Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu Bagian 2
rumah fihak Beng itu !"
Tiong Hauw tampaknya putus harapan juga, apabila dia
dengar keterangan itu,
"Si bocah she Beng sungguh beruntung ! " akhirnya dia
mengeluh. "Siapa tahu,
bahwa Jie Piauwsu sudah jodohkan mustikanya yang
berharga itu" Sudah, anggap saja kita yang kurang hokkie !
Kau masih mujur, sutee, kau bisa tandingi si nona sekian lama
dan kau bisa sontek bungkusan kepalanya, tidak seperti Nio
Bun Kim, selain tidak memperoleh suatu apa, kecuali
hidungnya matang biru, pipinya bengkak ! dia itu barulah sial
dangkalan !. . . ." Tiong Hauw ketawa, lantas dia sedot pula
pipanya ber ulang2. Bouw Pek tidak mau adu mulut dengan
suheng yang punya lidah tajam itu, dia duduk bercokol
dengan pikirannya melayang pada Jie Siu Lian, sinona cantik
manis dan gagah. Dia mesti akui, siangtoo dari sinona liehay,
orang sembarangan sukar bisa menandingi.
"Apabila aku bisa dapati isteri seperti dia itu, sekalipun
melarat, aku puas......"
anak muda ini melamun. "Sekarang aku berusia duapuluh
tahun, aku telah cari nona elok dan gagah, sebegitu jauh aku
belum berhasil, sekarang aku dapat lihat si nona Jie, siapa
tahu dia sudah tidak merdeka......... Nona Jie adalah tunangan
si orang she Beng, sekarang aku tidak boleh harap lagi
padanya, itu .adalah perbuatan sangat tidak pantas. Sekarang
terbukti, buat aku makin sukar cari pasangan seperti yang aku
cita2kan. Dimana dikolong langit itu aku bisa cari nona seperti
nona Jie ini?"
Masgul dan menjesal telah mengaduk jadi satu dalam
hatinya Bouw Pek, dia berbangkit dan mondar mandir, hingga
dia jadi serba salah.
"Marilah kita pulang, sekarang juga!" dia lalu desak Tiong
Hauw. Tapi si orang she Sek malas lakukan perjalanan dengan
segera karena dia masih ke tagihan.
"Kenapa terburu2 ?" dia gunakan alasan, Dirumah toh tidak
ada pekerjaan apa juga?"
"Kalau kau tidak mau pulang, aku nanti pulang sendiri !"
kata Bouw Pek seraya berbangkit. "Aku bisa sewa kereta!Aku
tidak betah berdiam lebih lama pula disini!"
Tiong Hauw tertawa, tertawa terpaksa, karena hatinya
tidak senang. "Adatmu keras sekali," dia bilang. "Mustahil lantaran tidak
bisa dapatkan istri, lantas di Kielok ini kita tidak bisa tinggal
sedikitnya sehari lagi ?". Ketika itu, Ho Hweekie bertindak
masuk. Dia baru saja tiba. ,Ho Hweekie, tolong carikan
kereta!" Bouw Pek kata pada pegawai itu. "Sekarang aku mau
kembali ke Lamkiong !'
"Kenapa begitu, Lie Siauwya ?" pegawai itu tanya. "Apa
tidak baik buat siauwya berdiam pula disini satu dua hari "'
Tapi Bouw Pek tidak bisa dibujuk.
"Aku ada urusan, aku mau pulang sekarang juga," dia
sahuti. "tolong kau pergi kepersewaan kereta, lihat ada kereta
buat ke Lamkiong atau tidak "
Pegawai itu tidak menyahuti, dia juga" tidak lantas pergi,
dia hanya mengawasi Tiong Hauw, yang sedang asik dengan
pipanya. Tiong Hauw masih hendak berdiam di Kie lok, dia pun tidak
ingin berada bersama2 lebih lama dengan orang she Lie ini,
yang dia anggap adatnya keras dan kukoay.
"Baiklah, pergi kau tolong carikan kereta buat Lie Siauwya,"
dia kata. "Kau mesti cari tukang kereta yang dikenal, jangan
nanti Lie Siauwya tidak dihantar pulang ke Lamkiong, hanya
dia pergi ketempat lain buat menjadi hweeshio !" Sembari
kata begitu, dia berbangkit dengan cepat. dan tambahkan:
"Apakah kau tidak ketahui, Ho Hwee kie " Lie Siauwya batal
menikah dengan Nona Jie, dia sekarang lagi tidak senang hati
!" Bauw Pek mendongkol.
"Sudah kau tipu aku, sampai aku lakukan perbuatan
semberono, sekarang kau masih goda aku ?" dia menegor.
Tiong Hauw duduk, dia tertawa bergelak gelak.
Tapi Ho Hweekie mengerti selatan dia tidak berani tertawa,
lekas berlalu buat mencari kereta. Maka tidak lama berselang
dia sudah kembali dengan sebuah kereta sewaan.
Lie Bouw Pek ambil buntalan dan pedangnya, dia terus
bertindak akan naik keatas kereta. Cie Ciangkui hantar
tamunya sampai diluar.
"Kalau ada ketika, siauwya, aku harap kau suka sering2
datang pesiar ke sini !" dia kata dengan manis.
"Terima kasih," sahut Bouw Pek yang kasi hormatnya dari
atas kereta. "Jalan !"
Roda2 kereta lantas bergerak menuju keluar kota,
meninggalkan kota Kielok, "menuju Lamkiong. Beda daripada
waktu perginya, Bouw Pek tidak punya nafsu akan awasi
pemandang alam disepanjang jalan. Dia tetap masgul dan
tidak keruan rasa. Syukur buat dia, malam itu dia bisa sampai
dikampungnya, didepan rumah pamannya. Dia lompat turun
dari kereta, bayar uang sewaannya. lantas masuk kekamarnya
yang sunyi. "Kau sudah pulang?" tanya Hong Keng, sang
paman. "Apa kau ketemu dengan sobatmu itu yang pernah
jadi tiekoan ."
"Tidak," keponakan ini membohong ,katanya sudah
berangkat ke Pakkhia. . . ."
Hong Keng menjadi hilang harapan, dia berlalu dengan
masgul. Malam itu Bouw Pek tidak bersantap, Dia kehilangan
nafsunya. Diapun duduk membaca buku. Dia hanya duduk
bingung, mengawasi lampu. Dia berduka bukan main .Akhir
nya dia naik keatas pembaringannya buat.coba tidur.
Karena lelah, anak muda ini bisa tidur. Akan tetapi dalam
nyenyaknya tidur dia mimpi, dia mimpi sedang piebu dengan
Siu Lian, kemudian dia ketemu dengan Jie Hiong Wan, yang
suka serahkan puterinya pada nya.
Ketika sang pagi datang, Bouw Pek malas bawa pedangnya
kebelakang untuk berlatih sebagaimana kebiasaannya setiap
hari. Pohon gandum didepan rumah mengasi pemandangan
menarik, bunga2 toh indah, pohon yang liu dikejauhan
mengasi pemandangan bagus, tetapi semua itu sebaliknya
menambah kemasgulannya anak muda ini, yang sedang rindu,
semangat nya seperti sudah hilang.
Selang dua hari, Tiong Hauw pulang dari Kielok, dia lantas
tengoki sobatnya ini, buat ajak dia mengunjungi Nio Bun Kim.
"Tidak," sahut Bouw Pek, yang menampik sambil goyang
kepala. Sobat jahil dan dengki ini mau bicara tentang Siu Lian.
"Jangan!" Bouw Pek mencegah.
Menampak sikap orang, Tiong Hauw hilang
kegembiraannya, maka duduk tidak lama, dia pamitan dan
pergi. Sembari bertindak keluar, anak muda ini bersenyum
sindir. Didalam hatinya dia kata: "Percuma kau pikirkan si
nona ! tidak bisa jadi Jie Hiong Wan batalkan pertunangan
puterinya dengan siorang she Beng!"
Bouw Pek memang tidak setuju Tiong Hauw dan Bun Kim,
sekarang terbit urusan ini, yang bikin dia malu dan kecewa,
selanjutnya dia makin tidak suka bergaul dengan mereka itu.
Sang tempo tidak perdulikan Lie Bouw Pek, dia jalan tetap
seperti biasa. Maka sekali, dua bulan sudah lewat. Sekarang
dunia berada dipermainkan musim Hee.
Bouw Pek jadi tambah malas, kecuali baca buku, setiap hari
dia rebah saja di
pembaringannya. Pelajaran surat dan silatnya telah dia
alpakan betul2. Dia juga tidak perhatikan pakaiannya, yang
tidak pernah rapi, melainkan senantiasa kucel. Tapi dia tidak
ketahui betul, kenapa dia telah berobah jadi begitu rupa.
Pada suatu hari Lie Hong Keng pergi kekota, kerumah
bibinya, sepulangnya dia kelihatan gembira sekali. Dia
keluarkan sepucuk surat, yang katanya baru diterima dari
Pakkhia, surat itu dia serahkan pada Bouw Pek, buat dia ini
baca. Sanak perempuan anak muda ini telah menikah dengan
hartawan she Kie didalam kota, bibi ini punya ipar, yaitu
toapeh, Kie Thian Sin namanya, yang bekerja di kotaraja,
menjadi cusu didalam Hengpou. Sudah sejak satu tahun yang
lalu, Lie Hong Keng kirim surat pada cusu itu, buat minta
tolong dicarikan pekerjaan untuk Bouw Pek. Sudah lama
berselang, baru sekarang datang balasan, Kie Thian Sin tulis,
minta supaya Bouw Pek berangkat saja kekotaraja.
,,Lihat, piauwcek kau adalah seorang baik!" kata Hong
Keng pada keponakannya itu. Sekarang sudah pasti dia telah
dapatkan suatu pekerjaan untuk kau, cuma tidak tahu,
pekerjaan itu kau sanggup lakukan atau tidak, maka dia minta
kau datang lebih dulu, buat cari tahu tentang kesanggupan
kau. Pergilah kau kekota raja, tentang makan pakaianmu
disana tentu dia yang urus. Kalau kau bisa bekerja dikota raja,
itu lebih baik daripada menjadi tiekoan disuatu kota diluaran !
Kau harus bekerja hati2, dan mesti robah adat kau, jangan
kau bawa adatmu yang kukuh, adat keras jelek."
Bouw Pek suka turut perkataannya paman itu, dia memang
niat pergi merantau guna hiburkan diri, sedang dia dengar
Pakkhia adalah kota besar dan ramai, yang banyak
pemandangannya yang indah. Dia percaya, dengan pergi
kekota raja, matanya akan jadi terbuka. "Baiklah, aku nanti
pergi!" dia jawab.
"Kau boleh lantas siap," sang paman kata pula dia periksa
Lak Jit dan dapatkan lusa adalah hari baik "Kau boleh
berangkat lusa."
Bouw Pek menurut, dia lalu benah kan buntalannya.
Besoknya dia pergi kekota akan pamitan dari bibinya. Dihari
ketiga, pagi dia sudah siap. Lie Hong Keng telah beri
kan dia lima puluh tail buat ongkos perjalanan. Dia terima
uang itu sambil haturkan terima kasih, kemudian dia kasih
hormat pada encek dan encimnya buat ambil selamat
berpisah. Dia berangkat dengan naik sebuah kereta sewaan.
Baru saja kereta meninggakan Lamkiong, menuju keutara,
hatinya Bouw Pek sudah mulai terbuka. Pekerjaan bulan
tujuannya yang utama. Cita2nya adalah merantau, akan
melihat dunia yang luas, guna saksikan tempat2 yang tersohor
indah. Dia kandung harapan agar nanti bisa ketemu nona
yang mirip dengan Jie Siu Lian, supaya dia bisa menikah
dalam kepuasan.
Tapi udara sangat panas, duduk didalam kereta Bouw Pek
merasa gerah dan panas, hingga dia rasai kepalanya pusing.
Pun duduk terlalu lama dalam kereta mendatang kan rasa
pegal dan sakit.
"Aku harus beli seekor kuda," demikian dia pikir. Pamannya
berikan dia limapuluh tail, dia sendiri punya sisa uang
duapuluh tail lebih, dengan hampir delapan puluh tail
dikantong, dia rasa dia kuat beli seekor kuda.
Demikian, waktu dia sampai di Kieciu, Bouw Pek lantas
turun dari kereta buat bayar uang sewaannya, kemudian dia
pergi ketoko kuda buat beli seekor kuda. Dia pilih seekor kuda
bulu putih yang lumayan, harganya empat puluh tail, sedang
untuk pakaian kuda lengkap dengan cambuk, dia mesti bayar
delapan tail. Dia mesti bikin kantongnya berkurang isinya.
sampai separoh lebih, tapi dia merasa puas. Dia lompat naik
atas kudanya gunai cambuknya dan kuda itu lantas kabur !
Anak muda itu paling gemar menunggang kuda selagi ada
dirumah, selama bergaul rapat dengan Nio Bun Kim dia sering
pinjam kuda sobatnya itu, siapa punya dua ekor. Lantaran ini,
dalam hal mengendalikan kuda dia cukup pandai. Karena ini
juga, kendati kudanya tidak jempolan, dia bisa bikin kuda itu
nampaknya jempolan. Dia sampai lupa, yang uang bekalan
dari pamannya dia telah bikin ludes.
Oleh karena hawa udara panas, Bouw Pek pun lantas beli
tudung rumput besar yang dipanggil tudung ,ma lian po".
Dengan pakai tudung semacam ini, dengan pakaian nya yang
ringkas, dengan pedang tergantung diatas sela kuda, dia
benar2 mirip dengan hiapkek muda dari kalangan Sungai
Telaga. Dia tinggalkan kota Kieciu, menuju terus keutara.
Hari itu Bouw Pek bisa lalui perjalanan tujuh puluh lie lebih,
dia telah seberangi kali Huyang, Dia singgah satu malam
lantas esoknya pagi2 dia lanjutkan perjalanannya. Kira2 jam
sepuluh siang dia telah sampai didaerah Bukiang. Disini dia
kasi kudanya jalan pelahan2, sebab hawa udara sangat panas.
Disitu kebetulan tidak ada banyak kereta yang mundar
mandir,begitupun orang yang berlalu lintas.
"Apa aku mesti lakukan sesampainya di Pakkhia?" demikian
Bouw Pek layangkan, pikiran. Andaikata aku dipekerjakan di
Hengpou, apa aku sanggup akan setdiap hari duduk
membungkuk menghadapi pit dan kertas saja " Sebenarnya
paling benar andaikata aku bisa bekerja sebagai guru silat
atau piauwsu ! Tapi piauwcek seorang pembesar dari
kalangan bun, mana dia mau. ijinkan aku bekerja sebagai
kauwsu atau piauwsu, yang dimatanya adalah semacam
pekerjaan rendah "'
Ngelamun begini, hatinya Bouw Pek jadi mengkerat.
"Perjalanan ini sungguh tidak terlalu menggembirakan." pikir
dia akhirnya. "Perjalanan telah dilanjutkan kira2 sepuluh lie, waktu Bouw
Pek mesti berpaling kebelakang dengan mendadak, karena
kupingnya segera tangkap suara berisik dari kaki2 kuda. Baru
saja dia melihat, segera tiga ekor kuda lagi menerobos
disampingnya. Dia dapatkan penunggang nya dua orang lelaki
dan satu orang perempuan, semua berpakaian ringkas, kedua
lelaki pakai tudung lebar. Mereka ini yang satu bertubuh
tinggi, yang satu nya sedikit gemuk. Yang perempuan
kepalanya dibungkus dengan saputangan hitam, bajunya dadu
muda, celananya hitam, kakinya kecil, dilihat dari sikapnya dia
adalah penunggang kuda yang pandai. Tapi yang paling
menarik adalah golok kangtoo, yang tergantung atas masing2
sela kuda. "Siapakah mereka ?" pikir Bouw Pek, yang heran sekali.
"Kelihatannya mereka bukan bangsa penjual silat ! Mereka
lebih mirip dengan kawanan penjahat !"
Oleh karena tertarik hati dan curiga, Bouw Pek keprak
kudanya buat coba menyusul, tetapi begitu sudah dekat
beberapa puluh tindak, dia kendalikan kudanya supaya tidak
datang dekat mereka itu. Dia menguntit sambil coba
memperhatikan tubuh dan muka orang. Kebetulan buat dia,
beberapa kali tiga orang itu menoleh kebelakang, hingga
muka mereka bisa terlihat jelas hingga anak muda kita bisa
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ingat dan menduga2 juga umur mereka.
Lelaki yang jangkung berumur kurang lebih tiga puluh
tahun. Mukanya merah kumisnya pendek. Lelaki yang agak
gemuk, yang tubuhnya tidak tinggi, bermuka hitam sepasang
matanya tajam bengis. Umurnya baru dua puluh lebih. Yang
perempuan mestinya berusia duapuluh empat, mukanya
panjang, kulit mukanya agak hitam tetapi romannya menarik.
Pada pipinya kiri, dibetulan lekuk, ada titik merah dan titik ini
membikin dia kelihatannya bengis.
Mereka itu melarikan kuda dengan tidak banyak omong,
kelihatannya mereka lagi hadapi urusan penting Mestinya
disebelah depan ada sesuatu yang menunggui mereka, yang
mereka harus kerjakan. Rupanya sedang menyusul atau
mengejar. Lewat lagi dua tiga lie, lantas tiga orang itu sering sekali
menoleh kebelakang, saban2 mereka bicara satu pada yang
lain. Sekarang kelihatan nyata mereka curigai anak muda kita,
yang terus berada disebelah belakang mereka.
Lie Bouw Pek bawa sikap anteng, dia lari kan kudanya,
akan tetapi tidak terlalu dekat pada mereka. Tapi sekalipun
berpura2 tidak perduli, dia selalu pasang mata atas gerak
gerik orang. Ketika sudah lewati lagi satu lie, mendadak tiga
orang itu tahan kuda mereka dan berhenti.
Lie Bouw Pek tidak gubris orang, dia jalan terus. Sekarang
dia mesti maju, akan lewati mereka itu, supaya mereka jangan
curiga. Disaat sudah datang dekat tiba2 si jangkung
lintangkan kudanya dan memegat. ,,Eh, sobat, kau bikin apa
?" si jangkung menegor.
Bouw Pek berpura2 tercengang, dia angkat kepalanya dan
mengawasi dengan melongo.
"Aku membikin perjalanan." dia jawab secara polos.
"Kau mau pergi kemana?" si yangkung tanya pula. "Ke
Pakkhia." Dijawab begitu si jangkung agaknya sangat ketarik hati, dia
mengawasi orang dari atas sampai kebawah, seperti juga dia
ingin tahu, pemuda kita orang macam apa.
Orang yang satunya, yang bermuka hitam, tidak sabar
seperti kawannya.
Dengan muka gusar dia kata pada pemuda kita.
"Kami tidak perduli kemana kau hendak pergi!" akhirnya dia
kata "Aku hendak tanya kau, kenapa kau kuntit kami?"
Lie Bouw Pek tidak takuti roman bengis dan kejam dari
orang itu. Dia bersenyum ta war.
"Kau tidak tahu aturun, sobat2!" dia men jawab. "Ini jalan
besar umum, siapa saja, orang dagang atau orang
pelancongan, merdeka buat jalan disini ! Kau jalan duluan,
aku belakangan, masing2 jalan sendiri, maka itu, kenapa kau
katakan aku kuntit kau orang" Sudah belasan tahun aku hidup
dalam pengembaraan, aku telah merantau keselatan, keutara,
apa bisa jadi jikalau aku tidak ikuti kau orang, aku jadi tidak
kenal jalanan ?"
Bouw Pek belum tutup rapat mulutnya, dia lihat si orang
perempuan geraki tangan hendak sambar goloknya. Tapi si
jangkung yang lihat gerakan itu, lekas kedipi mata. Maka
perempuan itu urungkan maksudnya.
Tiga orang itu jadi bersangsi, karena mereka tidak bisa
duga arak muda ini orang macam apa Mereka jadi sungkan
terbitkan onar dengan tidak ada juntrungannya.
"Cukup, sobat!" akhirnya si jangkung kata sambil tertawa.
"Apa yang kau bilang benar, kami ambil jalan kami sendiri,
masing2 .... Nah, hayo kita lanjutkan perjalanan kita!" dia
tambahkan pada dua kawannya. "Lihat saja, apa nanti dia bisa
bikin terhadap kita . . ."
Lantas tiga orang itu dengan mendongkol cambuk kuda
mereka buat dikasi lari lagi, hingga debu mengulek naik.
Tujuan mereka adalah utara.
Lie Bouw Pek keprak kudanya menyusul sembari lari dia
tertawa, hampir tidak berhentinya. Dari ucapan dan sikapnya
tiga orang itu, Bouw Pek sudah bisa duga mereka adalah
orang2 dari kalangan apa, yalah bangsa penjahat. Dia percaya
mereka itu sangka dia seorang dari kalangan Sungai Telaga,
lantaran mana, mereka sungkan terbitkan onar.
"Mereka mesti hendak lakukan suatu apa, kebanyakan
bukan dengan maksud baik, aku harus jangan sembarangan
lepaskan mereka," kemudian anak muda kita ambil putusan.
"Aku mesti buktikan, apa yang mereka akan lakukan. Kalau
itu perbuatan durhaka, aku mesti hunus pedangku, akan
basmi mereka !." Dia kasi lari kudanya akan kuntit terus tiga
orang itu. Setelah belasan lie, didepan kelihatan jauh lebih
banyak kereta dan orany2 yang berlalu lintas. Tiga
penunggang kuda di depan kelihatan sudah terpisah jauh.
Bouw Pek sengaja kasi kudanya lari pelahan, karena dia
percaya, ditempat ramai seperti itu, orang tidak nanti berani
lakukan kejahatan. Dia juga kuatir kudanya nanti tubruk
orang, apabila dia turut mereka kasi binatang tunggangannya
kabur terus. Tidak lama lagi, lantas mereka sampai disuatu dusun yang
ramai. Bouw Pek merasa lapar, dia masuk kedalam dusun,
kepasar, akan cari warung nasi. Dia minta dua mangkok mie,
yang dia dahar habis. Dia bawa kudanya ketempat
kombongan buat kasi binatang itu makan rumput. Kemudian
dengan tunggangi kudanya, dia keluar dusun Dia jalan belum
beberapa jauh tiba2 dari belakangnya, dia dengar orang
panggil2 dia: ,.Lie Siauwya! Lie Siauwya!"
Dengan merasa heran, Bouw Pek menoleh kebelakang, tapi
setelah dia lihat orang yang kaoki dia, dia jadi terperanjat !
Karena dia ternyata ketemu orang yang tidak pernah disangka
akan bertemu disitu di tengah perjalanan ini Dia lekas2 tahan
kudanya. Disebelah belakang mendatang sebuah kereta dengan
penunggang kuda. Sipenunggang kuda adalah seorang
dengan tubuh besar dan kekar, rambut dan kumisnya sudah
putih semua. Dia adalah Tiat cie tiauw Jie Hiong Wan dari
Kielok, itu piauwsu tua. Sedang didalam kereta duduk seorang
nyonya tua dan seorang nona muda, yang cantik manis, siapa
bukan lain daripada nona Siu Lian, yang bikin pemuda kita
rindu sendirinya.
Maka menampak si nona, hatinya Bouw Pek jadi goncang.
Lekas2 dia lompat turun dari kudanya, dia tidak berani
menoleh pada nona Jie, dia hanya langsung hampir kan sijago
tua untuk unjuk hormat padanya. Dari atas kudanya, orang
tua itu membalas hormat.
"Silahkan naik alas kudamu siauwya !" berkata orang tua ini
sembari bersenyum manis. "Jangan kau pakai adat peradatan,
jangan! Maafkan aku, aku tidak turun dari kudaku
Muka Houw Pek berobah menjadi merah dengan
mendadak, sikapnya si orang tua terlalu manis, dia ingat
kejadian dua bulan berselang, dirumahnya si orang tua, ke
sembronoannya waktu itu bikin dia malu sekali, dan sekarang
dia kembali teringat pada kejadian tersebut. Diluar
kehendaknya dia melirik kekereta, tapi sekarang tenda kereta
sudah dikasi turun. Dengan tidak tahu mesti bilang apa, anak
muda ini tuntun kudanya.
,,Loo hiantit, kau hendak pergi kemana?" Jie Lauw Tiauw
menanya. Dia seperti sudah lupakan kejadian dua bulan yang
sudah, ,.Aku mau pergi ke Pakkhia akan sambangi sanak" jawab
Bouw Pek dengan likat.
,,Kekotaraja?" jago tua itu ulangi.
,,Ya, kekota raja," sahut Bouw Pek, yang mukanya kembali
bersemu. ,,Pada beberapa tahun yang lalu aku pernah pergi
kesana, cuma aku berdiam hanya beberapa hari."
Orang tua itu manggut.
,,Kotaraja adalah tempat yang indah," dia kata. ,,Tempat
aku masih muda, akupun pernah pergi kesana, malah disana
aku telah tinggal belasan tahun. Sekarang disana, di Tay Hin
Piauw tiam di Tah mo ciang. diluar Cian mu, masih ada
seorang sobat kekalku, bila kau sampai disana dan ketemu
sobatku itu, kau boleh sebut namaku, aku percaya kau nanti
dapat pelayanan baik."
"Terima kasih, lauwsiok," Bouw Pek manggut2. "Sekarang
lauwsiok mau pergi kemana?"
JILID 3 JIE HIONG WAN tidak lantas menyahut, agaknya dia
bersangsi, tapi akhirnya menunjuk pada kereta. "Aku lagi
hantar mereka pergi ke Po-teng," dia menyahut juga.
Bouw Pek manggut, dia tidak kata apa2. Dia jalan sambil
terus tuntun kudanya.
Melihat sikap orang itu, Jie Hiong Wan lalu kata;
"Kalau kau ada urusan penting, hiantit, silahkan kau jalan
lebih dulu. Karena kami jalannya lambat sekali"
Mendengar itu, Bouw Pek dapati ketika baik. Dia angkat
kedua tangannya.
"Baiklah, lauwsiok," dia jawab. "Nanti, sepulangnya dari
kota raja, aku akan mampir pula pada kau. Kalau ada
keperluan di kota raja, tolong lauwsiok bilang saja, nanti aku
akan berbuat apa yang aku bisa."
"Oh, tidak ada apa2 !" Hiong Wan jawab sambil tertawa.
Lie Bouw Pek betulkan les kudanya, lantas dia lompat naik
keatas kudanya itu. dia baru kasi kudanya jalan beberapa
tindak, atau si jago tua teriaki dia : "Lie Hiantit!" Maka dia
lekas2 tahan kudanya. Kapan dia menoleh, dia lihat si orang
tua kasi kudanya lari akan menyusul dia. "Ya, lauwsiok," dia
tanya, "ada apa ?"
Setelah datang dekat, jago tua itu berdiam, pertanyaan
orang dia tidak jawab, nampaknya dia sangsi, sampai
keretanya telah dapat susul dia.
Tenda kereta disingkap sedikit, mukanya Jie Siu Lian
muncul separoh.
"Ayah, hayo kita berangkat!" kata anak itu. yang suaranya
halus tapi terang.
Bouw Pek bisa pandang nona itu, roman siapa nampaknya
terlebih elok dan manis, hingga hatinya jadi memukul.
Sementara itu si orang tua sudah ambil putusan tidak mau
bicara, maka dia kata sembari ketawa :
"Benar-benar aku tua, sampai urusan yang baru mau
dibicarakan aku lupa lagi ! Tapi tidak apa, hiantit, silahkan kau
lanjutkan perjalananmu, harap dibelakang hari kita akan bisa
bertemu pula!,"
Tentu sekali Bouw Pek tidak mengerti. Kendati demikian,
karena si orang tua telah angkat kedua tangannya, iapun
lekas2 membalas hormat itu. Begitulah mereka berpisahan
pula. Bouw Pek larikan kudanya sampai jauh-nya kira2
sepanahan, lantas dia menoleh kebelakang. Dia lihat si jago
tua bersama keretanya jalan dengan pelahan.
Pikirannya jadi kusut. Kembali semangat nya lelah kena
dibetot oleh Siu Lian. Sekarang kambuh pula penyakitnya dari
dua bulan yang lalu. Diapun lalu pikirkan sikap nya si orang
tua barusan. "Dia hendak bicara dengan aku, tetapi dia batalkan dengan
tiba2, kenapakah dia tanya dalam hatinya sendiri. "Dia
seorang jujur, kenapa barusan dia bersangsi " Ini lah. heran!
Apakah dia hendak bicarakan suatu urusan penting" Apa dia
hendak minta bantuanku " Jie Hiong Wan gagah dan hatinya
baik, diapun sabar sekali, kejadian dua bulan yang lalu dia
tidak buat ingatan, padaku ia tidak benci atau jemu, sebalik
nya, dia berlaku baik sekali. Melihat aku, dia yang menegur
duluan ! Coba aku yang lebih dulu lihat dia, belum tentu aku
berani tegor dia" Bouw Pek lantas men-duga2.
"Dia bilang puterinya sudah ditunangkan dengan keluarga
Beng, apakah itu bukan pelabi melulu ! Apa tidak bisa jadi,
selama dua bulan ini dia telah selidiki jelas asal-usulku dan
sekarang dia kandung niatan akan serahkan puterinya itu
padaku" Siapa tahu ?"
Mendengar demikian, tiba2 Bouw Pek menjadi gembira. Dia
segera ingat sikapnya Siu Lian. Si nona telah turunkan tenda
kereta, begitu lekas nona itu lihat dia.
"Dia rupanya malu ketemu aku. Kenapa mesti malu " Apa
itu disebabkan ayahnya hendak jelaskan jodohnya mau diikat
dengan jodohku ?"
Lantas anak muda ini menoleh. Kereta jalan terus dengan
pelahan, si orang tua berada diatas kudanya. Tenda kereta
tetap dikasi turun.
"Entah buat urusan apa mereka pergi ke Po-teng ?" dia
men-duga2. Bouw Pek pikir akan putar kudanya, akan samperi
rombongan itu buat jalan sama2, akan tetapi perasaan malu
mencegahnya. Maka dia lalu jalan terus sampai empat atau
lima lie, didepan ada suatu hutan cemara, dimana ada
kuburan dari seorang hartawan, kuburan itu besar dan bagus.
Disini Bouw Pek berhenti akan lompat turun dari kudanya,
akan tuntun binatang itu masuk kedakan kudanya akan
dituntun terbang kalang-kabut Kapan ada orang dan kuda
datang. Bouw Pek tambat kudanya pada sebatang pohon, dia
sendiri duduk diatas sepotong batu. Dia duduk belum lama
ketika kupingnya lantas dengar suara roda kereta
menggelinding disebelah luar hutan.
Mengawasi keluar dari mana orang tidak lihat dia Bouw Pek
lihat Jie Hiong Wan lewat bersama keretanya. Diam2 dia
tersenyum. Dia tunggu sampai kereta sudah lewat jauh, baru
dia hampirkan kudanya akan dituntun pergi keluar hutan.
Rombongan itu sudah lewat kira2 satu lie.
Bagus, sekarang aku bisa kuntit mereka !" pikir anak muda
kita. "Aku ingin ketahui, di Poteng mereka hendak kerjakan
apa.' Baru saja dia mau kasi lari kudanya akan kuntit Jie Hiong
Wan, tiba2 kupingnya dengar riuhnya kaki2 kuda disebelah
belakang. Dia berpaling dengan lekas, lantas dia lihat tiga
penunggang kuda sedang mendatangi. Tapi apa yang bikin dia
heran, mereka itu adalah si dua orang lelaki dan satu
perempuan muda !
"Hei, apa sih mereka hendak bikin?" dia men-duga2, makin
curiga. "Kuda mereka lari keras, tadinya mereka telah lewati
aku, kenapa sekarang mereka justeru ada disebelah
belalang?"
Dengan lekas tiga penunggang kuda itu telah sampai dekat
anak muda kita.
"Eh, sobat, kau ada disebelah depan kita ?" menegor si
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jangkung, sembari tertawa.
Dua kawannya sebaliknya mengawasi dengan mata dibuka
lebar2. Bouw Pek bersenyum, dia tidak menyahut, dia kasi mereka
itu lewat. Mereka itupun menuju keutara. Dia lantas kasi
kudanya lari. Tidak antara lama, tiga penunggang kuda itu sudah dapat
candak rombongan Jie Hiong Wan, mereka tidak melewati,
hanya menahan kudanya, mereka pada lompat turun dan
masing2 tarik golok mereka dari tempat cantelannya diatas
sela. Dengan menghunus senjata, mereka bergerak kejurusan
kereta. "Ah!" berseru Bouw Pek yang dapat lihat orang2 itu, sikap
mereka membikin dia terkejut sekali. Dengan tidak pikir
panjang lagi, dia keprak kudanya akan susul mereka itu.
Disebelah depan Jie Piauw-tiauw telah tahan kudanya, dia
ambil golok, lantas dia lompat turun dari kudanya, akan
hadapi tiga orang itu, siapa sudah lantas menyerang. Bertiga
mereka kerubuti jago tua itu.
Hampir berbareng dengan itu, Jie Siu Lian lompat turun
dari keretanya, tangan nya memegang siangtoo, dengan
senjata itu dia bantu ayahnya. Dia dapat perlawanan dari si
penunggang kuda perempuan.
Selama itu, karena kudanya larat, Bouw Pek sudah datang
mendekati. "Tahan ! Tahan !" dia berteriak berulang ulang.
Sementara itu pertempuran berjalan seru, sudah lewat duapuluh
jurus. Jie Lauw Tiauw gagah, tetapi dia sudah tua, selama
undurkan diri dia kurang berlatih, tidak heran kalau
gerak2annya sedikit lambat, napasnya kurang panjang. Maka
selanjutnya dia nampaknya keteter terhadap dua musuh yang
sedang tangguhnya dan gagah.
Lawannya Siu Lian gagah dan telengas, dia mesti berlaku
hati2 supaya tidak sampai kena dipecundangi oleh musuh itu,
yang dia tidak kenal.
Justru itu Bouw Pek sudah sampai sambil, hunus
pedangnya, anak muda ini lompat turun dari kudanya. Dia
menghampirkan kejurusan Jie Hiong Wan.
"Lauwsiok, silahkan mundur !" dia berseru, karena
teriakannya supaya mereka berhenti bertempur sudah tidak
digubris, hingga dia mendongkol, sedang dia percaya pasti
tiga penunggang kuda itu bukan orang baik dan maksudnya
pastilah busuk.
Jie Hiong Wan girang menampak datang nya anak muda
itu, sedang dia sudah jadi sibuk sekali, karena dia dapat
kenyataan di sebelah dua musuh tangguh, hingga dia jadi
repot layani serangan2nya dua golok. Dia lekas mundur
beberapa tindak, buat kasi si anak muda maju.
Si muka hitam kelihatannya murka melihat orang datang
menyelak. "Kami sedang berkelahi, apa sangkutannya itu dengan kau
?" dia tegor Bouw Pek.
Juga si jangkung turut bicara, dia berseru:
"Sobat, lekas minggir ! Kita tidak bermusuhan, kami tidak
ingin lukai kau !'
Tapi anak muda dari Lamkiong ini gusar.
"Telur busuk !" dia bentak mereka itu. "Kau menghina aku
punya Jie Siokhu ini! Kau tahu, kau seperti juga telah hina
aku!" Lantas dia geraki pedangnya, seperti seekor ular perak,
menerjang dua orang lelaki itu si muka hitam dan si jangkung.
Mereka itu mundur, tetapi terus melawan. Mereka pun
gusar ada orang yang merintangi, mereka lalu merangsak
dengan hebat, buat balas menyerang.
Menampak aksi musuh, Jie Hiong Wan lantas maju pula.
Dia gusar berbareng malu. Dia gusar terhadap musuh2nya
yang tak di kenal, dia malu karena seorang kenalan baru
sampai bantu dia. Dia pun malu yang dia keteter terhadap
musuh2nya itu. Dia tidak ingin si anak muda dapat kesan jelek
tentang dirinya. Tapi karena lihat si anak muda sanggup layani
dua musuh lelaki, dia lalu maju membantu anaknya.
Lie Bouw Pek unjuk ketangguhannya, belum terlalu lama
dia hayar si jangkung, setelah mana dia lalu rangsak si hitam.
Dia ini terkejut melihat kawan nya rubuh, hatinya jadi ciut,
tidak menunggu lama lagi dia lompat mundur dan lari
kejurusan kudanya, lompat naik atas tunggangannya dan
kabur. Tapi sembari menyingkir, ber-ulang2 dia berteriak :
"Moay-moay, hayo lari! Lekas !"
Nyonya muda itu tangguh dan berani juga, dia telah lawan
dua musuh, sedikitpun dia tidak merasa takut, malah dalam
sengitnya dia bisa bikin Jie Hiong Wan dan gadisnya terdesak
mundur! "Kepandaiannya bangsat perempuan ini tidak bisa dicela."
pikir Bouw Pek, apabila dia sudah saksikan perempuan muda
itu ber tempur sekian lama. Karena ini dia tidak jadi susul si
penjahat lelaki, tadinya niat kejar, dia hanya hampirkan Hiong
Wan dan anaknya, akan bantu mereka. Ini membikin
perempuan muda itu kewalahan.
"Kau beberapa orang kerubuti aku satu" " dia lalu berteriak.
Tapi belum dia keburu tutup mulutnya, goloknya Siu Lian
telah kena kemplang punggungnya, hingga sambil keluarkan
jeritan, dia rubuh terbanting. Nona Jie sengit, dia hendak maju
akan bikin habis jiwa orang, tetapi ayahnya keburu mencegah.
Bouw Pek pun sudah lantas berhentikan gerakan
tangannya, dia berdiri mengawasi.
Ketika itu, simuka hitam sudah menghilang.
Pertandingan itu bukan tidak ada yang tonton, sebaliknya
cukup banyak orang yang menyaksikan yalah mereka yang
berlalu lintas, baik yang naik kereta maupun yang jalan kaki,
mereka ini merandek akan menonton, sebegitu jauh tidak ada
yang berani datang dekat atau berteriak memisahkan, adalah
setelah pertempuran sampai diakhirnya, mereka pada datang
mendekatkan dan mengerumuni.
Si jangkung rebah sambil merintih, oleh karena pahanya
terluka, tapi kemudian dia paksa merayap bangun akan
berduduk. Dia merintih terus.
Si orang perempuan benar2 tangguh. Luka nya di belakang
hebat, bajunya pecah dan mandi darah, tetapi begitu jatuh,
dia paksakan merayap, merayap sampai dibawah sebatang
pohon, disini dia senderkan diri, sambil kerutkan alis dan
kertek gigi akan tahan rasa sakitnya. Mukanya berobah
menjadi pucat. "Bertiga kau orang kepung aku sendirian, apa kau orang
masih terhitung orang gagah?" begitu dia kata dengan berani.
Dia awasi Jie Hiong Wan dengan mata mendelik, tandanya dia
sangat mendongkol dan gusar. Kemudian dia katakan Lie
Bouw Pek usilan dan damprat. Siu Lian dengan perkataan
kotor. Nona Jie gusar bukan main.
"Perempuan jahat, aku nanti bunuh kau !" dia berteriak
seraya maju menghamparkan, goloknya dia sudah angkat
naik. "Jangan bunuh dia, nona!" Bouw Pek mencegah. "Sekarang
banyak orang yang menonton, inilah kurang bagus! Lebih baik
kita gusur dia pada pembesar negeri, supaya dia terima
hukumannya. Siu Lian bisa dicegah, dia deliki perempuan itu, dia pandang
Bouw Pek dengan masih marah, kemudian dia samperkan
ayahnya. Jie Hiong Wan sudah simpan goloknya, sambil angkat
tangan pada orang banyak dia kata : "Tuan2 telah saksikan
selagi baik2 kami berjalan, tiga orang ini telah kejar kami dan
lantas saja menyerang, hingga kami mesti lawan mereka.
Syukur kami ayah dan anak mengerti juga ilmu silat, jikalau
tidak, tidak ampun lagi kami pasti akan terbinasa ditangan
mereka itu"
Beberapa orang, yang telah saksikan kejadian, ada
dipihaknya Jie Piauwsu, mereka benci tiga orang itu, maka
mereka hampirkan si jangkung, yang lagi duduk kesakitan,
akan dupaki dia!
"Bukankah kau si bangsat yang sering membegal ditengah
jalan" Sekarang dari mana kau orang datang " Hayo lekas
mengaku !"
Si jangkung menjerit kesakitan, tapi dia jawab orang
banyak. "Tuan2 jangan kau orang fitnah aku. Kami bukannya mau
begal orang ini tidak ada harganya buat kami begal dia. Kami
ke dua pihak sebenarnya dendam sakit hati dari sepuluh tahun
lamanya! Itu tua bangka she Jie telah bunuh mati guruku !"
Juga perempuan yang terluka itu lantas serukan piauwsu
kita: "Orang she Jie, lekas sewakan kami kereta, supaya kami
bisa pergi, nanti kami
kasi ampun padamu! Kalau tidak, kau tidak nanti dapat
kemenangan sendiri! Baiklah aku kasi tahu, sekarang ini aku
masih punya belasan saudara, jikalau kau serahkan kami pada
pembesar negeri, mereka itu niscaya tidak akan kasi ampun
padamu!" Jie Hiong Wan bingung, sampai dia mandi keringat.
Memang dia telah keluarkan banyak tenaga. Dia memang
tidak niat tarik panjang perkara itu. Apa mau, disitu lantas
datang kepala kampung, hiangyak dan teepo.
"Tidak, perkara ini tidak bisa dibikin habis secara diam2!"
mereka itu kata dengan berkukuh. "Lihat, luka mereka hebat!
Daerah ini termasuk Jiauw-yang, tiekoan kita, Teng Tay-looya,
paling keras pemerintahannya, apapula kemarin dulu disini
telah terjadi pembegalan dan penjahat-belum dapat
ditangkap, bila kami lepaskan kau orang dan kemudian
tiekoan mendapat tahu, kami sendiri bisa dapat susah!"
Jie Hiong Wan kerutkan alis. Siu Lian sudah naik keatas
kereta. "Memang perkara susah buat dibikin habis sampai disini,"
anak muda kita bilang."tapi lauwsiok tidak usah sibuk, kita
bukan difihak salah."
"Aku tidak takut, aku hanya paling sebal menghadapi hal
yang memusingkan kepala," kata jago tua itu. Bouw Pek tidak
bisa kata apa2, dia lihat jago tua itu sedang jengkel, dia tidak
berani lantas tanyakan duduknya perkara diantara kedua
pihak. Sementara itu si pembesar kampung sudah datang dengan
sebuah gerobak kerbau, dua orang yang luka dinaikkan keatas
gerobak itu. Karena ini, terpaksa Jie Hiong Wan mesti ikut
juga dengan tunggang kudanya. Bouw Pek turut naik atas
kudanya. Pembesar kampung pun tarik dua-tiga orang diantara orang
banyak, untuk dijadikan saksi Mereka tidak lupa bawa golok
dan kudanya dua penjahat itu.
Keretanya nyonya Jie lalu mengikuti di belakang.
Mereka menuju kebarat laut, setelah melalui sepuluh lie
lebih mereka sampai di Jiauwyang. Mereka masuk kedalam
kota, terus menuju kekantor tiekoan.
Dengan dibantu oleh beberapa opas, dua orang yang luka
dibawa kemuka kantor. Kepala kampung minta Jie Hiong Wan
menghadap bersama anak isterinya dan juga Lie Bouw Pek,
begitupun beberapa saksi.
Jie Lauw Tiauw merasa tiekoan itu pembesar lihai apabila
dia lihat hidung orang seperti patok betet dan mata seperti
alap. Tiekoan mulai pemeriksaannya dengan lebih dulu tanya she
dan nama semua orang yang dibawa menghadap padanya
oleh karena ini, Jie Hiong Wan jadi dapat tahu si jangkung
adalah Can Tek lo dan si perempuan adalah anak perempuan
Ho Hai Liong, namanya Kiam Go, gelarannya Lie Mo-ong, si
Raja Iblis perempuan.
"Ada permusuhan apa diantara kau dan mereka ini, hingga
mereka datang mengejar dan hendak bunuh kau ditengah
jalan?" tiekoan kemudian tanya piauwsu tua itu.
"Aku tadinya piauwsu, yang suka bikin perjalanan sambil
melindungi barang2" Jie Hiong Wan aku, "oleh karena
pekerjaanku ini, tidak jarang aku mesti tempur orang untuk
melindungi barang2 dan jiwaku, terutama buat nama baikku
sebagai piauwsu yang dipercaya orang banyak. Begitu diluar
keinginanku, aku jadi dapatkan musuh2, yang aku sendiri
tidak pernah ingat pula. Selama ini sudah banyak tahun aku
undurkan diri, maka segala apa aku sudah lupa betul2."
Lantas Tong Tiekoan tanya Tek Po dan Ho Kiam Go. Tadinya
Can Tek Po mau beber duduknya hal dengan tuduh Jie Hiong
Wan telah bunuh Ho Hui Liong, tetapi Ho Kiam Go dului dia
memberikan keterangan lain, sebab perempuan muda ini tidak
ingin duduknya hal itu diutarakan dimuka umum, lantaran dia
kuatir orang banyak nanti dapat tahu dia anaknya berandal.
"Aku minta tayjin tidak usah tanyakan keterangan dengan
teliti sekali," berkata perempuan garang ini, dengan suara
yang menyalakan dia masih tetap sangat mendongkol.
"Dikalangan Sungai telaga adalah tidak aneh kalau orang
saling hutang dan saling bayar. Ayahku binasa ditangannya Jie
Hiong Wan, ini terjadi pada tujuh atau delapan tahun yang
lalu, diwaktu aku masih kecil. Bagaimana duduknya perkara
aku tidak tahu, hanya aku tahu bahwa aku mesti bikin
pembalasan. Maka aku lantas belajar silat. Sekarang, sesudah
besar, kami datang untuk bikin pembalasan. Aku datang
bersama engkoku Cit Houw, engko yang kedua, dan suheng
Can Tek Po ini. Kami telah datang ke Kielok. Rupanya Jie
Hiong Wan ketahui kedatangan kami, dia lantas berangkat
buat singkirkan diri dengan ajak anak-isterinya. Tentu saja
kami lantas susul dia. Sudah beberapa hari kami menguntit,
baru tadi kami dapat susul dia. Kami hendak bunuh si tuabangka,
siapa tahu mendadak datang orang ini " dia tuding Lie
Bouw Pek, romannya jadi bengis, seperti dia hendak terkam
dan cekek mampus pemuda kita. "Coba tidak datang dia ini,
pastilah sakit hati kami sudah terbalas! Oh, binatang, kalau
lain kali kita ketemu pula, bisa jadi kami bisa ampuni si tuabangka,
tetapi kau pastilah tidak!"
Lie Bouw Pek tidak ladeni perempuan katak dan galak itu,
dia hanya bersenyum ewah.
Setelah itu tiekoan minta keterangan si anak muda.
,,Aku seng-goan dari Lam-kiong," Bouw Pek terangkan,
"aku dalam perjalanan kekota raja guna sambangi sanakku,
ditengah jalan aku saksikan mereka ini berdua, bersama
seorang kawannya yang bisa kabur, pegat Jie Loo-piauwtauw,
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang mereka lantas serang. Aku tidak bisa lihat perbuatan
tidak adil itu, aku cabut pedang dan bantu Jie Loo-piauwtauw.
Aku kenal loo-piauwtauw, akan tetapi kami tidak bergaul
rapat. Tentang duduknya permusuhan mereka, aku tidak tahu
suatu apa "
Paling akhir tiekoan tanyakan semua saksi. Mereka tuturkan
duduknya hal yang benar, dialah selagi berjalan. tiba2 mereka
dikejar dan diserang oleh tiga orang itu, maka piauwsu bikin
perlawanan sampai akhirnya datang si anak muda yang bantu
piawsu itu, bahwa dua penyerang kena dirubuhkan, tetapi
satu kawannya lolos. Perihal duduknya perkara, mereka pun
bilang tidak tahu. Sesudah dengar semua itu tiekoan
manggut-manggut. "Sekarang jangan kau orang banyak
omong lagi," kata pembesar ini pada Kiam Go dan Tek Po.
"Sekarang sudah terang perbuatan kau orang sebagai begal.
Betul kau telah terluka, tetapi dalam hal ini mereka itu
bertindak buat bela diri, maka mereka tidak bisa dihukum."
Lantas Tong Tiekoan perintah Jie Hiong Wan dan anakisterinya
ber-sama2 Lie Bouw Pek dan sekalian saksi undurkan
diri akan tunggu panggilan lebih jauh, sedang dua orang
terluka itu diperintah dibawa kepenjara buat ditahan.
Jie Hiong Wan dan rombongannya haturkan terima kasih
pada tiekoan, setelah unjuk hormat, mereka pergi keluar.
Justeru itu, secara mendadak Ho Kiam Go lompat kemeja
akan samber bakhie, dengan itu dia timpuk tiekoan ! Syukur
Tong Tiekoan dapat lihat gerakan itu dan keburu berkelit
dengan mendekam dimeja,. dengan begitu bakhie melayang
lewat kepalanya, jatuh hancur dibelakangnya !
Opas-opas, yang kaget berbareng gusar, segera terjang Ho
Kiam Go. buat telikung lebih jauh dia ini, sembari dihajar
belengguan ditambahkan. Tapi dia gusar terus, dia memaki
kalang kabut, dengan kakinya dia dupak meja hingga terbalik.
Tiekoan murka, dia damprat perempuan galak ini, hingga
mereka jadi saling maki; Beberapa opas itu tidak bisa takluki
perempuan ini, setelah datang beberapa opas lagi baru dia
bisa dibikin rubuh dia terus dihajar lagi dan dibelenggu.
dengan rantai yang besar dan berat, dengan begitu barulah
bersama Can Tek Po dia bisa digusur kepenjara.
Jie Hiong Wan dan rombongannya telah saksikan Radja
Iblis Perempuan itu ngamuk, kemudian sesampainya diluar
piauwsu tua itu menjura pada beberapa saksinya, haturkan
terima kasih atas keterangan mereka, sebab kendati mereka
omong dengan sebenarnya, itu tetap berarti pertolongan
baginya. Dia tunggu sampai mereka sudah pergi, dia silahkan
isteri dan anaknya naik kereta.
"Barusan tiekoan perintahkan kita mundur buat tunggu
panggilan lebih jauh, karena ini sedikitnya dalam satu-dua hari
ini kita belum bisa lanjutkan perjalanan kita," dia berkata pada
Lie Bouw Pek, "Aku menyesal buat kejadiannya, karena tempo
kau jadi terganggu."
"Aku tidak punya urusan penting, lauwsiok," Bouw Pek
jawab. "tidak ada halangan aku singgah beberapa hari disini.
Mari kita cari tempat penginapan yang berdekatan, lauwsiok
perlu mengasokan diri."
"Kau benar, hiantit, mari kita cari pondokan," kata si orang
tua. Baru saja mereka mau lompat naik atas kuda masing2, dari
kantor lari keluar beberapa orang, yang teriaki mereka
berulang-ulang. Dua orang dandan dengan rapi dan mewah
kelihatannya, satu diantaranya bermuka putih, matanya kecil,
dan dua lagi seperti pengikut tetapi pakaiannya pun bersih. Lagi dua
orang adalah opas-opas, mereka ini yang memanggil, apabila
mereka sudah datang dekat, dengan garang mereka tegor
jago tua kita : "Eh, kemana kau orang mau pergi ?"
"Kami mau cari rumah penginapan," sabut Jie Hiong Wan,
"kalau ada panggilan dari koan thayya, sembarang waktu bisa
datang." "Tidak bisa kau cari pondokan sendiri!" kata pula opas itu,
suaranya tetap kaku. ,Dengan kau yang cari tempat sendiri,
bila ada panggilan, kemana kami mesti cari kau?"
"Kalau begitu, silahkan jiewie tolong carikan tempat,"
berkata jago tua kita, yang terus berlaku hormat dan sabar.
Ketika itu si anak muda yang kelihatannya mewah telah
hampirkan kereta, dengan angkat tangannya dia menyingkap
tenda akan melongok kedalam.
Siu Lian lekas melengoskan muka kesamping ibunya. Anak
muda dengan matanya yang sipit tertawa. Jie Hiong Wan dan
Lie Bouw Pek jemu melihat kelakuan orang, tetapi karena
mereka tidak tahu si anak muda adalah tiekoan punya apa,
mereka tahan sabar."
"Inilah isteri dan anakku," kata jago tua kita, yang maju.
Dia berlaku manis, kendatipun dengan paksaan. Anak muda
itu manggut, dia lepaskan tenda, dengan tidak kata apa2.
"Mari, kita nanti carikan rumah penginapan untuk kau
orang," kata si dua opas.
Jie Piauwsu manggut, bersama Bouw Pek sambil tuntun
kuda mereka, mereka ikut dua hamba wet itu. Keretapun
mengikuti dari belakang.
Beberapa kali Lie Bouw Pek menoleh ke belakang, dia
dapat lihat si anak muda mewah masih berdiri dengan diapit
oleh dua pengiringnya, berdiri mengawasi kedalam kereta.
Sudah terang anak muda ini tertarik oleh oleh Siu Lian. Tentu
saya anak muda kita jadi panas.
"Beginilah peruntungan perempuan cantik, kemana saja dia
pergi dia tentu bikin orang2 perhatikan dia," pikir dia.
Dengan lekas mereka sudah sampai dihotel yang dicarikan
oleh kedua opas, nama nya Hok San," Jie Piauwsu pilih
sebuah kamar yang besar serta sebuah yang kecil,
yang kecil ini buat Lie Bouw Pek. Barang2 sudah lantas
dibawa masuk, jongos dipesan buat kuda mereka.
Diam2 Jie Piauwsu selipkan dua potong perak pada kedua
opas pengantarnya.
,,Buat jiwie minum arak," dia kata. Dengan segera air muka
dua hamba wet itu berobah.
"Tidak usah, looya-cu," kata yang satu, sedang yang
satunya lalu menghibur, katanya: "Dalam perkara ini looya-cu
jangan kuatir, kau jadi pendakwa dan mereka itu penjahat,
malah tadi si perempuan sudah terbitkan gara2, dia tentu
akan dapat hukuman berat. Benar besok barangkali kau tidak
usah sampai dipanggil menghadap lagi, koan-thayya
barangkali akan kami kirim buat mengasi tahu, yang kau
merdeka dan boleh melanjutkan perjalanan"
"Dalam segala hal aku mengandal pada kau berdua jiewie,"
kata piawsu kita, yang tidak mau banyak omong. Sebagai
seorang yang berpengalaman, dia tahu kepusingan selagi
berhadapan dengan hamba2 wet yang rakus. Sampai disitu
dua orang itu lantas berlalu.
Siu Lian pimpin ibunya duduk ditaphang dia sendiri duduk
disampingnya. "Ayah, kau perlu mengaso," kata anak perempuan ini.
"Sekarang ini ayah tidak usah kuatir lagi."
"Aku tidak ibuk, aku tidak lelah," sahut sang ayah. "Aku
mau bicara dengan Lie Hiantit."
Orang tua itu benar2 lantas pergi keluar akan pergi
kekamarnya Bouw Pek.
Anak muda kita tidak sampai ikut masuk kekamarnya
piauwsu tua itu. Dia masih merasa likat. Dia terus masuk
kekamarnya, setelah letakkan buntalannya dan pedang diatas
pembaringan, dia perintah jongos bawakan dia air teh. Dia
duduk dikursi sambil menunggui jongos itu. Dia lekas
berbangkit apabila dia lihat si jago datang.
"Duduk, hiantit," orang tua itu pun minta. Dia lantas duduk
didepannya anak muda itu, yang telah ambil kursinya pula.
"Kejadian tadi adalah diluar dugaanku" kata siorang tua,
sambil menghela napas. "Syukur ada kau, hiantit, bila tidak,
pasti lah kami akan jadi korbannya tiga orang kejam itu."
"Belum pasti, lauwsiok," Bouw Pek menghibur. "Aku lihat
diantara mereka tiga, si orang perempuan yang paling lihai
nyalinya besar bukan main. Dua orang lelaki itu bukan
tandingan lauwsiok."
"Orang perempuan itu anaknya Pootoo Ho Hui Liong,
Holam punya penjabat besar pada sepuluh tahun yang
berselang," Jie Hiong Wan kasi keterangan. "Dia bernama
Kiam Go, julukannya Lie Mo-ong. Kabarnya dia telah menikah
dengan Kim-chio Thio Giok Kin, si Tumbak Emas. Thio Giok
Kin itu sekarang hoohan paling terkenal di Siamsay, Holam
dan kedua daerah sungai Hoay. Aku percaya, kalau Thio Giok
Kin dapat kabar yang isterinya terluka ditangan kita, dia pasti
tidak akan mau mengerti, apa lagi sekarang isterinya sampai
mendekam dalam penjara. Hal ini aku anggap soal yang sulit."
Mendengar disebutnya nama Kim-chio Thio Giok Kin,
didalam hatinya Bouw Pek terperanjat. Dalam beberapa tahun
ini, namanya si Tumbak Emas dalam kalangan Sungai Telaga
sangat terkenal, umpama kata tidak ada orang yang tidak
ketahui. Kejadian ini membikin dia telah tanam bibit
permusuhan, dibelakang hari dia betul2 akan hadapi banyak
urusan. Kendati begitu, dia tidak takut.
"Bukannya siauwtit omong besar, lauwsiok," kata dia
"andaikata Kim-chio Thio Giok Kin ketemu aku dan berani
main gila, aku nanti bikin tumbaknya patah, orangnya binasa!"
Tapi Jie Hiong Wan, yang darahnya sudah kendor jalannya,
goyang2 kepala.
Kemudian Bouw Pek tanya duduknya permusuhan.
Terhadap anak muda yang gagah ini, Jie Hong Wan tidak
mau simpan rahasia, maka dia lalu tuturkan permusuhannya
dengan Ho Hui Liong, bekas sobatnya sendiri, karena si sobat
telah jadi jahat dan berani ganggu piauwnya. Dia kata dia
tidak membunuh dengan sengaja, itu sudah terjadi karena dia
sengit. Karena itu dia bilang, dia jadi tutup perusahaannya dan
hidup menyendiri karena dia menyesal sekali atas kejadian itu.
"Baru dibulan Chia-gwee yang baru lewat aku dengar
anak2nya Ho Hui Liong, mau cari aku buat bikin pembalasan,"
jago tua ini cerita lebih jauh. "Dua anak lelakinya sudah jadi
besar dan anak perempuannya kabarnya menikah dengan
Thio Giok Kin. Katanya dalam tempo tiga bulan mereka akan
mewujudkan pembalasan nya. Kabar ini belakangan benar
telah di buktikan."
Jie Hiong Wan lantas tuturkan bagaimana dia dipegat
ditengah jalan waktu tee-coa diharian Cengbeng, bahwa
sekarang dia ingat, si muka hitam tadi adalah satu dari antara
empat pemegatnya.
"Sutitku Yok Thian Kiat kemudian datang pula kasi kisikan
padaku hal anak nya Ho Hui Liong mau cari aku," dia cerita
lebih jauh "katanya Thio Giok Kin bersama Ho Cit Houw dan
sejumlah jago lain merupakan satu rombongan, yang sudah,
berangkat dari Wee-hui menuju ke Kie-lok. Jumlah mereka
besar, aku sedikit, biar bagaimana juga aku kuatir kami nanti
jadi korban2 mereka, maka dengan terpaksa aku ajak anakisteriku
meninggalkan Kie-lok. Aku mau pergi ke Po-teng akan
berdiam untuk sementara waktu di-rumahnya sobatku, tidak
nyana mereka bisa susul aku ditengah jalan, hingga terbitkan
perkara ini." Sehabis cerita, jago tua itu menghela napas pula.
"Aku sudah tua sekarang, aku tidak berdaya," kemudian dia
tambahkan. "Sudah lama aku mundurkan diri, diluaran aku
sudah tidak punya banyak sobat lagi. Lebih sukar bagiku aku
sekarang mesti berati isteriku yang sudah berusia tinggi dan
anakku yang masih belum keluar pintu. Coba aku masih muda
dan bersendirian, tidak nanti aku takut terhadap mereka itu."
Bouw Pek bersimpati pada orang tua ini, dia merasa
kasihan. Menyedihkan yang jago tua itu, karena usianya sudah
lanjut, sekarang jadi begini lemah.
"Baik lausiok jangan terlalu pikirkan hal itu," dia menghibur.
Ganjalan dari kelancangannya bikin dia tidak berani bicara
sembarangan. "Lie Mo-ong Ho Kiam Go sudah terluka dan
tertangkap dan pembesar negeri tentu hukum dia, maka
sesudah dua kali gagal, bisa jadi pihak mereka itu menjadi
jerih, mereka mestinya insyaf yang lauwsiok tidak boleh dibuat
permainan, bisa jadi selanjutnya mereka tidak berani datang
mencari lauwsiok lagi. Sekarang urusan sudah beres, siauwtit
mau lanjutkan perjalanan ke Pakkhia. Umpama kata
dibelakang hari lauwsiok hadapi perkara sulit silahkan kau
kirim orang ke Pakkhia akan cari aku, aku nanti lantas datang
buat membantu apa yang kau bisa." Orang tua itu manggut.
"Terima kasih, hiantit," jawabnya, ia kembali menghela
napas. Dia seperti mau bicara banyak, tetapi urung sendirinya.
Karena tidak bisa bicara banyak. Bouw Pek pun tidak bisa
menghibur lebih jauh.
Setelah duduk lagi sebentar, selama mana mereka tidak
bicara, Jie Hiong wan berbangkit kembali kekamarnya.
Tidak antara lama, jago tua itu minta disediakan santapan
malam. Berbareng dengan itu, nyonya Jie mengeluh uluhatinya
sakit. "Barangkali aku tidak bisa dahar," kata nyonya tua itu
dengan lemah. Jie Lauw Tiauw jadi bersusah hati bersusun tindih Dia tahu
isterinya terkejut dan berkuatir dan penyakitnya yang lama
lantas kumat. Ini berbahaya bagi nyonya itu, yang sudah ada
umur. Siu Lian-pun berduka, dia urut2 dada ibu-nya, yang rebah
dengan terus merintih. Dia menghibur, tetapi percuma.
Ayahnya duduk disamping meja, dengan masgul bukan main.
Justeru itu, seorang mendadak bertindak masuk, Kapan
jago kita angkat kepalanya, dia kenali salah satu opas, yang
telah hantarkan mereka kehotel itu. Dia lekas berbangkit
menyambut. Ada apa, toako" Silahkan duduk," dia
mengundang. ,,Looyacu, jangan berbahasa toako padaku," kata opas itu,
sembari tertawa. Sikapnya manis. Dia duduk dengan tidak
tunggu sampai diundang dua kali. "Perkara sekarang tidak
usah dibuat kuatir," kemudian dia tambahkan. "Koan-thayya
memang paling baik batinya terhadap orang2 tua dan miskin
Tadi thayya panggil aku, dia perintah aku datang kemari buat
sampaikan pada looyacu supaya looyacu jangan kuatir.
perkara sudah beres. Barangkali lagi dua-tiga hari, perkaranya
dua penjahat itu diputus, lantas looyacu boleh berangkat."
"Terima kasih buat kebaikan kau, toako, nanti kita paykui
didepan kau," kata Jie Hong Wan. Opas itu tersenyum,
matanya diam2 melirik pada Siu Lian.
"Rupanya nona dan thaythay banyak kaget," dia kata.
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Anakku masih kecil, dia tidak kenal takut," orang tua itu
bilang, "adalah isteriku sakit ulu-hatinya sekarang kambuh"
Setelah kata begitu Hiong Wan menarik napas.
,.Berapa usianya si nona tahun ini ?" kemudian opas itu
tanya. "Tujuh-belas."
"Dia tentu belum ditunangkan ?" "Sudah, sedari masih
kecil." Opas itu nampaknya putus harapan dan bersangsi
dengan berbareng.
"Umpama kata nona belum bertunangan, aku bisa carikan
dia pasangan," dia kata pula kemudian. "Dia adalah toakongcu
koan thayya. Dia sekarang baru berusia dua-puluh
tujuh tahun, orangnya cakap, pelajaran-nya tinggi, sudah
sepuluh tahun dia menikah, dia belum bisa dapatkan anak.
Koan-thayya ingin empo cucu, tentu sekali karena itu cita2nya
belum bisa kesampaian. Maka itu dia ingin nikahkan lagi
toakongcu cuma sampai begitu jauh dia belum bisa dapatkan
nona yang dia penujui . Tapi tadi digeemui dia lihat si nona,
dia penuju, maka dia lantas ajak toakongcu berdamai. Nyata
toakongcu setuju. Begitulah aku sekarang diutus kemari, guna
meminang si nona. Jikalau looyacu suka ikat tali persanakan
dengan koan-thayya, bukan saja urusan akan tidak jadi soal
lagi, looyacu pun dapat besan tiekoan yang mewah, looyacu
jadi cinkee yang agung ! Koan-thaythay juga bilang, kalau
looyacu bisa atur pesalin, itu lebih bagus lagi !"
Setelah kata begitu, opas ini ber-senyum2, matanya dibuat
main dibikin kecil. Dia awasi jago tua itu, buat tunggu
jawaban. Siu Lian dengar semua omongan itu, dia mendongkol dan
gusar. Tapi dia diam saja, sambil tundukkan kepala.
Juga Jie Hiong Wan gusar, tapi sebagai orang tua dia bisa
kendalikan diri.
"Tolong toako sampaikan pada koan-thayya," dia kata
dengan bersenyum terpaksa, "dalam hal ini bukan aku tidak
tahu diri, tetapi dengan sebenarnya anakku sedari siang2
sudah ditunangkan, dari itu menyesal sekali harapan koanthayya
aku tidak sanggup penuhi " Mendapat jawaban itu, air
muka si opas berobah dengan segera.
Looyacu, jangan kau salah mengerti," dia lalu mendesak.
"Thayya kita ber-sungguh2 hati, kalau nanti si nona sudah
menikah, tidak dia akan telantar. Kau tahu sendiri, ikatan
jodohnya dilakukan secara terang2an. memang benar sinona
menjadi isteri yang kedua, kendati demikian, kedudukannya
akan jauh terlebih atas dari pada isteri pertama."
Sampai disitu, Jie Lauw Tiauw tidak mampu cegah
amarahnya lagi. Opas itu tidak mengerti salatan dan telah
terlalu menghina dia. Maka dia lantas tepok meja.
Siu Lian murka, tetapi dia bisa berlaku sabar.
"Jangan gusar, ayah, bicaralah dengan pelahan," dia kata
pada ayahnya itu.
Tetapi piauwsu tua itu tepok2 meja pula.
"Kau dengar sendiri ocehannya itu !" dia kata pada
gadisnya. ,,Tiekoan pandang aku sebagai orang macam apa "
Seumur hidup ku aku bergelandangan dikalangan Sungai
Telaga, aku tetap putih bersih, aku tidak nyana sekarang,
sesudah tua, berulang ulang orang berani hina aku ! Lihatlah
anak2nya Ho Hui Liong, mereka paksa aku pindah, hingga aku
si tua bangka mesti terombang ambing di tengah perjalanan
jauh ! Dan sekarang aku ketemu tiekoan bangpak ini, tiekoan
celaka duabelas ! Jangan kata kau memang benar sudah
ditunangkan dengan keluarga Beng, andaikata belum, tidak
nanti aku Jie Hiong Wan, satu laki-laki, akan nikahkan kau
untuk dijadikan isteri kedua! Mustahil kau mesti jadi gundik
orang?" Siu Lian jadi sangat bersusah hati, hingga dia
menangis. Nyonya Jie juga menangis bahna jengkel, dia kata :
"Dimana saja Kita berada, orang telah hinakan kita, lebih
baik kita bertiga mati saja."
Opas itu lihat orang gusar, kuatir nanti kena dihajar, maka
dengan tidak berkata apa lagi, sambil kasi dengar tertawa
menjengeki dia berbangkit dan bertindak pergi.
Jie Lauw Tiauw duduk diam, bahna pepat pikiran, dia pun
kucurkan air mata tua.
Lie Bouw Pek dapat dengar suara ramai, dia telah dalang
kekamar orang, ia terperanjat apabila melihat orang sedang
menangis. "Ada apakah, lauwsiok ?" dia tanya.
"Kita lagi hadapkan kesulitan baru, hiantit," sahut orang tua
itu, yang lalu tuturkan hal kedatangan nya si opas, yang mau
lamar gadisnya buat putera tiekoan yang sulung, buat jadi
isteri muda. Dia unjuk bagaimana opas itu sudah ancam dia.
"Sayang aku telah tua dan lemah." kata dia akhirnya.
Benar sulit, lauwsiok." kata Bouw Pek yang turut jadi
terharu. Dia mendongkol, tetapi dia tidak bisa lampiaskan itu
disitu dihadapannya orang tua dan anaknya itu.
Bouw Pek lebih masgul apabila dia lihat Siu Lian duduk
menangis sambil baliki belakang. "Biar bagaimana juga,
baiklah lauwsiok bersabar," coba menghibur.
"Diwaktu muda aku beradat keras, belum pernah aku
terima hinaan dari siapapun juga," mendadak kata orang tua
itu sambil keprak meja, 'jikalau tidak, Ho Hui Liong tidak akan
binasa ditanganku, sedang dia adalah sobatku selama duapuluh
tahun. Kejadian itu telah menanam sakit hati, hingga
aku tutup perusahaanku dan keram diri di dalam rumah,
sampai aku takut bertengkar dengan orang, siapa nyana
sekarang aku hadapi kesukaran be-runtun2 . . Ah!.Cuma
sebentar jago tua ini berdiam, lantas dia tambahkan: "Benar
aku sudah tua, tapi golokku aku masih bisa gunai, ilmu silatku
belum terlupa semuanya, maka apabila orang desak aku
secara keterlaluan, aku nanti korbankan jiwa tuaku!"
"Jangan turut hawa kemurkaan, lauwsiok," Bouw Pek
menghibur pula. "Sekarang dalam segala tindakan. lauwsiok
harus ingat ada encim dan si nona. Sekarang masih ada aku
disini, andaikata lauwsiok perlu gunai tenaga, biarlah kasih
aku yang maju terlebih dulu ! Lauwsiok harus bersabar,"
"Bagaimana aku berani bawa-bawa kau hiantit ?" orang tua
itu kata sambil menghela napas pula.,Kau sedang hadapi hari
kemudianmu. Sekarang saja aku menyesal, lantaran urusan
kami, tempomu sudah terganggu beberapa hari."
Kemudian, setelah menghibur lagi, Bouw Pek kembali
kekamarnya. Dia berduka berbareng mendongkol buat
urusannya keluarga Jie itu, sedang dia tidak berdaya akan
meringankan kesukaran keluarga itu. Si jago tua dan gadisnya
dia tidak pikirkan, ada si nyonya tua yang lemah, yang bikin
orang tidak merdeka.
Malam itu sehabis dahar, Bouw Pek naik
kepembaringannya. Syukur buat dia, dia bisa juga tidur.
Esoknya dia bangun pagi2, setelah dandan dia keluar dari
hotel. Dia berniat menyerap-nyerapi kabar dekat kantor
tiekoan, buat dapat tahu bagaimana putusan si tiekoan. Dia
bertindak dijalan besar menuju kebarat. Dia masih tidak tahu,
keterangan siapa ia perlu tanya. Dijalan sebelah utara ada
sebuah warung teh, disitu banyak tamu. kesitu dia masuk, dia
ambil meja kosong dan minta jongos sediakan air teh. Dengan
pelahan-lahan dia irup tehnya, kupingnya dia pasang akan
dengari pembicaraan orang. Mereka, yang berkawan pasang
omong dengan asik. Umumnya orang bicara hal ditangkapnya
dua penjahat, seorang lelaki dan seorang perempuan, bahwa
si penjahat perempuan adalah berani, lainnya tidak.
Bouw Pek tidak tertarik oleh pembicaan itu, karena dia
sudah tahu, sedang yang, dia ingin ketahui adalah putusannya
tiekoan. Dimeja disampingnya ada orang bicara hal perkara
lain, sembari bicara, orang itu samar2 kutuk tiekoan. Maka
dari sini dia ketahui bahwa dengan sebenarnya tiekoan itu
bukannya tiekoan baik2.
"Kemarin Jie Lauw Tiauw maki tiekoan, kalau dia main gila
dengan Lie Mo-ong, jago tua itu bisa dapat susah," pikir Bouw
Pek. Karena ini, dia jadi tambah masgul.
Setelah duduk pula sekian lama dengan tak peroleh hasil,
Bouw Pek bayar uang teh dan berlalu dari warung itu.Dia
kembali ikuti jalan, sekarang menuju ketimur, kemudian
kembali kehotei Hok San. Baru saja dia bertindak masuk,
kuasa hotel sudah samperi dia.
"Kau pulang, thayya, bagus!" kata kuasa hotel itu. "Pergi
kau masuk kekamarnya Jie Loo-sian-seng, dia baru saya
ditangkap dan dibawa pergi oleh orang-orang tiekoan
geemui." Bouw Pek terkejut bukan main mendengar
keterangan itu.
"Aku men-duga2, sekarang ternyata dugaanku terbukti,"
pikir anak muda ini. "Nyata sekali Tong Tiekoan pembesar
yang jahat dan kejam !. "
Dia segera masuk kekamarnya Jie Honq Wan, baru sampai
didepan pintu dia sudah dengar tangisannya nyonya Jie dan
anaknya perempuan. Dia lantas saja turut terharu. Selagi mau
bertindak masuk, dia sengaja kasih dengar batuk2 bikinan.
Siu Lian duduk menangis dipembaringan, ibunya rebah
dengan tidak bisa bangun, sembari menangis nyonya tua itu
berbareng merintih karena napasnya saban2 sesak, dia
mengeluh karena sakit dadanya.
Sebenarnya Bouw Pek tidak ingin bicara pula dengan nona
Jie guna singkirkan kecurigaan, akan tetapi sekarang dia tidak
bisa kukuh pada pikiran itu.
"Nona, bagaimana lauwsiok dibawa pergi ?" begitu dia
paksakan menanya, sambil kerutkan alis. Mukanya Siu Lian
penuh airmata, rambutnya kusut, waktu itu dia mirip bunga
toh yang telah ketimpah hujan, tetapi sembari susut air
matanya dia jawab pertanyaan itu.
"Lie Toako, tolong kau lekas pergi ke-geemui akan lihat
ayah," kata dia. "Barusan dua opas, mereka lantas bawa pergi
ayah. Ini ekornya kejadian kemarin, sebab ayah telah damprat
tiekoan." Bouw Pek banting kaki bahna mendongkol.
"Nona jangan kuatir, aku akan lantas pergi ke gemui," dia
menyahut dan lantas berlalu dari kamar itu.
"Tie-koan jadi ayah ibu rakjat, dia telah makan gaji negeri,
dia mesti berlaku jujur dan adil," pikir anak muda ini, "tapi
Tong Tiekoan, sebab lamarannya ditolak, sudah tangkap
orang secara sembarangan, jikalau pembesar secara dia tidak
disingkirkan sungguh tidak ada keadilan'
Dengan masih mendongkol Bouw Pek sampai didepan
kantor tiekoan. Disini dia lihat beberapa opas, dengan roman
yang garang tengik senantiasa usir orang2 yang datang berdiri
didekat kantor. Tapi Bouw Pek samperi salah seorang dari
mereka, sambil unjuk hormatnya, dia tanya: "Toako, barusan
ada seorang tua she Jie, yang dibawa dari Hok San Loo-tiam,
apa aku boleh ketemui dia?"
Beberapa opas itu kenali anak muda kita, yang kemarin
turut menghadap dikantor, karena lihat pakaian orang rapi,
mereka tidak mau berlaku sembarangan. Mereka pun
mengharap bisa garuk sakunya pemuda ini. Orang yang
ditanya tidak lantas menjawab, dia mengawasi dulu.
"Aku tidak tahu,"akhirnya dia jawab dengan dingin "Pergi
kau tanya disana."
Dia menunjuk pada kamar didalam kantor,
Bouw Pek maju akan masuk kekantor, kekamar panpong
disebelah selatan. Kamar itu terpecah dua, bagian luar dan
dalam. Didalam dia lihat belasan orang sedang kerja dan
pasang omong. Dia tidak mau berlaku lancang, dia berdiri
menunggu. "Ada apa, eh?" tanya seorang yang baru keluar sikapnya
tak perdulian. Bouw Pek unjuk hormat, dia berkata: "Barusan sobatku
yang bernama Jie Hiong Wan telah dibawa kemari, aku pikir
sesudahnya pemeriksaan, aku hendak ketemui dia." dia
menyahut. Dia rogoh kantong nya dan keluarkan sepotong
perak, yang mana dia sodorkan pada hamba kantor itu.
,Tolong kau terima ini, buat kebaikan mu.,
Orang itu ulur tangannya akan sambuti uang itu, air
mukanya dengan lantas berobah manis.
"Kau she apa " dia tanya.
"Aku she Lie. Aku dari rombongannya Jie Lauwsiok."
"Aku tahu. Kau kemarin turut menghadap bukan?"
"Benar."
Orang itu berpikir sebentar, lantas berkata:
"Urusanmu sudah beres, kalau kau mau pergi, kau bisa
pergi, sudah tidak ada halangannya." dia kemudian bilang.
"Sobatmu Jie Hiong Wan, kena dirembet oleh sipen jahat
perempuan, katanya dia dulu pun penjahat besar, maka
tiekoan thayya tangkap dia buat diperiksa. Tapi aku percaya
apabila tidak ada buktinya, tidak akan dapat susah, paling
banyak dia akan ditahan beberapa hari selama pengakuannya
hendak didengar, nanti juga dia dimerdekakan pula."
"Jikalau dia di tahan disini, apa kami boleh antarkan dia
nasi?" Bouw Pek tanya.
"Tentu saja, aku bisa bicarakan hal kau ini dengan yang
urus. Cuma kau perlu keluarkan sedikit uang." "Perkara uang
kau jangan kuatir."
Sembari kata begitu, Bouw Pek keluarkan lagi sepotong
perak yang lantas diserahkan.
Orang kantor itu tertawa.
"Kau jangan kuatir," dia kata pula "Kau tunggu disini,
sebentar sesudahnya pemeriksaan, aku nanti ketemukan kau
dengan orang tua itu."
Bouw Pek membilang terima kasih, dia lantas duduk
dibangku dipinggiran.
Orang itu lantas berlalu, masuk kedalam.
Kemudian ada beberapa orang datang beruntun buat satu
dan lain urusan. Bouw Pek lihat, semua mereka mesti
mengodol saku, bila tidak, mereka tidak dapat pelayanan,
malah diperlakukan tawar dan bengis.
"Sungguh celaka." pikir Bouw Pek yang jadi dapat
pengalaman. "Inilah yang dibilang, kecil bisa menjadi besar
dan sebaliknya. Di tiekoan geemui orang begini rakus, jangan2
di Heng-pou jauh lebih hebat. Kalau nanti aku sampai di
Pakkhia dan dipekerjakan di Heng-pou, bagaimana aku harus
ambil sikap " Pekerjaan ini sungguh bertentangan dengan
cita2ku." Pegawai yang tadi kelihatan keluar, tidak lama balik
bersama seorang opas, yang samperi Bouw Pek seraya
berkata "Bukankah kau mau ketemui si orang she Jie" Nah,
pergilah dengan tuan ini."
Bouw Pek mengucap terima kasih, lantas dia ikut opas itu
yang bawa dia kepenjara.
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ternyata Jie Piauwsu sudah diperiksa, setelah mana dia
ditahan dalam penjara.
Ketika dari antara jeruji besi Bouw Pek lihat jago tua itu,
yang terkurung dengan terbelenggu, hatinya perih, sampai air
mata meleleh tanpa dia bisa cegah lagi.
Jie Hiong Wan sebaliknya, kelihatan tidak berduka,
romannya tenang sekali.
"Lie Hiantit, lihat, beginilah peruntunganku," kata dia. "Aku
telah hidup enam-puluh tahun lamanya, seumurku aku belum
pernah langgar undang2 negeri, tetapi sekarang, dengan tidak
ada suatu sebab, orang telah jebluskan aku dalam penjara!.
Kau tengoki aku, hiantit, inilah kebetulan. Perkaraku tidak
tentang. Tiekoan sudah kisikkan Lie Mo ong, supaya dia seret
aku, dengan katakan bahwa aku dulu pernah jadi penjahat,
tetapi Lie Mo-ong dan si orang she Can adalah orang2 Sungai
Telaga sejati, mereka masih punya rasa kehormatan, mereka
tahu aku orang macam apa, mereka tidak sudi turuti kehendak
tiekoan buat rembet aku. Mereka kata, bahwa mereka tidak
bisa menuduh aku secara memfitnah. Mereka nyatakan, kalau
sekarang mereka tidak mampu bunuh aku, dibelakang hari
mesti ada orang2 yang akan membalas padaku."
Hati Bouw Pek lega apabila dia dengar keterangan ini.
"Kalau begitu, kenapa tiekoan masih tahan kau, lauwsiok?"
dia tanya. "Dia mau tahan aku, apa aku bisa bikin?" Jie Hiong Wan
kata sambil tertawa. Tapi kemudian dia menghela napas juga.
Dia tambahkan: "Sekarang ini aku tidak berdaya, benar aku
tidak bisa serahkan anak ku pada mereka, tapi aku tidak bisa
bayar uang. Baiknya diwaktu mau berangkat aku bekal empatratus
tail lebih. Tolong kau pulang mintakan uang pada Siu
Lian, uang itu kau boleh gunai sesukamu digeemui, supaya
aku bisa berlalu dari sini. Aku pun minta supaya setiap hari
aku dikirimkan sedikit nasi. Asal aku tidak binasa didalam
penjara, aku sudah puas, jikalau tidak."
Orang tua itu kertek giginya, matanya seperti mendelik
bahna hebatnya dia menahan nafsu-amarahnya.
"Sudah, lauwsiok, kau jangan bergusar lagi," Bouw Pek
coba menghibur "Harap saja yang dalam dua-tiga hari ini kau
nanti bisa keluar dari sini"
Air matanya orang tua itu keluar dengan mendadak.
"Kalau aku keluar dari penjara, rasa-nya aku tidak akan
hidup lama lagi." dia kata. "Siu Lian serta ibunya, tolong kau
perhatikan!."
Bouw Pek terharu, sampai air matanya turut turun. Dia
kasihan pada orang tua ini, satu jago yang nasibnya malang,
hingga sesudah tua dia masih mesti keluarkan air mata.
Tadinya anak muda kita niat menghibur lebih jauh, tetapi
mandor bui hampirkan mereka.
"Cukup, sudah cukup!" berkata dia. "Kau sudah bicara,
lama. Kau sudah tua, kau perlu mengaso. Dan kau, tuan, kau
perlu lekas keluar, akan berdaya, bicara saja disini tidak ada
faedahnya."
Ucapan itu adalah pengusiran halus, tetapi itu benar, maka
meski dia mendongkol, Bouw Pek tidak bisa kata apa2. Dia
hiburkan si orang tua, lantas dia permisi berlalu. Dia pulang
langsung kehotel, begitu sampai dia ketemui Nyonya Jie dan
Siu Lian, tuturkan hal pertemuannya dengan si jago tua
didalam penjara. la sampaikan semua pesanan orang tua itu.
Nyonya. Jie dan anaknya lagi2 menangis apabila mereka
dengar keterangan anak muda kita. Nyonya tua itu lebih
bersedih, karena dia justeru sedang sakit, sampai dia tidak
mampu bangkit dari pembaringan.
Bouw Pek lantas minta jongos pergi undang tabib buat
periksa sakitnya si nyonya, setelah dibikinkan resepnya dia
minta jongos belikan obatnya, kemudian dengan pinjam anglo
dari hotel Siu Lian masak obat itu.
Kemudian Bouw Pek minta jongos sediakan nasi serta dua
rupa sayuran, dia minta makanan itu dihantar buat Jie Loo
piauwsu. Setelah atur semua itu, Bouw Pek minta perkenan kembali
kekamarnya. Disini dia rebahkan diri mengaso, tetapi otaknya
tidak bisa berhenti bekerja. Dia menyesal yang uangnya
tinggal sedikit, hingga uang itu tidak cukup untuk dipakai
mengurus perkaranya Jie Hiong Wan buat minta pada nyonya
Jie, seperti pesanan si jago tua, dia tidak berani buka mulut.
"Tidak ada jalan lain, aku mesti jual kudaku, dengan itu aku
bisa dapat empat puluh tail lebih," pikir dia akhirnya.
"Sebentar aku pergi pada saudagar kuda, buat tanya berapa
dia berani beli kudaku."
Belum lama Bouw Pek rebahan, dijendela dia dengar suara
batuk2 pelahan, dia lekas2 berbangkit, lantas dia lihat Siu Lian
bertindak masuk kekamarnya.
Selama dua hari, Bouw Pek selalu ketemu si nona, tetapi
sekarang dia dapat kenyataan nona itu perok, tanda bahwa
dia itu berduka sekali, kurang tidur dan tidak ada nafsu dahar.
Nona itu pakai baju dan celana hijau, rambutnya kusut, muka
nya pun tidak dipulas pupur dan yancie.
Kendati demikian, kecantikannya si nona tidak menjadi
kurang, malah sekarang dia nampaknya lebih ayu, romannya
menarik hati, mendatangkan rasa kasihan. Pada ke dua belah
pipinya si nona, samar2 masih ada tanda bekas air mata.
Tangannya nampaknya berat. Itulah sebab dia bawa
bungkusan, yang dia terus letakkan dialas meja.
"Ini empat bungkusan uang, jumlahnya kira2 dua-ratus
tail," berkata nona ini. "Ayah didalam penjara, kelihatannya
dia benar perlu uang. Aku bawa uang ini pada kau, toako,
karena aku percaya kau niscaya tidak punya kelebih uang
cukup banyak untuk kepentingan kami. Terserah pada toako
buat memakai uang ini."
"Demikian pesannya lauwsiok," sahut Bouw Pek. "Dengan
sebenarnya, aku tidak bawa banyak uang tadi aku niat minta
pada kau nona, tetapi aku tidak bisa buka mulutku."
Nona Jie menghela napas. "Kau terlalu seejie, toako," kata
dia. "Sekarang kau sedang bekerja buat kami, mustahil kau
juga mesti gunai uangmu sendiri, sedang kau tidak leluasa
dalam keuangan" Baiklah toako ketahui, kami sama sekali
bawa uang empat ratus tail perak." Bouw Pek hendak buka
mulutnya, tetapi si nona telah mendahului:
"Jikalau dijalan kami tidak ketemu kau, toako, entah
bagaimana jadinya dengan kami," kata dia "Toako mau pergi
ke Pakkhia, sekarang tempomu terganggu, kami menyesal
sekali." Setelah kata begitu, air matanya si nona jatuh
bertetesan, sebutir dengan sebutir seperti mutiara.
"Jangan bilang, begitu, nona," berkata Bouw Pek, yang pun
menghela napas ber-ulang2, kemudian dia tunduk akan tidak
awaskan nona itu, yang telah bikin dia rindu sendirinya. "Aku
sebenarnya niat tengoki ayah, sekalian bawakan dia nasi,
bagaimana kau pikir, toako, apa aku boleh pergi kesana ?"
kemudian Siu Lian tanya.
Nona ini tidak likat2 lagi, tidak malu2 seperti tadinya, malah
barangkali telah hilang penasarannya yang Bouw Pek waktu
pertama kali ketemu sudah bikin ikat kepalanya tersontek dan
terampas. Bouw Pek berpikir keras, dia kelihatannya sangsi
betul. "Aku rasa lebih baik nona tidak usah pergi menengoki,"
kemudian dia menyawab juga. "Dikantor dan penjara tidak
ada orang baik, dengan pergi kesana, nona tidak akan
mendapat kebaikan suatu apa."
Siu Lian bisa mengerti, dia menduga Bouw Pek tidak setujui
dia pergi kekantor, karena kuatir ketemu pula anak tiekoan
dan nanti terbit soal baru.
"Baiklah, toako, terserah pada kau." kata dia sambil
berdehem, "Apa yang aku kuatirkan adalah kalau2 ayahku
dapat sakit didalam penjara. Dia sudah berusia tinggi dan
hawa udara sangat panas." Dia tutupi mukanya dan menangis.
Bouw Pek pun gunai tangan bajunya akan menepas air
matanya. "Jangan bersusah hati nona. Bersusah hati pun tidak ada
faedahnya. Lebih baik kau rawat baik2 ibumu, ayahmu
serahkan padaku. Aku harap ayahmu bisa lekas keluar,
umpama hari ini. Siu Lian manggut. "Baiklah," kata dia, yang
undurkan diri. Bouw Pek awasi belakang orang hatinya perih sekali.
"Dasar aku tidak punya rejeki," kata dia dalam hatinya. "Siu
Lian bukannya tidak
perhatikan aku coba tidak dari siang2 dia sudah
ditunangkan, Jie Piauwsu tentu suka serahkan dia padaku.
Sekarang aku tidak boleh harapkan dia lagi. Kalau nanti Jie
Piauwsu sudah merdeka, umpama kata pertunangan anaknya
dengan keluarga Beng putus, aku juga masih tidak berani
nikahi Siu Lian, sebab nanti orang pasti kata sekarang aku
bergiat menolong si orang tua karena aku harapi anaknya
orang niscaya akan tuding aku seperti babi dan anjing."
Anak muda ini bisa tetapkan hati. Dia sudah pikir, bila nanti
Jie Piauwsu sudah merdeka, dia mau lekas menuju ke Pakkhia
atau merantau ketempat lain, supaya bisa bikin sembuh luka
pada hatinya itu"
Tidak lama jongos datang dengan barang makanan, Bouw
Pek lantas duduk bersantap.
,.,Apa makanan buat dikirim kepenjara sudah sedia?" dia
tanya jongos, sehabis dahar.
"Sudah, tuan."
"Baiklah, tolong suruh satu bocah membawanya, supaya
dia ikut aku."
Bouw Pek rapikan pakaiannya, dia bekal sebungkus uang,
yang lainnya dia simpan dengan rapi, kemudian dia berlalu
dari hotel. Sibocah, yang tenteng nampan, ikut dia. Ketika dia sampai,
beda dari mula2, dengan mudah dia bisa menemui Jie Hiong
Wan. Dia kasikan nasi dan minta orang tua itu makan. Dan
setelah orang tua itu sudah dahar, si kacung diperintah pulang
lebih dulu dengan bawa nampan.
Bouw Pek serahkan dua tail perak pada penjaga bui, dia
minta supaya orang tua itu tidak diganggu, sebaliknya supaya
se-bisa2nya supaya segala keperluannya dilayani. Kemudian
dia pergi kepanpong, akan cari pegawai yang tadi membuka
jalan. Pegawai itu sudah pulang, tetapi dia ada pesan bila ada
orang cari dia, supaya dia di susul kerumahnya. Lantaran ini
Bouw Pek lantas pergi kerumahnya itu, satu kacung antarkan
dia. Tidak lama Bouw Pek sudah sampai dirumahnya pegawai
kantor tiekoan itu, yang pernahnya tidak jauh dari kantor.
Tuan rumah menyambut dengan manis, karena dia bisa duga
bahwa tamunya datang dengan bawa uang.
Bouw Pek tidak mau buang tempo, dengan ringkas dia
nyatakan dia suka keluarkan uang asal Jie Hong Wan
dapatkan ke merdekaannya. Dia kata dia berani keluarlan
sampai kira2 dua ratus tail perak.
"jangan kuatir, aku nanti atur, kata pegawai itu, aku harap
dalam tempo tiga hari si orang tua sudah dapat pulang
kemerdekaannya". Bouw Pek bilang terima kasih, ia serahkan
uang sepuluh tail, lantas ia minta diri. Ia pulang terus ketemui
Siu Lian, akan kasih tahu apa yang telah dikerjakannya dia
bilang bahwa loo piauwsu baik2 saja. Hati Siu Lian menjadi
sedikit lega setelah dengar keterangan si anak muda.
Perkaranya Jie Hong Wan sebenarnya sudah beres, karena
menolak lamaran tiekoan dan mengucapkan kata2 keras,
tiekoan yang terima laporan dari wakilnya jadi tidak senang
dan perintahkan si orang tua buat diajar adat. Tapi sekarang
orang bersedia mengeluarkan uang, dia bersedia tidak
menarik panjang. Dia terima seratus lima puluh tail dari
wakilnya, sedang wakil itu minta lima puluh dari Bouw Pek,
yang tiga puluh si wakil sendiri, orang2 lain Cuma dibagi
sejumlah dua puluh tail.
Berselang tiga hari, Jie Hong Wan benar dimerdekakan. Ia
tidak dapat gangguan didalam penjara, setiap hari dia
diantarkan makanan dengan tertentu, tapi selama itu si jago
tua ini merasakan kesukaran tiga tahun. Sebabnya dialah
kamar penjara buruk dan menyiarkan bau tidak sedap,
sedangkan dia mendongkol dan masgul dan tidak dapat ketika
untuk melampiaskan dua perasaan yang menindih hebat pada
bathinnya itu Tapi ketika dia pulang ke hotel, dia unjuk
semangat, hingga dia kelihatan segar dan sehat. Ketika itu
kira2 jam dua lewat tengah hari.
"Lekas siap, kita berangkat sekarang juga !" kata orang tua
ini begitu lekas dia sampai dihotel dan ketemu isteri dan anak
nya. Perintah siap dia berikan pada anak dara nya.
Bouw Pek ikut masuk kedalam kamar, si nyonya tua masih
belum bisa bangun.
"Apa tidak baik kita menunda satu hari, lauwsiok ?" dia
tanya, "Perkara sudah beres, aku kira buntutnya tidak ada
lagi. Kenapa mesti ter-buru2 " Encim sedang sakit dan
lauwsiok juga perlu mengaso." Orang tua itu goyang kepala.
"Kau tidak ketahui, hiantit," berkata dia "Ke-satu aku tidak
ingin berdiam lebih lama lagi disini, meski hanya satu hari
saya, aku bisa jadi gila ! kedua, dia melanjutkan seperti
berbisik, selagi ditahan aku telah dapat ketahui satu hal
penting. Lie Mo-ong dan si orang she Can, namanya saja
mereka meringkuk di penjara sebagai penjahat besar,
sebenarnya setiap waktu mereka bisa dapat kunjungan dari
luar, dari luar ada yang bawakan mereka obat luka"
Bouw Pek terkejut mendengar keterangan ini. "sungguh
aneh" dia berseru, "apa disini mereka punya kenalan?" Jie
Hiong Wan nyatakan, "tapi hiantit harus ketahui, mereka dari
tempat ribuan lie jauhnya dari Hoolam sampai Titlee, buat cari
aku, mereka tentu datang bukan Cuma bertiga, mereka pasti
punya kawan2. mereka mesti punya uang, dengan uang
mereka bisa lakukan segala apa!. Aku percaya tidak lama lagi
Lie Mo-ong dan si orang she Can bisa keluar dari penjara,
jikalau aku tidak lekas berangkat, niscaya aku akan hadapi
kesulitan lagi !. bagaimana andai kata mereka cari aku pula ?"
Bouw Pek anggap kekuatirannya jago tua itu beralasan, dia
tidak mau kata apa2 lagi, dia lantas ambil sisanya uang dan
taruh itu diatas meja.
"Baiklah kau simpan itu, untuk kau pakai sendiri, hiantit,"
Jie Hiong Wan bilang. "Buat aku, kau telah sialkan tempo mu
beberapa hari, barangkali sedikit sisa dari uangmu kau sudah
pakai habis. Sisa uang itu kau tidak usah pulangkan, aku
sendiri masih punya dua-ratus tail lebih."
Bouw Pek goyang" kepala, "Kalau nanti aku perlu uang,
aku akan cari kau, lauwsiok," dia bilang. Jie Hiong Wan unjuk
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
air muka seji, dia menghela napas. Dia mengerti hatinya si
anak muda, dia tidak mau mendesak.
"Hiantit," katanya pula, ,,kalau sebentar kita berpisah, aku
tidak tahu kita akan bisa bertemu lagi atau tidak."
"Mengapa kau mengucap begini, lauwsiok ?" tanya Bouw
Pek dengan alis mengkerut. "Andai kata kau kuatir buat
perjalananmu, baiklah aku jangan pergi dulu ke Pakkhia, aku
hantar kau sampai di Po-teng. Aku lihat jalanan tidak seberapa
jauh ." "Tidak usah, hiantit, terima kasih," si jago tua mencegah,
sambil geleng kepala. "Sekarang ini aku tidak pikir buat
menuju ke Po-teng." Bouw Pek tidak mengerti.
"Kemana lauwsiok hendak menuju?" dia tegasi. Ditanya
begitu, orang tua itu angkat dada nya.
,.Aku betul sudah tua, hari ajalku sudah tidak ketentuan
siang atau malam, tetapi asal jiwaku masih ada, aku bisa
lindungkan kehormatanku !" dia kata dengan gagah. "Ho Kiam
Go, Ho Cit Houw, mereka belum tentu bisa berbuat apa atas
diriku, apa yang aku buat menyesal ialah urusanku ini sudah
menyiakan waktu muda kau orang yang besar
pengharapannya. Hal ini bikin hatiku tidak tenteram. "
Lie Bouw Pek tidak mau kata apa2 lagi, dia pun bisa
mengerti perasaannya orang tua itu. Siu Lian sudah lantas
benahkan pauwhok mereka, sedang tidak lama kemudian
jongos datang memberi tahu bahwa kereta sudah siap.
Jie Hiong Wan sudah lantas bikin perhitungan dengan
kuasa hotel, ia bayar sekalian ongkos kamar dan makan dari
si-anak muda, kemudian mereka bertindak keluar, Siu Lian
pimpin ibunya yang menurut saja apa suaminya bikin. Berdua
mereka lantas naik keatas kereta. Jie Lauw Tiauw tuntun
kudanya. "Hiantit, kau boleh singgah lagi satu hari disini," kata dia
pada Bouw Pek. "Kami mau berangkat sekarang, harap lain
kali kita bertemu pula ! Aku ingin tengok lau nanti dikotaraja !"
Bouw Pek kasih hormat pada jago tua itu.
"Moga2 lauwsiok sekalian selamat disepanjang jalan !" dia
kata. Jie Siu Lian singkap tenda dan tongolkan kepalanya, dia
lesu tetapi romannya sangat bersukur.
"Lie Toako, sampai ketemu pula." dia kata pada anak muda
kita. "Sampai ketemu pula, nona," sahut Bouw Pek dengan hati
perih. Sungguh manis dari sinona, siapa dia sebaliknya tidak
boleh harap lagi. Jie Hiong Wan sudah siap dengan kudanya,
tetapi ketika dia mau naik tubuh-nya sempojongan, ternyata
karena mendekam dipenyara kakinya telah jadi lemah.
"Hati2 ayah, pe-lahan2 !" Siu Lian berseru dari keretanya.
Dia terkejut ketika melihat ayahnya. Tapi jago Tua itu tidak
sampai jatuh terguling, Lie Bauw Pek disampingnya sudah
lompat mencegah tubuhnya terpelanting. Kendati demikian,
duduk diatas kudanya, napas orang tua ini sengal2, mukanya
pucat, kumisnya nampak seperti bergemetar. Bouw Pek
kerutkan alis, dia kuatir sekali buat orang tua itu, tubuh siapa
menjadi lemah dengan cepat.
"Aku kuatir, belum sampai keluar kota, dia sudah hadapi
halangan." pemuda ini pikir.
Akan tetapi hatinya jago tua itu kuat dia tetap kukuh.
"Mari kita berangkat," dia kata pada tukang kereta.
Begitulah, dengan kereta didepan dan kuda tunggang
dibelakang , rombongan jago tua ini berangkat menuju
kepintu kota timur, akan keluar dari situ.
Lie Bouw Pek berdiri bingung mengawasi berangkatnya
rombongan itu, pikiran nya ada pada sinona, si jago tua,
sinona adalah bayangannya, yang dia tidak bisa lupai, dan si
jago tua adalah kesehatan dia. Kemudian dia kembali
kekamarnya, seperti semangatnya hilang. Mendadak hatinya
anak muda ini jadi tidak tenteram.
Jilid 4 "JIE HIONG WAN telah begitu lemah, apa nanti jadinya bila
rombongan dari Lie Mo-ong susul dia' demikian dia pikir. "Apa
nanti jadinya, umpama karena kelemahan tubuhnya, jago tua
itu jatuh sakit ditengah jalan, sedang isterinya pun lagi sakit "
Bagaimana sendirian saja Siu Lian bisa urus dua orang tuanya
dengan berbareng " Tidak bisa lain, aku mesti susul mereka,
dengan cara menguntit, andaikata mereka perlu pertolongan,
baru aku muncul"
Lantas Bouw Pek minta jongos sediakan kudanya,dia
sendiri lantas dandan, ketika tidak lama kemudian dia keluar
dari kamarnya, kuda sudah sedia, maka dia lompat keatas
binatang itu dan kabur kejurusan pintu kota timur.
Diluar kota orang dapat memandang keempat penjuru
dengan leluasa, pohon padi merupakan lautan hijau, akan
tetapi heran, kereta atau kudanya Jie Lauw Tiauw tidak
kelihatan sama sekali.
"Kemana dia menuju?" anak muda ini menduga-duga, "Ia
katanya tidak mau pergi ke Po-teng, tetapi tidak bisa jadi dia
pulang ke Kie-lok, oleh karena musuh2nya sedang
membayangi ia. Biarlah aku menuju utara"
Bouw Pek larikan kudanya, Matahari sedang unjuk
pengaruhnya: panas terik! Sang angin seperti sedang
sembunyi, hingga pohon padi seperti berdiri kaku, begitupun
pohon kaoliang.
Baru saja kudanya lari kira2 sepuluh lie, Bouw Pek sudah
mandi keringat, begitu juga kudanya. Kebetulan didepannya
banyak pepohonan,dia lalu singgah. Disitu pun ada beberapa
orang sedang berhenti mengaso. Disitu kebetulan juga ada
pedagang soan-bwee-thung, yang orang minum akan bantu
hilangkan dahaga.
Bouw Pek lompat turun dari kudanya, yang dia tambat
dipohon.dia beli soan-bwee-thung, minum itu barulah dia
merasa sedikit adem. Dia duduk ditanah dan susuti
keringatnya, dengan tudungnya dia kipasi diri,
Beberapa orang lain itu sedang duduk sambil pasang
omong. Dipepohonan juga ada suaranya tenggoret.
,,Apakah tadi disini ada liwat seorang tua menunggang
kuda mengiringi sebuah kereta?" Bouw Pek tanya tukang
soan-bwee-thung.
,,Benar," sahut pedagang itu, "ia tidak mampir disini, kuda
dan keretanya dimemberi lari cepat sekali."
"Apa mereka menuju keutara?" Bouw Pek tanya pula.
"Benar, keutara. Sekarang mereka tentu sudah melalui duapuluh
lie lebih." Bouw Pek heran sekali.
"Kenapa sih Jie Piauwsu lakukan perjalanannya begitu
terburu'" pikirnya.
Oleh karena ini, untuk tidak sia2kan waktu Bouw Pek loncat
atas kudanya terus menyusul keutara. Tapi sehingga magrib,
sampai cuaca mulai berubah, dia tidak lihat kuda atau kereta,
hingga dia makin heran dan sangat tidak mengerti.
"Apa tidak bisa jadi aku salah jalan?" pikir anak muda ini.
Terpaksa Bouw Pek bedal lagi kudanya hingga beberapa lie,
sampai masuk disebuah dusun. Disini dia terpaksa cari
pondokan, karena hari sudah menjadi malam. Disini dia tidak
dapat keterangan apa2. dia mondok semalam, esoknya pagi2
dia lanjutkan perjalanannya. Hampir dia berhenti ditengah
jalan dan putar tujuan ke Pakkhia, tetapi disaat akhir dia
menuju terus keutara. Dia kuatirkan betul orang she Jie itu.
Disepanyang jalan saban dia tanya orang kalau2 orang itu
lihat kereta yang diiringi oleh empe penunggang kuda.
"Ya, tadi, waktu cuaca masih gelap, ada kereta dan
pengiring tua lewat disini," demikian ada orang memberi
keterangan. Bouw Pek jadi dapat harapan, nyata dia tidak kehilangan
mereka, maka dia larikan terus kudanya.
"Jie Piauwsu lakukan perjalanan luar biasa cepat, inilah aku
bisa mengerti," pikir Bouw Pek. ,,Tapi kemana dia mau pergi"
Ke Po-teng tidak, ke Kie-lok pun bukan"
Mendekati tengah hari, buat kelegaan hatinya, barulah Lie
Bouw Pek lihat rombongan yang dia susul, jauh didepannya
Hebat keretanya si jago tua. dengan mengiringi sambil
bercokol diatas kudanya.
"Tidak salah lagi !" pikirnya. Tapi sekarang dia segera
memberi kudanya lari pelahan. Dia tidak mau susul orang tua
itu, dia sengaja bikin ketinggalan jauh juga. Tatkala itu,
jalanan boleh dibilang sepi, lalu lintas sedikit sekali.
Hawa udara panas, akan tetapi keretanya Jie Hiong Wan
terus dimemberi jalan cepat sekali, setelah melalui lagi tujuh
atau delapan lie, Bouw Pek telah mandi keringat, kudanya
bernapas sengal 2, peluhnya bercucuran.
Kebetulan ada tikungan, kapan keretanya Jie Hiong Wan
menikung, Bouw Pek tidak dapat lihat rombongannya jago tua
itu. ditepi jalan, pohon padi dan gandum tinggi sehingga
menghalangi pemandangan. Terpaksa anak muda ini larikan
kudanya dengan keras, selewatnya tikungan itu dia baru dapat
lihat pula orang yang sedang dikuntit. Dia meminggirkan
kudanya, supaya jago tua itu tidak dapat lihat dia.
Sekarang kudanya Jie Lauw Tiauw jalan pelahan sekali.
"Kasihan," Bouw Pek kata dalam hatinya. "Dulu dia jago
yang dimalui, sekarang sesudah tua, sampai menunggang
kuda dia tidak mampu, telah lenyap semua keuletan nya."
Justeru disaat itu, Jie Hiong Wan kelihatan angkat dua
tangannya, menekapi dadanya, rupa2nya dia menjerit, tetapi
Bouw Pek tidak dapat dengar, hanya apa yang bikin anak
muda ini terperanjat adalah ketika dia tampak tubuhnya jago
tua itu rubuh terjatuh ke tanah, sedang kudanya sudah lompat
kesamping! Dalam kagetnya. anak muda ini keprak kudanya
menyusul Selama beberapa bulan yang paling belakang, Jie
Loo-piauw-tauw menjadi korban kedukaan hati, kadang2 dia
mendongkol dan gusar kadang-kadang dia menyesal lantas
dalam beberapa hari paling belakang dia sangat berduka dan
mendongkol, terutama dia mesti mendekam dalam penjara
tiga hari lamanya dengan tidak bersalah-dosa. Kekuatiran
terhadap musuh2nya juga suatu desakan lain bagi penderitaan
batinnya.dia tidak takut mati, hatinya masih besar, tetapi dia
tidak berlega hati kalau ingat isteri dan anaknya. Benar dia
mati daya apabila musuh2nya pegat dan kepung dia pula di
tengah jalan. Seorang diri, bagaimana dia mampu lindungi
isterinya" la sudah tua dan ternyata kelemahan-nya datang
secara cepat sekali. Dan lantas pada hari yang terakhir ini dia
sudah paksa lakukan perjalanan luar biasa cepat, selagi hawa
udara panas membara, sedang Bouw Pek yang muda belia
dan gagah, hampir tidak sanggup lawan pengaruhnya Batara
Surya. Demikian, dengan tidak mampu melawan lebih jauh,
dia muntah darah dan rubuh dari kudanya.
Siu Lian dapat dengar jeritan ayahnya, kemudian, dari
keretanya dia lihat ayah itu jatuh, dia segera perintah kereta
berhenti, dia sendiri lompat turun memburu pada ayahnya itu.
Dia kaget bukan main,dia ber-kuatir sekali menampak
keadaan ayahnya itu. "Ayah, kau kenapa?"dia tanya, seraya
coba angkat bangun tubuh ayahnya buat didudukkan ditanah.
Tukang kereta pun sudah lantas datang membantu
mendukung orang tua ini.
Hiong Wan bisa duduk, tetapi dia tidak mampu bangun
berdiri, oleh karena kedua kakinya lemas sekali. Siu Lian
sudah lantas menangis.
Ayah itu telah berlepotan darah, jenggotnya yang putih
telah berubah menjadi merah. Dan mukanya yang sudah kisut,
pucat sekali. kedua matanya tertutup rapat. Dia tidak bisa
bicara, oleh karena napasnya memburu.
.,Ayah, ingat! ingat, ayah!" anak dara itu memanggil seraya
coba dukung tubuhnya.
Adalah disaat itu. Bouw Pek yang telah bedal kudanya,
sampai diantara mereka.
Nona Jie dapat lihat datangnya anak muda itu, dalam
kedukaan dan kekuatiran hebat dia mendapat cahaja terang,
hingga dengan kegirangan meluap dia berseru:
"Lie Toako, lekas, lekas! Lihat ayah!" Tapi suaranya
tercampur suara menangis.
Lie Bouw Pek lompat turun dari kudanya dan
menghampirkan. "Jangan kuatir, nona", katanya, yang segera pondong jago
tua itu dari dukungannya si nona.
"Ayah! ayah!" anak ini memanggil pula ber-ulang2. "Ayah!"
Bouw Pek pun turut me-manggil2 orang tua itu.
Berselang sekian lama, napasnya si orang tua tidak lagi
memburu keras seperti tadi, dengan pelahan2 dia membuka
kedua matanya. Maka itu dia bisa lihat anaknya dan anak
muda itu, yang dia kenali. Nampaknya dia jadi tenang sekali.
"Sukur kau datang, hiantit," katanya dengan pelahan.
"Oleh karena aku senantiasa pikirkan kau, loojinkee, aku
sudah lantas datang menyusul," Bouw Pek memberi tahu.
"Lauw-siok, jangan kau berkuatir, aku lihat kau bukannya
terserang penyakit berbahaya, melulu disebabkan bahwa
udara yang panas sekali. Mari kita cari tempat akan mengaso,
aku percaya, setelah beristirahat sebentar kau akau dapat
pulang kesehatanmu!"
Ketika itu nyonya Jie pun telah turun dari keretanya,
kendati dengan pelahan dia bisa hampirkan suaminya. Dia
kaget menampak keadaannya suami itu, hingga dia tidak
mampu kendalikan diri buat tidak menangis.
"Apakah di-dekat2 sini ada dusun atau kampung?" Bouw
Pek tanya tukang kereta.
"Lagi dua tiga lie, kita akan sampai di Jie si-tin," sahut
tukang kereta. "Kalau begitu, mari kita lekas pergi kesana, lauwsiok perlu
mengaso dipondokan! kata Bouw Pek."
Lantas dengan dibantu oleh si tukang kereta Bouw Pek
bawa dan memberi naik jago tua itu kekereta. Karena ini
nyonya Jie mesti duduk disebelah depan. Siu Lian tidak dapat
lagi duduk dikereta, dia lantas lompat naik kuda ayahnya.
Bouw Pek juga naik kudanya sendiri. Kereta dan kuda segera
berjalan menuju keutara.
Bouw Pek jalan disebelah belakang si nona, dari itu dia bisa
pandang nona itu. Dia merasa kasihan pada nona itu, yang
nampaknya sangat berduka. Dia mesti tahu bahwa dia sangat
tertarik hati terhadap si nona yang cantik dan gagah, tubuh
siapa berpotongan menggiurkan hati.
"Sakitnya ayah karena dia terlalu berduka dan berkuatir,"
kata Siu Lian, yang coba bicara. "Bagaimana andai kata terjadi
suatu apa atas diri ayah ?"
Bouw Pek kerutkan alis, suaranya si nona menusuk hatinya.
Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku rasa keadaan lauwsiok tidak begitu rupa seperti yang
kau kuatirkan, nona," katanya. "Sekarang kita paling perlu
dapatkan tempat mondok, lantas kita undang tabib buat
periksa keadaannya dan memberi makan obat, aku percaya
dalam dua tiga hari, lauwsiok akan sudah sembuh. Nona
jangan kuatir."
Siu Lian susut air matanya dengan sapu-tangannya, atas
ucapannya si anak muda dia tidak kata apa2.
Bouw Pek juga diam, melainkan matanya mengawasi si
nona, tubuh siapa duduk dengan leluasa diatas kuda.
"Tidak saja nona ini berilmu tinggi, ilmu menunggang
kudanya juga sempurna." Dia berpikir dengan kagum.
Sukar buat cari nona dengan kepandaian seperti yang dia
punyai ini. entah bagaimana macamnya Beng Jie-siauwya itu,
yang menjadi tunangannya " Apakah dia punya romannya
cakap dan ilmunya tinggi yang setimpal dengan kekasihnya
ini" Dia sungguh beruntung bisa dapat pasangan semacam Siu
Lian." Dengan tidak merasa, Bouw Pek jadi ngelamun.
"Habislah pengharapan. " demikian otaknya melayang.
"Dimana aku bisa cari lagi nona lain seperti dia ini, yang bisa
dijadikan pasanganku yang sembabat "
Pikiran yang tidak2 ini membikin anak muda itu masgul,
hingga dia lesu. Hilang pengharapan, dia jadi kehilangan juga
ke gembiraannya.
"Jikalau begini, lebih baik tadinya aku tidak lihat dia." Dia
pikir pula. Sukur sementara itu mereka sudah lantas sampai di Jie-sietin.
Bouw Pek mendahului akan cari rumah penginapan,
kemudian dengan dibantu oleh si tukang kereta dia dukung
Hiong Wan kedalam kamar, direbahkan diatas pembaringan.
"Tolong lekas carikan tabib," kemudian Bouw Pek kata pada
tuan rumah. Sekarang Jie Hiong Wan sudah sedar betul, akan tetapi
melihat romannya nyata sekali keadaannya jauh terlebih
berbahaya. Napasnya terus bekerja dengan luar biasa cepat,
dua kali lagi dia telah muntahkan darah!
Orang tua ini telah saksikan istri dan anaknya sedang
hadapi dia sambil menangis dan Bouw Pek berdiri
dihadapannya dengan roman sangat berduka, dia rasakan
hatinya sakit bukan main. Lama dia mengawasi mereka itu,
lalu dengan pelahan dia ulur tangannya akan pegang
tangannya si anak muda.
Bouw Pek lekas sodorkan tangannya, memberi dipegang
oleh jago tua itu.
Sambil memegang dengan keras, napasnya loo-piauwtouw
memburu. "Lie Hiantit, seumur hidupku, aku tidak mampu balas
budimu." Kata dia akhirnya dengan susah, suaranya pun tidak
tegas betul. Bouw Pek tidak tahu bagaimana dia harus hiburkan orang
tua itu, air matanya sudah lantas mengucur turun.
Siu Lian, menyender pada ayahnya, menangis
sesenggukan. Orang tua itu pandang gadisnya,dia menghela
napas. Siu Lian, anakku, kau harus pandang Lie Toako ini seperti
koko kandung sendiri,' pesan orang tua ini. "Ya, ayah," sahut
anak itu dengan pelahan.
"Kenapa kau begini berduka, lauwsiok?" kata Bouw Pek
seraya susut air matanya. Dia coba kuatkan hati. "Sakitmu ini
akan sembuh, apabila kau sudah mengaso dua hari. Tentang
nona Siu Lian, jangan kau kuatir, pasti sekali aku akan anggap
dia sebagai adik kandungku !" Dimulut Bouw Pek berkata
demikian, di hati dia bukan main kendalikan diri. Orang tua itu
napasnya masih saja bekerja keras.
"Aku kuatir aku tidak bisa hidup lebih lama. " katanya
kemudian. Siu Lian menangis lebih keras apabila mendengar ucapan
ayahnya itu. Nyonya Jie menangis sampai dia tidak bisa memberi dengar
suaranya. Bouw Pek berdiri dengan bingung, dia tidak tahu siapa
yang mesti dihibur, tidak tahu juga apa yang mesti diucapkan.
"Jikalau aku mati, carikan tempat sembarang saja, paling
dulu kuburlah mayatku", berkata pula si jago tua yang telah
putus asa. "Dan kau. Bouw Pek."
ia menyambung dengan tidak lagi berbahasa "hian-tit"
pada anak muda itu, "aku minta pertolongan kau, aku minta
dengan sangat sukalah kau tolong antar ibu dan anak ini ke
Soan-hoa-hu !."
Dengan disebutnya kota Soan-hoa, baru sekarang Bouw
Pek mengerti kemana tujuannya si orang tua. Jadinya orang
tua ini pergi ke utara bukannya ke Po-teng, tetapi ke Soanhoahu untuk antarkan Siu Lian kerumah bakal mertuanya
dinikahkan. Dalam keadaan seperti itu, dia tidak bisa banyak
pikir. diapun mesti unjuk sifat laki2nya. Maka dia lekas
menyawab : "Jangan kuatir, lauwsiok! Umpama kata benar lauwsiok
mesti menutup mata disini, paling dulu kami akan urus
jenazahmu, kemudian encim dan adik Siu-Lian aku nanti
antarkan ke Soan-hoa, kerumahnya ke luarga Beng, supaya
disana sesudahnya habis waktunya berkabung, adik Siu Lian
bisa rayakan pernikahannya. Setelah itu, biarlah adik Siu Lan
datang pula kemari, buat ambil layon lauwsiok untuk dikubur
di kampung sendiri. Tapi, sekarang aku minta lauwsiok jangan
putus asa, mustahil sakit kau ini tidak dapat disembuhkan."
Jawaban anak muda itu bikin hatinya si orang tua jadi
sangat lega, hingga pikirannya terbuka. Dia menghela napas
secara longgar. Karena bersukur,dia telah kucurkan air mata
jagoannya, air mata dari usia tua.
Tatkala itu tuan rumah penginapan muncul bersama tabib
yang diundangnya, sudah lantas lakukan kewajibannya,
terutama buat periksa nadi orang. Selama itu beberapa kali
dia geleng kepala dan kerutkan alis.
,,Penyakit ini disebabkan sangat mendongkol dan berduka,"
kemudian kati tabib ini, "sudah begitu, orang tua ini telah
terkena angin."
Lalu dengan tidak banyak omong lagi dia tulis resepnya. Siu
Lian lekas2 keluarkan uang buat membayar tabib itu. Bouw
Pek mengantar sampai diluar ketika tabib itu pamitan.
"Nadinya orang tua itu terlalu lemah," kata si tabib dengan
pelahan pada anak muda kita. "Kalau sebentar habis makan
obatku keadaannya jadi mendingan, kau boleh lantas panggil
aku pula, tetapi apa bila sebaliknya, kau harus sedia2 buat
urus dia lebih jauh !." Setelah mengucap demikian, tabib ini
lantas ngelojor pergi.
Bouw Pek mau percaya perkataan tabib ini, dugaan siapa
tentang sebabnya penyakit ada cocok. Oleh karena itu dia jadi
tambah2 duka. Karena terang penyakitnya Jie Hiong Wan
tidak akan sembuh. "Sungguh kasihan Siu Lian andai kata
ayahnya mesti menutup mata disini." pikirnya. "Bagaimana
aku bisa hiburkan dia "."
Dengan kedukaan anak muda ini pergi kepasar buat beli
obat, diwaktu kembali dia pergi kedapur akan masak sendiri
obat itu, kemudian dia bawa obat itu kedalam kamar,
diserahkan pada Siu Lian.
"Coba berikan ajahmu minum !"dia kata. Siu Lian
menurut,dia sambuti obat itu.
Jie Hiong Wan mau minum obat, sesudah itu dia rebahkan
diri, coba napasnya tidak lagi berjalan, dia mirip dengan
mayat. Siu Lian ambil kipas akan usir pergi lalat yang merubung
orang tuanya. Nyonya Jie duduk ditepi pembaringan, sebelah tangan
meng-usut2 dadanya, sebelah lagi dipakai menyusut air mata.
Dia menanggis dengan tidak bersuara, air matanya tidak mau
berhenti meleleh.
Dengan se-bisa2 Bouw Pek hiburkan ibu dan gadisnya,
kemudian dia pergi keluar minta tuan rumah sediakan kamar
buat dia. Disini dia mengasokan diri.
Hari itu keadaannya Jie Hiong Wan tidak menjadi lebih
baik, malah sebaliknya, sedang esoknya pagi dia muntah
darah lagi dua kali dan napasnya mulai mendesak, kemudian
buka mulut akan bicarapun dia tidak bisa.
Tabib yang kemarin telah diundang lagi, akan tetapi
sekarang ini dia tidak sanggup bikin resep lagi, maka bisa
dimengerti yang nyonya Jie dan Siu Lian menjadi bingung
bukan main, sampai mereka tidak tahu musti berbuat apa
kecuali menangis saja.
Bouw Pek penasaran, dia minta tuan rumah tolong carikan
tabib lain, akan tetapi tabib yang baru juga geleng kepala.
"Ia sudah tidak dapat ditolong lagi, baiklah sediakan segala
apa, kata sang tabib waktu dia pamitan pulang.
Bouw Pek masih coba hiburkan Siu Lian dan ibunya,
kemudian dia cari tuan rumah buat diajak berdamai dalam hal
membeli peti mati, pakaian dan tempat buat taruh peti karena
dihotel orang tidak bisa taruh peti lama2. Untuk semua ini
dengan dibantu oleh tuan rumah yang baik hati, dia telah
gunai antero hari.
Malamnya Jie Hiong Wan bisa juga bicara, kendati
napasnya telah makin mendesak. Jago tua ini bisa tinggalkan
pesanan, yalah.:
"Dengan anaknya Ho Hui Liong, jangan kau bikin
dendaman jadi lebih hebat. Kalau nanti kau sudah sampai di
Soan hoa, aku ingin kau menjadi nyonya mantu yang baik.
Ketiga adalah aku minta kau dan ibumu jangan lupakan
kebaikannya Lie Hiantit, karena dia telah berbuat terlalu
banyak buat kita. "
Dari lagu bicaranya orang tua ini, nyata dia menyesal yang
jodoh anak gadisnya itu sudah ditetapkan sedari siang , bila
tidak, pastilah jodoh anak itu dia akan rangkap dengan Lie
Bauw Pek. seorang muda siapa hati dan kegagahannya dia
sudah buktikan sendiri. Ketika pesanan itu diucapkan, Bouw
Pek kebetulan tidak ada didalam kamar, tetapi Siu Lian nyata
sangat terduka.
Diwaktu orang tidur, Bouw Pek datang menengoki, dia
dapat kenyataan napasnya si orang tua telah jadi pendek dan
makin pendek, maka dia bisa duga saatnya akan segera tiba
yang jago tua itu akan ambil selamat berpisah dari mereka.
,,Kelihatannya sang saat akan lekas datang, kendati
demikian, nona baiklah jangan bingung, " katanya kemudian
kepada nona Jie. "Peti mati dan pakaian aku sudah belikan,
pakaian ada dikamarku, peti mati tinggal digotong saja. Peti
mati dari kayu cemara yang kuat. Tempat buat taruh layon
juga aku sudah cari, yalah di Kwan Tee Bio disebelah timur
dusun ini. "
Siu Lian menangis sampai tak bisa kata apa-apa,dia cuma
bisa manggut. Kemudian Bouw Pek duduk dibangku disamping
pembaringan, akan temani nona itu dan ibunya menunggu si
orang tua. Nyonya Jie duduk diam saja seperti juga sedang
tidur, dia menangis dengan tidak keluarkan suara, air matanya
tidak keluar. Kamar itu diterangi dengan lampu minyak tanah, nyala
apinya kelik-kelik, hingga membikin seluruh kamar nampaknya
seram. Dari kamar-kamar sebelah terdengar nyata mengerosnya
tamu2 lain. yang sudah pada tidur pulas sesudah tadi siang
mereka lintasi perjalanan jauh.
Bouw Pek terus duduk sampai dia dengar suara kentongan
tiga kali, dia menoleh pada Siu Lian, dia lihat si nona rupanya
sangat ngantuk, kepalanya tunduk.
Merasa likat akan duduk terus dikamar itu, kemudian anak
muda ini balik kekamarnya sendiri, dalam kedukakan dan
pikiran pepat dia duduk dikursinya, tetapi tidak lama, dengan
tidak salin pakaian lagi dia hampirkan pembaringan buat
rebahkan diri. Dia baru saja layap-layap mau pulas, ketika
menjadi terperanyat mendengar dikamarnya si jago tua Siu
Lian dan ibunya menangis meng-gerung2. Tidak menunda lagi
dia lompat bangun dan memburu keluar akan pergi
kekamarnya Hiong Wan. Waktu sampai didepan pintu kamar,
dia segera dengar Siu Lian ber-ulang2 teriaki ayahnya : "Ayah,
ayah!". Jie Hiong Wan. piauwsu tersohor, si jago tua, rebah
dengan mata meram dan tubuh tidak bergerak, ketika Lie
Bouw Pek bertindak masuk kedalam kamarnya terus sampai
didepan pembaringan. Dia lantas turut menangis buat orang
tua itu yang bernasib malang.
"Sudahlah, encim, adik . . . . " katanya kemudian, setelah
coba kuatkan hati, supaya tidak menangis terus. Dengan tidak
keluarkan suara, air matanya tidak keluar, Tuan rumah
bersama dua pegawainya juga telah masuk.
"Coba panggil pengurus mayat, peti mati juga boleh lantas
digotong kemari," kata Bouw Pek pada salah satu pegawai,
kemudian dia pergi kekamarnya akan ambil pakaian mati.
Tuan rumah dan pegawainya, ber-sama2 anak muda kita,
sudah lantas urus mayatnya Jie Hiong Wan, buat tukar
pakaiannya, di waktu mereka baru selesai pengurus mayat
telah datang, maka dia atur kedudukan mayat buat dipasangi
hio. Siu Lian dan ibunya telah dibujuki sampai mereka berhenti
menangis, lantas mereka dampingi mayat ayah dan suami
mereka. Bouw Pek juga terus berdiam didalam kamar itu,
sampai sang fajar datang.
Begitu lekas sudah terang tanah, peti-mati telah digotong
kedalam kamar. Semua orang lantas bekerja dengan sunyi
dan cepat, maka tidak lama berselang layon itu sudah bisa
digotong ke Kwan Tee Bio. Disini upacara sembahyang
dibantu oleh beberapa hweeshio yang membaca doa.
Oleh karena perembukan telah dilakukan sejak kemarinnya,
hweeshio Kwan Tee Bio telah berikan bantuannya dengan
mudah, malah dia juga yang unjuki tanah kosong dibelakang
bio, tanah mana ada pepohonan nya, hingga dia anggap itu
suatu tempat yang bagus letaknya untuk kuburan.
"Penguburan lebih baik dilakukan disitu, kalau lain waktu
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 13 Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin Pedang Berkarat Pena Beraksara 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama