Ceritasilat Novel Online

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 8

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 8


tendang, batu-batu itu tentu berhamburan.
Uh". demikian mulutnya mendesis kejut ketika batu itu lenyap secara tiba-tiba. Karena
tendangannya mengenai angin kosong, tubuhnyapun menjorok ke muka dan jatuhlah ia ke
tanah. Ketika memandang ke muka, ternyata hutan bambu dan batu besar itu masih
merentang di hadapannya. Amarahnya makin berkobar. Dengan bernapsu, ia menghantam
batu itu".
Han Ping yang sekarang, merupakan seorang tokoh yang memiliki tenaga sakti hebat.
Apalagi diburu kemarahan. Pukulannya dahsyat bukan kepalang. Batu dan debu
berhamburan ke udara.
Tetapi setelah debu itu lenyap, hutan bambu dan batu besar tampak kembali.
Tetapi dia seorang pemuda yang angkuh dan keras hati. Walanpun tendangan dan
pukulannya itu tiada berhasil, dia malah semakin marah. Tengah ia hendak menerjang ke
muka, tiba-tiba lengan bajunya dicengkeram orang. Kuatir kalau bajunya robek, ia
menurut saja tarikan orang itu dan menyisih ke samping dua langkah.
Kiranya yang menarik lengan bajunya itu adalah Ting Hong. Saat itu Ting Hong masih
memanggul tacinya.
"Harap saudara Ji jangan mengumbar kemarahan. Barisan itu merupakan ilmu Ngoheng
campur Pat-kwa. Sebuah barisan yang berdasarkan ilmu perhitungan gaib.
Betapapun cerdiknya, tetapi orang tentu sukar untuk membobolkan. Misalnya aku sendiri,
walaupun mengerti sedikit tentang perubahan Ngo-heng-seng-khik (lima unsur bumi)
tetapi aku benar-benar bingung terdapatnya batu-batu dalam barisan itu. Aku terpaksa
menyerah"."
Tiba-tiba terdengar lengking suara si dara, "Maju lima langkah lalu belok ke kiri tiga
langkah"."
Karena kuatir Han Ping tak mau menurut, Ting Hong tetap mencengkeram lengan baju
pemuda itu dan setengah menyeretnya diajak jalan.
Kembali dara itu melengking bagai suara kelinting, "Ke sebelah kanan dua langkah lalu
maju ke muka empat langkah, Belok ke kiri selangkah lalu lurus ke muka"."
Demikian atas petunjuk si dara, Han Ping dan kawan-kawannya dapat keluar dari
barisan. Pada saat itu Cin An Ki dan rombongan anak buahnya telah melukai dua orang anak
buah Ih Seng. Terpaksa anak buah Ih Seng mundur beberapa tombak dari barisan itu.
Mereka takut kepada Cin An Ki, tetapi merekapun tak mau meninggalkan pemimpinnya
yang masih terkurung dalam barisan itu. Mereka hanya dapat mengawasi dengan gelisah,
gerak gerik anak buah Cin An Ki yang masih sibuk menumpuki ranting dan dahan kering di
tepi barisan. Pada saat Han Ping keluar dari barisan, Cin An Ki tengah memerintahkan anak buahnya
untuk siap menyulut api.
Selekas keluar dari barisan, Han Ping terus loncat dan lepaskan hantaman ke arah anak
buah Cin An Ki yang hendak melakukan perintah pemimpinnya.
Angin pukulan Han Ping itu dahsyat sekali. Belum api menyentuh tumpukan kayu
kering, orang dan kayu-kayu kering itu berhamburan kemana-mana. Anak buah Cin An Ki
terlempar setombak jauhnya dan rumput serta ranting dan dahan kering berterbangan ke
udara". Peristiwa itu benar-benar mengejutkan sekalian orang. Sekalipun si Naga sakti Cin An Ki
yang mengepalai 36 kelompok telaga Tong-thing-ou, diam-diampun terkejut.
Setelah melayang turun ke bumi, Han Ping menghampiri Cin An Ki. Kepala telaga Tongthingou itu diam-diam siap sedia. Ia duga pemuda itu tentu akan menyerangnya. Tetapi
diluar dugaan, tiba-tiba Han Ping berhenti pada jarak 2 meter dari tempat Cin An Ki.
"Engkau seorang pemimpin, mengapa engkau hendak mencelakai orang yang sedang
terancam bahaya" Apakah engkau tak malu jika perbuatanmu itu tersiar di dunia
persilatan?" seru Han Ping,
Kata-kata itu membuat wajah Cin An Ki merah padam. Setelah merenung beberapa
jenak, ia berkata, "Engkau benar! Tetapi mereka adalah benggolan-benggolan besar di
dunia persilatan. Ganasnya bukan kepalang. Terhadap orang-orang semacam itu, kiranya
tak perlu memakai segala pertimbangan yang layak"."
Han Ping menukas dengan tertawa dingin, "Aku paling benci dengan manusia yang
pura-pura berbuat baik untuk menutupi kejahatannya dan perbuatan yang mencelakai
orang secara curang!"
"Sekalipun dalam dunia persilatan terdapat dua aliran Hitam dan Putih, tetapi perbuatan
mencelakai orang yang sedang berada dalam kesulitan, bukanlah laku seorang jantan",
tiba-tiba Ca Giok menyelutuk. Ia memang gelisah kalau anak buah Cin An Ki sampai
membakar barisan itu sehingga mencelakai si dara jelita, "apalagi barisan Bambu-batu itu,
bukanlah engkau yang membentuk. Meminjam tenaga orang lain untuk mencelakai orang,
tentu akan menjadi buah tertawa orang persilatan!"
Cin An Ki mendengus, sahutnya, "Jarum beracun Hong-wi-ciam sudah termahsyur
sebagai senjata rahasia yang ganas sekali. Hal itu sudah menjadi cemoohan orang, apakah
tak kuatir akan ditertawakan juga?"
Ca Giok tertawa, "Sekalipun jarum Hong-wi-ciam itu ganas sekali tetapi melepaskannya
harus menggunakan kepandaian yang ahli benar-benar. Dan lagi orang yang benar-benar
sakti, tak perlu takut akan jarum itu!"
"Oh, kalau begitu, jarum marga Ca itu tergolong senjata yang terhormat"." ejek Cin An
Ki. "Mengapa ribut-ribut saja!" teriak Han Ping marah, "lekas suruh anak buahmu
menyingkirkan tumpukan rumput dan kayu-kayu kering itu!"
"Jika tak kupindahkan?" Cin An Ki tertawa dingin.
"Engkau harus masuk ke dalam barisan itu untuk merasakannya!" seru Han Ping terus
loncat ke belakang Cin An Ki dan menghantamnya.
Kepala telaga Tong-thing-ou itu menangkis dengan songsongkan kedua tangannya.
Ketika kedua tenaga saling berhantam, seketika Cin An Ki rasakan darahnya melanda
keras dan tubuhnyapun tersurut ke belakang sampai tiga langkah.
"Terimalah pukulanku ini lagi!" seru Han Ping seraya menyusuli sebuah pukulan.
Benar-benar Cin An Ki tak mengira bahwa seorang pemuda yang masih begitu hijau,
ternyata memiliki tenaga dalam yang begitu sakti. Adu pukulan yang pertama tadi sudah
cukup membuatnya meringis. Maka tak berani ia menyambut pukulan kedua dari si
pemuda. Buru-buru ia menghindar ke samping.
Pikiran Han Ping tetap terpancang pada keadaan luka Ting Ling. ia hendak
menyelesaikan pertempuran itu secepat mungkin. Begitu Cin An Ki menyingkir ke samping,
secepat kilat ia maju dan ayunkan tangannya.
Cin An Kipun sudah siap. Begitu menghindar ke samping ia segera menghantam
dengan jurus Menjolok naga kuning.
Sejak bertempur dengan Pengemis sakti Cong To, Han Ping telah mendapat
pengalaman yang berharga. Begitu Cin An Ki menghantam, ia pura-pura seperti tak dapat
menghindar. Tubuhnya menelentang ke belakang sehingga bagian kakinya tak terjaga
lagi. Sudah tentu Cin An Ki tak mau melepaskan kesempatan itu. Serempak mengendapkan
tangan, dari pukulan yang lurus, ia turunkan untuk menghantam perut pemuda itu.
Tempi alangkah kejutnya ketika mendadak tubuh Han Ping berputar dengan tiba-tiba
dan tangannya kanan secepat kilat mencengkeram. Jurus itu disebut Tali emas mengikat
naga. salah sebuah jurus istimewa dari ilmu tangan kosong Kin-na-liong-chiu yang terdiri
dari 12 jurus. Selain gerakan luar biasa cepatnya, pun tak terduga sama sekali.
Seketika Cin An Ki rasakan pergelangan tangannya yang kanan kesemutan. Tahu-tahu
urat nadi pergelangan tangannya itu sudah tercengkeram oleh Han Ping.
Han Ping diam-diam kerahkan tenaga dalam. Cin An Kipun segera rasakan darahnya
menyungsang balik ke arah jantung. Separuh tubuh mati rasa dan tenaganyapun lenyap.
Sekalian jago-jago telaga Tong-thing-ou yang menyaksikan pemimpin mereka dalam
tiga jurus saja sudah dibuat tak berdaya oleh pemuda itu, diam-diam terperanjat. Wajah
mereka pucat seketika.
Naga sakti laut Gun-hay Cin An Ki itu, di dalam kalangan Hitam daerah Tionggoan,
namanya termahsyur. Dia sejajar dengan Kipas besi pedang perak Ih Seng, walaupun
keduanya berlainan aliran.
Di wilayah telaga Tong-thing-ou terdapat 36 kelompok. Setiap kelompok mempunyai
pemimpin yang berkepandaian tinggi. Dan Cin An Ki adalah ketua dari ke 36 kelompok itu.
Orang persilatan daerah Tionggoan, kebanyakan tak berani cari perkara dengan dia.
Maka peristiwa yang disaksikan saat itu, benar-benar membuat sekalian pemimpin
kelompok-kelompok itu tercengang-cengang.
Han Ping tak menghiraukan mereka. Diseretnya Cin An Ki ke arah barisan. Begitu tiba di
pinggir barisan, ia mendorong tubuh orang itu ke dalam barisan.
Delapan anak buah Tong-thing-ou yang menyaksikan hal itu, hanya mengikuti dari
belakang tetapi tak berani berbuat apa-apa. Begitu Han Ping berputar tubuh, barulah ke
delapan jago itu serempak menyerangnya.
"Berhenti!" bentak Ca Giok seraya maju menghadang ke delapan orang itu, "siapa yang
hendak mencoba jarum Hong-wi-ciam dari keluarga Ca, silahkan maju!"
Ke delapan orang itu merupakan orang-orang persilatan yang berpengalaman. Tahu
juga mereka akan kemahsyuran jarum itu. Merekapun tak berani maju dan hanya saling
berpandangan. "Minggir!" teriak Ca Giok sambil acungkan tangannya kiri yang menggenggam jarum.
Ke delapan orang itu tak berani membantah. Setelah mereka menyisih, Ca Giok segera
minta Han Ping berjalan lebih dulu dan ia yang akan melindungi.
"Kemahsyuran nama saudara Ca, sungguh bukan nama kosong", Han Ping memuji
seraya melangkah ke arah kawanan orang itu, Ting Hong sambil memondong tacinya, pun
mengikuti. Sedang Ca Giok mengawal di belakang dengan jarum di tangan.
Ke delapan tokoh itu memang jeri akan kemahsyuran jarum Hong-wi-ciam. Mereka
membiarkan saja rombongan anak muda itu lewat.
Sekeluarnya dari hutan, Han Ping berhenti. Ia kuatir keadaan Ting Ling makin payah.
Lebih baik segera memberi pengobatan saat itu juga.
Ting Hongpun duduk sambil menyangga tubuh tacinya. Kemudian Han Ping minta Ca
Giok melindungi, sedang ia memberi penyaluran tenaga dalam pada Ting Ling.
Setelah mendapat kesanggupan Ca Giok, Han Ping segera duduk bersila. Setelah
berhasil mengerahkan tenaga, barulah ia lekatkan tangannya ke punggung si nona.
Berkat tenaga dalamnya yang tinggi, dalam waktu yang singkat, Ting Ling segera
menjerit kesakitan, "Aduh, bisa mati kepanasan aku"."
Perlahan-lahan ia membuka mata. Rambutnya bertebaran dihembus angin
pegunungan. "Ci Ling".!" saking girangnya Ting Hong menubruk tacinya. Tetapi saat itu Ting Ling
masih lemas sehingga ia rubuh terjerembab ke belakang. Untung saat itu Han Ping masih
berada di belakang sehingga dapatlah pemuda itu menyambuti tubuh kedua nona itu.
Ting Hong tersipu-sipu malu ia dan tacinya merebah ke pangkuan Han Ping. Buru-buru
ia menggeliat bangun dan menarik tubuh tacinya. Tetapi ia terkejut ketika melihat Ting
Ling pejamkan mata dan merebah di haribaan Han Ping. Wajahnya tampak lunglai sekali.
Buru-buru ia berjongkok dan menanyanya, "Ci Ling, apakah engkau kaget" Karena girang
melihat engkau sadarkan diri, aku lupa kalau engkau masih lemah. Ah, aku salah,
maafkanlah ci!"
Ting Ling membuka mata tertawa, "Tak apa, jangan kuatir."- lalu ia suruh Ting Hong
menariknya bangun.
Setelah berdiri, Ting Hong memberitahukan kepada tacinya itu bahwa sam-siok
merekapun juga muncul.
"Dimanakah beliau sekarang?" Ting Ling tersenyum lunglai, semangatnya masih lemah.
"Sam-siok dikurung dalam barisan Tiok-sik-tin"."
Tiok-sik-tin artinya barisan Bambu-batu.
"Apa" Tumpukan bambu dan batu itu mampu mengurung paman?" Ting Ling terkesiap
kaget. Ia seorang nona yang berotak cerdas. Selalu ia dapat memperhitungkan setiap hal
dengan cermat dan tepat. Adalah karena baru saja sadarkan diri dari pingsan, ia merasa
telah kelepasan bicara. Buru-buru ia menyusuli pula kata-katanya, "Benar, tentulah barisan
itu istimewa sekali!"
"Benar, nona", Ca Giok tertawa, "barisan itu memang menggunakan batu-batu dan
bambu", "Dalam dunia persilatan siapakah yang tak mengetahui kemahsyuran nama marga Ca
tentang ilmu kepandaiannya dalam soal barisan. Dalam hal ini terpaksa kumohon saudara
Ca sudi menolong paman kami", kata Ting Ling.
Ca Giok tergagap menyahut, "Ah, pengetahuanku dalam ilmu barisan hanya sekelumit
saja. Tadipun telah terkurung hampir tak dapat keluar dari barisan itu"."
"Celaka!" tiba-tiba Han Ping memekik, "kita terpaksa harus kembali lagi mencarinya!"
"Siapa?" seru Ting Ling,
"Dara baju ungu yang membentuk barisan itu" sahut Han Ping.
Entah bagaimana perasaan hati Ting Hong ketika melihat kebingungan Han Ping saat
itu. buru-buru ia melengking, "Dia kan sudah mengusir kita keluar dari barisan, perlu apa
mencarinya lagi?"
"Resep yang diberikan untuk nona Ting Ling aku lupa meminta kepadanya", kata Han
Ping. Ting Hong tertegun, sesaat kemudian ia menyetujui, "Benar, memang kita harus
kembali. Sekalian tolonglah engkau minta kepadanya supaya suka membebaskan paman
kami!" Han Ping agak tergugu tetapi ia tak mau menyatakan apa-apa.
"Adik Hong, apakah itu" Tolong engkau ceritakan yang jelas", karena tak dapat
mengikuti pembicaraan kedua anak muda itu, Ting Ling menyelutuk.
Ting Hong segera menuturkan semua peristiwa yang telah terjadi selama tacinya
pingsan. Ting Ling merenung, kemudian berkata, "Cobalah engkau ingat-ingat lagi apakah masih
ada hal yang kelewatan belum engkau ceritakan"
"Ah, tidak ada!"
Ting Ling tertawa, "kalau begitu marilah kita lekas pulang sajalah! Bukankah dia telah
mengusir kalian keluar dari barisan" Bukankah ia maksudkan supaya kita membantunya
untuk mengusir orang yang hendak membakar barisannya itu. Dengan melemparkan Cin
An Ki ke dalam barisan, dia tentu gembira sekali!"
Diam-diam Ca Giok terkejut dan memuji Ting Ling yang disohorkan orang sebagai
seorang nona yang cerdik.
"Harap nona berdua tunggu di dalam hutan, aku hendak kesana meminta resepnya",
kata Han Ping terus menuju ke arah barisan lagi.
Rupanya Ting Ling ingin sekali melihat dara baju ungu itu. Sambil berpegangan pada
pundak Ting Hong, ia paksakan diri berjalan mengikuti Han Ping.
Han Ping berpaling. Ketika melihat kedua nona itu mengikutinya, ia kerutkan kening.
Tetapi tak leluasa melarang mereka. Terpaksa ia berjalan dengan perlahan.
Tiba di luar barisan, ternyata dara itu sudah menanti di tepi barisan. Ting Ling dan Ting
Hong memberi hormat serta menghaturkan terima kasih atas pertolongan dara itu.
"Tak perlu", sahut dara itu, "aku sudah mendapat upah berharga dari kawanmu . . ."- ia
mengeluarkan bungkusan sutra putih, "lnilah resepnya", " habis berkata, terus kembali
masuk ke dalam barisan".
Melihat kecongkakan dara itu, Han Ping mendengus ia tak mau membungkuk untuk
mengambil resep yang jatuh di tanah itu. Adalah Ca Giok yang mewakili memungut sutra
putih itu, Ketika mengangkat muka memandang ke muka ternyata dara itupun tengah
berpaling. Mata keduanya saling beradu pandang dan mulut tersenyum hambar.
Kiranya mendengar dengus kegeraman dari Han Ping tadi, dara itu berpaling ke
belakang. Saat itu dilihatnya Ca Giok sedang membungkuk untuk menjemput sutra putih di
tanah. Tertawalah dara itu dengan nada menggemerincing.
Ting Ling dan Ting Hong juga seorang gadis.
Tetapi entah bagaimana mereka terpikat juga mendengar nada tertawa dara itu.
Seolah-olah nada tertawa itu mengandung suatu daya pesona yang luar biasa sehingga
hati kedua nona itu berdebar keras. Hanya Han Ping sendiri yang tak kena pengaruh
tertawa itu. Ia tetap menengadahkan kepala tak mau memandang si dara.
Sedang Ca Giok, walaupun si dara sudah berputar tubuh dan masuk ke dalam barisan,
masih tetap tegak terlongong-longong memandangnya".
Ketika memandang ke sekeliling, Ting Ling dapatkan ke delapan tokoh-tokoh tadipun
serupa keadaannya dengan Ca Giok.
"Suara tertawa dara itu rasanya seperti mengandung tenaga gaib. Mungkin bukan
tertawa biasa, melainkan suatu ilmu tenaga dalam golongan Hitam", katanya kepada Ting
Hong. Yang diperhatikan Ting Hong hanya Han Ping. Melihat pemuda itu tenang-tenang saja,
ia menyahut kata-kata Ting Ling tadi, "Aneh, mengapa dia tak takut" Orang-orang pada
kesima seperti patung, dia tetap biasa saja, sedikitpun tak kena pengaruh!"
Jawab Ting Ling, "Oleh karena dia tak mau melihat dara itu. Coba kalau melihatnya . .
." "Saudara Ca, apakah sutra putih benar resep untuk nona Ting Ling", pembicaraan Ting
Ling terputus oleh seruan Han Ping secara tiba-tiba itu. Sesungguhnya Han Ping tadi
sudah bertanya dengan perlahan tetapi Ca Giok tak mendengarnya dan masih terlongong
seperti patung, Terpaksa Han Ping berseru dengan keras.
Ca Giok seperti dibangunkan dari mimpi. Dengan gelagapan ia berpaling, sahutnya,
"Benar, benar, Sutra putih ini memang resep untuk nona Ting Ling"
Tatkala mendengar seruan nyaring dari Han Ping, kembali dara baju ungu itu terhenti
dan berpaling ke arah mereka. Tetapi kali ini ia tidak tertawa. Wajahnya tidak secerah tadi
lagi melainkan mengerut dengan serius sehingga mengunjuk gaya dan sikap yang angkuh
dan dingin. Hebat! Sikap galak itu telah menimbulkan perbawa yang hebat sehingga
sekalian orang yang terlongong-longong memandangnya tadi, serempak sama tundukkan
kepala. Ting Ling menghela napas perlahan, ujarnya, "Dalam sekejap mata, dara itu dapat
mengunjuk sikap yang berlainan sama sekali. Dan dapat pula menggetarkan hati orang.
Jika bukan suatu ilmu Hitam, tak mungkin bisa mempunyai pengaruh yang sedemikian


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hebatnya. Hayo, kita lekas pergi jangan melihatnya lagi! Jika terlambat, siapa tahu dia
tentu akan mengeluarkan tingkah laku yang aneh lagi!"
Dengan masih memegang pundak Ting Hong, Ting Ling segera mengajak adiknya
tinggalkan tempat itu.
Juga Han Ping tak senang akan sikap dan tingkah dara baju ungu yang angkuh dan
congkak itu. Ia tetap tak sudi melihatnya. Dengan demikian dialah yang paling tenang
sendiri. Segala yang berlangsung di luar barisan itu tak lepas dari perhatian si dara, Dengan
tertawa dan memberingas, ia mampu membuat tokoh-tokoh itu serasa terbang semangat
dan runtuh nyalinya. Satu-satunya yang tak terpengaruh hanyalah Han Ping seorang.
Diam-diam marahlah dara itu. Ia mendengus dingin lalu berputar tubuh dan berkata
seorang diri, "Hm, aku tak percaya hatimu terbuat dari baja, panca indramu sudah peka.
Nanti tentu pada suatu hari akan kubuatmu meratap-ratap di telapak kakiku!"
Sesungguhnya kata-kata itu adalah isi hatinya. Tetapi karena marah, tanpa disadari ia
telah meluncurkannya keluar.
Pada lain saat ia berhenti lagi untuk melihat mereka. Ah, mereka sudah melangkah
pergi dari barisan itu. Ca Giok tak henti-hentinya berpaling ke belakang demikianpun
kedua nona Ting. Hanya Han Ping seorang yang tak mau berpaling sama sekali.
Setelah melintasi hutan dan tiba di jalan besar, Han Ping berhenti. Katanya kepada
kedua nona Ting, "Menilik dara itu paham pengobatan dengan ilmu tusuk jarum tentulah
resep yang diberikannya itu takkan salah. Setelah masuk kota, harap nona belikan resep
itu di toko obat lalu beristirahat selama 3 hari"."
"Hai, engkau tak ikut bersama kami?" Ting Hong terkejut.
Han Ping tertawa hambar, "Aku masih mempunyai suatu urusan penting yang harus
kukerjakan, Maka terpaksa hendak minta diri.
"Mau kemana engkau?" tanya Ting Hong.
Han Ping tundukkan kepala beberapa saat.
Berselang beberapa jenak baru ia mengangkat muka dan menyahut, "Maaf, aku tak
dapat memberitahukan". " Berpaling kepada Ca Giok ia berkata lebih lanjut, "Aku
mempunyai sebuah permintaan, entah apakah saudara sudi meluluskan?"
Ca Giok mengiakan.
"Luka nona Ting Ling masih belum sembuh sama sekali. Setelah minum obat, harus
beristirahat beberapa hari"."
"Bukankah engkau hendak minta aku supaya menjaga nona Ting sampai sembuh baru
boleh meninggalkannya?" tukas Ca Giok tertawa.
Sahut Han Ping, "Sesungguhnya hal itu memang kurang leluasa, tetapi"."
Belum Han Ping menyelesaikan ucapannya, Ting Ling melirik ke arah Ca Giok lalu
menukas, "Sau pohcu sendiri tentu masih mempunyai urusan penting, masakan kami
berani mengganggu waktunya yang berharga. Berikan resep itu kepadaku, biarlah adik
Hong yang menjaga diriku saja!"
Ca Giok menebarkan sutra putih, membaca bunyi tulisan resep, baru menyerahkan
kepada Ting Ling, "Jika begitu kehendak nona, akupun menurut saja".
Ting Ling menyambut sutera itu dan tanpa membaca isinya, ia terus memasukkan ke
dalam baju. Kemudian ia menatap Han Ping, tanyanya, "Apakah engkau hendak pergi
begini saja tanpa menghendaki barangmu yang hilang itu?"
Han Ping tertegun sejenak, ujarnya, "Dalam waktu singkat, bagaimana mungkin untuk
mencarinya, tetapi aku"."
"Kalau engkau memang mempunyai lain urusan yang penting, kita tetapkan saja kapan
akan bertemu lagi. Jika aku berhasil merebut kembali barangmu yang hilang itu, kelak
tentu akan kukembalikan kepadamu. Jika tak berhasil, sekurang-kurangnya aku tentu
dapat mengetahui jejak pencurinya itu!"
"Baiklah, nanti tiga bulan lagi kita bertemu lagi di biara dimana kita pernah berjumpa
dengan pengemis sakti Cong To!" kata Kan Ping,
"Bagaimanapun juga, pada saatnya kita harus menepati janji bertemu itu!" sahut Ting
Ling serentak. "Ucapan seorang lelaki, bagaikan gunung kokohnya. Asal hayat masih dikandung
badan, aku tentu memenuhi janji!" habis berkata Han Ping memberi hormat lalu
melangkah pergi.
Sambil memandang bayangan si pemuda dengan gundah hati, bertanyalah Ting Hong
kepada tacinya, "Ci, urusan apakah yang menyebabkan dia begitu tergesa-gesa pergi?"
Ting Ling tertawa, "Bagaimana, mana aku tahu! Tetapi tentulah suatu urusan yang
penting"."
Ca Giokpun tertawa memberi hormat, "Harap nona Hong suka merawat luka nona Ling
dengan baik. Akupun hendak mengundurkan diri dulu. Mungkin tiga empat hari lagi kita
akan berjumpa lagi."
Setelah pemuda itu pergi, Ting Ling mencoba menyalurkan pernapasannya. Beberapa
jalan darah dalam tubuhnya serasa masih tersumbat, belum dapat lancar, Juga dadanya
masih terasa agak sakit. Ia hentikan penyaluran itu lalu berpaling. Dilihatnya Ting Hong
masih terlongong-longong memandang bayangan Han Ping.
Ting Ling menghela napas panjang, "Ah, ji-ahtau"."
Ting Hong berpaling tertawa, "Taci memanggil aku?"- Sekalipun sudah tahu bahwa
dirinya biasa dipanggil dengan sebutan ji-ahtau, namun karena tiada menemukan lain
kata, ia terpaksa pura-pura menegas lagi.
Memandang ke langit, berkatalah Ting Ling, "Paman masih terkurung dalam barisan,
sedang tenaga murniku masih belum pulih. Bagaimana tindakan kita sekarang ini?"
"Aku mempunyai sebuah rencana entah sesuai atau tidak," kata Ting Hong.
Setelah Ting Ling menyuruhkan mengatakan, Ting Hong berkata pula, "Pemuda Han
Ping itu selalu pegang kata-kata. Kita minta kepadanya untuk menolong paman lalu
kutemani taci untuk merawat luka"."
"Tidak bisa", Ting Ling gelengkan kepala, "dia tak tahan melihat sikap angkuh dari
paman. Dan pamanpun geram melihat sikapnya yang congkak. Jangankan dia mau
meluluskan, bahkan kalau mau meluluskan untuk menolong pamanpun juga akan
menemui kesulitan."
"Habis bagaimana sekarang ini?"
"Saat ini hanya ada sebuah jalan", kata Ting Ling, "pergilah engkau ke kota membeli
obat, Kutunggu engkau di sebuah tempat yang sukar diketahui orang. Setelah minum
obat, aku akan beristirahat disitu dan engkau kembali ke barisan menolong paman".
"Ah, tetapi luka taci masih belum sembuh. Jika berada disini tentu berbahaya, Lebih
baik kuantar taci ke kota mencari rumah penginapan. Setelah itu baru aku pergi menolong
paman". "Luka dalam yang kuderita amat parah sekali," kata Ting Ling, "Jika menuju ke kota
tentu makan waktu lama sekali. Lekaslah engkau pergi sendiri membeli obat itu!"
Ting Ling berpaling memandang sebuah pohon siong yang tumbuh di tepi jalan,
katanya pula, "Pohon siong itu rindang sekali daunnya. Tepat untuk dijadikan tempat
bersembunyi. Lekas antarkanlah aku kesana".
"Apa?" Ting Hong terbeliak kaget. Tetapi Ting Ling sudah melangkah maju. Terpaksa ia
menyusul untuk memapahnya.
Wajah Ting Ling tampak mengerut serius. Ia berjalan dengan kepala menunduk.
Berulang kali ia kerutkan alis. Suatu pertanda bahwa ia sedang memecah suatu persoalan
yang amat pelik.
Tiba di bawah pohon siong itu, Ting Ling menunjuk ke atas sebuah dahan yang penuh
silang bersilang, katanya, "Naikkan aku ke atas dahan itu"
Ting Hong kenal watak tacinya. Sebelum dapat memecah suatu persoalan, selalu tak
mau menceritakan soal itu kepada lain orang. Bahwa tacinya itu hendak bersembunyi di
atas dahan pohon, tentulah mempunyai tujuan tertentu.
Karena percuma saja jika hendak membantah, Ting Hong segera melakukan perintah
tacinya. Lebih dulu ia loncat ke atas dahan itu. Setelah mengaitkan kedua kakinya pada
dahan, tubuhnya meluncur ke bawah, memegang tubuh Ting Ling. Sekali angkat, dapatlah
ia menaikkan Ting Ling ke atas pohon.
Setelah menempatkan diri di sebuah persilangan dahan yang terlindung baik, Ting Ling
segera suruh adiknya ke kota membeli resep.
Ting Hongpun segera loncat turun dan lari menuju ke kota, Sedang Ting Ling berusaha
menggeliat untuk mencari tiang sandaran pada sebuah dahan besar. Setelah itu ia
pejamkan mata bersemedhi.
Tetapi saat itu benaknya masih tercengkam oleh berbagai peristiwa. Sekalipun tahu
bahwa bersemedhi itu pantang memikirkan segala urusan, namun ia gagal untuk
mengosongkan pikirannya.
Ia menginsyafi bahwa peristiwa yang dihadapi saat itu, benar-benar gawat sekali.
Berkumpulnya tokoh-tokoh dari segala partai persilatan itu, entah kelak apakah akan
mempengaruhi kedudukan Lembah Raja setan dalam dunia persilatan.
Pula apakah mempunyai akibat dalam dunia persilatan umumnya. Sekali salah hitung,
akibatnya tentu hebat.
Diam-diam nona itu menghela napas dan berkata seorang diri, "Ting Ling, ah, Ting
Ling". selama ini engkau membanggakan dirimu sebagai seorang nona yang berotak
cerdas. Dunia persilatanpun memuji kecerdasanmu. Sekarang kalau engkau tak mampu
memecahkan persoalan ini, menundukkan tokoh-tokoh persilatan dan merebut kitab
pusaka dari partai Lam-hay-bun, bukankah engkau akan ditertawakan orang".
Demikian nona itu tenggelam dalam renungan yang dalam".
Dalam pada itu baiklah kita tinggalkan dulu Ting Ling yang sedang berjuang keras
untuk mencari daya upaya mengatasi situasi gawat yang dihadapinya saat ini. Kita ikuti
lagi perjalanan Han Ping.
Setelah berjalan beberapa lama, tiba-tiba Han Ping merasa gelisah, katanya, "Seorang
lelaki harus dapat menyelesaikan pekerjaan yang dipertanggung jawabkan kepadanya.
Bekerja tak boleh kepalang tanggung, ada mulanya tetapi tak ada penyelesaiannya. Soal
meyakinkan ilmu silat, tak mungkin selesai dalam waktu tiga empat hari. Saat ini luka Ting
Ling belum sembuh sama sekali. Sedang dara baju ungu itu masih terkurung dalam
barisan. Tinggalkan mereka begitu saja, apakah sesuai dengan prilaku seorang jantan . .
.?" Pikiran melayang tetapi kakinya masih tetap berjalan. Angin pegunungan berhembus
menampar mukanya dan ia agak terkejut. Saat itu ternyata dia berada di atas sebuah
puncak. Ia terlongong-longong memikirkan peristiwa yang telah dialami selama ini.
Kembali berbagai kenangan melintas dalam benaknya. Peristiwa pembunuhan ngeri dari
mendiang suhunya, menimbulkan bara kemarahan untuk menuntut balas. Seketika
dadanya terasa sesak dan tiba-tiba bersuitlah ia senyaring-nyaringnya.
Penghamburan isi hati itu dengan bersuit itu, dapat juga melonggarkan kesesakan
napasnya. Tanpa disadari ia sudah termangu-mangu di tempat itu sejam lamanya.
Sejak pertempuran sengit dengan Pengemis-sakti Cong To, ia telah menarik banyak
pengalaman. Bukan saja pengalaman berhadapan dengan musuh, pun banyak hal dalam
pelajaran dari Hui Gong siansu yang diberikan secara lisan saat itu dapat dipraktekkan.
Sejak itu makin menggeloranya nafsunya untuk memperdalam peyakinannya. Banyak
pelajaran lisan dari mendiang Hui Gong yang harus ia praktekkan dalam latihan.
Tetapi karena timbulnya peristiwa Ting Ling menderita luka parah, Han Pingpun tak
sempat lagi untuk berlatih, Karena ia harus mencari si wanita baju hijau itu.
Kemudian setelah dara baju ungu dapat mengobati luka Ting Ling, barulah hatinya
longgar dan timbullah kembali seleranya untuk berlatih.
Dalam ilmu pelajaran silat, uraian dan keterangan tentang cara dan penggunaan setiap
gerakan, memang penting sekali. Setelah jelas akan artinya, barulah dapat menggunakan
dengan lebih mantap.
Karena waktunya tak mengizinkan maka Hui Gong hanya memberikan pelajaran secara
lisan. Berkat ketajaman otak dan kuatnya daya ingatannya, dapatlah Han Ping menerima
pelajaran itu. Setiap hari tak jemu-jemunya ia selalu menghafalkan pelajaran lisan itu.
Dengan begitu dapatlah ia mengingat setiap patah kata pelajaran itu. Tetapi ia belum
dapat menyelami makna dari kata-kata pelajaran itu.
Pada saat bertempur dengan tokoh sakti Cong To, dalam keadaan terdesak, ia
kerahkan seluruh daya pikirannya untuk memecahkan arti kata pelajaran itu. Dan
memang, dalam saat-saat yang genting, biasanya pikiran kita tentu bertambah tajam.
Demikianpun yang terjadi dengan Han Ping. Pertempuran itu telah membangkitkan daya
pikirannya secara hebat sekali. Banyak kata-kata dalam pelajaran itu mendadak dapat
dimaklumi artinya. Setelah mengerti maksudnya, lalu ia gunakan dengan serentak.
Hasilnya, benar-benar mengejutkan sekali. Ia dapat memainkan beberapa jurus ilmu silat
yang penuh variasi dan luar biasa anehnya.
Penemuan itu makin membangkitkan seleranya untuk memperdalam dengan latihan.
Seketika larilah ia mencari tempat sepi untuk berlatih.
Tetapi ia tak tahu arah. Pikirannya hanya tertuju mencari tempat sunyi. Sepuluh li
jauhnya, tibalah ia di sebuah gerumbul pohon jati yang rindang daunnya. Dan sesaat
tersadarlah pikirannya. Ternyata tempat itu sebuah tanah kuburan yang terpencil. Luasnya
tak kurang dari 20an bahu. Empat penjuru dikelilingi pohon jati, sehingga menambah
keseraman suasana.
Sebuah makam besar menggunduk di tengah. Di depan makam besar itu penuh dengan
arca kuda dan orang-orangan. Tetapi patung-patung itu sudah rusak keadaannya.
Han Ping anggap tempat itu sesuai untuk melaksanakan latihannya. Kuburan itu tentu
jarang dikunjungi orang. Maka segera ia menghampiri.
Biarlah kita tinggalkan dulu Han Ping yang sudah mendapat tempat untuk meyakinkan
ilmu silat ajaran mendiang Hui Gong taysu itu. Kita jenguk lagi keadaan Ting Ling.
Setelah merenung beberapa saat, tiba-tiba nona itu rasakan darahnya bergolak keras
sehingga hampir ia tak kuat bertahan duduk. Terpaksa ia lepaskan pikirannya dan
beristirahat. Dan benarlah, Setelah dapat mengosongkan pikiran dan beristirahat,
semangatnyapun makin segar lagi. Ia menghela napas longgar lalu merangkak ke sebuah
silang dahan yang lebat. Dari tempat itu dapatlah ia melongok sampai beberapa li
jauhnya. Ternyata empat penjuru pegunungan tetap sunyi senyap. Barisan Batu-bambu tak
tampak karena teraling sebuah hutan.
"Ah, apakah dugaanku salah?" katanya seorang diri. Tetapi alangkah kejutnya ketika
saat itu ia melihat segumpal asap tebal membumbung ke udara. Arahnya jelas berasal dari
Barisan Batu-bambu itu.
Gemetar seketika Ting Ling menyaksikan perubahan yang tak diduga-duganya itu
sehingga hampir saja ia tergelincir jatuh ke bawah.
Pamannya yang masih terkurung dalam barisan itu tentu akan mati terbakar". tetapi
ah, saat itu ia masih belum sembuh. Jangankan hendak menolong sedang hendak loncat
turun ke bawah saja, ia masih kuatir akan parah lukanya. Hatinya bukan kepalang
gelisahnya, tetapi apa daya. Satu-satunya harapan hanyalah agar adiknya lekas kembali
membawa obat. Maka tak henti-hentinya ia melongok ke arah jalan.
Sesaat ia memandang ke arah berkobarnya api itu, tiba-tiba tampak 5 orang lelaki
berpakaian seperti orang persilatan, tengah berlarian pesat. Karena jaraknya jauh, ia tak
dapat melihat wajah mereka. Tetapi ia seorang nona yang memiliki ingatan tajam. Samarsamar
seperti mengenal kelima orang itu sebagai tokoh-tokoh yang mengepung di luar
barisan. Setelah merenung beberapa saat, segera ia menyadari apa yang telah terjadi. Diamdiam
ia memaki, "Orang menyohorkan Ca Giok itu seorang pemuda licik yang ganas.
Kiranya memang benar. Pemimpin Rimba Hijau (golongan penyamun/bajak) dari darat dan
air di wilayah Tionggoan, antara lain si Kipas besi pedang perak Ih Seng, Naga sakti laut
Gun-hay Cin An Ki, Leng Kong Siau dari lembah Seribu racun serta pamannya sendiri
Imam pencabut nyawa Ting Yan San. Mereka adalah jago-jago ternama. Tetapi saat ini
mereka itu akan binasa di bawah api yang disulut Ca Giok"."
Tengah merenungkan hal itu, tiba-tiba ia terbeliak kaget ketika melihat Ca Giok
bersama si dara baju ungu, muncul dari hutan. Hal itu makin menguatkan dugaannya
bahwa api itu jelas Ca Giok yang melepas.
Kedua anak muda itu berjalan perlahan menuju ke arah pohon siong tempat
persembunyian Ting Ling. Sudah tentu nona itu terkejut. Diam-diam ia menimang, "Jika
persembunyianku itu sampai diketahui Ca Giok, ah, habislah sudah riwayatku. Sekalipun
adik Hong datang, tetapi tentu tak dapat mengalahkan Ca Giok . . ."
Saat itu Ting Ling benar-benar gelisah sekali. Di satu pihak ia mengharapkan adiknya
segera datang agar dapat ia suruh menolong pamannya. Tetapi ia kuatir adiknya akan
bentrok dengan Ca Giok.
Tak berapa lama, kedua anak muda itupun tiba di bawah pohon tempat Ting Ling
bersembunyi. Dari celah-celah daun yang rimbun, ia dapat mengintai gerak-gerik kedua
pemuda itu. Tampak wajah si dara baju ungu mengerut serius. Seolah-olah tak
menghiraukan Ca Giok. Dara itu berjalan sambil menengadahkan kepala.
Sedang Ca Giok tak menentu sikapnya. Sesaat ia kerutkan alis mengerut dahi. Sesaat
wajahnya berseri dan mengulum senyum. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
Tiba di bawah pohon siong itu, tiba-tiba si dara berhenti. Sambil membelakangi Ca
Giok, ia bertanya, "Apakah maksudmu meminta aku datang kesini" Bilanglah"." "
nadanya dingin sekali.
Ca Giok menengadahkan kepala dan menghela napas panjang. Setelah berbatuk-batuk
sejenak, ia membuka mulut, "Sepuluh tahun berselang Lam-hay Ki-soh membawa seorang
dara kecil, datang ke pertemuan besar para tokoh-tokoh persilatan yang berlangsung di
gunung Heng-san. Di hadapan seluruh tokoh persilatan Tionggoan, dia telah memberi
kecaman tajam terhadap ilmu silat Tionggoan. Nona kecil itu, apakah"."
"Benar, memang aku, lalu bagaimana maksudmu?" tukas dara itu dengan tertawa
dingin. "Ah, kalau begitu aku telah berlaku kurang hormat", kata Ca Giok.
"Kawan-kawanmu itu, kemana perginya semua?" seru si dara.
"Ini". akupun tak tahu"." ia berhenti sejenak lalu tiba-tiba berseru nyaring, "Karena
nona orang Lam-hay-bun, tentulah nona tahu tentang kitab pusaka itu?"
Serentak nona itu berbalik tubuh dengan seketika. Menatap lekat-lekat kepada Ca Giok,
ia tersenyum katanya perlahan, "Eh, engkau berani sedemikian bengis kepadaku?"
Dara itu mengulum senyum yang luar biasa manisnya, Lebih manis dari sari madunya
madu. Jantung Ca Giok berdebar keras seperti hendak copot dari tempatnya. Seketika lupalah
ia akan segala persoalan. Persetan dengan Kitab pusaka Lam-hay-bun, apa itu segala


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

macam urusan tetek-bengek. Ia memandang terlongong-longong wajah si dara.
Semangatnya melayang-layang di nirwana.
Karena sampai sekian saat tak mendengar kedua muda mudi itu bicara, Ting Ling tak
sabar lagi. Ia menyingkap daun dengan hati-hati sekali dan melongok ke bawah. Ai".
tampak Ca Giok tegak mematung memandang si dara. Heran ia dibuatnya. Ia
memberanikan diri menyingkap selembar daun lagi agar dapat melihat keadaan si dara.
Tetapi secepat itu juga ia menyurut dan palingkan muka lagi!
Sekalipun ia juga seorang anak perempuan tetapi benar-benar ia tak berani
memandang senyum dara itu.
Sepasang bibir merah delima dari dara itu merekah dan memancarkan tawa
menggerincing, "Apakah engkau ingin melihat kitab pusaka Lam-hay-bun itu?"
Aneh, benar-benar aneh. Ca Giok geleng-geleng kepala tanpa mampu berkata apa-apa.
Hatinya serasa hampa tak tahu apa yang harus dikatakan.
Tiba-tiba dara itu mengerut wajah. Senyumnyapun lenyap seketika. Ca Giok gelagapan
seperti dibangunkan dari mimpi. Plak. plak, ia menampar kepalanya sendiri seraya berkata,
"Sudah lama kudengar tentang kitab pusaka dari perguruan Lam-hay-bun itu"."
"Oleh karena itu engkau ingin mengetahui ilmu silat apakah yang tercatat di dalamnya,
benar tidak?" tukas dara itu.
Ca Giok tertegun, "Nona cerdik sekali. Dapat menebak jitu!"
"Tak perlu engkau melihat kitab itu", kata si dara, "Jika ada hal-hal yang belum jelas,
silahkan tanya kepadaku!"
Diam-diam Ca Giok mendamprat dara itu bermulut besar. Pikirnya, ia hendak
mengajukan pertanyaan yang sulit agar dara itu kelabakan.
Rupanya dara itu dapat membaca isi hati Ca Giok, serunya, "Silahkan engkau mencari
pertanyaan yang sesulit-sulitnya supaya aku terdesak! Ketahuilah, kitab pusaka Lam-haybun
itu memakai sastra Arab, India dan Tionghoa. Engkau lihatpun percuma saja!"
"Tetapi nona dapat mengerti semua?" tanya Ca Giok.
"Ilmu perbintangan dan ilmu bumi, pengobatan dan ramalan, sedikit-sedikit aku tahu.
Silahkan engkau mengajukan pertanyaan yang sulit!"
Mendengar nada dara itu makin lama makin sombong, timbullah rangsangan ingin
menundukkan dalam hati Ca Giok. Pikirnya, "Ah, aku tak percaya seorang anak perempuan
berumur 18an tahun, memiliki pengetahuan yang sedemikian hebatnya".
Dengan tersenyum ia berkata, "Bagaimana kalau kita bertaruh?"
"Tak perlu begitu!" sambut si dara, "kalau aku kalah, akan kuberikan kitab pusaka itu
kepadamu, Tetapi kalau engkau kalah, katakan sendiri engkau akan bertindak
bagaimana?"
Diam-diam Ca Giok terkejut dalam hati. Ia heran mengapa dara itu seperti mengerti
semua isi hatinya,
"Kalau aku kalah, aku takkan menginginkan kitab pusaka itu lagi!" sahutnya.
Si dara tertawa dingin, "Apakah engkau tak menyesal menyatakan sumpah begitu
berat?" Merahlah wajah Ca Giok, ia tergugu tak dapat bicara. Tetapi ia malu hati. Mengapa
harus menyesal bertaruh dengan seorang dara saja"
Kata si dara pula, "Kitab pusaka itu, setelah nanti seluruh tokoh persilatan daerah
Kanglam-Kangpak hadir semua, baru akan kupertunjukkan. Agar kalian dapat melihatnya.
Jika sekarang engkau sudah mengangkat sumpah begitu, engkau tentu menyesal nanti!"
Melihat kesungguhan dara itu berkata, diam-diam Ca Giok mengakui bahwa apa yang
dikatakan dara itu memang benar.
Tetapi baru ia hendak membuka mulut, dara itu sudah mendahului, "Ah, sekarangpun
engkau sudah menyesal, bukan" Tetapi tak apalah. Bukankah disini hanya ada aku dan
engkau dua orang" Asal aku tak bilang, masakan lain orang tahu apa yang engkau
katakan tadi!"
Sejenak merenung, berkatalah Ca Giok, "Karena kita sudah sepakat bertaruh, jika aku
tidak"."
Dara itu menukas tertawa, "Biarlah kuwakili mencarikan suatu cara bertaruh yang enak
untukmu. Jika menang engkau bakal memperoleh kitab pusaka itu tetapi jika kalah
engkaupun tak menderita kerugian suatu apa!"
Ca Giok tertegun, ujarnya, "Silahkan nona mengatakan agar dapat kupertimbangkan".
Rupanya Ca Giok sudah kewalahan benar-benar menghadapi dara yang luar biasa
cerdasnya itu, ia tak berani omong sembarangan lagi.
"Cara itu mudah saja. Jika engkau kalau setiap kali bertemu aku, engkau harus
menemani aku dan mengucapkan beberapa patah kata yang mesra"."
Ca Giok melongo.
"Apa?" ujarnya sesaat kemudian. Mimpipun tidak kalau ia bakal memperoleh pertaruhan
yang sedemikian enaknya. Hampir ia tak percaya pada pendengaran telinganya.
"Bagaimana" Apakah usulku itu masih terlalu berat bagimu?" dara itu tertawa.
Diam-diam Ca Giok menimang dalam hati, "Jika ucapanmu keluar dari hatimu yang
tulus, lebih baik aku kalah saja."
Tiba-tiba dara itu tertawa, "Jangan bergirang dulu! Kemungkinan engkau tak mampu
mengalahkan aku!"
Ucapan itu membangkitkan nafsu harus menang pada hati Ca Giok. Diam-diam ia yakin,
tak mungkin dara itu tahu segalanya. Tetapi iapun menginsyafi bahwa dara itu memang
cerdik dan luas sekali pengetahuannya. Jika mengajukan soal yang mudah dijawab,
malulah ia. Karena hatinya kesusu, malah sampai beberapa saat belum juga ia
menemukan persoalan yang patut diajukan.
Dara itu duduk, katanya tertawa, "Pikirlah dulu perlahan-lahan, Aku akan beristirahat
dulu!"-habis berkata ia sandarkan kepala pada pohon siong dan pejamkan mata.
Kita tinggalkan dulu Ca Giok yang tengah sibuk mencari soal untuk diajukan kepada si
dara. Mari kita ikuti Han Ping lagi.
Melihat keadaan kuburan yang sudah rusak dan tak terawat itu, diam-diam Han Ping
menghela napas. Nama, kegagahan, pangkat dan segala kemewahan dunia, akhirnya
hanya berakhir dengan gunduk tanah yang terlantar saja".
Ia dapatkan dirinya saat itu berada di samping sebuah makam dari batu marmer hijau
yang besar. Di belakangnya terdapat beberapa patung malaikat penjaga yang sudah
rusak. Sedang di sebelah muka terdapat sebuah papan nama dari batu marmer. Tetapi
tulisannya sudah tak dapat dibaca jelas. Samar-samar seperti terdapat dua baris kata-kata.
Yang satu berbunyi, "Di dalam laut tiada yang tahu". Dan tulisan yang lain berbunyi, "Di
ujung langit hanya terdapat seorang".
Di tengahnya terdapat 3 buah huruf berbunyi "Makam tunggal". Karena bagian atas
batu nisan itu rompal, maka tak diketahui tulisannya.
Han Ping mendapat kesan bahwa dalam tulisan yang agak bernada congkak itu,
mengandung suatu jeritan hati yang merawankan.
"Ah, masakan dalam dunia yang seluas ini, dia tak mendapatkan seorang sahabat karib.
Walaupun nasibku juga jelek, sejak kecil ditinggal mati oleh kedua orang tuaku tetapi aku
masih mempunyai seorang guru yang merawat dan mendidik aku sampai besar. Begitu
pula terdapat beberapa orang yang mau memperhatikan diriku. Misalnya, mendiang Hui
Gong siansu, kedua nona Ting dan Ca Giok. Mereka baik sekali kepadaku. Agaknya orang
yang terkubur dalam makam ini lebih jelek lagi nasibnya".
Karena kasihan kepada orang itu, diam-diam Han Ping berdoa di hadapan makam,
"Sungguh menyedihkan sekali nasib locianpwe yang selama hidup tak mendapatkan
sahabat karib. Sayang pula, kita tak berjumpa. Andaikata aku sudah lahir pada masa itu,
aku tentu senang sekali bersahabat dengan locianpwe"."
Tiba-tiba ia memperoleh pikiran. Kalau semasa hidupnya orang itu tiada mempunyai
sahabat, biarlah setelah mati ia akan berada disitu untuk menemaninya.
Setelah mendapat pikiran begitu, ia segera menghampiri ke muka makam. Di atas
persada makam itu, terdapat sebuah perapian warna hitam yang masih utuh. Entah
terbuat dari bahan apa. Walaupun persada sudah rusak, tetapi perapian itu tak kurang
suatu apa. Han Ping berjalan mengitari makam itu. Sebuah makam yang luar biasa besarnya.
Diam-diam ia heran mengapa semasa hidupnya tidak mempunyai kawan, tetapi setelah
mati dikubur dalam makam yang begitu besar.
"Adakah sebelum mati dia sudah mempersiapkan makam ini lebih dulu?" pikirnya, atau
mungkin kemenakan atau salah seorang keluarganya yang membuatkan. Dan menilik
megahnya makam ini, tentulah orang ini seorang kaya!"
Ia memeriksa tempat pendupaan. Ternyata berisi teh dari daun jati. Airnya bening. Han
Ping heran. Ketika ia gunakan jari menyusup ke air, ternyata airnya dingin sekali karena
sudah membeku jadi es.
Sejak kecil ia hidup dalam kemiskinan. Jarang ia melihat permata dan barang-barang
berharga. Maka terhadap tempat pendupaan yang dingin itu, ia tak menghiraukan.
Saat itu matahari sedang berada di tengah. Anehnya air dalam pendupaan itu tetap
membeku walaupun tertimpa sinar matahari sehari-harian.
Memikir sampai disitu, barulah timbul rasa herannya dan kembali dia menjamah
pendupaan itu lagi. Seketika lengannya terasa dingin sekali. Ia kaget dan mundur dua
langkah. Dipandangnya tempat pendupaan itu dengan kesima".
Pada saat itu, Ca Giok yang sedang mencari soal untuk diajukan dalam pertaruhan
dengan si dara baju ungu, belum juga berhasil menemukan suatu bahan pertanyaan.
Soalnya, karena ia bingung. Dia takut kalah tetapipun takut menang. Kalau pertanyaannya
kelewat sukar ia kuatir si dara tak dapat menjawab. Walaupun beruntung mendapat kitab
pusaka Lam-hay-bun, tetapi ia tentu gagal mendapatkan dara ayu yang tiada
tandingannya di dunia itu. Namun kalau mengajukan pertanyaan yang mudah iapun kuatir
dipandang hina oleh dara itu. Maka sampai sekian lama belum juga ia berhasil
menemukan suatu bahan pertanyaan yang sesuai.
Tampaknya dara itu tak sabar menunggu lagi. Ia melangkah ke samping Ca Giok dan
duduk di atas sebuah batu yang berada di muka pemuda itu.
Tiba-tiba mukanya terasa dingin. Setitik air menetes jatuh mengenai mukanya. Ia
segera mengusapnya. Ia mengira tentu butir keringat kepalanya. Dan hal itu bisa saja
terjadi apabila orang tengah memikir keras.
Ca Giok sama sekali tak memperhatikan gerak gerik si dara.
Sesungguhnya dara itu amat cerdik sekali. Ia dapat membau air yang dipesut Ca Giok
itu memang keringat orang yang menitik dari atas. Tetapi ia tak mau segera memandang
ke atas pohon. Ia berbangkit dan berjalan ke belakang Ca Giok kemudian barulah ia
melirik ke atas. Tampak seorang nona baju hitam tengah merebah pada sebuah dahan,
rambutnya terurai lepas. Tampaknya sedang menderita kesakitan. Ketika memandang
teliti, barulah ia mengetahui bahwa nona itu bukan lain Ting Ling yang tadi ditolongnya.
Dara itu tak mau membuat ribut, dengan tenang ia berseru menegur Ca Giok, "Sudah
begini lama, mengapa masih juga belum dapat menemukan pertanyaanmu?"
Ca Giok tertawa, "Kepandaian nona dalam hal ilmu silat, sastra, perbintangan dan lainlain
pengetahuan, benar-benar lebih tinggi dari diriku. Tetapi apakah nona juga faham
tentang gunung, sungai dan ilmu bumi serta keanehan-keanehan dalam dunia persilatan?"
Karena menginsyafi bahwa kepandaiannya kalah dengan dara itu, maka ia sengaja
beralih ke lain soal.
Agak terkesiap dara itu seketika. Katanya kemudian, "Katakanlah! Kalau aku kalah,
tentu segera kuserahkan kitab pusaka itu kepadamu!"
Ca Giok tersenyum kecil, "Dalam dunia persilatan Tionggoan terdapat sebuah peristiwa
aneh. Tujuh puluh tahun berselang, hidup seorang pendekar wanita yang cantik jelita dan
berilmu tinggi. Apabila ia tertawa, orang pasti terpesona seperti orang linglung. Setiap
lawan yang berhadapan dengan si jelita, pasti membuang senjata dan rela menyerah.
Tetapi jelita itu ganas luar biasa. Setiap lelaki yang menyerah dan menyembah di bawah
kakinya, tentu akan ditusuk dadanya dengan pedang pendek yang amat tajam sekali"."
Tiba-tiba Ca Giok berhenti. Ia teringat bahwa cerita itu menyangkut dunia persilatan
Tionggoan. Kemungkinan si dara baju ungu tentu tak tahu. Ah, bagaimana kalau dara itu
sampai tak dapat menjawab" Bukankah ia akan memenangkan pertaruhan itu"
Aneh, benar-benar aneh. Orang bertaruh tentu menginginkan menang. Tetapi
sebaliknya Ca Giok malah takut kalau menang.
Dara itu tersenyum bertanya, "Engkau hendak menanyakan tentang asal usul pedang
Pemutus Asmara atau menanyakan tentang orang yang memiliki pedang itu" Harus pilih
salah satu saja, jangan dua-duanya!"
Ucapan itu membuat Ca Giok terperanjat sehingga terlongong-longong. Dia tak
menyangka sama sekali bahwa dara yang masih semuda itu ternyata mengetahui juga
tentang peristiwa itu. Suatu peristiwa yang orang persilatan daerah Tionggoan sendiri
banyak yang tak mengetahui.
"Hai mengapa engkau diam saja?" tegur si dara.
Ca Giok mendengus dalam hati dan mendamprat dara itu terlalu sombong. Diam-diam
ia akan mencari daya agar dara itu tetap menjawab kedua peristiwa itu.
"Pedang pemutus asmara dengan orang yang menggunakan pedang itu, sesungguhnya
tak dapat dipisah-pisahkan. Kedua " duanya mempunyai riwayat yang sama. Semisal,
Sebab dan Akibat, keduanya mempunyai tali temali yang erat. Jika memang mampu
menjawab, engkau harus menuturkan riwayat pedang dengan orangnya sekali. Jika hanya
dapat menerangkan satu, berarti belum lengkap"."
Dara itu menukas dengan tertawa mengikik, "Hi, hik, kiranya engkau ini seorang yang
berpikiran seperti setan. Tadi baru saja engkau merasa takut menang tetapipun takut
kalah, sekarang mendadak hendak mendesak aku begitu rupa!"
Ca Giok terkesiap. Pikirnya, "Benar-benar seperti siluman. Mengapa yang kukandung
dalam hati, dia tahu semua" Rasanya kecerdasan gadis ini jauh berlipat ganda dengan
kedua nona Ting itu"."
"Jangan membikin sulit kepadakulah", kata si dara seraya menatap wajah Ca Giok, "Ya,
ya, akan kututurkan semua pertanyaanmu itu."
Dengan mengulum senyum yang menawan, dara itu segera hendak membuka mulut,
tetapi buru-buru Ca Giok mencegah, "Tunggu dulu, di tempat yang begini sepi, hanya
terdapat kita berdua. Siapa kalah siapa menang, tiada yang menjadi saksi. Ini"."
"Jangan kuatir kalau aku menyangkal", dara itu tertawa, "sebenarnya saksinya sudah
ada!" Sudah tentu Ca Giok bingung. Pada saat ia hendak meminta penjelasan, tiba-tiba ia
mendengar suara berkeresekan dari atas pohon. Dan menyusul sesosok tubuh berpakaian
hitam meluncur ke bawah. Dengan sigap Ca Giok segera menyongsong dengan tangan
kanan. Ia kira tentu musuh. Tetapi ketika mengetahui bahwa orang itu ternyata Ting Ling,
buru-buru ia merubah tusukan jarinya menjadi gerak menyambut. Dan dengan tepat
dapatlah ia menyambuti tubuh nona itu.
Ketika memandang ke muka, tampak si dara baju ungu tengah menutup mulutnya yang
tengah tertawa mengikik. Ca Giok terkejut heran, ia duga dara itu tentu sudah mengetahui
bahwa Ting Ling bersembunyi di atas pohon.
Belum ia sempat berkata apa-apa, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara teriakan
kaget dan menyusul, Ting Hongpun muncul. Dara itu menjinjing sebuah bungkusan besar
dan berlari mendatangi. Begitu tiba, dara itu terus berjongkok lalu membopong tacinya,
"Ci, apakah engkau jatuh dari pohon?"
Dua kali ia bertanya, tetapi Ting Ling tetap diam saja.
Ternyata ketika mendengar Ca Giok dan si dara baju ungu tengah membicarakan
tentang Pedang Pemutus asmara, teganglah pikiran Ting Ling. Karena pikiran tegang,
matanya berkunang-kunang dan terperosoklah ia ke bawah, Walaupun dapat disanggapi
Ca Giok, tetapi nona itu tetap pingsan.
Melihat tacinya tak sadarkan diri, Ting Hong bingung. Cepat ia berkata kepada si dara
baju ungu, "Resep yang engkau buatkan itu sudah kubelikan. Tetapi bagaimana dapat
kuminumkan karena dia pingsan lagi begini"."
Si dara menyahut dengan tertawa dingin, "Tak perlu engkau bingung. Dan siapakah
yang suruh dia tak menurut nasehatku" Mengapa dia memanjat pohon yang begitu
tinggi?" "Ya, sudahlah, dia pingsan, harap engkau suka lekas menolongnya!" Ting Hong makin
gelisah. Si darapun membungkuk untuk melihat keadaan Ting Ling. Ujarnya, "Dia sendiri yang
cari penyakit. Karena terlalu banyak menggunakan pikiran, hawa racun dalam hati,
meluap. Ai, sebenarnya sudah hampir sembuh tetapi karena peristiwa ini dia harus
menunggu sampai beberapa hari lagi"."
Dara itu bertopang dagu memandang ke arah dahan pohon yang sempal dengan
terlongong-longong . . .
* * * Bagian 17 Rahasia sebuah makam
Setelah termangu " mangu beberapa waktu memandang tempat pendupaan,
tersadarlah Han Ping. Bahwa dalam sinar matahari yang cukup terik, tetapi tempat
pendupaan itu dapat membuat air membeku dingin, jelas tentu barang mustika yang
jarang terdapat di dunia.
Kembali ia memegang tempat pendupaan itu. Ah, airnya memang sedingin es sehingga
ia lepaskan lagi. Pikirnya, tempat pendupaan yang aneh itu, biasanya tentu menjadi milik
orang kaya, Karena benda mustika itu berada di makam yang terasing, ia anggap biarlah
benda itu tetap berada disitu untuk menemani jenazah pemiliknya.
Katanya seorang diri kepada makam itu, "Baiklah, karena kita seperti berjodoh, maka
akan kukorbankan waktuku sehari untuk menemani engkau disini. Mudah-mudahan
arwahmu di alam baka dapat terhibur"."
Ia segera duduk di samping makam itu. Memandang ke sekeliling penjuru, tampak
gunduk-gunduk tanah kuburan bertebaran di sana sini, menimbulkan suatu pemandangan
yang indah rawan di saat hari menjelang senja.
Kerawanan itu mempengaruhi jiwa Han Ping juga. Ia segera bersemedhi,
mengosongkan pikirannya.
Entah berapa lama ia berada dalam kehampaan itu, tiba-tiba ia mendengar serupa
bunyi berdering tajam. Ia terkejut dan mengira kalau persemedhiannya telah tersesat
jalan atau yang disebut jip-mo (aliran darah keliru jalannya). Keadaan itu tentu akan
membuatnya cacad bahkan bisa mati.
Dirabanya kening dan pipinya, Ah, basah dengan embun musim rontok. Ia menengadah
memandang ke langit. Bulan dan bintang-bintang sudah menghias cakrawala. Ternyata
hari sudah malam.


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aneh, mengapa dalam pekuburan yang begini terpencil, terdengar suara macam
tetabuhan!" ia heran dan memandang ke sekeliling penjuru. Tetapi tak menjumpai apaapa.
Akhirnya ia pusatkan perhatian lagi untuk menangkap bebunyian yang aneh itu.
Dan berhasillah ia mengetahui asal bebunyian itu. Ya, tak salah lagi. Bebunyian itu
berasal dari dalam makam besar itu.
Keheranannya makin bertambah besar. Ia lekatkan telinga ke makam itu. Ah, bunyi itu
menyerupai air mengalir. Setelah bersemedhi, telinganya tajam sekali. Ia dapatkan bunyi
gemercik air itu mengalir di dasar makam.
Segera ia berbangkit dan berjalan mengitari makam itu untuk memeriksa. Tetapi
makam itu tertutup oleh rumput yang lebat sehingga tak dapat diketemukan suatu lubang
yang mencurigakan.
Serentak ia terkesiap, pikirnya, "Bukankah sekarang sedang dalam musim rontok.
Pohon dan tanaman tentu sama rontok daunnya, Tetapi mengapa rumput yang tumbuh di
makam itu tetap menghijau sendiri!"
Karena heran timbullah hasratnya untuk masuk ke dalam makam itu. Tetapi ia belum
mendapat jalan.
Tiba-tiba angin malam berhembus keras. Daun-daun pohon jati di tanah kuburan itu
berderak-derak. Menyusul terdengar suara burung kukuk beluk bersahut-sahutan.
Sekalipun memiliki ilmu silat tinggi, tetapi Han Ping merasa seram juga.
Begitu seekor burung hantu atau kukuk beluk berbunyi maka disambutlah oleh kawankawannya.
Riuh rendah suara burung hantu yang menyeramkan itu menusuk telinga.
"Ah, kiranya memang benar, Orang mengatakan bahwa bunyi burung hantu itu seperti
orang merintih-rintih"." pikirnya.
Tiba-tiba kawanan burung hantu itu terbang ke udara lalu melayang-layang mengitari
makam besar. Sesungguhnya Han Ping ngeri juga. Tetapi karena ia ingin tahu apa yang
akan terjadi, ia segera menyurut mundur dan bersembunyi di balik batu nisan.
Sekonyong-konyong salah seekor burung hantu yang besar, melayang ke bawah dan
hinggap di atas tempat pendupaan hitam tadi. Burung itu mengangkat kepala, berbunyi
aneh lalu terbang.
Selekas burung itu pergi, maka datanglah burung hantu yang kedua. Juga burung itu
hinggap di atas tempat pendupaan hitam, berbunyi sekali lalu terbang. Kemudian burung
hantu yang ketiga, ke empat, kelima dan satu demi satu kawanan burung hantu itu
terbang dan hinggap di atas tempat pendupaan, setelah mengeluarkan bunyi yang aneh
lalu terbang lagi".
Saat itu rembulan bersinar terang. Han Ping memang tak punya pengalaman. Tak habis
herannya, mengapa kawanan burung hantu itu berbuat seaneh itu.
Setelah kawanan burung itu pergi, suasana kembali sunyi lagi. Tiba-tiba Han Ping
teringat bahwa tujuannya datang kesitu adalah hendak mencari tempat yang sepi guna
berlatih silat. Ah, mengapa ia menyia-nyiakan waktu"
Segera ia tenangkan semangat, kerahkan tenaga dalam lalu menghantam ke arah
sebatang pohon jati yang besar. Tetapi sebelum tenaga pukulan itu melancar, mendadak
ia tarik pulang kembali. Ia dapat memukul dengan cepat tetapi pun mendadak dapat
menariknya kembali.
Latihan yang berhasil itu makin menggembirakan hatinya. Sekarang ia mulai lagi
dengan menghantam daun pohon jati yang jauh jaraknya. Dan kali ini tak ditariknya lagi.
Daun pohon jati itu berhamburan jatuh ke bumi.
Ia memungut sebatang ranting dan diam-diam menghafalkan bunyi pelajaran dalam
kitab Tat-mo-ih-kin-keng:
"Jika Sari menjadi Hawa, Hawa menjadi Semangat dan Semangatpun akan kembali ke
dalam Kehampaan. Kehampaan itu memancar ketiga arah pemusatan puncak dan jadilah
suatu kekuatan dahsyat yang dapat dipancarkan menurut sekehendak hati kita"."
Walaupun berkali-kali diulang Hui Gong taysu dan diberikan juga cara latihannya, tetapi
selama ini Han Ping belum mengerti. Adalah setelah ia bertempur dengan Pengemis sakti
Cong To, barulah ia menyadari arti ilmu pelajaran itu. Maka dalam kesempatan saat ini, ia
berlatih lagi menurut ajaran mendiang Hui Gong. Dan berhasillah ia menguasai tenaga
dalamnya".
Han Ping kesima sendiri atas hasil yang dicapainya saat itu. Benar-benar ia tak mengira
sama sekali. Ia tak percaya bahwa secepat itu ia telah berhasil menempatkan dirinya
sebagai orang yang paling cepat memahami isi kitab Tat-mo-ih-kin-keng. Adakah ia benarbenar
seorang yang berbakat dan paling cerdas di dunia" Ah, tidak".
Berbagai kenangan, lalu lalang di benaknya. Berkecamuk bagaikan gelombang di laut.
Tetapi setelah memikirkan dengan tenang, kesemuanya itu tiadalah seperti
kenyataannya".
Teringat ia akan kebaikan Hui Gong taysu. Beberapa butir airmata, menitik turun.
Bulatlah tekadnya untuk membalas budi padri itu.
Hembusan angin gunung, menyadarkan lamunannya. Malam makin gelap. Rembulan
tertutup gumpalan awan. Ketika memandang ke arah persada makam besar, ia agak
heran. Tempat pendupaan yang tertimpa sinar rembulan tadi hanya hitam berkilat-kilat.
Tetapi setelah cuaca gelap, benda itu memancarkan cahaya mengkilap. Segera ia
menghampiri dan terus hendak mengangkat benda itu. Ah, ternyata benda itu tak berkisar
sedikitpun juga. Han Ping terkejut sekali. Tanpa disadari ia memutar benda itu ke kanan.
Terdengar bunyi berderak-derak dan mendadak persada batu itu merekah dan
terbukalah sebuah pintu. Melihat itu, tanpa banyak pikir lagi, ia terus menerobos masuk.
Ketika memandang seksama, ternyata ia sedang menghadapi sebuah lorong di bawah
tanah, terbuat dari batu marmer hijau dan berliku-liku menjurus ke dalam.
Setelah merenung sejenak, ia segera melangkah masuk. Kira-kira tujuh delapan meter,
lorong itu membelok ke kiri. Dan serempak pada saat itu, terdengar bunyi berderak-derak.
Ketika berpaling dilihatnya pintu batu itu tertutup lagi. Namun ia tak gentar dan tetap
teruskan langkahnya.
Terowongan itu gelap dan menyeramkan. Untung tak lembab. Setelah melintasi
beberapa tikungan tiba-tiba ia mendengar suara gemercik air mengalir. Kira-kira dua tiga
meter jauhnya, terdapat sebuah aliran air yang deras. Jelas berasal dari luar makam.
Ia memeriksa lebih lanjut. Saluran air itu dalamnya antara satu meter, tetapi airnya
hanya sedalam tigapuluhan centi. Siang malam air mengalir deras, entah menjurus
kemana. Serupa dengan lorong terowongan, pun saluran air itu terbuat daripada marmer
hijau. Diam-diam ia mengagumi cara pembuatannya yang indah serta megah. Ia lanjutkan
langkahnya. Memang ia harus melalui beberapa tikungan yang membingungkan. Untung
lorong terowongan itu hanya sebuah saja.
Setelah melintasi dua buah tikungan, tiba-tiba di sebelah muka tampak cahaya
penerangan. Dan mulai saat itu lorong terowonganpun makin melebar. Selebar dua buah
kamar. Dindingnya mengkilap seperti kaca dan putih bersih. Entah terbuat dari bahan apa.
Penerangan itu ternyata berasal dari 4 butir mutiara mustika yang dipasang di empat
penjuru. Lorong terowongan itu habis sampai disitu. Kini ia berada dalam suatu ruangan. Pada
pintu ruangan situ, terdapat tulisan berbunyi:
"Para tetamu harap berhenti.
- Ko Tok lojin."
Tulisan itu ditanda tangani oleh Ko Tok lojin atau si Orang tua Seorang diri.
Ruang itu penuh berisi mutiara dan benda-benda kuno yang berharga. Secarik kertas,
ditindihi sebuah batu pualam hijau.
Surat itu berbunyi:
"Siapa yang datang kesini, berarti berjodoh. Silahkan mengambil benda berharga yang
dikehendaki. Tetapi jangan berhati temaha. Hanya boleh mengambil sebuah."
Memeriksa benda-benda berharga itu, Han Ping terpesona kagum. Benda-benda itu
belum pernah dilihatnya seumur hidup. Diam-diam ia anggap pemilik makam itu benarbenar
seorang diri. Karena matipun ia membawa seluruh harta kekayaan ke liang kubur".
Tiba-tiba Han Ping teringat akan sebuah pelajaran ilmu silat. Buru-buru ia duduk bersila
melakukan pernapasan.
Ia tak tahu bahwa saat itu di atas makam, Kipas besi pedang perak Ih Seng sedang
membawa dua orang anak buahnya memandang keadaan makam itu dengan terlongonglongong.
Tetapi mereka tak dapat masuk ke dalam makam.
Adalah karena tak sengaja maka Han Ping dapat menggerakkan tempat pendupaan dan
masuk ke dalam makam itu. Tetapi tak tahu bagaimana akan keluar nanti.
Makam itu dibuat oleh 12 tukang yang termahsyur. Dan mereka kini sudah meninggal
semua. Kipas besi pedang perak Ih Seng memang sering berkelana di dunia persilatan. Setelah
berhasil menawan si dara baju ungu, rencana hendak dibawa ke makam situ dan d"paksa
untuk menyerahkan kitab pusaka Lam-hay-bun. Apabila dara itu memang tak membawa,
pun akan dijadikan sandera dan akan memaksa pihak Lam-hay-bun untuk mengadakan
tukar menukar kitab dengan orang.
Tetapi ternyata di tengah perjalanan menuju ke tempat rombongan Lam-hay-bun
bermukim, dia berpapasan dengan Naga sakti laut Gun-hay Cin An Ki yang membawa
belasan anak buahnya. Rombongan kelompok telaga Tong-thing-ou itu menghadang di
tengah jalan dan berkeras hendak ikut serta dalam perebutan kitab pusaka itu. Hampir
saja kedua pihak akan bertempur. Untunglah saat itu Leng Kong siau dari lembah Seribu
racun dan Tiga jago dari Kimleng, tiba di tempat itu. Mereka bahkan menambah minyak di
dalam api, agar kedua pihak itu bertempur mat-matian. Dengan demikian akan
berkuranglah jumlah orang yang ikut dalam perebutan kitab Lam-hay-bun.
Tetapi pada saat itu, Imam pencabut nyawa Ting Yan san dari lembah Raja setan
muncul. Kemudian Han Ping dan Ca Giokpun tiba. Kedatangan orang-orang itu telah
menyebabkan suasana pertempuran berubah".
Si dara baju ungu meminjam kesediaan Han Ping dan Ca Giok mengawalnya dari
serbuan tokoh-tokoh itu, untuk mengatur barisan Bambu-batu. Hasilnya Leng Kong siau
dan Ih Seng terkurung dalam barisan aneh itu".
Demikian peristiwa yang terjadi mengapa si dara baju ungu dikepung tokoh-tokoh
persilatan. Setelah lolos dari barisan, Ih Seng membawa dua orang anak buahnya lari ke tanah
kuburan. Di tempat yang sunyi itulah ia hendak beristirahat dan merancang siasat lagi.
Dia terkejut melihat tempat pendupaan yang berkaki tiga dan berwarna hitam di atas
persada makam besar itu dapat bergerak-gerak sendiri. Dipandangnya dengan seksama.
Ah, memang benar. Benda berkaki tiga itu memang berputar-putar perlahan.
Sebagai seorang persilatan yang banyak pengalaman, ia tak mau bertindak tergesagesa.
Setelah menunggu beberapa saat tiada suatu perubahan apa-apa, baru ia maju
menghampiri. Kedua anak buahnya terpaksa mengikuti.
Tiba di depan persada, Ih Seng segera ulurkan tangan hendak memegang benda hitam
itu. Tetapi sebelum tangan menjamah, tiba-tiba terdengar bunyi berderak-derak. Sebuah
arca batu besar yang melukiskan seorang penjaga makam, bergerak menerjang Ih Seng
bertiga. Arca itu lontarkan papan batu yang dipegangnya.
Telinga Ih Seng amat tajam. Begitu mendengar kesiur angin, ia cepat berpaling. Bukan
kepalang kejutnya ketika melihat sebuah patung batu dapat bergerak bahkan melontarkan
papan batu ke arahnya. Cepat ia menghindar ke samping.
Tetepi salah seorang anak buahnya menjerit ngeri. Papan batu itu tepat menghantam
kepala orang itu hingga remuk".
Ih Seng yang loncat setombak jauhnya, ketika berpaling dan mengetahui anak buahnya
menjadi korban, kejutnya bukan kepalang. Lebih kaget pula ketika menyaksikan gerak
gerik patung batu itu. Setelah melemparkan papan batu, patung itu tetap menerjang
dengan deras. Baru setelah tiba di depan persada, patung itu berhenti.
"Ah, terlambat sedikit saja menghindar, aku pasti celaka!"- diam-diam Ih Seng
mengeluh. Ia mencari anak buahnya yang lain. Astaga! anak buah itu pun sudah terkapar
kaku di tanah. Tentulah karena ketakutan setengah mati, orang itu rubuh pingsan.
Ih Seng sendiri sebenarnya juga takut. Diam-diam ia kerahkan seluruh tenaga dalam,
bersiap-siap menghadapi sesuatu kemungkinan lain. Tetapi sampai beberapa jenak, tak
terjadi sesuatu apa.
Baru hatinya mulai tenang, tiba-tiba terdengar bunyi berderak lagi. Ia tersirap kaget
dan memandang dengan seksama. Ah, ternyata patung penjaga makam yang berada di
depan persada tadi, bergerak mundur kembali ke tempatnya semula".
Hanya bedanya, kalau di waktu menerjang tadi amat deras sekali tetapi waktu mundur
dengan perlahan-lahan. Anehnya, papan batu yang dilemparkan mengenai kepala sal ah
seorang anak buah Ih Seng itupun bergerak-gerak mengikuti patung itu lalu kembali
melekat ke tangan patung itu lagi.
Ih Seng benar-benar kesima melihat keanehan itu. Pada lain saat ia teringat akan cerita
orang tentang 18 buah patung orang yang berada di paseban Lo-han-tong gereja SiauLim-si. Kabarnya patung-patung itupun dapat bergerak dan menyerang orang. Kiranya hal
seaneh itu memang bukan kabar bohong. Buktinya, ia telah menyaksikan dengan mata
kepala sendiri patung-patung batu yang dapat bergerak menyerang tadi.
Setelah memandang persada makam dengan tempat pendupaan kaki tiga itu, timbullah
suatu dugaan. Jika makam besar itu dijaga oleh barisan patung batu yang dapat
menyerang, tentulah makam itu mengandung sesuatu yang berharga. Kalau tidak harta
benda yang berlimpah-limpah tentu senjata pusaka atau kitab pusaka yang tiada
taranya.Tempat pendupaan yang terus bergerak-gerak itu, tentulah alat penggerak dari
rahasia makam itu.
Segera ia memperhatikan keadaan makam itu dengan cermat. Pikirnya, "Patung batu
itu hanya dapat menyerbu sampai di muka persada makam. Jika aku loncat ke tengah
persada itu, tentu terluput dari serangan patung!"
Saat itu anak buahnya yang pingsan tadi telah siuman. Tergopoh-gopoh orang itu
menghampiri Ih Seng dan berkata dengan tergagap, "Tuan, maafkan"."
Ih Seng tengah mencurahkan seluruh perhatian ke arah tempat pendupaan. Sudah
tentu ia tak menggubris anak buahnya itu.
"Menyingkirlah!" bentaknya seraya loncat ke tengah batu persada.
Karena sudah mendapat pengalaman pahit, maka kali ini Ih Seng berlaku hati-hati
sekali. Begitu berada di batu persada ia cepat mencabut pedangnya lalu menusuknusukkan
pada tanah di sekelilingnya. Setelah mengetahui tak berbahaya, barulah ia
sarungkan pedangnya lagi. Ia membungkuk dan memegang benda hitam yang berputarputar
itu. Ternyata kuat sekali tenaga putaran tempat pendupaan itu. Walaupun sudah
menggunakan separuh bagian tenaganya, tetapi ia tak mampu menghentikan benda yang
berputar itu. Waktu menghentikan tempat pendupaan, matanya tak lepas memperhatikan gerak
gerik patung penjaga yang berada setombak jauhnya dari makam itu. Ia kuatir patung
batu itu akan menerjang lagi.
Sepeminum teh lamanya, tetap patung itu tak bergerak. Serentak ia tersadar, "Benar,
alat penggerak patung batu itu kalau bukan terletak di persada tempat sembahyangan ini
tentulah berada di halaman tanah makam itu. Asal orang hendak mendekati batu persada,
sekali menyentuh alat penggerak itu, tentulah patung itu akan menerjangnya. Dengan
begitu, benda hitam yang berputar-putar ini bukan alat penggerak!"
Kesan itu makin menambah besar nyalinya. Ia tetap hendak menghentikan perputaran
benda hitam itu. Tiba-tiba terdengar bunyi berderak-derak, dari bawah tanah merangsang
naik. Buru-buru ia lepaskan benda hitam itu dan siap-siap.
"Hai"." tiba-tiba ia berteriak kaget ketika tahu-tahu tubuhnya terperosok. Seketika ia
tak dapat melihat apa-apa kecuali kegelapan yang amat pekat.
Kejutnya bukan main! Buru-buru ia empos semangatnya dan menggeliat ke atas. Tetapi
tubuhnya malah meluncur ke bawah lebih deras".
Untunglah ia seorang tokoh yang banyak pengalaman. Walaupun berada dalam bahaya,
tetapi ia tak lekas gugup. Ia rentangkan kedua tangannya untuk menghambat tubuhnya
yang meluncur ke bawah lalu ia berusaha menggeliat ke samping.
Ah, sebuah dinding yang landai dan rata sehingga tak dapat dibuat pegangan. Terpaksa
ia menekan dinding itu. Dengan meminjam tenaga tekanan itu, ia melesat ke belakang
sambil berjumpalitan menuju ke lain dinding. Tetapi serupa juga keadaannya. Tak dapat
dibuat pegangan.
"Celaka, matilah aku!" ia mengeluh. Karena kecewa dan putus asa, buyarlah
pengerahan tenaga murninya. Dengan demikian tubuhnya makin meluncur lebih deras ke
bawah. "Uh"." ia terkejut ketika kakinya menyentuh tanah. Ketika melihat ke sekeliling,
ternyata ia berada di sebuah tempat yang terdiri dari dua buah kamar. Satu besar satu
kecil. Dinding kamar itu terbuat dari batu yang halus dan licin. Di atas kamar itu diterangi
oleh semacam benda yang memancarkan sinar penerangan.
Setelah termangu " mangu beberapa saat, mulailah ia menyelidiki keadaan ruangan itu.
Ia akan mencari jalan untuk keluar dari tempat itu.
Tiba-tiba ia merasakan hawa dalam ruangan itu berubah. Memang bagi orang biasa,
perubahan itu sukar diketahui. Tetapi sebagai seorang tokoh silat yang tinggi tenaga
dalamnya, ia mempunyai panca indra yang lebih tajam.
Ia memandang dengan seksama ke sekeliling, begitu pula iapun mencoba untuk
melakukan pernapasan. Tetapi kesemuanya itu tiada terdapat perubahan apa-apa. Adakah
ketika memandang ke atas, baru ia terkejut bukan kepalang. Kiranya langit-langit ruangan
yang terbuat dari batu itu, mengendap perlahan-lahan ke bawah.
Saat itu barulah ia kelabakan. Betapapun pengalamannya sebagai tokoh persilatan,
tetapi saat itu benar-benar ia gelisah. Dengan kerahkan seluruh tenaga, ia menghantam
dinding ruangan. Tetapi dinding itu sedikitpun tak bergeming. Bahkan tangannya sendiri
yang sakit. Dalam pada itu langit-langit ruangan makin menurun ke bawah. Dalam waktu singkat
tentu akan menindih dirinya.
"Ah, tak kira aku bakal mati dalam keadaan begini mengenaskan," diam-diam ia
mengeluh. Sekalipun begitu ia tetap berusaha untuk melawan bahaya maut itu. Dengan kerahkan
seluruh tenaga, ia songsongkan kedua tangan untuk menahan langit-langit batu yang
menghimpit turun itu. Tetapi langit-langit batu itu teramat dahsyatnya. Ih Seng tak
mampu menahannya. Dan akhirnya kakinya melentuk, tubuhnyapun ikut tertekuk ke
bawah". Sepeminum teh lamanya, Ih Seng sudah telentang rebah di lantai. Dia sudah kehabisan


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenaga dan tak mau menahan lagi. Dengan pejamkan mata, ia pasrah nasib menunggu
ajal. Tetapi sampai beberapa saat, belum juga ia merasa langit-langit batu itu menindih
dirinya. Ketika membuka mata ternyata langit-langit batu itu, berhenti bergerak. Jaraknya
hanya beberapa senti dari tubuhnya.
Pada papan batu yang merupakan langit-langit ruangan itu, terdapat tulisan yang
berbunyi: "Sungguh tak terduga sama sekali tuan akan berkunjung kemari. Kami sambut
sehangat-hangatnya. Jangan takut, takkan tertindih mati. Tetapi hati-hatilah bisa mati
kelaparan. - Ko Tok lojin."
Diam-diam Ih Seng memaki, "Jahanam benar Ko Tok lojin itu. Perlu apa dia memasang
alat jebakan begini kalau tak mau menghimpit korbannya sampai mati. Rebah disini,
berarti akan mati kelaparan juga. Bagi orang biasa, dalam waktu seminggu tentu sudah
mati. Tetapi bagi orang persilatan juga hanya dapat bertahan sampai setengah bulan. Ah,
betapa hebatnya siksaan selama setengah bulan itu!"
Tetapi ia hanya dapat melampiaskan kemarahannya dengan menghambur makian. Lain
dari itu ia tak dapat berbuat apa-apa lagi. Papan batu itu hanya terpisah satu dim dari
ujung hidungnya. Jangankan akan menggerakkan tangan, sedang untuk menekuk kakinya
saja, ia tak dapat.
Pada lain saat ia menertawakan dirinya sendiri. Bukankah pemilik makam itu sudah
mati dulu-dulu. Apa perlunya ia memaki orang yang sudah mati. Bukankah percuma saja"
Tiba-tiba dari sebuah ruangan lain, ia mendengar suara orang membentak, "Hai,
siapakah yang memaki-maki itu".!"
Ih Seng terkejut bukan kepalang. Jelas makam itu sebuah bangunan kuno. Masakan di
dalamnya terdapat orang yang menghuni. Ih Seng kucurkan keringat dingin.
Dari dinding ruangan itu terdengar bunyi berdebuk-debuk dan suara orang bertanya
lagi, "Apakah engkau keliru menginjak alat rahasia makam ini dan jatuh ke dalam
perangkap" Mengapa engkau membisu saja?"
Dengan teliti Ih Seng menyelidiki arah suara orang itu jelas berasal dari seorang
manusia. Ia duga orang itulah yang menggerakkan alat rahasia sehingga ia tersiksa
begitu. Kemarahannya meluap-luap. Serentak ia hendak bangun. Duk". kepalanya
membentur papan batu, hidungnya berdarah dan mata berkunang-kunang! Kesakitan itu
menyadarkan kedudukannya. Ia tenang lagi.
Buru-buru ia kerahkan napas untuk menghentikan darah di hidungnya, "Benar, aku
memang keliru masuk ke dalam perangkap. Apakah saudara begitu pula?"
Karena dinding ruangan itu tebal sekali, tak mudah mendengar suara orang. Walaupun
masing-masing bicara keras tetapi kedengarannya lembut sekali.
Kembali orang di ruang sebelah berkata dengan suara lembut, "Karena selama hidup
hanya seorang diri, tiada sanak dan tiada kawan, maka waktu mati dia telah membuat
makam besar yang diperlengkapi dengan alat rahasia. Untuk menjaga orang yang hendak
mencuri barang-barang peninggalannya"."
Ih Seng hanya melongo. Gila benar orang itu. Masakan dirinya sudah terjebak dalam
ruang rahasia, masih membela pada pemilik makam itu. Pikirnya.
"Barang apa sajakah yang berada di ruang saudara situ. Di tempatku sini memang
penuh dengan permata ratna mutiara manikam yang tak ternilai harganya," kata orang di
ruang sebelah. "Apa?" Ih Seng terkejut.
"Jika saudara menginginkan, asal mengambil sebutir saja, tentulah boleh. Ah, sungguh
sayang sekali mengapa sekian banyak permata yang ternilai harganya, terpendam dalam
makam di sini"."
"Keparat, mengapa engkau mengoceh tak keruan!" tiba-tiba Ih Seng mendampratnya.
Ia marah. "Hai, mengapa engkau memaki aku" Nanti apabila bertemu, tentu paling sedikit akan
kutampar mukamu sampai 4 kali!" orang itu berteriak seraya menghantam dinding
ruangan beberapa kali. Bum, bum".
Ih Seng terkejut. Hantaman orang itu dapat menggetarkan dinding. Jelas seorang yang
berilmu tinggi. Bahkan lebih tinggi dari dirinya.
"Ha, ha, ha," Ih Seng tertawa mendongkol, "lebih baik jangan bertemu dengan aku.
Karena kalau ketemu paling tidak tentu akan kutampar mukamu sampai 8 kali!"
"Hai, jangan lari dulu! Segera akan kucarimu" teriak orang itu makin marah.
Ih Sengpun makin keras tertawa, "Silahkan, kutunggu. Kalau tak mampu mencari aku,
engkau benar-benar seorang bangsat tengik"
Ia duga orang itupun tentu dalam keadaan serupa dengan dirinya. Tak mungkin
keluar". Jilid 11 : Strategi Manipulasi
Bagian 18 Senasib. Lama sekali orang di ruang sebelah itu tak kedengaran suaranya. Diam-diam Ih Seng
berdebar hatinya. Benarkah orang itu sungguh-sungguh hendak mencarinya"
Entah berapa lama, tiba-tiba kamar sebelah itu berdeburan keras sekali dan orang itu
dengan marah berseru, "Hai, dimana engkau! Inilah orang yang hendak menampar
mukamu!" Ih Seng terperanjat. Pikirannya, "Uh, orang ini benar-benar seperti setan. Masakan dia
mampu menerobos dari perkakas rahasia makam ini"."
Pada lain kilas ia memperoleh pikiran, "Hm, kalau dia memang mampu menerobos
keluar tentu diapun mampu menolong diriku. Baiklah kubikin panas dulu hatinya, kusuruh
dia membebaskan aku dulu. Sekalipun mukaku ditamparnya, masih jauh lebih baik
daripada terkubur hidup-hidupan disini"."
"Jangan omong besar dulu, bung. Belum tahu siapa yang harus menerima tamparan.
Ayo, masuklah!" serunya kemudian.
Bum, bum". dinding ruang bergetar keras. Rupanya orang itu tengah mencari
pintunya. Setengah jam kemudian, suara berdeburan itu baru berhenti.
"Celaka, kalau dia tak jadi masuk kemari aku tentu mati"." keluh Ih Seng. Dan
serentak iapun meregang tegang. Ya, jika orang itu sampai keliru menggerakkan alat
rahasia, bukankah papan langit-langit batu itu akan mengendap ke bawah lagi dan
menindih tubuhnya"
Membayangkan kematian yang ngeri itu, Ih Seng mengucurkan keringat dingin".
Sekonyong-konyong terdengar bunyi berderak-derak dan papan langit-langit batu itu
perlahan-lahan terangkat ke atas dan ruangan di sebelah kiri merekah menjadi dua. Ih
Seng mendengar suara gemercik air dari celah-celah dinding yang merekah itu.
Buru-buru Ih Seng menggeliat bangun. Dan tepat pada saat itu, sesosok tubuh orang
melesat masuk. Ketika mengetahui bahwa pendatang itu ternyata pemuda yang melindungi si dara baju
ungu, Ih Seng terlongong-longong.
Begitupun pemuda itu atau Han Ping, juga terkesiap ketika melihat Ih Seng, "Hm,
kukira siapa, ternyata engkau!"
Kipas besi pedang perak Ih Seng sudah berpuluh tahun malang melintang di dunia
persilatan. Sudah tentu tak dapat menerima diperlakukan sedemikian oleh seorang
pemuda. "Benar, memang, mau apa engkau!" serunya melonjak maju.
Han Ping lihat ruangan itu sempit sekali tak leluasa kalau sampai terjadi perkelahian. Ia
menyurut mundur seraya bertanya, "Apakah yang memaki aku tadi juga engkau"."
Melihat pemuda itu mundur, Ih Seng salah duga. Ia kira pemuda itu tentu akan
menggerakkan alat perkakasnya untuk menggerakkan papan langit-langit batu. Serentak
ia loncat mengejar, "Hai, hendak lari kemana engkau!"
Melihat tindakan Ih Seng hendak menyerangnya marahlah Han Ping. Segera ia
songsongkan tangannya.
Memang dalam lorong terowongan sesempit itu tiada lain jalan kecuali harus adu
kekerasan. Ih Seng seorang yang berpengalaman. Melihat kedahsyatan pukulan pemuda itu, ia
cepat loncat mundur seraya dorongkan kedua tangannya. Tetapi karena jaraknya terlalu
dekat, ia kalah cepat. Angin pukulan Han Ping sudah tiba di dadanya lebih dulu sehingga
ia hilang keseimbangan tubuhnya. Bum". tubuhnya terdorong ke belakang dan
membentur dinding batu. Seketika darahnya bergolak keras, mata berbinar-binar, kepala
pening dan rubuhlah ia. Karena sewaktu hendak terjerembab ke belakang ia gunakan ilmu
cian-kin-tui (memberatkan tubuh) untuk menahan tubuhnya, maka ketika rubuh ia masih
sadar. Plak, plak". tiba-tiba sesosok tubuh melesat dan menampar pipi Ih Seng empat kali.
Cepat dan keras sekali tamparan itu hingga mulut Ih Seng, si Kipas besi pedang perak
yang termahsyur itu, mengucurkan darah".
Jago pedang perak itu menampar ubun-ubun kepalanya sendiri lalu menyalurkan
tenaga dalam untuk menghentikan rasa sakit. Setelah pandangan matanya terang, ia
memandang ke muka. Ah". ternyata Han Ping berdiri gagah di hadapannya. Seketika
deraslah darah kemarahannya. Sambil membereskan rambutnya yang kusut, diam-diam ia
mencabut kipas besi nya. Secepat ditebarkan terus dihantamkan kepada Han Ping dengan
jurus Hian-niau-hua-sat atau Burung dewa membelah pasir.
Ia yakin bahwa serangan yang dilakukan dengan tiba-tiba dan dahsyat itu tentu akan
merubuhkan Han Ping
Uh". tiba-tiba Ih Seng berteriak kaget karena tahu-tahu tangannya telah dicengkeram
oleh Han Ping dan pada lain kejap, kipasnyapun sudah pindah ke tangan pemuda itu.
Ih Seng kesima. Belum pernah selama ia mengembara di dunia persilatan, menyaksikan
ilmu merampas senjata lawan yang sedemikian anehnya.
"Ilmu apakah yang engkau gunakan itu?" tanyanya sesaat kemudian.
Han Ping tertawa bangga. Setelah menutup kipas, ia serahkan lagi kepada Ih Seng
seraya menantangnya, "Jika engkau belum puas, silahkan mencoba lagi!"
Sambil menyambuti kipas, Ih Seng mengisar dua langkah ke samping kiri lalu berputar
tubuh dan tiba-tiba tusukkan kipas besi ke dada Han Ping. Ilmu tutukan itu merupakan
jurus yang paling ganas dari ilmu permainan si Kipas besi pedang perak. Mengandung
gerak serangan dan sekaligus menjaga diri. Sukar untuk diduga musuh. Sekalipun hanya
satu kipas dan satu jurus, tetapi mengandung tiga macam perubahan yang hebat.
Dengan ilmu yang diandalkan itu, entah sudah berapa banyak jago-jago persilatan yang
dapat dirubuhkannya. Selama malang melintang berpuluh tahun, belum pernah ia
menemukan orang yang mampu menghadapi kipasnya itu,
Melihat ujung kerangka kipas besi itu menusuk cepat tetapi tak terdapat pancaran
tenaga penggerak atau penyaluran tenaga dalam, diam-diam Han Ping menyadari apa inti
permainan lawan itu. Memang setelah mengalami banyak kali bertempur dan makin giat
meyakinkan ilmu ajaran Hui Gong taysu, Han Ping bertambah maju pesat sekali. Ia
percaya bahwa gerakan Ih Seng itu tentu mengandung lain perubahan lagi. Maka sambil
gerakkan tangan kanan dengan jurus lima gunung menutup naga, ia ayunkan kakinya kiri
selangkah ke muka, secepat kilat ia rentangkan lima jarinya untuk menyambar
pergelangan tangan Ih Seng, sedang siku lengannyapun bergerak menghantam dada
orang. Gerakan itu benar-benar mengejutkan Ih Seng. Cepat ia menyurut mundur untuk
menjaga diri. Tetapi sekali serangannya gagal, berantakanlah seluruh jurus permainannya.
Tahu-tahu ia rasakan pergelangan tangannya kesemutan dan kipasnya pindah tangan.
Dadanyapun tersentuh sedikit oleh siku Han Ping. Apabila Han Ping mau menggunakan
kekerasan sedikit saja, Ih Seng pasti terluka.
Entah berapa puluh kali Ih Seng menghadapi pertempuran dengan tokoh-tokoh yang
terkenal. Tetapi belum pernah ia menderita kekalahan yang mengenaskan seperti saat itu.
Kipasnya dirampas dan dadanya disikut.
Kipas besi pedang perak terlongong-longong".
"Kalau masih tidak tunduk kita coba lagi barang dua tiga jurus!" seru Han Ping seraya
mundur dua langkah dan mengembalikan kipas kepada pemiliknya.
Sambil menyambuti kipas. Ih Seng memandang lekat kepada Han Ping, "Ilmu
kepandaian apakah yang engkau mainkan itu?"
"Kuberitahupun mungkin engkau tak tahu. Gerakan itu dinamakan Kin-liong-chiu yang
terdiri dari 12 jurus!"
"12 jurus Kin-liong-chiu?" Ih Seng mengulang lalu merenung diam. Tetapi sampai
beberapa lama belum juga ia mengetahui apa itu 12 jurus gerakan menangkap naga. Ia
gelengkan kepala dan menghela napas, "Benar, memang aku tak tahu!"
"Jangankan engkau, sedang di dunia persilatan, hanya beberapa gelintir orang yang
tahu akan ilmu Kin-liong-chiu itu!" Han Ping tertawa.
"Jenis ilmu silat yang terdapat di dunia persilatan Tionggoan, bukan aku
membanggakan diri tahu semua, tetapi sebagian besar memang pernah kudengar dari
orang. Namun ilmu Kin-liong-chiu yang anda mainkan tadi. benar-benar belum pernah
kulihat dan mendengarnya!" kata Ih Seng.
"Kalau begitu engkau sudah tunduk?"
Ih Seng merenung sejenak. tiba-tiba ia berseru marah, "Cukuplah kalau orang sudah
mengagumi seseorang. Tetapi dengan bertanya menegas begitu, apakah maksudmu.
Ketahuilah seorang ksatria rela dibunuh daripada dihina. Aku Kipas besi pedang perak
bukan manusia yang takut mati temaha hidup!"
Diam-diam Han Ping menaruh perindahan kepada Ih Seng. Walaupun dari golongan
Lok-lim (begal) tetapi berjiwa ksatria juga.
"Aku tak mengandung maksud apa-apa, harap saudara Ih jangan marah!" katanya
memberi hormat.
Kemarahan yang meluap-luap di dada Ih Seng, sirna seketika. Dengan tersipu-sipu ia
balas memberi hormat . "Kepandaian anda benar-benar sakti, aku tunduk setulus hati."
Buru-buru Han Ping mengangkatnya bangun seraya mengucap kata-kata merendah,
"Ah, jika saudara sungguh-sungguh menyerang, tak mungkin aku menang."
Ih Seng menghela napas, "Berpuluh tahun aku berkelana di dunia persilatan dan telah
berjumpa dengan banyak tokoh-tokoh sakti. Tetapi belum pernah aku berhadapan dengan
seorang pemuda seperti anda yang dalam sekali gebrak dapat merampas kipasku. Hal itu
benar-benar sukar dipercaya"."- ia berhenti sebentar lalu menanyakan nama Han Ping.
Han Pingpun memberitahukan namanya.
"Seumur hidup belum pernah aku tunduk benar-benar terhadap orang. Tetapi kepada
saudara Ji, aku sungguh tunduk lahir batin. Jika saudara menghendaki bantuanku, aku
dapat menggerakkan kawan-kawan dari empat propinsi yang bersedia menyerahkan jiwa
untukmu," kata Ih Seng.
"Ah, aku hanya seorang pemuda yang tak terkenal, mana berani mengharap
penghargaan semacam itu," sahut Han Ping.
Ih Seng tertawa gelak-gelak, "Walaupun aku berasal dari golongan Loklim, tetapi aku
dapat menjunjung budi dan kepercayaan Saudara Ji, adalah tunas cemerlang. Jika
kuserahkan kedudukan pimpinan ke empat propinsi itu kepadamu"."
"Jangan jangan, aku tak berhak mendapat kepercayaan itu," cepat-cepat Han Ping
menolak. Ih Seng tertawa gelak-gelak, "Kutahu kalau saudara tentu enggan menerima pimpinan
kaum Loklim"."
"Ah, bukan begitu," kata Han Ping. "kaum Loklim memang gemar menyamun dan
merampas harta orang. Sekalipun perbuatan itu melanggar undang-undang, tetapi masih
jauh lebih ksatria daripada mereka yang membanggakan diri sebagai orang gagah
budiman tetapi sebenarnya seekor harimau yang berselimut domba!"
"Kata-katamu tepat sekali saudara Ji!" seru Ih Seng. "Sejak menerima kedudukan
sebagai pemimpin kaum Loklim dari 4 propinsi, aku telah mengeluarkan undang-undang
kepada para markas gerombolan dalam ke empat wilayah itu. Kuberi dua macam
larangan. Tak boleh merampas harta benda dari pembesar dan orang yang jujur. Yang
boleh dirampas hanya harta benda pembesar-pembesar korupsi dan hartawan-hartawan
kejam. Tak boleh sembarang membunuh orang kecuali orang itu memang manusiamanusia
yang jahat dan banyak dosanya. Maka belasan tahun dalam peristiwa-peristiwa
yang menggemparkan daerah Tionggoan selama ini, tak sampai terjadi pembunuhan jiwa
yang salah sasarannya!"
"Ah, sungguh hebat sekali tindakan perwira saudara Ih itu," Han Ping memuji.
"Ah, jangan kelewat memuji"." tiba-tiba Ih Seng rasakan kakinya dingin. Ketika
memandang ke bawah, ternyata ruangan itu sudah tergenang air. Entah kapan air itu
mulai mengalir kesitu.
Melihat itu Han Ping segera mengajaknya pergi. Tetapi serempak pada saat itu, air
menumpah cepat ke dalam ruang.
Dengan menggembor keras, Han Ping ayunkan tangannya. Gelombang air yang hendak
melanda masuk itu, pecah tersurut mundur lagi. Han Ping segera menerobos keluar. Ih
Seng pun mengikuti di belakangnya.
Gelombang air itu merangsang dan melanda ke dalam ruangan lagi. Han Ping
menyadari bahwa tenaganya tentu tak mampu mengundurkan air itu. Ia harus lekas-lekas
mencari tempat yang aman dulu baru kemudian mencari daya keluar dari makam itu.
Ia tak mau melepas pukulan lagi tetapi mulai mendaki naik dari samping terowongan.
Tetapi air itu cepat kali datangnya. Dalam sekejap saja sudah mencapai sebatas perut.
"Mengapa saudara Ji dapat terjerumus dalam makam ini?" tanya Ih Seng sambil
berjalan. Dengan singkat Han Ping menuturkan apa yang dialaminya hingga sampai masuk ke
dalam terowongan situ. Demikian Ih Seng juga menceritakan pengalamannya.
Saat itu mereka tiba di sebuah lorong terowongan bersilang. Air bah tadi entah
mengalir kemana saja.
Ih Seng berhenti dan memberi peringatan kepada Han Ping agar berhati-hati jangan
sampai keliru masuk ke dalam ruang yang penuh air.
Memandang ke puncak ruang, Ih Seng menghela napas. "Jika air itu naik lagi sedikit,
terowongan ini tentu akan terbenam. Jangankan engkau yang jarang hidup di daerah
perairan, sekalipun Cin An Ki, kepala Tong-thing-ou itu berada disini, tak mungkin juga
dapat lolos dari bahaya maut semacam ini"."- tiba-tiba ia tertawa keras. Serunya,
"Sayang , sayang kalau dia berada disini ingin kulihat bagaimana dia hendak
menanggulangi keadaan ini!"
"Menyusup laut selulup ke kali, tidak sukar. Yang sukar adalah menerobos keluar dari


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makam rahasia sini!"
Ih Seng tertawa lebar, "Kalau aku beruntung bisa keluar dari sini, kelak akan
kuusahakan supaya Cin An Ki juga masuk kemari!"
Dalam pada bicara itu, airpun sudah naik lagi setinggi dada. Hanya saat itu aliran air tak
sederas tadi. Rupanya seluruh terowongan di bawah makam itu sudah tergenangi semua.
Han Ping anggap bahwa jika air tak surut, tak mungkin dia dapat keluar, Sedang Ih
Sengpun memeras otak untuk mencari jalan keluar. Ia heran mengapa tadi air mengalir
begitu deras sekali. Jelas tentu bukan berasal dari sumber air tetapi pasti dari luar. Jika
dapat menemukan lubang asal air itu, kemungkinan tentu dapat meloloskan diri.
Ia segera menyatakan pendapatnya kepada Han Ping, "Daripada tinggal disini
menunggu maut, lebih baik kita berusaha maju ke muka menempuh air untuk mencari
darimana air itu masuk. Kemungkinan kita akan terlepas dari bahaya ini!"
Han Ping setuju.
Walaupun air tak deras, tetapi karena harus berjalan di terowongan yang licin dan
menempuh air sebatas pundak, mereka merasa sukar sekali. Untung keduanya memiliki
tenaga dalam yang hebat sehingga langkah kakinya kokoh sekali.
Air tetap mengalir semakin naik. Dalam beberapa waktu lagi tentu mereka akan
terendam sampai ke kepala. Dan celakanya, air mulai mengalir makin deras lagi.
Setelah dapat melintasi beberapa tikungan lorong, mereka disambut oleh gelombang
yang deras sekali, Ketika memandang ke atas dinding, ternyata mereka telah mencapai
uyung terakhir dari terowongan itu.
Ternyata dinding batu yang melintang itu, merusakkan sumber asalnya air. Tetapi kita
tak berdaya menghadapi air yang begitu deras!" kata Ih Seng.
Han Ping menyatakan hendak mencoba. Dengan miringkan tubuh ia maju ke muka.
Walaupun hanya beberapa tombak jauhnya, tetapi sukarnya bukan kepalang. Napas
mereka terengah-engah.
"Tunggu disini, aku hendak memeriksa dinding batu itu," kata Han Ping seraya nekad
menyelam ke dalam air. Setelah beberapa saat meraba-raba ia menjamah dua utas rantai
besi sebesar lengan orang. Dengan kerahkan tenaga, ia menariknya sekuat tenaga. Tetapi
rantai itu kerasnya bukan main. Dan pada lain saat malah tubuhnya terangkat air ke atas
lagi. Karena tak pandai berenang, ia terminum air, dan ia makin kalang kabut, menyambar
kian kemari. Apa saja yang dapat dicekalnya, asal bisa untuk pegangan. Ia lupa bahwa
dinding terowongan itu licin dan rata sekali.
Tiba-tiba tangannya terperosok ke sebuah liang cekungan. Tangannya menjamah
sebuah benda mirip pedang. Dengan sekuat tenaganya ia memegang benda itu sehingga
tubuhnya tenang dari hanyutan air, ia menghela napas lalu berpaling ke arah Ih Seng.
Ih Seng tetap tegak berdiri bersandar dinding. Air sudah membenam lehernya. Sekejap
lagi dia tentu mati terbenam. Buru-buru Han Ping meneriakinya supaya berenang ke
tempatnya. Tetapi Ih Seng gerakkan tangannya menolak. Sebenarnya dia sudah
terhuyung-huyung mau rubuh. Karena menyandar dinding, ia masih dapat berdiri tegak.
Maka tak berani ia mengisarkan kakinya sedikitpun juga.
Tiba-tiba Han Ping terkejut girang. Air yang merendam Ih Seng itu makin menyurut.
Kini kedua bahu orang itu sudah mulai tampak lagi dan dengan cepat sekali air menyurut
lenyap. Setelah tinggal lututnya yang terendam air, Ih Seng loncat ke tempat Han Ping.
Ternyata Han Ping telah berhasil menemukan alat penggerak air yang berada dalam liang
cekung dinding itu.
"Ah, kalau saudara Ji tak menemukan perkakas rahasia tepat pada waktunya kita tentu
sudah mati. Ah, kematian itu memang sudah nasib!"
Setelah air surut, Han Ping mengharapkan akan melihat rantai yang melintang pintu
masuk ke terowongan. Tetapi ternyata ia tak mendapat yang diharapkan. Kini baru ia
menyadari bahwa rantai pintu masuk itu tentu masih terpisah dengan selapis dinding batu
lagi. Ketika mengamati cekung, selain yang dipegangnya, masih terdapat dua batang benda
semacam pedang lagi. Ia lepaskan cekalannya, "Ketiga benda ini tentu mempunyai
kegunaan masing-masing. Mari kita gerakkan,"- tiba-tiba kata-katanya terputus oleh
sebuah papan batu di sebelah kanan yang menerjang ke arahnya, terus menutup cekung
liang. Ih Seng menghela napas, "Ah, makam ini benar-benar luar biar sekali. Belum pernah
kusaksikan peristiwa semacam ini. Rasanya di dunia ini hanya Nyo Bun Giau ketua marga
Nyo, yang mengerti rahasia alat perkakas disini."
Han Ping diam merenung. Beberapa saat kemudian ia berseru, "Mengapa takut?"
Ih Seng terbeliak, "Setengah umurku telah kulewatkan dalam hujan senjata. Aku sudah
tak menghiraukan soal mati lagi!"
Han Ping tak mau menggubris. Ia memberi keterangan tentang ketiga alat putaran
macam pedang itu, "Yang sebelah kiri, untuk menggerakkan air. Dan yang kedua akan
kucoba dulu, entah untuk apa"."- cepat ia dorongkan tangan kanan ke langit terowongan.
Langit merekah dan segera tarik alat putaran yang di tengah. Terdengar bunyi dinding
batu bergemuruh. Sesaat kemudian, dinding ruang batu di sebelah muka merekah sebuah
pintu. Han Ping ajak kawannya masuk.
Lima belas tombak jauhnya, membelok sebuah tikungan mereka terkejut melihat
beberapa tulisan hitam menghadang jalan, Bunyinya:
"Berani masuk selangkah saja, akan terjeblos dalam Neraka."
Huruf-huruf itu dibentuk dengan jajaran mutiara sebesar buah kelengkeng. Ih Seng
makin heran. Dilihatnya Han Ping tundukkan kepala merenung. Beberapa saat kemudian
baru pemuda itu membuka mulut, "Ko Tok lojin itu tentu luar biasa cerdiknya. Peringatan
yang ditampilkan dengan huruf-huruf mutiara itu, tentu menyeramkan sekali!"
Ih Seng menyatakan, lebih baik menerjang masuk. Han Ping setuju. Ia lepaskan
hantaman dahsyat. Dinding hitam bertulis mutiara itu mendengung-dengung tetapi
sedikitpun tak berkisar.
"Tak perlu membuang tenaga, sia-sia sajalah karena dinding hitam itu terbuat dari besi
baja"."- tiba-tiba Ih Seng hentikan kata-katanya. Ia memperhatikan sebuah mutiara
tulisan itu seperti bergerak bergoncangan. Segera ia maju memeriksa. Begitu menjamah,
mutiara itu melesak ke dalam dinding semua. Dinding baja berderak menyingsing ke
samping dan di tengahnya terbukalah sebuah lubang pintu.
Begitu Han Ping melangkah masuk, ia tercengang-cengang di ambang pintu.
Di dalam ruang itu berjajar 9 buah peti mati yang penuh debu dan sarang gelagasi. Han
Ping dan Ih Seng maju menghampiri. Baru lima langkah, terdengar letupan dan
berhamburanlah debu serta sarang gelagasi yang melumuri peti-peti mati itu. Ketika
berpaling, Han Ping dapati pintu tadipun sudah mengatup rapat lagi.
Mencabut kipas besinya, Ih Seng tertawa gelak-gelak, "Di dalam 9 buah peti mati itu
tentu terdapat jenazah Ko Tok lojin. Karena dia mengurung kita disini. kitapun hancurkan
saja mayatnya!"
"Nanti dulu, saudara Ih, jangan buru-buru turun tangan," cegah Han Ping ketika jago Ih
itu hendak bergerak.
Pada saat itu Ih Seng sudah ulurkan tangan hendak menarik salah sebuah peti. Tetapi
diam-diam ia terkejut sekali, dan buru-buru lepaskan tangannya,
"Peti mati ini bukan terbuat dari kayu!" serunya,
Ketika memeriksa Han Pingpun terkejut. Peti mati itu terbuat dari papan batu yang
diukir dan luarnya dilumuri minyak politur.
"Menilik kehebatannya Ko Tok lojin mengatur makam ini dengan berbagai alat-alat
rahasia, ke 9 peti mati ini tentu mempunyai kegunaan yang istimewa," " kata pemuda itu.
Ih Seng memuji ketajaman anak muda itu.
"Terkurung dalam makam dengan alat-alat rahasia yang begini hebat, sukar kiranya
kita bisa lolos dari kematian"."
"Kalau begitu lebih baik kita mengamuk saja dulu agar matipun puas!" kata Ih Seng
Han Ping meminta agar jago she Ih itu tenang dan jangan sampai kacau menghadapi
ruangan berisi 9 buah peti mati itu. Makin kacau, makin merangsang kalang kabut dan
makin tak dapat menemukan jalan keluar.
Ih Seng memuji ketabahan anak muda itu. Kemudian Han Ping mengatakan pula bahwa
karena ruangan disitu amat gelap sekali, maka ia mengajak kawannya untuk duduk
bersemedhi mengumpulkan semangat.
Setelah beberapa saat bersemedhi, keduanya berbangkit dan rasakan semangatnya
bertambah, pandang matanyapun makin tajam. Tetapi mengerlingkan mata ke seluruh
ruangan, mereka tak melihat sesuatu. Akhirnya Han Ping ayunkan pukulan ke sebuah peti
mati yang berada di sebelah kanan. Terdengar bunyi mendengung-dengung.
"Menilik bunyinya, peti itu tiada berisi. Tolong saudara jagakan, hendak kubuka peti
itu." kata Han Ping seraya maju menghampiri. Krak! tutup peti terangkat dan keduanya
melongok ke dalam. Kedua serentak terbeliak.
Ternyata di dalam peti itu terdapat sebuah lubang yang menjurus ke bawah. Selain itu,
tiada terdapat suatu apa lagi. Han Ping mendorong peti itu ke samping dan memeriksa
liang. Tetapi sampai sekian lama tak tampak suatu perubahan. Dia makin heran, "Hm,
entah permainan apakah yang dihidangkan Ko Tok lojin itu"."
"Hayo, kita buka lagi yang satunya!" seru Ih Seng. Han Pingpun segera menghampiri
peti yang kedua. Dengan kerahkan tenaga, ia mengangkat tutup peti itu. Tetapi belum
sempat melongok isinya, tiba-tiba Ih Seng berteriak menyuruhnya lepaskan lagi.
Han Ping buru-buru lepaskan tangannya. Tetapi pada saat penutup sedang turun
mengatup, dari dalam peti itu menyembur semacam air dingin sehingga kedua orang itu
basah kuyup. "Ko Tok lojin hanya pandai menyerang orang dengan air," belum selesai Ih Seng
memaki sekonyong-konyong ia membau hawa anyir.
Cepat keduanya berpaling ke arah peti mati yang pertama tadi. Terlihat seekor ular
sebesar mangkuk tengah ngangakan mulut dan merayap ke tempat mereka.
Han Ping terkejut sekali dan menyurut mundur. Ih Seng yang banyak pengalaman
segera mengetahui bahwa ular yang sisiknya berkilau-kilauan itu tentulah jenis ular yang
luar biasa racunnya. Cepat ia mencabut pedang peraknya dan melangkah di hadapan Han
Ping. Kipas besinyapun ditebarkan untuk melindungi diri, "hati-hati, saudara Ji, itulah ular
sisik emas yang luar biasa racunnya. Apabila digigitnya, dalam 3 jam saja tentu sudah tak
tertolong"."
Saat itu ular sisik emas makin mendekati. Lidahnya yang merah menjulur buas. Cepat
Ih Seng kebutkan kipas besi untuk melindungi diri lalu menabas dengan pedangnya.
Crek". ular emas itu mendesis keras dan menggeliat ke samping.
"Hai, pedangku ini tajam sekali. Dapat menabas segala logam. Tetapi ternyata tak
mempan menabas ular itu," Ih Seng terbeliak kaget.
Ular itupun menyurut mundur dan masuk ke dalam peti batu. Kepalanya menjulur
keluar, memandang kedua orang itu.
"Ular itu sekujur badannya berbisa semua. Ilmu silat yang sakti tak dapat digunakan
kepadanya. Aku pakai kipas dan saudara boleh gunakan pedangku ini!"
Tetapi Han Ping menolak, tiba-tiba ia lepaskan hantaman lagi. Dan untuk yang kedua
kalinya ular sisik emas itu terpental balik, membentur dinding batu dan jatuh berhamburan
ke tanah. Pukulan itu tak kurang dari delapan ratus kilo beratnya. Tetapi tetap tak dapat
menghancurkan ular itu. Ular itu kembali ke dalam peti lagi dan menunggu serangan
kedua orang. Diam-diam Han Ping memutuskan akan membasmi ular yang berbahaya itu lebih dulu.
Ia membisiki Ih Seng, "Saudara Ih, dalam 9 peti mati ini tentu masing-masing
diperlengkapi dengan alat atau binatang maut. Sekalipun tak kita buka, peti-peti mati itu
tentu akan membuka sendiri. Hayo, kita lenyapkan dulu ular itu!"
"Ular itu tak mempan senjata tajam, tak mudah membunuhnya," kata Ih Seng.
"Aku mempunyai akal. Akan kupancing supaya dia ngangakan mulut lalu saudara
menaburnya dengan senjata rahasia," kata Han Ping.
Ih Seng tertawa memuji kecerdikan pemuda itu. Ia terus serahkan pedang perak
kepada Han Ping, "Ular itu luar biasa beracun, kurang tepat kalau ditangkap dengan
tangan. Harap pakai pedangku ini!"
Setelah Han Ping menyambuti dan menghampiri ular. Ih Sengpun siapkan dua batang
gin-soh. Pada saat itu haripun sudah terang tanah. Diluar makam, tampak seorang lelaki
berpakaian kaum persilatan, tengah memandang terlongong ke arah makam itu. Ternyata
orang itu adalah anak buah Ih Seng. Ia tak dapat berbuat suatu apa. Sampai terang tanah
belum juga kedua orang itu muncul lagi.
Akhirnya ia memutuskan. Daripada menunggu disitu tiada gunanya lebih baik ia pulang
mengundang tokoh-tokoh Rimba Hijau yang sakti dari 4 propinsi untuk menghancurkan
makam ini dan menolong ketuanya.
Segera ia mencabut golok untuk membuat liang pengubur kawannya yang binasa tadi.
Selesai mengubur sang kawan, ia hendak berlalu. Tetapi tiba-tiba terdengar suara orang
tertawa gelak-gelak. Ia terkejut dan buru-buru bersembunyi di balik pohon besar.
Seorang tua bersanggul pedang muncul dengan dua kawan. Tiba di muka makam,
orang tua yang menyanggul pedang itu memandang ke sekeliling penjuru. Sambil
menunjuk ke arah sebuah patung, ia tertawa, "Hati-hati saudara Kim, mungkin patung itu
diberi alat rahasia!"
Walaupun dari jarak jauh tetapi sekali pandang sudah dapat mengetahui patung itu
berisi alat rahasia atau tidak, membuat lelaki yang mengiring di belakang, terkejut.
Demikianpun orang yang dipanggil sebagai saudara Kim.
"Kemahsyuran nama saudara Nyo sebagai ahli alat-alat rahasia, memang bukan nama
kosong!" seru kawannya yang dipanggil Kim itu.
Tiba-tiba orang tua bersanggul pedang itu tertawa gelak-gelak dan berseru nyaring,
"Ha, siapakah yang bersembunyi itu" Mengapa tak tampil keluar unjuk diri" Apakah itu
laku seorang ksatria?"
Secepat kilat orangtua itu berputar tubuh dan memandang ke atas pohon besar.
Anak buah Ih Seng yang sudah ketahuan jejaknya itu terpaksa turun dari pohon.
"Dari perguruan manakah saudara ini?" tegur orang tua itu sambil tertawa.
Anak buah Ih Seng itu menerangkan siapa dirinya.
"Engkau kenal padaku?" tiba-tiba orang tua itu kerutkan alis.
Sejenak merenung, anak buah Ih Seng menyahut, "Kalau tak salah loenghiong (jago
tua) ini tentulah ketua marga Nyo yakni Perancang sakti Nyo."
Orang tua itu tertawa mengangguk, "Benar, ah tak kira kalau di Tionggoan, ada orang
yang kenal diriku."
Kemudian ia menanyakan dimana saat itu Ih Seng berada.
"Ini". aku tak berani mengatakan"." kata orang itu tersekat-sekat.
Secepat kilat orang she Kim sudah berputar, tubuh dan tahu-tahu berada di belakang
anak buah Ih Seng, terus memukul. Huak". anak buah Ih Seng tak sempat menghindar.
Ia muntah darah terus rubuh ke tanah.
"Tangkas sekali saudara Kim bergerak," " ketua marga Nyo yang lengkapnya bernama
Nyo Bun Giau memuji.
Jawab orang tua bertangan kosong, "Kipas besi pedang perak Ih Seng amat
berpengaruh sekali di 4 propinsi. Lebih baik anak buahnya ini dilenyapkan!"
"Benar," kata Nyo Bun Giau, "tetapi karena anak buahnya disini, Ih Seng tentu berada
di tempat ini juga!"
"Ya, akan kuselidiki di sekeliling tempat ini. Kalau berjumpa dengan Ih Seng atau anak
buahnya yang lain, akan kubasmi sama sekali!"
Setelah merenung sejenak, berkatalah Nyo Bun Giau, "Apakah saudara Kim benar yakin
bahwa tempat yang dimaksudkan oleh kotak pedang Pemutus Asmara itu benar di
kuburan ini?"
Orang tua yang tangannya merah tidak segera menyahut. Setelah memandang
sekeliling penjuru, baru ia berkata dengan berbisik, "Dua puluh tahun lamanya kuhabiskan
waktu untuk hal itu. Percayalah saudara Nyo!"
Nyo Bun Giau tersenyum, "Baiklah, saudara yang menyelidiki arah barat dan utara. Aku
yang memeriksa arah timur dan selatan. Satu jam lagi kita bertemu disini." Dalam berkata
itu Nyo Bun Giau sudah melesat ke timur.
Kedua orang itu menyelidiki dengan cermat sekali. Setiap gunduk, gerumbul bahkan
rumput yang dianggap dapat digunakan tempat bersembunyi orang, tentu diperiksa.
Kisah Para Pendekar Pulau Es 8 Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Dendam Iblis Seribu Wajah 8

Cari Blog Ini