Ceritasilat Novel Online

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 2

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 2


sehingga Ciangbujin yang sekarang sampai perlu mengundang murid-murid dari empat
angkatan untuk menyelesaikan perkara ini. Jika suheng tak dapat memberi penjelasan,
persoalan ini tentu sukar mendapat penyelesaian secara memuaskan!"
Hui Koh berhenti sebentar lalu berkata pula, "Kalau dengan kebesaran jiwa, suheng
dapat menahan penderitaan selama 60 tahun lamanya demi menjaga nama Siau-lim-si,
kiranya tentulah suheng takkan mau menentang perintah Tongkat Kumala Hijau yang kita
junjung itu. Bukankah sayang pengorbanan suheng selama berpuluh-puluh tahun dalam
penjara ini, akan hancur musnah dalam sehari saja?"
Luka hati yang berpuluh tahun terpendam dalam sanubari Hui Gong saat itu seperti
diungkit lagi oleh kata-kata sutenya, Hui Koh siansu. Paderi yang bernasib malang itu
menghela napas.
"Karena sute berdua begitu mendesak, jika aku tetap berkeras tak mengatakan,
tentulah akan menimbulkan kecurigaan pada sekalian murid Siau-lim-si angkatan sekarang
dan yang akan datang," katanya.
Setelah menghela napas lagi, ia berkata, "Pada waktu mendiang suhu memasukkan aku
ke dalam sanggar Hui-sim-sian-wan ini, beliau telah memberi pesan kepadaku. Agar
selama 20 tahun dalam penjara itu, kugunakan untuk menyelesaikan dua hal yang
penting. Pertama, agar aku merenungkan, dan menyadari kesalahan-kesalahan yang telah
kulakukan selama itu. Dan kedua, agar aku memahami dan menghayati tulisan dalam
kitab Tat-mo-ih-kin-keng ?"
Berkata sampai disitu, tiba-tiba Hui Gong berhenti. Serentak sepasang matanya
memancarkan sinar api yang mengerikan dan berserulah ia dengan nada keras, "Hui Im
dan Hui Koh, majulah kalian kemari!"
Perintah yang penuh wibawa itu membuat Hui In dan Hui Koh tak dapat membantah.
Hui Gong tertawa dingin, "Pada waktu suhu menutup mata, kemanakah kalian?"
"Pada saat itu siaute sedang menjalankan titah suhu ke gunung Po Lo San di Lamhay,"
sahut Hui In. "Sedang siaute sedang menjalankan amal di daerah luar perbatasan," kata Hui Koh.
Hui Gong merenung sejenak, katanya, "Aku menyangsikan suhu"."
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya. Tetapi rambutnya yang panjang tampak bergetaran.
Suatu petanda bahwa ia sedang berusaha untuk menindas kegoncangan hatinya.
Wajah Goan Thong ketua Siau-lim-si, berobah membesi. Tetapi diapun berusaha
menguasai kemarahannya.
"Sejak kakek guru Tat Mo mendirikan kuil ini, sampai sekarang sudah turun pada ketua
yang ke 32," katanya kepada rombongan paderi yang berada di belakangnya, "Aku merasa
bahwa diriku yang bodoh ini tentu tak sanggup menerima pimpinan kuil. Tetapi karena
perintah mendian suhu, terpaksa aku tak berani menolak. Berkat bantuan para paman
guru, beruntunglah selama belasan ini kuil tak tertimpa suatu peristiwa apa-apa?"
Ketua Siau-lim-si itu terhenti sejenak, lalu, "Ah, siapa tahu bahwa di lingkungan kuil ini
sendiri telah timbul peristiwa yang tak terduga-duga. Paderi angkatan tertua dan paling
tinggi kepandaian dalam kuil ini yakni Hui Gong taysu, telah bertindak tak benar.
Membangkang amanat Tongkat Kumala Hijau, menghapus larangan yang diberikan
mendiang kakek guru, membantu orang luar yang mengacau kuil dan melukai beberapa
anak murid Siau-lim-si. Dan pada saat ini pula, berani memutar balikkan peristiwa yang
lampau untuk memfitnah guru yang sudah wafat. Mempengaruhi pikiran lain-lain murid
supaya kacau. Sebagai pucuk pimpinan kuil, tak dapat kubiarkan hal ini ".."
"Karena tindakan Hui Gong sudah tak dapat dibiarkan lagi menurut hokum kuil, harap
Ciangbujin segera memberi perintah untuk menghukumnya!" serempak terdengar
rombongan paderi di belakang itu memberi sambutan menggemuruh.
Goan Thong mengangguk, "Goan Thay taysu kepala bagian gedung Tat-mo-wan. Harap
memimpin 4 orang murid untuk menangkap murid Siau-lim-si yang murtad Hui Gong!"
Seorang paderi yang berdiri pada ujung barisan empat paderi di samping Goan Thong,
segera memberi hormat, "Goan Thay kepala dari gedung Tat-mo-wan, siap melakukan
perintah!"
Sekali jubahnya tampak bergetaran, paderi Goan Thay sudah melesat kemuka pintu
sanggar hukuman dan menjura, "Murid melakukan perintah Ciangbujin untuk menangkap
supek. Harap supek suka maafkan!"
Serempak tiga paderi yang bertubuh perkasa, maju mendampingi Goan Thay.
Di dalam sanggar, terdengar Hui Gong tertawa nyaring, "Tempat yang terasing sini
sudah ditetapkan sebagai daerah terlarang oleh mendiang suhu. Murid-murid Siau-lim-si
harus mentaati. Barang siapa berani masuk tentu akan menerima hukuman!"
"Beberapa kali supek telah melanggar perintah ketua, berarti sudah tak mematuhi
peraturan kuil!" seru Goan Thay dengan keras, "Melanggar perintah supek bukan berarti
berani terhadap angkatan tua!"
Dalam pada itu, diam-diam dia sudah kerahkan lwekang. Sambil lintangkan kedua
tangan melindungi dada, ia maju menyerbu ke dalam sanggar.
Hui Gong lekatkan tangan ke punggung Han Ping, bisiknya, "Lekas pusatkan semangat.
Berikan perlawanan dan dengarkan penjelasanku mengenai pelajaran dalam kitab Tat-moihkin-keng. Waktunya hanya tinggal sedikit, berhasil atau gagal tergantung pada
kecerdasanmu!"
Pada saat itu juga Han Ping rasakan serangkum hawa murni telah menyalur ke dalam
tubuh dan terus ke dada. Tak ayal lagi, ia segera menampar dengan tangan kiri kepada
paderi Goan Thay. Berbaring dengan itu telinga Han Ping terngiang lengking suara macam
nyamuk, "Dalam ayat pelajaran tentang Membersihkan Urat, jika sumbernya menderita,
jika pokoknya kurang?"
Ternyata Hui Gong telah gunakan ilmu menyusup suara Coan-im-jib mulai memberi
pelajaran. Belum kaki paderi Goan Thay menginjak lantai, segera ia dilanda oleh gelombang
tenaga dahsyat. Dia termasuk salah seorang dari tiga serangkai paderi angkatan Goan
yang berilmu tinggi. Ilmu lwekang yang dalam. Dan diapun telah menguasai dua belas
macam ilmu sakti dari Siau-lim-si.
Cepat-cepat paderi itu mengempos semangat dan lintangkan kedua tangannya
melindungi dada lalu tiba-tiba didorongkan ke muka. Bumm"!!
Terdengar ledakan keras. Debu bergulung-gulung menghitam di seluruh ruangan
sehingga mata sukar melihat isi ruangan.
Kuatir Goan Thay akan menggunakan kesempatan keadaan yang gelap itu untuk
menyerbu, Han Ping menyusuli pula dengan sebuah hantaman.
Betapa tinggi dasar latihan lwekang yang dimiliki Goan Thay, tetapi bagaimanapun ia
tak mampu menahan tenaga lwekang dari Hui Gong yang disalurkan melalui tubuh Han
Ping itu. Darah paderi ketua bagian gedung Tat-mo-wan itu bergolak-golak keras dan
tenagapun habis.
Pukulan kedua yang disusulkan Han Ping telah membuat paderi itu batuk-batuk. Pada
saat ia hendak menghindar mundur, tiba-tiba dari belakang serangkum tenaga dahsyat
telah melandanya. Terpaksa ia menyelinap ke samping.
Ternyata angin dahsyat itu berasal dari pukulan yang dilontar kelima paderi anak buah
Goan Thay. Paderi-paderi yang berjubah kelabu itu segera menyerbu kedalam ruang
sanggar. Kiranya Goan Thong sudah memperhitungkan bahwa Goan Thay tentu tak dapat
menahan pukulan pembelah angkasa atau Biat-gong-ciang dari Hui Gong. Maka pada
waktu Goan Thay maju. Ketua Siau-lim-si itu sudah perintahkan lima paderi tua bagian
gedung Kian-si-wan untuk membantu.
Kelima paderi itu dari angkatan Goan. Tugasnya sebagai penilik dari aktifitas para
paderi dalam menjalankan ibadahnya. Mereka mendapat pelajaran ilmu silat dari guru
yang sama. Sejak kecil sudah dilatih untuk berkelahi secara maju berlima. Bukan hanya
dalam ilmu permainan senjata, pun dalam melancarkan pukulan lwekang maupun
memancarkan tenaga lwekang, mereka merupakan suatu kesatuan yang saling bantu
membantu secara kompak sekali.
Kelima paderi itu masuk kedalam sanggar tepat pada saat Han Ping lontarkan pukulan
kedua. Goan Kim taysu yang mempelopori dimuka, cepat menangkis seraya berseru
Omitohud. Seruan itu merupakan suatu kode. Dan keempat saudara seperguruannya segera
kerahkan lwekang. Masing-masing segera lekatkan kedua tangan ke punggung kawannya
yang berada di depannya. Mendapat saluran dari 4 orang saudara seperguruannya, tenaga
pukulan Goan Kim taysu menjadi lipat empat kali dahsyatnya.
Tiba-tiba hui Gong mendengus. Sambil masih mengucapkan isi pelajaran kitab Tat-mihkin-keng, ia tambahkan saluran lwekang ke punggung si anak muda. Seketika tubuh
Han Ping yang sudah condong ke muka itu, dapat tegak kembali. Darahnya yang
bergolakpun tenang lagi. Ketika memandang kemuka, kejutnya bukan kepalang. Kelima
paderi itu sudah terdesak sampai satu meter kebelakang. Cepat ia menghantam lagi.
Sesungguhnya Goan Thay taysu dan saudara seperguruannya itu hendak loncat keatas.
Tetapi karena melihat Han Ping menghantam, merekapun cepat-cepat bersatu menangkis.
Han Ping rasakan telapak tangan Hui Gong yang melekat di punggungnya itu,
menyalurkan hawa hangat yang menyerap ke dadanya. Semangatnya memberingas dan
tenaganya tambah penuh. Secepat kilat, ia mendorong ke muka.
Hm" Goan Thay dan kelima paderi Goan itu mendesah tertahan. Mereka tak kuasa lagi
mempertahankan diri. Seketika tubuhnya terangkat dan terlempar keluar pintu"
Bum" Goan Thay dan Goan Kim terbentur dinding gedung penjara itu. Separuh dari
dinding tersebut bengkah dan berantakan.
Han Ping hampir tak percaya bahwa dirinya memiliki tenaga yang begitu sakti. Ia
tertegun. "Lekas pusatkan semangatmu dan dengarkan uraian kitab Tat-mo-ih-kin-keng!"
Tiba-tiba Hui Gong menampar ubun-ubun kepala Han Ping"
Karena tukar menukar pukulan itu, debupun membaur menggelapkan ruang penjara.
Kawanan paderi itu tak dapat melihat jelas apa yang sedang dilakukan Hui Gong.
Saat itu Goan Thay dan para penilik kuil, merangkak bangun dan masuk ke dalam
barisan paderi lagi. Hanya Goan Kim taysu seorang yang menderita luka agak berat.
Sampai saat itu ia tak dapat bangun.
Goan Thong ketua Siau-lim-si tak lekas-lekas memberi perintah supaya menolong Goan
Kim taysu tetapi tegak terlongong longong. Rupanya dia tengah mempertimbangkan suatu
keputusan yang penting.
Para paderipun tampak serius wajahnya. Suasana hening lelap. Paderi-paderi itu
memang sudah mendengar bahwa paderi tua yang dijebloskan dalam penjara itu
sesungguhnya tokoh yang paling tinggi kepandaiannya dalam kuil Siau-lim-si. Tetapi setitik
pun mereka tak membayangkan bahwa kesaktian Hui Gong ternyata mencapai taraf yang
sedemikian tingginya.
Tiba-tiba Goan Thong bolang balingkan Tongkat Kumala Hijau. Seketika rombongan
paderi itu tegak menunduk siap mendengarkan amanat ketua mereka.
"Hui In, Hui Koh, berdua susiok, harap menyambut perintah Tongkat Kumala Hijau.
Majulah berdua dan usahakan sekuat tenaga untuk menangkap murid penghianat. Goan,
Pek dan Thian tiga angkatan supaya siapkan diri dalam barisan Lo-han-tin dan hentikan
antaran makanan kepada murid hianat itu!"
Hui In sipaderi beralis putih, berkata bisik bisik, "Harap Ciangbujin jangan marah
dahulu. Aku masih mempunyai daya?"
"Heh, heh," ketua Siau-lim-si tertawa sinis, "Apakah susiok hendak membangkang
perintah Tongkat Kumala Hijau?"
"Ah, tidak," sahut Hui In.
"Karena Hui Gong telah melukai lagi paderi Siau-lim-si, membangkang perintah Tongkat
Kumala Hijau dan meremehkan peraturan kuil. Kesalahannya tak dapat diampuni. Susiok
berdua pasti sudah maklum bahwa Tongkat Kumala Hijau ini merupakan lambing
kekuasaan kuil Siau-lim-si. Karena Hui Gong berani melanggar peraturan maka dia bukan
lagi murid Siau-lim-si. Silahkan susiok berdua mencabut senjata dan kalau perlu bunuhlah
murid penghianat itu!" seru Goan Thong pula.
Wajah ketua Siau-lim-si itu tampak meregang tegang. Rupanya dia tak mau
berkompromi lagi.
Hui In dan Hui Koh tiba-tiba tertawa, serunya "Sudah tentu kami berdua akan
melaksanakan perintah Tongkat Kumala Hijau!"
Sekali loncat, keduanya menyerbu ke dalam sanggar penjara.
Lebih dahulu Hui Koh mengangkat Goan Kim taysu yang masih menggeletak di lantai.
Setelah dibawa keluar, ia masuk lagi.
Keadaan Goan Kim taysu cukup mengenaskan. Muka dan mulutnya berkumur debu
kotoran. Walaupun tak mati tetapi lukanya amat berat.
Peraturan kuil Siau-lim-si memang keras sekali. Tiada seoarangpun yang berani
menyatakan apa-apa. Dan karena yang diperintah menyerbu itu Hui In dan Hui Koh,
rombongan paderi yang lain-lain tak berani turun tangan.
Saat itu debu kotoran yang berhamburan memenuhi ruang sanggar, sudah mulai
menipis. Kini kawanan paderi Siau-lim-si itu dapat melihat jelas keadaan dalam ruang.
Hui Gong tengah duduk diatas bale-bale tempat tidur. Sambil lekatkan tangannya ke
punggung Han Ping, paderi itu tampak berkomat kamit bibirnya.
Ternyata ia menggunakan ilmu menyusup suara Coan-im-jib-bi yang tinggi untuk
melanjutkan uraiannya tentang pelajaran kitab Tat-mo-ih-kin-keng.
Tetapi karena menggunakan ilmu menyusup suara tingkat tinggi maka hanya Han Ping
sendiri yang dapat menangkap sedangkan lain-lain orang sama sekali tak dapat
mendengarkannya.
Karena tak dipedulikan, berserulah Hui In dengan nyaring, "Ciangbujin sudah
mengeluarkan perintah Tongkat Kumala Hijau agar kami berdua menangkap Hui Gong
suheng!" Hui Gong tak menyahut melainkan memandang kepada kedua sutenya itu. Kemudian
membisiki Han Ping, "Lekas pusatkan semangatmu. Akan kuberimu tenaga murni, plak"!"
Tiba-tiba paderi itu menampar kepala Han Ping. Seketika Han Ping rasakan tubuhnya
gemetar sehingga hilang tenaga.
Merasa tak diacuhkan, Hui Koh berseru pula, "Tongkat Kumala Hijau turun temurun
merupakan lambing kekuasaan pimpinan Siau-lim-si. Kami tak berani melanggar perintah,
harap suheng suka maafkan!"
"Harap kalian sampaikan pada Ciangbujin supaya suka memberi waktu tiga hari
kepadaku. Nanti pada waktunya tentu aku menebus dosa. Tetapi jika saat ini aku tetap
didesak, hm, jangan sesalkan aku bertindak ganas!" Hui Gong mendengus dingin.
Ucapan Hui Gong yang tegas itu membuat Hui In dan Hui Koh tertegun. Mereka
berpaling ke arah ketua Siau-lim-si.
"Murid hianat itu sudah berturut-turut melukai anak murid kita. Tak mungkin
permintaannya dikabulkan. Jika dia sampai berhasil lolos, Siau-lim-si tentu ditertawakan
orang. Kami yang hadir disini merasa malu terhadap para leluhur kakek guru?"
Cepat-cepat Goan Thong mendahului seraya mengacungkan Tongkat Kumala Hijau dan
berseru nyaring, "Atas nama Tongkat Kumala Hijau, kuminta dengan hormat agar Hui In
dan Hui Koh berdua susiok, segera menangkap murid hianat itu!"
Hui Gong tiba-tiba rentangkan mata lebar-lebar dan tertawa tergelak-gelak, "Sekalipun
aku dianggap menentang perintah Tongkat Kumala Hijau, tetapi Ciangbujin juga
melanggar keputusan mendiang suhu karena berani mendobrak pintu ruang penjara Huisimsian-wan sini. Atas tindakan Ciangbujin itulah maka akupun berani menentang
perintah?"
Kemudian paderi tua itu menatap kedua sutenya, Hui In dan Hui Koh, serunya tawar,
"Silahkan kalian menilai kekuatan kalian berdua. Sekalipun kalian berdua maju berdua,
apakah kalian yakin dapat menandingi aku?"
Kepandaian silat dari kedua paderi itu, sebagian besar dulu Hui Gong yang
mengajarkan. Kedua paderi itu menganggap Hui Gong yang menjadi suhengnya itu,
sebagai suhunya. Sudah tentu mereka sungkan untuk berkelahi dengan suhengnya itu.
Tetapi dilain pihak, mereka tak berani melanggar perintah Tongkat Kumala Hijau.
Hui In, Hui Koh tertegun beberapa saat.
"Untuk yang ketiga kalinya atas nama Tongkat Kumala Hijau, meminta Hui In dan Hui
Koh berdua susiok supaya lekas menangkap murid hianat. Demi untuk membersihkan
nama kuil Siau-lim-si!" tiba-tiba Goan Thong berseru bengis.
Hui In kerutkan alis. Tiba-tiba ia berseru seraya lontarkan pukulan, "Toa Suheng,
maafkanlah kekurang ajaran siaute!"
Hui Gong ganda tertawa. Sambil masih lekatkan tangan kanan ke punggung Han Ping,
kelima jari kiri melentik. Lentikan jari itu menimbul suara desis angin yang menyongsong
pukulan Hui In.
Hui In terperanjat ketika angin pukulan pecah, dan lima aliran angin tajam melanda
tubuhnya. Buru-buru ia perdahsyat pukulan seraya meloncat mundur.
Pada waktu Hui In melepas pukulan, diam-diam Hui Koh menimang dalam hati,
"Selama 60 tahun ditawan dalam Hui-sim-sian-wan ini, ilmu kepandaian suheng Hui Gong
tentu makin maju. Dengan mudah tentu dapat lolos. Tetapi ternyata ia rela menderita dan
tak berani melanggar keputusan guru. Bahwa kali ini tiba-tiba ia menentang perintah
Tongkat Kumala Hijau bukan lain karena disebabkan anak muda itu. Jika dapat
menangkap pemuda itu, mungkin pendirian Toa Suheng akan berubah. Nama baik Toa
Suheng harus diselamatkan dari noda tuduhan berhianat?"
Keputusan itu cepat melintas dalam benak Hui Koh. Ia kerahkan lwekang. Dengan ilmu
silat istimewa Peh-poh-sin-kun atau Pukulan sakti seratus langkah, ia menghantam ke
dada Han Ping. Sesungguhnya Hui Koh termasuk paderi angkatan tua yang memiliki pribudi tinggi.
Tetapi demi melindungi nama baik suhengnya, terpaksa ia berlaku ganas.
Berkat penguasaannya ilmu pelajaran dalam Tat-mo-ih-kin-keng, mata dan telinga Hui
Gong luar biasa tajamnya, ia terkejut melihat tindakan Hui Koh. Secepat kilat ia tutupkan
tangan kiri ke dada Han Ping, lalu mendorong kemuka.
Hui Koh mendengus tertahan seraya melayang keluar dari ruangan. Waktu menarik
mundur tangannya, ia menampar kepala pemuda itu.
Tamparan itu membuat Han Ping sadarkan diri. Ia rasakan kepalanya memancarkan
tenaga hangat ke seluruh tubuh. Rasanya nyaman sekali. Tetapi beberapa saat kemudian
tubuhnya menggigil, keringat mengucur deras dan tak sadarkan diri lagi.
Saat itu pukulan Hui In telah dipatahkan oleh ilmu Jari Sakti dari Hui Gong. Sebagai
paderi angkatan Hui yang tinggi kedudukannya, serta menguasai 36 macam ilmu sakti


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau-lim-si, sudah tentu Hui In tahu bahwa ilmu jari sakti itu memang khusus untuk
mematahkan pukulan Peh-poh-sin-kun, pukulan Biat-gong-ciang atau membelah angkasa
dan lain-lain pukulan lwekang yang dahsyat.
Disadarinya pula bahwa Hui Gong masih kenal kasihan dan tak mau menggunakan
lwekang penuh dalam melancarkan jari sakti Tan-ci-sinkangnya. Maka Hui In tahu diri dan
cepat loncat mundur. Hui Koh pun mengikuti tindakannya.
Melihat kedua paman gurunya loncat keluar dari dalam sanggar penjara, diam-diam
timbullah kecurigaan dalam hati Goan Thong taysu. Ia menuduh kedua paman gurunya itu
tentu masih berat hati untuk menyerang Hui Gong dengan sungguh-sungguh.
Ketika ketua Siau-lim-si itu hendak menegur, tiba-tiba Hui Koh muntah darah. Terpaksa
Goan Thong batalkan tegurannya.
"Apakah sute terluka berat?" seru Hui In.
Hui Koh menghela napas, sahutnya, "Aku terkena tenaga membal dari gerakan jarinya
sehingga dadaku terluka?"
Sekonyong-konyong dari arah dalam sanggar penjara terdengar suara Hui Gong, "Lekas
tutup mulut agar daya pukulan itu jangan sampai mengembang kemana-mana. Pejamkan
mata, salurkan pernapasan. Jika tak mendengar nasehatku, dalam waktu 12 jam, lukamu
tentu makin parah. Engkau akan muntah darah dan mati. Ketahuilah, bahwa pukulan Pehpohsin-kun yang engkau lepaskan tadi telah kupentalkan kembali kepadamu. Engkau
sendiri yang cari penyakit, jangan sesalkan aku berlaku kejam!"
Buru-buru Hui In menasehati Hui Koh supaya lekas menuruti petunjuk Hui Gong.
Setelah itu Hui In memberi penjelasan kepada ketua Siau-lim-si Goan Thong taysu.
"Bukan karena aku tak menyerang sungguh-sungguh. Tetapi memang kepandaian Hui
Gong suheng itu terpaut jauh sekali dengan kami berdua. Jika tak lekas-lekas loncat
keluar, kemungkinan akupun turut terluka karena ilmu jari sakti Tan-ci-sinkang!" katanya.
"Apa" Tan-ci-sinkang?" Goan Thong terbeliak.
Hui In mengangguk, "Benar! Dari 72 ilmu kepandaian sakti kuil Siau-lim-si, ada 3
macam yang sukar dipelajari. Diantara ke 3 macam ilmu yang paling sukar dipelajari itu,
salah satu adalah ilmu jari sakti Tan-ci-sinkang itu. Sejauh pengetahuanku, sejak 300
tahun yang terakhir ini, belum lagi terdapat anak murid Siau-lim-si yang mampu
mempelajari ilmu jari sakti itu. Hui Gong suheng?"
Sesungguhnya Hui In hendak menyanjung kesaktian Hui Gong. Tetapi tiba-tiba ia
teringat bahwa hal itu dapat menimbulkan salah paham kepada Goan Thong, murid
keponakannya yang kini menjabat sebagai ketua Siau-lim-si.
Goan Thong tertawa dingin, "Karena murid hianat itu menghapus ketaatannya selama
60 tahun dengan tindakan menentang perintah Tongkat Kumala Hijau, terpaksa aku harus
bertindak. Silahkan Hui Koh susiok beristirahat mengobati luka. Percayalah, aku tentu akan
berusaha mencuci noda yang melumuri kuil kita!"
"Dia telah menyelami isi kitab Tat-mo-ih-kin-keng, Kesaktiannya sukar diukur. Pada
hematku, lebih baik memberi kelonggaran waktu 3 hari kepadanya?" kata Hui In.
"Harap susiok jangan kuatir!" buru-buru Goan Thong menukas kata-kata paman
gurunya dengan mengacungkan Tongkat Kumala Hijau, "Aku tak yakin kalau dia mampu
menghadapi seluruh kekuatan dari paderi Siau-lim-si!"
Terdengar suara tertawa hina dari dalam sanggar penjara, "Aku telah minta waktu 3
hari lagi akan menebus dosa. Jika Ciangbujin tetap hendak mendesak, akibatnya hanya
suatu malapetaka bagi kuil Siau-lim-si!"
Goan Thong merenung beberapa saat. Kemudian sahutnya, "Dengan memandang
muka mendiang suhu, kululuskan waktu 3 hari kepadamu. Jika pada waktu itu engkau
tidak menepati janji menebus dosa dengan membunuh diri, akan kubakar sanggar Huisimsian-wan ini!"
Ia gerakkan Tongkat Kumala Hijau dan barisan paderi Siau-lim-si segera mengatur diri
dalam formasi barisan Lo-han-tin. Sanggar Hui-sim-sian-wan tempat penjara paderi Hui
Gong dikepung ketat.
Melihat itu, Hui Gong menghela napas panjang. Tangannya yang melekat di punggung
Han Ping, ditariknya. Terdengar pemuda itu mendesah dan membuka mata.
Sambil menunjuk pada barisan anak murid Siau-lim-si, berserulah Goan Thong dengan
perlahan, "Ruang Hui-sim-sian-wan ini telah dikepung oleh barisan Lo-han-tin. Dewasa ini
mungkin hanya beberapa tokoh persilatan yang mampu menerobos dari kepungan Lo-hantin.
Tiga hari kemudian, engkau harus seorang diri menembus barisan itu."
Ucapan itu jelas ditujukan kepada Han Ping. Sebelum menyelundup ke dalam kuil Siaulimsi, pemuda itu memang sudah mendengar tentang kemahsyuran barisan Lo-han-tin
itu. Sesudah masuk ke kuil dan bertempur dengan beberapa paderi, sesungguhnya nyali
anak muda itu sudah buyar.
Kini mendengar ancaman Goan Thong, dia terbeliak kaget. Serunya gugup "Lo-han-tin
termahsyur di seluruh jagad. Bagaimana aku mampu menerobosnya?"
Saat itu Goan Thong taysu bersama Hui In siansu dan lain-lain sudah tinggalkan
sanggar Hui-sim-sian-wan. Di luar gedung itu tampak sunyi tetapi tegang. Seratus delapan
paderi sakti Siau-lim-si yang tergabung dalam barisan Lo-han-tin, siap sedia di pos
masing-masing. Tampak wajah Hui Gong berobah-robah. Sebentar memancar kemarahan, sebentar
berseri cerah. Rupanya dia tengah terbenam dalam mengenangkan masa yang lampau,
mungkin sedang mempertimbangkan suatu keputusan yang penting.
Tiba-tiba ia pejamkan mata dan rangkap kedua tangan ke dada. Mulutnya berkemak
kemik mendoa. Dia tak menghiraukan pertanyaan Han Ping tadi.
Beberapa saat kemudian, ia membuka mata. Memandang kepada Han Ping, ia berkata,
"Dalam keadaan sudah begini, terpaksa aku harus mengesampingkan segala keraguan!"
Han Ping tak mengerti apa yang dimaksud paderi tua itu. Ia memberanikan diri untuk
meminta penjelasan.
Hui Gong tersenyum, ujarnya, "Terus terang, sebenarnya aku mengandung maksud
takkan memberikan dua macam ilmu kepandaian pusaka dari Siau-lim-si kepada orang
luar. Tetapi mengingat keadaan sudah begini, jika tak kuajarkan kedua ilmu itu kepadamu,
engkau pasti tak dapat menerobos barisan Lo-han-tin itu!"
Serentak Han Ping berseru dengan tegang, "Jika lo suhu sungguh-sungguh mau
membantu cita-citaku untuk membalas sakit hati, bukan saja seumur hidup takkan
kulupakan budi lo suhu, pun ?"
Dengan wajah dan nada yang serius, Hui Gong menukas, "Pelajaran yang kuberikan
kepadamu ini, atas dasar karena aku kalah bertaruh. Siapa yang engkau sebut sebagai
suhu itu" Ingat, Jika engkau masih memanggil dengan sebutan itu, tentu segera kuusir
engkau dari sini!"
Han Ping terkesiap, tersipu-sipu ia mengiakan.
Hui Gong menghela napas perlahan. Wajahnya pun tenang kembali. Sekonyongkonyong
tangan kirinya mengulur kebelakang. Ternyata ia mencabut sebatang pedang
pendek dari punggungnya. Sekali menjentik perlahan, terdengar suara mendengingdenging
dan merekahlah pancaran sinar yang menyilaukan mata. Serempak dengan itu
serangkum hawa dingin menebar keseluruh ruangan sehingga Han Ping menggigil.
Sambil mencekal pedang itu, Hui Gong tertawa, "Dua kali kita bertaruh. Yang pertama,
aku kalah bertaruh dengan pembayaran ilmu kepandaianku. Dan yang kedua, akupun
kalah lagi dengan hadiah sebuah pusaka dunia persilatan. Pedang pendek ini sudah
menemani aku selama 60 tahun dalam kesunyian. Untung aku kalah bertaruh dengan
engkau. Kalau tidak, pedang pusaka yang menjadi incaran setiap kaum persilatan ini, pasti
akan ikut aku terpendam selama-lama dalam penjara Hui-sim-sian-wan sini!"
Habis berkata, Hui Gong menyerahkan pedang itu kepada Han Ping. Pemuda itu tak
berani menolak. Ia berlutut memberi hormat dan menyambut pemberian itu.
Seri wajah Hui Gong yang penuh welas asih lenyap berganti dengan kerawanan. Ia
menghela napas, ujarnya, "Anak muda, walaupun pedang ini merupakan pusaka yang
diincar setiap orang persilatan, tetapi bagiku benda itu merupakan kesialan"."
Tiba-tiba paderi yang bernasib malang itu berhenti. Menengadah memandang atap
rumah yang tiris, seri wajahnya berobah-robah tak menentu. Tampaknya ia hendak
menumpahkan rahasia kandungan hatinya tetapi akhirnya ia menindas keinginan itu.
"Kecuali menggunakan untuk membalas sakit hatimu, sebaiknya simpanlah pedang ini.
Karena pedang ini mengandung rahasia dari sebuah pembunuhan yang menggoncangkan
dunia persilatan. Mungkin beberapa tokoh sakti yang mengejar jejak pedang ini, masih
hidup. Sekali mereka tahu dimana pedang itu berada, tentu akan terjadi huru hara"."
Katanya pula. Kemudian ia menjemput sarung pedang yang terbuat dari pada tembaga, katanya,
"Pedang itu memang sebuah pusaka yang luar biasa tajamnya. Dapat membelah segala
macam logam dan batu mustika. Tetapi sarung pedang ini, jauh lebih berharga dari
pedang itu!"
Memandang sarung pedang itu, Han Ping tak melihat sesuatu yang luar biasa. Ia tak
percaya tetapi sungkan untuk mengatakan.
Rupanya Hui Gong dapat membaca isi hati pemuda itu. Ia tersenyum, "Aku sudah
berjanji kepada seseorang takkan membocorkan rahasia sarung pedang itu. Dikemudian
hari, adalah engkau dapat menyingkap rahasia yang menggemparkan dunia persilatan itu
atau tidak, tergantung dari rezekimu!" Habis berkata dengan tangan bergemetaran, paderi
itu menyerahkan sarung pedang kepada Han Ping.
Ketika Han Ping memasukkan pedang ke dalam sarung tembaga itu, terdengarlah bunyi
mendering yang bening. Diam-diam ia terkejut.
Hui Gong mulai menjelaskan isi pelajaran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng lagi. Malam
itu ia menguraikan tentang pelajaran gerakan tangan. Menangkap musuh, menampar jalan
darah, mencengkram urat nadi dan lain-lain. Sambil menjelaskan, sambil memberi contoh.
Kesemuanya meliputi ilmu kesaktian yang jarang terdapat sehingga semangat Han Ping
seperti terbenam dalam keasikan.
Berkat cara mengajar Hui Gong itu jelas sekali dan disertai dengan contoh gerakan
yang gampang dimengerti, timbullah harapan Han Ping bahwa kelak ia tentu dapat
menuntut balas kepada musuhnya.
Cepat sekali sang waktu berjalan. Tak terasa satu malam dan dua hari telah
berlangsung. Boleh dikata selama itu Hui Gong seolah-olah berkejaran dengan waktu. Ia
hamper tak meneguk setetes airpun juga. Sehabis ilmu gerakan tadi, ia menumpahkan
seluruh pelajaran tentang isi kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Apabila tiba pada pelajaran ilmu
yang luar biasa sukarnya, tak jemu-jemunya Hui Gong mengulang lagi sampai Han Ping
mengerti benar-benar.
Dengan cara mengajar yang luar biasa gigihnya itu, pada hari ketiga pagi-pagi, dia
telah dapat menguraikan isi Tat-mo-ih-kin-keng itu sampai selesai.
Ketika memandang ke langit di luar sanggar, dilihatnya matahari sudah naik
sepenggalah tingginya. Sambil mengurut-urut jenggot, berkatalah paderi itu seraya
tertawa, "Dalam waktu tiga hari tiga mala mini, telah kuberikan semua yang kuketahui
dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Asal engkau mengingatnya baik dan giat berlatih tentu
akan mencapai taraf yang sempurna. Pelajaran terakhir dalam kitab pusaka itu ialah
tentang ilmu memecahkan barisan Lo-han-tin. Camkanlah, bahwa dewasa ini di dunia
persilatan, orang yang mampu membobolkan barisan Lo-han-tin, hanyalah engkau
seorang. Tindakanku ini, tiadalah mengecewakan perasaan saudara-saudara
seperguruanku?"
Ia berhenti untuk menghela napas, lalu melanjutkan pula, "Kini dari waktu yang
kujanjikan kepada ketua Siau-lim-si, kira-kira hanya tinggal sejam lagi. Dalam waktu yang
singkat ini, akan kuberikan kepadamu seluruh tenaga sakti yang kuyakinkan selama 30
tahun, agar dapat membantumu memecahkan barisan Lo-han-tin itu!"
"Ha?" Han Ping terbelalak.
Hui Gong tertawa rawan, "Kebesaran agama tiada terbatas. Nanti sejam kemudian
engkau tentu mengakui bahwa kata-kataku tadi bukan kata-kata kosong!"
Sekonyong-konyong paderi sakti itu menggembor sekuat-kuatnya sehingga debu
bertebaran, atap berderak-derak. Han Ping merasa seperti disambar petir. Tubuhnya
menggigil dan pingsanlah ia seketika.
Ketika ia sadarkan diri, dilihatnya diluar sanggar, Goan Thong taysu sambil mendekap
Tongkat Kumala Hijau, tengah berjalan mendatangi dengan diiringi oleh 4 paderi kecil.
Han Ping terkejut dan cepat berpaling, "Locianpwe, ketua?"
Ia berhenti seketika karena melihat Hui Gong duduk bersila pejamkan mata seperti
patung. Seketika sesosok bayangan ngeri melintas dalam benaknya. Serentak gemetarlah
tubuhnya. Perlahan-lahan ia ulurkan tangannya untuk menjamah tubuh paderi yang telah
melimpahkan budi besar kepadanya itu.
Dan" membanjirlah airmata Han Ping bercucuran membasahi mukanya.
"Locianpwe?" ia berlutut dihadapan paderi itu dengan menangis tersedu sedan.
Hui Gong siansu, paderi yang cemerlang kepandaiannya dan merupakan tokoh sakti
nomor satu dalam kuil Siau-lim-si selama 300 tahun terakhir ini, telah mukswa atau
meninggal. Setelah menderita selama 60 tahun dipenjara, ia mati menebus dosa. Ia mati secara
ksatria" Ooo)*(ooO Bagian 4 Pedang Pemutus Asmara
Keringlah sudah Han Ping menumpahkan airmatanya. Dipandangnya jenazah Hui Gong
dengan terlongong-longong. Dalam kehidupan manusia, tiga hari hanya sekejap mata.
Tetapi bagi Han Ping waktu yang singkat itu sangat besar sekali artinya. Dalam tiga hari
itulah Hui Gong telah mencurahkan seluruh kepandaiannya kepadanya"
Diam-diam Han Ping memaki dirinya sendiri. Mengapa ia berlagak sok pintar sehingga
ia memenangkan pertaruhan yang kedua. Dengan kemenangan itu ia telah memperoleh
sebuah pedang pusaka dengan warisan latar belakang sejarah yang penuh diselubungi
rahasia. Bukan karena menyesal memikul beban warisan itu, tetapi menyesal karena hal itu
telah membangkitkan pula riwayat duka dari seorang tua yang telah melimpahkan budi
besar kepadanya"
Tiba-tiba terdengar suara genta kuil bertalu nyaring. Seketika tergugahlah ia dari
lamunan kedukaan. Memandang keluar, tampak Goan Thong taysu berdiri diambang pintu
dengan sikap yang seram.
Disebelah kiri tampak Hui In si paderi beralis putih dan disebelah kanan Hui Koh yang
sudah sembuh dari lukanya. Di belakang mereka empat paderi kecil tegak berjajar dengan
menghunus golok kwat-to.
Melihat rombongan paderi Siau-lim-si itu, berkobarlah kemarahan Han Ping. Setelah
menyimpan pedang pendek pemberian Hui Gong, ia melangkah kepintu.
Goan Thong tak mengacuhkan anak muda itu. Matanya memandang lekat-lekat pada
paman gurunya Hui Gong yang tengah duduk bersila seperti orang semedhi.
Setelah mencapai kesempurnaan dalam keyakinan ilmu silat, walaupun sudah mati
namun tampaknya Hui Gong itu masih seolah-olah seperti orang yang sedang bersemedhi
saja. Dan tambahan pula rambutnya yang memanjang terurai menutupi muka betapapun
tajam pandangan mata ketua Siau-lim-si itu, namun sukar untuk mengetahui keadaan
paman gurunya yang sebenarnya.
Melihat keadaan Hui Gong yang tak mengacuhkan perjanjiannya, Goan Thong
memandang kelangit seraya berseru, "Batas waktu perjanjian tiga hari sudah tiba. Apakah
supek masih hendak meninggalkan pesan kepada murid?"
Diulangnya beberapa kali pertanyaan itu namun Hui Gong diam saja. Akhirnya
marahlah ketua Siau-lim-si itu.
"Waktu tiga hari yang supek minta untuk menebus dosa kini sudah sampai. Tetapi
mengapa supek berlagak membisu"."
Tiba-tiba kata-kata ketua Siau-lim-si itu terputus oleh sebuah tertawa hina, "Hm, kaum
persilatan selalu menjunjung tinggi pada guru. Tetapi engkau sebagai murid menghina
angkatan tua, mendesak seorang paman guru supaya melakukan bunuh diri, masih berani
bertindak garang?"
Dampratan itu ditutup dengan sebuah pukulan ke arah Goan Thong.
Sesungguhnya Goan Thong sudah tahu bahwa Han Ping sudah tiba dipinggir pintu.
Adalah karena ia tak memandang mata kepada pemuda itu, maka ia tak bersiaga. Pada
saat terkejut mengetahui kedahsyatan tenaga pukulan pemuda itu, ia sudah tak keburu
menangkis lagi.
Tetapi ia seorang ketua kuil Siau-lim-si yang termahsyur. Sudah tentu ia tak mau
kehilangan gengsi dihadapan murid-muridnya. Ia tak mau loncat menyingkir melainkan
kerahkan lwekang ke bahu kiri untuk menahan pukulan itu.
Goan Thong tak menyangka sama sekali bagaimana perobahan pemuda itu sekarang.
Dengan ilmu Hud-bun-gui-ting-hwat atau ilmu menyalurkan tenaga lwekang dari
perguruan agama, Hui Gong telah memberikan peyakinan lwekangnya selama berpuluhpuluh
tahun kedalam tubuh pemuda itu.
Pukulan Han Ping dahsyat sekali perbawanya. Hek" Goan Thong mendesah tertahan
ketika tubuhnya mencelat keluar sampai beberapa langkah. Dan habis memukul Goan
Thong. Han Ping memekik keras seraya loncat keluar menerjang barisan Lo-han-tin".
Walaupun terpukul rubuh namun Goan Thong seorang tokoh yang memiliki tenaga sakti
hebat. Sekali mengempos semangat, ia cepat menindas darah yang bergolak dalam
tubuhnya dan terus loncat bangun, Serempak dengan itu delapan paderi loncat
menghampiri, "Harap Ciangbujin beristirahat ke samping. Lo-han-tin segera akan
bergerak."
Walaupun berkedudukan sebagai ketua, namun Goan Thong tak berani membantah
permintaan itu. Karena Lo-han-tin adalah barisan kebanggan Siau-lim-si yang paling
diandalkan untuk menghadapi musuh yang tangguh. Dan sejak beratus-ratus tahun ini,
belum pernah terdapat seorang musuh yang mampu lolos dari kepungan Lo-han-tin. Goan
Thong segera mundur kesamping.
Peristiwa Han Ping dapat memukul rubuh ketua Siau-lim-si itu, benar-benar diluar
dugaan Hui In dan Hui Koh. Oleh karena itu, walaupun berada di kanan kiri Goan Thong,
namun kedua paderi tua itu tak keburu memberi pertolongan.
Serbuan Han Ping itu segera mendapat sambutan hangat dari barisan paderi yang
tergabung dalam Lo-han-tin. Serentak pemuda itu dicecar dengan hujan pukulan deras
dari tiga penjuru.
Hui In memerintahkan kepada keempat paderi kecil itu supaya mengawal ketua mereka
keluar Lo-han-tin. Jangan sampai terlambat hingga tak dapat keluar. Habis itu ia ajak Hui
Koh masuk ke dalam Hui-sim-sian-wan, menjenguk keadaan Hui Gong.
Han Ping lepaskan dua buah pukulan untuk mengundurkan barisan paderi yang


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerangnya. Kemudian ia hendak merintangi Hui In dan Hui Koh. Tetapi belum sempat
ia bergerak, lapisan kedua dari barisan Lo-han-tin sudah menyerbunya. Pukulan yang
serempak dilontarkan oleh barisan itu, menimbulkan gelombang tenaga prahara.
Barisan Lo-han-tin atau barisan malaikat itu, terdiri dari beberapa lapis. Setiap lapis
mempunyai corak serangan sendiri-sendiri. Ada regu yang menyerang dengan pukulan,
ada yang bertempur dengan tenaga dalam. Hal itu untuk membingungkan lawan agar tak
mudah menduga. Karena sedikit lengah hamper saja Han Ping terancam bahaya. Buru-buru ia kerahkan
tenaga dan dorongkan kedua tangannya. Delapan paderi yang serempak menyerangnya
itu, berhasil dapat dibendung. Akibat dari adu pukulan itu, Han Ping agak terhuyung.
Tetapi kedelapan paderi itu mencelat ke belakang.
Tetapi secepat itu pula, lapisan ketiga sudah menyerangnya. Gaya serangan mereka
pun berbeda. Kedelapan paderi yang menjadi anggota regu ketiga itu menyerang dari
kanan dan kiri.
Han Ping kerutkan dahi. Dengan menggembor keras, ia siapkan kedua tangannya ke
kanan kiri. Sesaat dapat mengundurkan mereka, regu keempatpun sudah menyerang Han Ping.
Deras dan dahsyat.
Memang sejak keluar dari sanggar penjara, Han Ping telah dilanda gelombang serangan
yang tak putus-putusnya. Jangankan maju selangkah, sedang untuk bernapas saja
rasanya tak sempat lagi.
Setelah berturut-turut dapat mengundurkan 12 regu barisan paderi, diam-diam Han
Ping gugup juga. Pikirnya, "Jika terus menerus begini, entah sampai kapan serangan
mereka akan berhenti. Aku hanya seorang diri dan mereka merupakan rantai yang tak
putus-putus. Lama kelamaan tentu aku akan kehabisan tenaga. Daripada mati konyol,
baiklah kugunakan serangan kilat untuk menerjang keluar!"
Baru ia hendak melaksanakan rencananya itu, tiba-tiba terdengar dua buah suitan
nyaring dan barisan Lo-han-tin itu pun serentak berhenti serta mundur ke pos masingmasing.
Barisan Lo-han-tin keseluruhannya terdiri dari 108 paderi. Terbagi menjadi 12 regu.
Setiap regu beranggotakan 9 orang. Begitu berhenti bergerak, mereka lintangkan tangan
kanan kemuka dada. Garang dan rapi sekali.
"Ah, memang barisan Lo-han-tin itu tak bernama kosong maka dari itu Hui Gong
locianpwe sampai perlu khusus memberi pelajaran cara untuk menerobosnya," diam-diam
Han Ping menimang, "Menilik gerak-geriknya barisan ini memang mempunyai daya
ketahanan yang luar biasa kuatnya. Barang siapa menyerangnya tentu binasa. Tokoh sakti
yang manapun juga, tentu akan gentar apabila berhadapan dengan barisan Lo-han-tin"."
Saat itu suasana hening lelap. Rupanya barisan Lo-han-tin itu sedang menunggu
perintah. Dalam pada itu, sempatlah Han Ping untuk melanjutkan penimangannya,
"Walaupun Hui Gong locianpwe telah memberikan pelajaran cara untuk membobolkan Lohantin, tetapi mengapa sampai saat ini aku masih bingung" Apakah memang otakku yang
tumpul sehingga tak mengerti inti pelajarannya itu" Atau apakah memang barisan Lo-hantin
itu sudah mengalami perobahan-perobahan yang lain dari dulu?"
Tengah ia terbenam dalam larutan renungan, tiba-tiba terdengar nyanyian doa yang
menggemuruh berkumandang sampai jauh. Ke 108 paderi anggota barisan Lo-han-tin
itupun serempak ikut menyanyi.
Han Ping saat itu rasakan matanya berkunang-kunang. Tubuhnya serasa seperti
menderita suata tenaga tekanan yang tak tertampak. Ia merasa dirinya seolah-olah berada
dalam sebuah kisaran yang deras. Makin lama makin tenggelam"
Han Ping terkejut. Ia menyadari apa artinya gerakan ke 108 anggota barisan Lo-han-tin
yang tak henti-hentinya mengibas-ngibaskan lengan jubah mereka. Kiranya mereka
tengah melancarkan kebutan tenaga dalam ke arah dirinya. Buru-buru ia mengempos
semangat dan kerahkan lwekangnya untuk bertahan.
Tiba-tiba barisan Lo-han-tin itu melantangkan doa nyanyian yang nyaring lagi. Han Ping
tergetar hatinya dan menduga tentulah barisan itu akan bergerak pula.
Cepat ia mendapat pikiran. Tiba-tiba ia maju dua langkah dan siap hendak
menghantam lapisan barisan yang terpisah satu tombak disebelah muka.
Cepat sekali ia bergerak. Baru musuh memperhatikan dia bergerak maju dua langkah
atau dia sudah menyurut kembali ketempatnya semula. Dan pancingan itu ternyata
berhasil. Ternyata benar seperti yang diduga. Dari belakang, melanda serangkum
gelombang tenaga dahsyat.
Han Ping cepat berputar tubuh sambil dorongkan kedua tangannya ke muka. Tetapi
alangkah kejutnya ketika mendapatkan bahwa tiada seorang paderi pun yang maju
menyerang dari belakang. Yang ada hanya sebuah regu terdiri dari 9 orang paderi,
masing-masing tengah mendorongkan tangan kanan.
Plak" terdengar letupan ketika tenaga yang dipancarkan dari dorongan sepasang
tangan Han Ping itu beradu dengan dorongan tangan kanan ke 9 paderi.
Secepat kilat, Han Ping menarik mundur sebelah tangannya untuk dihantamkan ke
samping kanan dan berbareng dengan itu siku lengan kirinya mengendap kebawah lalu
dibenturkan kebelakang!
Tetapi gerakan menyikut kebelakang itu hanya gertakan kosong. Namun karena
sekarang lwekang nya maju hebat, gerakan siku lengan itu mampu memantulkan tenaga
dahsyat yang dapat membendung angin pukulan musuh dibelakang.
Beberapa sosok tubuh berlincahan silih berganti. Regu barisan dimuka beralih, diganti
oleh regu dibelakang. Mereka bergerak secara selapis demi selapis.
Melihat suasana pertempuran macam itu, tersadarlah Han Ping, "Celaka, mengapa aku
tetap terpancing dalam adu lwekang begini" Bukankah cara ini akan memeras habis
tenagaku" Sekalipun Lo-han-tin itu ketat dan sekokoh baja, namun harus kuterjang. Kalau
toh mati, biarlah aku mati secara ksatria?"
Setelah melakukan beberapa gerakan untuk menahan serangan musuh, sekonyongkonyong
Han Ping melambung ke udara. Uh" ia terkejut sendiri ketika mendapatkan
dirinya dapat melayang sampai tiga tombak tingginya. Suatu hal yang belum mampu ia
lakukan sebelum bertemu dengan Hui Gong.
Selagi masih melayang, ia mencuri lirik . Dilihatnya didepan dan samping pintu sanggar,
penuh dengan beberapa paderi tua. Goan Thong taysu pun berada disitu. Tampak ketua
Siau-lim-si itu mengikuti jalannya pertempuran dengan cemas.
Terjangan Han Ping dapat mengacaukan Lo-han-tin. Tetapi dengan cepat mereka dapat
menutup lubang itu dan berjajar merapat, membentuk suatu tembok manusia. Ada suatu
hal yang aneh dalam pandangan Han Ping. Yakni barisan paderi itu sama pejamkan mata.
Wajah mengerut serius, bibir bergetar-getar seperti tengah mengucap doa.
Ketika Han Ping meluncur kebumi, dia tak mendapat sambutan apa-apa. Suasana
hening lelap. Diam-diam iapun pusatkan pikiran untuk merenungkan pelajaran terakhir
dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Sesaat ia teringat akan pelajaran yang menerangkan
tentang cara untuk menghadapi musuh yang diam. Ketenangan harus dihadapi dengan
ketenangan juga.
Semangatnya timbul pula. Tetapi pada saat hendak loncat lagi, tiba-tiba kawanan
paderi itu serempak melantangkan doa dan dari 4 penjuru mereka serempak menyerang
Han Ping. Han Ping kerahkan lwekang lalu menghantam mereka. Regu paderi yang semula saling
bercekalan tangan itu, cepat cepat lepaskan tangannya dan mengendap ke bawah.
Gerakan itu dilakukan dengan cepat dan serempak, sehingga angin pukulan Han Ping tak
mengenai mereka melainkan menyambar diatas kepala paderi-paderi itu. Angin langsung
melanda ke regu kedua yang berada dibelakang.
Regu itupun serempak merapat ketengah lalu serempak menangkis pukulan pemuda
itu. Suatu cara bertempur yang baru. Ketika perhatian Han Ping terpikat oleh cara baru itu,
tiba-tiba regu barisan kesatu tadi menyelinap kesamping dan menyerang pemuda itu lagi.
Dengan mengembor keras, Han Ping siakkan kedua tangannya seraya loncat ke udara.
Uh" tiba-tiba ia mendengus kaget ketika kedua kakinya dicengkram orang.
Ternyata yang mencengkram itu adalah dua orang paderi yang menyerang dari
belakang. Ketika Han Ping pusatkan perhatian melayani musuh dimuka, ia tak menyangka
kalau kedua paderi itu loncat menyergapnya dari belakang.
Dalam keadaan seperti saat itu, Han Ping terpaksa harus bertindak. Jika tak melukai
musuh, tentu dirinya sendiri yang akan celaka. Cepat ia gunakan ilmu Kin-na-jiu untuk
mencengkram bahu kedua paderi itu.
Jurus yang digunakannya itu termasuk jurus yang paling lihay dari Kin-na-jiu atau ilmu
menangkap dengan tangan kosong, ajaran Hui Gong siansu.
Sesungguhnya ia sudah paham akan uraian lisan yang diberikan Hui Gong itu. Tetapi
baru pertama itu menggunakannya. Sekali menyambar, ia dapat mencengkram bahu
kedua paderi itu lalu kakinya mendepak kedua paderi yang mencengkram kakinya itu.
Sebenarnya jika mau, ia dapat mendepak remuk kedua paderi itu. Tetapi ia masih ingat
akan paderi yang telah memberi kesaktian kepadanya. Hui Gong adalah tokoh Siau-lim-si,
ia harus ingat budi kepada gurunya itu dan sumber partainya.
Pertimbangan itu melintas cepat sekali pada benaknya. Tiba-tiba terdengar kedua
paderi yang mencekal kakinya itu mengerang tertahan lalu terpelanting kebelakang.
Serempak dengan itu, dua paderi nyelonong maju dan dapat menghantam tubuh Han
Ping. Duk, Han Ping terpental sampai beberapa langkah. Tetapi cepat-cepat ia dapat
berdiri tegak tak kurang suatu apa.
Kedua paderi itu terbeliak kaget. Ternyata karena terburu oleh nafsu kedua paderi itu
telah meninggalkan formasi barisan. Dan pukulan mereka tak mengenai jalan darah yang
berbahaya. Han Ping menggembor keras seraya berputar menerjang ke barisan musuh.
"Lekas mundur!" seru kepala regu barisan yang berada dibelakang Han Ping. Serempak
regu itu menghantam.
"Hm, kalian terlambat!" kata Han Ping dalam hati. Segera ia keluarkan ilmu Kin-na-jiu
yang terdiri dari 12 jurus. Cepat sekali ia sudah berhasil mencengkram jalan darah empat
orang paderi. Keempat paderi itu tak dapat berkutik lagi.
Han Ping mendapat akal. Menyambar tubuh salah seorang dari keempat paderi yang
kena ditutuknya itu, ia lemparkan kearah barisan yang paling dekat dari tempatnya. Habis
melontar, ia menyambar seorang lagi dan dilemparkan ke arah regu sebelah kiri. Mereka
kacau. Pemimpin regu itu cepat memberi perintah tetapi anak buahnya agak enggan.
Mereka menyadari bahwa yang dilemparkan itu adalah kawan sendiri. Jika menghantam
keras, paderi itu tentu akan remuk. Namun untuk tidak semata-mata membangkang
perintah pemimpinnya, mereka pun ayunkan tangan juga. Hanya saja, pukulan mereka
menggunakan tiga bagian tenaga.
Uh" akibatnya ke 9 paderi itu terdampar mundur setengah langkah.
Pengalaman itu menjadi pelajaran bagi barisan paderi yang lain. Ketika Han Ping
melempar seorang paderi lagi, regu yang dilempari itu menyongsong dengan tenaga
penuh" Melihat itu Hui In tak dapat tinggal diam lagi, "Terpaksa aku harus maju"," katanya.
Menderita lemparan manusia, barisan didepan dan disebelah menjadi kacau. Kekacauan
itu disebabkan karena Han Ping melempar lebih keras dan habis melempar ia menyelinap
maju menghantam lagi.
Dari 9 anggota regu, yang 4 orang menyambuti lemparan manusia tadi. Dan yang 5
menangkis serangan Han Ping. Lemparan Han Ping menggunakan tenaga kuat. Keempat
anak buah barisan itu tak kuat menahan dan rubuh terlentang.
Han Ping hendak menggunakan siasat seperti tadi. Menutuk, menyambar dan
melempar paderi itu ke lain barisan. Tetapi baru ia hendak ulurkan tangan tiba-tiba
terdengar suara orang melantang doa Omitohud yang keras sekali. Menyusul serangkum
angin kuat melandanya.
Han Ping siap-siap. Ia gunakan ilmu Kin-na-jiu ajaran Hui Gong siansu lagi. Ternyata
yang menyerang itu adalah Hui In siansu sendiri. Dia tahu sumber ilmu silat yang
digunakan Han Ping itu. Buru-buru ia tarik pulang tangannya tetapi tulang lengannya
tertampar oleh ujung jari Han Ping.
Sekalipun hanya dengan ujung jari namun karena dilambari oleh tenaga dalam warisan
Hui Gong mau tak mau tokoh paderi tua Hui In itu agak tergetar tubuhnya. Diam-diam ia
terperanjat melihat kesaktian pemuda itu.
Kini ia tak berani memandang rendah lagi. Cepat ia salurkan lwekang ke arah kedua
tangannya untuk siap dilancarkan.
"Apakah engkau benar-benar hendak menghancurkan Siau-lim-si dulu baru mau pergi?"
tegur Hui In. Han Ping terkejut dan buru-buru menyahut, "Ah, masakan murid berani?"
Tiba-tiba Hui In menggerung keras . Kedua tangan nya mendorong. Han Ping terkejut
dan buru-buru menyongsong. Bum" terdengar letupan keras dan keduanya masingmasing
mundur selangkah.
Paderi tua itu mengempos semangat. Terdengar tulang-tulang lengannya berkeretan.
Han Ping cepat mendahului menyerang ke dada. Hui In mundur setengah langkah untuk
mengurangi tekanan lawan, kemudian baru balas menghantam.
Dua pukulan saling beradu, menimbulkan letupan keras. Han Ping tiba-tiba
menggembor dan melambung ke udara terus melayang kesebelah kanan dari sanggar
penjara. Saat itu barisan Lo-han-tin sudah menyusun formasinya lagi. Beberapa paderi yang
ditutuk jalan darahnya dan dilemparkan oleh Han Ping, saat itu sudah diberi pertolongan.
Mereka sudah dapat masuk dalam barisan lagi. Begitu melihat Han Ping melayang di
udara, buru-buru barisan Lo-han-tin itupun bergerak memindah posisi.
Tetapi ternyata Han Ping melayang kedalam hutan bambu yang terletak disebelah
kanan sanggar penjara itu. Walaupun mereka dapat mengejar kedalam hutan, tetapi tak
mungkin membentuk barisan Lo-han-tin lagi.
"Sungguh cerdik sekali anak itu. Tak kecewa kuberinya petunjuk"." diam-diam Hui In
siansu memuji. Ia menghampiri ketua Siau-lim-si dan berseru nyaring, "Harap Ciangbujin memberi
petunjuk. Apakah perlu mengirim beberapa jago sakti untuk mengejarnya" Jelas anak itu
sudah terluka parah!"
Goan Thong taysu tertegun. Segera ia hujamkan Tongkat Kumala Hijau ketanah,
serunya, "Tak usahlah! Biarkan dia pergi?"
Bukan melainkan ketua itu saja, pun sekalian anak murid Siau-lim-si tampak rawan
semangatnya. Barisan Lo-han-tin yang tiada tandingannya di dunia ternyata dibobolkan
oleh seorang pemuda tak dikenal"
Sementara Han Ping begitu melayang turun ke tanah, terus melambung lagi ke udara,
melayang keatas pagar tembok. Berpaling kebelakang, tampak barisan Lo-han-tin masih
tegak dalam formasinya. Garang dan rapi, sedikitpun tak mengunjukkan keadaan kacau.
Teringat akan pertempuran yang dialaminya beberapa detik berselang, diam-diam
menggigillah perasaan Han Ping. Jika tiada dibantu Hui In dengan sebuah pukulan, Han
Ping tak yakin kalau dirinya mampu menerobos kepungan barisan itu.
Diam-diam ia kerahkan peredaran darahnya. Jalan darah di seluruh tubuhnya terasa
lancar. Kini ia baru yakin bahwa dirinya tak menderita suatu luka apapun.
Sesungguhnya karena sudah mendapat penyaluran lwekang dari Hui Gong, sekalipun
Hui In memukulnya dengan sepenuh tenaga, iapun masih dapat bertahan diri. Tetapi
maklumlah. Perobahan besar pada dirinya itu berlangsung dalam waktu yang sangat
singkat sekali sehingga ia sendiri hampir tak percaya.
Setelah tertegun beberapa saat, barulah ia melayang turun keluar pagar tembok kuil.
Dan karena Goan Thong melarang, maka tiada seorang paderi Siau-lim-si yang
mengejarnya. Selama dalam perjalanan keluar dari lingkungan Siau-lim-si itu, memang ia masih
mendapat. Memang saat itu kepandaiaan yang dimilikinya dapat digolongkan setaraf dengan jago
kelas satu. Sekalipun paderi angkatan Hui dari Siau-lim-si belum tentu dapat
merintanginya. Sayang ia sendiri tak menyadari akan hal itu.
Setelah beberapa lama berlari, tiba-tiba ia teringat bahwa selama tiga hari tiga malam
ini, ia belum makan apa-apa. Kini perutnya terasa merintih-rintih minta diisi.
Tiba-tiba dihadapannya menjulang sebuah puncak yang tinggi. Jalan terbelah menjadi
dua simpang. Yang sebelah kiri menuju ke sebuah lembah. Yang sebelah kanan menjurus
kesebuah hutan. Karena tak faham jalanan disitu, ia mengambil jalan yang sebelah kanan
dan tiba disebuah hutan.
Pikirnya didalam hutan ia tentu akan dapat mencari buah-buahan untuk pengisi perut.
Siapa tahu, walaupun sudah menyusup sampai ratusan tombak kebagian dalam hutan itu,
tetap ia tak berhasil menemukan pohon buah-buahan. Karena bingung, ia pesatkan
larinya. Hutan itu seluas 4-5 li. Disamping kanan dan kirinya, berdinding batu karang yang
menjulang tinggi. Penuh ditumbuhi semak rumput setinggi lutut. Ia terpaksa tak dapat
menggunakan ilmu lari. Maka sepenanak nasi lamanya baru ia dapat melintasi hutan itu.
Kini ia berhadapan dengan sebuah mulut gunung dan mulailah ia lari lagi sekencangkencangnya.
Tengah ia berlari tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah suara nyaring, "Omitohud!"
Dari balik sebatang pohon besar, muncullah seorang paderi tua yang bertubuh kurus,
alisnya putih memanjang ke mata. Dia tegak berdiri dengan rangkapkan kedua tangannya
kedada. Ah, kiranya paderi tua Hui In siansu.
Han Ping hentikan larinya dan menjura memberi hormat, "Jika locianpwe tak memberi
bantuan, tak mungkin aku dapat menerobos keluar dari barisan Lo-han-tin yang
termahsyur itu?"
Hui In menghela napas dalam. Pada seri wajahnya yang angker, memantul kerut
kedukaan. Ujarnya, "Engkau beruntung telah mendapat ilmu kesaktian Siau-lim-si.
Misalnya ilmu Kin-na-jiu yang terdiri dari 12 jurus itu, sudah cukup menggetarkan
hatiku?" Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan berkata, "Sebenarnya aku hendak pinjam
tenagamu untuk membebaskan suhengku dari penderitaan 60 tahun didalam sanggar Huisimsian-wan itu. Ah, siapa tahu, hal itu kebalikannya malah seperti mempercepat
kepergiannya kealam kelanggengan."
Wajah Han Ping berobah seketika. Airmatanya berlinang-linang. Sambil kepalkan
tinjunya kiri ia berseru tandas, "Budi Hui Gong locianpwe lebih besar dari gunung Thaysan.
Aku harus membalaskan sakit hatinya!"
Hui In menghela napas pula tegurnya, "Siapakah yang hendak engkau cari itu?"


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dirangsang oleh rasa kedukaannya tanpa banyak pikir lagi Han Ping menyahut, "Ketua
Siau-lim-si yang sekarang, Goan Thong taysu!"
"Ah, jika menurut pertimbangan kedosaannya, seharusnya engkau mencari aku!"
"Losuhu bertujuan hendak menolong orang, mana aku berani mempersalahkan losuhu!"
seru Han Ping. Hui In tertawa hambar, ujarnya, "Sebab dan Akibat merupakan Hukum Karma yang tak
dapat dipaksa dan dirobah. Hui Gong suheng, seorang yang berbakat gemilang. Sepak
terjangnya memang sukar dinilai menurut pertimbangan orang biasa. Enam puluh tahun
yang lalu, dia merupakan tokoh yang paling menonjol dari Siau-lim-si. Bahkan beberapa
tokoh yang tergolong angkatan tua dalam kuil Siau-lim-si, juga kalah sakti. Suhu makin
sayang sekali kepadanya. Tak nanti suhu mempunyai maksud untuk memenjarakan
seumur hidup. Sayang karena suhu cepat meninggal dunia, maka Surat Keputusan
hukuman yang dibuatnya itu masih melekat terus pada sanggar penjara. Akupun merasa
curiga atas Surat Keputusan itu. Tetapi karena kekuasan seorang ketua itu besar dan
mutlak, apalagi yang menjabat ketua kuil yang ke31 itu adalah suhengku yang nomor dua,
sebelum mendapat bukti-bukti yang jelas, aku tak berani mengutak-atik Surat Keputusan
itu "."
Paderi tua itu berhenti dan tundukkan kepala merenung beberapa saat. Kemudian
berkata lagi, "Ah, tetapi hal ini merupakan persoalan kuil Siau-lim-si. Jika engkau tak
menerima suatu pesan apa-apa dari toa suheng, baiklah kita jangan membicarakan hal itu
lagi!" "Walaupun tidak memberi pesan apa-apa, tetapi budi Hui Gong locianpwe itu sebesar
lautan. Selekas kuberhasil meyakinkan ilmu pelajaran dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng,
urusan itu tentu akan kuungkap sampai terang!" kata Han Ping.
Hui In kerutkan alis, "Urusan itu menyangkut nama baik kuil Siau-lim-si di dunia
persilatan. Jangan engkau bertindak sembarangan. Saat ini aku hendak tinggalkan kuil
mengembara keseluruh penjuru dunia. Dalam dunia yang begini luas, mungkin kita takkan
berjumpa lagi. Maka sengaja kuperlukan mengejarmu sampai ditempat ini agar dapat
bertemu muka sekali lagi"
Han Ping terkesiap. Ia percaya paderi tua itu tentu hendak menanyakan sesuatu hal
yang penting. Ia segera mempersilahkannya.
Hui In tertawa, "Benar, memang aku hendak bertanya kepadamu. Tetapi tempat ini
bukan tempat bicara yang tepat, mari ikut aku!"
Ia berputar tubuh ayunkan langkah kemuka. Han Ping pun mengikutinya. Kira-kira satu
li jauhnya, mereka tiba disebuah lembah gunung yang sepi. Diatas sebuah batu marmer,
tampak senampan kue bakpao. Hui Kok siansu tegak disamping batu itu.
Menunjuk makanan diatas marmer hijau, Hui In mempersilahkannya. Karena lapar, Han
Ping pun tak sungkan lagi. Dalam beberapa kejab, bakpao pun sudah disapunya bersih.
Hui In memandang Hui Koh, tanyanya, "Apakah sute tahu pedang itu berada ditangan
suheng?" Hui Koh mengangguk, "Enam puluh tahun yang lalu kulihat sendiri toa-suheng bermainmain
diatas puncak Sau-si-hong dengan membawa pedang itu. Tiga bulan kemudian dia
dijebloskan kedalam Hui-sim-sian-wan. Pedang itu masih berada pada suheng!"
Hui In berpaling kearah Han Ping, "Engkau dengar sendiri betapa pentingnya pedang
pendek itu. Jika berada padamu, aku hendak pinjam lihat!"
Han Ping tertegun tak dapat menjawab.
Hui In menghela napas tertahan, "Bukan hendak menakut-nakuti tetapi jika pedang itu
benar berada padamu, bagimu tiada gunanya malah mendatangkan bahaya besar."
"Benar, memang setiap pusaka tentu menimbulkan bahaya. Jika tak mendengar
nasehat kami, dikuatirkan bahaya itu segera menimpa!"
Han Ping pemuda yang masih berdarah panas. Jika kedua paderi itu mengatakan
hendak melihat pedang pusaka itu, tentu ia tak keberatan. Tetapi karena Hui In " Hui Koh
melakukan tekanan, Han Ping penasaran.
"Terima kasih atas perhatian berdua losuhu kepadaku. Benar, memang Hui Gong
locianpwe telah menghadiahkan sebatang pedang pendek kepadaku. Beliau pesan wantiwanti,
selain digunakan untuk membalas sakit hati, tak boleh sembarangan diperlihatkan
orang. Tentang riwayat pedang itu, aku tak tahu. Jika losuhu sudi menceritakan, aku
senang sekali mendengarkan!"
Han Ping tahu bahwa kedua paderi itu mempunyai maksud hendak merebut pedang
pusaka. Tetapi dengan cerdik ia mengelak.
Hui Koh mengerut marah. Tetapi pada lain saat wajahnya tenang kembali. Katanya
dengan wajah membesi, "Karena mendapat pelajaran dari toa suheng, engkaupun
tergolong anakmurid Siau-lim-si. Sikap yang engkau unjuk terhadap angkatan yang lebih
tua, merupakan suatu pelanggaran besar dalam peraturan Siau-lim-si!"
"Hui Gong locianpwe tak mau aku mengakui aku sebagai muridnya. Karenanya aku
bebas dari ikatan peraturan Siau-lim-si!"
Hui Koh marah sekali.
"Jika bukan murid Siau-lim-si, bagaimana toa suheng mau memberikan ilmu
kepandaiannya kepadamu!" bentaknya.
Wajah Hui Koh membara merah"
Jilid 3 Hui Gong Thaysu, mewariskan ke Han Ping
Bagian 5 Rawe-rawe rantas
Selintas teringatlah Han Ping akan pesan almarhum Hui Gong siansu. Bahwa dia jangan
mengaku guru kepadanya. Hal itu kiranya mempunyai persoalan.
"Hui Gong locianpwe memberi pelajaran kepadaku itu karena kalah bertaruh.
Demikianpun dengan penyerahan pedang pusaka itu, juga karena kalah bertaruh!"
katanya dengan tertawa.
Sejenak Hui In berpaling kepada Hui Koh, ujarnya, "Memang seorang berbakat
cemerlang seperti toa suheng, sukar kita ukur dengan penilaian biasa!"
"Pedang pendak itu amat penting sekali. Apakah begini saja kita lepas tangan?" kata
Hui Koh. Agak mengkal Hui In menjawab , "Betapa besar budi toa suheng dulu kepada kita. Jika
engkau mempunyai hati hendak merampas pedang itu, ah, sungguh kurang pantas!"
Tersipu-sipu Hui Koh tundukkan kepala, "Setitikpun aku tak mempunyai pikiran
demikian. Tetapi sekarang toa suheng sudah meninggal, sudah tentu kita tak dapat
melihat pedang itu dibawa orang!"
"Sudah tentu toa suheng telah mempertimbangkan tindakannya memberi pedang itu
kepadanya. Karena anak itu bukan dari merampas, jika kita"." tiba-tiba Hui In berhenti
sejenak lalu berpaling kearah Han Ping, "Rupanya engkau mempunyai rezeki besar telah
mendapat warisan ilmu kesaktian Siau-lim-si. Walaupun hanya tiga hari tiga malam berada
dalam sanggar Hui-sim-sian-wan, tetapi kemungkinan engkau telah memiliki ilmu lwekang
melebihi dari orang yang meyakinkan lwekang selama 30 tahun. Jika tak salah, kecuali
memberikan seluruh kepandaiannya kepadamu, toa suhengpun tentu gunakan ilmu Guitingtay-hwat untuk menyalurkan tenaga murni kepadamu. Kuharap engkau sungguhsungguh
meyakinkannya dengan giat dan mempergunakannya dengan tepat sesuai pesan
dan harapan toa suheng!"
Habis berkata Hui In terus berputar tubuh dan mengajak sutenya pergi. Han Ping tak
sempat bicara lagi.
Setelah kedua paderi tua itu lenyap dari pandangan, barulah Han Ping melanjutkan
perjalanan menuruni gunung. Menjelang petang hari ia tiba disebuah kota.
la mencari sebuah rumah penginapan. Setelah makan malam, tiba-tiba ia teringat akan
pedang pusaka itu. Timbullah keinginannya untuk memeriksa lebih lanjut. Buru-buru pintu
dan jendela dikancing rapat lalu mengeluarkan pedang itu.
Dibawah sinar lilin, tampak sarung kerangka pedang yang terbuat dari pada tembaga
kuno itu terdapat banyak gurat-guratan. Mirip ukir-ukiran bunga bukan bunga, tulisan
bukan tulisan. Sampai setengah malam ia memperhatikan gurat-guratan itu, tetapi belum
dapat mengetahui artinya.
Kemudian ia melolos batang pedangnya. Terasa hawa dingin membaur sehingga sinar
lilinpun agak meredup. Dan ketika digerakkan, pedang itu memancarkan sinar kemilau
sehingga sinar lilin berobah seperti kuning emas.
Memang pernah ia mendengar cerita orang tentang pedang pusaka seperti pedang
Kan-ciang, pedang Bok-sia dan lain-lain yang dapat memapas logam seperti memapas
tanah liat. Tetapi sesungguhnya ia tak percaya. Maka terkejutlah ketika mendapatkan
bahwa pedang yang dicekalnya itu memancarkan sinar yang sedemikian dahsyatnya.
Kemudian timbullah keinginannya untuk mencoba. Diambilnya sebuah cangkir porselen
dan dipapasnya.
Cres". cangkir itu tetap utuh. Han Ping terkesiap. Ketika memeriksa dengan seksama
ternyata dibagian tengah cangkir itu terdapat sebuah guratan halus. Amboi". ternyata
cangkir itu sudah terbelah menjadi dua. Adalah karena pedang itu kelewat tajam maka
cangkir tak sempat membiak pecah.
Han Ping benar-benar terperanjat. Terlintas dalam benaknya bagaimana sikap Hui Gong
siansu ketika menyerahkan pedang itu kepadanya. Tegang dan serius sekali.
Peristiwa yang dialami selama beberapa hari ini, melalang dibenaknya. Pertemuannya
dengan paderi sakti Hui Gong, benar-benar meninggalkan kesan yang takkan dilupa
seumur hidup. Kesan yang lebih banyak mengandung kerawanan hati".
Tiba-tiba seperti terngiang lagi ucapan Hui Gong kepadanya, "pedang ini walaupun
tajamnya dapat membelah segala macam logam, tetapi sarung pedang dari tembaga ini,
jauh lebih hebat dari pedangnya".."
Serentak ia tersadar dari lamunan, "Hui Gong taysu tentu tak bohong. Sarung pedang
itu tentu mengandung rahasia besar!"
Dimasukkannya pedang itu kedalam sarungnya. Kemudian diperiksanya sarung pedang
tembaga itu dengan teliti.
Setelah meneliti beberapa jenak, akhirnya ia menemukan gurat-gurat seperti jaring
laba-laba itu agaknya mirip dengan sebuah peta. Peta dari sebuah puncak gunung.
Disekeliling puncak itu terdapat titik-titik yang tak teratur. Rupanya merupakan tanda dari
sesuatu atau semacam huruf.
Han Ping makin tertarik. Dibersihkannya dengan lengan baju dan diperiksanya pula
dengan cermat. Berkat ketajaman matanya, dapatlah ia lebih meneliti. Temyata guratgurat
pada sarung pedang itu, memang merupakan sebuah peta. Tetapi apa arti peta itu,
ia tak tahu. "Jika engkau mengizinkan aku sitetamu tak diundang ini masuk, tentu akan
kuberitahukan rahasia itu".!" tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah suara bernada sarat dari
luar jendela. Han Ping tak asing lagi dengan suara itu. Cepat ia menyimpan pedang pusaka lalu
membuka pintu. Tampak Hui In taysu tegak diluar pintu, mata setengah mangtup, muiut
menyungging senyuman.
Han Ping memberi hormat, "Memang kuperlukan petunjuk-petunjuk losuhu?"
Hui In tertawa, "Engkau masih muda tetapi cerdas sekali. Semula aku tak menduga
bahwa suteku Hui Koh itu mempunyai pikiran hendak merebut pedang itu. Syukur engkau
tak mengeluarkan pedang itu."
Merasa bahwa dalam peristiwa tadi, ia berlaku kurang hormat, Han Ping minta maaf.
Hui In menghela napas, ujarnya, "Sejak suhu menutup mata, sebagian besar
kuhabiskan waktuku untuk mengembara keluar. Sudah lama tak bergaul dengan Hui Koh
sute. Memang tak kukira bahwa dalam usia yang sudah begitu tua, dia masih mempunyai
hati temaha!" Hui lnpun melangkah masuk ke dalam kamar.
Setelah mempersilahkan paderi itu duduk, Han Ping mengunci pula pintu lalu
mengeluarkan pedang pusaka dan diangsurkan kehadapan Hui In.
"Pada waktu memberikan pedang ini, Hui Gong locianpwe mengatakan bahwa sekalipun
pedang ini sebuah pedang pusaka yang luar biasa, tetapi sarung pedangnya jauh lebih
hebat. Dan beliau pesan wanti-wanti agar jangan sembarangan memperlihatkan pedang
ini kepada orang. Kemudian Hui Gong locianpwe menerangkan pula bahwa pedang ini
mengandung rahasia dari sebuah pembunuhan ganas yang menggemparkan dunia
persilatan. Kecuali digunakan untuk membalas sakit hati, tak boleh sembarangan
kugunakan. Karena saat itu temponya amat mendesak sekali, maka tak sempat lagi
kutanyakan keterangan mendalam kepada Hui Gong locianpwe. Maka mohon losuhu suka
memberi petunjuk segala sesuatu mengenai rahasia pedang pusaka ini!" kata Han Ping.
Hui In melolos pedang pendak itu dan ditaburkan. Seketika terasa hawa dingin yang
meremang kebulu roma . "Hebat, hebat, sungguh tak mengecewakan kemashyurannya"."
"Tetapi sayang pedang itu agak pendak dari pedang biasa," Han Ping menyambuti.
Hui In memasukkan kembali pedang itu kesarungnya, "Setelah mendapat ilmu warisan
dari toa suheng dan memiliki pedang pusaka semacam ini, kelak engkau pasti akan
menjagoi dunia persilatan. Eh, jangan meremehkan. Sekalipun pendak tetapi
ketajamannya tak kalah dengan pedang pusaka Kan-ciang, Bok-sia dan lain-lain.
Gunakanlah pedang sebaik-baiknya untuk menjalankan amal perbuatan yang luhur
sehingga tak mengecewakan harapan toa suheng!"
Tergetar hati Han Ping mendengar tugas yang terletak dibahunya, "Sungguh baru saat
ini kusadari tentang rendahnya kepandaianku dan beratnya harapan mendiang Hui Gong
locianpwe. Jika losuhu sudi menerima, dengan rela hati akan kuserahkan pedang pusaka
ini"."
Hui In menggeleng, "Umurku tinggal tak berapa lama, perlu apa pedang itu bagiku.
Simpanlah pedang ini!" " Ia serahkan kembali pedang pusaka itu kepada Han Ping.
Tiba-tiba paderi itu menghela napas, "Apakah ketika menyerahkan, mendiang toa
suheng tak menerangkan soal itu?"
"Memang benar. Hui Gong taysu tak mengatakan apa-apa dan aku pun tak berani
bertanya," jawab Han Ping.
Tiba-tiba wajah paderi itu mengerut serius, ujarnya, "Selain berilmu silat tinggi dan
cerdas, juga toa suheng itu mengerti tentang ilmu meramal. Bahwa dia tak mengatakan
suatu apa tentang itu kepadamu, tentulah ada maksudnya. Sesungguhnya aku tak berani
banyak mulut. Tetapi karena pedang itu memang mempunyai hubungan penting sekali,
mau tak mau aku harus memberitahukan kepadamu. Tujuh puluh tahun yang lalu, pedang
pusaka ini sebenarnya menjadi milik dari seorang pendekar wanita yang termahsyur sakti
dan cantik jelita. Tetapi sampai dimana kecantikannya itu, sayang aku belum pernah
melihatnya sendiri. Hanya menurut cerita orang, jika dia tertawa, orang tentu akan runtuh
imannya. Lawan yang sedang berhadapan, tentu rela membuang senjatanya dan
menyerah. Sayang dibalik kecantikannya yang gilang gemilang itu, sikapnya dingin sekali.
Setiap musuh yang membuang senjata dan berlutut menyerah dibawah ujung pakaiannya,
ia tentu menggunakan ujung pedang pusaka ini untuk menusuk dada orang itu dengan
perlahan-lahan"."
"Apa" Apakah orang itu mandah saja dadanya ditusuk dan tak mau melawan sama
sekali?" seru Han Ping.
"Kabar-kabar itu memang sukar dipercaya. Tetapi ada asap tentu ada api. Dan cerita
orangpun hampir sama saja. Hal itulah yang membuat orang cenderung untuk percaya!"
Walaupun tak membantah tapi diam-diam Han Ping tak percaya didunia terdapat
peristiwa semacam itu. "Betapapun cantik laksana bidadaii tapi tak mungkin sekali
bertemu, orang terus menyerah dan rela dibunuhnya"." katanya dalam hati.
Rupanya Hui In seperti dapat membaca kesangsian hati anak muda itu. Ia tertawa
hambar, lalu melanjutkan ceritanya pula.
"Kabar-kabar itu telah tersiar luas didunia persilatan selama berpuluh-puluh tahun. Baru
belasan tahun terakhlr ini, kabar itu mulai lenyap. Menurut cerita orang, selama ini entah
sudah berapa ratus jago-jago persilatan yang mati dibawah ujung pedang wanita cantik
itu. Diantaranya terdapat banyak tokoh-tokoh yang ternama. Memang kemungkinan berita
itu terlalu dibesar-besarkan tetapi tentu juga bukan isapan jempol"." " ia berhenti
sejenak, menghela napas dan berkata pula, "Jika engkau tahu nama pedang itu, tentu
baru mempercayai akan berita-berita itu!"
Diam-diam Han Ping mau percaya juga. Hui In seorang paderi tua, tentulah tak omong
sembarangan. Katanya, "Masakan aku berani tak mempercayai ucapan losuhu?"
"Banyak korban berjatuhan dibawah ujung pedang wanita cantik itu sehingga dunia
persilatan menjuluki pedang itu dengan nama Pedang Pemutus Asmara. Ada pula yang
mengatakan Pedang Pelenyap Asmara. Julukan itu berarti, apabila bertemu dangan
pedang itu, jangan sekali-kali terpikat hati. Begitu hati tergerak, tentu akan mati. Nama itu
makin lama makin terkenal sehingga orang tak tahu apakah nama yang asli dari pedang
itu semula."
Mata Han Ping yang tajam, mengikuti dengan tajam mimik perubahan wajah paderi itu.
Ia tersenyum, "Menilik pedang ini luar biasa tajamnya, tentulah setiap orang ingin
memilikinya. Tetapi Hui Gang locianpwe menandaskan padaku, bahwa sarung
kerangkanya jauh lebih berharga dari pedangnya. Kiranya losuhu tentu mengetahui akan
hal itu". Hui In gelengkan kepala, "Toa suheng Hui Gong, cerdas luar biasa. Mana aku mampu
mengetahui jalan pikirannya?"
"Kalau begitu, losuhu juga tak tahu?" Han Ping menegas.
Sejenak Hui In merenung, katanya, "Jika toa suheng mengatakan sarung pedang itu
jauh lebih berharga dari pedangnya, tentu tak mungkin salah. Tetapi bagaimana nilainya,
aku tak berani sembarangan menduga-duga. Hanya yang jelas, pedang pusaka ini
memang penuh berlumuran darah manusia. Dan sejauh pengetahuanku, dewasa ini masih
banyak tokoh-tokoh persilatan yang berkeliaran keseluruh penjuru dunia untuk mencari
pedang pusaka ini. Bahwa engkau ternyata yang diserahi menjaga pedang ini oleh toa
suheng, benar-benar suatu tugas kewajiban yang maha berat. Munculnya pedang pusaka
ini dari penjagaan ketat seorang tokoh sakti seperti toa suheng, pasti akan menimbulkan
kegemparan didunia persilatan. Dapat dipastikan bahwa suasana diluar tentu akan
bargolak-golak?"
"Walaupun pedang ini telah membunuh banyak jiwa manusia, tetapi sesungguhnya
tergantung pada pemakainya. Entah bagaimanakah hubungan antara pedang dan
orangnya itu?"
"Pedang Pemutus Asmara, sekalipun bukan biang keladi dari sekian banyak
pembunuhan, tetapi merupakan kunci dari sekian banyak pembunuhan yang ganas.
Kabarnya semula pedang itu milik seorang pendekar aneh dari daerah Hun-lam yang
menamakan dirinya sebagai Hong Tim koayhiap (pendekar Atas Angin). Entah bagaimana
kemudian jatuh ditangan wanita cantik itu. Setelah wanita cantik itu lenyap, pedang itu
jatuh ditangan seorang wanita yang luar biasa jeleknya. Wanita jelek ini setingkat lebih


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggi kepandaiannya dari wanita cantik itu. Tetapi akhirnya wanita jelek itupun menjadi
momok yang lebih ganas. Korban yang mati dibunuhnya hampir mencapai seribu orang.
Tiap hari tentu terjadi sebuah pembunuhan sehingga seluruh penduduk Kanglam-Kangpak,
tak dapat tidur nyenyak setiap malam"."
Hui In berhenti sejenak, lalu berkata pula, "Pada hakekatnya, pedang ini berlumuran
darah ribuan orang Harap engkau jaga baik-baik dan gunakan dijalan yang luhur."
Selesai menutur, Hui In minta diri. Han Ping tak berani menahannya dan terpaksa
mengantar sampai diluar. Ketika bayangan paderi itu sudah lenyap, ia masih tegak
termenung-menung didepan pintu. Beberapa saat kemudian baru ia masuk kedalam
kamar. Saat itu sudah malam. Tetamu-tetamu sudah masuk tidur. Hanya kamar Han Ping yang
masih menyala penerangannya.
Baru ia melangkah kedalam kamar, tiba-tiba tubuhnya agak tergetar dan tahu-tahu
pergelangan tangannya yang kanan, dicengkram orang. Luar biasa sekali gerakan orang
itu sehingga Han Ping tak sempat menghindar.
Pergelangan tangan merupakan salah sebuah jalan darah penting dari 36 jalan darah
yang berbahaya ditubuh manusia. Sekali pergelangan tangannya dikuasai orang, Han Ping
rasakan separoh tubuhnya kesemutan. Hilang daya perlawanannya.
Sesaat kemudian terdengar suara melengking macam nyamuk mengiang dibelakang
tubuhnya, "Maafkan, aku terpaksa berlaku kurang adat kepadamu. Pedang Pemutus
Asmara itu benda yang berbahaya. Sekalipun tak kuambil, engkaupun tentu tak mau
menjaganya!"
Han Ping terkejut. Nyata suara itu adalah suara Hui Koh siansu, sute keempat dari
mendiang Hui Gong siansu. Serentak bangkitlah amarahnya. Pada saat ia hendak
berontak, tiba-tiba timbul pikirannya. Lebih baik ia sabar dulu menunggu perkembangan.
Ia menyadari, melakukan kekerasan dapat menimbulkan bahaya. Pergelangan tangannya
dikuasai oleh seorang tokoh seperti Hui Koh.
"Apakah losuhu tak merasa rendah derajat melakukan tindakan ini?" katanya sambil
menghias tertawa.
Merahlah wajah Hui Koh, sahutnya, "Sesungguhnya belum pernah aku melakukan
tindakan curang terhadap orang. Tetapi saat ini karena terpaksa, apa boleh buat. Karena
engkau telah menerima warisan ilmu kesaktian dari toa suheng dan toa suhengpun
bahkan menggunakan ilmu Gui-ting-tay-hwat untuk menyalurkan lwekangnya kepadamu,
dari pada membuang waktu dan tenaga, terpaksa kubertindak begini"."
Dalam pada berkata-kata itu, tangannya kiri memijat lebih keras dan tangan kanan
cepat mencengkram dada Han Ping".
Mendengar Hui Koh menyebut-nyebut nama Hui Gong taysu, seketika teringatlah Han
Ping akan pelajaran Menutup jalan darah dari paderi sakti Hui Gong itu. Buru-buru ia
kerahkan tenaga murni untuk menutup jalan darah pada lengannya sebelah kanan.
Saat itu tangan kanan Hui Koh sudah menyentuh pedang pusaka yang berada dalam
baju Han Ping. Ketika paderi itu hendak mencabutnya, sekonyong-konyong Han Ping
berputar diri dan secepat kilat tangannya kiri menerkam pergelangan tangan kanan paderi
itu. Gerakan Han Ping itu luar biasa cepatnya dan sama sekali tak terduga oleh Hui Koh.
Paderi itu tak menyangka bahwa dalam keadaan pergelangan tangannya sudah
dicengkeram ternyata pemuda itu masih mampu melakukan serangan balasan yang begitu
hebat. Ia tak sempat menghindar lagi. Jalan satu-satunya, hanya memperkeras pijatannya
pada pergelangan tangan Han Ping. Tetapi diapun kecele. Ia tak mengetahui bahwa
pemuda itu dapat menutup jalan darahnya sendiri. Sekalipun lengan kanannya kesemutan
mati rasa, tetapi Han Ping masih dapat mengerahkan lwekangnya kelengan kiri. Pemuda
itupun memijat sekeras-kerasnya".
Sesaat terjadi pijat-memijat. Hui Koh memijat pergelangan tangan kanan Han Ping. Han
Pingpun memijat pergelangan tangan kiri paderi itu. Untung pemuda itu masih mengingat
bahwa Hui Koh itu adalah sute dari Hui Gong, mendiang paderi sakti yang telah melepas
budi besar kepadanya. Maka ia tak mau menggunakan tenaga penuh.
Sekalipun demikian, tetap Hui Koh tak kuat bertahan. Separoh tubuhnya seperti mati
rasa, tenaganya hilang. Tangannya kanan yang mencengkeram pergelangan tangan
pemuda itu, pun ikut mengendor".
Tetapi dia adalah paderi angkatan Hui yang sakti. Dalam menghadapi bahaya itu,
pikirannya tetap tenang. Sambil kerahkan lwekang untuk bertahan, ia segera melakukan
serangan balasan. Ia gerakkan lutut kiri untuk membentur perut Han Ping!
Han Ping terkejut atas serangan yang tak diduga-duga itu. Terpaksa ia lepaskan
cengkeramannya dan loncat mundur.
Dalam kekalahan dapat merebut kemenangan, membuat nafsu Hui Koh menyala-nyala.
Sambil kerahkan lwekang, ia tertawa mengejek, "Hm, engkau sungguh hebat! Mari kita
bermain-main barang beberapa jurus lagi!"
Melangkah maju, ia menghantam.
Tanpa mengisar kaki, Han Ping miringkan tubuh untuk menghindar lalu balas memukul
dan menusuk dengan jari.
Serangan balasan dengan tinju dan jari itu memaksa Hui Koh menyurut mundur. Tetapi
secepat itu pula ia lancarkan serangan kilat sekaligus tiga-empat pukulan.
Han Ping tetap gunakan pukulan dan jari untuk memecahkan serangan dahsyat dari
paderi yang kalap itu. Dan pada saat serangan lawan agak lambat, Han Ping cepat
lancarkan serangan balasan. Tiga kali memukul dan empat kali menendang.
Karena kuatir membikin kaget para tetamu, mereka tak mau melakukan pertempuran
secara keras melainkan gunakan cara gerak cepat. Kelincahan, ketangkasan dan ketepatan
bergerak, memegang peranan penting. Kaki mereka tak beralih tempat melainkan tubuh
yang bergeliatan miring, condong kebelakang dan setempo berayun-ayun kekanan kiri.
Sepintas pandang pertempuran itu memang tak berapa dahsyat. Tetapi sesungguhnya
cara bertempur merapat itu, luar biasa bahayanya. Sekali salah gerak atau lengah atau
lambat, jalan darah tentu terancam. Akibatnya, kalau tidak luka berat tentu binasa.
Memang selama 3 hari itu, Hui Gong telah memberikan ilmu pelajaran dari kitab Tatmoih-kin-keng dan bermacam-macam ilmu sakti dari Siau-lim-si. Tetapi waktu 3 hari itu
terlalu singkat untuk meyakinkan secara mendalam. Dan baru pertama kali itu Han Ping
sempat menggunakan dalam pertempuran. Sudah tentu gerakannya masih janggal dan
kurang sempurna. Untunglah ia memiliki kecerdasan yang tinggi dan mendapat penyaluran
lwekang dari Hui Gong taysu. Ia dapat mengingat semua pelajaran lisan dari paderi sakti
itu. Setelah berlangsung beberapa lama, semangat Han Ping makin mantap. Gerakan
tangannya pun makin tepat dan terarah. Serangan makin dahsyat dan jurus
permainannyapun makin luar biasa.
Hui Koh diam-diam terkejut menyaksikan perobahan hebat pada diri pemuda itu. Hanya
dalam waktu 3 hari saja, pemuda itu sudah berobah menjadi seorang manusia baru. Cepat
ia lancarkan dua buah serangan dahsyat lalu loncat mundur.
Han Ping membungkukkan tubuh memberi hormat . "Terima kasih atas pelajaran yang
locianpwe berikan!"
Hui Koh tersipu-sipu balas menghormat. Diam-diam ia menimang dalam hati. Jika
menggunakan kekerasan, sukar merebut pedang pusaka itu.
Ia tertawa. "Engkau memiliki bakat dan kecerdasan yang hebat maka tak heran kalau
toa suheng mau menurunkan seluruh ilmu kepandaiannya kepadamu! Sekalipun untuk itu,
toa suheng telah melanggar peraturan biara."
Sahut Han Ping, "Sekalipun menerima pelajaran dari Hui Gong locianpwe, tetapi aku
bukan dianggap sebagai muridnya l"
Diam-diam Hui Koh memaki pemuda itu sebagai seorang yang licik. Namun wajahnya
tetap mengulas senyum, serunya, "Dari saling bertukar pukulan tadi, kuketahui bahwa
engkau telah memperoleh ilmu pusaka dari biara Siau-lim-si!"
Han Ping tersipu-sipu mengucap kata-kata merendah.
"Sebagai murid tunggal pewaris dari toa suheng, sesungguhnya kita masih mempunyai
hubungan"."
"Dengan tandas, Hui Gong locianpwe menegaskan bahwa sekalipun memberi pelajaran,
tetapi aku bukan muridnya!" cepat-cepat Han Ping menukas.
Melihat anak muda itu berulang kali menolak dirinya murid Siau-lim-si, Hui Koh tertawa
tawar, "Baiklah. Seperti diriku sendiri. Sebagian besar ilmu kepandaianku ini adalah toa
suheng yang mengajarkan. Sekalipun aku dan toa suheng itu saudara seperguruan tetapi
pada hakekatnya dia adalah guruku!"
Han Ping hanya tersenyum saja.
Hui Koh menghela napas pelahan, ujarnya lebih lanjut, "Karena engkau tak mau
mengakui sebagai murid Siau-lim-si, akupun takkan memaksamu. Tetapi bahwa toa
suhenglah yang memberi pelajaran ilmu kesaktian padamu, engkau tentu tak dapat
menyangkal lagi!"
"Benar, sekalipun atas dasar kalah bertaruh lalu mengajarkan ilmu kepandaian itu tetapi
aku tetap berterima kasih sekali kepada Hui Gong locianpwe!" sahut Han Ping
"ltulah!" seru Hui Koh, "karena engkau mempunyai perasaan begitu, seharusnya
janganlah engkau mencemarkan nama baik dan pribadi toa suheng sebagai tunas
cemerlang biara Siau-lim-si sejak 300 tahun yang terakhir ini. Jangankan paderi-paderi
yang seangkatan gelarnya, sekalipun paderi-paderi angkatan yang lebih tua, juga tak
mampu menandingi kepandaiannya. Andaikata dia tak rela dipenjarakan dalam sanggar
Hui-sim-sian-wan itu, tentu tiada seorang tokoh Siau-lim-si yang mampu melawannya"."
"Guru adalah wali yang harus dlhormati. Murid tak boleh membantah perintahnya. Hui
Gong locianpwe adalah seorang manusia yang cerdas dan berkepribadian luhur. Sudah
tentu ia tak mau melakukan tindakan yang murtad!" sambut Han Ping dengan wajah
serius. Melihat anak muda itu mulai masuk kedalam perangkapnya, diam-diam Hui Koh
bergirang dalam hati. Tetapi sebagai tokoh yang berpengalaman luas, ia tak mau
menunjukkan rasa kegirangan itu pada kerut wajahnya. Dengan wajah tenang dan serius,
berkatalah ia, "Toa suheng rela menghabiskan waktu 60 tahun dalam penjara. Tahukah
engkau apa sebabnya?"
Han Ping masih muda. Ia tak tahu kalau paderi itu mulai menebarkan jaring-jaring tipu
muslihat. Serentak wajahnya berobah, serunya, "Memang sekalipun harus menerima
hukuman, tetapi tak seharusnya Hui Gong locianpwe menjalani hukuman yang
menghabiskan usianya. Apalagi suhunya amat sayang sekali kepada Hui Gong locianpwe.
Tak mungkin seorang guru akan memendam seorang murid yang mempunyai bakat
sedemikian gilang gemilang, dalam penjara yang terpencil. Sayang suhu itu sudah
meninggal pada 40 tahun berselang sehingga sukar untuk meminta penjelasannya. Tetapi
menurut kesan dari penyelidikan yang kulakukan beberapa hari ini, dalam peristiwa itu
rasanya tcrselip suatu rahasia yang mencurigakan. Hm, apabila kelak dikemudian hari
masih mempunyai rezeki, aku tentu akan berusaha untuk membongkar rahasia itu"."
Berkata sampai disini, tiba-tiba ia berhenti. Rupanya ia menyadari kalau kelepasan
omong. Hui Koh menghela napas, "Lepas dari peristiwa itu mengandung kecurigaan atau tidak,
tetapi toa suheng itu memang seorang tokoh teladan yang sukar dicari keduanya.
Namanya tetap harum dan akan dipuja murid-murid Siau-lim-si sampai beratus-ratus
tahun yang akan datang. Sekalipun aku ikut berduka atas nasib yang dideritanya, tetapi
akupun merasa bangga mempunyai seorang suheng yang sedemian hebat dan
cemerlang!" katanya dengan nada dan wajah bermuram durja.
Membayangkan betapa siksa derita yang dialami Hui Gong taysu selama 60 tahun
dalam sanggar penjara itu, Han Ping ikut berduka. Sebagai seorang yang mengingat budi,
airmatanya bercucuran turun".
Hui Koh makin girang. Setelah berhasil mengaduk perasaan pemuda itu, ia buru-buru
melanjutkan kata-katanya pula, "Pada usia 20 tahun, mulailah toa suheng keluar
mengembara. Beberapa tahun kemudian, namanya sudah termahsyur didaerah Kanglam
dan Kangpak. Setiap orang persilatan yang mendengar namanya, tentu menggigil
ketakutan. Selama itu entah berapa banyak dharma kebaikan yang telah dilakukan. Tetapi
ah". tak dinyana tak disangka, akhirnya ia harus mengalami nasib yang sedemikian
mengenaskan dalan penjara perguruannya. Walaupun aku seorang murid agama Buddha,
tetapi hati kecilku mengatakan bahwa nasib yang dideritanya itu benar-benar tak adil!"
Han Ping benar-benar tertikam ulu hatinya mendengar ucapan paderi itu, Airmatanya
makin membanjir deras.
Kata Hui Koh pula, "Yang menjadi gara-gara mengapa toa suheng sampai dipenjara itu,
bukan lain adalah karena pedang pendek itu. Sekali pedang itu muncul diluar, dunia
persilatan tentu akan dilanda oleh prahara pertumpahan darah yang hebat. Apabila orang
tahu bahwa pedang itu berada ditanganmu, bukan hanya nama biara Siau-lim-si yang
akan berlumuran noda, pun keharuman nama toa suhengku itupun akan ikut tercemar.
Disebabkan pertimbangan-pertimbangan itulah maka terpaksa aku bertindak securang tadi
untuk merebut pedang itu dari tanganmu!"
Tersirap darah Han Ping mendengar penjelasan itu. Serentak bertanyalah ia, " Kalau
begitu, losuhu tentu mengetahui riwayat pedang pusaka itu. Jika losuhu suka menguraikan
hubungan antara Hui Gong locianpwe dengan pedang pusaka itu, aku bersedia
menghancurkan pedang itu dihadapan losuhu agar pedang itu tak muncul lagi didunia
persilatan untuk selama-lamanya! "
Han Ping terdorong oleh perasaan untuk membalas budi paderi Hui Gong yang besar.
Dia tak menginginkan, setelah meninggal dunia nama orang tua yang berbudi itu akan
tercemar lagi. Itulah sebabnya, tanpa banyak pikir, ia telah mengeluarkan pernyataan
yang begitu tegas.
"Hm, sungguh budak yang licin sekali" diam-diam Hui Koh memaki. Ia merasa sukar
untuk menyiasati anak muda itu.
"Memang besar sekali hubungannya dengan diri toa suheng. Sesungguhnya hal itu tak
layak diberitahukan orang. Permintaanmu itu benar-benar menyulitkan aku!"
"Budi Hui Gong locianpwe kepadaku, melebihi gunung besarnya. Asal untuk
kepentingannya, sekalipun masuk kedalam lautan api, aku tetap akan melakukannya.
Harap losuhu jangan ragu-ragu lagi!"
"Ceritanya panjang sekali. Apakah engkau masih ingat nama pedang pusaka itu?" tanya
Hui Koh. " Hui In losuhu memberitahukan bahwa pedang itu bernama Pedang Pemutus Asmara.
Tetapi Hui In losuhu tak menerangkan riwayatnya dan hubungannya dengan Hui Gong
locianpwe."
"Hal itu tak dapat menyalahkannya. Karena kecuali aku, mungkin didunia ini hanya
sedikit sekali orang yang tahu peristiwa itu"."
la berhenti merenung sejenak lalu melanjutkan pula, "Peristiwa itu sudah 60 tahun
berselang. Pada saat toa suheng mendapatkan pedang itu, suhu bersama ji suheng Hui In
sedang pergi ke Laut Selatan. Segala urusan biara, diserahkan kepada susiok. Adalah
karena usia susiok sudah sangat lanjut, maka akulah yang disuruh mewakili susiok.
Pada hari itu toa suheng pulang, Kuminta dia yang menggantikan tugasku untuk
mengepalai pimpinan biara. Tetapi begitu bertemu muka, toa suheng tak menghiraukan
soal itu. Dia minta aku supaya menjadi saksi. Dia telah berjanji dengan orang. Nanti tiga
hari kemudian pada malam hari, dibawah puncak Siau-si-hong akan mengadakan
pertandingan adu kepandaian. Dia pesan supaya aku jangan memberitahukan hal itu
kepada lain orang. Sekalipun bersangsi, tetapi karena sangat mengindahkan toa suheng,
akupun tak berani banyak bertanya. Tiga hari kemudian menjelang tengah malam, toa
suheng benar-benar mengajak aku menuju puncak Siau-si-hong. Ternyata lawannya sudah
lebih dahulu datang disitu."
"Apakah yang datang itu seorang wanita?" tanya Han Ping.
Hui Koh tersenyum, "Yang datang itu dua orang. Seorang pria dan seorang wanita.
Yang pria mengenakan pakaian tempur, menyanggul sebatang pedang pusaka. Bertubuh
tinggi besar, gagah perkasa. Yang wanita bertubuh langsing. Karena mengenakan kedok
muka, tak dapat kulihat bagaimana wajahnya. Tetapi menilik potongan tubuhnya, tentulah
seorang jelita."
"Apakah mereka bertempur memperebutkan Pedang Pemutus Asmara itu?"
Hui Koh menghela napas, "Kalau hanya soal pedang pusaka itu, tak mungkin akan
menimbulkan peristiwa yang hebat. Ternyata selain soal pedang itu, pun menyangkut
soal-soal dendam pribadi sehingga pertandingan itu merupakan pertandingan yang
menentukan mati atau hidup. Suatu pertandingan yang benar-benar jarang terjadi dalam
dunia persilatan"."
"Apakah losuhu masih ingat pembicaraan mereka sebelum mulai bertanding?" tukas
Han Ping. Hui Koh merenung. Rupanya dia tengah menggali ingatannya. Beberapa waktu
kemudian baru ia berkata pula, "Dengan pertanyaan itu, apakah engkau hendak mendesak
supaya aku menceritakan rahasia pribadi dari toa suheng?"
Han Ping kerutkan alis, menengadahkan kepala. Berapa saat kemudian ia menyahut,
"Jika losuhu tak mau menceritakan, akupun tak berani mendesak. Tetapi menilik Hui Gong
locianpwe itu seorang ksatria luhur, tak mungkin dia melakukan sesuatu yang
merendahkan martabatnya. Andaikata kesalahan melukai orang, tentulah karena dalam
keadaan terpaksa!"
Han Ping telah menempatkan pribadi Hui Gong sebagai seorang dewa. Dia tak
menghendaki dewa pujaannya itu sampai tercemar namanya.
"Benar, memang dalam pertandingan itu, toa suheng telah melukai orang. Tetapi
menurut apa yang kusaksikan saat itu, jika toa suheng tak bertindak begitu, memang
sukar untuk menyelesaikan pertandingan itu. Begitu bertemu tanpa berkata apa-apa,
keduanya terus saling mencabut senjata dan lari menuju kesebuah lembah dibawah
puncak gunung itu. Aku dan gadis berkedok itu mengikuti dari belakang"." Hui Koh
berhenti sejenak untuk menenangkan napas.
"Ternyata kepandaian dari pemuda itu hanya terpaut sedikit dari toa suheng. Mereka
berlari bagaikan bintang jatuh dari langit sehingga dalam beberapa kejab saja telah
meninggalkan aku dan gadis berkedok itu jauh dibelakang. Pada saat kami berdua tiba
dilembah, ternyata toa suheng sudah bertempur dengan pemuda itu.
"Pada waktu itu, aku baru saja lulus dari pelajaran ilmu silat. Umurku diantara 24 tahun
dan toa suheng hanya lebih tua sedikit dari aku. Tetapi dia sudah diagungkan dunia
persilatan wilayah Kanglam-Kangpak sebagai seorang pendekar besar. Ah, yang lampau
tak mungkin kembali lagi. Segala kenangan hidup itu hanya seperti impian. Gunung masih
tetap menghijau tetapi toa suheng kini sudah tiada"."


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana dengan penyelesaian pertandingan itu" Hui Gong locianpwe tentu yang
menang," Han Ping menukas kata-kata Hui Koh yang menyimpang dari ceritanya itu.
"Bermula jalannya pertandingan memang berimbang," kata Hui Koh melanjutkan
ceritanya, "ilmu pedang pemuda itu memang luar biasa hebatnya. Toa suheng seperti
terkurung oleh sinar pedang pemuda itu sehingga aku yang melihat disamping
gelanggang, gelisah bukan kepalang. Pada saat pertempuran mencapai 300 jurus, haripun
sudah hampir menjelang fajar. Tiba-tiba toa suheng lancarkan serangan balasan dan
pemuda itu terdesak mundur beberapa langkah. Akhirnya karena terus mundur, pemuda
itu tiba diujung tebing gunung. Apabila toa suheng terus mendesaknya, dia tentu akan
terpelanting jatuh kedalam jurang. Tetapi toa suheng seorang ksatria yang berbudi. Dia
hanya berseru supaya lawannya membuang senjata dan menyerah. Diluar dugaan, pada
saat toa suheng hentikan serangannya untuk berseru itu, sekonyong-konyong pemuda itu
menyelonong tusukkan pedangnya dengan gerak yang luar biasa cepatnya. Sekalipun saat
itu toa suheng tak meninggalkan kewaspadaan, tetapi ia tak menduga lawan akan
bertindak sedemikian curang. Lengan kiri toa suheng tertusuk pedang. Perbuatan pemuda
itu telah menimbulkan kemarahan toa suheng. Tiga kali ia taburkan goloknya dan
walaupun tidak sampai binasa tetapi luka yang diderita pemuda itu tak mungkin akan
sembuh selama-lamanya"."
Tiba-tiba Hui Koh berhenti menutur.
"Pemuda itu layak menerima buah dari kecurangannya. Hui Gong locianpwe tak salah!"
seru Han Picg membela Hui Gong.
Bagian 6 Cendrawasih putih.
"Hanya sampai disini sajalah ceritaku." kata Hui Koh, selanjutnya bagaimana
pembicaraan antara toa suheng dengan pemuda itu setelah kalah, maaf, tak dapat
kukatakan kepadamu. Yang jelas pertandingan itu bukan karena memperebutkan Pedang
Pemutus Asmara, tetapi ada lain sebab utama. Sekalipun demikian, pedang itu tetap
merupakan kunci dari rahasia sekian banyak pembunuhan ganas didunia persilatan. Setiap
kali pedang itu muncul, tentu terjadi pertempuran darah hebat. Hal itu berakibat akan
mencemarkan nama baik toa suheng, menggegerkan dunia persilatan dan menimbulkan
banjir darah. Jika benar-benar engkau mengingat budi toa suheng, sebaiknya berikanlah
pedang itu kepadaku. Demi untuk menjaga nama baik toa suheng dan biara Siau-lim-si.
Tetapi jika engkau keberatan, akupun takkan memaksa! "
Sesaat terpengaruhlah hati Han Ping akan kata-kata paderi itu. Seketika ia
mengeluarkan pedang pusaka itu terus hendak diserahkan kepada Hui Koh. Tetapi tibatiba
dimasukkannya kedalam baju lagi. Ada sesuatu yang terlintas dalam benaknya.
Wajah Hui Koh berubah membesi, tegurnya, "Apakah maksudmu mempermainkan aku
itu?" "Jangan salah paham, losuhu," kata Han Ping, "mana aku berani mengolok-olok losuhu.
Hanya aku teringat akan pesan Hui Gong locianpwe supaya menjaga pedang ini baik-baik.
Sesungguhnya aku tak keberatan menyerahkannya kepada losuhu. Tetapi aku tak berani
melanggar pesan almarhum Hui Gong locianpwe."
"Harap losuhu jangan kuatir," kata Han Ping, "Pedang ini akan kusembunyikan disebuah
tempat yang sangat rahasia. Agar jangan muncul di dunia persilatan lagi. Dengan cara itu
aku dapat menunaikan pesan mendiang Hui Gong locianpwe dan menjaga nama baiknya!"
Dalam pada berkata-kata itu, diam-diam Han Ping bersiap-siap. Ia mulai curiga atas
gerak gerik paderi itu.
Hui Koh yang licin, cepat menghapus kerut kemarahannya dengan senyum tertawa,
"Karena agaknya engkau mencurigai aku, baiklah, akupun tak mau mengganggumu lagi.
Hanya kuharap engkau dapat menjaga pedang itu baik-baik. Jangan sampai jatuh ke
tangan orang lain!"
"Harap losuhu jangan kuatir. Selama hayat masih dikandung badan, Han Ping tentu
akan menjaga pedang ini dengan sepenuh tenaga."
Han Ping memberi jaminan.
"Kalau begitu, aku hendak minta diri!" baru berkata begitu, paderi itu sudah melesat
keluar. Sebelum Han Ping sempat mengucap apa-apa, bayangan paderi itupun sudah
lenyap. Han Ping tegak diambang pintu. Ia terkenang akan peristiwa yang dialaminya beberapa
hari terakhir ini. Kesemuanya itu seperti dalam impian saja. Terbayang akan wajah dari
beberapa tokoh Siau-lim-si yang dijumpainya selama ini"
Hui Gong yang angkuh dan bersikap dingin. Hui In yang berwajah ramah dan Hui Koh
yang licin banyak muslihat. Sama-sama saudara seperguruan, bukan saja ilmu
kepandaiannya berbeda, pun watak mereka juga berlainan".
Tengah Han Ping melamun, tiba-tiba terdengar sebuah batu kerikil menimpa atap
rumah sebelah muka. Walaupun batu itu menimbulkan suara kecil, tetapi cukup menarik
perhatian Han Ping. Cepat ia hendak loncat ke atas rumah tetapi pada lain saat ia teringat.
Oh, lebih baik ia pura-pura tak mendengar. Ia masuk kedalam kamar, mematikan lilin lalu
masuk tidur. Sebenarnya ia hanya pura-pura tidur. Ia telah mempunyai rencana untuk menjebak
orang itu. Beberapa saat kemudian, ia bangun dan menghampiri ke bawah jendela.
Setelah menunggu sekian lama tak mendengar sesuatu yang mencurigakan lagi, hampir
saja ia kembali ke tempat tidur. Tetapi ia penasaran. Jelas ia mendengar bunyi batu kerikil
tadi. Dan biasanya itulah pertanda "tanya jalan" dari kaum persilatan yang hendak
melakukan penyelidikan diwaktu malam.
Sejak Han Ping menderita nasib yang malang. Tetapi justru kemalangan itu telah
menggembleng dirinya, memperbesar kesabaran hatinya. Perlahan-lahan dibukanya daun
jendela lalu loncat keluar.
Sejak mendapat penyaluran lwekang dari Hui Gong siansu, kini dia memiliki kesaktian
yang dapat digolongkan setaraf dengan jago kelas satu. Gerakan loncat keluar jendela itu,
sama sekali tak menerbitkan suara.
Begitu menginjak tanah, cepat ia ayunkan tubuh melambung keatas rumah dan
bersembunyi di balik wuwungan. Sambil kerahkan persiapan, memandang kesekeliling
penjuru. Ah, kiranya memang benar dugaannya itu, Sesosok bayangan hitam tiba-tiba muncul
dari rumah disebelah belakang terus lari menuju ketimur.
Sesungguhnya ia tak berminat mengejar.Tetapi demi teringat akan pedang Pemutus
Asmara dan nama baik Hui Gong siansu, terpaksa ia gunakan ilmu lari cepat untuk
mengejar. Ia ingin menyelidiki apakah orang itu bertujuan hendak merebut pedang
Pemutus Asmara.
Bayangan hitam itu bergerak sepesat angin. Dalam beberapa kejab saja sudah tiba
diluar kota. Ketika mencapai sebuah tempat yang sunyi, tiba-tiba bayangan itu
melenyapkan diri kesebuah bangunan gedung besar.
Han Ping hentikan larinya. Memandang kesekeliling penjuru ia heran. Mengapa sebuah
bangunan gedung yang sedemikian besar, didirikan disebuah tempat sunyi dan hanya
terpencil sendiri tiada tetangganya.
Tetapi ketika memandang kesebelah kanan gedung itu, ia terkejut. Ternyata tempat itu
merupakan sebuah tanah perkuburan yang penuh dengan gunduk-gunduk hitam. Sedang
disebelah kiri gedung itu, sebuah tanah lapang seluas satu bahu, penuh dengan tempat
air. Sementara di muka gedung terdapat beberapa belas batang pohon Pek-yang yang
tingginya beberapa tombak. Berselang-selang terdengar burung hantu mengukuk,
menambah keseraman suasana.
Gedung itu merupakan sebuah bangunan yang aneh bentuknya. Temboknya berwarna
merah, mirip sebuah biara tetapi bukan biara.
Walaupun Han Ping seorang pemuda yang berilmu tinggi, tetapi menyaksikan
pemandangan tempat itu, ia bergidik juga. Ia berputar diri, hendak kembali pulang.
Sekonyong-konyong terdengar angin malam mengantar suara lengking tertawa.
Nadanya bergemerincing macam mutiara berhamburan jatuh kelantai. Biasanya nada
tertawa semacam itu tentu berasal dari tertawa seorang wanita cantik. Tetapi dalam saat
dan tempat seperti kala itu, lengking tertawa itu kebalikannya malah menambah
keseraman suasana".
Han Ping terperanjat. Suara tertawa itu terus berkepanjangan macam sungai mengalir.
Seolah-olah orang yang tertawa itu memiliki napas yang amat panjang sekali.
Sesungguhnya gentar juga hati Han Ping. Untuk membangun nyali, ia menjemput
sebutir batu kerikil lalu dilontarkan kearah suara tertawa itu sekuat-kuatnya. Lontaran itu
diarahkan kesebuah makam batu marmer hijau yang menonjol tinggi.
Bum". seketika suara tertawa itupun lenyap. Dari balik makam itu muncul sesosok
bayangan putih. Bayangan itu perlahan-lahan bergerak menghampirinya.
"Setan".?" hati pemuda itu meremang. Tetapi secepat itu pula ia membentak, "Hai
siapa engkau" Jangan pura-pura menyaru jadi setan untuk menakuti orang!"
Dengan dilambari tenaga dalam, bentakan Han Ping seperti menggeledek kerasnya.
Tetapi rupanya wanita baju putih itu tak mengacuhkan dan tetap melangkah maju.
Han Ping menggigil dan kucurkan keringat dingin karena membayangkan bahwa wanita
itu tentu bukan manusia melainkan bangsa setan kuburan.
Dalam pada saat itu wanita baju putihpun sudah tiba di hadapannya. Han Ping
mendesak terus mengangkat tinjunya kanan. Ketika hendak dihantamkan, tiba-tiba wanita
itu menyiak rambut yang menutupi mukanya.
"Uhh"." ketika melihat wajah wanita itu, serasa terbanglah semangat Han Ping. Sambil
mengerang tertahan ia menyurut mundur tiga langkah. Sebelum tinju diayun, tangannya
sudah lemas".
Wanita baju putih itu tertawa mengekeh dan maju pula beberapa langkah. Mengangkat
tangan kirinya, wanita itu kebutkan lengan bajunya kemuka Han Ping.
Han Ping menekuk tubuhnya kebelakang dan mundur selangkah untuk menghindari.
Kemudian mengempos semangat, mengembangkan tenaga dalamnya, lalu membentak,
"Manusia atau setankah engkau! Jika terus mendesak maju, jangan salahkan aku
bertindak keras!"
Garang sekali kedengaran bentakan itu. Tetapi sesungguhnya hatinya tetap gentar.
Tetapi wanita itu tetap tak mengacuhkan. Dengan langkah bergoyang gontai, ia tetap
maju dan tangan kanannya menyiak rambut.
Melihat wajah aneh dari wanita itu, Han Ping tak tahan lagi. Ia menghantamnya,
wut".! terlanda oleh angin pukulan yang dahsyat, tubuh wanita itu melambung keudara
dan melayang sampai setombak jauhnya".
Han Ping makin berdebar. Jika bangsa manusia, tak mungkin kuat menahan
pukulannya. Tetapi wanita itu bahkan malah melambung keudara macam layang-layang
tertiup angin. Huh, apalagi kalau bukan bangsa setan!"
Demikianlah apabila perasaan dicengkeram oleh rasa takut. Padahal pukulan Han Ping
itu hanya menggunakan tiga bagian tenaganya. Tetapi ia tak menyadari.
Sejenak mengambil napas, wanita baju putih itu melangkah maju pula. Dan sekonyongkonyong
ia balas tamparkan lengan bajunya kepada Han Ping.
Han Ping menggembor keras dan menyongsong dengan hantaman. Dalam pada
menggembor itu perasaan takutnya lenyap berganti dengan rasa kemarahan sehingga
tenaganyapun mengembang dahsyat.
Wanita baju putih itu mengerang tertahan, Seperti yang tadi, pun ia seolah-olah
menurut saja dihembus oleh angin pukulan Han Ping yang melemparkannya kebelakang.
Karena dapat mengundurkan wanita itu, besarlah hati Han Ping. Sekali lagi ia menyusuli
sebuah hantaman yang dahsyat.
Rupanya wanita itu terkejut dan menyadari kelihayan pemuda itu. Ia berjumpalitan
diudara dan menghindar kesamping.
Han Ping terkesiap menyaksikan gerakan si wanita yang sedemikian gesit dan tangkas.
Sambil bersiap menjaga diri, ia membentak lagi, "Hai, siapakah engkau! Apa guna engkau
menyaru seperti setan" Jika tak mau menjawab, hem". jangan salahkan aku berlaku
ganas!" Sebagai jawaban, wanita itu menyiak rambut dimuka, tertawa melengking dan
menghantam. Melihat wajah wanita itu penuh bintik hitam dan jelek sekali, kembali
menggigillah hati Han Ping.
Dalam pada itu, siwanita sudah menyelonong kesamping. Han Ping gelagapan dan
hendak menghantam tetapi wanita itu cepat mendahului menjentikkan jarinya kemuka
Han Ping. Serangkum hawa wangi membaur dan serentak dengan itu Han Ping rasakan
tenaganya hilang, tubuh lemas dan rubuhlah ia ditanah ".
Wanita itu mengemasi rambutnya. Tampaknya wajahnya yang aneh itu amat
menyeramkan sekali. Ia menghampiri Han Ping, membungkuk diri lalu merogoh kedalam
baju pemuda itu, mengambil pedang Pemutus Asmara. Dicabutnya pedang itu, diamatamatinya
beberapa jenak.
Ketika hendak menyarungkan pedang itu ke dalam kerangkanya, sekonyong-konyong
punggungnya tersambar angin keras. Dan sebelum ia sempat mengetahui apa-apa,
sebuah tangan yang kuat telah mencengkeram pergelangan tangan kanannya.
"Heh, heh, ilmu menjentikkan obat bius dari taci beradik hun dan Bong, ternyata tak
bernama kosong. Saat ini baru mataku terbuka!" menyusul terdengar suara orang
mengekeh sinis. Nadanya macam tambur pecah, parau dan menyakiti telinga.
"Lepas!" Wanita baju putih itu membentak seraya menekuk siku lengannya
digempurkan kebelakang.
" Huh, budak nakal! Sebagai penangkap burung belibis, masakan aku sampai kena
terpatuk burung itu, Apakah engkau hendak memanggil tacimu" Heh, heh, dia sudah
kututuk jalan darahnya dan kusimpan dalam sebuah tempat yang aman. Jika engkau
hendak mengangkangi pedang pusaka itu sendiri, ho, jangan sesalkan aku bertindak
kejam!" Memang wanita baju putih itu sudah memperhitungkan bahwa sikutannya tak mungkin
dapat mengenakan orang itu. Tetapi yang penting, diwaktu menyikut itu ia melengking
sekeras-kerasnya. Dan lengkingan itu adalah suatu teriakan sandi untuk memanggil
tacinya. Ah, siapa tahu ternyata tacinya telah diringkus orang itu".
Kuncuplah nyalinya. Diam-diam ia kerahkan tenaga dalam untuk menahan
cengkeraman orang itu seraya berkata dengan nada ramah, "Lepaskan pergelangan
tanganku dulu". "
Orang itu menukas dengan tertawa dingin, "Dikalangan persilatan, siapakah yang tak
kenal akan taci beradik Hun dan Bong yang banyak tipu muslihatnya. Sudahlah jangan jual
lagak dihadapanku. Hm, jangan harap engkau mampu mengelabuhi aku si Kim loji. Kalau
Kesatria Berandalan 4 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Harpa Iblis Jari Sakti 31

Cari Blog Ini