Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 6
sama tengah, yang menyontek tongkat besi sebesar mangkok
dari Tokciu Hongkay, karena mana, Co Kim Jie dapat menarik
pulang tongkatnya yang bengkong itu, sedang si nyonya
sendiri bernapas sengal-sengal, sampai dia tidak dapat
membuka suara. Adalah di saat itu Tiong Bouw tiba untuk
menghadang di depannya.
Kim Sie Ie heran hingga ia mementang matanya lebarlebar.
"Bagus betul!" serunya. "Aku membantu kau, aku membela
dirimu, mengapa kau membantu dia?"
Pertanyaan ini diajukan kepada Kok Cie Hoa.
Nona itu mengucurkan air mata, tangannya yang menyekal
pedang, menuding dengan ujung pedangnya. Ia pun
memandang si pengemis edan.
"Kim Sie Ie, pergi kau turun gunung!" katanya.
"Apakah kau ikhlas dihinakan dia?" Kim Sie Ie tanya.
"Inilah urusan partai kami," kata si nona. "Kau, dengan
memandang aku, kau pergilah turun gunung!"
Ketika itu Co Kim Jie sudah dapat bernapas, dengan
mengerahkan kedua tangannya, ia membikin tongkatnya
lempang kembali. Ia gusar mendengar perkataan Cie Hoa itu.
"Siapa berani melepaskan dia turun gunung?" katanya
bengis. "Di gunung Binsan yang keramat ini, dapatkah
pengemis jahat ini dibiarkan main gila" Dia mesti dibekuk,
tidak bisa tidak!"
Binsan Pay dibangun baru kira-kira seratus tahun yang lalu,
dibangun oleh Tokpie Sinnie, si bhikshuni tangan satu, yang
asalnya ialah puteri kaisar Beng yang terakhir, lalu diteruskan
oleh Kanglam Cithiap, Tujuh pendekar dari Kanglam. di antara
siapa, Kam Hong Tie dan Lu Su Nio berdualah yang namanya
paling terkenal, karena yang satu ialah pemimpin Rimba
Persilatan, yang lain guru besar ilmu pedang yang namanya
harum sampai di jaman belakangan. Co Kim Jie sendiri, ketua
yang sekarang, pun kenamaan, sedang anak-anak mudanya
juga ada yang telah membuat nama dalam dunia kangouw.
Hari ini adalah hari ulang tahun wafatnya Tokpie Sinnie,
maka semua cucu muridnya berkumpul di gunung Binsan ini
untuk memperingatinya, maka adalah di luar dugaan, bahwa
urusan Kok Cie Hoa telah menerbitkan gara-gara sampai Kim
Sie Ie terpaksa mengacau untuk membela nona yang dinista
itu. Tentu sekali Kim Jie menjadi gusar, sebab walaupun ia
belum dirobohkan, ia toh sudah kena dipukul mundur oleh si
pengemis edan. Sekarang Kok Cie Hoa benar-benar bersusah hati. Ia jadi
menghadapi soal seperti Ek Tiong Bouw tadi. Suci itu, atau
ketuanya, telah memberikan perintah. Bagaimana ia harus
berbuat: Menurut perintah dan menawan Kim Sie Ie, untuk
menebus dosanya" Atau turut Kim Sie Ie menyingkir dari
gunung itu"
Perintah Co Kim Jie telah lantas dilakukan. Semua anggauta
Binsan Pay mulai mengurung dari empat penjuru, hingga tidak
hanya Kim Sie le, tetapi si nona pun turut terkurung.
Kembali muncul suasana tegang. Asal senjata digerakkan,
pertempuran dahsyat akan berkobarlah. Dalam keadaan
sangat genting itu, tiba-tiba orang dikejutkan tangisan keras,
yang datangnya dari atas gunung.
Tiong Bouw yang paling dulu mengangkat kepalanya. Entah
dari mana dan kapan datangnya, disana tampak tiga orang
asing. Ialah yang satu seorang pendeta, yang air mukanya
seperti tersungging dengan "hawa pembunuhan", karena
mukanya itu bermuram durja, dan dua yang lain, yang berada
di belakang pendeta itu, adalah dua orang pembesar dengan
jubah sulaman serta ikat pinggang kemala. Tiga orang itu lagi
bersembahyang di depan kuburan Tokpie Sinnie, mereka
memasang lilin dan hio. Si pendetalah yang bersujut dengan
menangis menggerung-gerung menyayatkan hati, agaknya dia
mengandung penasaran atau kedukaan besar.
Maka heranlah semua orang. Ketika ketiga orang itu tiba,
Co Kim Jie tengah bertempur seru dengan Kim Sie Ie, maka
itu tidak ada seorang juga dari rombongan Binsan Pay yang
memperhatikan atau melihatnya. Ada juga beberapa orang di
pihak tamu yang melihat mereka, akan tetapi, walapun
bercuriga, tamu-tamu itu tidak berani lancang mengambil
tindakan. Mereka menginsyafi diri sebagai tamu. Adalah
setelah mendengar tangisan itu, semuanya terperanjat.
Tokpie Sinnie berasal puteri raja Beng yang terakhir,
sekarang ada dua orang pembesar negeri yang
menghormatinya, itulah luar biasa, benar-benar aneh. Pula
luar biasa, belum lagi pihak Binsan Pay sendiri memulai
dengan upacara penghormatannya, mereka bertiga telah
mendahului. Tidakkah inipun di luar daripada kebiasaan"
Oleh karena munculnya tiga orang itu, yang sangat menarik
perhatian, kurungan pihak Binsan Pay terhadap Kim Sie Ie
menjadi longgar sendirinya.
"Suci, apakah kau kenal mereka itu?" Ek Tiong Bouw
menanya. Co Kim Jie mengerutkan alisnya. Untuk sementara, ia
berpikir dengan sia-sia belaka, hingga tidak dapat ia segera
memberikan jawabannya.
Tengah orang keheran-heranan itu serta mengawasi ketiga
orang itu, kejadian lain sudah lantas menyusul
Untuk membersihkan kuburan, pihak Binsan Pay membekal
pacul dan sekup, guna menguruk atau menutup bagian-bagian
kuburan yang rusak gugur, dan tadi pekerjaan mereka
tertunda karena mesti menghadapi Tokciu Hongkay. Sekarang
beberapa bocah pacul itu digunakan oleh ketiga orang asing
ini. Sesudah memberi hormat di muka kuburan Tokpie Sinnie,
ketiga orang itu menjumput pacul, dan menghampiri kuburan
Lu Su Nio. Si pendeta sudah lantas menuding ke kuburan jago
wanita itu sambil mendamprat: "Bangsat perempuan yang
durhaka, yang berani berlaku kurang ajar terhadap orang
yang terlebih tua, di masa hidupmu aku tidak dapat
membunuh kau, maka sekarang hendak aku membongkar
kuburanmu, untuk mengeluarkan tulang belulangmu!"
Dampratan itu ditutup dengan gerakan pacul mereka bertiga,
memacul tanah kuburan di depan mereka itu!
Selama hidupnya, Lu Su Nio dihormati orang, dari itu siapa
juga tidak menduga, bahwa setelah ia meninggal dunia,
sekarang ada orang yang datang membongkar kuburannya.
Untuk sedetik, orang melengak saking heran, tetapi setelah
itu, riuhlah terdengar bentakan-bentakan cegahan dan caciancacian
untuk alamatnya ketiga orang asing itu, dan dengan
serempak, semuanya lari memburu. Dua orang, yang tiba
lebih dulu, sudah lantas menerjang si pendeta dengan
cengkeramannya Kimna Ciuhoat, sebab si pendeta hendak
dicegah perbuatannya membongkar terus kuburan orang yang
mereka hormati itu.
Si pendeta tahu, bahwa ada orang yang menyerangnya,
ketika kedua tangannya ditangkap, tanpa memutar tubuh lagi,
ia menggerakkan tangannya itu. Pundaknya diangkat,
tangannya diangkat kaget ke atas, dan menyusul itu, tubuh
dua murid Binsan Pay itu terangkat, terlempar ke tengah
udara! Semua orang terkejut, hingga dengan sendirinya
berhentilah bentakan atau cacian mereka. Hanya beberapa
orang saja yang melihat tegas gerakan si pendeta, yang lain
melainkan tahu sesudah dua orang itu terlontarkan.
Ek Tiong Bouw terkesiap hatinya. Ia mengenali ilmu
pendeta itu. Itulah ilmu, atau tipu silat, dari partainya sendiri,
ialah ilmu yang disebut "Ciamie sippattiat", atau "Merendam
baju delapan belas kali jatuh", atau tegasnya, dengan
melanggar baju saja, orang dapat dibikin roboh. Itulah ilmu
yang membutuhkan lweekang, atau tenaga dalam, yang
mahir. Di antara Kanglam Cithiap, Tujuh Jago Kanglam, Kam Hong
Tie yang paling mahir dalam ilmu itu, sedang Tiong Bouw
adalah murid utama dari Kam Hong Tie, sekarang ia mesti
menyaksikan orang yang pandai ilmu itu, bahkan jauh lebih
pandai daripadanya, ia menjadi heran dan malu sendiri.
Beberapa murid Binsan Pay yang lain, yang tidak
memperhatikan liehaynya si pendeta, sudah maju menyerang.
Mereka hanya bisa mengumbar hawa amarah mereka. Mereka
disambut kedua orang yang berdandan sebagai pembesar itu.
Dalam sekejap, senjata murid-murid Binsan Pay itu terhajar
lepas dari tangan mereka, walaupun dua orang itu hanya
menggunakan pacul sebagai senjatanya
Co Kim Jie dan Ek Tiong Bouw, yang memasang mata, duadua
menjadi heran dan kagum. Mereka tidak menyangka
bahwa juga dua orang hamba negeri itu demikian liehay.
Mereka bergebrak hanya dalam dua tiga jurus saja, dan
segera terbuktilah kepandaian mereka.
Si pendeta sudah lantas tertawa terbahak-bahak.
"Hai, kawanan siauwpwee!" ia berkata nyaring, sikapnya
jumawa. Ia pun menyebut "siauwpwee", ialah orang-orang
dan tingkat muda. "Kenapa kamu begini tidak tahu aturan"
Kenapa bertemu dengan aku, bukannya kamu memberi
hormat sambil berlutut dan mengangguk-angguk, kamu
justeru berani iturun tangan menyerang aku?"
Mendengar suara itu, Co Kim Jie bersama Ek Tiong Bouw
meninggalkan Kim Sie Ie, sambil mencegah murid-murid
Binsan Pay bergerak lebih jauh, mereka menghampiri si
pendeta. Hwesio itu bersikap sangat jumawa, melihat datang Co Kim
Jie, dia memandangnya dengan congkak.
"Kim Jie!" dia berkata, suaranya tetap nyaring, "kau telah
merampas kedudukan ciangbunjin, lalu kau sudah tidak mau
mengenali aku! Benarkah?"
Kim Jie tercengang, dan ditatapnya muka orang. Karena
murkanya, sepasang alisnya bangun tegak.
"Dulu Lu Susiok berlaku sangat murah hati, dia tidak mau
menarik panjang urusanmu," katanya, juga dengan lantang,
"mengapa hari ini kau masih mempunyai muka untuk datang
kemari, mengacau di depan kuburan susiok?"
Hwesio itu tertawa dingin.
"Aku datang hari ini justeru untuk membereskan soal
dahulu itu!" katanya, menantang. "Biarlah aku berterus
terang! Dulu guruku telah dibunuhnya, dari itu hari ini, dapat
tidak dapat, aku mesti membalaskan sakit hatinya! Siapa kata
aku mengacau" Aku hanya hendak membongkar tanah
kuburannya, aku hendak merusak peti matinya, supaya tulang
belulangnya dapat dikeluarkan untuk dibakar musna menjadi
abu! Setelah itu, aku akan bertindak lebih jauh dengan
membersihkan Binsan Pay!"
Pendeta ini bersumbar besar dan berani bersikap demikian
kurang ajar karena dialah Biat Hoa Hwesio, murid Liauw In
Hwesio. Sama sekali Tokpie Sinnie mempunyai delapan murid, yang
tertua ialah Liauw In. Kecuali Lu Su Nio seorang, "kwanbun
teecu" atau murid penutup, maka enam yang lain, yaitu Co Jin
Hu, Lie Goan, Ciu Sim, Pek Tay Koan, Louw Bin Ciam dan Kam
Hong Tie, semuanya telah mendapat pelajaran silat dari Liauw
In, yang mewakilkan gurunya. Hanya kadang-kadang saja
mereka berenam memperoleh petunjuk langsung dari guru
mereka. Kemudian karena Liauw In murtad, dia dicari oleh Lu
Su Nio, yang membawa kimpay, atau tanda kekuasaan dari
gurunya, untuk menghukumnya. Ketika itu Lu Su Nio
mengajak enam saudaranya yang lain menyertainya. Liauw In
dapat ditawan dan di depan kuburan gurunya dia menjalankan
hukuman mati. Ketika itu Liauw In sudah mempunyai dua murid, akan
tetapi mereka itu tidak turut ditangkap dan dihukum. Lu Su
Nio suka memberi ampun pada mereka, karena alasan, bahwa
meskipun mereka pernah melakukan beberapa kejahatan,
mereka lakukan itu karena terpaksa, mereka mesti menurut
perintah guru mereka. Hanya dengan suara umum, telah
diambil keputusan, bahwa Liauw In dan murid-muridnya
dikeluarkan dari Binsan Pay. Oleh karena itu, kedua murid
Liauw In hidup menyembunyikan diri.
Berselang sepuluh tahun, murid kepala Liauw In menutup
mata, maka tinggallah muridnya yang kedua, yang telah
masuk menjadi pendeta dengan nama suci Biat Hoa Hwesio.
Dia cerdas dan bakatnya baik, dengan peryakinan lebih jauh
selama sepuluh tahun itu, dia sudah menjadi liehay. Dia jeri
terhadap Lu Su Nio, maka, selama Lu Su Nio masih hidup, dia
terus menyembunyikan diri.
Co Kim Jie mengetahui tentang hwesio ini, tetapi sebab
orang tidak muncul di muka umum dan dia tidak terdengar
berbuat jahat, ia pun membiarkannya saja, hingga ia lupa.
Maka adalah di luar dugaan, bahwa sekarang, pada peringatan
tahun ke lima puluh dari meninggalnya Tokpie Sinnie, murid
Liauw In ini muncul secara tiba-tiba bersama dua hamba
negara itu, dua muridnya, dan sekarang dia menyebut dirinya
Biat Hoa Siangjin.
Biat Hoa lebih liehay daripada enam di antara Cithiap, maka
bisalah dimengerti kalau dia memandang tidak mata kepada
semua orang Binsan Pay. Bukankah Lu Su Nio sudah tidak
ada" Pantas kalau tadi dia dapat melemparkan dua anak muda
Binsan Pay dan kedua muridnya dapat meruntuhkan pelbagai
alat senjata anak-anak muda Binsan Pay yang melunak
mengeroyok. Walaupun hanya murid Liauw In, ilmu silatnya
sebenarnya berimbang dengan kepandaian Co Jin Hu
berenam. Bukankah Co Jin Hu berenam, resminya menjadi
murid Tokpie Sinnie tetapi kenyataannya, hanyalah murid
Liauw In" "Co Kim Jie!" kata pula Biat Hoa. "Kau menjadi ciangbunjin,
siapakah yang mengangkat kau ke dalam kedudukanmu ini?"
Ketua itu menjadi gusar.
"Berdasarkan hak apa kau berani bicara begini rupa
terhadap aku?" dia menanya bengis.
"Hak" Tentu ada hakku!" sahut Biat Hoa, mengejek.
"Guruku adalah murid kepala Tokpie Sinnie, aku sendiri murid
satu-satunya dari guruku, maka mengenai kedudukan, tingkat
derajatku lebih tinggi daripada tingkat derajatmu! Maka akulah
yang berhak menjadi ciangbunjin! Sedikitnya, umpama kata
aku suka mengalah, untuk mengangkat ketua, selayaknya saja
kau menanyakan dulu pendapatku!"
"Biat Hoa Hwesio!" kata Tiong Bouw dengan mendelu,
karena hatinya panas mendengar mulut besar si pendeta, "kau
harus ingat, kau bukan lagi kaum Binsan Pay! Ketika Co Suci
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menerima kedudukannya ini, dia menerima petunjuk dari Lu
Susiok kami semasa hidupnya Lu Susiok! Kau sendiri, mana
ada hakmu?"
Biat Hoa tertawa, tertawa dingin.
"Ketika Lu Su Nio memutuskan itu, dia telah menyalahi
kedudukannya!" ia kata. "Bukankah dia murid termuda"
Kenapa dia berani membinasakan kakak seperguruannya"
Bukankah itu berarti kurang ajar terhadap yang tua" Kenapa
dia mengusir kami" Maka sekarang aku hendak membikin
terbalik keadaan dulu hari itu, untuk diperbaiki! Aku menolak
segala tindak tanduknya itu! Sekarang akulah yang mesti
menjadi ciangbunjin!"
"Tapi kau harus ingat, bahwa Liauw In murid murtad, dia
berlaku kurang ajar terhadap gurunya!" Ek Tiong Bouw
menegur. "Ketika itu kita membersihkan rumah tangga sendiri,
dari itu siapa bersalah, dia harus dihukum-dihukum mati!
Ketika itu tidak datang tentangan apa juga dari kalangan
Rimba Persilatan! Keputusan telah diambil dan dijalankan,
apakah kau rasa itu dapat diubah-ubah sekehendakmu" Tidak.
Mengapa kau justeru tidak mau ingat kebaikan cianpwee kita,
yang dulu telah memberi ampun Kepadamu" Kenapa kau
sekarang berani datang kemari, mengacau dan merusak,
melanggar kesucian Lu Susiok" Apakah kau kira kami kaum
Binsan Pay dapat memberi ampun padamu" Hm!"
Biat Hoa tertawa.
"Ek Tiong Bouw!" katanya. "Kaulah congcu dari satu
cabang Binsan Pay, kaulah Pangcu dari Kaypang, dalam
kalangan Rimba Persilatan, kau sudah kenamaan, kenapa kau
tidak mau ingat, siapa minum air dia mesti tidak melupakan
sumbernya" Apakah terhadap guruku kau berani berlaku
kurang ajar begini" Tahukah kau bahwa kepandaian silat
gurumu, Kam Hong Tie, adalah berkat bimbingan guruku"
Kenapa sekarang kau berani lancang menyebut nama guruku"
Untuk kurang ajarmu ini kau tidak dapat diberi ampun! " "
Dan kau, Co Kim Jie! Dulu, sebagai seorang siauwpwee, kau
sudah turut-turut Lu Su Nio berbuat kurang ajar kepada orang
yang tingkatnya lebih tua, dan hari ini, kau merampas
kedudukan ciangbunjin, maka hebat kesalahanmu! Sekarang
aku dapat memberikan kau dua jalan untuk kau pilih! Yang
pertama ialah kau bersama aku bertempur satu lawan satu!
Jikalau kau dapat melawan aku sampai sepuluh jurus, suka
aku mengakui kau sebagai ciangbunjin Binsan Pay! Yang
kedua sederhana sekali! Ialah kau berlutut dan menganggukangguk
padaku, untuk mohon maaf, lalu harus diadakan
pemilihan ciangbunjin yang baru! Setelah itu, lantas kamu
membikin batu nisan untuk kuburan guruku, dan kamu
berkabung untuk berbakti terhadapnya. Dengan begini,
bereslah sudah peristiwa dari masa dahulu itu!" (Ada
sebabnya kenapa Biat Hoa menyebut Tiong Bouw sebagai
congcu, semacam ketua partai. Itulah karena semasa
hidupnya, Kanglam Cithiap menyebut dirinya masing-masing
sebagai satu kaum-cong. Sedang di antaranya, kaum Kam
Hong Tie dan Pek Tay Koan adalah yang paling makmur dan
menjadi dua yang terbesar.)
Mendengar itu, bukan kepalang gusarnya Co Kim Jie,
hingga tidak dapat ia menguasai dirinya lagi, tanpa kata apaapa,
ia lantas menyerang dengan tongkatnya!
Ek Tiong Bouw juga bersiap dengan tongkatnya, guna
membantu kakak seperguruan atau ketuanya itu.
Biat Hoa Siangjin diserang, dia tertawa bergelak-gelak.
Lincah sekali dia berkelit dari serangan Liongtauwkoay
(tongkat kepala naga) Co Kim Jie. Habis itu, bukannya dia
membalas menyerang kepada ciangbunjin itu, dia justeru
menghadapi Ek Tiong Bouw dan membentak: "He, kenapa kau
tidak mau lekas-lekas mengembalikan sianthung guruku?"
Pendeta ini berkata begitu karena sekarang ia mengenali
tongkat di tangan Tiong Bouw itu. Tongkat itu terbuat
daripada besi. Setelah Liauw In mati sianthung itu diambil
Kam Hong Tie, diubah menjadi tongkat biasa, lalu diserahkan
pada Lu Ceng. Lu Ceng, atau Thie Koaysian, adalah murid
kepala dari Kam Hong Tie. Karena bersenjatakan tongkat itu,
Lu Ceng memperoleh julukan "Thie Koaysian" (si Dewa
Tongkat Besi). Itulah julukan Lie Thie (Tiat) Koay, salah
seorang dewa dari Delapan Dewa (Pat Sian). Ketika kemudian
Lu Ceng menutup mata, tongkat itu diserahkan kepada adik
seperguruannya, Ek Tiong Bouw.
Biat Hoa tidak hanya menegur Tiong Bouw, sembari
berkata, ia terus menyerang. Sebab sekali tindakannya yang
dinamakan Tindakan Naga Melingkar, atau "Poan-liong
Jiauwpou," dengan apa ia menyingkir dari serangan Co Kim
Jie. Tiong Bouw juga berlaku sangat sebat. Dia mengangkat
tongkatnya dengan gerakan "Guntur dan kilat saling
menyambar", dia menyerang kepala si pendeta yang murtad
seperti gurunya.
"Bagus!" seru Biat Hoa. Dia tidak berkelit, dia tidak
menangkis, hanya disambutnya kemplangan itu. Dengan
mengegos kepalanya sedikit, yang dimiringkan, dibiarkannya
tongkat itu menghajar pundaknya. Keras terdengar suara
hajaran itu! Tapi dia tidak kurang suatu apa, sebaliknya, Tiong
Bouw kaget dan heran, karena tongkatnya meleset, mental ke
samping. Segera setelah pundaknya dihajar, Biat Hoa bergerak lebih
jauh, sebelah tangannya menyambar bagai golok kepada
murid Kam Hong Tie.
Tiong Bouw bingung. Dia sudah liehay, tetapi serangan si
pendeta sangat luar biasa. Untuk menolong diri, dia coba
menggunakan tipu mengelit diri yang dinamakan "Tiatpoan
kio", atau Jembatan Besi. Tapi dia kalah sebat. Tahu-tahu
tongkatnya sudah kena disambar lawan yang liehay itu,
tubuhnya sendiri merasakan suatu dorongan keras.
Menurut pantas, Ek Tiong Bouw dapat melayani Biat Hoa
selama dua atau tiga puluh jurus, kalau sekarang dia menjadi
terdesak demikian cepat, itulah karena kesegarannya belum
pulih antero-nya bekas terluka pukulan Siulo Imsat Kang Beng
Sin Thong beberapa hari yang lalu, teratai salju yang
dimakannya belum sempat menolongnya seluruhnya. Sebisabisa
ia masih berkeras mempertahankan gagang tongkatnya,
supaya tidak terampas musuh.
Biat Hoa Hwesio menggerakkan tangannya, ditarik dan
dilonjorkan, maka robohlah Ek Tiong Bouw, jatuh terpelanting.
Sambil menggenggam tongkat besi, ia tertawa bergolak dan
berkata: "Ek Tiong Bouw, kau masih harus mempelajari
banyak ilmu silat kita Ciamie Sippat Tiat!" Setelah itu, ia cepat
memutarkan tubuhnya, tangannya turut bergerak. Tepat ia
berbalik, datanglah serangan yang ketiga dari Co Kim Jie,
dengan jurus "Ngoteng Kaysan". Maka bentroklah tongkat
mereka, suaranya demikian nyaring hingga menulikan telinga,
lama suara itu masih mendengung.
Celaka untuk Kim Jie, tangannya sakit dan kesemutan,
hingga ia tidak berani pula melawan keras dengan keras. Tapi
ia tidak mau menyerah kalah dengan begitu saja, segera ia
menyerang pula.
Kim Jie adalah Ciangbunjin, ketua partai, dan semasa
kecilnya, ia pernah menerima petunjuk berharga dari Liehiap
Ie Lan Cu, jago wanita dari Thiansan, kepandaiannya bukan
sembarang kepandaian, maka dapat ia menguasai dirinya. Kali
ini ia menikam lempang, tongkatnya digerakkan bagaikan
poankoan pit. Bahkan ia mendesak.
Beruntun tujuh kali Biat Hoa ditotok pergi pulang, selama
itu dia berhasil menyelamatkan diri. Dialah murid yang
mewariskan ilmu silat Liauw ln Hwesio, selain liehay, dia
mengenal baik ilmu silat partainya, dari itu, dapat dia melayani
ketua Binsan Pay ini. Tidak berdaya Kim Jie untuk merobohkan
lawannya ini. Setelah menghalau setiap serangan Co Kim Jie, Biat Hoa
melakukan penyerangan membalas. Dengan berani ia pun
menggunakan tipu silat serupa, ialah "Ngo-teng Kaysan", atau
"Lima orang malaikat membuka gunung". Mulanya ia
menghalau setiap serangan, lalu ia membalas dengan mencari
jalan darah soankie hiat di dada si lawan wanita.
Kim Jie mesti membela diri, terpaksa ia menangkis, hingga
kembali ia keras lawan keras, dan terhuyung mundur tiga
tindak karenanya.
Biat Hoa Hwesio tidak berhenti sampai disitu. Ia melompat
maju, untuk mengulangi serangannya. Keras-keras ia
mendesak, hingga lekas juga Co Kim Jie seperti tak bisa
bernapas. Semua murid Binsan Pay menjadi terkejut karena heran
dan kuatirnya. Mereka tidak menyangka, bahwa pendeta ini
demikian liehay. Mereka juga menghadapi kesulitan.
Cio Kim Jie menjadi ciangbunjin, ketua mereka. Karena
sang ketua yang turun tangan sendiri, mereka sebagai murid,
tidak dapat maju bersama untuk membantu. Itu artinya
pengepungan. Di samping itu, Biat Hoa pun melayani ketua
mereka dengan ilmu silat partai mereka. Terutama di depan
demikian banyak orang, kemenangan dengan pengepungan
bukannya kemenangan yang mengharumkan nama.
Menurut aturan Rimba Persilatan, masih ada lain jalan
untuk membantu Co Kim Jie sebagai ketua, ialah dengan
majunya satu orang, untuk menggantikan, akan tetapi
tindakan itu tidak dapat dilakukan. Semua orang jeri untuk
maju, setelah melihat betapa liehaynya Biat Hoa. Bukan saja
ketua mereka sendiri telah terdesak hebat, tadipun Ek Tiong
Bouw dapat dirobohkan hanya dalam tidak lebih daripada dua
jurus. Dengan maju menggantikan, bukan melainkan tidak ada
hasilnya, bahkan mungkin mereka akan berkorban cumacumatewas atau terluka parah-yang tentu menambah
turunnya pamor Binsan Pay.
Dua perwira yang mengikuti Biat Hoa Hwesio itu juga
menonton dengan perhatian sepenuhnya, mata mereka
hampir tidak berkesip.
Setelah tiba jurus ke lima Biat Hoa telah makin unggul,
tongkatnya bagaikan mengurung Kim Jie. Menampak
demikian, dua perwira itu lega sekali hatinya. Mereka saling
memandang, dan tertawa.
Justeru mereka tengah kegirangan, Biat Hoa Hwesio
mendamprat mereka: "Hai dua makhluk tolol!" demikian
cacinya. "Apakah perlunya kamu datang ke Binsan ini" Kenapa
kau masih tidak mau lekas-lekas bekerja" Cepat kamu
bongkar kuburan Lu Su Nio!"
Kedua perwira itu terkejut, tetapi mereka sadar.
"Baik!" mereka menjawab. Mereka mengangkat sekop dan
menghampirkan kuburan Lu Su Nio, guna mulai membongkar.
Itulah hebat! Tak dapat perbuatan biadab itu dibiarkan
saja! Maka dua orang Binsan Pay segera maju, untuk mencegah.
Merekalah le Kauw dan Khiu Giok, dua orang murid tersayang
dari Pek Tay Koan. Dalam Binsan Pay, mereka termasuk
generasi atau angkatan kedua, dan mengenai ilmu silat,
mereka hanya kalah sedikit dari Ek Tiong Bouw, Co Kim Jie,
Louw Too In dan Lim Kim Seng berempat. Mereka yang harus
maju karena waktu itu Kim Jie repot melayani lawan, sedang
Tiong Bouw terluka, dan Too In dan Kim Seng tidak dapat
hadir dalam pertemuan itu. Jadi merekalah yang terhitung
paling tangguh di saat itu.
Kedua perwira itu tahu, bahwa ada orang menyerang
mereka, salah satu di antaranya menghunus pedangnya dan
menangkis tanpa memutar tubuh lagi, menghalau serangan,
sedang kawannya terus bekerja.
Pek Tay Koan terkenal sebagai Sintoo Ciu, si Golok Mustika,
maka bisa dimengerti betapa liehay ilmu goloknya. Dalam
dunia kangouw, ia terkenal dan dimalui. Sebagai murid-murid
kesayangan Pek Tay Koan, Ie Kauw dan Khiu Giok tentu tidak
dapat dipandang enteng, sedang sekarang mereka menyerang
dengan hebat. Dalam gebrakan selanjutnya, empat orang itu bertempur
dalam dua rombongan. Perwira yang lain terpaksa mesti
melepaskan sekopnya dan menukar itu dengan pedang.
Artinya, mereka satu lawan satu. Kedua perwira itu hebat.
Mereka menggunakan pedang tetapi ilmu silat mereka ialah
ilmu silat golok Pek Tay Koan. Inilah di luar daripada
kebiasaan. Sebaliknya daripada kikuk, pedang mereka menjadi
liehay sekali. Pedang bermuka dua, tidak seperti golok yang
bermuka satu, jadi kedua tajamnya dapat bergerak lebih
leluasa. Mereka pun sangat sebat.
Dalam beberapa jurus saja, Ie Kauw dan Khiu Giok telah
menjadi repot, di waktu didesak, dalam jurus yang ke enam
belas, lengan mereka kena terserempet pedang. Benar lengan
itu tidak terluka parah, tetapi darahnya sudah lantas
mengucur keluar.
Co Kim Jie tetap terdesak Biat Hoa Hwesio, walaupun
begitu, ia masih belum kalah, hingga ia sempat melihat dua
adik seperguruan itu terluka. Ia menjadi kaget berbareng
gusar, karena mana, hampir saja ia terhajar tongkat
lawannya. Biat Hoa juga melihat terlukanya Ie Kauw dan Khiu Giok,
sembari berkelahi terus, ia tertawa dan mengejek: "Kamu
dikenal sebagai murid-murid angkatan ketiga dari Binsan Pay
tetapi muridku pun kamu tidak sanggup lawan! Rupanya kamu
sangat asing dengan ilmu silat partai kita! Dan kau, apakah
kau masih ada muka untuk menjadi ciangbunjin?"
Kata-kata yang terakhir ini ditujukan kepada Kim Jie.
Coba Liauw In tidak telah dipecat dari Binsan Pay maka
kedua perwira itu, yang menjadi muridnya, mesti terhitung
sebagai murid-murid Binsan Pay angkatan ke empat. Atau
dengan kata lain, Ie Kauw dan Khiu Giok ialah susiok atau
paman guru mereka. Benar ilmu kepandaian Pek Tay Koan
diajarkan oleh Liauw In tetapi aturan derajat tak dapat
diabaikan. Sekarang paman guru dikalahkan keponakan murid,
itulah hebat. Karena itu, le Kauw dan Khiu Giok terpaksa
mundur tanpa bersuara.
Semua orang Binsan Pay menjadi bingung. Siapa lagi dapat
maju" Dua perwira itu tidak menyerang terus pada Ie Kauw dan
Khiu Giok, yang sudah mengundurkan diri, sebaliknya mereka
bekerja pula, menggunai sekop mereka, untuk menggali
kuburan Lu Su Nio.
"Dunia terbalik! Dunia terbalik!" Ek Tiong Bouw berseruseru
saking gusarnya. Mana dapat keponakan murid
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membongkar kuburan salah seorang tertuanya" Maka dalam
lukanya, dia menyambar thiecio dari tangan seorang
muridnya, dengan membawa itu dia maju untuk menyerang.
Tapi dia sedang terluka, dia tidak bisa dibiarkan saja.
Beberapa orang lantas maju untuk mencegah, sedang
beberapa yang lain, maju untuk menghalang-halangi mereka
itu membongkar terus.
Dalam suasana sangat tegang itu, belum lagi beberapa
murid Binsan Pay sampai di kuburan, mendadak mereka
mendapatkan seorang melompat mendahului mereka.
Bagaikan seekor garuda menyambar, kedua tangannya
menjambak masing-masing seorang perwira, dan belum
sempat mereka itu meronta, tubuh mereka sudah terangkat
naik terlempar pergi, dan jatuhnya tepat di depan Ek Tiong
Bouw"jatuh terlentang dengan kaki di atas, lalu tubuh
mereka tak bergeming lagi!
Semua orang menjadi heran dan kagum. Orang yang hebat
itu ialah Kim Sie Ie. Bukankah dia baru saja dikepung orangorang
Binsan Pay" Kenapa sekarang dia justeru membantu
partai yang tadi memusuh-kannya" Tidakkah heran, bahwa
kedua perwira itu, yang demikian liehay, roboh hanya dalam
satu sambaran"
Biat Hoa Hwesio terkejut, hatinya panas. Ia belum pernah
melihat Kim Sie Ie, akan tetapi, menyaksikan roman orang dan
sepak terjangnya, ia lantas dapat menduga kepada Tokciu
Hongkay. Di dalam hatinya ia berkata: "Jahanam ini benarbenar
liehay, dia tidak lebih lemah dariku!" Dengan hebat ia
mendesak Co Kim Jie, hingga si nyonya mundur tiga tindak,
habis mana dia melengak dan tertawa nyaring.
"Co Kim Jie!" serunya, mengejek. "Kau menjadi ciangbunjin
tetapi kiranya kau bersandar kepada lain orang! Binsan Pay
disebut partai sejati, jikalau kau harus menggunakan
penunjang orang luar, tidak seharusnya kau mengundang
Tokciu Hongkay yang namanya kesohor busuk! Dengan ini
maka hilanglah sudah muka terangmu, kau merusak nama
baik Binsan Pay! Maka hari ini aku akan mengusir kau keluar
dari partai kita!"
Muka Co Kim Jie menjadi merah, ia malu dan gusar sekali.
"Siapa minta bantuan orang luar?" ia berseru. "Kau ngaco
belo! Mari makan tongkatku!"
Sebenarnya nyonya ini berniat mendamprat Kim Sie Ie,
yang membantu tanpa diminta, akan tetapi, ketika ia ingat si
pengemis edan telah membantu padanya, ia membatalkan itu.
Ia ingat juga, bahwa para hadirin sudah tahu akan duduknya
hal. Bukankah ia, atau partainya, telah bentrok dengan Tokciu
Hongkay" Hanyalah saking terpaksa, ia menegur Biat Hoa
dengan "ngaco belo"-nya itu. Iapun membuktikan
ancamannya, ia segera maju pula.
Biat Hoa Hwesio tidak menggubris caci si nyonya, sembari
menangkis ia tertawa mengejek, saban-saban ia bersuara
"Hm!" nyaring dan menusuk telinga. Hanyalah tidak dapat
terus menerus ia menghina secara begitu. Segera terdengar
tertawa Kim Sie Ie yang nyaring, yang menindih tertawanya
itu. Ia menjadi mendongkol, ia menoleh kepada si pengemis,
matanya dipelototkan.
"Kau tertawakan apa?" ia menegur.
"Aku mentertawai kau, yang mengeluarkan angin busuk!"
sahut Kim Sie Ie tenang.
Dalam mendongkolnya, Biat Hoa mendesak pula Kim Jie,
sesudah orang mundur tiga tindak, ia menoleh pula pada si
pengemis. "Apakah aku salah omong?" dia tanya. Dia maksudkan
ejekannya kepada Kim Jie.
Kim Sie Ie tertawa dingin.
"Memang!" sahutnya. "Co Kim Jie orang macam apa" Mana
dia dapat mengundang aku meminta bantuanku?"
"Habis, apakah perlunya kau datang kemari?" tegas Biat
Hoa. "Aku datang dengan maksudku sendiri!" menyahut Sie Ie.
"Co Kim Jie berkepandaian biasa saja, aku tidak melihat
sebelah mata padanya, tetapi Lu Su Nio lain, ialah orang yang
seumurku paling kuhargakan! Hari ini aku datang menjenguk
kuburan Lu Su Nio! Aku melarang siapa juga merusak
kuburannya! Siapa yang mengganggu sebatang pohonnya,
atau selembar rumput, atau secokelan tanahnya-Hm! Tidak
dapat aku membiarkannya!"
"Jadi kamu datang untuk Lu Su Nio?" Biat Hoa menegaskan
pula. "Kau boleh berebut mulut dengan Co Kim Jie tentang
kedudukan ciangbunjin, tentang urusan partai kamu, semua
itu aku tidak perduli!" kata Kim Sie Ie. "Tapi barusan kau
mencaci aku, cacian itu aku catat dalam perhitunganku!"
Mendengar orang datang bukan guna urusan Binsan Pay,
hati Biat Hoa lega.
"Jadi kau hendak membuat perhitungan denganku?"
katanya. "Baiklah! Bagus, bagus sekali! Kau tunggu sampai
aku telah membikin beres urusan Binsan Pay, lantas aku
bersedia untuk melayani kau!" Ia melirik si pengemis edan, ia
mendapatkan pengemis itu berdiri di samping kuburan Lu Su
Nio. Jadi benar dia tidak lantas turun tangan.
Sekarang Biat Hoa benar-benar berhati lega, maka ia dapat
melayani lagi Co Kim Jie dengan bersungguh hati. Ia ingat,
bahwa ia sudah melawan ketua Binsan Pay itu sampai delapan
jurus, sedang tadi ia mengatakan, ia hendak merobohkan Kim
Jie dalam sepuluh jurus...
Co Kim Jie tidak mengambil mumat bahwa orang lagi
mengadu mulut, ia tetap maju, ia menyerang terus dengan
tongkatnya. Bahkan tengah orang berbicara, ia menyerang
hebat sekali. Biat Hoa Hwesio melihat serangan itu.
"Bagus!" serunya, sambil menangkis. Ia menggunakan
jurusnya "Naga bersembunyi naik ke langit".
Itulah jurus terliehay dari "Hokmo Thunghoat", ilmu
tongkat "Menaklukan Iblis".
Kedua tongkat bentrok keras, suaranya nyaring sekali,
berkumandang di lembah-lembah. Celaka murid Binsan Pay
yang tenaga dalamnya masih hijau, telinganya terasa ketulian
dan sakit sampai mengeluarkan darah.
Kesudahan bentrokan itu juga hebat untuk Co Kim Jie,
ketua Binsan Pay itu. Tanpa dapat dipertahankan, tongkatnya
bengkok melengkung hingga ujung tongkat lawannya
bagaikan tercangkel terjepit. Sudah begitu, bukannya Biat Hoa
menarik pulang tongkatnya itu, dia bahkan terus memutarnya
dengan tenaga yang dipusatkan. Kali ini dia menggunakan
jurus "Hoankang tohay", yaitu "Membalikkan sungai dan laut".
Mau atau tidak, tongkat Kim Jie tertarik hingga turut terputar!
Di saat ciangbunjin Binsan Pay itu memegang tongkatnya
erat-erat seraya memasang kuda-kudanya kuat-kuat, untuk
melindungi kehormatannya, di antara mereka terdengar satu
suara nyaring halus, lalu tampak berkelebatnya satu cahaya
putih. Cahaya itu mencelat keluar dari antara orang-orang
Binsan Pay, yang sejak tadi asyik menyaksikan pertempuran
dahsyat itu. Sebagai kesudahannya, yang dibarengi berkilaunya cahaya
pedang, terdengarlah suatu suara nyaring!
Sekarang orang melihat munculnya Kok Cie Hoa, si nona
muda belia. Dia menyerang dengan pedangnya, bukan kepada
Co Kim Jie, bukan kepada Biat Hoa Hwesio, hanya ke tengah
tongkat mereka, atas mana lantaslah kedua tongkat itu
terlepas satu dari lain!
Kesudahannya hebat untuk Co Kim Jie, yang lagi menarik
tongkatnya keras-keras, ketika tongkat itu bebas, lolos dari
cangkelan, ia tidak dapat menahan tubuhnya. Maka syukur
untuknya, Lie Ho yang sebat sudah lantas berlompat
menubruk untuk menahan tubuhnya itu.
Semua orang heran dan kagum.
Sebenarnya, mengenai tenaga dalam, Kok Cie Hoa juga
tidak dapat menandingi Biat Hoa Hwesio. Akan tetapi, di
samping kelemahan itu, ia menang ringan tubuhnya dan
kecerdasannya, ia dapat menggunakan kecerdikannya.
Ilmu silat pedang Lu Su Nio ialah "Hian Lie Kiamhoat". Ilmu
pedang itu memang teristimewa untuk wanita, yang biasanya
kalah tenaga daripada pria. Maka ilmu itu serasi untuk Cie
Hoa. Ilmu pedang itu jadinya mengutamakan kecerdikan.
Karena itu, kesohornya ilmu pedang itu sama dengan
kesohornya Thiansan Kiamhoat, ilmu pedang Thiansan Pay.
Thiansan Kiamhoat menang kuat, Hian Lie Kiamhoat menang
lincah. Demikian, dengan kegesitan dan kecerdikannya, si
nona memisahkan mereka, dengan mana pun berarti ia
menolong Kim Jie.
Biat Hoa tidak menyangka, bahwa akan ada orang yang
menyelak. Ketika itu ia tengah mengerahkan tenaganya untuk
membikin Co Kim Jie terlempar roboh. Coba ia berlaku tenang,
mungkin Cie Hoa tidak berhasil membuat tongkatnya itu
terlepas. Ia terkejut mendapatkan nona itu, yang masih begitu
muda, sudah sedemikian liehay. Ia berniat membuka
mulutnya, buat menegur, hanya belum lagi ia sempat berbuat
begitu, ia sudah didahului si nona
"Suci, untuk menyembelih ayam tak usahlah memakai
golok kerbau!" kata si nona, yang sengaja bersikap jumawa.
"Pendeta jahat ini berani mengganggu kesucian kuburan
guruku, sudah seharusnya saja aku yang memberi hajaran
padanya! Maka harap suci memberikan perkenan padaku!"
Hwesio itu menjadi heran.
"Apa?" katanya. "Kau murid Lu Su Nio?"
Kok Cie Hoa membalingkan pedang Songhoa Kiam warisan
gurunya itu. "Keledai gundul!" dia menegur, "apakah manusia sebagai
kau dapat sembarang menyebut nama guruku" Hm!" lantas
saja teguran itu dibarengi tikaman "Gioklie coan-ciam", atau
"Bidadari memasukkan jarum", ke tenggorokan si pendeta!
Ketika itu Co Kim Jie, yang napasnya memburu, tengah
berduka sekali dan ruwet pikirannya. Itulah karena kata-kata
Cie Hoa, yang memohon perkenan untuk mewakilkan ia
menghukum Biat Hoa. Dapatkah ia meluluskan" Kalau ia
memberi ijin, apakah itu bukan berarti ia mengakui si nona
anggauta Binsan Pay" Nona itu memang murid Lu Su Nio!
Jikalau ia menolak, suasana sedang demikian tegang dan
berbahaya! Tanpa Cie Hoa, siapa dapat menentang Biat Hoa
Hwesio yang tangguh dan temberang itu"
Ek Tiong Bouw dapat mengerti kesulitan ketuanya itu.
"Suci, sukar didapatkan orang sebagai Cie Hoa, yang sudah
mengajukan diri," ia berbisik, "maka biarlah dia mencobacoba..."
Kim Jie berpikir keras. Ia tidak dapat menyia-nyiakan waktu
lagi. Maka ia berkata dengan nyaring: "Kok Cie Hoa, kau
lakukanlah tugasmu! Kalau sebentar si pendeta jahat telah
dipukul mundur, aku tahu bagaimana aku harus bertindak!..."
Kata-kata itu ialah kata-kata pengakuan bahwa Cie Hoa
orang Binsan Pay!
Hanya, belum lagi habis suara si ketua Binsan Pay itu, Kok
Cie Hoa sendiri sudah bergebrak dengan Biat Hoa Hwesio,
yang ia serang keras-keras. Si hwesio, yang heran dan
penasaran, sudah melayani bertempur, hingga pedang dan
tongkat itu sering bentrok dengan berbunyi keras dan nyaring.
Hingga suara nyonya itu sampai tak kedengaran tegas.
Cie Hoa menginsyafi, bahwa ia kalah tenaga dalam, maka
juga begitu menyerang ia mendesak, ia pun menggunakan
siasat, ialah tikamannya kadang-kadang gertakan belaka.
Berbareng dengan itu, ia menggunakan kelincahannya. ialah ia
melompat ke segala penjuru, ke samping dan ke belakang dan
balik ke depan atau ke samping lain. Artinya, ia berputar-putar
mengitari lawannya yang kuat itu. la membuat mata orang
berkunang-kunang kesilauan cahaya pedangnya yang
berkilauan. Menghadapi serangan secara demikian, Biat Hoa Hwesio
berlaku tenang. Ia memutar tongkatnya hingga, umpama
kata, air pun tak dapat menembusinya. la berputaran
mengikuti si nona, agar tidak sampai ia kesalahan tangan.
Maka saking seringnya senjata mereka beradu, suara berisik
tak hentinya menulikan telinga
Cepat jalannya pertempuran itu, sebentar saja sudah
sepuluh jurus, terus meningkat hingga dua puluh jurus.
Semua hadirin, kecuali Kim Sie Ie, heran dan kagum tak
terkirakan. Semua kenal Biat Hoa, yang liehay sekali. Buktinya
Tiong Bouw roboh dalam segebrakan dan Kim Jie tak dapat
bertahan sampai sepuluh jurus. Sebaliknya nona ini, yang
sangat muda, yang baru dikenal dan belum diketahui
kepandaiannya, ternyata dapat bertahan demikian lama!
Bahkan setelah dua puluh jurus, ia masih tetap gagah, tidak
ada tanda-tandanya, bahwa ia akan kalah!
Akhir-akhirnya, saking kagum, orang lantas bersorak setiap
kali serangan si nona tampak berbahaya sekali, tidak perduli
Biat Hoa saban-saban dapat menangkis atau mengelakkannya.
Sejenak itu, lenyaplah kekuatiran mereka, bahwa si nona nanti
kena dikalahkan pendeta ganas itu.
Co Kim Jie berdiam saja hatinya diliputi kedukaan dan
kemendongkolan. Ia pun malu sekali, hingga kulit mukanya
sebentar merah dan sebentar pucat. Ia merasa sangat risau
sendirinya. Kim Sie Ie melihat kesulitan ketua Binsan Pay itu, ia
tertawa dalam hatinya.
Pertempuran terus berlangsung. Sampai pada jurus ketiga
puluh, Biat Hoa tetap terkurung sinar pedang, meskipun tidak
ada tandanya bahwa dia sudah dekat kalah. Dia tampak agak
terdesak. Itulah ada sebab-sebabnya.
Ilmu pedang Hian Lie Kiamhoat diciptakan Tokpie Sinnie
pada han tuanya. Ilmu silat itu diwariskan kepada Lu Su Nio
seorang. Liauw In Hwesio diajari semua ilmu tetapi tidak ilmu
pedang ini. Maka di samping dia memang gagah, menghadapi
Tiong Bouw dan Co Kim Jie, hatinya tabah. Sama-sama orang
dari satu perguruan, dan ia mengenal baik ilmu silat mereka
itu. Demikian, sambil bersedia, dengan gampang saja ia dapat
mengalahkan dua orang itu. Tidak demikian menghadapi Kok
Cie Hoa, karena Hian Lie Kiamhoat asing untuknya. Oleh
karena ini, karena ia pun ingin merobohkan si nona, maka ia
bertarung dengan waspada, tidak segarang tadi waktu
melayani Kim Jie. Ia malu nanti ditertawakan kaum Rimba
Persilatan. Itulah akan terjadi kalau ia roboh.
Lewat jurus ketiga puluh itu, maka ilmu silat pedang Hian
Lie Kiamhoat Kok Cie Hoa telah digunakan lebih daripada
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
separuhnya. Selama melakukan perlawanan, Biat Hoa sudah
mengamat-amati-nya, maka selanjutnya, ia mulai
mengenalnya, bahkan ia lantas mendapat kenyataan si nona
kalah tenaga dalamnya. Ia lantas percaya, bahwa akhirnya
ialah yang akan memperoleh kemenangan. Karena ini, dengan
perlahan-lahan ia menukar siasat. Ialah ia mulai melakukan
penyerangan juga, untuk membalas merepotkan nona itu.
Dengan begitu, tongkatnya yang kasar dan berat itu lantas
dapat mengimbangi pedang Songhoa Kiam
Sampai disitu, semua hadirin menonton dengan perhatian
sepenuhnya. Tidak lagi ada yang bersorak seperti tadi.
Sekarang mereka melihat kedua pihak sama imbangannya.
Diam-diam pun ada yang merasa kuatir...
Selagi bertarung seru itu, mendadak Biat Hoa berseru
nyaring, dibarengi serangan toyanya dengan jurusnya
"Pathong hong-ie", ialah "Angin dan hujan di delapan
penjuru". Benar hebat serangannya ini, sebab tongkatnya
mendatangkan suara angin menderu-deru, seperti gemuruh
guntur. Dengan begitu, dengan lantas Cie Hoa seperti berbalik kena
dikurung tongkat! Banyak penonton yang hatinya lantas
berdenyutan. Biat Hoa menggunakan kekerasan, tetapi itu justru
membangkitkan semangat perlawanan Cie Hoa. Si nona ingin
melepaskan diri dari kurungan itu. Maka mendadak saja
tubuhnya meloncat tinggi, sambil mencelat itu, pedang dan
tongkat beradu. Ialah ujung pedang menowel dan menekan
batang tongkat, membantu ia mencelat. Tapi, belum sempat
ia lolos dari kepungan, dengan liehaynya si pendeta sudah
menyusulkan serangan "Cianliong Bengthian" yang sangat
berbahaya, ialah jurus "Naga bersembunyi naik ke langit",
yang tadi Biat Hoa gunakan terhadap Co Kim Jie!
Di antara para hadirin ada beberapa orang tua, yang
usianya sudah enam puluh lebih, ketika mereka menyaksikan
tipu silat Cie Hoa ini, mereka kagum hingga mereka bersorak.
Tipu silat itu memperingatkan mereka pada saat Lu Su Nio
membersihkan partainya, ketika Lu Su Nio, dalam saat sangat
berbahaya, merebut kemenangan atas Liauw In.
Hanyalah sayang, meskipun Kok Cie Hoa telah mewariskan
ini, masih kurang sempurna latihannya. Pula ia masih terlalu
muda dan kurang pengalaman. Memang, ketika Lu Su Nio
baru mulai muncul, dia tidak segagah Cie Hoa, hanya sesudah
berselang belasan tahun, dia telah memperoleh kemajuan
pesat, kemajuan yang didapat berkat lanjutan latihan
sungguh-sungguh serta pelbagai pengalaman. Juga, ketika ia
menempur Liauw In itu, Liauw In sudah letih melawan enam
saudaranya yang lain.
"Bagus!" teriak Biat Hoa apabila ia menyaksikan gerakan si
nona. Ia tahu, bahwa itulah jurus yang sangat liehay tetapi ia
tidak takut, bahkan ia bersedia untuk menyambutnya.
Demikian ia membuat dua gerakan dengan berbareng.
Dengan tangan kirinya ia menyerang dengan Pekkhong ciang,
pukulan "Udara kosong", dan dengan tangan kanan, ialah
dengan tongkatnya, ia menusuk ke arah pusar si nona.
Tubuh Cie Hoa seperti lagi melayang di udara, ketika
pedangnya disampok dengan "Pekkhong ciang", pedang itu
menyamping dari sasarannya, hingga terbukalah tubuhnya
bagian depan. Menyaksikan ini, semua penonton kaget tidak
terkira, sebab jiwa Cie Hoa terancam tongkat yang liehay itu.
Pada detik maut itu Cie Hoa memperlihatkan
kepandaiannya yang luar biasa. Ia ternyata masih mempunyai
kepandaian istimewa. Ia menggerakkan kakinya, tubuhnya
melengkung, hingga kedua kakinya itu melewati perutnya,
kaki mana dipakai menginjak ujung tongkat! Maka mengikuti
serangan tongkat itu, tubuhnya mental balik beberapa
tombak, hingga ia lantas dapat menaruh kaki dengan tidak
kurang suatu apa!
Di antara para hadirin, kecuali Kim Jie dan Tiong Bouw
serta beberapa yang lain, hampir tak ada yang dapat melihat
gerakan luar biasa cepat itu, dengan mana Cie Hoa menolong
jiwanya, hingga mereka itu kaget dan menyangka si nona
telah menjadi korban si hwesio ganas.
"Bagus! Bagus!" Kim Sie Ie ber-tepuk-tangan menyaksikan
pertandingan itu. "Ini dia yang dinamakan tipu dengan
kelebihan sendiri menyerang kekurangan lawan! Co Kim Jie,
apakah kau telah melihatnya dengan nyata?"
Kim Sie le mengucapkan kata kata itu dengan suara tenaga
dalam yang mahir yaitu "Coan-im jip-bit", artinya,
"Menyalurkan suara masuk merembes". Ketika Biat Hoa
mendengar itu, dia terkejut, sebab dia merasakan kupingnya
berbunyi mendengung, sedang ketika itu, dia tengah kagum
berbareng menyesal sebab dia gagal merobohkan Cie Hoa.
Tanpa merasa, hati pendeta ini menjadi kacau sendirinya. Tapi
dia lagi menghadapi musuh, dia lekas menenangkannya. Dia
tidak berani melayani si pengemis edan, itulah berbahaya.
Maka dia mengawasi Cie Hoa tajam-tajam.
Setelah terlempar mental itu, Cie Hoa tidak terus berdiam
saja. Ia sama sekali tidak terluka. Sambil berseru nyaring, ia
melompat maju pula, untuk menempur pula si pendeta. Ia
mendapat semangat karena ia mendengar suara Kim Sie Ie
barusan, kata-kata yang membuatnya sadar. Juga kali ini ia
membuat perubahan pada ilmu pedangnya. Ia membuat
gerakan pesat seperti "kupu-kupu menembusi bunga-bunga"
atau "capung menowel air", begitu menyerang, begitu ia
lompat mundur, dan begitu menikam, ia mencelat ke samping.
Demikian ujung bajunya berkibaran dan pedangnya
berkilauan. Pedang Songhoa Kiam nelusup berulang-ulang di
antara tongkat Biat Hoa.
Cie Hoa menang ringan tubuhnya, ia kalah tenaga dalam.
Itu artinya, ia kalah ulat.
Pertempuran macam ini meminta tenaga besar. Si nona
terpaksa berbuat begini sebab ia tidak sudi mundur. Si
pendeta ganas, kuburan gurunya mau dibongkar, maka ia
hendak bertahan, guna melindungi kuburan gurunya itu. Kalau
ia mau, dengan gampang ia dapat mengangkat kaki, tapi ia
tidak sudi berbuat begitu. Maka juga, selagi Biat Hoa
merasakan napasnya mulai sesak, si nona sendiri sudah
bermandikan peluh.
"Keledai gundul ini sombong sekali, kiranya dia benar-benar
liehay," kata Kim Sie le di dalam hatinya setelah ia menonton
sekian lama. "Dilihat begini, kalau aku menempur ia satu
lawan satu belum tentu aku akan dapat mengalahkan dia...
Sekarang ini Cie Hoa belum terlihat tanda-tandanya akan
kalah, akan tetapi apabila mereka bertempur terus secara
begini, mungkin dia sukar lolos dari kekalahan... Aku telah
datang ke gunung Binsan ini, apakah aku mesti menonton
saja?" Walaupun ia berpikir demikian, Sie Ie pusing juga. Ia telah
memikirkan tetapi ia belum mendapat jalan untuk membantu
si nona. Jikalau ia menggunakan tipu saja, yakni secara diamdiam
ia menyerang dengan senjata rahasia, pekerjaan itu
ringan dan mudah sekali, akan tetapi menghadapi Biat Hoa, ia
sangsi juga. Bagaimana kalau ia gagal karena si hwesio sangat
liehay" Di samping itu masih ada satu kesukaran lain. Kok Cie
Hoa lagi membela gurunya, kalau dia menang karena bantuan
orang luar, kemenangan itu bukannya mentereng, bahkan
memalukan. Lagi pula ia telah berjanji, bahwa ia tidak akan
campur tangan dalam urusan Binsan Pay. Maka umpama kata
ia hendak menempur Biat Hoa, ia mesti menanti sampai lain
ketika. Bagaimana sekarang"
Sementara itu pertandingan telah berjalan sampai seratus
jurus. Biat Hoa tampak tetap gagah, kalau bukan semakin
gagah. Tongkatnya menderu-deru terus, tongkat itu agaknya
mencegah Cie Hoa datang dekat kepadanya. Di samping itu,
pedang Songhoa Kiam tetap sama lincahnya, tetap seperti
berterbangan menyambar-nyambar, hingga di mata umum
kedua lawan ini sungguh setanding, sama tangguhnya, tidak
tahu siapa akan menang dan siapa kelak kalah. Melainkan Kim
Sie Ie yang dapat merasa, karena ketika ia mendengar
bentrokan pedang dengan tongkat, suaranya itu semakin
kendor. Itulah tanda, bahwa tenaga si nona telah berkurang
tiga bagian. Ia percaya, kalau pertempuran berlangsung
sampai dua atau tiga ratus jurus, akhirnya Cie Hoa akan
kecundang. Karenanya, ia menjadi semakin gelisah.
Ketika itu, kedua perwira yang tadi dilemparkan Kim Sie Ie
hingga ke depannya Ek Tiong Bouw, telah dibekuk dan
dibelenggu orang-orang Binsan Pay. Tadi mereka tidak sempat
didengar keterangannya. Sekarang, melihat uletnya
pertempuran, Co Kim Jie lantas menggunakan
kesempatannya. Kim Jie menitahkan mereka itu digusur ke
hadapannya, sedang ia sendiri kasak-kusuk dengan Tiong
Bouw, merundingkan tindakan terhadap mereka itu. Telah
disetujui untuk minta bantuan pertimbangan salah seorang
luar yang usianya sudah lanjut, yaitu Hok Poo Yu, piauwsu
kepala dari Cinwan Piauwkiok dari Pakkhia.
Ketika piauwsu itu mendekat, dengan berbisik ia kata pada
Kim Jie dan Tiong Bouw: "Kedua orang ini adalah tongnia dari
pasukan Gielimkun dan telah mendapatkan hadiah baju
makwa kuning dari raja. Yang tinggi itu bernama Kheng Sun
dan yang kate Cin Tay."
Selagi piauwsu ini berkata begitu, dua tawanan itu tiba di
depan mereka. Kheng Sun sudah lantas membuka matanya lebar-lebar dan
berkata dengan nyaring: "Co Kim Jie, kau hendak berbuat apa
terhadap kami?"
Itulah perkataan kasar yang sungguh menantang
Kim Jie menjadi gusar.
"Kenapa kamu berani datang ke Binsan ini untuk
mengacau" Kenapa kamu berani mencoba membongkar
kuburan orang?" bentaknya. "Dosa kamu ialah dosa tak
berampun! Ciangheng teecu, mari! Rangket mereka tiga ratus
kali, kemudian usir mereka turun gunung!"
"Ciangheng teccu" ialah murid Binsan Pay yang bertugas
menjalankan hukuman.
Mendengar itu, Cin Tay tertawa terbahak-bahak.
"Co Kim Jie, beranikah kau?" teriaknya. "Kecuali kalau kau
membinasakan kami maka perbuatan menghina pembesar
pemerintah yang lagi menjalankan tugas ini, tentu akan hebat
akibatnya! Kau sendiri tidak akan sanggup bertanggung
jawab, juga tidak seluruh Binsan Pay! Lihatlah, apa jadinya
dengan Siauwlim Sie" Siauwlim Sie berani menentang
pemerintah, mereka dibakar habis! Jikalau kau tidak berani
membunuh kami, maka aku pasti akan menuntut balas!"
Binsan Pay dibangun oleh Tokpie Sinnie, tujuannya yang
utama ialah menentang pemerintah Boan Ceng, dan berusaha
membangun lagi kerajaan Beng. Lu Su Nio berani membunuh
kaisar Yong Ceng, maka apa yang dibuat takut daripada dua
perwira Gielimkun ini" Hanya di samping itu ada suatu sebab
lain, yang membuat pihak Binsan Pay tidak berani berlaku
berterang. Ialah, aksi mereka selalu dilakukan secara diamdiam.
Umpama kematian kaisar Yong Ceng di tangan Lu Su
Nio. Meski umumnya kaum Rimba Persilatan mengetahuinya,
mereka membicarakannya selalu secara tersembunyi, tidak
ada yang berani menyebut-nyebutnya di muka umum.
Terhadap pemerintah, lebih-lebih itu dirahasiakan. Tidak ada
seorang jua yang mau mengaku ialah yang membunuh raja
Ceng itu. Ini pula sebabnya, mengapa, meski pemerintah
membenci Binsan Pay, perkumpulan itu tidak dapat dihukum
secara terang-terangan.
Thia Ho murid Ciu Sim, dalam Binsan Pay angkatan ketiga,
kedudukannya hanya di bawah Co Kim Jie dan Ek Tiong Bouw.
Mendengar suara Kheng Sun dan Cin Tay, ia lantas dapat
berpikir. Ia memang bertabiat tenang. Ia menarik Tiong Bouw
ke pinggiran 'dan berkata berbisik kepada suheng ini: "Tiga
puluh tahun berselang Bibi Lu telah membunuh Kaisar Yong
Ceng, semenjak itu pemerintah Boan memusuhkan Binsan Pay
kami, hanya karena belum ada alasannya, pemerintah itu
belum bertindak menyengkeram kami. Pemerintah juga tidak
mempunyai pegangan suatu apa terhadap ang-gautaanggauta
kita sebab di muka umum, perbuatan kita tak
tampak nyata. Oleh karena itu, hari ini baiklah kita jangan
menantang pemerintah Boan karena dua orang ini."
Ek Tiong Bouw mengerti pikiran adik seperguruan itu yang
jauh pandangannya.
"Memang sulit untuk membunuh dua orang ini guna
membungkam mulutnya," pikirnya. "Sekarang ini ada banyak
orang luar, maka sukar sekali untuk meminta mereka itu
semua menutup mulut... Bagaimana sekarang" Dibunuh tidak
dapat, dilepaskan juga tidak bisa..."
Co Kim Jie murka sekali, akan tetapi ketika ia ingat akan
kesulitan litu, hawa amarahnya menjadi reda. Tapi mereka
berada di depan orang banyak, mana bisa ia berdiam saja
tanpa mengambil suatu tindakan" Maka ia lantas berpikir
keras. "Kamu berdua jahat sekali!" kemudian katanya dingin.
"Kenapa kamu datang kemari dan berani membongkar
kuburan tertua kami" Maka itu kamu harus dihukum menumt
aturan kaum Rimba Persilatan. Dalam hal ini orang tidak dapat
memandang lagi kamu hamba negeri atau bukan!"
Kheng Sun tidak takut, dia pun membawa sikapnya yang
tawar. "Kau tidak sudi mengakui kami murid-murid Binsan Pay,
maka kami juga tidak sudi mengakui kaulah ciangbunjin
kami!" katanya. "Maka mana dapat kau berlagak sebagai
ciangbunjin terhadap kami" Kau juga tidak dapat bicara
tentang aturan kaum Rimba Persilatan! Anggaplah benar kita
sudah bersalah telah membongkar kuburan tetapi untuk itu
kamu harus kirim kami pada pembesar negeri! Mana dapat
kamu menghukum kami secara diam-diam begini" Tidak dapat
kamu menggunakan hak pribadimu! Apakah pemerintah sudah
tidak ada undang-undang?"
Perkataan ini ada alasannya yang pantas, biarpun berupa
ancaman, itulah tepat. Maka, mendengar itu, Co Kim Jie jadi
menggigil tubuhnya karena menahan hawa amarahnya. Ia
gusar dan mendongkol tanpa dapat melampiaskannya. Hampir
ia memerintahkan ciangheng teecu melakukan juga tugasnya,
atau Cin Tay mendahuluinya.
"Co Kim Jie," kata tongnia Gielimkun itu, "bukankah kau
seorang yang mempunyai rumah tangga" Umpama kami mesti
mengorbankan jiwa kami maka kau juga, kau tidak akan luput
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari bahaya kemusnahan seluruh rumah tanggamu itu! Hanya
sebegini kata-kataku, maka terserah kepadamu, kau hendak
membunuh kami atau bagaimana!"
Hebat kata-kata Cin Tay ini. Co Kim Jie tinggal di
kecamatan Tok-koan, suaminya seorang kenamaan tetapi
suami itu bukan orang kalangan persilatan, maka umpama
kata ia tidak menyayang dirinya sendiri, ia masih harus
mengingat rumah tangganya itu. Ketika ia menoleh kepada
Tiong Bouw dan Thia Ho, mereka ini menggeleng kepala
seraya memperlihatkan air muka yang guram. Itulah isyarat
supaya ia jangan bertindak sembrono.
Selagi Kim Jie dan semua orang Binsan Pay itu sulit sekali
keadaannya, terdengar tertawa nyaring, yang nadanya aneh,
tertawa Kim Sie Ie.
"He, Co Kim Jie!" kata si pengemis edan. "Dua orang ini
akulah yang membekuknya, mengapa kau lancang sekali
menghadapkan mereka kepadamu" Jikalau mereka hendak
dihukum, itulah bukan kekuasaanmu untuk menghukumnya!"
Di waktu berkata demikian, Kim Sie Ie sudah dekat dengan
mereka, sebab tengah mereka itu berbicara dan bingung,
diam-diam ia bertindak mendekati.
Mendengar suara itu, Ek Tiong Bouw menjadi sangat
girang. "Saudara Kim!" ia berseru, "silahkan kau bawa mereka!"
Kim Jie berdiam saja. Tidak perduli berapa besar
mendongkol dan gusarnya, iapun mengerti, bahwa tindakan
Kim Sie le ini tepat sekali untuk pihaknya. Dengan begitu
mereka jadi terlolos dari kesulitan mereka.
Kim Sie le tertawa bergclak-gelak, dengan masing-masing
sebelah tangannya, ia memegang tubuh Kheng Sun dan Cin
Tay, yang ia angkat bagaikan menjinjing benda yang enteng
sekali. Ia menenteng mereka ke depan kuburan Lu Su Nio
dimana mereka tadi secara bengis menggali tanah pekuburan.
Disitu mereka menghadapi Biat Hoa Hwesio dan Kok Cie Hoa,
yang masih asyik bertempur seru walaupun mereka sudah
bertarung selama dua ratus jurus, hingga si nona basah kuyup
bajunya, sedang gerakan pedangnya-mau atau tidak-sudah
tak segesit semula tadi.
Kim Sie le meletakkan kedua tongnia Gielimkun itu dengan
digabrukkan, terus dia melengak, untuk memperdengarkan
tertawanya yang mengguntur. Mendengar tertawa itu Kheng
Sun dan Cin Tay bergidik tubuhnya, bangun bulu romanya.
Itulah suara yang penuh napsu membunuh...
Semua hadirin di gunung itu lantas saja berpaling kepada
Kim Sie Ie, sepak terjang siapa sangat menarik perhatian,
hingga untuk sejenak, pertempuran seru di antara Biat Hoa
Hwesio dan Kok Cie Hoa seperti dikesampingkan.
Kim Sie Ie menghadapi kedua perwira itu, satu di antaranya
ia injak dengan kakinya, lalu ia berkata dengan nyaring:
"Ketahuilah oleh kamu, aku ini, pertama-tama tidak
mempunyai ayah dan ibu, kedua tidak mempunyai isteri dan
rumah tangga, ketiga tidak mempunyai milik dan harta benda,
dan ke empat tidak mempunyai juga anak atau cucu! Maka
aku, memandang ke atas tidak takut pada Langit, melihat ke
bawah tidak jeri pada Bumi! Sekalipun raja Tartar kamu,
jikalau dia terjatuh ke dalam tanganku, akan kurangket dia
tiga ratus kali! Maka juga, membunuh kamu berdua, hambahamba
negeri yang berpangkat sangat rendah, bagiku sama
saja dengan menginjak-injak dua ekor semut!"
Dua perwira itu takut bukan main. Kalau tadi di depan Co
Kim Jie mereka berani berkepala besar, di depan Tokciu
Hongkay, nyalinya menjadi ciut. Kim Jie berumah tangga,
Binsan Pay ada rumah perkumpulannya, mereka dapat
diancam, tetapi si pengemis edan yang sebatang kara ini,
yang liehay luar biasa. Mereka tidak berdaya sekali. Akan
tetapi, karena sulit semua-semua, Kheng Sun menjadi nekat.
Dia memang lebih keras tabiatnya daripada Cin Tay. Maka ia
mementang bacotnya.
"Kau... kau... manusia yang sangat beracun, Tok... Aduh!
Aduh! Aduh!..."
Sebenarnya ia mau menyebut "Tokciu Hongkay", akan
tetapi belum sampai dapat mengatakan itu. mendadak dia
merasakan seluruh tubuhnya sakit seperti dipagut ribuan ular,
hingga setelah berteriak teraduh-aduh, dia menjadi setengah
mati menderita siksaan. Dia ingin mati tetapi tidak bisa, dia
hanya bisa bergelisah dan menjerit teraduh-aduh...
Kim Sie Ie, yang telah menurunkan tangannya, tertawa.
"Hai, kepala anjing, mengapa kau tidak mau mencaci
terus?" ejeknya. "Apakah kau hendak memancing hawa
amarahku supaya aku lekas-lekas membinasakan kamu
berdua" Tidak demikian gampang, sahabat! Aku masih hendak
main ayal-ayalan..."
Biarpun ia merasa sangat sakit, otak Kheng Sun masih
sadar. Kim Sie Ie menggerakkan kakinya ke punggung dua orang
itu, ke jalan darah kwiechong hiat, jalan darah terpenting di
bagian belakang tubuh manusia. Dua perwira itu lantas
berulang-ulang memperdengarkan jeritan yang menyayatkan.
Mereka mirip dua ekor binatang yang terluka sangat berat.
Mendengar itu, para hadirin menutup kuping mereka.
Mereka yang hatinya lemah tidak sanggup mendengarnya
terus menerus. Kheng Sun dan Cin Tay menjadi anggauta-anggauta
Gielimkun, bahkan menjadi tongnia, komandan, akan tetapi
merekalah murid-murid Biat Hoa Hwesio. Juga adalah guru ini,
yang menganjurkannya pergi ke Pakkhia, kota raja, untuk
melamar pekerjaan dalam Gielimkun. Karena Biat Hoa
mengandung niat untuk pada satu waktu nanti mengacau di
gunung Binsan, guna membalaskan sakit hati gurunya
terhadap Lu Su Nio. Hari ini telah tiba saatnya, bertiga mereka
datang dengan diam-diam, kemudian mereka beraksi
menggali kuburan salah satu jago dari Kanglam Cithiap itu
tanpa memperdulikan bahwa disitu ada banyak orang Binsan
Pay. Memang sengaja Biat Hoa berbuat demikian, guna
menghina Co Kim Jie semua, guna mengilas-ilas orang-orang
Binsan Pay itu. Hanya si pendeta tidak pernah bermimpi,
bahwa disini dia akan berhadapan dengan si pengemis edan!
Selagi melayani Kok Cie Hoa, Biat Hoa Hwesio, mendengar
jeritan hebat, teriakan kedua muridnya itu. Inilah ia tidak
sangka, maka ia menjadi kaget luar biasa. Ia juga merasa
hatinya seperti ditusuk-tusuk. Ia mempunyai latihan belasan
tahun, tenaga dalamnya mahir, tidak urung hatinya
tergoncangkan jeritan yang menyayatkan hati itu, hingga
pikirannya jadi terganggu, dan asabatnya menjadi kacau.
Ketika itu Kok Cie Hoa tengah menghadapi kesulitan. Ia
kalah tenaga dalam, ia sudah jatuh di bawah angin. Hanya
sebab dapat menguatkan hati, bisa juga ia terus melayani
pendeta yang liehay itu. Ia telah memusatkan perhatiannya
kepada perlawanannya, maka itu meski juga ia mendengar
jeritan kedua perwira Gielimkun itu, ia
tidak menggubrisnya. Inipun ada baiknya untuknya, karena
selagi ia tetap
dapat memusatkan pikirannya, Biat
Hoa sebaliknya goncang pemusatannya itu, nyalinya seperti tergempur runtuh. Dengan lekas Cie Hoa mengubah kedudukannya, dari kalah angin menjadi berimbang, dari terdesak, ia dapat
membalas menyerang, bahkan dengan hebat. Maka lagi sekali
pedangnya bersinar berkilauan. Dengan pedangnya itu, ia
memaksa lawannya main mundur.
"Celaka!" Biat Hoa mengeluh dalam hatinya, la merasa
sangat sulit. Ingin ia meninggalkan musuhnya, guna
menghampiri Kim Sie Ie, dan menolong kedua muridnya, akan
tetapi niat ini tidak dapat diwujudkan. Si nona sangat
mendesak padanya, hingga ia bisa terancam malapetaka.
Terpaksa ia mencoba menguasai diri, guna membuat
perlawanan terus.
Baru pendeta ini dapat bertahan, atau segera dia
mendengar pula suara Kim Sie Ie.
Tokciu Hongkay berkata dengan nyaring: "Lu Su Nio ialah
orang yang seumur hidupku paling kujunjung, cara bagaimana
sekarang kamu berani datang kemari untuk membongkar,
merusak kuburannya" Tidak dapat tidak, kamu mesti dihukum
berat-berat, agar tahu rasa! Sekarang aku mempunyai dua
jalan untuk kamu pilih! Jikalau tetap kamu tidak sudi mengaku
berdosa, biarlah, sampaipun tiga hari tiga malam, tetap aku
akan menemani kamu! Aku mempunyai delapan belas macam
cara menyiksa, sesuatunya berlainan, semua itu akan kucoba
atas diri kamu, supaya kamu merasakannya. Sebaliknya,
jikalau kamu suka mengaku berdosa, dan kamu suka
mendengar kata-kataku--Hm!"dengan memandang
pengakuanmu itu, mungkin aku akan memberi ampun!..."
Kheng Sun berdua takut sekali.
Sekarang saja mereka sudah tidak sanggup menderita,
apapula kalau disiksa selama tiga hari tiga malam dan dengan
delapan belas macam siksaan pula. Mana dapat mereka
bertahan" "Kami mengerti, kami mengaku salah!" cepat-cepat mereka
berkata, "Membuka mulut saja mengaku salah masih belum
berarti!" kata Kim Sie Ie. "Sekarang begini dulu: Kamu
berlutut dan mengangguk-angguk tiga kali di depan kuburan
Loo cianpwe Lu Su Nio, sembari berbuat begitu kamu
mengakui kesalahan kamu!"
Kim Sie Ie benar-benar mengangkat kakinya, maka dua
perwira itu buru-buru merayap bangun. Benar-benar mereka
berlutut dan mengangguk-angguk, hingga kepala mereka
mengenai tanah dengan berbunyi keras. Dalam takutnya,
mereka sampai paykui melebihi jumlah yang dikehendaki Kim
Sie Ie, jidat mereka membentur tanah tujuh kali!
Kim Sie Ie menahan tertawanya menyaksikan kelakuan
orang itu. "Sekarang kamu pentang kedua tanganmu, ke kiri dan
kanan!" ia berkata pula. "Sekarang kamu menggaplok
mukamu sendiri, setiap menggaplok, kamu mencaci dirimu,
mencaci diri sebagai si anak haram jadah, si kura-kura buta!"
Kedua perwira itu ialah perwira-perwira Gielimkun, tinggi
dan agung kedudukan mereka, mereka mempunyai rasa harga
diri, sudah tentu mereka sungkan menggaplok dan mencaci
diri secara hina dan kotor itu. Karena itu, mereka menjadi
sangsi. Selagi orang bersangsi Kim Sie ie tidak mau memberi hati.
Mendadak si pengemis edan tertawa nyaring, segera juga
tongkatnya diangkat, sedang matanya melotot bengis.
'Baiklah jikalau tulang-tulang kamu demikian keras!'"
katanya dingin. "Kamu tidak sudi mencaci, hendak kulihat! Aku
hendak melihat, sampai dimana kerasnya tulang kamu itu!"
Kedua perwira itu kaget sebab mereka melihat tongkat
digerakkan. "Plak Plok! Plak plok!" demikian bunyi mereka menggaplok
muka sendiri dengan tangan mereka kiri dan kanan. Bahkan
terus mereka mencaci juga, mencaci diri sebagai anak haram,
sebagai kura-kura tanpa biji mata!
Maka berisiklah suara tamparan dan cacian silih berganti
itu! Biat Hoa Hwesio dapat mendengar semua itu, matanya pun
dapat melirik, dia mendongkol bukan alang kepalang, hawa
amarahnya naik tinggi. Sungguh suatu hinaan, menyaksikan
murid-muridnya yang tersayang itu dihina demikian macam di
hadapan demikian banyak orang. Kemana dia hendak
membuang mukanya sebagai guru" Terlalu Kim Sie le pikirnya.
Umpama kata dia berhasil merampas kedudukan ciangbunjin
dari Binsan Pay, habis bagaimana dengan penghinaan ini"
Jikalau dua jago lagi bertarung, pantangan paling besar
ialah pemusatan pikirannya terganggu. Demikian dengan Biat
Hoa dan Cie Hoa. Biar bagaimana, kekuatan mereka
berimbang, tetapi justeru itu, Biat Hoa mesti menyaksikan
penderitaan murid-muridnya itu, yang sangat dihinakan.
Mendadak saja Kok Cie Hoa menyerang dengan tipu
silatnya "'Pekhong koanjit", atau "Bianglala putih menutupi
matahari". Ujung pedangnya yang tajam meluncur ke
tenggorokan si pendeta!
Biat Hoa melihat itu, dia kaget, dalam kagetnya, dia berkelit
mundur. "Bret!" demikian terdengar suara nyaring, dan ujung
pedang telah merobek jubahnya.
Biarpun Biat Hoa sebat, ujung pedang lawan berkenalan
juga dengan jubahnya itu. la kaget, tetapi ia boleh bersyukur
bahwa ujung pedang itu tidak melanggar dadanya. Saking
kagetnya, ia mengeluarkan peluh dingin.
Di pihak Kim Sie Ie, si pengemis masih memberikan
perintah-perintahnya. Ia mempunyai delapan belas macam
cara menyiksa, dan tadi pun ia sudah mengancam
"Kamu kedua anak haram, kamu benar-benar mendengar
kata!" katanya nyaring. "Sekarang kamu mesti mendamprat
pula, mendamprat si gundul bangkotan itu! Bukankah dialah
yang membawa kamu kemari" Dia hendak melampiaskan
hatinya, dia juga hendak merampas kedudukan ketua dari
Binsan Pay! Karena maksud hatinya yang bengkok itu,
sekarang dia menyebabkan kamu menderita, dari itu
pantaslah kamu mendamprat padanya! Aku mau lihat, siapa
yang mendampratnya paling hebat! 'Siapa yang mendamprat
paling hebat, dialah yang akan kumerdekakan terlebih dulu!"
Dalam dunia Bu Lim, atau Rimba Persilatan, perhubungan
di antara guru dan murid adalah sama dengan perhubungan
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
antara ayah dan anak. Maka kalau murid memaki gurunya,
itulah sama dengan anak mencaci ayahnya. Itulah penghinaan
yang hebat luar biasa, perbuatan durhaka.
"Kim Sie le, kau bunuhlah aku!" Kheng Sun berteriak. Dia
tak dapat mencaci gurunya itu.
"Ha, kau tidak mau memaki?" tanya Kim Sie le sambil
menatapnya tajam-tajam. "Jadi kau memikirkan kematianmu"
Oh, tidak, sahabat, untuk mati tidaklah sedemikian mudah!
Nah, kau rasalah!"
Tokciu Hongkay menggerakkan tongkatnya.
"Tuk!" demikian suara tongkat itu, yang mengenai jalan
darah kwieehong hiat di punggung itu, atau segera Kheng Sun
memperdengarkan jeritannya yang nyaring tetapi
menyayatkan hati, dan biarpun dia gagah, dia tidak sanggup
bertahan, maka robohlah dia, roboh untuk terus bergulingan
di tanah, sebab dia merasa seperti peparu dan isi perutnya
bergolak terbalik-balik, sakitnya bukan buatan!
Cin Tay menyaksikan itu, men-ccloslah hatinya.
"Kau mau memaki atau tidak?" Kim Sie Ie tanya. "Jikalau
tetap kau tidak hendak memaki, artinya kau berkepala batu
terus, aku masih mempunyai lain cara lagi untuk kau ieipi!"
Cin Tay takut bukan main, segera ia mencaci: "Hwesio
bangsat! Hwesio bangsat!"
Kheng Sun pun menurut.
"Keledai gundul bangkotan! Keledai gundul bangkotan!"
demikian dampratnya berulang-ulang.
"Lebih keras! Aku tidak dengar!" Kim Sie Ie berteriak. "Nah,
begitu baru bagus! Hayo, kamu boleh berlomba! Aku mau
lihat, siapa yang suaranya lebih keras!"
Sembari menganjurkan itu, Kim Sie Ie mengawasi dengan
tajam, tongkatnya disiapkan untuk menurunkan tangan
telengas! Cin Tay habis daya, Kheng Sun pun mati akal. Hancur luluh
tabiat mereka yang keras. Mereka lantas mencaci kalang
kabutan, mereka berteriak-teriak. Benar-benar mereka
bagaikan berlomba. Sekarang tidak saja keluar dampratan
tadi, hanya yang lebih hebat dan kotor, yang dalam keadaan
biasa mereka malu menyebutkannya. Bahkan segala
perbuatan busuk dari Biat Hoa dibeber juga!
Mendengar dampratan Kheng Sun dan Cin Tay kepada Biat
Hoa, semua orang Binsan Pay gembira bukan main, lalu setiap
kali terdengar "keledai tua gundul" setiap kali mereka berseru
"Bagus!" Semua itu Biat Hoa mendengar dengan nyata, ia
mendongkol dan gusar hingga hawa amarahnya meluap-luap,
bukan main ia membenci Kim Sie le, tak terkira penasarannya
kepada murid-muridnya itu yang dia katakan tidak mempunyai
semangat. Kim Sie Ie masih beraksi terus. Ia menolak tubuh Kheng
Sun dan Cin Tay, untuk membikin mereka menghadapi guru
mereka, lalu telapak tangannya ditempel pada punggung
mereka masing-masing. Ia tertawa terbahak-bahak, katanya
dengan nyaring: "Bagus! Bagus! Hebat dampratan kamu!
Hayo, damprat lagi! Damprat lagi!"
Biat Hoa berjingkrak saking gusarnya. Dia berteriak: "Kim
Sie Ie, kau sangat menghina aku! Biarlah hari ini jikalau kau
tidak mampus, aku yang terbinasa!" Dia lantas hendak
berlompat, guna meninggalkan Kok Cie Hoa, untuk
menghampiri si pengemis edan itu. Atau mendadak, "Bias!"
demikian satu suara pedang mengenai daging!
Justeru orang berjingkrak, justeru Cie Hoa mencelat, untuk
mengirim serangannya yang dahsyat. Sangat cepat serangan
itu sedang Biat Hoa sedang terpengaruh hawa amarahnya.
Tepat ujung pedang menyambar pundak si pendeta, hingga
dagingnya kena terpapas, dan tulang selangkanya pun
terlukakan! Melihat demikian, Kim Sie Ie menarik pulang kedua
tangannya dari punggung kedua korbannya, ia tertawa dan
berkata dengan nyaring: "Bagus sekali dampratan kamu!
Baiklah, jasa kamu ini boleh juga untuk menebus dosa kamu!
Nah, kamu pergilah!"
Kheng Sun dan Cin Tay bebas dari siksaan, mereka
bagaikan menerima keampunan besar. Tanpa memperdulikan
lagi guru mereka, mereka lari kabur sambil menutupi muka
mereka, supaya mereka tidak dapat melihat guru mereka itu.
Lagi-lagi Kim Sie Ie tertawa lebar, ia berlompat maju, untuk
menghadapi Biat Hoa.
"Kau telah mendaki gunung ini untuk membongkar kuburan
Lu Su Nio, biarpun kau tidak menyebutkannya, perhitungan ini
akan Kubereskan denganmu!" katanya keras. "Tapi sekarang
kau telah terluka, aku Kim Sie Ie, tidak sudi menghina orang
yang telah terluka! Sekarang pergilah kau, tunggu sampai
nanti, sesudah kau mengobati lukamu, baru kau mencari aku,
sembarang waktu aku nanti melayani kau!"
Kena terlukakan Kok Cie Hoa, mendongkol dan gusarnya
Biat Hoa bukan main besarnya, tetapi ia menginsyafi, lukanya
itu bukan enteng, ia mesti menggunakan juga pikirannya.
Setelah terluka, jangan kata melawan Kim Sie Ie, melawan
terus pada Cie Hoa saja, ia tidak sanggup. Oleh sebab itu ia
mesti bersabar. Kalau berkelahi terus, ada kemungkinan
jiwanya pun hilang. "Baiklah, sampai lain kali!" katanya
akhirnya, lalu ia memutar tubuh, untuk ngeloyor pergi. Ia
tidak menggubris, bahwa orang-prang Binsan Pay bersoraksorai.
Kok Cie Hoa memasukkan pe-pangnya ke dalam
sarungnya, ia menghampiri Co Kim Jie untuk memberi hormat
kepada ciangbunjin itu.
"Dengan mengandal kepada perlindungan guruku serta
keangkaran suci, telah teecu berhasil mengusir pendeta jahat
itu," ia berkata. Ia melaporkan bahwa ia telah selesai
menjalankan tugasnya.
Biar bagaimana, kemenangan Cie Hoa ini disebabkan
kecerdasannya serta bantuan Kim Sie le yang sudah
menggempur pemusatan pikiran Biat Hoa, dan semua hadirin
mengerti itu, Kim Jie tidak menjadi kecuali. Kalau Cie Hoa
telah berbuat demikian, tidak lebih tidak kurang si nona
menjalankan keharusannya, guna melindungi muka ketua
partai itu. "Suci," kata Ek Tiong Bouw sebelum si kakak seperguruan
sempat membuka mulutnya, "Kok Cie Hoa telah mengalahkan
pendeta jahat itu, ia jadi sudah berjasa besar untuk partai
kita, maka aku mohon pertimbangan suci, dapatkah dia diberi
keringanan, supaya dia tetap berdiam dalam kalangan kita?"
Kim Jie bersikap dingin, romannya tawar.
"Aku tahu bagaimana harus memberikan putusan, sutee tak
usah banyak omong," sahutnya.
Tiong Bouw tidak mendapat muka, ia mundur dengan
kecewa. Sekarang semua mata diarahkan kepada Co Kim Jie.
Ketua Binsan Pay itu, dengan roman gusar, menyingkir dari
penghormatan Cie Hoa. Tapi ketika ia membuka mulutnya,
suaranya perlahan.
"Kok Cie Hoa," katanya, "kau telah berhasil mengusir si
pendeta jahat hingga kau berhasil juga melindungi kuburan
gurumu, mengingat perbuatanmu ini, aku suka berlaku ringan.
Pedang dan kitab pedang, tidak usah kau kembalikan lagi,
tetapi sebab ayahmu ialah musuh umum dari Binsan Pay,
Binsan Pay tidak menerimamu. Tapi kami dapat mengijinkan
kau membangun suatu partai sendiri dan setiap tahun kami
juga memberi ijin mendaki gunung Binsan ini, untuk
menyambangi kuburan gurumu. Hanya selanjutnya, aku
larang kau memakai nama Binsan Pay lagi. Sekarang pergilah
kau!" Mendengar keputusan itu, semua orang terkejut, tidak
terkecuali orang-orang Binsan Pay. Semua orang menganggap
keputusan itu terlalu keras. Akan tetapi semua orang Binsan
Pay jeri kepada ketua mereka, terpaksa mereka menutup
mulut. Sekalipun Ek Tiong Bouw membungkam juga karena
tadi dia telah dibikin kecewa dan jengah.
Adalah Thia Ho, selang sesaat, yang maju ke depan.
"Kok Cie Hoa sudah mengusir si pendeta jahat, dia telah
membuat jasa besar untuk partai kita," ia berkata, perlahan,
"oleh karena itu, suci, dapatkah kau memberi keringanan lebih
jauh kepadanya?"
Co Kim Jie lagi-lagi memperlihatkan roman yang bengis.
"Aku telah merubah putusan-ku," ia menyahut dingindingin,
"aku telah menarik pulang perintah supaya dia
mengembalikan pedang dan kitab ilmu silat pedang, aku pun
sudah mengijinkan dia membangun partai sendiri, untuk
menjadi cabang partai kami, apakah itu bukannya suatu
keringanan besar" Habis, dia hendak diberikan keringanan
macam apa lagi" Ayahnya ialah musuh besar partai kita,
karena itu beranikah kau menjamin, bahwa di belakang hari,
apabila terjadi sesuatu, dia tidak berpihak pada ayahnya dan
berkhianat kepada kita" Biar bagaimana, hatinya sama hati
ayahnya! Daripada belakang hari nanti terjadi sesuatu yang
tidak dikehendaki, bukankah lebih baik kalau sekarang juga
menyuruhnya keluar?"
Thia Ho berdiam. Kim Jie bicara untuk kepentingan partai di
belakang hari, ia mempunyai alasan. Dia tentu tidak dapat
menjamin Cie Hoa seperti yang dikatakan kakak seperguruan
itu, dia pasti tidak tahu hati si nona kelak bagaimana, terpaksa
dia berdiam. Jago tua Hok Poo Yu merasa bahwa ia mempunyai
perhubungan erat sekali dengan dua angkatan Binsan Pay,
melihat orang Binsan Pay sendiri tidak dapat menggerakkan
hati Kim Jie, ia mengajukan diri.
"Binsan Pay tengah membersihkan partai sendiri, aku si
orang tua, sebagai orang luar, tidak dapat banyak berbicara,"
katanya, "akan tetapi karena aku mengingat Lu Su Nio
mempunyai hanya ia, murid satu-satunya, maka hati Lu Su Nio
di dunia baka tentulah kurang tenteram apabila muridnya
sampai dikeluarkan dari partai. Maka itu dapatkah, dengan
memandang kepada almarhum Lu Su Nio itu dia diijinkan
menetap dalam Binsan Pay?"
Suara jago tua ini tidak enak bagi telinga Co Kim Jie. Ia
menganggapnya hendak mengagulkan diri sebagai jago tua
dan sahabat Binsan Pay. Maka dengan air muka berubah, ia
berkata: "Kouwkouw Lu Su Nio, dalam seumur hidupnya,
paling membenci kejahatan, jikalau dia mengetahui bahwa dia
telah keliru menerima murid, yang sesungguhnya anak si
hantu Beng Sin Thong, mungkin sekali hukumannya bahkan
akan lebih berat daripada hukumannya ini!"
Hok Poo Yu menjadi kecewa, tetapi di dalam hatinya, ia
berkata: "Jikalau Lu Su Nio masih hidup, mengingat dia cerdas
sekali dan pandai menimbang, dia pasti tidak akan bertindak
begini..." Akan tetapi Lu Su Nio sudah mati, siapa dapat
menghidupkannya pula" Maka itu, ia lantas mengundurkan
diri. Jago tua ini mempunyai seorang saudara angkat, ialah
Khouw An Kok, yang tidak puas melihat sikap ketua Binsan
Pay itu. Walaupun suasana tak baik, ia maju juga dan berkata:
"Tadi saudara Liu Heng Som telah mengatakan bahwa ketika
Liang Ouw Tayhiap Kok Ceng Peng menerima bayi Beng Sin
Thong, jago tua itu pernah berkata, bahwa dosa ayah dan ibu
tidak dapat ditagih kepada anak bayinya. Demikian Nona Kok
ini, dia telah dirawat oleh Kok Tayhiap, dari kecil hingga besar,
lalu diapun dididik Liehiap Lu Su Nio selama sepuluh tahun,
maka andaikata dia mempunyai akar jahat, akar itu pastilah
sudah terkikis habis. Di samping itu, aku telah melihat watak si
nona. Terang sekali barusan dia telah keteter menghadapi
musuh, tetapi dia berkelahi terus melawan si pendeta jahat,
dia membela partainya tanpa menghiraukan jiwanya. Oleh
karena itu, Co Liehiap, aku mohon, sukalah kau menimbang
pula. Dapatkah liehiap menarik pulang keputusanmu
barusan?" Beda daripada Hok Poo Yu, Khouw An Kok kini mengajukan
alasan yang kuat sekali, kata-katanya juga tidak menyinggung
ciangbunjin itu, dari itu, mendengar ucapannya, hati Kim Jie
tergerak juga. Akan tetapi karena soalnya kini soal muka,
maka tidak dapat ia meluluskannya.
"Aku pun mengharap dia tetap menjadi seorang gagah
budiman seperti sekarang ini," ia berkata, "akan tetapi
ayahnya ialah musuh besar partai kami, urusan bukan
sembarangan urusan, maka itu, biarlah saudara-saudara kaum
Rimba Persilatan mencela aku terlalu keras atau pandanganku
cupat, aku tetap tidak berani membiarkan dia berada dalam
kalangan partai, sebab itu berarti mengeram bencana di
belakang hari."
Demikian banyak orang berbicara, ternyata Co Kim Jie
tetap pada keputusannya. Mengetahui itu, mata Kok Cie Hoa
berlinang-linang. Beberapa kali ia sudah menggerakkan
bibirnya, saban-saban ia batal, tak jadi ia membuka mulut.
Kim Sie le pun berdiam saja mendengar pembicaraan orang
panjang lebar, adalah pada saat itu, mendadak dia melompat
maju, dari mulutnya terdengar suara tertawa yang nyaring.
Dia melompat kepada Cie Hoa, tangan si nona dia sambar,
untuk ditarik! Co Kim Jie terkejut, dia menyangka Sie le maju untuk
mengacau, maka heran ia melihat orang hanya menarik
tangan Cie Hoa.
Kim Sie Ie tidak menarik saja, ia lantas berkata dengan
keras: "Seorang laki-laki sejati harus dapat pergi sendiri dan
kembali sendiri. dia harus berdiri sendiri, jangan mengandal
pada orang! Nona Kok, kaulah si wanita jantan, maka perlu
apa kau mendapat penasaran dari perempuan busuk ini"
Marilah kau dengar aku! Dia menghendaki kau membangun
suatu partai sendiri, inilah ketikanya yang baik! Mari kita pergi,
mari kita pergi!"
Kemudian, tanpa memperduli-kan apa juga, ia menarik
tangan si nona.
Sebenarnya, jikalau Kok Cie Hoa mengajukan permohonan
pula, suasana pasti akan menjadi reda. Dia dapat, dengan
menjalankan aturan kaum Rimba Persilatan, berlutut di depan
kuburan gurunya, untuk berjanji seberat-beratnya, untuk
bersumpah akan mentaati perintah ciangbunjin, bahwa ia
tidak akan memberontak atau berkhianat, dengan bantuan
atau membantu orang luar--mengenai hal ini, ialah persoalan
ayahnya itu. Dengan begitu, dengan adanya janji dan sumpah
itu selaku jaminan, mesti Co Kim Jie mengalah. Pula Khouw An
Kok, sebagai orang luar, tidak dapat menganjurkan dia
meminta dan berjanji sedemikian rupa. Kok Cie Hoa sendiri,
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setelah mengetahui asal-usulnya, telah terbenam dalam
kesangsian. Ia boleh berjanji di dalam hati sendiri akan tidak
mengakui pula ayahnya, akan tetapi di muka umum, mana
dapat ia berbuat demikian" Mana bisa ia berjanji akan
memusuhkan ayah sendiri" Inilah kesulitan yang membuat air
matanya mengalir.
Oleh karena merasa percuma ia berdiam lebih lama pula di
gunung Binsan ini, walaupun pikirannya kusut, Cie Hoa
membiarkan Kim Sie Ie menariknya, untuk diajak pergi. Hanya
kemudian, mendadak ia berontak, melepaskan tangannya.
"Eh, apa lagi yang kau berati?" tanya Kim Sie Ie. "Jikalau
kau tidak hendak berangkat sekarang, kau hendak menunggu
sampai kapan?"
Cie Hoa tidak menyahut, ia hanya pergi ke kuburan
gurunya, la paykui tiga kali, kemudian ia berkata dengan
nyaring: "Suci yang terhormat, hari ini adikmu memohon diri,
untuk pergi!" Ia pun memberi hormat pada kakak seperguruan
itu. Sementara itu Co Kim Jie panas hati bukan main. Kim Sie Ie
telah mengatakannya si "perempuan busuk". Ia sampai
bergemetar seluruh tubuhnya, untuk dapat mengendalikan
diri. Bukankah barusan Kim Sie Ie telah menghukum hebat
kepada kedua perwira jahat itu" Bukankah si pengemis edan
telah menyingkirkan satu bencana" Bukankah Kim Sie Ie yang
telah menolong hingga Kok Cie Hoa dapat mengalahkan Biat
Hoa Hwesio, hingga nama baik Binsan Pay dapat dilindungi"
Karena jasa Kim Sie Ie itu, tidak dapat ia menyerang si
pengemis, apapula menyuruh saudara-saudaranya
mengepungnya. Pun, orang dengan kedudukan sebagai ia,
tidak bisa melayani Kim Sie Ie mengadu bicara. Maka itu, ia
lantas menyingkir dari pemberian hormat Cie Hoa, dengan
dingin, ia berkata: "Mulai hari ini, aku bukan lagi suci-mu, kau
juga bukan adik seperguruanku! Kepada siapapun kau hendak
mengikut, aku tidak nanti mengambil perduli!"
Biar bagaimana, kata-kata yang terakhir ini ditujukan
kepada Kim Sie Ie.
Tokciu Hongkay tertawa.
"Co Kim Jie!" katanya dingin, "kau tidak melihat sebelah
mata padaku, aku semakin tidak memberi muka padamu!
Jikalau bukannya aku memandang kepada Lu Su Nio maka
hari ini pastilah aku akan menghajarmu dengan tongkatku ini!"
Bukan main panasnya hati Kim Jie, hingga ia mengangkat
tongkatnya. Belum orang bergerak terus, Kim Sie Ie melotot dan
membentak: "Beranikah kau banyak omong lagi?"
Ketua Binsan Pay itu agaknya gentar, tanpa merasa, ia
mundur setindak.
Lagi-lagi Kim Sie Ie tertawa bergelak-gelak.
"Puas! Puas!'' katanya berulang-ulang, lalu ia menarik
tangan Kok Cie Hoa, untuk diajak turun dari gunung itu.
Sekian lama mereka berjalan dengan membisu, Kim Sie Ie
melihat si nona masgul, dia tertawa.
"Apakah ruginya, jika tidak dapat menempatkan diri dalam
Binsan Pay?" dia berkata. "Jikalau aku di tempatmu, sungguh,
tak senang hatiku mengaku suci kepada wanita semacam itu!"
"Walaupun Co Kim Jie bersikap keras, dia tetap seorang
gagah dari golongan sejati," kata Cie Hoa. "Barusan dia hanya
keterlaluan..."
Kim Sie Ie memandangnya sesaat, kemudian tertawa.
"Justeru karena aku tidak puas terhadap sikapnya itu maka
sengaja aku membantu kau melampiaskan kemendongkolan
dan penasaranmu," dia berkata. "Apakah kau tidak
memperhatikan aksinya barusan?" Lantas dia menirukan
gerak-gerik ketua Binsan Pay itu, dapat dia melakukannya
dengan baik, untuk membikin Cie Hoa tertawa. Akan tetapi si
nona terlalu masgul untuk dapat bersenyum. Si nona tetap
berduka. "Hari ini kau telah berhasil mengalahkan Biat Hoa Hwesio,
dengan itu kau dapat membela dan melindungi nama baik
Binsan Pay," Kim Sie Ie berkata pula. "Kau tahu, dalam
seluruh Binsan Pay, kecuali Co Kim Jie, ada siapakah yang
tidak bersyukur kepadamu" Benar kau diusir oleh Co Kim Jie,
tetapi jangan kau kecil hati, pemecatan atas dirimu ini beda
dengan pemecatan yang seumumnya. Siapa nanti berani tidak
memandang sebelah mata padamu?"
Cie Hoa menghela napas. "Mulai hari ini dan seterusnya,
kecuali dua kali, di musim semi dan musim rontok, tidak dapat
lagi aku menemani guruku di Binsan," katanya dengan sedih.
"Aku telah berjanji kepada suhu untuk menemani dia selama
tiga tahun, tetapi sekarang janji itu tidak dapat dipenuhkan..."
Kim Sie Ie tertawa. "Asal saja di dalam hatimu ada gurumu
itu, serta kau dapat meniru perbuatannya, kau melakukan
pelbagai perbuatan mulia dalam dunia kangouw, bukankah itu
jauh lebih luhur daripada menemani saja kuburannya?" ia
berkata. Cie Hoa kalah bicara. Mereka berjalan terus dengan
membisu. Kemudian si nona berkata: "Walaupun demikian, aku
menyesal, bahwa aku tidak dapat mendengar lagi segala
ajaran suhu..." Ia berhenti sebentar, lalu mendadak ia
menanya: "Tadi aku mendengar perkataan suheng Ek Tiong
Bouw, katanya kalian telah mengacau di Beng keechung.
Apakah kau, telah benterok dengan Beng... Beng Sin Thong?"
Guram air muka nona ini, Beng Sin Thong musuh umum
partainya, tetapi Beng Sin Thong juga ayahnya. Ia tidak tega
menuruti orang banyak menyebut Beng Sin Thong sebagai si
"iblis besar", ia pula tidak ingin menyebutnya sebagai ayah,
maka terpaksa ia menyebutnya "Beng Sin Thong". Inilah
siksaan untuk perasaannya.
"Aku telah bertempur dengannya," Kim Sie le
memberitahukan. "Melihat kepandaian Beng Sin Thong,
biarpun semua orang Binsan Pay dari tiga angkatan maju
mengepungnya, mereka bukanlah tandingannya!"
Wajah si nona menjadi pucat. Ia menjadi ingat, kalau nanti
Binsan Pay mencari ayahnya itu, sedangkan si ayah demikian
liehay, bukankah banyak yang akan roboh menjadi korbankorban.
Jikalau ia tidak pergi membantu Binsan Pay,
bagaimana jadinya dengan partainya itu" Dan kalau ia pergi
membantu, bagaimana ia harus menghadapi ayahnya"
Maka ia mengangkat kepalanya, mengawasi langit. Ia mau
menangis tetapi tidak dapat. Oleh sebab itu ia hanya dapat
menyesal sendiri, kenapa ia menjadi anak Beng Sin Thong...
Kim Sie Ie bisa mengerti kesedihan dan kesulitan si nona, ia
tidak mau menyentuhnya. Tapi ia mesti berusaha untuk
membikin si nona jangan berduka terus. Mendadak ia
mencekal keras tangan nona itu, lalu ia kata, juga dengan
keras: "Kau ialah kau! Dia ialah dia! Bukankah -siapa bersih,
dia tetap bersih-siapa yang kotor, tetap kotor" Lihatlah bunga
teratai, yang tumbuh dari dalam lumpur! Bunga teratai tetap
bunga teratai yang bersih dan harum! Kecewa kau menjadi
murid Lu Su Nio, jikalau kau tidak mengerti perbedaan ini!"
Cie Hoa mengawasinya, la dapat mengerti.
"Habis bagaimana kata orang luar?" tanyanya.
Kim Sie le tertawa lebar. "Perduli apa kata orang luar?"
jawabnya. "Untuk kita, sudah cukup jikalau kita bertindak, ke
atas tidak malu kepada Langit, ke bawah tidak malu kepada
Bumi! Lihat aku sendiri! Orang menyebut aku Tokciu Hongkay,
si pengemis edan yang beracun, aku dituduh sebagai iblis
yang tidak ada kejahatan yang aku tidak lakukan! Tapi aku
tidak menghiraukan semua itu! Aku merasa bahwa belum
pernah aku membunuh orang baik-baik, belum pernah aku
melakukan kejahatan atau pengkhianatan! Sampai sekarang
ini, tetap sama sepak terjangku, sama sekali aku tidak
perdulikan orang lain, apakah orang memandang hina padaku
atau menghormat! Aku tidak mengambil mumat, bahwa orang
menyebut aku sebagai si hantu jahat! Apapula kau, yang baru
menjadi anak hantu" Baru-baru ini kau pernah memberi
nasihat padaku, kau menghendaki aku menjadi bayi yang baru
dilahirkan. Maka sekarang, baiklah dengan nasihatmu itu aku
menasihati padamu! Mulai sekarang kau boleh menganggap
ayah dan ibumu sudah menutup mata! Apakah artinya Beng
Sin Thong untukmu" Dia tidak tepat mempunyai anak gadis
sebagai kau! Maka hayolah, kau juga menjadi si bayi yang
baru dilahirkan!"
Tandas kata-kata Kim Sie Ie, Cie Hoa lantas saja mandi air
mata. Sie Ie pun lega hatinya setelah ia mengeluarkan katakatanya
itu. Itulah kata-kata yang sudah lama terkandung
dalam hatinya. Maka ketika ia mengucapkannya, makin lama
kata-katanya jadi semakin lancar dan nyaring, suatu tanda
bahwa hatinya itu sangat tergerak. Setelah itu, tanpa ia
merasa, ia datang lebih dekat kepada si nona, yang pun
sendirinya mendekatinya. Pula kata-katanya itu berkumandang
dalam lembah, rasanya sampai lama baru suara itu lenyap...
Cie Hoa dengan sekonyong-konyong mendapat serupa
perasaan, yang luar biasa.
"Semua orang mengatakan Kim Sie Ie tidak mengenal
manusia, kelihatannya adalah mereka yang tidak mengenal
baik padanya," demikian pikirannya. "Siapa sangka dia, yang
sepak terjangnya seperti tidak mengenal aturan, sebenarnya
berpandangan begini tajam. Sungguh baik hatinya."
Melihat orang berdiam, Kim Sie Ie bersenyum.
"Biasanya aku tertawa, bergusar dan mendamprat tidak
keruan!" ia kata. "Baru hari ini aku bicara benar-benar!" Ia
berkata demikian tetapi ia sendiri tidak mengetahui kenapa
sikapnya menjadi begini, lain daripada biasanya.
"Benarkah itu?" si nona bertanya perlahan. "Apakah dalam
hidupmu ini benar kau tidak mempunyai sahabat dengan siapa
kau dapat berbicara dengan akrab?"
Mendapat pertanyaan itu, di depan mata Kim Sie Ie
berbayang Lie Kim Bwee.
"Boleh dikata tidak ada orang semacam kau," ia menyahut
setelah berpikir sejenak. "Orang-orang lain yang aku kenal,
membenci aku, menganggap aku sebagai siluman, atau
mengasihani aku, memandang aku sebagai anak yang tiada
terawat..."
Dalam pandangan Sie le, di antara orang-orang yang
memandang ia sebagai bocah termasuk juga Pengcoan
Thianlie, si Bidadari dari Sungai Es.
"Tetapi ada satu orang yang kau belum kenal," kata Cie
Hoa. "Dia tidak membencimu dan juga tidak berkasihan
terhadapmu, sebaliknya dia memandang kau sebagai batu
kemala yang mulus, bahwa meskipun kau berkelakuan aneh,
kau masih dapat digosok menjadi barang yang berharga."
Kim Sie le mementang matanya lebar-lebar.
"Benarkah ada orang semacam itu?" tanyanya. "Siapakah
dia?" "Dialah guruku."
"Aku, tidak bisa jadi!" kata Sie le tertawa. "Benar aku
sendiri belum pernah bertemu dengan Lu Su Nio, akan tetapi
aku telah mengenal dia dari cerita guruku. Bahkan mulai hari
ini aku merasa gurumu itu ialah orang yang aku kenal baik
sekali, sangat baik."
"Kenapa begitu?" Cie Hoa tanya heran.
"Oleh karena kaulah muridnya satu-satunya, yang telah
dididiknya dengan sempurna! Kaulah seorang wanita yang
jujur dan baik, yang hatinya lapang, yang dapat bersabar. Ada
guru ada muridnya, kata pepatah. Begitulah dari guruku aku
mengenal Lu Su Nio, dan sekarang aku mengenal kau. Barubaru
ini pernah satu kali aku bertemu denganmu, aku merasa
bahwa kau seperti orang yang sudah lama aku kenal. Hari ini,
karena urusanmu, aku menjadi mengenal gurumu lebih jauh."
Muka Cie Hoa menjadi merah sendirinya.
"Kenapa kau membandingkan aku dengan guruku?"
katanya. "Mana aku dapat disamakan dengan guruku itu?"
Tapi ia lantas bersenyum, dan menambahkan: "Aku tidak
menyangka kau pun seorang yang dapat mengangkatangkat!..."
"Aku bukannya mengangkat-angkat!" kata Sie Ie sungguhsungguh.
"Mungkin sekarang kau belum dapat disamakan,
tetapi kelak, kau tentu mirip dengan gurumu itu."
Sie Ie mengawasi nona itu, yang pun tengah mengawasi
padanya, maka kedua sinar mata mereka jadi bentrok. Si nona
agaknya likat, ia melengos.
Kim Sie Ie ingat kata-kata si nona tadi, ia bertanya:
"Sebelum gurumu menutup mata, ia menyuruh kau
memperhatikan aku. Aku ingat, bukankah kau pernah berkata
begitu padaku?"
"Tidak salah," si nona mengangguk. "Guruku senantiasa
mengingat Tokliong Cuncia, maka semasa hidupnya ia jadi
menaruh perhatian atas dirimu. Adalah pengharapan guruku
agar kau dapat mewariskan kepandaian gurumu itu, supaya
kau dapat membangun sebuah partai di wilayah Tionggoan,
agar kau tidak membikin ilmu silat gurumu itu lenyap."
Mata Kim Sie Ie bersinar lebih tajam.
"Sekarang aku hendak menanyakan satu urusan lagi,"
katanya. "Maukah kau menuturkannya dengan sebenarbenarnya?"
Heran Cie Hoa melihat sikap orang demikian sungguhsungguh,
tetapi ia tertawa ketika ia berkata: "Kau hendak
menanyakan urusan apa itu" Jikalau kau tidak percaya
padaku, tak usahlah kau menanyakannya."
"Bukan, aku bukannya tidak percaya padamu!" kata Sie le
cepat-cepat. "Pertanyaanku ini ada hubungannya dengan satu
rahasia besar dari kalangan Rimba Persilatan, aku kuatir,
walaupun kau mengetahuinya, tetapi lantaran sesuatu sebab
mungkin kau tidak sudi mengatakannya..."
Hati si nona tergerak, hingga ia berdiam sekian lama.
Akhirnya ia bersenyum pula.
"Kau tanyalah!" katanya.
"Aku ingat," kata Kim Sie Ie, "ketika kita bertemu pertama
kali, kau telah berkata, bahwa dengan perantaraan Kang Lam
kau mengirim suatu barang bingkisan padaku, bukan?"
"Benar," jawab si nona, membenarkan. "Bukankah
bingkisan itu kau telah terima dengan baik?"
Kim Sie Ie tidak menjawab, hanya ia bertanya pula:
"Tahukah kau, bingkisan itu barang apa?"
"Aku menduga kepada sebuah gambar?"
"Pernahkah kau melihat gambar itu?"
"Belum pernah."
Sie le tertawa.
"Jikalau begitu, sungguh aneh caramu mengirimnya
padaku. Kau sendiri belum pernah melihatnya dan kau toh
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengirimkannya kepada orang lain!"
"Aku melakukan itu seperti caranya meminjam bunga untuk
dihaturkan kepada Sang Budha, berbuat baik untuk orang
lain." Inilah soal yang sudah lama membingungkan Kim Sie Ie,
sekarang tiba saatnya untuk ia memperoleh penjelasan.
"Mengapa kau tahu, bahwa di tubuh Chong Leng Siangjin
ada semacam gambar aneh?" tanyanya.
"Aneh bagaimana?" si nona berbalik menanyanya.
Kim Sie Ie mengeluarkan gambar yang dibicarakan itu,
untuk diperlihatkan kepada si nona.
"Kau lihat gambar ini," katanya. "Di dalamnya, di tengah
laut, ada sebuah gunung berapi. Disitu ada seorang raksasa
sedang mementang panah mengincar ke arah gunung berapi
itu. Apakah artinya itu?"
"Sudah kukata, belum pernah aku melihat gambar ini,
bagaimana aku bisa tahu?" kata si nona.
Sie Ie menjadi putus harapan, dengan mendelong ia
mengawasi nona di depannya itu.
Kok Cie Hoa tertawa. "Meski aku tidak tahu maksud gambar
aneh ini, aku tahu riwayatnya," ia berkata. "Kau cerdas sekali,
lantas kau mengetahui gambar ini mesti ada rahasianya,
bahkan rahasia besar yang mengenai kalangan Rimba
Persilatan."
Sie Ie heran, la tetap mengawasi. "Aku mengetahuinya dari
pengutaraan Chong Leng Siangjin," katanya.
"Apakah Chong Leng Siangjin sendiri yang memberitahukan
padamu bahwa dia menyimpan gambar ini?"
"Dia tidak menyebut-nyebut tentang gambar ini. Dia hanya
mengajak aku pergi untuk membongkar kitab ilmu silat dari
Kiauw Pak Beng yang berada di sebuah pulau. Dia
memberitahukan, bahwa kecuali dia, di dalam dunia ini tidak
ada seorang lain juga yang mengetahui rahasia itu. Setelah
dia mati, Kang Lam yang mendapatkan gambar ini dari
tubuhnya. Aku tidak menyangka, bahwa kau pun
mengetahuinya dan kau menyuruh Kang Lam
menyerahkannya padaku. Aku menduga bahwa guruku pernah
pergi ke pulau itu."
"Baiklah. Sekarang kau tuturkan dulu segala apa yang kau
tahu," kata Cie Hoa sambil mengangguk.
Kim Sie Ie tidak berkeberatan untuk bicara lebih dulu. Ia
menuturkan segala uraian Chong Leng Siangjin kepadanya
kemudian ia memberitahukan juga larangan gurunya-Tokliong
Cuncia" agar ia jangan mengunjungi gunung berapi di pulau
itu. Ia hanya tidak menjelaskan hal Le Seng Lam si gadis
keturunan Le Kong Thian, bahwa Le Kong Thian itu murid
kepala dari Kiauw Pak Beng.
Kim Sie Ie tahu pasti, bahwa pada waktu itu, Le Seng Lam
adalah orang satu-satunya yang erat hubungannya dengan
Kiauw Pak Beng. Kalau hal ini ia sembunyikan dari Kok Cie
Hoa, itulah bukan karena ia hendak mendustakan si nona,
tetapi karena ia sudah berjanji pada Seng Lam untuk tidak
membicarakan rahasia Seng Lam itu. Ia pun merasa aneh,
bahwa semenjak pertemuannya yang luar biasa dengan Le
Seng Lam, ia saban-saban ingat orang she Le itu, dan di
dalam hatinya, ia merasa "jeri" tidak keruan. Maka ia selalu
mencoba untuk tidak memikirkan nona itu. Hanya sekarang,
selagi membicarakan kitab silat Kiauw Pak Beng, segera ia
ingat akan si nona dan roman si nona lantas berbayang di
depan matanya, berpeta di benak pikirannya.
Cie Hoa mendengar cerita orang dengan tenang, sampai ia
merasa lagu suara Kim Sie Ie sedikit kurang wajar. Ia menjadi
heran sekali. Justru itu, habis sudah penuturan Tokciu
Hongkay. "Apakah kau berhasrat pergi ke pulau itu untuk mencari
kitab Kiauw Pak Beng, tetapi kau berkuatir?" tanyanya.
"Benar," Sie Ie mengaku. "Aku menduga, bahwa di atas
gunung berapi itu, mesti ada sesuatu yang luar biasa atau
mungkin berbahaya. Jikalau tidak, tidak nanti guruku
melarang aku pergi kesana."
Inilah bukan pengakuan terus terang. Ia sama sekali tidak
jeri atau takut. Dia hanya ingat pada Le Seng Lam, bayangan
si nona terus berbayang di depan matanya. Dia hanya jeri
kepada bayangan itu yang tak dapat diraba, yang tak tampak,
tetapi berpeta dalam otaknya saja...
"Kalau begitu," kata Cie Hoa kemudian, "terang sudah
bahwa di pulau itu mesti tersimpan kitab ilmu silat Kiauw Pak
Beng itu tidak usah disangsikan lagi. Tadi kau tanya aku
kenapa aku tahu, bahwa Chong Leng Siangjin mempunyai
gambar ini, sekarang aku boleh memberi keterangan padamu.
Tentang itu aku diberitahukan guruku sehari sebelum ia
meninggal dunia. Pesan guruku supaya aku mengambil
gambar itu, untuk dihaturkan kepadamu sebagai bingkisan.
Pada hari itu kebetulan Chong Leng Siangjin telah terlukakan
olehmu dan dia mati di dalam gua, hanya kau tidak
mendapatkan gambar yang dia simpan itu. Maka aku
menyuruh Kang Lam yang menyampaikan padamu."
"Habis, bagaimana gurumu mengetahui itu?"
"Semasa hidupnya, gurumu telah membicarakan pada
guruku tentang pulau itu serta gunung berapinya," Cie Hoa
menerangkan lebih jauh. "Menurut gurumu, di pulau itu
terdapat tulisan yang bertandatangankan Kiauw Pak Beng.
Gurumu tidak tahu siapa Kiauw Pak Beng, pulau itu sudah
lama tidak berpenduduk, penghuninya hanya beribu ular
berbisa dan binatang liar lainnya, benar gurumu tidak takut
tetapi dia sungkan menempuh bahaya yang tidak ada
perlunya, jadi dia tidak mau pergi untuk menyelidikinya.
Kemudian gurumu menanyakan guruku tentang Kiauw Pak
Beng itu. Maka guruku menduga, bahwa hantu terbesar dari
tiga ratus tahun yang sudah lampau itu mungkin telah
meninggalkan kitab ilmu silatnya di pulau itu."
"Jangan-jangan di pulau itu bukan hanya terdapat ular
berbisa dan binatang liar saja," kata Sie Ie, yang mendugaduga.
"Jika bukannya demikian, tidak nanti guruku melarang
aku pergi kesana. Entah apa yang guruku pernah jumpai di
pulau itu. Apakah kepada gurumu, guruku tidak menceritakan
apa-apa?" Kok Cie Hoa menggeleng kepala.
"Banyak tahun telah lewat dan gurumupun telah meninggal
dunia," ia melanjutkan pula. "Kemudian lagi, ialah tiga tahun
yang lalu, guruku telah pergi ke Thiansan untuk menjenguk
Tong Siauw Lan. Kebetulan Tong Keng Thian dan Pengcoan
Thianlie pun ada disana. Mereka lantas membicarakan urusan
itu. Pengcoan Thianlie lalu ingat akan suatu hal. Kui Hoa Seng,
yaitu ayah Pengcoan Thianlie, dalam usahanya mencari ilmu
silat yang luar biasa, telah merantau ke negara asing, sampai
ia mendapat jodohnya, dan menjadi menantu raja Nepal.
Disana Kui Hoa Seng dapat bertemu dengan banyak orang
gagah. Di antaranya, seorang jago bangsa Persia telah
memberitahukan bahwa seorang ahli silat kenamaan dari Tibet
pernah sampai di negerinya, dan ahli-silat itu sudah dapat
membeli sehelai gambar dari seorang keturunan Tionghoa
yang sudah menjadi rakyat Persia. Gambar itu bertuliskan
huruf-huruf Tionghoa. Katanya, leluhur orang Tionghoa itu,
yang sudah turun menurun tinggal di Persia, asalnya ialah
seorang saudagar yang biasa berdagang ke seberang laut.
Leluhur itu mempunyai sebuah buku catatan harian, yang
berisikan catatan-catatan pengalamannya, antara lain, bahwa
di sebuah pulau dia pernah bertemu dengan seorang bernama
Kiauw Pak Beng, yang luar biasa. Keturunan saudagar
Tionghoa itu sudah tidak faham bahasa Tionghoa. Bahwa dia
masih ingat nama Kiauw Pak Beng, itulah karena kisah Kiauw
Pak Beng itu diceritakan turun menurun. Jago Persia itu tahu,
bahwa Chong Leng Siangjin, pendeta dari Tibet itu, ialah
seorang ahli silat. Ia menduga, bahwa gambar yang dibeli itu
mesti ada hubungannya dengan ilmu silat. Karena Kui Hoa
Seng seorang Tionghoa, maka jago Persia itu bercerita
kepadanya tentang gambar Kiauw Pak Beng itu. Kui Hoa Seng
juga tidak tahu, siapa sebenarnya Kiauw Pak Beng tetapi ia
ingat baik nama itu. Pikirnya, setelah pulang ke Tionggoan
nanti, ia hendak mencari keterangan pada guruku. Sayang,
Kui Hoa Seng tidak pernah bertemu dengan guruku itu, hanya
anak gadisnya, ialah Pengcoan Thianlie, yang berhasil
menemuinya."
Mendengar keterangan ini, barulah Kim Sie Ie mengerti.
"Aku tidak menyangka bahwa hal ini demikian berbelitbelit,"
katanya. "Jadi gurumupun mengetahui tentang gambar
Chong Leng Siangjin itu sesudah dia mendengar keterangan
Pengcoan Thianlie, sedang Pengcoan Thianlie mengetahuinya
dari ayahnya."
Cie Hoa mengangguk.
"Tidak lama semenjak kembali dari Thiansan, guruku
mendapat firasat bahwa hidupnya sudah tinggal tak lama
pula," Cie Hoa melanjutkan, "maka ia telah meninggalkan
pesan padaku supaya, setelah ia menutup mata, aku
memperhatikan dua orang. Yang pertama ialah kau, dan yang
kedua Chong Leng Siangjin. Guruku menerangkan, bahwa
ilmu silat gurumu ialah ilmu silat istimewa, yang lain dari yang
lain. Ada bagian-bagiannya yang indah, yang tak dapat
ditandingi oleh ilmu silat kebanyakan partai umumnya. Hanya
sangat disayangkan guruku, bahwa ilmu silat itu tidak dapat
disalurkan dengan ilmu tenaga dalam yang sejati, hingga
akhirnya, siapa memahamkan itu, akan sukar lolos dari
kesesatan. Guruku telah memeriksa pelbagai kitab, memeriksa
catatan dari beberapa tertua Rimba Persilatan, maka ia
kemudian mengetahui, bahwa Kiauw Pak Beng ialah orang
sesat nomor satu dalam kalangan persilatan semenjak ahala
Beng. Ketika untuk kedua kalinya Kiauw Pak Beng bertempur
pula dengan Thio Tan Hong, latihannya dengan Siulo Imsat
Kang sudah sampai pada tingkat ke delapan dan sedang mulai
menanjak ke tingkat ke sembilan."
"Dan menurut apa yang aku tahu, Beng Sin Thong baru
sampai pada tingkat ke tujuh," kata Sie Ie, "jadi dia masih
beda jauh jikalau dipadu dengan Kiauw Pak Beng. Meskipun
demikian, Beng Sin Thong sudah kuatir, kalau-kalau dia nanti
masuk ke jalan sesat."
"Menurut kitab Bit Cong dari Tibet," kata Cie Hoa pula,
"kalau Siulo Imsat Kang sudah diyakinkan sampai pada tingkat
ke delapan, maka tibalah saatnya bahaya tersesat, maka luar
biasalah Kiauw Pak Beng, dia telah mulai beralih ke tingkat ke
sembilan, tetapi dia masih dapat melawan Thio Tan Hong,
bahkan dia dapat berdiam di pulau dengan gunung berapi itu
serta hidup sampai usia hampir seratus tahun. Melihat
buktinya, mungkin sekali dia telah berhasil menggabung ilmu
sesat dengan ilmu sejati, hingga dia dapat menyingkirkan
bagian-bagian berbahaya dari ilmu sesat itu. Dan inilah soal
yang hendak dipecahkan oleh gurumu. Begitulah maka guruku
memesan supaya aku mencarimu, untuk diberitahukan
tentang rahasia gambar aneh yang berada pada Chong Leng
Siangjin itu. Guruku mengharap, supaya kau nanti dapat
mencari dan mengambil kitab ilmu silat Kiauw Pak Beng
tersebut."
"Sekarang mengertilah aku sudah. Ketika bulan yang lalu
Kunlun Sanjin, Siang Bok Lo dan Kim Jit Sian, ketiga hantu itu,
berkawan mencari Chong Leng Siangjin, dan di dekat rumah
keluarga Yo di kecamatan Tong-peng, bertemu denganmu,
rupanya ketika itu kau sudah mengetahui soalku dengan
pendeta Tibet itu, bukan?"
"Benar, Aku memang terus menguntit kamu berdua. Kamu
mesti berjaga-jaga dari musuh kamu, tak sempat kamu
memikirkan aku. Kemudian, sesudah Chong Leng Siangjin
mati, maka gambarnya itu serta buku catatan si saudagar
pelayaran oleh Kang Lam telah diserahkan kepadamu, dan
semenjak itu, aku telah tidak memperhatikannya pula."
"Waktu itu kau belum menjelaskan rahasianya, rupanya kau
masih belum menaruh kepercayaan kepadaku, kau masih
hendak menangguhkannya guna mencari tahu tentang diriku,
tentang sifatku. Setelah mengetahui bahwa aku orang baikbaik,
baru kau akan berbicara, bukan?"
Mendengar perkataan si pengemis edan, Cie Hoa tertawa.
"Kau berhasil menebak separuhnya saja!" katanya. "Masih
ada separuh pula! Aku telah menduga, bahwa kau mestinya
akan pergi ke gunung Binsan menjenguk kuburan guruku,
Jodoh Si Mata Keranjang 7 Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Petualang Asmara 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama