Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Bagian 9
demikian banyak orang yang liehay?"
Pendeta ini percaya itulah kawannya si nona yang datang...
Cie Hoa, yang sudah berlari-lari terus, ketika ia memasuki
rimba di depannya, ia melihat dua orang berada di dekatnya.
Agaknya mereka itu lagi mencari apa-apa, mungkin ialah yang
lagi dicari mereka. Syukur, mereka itu tidak mendapat lihat
padanya, la lantas mengenali Gouw Bong, orang yang ia
paling benci, hingga ia berniat memberi hajaran terhadapnya,
la baru memikir begitu, atau mendadak saja Gouw Bong
berdua menjerit sendiri dan terus roboh. Ia kaget dan heran.
"Mungkinkah, karena aku harus dapat menyingkir, dia tak
sayang lagi kedua muridnya, yang dia korbankan?" ia berpikir.
Ia menduga kepada perbuatannya Beng Sin Thong. Tapi ia
perlu menyingkir, ia tidak mau kena disusul, maka ia
tinggalkan Gouw Bong dan Thio Yam itu.
Selama lari itu, Nona Kok telah mendapat kesegarannya.
Ketika itu sudah fajar, kecuali hawa udara nyaman, angin pun
bertiup halus dan mendatangkan harumnya bunga-bunga.
Ketika ia menoleh ke belakang, ia tidak melihat sinar api
kebakaran, ia pun tidak mendapatkan ada yang mengejarnya.
Maka ia lantas memperlambat tindakannya seraya ia memikir
kemana ia mesti menuju. Benar ia sudah bebas tetapi hatinya
tidak lantas tenang kembali. Disana ada Kim Bwee, yang
paling dulu mesti ditolongi.
"Aku tidak ingin bertemu pula ayahku, tetapi masih ada
urusannya Kim Bwee, mungkin sukar aku untuk tidak
menemuinya pula..." ia berpikir. "Jikalau aku minta
pertolongan orang, ayah mungkin tidak akan melukai aku,
tetapi Biat Hoa, dia mana suka melepaskan padaku" Disana
juga masih ada Yang Cek Hu serta sekalian murid ayahku itu."
Meski ia telah berpikir berulang-ulang, Cie Hoa tidak bisa
mendapatkan lain daya kecuali mencari bala bantuan. Ia
sendiri terang sudah tidak berdaya, la tidak sanggup. Habis,
siapakah ia mesti cari"
"Ibunya Kim Bwee dapat melawan ayahku, ialah salah satu
dari tiga pendekar wanita, tetapi ia berada jauh di Thiansan,
mana bisa ia lekas-lekas dikasih datang?" demikian pikirnya
lebih jauh. "Tinggal Kim Sie Ie cuma dapat melawan Biat Hoa,
dia sukar menandingi ayahku. Kim Sie Ie pernah melukai
ayahku itu, dia sangat dibenci, kalau dia yang membantu,
jangan-jangan sebelum aku berhasil, dia akan bercelaka
terlebih dahulu di tangan ayahku... Maunya ialah Kim Sie Ie
bekerja sama dengan aku, baru ada harapan untuk melawan
Beng Sin Thong, bagaimana aku bisa menempur ayahku?"
Keras Cie Hoa berpikir, akhirnya ia merasa kepalanya
pusing. Urusan sangat ruwet, sulit untuk ia memecahkannya.
Ia pun memikirkan halnya perhatian sangat dari Kim Bwee
terhadap Kim Sie Ie. Nona itu menyintai Tokciu Hongkay.
"Biar bagaimana halnya Lie Kim Bwee ini mesti aku
beritahukan padanya," kesudahannya ia pikir. Karena ini, ia
berdiam mendelong, mulutnya mengasih dengar suara
perlahan, menyebut nama Kim Sie Ie.
Dengan sekonyong-konyong saja, telinganya mendengar
suara tertawa geli dan pundaknya terasa dingin seperti bekas
ditiup. Ia menjadi kaget sekali. Dengan wajar, ia menikam ke
belakang, untuk menyerang. Demikian biasanya orang, atau
orang-orang yang mengerti silat, jikalau ada bokongan
terhadapnya. "Aha, liehay sekali!" demikian terdengar seruan, yang
menyusuli tikaman itu. Seruan itu nyaring tetapi halus.
Kok Cie Hoa dengar suara itu, yang nadanya bukan nada
bermusuhan jadi orang bukanlah musuh--akan tetapi sudah
terlanjur, ia tidak bisa membatalkan tusukannya yang kedua
kali. Kali ini ia sudah memutar tubuhnya. Maka ia melihat
tubuh seorang nona lompat mencelat, hingga pedangnya
lewat di bawah kaki nona itu. Dengan begitu juga ia menjadi
mendapat kenyataan, ilmu ringan tubuh dari nona itu tak ada
di bawah kepandaiannya sendiri.
Dengan lantas Nona Kok menahan gerakan selanjutnya dari
pedangnya. Ia berniat menyapa nona itu, atau ia sudah lantas
didului. Kata nona itu: "Aku telah menolongi kau mengusir dua
orang tetapi sekarang kau memberi hadiah padaku dengan
dua tikaman! Tidakkah ini keterlaluan?"
Nona itu mengawasi, wajahnya tersungging senyuman,
sedang suaranya itu manis.
Mendengar perkataan itu Cie Hoa mengerti bahwa nona
inilah yang sudah menyerang dan melukai Gouw Bong berdua
dengan senjata rahasia. Maka ia lantas memberi hormat
sambil nenjura dan berkata: "Enci, aku menghaturkan banyakbanyak
terima kasih untuk bantuanmu! Akupun memohon
maaf untuk kesembronoanku." Ia berkata demikian sedang di
hatinya ia berpikir: "Kau dan aku belum pernah bertemu,
datang-datang kau bergurau terhadapku, selagi aku tidak
menegur kau, kenapa kau justeru mengatakan aku
keterlaluan?" Ia berpikir begitu sebab ialah nona keluaran
partai lurus dan ia telah terdidik baik.
Nona itu tertawa pula, tertawa geli seperti tadi. Dia
rupanya dapat menebak hati orang. Dia kata: "Aku kuatir, di
dalam hatimu, kau tengah menyesalkan aku lantaran aku telah
mempermainkan kau! Bukankah kau menghendaki aku matur
maaf kepadamu" Haha!"
Mukanya Cie Hoa menjadi bersemu dadu. Ia tidak biasanya
mendusta. Lagi-lagi nona itu tertawa.
"Jikalau aku tidak mencoba kau, mana aku ketahui kaulah
muridnya Lu Su Nio?" ia menyahut. "Aku mendengar kabar,
murid penutup dari Lu Su Nio bernama Kok Cie Hoa. Bukankah
Nona Kok itu kau sendiri adanya?"
"Benar, aku Kok Cie Hoa," menyahut Nona Kok, yang lantas
balik menanya she dan nama orang
Si jail itu tidak lantas memberitahukan namanya.
"Kau ada bersama Lie Kim Bwee, apakah Lie Kim Bwee
tidak pernah menyebut namaku?" dia menanya.
"Jadinya kaulah enci Le?" Cie Hoa kata. "Adik Kim Bwee
sangat bersyukur kepadamu. Adik Kim Bwee bilang, ketika
pertama kali ia ditangkap Beng... Beng Sin Thong dan
dipenjarakan di dalam gua, kau yang telah menolongi dia."
"Benar!" menyahut nona itu. "Aku ialah Le Seng Lam.
Haha! Lie Kim Bwee tidak melupakan aku, aku juga tidak
melupakan dia. Aku menduga pasti Beng Laokoay tidak bakal
kesudian melepaskan dia, nyata dugaan cocok. Hanya, apa
yang aku tidak sangka, Biat Hoa Hwesio telah menggunai dia
sebagai hadiah untuk meminta sesuatu! Jikalau kedua siluman
itu bekerja sama, itulah hebat!"
Ketika Lie Kim Bwee ditolongi Seng Lam, ia berterima kasih
pada nona itu berbareng merasa heran atas sepak terjangnya,
dan ketika ia berbicara sama Cie Hoa, Cie Hoa dan ianya tidak
dapat menebak maksud hati orang. Di matanya Cie Hoa, Seng
Lam mestinya seorang wanita gagah yang berhati mulia sebab
dia berani menolongi orang dari tangannya Beng Sin Thong.
Akan tetapi sekarang, setelah bertemu sama orangnya sendiri,
ia merasa dugaannya kurang tepat. Baik gerak-geriknya,
maupun cara bicaranya, Seng Lam tidak mirip-miripnya
dengan seorang dari kalangan lurus. Bahkan sebaliknya, pada
alisnya terlihat tanda-tanda dari kesesatan. Tapi meskipun
begitu, ia masih mau berpikir: "Di dalam dunia kangouw ada
banyak orang yang kelakuannya luar biasa, umpamanya Kim
Sie Ie adalah suatu contoh. Siapa tahu kalau dia ini bukan
orang sebangsa Kim Sie Ie itu?"
Setelah memikir demikian, Cie Hoa pun ingat lagi yang
Nona Le sudah menolongi Kim Bwee, maka itu, meski orang
agaknya sesat, ia tidak mau bersikap sembarangan.
"Memang," katanya, "dengan Beng Sin Thong bekerja sama
Biat Hoa Hwesio, itulah hebat. Bagaimana sekarang, ada daya
apa untuk menolongi pula Kim Bwee?"
Seng Lam melirik nona itu, mendadak ia tertawa.
"Bukankah kau berniat pergi kepada Kim Sie Ie untuk
memohon bantuan?" ia tanya. "Kenapa kau mendustai aku,
menanya aku bagaimana harus menolongi Kim Bwee itu?"
Cie Hoa melengak.
"Eh, bagaimana kau ketahui itu?" ia tanya. Ia tidak merasa
bahwa barusan ia telah menyebut namanya Kim Sie Ie,
sebutan mana didengar Seng Lam dan Nona Le yang cerdas
lantas dapat menduga maksudnya.
Seng Lam tertawa.
"Aku mengerti ilmu meramalkan, kau tahu?" sahutnya. "Aku
dapat menerka apa yang orang pikir dalam hatinya..."
Mukanya Cie Hoa kembali menjadi merah.
"Sudah, enci, jangan kau bergurau!" katanya. "Memang aku
memikir meminta bantuan dari Kim Sie Ie, cumalah, andaikata
aku dapat mencari dia, baru selang satu bulan aku dapat
kembali kemari. Di samping itu, Kim Sie Ie juga belum tentu
dapat melawan Beng Sin Thong. Maka itu, enci, aku minta
bantuan kau. Kau mempunyai daya lain apakah?"
Lagi sekali Ie Seng Lam tidak lantas menjawab pertanyaan
orang. "Apakah kau tahu sekarang ini Kim Sie Ie ada dimana?" dia
menanya pula. "Menurut katanya dia ingin berlayar keluar laut," menjawab
Cie Hoa, "melainkan keberangkatannya mungkin sesudah
lewat dua bulan. Maka itu selama waktu itu, bilangnya, orang
dapat pergi ke kelenting Sianceng Kiong di Laosan untuk
menantikan dia disana."
Untuk sejenak, air mukanya Seng Lam menjadi padam,
lantas dia tertawa pula.
"Benarkah Kim Sie Ie membilang demikian?" dia menanya.
"Orang Kangouw membilang dialah orang yang tidak jeri akan
Langit dan tidak takut akan Bumi, itulah benar! Benarkah dia
berani pergi berlayar keluar lautan" Mau apakah dia pergi
berlayar itu?"
"Memang asalnya dia menjadi besar di pulau di luar
lautan," kata Cie Hoa. "Maka itu pelayaran baginya tidak
berarti apa-apa. Tentang apa keperluannya dia mau pergi
berlayar, itulah aku tidak tahu."
Tidak biasanya Cie Hoa omong bohong akan tetapi urusan
keper-giannya Kim Sie Ie ini adalah satu rahasia, mau atau
tidak, ia mesti mendusta terhadap Seng Lam.
Urusan mencari kitab warisannya Kiauw Pak Beng tidak bisa
diberitahukan lain orang.
Seng Lam tidak menduga bahwa orang telah mendustai ia.
Sebaliknya, hatinya lega. Pikirnya: "Bagus! Nyata Kim Sie Ie
tidak memberitahukan rahasiaku kepada nona ini!" Maka ia
tertawa, lalu ia menanya: "Mengenai asal-usulnya Kim Sie Ie,
rupanya kau mengetahui jelas sekali!"
Mukanya Nona Kok kembali bersemu dadu.
"Gurunya Kim Sie Ie, yaitu Tokliong Cuncia, bersahabat
baik dengan guruku," ia berkata, "dan aku sendiri, dengan Kim
Sie Ie pernah aku bertemu beberapa kali, jikalau tidak
demikian, tidak nanti aku memikir untuk memohon
bantuannya. Enci, bukankah kau pun kenal Kim Sie Ie?"
Nona itu tertawa.
"Dengan dia pernah aku bertemu sekali dua kali!" ia
menjawab, "hanya persahabatan kita beda dengan
persahabatan kamu. Cuma, menurut apa yang aku dengar dari
dia, agaknya dia tidak memikir untuk pergi berlayar."
Heran Cie Hoa mendengar itu.
"Paling belakang ini, kapannya enci telah bertemu
dengannya?" ia tanya.
"Kemarin dulu. Dia bilang dia ingin mencari seorang
sahabatnya, yang tinggal di kota Souwciu.
Maka, kecuali dia mendusta terhadapku, mana bisa dalam
tempo dua bulan dia tiba di Laosan serta sekalian mau bersiap
untuk berlayar?"
Cie Hoa heran hingga ia berpikir: "Aku toh bertemu dan
baru berpisahan dengan Kim Sie Ie kemarin dulu lagi!
Benarkah ada kejadian begini kebetulan, ialah ia bertemu
Seng Lam kemarin dulu" Kim Sie Ie bicara dengan pasti
padaku, kenapa di dalam satu malam dia mengubah niatnya
itu?" Karena kesang-siannya, ia menanya: "Kim Sie Ie tidak
pernah omong padaku bahwa dia hendak mencari sahahatnya
itu. Siapakah si sahabat?"
"Dia kata dia mau cari Tan Thian Oe, ialah sahabatnya asal
dari Tibet," sahut Seng Lam.
Cie Hoa berpikir pula. Ketika pertama kali ia bertemu Kim
Sie Ie, Kim Sie Ie justeru memberikan Thiansan Soatlian untuk
dengan perantaraan Kang Lam disampaikan kepada Tan Thian
Oe. Memang Kim Sie Ie ada hubungan perihal
persahabatannya sama Thian Oe itu.
"Mungkinkah Tan Thian Oe menemukan sesuatu halangan
maka Kim Sie Ie hendak lekas-lekas mencari dia?" ia berpikir
lebih jauh. Cuma di hatinya Cie Hoa menduga-duga, tidak berani ia
tidak mempercayai keterangannya Seng Lam itu. Tapi karena
ia berduka ia kata "Cade! Kalau Kim Sie Ie datang, mungkin
masih ada pengharapannya, sekarang bagaimana" Bantuan
siapa lagi dapat diminta untuk menolongi Lie Kim Bwee?"
"Aku mempunyai satu jalan, cumalah kau, enci, kau mesti
omong terus terang padaku," kata Seng Lam, yang sekian
lama membiarkan saja orang berpikir.
"Bagaimana?" tanya Nona Kok.
"Tadi aku melihat, Beng Sin Thong itu seperti sengaja
melepaskan kau. Benarkah itu?"
Parasnya Cie Hoa menjadi guram.
"Benar," ia menyahut, perlahan. Tak dapat ia mendusta.
"Memang dia sengaja melepaskan aku..."
"Beng Laokoay itu bangsa suka membunuh orang dengan
matanya tak berkesip! Orang yang telah terjatuh ke dalam
tangannya, mana bisa gampang-gampang dia
melepaskannya" Bukankah dalam urusan kau ini ada sesuatu
sebabnya?"
Hati Cie Hoa memukul. Itulah pertanyaan sulit untuknya. Ia
menjadi bingung. Di satu pihak, ia telah dikeluarkan dari
Binsan Pay. Itulah ada rahasia partai dan mengenai nama
baiknya sendiri. Tapi, di lain pihak lagi, Kim Sie Ie telah
mendapat tahu hal dirinya dipecat itu. Apakah halangannya
kalau sekarang Le Seng Lam pun mengetahuinya" Pihak
Binsan Pay umumnya telah ketahui hal ikhwal dirinya. Hingga
itu sebenarnya bukan rahasia lagi... Ia berpikir pula. Akhirnya
ia menger-tak gigi.
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memang ada sebabnya," sahutnya kemudian. "Dia... dialah
ayahku." Le Seng Lam kaget tidak terkira. Sedetik itu, matanya
menjadi bersinar merah. Ketika ia memandang Cie Hoa,
pandangannya ialah pandangan dari seorang musuh besar!
Musuh berada di hadapannya!
Tapi Cie Hoa, yang tidak menyangka jelek, menambahkan:
"Meski benar dialah ayahku, sekarang ini aku telah tidak
menganggap dia sebagai ayahku lagi! Dialah musuh besar dari
partaiku Binsan Pay!"
Seng Lam masih mengawasi tajam, tapi ia mengangguk.
"Aku tahu tentang permusuhannya dengan Binsan Pay,"
katanya. Cie Hoa sendiri, habis memberikan keterangannya itu, ia
merasa hatinya lega. Tadi ia tidak memperhatikan perubahan
air mukanya Seng Lam itu. Baru sekarang ia melihat. Tapi
sekarang, dengan hati lega, ia dapat memikir bahwa
urusannya itu dengan ayahnya memanglah suatu hal yang
mengejutkan orang luar. Ayah bentrok dengan anak, atau
sebaliknya, memang hebat sekali. Tapi ia tidak memperhatikan
lebih jauh air mukanya si Nona Le. Mimpi pun ia tidak sangka,
nona ini justeru musuh besar ayahnya itu. Dan sedetik itu,
Seng Lam lagi memikir bagaimana dia harus membalas sakit
hatinya-membalas secara kejam!
Cuma sekejab, kembali air mukanya Seng Lam berubah. Ia
dapat bersenyum.
"Jadinya kaulah anaknya Beng Sin Thong!" katanya. "Kalau
begitu, ada dayanya."
"Tidak bisa!" kata Cie Hoa. "Aku tidak bisa pergi minta
pertolongannya!"
Ia menduga Seng Lam mau menyuruhnya minta tolong
ayahnya itu. "Aku tidak menghendaki kau minta bantuannya," Seng Lam
bilang. "Sebentar malam kita pergi bersama. Asal Beng Sin
Thong tidak berani mencelakai kau, aku mempunyai jalan
untuk menolongi Lie Kim Bwee. Tugasmu ialah menyingkirkan
Beng Sin Thong dan tugasku ialah menolong orang."
"Akan tetapi disana masih ada satu Biat Hoa Hwesio," Cie
Hoa memperingati.
"Jangan kuatir. Asal aku berhasil menolongi Lie Kim Bwee,
nanti bersamanya cukuplah aku melayani hwesio itu."
"Tapi dia... ilmunya Siulo Imsat Kang liehay sekali..." Cie
Hoa beritahu pula. "Jikalau aku gagal memancing lama pada
Beng Sin Thong, dia dapat mencelakai kau..."
"Tentang itu, kau jangan buat kuatir. Benar aku tidak dapat
mengalahkan Beng Sin Thong tetapi Siulo Imsat Kang-nya itu
tidak dapat mencelakai aku. Pendeknya, asal kau pergi
bersama-sama aku, aku mempunyai jalanku!"
Cie Hoa heran hingga ia berpikir: "Mungkinkah ia pun
mengerti Siulo Imsat Kang" Yang pertama kali dia menolongi
orang, dia berani mendatangi Beng keechung, maka itu,
mungkin benar dia mempu-nyakan kepandaiannya itu..."
Seng Lam mengawasi nona di depannya, ia tertawa.
"Aku lihat tadi malam kau tidak dapat tidur cukup,"
katanya, "maka itu sekarang mari kita pergi ke desa di sebelah
depan, untuk bersantap-an, untuk terus beristirahat, supaya
kau dapat memulihkan kesegaran-mu, agar sebentar malam
kita bisa pergi dengan tenaga baru."
Sampai disitu, selesai sudah mereka bicara, maka berdua
mereka turun dari gunung. Tapi, di tengah jalan, Seng Lam
mencoba memancing, untuk mencari tahu apa benar-benar
Cie Hoa tidak ketahui hal perjanjiannya sama Kim Sie Ie. Ia
mendapatkan bukti Nona Kok benar tidak mengetahui itu. Hal
ini membuatnya berhati lega.
Cie Hoa sebaliknya ingin mengetahui asal-usul ini sahabat
baru, tetapi Seng Lam pandai menutup mulut, hingga ia tidak
berhasil memperoleh sesuatu keterangan. Ia tidak mendesak.
Ia mau percaya, Seng Lam mempunyai kesukaran apa-apa.
Cuma tetap ia memikirkan: Menurut suaranya, mestinya
persahabatan dia dengan Kim Sie Ie bukan persahabatan
baru, mengapa Kim Sie Ie tidak pernah menyebut tentang
dia" Ketika baru ini Kim Sie Ie berbicara sama Le Seng Lam,
mereka berjanji untuk tiga bulan kemudian mereka bertemu
pula di kuil Siang-ceng Kiong di gunung Laosan di malaman
bulan purnama. Mengenai janji itu, Seng Lam dapat menduga
maksudnya Kim Sie Ie Ia pikir: "Dari sini ke Laosan di pesisir
Laut Timur, waktu perjalanan cuma setengah bulan. Mengapa
dia menjanjikan sesudah tiga bulan itu" Kenapa dia tidak mau
berjalan bersama aku" Ah, tentulah dia berniat mencari Lie
Kim Bwee."
Tanpa merasa, itu waktu, Seng Lam jelus sedikit terhadap
Kim Bwee. Ia telah mendapat dengar partai Binsan Pay
hendak membikin rapat di gunung Binsan bertepatan hari
ulang tahun yang ke-50 dari wafatnya Tokpie Sinnie, ia
menduga disana tentu bakal hadir banyak orang kosen, yang
hendak memberi hormatnya, maka itu ia memikir untuk pergi
juga ke gunung itu, untuk melihat Kim Sie Ie bertemu dengan
Lie Kim Bwee atau tidak. Apamau, ia tiba disana terlambat
satu hari, ketika ia sampai, rapat sudah bubar.
Tengah Seng Lam berada di tempat yang berdekatan
dengan gunung Binsan, untuk mencari Kim Sie Ie, ia bertemu
dengan beberapa muridnya Beng Sin Thong. Diam-diam ia
menguntit mereka itu. Kebetulan sekali ia mempergoki Biat
Hoa Hwesio menawan Lie Kim Bwee, yang dimasuki ke dalam
kantung. Biat Hoa tidak kenal padanya, maka leluasalah ia
menguntit terus pendeta itu. Seterusnya Biat Hoa tidak
bercuriga. Demikian ketika tadi malam Beng Sin Thong
melepaskan Cie Hoa, Seng Lam lagi bersembunyi dan dapat
memmergokinya. Sebagai orang cerdik, ia lantas mendapat
tahu sandiwaranya Sin Thong itu. Maka bagus sekali untuk Cie
Hoa, dia telah tidak mendusta terhadap ini sahabat baru.
Seng Lam bercuriga pula. Tidak saja ia telah memperoleh
kenyataan Cie Hoa anaknya Sin Thong, pula dari gerakgeriknya,
dari omongannya, Cie Hoa mungkin mempunyai
sangkutan dengan Kim Sie Ie, mungkin perhubungan Cie Hoa
dengan Sie Ie tak kalah akrabnya dengan perhubungan Sie Ie
dengan Kim Bwee. Dari curiga, timbul juga rasa cemburunya.
Mereka berjalan terus sampai mereka mendapat lihat tiga
orang lagi mendatangi dari arah depan mereka. Mereka itu
menunggang kuda. Ketika Seng Lam melihat tegas mereka itu,
ia mengeluarkan suara kaget: "Ah, celaka, aku bertemu
musuh! Baik kita menyingkir dari mereka?"
Habis berkata Seng Lam mau pergi ke dalam pepohonan
lebat di pinggir jalanan, atau tepat itu waktu, Cie Hoa
mendengar tertawa nyaring yang ia kenal, yang disusuli sama
kata-kata: "Bangsat perempuan yang mau mencuri barang,
aku telah melihat kau!"
Bukan main herannya Nona Kok. Itulah Kang Lam.
Dengan cepat Kang Lam sudah tiba dengan kudanya, dari
atas punggung kuda tunggangannya, ia mencelat,
berjumpalitan dua kali, berlompat turun ke tanah, maka
seketika juga ia telah sampai di dekatnya Seng Lam.
Seng Lam tertawa dingin dan berkata: "Hai, bocah, kau
berani menghina aku" Aku disini, kau tangkaplah!" Sambil
berkata begitu, nona ini meluncurkan sebelah tangannya,
untuk memapaki si anak muda, maka "Bruk!" robohlah Kang
Lam ke tanah! "Enci!" berseru Cie Hoa, kaget. "Inilah kenalan kita" Dia
kacungnya Tan Thian Oe!"
Belum berhenti suara nona ini atau terlihat tubuh Kang Lam
mencelat bangun, sebelah tangannya menyambar lengan
Seng Lam, sembari tertawa dia kata: "Haha! Kau lihat, apakah
aku tidak dapat membekukmu"--Ai, Nona Kok! Kenapa, kau
ada bersama penjahat wanita ini?"
Kang Lam pernah belajar ilmu "Tianto hiattoo" dari Hong
Sek Toojin. Itulah ilmu memutar balik jalan darah, untuk
dibikin kacau, kefaedahannya mirip dengan ilmu menutup
jalan darah, agar tidak berbahaya apabila ditotok musuh.
Maka juga barusan, sengaja ia kasih dirinya kena ditotok si
nona dan terus ia berpura-pura jatuh tanpa berkutik lagi, atau
sekarang mendadak ia berlompat, untuk menangkap tangan
nona itu. Itulah kepandaiannya yang istimewa, sayang
kepandaiannya ilmu silat masih rendah, ia kalah jauh dari
Seng Lam. Justru itu ia menangkap tangan Nona Le sambil
berbicara, maka ketika Seng Lam meronta dengan gerakan
"Toatpauw kaykah",-"Meloloskan jubah membuka baju
perang", gampang saja cekalannya dibikin terlepas, setelah
mana dengan satu gerakan susulan lain, dia kena dibikin
terpental jungkir balik!
Dengan meminjam tenaga si nona, Kang Lam menggeraki
tubuhnya dengan lincah, dengan begitu tidaklah ia sampai
kena dibanting roboh. Ketika ia menaruh kakinya, untuk
berdiri, sebenarnya ia hendak mementang mulutnya, untuk
mencaci nona itu atau si nona mendahului ia, sambil tertawa,
nona itu kata: "Jikalau aku tidak mengingat bahwa kau kenal
dengan saudara Kok Cie Hoa, pasti aku banting kau hingga
tulang-tulangmu patah dan ringsak!"
Kang Lam cerdas sekali, ia pun lantas menginsyafi bahwa
orang berlaku baik terhadapnya, maka batal ia mencaci si
nona. "Kang Lam, jangan bergurau!" Cie Hoa berkata.
"Sebenarnya, bagaimanakah duduknya urusan kamu ini?"
"Disana ada kakak dan adik angkatku," menyahut Kang
Lam, "jikalau kau kuatir aku mendusta, kau tanya mereka
saja! Memang benar tadi malam dia ini hendak mencoba
mencuri barang milik kami... Lagi, aku... aku sekarang bukan
kacung lagi! Apakah Kim Sie Ie tidak memberitahukan sesuatu
kepadamu?"
Cie Hoa menahan hati untuk tidak tertawa karena
kejenakaan orang.
"Maaf, maaf!" katanya. "Benar-benar aku lupa!"
Ketika itu, dua penunggang kuda lainnya, yang datang
bersama Kang Lam, sudah tiba di antara mereka. Cie Hoa
berpikir: "Kang Lam membilang merekalah kakak angkat dan
adik angkatnya, pastilah mereka Tan Thian Oe suami dan
isteri..."
Seng Lam pun berkata: "Kim Sie Ie pergi mencari mereka,
kenapa mereka sebaliknya datang kemari?"
Kang Lam sudah lantas berkata kepada dua orang yang
baru tiba itu, sembari berkata ia menunjuk Cie Hoa: "Inilah
Nona Kok yang itu hari membantui Kim Sie Ie memukul
mundur Chong Leng Siangjin bertiga hingga jiwaku dapat
ditolong!"
Penunggang kuda yang pria, yang masih muda, ialah Tan
Thian Oe, sudah lantas merangkap kedua tangannya terhadap
Cie Hoa. "Terima kasih, nona, atas bantuanmu itu," katanya hormat.
"Aku Tan Thian Oe."
Penunggang kuda lainnya, seorang wanita muda, ialah Yu
Peng, pun turut menghaturkan terima kasih seraya berkata:
"Aku berterima kasih atas bantuannya Kim Tayhiap dan kau,
nona, dengan begitu Kang Lam berhasil mengantarkan obat
untuk menolong jiwaku." Selagi berkata begitu, dia terus
melirik Seng Lam.
Mukanya Nona Le bersemu dadu, tetapi dia paksakan
tertawa dan berkata: "Kiranya kamulah suami isteri Tan Thian
Oe, maaf, maaf! Sebenarnya kemarin malam aku main-main
saja denganmu!"
"Ha, masih kau menyebutnya main-main!" Kang Lam
menegur. "Kemarin malam itu, jikalau bukannya aku mengetahui
siang-siang, hampir kau berhasil mencuri pedangnya enso-ku!"
Dengan enso itu, Kang Lam maksudkan Yu Peng yang tadi
dia katakan adik angkatnya. Sebagai Yu Peng, ia menjadi adik
angkat, dan sebagai isteri Thian Oe, ialah enso yakni ipar.
Malam itu Tan Thian Oe bertiga singgah di Sin-an tin,
mereka mengambil pondokan dimana pun Seng Lam berada.
Pedangnya Yu Peng lantas menarik perhatiannya Nona Le.
Itulah pedang yang terbikin dari sisa atau hancuran
pedangnya Pengcoan Thianlie si Bidadari dari Sungai Es,
sedang pedang Pengcoan Thianlie, asalnya ialah miliknya
puteri Nepal, yang menjadi ibunya, pedang mana terbuat dari
han-giok, kemala es yang usianya sudah selaksa tahun, maka
juga pedang itu dinamakan Pengpok Hankong Kiam, Pedang
Inti Es. Sisa han-giok itu dibikin menjadi sembilan bocah
pedang Hankong Kiam, dibagikan kepada pelayan-pelayannya
Pengcoan Thianlie, dan pedang Yu Peng ini, salah satu yang
terbaik. Seng Lam ketarik karena, meskipun tersimpan di
dalam sarungnya, pedang itu samar-samar memperlihatkan
hawa atau cahaya dingin hingga dia menjadi heran.
Tengah malam, Seng Lam keluar dari kamarnya, untuk
pergi ke kamar Yu Peng, guna mencuri pedang itu. Ia
menggunai asap pulas, hingga Thian Oe dan Yu Peng tidur tak
sadarkan diri, hingga pedangnya kena dicuri, hanya, belum
lagi ia sempat mencabutnya dari sarungnya, ia kepergok Kang
Lam, lantas Kang Lam menguber sambil berteriak-teriak. Seng
Lam merasa pasti ilmu silat Kang Lam tidak berarti untuknya,
maka ia tidak bikin pulas pemuda itu yang tidur di kamar
sebelah, siapa tahu, orang tajam kupingnya, sedang dalam
ilmu ringan tubuh, Kang Lam mahir sekali. Dalam ilmu silat,
kepandaian Kang Lam pun campur aduk. Demikian kali ini,
dalam mengepung Nona Le, untuk merampas pulang pedang
itu, dia menyerang si nona dengan pelbagai ragam
kepandaiannya itu. Untuk menotok, dia menggunai ilmu totok
ajarannya Kim Sie Ie. Dalam ilmu pedang, dia pakai ilmu
pedangnya Pengcoan Kiamhoat didikan Tan Thian Oe. Seng
Lam kena dilibat, beberapa kali ia berhasil membikin Kang
Lam roboh jumpalitan, tapi pemuda itu bandel, berulang kali
dia berlompat maju pula. Di saat Seng Lam menjadi gusar dan
hendak mengasih rasa, ia disusul Thian Oe dan Yu Peng.
Mereka ini men-dusin sendirinya sebab mereka mempunyai
latihan tenaga dalam yang sempurna. Dengan menggunai
Pengpok Sintan, Peluru Inti Es, Yu Peng memaksa Nona Le
melepaskan pedang curiannya dan kabur. Maka itu, ketika kali
ini mereka bertemu, Kang Lam lantas menuduh Nona Le itu.
Thian Oe dan Yu Peng melihat nona itu ada bersama Cie
Hoa, mereka tidak mau menimbulkan urusan pencurian
pedang itu, bahkan Thian Oe meredakannya dengan menegur
Kang Lam: "Jangan kau ngaco belo! Jikalau Nona Le penjahat
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benar, kau tentunya telah dihajar mampus!"
Kang Lam berdiam, tetapi di dalam hatinya, ia kata: "Masih
dibilang bukannya penjahat! Yang benar ialah dia bukannya
penjahat yang telengas!..."
Seng Lam mengerti, ia tertawa dan berkata: "Kang Lam
bukannya ngaco belo! Pedang Nyonya Tan luar biasa sekali,
memang aku berniat mencurinya, untuk aku dapat melihatlihat.
Yang benar ialah cara main-mainku keterlaluan..."
Yu Peng pun tertawa.
"Pedangku ini memang tidak ada di Tionggoan," katanya.
"Memang tidak heran kalau enci jadi sangat ketarik hati."
"Enso," Kang Lam menyelak, "coba enso kasih dia pinjam
lihat!" Pedang itu pedang luar biasa, begitu dicabut dari dalam
sarungnya, kecuali cahayanya yang berkilau, pun
mendatangkan hawa sangat dingin, hawa dingin mana tak
tertahankan oleh orang yang ilmu silatnya biasa saja, bahkan
ada kemungkinan karena terserang hawa dingin itu, orang
mendadak mendapat sakit. Kang Lam mau percaya, nona ini
tidak akan jatuh sakit, tetapi sedikitnya dia tak sanggup
melawan hawa dingin itu. Jadi ia mau "mengajar adat" kepada
si nona... "Jikalau kau tidak keberatan, enci, sukalah kau kasih aku
pinjam lihat," Seng Lam pun berkata. "Aku ingin mataku
menjadi terbuka."
Yu Peng memikir untuk jelaskan keistimewaan pedangnya
itu, tetapi ia kuatir Nona Le salah mengerti, maka ia
meluluskan permintaan itu. Ia percaya nona ini tidak bakal
terganggu pedang itu sebab kemarin malam pun dia dapat
bertahan dari Peluru Inti Es.
Seng Lam memegang pedang, untuk dibawa dekat ke
mukanya. Ia juga mementil dua kali.
"Sungguh pedang luar biasa!" ia memuji. "Inilah bukan
pedang emas atau besi. Dari apakah terbuatnya?" Ia belum
berhenti bicara, atau mendadak tubuhnya menggigil, maka
lekas-lekas ia menjauhkan pedang itu dari mukanya. Sembari
tertawa, ia menambahkan: "Hawa dingin ini, aku lihat, tak
kalah dengan hawa dingin dari Siulo Imsat Kang dari Beng Sin
Thong. Sudahlah, aku tidak berani melihat lama-lama..." Maka
ia masuki pedang ke dalam sarungnya dan membayarnya
pulang. Yu Peng kagum. Ia mendapatkan nona itu cuma menggigil
sebentaran, sedang kulit mukanya tidak berubah. Sedang Cie
Hoa, yang berada di samping mereka, tidak terganggu sama
sekali oleh hawa dingin pedang itu. Ia tidak tahu bahwa Seng
Lam sebenarnya telah bersiap sedia, yaitu si nona sudah
melindungi diri dengan mengerahkan tenaga dalamnya yang
istimewa. Sedang Cie Hoa pernah meyakinkan Siauwyang
Sinkang, dia tidak takuti hawa dingin.
Setelah itu, mereka mulai bicara dari hal lainnya.
Thian Oe kagum untuk mendengar Cie Hoa sebenarnya
muridnya Lu Su Nio.
"Sayang kami terlambat," kata ia, "karena itu kami tidak
keburu menghadiri rapat partai kamu itu, nona."
"Itulah rapat biasa saja," kata Cie Hoa singkat. Tidak mau
ia membeber halnya dipecat Co Kim Jie. la lalu menanya
mereka itu mau pergi kemana
"Kami mau mencari Kim Tayhiap," jawab Thian Oe.
"Dengan obatnya yang mustajab ia telah menolongi isteriku,
aku sangat bersyukur. Pula, sudah beberapa tahun kami tidak
pernah bertemu dengannya, maka itu kami ingin mencari
untuk sekalian menghaturkan terima kasih kami. Sayang kami
tidak tahu tayhiap berada di mana. Kami telah memikir, jikalau
tayhiap tidak dapat diketemukan, kami ingin pergi ke Thiansan
guna menjenguk Tong Keng Thian suami isteri. Kami harap
disana akan mendengar kabar tentang Kim Tayhiap."
Cie Hoa heran mendengar perkataan orang itu.
"Kim Sie le justeru tengah mencari kamu!" katanya.
"Jadinya kamu tidak bersomplokan di tengah jalan?"
Thian Oe pun heran.
"Kapan dia berangkatnya?" ia menanya. "Ia berangkat dari
mana?" "Aku bertemu dia kemarin dulu di dusun Sin-an," berkata
Le Seng Lam, yang turut bicara. "Sayang kamu tidak bertemu
satu dengan lain di tengah jalan."
"Ah, heran!" kata Kang Lam "Kemarin dulu itu kami justeru
singgah di dusun Sin-an. Dusun itu tidak besar dan disana
cuma ada dua bocah rumah penginapannya kalau kami tidak
melihat dia, sepantasnya dia melihat kami..."
"Kamu mengambil pondokan yang mana?" Seng Lam tanya.
"Kami tinggal di hotel Ban Lie," jawab Thian Oe. "Kita tiba
selagi cuaca baru gelap, tetapi setibanya, kami lantas mencari
tahu. Kami mendapat keterangan disitu tidak ada orang
Kangouw..."
"Kalau begitu, inilah sebabnya!" berkata Nona Le. "Kim Sie
Ie berdandan sebagai pengemis yang kurang beres
ingatannya dan ia mondoknya pun di kuil yang bobrok. Aku
sendiri mondok di hotel Eng Hoat. Kita memangnya telah
berjanji, maka tengah malam itu kami membuat pertemuan di
kuil tersebut. Kita bicara sampai jam empat, baru aku pulang
ke hotel, justeru di saat kamu berangkat meninggalkan hotel
kamu. Ketika itu sang fajar baru tiba. Sayang aku tidak kenal
kamu, jikalau tidak, pasti aku menemui kamu, untuk
memanggil kembali."
"Ya, sayang, sayang!" kata Thian Oe berulang-ulang,
menyesal. Cie Hoa sebaliknya heran atas kata-kata Seng Lam itu. la
kata dalam hatinya: "Kim Sie Ie mirip orang otak tetapi dia
sebenarnya teliti sekali dan dia pula gemar mencampuri
urusan lain orang, mungkinkah dia tidak mendapat-tahu
kedatangannya rombongan Thian Oe" Mereka datang sesudah
sore dan mereka pun naik kuda. Benarkah dia tidak
mendengar suara mereka, hingga dia tidak melongoknya" Ini
satu soal. Kim Sie Ie belum pernah menyebut-nyebut Seng
Lam terhadapku. Dia benar gemar bergurau tetapi jikalau
bukan dengan sahabat akrab, mana bisa dia suka pasang
omong sama Seng Lam" Mustahil dia tidak likat karenanya" Ini
yang kedua. Lagi pula, kenapa dia menyamar menjadi
pengemis" Ini soal yang ketiga. Bukankah dia telah
membilangi aku bahwa dia mau berangkat sesudahnya lewat
dua bulan dan dia pun mengajaki aku pergi mencari tahu
halnya Lie Kim Bwee" Bukankah dia berjanji agar aku
menantikan dia di kuil Siangceng Kiong di gunung Laosan?"
Meskipun ada kesangsiannya ini, Cie Hoa tidak berani tidak
percaya keterangannya Seng Lam itu. Maka juga, tetap ia
heran dan bersangsi.
Sebenarnya Seng Lam mengatakan demikian dengan
maksud sengaja mendustai Cie Hoa. Ia tidak ingin Cie Hoa
bersama Kim Bwee, nanti bertemu Sie Ie sebelumnya Kim Sie
Ie berlayar. Sebabnya ini ialah ia kuatir rencananya nanti
gagal. Pula, tanpa ia mengerti, ia jelus terhadap kedua nona
itu, ia cemburu...
Thian Oe sebaliknya tidak mencurigai Seng Lam. Memang
mereka berangkat dari Sin-an pada kira jam lima. Mereka pun
tidak tahu, sudah semenjak dua hari Seng Lam menguntit
mereka karena Nona Le mengarah pedangnya Yu Peng itu.
"Kalau begitu, marilah kita susul Kim Tayhiap!" Kang Lam
mengajaki. "Jikalau kita mengaburkan kuda kita, mungkin kita
dapat menyusul dia sebelum dia sampai di Souwciu. Dengan
begitu pun kita bisa mencegah dia sampai disana untuk
menubruk tempat kosong saja. Kalau sekarang kita gagal
menemui dia, entah sampai kapan kita nanti dapat
menemukannya..."
"Kau benar!" kata Thian Oe setuju. "Nona Kok, Nona Le,
disini saja kita berpisahan." Ia pun lantas memberi hormat,
untuk meminta diri, lalu terus ia mau naik atas kudanya.
"Tan Kongcu, tunggu sebentar!" Cie Hoa berkata.
"Ada apa, Nona Kok?"
"Apakah kongcu kenal Nona Lie Kim Bwee dari Thiansan
Pay?" "Tentu saja!" menjawab Kang Lam sambil tertawa. Ia
mendahului majikan atau kakak angkatnya itu. "Kongcu kami
ialah sahabat-sahabatnya Tong Keng Thian dan Kim Sie Ie."
Thian Oe heran atas pertanyaan itu.
"Aku kenal nona itu," ia menyahut. "Menurut apa yang aku
dengar, Nona Lie Kim Bwee juga sedang mencari Kim Tayhiap.
Apakah Nona Kok bertemu dengannya?"
"Tadi malam aku ada bersama-sama dia," Cie Hoa
menjawab. Thian Oe nampak girang.
"Kalau begitu, kenapa kita tidak mau menemui dia terlebih
dulu?" katanya. "Setelah itu baru kita berangkat bersama
menyusul Kim Tayhiap."
"Tetapi, kongcu," berkata pula Cie Hoa, "Sulit untuk
menemui Nona Lie. Sayang sekali, dia sekarang justeru
terjatuh dalam tangannya seorang hantu dan tengah dikurung
dalam sebuah kamar batu. Aku sendiri, aku tidak berdaya
menolongi dia..."
"Siapakah yang demikian besar nyalinya berani mengurung
Lie Kim Bwee?" ia tanya. "Mustahil orang itu tidak tahu siapa
Nona Lie itu?"
"Dia mengetahuinya," sahut Cie Hoa. "Justeru lantaran itu,
dia tidak mau melepaskannya."
"Apakah orang itu tidak takut kepada Tong Siauw Lan dan
Phang Lim?" Thian Oe tanya pula.
"Mungkin sekarang ini dia masih merasa jeri. Tapi dia, si
hantu, tengah meyakinkan semacam ilmu silat yang liehay
sekali. Tong Siauw Lan berada jauh di Thiansan, umpama kata
ia mendengar hal kemenakannya ini dan ia datang mencari si
hantu, si hantu sendiri mungkin sudah berhasil dengan
peryakinan ilmunya itu hingga dia tidak takut lagi
terhadapnya. Sekarang dia tidak mau membebaskan Lie Kim
Bwee, karena dia justeru kuatir Tong Siauw Lan dan Phang
Lim nanti datang mencari dia sebelum ilmu silatnya
sempurna."
"Siapakah yang demikian liehay" Menurut keteranganmu
ini, sekarang dia tidak dapat dibandingkan dengan Tong Siauw
Lan akan tetapi, rupanya, kepandaiannya sudah tidak kalah
jauh..." "Benar demikian," Cie Hoa memberi jawaban. "Ini pun
sebabnya kenapa dia berani melakukan perbuatannya itu.
Dia... dia... dia bernama Beng... Beng Sin Thong..."
"Beng Sin Thong?" Thian Oe mengulangi nama orang.
"Nama itu baru pertama kali ini aku pernah dengar. Kok
Liehiap, bukankah mengatakan bahwa tadi malam kau berada
bersama Nona Lie Kim Bwee itu" Bukankah itu waktu dia
masih belum tertawan hantu itu?"
"Ketika itu dia bersama-sama aku telah ditangkap dan
dikurung hantu itu," Cie Hoa memberi keterangan. "Aku
sendiri berhasil meloloskan diri."
Cie Hoa lalu menjelaskan mengapa Beng Sin Thong
bermusuh dengan pihak Binsan Pay serta tentang Kim Bwee
dan ia ditangkap hantu itu, tetapi tentang hubungannya
sendiri dengan Sin Thong, ia tidak menyebutkan sama sekali.
Mendengar keterangan itu, Thian Oe terkejut berbareng
heran. Pikirnya: "Nona ini menuturkan si hantu demikian
liehay, kenapa dia dapat lolos dari kurungannya" Mungkinkah
dia dapat lolos karena kebetulan si hantu alpa menjaganya"
Tapi ia ada bersama Lie Kim Bwee, kenapa ia tidak lari
bersama nona itu" Juga, ketika ia menyebutkan nama si
hantu, kenapa ia agaknya ragu-ragu dan parasnya tampak
berubah daripada biasanya" Kenapakah?"
Walaupun ia bercuriga, Thian Oe tidak menyangka jelek.
Cie Hoa ini murid Lu Su Nio dan dia pernah menolong Kang
Lam. "Sikapnya ini mencurigakan tetapi mungkin ada sebab lain,"
pikirnya kemudian. "Tidak nanti dia mengandung maksud
buruk..." Sekian lama Thian Oe berdiam, lalu ia kata: "Lie Kim Bwee
berada dalam bahaya, bisakah kita duduk diam saja tanpa
menolongnya" Meski juga Beng Sin Thong liehay luar biasa,
mesti kita pergi untuk menempurnya!"
Cie Hoa tidak bisa berbuat lain daripada menyatakan
setuju. Mereka lalu berunding, memikirkan akal untuk
menghadapinya. Kesudahannya mereka mengambil putusan
menuruti pikiran Le Seng Lam, ialah lebih dulu mereka pergi
ke dusun di sebelah depan mencari rumah penginapan, guna
beristirahat, supaya sebentar malam jam tiga, mereka dapat
berangkat menolong Kim Bwee.
Selagi berjalan itu, Kang Lam yang paling banyak bicara. Ia
terus ibicara dengan Nona Kok Cie Hoa, memujinya, karena
ilmu silatnya maju pesat.
Pemuda itu tertawa girang. "Bukankah itu karena petunjuk
Kim Tayhiap" Tapi, liehiap, kau juga telah membantu banyak
sekali padaku!" katanya.
"Kapan aku membantumu?" kata si nona, tertawa. "Sama
sekali belum pernah aku mengajarkan kau ilmu silat, sekalipun
setengah atau satu jurus..."
"Ah, kau lupa, liehiap!" kata Kang Lam. "Bukankah hari itu
kau telah minta aku menyampaikan serupa bingkisan kepada
Kim Tayhiap" Mulanya kau membikin aku bingung sekali! Baru
kemudian aku tahu bahwa bingkisan itu ialah gambar lukisan
aneh yang didapatkan dari Chong Leng Siangjin. Ketika Kim
Tayhiap melihat itu, girangnya bukan kepalang. Ia
mengatakan, meski itulah bingkisan darimu, aku toh turut
berjasa, maka lantas saja ia memberikan pelajaran kepadaku,
tentang ilmu totok serta pokok ilmu silat, yang aku mesti ingat
di luar kepala. Sayang waktunya sangat pendek, apa yang ia
ajarkan, aku tidak bisa ingat semuanya, aku tidak dapat lantas
menggunakannya. Tapi, " haha! -aku si Kang Lam, meski aku
tidak mempunyai kebaikan apa-apa, aku paling tidak dapat
melupakan budi orang! Demikian, dengan memperoleh
kebaikan dari Kim Tayhiap, aku lantas ingat akan pepatah
yang berarti: 'Minum air, ingat sumbernya'. Maka, nona, aku
mengandal kepada bantuanmu itu untuk mana aku belum
sempat menghaturkan terima kasih padamu!"
Habis berkata begitu, tanpa menghiraukan mereka berada
di tengah jalan besar Kang Lam menjatuhkan diri di depan Cie
Hoa, untuk memberi hormat sambil mengangguk-angguk.
"Sudah, sudah!" Cie Hoa lekas-lekas mencegah. Ia menjadi
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuatir mendapatkan Kang Lam sangat suka bicara. Ia kuatir
orang nanti membocorkan rahasia Kim Sie Ie. Ia mendapat
kenyataan, Le Seng Lam sangat menaruh perhatian kepada
perkataan pemuda ini, dan Nona Le itu mengawasi anak muda
dengan tajam. Bahkan dia lantas menanya: "Gambar apakah
itu" Coba kau jelaskan, supaya aku dapat menambah
pengetahuanku..."
"Kang Lam paling gemar membual!" kata Cie Hoa cepat.
"Sebenarnya itu tidak berarti apa-apa..."
Belum nona ini menutup perkataannya, Kang Lam sudah
berseru: "Aku bukannya membual! Rupanya nona juga belum
pernah melihat gambar itu, bukan" Itulah sebuah gunung
besar di tengah lautan, gunung yang menyemburkan api. Lalu
ada seorang bertubuh besar bagaikan raksasa berdiri di kaki
gunung itu, tangannya mementang panah! Coba pikir, apakah
itu... itu... tidak aneh" Tentang gunung berapi itu serta
raksasanya dan panahnya pernah kutanyakan kepada kongcu,
tetapi kongcu juga merasa aneh, katanya ia tidak mengerti arti
gambar itu!"
Dengan "kongcu" atau tuan muda, Kang Lam menyebut
Thian Oe, sang majikan.
"Kalau begitu, benar-benar aneh!" kata Seng Lam, heran.
Mendengar kata-kata orang itu, Kok Cie Hoa memandang
muka Seng Lam. Ia mendapatkan paras nona itu tidak wajar.
Hingga ia pun menjadi turut merasa heran. Ia menduga-duga,
apakah ada hubungan antara gambar itu dengan Seng Lam
atau antara Kim Sie Ie dan Seng Lam ini"
Kang Lam masih berkata lagi: "Nona Kok, itulah bingkisan
untuk mana kau telah pinjam tanganku untuk
menyampaikannya kepada Kim Tayhiap! Oh, jadi nona juga
belum pernah melihat gambar itu" Itulah suatu mestika!"
Cie Hoa tertawa.
"Ah, mengapa kau menyebut-nyebut mustika?" katanya.
"Jikalau bukannya mestika, kenapa Kim Tayhiap menjadi
demikian girang?" kata Kang Lam dengan ngotot.
Nona Kok kewalahan. Ia tahu tabiat pemuda ini, tanpa
penjelasan, dia tidak akan mau mengerti atau berhenti
mengoceh, tetapi, urusan yang demikian penting, mana dapat
dijelaskannya" Itulah rahasia yang menyangkut kaum Rimba
Persilatan. Tapi ia toh berpikir, maka ia berkata: "Chong Leng
Siangjin itu ialah seorang guru besar, maka itu gambar lukisan
yang ia simpan itu pasti bukan sembarang gambar. Kim Sie Ie
menggemari barang-barang yang aneh, dari itu aku
mengirimkannya kepadanya."
Agaknya Kang Lam masih belum puas. Cie Hoa dapat
melihat sikap orang, ia mengulapkan kedua tangannya dan
mendahului berkata: "Apa yang aku ketahui hanya sebegini,
jadi percumalah andaikata kau menanyakan aku lebih jauh!"
Tan Thian Oe percaya gambar itu pasti ada sesuatu
kepentingannya, ada rahasianya, maka sambil tertawa, ia kata
pada orang itu: "Kang Lam, sampai kapan kau hendak
mengubah tabiatmu banyak mulut?"
Kang Lam tidak puas, di dalam hatinya, ia kata: "Bukankah
ketika aku menyebutkannya kau pun merasa aneh" Sekarang,
selagi aku hendak menanya jelas, kau lantas mengatakan aku
banyak mulut!"
Syukurlah yang menegur itu Thian Oe, kalau tidak, ia tentu
masih mengoceh. Sampai disitu barulah Yu Peng, yang
sebegitu jauh berdiam saja, berkata sambil tertawa: "Oleh
karena semua tidak mengerti gambar itu, percumalah kita
meletihkan pikiran membicarakannya panjang lebar! Paling
benar mari kita lekas-lekas sampai di dusun di depan itu,
untuk mencari rumah penginapan. Kita perlu beristirahat
untuk dapat membicarakan pula rencana kita sebentar
malam." Sementara itu, Le Seng Lam juga tidak pernah campur
bicara, tetapi ia bukannya tidak pikir. Ia berdiam sambil
mengasah otak. Ketika itu, di lain pihak, Beng Sin Thong pun tidak tenteram
hatinya. Berhubung dengan kepergian anaknya, dia jadi
berpikir keras. Itulah karena kekuatirannya, kalau-kalau Biat
Hoa Hwesio nanti mengetahui rahasia hatinya. Ia takut nanti
dicurigai sudah melepaskan anaknya itu. Syukur bahwa Biat
Hoa itu, selama di gunung Binsan, telah mendengar
percakapan antara Kok Cie Hoa dan Co Kim Jie. Iapun berkata
di dalam hatinya: "Aku mulanya menyangka Kok Cie Hoa
hanya tidak mau mengakui ayahnya di depan Co Kim Jie,
siapa tahu dia benar-benar keras kepala..."
Lantas Sin Thong memikirkan hal terlukanya Gouw Bong,
yang terkena tok tielee atau duri beracun.
Berhubung dengan itu teranglah sudah, Kok Cie Hoa itu
mempunyai kawan, yang datang bersamanya. Karena ini, dia
pikir, tidak nanti Biat Hoa mencurigainya.
Kekuatiran Beng Sin Thong ini berlebihan. Sebetulnya,
umpama kata Biat Hoa Hwesio mengetahui, bahwa dialah
yang melepaskan si nona Kok, tidak nanti si pendeta
menariknya panjang. Biat Hoa justeru membutuhkan
persahabatannya, sebagaimana ia pun mengandalkan bantuan
si hwesio. Hari itu Beng Sin Thong mulai mengajarkan Biat Hoa
tentang kauwkoat, atau teori Siulo Imsat Kang, sedang Biat
Hoa pada malamnya, mulai menjelaskan lweekang simhoat,
atau ilmu tenaga dalam, yang lurus. Jadi mulailah mereka
saling memberi pelajaran. Kira-kira jam tiga, selagi sang
malam sangat sunyi, tiba-tiba kuping Biat Hoa yang tajam
mendengar satu suara yang samar-samar sekali saking
perlahannya. Segera ia menghentikan pemberian
pelajarannya, sembari terus memasang telinga, ia berkata:
"Coba dengar, Lao Beng, apakah itu bukan suara yahengjin?"
"Yahengjin" ialah orang yang berkeliaran di waktu malam.
"Benarkah?" Sin Thong tanya. "Oh, ya, baru aku dengar..."
Sengaja Sin Thong berkata demikian. Sebenarnya, lebih
dulu daripada si pendeta, telinganya sudah menangkap suara
itu, tidak perduli betapa samar. Suara itu justeru membuatnya
susah hati, hingga ia mengeluh di dalam hatinya. "Budak itu
tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi! Aku telah
melepaskan dia, sekarang dia datang pula! Apakah ini bukan
berarti dia sengaja mempersulil diriku?"
Sin Thong sudah lantas menduga kepada Kok Cie Hoa,
anaknya itu. Ia melepaskan anaknya itu bukan hanya
disebabkan adanya hubungan ayah dengan anak di antara
mereka berdua. Masih ada pula satu sebab atau kekuatiran
lain. Ialah ia takut, bahwa kalau Cie Hoa kena dibekuk, Biat
Hoa nanti memaksa menghendaki Hian Lie Kiampouw, ialah
kitab ilmu pedang Hian Lie Kiamhoat dari Tokpie Sinnie.
Jikalau Biat Hoa mendapatkan kitab pedang itu berbareng
memperoleh kepandaian Siulo Imsat Kang, meski ia berhasil
meyakinkan Siulo Imsat Kang sampai di tingkat ke sembilan,
tidak nanti ia dapat mengalahkan hwesio itu. Atau tegasnya, ia
akan kalah dan si hwesio menang daripadanya.
Beng Sin Thong sudah hendak pergi keluar, tetapi justeru
pada saat itu dari luar terdengar teriakan yang menyayat hati,
disusul munculnya seorang yang berlari-lari dengan
terhuyung-huyung hampir roboh berulang-ulang. Untuk
kagetnya, ia mengenali murid kepalanya, ialah Hang Hong,
muka siapa bertandakan bekas bacokan pedang. Tapi, yang
membuatnya heran sekali, setibanya di depannya, murid itu
menggigil seluruh tubuhnya, dan tubuhnya memancarkan
hawa dingin. Hang Hong bagaikan tengah diserang demam hebat sedang
dia telah memahamkan Siulo Imsat Kang tingkat kedua. Di
antara murid-murid Sin Thong, dia pula yang ilmu silatnya
paling mahir. Bagian terbesar daripada jago-jago Kangouw
tidak nanti nempil terhadapnya.
"Suhu, di luar telah muncul seorang siluman wanita," Hang
Hong lantas berkata. Ia tidak menanti sampai ditanya
gurunya. "Aku telah dilukakan dia... Oh, dingin, dingin sekali!
Aduh, mati aku!... Suhu, tolong, tolong!..."
Sin Thong menjadi bertambah kaget. Ia tidak tahu sebab
apa murid itu kedinginan demikian rupa. Biat Hoa pun tidak
menjadi kecuali. Mereka menjadi bingung karenanya.
Justeru itu, mereka mendengar suara berkeresek di
genting. "Lao Beng, kau tunggu!" kata Biat Hoa akhirnya. "Nanti aku
lihat!" ia menyangka, bahwa Kok
Cie Hoa datang pula. Kalau benar, ia kuatir Sin Thong nanti
melepaskan anak itu, maka ialah yang hendak membekuknya.
Iapun lantas melompat keluar kamar, dan terus naik ke atas
rumah, maka di lain saat di atas tembok di sebelah depan, ia
melihat dua orang-satu pria, satu wanita-yang dua-duanya
masih muda. Ia lantas mengenali, si wanita bukannya Cie Hoa.
Ia heran hingga ia melengak sejenak.
"Siapa bernyali demikian besar, malam-malam buta rata
datang kemari?" ia menegur.
Kedua orang itu, ialah Tan Thian Oe dan Yu Peng, suami
isteri, tidak menjawab. Adalah Yu Peng yang serentak
menyerang dengan tiga butir Pengpok Sintan, peluru esnya.
Mata Biat Hoa sangat tajam. Ia melihat menyambarnya tiga
rupa barang yang berkilau berkeredepan seperti mutiara
yabengcu. "Eh, senjata rahasia apakah itu?" ia tanya dirinya selagi
senjata musuh menyambar ke arahnya itu. Ia tidak takut,
karena ia percaya benar akan kekuatan tenaga dalamnya yang
lurus, la juga tidak dapat mencium bau apa-apa, hingga ia
tidak menguatirkan senjata beracun. Di samping itu, ia ingin
memamerkan kepandaiannya. Maka tepat tibanya senjata,
baru ia beraksi. Dengan je-riji tangannya, ia menyentil ketiga
butir peluru inti es itu. Ia menggunakan ilmunya, Tancie
Sinkang, dan ia berhasil. Dengan menerbitkan suara, ketiga
peluru itu tersentil hancur. Tapi ia tidak tahu liehaynya peluru
inti es itu-senjata rahasia yang paling mujijat. Dengan terhajar
pecah dan buyar, peluru itu tidak mati kutunya. Sebaliknya,
hawa dinginnya segera terhambur di atas kepala si hwesio,
bagaikan kabut yang tebal!
Baru sekarang Biat Hoa kaget. Segera ia merasakan hawa
yang sangat dingin menyerangnya. Tak dapat ia
menghindarkan diri dari serangan itu. Ia bagaikan masuk ke
dalam gua es. Hawa dingin menyerang dari luar terus ke
dalam tubuh. Ia liehay tapi hampir tak tertahankan rasa dingin
itu. Ia mengerahkan semangatnya, ia melawan dengan tenaga
dalamnya yang mahir Tidak urung, ia menggigil berulangulang.
Yu Peng heran melihat orang terhajar pelurunya tetapi
tidak menjerit atau roboh atau terhuyung, maka ia kata di
dalam hatinya: "Pantas Kok Cie Hoa mengatakan dia sangat
liehay, benar-benar dia tangguh sekali!"
Di dalam keadaannya seperti itu, Biat Hoa masih tidak
takut. Kecuali hawa dingin itu, ia tidak kurang suatu apa.
Sebaliknya dari kabur, ia justeru maju, untuk menghampirkan
penyerangnya itu. Bagaikan terbang ia menyambar.
Menampak demikian, Yu Peng juga tidak mau mengerti,
dengan berlompat, ia maju memapak, pedangnya sekalian
dikasih bekerja, menusuk ke jalan darah thayyang hiat.
Tubuh Biat Hoa masih seperti di udara ketika ujung pedang
menyambut padanya. Kembali ia merasakan serangan hawa
dingin, karena pedangnya Nyonya Tan Thian Oe bersifat
dingin. Untuk menghindarkan diri, saking liehay-nya, ia masih
sempat berjumpalitan, sembari berjumpalit, tangannya
dikibaskan, tangan bajunya itu berkibar, menyampok.
Maka akibatnya, robohlah keduanya!
Biat Hoa liehay, begitu tubuhnya mengenai tanah, ia lantas
mencelat pula, untuk berlompat bangun dengan gerakan
"Leehie tateng" atau "Ikan gabus meletik". Yu Peng kalah
tenaga, dia terbanting lebih hebat, maka itu, ia tidak bisa
lantas berlompat bangun seperti si hwesio. Menampak
demikian Biat Hoa menggunai ketikanya yang baik, dengan
cepat dia berlompat maju, untuk menyambar, guna mencekuk
lawannya itu. Justeru hwesio ini berlompat, justeru ia mendengar angin
menyambar ke arahnya. Ia terkejut. Ia ketahui baik sekali,
itulah serangan untuknya. Tentu sekali ia ingin melindungi
dirinya. Maka, batal menyerang terus, ia berkelit ke samping,
sambil berkelit, sebelah kakinya meneruskan menendang
dengan tendangan "Kwee Seng tek-tauw" atau Kwee Seng
menendang bintang". Tepat ia berkelit itu, ujung pedang lolos
meminta dirinya sebagai korban. Habis itu, seorang muncul di
dekatnya. Itulah Tan Thian Oe yang menyerang pendeta itu. Itulah
tikaman guna menolongi Yu Peng. Dalam kepandaian
menggunai pedang, Thian Oe lebih liehay daripada isterinya,
melainkan pedangnya pedang biasa, kalah daripada Hankong
kiam dari isterinya itu.
Selagi si pendeta berkelit, Yu Peng berlompat bangun,
tetapi ia tidak mengundurkan diri, sebaliknya, ia maju pula
menyerang, pertama dengan tusukan "Pengcoan kaytong",
atau "Air sungai es lumer". Ia membuatnya hawa dingin
melulahan. Biat Hoa merasakan hawa dingin itu, lekas-lekas ia
menahan napas. Tapi ia tidak berdiam saja, ia melawan
dengan menggunai ilmu silat Kimna ciuhoat, dengan apa ia
mencoba merampas pedang berhawa dingin dari lawannya itu.
Menyaksikan keberanian pendeta itu, Thian Oe
membentak, sambil membentak, ia maju untuk menikam
dengan tipu silatnya "Bintang-bintang mengambang".
Ujung pedangnya itu mencari jalan darah honghu -hiat.
Pendeta itu tengah melayani Yu Peng ketika Thian Oe maju
pula guna membantu isterinya. Melihat datangnya serangan,
ia mengibas dengan tangan bajunya, la mau percaya tenaga
dalam lawan ini tidak mahir sebab ia mendapatkan orang
masih berusia muda. Tadi ia merobohkan Yu Peng dengan
kibasan "Tiatsiu Sinkang" atau Tangan Baju Besi, ia duga,
dapat ia menggunai pula kibasannya itu terhadap pemuda ini.
Nyata dugaannya meleset.
Thian Oe itu, semasa kecilnya, telah mendapatkan
pelajaran Tong-cu kang dari Siauw Ceng Hong, gurunya,
kemudian dari Tong Keng Thian, ia memperoleh ilmu tenaga
dalam Thiansan Pay, maka itu, ia jauh lebih menang daripada
isterinya itu. Maka juga, ketika ujung pedang kena dikibas,
ujung bajulah yang terpapas kutung. Walaupun demikian,
anak muda itu mesti mundur juga empat tindak, hingga ia
gagal dengan serangannya itu.
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Biat Hoa penasaran, ia menyerang pula, ia mendesak
dengan kibasannya, dengan tendangannya yang dinamakan
Tiattwie atau Kaki Besi, tetap ia gagal merobohkannya, dari itu
sekarang baru ia mengerti, ini lawan yang muda tidak dapat
dipandang enteng.
Yu Peng mendapat bantuan suaminya, semangatnya
terbangun. Ia menyerang pula dengan hebat, setiap
serangannya diberikuti hawa dinginnya. Kali ini ia membuat si
pendeta kewalahan. Biat Hoa tidak berani bernapas, atau
segera ia terserang hawa dingin itu. Pernah ia mendesak,
memaksa Yu Peng mundur, untuk ia dapat bernapas. Tapi,
selagi si nyonya mundur, Thian Oe menggantikan merangsak.
Tanpa merasa, Biat Hoa membuka mulutnya, maksudnya
untuk bernapas, tapi justeru ia bernapas, justeru hawa dingin
menyerang ia. Tak dapat bertahan lagi, tubuhnya menggigil.
Justeru itu, Thian Oe menikam ia, menikam dengan tipu silat
"Melintang menunjuk Langit Selatan". Maka, terpapas pulalah
ujung bajunya! Hwesio ini kaget berbareng gusar sekali. Ia menjadi panas
hatinya saking mendongkol dan penasaran. Tiga kali beruntun
ia menyerang dengan Pekkhong ciang, Memukul Udara
Kosong. Yu Peng tidak dapat mendekati diri dan Thian Oe
mesti main mundur, tidak dapat mereka melawan pukulanpukulan
dahsyat itu. Akan tetapi itu bukan berarti mereka
kalah. Sebaliknya, tetap mereka mengepung pendeta itu.
Mereka menggunai siasat mundur setiap kali mereka
dirangsak. Dalam hal berkelahi bersama, sudah mahir dan
bersatu padu ilmu pedang mereka--ilmu pedang Pengcoan
Kiamhoat ajarannya Pengcoan Thianlie, sedang si nyonya
muda mengandal sangat kepada pedangnya yang berhawa
dingin itu. Tan Thian Oe juga penasaran, maka satu kali, ia
menyerang dengan ilmu pedang "Pasir mengalir di gurun
besar". Dengan itu ia mengarah tujuh jalan darahnya Biat
Hoa. Untuk melindungi dirinya, muridnya Liauw In itu menggunai
tipu silat "Iepou hoanheng", atau Memindahkan tindakan,
menukar wujud". Ia bergerak dengan lincah, menyingkir dari
setiap serangan, dengan saban-saban ia membalas
menyerang ke kiri dan ke kanan.
Hebat pertempuran ini.
Yu Peng kembali terdesak, ia mundur. Thian Oe menikam,
guna membela isterinya itu. Mendadak ia diserang Biat Hoa
dengan Pekkhong ciang, hingga ia terpental mundur. Syukur
tenaga dalamnya kuat ia bisa mempertahankan diri tidak
terluka. Dalam segebrakan ini, Biat Hoa yang menang, meski benar
ia tidak berhasil merobohkan kedua musuh itu. Hanya rugi
untuknya, ia telah menggunakan tenaga terlalu besar, ia tidak
beristirahat, pernapasannya juga tidak merdeka lagi. Lagi-lagi
ia menggigil. "Jikalau terus-terusan aku bertempur secara begini, aku
bisa jadi celaka," pendeta itu berpikir. Maka ia lantas
memikirkan daya guna merobohkan musuh atau
mengundurkannya. Selagi ia berpikir keras itu, tiba-tiba ia
mendengar suaranya Beng Sin Thong: "Kedua siluman laki-laki
dan wanita ini sesat, mari kasih aku yang membereskan
mereka!" Sin Thong sudah keluar dan ia telah menonton
pertempuran itu hingga ia bisa melihat tegas cara
berkelahinya itu sepasang suami isteri, ia kena dibikin heran
walaupun ialah seorang yang telah banyak pandangannya dan
luas pengetahuannya. Ia tidak bisa menerka, pedang Yu Peng
itu pedang apa. Akan tetapi ialah seorang jago, ialah ahli,
setelah menyaksikan sekian lama. dapat ia memahamkan ilmu
pedang kedua lawan itu. Sambil menonton itu, ia kata dalam
hatinya: "Biat Hoa lebih gagah tetapi dia kewalahan terhadap
pedang si wanita, makin keras dia bertempur, makin banyak
dia menghamburkan tenaganya. Itulah berbahaya! Umpama
kata di akhirnya dia menang, mungkin dia bakal mendapat
sakit berat!" Tapi, meski ia dapat berpikir demikian, tidak
berani ia sembarang maju, untuk membantui kawan itu. Ia
memandang kepada derajat si hwesio, ia kuatir orang tidak
senang kalau ia maju secara tiba-tiba, tanpa menyapa lagi.
Demikianlah, ia menantikan ketikanya, baru ia 'mengasih
dengar suaranya itu.
Biat Hoa dapat memikir. Ia menginsyafi sukar untuk ia
merebut kemenangan, maka ia anggap baiklah ia mengalah.
Dan ia mundur dengan lantas.
Beng Sin Thong segera menggantikan maju.
"Usia kamu muda, nyali kamu ptapinya besar!" kata jago
ini, [menegur. "Lekas kamu menerangkan apa perlunya kamu
datang kemari?"
Selagi orang mementang mulut Btu, Yu Peng menimpuk
dengan tiga biji peluru cs-nya. Tapi Sin Thong bukan
sembarang orang. Bahkan jago ini sengaja ingin menguji
senjata rahasia itu. Dia me-Inanti tibanya peluru, lantas dia
mengulur tangannya, untuk menanggapi. Begitu dia
menggenggam keras, begitu peluru itu hancur!
"Hahaha!" si jago tua tertawa lebar. "Benar-benar radarada
sesat!" Yu Peng melengak. Ia kaget tak terkira. Tapi cuma sejenak,
ia lantas maju untuk menikam.
Sin Thong tidak jerikan tikaman itu. Ketika pedang sampai,
dia menyentil, hingga senjata itu mental ke samping.
Berbareng dengan itu, dia pun berseru: "Tinggalkanlah
pedangmu!" Dengan sebelah tangannya, dia menyambar,
guna menangkap senjatanya si nyonya muda.
Selagi isterinya didesak itu, Thian Oe maju menyerang
dengan jurusnya "Ciansan lokhio", atau "Daun rontok di seribu
gunung". Tapi Sin Thong liehay. Juga pedang ini dia sentil
balik! Thian Oe penasaran, ia mengulangi tusukannya, kali ini
dengan jurus "Gempurnya es bersusun". Ia mengarah jalan
darah kwieehong. Pedangnya itu mengasih dengar suara
mengaung ketika diputar balik.
Sekarang Sin Thong telah mendapat kenyataan, tenaga
dalam anak muda ini tidak lemah, karenanya, ia meninggalkan
Yu Peng, sambil memutar tubuh, ia membalik tangannya
untuk mengibas. Dengan begitu maka gagallah pula
serangannya Thian Oe itu.
Thian Oe dan isterinya heran bukan main. Musuh ini tidak
takut pedang dan peluru dingin. Tentu sekali, Beng Sin Thong
menjadi demikian tangguh karena dia mengandal pada Siulo
Imsat Kang. Ilmu silat yang istimewa itu justeru berhawa
dingin, jadinya, dingin lawan dingin, dari itu, hawa dingin si
nyonya muda menjadi tidak berjalan. Pula, tenaga dalam Sin
Thong dahsyat luar biasa. Laginya, Hankong kiam tidak sama
dengan Pengpok Hankong kiam, pedangnya Pengcoan
Thianlie. Juga Sin Thong, dia heran tak kalah dengan herannya
Thian Oe suami isteri itu. Dia mengenal baik liehaynya Siulo
Imsat Kang tetapi sekarang kedua lawannya tidak dapat
dihajar, mereka itu cuma mundur dan peluh mereka
membanjir. Itulah tanda bahwa mereka cuma kalah tenaga
dalam. Pada paras Thian Oe dan Yu Peng tidak ada sedikit
tanda juga bahwa mereka telah terpengaruhkan Pek-khong
ciang yang dahsyat dari majikan Beng keechung itu. Biasanya,
siapa terserang Siulo Imsat Kang, kulit mukanya lantas
menjadi pucat. Dia tidak mengetahui, ketika Yu Peng diajari
ilmu pedang Pengcoan Kiamhoat oleh Pengcoan Thianlie, ia
diajari juga ilmu tenaga dalam guna melawan hawa dingin,
ilmu mana sekarang dapat digunai untuk bertahan dari hawa
dinginnya Sin Thong.
Beng Sin Thong sudah memikir untuk merobohkan lawan
dalam delapan atau sepuluh jurus, melihat bukti sekarang, dia
merasa bahwa dugaannya bakal meleset. Tentu sekali, dia
juga menjadi penasaran dan tidak mau gampang-gampang
berhenti. Dasar dia banyak lebih tangguh, dalam pertempuran
selanjutnya, Yu Peng dan Thian Oe lantas kena didesak,
umpama kata, mereka tidak dapat bernapas dan pakaian
mereka kuyup dengan keringat mereka sendiri. Pula, dengan
perlahan, mereka mulai merasakan juga serangan hawa
dingin. Begitu lekas dia telah menang di atas angin, Sin Thong
tertawa berkakak.
"Insyafkah kau akan liehayku?" dia tanya seraya menuding
Yu Peng. "Lekas persembahkan pedangmu! Habis itu, kau
terangkan, siapa memerintahkan kamu datang kemari!
Mungkin aku nanti berlaku murah hati terhadap kamu! Jikalau
kamu membandel, terpaksa aku akan menggunai tangan
kejam!" Yu Peng tidak menjawab, hanya mendadak ia
mengeluarkan seruan panjang.
"He, kamu main gila apa?" bentak Sin Thong. Dia heran
atas sikap si nyonya muda.
Yu Peng mengayun sebelah tangannya, dengan gerakan
"Thianlie sanhoa", atau "Bidadari menyebar bunga", ia
menyerang dengan enam butir peluru es-nya mengarah enam
jalan darah. Beng Sin Thong tidak takut, tapi juga dia tidak sudi
membiarkan tubuhnya kena terhajar, maka dengan kesehatan
luar biasa, dia sentil setiap butir, hingga ke enam peluru pecah
hancur, hingga di sekitar mereka hawa menjadi dingin sekali.
Menggunai saat orang menyentil peluru es-nya, Yu Peng
bersama Thian Oe mundur dengan lekas, hingga mereka
menjadi terpisah sepuluh tombak kira-kira.
"Apakah kamu memikir untuk menyingkir?" Sin Thong
membentak pula. Dia mendongkol kena orang permainkan.
Terus tubuhnya mencelat maju, untuk mengejar. Hanya
sebentar, dia telah dapat menyandak. Dengan kedua
tangannya, dia lantas menyerang. Tenaganya itu bergerak
bagaikan gunung ambruk atau laut karam...
Tan Thian Oe membela diri tetapi toh tubuhnya terhuyunghuyung,
tubuhnya itu seperti sebuah perahu dalam permainan
sang gelombang dahsyat.
Beng Sin Thong agaknya telah menjadi gusar sekali, hingga
dia benar-benar hendak menurunkan tangan jahat, hanya
belum lagi dia sempat berbuat begitu, tiba-tiba telinganya
mendengar seruan panjang, suara itu halus dan bening: "Tan
Kongcu, jangan takut! Aku Le Seng Lam, aku datang!"
Mendengar suara itu, Sin Thong terkejut. Ia mengenali
suara itu, suara si nona pakaian hitam yang pernah datang
memasuki Beng keechung. Katanya dalam hatinya: "Dia
benarlah anaknya musuhku!"
Dulu hari itu Sin Thong sudah membinasakan ayah
bundanya Seng Lam sekalian merampas kitab ilmu silat
Keluarga Le, karena itu ia dapat memahamkan Siulo Imsat
Kang, ia jeri terhadap turunan keluarga itu, ia jeri melebihkan
Co Kim Jie, Ek Tiong Bouw dan Kim Sie Ie.
Selagi Seng Lam itu berseru dan muncul, untuk
menghampirkan Sin Thong, buat menolongi Thian Oe dan Yu
Peng, di belakangnya terlihat berkelebatnya satu bayangan
yang pun terus membentak: "Bangsat perempuan, kau hendak
lari kemana?"
Seng Lam tidak memperdulikan bentakan itu, ia cuma
mengayun tangannya ke belakang. Atas itu robohlah
bayangan itu, ialah salah seorang muridnya Sin Thong. Orang
itu terguling sambil menjerit kesakitan.
Sin Thong terkejut. Hebat si nona. Maka berpikirlah ia: "Dia
dapat menggunai jarum Bweehoa ciam dalam jarak tiga
tombak lebih, itulah bukti tenaga dalamnya tidak ada
kecelaannya. Sekarang dia baru berumur kurang lebih dua
puluh tahun, jikalau dia beryakin lagi sepuluh tahun, itulah
hebat! Maka haruslah dia disingkirkan lekas-lekas!"
Oleh karena ia memikir demikian, untuk berlaku telengas,
Sin Thong lantas bersiap sedia mengerahkan tenaganya. Ia
menanti datangnya si nona hingga dekat untuk menyerang
dengan tiba-tiba.
Tempat dimana Sin Thong dan Biat Hoa saling meyakinkan
ilmu adalah sebuah tempat rahasia, kecuali Hang Hong dan
Gouw Bong, lain-lain muridnya dilarang datang kesitu, hingga
tidak ada yang ketahui mereka berdiam dimana, akan tetapi
sekarang tempat itu didatangi musuh, bahkan ternyata, si
guru dan si pendeta lagi menempur musuh! Mereka sendiri
tidak merasa bahwa mereka seperti dipancing Seng Lam untuk
datang kesitu. Atas serangan si nona, mereka berhenti
mengejar. Sebaliknya, mereka lantas berkaok-kaok:
"Si nona she Lie kaum Thiansan Pay telah dibawa lari
konco-konconya'"
"Ada satu penjahat perempuan yang telah melukai jiesuko!
Dialah yang tadi malam dapat lolos!"
"Yang Susiok juga terlukakan!"
"Suhu hati-hati! Senjata rahasianya perempuan ini sangat
liehay!" "Di dalam pun ada seorang bangsat kecil, dia main melepas
api!" Sin Thong kaget sekali, terutama mendengar halnya ada
satu penjahat wanita lainnya. Siapakah nona itu kalau bukan
gadisnya sendiri"
Tengah Sin Thong berpikir itu, ia mendengar teriakan
kemurkaan dari Yang Cek Hu, ketika ia menoleh dengan
segera, ia mendapatkan dua bayangan berlompat ke tembok.
Ia sangat tajam matanya, lantas ia mengenali, nona yang satu
ialah Lie Kim Bwee, dan yang lain anaknya sendiri, Kok Cie
Hoa. Sejenak itu, jago tua ini bingung. Lie Kim Bwee tidak dapat
lolos. Jikalau dia lolos, dia bakal membuka rahasianya. Itulah
memalukan dan membahayakan untuknya. Tapi sekarang ia
lagi menghadapi Le Seng Lam anak musuhnya. Dia ini juga
tidak dapat dilepaskan! Habis, yang mana satu yang ia mesti
bekuk dulu"
Selagi Sin Thong bingung itu, Thian Oe dan isterinya
kembali mengundurkan diri. Yu Peng membuka jalan dengan
timpukan-nya sebutir Pengpok sintan.
Murid-muridnya Sin Thong tidak sanggup bertahan,
beberapa yang masih lemah kepandaiannya, lantas saja roboh
terkapar. Kali ini suami isteri itu dapat mundur untuk terus
menggabungkan diri dengan Le Seng Lam. Dengan
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggunai keringanan tubuh mereka, mereka berlompat ke
atas tembok. Seng Lam tertawa dan berkata: "Bangsat tua she Beng, lain
kali kita bertemu pula! Aku juga tidak bakal melepaskan kau!"
Sin Thong mendongkol bukan main, tapi ia lantas
mendengar suaranya Biat Hoa: "Aku akan mewakilkan kau
membekuk itu nona she Lie!"
Ada maksudnya kenapa pendeta ini berkata demikian.
Itulah karena ia telah mengenali Kok Cie Hoa. Ia kuatir Sin
Thong nanti melepaskan pula nona itu. Sebab yang lain ialah
ia jeri untuk melayani Tan Thian Oe dan Yu Peng. Maka ia
memilih yang ia anggap paling gampang. Ia pikir, biarlah Beng
Sin Thong sendiri melayani Seng Lam serta sepasang suami
isteri itu. Begitu mendengar suaranya si pendeta, begitu Sin Thong
mengambil keputusannya. Ia tidak mau melepaskan Seng
Lam, Segera tubuhnya bergerak, berlompat ke tembok, guna
mengejar Nona Le. Ia dapat bergerak lebih sebat daripada si
hwesio, yang pun sudah lantas berlompat, maka di lain saat,
ia sudah berhasil menyandak Seng Lam, dan sebelah
tangannya lantas diulur, menjambak nona itu.
Tepat Seng Lam hampir kena dicekuk itu, mendadak disitu
terdengar satu suara nyaring, dari sesuatu yang meledak.
Itulah akibat melayangnya sebelah tangan Nona Le, yang
meluncurkan sebuah benda, yang meledaknya lantas
menghembuskan asap dan di dalam asap itu nampak melesat
berhamburan banyak jarum halus-ialah jarum Bweehoa ciam.
Sin Thong kaget sekali.
"Ah, aku melupakan senjata rahasianya Keluarga Le!"
katanya di dalam hati. Ia sebenarnya hampir melatih diri
sebagai "tubuh Kim-kong yang tak dapat rusak", apa-pula
baru asap seperti asapnya Seng Lam itu, akan tetapi ia toh
tidak sudi jalan darahnya tertusuk jarum itu, untuk
mengeluarkannya berabe untuknya, sedang kalau darahnya
kecampuran racun, ia membutuhkan waktu sepuluh hari atau
setengah bulan untuk beristirahat. Maka itu, ia lantas lompat
minggir beberapa tombak. Tapi ia bukan melainkan
menyingkir, sambil berlompat itu- lompat jumpalitan-ia
sekalian menyerang dengan pukulan Pekkhong ciang. Hingga
asap kena dibuyarkan, buyar berikut jarum-jarumnya yang
meluncur entah kemana.
Senjata asap tercampur jarum dari Seng Lam ini ialah
dinamakan Tokbu Kimciam Hweeyam tan. Itulah peluru, yang
kalau ditimpuki lantas pecah hancur, lantas asapnya mengepul
dan jarum menyambar-nyambar. Itulah senjata rahasia
miliknya dua keluarga Kiauw dan Le. Hanya, tiba pada
ayahnya Seng Lam, pembuatannya telah berubah, apinya
tidak ada lagi, cuma asap saja, serta jarumnya juga tidak
memakai racun lagi. Hanyalah Beng Sin Thong tidak
mengetahui itu maka ia menjadi jeri.
Seng Lam juga percaya, jarumnya itu tidak nanti melukai
Sin Thong, hanya ia tidak menyangka, Pekkhong ciang lawan
itu dapat membubarkannya demikian dahsyat.
Untungnya penyerangan peluru ini, karena Sin Thong
beraksi membela diri itu, Tan Thian Oe dan Yu Peng kembali
dapat ketika untuk menjauhkan diri mereka hingga belasan
tombak. Ketika itu api berkobar di rumah Sin Thong, asapnya
mengepul naik. Dari tempat yang jauh orang dapat melihat
kebakaran itu. Itulah api yang dilepas Kang Lam. Meski ia tidak gagah
perkasa, untuk menghadapi murid-muridnya Beng Sin Thong,
anak muda ini dapat bergerak dengan leluasa. Beberapa
musuh, yang hendak menghalang-halangi aksinya, ia totok
roboh. Sedang di antara murid-muridnya Sin Thong itu, Hang
Hong yang paling pandai sudah terobohkan Yu Peng. Dalam
kegembiraannya, ia melepas api di enam tujuh tempat.
Gouw Bong ialah murid yang paling dulu menyerukan
gurunya: "Suhu, celaka! Lekas balik! Tolongi orang!"
Sin Thong heran, dia membentak. "Apa" Tolongi api atau
orang?" Dia menyangka murid itu, dalam bingungnya, salah
menyebut "api" menjadi "orang".
Gouw Bong menyahuti dengan teriakannya: "Tolongi orang!
Api sudah ada yang pergi memadamkannya! Aku minta suhu
lekas kembali untuk menolongi orang!"
Ilmu totok Kim Sie Ie itu aneh, siapa kena totokan itu,
jangan kata Gouw Bong, sekalipun Yang Cek Hu tidak dapat
membebaskannya, Justeru karena melihat paman gurunya
tidak berdaya, lantaran takut saudara-saudaranya lama-lama
nanti terbinasa, dia lari pergi mencari gurunya, untuk minta
pertolongan gurunya itu. Ia pun lantas menjelaskan bahwa
mereka yang tertotok tak dapat ditolongi.
Sin Thong kaget dan heran. Ia pun melihat api berkobar
terus. Kang Lam membakar di pelbagai tempat, meski Sin Thong
banyak murid dan orangnya, kebakaran cuma dapat segera
dipadamkan di dua atau tiga tempat, maka di bagian mana
belum ada pertolongan, api berkobar semakin besar.
"Mungkin mereka ini telah mengundang lain-lain orang
pandai?" Sin Thong menduga-duga sedang hatinya panas
sekali. "Mereka dapat melukai murid-murid hingga Yang Cek
Hu tidak dapat menolongi mereka! Mungkin mereka pun
datang dalam jumlah besar..."
Selama itu Tan Thian Oe dan isterinya serta Seng Lam
sudah menyingkir ke dalam rimba, belakang mereka pun
sudah tidak tertampak lagi. Sebenarnya, kalau Sin Thong mau
mengejar, ia masih dapat menyandak, tetapi di dalam
keadaan seperti itu, ia tidak dapat inenguber. la pula sangsi
untuk dapat mengalahkan tiga orang itu. Bukankah senjata
rahasia Seng Lam liehay" Bukankah pedang Yu Peng tidak
boleh dipandang enteng" Sedang tenaga dalam dari Thian Oe
pun cukup mahir. Ia juga masih menguatirkan ada lain musuh
yang liehay, yang beraksi di flalam rumahnya. Maka ia
mengambil keputusan terpaksa melepaskan Seng Lam, untuk
menolongi murid-muridnya itu. Di lain pihak, Biat Hoa
Hweishio telah berhasil menyusul Lie Kim Bwee dan Kok Cie
Hoa. Mereka itu kalah dalam ilmu ringan tubuh. Setelah
memasuki cukup jauh rimba di hadapannya, baru Biat Hoa
mendapat lihat belakang mereka itu.
Cie Hoa segera mendapat tahu yang menyusul mereka
cuma Biat Hoa satu orang, maka ia menduga tentulah
ayahnya-Sin Thong-sudah kena dilibat Seng Lam.
Hatinya menjadi lega, hingga ia bisa tertawa ketika ia
berkata pada Kim Bwee: "Mari kita mengasih rasa kepada
keledai botak itu!"
Kim Bwee akur. Ia memang sangat benci pendeta itu.
Sekarang ketikanya untuk melampiaskan kemendongkolannya
itu. Ia percaya Cie Hoa cukup liehay, hingga berdua mereka
tentulah sanggup melayani si pendeta.
"Baiklah!" ia memberikan jawabannya.
Keduanya mengawasi Biat Hoa, lantas mereka lari belok
sana dan belok sini, untuk melihat tempat yang baik, akhirnya
mereka lompat naik ke atas pohon, untuk bersembunyi dulu.
Biat Hoa menyusul terus, sampai ia lantas kehilangan
kedua nona itu. la heran, maka dengan mata celingukan,
hatinya berpikir.
"Tidak bisa dalam sejenak saja mereka lenyap," katanya
dalam hati. la lantas menduga orang bersembunyi di
pepohonan lebat atau di atas pohon. Maka ia segera mulai
mencari, matanya melihat ke atas pohon, atau gombolan yang
rujuk. Mendadak ia mendengar bentakan nyaring tetapi halus,
yang mana disusul dengan berkelebat turunnya dua sinar
terang dari pedang yang tajam. Ia tidak memegang tongkat
besinya, tidak berani ia menangkis dengan tangan kosong.
Karena ia dibokong dari kiri dan kanan, tidak sempat ia
berpikir banyak. Dengan satu lompatan "Jumpalitan di dalam
awan", ia mengundurkan diri gesit sekali. Maka lacurlah ia!
Di belakangnya itu ada kobakan yang airnya bau, bagian
atas dari itu ditutup dengan rumput, hingga kobakannya tidak
terlihat kecuali tadinya orang memperhatikannya. Kobakan itu
terpisah dari pohon sekira tiga tombak.
Cie Hoa yang cerdik telah mengatur tipunya. Biat Hoa
lompat mundur, maka keceburlah dia! Sebenarnya pendeta ini
ketahui kobakan itu, karena itulah jebakan yang dipasang Sin
Thong, tetapi untuk membebaskan diri dari ujung kedua
pedang, terpaksa ia lompat kesitu.
Berlompat ke lain arah sudah tidak mungkin.
Kim Bwee heran hingga ia tercengang. Cie Hoa pun
merasai kakinya menginjak sesuatu yang bergerak, sambil
menjerit "Celaka!" ia menarik mundur pada kawannya.
Dengan begitu mereka tidak turut kejeblos ke dalam
perangkap itu. Menyusul itu, tubuhnya Biat Hoa mencelat keluar dari
kobakan, untuk tiba di tepian. la lantas mirip seekor lindung
yang penuh lumpur. Tentu sekali ia gusar bukan kepalang.
Tanpa mensia-siakan ketika lagi, ia lompat kepada Cie Hoa,
untuk menyerang si nona.
Kim Bwee tertawa melihat roman tidak keruan dari Biat
Hoa, hanya ia tidak tertawa lama. Segera hidungnya mencium
bau tak sedap, hingga ia muak dan hendak tumpah-tumpah.
Justeru itu, datanglah serangan Biat Hoa, yang gagal
menyerang Nona Kok, terus menyerang padanya, la tidak
takut, sebaliknya dari mundur, ia menyambut dengan tikaman!
Biat Hoa menyampok pedang Nona Lie hingga pedang itu
terpental balik. Tapi di saat itu, Cie Hoa menikam
punggungnya. Ia merasakan sambaran angin Ia meninggalkan
Kim Bwee, untuk mengibas bokongan itu
Cie Hoa berlompat mundur, ia bebas dari cipratan lumpur
dari tangan bajunya si pendeta. Tidak demikian dengan Kim
Bwee, yang rada lambat, maka Nona Lie kena kecipratan,
hingga ia menjadi mendongkol.
Dengan kecipratan sedikit, si nona gusar, dari itu bisa
dimengerti kegusaran si hwesio. Biat Hoa maju, untuk
menerjang. Dia telah sesumbar: "Jikalau hari ini aku tidak
dapat membetot otot-ototmu, aku sumpah tidak mau menjadi
manusia!" Cie Hoa tidak takut, sebaliknya sambil tertawa ia mengejek:
"Lindung bau, apakah kau masih belum cukup gegares
lumpur" Kenapa kau masih berjumawa" Nah, ini rasai!"
Kata-kata itu disusuli tikaman.
Biat Hoa berkelit. Tanpa senjata, dia repot. Tapi dasar
liehay, dia masih dapat melawan. Bergantian dia menyerang
Kim Bwee atau Cie Hoa setiap kali dia memperoleh ketikanya.
Beberapa kali Nona Lie kena dibikin terhuyung-huyung tapi ia
masih melawan terus. Ia pun lantas ditolong Cie Hoa. Dalam
tenaga dalam Kim Bwee kalah jauh dari Biat Hoa, tetapi ilmu
pedangnya sudah mahir. Ketika pertama kali ia menempur
pendeta itu, sampai tiga puluh jurus baru ia kena ditawan.
Sekarang Biat Hoa tidak menggunai senjata, sulit untuknya
mengalahkan si nona, sedang sekarang nona itu dibantu
kawan yang tangguh. Kok Cie Hoa bersilat dengan ilmu silat
Hian Lie Kiamhoat. Itulah ilmu pedang yang diperuntukkan
menakluki Liauw In. Biat Hoa telah mewariskan ilmu silat
gurunya, dia mengerti segala macam ilmu silat Binsan Pay,
tetapi dia gelap mengenai ilmu pedang si nona, dia mengalami
kesulitan, lebih-lebih dia tidak bersenjatakan tongkatnya.
Tengah bertempur seru itu, tiba-tiba, Cie Hoa berseru,
pedangnya lantas dikasih bekerja hingga berkilauan. Dengan
itu ia telah keluarkan kepandaian ilmu pedangnya itu. Itulah
gerakan yang dinamakan, "di luar tubuh menciptakan tubuh,
di luar pedang memecah pedang". Maka pedangnya seperti
juga menjadi beberapa puluh pedang yang meluruk atas
tubuh Biat Hoa.
Hwesio itu terperanjat, ia mengerti bahwa ia terancam
bahaya. Tidak berani dia melayani lebih jauh dengan ilmu
"Tangan kosong masuk dalam pedang putih". Maka dengan
lantas ia berlompat tinggi, sambil berlompat tangannya
mengibas. Berbareng dengan itu terdengarlah dua kali suara
nyaring. Itulah suara dari ujung baju yang kena disambar
pedang dan menjadi putus karenanya, hingga ia menjadi
kaget. Sudah begitu, belum lagi ia tetap menaruh kakinya, Lie
Kim Bwee yang tadinya terdesak, telah maju pula, untuk
membalas menyerang.
Biat Hoa mendongkol, hingga ia berseru: "Hai, budak, kau
berani menghina aku!" Meski kakinya belum tetap, ia
mengulur tangannya, untuk menyambuti pedang si nona,
guna dirampas. Terhadap nona ini berani ia menggunai ilmu
silat "Tangan kosong masuk dalam pedang putih". Dengan
mengulur tangannya, ia menggunai tipu silat "Keng Tek
toatpian", atau "Uttie Kiong merampas ruyung", salah satu
jurus dari Kimna Ciuhoat, ilmu menangkap. Ia memandang
rendah kepada Nona Lie, yang ia tahu kalah jauh daripadanya.
Dalam Thiansan Kiamhoat, ilmu silat pedang partai
Thiansan, sebenarnya Lie Kim Bwee sudah menyampaikan
puncak tujuh dalam puluh bagian, ketika ia membalas
menyerang ini, ia menggunai tipu silat dari "Tay Siebie
Kiamsie", yang diubah menjadi "Twiehong Kiamsie" atau ilmu
pedang "Menguber Angin". Ia pun dapat bergerak sangat
gesit. Maka terjadilah hal di luar terkaan Biat Hoa. Belum lagi
jari tangannya dapat mencekal pedang, atau ujung pedang
sudah menusuk ke lengannya! Syukur untuknya, dia bisa
dengan cepat menarik pulang tangannya, jikalau tidak, lima
jarinya bisa terpapas kutung!
Api yang membakar rumahnya Beng Sin Thong berkobar
lebih hebat, di bawah pengaruh angin, api berikut asapnya
mengulek naik. Ketika Biat Hoa melihat bekerjanya sang jago
merah itu, dia pun terkejut. Maka berpikirlah dia: "Lao Beng
masih belum menyusul kemari, rumahnya itu telah terbakar,
maka itu, apakah benar-benar telah datang banyak musuh
liehay?" Dia ingat begini sebab tadi malamnya Sin Thong
sengaja mengatakan padanya bahwa telah datang banyak
orang liehay mengintai ke rumahnya. Ketika itu dia sangsi
tetapi sekarang dia mempercayai sepenuhnya.
Pertempuran berlangsung terus, mendekati jurus yang ke
lima puluh. Dengan hanya berkelahi dengan tangan kosong,
tetap Biat Hoa tidak mampu berbuat banyak. Dalam
keadaannya sulit itu maka ke dalam rimba itu sekarang datang
pula Tan Thian Oe bersama Yu Peng dan Le Seng Lam.
Nona Le melihat si hwesio, lantas dia tertawa dan berkata:
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"He, dari mana datangnya ini makhluk aneh"-Lekas! Lekas!
Mari kita membekuk siluman!"
Biat Hoa menjadi jeri, tidak berani ia bertempur lebih lama
pula. Pikirnya: "Jikalau aku tidak lekas mengangkat kaki,
mungkin perahu nanti karam di dalam kobakan..." Maka lantas
ia menyerang Lie Kim Bwee, untuk mendesak, begitu lekas si
nona terkejut dan mundur, ia meneruskan berlompat, untuk
menerobos kabur.
Yu Peng menghajar pendeta itu dengan tiga butir
pelurunya. Tapi Biat Hoa licik, ia lekas berkelit, untuk kabur ke
lain jurusan. Le Seng Lam melihat lagak orang, ia berteriak: "Keledai
botak yang tua, kau juga rasai peluruku!" Ancaman itu
diberikuti terayunnya tangan, untuk menimpukkan satu biji
peluru api asap jarum rahasia Kimciam Liathoh tan.
Siat Hoa mendengar ancaman itu, ia berpikir: "Kecuali
peluru es si siluman wanita itu, ada senjata rahasia apa lagi
yang dapat mencelakai aku"..." Ia belum berhenti memikir,
atau barang sesuatu meledak di dekatnya, lantas matanya
menjadi gelap. Tapi masih ia bisa melihat-melihat sinar
bergemirlapan. Ia menjadi heran sekali.
"Senjata rahasia apakah itu?" pikirnya pula. Ia tidak
berdiam saja. ia lantas menyerang dengan Pek-khong ciang,
untuk membuyarkannya.
Jarum rahasia Bweehoa ciam dari Seng Lam liehay,
hanyalah jarum itu tidak dapat menyerang di jarak yang jauh,
maka itu, selagi si pendeta berlompat sangat cepat dan terus
menyerang dengan pukulan Udara Kosong itu, jarum itu tidak
dapat meminta korban. Adalah asapnya, yang menyukarkan
Biat Hoa. Kedua mata si pendeta terasakan perih, mata itu
lantas bengap dan mengeluarkan air!
Seng Lam bertepuk tangan bersorak ketika ia melihat
hasilnya serangannya itu. Ia berseru: "Si keledai tua yang
botak mengerti liehayku maka juga dia menangis!"
Tak terkirakan panas hatinya Biat Hoa, tetapi ia mesti
mengucak-ucak matanya itu. Untuk membalas, ia ingin
memungut batu, guna menyerang nona yang jail itu. Ia baru
memikir, atau kupingnya mendengar satu seruan halus: "Kau
juga merasai sebutir peluruku!" Ia menjadi kaget lagi. Ia
menduga si Nona Le hendak menyerang pula padanya, segera
ia menyerang dengan Pekkhong ciang, habis menyerang, dia
berlompat mundur, guna menjauhkan diri. Hanya di luar
dugaannya, baru kakinya terangkat, mendadak ia merasakan
mata kakinya sakit sekali, seperti kakinya itu dibetot ototnya!
Itulah Kang Lam yang menyerang dengan sebutir batu
tetapi ia mengatakannya peluru. Ia telah habis bekerja
membakar rumah Beng Sin Thong, ketika ia tiba di dalam
rimba, ia telah dapat menyaksikan pengepungan atas Biat Hoa
yang tangguh itu, maka lantas ia turut mengambil bagian. Ia
menyerang dengan batu tetapi kepandaian yang ia gunakan
ialah kepandaian ajarannya Kim Sie Ie. Coba di dalam keadaan
biasa, tidak nanti ia berhasil mengenai kaki si hwesio. Biat Hoa
menjadi korban lantaran pandangan matanya kurang awas,
sedang hatinya telah dibikin ciut oleh senjata-senjata
rahasianya kedua nona lawannya itu. Biat Hoa menjaga diri
dari serangan jarum Bweehoa ciam dari Seng Lam, ia
menduga ia bakal diserang di tiga bagian, atas, tengah dan
bawah, maka juga ia menyerang dengan Pekkhong ciang
sambil berlompat. Kang Lam sebaliknya berlaku cerdik, ia
menimpuk di saat orang baru menaruh kaki dan ia menyerang
jalan darah yongcoan hiat.
Timpukannya Kim Sie Ie luar biasa, demikian juga
timpukannya Kang Lam ini. Biat Hoa segera merasakan
kakinya sakit dan tidak enak, lekas-lekas ia menutup jalan
darahnya. Nyata ia gagal, kakinya terus terasa sakit, hampir ia
tergelincir, la kaget hingga ia menduga: "Benarkah telah
datang kemari orang-orang penting dari Thiansan Pay?"
Terpaksa ia mengempos semangatnya, untuk paksa menutup
jalan darahnya. Kali ini ia berhasil juga, dapat ia mengurangi
rasa sakitnya, tetapi ia menjadi lemas, ia merasa dirinya bagai
baru sembuh dari penyakit berat.
Jalan darah Yongcoan hiat ada hubungannya dengan urat
syaraf di mata, maka itu, siapa terserang jalan darahnya itu,
lantas air matanya keluar. Ini sudah terjadi atas matanya Biat
Hoa, justeru dia baru saja terkena asap sampai matanya
bengap dan berair.
Kang Lam tertawa haha-hihi.
"Hai, tidak tahu malu!"dia mengggoda. "Kamu paderi tua
bangka, kamu kalah, tetapi kamu menangis! Haha-haha!
Sebenarnya aku si Kang Lam, ingin aku menghajar pula
padamu, akan tetapi karena kau menangis begini sedih,
baiklah, suka aku memberi ampun padamu!"
Sekarang Biat Hoa mendapat dengar suaranya pemuda
nakal itu, ia mengenali suara yang berlagu seperti suara
kebocah-bocahan, ia menjadi sangat mendongkol. Ia lantas
memaksa mementang matanya. Ia melihat seorang bocah,
yang usianya ia taksir baru enam atau tujuh belas tahun
(sedang sebenarnya Kang Lam telah berumur dua puluh,
cuma tubuhnya lebih kate dan kecil daripada biasanya orang
sepantaran dia serta wajahnya memang wajah kekanakkanakan).
Ia pun melihat, dengan aksinya, Kang Lam lagi
mengejek padanya, hingga darahnya menjadi meluap. Di lain
pihak, ia terpengaruhkan rasa jerinya. Seorang bocah sudah
begitu liehay, apapula si orang tuanya...
"Biat Hoa Taysu ! Biat Hoa Taysu!" begitu mendadak Biat
Hoa mendengar suara memanggil. "Biat Hoa Taysu, kau
dimana" Sudah, jangan kejar musuh yang sudah kabur! Mari
lekas kembali"
Itulah suaranya Yang Cek Hu. Beng Sin Thong sudah
pulang untak menolongi murid-muridnya, dia berkuatir untuk
Biat Hoa, dari itu dia menitahkan sutee-nya itu pergi mencari,
maka di sepanjang jalan Cek Hu memanggil-manggil nama
pendeta itu. Inilah ketika baik untuk Biat Hoa, tetapi dia masih berlagak,
dia berkata nyaring: "Aku tidak sempat melayani kamu, kali ini
aku memberi ketika, aku melepaskan kamu, kawanan bocah!"
Tapi Kang Lam cerdik, dia tertawa dan menyahuti: "Jikalau
kau masih tidak puas, mari kita bertempur lagi satu
gebrakan!"
"Hm!"bersuara pendeta itu. "Aku tidak dapat berpandangan
cupat sebagai kau, bocah! Kau mau mundur atau tidak, jikalau
tidak, nanti aku tiup roboh padamu!"
Kang Lam tertawa dan berkata pula: "Orang membilang
aku si Kang Lam doyan omong gede, kiranya ada kau yang
lebih pandai meniup kerbau!..." la belum bicara habis atau Biat
Hoa, dengan tindakan agung-agungan, menghampirkan
padanya, untuk lewat di sisinya.
Sambil mengawasi lagak orang, Kang Lam berkata dalam
hatinya: "Tadi aku hajar jalan darah dia dengan batu, tidak
ada hasilnya, sekarang aku coba pula, aku nanti menjajal ilmu
totok dari Kim Tayhiap. Aku tidak percaya dengan jalan
meniup dia dapat membikin aku roboh..." Ia tengah memikir
itu benar-benar Biat Hoa meniup ke arahnya, lantas ia merasai
mukanya sakit bagaikan disayat, benar ia tidak tertiup jatuh,
ia toh terhuyung. Karena ia kuatir matanya rusak, lantas ia lari
sambil mulutnya mengatakan: "Oh, ibuku, hwesio ini benarbenar
liehay!" Thian Oe kaget. Ia menduga saudara angkatnya itu terluka,
maka ia lari memburu, untuk menolongi.
Biat Hoa lantas menggunai ketikanya itu untuk mengangkat
langkah seribu.
"Celaka, celaka!" kata Kang Lam berulang-ulang, "Aku tidak
dapat melihat!"
Thian Oe semua lantas datang dekat. Untuk kagetnya,
mereka melihat muka Kang Lam bertanda beberapa garis
berdarah. Sebenarnya hebat Biat Hoa terserang jalan darah yongcoan
hiat di kakinya itu, yang membuatnya lemas dan
mengeluarkan banyak air mata, kalau itu waktu ia diserang
pula, oleh Tan Thian Oe atau Lie Kim Bwee, atau siapa saja,
pasti ia tidak dapat melawan, hingga ia bakal kena tertawan.
Bahkan kalau Kang Lam keburu menotok ia, tentulah ia bakal
roboh juga, atau sedikitnya ia roboh disebabkan ia paksa diri
berlompat berkelit. Dasar Biat Hoa mahir tenaga dalamnya,
tiupannya masih cukup keras untuk membikin sakit matanya
Kang Lam, sampai Thian Oe semua pun kena terpengaruh
akan keliehayan pendeta itu...
"Tidak apa," kata Cie Hoa tertawa. "Kau bisa menimpuk
dia, itulah bagus! Bukankah kau telah melihatnya kita
membikin dia seperti si lindung terpendam di dalam lumpur"
Maka itu, kemen-dongkolanmu ini dapat dilampiaskan."
Orang tertawa. Memang runtuhlah pendeta itu.
Lie Kim Bwee girang sekali bertemu dengan Tan Thian Oe,
Yu Peng dan Kang Lam. Selama di Tibet, mereka sudah
berkekenalan. Ia pun menghaturkan terima kasih kepada Seng
Lam, yang telah menolong padanya. Kemudian ia memegangi
Yu Peng dan menanyakan melihat bagaimana datangnya ini ke
Utara. "Kami datang kemari untuk mencari Kim Sie le," jawab
Nyonya Thian Oe. "Jikalau kami gagal, kami berniat pergi ke
Thiansan untuk mencari kau serta Tong Keng Thian."
"Apakah kamu berhasil mendapat keterangan tentang dia?"
tanya Kim Bwee cepat. Agaknya ia sangat tertarik hati
mendengar disebutnya Kim Sie le.
"Kita belum berhasil menemukan dia," sahut Thian Oe.
"Katanya dia tengah mencari kau, nona. Di tengah jalan kita
pun tidak berpapasan."
"Jikalau begitu mari kita lekas kembali!" kata Kim Bwee.
"Mungkin kita dapat bertemu dengannya di tengah jalan'"
"Itulah enci Le ini yang memberi keterangan pada kita," Yu
Peng menerangkan. "Katanya Kim Tayhiap berangkat pada
kemarin dulu lagi dan mengambil jalan dusun Sin-an ini. Kita
memang mau menyusul dia, supaya kita dapat menyandak
sebelum dia tiba di Souwciu."
"Enci Le, pandai sekali kau mendengar kabar," berkata
Nona Lie. "Pertama kali karena petunjuk kau, aku bertemu
sama suheng-ku, dan sekarang mengenai halnya Kim Sie Ie.
Bagaimana kau mendapatkannya itu, enci?"
"Aku mendengar itu dari mulutnya Kim Sie Ie sendiri di
dusun Sin-an," sahut Seng Lam. Ia ulangkan, apa yang ia
terangkan pada Thian Oe -itu keterangan bohong. Lie Kim
Bwee tidak menyangka bahwa ia lagi didustai.
"Kalau begitu, aku suka turut kamu!"katanya. "Marilah kita
pergi! Aku memang mau cari dia!"
Yu Peng tertawa.
"Adik yang baik, bagus sekali kau suka berjalan bersamasama
kami!"katanya. "Kita memang lagi berduka lantaran kita
belum dapat membalas budinya Kim Tayhiap, dengan kita
berjalan bersama kau, itulah lebih berharga daripada kita
mengirim bingkisan terhadapnya!"
Kim Bwee likat. Sebenarnya, ia masih mau bicara banyak
tetapi batal. "Enso Tan, kau jail!" katanya, berpura mendongkol. "Sudah
beberapa tahun kita tidak bertemu, sekarang lantas kau
menjaili aku..." Kemudian ia mencekal tangannya Cie Hoa,
untuk berkata: "Enci, mari kita pergi bersama! Bukankah enci
tidak mempunyai urusan lainnya lagi" Sedang dengan Kim Sie
Ie, enci kenal. Dengan kita pergi bersama, kita boleh tidak
usah kesepian!"
"Tidak," kata Cie Hoa tertawa. "Aku mempunyai urusan
lain, tentang mana aku belum sempat menuturkan kepada
kau. Sudah lewat beberapa tahun semenjak ayahku menutup
mata, sampai hari ini aku masih belum menjenguk pula
kuburannya."
Kim Bwee memikir untuk menyuruh sahabat itu menunda
maksudnya, belum lagi ia membuka mulutnya, sambil tertawa
Cie Hoa telah menambahkan: "Pikirannya Kim Sie Ie sering
berubah, aku kuatir baru jalan setengah jalan, ia sudah
mengubah pula pikirannya, hingga mungkin dia tidak jadi
pergi ke Souwciu..." Kim Bwee heran. "Mengapa kau tahu
akan tabiatnya itu?" ia tanya. Ia menanya begitu, tapi di
dalam hatinya sendiri, ia kata: "Aku sudah kenal dia sekian
lama, masa aku tidak ketahui tabiatnya itu" Biasanya dia
menyebut satu tidak menyebut dua..."
Syukur yang bicara itu Kok Cie Hoa, kalau lain orang,
mungkin tidak saja ia tidak percaya, bisa jadi ia gusar juga.
"Kim Sie Ie pernah membilangi aku bahwa selewatnya satu
bulan ia hendak pergi berlayar," kata pula Kok Cie Hoa. "Dia
memesan aku, apabila aku mendapat ketahui hal kau, dia
minta ditunggui di Siang-ceng Kiong di Laosan. Harus aku
jelaskan, ia bicara padaku terlebih dulu dan pembicaraannya
sama enci Le belakangan, tapi bedanya ma satu hari. Kau lihat
bukankah cepat perubahan pikirannya itu?"
Cie Hoa ini, makin ia pikirkan, makin ia sangsikan
keterangannya Seng Lam, ia hanya tidak berani memastikan
bahwa itulah dusta belaka, dan ia pun tidak berani
mengutarakan kesangsiannya itu. Maka itu, ia melainkan
memberitahukan hal pembicaraannya sendiri dengan Kim Sie
Ie, supaya si nona Lie dapat mengambil keputusan sendiri.
Lie Kim Bwee polos,.tak pernah ia mencurigai orang, maka
itu, mendengar perkataan Cie Hoa itu, walaupun ia heran, ia
berpikir: "Engko Sie Ie bersahabat erat dengan Tan Thian Oe,
sedang enso Tan baru saja lolos dari bahaya, maka itu
mungkin sekali ia mengubah pikirannya. Rupanya ia ingin
sebelumnya berlayar menemukan dulu Thian Oe suami isteri.
Ini memang pantas."
Karena memikir begitu, ia lantas berkata: "Jikalau demikian
dia bilang kepada enci Le, mungkin benar dia telah menunda
pelayarannya itu. Enci Kok, kau hendak menjenguk kuburan
ayahmu, baiklah itupun ditunda dulu!"
"Tidak dapat!" berkata Cie Hoa. "Sudah beberapa tahun
sejak niatku itu, sekarang tidak dapat aku menunda lagi."
Melihat orang sudah mengambil ketetapan itu, Kim Bwee
tidak memaksa. Tapi ia menoleh kepada Seng Lam untuk
menanya: "Enci, kau bagaimana?"
"Aku pun mempunyai lain urusan penting," Seng Lam
menjawab. "Aku minta kau suka memaafkan, tidak dapat aku
menemani kamu."
Habis berkata, nona ini memberi hormat, untuk meminta
diri.
Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak ada orang yang mengenal baik nona she Le ini, dari
itu tidak ada yang membilang apa-apa atas keberangkatannya
itu, cuma Kim Bwee yang merasa berterima kasih, ia kembali
menghaturkan terima kasihnya.
Demikian Seng Lam berangkat.
Kang Lam mengawasi punggung nona itu, setelah orang
pergi jauh, sambil tertawa ia kata pada Cie Hoa: "Turut
penglihatanku, nona itu bertabiat rada aneh!"
Cie Hoa diam, tetapi Kim Bwee tidak puas, Maka dengan
mendelik sebentar kepada si pemuda, ia kata: "Sesuatu orang
ada tabiatnya sendiri yang luar biasa. Mengenai Kim Sie Ie,
bukankah ada banyak orang yang mengatakan dia tidak
mengenal manusia" Demikian kau sendiri, Kang Lam, aku lihat
kau pun rada aneh! Tapi, kamu semua ada orang-orang baik!"
Kang Lam tertawa.
"Aku pun tidak mengatakan Nona Le itu orang jahat!"
katanya. "Aku cuma merasa bahwa dia aneh!"
Sebenarnya Cie Hoa masih hendak bicara lagi kepada Kim
Bwee tetapi melihat nona itu membelai Seng Lam, ia batalkan
niatnya itu. Ia tahu Kim Bwee sangat bersyukur kepada Seng
Lam, yang telah menolong kepadanya.
Kim Bwee pun berat untuk berpisahan dengan Cie Hoa. Ia
menarik tangan orang dan berkata: "Sayang kita cuma dapat
berkumpul dua hari. Sebenarnya aku masih ingin minta kau
mengajari aku ilmu pedangmu..."
"Sang hari masih banyak," berkata Cie Hoa. "Umpama kata
tidak ada ketika untuk kita bertemu pula, satu waktu dapat
aku pergi ke Thiansan menjenguk kau. Ah, aku harap semoga
kamu dapat mencari Kim Sie Ie!"
Selagi begitu, Kang Lam sambil tertawa menyelak.
"Nona Kok," katanya, "persahabatanmu dengan Kim Sie Ie
pun erat sekali, kenapa kau tidak dapat menunda dulu
urusanmu itu, supaya kita dapat pergi bersama mencari dia?"
"Ha, pantas orang membilangnya Kang Lam si banyak
bacot!" berkata Cie Hoa. "Aku bilang tidak dapat pergi, itu
artinya aku tidak bisa pergi, maka kenapa kau masih berulangulang
membujuki aku?"
Sebenarnya tepat kata-kata Kang Lam itu, tetapi si nona
bersandiwara, sengaja dia berbalik menegur.
Setelah berpisahan, Lie Kim Bwee lantas turut
rombongannya suami isteri Tan Thian Oe dan Kang Lam, akan
kembali, buat menyusul Kim Sie Ie. Di tengah jalan, Kang Lam
menceritakan halnya ia bertemu Kim Sie Ie dan Kok Cie Hoa,
tentang mereka itu berdua.
Kim Bwee heran. Pikirnya: "Eiasanya engko Sie Ie jarang
cocok dengan orang. Yang bersahabat rapat dengannya,
kecuali aku cuma Pengcoan Thianlie, tetapi sekarang
nampaknya, meski mereka berkenalan belum lama,
pergaulannya dengan enci Kok dan enci Le agaknya erat
juga." Nona ini polos, ia tidak kenal jelus atau cemburu, maka itu,
ia cuma merasa heran, tidak lebih.
Masih ada satu hal yang membuat Nona Lie heran. Yaitu
halnya Cie Hoa berkeras tidak suka berjalan bersama-sama
mereka. Ia belum berpengalaman luas tetapi ia mendapat
perasaan bahwa alasan Cie Hoa hendak menjenguk kuburan
ayahnya cuma alasan belaka. Maka pikirnya pula: "Katakatanya
Kang Lam beralasan. Persahabatannya enci Kok
dengan engko Sie Ie bukannya tidak erat, mengapa ia tidak
bisa menunda urusannya itu" Toh sudah lewat beberapa
tahun yang ia belum pergi menjenguk kuburan ayahnya.
Kenapa mesti sekarang juga" Perkenalanku dengan enci Kok
memang belum lama, tetapi kelihatannya ia memandang aku
mirip saudara dan aku melihatnya dia bukan seorang yang
berhati tawar! Kenapa dia tidak mau berdiam denganku lagi
beberapa hari" Sikapnya itu membuatnya orang merasa ia
tidak suka bergaul..."
Karena keheranannya itu, Kim Bwee jadi masgul, maka
pengharapan satu-satunya ialah agar ia dapat menemui Kim
Sie Ie. Dalam perjalanan ini, Thian Oe berdua Kang Lam duduk
atas seekor kuda. Kudanya Kang Lam dikasihkan kepada Kim
Bwee. Dalam satu hari, tibalah mereka di dusun Sin-an. Thian
Oe lantas mencari keterangan. Ia telah menanyakan beberapa
orang tapi semua mereka itu membilang tidak melihat orang
yang roman atau potongannya dipetakan sebagai Kim Sie Ie.
Ia pun pergi ke dusun belakang dimana menurut katanya
Seng Lam ada sebuah kuil tua. Ia berhasil mencari kuil itu,
tetapi saking tuanya dan tak terawat, tidak ada tandanya
bahwa orang pernah singgah disitu.
Yu Peng menjadi heran.
"Mungkinkah kita salah?" katanya. "Dan ini bukannya kuil
yang dikatakan Nona Le?"
"Aku telah menanyakan penduduk sini, katanya inilah kuil
malaikat bumi satu-satunya," Kang Lam memberi kepastian.
"Mana bisa salah?"
"Tapi kau lihatlah," kata Yu Peng, "disini mana ada bekasbekasnya
pernah didatangi orang?"
"Bekasnya memang tidak ada," kata Kang Lam, tertawa,
"tetapi aku tidak keliru! Mungkinkah si Nona Le yang
mendusta?"
"Apa perlunya dia mendusta?" tanya Kim Bwee.
"Mungkin di dalam ini ada sebabnya," berkata Thian Oe.
"Siapa tahu jikalau Nona Le keliru ingat?"
"Mungkin apa?" kata Kang Lam. "Mana dapat main
mungkin, mungkin"... Aku bilang, sembilan dalam sepuluh,
pastilah dia sengaja permainkan kita!"
"Ah, selamanya kau memandang aneh terhadap Nona Le!"
menegur Kim Bwee. "Tanpa sebab, kenapa dia mesti
permainkan kita?"
"Benar, jangan kita sembarang menduga-duga!" kata Thian
Oe. "Mari kita kembali, untuk mencari terlebih jauh. Kita lihat
saja beberapa hari ini."
Thian Oe pun mencurigai perkataan Seng Lam, tetapi
karena telah pasti Kim Sie Ie tidak ketahuan berada dimana,
tidak ada ruginya untuk mencari terus beberapa hari. Perduli
apa Seng Lam menjaili mereka. Ia pun tidak mengerti, apa
alasannya Seng Lam main gila...
Dua hari lagi telah lewat, mereka mencari dengan sia-sia.
Semua orang yang diminta keterangannya membilang tidak
melihat orang semacam Kim Sie Ie.
Di hari ketiga malam, Kang Lam habis sabar.
"Nona, jangan kata aku banyak bacot!" ia kata pada Nona
Lie. "Menurut aku, Nona Le itu benar rada sesat!"
"Ah, janganlah kau mengatakan orang," Kim Bwee bilang.
Dia besar kepercayaannya terhadap Seng Lam.
"Kau sangat mempercayai dia, nona. Tahukah kau asal-usul
dia itu?" Kang Lam tanya.
"Aku tidak tahu. Aku bukan seperti kau, yang gemar sekali
mencari tahu urusan lain orang! Satu hal yang orang tidak
suka omongkan, aku tanya pun tidak."
Kang Lam tertawa.
"Kau juga jangan banyak omong, nona!" katanya. "Aku
hanya tidak mengerti kau, kenapa kau demikian percaya nona
itu?" "Aku tidak kenal dia, dia tidak kenal aku," menyahut Kim
Bwee," tetapi telah dua kali dia menolongi aku. Yang
belakangan ini, kau ketahui kejadiannya. Yang pertama itu
terjadi di Beng keechung. Ketika itu aku dikurung di dalam
kamar batu oleh Beng Laokoay."
"Kalau begitu, benar aneh," bilang Kang Lam. "Ketika itu
apakah dia ada membicarakan urusan Kim Tayhiap dengan
kau, nona?"
Ditanya begitu, Kim Bwee menjadi heran.
"Apakah artinya pertanyaanmu ini?" ia balik menanya.
"Setelah dia menolongi kau, apa katanya dia terhadap
kau?" "Dia menyuruh aku pergi mencari Suheng. Aku turut
petunjuknya, benar-benar aku berhasil menemui suheng-ku."
"Apakah dia tidak menyuruh kau mencari Kim Tayhiap?"
"Tidak. Ah, mengapa kau menanya begini melit" Apakah
kau ketahui urusanku itu?"
Sebelum menyahut, Kang Lam tertawa.
"Nah sekarang dapat dilihat banyak bacot pun ada
gunanya!" katanya. "Ketika itu hari Kim Tayhiap mengacau
Beng keechung, halnya itu aku mendengarnya dari Kok
Liehiap. Tatkala itu disana pun hadir orang-orang Binsan Pay
seperti Ek Tiong Bouw, Cia In Cin dan lainnya. Hanya ketika
Kim Tayhiap bicara sama Kok Liehiap, dia tidak menyebutnyebut
tentang Nona Le itu. Sekarang, menurut kau, nona,
Nona Le itu ialah peno-longmu. Itu artinya, ketika itu, ia pun
berada di Beng keechung, dan ia telah bertemu sama Kim
Tayhiap. Terang ia ketahui kau mau cari Kim Tayhiap tetapi
kepada kau, ia tidak mau menerangkan, sebaliknya ia sengaja
menyuruh kau mencari suheng-mu! Nah, kau lihat, apakah
disini tidak ada apa-apanya yang aneh?"
Kim Bwee mengerutkan alisnya.
"Benarkah itu?"ia tanya.
"Pasti benar! Sekarang kau bilang, kau percaya aku atau
Nona Le?" Nona itu membungkam, sambil tunduk, ia berpikir.
"Aku tahu kau kurang percaya aku," kata pula Kang Lam.
"Sekarang mari aku tanya pula: Kau percaya Nona Le atau
percaya Kok Liehiap?"
Kim Bwee berpikir pula.
"Mereka berdua ialah orang-orang yang aku percaya,"
jawabnya kemudian.
"Aku maksudkan, yang mana kau lebih percaya?" tanya
pula Kang Lam. "Gurunya enci Kok bersahabat dengan Thiansan Pay kami,
jikalau dibandingkan, pasti aku lebih percaya enci Kok itu,"
Kim Bwee menyahut. "Eh, kau menanya begini, apakah
artinya?" "Kaulah seorang cerdas, nona, mustahil kau tidak mengerti
kata-katanya Kok Liehiap?" Kang Lam membalas menanya.
"Kemarin ini dia menolak keras untuk berjalan bersama-sama
kita. Artinya penolakan itu ialah ia tidak mempercayai
perkataannya Nona Le itu."
Hari itu memang juga Kim Bwee merasa heran, ia sedikit
bercuriga, sekarang mendengar keterangan Kang Lam ini, ia
menjadi sadar. "Dia mengatakan pikirannya engko Sie Ie berubah cepat
sekali!" katanya, "apakah... apakah..."
"Aku lihat, bukannya Kim Tayhiap yang merubah
pikirannya," berkata Kang Lam, "yang benar ialah Nona Le
telah mendusta!"
"Engko Sie Ie bilang dia mau pergi ke Cengto untuk
berlayar, dan Nona Le kata dia mau pergi ke Souwciu mencari
kamu," kata Kim Bwee, bimbang, "jadi itu berarti..."
"Itulah... karangan belaka!" Kang Lam meneruskan.
"Kenapakah dia mengarang kedustaan itu?" Kim Bwee
masih menanya: "Kau tanyakan dia sendiri!" menyahut Kang Lam. "Mana
aku ketahui?"
Kim Bwee polos dan jujur, maka itu, satu kali dia bercuriga
dia ingin lantas mendapatkan pemecahannya, dia menyesal
sekali tidak bisa segera sampai di Cengto. Sekarang ia menjadi
bingung. "Bagaimana sekarang?" ia tanya Thian Oe dan Yu Peng.
Suami isteri itu pun menjadi heran dan curiga.
"Begini saja," kata mereka kemudian. "Kau, nona, kau pergi
sendiri ke Cengto untuk mencari di Laosan, dan kami, kami
terus pulang, untuk melihat di Souwciu. Siapa saja yang
berhasil menemukan Kim Sie Ie, maka dia harus diam
menantikan, agar kita tidak usah menjadi saling cari."
Kim Bwee setuju. Besoknya mereka berpisahan. Kim Bwe
sendiri berangkat ke Laosan, dan Thian Oe suami isteri
bersama Kang Lam pulang ke Souwciu.
*** Kok Cie Hoa berpisahan dari kawan-kawannya dengan
pikirannya bekerja. Ia tidak dapat menerka Le Seng Lam itu
orang macam apa. Benarkah kata-katanya Seng Lam itu
ataukah itu kedustaan belaka" Ia menjadi bingung. Lama ia
memikir akhirnya ia mengambil kepu-tusan bahwa untuk
sementara ia batal menjenguk kuburan ayah angkatnya,
hendak ia pergi dulu Ke Cengto, untuk melihat keadaan
disana. Keputusan ini ia ambil tanpa ia menginsyafi jalan
pikirannya, karena ia tidak tahu, adakah itu untuk mencari
tahu benar-tidaknya perkataan Seng Lam atau untuk ia tidak
menemukan pula Kim Sie Ie"...
Perjalanan ini dilakukan dengan menunggang kuda, yang
dibeli di tengah jalan. Dengan begitu, perjalanan dapat
dilakukan terus-terusan. Tiba di kota Tong-an, ia hendak
singgah. Untuk itu, ia membutuhkan rumah penginapan. Baru
ia masuk ke dalam kota, belum lagi ia mencari hotel, ia sudah
lantas dipapaki oleh dua orang dengan dandanan sebagai
pesuruh. Dua orang itu menyambut dengan manis dan
hormat, dan sambil tertawa.
"Nona, adakah nona she Kok?" mereka tanya.
Cie Hoa melengak.
"Kenapa?"ia tanya.
Rahasia 180 Patung Mas 7 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Senyuman Dewa Pedang 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama