Renjana Pendekar Karya Khulung Bagian 1
"Renjana Pendekar
Karya Khulung Diceritakan oleh : GAN KL
Jilid 1 Di suatu halaman rumah yang luas dan rindang, di bawah pohon sana seorang kakek
berjubah hijau tampak berdiri tenang dan santai, sambil berdekap tangan sedang menyaksikan
seorang pemuda di depannya lagi menulis. Pemuda itu duduk bersila di depan sebuah meja
pendek, pit (Pensil bulu) yang digunakan menulis itu sebesar lengan bayi, panjangnya kurang
lebih setengah meter. Sebesar itu alat tulisnya, tapi yang ditulis justeru huruf kecil yang
disebut gaya "Siau Kay". Saat itu dia baru habis menulis seluruh isi kitab Lam-hoa-keng.
Sampai huruf terakhir, sampai goresan pensil penghabisan, dia tetap menulis dengan tekun
dan sungguh-sungguh, gerak pensilnya juga tidak kacau sedikitpun.
Di tengah kerimbunan pohon terdengar suara tonggeret yang bising memecahkan kesunyian.
Perlahan-lahan anak muda itu menaruh pensilnya, mendadak ia menengadah, katanya dengan
tertawa terhadap orang tua tadi: "Pertemuan Hong-ti tidak dikesampingkan oleh setiap
Enghiong (Pahlawan, Ksatria) di dunia ini, masa ayah benar-benar tidak mau hadir ?"
"Setelah Lam-hoa-keng selesai kau tulis barulah kau bertanya, dalam hal kesabaran jelas kau
sudah ada kemajuan", ucap si kakek dengan tersenyum. "Tapi pertanyaanmu ini mestinya
tidak perlu kau ajukan, masa kau masih memandang penting sebutan "Enghiong" segala ?"
Pemuda itu mendongak, memandang sekejap pucuk pohon, lalu menunduk pula mengiakan
petuah sang ayah. Rupanya bukan tanpa sebab pemuda itu mendongak dan memandang pucuk
pohon. Terdengar suara kresekan daun pohon yang pelahan, mendadak sesosok bayangan
manusia melayang turun seringan burung hinggap di tanah.
Kiranya pendatang ini adalah seorang pendek kecil cekatan berbaju hitam, di balik
pakaiannya yang hitam ketat ringkas itu tampak otot daging yang kekar, sekujur badan penuh
2 sikap kewaspadaan, seolah-olah anak panah yang sudah siap pasang pada busurnya, sekali
tersentuh segera akan menjepret.
Namun kedua orang tua dan muda tadi tetap tenang-tenang saja, dengan tak acuh mereka
menandang sekejap tamu tak diundang ini, juga tanpa bicara dan tidak menegur, seakan-akan
si baju hitam memang sejak tadi sudah berdiri di situ.
Mendadak si baju hitam bergelak tertawa, serunya; "Sungguh hebat Gak-san-lojin Ji Hong-ho,
ternyata benar tetap tenang biarpun gunung Thaysan gugur di depannya, tak tersangka
Kongcu juga setenang ini, baru sekarang aku Hek-kap-cu (si merpati hitam) menyaksikan
kehebatannya" Sambil berbicara iapun memberi hormat, sikapnya tampak sangat kagum dan
sangat hormat. "O. kiranya Hek-tayhiap dari ketujuh tokoh ahli Ginkang," ucap si kakek, Ji Hong ho, dengan
tertawa. "Mestinya Cianpwe tahu, diantara Bu lim jit kim (tujuh unggas dunia persilatan), aku si Hekkap
ca inilah yang paling tidak becus." demikian kata si merpati hitam. "Aku tidak berani
menjadi bandit, juga tidak sanggup menjadi tukang kawal. Terpaksa kucari sesuap nasi
dengan kemampuan dan sifatku yang bisa menjaga rahasia untuk mengantarkan surat kepada
cianpwe. Ji Hong-ho dengan gembira berkata: "Saudara Hek tidak mencari nafkah dengan cara yang
tidak jujur dan ini benar-benar kuhormati. Tapi aku menduga-duga, sahabat lama manakah
yang meminta saudara Hek untuk mengantarkan surat?"
Hek Kap-cu menjawab: "Kalau orang itu tidak mau mengungkapkan jati dirinya, aku
berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan jati dirinya. Itu adalah kode etik pekerjaanku, aku
juga tahu bahwa cianpwe bisa memaksaku untuk mengungkapkan jati dirinya. Tapi aku juga
tahu bahwa surat ini mengandung suatu rahasia penting dari cianpwe". Sesudah mengucapkan
kata-kata tersebut, dia mengeluarkan sebuah surat dan memberikannya kepada Ji Hong-ho.
Ji Hong-ho ragu-ragu sejenak dan kemudian ia menyerahkan surat itu kembali kepada Hek
Kap-cu dan berkata: "Tolong, bisakah kau membuka dan membaca surat ini keras-keras
untukku?" Hek Kap-cu berkata: "Tapi, isi surat ini mengandung rahasia cianpwe...."
Ji Hong-ho tersenyum: "Oleh karena itu, aku ingin anda membacakannya untukku karena aku
sama sekali tidak mempunyai rahasia. Aku tidak takut siapapun mengetahui isi surat ini".
Hek Kap-cu sangat terkesan dan sambil tersenyum: "Tidak ada rahasia sama sekali! Hanya
Cianpwe yang bisa mengucapkan kata-kata ini" Hek Kap-cu membuka sampul surat itu dan
menemukan lembaran lembaran suratnya. Lembaran-lembaran surat itu saling lengket satu
sama lain dan Hek kap-cu membasahi jari-jarinya dengan ludah dan memisahkan lembaranlembaran
suratnya. Dia mulai membaca surat itu keras-keras: "Yang terhormat saudara....".
Tiba-tiba Hek Kap-cu jatuh dan kejang-kejang. Ji Hong-ho sangat terkejut dan segera
bergegas menolongnya. Sesudah memeriksa denyut nadinya, ia segera tahu bahwa Hek Kapcu
tidak akan bertahan lebih lama lagi, dengan suara keras ia bertanya: "Sesungguhnya siapa
yang menyuruh kau menyampaikan surat ini kesini " Siapa" Lekas katakan!"
3 Mulut Hek-kap-ca terpentang, tapi tak dapat mengucapkan sepatah katapun, air mukanya dari
hijau berubah pucat, dari pucat berubah merah, dari merah lantas berubah menjadi hitam,
hanya sekejap saja air mukanya sudah berubah beberapa warna. Kulit daging mukanya juga
mendadak lenyap secara ajaib, seraut muka yang sesaat sebelumnya masih segar dan sehat,
kini mendadak berubah menjadi sebuah tengkorak yang hitam.
"Racun! Lihay amat racun ini !" seru pemuda tadi dengan melenggong.
Perlahan Ji Hong-ho berdiri, ucapnya sambil menghela napas sedih: "Sebenarnya akulah yang
hendak dicelakai dengan surat berbisa ini, tak tersangka dia yang menjadi korban. Meski
bukan aku yang membunuh dia, tapi jelas dia mati lantaran diriku ... "
Dilihatnya kulit daging sekujur badan Hek-kap- cu juga muali menyusut dan hilang dalam
waktu singkat, dari bagian bajunya menggelinding keluar beberapa potong biji emas.
Mungkin inilah imbalan bagi jasanya menyampaikan surat ini, tapi juga imbalan bagi
jiwanya. Melihat beberapa potong emas itu, mendadak Ji Hong-ho malah menjemput kembali surat
tadi. Si pemuda terkesiap, serunya cepat: "He, akan diapakan, ayah"!"
Ji Hong-ho tampak sudah tenang kembali, katanya dengan perlahan: "Orang ini mati lantaran
diriku, betapapun harus kubalas budinya. Apalagi, begini keji cara orang yang hendak
membunuh diriku ini, kalau cara yang satu gagal, tentu dia nasih ada tipu-daya yang kedua.
Jika hal ini sampai terjadi maka hidupku tentu akan menyesal dan merasa berdosa, kan lebih
baik akupun mati agar hatiku bisa tenteram"
"Tapi ... tapi, ayah tidak ingin mencari tahu sesungguhnya siapa yang hendak mencelakai
engkau". Selama hidup ayah tiada bermusuhan dengan siapapun, sungguh aneh, siapakah
gerangan ..."
Belum habis ucapan pemuda tadi, se konyong konyong terdengar suara "Blang" yang keras,
beberapa potong emas tadi mendadak meledak, semua benda seperti pot air, kertas tulis,
tatakan tinta dan sebagainya yang berada diatas meja pendek tadi sama tergetar dan jatuh ke
tanah. Ji Hong-ho sendiri tetap berdiri ditempatnya tanpa bergerak, padahal sebenarnya dia sudah
melompat mundur beberapa meter jauhnya untuk kemudian lantas melayang balik ke tempat
semula. Sorot matanya yang semula tenang-tenang itu kini mengandung rasa marah, ucapnya
sambul mengepal tangannya: "Keji benar orang ini, ternyata di dalam lantakan emas juga
diberi obat peledak, bahkan sudah diperhitungkan saat meledaknya setelah Keh-kap-cu
menyerahkan surat padaku, jelas bukan cuma aku saja yang ingin dibunuhnya, malahan orang
yang menyampaikan surat inipun akan dibinasakan agar tutup mulut untuk selamanya."
Air muka pemuda tadi juga berubah, katanya dengan gemas: "Orang macam apakah yang
berhati keji dan juga perencana yang rapi ini". Jika orang ini tidak ditumpas, bukankah dunia
persilatan akan ... "
"Sebenarnya hal inipun tak dapat menyalahkan dia." Ji Hong-ho memotong ucapan pemuda
itu dengan tersenyum pedih. "Jika secermat ini dia berusaha membunuh diriku, mungkin
karena pernah ku berbuat sesuatu kesalahan, makanya dia sedemikian benci padaku."
4 Air mata si pemuda tampak berlinang-linang di kelopak matanya, katanya dengan suara agak
gemetar: "Tapi engkau orang tua masakah pernah berbuat kesalahan" Engkau sedemikian
baik terhadap siapapun juga, tapi toh ada orang yang berusaha membunuhmu, dimanakah
letak keadilan dunia Kangouw ini "!"
"Pwe-giok." ucap Ji Hong-ho dengan tenang "Jangan terburu napsu, jangan kau bilang dunia
Kangouw sudah tiada keadilan lagi. Hidup seseorang betapapun sukar terhindar dari berbuat
salah, akupun tidak terkecuali. Hanya saja ... hanya saja seketika aku tidak ingat kesalahan
apa yang pernah kulakukan. "
Pada saat itulah mendadak dikejauhan sana ada suara orang membentak: "Di mana Ji Hongho"...
Di mana ji Hong-ho"... "
Susul menusul suara bentakan itu dan makin lama makin mendekat, ditangah suara bentakan
itu terseling pula suara jeritan kaget dan takut serta caci maki, lalu ada suara pintu didobrak
dan jatuhnya benda berat, suara itu terus berkumandang, jelas para centeng keluarga Ji tidak
mampu merintangi masuknya penyatron.
"Orang macam apakah berani menerjang kemari?" kata si pemuda yang bernama Ji Pwe-giok
itu dengan rada terkesiap.
Tapi Ji Hong-ho tetap tenang-tenang saja, ucapnya dengan perlahan: "Sebenarnya mereka
tidak perlu merintangi pengunjung, apalagi tamunya sudah masuk rumah, buat apa kau repot
keluar menyambutnya... " mendadak ia berpaling kesana dan dengan tertawa: "Silakan kalian
masuk saja."
Benar juga, melalui pintu bundar taman sana lantas menerobos masuk lima orang lelaki kekar
berbaju sulam yang mentereng, semuanya tampak garang dengan wajah napsu membunuh,
tapi demi nampak ji hong-ho dan puteranya menyambut kedatangan mereka dengan tenangtanang
saja, mereka jadi melengak sendiri.
Lelaki kekar pertama yang berewok dan bergolok tebal bergalang sembilan lantas membentak
dengan bengas; "Ji-Hong-ho, keparat kau, akhirnya kutemukan juga kau!" Sambil meraung ia
ayun goloknya yang bergelang hingga berbunyi gemerincing itu, dengan kalap Ji Hong-ho
dibacoknya. Daun pepohonan sama tergetar bertebaran oleh guncangan angin bacokan golok
yang keras itu, tapi Ji Hong-ho tetap berdiri tenang tanpa bergerak seakan-akan sengaja
menantikan bacokan golok lawan. Tanpa mengangkat kepala, mendadak pemuda Ji Pwe-giok
menjentikkan jarinya pelahan, terdengar suara "crit" sekali, menyusul lantas berbunyi "Trang"
golok tebal si berewok sudah terjatuh ke tanah. Setengah badan lelaki berewok itu merasa
kaku kesemutan, telingapun mendengung karena suara gataran tadi, mukanya menjadi pucat,
ia pandang anak muda tadi dengan melenggong, tidak berani maju dan tidak berani mundur.
Perlahan lahan Ji Pwe giok mendekati orang itu, tapi mendadak Ji Hong-ho membentak
tertahan: "Jangan melukai orang, Pwe-giok!"
Karena itu, Ji Pwe-giok lantas berhenti dan tidak melangkah maju pula. Si berewok lantas
bergelak tertawa, teriaknya: "Betul, Ji Hong-ho suka menganggap dirinya seorang arif
bijaksana, selamanya tidak mau melukai orang. Tapi biarpun kau tidak mau melukai aku, aku
justeru ingin membinasakan kau. Bilamana kau berani mengganggu seujung rambutku, itu
berarti kau adalah manusia munafik yang sok jual nama kosong !"
5 Dia ternyata memutar balikkan persoalan dan menjadikan alasan tidak masuk diakal itu untuk
menyudutkan Ji Hong-ho, sungguh manusia yang tidak tahu malu dan berhati keji.
Namun Ji Hong-ho tetap tenang saja dan menghadapinya dengan tak acuh, ia malah
tersenyum dan berkata: "Jika demikian, jadi apapun juga kalian pasti akan mencabut
nyawaku"!"
"Ucapanmu memang tepat!" teriak si berewok sambil menyeringai. Mendadak ia jatuhkan diri
ke tanah dan terus menggelinding maju, tahu-tahu goloknya yang jatuh tadi sudah direbutnya
kembali, dengan golok terhunus ia lantas membentak: "Hayo saudaraku, tunggu kapan lagi!"
Di tengah bentakannya, serentak lima macam senjata, yaitu golok bergelang sembilan, pedang
pencabut nyawa, gaetan berkepala harimau, Boan-koan-pit dan tumbak berantai, terus
menyerang. Pada saat itu juga mendadak terdengar seorang tertawa panjang dan berseru: "Haha, melulu
kalian inipun berani menyerang Ji-locianpwe !?"
Menyusul suara itu sesosok bayangan orang melayang turun dari puncak pohon dan
menerjang ke tengah hujan senjata tadi. Terdengar suara gemerantang, golok bergelang tadi
yang pertama tama mencelat dan menancap di batang pohon sana. Habis itu "krek", pedang
juga patah menjadi dua. Lalu Boan-koan-pit mabur ke udara, gaetan berbalik merobek perut
kawan sendiri yang berpedang tadi, sedangkan rantai tombak membelit leher orang yang main
gaetan, seketika orang itu roboh terguling.
Orang ini muncul mendadak, gerak tubuhnya juga sangat cepat, jurus serangannya bahkan
secepat kilat dan sukar ditahan. Keruan Ji Hong-ho dan Ji Pwe-giok melengak.
Baru sekarang mereka dapat melihat jelas pendatang ini adalah seorang pemuda cakap
bertubuh jangkung dan berbaju sutera ungu tipis, sinar matanya mencorong tajam, gagah
berwibawa, cuma mukanya pucat lesi, dingin kaku tanpa sesuatu tanda perasaan apapun
sehingga kelihatannya rada menyeramkan.
Dia terus menyembah kepada Ji Hong-ho, katanya dengan sangat hormat: "Di tengah
perjalanan hamba sudah mendengar berita maksud kelima orang ini akan membikin celaka
Cianpwe, maka kukuntit kemari. Setelah menyaksikan Cianpwe memperlakukan mereka
sedemikian baik, tapi mereka malah tidak tahu diri, terdorong oleh rasa penasaran sehingga
cara turun tangan hamba terlalu keras dan membinasakan mereka di kediaman Cianpwe,
untuk ini kumohon Cianpwe sudi memberi ampun."
Dia telah berjasa membantu Ji Hong-ho, tapi dia malah minta maaf dan mohon ampun.
Ji Hong-ho menghela napas dan berkata: "Apa yang anda lakukan ini adalah karena membela
diriku, permintaan ampun ini harap jangan disebut lagi. Tentang kelima orang ini ... Ai, aku
sendiri tidak tahu bilakah pernah bermusuhan dengan mereka sehingga sekarang jiwa mereka
harus melayang."
Setelah terdiam sejenak, ia tertawa sambil membangunkan pemuda baju ungu, katanya:
"Anda masih muda dan cakap, alangkah gembira ku bila anda ini putera seorang sahabatku."
6 Pemuda itu tetap tidak mau bangun, ia masih mendekam di atas tanah dan berkata: "Meski
Cianpwe tidak kenal hamba, tapi jiwa hamba sesungguhnya adalah hadiah Cianpwe. Terlalu
banyak kebajikan yang di sebar oleh Cianpwe, tentu Cianpwe sudah melupakan anak kecil
yang pernah mendapat perlindungan dahulu."
Ji Hong-ho menggandeng tangan pemuda itu dan tarik bangun, katanya dengan tertawa: "Tapi
anak itu sekarang sudah dewasa, bahkan telah menyelamatkan jiwaku, tampaknya Thian
memang maha adil... " sampai di sini, sekonyong-konyong ia menggentak tangannya sehingga
pemuda itu terlempar jauh kesana.
Ji Hong-ho sendiripun sempoyongan, katanya dengan suara gemetar: "Kau... kau siapa
sesungguhnya?"
Pemuda baju ungu sempat berjumpalitan di udara, lalu turun ke bawah dengan ringan,
mendadak ia menengadah dan terbahak bahak, katanya: "Ji-loji, telapak tanganmu sudah
terkena To-hon-bu-ceng-ciam (Jarum pencabut nyawa tanpa kenal ampun), biarpun malaikat
dewata juga tidak sanggup menyelamatkan kau, jangan harap lagi kau akan mengetahui siapa
diriku ini ..."
Dalam pada itu Ji Pwe-giok telah melompat ke samping ayahnya, dilihatnya kedua tangan
sang ayah sudah membengkak satu kali lebih besar hanya dalam sekejap itu warnanya hitam
pekat, panas seperti dibakar. Waktu ia pandang wajah orang tua ini, tubuhnya yang gemetar
sudah tidak kuat berdiri lagi, mulutnya terkancing rapat dan tidak mampu bicara.
Sedih dan gusar tidak kepalang hati Ji Pwe-giok, teriaknya dengan suara parau: "Sebenarnya
ada permusuhan apa antara kau dengan kami " Mengapa kau turun tangan sekeji ini ?"
"Permusuhan" Haha, selamanya aku tidak ada permusuhan apapun dengan orang she Ji,"
jawab pemuda baju ungu dengan tertawa. "Tujuanku tiada lain hanya ingin mencabut nyawa
kalian saja."
Sambil bicara dan tertawa, air mukanya tetap dingin dan kaku tanpa emosi apapun.
Ji Pwe giok memandang jenazah sang ayah yang menggeletak di tanah itu, ucapnya pula
dengan menggertak gigi: "Jadi kau yang mengatur semua rencana keji ini ?"
"Betul." jawab pemuda baju ungu, Demi mencabut nyawa kalian ayah dan anak, yang
mengiringi kematian kalian sudah lebih daripada enam orang ini ..."
Mendadak ia bersiul, serentak dari luar pagar tembok melompat masuk likuran lelaki berbaju
hitam, semuanya bersenjata pedang atau golok, setiap orang tampak gesit dan tangkas,
tampaknya likuran orang ini adalah jago silat pilihan, semuanya memakai kedok muka dengan
sepotong kain sutera ungu, nyata mereka sengaja menyembunyikan muka aslinya.
"Orang she Ji." demikian si pemuda baju ungu tadi berseru pula dengan tertawa, "Kukira lebih
baik kau menyerah dan terima nasib saja. Yang kami takutkan adalah Kim-i-bun-ciang
(Pukulan lunak sutera emas) andalan Ji-loji yang tiada tandingannya di dunia ini, sekarang Jiloji
sudah mampus, lalu apa yang dapat kau lakukan?"
7 Sekilas pandang saja Ji Pwe-giok sudah mengetahui kawanan penyatron ini adalah jago-jago
kelas satu seluruhnya, hatinya tidak kepalang sedihnya, juga gusar tak terkatakan, dengan
sendirinya juga sangat terkejut.
Bilamana orang lain, mungkin sudah panik dan bingung, jika tidak patah semangat dan
ketakutan tentu menjadi nekat dan mengadu jiwa dengan musuh. Tapi Ji Pwe-giok memang
pemuda yang lain daripada yang lain, mendadak ia membalik badan bagian bajunya
diringkaskan pada pinggang lalu panggul tubuh sang ayah, menyusul pensil besar bergagang
besi yang dibuatnya menulis tadi diraihnya.
Dalam pada itu kawanan lelaki berbaju hitam tadi sudah mendesak maju. melihat pemuda she
Ji ini masih tetap berdiri di situ dengan tenang dan mantap, mau tak mau mereka jadi
melengak. Habis itu baru mereka mengangkat senjata dan menerjang maju.
Cahaya senjata bertaburan, berpuluh golok dan pedang menyerang serentak, ada yang
membacok, ada yang menusuk, ada yang menebas, semuanya ditujukan satu sasaran,
semuanya teratur sedikitpun tiada terdengar benturan senjata di antara teman sendiri.
Akan tetapi mendadak angin puyuh berjangkit, Jian-kin-thi-pit atau pencil besi seribu kati
senjata khas Ji pwe-giok, menyapu dengan keras, terdengar suara gemerantang nyaring, golok
dan pedang musuh sama bengkok dan patah, ada pula yang terlepas dari tangan.
Belasan orang tergetar mundur dengan bahu pegal dan tangan linu sehingga sukar diangkat
untuk seketika. Sungguh mimpipun mereka tidak menyangka pemuda yang kelihatannya
lemah lembut dan bermuka putih cakap ini ternyata memiliki tenaga sakti sebesar ini.
Namun orang-orang inipun bukan jago kelas kambing, meski terkejut mereka tidak menjadi
gentar, setelah belasan orang tergetar mundur segera belasan orang menerjang maju pula.
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cepat Jian-kian-pit Ji Pwe-giok berputar lagi.
Sekali ini tiada seorangpun yang berani keras lawan keras, mereka terus berputar dan mencari
peluang untuk menyerang. Seketika terdengar angin menderu-deru sehingga daun pohon sama
rontok berhamburan.
Likuran orang itu ternyata dapat bekerja sama dengan rapat, sebagian dari kanan dan sebagian
lagi dari kiri, sebagian mundur, bagian lain lantas ganti maju. Namun sebegitu jauh tiada
seorangpun yang mampu menembus lingkaran pertahanan Ji Pwe-giok.
Cuma, meski jian-kian-thi-pit andalannya ini sangat lihay, namun bobotnya terlalu berat dan
juga agak panjang, kurang lincah untuk digunakan seperti pedang biasa, tenaga yang harus
dikeluarkan juga lebih banyak. Maka setelah belasan jurus, dahi Ji Pwe-giok yang putih bersih
itu mulai dipenuhi butiran keringat.
"Bagus, beginilah caranya." seru si pemuda baju ungu tadi dengan tertawa. "Kuras dulu
tenaganya baru nanti bekuk dia. Kalau tikus sudah masuk kaleng, masakan dia mampu
kabur?" Wajah yang kelihatan kaku dingin tanpa emosi itu jelas lantaran dia memakai topeng, tapi dari
suaranya dapat diduga usianya memang belum tua.
8 Meski Ji Pwe-giok sedang menghadapi kerubutan orang-orang itu, namun pandangannya
tidak pernah lalai memperhatikan pemuda yang keji ini, lebih-lebih Bu-ceng-ciam yang siap
digenggam pemuda itu.
Didengarnya pernapasan ayah yang berada digendongannya itu semakin lemah sehingga
akhirnya hampir tak terdengar lagi, sedangkan musuh tangguh di depan mata semakin
mendesak, bahkan jarum berbisa yang siap di tangannya itu kelihatannya segera akan
ditaburkan. Hancur hati Pwe giok saking sedihnya, tenaga pun mulai habis, ia menjadi nekat, dia tahu bila
tidak segera berusaha meloloskan diri, mungkin selanjutnya tidak dapat lagi mengetahui asal
usul dan maksud tujuan sesungguhnya pihak musuh, keadaan memaksanya harus segera
keluar. Karena itulah, mendadak ia meraung murka, Jian-kin-pit menyapu dengan gerakan "Hengsaujian-kun" atau menyapu ribuan prajurit, ujung pensil itu terus menjodoh ke dada seorang
lelaki yang berada disamping kanan.
Kejut orang itu tak terhingga, cepat ia menjatuhkan diri dan menggelinding ke sana, saking
kerasnya tikaman pensil Ji Pwe-giok itu hingga ujung pensil langsung menancap di tanah, tapi
dengan tenaga pantulan tikaman itu tubuh Ji Pwe-giok juga lantas melayang lewat di atas
kepala orang banyak, melewati pucuk pohon, laksana seekor burung raksasa ia terus terbang
keluar. Bahwa Jian-kin-thi-pit itu masih mendatangkan daya guna sebagus itu, tentu saja tiada pernah
terpikirkan oleh orang-orang itu.
"Kejar!" segera si pemuda baju ungu berteriak. Sekali totol kakinya, secepat anak panah
terlepas dari busurnya iapun melayang keluar.
Namun dia agak ketinggalan, apalagi Ginkangnya memang juga selisih jauh dibandingkan Ji
Pwe giok. Lebih-lebih daya pantulan tikaman pensilnya itu. Ginkang Ji Pwe-giok tiada
ubahnya bertambah satu kali lipat.
Ketika pemuda baju ungu melayang keluar pagar tembok taman, di luar hanya tampak
pepohonan Yang-liu melambai pelahan tertiup angin, air sungai mengalir berkilau tertimpa
sang surya. Seekor anjing kecil berlari ketakutan ke seberang jembatan sana dengan mencawat ekor.
Sebenarnya Ji Pwe-giok belum kabur pergi, dia justru bersembunyi di tengah-tengah semaksemak
rumput di bawah jembatan.
Karena menggendong ayahnya, sisa tenaga Pwe-giok tidak mengijinkan dia berlari lagi,
terpaksa ia menyerempet bahaya dan mengadu kecerdasan, ia gunakan jiwa sendiri untuk
bertaruh dengan pihak musuh.
Didengarnya pemuda baju ungu tadi sedang membentak perlahan: "Kejar, bagi empat jurusan,
lekas!" 9 Terdengar seorang berkata: "Jangan-jangan di bawah jembatan ..."
Tapi dengan gusar si pemuda baju ungu memotong: "orang she Ji bukanlah orang bodoh,
masakan dia menunggu kematian di bawah jembatan ?"
Menyusul lantas terdengar suara berkibarnya kain baju, satu persatu orang-orang itu melayang
lewat jembatan. "plung", anjing kecil tadi melengking terdepak jatuh ke sungai. Mungkin si
pemuda baju ungu tadi menggunakan anjing sialan itu sebagai pelampias marahnya.
Setelah riak air tenang kembali, suasana sekeliling lantas sunyi senyap pula, hati JI Pwe giok
juga merasa lega. Namun begitu ia tetap meringkuk di semak-semak itu dan tidak berani
bergerak. Dia benar-benar pemuda yang sabar, ia tunggu sampai sekian lama, setelah yakin benar-benar
rombongan orang tadi tidak kembali lagi barulah ia melompat keluar, tapi ia tidak menuju ke
tempat lain, sebaliknya langsung berlari pulang ke rumahnya sendiri.
Kalau orang lain memperhitungkan dia pasti tidak berani pulang ke rumah, maka dia justeru
sengaja balik lagi ke situ.
Halaman rumah tetap sunyi senyap dengan pepohonan yang rimbun, seperti tidak pernah
terjadi apapun. Hanya ke enam sosok mayat itu yang mengingatkan dia pada kejadian sedih
tadi. Pwe-giok langsung berlari masuk ke ruangan dalam, ia baringkan ayahnya di tempat tidur,
lalu dari almari dikeluarkannya sebotol, seluruhnya ia tuangkan ke mulutnya.
Obat mujarab ini adalah buatan khusus orang tua itu dan entah sudah berapa kali
menyelamatkan jiwa manusia, tapi sekarang ternyata tidak sanggup menyelamatkan jiwanya
sendiri. Baru sekarang Ji pwe-giok mengucurkan air mata.
Sinar sang surya menyorot masuk melalui jendela sana, wajah si orang tua kelihatan sudah
hitam, pada dadanya masih tersisa hembusan napasnya yang terakhir, dengan lamat-lamat ia
membuka matanya dan berkata dengan lemah "Apa... apa salahku"... kesalahan apa yang
kulakukan "...."
Dengan tubuhnya Pwe-giok menghalangi sinar matahari yang menyilaukan pandangan orang
tua itu, ucapnya dengan air mata meleleh: "Ayah, engkau tidak pernah berbuat salah !"
Orang tua itu seperti mau tersenyum, namun senyumannya sudah sukar lagi menghias
mukanya yang mulai kaku, hanya ujung mulutnya saja berkerut sedikit, lalu katanya pula
dengan lemah, satu kata demi satu kata: "Aku tidak salah. Kau harus meniru aku, jangan lupa
mengalah, sabar, mengalah, sabar ..." makin lemah suaranya hingga akhirnya tak terdengar
lagi. Pwe-giok berlutut lemah di depan pembaringan tanpa bergerak, air mata masih terus
bercucuran, sampai lama dan lama sekali air matanya belum lagi kering.
Sinar matahari sudah tad ada lagi, di dalam kamar mulai gelap gulita.
10 Di tengah kegelapan dan kesunyian itu, sekonyong-konyong terdengar suara langkah orang.
Langkah kaki orang ini sangat pelahan dan berat, setiap langkahnya seakan akan menginjak
remuk hati orang, suara tindakan ini berkumandang dari serambi samping sana dan akhirnya
sampai di depan pintu.
Pelahan-lahan pintu kamar terpentang, didorong orang. Pwe-giok masih tetap berlutut dalam
kegelapan tanpa bergerak.
Sesosok bayangan melangkah masuk ke dalam kamar, setindak demi setindak, seperti badan
halus, begitu lambat jalannya, padahal perawakannya kelihatan langsing kecil, tapi
langkahnya sedemikian beratnya seakan-akan menyeret benda beribu kati.
Akhirnya Pwe-giok berdiri.
Orang itu terkejut dan melompat mundur keluar kamar, lalu tegurnya: "Sia ... siapa kau ?"
Seyogyanya yang bertanya adalah Ji Pwe-giok, tapi dia malah bertanya lebih dulu, namun
Pwe-giok hanya memandangnya dengan tenang, samar-samar kelihatan pinggang orang yang
ramping dan rambutnya yang panjang terurai, jelas seorang perempuan.
Di luar dugaan, mendadak perempuan itu berteriak kalap: "Bangsat keparat, keji amat caramu,
berani kau ... tetap tinggal di sini"!". Segera ia mencabut pedangnya, sinar perak gemerdep, ia
menubruk maju sekaligus melancarkan tujuh kali tusukan.
Langkahnya tadi begitu berat, tapi sekarang gerak pedangnya sedemikian enteng dan gesit,
cepat dan ganas pula.
Terpaksa Pwe-giok berkelit kian kemari untuk menghindarkan tujuh kali serangan maut itu,
lalu ucapnya dengan suara tertahan: "Leng-hoa-kiam ?"
Perempuan tadi melengak, ia lantas menjengek: "Keparat, kaupun kenal kebesaran ilmu
pedang keluarga Lim" Kau ..."
"Aku Ji Pwe-giok!" kata anak muda itu dengan menghela napas dan menyurut mundur dua
tiga langkah pula.
Kembali perempuan tadi melenggong dan menarik pedangnya, akhirnya pedang jatuh ke
lantai, ucapnya dengan menunduk: "Ji... Ji-toako, apakah ... apakah paman..."
Sambil bicara sorot matanya mengikuti pandangan Pwe-giok ke arah tempat tidur, dan bicara
sampai di sini agaknya samar-samar ia dapat melihat siapa yang berbaring di situ, tanpa terasa
tubuhnya bergetar dan menggigil, akhirnya ia menjatuhkan diri ke lantai dan menangis: "O,
aku tidak percaya ... Sungguh tidak percaya..."
Pwe-giok tetap memandangnya dengan tenang. Setelah menangis si nona mulai serak barulah
ia berkata mendadak: "Sudahlah, kau sudah cukup menangis, sekarang bicaralah kau."
11 Tapi Pwe-giok masih tidak bersuara, menyalakan lampu sehingga kelihatan baju putih tanda
berkabung yang dipakai si nona. Baru sekarang hati Pwe-giok tergetar, serunya: "Paman
Lim... apakah paman Lim... "
"Ya, enam hari yang lalu ayahku telah dicelakai orang!" kata si nona dengan suara parau.
"Siap... siapa yang melakukannya sekeji itu ?" tanya Pwe-giok dengan muka pucat.
"En... entah, aku... aku tidak tahu..."
Mendadak si nona menoleh, di bawah cahaya lampu kelihatan wajahnya yang cantik dan juga
agak kurus dan lesu, matanya merah bendul karena terlalu banyak menangis, meski penuh
rasa sedih, tapi masih tetap terbelalak memandang Pwe-giok, sorot matanya menampilkan
keteguhan hatinya.
"Apakah kau heran?" tanyanya sambil melototi Pwe-giok. "Ayahku terbunuh, tapi aku tidak
tahu siapa pembunuhnya. Waktu itu aku sedang keluar, sepulangku di rumah, jenazah
ayahpun sudah dingin. Di rumahku sekarang tiada lagi terdapat seorang hidup"
Sungguh tak terbayangkan oleh Pwe-giok bahwa anak perempuan yang kelihatan lemah
lembut ini setelah mengalami peristiwa menyedihkan itu masih sanggup melakukan
perjalanan sejauh ini ke rumahnya sini dan sekarang masih dapat bicara dengan jelas.
Nyata di dalam tubuh yang lemah itu terdapat sebuah hati yang teguh dan lebih keras daripada
baja. Mau tak mau Pwe-giok menghela napas dan menunduk, ia tak tahu apa yang harus
diucapkannya. Si nona lantas menyambung pula: "Apakah kau heran bahwa aku dapat menyatakan aku
sudah cukup menangis". Sebab aku memang sudah kenyang menangis, aku tidak ingin
menangis lagi, sedikitnya sudah lima kali aku menangis sepanjang perjalanan"
"Lima kali ?" Pwe-giok menegas.
"Ya, lima kali." kata si nona, "Kecuali ayahmu dan ayahku, ada pula paman Ong dari Thayoh,
paman Sim dari Ih-hin-sia, paman Sebun dari Mo-san dan ..."
"Merekapun menjadi korban keganasan?" sela Pwe-giok sebelum selesai uraian si nona.
Nona itu tidak menjawab, hanya pandangannya beralih ke cahaya lampu.
"Paman Ong dari Thay-oh, si gunting emas, terkenal tiada tandingan selama hidupnya, Paman
Sim dari Ih-hin, si tombak perak berkuda putih, pada waktu mudanya pernah menyapu rata
seluruh Kanglam tanpa tandingan. Paman Sebun dari Mo-san terkenal dengan Lwekangnya
yang maha lihay masa merekapun dicelakai orang?"
"Dan bagaimana pula dengan Leng-hoa-sin-kiam dan Kim-si-sian-ciang?" tukas si nona
dengan beringas.
"Betul..." kata Pwe-giok dengan menunduk muram. "Jangan-jangan mereka terbunuh oleh
orang yang sama" Lalu siapakah gerangan orang ini" ..."
12 "Cuma, aku sendiri tidak melihat jenazah para paman itu." kata si nona dari keluarga Lim itu.
Mendadak Pwe-giok mengangkat kepala dan bertanya: "Kalau tidak melihat jenazahnya,
darimana kau tahu mereka sudah meninggal ?"
"Kosong melompong tiada terdapat seorangpun... rumah mereka sama sekali tidak kelihatan
sesosok mayat pun, tapi juga tidak nampak seorang hidup, rumah mereka seperti kuburan
belaka, kosong dan hening... Rumahmu dan rumahku juga demikian."
Pwe-giok terdiam sejenak, gumamnya kemudian: "Rumah"... kita tidak punya rumah lagi."
Si nona menatap Pwe-giok dengan sorot mata tajam, tanyanya mendadak: "Dan kau akan
pergi kemana dan apa yang akan kau lakukan?"
Pelahan Pwe-giok menjawab: "Jelas, semua ini adalah suatu intrik yang maha besar dan sulit
dipecahkan. Sekarang aku tak dapat menerkanya, tapi pada suatu hari pasti dapat kuselidiki
dengan baik. "Apabila kau adalah kau adalah biang keladi dari intrik keji ini, tindakan apa yang akan kau
lakukan atas diriku?"
"babat rumput sampai akar-akarnya!" jawab si nona tegas.
"Betul, dan bagaimana jika kau menjadi aku ?"
"Lari... tapi lari kemana?"
"Dimana terasa aman, kesanalah ku pergi."
"Aman" ... Sedangkan siapa musuh kita saja tidak kita ketahui, seumpama dia berada di
sampingmu juga tidak kau ketahui, di seluruh dunia ini, dimana ada tempat aman bagimu?"
"Ada, ada suatu tempat"
"Mana?" tanya si nona.
"Hong-ti!" jawab Pwe-giok.
"Hong-ti?" si nona menegas.
"Padahal setiap tokoh Bu-lim saat ini akan pergi kesana..."
"Justeru lantaran para pahlawan akan pergi kesana, maka ku anggap disanalah tempat yang
paling aman. Betapapun besar nyali jahanam itu tentu juga tidak berani mengganas di sana."
Si nona mengangguk pelahan, ucapnya: "Bagus, dalam saat begini engkau masih dapat
berpikir secermat ini, ku yakin engkau tak nanti dicelakai musuh. Baiklah lekas engkau
berangkat."
13 "Dan kau"..."
"Kau tidak perlu mengurus diriku!" seru si nona mendadak, ia membalik tubuh dan
melangkah keluar.
Pwe-giok tidak merintanginya, ia hanya mengikuti di belakangnya dengan diam-diam,
sekeluarnya di pintu, mendadak kaki si nona menjadi lemas dan tubuh akan ambruk, namun
Pwe-giok keburu memapahnya dari belakang, katanya sambil menghela napas: "Terlalu
banyak penderitaanmu, kaupun terlalu lelah, lebih baik istirahatlah dulu."
Air mata kelihatan mengembeng pula di kelopak mata si nona, ia menggigit bibir, katanya:
"Untuk apa kau sengaja berlagak memperhatikan diriku, jauh-jauh ku datang kemari, tapi...
tapi namaku saja tidak kau tanyakan."
"Aku tidak perlu tanya." jawab Pwe-giok.
Nona itu meronta dan berdiri tegak sambil berseru: "Lepaskan aku... lepaskan... bila kau
menyentuh diriku lagi segera kubunuh kau."
Pwe-giok menghela napas pelahan, katanya: "Meski aku tidak pernah berjumpa dengan kau,
tapi mustahil aku tidak tahu namamu."
Nona itu tersenyum, tapi segera menunduk dan berkata dengan rawan: "Cuma sayang
pertemuan kita ini tidak tepat waktunya..."
Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara langkah orang di luar, suara seorang tua
memanggil dengan pelahan: "Siauya... "
"Siapa itu?" tanya Pwe-giok sambil mengaling di depan si nona.
"Masa suara Ji tiong saja tidak Kongcu kenal lagi?" jawab suara itu.
Pwe-giok menghela napas lega, sebaliknya si nona mencengkeram bahunya dan bertanya:
"Siapa dia?"
"Budak tua yang ikut ayahku sejak kecil," tutur Pwe-giok.
"Tapi " tapi ketika ku masuk ke sini, tiada seorangpun yang kulihat."
Pwe-giok melengak, katanya kemudian: "Mungkin " mungkin dia bersembunyi."
Selagi bicara, tampak seorang tua berbaju hijau dan berambut uban sudah melangkah masuk,
dan setelah memberi hormat ia berkata: "Ong-loyacu dari Leng-cun sedang menunggu di
ruang tamu, beliau ingin bertemu dengan Siauya."
"Apakah Ong-jicek Ong Ih-lau?" tanya Pwe-giok dengan agak melengak.
"Selain beliau siapa lagi?" jawab si budak tua Ji-tiong. Belum lenyap suaranya, dengan
langkah lebar Pwe-giok lantas menuju keluar.
14 Dilihatnya jalan serambi yang berliku-liku sana entah sejak kapan sudah ada lampu yang
dinyalakan, suasana seperti biasa saja. Dengan heran Pwe-giok melangkah ke ruangan tamu,
ternyata di situ juga terang benderang.
Seorang berjubah ungu dan bermuka merah, alis tebal, jenggot panjang, duduk di kursi tamu,
jelas si pendekar Kang-lam yang termasyhur berbudi luhur Ong Ih-lau, Ong jiya.
Pwe-giok berlari maju dan menyembah, ucapnya dengan terguguk: "Jicek, engkau da"
datang terlambat."
"Ai, urusanmu dengan ayahmu, aku ikut tidak enak setelah mendengarnya," ujar Ong Ih-lau
dengan sedih. "Sungguh malang, siautit?"" baru berucap sampai di sini, mendadak Pwe-giok mengangkat
kepalanya dan bertanya dengan keheranan: "Eh. Jicek, da" darimana engkau mengetahui
secepat ini?"
Ong Ih-lau mengelus jenggotnya, dengan tersenyum ia menjawab: "Kan Ji-toako sendiri yang
bilang padaku." Keruan Pwe-giok melenggong, serunya:
"Ayahku" Beliau " Kapan" "
"Tadi dia berjalan keluar dengan marah-marah," demikian tutur Ong Ih-lau dengan tertawa,
"sampai kedatanganku juga tidak begitu dihiraukan. Meski aku tidak tahu apa yang diributkan
kalian ayah dan anak, tapi selama 40 tahun ini memang tidak pernah kulihat dia marah
sebesar ini. Terpaksa kuminta In-sahcekmu mengiringinya keluar berjalan-jalan agar kalian
ayah dan anak tidak ?""
Sampai melongo Pwe-giok mendengar penuturan itu, sampai di sini, ia tidak tahan lagi,
mendadak ia berseru. "Tapi... tapi ayahku tadi telah terbunuh!"
Air muka Ong Ih-lau tampak kurang senang, katanya sambil berkerut kening: "Anak muda
bertengkar dengan orang tua memang lazim terjadi, tapi janganlah engkau mengutuki ayahmu
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri." "Tapi ?"tapi ayah be?"..benar-benar sudah?"."
"Tutup mulut !" bentak Ong Ih-lau.
"Jenazah ayah saat ini terbaring di kamar tidurnya, jika paman tidak percaya, silahkan
memeriksanya sendiri," kata Pwe-giok dengan menggertak gigi.
"Baik, hayo ke sana!" dengan gusar Ong Ih-lau bangkit.
Dengan langkah cepat kedua orang lantas menuju ke belakang. Belum lagi sampai di sana,
dari jauh sudah kelihatan kamar tidur yang tadi gelap itu kini telah terang benderang oleh
nyala lampu. 15 Pwe-giok terus menerjang ke dalam kamar, dilihatnya selimut bantal di tempat tidur teratur
dengan rapi, sedikitpun tiada tanda-tanda pernah disentuh orang, sedangkan jenazah Ji Hongho
sudah tidak kelihatan lagi.
"Di mana jenazah ayahmu"!" tanya Ong Ih-lau dengan suara bengis. Gemetar tubuh Pwegiok,
mana dia sanggup bicara lagi. Mendadak ia membentak terus berlari ke halaman
belakang. Di bawah cahaya lampu yang bergantungan di serambi sana, terlihat suasana di bawah pohon
yang rindang tadi. Jangankan ke enam mayat, bahkan daun yang rontok oleh getaran
pertarungan sengit tadipun entah sejak kapan sudah disapu bersih.
Jian-koa-pit masih berada di situ, di atas meja pendek itupun masih lengkap tersedia pot air,
tatakan tinta tulis, samar-samar kertas tulis yang berada di meja juga kelihatan adalah kertas
yang digunakannya untuk menulis Lam-hoa-keng tadi.
Kaki dan tangan Pwe-giok terasa dingin, halaman yang sunyi ini bagi pandangannya seolaholah
berubah menjadi neraka yang seram dan penuh misterius. Ong Ih-lau berdiri dengan
berdekap tangan, tanyanya kemudian: "Sekarang apa yang akan kau katakan lagi?"
Pwe-giok seperti orang linglung, jawabnya dengan bingung: "Aku?".aku."
Tiba-tiba dilihatnya ada bayangan orang bergerak di balik semak-semak sana, jelas itulah si
nona jelita tadi. Pwe-giok seperti menemukan bintang penolong, cepat ia memburu maju dan
memegang tangannya sambil berseru: "Tadi nona inipun menyaksikan" Dia adalah putri
Lim-loyacu Leng-hoa-sim-kiam, namanya Lim Tay-ih, dengan mata kepala sendiri iapun
menyaksikan jenazah ayahku."
Dengan sorot mata tajam Ong Ih-lau Tanya si nona dengan suara bengis: "Apa betul kau
melihatnya?"
"Aku". Aku. Tadi"."
Belum lanjut ucapan si nona, mendadak empat orang muncul dari serambi sana sambil
menyapa dengan tertawa: "Wah, bilakah Ong-jiko datang kemari, sungguh sangat kebetulan."
Orang yang berjalan di depan berjubah sulam dan berkopiah tinggi, pedang panjang
bergantung di pinggangnya, meski rambut bagian pelipis sudah kelihatan putih, tapi sikapnya
masih tetap gagah, tiada tanda-tanda sudah tua.
Melihat ke empat orang ini, seketika Lim Tay-ih berhenti bicara dan tubuh gemetar, terutama
orang yang berjalan paling depan itu, melihat dia, sampai Ji Pwe-giok juga terkejut seperti
melihat setan, teriaknya:" Pa".. paman Lim, bukankah engkau sudah... sudah meninggal?"
Orang pertama ini memang betul Leng-hoa-sin-kiam Lim Soh-koan, ayah Lim Tay-ih,
seorang hartawan dan juga tokoh silat terkemuka di Sohciu. Ketiga orang lainnya adalah Ong
Kim-liong dari Thay oh, Sim Gin-jiang dari Ih-hia, Sebun Hong dari Mo-san, yaitu orangorang
yang dikatakan Lim Tay-ih sudah terbunuh tadi.
16 Belum lagi Lim Soh-koan menjawab teguran Pwe-giok, Sebun Hong lantas bergelak tertawa
dan berkata: "Huh, tiga tahun tidak bertemu, sekali bertemu kau lantas menyumpahi ayah
mertuamu. Ai, kelakarmu ini terasa agak keterlaluan."
Mendadak Pwe-giok membalik tubuh dan memandang Lim Tay-ih tajam-tajam, katanya:
"Kan, kau yang bilang begitu" Mengapa"..mengapa kau berdusta padaku?"
Tay-ih mengangkat kepalanya perlahan-lahan, sorot matanya tenang dan bening, jawabnya
lirih: "Aku yang bilang" Kapan dan apa yang kukatakan?"
Tubuh Pwe-giok bergetar hebat dan menyusul mundur beberapa tindak, dilihatnya kelima
tokoh Bu lim termasyhur itu sedang menatapnya dengan dingin, sorot mata mereka
mengandung rasa kejut, heran dan juga kasihan.
Si budak tua Ji Tiong entah sejak kapan juga sudah berdiri dengan setengah membungkuk
tubuh di samping sana, dengan mengiring tawa ia berkata: "Siauya, seyogyanya engkau
mengundang kelima Loyacu minum dulu ke ruang tamu."
Pwe-giok tidak menjawab, sebaliknya ia melompat ke sana dan mencengkeram pundak budak
tua tiu sambil berteriak: "Coba katakan! Ceritakan apa yang terjadi tadi."
Budak tua itu tampak melenggong, jawabnya: "Kejadian tadi" Kejadian apa?"
Keruan muka Pwe-giok tambah pucat.
"Kecuali kami berlima, apakah tadi ada kedatangan orang lain?" Tanya Ong Ih-lau.
Ji Tiong menggeleng: "Tidak ada, tiada orang lain lagi".."
Perlahan Pwe-giok melepaskan cengkeramannya dan menyurut mundur selangkah demi
selangkah, ucapnya dengan suara gemetar: "Meng ?".mengapa kau mem"..memfitnah
diriku?" Ji Tiong menghela napas panjang dan memandang Pwe-giok lekat-lekat, sorot matanya juga
memantulkan rasa kasihan, katanya kemudian: "Agaknya akhir-akhir ini Siauya terlalu berat
berlatih, mungkin engkau"."
"Mungkin aku sudah gila, begitu bukan" seru pwe-giok sambil menengadah dan tertawa
terbahak-bahak. "Kalian memandangi diriku dengan heran, karena kalian menganggap aku ini
sudah gila, begitu bukan" Kalian sama berharap aku gila, begitu bukan?"
"Ai, anak ini mungkin terlalu keras dikekang oleh ayahnya," ujar Lim Soh-koan dengan
gegetun. "Hahaha! Memang betul, aku memang terkekang terlalu keras sehingga gila!" teriak Pwe-giok
sambil tertawa latah. Mendadak ia menghantam sehingga jendela di sebelah sana ambrol
terkena angin pukulannya.
Serentak Ong Ih-lau, Sim Gin-jiang dan Sebun Hong menubruk maju, secepat kilat mereka
memegangi bahu anak muda itu, sedang Lim Soh-koan lantas mengeluarkan sebuah botol
17 hitam kecil, katanya dengan suara halus: "Anak Giok, menurut lah padaku, minumlah obat ini
dan tidurlah baik-baik, besok tentu kau akan sehat kembali."
Segera ia membuka tutup botol terus dijejalkan ke mulut Pwe-giok, seketika tercium bau
harum semerbak dan memabukkan.
Tapi Pwe giok tutup mulut serapat-rapatnya, matipun tidak mau pentang mulut.
"Ai, mengapa kau berubah begini, Pwe-giok," kata Sim Gin jiang dengan gegetun. "Masa
ayah mertuamu sendiri sampai hati membikin susah padamu?"
Mendadak Pwe giok menggertak keras-keras, sekali kedua tangannya terpentang, kontan
tokoh-tokoh kelas tinggi seperti Sim Gian jiang dan Sebun Hong itupun tidak mampu
menahannya, ditengah suara bentaknya Pwe giok terus melayang ke atas, ujung kaki menutul
wuwungan, secepat burung terbang ia melayang lewat ke balik pepohonan sana.
"Lihai amat anak ini, biarpun waktu mudanya juga Ji Hong ho tidak sehebat ini !" ujar Sebun
hong. "Cuma sayang, dia sudah gila, sungguh sayang...." Ong Ih lau menghela nafas menyesal. Lim
Tay ih terus menjatuhkan diri ditengah dan menangis sedih.
***** Bintang berkelip memenuhi langit, malam sunyi dan dingin.
Sudah lebih tiga jam Ji Pwe giok berbaring di bawah pohon dan memandangi bintang yang
bertaburan di cakrawala, sama sekali tidak bergerak, sampai berkedip juga tidak. Bintang
berkelip yang memenuhi langit itu seakan-akan sedang mengejeknya:
"Kau sudah gila.......kau sudah gila........."
Malam tambah larut, bintang mulai jarang-jarang, ditengah tiupan angin malam yang sepoisepoi
itu terbawa suara tangisan orang yang memilukan, makin lama semakin dekat suara
tangis orang itu.
Akhirnya kelihatan lah seorang tua pendek kecil dengan jenggot yang sangat panjang hingga
hampir menyentuh tanah muncul dengan menangis. Setiba di bawah pohon sana, ia menangis
lagi sejenak, lalu mengumpulkan beberapa potong batu sebagai ganjal kaki, ikat pinggang
dilepaskan dan dilibatkan pada dahan pohon. Melihat gelagatnya kakek itu jelas hendak
gantung diri. Pwe giok tidak tahan menyaksikan orang bunuh diri di depannya, cepat ia melompat kesana
dan mendorong si kakek.
Bukannya berterima kasih, orang tua itu malah duduk di atas tanah, kakinya memancalmancal
dan menangis seperti anak kecil, serunya:
18 "Untuk apa kau tolong diriku" Di dunia ini tiada orang yang lebih malang dari padaku,
hidupku sudah tiada artinya lagi. Ku mohon janganlah engkau merintangi kematianku, mati
rasanya akan lebih baik bagiku."
Pwe-giok menghela nafas, ucapnya dengan menyengir:
"Apa betul di dunia ini tiada orang terlebih malang daripadamu ".... kau tahu dalam satu hari
saja aku kehilangan rumah, kehilangan orang tua, apa yang kukatakan terjadi sungguhsungguh,
tapi tiada seorangpun yang mau percaya padaku. Di dunia ini pun tiada seorang lagi
yang dapat kupercayai. Pendekar yang biasanya kuhargai dan kupuja, dalam sehari juga
mendadak berubah menjadi penuh intrik dan misterius, orang yang setiap hari berdekatan
denganku juga mendadak berubah tidak setia lagi padaku dan ingin membuat gila padaku,
ingin mencelakai jiwaku, bukankah diriku ini jauh lebih malang daripada dirimu ?"
Si kakek memandangnya dengan termangu-mangu hingga sekian lamanya, ucapnya kemudian
setengah berguman: "Jika demikian, kalau dibandingkan kau, rasanya aku masih jauh lebih
mujur. Kau memang lebih pantas mati daripadaku, biarlah ikat pinggang ini kupinjamkan
kepadamu." Ia terbahak-bahak, lalu melangkah pergi.
Dengan termangu-mangu Pwe-giok mengikuti bayangan si kakek yang menghilang di
kejauhan. Ia coba memasukkan leher sendiri ke jiratan tali pinggang, gumamnya: "Cara
demikian memang sangat mudah. setelah mati, segala kekesalan pun tak terasa pula, tapi
apakah benar aku ini orang yang paling pantas mati di dunia ini "..." Mendadak iapun
tertawa, katanya: "Ya, anggaplah aku sudah pernah mati satu kali !"
Ia lepaskan jiratan itu dan melangkah pergi. Sepanjang jalan, apabila dia berlalu di kolam,
dimana banyak anak gadis sedang memetik lengkak, maka sering-sering ada gadis yang
melemparkan beberapa biji lengkak padanya. Pwe giok lantas menangkap lengkak itu dan
dimakan. Bila dia melalui hutan murbei, nona pemetik murbei juga sering melemparkan buah
itu kepadanya dan iapun menerimanya untuk dimakan. Kalau dia sudah lelah dalam
perjalanan, seadanya dia mencari rumput kering atau onggokan jerami untuk alas tidur. Bila
mendusin, seringkali ada anak gadis yang sedang memandanginya dengan tersenyum jengah
serta memberinya semangkuk telur rebus air gula. Bilamana diketahui ibu si anak gadis, sang
ibu lantas marah-marah dan mengusir Pwe-giok dengan gagang sapu. Tapi melihat wajah
anak muda itu, kadang-kadang sang ibu malah tambah memberinya beberapa potong bakpau
atau beberapa biji ketela rebus.
Perjalanan sejauh ini entah cara bagaimana dilaluinya, apa yang dipikirnya juga tidak berani
dibicarakan nya dengan orang lain, dalam batin ia hanya selalu ingat: "Sabar....mengalah..
sabar..." Itulah petuah mendiang ayahnya yang selalu mendengung-dengung dalam benaknya.
Dia seperti tidak perduli lagi apakah ada orang menguntit jejaknya, padahal sekarang tiada
orang yang mengenalnya lagi, siapapun pasti pangling. Pakaiannya memang sederhana,
ditambah lagi sekarang tubuhnya penuh debu kotoran, bajunya sudah robek di sana-sini,
keadaannya sekarang tiada banyak bedanya dengan kaum pengemis. Dia tidak cuci muka,
juga tidak sisir rambut. tapi keadaannya yang kelihatan linglung dan harus dikasihani justru
makin disukai oleh anak perempuan.
Tapi sekarang Pwe-giok sudah tidak perduli apakah orang suka atau jemu padanya, ia
meneruskan perjalanan menurut selera sendiri.
19 Akhirnya ia tiba di wilayah Holam, ditengah jalan orang yang berdandan sebagai busu atau
jago silat semakin banyak, semuanya bersemangat dan tergesa-gesa. Pertemuan pesilat yang
berlangsung setiap tujuh tahun sekali tentu saja sangat menarik perhatian setiap tokoh dunia
persilatan. Selewatnya Siangcu, ditengah jalan bertambah ramai lagi. Bilamana ada tokoh ternama
berlalu di tepi jalan lantas ramai orang berbisik-bisik membicarakannya.
"Lihatlah, yang berjubah bunga ungu itulah Sin To Kongcu dari Hong-yang, golok yang
tergantung di pinggangnya itulah Giok Liong to yang dapat memotong emas seperti merajang
sayur." "Dan Nona berbaju kuning itu, apakah kau kenal ?"
"Kenapa tidak " kalau Kim Yan Cu (si walet emas) saja tidak kukenal, apa gunanya aku
berkecimpung di dunia kangouw " ai, mereka benar-benar suatu pasangan yang setimpal,
yang lelaki ganteng yang perempuan cantik."
"He, itu dia Jian jiu kun (pukulan seribu tangan) Tio Tayhiap juga datang," demikian seru
seorang lagi. "Siaw lim pay sudah tujuh kali mengetuai pertemuan Hong-ti kedudukannya
dalam pemilihan tahun ini tentu tidak boleh berpindah kepada orang lain. Tio Tayhiap adalah
murid Siau lim pay dari keluarga preman, sudah tentu dia harus hadir."
Percakapan orang itu dapat didengar semua oleh Pwe giok, tapi dia tidak memandangnya,
dengan sendirinya orang lainpun tidak memperhatikan seorang jembel semacam dia.
Setiba di Hongciu, malam sudah larut. Dia tidak masuk ke kota, tapi berbaring seadanya di
emper sebuah hotel kecil di luar kota.
Malam semakin larut, orang lain sudah tidur semua. namun menghadapi pertemuan Hong Li
yang sudah dekat di depan mata, mana Pwe giok dapat tidur nyenyak, meski matanya terasa
sepat, tapi masih terbelalak dan melamun:
"Apakah Lim Soh koan, Ong Ih lau dan lain-lain juga akan hadir di Hong-ti" Sesungguhnya
apa yang hendak mereka lakukan " mengapa mereka berkeras menyatakan ayahku belum
meninggal dunia " apakah mungkin......"
Mendadak terdengar seorang berkata: "Ang lian hoa (bunga teratai merah), pek lian ngau (ubi
teratai kecil), sebatang gala bambu menjelajah dunia"
Entah sejak kapan, seorang pengemis muda kurus kecil dengan mata besar, tangan memegang
sebatang bambu, seang memandangnya dengan tertawa.
Pwe giok balas menyengir padanya, tapi tidak bicara. hakekatnya dia tidak tahu apa yang
harus dikatakan.
Pengemis muda berkedip-kedip, tegurnya kemudian dengan tertawa: "kau bukan anggota Kay
pang kami ?"
20 Pwe giok menggeleng sebagai tanda bukan.
"Jika kau bukan orang Kay pang, mengapa dandananmu mirip benar si tukang minta-minta,
tidurmu juga ditempat kaum pengemis," kata si jembel muda itu dengan tertawa.
"sungguh aneh, kalau kau menyaingi pekerjaan lain masih dapat dimengerti, jasa pekerjaan
mengemis juga ingin kau rebut?"
"O, maaf." jawab Pwe giok sambil menyengir berbangkit dan melangkah keluar emper rumah,
berdiri termangu-mangu di bawah langit yang penuh bertabur bintang.
Pengemis muda tadi memandangnya tanpa berkedip, ia merasa orang ini sangat menarik, ia
tutul bahu Pwe giok dengan ujung galanya dan bertanya pula: "Dari logat suaramu, agaknya
kau datang dari Kang-lam ?"
Secara singkat Pwe giok mengiakan.
"Siapa namamu ?" tanya pula pengemis muda itu.
Pwe giok menoleh dan memandangnya beberapa kejap, ia merasa sepasang mata yang besar
itu seperti kelihatan licin dan nakal, tapi mengandung maksud baik tanpa bermaksud jahat,
dengan tertawa ia lantas menjawab: "Namaku Ji Pwe giok."
"Aku Lian Ang ji (Lian si anak merah)." kata jembel muda dengan tertawa. "Soalnya baju
yang kupakai meski compang-camping, tapi selalu berwarna merah."
"O, kiranya Lian heng ( saudara Lian)," kata Pwe giok.
"Haha, boleh juga kau ini, ternyata sudi berbicara dengan si tukang minta nasi," ujar Lian Ang
ji dengan bergelak tertawa.
"Tapi aku sendiri ingin minta nasi saja tidak kuat", tukas Pwe giok sambil menyengir.
Tambah mencorong sinar mata Lian Ang ji, katanya perlahan: "Kulihat dasar ilmu silatmu
tidaklah lemah, kalau bukan anak murid keluarga persilatan tentu tak dapat terpupuk dasar
sekuat ini, tapi mengapa kau menyaru sedemikian rupa?"
Pwe giok terkejut, jawabnya : "Aku tidak menyamar, aku tidak mahir ilmu silat."
Seketika Lian ang ji menarik muka, jengeknya: "Kau berani mendustai aku?"
Mendadak gala bambunya bergerak, secepat kilat ia tutul Long si hiat di dada Ji Pwe giok,
hanya dalam sekejap saja ujung gala bambunya bergetar, hampir seluruh Hiat to penting di
tubuh Pwe giok terancam di bawah gala bambu.
Karena sedang tertimpa malang, Pwe giok merasa setiap orang di dunia ini bisa jadi adalah
utusan musuh yang tak kelihatan itu, maka cepat ia ia mendak ke bawah dan menyurut
mundur. 21 Tak tersangka Lian ang ji juga lantas menarik kembali galanya, ia tatap Pwe giok dengan
tajam dan menjengek pula: "Masih muda belia sudah suka berdusta, kalau sudah besar kan
lebih celaka !"
Pwe giok menunduk, katanya: "Sungguh ada... ada kesukaranku yang tak dapat kujelaskan."
"O, tidak dapat kau katakan padaku ?" tanya Lian ang ji.
"Jika kaupun mempunyai sesuatu rahasia, apakah mungkin kau katakan kepada orang yang
tak pernah kau kenal ?" Pwe giok balas bertanya
Lian ang ji memandangnya dengan melenggong, sejenak kemudian barulah ia berkata pula
dengan tertawa: "Tepat sekali pertanyaanmu, tampaknya kau lemah lembut, agaknya kau
tidak suka banyak bicara. Tak kusangka sekali bicara lantas begini tajam."
Dengan kemalas-malasan Lian ang ji merebahkan diri lantas berkata pula dengan kemalasmalasan:
"Cuma, perjalananmu ini mungkin akan sia-sia belaka, kau tak dapat hadir di
pertemuan Hong-ti nanti."
Kembali pwe giok terkejut, serunya: "He, dari" darimana kau tahu"......"
"Mataku ini adalah kaca penyorot siluman, siapapun juga asalkan kupandang tiga kejap, pasti
kutahu dia berasal dari apa," demikian jawab Lian ang-ji dengan tertawa.
Pwe-giok pandang mata orang dengan rasa kejut, heran dan juga kagum.
Lian Ang-ji lantas memandang ke langit dan berkata pula dengan tak acuh: "Pertemuan Hongti
bukanlah tontonan umum dan boleh dihadiri setiap orang, yang boleh hadir adalah anak
murid ke 13 Mui-pay (golongan dan aliran) yang menjadi sponsor pertemuan ini, orang luar
harus membawa kartu undangan. Dan kau?"
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku"..aku bukan anak murid ke 13 Mui-pay itu dan juga". juga bukan tamu yang
diundang," jawab Pwe-giok dengan menunduk.
"Jika begitu, lebih baik sekarang juga kau pulang saja," kata Lian Ang-ji.
Pwe-giok terdiam sejenak. Tiba-tiba ia bertanya: "Apakah Kay-pang termasuk ke 13 Mui-pay
itu?" "Sudah tentu," jawab Lian Ang-ji dengan tertawa. "Selama lebih 40 tahun ini, meski setiap
kali yang menjadi ketua perserikatan adalah Siau-lim-pay, tapi kalau Kay-pang kami tidak
memberi dukungan, mustahil kedudukan itu tidak sejak dulu-dulu direbut oleh Bu-tong-pay
atau Kun-lun-pay."
"Dan kalau aku dapat mencampurkan diri di tengah anggota kay-pang, kukira takkan
diketahui oleh orang lain". " demikian Pwe-giok bergumam sendiri.
"Haha, enak benar perhitunganmu," ujar Lian Ang-ji sambil tertawa.
22 Mendadak Pwe-giok berlutut di depan jembel muda itu dan memohon: "Kuharap Lian-heng
sudilah memberi bantuan sekali ini saja. Tolonglah engkau bicarakan kepada Pangcu kalian,
asalkan Siaute dapat hadir di sana, urusan lain tidak perlu lagi dikuatirkan."
Lian Ang-ji memandangnya dengan tertawa, katanya: "Kenal saja baru sekarang, mengapa
harus kubantu kau?"
Pwe-giok melenggong, ucapnya kemudian: "Sebab"..sebab". " ia menghela napas panjang
dan bangkit. Sesungguhnya ia memang tidak dapat menjelaskan sebab apa"
Terpaksa ia angkat kaki. Lian Ang-ji juga tidak memanggilnya kembali, dengan tertawa ia
memandangi kepergian Pwe-giok yang lesu dan menghilang dalam kegelapan, seperti halnya
menyaksikan seorang yang hampir terbenam dan akhirnya tenggelam ke dasar sungai.
Dalam kegelapan, entah sudah berapa lama dan berapa jauh Ji Pwe-giok berjalan. Di depan
masih tetap gelap gulita.
Sekonyong-konyong di depan ada gemerlapnya cahaya api, serombongan orang datang sambil
bertepuk tangan dan berdendang: "Ang-lian-hoa (bunga teratai merah) pujaan beta. Orang
jahat ketemu dia merangkak ketakutan, orang baik ketemu dia tepuk tangan memuji. Di
seluruh kolong langit ini hanya ada sekuntum Ang-lian-hoa."
Pwe-giok tidak ingin bertemu dengan siapa-siapa, maka ia membelok ke arah lain. Tak
terduga rombongan orang ini mendadak berkerumun maju dan mengitari di sekelilingnya.
Ada yang bergelak tertawa, ada yang bertepuk tangan. Di bawah cahaya obor kelihatan orangorang
ini sama berbaju compang-camping dan telanjang kaki, ada tua ada muda.
Pwe-giok tercengang, belum sempat bicara. Orang-orang itu lantas bersorak-sorak gembira
pula: "Ji Pwe-giok, orangnya cakap bagai kemala, tengah malam buta, kau mau ke mana?"
Berubah air muka Pwe-giok seketika, serunya: "He, bagaimana kalian kenal diriku?"
Seorang pengemis tua lantas tampil ke depan, ia memberi hormat dan berkata dengan
tersenyum: "Pangcu kami mendengar kedatangan Ji-kongcu, maka kami diperintahkan
menyambut"."
"Tapi aku sama sekali tidak kenal pangcu kalian," seru Pwe-giok bingung.
"Walaupun Kongcu tidak kenal Pangcu kami, tapi sudah lama Pangcu mendengar nama besar
kongcu, sebab itulah kami sengaja disuruh menunggu kedatangan Kongcu di sini, bahkan
kami disuruh mengantar sesuatu untuk Kongcu," demikian tutur pengemis tua itu dengan
tertawa. Karena pengalaman kematian ayahnya yang mengenaskan itu, terhadap segala sesuatu
sekarang Pwe-giok selalu waspada, dengan mengepal tinju ia menjengek: "Baiklah, mana
barangnya."
"Harap Kongcu jangan salah paham," ucap si pengemis tua pula. Yang hendak kami
sampaikan ini bukanlah senjata tajam atau kepalan." Lalu ia mengeluarkan sepucuk surat
23 bersampul kuning dan dihaturkan dengan hormat: "Silahkan Kongcu memeriksanya dan
segera akan jelas isinya."
Tanpa terasa Pwe-giok menerima sampul surat itu, tapi sekilas teringat lagi "surat maut"
tempo hari itu, mendadak ia cengkeram leher baju si pengemis tua, ia sodorkan surat itu ke
depan sambil membentak dengan bengis: "Coba kau jilat dulu surat ini!"
Pengemis tua itu tidak melawan, ia pandang Pwe-giok sekejap dengan tersenyum, ucapnya:
"Cermat benar Kongcu ini."
Tanpa ragu ia benar-benar menjulurkan lidahnya dan menjilat sampul yang dipegang Pwegiok
itu, bahkan sehelai kartu di dalam sampul juga dijilatnya sekali, lalu berkata pula dengan
tertawa: "Sekarang Kongcu tidak perlu sangsi lagi bukan?"
Pwe-giok berbalik merasa rikuh dan melepaskan cengkeramannya, waktu ia keluarkan kartu
di dalam sampul, yang tertulis ternyata berbunyi: "Mengundang dengan hormat atas kehadiran
anda di pertemuan Hong-ti."
Keruan Pwe-giok terkesiap, waktu ia berpaling, rombongan kaum jembel itu sudah pergi
semua, tertinggal onggokan obor saja yang masih gemerdep dalam kegelapan.
Memandangi api obor, Pwe-giok menjadi bingung pula. Siapakah gerangan Pangcu yang
dimaksudkan itu" Mengapa menyampaikan kartu undangan ini kepadanya"
Apa yang dialaminya selama beberapa hari ini kalau tidak lucu dan sukar dimengerti, tentulah
misterius dan menyeramkan di samping keji dan ganas, tapi setiap kejadian juga sangat aneh
dan sukar dibayangkan.
Entah berapa lama ia termenung sambil memegang kartu undangan itu. Tiba-tiba dalam
kegelapan ada suara tindakan orang lagi.
Pwe-giok bermaksud pergi saja, tapi mendadak ada orang membentaknya: "Berhenti!"
Diam-diam Pwe-giok merasa gegetun, ia tidak tahu apa yang akan terjadi lagi dan siapa pula
yang datang. Apa yang dialaminya selama beberapa hari ini tiada satupun yang dapat
menduga sebelumnya, orang yang ditemuinya juga tiada seorangpun yang dapat menerka asal
usul serta maksud tujuannya.
Karena itu ia menjadi malas untuk memikirkannya. Dilihatnya yang datang sekali ini ada
tujuh orang, dua diantaranya memakai jubah Tosu, seorang berbaju Hweshio, tiga lagi
berpakaian ketat ringkas, orang terakhir adalah perempuan, memakai mantel bersulam.
Meski dandanan ke tujuh orang ini tidak sama, tapi semuanya tangkas, semuanya masih muda
dan gagah, gerak-geriknya juga sangat gesit.
Seorang pemuda baju hitam ringkas berada paling depan, sinar matanya tajam mencorong, ia
melotot pada Pwe-giok dan membentak: "Apa yang sahabat lakukan dengan berdiri di sini?"
24 "Hm, masa orang berdiri di sini saja tidak boleh?" jengek Pwe-giok.
Alis pemuda itu berjengkit, si Hwesio yang berdiri di sebelahnya lantas menyela dengan
mengulum senyum: "Mungkin Sicu tidak tahu, lantaran pertemuan Hong-ti akan berlangsung
besok, kebanyakan tokoh dunia persilatan sama hadir di sini, dalam pada itu tentu sukar
terhindar kemasukan anasir-anasir jahat yang sengaja hendak mengacau. Maklum akan
kemungkinan ini, para Ciangbun dari ke-13 Mui-pay yang menyelenggarakan pertemuan ini
telah menugaskan pada anak muridnya untuk melakukan perondaan. Pinceng (Paderi miskin)
Siong-cui dari Siau-lim, beberapa Suheng, berasal dari Bu-tong, Kun-lun, Hoa-san, Tiam-joa,
Khong-tong, dan lain-lain"
Air muka Pwe-giok menjadi cerah, katanya: "Ah, kiranya kalian adalah murid terhormat dari
Jit-toa-kiam-pay (ke tujuh aliran ilmu pedang beras) ..."
Si pemuda baju hitam sejak tadi terus mengincar kartu undangan yang dipegang Pwe-giok,
mendadak ia bertanya: "Kartu undangan ini apakah milikmu ?"
Pwe-giok mengiakan.
Tak terduga, mendadak sinar pedang berkelebat, tahu-tahu ujung senjata orang sudah
mengancam di depan batok kepalanya.
Pemuda baju hitam ini memang tidak malu sebagai murid perguruan ternama, hanya sekejap
itu saja pedang sudah terlolos dan menyerang.
Karena tidak terduga-duga, sedapatnya Pwe-giok berusaha menghindar, walaupun berhasil,
hampir saja daun telinganya terpapas, keruan ia menjadi gusar dan mendamperat: "Kenapa
kau bertindak sekasar ini". Apakah kau kira kartu undanganku ini palsu ?"
Pedang si baju hitam tampak gemerlapan dan mendesak maju pula, jengeknya: "Lihat
serangan!"
Gerak serangannya itu tampaknya tidak ada sangkut pautnya satu sama lain, tapi sejurus demi
sejurus terus dilancarkan, berturut turut Pwe-giok menghindarkan tujuh belas kali barulah
sempat berganti napas, teriaknya gusar: "He, apa-apaan ini ?"
Tiba-tiba si perempuan muda bermantel berucap dengan dingin: "Tanyai dulu baru bertindak
kan belum lagi terlambat."
Menurut juga pemuda berbaju hitam itu. segera ia menarik kembali pedangnya, tapi mata juga
melotot terlebih besar, bentaknya dengan bengis: "Baik, coba katakan, darimana kau peroleh
kartu undangan ini ?"
"Pemberian orang," jawab Pwe giok.
"Hehehe, kawan-kawan sudah dengar, katanya pemberian orang!" demikian pemuda baju
hitam itu terkekeh kekeh hina.
"Kenapa kau merasa heran ?" tanya Pwe giok. Siong-cui, si paderi Siau-lim-pay juga menarik
muka, katanya dengan pelahan: "Kartu undanganmu ini tidak palsu, cuma terlalu tulen
25 sehingga meragukan. Supaya Sicu maklum, dalam pertemuan Hong-ti ini, kartu undangan
yang disebar ada tujuh macam. Kartu warna kuning ini paling terhormat, kalau bukan ketua
sesuatu perguruan ternama, sedikitnya juga kaum Locianpwe yang disegani barulah mendapat
kartu undangan ini. Tapi juga ketua ke 13 Mui-pay penyelenggara saja yang dapat
mengirimkan kartu ini, sedangkan anda ..."
"Hehe, sedangkan anda tampaknya bukan orang yang mempunyai hubungan erat dengan
ketua ke-13 Mui-pay penyelenggara," Sambung si pemuda baju hitam dengan tertawa dingin.
"Jelas kartu undanganmu ini kalau bukannya kau curi tentu kau dapatkan dengan menipu."
Di tengah bentakannya, segera pedangnya menusuk pula. Sekali ini perempuan muda tadi
tidak mencegahnya, ke tujuh orang bahkan sudah berdiri dalam posisi mengepung sehingga
Pwe-giok terkurung di tengah.
Sungguh penasaran Pwe-giok tak terlampiaskan, tapi cara bagaimana dia dapat memberi
penjelasan" Si "Pangcu" sialan yang memberi kartu undangan ini bukankah malah sengaja
hendak membikin celaka padanya"
Serangan pedang si pemuda baju hitam tambah gencar, yang dimainkan adalah Hui hoa-kiamhoat
(ilmu pedang merontokkan bunga) dari Tiam jong-pay. Cepat, ganas, inilah keunggulan
Tiam jong-kian-hoat.
Ilmu pedang inipun paling sukar dihindarkan lantaran Pwe-giok tidak menangkis dan balas
menyerang, maka berulang-ulang ia harus menghadapi serangan berbahaya.
Si Perempuan muda tadi tampak berkerut kening, katanya: "Masa kau tidak menyerah saja,
apakah kau ingin ..."
Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara tertawa nyaring panjang bergema
melayang lewat di angkasa. Semua orang terkejut dan sama menengadah, tertampak sesosok
bayangan berkelebat lenyap dalam kegelapan, tapi ada sesuatu benda melayang-layang jatuh
ke bawah. Sekali pedang si pemuda baju hitam mencungkit, benda itu tersunduk pada ujung pedangnya.
Waktu diperiksa, kiranya sekuntum bunga teratai merah.
"Ang-lian-hoat?" seru pemuda baju hitam dengan air muka pucat.
Mendadak Siong-oui Hwesio memberi hormat kepada Ji Pwe-giok, katanya dengan
tersenyum: "Kiranya sicu adalah sahabat baik Ang-lian-pangcu. Tecu tidak tahu sehingga
bersikap kurang hormat, harap anda suka memberi maaf."
Cepat si pemuda baju hitam menambahkan: "Ai, mengapa engk ... Cianpwe tidak omong
sejak tadi."
Pwe-giok sendiri melenggong sejenak, katanya kemudian: "Sesungguhnya akupun tidak kenal
pada Ang-lian-pangcu ini."
26 "Ai, jika cianpwe bilang begini, betapapun Wanpwe menjadi serba susah." kata pemuda baju
hitam dengan menunduk.
Pwe-giok hanya menyengir saja dan sukar memberi penjelasan.
Si perempuan muda tadi sedang menatapnya dengan sorot mata yang tajam, tiba-tiba ia
berkata dengan tertawa manis: "Tecu Ciong Cing dari Hoa-san. Apabila Kongcu sudi, boleh
silahkan istirahat dulu di tempat kami sana"
Segera si pemuda baju hitam mendukung usulnya: "Bagus sekali, besok pagi-pagi Tian-jongpay
kami pasti akan mengirim kereta kemari untuk menjemput anda untuk menghadiri
pertemuan besar."
Pwe-giok berpikir sejenak, akhirnya ia menjawab: "Ya, boleh juga"
Dengan demikian Ji Pwe-giok lantas diantar ke wisma tamu agung Hoa-san pay yang terang
benderang. Tapi siapakah gerangan Ang-lian-pangcu itu sebenarnya tetap tak diketahuinya.
Ging-pin koan atau wisma tamu agung sepanjang malam terang benderang, ruang tamu sangat
luas, tiada hiasan apapun kecuali tergantung potret yang besar. Pwe-giok mengamati potret itu
satu persatu, dilihatnya ke - 14 potret orang itu terdiri dari macam-macam jenis, ada Hwesio
ada Tosu, ada orang preman, ada perempuan dan ada pula pengemis, kedudukan dan usia
tidak sama, tapi semuanya tampak kereng, anggun dan berwibawa.
Ciong Cing masih mengiring disamping Pwe-giok, dengan tertawa ia menjelaskan: "Inilah
potret ke-14 tokoh Cianpwe dari ke-14 Mui-pay yang mensponsori pertemuan Hong-ti sejak
pertama kalinya. Hal ini terjadi 70 tahun yang lalu, ketika itu dunia persilatan kacau balau,
hampir tidak pernah aman dan tenteram. Tapi sejak ke-14 tokoh itu mengikat janji di Hong-ti,
dunia Kangouw lantas aman dan damai, maka jasa ke-14 tokoh besar ini boleh dikatakan tiada
taranya." Pwe-giok entah mendengarkan tidak uraian Ciong Cing itu, dia hanya memandang termangumangu
salah sebuah potret di tengah itu, tokoh yang terlukis di potret itu adalah seorang tua
bermuka lonjong dan cerah dengan sikap yang tenang.
Dengan tertawa Ciong Cing lantas menyambung lagi ceritanya: "Mungkin kongcu merasa
heran potret di tengah ini bukan Haon-im Taysu dari siau-lim dan juga bukan Thi-koh Tojin
dari Butong. Hendaklah Kongcu maklum bahwa Ji-locianpwe inilah orang pertama yang
menyelenggarakan pertemuan Hong-ti ini, kedudukan Bu-kek-pay pimpinan Ji-locianpwe di
dunia Kangouw pada waktu itu sekali-kali tidak di bawah Siau lim-pay dan Bu-tong pay."
Jilid 2________
"Ya, kutahu." kata Pwe-giok pelahan sambil menghela napas.
"Tiga kali berturut turut Ji-locianpwe mengetuai perserikatan Hong-ti, meski kemudian beliau
mengundurkan diri, tapi setiap tindak dan ucapannya masih berbobot. Baru 30 tahun yang
lalu, ketika Ji-locianpwe menjabat ketua Bu kek pay, beliau baru sama sekali mengundurkan
diri dari urusan perserikatan, sebab itulah dalam kartu undangan sekarang hanya tercantum ke
13 Mui-pay saja."
27 Meski cara bercerita Ciong Ling yang cantik ini sangat menarik akan tetapi tetap Pwe-giok
tetap menunduk saja dengan wajah sedih.
Malam ini dia bergolek tak dapat tidur, sampai fajar sudah hampir menyingsing, baru saja dia
akan terpulas, tahu-tahu suara Ciong Ling sudah terdengar di luar pintu kamar: "Kongcu
sudah bangun belum" Nyo Kun-pi, Nyo-suheng dari Tiam jong-pay sudah datang menjemput
anda." Cepat Pwe-giok bangun dan menyambut keluar, dilihatnya kerlingan mata si nona masih tetap
lembut, senyumnya tetap menggiurkan. Nyo Kun-pi dari Tiam-jong-pay itu kini tampak
memakai baju kuning di luar bajunya yang hitam ketat, sikapnya masih tetap sangat
menghormat seperti semalam.
"Kereta penyambutan mu kami sudah menunggu di luar, Ciangbun Cin-suheng kami juga
menantikan kedatangan anda di atas kereta." demikian Nyo Kun-pi bertutur sambil memberi
hormat. Cepat Pwe-giok membalas hormat dan mengucapkan terima kasih.
Di wisma tamu agung itu sudah mulai ramai, banyak yang sedang latihan pagi, tapi Pwe-giok
tidak memusingkan mereka, langsung dia ikut Ciong Ling dan Nyo Kun-pi keluar.
Benar juga, di luar sebuah kereta besar dengan empat kuda penarik yang tinggi besar sudah
menunggu. Kereta itu sangat mewah dan longgar, di situ sudah berduduk sembilan orang.
Sekilas pandang Pwe-giok melihat diantara ke sembilan orang itu ada seorang pemuda
berbaju kembang ungu, ada pula seorang nona berbaju kuning dan membawa pedang.
Mungkin mereka inilah Sin-to-kongcu (Kongcu bergolok sakti) serta Kim-yang-cu (si walet
emas). Selain itu ada pula seorang lelaki kekar bermuka ungu dan berbaju mentereng, dua
orang Tosu yang berdandan serupa. Didekat jendela sebelah sana berdiri seorang pemuda
dengan baju sutera kuning dan berpedang sarung hijau sedang melongok keluar dan bicara
dengan seorang lelaki yang menuntun kuda.
Pwe-giok tak dapat melihat jelas sekaligus seluruh penumpang kereta itu, tapi iapun tidak
memandang lebih lanjut. Orang lain tidak menghiraukan dia, iapun tidak perdulikan orang
lain, dia tetap berduduk dan menunduk.
"Sampai bertemu di tengah rapat... " seru Ciong Ling sambil melambaikan tangannya kepada
Pwe-giok ketika kereta mulai berangkat.
Setelah pintu kereta ditutup dan kereta sudah mulai bergerak barulah pemuda baju kuning tadi
menarik kepalanya dan membalik tubuh, tanyanya dengan tertawa: "Yang manakah sahabat
Ang-lian-pangcu?"
Waktu Pwe-giok mengangkat kepalanya, sungguh kagetnya tidak kepalang. Dilihatnya sorot
mata pemuda baju kuning itu mencorong tajam meski mukanya putih pucat, jelas pemuda
inilah yang membunuh ayahnya, Ji Hong-ho, secara keji itu.
28 Karena mendengar Pwe-giok adalah sahabat Ang-lian-pangcu, semua orang lantas berubah
sikap dan sama memandang ke arah Pwe-giok, terlihat mata Pwe-giok melotot dan
memandang pemuda baju kuning dengan beringas.
Tapi pemuda baju kuning lantas berkata dengan tertawa hampa "Cayhe Cia Thian-pi dari
Tiam-jong, juga sahabat lama Ang-lian-pangcu, entah siapa nama anda yang terhormat?"
Mendadak Pwe-giok berteriak dengan suara parau: "Meski kau tidak... tidak kenal padaku,
tapi... tapi kukenal kau..." berbareng itu ia terus menubruk maju, kedua tinjunya menghantam
sekaligus, tidak kepalang dahsyat angin pukulannya sehingga para penumpang kereta sama
terkesiap. Pemuda baju kuning Cia Thian-pi seperti terkejut juga, sekuatnya ia menghindarkan serangan
Pwe-giok itu, lalu membentak: "Apakah maksudmu ini ?"
Pwe-giok melancarkan pukulan pula sambil berkata dengan menggertak gigi: "Hari ini jangan
kau harap akan kabur" sudah lama kucari kau!"
Kejut dan dongkol pula Cia Thian-pi, untung ruangan kereta ini cukup longgar, dia sempat
berkelit kian kemari dengan lincah, setelah mengelak lagi beberapa kali pukulan, dengan
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gusar ia membentak: "Selamanya kita belum kenal, mengapa kau..."
"Utang darah yang terjadi di luar kota Lengcu enam hari yang lalu sekarang harus kau bayar
dengan darahmu!" teriak Pwe-giok murka, tangan bergerak ke atas, tangan kiri terus
menonjok dengan jurus "Ciok-boh-thian-keng" atau batu hancur mengejutkan langit.
Karena sudah kepepet, terpaksa Cia Thian-pi menangkis serangan ini. "Blang", dua tangan
beradu dan menerbitkan suara kulit dipukul kayu, Cia Thian-pi tergetar mundur dan
menubruk pintu kereta.
Pwe-giok tidak memberi kelonggaran, secara berantai kedua kepalan menghantam pula.
"Berhenti!" mendadak beberapa orang membentak, tahu-tahu tiga batang pedang sudah
mengancam di punggung Pwe-giok, dua gaetan tajam menggantol bahunya, sebilah belati
yang mengkilap juga mengancam didada kirinya, ujung belati terasa sudah menyentuh kulit,
dalam keadaan demikian mana Pwe-giok berani bergerak pula.
Kereta itu masih terus dilarikan ke depan, wajah Cia Thian-pi bertambah pucat, dengan gusar
ia bertanya: "Apa katamu tadi" Di luar kota Lengcu apa" utang darah apa maksudmu"
sungguh aku tidak mengerti!"
"Kau pasti mengerti!" teriak Pwe-giok, mendadak ia menjatuhkan tubuhnya ke kiri,
menumbuk Tojin sebelah kiri yang bersenjata gaetan, menyusul tangan kanan menarik gaetan
Tojin itu dan ditangkiskan ke belakang sehingga kedua pedang yang mengancam
punggungnya tersampuk pergi, waktu pedang ketiga hendak menusuk, ia mendahului
menyikut perutnya sehingga orang itu menungging kesakitan.
Akan tetapi golok pendek atau belati yang mengancam dadanya tadi masih belum bergeser.
Rupanya belati inilah senjata andalan Sin-to Kongcu atau si Kongcu golok sakti, dengan sorot
29 mata setajam goloknya dia mengejek: "Ketangkasan anda memang harus dipuji, tapi ada
urusan apa, hendaklah dibicarakan dengan baik-baik sambil berduduk saja?"
Sedikit belatinya bergerak, baju dada Pwe-giok sudah terobek dan kulit dadanya seperti
tertusuk jarum, mau tak mau ia menurut dan berduduk kembali.
Orang yang disikut perutnya tadi masih menungging, saking sakitnya, dia belum sanggup
berdiri lagi. Keruan semua orang terkesiap. Seorang pemuda yang tidak terkenal ternyata sanggup
mengadu pukulan dengan ketua Tiam-jong-pay yang tergolong tokoh terkemuka di kalangan
anak muda jaman ini, lalu merobohkan tokoh ternama "Yu-liong-kiam" Go To, walaupun
caranya rada jahil, namun cukup mengejutkan.
Lelaki kekar bermuka ungu sejak tadi hanya berduduk saja tanpa bergerak, mendadak ia
berkata dengan bengis: "Tampaknya ilmu silatmu tidak lemah, tapi mengapa tindakanmu
begini sembrono" Selamanya Cia-heng tidak kenal kau, mengapa kau menyerang orang
secara ngawur" Jangan-jangan kau salah mengenali orang?"
"Hm, biarpun dia menjadi abu juga ku kenal dia" ucap Pwe-giok dengan menggreget. "Eman
hari yang lalu, dengan mata kepalaku sendiri kusaksikan dia mencelakai ayahku dengan cara
yang licik dan keji..."
"Persetan kau!" teriak Cia Thian-pi dengan penasaran. "Dari Tiam-jong langsung ku datang
ke sini, jangankan tidak tahu menahu tentang ayahmu, hakekatnya tak pernah kulewatkan
wilayah kota Lengcu"
"Apakah Benar kau tidak ke sana?" Pwe-giok meraung murka.
"Untuk itu aku bersedia menjadi saksi," kata salah seorang Tojin berjubah jingga tadi.
"Apa gunanya kau menjadi saksi?" teriak Pwe-giok.
"Apa yang dikatakan Sian-he-ji-yu tidak pernah bohong!" jengek si Tojin.
Pwe-giok melengak, nama "Sian-he-ji-yu atau dua kawan dari Sian -he-nia, sudah pernah
didengarnya. Konon ilmu silat kedua orang bersaudara ini tidak terlalu tinggi, tapi terkenal
jujur dan setia kawan, apa yang diucapkan mereka jauh lebih dapat dipercaya daripada paku
yang kelihatan di dinding.
Walaupun begitu, masa mata Pwe-giok sendiri tidak dapat dipercaya dan malah harus
disangsikan"
"Apa yang dapat kau katakan lagi sekarang?" ujar Sin-to Kongcu.
Pwe-giok hanya menggertak gigi kencang-kencang dan tidak bicara pula.
Akhirnya si Yu-liong-kiam Go To dapat berduduk tegak, dengan suara penasaran ia lantas
berkata: "Sebelum pertemuan besar, orang ini sengaja datang mencari perkara kepada CiaRenjana
Pendekar > Karya Khulung > Diceritakan oleh : GAN KL > buyankaba.com 30
heng, dia pasti tidak bertindak sendiri, tentu masih ada dalangnya dengan muslihat tertentu,
kita jangan membebaskan dia."
Sejak tadi Kim-yan-cu hanya menonton saja tanpa bersuara, kini mendadak menjengek:
"Betul, kalau Go-tayhiap ingin membalas sakit hati karena disikut tadi, boleh kau bunuh dia
saja." Muka Go To menjadi merah, ingin bermaksud bicara pula, tapi melihat pedang yang
tergantung di pinggang si nona dan Giok-liong-to yang terhunus di tangan Sin-to Kongcu,
akhirnya ia urung buka mulut.
Setelah berpikir sejenak, kemudian Cia Thian-pi berkata: "Lalu bagaimana baiknya kalau
menurut pendapat nona Kim?"
Tanpa memandang sekejap pun kepada Ji Pwe-giok, Kim-yan-cu berkata: "Kukira orang ini
kurang waras, lempar dia keluar saja dan habis perkara."
"Kuharap betul dugaan nona, lantas...."
Belum habis ucapan Cia Thian-pi, mendadak Sin-to Kongcu berseru: "Tidak, seumpama dia
dilepaskan, sebelumnya harus kita tanyai sejelasnya."
Kim-yan-cu mendengus dan melengos ke sana dengan mendongkol.
"Kupikir betul," segera Go To mendukung usul Sin-to Kongcu. "Melihat ilmu silatnya, dia
jelas bukan sembarang orang, hendaklah Kongcu..."
"Aku sudah mempunyai perhitungan sendiri, tidak perlu kau repot," jengek Sin-to Kongcu.
Pwe-giok tidak bicara apa-apa, sesungguhnya memang tidak ada yang perlu dibicarakannya.
Sementara itu kereta sudah berhenti, terdengar suara ramai di luar seperti pasar.
Dengan tertawa Cia Thian-pi berkata: "Karena terlalu sibuk, biarlah orang ini kuserahkan
kepada Suma-heng, tapi Ang-lian-pangcu...."
Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba seorang berseru di luar: "Apakah Cia-tayhiap berada di
dalam kereta" Adakah seorang Ji-kongcu ikut datang menumpang kereta ini?"
Menyusul ia lantas melongok ke dalam kereta melalui jendela. Siapa lagi dia kalau bukan si
pengemis tua yang menyampaikan kartu undangan kepada Ji Pwe-giok itu.
Serentak Sian-he-ji-yu tertawa dan menyapa: "He, Bwe Su-bong, sekian tahun tidak
berjumpa, tampaknya kau terus sibuk setiap hari tanpa urusan."
"Tapi hari ini aku ada urusan," jawab si pengemis tua bernama Bwe Su-bong itu dengan
tertawa. "Pangcu kami menugaskan diriku menyambut tamu, selesai pekerjaanku nanti akan
kucari kalian untuk minum tiga ratus cawan."
31 Pengemis tua itu seperti tidak melihat golok di tangan Sin-to Kongcu yang masih mengancam
di dada Ji Pwe-giok, segera ia membuka pintu kereta dan menarik Pwe-giok keluar, berbareng
ia menyapa dengan tertawa: "Ji-kongcu, kau tahu, Mui-pay yang paling miskin di dunia
Kangouw ini adalah Kay pay kami, dan paling kaya adalah Tiam jong pay. Sungguh mujur
Kongcu dapat kemari dengan menumpang kereta semewah ini. Eh, Cia tayhiap, terima kasih
banyak-banyak, bilamana ada tempo, lain hari Pangcu kami akan mengundang engkau minum
arak." Air muka Sin-to Kongcu tampak sangat buruk, entah menyengir entah meringis, dengan mata
terbelalak ia menyaksikan Bwe Su-bong menarik keluar Ji Pwe-giok tanpa berani bersuara
sepatah kata pun.
Dalam pada itu, Cia Thian-pi sedang menjawab: "Sampaikan salamku kepada Ang lian
Pangcu, katakan aku pasti akan datang bila diundang."
Di luar suasana hiruk pikuk, tapi pikiran Pwe-giok terlebih kusut.
Sudah jelas Cia Thian-pi ini adalah pemuda yang membunuh ayahnya, masa bisa keliru"
Tapi siapa pula gerangan Ang-lian Pangcu ini" Mengapa berulang-ulang menolongnya"
Didengarnya Bwe Su-bong sedang membisikinya: "Jangan melamun, coba berpalinglah ke
sana." Tanpa terasa Pwe-giok menoleh, dilihatnya sepasang mata yang bening di dalam kereta tadi
sedang memandangnya dengan sorot mata yang mesra dan juga dingin.
Bwe Su-bong menepuk pundak Pwe-giok, katanya dengan tertawa pelahan: "Walet kecil ini
berduri, apalagi selalu dikintil oleh gentong cuka, cukup kau pandang sekejap saja, sekarang
lebih baik memandang keramaian di depan sana."
***** Hong-ti adalah nama sebuah tempat yang sudah terkenal sejak jaman Cunciu, terletak di
selatan kota Hongciu di Propinsi Holam.
Tempat ini sejak dahulu sering menjadi tempat pertemuan orang-orang penting. Maka
pertemuan besar Hong-ti sekarang juga ingin memperlihatkan kebesarannya, nyatanya
suasananya sekarang memang tidak kurang semaraknya daripada jaman dulu.
Bangunan kuno Hong-ti kini sudah runtuh semua, keadaan tempat ini hanya berwujud tanah
lapang belaka seluas ratusan li.
Di lapangan seluas ratusan li ini sekarang kepala manusia berjubel-jubel sehingga sukar
dihitung berapa jumlahnya dan juga tidak jelas siapa mereka, tapi setiap orang yang hadir ini
jelas terhormat, kepala mereka sedikitnya bernilai ribuan tahil emas.
Semua orang sama mendongak memandangi 13 panji besar yang berkibar tertiup angin di atas
sebuah panggung raksasa seluas belasan meter persegi itu, asap tampak mengepul di atas
panggung laksana gumpalan awan.
32 Sambil menunjuk sehelai panji kuning dengan tertawa Bwe Su-bong berkata kepada Ji Pwegiok:
"Kuning adalah warna kebesaran, panji kuning ini hanya boleh digunakan Siau lim pay
yang mengetuai dunia persilatan ini. Agama To suka pada warna ungu, panji ungu itu adalah
tanda pengenal Bu tong pay, sedangkan panji dengan sulaman naga itu adalah tanda pengenal
Kun lun pay, angker benar tampaknya panji mereka...."
Pwe-giok melihat di antara panji-panji itu ada sehelai panji yang terbuat dari sepuluh jalur
kain yang berbeda warnanya, ia bertanya: "Panji ini mungkin adalah pengenal Pang kalian."
Bwe Su-bong mengiakan dengan tertawa, katanya: "Kay pang kami adalah kumpulan kaum
jembel, kami kumpulkan sisa kain panji orang lain, lalu kami sambung dan jahit menjadi
sebuah panji, satu peser pun tidak perlu keluar, praktis dan hemat."
"Entah berada di mana Ang-lian Pangcu kalian sekarang, Cayhe sangat ingin menemuinya,"
kata Pwe-giok. "Di bawah setiap panji pengenal itu ada sebuah tenda, di situlah Pangcu kami beristirahat,"
tutur Bwe Su-bong. Segera mereka menyibak kerumunan orang banyak dan menyusur ke
depan, kebanyakan orang yang melihat Bwe Su-bong hampir semuanya memberi hormat dan
menyapa. Diam-diam Pwe-giok membatin: "Selama ratusan tahun ini Kay pang tetap bertahan sebagai
Pang terbesar di dunia Kangouw, dengan sendirinya anak muridnya juga lain daripada
perguruan lain. Mengingat anggotanya berjumlah ratusan ribu, harus menjaga kehormatan
perkumpulan dan mempertahankan kedudukan, andaikata Ang-lian Pangcu ini bukan manusia
tiga kepala berenam tangan, paling sedikit dia harus memiliki kepandaian maha sakti.
Padahal, selamanya aku tidak pernah berkecimpung di dunia Kangouw, bilakah pernah
kukenal tokoh semacam ini, mengapa dia mengakui diriku sebagai sahabatnya?"
Makin dipikir makin bingung. Sementara itu sebuah tenda besar sudah kelihatan di depan. Di
antara satu dengan tenda lain berjarak puluhan meter dan dijaga oleh berpuluh muda-mudi
yang ronda kian kemari, sikap mereka gagah dan cekatan, dandanan tidak sama, bisa jadi
mereka adalah anak murid pilihan ke-13 Mui-Pay penyelenggara pertemuan Hong-ti ini.
Belum lagi mereka mendekati tenda itu, seorang Tosu muda berbaju ungu sudah
menyongsong kedatangan mereka, setelah mengamati Pwe-giok sekejap, Tosu itu memberi
hormat dan menyapa: "Baru sekarang Bwe locianpwe datang" Tuan ini...."
"Supaya To-heng maklum, saudara ini adalah tamu Pangcu kami, Ji-kongcu," jawab Bwe Subong
dengan tertawa. Lalu ia berpaling kepada Pwe-giok dan berkata: Kartu undangannya..."
Segera Pwe-giok memperlihatkan kartu undangannya, lalu Tosu itu menyurut mundur dan
memberi tanda: "Silahkan!"
Penjagaan ternyata sedemikian ketatnya, benar-benar satu langkah saja sukar dilalui. Baru
sekarang Pwe-giok merasa dirinya memang beruntung. Ia coba memandang ke belakang sana,
saat ini ksatria yang sedang longak-longok di sana dan tidak berdaya hadir di sidang
sedikitnya ada puluhan ribu orang.
33 Sementara itu, Bwe Su-bong telah berada di luar kemah, ia memberi hormat ke arah pintu
kemah sambil berseru: "Lapor Pangcu, Ji Kongcu sudah tiba."
Seorang di dalam kemah lantas berseru dengan tertawa: "Aha, mungkin dia sudah tidak sabar
menunggu lagi, lekas disilahkan masuk."
Pwe-giok memang benar tidak sabar lagi, sungguh ia ingin lekas-lekas melihat bagaimana
macamnya Ang-lian Pangcu yang misterius ini. Baru saja Bwe Su-bong menyingkap tenda
dan menyilakan, segera ia menerobos masuk dengan langkah lebar.
Dilihatnya di tengah kemah yang luas ini hanya terdapat sebuah meja rongsokan, dua bangku
panjang, sungguh sangat menyolok perbedaannya dengan kemah yang tampak mewah dari
luar ini. Seorang kelihatan bersidekap di atas meja, entah sedang menulis atau kerja apa, dari belakang
hanya tampak rambutnya yang kusut dan tidak tahu bagaimana raut wajahnya.
Terpaksa Pwe-giok memberi hormat dari jauh: "Teecu Ji Pwe-giok menyampaikan sembah
hormat kepada Ang-lian Pangcu."
Baru sekarang orang itu menoleh, katanya dengan tertawa: "Apakah Ji-heng masih kenal
padaku?" Tertampak tubuhnya yang kurus kecil dengan baju merah yang compang-camping, kedua
matanya justru bening dan mencorong terang seakan-akan sekali pandang saja dapat
menembus isi hatimu.
Pwe-giok melengak dan menyurut mundur, katanya dengan tergagap: "Jadi an...... anda inilah
Ang-lian Pangcu?"
"Bunga teratai merah, ubi teratai putih, dengan sebatang gala menjelajah dunia!" orang itu
tertawa dan berdendang pula.
Ang-lian Pangcu yang termashur ini ternyata bukan lain daripada Lian Ang-ji, si pengemis
muda yang cerdik dan jahil yang ditemui Pwe-giok di emper rumah kemarin malam itu.
Pwe-giok sampai melongo dan tak dapat bicara.
"Apakah kau heran?" tanya Ang-lian-hoa atau si bunga teratai merah dengan tertawa.
"Padahal, untuk menjadi Pangcu tidak mutlak harus seorang tua. Misalnya Ketua Tiam-jong
pay sekarang usianya juga belum ada 30, Ketua Pek-hoa-pang juga baru berumur likuran."
"Cayhe hanya heran, selama hidup Cayhe tidak kenal Pangcu, sebab apa Pangcu memberi
bantuan sebesar ini?" ujar Pwe-giok.
Ang-lian Pangcu terbahak-bahak, katanya: "Tidak ada sebab apa-apa, hanya karena merasa
cocok saja. Selanjutnya kau akan tahu sendiri bahwa di dunia Kangouw ini banyak sekali
orang yang berwatak aneh. Ada orang hendak membikin celaka padamu tanpa kau tahu apa
sebabnya, ada pula orang membantu kau secara membingungkan kau."
34 Tergerak hati Pwe-giok mendengar kata-kata yang penuh arti ini, ia menghela napas dan
menjawab: "Ya, betul......"
Mendadak Ang-lian Pangcu berhenti tertawa, sorot matanya menatap Pwe-giok tajam-tajam,
lalu menambahkan: "Apalagi, melihat gerak-gerikmu, soal kau dapat menghadiri pertemuan
Hong-ti atau tidak, tampaknya sangat besar sangkut-pautnya dengan dirimu."
"Ya, besar sekali sangkut-pautnya, menyangkut soal mati dan hidup!" jawab Pwe-giok dengan
pedih. "Itu dia," kata Ang-lian Pangcu. "Maka kalau banyak orang yang tiada sangkut-pautnya dapat
menghadiri rapat besar ini, sebaliknya kau tidak dapat, bukankah hal ini sangat tidak adil"
Dan segala apa yang tidak adil di dunia ini, aku justru ingin ikut campur."
"Sungguh Cayhe sangat berterima kasih atas kebijaksanaan Pangcu," kata Pwe-giok dengan
tunduk kepala. Mendadak Ang-lian Pangcu berkata pula dengan mengulum senyum: "Apalagi tidak lama lagi
kau akan menjadi Ciangbunjin (ketua) Bu-kek pay, tatkala mana sekalipun kami mengundang
kehadiranmu mungkin akan kau tolak."
Seketika Pwe-giok mendongak dan berseru: "Dari....... darimana kau tahu....."
Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong terdengar suara "blang" yang keras, habis itu di
luar kemah terdengar suara tetabuhan dibunyikan, menyusul seseorang lantas berteriak:
"Pertemuan Hong-ti segera akan dimulai, dengan hormat para Ciangbunjin dipersilahkan
menempati tempatnya masing-masing."
Suara orang itu sangat keras dan lantang sehingga berkumandang sampai jauh.
Ang-lian Pangcu lantas menggandeng tangan Ji Pwe-giok dan keluar kemah, katanya dengan
tertawa: "Sudah menjadi kelaziman setiap orang yang menjadi Pangcu kaum jembel ini,
bukan saja harus ikut campur urusan orang lain, bahkan juga harus serba tahu. Mengenai cara
bagaimana aku mengetahui hal-hal sebanyak ini, kukira lain hari kau akan tahu sendiri."
***** Dikelilingi ke-13 kemah besar itu, di tengahnya adalah sebuah panggung raksasa, di seputar
panggung sudah berkumpul para undangan, hampir semua inti ksatria di seluruh jagat telah
berkumpul di sini.
Di atas panggung terdapat sebuah tungku tembaga ribuan kati, asap tampak mengepul
bergulung-gulung dari tungku tembaga itu, di kedua samping tungku ada 13 buah kursi besar.
Saat itu ke-13 kursi sudah diduduki delapan atau sembilan orang, seorang Hwesio berjenggot
putih dan berkasa kuning berdiri di depan tungku, meski perawakannya kurus kering, tapi
sikapnya gagah dan kuat.
35 Di bawah panggung, di bagian depan, juga terdapat tiga baris kursi, yang duduk di situ ratarata
adalah tokoh-tokoh Bulim yang terhormat, tapi barisan kursi pertama masih kosong
semua, entah diperuntukkan siapa kursi baris depan ini.
Dengan suara pelahan Ang-lian Pangcu lantas berkata kepada Pwe-giok: "Aku harus naik
panggung untuk mulai bereaksi, silahkan kau cari suatu tempat duduk. Jika kau sungkansungkan,
tentu orang lain yang beruntung."
Pwe-giok mengiakan. Baru saja ia mendapatkan suatu tempat duduk, dilihatnya Ang-lian
Pangcu sudah membawa enam murid Kay-pang naik ke atas panggung diiringi dengan suara
tetabuhan, orang yang bersuara lantang tadi segera berseru: "Ang-lian Pangcu dari Kaypang!"
Suaranya berkumandang jauh, para hadirin sama mendongak, baru sekarang Pwe-giok
melihat jelas wajah si pembawa acara yang mukanya hitam seperti pantat kuali, matanya
sebesar gundu, perawakannya tinggi.
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Betapa tinggi perawakannya dapat dibandingkan ketika Ang-lian Pangcu lewat di
sampingnya, ketua Kay-pang itu hanya setinggi pundaknya.
Namun pandangan semua orang justru terpusat kepada Ang-lian-hoa yang pendek kecil itu,
sekalipun si pembawa acara lebih tinggi satu meter lagi juga tidak diperhatikan orang.
Tanpa terasa Pwe-giok tertawa senang.
Mendadak seorang di sebelahnya berkata: "Kawanmu begitu keren, kau pun ikut gembira,
bukan?" Suara itu kedengaran dingin dan angkuh, tapi nyaring merdu. Waktu Pwe-giok menoleh,
dilihatnya sepasang mata yang bersinar dingin tapi juga mesra itu.
Kiranya tanpa sengaja ia kebetulan berduduk di sebelah Kim-yan-cu. Terpaksa ia
menjawabnya dengan menyengir saja.
Belum lagi dia buka suara, mendadak Sin-to Kongcu berbangkit dan berkata kepada Kim-yancu:
"Adik Yan, marilah kita pindah tempat duduk saja,"
"Memangnya tempat ini kenapa?" jengek Kim-yan-cu.
"Tempat ini mendadak berbau busuk," kata Sin-to Kongcu.
"Kalau kau bilang bau busuk, boleh kau pindah sendiri saja, aku tetap duduk di sini," ujar
Kim-yan-cu. Pwe-giok tidak tahan, segera ia berdiri dan bermaksud melabrak orang, tapi tangan Kim-yancu
yang halus sempat menariknya.
Melihat itu Sin-to Kongcu tambah gregetan, ia melototi Pwe-giok. Lalu berkata dengan
gemas: "Baik, aku akan pindah ...." mulut bicara begitu, tapi pantatnya tetap duduk di tempat
semula. 36 Diam-diam Pwe-giok tertawa geli, tapi juga serba runyam. Meski dia belum pernah
merasakan pahit getirnya "cinta", tapi sudah dapat dibayangkannya rasanya pasti manis juga
getir dan memusingkan kepala. Melihat sorot mata Kim-yan-cu yang dingin hangat itu, entah
mengapa, tiba-tiba ia jadi teringat kepada kerlingan mata Lim Tay-ih:
Kerlingan mata yang lembut dan juga keras, begitu bening sorot matanya, tapi entah mengapa
selalu mengandung perasaan rawan dan penuh misteri, seakan-akan rela menyerahkan
segalanya kepadanya, tapi entah sebab apa pula si nona tega menipunya dan mencelakainya
dengan menyangkal keterangan yang pernah dikatakan kepadanya itu.
Selagi dia melamun sendiri, mendadak terdengar si protokol berteriak pula: "Hay-hong Hujin,
Pangcu Pek hoa pang tiba!"
Pwe giok terkejut dan cepat menengadah, segera tercium bau harum menusuk hidung,
dilihatnya 12 gadis berbaju sutera dan berhias bunga mutiara di kepalanya menggotong
sebuah tandu penuh hiasan bunga beraneka warna muncul dari sebelah kiri. Bau harum bunga
semerbak itu tersiar jauh, biarpun orang yang berdiri paling belakang juga pasti dapat
menciumnya. Di dalam tandu yang penuh bertumpukan bunga itu bersandar seorang perempuan cantik tiada
bandingannya dengan baju sutera tipis, pelahan-lahan ia turun dari tandunya dengan dipapah
oleh dua gadis cantik.
Baju suteranya yang tipis panjang itu melambai-lambai, tubuhnya meliuk lemas seperti tak
bertenaga, seakan-akan berjalan saja malas, dengan setengah bersandar pada kedua dayang
yang memapahnya itu, pelahan-lahan ia naik ke atas panggung.
Melihat pinggangnya yang ramping, hampir semua orang sama menahan napas, sampai agak
lama baru semua orang menyadari mereka belum melihat jelas wajah si jelita. Maklum,
gayanya saja sudah membuat sukma mereka melayang ke awang-awang sehingga mereka
lupa untuk melihat wajahnya.
Mendadak Kim-yan-cu menghela napas pelahan, ucapnya: " Sicantik dipapah lemas tak
bertenaga, ratusan bunga paling indah bunga Hay-hong .... Ai, nyonya Hay-hong-kun ini
memang benar-benar cantik tiada bandingannya."
Ucapannya ini dengan sendirinya ditujukan kepada Ji Pwe-giok, tapi anak muda itu sama
sekali tidak menggubrisnya, pandangannya masih terus berjelilatan kian kemari untuk
mencari, di antara ke 13 Ciangbunjin penyelenggara pertemuan ini sudah datang 12 orang.
tapi orang yang diharapkannya ternyata tiada seorangpun yang muncul.
Apakah jalan pikirannya yang keliru, jangan-jangan mereka memang tidak hadir.
Dalam pada itu di tengah kerumunan orang banyak sudah ramai orang berbisik-bisik: "He,
mengapa Hi-ciangbun dari Hay-lam-kiam-pay belum nampak hadir?"
"Perjalanan dari lautan selatan terlalu jauh, mungkin dia malas datang."
37 "Tidak mungkin, kemarin dulu kulihat dia minum arak di restoran Wat-pinlau di kota Khayhong,
malahan telah terjadi tontonan yang menarik di sana."
"Wah, apa betul" Tontonan menarik apa?"
"Kebetulan Kim-si-ngo-hou (lima harimau keluarga Kim) juga minum arak di restoran itu,
cuma lucu, mereka tergolong kawanan Kangouw, tapi Hi-tay ciangbun yang termasyhur itu
ternyata tidak mereka kenal dan terjadilah pertengkaran. Hui-hi-kiam benar-benar pedang
paling cepat di dunia, sekali sinar pedang berkelebat, tahu-tahu kelima Kim bersaudara lantas
...." Mendadak ia berhenti bicara, suara berisik itupun sirap.
Rupanya mereka terkesiap ketika mendadak melihat seorang pendek gemuk berbaju hijau
dengan perut gendut telah muncul. Topi yang dipakainya sudah melorot hingga hampir
terjatuh, dada bajunya terbuka sehingga kelihatan simbar dadanya, pedang yang tergantung di
pinggangnya sangat panjang hingga menyeret tanah, ujung sarung pedang sudah pecah
tergosok-gosok, ujung pedang yang menongol dari lubang yang pecah itu kelihatan
mengkilap. Meski dipandang orang sebanyak itu, tapi si gendut anggap tidak tahu saja, dia tetap berjalan
dengan sempoyongan menuju ke panggung. Dari jauh sana Pwe giok dapat mengendus bau
arak yang memenuhi tubuh si gendut.
Si protokol berkerut kening melihat kedatangan orang ini, namun tidak urung ia lantas
berteriak : "Hi tayhiap, ciangbunjin Hay lam kiam pay tiba!"
Mendengar suara ini, ahli pedang dari ke 18 pulau di lautan selatan yang terkenal dengan
julukan "Hui hi gway kiam" atau pedang kilat ikan terbang ini, baru membetulkan topinya
yang miring itu, lalu naik ke atas panggung dan berseru sambil tertawa:
"Jangan-jangan kehadiranku ini agak terlambat, maaf-maaf !"
Ketua Siau lim si, yaitu si Hwesio kurus kering tadi, masih tetap berduduk tenang dan
memberi salam. Seorang tosu berjubah hitam dengan mata tajam seperti elang dan bertulang pipi menonjol
lantas mendengus:
"Hmm, lambat sih tidak, biarpun Hi heng minum lebih banyak juga takkan terlambat."
Hui hi kiam berkedip-kedip, ucapnya dengan tertawa :
"Minum arak adalah suatu kenikmatan, orang yang tidak biasa minum mana tahu
kenikmatannya, Khong tong pay kalian pantang minum arak, apa yang dapat kukatakan
dengan kalian ?"
Mendadak tosu jubah hitam itu berbangkit, teriaknya dengan bengis:
38 "Pertemuan Hong yi ini sekali-kali tidak boleh memberi kelonggaran kepada manusiamanusia
pemabukan dan gila perempuan ini !"
Dengan kemalas-malasan Hui hi kiam khek Hi soan berduduk di kursinya dan tidak
menggubris lagi kepada si tosu.
Thian in taysu dari Siau lim pay lantas berkata dengan tersenyum:
"Coat ceng toheng hendaklah jangan marah dulu...."
"Orang ini menyepelekan pertemuan besar ini hanya karena minum arak, jika tidak diberi
hukuman setimpal, cara bagaimana kita dapat menegakkan disiplin ?" teriak Coat ceng cu, si
tosu tadi dengan gusar.
Thian in taysu berpaling memandang Jut tun Totiang dari Bu tong pay. terpaksa tosu yang
alim ini berdiri dan angkat bicara:
"Hi tayhiap memang bersalah, tapi...."
Mendadak Ang lian pangcu bergelak tertawa dan menyeletuk:
"Apakah para hadirin mengira kelambatan Hi tayhiap ini benar-benar lantaran minum arak
dan lupa daratan "!"
Dengan tersenyum Jut Tun Totiang menjawab:
"Silahkan Ang Lian pangcu memberi keterangan, pemberitaan Kay pang dengan sendirinya
jauh lebih cepat daripada orang lain."
Segera Ang lian hoa berseru :
"Semalam Hi tayhiap berhasil memancing "Hun Lin Jit hong" (tujuh kumbang hutan bedak)
ke Tong Wah siang dan sekaligus membunuh mereka, Hi tayhiap telah menyelamatkan sanak
keluarga perempuan yang ikut menghadiri pertemuan ini dari kemungkinan diganggu oleh
kawanan kumbang itu, untuk mana aku Ang Lian hoa lebih dahulu mengucapkan terima
kasih." Keterangan ini membuat semua orang sama melengak.
Hun Lin jit hong adalah kawanan penjahat yang suka mengganggu kaum wanita, kalau
sampai mereka berhasil menyusup ke tengah-tengah rapat besar ini tanpa ketahuan, apabila
ada anggota keluarga peserta yang tercemar kehormatannya, maka para ketua penyelenggara
tentu akan kehilangan muka. Apalagi Siau lim pay sebagai ketua perserikatan ini, tanggung
jawabnya lebih-lebih sukar terelakkan. Mau tak mau Thian in taysu terkesiap juga setelah
mendapat keterangan Ang lian pangcu.
Tapi Hi soan hanya tersenyum tak acuh, katanya:
39 "Cepat amat berita yang diterima Ang lian pangcu. Padahal urusan sekecil ini untuk apa
disebut-sebut ?"
"Mana boleh dikatakan urusan kecil." kata Thian in taysu dengan prihatin.
"Melulu jasa ini Hi tayhiap sudah pantas menjabat kedudukan bengcu (ketua perserikatan) ini,
bila perlu Siau lim pay bersedia mengundurkan diri."
Kata-kata ini kalau diucapkan orang lain mungkin akan dianggap basa-basi saja, tapi ucapan
yang keluar dari ketua Siau lim pay tentu saja lain bobotnya. seketika para hadirin sama
melenggong. Segera Hi soan menjawab dengan tegas:
"Jika Ang lian pangcu sudah tahu peristiwa ini, andaikan aku tidak turun tangan pasti juga
Ang lian pangcu akan membereskan secara diam-diam, maka cayhe sama sekali tidak berani
mengaku berjasa."
"Wah, jika begitu kan berarti kedudukan bengcu harus diserahkan kepada Kay-pang ?" cepat
Ang Lian hoa menanggapi.
"Haha, kalau si tukang minta-minta menjadi Bulim bengcu, apakah bukan lelucon yang tidak
lucu " Budi luhur Thian in taysu cukup diketahui siapapun juga, maka kedudukan bengcu
tahun ini kukira tetap dijabat taysu saja."
Thian in menghela nafas, katanya:
"Akhir-akhir ini sudah kurasakan keloyoanku, ku tahu tidak sanggup memikul tugas berat ini
lagi, maka sudah lama ada maksudku mengundurkan diri, andaikan tidak terjadi peristiwa Hi
tayhiap ini, soal ini tetap akan kukemukakan kepada sidang."
Biasanya kalau Siau lim pay mencalonkan diri, maka Mui pay lain tidak berani berebut lagi
dengan dia. Tapi sekarang Thian in taysu ingin mengundurkan diri secara sukarela, seketika
Jut tun totiang dari butong, Coat ceng cu dari Khong tong, Cia Thian pi dari Tiam jong, Liu
Siok cin dari Hoa san pay, tokoh-tokoh ini menjadi besar harapannya untuk menjadi ketua.
Lin Siok cin tokoh wanita Hoa san pay yang cantik segera mendahului berseru dengan suara
yang nyaring: "Bu tong pay sudah sama-sama kita kenal kemampuannya, jika Thian in taysu ada maksud
mengundurkan diri, Hoa san pay kami tidak sungkan-sungkan untuk mencalonkan Jut tuh
toheng untuk menggantikannya."
"Hm, tidak sungkan-sungkan," jengek Coat ceng cu "Sayang aku tidak mempunyai adik
perempuan yang menjabat sebagai ketua perguruan ternama dan tidak sungkan-sungkan untuk
mencalonkan kakaknya sendiri."
Kiranya Liu Siok cin ini adalah adik kandung Jut tun totiang. Kakak beradik ini masingmasing
mengetuai suatu perguruan ternama, sebenarnya biasanya suka dipuji oleh orangorang
persilatan, tapi sayang sekarang dijadikan bahan cemoohan Coat ceng cu.
40 Seketika alis Liu Siok cin menjengkit marah, tapi Jut tun totiang hanya tersenyum saja dan
berkata: "Jika demikian, biarlah aku mencalonkan Coat ceng toheng saja untuk menjadi bengcu."
Mendadak Cia Thian pi berteriak:
"Jika orang lain menjadi ketua, cayhe pasti setuju, kalau Khong tong pay yang menjadi ketua,
731 anggota Tiam Jong pay kami yang pertama-tama tidak tunduk."
Meski Tiam jong pay jauh berada di perbatasan propinsi Hualam, tapi akhir-akhir ini
anggotanya bertambah banyak dan pengaruhnya besar, kekuatannya cukup mengimbangi Bu
Jodoh Si Mata Keranjang 1 Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt Kisah Pedang Bersatu Padu 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama