Ceritasilat Novel Online

Renjana Pendekar 8

Renjana Pendekar Karya Khulung Bagian 8


"Makanya apapun yang kutanya harus kau jawab dengan sejujurnya."
"Ya, apapun pertanyaanmu pasti akan kujawab dengan sejujurnya."
Pengemis itu tertawa dan berkata pula, "Lebih dulu ingin kutanya padamu, sebelum
meninggal In Tiat-ih pernah menemukan sejilid Bu-kang-pi-kip (kitab pusaka ilmu silat),
apakah kitab itu diberikannya kepadamu?"
"Tidak," jawab Kim-yan-cu.
"Mengapa tidak?" tanya pengemis itu.
"Menurut keterangan suhu, kitab pusaka itu hanya dapat dipahami oleh seorang yang
memiliki kecerdasan paling tinggi, sebab itulah, biarpun beliau menurunkan kitab pusaka itu
kepadaku juga tiada gunanya, sebaliknya mungkin akan membikin celaka padaku malah."
"Dan setelah dia mati, kemana perginya kitab pusaka itu?"
"Menurut beliau, bila kitab pusaka itu tersiar di dunia ini, akibatnya pasti akan menimbulkan
perebutan berdarah, namun beliau juga merasa berat untuk memusnahkan kitab itu, maka
kitab itu telah disembunyikannya di suatu tempat yang sangat rahasia, kecuali beliau sendiri
tiada seorangpun yang tahu tempat itu."
"Kaupun tidak tahu?"
"Ya, akupun tidak tahu. Meski suhu tidak pernah merahasiakan apa2 kepadaku, hanya urusan
inilah betapapun juga beliau tidak mau memberitahukannya kepadaku, sebab beliau
menganggap tiada seorang perempuan di dunia ini yang dapat menjaga rahasia."
Dengan gemas pengemis setengah baya itu berucap, "Sudah sekian tahun kucari dia dan
akhirnya kutemukan kau sebagai muridnya, tak tersangka terhadap murid satu2nya juga tidak
diberitahukannya. Padahal setan tua itu sudah mati, mengapa dia bertindak demikian?"
"Kata suhu, barang siapa berhasil meyakinkan ilmu silat yang tercantum dalam kitab itu,
maka dia akan malang melintang di dunia ini tanpa tandingan. Beliau kuatir apabila kita itu
jatuh di tangan orang jahat, maka akibatnya sukar dibayangkan. Suhu tahu sudah ada
sementara tokoh Kangouw yang telah mencium bau tentang kitab pusaka yang ditemukan
279 Suhu itu, orang2 itu sudah mulai mencari jejaknya. Sebab itulah aku dilarang mengatakan
asal-usul perguruanku agar tidak menimbulkan kesulitan bagiku."
Pengemis itu berkerut kening dan termenung sejenak, tanyanya kemudian, "Dan untuk apa
pula kau ingin mencari Ang-lian hoa?"
"Ingin kutanya sesuatu padanya."
"Urusan apa?"
"Urusan yang menyangkut Ji Pwe-giok dan Lim Tay-ih."
"Mengapa kau sedemikian memperhatikan urusan orang lain?"
"Sebab kucinta Ji Pwe-giok."
Ujung mulut pengemis aneh itu tersembul secercah senyuman yang jahat, ucapnya, "Tidak,
yang kau cintai bukan Ji Pwe-giok, kau cinta padaku, tahu tidak?"
Se-konyong2 Kim-yan-cu berteriak, "Tidak, yang kucintai ialah Ji Pwe-giok dan bukan kau,
bukan kau!"
Orang itu tidak menyangka sedemikian kuat pikiran Kim-yan-cu sehingga dapat melepaskan
diri dari pengaruh ilmu gaibnya. Tapi segera ia mengeluarkan seuntai rantai emas yang sangat
lembut, pada rantai emas itu terikat sebentuk mutiara hitam yang aneh, rantai emas itu
digoyangkan sehingga mutiara hitam itupun ber-putar2 di depan Kim-yan-cu...
Benarlah, pikiran Kim-yan-cu yang terangsang tadi lambat laun tenang kembali.
Dengan suara keras pengemis itu berkata pula, "Tak perduli siapa yang kau cintai, yang jelas
aku inilah orang yang paling karib denganmu, begitu bukan?"
"Ya," jawab Kim-yan-cu dengan mata setengah terpejam.
"Dan sekarang kuminta kau menanggalkan pakaianmu."
Tanpa pikir Kim-yan-cu menuruti permintaan itu, perlahan ia membuka bajunya sehingga
kelihatan dadanya yang putih mulus, buah dadanya yang montok menegak diusap silir angin
malam. Pengemis aneh itu tersenyum puas, katanya pula, "Bagus, dan sekarang bukalah gaunmu!"
Perlahan Kim-yan-cu membuka kancing pinggang gaunnya dan...
Pada saat itulah tiba2 terdengar suara berderak, suara bambu di-pukul2kan yang
berkumandang dari kejauhan.
Pengemis aneh itu menghela nafas, katanya, "Sayang waktunya tidak keburu lagi, bolehlah
kau pakai lagi bajumu."
280 Waktu Kim-yan-cu selesai mengenakan kembali pakaiannya, pengemis setengah baya itu
berkata pula, "Dan sekarang bolehlah kau sadar per-lahan2, hendaklah kau lupakan segala apa
yang kutanyakan padamu barusan, cukup kau ingat bahwa aku adalah orang yang paling karib
denganmu, aku adalah kawanmu, suamimu, akupun ayahmu, gurumu."
Habis berkata ia lantas menyimpan kembali mutiaranya dan menepuk tangan perlahan.
Serentak Kim-yan-cu membuka matanya, dengan linglung seperti orang kehilangan semangat
ia pandang orang sekejap, lalu bergumam, "Ya, engkau adalah sahabatku, suamiku, kaupun
ayahku, guruku. Tapi siapakah engkau" Sesungguhnya siapa kau"..."
Pengemis itu tersenyum, jawabnya, "Jika kau ingin tahu namaku, tiada halangannya
kukatakan padamu. Aku inilah manusia yang serba tahu dan serba bisa, namaku Kwe Piansian,
aku inilah kegaibannya manusia, tiada orang lain lagi di dunia ini yang bisa
dibandingkan dengan diriku."
"Kwe Pian-sian"!..." Kim-yan-cu mengulangi nama itu, agaknya dia tergetar.
Kwe Pian-sian tertawa pongah, katanya, "Ya, aku pernah menjabat Tianglo Kay-pang,
Houhoat Bu-tong-pay, aku inilah juragan peternakan yang paling besar di daerah barat laut
sana, hartawan yang paling kaya raya di dunia ini, akupun pernah menjadi suami Kun Hayhong
atau Hay Hong Hujin."
Sampai di sini ia bergelak tertawa, lalu menyambung pula, "Semua itu hanya beberapa saja di
antara berpuluh macam jabatanku, betapa banyak jabatanku sampai aku sendiri terkadangpun
tidak ingat. Pengalaman hidupku ini jauh lebih kenyang dibandingkan berpuluh orang lain."
Kim-yan-cu menghela nafas linglung, gumamnya, "Kwe Pian sian... kegaibannya manusia...
suamiku." ***** Tengah malam di pegunungan yang sunyi kelihatan cahaya lampu terang benderang, di suatu
tempat tanah mangkuk, di sekeliling dinding tebing penuh tertancap obor yang menyala, di
bawah cahaya obor be-ribu2 anggota Kay-pang berduduk tersebar mengelilingi tanah lapang
itu. Ang-lian hoa berduduk di atas sepotong batu besar, air mukanya sangat prihatin, siapapun
dapat melihat bahwa Ang-lian hoa yang termasyhur ini sekarang pasti lagi menghadapi suatu
urusan yang maha sulit untuk diselesaikan.
Dengan sendirinya Bwe Su-bong, si pengemis yang berjuluk "sibuk selalu tanpa pekerjaan",
juga berduduk di sebelahnya, wajahnya juga kelihatan sedih.
Orang sebanyak itu berkumpul di tanah mangkuk ini, namun suasana tetap sunyi senyap,
hanya suara api obor yang terbakar ditiup angin sehingga mirip lolong kawanan serigala yang
serak. Sampai lama sekali, akhirnya Ang-lian hoa tidak tahan, ia membuka suara, "Menurut
perkiraanmu, apakah dia betul2 akan datang?"
281 Dengan suara berat Bwe Su-bong menjawab, "Menurut anggota kita yang datang dari utara,
sepanjang jalan banyak yang melihat seorang yang mirip dia, dari bentuknya semua orang
sama bilang tidak banyak berbeda daripada orang yang dilukiskan Pangcu itu, sebab itulah
mereka sama mematuhi perintah Pangcu, mereka sama menghindari dia bilamana melihatnya
dari kejauhan."
Ang-lian hoa menghela nafas, katanya, "Sudah hampir 15 tahun orang ini menghilang tanpa
kabar beritanya, sekarang mendadak muncul lagi, sesungguhnya apa maksud tujuannya,
sungguh sukar untuk diterka."
Terdengar Bwe Su-bong lagi berkata, "Apakah Pangcu memang tidak dapat menerka maksud
tujuan kedatangannya ini?"
Ang-lian hoa terdiam sejenak, katanya dengan tersenyum pahit, "Jangan2 dia menghendaki
kuserahkan kedudukan Pangcu ini kepadanya" Tapi melihat tindak tanduknya, agaknya
kedudukan Pangcu ini juga tidak terpandang olehnya. Kupikir mungkin masih ada intrik lain
yang lebih besar."
Air muka Bwe Su-bong tampak prihatin, ia memandang kejauhan yang gelap sana, ucapnya
dengan rawan, "Tak perduli intrik apa yang diaturnya, yang pasti yang dibawanya kemari
hanya malapetaka belaka!" Mendadak ia menahan suaranya dan menyambung pula, "Tapi
betapapun tinggi ilmu silatnya, berdasarkan kekuatan kita sekarang kukira masih dapat
menumpasnya."
Air muka Ang-lian hoa agak berubah, katanya dengan parau, "Namun apapun juga dia kan
tetap Tianglo Kaypang kita?"
Setahuku, ia juga masih menjabat Hou-hoat (pembela agama) Bu-tong-pay," kata Bwe Subong.
"Seorang merangkap dua jabatan dari dua aliran yang berbeda, jelas ini telah melanggar
peraturan Pang kita, berdasarkan alasan ini boleh Pangcu menghukum dia menurut aturan."
"Tapi siapa yang dapat membuktikan bahwa dia juga merangkap menjadi Houhoat Bu-tongpay?"
ujar Ang-lian hoa dengan tersenyum getir.
"Ini..." Bwe Su-bong melengak dan tak dapat menjawab.
"Sekalipun kejahatan orang ini sudah kelewat takaran, tapi di dunia ini tiada seorangpun yang
dapat membuktikan kejahatannya, kalau tidak, tidak perlu menunggu orang lain, Lo-pangcu
(ketua lama) sendiri pasti tidak mengampuni dia dan tidak mungkin dia hidup sampai
sekarang," demikian tutur Ang-lian hoa dengan menyesal.
"Habis bagaimana menurut pikiran Pangcu?"
"Begitu menerima suratnya, mulailah kurenungkan daya upaya untuk menghadapi dia. Tapi
sampai saat ini tetap belum kutemukan akal yang baik, bisa jadi..."
Belum habis ucapannya, se-konyong2 dari kejauhan berkumandang suara bambu di-ketok2.
"Itu dia sudah datang!" seru Bwe Su-bong.
282 Suara gemeretak bambu dipukulkan semakin gencar dan makin keras.
Kiranya bila kaum jembel ini berkumpul, di sekeliling tempat rapat pasti dipasang pos
pengawas, bilamana melihat kedatangan orang tak dikenal, segera tongkat bambu di-ketok2
sebagai tanda waspada.
"Cepat amat datangnya!" ucap Bwe Su-bong.
Namun para anggota Kay-pang yang berduduk memenuhi lapangan itu tetap tenang saja
meski kelihatan agak tegang juga.
Sekejap kemudian, terlihatlah seorang pengemis setengah umur berperawakan jangkung dan
bermuka kurus muncul dengan langkah lebar, di antara sorot matanya yang tajam dan takabur
itu jelas kelihatan lagak angkuhnya se-akan2 dunia ini aku kuasa.
Selain pengemis ini, di belakangnya mengikuti pula seorang nona cantik berbaju kuning
keemasan. Seketika air muka Ang-lian hoa berubah, desisnya, "Aneh, mengapa Kim-yan-cu ikut datang
bersama dia?"
"Jangan2 Kim-lihiap telah jatuh di dalam cengkeramannya?" kata Bwe Su-bong.
Belum selesai ucapannya, dengan langkah lebar Kwe Pian-sian sudah maju ke depan mereka,
sorot matanya yang tajam memandang Ang-lian hoa dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke
atas, tiba-tiba ia berkata dengan tertawa, "Sekian tahun tidak bertemu, anak yang berpotongan
poni dahulu sekarang sudah tumbuh menjadi pemuda yang ganteng, bahkan namanya sudah
termasyhur, sungguh mengagumkan dan harus diberi selamat."
"Terima kasih," ucap Ang-lian hoa sambil merangkap kedua tangannya.
"Dan entah kau masih kenal padaku atau tidak?" tanya Kwe Pian-sian.
"Meski sudah lama tak berjumpa, tapi wajah Kwe-tianglo senantiasa terkenang oleh Tecu,"
jawab Ang-lian hoa.
Mendadak Kwe Pian-sian menarik muka dan berkata dengan bengis, "Jika kau belum lupa
bahwa aku ini Tianglo Pang kita, mengapa kau tidak berlutut di depanku?"
Ang-lian hoa melengak, jawabnya tergagap, "Ini..."
Segera Bwe Su-bong memprotes dari samping, "Pangcu adalah yang maha agung di dalam
Pang kita, sekalipun Tianglo adalah tokoh angkatan tua, juga Pangcu tidak wajib berlutut dan
menyembah padamu."
Kwe Pian-sian menengadah dan bergelak tertawa, "Haha, bagus, bagus! Kiranya kau telah
menjadi Pangcu, selamat, selamat!"
283 Suara tertawanya berkumandang sehingga menimbulkan suara yang nyaring, anak telinga
anak murid Kay-pang serasa mau pecah, jantung ber-debar2 dan wajah pucat.
Mendadak Kwe Pian-sian berhenti tertawa, ia tatap Ang-lian hoa dan bertanya dengan bengis,
"Siapa yang menunjuk kau sebagai Pangcu" Siapa?"
"Itu berdasarkan pesan wasiat Lo-pangcu," seru Bwe Su-bong.
"Pesan wasiat" Dimana, coba kulihat!"
"Pesan lisan Lo-pangcu sebelum menghembuskan nafas terakhir, dengan sendirinya tiada
sesuatu bukti."
"Pesan lisan Lo-pangcu, memangnya siapa yang ikut dengar?" tanya Kwe Pian-sian.
"Kecuali Pangcu sendiri, tecu juga ikut mendengarkan," jawab Bwe Su-bong.
"Hm, hanya berdasarkan pengakuanmu lantas dia didukung ke atas singgasana Pangcu" Hah,
apakah tidak terlalu naif?"
"Apakah Tianglo menganggap ucapan Tecu tidak benar?"
"Kurang ajar! Berdasarkan apa kau berani bicara demikian padaku?"
"Tecu bicara menurut kebenaran!"
"Menurut kebenaran" Hm, kau sesuai?" bentak Kwe Pian-sian, berbareng itu sebelah
tangannya terus menyambar ke depan.
Belum lagi Bwe Su-bong menyadari apa yang terjadi, tahu2 mukanya sudah kena digampar
dua kali. Menyusul tubuhnya lantas terlempar jauh ke sana.
Bwe Su-bong berjuluk "Bo-su-bang" atau tidak ada pekerjaan tapi sibuk selalu, dengan
sendirinya lantaran pribadinya yang simpatik dan suka membantu. Karena itulah dalam
pergaulan dia sangat disenangi kawan2nya.
Meski anak buah Kay-pang merasa jeri terhadap ilmu silat dan perbawa Kwe Pian-sian, tapi
melihat Bwe Su-bong dianiaya, seketika terjadi kegaduhan.
Sorot mata Kwe Pian-sian menyapu sekeliling hadirin, lalu katanya dengan bengis, "Lahirnya
pangcu kita selama ini hanya melalui dua jalan, pertama berdasarkan tinggi rendahnya
kedudukan. Kedua, berdasarkan tinggi rendahnya ilmu silat. Sekarang selaku Tianglo ku
datang untuk mengusut perkara ini, apa yang kalian ributkan?"
Meski bengis dan keras suaranya dan berkumandang jauh di tengah kegaduhan itu, namun
anak murid Kay-pang masih tetap ber-teriak2 dan tidak mau tunduk.
Dengan gusar Kwe Pian-sian lantas berkata, "Ang-lian hoa, kau ini Pangcu macam apa"
Mengapa anak murid Pang kita makin lama makin tidak tahu aturan?"
284 Sejak tadi Ang-lian hoa seperti tidak ikut campur, baru sekarang dia tersenyum, perlahan ia
angkat kedua tangannya dan memberi tanda agar semua orang diam, serunya dengan suara
lantang, "Tenanglah saudara2, ada urusan apa biarlah kita bicarakan dengan perlahan-lahan."
Meski suaranya tidak senyaring Kwe Pian-sian, tapi baru selesai ucapannya, kegaduhan di
tengah2 anak murid Kay-pang itu seketika berhenti, suasana menjadi sunyi kembali dan
perhatian setiap orang tertuju pula ke arah Ang-lian hoa.
Dengan tersenyum Ang-lian hoa memandang Kwe Pian-sian, katanya, "Anak murid Pang kita
masih cukup patuh kepada setiap peraturan dan tata tertib, rupanya mereka sudah agak
pangling terhadap Kwe-tianglo, 15 tahun, kukira bukan waktu yang pendek bagi siapapun
juga." Air muka Kwe Pian-sian berubah, katanya, "Memangnya mereka sudah lupa padaku?"
"Bukannya lupa, mereka cuma mengira Houhoat-tianglo kita di masa dahulu itu sudah
mengundurkan diri pada 15 tahun yang lalu," jawab Ang-lian hoa dengan tenang.
"Siapa yang omong begitu?" teriak Kwe Pian-sian dengan gusar.
"Mendiang Lo-pangcu sudah mengumumkan urusan ini pada 15 tahun yang lalu dan setiap
anak murid Pang kita sama mendengar dengan jelas, kuyakin Kwe-tianglo pasti tidak akan
menganggap ucapan Wanpwe ini tidak betul."
Kwe Pian-sian melengong sejenak, segera ia mendengus, "Hm, dia tidak menyatakan aku
telah dipecat, tapi hanya mengatakan aku mengundurkan diri dari Pang kita, betapapun dia
masih cukup baik padaku."
"Lo-pangcu memang sudah lama mengetahui cita2 Kwe-tianglo terletak di empat penjuru dan
tidak nanti memikirkan sedikit kedudukan Pang kita yang tidak berarti ini, kalau tidak,
berdasar tingkatan maupun ilmu silat, setelah Lo-pangcu wafat adalah pantas jika Kwetianglo
yang mewarisi pimpinan beliau."
"Haha, pantas orang Kangouw sama bilang Ang-lian-pangcu bukan saja serba pandai dalam
segala hal, bahkan mulutnya juga tajam dan sukar ada bandingannya," seru Kwe Pian-sian
dengan tertawa. "Dan setelah bertemu sekarang, semua itu ternyata terbukti memang betul."
Tiba2 Ang-lian hoa mendekati Kim-yan-cu dan menyapa dengan tersenyum, "Kim lihiap
berkunjung kemari, entah adakah sesuatu petunjuk bagiku?"
"Ku datang ikut dia," jawab Kim-yan-cu.
"Kukira belum terlalu lama bukan Kim-lihiap kenal Kwe-tianglo?" Ang-lian hoa coba
memancing. "Dia adalah orang yang paling karib dengan diriku," jawab Kim-yan-cu.
"Oh... sungguh tak tersangka..." sebenarnya Ang-lian hoa ingin memancing sesuatu
pengakuan Kim-yan-cu mengenai kejahatan Kwe Pian-sian, sekarang ia menjadi kecewa,
285 namun lahirnya dia tidak memperlihatkan sesuatu tanda apapun. Ia menyadari untuk melayani
Kwe Pian-sian, bilamana salah langkah sedikit tentu urusan bisa runyam.
Dengan tertawa Kwe Pian-sian berkata pula, "Tadinya ku kuatir usiamu terlalu muda dan
tidak dapat memikul beban tanggung jawab Pang kita yang besar ini, tapi sekarang setelah
kusaksikan anak murid kita sedemikian hormat dan memuja dirimu, maka akupun tidak perlu
kuatir lagi."
Sedemikian cepat perubahan nada ucapannya membuat orang ter-heran2, mestinya Ang-lian
hoa juga sangsi, tapi segera terpikir lagi olehnya, "Mungkin karena dukungan para anggota
kepadaku sepenuh hati, ia merasa tiada gunanya andaikan berhasil merebut kedudukan
Pangcu dariku, maka segera ia putar haluan menurut arah angin."
Berpikir demikian, legalah hati Ang-lian hoa, rasa waspadanya menjadi banyak berkurang,
dengan tertawa ia berkata, "Kwe-tianglo sudah lama berada di luar Pang dan ternyata masih
begini memperhatikan kepentingan Pang kita, sungguh Tecu merasa sangat berterima kasih."


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika ia menyebut "memperhatikan" tadi, tiba-tiba ia merasa kedua mata Kwe Pian-sian
memancarkan sinar tajam dan aneh, sorot mata sendiri seketika tertarik. Segera ia bermaksud
mengalihkan pandangannya ke arah lain, namun sudah terlambat.
Dengan sinar mata tajam Kwe Pian-sian menatapnya dengan tersenyum, katanya, "Satu cagak
tidak kuat menahan sebuah gedung, tenaga satu orang betapapun terbatas, apakah kau
bermaksud minta diriku kembali kepada Pang kita untuk menjadi Houhoat-tianglo?"
"Ya, begitulah," tanpa terasa Ang-lian hoa menjawab.
Kwe Pian-sian tersenyum puas, katanya pula, "Dan kelak bilamana kau merasa tidak sanggup
memikul beban sebagai Pangcu, akan kau serahkan kedudukanmu padaku?"
Kembali Ang-lian hoa mengiakan.
Para anggota Kay-pang sama melengak melihat Ang-lian hoa hanya mengiakan melulu setiap
perkataan Kwe Pian-sian itu. Tapi tata tertib Kay-pang biasanya sangat keras, maka tiada
seorangpun berani ikut bicara.
Hanya Bwe Su-bong saja, dari ucapan Kwe Pian-sian itu dia sudah tahu tipu muslihat orang,
apalagi sang Pangcu kelihatan linglung dan tidak seperti biasanya, ia tahu pasti ada sesuatu
yang tidak beres, cepat dia berseru, "Pangcu, setiap persoalan yang menyangkut kepentingan
Pang kita hendaklah engkau pertimbangkan dengan baik2 dan jangan mudah dipengaruhi
orang lain."
Kwe Pian-sian menjadi gusar, dengan suara bengis ia membentak, "Orang ini tidak
menghormati orang tua dan berani terhadap pimpinan, menurut tata tertib harus dihukum
mati." Ang-lian hoa terbelalak dan menjawab, "Ya, setiap pelanggaran memang harus dihukum."
286 Bwe Su-bong berlari maju dan menyembah, ucapnya, "Sekalipun Tecu akan dihukum mati
juga Tecu tetap ingin bicara. Kematian Tecu bukan soal, tapi bila kekuasaan Pang kita jatuh di
tangan orang ini, akibatnya pasti sukar dibayangkan."
Air muka Ang-lian hoa tampak serba susah dan tidak bicara.
Kwe Pian-sian mengeluarkan pula jimatnya, yaitu mutiara hitam berantai emas itu,
digoyangkannya mutiara hitam itu dengan perlahan dan berkata, "Dosa orang ini harus
dihukum mati, kenapa tidak lekas kau beri perintah?"
Wajah setiap anggota Kay-pang sama pucat, dengan berdebar mereka menantikan sang
Pangcu membuka mulut.
Bwe Su-bong terus menyembah, kepalanya mem-bentur2 tanah hingga berdarah, ber-ulang2
ia berseru, "Kematian Tecu tidak perlu disayangkan, tapi Pangcu hendaklah berpikir dan
menimbangnya se-baik2nya..."
Dengan suara bengis Kwe Pian-sian berkata pula, "Orang ini bukan saja berani terhadap orang
tua, bahkan ikut campur kekuasaan Pangcu, dia telah melanggar Undang2 Pang kita nomor
satu dan nomor tujuh, dosanya harus dihukum mati, betul tidak?"
"Ya," tiba2 Kim-yan-cu bersuara. Kiranya sorot matanya juga tertarik oleh mutiara hitam
yang ber-goyang2 itu, apapun yang dikatakan Kwe Pian-sian selalu dijawabnya "ya".
Terdengar Ang-lian hoa juga menjawab, "Ya, harus dihukum mati."
Bwe Su-bong menjerit saking cemas dan gemasnya, seketika ia jatuh pingsan.
Para anggota Kay-pang juga sama terkesiap dan ketakutan, mereka terkesima dan tidak berani
bersuara. Siapapun tidak menyangka sang Pangcu sampai hati menghukum mati Bwe Subong.
Hendaklah diketahui bahwa asal-usul anggota Kay-pang terdiri dari berbagai macam unsur
yang campur aduk, sebab itulah Pangcu memegang kekuasaan tertinggi untuk mengendalikan
ber-juta2 anggotanya yang tersebar di seluruh dunia. Andaikan ada kesalahan perintah sang
Pangcu tetap setiap anggota harus tunduk dan menurut, sama sekali tidak boleh membantah
dan melawan, kalau berani membangkang, maka hukuman berat yang akan diterimanya.
Sebab itulah meski keanggotaan Kay-pang sangat ruwet, namun sedikit sekali yang berani
melanggar peraturan.
Lantaran itulah Bwe Su-bong jatuh pingsan demi mendengar perintah hukuman mati Ang-lian
hoa tadi. Sedangkan Kwe Pian-sian tersenyum puas, segera ia berseru, "Pangcu sudah
memberi perintah, petugas pelaksana hukum kenapa tidak lekas maju?"
Serentak terdengar beberapa orang mengiakan. Empat orang telah berbangkit dan tampil ke
depan dengan kepala tertunduk. Kebanyakan anggota Kay-pang sama mengucurkan air mata
dan tidak tega menyaksikan Bwe Su-bong dihukum mati.
Mutiara yang dipegang Kwe Pian-sian masih terus ber-putar2 menimbulkan perasaan yang
aneh dan tidak enak.
287 Dengan tersenyum manis Kwe Pian-sian berkata, "Ang-lian hoa, sekarang bolehlah kau..."
Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara "crit", angin tajam terus menyambar ke
depan dari jari Ang-lian hoa, mutiara hitam itu seketika pecah.
Kwe Pian-sian menyurut mundur beberapa langkah, serunya tertahan, "Kau..."
Ang-lian hoa terbahak-bahak memutus ucapan orang, serunya, "Hahahaha! Jika kau kira
semudah itu dapat kau pengaruhi diriku dengan ilmu gaib Lian-sim-sut (ilmu pengisap hati,
sebangsa ilmu hipnotis), maka salah besarlah kau."
Pucat wajah Kwe Pian-sian, teriaknya dengan gemas, "Bagus Ang-lian hoa, mirip benar
caramu ber-pura2."
"Jika tidak mirip caraku ber-pura2, mana bisa ku pancing semua tipu muslihatmu," ujar Anglian
hoa dengan tertawa. "Dan kalau tidak dapat kubongkar kedokmu di depan beribu anggota
Pang kita, lalu kutumpas dirimu, kan bisa jadi orang lain akan mengira aku lagi berebut
kedudukan dengan kau?"
Melihat perubahan itu, anak murid Kay-pang terkejut dan bergirang pula.
Sementara itu Bwe Su-bong juga sudah siuman, iapun kegirangan sehingga mengucurkan air
mata, ia menengadah dan berseru, "Thian maha adil! Apa yang dahulu tidak berhasil
dilaksanakan Lo-pangcu, kini dapatlah dibereskan oleh Pangcu muda. Tipu muslihat Kwe
Pian-sian akhirnya terbongkar, arwah Lo-pangcu di alam baka bolehlah merasa tenteram."
Muka Kwe Pian-sian kelihatan pucat hijau, mendadak ia pun tertawa latah dan berteriak,
"Hahahaha..! Tipu muslihat apa maksud kalian" Lian sim-sut apa katamu" Sungguh aku tidak
paham!" "Hm, urusan sudah berlanjut begini dan kau belum lagi mau mengakui kesalahanmu?" bentak
Ang-lian hoa dengan bengis.
"Aku harus mengaku salah apa?" jengek Kwe Pian-sian. "Jadi kau sendiri yang hendak
menghukum Bwe Su-bong, sekarang kau sendiri pula yang mengingkari segala tindakanmu
itu, semua itu ada sangkut paut apa denganku?"
Dalam keadaan begini dia masih tetap tenang dan bicara menurut keadaan, nyata dia ingin
mengelakkan tanggung jawab apa yang terjad tadi.
Meski Ang-lian hoa, Bwe Su-bong dan lain2 tahu jelas orang terlalu licik dan ingin membela
diri, tapi seketika mereka memang tak dapat membantah ucapannya itu.
Kwe Pian-sian menyapu pandang para hadirin, lalu berteriak pula, "Saudara2 sekalian, dia
menuduh aku menggunakan ilmu gaib Liap-siam-sut segala, coba kalian tanya dia, mana
buktinya" Jika dia tak dapat memberi bukti nyata, maka berarti dia memfitnah orang.
Ketahuilah, fitnah lebih jahat daripada membunuh."
Seketika para anggota Kay-pang hanya saling pandang saja dan tiada yang membuka suara.
288 Melihat Ang-lian hoa juga diam saja dan tak dapat membuktikan dia menggunakan ilmu gaib,
segera ia mendengus, "Ang-lian hoa, bilamana ada yang bisa membuktikan aku menggunakan
Liap-sim-sut segala, segera ku tunduk dan mengaku dosa. Sebaliknya kalau tak dapat kau
buktikan, maka berarti kau sengaja memfitnah orang tua. Selaku Houhoat Tianglo Pang kita,
aku tidak dapat tinggal diam dan terpaksa aku harus bertindak untuk membersihkan rumah
tangga Pang kita dari unsur2 jahat."
Orang ini memang licik dan licin serta jahat jauh di luar perkiraan Ang-lian hoa, meski nyata2
kedoknya sudah terbongkar, tapi dengan segala jalan ia tetap berusaha membela diri, bahkan
memutar balik tuduhannya.
Tanpa terasa Ang-lian hoa menjadi gelisah, pikirnya, "Selama puluhan tahun Lo-pangcu
berusaha membongkar tipu muslihatnya dan tidak berhasil, jelas tidak mudah bagiku untuk
membuka kedoknya dalam waktu sesingkat ini, tampaknya urusan memang sukar
diselesaikan."
Pada saat itulah se-konyong2 seorang berteriak, "He, tempat apakah ini"... mengapa aku
berada... berada di sini"..."
Ang-lian hoa berpaling, yang berteriak itu kiranya Kim-yan-cu adanya. "Ia menjadi girang,
cepat ia berseru, "Kwe Pian-sian, apakah kaukira di dunia ini benar2 tiada seorangpun yang
dapat membuktikan Liap-sim-sut yang kau gunakan?"
Rupanya setelah mutiara hitam tadi dihancurkan Ang-lian hoa, segera Kim-yan-cu merasa
otaknya tergetar se-olah2 dipalu orang dengan keras, kontan dia ter-huyung2 dan hampir
roboh. Akan tetapi kemplangan yang keras itu justeru telah menghancurkan daya gaib yang
mempengaruhi pikirannya. Kiranya mutiara hitam itu adalah lambang penguasa jiwanya,
begitu mutiara hitam itu hancur, segera jiwanya bebas dari pengaruh apapun.
Walaupun begitu, dia masih harus pingsan sejenak untuk kemudian baru dapat berteriak.
Dilihatnya Ang-lian hoa melompat ke depannya dan berseru, "Nona Kim, apakah kau benar2
tidak tahu cara bagaimana kau datang ke sini?"
Jilid 12________
Kim-yan-cu tidak lantas menjawab, ia memandang seputarnya, melihat Kwe Pian-sian
seketika ia berteriak: "Dia, ya dia inilah si iblis jahat, dengan ilmu siluman dia memikat
diriku, dia menyuruh aku menjadi kekasihnya, menjadi muridnya, menjadi istri dan menjadi
anaknya" Sampai di sini barulah meledak raungan murka anak murid Kay-pang.
"Orang she Kwe" teriak Bwe Su-bong dengan gusar, "sekarang apa yang dapat kau sangkal
lagi?" 289 Biji mata Kwe Pian-sian berputar, benaknya bekerja cepat. Dilihatnya anak murid Kaypang
telah mendesak maju dan sukar dibendung, setiap orang memperlihatkan rasa murka dan
benci padanya. Mendadak Kwe Pian-sian membentak: "Berhenti! apa yang hendak kalian lakukan?"
"Menghukum pengkhianat, membersihkan rumah tangga perguruan!" teriak Bwe Su-bong.
"Hm, kau tidak sesuai untuk melakukan hal itu," jengek Kwe Pian-sian. Mendadak ia
mengeluarkan sesuatu benda dan diangkat tinggi ke atas sambil membentak: "Coba kau lihat,
apakah ini?"
Yang dipegangnya itu adalah sepotong kain kuning yang sudah tua dan lusuh, pada kain itu
tertulis delapan huruf besar yang berbunyi: "Di mana Houhat tiba, sama seperti ku datang
sendiri". Apa yang diperlihatkan Kwe Pian-sian ini adalah panji tanda pengenal yang berkuasa penuh
atas nama sang Pangcu.
Air muka Bwe Su-bong seketika berubah pucat, ucapnya dengan gemetar: "Dari....darimana
kau peroleh panji ini?"
Kwe Pian-sian tidak menghiraukan dia, ia melototi Ang Lian-hoa dan membentak: "Ini tulisan
tangan siapa tentunya kau tahu bukan?"
Ang Lian-hoa menunduk, jawabnya: "Ku tahu, inilah panji gulung para tetua Pang kita sejak
tiga ratus tahun yang lampau...."
"Jika tahu, kenapa tidak lekas berlutut dan menyembah?" bentak Kwe Pian-sian.
Ang Lian-hoa menghela napas sedih, pelahan-lahan ia berlutut.
Kalau sang Pangcu sudah berlutut, anak murid Kay-pang yang lain siapa pula yang berani
berdiri" Dalam sekejap saja beribu murid Kay-pang sama bertekuk lutut. Dalam sekejap saja
beribu murid Kay-pang sama bertekuk lutut.
Kwe Pian-sian menengadah dan tertawa latah, katanya: "Sekalipun aku bersalah umpamanya,
kecuali pada tetua angkatan lalu yang sudah mati itu dapat hidup kembali, siapa pula yang
berhak menghukum akan kesalahanku?"
Tapi mendadak suara tertawanya berhenti, air mukanya juga berubah hebat.
Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak: "Aku bukan murid Kay-pang, akupun tidak perduli
panji gulung yang kau pegang apa segala!"
Rupanya dengan belatinya Kim-yan-cu telah menyergap Kwe Pian-sian dari belakang. Setelah
belatinya bersarang di tubuh sasarannya barulah ia berteriak. Lantaran sedang latah dan lupa
daratan, Kwe Pian-sian menjadi lengah, ketika ia merasa apa yang terjadi, namun sudah
terlambat, belati Kim-yan-cu sudah ambles di tulang punggungnya.
290 Para anggota Kay-pang sama terkejut dan juga bergirang, terlihat Kwe Pian-sian hendak
roboh, serunya dengan tersenyum pedih: "Bagus, tak tersangka orang she Kwe kena disergap
oleh seorang anak perempuan....." mendadak tangannya membalik dan menghantam secepat
kilat. Pukulan ini berlangsung dengan segenap sisa kekuatannya. Kim-yan-cu tidak mampu
menghindar, tubuhnya mencelat dan jatuh beberapa tombak jauhnya, menjerit saja tidak
sempat, tahu-tahu ia sudah pingsan. Namun belatinya tetap menancap di tubuh Kwe Pian-sian.
Dengan sempoyongan Kwe Pian-sian menyurut mundur ke belakang dengan tangan masih
memegangi panji gulung tadi, serunya dengan menyeringai: "Panji kebesaran ini masih ku
pegang, siapa di antara kalian yang berani mendekati aku?"
Walaupun tahu dirinya dapat membekuk pengkhianat itu dengan mudah, tapi terpaksa Ang
Lian-hoa tidak dapat turun tangan, terpaksa dengan mata terbelalak ia saksikan orang mundur
ke tengah-tengah kerumunan orang banyak.
Syukurlah sebelum Kwe Pian-sian menghilang, sekonyong-konyong bayangan orang
berkelebat, berturut-turut muncul dua orang menghadang jalan pergi Kwe Pian-sian. Orang
yang mendahului adalah seorang To-koh (pendeta perempuan agama To), berambut hitam dan
berjubah kuning, meski usianya sudah setengah baya, tapi masih kelihatan cantik. Pedang
melintang di belakang punggungnya dengan untaian benang sutera kuning menghiasi gagang
pedangnya. Dia inilah ketua Hoa-san-pay, Hu-yong-siancu Ji Siok-cin, si dewi cantik.
Seorang lagi di belakangnya adalah gadis jelita berperawakan jangkung, namanya Ciong
Cing, murid tertua Hoa-san-pay angkatan terakhir.
Melihat munculnya kedua orang ini, legalah hati Ang Lian-hoa.
Terdengar Ji Siok-cin mendengus: "Hm, karena dosamu sudah kelewat takaran sehingga sukar
bagimu untuk lolos dari jaringan malaikat. Kwe Pian-sian, akhirnya kutemukan juga kau di
sini!" Kwe Pian-sian meraung keras-keras, segera ia membalik tubuh dan bermaksud menerjang
pergi. Namun Ji Siok-cin tidak memberi kesempatan lari baginya, kesepuluh jarinya bekerja cepat,
sekaligus ia totok beberapa Hiat-to penting Kwe Pian-sian. Betapapun Kwe Pian-sian
memang sudah terluka parah sehingga sama sekali ia tidak sanggup melawan.
"Apakah Siancu juga ada permusuhan dengan orang ini?" tanya Ang Lian-hoa dengan kejut
bercampur girang.
"Seusai pertemuan Hong-ti, seterusnya aku lantas membuntuti dia," tutur Ji Siok-cin.
"Permusuhan Hoa-san-pay kami dengan orang ini boleh dikatakan tidak mungkin hidup
bersama." 291 Lalu ia memberi tanda, Ciong Cing lantas mengangsurkan panji gulung yang dirampasnya
dari Kwe Pian-sian kepada Ang-lian-hoa.
Menyusul Ji Siok-cin berkata pula: "Panji sudah kami persembahkan kembali, bagaimana
kalau Pangcu menyerahkan orang ini kepada Hoa-san-pay kami?"
Dengan hormat Ang-lian-hoa menerima penyerahan panji itu, setelah berpikir sejenak, lalu
berkata: "Jika Siancu tidak kebetulan menyusul tiba, akhirnya orang ini akan kabur juga."
Ji siok-cin tersenyum dan menyambung: "Apalagi, pada belasan tahun yang lalu mendiang
pangcu kalian yang dulu sudah mengusirnya keluar dari Pang kalian, jika sekarang kubawa
pergi dia tentunya tidak merugikan nama Pang kalian."
"Betul," jawab Ang Lian-hoa.
"Terima kasih, pangcu" ucap Ji Siok-cin sambil memberi hormat. Dari jauh ia pandang
sekejap kepada Kim-yan-cu, tiba-tiba ia berkata pula dengan tertawa: "Bila tidak ada orang
ini, kukira tidaklah mudah untuk menangkap Kwe Pian-sian. Mohon pangcu sampaikan
kepada nona ini, kelak bila dia ada sesuatu urusan, pasti Hoa-san-pay akan memberi balas jasa
kepadanya."
"Sungguh beruntung nona Kim itu bisa mendapat perhatian khusus dari Siancu" ujar Ang
Lian-hoa dengan mengulum senyum.
Ia menyaksikan Ji Siok-cin membawa pergi Kwe Pian-sian dan baru sekarang perasaannya
rada lega, selagi ia hendak mendekati Kim-yan-cu untuk memeriksa keadaan lukanya,
mendadak sesosok bayangan orang melayang tiba dengan cepat.
Ginkang orang ini tidak terlalu tinggi tapi gayanya indah, bajunya yang merah tipis berkibarkibar
tertiup angin laksana gumpalan awan yang meluncur tiba.
"Yang datang apakah Pek-hoa-sucia (dua seratus bunga)?" tegur Ang Lian-hoa dengan dahi
berkerut. Seorang gadis cantik dengan baju sutera merah tipis sudah berada di depan Ang-Lian-hoa dan
menyembah padanya, jawabnya: "Tecu Hoa Sin menyampaikan sembah hormat kepada
pangcu" "Terima kasih" kata Ang-lian-hoa dengan tersenyum. "Kedatangan nona ini adakah membawa
pesan Hay-hong Hujin?"
Gadis jelita ini memang betul anggota Pek-hoa-pang (klik seratus bunga) pimpinan Hay-hong
Hujin yang cantik itu. Dengan hormat ia lantas menjawab: "Betul, Tecu diperintahkan kemari
oleh Hujin, pertama untuk menyampaikan terima kasih pangcu yang telah mengantar pulang
Lim suci, kedua: hamba disuruh memohon sesuatu kepada pangcu."
"Urusan Hay-hong hujin pasti akan kubantu sekuat tenaga." ujar Ang Lian-hoa dengan
tertawa. 292 Hoa Sin berkedip-kedip kemudian menutur dengan tertawa: "Kwe Hou-hoat dari pang kalian
di masa lampau yang sudah menghilang dari Kangouw selama 15 tahun, konon sekarang telah
muncul lagi. Menurut laporan Toa-suci Hoa Bwe dari perbatasan Siamsay, katanya
kemunculan Kwe Houhoat telah dilihatnya di sana. Hujin pikir, kalau pangcu sedang
mengadakan pertemuan anggota di sini tentu ada hubungannya dengan kemunculan KweHouhoat, sebab itulah hamba disuruh kemari untuk memohon kepada pangcu...."
"Apakah Hujin ada persoalan dengan dia?" sela Ang-lian-hoa.
Hoa Sin menghela napas, jawabnya: "Ya, begitulah, sebab itulah Hujin mohon bantuan
Pangcu agar bila Kwe-houhoat datang kemari hendaklah segera Pangcu memberi kabar
kepada Hujin dengan bunga api khas kalian, apabila Hujin berada di sekitar sini tentu beliau


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat segera memburu kemari.
Ang Lian-hoa terdiam sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum pahit: "Pesan Hujin
sudah tentu akan kuperhatikan, cuma sayang, kedatangan nona ini agak terlambat satu
langkah." "Apakah Kwe-Houhoat telah dihukum mati oleh Pangcu?" seru Hoa Sin kaget.
"Hendaklah nona sampaikan kepada Hujin, katakan bahwa Kwe Pian-sian sudah lama dipecat
oleh Pang kami." kata Ang-lian-hoa dengan gegetun. "Saat ini dia.... dia sudah dibawa pergi
oleh Ji-siancu, ketua Hoa-san-pay".
***** Cukup lama kemudian barulah Kim-yan-cu siuman.
Ang-lian-hoa seperti tidak sabar menunggunya, begitu melihat nona itu sadar segera ia
memberi hormat dan berkata: "Berkat bantuan nona sehingga Pang kami terhindar dari
kesukaran, sebaliknya karena itulah nona terluka, sungguh segenap anggota pang kami tidak
tahu cara bagaimana menyampaikan terima kasih kepada nona."
Kim-yan-cu tertawa hambar: "Ah, terlalu berat ucapan Pangcu ini bagiku...." dengan cepat
tertawanya berganti menjadi cemas pula, tanyanya: "Dan iblis itu apakah.... apakah sudah
mati?" "Dia terluka parah dan telah dibawa pergi oleh Ji-siancu dari Hoa-san" tutur Ang Lian-hoa.
"Hoa-san-pay juga bermusuhan dengan dia, apalagi Ji-siancu terkenal paling benci kepada
kejahatan, kukira iblis itu pasti tak bisa hidup lama lagi."
Kim-yan-cu terdiam sejenak, katanya kemudian dengan menyesal: "Terus terang, kalau aku
tidak menyaksikan mayatnya, betapapun aku tetap kuatir."
"Musuh orang ini terdapat di mana-mana, sekalipun Ji-siancu tidak membunuhnya, tentu Hayhong
Hujin juga takkan ampuni dia" ujar Ang Lian-hoa dengan tertawa.
"Hay-hong katamu?" Kim-yan-cu menegas dengan berkerut kening.
293 "Ya, Hay-hong hujin, baru saja ia mengirim utusan untuk mencari berita tentang iblis itu"
tutur Ang-lian-hoa.
"Dan sudah kau beritahukan?" tanya Kim-yan-cu dengan muka pucat.
"Dengan sendirinya kuberitahukan padanya, mengapa nona merasa cemas?"
"Jika pangcu memberitahukan apa yang terjadi barusan, maka selanjutnya Hoa-san-pay dan
Pek-hoa-pang pasti akan banyak timbul persoalan."
"Mengapa begitu?" tanya Ang-lian-hioa dengan terkesiap.
"Apakah Pangcu tahu ada hubungan apa antara Kwe Pian-sian dengan Hay-hong hujin?"
"Tidak tahu" jawab Ang-lian-hoa.
"Apakah orang kangouw tidak ada yang tahu bahwa antara dia dan Hay-hong Hujin adalah
suami-istri?"
"Apa katamu" Suami-istri?" Ang Lian-hoa menegas dengan terperanjat.
"Ya, makanya seumpama Hay-hong Hujin mempunyai dendam apa-apa terhadap bekas
suaminya itu, betapapun dia tidak akan membiarkan dia mati di tangan orang lain. Dengan
demikian dia dan Ji-siancu dari Hoa-san tentu akan bermusuhan."
Ang Lian-hoa termangu-mangu sejenak, dengan menyesal ia berkata: "Pantas, begitu nona
Hoa Sin itu mendengar keteranganku, buru-buru ia lantas permisi pulang lapor kepada Hayhong
hujin.... Ai, kedua orang ini boleh dikatakan perempuan yang paling sukar direcoki di
dunia Kangouw saat ini, bilamana keduanya saling gempur, maka akibatnya sukar
dibayangkan"
"Urusan sudah terlanjur begini, berkuatir juga tiada gunanya" ujar Kim-yan-cu sambil
meronta bangun berduduk. Tiba-tiba ia menambahkan pula: "Kedatanganku ini sebenarnya
ingin minta sesuatu keterangan kepada Pangcu."
"Asalkan ku tahu, segala apapun pasti akan kuberitahukan," jawab Ang-lian-hoa dengan
tertawa. Kim-yan-cu menunduk, katanya dengan perlahan: "Malam itu, apa yang terjadi antara nona
Lim Tay-ih dan Ji-kongcu di kamar hotel sana, dapatkah pangcu menceritakan kepadaku
dengan jelas?"
Rada berubah air muka Ang Lian-hoa, ia termenung agak lama, akhirnya ia menghela napas
dan berkata: "Dan entah ada sangkut-paut apa antara nona dengan persoalan ini?"
"Bila Pangcu sudi memberitahu, untuk apa pula mesti tanya hubunganku dengan mereka?"
ujar Kim-yan-cu tersenyum kecut.
Kembali Ang Lian-hoa terpekur sejenak, akhirnya ia menutur dengan gegetun: "Hari itu
kebetulan akupun singgah di kota kecil itu, kebetulan kulihat mereka juga masuk ke kota itu,
294 aku dan nona Lim memang .... memang sudah kenal baik, meski tidak kukenal pemuda yang
mendampingi dia itu, tapi kudekati juga dan menyapanya."
"Pangcu dan Ji Pwe-giok yang sudah mati itu memang sahabat baik, bila melihat nona Lim
berada bersama lelaki lain, mungkin timbul rasa kurang senang di hati Pangcu"
Ang Lian-hoa melengak, mendadak ia tertawa dan berkata: "Ha.ha.ha..ha.! Jika nona anggap
demikian sifat pribadiku, maka salah besar nona. Watakku cukup terbuka, tidak suka
memikirkan adat kolot yang terlalu mengikat itu, jangankan nona Lim memang belum
menikah secara resmi dengan Ji Pwe-giok, sekalipun mereka sudah menikah juga tiada alasan
bagiku untuk memaksa Lim Tay-ih harus menjanda selama hidup. Bila dia mendapatkan
teman lelaki baru, aku justru bersyukur dan bergembira baginya."
Meski dia tertawa dengan lantang, namun lamat-lamat mengandung perasaan sedih.
Dengan sendirinya Kim-yan-cu tidak dapat merasakan isi hati ketua Kaypang yang gagah dan
muda itu, dengan tertawa cerah ia berkata: "Pangcu memang berpribadi lain daripada yang
lain, bilamana ucapanku tadi salah, hendaklah pangcu jangan marah."
Ang Lian-hoa tertawa, tapi ia lantas berkerut kening dan berkata pula: "Namun ketika ku sapa
mereka, pemuda itu tampaknya sangat simpatik, sebaliknya nona Lim tidak mau menggubris
diriku, seakan-akan tidak kenal padaku. Padahal persahabatanku dengan dia bukan cuma
sehari dua hari saja, tidak pantas ia bersikap demikian".
"Bisa jadi.... bisa jadi dia sedang murung atau ada persoalan lain" ujar Kim-yan-cu.
"Ucapanmu memang beralasan, tapi mendadak kuingat bulan yang lalu pernah juga satu kali
dia tidak menggubris padaku ketika kami bertemu, kemudian baru ku tahu bahwa waktu itu
dia terancam bahaya, ada kesukaran yang tak dapat dikatakannya padaku"
"Makanya sekarang Pangcu juga curiga jangan-jangan nona Lim ada kesukaran lain yang tak
dapat diberitahukan kepadamu?" tukas Kim-yan-cu.
"Ya, begitulah" kata Ang Lian-hoa.
"Lantaran itulah Pangcu jadi ketarik untuk menyelidiki seluk-beluknya, meski sebenarnya
urusan orang lain. Dan apa yang Pangcu lihat pada malam itu?"
Mendengar ucapan Kim-yan-cu ini, Bwe Su-bong yang sejak tadi hanya berdiri menunggu di
samping mendadak menyeletuk: "Apa yang dikatakan nona sebenarnya tidak salah. Jika orang
lain melihat sesuatu yang mencurigakan pada siangnya, malamnya tentu akan menyelidiki hal
yang menarik perhatiannya itu, sekalipun tempat yang harus didatangi adalah kamar perawan
juga takkan dihiraukannya...." dia pandang Kim-yan-cu dengan tersenyum, lalu menyambung
pula: "Tapi nona jangan lupa, seorang kalau sudah menjabat Pangcu Kay-pang, maka
kedudukannya akan banyak berbeda daripada orang lain, setiap tindak tanduknya tidak boleh
lagi gegabah."
Muka Kim-yan-cu menjadi merah, cepat ia berkata: "Ya, maaf" jika ucapanku tidak pantas
tapi.... tapi apakah Pangcu memang sama sekali tidak tertarik untuk menyelidikinya?"
295 "Setiap langkah Pangcu kami selalu hati-hati dan prihatin, meski beliau tidak sudi melakukan
sesuatu yang merosotkan derajatnya, tapi urusan yang menyangkut keselamatan teman pasti
juga takkan dibiarkannya begitu saja" kata Bwe Su-bong.
"Kecermatan bertindak Ang-lian Pangcu dan keluhuran budinya terhadap teman-teman sudah
cukup dikenal orang, termasuk pula diriku, kukira tidak perlu dijelaskan lagi oleh Cianpwe!"
kata Kim-yan-cu.
Sekali ini muka Bwe Siu-bong yang agak merah, cepat ia berdehem dan berkata pula: "Demi
menyelidiki apa yang terjadi, Pangcu hanya menyuruh seorang anggota Pang kami menyamar
sebagai pelayan hotel untuk mengawasi setiap gerak-gerik yang terjadi di kamar nona Lim"
"Oo, bilakah hal itu terjadi?" tanya Kim-yan-cu.
Bwe Su-bong memandang Ang-lian-hoa sekejap, sang Pangcu mengangguk, habis itu baru
Bwe Su-bong menyambung lebih lanjut. "Tatkala itu sudah magrib...."
Mendadak Kim-yan-cu memotong dengan tertawa: "Jika suka, mohon Pangcu sendiri saja
yang bercerita. Kalau tidak, setiap kalimat Bwe cianpwe harus minta izin satu kali kan repot?"
Bwe Su-bong bergelak tertawa, katanya; "Pendekar perempuan si walet emas benar-benar
tidak boleh direcoki. Hanya karena kata-kataku tadi agak menyinggung, tampaknya nona
menjadi sakit hati dan tidak dapat mengampuniku."
Sembari tertawa iapun memberi hormat dan mengundurkan diri.
Kim-yan-cu berkata dengan gegetun: "Pangcu mempunyai pembantu setia begini, sungguh
sangat mengagumkan orang."
Tanpa menunggu tanggapan Ang-lian-hoa, segera ia bicara tentang soal pokok pula: "Setelah
anggota Pang kalian menyamar dan masuk ke kamar nona Lim, adakah hal-hal mencurigakan
yang dilihatnya?"
"Keadaan yang dilihatnya memang agak mencurigakan, dilihatnya nona Lim selalu murung,
sejak awal hingga akhir sama sekali tidak menggubrisnya," tutur Ang-lian-hoa.
Tentu saja, mana mungkin nona Lim menggubris seorang pelayan, kenapa mesti diherankan?"
ujar Kim-yan-cu.
"Soalnya nona Lim seharusnya kenal anggota kami itu," kata Ang lian hoa.
"Oo . . .. " Kim-yan-cu melengak.
"Sebelum ini, kira-kira sebulan yang lalu di sekitar Siang-ciu, waktu itu nona Lim juga
terancam bahaya, tapi dia mencari peluang untuk secara diam-diam mengirimkan berita
kepadaku. Tapi sekali ini dia jejak awal hingga akhir tidak menggubris penghubung kami itu,
bukankah sangat aneh?" "Maka Pangcu lantas..."
296 "Makanya aku lantas menduga keadaan nona Lim sekali ini jauh lebih berbahaya daripada
pengalaman yang dulu sehingga sama sekali tiada peluang baginya untuk mengadakan kontak
denganku. Kim-yan-cu berpikir sejenak, katanya kemudian: "Apakah Pangcu tidak berpikir ada
kemungkinan nona Lim memang tiada terancam bahaya apa-apa sehingga dia memang tidak
perlu mengirim sesuatu berita kepadamu?"
"Sudah tentu kemungkinan ini pun bisa terjadi cuma . .. . kalau nona Lim tidak terancam
bahaya, sedikitnya dia kan mesti bertegur sapa padaku?"
"Bisa jadi mendadak dia tidak suka bertegur sapa dengan Pangcu."
"ini jelas tidak mungkin."
"Masa Pangcu begitu yakin?" tanya Kim-yan cu dengan tatapan tajam.
"Ya," jawab Ang-lian-hoa pasti.
Tiba-tiba Kim-yan-cu tertawa, katanya: "Jika demikian, hubungan Pangcu dengan nona Lim
pasti lain daripada yang lain, pantaslah Pangcu sedemikian memperhatikan urusan nona Lim."
Air muka Ang-lian-hoa rada berubah, tapi ia lantas berkata dengan tertawa: Nona juga sangat
memperhatikan utusan ini, bahkan selalu berbicara mengenai Ji kongcu itu. Agaknya nona
juga mempunyai hubungan istimewa dengan Ji-kongcu?"
Kim-yan cu melengak, segera ia tertawa, katanya: "Ang-lian-pangcu memang betul-betul
tidak boleh direcoki oleh siapapun juga."
Kedua orang saling pandang dengan tertawa, namun tertawa yang menyerupai menyengir,
meski mereka berdua sama-sama cukup bijaksana terhadap sesuatu, tapi sekarang tertekan
juga perasaan mereka.
Selang sejenak barulah Ang-lian-hoa berkata lagi: "Anak buah kami yang bernama Seng-losu
itu beberapa kali pura-pura mengantar teh ke kamar nona Lim, dilihatnya nona itu sedang
menangis, waktu dia masuk kamar, nona Lim lantas menutup kepalanya dengan selimut dan
Ji-kongcu itupun melengos ke arah dinding, agaknya tidak ingin muka mereka dilihat orang.
"Dan Pangcu bertambah heran tentunya," kata Kim yan-cu.
"Ya, waktu Song-losu menyampaikan laporan kepadaku, sementara itu hari sudah jauh
malam, tatkala mana meski aku tambah curiga, tapi masih juga ragu-ragu apakah aku harus
langsung menyelidiki ke sana ataukah tidak."
"Entah kemudian mengapa Pangcu bertekad turun tangan sendiri?"
"Pada saat itulah kulihat beberapa Ya heng-jin (orang berpakaian piranti malam) yang tinggi
sekali Ginkangnya telah melayang ke arah hotel sana, maka aku tidak ragu lagi dan segera
menyusul ke sana."
297 "Aha, yang mengikuti gerak-gerik mereka kiranya masih ada lagi kelompok lain. Siapakah
mereka itu, apakah Pangcu melihatnya?" seru Kim yan-cu.
"Gerak-gerik orang-orang itu rada misterius, mereka sama memakai kedok kain hitam,
hakekatnya aku tidak tahu siapa mereka. Tapi setiba di hotel itu dari jauh kulihat salah
seorang di antaranya terus menyusup masuk ke cerobong hawa di atap rumah. Padahal
cerobong hawa itu sangat sempit, orang biasa jelas sukar masuk ke situ, kecuali orang yang
memiliki Nui-kang (ilmu kelemasan, badan plastik) yang hebat. Tentunya nona tahu jarang
sekali orang Kangouw yang terkenal mahir Nuikang."
"Jangan-jangan Pangcu mengira orang itu adalah Sebun Bu Kut?" ucap Kim yan cu.
"Ya, kukira bukan orang lain."
"Untuk apakah Sebun Bu kut senantiasa mengawasi mereka?"
"Persoalan ini agak panjang untuk diceritakan. Yang dapat kuberitahukan kepadamu adalah
karena nona Lim itu adalah bakal istri Ji-hiante yang telah mati itu, sedangkan segala sesuatu
urusan yang menyangkut Ji-hiante tidak pernah terlepas dari pengawasan mereka."
Kim yan-cu termangu-mangu sejenak, katanya kemudian dengan berkerut kening: "Wah,
urusan ini makin lama makin ruwet tampaknya."
"Ya, dalam persoalan ini memang terkandung banyak rahasia, kalau kami tidak utang budi
kepada nona, tidak nanti kuceritakan padamu."
"Tapi Pangcu juga tidak perlu kuatir, asalkan urusan yang menyangkut Ji Pwe-giok, baik Ji
Pwe-giok yang hidup ataupun Ji Pwe-giok yang sudah mati, aku berjanji akan menjaga
rahasia baginya."
Ang lian hoa tertawa, ia menyambung pula: "Malam itu gelap gulita, tiada rembulan dan
tanpa bintang, tamu hotel sudah tidur seluruhnya, suasana di halaman hotel itu sunyi dan
gelap. Kelima Ya heng-jin itu, kecuali Sebun Bu-kut yang sembunyi di dalam cerobong hawa
itu, empat lainnya telah mengepung rapat kamar nona itu."
"Bukankah mereka hanya mengintai gerak-gerik nona Lim secara diam-diam, mengapa
mereka mengepung tempat tinggal nona Lim, apakah mereka ada maksud jahat lain?"
"Betul, memang ada maksud jahat lain."
"Mereka.... apa yang hendak dilakukan mereka?"
Ang lian hoa menatapnya dengan terbelalak, sampai lama tidak menjawab.
Dengan suara keras Kim yan cu berkata pula : "Urusan apapun juga, demi Ji Pwe-giok itu,
aku rela mati daripada membocorkan sepatah kata rahasianya."
Ang lian hoa menghela napas lega, katanya pula dengan pelahan: "Jelas mereka hendak
meringkus nona Lim dan dibawa pulang, kalau tidak dapat meringkusnya dengan hidup,
membunuhnya bukan soal lagi."
298 "Sebab apa?" seru Kim yan cu.
"Hal ini kukira tiada sangkut pautnya lagi dengan persoalan yang ingin diketahui nona, betul
tidak?" tanya Ang lian hoa.
Kim yan cu berpikir sejenak, akhirnya ia tanya pula: "Sebun bu-kut adalah sahabat baik Lenghoa
kiam Lim Soh koan, sedangkan Lim Tay-ih adalah puteri tunggal Lim Soh koan,
mengapa Sebun Bu-kut hendak membunuhnya, apakah dia tidak takut dituntut balas oleh Lim
Soh koan?"
"Di dunia ini memang banyak persoalan yang sukar dimengerti orang," tutur Ang lian hoa
dengan gegetun. "Hanya dapat kukatakan padamu, jauh sebelum itu mereka sudah bermaksud
membekuk Lim Tay-ih, tapi waktu itu nona Lim telah dibawa pergi oleh Hay-hong Hujin,
meski mereka tidak berani merecoki Hay-hong Hujin, tapi demi melihat Lim Tay-ih berada
sendirian, tentu saja mereka tidak mau melepaskan dia."
"Lalu mengapa mereka tidak.... tidak cepat turun tangan?"
"Bisa jadi lantaran mereka pun rada-rada jeri terhadap Ji kongcu ini, mungkin pula mereka
ingin tahu ada hubungan apa antara Lim Tay-ih dan Ji Pwe-giok yang satu ini."
Setelah menghela napas, lalu ia sambung pula: "Tampaknya mereka rada jeri terhadap Jihiante
dan masih sangsi kalau-kalau dia belum mati. Sebab itulah ketika dilihatnya nona Lim
berada pula dengan Ji Pwe-giok baru, mereka menjadi curiga kalau-kalau Ji Pwe-giok yang
baru ini adalah samaran Ji Pwe-giok yang lama, kalau tidak, menurut sifat Lim Tay-ih yang
angkuh itu tidak nanti mau tinggal bersama satu kamar dengan pemuda yang tidak
dikenalnya."
"Mungkin hal ini pula yang menimbulkan curiga Pangcu?" kata Kim yan cu.
"Tapi ku tahu pasti Ji-hiante benar-benar sudah mati, apabila Ji-kongcu yang ini adalah
samaran Ji-hianteku itu, mustahil dia tidak menyapa diriku ketika berjumpa."
Kim yan cu terdiam sejenak, katanya kemudian dengan perlahan: "Ucapan Pangcu memang
tidak salah, Ji Pwe-giok yang mana pun tidak nanti bersikap dingin begitu."
"Kukenal kelihaian kelima orang ini, seluruhnya tergolong jago kelas satu, dengan sendirinya
aku sangat kuatir bagi nona Lim. Tapi sebelum mereka bertindak, terpaksa akupun tidak dapat
turun tangan, akupun tak dapat mendekat hingga mengejutkan mereka terpaksa aku hanya
sembunyi di balik atap rumah seberang, dari jauh ku intai gerak-gerik mereka."
"Dalam pada itu di dalam kamar nona Lim apakah tiada sesuatu suara?" tanya Kim yan cu.
"Waktu itu di kamarnya sama sekali tiada sesuatu suara, namun lampunya menyala, kusangka
mereka sudah tidur, siapa tahu pada saat itu juga mendadak nona Lim mendepak pintu kamar,
sambil berteriak-teriak ia terus menerjang keluar."
"Aha, pahamlah aku!" seru Kim yan cu mendadak sambil berkeplok tangan.
299 "Nona paham apa?" tanya Ang lian hoa dengan melengak.
"Mungkin nona Lim tahu ada orang sedang mengintainya, secara diam-diam maka dia sengaja
menerjang keluar, apabila di sekitarnya terdapat banyak orang, dengan sendirinya Sebun Bukut
dan begundalnya itu tidak bebas turun tangan."
Ang lian hoa berpikir sejenak, katanya: "Nona Lim memang cerdik dan pintar, dari tindaktanduknya
di masa memang bisa jadi dia sengaja berbuat begitu. Tapi umpama
pertengkarannya dengan Ji-kongcu itu hanya pura-pura saja, beberapa tusukan pedangnya itu
jelas-jelas bukan pura-pura."
"Tapi dia kan tidak melukai Ji-kongcu itu dengan parah?"
"Biarpun tidak parah, tapi juga tidak ringan. Apalagi.... seumpama terkaan nona betul, kan


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

salah juga perbuatan Lim Tay-ih itu?"
"Salah!" Salah bagaimana?"
"Kau tahu, sebabnya Sebun Bu-kut tidak segera turun tangan jelas karena dia rada jeri
terhadap Ji Pwe-giok itu, maka Sebun Bu-kut tidak perlu kuatir lagi."
"Tapi di halaman hotel kan banyak orang?"
"Orang-orang di hotel itu mana dipandang sebelah mata oleh mereka" Maka waktu Lim Tayih
menusuk Ji Pwe-giok untuk kedua kalinya, serentak Ya heng-jin yang siap di atas rumah
juga lantas berdiri dan hendak bertindak."
"Sebab itulah Pangcu lantas mendahului menerjang ke sana!?"
"Waktu itu akupun tahu tidak boleh ayal lagi, harus turun tangan lebih dulu secara mendadak,
Tay-ih harus diselamatkan agar mereka kaget dan kelabakan."
"Tatkala mana orang lain mungkin menyangka orang yang ditolong Pangcu ialah Ji-kongcu,
tak tahunya yang ditolong adalah nona Lim. Dari sini terbuktilah bahwa sesuatu yang
disaksikan sendiri terkadang juga belum pasti betul," Kim Yan cu menghela napas, lalu
berkata pula: "Bukankah apa yang kupikirkan tadipun salah?"
"Salah" Hal apa?" tanya Ang lian hoa.
"Yaitu, nona Lim benar-benar ingin membunuh Ji-kongcu dan bukan cuma pura-pura saja,
sebab kalau dia benar-benar tahu ada orang sedang mengincarnya, dengan sendirinya dia
memerlukan bantuan Ji-kongcu untuk menghadapi musuh, mana bisa dia bertengkar sendiri
dengan Ji-kongcu?"
"Kukira belum tentu," kata Ang lian hoa setelah termenung.
"Oo!..."
"Bisa jadi sebelumnya dia telah melihat diriku, tahu diam-diam aku pasti akan mencari
kesempatan untuk menolong dia."
300 "Jika demikian, apa gunanya dia berlagak begitu?"
"Mungkin disebabkan dia kuatir Sebun Bu-kut dan begundalnya itu akan salah sangka Jikongcu
itu sebagai Ji-hianteku yang sudah meninggal itu, setelah dia melukai Ji-kongcu itu
tentu orang lain takkan menaruh curiga lagi...." sampai di sini, ujung mulut Ang lian hoa
seperti rada gemetar.
Kim yan cu jadi terharu, katanya: "Jika demikian, apa yang dilakukan nona Lim itu bukan
cuma untuk kepentingan sendiri, tapi juga demi keselamatan Ji-kongcu. Dia menyerang
kepada Ji-kongcu bukan sengaja hendak mencelakainya, tapi sebaliknya ingin
menyelamatkannya."
"Itu pun hanya dugaanku saja," ujar Ang lian hoa dengan menghela napas.
"Setelah kau selamatkan nona Lim, apakah tidak kau tanya kepadanya?"
Ang lian hoa memandang jauh ke depan sana, jawabnya kemudian dengan perlahan: "Dengan
hak apa kutanyai isi hatinya?"
Kim yan cu menatapnya lekat-lekat, tiba-tiba dia tertawa dan berkata: "Jangan kau kuatir, dia
pasti tidak benar-benar jauh cinta terhadap Ji-kongcu itu, dia justeru benar-benar sangat benci
padanya, bisa jadi dia benar-benar ingin membunuhnya."
Ang lian hoa melengak, katanya kemudian dengan tersenyum hambar: "Jangan kuatir"
Memangnya apa yang kukuatirkan?"
"Tidak perlu kau dusta padaku," ucap Kim Yan cu dengan rawan, "ku tahu isi hatimu, hanya
saja..... hanya saja nona Lim tidak tahu, kuharap semoga dia akan tahu."
Tiba-tiba sorot mata Ang lian hoa menampilkan perasaan menderita, tapi di mulut ia tergelak
tertawa, katanya: "Apapun yang kau pikir atas diriku pasti keliru seluruhnya, ketahuilah
hubungan Ji Pwe-giok dan aku adalah seperti saudara sekandung."
"Tapi Ji Pwe-giok sudah mati bukan?"
"Meski dia sudah mati, tapi di dalam hatiku dia tetap hidup selamanya."
"Apakah demi dia, kau rela mengorbankan perasaanmu" Jika dia benar-benar sahabatmu yang
sejati, di alam baka juga dia berharap kau yang akan menggantikan dia untuk menghibur nona
Lim." "Nona Lim tidak perlu dihibur siapapun!" seru Ang lian hoa.
"Kau salah!" ucap Kim yan cu. "Ku tahu saat ini nona Lim sangat menderita, orang yang
dapat menghiburnya saat ini mungkin cuma kau saja, hanya Ang lian hoa seorang."
Ang lian hoa memandangnya tanpa berkedip, sampai lama barulah ia mendengus: "Hm, kau
berharap aku akan menghibur nona Lim, apakah lantaran kau takut dia akan merampas kau
301 punya Ji-kongcu" Kau berharap dia membenci Ji-kongcu, bahkan membunuhnya daripada
mereka terikat menjadi satu?"
Gemetar tubuh Kim yan cu, ia menunduk perlahan, ucapnya dengan tersendat: "Be... betul,
ucapanmu memang tidak salah, aku.... aku manusia yang egois.... aku hanya memikirkan
kepentinganku sendiri....." belum habis ucapannya, berderailah air matanya.
Sinar mata Ang lian hoa memancarkan cahaya penuh penyesalan, katanya dengan suara halus:
"Demi cinta, siapakah di dunia ini yang tidak egois" Cinta artinya monopoli, tidak mungkin
dibagi." "Hanya kau!" kata Kim yan cu sambil menengadah. "Cintamu berarti pengorbanan, meski
mengorbankan dirinya sendiri toh kau berusaha tidak diketahui orang lain. Dan untuk itu
mengapa aku tidak boleh meniru kau" Mengapa tidak boleh...."
Ang lian hoa tidak ingin si walet emas meneruskan ucapannya itu, maklumlah, kata-kata itu
laksana jarum yang menyakitkan hatinya, ia coba mengalihkan pokok pembicaraan, katanya
dengan tersenyum: Setelah nona bertanya padaku, sekarang akupun ingin tanya beberapa hal
kepadamu."
"Ta....tanya saja," jawab Kim-yan-cu.
"Dari mana nona mengetahui urusan ini?"
Kim-yan-cu mengusap air matanya, jawabnya: "Malam itu, kau lihat Suma Bun tidak?"
"Sin-to Kongcu Suma Bun, maksudmu" Malam itupun ia hadir di sana?"
"Dia sendiri yang memberitahukan peristiwa itu kepadaku, tadinya kukira urusan ini sangat
sederhana, setelah mendengar cerita Pangcu barulah kurasakan persoalan ini sesungguhnya
sangat ruwet dan di luar dugaanku. Meski Pangcu telah menceritakan kejadian itu secara
terperinci dan jelas, tapi sesungguhnya bagaimana latar belakang persoalan ini tetap tidak
jelas bagiku"
"Bukan saja nona tidak jelas, memangnya aku tahu jelas?" ujar Ang Lian-hoa. "Padahal
malam itu akupun banyak melalaikan hal-hal lain, aku cuma memperhatikan tindak-tanduk
Sebun Bu-kut dan begundalnya, sampai Sin-to Kongcu berada di sana juga tidak
kuperhatikan. Kalau diam-diam ada orang lain lagi tentu aku lebih tidak tahu."
"Ya, secara diam-diam memang masih ada lagi satu orang!" kata Kim-yan-cu.
"Siapa?" tanya Ang Lian-hoa cepat.
"Seorang gadis yang cantik dan misterius" tutur Kim-yan-cu dengan pelahan. "Konon setelah
melihat dia, seketika Ji-kongcu ketakutan seperti melihat setan dan segera melarikan diri"
"Siapa pula nona cantik itu" Mengapa Ji-kongcu sedemikian takut padanya?"
"Rahasia ini kukira selain Ji Pwe-giok sendiri tiada orang lain lagi yang tahu."
302 "Ji Pwe-giok, Ji Pwe-giok!....." Ang Lian-hoa menarik napas panjang sambil menengadah.
"Nama Ji Pwe-giok mengapa selalu menyangkut rahasia sebanyak ini?"
"Mengapa tidak.... tidak kau tanyakan padaku tentang rahasia apa di balik hubungan nona
Lim dengan Ji-kongcu itu" Bukan mustahil akulah orang yang tahu rahasia mereka."
Ang Lian-hoa tersenyum pedih, ucapnya: "Makin banyak rahasia yang diketahui seseorang,
semakin menderita pula dia. Sudah cukup banyak rahasia yang kuketahui, lebih baik aku tidak
menambah penderitaan lagi".
***** Meski Kim-yan-cu dapat berbicara panjang lebar, tapi lukanya tidak ringan, untung obat luka
Kay-pang sangat mujarab, sekalipun begitu dia tetap sukar melangkah, masih belum boleh
bergerak. Ang-lian-hoa menyarankan agar dia merawat lukanya, setelah sembuh baru berangkat, tapi
Kim-yan-cu tidak sabar lagi, kalau disuruh berbaring di tempat tidur betapapun dia tidak
betah. Terpaksa Ang-lian-hoa menyuruh Bwe Su-bong mengantar nona itu, bahkan melanggar
kebiasaan, Kim-yan-cu disewakan sebuah kereta. Maklumlah, kaum pengemis terkenal
sebagai kaki besi, selamanya berjalan dan tidak pernah menggunakan kendaraan.
Kebetulan Bwe-su-bong juga seorang yang tidak sabaran, tanpa didesak Kim-yan-cu ia terus
membedal kereta kudanya dan sekaligus sampai di Li toh-tin. Setiba di kota kecil ini bahkan
masih tengah malam hari kedua.
Bwe-su-bong menghentikan kereta, ia berpaling dan bertanya: "Apakah adik perempuanmu
menunggu nona di suatu tempat di kota ini?"
"Ya, dahulu pernah kutinggal semalam di kota ini, tempatku bermalam itu bernama Li-kehcan,
di hotel itulah kusuruh dia menunggu kedatanganku" tutur Kim-yan-cu.
"Baru pertama kali ku datang ke kota ini, entah Li-keh-can itu terletak di jalan mana?"
Kim-yan-cu melongok keluar dan memberi tahu dengan tertawa: "Di kota ini hanya ada
sebuah jalan raya ini, hotel itu terletak di....."
Belum habis ucapannya, tiba-tiba di dalam kegelapan di sebelah timur sana bergema suara
raungan yang seram, mirip suara raungan macan tutul sebelum keluar rimba.
Menyusul di sebelah selatan juga bergema dua kali suara aneh, suara seperti tambur dipukul,
di sebelah barat juga berkumandang suara auman seperti bende berbunyi, lalu dari sebelah
utara juga bergema suara siulan nyaring.
Di tengah malam gelap mendadak timbul suara aneh itu, sampai Kim-yan-cu juga gemetar
dan berkerut kening, katanya: "Suara apakah itu, jelas seperti suara tambur, bende dan
sebagainya, tapi rasanya seperti raungan binatang buas"
303 Air muka Bwe Su-bong berubah hebat, ucapnya dengan suara tertahan: "Lekas sembunyi di
dalam kereta dan jangan bersuara". Segera ia melayang turun ke bawah kereta.
Kuda penarik kereta juga ketakutan oleh suara seram itu hingga kaki lemas dan tak sanggup
berjalan, mulut kuda tampak berbuih, sekuatnya Bwe Su-bong menyeretnya ke bawah pohon.
Pada saat itulah terdengar suara kain baju berkibar tertiup angin, beberapa sosok bayangan
melayang tiba secepat terbang, dalam kegelapan tidak jelas kelihatan wajah mereka. Tapi
jelas semuanya memakai baju ketat dengan gerakan lincah dan gesit.
Meski diliputi perasaan heran, tapi demi mendengar suara misterius tadi serta melihat kuda
yang lemas ketakutan, diam-diam tangan Kim-yan-cu berkeringat dingin, ia mendekap di
dalam kereta dan tidak berani bersuara.
Bwe Su-bong berlagak memegang tali kendali dan berdiri di bawah bayang-bayang pohon
tanpa bergerak seolah-olah kuatir dilihat oleh kawanan Ya-heng-ji itu, tapi orang-orang itu toh
melihatnya juga.
Salah seorang di antaranya tampak merandek dan mengomel: "Kereta ini sangat menyolok
mata, hancurkan saja!"
"Sudahlah, bos telah mendesak, untuk apa kita cari gara-gara" kata seorang lagi.
Orang pertama tadi menjengek: "Jika begitu, untunglah kakek ini."
Baru habis ucapannya beberapa orang itu sudah melayang lewat beberapa tombak jauhnya.
Kim-yan-cu melongok keluar lagi dan bertanya kepada Bwe Su-bong: "Malam ini mengapa
Cianpwe menjadi takut perkara?"
Bwe Su-bong menghela napas, ucapnya sambil menyengir: "Mereka tidak mengganggu kita,
buat apa kita mengganggu mereka?"
"Apakah orang-orang ini sukar direcoki?" tanya Kim-yan-cu.
"Masa nona tidak tahu siapakah mereka?"
"Memangnya siapa?"
"Apakah nona tidak pernah mendengar "Su-ok-siu" (empat binatang buas) yang malang
melintang di wilayah propinsi Sujwan, Kamsiok, Siamsay dan Ohpak?"
"Jadi mereka itulah Su-ok-siu?"
"Ya, lengkap empat, semuanya datang"
"Konon Su-ok-siu ini meski sama terkenalnya, tapi masing-masing berkuasa di wilayahnya
sendiri-sendiri, biasanya jarang berhubungan satu sama lain, mengapa sekarang mereka
berkumpul di sini?"
304 "Ya, hal ini memang rada mengherankan, kalau tiada transaksi besar, tidak nanti Su-ok-siu
turun tangan sekaligus bersama, tapi di kota kecil seperti Li-toh-tin ini masa ada transaksi
besar?" Tiba-tiba air muka Kim-yan-cu berubah, ia pandang jauh ke depan sana, terlihat jalan raya
sepi nyenyak, kawanan Ya-heng-jin tadi sudah menghilang. Ia menghela napas, katanya:
"Apakah kau memang melihat kemana perginya mereka?"
"Seperti menghilang di gedung ujung jalan sana" jawab Bwe Su-bong.
"Hah, celaka, disitulah letak Li-keh-can," seru Kim-yan-cu.
Berubah juga air muka Bwe Su-bong, tanyanya: "Apakah adik perempuanmu membawa
sesuatu benda mestika yang berharga?"
"Bukan saja membawa benda mestika, bahkan tidak sedikit jumlahnya," jawab Kim-yan-cu,
sembari bicara ia terus berusaha melompat keluar.
Tapi Bwe Su-bong keburu mencegahnya, desisnya: "Jangan bergerak, nona, lukamu belum
lagi sembuh."
Kim yan-cu menjadi gelisah, katanya: "Su-ok-siu ini sedemikian terkenal, tentu ilmu silat
merekapun tidak lemah, adik perempuanku cuma sendirian dan pasti bukan tandingan mereka.
Apakah aku harus berdiam diri menyaksikan dia dicelakai orang?"
Bwe Su-bong tampak prihatin, katanya pelahan: "Tapi biarpun sekarang nona ikut turun
tangan juga tiada gunanya, malahan cuma mengantar nyawa belaka."
"Habis.... habis bagaimana baiknya?" Kim yan-cu menjadi kelabakan.
"Jangan kuatir nona" ujar Bwe Su-bong dengan tertawa, "asalkan ku hadir di sini, tidak boleh
mereka berbuat sesukanya"
Meski begitu ucapannya, sesungguhnya iapun tidak yakin akan jaminannya itu.
"Kalau begitu lekaslah kau mencari akal, kalau terlambat mungkin urusan bisa runyam" pinta
Kim-yan-cu. "Cara turun tangan mereka takkan terlalu cepat" tutur Bwe Su-bong setelah berpikir sejenak.
"Sebelum turun tangan biasanya Su-ok-siu selalu berhati-hati, makanya selama ini mereka
jarang gagal"
Sembari bicara ia terus mengamat-amati sekeliling sana, dilihatnya di belakang hotel Li-kehcan
itu terdapat sebuah rumah kecil berloteng sehingga lebih tinggi daripada atap rumah di
sekitarnya. Tiba-tiba Bwe Su-bong tertawa dan berkata: "Aku sudah kakek-kakek hampir 70 tahun, kalau
nona tidak merasa tubuhku kotor, marilah ku gendong saja, kita sembunyi dulu di atas loteng
sana untuk mengawasi gerak-gerik mereka"
305 "Ya, selain jalan ini kukira tak berdaya lagi" ujar Kim-yan-cu dengan gegetun.
Begitulah Bwe-Su-bong lantas menggendong Kim-yan-cu dan memutar ke samping rumah
kecil berloteng itu, ia mengeluarkan seutas tali panjang, digantolkan pada emper loteng, lalu
merambat ke atas dengan hati-hati.
Meski gelisah dan wataknya tidak sabaran, namun jelek-jelek dia tokoh Kangouw yang sudah
ulung, dengan sendirinya dia bisa lebih hati-hati dari pada biasanya, apalagi dia menggendong
seorang, gerak-geriknya kurang leluasa, bila melompat tentu menimbulkan suara, maka dia
tidak berani main loncat ke atas loteng.
Dari atas loteng itu dapat memandang jelas, keadaan sekitarnya, terutama Li-keh-can di
depannya, kecuali kedua lampu kerudung yang tergantung di depan pintu hotel itu serta
samar-samar ada cahaya lampu di kamar pengurus, suasana sekelilingnya gelap gulita dan
sunyi senyap, hanya keresekan daun pohon yang terkadang tertiup angin memecah kesunyian
malam yang seram.
Di bawah pohon, di ujung tembok, di balik atap rumah, setiap tempat yang gelap lamat-lamat
ada bayangan orang, namun tidak terdengar sesuatu suara yang mencurigakan.
Kim-yan-cu menjadi kuatir, gumamnya dengan suara tertahan: "Mengapa tidur Ji-moay
seperti babi mampus, kawanan bandit sudah di depan pintu dan dia belum lagi tahu."
Di tempat gelap terdengar ada orang menjentik sebagai tanda, empat lelaki serentak melolos
golok dan merunduk ke rumah di depan sana. Dua orang di antaranya menuju ke pintu dan
dua lagi mendekati jendela. Tapi belum lagi dekat, mendadak di dalam rumah cahaya lampu
terang benderang.
Ke empat orang itu terkejut dan berhenti dengan golok terhunus dan siap tempur. Tak
tersangka di dalam rumah lantas berkumandang suara tertawa orang perempuan yang genit,
berbareng itu pintu lantas terbuka.
Tertampaklah seorang nona jelita dengan membawa sebuah lampu minyak muncul di ambang
pintu. Dia memakai baju tidur warna ungu tipis, perawakannya yang ramping dan garis
tubuhnya yang samar-samar kelihatan di bawah cahaya lampu.
Terkejut juga Bwe Su-bong memandangnya dari jauh, pikirnya: "Adik perempuan Kim-yancu
mengapa secantik ini?"
Ke empat lelaki tadipun terkesima berhadapan dengan perempuan cantik itu sampai bernapas
saja setengah ditahan, bahkan orang-orang yang masih bersembunyi di tempat gelap juga
sama melotot. Perempuan cantik itu memang betul Gin-hoa-nio adanya, dia mengerling genit, katanya
dengan tersenyum menggiurkan: "Kedatangan para Toako ini apakah hendak mencari
diriku?" "Iya...." mestinya ke empat lelaki itu hendak mengucapkan kata-kata yang bengis, tapi aneh,
mulut terasa kering dan jantung berdetak keras, bukan saja tidak dapat memperlihatkan sikap
buas, bahkan kata-kata kasar juga sukar terucapkan.
306 "Jika kalian ingin mencari diriku, hayolah silahkan masuk dan minum dulu, mengapa berdiri
saja di luar, kalau masuk angin kan bisa berabe....." demikian ucap Gin-hoa-nio dengan suara
lembut sambil menggeliatkan pinggangnya yang ramping, senyumnya juga tambah genit.
Dia seperti nyonya rumah yang simpatik terhadap kunjungan tamunya dari jauh, seperti sama
sekali tidak tahu kedatangan orang-orang ini bermaksud membunuhnya.
Ke empat lelaki tadi menjadi melenggong bingung. Sesungguhnya mereka sudah cukup
berpengalaman, tapi terhadap nona jelita tanpa senjata ini mereka tidak tahu apa yang harus
diperbuatnya. Mendadak salah seorang di antara ke empat lelaki itu berkata dengan tertawa aneh: "Nyonya
rumah secantik ini mengundang kita minum, mana boleh kita kecewakan kehendaknya.
Biarlah aku "Oh-pa" (harimau tutul hitam) Cin Piao mencicipi dulu suguhannya"
Di tengah suara tertawa seram, seorang di antaranya yang berbaju hitam, berbadan tinggi
dengan gerak-gerik gesit segera melangkah maju. Langkahnya kelihatan sangat mantap,


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun tidak terdengar suara sedikitpun.
Dipandang dari jauh, orang itu seperti sangat gagah, tapi ketika mukanya tersorot cahaya
lampu, seketika orang terperanjat, orang tidur saja mungkin akan terjaga bangun.
Ternyata muka orang gagah itu hitam pekat, tulang pipinya menonjol, mukanya penuh codet,
bekas sayatan pisau, ketika tertawa mulutnya yang lebar tampak merah menganga seakanakan
sekali caplok lawan bisa diganyangnya mentah-mentah.
Gin-hoa-nio memandangnya tanpa gentar, ia malah tersenyum genit dan berkata: "Wah,
pahlawan gagah perkasa begini mana boleh minum teh saja, syukur di sini tersedia beberapa
botol arak simpanan, pahlawan dengan arak, begini barulah setimpal."
Cin Piao si macan tutul hitam terbahak-bahak.
Belum lagi dia bicara, seorang lagi sudah berteriak: "Keparat, perempuan ini memang
menarik, betapapun aku juga mau minum satu cawan"
Di tengah gelak tertawa masuk lagi tiga orang. Orang pertama tinggi besar dan gemuk,
mukanya penuh daging lebih. Orang kedua tinggi kurus, mukanya pucat seperti mayat,
hidungnya tinggal separuh, telinganya juga hilang satu.
Orang ketiga tampaknya tidak begitu buruk rupa, tapi jalannya yang abnormal, terincat-incut,
kedua tangannya juga terus gemetar, orang bisa muak melihat dia.
Kim-yan-cu saja hampir tumpah demi melihatnya dari jauh.
Bentuk ketiga orang itu dari kepala sampai ke kaki hakekatnya sukar dikatakan mirip
manusia. Namun Gin-hoa-nio tidak memperlihatkan rasa kurang senang, ia tetap tertawa
manis menyambut kedatangan ketiga orang itu, bahkan ia memberikan lirikan yang
menggiurkan kepada setiap orangnya sehingga membikin setiap orang itu berpikir seolah-olah
lirikan si cantik hanya ditujukan kepadanya saja.
307 Lelaki baju merah yang tinggi besar dengan muka penuh daging lebih itu terbahak-bahak,
teriaknya: "Busyet, sudah lama ku malang melintang kian kemari, tapi belum pernah aku
"Ang-hou" (harimau merah) Tio Kang melihat perempuan sexy begini, sungguh ingin sekali
ku caplok kau mentah-mentah"
Orang berbaju putih yang berjalan paling belakang terkekeh-kekeh, katanya: "Nona jangan
kaget, Hou-loji (si harimau kedua) memang suka omong kasar, tapi hatinya sangat baik....."
sembari bicara, tubuhnya terus menggigil tiada hentinya.
Ang-hou Tio Kang berkata dengan tertawa: "Betul, mukaku sih tidak setampan Pek-coalongkun
(si bagus ular putih), tapi hatiku lebih baik dari pada dia, bila kau digauli sekali
olehnya, sedikitnya tiga hari kau tak bisa bangun...."
Begitulah sambil bersenda-gurau beberapa orang itu terus melangkah masuk kamar seperti
masuk ke rumah sendiri, hakekatnya tidak gentar kalau-kalau si cantik menggunakan akal
licik terhadap mereka.
Hanya si baju kelabu yang hidungnya tinggal separuh itu tetap bersikap acuh tak acuh,
memandang sekejap saja tidak terhadap Gin-hoa-nio, seolah-olah sama sekali tidak berminat
terhadap perempuan.
Tapi ketika dia lalu di samping Gin-hoa-nio, sekonyong-konyong ia remas pantat Gin-hoa-nio
sehingga nona itu menjerit kesakitan. Tapi segera Gin-hoa-nio tertawa genit dan
membisikinya: "Tadinya kukira kau ini lelaki suci bersih, tak tahunya juga sama bangornya.
Anjing yang suka menggigit orang biasanya memang tidak menggonggong"
Tanpa menoleh, si baju kelabu berucap dengan ketus, "Serigala yang makan manusia biasanya
juga tidak menyalak."
"0ooo, kau serigala ?" tanya Gin-hoa-nio dengan tertawa.
"Ya, serigala kelabu." jawab orang itu.
Sesudah ke empat orang itu berada di dalam kamar, si Harimau merah Tio Kang lantas
menjatuhkan diri di tempat tidur, ia tarik selimut dan diendusnya lalu tertawa dan berkata,
"Haha, harum amat tubuh perempuan ini, sampai selimutnya juga ketularan wangi, sungguh
aku tidak tahan, ingin ku tindih mampus dia."
"Wah tampaknya Loji sudah lupa tujuan kedatangan kita ini !" omel si baju kelabu.
Gin-hoa-nio tertawa, katanya, "Apapun maksud tujuan kedatangan kalian ini, pokoknya
minum arak saja dahulu, kan tidak menjadi soal bukan ?" Segera ia menuang empat cawan
arak dan diaturkan kepada tetamunya.
Pek-coa-longkun terkekeh-kekeh, katanya, "Ai, tangan nona putih mulus begini, entah arak
yang kau suguhkan ini beracun atau tidak?"
308 Ang-hoa melompat bangun, ia tarik tangan Gin-hoa-nio dan di rabanya, katanya dengan
tertawa, "Arak suguhan dari tangan putih halus begini, sekalipun beracun juga akan
kuminum." Benar juga, tanpa pikir ia angkat salah satu cawan arak itu terus ditenggaknya hingga habis.
Ob-pah melototi sang kawan, ia cukup licin, ia tunggu sebentar lagi dan melihat Ang-huo
sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan, bahkan si harimau merah itu bertambah
gembira. Maka tertawalah Oh-pah alias Macan Tutul hitam katanya, "Masa ada orang main
racun di depan kita " ..... Hehe, kukira nona ini bukan orang bodoh!" Sambil bicara iapun
angkat satu cawan dan di minum habis.
Pada saat itulah, Bwe Su-bong yang mengintai di rumah seberang sana sedang tanya Kimyancu dengan suara tertahan, "Kau kira arak itu beracun atau tidak ?"
"Mungkin tidak," jawab Kim-yan-cu, "Ai, seharusnya di berinya racun."
"Jika demikian pikiran nona, kukira kau keliru besar," ujar Bwe Su-bong dengan tersenyum.
"Menaruh racun di dalam arak terlalu mudah di ketahui lawan, tentu saja sangat berbahaya,
jelas adik perempuanmu tidak mau bertindak sebodoh itu."
"Memangnya dia mempunyai cara lain?" ujar Kim-yan-cu dengan gregetan.
"Menurut pandanganku, tindakan adikmu mungkin jauh lebih pintar dari pada nona sendiri
dan jauh lebih tinggi daripadaku." kata Bwe Su-bong. "Tampaknya urusan ini tidak perlu lagi
kita ikut campur."
Dalam pada itu terlihat Gin-hoa-nio sedang menyuguhkan arak ke depan Pek-coa-long-kun,
katanya, "Apakah kongcu tidak sudi minum arak suguhanku?"
Pek-coa-long-kun tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Tapi melulu minum arak saja kan kurang
menyenangkan, nona harus memberikan barang pengiring arak sekalian."
Gin-hoa-nio melirik genit, tanyanya, "Kongcu menghendaki barang pengiring arak apa ?"
"Sepanjang jalan kami mengikuti nona ke sini apa tujuan kami masakah nona tidak tahu ?"
kata Pek-coa -longkun dengan tertawa misterius.
"O, barang yang tidak manis juga tidak asin begitu masa dapat digunakan pengiring arak ?"
ucap Gin-hoa-nio dengan menggigit bibir.
"Meski barang-barang itu tidak manis, juga tidak asin tapi, asalkan ku lihatnya sekejap,
sedikitnya ku sanggup minum tiga cawan arak," ujar Pek-coa-long-kun. "Tapi entah nona sudi
memperlihatkan tidak kepada kami barang tersebut ?"
"Jika Kongcu menghendaki demikian, mana aku berani menolak," kata GIn-hoa-nio dengan
tertawa genit, Mendadak dia menyingkap kain sprei tempat tidur yang terletak di pojok kamar
sana. 309 Seketika pandangan semua orang terasa silau, sinar-sinar lampu seolah-olah menjadi suram
oleh cahaya gemerlapnya ratna mutu manikam. Seketika ke empat orang itu mendelik, tubuh
Pek-coa-longkun menggigil semakin keras.
Segera Ang-hou melompat maju, diraupnya segenggam batu permata itu, teriaknya dengan
gembira, "Sungguh tak kusangka begini gemuk kambing kita ini, setelah transaksi ini,
mungkin selanjutnya kita tidak perlu susah payah lagi dan dapat hidup tenteram sampai tua."
Pek-coa-longkun terkekeh-kekeh, katanya, "Cuma sayang, barang-barang ini kan milik nona
jelita ini, apakah orang sudi menyerahkannya kepada kita kan masih menjadi soal."
"Kita angkut saja dan habis perkara, perduli dia mau memberi atau tidak"! teriak Ang-hou.
"Kita kan orang sopan, segala sesuatu harus permisi dulu kepada yang empunya," ujar Pekcoalongkun dengan terkekeh-kekeh.
"Baik, biar kutanya dia, " teriak Ang-hou. "Eh, mestika ratu, boleh tidak " Hahahaha, kita
bertanya padanya boleh atau tidak, Hahaha..."
Makin keras tertawanya dan makin geli rasanya, sampai-sampai ia memegangi perut dan
menungging. Gin hoa nio tidak memberi reaksi-apa-apa, dengan tersenyum ia berkata: "Sebelumnya hamba
sudah tahu kalian akan kemari, maka sudah kusiapkan semua barang yang kalian inginkan
ini." "Hahaha, memang sudah kukatakan kau ini perempuan cerdik," seru Ang hou sambil
bergelak. "Bukan cuma batu permata ini saja akan kupersembahkan kepada kalian, bahkan masih ada
barang berharga lain juga akan kuserahkan kepadamu, entah kalian sudi menerima atau
tidak?" Ang-hou mendelik, teriaknya: "Masih ada barang berharga lain lagi" Di mana" Lekas
perlihatkan kepadaku!"
Gin hoa nio mengerling genit, ucapnya dengan tersenyum: "Barang itu sudah berada di sini.
Coba kalian pikir, benda paling berharga apa yang terdapat pada diriku" Masa kalian tidak
dapat menerkanya?"
Ang-hou garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal dan berteriak-teriak: "Tak dapat kuterka,
aku tidak tahu, benda apa maksudmu?"
"Andaikan kalian tak dapat menerkanya, biarlah ku perlihatkan saja!" ujar Gin hoa nio dengan
lirikan mautnya.
Perlahan ia menarik baju tidurnya yang tipis itu sehingga merosot ke lantai, maka
tertampaklah dadanya yang menegak hanya tertutup oleh selapis kutang yang tipis remangremang,
tubuhnya yang montok dan pahanya yang mulus dengan warna kulit yang putih
bersih..... 310 Biji mata Su ok siu melotot seperti mata ikan emas yang akan melompat keluar dari rongga
matanya, napas mereka pun makin kasar dan akhirnya megap-megap, kalau semula ada tiga
bagian mereka masih menyerupai manusia, tapi sekarang hampir seluruhnya berubah menjadi
binatang yang buas dan kelaparan.
Biji leher Ang hou tampak naik turun, berulang kali ia menelan air liur, gumamnya kemudian:
"O, mestika ratuku, sungguh ini benar-benar mestika ratu nomor satu di dunia ini, jika ada
anak kura-kura yang bilang ini bukan mestika ratu, maka matanya pasti buta dan akan
kuhancurkan mulutnya."
Pek coa longkun juga tambah gemetar sehingga pinggangnya hampir patah, gumamnya
dengan tergagap-gagap: "Nona.... nona benar-benar .... benar-benar hendak memberikan
barangmu yang berharga ini kepada kami?"
Gin hoa nio bersuara aleman, ucapnya sambil tersenyum manis. "Pemuda mana yang tidak
birahi, gadis mana yang tidak gairah. Perempuan kalau sudah dewasa yang dikehendakinya
bukan lagi batu permata melainkan lelaki."
Tangannya yang menutupi dada itu perlahan-lahan mulai merosot ke bawah, lalu ucapnya
pula dengan suara yang menggetar sukma: "Tentunya para Kongcu dapat melihat sendiri, aku
tidak lagi anak kecil bukan?"
Ang hou tertawa dengan setengah menjerit, teriaknya: "Bilamana ada anak kura-kura yang
bilang kau masih anak kecil, seketika akan ku masukkan lagi dia ke perut biangnya."
Mendadak Oh pah Cin Piau berkata dengan bengis: "Perempuan cantik dan genit macam kau
ini kalau ingin cari lelaki, sekaligus satu keranjang juga dapat kau dapatkan, sebab apa kau
sengaja menghendaki kami" Sesungguhnya akal bulus apa yang telah kau atur?"
Gin hoa nio tertawa ngikik, katanya: "Meski kalian berempat tidak terhitung cakap, tapi
kalian adalah lelaki sejati, jantan cemerlang, hanya anak perempuan yang masih hijau saja
yang suka kepada lelaki sebangsa enak dipandang tak berguna dipakai. Aku justeru....." ia
lantas menunduk dan malu-malu kucing seperti gadis pingitan, lalu sambungnya dengan
tertawa genit: "Yang kusukai adalah lelaki jantan, jantannya lelaki."
"Plok", Ang hou berkeplok sambil berteriak: "Keparat, ucapanmu memang tepat, nyata
pandanganmu memang tajam, anak muda yang bermuka putih seperti pupuran itu mana becus
bekerja" Hahaha, cukup kau jepit dengan pahamu saja mungkin seketika keluar kuning
telurnya."
"Tapi.... tapi hamba pun mempunyai sesuatu kesukaran," tiba-tiba Gin hoa nio menghela
napas. Ang hou jadi mendelik, tanyanya cepat: "Apa kesukaranmu?"
Gin hoa nio tidak lantas menjawab, ia mengerling mesra sekeliling kepada keempat orang itu,
lalu berkata dengan menyesal: "Soalnya begini, meski batu permata ini dapat dibagi menjadi
empat, tapi diriku hanya seorang saja...."
311 "Di antara kami berempat hanya aku saja yang belum berbini, sudah tentu kau mestika ratu ini
adalah milikku," teriak Ang hou.
Dengan menunduk Gin hoa nio berkata: "Tio-kongcu gagah perkasa, sudah tentu terhitung
lelaki tulen, bilamana kudapatkan suami seperti dirimu, apa pula yang kuharapkan lagi, hanya
saja...." sembari bicara, matanya diam-diam melirik Cin Piau, si macan tutul.
Benar saja, belum habis ucapannya, serentak Cin Piau berteriak: "Tio-loji, barang lain boleh
kuberikan padamu, tapi mestika ratu jelita ini adalah milikku Cin-lotoa."
"Lotoa (si tua)" Hehe, jika aku tidak mengalah, bisakah kau menjadi Lotoa?" jengek Tio
Kang alias Ang hou atau di harimau merah.
Cin Piau menjadi gusar, bentaknya: "Jadi kau tidak terima?"
"Terima" Berdasarkan apa aku mesti mengalah padamu?"
Gemerdep sinar mata Gin hoa nio, jelas dalam hati sangat senang, tapi di mulut ia berkata: "Eeh,
janganlah kalian bertengkar, apabila kalian bersaudara bertengkar lantaran diriku, wah,
entah bagaimana hamba harus menebus dosaku ini."
Pek coa longkun terkekeh-kekeh, katanya: "Ucapan nona ini memang tidak salah, jika kita
bersaudara bertengkar mengenai seorang perempuan, bukankah akan dibuat buah tertawaan
orang" Menurut pendapatku, mestika ratu ini akan menjadi milik siapa boleh ditanyakan
langsung kepada dia sendiri."
Si ular putih ini menganggap dirinya paling cakap dan menarik di antara mereka berempat,
jika sang "mestika ratu" disuruh memilih, jelas dirinya yang akan terpilih.
Tapi harimau merah, serigala kelabu dan macan tutul hitam juga mengira dirinya masingmasing
yang dipenujui Gin hoa nio, kalau tidak masakah lirikan si cantik yang membetot suka
itu selalu tertuju ke arahnya"
Baru habis ucapan si ular putih, serentak ketiga rekannya menyatakan setuju: "Ya cara ini
memang paling bagus dan adil!"
Ang hou lantas menyambung pula dengan tertawa: "Mestika sayang, jadilah kau Ong Po sun
dan Aku Sih Peng kui (Nama-nama peran dalam cerita roman kuno), pilihlah aku!?"
Gin hoa nio menunduk sambil menggigit bibir, seperti malu dan juga seperti serba salah.
Kerlingannya yang mesra justru mengusap kian kemari secara bergilir di antara ke empat
orang itu. Oh pah Cin Piau bertepuk-tepuk dada dan berkata: "Siapa yang kau sukai, katakan saja terus
terang, tidak perlu takut!"
"Betul, jangan takut," tukas Ang hou. "Bila aku yang kau pilih, katakan saja, kalau ada anak
kura-kura yang berani mengganggu seujung rambutmu, lihat saja kalau tidak kugetok
kepalanya hingga gepeng."
312 Sembari bicara sebelah tangannya bertolak pinggang dan tangan yang lain memperlihatkan
ototnya yang kuat.
Begitulah ke empat orang itu sama yakin pasti dirinya yang akan dipilih Gin hoa nio.
Sungguh luar biasa. Memang tidak mudah bagi seorang perempuan untuk membuat setiap
lelaki sama merasa mabuk baginya, dalam hal ini Gin hoa nio harus diberi piala.
Menyaksikan kejadian itu dari kejauhan, berulang-ulang Bwe Su-bong juga mengurut dada,
sungguh mimpi pun dia tidak menyangka Kim yan cu mempunyai adik perempuan sehebat
itu, diam-diam ia pun membatin: "Untung usiaku sudah hampir 70, kalau tidak, bisa jadi
akupun akan terjun ke sana dan ikut ambil bagian....."
***** Dalam pada itu, Gin hoa nio tampaknya masih ragu-ragu, biji matanya berputar-putar dan
tetap tak dapat mengambil keputusan, lama sekali barulah ia menghela napas dan berkata:
"Kalian semuanya adalah lelaki sejati dan ksatria terpuji, sungguh aku menjadi bingung, entah
siapa yang harus ku pilih. Setelah kupikir pergi-datang, kukira hanya ada satu cara untuk
menentukannya."
Cara bagaimana?" tanya ke empat orang itu serentak.
"Begini," tutur Gin hoa nio dengan senyum genit dan lirikan mautnya, "kalian kan tahu,
perempuan adalah kaum lemah, setiap perempuan tentu berharap akan mendapatkan suami
yang berilmu silat tinggi dan bertenaga kuat......"
Air muka si serigala kelabu yang licin dan licik itu seketika berubah, tapi Gin hoa nio tidak
memberi peluang baginya untuk bicara, cepat ia menyambung: "Tapi kalau kalian berempat
benar-benar saling berhantam sehingga ada yang cedera, tentu hatiku akan sedih."
Mendengar ini, air muka si serigala kelabu berubah menjadi tenang kembali.
Sebaliknya si harimau merah berkerut kening dan berkata: "Tapi kalau tidak saling gebrak,
cara bagaimana membedakan Kungfu siapa yang lebih unggul" Keparat, aku menjadi bingung
apa kehendakmu sesungguhnya."
Gin hoa nio tertawa manis, ucapnya pula: "Maka hamba cuma ingin kalian memperlihatkan
sejurus Kungfu masing-masing saja, aku yang melihat dan aku yang menilai, sebaliknya
takkan merusak persaudaraan kalian sekaligus juga ketahuan Kungfu siapa yang lebih
unggul." "Aha, bagus," teriak Ang hou dengan tertawa. "Tak terduga, kepalamu yang kecil ini berisi
akal sebanyak ini."
Pada saat itulah Kim-yan-cu mengintip di seberang sana berkata pula kepada Bwe Su-bong:
"Entah akal apa yang sedang diaturnya sekarang?"
"Sudah tentu akal untuk memancing agar ke empat orang itu saling membunuh sendiri." ujar
Bwe Su-bong. 313 "Jika demikian, mengapa dia tidak berdaya agar mereka lekas saling bergebrak?" kata Kimyancu. "Di sinilah letak kecerdikan adikmu" ujar Bwe-Su-bong dengan tertawa. "Serigala kelabu itu
sudah mencurigai adikmu sedang main gila, jika saat ini juga adikmu menyuruh mereka
saling baku hantam, mungkin serigala kelabu itu akan segera berontak."
"Tapi kalau ke empat orang itu tidak saling gebrak, cara bagaimana pula bisa terjadi bunuh
membunuh?"
"Agaknya adikmu sudah tahu, meski ke empat orang itu bersaudara, tapi satu sama lain tidak


Renjana Pendekar Karya Khulung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mau mengalah, tiada satupun mengakui kungfunya di bawah yang lain, maka akhirnya
mereka pasti akan saling hantam sendiri. Biarkan mereka baku hantam sendiri kan jauh lebih
baik daripada adikmu yang menyuruhnya?"
Kim-yam-cu menghela napas dan tidak bicara lagi.
Dalam pada itu terlihat si harimau merah sedang mengulet badan dengan kemalas-malasan
sehingga seluruh ruas tulang badannya sama berbunyi keriat-keriut, habis itu mendadak ia
meraung, sebelah tangannya terus menghantam sebuah bangku batu bulat disampingnya.
Bangku itu berbentuk bulat tengahnya kosong, tapi biarpun begitu, umpama orang biasa
memukulnya dengan palu besar juga tidak mungkin dapat menghancurkannya dengan sekali
hantam. Sekarang si harimau merah sekali hantam telah dapat membuat bangku batu itu
menjadi berkeping-keping.
Gin-hoa-nio berseru dengan tersenyum genit:
"Wah, hebat sekali kungfu Tio-kongcu, sungguh mimpipun tak terpikir olehku tenaga seorang
bisa begini besar dengan kepalan yang begitu keras"
Ang-hoa tertawa latah sambil melirik hina kesana dan ke sini, teriaknya:
Setelah kuperlihatkan kungfuku ini, kukira orang lain tidak perlu coba-coba lagi"
"Ya, kungfumu ini memang sukar dibandingi siapapun," ujar Gin-hoa-nio dengan senyuman
menggiurkan, namun matanya senantiasa melirik ke arah si macan tutul.
Cin-piau, si macan tutul hitam mendengus:
"Hm, tangan To-loji memang kuat untuk membelah kayu, tapi kalau digunakan untuk
bertempur jelas tiada gunanya.
Muka Ang-hou menjadi merah, teriaknya gemas: "Bedebah, tiada gunanya katamu"
Memangnya kau lebih kuat daripadaku?"
Oh-pah atau si macan tutul hitam mendengus, pelahan ia berduduk di bangku batu yang lain,
ia duduk dengan diam, sampai sekian lama tetap tidak bergerak.
314 "Hehe, kungfu macam apa yang kau perlihatkan" kungfu pantat barangkali" ejek si harimau
merah dengan tertawa.
Oh-pah tetap berduduk tanpa bergerak, jengeknya kemudian: "Seumpama otakmu bebal,
apakah matamu juga buta?"
Baru sekarang Ang-hoa mengamati-amati rekannya dan seketika ia tidak sanggup tertawa
lagi. Tiba-tiba dilihatnya bangku batu yang diduduki Oh-pah itu makin lama makin pendek,
bangku batu yang berat itu ada sebagian ambles ke dalam tanah.
Nyata, meski kelihatannya Oh-pah hanya berduduk tanpa bergerak, tapi sesungguhnya dia
sudah memperlihatkan Lwekangnya yang hebat.
Dengan tertawa genit Gi-hoa-nio berseru: "hih, Cin-lotoa memang tidak malu sebagai orang
pertama, jika bangku ini berujung lancip masih dapat dimengerti, tapi bangku ini berujung
rata, sekarang ada setengahnya tertanam ke dalam tanah, sungguh hebat tenaga dalamnya
betul tidak Kongcu-kongcu yang lain?"
Pek-coa-longkun tertawa terkekeh kekeh, ucapnya: "Betul, betul! beberapa bulan tidak
bertemu, tak tersangka kungfu Cin-lotoa sudah maju sepesat ini."
Oh-pah tertawa bangga, katanya: "Jika kungfuku tiada kemajuan, kan bisa di..." mendadak ia
berhenti tertawa, air mukanya juga berubah pucat.
Rupanya entah sejak kapan si serigala kelabu telah merunduk ke belakang Oh-pah dan
menyarangkan belatinya di punggung rekannya.
Keringat dingin tampak menghiasi dahi Oh-pah dengan suara gemetar ia berkata: "Losam,
ke... keji amat kau!"
Wajah si serigala tiada memperlihatkan sesuatu perasaan, ucapnya dengan dingin:
"Aku cuma ingin memberitahukan padamu bahwa Kungfu Tio-loji hanya cocok untuk dipakai
memotong kayu, sebaliknya kungfumu juga belum tentu ada gunanya.
Manusia adalah makhluk hidup, mungkinkah dia akan kau duduki sesukamu seperti bangku
yang kau tanamkan ke dalam tanah ini?"
Dengan pandangan yang licik ia melototi Gin-hoa-nio dan berkata pula dengan menyeringai:
"Kungfu yang paling berguna di dunia ini adalah kungfu yang dapat digunakan membunuh
orang betul tidak nona?"
Oh-pah meraung kalap, segera ia membalik tubuh dan bermaksud mencekik leher si serigala.
Namun si serigala sempat melompat mundur, belati juga dicabutnya sehingga darah lantas
mancur dari tubuh Oh-pah, belum lagi macam tutul hitam itu berdiri seketika ia jatuh
terguling ke lantai dan tidak mampu bangun pula.
Ang-hou meraung gusar: "Sekalipun Cin-lotoa bukan orang baik, jelek-jelek dia kan saudara
kita, mengapa kau membunuhnya?"
315 "Setelah ku bunuh dia, bukankah kau yang menjadi Lotoa?" jawab si serigala.
Ang-hoa mengelak, ia mendengus dan tidak bicara lagi.
Pek-coa-longkun terkekeh kekeh katanya: "Ucapan ... memang betul, kungfu apa segala,
semuanya palsu, hanya kungfu yang dapat membunuh orang adalah kungfu sejati. Kungfuku
membunuh orang tentunya juga tidak kurang hebat daripada kungfu si Lo-sam?"
Sambil bicara terus ia terus mengitar ke belakang Ang-hou, mendadak ia melolos belati terus
menikam. Kecepatan dan kegesitan serta kelihaiannya memang tidak di bawah Hwe-long atau
si serigala kelabu.
Tak tersangka, meski si harimau merah itu tampaknya gede dan bodoh, sesungguhnya dia
malah cukup cerdik. Baru saja si ular putih turun tangan, secepat itu pula dia membalik tubuh
dan balas menghantam.
Cuma sayang, badannya terlalu gede, meski tikaman si ular tidak mengenai tempat yang fatal
namun tetap mengenai bahunya, begitu keras tikaman itu sehingga belati itu ambles
seluruhnya ke dalam dagingnya. Begitu kuat tikaman itu sampai si ular sendiripun tak sempat
menahan diri. Di tengah raungan keras Ang-hou terus pentang sebelah tangannya, seketika si ular kena
didekapnya di bawah ketiak, Anghou menyeringai: "He he, coba kemana lagi kau akan lari?"
Si ular ketakutan dan berteriak: "He, Tio-loji, lepaskan, ampuni aku!"
"Hatiku sih mau mengampuni kau, tapi sayang tanganku tidak boleh." jawab Ang-hou sambil
tertawa. ia perkeras dekapannya, terdengarlah suara "Krak-krek" beberapa kali tulang badan si
ular tergencet remuk, jeritan ngeri berubah menjadi rintihan. Sampai akhirnya suara
rintihanpun tidak terdengar lagi, barulah Ang-hou mengangkat tangannya dan Pek-coalongkun
terus jatuh terkapar seperti bangkai ular.
Diam-diam si serigala kelabu merasa ngeri, ucapnya kemudian dengan terkekeh: "Wih, hebat
benar tenaga Tio-loji." Ang-hou mencabut belati yang menancap di belakang bahunya, darah
segar kontan menyembur seperti air mancur, namun dia sama sekali tidak merasa sakit,
katanya terhadap Hwe-long sambil menyeringai: "Sekarang tinggal kau, apa kehendakmu?"
Jilid 13________
Gin-hoa-nio telah menyingkir ke samping, ia hanya menonton tanpa ikut bicara. Ia tahu api
sudah menyala dan tidak perlu diberi minyak lagi.
Dilihatnya Ang-hoa dan Hwe-long lagi saling melotot, sampai lama sekali keduanya tetap
diam saja. Tiba-tiba Hwe-long mendekati meja, kursi ditariknya lalu duduk, katanya dengan tersenyum:
"Tio loji, mengapa tidak duduk saja dan marilah kita berbincang-bincang."
"Duduk ya duduk, orang lain takut kepada tipu muslihatmu, masa akupun takut kepadamu?"
kata Ang-hoa, segera iapun menarik kursi dan duduk.
316 Dengan tersenyum Hwe long berkata pula: "Sebuah meja boleh berpasangan dengan dua kursi
bukan?" Ang-hoa tidak tahu untuk apakah lawannya bertanya tentang tetek bengek begitu, ia cuma
mengangguk dan menjawab singkat: "Betul!"
Hwe-long mengangkat poci dan menuang dua cangkir the, katanya pula dengan tertawa: "Dan
satu poci juga boleh berpasangan dengan dua cangkir, betul tidak?"
"Huh, omong kosong!" omel Ang-hou dengan gusar.
Dengan tertawa Hwe-long menyodorkan secangkir teh yang dituangnya itu dan berkata: "Jika
kita sama-sama dapat minum teh, untuk apa mesti berkelahi mati-matian?"
Lamat-lamat Gin-hoa-nio sudah dapat merasakan maksud tujuan ucapan si serigala kelabu,
diam-diam ia berkerut kening.
Didengarnya Ang-hou menjawab dengan aseran: "Sesungguhnya apa arti ucapanmu, aku
tidak paham!"
"Tentunya kau pernah membaca, dahulu ada dua ratu bersama mengawini seorang suami dan
kisah itu dijadikan cerita yang menarik. Sekarang kita berdua adalah saudara, mengapa kita
tidak boleh berkongsi mengawini seorang isteri?"
"Urusan lain boleh berkongsi, hanya isteri yang tidak boleh berkongsi," jawab Ang-hou
dengan gusar. "Sabar, pertimbangkan dulu," kata Hwe-long." Musuh kita tidaklah sedikit, umpama aku kau
bunuh dan tersisa kau sendiri, apakah kau takkan kesepian dan kehilangan kawan" Apalagi
bila kita bergebrak sungguh-sungguh, siapa yang akan terbunuh kan juga masih suatu tanda
tanya, betul tidak?"
Lama juga Ang-hou melototi si serigala, tiba-tiba ia tertawa, katanya: "Betul juga, setengah
potong bini rasanya lebih baik daripada sama sekali tidak punya bini. Apalagi melihat
gairahnya yang menyala, sendirian belum tentu ku sanggup melayani dia." Ia angkat cangkir
dan berkata pula: "Saudaraku yang baik, usulmu sangat bagus, terimalah hormat satu cangkir
ini." Gin-hoa-nio tertawa terkikit-kikik, ucapnya: "Usulnya memang bagus, setelah kau minum teh
ini, tentu kau akan tahu betapa bagus usulnya ini."
Berputar biji mata Ang-hou, cangkir teh yang sudah diangkatnya ditaruhnya lagi. Meski
sebodoh kerbau orang ini, betapapun sudah puluhan tahun dia berkecimpung di dunia
Kangouw, perbuatan baik mungkin dia tidak paham, tapi perbuatan busuk tidak sedikit yang
diketahuinya. Sambil masih memegangi cangkir teh itu, ia melototi Hwe-long dan berkata:
"Apakah di dalam air teh ini kau hendak main gila padaku?"
"Lo-ji, jangan kau sembarangan menuduh, kita adalah saudara sendiri, jangan mau diadu
domba orang," teriak Hwe-long.
317 Gin-hoa-nio tertawa dan berkata: "Jika demikian, boleh coba kau minum teh itu." Dengan
berlenggak-lenggok dia mendekati Ang-hou dan mengambil cangkir teh itu terus disodorkan
ke depan Hwe-long. Di luar tahu orang, ujung kukunya yang bercat merah itu seperti dicelup
perlahan ke dalam teh. Lalu ucapnya dengan tertawa genit: "Kau bilang air teh ini beracun,
jika kau tidak mau minum juga takkan kusalahkan kau."
"Kalau kau tidak berani minum teh itu, segera kugencet pecah kepalamu!" teriak Ang-hou
dengan gusar. Air muka Hwe-long bertambah pucat, serunya: "Teh ini semula tidak beracun, tapi sekarang
telah kau racuni."
"Kau... kau bilang aku yang menaruh racun?" tanya Gin-hoa-nio dengan terbelalak.
"Ya, kau perempuan busuk ini !" teriak Hwe-long, berbareng ia lantas menjotos.
Namun Gin-hoa-nio keburu menyingkir dan bersembunyi di belakang Ang-hou.
Serentak Ang-hou juga melompat bangun sambil meraung: "Bangsat! Jelas-jelas kau yang
menaruh racunnya dan sekarang menuduh orang lain" Kau kira Locu ini babi goblok?"
Berbareng itu ia terus menubruk ke sana. Terdengar suara "blak-bluk " dua kali, kedua
kepalan Hwe-long dengan tepat menghantam tubuh ang-hou, tapi pukulan itu seperti
mengenai karung pasir, sama sekali si harimau merah tidak bergeming.
Keruan Hwe-long terkejut, segera ia hendak mencabut belati lagi, namun Ang-hou tidak
memberi kesempatan padanya, kontan ia balas menonjok perut Hwe-long.
Serigala kelabu yang kerempeng itu tidak tahan, ia menungging kesakitan. Menyusul Anghou
lantas menambahi sekali hantam di kepalanya, seketika kepala pecah dan otak
berantakan. Kedua pukulan Ang-hou itu tidak pakai jurus silat segala, tapi pukulan umum, namun cukup
berguna. Barang siapa kalau bertangan kosong sebaiknya jangan berkelahi dengan orang gede
semacam Ang-hou ini, sebab dipukul dia tidak bergeming, sebaliknya kalau dia balas
memukul, maka celakalah kau.
Gin-hoa-nio kegirangan menyaksikan hasil pertarungan itu, ia berkeplok dan tertawa.
Ang-hou terus meludahi mayat Hwe-long dan mendamprat: "Huh, belum belajar tahan pukul
sudah ingin memukul orang, kan cari mampus sendiri!"
Gin-hoa-nio tertawa senang, katanya: "Betul kepandaian Tio-kongcu memukul orang
tergolong hebat. Kungfumu tahan pukul terlebih tiada bandingannya. Tapi... tapi barusan
apakah keparat ini benar-benar tidak melukaimu?"
Dengan membusungkan dada Ang-hou berkata dengan tertawa: "Kedua cakarnya seperti
menggaruk gatal badanku, tidak percaya boleh kau periksa sendiri."
318 Benar-benar Gin-hoa-nio mendekati Ang-hou, ucapnya dengan suara lembut: "Tapi bahumu
masih mengucurkan darah...." Dengan kuku jarinya yang merah ia menggelitik perlahan di
bahu Ang-hou yang dilukai si ular putih tadi dan bertanya perlahan: "Sakit tidak?"
"Tidak," jawab Ang-hou dengan tertawa, "tapi rasanya menjadi geli karena digelitik kau."
Sambil bergelak tertawa sehingga tubuhnya yang penuh daging lebih itu berguncang-guncang,
berbareng ia terus merangkul pinggang Gin-hoa-nio.
Tapi Gin-hoa-nio lantas menyelinap ke samping dengan tertawa genit, ucapnya sambil
tertawa terkikik-kikik. "Bila kau dapat menangkap diriku barulah aku menyerah padamu!"
Begitulah ia lantas lari di depan dan dikejar Ang-hou dengan napas terengah-engah. Gerakan
Gin-hoa-nio sangat enteng dan gesit, jangankan menangkapnya, meraih ujung bajunya saja
tidak mampu dilakukan Ang-hou.
Sampai akhirnya Ang-hou sendiri tidak tahan, ia megap-megap sambil memegang tepi meja,
namun begitu ia masih cengar-cengir dan berseru: "O, mestikaku, kemarilah biar kupeluk
cium kau."
Gin-hoa-nio memandangnya dengan tertawa, tiba-tiba ia menggeleng dan menghela napas
gegetun, katanya: "Ai, kau ini... jelas kau ini seekor babi goblok, mengapa kau tidak mau
mengaku?" Ang-hou melengak, tanyanya kemudian dengan melotot: "Ap.... Apa maksudmu?"
"Baru saja ku taruh racun pada lukamu, racun yang membinasakan bila masuk ke darah.
Kadar racun yang ku taruh itu cukup untuk membunuh sepuluh ekor babi gemuk," tutur Ginhoanio dengan suara halus. "Jika kau tidak bergerak mungkin akan hidup lebih lama
beberapa jam, sekarang kau telah berlari-lari, racun sudah mengalir masuk darahmu dan
menyebar di seluruh tubuhmu, bila kau gunakan tenaga sedikit seketika jiwamu bisa
Anak Berandalan 5 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Naga Kemala Putih 5

Cari Blog Ini