak usahlah kau terlalu
berduka. Di dalam dunia ini masih banyak orang yang terlebih
baik daripada Kim Sie le..."
"Biar ada orang yang terlebih baik tetapi di masa hidupnya
dia telah berbuat banyak untukku," kata Kim Bwee. "Kecuali
ibuku, lain orang tak dapat menandingi kebaikannya itu. Untuk
selama-lamanya tak dapat aku melupakannya!"
"Sungguh kekuatan jodoh," pikir In Cin. "Kim Sie Ie orang
yang tak kenal manusia tetapi Lie Kim Bwee tak dapat
melupakan dia!"
Selagi keduanya berduka itu, hingga mereka tak dapat
berkata-kata, syukur datang Ciong Tian yang menyampaikan
pesan Siauw Lan untuk mereka berdua berlatih, maka itu, lega
hatinya In Cin.
Dua hari kedua muda-mudi itu berlatih, Siauw Lan terus
menilik mereka dan mereka dipesan bagaimana harus
bersikap andaikata mereka menghadapi lawan yang tangguh.
Semenjak tiga tahun dulu dikalahkan Kim Sie Ie, Ciong Tian
sudah berlatih keras hingga ia maju pesat, kalau tadinya ia
kalah dari Kim Bwee, sekarang ia dapat menyamainya, sedang
dalam tenaga dalam, ia menang.
Di hari ketiga Tong Siauw Lan suami isteri mengantarkan
rombongan In Cin turun gunung. Siauw Lan memesan pula
Phang Lim, sang ipar, untuk jangan memandang enteng
kepada musuh. Kim Bwee dipesan jangan memisahkan diri
dari ibunya. Ciong Tian pun dipesan untuk terus
mendampinginya.
Phang Lim tidak gusar tetapi diam-diam ia mentertawai
ciehu itu. Ia tahu Beng Sin Thong telah melukai Han In Ciauw
tetapi ia tetap tidak takut.
Ketika itu baru di permulaan musim rontok, sedang hari
sembahyang Tokpie Sinnie tanggal lima belas bulan tiga lain
tahun, dari itu tak usahlah mereka melakukan perjalanan
terburu-buru. Mereka punya tempo setengah tahun. Jumlah
mereka enam orang. Di antara mereka Siauw Ceng Hong dan
Cia In Cin yang paling luas pengetahuannya hal dunia
Kangouw, dengan begitu di sepanjang jalan, dapat
Phang Lim bicara banyak dengan mereka itu. Di tempat
yang ramai atau tersohor, orang pun singgah satu atau dua
hari, untuk pesiar. Nampaknya Phang Lim lagi pesiar,
bukannya hendak menghadapi musuh liehay...
Thia Ho bergelisah sendirinya. Ia berduka memikirkan
partainya. Tapi ia ada orang dari tingkat lebih muda, tidak
berani ia mendesak si nyonya untuk melakukan perjalanan
lekas-lekas. Tiga tahun lamanya Kim Bwee berdiam di dalam rumah
dengan pikirannya pepat, sekarang ia dapat melakukan
perjalanan dan kawannya pun banyak, hatinya terbuka sedikit,
di waktu berbicara dengan Ciong Tian, dapat ia tertawa.
Senang Phang Lim melihat perubahan puterinya itu.
Pada suatu tengah hari tibalah orang di Nyenchin Dangla.
Setelah gempa, Thian Ouw atau telaga Tengri Nor, masih
tetap ada, cuma sekarang tempat arus deras di hulunya sudah
tertutup tanah, hingga perjalanan tak sukar dan berbahaya
lagi. Di hari kedua tibalah mereka di puncak utama dari mana
Peng Kiong, atau Istana Es, telah dapat terpandang, di bawah
sorotan matahari, terlihat cahayanya yang berkilauan dan
berwarna rupa dan indah.
Thia Ho belum pernah datang ke Istana Es, ia menjadi
kagum, hingga untuk sesaat itu dapat ia melegakan hatinya,
suka ia menikmatinya.
"Sungguh Keng Thian berbahagia!" Phang Lim memuji.
"Istana Es ini ia telah perbaharui hingga indahnya melebihkan
yang sudah-sudah!"
"Itulah sebab ia telah menikah enso yang bagaikan bidadari
itu!" Kim Bwee pun memuji--memuji kepada ensonya--iparnya-ialah Pengcoan Thianlie si puteri Nepal.
Phang Lim tertawa, ia kata pada puterinya: "Ayah
bundanya enso-mu itu dapat memberi pesalin Istana Es
kepada puterinya, tetapi aku, tak tahu aku, apa yang dapat
aku berikan pada kau!"
"Ah ibu, gemar sekali ibu menggoda!" kata si anak, yang
lantas saja wajahnya yang bergembira menjadi guram.
Ibu itu menjadi menyesal sekali. Ia insyaf akan kekeliruan
omongannya itu, hingga ia membangkitkan kedukaan si
puteri. Ia paksakan diri tertawa dan kata: "Beginilah tabiat
ibumu, yang gemar bergurau dengan kamu anak muda! Ensomu
juga dulu pernah berdongkol karena guyonku!-- Eh, heran,
mengapa tidak ada dayang yang menyambut kita" Apakah ia
masih mendongkol terhadapku?"
Tepat nyonya ini berkata demikian, tepat mereka
mendengar suara genta yang menulikan telinga, yang
berbunyi terus menerus.
In Cin heran. Ia tahu itulah isyarat untuk Istana Es.
Pikirnya: "Siapakah berani datang membentur kepalanya
kepada gunung Taysan" Mungkinkah Beng Sin Thong datang
kemari?" Selagi orang she Cia ini berpikir demikian, mendadak
terdengar Phang Lim membentak: "Berhenti!" Dan belum lagi
ia melihat tegas, seorang bagaikan bayangan melesat lewat di
samping mereka, berbareng dengan mana, tubuhnya ibunya
Kim Bwee pun berlompat tinggi!
Orang bagaikan bayangan itu menjerit satu kali, ketika
tubuhnya turun di tanah, dia telah memisahkan diri jauh-jauh,
akan tetapi Lie Kim Bwee telah mengenali dia maka nona ini
berseru: "Dialah Kie Siauw Hong muridnya Beng Sin Thong!"
Phang Lim menyambar tetapi gagal, maka ia lantas
menyerang dengan seraup daun rahasianya, yang
diperantikan menusuk jalan darah, daun mana dapat ditimpuki
sambil tubuh mencelat tinggi. Meski demikian, orang itu masih
dapat menyingkir juga.
Cia In Cin kagum dan heran. Ia liehay dan matanya tajam,
toh ia baru pernah menyaksikan orang dengan gerakan tubuh
demikian gesit. Maka berpikirlah ia: "Muridnya Beng Sin Thong


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah begini liehay, apapula Beng Sin Thong sendiri..." Ia
tidak tahu, Kie Siauw Hong itu di samping menjadi murid
memanglah seorang dengan tubuh ringan dan lincah luar
biasa, kalau tidak, tidak nanti dia dijuluki Sin Tauw, si Malaikat
Pencuri nomor satu di kolong langit ini... Dia menjadi murid
Sin Thong dengan membawa kepandaiannya itu, tidak heran
dia menjadi bertambah liehay.
Selagi Phang Lim merintangi Kie Siauw Hong itu, dayangdayang
dari Istana Es sempat memburu keluar, untuk
mengejar, sembari berlari-lari, mereka mengasih dengar
seruan mereka yang riuh. Di antara mereka tertampak
seorang berada di muka, gerakannya sangat pesat. Dia
nampak lebih nyata karena pakaiannya serba putih. Dialah
Pengcoan Thianlie.
Ketika itu Phang Lim sudah bergerak terlebih jauh guna
merintangi Siauw Hong. Ia menyerang pula dengan seraup
daunnya, hingga Siauw Hong terhajar dua antaranya,
tubuhnya terhuyung.
Dengan kegesitannya, nyonya itu mendatangi dekat tak
sepuluh tombak.
"Masih kau tak hendak berhenti?" ia membentak. "Apakah
kau cari mampusmu?"
Ketika itu Pengcoan Thianlie sudah menghalang dengan
Peng-pok Sintan, peluru esnya. Begitu peluru itu pecah,
terlihatlah benda bagaikan uap atau asap, yang membawa
hawa dingin sekali, yang sinarnya terang.
"Selagi kedua negara berselisih, tidak ada aturan
membunuh utusan!" Kie Siauw Hong berseru. Dia nyata besar
nyalinya. "Aku menggunai aturan kaum Rimba Persilatan
mewakilkan guruku menyerahkan surat tantangan perang,
kenapa kamu bersikap begini tidak tahu aturan?"
Pengcoan Thianlie membentak: "Kau mencuri pedangku!
Aturan apakah itu?"
Kie Siauw Hong tertawa.
"Itulah aturan tindak-tandukku sendiri!" ia menjawab
lantang. "Tidak perduli aku pergi ke rumah siapa, paling
sedikitnya aku mesti mengambil serupa barang! Jikalau kau
tidak sudi mengantar pedangmu ini kepadaku, baiklah, kau
serahkan serupa barang apa saja sebagai gantinya!"
"Ngaco belo!" bentak pula Pengcoan Thianlie. "Apakah
pencuri juga ada aturannya?"
Kie Siauw Hong tertawa berkakak.
"Untukku memang ada aturan itu!" jawabnya. "Itulah
aturan yang diwariskan oleh kakek guruku! Kamu tentulah
tidak ketahui itu!"
"Aku juga ada aturanku!" kata Phang Lim, tertawa dingin.
"Jikalau aku membekuk panca longok, dia harus dirotani tiga
ratus kali!"
Kata-kata ini disusul dengan jejakan kepada tanah, hingga
tubuhnya melesat dalam gerak "Kokokbeluk Menyambar",
sedang Pengcoan Thianlie membarengi menyerang pula
dengan peluru esnya, guna mencegah orang kabur.
Di saat Kie Siauw Hong terancam bahaya itu, terdengar dia
tertawa dan kata: "Pengcoan Thianlie, nyata kau cupat
pandanganmu! Kau masih tak rela melepaskan sebatang
pedang! Baiklah, ini aku bayar pulang padamu!"
Phang Lim sedang menyerang ketika ia melihat suatu sinar
putih menyambar ke arahnya. Ia lantas mengenali itulah
pedangnya Pengcoan Thianlie, pedang Pengpok Hankong
Kiam yang istimewa. Tentu sekali ia tidak berani me-nyambuti.
Dengan terpaksa ia berkelit seraya menyampok dengan
tangan bajunya, atas mana pedang meluncur ke tembok
gunung, di antara batu karang. Pengcoan Thianlie tidak suka
pedangnya itu terjatuh ke lembah, ke dalam jurang, maka ia
berlompat untuk menyambarnya. Membarengi ketika itu Kie
Siauw Hong lompat di sampingnya si nyonya dipertuan dari
Sungai Es, ia menyingkir dari hawa dingin, untuk mengangkat
langkah seribu...
Pengcoan Thianlie repot dengan pedangnya, tak sempat ia
memegat-nya pula.
Phang Lim pun tidak dapat merintangi terus, temponya tak
ada lagi. Di samping itu, ia terkejut di dalam hati. Tiga tahun
dulu, kecuali ringannya tubuhnya, Kie Siauw Hong tidak nanti
dapat melayani ia secara demikian licin. Duluhari di Kiebek,
Shoatang, ketika ia bertemu dengan Beng Sin Thong, cuma
dengan satu kali timpuk ia membikin Siauw Hong terjungkal.
Sekarang, orang dapat lolos dari ia, yang dibantu Pengcoan
Thianlie! "Dia aneh!" pikirnya lebih jauh. "Turut pantas, biar
bagaimana juga, tak mungkin dia menjadi begini liehay hanya
dalam tempo tiga tahun... Mungkinkah Beng Sin Thong telah
berhasil menemui kepandaian luar biasa hingga dia dapat
mewariskan kepandaiannya itu kepada muridnya ini?"
Baru sekarang nyonya ini mau percaya Sin Thong benarbenar
liehay, hingga ia tak lagi mau memandang enteng.
Tinggal keragu-raguannya yang belum mau lenyap...
Pengcoan Thianlie telah memungut pedangnya, selagi ia
menghampirkan Phang Lim, nyonya itu pun menghampirkan
ia, bahkan terus menanya: "Bagaimana" Benarkah Beng Sin
Thong menantangmu" Apakah dia sendiri datang kemari?"
"Ada datang beberapa orang," kata bidadari dari Sungai Es
itu. "Entahlah, di antaranya ada dia atau tidak... Eh! eh! Aku
punya..." Dia telah meraba ke rambutnya dimana ia
kehilangan kupu-kupunya yang terbuat dari batu kemala.
Itulah kupu-kupu dari Istana Nepal, hingga bisa dimengerti
tingginya harganya. Ia percaya rupanya kemala itu disambar
Kie Siauw Hong barusan dan ia tidak bersiaga karena ia lagi
menyambar pedangnya. Mau atau tidak, ia mengagumi
pencuri yang liehay itu.
Ketika itu dari arah Istana Es terdengar suara senjata
beradu. "Bagus!" Phang Lim berseru. "Mari kita menemui Beng Sin
Thong!" Lantas rombongan itu lari naik ke atas, menuju ke Istana
Es. Pengcoan Thianlie mengajak mereka pergi ke taman
bunga dari mana suara senjata beradu terdengar, maka
disana terlihat rombongan dayang tengah mengurung dua
orang yang istimewa dandanannya.
"Ah," kata Pengcoan Thianlie, "itu yang di sebelah kiri ialah
Can Bit Hoatsu, pendeta berilmu dari golongan Biteong dari
agama Lhama Merah!"
Sebagai puteri negara Nepal, yang mengutamakan agama
Budha, Pengcoan Thianlie, mengenal baik segala apa
mengenai agama itu. la sendiri berbareng menjadi liehokhoat,
pelindung agama itu, maka itu ia pun kenal Budha dari agama
Lhama Kuning serta raja agama dari Lhama Putih dari
Cenghay, Tibet.
Ketika itu ketiga Lhama Putih, Kuning dan Merah, masih
bersatu, benar Pengcoan Thianlie tidak berhubungan erat
dengan ketiganya tetapi dengan beberapa tiang-loo, atau
Lhama tertua, ia kenal baik. Di antara tiga golongan itu,
jumlah pihak Merah yang paling sedikit, dan sudah begitu,
pihak Merah ini-golongan Biteong-tak suka mencampuri urusan
luar, maka juga Nyonya Tong Keng Thian heran mendapatkan
Can Bit Hoatsu disitu. Tidak selayaknya Can Bit macam Beng
Sin Thong. Mereka tak pantas ada hubungannya dan
derajatnya Can Bit pasti turun karenanya. Toh kenyataannya
pendeta itu sekarang berada bersama Kie Siauw Hong!
Dayang-dayang dari Istana Es mengurung kedua orang itu
dengan tin atau barisan mereka yang bergaris Patkwa, yang
dinamakan "Kiukiong Patkwa Tin", dengan begitu Can Bit
Hoatsu serta kawannya, seorang Hoan Ceng, atau pendeta
bangsa Hoan, kena terkurung di tengah-tengah. Hebat Can Bit
Hoatsu, meskipun puluhan pedang Hanpeng kiam menikam
dan menabas ke arahnya, semua pedang tak dapat mengenai
tubuhnya, hanya tiba di jarak tiga kaki, semua pedang tak
dapat maju lebih jauh.
Pengcoan Thianlie memikir untuk menyuruh dayangdayangnya
berhenti menyerang atau dia didahului si
Hoanceng, yang berseru bagaikan guntur, atas mana puluhan
pedang Hanpeng kiam lantas pada terbang sendirinya.
Bukan main kagetnya si Puteri Nepal. Ia tahu itulah seruan
yang dinamakan "Saycu Houw" atau "Deruman Singa" dari
kalangan persilatan kaum agama Budha. Ia tidak menyangka
pendeta ini demikian liehay, maka pasti dia tak ada di
bawahan Can Bit Hoatsu.
"Perduli apa dia siapa!" kata Phang Lim murka. "Dia yang
datang bersama muridnya Beng Sin Thong, dia mestinya
bukan orang baik-baik! Demikian mereka ini!"
la lantas lompat, untuk melintasi gunung-gunungan.
Justeru itu Tong Keng Thian tertampak muncul untuk
menghalangi si pendeta asing seraya ia menegur: "Taysu, ada
urusan apa maka kamu datang berkunjung dan menantang?"
Pendeta asing itu agaknya sangat mendongkol, dia
berteriak-teriak sebelum dia menjawab, setelah itu baru dia
kata, keras: "Apakah kau Tong Keng Thian" Kami datang
mewakilkan Tuan Beng untuk menyampaikan surat, tetapi kau
tidak memakai aturan menyambut kami, kau justeru
menitahkan segala budak ini mengurung dan menyerang
kami! Siapakah yang sebenarnya yang menantang?"
"Siapa itu Tuan Beng?" Keng Thian tanya tanpa
menghiraukan kegusaran orang.
Can Bit Hoatsu lantas maju ke depan, ia memberi hormat.
"Dialah Beng Sin Thong, Tuan Beng!" ia menerangkan.
"Kamilah utusannya untuk menyampaikan surat."
Pengcoan Thianlie benar-benar heran. Benarlah
sangkaannya. Benar-benar hebat Beng Sin Thong yang dapat
membuat pendeta berilmu dan kesohor ini dari kaum Biteong
agama Lhama Merah menjadi orang suruhannya!
"Oh, Beng Sin Thong?" kata Keng Thian. "Nama itu pemah
aku dengar. Tetapi dia dengan kami ada bagaikan kuda dan
kerbau yang berlainan jenisnya, dari itu, dia mengirim kamu
membawa surat apakah?"
Pendeta asing itu tertawa mengejek.
"Aku cuma tahu menyampaikan surat!" ia kata. "Tak aku
perduli-kan, di antara kamu berdua ada urusan apa! Surat ada
disana, apakah kamu tidak dapat mengambil untuk
membacanya?"
Phang Lim gusar atas sikap orang yang jumawa itu, ia maju
sambil tertawa dingin.
"Bagus betul!" katanya keras. "Sebenarnya kamu datang
untuk menyampaikan surat atau untuk mencuri" Atau kamu
menggabung diri kamu, menjadi pesuruh berbareng menjadi
pencuri?" Can Bit Hoatsu heran. Ia merangkap kedua tangannya.
"Amida Budha!" ia memuji. "Aku mohon nyonya sukalah
berlaku hati-hati sedikit. Apakah aku si pendeta kecil surup
menjadi orang yang datang untuk melakukan pencurian?"
Phang Lim tertawa dingin.
"Akan tetapi Kie Siauw Hong, muridnya Beng Sin Thong,
telah mencuri pedang Pengpok Hankong Kiam dari nyonya
rumah!" ia kata. "Kamu bersama-sama datang, apakah kamu
bukan konconya" Kau main memuji-muji, apakah itu dapat
membersihkan dirimu?"
Parasnya pendeta itu menjadi berubah, dia rupanya tak
menyangka akan kejadian itu.
Pengcoan Thianlie bersangsi tetapi ia maju dan berkata:
"Pedangku telah dapat diambil pulang! Itulah perbuatannya
Kie Siauw Hong! Baiklah hal itu tidak ditarik panjang lagi."
Tetap mukanya Can Bit menjadi merah.
"Sebenarnya kami tidak tahu apa yang ditulis dalam
suratnya Tuan Beng," ia berkata, agaknya terpaksa. "Dan
perbuatannya Kie Siauw Hong itu mungkin ada sebab lainnya.
Aku minta sukalah dia tidak dibikin sulit. Sekarang ini baiklah
lihat dulu suratnya Tuan Beng itu, baru kita bicara pula."
Pendeta itu menduga Siauw Hong telah kena dibekuk
Pengcoan Thianlie, maka itu ingin ia menolongi.
"Jangan kuatir, taysu," Pengcoan Thianlie berkata, tenang.
"Siapa yang datang bersama-sama taysu tidak nanti kami bikin
susah. Kie Siauw Hong itu telah dipersi-lahkan pergi pulang
terlebih dulu."
Nyonya ini berkata demikian karena ia percaya Can Bit
Hoatsu lagi menghadapi kesulitan apa-apa. Ia ingin berlaku
sungkan. Tong Keng Thian sementara itu telah mengangkat
kepalanya memandang ke arah mana si Hoan-ceng melirik,
sedang pendeta asing itu tetap masih mengasih dengar
tertawanya yang dingin. Arah itu ialah arah sebuah menara
putih. Menara itu dibuat oleh ibunya Pengcoan Thianlie, menurut
model menara keagamaan cara Nepal. Menara itu diperantikan
untuk memuja Sang Budha, tingginya dua puluh tombak lebih,
tingkat yang paling tinggi berujung lancip mirip buli-buli,
justeru di atas itu terlihat samar-samar sebuah kotak. Itulah
rupanya suratnya Beng Sin Thong itu.
Dengan kepandaiannya, Tong Keng Thian dan Pengcoan
Thianlie dapat mengambil turun kotak surat itu, akan tetapi,
biar bagaimana, mereka memerlukan tempo sedikitnya
sehirupan teh. Di samping itu, mereka heran.
"Entah bagaimana caranya mereka naik?" Keng Thian
berpikir. "Mungkin mudah sekali mereka memanjatnya... Sang
tempo demikian singkat hingga tidak ada orang-orangku yang
mendapat tahu... Tak dapat aku naik sendiri mengambilnya.
Akulah tuan rumah disini. Pula kalau aku kalah cepat, inilah
kurang bagus... Bukankah cara ini berarti mereka sengaja
hendak mengadu kepandaian" Hm!"
Bisa salah satu dayang diperintah naik mengambil kotak itu
tetapi itu berarti meminta tempo lebih lama.
Selagi tuan rumah berpikir, Phang Lim tertawa tawar.
"Apakah begitu caranya orang menyampaikan surat?" ia
mengejek. "Bukankah itu perbuatan kurang ajar terhadap
Thiansan Pay" Baiklah, nanti aku periksa surat itu, guna
melihat apa yang ditulisnya! Sebentar baru aku membuat
perhitungan dengan kamu!"
Habis berkata nyonya ini meloloskan sehelai tali merah,
terus ia melemparkan tinggi, hingga nampaknya tali itu
bagaikan ular merah yang melesat ke udara, melesatnya cepat


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luar biasa. Semua dayang mengawasi dengan melongo saking
kagumnya. Juga si Hoanceng, mukanya menjadi merah dan pucat.
Hanya sebentar, lantas dari atas menara terdengar suatu
barang jatuh-seperti jatuhnya sepotong batu. Lantas seorang
dayang memungutnya, untuk diserahkan pada Keng Thian.
Itulah kotak tadi, kotak surat seperti katanya si Hoan Ceng.
Kotak itu diikat sehelai tali kasar.
Phang Lim melepaskan tali merahnya itu.
Teranglah sudah, kotak suratnya Beng Sin Thong itu telah
digantung di wuwungan menara oleh Kie Siauw Hong, untuk
mana Kie Siauw Hong cukup mahir ilmu enteng tubuhnya.
Tapi sekarang Phang Lim menurunkan dengan benangnya,
yang ditimpuki menurut ilmu "Menerbangkan Bunga, Memetik
Daun". Keng Thian membuka kotak tanpa menggunai pisau, cukup
dengan kekuatan jari tangannya. Kotak itu terbuat dan kayu
cendana yang tebal tapi kayu itu tak dapat bertahan dari
tenaganya tuan dari Istana Es ini.
Si Hoan Ceng berpikir: "Pantas tempo aku masih ada di
India pernah aku mendengar Tong Siauw Lan ialah jago
nomor satu dari Tiongkok, sekarang terbukti, puteranya saja
sudah begini liehay. Jadi benarlah ceritera orang itu!"
Tong Keng Thian membuka suratnya Beng Sin Thong untuk
dibaca bersama isterinya. Begini bunyinya:
"Beng Sin Thong, orang yang rendah dari Rimba Persilatan,
dengan ini menghaturkan suratnya kepada pemilik dari Istana
Es! Aku telah mendengar tentang ilmu silat pedang partai kamu
yang liehay, maka aku si orang tua ingin sekali membuka lebar
matanya, dari itu dengan lancang aku mengutus muridku
untuk meminjam pedang kamu buat dipandang satu kali saja,
nanti lain tahun, bulan tiga tanggal lima belas, selama upacara
sembahyang untuk Tokpie Sinnie, di depan kuburan pendeta
wanita itu, akan aku membayarnya kembali. Jadi maksudku,
dengan meminjam pedang kamu inginlah aku membuatnya
kamu datang kesana!"
Menurut Beng Sin Thong dia sudah berlaku hormat sekali,
tetapi di matanya Tong Keng Thian, itulah tantangan belaka,
maka itu, Keng Thian menjadi tidak senang.
"Nyata Beng Sin Thong terlalu jumawa!" ia kata sambil
tertawa mengejek. "Dia boleh sangat liehay tetapi pedang
kami tak dapat sembarang dibawa pergi. Kalau dia hendak
menguji kepandaian, tak usahlah dia membawa lagak
setannya ini! Sekarang pulanglah kamu, untuk
memberitahukan dia bahwa lain tahun, bulan tiga tanggal lima
belas, pasti aku akan datang tepat di Binsan untuk memohon
pengajaran dari dianya! Jadi tak usahlah dia mengirim segala
bangsat cilik yang hina dina datang mencuri barang kesini!"
Selagi Keng Thian mengatakan begitu, isterinya melirik
padanya tetapi ia tidak menghiraukan itu.
Air mukanya Can Bit Hoatsu menjadi muram. Ia kata
dingin: "Tugasku kemari ialah menemani murid yang pandai
dari Tuan Beng menyampaikan surat, maka itu, kalau Tuan
Beng menantang kamu atau hendak mengambil barang kamu
dari Istana Es kamu ini, itulah tak ada sangkutannya
denganku, oleh karenanya, siecu, kata-katamu barusan adalah
teguran yang berat sekali untuk aku si pendeta kecil."
Mendengar ini, baru Keng Thian ingat lirikan isterinya. Ia
tercengang sejenak, lantas ia tertawa, la lekas berkata:
"Taysu, aku harap kau tidak salah tampa. Aku berkata-kata
untuk Beng Sin Thong!"
"Benar!" Phang Lim turut bicara. "Beng Sin Thong
bukannya seorang yang tidak mempunyai nama, jikalau dia
mau mengajukan tantangan, kenapa dia tidak mau
mengajukannya secara laki-laki" Tak usahlah dia bertindak
seperti setan!"
Kata-kata ini tajam, maka juga Can Bit Hoatsu lantas
memandang si nyonya.
"Nanti pada bulan tiga tanggal lima belas itu, apakah siecu
pun datang ke Binsan untuk membantu meramaikan?" ia
tanya. "Kenapa?" Phang Lim tanya.
"Jikalau benar siecu suka turut datang, maka di itu waktu
aku si pendeta kecil ingin sekali menerima pengajaran dari
siecu," sahut si pendeta, yang mengajukan tantangannya
secara halus. Sebenarnya pendeta ini ingin menantang Tong Keng Thian
tetapi ia masih ingat halnya kaum pendeta Lhama mempunyai
hubungan erat dengan Pengcoan Thianlie, jadi ia mau
memandang mukanya pemilik Istana Es itu, jadi ia menantang
Phang Lim. Pengcoan Thianlie melirik suaminya juga
disebabkan ia tidak ingin bentrok dengan pendeta itu, maka ia
tidak sangka, peredakan toh terjadi juga. Ia menyesal sekali.
Ia pun kuatir Phang Lim nanti bicara terlebih keras.
Syukur Phang Lim dapat mengimbangi kedudukan Can Bit
Hoatsu, dia tertawa ketika dia menjawab: "Aku memang mau
pergi ke Binsan untuk mencoba menempur Beng Sin Thong,
jikalau taysu sudi memberi pengajaran, baiklah, nanti aku
memohon pengajaran terlebih dulu dari taysu!"
"Ada satu hal yang aku masih belum mengerti," berkata
Pengcoan Thianlie, yang mendahului siapa juga. "Dapatkah
aku mengajukan pertanyaan kepada taysu?"
Can Bit merangkap kedua tangannya.
"Silahkan!" katanya. Ia memanggil "liehokhoat" kepada
nyonya itu. "Taysu ialah seorang beragama yang berkedudukan tinggi,
kenapa taysu tak segan menjadi utusannya Beng Sin Thong?"
tanya si nyonya.
"Segala sesuatu di dunia ini ada jodohnya," sahut Can Bit
tawar, "karena jodoh itu, tak dapat aku menghindari diriku.
Liehokhoat melindungi agama Budha, jasamu besar, aku yang
rendah menghargainya. Aku pun tidak akan melupai adanya
hubungan liehokhoat dengan partai kami, maka itu pasti aku
tidak akan memusuhkan liehokhoat."
Pengcoan Thianlie tetap tidak mengerti. Itulah bukan
keterangan yang ia harapkan. Hanya dari sini mengertilah ia
kenapa Can Bit menantang Phang Lim. Ia dihargakan, jadi si
pendeta tidak mau bertempur di istananya ini. Ia hanya
menyesal, urusan yang satu belum beres, datang pula yang
lainnya. Baru berhenti kata-katanya Can Bit, atau si Hoanceng
tertawa ber-gelak. Dia berkata langsung: "Aku tidak mau
menjual lagak! Aku telah mendengar liehaynya ilmu pedang
Thiansan Kiamhoat, sekarang juga aku ingin minta pengajaran
dari Tong Tayhiap!" Dan tanpa menanti jawaban, dia sudah
lantas menghunus goloknya.
Pendeta asing ini sebenarnyalah muridnya Liong Yap
Siangjin. Untuk di India, dialah tergolong jago kelas satu.
Dialah yang dinamakan A Lo Cuncia. Dia datang ke Tiongkok
bukan sengaja. Dia telah diundang raja Nepal, yang
menugaskan ia pergi menentang Tong Keng Thian, untuk
membikin susah dan celaka orang she Tong itu.
Raja Nepal yang sekarang ialah kakak misan dari Pengcoan
Thianlie, dialah yang buat urusannya Pengcoan Thianlie
pernah mengirim belasan laksa serdadu menyerbu ke Tibet
hingga terjadi pertempuran di lembah pegunungan Hi-malaya.
Disana tentara Nepal kena dikalahkan. Tentara Tiongkok
lantas mendesak, hingga karenanya terpaksa raja itu
memohon perdamaian. Setelah itu, tentara Tiongkok ditarik
pulang 'lapi raja Nepal tidak puas, maka sekarang dia
mengirim A Lo Cuncia menantang Tong Keng Thian. Kebetulan
sekali untuk si pendeta, dia memang ingin menguji ilmu silat
Tionghoa, hanya sekarang ini, sebab tugasnya itu, dia mau
menguji kepandaian berbareng sambil merampas jiwanya tuan
dari Istana Es itu.
Beng Sin Thong liehay, dia telah mendapat tahu apa yang
dipikir A Lo Cuncia, lantas dia pergi mencari si pendeta,
dengan kepandaiannya, dia menunduki pendeta itu, sesudah
mana, dia menganjurkan orang mencari gara-gara dengan
Tong Keng Thian. Begitulah A Lo sudi menjadi pesuruh.
Tentang Can Bit Hoatsu, seorang pendeta dengan
kedudukan tinggi dan liehay mau menjadi pesuruh pula, ada
sebab lainnya. Ilmu Siulo Imsat Kang berasal dari India, pemiliknya ialah
pendeta-pendeta aliran Biteong dari agama Lhama Merah itu.
Sejak pertengahan jaman Beng, ilmu itu terhilang selama
hampir tiga ratus tahun. Can Bit ialah pendeta yang berminat
keras mencarinya. Hal ini juga diketahui Beng Sin Thong,
maka Beng Sin Thong lantas menemuinya. Dia menjanjikan
akan menurunkan ilmunya itu asal pendeta ini suka membantu
padanya, untuk menemani Kie Siauw Hong dan A Lo Cuncia
pergi ke tempatnya Pengcoan Thianlie. Can Bit kena dilagui,
dia suka memberikan bantuannya, maka tibalah ia di gunung
Nyenchin Dangla.
Beng Sin Thong memalui Thiansan Pay, ingin ia
menentangnya, tetapi di samping itu ia masih belum
meyakinkan selesai lagi serupa ilmu, maka ia tidak berani
lantas datang sendiri untuk menantang, sengaja ia utus Kie
Siauw Hong bertiga kepada Tong Keng Thian. Terhadap Tong
Keng Thian, ia tidak jeri. Ia sengaja menyuruh Siauw Hong
mencuri pedang, untuk membikin Keng Thian suami isteri
menjadi gusar dan nanti datang ke gunung Binsan. Ia
percaya, itu waktu ia sudah memaham-kan sempurna semua
kepandaiannya, hingga tak usah ia takut lagi pada Tong Siauw
Lan. Sin Thong merasa ia sudah memandang mata pada Tong
Keng Thian, sebab terhadap lain lain partai, ia turun tangan
sendiri, ia membinasakan atau melukai atau menculik murid
orang. Ia percaya benar liehaynya Kie Siauw Hong, ia percaya
muridnya bakal mendapatkan pedangnya Pengcoan Thianlie,
siapa tahu mendadak datang Phang Lim sebagai penghalang,
hingga Pengcoan Thianlie keburu menyan-dak dan
menghalangi. Kie Siauw Hong kabur tanpa menghiraukan lagi Can Bit
Hoatsu dan A Lo Cuncia. Yang tidak disangka ialah A Lo
Cuncia jadi bentrok dengan Tong Keng Thian.
Sambil menghunus pedangnya, Keng Thian kata: "Taysu
menjadi tetamu, silahkan taysu mulai."
Pedangnya Keng Thian ialah pedang Yuliong Kiam, atau
Naga Berenang, pedang pusaka dari Thiansan Pay, ketika
dihunus, sinarnya bergemirlapan di antara sorotannya sang
surya, mata menjadi silau karenanya. A Lo terkejut melihat itu
tetapi ia tetap bersikap jumawa.
"Baiklah!" ia berkata sambil ia terus mulai menyerang.
Serangannya itu hebat, suara anginnya sampai mendebar.
Ujung goloknya meluncur ke dada lawan.
Keng Thian menyambut serangan itu. Juga gerakan pedang
mendatangkan suara anginnya. Inilah tipu silat "Taymo
Koteng", atau "Lampu tunggal di padang pasir!"
A Lo Cuncia terkejut untuk cepatnya sambutan pedang, ia
ingin menarik pulang goloknya tapi sudah tidak keburu, maka
sebagai kesudahan bentrokan keras dan suara nyaring serta
lelatu api meletik, goloknya itu kena terpapas bercacad sedikit.
Ia kaget sebab ia tahu goloknya buatan istimewa dan berat
empat puluh delapan kati.
Yuliong Kiam itu pedang mustika nomor dua untuk
Tiongkok, yang nomor satu ialah Tengkauw Kiam, pedang Ular
Naga Terbang, kepunyaan partai Butong Pay, sedang itu
waktu, Keng Thian telah lantas bersilat dengan ilmu silat
"Twiehong Kiamsie", ilmu pedang "Mengejar Angin", yang
semuanya terdiri dari delapan kali delapan menjadi enam
puluh empat jurus.
Setelah itu sambutan, Keng Thian bergerak terus. Ia
membalas menyerang. Ketika serangannya gagal, ia
menyambungi dengan jurusnya yang ketiga, tikamannya
meluncur ke bawah, ke kaki. Habis ini menyusullah jurus yang
ke empat dan ke lima. Jurus yang ke enam mengarah
punggung lawan. A Lo menangkis dengan ujung bajunya,
maka ujung baju itu terbabat kutung. Tapi sekarang dia
membalas, dengan tangan dari ujung baju yang buntung itu
mendadak dia menyambar lengan lawan!
Itulah pukulan hebat dan luar biasa. Itulah pukulan yang
berdasarkan ilmu yoga dari India. Pengcoan Thianlie pun
terkejut melihatnya. Tapi Tong Keng Thian telah
menyampaikan batas kemahirannya, kecuali ia masih kalah
tenaga dalamnya, ia sudah hampir me-nyandak ayahnya,
Tong Siauw Lan. Begitulah dengan tubuh nampak limbung ia
berkelit. Gerakannya ini sama anehnya seperti serangan
lawan. Setelah itu menyusullah tikamannya yang ke tujuh kali,
mengarah iga, dan ketika ini pun gagal, menyusul lebih jauh
yang ke delapan, sekarang ke arah dada!
Mendadak A Lo Cuncia berseru nyaring, goloknya
menyambar. Keng Thian terkejut.
"Benarlah dia tidak takut aku nanti membabat kutung
goloknya?" ia kata di dalam hati. Selagi ia berpikir itu, senjata
mereka sudah nempel satu dengan lain, lantas ia merasakan
tenaga menolak yang besar.
A Lo Cuncia telah bertindak cerdik dan licin. Dengan seruan
"Singa menderum" itu ia membikin lawannya terperanjat,
terus ia menempelkan senjatanya, lalu ia mengerahkan
seluruh tenaganya untuk menempel terus senjata mereka itu.
Memang, setelah serangannya yang ke delapan itu, Keng
Thian kena terkejutkan seruan nyaring, karena mana tak
sempat ia menarik pedangnya, yang gagal memapas golok
lawan. Phang Lim melihat pertempuran itu, diam-diam ia memuji.
Karena ini mulai berkuranglah pandangannya bahwa musuh
dapat dipandang enteng.
Kedua senjata bentrok, tapi tanpa bersuara, maka itu kalau
pertempuran semula nampak mirip badai mengamuk dan
hujan deras, sekarang segalanya itu sirap dan menjadi sunyi
senyap. Kecuali Lie Kim Bwee dan Ciong Tian, semua hadirin
adalah ahli-ahli, saking kagumnya mereka sampai menahan
napas. Pertempuran selanjutnya tidak dilakukan lagi dengan saling
tikam atau bacok, hanya saling berdiam diri. Sekarang ini
mereka mengadu tenaga dalam. Senjata mereka, masingmasing


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka tidak berani memisahkannya, untuk
digunakan. Belum lama lalu terlihat tubuh mereka bagaikan ringkas
menjadi terlebih kate. Inilah sebab, guna memperkokoh
kedudukan, mereka memasang kuda-kuda "Berat Seribu Kati".
Dengan sendirinya kaki mereka melesak masuk ke dalam
tanah sebatas bawahan mata kaki!
Ek liong Bouw menyedot napas, lalu dia kata: "Tenaga
dalam mereka seimbang, baiklah mereka tidak mengadunya
lebih jauh."
Pengcoan Thianlie berpaling kepada Can Bit Hoatsu, ia
memberi hormat.
"Taysu, bagaimana jikalau kita berdua memisahkan
mereka?" ia tanya.
Can Bit Hoatsu merangkap kedua tangannya membalasi.
"Pikiran liehokhoat sama dengan pikiranku," sahutnya.
"Marilah!"
Pendeta ini mengeluarkan kebutannya dan Pengcoan
Thianlie menghunus pedangnya, lantas keduanya berlompat
maju, dengan berbareng mereka menggeraki senjata mereka
masing-masing membentur pedang dan goloknya Keng Thian
dan A Lo Cuncia.
Nyaring suaranya tatkala empat rupa senjata bentrok,
menyusul itu tubuh Keng Thian dan tubuh A Lo Cuncia mental
mundur dengan berbareng. Kedua kaki mereka berbekas
berupa tapak kaki yang dalam. Debu pun mengepul naik
bagaikan kabut. Sama-sama mereka mencelat dua tombak
jauhnya. Muka mereka pucat, dari kepala mereka keluar hawa
seperti uap. Akhirnya Keng Thian memasuki pedangnya ke dalam
sarungnya, ia memberi hormat pada A Lo Cuncia sambil
berkata: "Taysu, kau sangat liehay, aku takluk! Aku takluk!"
A Lo Cuncia membalas hormat.
"Sungguh liehay ilmu pedang Thiansan Pay. pujian orang
bukan pujian belaka!" ia kata. Ia terus menoleh kepada
Pengcoan Thianlie, untuk memberi hormat sambil berkata
juga: "Liehokhoat, pedangmu terlebih liehay lagi, hari ini
mataku telah dibikin terbuka! Nanti dalam pertemuan di
Binsan, apabila kita berjodoh dapat bertemu pula, ingin sekali
aku minta pengajaran dari kau!"
Si nyonya cantik tertawa manis.
"Aku pasti akan menghadiri pertemuan di Binsan itu!"
sahutnya. "Hanya, buat memberi pengajaran, aku sungguh
tidak berani!"
"Jikalau begitu," berkata Can
Bit Hoatsu, "baiklah kita bertemu pula di belakang hari, di
gunung Binsan!..."
Baru kata-kata "Binsan" diucapkan habis, tubuh si pendeta
sudah mencelat jauh bersama tubuh A Lo Cuncia, hingga di
lain saat keduanya sudah melintasi tembok taman bunga.
Dalam gerakan mereka masih kalah dengan Kie Siauw
Hong tetapi mengingat A Lo Cuncia baru habis bertempur
hebat dan ia masih letih, ilmu enteng tubuhnya itu harus
dipuji. Kesudahannya pertandingan itu kelihatannya kedua pihak
seri, tetapi sebenarnya A Lo Cuncia yang keteter dan
memperoleh pukulan, yaitu tapak kakinya lebih dalam
melesaknya, suatu tanda ia mesti mempergunakan tenaga
lebih, dan tadi, waktu dipisahkan Pengcoan Thianlie, ia
merasakan gempuran hebat dari pedang si nyonya. Ia
merasakan hawa dingin meresap ke tubuhnya. Hal ini
membuatnya tidak puas. Itu pula sebabnya kenapa ia
menantang si Bidadari dari Sungai Es.
"Sesungguhnya di kolong langit yang luas ini entah ada
berapa banyak orang liehay," berkata Keng Thian. "Aku
mengira ilmu silat di Tiongkok sangat sempurna, tidak tahunya
aku mirip si katak di dalam tempurung yang cuma bisa dongak
melihat langit! Tanpa pedang Yulipng Kiam, mungkin aku
roboh di tangannya pendeta asing itu!"
"Sudah, jangan kau terlalu memuji lain orang!" kata Phang
Lim tertawa. "Jangan kau menyirnakan pamor sendiri! Pendeta
itu benar liehay tetapi dibanding dengan ayahmu atau ketuaketua
dari Siauwlim Pay dan Butong Pay, dia masih kalah
jauh!" "Aku tidak tahu Beng Sin Thong itu orang macam apa,"
kata Pengcoan Thianlie, yang ingat jago dari Beng keechung
itu, "akan tetapi melihat Can Bit Hoatsu dan A Lo Cuncia dapat
dijadikan sebagai pesuruh-pesuruh mereka, aku menganggap
di dalam pertemuan di Binsan ini haruslah pihak kita
waspada." Mendengar demikian Ek Tiong Bouw, Siauw Ceng Hong dan
Cia In Cin berduka sendirinya. Mereka meminta bantuan,
mereka cuma berniat menempur Beng Sin Thong satu orang,
siapa tahu Beng Sin Thong juga mengumpul kawan dan
ternyata kawan-kawannya itu liehay. Dengan begitu sukarlah
diramalkan kesudahannya pertemuan di Binsan nanti.
Sekarang baru Keng Thian dapat membuat pertemuan
dengan para tetamunya dan ia dapat mendengar
keterangannya Ek Tiong Bouw mengenai permusuhan dengan
Beng Sin Thong, begitupun halnya Beng Sin Thong sudah
melukakan dan menangkap orang.
"Jikalau begitu, Beng Sin Thong benar menantang Rimba
Persilatan," kata Keng Thian. "Pantas dia mengirim muridnya
datang mencuri pedang kemari, untuk menggertak kita.
Syukur dia tidak berhasil dengan pencuriannya hingga taklah
hilang muka terang Thiansan Pay..."
Ketika suaminya bicara sampai disitu, Pengcoan Thianlie
terbatuk satu kali.
Keng Thian heran, ia berdiam sejenak.
"Ada apakah yang tak tepat?" ia tanya.
Pengcoan Thianlie menyeringai.
"Memang pedang kita tidak dicuri dibawa pergi tetapi
kemala kupu-kupu di rambutku telah kena dia copot!" sahut
isteri itu. "Biar bagaimana, ini memalukan juga pihak kita..."
Mukanya Keng Thian menjadi merah. Baru saja ia
keterlepasan omong.
"Baru saja aku mengatakan jangan kamu memandang
enteng kepada musuh," katanya menyeringai, "aku sendiri
yang lebih dulu melanggarnya..."
"Itulah segala kepandaian mencuri dan menyopot, tidak
ada artinya!" kata Phang Lim. "Biarlah nanti di Binsan kita
membuat perhitungan dengan Beng Sin Thong!"
Di mulut nyonya jenaka ini berkata demikian, di dalam hati
ia insyaf akan liehaynya musuh, seperti barusan telah
dipertunjuki Kie Siauw Hong dan A Lo Cuncia. Ia merasa tak
ada kepastiannya pihaknya akan merebut kemenangan nanti
di gunung Binsan itu...
Lantas tuan dan nyonya rumah mengundang tetamutetamunya
masuk ke dalam Peng Kiong, Istana Es.
Dengan bertemu dengan Pengcoan Thianlie, sang piauwso,
enso piauw atau misan, Kim Bwee lantas ingat pula Kim Sie
Ie. la dengan sang enso, memang sudah lama tak bertemu,
pergaulan mereka erat sekali, bahkan kenalnya ia dengan Kim
Sie Ie pun karena enso ini. Ia menjadi berduka sendirinya.
Ketika itu Keng Thian menanya Phang Lim, sang bibi: "Ie,
kabarnya kau telah pergi berlayar..."
Phang Lim lekas menggoyangi kepala dan berkata
perlahan: "Aku menyesal atas pelayaranku itu..."
Keng Thian heran. Ia melirik Kim Bwee, sang adik misan, ia
melihat alis orang mengkerut. Ia dapat menduga. Ia lantas
menukar haluan pembicaraan. Inilah sebab ia dan isterinya
telah mendengar kabar kematiannya Kim Sie Ie, sekarang
melihat sikap Phang Lim, ia mau menduga benarlah kabar itu.
Untuk mencegah Kim Bwee berduka, ia tidak mau
membicarakannya lebih jauh.
Pengcoan Thianlie berduka. Ia ingat halnya dulu hari ia
bersama Kim Sie Ie pergi ke Ciakjie San, bagaimana mereka
berjalan bersama selama belasan bulan. Ia menyayangi
kematian Sie Ie itu.
Malam itu Kim Bwee tidur bersama ibunya dalam sebuah
kamar. Ia berduka, ia tak dapat tidur. Ia gulak-gulik saja. Tapi
ia letih dan kantuk, akhirnya ia tidur juga, hanya tengah layaplayap,
ia merasa ia berada di Coato, Pulau Ular, dimana
pohon-pohon dan bunga-bunga indah permai, justeru disana
ia bertemu dengan Kim Sie Ie. Tokciu Hongkay menggapaikan
dengan bunga dan bersenyum. Ketika ia lari menghampirkan,
lenyap tertawanya dia itu, bahkan dengan dingin dia berkata:
"Tidak, bunga ini tidak dapat aku berikan kepada kau!" Terus
bunga itu dirusak dan dilemparkan. Lantas bunga itu berubah
menjadi setangkai bunga bwee warna merah dan putih...
"Ah, begini kau perlakukan aku?" kata Kim Bwee dalam
mimpinya. Tepat di itu waktu, di sisinya Sie Ie muncul seorang nona
lain ialah Le Seng Lam dan nona Le dengan bengis menjoroki
padanya sambil membentak: "Aku larang kau datang kemari!
Aku larang kau menemui pula engko Sie Ie-ku!"
Kaget Kim Bwee hingga ia roboh, bumi bagaikan terputar.
Berubahlah pulau, lenyap segala pohon dan bunganya, lantas
air laut naik. Sie Ie bersama Seng Lam, dengan bergandengan
tangan, terlihat berjalan pergi, apa yang kedengaran ialah
tertawa riang mereka.
"Engko Sie Ie, jangan pergi!" Kim Bwee memanggil.
Justeru itu ia melihat ibunya lari mendatangi sambil
membentak: "Bangsat cilik, kau hendak kabur kemana?"
Kim Bwee tercengang, tubuhnya dirasai dingin, ketika ia
membuka matanya, ia melihat ibunya berdiri di depannya, di
depan pembaringan. Ia bingung. Ia mimpikah atau itu
kejadian benar-benar"
"Kau sudah bangun, anak?" tanya ibu itu lembut. "Apakah
kau kaget" Itulah satu bangsat cilik! Ibumu berada di
dampingmu, tak usah kau takut!"
Kim Bwee menggigit jari tangannya, ia merasa sakit. Jadi ia
tidak mimpi. Ia menjadi terlebih heran.
"Ibu, kau melihat apa?" ia tanya.
"Tengah aku tidur layap-layap aku melihat satu bayangan
orang berlompat keluar," sahut sang ibu. "Aku timpuk dia
dengan tancapan lilin tetapi tidak kena. Tubuh dia itu gesit
dan lincah sekali. Mungkin juga mataku masih kabur. Kau
sendiri, kau melihat apakah?"
"Ah!" seru si anak dara. "Mungkinkah aku bukan bermimpi"
Dia... Dia benar-benar datang menjenguk aku!..." Sang ibu
heran. "Kau mimpi apa, anak" Siapakah dia itu?"
"Aku bertemu dengan Kim Sie Ie. Mulanya dia tertawa,
lantas dia lari..."
Anak ini mau menyebutkan Seng Lam tetapi ia muak, ia
batal. Phang Lim memperlihatkan roman sungguh-sungguh
"Kau ngaco!" katanya. "Orang sudah mati mana dapat
hidup pula" Anak, kau dengar perkataan ibumu. Kaulah
anakku satu-satunya, jangan kau berduka, jangan memikir hal
yang bukan-bukan siang dan malam, jikalau kesehatanmu
terganggu, bagaimana aku berduka dan bingung..."
"Sebenarnya mulanya aku bermimpi," anak itu
menerangkan. "Tapi ibu, benar-benarkah ibu melihat satu
orang-bayangannya?"
Phang Lim menjadi bingung benar-benar. Ia melihat satu
bayangan itu sangat lincah. Sayang ia tidak dapat melihat
mukanya. Memikiri punggung orang, bayangan itu bukan
bayangan Kie Siauw Hong. Tapi siapakah lain orang yang ilmu
ringan tubuhnya demikian sempurna" Maka ia mau percaya
matanya sudah kabur. Sekarang mendengar pertanyaan
anaknya, ia ingat Kim Sie Ie. Ya, itulah bayangannya Tokciu
Hongkay! "He, kau memikir kemana?" ia tegur dirinya sendiri. "Kim
Sie Ie telah ditelan ikan! Mana bisa jadi inilah bayangan dia!
Anakmu mimpi, apakah kau turut mimpi juga?"
Phang Lim menetapkan hati ia ambil lilin, untuk menyuluhi.
Tidak ada barang yang lenyap. Ia lantas tertawa dan berkata
seorang diri: "Kalau aku pun kecurian, sungguh lucu!"
Baru ibu ini berkata demikian, atau ia mendengar seruan
anaknya. "Ibu, aku kecurian!" demikian suaranya Kim Bwee, si anak
dara. Phang Lim kaget.
"Kau kehilangan apa?" ia tanya cepat.
'Tusuk kundai kemalaku! " Eh, disini, ada disini" Eh,
kenapa boleh ada disini?"
Phang Lim mengawasi ke tempat yang ditunjuk puterinya.
Tusuk kundai itu terletak di samping bantal kepala.
"Aku ingat benar, ketika aku mau tidur, aku tancap di
rambutku," kata si anak. Karena tusuk kundai digeser, pasti
sudah benar ada orang masuk ke dalam kamar mereka. Maka
Phang Lim tidak mau menyangsikan lagi bahwa matanya
kabur. Hanya sekarang ia menjadi heran, ia curiga, ia
bingung... Siapa itu orang" Dia pencuri-kah" Tak mungkin dia Kie
Siauw Hong! Kalau dia Kie Siauw Hong, kenapa dia tinggalkan
tusuk kundai yang telah terjatuh ke dalam tangannya" Habis,
siapakah yang dapat melebihkan liehaynya Kie Siauw Hong"
Memang ada orang liehay golongan cianpwee, tetapi bangsa
cianpwee tidak nanti mau berguyon begini!
"Aneh kelakuannya orang itu?" pikirnya akhirnya.
"Ie, mari, lekas!" tiba-tiba mereka mendengar panggilan.
Itulah suaranya Pengcoan Thianlie terhadap sang bibi.
Phang Lim lompat, untuk membuka pintu.
"Ada apa?" ia tanya.
"Mari ke kamarku!" kata nyonya rumah. "Ada terjadi
keanehan!"
Pengcoan Thianlie pun heran melihat Phang Lim dan
puterinya muncul dengan cepat.
"Apakah ia berdua belum tidur?" ia tanya.
Sang bibi tertawa.
"Pada kami disini pun terjadi hal aneh!" katanya terus
terang. "Seperti ada yahengjin yang datang masuk kemari..."
"Yahengjin" yaitu orang yang biasa keluar dan bekerja di
waktu malam. "Benarkah?" tanya si nyonya, heran, hingga ia melengak.
"Dalam kamar kami juga ada orang yang masuk..."
"Apakah ada barang yang lenyap?" tanya Phang Lim,
tertawa.

Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak! Sebaliknya ada orang yang mengantarkan barang!.
." sahut Pengcoan Thianlie.
"Aha!" kata sang bibi.
Mereka bicara sambil jalan, sebentar saja mereka sudah
masuk ke kamar nyonya rumah. Phang Lim lantas melihat
barang yang diantarkan itu, ialah kemala kupu-kupu milik
Pengcoan Thianlie yang disambar Kie Siauw Hong tadi siang!
Tong Keng Thian berada di dalam kamarnya itu, ia
menyambut sang ibu dan anaknya.
"Ie, heran tidak?" ia tanya, tertawa. "Dia mengantar barang
tetapi dia tidak mau bertemu dengan kami berdua!"
"Kau menyangka siapakah?" Phang Lim tanya.
"Dia pasti bukannya Kie Siauw Hong. Kalau dia bukan
seorang cianpwee, dialah salah satu sahabat. Dia merampas
barang dari tangan Kie Siauw Hong, dia memulangkannya,
dengan begitu dia menolong melindungi muka terang kami.
Dia liehay, dia bernyali besar. Kalau dia bukannya sahabat
mengapa dia bersikap begini aneh" Mengapa dia tak suka
bertemu dengan kami?"
"Ie, kau luas pengetahuan dan telah melihat banyak," kata
Pengcoan Thianlie, "dari itu kami mengundang kau, untuk kita
membicarakan keanehan ini. Ie lihat, kamar tak terganggu,
jendela pintu pun tak terbuka. Di lantai tidak ada tapak kaki.
Apakah ie melihat sesuatu?"
"Bagaimana kamu mempergokinya?"
"Aku lagi tidur ketika samar-samar aku melihat bayangan
satu orang, yaitu punggungnya," menyahut Pengcoan
Thianlie. "Hanya sekejab, bayangan itu lenyap. Aku
menyangka mataku berkunang-kunang, maka aku
membanguni Keng Thian. Setelah kami memeriksa, kami
mendapati tusuk kundai kemala ini."
"Kejadian disini sama dengan kejadian di kamar kami,"
Phang Lim memberitahu. Ia menuturkan pengalamannya.
Keng Thian batuk-batuk.
"Benarlah, di luar langit ada langit lainnya, di samping
orang ada orang lainnya lagi!" ia kata. "Kalau dia musuh,
apakah kita masih mempunyai jiwa kita?"
Selama itu Kim Bwee diam saja, tapi sekarang ia menanya:
"Enso, coba bilang, punggung orang itu mirip dengan
punggung siapa?"
Pengcoan Thianlie tercengang. Itulah pertanyaan aneh.
"Adik, mengapa kau menanya begini?" ia balik menanya.
"Apakah kau ingat salah satu sahabat?"
"Tusuk kundaiku digeser selagi aku tidur," sahut sang ipar.
"Aku...aku... Aku kira... aku kira..." Ia berhenti. Ia sebenarnya
mau menyebut: "Aku kira dia mirip Kim Sie Ie..." Ia berhenti
karena berduka.
"Ah, kau kira apa, anak?" kata Phang Lim menegur. "Kau
jangan pikir yang tidak-tidak! Nanti kau ditertawakan orang!
Kalau dia sahabat, enso-mu tentu telah menjelaskannya! Tak
nanti enso-mu menunggu kau menanyakan."
Pengcoan Thianlie sebaliknya berpikir. Ia mulai curiga.
"Ya, punggung dia mirip Kim Sie le!" pikirnya. Ia hampir
mengatakan itu, baiknya ia dapat membatalkan. Ia melihat
lirikan mata Phang Lim. Kim Sie le sudah mati, kalau ia
menyebut nama Tokciu Hongkay, hati Kim Bwee bisa terluka.
"Dia lenyap sangat cepat," ia toh kata. "Aku percaya dialah
sahabat kita dan terhadap kita dia tidak bermaksud jahat. Di
belakang hari mungkin kita akan mengetahuinya."
Habislah pembicaraan sampai disitu.
Di hari besoknya Tong Keng Thian dan Pengcoan Thianlie
turut rombongannya Phang Lim turun gunung, untuk
melakukan perjalanan jauh ribuan lie, ialah dari Thiansan ke
Tionggoan. Di tengah jalan mereka mendengar kabar hal
pengacauannya Beng Sin Thong. Syukur mereka tidak
menemui sesuatu rintangan.
Pada suatu hari mereka mulai memasuki wilayah gunung
Chong-san, di seberang gunung Binsan. Gunung Binsan dekat
dengan Honghoo, Sungai Kuning. Disitu mereka memasuki
lembah segi tiga.
Ketika itu tanggal sembilan bulan tiga, tinggal enam hari
sampai pada hari sembahyang Tokpie Sinnie. Untuk tiba di
tempat pertemuan, temponya cukup lagi perjalanan tiga hari,
maka itu, mereka mempunyai luang tempo. Meski sang tempo
masih ada enam hari, hati mereka tegang sendiri. Pertemuan
mestinya hebat.
Lembah itu sunyi dan belukar. Itu waktu sudah mulai
magrib dan mereka tidak melihat barang satu rumah.
Terpaksa mereka membangun tenda, guna melewatkan sang
malam. Habis bersantap, selagi mereka hendak beristirahat, tibatiba
telinga mereka mendengar suara berisik, yang datang dari
luar tenda. Itulah suara orang berkelahi dan mendamprat.
Siauw Ceng Hong berlompat bangun.
"Suara itu mirip suara Kang Lam'" katanya. Ia bergaul
dengan Kang Lam sepuluh tahun di Tibet, Kang Lam menjadi
besar sebagai kawannya, maka ia ingat benar suara orang.
Tong Keng Thian memasang kuping.
"Benar, itulah suaranya Kang Lam!" ia pun kata. "Kang Lam
ada disini, Tan Thian Oe dan isterinya mesti ada bersama!"
Ia lantas lari keluar. Segera ia melihat di lembah ada
seorang Hwee yang jangkung dan tangannya panjang, yang
bersenjatakan serupa senjata yang berkemilau, lagi bertempur
seru dengan seorang pria dan seorang wanita. Dan Kang Lam
berlari-lari mendatangi dengan teriakannya berulang-ulang.
Sepasang pria dan wanita itu memang Thian Oe dan Yu
Peng adanya. Dalam girangnya Tong Keng Thian berseru:
"Saudara Thian Oe, jangan kuatir! Aku datang!"
Thian Oe dan isterinya lagi bertempur hebat sekali,
mendengar suara Keng Thian, yang mereka kenali, mereka
pun girang luar biasa. Hanya celaka, lantaran kegirangan itu,
perhatian mereka terganggu sejenak. Ketika itu musuh
mereka, si orang Hwee yang jangkung dan tangannya panjang
juga, telah menyerang hebat dengan toyanya, yang luar biasa.
Ujung toya itu menyambar jalan darah soankie dari Thian Oe.
Yu Peng terkejut, untuk menolongi suaminya, ia membabat
senjata lawannya.
Babatan Yu Peng ini ialah "Sungai es lumer", suatu jurus
dari ilmu pedang "Pengcoan Kiamhoat". Jikalau toya lawan
tidak lekas ditarik pulang, dia pasti bakal sekalian tertikam
punggungnya. Tapi dengan si orang Hwee itu, keadaan lain.
Dialah Kim Jit Sian, si jago Rimba Persilatan dari India. Dia
pandai pelbagai ilmu silat di Tanah Barat, dengan
keyakinannya, dia menciptakan ilmu toyanya itu, yang diberi
nama ilmu toya "Guntur dan Kilat". Karena kepandaiannya itu,
dia ingin menjagoi di Tiongkok. Demikian pada empat tahun
dulu bersama-sama Kunlun Sanjin dan Siang Bok Loo, dia
telah menyusul Chong Leng Siangjin sampai di Tionggoan,
sampai di propinsi Shoatang, di kota Tongpeng, hingga dia
bertemu Kok Cie Hoa bersama Kim Sie le di dusun Liu
keechung. Dengan Cie Hoa ia dapat bertempur seri tetapi oleh
Kim Sie le ia kena dikalahkan. Karena itu, ia balik ke Tibet
dimana ia meyakinkan lebih jauh ilmu silatnya. Selang empat
tahun, ia merasa bahwa ia telah memperoleh kemajuan pesat,
maka itu sekarang ia menerima undangannya Beng Sin Thong
dan muncul pula di Tionggoan, hingga ia bertemu dengan
sepasang suami isteri itu.
Yu Peng liehay ilmu pedangnya tetapi dibanding dengan
Kim Jit Sian, ia kalah jauh tenaga dalamnya, sudah begitu,
Kim Jit Sian mendapat tahu kelemahan orang. Dengan
menyerang Thian Oe si orang Hwee menggunai siasat dan ia
berhasil dengan siasatnya itu. Secara luar biasa sekali, ia
meloloskan diri dari pedang Yu Peng, ketika pedang itu
meluncur terus, mendadak tangannya menyambar ke arah
pedang sekali, atau tahu-tahu, pedang orang telah pindah ke
dalam tangannya! Dengan begitu menjadi nyatalah liehaynya
ilmunya "Tangan kosong merampas senjata tajam"
Yu Peng terkejut bukan main, apapula pedangnya itu
pedang es, meskipun pedang itu kalah kalau dibanding
dengan Pengpok Hankong Kiam, pedang esnya Pengcoan
Thianlie. Herannya ialah Kim Jit Sian dapat bertahan dari hawa
dinginnya. Habis merampas pedang, Kim Jit Sian tidak berhenti
bersilat, bahkan toyanya terus menyambar kepada si nyonya
muda. Menampak demikian, Thian Oe berbalik menangkis
guna menolongi isterinya. Yu Peng sendiri berkelit dengan
lompat jauh satu tombak lebih.
Inilah yang dikehendaki si jangkung lagi bertangan panjang
itu. Selagi si nyonya lompat jauh, ia pun berlompat menyingkir
dari Thian Oe, begitu ia memutar tubuhnya, begitu ia
berlompat kabur dengan pedang rampasannya!
Thian Oe tidak mengejar. Ia tidak tahu isterinya terluka
atau tidak, maka itu ia lari kepada isterinya itu untuk melihat,
tetapi tidak demikian dengan Kang Lam, dia ini lari mengejar
Kim Jit Sian sambil berteriak-teriak, antaranya dia menteriaki:
"Bangsat tangan panjang, bayar pulang pedangnya kakakku!
Jikalau tidak, bakal aku beri rasa padamu!"
Selagi Keng Thian dibikin heran dengan keberaniannya Kim
Jit Sian merampas pedangnya Yu Peng, ia dibikin heran pula
dengan keberanian Kang Lam si kacung. Pikirnya:
"Mungkinkah Kang Lam sudah kalap" Kenapa dia begini tidak
tahu diri, berani dia mengejar Kim Jit Sian?"
Keng Thian pun tidak dapat membantu Kang Lam. Mereka
terpisah kira-kira setengah lie. Tidak ada jalan lain, ia memikir
untuk menggunai Thiansan Sinbong, senjata rahasianya yang
istimewa. Sementara itu Kang Lam sudah mendahului. Dia
menjemput sepotong batu, dia menimpuk Kim Jit Sian sambil
dia berseru: "Lihat senjataku!"
Keng Thian bertambah heran, ia menjadi kagum.
"Baru beberapa tahun tidak bertemu, nyata ilmu silatnya
Kang Lam maju pesat sekali!" katanya didalam hati.
"Hanyalah, mana dapat dia menimpuk jitu pada orang Hwee
itu"..."
Meski ia memikir demikian, ia toh sudah lantas menyerang
dengan Thiansan Sinbong yang ia telah siapkan dengan cepat.
Senjata itu dipakai menimpuk belakangan tetapi saking
liehaynya pemiliknya, melesatnya melombai batunya Kang
Lam, tibanya terlebih dulu daripada batu itu.
Kim Jit Sian mendapat tahu serangan senjata rahasia, ia
menangkis ke belakang. Tepat tang-kisannya, toyanya
membuat senjata Keng Thian terpukul terpental tinggi, hingga
jatuhnya lama daripada semestinya. Hanya sementara itu,
batunya Kang Lam juga sampai pada sasarannya. Dalam
sibuknya, si orang asing menangkis pula dengan toyanya. Ia
berhasil. Tetapi aneh batu Kang Lam, batu itu terhajar melesat
justeru mengenai dengkul orang!
Kim Jit Sian terkejut, tubuhnya terhuyung, dengkulnya
tertekuk, terus dia berlutut!
Keng Thian menyaksikan kejadian itu, ia heran bukan main.
Thiansan Sinbong liehay tetapi gagal, siapa tahu, batu yang
berhasil, dan batu pun ditimpuki Kang Lam si binal dan
Jenaka! Kang Lam segera terdengar suaranya nyaring: "Kau lihat,
kau masih berani menghina aku atau tidak!-Hm! Hm! Apakah
kau kira sudah cukup kau menjalankan ini kehormatan besar"
Tidak! Lekas bayar pulang pedangnya kakakku'"
Kim Jit Sian mendongkol bukan main. Ia merayap bangun.
Justeru itu Kang Lam berlompat kepadanya. Dalam murkanya,
ia menyambut dengan kemplangan toyanya!
Keng Thian kaget sekali.
"Celaka! Celaka" serunya. Tak sempat ia menolongi.
Kang Lam mau merampas pulang pedangnya Yu Peng,
sendirinya ia membikin tubuhnya kosong tak terjaga, maka itu
berbahayalah ia, apapula penyerangnya ialah si orang Hwee
yang liehay. Toya turun ke arah batok kepala...
Dalam saat berbahaya itu, mendadak Kang Lam tertawa.
"Haha, bangsat cilik, kau masih galak?" katanya mengejek,
sebelah tangannya diangkat tinggi.
Toyanya Kim Jit Sian menyerempet turun di antara lengan
si anak muda, belum dia tahu apa-apa, pedang Yu Peng yang
berada di tangannya telah pindah ke tangan orang! Sementara
itu toya meluncur terus, maka celakalah tanah yang kena
terhajar, tanah itu sampai berlubang dan debunya
berhamburan! Kang Lam tidak berhenti sampai disitu, ia pun mengerjakan
kakinya hingga si orang Hwee terpelanting terjengkang!
Keng Thian bengong, ia sampai tak mau percaya
penglihatannya sendiri.
"Apakah mataku lamur?" dia tanya dirinya. "Apakah aku
melihat salah" Benarkah ilmu silat Kang Lam sudah meningkat
ke golongan kelas satu" Benarkah dia telah melewatkan aku?"
Tengah herannya Keng Thian itu, ia mendengar suara
menggabruk. Kali ini Kang Lam yang terguling. Kembali ia
menjadi heran, walaupun di mata ahli sebagai ia, ia mesti
mengerti sebabnya itu. Dipadu dengan Kim Jit Sian, Kang Lam
kalah segalanya. Tapi dia dapat mengalahkan Kim Jit Sian,
itulah aneh. Sebaliknya, kalau Kang Lam roboh menendang
Kim Jit Sian. Itu tandanya dia kalah tenaga dalam, dengan
sendirinya dia tertolak tenaga dalam si orang Hwee. Yang
aneh ialah sesudah menang, kenapa sekarang dia pun
terjungkal"
Seharusnya, setelah Kang Lam roboh sendirinya dan Kim Jit
Sian dapat berlompat bangun dengan gerakan "Ikan gabus
meletik", ia mestinya menerjang Kang Lam guna mencari
balas. Di luar dugaan, Kim Jit Sian tidak berbuat demikian. Di
waktu ia bangun berdiri, lantas ia mengasih lihat roman
ketakutan, tanpa menoleh lagi kepada si bocah, ia kabur
sekeras-kerasnya!
Kang Lam tertawa terkakak.
"Bangsat jangkung tangan panjang, sekarang kau kenallah
Kang Lam!" demikian katanya.
Tatkala itu semua orang dari semua tenda sudah keluar
dari masing-masing tendanya, mereka dengan sendirinya
mengambil sikap mengurung. Kebetulan Kim Jit Sian
menyingkir ke arah Lie Kim Bwee dan Ciong Tian, di sebelah
selatan. Ciong Tian tahu kepandaiannya Kang Lam, melihat
Kang Lam dapat merobohkan musuh, ia turut tidak
memandang mata kepada musuh itu. Begitulah ia maju
dengan pedangnya, buat merintangi. Kesudahannya, ia kaget
tak terkirakan.


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kim Jit Sian menggunai toya-nya menangkis pedang Ciong
Tian, keras tangkisannya itu, si perintang kaget dan kesakitan
telapakan tangannya, pedangnya hampir lepas dari
cekalannya. Lie Kim Bwee berlompat maju, ia menyerang dengan tipu
silat "Memecah bunga, mengebut pohon yangliu". Tepat
serangannya itu, hanya ketika ujung pedang mengenai
tubuhnya Kim Jit Sian, pedang itu meluncur terus. Tak dapat
ia menahan diri, tubuhnya terjerunuk ke depan.
Kim Jit Sian melihat keadaan musuh ia mengulur tangannya
untuk membekuk tubuh si nona. Ia menggunai tangan kirinya
sedang tangan kanannya mencekal toyanya yang terangkat
naik. Di Tibet dimana ia menjagoi, Kim Jit Sian terkenal sebagai
hantu, walaupun demikian, dialah seorang angkuh, dia
memegang kehormatan dirinya, maka dia sungkan menghajar
seorang wanita muda. Maka dia memikir untuk membekuk Lie
Kim Bwee, agar nona itu dapat dijadikan barang tanggungan,
guna menjamin keselamatan dirinya. Dia ingin dapat lolos dari
kepungan itu. Tong Keng Thian melihat bahaya mengancam Lie Kim
Bwee, ia lantas menyusul. Ia terpisah belasan tombak jauhnya
dari si nona. Justeru ia lari mendatangi, Kim Jit Sian justeru
mengenali ialah orang yang tadi menyerangnya dengan
Thiansan Sinbong. Orang Hwee ini lantas melepaskan Nona
Lie, sebaliknya, dengan toyanya ia menyambuti orang she
Tong itu, untuk dihajar secara hebat.
Keng Thian menangkis dengan tipu silat "Mengangkat obor
membakar langit". Kedua senjata bentrok, suaranya nyaring.
Pedang Yuliong Kiam pedang mustika, biasanya pelbagai
senjata putus atau sapat jikalau bentrok dengannya, tetapi
toya si orang Hwee kuat sekali, toya itu tak terkutungkan.
"Heran!" kata Keng Thian. Jadi orang liehay ilmu silatnya
dan tangguh senjatanya. Ia menarik pulang pedangnya, ia
menyerang dengan tangan kosong.
Kim Jit Sian berani, ia pun menangkis dengan tangan
kosong. Hebat bentrokan mereka itu. Kim Jit Sian terhuyung
mundur tiga tombak, dan Tong Keng Thian sempoyongan
enam tujuh tindak.
Begitu ia berdiri tegar, Tong Keng Thian lantas memeriksa
pedangnya. Hatinya lega tatkala ia mendapat kenyataan
senjatanya itu tidak rusak.
Di pihak sana, Kim Jit Sian terdengar berkata: "Tuan,
adakah kau ciangbunjin muda dari Thiansan Pay" Sungguh
liehay ilmu silatmu, aku kagum, aku kagum! Berhubung tuantuan
semua telah memenuhkan janji dengan tepat maka Tuan
Beng telah menitahkan aku menyampaikan kepada tuan-tuan,
andaikata perlayanan kami tidak sempurna, kami minta
sukalah diberi maaf!"
Suara itu nyaring sekali, bagaikan suara logam dipalu,
rasanya menusuk masuk ke dalam telinga, sedang di lembahlembah
terdengar kumandangnya. Cepat luar biasa, tubuh Kim
Jit Sian, merupakan seperti bayangan, sudah menyingkir
hingga di lereng gunung!
Keng Thian terkejut.
"Oh, kiranya dialah pesuruhnya Beng Sin Thong!" kata dia
di dalam hati. "Hantu tua itu benar-benar luar biasa, tak
kecewa dia mendapat nama besar! Dia berhasil mendapatkan
orang kosen luar biasa sebagai pesuruh!"
Tengah orang she Tong ini berpikir itu, mendadak ia
mendengar siulan lama dari Phang Lim, yang tubuhnya
berlompat melewati ia bagaikan terbang melayang, sebab
nyonya itu telah menggunai ilmu ringan tubuhnya yang paling
mahir, hingga terlihat tegas dia jauh terlebih liehay daripada
Kim Jit Sian. Dengan bergeraknya Phang Lim itu, semua orang lainnya
lantas menghentikan tindakan mereka untuk mengejar Kim Jit
Sian. "Lihat, bibi lebih keras hatinya daripada anak-anak muda!"
berkata Pengcoan Thianlie, tertawa pada suaminya.
"Sebenarnya tak perlunya bibi menyusul orang Hwee itu..."
Bidadari dari Sungai Es ini menyangka, karena
kegembiraannya, Phang Lim ingin menguji sendiri
kepandaiannya Kim Jit Sian.
Tapi Tong Keng Thian, yang mengawasi Phang Lim itu,
mendadak berseru: "Eh, eh, lihat!"
Nyatanya bergeraknya Phang Lim itu ke arah yang
berlainan dari arahnya Kim Jit Sian, jikalau si orang Hwee
menyingkir ke puncak timur, si nyonya ke sebelah barat
dimana segera dia menghilang. Puncak barat itu mempunyai
pohon-pohon yang lebat.
Sementara itu suami isteri Tan Thian Oe dan Yu Peng
sudah menghampirkan Tong Keng Thian semua, untuk
memberi hormat dan menghaturkan terima kasih, setelah
mana Keng Thian menanyakan tentang hal ikhwal mereka.
"Kami datang memenuhkan undangan Co Kim Jie," Thian
Oe memberitahu. "Orang tadi menyambut kami dengan dia
memperkenalkan diri sebagai pesuruh dari Beng Sin Thong,
hanya entah kenapa, begitu melihat Kang Lam, air mukanya
berubah, terus saja dia menjambak tubuh Kang Lam, maka
itu, dia jadi bentrok dengan kami."
Ketika itu, dengan napas memburu, Kang Lam pun tiba di
antara mereka. Ia membawa pedangnya Yu Peng dan
memulanginya, kepada nyonya muda itu. Ia tertawa geli
ketika ia berkata: "Orang tadi liehay sekali! Aku telah
mendupak dia tapi aku yang terpental mundur hingga aku
rasai sakit pantatku!... Tapi biar bagaimana, dialah yang rugi
lebih banyak, dari itu robohku, berharga jua!--Hm. Di
belakang hari, dia pasti tidak berani menghina pula aku! Haha,
Tong Tayhiap, tidak kusangka disini kita dapat bertemu!
Sebenarnya sudah beberapa tahun kita berpisah!"
Tong Keng Thian tertawa. Senang ia dengan bocah jenaka
itu. "Kang Lam, mari!" katanya.
"Ada pengajaran apakah, tayhiap?" tanya anak itu.
"Kang Lam, ilmu silatmu bagus sekali!" Keng Thian memuji.
Ia mengulur tangannya, untuk berjabatan dengan pemuda itu,
ia menggunai tenaga dalam dari tiga sampai lima bagian.
"Aduh" Kang Lam menjerit kesakitan. Dia meringis.
Keng Thian lekas-lekas melepaskan tangannya, ia heran
sekali. "Tong Tayhiap," kata Kang Lam, "mengapa kau pencet
tanganku?"
"Aku mencoba tenagamu!" sahut Keng Thian tertawa.
"Hendak aku memberi selamat padamu! Aku tidak sangka,
baru lewat beberapa tahun, kau telah berubah seperti menjadi
seorang lain! Dengan kemajuanmu cara begini, tak usah
sampai sepuluh tahun, kau mesti bakal masuk dalam kalangan
kelas satu!"
Di mulut Keng Thian memuji, di hati ia heran. Memang
Kang Lam maju pesat, baru dengan tenaga lima bagian, ia
membuatnya orang kesakitan, tetapi itu bukannya kemajuan
yang berarti dia dapat mengalahkan Kim Jit Sian, sedang Kim
Jit Sian hampir berimbang dengannya.
"Eh, Kang Lam," kemudian ia tanya, "lantaran apa orang
Hwee itu mendadak menyerang kau?"
"Tak lain tak bukan, itulah garagara Kim Tayhiap!" sahut si
anak muda. "Tahun dulu bangsat jangkung bertangan panjang
itu serta beberapa hantu lainnya telah menguber-uber Chong
Leng Siangjin, mereka bertemu dengan Kim Tayhiap, lantas
kedua pihak bertempur, disitu mereka dilabrak Kim Tayhiap.
Tatkala itu aku berada bersama. Ilmu silatku pun Kim Tayhiap
yang mengajarnya. Bangsat tangan panjang itu tak berdaya
apa-apa! Sekarang dia melihat aku, rupanya dia ingat
kekalahannya dulu hari itu, maka dia hendak melampiaskan
kemendongkolannya atas diriku ."
"Kang Lam," Keng Thian tanya pula, "dengan cara apa kau
mengalahkan dia barusan?"
Selagi orang berbicara Tan Thian Oe terus mengawasi. Ia
pun tak mengerti rupanya.
Sebelumnya menjawab, Kang Lam tertawa pula, jenaka
lagaknya. "Aku juga tak tahu!" sahutnya. "Dia menghina aku! Kamu
tahu tabiatku, aku kalah dilawan lunak tapi, tak dapat dilawan
keras, maka itu siapa menghina aku, biarnya dia Raja Langit,
mesti aku lawannya! Meski aku kalah, aku mesti lawan juga!
Aku menghabiskan semua tenaga dan kebisaanku
melawannya! Demikianlah aku merobohkan dia!"
Habis berkata, Kang Lam menepuk-nepuk tubuhnya,
menggibriki pakaiannya. Dia bicara enak saja, sangat polos,
urusan demikian berbahaya dia pandang biasa. Tan Thian Oe
heran. "Kang Lam," katanya "kali ini kau menang karena kau
beruntung! Lain kali tak dapat kau tak tahu diri seperti
sekarang ini! Kau tahu, kau membuat permainan jiwamu!"
"Ya, ya," sahut Kang Lam berulang kali. Pada wajahnya,
nampak dia tidak puas.
Lantas Tong Keng Thian ingat peristiwa di istananya.
"Apakah tak mungkin ada orang membantu dia secara
diam-diam?" ia menduga-duga. Ia mau menanya pula, ketika
mendadak Kang Lam menanya: "Apakah benar Kim Tayhiap
telah menutup mata?"
Ketika itu Lie Kim Bwee menghampirkan bersama Ciong
Tian. Alisnya Keng Thian mengkerut. Ia lantas mengasah otak.
Ia pun lantas menyahuti: "Bibiku bersama adik misanku telah
menemui sendiri barang peninggalannya di pulau Coato dan
dari dalam perut ikan cucut mendapatkan tongkat besinya.
Kematiannya Kim Sie Ie membuat kami sangat menyesal dan
berduka... Kejadian itu tak mungkin tak benar..."
Keng Thian sendiri, harapannya bahwa Sie le masih hidup,
sangat tipis. Selama yang belakangan ini, kemasgulan Lie Kim Bwee
nampak sedikit berkurang, dan pergaulannya dengan Ciong
Tian nampak lebih erat daripada biasanya, dari itu tak mau
Keng Thian menuturkan keragu-raguannya mengenai Sie Ie
masih hidup atau sudah mati, andaikata benar Kim Sie Ie telah
terbinasa, dengan itu ia dapat mengacaukan pula pikiran si
nona. Demikian, melihat datangnya sepasang muda-mudi itu,
ia lantas menghentikan pembicaraannya.
"Kang Lam, bagus!" kata Kim Bwee kepada orang muda itu.
"Kamu lagi membicarakan urusan apakah?"
"Tidak apa-apa!" Keng Thian menyahut, tertawa. "Kita lagi
bicara dari hal ilmu silat. Baru beberapa tahun tidak bertemu,
kemajuannya Kang Lam pesat sekali! Aku lagi memuji dia!"
"Tidak berani, tidak berani aku menerima pujian!" kata Kam
Lam tertawa. "Bahwa aku memperoleh hasil sebagaimana hari
ini, semua itu karena petunjuknya Kim Tayhiap! Ha, bicara
tentang Kim Tayhiap, aku jadi ingat satu peristiwa! Dulu hari
itu Nona Le telah menipu kau! Dia kata Kim Tayhiap sudah
pergi ke Kangsouw mencari kita, dia membuatnya kau
melakukan perjalanan jauh. Setelah itu aku memberi kisikan
pada kau. Apakah kau masih ingat" Akhirnya kau telah pergi
ke Laosan. Apakah disana kau bertemu dengan Kim Tayhiap
serta Nona Le itu" Bukankah kau telah membuktikan
kebohongannya nona itu" Hm! Nona Le itu sungguh buruk!
Maka itu suka aku memberi nasihat lain kali baiklah kau
jangan ladeni dia!"
Keng Thian menyudahi pembicaraan tadi dengan keinginan
tak menyebut-nyebut Kim Sie Ie, siapa tahu Kang Lam justeru
ngoceh dan menyebut-nyebut tentang Tokciu Hongkay.
Karena itu Thian Oe, dengan roman tak puas, berkata: "Kang
Lam, tak dapatkah kau mengurangi ocehanmu?"
Sementara itu matanya Kim Bwee telah lantas menjadi
merah. "Aku mengucap terima kasih yang kau telah mengisiki aku,"
katanya, "hanya sayang aku mendusin sesudah kasip! Ketika
aku tiba disana, tak dapal aku bertemu dengannya. Ah, untuk
selamanya tak dapat aku menemukan dia pula..."
Agaknya Kang Lam ingin bicara pula akan tetapi ia melirik
Thian Oe, melihat air muka orang, ia batal.
Lie Kim Bwee lagi berduka, tak dapat ia memperhatikan
Thian Oe dan Kang Lam itu.
Keng Thian melihat semua, ia masgul sekali. Di lain pihak,
ia tetap bercuriga, ia terus berada dalam kesangsian.
"Lihat, bibi telah kembali!" Pengcoan Thianlie memecah
kesunyian. Ia membikin perhatian menjadi tertarik ke lain
arah. Hati Thian Oe menjadi lega, diam-diam ia menarik Kang
Lam ke pinggiran, untuk memberi ingat agar dia jangan pula
menimbulkan urusan Sie Ie.
Hanya sebentar, Phang Lim telah tiba di antara mereka. Ia
nampak lesu, alisnya mengkerut. Terlihat juga dia agaknya
bercuriga, entah apa yang menyebabkannya.
"Apakah bangsat tangan panjang itu tak tercandak?" Kang
Lam tanya. Ia tidak memperhatikan bahwa Phang Lim
mengejar orang ke arah yang bertentangan.
"Hm!" terdengar suara dingin dari Nyonya she Phang itu.
"Apakah kau kira si tangan panjang itu berharga untuk aku
mengejarnya?"
Kang Lam melengak. Itulah jawaban yang ia tidak duga.
"Bukankah ada musuh yang liehay yang bersembunyi?"
Keng Thian tanya.
"Entah!" sahut Phang Lim, suaranya bernada
kemendongkolan. "Melihat setan! Melihat setan! Sudahlah, tak
usah tanya lagi banyak-banyak!..."
Biasanya Phang Lim jenaka, gembira dan doyan guyon,
senantiasa ia tertawa manis, akan tetapi sekarang ia pendiam,
bahkan ia tak senang hati. Sikap luar biasa itu menimbulkan
herannya Keng Thian. Meski begitu, dia ini tidak mau menanya
apa-apa pula. Sikapnya Phang Lim itu tak dapat orang terka. Di antara
merela, si nyonyalah yang ilmu silatnya paling liehay, yang
matanya paling awas, tepat di saat Kang Lam mengejar Kim
Jit Sian, beda daripada yang lainnya, ia justeru melihat suatu
bayangan orang di puncak sebelah barat itu, bahkan
potongannya seperti potongannya Kim Sie Ie, akan tetapi
ketika ia sudah mengejar, hingga ia melewati dua puncak, ia
tidak berhasil mendapatkan bayangan itu. Herannya ia bahkan
dibikin terpeleset batu di tengah jalan sampai hampir ia jatuh
memegang tanah. Ia yang demikian liehay, tak seharusnya ia


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat diganggu sepotong batu, kalau toh itu telah terjadi,
justeru ia lagi lan. Justeru ada batu menggelinding ke kakinya,
hingga tak dapat dicegah lagi ia kena menginjaknya. Ia
menduga ada orang yang mengganggunya tetapi ia tidak
berani menerka orang itu ialah Kim Sie Ie. Maka itu ia kembali
dengan tangan kosong, pikirannya pepat. Ia berduka dan
bercuriga tak keruan...
Semenjak itu, keadaan tenang tak ada lagi gangguan dari
pihak orangnya Beng Sin Thong. Beberapa hari lewat tanpa
terjadi sesuatu.
Rombongannya Phang Lim ini tiba di Binsan tanggal tiga
belas Bulan tiga, maka itu hari pertemuan Bang dijanjikan,
ialah ulang tahun wafatnya Tokpie Sinnie, tinggal dua hari
lagi. Co Kim Jie, ketua Binsan Pay, dengan mengajak semua
anggauta partainya sampai pada generasi ketiga, keluar
menyambut. Ek Tiong Bouw, dengan kaki kiri dingklukdingkluk,
dengan dibantu sebatang tongkat, turut menyambut
dengan ia berdiri di belakang Kim Jie, si suci atau kakak
seperguruan. Habis kedua pihak mengunjuk hormat dan bicara
selayaknya orang yang baru bertemu, Keng Thian lantas
bicara dengan Ek Tiong Bouw.
"Kabarnya Ek Pangcu terluka di tangannya si hantu, apakah
sekarang pangcu sudah tidak menderita lebih jauh?" tanyanya.
"Umpama kata hawa dingin yang mengeram di dalam tubuh
masih belum lenyap semuanya, pel Pekleng Tan dari partai
kami dapat juga melenyapkan sedikit. Baiklah pangcu
mencobanya."
Keng Thian tahu Tiong Bouw jujur, mereka berdua pun
bersahabat erat, dari itu ia berani menawarkan obatnya itu,
coba terhadap Co Kim Jie, ia pasti sungkan.
"Terima kasih, siauwciang-bun," kata Tiong Bouw tertawa
meringis. "Kecuali kaki kiriku ini, semua anggauta lainnya
sudah sembuh. Siulo Imsat Kang dari orang she Beng itu
benar-benar liehay, aku cuma terkebut satu kali, lantas aku
mesti rebah sakit tiga bulan, baru aku dapat bangun dari
pembaringan! Sekarang hawa dinginnya sudah lenyap semua.
Jikalau pel Pekleng Tan dari siauw-ciangbun ada kelebihannya,
mari bagi barang dua butir kepada Han Ciangbun."
Dengan "Han Ciangbun", ketua she Han, Tiong Bouw
maksudkan Han In Ciauw dari partai Cengshia Pay. In Ciauw
itu berbareng satu hari dengannya terhajar Beng Sin Thong,
tetapi dia masih belum dapat bergerak dengan leluasa, hingga
untuk mendaki gunung Binsan, dia mesti digotong atas tandu.
Keng Thian heran, hingga ia berpikir: "Han In Ciauw ialah
satu di antara lima jago tertua kaum Rimba Persilatan di
Tionggoan, dia mestinya lebih mahir tenaga dalamnya
dibanding dengan Ek Tiong Bouw, kenapa sekarang justeru
Tiong Bouw yang sembuh terlebih dahulu?" Tetapi ia tidak
mau menanyakan apa-apa lekas-lekas ia menyerahkan dua
butir obatnya kepada Siauw Ceng Hong supaya obat itu lantas
dibawa ke dalam guna diberikan kepada Han In Ciauw.
Sementara itu Phang Lim berpikir sendiri: "Siulo Imsat Kang
dari Beng Sin Thong masih belum berhasil meminta jiwanya
Ek Tiong Bouw, sedang orang bilang Beng Sin Thong telah
mencapai tingkat ke sembilan, mungkin berita itu tak benar
seluruhnya..." Oleh karena ini, timbul pula kebesaran nyalinya
yang membikin dia bangga akan kegagahan dirinya.
Lie Kim Bwee diam-diam melirik, ia mengedipi ibunya
Setelah orang pada berduduk, Phang Lim lantas tanya Co
Kim Jie kalau-kalau anggauta-anggauta Binsan Pay, yang
terdiri dari tujuh cabang, telah datang semuanya. Ditanya
begitu, Kim Jie tercengang sejenak. Adalah aturan kaum
Rimba Persilatan, tak selayaknya orang luar menanyakan
halnya suatu partai secara demikian. Tapi Phang Lim
berimbang usianya dengan ianya dan tingkat derajatnya jauh
terlebih tinggi, ia tidak dapat mengutarakan rasa tak puasnya.
Phang Lim ini bersama kakaknya, Phang Eng, dan Lu Su
Nio, ialah yang disebut Kangouw Sam Liehiap, tiga jago wanita
kaum Kangouw, cuma mereka berdua memanggil kouwkouw
atau bibi pada Lu Su Nio.
"Semua sudah datang," ia menyahut, terpaksa. "Ada
apakah maka locianpwce menanyakan itu?"
"Tidak apa-apa!" menjawab Phang Lim tertawa. "Aku
melainkan hendak menanyakan kau halnya satu orang..."
"Siapakah dia?"
"Kabarnya Kouwkouw Lu Su Nio telah mengambil seorang
murid, apakah murid itu telah datang juga?"
Itulah Kok Cie Hoa yang ditanyakan, yang tak dapat hilang
dari ingatannya Lie Kim Bwee, maka tadi nona itu melirik
ibunya dan ibunya ini segera menanyakan halnya Nona Kok
itu. Kim Bwee menduga Cie Hoa turut datang, ia jadi ingin
menemuinya, tetapi ia kecewa sebab di antara para hadirin ia
tidak melihat sahabatnya itu. Ia sendiri tidak leluasa
menanyakannya, maka ia minta bantuan ibunya. Selama di
tengah jalan ia juga sudah bicara pada ibunya hal Cie Hoa,
maka itu, melihat anaknya melirik dan mengedip, Phang Lim
lantas ingat muridnya Lu Su Nio itu.
Co Kim Jie jengah karena pertanyaan itu, karenanya tak
dapat ia segera memberikan jawabannya. Dengan
menyeringai ia kata: "Murid itu, lantaran asal-usulnya tidak
jelas, dengan persetujuan suara terbanyak, telah dikeluarkan
dari partai kami."
Phang Lim berlagak heran dan kaget.
"Orang semacam Lu Su Nio, mana dapat dia menerima
murid yang tidak jelas asal-usulnya?" katanya.
Kim Jie terdesak, terpaksa ia bicara lebih banyak.
"Biarlah aku bicara dengan sebenar-benarnya," katanya.
"Dialah anak perempuannya Beng Sin Thong si pengacau yang
menerbitkan huru-hara Rimba Persilatan ini, hingga kita mesti
berkumpul menempurnya..."
"Oh, begitu!" kata Phang Lim. "Tapi, mengenai diri dia itu,
apakah dia pernah melanggar aturan partai, atau dia pernah
membantu ayahnya?"
"Semua itu belum pernah," sahut Kim Jie. Dia mesti omong
sebenarnya. "Urusan partai kamu, tak ada hak aku mencampurinya,"
berkata Phang Lim kemudian, "hanya mengenai Kok Cie Hoa,
ingin aku bicara juga sedikit. Dialah muridnya Lu Su Nio,
dialah ahli waris satu-satunya, dan dia juga tidak pernah
melanggar aturan, maka itu Co Toanio, keputusan kau ini
sedikit terlalu keras."
Mukanya Co Kim Jie menjadi merah.
"Perkaranya Kok Cie Hoa itu diputuskan oleh umum, dia
telah diusir di depan kuburan Couwsu kami," ia berkata,
"maka itu kecuali di belakang hari dia berbuat jasa terhadap
partai, sama sekali tidak ada jalan untuk menarik pulang
keputusan dan pemecatan itu!"
"Aku justeru hendak melaporkan sesuatu kepada suci,"
berkata Ek Tiong Bouw, yang sedari tadi diam saja mendengar
pembicaraan kedua nyonya itu. "Aku telah terhindar dari
bahaya hebat ini disebabkan aku mengambil kepada
kefaedahannya Siauwyang Hiankang. Itu..."
"Aku sudah tahu!" Co Kim Jie memegat. Dia agaknya
mendongkol. "Sekarang selagi musuh liehay berada di
hadapan kita, segala urusan partai baik dibicarakan
belakangan nanti!" Ia hening sejenak, baru ia meneruskan:
"Mungkin sikapku sedikit keras tetapi aku tidak melanggar
aturan partai kita dan terhadap semua anggauta aku tidak
berat sebelah, siapa berjasa, tak akan aku melupakannya.
Urusan itu baik kita bicarakan nanti, dengan kita mengadakan
rapat besar, sekarang jangan kau bicarakan banyak-banyak!"
Ketika dulu hari Kok Cie Hoa berangkat pergi karena ia
diusir Co Kim Jie, ia telah menyerahkan pada ketua Binsan Pay
itu tiga jilid kitab Siauwyang Hian Kang karangan gurunya, dan
Co Kim Jie membuatkan tiga bocah salinannya yang diberikan
kepada tiga anggauta Binsan Pay, ketiga adik seperguruannya
yang ilmu silatnya paling tinggi, di antaranya Ek Tiong Bouw.
Maka Tiong Bouw tidak menderita lama dari serangan Siulo
Imsat Kang, ia sembuh dalam tempo setengah tahun.
Karena itu ia hendak menyadarkan si ketua tentang jasanya
Cie Hoa itu, apa mau Kim Jie tetap bersikap keras maka
terpaksa ia menutup mulut.
Setelah mengalihkan perhatian, Kim Jie lantas
memperkenalkan Phang Lim semua pada pelbagai ketua partai
yang telah tiba terlebih dulu, seperti Kim Kong Taysu dari
Ngobie Pay, Lui Cin Cu dari Butong Pay, Ouw Thian Long dari
Khongtong Pay dan Sien ln To wakil ketua Cengshia Pay.
Kim Kong Taysu terhitung kepala dari Bulim Ngoloo, lima
tertua Rimba Persilatan. Dia termasuk satu golongan dengan
Moh Coan Seng dan Lu Su Nio. Maka itu dibanding dengan
Phang Lim, dia masih terlebih tua tingkat derajatnya. Sien In
To ialah adik seperguruan dari Han In Ciauw, ia bukan salah
satu dari Bulim Ngoloo, akan tetapi mengenai ilmu silat, ia tak
di bawahan kakak seperguruannya, Han ln Ciauw, dari itu
selama sang kakak seperguruan atau ketuanya sakit, ia yang
mewakilkannya. Di antara partai-partai yang memenuhkan undangan Binsan
Pay, Cengshia Pay yang mengirim wakil, atau murid-muridnya,
yang terbesar jumlahnya. Sebaliknya yang usianya tinggi ialah
Ouw Thian Long dari Khongtong Pay. Dia sudah berumur
delapan puluh lebih tetapi dia masih sehat dan segar sekali,
dia melebihkan yang lain-lainnya. Ilmu silatnya pun berasal
dari Tibet. Untuk partainya, dialah yang paling pandai. Untuk
orang luar, dia tak diketahui jelas.
Lui Cin Cu dari Butong Pay menjadi murid kepala dari Moh
Coan Seng, dia pandai bekerja, maka di bawah pimpinannya,
partainya itu memperoleh kemajuan, tambah hari tambah
makmur. Habis perkenalan itu, Co Kim Jie berkata pula: "Masih ada
lagi tetamu-tetamu kami yaitu Tong Sian Siangjin, tiangloo
dari Siauwlim Sie, bersama Pun Khong Siangjin, kamsie kuil
itu, yang mungkin bakal tiba disini besok."
Mendengar itu Ouw Thian Long tertawa.
"Kalau begitu pertemuan ini suatu pertemuan langka yang
belum pernah ada semenjak seratus tahun yang lalu!"
katanya. "Semua orang pandai dari pelbagai partai bakal
berkumpul menjadi satu! Aku rasa meski tambah lagi dua
Beng Sin Thong, mereka tak usahlah dibuat kuatir!"
Kata-kata itu bukan kata-kata wajar, itu dapat diartikan
bahwa Co Kim Jie sengaja membuat urusan kecil menjadi
urusan besar. Ketua Khongtong Pay itu belum tahu halnya
Beng Sin Thong. Sebaliknya Ek Tiong Bouw, Sien In To dan
lainnya, masih belum tenang hatinya. Lantaran Ouw Thian
Long berusia lanjut, Ek Tiong Bouw tidak berani mengatakan
apa-apa. Besoknya lagi datang pula rombongan murid pelbagai
partai, hingga jumlah semua yang telah tiba lima ratus orang
lebih, hingga untuk menempatkan mereka mesti dibangun
belasan gubuk di luar kuil. Di dalam kuil untuk pelbagai ketua
partai dan mereka yang terhitung liehay. Di dalam keadaan
ramai itu, murid-murid pelbagai partai berkelompok di antara
sahabat atau kenalan-kenalannya masing-masing, atau
mereka berkenalan satu dengan lain.
Lui Cin Cu diam-diam telah mengunjungi Pengcoan
Thianlie. Itulah disebabkan si Bidadari dari Sungai Es menjadi
anak perempuan dari Kui Hoa Seng, seorang Butong Pay dari
kalangan tertua, dan si nyonya sendiri termasuk orang
kalangan tertua partainya.10'
Tong Keng Thian bersama Tan Thian Oe, di waktu
magribnya, sudah menjenguk kuburan Tokpie Sinnie dimana
mereka berjalan mundar-mandir. Kesitu pun datang orangorang
lainnya. Maka itu Keng Thian lantas mendengar suaranya Kang
Lam, yang bicara dengan seorang wanita. Ketika dicari tahu,
nyata dia lagi pasang omong dengan Yo Liu Ceng dan
puterinya. Yo Liu Ceng itu, seperti diketahui, ada anak perempuannya
Tiat-ciang Sintan Yo Tiong Eng, sedang Yo Tiong Eng pada
empat puluh tahun dulu menjadi guru ayahnya Keng Thian,
maka itu Keng Thian lantas menghampirkan nyonya itu untuk
menanyakan kesehatannya.
Ketika itu Kang Lam, secara bangga, hingga ia tertawa tak
hentinya, menuturkan pada Yo Liu Ceng dan Cee Ciang Hee
perihal pertempurannya melawan Kim Jit Sian. Agaknya ia
merasa sangat puas.
"Aku tidak percaya!" kata Nona Cee tertawa. "Bukankah
kau menyebut si bangsat jangkung bertangan panjang" Kalau
Thiansan Sinbong dari Tong Tayhiap tidak dapat melukai dia,
mana bisa kau merobohkannya?"
"Jikalau kau tidak percaya, kau tanyalah Tong Tayhiap!"
Kang Lam berkeras. "Kali ini Kang Lam tidak lagi mengepul!"
Tong Keng Thian tertawa.
"Memang Kang Lam sekarang bukannya Kang Lam dulu,"
katanya. "Ciang Hee, tak dapat kau memandang enteng
padanya!" Kata-kata ini menjelaskan bahwa Kang Lam benar tidak lagi
mengepul! Kang Lam girang, lebih-lebih Nona Ciang Hee.
"Bagus!" berkata si nona, nyaring, tangannya menarik
tangan si anak muda. "Kiranya selama beberapa tahun ini kau
telah meyakinkan ilmu silatmu secara diam-diam hingga kau
herhasil secara begini luar biasa! Mengapa kau tidak memberi
sedikit warta juga padaku" Coba bilang, dengan tipu silat apa
kau merobohkan bangsat bertangan panjang itu" Coba kau
bersilat di lapangan itu!"
Kang Lam menjadi kacung tetapi hal itu tidak menjadi
halangan bagi Ciang Hee untuk menyukai dia, hingga mereka
berdua menjadi sahabat-sahabat kekal. Yo Liu Ceng tidak
bergembira atas bersahabatnya anak-anak itu, baru kemudian
sikapnya berubah, ialah ketika Kang Lam dibantu secara diamdiam
oleh Kim Sie le sudah membantu dia memukul mundur
musuhnya. Hanya, untuk ia mengambil mantu pada kacung
itu, ia masih kurang penuju. Tapi sekarang, mendengar
penjelasan Keng Thian itu, berubah lagi pandangannya.
Pikirnya, "Benar juga, seorang gagah, tak usah diambil mumat
asal-usulnya tinggi atau rendah, asal anakku suka, biarlah dia
membawa kesukaannya!"
"Apakah Cee Peehu baik?" kemudian Keng Thian tanya.


Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik!" sahut Nyonya Cee. "Di rumah tidak ada orang, kami
minta dia yang menjaga rumah, kami datang berdua.
Bagaimana dengan ayahmu?"
"Terima kasih, baik!" sahut Keng Thian. "Ayah menyuruh
Sepasang Pedang Iblis 6 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Kisah Pedang Bersatu Padu 18

Cari Blog Ini