Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 16
ketua Butong Pay itu menjadi bagaikan kehabisan tenaga.
Sampai disitu, Yang Cek Hu tak mengulangi serangannya.
Dia bahkan lompat mundur.
"Lui Tayciangbun, apakah pertandingan ini hendak
dilanjuti?" dia tanya, tertawa.
Lui Cin Cu tidak menjawab, mukanya menjadi pucat, ia
terus melemparkan pedangnya dan mengundurkan diri. Inilah
sebab ia merasakan hawa dingin yang seperti membikin beku
darahnya, hingga tak dapat ia memegangi terus pedangnya
yang telah menjadi sangat dingin. Memegang pedang lebih
lama ia tidak sanggup, apalagi mesti bertempur pula. Maka
itu, malu atau tidak, ia mesti menyerah.
Yang Cek Hu sudah menang akan tetapi dia tidak mau
lantas mengundurkan diri. Dia berdiri tegak di tengah
gelanggang, dia kata nyaring: "Butong Pay sudah runtuh
seluruhnya, maka itu apa masih ada lain-lain ciangbunjin yang
hendak mencoba-coba Siulo Imsat Kang-ku ini?"
Lui Cin Cu baru saja tiba di luar kalangan tatkala ia
mendengar suara orang yang sangat menghina partainya itu,
selain mukanya menjadi sangat pucat seperti muka mayat, ia
lantas muntahkan darah hidup dan tubuhnya limbung
terhuyung! Tong Sian Siangjin bersama Kim Kong Taysu berlompat dari
kursi mereka, untuk mempepayang rekan itu.
Tubuhnya Lui Cin Cu bergemetar saking dinginnya, ketika
ia merasakan cekalan kedua rekannya itu, lantas hawa hangat
tersalurkan ke tubuhnya. Ia segera mencoba mengerahkan
tenaga dalamnya. Maka itu, dengan lekas, ia merasa lebih
ringan. Tapi, dengan muka merah ia kata: "Hari ini Butong Pay
menerima malu besar, sebagai ketuanya, aku malu turut
campur lagi urusan disini..."
"Inilah kekalahan di satu waktu, jangan pikirkan," Tong
Sian Siangjin menghibur. "Saudara Lui, silahkan tenteramkan
hatimu, kau beristirahat dulu!"
Baru saja tertua Butong Pay itu habis berkata begitu, lalu
terdengar suara yang nyaring tetapi halus: "Siapa berani
memandang enteng kepada Butong Pay kami" Disini masih
ada orang Butong Pay! Sekarang juga aku ingin belajar kenal
dengan Siulo Imsat Kang!"
Segera orang melihat orang yang mengeluarkan kata-kata
itu, ialah seorang wanita muda yang cantik, yang lantas
bertindak ke dalam gelanggang, sabar tindakannya.
Ialah Pengcoan Thianlie! Nyonya muda yang cantik dan
gagah ini menarik perhatiannya seluruh hadirin. Sebab dialah
puteri dari negeri Nepal, dia juga tiangloo, tertua, dari Butong
Pay, dan dia pula menantu dari Tee-it Kiamkek Tong Siauw
Lan. Pribadinya sendiri pun menarik perhatian umum, karena
dia sangat cantik. Ketika dia bertindak maju itu, dengan
tindakan perlahan dan tenang dia mencekal pedang inti esnya.
Pihak Butong Pay girang dan tegang hati. Girang sebab
majunya si nyonya muda. Tegang sebab mereka, sedikitnya,
berkuatir juga. Musuh sangat liehay, kalau nyonya ini pun
kena dikalahkan, runtuhlah Butong Pay, malunya bukan main.
Yang Cek Hu terpengaruh kecantikan si nyonya muda, sirna
kejumawaannya. Ia memberi hormat dan kata dengan halus:
"Pemilik dari Istana Es datang kemari, pertemuan kita ini
menjadi gilang gemilang! Telah lama aku mendengar perihal
peluru es dan pedang es-mu, nyonya, sekarang aku beruntung
menemui kau, sungguh inilah akan membuka mataku!"
Pengcoan Thianlie berlaku tawar.
"Kau ingin belajar kenal, itulah tak sukar," sahutnya. "Untuk
itu tak usahlah kau mencapaikan diri untuk pergi ke Istana Es
untuk mencurinya!" Lantas ia menghunus Pengpok Hankong
Kiam, pedang inti esnya itu-pedang yang terbuat dari kemala
dingin Han-giok yang sudah ribuan tahun terpendam dalam
es. Pedang itu bercahaya terang mengkilap dan mengeluarkan
hawa yang dingin sekali.
Mau atau tidak, Yang Cek Hu menjadi heran.
"Benar aneh di kolong langit ada mustika semacam ini,"
pikirnya. "Jikalau aku berhasil memperoleh pedang ini, pasti
bukan main faedahnya untuk Siulo Imsat Kang-ku!" Ia lantas
tertawa dan kata:
"Benda mustika itu, jikalau bukan dimiliki orang yang
liehay, dapat memperbahaya diri sendiri. Itu pula sebabnya
maka dulu hari keponakan muridku sudah pergi ke Istana Es
untuk meminjamnya. Maksudnya itu tak lain tak bukan, untuk
menyampaikan pesan dari kakak seperguruanku, supaya
dengan begitu kamu, nyonya yang mulia dan suamimu, tak
usahlah sampai mendapat bahaya yang tak diingin!"
"Jikalau begitu, sungguh kau baik hati!" berkata si nyonya
cantik, yang tertawa dingin. "Kepandaianku biasa saja, tak
tepat aku memiliki pedang bagus ini, baiklah, jikalau kau
mempunyai kepandaian, kau ambillah ini!"
Matanya Yang Cek Hu terbuka lebar dan menyinarkan
cahaya. "Kau telah mengeluarkan kata-katamu, aku minta kau
jangan menyesal!" katanya, tertawa. Mendadak dia
mengeluarkan kedua tangannya, sekarang tangan kiri
diteruskan, untuk menyerang dengan Siulo Imsat Kang tingkat
ke tujuh! Jadinya dia tidak mau main tawar-tawar lagi! Selagi
begitu, tangan kanannya dilanjuti untuk menyambar pedang si
nyonya, guna dirampas!
Pengcoan Thianlie sendiri asal dari Istana Es, hawa dingin
itu tidak dapat berbuat banyak terhadapnya, cuma ketika
diserang itu, tubuhnya terhuyung, seperti kuda-kudanya kena
tergempur. Yang Cek Hu melihat tubuh orang bergoyang, ia girang
tidak kepalang. Ia menyambar terus.
Tubuh Pengcoan Thianlie bergerak lincah, ia bebas dari
sambaran itu, menyusul itu, ia mau membalas. Ia menggunai
tipu silat "Pengcoan kaytong", atau "Sungai Es buyar
membeku". Mendadak ia menyerang dengan luar biasa cepat,
seperti juga Yang Cek Hu dikurung belasan pedang, yang
sinarnya pun berkeredepan seperti halilintar dan hawanya
dingin. Sebagai ahli Siulo Imsat Kang, Yang Cek Hu tidak takut
akan hawa dingin. Ia sendiri tukang menyiarkan hawa itu.
Adalah ilmu pedang si nyonya cantik yang membikin ia repot.
Sudah diketahui, ilmu pedang itu tercipta dari peryakinan
sarinya pelbagai macam ilmu pedang Tionggoan dan Barat
menjadi satu, hingga tak dapat itu, disamakan dengan ilmu
pedangnya Lui Cin Cu. Tapi ia besar hati, ia percaya akan
kegagahannya sendiri, maka ia jadi ingin lekas-lekas
menyudahi pertempuran itu. Setelah mengalahkan ketua
Butong Pay, ia tak memandang mata kepada nyonya ini.
Lantas ia paksa merangsak. Ia mengulur tangannya. Ingin
sekali ia dapat merampas pedang mustika itu. Baru ia
merangsak itu, atau kembali ia merasakan perubahan yang
luar biasa. Pengcoan Thianlie berkelebatan di sekitar
tubuhnya, nyonya itu seperti juga salin diri menjadi belasan,
maka juga, pedangnya menikam dan memapas terlebih hebat
lagi. "Celaka!" Yang Cek Hu berseru di dalam hatinya. Baru
sekarang ia terkejut. Terpaksa ia mengubah caranya
berkelahi. Tidak lagi ia main sambar, guna merampas pedang.
Sebaliknya, ia menolak dengan kedua belah tangannya, guna
memukul mundur tubuh musuh.
Ketika ini digunai oleh Pengcoan Thianlie yang gesit, la
memisahkan diri sesudah satu kali ujung pedangnya mengenai
tubuh orang, ialah jalan darah hunbun dari Cek Hu kena
tertotok! Pedangnya Nyonya Tong Keng Thian bukan sembarang
pedang. Coba ia umpama memakai pedang Yuliong Kiam dari
suaminya, pasti sudah lawannya terluka, atau sedikitnya
tergores baret. Kali ini tidak, Yang Cek Hu tidak terluka,
sebaliknya, hawa dinginnya totokan pedang meresap ke dalam
tubuhnya. Ia lantas menggigil, seluruh tubuhnya terasa sangat
tidak nyaman. Pengcoan Thianlie berlaku sangat sebat. Menyusul itu
adalah tiga jurus lainnya, yang menyerang saling susul, yaitu
jurus-jurus "Gunung es pecah", "Sungai es meluncurkan
airnya", dan "Inti es mengeluarkan sinar".
Repot Yang Cek Hu mesti membela diri. Ia menggunai
kedua tangannya, untuk menolak pedang, ia juga lompat
berkelit kesana-sini. Syukur ia mahir dengan tipu tindakan
"Ieheng Hoanpou". Di akhirnya, ia bebas dari tiga serangan
berantai itu. Nyonya Tong Keng Thian tidak mau berhenti hanya dengan
runtunan serangannya itu saja. Ia ingin menuntut balas guna
ketua Butong Pay, yang diperhina keterlaluan. Ia melanjuti
dengan serangannya yang bertubi-tubi. Seperti juga
gelombang yang satu belum tenang, sudah menyusul ombak
yang lain, juga pedangnya menggempur pula. Dua kali ia
menghajar dengan "Es terbang berlaksa lie" dan "Seribu
gunung daun rontok". Desakan ini membuatnya kurungan
merapat, menjadi makin ciut.
Habis itu mendadak Pengcoan Thianlie berseru, halus tetapi
nyaring. Itulah semacam isyarat. Berbareng dengan itu,
sebelah tangannya terayun dan melayang. Maka lantaslah
peluru-peluru inti esnya menyambar berulang-ulang kepada
lawannya. Yang Cek Hu terkejut. Dalam repotnya itu, ia mengeluarkan
kepandaiannya menangkis atau berkelit dari serangan senjata
rahasia yang istimewa itu. Ia liehay dan gesit, tidak urung dua
biji peng-tan, atau peluru es itu, mengenai juga tubuhnya,
sedang ujung pedang menotok jalan darah hoan-tiauw. Ia
tidak roboh tapi ia dipaksa mesti mengerahkan tenaga
dalamnya guna menolong dirinya, supaya kesehatan, atau
seluruh kesegarannya, dapat dipulihkan.
Para hadirin di kedua pihak pada menyingkir jauh-jauh.
Mereka tak tahan akan hawa dingin peluru inti es serta
penolakannya Yang Cek Hu itu. Ada di antara mereka yang
menggigil. Di pihak Butong Pay, orang semua gembira, umumnya
mereka berpikir. "Pengcoan Thianlie tidak takut Siulo Imsat
Kang, dia liehay ilmu pedangnya dan mahir kepandaiannya
enteng tubuh, kelihatannya kali ini kita bakal menang." Karena
ini juga ada yang memikir, kalau Yang Cek Hu cuma kosen
sampai disitu, Beng Sin Thong tentulah tak terlalu banyak
bedanya. Tentu sekali mereka tidak tahu, di samping Siulo
Imsat Kang, Beng Sin Thong telah memiliki beberapa
kepandaian, yang tak dipunyai orang lain. Beng Sin Thong
sudah berhasil mempelajari separuh dari kepandaiannya Kiauw
Pak Beng seperti apa yang termuat dalam kitab rahasianya,
dan Yang Cek Hu cuma baru diajari sebagian kecil sekali.
Yang Cek Hu mesti memikir keras karena tak dapat ia
merobohkan Pengcoan Thianlie dengan "Pekkhong ciang",
pukulan "Tangan Di Udara", atau pukulan kosong, sedang
Siulo Imsat Kang tak mempan terhadap puteri Nepal itu, yang
biasa hidup di Istana Es yang dingin. Ia lagi berpikir itu ketika
ia mendengar suara suheng-nya, yang bicara dengan ilmu
Thiantun Toan-im, katanya: "Bertindak dengan Thianlo pou,
menyambar dengan Imyang jiauw, lalu Pekkhong ciang!"
Inilah tepat dengan apa yang ia baru ingat, yang ia sangsi
menggunakannya sebab ia masih belum paham betul.
Mendengar kisikan kakak seperguruan itu, ia kata dalam
hatinya: "Suheng bermata liehay, pastilah ia telah melihat
kelemahan pihak sana. Baiklah aku menurut..."
Selagi ia mengambil keputusan itu, lagi dua kali Cek Hu
terkena pedangnya Pengcoan Thianlie, maka tanpa bersangsi
lagi, ia bertindak seperti ajaran suheng-nya.
Pengcoan Thianlie puas yang ia sudah berhasil dengan
pelbagai tikamannya, ia lantas menikam pula. Tapi kali ini ia
menjadi heran. Begitu ia menikam, begitu lawan lolos,
lawannya itu lenyap dari depannya, terus dia berada di
belakangnya. Ia memutar tubuhnya sembari menabas. Lagi ia
tak peroleh hasil. Cek Hu dapat berkelit pula.
Itulah hebatnya tindakan Thianlo pou, yang cepat
gerakannya, yang menuruti garis-garis Patkwa, hingga
tindakan itu lebih menang, daripada "Coanhoa jiauwsie", ilmu
"Menembusi bunga, mengitari pohon". Siapa paham itu, dia
dapat melayani musuh yang sepuluh lipat lebih liehay ilmu
silatnya. Sesudah beberapa kali gagal menikam, Pengcoan Thianlie
menjadi panas hati. Ketika ia menyerang pula, ia menjejak
tanah berlompat tinggi, serangannya pun dengan jurus
"Huipauw liu-coan", atau "Air tumpah terbang", la percaya ia
bakal berhasil. Tidak tahunya, ia gagal pula!
Bahkan kali ini, Yang Cek Hu sudah menggunai ilmunya
yang kedua. Dia tidak berkelit, dia malah dengan berani
mengulur tangannya, guna memapaki pedangnya si nyonya,
untuk disambar, guna dirampas. Itulah sambaran "Imyang
jiauw" seperti diajari Beng Sin Thong. Sambaran itu sambaran
Kimna ciu, Tangan Menangkap, tapi bukanlah tangkapan
seperti kepandaian kebanyakan ahli silat. Dengan begitu,
tangan Cek Hu seperti ada tenaga mengisapnya.
Pengcoan Thianlie terkejut. Ialah wanita, bahkan ia seorang
puteri! Mana dapat tubuhnya dipegang sembarang lelaki"
Mungkin serangannya akan berhasil tapi ia sendiri tentunya
bakal kena tercekal lawan. Maka itu dengan lekas ia menarik
pulang pedangnya sambil ia berlompat mundur. Untuk ini, kaki
kirinya dipakai menjejak kaki kanannya. Meski demikian, ujung
bajunya kena juga tersambar Yang Cek Hu, hingga ujung baju
itu robek. Yang Cek Hu tidak berhenti sampai disini, terus ia berbalik
menyerang. Pengcoan Thianlie menjadi terdesak. Ia menjadi serba
salah. Kalau ia mendesak pula, bisa-bisa ia dijambak
musuhnya. Saking terpaksa, ia bersiasat membela diri. Dengan
begitu dengan sendirinya ialah yang sekarang kena dikurung
lawannya. Tapi ia berpikir: "Ingin aku lihat, dengan tangan
kosong, bagaimana kau dapat menyerang aku..."
Yang Cek Hu cerdik, setelah mengurung itu, ia tidak mau
terburu napsu nerobos masuk. Ia sekarang berlaku lincah dan
garang dengan kedua tipu silatnya itu, tindakan Thianlo pou
dan sambaran imyang-jiauw ditambah dengan Pekkhong
ciang, pukulan udara kosong. Ialah sambil mengurung, kalau
ia gagal dengan sambaran Imyang jiauw, ia menyerang pula
dengan Pekkhong ciang.
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Celaka!" pikir Pengcoan Thianlie. Ia kaget dan berkuatir.
Pukulan udara kosong dari Yang Cek Hu berbahaya untuknya.
Ia jeri untuk Imyang jiauw, sekarang ia diancam Pekkhong
ciang. Selagi bingung itu, ia memikir tak ada lain jalan
daripada mundur. Ia percaya tidak nanti musuh dapat
merintangi ia keluar dari gelanggang, meski dengan begitu
ialah yang terhitung kalah...
Hebat Thianlo pou dari Yang Cek Hu. Kecuali dapat dipakai
untuk menjaga, ilmu itu juga bisa digunakan untuk memegat.
Ketika Cek Hu melihat gelagat si nyonya mau menyingkir, ia
lantas menerka. Lantas ia membentak: "Kau mau menyingkir"
Gampang! Kau tinggalkanlah pedangmu!" Dan tubuhnya
mencelat ke arah kemana si nyonya mau nerobos keluar,
tangannya diulur untuk menyambar dengan Imyang jauw!
Pengcoan Thianlie tidak sudi kasih tubuhnya kena diraba, ia
berkelit, ia menyingkir ke lain arah, akan tetapi dengan tak
kalah cepatnya, Yang Cek Hu kembali sudah menghadang di
depannya. Jadi tepatlah itu nama "Thianlo pou" dari ilmu
kepandaiannya Yang Cek Hu. Ilmu itu pun berarti "tindakan
jala langit". Maka si nyonya seperti terkurung jala.
Sekarang lain lagi perasaan pihak Butong Pay. Semua
orang melihat si nyonya cantik terancam bahaya. Lui Cin Cu
menjadi pucat parasnya. Ia sudah pikir, kalau Pengcoan
Thianlie kalah, ia mau ajak semua kawannya mengangkat kaki
saja... Pengcoan Thianlie menjadi bingung. Kalau Yang Cek Hu
terus mengurung dan mendesak, paling lama ia akan dapat
bertahan setengah jam lagi. ia bakal kehabisan tenaga.
Justeru begitu, tiba-tiba telinganya mendengar suara yang ia
kenal, perlahan: "Bertindak ke garis kian, mutar ke kedudukan
soan, lantas hajar kupingnya dengan pengpok sintan!" Ia
tercengang. Ketika itu, Yang Cek Hu justeru berada di
belakangnya, dalam garis kun, untuk menyerang padanya.
Itulah ajaran yang bertentangan dengan pemikirannya. Tapi
suara itu ia kenal baik, suara itu pun bersifat memerintah...
"Biarlah!" pikirnya. Tak ada tempo untuk berpikir lama. Ia
lantas bergerak menurut ajaran itu. Ia berkelit ke garis kian,
terus ia memutar ke kedudukan soan, dan begitu memutar
tubuh, begitu ia menimpuk dengan tiga biji peluru es!
Tepat si nyonya bertindak, tepat Yang Cek Hu muncul di
kedudukan cin. Tak sempat dia berdaya. Sebutir peluru
menghajar telinganya, hingga dia kaget dan gelagapan,
menyusul mana, dua butir yang lain menghajar kedua
telinganya bergantian, mengenai jalan darah hunhian. Maka
tak ampun pula, dia berdiri diam laksana patung batu, dalam
sikap: Sebelah tangan terangkat, dalam gerakan hendak
menyerang, dan kakinya diangkat, seperti lagi bertindak.
Kedua matanya dibuka tajam, seperti lagi mengawasi musuh.
Keadaannya itu aneh dan jenaka...
Baru sekarang si nyonya lega hatinya, hingga ia tertawa.
"Bagus ya!" katanya. "Apakah kau masih ingin merampas
pedangku ini?" Ia mengulapkan pedangnya di muka lawannya
itu. Yang Cek Hu mengawasi tanpa berkedip, la sebenarnya
mempunyai semacam ilmu sesat, karena mana, ia tak dapat
ditotok kecuali di telinganya. Sekarang ia terhajar tiga kali,
terkena jalan darah hunhian, maka serangannya si nyonya
menjadi berlebihan.
Kejadian itu membikin tercengang para hadirin dari kedua
belah pihak. Perubahan demikian cepat hingga orang tak
dapat memikirnya. Pihak Beng Sin Thong heran akan tetapi
mereka bungkam.
"Baiklah!" kata pula si nyonya. "Kau tidak menghendaki
pedangku, aku mau pergi!"
Baru Pengcoan Thianlie jalan dua tindak, atau ia
mendengar bentakan mengguntur dari Beng Sin Thong:
"Tahan!"
Si nyonya melengak, tapi segera ia berkata: "Keng Thian,
kau tolongi menalangi aku sebabak ini!" Ia menduga Beng Sin
Thong mau membalas sakit hati adik seperguruannya, ia tidak
sudi melayani. Ia memang berhak untuk menolak.
Habis membentak itu, Beng Sin Thong lantas menyapu ke
segala penjuru, terus ia mengerahkan tenaga dalamnya, untuk
berkata dengan pertanyaannya: "Orang pandai siapa telah
datang kemari" Maaf, aku si orang she Beng sudah tak
menyambut secara selayaknya!" Pertanyaan itu keras dan
menggetarkan telinga, hingga semua orang yang
mendengarnya menjadi terperanjat lantaran kaget dan heran.
Semua orang mementang mata, mengawasi jago she Beng
itu, lalu ke sekitarnya. Semua ingin melihat jago siapa itu yang
dimaksudkan Sin Thong.
Habis suara yang nyaring itu, sunyi seluruhnya. Orang
menanti dengan sia-sia, hingga orang menjadi heran.
Beberapa orang lantas bicara kasak-kusuk, satu pada lain
saling menanya. Bahkan Ouw Thian Long kata sambil
berguyon: "Beng Sin Thong melihat hantu di siang hari! Mana
ada orang liehay datang kemari" Kalau benar ada, dia tak
akan lolos dari mataku yang liehay!"
Beng Sin Thong tidak memperdulikan keragu-raguan orang
banyak itu. Dia berkata pula tak kurang nyaringnya: "Tuan,
kepandaian kau barusan kepandaian yang sangat liehay! Kau
mempunyai kepandaian, kau sudah datang kemari menentang
aku, kenapa kau main sembunyi-sembunyi" Kenapa kau tidak
berani perlihatkan mukamu?"
Dari heran, pihak Butong menjadi mendongkol, malah Lui
Cin Cu, yang panas hatinya, berkata keras: "Fui! Muka tebal!
Apakah kau hendak menyangkal kekalahanmu babak ini?"
Memang juga semua hadirin heran, kecuali Pengcoan
Thianlie seorang. Semua orang kata dalam hatinya: "Jelas
sekali kekalahannya Yang Cek Hu! Mana ada orang yang
pandai yang membantui secara diam-diam kepada si nyonya"
Mustahilkah mata kita semua buta?"
Beng Sin Thong tidak menggubris Lui Cin Cu. Dia
memandang Pengcoan Thianlie, dia kata: "Kita semua orang
Rimba Persilatan berkenamaan, kita tidak suka omong dusta!
Bukankah barusan ada orang yang memberi kisikan rahasia
kepadamu?"
Pengcoan Thianlie jujur, belum pernah dia mendusta.
Memang ia sendiri tengah keheranan. Atas pertanyaan itu, ia
menjawab terus-terang: "Tidak salah! Hanyalah aku belum
mendapat memastikan dia siapa!"
Nyonya ini pun tidak menyangsikan kematiannya Kim Sie
Ie. Bukankah Phang Lim yang telah membawa warta pasti" Ia
merasa suara tadi suaranya Kim Sie Ie, tetapi orangnya tidak
muncul, ia jadi tidak berani memastikan.
Juga Beng Sin Thong menyangka Kim Sie Ie tapi ia pun
ragu-ragu. Jawaban puteri Nepal itu mengherankan semua orang. Jadi
benar nyonya ini ada yang membantui secara rahasia!
Sekarang mereka heran memikirkan siapa itu orang pandai
yang membantu secara diam-diam itu. Sekarang mereka tak
mengherani Beng Sin Thong lagi, bahkan mereka
mengaguminya sebab Beng Sin Thong mendapat tahu ada
lawannya yang menyembunyikan diri itu.
Beng Sin Thong tertawa dingin, sikapnya sangat menghina.
"Co Kim Jie, apa katamu?" dia tanya ketua Binsan Pay.
Nyonya itu bingung, hingga tak dapat ia segera menjawab.
Tong Keng Thian berbangkit, sikapnya tenang.
"Beng Sin Thong!" ia kata, "untuk apakah sikapmu ini"
Bukankah kau sendiri tadi, selama dua babak, sudah
memberikan kisikan Thian-tun Toan-im pada pihakmu" Untuk
itu, Lui Ciangbun dari Butong Pay belum membuat
perhitungan denganmu! Jikalau kau tidak puas dengan
kekalahan adik seperguruanmu ini, pasti ketua Butong Pay
juga tidak puas! Jikalau kita membuat perhitungan, karena
kedua-dua pihak ada yang mengisiki, maka kau masih kalah
satu babak!"
Mendengar itu, naik darahnya Lui Cin Cu.
"Bagus ya!" dia berseru. "Jadinya kau main gila, setan alas"
Pantas aku kalah secara heran sekali!"
Sengaja Lui Cin Cu berkata besar demikian. Sebenarnya,
tanpa Yang Cek Hu dikisiki Beng Sin Thong, dia mesti kalah,
cuma kalahnya tak demikian cepat.
"Hm!" bersuara Beng Sin Thong, yang tetap tidak mau
melayani ketua Butong Pay itu. Sebaliknya, ia heran terhadap
Tong Keng Thian. Ia kata dalam hati kecilnya: "Kenapa dia
tahu tentang Thiantun toan-im dari aku?" Ia menyangkal, ia
kata berlagak pilon: "Apa itu Thiantun toan-im" Apakah kau
dengar aku mengisiki apa?"
Keng Thian ketahui tentang Thiantun toan-im dari
pendengaran saja. Ia mendapat tahu itu dari Tong Sian
Siangjin. Sendirinya ia belum pernah melihat ilmu itu. Kim
Kong Taysu dan Tong Sian Siangjin sendiri belum tahu juga,
bahkan mereka tidak mendengar suaranya Beng Sin Thong
tadi, Keng Thian berkata demikian karena sekian lama itu ia
selalu mengawasi Beng Sin Thong dan melihat orang
berkelemik-kelemik, hingga ia menjadi menerka. Ia cerdik, ia
tidak kasih dirinya didesak.
"Kita orang-orang berkenamaan, jangan kita omong dusta!"
ia berkata, tertawa. "Apapula kau, kau seorang guru besar,
kau mesti pegang derajatmu! Apakah yang kau katakan tadi"
Kau tahu sendiri! Aku tahu juga! Dan sutee-mu ketahui baik
sekali! Mungkin masih ada lain orang yang turut
mendengarnya! Kau tanyalah dirimu sendiri, benar atau tidak
kau sudah menggunai ilmu Thiantun Toan-im! Apakah mesti
aku yang membilanginya?"
Beng Sin Thong kena didesak. Ia menjadi bungkam. Maka
ia menghampirkan Yang Cek Hu, guna menolong
membebaskan totokan atas diri sutee itu. Habis itu barulah ia
membuka matanya dan kata: "Apakah kau kira aku
berpandangan cupat" Apakah kau hendak menyangkal
kesudahannya babak pertempuran isterimu ini" Memang
isterimu liehay, baik ilmu pedangnya maupun ilmunya ringan
tubuh, begitupun kepandaiannya melepas senjata rahasia!
Hanyalah, tanpa kisikan itu, tidak nanti dia memperoleh
kemenangan! Tapi dia sudah menang, aku tidak mau
menyangkal!"
Dengan kata-kata itu, Beng Sin Thong mau bikin dia benar
seorang guru besar yang menghargai kehormatan diri.
Sampai disitu, orang menyangka urusan sudah habis. Tapi
hanya berhenti sebentar, Beng Sin Thong sudah membuka
pula mulutnya. "Aku bukan merewelkan soal menang atau kalah!" katanya.
"Kamu mempunyai pembantu di luar kalangan, yang bekerja
secara menggelap, itulah tak selayaknya! Tak dapat tidak, dia
mesti disuruh muncul disini! Nanti aku turun sendiri, untuk
melayani dia!"
Inilah soal sulit untuk Butong Pay atau Binsan Pay, buat
semua hadirin di pihak lawan. Kemana Co Kim Jie mesti cari
pembantunya itu"
Kang Lam pun heran. Dia berpikir: "Kenapa Kim Tayhiap
dapat bersabar sampai begini" Terang sudah bangsat tua she
Beng ini menantangnya, cuma dia belum disebut langsung
namanya..."
Kang Lam ini tidak tahu bahwa Kim Sie Ie, setelah
mengeram diri tiga tahun di pulau sepi sunyi, untuk
mempelajari separuh kitab rahasia, sudah berubah tabiatnya,
sedang dia pun mempunyai sebab-sebabnya untuk tidak
segera memperlihatkan diri.
Masih Beng Sin Thong mengulangi tantangannya, setelah
tiga kali dia tetap tidak memperoleh jawaban, dia menjadi
sangat gusar, dia kata pada Co Kim Jie: "Tetapi ini tempatmu,
kau sudah menyembunyikan orang, maka aku cuma mau
berhitungan denganmu!"
Sementara itu, Tong Keng Thian juga sudah menduga
kepada Kim Sie Ie, ia hanya heran hingga, seperti Kang Lam,
ia berpikir: "Sampai saat ini dia masih belum mau keluar,
apakah benar tabiatnya msih belum berubah, hingga urusan
ini dia memandangnya secara guyon?" Sekarang ini lain
kesannya Keng Thian terhadap Sie Ie, karena ia tidak
memandang lagi orang sebagai musuh, hanya sebagai
sahabat. Beng Sin Thong tidak memperoleh jawaban dari Co Kim Jie,
yang membungkam, dia lantas lompat ke arah depan nyonya
itu. Ketika itu Pengcoan Thianlie masih belum mundur dari
gelanggang, dia lewat di samping si nyonya. Mendadak dia
kata: "Baiklah! Co Kim Jie tidak mau bicara, aku bekuk kau
saja! Sebentar baru aku tanya padanya! - Hm! Apakah kau
tidak mau secara baik-baik menyerahkan pedangmu" Apakah
kau hendak turun tangan terhadap aku?"
Beng Sin Thong mengambil sikapnya ini karena sekarang
sangkaannya sudah matang, la menduga Kim Sie Ie, tapi ia
bersangsi, setelah membebaskan totokan atas dirinya Yang
Cek Hu, kesangsiannya itu lenyap. Inilah sebab ia mendapat
kenyataan lawan bisa memecahkan pembelaan diri"
penutupan jalan darah-dari Yang Cek Hu itu. Ia kata dalam
hatinya: "Mungkin ada lain orang yang mengerti Thiantun
Toan-im! Tidak mungkin mengenai ilmu menutup jalan
darahku ini " ilmu Kun-goan Cinkhie Piehiat hoat! Itulah ilmu
yang aku peroleh dari kitab warisannya Kiauw Pak Beng.
Memang Yang Sutee belum sempurna mempelajarinya tapi
apa yang ia bisa itu, tidak sembarang orang dapat
memecahkannya! Kecuali orang itu pernah mempelajari kitab
rahasianya Kiauw Pak Beng! Siapa orang itu kalau dia
bukannya Kim Sie Ie?"
Ketika itu hari di atas pulau Beng Sin Thong dan Kim Sie Ie
memperebuti kitab rahasia warisannya Kiauw Pak Beng,
Mereka memperoleh masing-masing sepa-ruhnya. Kim Sie Ie
mendapatkan bagian atas, dan Beng Sin Thong bagian bawah.
Bagian atas itu memuat pelbagai teori istimewa. Bagian bawah
memuat pelajaran melawan musuh, antaranya Siulo Imsat
Kang. Kim Sie le tidak bisa Siulo Imsat Kang tapi ia mengerti
jelas tentang ilmu itu, yang tak dapat dipecahkan tapi bisa
ditangkis. Ringkasnya, kedua bagian pelajarannya Kiauw Pak Beng
itu, ada hubungannya tapi seperti tidak, kalau dikatakan tidak,
dapat saling mempengaruhi. Itulah sebab yang membikin Sin
Thong jeri terhadap Sie Ie. Kalau Sie Ie masih hidup, tidak
dapat ia menjagoi!
Beng Sin Thong tahu baik hubungan apa ada di antara Kim
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sie Ie dan Pengcoan Thianlie, maka itu dia ingin menahan si
nyonya, guna memaksa Sie Ie muncul. Maka juga, batal
menghadapi terus pada Co Kim Jie, dia menghadang di depan
nyonya Keng Thian. Dia bertindak dengan Thianlo pou, untuk
menghalang-halangi orang menyingkir.
Tong Keng Thian terkejut melihat orang mencegah
isterinya, sambil berseru ia lompat maju.
Beng Sin Thong tidak menanti sampainya suami si nyonya
itu, ia sudah lantas menyambar.
Pengcoan Thianlie tidak diam saja, ia melawan dengan
timpukan peluru inti esnya, bahkan beruntun ia menimpuk
tujuh kali terus menerus.
Beng Sin Thong liehay luar biasa. Dia mementang mulutnya
lebar-lebar, untuk menanggapi semua peluru es itu, untuk
ditelan. Kalau Yang Cek Hu terkena itu menjadi beku seluruh
tubuhnya, jago tua ini sebaliknya, dia malah menjadi tambah
kuat. Dia tertawa lebar dan kata: "Bagus! Bagus! Inilah
melebihkan khasiatnya pil Sipeoan Taypouw Tan!"
Beng Sin Thong benar. Dia sudah mencapai Siulo Imsat
Kang tingkat sembilan, tingkat terakhir, es istimewa itu
membikin ia tambah kuat tenaga dalamnya!
Pengcoan Thianlie terperanjat, ia lompat untuk menyingkir,
tapi Beng Sin Thong tidak mau sudah, dia lompat sambil
mengulur tangannya, guna menyambar pula!
Berbareng dengan itu, di udara terdengar satu suara
mengaung, lalu tertampak satu sinar berkilau dan emas hitam,
yang datang menyambar!
Itulah Thiansan Sinbong, pelurunya Tong Keng Thian.
Itulah senjata rahasia, yang bersama pedang Yuliong Kiam,
yang membikin Leng Bwee Hong, jago generasi kedua dari
Thiansan Pay, dapat menjagoi. Maka itu, melihat senjata itu,
Beng Sin Thong pun terkejut. Ia kata dalam hatinya: "Kalau
Tong Siauw Lan ada disini, dia dapat menjadi musuh berat
bagiku..." la membatalkan sambarannya kepada Pengcoan
Thianlie, ia menarik pulang tangannya, guna menyentil jatuh
sinbong-nya Keng Thian itu. Meski begitu ia merasa jari
tangannya kesemutan dan kaku!
Tong Sian Siangjin lantas maju ke muka.
"Jikalau ada bicara, mari kita bicara dengan cara baik!" ia
kata sabar tapi nadanya keren. "Kenapa mesti mempersulit
segala anak muda..."
Beng Sin Thong ketahui pendeta itu pendeta suci, ia pun
mesti menghormati dirinya, maka ia melepaskan Pengcoan
Thianlie. Ia kata: "Baiklah, jikalau Siangjin menaruh belas
kasihan terhadapnya. Sekarang aku mau tanya Co Kim Jie
saja, untuk minta orang dari dianya!"
"Kau keliru, Beng Sianseng!" berkata Tong Sian Siangjin
sabar. "Turut pikiran loolap, taruh kata benar disini ada orang
liehay yang menyembunyikan diri, dia bukanlah orang yang
diundang Co Ciangbun! Sianseng sendiri tidak dapat mencari
orang itu, kenapa sianseng memaksakan atas diri si nyonya?"
Kim Kong Taysu juga turut bicara, katanya: "Mungkin orang
liehay itu orang yang gemar bergurau! Dia mungkin melihat
Beng Sianseng memberi kisikan kepada sutee-mu, dia menjadi
tangan gatal, dia meniru sepak terjang sianseng, dia pun
mengasih lihat kepandaiannya itu! Karena dia liehay, tidak
mungkin dia penakut, karena itu tepatlah kalau Beng Sianseng
menantang padanya. Orang liehay sekarang ini tidak seberapa
gelintir, Beng Sianseng sangat liehay, mesti sianseng dapat
menerka dia siapa! Kenapa sekarang sianseng justeru
memperbesar urusan kecil?"
Baru pendeta itu berkata demikian, atau Kang Lam
memperlihatkan kepalanya di antara orang banyak
rombongannya, sembari tertawa menyeringai, dia herkata:
"Kata-kata Taysu pantaslah ditambahkan kata-kata
mengacau!"
Beng Sin Thong gusar bukan main. Orang kata dia
memperbesar urusan kecil, sedang di matanya, urusan
penting sekali. Ejekannya Kang Lam menambah kegusarannya
itu. "Kamu kata urusan kecil dibikin besar dan aku mengacau?"
dia berseru. "Baiklah, sengaja aku mengacau! Hendak aku
menghajar Co Kim Jie dengan tiga ratus rangketan! Dia sudah
melanggar aturan pertempuran! Kenapa dia membiarkan lain
orang datang kemari dan memusuhkan aku secara
menggelap" Mungkin dia itu bukan orang undangannya toh
dia sudah bersalah kurang periksa! Dia harus bertanggung
jawab!" "Ah, Beng Sianseng, mengapa kau berkeras begini"..."
berkata Kim Kong Taysu.
Tapi dia dipotong Beng Sin Thong, yang membentak:
"Siapa tidak puas, mari dia bicara dengan aku! Memangnya
aku telah melepas kata bahwa aku hendak menempur kamu
kepala pelbagai
partai!" Co Kim Jie menggigil saking gusarnya.
"Angin busuk!" dia membentak. "Kau kira aku Co Kim Jie
orang macam apa" Cara bagaimana kau berani membuka
mulut mengeluarkan kata-kata kotor?"
"Apakah kau menganggap kaulah ketua Binsan Pay yang
harus dihormati?" tanya Beng Sin Thong. "Di mataku, kau tak
berharga sepeser buta!-Cek Hu, Siauw Hong, Mari, kau
bekuklah dia!"
Dalam murkanya, Beng Sin Thong maju, tangannya
dipentang. Beberapa orang, yang berada di dekatnya,
terpelanting karenanya.
Kim Kong Taysu menjadi habis sabar.
"Beng Sianseng, marilah kita berdua main-main!" ia kata,
terpaksa. Pendeta ini bicara sambil duduk, dia terpisahkan sedikit
jauh dari Sin Thong, yang maju terus, maka kembali dia
menyampok roboh beberapa orang, la menyampok, bukannya
menyerang, ia hanya mau bertindak maju.
Tiba-tiba: "Siauw Beng, loohu berada disini, jangan kau begini kurang
ajar!" Itulah kata tiba-tiba, disusul oleh orangnya, yang berlompat
maju dari samping sambil terus menyerang.
Beng Sin Thong gusar. Ia dipanggil "Siauw Beng", artinya si
Beng yang kecil atau muda. Sebaliknya orang itu menyebut
diri "loohu", si orang tua. Tak senang ia dipermainkan. Maka,
tanpa melihat tegas siapa orang itu, dia mendamprat:
"Makhluk apa itu yang berani menyebut dirinya si orang tua?"
Ia lantas menyampok dengan "Ciam-ie Sippat Tiat", sampokan
"Delapan belas kali melanggar baju". Tapi ia mendapat
perlawanan keras. Tangan bajunya kena dibikin membrebet
pecah! la menyampok sia-sia, ia gagal! Maka ia menjadi
bertambah mendongkol, dengan lantas dia menggunai Siulo
Imsat Kang! Orang yang maju itu, seorang tua, ialah Ouw Thian Long,
tiangloo atau ketua dari Khongtong Pay. Dia sudah berumur
delapan puluh tahun lebih, kepandaiannya meng gabung
kepandaian kaum lurus dan sesat. Memang tabiatnya dia suka
bertingkah sebagai si orang tua. Dia hadir di medan
pertempuran ini dengan hatinya mendongkol. Itulah sebab
orang sudah tidak memilih dia sebagai ketua pertemuan. Maka
dia muncul mendahului Kim Kong Taysu. Dia pikir baiklah dia
mempertontonkan kepandaiannya. Dia pun pikir tepat kalau
dia berbahasai "loohu" dan memanggil "Siauw Beng"! Tentu
sekali dia menjadi bertambah mendongkol mendapatkan Beng
Sin Thong tidak memandang mata padanya. Dia memang
liehay, tidak heran kalau dia dapat menjambret pecah ujung
bajunya jago Siulo Imsat Kang itu. Sebaliknya, dia terkejut
ketika dia merasakan hawa dingin. Syukur dia mempunyai
kepandaian "Thianlo pou" dan "Kuchong Pa-in Sin-hoat", maka
ia bisa menyelamatkan dirinya. "Kuchong pa-in" itu ialah ilmu
"Kura-kura sembunyi, macan tutul menjumput". Toh dia
terhuyung mundur!
Yang Cek Hu tengah maju, dia jadi bersomplokan dengan
jago Khongtong Pay itu. Dia gusar, dia menggunai pundaknya.
Cek Hu mau menyambar, ia kalah cepat, maka ia terbentur
hingga terguling!
Hebat Siulo Imsat Kang Sin Thong, hawa dinginnya
membikin beberapa musuh roboh, hingga mereka itu perlu
lekas ditolong dengan dibawa menyingkir. Dengan begitu
maka disitu terbukalah suatu kalangan yang lebar tiga tombak
di sekitarnya. Beng Sin Thong gusar. Ia mendengar sutee-nya menjerit,
ia melihat sutee itu roboh akibat benturan dengan Ouw Thian
Long. Ia mendongkol sekali.
"Kiranya kau, tua bangka tidak mau mampus!" dia kata,
setelah dia melihat jago Khongtong Pay itu. "Mari, mari kau
menyambut pula!"
Benar-benar dia menyerang pula, dengan pukulan Siulo
Imsat Kang tingkat ke sembilannya!
Di saat yang genting itu, mendadak terlihat satu sinar
kuning lompat ke dalam kalangan. Segera terlihat Kim Kong
Taysu dengan jubah sucinya warna kuning.
Pendeta ini terus menggeraki kedua tangannya, untuk
menempel kedua tangan Beng Sin Thong. Dengan sabar,
dengan nada tawar, ia kata: "Beng Sianseng, guna apa kau
menjadi murka" Jikalau kau hendak mencari orang untuk
main-main mengadu tangan, baiklah kau mencoba-coba
dengan loolap saja!"
Beng Sin Thong terkejut.
"Pantas dia dan Tong Sian Siangjin menjagoi Rimba
Persilatan di Tionggoan, dia memang liehay sekali, dia
sanggup bertahan dari hawa dinginku Siulo Imsat Kang!"
Kim Kong Taysu mengerahkan tenaga dalamnya, untuk
menempel terus. Ia memang mahir latihan tenaga dalamnya,
yang disebut "Cengcin Khiekang", atau "Hawa bersih jernih".
"Untuk mencari keputusan, aku membutuhkan waktu
setengah jam," pikir Sin Thong.
Ia ingin berurusan dengan Co Kim Jie, ia tidak mau
melayani lama-lama pendeta ini, maka ia mengerahkan
tenaganya, tenaga "Kimkong Poanjiak Sinkang", tenaganya
terkumpul di telapakan tangannya. Dengan itu ia menolak
tenaga menempel dari Kim Kong Taysu, sembari berbuat
begitu, ia tertawa dan kata: "Aku berterima kasih yang kau
menaruh harga kepadaku dan sudi memberikan pelajaran ini,
akan tetapi aku lagi mempunyai urusan, aku minta sukalah
kau bersabar sampai sebentar lagi! Kau setuju, bukankah?"
Kim Kong Taysu terkejut. Ia percaya kemahiran dirinya
sendiri, akan tetapi tatkala Beng Sin Thong menolak itu, ia
merasa darahnya seperti bergolak naik berbareng hawa
sangat dingin tersalur ke tangannya terus ke tubuhnya. Dalam
kaget, ia lantas memusatkan perhatiannya, dia mengumpul
semangatnya. Kedua pihak lantas memisahkan diri. Kim Kong Taysu
mundur, dan Beng Sin Thong mencelat sampai di depan
kuburannya Tokpie Sinnie!
Co Kim Jie berkumpul di depan kuburan itu bersama muridmurid
Binsan Pay sampai tingkat ketiga, maksudnya untuk
melindungi kuburan ketua mereka yang dipandang suci itu.
Ketika dia melihat tibanya Beng Sin Thong, matanya menjadi
merah. Jeri atau tidak, mesti dia mengadu jiwa. Tak mesti dia
membiarkan dirinya diperhina.
Beng Sin Thong tertawa bergolak. Dia menggeraki
tangannya dengan jurus "Cian-ie Sippat Tiat". Lantas
beberapa murid Binsan Pay, yang maju merintanginya, pada
roboh terpelanting.
"Co Kim Jie, masih saja kau bersembunyi?" dia kata,
mengejek. "Siauw Hong, mari! Kau bekuk dia!"
Disana Ek Tiong Bouw berdiri bersama-sama Co Kim Jie,
Louw Too In dan Lim Seng. Merekalah anggauta-anggauta
Binsan Pay paling liehay. Beng Sin Thong maju ke arah
mereka sambil dia membentak Co Kim Jie: "Ha, kau
bersembunyi disini! Apakah kau masih tidak mau
menggelinding keluar?"
Lantas tubuhnya berlompat, seperti elang terbang
menyambar. Tapi dia bukannya menerjang Co Kim Jie atau
lainnya, dia justeru lompat melewati mereka itu berempat,
hingga ia sampai di depan kuburannya Tokpie Sinnie. Disini
dia menyerang kepada Ang Tiong, ialah boneka batu yang
biasa ditaruh di depan kuburan di jaman dahulu sebagai
penjaga. Boneka itu berada di pinggiran kuburan, dan dia
menyerang ke arah kepalanya.
Perubahan serangan itu terjadi secara mendadak.
Sebenarnya dia mau menyerang Co Kim Jie, tetapi tiba-tiba
matanya melihat sesosok tubuh berkelebat di belakang Ang
Tiong itu. Maka dia menduga, di dalam tubuh boneka itu mesti
ada orang yang bersembunyi. Ketika dia menghajar itu, sang
boneka lantas roboh!
Segeralah jago ini melihat sesuatu yang membikin dia
tercengang. Seorang berlompat mendahului robohnya boneka.
Orang itu orang yang di luar dugaannya. Dia tercengang
hingga tak dapat dia mengulangi serangannya yang kedua
kali! Di pihak Binsan Pay orang pun pada berdiam, bahkan Co
Kim Jie mesti mementang matanya menjublak, roman
mukanya nampak luar biasa, la terkejut dan girang berbareng,
lalu ia menjadi likat sendirinya. Orang itu muncul sangat di
luar dugaannya!
"Enci Kok!" akhirnya terdengar Lie Kim Bwee berseru
memanggil "Enci Kok!"
Memang orang yang bersembunyi di dalam tubuh boneka
itu Kok Cie Hoa, murid yang dimurtadkan dari Binsan Pay,
puterinya Beng Sin Thong!
Cie Hoa mengangkat kepalanya, memandang Kim Bwee. la
tidak membuka suara tetapi sinar matanya, perubahan air
mukanya, menandakan ia mendengar panggilan nona she Lie
itu. Kemudian sinar matanya berubah arah ke arah Ben Sin
Thong, sang ayah.
Sin Thong melengak sekian lama. Akhir-akhirnya ia sadar,
heran. "Cie Hoa!" tanyanya. "Kau... kau datang kemari, mau
apakah?" Cie Hoa bertindak ke depan kuburan Tokpie Sinnie dimana
ia berdiri dengan hormat.
"Hari ini hari peringatan ulang tahun mendiang kakek guru
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan guruku," ia menyahut perlahan, "maka itu aku datang
kemari, kesatu untuk menghunjuk hormatku kepada kakek
guru dan guruku itu, kedua ialah aku memikir untuk memohon
kamu menghentikan pertempuran ini."
"Ha, kau ingin aku menyudahi urusanku?" tanya Sin Thong,
heran. Co Kim Jie pun mengetruk tanah dengan tongkatnya. Dia
sadar sekarang.
"Kok Cie Hoa," dia kata, keras, nadanya nada gusar. "Tidak
kusangka kau masih mempunyai muka untuk datang kemari.
Dan kau berani di depan kakek guru bicara begini rupa!
Bagaimana mudah mengucapkan menghentikan pertempuran!
Tahukah kau ke empat tiangloo dari Kaypang telah dicelakai
siapa" Tahukah kau ayahmu yang sangat jahat tak berampun
barusan sudah menghina siapa?"
"Suci, sabar," Ek Tiong Bouw berkata. Ia terus berpaling
kepada Beng Sin Thong, untuk meneruskan: "Jangan omong
besar! Memang urusan kita ini tak dapat disudahi dengan
begini saja! Tadi kau mencari orang liehay yang dimaksudkan
olehmu sekarang dia muncul! Dialah murid Binsan Pay yang
pada ini hari dari tahun yang sudah, disini dan di ini jam juga,
telah diusir ketua kami, diusir dari Partai kami, maka sekarang
kau mestinya ketahui baik-baik dia bukanlah orang yang
dengan cara diam-diam telah dijanjikan kami, bahwa bukan
kami yang menyuruhnya membokong pihakmu! Sekarang,
lekas kau mundur dari sini, jikalau kau tetap hendak melanjuti
pertempuran, mari kita pergi kesana, ke tempat pertempuran
barusan!" Ek Tiong Bouw mengatakan demikian karena Binsan Pay
memandang kuburan itu sebagai tempat keramat, jikalau
kuburan itu terganggu Beng Sin Thong, walaupun kejadian
Beng Sin Thong terkalahkan atau terbinasakan, mereka sudah
merasa terhina sendirinya.
Selama itu Kok Cie Hoa berdiri diam, air matanya
mengembeng hendak berjatuhan, la sangat bersusah hati.
Tidak heran jikalau ia didamprat Co Kim Jie. Tapi sekarang Ek
Tiong Bouw pun mengatakan demikian, sedang biasanya
Tiong Bouw selalu melindunginya. Ia menjadi tidak keruan
rasa, hatinya sangat tertindih. Tapi yang membikinnya
merentak hati ialah sikap kedua belah pihak, yang nampak
tetap keras, hingga ia mau percaya, pertempuran darah tak
dapat dicegah lagi. Itulah rupanya takdir atau tulisan... la
mengertak gigi, untuk menguasai diri.
Atas kata-katanya Ek Tiong Bouw, bukannya Beng Sin
Thong likat atau malu, dia justeru tertawa.
"Cie Hoa, kau dengar atau tidak?" dia kata pada anak
daranya. "Co Kim Jie tidak mengakui kau sebagai adik
seperguruannya" Maka, mau apakah kau masih hendak
membantui dia" Jangan kata mereka memangnya tak sudi
menyudahi urusan kita ini, walaupun Co Kim Jie sendiri
bertekuk lutut di depanku dan mengangguk-angguk hingga
tiga ratus kali, aku pun tak sudi menyudahinya!"
Jago ini berkata demikian karena, setelah berpikir sejenak,
tetap ia tidak mau percaya bahwa pembantu gelap dari pihak
lawan ialah gadisnya ini. Ia sudah pikir, hendak ia membekuk
dulu Co Kim Jie, baru nanti ia cari orang yang disangka itu.
Maka itu ia tidak menggubris puterinya. Bahkan dia menoleh,
dia memandang bengis kepada ketua Binsan Pay.
"Co Kim Jie!" ia membentak, "apakah kau masih tetap tidak
mau menerima dosamu" Apakah benar-benar kau
menghendaki aku turun tangan sendiri" Pendek, sekali ini aku
tidak mau main belas kasihan lagi! Akan aku membikin jiwa
kamu tak bakal lolos pula!"
Sambil berkata begitu, Sin Thong menggeraki kedua
tangannya ke arah Co Kim Jie.
Kim Jie bersama Tiong Bouw dan beberapa yang lainnya,
yang pernah mempelajari Siauwyang Sinkang, merasakan
serangan hawa sangat dingin, sampai tubuh mereka menggigil
dan gigi bercatrukan.
Belum lagi Co Kim Jie mengambil sikapnya, Kok Cie Hoa
sudah berlompat di antara mereka, menghadang di depan
Beng Sin Thong.
"Aku minta kamu suka dengar lagi beberapa kata-kataku!"
ia kata. Beng Sin Thong menarik pulang tangannya.
"Aku telah memikir cara untuk mendamaikan," Cie Hoa
berkata pula. "Hanya itu dapat dijalankan atau tidak, aku
minta sukalah kamu kedua belah pihak memikirkannya."
"Kau bicaralah, aku mau dengar," kata Sin Thong.
Cie Hoa memandang ayahnya itu.
"Kau telah mencelakai empat tiangloo dari Kaypang,"
katanya, "kau juga memaksa menghina guru besar pelbagai
partai disini, dalam hal itu semua, kaulah yang keliru!"
Beng Sin Thong mengasih dengar suara "Hm!" mendengar
ia dipersalahkan. Kalau yang bicara itu bukan gadisnya,
mungkin kepalannya sudah melayang menghancurkan batok
kepala orang. Cie Hoa tidak memperdulikan ayahnya senang atau tidak, ia
terus menoleh kepada Co Kim Jie. Ia kata: "Di dalam Rimba
Persilatan ada kata-kata yang berarti bahwa membunuh orang
itu sama mudahnya dengan menganggukkan kepala. Maka itu
aku mengharap, jikalau pihak sana dapat menginsyafi
kesalahannya, kau suka memaafkannya. Pasti sekali, mengaku
salah itu bukan hanya kata-kata kosong meminta maaf, untuk
itu aku mau minta dipenuhkan tiga syarat..."
Mukanya Sin Thong berubah menjadi guram.
"Kau menghendaki aku menghaturkan maaf" Kau ingin aku
minta ampun kepadanya?" katanya sengit. "Hm! Kau lagi
bicara dengan siapa" Kau tahu atau tidak" Sampai pada
usianya sekarang ini ayahmu belum pernah tunduk kepada
siapa juga!"
Sembari berkata, jago Siulo Imsat Kang ini mengangkat
tangannya naik dengan perlahan-lahan, akan tetapi kapan ia
melihat muka puterinya, yang air matanya mengembeng, yang
romannya demikian tenang dan sungguh-sungguh, tangannya
itu berhenti di tengah udara.
"Baiklah!" katanya. "Sekarang kau sebutkanlah semua
syarat yang kau hendak ajukan itu, aku mau dengar."
Cie Hoa tetap tenang. Ia kata: "Yang pertama-tama ialah
kau harus menghaturkan maaf kepada Ek Tiong Bouw ketua
Kaypang, kepada Co Ciangbun dari Binsan Pay, dan kepada
Han Ciangbun dari Cengshia Pay. Yang kedua ialah setelah
sekarang ini kau mengundurkan diri dari Rimba Persilatan.
Dan yang ketiga: Aku ketahui kau telah berhasil mendapatkan
kitab rahasia ilmu silat warisan Kiauw Pak Beng. Kitab itu,
selama itu masih ada di tangan kau, bakal membikin pelbagai
partai tetap tak tenang hati, sebab ada kemungkinan kau
nanti wariskan pada orang yang tidak tepat, hingga ada
kekuatiran juga di belakang hari akan terbit bencana
karenanya. Maka itu mengenai syarat yang ketiga ini, aku
minta kau menyerahkan kitab itu pada Tong Sian Siangjin dari
Siauwlim Pay sebagai orang yang paling dihormati Co Suci," ia
menambahkan pada Co Kim Jie kepada siapa ia terus
berpaling, "jikalau dia suka menerima baik dan menjalankan
tiga syarat itu, aku harap kau suka menyudahi apa yang dapat
disudahi dan mengampuni dimana bisa!"
Tentang Kiauw Pak Beng, banyak anggauta partai-partai
yang tak mendapat tahu, tetapi tidak demikian dengan ketua
mereka itu, maka itu mendengar kata-kata si nona bahwa
Beng Sin Thong telah memiliki kitab warisan jago itu, pihak
ketua itu kaget semuanya.
Co Kim Jie menjadi bingung. Ia telah melihat tegas
kegagahannya Beng Sin Thong hingga mungkin Kim Kong
Taysu dan Tong Sian Siangjin juga bukan lawan yang tepat
dari jago itu. Ia pun memikir: "Dengan tindakannya ini, Kok
Cie Hoa juga tidak menyalahi partai, maka kalau Beng Sin
Thong dapat menerima baik, tak usah pihak kita ragu-ragu
lagi, harus kita menerimanya..."
Sebenarnya untuk Co Kim Jie, disini cuma ada soal muka.
Inilah yang membuatnya berpikir keras.
Tong Sian Siangjin, yang semenjak munculnya Kok Cie Hoa
berdiam saja, merangkap kedua tangannya dan memujikan
Sang Budha, lalu dia kata: "Kata-katanya Nona Kok pantas
sekali! Maka itu, Beng Siecu, sekarang terserah kepada kau,
bencana pergi dan keselamatan datang, atau sebaliknya!"
Atas kata-katanya pendeta ini, semua mata lantas
diarahkan kepada Beng Sin Thong seorang.
Jago itu berdiam, air mukanya tenang. Ia bergusar tak
dapat mengutarakannya. Ia juga sangat bersusah hati. Syaratsyarat
yang disarankan puterinya membikin ia mesti berpikir
keras. Orang semua menantikan, orang mengharap jago ini sadar
dan menerimanya dengan baik.
Tak usah lama orang menantikan. Mendadak Beng Sin
Thong tertawa mengguntur, memekakkan telinga. Orang yang
tenaga dalamnya lemah sampai pada roboh pingsan. Habis
itu, dia menjambak rambut kepalanya sendiri.
"Bagus, ya!" ia berseru kepada Cie Hoa. "Kecewa kau
menjadi anakku! Kau... kau mau memaksakan ayahmu
mendapat malu, minta-minta ampun dari lain orang! Kau
bukan berpihak padaku hanya kepada orang luar! Tidak,
biarnya aku berdosa besar, tak mungkin aku mendapat ini
macam pembalasan!"
Cie Hoa tidak heran mendengar suara ayahnya itu. Ia
berlaku tenang dan kata: "Jikalau kau terima baik ketiga
syarat ini, akupun akan mengajukan satu syarat terhadapmu.
Inilah: Tak perduli segala kejahatanmu yang sudah-sudah, aku
tetap mengakui kau sebagai ayahku, setelah kau
mengundurkan diri, kita pergi mencari suatu tempat untuk
hidup menyendiri, disana seumurku, aku akan menemani kau,
tidak nanti aku memisahkan diri! Ayah, kau setujukah?"
Beng Sin Thong seperti kalap tapi perkataan anaknya itu
mirip cambuk peranti merotani menjinakkan binatang liar.
Segera dia menjadi berdiam pula. Bahkan sekarang pada
matanya tampak air mengembeng...
Bukankah nona di hadapannya ini anaknya yang satusatunya"
Dan anaknya ini membikin ia ingat kepada mendiang
isterinya. Lalu ia pun ingat bagaimana untuk banyak tahun ia
hidup menyendiri, merasakan kesepian kekeluargaan.
Sebenarnya ia mengharap puterinya melayaninya, untuk
mereka hidup bersama berduaan saja. Ada harganya niatnya
menjagoi ditukar dengan penghidupan yang tenang tapi
berbahagia itu...
"Baik, anak, baik, suka aku menurut kau. Seumurku inilah
yang pertama kali aku suka mendengar perkataan orang..."
demikian ia pikir. Ia tinggal membuka mulutnya, atau segera,
ia bersangsi pula. Ia seperti tak mempunyai keberanian akan
menyebutnya. Maka itu, matanya lantas bersinar tajam,
menyapu ke kelilingnya.
Cie Hoa mengawasi ayahnya itu. Ia menanti keputusan. Di
dalam hal ini ia mengharap ayahnya ingat perhubungan di
antara ayah dan anak. Hatinya lega kalau ia melihat wajah
tenang dari Sin Thong. Tapi ia lagi menanti putusan, hatinya
berdebar juga. Ia terumbang-ambing di antara kegirangan dan
kedukaan, la pikir: "Kalau dia menerima baik syaratku,
pertumpahan darah akan berhenti, biarlah aku mengikutinya.
Tak aku perduli apa kata orang luar..." Ia tahu kedudukannya
tetap sulit. Sin Thong musuh besar partainya. Mereka boleh
akur, tapi ia turut ayahnya, itu artinya ia menentang partai
sendiri. Binsan Pay menentang manusia jahat dan Sin Thong
terang dianggapnya manusia jahat itu. Karenanya tak usah ia
harap yang ia nanti dapat pulang ke dalam Binsan Pay.
Saking memikir itu, Cie Hoa lantas ingat Kim Sie Ie. la ingat
tahun sudah tepat pada ini hari, waktu ia dipecat diusir turun
dari gunung. Kim Sie Ie telah menghiburnya dengan katakata:
"Kau ialah kau! Dia ialah dia! Bukankah siapa bersih dia
tetap bersih- siapa yang kotor, tetap kotor" Lihatlah bunga
teratai, yang tumbuh di dalam lumpur! Bunga teratai tetap
bunga teratai yang bersih dan harum...! Dan sekarang, kalau
ayahnya menerima syaratnya bakal terjadi 'yang bersih tinggal
bersama yang kotor'."
"Bagaimana anggapannya Kim Sie Ie kalau ia ketahui
perbuatanku ini?" pikirnya lebih jauh.
Cie Hoa juga pernah mendengar berita kematiannya Kim
Sie Ie akan tetapi ia pula orang satu-satunya yang tak mudah
mempercayainya.
Sekarang Cie Hoa mau mengorbankan diri, asal
partainya lolos dari bahaya, supaya ia dapat merubah cara
hidup ayahnya. Tak apa ia menemani ayahnya itu seumur
hidup. Hanya sayang, percobaannya itu gagal...
Setelah berpikir, Beng Sin Thong kata tawar: "Tak dapat
aku menerima baik semua tiga syaratmu itu!"
Kalahlah ikatan ayah dengan gadisnya! Yang menang ialah
cita-cita menjagoi Rimba Persilatan!
Sin Thong menyayangi pihaknya yang unggul itu, dan ia
menyayangi juga menyerahkan kitabnya Kiauw Pak Beng yang
ia telah cari dan dapatkan dengan susah payah itu.
Cie Hoa seperti mendengar guntur meskipun ayahnya
bicara perlahan serta tercampur nada menyayang. Yang paling
penting ialah keputusannya. Ia merasa bumi bergoyang,
hingga tubuhnya hampir roboh.
"Ah, anak tolol!" kata Sin Thong tertawa melihat keadaan
puterinya itu. "Kau mempunyai ayah jago tanpa lawan,
bukankah itu terlebih baik?" Ia maju, ia menolak minggir
tubuh anaknya itu, terus ia bertindak menghampirkan Co Kim
Jie. Sambil berjalan itu, romannya muram. Tapi baru tiga
tindak, Cie Hoa sudah menyusul.
Jago itu mengerutkan kening. Ia berduka dan bersangsi.
Tiba-tiba terdengar suara pedang dicabut dari sarungnya.
Itulah Cie Hoa yang menghunus pedangnya.
"Apa" Kau hendak melawan aku?" tanya Sin Thong, tawar,
dan matanya mendelong.
Cie Hoa tidak menyahuti, hanya pedangnya ditikamkan ke
dadanya! Co Kim Jie berteriak bahna kaget.
Berbareng dengan tikaman itu, suatu sinar hijau
menyambar pedang, lantas terdengar suara yang nyaring,
terus senjata itu jatuh ke tanah. Berbareng dengan itu juga
Sin Thong mengulur kedua tangannya menyambar ke arah
puterinya!
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua itu berjalan dengan cepat sekali.
Mendadak Sin Thong merasai tolakan keras ke arahnya.
Itulah gerakannya Tong Sian Siangjin serta Kim Kong Taysu.
Kedua ketua partai ini bertindak menghampirkan Co Kim Jie
selagi Kim Jie bicara dengan Sin Thong, untuk melindunginya.
Maka itu, mereka berada dekat satu dengan lain. Melihat
sikapnya Beng Sin Thong itu, yang seperti menyerang
anaknya sendiri, keduanya lantas turun tangan.
Beng Sin Thong sempat membela diri. Dengan tangan
kanan menangkis Kim Kong Taysu, dengan tangan kiri ia
menolak Tong Sian Siangjin. Akibatnya itu ialah dua bentrokan
sangat keras. Beng Sin Thong mundur tiga tindak, dan Tong
Sian bersama Kim Kong terhuyung tubuhnya, masing-masing
menggeser ke kiri dan kanan.
Pada saat itu, Co Kim Jie sudah memondong tubuh Cie
Hoa. "Dialah anakku!" kata Sin Thong gusar. "Aku hendak
membawanya pulang! Dia mati atau dia hidup, dengan kamu
tak ada hubungannya!"
"Siancay! Siancay!" Tong Sian Siangjin memuji. "Memang
loolap tak dapat mencampur tahu urusan kamu ayah dan anak
tetapi disini ada orang yang berhak mengurusnya!" Ia lantas
berpaling kepada Co Kim Jie, untuk meneruskan berkata:
"Bukankah aku benar" Co Ciangbun, urusan ini kaulah yang
berhak menyampur tahunya!"
Kim Jie menyerahkan Cie Hoa pada salah seorang murid
wanitanya, dengan tenang tetapi sungguh-sungguh, ia lantas
berkata: "Hari ini sebagai ketua Binsan Pay hendak aku
mengumumkan! Aku menyatakan bahwa Kok Cie Hoa
semenjak hari ini sudah diterima pula di dalam Binsan Pay!"
Pengorbanan Cie Hoa itu menggedur hati sanubarinya
ketua ini, hanya sayang, kata-katanya itu tak didengar Cie
Hoa, yang tetap pingsan.
Di dalam kalangan Rimba Persilatan, ayah dan guru sama
dihargainya, akan tetapi di saat terjadinya satu perselisihan di
antara sang ayah dan sang guru, maka aturan memestikan
orang mengikut pada gurunya, kecuali dia menyatakan sendiri
meninggalkan perguruan atau partainya. Di dalam halnya Kok
Cie Hoa ini sudah jelas, semua orang mendengar tegas, untuk
menyudahi pertempuran, dia memilih ayahnya-memilih untuk
menyudahi, bukan untuk menentang partai. Sebaliknya, kalau
Beng Sin Thong menolak, ia tak bakal mengakui ayahnya itu
pula. Cie Hoa memanggil suci-- kakak seperguruan --kepada
Co Kim Jie, itu bukti terang, ia tak mau meninggalkan partai.
Pula telah terjadi, Kim Jie lantas memaklumkan menerima
kembali Cie Hoa sebagai murid Binsan Pay, maka itu, Sin
Thong tak berhak apa-apa lagi terhadap puterinya itu. Sin
Thong sudah menolak syarat anaknya.
Habis berkata itu, Tong Sian Siangjin lantas
menghampirkan Kok Cie Hoa. Mata si nona ditutup rapat,
mukanya pucat. Co Kim Jie sambil mengucurkan air mata kata: "Napasnya
seperti sudah berhenti..."
Pendeta itu memegang nadi si nona.
"Tidak, ia tidak apa-apa," katanya.
Kim Jie berdiam, ia mau percaya pendeta ini, meskipun
ketika barusan ia memondong Cie Hoa, tubuh si nona dingin
sekali. "Dia tidak apa-apa," Tong Sian Siangjin mengulangi. "Cuma
aku pun tidak berdaya membuatnya mendusin..."
"Apakah dia terkena obat pulas?" Kim Jie tanya.
Tong Sian menggeleng kepala.
"Jikalau dia terkena obat pulas, itulah mudah diurus,"
sahutnya. "Dia kena totokan yang luar biasa. Loolap cuma
mengetahui tetapi tidak berdaya..."
Cie Hoa itu terkena totokannya Sin Thong, yang menggunai
ilmu totokan "Siauwyauw Cie" yang ia peroleh dari kitabnya
Kiauw Pak Beng. Totokan itu tak membahayakan jiwa tetapi si
korban tak akan sembuh kecuali disadarkan oleh orang yang
mengerti ilmu totok itu. Sin Thong menotok anaknya tiga
sebab: Pertama supaya si anak tak dapat membunuh diri,
kedua supaya anak itu tak usah "ngoceh" terlebih lama pula,
dan ketiga, andaikata anaknya itu ditolong lain orang, orang
itu pasti tak dapat menyadarkannya.
Hati Kim Jie lega juga sedikit.
"Habis bagaimana?" ia tanya Tong Sian Siangjin.
Pendeta itu berpikir, baru ia menyahuti: "Jikalau urusan
disini telah selesai, dan loolap tidak kurang suatu apa, nanti
loolap mencoba menolong dia dengan Itcie Siankang, untuk
menyalurkan semua jalan darahnya, setelah itu dia nanti sadar
sendirinya."
"Itcie Siankang" ilmu "Sebuah Jeriji Sakti", menjadi ilmu
totok istimewa dari Siauwlim Pay, menggunainya itu harus
mengorbankan banyak tenaga dalam dan membutuhkan
tempo sedikitnya dua jam. Maka itu, selagi menghadapi
musuh, tak dapat ia membuang temponya.
Penjelasan itu menambah lega hatinya ketua Binsan Pay.
Mengingat Tong Sian begitu baik hati dan suka berkorban, ia
jengah sendirinya. Ia ingat bagaimana keras ia
memperlakukan Cie Hoa, siapa sangka nona itu tak segan
mengorbankan diri untuk perdamaian. Tong Sian dapat
mengasihani, kenapa ia tidak"
"Jikalau begitu," berkata Ek Tiong Bouw, "baiklah Cie Hoa
dibawa dulu ke wihara, supaya dia tak dirampas lagi oleh Beng
Sin Thong."
"Kau benar," Kim Jie kata. "Cuma ia perlu dikawani dua
orang yang liehay..." Ketika tadi Touw Ciauw Beng
memecahkan barisan Butong Pay, ada beberapa imam yang
terlukakan, mereka itu juga perlu disingkirkan, untuk dirawat,
mereka harus dilindungi juga.
Lie Kim Bwee diam-diam menarik tangan ibunya.
Phang Lim tertawa dan kata: "Aku tahu kau ingin
menemani enci Kok kau itu. Baiklah, mari kita sama-sama
mengantarkannya."
Tepat sekali apabila ini nyonya gagah yang pergi, karena
disitu, kegagahannya tak ada di bawahan Tong Sian Siangjin
dan Kim Kong Taysu.
Nyonya itu baru berkata itu, lantas ia menambahkan:
"Ciong Tian mari kau turut. Saudara-saudara imam itu pria
semuanya, kaulah yang meniliknya."
Alasan Phang Lim kuat, tetapi di samping itu, ia
mengandung maksud lain. Ialah ia ingin Kim Bwee didampingi
pemuda itu, supaya si muda-mudi dapat keleluasaan bergaul
bersama. Untuknya si pemuda telah dipandang sebagai
menantunya. Ciong Tian senang sekali menerima tugas itu, tak perduli ia
berat meninggalkan medan adu jiwa. Kalau pertempuran
dilanjuti, ia akan menyaksikan ilmu silatnya semua orang yang
liehay itu. Tong Sian Siangjin berpaling kepada Beng Sin Thong.
"Beng Siecu," katanya, "orang liehay yang kau cari sudah
kedapatan, orang yang mau merekoki urusan juga sudah
berbicara, maka itu bagaimana pendapat siecu sekarang"
Apakah kita harus melanjuti janji kita, untuk bertempur terus"
Beng Sin Thong berpikir cepat. Melanjuti pertempuran
berarti ia harus membekuk Co Kim Jie. Itu berarti
pertempuran bakal jadi kacau sekali. Kalau mereka tidak
memegang aturan lagi, berat ia melayani Tong Sian Siangjin
serta Kim Kong Taysu berdua. Kalau mereka bertempur
menurut aturan, lebih besar pengharapannya. Maka ia
mengangguk. Semua orang lantas kembali ke gelanggang pertempuran
tadi, semua mengambil tempatnya masing-masing. Selama itu
Beng Sin Thong mengasih lihat sikapnya yang dingin dan
keren. Sikapnya itu dapat membuat orang jeri terhadapnya. Ia
didampingi Yang Cek Hu dan Kie Siauw Hong. Tadi Cek Hu
dilukai kakinya oleh Ouw Thian Long, oleh karena itu jalannya
pincang dan romannya kucai. Siauw Hong sebaliknya gembira.
Sebab tadi selagi "kacau", diam-diam dengan kesehatannya, ia
sudah menunjuki kepandaiannya sebagai setan tangantangan,
ia mencopet barang-barang orang, di antaranya
mutiaranya Tay Tie Siansu, kembang sulam sepatunya Co Kim
Jie, ouwtiap piauw, yaitu piauw kupu-kupu istimewa dari Lou
Eng Hu, serta seruling kemala dari Lim Seng. Dialah raja
copet, matanya sangat panasan, tangannya gatal, maka
barang apa saja ia lihat dan menyukainya, tentu ia arah dan
sambar. Malah kalau ia berhasil mencopet barang orang
ternama, ia makin girang dan bangga.
Beng Sin Thong memandang muridnya itu, ia kata tawar.
"Mari obat Pouw Thian Koh!"
Siauw Hong heran hingga ia melengak, tapi ia cerdas,
segera ia pikir: "Tentu suhu maksudkan salah satu barang
yang aku copet barusan." Memang ia telah menyambar
belasan peles dan kotak obat tapi ia tak paham namanamanya.
Beng Sin Thong tidak sabaran, ia menepuk pundak
muridnya itu, maka jatuh berlarakanlah barang-barang
copetannya itu, atas mana gurunya menunjuk sebuah peles
leher panjang dan kata: "Kau ambil isinya itu, kau panasi,
lantas kau pakai mengobati paman gurumu!" Ia cuma berhenti
sejenak, ia menambahkan: "Makhluk tolol, sudah mengambil
barang orang tetapi tidak tahu khasiatnya barang!
Pengetahuan kau begini cupat, toh kau namakan dirimu
Sintauw! Lain kali kau harus minta pengajaran dari paman!"
Siauw Hong menyahuti gurunya, ia pungut peles leher
panjang itu sambil ia membungkuk. Kembali ia mengasih lihat
kepandaiannya yang istimewa. Menggunai saat membungkuk,
ia telah menjemput bersih semua barang lainnya yang
belarakan itu. Umumnya tukang copet dinamakan si "tangan tiga" tetapi
dia bertangan seribu! Dia mirip tukang sihir.
Ketika itu orang-orang yang kehilangan barang, yang baru
mendusin sesudah hasil tangannya Sintauw, Si Malaikat Copet,
berlarakan itu, menjadi pada tercengang. Ouw Thian Long
bermuka merah sebab Pouw Thian Koh itu ialah obatnya, obat
peranti menyembuhkan obat tulang patah atau keseleo. Itulah
obat menurut resepnya Biauw Sam Nio, ketua dari Khongtong
Pay. Karena obat tersohor manjur, di waktu Sin Thong baru
menyebut nama Pouw Thian Koh, orang sudah pada heran.
Melawan Yang Cek Hu, Thian Long menang, ia girang
karenanya, tapi sekarang, ia menjadi sangat malu.
Dengan perbuatannya itu, Beng Sin Thong bukan hendak
membikin orang malu. Ia pun mempunyai obat luka tapi tak
semanjur obat Thian Long, dari itu ia mau pakai Pouw Thian
Koh supaya Cek Hu sembuh dalam tempo tak setengah jam.
Selagi Siauw Hong mengobati Cek Hu, Sin Thong menegasi
muridnya itu: "Sama sekali pertempuran sudah berjalan
berapa rintasan?"
"Tujuh kali," sahut si murid. "Kesudahannya yaitu tiga
menang dan tiga kalah serta satu seri."
Guru itu mengibaskan tangan, Cek Hu dan Siauw Hong
mundur. Ia bertindak ke tengah-tengah gelanggang untuk
terus berkata nyaring: "Pertempuran sudah berjalan buat
banyak babak dan sang waktu juga sudah tidak pagi lagi,
maka itu baiklah aku si orang she Beng yang maju sekarang.
Di antara para ciangbunjin dan loosu, jikalau ada yang dapat
menangkan aku, aku segera mengalah, tetapi apabila ada
untung akulah yang menang-Haha! -maka aku mau minta janji
dipenuhkan, yaitu semua ciangbunjin harus menjadi muridku!
Bagaimana, apakah para ciangbun mau maju berbareng atau
satu demi satu, bergiliran memberi pengajaran padaku?"
Janji mereka ialah lebih dulu bertempur jago-jago kedua
pihak, kalau pihak Tong Sian Siangjin yang menang, di pihak
Beng Sin Thong ialah Beng Sin Thong yang maju paling
belakang. Menurut aturan itu, mungkin mereka membutuhkan
waktu tiga sampai lima hari, baru pertandingan akan selesai.
Tapi sekarang, rupanya Beng Sin Thong sudah habis sabar,
dia mengajukan dirinya sendiri. Pasti dia ingin mengandalkan
kepandaiannya menaklukkan semua musuh
Tong Sian Siangjin dapat menolak tantangan Sin Thong ini,
tetapi ialah orang dengan derajat tinggi, tak sudi ia main
minta-minta, maka ia berdiam saja. Ia hanya sangsi siapa
yang harus maju paling dulu. Sin Thong mengijinkan orang
main keroyok tapi ia dan Kim Kong Taysu tak menyukai cara
itu. Sebenarnya menempur bergantian saja sudah
menurunkan martabatnya.
"Beng Laotee," tiba-tiba terdengar satu suara, "aku si orang
tua tidak tahu selatan, tadi aku sudah bertempur satu kali, aku
masih kurang gembira, maka itu baiklah aku menemani kau
barang satu jurus! Bagaimana, setujukah kau?"
Penantang itu yang menyebut dirinya si orang tua, ialah
Ouw Thian Long. Ia tua mengandalkan ketuaannya, matanya
jadi tinggi, dan justeru hatinya panas, ia melupakan segala
apa dan mengajukan dirinya itu.
"Baik!" sahut Sin Thong tawar. "Ouw Tiangloo sudi
memberi pengajaran padaku, silahkan kau menunjuki
caramu!" "Sabar, tunggulah sebentar!" kata Thian Long tertawa. Ia
lantas mengeluarkan sebuah bungbung hitam mengkilap,
tangannya menekan pada ujung yang satu, maka api lantas
menyembur. Ia belum menghampirkan Beng Sin Thong, api
pun tidak menyembur lawan itu. Hanya api ia pakai membakar
tangannya sendiri!
Semua orang heran melihat dikeluarkannya bungbung,
sekarang orang menjadi terlebih heran pula, hingga ada yang
pikir: ' Kenapa orang tua ini begini aneh kelakuannya" Dia toh
yang paling tua disini'' Meski dia menggunai api, mana bisa dia
membakar Beng Sin Thong" Sekarang dia membakar
tangannya! Kenapa" Apakah perlunya?"
Ouw Thian Long melihat orang keheran-heranan, ia tertawa
dan kata sambil tertawa: "Aku si orang tua paling takut hawa
dingin, dari itu sebelum maju ke gelanggang perlu aku
menghangati tanganku ini..."
Pula heran, orang tua ini takut dingin.
Kie Siauw Hong berpikir lain lagi: "Aku sering menyaksikan
tukang sulap, yang biasa menelan golok dan memuntahkan
api, dari itu mungkin ilmunya tua bangka ini sama dengan
ilmunya tukang-tukang sulap itu! Bukankah dia sengaja
memakai api untuk menakut-nakuti orang?"
Tengah raja copet ini berpikir itu, api sudah menjadi
marong.
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Orang tua takut dingin, baik mari menghangati diri di api
yang tersedia ini!" ia kata.
"Itu lebih baik lagi!" sahut Thian Long. Ia melemparkan
apinya, yang lantas membakar nyala sebatang pohon
Siauw Hong terkejut. Hebat api itu, yang nyalanya demikian
mudah. Pengcoan Thianlie kuatir api melulahan, ia menimpuk
memadamkannya dengan sebutir peluru es.
Thian Long lantas duduk bercokol di samping perapian,
tangannya digarang.
"Nyaman! Nyaman!" katanya berulang-ulang.
Siauw Hong heran, ia melongok, kakinya bertindak, hingga
makin lama ia datang makin dekat orang yang dianggap
berkelakuan aneh itu.
Mendadak Ouw Thian Long berseru: "Hm! Bangsat cilik,
apakah kau masih ingin mencuri pula barangku?"
Berbareng itu si raja copet terpental jungkir balik, jatuh
jauhnya tiga tombak. Ia malu dan jengah sekali. Ia tidak niat
mencuri, ia hanya ingin ketahui "kepandaian" si orang tua, apa
mau tiba-tiba ia diajar adat! Sebab orang tua itu mau
menuntut balas! Ketika ia datang dekat, ia dibentur, terus
mental. Itulah tipu silat "Hoktee Sinkang" atau "Pelindung diri".
Sebenarnya tak seharusnya Thian Long kecopetan, kalau
toh tadi obatnya kena disambar Siauw Hong, itulah sebab ia
tidak sangka sama sekali di tempat demikian ada setan
tangan-tangan maka sekarang ia membalasnya. Siauw Hong
mencoba berkelit, karena itu taklah ia sampai terluka parah.
Habis itu Ouw Thian Long menarik tangannya, perlahanlahan
ia bangun berdiri.
"Beng Laotee," katanya, "tadi kita tangan menyambut
tangan aku tak gembira, bagaimana kalau sekarang kita
beradu tangan pula?" Tanpa menanti jawaban, ia menepuk
tangannya sendiri, hingga terdengar suara yang nyaring dan
terlihat apinya muncrat.
Orang heran menyaksikan kedua tangan orang merah
marong, hingga mereka mau menduga mungkin orang she
Ouw ini sudah mencapai tingkat tertinggi ilmu kebal, hingga
dia tak dapat terbakar.
Di dalam gua Niauwhong Tong di gunung Imsan, hidup
semacam ular sutera yang besar, yang suteranya lebih baik
dibanding dengan asbes untuk melawan api. Hanya sutera itu
sangat sedikit. Untuk mendapatkannya, Ouw Thian Long
mengumpulnya selama tiga puluh tiga tahun, ia membuatnya
jadi sepasang sarung tangan, yang mana dilapis pula dengan
sarung tangan emas campuran yang demikian tipis sampai
sulit untuk dilihat atau dibedakannya. Maka itu, tangannya
marong tanpa ia terbakar.
Beng Sin Thong pun heran mendapatkan tangan orang
terbakar marong itu dan menyiarkan hawa panas, hingga ia
kata dalam hatinya: "Pantas orang bilang dia berilmu luar
biasa." Ia tidak takut, ia kata: "Kau sudah menyebut caramu,
baiklah, aku terima itu. Nah, kau mulailah!"
Ouw Thian Long lantas menyerang, dengan jurus "Kuda
langit naik ke udara". Ia menggunai kedua tangannya, satu ke
dada, satu lagi ke muka. Hebat serangannya ini. Orang dapat
terluka parah atau sedikitnya kena terbakar.
Beng Sin Thong liehay tetapi ia tidak mau menangkis, tak
sudi ia bentrok tangan. Ia hanya menolak dengan hawa dingin
Siulo Imsat Kang tingkat sembilan.
Beng Sin Thong tidak mau mengadu tangan, inilah
kehendak Ouw Thian Long. Meski begitu, tolakan Sin Thong
itu membuat napasnya rada sesak, akan tetapi karena ia tidak
terancam bahaya, ia mendesak.
Jago Siulo Imsat Kang itu mempertunjuki kegesitannya, ia
lompat berkelit. Selama itu ia memperhatikan hawa panas
tangannya lawan. Ia merasakan bukan panasnya tenaga
dalam, maka ia mau menduga orang memakai sarung tangan
dari logam. Ia tidak pernah menyangka kepada sarung-tangan
sutera istimewa itu, apapula hawa panas itu tak berubah
menjadi dingin meski mereka sudah bertempur tiga puluh
jurus lebih. Ia pun belum dapat memikir daya untuk melawan
tangan marong itu. Hanya setelah sekian lama, ia pikir: "Kalau
aku pakai Siulo Imsat Kang, mustahil tangannya tak bakal jadi
dingin, biar misalnya satu jam kemudian..."
Sebenarnya Ouw Thian Long telah memakai tenaga
dalamnya, yaitu hawa sun-yang, untuk membikin sarung
tangannya itu marong terus.
Beng Sin Thong tidak puas. Ia mau merobohkan semua
ketua partai di depannya itu, sekarang ia dilibat orang she
Ouw ini. Mana dapat ia mencapai maksudnya" Ia berpikir
keras. Habis itu, ia lantas main mundur.
Ouw Thian Long mendesak. Ketika ia lihat lawan
terhuyung, ia girang sekali. Tiba-tiba ia menyerang keras
dengan jurus "Heng-in toanhong" atau "Mega melintang
memutuskan puncak". Tangan kirinya menolak, tangan
kanannya menghajar. Tapi ia menyerang tempat kosong,
hingga ia menjadi kaget, sedang menyusul itu, kepalannya
merasakan angin dingin. Ia kaget sekali.
Beng Sin Thong menggunai akal, selagi limbung itu, ia
menggunai tindakan "Thianlo pou", Ia melejit ke belakang
lawan. Dari situ bukannya ia menyerang, ia hanya meniup
telinga lawannya!
Mengetahui bahaya mengancam, Thian Long menghajar
keras ke belakang. Sia-sia belaka serangannya itu, bahkan
tangan bajunya kena terobek. Ia pun kaget disebabkan
telinganya berbunyi dan matanya berkunang-kunang.
Caranya Sin Thong menyerang ini meniru caranya
Pengcoan Thianlie tadi ketika Nyonya Tong itu menghajar
telinganya Yang Cek Hu dengan peluru inti es. Syukurnya
tenaga dalam Thian Long tangguh, ia tak dapat terobohkan,
melainkan gerak-geriknya menjadi ayal.
Dengan menggunai tindakan Thianlo pou dan cengkeraman
Im Yang Jiauw, Beng Sin Thong dapat mengalahkan Ouw
Thian Long akan tetapi ia tidak berbuat demikian, ia justeru
menggunai caranya ini. Inilah tak lain, maksudnya guna
mempertontonkan keliehayannya. Ia cuma meniup telinga dan
merobek ujung baju.
"Mari kita mengadu tangan!" katanya kemudian sambil
tertawa. Ia menolak dengan sebelah tangannya. Ketika Thian
Long menyambuti, tangan mereka beradu. Tangannya itu
tidak terbakar atau terasakan nyeri, yang terbakar dan
menyala ialah ujung bajunya lawan. Tangannya telah ditarik
pulang dengan cepat sekali, terus ditiup.
Ouw Thian Long mengerti bahwa ia lagi dipermainkan.
Beng Sin Thong tertawa.
"Bentrokan ini belum memuaskan!" kata dia, tertawanya
lebar. "Mari, mari lagi sekali!"
Ouw Thian Long menyambuti tantangan. Lawan
menyerang, ia menyambut. Segera tangan mereka bentrok,
beruntun sampai tiga kali.
Kali ini Sin Thong berani beradu tangan. Tadi hawa
dinginnya sudah tersalurkan ke tangan lawannya, dengan
begitu, hawa panasnya Thian Long menjadi berkurang.
Dengan hawa panas berkurang itu, ia tak takut tangannya
nanti terbakar, hingga tak usah ia memakai alas juiran ujung
baju lagi. Setelah beradu tangan empat kali, muka Thian Long
menjadi pucat sebagai abu.
"Masih belum puas, bukan?" kata Sin Thong. Ia menyerang
pula. Ouw Thian Long terpaksa menyambuti. Kali ini ia tidak
dapat bertahan lagi. Dengan lantas ia muntah darah dan
tubuhnya roboh.
Sin Thong berlaku sangat sebat, tangannya mengeluarkan
obat pulung, sebelum orang menutup rapat mulut itu pelnya
ditimpuki hingga tepat masuk ke dalam mulut
Thian Long. Sembari menimpuk itu, dia tertawa dan kata:
"Muridku mengambil obat Pouw Thian Koh kepunyaanmu,
sekarang aku memberikan kau sebutir obat Liokyang Tan,
yang akan menjamin usiamu. Serupa barang ditukar dengan
serupa barang, dengan begitu aku jadi telah berbuat
selayaknya terhadapmu!"
Liokyang Tan pel luar biasa buatan Beng Sin Thong,
dibuatnya dengan campuran racun yang paling panas. Jikalau
orang sehat makan itu, kontan dia bakal mengeluarkan darah
dan mati karenanya. Sebaliknya siapa terlukakan Siulo Imsat
Kang dan memakannya, dia justeru ketolongan. Sebab inilah
cara pengobatan racun mematikan racun.
Mau tidak mau, Ouw Thian Long kena makan obatnya Sin
Thong itu. Dengan lantas ia merasa nyaman. Sebab darahnya
lantas tersalurkan rapi. Kalau tadinya ia bersangsi, sekarang ia
percaya lawan itu tidak memperdayainya.
Adalah aturan kaum Rimba Persilatan, siapa mendapat
pertolongan obat lawan, selanjutnya tidak dapat dia
memusuhkan pula lawannya itu. Ouw Thian Long orang Rimba
Persilatan paling tua dan ia menerima budi dengan terpaksa,
maka itu, meski jiwanya ketolongan, mendongkolnya bahkan
bertambah sampai kedua matanya mendelik.
Kie Siauw Hong tertawa. Dia kata: "Guruku berbaik hati
terhadapmu, aku si Kie tua juga tidak mau ingat lagi
permusuhan kita, maka itu ingin aku mengantarkan kau
pulang..." Dia menghampirkan.
Dua murid Khongtong Pay sudah lantas menghampirkan
ketua mereka. Di antaranya ada murid yang telah ditetapkan
sebagai calon ketua D;a ini gusar, dia bentak Siauw Hong:
"Siapa kesudian menerima pertolongan kau, bangsat kecil?"
Kie Siauw Hong tertawa.
"Sutee, mengapa kau berlaku begini kurang ajar
terhadapku?" dia berkata. "Tapi kau hendak mengurus sendiri
tua bangka ini, baiklah, aku jadi hemat tenagaku!"
Habis mengucapkan ejekan itu, kembali dia tertawa, terus
dia berlompat menjauhkan diri dari Ouw Thian Long, untuk
kembali ke tempat asalnya. Dia mundur bukan tanpa hasil.
Ketika dia maju mendekati jago tua itu, katanya untuk
menolongi, kembali dia memperlihatkan kepandaiannya. Dia
telah mengambil sarung tangannya Thian Long!
Calon ketua Khongtong Pay itu gusar sekali, malunya tak
terkira. Ia sekarang tinggal mengandal pada Tong Sian
Siangjin atau Kim Kong Taysu. Kalau mereka ini pun kalah,
habis sudah pengharapannya. Menurut perjanjian, dia bakal
terpaksa menjadi muridnya Beng Sin Thong...
Beng Sin Thong dongak, ia kata tawar: "Ciangbunjin yang
mana lagi yang hendak mengajukan diri memberi pengajaran
kepadaku?"
"Bangsat tua she Beng, kau terlalu menghina orang!"
membentak Sin In Long, wakil ketua Cengshia Pay. Ia lantas
maju ke tengah gelanggang. Berbareng dengan ianya, kesitu
pun telah maju seorang lain, ialah Cee Thian Lok, ketua
Kielian Pay. Melihat majunya dua orang, Beng Sin Thong tertawa.
"Bagus!" katanya. "Kamu maju berbareng, tuan-tuan, kamu
jadi menghemat aku!"
Sin In Long ragu-ragu, tetapi sebelum ia sempat mundur,
Sin Thong sudah menutup jalan mundurnya itu. la sebenarnya
maju guna membalas sakit hati ketuanya, Han In Ciauw, yang
dilukakan Beng Sin Thong. Maka ia pikir: "Di depan musuh
besar, tak dapat aku pikirkan soal muka lagi! Sakit hati suheng
mesti dibalas, biarlah aku kepung dia berdua!"
Maka ia menghunus pedangnya dan terus menyerang.
Ketua Kielian Pay itu, Cee Thian Lok, sahabat karib dari
Ouw Thian Long. Dia menempati diri di antara kaum lurus dan
kaum sesat, maka dia tak terlalu pikirkan segala tata hormat.
Dia pun maju untuk sahabatnya itu. Sebenarnya dia tak
merasa pasti akan dapat menangkan Beng Sin Thong, maka
dia membiarkan In Long maju bersama. Hanya dia berkelahi
dengan tangan kosong. Segera dia menyerang, dengan
sebelah tangannya.
Sin Thong berkelit dengan tipu silat "Poanliong Jiauwpou"
atau "Naga melingkar memutar kaki". Segera ia bergerak ke
samping ln Long. Hanya belum lagi ia tetap menaruh kaki, di
belakangnya ada angin menyambar. Itulah Sin In Long, yang
bergerak sangat sebat, yang sudah menikam pula kepadanya.
Ia menjadi terkejut. Meski begitu ia dapat membebaskan diri.
"Ilmu pedangmu menang satu tingkat daripada kakak
seperguruanmu!" kata jago Siulo Imsat Kang itu tertawa. "Di
dalam Cengshia Pay, kaulah yang terhitung nomor satu!
Sekarang sekalian saja kau menggunai Thianlo Ciang!"
Sin Thong menantang ilmu silat "Thianlo Ciang", atau
pukulan "Jala Langit" dari Cengshia Pay, yang terkenal buat
tiga macam ilmu silatnya, yaitu tindakan Thianlo Pou, ilmu
pedang Thiantun Kiam, dan pukulan Thianlo Ciang itu.
Cengshia Pay ada pecahan partai Ngobie Pay di jaman
kerajaan Song Selatan. Sampai di pertengahan Ahala Beng, di
jamannya Kiauw Pak Beng, ilmu silatnya itu, sudah mencapai
kesempurnaan. Beng Sin Thong mengerti Thianlo Pou sebab ia
menyangkok dari kitab warisan Kiauw Pak Beng itu, bisa
dimengerti bahwa ia menjadi terlebih mahir. Ini pula sebabnya
kenapa ia menantang Thianlo Ciang.
Kiauw Pak Beng pun memahamkan Thiantun Kiam dan
Thianlo Ciang dari Cengshia Pay itu, ia mencatatnya dalam
kitabnya Bagian Atas, karena itu Beng Sin Thong tak dapat
mempelajari itu. Ketika Sin Thong melukai Han In Ciauw, ia
mengandal melulu Siulo Imsat Kang, maka dengan ini juga ia
akan dapat mengalahkan Sin ln Long. Tapi sekarang ia tidak
lantas berbuat demikian. Ia ingin melihat dulu kepandaiannya
In Long, untuk ia memahamkannya. Ia mau berhati-hati.
Tengah orang berkata-kata, Sin In Long sudah menyerang
sampai tujuh kali, setiap serangannya aneh dan hebat, hingga
pedangnya nampak berkilauan. Ia bergerak dengan sangat
gesit. Walaupun demikian, meski nampaknya setiap tikaman
atau tabasannya bakal mengenai sasarannya, saban-saban Sin
Thong dapat meloloskan dirinya.
Itulah sebab Sin Thong yang liehay menggunai siasat huruf
"Lolos". Ilmu ini mirip dengan "Cian-ie Sippat Tiat!" dari
Butong Pay, bahkan berlipat lebih liehay.
Setelah jurus yang ke delapan, Sin Thong memancing In
Long mengeluarkan pukulan Thianlo Ciang. Untuk
penyerangannya itu, In Long sampai berseru keras. Ketika
tangan kirinya diluncurkan, tangan itu mempunyai tenaga
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyedot, sampai tubuh Sin Thong tertarik sedikit, sedang
pedangnya membarengi menabas ke pundak.
Cee Thian Lok melihat ketikanya yang baik, dia berlompat
ke belakang Sin Thong, menghajar punggung dengan tinju
Kaypay Ciu. "Benarlah, Thianlo Ciang bukan ternama kosong!" Sin
Thong memuji sambil ia berkelit-berkelit dengan menjejak
tanah, untuk berlompat lewat di atasan kepalanya orang she
Cee itu. Ia telah memutar tubuh dengan sangat sebat.
Cee Thian Lok menyerang pula, kali ini ke atas,
membarengi selagi tubuh lawannya itu terapung tinggi.
"Bagus!" Sin Thong berseru. "Sekarang aku ingin mencoba
Kun-goan Khiekang milikmu!" Dan dia menyerang.
Dua pihak bergerak berbareng, maka itu bentroklah tangan
mereka. Mulanya terdengar suara beradu keras, lalu disusul
memberebetnya cita sobek. Mereka berdua lantas mental
berpisahan. Kemudian ternyata, baju Thian Lok di bagian
punggung robek, baju Sin Thong kutung tangannya. Kalau Sin
Thong bersikap seperti biasa, Thian Lok bermuka merah
padam, romannya seperti orang sinting...
Cee Thian Lok mempelajari Kun-goan Khiekang. Itulah
semacam ilmu kebal, yang dapat bertahan dari serangan
dahsyat. Sin Thong menghajar dengan memakai tenaga Siulo
Imsat Kang, ia tidak dapat melukai di luar, hanya dapat
menggempur bagian dalam tubuh. Di samping ilmu kebal itu,
Thian Lok juga pandai menangkap tangan orang, untuk dibikin
keseleo atau patah. Itulah "Hunkin Cokut Hoat", yang
digunainya dalam pertempuran rapat. Sin Thong dapat
meloloskan diri, cuma ujung tangan bajunya yang tersambar
pecah. Sebenarnya, dikepung berdua itu, Beng Sin Thong
berkelahi dengan membataskan diri. Sebisa-bisa ia tidak mau
merapatkan diri. Baru sekarang ia menyerang mereka itu,
berbareng dengan dua-dua tangannya: Tangan kiri menghajar
Cee Thian Lok, tangan kanan terhadap Sin In Long. Ia pun
menggunai tenaga Kimkong Ciang.
Cee Thian Lok telah dapat gempuran di dalam anggauta
tubuhnya, ia tidak berani bertahan. Sin In Long mencoba
menangkis dengan Thian Lo Ciang, sedang pedangnya kena
dibikin terpental.
Segera setelah dua puluh jurus, Sin Thong menginsyafi
sifatnya Thiantun Kiam dan Thianlo Ciang maka ia berkelahi
terus tanpa mengandalkan Kimkong Ciang, yang ia tukar
dengan Yusin Patkwa Ciang, untuk melayani kedua lawannya
dengan kegesitan gerak-gerik.
Sin In Long merasai tenaga orang mulai kendor, ia lantas
perkeras desakan pedangnya.
Beng Sin Thong tertawa dan berkata pada kedua lawannya:
"Kita sudah bertempur hampir tiga puluh jurus, inilah tak
mudah, maka aku pikir sudah tiba waktunya kita beristirahat!"
Ia berkata begitu seraya menyentilkan jari tengahnya, atas
mana hawa yang dingin meluncur ke mata In Long, hingga dia
ini gelagapan, lantaran matanya terasa perih dan
mengeluarkan air mata juga, hingga ia melihat Sin Thong
seperti bayangan yang samar-samar Tentu sekali ia menjadi
panas hati, maka ia lantas menikam hebat dengan tikaman
"Pekhong koanjit" atau "Bianglala putih menutupi matahari".
Itulah jurus yang liehay dari Thiantun Kiam, yang ia gunai
saking terpaksa, untuk mati bersama...
"Aduh!" demikian satu jeritan.
Ketika In Long telah melihat tegas, ia menjadi kaget dan
menyesal. Korban itu bukannya Sin Thong si musuh hanya
Cee Thian Lok, kawannya!
Di saat sangat berbahaya itu, Beng Sin Thong telah
mengasih lihat kepandaiannya. Dengan dua bocah jerijinya, ia
menempel ujung pedang In Long, untuk diputar arahnya ke
samping, kepada Thian Lok ia sendiri berkelit.
In Long menggunai tenaga sepenuhnya, matanya lagi
seperti lamur, maka juga pedangnya meluncur terus. Ia
percaya pedangnya itu menuju ke arah sasarannya.
Thian Lok sebaliknya tak menyangka, walaupun ia bertubuh
kebal, ujung pedang toh melukai kulit perutnya lima enam dim
panjang. Sin Thong menepuk-nepuk tangan.
"Kamulah orang sendiri melukakan orang sendiri!" katanya,
tertawa. "Jangan kamu sesalkan aku! Syukur itulah luka di
luar! Kamu pihak Cengshia Pay mempunyai obat luka, jadi tak
usahlah aku menghadiahkan obat pula!"
Sin In Long gusar dan mendongkol tanpa berdaya, ia pun
tak dapat berkelahi terlebih jauh, maka ia mempepayang
Thian Lok untuk diajak mundur, guna ditolongi.
Ketika itu mulai magrib, matahari merah seperti darah.
Di pihak Co Kim Jie, karena kekalahan berulang-ulang itu,
orang masgul sekali
Kang Lam, yang berada di sisi Tong Keng Thian, kata
perlahan: "Kalau sekarang Kim Tayhiap tidak keluar, kita celaka
benar-benar!"
Keng Thian heran. Ia kata dalam hatinya: "Kalau orang tadi
yang memberi petunjuk kepada Peng Go benar Kim Sie Ie,
sekarang sudah tiba saatnya buat ia memperlihatkan diri!
Benar-benarkah ia telah mati?"
Kim Kong Taysu sementara itu berbangkit, dengan
perlahan ia berkata: "Beng Siecu, loolap tadi telah menerima
hadiahmu sebelah tangan, sekarang mari loolap belajar kenal
lebih jauh dengan kepandaianmu yang istimewa!"
Cepat luar biasa, pendeta ini sudah sampai di tengah
gelanggang. Kim Kong Taysu bersama Tong Sian Siangjin menjadi
bintang-bintang Rimba Persilatan dan mereka pun ternama
berbareng, sudah beberapa puluh tahun, belum pernah
mereka bertarung dengan siapa juga, maka itu, munculnya ia
sekarang adalah luar biasa. Semua mata lantas diarahkan
kepadanya. Suasana lantas menjadi bertambah tegang
sendirinya. Kalau umpama kata Kim Kong kalah, orang
menyangsikan Tong Sian. Maka ini dapat diartikan
pertarungan yang memutuskan, mati atau hidup...
"Taysu menjadi tertua Rimba Persilatan, sekarang taysu
sudi memberi pengajaran padaku, aku merasa sangat
beruntung," Sin Thong bilang. "Jikalau ada sesuatu cacadku,
harap taysu suka memberikan petunjukmu."
Kata-kata itu dibarengi dengan diluncurkannya sebelah
tangannya, kelihatannya perlahan gerakannya itu, akan tetapi
kesudahannya tangan itu meluncur cepat sekali, tak surup
dengan bunyi kata-katanya yang demikian manis. Dengan ini
dia memang hendak menguji tenaga dalam lawannya itu. Dia
menggunai Poanjiak Sinkang keras dan lunak menjadi satu,
hebatnya melebihkan waktu tadi dia melayani Sin In Long dan
Cee Thian Lok. Kim Kong Taysu berdiri tegak, ketika serangan tiba, ia
menyambuti. Nampaknya ia seperti tidak menggunai tenaga.
Akibatnya itu tubuh Sin Thong mirip cabang pohon terkena
angin, goyang beberapa kali, lalu mundur tiga tindak. Hingga
pihak Ngobie Pay menjadi girang sekali.
Usia Kim Kong Taysu sudah tujuh puluh lebih, ia menjadi
pendeta sejak umur muda sekali, maka itu ia meyakinkan ilmu
kepandaiannya sudah kira-kira enam puluh tahun. Sebaliknya
Sin Thong mempelajari kitabnya Kiauw Pak Beng baru tiga
tahun, dari itu mengenai tenaga dalam, dia kalah setingkat.
Tengah pihak Ngobie bergirang itu Sin Thong, yang dapat
segera menegakkan tubuh, sudah mengirim serangannya yang
kedua kali. Kim Kong Taysu menyambut agak lambat. Ia tetap
menggunai jurus yang tadi, yaitu Sauw-in Ciu, atau Menyapu
Mega. Ia menambah tenaganya.
Kembali kedua pihak bentrok.
Kali ini Beng Sin Thong menggunai kecerdikannya. Mulanya
ia tetap menyerang dengan Poanjiak Sinkang, lalu dengan
mendadak tenaga kerasnya itu seperti lenyap. Secara sebat ia
menggantikan itu dengan Siulo Imsat Kang. Dengan begitu
tangannya mendadak menjadi dingin bagaikan es dan hawa
dingin itu kontan tersalurkan ke tangannya lawan.
Kim Kong Taysu mahir tenaga dalamnya tapi ia masih tak
sanggup melawan serangan lawannya ini. Hawa dingin
menyerang secara demikian mendadak, sampai hatinya
terkesiap, meski ia telah menutup diri, ia toh tergempur di
dalam. Ia mundur tiga tindak, hawa dingin nelusup ke tulangtulangnya.
Sudah begitu, Sin Thong lantas bersiap pula.
Kim Kong Taysu mengerutkan kening, lalu alisnya
terbangun. Ia kata dengan suara dalam: "Beng Siecu,
memaksa sangat, biarlah, beberapa tulangku yang sudah
kering aku berikan kepada kau!" Dan ia menangkis!
Kali ini mereka bentrok dalam keadaan luar biasa.
Keduanya tidak terhuyung atau mundur, hanya mereka terus
berdiri diam bagaikan dua patung batu!
Kim Kong Taysu telah terdesak sangat hingga ia menjadi
nekat, maka ia mengambil putusan mengorbankan diri.
Setelah bentrokan yang pertama, ia merasa ia akan cuma
dapat bertahan sampai bentrokan yang ketiga, bentrokan ke
empat cuma pembelaan diri dan bentrokan ke lima berarti luka
di dalam. Maka ia anggap baiklah ia terbinasa di medan laga.
Tak sudi ia menyerah kalah. Maka itu ia mengerahkan seluruh
tenaga latihannya enam puluh tahun. Hingga kesudahannya
tangan mereka nempel satu pada lain.
Beng Sin Thong terkejut, akan tetapi ia dapat bersikap
tenang dan tertawa tawar.
"Taysu, hebat kata-katamu," ia bilang. "Taysu memaksa
aku si orang she Beng memohon kau menyempurnakan
diriku!" Kata-kata "menyempurnakan diri" itu berarti menyerahkan
jiwa. Dalam hal ini Beng Sin Thong maksudkan, kalau ia kalah
tanpa menyesal, sebaliknya kalau ia yang menang, tak akan
memberi ampun pada jago Ngobie Pay itu.
Mendengar perkataan mereka itu, pihak Co Kim Jie
terkejut. Mereka lantas dihinggapi kekuatiran. Semua
mengawasi Kim Kong Taysu, yang embun-embunannya lantas
menghembuskan hawa putih seperti uap atau kabut, sedang
paras Sin Thong dari biru menjadi ungu dan hitam. Itulah
tanda ia telah mengerahkan Siulo Imsat Kang seluruhnya.
Tong Sian Siangjin, Sin In Long, Tong Keng Thian dan yang
lainnya, melihat keadaannya Kim Kong Taysu itu, menjadi
berkuatir. Itulah sebab uap putih dari embun-embunan itu
makin lama makin tebal, suatu tanda pendeta itu sudah
mengumpul seluruh tenaga dalamnya. Kalau tenaga dalam itu,
Sun-yang khie yang asli, terhamburkan habis, bagaimana
jadinya" Itulah kekalahan...
Tenaga dalam Kim Kong Taysu telah dilatih dalam ilmu
Thayceng Khiekang dan telah mencapai puncaknya
kemahiran, kalau Beng Sin Thong mengadu tenaga dalam,
pasti dia kalah, akan tetapi sekarang dia melawan dengan
Siulo Imsat Kang yang bersifat sangat dingin. Itulah hebat
buat jago dari Ngobie Pay itu.
Siulo Imsat Kang itu, kecuali Kiauw Pak Beng, tak ada yang
bisa mempelajarinya sampai di tingkat ke sembilan, tapi
sekarang, Sin Thong bisa mencapai itu, maka itu bisa
dimengerti liehaynya orang she Beng ini. Sekarang dia mengerahkannya
guna merobohkan lawannya yang tangguh. Meski
dia menang di atas angin, dia toh mengeluh di dalam hatinya.
Sekarang dia merasa tenaga dalamnya si pendeta berada di
luar dugaannya, meski dia sudah menggempur dan orang
nampak mulai lemah, orang masih dapat bertahan, sebab telapakannya
masih berhawa hangat.
Di samping itu, masih ada kekuatirannya jago Siulo Imsat
Kang ini. Andaikata ia berhasil membinasakan Kim Kong
Taysu, lantas ia mesti menempur Tong Sian Siangjin. Inilah
berbahaya, sebab tak besar harapannya untuk memperoleh
kemenangan. Sebaliknya dengan berlaku nekad, Kim Kong
hendak menggempur membikin lemah tenaganya lawan agar
Tong Sian mempunyai harapan mengalahkannya.
Lagi sedikit waktu, uap putih itu tetap makin menebal,
hingga tubuh dua orang itu seperti ketutupan uap tersebut.
Matahari sudah selam, cuaca magrib menawungi jagat. Orang
pun terus mengawasi kedua jago itu, hati mereka tegang dan
gelisah. Sangat sunyi keadaan di sekitar mereka itu.
Tepat orang terbenam dalam kesunyian dan kegelisahan
itu, sekonyong-konyong Kang Lam mengasih dengar suara
kaget: "Ih!" dan matanya mengawasi kesuatu arah.
Tong Keng Thian berada dekat bocah itu, ia lantas
menoleh, ia mengikuti tujuan mata orang. Untuk herannya ia
menampak antara rumput di sisi mereka ada bunga mekarbunga
yang ia tak kenal dan tak tahu namanya. Bunga itu
mekar dengan perlahan-lahan, warnanya merah dan putih,
macamnya indah. Dan, tertiup angin, bau bunga itu harum
luar biasa harum tercampur bau bacin...
Pula yang hebat, membaui itu, orang lantas merasa lesu...
Suara kaget Kang Lam itu didengar oleh yang lainnya.
Seperti Keng Thian, mereka lantas mengalihkan pemandangan
mata mereka. Bukan ke satu arah saja, terus ke sekitar
mereka. Aneh, lantas dimana-mana tertampak pohon itu serta
bunganya yang merah-putih itu, hingga terlihatlah warna
menyolok mata, merah di antara putih meletak!
Siapa perhatikan, akan dapat melihat bukannya semua
bunga itu baru mekar, hanya ada yang bekas kemarin kuncup
dan sekarang baru mekar pula. Teranglah bunga itu mekar
setelah magrib dan kuncup selama siang, akan mekar pula
magrib berikutnya.
Semua orang menjadi heran, sambil melongo mereka
memandangi bunga-bunga itu, hingga dengan sendirinya
pertempuran di antara Kim Kong Taysu dan Beng Sin Thong
menjadi seperti terlupakan.
Mendadak Tan Thian Oe berseru: "Celaka! Bunga hantu!"
Tong Keng Thian pun menambahkan: "Benar, itulah bunga
asura! Lekas semua menahan napas! Tutup jalan darah!"
Di atas gunung Himalaya ada semacam bunga yang diberi
nama asura, atau bunga hantu, bunganya harum, tetapi bau
harum itu dapat membikin siapa yang menciumnya menjadi
lesu, lemah otot-ototnya. Bunga itu katanya pertama kali
diketemukan oleh seorang pendeta pengembara yang lagi
menyiksa diri. "Asura" bahasa Sansekerta dan artinya hantu,
bunga itu dinamakan demikian karena khasiatnya yang luar
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
biasa itu. Ketika dulu hari guru negara dari Nepal menculik
puteranya Jenderal Nie Keng Giauw dari dalam penjara, dia
menggunai bunga itu membuat penjaga penjara tak sadarkan
diri. Dan pada empat tahun yang lalu, di musim semi, ketika
Shanpii menyelundup masuk ke rumahnya Tan Thian Oe, dia
pernah pakai bunga itu membikin Yu Peng menjadi tak ingat
dirinya hingga leluasa saja dia menikamkan panah beracun di
dada nyonya Tan Thian Oe itu. Maka itu sekarang Thian Oe
dan Keng Thian lantas mengenali bunga itu. Hanya mereka
sangat tidak mengerti, kenapa bunga itu kedapatan di gunung
Binsan ini... Gunung Himalaya ialah gunung paling dingin, itulah tempat
paling tepat untuk tumbuhnya pohon asura, maka heran
pohon ini dapat tumbuh di Binsan dan justeru di musim semi
bulan tiga. Di bulan ini, salju di Binsan sudah lumer. Yang
aneh pula, pohon kedapatan di mana-mana di sekitar
gelanggang pertempuran itu.
Thian Oe dan Keng Thian menjadi bingung. Dalam keadaan
seperti itu, sulit untuk berpikir lama. Juga Keng Thian lantas
merasakan asabatnya terganggu. Karena ia yang tangguh
tenaga dalamnya masih terserang harum bunga itu, bisa
dimengerti kalau banyak yang lainnya tak sanggup lagi.
"Pastilah ini perbuatannya Beng Sin Thong!" pikir orang she
Tong itu. Tapi ketika ia memandang ke arah rombongannya
Sin Thong, ia mendapatkan mereka itu juga terserang bau
bunga hantu itu, mereka seperti orang sudah sinting karena
arak. Ia jadi berpikir pula: "Mungkinkah, disini ada pihak
ketiga" Kalau benar, pihak itu hebat sekali sebab dia dapat
membikin bunga asura tumbuh disini dan mekar di saat
seperti ini!"
Justeru itu terdengar Leng Siauw Cu dari pihaknya Beng Sin
Thong berseru: "Kim Laotee, awas!"
Kim Jit Sian tengah bergerak ketika ia mendengar seruan
peringatan itu. Tak menunggu sampai ia sudah melihat tegas,
ia mengangkat toyanya untuk menangkis, sebab samar-samar
ia melihat sesosok tubuh menyambar bagaikan bayangan.
Setelah itu, ia menjadi kaget hingga ia berteriak, karena
tangannya sakit, sebab telapakannya seperti terkena paku.
Karena nyerinya itu, toyanya terlepas dan terlempar.
Sebabnya itu ialah ada orang berlompat ke arahnya, orang
itu memakai sepatu yang ada pakunya, sebelum ia dapat
menghajar mengenai sasarannya, lebih dulu ia sudah kena
terjejak! Tong Keng Thian heran, ia kata dalam hatinya: "Dari mana
datangnya wanita ini" Hebat ilmu ringan tubuhnya, dia tak ada
di bawahnya bibiku!..."
Di pihak Beng Sin Thong, juga Kie Siauw Hong turun
tangan, dia berlompat menguber sambil menyerang dengan
timpukan tiga batang paku Songbun teng. Jitu timpukannya
itu, tepat mengenai sasarannya, yaitu punggung si wanita,
akan tetapi setelah menerbitkan suara nyaring, ketiga batang
paku itu mental balik, nancap di batang pohon! Sia-sia belaka
percobaan murid Sin Thong ini, sudah gagal serangannya, dia
pun tak sanggup mendekati.
Kecuali beberapa orang yang liehay, yang lainnya cuma
menampak segumpal bayangan putih tiba-tiba tiba di tengah
gelanggang. Ketika itu, Beng Sin Thong dan Kim Kong Taysu seperti tak
melihat dan tak mendengar, karena mereka masih sama-sama
menju-blak seperti patung-patung batu.
"Suhu, awas!" Siauw Hong berteriak. Tapi dia belum
sempat menutup mulutnya ketika terdengar suara nyaring
menyusuli segumpal api menyambar ke antara Sin Thong dan
Kim Kong Taysu, terus meledak mengeluarkan asap yang
bergulung-gulung dan di antara asap itu nampak sinar terang
kecil dan halus seumpama kata bulu kerbau
Justeru itu, Kang Lam berseru memanggil: "Oh, Nona Le!
Mana Kim Tayhiap?"
Memang benar bayangan itu Le Seng Lam, yang datang
kesitu untuk melakukan pembalasan terhadap Beng Sin
Thong. Sedang apinya yang meledak itu ialah senjata rahasia
yang liehay dari Keluarga Le, yaitu peluru api berjarum emas
yang beracun: Tokbu Kimeian Hweeyam tan.
Tiga tahun lamanya Seng Lam bersama Kim Sie Ie berdiam
di dalam pulau kosong dimana mereka mendapat kesempatan
berlatih terus sambil memahamkan bunyinya kitab warisannya
Kiauw Pak Beng, meski itu cuma kitab Bagian Atas, toh ia
memperoleh kemajuan luar biasa, hingga di waktu menyerang
dengan peluru apinya yang berjarum itu, ia dapat membantu
dengan tenaga dalamnya.
Tengah asap memencar itu, terdengar seruannya Beng Sin
Thong, dan ketika asap itu buyar, terlihat Sin Thong bersama
Kim Kong Taysu terpisah sendirinya, sama-sama mereka
mundur jauhnya kira-kira tujuh tombak, Sin Thong sendiri
tidak kurang suatu apa, sedang Kim Kong Taysu, pada
jubahnya nancap banyak jarum Bweehoa ciam yang bersinar
putih perak. "Celaka, celaka!" Kang Lam berteriak-teriak. "Dia bukannya
manusia baik-baik! Dia bukan membantui kita! Dia... dia...
dia..." Belum berhenti suaranya pemuda ini, sudah terlihat Kie
Siauw Hong berlompat ke belakang Nona Le, yang terus
ditikam dengan pedangnya. Telak tikaman itu, ujung pedang
menggenai punggung nona hingga berbunyi nyaring, tapi
pedang itu tak nancap hanya mental balik dan ujungnya
bengkok! Siauw Hong menjadi kaget, terutama sebab ia ketahui,
kepandaiannya sekarang sudah bertambah liehay dan ia dapat
dimasuki dalam golongan jago kelas satu. Kenapa si nona tak
terlukakan" Maka ia kata dalam hati: "Dia tak mempan senjata
tajam! Bukankah dia menjadi jauh terlebih liehay daripada
guruku?" Ia heran sebab ia tidak tahu nona itu memakai
tameng yang dibuat dari kotak kemala di dada dan
punggungnya, tameng peranti menyimpan kitab pusakanya
Kiauw Pak Beng.
Selagi dibokong itu, Seng Lam tidak berdiam saja. Ia
menyampok ke belakang dengan tangan bajunya atas mana
muridnya Sin Thong itu terpelanting jungkir balik, mental
jauhnya tiga tombak!
Habis itu, tanpa memperdulikan orang, Seng Lam maju
terus ke arah Sin Thong.
Melihat majunya Seng Lam, Tong Keng Thian turut maju
juga. Ia berniat melindungi Kim Kong Taysu. Ia pernah
mendengar nona itu pernah menipu Lie Kim Bwee dan
barusan menyerang Sin Thong dan Kim Kong. la tidak tahu
bahwa Seng Lam memusuhkan Sin Thong, hanya karena
orang ada berdua, dia menyerang secara sembrono.
Juga beberapa orangnya Sin Thong turut memburu maju.
"Bagus! Kiranya kau!" Sin Thong membentak. Dia
menyangka orang yang bersembunyi tadi ini ialah Nona Le ini.
Dia pun menduga, melihat kepandaiannya, Seng Lam pasti
sudah mempelajari kepandaiannya Kiauw Pak Beng. Walaupun
demikian, dia tak jerikan si nona seperti dia jeri terhadap Kim
Sie Ie. Maka itu dia lantas maju.
Dengan bergerak dengan tindakan Thianlo Pou, dia
mendekati dari samping.
Le Seng Lam menghunus pedangnya, setelah mana, ia
menyerang. Itulah gerakan yang sangat sebat. Ia juga
menggunai pedang istimewa, yaitu pedang yang merupakan
satu di antara tiga pusakanya Kiauw Pak Beng, sedang yang
dua lagi ialah kotak kemala serta pek-giok sinkiong, itu busur
kemala putih. Sebenarnya pedang itu dibawa Kim Sie Ie,
tetapi sebab si nona mau menuntut balas, Sie Ie
meminjamkannya. Pedang itu, yang logamnya didapat dari
dasar laut, tipis mirip kertas, tetapi tajamnya luar biasa
sinarnya berkeredepan. Melihat sinar itu, Sin Thong
terperanjat. Dengan menggunakan Poanjiak Sinkang, Sin Thong
menyentil pedang itu. Ia mengandal kepada tenaga dalamnya
yang liehay. Seng Lam sudah maju jauh tetapi dalam hal
tenaga dalam itu, ia masih kalah dari jago Siulo Imsat Kang ini
maka itu sentilan itu membuat hatinya menggetar, darahnya
mandek, dadanya sesak dan terasa sesak dan berat bagaikan
tertindih barang seribu kati. Syukur untuknya, Sin Thong telah
menghamburkan tenaganya melawan Kim Kong Taysu, apabila
tidak, sentilan itu dapat merusak anggauta-anggauta dalam
tubuhnya itu. Walaupun hatinya tergetar, Seng Lam bukannya tak dapat
berbuat apa-apa. Ujung pedangnya mental terus menyambar,
seperti juga bianglala, kesudahan yang mana membuat kumis
panjang dari Sin Thong kena terpapas kutung hingga tinggal
separuhnya! Juga tengah ia menggunai Poanjiak Sinkang, Sin Thong
pun kena menyedot harumnya bunga asura, ia tak luput dari
kehebatan bunga itu, ia merasa napasnya sesak. Karenanya
lekas-lekas ia menyalurkan napasnya, untuk mengeluarkan
hawa yang beracun itu.
Seng Lam menggunai kesempatan Sin Thong meluruskan
pernapasannya, ia berlompat ke dekat Kim Kong Taysou.
Melihat orang mendekati ketua Ngobie Pay, Tong Keng
Thian lantas menyerang dengan Thiansan Sinbong. Untuk itu
ia tak bersangsi sejenak juga. Maka senjata rahasianya itu
meluncur dengan menerbitkan suara yang mengaung
memecahkan kesunyian.
Le Seng Lam mendengar dan melihat senjata itu, sambil
tertawa dingin ia menyampok dengan pedangnya, hingga
sinbong terkutung menjadi dua potong, tak perduli senjata itu
terbuat dari baja pilihan.
Keng Thian terkejut. Justeru itu, Seng Lam sudah
berlompat ke depannya.
Si nona tertawa dingin dan berkata: "Aku justeru hendak
mencoba ilmu pedang Thiansan Pay dari kau!" Dan dia segera
menyerang. Tong Keng Thian menangkis tanpa ayal. la menggunai
jurus "Hianniauw wasee". Oleh karena si nona tidak menarik
pulang pedangnya, kedua senjata menjadi beradu, suaranya
nyaring, lelatu apinya muncrat. Ketika Keng Thian memeriksa
pedangnya, ia terkejut. Nyata sekali ketangguhan pedang
lawan. Pedangnya, Yuliong Kiam, sebuah pedang mustika,
gompal sedikit hingga ia menjadi melengak...
Tengah orang tercengang itu, Seng Lam sudah berlompat
maju dengan kesehatannya yang istimewa, selagi dengan
tangan kanan ia mengancam dengan pedangnya, tangan
kirinya menyambar.
Kembali Keng Thian terkejut. Sinar pedang lawan
berkeredep di depan matanya, Ia lantas mengangkat
pedangnya, guna menangkis. Justeru ia mengangkat itu,
justeru tangan kirinya si nona tiba. Tidak ampun lagi, Yuliong
Kiam kena dirampas!
Seng Lam menggunai ilmu Hian-im Ciekang. Selagi
tangannya itu diluncurkan, ia menyentil. Hawa sentilan itu
merupakan hawa yang dingin, yang mirip dengan hawa dingin
Siulo Sat Kang tingkat ke lima. Mau atau tidak, Keng Thian
terserang hawa dingin itu, sampai ia mesti memejamkan
matanya walaupun hanya sejenak. Celakanya, mereka berdiri
terlalu dekat satu dengan lain. Selagi orang meram itu, Seng
Lam merampas pedang lawan, kemudian dengan sama
sehatnya, ia lompat ke samping jago muda dari Thiansan itu,
guna merampas sarung pedangnya!
Kim Kong Taysu menyaksikan tanpa sempat berbuat apaapa.
"Apakah kau turunan Keluarga Le?" ia tanya, si nona. Ia
menanya sambil mementang matanya dan menggibriki
jubahnya. Dengan begitu ia membuat terlepas mental semua
jarum yang tadi nancap di jubahnya itu. Tidak ada sebatang
jarum juga yang melukai tubuhnya.
Atas pertanyaan pendeta itu, Le Seng Lam menjawab:
"Taysu telah mengenali asal-usulku, tentulah taysu suka
memaafkan kelancanganku barusan. Ini ada sebutir obat,
silahkan taysu makan. Obat ini dapat menyingkirkan
keracunan bunga hantu. Aku telah mengganggu, dengan obat
ini aku menebus kesalahanku."
Seng Lam berkata begitu tanpa mengangsurkan obatnya,
hanya ia menyentil itu ke arah si pendeta.
"Baiklah, aku percaya kau!" menyahut Kim Kong Taysu,
yang menyambuti obat itu, bahkan ia segera masuki ke dalam
mulutnya, untuk dimamah terus ditelan.
Sebenarnya Kim Kong tak usah takuti bunga asura tak
perduli bunga itu beracun, akan tetapi barusan melawan Beng
Sin Thong ia telah menguras tenaga dalamnya, biar
bagaimana, bunga itu menyebabkan ia lesu juga, maka itu ia
tidak menampik pemberian obat itu. Berbareng dengan itu,
melihat suasana, ia menduga akan bakal terjadinya sesuatu
yang hebat. Ia pula tak usah malu mendapat obat dari
Hati Budha Tangan Berbisa 15 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Pendekar Satu Jurus 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama