Renjana Pendekar Karya Khulung Bagian 2
tong pay, dengan sendiri apa yang diucapkan ketuanya juga berbobot maka perkataan Cia
Thian pi serentak mendapatkan sorak-sorai di bawah panggung.
Dengan mendongkol Coat ceng cu menjawab: "Kalau begitu, jadi kedudukan ketua sekali ini
harus kubereskan dulu dengan anda, begitu?"
"Bagus, memang sudah lama aku ingin belajar kenal dengan Coat-ceng kiam Khong-tong
pay," kata Cia Thian-pi sambil meraba pedangnya.
Mendadak seorang tua berjubah sulam, berjenggot dan rambut ubanan, wajahnya penuh kudis
berbangkit dan berteriak: "Atas nama 36 pangkalan laut pimpinanku, aku Auyang Liong
mencalonkan Cia tayhiap dari Tiam-jong pay sebagai Bengcu, tentang Coat-ceng Totiang,
kami?" Belum habis ucapannya, seorang kakek botak di sebelahnya dengan wajah merah seperti anak
muda, mendadak bergelak tertawa terhadap kakek tegap yang berbicara itu, lalu ia pun
berseru: "Tiam-jong pay jauh terletak di perbatasan selatan sana, apabila Cia tayhiap menjadi
Bengcu, maka Auyang Pangcu akan tambah berpengaruh dan meraja-lela di pangkalannya
sendiri." "Hm, apa maksudmu?" teriak Auyang Liong dengan gusar. "Orang lain takut kepada senjata
rahasia berbisa keluarga Tong kalian dari Sujwan, orang she Auyang ini tidak nanti gentar."
"O, apakah kau ingin mencobanya?" tanya si kakek botak dengan tertawa. Baru tangannya
bergerak, tahu-tahu Auyang Liong sudah melompat mundur.
"Hahaha, besar amat nyali Auyang Pangcu?" ejek kakek dengan tertawa.
Melihat suasana menjadi kacau, Thian-in Taysu tampak sedih, segera ia membuka suara.
"Cara bertengkar kalian ini, bukankah bertentangan dengan maksudku yang sebenarnya?"
Dia berbicara dengan tenang, suaranya perlahan dan tertahan, tapi sekata demi sekata tetap
berkumandang hingga jauh.
Mau tak mau, semua orang lantas diam. Mendadak seorang lelaki tinggi besar dengan muka
hitam serupa si pembaca acara tadi tampil ke depan dan mendekati tungku tembaga, ia
berjongkok sambil meludahi telapak tangannya, tungku yang beribu kati itu lantas
diangkatnya tinggi-tinggi ke atas.
41 Serentak terdengarlah suara sorakan ramai, tanpa terasa Pwe-giok juga berseru memuji akan
tenaga orang. Segera Kim-yan-cu menanggapi pujian itu. "Orang ini adalah tokoh utama dunia persilatan di
Kwan-gwa, orang menyebutnya "Bu-tek-thi-pah-ong" (Si raja maha kuat tanpa tandingan),
kedua tangannya memang memiliki tenaga yang sukar diukur. Cuma sayang, meski anggota
badannya berkembang melebihi orang lain, tapi otaknya terlalu sederhana."
Pwe giok tetap tidak menghiraukan si walet, dilihatnya Thi pah ong yang mengangkat tungku
raksasa itu berjalan satu keliling di atas panggung lalu menaruh kembali tungku itu ditempat
semula. Ternyata mukanya tidak merah dan napasnya tidak tersenggal, lalu ia berseru :
"Barang siapa sanggup mengangkat tungku ini dan berjalan tiga langkah saja, maka aku akan
mengakui dia sebagai bengcu."
Meski yang berduduk di atas panggung ialah ketua dari berbagai aliran ternama, tapi tenaga
sakti pembawaan demikian memang sukar tertandingi. Seketika suasana menjadi hening dan
tiada yang bersuara.
Selagi Thi pah ong memandang ke sini dan mengerling kesana dengan bangga, tiba-tiba Hay
hong hujin dari Pek hoa pang, mendekatinya dengan langkah lemah gemulai, dengan
kerlingan mata genit ia berkata dengan tertawa:
"Hari ini dapat menyaksikan tenaga sakti Thi pah ong di sini, sungguh aku kagum tak
terhingga."
Tidak menjadi soal jika Hay Hong hujin tidak ketawa, sekali ketawa, maka tidak cuma
orangnya saja yang tertawa, bahkan alisnya, matanya, sampai bunga yang menghiasi
sanggulnya seakan-akan juga tertawa semua.
Biarpun Thi pah ong adalah seorang lelaki kasar, melihat tertawa yang menggiurkan dan
merontokkan sukma ini, mau tak mau ia terkesima lupa daratan, sejenak kemudian barulah ia
berdehem-dehem, lalu berkata: "Terima-kasih atas pujian Hujin."
Hay hong Hujin menengadah memandang wajah Thi pah ong, katanya pula dengan suara
halus : "Tenagamu yang maha sakti ini apakah benar timbul dari kedua tanganmu ini ?"
Dipandang dari jauh saja orang sudah mabuk oleh kecantikannya, apalagi sekarang dia berdiri
di depan Thi pah ong, bau harum tersiar mengikuti suaranya, bau harum yang mirip Lan hoa
(bunga anggrek) tapi bukan lan hoa, rasanya biarpun harum segala bunga di dunia ini
berhimpun menjadi satu masih kalah harumnya daripada bau hay hong hujin ini.
Keruan Thi pah ong menjadi lemas, berdiri saja hampir tidak sanggup, ia mengangguk dan
menjawab : "Ya, timbul dari kedua tanganku ini."
"Apakah boleh ku pegang ?" pinta Hay hong hujin dengan lembut.
Muka Thi pah ong menjadi merah. katanya dengan gelagapan : "Hu" Hujin..."
42 Tapi tangan Hay-hong Hujin yang mulus itu sudah mulai merabai tangan Thi-pah-ong yang
kuat seperti besi itu, Thi-pah-ong terkesima seperti orang hilang ingatan, ia diam saja dan
tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Mendadak terdengar Ang-lian-hoa membentak, "Awas Thi-heng..."
Thi-pah-ong terkejut, seketika terasa jari Hay-hong Hujin berubah sekeras baja, tahu2
setengah badannya terasa kaku.
Terdengar suara tertawa nyaring Hay-hong Hujin, tubuh Thi-pah-ong yang gede seperti
kerbau itu telah diangkatnya.
Seorang lelaki sebesar itu diangkat begitu saja oleh seorang perempuan cantik yang
tampaknya lemah tak bertenaga, pemandangan ini sungguh sangat berkesan dan sukar untuk
dilupakan oleh siapapun yang melihatnya.
Semua orang menjadi tertegun dan tidak tahu apakah harus bersorak atau mesti tertawa, yang
jelas tertawa tidak, bersorak juga tidak, menjadi bingung sendiri.
Perlahan-lahan Hay-hong Hujin menurunkan Thi-pah-ong ke tempatnya tadi, dibetulkannya
baju orang yang kusut serta membenarkan rambutnya, lalu berkata dengan suara lembut,
"Sungguh lelaki yang hebat, bilamana Bengcu harus dijabat oleh orang yang bertubuh paling
besar dan berat, maka aku pasti mencalonkan kau."
Habis berkata dengan tersenyum manis dan langkah gemulai ia kembali ke tempat duduknya.
Meski tangannya sudah dapat bergerak, tapi terpaksa Thi-pah-ong menyaksikan si jelita
melangkah pergi tanpa dapat berkutik.
Dilihatnya Hui-hi-kiam-khek telah menyongsong Hay-hong Hujin dan menyapanya dengan
tertawa, "Bunga yang menghiasi sanggul Hujin ini sungguh sangat indah, bolehkah pinjamkan
padaku sebentar?"
Hay-hong Hujin ber-kedip2, ucapnya dengan tertawa, "Apabila Hi tocu kurus sedikit, tanpa
syarat tentu akan kuberikan bunga ini..."
Belum lanjut ucapannya, se-konyong2 sinar pedang berkelebat, angin tajam menyambar lewat
di samping telinganya, tahu2 sekuntum bunga segar yang menghias sanggul Hay-hong Hujin
itu telah dicungkil oleh ujung pedang Hi Soan. Cara bagaimana dia melolos pedang dan cara
bagaimana turun tangannya, ternyata tiada seorangpun yang tahu.
Hay-hong Hujin menyurut mundur dua tiga langkah dengan wajah berubah pucat.
Ang-lian-hoa lantas bergelak tertawa dan berseru, "Kalau bunga Hay-hong Hujin itu sudah
diberikan kepada Hi-heng, sebagai gantinya boleh pakai saja bunga terataiku ini!" Di tengah
gelak tertawanya tertampak bayangan berkelebat.
Waktu semua orang memandang Hay-hong Hujin, ternyata di sanggulnya sekarang sudah
bertambah sekuntum bunga teratai merah.
43 Ginkang yang diperlihatkan Ang-lian-hoa ini sungguh luar biasa, biarpun Kun-lun-pay yang
terkenal dengan ginkangnya juga merasa kalah.
Seketika muka Hay-hong Hujin menjadi pucat, kedua tangannya berselubungkan lengan
bajunya yang longgar, katanya dengan senyum genit, "Dua lelaki besar merecoki seorang
perempuan lemah, apa kalian tidak malu?"
Meski dia tersenyum manis dan berucap dengan lembut, tapi setiap orang tahu Pek-hoa-pang
masih ada ilmu sakti simpanan yang disebut "Sam-sat jiu" atau tebaran tiga maut, yaitu
berupa bunga, hujan, dan kabut. Saat ini ketiga macam senjata rahasia itu sudah siap di dalam
lengan bajunya dan setiap saat dapat dihamburkannya.
Meski lahirnya Hi Soan dan Ang-lian-hoa masih bergelak tertawa, tapi diam2 mereka sama
siap siaga. "Siau-hun-hoat" atau bunga pencabut sukma, "Sit-kun-uh" atau hujan penyusut tulang dan
"Thian-hiang bu" atau kabut harum semerbak, tiga macam senjata rahasia maut Pek-hoa-pang
ini bila dihamburkan, selama ini belum pernah ada orang yang sanggup lolos dengan selamat.
Sebaliknya semua orang juga tahu kecepatan pedang kilat Hui-hi-kiam-khek, sekali bergerak
hampir tidak pernah meleset.
Dalam keadaan tegang itu, semua orang sama menahan nafas.
Syukurlah Thian-in Taysu lantas menghadang di depan Hay-hong Hujin, katanya sambil
menghormat, "Beribu macam ilmu silat berasal dari sumber yang sama, sedangkan kalian
masing2 memiliki keunggulan dan kelemahan sendiri2, andaikan benar2 saling gebrak kalah
menang pasti sukar ditentukan, yang jelas kalian pasti akan ditertawakan dulu oleh setiap
ksatria di dunia ini."
Semua orang menjadi bungkam dan merasa malu.
Jut-tun Totiang lantas berkata, "Lalu bagaimana menurut pendapat Taysu?"
"Bicara tentang ilmu silat, jelas kalian mempunyai keistimewaannya masing2, dalam hal
nama, kalianpun pimpinan suatu golongan terkemuka," demikian kata Thian-in Taysu. "Maka
untuk kedudukan Bengcu ini, akan lebih baik..."
"Kedudukan Bengcu ini akan lebih baik diserahkan saja kepada Bu-kek-pay kami!" mendadak
seseorang menanggapi dengan bergelak tertawa.
Serentak semua orang berpaling ke sana, tertampak belasan orang muncul dari sebelah kanan,
tampaknya sangat lambat jalannya, tapi baru lenyap ucapan tadi, rombongan mereka pun
sudah berada di depan panggung.
Tentu saja semua orang sama melengak. Tubuh Ji Pwe-giok juga lantas bergemetar,
gumamnya: "Ini dia baru....... baru datang......"
Belasan orang itu terbagi menjadi dua baris, jubah yang mereka pakai berwarna hijau
seluruhnya, semuanya berjenggot, usianya rata-rata sudah di atas setengah abad.
44 Meski wajah belasan orang ini tidak luar biasa, namun sudah cukup membuat para ksatria
terkesiap. Sebab, tiada satu pun di antara belasan orang ini bukan tokoh kelas wahid, andaikan
ada yang belum pernah melihat muka mereka, paling sedikit juga pernah mendengar nama
kebesaran mereka.
Pada baris pertama dua orang di kanan dan kiri masing-masing adalah Leng-hoa-kiam Lim
soh-koan, satu di antara kesepuluh ahli pedang jaman ini, yang lain ialah Kanglam tayhiap
Ong Ih-lau. Di belakang mereka mengikuti Sim Cin-jiang si tumbak perak dari Ih-hian, Sebun
Hong dari Mo-san dan raja bajak Thay-oh Kim Liong-ong.
Pendek kata, belasan orang ini meski bukan sesuatu ketua perguruan ternama seperti ke-13
Mui-pay, tapi nama mereka sama sekali tidak di bawah ke-13 ketua mui-pay besar yang
berada di atas panggung ini.
Kursi baris terdepan yang berada di bawah panggung itu justeru disediakan bagi rombongan
ini, tapi mereka malah langsung naik ke atas panggung. Maka cepat Thian-in Taysu
menyongsong mereka dan menyapa: " Kalian datang dari jauh, disilahkan mengikuti upacara
ini di bawah panggung."
"Kedatangan kami ini bukan cuma sebagai peninjau saja," dengan suara lantang Lim Sohkoan
lantas berkata.
Thian-in rada melengak, ia tetap bersikap hormat, katanya dengan tersenyum: "Bilakah kalian
masuk menjadi anggota Bu-kek-pay" Ah, janganlah kalian bergurau!"
"Waktu kami masuk perguruan, tidak sempat mengundang Taysu untuk ikut menyaksikan
upacaranya, untuk ini mohon dimaafkan," kata Lim Soh-koan.
"Ah, tidak soal," ujar Thian-in. "Tapi Ji Ciangkun kalian......"
Mendadak di belakang sana seorang menanggapi dengan tertawa: "Sudah sekian tahun tidak
bertemu, baik-baikkah Taysu selama ini"!"
Cepat Thian-in Taysu berpaling, dilihatnya seorang tua dengan baju longgar dan berwajah
lonjong, sikapnya tenang dan sabar seperti dewa, siapa lagi dia kalau bukan ketua Bu-kekpay,
Ji Hong-ho adanya.
Ternyata di depan mata orang banyak, secara diam-diam ia telah naik ke atas panggung,
sampai-sampai Coat-ceng-cu yang berdiri paling belakang sana juga tidak mengetahuinya.
Mau tak mau Thian-in Taysu melengak, cepat ia memberi hormat dan menyapa: "Ji-heng
laksana dewa yang hidup di surga-loka, tak tersangka hari ini benar-benar menginjak pula
dunia ramai. Ini benar-benar sangat beruntung bagi dunia Kangouw, pertemuan ini dihadiri Jiheng,
tak sesuatu lagi yang perlu kukuatirkan."
Di balik ucapannya ini seolah-olah hendak mengatakan bahwa jabatan ketua Perserikatan
Hong-ti ini jelas tak dapat dijabat orang lain terkecuali Hong-ho Lojin atau si kakek Hong-ho.
Padahal Hong-ho Lojin memang juga tokoh yang paling dihormati dan menjadi pujaan setiap
peserta rapat ini.
45 Meski Coat-ceng-cu dan lain-lain tetap merasa berat untuk menarik diri dari pencalonan
jabatan ketua itu, tapi melihat Bu-kek-pay kini telah didukung oleh berbagai tokoh terkemuka
golongan lain, mau tidak mau mereka tidak berani banyak omong lagi.
Segera Jut-tun Totiang mendahului buka suara: "Apabila Hong-ho Toheng sudi memegang
pimpinan pula, sudah tentu anak murid Bu-tong akan merasa sangat beruntung."
"Anak murid Khong tong juga sudah lama mengagumi kepribadian Hong-ho Lojin," seru
Coat-ceng-cu. Auyang Liong juga berteriak: "Mendiang guruku juga sering menyatakan bahwa Ji locianpwe
adalah seorang paling bijaksana, tak tersangka hari ini dapat kutemui di sini. Bilamana Ji
locianpwe sudi memimpin perserikatan ini, para kawan yang hidup di atas air pimpinanku
dengan ini menyatakan akan tunduk di bawah perintah."
Suara Hay-hong Hujin yang nyaring juga berseru: "Ji-ciangbun luhur budi dan bijaksana tentu
bukanlah manusia yang suka menganiaya anak perempuan. Pek-hoa Pang kami memang tidak
tunduk kepada siapa pun juga terkecuali kepada Ji cianpwe."
Sampai di sini, melihat gelagatnya jelas jabatan ketua sudah diputuskan dengan suara bulat.
Semua orang, baik di atas maupun di bawah panggung sama bertepuk tangan dan bersorak
gembira. Hanya Ang-lian-hoa saja yang tidak memberi reaksi apa-apa, dengan pandangan
heran dan sangsi ia terus mengawasi sikap Ji Pwe-giok.
Dalam pada itu, terdengar Hong-ho Lojin sedang berkata dengan tersenyum: "Sebenarnya
Losiu (orang tua lapuk) sudah terbiasa hidup malas dan tiada maksud apa pun, tapi
lantaran....."
Mendengar suara ini, Pwe-giok tidak tahan lagi, mendadak ia melompat ke atas, seperti orang
gila saja dia menerjang ke atas panggung sambil berteriak dengan suara parau: "Orang ini
bukan ayahku! Dia palsu!"
Seketika senyap suara sorak-sorai tadi, semua orang sama melenggong kaget.
"Pwe-giok, apa kau sudah gila?" bentak Lim Soh-koan dengan gusar.
Berbareng Sebun Hong dan Kim Liong-ong menubruk maju, akan tetapi mereka lantas
diseruduk Pwe-giok hingga tergetar mundur.
Dengan kalap Pwe-giok menerjang ke depan "Hong-ho Lojin" dan membentak:
"Sesungguhnya siapa kau" Berani kau memalsukan ayahku"!"
Di tengah bentakannya ia terus menjotos, akan tetapi semacam tenaga lunak dan sukar ditahan
telah membuat tubuhnya terpental. Karena itu, Ong Ih-lau dan lain-lain lantas memburu maju
dan membekuknya.
Dengan suara berat Thian-in Taysu berkata: "Orang muda mana boleh berlaku sekasar dan
tidak sopan begini, ada persoalan apa hendaklah dibicarakan secara baik-baik saja."
46 "Kau anak murid siapa?" Jut-tun Totiang lantas bertanya.
"Tecu Ji Pwe-giok," seru Pwe-giok dengan menggertak gigi dan air mata bercucuran.
Sorot mata Thian-in Taysu beralih ke arah Ji Hong-ho, tanyanya: "Apakah benar dia
putramu?" Ji Hong-ho tersenyum pedih, katanya sambil mengangguk: "Anak ini.... Ai, dia ....." sampai di
sini dia lantas menghela napas panjang dan tidak melanjutkan.
Jut-tun Totiang lantas membentak Pwe-giok: "Mengapa kau berani berbuat kasar begini
terhadap orang tua?"
Kedua lengan Pwe-giok terasa kaku dan tak dapat berkutik lagi, dengan suara parau ia
berteriak: "Dia bukan ayahku! Ayah sudah meninggal, di sampingku beliau meninggal!"
Thian-in dan Jut-tun saling pandang sekejap dengan air muka berubah.
Oh Ih-lau lantas menyela: "Anak ini benar-benar sudah gila, masa ngaco-belo tidak keruan."
"Ya, dia memang gila," tiba-tiba Cia Thian-pi menukas. "Pagi tadi dia datang menumpang
keretaku, tapi dia menuduh aku membunuh ayahnya. Padahal jejakku selama beberapa hari
terakhir ini tentu diketahui oleh kalian, syukur sekarang Ji Locianpwe berada di sini, kalau
tidak....... wah!"
Meski dalam hati orang banyak timbul rasa curiga, tapi setelah mendengar keterangan ketua
Tiam-jong pay ini, mereka pun sama menggeleng dan menghela nafas gegetun.
Apakah ucapan tokoh-tokoh angkatan tua yang terhormat dan disegani ini lebih dapat
dipercaya atau harus percaya kepada penuturan seorang pemuda yang tampaknya kurang
waras ini" Tanpa dijawab pun kiranya sudah jelas.
Hancur luluh perasaan Pwe-giok melihat air muka para hadirin yang merasa tidak senang
terhadap tindakannya itu, air matanya berderai bagaikan hujan. Musibah yang dideritanya dan
fitnah yang diterimanya apakah sejak kini akan tenggelam ke dasar lautan dan tak dapat
dibongkar lagi"
Lim Soh-hoan memandang sekeliling, dengan sendirinya ia pun dapat melihat sikap orang
banyak yang menguntungkan pihaknya, dengan suara bengis ia lantas membentak: "Berani
kepada atasan dan mengacau di sidang khidmat ini, durhaka kepada orang tua dan menuduh
secara ngawur, dosanya ini harus dihukum mati dan sukar diampuni. Orang she Lim terpaksa
harus mengenyampingkan hubungan keluarga dan melaksanakan keadilan bagi dunia
Kangouw." Jika ayah mertuanya saja sudah begitu bicaranya, orang luar mana ada yang berani ikut
campur lagi. Segera Lim Soh-koan melolos pedangnya terus menusuk.
"Nanti dulu!" mendadak seseorang membentak.
47 Tahu-tahu tangan Lim Soh-koan yang memegang pedang dicengkeram orang seperti terjepit
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanggam, sehingga badannya terasa kaku dan tak bisa berkutik.
"Ang-lian Pangcu, masa kau mem... membela anak durhaka ini?" teriak Lim Soh-koan.
Yang mencengkeram tangannya memang betul Ang-lian-hoa, ia tidak perdulikan ucapan
orang, tangan yang lain menepuk pundak Pwe-giok, katanya dengan tertawa: "Memang agak
keterlaluan kelakar ini, tapi rasanya sudah cukuplah sekarang!"
Ucapan ketua Kay pang ini membikin beribu-ribu orang, baik di atas maupun di bawah
panggung, semuanya sama tercengang.
"Kel.... kelakar apa maksudmu?" tanya Lim-soh-koan dengan terkesiap.
Ang-lian-hoa bergelak tertawa, katanya: "Setiap kali sidang pertemuan Hong-ti berlangsung,
suasana selalu terasa sangat tegang, karena itulah Siaute lantas mencari akal ini agar dapat
sekedar mengendurkan urat syaraf para hadirin."
Thian-in saling pandang dengan Jut-tun Totiang, sedangkan Ong Ih-lau, Lim Soh-koan dan
konco-konconya sama melenggong seperti patung.
Sekali tepuk Ang-lian-hoa membuka hiat-to Pwe-giok yang tertutuk, lalu katanya pula:
"Sekarang kita mengakhiri kelakar ini dan bolehlah kau bicara dengan sejujurnya."
Pwe-giok menunduk dan mengiakan, mendadak ia lantas menengadah dan tertawa, ia terus
menyembah kepada Ji Hong-ho dan berseru: "Anak terlalu kurang ajar, mohon ayah sudi
memberi ampun."
Wajah Ji Hong-ho tampak kurang senang, katanya sambil terbatuk-batuk: "Kau.... hk, hk....
kau terlalu.... terlalu..... hk, hk....."
"Nah sudahlah, ayahmu sudah memberi ampun padamu, lekas kau bangun!" seru Ang-lianhoa.
Sampai di sini, ada sementara orang sudah mulai tertawa, mereka merasa "kelakar" ini
sungguh sangat menarik. Sebaliknya Lim-soh-koan, Ong Ih-lau dan lain-lain sama menyengir
bingung mimpi pun mereka tidak menduga akan terjadi perubahan begini.
Cia Thian-pi menghela nafas lega, ucapnya dengan tertawa: "Memang seharusnya sudah
kuduga ini adalah kelakar yang disutradarai Ang-heng."
Ang-lian-hoa berkedip-kedip dan menjawab dengan tertawa: "Memang, seharusnya sudah
tadi-tadi kau duga, mustahil di dunia ini ada manusia sembrono begini, masa menuduh kau
membunuh ayahnya tanpa berdasar?"
Cia Thian-pi terbahak-bahak, agaknya makin dipikir terasa semakin lucu.
"Kelakar ini tidak ditujukan kepada orang lain, tapi justeru tertuju kepada Ji locianpwe yang
bijaksana dan baik hati, tidak nanti beliau marah hanya karena sedikit urusan ini."
48 "Hk, hk,.... anak ini...... hk, hk,......" selain batuk-batuk saja, memangnya apa yang dapat
dikatakan Ji Hong-ho"
Segera Ang-lian-hoa membangunkan Pwe-giok dan berkata: "Gara-gara berkelakar, kau yang
terpaksa harus berlutut dan minta ampun, harap aku dimaafkan."
"Nanti dulu," mendadak Lim Soh-koan membentak.
"Apakah kaupun ingin dia menyembah dan minta ampun padamu seperti perbuatannya
terhadap ayahnya?" tanya Ang-lian-hoa.
"Sidang Hong-ti ini masa kau anggap tempat berkelakar seperti anak kecil begini?" seru Lim
Soh-koan dengan bengis. "Perbuatan yang tidak sopan dan tidak masuk akal begini apakah
cukup dengan menyembah dan minta ampun saja?"
"Habis, mau apalagi kalau menurut pendapat anda?" tanya Ang-lian-hoa.
"Melulu kesalahan mempermainkan orang tua sudah harus dihukum dengan memunahkan
ilmu silatnya dan dipecat dari perguruan," bentak Lim Soh-koan.
Ang-lian-hoa tersenyum dan bertanya: "Apakah anda ketua sidang pertemuan ini?"
"Bu....... bukan," jawab Lim Soh-koan.
"Apakah anda ayah Ji Pwe-giok?" tanya Ang-lian-hoa pula.
"Bukan," jawab Lim Soh-koan dengan muka merah.
Mendadak Ang-lian-hoa menarik muka, katanya: "Kalau begitu, lantas anda ini orang macam
apa" Dengan hak apa kau bicara di atas panggung ini?"
Sorot mata Ang-lian-hoa mendadak berubah tajam sehingga Lim Soh-koan tidak berani
menatapnya, ia menunduk dan tidak berani bicara lagi.
Ang-lian-hoa lantas memberi hormat kepada segenap hadirin, lalu berkata: "Kelakar ini sama
sekali adalah karena doronganku, jika para hadirin merasa Siaute bersalah, kalau harus
dipukul, Siaute terima dipukul, kalau mesti dihukum, Siaute juga rela dihukum."
Kay-pang adalah organisasi Kangouw terbesar selama 80 tahun, anggotanya beratus ribu
bahkan jutaan banyaknya dan tersebar di seluruh negeri, usia Ang-lian-hoa masih sangat
muda, tapi kepribadiannya, kecerdasan dan tinggi ilmu silatnya dipuji oleh setiap orang
kangouw. Sekarang dia bicara blak-blakan begitu, siapa yang berani bermusuhan dengan dia
dengan menyatakan dia harus dipukul atau dihukum.
Apalagi persoalannya tidak menyangkut kepentingan sendiri, kebanyakan di antaranya lebih
suka tidak ikut campur. Hanya Hui-hi-kiam-khek saja, sambil meraba pedangnya ia berkata
dengan tertawa: "Menurut pendapatku, Ang-lian-pangcu justru telah menghibur kita di tengah
ketegangan ini, bukannya dihukum seharusnya dia harus mendapat pahala, maka aku
mengusulkan dia harus disuguh tiga cawan arak!"
49 Thian-in Taysu termenung sejenak, katanya kemudian: "Kukira urusan ini serahkan saja
kepada keputusan Hong-ho Lojin!"
Ji Hong-ho berdiam cukup lama, belum lagi bicara, tiba-tiba suara seorang tajam melengking
terdengar di bawah panggung sana: "Sebuas-buasnya harimau juga tidak makan anaknya
sendiri, kukira persoalan ini pasti tidak diusut lebih lanjut oleh Ji Locianpwe!"
Air muka Ji Hong-ho tampak berubah demi mendengar suara itu, segera ia pun berkata
dengan tertawa getir: "Jika Ang-lian Pangcu sudah bicara bagi anak ini, biarlah kuberi ampun
padanya sekali ini."
Serentak terdengarlah suara sorak-sorai di bawah panggung. Pada kesempatan itu Ang-lianhoa
lantas mendekati Bwe Su-bong dan membisikinya: "Lekas pergi mencari tahu, siapa
orang yang bicara tadi?"
Diam-diam Bwe Su-bong lantas melayang turun melalui belakang panggung. Sedang Anglianhoa berlagak seperti tidak terjadi apa-apa, ia maju pula ke depan panggung dan memberi
hormat kepada segenap hadirin sambil mengucapkan terima kasih. Lalu ia tepuk-tepuk
pundak Pwe-giok dan berkata: "Nah, untuk apalagi kau berdiri di sini" Pergilah ganti pakaian
dan sediakan arak, tunggulah kedatangan ayahmu nanti."
Pwe-giok memandangnya sekejap, entah betapa rasa terima kasihnya yang terkandung dalam
sorot matanya ini. Lalu, ia pun memberi hormat kepada para hadirin dan berlari meninggalkan
panggung. Terpaksa Lim Soh-koan, Ong Ih-lau dan lain-lain hanya memandangi kepergian anak muda
itu dengan melongo, bagaimana perasaan mereka sukar untuk diketahui orang lain.
Tiba-tiba Sin-to Kongcu mengomel: "Sialan!"
Kim-yan-cu lantas menjengek: "Huh, orang sekarang resminya adalah putera Bu-lim Bengcu,
betapa pun kedudukannya sudah jauh lebih terhormat daripadamu, kukira janganlah kau cobacoba
merecoki dia."
Tidak kepalang gemas Sin-to Kongcu, ia hanya melotot dan menggertak gigi, tapi tak sanggup
bicara lagi. ***** Setelah turun dari panggung, tanpa berpaling Ji Pwe-giok terus berlari meninggalkan
perkemahan sidang, di luar hanya lautan manusia belaka, ia menyelinap ke tengah kerumunan
orang banyak. Orang banyak yang di depan melihat kedatangannya sama memberi jalan
padanya, tapi orang yang di belakang hakekatnya tidak tahu siapa dia sehingga dia mandi
keringat tergencet di sana-sini.
Dengan susah payah tampaknya dia sudah hampir menyelinap keluar dari berjubelnya lautan
manusia, sekonyong-konyong ia merasa pinggangnya seperti tertutuk oleh sesuatu benda
keras, segera ia mendoyongkan tubuh ke depan dengan sekuatnya, tentu saja orang lain tidak
50 tahan oleh gentakan tenaganya yang kuat ini, belasan orang sama tertumbuk jatuh tunggang
langgang. Pada saat yang sama itulah ia dengar di belakang seperti ada suara orang yang menjerit
tertahan, begitu bersuara lantas berhenti, mirip orang yang baru menjerit dan segera mulutnya
didekap. Ia pun tidak ingin mencari tahu apa yang terjadi, cepat ia menyelinap keluar dari kerumunan
orang banyak dan berlari ke depan. Tapi lari kemana" Sungguh kusut pikirannya, mana dia
tahu ke mana akan dituju nya"
Setelah tertiup angin barulah ia merasa belakang tubuhnya silir-silir perih, seperti ada cairan
mengalir, ia mengira air keringat, tapi ketika dirabanya dengan tangan dan memandangnya,
ternyata tangannya penuh berlepotan darah segar.
Baru sekarang ia menyadari bilamana tadi dia tidak bertindak cepat dengan mendoyong ke
depan, tentu saat ini dia sudah mati di tengah berjubelnya manusia.
Lalu siapakah yang hendak membunuhnya" Sudah tentu sukar untuk diselidiki.
Teringat kejadian ini, belum lagi keringat hangatnya kering, kembali keringat dingin
merembes lagi. Seketika tidak keruan rasa hati Ji Pwe-giok, ya pahit ya getir, ya benci ya terima kasih, ya
gemas ya sedih. Jelas tadi orang hendak membunuhnya, tapi ada seorang lain telah menjadi
korban karena dia sempat menyelamatkan diri. Hal inilah yang membuatnya sedih.
Ang-lian-hoa boleh dikatakan baru saja dikenalnya, tapi telah membantunya dengan sepenuh
hati tanpa pamrih, hal inilah yang membuatnya berterima kasih.
Ayahnya dibunuh orang secara keji, tapi keadaan memaksanya sedemikian rupa, bukan saja
dia tidak dapat menuntut balas, bahkan terpaksa harus mengakui musuh sebagai ayah. Untuk
ini masakan dia tidak pedih dan tidak benci "
Sekarang keluarganya berantakan, dikhianati orangnya sendiri, hari depannya tak menentu
dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya, semua ini membuatnya sedih.
Teringat kepada kejadian tadi, ketika dia harus tertawa dan menyembah kepada musuh dan
mengaku ayah padanya, sungguh ia tidak tahu cara bagaimana dia dapat berlaku tertawa. Bisa
jadi lantaran bencinya sudah merasuk tulang, maka dia harus menuntut balas, dia harus hidup!
sekali kali tidak boleh mati.
Pada saat itulah mendadak di belakang terdengar suara orang berjalan dengan langkah
perlahan, cepat Pwe-giok berpaling, beberapa bayangan orang segara berkelebat dan
sembunyi dibalik pohon dab batu.
Pwe-giok pura-pura tidak tahu, ia tetap melangkah ke depan, tapi sengaja dilambatkan
jalannya. Baru belasan langkah, sekonyong-konyong datang serangan, tiga batang golok, dua
dari atas dan satu dari bawah, serentak membacok dan menebas dengan cepat dan kuat.
51 Secepat kilat Pwe-giok menjatuhkan diri ke depan, sambil setengah bertiarap, kaki kanan
terus mendepak ke belakang.
Kontan terdengar suara jeritan, seorang lelaki terdepak terpental. Dua lainnya karena serangan
tidak berhasil, segera bermaksud kabur.
Akan tetapi Pwe-giok bergerak terlebih cepat, mendadak ia melompat bangun terus
menghantam tepat mengenai punggung salah seorang itu. Lelaki itu sempat berlari beberapa
langkah, tapi tubuh bagian atas terus menekuk ke belakang mirip bambu patah, lalu roboh
terkulai. Lelaki yang lain merasa tidak dapat kabur lagi, terpaksa ia mengadu jiwa, goloknya
membacok lagi. Tapi sekali pegang, pergelangan tangannya dapat ditangkap oleh Ji Pwe-giok,
segera orang itu menjotos dengan tangan lain, tapi kepalannya juga kena dihimpit di bawah
ketiak oleh Pwe-giok.
Pada waktu biasa lelaki inipun tergolong jagoan, tapi ilmu silat yang dimilikinya sekarang
bagi Ji Pwe-giok jadi seperti permainan anak kecil belaka. Tulang tangannya sama retak,
sakitnya membuatnya hampir kelenger.
Dengan suara bengis Pwe-giok lantas membentak: "Kau bekerja bagi siapa" Asalkan kau
mengaku terus terang segera kuampuni jiwamu!"
Lelaki itu tertawa pedih, katanya: "Apakah kau ingin tahu" tapi selamanya kau tak mungkin
tahu..." suaranya semakin lemah dan mendadak berhenti dengan muka pucat.
Waktu Pwe-giok memeriksa napasnya, hanya sekejap saja lelaki itu ternyata sudah mati. Air
mukanya dari pucat lantas berubah hitam, kulit daging mukanya juga lantas menyusut, sampai
biji mata juga lantas ambles ke dalam dan akhirnya lenyap semua. Hanya sejenak saja
berubah menjadi tengkorak.
Nyata didalam mulut lelaki itu sudah disiapkan racun. Racun ini serupa dengan racun yang
membinasakan Hek-Kap-cu tempo hari itu. Jelas ketiga lelaki inipun didalangi oleh iblis tak
kelihatan yang membinasakan Hong-ho Lojin itu.
Waktu Pwe-giok memeriksa lagi kedua orang lain, yang satu tulang dadanya remuk dan yang
satu lagi tulang punggung patah, semuanya sudah mati sejak tadi. Maklum, terlalu berat
tendangan dan hantaman Pwe-giok bagi mereka.
Pwe-giok menghela napas sedih, ia menunduk, dirasakan tangannya terasa rada gatal. Ia tidak
mengacuhkan dan menggaruk-garuknya. Tak terduga, makin digaruk makin gatal, bahkan
akhirnya rasa gatal itu seakan-akan menggelitik hati.
Tidak kepalang kagetnya, ia tahu gelagat tidak baik, tapi rasa gatal itu sungguh sukar ditahan
dan ingin menggaruknya lagi. Hanya sekejap saja jarinya sudah bengkak, telapak tangan juga
mulai bersemu hitam, rasa gatal itu dari telapak tangan mulai menjalar ke lengan.
Kejut dan takut pula Pwe-giok, ia berusaha menjemput golok orang yang terjatuh di tanah itu,
bilamana perlu ia bermaksud membuntungi tangan sendiri.
52 Akan tetapi jari tangan sudah tidak mau menurut perintah lagi, sudah kaku dan mati rasa,
golok terpegang dan terjatuh pula. Dengan menggertak gigi sekuatnya ia pegang pula golok
itu, akhirnya dapatlah golok itu diangkatnya terus hendak menebas lengan sendiri. Syukurlah
pada detik itu mendadak setitik sinar menyambar tiba, "trang", golok itu tergetar hingga
terlepas. Pada saat yang hampir sama dua lelaki berjubah panjang dan memakai kedok hitam melayang
keluar dari tempat teduh, yang seorang tinggi kurus, yang lain pendek besar.
Yang jangkung lantas terkekeh kekeh terhadap Pwe-giok, ucapnya: "Gatal, aduh, gatalnya,
nikmat sekali kalau digaruk." Sambil bicara ia terus berlagak seperti orang yang menggaruk.
Tanpa terasa Pwe-giok juga hendak menggaruk pula, tapi mendadak ia tersentak kaget, tangan
kanan terus menghantam tangan kiri sendiri sambil berteriak: "Akhirnya aku terperangkap
juga oleh tipu keji kalian. Jika mau bunuh boleh kalian bunuh saja diriku."
Dengan terkekeh si jangkung berkata: "Baru sekarang kau tahu terperangkap" Padahal
alangkah tangkasnya tadi ketika kau main depak dan pukul membinasakan ketiga kawan kami
ini" Si pendek juga mengejek: "tentunya kau tahu sekarang bahwa ketiga orang ini sengaja kami
kirim agar kau bunuh, kalau tidak, masa pihak kami mengirim orang tak becus seperti mereka
ini." Si jangkung lantas menyambung: "Sudah kami perhitungkan, setelah kau bunuh mereka, tentu
akan kau periksa mayat mereka, sebab itulah di baju mereka sudah ditaburi racun, begitu
tanganmu menyentuh bubuk itu, sedikit terasa gatal, segera racun itu akan bekerja terlebih
cepat. Ha ha, bilamana rasa gatal sudah menggelitik, mustahil kau tidak menggaruknya ?"
"Dan sekarang kedua tanganmu sudah bengkak seperti kaki babi, jelas tanganmu tiada
gunanya lagi, coba, apakah kau masih bisa berlagak garang dan memukul orang ?"
Begitulah kedua orang, yang satu jangkung dan yang lain pendek, keduanya bercakap seperti
pelawak di atas panggung, meraka sengaja mengejek dan berolok-olok.
Dengan menggertak gigi Ji Pwe-giok berkata: "Cara kalian mencelakai orang ternyata tidak
sayang mengorbankan kawan sendiri, hm, apakah cara kalian ini terhitung perbuatan manusia,
hakekatnya melebihi binatang buas."
"Ketiga orang itu rela mati demi Cukong kami, kematian mereka harus dipuji, bukan saja
mereka merasa bangga, bahkan anggota keluarga yang ditinggalkan mereka juga akan merasa
beruntung." ujar si jangkung.
"Tapi sekarang kematianmu justeru mati tanpa suara dan tak berbau, bahkan orang lain tiada
yang tahu apakah kau sudah mati atau masih hidup, mungkin ada yang mengira kau telah
melarikan diri karena takut dosamu akan dituntut." sambung si pendek.
Tidak kepalang pedih hati Ji Pwe-giok, ia merasa kematian sudah menanti dan sukar
dihindari, ia tertawa sedih dan berkata: "Sungguh tak tersangka di dunia ini ada manusia
53 sekeji dan kejam seperti kalian ini ..." belum habis ucapannya pandangannya menjadi gelap
dan robohlah dia.
"He he he, bagaimana kalau kita berlomba, kubacok satu kali dan kaupun bacok satu kali,
coba siapa yang lebih dulu membinasakan dia," kata si jangkung dengan terkekeh kekeh.
Si pendek menjawab: "Aha bagus, usul yang menarik..."
Kedua orang lantas menjemput sebatang golok kawan mereka yang sudah binasa ini, lalu
mendekati Pwe-giok pula.
"Sebelum ajalku, apakah kalian tetap tidak mau memberitahukan padaku sesungguhnya
bagaimana bentuk intrik ini dan siapa yang berdiri di belakang semua ini ?" teriak Pwe-giok
dengan parau. Jilid 3________
"Hehe, apakah kau ingin jadi setan yang tahu duduknya perkara?" tanya si jangkung. "Tidak,
tidak boleh, kau ditakdirkan harus menjadi setan penasaran."
"Bukan kami tidak mau memberitahukan padamu, sebab rahasia di balik urusan ini kami
sendiripun tidak tahu," ujar yang pendek.
Baru habis ucapannya, mendadak ia melonjak kaget seperti melihat setan, jeritnya dengan
ketakutan, "He, ular! ular!" benar juga, kaki kanannya telah dirambati oleh dua ekor ular kecil
berwarna hijau gelap.
Di atas tanah masih ada dua ekor ular lagi dan secepat kilat menyambar ke arah si jangkung.
Tapi gerak tubuh si jangkung juga selicin ular, sekali berkelebat dapatlah ia menghindarkan
pagutan ular, berbareng goloknya lantas menabas dan tepat mengenai muka si pendek,
bentaknya dengan bengis:
"Keluargamu pasti akan ku jaga dengan baik, kau tidak perlu kuatir."
Muka si pendek berlumuran darah, tapi masih sanggup tertawa pedih, katanya, "Te! terima
kasih! aku dapat mati bagi Cu-siang (majikan) sungguh aku sangat! sangat senang!" belum
habis ucapannya ia terus roboh dan binasa.
Dalam pada itu si jangkung sudah melayang pergi beberapa tombak jauhnya, sekali berkelebat
pula lantas menghilang.
Mandi keringat dingin Ji Pwe-giok menyaksikan kejadian itu, pandangannya mulai gelap,
tubuhnya terasa semakin berat dan seolah tenggelam ke lubang gua yang tak terkira dalamnya
dan akhirnya tidak melihat apa2 lagi.
*****
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sang surya sudah terbenam di sebelah barat, jagat raya ini diliputi kekelaman, meski di
musim panas, angin malam mengembus silir2 sejuk, suasana sunyi senyap dan terasa
mencekam. 54 Waktu Pwe-giok siuman, ia merasa tangannya seakan-akan dicocok oleh beribu-ribu jarum,
tangannya yang sudah kaku itu tiba-tiba dapat dirasakan lagi, tapi bukan rasa gatal lagi
melainkan rasa sakit.
Ia membuka mata, dalam keadaan remang-remang terlihat sesosok bayangan berdiri di
depannya tanpa bergerak, rambut orang sudah memutih perak dan bergoyang-goyang tertiup
angin. Kejut dan girang Pwe-giok. "Bwe!" belum sempat dia berseru, tahu2 mulutnya sudah didekap
oleh Bwe Su-bong.
"Jangan bergerak," kata pengemis tua itu. "Saat ini sedang kusuruh Siau Jing (si hijau), Siau
Pek (si putih), Siau Pan (si loreng) dan Siau Hek (si hitam) menghisap racunmu, asalkan
racun sudah terhisap habis, tentu takkan berbahaya lagi."
Waktu Pwe-giok memandang ke bawah, dilihatnya empat ekor ular kecil menempel di
tangannya, yang seekor berwarna hijau, satu lagi warna putih, yang lain warna belang dan
yang ke empat berwarna hitam bertutul putih. Mungkin itulah ke empat ekor ular Siau Jing
dan lain2 yang disebut Bwe Su-bong tadi.
Memandangi ular2 itu, Bwe Su-bong tampak sangat kasih sayang seperti seorang ayah
terhadap anak-anaknya. Dengan tersenyum ia berkata, "Coba lihat, mereka sangat
menyenangkan bukan?"
Dengan setulus hati Pwe-giok mengangguk. Setelah melihat manusia kejam dan keji tadi kini
melihat pula ke empat ekor ular kecil ini, sungguh ia merasa ular terlebih menyenangkan
daripada manusia.
"Sudah lama, mereka bukan saja menjadi kawan karibku, menjadi anakku, bahkan juga
pembantuku yang setia," tutur Bwe Su-bong dengan tertawa. "Aku sendiri sudah tua, tangan
dan kakiku sudah kaku dan tidak gesit lagi, tapi mereka masih sangat muda." Bicara sampai di
sini, tertawalah dia dengan sangat gembira.
Teringat kepada tingkah laku orang yang digigit ular tadi, mau tak mau timbul juga rasa puas
Ji Pwe-giok. Sudah sekian lamanya, untuk pertama kali inilah hati anak muda ini merasa
senang. "Tentunya kau tahu sekarang bahwa namaku juga timbul dari kawanan ular ini," tutur Bwe
Su-bong pula. "Orang Kangouw suka menyebut diriku "Bo-su-bang" (tidak ada urusan, sibuk
selalu)! Haha, padahal namaku Bwe Su-bong (Bwe si empat ular), Bo Su-bang dan Bwe Subong,
hehe.. entah keparat siapa yang mencetuskan olok2 ini padaku."
Tiba2 Pwe-giok teringat kepada gerak-gerik kedua orang tadi, yaitu si jangkung dan si
pendek, jelas kepandaian mereka tidak lemah dan pasti tokoh ternama dunia Kangouw. Bwe
Su-bong sudah lama berkelana di dunia persilatan, pengalamannya sangat luas, entah dia
kenal mereka tidak"
Agaknya Bwe Su-bong dapat meraba isi hati Pwe-giok, dengan menyesal dia berkata, "Siapa
orang ini mungkin aku dapat mengenali dia, cuma sayang mukanya telah dihancurkan oleh
55 bacokan golok temannya. Ai, orang itu bukan saja membunuh kawan untuk tutup mulut,
bahkan menghancurkan mukanya, tindakannya yang keji ini sungguh jarang ada
bandingannya."
Dengan sedih Pwe-giok memejamkan matanya, nyata garis petunjuk yang diharapkan ini
kembali lenyap.
"Orang2 ini tidak saja kejam dan keji dengan rencana yang rapi, bahkan cara kerja mereka
sangat cekatan dan bersih," tutur Bwe Su-bong pula. "Tadi sudah kugeledah tubuh mereka
dan tiada menemukan sesuatu benda tanda pengenal mereka."
Lalu pengemis tua ini berjongkok dan memeriksa tangan Pwe-giok, mendadak ia bersuit
perlahan, serentak empat ekor ular kecil itu melepaskan gigitannya dan merambat ke tubuh
Bwe Su-bong, dari kaki merambat ke perut, ke dada dan melintasi pundaknya.
"Anak sayang, tentu kalian sudah lelah. Pulanglah dan tidur!" kata Bwe Su-bong dengan riang
gembira. Ke empat ular kecil itu juga sangat penurut, beramai-ramai mereka lantas menyusup ke dalam
karung goni di punggung Bwe Su-bong.
"Untung racun yang mengenai dirimu masuknya melalui kulit badan secara tidak langsung,
untung juga tanganmu tiada lubang luka, meski tubuhmu sekarang masih terasa lemah, tapi
pasti tidak beralangan lagi," ujar Bwe Su-bong dengan tertawa.
Pwe-giok tidak mengucapkan terima kasih, ia merasa budi pertolongan sebesar ini tidak dapat
dibalas hanya dengan ucapan terima kasih saja.
Tampaknya Bwe Su-bong sangat gembira, ia bangunkan Pwe-giok dan berkata pula,
"Pertemuan Hong-ti entah sudah berakhir belum, jika sudah ditutup, tentu Pangcu kami
sedang menantikan kedatanganmu. Marilah kita pulang untuk menemuinya."
"Aku! aku tidak ingin kesana," mendadak Pwe-giok berkata.
"Kau tidak! tidak mau menemui Pangcu?" Bwe Su-bong menegas dengan heran.
"Saat ini di sekitarku sedang mengintai berbagai setan iblis yang tak terhitung jumlahnya dan
setiap saat akan turun tangan keji kepadaku, jika ku pulang kesana, mungkin Pangcu akan ikut
terembet," kata Pwe-giok dengan tersenyum sedih.
"Aah, kau kira Ang lian-pangcu itu manusia yang takut urusan?" kata Bwe Su-bong dengan
tak acuh. Pwe-giok tidak bicara lagi, ia menunduk dan menghela nafas, lalu ikut pengemis tua itu
kesana. "Tadi waktu kubersihkan racunmu, kudengar sorak sorai gemuruh di tempat sidang sana,
mungkin upacara sumpah setia perserikatan telah berlangsung dengan memuaskan dan
selanjutnya para kawan Bu-lim boleh hidup dengan aman dan tenang lagi."
56 "Hah, apakah betul dapat hidup tenang dan aman?" ucap Pwe-giok dengan tersenyum pedih.
Bwe Su-bong memandangnya sekejap dan menghela nafas panjang. Katanya dengan
tersenyum getir, "Ya, semoga begitu hendaknya!"
Tidak lama mereka berjalan, terlihat di tempat sidang sana cahaya api gemerdep dan
terdengar suara sorak gembira yang sayup2 berkumandang terbawa angin. Cahaya api dan
suara sorakan itu tidak terlalu jauh, tapi bagi penglihatan dan pendengaran Ji Pwe-giok
rasanya seperti ter-aling2 oleh sebuah dunia lain, cahaya terang dan sorak gembira tidak
berani lagi diimpikannya.
"Pertemuan tahun ini tampaknya jauh lebih meriah daripada tahun2 sebelumnya," tutur Bwe
Su-bong dengan gegetun. "Sudah enam kali aku ikut serta pertemuan besar demikian, hanya
sekali ini saja tidak ikut pesta bergembira dengan para kawan peserta rapat! rasanya aku
seperti kurang bersemangat."
"Sehabis pertemuan besar ini apakah selalu diadakan pesta besar?" tanya Pwe-giok.
"Sudah tentu pesta demikian tidak boleh berkurang."
"Tapi hidangannya!"
"Setiap pertemuan Hong-ti, para hadirin selalu membawa hidangan dan arak sendiri," tutur
Bwe Su-bong dengan tertawa cerah. "Habis sidang, beramai-ramai lantas duduk di
perkemahan masing-masing atau mengajak beberapa kawan karib untuk makan minum
dengan gembira, biasanya pesta berlangsung semalam suntuk. Esoknya jarang ada yang dapat
berangkat pagi-pagi."
Wajahnya yang sudah tampak ketuaannya kelihatan bersemangat demi bercerita tentang
pengalamannya di masa lalu, dengan tertawa ia sambung pula, "Beberapa kali pertemuan
besar itu sungguh sukar dilupakan orang, dimana-mana cahaya terang, dimana-mana
berkumandang dendang gembira, di sana-sini mengundang minum, setelah menenggak
beberapa cawan, bisa jadi kau akan jatuh di pangkuan seorang kawan lama yang sudah
belasan tahun tak berjumpa, sekalipun kau tidak sanggup minum lagi dia masih akan
mencekoki kau dengan paksa! Ai, aku sudah tua, hari2 menyenangkan begitu mungkin takkan
kembali lagi."
"Apapun juga, kenangan demikian tetap sangat menyenangkan," kata Pwe-giok dengan
gegetun. "Betul, manusia harus mempunyai sedikit kenangan yang manis, kalau tidak, cara bagaimana
akan melewatkan malam2 yang sunyi dan musim dingin yang menyiksa!"
Pwe-giok berusaha mengunyah betapa rasanya ucapan pengemis tua itu dan coba
meresapinya, tetapi sukar diketahui apakah pahit atau manis.
Tanpa terasa mereka sudah sampai di depan perkemahan Ang-lian pangcu. Orang2 yang
semula berkerumun di luar kemah sekarang sudah bubar, samar-samar ada cahaya lampu di
dalam kemah. Belum lagi mereka mendekati segera ada orang yang membentak di dalam
kemah, "Siapa itu?"
57 Suaranya kereng berwibawa, ternyata bukan suara Ang-lian hoa. Selagi Pwe-giok terkesiap,
suara Ang-lian hoa yang lantang sudah bergema, "Apakah Bwe Su-bong di luar" Sudahkah
kau bawa pulang domba kecil kita yang tersesat itu?"
***** Di dalam kemah yang sangat besar itu hanya menyala sebatang lilin merah. Cahaya lilin
gemerdep, bayangan Ang-lian-hoa kelihatan terseret memanjang di tanah, seorang kakek
berjubah warna jingga dan bertopi besar, wajah kehitam-hitaman dan berjenggot panjang, alis
tebal lurus sehingga kelihatan angker, kakek ini berduduk di samping Ang-lian-hoa dengan
tegak, sorot matanya tajam menatap Ji Pwe-giok.
Tanpa terasa Pwe-giok menunduk oleh perbawa si kakek yang kereng ini.
"Akhirnya kau datang juga!." Kata Ang-lian hoa dengan tertawa. "Apakah kau kenal
Locianpwe ini?"
"Ketua Kun-lun pay," jawab Pwe-giok.
"Boleh juga penglihatanmu, sama sekali Thian-kang Totiang tidak bersuara, tapi dapat juga
kau kenali," puji Ang-lian hoa. Mendadak ia berpaling dan tanya Bwe Su-bong, "Dia terkena
racun apa" Siapa yang meracuni dia?"
"Orang yang meracuni dia belum jelas asal-usulnya, racun yang digunakan juga belum
diketahui jenisnya, untung hanya"!"
Belum habis cerita Bwe Su-bong, mendadak Thian-kang Totiang melompat ke samping Ji
Pwe-giok, secepat kilat ia tutuk beberapa hiat-to penting di kedua lengan anak muda itu,
menyusul ia jejalkan satu biji obat ke mulutnya dan berkata, "Jangan bergerak dalam waktu
setengah jam."
Sambil bicara ia telah menutuk 12 hiat-to penting di tubuh Pwe-giok, saat itu pula obat sudah
ditelan anak muda itu, lalu Thian-kang Totiang melayang kembali ke tempat duduknya.
Keruan Pwe-giok melenggong, begitu pula Bwe Su-bong merasa bingung, katanya, "Ini! ini!."
"Memangnya kau kira racunnya sudah habis kau punahkan?" kata Ang-lian hoa.
"Sudah! sudah kuperiksa tadi!"
"Jika Kim-kong-ci dan Hoa-kim-tan terlambat diberikan Thian-kang Totiang, tentu kedua
tangan Ji-kongcu akan cacad untuk selamanya," kata Ang-lian hoa pula.
Tentu saja Pwe-giok terkesiap dan Bwe Su-bong menunduk malu oleh karena tidak menduga
bahwa racun yang disangkanya sudah tuntas dihisap keluar oleh ularnya ternyata belum bersih
sama sekali. "Lalu bagaimana dengan orang yang kusuruh kau selidiki itu?" tanya Ang-lian hoa.
58 "Hamba sudah menanyai belasan orang, tapi tiada seorangpun yang memperhatikan siapa
yang berteriak itu," tutur Bwe Su-bong. Hanya ada seorang mengatakan bahwa dia melihat
orang yang bersuara itu seperti berbaju hitam!"
"Berbaju hitam"..." gumam Ang-lian hoa dengan mengernyitkan kening.
"Setiap pertemuan besar di sini, orang yang berbaju hitam mulus rasanya tidak banyak," kata
Bwe Su-bong. "Tapi sekali ini menurut penyelidikan hamba, orang berbaju hitam yang ikut
hadir di pertemuan ini ternyata ada ratusan orang, malahan di tengah kerumunan pengunjung
di luar sidang ada pula ribuan orang berseragam hitam. Orang2 ini ternyata belum dikenal,
tampaknya juga tidak lemah ilmu silatnya."
"Orang berseragam hitam! ribuan orang!" gumam Ang-lian hoa. Perlahan-lahan sorot
matanya beralih kepada Thian-kang Totiang, tanyanya kemudian, "Bagaimana pendapat
Totiang terhadap kejadian ini?"
"Racun yang tidak dikenal dan orang yang tidak dikenal, rapi benar perencanaan ini dan sukar
dipecahkan," demikian ucap Thian-kang Totiang dengan suara berat.
"Apakah orang2 berseragam hitam inipun anak murid Bu-kek-pay?" kata Ang-lian hoa.
"Umpama bukan murid Bu kek pay, kukira pasti juga ada hubungannya," ujar Thian-kang
Totiang. "Sungguh sukar untuk dipercaya bahwa tokoh2 angkatan tua yang terhormat dan disegani
seperti Ji Hong-ho, Lim Soh-koan, Ong Uh-lau, dan lain2 dapat bertindak sekeji ini," kata
Ang-lian hoa dengan gegetun. "Nama baik mereka selama berpuluh tahun tentu bukan palsu,
jika dikatakan mereka tiada niat jahat dan sesuatu intrik tertentu, jelas akupun tidak percaya."
"Nama mereka memang tidak palsu, orangnya yang palsu," seru Pwe-giok dengan parau.
Ang-lian hoa menggeleng, katanya, "Sudah kuamat-amati mereka dengan teliti, jelas tiada
seorangpun yang menyamar atau merias mukanya, apalagi sekalipun mereka berganti rupa
dan menyamar, tentu gerak-gerik dan senyum-tawa mereka tidak semirip ini. Selain itu,
Thian-in taysu, Jut-tun Totiang juga kenalan lama mereka, mustahil penyamaran mereka tak
ketahuan?"
Dengan sedih Pwe-giok menunduk. Apa yang diuraikan Ang-lian hoa itu memang betul.
Tidak perlu orang lain, melulu ayahnya saja, orang ini bukan saja wajahnya mirip benar
dengan ayahnya, bahkan setiap gerak-gerik, setiap tutur kata dan senyum tawanya boleh
dikatakan persis sama. Apabila sebelumnya dia tidak menyaksikan sang ayah meninggal di
depannya, mungkin ia sendiripun tidak percaya orang ini adalah ayahnya yang palsu.
Bwe Su-bong tidak tahan, iapun menimbrung, "Jangan2 mereka kehilangan kesadarannya dan
segala tindak tanduknya berada di bawah perintah orang. Hamba ingat, puluhan tahun yang
lalu di dunia Kangouw juga pernah terjadi peristiwa demikian."
"Orang yang kesadarannya terbius, gerak-gerik dan sinar matanya pasti kaku dan berbeda
dengan orang normal," kata Ang-lian hoa. "Sedangkan mereka jelas kelihatan sehat dan wajar,
sorot mata merekapun jernih dan tajam, tiada tanda2 dipaksa orang atau dibius orang."
59 Thian-kang Totiang menengadah dan menghela nafas panjang, katanya, "Sungguh
perencanaan yang rapi dan sukar dipecahkan."
"Hal ini memang serba aneh," kata Ang-lian hoa pula. "Jika orang2 ini dikatakan palsu, jelas2
mereka bukan palsu, bila dikatakan mereka ini tulen, justru terjadi banyak hal2 yang aneh.
Apakah mereka itu didalangi orang atau mereka sendiri mempunyai intrik tertentu, yang pasti
setelah mereka mengetuai dunia persilatan dengan kekuasaan besar, apa yang akan terjadi
selanjutnya sungguh sukar dibayangkan. Sedangkan di dunia sekarang selain kita berempat
tiada orang lain lagi yang menaruh curiga terhadap mereka."
Setelah tertawa getir, kemudian Ang-lian hoa menyambung pula, "Selama beribu tahun
sejarah dunia persilatan, kukira tiada intrik lain yang terlebih besar dan keji daripada yang kita
hadapi sekarang."
Air muka Thian-kang Totiang bertambah prihatin, katanya dengan perlahan, "Jika ingin
membongkar rahasia ini, kuncinya terletak pada diri Ji-kongcu ini."
"Ya, justru inilah, maka jiwanya setiap saat terancam bahaya," kata Ang-lian hoa. "Sebab
kalau dia mati, maka"!"
Tanpa terasa Bwe Su-bong menimbrung pula, "Bukankah Ji Hong-ho itu sudah mengetahui Ji
Kongcu sebagai putranya, mana dapat membunuhnya lagi?"
"Meski tak dapat membunuhnya secara terang-terangan, kan dapat turun tangan secara
gelap2an?" ujar Ang-lian hoa. "Lalu dibuat sedemikian rupa seolah-olah dia mati kecelakaan,
dengan demikian kan segala urusan menjadi beres?"
"Pantas, tadi ketika kuobati dia, tak kulihat seorangpun yang berani menyergapnya, agaknya
mereka tidak bebas turun tangan bila Ji-kongcu didampingi seseorang," kata Bwe Su-bong.
"Makanya kubilang kalau sendirian dia hendak pergi dari sini sungguh lebih sulit daripada
manjat ke langit, kecuali"!"
Mendadak Thian-kang Totiang memotong ucapan Ang-lian hoa, "Apakah kau tahu urusan apa
yang paling menakutkan sekarang?"
Ang-lian hoa berkerut kening, tanyanya, "Adakah Totiang teringat sesuatu?"
"Apabila hal ini terjadi, kukira Ji-kongcu pasti tak dapat hidup!"
Belum habis ucapan Thian-kang, mendadak di luar ada orang berseru, "Apakah Thian-kang
Totiang berada di sini, Bengcu mengundang untuk berunding sesuatu urusan."
Air muka Thian-kang Totiang rada berubah, ucapnya dengan suara tertahan, "Jangan pergi
dulu, tunggu sampai ku kembali." Segera ia berbangkit dan melangkah keluar.
Ang-lian hoa juga berkerut kening, katanya kemudian, "Biasanya Thian-kang Totiang tidak
suka sembarangan bicara, apa yang dikatakannya tadi pasti ada dasarnya! sesungguhnya apa
yang terpikir oleh dia" Urusan apa yang dimaksudkan nya?"
60 Bwe Su-bong garuk2 rambutnya yang kusut masai itu dan bergumam sendiri, "Menakutkan,
menakutkan, apa yang terjadi memang sudah cukup menakutkan, masa masih ada urusan lain
yang lebih menakutkan" Ai, Ji-kongcu memang"!" dia pandang Pwe-giok sekejap dan tidak
melanjutkan, ia menunduk dan menghela nafas.
Selama hidupnya sudah banyak menemui orang yang bernasib malang, tapi kalau orang2 itu
dibandingkan nasib Pwe-giok sekarang, mereka masih terhitung orang2 yang mujur.
Pwe-giok tersenyum pedih, katanya, "Ku tahu diriku sudah terdesak ke jalan buntu, untung
ada orang seperti Pangcu dan sudi pula membantu aku! aku biarpun mati juga takkan
melupakan budi kebaikan Pangcu ini."
Ang-lian hoa hanya menggeleng-geleng saja dan tidak tahu apa yang harus dikatakan pula.
Mendadak Pwe-giok berkata pula, "Padahal Pangcu tidak pernah kenal diriku, mengapa
engkau menolong diriku dengan sepenuh hati. Setiap orang menganggap aku sudah gila,
mengapa Pangcu percaya penuh padaku?"
"Dengan sendirinya ada alasannya!" perlahan Ang-lian hoa mengeluarkan sebuah kantongan
kain berwarna hijau, kantongan kain ini bersulam indah, seperti dompet kaum gadis
bangsawan, siapapun tidak menyangka Ang-lian pangcu, ketua kaum jembel, bisa menyimpan
barang begini. Setelah membuka kantongan itu, Ang-lian hoa mengeluarkan secarik kertas dan disodorkan
kepada Pwe-giok dan berkata, "Coba kau lihat sendiri, apa ini?"
Jelas cuma secarik kertas yang kumal, tapi terlipat dengan rajin. Bahwa Ang-lian hoa
menyimpan sebuah kantongan bersulam begitu sudah cukup aneh, di dalam kantongan itu
hanya tersimpan secarik kertas kumal, hal ini lebih2 mengherankan lagi.
Tanpa terasa Bwe Su-bong ikut melongok ke depan dan ingin tahu apa yang terdapat pada
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kertas kumal itu.
Pwe-giok lantas membuka lipatan kertas itu, ternyata di atasnya tertulis, "Ji Pwe-giok,
percayai dia, bantu dia."
Huruf itu tertulis dengan rada kabur, tampaknya ditulis dengan tergesa-gesa dengan goresan
benda tajam sebangsa jarum yang ditutulkan pada tanah liat.
Pwe-giok termenung memandangi tulisan itu, katanya kemudian, "Sia! siapa yang menulis
ini?" "Calon isteri mu," jawab Ang-lian hoa.
Seketika air muka Pwe-giok berubah rada aneh, tapi Ang-lian hoa tidak memperhatikannya.
"Lim Tay-ih maksudmu" Kau kenal dia?" tanya Pwe-giok kemudian.
61 Ang-lian hoa mengangguk, jawabnya, "Tiga hari yang lalu pernah kulihat dia di sekitar
Siangciu. Dia berada bersama ayahnya dan Ong Ih-lau. Sudah lama kukenal dia, tapi waktu
itu dia hanya memandang sekejap padaku seakan-akan sama sekali tidak kenal lagi padaku."
"Memangnya kalian sudah" sudah lama kenal baik?" tanya Pwe-giok.
"Tampaknya kau memang sebangsa Kongcuya yang jarang keluar pintu, masa urusan
Kangouw sama sekali tidak tahu," ujar Ang-lian hoa dengan tertawa. "Pada usia 13 Lim Tayih
sudah berkelana di dunia Kangouw, seterusnya setiap tahun sekali dia pasti mengeluyur
keluar, bahkan telah melakukan beberapa pekerjaan yang mulia, namanya sudah cukup
terkenal di dunia persilatan."
Terbayang oleh Pwe-giok sorot mata Lim Tay-ih yang memperlihatkan sifatnya yang keras
dan berani serta ilmu pedangnya yang cepat dan ganas itu. Terbayang pula tubuh si nona yang
kelihatan lemah itu ternyata memiliki watak yang kuat, mau tak mau Pwe-giok menghela
nafas gegetun, katanya, "Ya, dia memang tidak sama seperti diriku, dia memang jauh lebih
kuat daripadaku."
"Sebenarnya Tay-ih adalah anak perempuan yang lugu dan suka terus terang, tapi hari itu dia
telah berubah sama sekali," ujar Ang-lian hoa. "Ku tahu dalam hal ini pasti ada sesuatu yang
tidak beres. Maka ketika mereka beristirahat, segera kusuruh anggota Kay-pang di Siangciu
untuk menghubungi kuasa hotel tempat mereka mondok, anggota itu kusuruh menyamar
sebagai pelayan hotel. Benar juga, sekali pandang Tay-ih lantas mengenalinya, dia lantas
mencari kesempatan dan diam2 menyerahkan kantongan kain ini kepadanya."
"Pantas kemarin dulu Song-losi dari Siangciu datang terburu-buru minta bertemu dengan
Pangcu, kiranya ingin menyerahkan kantong bersulam ini kepada Pangcu," sela Bwe Su-bong.
Pwe-giok jadi melenggong sambil bergumam, "Kiranya dia sering berkelana di dunia
Kangouw, pantaslah pada hari kejadian itu dia tidak berada di rumah."
Berubah juga air muka Ang-lian hoa, cepat ia menegas, "Di rumahnya terjadi apa" Jangan2
mengenai ayahnya?"
"Ya, dengan sendirinya Lim Soh-koan yang Pangcu lihat itu juga palsu, tapi hari itu"!"
dengan menyesal Pwe-giok lantas menceritakan perubahan sikap Lim Tay-ih yang mendadak
itu ketika berhadapan dengan ayahnya yang palsu, lalu ia melanjutkan ceritanya, "Waktu itu
kukira dia sengaja hendak memfitnah diriku, tak tahulah kalau waktu itu dia sudah memahami
betapa berbahayanya intrik musuh, ia tahu tiada pilihan lain terkecuali mengakui musuh
sebagai ayah. Sedangkan diriku! meski sudah kutunggu sampai sekarang, agaknya terpaksa
akupun harus menempuh jalan yang sama seperti dia! Ai, dia sesungguhnya anak perempuan
yang cerdik."
"Ya, diantara orang2 yang kukenal, baik lelaki maupun perempuan, bila bicara tentang
kecerdikan dan kegesitan bertindak menurut keadaan, mungkin tiada orang lain yang dapat
melebihi dia," kata Ang-lian hoa.
"Tapi! tapi Lim Soh koan itu jelas sudah tahu segalanya, mengapa dia tidak membunuh Tayih
sekaligus?" kata Pwe-giok. "Melihat gelagatnya sekarang, jelas Tay-ih telah berada di
tahanan mereka, mungkin" Mungkin"!"
62 Ang-lian hoa memandangi Pwe-giok dengan tertawa, katanya, "Anak perempuan secantik dan
sepintar dia, dengan sendirinya dia mempunyai akal untuk membikin orang lain tidak dapat
dan tidak tega mencelakai dia. Kukira kita tak perlu berkuatir baginya, sebab kalau ada urusan
yang tak dapat dibereskan oleh dia, maka tiada gunanya orang lain bergelisah baginya."
Habis berkata Ang-lian hoa lantas masukkan lagi kertas tadi ke dalam kantong.
Pwe-giok mengira Ang-lian hoa akan menyerahkan kantong bersulam itu kepadanya, tak
tersangka Ang-lian hoa terus menyimpan kembali kantong itu ke dalam kantong bajunya, lalu
berkata pula, "Apabila kita dapat mengadakan kontak dengan Tay-ih, ku yakin pasti dapat!"
mendadak ia berhenti ketika dilihatnya Thian-kang Totiang telah kembali dengan langkah
lebar. "Ai, kembali ada persoalan yang memusingkan lagi," kata ketua Kun-lun-pay itu.
Bwe Su-bong terkejut dan bertanya, "Urusan memusingkan apalagi?"
"Ji" dia telah menunjuk diriku sebagai Hou-hoat (pelindung) perserikatan kita ini!" tutur
Thian-kang. "Hou-hoat?" Pwe-giok menegas.
"Selain Bengcu, perserikatan Hong-ti inipun harus mengangkat salah seorang ketua suatu
perguruan ternama sebagai Houhoat," demikian Ang-lian hoa menjelaskan. "Selama ini, kalau
Siau lim-pay menjadi Bengcu, maka yang diangkat menjadi Hou-hoat adalah Bu-tong-pay."
"Tapi sekali ini kalau Jut-tun Toheng yang diangkat menjadi Houhoat, tentu tindak tanduk
mereka akan kurang leluasa," kata Thian-kang Totiang dengan tersenyum kecut. "Sedangkan
kediaman ku jauh di Kun-lun-san, selamanya jarang ikut campur urusan dunia ramai, jelas
orang she Ji itu mempunyai maksud tujuan tertentu dengan mengangkat diriku sebagai Houhoat."
"Tapi juga lantaran nama Totiang yang memang sesuai untuk menjadi Hou-hoat," ujar Anglian
hoa dengan tertawa. "Kalau tidak, kan lebih baik mereka mengangkat Thi-pah-ong saja
yang jauh tinggal di Kwan-gwa sana?"
Sampai disini mendadak senyuman yang menghias wajah Ang-lian hoa lenyap seketika,
dengan prihatin dia bertanya, "Tadi Totiang bicara tentang urusan?"
Dengan sungguh2 Thian-kang menukas, "Urusan yang kukuatirkan adalah kalau2 terjadi
orang she Ji itu menyuruh Ji-kongcu ikut dia pulang ke rumah, lalu apa yang harus kita
lakukan?" "Ya, betul juga!." Ang-lian hoa juga terkesiap.
"Bila Ji-kongcu ikut pulang bersama dia akan berarti jatuh di dalam cengkeraman mereka dan
setiap saat ada kemungkinan dicelakai," kata Thian-kang. "Dan kalau sang ayah menyuruh
anaknya sendiri ikut pulang, mana bisa si anak membangkang?"
63 "Ya, bukan saja si anak tidak boleh membangkang, bahkan orang lainpun tiada hak buat
bicara, siapapun tak dapat merintanginya," ujar Ang-lian hoa. "Ai, urusan segawat ini
seharusnya sudah kupikirkan jauh2 sebelumnya."
Bwe Su-bong ikut gelisah, keluhnya, "Wah, lantas bagaimana! bagaimana baiknya?"
"Urusan ini hanya ada satu jalan baik untuk menolongnya," kata Thian-kang.
"Betul, hanya ada satu jalan untuk menolongnya," tukas Ang-lian hoa.
"Terpaksa Ji-kongcu harus melarikan diri selekasnya, begitu bukan?" tanya Bwe Su-bong.
Thian-kang Totiang menggeleng.
"Habis bagaimana kalau tidak lari?" tanya Bwe Su-bong pula dengan gelisah.
"Asalkan Ji-kongcu lekas2 mengangkat seseorang sebagai guru, lalu sang guru minta si murid
ikut pulang untuk belajar, dalam keadaan demikian biarpun ayahnya sendiri juga tak dapat
menolak lagi," tutur Thian-kang dengan perlahan.
"Bagus, bagus sekali, cara ini sungguh sangat bagus!" seru Bwe Su-bong.
Segera Ang-lian hoa berkata dengan tertawa, "Kionghi (selamat) Ji-kongcu mendapatkan guru
bijaksana dan Kionghi kepada Totiang yang mendapatkan murid berbakat."
Pwe-giok jadi melengak. Sedangkan Thian-kang Totiang berkata, "Ah, mana aku sesuai
menjadi guru Ji-kongcu!"
"Di dunia sekarang ini, kecuali Totiang siapa lagi yang sesuai menjadi guru Ji-kongcu?" ujar
Ang-lian hoa dengan tertawa. "Demi kesejahteraan dunia persilatan selanjutnya, kuharap
Totiang sudi menerimanya."
Akhirnya Pwe-giok berlutut dan menyembah. Pada saat itu juga di luar kemah ada orang
berseru memanggil, "Ji Pwe-giok, Ji-kongcu diharap keluar. Bengcu ingin bicara denganmu!"
Ang-lian hoa memandang Pwe-giok sekejap, ucapnya perlahan, "Nah, apa kataku" Setiap
gerak-gerikmu senantiasa diawasi orang, kemanapun kau pergi pasti sudah diketahui."
Bwe Su-bong melenggong juga, kaki dan tangan terasa dingin dan hampir saja tidak dapat
bergerak. ***** Di luar kemah tampak api unggun menyala di mana2, suasana riang gembira, beribu orang
duduk mengelilingi api unggun di bawah bintang2 yang bertaburan memenuhi langit, silir
angin malam membawa bau harum arak. Kehidupan manusia seyogyanya penuh diliputi
gembira dan bahagia.
64 Akan tetapi Ji Pwe-giok berjalan dengan kepala tertunduk, hatipun pedih dan getir. Saat ini
dia seolah2 berubah menjadi sebuah boneka, segala urusan harus patuh kepada perintah dan
didalangi orang lain.
Terdengar di sana-sini orang sama menyapa, "Ang-lian-pangcu, silahkan mampir dan marilah
minum tiga cawan!"
Ada juga yang menegur Bwe Su-bong, "Hai Bo-su-bong, tampaknya kau masih sibuk selalu.
Apakah kau sudah pantang minum arak?"
Selain itu ada pula yang berseru heran, "He, bukankah itu Ji-kongcu?"
Di tengah sorak gembira itu, seorang pemuda baju hitam melangkah tiba dengan cepat dan
memberi hormat, katanya, "Saat ini Bengcu sedang menunggu di perkemahan Siau-lim-pay."
Ber-turut2 tujuh kali Siau-lim-pay menjabat Bengcu, tapi perkemahannya juga tiada bedanya
dengan pihak lain, hanya beberapa meter di sekeliling perkemahannya tiada orang berani
bergerombol. Hormat orang terhadap Thian-in juga tidak berkurang lantaran sekali ini dia
tidak terpilih lagi sebagai Bengcu.
Saat ini di depan perkemahan Siau-lim-pay tiada seorangpun, cuma dibalik kemah yang gelap
sana samar2 seperti ada bayangan orang berkelebat. Baru saja mereka sampai di depan
kemah, di dalam Thian-in Taysu sudah lantas menegur dengan tertawa, "Jangan2 Ang-lianpangcu
juga ikut datang?"
"Kesaktian Taysu sungguh luar biasa, se-akan2 dapat melihat dari tempat yang jauh," puji
Ang-lian hoa dengan tertawa.
Terlihatlah orang yang disebut Ji Hong ho itu duduk berhadapan dengan Thian-in Taysu dan
sedang minum, Lim Soh-koan, Ong Uh-lau dan lain2 ternyata tidak ikut serta di situ.
Di dalam kemah asap dupa wangi semerbak, masuk di sini rasanya seakan-akan masuk di
suatu dunia lain lagi.
Setelah beramah tamah dan berduduk, kemudian pandangan Ji Hong ho beralih ke arah Ji
Pwe-giok yang berdiri tertunduk di samping sana, dengan senyum kasih sayang seorang ayah
ia berkata, "Anak Giok, apakah badanmu terasa lebih enak?"
"Terima kasih atas perhatian ayah," jawab Pwe-giok dengan hormat.
"Biasanya kau jarang keluar rumah, tidak-tandukmu selanjutnya hendaklah hati2 dan prihatin
agar tidak menjadi buah tertawaan kaum Cianpwe dunia Kangouw," kata Ji Hong-ho pula.
Pwe-giok mengiakan dengan menunduk.
Yang satu memberi petuah dan yang lain mengiakan dengan hormat, tampaknya seperti
benar2 seorang ayah yang kereng dengan seorang anak yang berbakti. Siapa yang menduga
bahwa keduanya sesungguhnya sedang main sandiwara"
65 Sudah jelas Pwe-giok mengetahui orang di depan ini adalah musuhnya, hatinya sangat sakit,
tapi lahirnya dia justru harus berlagak hormat dan menganggap orang sebagai ayahnya.
Sebaliknya Ji Hong-ho juga tahu bahwa pemuda di depannya ini bukanlah anaknya, dalam
hati iapun ingin sekali hantam mampuskan Ji Pwe-giok. Tapi lahirnya dia harus berlagak
kasih sayang kepada seorang anak.
Ang-lian hoa dapat mengikuti semua ini dari samping, dalam hati tak keruan rasanya, entah
duka, entah marah atau merasa geli.
Sejak umur tujuh Ang-lian hoa sudah terjun di dunia Kangouw, adegan ramai apapun pernah
dilihatnya. Tapi permainan sandiwara yang serba konyol ini sungguh belum pernah
ditemuinya. Kalau orang di luar garis saja demikian perasaannya, apalagi orang yang
bersangkutan seperti Ji Pwe-giok, tentu saja sukar untuk diceritakan.
Begitulah Thian-in Taysu lantas berkata pula dengan tersenyum, "Ji-kongcu kelihatan halus di
luar, tapi keras di dalam, di tengah ketenangan jelas kelihatan kecerdasannya, sungguh bakat
yang sukar dicari. Bilamana tidak keliru pandanganku, hasil yang akan dicapai Ji-kongcu di
kemudian hari pasti akan di atas Bengcu sendiri."
Segera Ang-lian hoa berkeplok tertawa, serunya, "Hendaklah Taysu dan Bengcu maklum,
kecuali mempunyai seorang ayah termashur, kini Ji-kongcu sudah mempunyai pula seorang
guru ternama!"
"O, guru ternama?" Ji Hong-ho seperti melengak.
Thian-kang Totiang lantas menukas, "Berhubung melihat putera anda mempunyai bakat
tinggi dan sukar dicari, hatiku jadi tergerak dan secara sembrono telah menerima putera anda
sebagai murid. Untuk ini diharap Bengcu suka memberi maaf atas kelancanganku."
Ang-lian hoa tertawa dan menambahkan, "Ji-kongcu akan merangkap keunggulan kedua
keluarga Bu-kek dan Kun-lun, kelak pasti akan memancarkan cahaya gilang gemilang bagi
dunia persilatan umumnya. Ku yakin Bengcu pasti akan kegirangan, masa menyalahkan
Totiang malah?"
"Ini" ini memang harus berterima kasih kepada Totiang," jawab Ji Hong-ho.
Meski tampaknya tersenyum tapi senyuman kecut atau lebih tepat dikatakan menyengir.
"Besok juga kami akan berangkat pulang ke Kun-lun-san, putera anda?"
Belum lanjut ucapan Thian-kang Totiang, segera Ang-lian hoa menyambung dengan tertawa,
"Ji-kongcu dengan sendirinya harus ikut pergi bersama Totiang. Tentu saja Bengcu tidak
perlu kuatir, kungfu Kun-lun-pay sudah termasyhur, bisa selekasnya belajar kan lebih baik.
Apalagi Bengcu baru mulai menjabat tugas berat, tentu banyak pekerjaan dan tidak sempat
memikirkan pelajaran Ji-kongcu."
Lalu ia tarik tangan Ji Pwe-giok, katanya pula dengan tertawa, "Besok juga kau akan ikut
Totiang ke Kun-lun dan harus belajar dengan giat, jangan harap lagi ada tempo senggang dan
pesiar seperti sekarang ini, andaikan bertemu lagi kelak sedikitnya juga tiga atau lima tahun
66 pula. Mumpung masih berkumpul sekarang, marilah kita pergi minum sepuasnya sebelum
berpisah."
Habis berkata Ang-lian hoa lantas menarik Pwe-giok dan diajak pergi.
Ji Hong-ho jadi melenggong dan tak dapat bersuara.
Dengan tersenyum Thian-in Taysu lantas berkata, "Putera anda dapat berkawan dengan Anglianpangcu, rejekinya sungguh tidak kecil."
"Ya, sungguh beruntung!" ucap Ji Hong-ho sembari menenggak teh untuk menutupi rasa
canggungnya. ***** Esok paginya, baru saja remang2 di ufuk timur, namun sebagian besar para ksatria masih
bergelak tertawa dengan muka merah karena terlalu banyak menenggak arak, ada sebagian
lagi yang tidak dapat tertawa dan sudah roboh tertidur lelap.
Hanya anak murid Kun-lun-pay saja, baik mabuk atau tidak, saat ini dengan khidmat sama
berdiri di depan perkemahan untuk mengantar keberangkatan sang ketua.
Di dalam kemah Ji Pwe-giok sedang menyembah kepada sang "ayah" sebagai tanda mohon
diri. Ber-ulang2 "Ji Hong-ho" memberi pesan, kembali keduanya lagi main sandiwara kasih
sayang antara ayah dan anak.
Habis itu delapan Tojin muda berbaju ungu mengiringi Thian-kang Totiang dan Ji Pwe-giok
melangkah keluar kemah. Di luar tiada kereta atau kuda. Dari Kun-lun-san ke Hongciu, jarak
ribuan li itu ternyata ditempuh kawanan Tojin Kun-lun-pay itu dengan berjalan kaki.
Ang-lian hoa memegangi tangan Ji Pwe-giok, ucapnya dengan tersenyum, "Selamat jalan,
jangan lupa kepada kakakmu yang rudin ini."
"Aku" Cayhe" Siaute?" saking terharunya Pwe-giok tidak tahu cara bagaimana harus
berucap, suaranya menjadi ter-sendat2 dan air mata ber-linang2, akhirnya ia cuma tertunduk
belaka. Se-konyong2 seorang mendekatinya dan berkata dengan tertawa, "Anak Giok, perpisahan ini
kukira akan makan waktu cukup lama, apakah kau tidak ingin bertemu dulu dengan Tay ih?"
Cepat Pwe-giok menengadah, dilihatnya Lim Soh-koan yang berdiri di depannya.
Pagi2 masih diliputi kabut yang tipis, samar2 disana berdiri bayangan seorang dengan
kerlingan mata sayu, siapa lagi dia kalau bukan Lim Tay-ih"
Melihat bayangan si nona yang lembut, teringat perpisahan ini entah kapan baru dapat
bertemu kembali, seketika Pwe-giok jadi terkesima.
Memandangi mereka, Ang-lian hoa sendiri juga tertegun.
67 Mendadak terdengar Thian-kang Totiang membentak perlahan, "Kehidupan di pegunungan
selalu sunyi, perasaan laki perempuan janganlah ditumbuhkan! Hayolah!" Segera tangan Pwegiok
ditariknya terus melangkah pergi.
Lim Tay-ih masih berdiri di sana dan memandangnya dengan sayu, pada matanya yang jernih
itu entah sejak kapan sudah mengembeng air mata.
"Melihat kepergian kekasih dan tidak dapat berbicara sepatah dua, apakah hatimu tidak
merasa sedih?" demikian tiba2 suara seorang senyaring genta menegur dengan tertawa genit
disertai bau harum semerbak terbawa angin.
Tay-ih tidak berpaling, sebab Ong Ih-lau dan Sebun Bu-kut sudah sampai pula disampingnya,
dengan sorot mata tajam dan kereng kedua orang itu berkata, "Tay-ih, hayolah pergi."
Suara nyaring merdu tadi berkata pula dengan tertawa, "Perempuan bicara dengan perempuan
juga dilarang oleh kalian kaum lelaki?"
Dengan suara berat Ong Ih-lau menjawab, "Selama ini Bu-kek-pay tiada hubungan apapun
dengan murid Peh-hoa-pang."
"Dulu tidak ada, sekarang kan sudah ada," ujar suara genit itu.
Lim Tay-ih hanya berdiri diam saja, rambutnya ber-gerak2 tertiup angin. Sesosok bayangan
lemah gemulai tahu2 melayang tiba di depannya dengan baju tipis berkibar laksana dewi
kahyangan. Meski sama2 perempuan, mabuk juga Tay-ih melihat sepasang mata orang yang baru muncul
ini, sungguh sama sekali tak tersangka olehnya bahwa ketua Pek-hoa-pang yang termasyhur
itu ternyata sedemikian cantiknya.
Berbareng Ong Uh-lau dan Sebun Bu-kut hendak menghadang di depan Lim Tay-ih, tapi
mendadak bau harum menusuk hidung, se-konyong2 kain tipis seperti kabut menyampuk tiba,
tanpa terasa Ong Uh-lau berdua melompat mundur lagi.
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Waktu mereka memandang lebih jelas, terlihat Hay-hong Hujin telah menggandeng tangan
Tay-ih dan melangkah pergi, terdengar suaranya yang nyaring merdu lagi berkata, "Leng-hoakiam,
kan boleh kubawa pergi anak perempuanmu untuk mengobrol sejenak"... Akupun
seperti kaum lelaki, bila melihat anak perempuan cantik lantas terpikat dan ingin bicara
dengan dia."
Lim Soh-koan hanya melongo bingung di sana tanpa bersuara.
Dari jauh Ang-lian hoa dapat menyaksikan kejadian ini, tersembul senyumannya yang puas.
Di tengah kabut pagi yang belum buyar itu ke-14 panji besar masih berkibar di udara, tapi
pertemuan besar setiap tujuh tahun satu kali ini sudah berakhir, para ksatria secara berkelompok2
telah mulai berangkat pulang.
Memandangi panji Bu-kek-pay yang baru saja ikut dikerek, Ang-lian hoa jadi terharu, tanpa
terasa ia menghela nafas panjang.
68 "Apa yang Pangcu renungkan di sini?" tiba2 seorang menegurnya. "Apakah sahabat baru
Pangcu si Ji-kongcu sudah ikut berangkat bersama Thian-kang Totiang?"
Kiranya orang ini adalah Cia Thian-pi, ketua Tiam-jong-pay. Dengan terharu Ang-lian hoa
menjawab, "Ya, sudah berangkat!"
"Wah, mengapa" mengapa secepat ini berangkatnya"!" seru Cia Thian pi mendadak dengan
air muka berubah.
Melihat adanya kelainan air muka orang, Ang-lian hoa terkesiap, cepat ia bertanya, "Cepat"
Cepat bagaimana?"
"Maaf Pangcu, ternyata kedatanganku ini tetap terlambat sejenak," kata Cia Thian-pi dengan
muram dan menunduk.
"Sesungguhnya ada urusan apa?" tanya Ang-lian hoa sambil pegang pundak orang.
"Pernahkah Pangcu mendengar nama "Thian-kai-biau-peng-khek" (si kelana kian kemari)?"
"Sudah tentu pernah," jawab Ang-lian hoa. "Sesuai namanya, orang ini tidak tertentu tempat
tinggalnya, dimanapun dapat dijadikan rumah olehnya. Jut-tun Totiang dari Bu-tong
menganggap satu2nya tokoh Kangouw saat ini yang pantas disebut "Yu-hiap (pendekar
kelana) hanya dia saja seorang."
"Dan baru saja Siaute menerima surat merpati dari dia, katanya... Katanya..."
"Katanya apa?" Ang-lian hoa menegas, makin erat cengkeramannya pada pundak orang.
Cia Thian-pi menghela nafas panjang dan memejamkan mata, lalu menjawab dengan
perlahan, "Katanya Thian-kang Totiang dari Kun-lun-pay telah wafat pada setengah bulan
yang lalu."
"Apa betul beritanya ini?" seru Ang-lian hoa terperanjat.
"Demi membuktikan kebenaran berita ini, dia telah membuang waktu selama setengah bulan,
setelah menyaksikan sendiri jenazah Thian-kang Totiang barulah dia mengirim berita merpati
kepadaku. Yu hiap Ih Eng selamanya bertindak dengan cermat dan hati2, berita penting begini
mana berani dia siarkan secara ngawur jika tidak terbukti kebenarannya?"
Seketika kaki dan tangan Ang-lian hoa dingin semua, katanya, "Wah, jika demikian jadi
Thian-kang Totiang inipun palsu"!"
Cia Thian-pi berkata dengan menyesal, "Ketika dia hadir di atas panggung pertemuan, kulihat
dia selalu diam saja, sebenarnya sudah timbul rasa curigaku, kemudian dia diangkat menjadi
Houhoat pula, tentu saja!"
"Mengapa tidak" tidak kau katakan waktu itu?" tanya Ang-lian hoa.
"Mana berani Siaute memastikannya!" ujar Cia Thian-pi.
69 "Sekarang Ji Pwe-giok telah dibawa pergi, bukankah ini sama dengan mengantar domba ke
mulut harimau?" kata Ang-lian hoa dengan suara rada gemetar.
"Ya, sebab itulah aku merasa kuatir," kata Cia Thian-pi.
Butiran keringat memenuhi dahi Ang-lian hoa, katanya pula, "Dia berangkat hanya membawa
Pwe-giok seorang, anak muridnya masih tertinggal semua di sini, rupanya supaya dia leluasa
turun tangan! Ai, akulah yang membikin celaka dia! akulah yang bersalah!"
"Bisa jadi inilah langkah yang sudah lama diatur oleh komplotan jahat itu," ujar Cia Thian-pi,
"kalau tidak, biasanya Kun-lun-pay sangat keras dalam hal memilih murid, mengapa dia mau
terima murid secepat dan semudah itu?"
"Sungguh rapi dan cermat sekali rencana keji mereka dan sukar untuk dibendung," kata Anglian
hoa dengan tersenyum pedih. "Tapi!" mendadak ia tarik tangan Cia Thian-pi dan
mendesis, "Untung juga kedatangan Cia-heng ini belum terlalu terlambat."
"Apakah mereka belum pergi jauh"!" tanya Thian-pi.
"Dengan kecepatan berjalan kita, kuyakin dapat menyusulnya!" seru Ang-lian hoa.
Dengan gemas Cia Thian-pi berkata, "Jahanam yang licik dan keji, baginya tiada soal
peraturan Kangouw lagi, bila bertemu nanti, biarlah kita berlagak tidak tahu, coba kita lihat
bagaimana sikapnya nanti."
"Ya, marilah kita kejar!" seru Ang-lian hoa.
***** Makin sepi tempat yang dilalui mereka, makin tebal pula kabut yang mengambang di udara.
Pwe-giok berjalan di belakang Thian-kang Totiang, memandangi jenggot Tojin yang
bertebaran tertiup angin dengan perawakannya yang tegap, teringat pula pertemuan dirinya
yang aneh dan kebetulan, sungguh Pwe-giok tidak tahu mesti bergirang atau bersedih.
Kun-lun-pay cukup termasyhur, betapa keras caranya menerima murid juga sukar ditandingi
perguruan lain, apabila murid juga sukar ditandingi perguruan lain, apabila dirinya tidak
tertimpa musibah sebanyak ini, mana bisa dalam semalam saja telah berubah menjadi murid
Kun-lun-pay. Didengarnya Thian-kang Totiang berkata, "Perjalanan masih jauh, kita harus berjalan dengan
lebih cepat."
Dengan hormat Pwe-giok mengiakan, "Peraturan perguruan kita selamanya sangat keras, tata
tertib kehidupan se-hari2 sangat prihatin, hidup sederhana dan harus tahan uji, apakah kau
sanggup?" "Tecu tidak takut menderita."
70 "Kau terakhir masuk perguruan, setiba di gunung, pekerjaan se-hari2 yang harus kau lakukan
dengan sendirinya akan lebih banyak daripada murid lain. Tampaknya badanmu lemah
lembut, entah kau sanggup tidak bekerja berat?"
"Di rumah Tecu juga biasa bekerja berat."
"Baiklah, di depan sana ada sumur, timbalah airnya sedikit."
Pwe-giok mengiakan.
Benar juga, tidak jauh di depan sana ada sebuah sumur yang sangat besar, baru saja Pwe-giok
menurunkan timba ke dalam sumur, mendadak terbayang waktu menimba air di rumah,
terkenang pada taman yang rimbun dan sejuk itu, terbayang wajah sang ayah yang welas asih!
seketika air matanya berderai, timba yang dipegangnya mendadak terlepas dan jatuh ke dalam
sumur. Ia terkejut dan cepat hendak meraih tali timba, tapi entah mengapa, mendadak ia terpeleset,
tubuhnya ikut terjerumus ke dalam sumur.
Padahal sumur itu sangat dalam, biarpun dia memiliki ilmu silat maha tinggi, kalau jatuh ke
dalam sumur mungkin sukar juga manjat ke atas. Sudah banyak musibah yang menimpanya,
sudah sering dia menghadapi bahaya, kalau sekarang ia harus mati di dalam sumur, apakah
bukan permainan nasib"
Padahal sejak kecil ia belajar silat, kuda2nya terlatih sangat kuat, entah mengapa dia bisa
terpeleset. Air sumur sedingin es, keruan Pwe-giok menggigil, ia me-ronta2 dan berusaha memanjat ke
atas, tapi dinding sumur penuh lumut tebal dan licin, hakekatnya tiada tempat yang dapat
dibuat pegangan.
Anehnya, mengapa Thian-kang Totiang tidak datang menolongnya"
Sekuatnya ia bertahan. Mendadak terdengar kumandang derap kuda lari yang langsung
menuju ke tepi sumur. Lalu suara seorang perempuan berseru, "Siapakah yang jatuh ke dalam
sumur"... Ai, jangan-jangan Ji?"
"Betul, memang dia!" terdengar suara Thian-kang Totiang.
"Totiang menyaksikan dia jatuh ke dalam sumur, mengapa engkau tidak menolongnya"
Apakah ingin dia mati di situ?" tanya perempuan itu.
"Dia mengira dirinya sanggup menderita dan tahan uji, tapi tidak tahu betapa sengsaranya
orang hidup di dunia ini. Demi hari depannya supaya dia dapat menjadi orang yang berguna,
maka sengaja ku gembleng dia mulai sekarang."
"O, jika begitu, maafkan bila barusan Tecu salah omong, tapi! tapi sekarang ujian baginya
apakah belum cukup?"
"Mengapa kau begitu memperhatikan dia?" tanya Thian-kang Totiang dengan tersenyum.
71 Perempuan itu tak dapat menjawab, seperti merasa kikuk, sejenak kemudian barulah dia
berseru, "Sebabnya Tecu menyusul kemari justeru ingin" ingin bicara beberapa patah kata
dengan dia."
"O, jika demikian, bolehlah ku naikkan dia!" lalu Thian-kang Totiang melemparkan seutas
tambang ke dalam sumur.
Waktu Pwe-giok naik ke atas, mukanya tampak merah padam, seluruh tubuhnya basah kuyup,
ia merasa malu juga serba runyam.
Dilihatnya sebuah tangan yang putih halus mengangsurkan sepotong sapu tangan, pada sapu
tangan warna keemasan itu tersulam pula seekor burung walet emas, terdengar suara merdu
itu berkata padanya, "Lekas mengusap air yang membasahi mukamu!"
Ucapan yang sederhana ini ternyata mengandung perhatian yang sangat mendalam, kepala
Pwe-giok tertunduk semakin rendah, ia menjadi bingung apakah harus menerima sapu tangan
itu atau tidak.
Didengarnya Thian-kang Totiang berkata dengan suara bengis, "Seorang lelaki sejati,
mengapa mengangkat kepala saja tidak berani?"
Sudah tentu bukannya Pwe-giok tidak berani mengangkat kepalanya. Begitu dia angkat
kepala, segera dilihatnya Kim-yan-cu, gadis yang lincah dan cerah ini sedang memandanginya
dengan penuh simpati.
"Ada urusan apa silahkan bicaralah, segera kami harus melanjutkan perjalanan jauh," kata
Thian-kang Totiang. Biarpun orang pertapaan tulen, agaknya iapun paham hubungan mesra
antara muda-mudi, sambil mengelus jenggotnya ia lantas menyingkir ke sana.
Kim-yan-cu tersenyum manis dan menyerahkan sapu tangannya kepada Pwe-giok, katanya,
"Ambil, takut apa kau?"
Air yang memenuhi muka Pwe-giok entah air atau keringat, dia berucap dengan gelagapan,
"Te! terima kasih nona."
"Tentunya kau heran, selamanya kita belum kenal, mengapa kususul kemari untuk bicara
dengan kau?" kata Kim-yan-cu.
Pwe-giok mengusap air di mukanya, lalu menjawab, "Entah! entah nona ada petunjuk apa
yang harus dibicarakan padaku?"
"Sebenarnya akupun heran," kata Kim-yan-cu dengan gegetun. "Entah mengapa, kurasakan
kita tak dapat berpisah dengan begini saja. Maka aku lantas menyusul kemari. Biasanya
memang begitu. Apa yang ingin kukerjakan seketika juga kulaksanakan."
"Tapi" tapi nona!" Pwe-giok tidak sanggup melanjutkan, ia tidak tahu apa yang harus
diucapkannya, sekilas dilihatnya dikejauhan sana ada sesosok bayangan orang berdiri di
tengah kabut bersandar di samping kuda, tampaknya sangat kesepian.
72 Pwe-giok berdehem, katanya, "Maksud baik nona cukup kupahami. Sin-to Kongcu sedang
menunggu di sana, le" lekaslah nona kesana, bisa jadi kelak?"
"Jangan pusingkan dia, berapa lama dia akan menunggu, buat apa kau gelisah baginya?" sela
Kim-yan-cu dengan kurang senang. Mendadak ucapannya berubah lembut, katanya dengan
perlahan dan tandas, "Aku cuma ingin tanya padamu, selanjutnya kau ingin bertemu lagi
denganku atau tidak?"
"Aku?" Pwe-giok menunduk dan ragu2.
Kim-yan-cu menggigit bibir, tanyanya pula, "Aku anak perempuan, kalau kuberani tanya
masa kau tak berani menjawab?"
Dengan menggreget Pwe-giok berkata, "Cayhe adalah orang yang bernasib malang,
selanjutnya" selanjutnya paling baik kita tidak bertemu lagi."
Tergetar tubuh Kim-yan-cu, ia melenggong sekian lamanya, akhirnya dia berkata dengan
suara gemetar, "Ba.. bagus kau!" mendadak ia mencemplak ke atas kudanya terus dibedal
pergi secepat terbang.
Tangan Pwe-giok masih memegangi sapu tangan kuning itu dan mengikuti bayangan si nona
yang lenyap di tengah kabut. Bau harum saputangan masih terendus, tanpa terasa Pwe-giok
rasa terkesima.
Pada saat itulah mendadak seekor kuda menerjang tiba, bayangan golok berkelebat terus
membacok! Serangan ini datangnya teramat cepat dan keras. Keruan Pwe-giok terkejut, untuk menghindar
terasa tidak sempat lagi, terpaksa Pwe-giok menubruk ke depan malah, terasa punggungnya
terserempet angin tajam, dilihatnya Sin-to Kongcu telah melarikan kudanya ke sana, dengan
gelak tertawa dan mengangkat goloknya Kongcu golok sakti itu lantas berseru, "Bacokan ini
hanya sebagai peringatan saja, jika kau tetap tidak tahu diri, lain kali kepalamu pasti akan
kupenggal!"
Pwe-giok benar2 serba susah. Setelah berdiri tegak lagi barulah diketahui baju bagian
punggung telah robek tersayat golok lawan, hanya selisih sedikit saja jiwanya bisa melayang
di bawah golok kilat tadi.
Thian-kang Totiang juga sedang memandang padanya, ucapnya sambil menggeleng, "Jika
persoalan demikian selalu terjadi, cara bagaimana kau bisa hidup tenteram?"
"Tecu" tecu?" Pwe-giok tertunduk dan tidak sanggup melanjutkan.
"Sudahlah, hayo kita berangkat, ingin kulihat apakah kau sanggup berjalan sampai Kun-lunsan!"
kata Thian-kang Totiang.
Cara berjalan Thian-kang Totiang tidak cepat juga tidak lambat, tapi bagi Pwe-giok sudah
kepayahan untuk mengikuti langkahnya. Duka derita selama akhir2 ini benar2 telah menyiksa
jiwa raganya. Ia sudah basah kuyup oleh air keringat, rasanya akan menggigil, tapi di samping
guru yang kereng ini mana dia berani mengeluh.
73 Kabut sudah mulai buyar, tapi sinar sang surya belum lagi muncul. Cuaca mendung, lembab
dan kelam seperti air muka Thian-kang Totiang.
Mereka terus jalan dan entah sudah berapa jauhnya, baju Pwe-giok yang basah oleh air
keringat sudah kering, tapi segera basah lagi. Ia mulai ter-engah2, langkahnya tambah lambat,
kepalapun merasa berat!
Se-konyong2 Thian-kang Totiang berhenti di depan sebuah kelenteng bobrok, katanya sambil
menggeleng, "Nak, tampaknya kau tidak tahan menderita, marilah masuk dan mengaso
dahulu." Kelenteng itu sunyi senyap dengan ruangan yang gelap, patungnya tinggi besar dan beringas
menakutkan se-akan2 sedang mengejek siksa derita yang dialami manusia.
Tanpa terasa Pwe-giok terus berbaring di depan patung, di luar angin meniup santer, agaknya
akan hujan. Biarkan hujan, air hujan mungkin dapat mencuci bersih segala kekotoran
kehidupan manusia.
Thian-kang Totiang berdiri di depan Pwe-giok, tampaknya iapun angker seperti patung
kelenteng itu, dengan bengis ia berkata, "Berdiri, di depan malaikat pujaan mana boleh
sembarangan berbaring!"
Pwe-giok mengiakan dan meronta bangun, ia berdiri dengan sikap hormat, dalam hati tiada
sedikitpun merasa menyesal. Tanpa guru yang kereng, mana dapat mengeluarkan anak didik
yang baik"
Air muka Thian-kang tampak ramah kembali, katanya, "Setiap anak murid Kun-lun harus
berani menderita, lebih2 kau, nasibmu berbeda dengan orang lain, kau harus berani menderita
berlipat ganda daripada orang lain."
"Tecu mengerti," jawab Pwe-giok dengan muram.
Perlahan Thian-kang berpaling ke sana, di luar daun rontok gemerisik oleh tiupan angin, ketua
Kun-lun-pay yang termasyhur ini se-akan2 merasakan akan datangnya musim rontok yang
senyap, ia bergumam, "Akan hujan lagi! langit selalu datang awan dan angin yang sukar
diramal, kehidupan manusia tidaklah juga demikian adanya" Nak, sampai matipun kau harus
tetap ingat, tiada seorangpun di dunia ini yang dapat dipercaya sepenuhnya, kecuali dirimu
sendiri." Tiba2 angin meniup, entah mengapa Pwe-giok jadi merinding. Suasana sedemikian
senyapnya, jangan2 inilah firasat yang tidak baik.
"Nak, kemarilah kau," kata Thian-kang pula perlahan.
Dengan sikap hormat dan prihatin Pwe-giok mendekatinya.
Dari kantongan yang dibawanya Thian-kang mengeluarkan sepotong bola nasi yang dibuat
seperti onde2. Diberi nya onde2 nasi ini kepada Pwe-giok, air mukanya yang kereng itu
74 tersembul senyuman yang jarang terlihat, katanya, "Makanlah, pada usia semuda kau, gurumu
juga merasakan cepatnya lapar."
Orang tua yang kereng ini ternyata juga punya rasa kasih sayang. Memandang onde2 nasi di
tangannya, saking terharu hampir saja Pwe-giok mengucurkan air mata. "Dan suhu sendiri?"
ucapnya kemudian.
Thian kang tertawa, katanya, "Bola nasi ini tidak sembarangan orang dapat memakannya,
setelah kau makan tentu kau tahu apa sebabnya, gurumu!"
"Jika bola nasi itu sedemikian bernilai, entah boleh tidak Cayhe ikut minta sebagian?"
mendadak seorang menimbrung dengan tertawa.
Tahu2 seorang muncul di luar, dengan langkah lebar masuk ke dalam kelenteng, dadanya
tampak ter-engah2, senyuman yang menghiasi mukanya juga rada aneh. Cuma cuaca
mendung kelam sehingga tidak begitu jelas kelihatan.
"Mengapa Pangcu menyusul kemari?" seru Pwe-giok dengan girang setelah mengetahui siapa
pendatang ini. Dengan mengelus jenggotnya, Thian-kang juga menyapa, "Pangcu menyusul kemari dengan
tergesa2 begini, kukira pasti bukan untuk minta bagian makanan ini."
"Totiang memang bijaksana dan tahu segalanya," ujar Ang-lian hoa dengan tertawa.
"Kedatanganku ini memang ini memperlihatkan sesuatu kepada Totiang."
Ia lantas mengeluarkan sesuatu barang dan disodorkan ke depan Thian-kang. Benda itu sangat
kecil, di ruangan kelenteng yang gelap ini tidak terlihat jelas.
Terpaksa Thian-kang Totiang menunduk untuk memeriksa barang itu sambil berkata, "Barang
yang diantar kemari oleh Ang-lian-pangcu secara tergesa-gesa ini pasti benda yang sangat
menarik!"
Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Belum habis ucapannya, se-konyong2 tangan Ang-lian hoa terangkat ke atas dan tepat
menghantam mata Thian-kang Totiang.
Pada saat itu juga mendadak terdengar guntur menggelegar, hujan turun bagai dituang. Pada
saat yang sama pula sinar pedang lantas berkelebat dan menancap di punggung Thian-kang
Totiang. Thian-kang meraung sambil menghantam dengan sebelah tangannya. Tapi Ang-lian hoa
sempat melompat mundur, angin pukulan yang dahsyat menghantam altar patung hingga
berantakan, patung besarpun sama ambruk.
Muka Thian-kang berlumuran darah, rambut dan jenggotnya se-akan2 kaku berdiri, teriaknya
dengan parau, "Ken! kenapa kau!" belum habis ucapannya, robohlah dia terkapar.
Di luar hujan turun semakin deras, pedang yang menancap di punggung ketua Kun-lun-pay
itu tampak masih bergetar.
75 Terkesiap Pwe-giok oleh kejadian itu, bola nasi yang dipegangnya juga terjatuh. Ang-lian hoa
berdiri mepet dinding sana, dadanya naik-turun dengan napas ter-engah2, air mukanya juga
berubah pucat. Tapi Pwe-giok masih dapat diselamatkan, betapapun kedatangannya belum
terlambat. Terlihat Cia Thian-pi lantas melayang masuk, serunya dengan tertawa, "Betapapun
kedatangan kita masih keburu dan sekali turun tangan lantas berhasil."
"Mestinya jangan kau binasakan dia, harus kita tanyai lebih dulu," ujar Ang-lian hoa dengan
menyesal. "Tanya apalagi?" kata Cia Thian-pi. "Kalau ditanyai mungkin akan!"
Mendadak Pwe-giok meraung murka, teriaknya dengan parau, "Apa2an kalian ini" Mengapa
kalian membunuhnya?"
"Jika dia tidak dibunuh, dia yang akan membunuh kau!" kata Thian-pi.
Kejut dan kesima Pwe-giok, ucapnya, "Meng! mengapa"..."
"Kelak kau tentu akan tahu sendiri," ujar Cia Thian-pi, lalu ia tarik tangan Pwe-giok dan
berkata, "Komplotan jahat ini pasti ada begundalnya di sekitar sini, siaute akan berangkat
dulu bersama dia, harap Pangcu merintangi mereka, nanti Siaute akan balik lagi untuk
membantu."
Karena tangannya dipegang, tanpa kuasa Pwe-giok ikut terseret pergi.
Ang-lian hoa lantas berdiri di ambang pintu kelenteng dan bergumam, "Hayolah maju, akan
kutunggu kalian di sini!"
Hujan angin tambah keras, cuaca tambah kelam. Ang-lian hoa mencabut pedang yang
menancap di punggung Thian-kang Totiang itu.
Kembali guntur menggelegar pula. Darah menetes dari ujung pedang. Air muka Ang-lian hoa
mendadak berubah pucat, tubuhnya serasa lemas, ia terhuyung-huyung dan menumpahkan
darah. ***** Dalam pada itu Pwe-giok telah diseret pergi oleh Cia Thian-pi, mereka berlari di bawah hujan
lebat, dengan langkah agak sempoyongan Pwe-giok bertanya, "Ken" kenapa?"
"Thian-kang Totiang itu adalah samaran komplotan jahat," kata Cia Thian-pi. "Apa yang
dilakukannya itu ialah ingin mencelakai kau. Bola nasi yang diberikan padamu itu adalah
racun yang tak dapat ditolong!"
"Apa betul?" teriak Pwe-giok terkejut.
"Sekalipun mungkin aku menipu kau, apakah Ang-lian pangcu juga akan menipu kau?" kata
Cia Thian-pi. 76 "Tapi dia" dia?" mendadak Pwe-giok ingat kejadian jatuh ke dalam sumur tadi, apa benar
Thian-kang Totiang bermaksud mencelakai dia" Tapi sikapnya yang kereng dan berwibawa
itu masa dapat dipalsukan"
Hati Pwe-giok terasa kusut, tanpa kuasa tubuhnya ikut terseret berlari ke depan. Se-konyong2
ia merasa tangan Cia Thian-pi yang menariknya itu sangat dingin, sungguh dingin luar biasa,
tanpa terasa ia menggigil dan berkata, "Mengapa tanganmu sedemikian aneh?"
"Kau bilang apa?" tanya Cia Thian-pi sambil menoleh.
Pwe-giok pandang wajah orang dan menjawabnya, "Kubilang! hei!" mendadak ia meraung.
"Kau! kau inilah palsu! kukenal matamu!"
Belum habis ucapannya, ia merasa beberapa hiat-to pada tangannya sudah tertutuk, tubuhnya
lantas dilemparkan oleh Cia Thian-pi.
"Hehe.. anggaplah kau memang pintar, tapi orang pintar justeru mati terlebih cepat!" kata Cia
Thian-pi sambil menyeringai, ia angkat kakinya terus menginjak ke dada Pwe-giok yang jatuh
tersungkur di tengah lumpur itu.
Lengan kanan Pwe-giok serasa kaku semua, ingin mengelak pun tidak sanggup lagi. Untung
tangan kirinya masih dapat bergerak, secepat kilat ia pegang ujung kaki Cia Thian-pi.
Walaupun pembawaan tenaga Ji Pwe-giok sangat kuat, apa daya, saat ini dia seperti anak
panah yang sudah jauh meluncur dan tinggal jatuh lemas ke tanah.
Cia Thian-pi masih menyeringai dan kakinya tetap ingin menginjak ke bawah, ucapnya,
"Hayolah tahan sekuatnya, ingin kulihat sampai berapa lama kau mampu bertahan!"
Ruas tulang Pwe-giok terasa gemertak, air hujan berhamburan di mukanya, hampir2 tidak
sanggup membentangkan matanya, sedangkan injakan Cia Thian-pi terasa semakin berat. Ia
menggertak gigi dan bertahan sekuatnya, teriaknya dengan parau, "Kiranya kau yang
membunuh ayahku! Susah payah kucari kau!"
"Hehehe" dan sekarang sudah kau temukan diriku, bukan?" jawab Cia Thian-pi dengan terkekeh2.
"Tapi apa yang dapat kau lakukan" Ayahmu mati di tanganku, sebaliknya kau akan
mati di bawah kakiku!"
Lengan Pwe-giok serasa hampir patah, sebaliknya kaki Cia Thian-pi semakin berat seperti
bukit menindih. Dia bertahan sekuatnya, tapi jelas tiada harapan lagi. Betapa dia tersiksa oleh
injakan kaki musuh, sungguh ia ingin lepas tangan dan pasrah nasib. Dengan demikian segala
duka nestapa, segala siksa derita, semuanya takkan menimpa dirinya lagi.
"Hayolah tahan yang kuat!" demikian Cia Thian-pi berteriak sambil tertawa latah. "Apakah
kau sudah kehabisan tenaga" Wahai Ji Pwe-giok, setelah mati janganlah kau menyesal
padaku. Meski kita tiada permusuhan apa2, tapi kematianmu akan membuat hidup orang lain
jauh lebih nikmat dan bahagia!"
Pwe-giok merasa pandangannya mulai kabur dan gelap, tenggorokan terasa anyir, akhirnya
tak tahan lagi, darah segar tersembur keluar dan mengotori baju Cia Thian-pi.
77 Sambil menyeringai kaki Cia Thian-pi terus menginjak sekerasnya, pada saat itulah mendadak
terdengar suara mendenging tajam menyambar dari belakang.
Dengan daya pantulan injakannya itu cepat Cia Thian-pi meloncat ke atas, ia berjumpalitan di
udara, lalu turun di kejauhan sana.
Terlihat di bawah hujan lebat sana melayang sesosok bayangan orang seperti badan halus,
mukanya kaku tanpa emosi, tapi sorot matanya merah membara. Siapa lagi dia kalau bukan
Ang-lian hoa. Suara mendenging tajam tadi adalah sambaran pedang yang ditimpukkan, pedang itu akhirnya
menancap pada batang pohon dan ambles hampir setengah pedang, dari sini dapat diketahui
betapa pedih dan gemas hati Ang-lian hoa.
Air muka Cia Thian-pi tampak berubah pucat, tapi ia tetap bersikap tenang dan menyapa,
"Kenapa Pangcu sudah menyusul tiba, apakah kawanan penjahat sudah dihalau pergi?"
Seperti berapi sorot mata Ang-lian hoa, ia tatap orang dengan tajam, tanyanya sekata demi
sekata, "Siapa kau sebenarnya!?"
"Aku" Siaute?" Cia Thian-pi menjawab dengan gelagapan dan menyurut mundur setindak
demi setindak. "Hm, mirip benar penyamaran mu, sungguh teramat mirip, sebentar harus ku sayat mukamu
secuil demi secuil, ingin ku tahu mengapa penyamaranmu bisa begini mirip!" kata Ang-lian
hoa. Suaranya dingin seram, jauh lebih menakutkan daripada suara raungan murka. Siapapun
percaya, apa yang dikatakan Pangcu kaum jembel ini pasti akan dilaksanakannya.
Keruan Cia Thian-pi merasa ngeri, tapi mendadak ia bergelak tertawa, serunya, "Hahaha,
bagus, Ang-lian hoa, tak tersangka akhirnya kau tahu juga. Dengan jerih payah tiga tahun
kubelajar merias, kuyakin sudah dapat berlagak serupa benar dengan Cia Thian-pi. Kukira
biarpun dia sendiri juga sukar membedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Tapi kau,
cara bagaimana dapat kau pecahkan penyamaranku ini?"
"Pedangmu itu," kata Ang-lian hoa. "Setiap anak murid Tiam-jong-pay tidak mungkin
menggunakan pedang begitu, lebih2 tidak nanti membuang pedangnya begitu saja. Mungkin
kau lupa istilah yang dipatuhi setiap anak murid Tiam-jong, yaitu "Pedang ada orang ada,
pedang hilang orang gugur."
Cia Thian-pi melenggong, serunya kemudian, "Ah, kiranya langkah ini telah kulupakan.
Wahai Ang-lian hoa, engkau memang luar biasa, pantas Cusiang kami bilang engkau ada
tokoh nomor satu yang paling sulit direcoki."
"Si.. siapa Cusiang kalian?" tanya Ang-lian hoa dengan gregetan.
"Selamanya takkan diketahui olehmu," jawab Cia Thian-pi sambil tertawa latah. "Bilamana
nanti kau tahu, saat itu pula mungkin jiwamu akan melayang. Biarpun tokoh yang beribu kali
lebih kuat daripadamu juga sukar menandingi satu jari Cusiang kami."
78 "Hehe.. memang betul, selama beratus tahun ini di dunia Kangouw memang tiada seorangpun
yang terlebih licik, licin dan keji seperti dia," kata Ang-lian hoa dengan tersenyum pedih.
"Dunia Kangouw yang akan datang akan menjadi dunianya Cusiang kami," teriak Cia Thianpi
dengan bengis. "Ang-lian hoa, kau adalah orang pintar, coba pikirkan baik2, apa yang akan
kau lakukan?"
Ang Lian-hoa maju beberapa langkah ke arahnya dan berkata: "Aku ingin membunuhmu.
Saat ini, yang aku ingin lakukan hanyalah membunuhmu."
Cia Thian-pi berkata: "Tugasku adalah membunuh Ji Pwe-giok, oleh karena itu aku harus
membunuh Thian-kang totiang. Tetapi jangan lupa, engkau adalah komplotanku, kalau kau
ingin membunuhku engkau juga harus menghukum dirimu sendiri."
Ang Lian-hoa berkata dengan menyesal: "Itu adakah kesalahan terbesar selama hidupku.
Begitu bodohnya aku mempercayaimu. Aku akan menghukum diriku sendiri kelak di
kemudian hari. Tapi engkau...engkau..."
Secepat kilat Ang Lian-hoa menyerang dengan kepalan 3, 4 jurus. tidak banyak orang di
dunia persilatan yang pernah bertempur dengan Ang Lian-hoa. Sekarang Cia Thian-pi
menyadari bahwa ketua Kay-pang yang masih muda ini mempunyai jurus kepalan dan telapak
tangan yang hebat. Setiap jurusnya dilambari kekuatan tenaga dalam yang penuh.
Terlebih-lebih saat ini dia menyalurkan kemarahannya ke kepalan dan telapak tangannya.
Kekuatannya sangat menggiriskan hati orang-orang.
Ji Pwe-giok kini berteriak: "Engkau tidak boleh membunuhnya!"
Ang Lian-hoa dan Cia Thian-pi sama-sama dikejutkan dengan teriakannya itu. Ang Lian-hoa
bertanya dengan marah: "Mengapa aku tidak boleh membunuhnya?"
Ji Pwe-giok menggunakan tangan kirinya untuk membebaskan 3 titik jalan darahnya yang
tertotok dan berdiri. Dia nampak sangat pucat dan matanya memancarkan sinar kebencian.
Pemuda yang biasanya nampak rapuh dan lembut ini kini telah berubah menjadi seorang yang
beringas. Ji Pwe-giok berkata dengan lantang: "Bangsat licik ini tidak hanya telah membunuh ayahku,
dia juga telah membunuh guruku. Hanya aku yang boleh membunuh bajingan ini!"
Ang Liang-hoa tersenyum nyengir: "Baiklah, dia milikmu sepenuhnya."
Ji Pwe-giok merangsek ke Cia Thian-pi. Ang Lian-hoa melihat langkah kakinya tidak stabil
dan gerakannya lambat, jelas pikiran dan tenaganya sangat terganggu.
"Kau masih mengawasi di samping, kenapa dia harus hati2 segala"!" jengek Cia Thian-pi
Dengan menggertak gigi Pwe-giok berteriak pula, "Hari ini harus kubunuh kau dengan
tanganku sendiri, siapapun tidak boleh membantuku!"
79 Semangat Cia Thian-pi terbangkit, ia tertawa latah dan berkata, "Bagus, jantan sejati! Ucapan
seorang lelaki harus dipegang teguh!"
Sembari bicara sembari bertempur, berbareng iapun menyurut mundur, pada suatu
kesempatan mendadak ia mencabut pedang yang menancap di batang pohon, "sret" kontan ia
menabas ke depan, ber-turut2 ia menusuk dan menabas tujuh kali.
Serangan mendadak dan secepat kilat ini jelas bukan ilmu pedang Tiam-jong-pay, tapi
keganasan dan kekejiannya bahkan di atas ilmu pedang Tiam-jong.
Jilid 4________
Pwe-giok tidak gentar, ia hadapi serangan musuh dengan serangan yang sama ganasnya, ia
bertempur dengan kalap, betapapun serangan kilat Cia Thian-pi menjadi terdesak oleh
terjangan Pwe-giok yang nekat itu.
"Sret-sret-sret", tahu-tahu baju Pwe-giok tergores robek tiga tempat, darahpun tampak
merembes keluar dari pundaknya, tapi hanya sekejap saja darah sudah lenyap diguyur air
hujan. Ang Lian-hoa ikut berdebar-debar menyaksikan pertarungan sengit itu, butiran keringat
memenuhi dahinya. Sudah banyak pengalaman tempurnya, tapi belum pernah ada pertarungan
sengit seperti sekarang ini. Mendadak ia menemukan pemuda yang berwatak keras ini meski
setiap hari tutur-katanya lembah lembut tapi dikala bertempur ternyata gagah perkasa luar
biasa, sungguh pahlawan yang belum pernah dilihatnya.
Setiap orangpun dapat melihat bahwa meski semangat tempur Ji Pwe-giok belum runtuh,
namun apa daya, maksud ada, tenaga tak sampai.
Tapi dalam keadaan demikian bilamana ada orang hendak membantunya, pemuda yang
berwatak keras itu bisa jadi akan marah dan mungkin akan membunuh diri malah.
Terpaksa Ang Lian-hoa hanya menghela napas saja dan diam-diam menyesal. Dilihatnya Cia
Thian-pi dari menyerah sudah berubah menjadi bertahan, jelas dia sengaja hendak menguras
habis dulu tenaga Pwe-giok, habis itu baru melancarkan serangan mematikan.
Harpa Iblis Jari Sakti 8 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Panji Wulung 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama