Renjana Pendekar Karya Khulung Bagian 12
Mendengar sampai di sini, samar-samar orang dapat merasakan cerita orang ini pasti ada
sangkut pautnya dengan kisah hidup Siau-hun-kiongcu itu, sangkut pautnya justeru terletak
pada kapal layar ini.
Terdengar si sakit menyambung pula ceritanya: "Entah sudah berapa lama aku berlayar, suatu
hari aku berduduk di buritan kapal dan menikmati matahari terbenam yang indah, tiba-tiba
kulihat sesosok tubuh manusia terombang-ambing di lautan yang luas itu, sekujur badan orang
itu berlumuran darah, dengan mati-matian berpegangan erat-erat pada sepotong kayu, keadaan
sangat payah dan tampaknya lebih banyak mampusnya daripada hidup."
Diam-diam Kwe Pian-sian membatin: "Bilamana orang ini masih bisa hidup, mungkin kau
takkan menolong dia. Tapi lantaran orang itu pasti akan mati, kaupun lagi iseng karena
kesepian, bisa jadi akan kau tolong dia malah."
Dalam pada itu si sakit telah berkata pula: "Waktu itu aku sudah terlalu benci kepada setiap
manusia di dunia ini, mestinya tiada niatku akan menolong dia, tapi melihat lukanya begitu
parah, aku menjadi tidak tega dan kutanya dia apa yang terjadi, siapa yang melukai dia
separah itu" Kupikir bilamana di sekitar situ ada bajak laut, kebetulan bagiku akan dapat ku
sikat mereka untuk melampiaskan rasa gemasku."
Mendengar uraian si sakit yang penuh emosi itu, diam-diam Pwe-giok membatin: "Meski
orang ini penuh dendam kepada sesamanya, tapi apapun juga dia tidak mau sembarangan
membunuh, malahan bajak laut yang ingin di tumpasnya, dari sini terbukti hati nuraninya
belum lagi gelap sama sekali, tindak tanduknya tetap bersifat seorang pendekar sejati."
Berpikir demikian, tanpa terasa timbul juga rasa hormatnya kepada si sakit ini.
Tapi mendadak si sakit melotot padanya dan bertanya: "Sekarang apakah kau tahu siapa orang
yang ku tolong itu?"
Pwe-giok melengak, benaknya bekerja cepat, serunya: "Jangan-jangan orang yang dititipi
surat oleh Tonghong Bi-giok itu"
Untuk pertama kalinya sorot mata si sakit yang dingin itu menampilkan secercah senyuman,
katanya: "Tepat sekali tebakanmu." Dengan cepat senyumnya itu lantas lenyap, dengan ketus
dia menyambung lagi: "Dan tahukah kau siapa yang turun tangan keji kepadanya?"
Belum lagi Pwe-giok bersuara, mendadak Kwe Pian-sian menyela: "Tonghong Tay-beng!"
"Betul," kata si sakit. "Rupanya setelah dia berhasil mencapai Put-ya-sia di Jit-goat-to, setelah
dia menyerahkan surat kepada Tonghong Tay-beng, selagi dia menunggu hadiah besar dari
penerima surat itu, siapa duga Tonghong Tay-beng malah mengerahkan anak buahnya,
segenap rombongan pengantar surat yang berjumlah 37 jiwa itu telah dibunuhnya sama sekali
tanpa sisa satupun. Untung pengantar surat itu hanya terluka parah dan belum tewas,
439 sekuatnya ia berusaha lari, tujuannya hanya ingin membeberkan rahasia yang diketahuinya
mengenai Tonghong Bi-giok."
"Mungkin dia memang ditakdirkan harus membeberkan rahasia yang diketahuinya, maka
Thian mengantarkan dia untuk bertemu dengan Cianpwe." sela Pwe-giok pula.
Tapi Kwe Pian-sian berkata dengan menyesal: "Jika aku menjadi dia, hakekatnya aku tidak
mau mengantarkan surat itu. Masa urusan sepenting itu harus dirahasiakan boleh diserahkan
begitu saja kepada orang yang baru dikenal, mana mungkin Tonghong Tay-beng membiarkan
dia pergi lagi dengan hidup setelah menerima surat itu."
"Tapi pada umumnya orang yang sudah biasa berlayar kian kemari rata-rata adalah orang
licin, dengan sendirinya segala kemungkinan juga sudah dipikirnya." kata si sakit. "Setelah
dia menerima upah dari Tonghong Bi-giok, cukup baginya surat itu dibakar saja dan segala
urusan beres, ke mana Tonghong Bi-giok akan mencarinya lagi. Tapi sayangnya dia telah
berbuat suatu kesalahan, timbul rasa ingin tahunya akan surat antarannya itu, ia pikir isi surat
itu pasti sangat penting, kalau tidak tentunya tidak perlu di suruh mengantar dengan upah
yang besar. Maka secara diam-diam ia telah mencuri baca isi surat itu."
Gin-hoa-nio menghela napas, katanya: "Jika aku menjadi dia, rasanya akupun ingin tahu apa
isi surat itu."
"Makanya orang macam begitu tidak perlu penasaran kalau mampus." jengek si sakit.
Gin-hoa-nio menunduk dan tidak berani bersuara lagi.
"Sesungguhnya apa isi surat itu" tanya Pwe-giok tiba-tiba.
"Binatang Tonghong Bi-giok itu telah menyatakan di dalam surat bahwa dia yang terpelet
oleh Cu Bi dan berada dalam bahaya, maka diharapkan pertolongan Tonghong Tay-beng.
Didalam surat itupun dinyatakan dengan tegas agar setelah terima surat itu, supaya Tonghong
Tay-beng memberikan upah kepada si pengantar surat satu jumlah harta yang tak habis
terpakai selama hidup.
"Mungkin pengantar surat itu telah terpancing oleh pesan Tonghong Bi-giok itu, maka
sedapatnya dia berusaha menyampaikan surat itu ke Put-ya-sia.
Padahal kalau dia mau berpikir secara cermat, di dunia ini mana ada kekayaan yang tak habis
terpakai selama hidup" Betapapun besar jumlahnya harta kekayaan juga ada kalanya akan
habis dan ludes, kecuali orang itu mati seketika, dengan begitulah baru benar-benar tidak
habis terpakai selama hidup."
"Betul, dengan pesan itu Tonghong Bi-giok justeru menghendaki ayahnya membinasakan si
pengantar surat apabila surat sudah diterimanya." sela Kwe- Pian-sian. "Cuma sayang, bocah
itu mungkin sudah keblinger oleh janji upah yang besar itu sehingga dia tidak memperhatikan
arti yang terkandung di dalam pesan itu."
"Bukan cuma begitu saja, justeru Tonghong Bi-giok sudah memperhitungkan di tengah jalan
pengantar surat itu pasti akan mencuri baca suratnya, maka di dalam suratnya dia sengaja
menulis pesan yang bermakna ganda itu untuk memancingnya," kata si sakit. "Manusia mati
440 karena harta, burung mati karena pangan, jadi orang itu memang pantas mampus. Namun apa
yang terjadi itupun dapat menggambarkan betapa kejinya Tonghong Bi-giok."
"Jangan-jangan lantaran Cianpwe merasa perbuatan orang ini terlalu keji, maka Cianpwe
ingin membunuhnya demi kesejahteraan umum, maka Cianpwe terus putar balik dari
pelayaranmu itu?" tanya Pwegiok.
"Kalau melulu soal ini mungkin aku takkan kembali lagi ke daratan sini." tutur si sakit dengan
pelahan. "Justeru sebelum mati orang itu telah bercerita pula apa yang dialaminya, saking
gusarnya barulah aku ingin bertindak."
"Apalagi yang diceritakan orang itu?" tanya Pwe-giok.
"Bahwa Tonghong Bi-giok mau menyerahkan surat sepenting itu kepadanya, tentunya orang
itupun mempunyai hubungan cukup erat dengan dia, betul tidak?" tanya si sakit.
"Ya, tapi Tonghong Bi-giok kan sudah hidup menyepi... "
"Tahukah kau bahwa untuk menyepi yang paling baik adalah di tempat yang ramai?" tanya si
sakit tiba-tiba.
Seketika Kwe Pian-sian berkeplok dan membenarkan, katanya: "Betul, untuk menyepi,
artinya bersembunyi menghindari pencarian orang, tempat yang baik memang tidak harus di
pegunungan atau tempat terpencil. Bila kau sembunyi di tempat begitu, terkadang malah lebih
mudah ditemukan orang. Tapi orang semacam Cu-kiongcu, bila bersembunyi di suatu kota
kecil biasa dan hidup tenteram seperti orang lain, tentu jejaknya akan sukar ditemukan orang."
Tergerak pikiran Pwe-giok, serunya: "He, jangan-jangan di kota kecil inilah dahulu Cukiongcu
bertirakat?"
Si sakit menghela nafas, tuturnya: "Kota ini dibilang kecil juga tidak kecil, dikatakan besar
juga tidak besar, tapi kehidupan di sini aman tenteram, penduduknya hidup rukun dan damai,
tak nanti sengaja mencari tahu rahasia pribadi orang lain. Sekalipun terkadang ada orang
Kangouw lalu di sini juga takkan menaruh perhatian keadaan di sini, jadi memang suatu
tempat tirakat yang baik. Sungguh cerdik Cu Bi dapat memilih tempat sebaik ini. Kalau saja
Tonghong Bi-giok tidak berubah pikirannya, sekalipun dia tinggal seratus tahun di sini juga
orang lain takkan menyangka nyonya rumah yang biasa di kota kecil ini sebenarnya adalah
Siau-hun-kiongcu dan dikabarkan sudah mati itu."
"Ya, memang benar tak terduga oleh siapapun juga," kata Pwe giok.
"Pelaut yang dititipi surat oleh Tonghong Bi-giok itu bernama Li Bo-tong, aslinya juga
penduduk kota kecil ini, cuma sejak muda dia sudah mengembara ke mana-mana sehingga
hampir dilupakan oleh penduduk setempat. Kebetulan tahun itu dia pulang kampung halaman,
kebetulan pula tempat tinggalnya sebelah menyebelah dengan rumah Cu Bi. Pada waktu
Tonghong Bi-giok mengetahui orang she Li ini tidak lama akan berlayar lagi, pada saat itulah
dia lantas bersahabat dengan dia."
"Cu-kiongcu adalah orang yang cerdik, masa sedikitpun dia tidak menaruh curiga?" tanya
Kwe Pian sian. 441 Si sakit menjawab: "Waktu itu Cu Bi mencurahkan segenap perhatiannya untuk merawat
anaknya, apalagi pergaulan antara tetangga kan juga jamak," kata si sakit.
"Betul, dia sudah bertempat tinggal di situ, kalau tidak bergaul dengan tetangga tentu akan
menimbulkan curiga orang lain malah," ujar Pwe giok. "Apalagi orang biasa seperti Li Bongtong
itu tentu juga takkan tahu-menahu rahasia persembunyiannya."
"Tapi penduduk di sekitar sana tahu Cu Bi adalah isteri yang baik dan Ibu Rumah Tangga
yang teladan rajin dan hemat, bahkan sangat pintar meladeni sang suami," kata orang sakit itu.
"Sepulangnya Li Bong tong di rumah tentu iapun mendengar cerita tetangga itu," ujar Kwe
Pian sian. "Betul, makanya setelah membaca surat Tonghong Bi-giok itu, ia sangat terkejut," tutur si
sakit. "Sungguh ia tidak percaya seorang isteri teladan dan ibu rumah tangga yang terpuji itu
asalnya adalah seorang iblis yang ditakuti. Tapi iapun menganggap Tonghong Bi-giok tidak
pantas berbuat khianat terhadap istrinya sendiri. Namun waktu itu ia sudah keblinger oleh
janji upah besar, yang terpikir olehnya hanya harta benda yang takkan habis digunakan
selama hidup. Ketika mendekat ajalnya barulah timbul hati nuraninya, baru dia menceritakan
seluk beluk urusan itu padaku."
Habis bicara, kembali tangannya hendak menggabruk meja lagi. Karena sepanjang tahun dia
berbaring di situ, dalam anggapannya di sebelahnya adalah meja kecil, tak teringat olehnya
bahwa meja itu tadi sudah digebrak hingga hancur.
Dengan sendirinya gebrakan ini mengenai tempat kosong dan mungkin akan mengenai
pinggir tempat tidur dan bisa jadi tempat tidur itupun akan hancur. Untunglah mendadak Cu
Lui ji menjulurkan tangannya. dengan enteng tangan sang paman dipegangnya sambil berkata
dengan suara halus: "Sacek, maukah kau jangan marah-marah lagi?"
Tindakan Cu Lui ji itu mungkin takkan mengherankan orang lain, tapi bagi pandangan Pwegiok
dan Kwe Pian sian yang sudah tergolong jago silat kelas satu, melihat itu hati mereka
jadi terkesiap.
Maklumlah, betapa cepat dan betapa kuat pula gebrakan tangan si sakit, tapi dengan ringan
saja Cu Lui-ji dapat menangkapnya.
Diam-diam Kwe Pian-sian membatin: "Budak cilik ini selain mahir memikat lelaki,
Kungfunya ternyata juga tidak rendah dan tampaknya tidak di bawahku."
Padahal si sakit sudah dalam keadaan senin-kemis, tapi masih mampu mendidik seorang nona
cilik dengan Kungfu setinggi itu, mau tak mau Kwe Pian sian merasa ngeri.
Dilihatnya tangan Cu Lui ji yang kecil itu sedang mengelus tangan si sakit yang kurus seperti
cakar itu, lambat laun rasa gusar si sakit pun mereda, ia menghela nafas dan berkata:
"Sesudah mendengar penuturan Li Bong-tong waktu itu, aku tidak tahan akan rasa gusarku,
sungguh tak pernah terpikir olehnya di dunia ini ada manusia tak berbudi semacam Tonghong
Bi-giok itu. Segera kuminta Li Bong-tong melukiskan letak pulau kediaman Tonghong
442 Taybeng. Habis memberi keterangan Li Bong tong lantas menghembuskan nafas
penghabisan."
"Dan Cianpwe lantas memburu ke Put-ya-sin di Jit-goat-to untuk mencari Tongheng Taybeng?"
tanya Pwe giok.
"Betul," jawab si sakit. "Cuma sayang, waktu itu Tonghong Tay-beng sudah meninggalkan
pulau nya. Dalam gusarku, ku obrak-abrik seluruh pulau itu hingga morat-marit. Ku pikir
kepergian Tong hong Tay-beng itu tentu akan mengundang bala bantuan lagi, untuk itu tentu
akan makan waktu, jika segera menyusul ke Li-toh-tin, bisa jadi jiwa Cu-Bi dapat
kuselamatkan. Maka aku lantas berlayar pulang ke daratan sini, siapa tahu.....kedatanganku
masih tetap terlambat satu langkah."
Sampai di sini, bagi Kwe Pian sian dan Gin hoa nio kisah Siau hun kiongcu itu sudah jelas
sebagian besar, tapi diam-diam merekapun heran atas diri si sakit, pikir mereka: "Jika orang
ini sudah sedemikian benci terhadap sesamanya, saking bencinya seakan-akan baru puas
bilamana setiap manusia di dunia ini sudah mau terbunuh habis, lalu untuk apa dia terburuburu
pulang ke sini hanya untuk menolong Cu Bi?"
Hanya Ji Pwe giok saja yang berbeda pendapat, meski masih muda, tapi dia sudah kenyang
dengan macam-macam pengalaman, iapun seorang yang berperasaan halus dan pecinta yang
luhur, lamat-lamat ia dapat menerka isi hati si sakit itu, diam-diam ia berpikir: "Dari nada
ceritanya, sebabnya dia berubah menjadi ekstrim dan ingin membunuh setiap manusia di
dunia ini, jangan-jangan lantaran dia sendiri juga mengalami persoalan yang menyakitkan
hati, misalnya": dikhianati kekasihnya, maka dia dendam kepada setiap orang yang berhati
palsu dan suka mengkhianati. Bahwa dia memburu ke Li-toh-tin katanya hendak menolong
Cu Bi, siapa pula yang tahu bahwa tujuannya justeru hendak membunuh Tonghong Bi-giok
yang tidak setia terhadap anak istrinya itu."
Dihatinya si sakit telah memejamkan mata pula dengan nafas terengah-engah.
Orang bicara tampaknya tidak perlu tenaga tapi lantaran dia terkenang kepada kejadian
dahulu, karena emosi, jantungnya lantas berdetak keras.
Mestinya Pwe giok ingin bertanya kisah lanjutan Siau-hun-kiongcu, cara bagaimana dia mati
dan bagaimana pula akhirnya dengan nasib Tonghong Bi-giok, juga tentang Tonghong Taybeng
yang katanya juga telah dibunuh semuanya olehmu, mengapa pula kau sendiri bisa
terkena racun separah ini"
Namun pertanyaan itu hanya berputar saja dalam benak Pwe giok, ia tidak tega berucap
melihat keadaan si sakit yang payah itu.
Didengarnya Cu Lui-ji berkata: "Tentu kalian sudah lapar, nasi sudah kusiapkan, biarlah
kuambilkan untuk kalian,"
Cepat Kwe Pian sian berbangkit dan berkata "Ah, mana berani kami merepotkan nona"!"
Tapi Cu Lui ji tidak menanggapinya, ia mengusap air matanya, lalu turun ke bawah loteng.
443 Gin hoa nio tidak tahan lagi, cepat ia berseru dengan suara gemetar: "Nona, kumohon sudilah
engkau menolong jiwaku, jika terlambat, mungkin....."
Tanpa menoleh Cu Lui ji mendengus, ucapnya: "Barang siapa mendapatkan kitab pusakaku,
berarti dia telah masuk perguruanku. Selamat atau celaka, untung atau malang, apapun yang
akan terjadi tetap harus tunduk kepada perintahku. Barang siapa tidak taat kepada perintahku
dia pasti akan binasa...."
Apa yang diucapkannya itu adalah amanat Siau-hun-kiongcu yang terukir di dinding istana di
bawah tanah itu. Tempo hari, setelah Pwe giok dan Kim-yan-cu mendapatkan kitab pusaka
Siau hun pi-kip, lalu timbul bermacam-macam kejadian. Karena itulah kitab pusaka itu
mereka buang di sembarang tempat. Kemudian terjadi lagi hal-hal lain dan merekapun tidak
memperhatikan kitab pusaka itu sehingga dapat ditemukan Gin hoa nio.
Tentu saja Gin hoa nio kegirangan seperti mendapat rejeki nomplok. Dapat kitab pusaka itu,
setiap ada tempo senggang ia lantas berlatih menurut petunjuk di dalam kitab. Dasar
wataknya memang berdekatan dengan isi pelajaran kitab itu, dengan sendirinya hasilnya juga
memuaskan dan maju pesat.
Sebab itulah begitu melihatnya tadi si sakit lantas mengetahui pada tubuh Gin hoa nio
terdapat ilmu memikat ajaran Siau hun kiongcu, karena itulah ia menegurnya apakah dia
murid siau hun kiongcu.
Tapi lantaran kitab pusaka itu diperolehnya dengan tidak halal, ia tidak berani mengaku.
Orang yang tidak mengakui perguruannya sendiri dalam dunia persilatan dianggap khianat
dan dosanya tak terampunkan. Sekarang di dengarnya ucapan Cu Lui-ji yang cocok amat
dengan amanat tinggalan Siau-hun-kiongcu itu, seketika hati Gin-hoa-nio tergetar, tubuh
menjadi lemah dan jatuh terkulai.
Mendadak bayangan Cu Lui-ji berkelebat ke atas loteng lagi. Gin-hoa-nio ketakutan dengan
mandi keringat. Tak terduga yang di tuju Cu Lui-ji bukanlah dia melainkan Kwe Pian-sian,
dengan mata melotot, ia bertanya, "Nona di bawah itu apamu?"
"O, dia ... dia kawanku," jawab Kwe Pian-sian dengan tergagap.
"Hmm, kukira tidak cuma kawan saja"!" jengek Lui-ji.
"Pandangan nona memang tajam," terpaksa Kwe Pian-sian mengakui dengan menyengir.
"Jika begitu, mengapa kau tinggalkan dia di bawah tanpa menghiraukannya ?" damprat Lui-ji.
Diam-diam Kwe Pian-sian mendongkol, ia pikir justeru kalian yang mencelakai dia, masa
sekarang kau malah membela dia dan menyalahkan aku "
Walaupun begitu pikirnya, sudah tentu tidak berani di utarakannya, dengan menyengir, ia
menjawab, "Kukira tidak .... tidak leluasa ku bawa dia naik turun, maka kubiarkan dia
menunggu saja di bawah."
"Hmm," Cu Lui-ji menjengek, "kiranya kaupun seorang yang tak berperasaan."
444 Karena dituduh "tidak berperasaan", seketika Kwe Pian-sian berkeringat dingin. Ia tidak
berani bersuara lagi, cepat dia berlari ke bawah dan membawa Ciong Cing ke atas.
Selang tidak lama, Cu Lui-ji naik lagi ke atas dengan membawa satu bakul nasi yang masih
mengepul. Cuma sekarang hati setiap orang sama merasa tertekan, siapapun tidak bernapsu
makan lagi. Selagi Pwe-giok termenung sambil memegangi mangkuk nasinya, dalam benaknya bergolak
bermacam-macam persoalan. Pada saat itu tiba-tiba si sakit mendesis, "Sssst, ada orang
datang!" Suasana saat itu sunyi sepi, sampai suara anginpun tidak terdengar, mana ada suara orang
segala. Diam-diam Pwe-giok mengira si sakit ini sudah terlalu lama menggeletak di tempat tidurnya
sehingga telinganya mungkin juga rada tuli.
Tapi selang sejenak mendadak di bawah ada suara pintu di ketuk suaranya rada aneh, seperti
sesuatu alat tajam yang di gunakan untuk mengetuk pintu.
Lalu suara seorang berseru dengan lantang, "Sepada! Adakah orang di atas " Wanpwe Dian
Ce-hun datang mengantarkan surat!"
"Surat " Mengantar surat apa ?" gumam Cu Lui-ji sambil berkerut kening, "Siapa pula Dian
Ce-hun ini ?"
Sembari bergumam, ia terus turun ke bawah.
Tiba-tiba si sakit memberi pesan, "Ginkang dan Lwekang orang ini tidak lemah, bahkan
seperti pernah berlatih kungfu sebangsa Eng-jiau-kang (tenaga cakar elang), jika kau tidak
mampu merintangi dia, biarkan saja dia naik ke sini!"
"Ku tahu," jawab Lui-ji. Walaupun begitu ucapnya, namun di dalam hati merasa penasaran.
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pwe-giok tahu dari suara ketukan pintu itulah si sakit menilai kungfu pendatang yang
mengaku bernama Dian Ce-hun itu dan dari suaranya dapat diukur pula tenaga dalamnya.
Selain itu, kedatangannya itu ternyata tidak di dengar oleh orang-orang yang berada di atas
loteng, dari sini dapat diketahui Ginkangnya pasti sangat tinggi.
Setelah berpikir, Pwe-giok lantas berkata, "Wanpwe juga ingin turun untuk melihatnya."
Setiba di bawah, Pwe-giok melihat pintu sudah dibuka oleh Cu Lui-ji. Di bawah cahaya sang
surya yang terang benderang, di luar pintu tampak tegak seorang pemuda jangkung dan
berwajah cakap serta berbaju ungu.
"Kau yang mengantar surat kemari?" tegur Lui-ji. "Dimana suratnya?"
Orang yang mengaku bernama Dian Ce-hun itu memandang sekejap kepada Lui-ji, jawabnya
dengan tersenyum. "Surat ini tidak boleh kuserahkan kepada anak kecil, bolehkah aku masuk
ke situ ?"
445 Dia bicara dengan tersenyum, namun sikapnya angkuh.
Lui-ji tersenyum, jawabnya, "Hanya pengantar surat saja mana boleh sembarangan terobosan
di tempat orang " Jika suratmu tidak mau di serahkan padaku, silahkan kau bawa pulang
saja." "Tajam amat mulut nona cilik," kata Dian Ce-hun dengan tertawa, "Tapi apakah nona
sanggup menerima surat ku ini ?"
Dia benar-benar mengeluarkan sepucuk surat dari dalam baju dan disodorkan lurus ke depan
dengan di pegang kedua tangan. Surat itu disodorkan tepat ke Cu Lui-ji, tampaknya sopan dan
sangat menghormat.
Namun Pwe-giok dapat melihat kedua tangan orang sedikit melengkung, jelas mengandung
tenaga dalam yang sukar di jajaki, tampaknya saja tenang-tenang, tapi diam-diam siap siaga.
Apabila Lui-ji benar-benar menjulurkan tangan untuk menerima surat itu, bisa jadi nona cilik
itu akan kecundang.
Selagi Pwe-giok hendak memburu maju, tiba-tiba Lui-ji berkata dengan ketus, "Boleh kau
taruh suratmu di lantai saja!"
Gemerdep sinar mata Dian Ce-hun, ucapnya dengan tersenyum, "Masa nona cilik tidak berani
menerima suratku ini ?"
"Hmmm, percuma kau ini kelihatan seperti orang terpelajar, masa persoalan lelaki dan
perempuan tidak boleh bersentuhan juga tidak tahu?" jengek Lui-ji.
Dian Ce-hun tertawa, katanya, "Haha, lihay amat nona cilik, pantas sekian banyak orang
terjungkal di tanganmu."
Di tengah suara tertawanya, kedua tangannya terus mendorong ke depan bersama sampul
surat yang di pegangnya. Tampaknya sampul surat itu hanya benda yang tipis, tapi terpegang
di tangannya tiada ubahnya seperti baja tipis yang tajam.
Belum lenyap suaranya, angin berkesiur, tahu-tahu Dian Ce-hun sudah menyelinap lewat di
samping Lui-ji tanpa menyenggol ujung bajunya.
Betapapun, Lui-ji tidak sempat lagi untuk mencegatnya.
Terdengar Dian Ce-hun berkata dengan tertawa, "Lelaki dan perempuan tidak boleh
bersentuhan, biarlah ku antar surat ini langsung ke atas saja."
Tapi mendadak seorang menanggapi dengan tegas, "Tidak perlu, serahkan padaku di sini kan
sama saja."
Suara Dian Ce-hun terhenti seketika, dilihatnya seorang pemuda maha cakap dan sopan
santun sudah berdiri di ujung tangga dengan mengulum senyum, tempat berdiri pemuda cakap
itu tepat merintangi jalan lewatnya.
446 Biasanya Dian Ce-hun sangat angkuh, menganggap dirinya maha cakap dan tiada
bandingannya. Tapi demi melihat pemuda di depan ini, mau tak mau ia terkesiap dan merasa
kalah. Segera ia bertanya dengan tertawa, "Apakah Anda tuan rumah di sini?"
Pemuda cakap itu adalah Pwe-giok, ia menjawab, "Tuan rumah sedang tidur siang, hendaklah
anda...." Tapi Dian Ce-hun lantas memotong dengan tertawa, "Jika Anda bukan tuan rumahnya, mana
boleh kau terima surat ini ?"
Segera ia mendorong ke depan pula sampul surat itu dengan kedua tangannya. Ternyata Pwegiok
tidak mengelak dan juga tidak menghindar, sebaliknya kedua tangannya lantas memapak
tangan lawan, gerak tangannya cepat luar biasa.
Alis Dian Ce-hun berjengkit, dampratnya pelahan: "Apakah kau benar-benar ingin menerima
surat ini" Kau mampu?". Mendadak jarinya menjentik, sampul surat diselentik masuk ke
dalam lengan baju sendiri, sedangkan tangannya terus menindih ke bawah.
"Plak", seketika empat tangan beradu dan kedua orang sama-sama terkejut.
Maklumlah, pembawaan tenaga sakti Ji Pwe-giok jarang ada bandingannya, tapi pemuda she
Dian ini ternyata mampu menindih tangannya hingga tertekan beberapa inci ke bawah, hampir
saja Pwe-giok tidak sanggup menahannya.
Jilid 18________
Sebaliknya Dian Ce-hun juga tidak menyangka pemuda cakap yang tampaknya lemah lembut
ini, ternyata memiliki tenaga sakti sekuat ini. Dia menahan dari atas, jadi posisinya lebih
menguntungkan, tapi ternyata kedua tangan lawan ternyata tetap keras bagai baja, betapapun
dia mengerahkan tenaga lagi tetap tak mampu menekannya ke bawah.
Karena adu tenaga, hanya sekejap saja kedua orang sudah sama-sama berkeringat. Diam-diam
Dian Ce-hun menyesal, tidak seharusnya dia beradu tenaga dalam dengan lawan.
Dalam pada itu, diam-diam Cu Lui-ji telah memutar ke samping Dian Ce-hun, katanya:
"Silahkan kalian mengukur tenaga di sini, suratnya serahkan saja kepadaku."
Sebelah tangannya segera terjulur dari belakang untuk meraba sampul surat yang tersimpan di
dalam baju Dian Ce-hun.
Dalam keadaan begini, bilamana Dian Ce-hun menghindar, tentu bagian depannya akan tak
terjaga dan peluang itu akan memberi kesempatan kepada Ji Pwe-giok untuk menyerangnya.
Apalagi ketika tangan kiri Cu Lui-ji meraba suratnya, tangannya yang lain juga sudah siap
untuk menyerang.
Diam-diam Pwe-giok berkerut kening, menyaksikan tindakan Cu Lui-ji itu, ia merasa tidak
pantas nona itu mengancam orang selagi lawan kepepet. Tapi keadaan sudah terlanjur begitu,
jika dia menarik diri, mungkin lawan yang terus mendesak dan dirinya yang bakal celaka.
447 Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara orang tertawa panjang. Bayangan tubuh
Dian Ce-hun mendadak melayang ke atas.
Pwe-giok berdiri di ujung tangga, jarak papan loteng dengan kepalanya tidak lebih dari
setengah meteran, siapa tahu tubuh Dian Ce-hun yang melayang ke atas itu dapat memberosot
ke atas loteng menempel papan loteng selicin ikan.
Ginkang yang diperlihatkan ini benar-benar sangat mengejutkan dan sukar dibayangkan.
Baik Pwe-giok maupun Cu Lui-ji sama terkejut.
Terdengar Dian Ce-hun bersuara di atas loteng, "Wanpwe Dian Ce-hun ingin menyampaikan
surat, mohon cianpwe sudi menerima."
Padahal saat itu dia sudah melihat jelas orang berbaring di tempat tidur, andaikan si sakit
tidak mau menerimanya, juga sukar mengelakkan diri.
Orang sakit itu hanya memandang Dian Ce-hun sekejap dengan tak acuh, lalu bertanya,
"Kedatanganmu ini atas suruhan siapa ?"
"Inilah suratnya, setelah cianpwe membacanya tentu akan tahun sendiri," jawab Dian Ce-hun.
Kedua tangannya lantas menjulur ke depan, perlahan ia mengangsurkan sampul surat yang
dibawanya, tanpa berkedip ia pandang si sakit.
Sementara itu Cu Lui-ji sudah memburu ke atas dan berseru, "Awas tangannya, sacek .... "
Belum lenyap suaranya, mendadak tangan si sakit menggapai perlahan, entah dengan cara
bagaimana tahu-tahu sampul surat yang dipegang erat-erat oleh kedua tangan Dian Ce-hun
telah berpindah ke tangan orang lain.
Air muka Dian Ce-hun rada berubah dan menyurut mundur dua-tiga langkah, katanya sambil
membungkuk, "Tugas Wanpwe sudah selesai, sekarang juga kumohon diri." Sambil bicara ia
melangkah mundur dua tiga tindak sehingga menyurut sampai di ujung tangga, tapi sebelum
melangkah ke bawah loteng, mendadak ia turun tangan secepat kilat, tahu-tahu pergelangan
tangan Cu Lui-ji dicengkeramnya. Lui-ji tidak pernah menduga akan disergap begitu, keruan
badannya lantas lemas dan tak berdaya, ia sempat berteriak, "Sacek ... ."
Dian Ce-hun lantas berkata dengan suara tertahan, "Bilamana kalian memikirkan keselamatan
nona ini, hendaklah kalian jangan sembarangan bergerak, Cayhe hanya ingin membawanya
pergi menemui seseorang, habis itu pasti akan ku antar dia pulang ke sini dengan selamat."
Sambil bicara, selangkah demi selangkah ia terus mundur ke bawah loteng, semua orang
hanya menyaksikan kepergiannya dengan mata terbelalak tanpa bisa bertindak apa-apa.
Si Sakit sedikitpun tidak kelihatan cemas, dia malah bertanya lagi dengan perlahan, "Hendak
kau bawa dia untuk menemui siapa ?"
"Guruku ... " jawab Dian Ce-hun.
448 Mendadak si sakit mendengus, "Hmm, jika dia ingin menemuinya, suruh dia sendiri datang ke
sini." Sambil bicara mendadak tubuhnya melayang melintang dari tempat tidurnya.
Ketika berbaring tampaknya dia sudah kempas-kempis dan tak dapat bergerak, tapi sekarang
begitu melayang ke atas, gerak tubuhnya itu tampak begitu gesit dan tangkas.
Wajah Dian Ce-hun menjadi pucat, bentaknya, "Apakah Cianpwe tidak memikirkan dia lagi
..." belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong si sakit sudah menubruk ke arahnya segera
lehernya hendak mencengkeramnya.
Ketika Dian Ce-hun merasa angin keras menyambar tiba, begitu kuat sehingga napaspun
terasa sesak. Mana dia sempat mencelakai Cu Lui-ji lagi, ingin lari saja tidak sempat.
Terpaksa ia mengerahkan segenap tenaga, kedua tangannya menangkis ke atas.
Tak terduga si sakit yang mengapung di atas udara itu ternyata dapat melakukan perubahan
dengan gesit, sekali putar badan, secepat kilat urat nadi pergelangan tangan Dian Ce-hun telah
di kena di cengkeramannya.
Sekejap itu, semua orang sama melenggong menyaksikan apa yang terjadi itu. Semua orang
tahu si sakit ini pasti bukan tokoh sembarangan, tapi tiada yang menduga kungfunya
sedemikian mengejutkan. Kungfu dari perguruan dan aliran manapun di dunia ini kalau
dibandingkan gerakan si sakit barusan. Hakekatnya, boleh dikatakan seperti permainan anak
kecil belaka. Diam-diam Kwe Pian-sian terkejut, pikirnya, "Bocah she Dian ini benar-benar cari penyakit
sendiri. Sekarang tangannya sudah dicengkeram orang, mungkin segenap kungfunya akan
dipinjam pakai juga oleh orang.
Bara saja terlintas pikiran demikian, tiba-tiba terdengar si sakit mendamprat perlahan, "Inilah
sedikit hajar adat padamu agar selanjutnya kau tahu diri. Nah, enyahlah kau!"
Di tengah bentakannya itu, tubuh Dian Ce-hun telah diangkatnya ke atas terus
dilemparkannya ke luar jendela seperti anak kecil lempar bola. Sampai lama sekali baru
terdengar suara "bluk" di luar sana.
Habis itu, si sakit melayang kembali ke tempat tidurnya dan berbaring pula seperti semula,
hanya napasnya tampak terengah-engah.
Selang sejenak, tiba-tiba terdengar suara Dian Ce-hun berkumandang dari luar jendela sana,
"Kungfu Cianpwe sungguh hebat luar biasa kelak Wanpwe masih ingin minta petunjuk lagi."
Bicara sampai kata terakhir itu suaranya kedengarannya sudah berada di tempat beratus
tombak jauhnya. Nyata anak muda ini tidak cuma kepala batu, dan tidak kenal apa artinya
kapok, bahkan nyalinya juga besar dan tidak takut apapun.
Diam-diam timbul rasa suka dan sayang dalam hati Pwe-giok terhadap pemuda she Dian itu,
pikirnya dengan gegetun, "Sungguh lelaki yang hebat, entah dia anak murid siapa?"
449 Di dengarnya si sakit sedang berkata dengan megap-megap, "Melulu Ji Hong-ho dan
begundalnya itu tidak nanti berhasil mendidik anak murid seperti ini."
"Betul," tukas Pwe-giok. "Dia tidak mungkin murid salah satu ke-13 perguruan terkemuka
jaman ini. Sebab itulah Wanpwe merasa heran entah dia berasal dari mana?"
Orang sakit itu memejamkan mata, ia cuma menggeleng dan tidak bicara lagi.
Tiba-tiba Cu Lui-ji bertanya, "Sacek, mengapa kau lepaskan dia ?"
"Perang antara dua negara tidak boleh membunuh utusan musuh," kata si sakit dengan dingin.
"Apalagi biarpun dia kurang sopan, masa akupun bertindak ngawur seperti dia?"
"Tapi kulihat kedatangannya itu tidak melulu untuk mengantar surat saja, tentu dia ingin tahu
keadaan di sini, setelah dia tahu penyakit Sacek belum sembuh, sepulangnya ini mungkin
akan datang lagi dengan membawa orang lain."
"Biarpun membawa orang lain lantas mau apa?" kata si sakit dengan gusar. "Sekalipun kita
harus mati juga tak boleh bertindak sesuatu yang memalukan, tahu tidak?"
Cu Lui-ji mengiakan dengan menunduk. Iapun tidak berani bicara lagi.
Diam-diam Pwe-giok bertambah kagum terhadap kepribadian si sakit.
Kwe Pian-sian sejak tadi diam saja, kini iapun tidak tahan, katanya: "Sekalipun Cianpwe
harus membebaskan dia, mengapa tidak kau pinjam pakai dulu Kungfunya itu?"
Si sakit meliriknya sekejap dengan sorot mata dingin dan penuh rasa menghina, iapun tidak
menjawabnya. Cu Lui-ji lantas mendengus: "Sekalipun Sacek suka pinjam pakai Kungfu orang lain, kalau
bukan orang itu sukarela tentulah akibat perbuatan orang itu sendiri. Kalau tidak, Kungfumu
kan juga tidak lemah, mengapa Sacek tidak pinjam pakai?"
Kwe Pian-sian jadi ngeri sendiri dan tidak berani bicara lagi. Tapi biasanya dia juga angkuh
dan tinggi hati, tentu saja dia tetap penasaran karena merasa dihina. selang sejenak, ia tidak
tahan dan berkata pula: "Mungkin nona hanya bergurau saja. Di seluruh dunia ini mana ada
orang yang sukarela meminjamkan Kungfunya yang dilatihnya dengan susah payah selama
hidup kepada orang lain?"
Tiba-tiba Cu Lui-ji melirik Gin-hoa-nio sekejap, lalu mendengus: "Mungkin ada, siapa
tahu"!"
Gin-hoa-nio merasa bingung mengapa anak dara itu meliriknya, seketika ia merinding sendiri.
Selagi ia hendak mencari alasan untuk bertanya, tiba-tiba Pwe-giok sudah bertanya lebih dulu:
"Entah apa yang tertulis di dalam surat itu?"
Setelah bertanya, hati Pwe-giok menjadi menyesal, ia menyangka si sakit pasti tidak akan
memberitahukannya dan hal ini berarti dirinya mendapat malu sendiri.
450 Siapa tahu si sakit lantas menyerahkan surat tadi kepada Lui-ji dan berkata: "Coba, kau
bacakan bagi mereka."
Lui-ji lantas merobek sampul surat itu, diloloskannya secarik surat, lebih dulu dilihatnya satu
kali, habis itu baru dibacanya dengan perlahan:"... Locianpwe yang terhormat, sudah lama
kami kagum atas pribadimu, tak tersangka sekarang Cianpwe bertirakat di sini. Nama
Cianpwe termasyhur bijaksana, tentunya Cianpwe takkan membela puteri .... Pada tengah
malam nanti kami akan berkunjung kemari, diharapkan Cianpwe takkan menolak kedatangan
kami. Hormat Ji Hong-ho dan kawan-kawan berjumlah 12 orang."
Isi surat itu ditulis secara tergesa-gesa sehingga kalimatnya tidak diperbaiki lagi, namun
cekak-aos, singkat dan jelas.
Namun waktu membacanya, Cu Lui-ji sengaja melompati beberapa nama yang tidak
dibacanya. Diam-diam Pwe-giok membatin: "Nama pada bagian depan surat itu tentulah nama orang
sakit ini dan nama bagian lain yang menyebutkan nama orang tua nona Cu ini, dengan
sendirinya juga tidak dibacakannya."
Mendadak si sakit mendengus: "Hm, Ji Hong-ho dan kawan-kawannya berjumlah 12 orang
..... huh, hanya mereka itu saja berani menemui aku dengan menjanjikan waktu berkunjung
segala?" Dengan suara tertahan Cu Lui-ji berkata: "Jika cuma mereka saja tentu saja tidak berani
menulis surat ini, tapi sekarang kukira mereka tentu sudah mempunyai beking yang kuat,
makanya nyali mereka tambah besar."
Pwe-giok saling pandang sekejap dengan Kwe Pian-sian, diam-diam mengagumi kecepatan
berpikir nona cilik ini, mereka memang juga sudah memperkirakan Ji Hong-ho pasti
mendapatkan bala bantuan yang tangguh.
Diam-diam Pwe-giok membatin: "Rasanya tokoh andalan mereka pasti bukan Dian Ce-hun
yang mengantar surat ini, tapi pasti lebih lihay daripada Dian Ce-hun, jangan-jangan orang
yang dimaksud adalah guru pemuda she Dian itu?"
Berpikir demikian, diam-diam ia berkuatir bagi si sakit. Dilihatnya orang sakit itu telah
memejamkan mata pula, setelah termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata dengan perlahan:
"Jika mereka telah mengirim surat secara sopan padaku rasanya kitapun harus membalasnya
dengan cara yang sama ....... Lui-ji, boleh kau pergi kesana, katakan kepada mereka bahwa
aku tetap menantikan kedatangan mereka di sini."
"Tidak, aku tidak mau kesana," di luar dugaan Lui-ji menjawab dengan menggeleng.
"Kau tidak mau pergi?" si sakit menegas dengan berkerut kening.
Lui-ji menyapu pandang sekejap ke arah Kwe Pian-sian dan Gin-hoa-nio, katanya kemudian
dengan menunduk: "Aku akan mengiringi Sacek di sini, aku tidak mau pergi kemana-mana."
451 Pwe-giok tahu sebabnya nona cilik itu tidak mau pergi adalah karena kuatir terhadap Kwe
Pian-sian dan Gin-hoa-nio, ia harus tetap tinggal di sini untuk mengawasi gerak-gerik kedua
orang itu. Dari sini terbuktilah bahwa saat ini si sakit berada dalam keadaan gawat, sisa
tenaganya sudah tidak cukup untuk melayani gin-hoa-nio dan Kwe Pian-sian berdua. apalagi
untuk menghadapi Dia Ce-hun dan gurunya yang pasti jauh lebih lihay.
Berpikir demikian, tanpa terasa Pwe-giok terus berseru: "Jika nona Cu harus meladeni
Cianpwe di sini, biarlah aku saja yang mewakili Cianpwe pergi ke sana."
Sekonyong-konyong si sakit membuka mata dan bertanya: "Kau ingin pergi?"
Pwe-giok tertawa, jawabnya: "Ya, jika sekiranya Cianpwe tidak merasa keberatan."
Sorot mata si sakit yang tajam itu menatapnya sejenak, tiba-tiba ia berkata: "Coba kemari
kau!" Sejak tadi Ciong Cing berduduk melongo disamping sana, kini timbul rasa kuatirnya ketika
dilihatnya Ji Pwe-giok disuruh mendekati orang sakit itu, hampir saja ia berteriak: "He,
jangan kau mendekati dia. Kungfumu akan dipinjam pakai juga olehnya."
Namun tanpa prasangka apapun Pwe-giok tetap mendekati si sakit dengan tenang, katanya:
"Cianpwe hendak memberi pesan apalagi?"
Si sakit memberi tanda, Pwe-giok terus mendekatkan telinganya ke mulut orang itu. Dengan
mata terbelalak Ciong cing menyaksikan si sakit berbisik-bisik sekian lamanya di tepi telinga
Pwe-giok. Suaranya sangat lirih sehingga tiada seorangpun yang tahu apa yang dikatakannya. Hanya
terlihat air muka Pwe-giok lambat-laun memperlihatkan rasa girang, mendadak ia memberi
hormat dan berucap: "Terima kasih, Cianpwe".
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau sudah paham?" tanya si sakit.
Pwe-giok memejamkan matanya dan berpikir sejenak, tiba-tiba kedua tangannya bergerak
beberapa kali di udara, seperti menggores beberapa lingkaran yang besar-kecilnya tidak sama.
Orang lain tidaklah merasakan apa-apa atas perbuatan Pwe-giok itu, tapi Kwe Pian-sian
menjadi terkejut. Nyata dia merasakan pad setiap lingkaran yang dibuat oleh Ji Pwe-giok itu
mengandung satu jurus serangan mematikan yang amat lihay.
Makin lama makin cepat lingkaran yang dibuat Ji Pwe-giok itu, tapi dari cepat mendadak
berubah lambat, habis itu lantas berhenti, dia menarik napas panjang-panjang, air mukanya
bersemu merah, lalu ia memberi hormat kepada si sakit dan bertanya: "Apakah begini
caranya?" Sorot mata si sakit menampilkan rasa girang, katanya sambil mengangguk: "Bagus sekali,
bolehlah kau berangkat!"
Pwe-giok memberi hormat pula, tanpa bicara lagi ia terus bertindak pergi dengan langkah
lebar. 452 Kini Kwe Pian-sian dapat menerka bahwa mungkin si sakit kuatir Pwe-giok akan dianiaya
atau dihina waktu mengantar surat ke sana, maka si sakit sengaja mengajarkan sejurus Kungfu
maha lihay kepadanya.
Diam-diam Kwe Pian-sian menyesal, "Tahu begitu. tentu tadi ku dahului mencalonkan diri
sebagai pengantar surat."
Tapi setelah menyesal ia menjadi heran pula: "Orang sakit ini hanya berbisik-bisik sejenak
kepada Ji Pwe-giok ini dan anak muda itu lantas dapat menguasai jurus serangan maha lihay
itu, mengapa dia dapat belajar secepat ini?"
Ia tidak tahu bahwa pandangan si sakit sangat tajam, dari gerak-gerik Ji Pwe-giok sejak tadi
sudah dapat dirabanya asal-usul ilmu silatnya. Apa yang diajarkannya barusan adalah Kungfu
yang berdekatan dengan kepandaian yang telah dikuasai Pwe-giok, apalagi anak muda itu
memang sangat cerdas, diberitahu satu segera paham tiga, diberi petunjuk sebelah sini
serentak tahu pula apa yang di sebelah sana, setelah diberitahu kunci-kuncinya oleh orang
kosen, dengan sendirinya segera dapat dikuasainya dengan cepat.
Dalam pada itu kedengaran si sakit telah mendengkur, agaknya sudah tertidur pulas pula.
Sebaliknya wajah Cu Lui-ji sekarang tampak agak pucat, dia bergumam: "Tengah malam
nanti ..... waktunya tinggal lima-enam jam lagi ...." tiba-tiba pandangannya beralih ke arah
gin-hoa-nio dan berkata dengan dingin: "Sesudah lima enam jam lagi mungkin kau akan .......
" Gin-hoa-nio menjadi ketakutan setengah mati, sebelum habis ucapan anak dara itu segera ia
berlutut dan menyembah, mohonnya dengan suara gemetar: "Mohon belas kasihan nona,
sudilah mengingat sesama perguruan dan tolonglah diriku."
"Jadi sekarang kau mau mengaku sebagai orang perguruan kita?" tanya Cu Lui-ji.
Gin-hoa-nio menunduk, jawabnya dengan terputus-putus: "Aku .... aku .... "
"Hm, apakah tidak terlalu terlambat pengakuanmu sekarang?" jengek Lui-ji
Gin-hoa-nio merasa sekujur badan lemas seluruhnya dan hampir jatuh terkulai. Meski dia
biasa mempermainkan setiap lelaki, tapi di depan anak perempuan ini dia benar-benar mati
kutu dan tidak sanggup bertingkah sama sekali.
Tak terduga, lewat sejenak, tiba-tiba Lui-ji berkata pula: "Jika kau ingin hidup, kukira masih
ada jalannya."
"Apa jalannya?" tanya Gin-hoa-nio cepat,
"Masa kau sendiri tidak dapat menerkanya?" ucap Lui-ji dengan hambar.
Diam-diam Gin-hoa-nio menggreget, pikirnya dengan gemas: "Budak sialan, budak mampus,
jika aku dapat memikirkan jalan baik, masa perlu kuminta pertolongan kepada budak hina
macam kau?"
453 Sudah tentu dia tidak berani memperlihatkan rasa penasarannya itu, sebaliknya ia menjawab
dengan mengiring tawa: "Ah, aku ini terlalu bodoh sehingga perlu minta petunjuk kepada
nona, mana sanggup kucari jalan yang lebih baik. Hendaklah nona saja sudi menolong, budi
kebaikanmu tentu takkan kulupakan selama hidup ini."
Tapi Cu Lui-ji lantas melengos ke sana seperti tidak mendengar ucapannya itu.
Keruan Gin-hoa-nio tambah gelisah, saking gregetan hampir saja ia mencaci-maki.
Tak terduga Kwe Pian-sian lantas menimbrung dengan perlahan: "Jalan keluarnya mungkin
dapat ku terka."
Gin-hoa-nio melengak, tanyanya : "Kau tahu?"
"Ehmm," Kwe Pian-sian mengangguk.
"Meng .... mengapa tidak lekas kau katakan?" seru Gin-hoa-nio.
"Untuk apa harus kukatakan?" jawab Kwe Pian-sian dengan ketus.
Gin-hoa-nio jadi tertegun, mukanya sebentar pucat sebentar hijau, diam-diam ia menggertak
gigi saking gemasnya, namun wajahnya segera menampilkan senyuman menggiurkan,
katanya: "Kumohon dengan sangat, sudilah kau katakan padaku, selama hidupku ......"
"Ah, justru aku tidak berharap agar selama hidupmu akan selalu teringat padaku." tukas Kwe
Pian-sian. "Tapi bukan saja aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu, bahkan apapun kehendakmu
atas diriku pasti akan kuberikan," sambung gin-hoa-nio pula.
Kwe Pian-sian melirik sekejap ke arah bungkusan benda mestika sana, katanya: "Barang
apapun juga, katamu?"
"Ya." jawab Gin-hoa-nio dengan menunduk.
Terdengar suara keriat-keriut di sebelah sana, kiranya saking gregetan Cion Cing telah
menggertak giginya. Maklumlah, makna kata "barang apapun yang kau kehendaki" terlalu
luas dan meliputi macam-macam hal.
Kwe Pian-sian tertawa cerah, katanya: "Tentang jalan keluarnya, tadi kudengar nona Cu
bilang ada sementara orang yang sukarela akan meminjamkan Kungfunya kepada Cianpwe
ini, tatkala mana aku merasa bingung, tapi sekarang aku telah paham arti ucapannya itu."
Teringat waktu bicara tadi Cu Lui-ji pernah melirik ke arahnya, tiba-tiba Gin-hoa-nio juga
paham apa yang dimaksudkan, seketika keringat dingin membasahi tubuhnya.
Terdengar Kwe Pian-sian menyambung pula: "Dan jika kau mau meminjamkan Kungfumu
kepada Cianpwe ini, racun yang mengeram di tubuhmu dengan sendirinya juga akan terhisap
bersih oleh Cianpwe ini dan jiwamu juga tidak akan menjadi soal lagi."
454 Gemetar Gin-hoa-nio, katanya: "Tapi ..... tapi kalau terjadi begini, bukankah be .... beliau
sendiripun akan keracunan?"
Meski ucapannya ini ditujukan kepada Kwe Pian-sian, iapun tahu Kwe Pian-sian pasti tidak
mampu menjawab, yang sanggup menjawab pertanyaannya ini hanya Cu Lui-ji saja.
Benarlah, dengan tenang Cu Lui-ji lantas berkata: "Sedikit racun di tubuhmu itu memang
cukup berat bagimu, tapi bila berada di tubuh Sacek, racun itu sama sekali tidak ada artinya."
Gin-hoa-nio melenggong pula dengan berkeringat dingin, sebentar-bentar ia pandang si sakit
dan sebentar-bentar lagi memandang tangannya sendiri. Mendadak ia berteriak dengan suara
parau: "Baiklah! Akan ...... akan kupinjamkan kepadamu!"
"Hm, kau mau, masih perlu dipertimbangkan lagi apakah kami mau terima?" jawab Cu Lui-ji
dengan tertawa dingin.
Kembali Gin-hoa-nio melengak, ucapnya pula dengan terputus-putus: "Habis sesungguhnya
apa .. apa kehendakmu?"
Lui-ji hanya tertawa dingin saja tanpa bersuara. Tapi Kwe Pian-sian lantas menyeletuk: "Jika
orang tidak mau menerima, apakah kau tidak dapat memohon lagi?"
Gin-hoa-nio terkesima lagi sekian lamanya, akhirnya ia menghela napas panjang dan berkata
dengan air mata bercucuran: "Ya, kumohon .... kumohon dengan sangat sudilah ..... sudilah
nona ..." Sesungguhnya dia sangat penasaran dan menahan dendam, suaranya menjadi tersendat dan
hampir-hampir sukar diucapkan.
Sebaliknya diam-diam Cion Cing merasa senang, pikirnya: "Tak tersangka orang semacam
kau sekarang juga mendapat ganjaran yang setimpal."
Sejenak kemudian barulah Cu Lui-ji tersenyum hambar, katanya: "Baiklah, cuma kau harus
ingat kau sendiri yang memohon padaku, aku tidak pernah memaksa kau, betul tidak?"
Gin-hoa-nio tidak tahan lagi, ia menjatuhkan diri di lantai dan menangis sedih ....
***** Saat itu baru saja lewat lohor, sang surya sedang memancarkan sinarnya yang cerlang
cemerlang, tapi suasana di kota kecil ini terasa seram dan suram.
Di pojok dinding sana meringkuk seekor anjing tua, mungkin binatang itu sudah terbiasa oleh
keramaian, kini juga merasakan suasana yang luar biasa ini sehingga ketakutan dan tidak
berani sembarangan bergerak.
Walaupun kecil, tapi Li-toh-tin semula adalah sebuah kota kecil yang cukup ramai, tapi
sekarang keadaan kota ini sunyi senyap, suara kokok ayam dan gonggong anjingpun tak
terdengar, karena itulah terasa seram laksana sebuah kota hantu.
455 Pwe-giok berjalan sendirian di jalan raya satu-satunya ini, dilihatnya pintu toko di kedua
samping jalan sama tertutup rapat, hanya papan merek toko saja yang bergoyang-goyang
tertiup angin, mau-tak-mau timbul juga rasa seramnya.
Setelah berjalan lagi sekian lamanya ke depan, mendadak terlihat di hutan di depan sana ada
bayangan manusia. Pwe-giok mengira orang-orang yang hendak dicarinya itu bersembunyi di
hutan sana, segera ia mendekatinya dengan langkah lebar.
Siapa tahu, setelah dekat, dilihatnya ditengah hutan itu penuh berjubel orang-orang, ada yang
duduk di atas batu, ada yang berkerumun di bawah pohon, lelaki dan perempuan, tua dan
muda, entah berapa jumlahnya. Rupanya Ji Hong-ho telah menggiring segenap penduduk Litohtin ke hutan ini.
Wajah orang-orang itu sama mengunjuk rasa takut dan cemas, begitu banyak orang yang
berkerumun di situ, tapi tiada seorangpun yang berani bersuara, sampai bayi-bayi dalam
pangkuan sang bunda juga dibungkus rapat-rapat dengan selimut sehingga suara tangisannya
tidak tersiar. Semua orang merasa seakan-akan ditimpa oleh malapetaka.
Pwe-giok menghela napas, pikirnya: "Orang she Ji itu sengaja mengiring penduduk Li-toh-tin
ke sini, tentu saja dengan alasan demi keselamatan penduduk itu sendiri agar tidak
menimbulkan korban orang yang tak berdosa, padahal penduduk di sini adalah rakyat jelata
yang hidup tertib, mana pernah mengalami kejadian seperti ini ..."
Kedatangan Pwe-giok disambut orang-orang di tengah hutan itu dengan pandangan yang
curiga dan benci, mereka seakan-akan hendak berkata: "Sesungguhnya kau ini manusia
macam apa " Mengapa kalian mengganggu ketenangan kami?"
Pwe-giok tidak berani memandang mereka dengan kepala tertunduk ia lalu ke sana.
Mendadak dua lelaki berpakaian ketat melompat keluar dari balik pohon sana dan
menghadang di depan Pwe-giok.
"Kawan ini datang darimana dan ada keperluan apa?" segera seorang menegur.
Kedua orang itu tadi tidak ikut ke Li-keh-can, maka mereka tidak kenal Pwe-giok. Sebaliknya
dari dandanan mereka Pwe-giok dapat menerka mereka pasti anak buah langsung orang she Ji
itu. Ia menjadi gusar. Tapi sedapatnya ia menahan perasaannya, jawabnya dengan ketus: "Ku
datang mengantar surat, dapatkah kalian memberi petunjuk jalannya?"
Orang itu tertawa lebar, katanya: "Bengcu sudah tahu pasti ada orang yang akan datang
dengan membawa surat, makanya kami berdua ditugaskan menunggu di sini. Perhitungan
Bengcu yang maha jitu ini sungguh luar biasa, kawan merasa kagum tidak?"
Pwe-giok hanya mendengus saja tanpa menjawab.
Orang itu melototinya sekejap, seketika iapun menarik muka dan berkata: "Jika kau ingin
menyampaikan surat, marilah ikut padaku. Kalau saja tiada pesan Bengcu ....... Hm!"
Melihat lagak orang, Pwe-giok berbalik tidak marah, pikirnya: "Jika anak buah orang she Ji
itu melulu terdiri dari orang-orang tolol begini, jadinya lebih baik malah."
456 Setelah menyusuri hutan itu tampaklah di depan sana ada sebuah biara.
Hampir seluruh penduduk Li-toh-tin itu she Li, patung yang dipuja di biara ini ialah Thaysianglo-kun yang aslinya juga she Li. Rupanya penduduk Li-toh-tin ini menganggap mereka
adalah keturunan Thay-siang-lo-kun, sebab itulah biara ini dibangun dan dirawat dengan
sangat megah dan bagus, bahkan besarnya tidak kalah dengan biara ternama di kota-kota
besar. Tapi sekarang suasana biara itupun senyap, kedua sayap daun pintu bercat hitam hanya
terbuka sedikit, pohon di depan biara adalah pohon tua yang berumur ribuan tahun.
Setiba di depan pintu, kedua pengantar itu menoleh dan berkata: "Tunggu dulu di sini, biar
kami laporkan bagimu, jangan sembarangan bergerak, tahu ?"
Jika orang lain diperlakukan kasar begini, bisa jadi kedua orang itu akan kontan dipersen
dengan dua kali gamparan. Tapi Pwe-giok memang pemuda sabar, ia hanya tersenyum
hambar dan menjawab: "Baiklah, terima kasih".
Kedua orang itu melotot lagi sekejap, lalu melangkah ke dalam biara sambil mendengus.
Sejenak kemudian dibalik pintu sana berkumandanglah suara mereka: "Bengcu melukiskan
pihak lawan sedemikian lihaynya, tapi kulihat pengantar surat ini mirip seorang penari belaka,
cuma sayang mukanya ada bekas luka".
Pwe-giok tidak menjadi marah oleh olok-olok itu, sebaliknya malah ia tertawa senang.
Kebanyakan anak muda berdarah panas dan lekas marah, tinggi hati, tidak mau kalah. Apalagi
dihina orang. Dengan sendirinya Pwe-giok juga begitu.
Tapi kini setelah mengalami berbagai macam gemblengan, sudah kenyang dengan
pengalaman pahit, ia justru takut bila orang lain memperhatikan dan menghargainya, semakin
orang memandang rendah padanya, semakin meremehkan dia, dalam hatinya justru semakin
girang. Sebab ia tahu hanya orang demikian inilah takkan dibenci dan dicemburui orang lain
dan juga takkan dicelakai orang. Meski usianya masih muda, tapi pengetahuannya kini sudah
terlalu banyak.
Selang tak lama, terdengar dibalik pintu ada suara orang bertanya: "Dimana si pengantar
surat ?". Pwe-giok tahu pertanyaan orang itu berlebihan, sebab jelas-jelas diketahuinya pengantar surat
berada diluar, untuk apa mesti bertanya lagi. Segera ia membetulkan bajunya dan menjawab:"
Di sini!" Tanya jawab ini sebenarnya memang tidak perlu, tapi kalau tiada permainan begini, rasanya
sandiwara ini menjadi kurang menarik.
Akan tetapi setelah bertanya-jawab, dari dalam tetap tiada orang muncul. Pwe-giok menunggu
lagi sejenak, sekalipun ia cukup sabar, tidak urung ia tidak tahan dan mengulangi lagi
jawabnya: "Di sinilah pengantar suratnya...." dua kali dia mengulangi ucapannya itu, suaranya
juga tambah keras, tapi di balik pintu tetap sunyi senyap tanpa reaksi apa-apa.
457 Ia menunggu lagi sebentar, tiba-tiba ia berseru dengan tertawa: "Jelas-jelas anda tahu
kedatangan pengantar surat, mengapa tinggal diam dan tidak menggubrisnya" Apakah anda
tidak suka menerima surat ini" Sungguh cayhe tidak paham apa maksud anda?"
Namun di balik pintu tetap tiada suara jawaban.
Pelahan Pwe-giok berkata lagi: "Namun Cayhe sudah menerima tugas dan harus
melaksanakan kewajiban. Kalau surat sudah ku antar kemari, betapapun harus kuserahkan
kepada yang wajib terima". Sembari bicara ia terus mendorong pintu dan melangkah ke
dalam. Halaman dalam kelihatan guram, suasana juga hening, bahkan kedua orang yang
membawanya kemari tadi juga sudah menghilang entah ke mana.
Tanpa melirik ke kanan maupun ke kiri, Pwe-giok langsung menuju ke ruangan tengah sana
dengan melintasi halaman itu.
Di ruangan pendopo biara itu tampak asap dupa bergulung-gulung, patung Thay-siang-lo-kun
di altar kelihatan khidmat, sebuah Hiolo (tungku dupa) terbuat dari perunggu yang biasanya
terletak di tengah-tengah pendopo kini sudah disingkirkan ke pinggir.
Hiolo itu tingginya melebihi manusia, tampaknya biarpun bertenaga raksasa juga sukar
memindahkannya kecuali kalau belasan orang bertenaga kuat menggesernya bersama. Tapi
Hiolo itu cuma berkaki tiga, bagian lain boleh dikatakan licin sekali dan sukar dipegang,
biarpun belasan orang hendak mengangkatnya sekaligus rasanya juga sulit.
Sungguh Pwe-giok tidak paham siapakah yang memindahkan Hiolo raksasa itu dan cara
bagaimana menggesernya"
Terlihat setelah Hiolo itu dipindahkan, di ruang pendopo itu kini sudah dipasang 12 kursi
besar dari kayu merah. Namun ke 12 kursi itu belum satupun diduduki orang.
Sampai di sini Pwe-giok tidak melangkah lebih maju lagi. Sekarang iapun paham duduknya
perkara. Pikirnya: "Rupanya merekapun tahu orang sakit itu juga akan menggunakan alasan
mengirim surat balasan dan sekaligus mencari tahu kekuatan mereka, sebab itulah mereka
sama menyingkir dan tiada seorangpun mau memperkenalkan diri. Tapi orang se Ji dan Lim
Soh-Koan dan lain-lain kan tidak perlu lagi menyembunyikan jejak mereka, yang tidak ingin
memperlihatkan wajah aslinya mungkin adalah tokoh andalan mereka yang lihai itu."
Lalu siapakah tokoh andalan mereka itu" Mengapa mesti bertindak misterius begini" Apakah
mungkin dia kuatir kedatangannya diketahui oleh si sakit" Bisa jadi si sakit akan kabur
bilamana mengetahui kedatangannya"
Timbul juga rasa ingin tahu Pwe-giok, ia mengerling sekeliling ruangan itu, mendadak ia
menjura terhadap kursi besar dibagian tengah yang kosong itu dan berkata: "Cayhe Ji Pwegiok
sengaja berkunjung kemari untuk menemui Bengcu."
Dia menjura dengan sikap yang sangat hormat, sama seperti saat itu Ji Hong-ho benar-benar
berduduk dikursi itu. Dalam keadaan demikian, bilamana Ji Hong-ho tidak mau kehilangan
pamornya sebagai seorang Bengcu, maka mau-tak-mau dia harus memperlihatkan dirinya.
458 Selang sejenak, benarlah terdengar suara Ji Hong-ho berkumandang dari belakang sana,
katanya dengan tertawa:" Sungguh tidak pernah kuduga si pengantar suratnya ialah Ji-kongcu,
maaf jika tiada penyambutan yang layak."
Ramah juga nada ucapannya, tapi belum lama lagi lenyap suaranya, sekonyong-konyong
seorang berteriak disamping:" Jadi kau inilah pengantar surat Hong Sam?"
Baru sekarang Pwe-giok tahu orang sakit itu bernama Hong Sam, didengarnya orang itu
bicara dengan keras dan cepat, jelas orang yang berbicara ini berwatak keras dan pemberang.
Pada umumnya orang yang berwatak keras dan pemberang tentu sukar melatih Kungfu
dengan baik, tapi tenaga dalam orang itu justru begini kuat, setiap katanya bergetar seperti
bunyi genta sehingga anak telinga pendengarnya terasa sakit.
Tanpa melihat orangnya saja Pwe-giok tahu tinggi ilmu silat orang ini benar-benar belum
pernah dilihatnya selama hidup ini.Jelas memang lebih tinggi setingkat dibandingkan para
ketua dari ke-13 perguruan terkemuka jaman ini.
Selagi Pwe-giok tercengang, agaknya orang itu tidak sabar menunggu lagi, dengan gusar ia
menegur pula: "Kutanya padamu, mengapa tidak lekas kau jawab?"
Maka Pwe-giok lantas berkata: "Betul Cayhe memang mengantar surat bagi Honglocianpwe..."
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau pernah apanya Hong Sam?" tanya pula orang itu dengan suara bengis.
"Cayhe dan Hong-cianpwe bukan sanak bukan kadang, hanya .... "
"Bukan sanak bukan kadang?" orang itu memotong dengan gusar. "Lalu untuk apa kau
menjadi pengantar suratnya" Apakah kau makan kenyang dan terlalu iseng?"
Setiap kali ucapannya belum habis lantas dipotong oleh orang itu, diam-diam Pwe-giok
mendongkol dan juga geli, pikirnya: "Watak orang ini begini keras, jelas pula seorang
pemberang, entah cara bagaimana dia berhasil meyakinkan Kungfu setinggi ini?"
Walaupun dalam hati merasa heran, tapi dimulut iapun tidak berani ayal, jawabnya: "Tugas
mengantar surat adalah pekerjaan yang mudah, tidak merugikan diri sendiri, tapi berguna bagi
orang lain, mengapa tidak kulakukan?"
"Hm," orang itu mendengus. "Di mana suratnya?"
"Surat Hong-locianpwe yang ku antar ini adalah surat lisan," jawab Pwe-giok.
"Surat lisan?" Orang itu menegas. "Apakah untuk memegang pensil saja dia tidak punya
tenaga lagi?"
Berkata sampai di sini mendadak ia tertawa terbahak-bahak, begitu keras dan nyaring suara
tertawanya sungguh-sungguh sangat mengejutkan, seluruh ruangan pendopo itu seolah-olah
bergetar oleh gema suara tertawanya.
459 Pwe-giok tambah terkejut juga. Ia tunggu setelah suara tertawa orang mereda barulah ia
menjawab dengan suara tegas: "Hong-locianpwe menyuruh Cayhe menyampaikan kepada
Anda sekalian bahwa tengah malam nanti beliau siap menanti kunjungan kalian, diharap
kalian datang tepat pada waktunya.."
"Dia berharap kami datang tepat pada waktunya, memangnya dia mengira aku tidak berani
pergi kesana?" kata orang itu dengan gusar.
"Maksud Hong-locianpwe hanya ......" "Darimana kau tahu maksudnya?" sela orang itu
dengan meraung gusar. "Kau ini kutu macam apa" Selesai mengantar surat, tidak lekas enyah
dari sini, apakah kau minta ku gencet pecah kepalamu?"
Pwe-giok tersenyum tak acuh, jawabnya "Jika demikian, baiklah Cayhe mohon diri."
Sedikitpun pihak lawan tidak mempersulit dia, seharusnya dia bersyukur dan merasa senang
tapi dalam hati Pwe-giok sekarang justru merasa tertekan. sebab kedatangannya ini meski
hanya mengantar surat, sesungguhnya masih ada dua maksud tujuan lain, satu diantaranya
adalah demi kepentingan si sakit dan tujuan lainnya adalah demi kepentingannya sendiri.
Tujuannya bukan saja ingin menyelidiki kekuatan musuh bagi si sakit, Pwe-giok juga ingin
menemui Ang-lian-hoa untuk menjelaskan seluk-beluk apa yang terjadi ini. Betapapun ia
tidak ingin Ang-lian-hoa ikut campur urusan yang ruwet ini.
Tapi sekarang tujuannya mencari tahu kekuatan lawan tidak berhasil, Ang-lian-hoa juga tidak
ditemuinya, malahan gelagatnya dia harus segera meninggalkan tempat ini, jadi kunjungannya
ini boleh dikatakan sia-sia belaka.
Halaman yang suram itu penuh berserakan daun kering yang belum tersapu, suasana hening.
Pwe-giok telah meninggalkan pendopo dan menyusuri halaman itu, selagi dia merasa gegetun
pada perjalanannya ini, tiba-tiba terdengar suara "sret" yang perlahan, sinar pedang
menyambar tiba secepat kilat, tulang rusuk belakang yang terarah.
Begitu cepat serangan ini sehingga sukar untuk menghindar bagi sasarannya.
Meski perasaan Pwe-giok sedang tertekan, namun dia tidak pernah melupakan
kewaspadaannya, dengan tidak kalah cepatnya ia berputar dan kedua tangannya masingmasing
menggores satu lingkaran.
Itulah jurus ajaib ajaran si orang sakit tadi, sekarang dikeluarkannya secara mendadak, entah
betapa hebat daya serangannya, yang jelas segera terdengar suara "pletak", pedang musuh
yang menusuk ke tengah lingkaran yang digarisnya itu mendadak patah menjadi dua. Padahal
tangan Pwe-giok tidak pernah menyentuh pedang lawan, hanya tenaga dalamnya saja sudah
cukup mematahkan pedang baja musuh. Daya serangannya ini sungguh mengejutkan, sampai
Pwe-giok sendiripun terkesiap.
Waktu Pwe-giok berpaling, dilihatnya di bawah pohon berdiri seorang dengan memegang
pedang buntung, agaknya orang inipun terkejut oleh pedangnya yang patah mendadak itu.
Orang ini bertubuh jangkung dan bergaya, kiranya Lim Soh-koan adanya.
460 Setelah tahu siapa penyerangnya, hati Pwe-giok jadi paham duduk perkaranya. Nyata orang
ini masih tetap menaruh curiga padanya dan sekarang sengaja hendak mencoba dan
memancing gaya Kungfunya untuk mengetahui asal-usulnya.
Maklumlah, bilamana seorang mendadak diserang, secara naluri tentu akan dipergunakannya
Kungfu aslinya untuk menjaga diri. Hal ini dilakukannya secara otomatis, jadi tidak mungkin
pura-pura, andaikan pura-pura juga tidak sempat lagi.
Tak tahunya, Pwe-giok baru saja mendapat ajaran Kungfu yang maha hebat dan setiap saat
selalu diulang-ulang ingat dalam hati. Kini mendadak mengalami serangan, tanpa terasa
Kungfu baru ini lantas digunakannya. hal inipun dilakukannya secara naluri, sedikitpun tidak
berpura-pura. Keruan Lim soh-koan tercengang dan berdiri seperti patung dengan wajah sebentar pucat
sebentar hijau, sampai lama sekali tidak sanggup bicara.
Jika orang lain tentu akan mengucapkan beberapa kata ejekan, tapi dasar Pwe-giok memang
pemuda berbudi, dia cuma tersenyum hambar saja dan berkata: "Cepat amat pedang anda."
Iapun tidak ingin menyaksikan sikap Lim Soh-koan yang serba susah itu, sambil bicara ia
terus memutar pergi lagi ke depan. tak terduga, pada saat itu juga seorang membentaknya:
"Berhenti!"
Begitu keras suara bentakan itu, daun kering sama rontok tergetar, telinga Pwe-giok pun
mendengung, pandangannya serasa kabur, tahu-tahu sesosok bayangan orang melayang tiba
seperti burung raksasa, cara melayangnya juga sedemikian cepat, belum lagi daun rontok
jatuh di tanah, orang itu sudah berada di depan Pwe-giok.
Dilihatnya orang ini bersinar mata tajam, muka berewok, rambutnya juga semrawut dan kaku
menegak. Dari suara bentakannya yang keras serta wajah yang aneh ini, setiap orang tentu akan mengira
orang ini pasti tinggi besar dan gagah perkasa. tak tahunya orang ini ternyata seorang tua
kurus kecil, tingginya hanya sebatas dada Pwe-giok, memakai jubah pertapaan biru, ikat
pinggangnya terdiri dari seutas rami, pada tali pinggang itulah terselip sebilah pedang pendek.
namun sarung pedangnya penuh bertaburan batu permata yang bercahaya gemerlapan dan tak
ternilai harganya.
Melihat betapa garangnya orang ini, betapa hebat gerakan tubuhnya serta dandanannya yang
aneh, diam-diam Pwe-giok terkejut juga. tapi dengan tersenyum ia lantas menegur: "Cianpwe
ada pesan apakah?"
Tojin jubah biru pendek kecil itu membelalakkan matanya yang bersinar tajam, tanpa
berkedip ia pandang Pwe-giok, bentaknya kemudian: "Sesungguhnya ada hubungan apa
antara kau dengan Hong Sam?"
"Tadi kan sudah kukatakan, Cayhe dan Hong-locianpwe bukan sanak ..... "
461 "Kentut!" bentak Tojin jubah biru sebelum lanjut ucapan Pwe-giok. "Kalau kau tiada
hubungan sanak keluarga dengan Hong Sam, darimana kau dapat belajar jurus 'Heng-hun-pouh,
Hong-bu-kiu-thian' (awan berarak dan hujan mencurah, burung Hong menari di surga)
ini?" Suaranya sungguh keras sebagai bunyi genta, setiap kali dia bicara, rasanya Pwe-giok pasti
berjingkat. siapapun tidak dapat membayangkan suara sekeras itu. Tidak ada yang tahu bahwa
Khikang (tenaga dalam) Tojin kerdil ini sudah terlatih sangat sempurna, waktu bicara biasa
saja selalu disertai tenaga dalam yang maha kuat sehingga setiap katanya tercetus seperti
bunyi genta. Pwe-giok menghela napas, jawabnya kemudian: "Jurus ini baru saja diajarkan Honglocianpwe
kepadaku sesaat sebelum ku berangkat ke sini. terus terang, semula Cayhe
sendiripun tidak tahu apa nama jurus ini."
"Kentut, kentut busuk," Tojin kerdil itu meraung pula. "Jika Hong Sam mau sembarangan
mengajarkan jurus serangan andalannya ini kepada orang lain, maka dia bukan lagi Hong Sam
tapi kunyuk!"
Diam-diam Pwe-giok merasa geli melihat orang tua beribadat ini selalu mengucapkan katakata
kasar. Tapi bila melihat sikapnya yang marah benar-benar itu, mau-tak-mau ia menjadi
kuatir, cepat ia menjawab pula: "Soalnya hong-locianpwe kuatir ku bikin malu padanya,
makanya ......"
Tojin jubah biru itu semakin murka, teriaknya: "Baik, seumpama benar dia mau mengajarkan
jurus serangannya itu kepadamu, tapi dalam waktu sesingkat ini kaupun dapat menguasainya
sebagus ini, maka kau hakekatnya bukan manusia."
Rupanya Tojin kerdil ini suka mengukur orang lain atas dirinya sendiri. Dia sendiri bukan
orang yang berbakat, bukan orang yang berotak cerdas. Kungfunya yang sakti itu dilatihnya
secara mati-matian berdasarkan kegiatan dan ketekunan melulu, maka sama sekali ia tidak
percaya di dunia ini ada manusia cerdas yang diberitahu satu segera tahu tiga, diajar sekali
lantas paham seluruhnya.
Justeru lantaran pada waktu berlatih Kungfu dia lebih banyak mengalami pahit getir daripada
orang lain, maka Kungfunya berhasil dikuasai, wataknya lantas berubah menjadi berangasan
dan mudah marah, seringkali dia melampiaskan rasa gusarnya yang tak berdasar pada orang
lain. Pwe-giaok tahu sukar baginya untuk menjelaskan, ia hanya menyengir dan berkata: "Jika
Cianpwe tidak percaya, apa yang dapat kukatakan lagi ......."
"Sudah tentu tak dapat kau katakan," tojin kerdil itu berjingkrak, "di depanku masa kau bisa
bermain gila" Tapi kalau ku tantang kau untuk bergebrak, tentunya kau akan bilang aku orang
tua menganiaya anak muda ...... " mendadak ia meraung lebih keras: "Ya, kau hendak bilang
aku orang tua menganiaya anak muda, begitu bukan?"
Pwe-giok jadi tertawa geli, jawabnya: "Kata-kata ini diucapkan oleh Cianpwe sendiri, mana
Cayhe pernah ......"
462 "Baik, anggap kau tidak bilang begitu, lalu apa yang kau tertawakan?" bentak Tojin kerdil itu.
Diam-diam Pwe-giok menghela napas gegetun, pikirnya: "Orang kasar dan ingin menang
sendiri begini sungguh jarang ada." Karena bicaranya selalu dianggap salah, terpaksa dia
tutup mulut. Siapa tahu tutup mulut juga dianggap salah oleh Tojin jubah biru itu, bentaknya pula:
"Mengapa kau tidak buka mulut" Apakah mendadak kau berubah bisu?"
Pwe-giok menyengir, jawabnya: "Jika Cianpwe tidak sudi bergebrak denganku, biarlah Cayhe
mohon diri saja."
Tapi Tojin kerdil itu lantas membentak: "Nanti dulu! Bila kau bukan murid Hong Sam, maka
akan kulepaskan kau pergi, tapi sekarang justeru ingin kulihat Kungfu lihay apalagi yang
diajarkan Hong Sam kepadamu?" Bicara sampai di sini, mendadak ia berpaling dan
membentak: "Murid orang lain sedang bergaya di sini, tapi dimana muridku" Apakah dia
sudah mampus?"
Belum lenyap suaranya, tertampaklah seorang berlari keluar dari pendopo, ia memberi hormat
kepada Tojin kerdil itu dan bertanya: "Suhu ada pesan apa?"
Semula Pwe-giok mengira murid tojin jubah biru ini pasti Dian Ce-hun adanya, siapa tahu
yang muncul ini adalah seorang tosu kecil yang berwajah cakap dan sopan santun, jubah
pertapaannya berwarna hijau dan sangat bersih, mukanya juga putih bersih bersemu kemerahmerahan,
sepintas pandang orang akan mengira dia adalah anak perempuan.
Dalam pada itu Tojin jubah biru sudah tidak sabar lagi, kembali ia meraung pula: "Aku ada
pesan apa" Masa kau perlu tanya lagi padaku" Apakah kau ini orang mampus dan tidak
tahu?" Tosu cilik itu menjawab dengan mengiring tawa: "Apakah Suhu menghendaki Tecu menjajal
Ji-kongcu ini?"
"Kalau sudah tahu, kenapa kau tanya pula padaku?" teriak si Tojin kerdil dengan lebih keras.
Baru sekarang Pwe-giok tahu bahwa watak tojin jubah biru itu memang begitu aslinya, jadi
bukan cuma terhadap orang lain saja dia berteriak dan menghardik, terhadap muridnya sendiri
juga dia main bentak dan maki.
Dilihatnya si Tosu cilik sedang mendekatinya dengan tersenyum, dengan sopan ia memberi
hormat, katanya: "Tecu Sip-hun, ingin mohon petunjuk beberapa jurus kepadamu, mohon
Kongcu mengalah sedikit padaku."
Tosu cilik ini bukan saja sopan santun bicaranya dan cakap orangnya, mukanya juga selalu
dihiasi senyuman manis, wataknya ternyata sangat halus, sungguh berselisih 180 derajat
dibandingkan perangai gurunya.
Guru yang begitu dapat mempunyai murid begini, sungguh Pwe-giok merasa heran. Tapi
setelah dipikir lagi, apabila tiada murid yang berwatak sabar, mana bisa meladeni guru yang
pemberang begitu. Andaikan tidak diusir oleh Tojin jubah biru tidak sampai tiga hari juga
463 pasti akan kabur dengan sendirinya saking tidak tahan apalagi disuruh belajar silat dengan
sabar" Perangai Pwe-giok sendiri juga halus dan sopan, orang lain bersikap ramah padanya, iapun
membalasnya dengan lebih ramah, maka ia lantas membalas hormat Tosu cilik itu dan
menjawab: "Ah, totiang terlalu rendah hati, sebenarnya Cayhe tidak berani bergebrak dengan
Totiang, hanya saja ....."
Mendadak si tojin jubah biru membentak: "Mau berkelahi hendaklah cepat mulai, pakai
cerewet apalagi?"
"Jika demikian, silahkan Totiang memberi petunjuk," ujar Pwe-giok dengan menyengir.
Sip-hun lantas memberi hormat dan berkata: "Kalau begitu, terpaksa Tecu berbuat kurang
hormat." Cara bertindaknya ternyata tidak bertele-tele, begitu bilang mulai, segera ia
memukul lebih dahulu.
Jurus serangannya ini sungguh luar biasa dahsyatnya, siapapun tidak menyangka orang
lembut dan ramah seperti dia bisa melancarkan pukulan seganas ini.
Pwe-giok tidak sempat memperlihatkan rasa terkejutnya, cepat ia berputar sehingga serangan
lawan dapat dielakkan, akan tetapi pukulan lawan berikutnya segera melanda tiba pula.
Guru yang keras tidak nanti melahirkan murid yang lemah, jika watak gurunya begitu keras,
anak didiknya dengan sendirinya juga suka pada kekerasan, ini terbuktilah dari pukulanpukulannya
yang dahsyat dan ganas.
Pwe-giok merasa tosu cilik yang sopan santun dan selalu tersenyum itu kini telah berubah
sama sekali. Yang dihadapinya sekarang seolah-olah seorang pengganas yang buas dan tidak
kenal sopan. Dengan cepat belasan jurus telah berlalu, Pwe-giok terdesak hingga bernapas saja hampir
tidak sempat. Ada beberapa jurus mestinya dapat dipatahkannya dengan Kungfu
perguruannya sendiri, tapi kalau dia memperlihatkan Kungfu "Bu-kek-pay", bukankah asalusulnya
akan konangan. Terpaksa ia menciptakan jurus sebisanya dan bergerak menurut keadaan, akan tetapi terbatas
oleh macam-macam kekuatiran, sebaliknya tekanan lawan sedemikian hebat, maka jurus
serangan yang dikeluarkannya tidak begitu leluasa.
Terdengar si Tojin jubah biru lagi meraung pula: "anak busuk, mengapa tidak kau keluarkan
Kungfu ajaran Hong sam, apakah kau takut rahasia Kungfunya diketahui olehku" ...... Keras
sedikit, keparat! Kemana kau semalam" Mengapa sekarang kelihatan lemas" ...... Bagus,
itulah Yong-hu-pwe-ci, Beng-hou-khay-san (si perkasa menyandang panah, harimau buas
keluar gunung) ...... Sontoloyo, masa seranganmu ini kau anggap Yong-hu-pwe-ci" Lebih
mirip kau lagi menggaruk punggung orang yang gatal!"
Beberapa kalimat bagian depan dengan sendirinya ditujukan memaki Pwe-giok, tapi kalimatkalimat
belakangan adalah digunakan memaki muridnya. dia mengira Pwe-giok tidak berani
mengeluarkan ilmu silat perguruannya karena kuatir rahasia ilmu Hong Sam dapat
464 diketahuinya. Padahal Pwe-giok sendiri lagi mengeluh, sebab kemampuannya hanya itu-itu
saja, untuk menangkis saja sekarang rasanya sulit.
Namun si Tojin jubah biru masih mencela serangan muridnya kurang keras, padahal betapa
hebat dan kuat serangan Sip-hun sudah cukup membuat melongo orang-orang yang
menyaksikannya.
Karena terbatas oleh kekuatiran gaya Kungfu aslinya akan diketahui musuh, maka setiap kali
Pwe-giok hendak menyerang selalu harus mengingat-ingat apakah jurus serangan ini ilmu
silat perguruan asalnya atau bukan. Dengan cara demikian, bukan saja gerak-geriknya
menjadi lebih lambat, tenaga juga banyak terbuang.
Setelah belasan jurus lagi, Pwe-giok sudah mandi keringat, bilamana terancam bahaya,
terpaksa ia menggunakan jurus "Heng-hun-po-ih, Hong-bu-kiu-thian" ajaran Hong Sam itu
untuk mendesak mundur musuh. Tapi setelah beberapa kali gebrak lagi, kembali ia terdesak
dan terancam bahaya.
Begitulah sudah berulang-ulang ia menggunakan jurus sakti ajaran Hong Sam itu, untung
setiap kali diulang, setiap kali bertambah lancer dan daya serangnya juga tambah kuat.
Sampai akhirnya, terpaksa Sip-hun harus menyingkir terlebih dahulu bila Pwe-giok
menggunakan jurus sakti itu. Setelah jurus itu lewat, barulah Sip-hun menubruk maju dan
menyerang lagi sehingga Pwe-giok tambah mengeluh.
Didengarnya si Tojin kerdil lagi meraung-raung pula: "Anak busuk, lebih baik kau keluarkan
seluruh ajaran Hong Sam, kalau cuma satu jurus ini apa gunanya" Bila bukan muridku ini
terlalu tidak becus, tentu kau sudah mati lima puluh kali sejak tadi. "
Nyata dia anggap Hong Sam telah banyak mengajarkan kungfunya kepada Pwe-giok, sebab ia
menilai kekuatan anak muda itu bukanlah jago muda yang baru muncul, malahan
kepandaiannya sudah tergolong kelas satu di dunia Kang-ouw, tapi selain satu jurus "Henghunbo-ih" itu ternyata tiada jurus lain yang dikeluarkannya.
Sudah tentu keadaan Pwe-giok mirip si bisu dicekoki pil pahit, hanya bisa mengeluh tapi tak
dapat menjelaskan. Ia tidak tahu bahwa raungan Tojin kerdil itu justru telah membantunya
malah. Kalau tidak, betapa tajam pandangan Lim Soh-koan dan begundalnya, bila melihat
caranya berusaha menutupi gaya silat aslinya, tentu mereka akan curiga lagi dan kesulitan
yang akan timbul kelak tentu akan bertambah banyak.
Sementara itu Pwe-giok sudah mandi keringat, setiap orang percaya dia tidak mampu
bertahan hingga 20 jurus lagi.
Tak terduga tenaga pembawaan Pwe-giok maha kuat, keuletannya sungguh di luar dugaan,
setelah belasan jurus lagi keadaannya masih tetap begitu, biarpun keringat tambah banyak
menghias jidatnya, tapi dia tetap bertahan.
Mau-tak-mau semua orang jadi melongo heran, cuma keheranan mereka sekarang bukan lagi
karena kedahsyatan serangan Sip-hun melainkan karena daya tahan Pwe-giok yang luar biasa
itu. 465 Di luar pendopo sekarang sudah penuh berkerumun orang, semuanya tercengang.
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lim Soh-koan menggeleng dan bergumam: "Bocah ini kelihatan lemah lembut, tak tersangka
sekuat kerbau. Kalau bukan Sip-hun suheng orang lain mungkin sukar melayani dia."
Dia sendiri hanya satu gebrakan saja pedangnya telah dipatahkan Pwe-giok, maka sekarang
dengan sendirinya ia sengaja menyanjung puji setinggi langit kungfu anak muda itu sekedar
untuk menutupi kekalahannya tadi.
Tapi Dian Ce-hun hanya tersenyum hambar saja, katanya: "Seumpama dia benar seekor
kerbau yang kuat, memangnya kita tidak mempunyai kepandaian menaklukkan kerbau?"
Dia bicara dengan suara lirih, ia mengira orang lain pasti tidak mendengarnya. Siapa tahu si
Tojin jubah biru mendadak berjingkrak gusar, nyata telinganya sangat tajam dan dapat
mendengar apa yang dikatakan Dian Ce-hun itu, dengan gusar ia berteriak: "Baik, jika begitu
besar kepandaianmu, biarlah kulihat kesanggupanmu saja!"
Saat itu Sip-hun sedang memukul kedua sisi tubuh Pwe-giok dengan kedua telapak
tangannya. Pwe-giok sendiri lagi bingung karena tidak tahu cara bagaimana mematahkan
serangan tersebut. Untunglah mendadak dilihatnya tubuh Sip-hun terus mengapung ke atas,
ternyata kuduknya telah dicengkeram oleh Tojin jubah biru terus dilemparkannya.
"Telur busuk yang tak berguna!" demikian terdengar Tojin jubah biru memaki. "Lebih baik
menggelinding ke samping sana dan saksikan kemampuan orang lain yang katanya sekali
turun tangan lantas dapat menundukkan bocah she Ji itu."
Meski di mulut ia memaki muridnya sendiri, yang benar ia berolok-olok kepada Dian Ce-hun,
sebab ia sendiri tahu siapapun juga tiada yang mampu mengalahkan Ji Pwe-giok hanya
dengan sekali dua gebrak saja.
Ji Hong-ho dan Lim Soh-koan saling pandang sekejap menyaksikan tindakan Tojin jubah biru
itu, diam-diam mereka merasa geli, piker mereka: "Tak tersangka watak orang ini yang suka
membela murid sendiri sampai tua tetap tidak berubah."
Dalam pada itu Sip-hun yang dilemparkan itu sempat berjumpalitan satu kali di udara, lalu
melayang turun dengan enteng, wajahnya lantas menampilkan senyuman ramah pula, dia
memberi hormat kepada Pwe-giok dan berkata: "Tadi aku telah berlaku kasar, mohon Kongcu
sudi memaafkan."
"Ah, Totiang telah bermurah hati padaku," jawab Pwe-giok dengan tersenyum dan membalas
menghormat. Kedua orang saling pandang dengan tertawa, tiada yang menyangka beberapa detik
sebelumnya mereka telah saling labrak dengan mati-matian.
Sementara itu Tojin jubah biru telah melototi Dian Ce-hun dan membentak: "Nah, sekarang
ingin kulihat gurumu yang rudin dan kecut itu telah mengajarkan Kungfu lihay macam apa
kepadamu" Kenapa tidak lekas kau maju kemari, apakah perlu kumohon lagi padamu?"
466 Dian ce-hun menghela napas, katanya sambil nyengir: "Jika totiang menghendaki
pertunjukanku yang jelek ini, terpaksa Tecu menurut. Cuma jangan para Cianpwe
mentertawakanku." dia menyingsingkan lengan baju dan melangkah ke depan.
Kesempatan itu digunakan Pwe-giok untuk berganti napas sambil memandang sekeliling
orang-orang yang hadir di situ.
Dilihatnya Ji Hong-ho tersenyum simpul berdiri berjajar dengan "Tong Bu-siang" itu, Lim
soh-koan berdiri di belakangnya dengan tangan masih memegang pedang buntung. Rupanya
saking asyiknya dia mengikuti pertarungan seru tadi sehingga lupa membuang pedang patah
itu. Kecuali mereka bertiga, yang lain-lain terasa asing bagi Pwe-giok, hanya saja setiap orangnya
tampak tenang dan kereng, jelas semuanya tokoh-tokoh Bu-lim kelas tinggi.
Selagi Pwe-giok merasa heran karena tidak melihat Ang-lian-hoa, tiba-tiba dilihatnya di atas
tungku perunggu raksasa di ruangan pendopo sana menongkrong satu orang, siapa lagi dia
kalau bukan Ang-lian-hoa.
diam-diam Pwe-giok menghitung, termasuk tojin jubah biru dan muridnya, yang hadir ini
semuanya berjumlah 11 orang. Jadi masih kurang satu orang.
Setelah berpikir, akhirnya Pwe-giok paham persoalannya: "Selisih seorang ini jelas ialah Hayhong
Hujin, dengan sendirinya dia enggan bercampur dengan orang-orang ini."
Didengarnya tojin jubah biru lagi membentak: "Anak busuk, kau melamun apa" Orang lain
menganggap kau sebagai kerbau dan hendak menaklukan kau. Orang ini tidak seperti muridku
yang tidak becus, jika kau tahu gelagat, lekas berjongkok dan biarkan orang menunggangi kau
si kerbau ini."
Ucapannya ini tampaknya memaki Ji Pwe-giok, padahal sama saja dia menyuruh anak muda
itu untuk berkelahi sekuatnya agar jangan sampai dikalahkan orang. Bahwa muridnya tidak
sanggup mengalahkan Pwe-giok, dengan sendirinya ia tidak ingin orang lain mampu
mengalahkan Pwe-giok.
Setiap orang yang hadir di situ adalah orang Kangouw kawakan, tentu saja semuanya dapat
menangkap arti ucapannya, meski merasa geli, tapi tiada seorangpun yang berani tertawa.
Dian Ce-hun tersenyum terhadap Pwe-giok, katanya: "Tenaga sakti anda sungguh
mengejutkan tadi Cayhe sudah merasakannya, sekarang ingin kubelajar kenal pula dengan
Kungfu anda yang hebat, hendaklah Anda tidak perlu sungkan-sungkan ..."
"Sungkan?" si tojin jubah biru meraung pula. "Memangnya bocah ini berlaku sungkan
terhadap muridku"!"
Perangai kasar tojin kerdil ini sungguh jarang ada bandingannya, bahkan Dian Ce-hun dan
Pwe-giok sudah bergebrak hingga berpuluh jurus, dia masih tetap marah-marah saja.
Pertarungan sekarang berbeda lagi dengan tadi. Sekalipun orangnya lemah-lembut, tapi
serangan sip-hun tadi mengutamakan keras dan dahsyat. Kini Dian Ce-hun sebaliknya
467 menggunakan gaya serangan yang lunak, tapi penuh variasi. Meski sudah berlangsung
beberapa puluh jurus, tapi serangannya masih tetap serangan pancingan dan tiada satupun
yang benar-benar diarahkan sasarannya.
Meski Pwe-giok tidak dapat memainkan ilmu silat perguruan asalnya, tapi silat Bu-kek-bun
mengutamakan ketenangan, untuk menghadapi serangan Dian Ce-hun yang banyak variasinya
itu menjadi sangat cocok.
Namun ginkang dian Ce-hun memang sangat hebat, cepat dan sukar diduga laksana naga
meluncur di tengah awan dengan gerak perubahan yang tidak menentu, jangankan Pwe-giok
tidak dapat meraba posisi lawan, sampai yang menonton disampingpun merasa bingung,
seorang Dian Ce-hun seolah-olah telah berubah menjadi berpuluh orang.
Terdengar seorang tua berbaju ungu dan berjenggot panjang berkata dengan gegetun: "Dian
jitya berjuluk Naga Sakti, tak tersangka putera kesayangannya juga memiliki Ginkang
setinggi ini. Tampaknya biarpun Ginkang si Elang dari Bu-lim-jit-kim (tujuh burung dari
dunia persilatan) juga tak melebihi Dian-kongcu ini,"
Seorang lagi menanggapi dengan tertawa: "Bu-lim-jit-kim memang tiada satupun yang
memiliki kepandaian sejati. Sun Tiong si Elang itu meski tertua dari Jit-kim, tapi bila
dibandingkan anak murid Sin-liong (Naga Sakti), jelas bedanya terlalu jauh."
Orang ini sudah ubanan, perawakannya pendek kecil, namun kelihatan gesit dan tangkas, jelas
ginkangnya pasti juga tidak lemah. Maka meski di mulut dia memuji orang lain, namun
sikapnya ternyata ingin membanggakan dirinya sendiri, agaknya baru merasa puas bilamana
orang lain mau memujinya beberapa kata.
Benar juga, Lim Soh-koan lantas berkata dengan tertawa: "Ucapan Hui-lo (kakek Hui)
memang tepat. Tapi mengapa kau lupa pada dirimu sendiri. Siapakah di dunia kangouw yang
tidak kenal ginkang Bu-eng-cu To-toaya yang tiada bandingannya. Seumpama engkau tidak
dapat menandingi kesempurnaan Dian-jitya, bila dibandingkan Dian-kongcu ini.... Hahaha!"
Kakek pendek kecil yang berjuluk Bu-eng-cu atau tanpa bayangan itu tampaknya berseri-seri
oleh pujian Lim Soh-koan itu, dia berharap orang akan terus bicara. Siapa tahu, setelah
tertawa, lalu Lim Soh-koan tidak melanjutkan lagi.
Untung si kakek berbaju ungu lantas menyambungnya :" Betul, jahe memang selalu pedas
yang tua. Betapapun tinggi ginkang Dian-kongcu ini, mana bisa menandingi kesempurnaan
ginkang To-heng."
Bu-eng-cu To Hui tambah senang karena diumpak dan ditiup, tapi wajahnya justru tidak
memperlihatkan setitik senyumpun, ia malah berkata dengan sungguh-sungguh: "Agaknya
Hiang-heng tidak tahu, orang kalau sudah tua, tulangnya juga tambah berat, mana dapat
kutandingi Dian-siauhiap yang muda dan perkasa itu. Apalagi ginkang hanya kepandaian
sampingan saja dan tidak banyak gunanya, bicara ilmu pukulan Hiang-heng, itulah baru
benar-benar kungfu sejati."
Kakek baju ungu she Hiang itu berjuluk 'Sin-kun-bu-tek' atau pukulan sakti tanpa tanding, ia
menjadi gembira karena dipuji, sambil terbahak-bahak ia menjawab: "Ah, To-heng terlalu
memuji padaku."
468 Begitulah semula mereka hanya memuji kehebatan ginkang Dian Ce-hun, tapi akhirnya
berubah arah dan malah saling membual akan keunggulannya sendiri-sendiri.
Tentu saja si Tojin jubah biru sangat mendongkol, segera ia meraung: "Wah, ada orang
kentut! Alangkah busuk kentutnya!" Sambil berkata iapun seraya mendekap hidung.
Ucapannya ini ibarat pelawak di panggung hanya sebagai umpan belaka dan memerlukan
rekan lain untuk menanggapinya, jika tiada tanggapan, jadinya akan putus sampai di situ saja.
Tak terduga Sip-hun lantas menanggapinya dengan tersenyum: "Suhu, mana ada orang kentut
di sini!" Tojin jubah biru mendengus: "Hm, kautahu apa" Kalau kita kentut biasanya keluar dari
pantat, tapi ada sementara orang kentut dengan mulut. Kentut yang keluar dari mulut itulah
baunya lebih bacin, tahu!"
Seketika muka To Hui, Lim Soh-koan dan kakek she Hiang berubah merah seperti kepiting
rebus, meski dalam hati sangat gusar, tapi tiada seorangpun berani memberi reaksi. Padahal
dengan nama dan kedudukan ketiga orang ini, biasanya mana mereka pernah diolok-olok
orang. Tapi sekarang, entah mengapa tampaknya mereka sangat jeri terhadap Tojin jubah biru
ini. Hanya dalam hati ketiga orang itu sama menggerutu: "Muridmu sendiri tidak mampu
mengalahkan orang, sekarang bocah she Dian ini tampaknya akan berhasil, tentu kau akan
kehilangan muka, untuk apa kau melampiaskan dongkolmu atas diri kami?"
Tojin jubah biru memang tidak ingin mendapat malu, tadinya ia bermaksud mencari tahu
betapa hebat kungfu Hong Sam melalui Ji Pwe-giok, bilamana sudah tahu, kalau tengah
malam nanti harus saling gebrak, tentu dia sudah mempunyai pegangan. Tapi setelah
muridnya gagal memancing keluar kungfu Pwe-giok yang lain, sekarang Tojin jubah biru ini
justru berharap sekali hantam dapatlah Pwe-giok merobohkan Dian Ce-hun.
Namun apa yang terjadi justru jauh dari kehendaknya, bukan saja Pwe-giok tidak mampu
merobohkan Dian Ce-hun, bahkan ujung baju lawan saja tidak dapat menyentuhnya.
Padahal sejak mengalami macam-macam petaka dan kenyang derita, selama ini belum pernah
ada orang dapat merobohkan Pwe-giok dengan ilmu silat. Sudah tentu ia bukan pemuda yang
sombong, tapi setidak-tidaknya iapun merasa kungfunya sendiri sudah cukup lumayan.
Siapa tahu sekarang hanya dalam waktu singkat saja, telah ditemuinya dua lawan tangguh
yang belum pernah dilihatnya selama hidup ini. Kungfu kedua orang ini bukan saja jauh
melebihi dirinya, usianya juga tidak lebih tua. Tampaknya di dunia kangouw ini memang
masih banyak 'harimau tidur dan naga bersembunyi', entah betapa banyak lagi orang kosen.
Kungfu yang dimilikinya boleh dikata masih jauh untuk dapat menandingi mereka.
Seketika Pwe-giok menjadi kesal, dengan sendirinya tenaga pukulannya menjadi kendur. Bila
orang lain, mungkin akan putus asa menyerah kalah. Tapi wataknya adalah halus di luar keras
di dalam, meski menyadari bukan tandingan lawan, betapapun ia pantang menyerah. Meski
Dian Ce-hun masih terus melancarkan serangan dan selalu mendahului, tapi untuk
469 merobohkan Pwe-giok dalam waktu singkat juga sulit, mau tak mau ia menjadi gelisah
sendiri. Dalam pada itu Tojin jubah biru telah berteriak pula: "Berapa jurus tadi kau bergebrak dengan
bocah she Ji ini?" Pertanyaannya ini ditujukan kepada muridnya.
Maka Sip-hun lantas menjawab: "Belum sampai 300 jurus!"
"Dan sekarang sudah berapa jurus mereka saling labrak?" Tanya pula si Tojin kerdil.
"Juga mendekati 300 jurus!" kata Sip-hun.
"Hahahaha!" Tojin kerdil itu bergelak tertawa. "Sekarang tentunya kaupun tahu bahwa orang
yang suka membual, kebanyakan juga tidak mempunyai kepandaian sejati. Orang muda
sebaiknya lebih giat belajar kungfu kaki dan tangan, daripada berlatih kungfu mulut!"
Muka Dian Ce-hun tampak sebentar merah sebentar pucat, gerak tubuhnya juga bertambah
cepat. Mendadak ia berkata kepada Pwe-giok dengan suara tertahan: "Lambat atau cepat
akhirnya kau toh pasti kalah, untuk apa kau bertahan mati-matian" Bila tiba saatnya tentu aku
tidak kenal ampun lagi, akan lebih baik jika sekarang kau mengaku kalah saja."
"Mengaku kalah?" Pwe-giok menegas.
"Ya, jika sekarang kau mengaku kalah, bukan saja takkan kulukai kau, bahkan aku menjamin
akan mengantar kau pulang dengan selamat."
Pwe-giok tersenyum, mendadak ia menghantam sekuatnya. Pukulan inilah merupakan
jawabannya. Keruan Dian Ce-hun menjadi marah, dampratnya: "Keparat, kau tidak mau tahu maksud baik
orang, lihat saja apakah kau mampu lolos dari sini?"
Sementara itu belasan jurus sudah lalu pula, karena ia bertekad akan mengalahkan Pwe-giok
sebelum mencapai 300 jurus, mendadak ia melayang ke udara sambil bersiul panjang, dari
atas seperti ular naga melingkar, segera ia menubruk ke bawah.
Inilah jurus serangan rahasia perguruan "Naga Sakti" yang disebut "Keng-liong-pok-bengsamsik" (tiga jurus adu nyawa si naga sakti). Dahsyatnya sukar ada tandingannya. Tapi dari
namanya yang disebut "mengadu nyawa", jelas serangan ini baru akan dikeluarkan bilamana
keadaan kepepet. Sebab kedahsyatan serangan ini juga merupakan modal terakhirnya,
bilamana tidak kena sasarannya, dirinya sendiri yang akan celaka.
Sebab itulah bilamana tidak terpaksa, anak murid "Naga Sakti" tidak akan mengeluarkan jurus
maut ini. Sekarang Dian Ce-hun tidak kepepet, dia hanya ingin merobohkan lawan lebih
cepat, maka telah digunakannya jurus maut yang membawa resiko ini. Dengan sendirinya
iapun sudah memperhitungkan lawan pasti tidak mampu menghindarkan serangannya ini.
Seketika Pwe-giok merasa udara penuh bayangan musuh, sekujur badan sendiri telah
terkurung di bawah angin pukulan lawan, ke manapun dia menghindar tetap sukar lolos.
470 Begitu keras angin pukulan musuh sehingga dia hampir tidak dapat bernapas, bila dia balas
menghantam, bisa jadi kedua tangan sendiri akan patah.
Pada waktu itu dia masih ragu itulah, telapak tangan musuh sudah menindih tiba dari atas
kepala. Dalam keadaan demikian, tiada pilihan lain lagi baginya kecuali memejamkan mata dan
menanti ajal belaka.
Dengan sendirinya serangan Dian Ce-hun itupun menggemparkan para penonton.
Sampai-sampai Ji Hong-ho berseru kuatir: "Lihay amat serangan ini, pantas di dunia
Kangouw tersiar semboyan 'Naga Sakti muncul, matipun tidak menyesal'!"
Bahwa suatu jurus serangan mematikan dapat membuat korbannya mati tanpa menyesal,
maka betapa lihaynya dapatlah dibayangkan.
Tak terduga, baru saja lenyap suara ucapan Ji Hong-ho, sekonyong-konyong terdengar suara
orang menjerit, yang menjerit ternyata bukan Ji Pwe-giok melainkan Dian Ce-hun. Terlihat
bayangan tubuhnya yang sedang menubruk ke bawah sekuatnya itu mendadak mengapung
lagi ke atas dan mencelat hingga jauh.
Yang mengikuti pertarungan ini hampir seluruhnya adalah jago kelas satu di dunia persilatan,
bahkan rata-rata adalah tokoh kawakan Kangouw, sedikit kejadian ini mana dapat membuat
mereka melengak, Tapi sekarang, ketika tubuh Dian Ce-hun mencelat, baik Ji Hong-ho, Lim
Soh-koan dan lain-lain hampir semuanya berubah pucat.
Apakah benar-benar Hong Sam telah mengajarkan ilmu maha sakti kepada Pwe-giok
sehingga pada detik terakhir itu, pada saat terancam bahaya dia dapat mematahkan serangan
maut Dian Ce-hun itu "
Padahal jelas-jelas Pwe-giok sudah tak bisa berkutik dan hanya menanti ajal belaka, mana dia
mampu lagi mengelabuhi pandangan tokoh-tokoh ulung ini dengan sesuatu gerak
serangannya"
Terdengar suara gemersak, tubuh Dian Ce-hun telah menumpuk daun pohon, lalu "bluk", ia
jatuh ke bawah dengan muka pucat seperti kertas, dengan mata mendelik ia pandang Tojin
jubah biru dan berkata dengan suara parau: "Kau...kau..." belum lanjut ucapannya, darah segar
tersembur dari mulutnya, pingsanlah dia di bawah pohon.
Pandangan semua orang tanpa terasa juga terpusat ke arah Tojin jubah biru.
Tapi Tojin kerdil itu lantas berjingkrak gusar, teriaknya: "Apa yang kalian pandang"
Memangnya kalian kira aku yang menolong bocah she Ji ini" Hm, selama hidupku ini bilakah
pernah ku main sergap" Apalagi terhadap anak busuk pembual ini?"
Kedua tangan Tojin kerdil ini memang selalu terselubung didalam lengan jubahnya yang
longgar, tampaknya memang benar-benar tidak pernah bergerak. Karena itu, pandangan
semua orang lantas beralih lagi ke arah Ji Pwe-giok.
471 Pwe-giok masih berdiri di tempatnya, seperti kesima, nyata yang membikin Dian Ce-hun
mencelat tadi bukan dia sendiri. Jika demikian, lantas siapa gerangan yang membantunya itu"
"Huh!" jengek si Tojin kerdil. "Orang sebanyak ini hanya berdiri melongo saja, sampai siapa
orang yang turun tangan juga tidak tahu, cis, sungguh memalukan!"
Setelah berludah, lalu ia memutar pergi dengan langkah lebar.
Wajah semua orang sama merah dan menunduk malu.
Pada saat itu juga mendadak Pwe-giok melompat ke atas dan melayang pergi melintasi pucuk
pohon, hanya sekejap saja bayangannya sudah lenyap.
Lim Soh-koan memandang Ji Hong-ho sekejap, katanya: "Bengcu....."
"Biarkan dia pergi," ucap Ji Hong-ho dengan tersenyum tak acuh. "Betapapun nanti
malam....."
Lim Soh-koan mendekati Dian Ce-hun dan membangunkannya, dengan tersenyum ia
bergumam: "Sekalipun dia dapat lolos tengah malam nanti, mustahil dia mampu lolos dari
cengkeraman Dian jitya" Naga sakti pemburu sukma, naik ke langit maupun menyusup ke
bumi.... Hahaha, masakah dia mampu naik ke langit atau menyusup ke bumi?"
Jilid 19________
Setelah melayang keluar dari biara itu, detak jantung Ji Pwe-giok belum lagi hilang.
Sesungguhnya siapakah gerangan orang yang telah menyelamatkannya" Pada detik yang
paling gawat itu, dia hanya merasa ada angin keras menyambar lewat di atas kepalanya dan
mengenai dada Dian Ce-hun.
Tapi tenaga yang maha dahsyat dan tidak kelihatan itu bukan dikeluarkan oleh si Tojin jubah
biru, sebab dia dan muridnya berdiri di depan Pwe-giok, sedangkan tenaga serangan yang
tidak kelihatan itu datangnya dari belakangnya.
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sungguh Pwe-giok tidak tahu siapakah yang telah menolongnya dan sebab apa menolongnya"
Tenaga pukulan sekuat itu hakekatnya belum pernah dilihatnya selama ini.
Sekilas ia telah menoleh dan memandang ke arah datangnya tenaga pukulan dahsyat itu,
dilihatnya ranting pohon bergoyang, namun tiada bayangan seorangpun yang terlihat.
Selain tenaga dalamnya maha dahsyat, ginkang orang itupun sangat mengejutkan. Di dunia ini
ternyata masih ada tokoh kosen begini, sebelumnya mimpipun tak pernah dibayangkan Pwegiok.
Baru sekarang ia tahu tokoh ajaib di dunia persilatan ini masih sangat banyak dan sukar
dijajaki. Ia menghela nafas panjang. Mendadak didengarnya daun pohon gemerisik di depan sana,
sesosok bayangan orang melayang tiba dan menghadang di depannya, sambil bergelak
tertawa orang itu berseru, "Hahaha, setelah kau lukai putera tunggal gabungan tujuh keluarga
Dian, lalu kau hendak angkat kaki begitu saja?"
472 Suara tertawanya keras bagai bunyi genta. Siapa lagi dia kalau bukan si Tojin jubah biru.
Pwe-giok terkesiap dan menyurut mundur, ia lantas memberi hormat dan menjawab,
"Pandangan Totiang maha tajam, tentunya sudah tahu bahwa tadi bukan Cayhe yang turun
tangan selihay itu."
"Habis siapa?" tanya Tojin jubah biru dengan sinar mata gemerdep.
"Untuk itu justeru Cayhe ingin mohon petunjuk kepada Totiang," ujar Pwe-giok.
Tojin itu menjadi gusar, katanya, "Jadi kaupun tidak tahu siapa yang telah menyelamatkan
kau?" "Kalau Totiang saja tidak dapat melihat jelas siapa gerangannya, mana Cayhe mempunyai
mata setajam itu?" jawab Pwe-giok.
"Jadi maksudmu mataku ini kurang tajam?" Tojin itu bertambah gusar. "Huh, orang yang suka
bertindak secara sembunyi2 begitu mana ada harganya kuperhatikan." Mendadak ia menarik
leher baju Pwe-giok dan bertanya dengan sekata demi sekata, "Dia Hong-sam atau bukan?"
Dengan tak acuh Pwe-giok menjawab, "Memangnya Hong-sam sianseng orang yang suka
main sembunyi2 begitu?"
"Bukan Hong-sam, habis siapa?" hardik Tojin itu dengan suara bengis. "Hanya dengan
sepotong ranting kayu saja orang itu mampu melukai putera Dian Jit hingga tumpah darah,
kecuali diriku dan Hong-sam, siapa pula yang sanggup berbuat demikian?"
"Sesungguhnya Cayhe memang juga tidak percaya masih ada orang lain," ujar Pwe-giok.
Sejenak Tojin itu melototi anak muda itu, katanya kemudian, "Apapun juga, Dian cilik terluka
pada waktu bergebrak dengan kau, bilamana Dian tua tahu, mana dia mau mengampuni kau"
Antara ke tujuh Dian bersaudara itu, ke enam orang yang tua masih mendingan, tapi Dian
Jit" haha, kalau dia mau merecoki kau, biarpun kau lari ke langit atau masuk ke bumi juga
tak dapat lari."
"Cayhe sendiri tidak bermaksud lari," ujar Pwe-giok.
"Tidak lari" Memangnya kau kira sanggup melawan dia?" jengek Tojin jubah biru.
"Cayhe juga tidak bermaksud melawan dia," kata Pwe-giok pula.
"Tidak lari juga tidak melawan, memangnya kau ada akal lain" Kau kira Dian Jit mau bicara
aturan dengan kau?"
Pwe-giok berdiam sejenak, katanya kemudian dengan tak acuh, "Urusan sudah kadung begini,
kukira nanti akan ada akal."
"Busyet, masih muda belia, cara bicaramu se-olah2 sudah kakek2," kata Tojin itu dengan
tertawa. "Jika kau tidak punya akal, aku sudah mempunyai akal."
"Mohon petunjuk Totiang," kata Pwe-giok.
473 "Kalau kau mengangkat guru padaku, kujamin di dunia ini tiada orang berani mengganggu
satu jarimu."
"Mengangkat guru kepada Totiang?" Pwe-giok menegas dengan melengak.
"Ya, jangan kau kira aku sukar mencari murid maka ku penujui kau," teriak Tojin itu, "hanya
lantaran kulihat kau ini lumayan, pemberani dan keras kepala, biarpun Dian cilik telah
memancing kau dengan berbagai cara, ternyata kau tetap tidak mau mengkhianati aku."
"Hah, kiranya Totiang telah mendengar ucapannya," Pwe-giok tertawa geli.
"Bila tidak kudengar ucapannya ketika membujuk kau menyerah saja padanya, hm, biarpun
kepalamu pecah menyembah padaku juga tidak sudi kuterima kau sebagai murid."
Pwe-giok menghela nafas panjang, katanya, "Maksud baik Totiang sungguh sangat
mengharukan, untuk mana Wanpwe mengucapkan terima kasih banyak2. Cuma... Wanpwe ini
seorang yang bernasib jelek, selama hidup ini Wanpwe tidak ingin mengangkat guru lagi
kepada siapa pun."
"Jadi kau tidak mau?" Tojin itu menegas dengan murka.
Pwe-giok menunduk dan tidak bicara lagi.
"Kau tidak menyesal?" tanya pula si Tojin dengan suara bengis.
Pwe-giok tetap tidak bersuara.
Tojin itu tambah marah, ia mendamprat, "Kau goblok, tolol, sinting..." mendadak ia membalik
tubuh dan menghantam, "blang?" sebatang pohon cukup besar di sebelahnya telah
dihantamnya hingga patah menjadi dua, pohon patah itupun tumbang dan menerbitkan suara
gemuruh. Sambil menghantam Tojin itupun menengadah dan bersiul panjang, waktu Pwe-giok
berpaling, suara siulan Tojin kerdil itu sudah berada di kejauhan.
Pwe-giok menghela nafas pula, mendadak di dengarnya ada seorang juga sedang menghela
nafas panjang, "Sayang, sungguh sayang...!"
"Siapa itu?" bentak Pwe-giok tertahan.
Maka muncul seorang dari kegelapan pohon sana dengan langkah ke-malas2an, siapa lagi dia
kalau bukan Ang-lian-hoa.
Mencorong sinar mata Ang-lian-hoa, katanya sambil menatap Pwe-giok, "Kau kenal padaku
tidak?" Bergolak darah panas di rongga dada Pwe-giok ketika dapat berjumpa dengan sahabat karib di
tempat sepi ini, hampir2 saja dikeluarkannya seluruh isi hatinya tanpa menghiraukan segala
akibatnya. 474 Namun di bawah bayang2 pohon yang rimbun sana apakah betul tiada terdapat lagi orang
lain" Terpaksa diam2 Pwe-giok hanya menghela nafas, jawabnya kemudian sambil memberi
hormat, "Nama Ang-lian-pangcu termasyhur di seluruh dunia, siapakah yang tidak kenal
padamu?" Ang-lian-hoa juga seperti menghela nafas, tiba-tiba ia tertawa dan berkata pula, "Eh, apakah
kau tahu siapa gerangan orang yang hendak mengambil murid padamu tadi?"
"Siapa?" tanya Pwe-giok.
Ang-lian-hoa tersenyum, jawabnya, "Usiamu terlalu muda, mungkin kau belum pernah
mendengar nama Lo-cinjin?"
"Lo-cinjin?" tukas Pwe-giok, "itukah Lo-cinjin dari Hoa-san?"
"Betul, kecuali Lo-cinjin, siapa lagi yang memiliki Kungfu selihay dan pemberang begitu?"
"Pantas orang sama bilang dia benar2 salah seorang di antara kesepuluh tokoh utama jaman
ini, baru sekarang kupercaya..." tiba2 ia memandang Ang-lian-hoa sekejap dan tidak
meneruskan. "Baru sekarang kau percaya orang yang disebut "tokoh" seperti kami ini hakikatnya seperti
anak kecil bilamana dibandingkan dia, begitu bukan?" Ang-lian-hoa merandek dengan
tertawa. Dia tahu Pwe-giok tidak sanggup menjawabnya, maka ia sendiri lantas melanjutkan,
"Betapa tinggi khikang orang ini konon sudah mencapai tingkatan yang tertinggi dan boleh
dikatakan jago nomor satu di dunia ini. Bahkan watak orang ini sangat aneh, selama ini
hampir tidak pernah menghargai orang lain. Tapi sekarang dia mau menerima kau sebagai
murid dan kau sebaliknya tidak mau, sungguh aku pun merasa sayang bagimu."
Pwe-giok terdiam sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum hambar, "Apakah
kedatangan Pangcu ini hanya ingin memberitahukan kepadaku mengenai urusan ini?"
"Ada sesuatu yang ingin kutanyakan lagi padamu?" jawab Ang-lian-hoa perlahan.
"O, silahkan bicara," kata Pwe-giok.
Kembali sinar mata Ang-lian-hoa mencorong terang dan menatap Pwe-giok lekat2, ucapnya
dengan suara tertahan, "Nona Lim Tay-ih, mengapa dia hendak membunuhmu?"
Pwe-giok tersenyum pedih, jawabnya, "Apakah dia... tidak memberitahukan padamu?"
"Belum pernah kutanyai dia," kata Ang-lian-hoa.
"Jika Pangcu belum menanyai dia, mengapa malah tanya padaku?"
Mendadak Ang-lian-hoa berkata dengan suara bengis, "Sebab adalah sementara anak
perempuan betapapun tidak mau ngomong apa2, tapi kaum lelaki kita, seorang jantan sejati,
475 berbuat apapun seharusnya membusungkan dada dan berani bicara secara terus terang, betul
tidak?" Dengan rawan Pwe-giok menjawab, "Orang yang seperti Pangcu sudah tentu dapat
membusungkan dada untuk menghadapi segala, tapi ada sementara orang biarpun ingin
membusungkan dada juga tidak.. tidak dapat."
Sampai sekian lama sinar mata Ang-lian-hoa yang tajam itu menatap Pwe-giok, katanya
kemudian dengan suara tertahan, "Sesungguhnya ada urusan apakah yang tak dapat kau
bicarakan?"
"Maaf, tiada sesuatu yang dapat kukatakan," jawab Pwe-giok dengan tersenyum pedih.
Kembali Ang-lian-hoa menatapnya sejenak, lalu ia menengadah dan menghela nafas
menyesal, katanya, "Orang baik2 rela terjerumus ke dalam kegelapan, sungguh sayang!"
"Sesungguhnya Cayhe juga merasa sayang bagi Pangcu," kata Pwe-giok tiba2.
"Apa yang kau sayangkan bagiku?" tanya Ang-lian-hoa dengan agak melengak.
"Keluhuran Pangcu sudah lama terkenal di seluruh kolong langit ini, mengapa sekarang juga
sudi menggabungkan diri dengan kaum munafik itu untuk mengerubuti seorang anak
perempuan yatim piatu?"
Air muka Ang-lian-hoa rada berubah, mendadak ia bergelak tertawa dan berakta, "Kau bilang
yatim piatu" Maksudmu ia anak perempuan yatim piatu?" mendadak suara tertawanya
berhenti, lalu bertanya dengan bengis, "Tahukah kau mengapa kami mencarinya ke sini?"
"Justeru ingin kutanyakan?" jawab Pwe-giok.
"Selama beberapa tahun ini sudah ada 20 orang lebih menghilang secara misterius dan
jejaknya tidak pernah diketemukan, orang2 itu ada yang berasal dari utara dan ada yang dari
selatan, masing2 boleh dikatakan tiada hubungannya sama sekali. Tapi setelah diselidiki
secara cermat, akhirnya diketahui bahwa di antara orang2 yang hilang itu terdapat satu titik
Bentrok Rimba Persilatan 3 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Kisah Pedang Di Sungai Es 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama