Renjana Pendekar Karya Khulung Bagian 11
perihal cepat merasakan sakit atau terlambat merasakan sakit tidaklah menjadi soal. Sebab,
makin cepat kau rasakan sakit, makin senang orang yang memukul kau itu. Jika selang sekian
lama baru kau rasakan sakitnya, maka orang lainpun tidak dapat bergembira lagi." Ia
merandek sebentar, lalu menyambung pula: "Kalau aku sudah dipukul, kenapa aku mesti
membikin orang bergembira pula?"
399 Kembali Pwe-giok melenggong. Anak sekecil ini ternyata penuh dengan pikiran-pikiran yang
serba aneh, macam-macam jalan pikirannya yang aneh, sungguh sukar untuk diraba orang
lain. Pada saat itulah sekonyong-konyong di luar terdengar suara roda kereta dan ringkik kuda,
menyusul lantas ramai dengan suara orang, jelas suara-suara itu berkumandang dari rumah di
seberang. ***** Halaman Li-keh-ceng memang sudah berjubel-jubel dengan orang, bahkan makin datang
makin banyak. Meski Pwe-giok tidak dapat melihat jelas-jelas siapa mereka, tapi dia dapat
memastikan mereka pasti tokoh-tokoh Kangouw.
"Untuk apa orang-orang ini datang ke sini" Apa mau melihat setan?" demikian Gin-hoa-nio
menggerundel. "Jika Bulim-bengcu sekarang sedang main catur dengan ketua keluarga Tong dari Sujwan
yang termasyhur, siapa orang Kangouw yang tidak ingin menontonnya?" kata Kwe Pian-sian
dengan tenang. "Cukup tiga hari saja berita ini tersiar, maka halaman hotel Li itu pasti akan
jebol dibanjiri pengunjung."
"Entah keparat siapa yang menyiarkan berita ini?" kata Gin-hoa-nio dengan gemas.
Sudah tentu tiada yang menjawab pertanyaannya, tapi Pwe-giok lantas paham persoalannya.
Dengan sendirinya berita itu sengaja disiarkan oleh Ji Hong-ho sendiri.
Sang "Bulim-bengcu" sengaja menyiarkan berita hangat ini agar orang dunia persilatan
menyaksikan dia lagi main catur dengan Tong Bu-siang. Maka anak murid keluarga Tong
takkan curiga lagi akan hilangnya Tong Bu-siang secara mendadak.
Sedangkan orang lain menyaksikan Bu-lim-bengcu yang terhormat itu lagi main catur dengan
"Tong Bu-siang" maka biarpun Tong Bu siang ini palsu, dengan sendirinya lantas berubah
menjadi tulen. Begitulah saat itu di halaman hotel sana sedang ramai orang memperbincangkan kejadian itu.
Ada yang berkata. "Inikah Ji Hong ho yang baru saja diangkat menjadi Bu-lim bengcu" Nyata
memang hebat, pantas tokoh semacam Ang lian pangcu juga menyerah padanya."
"Entah dapat tidak kita minta Bengcu keluar untuk berbicara sebentar!" kata seorang lagi.
Maka tampaklah Lim Soh koan muncul keluar, serunya dengan lantang: "Diharap para
pengunjung suka tenang dan sabar, babak permainan catur ini tampaknya masih harus
berlangsung tiga atau lima hari lagi, kukira lebih baik kalian mencari pondokan dulu, nanti
kalau Bengcu sudah menyelesaikan permainan catur ini barulah beliau dapat leluasa berbicara
dengan kalian, bila kalian ada kesulitan apa-apa boleh juga dikemukakan nanti agar Bengcu
dapat membereskan urusan kalian."
400 Seketika bergemalah sorak sorai orang banyak. Nyata ketua "Bu-kek-pay" yang menjadi Bulimbengcu ini sangat dihormati dan disegani orang Kangouw. Tapi hal ini membuat perasaan
Pwe giok bertambah tertekan.
Terlihat Lim Soh koan masuk ke dalam rumah, di halaman hotel lantas ramai lagi orang
berbicara. "Apakah dia ini Leng hoa kiam Lim Soh-koan yang tersohor di utara dan selatan
Tiangkang" Konon dia mempunyai seorang puteri kesayangan dan terkenal sebagai wanita
tercantik di dunia Kang ouw."
"Ya, tapi sayang sejak dahulu kala hingga kini orang cantik kebanyakan pendek umur dan
bernasib buruk. Nona Lim ini mestinya sudah bertunangan dengan putera Bengcu kita, siapa
tahu, belum lagi pernikahan berlangsung, lebih dulu Ji kongcu sudah tewas di Su jin ceng."
"Siapa yang membunuhnya, masa Bengcu tidak menuntut balas bagi kematian anaknya?"
"Khabarnya Ji kongcu ini rada-rada tidak beres otaknya sudah lama Bengcu putus asa
terhadap putera satu-satunya itu. Sekalipun nona Lim jadi menikah dengan dia juga harus
disayangkan."
Begitulah berisik orang ramai itu membicarakan hal ikhwal Lim Tay-ih dan Ji Pwe-giok.
Seketika Pwe giok sendiri jadi terkesima. Butiran keringat tampak menghias dahinya.
Mendadak Gin hoa nio menutup daun jendela, katanya dengan menyesal: "Coba, kau dengar
tidak, jelas mereka masih akan tinggal di sini dan entah berapa lama lagi kita harus
menunggu."
"Kau tidak perlu tunggu lagi" mendadak Pwe giok berbangkit.
Gin ho nio berkejut: "Kau....kau akan....."
"Ada sementara urusan, semakin kau hindari semakin main sembunyi-sembunyi, orangpun
semakin mencurigai kau. Akan lebih baik apa bila kita hadapi saja secara terangterangan.....
Lambat laun hal ini sudah mulai kupahami."
Ucapan Pwe giok ini entah ditujukan kepada orang lain atau bicara kepada dirinya sendiri.
Tapi Gin hoa nio lantas tertawa, katanya:" Apa yang kau maksudkan, sungguh aku tidak
mengerti?"
Namun sebelum habis perkataan Gin hoa nio, Pwe giok terus turun ke bawah, ia membuka
pintu dan keluar.
Cepat Gin hoa-nio menyingkap daun jendela lagi sedikit, selang sejenak kemudian, benarlah
di lihatnya Pwe giok telah masuk ke halaman rumah sana, dia menyisihkan orang-orang yang
berkerumun itu dan langsung masuk ke dalam.
"Dia mempunyai sahabat seperti diriku, dengan sendirinya nyalinya berubah besar," kata Kwe
Pian sian dengan tersenyum.
401 Gin hoa nio menghela napas, ucapnya dengan perlahan: "Sebelum dia bersahabat dengan kau,
dia pun bernyali besar, lahiriah orang ini kelihatan lemah lembut seperti kucing, padahal dia
terlebih menakutkan dari pada harimau."
Ketika Pwe giok masuk ke halaman rumah sana, serentak berpuluh pasang mata
memandangnya dengan terpesona. Maklum, jejaka setampan ini, biarpun lelaki juga ingin
memandangnya beberapa kejap.
Namun pandangan Pwe giok tidak terarah kepada siapapun, dengan tersenyum ia
menyisihkan kerumunan orang banyak dan langsung masuk ke ruangan dalam.
Serentak para penonton pertandingan catur sama menoleh dengan melengak, Lim Soh-koan
berkerut kening dan menegur: "Siapakah Anda" Bengcu sedang....."
"Cahye Ji Pwe-giok!" jawab Pwe giok sebelum lanjut ucapan orang.
Mendengar nama "Ji Pwe giok" seketika wajah Lim soh-koan berubah pucat pasi. Di luar
sayup-sayup juga terjadi kegemparan.
Semula "Ji Hong ho" dan Tong Bu siang sedang memusatkan perhatian pada papan catur, kini
tanpa terasa merekapun berpaling dengan terkejut, Pwe giok hanya dipandangnya sekejap
saja. Tapi hal inipun sudah cukup bagi Pwe giok untuk memastikan bahwa Ji Hong ho ini
tidak mengenal wajah aslinya, "Tong Bu-siang" itu juga pasti tidak mengenalnya, berdasarkan
ini dia yakin Tong Bu-siang ini pasti palsu.
Sinar mata "Ji Hong ho" tampak gemerdep, dengan tersenyum ia berucap: "Namamu Ji Pwe
giok" Sungguh tidak nyana nama Anda sama dengan nama puteraku yang almarhum, sungguh
sangat kebetulan."
Berhadapan dengan orang ini, sungguh hati Pwe giok seolah-olah tertusuk-tusuk dan
berdarah. Namun lahirnya dia tetap tenang-tenang saja, dia malah tersenyum dan menjawab:
"Aha, sungguh beruntung dan bahagia bahwa aku dapat bernama dengan putera Anda."
"Entah ada keperluan apakah kedatangan Anda ini?" Tanya Ji Hong ho dengan mengulum
senyum. "Aku ingin kembali ke sini untuk mengambil sesuatu barang," jawab Pwe giok.
"Oo, masa di sini terdapat barangmu?" ujar Ji Hong-ho dengan tertawa.
"Ya. Sebab beberapa hari yang lalu pernah ku mondok di sini, tanpa sengaja sedikit barangku
ketinggalan di sini," kata Pwe giok pula.
Tampaknya Ji Hong ho sangat tertarik oleh cerita Pwe giok itu, dengan tertawa ia berkata: "Di
dalam hotel sudah tentu banyak tamu yang pergi datang, semoga barang Anda masih terdapat
di sini." Pwe giok memandangnya dengan tenang, sejenak kemudian barulah ia berkata: "Barangku
yang ketinggalan ini terletak ditempat yang tidak menyolok, asalkan Bengcu mengizinkan,
segera ku......"
402 "Asalkan barangnya masih ada, silahkan Anda mengambilnya" jawab Ji Hong ho dengan
tertawa. "Jika demikian, maafkan kalau ku berlaku sembrono," ujar Pwe giok.
Mendadak tubuhnya mengapung lurus ke atas, ia melayang ke atas belandar seluruh tubuh
kaki maupun tangan, sama sekali tidak memperlihatkan bergerak, bahkan dengkul juga tidak
nampak tertekuk sedikitpun, tapi tahu-tahu tubuhnya terapung ke atas.
Inilah "Kan-te-poat-jong" atau membedol bawang di tanah tandus, semacam Gingkang yang
paling sukar dilatih.
Hendaklah maklum, di dunia persilatan terdapat macam-macam perguruan, cara berlatih
Gingkang setiap perguruan itupun berbeda-beda dan mempunyai cara-cara khas sendiri. Tapi
bila mencapai gaya semacam "Kan-te-poat-jong" ini, maka dapat dikatakan Gingkangnya
sudah mencapai puncaknya yang paling sempurna.
Anak murid Bu tong pay misalnya, bila sudah mencapai tingkatan "Kan-te-poat-jong" ini,
maka gerak dan gayanya akan sama seperti ini, begitu pula aliran lain, biarpun Siau-lim pay
Go bi pay atau Tiam jong pai, kalau sudah menguasai Gin-kang hingga tarap Kan-te-poat
jong, maka gayanya juga sama, tiada beda sedikitpun.
Sebabnya Pwe giok menggunakan gaya Gin-kang tertinggi ini, maksud tujuannya agar orang
lain tidak dapat mengenali asal-usul ilmu silatnya. Malahan supaya orang lain menganggap
dia sengaja hendak pamer Gingkangnya yang hebat.
Ji Hong ho lantas berkeplok dan tertawa, katanya: "Wah, Ginkang yang jempol!"
Kalau sang Bengcu sudah berkata demikian dengan sendirinya orang yang berkerumun di
halaman hotel itu sama bersorak memuji. Hanya Gin hoa-nio saja yang berada di loteng kecil
itu tidak memperhatikan gerakan apa yang dilakukan Pwe-giok. Sebab yang buru-buru ingin
diketahuinya hanya harta karunnya yang disembunyikan itu apakah dapat ditemukan kembali
atau tidak. Waktu dilihatnya Pwe giok melompat turun dan tangannya benar-benar sudah memegang
sebuah bungkusan kain hitam yang besar dan berat, maka bergiranglah Gin hoa nio, hampir
saja ia bersorak gembira.
"Masih ada barangnya?" dengan tersenyum Kwe Pian sian bertanya
"Tentu saja ada" ucap Gin hoa nio dengan tertawa bangga. "Kan sudah kukatakan, barang
simpananku tidak nanti dapat ditemukan orang lain."
Kwe Pian sian tertawa, katanya: "Hebat sekali Ji Pwe giok, bukan saja tabah, bahkan jua
punya otak. Dia berani mengambil bungkusanmu itu secara terang-terangan disaksikan orang
sebanyak itu. Dalam keadaan demikian, andaikan Ji Hong ho mengincar barangmu juga tidak
leluasa untuk turun tangan."
403 "Aha, sekarang dia sudah hampir keluar...Wah, celaka...." sudah tertawa girang mendadak
Gin hoa nio mengeluh pula, air mukanya yang bergembira itupun seketika lenyap.
Sambil berkerut kening Kwe Pian sian bertanya: "Ada apa" Masa Ji Hong ho tidak mau
melepaskan dia pergi?"
Mata Gin hoa nio tampak melotot, ucapnya dengan suara parau: "Sialan! Tampaknya rase tua
itu (maksudnya Ji Hong-ho yang licin) tidak enak untuk main kekerasan, dia hanya
menyatakan ingin bersahabat dengan Ji Pwe giok dan berkeras minta Ji Pwe giok tinggal saja
di situ." "Dan bagaimana sikap Ji Pwe giok?" tanya Kwe Pian sian.
"Tampaknya dia dapat menahan perasaannya. Dia malah tertawa.....Nah, sekarang dia sedang
bicara, katanya sehabis Ji Hong ho selesai main catur tentu dia akan datang lagi untuk mohon
petunjuk" "Kau dengar apa yang dibicarakannya?" tanya Kwe Pian sian.
"Berisik sekali di halaman sana, mana bisa ku dengar ucapannya" Hanya dari gerak bibirnya
dapat ku terka sebagian besar apa yang diucapkannya"
Kwe Pian sian tertawa, katanya: "Wah, banyak juga kepandaianmu..."
Mendadak Gin hoa nio berseru tertahan: "Wah, celaka! Rase tua itu mendadak mengaduk biji
caturnya, ia malah menyatakan kalau bisa berada bersama dan mengobrol dengan ksatria
muda seperti Ji Pwe giok, biarpun tidak main catur juga tidak menjadi soal baginya."
"Wah, jika begitu, kalau Ji Pwe giok tidak ngotot dan main kekerasan, tampaknya tidak
mudah baginya untuk keluar," kata Kwe Pian sian sambil berkerut kening.
Gin hoa nio tampak cemas juga, katanya: "Dalam keadaan demikian, mana bisa dia bersikap
keras tampaknya dia juga rada gugup...."
Baru bicara sampai di sini, mendadak terdengar seorang berseru lantang di halaman sana
dengan tertawa: "Haha, permainan catur yang menarik ini sukar dicari bandingannya, kalau
Bengcu tinggalkan setengah jalan bukankah para penggemar catur seperti kami ini akan
sangat kecewa?"
"He, siapa orang itu?" seru Kwe Pian sian.
Wajah Gin hoa nio menampilkan rasa girang, katanya "Ah, orang ini ternyata dapat
mengembalikan biji catur pada papannya seperti keadaan sebelum diaduk, bahkan satu biji
saya tidak keliru... Wah, nampaknya dia memang hebat..."
Belum habis ucapannya, serentak Kwe Pian sian melompat mendekatnya dan ikut mengintai!.
Terlihat di seberang sana, di dalam ruangan sudah bertambah dengan seorang pengemis muda
berbaju berwarna merah tua, kelihatan baru, tapi penuh tambalan. Kiranya dia inilah Ang lian
pangcu yang termasyhur.
404 Terlihat Ji Hong ho sedang tertawa dan berkata: "Tak tersangka Ang lian pangcu juga
penggemar catur, tampaknya terpaksa harus kulanjutkan permainan ini"
Kwe Pian sian hanya memandang sekejap saja kesana dan segera menutup rapat-rapat daun
jendela, keringat dinginpun berketes-ketes.
Gin hoa nio memandangnya sekejap, katanya dengan tertawa genit:" He, kenapa kau sangat
takut padanya?"
Kwe Pian sian mundur kembali ke tempat duduknya tadi, mana dia mampu bersuara lagi.
Gin hoa nio bergumam: "Sungguh aneh, apakah Ang lian hoa sengaja datang untuk membantu
Ji Pwe giok" Jika benar kawan baik Ji Pwe giok, kenapa dia diam saja ketika melihat Ji Pwe
giok dilukai oleh Lm Tay ih...."
Dalam pada itu terdengarlah suara terbukanya pintu di bawah, serentak Kwe Pian sian
melonjak bangun. Ia menghela napas lega ketika dilihatnya yang naik ke atas adalah Ji Pwe
giok. Cepat ia bertanya dengan suara parau:" Apakah Ang lian hoa melihat kau masuk ke
sini?" "Untuk apa dia memperhatikan diriku?" jawab Pwe giok dengan perlahan.
"Masa dia tidak kenal kau?" tanya Kwe Pian sian
"Tidak kenal" jawab Pwe giok sambil menghela napas menyesal.
Tentu saja ia sangat menyesal. Baru saja ia berhadapan dengan sahabat baiknya, tapi tidak
berani menegur sapa, bahkan harus mengeluyur pergi secara diam-diam. Saat ini hatinya
justru terasa sangat pedih.
Meski dia kembali dengan menyesal, tapi kepergiannya tadi bukannya sama sekali tidak
membawa hasil. Betapapun dia dapat mengetahui bahwa "Tong Bu-siang" yang senang main
catur itu adalah palsu. Maka diharapkannya semoga Tong Bu siang yang asli itu belum lagi
terbunuh. Sementara itu Gin hoa nio sudah lantas mengambil bungkusan hitam yang dibawa pulang Pwe
giok itu dan berkata: "Tempat ini tidak boleh ditinggali lama-lama, setelah barang sudah
ditemukan, hayo lekas kita berangkat"
"Sebelum Ang lian hoa pergi, betapapun kita juga tak dapat pergi" kata Kwe Pian sian sambil
menarik muka. Gin hoa nio tertawa genit, katanya: "Kau takut dipergoki dia, aku kan tidak perlu takut, kalau
aku berkeras harus pergi, lalu bagaimana?"
"Kau takkan pergi" ucap Kwe Pian sian sekata demi sekata.
Gin hoa nio mengerling, tertawa tambah manis, katanya: "Betul, tentu saja aku takkan pergi.
Kalau kau masih tinggal di sini, mana dapat ku tinggal pergi?"
405 Dia masih memegangi bungkusan hitam yang dibawa pulang Pwe giok tadi, ia memandang ke
sana dan ke sini mirip orang udik yang kuatir kecopetan, sungguh kalau bisa ia ingin telan
bulat-bulat bungkusan itu, dengan demikian barulah aman rasanya.
Sambil memandangi bungkusan yang dipegang Gin hoa nio itu, mendadak Kwe Pian sian
mendengus: "Hmm, padahal boleh juga kalau kau ingin pergi, bahkan bungkusan itu boleh
kau bawa sekalian!"
Gin hoa nio melengak." Betul?" katanya dengan curiga.
Dengan dingin Kwee Pian sian menjawab: "Kenapa tidak kau periksa dulu isi bungkusanmu
itu?" "Apa isi bungkusan ini?" tukas Gin hoa nio dengan tertawa. "Haha, tanpa melihatnya ku tahu
apa isinya."
Tapi iapun merasakan ucapan Kwe Pian sian itu ada sesuatu maksud tertentu, meski begitu
ucapannya dimulut, bungkusan yang dipegangnya itu lantas ditimang-timang dan diraba-raba,
mendadak ia melonjak kaget dan berteriak:" Wah, celaka!."
Waktu bungkusan itu dibuka, mana ada batu permata atau harta pusaka apa segala, isinya
hanya pecahan genteng melulu.
Begitu bungkusan itu terbuka, seketika Gin hoa nio mirip kena dibacok orang satu kali,
hampir saja ia jatuh kelenger.
Ji Pwe giok dan Ciong Cing juga terkesiap.
Hanya Kwe Pian sian saja yang tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, ia malah mengejek:
"Nah bagaimana" apa isinya, tidak perlu dibuka kan sudah kau ketahui?"
Dengan suara terputus-putus Gin hoa nio berkata: "Dan dari...darimana kau tahu..."
Kwe Pian sian tersenyum hambar, katanya: "Jika isi bungkusan ini adalah batu permata yang
berharga tentu suara langkahnya waktu naik ke atas loteng ini berbobot lain....Memangnya
kau kira mata dan telingaku sama tidak bergunanya seperti dirimu?"
Mendelik Gin hoa nio, ucapnya dengan menggigit bibir: "Tapi....tapi siapa pula yang
mempermainkan diriku, siapa yang menukar barangku ini" Padahal waktu kusimpan barangku
ini telah kulakukan dengan sangat teliti, bukan cuma jendela dan pintu saja kututup rapat,
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahkan lampu juga kupadamkan, siapa yang dapat mengetahui rahasiaku?"
Dia mengitari ruangan kamar sambil bergumam pula: "Jangan-jangan Ji Hong-ho...ya, betul
hanya rase tua ini yang paling mencurigakan, dia datang ke sini dan menempati kamar yang
pernah kutinggali, bisa jadi segenap pelosok kamar itu telah diperiksanya seluruhnya."
"Jika benar harta pusaka itu telah ditemukan dia, mungkin selama hidup ini jangan kau harap
akan kau dapatkan kembali." kata Pwe giok.
406 Kwe Pian sian juga diam saja, ia hanya memandangi si sakit dengan termangu, orang sakit itu
sejak tadi tidak pernah bergerak sedikitpun.
Tanpa terasa pandangan Gin hoa nio ikut menjurus ke sana. Tiba-tiba melihat si sakit yang
tampaknya kurus kering tinggal kulit membalut tulang itu. ditempat tidurnya yang tertutup
selimut itu tampak menonjol tinggi ke atas, di dalam selimut seperti tersembunyi apa-apa.
Saat itu cahaya matahari menyorot miring masuk dan menyinari selimut itu, kelihatan di
dalam selimut itu ada sesuatu yang bergerak-gerak.
Gemeredep sinar mata Gin hoa nio, tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh, katanya: "Tak
tersangka aku telah berubah menjadi orang buta melek. sampai apa yang terdapat di depan
mata tidak kulihat."
Sembari menyeringai segera ia mendekati tempat tidur orang sakit itu.
"He, kau mau apa?" seru Pwe giok dengan dahi berkerut.
Gin hoa nio tertawa terkikik-kikik, katanya: "Di dalam selimut seperti ada permainan yang
menarik, ingin kusingkapnya agar kita dapat melihatnya."
Sementara itu ia sudah berada di depan tempat tidur, segera tangannya terjulur.
Siapa tahu orang sakit itu mendadak membuka matanya dan berkata sambil mendelik: "Asal
sedikit saja kau singkap selimut ini, mungkin kau akan segera mati tanpa terkubur."
Si sakit yang tampaknya sudah senin-kemis itu mendadak bisa mengucapkan kata-kata begitu,
matanya yang semula tampaknya sayu dan guram itu kinipun mendadak memancarkan sinar
yang tajam. Entah mengapa, hati Gin hoa nio merasa ngeri, tangan yang teratur itu tidak jadi meraih
selimut, sebaliknya ia malah menyurut mundur.
Perlahan si sakit pejamkan matanya pula, mukanya tersorot cahaya sang surya, tampaknya
tidak banyak berbeda dengan mayat. Tidak mungkin sakitnya ini cuma paru-paru belaka.
Setelah tenangkan diri, dengan tertawa. Gin hoa nio berkata pula: "Apakah betul selimut ini
tidak boleh disingkap?"
"Ya," jawab si sakit.
"Tapi pembawaanku tidak percaya kepada hal-hal yang mustahil, semakin tidak boleh dilihat,
semakin ingin kulihatnya," kata Gin hoa nio
Si sakit menghela napas, katanya kemudian "Jika begitu, Lui ji, boleh kau perlihatkan
kepadanya."
Waktu dia bicara begitu jelas." Cu Lui ji masih berada di bawah loteng, tapi baru selesai
ucapannya, tahu-tahu Cu Lui ji sudah naik ke atas, katanya sambil melototi Gin hoa nio:
"Benar-benar kau ingin melihatnya" Kau tidak akan menyesal?"
407 "Menyesal apa" Memangnya di dalam selimut ini ada makhluk aneh?" ujar Gin hoa nio
dengan tertawa, walaupun begitu, di dalam hati sebenarnya sudah rada ngeri.....
Padahal kedua orang ini, yang satu anak kecil kurus pucat, yang lain sakit keras, jelas tidak
mungkin dapat menyerang orang. Gin hoa nio sendiri tidak tahu sesungguhnya apa yang
menakutkan dirinya"
Dilihatnya Cu Lui ji lantas turun ke bawah waktu naik lagi ia membawa sebuah mangkuk
besar penuh berisi air jernih. Ia keluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam, dengan kuku
jari dicukitnya setitik bubuk hitam yang disentilkan ke dalam air, air semangkuk penuh itu
seketika berubah menjadi hitam seperti tinta.
Gin hoa nio memandangnya dengan kesima, iapun tidak dapat menerka permainan apa yang
sedang dilakukan nona cilik itu.
Lalu Cu Lui ji menaruh mangkok besar itu di sudut kamar. ia pandang Gin hoa-nio dengan,
katanya: "Tunggu sebentar lagi hal-hal yang menarik segera akan muncul."
Senyuman, nona itu seakan-akan mengandung sesuatu yang misterius, sampai Ji Pwe giok
juga rada tegang. Mata Gin hoa nio juga terbelalak lebar.
Tertampaklah selimut yang menutupi badan si sakit itu mulai bergerak dengan keras, bergolak
seperti ombak samudera. Loteng kecil ini meski terang benderang oleh sinar matahari, akan
tetapi mendadak seperti berubah dingin menyeramkan.
Saking ketakutan Ciong Cing sudah berjongkok dan meringkuk menjadi satu, kaki dan tangan
sudah dingin seluruhnya.
Gin hoa nio tak tahan, katanya:" Apapun yang ter.....terdapat didalam selimut, aku.....aku
tidak ingin... tidak lagi ingin melihatnya..."
"Baru sekarang kau tidak ingin melihatnya sudah terlambat" kata Cu Lui ji.
Pada saat itulah dari dalam selimut mulai menongol sesuatu kiranya seekor kelabang.
Kelabang ini tidak besar, bahkan jauh lebih kecil daripada kelabang umumnya, tapi seluruh
badannya merah terang mirip mainan buatan dari batu jade. Di belakang kelabang ini
mengikat pula dua-tiga puluh ekor kelabang lain yang beraneka warnanya dan besar kecil
tidak sama. Satu persatu seperti berbaris merayap keluar secara teratur. Jelas setiap ekor kelabang ini
beracun sangat jahat.
Gin hoa nio tertawa mengikik: "Hihi kukira barang apa yang bisa menakuti orang, kiranya
cuma kawanan kelabang saja. Pada waktu berumur tiga tahun sudah biasa ku tangkap dan
main-main dengan kelabang yang lebih besar."
Apa yang dikatakannya memang tidak bergurau. Orang Thian-can-kau masa takut pada
kelabang" Cuma kawanan kelabang ini bisa merayap keluar dari dalam selimut orang ini
betapapun juga satu kejadian yang aneh.
408 Meskipun Gin hoa nio masih tertawa tapi tertawanya sudah mulai berubah menjadi
menyengir. Di belakang barisan kelabang tadi ternyata mengikuti pula barisan tokek, lalu muncul lagi
sejumlah ular berbisa, katak buduk, kalajengking dan macam-macam lagi serangga berbisa
yang belum pernah dilihat Gin hoa nio, akan tetapi semuanya seperti mendapat perintah, satu
persatu merayap keluar secara teratur.
Akhirnya Gin hoa nio tak bisa tertawa lagi.
Ciong Cing menjerit dan jatuh kelengar.
Sungguh sukar untuk dibayangkan, orang sakit yang sudah hampir mati itu bisa tidur bersama
makhluk-makhluk berbisa sebanyak itu di satu tempat tidur dan di dalam satu selimut.
Malahan kelihatannya dia dapat tidur dengan aman dan tenang.
Mau tak mau merinding juga Gin hoa nio, meski sejak kecil ia hidup di tengah-tengah
gerombolan makhluk berbisa, tapi kalau dia disuruh tidur di sini seperti si sakit ini biarpun
dibunuh juga dia tidak berani.
Sementara itu barisan makhluk-makhluk berbisa itu satu persatu mulai merambat turun ke
bawah tempat tidur, menuju ke sudut ruangan tempat mangkuk berisi air tadi.
Cu Lui ji lantas memasang dua tangkai sumpit di kanan kiri tepi mangkuk, dengan sumpit
sebagai jembatan, kawanan makhluk berbisa itu lantas merayap ke dalam mangkuk besar itu
sesudah mandi dalam air, merayap turun melalui jembatan sumpit di sebelahnya. Makhluk
berbisa yang tadinya tampak bercahaya dan gesit, sehabis mandi lantas kelihatan lesu dan
lemas. Begitulah beratus ekor binatang berbisa itu bergantian mandi di air mangkuk besar itu, lalu
satu persatu menyusup kembali ke dalam selimut.
Sementara itu air mangkuk yang tadinya hitam seperti tinta lambat laun mulai berubah
menjadi putih. Ketika beberapa ekor ular berbisa yang tak diketahui namanya habis mandi di
air mangkuk, lalu air mangkuk mulai berbuih, malahan terus mengepulkan hawa panas, mirip
air yang baru di masak dan mendidih.
Butiran keringat di muka Kwe Pian sian juga mulai berketes-ketes.
Air mangkuk dari hitam kini telah berubah menjadi putih, dari putih lantas jernih dan kembali
seperti asalnya. Bedanya air semangkuk penuh itu sekarang seperti air mendidih yang habis di
masak. Sementara itu kawanan makhluk berbisa tadi seluruhnya sudah menyusup kembali ke dalam
selimut. Di ruangan loteng kecil ini kembali sunyi senyap seperti tidak pernah terjadi apapun.
Yang terdengar hanya suara pernapasan yang berat di sana sini, siapapun tidak ada yang
bicara. 409 Cu Liu ji lantas mengangkat mangkuk besar tadi, dengan tertawa disodorkannya kepada Gin
hoa nio, katanya: "Nasi belum selesai di masak, kalau nona lapar, silahkan minum dulu air
mukjizat ini. Setelah ditambahi bumbu sebanyak ini, rasa air ini pasti jauh lebih segar
daripada kuah ayam."
Kontan Gin hoa nio menyurut mundur sambil menggoyang tangan, katanya sambil
menyengir: "O, jang...jangan sungkan, silahkan... nona minum sendiri saja."
Betapa dia memang berasal dari keluarga ahli racun, pengetahuannya banyak dan
pengalamannya luas, Sekarang sudah dilihatnya bubuk hitam yang dicampurkan ke dalam air
oleh Cu Lui-ji tadi sesungguhnya adalah semacam obat mujarab, dengan obat itulah kawanan
makhluk berbisa tadi dipancing keluar agar menuangkan racunnya ke dalam mangkuk.
Kini racun beratus ekor binatang berbisa itu telah tertuang ke dalam air mangkuk, jangankan
di minum, tersentuh saja mungkin bisa celaka, tubuh orang biasa kalau kena satu tetes air itu,
bisa jadi seluruh badan akan membusuk.
Siapa tahu Cu Lui ji malah tersenyum dan berkata: "Kuah segar dan lezat ini, kalau para tamu
tidak sudi minum, terpaksa harus kuminum sendiri saja." Sambil bicara ia terus angkat
mangkuknya dan benar-benar diminum seluruhnya, habis itu mulutnya malah berkecap-kecap
seperti orang habis merasakan makanan yang paling lezat.
Pwe-giok tidak memperlihatkan perasaan apa-apa menyaksikan perbuatan nona cilik itu, tapi
air muka Kwe Pian sian dan Gin hoa nio lantas berubah seketika, sebab mereka tahu betapa
hebat kadar racun di dalam air itu, sungguh mimpipun tak terbayangkan oleh mereka ada yang
sanggup meminumnya setetes atau dua tetes, tapi sekarang nona cilik ini justeru minum
semangkuk penuh, bahkan tidak terlihat terjadi sesuatu. Apakah mungkin isi perut nona ini
gemblengan dari baja"
Dengan tenang-tenang Cu Lui ji berkata lagi: "Penyakit Sacek sudah sangat parah hingga
merasuk tulang, berkat hawa dingin kawanan makhluk berbisa inilah jiwa sacek dapat
dipertahankan hingga kini. Maka kalau kami kiranya bersikap kurang sopan, hendaklah para
tamu sudi memberi maaf."
"Penyakit apakah yang menghinggapi Sacekmu?" tanya Gin hoa nio dengan mengiring tawa.
Lui ji menghela nafas, jawabnya dengan rawan; "Penyakit ini tidak diketahui namanya, tapi
kalau kalian ingin tahu....."
Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba di bawah ada orang mengetuk pintu, habis itu lantas
terdengar suara seorang tua berseru: " Ji Pwe-giok, Ji-kongcu apakah berada di atas" Ang lian
pangcu kami sengaja berkunjung kemari dan mohon bertemu!"
Itulah suara Bwe Su bong. Kejut dan girang Pwe giok ia tidak tahu untuk apakah Ang lian
pangcu mencarinya.
Dalam pada itu air muka Kwe Pian sian menjadi pucat, katanya dengan parau: "Lekas kau
turun ke sana dan men...mencegah mereka... aku pergi dulu..."
410 Pada saat itulah kembali pintu diketuk lagi lebih gencar, suara seorang perempuan muda
sedang berteriak: "Buka pintu, Ji-kongcu! Kun hujin kami juga berkunjung padamu!"
Bahwa selain Ang lian hoa, Hay hong Hujin juga datang, keruan wajah Kwe Pian sian
bertambah pucat. Cepat ia melompat ke jendela, perlahan ia membuka daun jendela dan
mengintip keluar. Ternyata loteng kecil ini sudah penuh dikepung orang, atap rumah disekitar
loteng ini dan setiap tempat yang dapat dibuat berdiri sudah penuh dengan orang.
Terdengar orang berteriak lagi ke bawah:" Kun-Hujin dan Ang lian pangcu berkunjung
kemari kenapa Ji kongcu tidak lekas membuka pintu?"
Cepat Kwe Pian sian menarik Pwe giok, katanya: "Apakah mereka tahu aku berada di sini?"
"Cara bagaimana ku tahu," jawab Pwe giok.
"Untuk apa mereka mencari kau?" tanya Kwe Pian sian pula.
"Akupun tidak tahu," ujar Pwe giok sambil mengangkat bahu.
"Mereka telah mengepung rapat tempat ini, tampaknya mereka hendak memusuhi kita,
menghadapi musuh bersama, jangan...jangan kau buka pintu," kata Kwe Pian sian.
"Pintu tidak ku buka, memangnya mereka tidak dapat mendobrak dan masuk dengan paksa?"
ujar Pwe giok sambil menghela nafas.
Dalam pada itu suara perempuan muda tadi sedang berteriak pula: "Ji kongcu, kami sudah
minta dibuka pintu dengan sopan, kalau pintu tetap tidak dibuka, terpaksa kami menerjang
masuk!" Biji mata Gin hoa nio berputar, tiba-tiba ia tertawa genit dan berseru: "Ji Kongcu lagi sibuk di
kakus, bila sekarang kalian menerobos masuk, tentu akan kebagian bau sedap. Tunggu saja
sebentar, bilamana dia habis kuras gudang, pintu tentu akan dibuka, masa kalian terburuburu?"
Di bawah terdiam sejenak, lalu perempuan muda itupun tertawa ngikik dan berkata: "Baiklah
akan kami tunggu sebentar, asalkan dia tidak kecemplung ke dalam jamban, masa pintu
takkan dibuka."
Pwe giok berkerut kening memandang Kwe Pian sian, katanya: "Masa kaupun tidak berani
bertemu dengan Hay hong Hujin" Sesungguhnya ada hubungan apa antara kau dengan dia?"
Kwe Pian sian hanya batuk-batuk saja dan tidak menjawab. Dalam pada itu Ciong cing sudah
siuman, pelahan ia mengurut punggungnya dengan rasa cemas.
Pwe giok menghela napas, katanya pula dengan perlahan:" Apapun juga akhirnya mereka toh
akan naik ke sini, rasanya pintu harus kubuka, sebaiknya kau cari akal saja."
Orang sakit yang sudah kempas-kempis itu mendadak membuka matanya dan berkata: "Aku
ada akal! Coba dekatkan telingamu ke sini, akan ku bisiku kau," kata orang itu.
411 Dengan girang Kwe Pian sian mendekatinya, tapi baru dua tiga langkah mendadak ia berhenti
teringat olehnya hal-hal yang misterius pada diri si sakit ini, tanpa terasa ia menyurut mundur
lagi. Rupanya Ciong Cing jauh lebih gelisah daripada Kwe Pian sian, tanpa pikir ia mendekati
orang sakit itu dan berkata: "Apabila Cianpwe ada akal yang dapat menolong dia, silahkan
beritahukan kepadaku, sungguh Tecu akan sangat berterima kasih."
Orang itu berkerut kening, tanyanya kemudian: "Siapa kau" Anak murid perguruan mana?"
Ciong Cing ragu-ragu sejenak, akhirnya ia berkata juga: "Tecu Ciong Cing dari Hoasan."
"Anak murid Hoa-san, terhitung juga golongan murni...." orang itu bergumam, lalu
menambahkan:" Baik, coba kemari, akan kuberitahu."
Butiran keringat memenuhi muka Ciong Cing, teringat olehnya makhluk-makhluk berbisa
yang memenuhi kolong selimut itu, ia merinding dan kakipun terasa lemas. Tapi demi orang
yang dicintainya, betapapun ia tabahkan hati dan mendekat kesana.
Tiba-tiba orang sakit itu bertanya pula: "Sudah berapa lama kau latih Kungfu?"
Meski tidak tahu untuk apa orang bertanya urusan ini, namun Ciong Cing menjawab juga:
"Sudah sebelas tahun."
Wajah orang sakit yang kurus dan kuning itu menampilkan secercah senyuman, katanya:
"Bagus, bagus....." mendadak sebelah tangannya terjulur, pergelangan tangan Ciong Cing
terpegang. Tampaknya ia sudah kempas kempis dan setiap saat bisa menghembuskan napas
penghabisan, tapi begitu bergerak ternyata cepatnya luar biasa.
Sampai-sampai orang macam Kwe Pian sian dan Ji Pwe giok juga tidak jelas cara bagaimana
orang sakit itu menjulurkan tangannya, Ciong Cing sendiri bahkan menjerit saja tidak sempat
dan tahu-tahu sudah diseret lebih dekat sana.
"Apakah yang hendak Anda lakukan?" tanya Pwe giok dengan was-was.
Setelah orang sakit itu memegang pergelangan tangan Ciong Cing, lalu ia tidak melakukan
gerakan lain lagi. Sebaliknya ia lantas memejamkan mata.
Meski merasakan tangan orang sangat dingin, Ciong Cing mulai tenang juga karena orang
tidak bertindak lain lagi. Ia lantas bertanya: "Sesungguhnya Cianpwe mempunyai akal apa"
Tecu siap mendengarkan."
Sambil tetap memejamkan mata orang itu berkata dengan perlahan: "Kalian tetap tunggu saja
di sini dan tidak perlu buka pintu."
"Hanya....hanya begini saja masa terhitung akal?" seru Ciong Cing dengan mendongkol.
Dengan tak acuh orang sakit itu berkata: "Asalkan kalian tidak membuka pintu, di seluruh
kolong langit ini tiada seorangpun berani naik ke atas loteng ini."
412 Meski merasa bualan orang agak terlalu besar, tapi mengingat tindak-tanduk orang ini sangat
misterius, mau tak mau iapun percaya separoh-separoh, ia tidak merasakan air muka sendiri
kini telah mulai pucat dan makin pucat. Sebaliknya air muka si sakit yang tadinya kuning
mayat kini mulai bersemu hawa orang hidup.
Dalam pada itu suara teriakan di bawah loteng bergema pula, maka orang lainpun tidak
memperhatikan perubahan air muka mereka berdua. Suara teriakan orang di bawah semakin
ramai dan kasar, tapi benar juga, tiada seorangpun berani mendobrak pintu.
Terdengar Bwe Su-bong berteriak pula: "Ji kongcu, Bengcu dan Bu siang Lojin juga
berkunjung padamu, masa kau tetap tidak mau turun?"
Semula Pwe giok bermaksud turun, tapi sekarang ia menjadi ragu-ragu. Untuk apakah orangorang
itu terburu-buru ingin bertemu dengan dirinya"
Perempuan muda tadipun berteriak lagi: "Ji kongcu, jika kau tidak menghendaki kami naik ke
atas, boleh kau turun dan bicara sepatah kata saja dengan kami.....Ji-kongcu, sebanyak ini
orang yang ingin bertemu denganmu, mengapa engkau menolak maksud baik orang banyak?"
Orang-orang itu ternyata tidak bermaksud naik ke atas, ini menandakan sasaran mereka bukan
terhadap Kwe Pian sian. Tapi mereka menghendaki Pwe giok turun ke bawah, apakah
memang ada intrik tertentu"
Semakin didesak, semakin ragu Pwe giok. Saat itulah mendadak Ciong Cing menjerit, orang
sakit itu telah melepaskan tangannya, kontan Ciong Cing roboh terkulai.
Cepat Kwe Pian sian memayangnya bangun, tapi tubuh Ciong Cin terasa lunak seperti kapas,
tanganpun sukar terangkat, waktu Kwe Pian sian memeriksa napasnya, ternyata juga sangat
lemah. "He, kenapa kau?" teriak Kwe Pian sian kaget.
Air muka Ciong Cing tampak ketakutan setengah mati, serunya dengan suara lemah dan
gemetar: "Ib...iblis ini bu...bukan manusia dia...." dengan kaku ia memandang ke tempat jauh
dan berulang-ulang mengucapkan kata-kata yang sama, dia seperti tidak waras lagi saking
takutnya, ditanya juga tidak dapat menjawab lagi.
Kwe Pian sian memandangi si sakit air mukanya tampak mulai bersemu merah, nyata tenaga
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam latihan belasan tahun Ciong Cing tanpa terasa telah dihisap oleh orang itu.
Mendadak Kwe Pian sian berbangkit dengan sorot mata yang sangat ketakutan. Sebaliknya si
sakit tampaknya sudah terpulas, Cu Lui ji sedang merapikan selimutnya.
Diam-diam Gin hoa nio menarik Kwe Pian sian dan Ji Pwe giok ke samping sana, katanya
dengan suara tertahan: "Sesungguhnya apa yang terjadi ini?"
Keringat nampak memenuhi dahi Kwe Pian sian, dengan suara parau ia mendesis:
"Menghisap sari tenaga orang lain untuk menambah kekuatan sendiri, tak tersangka di dunia
ini benar-benar ada Kungfu selihai ini. Kalau sekarang kita tidak menggunakan kesempatan
ini untuk menumpas dia mungkin kitapun akan mati tak terkubur."
413 Gin hoa nio menghela nafas, katanya kemudian: "Jika kau berani turun tangan lebih dulu,
pasti akan kubantu kau."
Kwe Pian sian jadi melengak dan tak dapat menjawab.
Sunyi seperti kuburan di loteng kecil ini, Pwe giok seperti ingin bertindak sesuatu, tapi pada
saat ini juga di bawah telah berkumandang suara Ji Hong-ho: "Kalau dia tidak mau turun,
tentu dia sudah ikut berkomplotan dengan mereka. Kini kita sudah berkumpul, bila tidak
segera turun tangan mungkin akan terjadi perubahan....."
Tiba-tiba terdengar Hay hong Hujin menyeletuk: "Apakah Bengcu sudah menyelidikinya
dengan jelas?"
"Bukti dan saksi sudah lengkap di sini. Ang lian pangcu juga melihat sendiri," kata Ji Hong
ho. Tiada terdengar suara Ang lian hoa, mungkin secara diam-diam ia membenarkan.
Selagi Pwe-giok menerka urusan apa sebenarnya yang dimaksudkan mereka, tiba-tiba
terdengar suara deru angin yang keras, beberapa bola hitam sebesar semangka telah
menerobos jendela dengan membawa api yang berkobar.
Hakekatnya Pwe giok dan lain-lain tidak tahu benda apakah ini seketika mereka menjadi
bingung tidak tahu bagaimana harus menghadapi bola berapi itu, terpaksa mereka menyingkir
saja menghindari.
Si orang sakit yang tampaknya tertidur itu mendadak menjulurkan kedua tangannya yang
tadinya tertutup selimut, kesepuluh jarinya menyelentik susul menyusul. Terdengar suara
"crat-crit" berulang-ulang seperti desing anak panah di udara, belasan bola hitam tadi kontan
terjentik kembali keluar.
Kiranya selentikan jari si sakit itu membawa semacam tenaga yang tak berwujud, tapi keras
dan tajam seperti senjata.
Apa lagi ia menyelentik susul menyusul sehingga tenaga jari yang tak kelihatan ini terpancar
lebih kuat, sekalipun ilmu tenaga jari sakti "Sian-ci-sin-thong" yan terkenal di dunia persilatan
juga tidak selihai ini. Keruan semua orang sama terkesiap.
Setelah bola-bola hitam tadi terjentik keluar, lalu terdengarlah suara "blang-blung" yang keras
disertai lelatu api yang berhamburan. Suara ledakan menggelegar tiada hentinya. Suasana
menjadi kacau, terdengar jeritan di sana sini serta suara orang yang berlari ketakutan. Loteng
kecil itupun tergetar seakan-akan ambruk.
"Apakah ini senjata api buatan Pi-lik-tong (nama pabrik mesiu jaman kuno) yang terkenal di
daerah Kanglam itu?" kata Gin hoa nio dengan terkejut.
"Betul," jawab Kwe Pian sian dengan gegetun. "Kalau saja bola api tadi meledak di sini,
andaikan tubuh kita tidak hancur lebur, sedikitnya akan babak-belur dan mungkin pula cacat
selama hidup."
414 "Makanya tentunya sekarang kalianpun tahu," sela Cu Lui-ji sambil menoleh tertawa. "Meski
Sacek telah meminjam pakai kekuatan belasan tahun latihan nona ini, tapi Sacek juga telah
menyelamatkan jiwa kalian berempat. Jual beli ini kan tidak merugikan kalian?"
Daun jendela sudah jebol diterjang oleh bola-bola hitam tadi, sembari bicara Cu Lui ji lantas
merapatkan tabir jendela agaknya tidak suka kalau keadaan didalam ruangan ini terlihat orang
luar. Kedua tangan si sakit telah disembunyikan kembali ke dalam selimut, air mukanya mulai
pucat lagi. Sungguh, kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, siapapun tidak
percaya orang yang sudah sekarat ini mempunyai kungfu selihai tadi.
Pwe-giok tidak tahan, ia coba bertanya: "sesungguhnya Ji Hong ho itu ada permusuhan apa
dengan Anda?"
"Bermusuhan denganku" Hm, dia belum sesuai!" jengek orang sakit itu.
"Jika demikian, untuk apa dia bertindak sekeji ini terhadap Anda?" tanya Pwe giok pula.
"Darimana kau tahu yang dia tuju adalah diriku dan bukan kalian?" ujar orang itu.
"Tapi Ji Hong ho tidak bermain catur ditempat lain, justru datang ke kota kecil yang terpencil
dan sepi ini, tadinya aku sangat heran baru sekarang ku tahu tujuan kedatangannya ialah
Anda." kata Pwe-giok pula dengan gegetun.
Tapi orang sakit itu tidak menanggapi, ia memejamkan mata pula.
Pwe giok berkata lagi: "Ada lagi, Anda tidak tetirah ditempat lain, tapi justeru datang ke kota
kecil ini, inipun kejadian yang maha aneh. Sungguh tidak habis ku terka sesungguhnya
dimana terletak daya tarik kota kecil ini?"
Tapi orang sakit itu tetap tidak menggubrisnya, maka Pwe giok tidak dapat bicara lagi.
Selang sejenak, tiba-tiba Cu Lui-ji berkata: "Yang mereka tuju bukanlah Sacek melainkan
diriku!" "Dirimu?" Pwe giok menegas dengan melenggong. "Usiamu sekecil ini, untuk apa mereka
mencari kau?"
"Apakah usiaku terhitung masih kecil?" ujar Lui-ji sambil tertawa.
"Biarpun orang she Ji itu manusia berhati binatang, tapi dalam kedudukannya selaku Bu-limbengcu,
mana bisa dia mengerahkan tenaga sebanyak itu untuk menghadapi seorang anak
kecil seperti dirimu ini?" kata Pwe giok pula.
"Bu-lim-bengcu" Huh!" jengek Cu Lui-ji. "Memangnya berapa harganya satu kati Bu-limbengcu
begitu" Tidak perlu Sacek, aku saja tidak memandang sebelah mata padanya."
415 Padahal Hong ti-tayhwe atau pertemuan besar Hong ti adalah suatu sidang paripurna dunia
persilatan yang mengikat, Bengcu atau ketua perserikatan yang diangkat didalam sidang itu
dihormati dan disegani setiap ksatria dan pendekar di dunia ini. Tapi anak perempuan kecil ini
menyatakan tidak pandang sebelah mata terhadap sang Bengcu.
Tentu saja hal ini sangat luar biasa. Memangnya kedudukan anak perempuan ini jauh lebih
terhormat dan lebih agung daripada Bu-Lim-bengcu"
Pwe giok jadi semakin heran.
Selagi ia hendak bertanya pula, mendadak Gin hoa-nio bersorak gembira, serunya: "Aha,
orang-orang itu sudah pergi semua, bersih tanpa seorang-pun yang ketinggalan!"
Cepat Kwe Pian-sian menyingkap tabir jendela, memang betul, di luar sana tiada nampak
bayangan seorangpun.
"Kenapa mesti heran," dengan hambar Cu Lui-ji berkata pula, "setelah orang-orang itu
mengetahui kungfu Sacek sudah pulih, memangnya mereka berani tinggal lebih lama lagi di
sini untuk menunggu kematian?"
Bahwa orang-orang seperti Ji Hong-ho, Kun Hay-hong dan lain-lain seakan-akan juga sangat
jeri terhadap orang yang sakit ini, maka dapat diperkirakan orang sakit ini pasti luar biasa
asal-usulnya. Sesungguhnya siapakah dia"
Tentu juga Pwe-giok sangat heran, terkejut dan juga tertarik, namun saat itu juga Kwe Piansian
sudah memondong Ciong Cing dan berkata:" Hayolah kita berangkat sekarang!"
"Betul, tidak berangkat sekarang mau tunggu kapan lagi?" tukas Cu Lui ji dengan dingin.
Pwe-giok lantas berkata: "Kalau mereka mendadak kembali lagi, apakah kalian...."
"Urusan Sacek tidak perlu kau ikut campur" ucap Lui ji dengan angkuh. "Mengenai
diriku.....apakah aku akan hidup atau mati lebih-lebih tidak perlu diresahkan orang lain."
Dengan suara gemetar mendadak Ciong Cing berteriak: "Jika demikian, mengapa.....mengapa
kalian men.....mencuri tenagaku?"
"Kan kalian yang datang sendiri ke sini. Kami tidak mencari kau, kenapa kau salahkan orang
lain"!", jawab Cu Lui-ji dengan ketus.
Ciong cing melengak, mendadak ia menangis tergerung-gerung.
Tiba-tiba si sakit buka suara dengan perlahan: "Mengingat kedatangan mereka ini tidaklah
sia-sia barang itu boleh kau berikan saja kepada mereka."
"Tapi barang-barang ini memang milikku, kenapa harus kuberikan kepada mereka?" ujar Cu
Lui-ji. "Hanya sedikit batu permata begitu apa artinya" Kenapa kau berubah menjadi sebodoh ini?"
ujar si sakit sambil berkerut kening.
416 Lui-ji mengiakan dengan menunduk. Tanpa bicara lagi ia mengeluarkan sebuah bungkusan
dari almari dinding sana terus dilemparkan ke depan Gin-hoa-nio.
Ketika ujung bungkusan itu terlepas sedikit. Tertampaklah cahaya gemerlapan, nyata itulah
harta benda Gin-hoa-nio yang hilang itu.
Meski didalam hati penuh tanda tanya, tapi Gin-hoa-nio tidak berani lagi banyak bicara,
setelah tertegun sejenak, mendadak ia angkat bungkusan itu terus lari ke bawah loteng secepat
terbang. ***** Sesungguhnya siapakah gerangan si sakit itu" Mengapa Ji Hong-ho dan lain-lain sedemikian
takut kepadanya"
Siapa pula sebenarnya Cu Lui-ji dan darimana asal-usulnya" Mengapa sebanyak itu tokohtokoh
Bu-Lim berkumpul di kota kecil ini hanya untuk menghadapi seorang anak kecil
begitu" Bahkan diantara tokoh-tokoh Bu-Lim itu termasuk pula Ang-lian-hoa" Masa Anglianghoa seorang yang suka merecoki seorang anak kecil"
Sesungguhnya penyakit apa yang menghinggapi orang sakit itu" Mengapa dia merawat
sakitnya di kota kecil terpencil ini" Jelas tenaganya belum pulih seluruhnya. Sedangkan Ji
Hong-ho dan lain-lain pasti tidak pergi begitu saja, seharusnya dia menahan ji Pwe-giok dan
lain-lain di situ, mengapa dia melepaskan mereka pergi"
Begitulah didalam benak Pwe-giok penuh tanda tanya yang sukar dipecahkan.
Gin hoa nio juga bergumam terus menerus." Aneh, si tebese itu mengapa mengembalikan
harta benda ini kepadaku" Mengapa begini saja dia membebaskan kita pergi" Masa dia benarbenar
tidak mengharapkan sesuatu dari kita?"
Sembari menggerundel ia terus berlari ke depan. Kota kecil itu bermandi cahaya sang surya,
namun setiap pintu rumah penduduk tampak tertutup rapat, satu bayangan manusia saja tidak
kelihatan. Baru sekian langkah Kwe Pian-sian berlari mendadak ia menghadang di depan Gin-hoa-nio.
Cepat Gin-hoa-nio menyembunyikan bungkusan ke belakang punggungnya, tanyanya dengan
was-was: "Kau mau apa?"
"Ai, dasar perempuan," ujar Kwe Pian-sian dengan gegetun. "Sampai perempuan seperti ini
juga berpikiran sempit, dalam keadaan demikian masa dapat ku incar harta bendamu ini?"
Gin hoa nio mengerling genit, katanya dengan tersenyum: "Jika kau tahu perempuan berjiwa
sempit mengapa kau sengaja merintangi jalan orang" Apakah kau tidak ingin cepat-cepat
pergi dan hendak menunggu kedatangan Ang-lian-hoa?"
"Sudah tentu aku ingin lekas-lekas pergi, tapi aku tidak ingin pergi dengan digotong orang,"
kata Kwe Pian-sian dengan dingin.
417 Gin hoa nio memandang Ciong Cing sekejap, ucapnya dengan tertawa: "Kamipun ingin pergi
dipondong olehmu, tapi sayang, tanganmu tidak ada peluang lagi."
"Kalau kau terus berlari ke depan, masa tidak bakalan ada orang akan menggotong kau?" kata
Kwe Pian-sian. "Maksudmu.....maksudmu kita tidak pergi sekarang?"
"Saat ini, kau dan aku jangan harap akan dapat meninggalkan kota kecil ini selangkahpun!"
"Hihi, memangnya kau sangka aku ini kegirangan karena mendapatkan kembali hartabendaku
sehingga pikiranku sudah keblinger?" kata Gin hoa nio dengan tertawa." Sudah tentu
ku tahu Ji Hong-ho dan rombongannya takkan pergi jauh, besar kemungkinan mereka sudah
mengepung rapat kota kecil ini, maka bayangan setanpun tidak kelihatan di sini"
"Tapi menurut perhitunganmu, karena kau tidak bermusuhan apapun dengan mereka, tentu
kau akan diberi jalan, maka kau sendiri lantas mau kabur begitu saja tanpa memperdulikan
orang lain, begitu bukan?"
"Ai. Aku ini kan perempuan yang berjiwa sempit dan tidak bisa apa-apa, memangnya hendak
kau suruh aku bertindak bagaimana" Kalian kan lelaki gagah perkasa, masa memerlukan
perlindunganku malah?"
"Hahahaha! Teman baik, sahabat karib.....!!" Kwe Pian-sian bergelak tertawa. "Sungguh tidak
nyana kau dapat menutupi perbuatannya yang cuma mementingkan diri sendiri ini sebagai
tindakan yang menarik, untung kau bukan lelaki, kalau tidak mustahil kalau tidak sejak taditadi
kau disembelih orang."
Gin hoa nio tertawa terkekeh, katanya: "Tapi ku tahu kau pasti takkan membunuhku,
seumpama kau bermaksud menahanku di sini, Ji kongcu kita yang luhur budi dan bijaksana
ini pasti juga tidak tinggal diam dan tentu akan membelaku."
"Jika kau ingin pergi, tidak nanti ku rintangi kau." kata Kwe Pian sian.
"Oya"! Tak tersangka kau juga seorang yang luhur budi dan bijaksana....."
"Tapi dengan membawa satu bungkus mestika begini, apakah orang lain mau membebaskan
kau pergi begitu saja?" jengek Kwe Pian sian.
Seketika Gin hoa nio merasa seperti kena depak orang satu kali, sekujur badan terasa lemas
lunglai. Dengan tenang Kwe Pian sian menyambung pula: "Makanya, jika kau ingin pergi, mau tak
mau bungkusan ini harus kau tinggalkan di sini dan ini berarti..... seolah-olah menghendaki
jiwamu." Mendadak Gin hoa nio melonjak dan berjingkrak, katanya: "Ah, tahulah aku sekarang,
sebabnya si tebese itu mengembalikan harta pusakaku ini, maksudnya justru hendak
418 mengganduli diriku supaya aku tidak pergi. Ai, orang sudah hampir mampus begitu masih
juga banyak akal-bulusnya."
Mendadak Pwe giok ikut bicara: "Jika kau sangka dia sengaja hendak membikin susah
padamu, mengapa tidak kau kembalikan harta benda ini kepadanya?"
Gin hoa nio mendepakkan kakinya ke tanah dan berkata: "Sudah tentu iapun
memperhitungkan aku tidak rela...." Tapi mendadak ia tertawa dan mengerling genit
sambungnya: "Apalagi, seumpama tidak ada bungkusan batu permata ini, masa ku-sampai
hati meninggalkan kalian di sini" Apa yang ku katakan barusan kan cuma bersenda-gurau
saja." "Hehe, lucu ya guraumu?" jengek Kwe Pian sian. Gin hoa nio memandangnya dengan
menengadah, tubuhnya seakan-akan hendak jatuh ke pangkuan orang, dengan suara halus ia
berkata: "Eh, coba katakan, apakah sekarang juga kita harus mundur kembali ke sana?"
"Adalah maha beruntung kalau kita dapat keluar dengan selamat, mana boleh balik lagi ke
sana" ujar Kwe Pian sian. Nyatanya, ia lebih suka menghadapi Ang lian hoa dari pada
bermusuhan dengan si sakit yang misterius itu.
"Maju tidak mau, mundur juga emoh, lalu bagaimana baiknya?" Tanya Gin hoa nio. "Apakah
kita perlu mencari lagi sebuah rumah lain untuk sembunyi" Tapi kalau kepergok si tebese
lagi, kan bisa celaka."
"Tempat yang kucari sekali ini pasti takkan terdapat orang lain..."
"Dimana?" Tanya Gin hoa nio sebelum ucapan Kwe Pian sian dilanjutkan.
"Di sana, hotel itu!"
"Haha, kau memang pintar" puji Gin hoa nio dengan tertawa genit. "Orang-orang tadi baru
saja meninggalkan hotel itu, besar kemungkinan mereka takkan kembali kesana. Hotel itu
memang tempat yang paling aman di kota ini, cuma....." dia pandang Pwe giok sekejap,
sambil menggigit bibir ia menyambung pula: "Ji-kongcu kita yang terhormat ini apakah kau
mau bersembunyi bersama kita?"
"Dia pasti ikut," kata Kwe Pian sian.
"Oo" pasti?" Gin hoa nio merasa sangsi.
"Ya," kata Kwe Pian sian. "setelah sekian lama Ji hong-ho dan rombongannya tidak melihat
suatu gerak-gerik di sini, tentu mereka akan balik lagi ke sini. Dan kalau kita sembunyi di
hotel itu, kebetulan dapat menjadi penonton tanpa bayar."
Dia tersenyum bangga, lalu menyambung pula: "Saat ini Ji-heng tentu juga penuh diliputi
tanda tanya, kalau urusan ini tidak ikut terpecahkan hingga jelas, betapapun Ji-heng pasti
tidak rela tinggal pergi. betul tidak Ji-heng?"
Pwe giok tersenyum hambar, jawabnya: "Apa lagi saat ini aku memang tidak ada tempat
tujuan untuk pergi."
419 Di hotel itu memang benar sunyi senyap tiada bayangan seorangpun, sampai-sampai
pengurusnya dan pelayannya juga sudah kabur entah kemana, seakan-akan merekapun sudah
tahu di sini bakal tertimpa bencana, maka cepat-cepat cari selamat lebih dulu.
Sebagai pemuda perkasa, Kwe Pian sian berjalan di depan, dia tidak mencari kamar tamu
biasa, juga tidak menuju ruangan tempat tinggal Ji Hong ho tadi, tapi langsung menuju ke
dapur. Api tungku di dapur hampir padam tapi belum padam, satu wajan nasi tanak sudah hampir
hangus. Di atas meja sayur terdapat segebung sayur asin yang sudah dirajang sebagian, di
suatu mangkuk juga ada telur ayam yang sudah diaduk, agaknya si koki tadi sedang siap-siap
mengolah sayur asin goreng telur, tapi belum selesai dibuat.
Gin hoa nio celingukan kian kemari, dengan tertawa ia berkata: "Penghuni hotel ini mungkin
kabur dengan tergesa-gesa sehingga tidak sempat sarapan pagi. Apa lagi mereka diusir oleh Ji
Hong ho dan begundalnya?"
"Ji Hong ho tidak perlu mengusir mereka, setelah mengalami kekacauan tadi, masa mereka
masih berani tinggal ditempat yang penuh penyakit ini?" kata Kwe Pian sian.
"Mungkin lagi sial juga pemilik hotel ini, akhir-akhir ini penghuni hotel ini kebanyakan orang
mati melulu....." sembari bicara Gin hoa nio terus menyembunyikannya ke bawah onggokan
kayu bakar. Lalu ia mengambil mangkuk dan mengisi nasi terus dimakannya dengan lauk
sayur asin. Kwe Pian sian juga mengisi satu mangkuk nasi dan disodorkan kepada Ciong Cing, katanya
dengan tertawa: "Ini, kaupun makanlah sedikit, meski nasi ini rada sangit, tapi pasti tidak
beracun." Gin ho nio tertawa, katanya: "Selama hidupku sungguh tidak pernah dahar nasi seharum dan
sesedap ini, kau...."
Belum habis ucapannya, mendadak mangkuk yang dipegang Kwe Pian sian telah disampuk
jatuh Ciong Cing. Nona itu menangis tergerung-gerung sambil meratap: "Aku sudah orang
setengah mati, ku tahu nanti pasti kau tinggalkan diriku. Untuk apa pula ku makan nasi
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segala......Biarlah ku mati kelaparan saja, lebih cepat mati lebih baik!"
Kwe Pian-sian tidak menjadi marah, ucapnya dengan suara halus: "Ku tahu pikiranmu lagi
risau tapi kan tidak apalah kalau cuma kehilangan Kungfu saja. Aku toh tidak bakalan minta
perlindunganmu, kau mahir ilmu silat atau tidak kan tidak menjadi soal bagiku?"
"Kau.....kau tidak perlu pura-pura di depanku," kata Ciong Cing dengan suara terputus-putus.
"Coba jawab sudah tegas-tegas kau katakan padaku bahwa kau sudah putus segala hubungan
dengan Kun Hay-hong, sekarang mengapa kau tidak berani bertemu dengan dia, apa yang kau
takuti?" Air muka Kwe Pian-sian tampak berubah.
420 Pada saat itulah mendadak ada suara orang batuk satu kali, seketika ke empat orang lantas
bungkam. Ditengah keheningan itu sayup-sayup terdengar di luar ada suara langkah orang yang sangat
perlahan. Di samping tungku dapur ini terletak pintu belakang hotel, maka suara langkah itu
terdengar seperti menuju ke pintu belakang.
Dari celah-celah pintu Kwe Pian sian dapat mengintip keluar, dilihatnya dua orang sedang
menuju ke sini, seorang mendekap mulut, jelas orang yang baru saja batuk.
Orang ini tinggi kurus, bermuka putih, sedang melintang tersandang di punggung, untaian
benang sutra merah penghias garan pedang berpadu dengan bajunya yang hijau pupus
sehingga kelihatan sangat menyolok.
Seorang lagi juga tinggi kurus, sinar matanya tajam. Sekali pandang saja Kwe Pian sian lantas
tahu Ginkang kedua orang ini pasti tidak lemah.
Kedua orang ini berjalan dari kanan dan kikir terpisah beberapa kaki jauhnya, langkah mereka
sangat hati-hati, agaknya ingin menyelidiki keadaan di sini dan kuatir mengejutkan si sakit
yang menakutkan di atas loteng kecil itu.
Gemerdep sinar mata dari Kwe Pian sian, mendadak ia membuka pintu dan tertawa kepada
mereka. Tentu saja kedua orang itu melengak. Segera pula Kwe Pian sian menyurut mundur.
Dengan sendirinya pintu masih terbuka dan mengeluarkan suara" keriat-keriut" karena tertiup
angin. "Mengapa kalian tidak lekas masuk ke sini?" kata Kwe Pian sian dengan suara tertahan.
Gin hoa nio tahu maksud Kwe Pian sian hendak memancing kedua orang itu masuk ke sini
untuk ditanyai gerak-gerik di pihak Ji Hong ho sana. Padahal maksud tujuan kedatangan
kedua orang ini adalah untuk menyelidiki keadaan di sini, sekarang mereka malah menjadi
sasaran perangkap orang, diam-diam Gin hoa nio tertawa geli.
Rupanya Kwe Pian sian sudah memperhitungkan dengan baik bahwa mengetahui di dapur
hotel ini ada orang, biarpun harus menyerempet bahaya juga kedua orang itu akan masuk ke
sini untuk melihat apa yang terdapat di tempat ini.
Siapa tahu, meski sudah di tunggu sekian lama orang di luar masih juga tidak masuk kemari,
bahkan tiada terdengar suara sedikitpun.
Kembali Gin hoa nio merasa heran, segera ia mendesis: "Sstt, mengapa kedua orang itu
sedemikian penakut?"
"Kukenal satu diantaranya, namanya Ko Tiong, anak murid Tiam jong pay, orang ini cukup
terkenal di daerah Hunlam dan Kuiciu, tidak nanti dia takut urusan..."
Belum habis ucapannya, "kriuut", daun pintu terpentang tertiup angin ternyata bayangan
kedua orang tadi sudah tidak kelihatan lagi.
421 "Hah, tampaklah kedua orang itu memang berhati kecil melebihi tikus," Gin hoa nio berolokolok.
Kwe Pian sian berkerut kening, ia coba melongok lagi keluar, dilihatnya Cu Lui ji entah sejak
kapan telah turun dari lotengnya dan sedang memetik bunga di halaman sana.
Rupanya ada setangkai bunga mawar yang menongol keluar pagar halaman sana, seharum
semerbak tampaknya bunga mawar itu.
Cu Lui ji sedang menengadah ke atas sambil berjinjit tangannya yang kecil itu meraih tangkai
bunga mawar itu, mendadak lengan bajunya merosot ke bawah sehingga kelihatan tangannya
yang putih bersih.
Orang yang dikenal bernama Ko Tiong dan lelaki berbaju hijau tadi tampak melangkah ke
sana dan berdiri tidak bergerak di belakang Cu Lui-ji, mereka memandangi anak dara itu
dengan termangu-mangu.
Jilid 17________
Setelah memetik bunga mawar itu, tanpa berpaling lagi Cu Lui-ji lantas kembali ke loteng
sana. Ko Tiong dan lelaki baju hijau itu terpesona, wajah mereka tampak linglung seperti tergilagila
kepada anak dara itu sehingga lupa daratan.
Kwe Pian-sian jadi terheran-heran, ia tidak mengerti apa sebab apakah kedua orang ini
berubah seperti orang kehilangan ingatan.
Padahal, sekalipun Cu Lui-ji memang seorang dara yang cantik, betapapun usianya baru 1112 tahun, masa dua laki-laki setengah umur begini juga tergila-gila kepadanya"
Tertampak langkah Cu Lui-ji yang lemah gemulai, bajunya yang tipis bergerak terembus
angin, tubuhnya yang lemah itu seolah-olah juga melayang ke sana tertiup angin. Mendadak
anak dar itu menoleh dan tersenyum, sorot matanya yang bening itu seperti tidak sengaja
melirik sekejap ke arah Kwe Pian-sian.
Seketika Kwe Pian-sian merasa dirinya hampir melupakan usia anak dara yang masih kecil
itu, yang tampak olehnya hanya liuk pinggang si nona yang menggiurkan, selebihnya ia tak
tahu lagi. Hampir-hampir saja iapun mengintil ke sana.
Tapi apapun juga dia memang lebih kuat dan dapat mempertahankan diri, hatinya hanya
terguncang sekejap saja setelah itu tenang kembali. Sementara itu Cu lui juga berjalan
kembali ke ujung rumah sana, Ko Tiong dan temannya mengikutinya kemudian juga ikut
lenyap di balik pintu sana.
Sejak tadi Gin-hoa-nio juga mengikuti kejadian tersebut dan baru sekarang ia menghela napas
dan berkata: "Siluman, budak cilik ini benar-benar siluman, sekecil itu sudah mampu memikat
dua lelaki sebesar itu. Pada waktu aku berusia sebaya dia, akulah yang ikut kian kemari di
belakang lelaki".
422 Setelah berhenti sejenak, mendadak ia tertawa dan berkata pula: "Hihi, untung iman tuan Kwe
kita cukup teguh, kalau tidak, hampir saja tuan Kwe kita juga ikut terperangkap olehnya"
"Bukan karena lwekang ku tinggi, melainkan pengalamanku terhadap perempuan jauh lebih
banyak daripada kedua orang itu," kata Kwe Pian-sian dengan tertawa.
"Sungguh aku tidak paham, untuk apakah budak cilik itu memikat kedua lelaki itu?" ucap
Gin-hoa-nio dengan tertawa. Mendadak sinar matanya mencorong terang, ia berseru pula:
"Ah, tahulah aku, budak cilik itu sedang memancing ikan, bilamana kedua orang tolol itu
terpancing ke atas loteng sana, maka segenap kungfu mereka pasti akan terhisap ludes oleh si
sakit tbc itu"
"Ya, memang begitu" kata Kwe Pian-sian
"Sungguh tak tersangka, sekecil itu dia sudah mahir memancing ikan dengan "Bi-jin-keh"
(akal dengan memperalat perempuan cantik)", ujar Gin-hoa-nio dengan tertawa. "Tanpa
disadari kedua orang tolol tadi, tahu-tahu telah terjebak."
"Tampaknya, sebabnya Ang-lian-hoa dan lain-lain datang ke sini untuk mencarinya memang
juga cukup beralasan" kata Kwe Pian-sian sambil memandang Ji Pwe-giok.
"Memangnya tidak cuma sekali ini saja perbuatan nona cilik itu?" tanya Pwe-giok.
Melihat caranya bertindak tidak canggung-canggung itu, jelas sudah tidak sedikit korban yang
terjebak di tangannya, makanya Ji Hong-ho mengerahkan orang sebanyak ini untuk melayani
dia" ujar Kwe Pian-sian.
"Ya, kukira begitu," kata Pwe-giok. "Kalau tidak, tokoh macam Ang lian hoa tidak nanti sudi
diperintah oleh Ji Hong ho."
Hal ini mungkin tidak diketahui orang lain tapi cukup diketahuinya dengan jelas, sebab Ang
lian hoa juga sudah menaruh curiga terhadap "Ji Hong ho" itu.
"Hah, sungguh menarik juga," kata Kwe Pian sian dengan tertawa, "seorang anak perempuan
berumur belasan ternyata begini besar kesaktiannya. Orang macam begini jelas bukan orang
sembarangan, mungkin tidaklah mudah bagi Ang lian hoa untuk melayaninya."
Gin hoa nio tertawa ngikik, katanya:" Betapapun hebat dia toh sudah pernah juga merasakan
tamparanku."
Sembari bicara ia angkat tangannya hendak memberi contoh agar dia menampar Cu Lui-ji,
tapi mendadak.....ia merasa dirinya juga seperti kena gampar orang satu kali, seketika ia tak
dapat tertawa dan tak dapat berbicara lagi.
Pwe giok dan Kwe Pian sian memandangnya , wajah Gin hoa nio yang biasanya selalu
tersenyum manis itu kini mendadak berubah pucat seperti mayat, matanya yang jeli kini juga
menampilkan rasa kejut dan cemas yang tidak terhingga sambil memandangi tangannya
sendiri. Malahan sekujur badannya lantas menggigil.
423 Tanpa terasa Pwe giok dan Kwe Pian sian ikut memandang tangan Gin hoa nio, hanya sekejap
saja mereka memandang, seketika air muka merekapun berubah, sorot mata merekapun
menampilkan rasa kejut yang tak terhingga.
Tangan Gin ho nio yang putih bersih dan halus mulus itu kini telah berubah menjadi hitam
kemerah-merahan mirip cakar setan.
"He, kenapa bisa begini?" seru Pwe giok terkesiap.
Dengan suara gemetar Gin hoa nio berkata: "Ak....akupun tidak tahu mengapa bisa jadi... jadi
begini, sedikitpun tidak kurasakan apa-apa dan tangan ini tahu-tahu sudah.... sudah berubah
menjadi begini."
"Bisa bergerak tidak tanganmu ini?" tanya Kwe Pian sian.
"Seperti masih.....masih bisa bergerak, cu...cuma....."
Belum habis ucapan Gin hoa nio, mendadak Kwe Pian sian mengangkat sepotong kayu terus
menghantam punggung tangan Gin hoa nio "plok", kayu bakar itu cukup besar, cara
menghantamnya juga cukup keras, tangan siapapun kalau terpukul pasti juga akan menjerit
kesakitan, siapa tahu Gin hoa nio sama sekali tidak berteriak sakit, bahkan tidak merasakan
apapun meski tangan terpukul sekeras itu.
"Sakit tidak?" tanya Kwe Pian sian.
"Ti...tidak." jawab Gin hoa nio.
Dipukul tanpa merasa sakit, sepantasnya dia bergembira. tapi setelah menjawab begitu,
seketika air mata Gin hoa nio berlinang-linang. Ia merasa tangan sendiri kini sudah berubah
menjadi kayu belaka, kaku dan mati rasa seperti bukan tangannya sendiri lagi. Dia
menyaksikan Kwe Pian sian memukulkan kayu tadi, tapi yang dipukul seolah-olah tangan
orang lain. Kwe Pian sian berkerut kening pula, dilihatnya di meja sana ada bendo yang biasa di buat
potong sayur, mendadak bendo itu disambarnya terus dibacokkan ke punggung tangan Gin
hoa nio. Meski bendo itu terlalu tajam, tapi kalau digunakan memenggal tangan seseorang rasanya
mudah terlaksana. Siapa tahu, begitu bendo itu mengenai sasarannya, tangan Gin hoa nio
yang terbacok itu hanya bertambah satu luka kecil saja, bahkan tiada tetes darah yang
mengucur keluar.
Nyata tangan Gin hoa nio telah berubah lebih keras daripada kayu.
Bahwa tangannya tidak mempan dipenggal orang, seharusnya Gin hoa nio bergembira tapi
mukanya justeru bertambah pucat dan ketakutan setengah mati.
"Trang", Kwe Pian sian melemparkan bendo tadi, katanya sambil menggeleng kepala: "Wah,
nonaku yang baik, tamparanmu tadi mungkin telah menimbulkan kesulitan."
424 "Tapi.....tapi waktu ku pukul dia, sedikitpun tidak.....tidak merasa apapun," kata Gin hoa nio.
"Justeru racun yang tidak menimbulkan perasaan apa-apa inilah yang lihai" ujar Kwe Pian
sian. "Tanpa terasa tahu-tahu racun telah merembes ke dalam darahmu, merasuk ke dalam
tulangmu. Bila pada saat kejadian kau rasakan apa-apa tentu kau akan tertolong."
"Dan sek.....sekarang apakah tidak tertolong lagi?" tanya Gin hoa nio dengan suara gemetar.
Padahal ia sendiri juga ahli racun, sudah tentu iapun tahu betapa hebat racun telah masuk
tubuhnya. Hanya dalam keadaan cemas ia masih menaruh setitik harapan atas pertolongan
orang lain. "Mungkin tak tertolong lagi," jawab Kwe Pian sian sambil menggeleng.
Gin hoa nio menubruk maju sambil berteriak. "Ku tahu kau pasti mampu menolong diriku,
kaupun ahli racun, kau.....kau....."
Seperti menghindari makhluk berbisa saja, dengan cepat Kwe Pian sian melompat mundur
sambil berkata: "Betul, akupun tergolong kakeknya ahli racun, tapi racun selihay ini
selamanya belum pernah kulihat.....Nona yang baik, kau sendiri terkena racun, sebaiknya
jangan kau bikin susah lagi kepada orang lain, lekas kau cari satu tempat yang baik untuk
menantikan ajalmu saja."
Seketika Gin hoa nio menjadi lemas dan roboh terkulai.
Pwe giok juga tercengang menyaksikan racun yang meresap di tubuh Gin hoa nio itu,
mendadak ia mendorong pintu dan berkata: "Mari ikut padaku!"
"Akan.....akan kau bawa kemana diriku?" tanya Gin hoa-nio.
"Orang lain tidak mampu menolong kau, orang yang meracuni kau pasti dapat," kata Pwe
giok. Seketika Gin hoa nio melonjak bangun, serunya: "Ya, betul, dia pasti dapat menolong diriku.
Meski telah ku pukul dia, namun antara dia dan aku sebenarnya tiada permusuhan apa-apa,
bila kuminta maaf dan memohon dengan sangat, mungkin dia masih mau menolong jiwaku."
Padahal iapun menyadari urusan ini tidak sedemikian sederhana. Tapi maklum juga, seorang
yang sudah mendekati ajalnya layaknya kalau berusaha menghibur dirinya sendiri.
Tiba-tiba Kwe Pian sian berseru: "Ji-heng, masa betul hendak kau bawa dia kembali ke atas
loteng itu?"
"Ya," jawab Pwe giok
"Kedua orang yang berada di sana itu jelas bukan manusia baik-baik, untung kau dapat
meninggalkan tempat itu, jika kau pergi lagi kesana, mungkin kau sendiri juga takkan kembali
lagi," seru Kwe Pian sian.
425 Pwe giok tersenyum hambar, katanya: "Jika aku harus mati, entah sudah berapa kali aku telah
mati." "Perempuan begini masa ada harganya bagimu untuk membelanya dengan taruhan nyawamu,
Ji-heng?" "Sekalipun orang semacam Kwe heng bila terancam bahaya juga akan ku tolong tanpa
pamrih." kata Pwe giok sembari bicara ia lantas melangkah pergi bersama Gin hoa nio.
Kwe Pian sian menggeleng sambil bergumam: "Orang macam begini sungguh jarang terlihat,
aku tidak mengerti untuk apakah dia....."
Pada saat itulah mendadak terdengar Gin hoa nio berteriak-teriak di kejauhan sana: "Ang lian
hoa, Kun Hay-hong, lekas kalian kemari, Kwe Pian sian bersembunyi di dapur hotel sana....."
Air muka Kwe Pian sian berubah pucat, dengan gemas ia menggerutu: "Keji amat hati
perempuan ini."
Ia lantas memondong Ciong Cing, lalu diambil lagi bungkusan yang disimpan di bawah
onggokan kayu bakar tadi.
Ciong Cing mendongak memandangnya, tiba-tiba ia mengucurkan air mata pula, katanya
dengan suara terputus-putus: "Aku......aku sudah begini. tapi.....tapi kau tidak melupakan
diriku, padahal sudah.....sudah banyak perempuan yang kau kenal, mengapa.....mengapa kau
masih begini baik padaku?"
"Jika kau tutup mulut, mungkin akan lebih baik lagi padamu" jengek Kwe Pian sian.
***** Sembari berteriak-teriak, setiba di bawah rumah berloteng tadi Gin hoa nio sudah terengahengah,
dilihatnya Pwe giok sedang memandangnya, ia menyengir dan menjelaskan: "Betapa
takkan kubiarkan dia kabur begitu saja, dia bertindak kejam lebih dulu padaku betul tidak?"
Pwe giok menghela napas, katanya: "Jangan kau kira aku akan menyalahkan kau, sekarang
aku sudah tahu di dunia ini masih banyak orang yang terlebih busuk darimu. Kau baru
mencelakai orang lain apa bila orang bersalah padamu, tapi ada sementara orang....."
mendadak tidak dilanjutkan ucapannya, ia membalik badan dan hendak mengetuk pintu.
Tak terduga didalam rumah lantas ada orang berseru:" Pintu tidak terkunci, masuklah
sendiri!" Gin hoa nio menggigit bibir, desisnya: "Kiranya dia sudah memperhitungkan kepergian kita
tadi pasti akan datang kembali, makanya kita dibiarkan pergi begitu saja."
Meski ucapannya sangat lirih, siapa tahu tetap terdengar juga oleh orang di dalam rumah.
Terdengar Cu Lui ji berucap dengan tak acuh: "Kan sudah kukatakan, kami tidak pernah
memohon sesuatu kepada orang lain, kami hanya menunggu orang lain akan datang memohon
kepada kami."
426 Gin hoa nio mengira Cu Lui ji berada di balik pintu, tak tahunya setelah pintu didorong, di
ruangan bawah situ ternyata tiada bayangan seorang pun.
Tapi suara Cu Lui ji lantas berkumandang dari atas loteng, katanya: Sesudah masuk pintu,
jangan kalian palang, bisa jadi sebentar lagi ada orang lain akan datang juga!"
Gin hoa nio menggertak gigi dengan mendongkol, pikirnya: Tajam benar telinga budak ini."
Sudah tentu ia tak berani bersuara lagi. Ia ikut Pwe giok naik ke atas loteng dengan perlahan,
tirai jendela tertutup rapat, suasana terasa seram.
Cu Lui ji kelihatan duduk di kursi kecil di samping tempat tidur, melirik saja tidak kepada
kedatangan mereka, dengan mata terbelalak nona cilik itu mengawasi Sacek atau paman ke
tiganya yang berbaring di tempat tidur.
Kedua orang yang terpancing masuk tadi juga kelihatan berlutut di kanan kiri tempat tidur,
sikap mereka kelihatan sangat ketakutan, seperti ingin kabur kalau bisa, tapi sayang, tenaga
untuk kabur ternyata tidak ada.
Si sakit tetap berbaring dengan memejamkan mata, air mukanya tampak mulai bersemu merah
pula, selang sejenak, mendadak uap mengepul di atas kepalanya.
Gigi Ko Tiong kedengaran bergemerutuk, tiba-tiba ia berseru dengan suara parau dan lemah:
"Am.....ampun Cianpwe, ampun....." makin lama makin lirih suaranya, sampai akhirnya
bahkan suaranya tak terdengar sama sekali.
Sebaliknya Cu Lui ji lantas berkata "Sacek hanya pinjam pakai tenaga kalian dan tidak ingin
mencabut nyawa kalian, bila setitik Kungfu kalian ini dapat diberikan kepada Sacek, ini kan
rejeki dan kebanggaan kalian."
Belum habis ucapannya mendadak tangan si sakit dikendorkan, kontan Ko Tiong berdua jatuh
terjengkang dengan napas ngos-ngosan seperti kerbau.
Cu Lui ji lantas mengusap keringat sang paman dengan sapu tangannya dan bertanya dengan
perlahan "Bagaimana Kungfu kedua orang ini?"
Si sakit menghela napas gumamnya "Ada nama tanpa isi.....ada nama tanpa isi.....Mengapa
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dunia Kangouw sekarang penuh manusia-manusia yang bernama kosong belaka."
Sambil berkerut kening Cu Lui ji berkata: "Sudah selanjut ini usia kalian, mengapa kalian
tidak berlatih sebaik-baiknya, bilamana latihan dipergiat sedikit, tentu sekarang kalian akan
jauh lebih berjaya."
Ternyata dia menghendaki orang lain berlatih Kungfu sebaik-baiknya agar dapat
"dipinjamkan" kepada pamannya, ucapan yang mau menang sendiri ini sungguh keterlaluan,
sampai Pwe giok juga geleng-geleng kepala.
Tapi bagi Cu Lui ji, ucapannya itu ternyata sangat beralasan, bahkan makin omong makin
jengkel, mendadak sebelah kakinya mendepak, entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu kedua
427 orang yang menggeletak di lantai itu terus mencelat keluar jendela, selang sejenak baru
terdengar suara gemuruh genteng pecah, mungkin keduanya jatuh di atap rumah sebelah.
Bahwa dua orang itu berani menaksir gadis orang, apa yang mereka alami adalah akibat
salahnya sendiri. Tapi melihat cara anak dara itu turn tangan sekeji itu, mau tak mau Pwe giok
geleng-geleng kepala pula dan menghela napas gegetun.
Gin hoa nio lantas melangkah maju memberi hormat kepada Lui-ji, katanya dengan mengiring
tawa: "Nona Cu, tadi mataku buta dan berani berbuat sembrono terhadapmu. Kuharap engkau
jangan marah lagi dan sudi memaafkan diriku."
"Aku memang sudah biasa digampar orang, mana berani ku marah padamu," jawab Lui ji
dengan dingin. Gin hoa nio tahu rasa gusar orang sebelum lagi hilang, mendadak tergerak pikirannya, ia terus
berlutut di depan si sakit, air matapun berderai, ratapnya: "Sejak kecil aku sudah yatim piatu,
bilamana Cianpwe sudi menolong jiwaku, selanjutnya sekalipun dijadikan kuda atau kerbau,
selama hidup akan kuladeni Cianpwe di sini."
Dia tidak langsung memohon pertolongan kepada Cu Lui ji, tapi malah memohon kepada si
sakit, inilah kecerdikan Gin ho nio. Ia tahu banyak lelaki berhati lemah terhadap perempuan,
lebih-lebih bila melihat ari mata perempuan. Sebaliknya perempuan terhadap perempuan
biasanya tidak kenal ampun. Kalau sakit ini sudah menyanggupi akan menolong tentu Cu Lui
ji tidak berani membantah.
Betul juga si sakit lantas membuka matanya dan memandangnya sejenak tiba-tiba ia bertanya:
"Apakah kau murid siau hun kiongcu?"
Pertanyaan mendadak ini membuat Pwe giok ikut terperanjat.
Dengan terkejut Gin hoa nio menjawab: "Dari mana....darimana Cianpwe....."
Mestinya dia hendak bilang "Darimana Cianpwe tahu" sebab dia sudah masuk ke siau hun
kiong, yaitu istana di bawah tanah tempat kediaman siau hun kiongcu, iapun sudah
menyembah kepada amanat tinggalan siau hun kiongcu yang terukir di dinding, jadi sudah
terhitung murid siau hun kiongcu.
Tapi tiba-tiba teringat olehnya jaman hidupnya Siau hun kiongcu hampir dimusuhi oleh setiap
tokoh dunia persilatan, jika dirinya mengaku sebagai murid Siau hun kongcu, lalu siapa pula
yang mau menolongnya"
Karena pikiran inilah dia menelan kembali sebagian ucapannya.
Si sakit lantas bertanya pula: "Apakah kau murid Siau hun kongcu?"
"Bukan!" jawab Gin hoa nio.
Sejenak si sakit memandangnya, lalu menghela napas panjang, katanya: "Sayang" sayang!"
"Sayang?" Gin hoa nio menegas dengan bingung.
428 Si sakit lantas memejamkan matanya dan tidak menghiraukannya lagi.
Beberapa kali Gin hoa nio sudah pantang mulut, tapi tidak berani bertanya, ia menjadi gelisah
dan mulut terasa kering.
Selang sejenak, tiba-tiba terdengar Cu Lui ji berucap: "Sudah belajar ilmu silat Siau hun
kiong, itu berarti sudah menjadi murid Siau hun kiongcu, dan kalau sudah menjadi murid Siau
hun kiong kenapa tidak berani mengaku" Orang yang lupa pada perguruan dan berkhianat
begini siapa pula yang sudi menolong kau?"
Keringat Gin ho nio berketes-ketes, ucapnya dengan suara gemetar: "No....nona bilang apa?"
Tapi Cu Lui ji juga lantas memejamkan mata dan tidak menggubris kepadanya.
Seketika keadaan menjadi hening dan menyesakkan napas. Gin hoa nio memandang si sakit
memandang pula Cu Lui ji, gigi mulai gemerutuk.
"Sayang, sungguh sayang!" tiba-tiba seorang berseru dengan menghela napas panjang.
Ternyata Kwe Pian sian adanya, entah sejak kapan dia sudah ikut naik ke atas dan berduduk
di ujung tangga sana.
Gin hoa nio tidak tahan lagi, dengan suara parau ia bertanya: "Sayang katamu" Sesungguhnya
apanya yang harus disayangkan?"
"Bilamana tadi kau mengaku sebagai murid Siau hun kiongcu, bukan mustahil nona Cu ini
akan menolong kau," kata Kwe Pian sian.
"Sebab apa?" tanya Gin hoa nio.
Kwe Pian sian tertawa, katanya: "Masa sampai sekarang kau tidak dapat menerka siapakah
nona Cu ini?"
"Memangnya siapa.....siapa dia?" tanya Gin hoa nio.
Mendadak Kwe Pian sian berdiri dan memberi hormat kepada Cu Lui ji, katanya: "Dengan
sendirinya nona Cu inilah puteri kesayangan Cu nio-nio dari Siau hun kiong."
Ucapan ini membikin Pwe giok ikut terkejut serentak Gin hoa nio lantas berdiri, tapi cepat ia
berlutut pula kebawah tanyanya dengan terbelalak terhadap Cu Lui ji: "Apakah....apakah
benar engkau puteri siau hung kiongcu?"
Namun Cu Lui ji sama sekali tidak menjawab, wajahnya tetap kaku dingin tanpa emosi. Anak
umur belasan tahun seolah-olah berubah menjadi nyonya setengah baya yang kenyang asam
garamnya kehidupan.
Sekujur badan Gin hoa nio terasa dingin, mendadak ia berteriak dengan suara parau: "Tidak,
tidak mungkin! Siau hun kiongcu sudah meninggal 30 atau 40 tahun, tidak mungkin
mempunyai anak perempuan sekecil ini!"
429 Kwe Pian sian menghela napas, katanya: "Dunia persilatan memang penuh rahasia dan
banyak teka-teki yang tak terpecahkan, perempuan muda belia seperti kau bisa tahu apa?"
"Apa.....apakah kau tahu?" tanya Gin hoa nio.
"Meski aku tahu sedikit, tapi tidak berani ku katakan" ujar Kwe Pian sian.
Mendadak si sakit menukas: "Kalau tahu, mengapa tidak berani dikatakan?"
Kwe Pian sian berbangkit dan memberi hormat katanya: "Jika demikian kehendak Cianpwe,
tentu saja Cayhe menurut." Lalu dengan perlahan ia bertutur: "Menurut cerita yang sudah
turun temurun, satu diantara rahasia besar dunia persilatan adalah mengenai teka-teki
kematian Siau hun kiongcu..."
"Tapi dengan mata kepalaku sendiri kulihat jenazahnya," kata Pwe giok.
"Konon itu bukan Siau hun kiongcu yang tulen" ujar Kwe Pian sian, "jenazah itu hanya
seorang pelayannya saja. Karena dia hendak menghindari pencarian musuh, maka
menggunakan akal begitu."
Meski dia sedang menjawab pertanyaan Ji Pwe giok, tapi matanya terus memandang si sakit.
Dilihatnya si sakit tetap berbaring tanpa bergerak, seperti sudah tertidur dan entah dengar
tidak ucapannya.
Kwe Pian-sian berdehem, lalu menyambung: "Meski tindak-tanduk Siau-hun-kiongcu sangat
dirahasiakan, tapi entah mengapa, akhirnya jejaknya diketahui orang, orang pertama yang
mengetahui rahasianya konon ialah Tonghong-sengcu..."
"Tonghong-sengcu?" Pwe-giok menegas. "Apa yang kau maksudkan adalah Tonghong Taybeng
dari Put-ya-seng (kota tanpa malam) di pulau Jit-goat-to yang merajai 72 pulau lautan
selatan itu?"
Kwe Pian-sian tersenyum, katanya: "Betul, tidak menjadi soal sekarang kau sebut namanya,
konon di masa jayanya, bilamana ada orang berani langsung menyebut namanya, maka orang
itu mungkin sukar hidup satu jam lebih lama lagi."
Mendadak si sakit membuka mata dan menatap Pwe-giok, tanyanya dengan bengis:
"Darimana kau tahu nama Tonghong Tay-beng?"
Pwe-giok merasa mata orang yang tadinya guram itu mendadak mencorong terang dan
menggetar sukma, meski diam2 terkejut, tapi dia tetap tenang saja dan menjawab: "Ayahku
pernah bercerita padaku bahwa Tonghong-sengcu ini adalah satu di antara ke sepuluh tokoh
terkemuka dunia persilatan. Cuma dia jauh bertempat tinggal di lautan selatan, kebanyakan
orang Kangouw tidak kenal kelihaiannya. Ayahku juga mengatakan bahwa kesepuluh tokoh
yang memang hebat itu kebanyakan jarang bergerak di dunia Kangouw, padahal ilmu silat
mereka rata2 di atas pimpinan ke-13 aliran dan perguruan yang paling ternama sekarang ini."
"Siapa2 saja ke sepuluh tokoh yang dimaksudkan?" tanya si sakit.
430 "Cayhe tidak ingat lagi seluruhnya, cuma masih ingat diantaranya kecuali Tonghong-sengcu
ini, ada lagi Nikoh sakti Eng-hoa Taysu dari Eng-hoa-kok. It-gun, si unta terbang dari gurun
utara, Lo cinjin dari Jing-sia-san, Sin-liong-kiam-khek, yang jejaknya sukar diraba itu, lalu
ada lagi Li Thian-eng dari Sin-hong-nia ...."
Belum habis ucapannya, si sakit seperti tidak sabar lagi mendengarkan, ia berkerut kening dan
mendengus: "Hm, jadi mereka itu yang dimaksudkan ke sepuluh tokoh tertinggi" Hm, mereka
sesuai?" Lalu dia memejamkan mata dan memberi tanda kepada Kwe Pian-sian: "Lanjutkan!"
Kwe Pian-sian berdehem pula, lalu menyambung: "Konon permusuhan Tonghong-sengcu dan
Siau-hun-kiongcu sangat dalam, setelah mendapat kabar di mana beradanya Siau-hunkiongcu,
segera ia mengumpulkan belasan Tocu dari ke-72 pulau laut selatan, diundang pula
Li-thian-ong, Oh-lolo dan lain2, dicarinya Siau-hun-kiongcu untuk menuntut balas."
"Ah, ingatlah aku," seru Pwe-giok mendadak. "Oh-lolo itupun termasuk satu di antara
kesepuluh tokoh tersebut, konon ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, tapi kemahirannya
menggunakan racun konon jarang ada bandingannya di dunia ini."
"Tujuan Tonghong-sengcu mengundang Oh-lolo agar ikut menghadapi Siau-hun-kiongcu
justeru supaya meng.....Hk, hk...." mestinya Kwe Pian-sian hendak omong "menggunakan
racun untuk menyerang racun", tapi demi melihat wajah Cu Lui-ji yang masam itu, seketika ia
telan kembali ucapannya itu dengan batuk2.
"Apakah orang2 itu sudah mengetahui tempat sembunyi Siau-hun-kiongcu?" tanya Pwe-giok.
"Dengan sendirinya tahu," jawab Kwe Pian-sian.
"Dan dapatkah mereka menemukan Siau-hun-kiongcu?" tanya Pwe-giok pula.
"Mungkin ketemu," kata Kwe Pian-sian.
"Wah, pertarungan sengit itu pasti luar biasa dan jarang terjadi di dunia ini," ujar Pwe-giok.
"Lalu bagaimana kesudahannya?"
"Itulah akupun tidak tahu," kata Pian-sian.
"Kaupun tidak tahu?" Pwe-giok menegas.
"Ya, bukan cuma aku saja tidak tahu, mungkin di dunia ini juga tiada orang lain lagi yang
tahu," kata Pian-sian sambil menyengir.
"Memangnya sebab apa?" tanya Pwe-giok heran.
"Tindak-tanduk Tonghong Tay-beng dan rombongannya sudah tentu juga sangat
dirahasiakan, tapi pada waktu mereka hendak mulai bergerak, konon lebih dulu mereka
mengadakan pesta pora di Gak-yang-lau (nama restoran terkenal di tepi danau Tongting),
kebetulan di dekat Gak-yang-lau juga ada orang yang sedang pesiar dengan perahu di bawah
bulan purnama, tanpa sengaja mereka mendengar pembicaraan rombongan Tonghong-sengcu
431 itu, maka diketahuilah berkumpulnya tokoh2 top dunia persilatan itu adalah hendak
menghadapi Siau-hun-kiongcu."
"Dengan begitu beritanya lantas tersiar?" tanya Pwe-giok.
"Orang yang mendengar pembicaraan rombongan Tonghong-sengcu itu bukan orang yang
suka usil mulut, sebab itulah berita itu tidak tersiar dengan luas, namun orang Kangouw
umumnya memang sukar menjaga rahasia, akhirnya urusan itu tetap juga didengar orang,
diam-diam ada orang menyelidiki kejadian itu, betapapun mereka ingin tahu bagaimana
kesudahan pertarungan sengit antara tokoh-tokoh top itu."
"Apakah kejadian itu tetap tak dapat diselidiki mereka?" tanya Pwe giok pula.
"Ya, tidak ada yang berhasil menyelidikinya," jawab Kwe Pian sian.
"Sebab apa?" tanya Pwe giok.
Kwe Pian sian menghela nafas gegetun, katanya: "Sebab tokoh-tokoh top macam Tonghongsengcu,
Oh-lolo dan lain-lain itu untuk selanjutnya lantas lenyap tanpa bekas, seolah-olah
mereka mendadak hilang dari permukaan bumi ini, siapapun tak dapat menemukan mereka."
Terperanjat Pwe-giok, tanyanya: "Masa orang-orang itu sama.....sama disikat Siau hun
kiongcu..." dia pandang Cu Lui ji sekejap dan tidak melanjutkan ucapannya.
Kwe Pian sian menjawab: "Meski Siau hun kiongcu adalah tokoh ajaib di dunia persilatan,
tapi menurut perkiraan umum, rasanya tidak mungkin sekaligus dia dapat menyikat tokohtokoh
top sebanyak itu..." mendadak iapun pandang Cu Lui ji sekejap dan tidak bicara lebih
lanjut. Mendadak terdengar si sakit bersuara: "Apakah kalian ingin tahu duduk perkara yang
sebenarnya dari peristiwa itu?"
"Sudah tentu sangat kuharapkan asalkan ada yang sudi memberitahu." ujar Kwe Pian sian
dengan tertawa.
"Baik, akan kukatakan kepada kalian," tutur si sakit. "Tonghong Tay-beng, Li thian ong, Ohlolo
beserta 19 Tocu ke 72 pulau di lautan selatan itu, seluruhnya telah kubunuh, satupun
tidak tersisa!"
Dia bicara dengan acuh tak acuh, seolah-olah kejadian itu hanya sesuatu yang biasa, tapi Kwe
Pian sian dan Ji Pwe giok jadi melongo.
Meski mereka tidak pernah menyaksikan sendiri betapa lihay Tonghong Tay-beng, Oh-lolo
dan lain-lain, tapi kalau Kungfu mereka diketahui jauh lebih tinggi daripada pimpinan 13
perguruan ternama jaman kini, maka dapatlah dibayangkan sampai dimana kelihaian mereka,
sedangkan para Tocu dari laut selatan itu konon juga bukan jago lemah, ada diantaranya yang
mampu menandingi Hui-hi-kiam-khek sehingga tiga hari tiga malam dan tetap belum
terkalahkan. 432 Tokoh lihay semacam begitu, satu saja sukar dilawan, apalagi sekaligus berkumpul sampai 20
orang, sebaliknya si sakit yang sudah kempas kempis ini menyatakan telah membunuh tokohtokoh
top itu tanpa tersisa satupun. Keruan Pwe giok dan Kwe Pian sian melongo kaget dan
tidak sanggup bersuara pula.
Dengan perlahan si sakit berkata lagi: "Selain itu, harus kuberitahukan bahwa ibu Lui-ji, Cu
Bi yang kalian kenal sebagai Siau hun kiongcu, dia meninggalkan istananya bukan lantaran
takut terhadap pencarian musuh, kepergiannya itu hanya karena sudah bosan dengan
kehidupan yang kesepian, tiba-tiba ia jatuh cinta kepada seorang dengan setulus hati, sebab
itulah dia tidak sayang mengorbankan segalanya dan pergi bersama orang yang dicintainya itu
untuk meneruskan sisa hidupnya sebagai suami istri seperti khalayak umumnya."
Pwe giok dan Kwe Pian sian memandangnya dengan terkesima, diam-diam mereka berpikir:
"Jangan-jangan orang yang dimaksudkan ialah kau sendiri" Jangan-jangan kau inilah ayah Cu
Lui ji?" Dengan sendirinya pikiran mereka ini tidak berani dikemukakan nya.
Si sakit itu tiba-tiba bertanya: "Apakah kalian ingin tahu siapakah yang berhasil merebut hati
Cu Bi itu?"
"Kalau Cianpwe keberatan untuk menjelaskan juga tidak menjadi soal," ujar Kwe Pian sian
dengan mengiring tawa.
Tapi si sakit lantas menjelaskan: "Orang itu adalah putera Tonghong Tay-beng, Tonghong Bi
giok." Kwe Pian sian dan Pwe giok sama menghela nafas panjang, dalam hati mereka seperti agak
kecewa. Dalam pada saat itu Cu Lui ji telah maju ke sana mendekap disamping si sakit.
"Pemuda itu bernama Bi-giok (kemala indah), dari namanya dapat dibayangkan dia pasti
seorang pemuda cakap," sambung si sakit. "Sebab itulah, meski Cu Bi sudah cukup
berpengalaman, dia jatuh hati juga terhadap bocah yang usianya hampir cuma separuh
umurnya itu. Tentunya kalian dapat memaklumi, perempuan seperti Cu Bi, apabila sudah
jatuh cinta benar-benar, maka tidak tanggung-tanggung lagi dan sukar dicegah."
Selagi Pwe giok dan Kwe Pian sian tidak tahu cara bagaimana harus menanggapi, tiba-tiba
Gin hoa nio menghela nafas dan berkata: "Ya, memang betul!"
"Tapi Tonghong Bi-giok itu selain cakap, ternyata jiwanya justeru sangat kotor dan rendah,"
kata pula si sakit.
Di depan Cu Lui ji dia mencaci-maki ayahnya, tapi anak dara itu ternyata tidak
menghiraukan, seolah-oleh dia memang pantas dicaci-maki. Diam-diam Pwe giok dan Kwe
Pian sian menjadi heran.
Terdengar si sakit menyambung lagi: "Sesudah Cu Bi menjadi isterinya, dia meninggalkan
segala kebiasaannya yang hidup mewah dan suka memerintah, dia menjadi isteri yang baik
seperti perempuan umumnya. Setiap hari dia mengurus rumah tangga dan meladeni sang
433 suami, sebab ia ingin melupakan segala apa yang telah lalu ditengah kehidupan yang masa ini,
betapa mendalam cintanya terhadap Tonghong Bi-giok tentu pula dapat kalian bayangkan."
Pwe-giok menghela nafas, katanya didalam hati: "Seorang lelaki bila mendapatkan isteri
sebaik ini, apa pula yang diharapkannya?"
Diam-diam Gin hoa nio juga membatin: "Kelak bilamana akupun jatuh cinta kepada
seseorang, entah aku akan bertindak begitu atau tidak".....Tapi, aihh, jiwaku saja sukar
dipertahankan, untuk apa kupikirkan hal ini?"
Juga Kwe Pian sian diam-diam berpikir: "Siau-hun-kiongcu itu sudah kenyang merasakan
asam garamnya kehidupan manusia ia merasa hanya dengan memperlihatkan tindak nyata
itulah baru dapat membuktikan cintanya yang tulus, Tapi Tonghong Bi giok adalah pemuda
yang masih hijau, mungkin dia malah merasa kehidupan yang begitu itu terlalu kaku dan
bersahaja dan tidak menarik."
Begitulah tiga orang tiga macam pikiran, sudah tentu tiada seorangpun yang berani, memberi
komentar. Si sakit lantas menyambung lagi: "Meski Cu Bi telah mencurahkan, cintanya dengan segenap
jiwa raganya, siapa tahu Tonghong Bi giok justeru bosan terhadap kehidupan mereka itu,
berulang-ulang ia membujuk agar Cu Bi mau kembali ke Siau hun kiong."
Kwe Pian sian tersenyum puas, ia bangga karena merasa dugaannya tadi cocok dengan
kejadian yang sebenarnya. Sedangkan Pwe giok diam-diam menggeleng kepala.
Gin hoa nio yang lantas bertanya: "Dan dia.....dia jadi pulang ke Siau hun kiong atau tidak?"
"Dengan sendirinya Cu Bi tidak mau" tutur si sakit. "Waktu itu usianya tidak tergolong muda
lagi, namun dia mahir bersolek sehingga tampaknya masih tetap cantik seperti bidadari, sebab
itulah Tonghong Bi giok juga masih berat untuk meninggalkan dia....."
Kwe Pian sian memandang sekejap ke arah Cu Lui ji, pikirnya: "Dalam usia sekecil dia ini
sudah dapat memikat kaum lelaki, maka tidak perlu ditanyakan lagi betapa cantik ibunya.
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sayang, aku sendiri sok mengaku kenyang main perempuan macam apapun, tapi ternyata
tidak dapat bertemu dengan perempuan seperti Siau hun kiongcu."
Gin hoa nio juga sedang membatin: "Biarpun Cu Bi sudah meninggalkan kehidupannya yang
mewah, tapi dalam hal-hal tertentu dia pasti dapat membuat Tonghong Bi giok lupa daratan.
Kelak entah aku dapat menandingi dia atau tidak?"
Ia pandang Pwe giok, anak muda itu tampak sedang menghela nafas gegetun.
Terdengar si sakit bertutur pula: "Umumnya perempuan yang suka berdandan paling pantang
melahirkan, dengan sendirinya Cu Bi juga tahu hal ini, sebab itulah selama hidup bersama dua
tahun iapun tidak mengandung. Tapi lambat laun usia Cu Bi juga makin bertambah, citacitanya
akan menjadi ibu juga bertambah keras, akhirnya ia tidak menghiraukan soal
kecantikan lagi dan lahirlah seorang puterinya."
Dia pandang Cu Lui ji sekejap, anak dara itu menunduk dengan air mata berlinang.
434 Gin hoa nio tidak tahan, ia bertanya: "Sesudah melahirkan anak, apakah dia betul-betul
berubah menjadi tua?"
Kalau orang lain sama asyik mendengarkan cerita yang misterius ini, hanya Gin hoa nio saja
yang justeru memperhatikan soal kecantikan Siau hun kiongcu.
Si sakit menghela nafas, berkata" "Ya, tidak sampai setengah tahun setelah melahirkan anak
ini perempuan yang maha cantik itu lantas berubah keriput dan ubanan, seketika seperti
bertambah berpuluh tahun lebih tua."
Gin hoa nio menghela nafas, ia tidak bicara lagi, tapi diam-diam membatin: "Jika demikian,
biarpun kepalaku harus dipenggal juga aku tidak mau melahirkan anak."
Tak terduga Pwe giok juga menghela nafas dan berkata: "Bila Tonghong Bi giok itu sudah
mulai timbul rasa.....rasa bosannya terhadap Cu kiongcu, maka selanjutnya...selanjutnya
mungkin...." dia memandang Cu Lui ji sekejap dan menelan kembali kata-kata yang belum
terucap itu. Tapi si sakit lantas berkata: "Cu Bi sangat cerdik, masa dia tidak tahu Tonghong Bi giok
mulai berubah pikiran terhadapnya. Ia cuma tidak berpikir bahwa setelah melahirkan anak dia
bisa berubah tua secepat itu. Satu hari ia berkaca dan melihat rambut sendiripun sudah mulai
rontok, segera terpikir olehnya bahwa sekali ini pasti sukar merebut kembali hati Tonghong
Bi giok yang memang sudah goyah itu.
Diam-diam Gin hoa nio membatin: "Jika aku menjadi dia, akan lebih baik kubunuh saja
Tonghong Bi giok, dengan demikian, biarpun aku tidak mendapatkan dia lagi, orang lainpun
jangan harap akan memiliki dia."
Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia melirik ke arah Pwe giok, dilihatnya bekas luka di
muka anak muda itu, seketika ia menunduk dan tidak berani mendongak lagi.
Didengarnya si sakit sedang menyambung pula ceritanya: "Malam itu diam-diam ia menangis
sambil menimang anaknya, semalam suntuk dia menangis, esoknya sebelum lagi terang tanah
dia lantas membangunkan Tonghong Bi-giok."
Gin hoa nio tidak tahan dan menyela pula: "Apakah.....apakah mereka tidak tidur bersama di
dalam satu kamar?"
"Sejak anak ini lahir. Tonghong Bi-giok lantas tidur di suatu kamar tersendiri," jawab si sakit.
"Katanya dengan demikian supaya Cu Bi dapat momong anaknya dengan lebih baik,
padahal.....Hmk."
Diam-diam Kwe Pian sian membatin: "Hal inipun tidak dapat menyalahkan dia, bilamana
aku, tentu aku pun tidak sudi tidur bersama seorang nenek-nenek...." mendadak ia merasa
sorot mata si sakit tertuju kepadanya, cepat ia berkata dengan mengiring tawa: "Entah untuk
apakah Cu-kiongcu membangunkan dia?"
Orang sakit itu menghela nafas, katanya kemudian: "Mungkin kalianpun tak dapat menerka
apa maksudnya."
435 Seketika semua orang terdiam, siapapun tidak berani buka mulut. Selang sejenak barulah si
sakit menyambung lagi: "Tujuannya membangunkan dia adalah mohon diri kepadanya."
"Mohon diri"!" serentak Ji Pwe-giok, Kwe Pian sian dan Gin hoa nio sama melenggong.
"Betul," kata si sakit. "Dia tahu keadaannya tidak mungkin disukai lagi oleh Tonghong Bigiok,
ia menyatakan tak mau lagi membebani Tonghong Bi-giok, setelah berpisah bolehlah
Tonghong Bi giok mencari gadis lain yang sembabat dan berumah tangga lagi yang bahagia.
Cu Bi sendiri tak mau lagi bertemu dengan dia, yang diharapkannya adalah Tonghong Bi-giok
dapat hidup bahagia asalkan dapat membesarkan anak mereka, maka puaslah dia."
Bilamana membayangkan betapa pedih waktu Cu Bi mengucapkan katanya itu, tanpa terasa
hati semua orang ikut remuk redam.
Sampai-sampai Kwe Pian sian juga merasa terharu, pikirnya: "Tak tersangka Cu Bi benarbenar
mencintai Tonghong Bi-giok dengan suci murni, seorang lelaki bila mendapatkan cinta
setulus itu dari seorang perempuan, maka tidak penasaranlah hidupnya ini."
Pwe giok juga terharu, ia berkata: "Sesudah mendengar ucapan itu, apakah Tonghong Bi-giok
tega tinggal pergi begitu saja?"
Si sakit menjawab: "Tidak, dia tidak pergi, sebaliknya setelah mendengar kata-kata Cu Bi itu
lantas bersumpah segala, katanya cintanya terhadap Cu Bi takkan berubah sampai dunia
kiamat. Biarpun Cu Bi berubah tua dan betapa jelek juga dia tidak mungkin
meninggalkannya."
Pwe giok menghela nafas panjang, katanya: "Jika demikian, Tong hong Bi giok ini bukanlah
manusia yang tidak setia."
"Betul, dia memang bukan manusia yang tidak setia, sebab hakekatnya dia memang bukan
manusia," tukas si sakit mendadak. Sampai di sini wajahnya yang semula tenang-tenang itu
seketika berubah menjadi emosi, sorot matanya berapi, butiran keringatpun merembes keluar
di dahinya. Perlahan Cu Lui ji mengusap keringat sang paman, air mata anak dara itupun berderai.
Semua orang sama ternganga menyaksikan kejadian itu, tiada yang berani buka suara.
Seketika suasana menjadi sunyi, hanya terdengar suara sedu-sedan Cu Lui-ji yang berduka
itu. Selang sejenak, akhirnya ia si sakit menghela nafas, katanya: "Setelah mendengar sumpah
setia Tonghong Bi-giok itu, hati Cu Bi menjadi terharu dan berterima kasih, memangnya dia
juga merasa berat untuk berpisah, ia hanya rela berkorban baginya. Sekarang Tonghong Bi
giok tegas-tegas menyatakan setianya, dengan sendirinya Cu Bi juga tidak menyinggung lagi
soal berpisah."
"Jangan-jangan Tonghong Bi giok itu ada.....ada rencana tentu?" kata Pwe giok.
Si sakit tidak menjawab, ia melanjutkan ceritanya: "Sejak itulah Cu Bi mencurahkan segenap
tenaganya untuk menjaga anak dan merawat Tonghong Bi giok dengan lebih rajin. Lewat dua
436 tahun lagi, tiba-tiba ayah Tonghong Bi-giok, yaitu Tonghong Tay-beng itu bahkan membawa
serta 20 tokoh Bu-lim terkemuka."
Si sakit memandang sekejap Pwe giok bertiga, lalu menyambung: "Padahal tempat tinggal Cu
Bi itu sangat dirahasiakan, maklum dia sendiri musuhnya terlalu banyak. Lalu cara bagaimana
Tonghong Taybeng berhasil menemukan tempat kediamannya" Dapatkah kalian
membayangkan hal ini?"
"Ya Wanpwe juga sedang heran." kata Kwe Pian sian.
"Bukan cuma kau saja yang heran, waktu itu Cu Bi juga sangat heran," ujar si sakit. "Dia baru
paham duduknya perkara setelah dilihatnya tindakan Tonghong Bi-giok, ia tidak terkejut,
bahkan.... bahkan dia terus berlari menggabungkan diri dengan mereka..." seru si sakit dengan
suara parau, "brak, mendadak sebuah meja kecil di ujung tempat tidur dihantamnya hingga
hancur. Tergerak hati Pwe giok, Kwe Pian sian dan Gin hoa nio, lamat-lamat mereka dapat menerka
bahwa kedatangan Tonghong Taybeng dan rombongannya itu bukan mustahil justru
Tonghong Bi-giok sendiri yang membocorkan tempat tinggalnya ini, namun mereka tidak
sampai hati untuk memberi komentar. Mereka mendengar nafas si sakit terengah-engah, jelas
gusarnya tidak kepalang.
Dengan menahan tangis Cu Lui-ji berkata: "Sacek, tenaga...tenagamu belum pulih,
untuk...untuk apa kau....."
"Di seluruh kolong langit ini belum ada orang lain yang tahu akan rahasia ini," seru si sakit
dengan suara bengis. "Sekalipun aku harus mati sehabis bercerita juga akan kubeberkan, tak
dapat kubiarkan ibumu menanggung nama busuk meski sudah mati."
Cu Lui-ji tak tahan lagi, ia mendekap di tempat tidur dan menangis sedih.
Dengan suara serak si sakit bercerita pula: "Kiranya binatang Tonghong Bi-giok itu diamdiam
telah berkhianat, pada tahun berikutnya setelah Cu Bi melahirkan, pada waktu
kecantikan Cu Bi sudah luntur, diam-diam binatang itu menyewa seorang saudagar yang biasa
berlayar keluar lautan, dengan upah besar dia minta orang itu menyampaikan suratnya ke Jitgoatto, ke Put-ya-seng, kepada ayahnya. Tentu saja dengan janji muluk-muluk dan upah
besar agar saudagar itu mau melaksanakan tugasnya. Cuma Jit goat to itu sangat sukar
ditemukan, sebab itulah baru beberapa tahun kemudian surat itu sampai di tangan Tonghong
Tay-beng..."
Meski sejak tadi semua sudah menduga akan kemungkinan kejadian ini, namun mereka belum
lagi berani percaya Tonghong Bi-giok itu ternyata sedemikian kejinya. Sekarang hal ini
diceritakan sendiri oleh si sakit, tanpa terasa semua orang ikut gemas juga, sampai-sampai
Kwe Pian sian dan Gin hoa nio juga merasa tindakan Tonghong Bi giok itu terlalu kejam.
Mendadak dengan sinar mata yang tajam si sakit melototi Kwe Pian-sian, katanya: "Ku tahu
kau inipun orang yang tak berbudi, tapi bila kau yang menjadi Tonghong Bi-giok, apakah kau
tega berbuat begitu....." Coba jawab dengan sejujurnya!"
Kwe Pian sian jadi gelagapan: "O, Cayhe...Wanpwe..."
437 Ia merasa sinar mata si sakit setajam sembilu yang hendak membedah dadanya sehingga
untuk berdusta saja ia tidak berani. Ia menghela nafas, lalu menyambung dengan menyengir:
"Jika....jika Wanpwe, paling-paling ku tinggal pergi begitu saja dan habis perkara."
"Betul, bila orang lain, betapa keji orang itu, paling-paling cuma tinggal pergi saja dan habis
perkara." kata si sakit. "Tapi Tonghong Bi-giok si binatang itu benar-benar lain daripada yang
lain, ia tahu betapa tinggi Kungfu Cu Bi dan betapa keji caranya turun tangan, ia takut bila
melarikan diri mungkin Cu Bi akan menemukan kembali, ia kuatir jiwanya tetap tak bisa lolos
dari tangan Cu Bi."
"Tapi....tapi Cu-kiongcu kan sudah rela mau berpisah dengan dia, mengapa dia bertindak pula
sekeji itu?" tanya Pwe giok dengan gemas.
Jawab si sakit: "Meski Cu Bi hendak berpisah setulus hati dengan dia, tapi dia khawatir
tindakan Cu Bi itu hanya pura-pura saja dan hendak mengujinya. Apalagi waktu itu dia juga
sudah mengirim surat kepada ayahnya, demi kepentingan sendiri dan agar tidak menimbulkan
bahaya di kemudian hari dengan sendirinya ia harus menyaksikan kematian Cu Bi barulah dia
merasa aman. Jadi apa yang dikatakannya kepada Cu Bi itu hanya sekedar untuk
menghiburnya agar Cu Bi tetap tinggal di situ."
Mendengar sampai di sini, tanpa terasa Kwe Pian-sian ikut bicara: "keji amat hati orang ini,
sungguh sangat kejam." "Kemudian apakah... apakah Cu-kiongcu benar-benar mati di tangan
mereka?" tanya Pwe-giok.
Muka si sakit tampak masam dan tidak lantas menjawab, selang sejenak barulah ia berkata:
"Kukira kalian lupa bertanya sesuatu padaku."
"Dalam hal apa?" tanya Pwe-giok. "Kalian lupa tanya padaku dari mana ku tahu semua
kejadian ini." kata si sakit.
Mendingan dia tidak omong, begitu dia katakan, mau tak mau semua orang menjadi heran.
Memang betul juga, kalau peristiwa itu sedemikian dirahasiakan, darimana pula si sakit
mendapat tahu" bahkan sedemikian jelas seperti di menyaksikan dengan mata kepala sendiri
di tempat kejadian.
Pelahan-lahan orang sakit itu memejamkan mata lagi sambil berkata: "Selama hidupku paling
suka menyendiri, sejak mengalami sesuatu kejadian, aku lantas merasa di dunia ini tiada
seorangpun yang cocok bagiku, siapapun yang kutemui kalau bisa ingin ku mampuskan dia
dengan sekali bacok"
Belum habis dia bercerita kisah kehidupan Siau-hun kiongcu, tiba-tiba ia bicara tentang
wataknya sendiri. Tentu saja semua orang merasa heran, tapi mereka tetap diam saja dan
mendengarkan dengan cermat, tiada seorangpun berani menyeletuk.
Terdengar si sakit menyambung pula dengan pelahan: "Tapi tidak mungkin kubunuh habis
manusia di dunia ini, terpaksa akulah yang menjauhi mereka. Tatkala itu lagi musim semi,
disekitar pantai Hokciu di propinsi Hokkian banyak kapal dagang yang hilir mudik ke
kepulauan timur, ku pilih sebuah kapal layar yang kuat dan gesit, ku lompat ke atas kapal itu
dan mengusir seluruh anak buahnya, aku berlayar sendirian.
438 "Sudah tentu perbekalan di atas kapal itu cukup lengkap dan banyak sehingga aku tidak perlu
akan kelaparan dan kehausan, kurasakan jagat raya yang luas ini benar-benar bebas merdeka
dan tiada seorangpun yang akan mengganggu diriku lagi. Kurasakan hidup yang tenang dan
sunyi, rasa kesal yang terpendam sekian lama akhirnya terasa buyar."
Duel 2 Jago Pedang 5 Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Istana Pulau Es 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama